MAQASID SYARIAH SEBAGAI METODE MEMBANGUN TUJUAN LAPORAN KEUANGAN ENTITAS SYARIAH1 M. Nur A. Birton Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan 15419 Surel:
[email protected]
http://dx.doi.org/DOI: 10.18202/jamal.2015.12.6034
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 3 Halaman 341-511 Malang, Desember 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Tanggal Masuk: 30 Nopember 2015 Tanggal Revisi: 27 Desember 2015 Tanggal Diterima: 29 Desember 2015
Abstrak: Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Lapor an Keuangan Entitas Syariah. Artikel ini berupaya memberikan interpretasi atas konsep maqasid syariah kemudian melakukan sintesis konstruktif dengan berbagai tujuan laporan keuangan. Kons truksi tujuan laporan keuangan termasuk laporan keuangan entitas syariah umumnya didasarkan pada decision usefulness approach, suatu pendekatan yang berorientasi pada kepentingan pengambilan keputusan ekonomi. Melalui telaah tujuan laporan keuangan entitas syariah yang meliputi tiga tingkatan tujuan yaitu primer (dharuriyyat), sekunder (tahsiniyyat), dan tersier (hajiyyat), ditemukan bahwa (sumber dan penggunaan) harta serta pengadministrasian dan penyampaian informasi tentang harta menjadi pilar esensial dalam mencapai maqashid syariah. Artikel ini menawarkan perumusan tujuan laporan keuangan dalam tiga tingkatan pula: tujuan primer, sekunder dan tersier. Abstract: Maqasid Syariah as a Method in Developing Sharia Entity’s Financial Statement Objective. This article seeks to provide an interpretation of the concept of maqasid sharia then perform a constructive synthesis of various financial reporting purposes. Developing objective of financial statement, including sharia entity’s financial statement, is generally based on the decision usefulness approach that is oriented for economic decision making. Through entity’s financial statement objectives which include primary (dharuriyyat), secondary (tahsiniyyat), and tertiary (hajiyyat) objectives, it is found that (sources and uses) of asset as well as its administration prove to be essential in achieving maqashid sharia. This article proposes the formulation of primary, secondary, and tertier financial statement objectives. Kata kunci: Entitas syariah, Maqasid syariah, Maslahah, Tujuan laporan keuangan.
Tujuan laporan keuangan menempati posisi sentral baik ditinjau dari perspektif teoretis maupun praktik akuntansi. Secara teoretis tujuan laporan keuangan mampu mengikat konsep-konsep akuntansi sehingga membentuk satu kerangka konseptual akuntansi (accounting conceptual framework) atau kerangka teoretis akuntansi (accounting theoretical framework). Tanpa diikat oleh tujuan laporan keuangan maka berbagai konsep akuntansi yang memiliki beragam
fungsi dan tingkatan kedudukan itu seperti postulat, konsep teoretis, maupun prinsip akuntansi (Belkaoui 2006) tidak akan terstruktur dengan baik. “Kompromi” atas tujuan laporan keuangan tercapai setelah proses berlangsung selama puluhan tahun. Sebelum konsensus ini, sudah cukup banyak teori akuntansi dihasilkan yang kesemuanya terfragementasi pada area tertentu, tanpa ada satupun teori akuntansi mainstream yang
1 Artikel ini merupakan perbaikan dari artikel yang disampaikan pada Seminar Nasional ”Peran Ekonomi Islam dalam Krisis Keuangan Dunia” oleh Pusat
Studi Ekonomi Islam LPPM UNS, Surakarta 26 November 2013.
421
422
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Desember 2015, Hlm. 421-431
disepakati sebagai platform. Kegagalan2 teoretis menciptakan teori akuntansi yang dapat diterima, simpul Gaffikin (2008:73), menjadi penyebab para pihak berpaling ke regulasi untuk menyediakan pernyataan sebagai “praktek terbaik” (best practise) guna menciptakan keselarasan yang lebih kuat dengan praktik akuntansi. Lebih jauh karena kerangka konseptual telah diterima sebagai konstitusi akuntansi untuk menyusun dan mengembangkan standar akuntansi yang lebih koheren, maka tujuan akuntansi telah berubah menjadi kuda troya yang mampu membentuk struktur teori akuntansi dan memiliki pengaruh praktis dalam pembuatan pedoman penyusunan laporan keuangan (standar akuntansi). Tujuan laporan mampu memberi arah bagi penggunaan sumber daya, perhatian dan ke arah mana suatu tindakan dilakukan, sekaligus dapat mempengaruhi jenis, bentuk, dan isi sebuah laporan keuangan (Suwardjono 2006:145). Hal ini sekaligus menandai pergeseran orientasi akuntansi dari yang sebelumnya diawali penentuan postulat menjadi penentuan tujuan (objectives) laporan keuangan. Alhasil, berbagai profesi akuntansi di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada berupaya keras untuk merumuskan tujuan laporan keuangan (Belkaoui 2006:210). Di AS, pergeseran orientasi ini, menurut catatan Narsa (2007), diawali dengan dikeluarkannya A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT) oleh American Accounting Association (AAA) (1964), diikuti Accounting Principle Board (APB) yang mengeluarkan pernyataan (statement) No. 4 (1970), disusul laporan Trueblood Committee (1973). Puncaknya adalah ketika FASB, pengganti APB, pada tahun 1978 mengeluarkan SFAC No 1 (lihat juga Suwardjono 2006:151; Belkaoui 2006: 210-214). Studi mendalam atas tujuan laporan keuangan dilakukan Trueeblod Committee pada April 1971. Komite ini berhasil menuntaskan pekerjaannya dan berhasil mengidentifikasi 12 buah tujuan laporan keuangan (Belkaoui 2006:215). Seluruh tujuan tersebut menekankan pada nilai guna tujuan laporan keuangan. Meskipun terdapat sejumlah perbedaaan redaksional, namun
ketika diekstraksi, berbagai hal tersebut bermuara pada satu tujuan, yaitu “untuk memberikan informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan ekonomi”. Demikian juga ekstraksi dari tujuan laporan keuangan dalam APB Statement Nomor 4 (1970) yang membuat peringkat tujuan laporan keuangan menjadi tujuan umum, tujuan khusus, dan tujuan kualitatif (Belkaoui 2006:212214). Financial Accounting Standard Board (FASB) di Amerika Serikat, bahkan membuat tujuan laporan keuangan sebagai sebuah pernyataan terpisah berisi 63 paragraf, yaitu Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises (SFAC No. 1 1978) sebelum membuat berbagai pernyataan lainnya. Sedangkan International Accounting Standard Committee (IASC 1989) menempatkan tujuan laporan keuangan di bagian awal ruang lingkup kerangka konseptual --Framework for Preparation and Presentation of Financial Statements, FPPFS-- mendahului asumsi dasar, karakteristik kualitatif, elemen laporan keuangan, pengakuan dan pengukuran unsur laporan keuangan dan konsep pemeliharaan modal. Demikian juga Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI), sebuah lembaga yang mendedikasikan dirinya untuk mengembangkan kerangka konseptual, standar akuntansi, pedoman tata kelola (governance) dan standar audit untuk entitas syariah, juga membuat sebuah pernyataan terpisah tentang tujuan laporan keuangan dalam Statement for Financial Accounting No. 1 berjudul Objectives of Financial Accounting for Islamic Banks and Financial Institutions (AAOIFI 2001). Tujuan laporan keuangan syariah yang diinisiasi AAOIFI dan Ikatan Akuntan Indonesia (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, KDPPLKS) secara formal dan substantif masih mengadopsi pendekatan kovensional, sekalipun telah disesuaikan dengan prinsip syariah. Kecenderungan ini tampaknya akan terus berlangsung, mengingat syariah di bidang muamalah sangat fleksibel (Kamali 2013:54). Kelenturan semacam ini bahkan dapat menjadi sebuah dalil mengingat penentuan tujuan laporan keuangan
2. Sebenarnya teoritisi bukan sama sekali gagal menciptakan teori akuntansi, melainkan teori yang dihasilkan masih terpisah-pisah. Jadi, ketika disebut teori akuntansi, itu tidak bermakna teori umum akuntansi (general theory of accounting). Teori
akuntansi bahkan sudah muncul di awal abad ke-20, dengan munculnya proprietary theory oleh Sprague (1908) dan Paton (1922) dengan entity theory. Untuk jelasnya lihat, antara lain Gaffikin (2008: 30-32).
Birton, Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan ...
sepenuhnya “peristiwa duniawi” yang tidak dituntun secara teknis oleh syariah. Namun, seliberal apapun suatu entitas atau pedoman yang telah diklaim sesuai syariah maka kedudukan hukum dan implikasinya menjadi berbeda. Demikian juga pelaporan informasi keuangan yang sebelumnya bersifat sekuler telah berubah menjadi domain syariah yang memiliki implikasi duniawi sekaligus ukhrawi. Akan tetapi, ketika fleksibilitas syariah diperhadapkan dengan titah Ilahi (khususnya Q.S. Al-Baqarah (2):282283) maka fleksibilitas syariah atas tujuan laporan keuangan menemukan tantangan tersendiri. Ketika, misalnya, prinsip-prinsip dan metode pengadministrasian (akuntansi) atas hutang piutang (aset dan liabilitas) dinyatakan secara eksplisit dalam Al Quran maka fleksibilitas syariah atas akuntansi syariah (khususnya tujuan laporan keuangan entitas syariah) dapat digugat kembali. Atas pertimbangan itu pula, maka mengadopsi pendekatan decision usefulness, sekalipun dipandang sejalan dengan syariah, menemukan momentum untuk disanggah. Terhadap pilihan AAOIFI itu, Kamla (2009) dan Vinnicombe (2010), misalnya, melihat bahwa akuntansi syariah telah disusupi kepentingan kapitalisme dengan tujuan pengekalan akumulasi keuntungan. Baydoun dan Willet (2000: 80) berpandangan bahwa menjadikan tujuan laporan keuangan yang berorientasi pada pengambilan keputusan ekonomi merupakan sejalan dengan filosofi Barat tentang rasionalisme ekonomi berdasarkan pandangan Jeremy Bentham tentang hedonisme psikologis tindakan sosial. Karena memilih tujuan seperti itu, Maurer (2002) menilai yang diakomodasi hanyalah kepentingan aktor-aktor ekonomi guna memenuhi kepentingan diri (self-inte rest) mereka. Bahkan, Kamla (2009) melihat bahwa apa yang dilakukan AAOIFI ini tidak lebih dari sekedar meniru akuntansi Baratkapitalistik dan melihat akuntansi Islam hanya sekedar masalah teknis seperti pelarangan riba dan perhitungan zakat. Sementara itu, Yaya (2004) memberi tiga alasan tidak tepatnya menggunakan tujuan akuntansi konvensional untuk lembaga bisnis Islami, termasuk bank syariah, karena dianggap (1) bertentangan dengan ajaran Islam; (2) tidak sesuai dengan tujuan akuntansi Islam, dan (3) kurang fokus pada tujuan sosio-ekonomi Islam. Atas dasar inilah maka warisan kesarjanaan Islam, seperti pendekatan maqasid
423
syariah, perlu dibuka kembali. Pendekatan ini telah secara luas diterima sebagai landasan bangunan pengetahuan yang menggunakan perspektif Islam (Sardr 2005). Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa maqasid tidak saja dipakai dalam disiplin dasar di bidang hukum Islam (Kamali 2013), namun juga banyak dipakai di bidang sosial ekonomi, terutama ketika menekankan pada penggunaan prinsip maslahah (public inte rest). Sejumlah kajian dalam disiplin ekonomi yang menggunakan maqasid dan juga maslahah sebagai fondasi, antara lain dalam Chapra (2011) di bidang ekonomi pembangunan; di bidang keuangan dan perbankan Islam diperlihatkan Azli et.al. (2011), Ahmed (2011), Dusuki dan Bouheraoua (2011), dan Shaharuddin (2010); Abd Rahman (2010) di bidang akuntansi; Abd. Rahman dan Sanep (2010) di bidang zakat; Dusuki dan Abdullah (2007) dalam kajian corporate social responsibility. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi, menginterpretasi metode maqasid syariah, dan selanjutnya melakukan sintesis dengan sejumlah tujuan laporan keuang an, dan pada akhirnya dapat memproyeksikan satu tujuan laporan keuangan entitas syariah alternatif. METODE Formulasi tujuan laporan keuangan entitas syariah berdasarkan metode maqasid syariah dilakukan melalui sejumlah tahapan. Pertama, menguraikan problematika penyusunan laporan keuangan entitas konvensional terutama yang menggunakan pendekatan pengambilan keputusan ekonomi. Kedua, mendiskusikan berbagai model tujuan laporan keuangan entitas syariah yang pernah diformulasikan baik oleh institusi maupun para sarjana akuntansi Islam. Ketiga, mengekplorasi konsep maqasid syariah dalam mencapai kemaslahatan, yaitu untuk mencapai tujuan primer (dharuriyyat), sekunder (tahsiniyyat), dan tersier (hajiyyat). Keempat, berdasarkan sintesis tahapan kedua dan ketiga diformulasikan satu tujuan laporan keuangan entitas syariah alternatif berdasarkan tiga tingkatan maqasid syariah tersebut. Pada tahapan sintensis (tahapan keempat), terlebih dahulu dilakukan, pertama, identifikasi kemaslahatan terkait dengan perolehan, pengelolaan, pengadiministra sian dan penyampaian informasi atas harta yang sesuai dengan maksud syariah. Untuk itu dikaji berbagai ayat-ayat al-Quran yang
424
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Desember 2015, Hlm. 421-431
bersifat umum atau spesifik, yang tegas atau samar, dan dipahami sendiri-sendiri atau dihubungkan dengan ayat yang lain me ngenai bagaimana memperoleh, mengelola, mengadministrasikan, dan penyampaian informasi atas harta; begitu juga dengan berbagai hadits Rasulullah. Kedua, identifikasi kebaikan dan kerusakan yang mungkin timbul apabila tindakan tersebut (atas peroleh an, pengelolaan, pengadministrasian, dan penyampaian informasi) dilakukan atau tidak dilakukan. Ketiga, merumuskan tujuan tersebut ke dalam tiga tingkatan tujuan laporan, yaitu tujuan esensial (dharuriyyat), tujuan komplementer (hajiyyat), dan tujuan yang diinginkan (tahsiniyyat). HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai tujuan laporan keuangan, baik APB Statement No. 4, SFAC No. 1, IASC, termasuk AAOIFI, seluruhnya memberi prio ritas pada pengambilan keputusan ekonomi. Sekalipun pada saat SFAC No 1 disahkan, 60 persen responden FASB menolak menjadikan tujuan pengambilan keputusan ekonomi sebagai tujuan pelaporan keuang an (Young 2006), namun SFAC No. 1, secara eksplisit menyatakan bahwa pelaporan keuangan ditujukan kepada investor dan kreditor -mengingat pemakai di AS sangat kuat terkait dengan pasar modal. Tujuan pengambilan keputusan ekonomi, diakui Moonitz (Young 2006), sebenarnya dipengaruhi konsep entity theory yang sangat berorientasi pada pemakai dan laba. Fokus pada decision usefulness, menurut Kam (Yaya 2004), mengarahkan semua perhatian pada kepentingan pemegang saham dan kreditor. Informasi yang berguna dan menggambarkan kepentingan ini umumnya terkait dengan : (1) prediksi kapan dan berapa jumlah dividen yang akan diterima investor (termasuk berapa harga yang akan diterima apabila mereka menjual sahamnya, dan (2) kemampuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan membayar kewajiban kepada kreditor (Yaya 2004; lihat juga Scott 2009). Akibat formulasi tujuan akuntansi (laporan keuangan) yang demikian telah menyeret definisi akuntansi, formulasi postulat, prinsip-prinsip maupun aturannya hanya untuk melayani satu kelompok kepentingan (Young 2006). Masalah yang sama juga berlaku untuk tujuan laporan keuangan AAOIFI. Sekalipun mampu melahirkan tujuan laporan keuang an “murni syariah” (Karim 1995: 289), lem-
baga ini tetap saja memilih mengadopsi tujuan laporan keuangan konvensional (Karim 1995: 290; AAOIFI 2001, par. 24). Hal ini terlihat dalam Statement of Financial Accounting No. 1 tentang Objectives of Financial Accounting for Islamic Bank and Financial Institution (AAOIFI 2001, par. 25), menawarkan suatu tujuan laporan keuangan (objective of financial reports), yaitu : "Tujuan akuntansi keuangan menentukan jenis dan sifat informasi yang harus dimasukkan dalam pelaporan keuangan guna membantu para pemakai laporan keuangan ini dalam mengambil keputusan." Sementara itu, profesi akuntansi di Indonesia mengadopsi FPPFS-IASC sehingga menjadi Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK) pada 24 Agustus 1994. Tanpa perubahan substantif pada keseluruhan kerangka konseptual, termasuk pernyataan tujuan lapor an keuangan, oleh Komite Standar Akuntansi Keuangan kerangka tersebut disahkan pada 7 September 1994 (Ghozali dan Chariri 2007:178). Agar dapat dipakai dalam praktik akuntansi syariah di Indonesia, Dewan Standar Akuntansi Keuangan menjadikan KDPPLK sebagai dasar untuk membangun KDPPLK yang sesuai syariah (IAI 2007b). Apabila diperbandingkan antara tujuan lapor an keuangan KDPPLK dan KDPPLKS tetap memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Apabila tujuan laporan keuangan KDPPLK menyatakan “menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi” (IAI 2007a, par. 12) maka dalam KDPPLKS (IAI 2007b, par. 30) menyatakan “menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi” (lihat perbedaan pada frasa yang dicetak tebal). Perspektif syariah (perbedaannya) yang lebih dalam terlihat pada bagian “tujuan lainnya”, melalui anak kalimat “Di samping itu, tujuan lainnya adalah: (a) Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha;
Birton, Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan ...
(b) Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, bila ada, dan bagaimana penggunaannya; (c) Membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah atas amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak; dan (d) Informasi mengenai tingkat keuntung an investasi yang diperoleh penanam modal dan pemilik dana syirkah temporer; dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf” (IAI 2007b, par. 30). Keputusan, antara lain FASB dan IASC (mewakili kerangka konseptual konvensional), AAOIFI dan KDPPLKS (mewakili kerangka konseptual syariah DSAK-IAI) mengukuhkan decision usefulness sebagai arus utama penentuan tujuan laporan keuangan. Sebenarnya terdapat pendekatan lain yang lebih minor seperti konsep stewardship. KDPPLKS (2007b, par. 32), misalnya, juga mengadopsi pendekatan ini dalam bagian tujuan laporan keuangan, sebagai bentuk pertanggung jawaban (stewardship) manajemen terhadap sumber daya yang diperca yakan kepada mereka. Menurut Yaya (2004: 152), SFAC No. 1 (FASB 2008), dan AAOIFI juga mengadopsi pendekatan ini meskipun dalam lingkup yang lebih minor. Mengutip Mathews dan Perera (1996), Yaya (2004) menyatakan bahwa informasi dalam pendekat an stewardship lebih minim, karena tidak mencakup investor dan kreditor potensial serta hanya melihat tindakan manajemen pada periode lalu. Akuntabilitas juga digunakan sebagai pendekatan alternatif untuk membangun tujuan laporan keuangan. Menurut Yaya (2004) akuntabiltas merupakan konsep yang lebih luas daripada konsep stewardship meskipun tetap berkaitan dengan pertanggungjawaban antara pemberi amanah dengan yang diamanahi. Dalam konteks syariah akuntabilitas ini dapat dicari dalilnya dalam Al-Quran, terkait dengan pemberian amanah Allah kepada manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah fil ardh) (Q.S. Al-Baqarah [2]:30). Atas dasar ini pula Triyuwono (2012:342-342) menawarkan adanya akuntabiltas kepada Tuhan
425
(vertical accountability) dan akuntabilitas kepada alam dan dunia sosial (horizontal accountability). Bagi Adnan dan Gaffikin (1997: 121), justru tujuan informasi akuntansi yang paling primer adalah memenuhi pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Hal itu tercermin dari misi dasar Tuhan mengutus manusia ke muka bumi, yaitu hanya untuk menyembah kepada-Nya (Adz-dzariyat [51:56]. Oleh karena itu maka Adnan dan Gaffikin (1997:120-121), Mulawarman (2009:40) mengembangkan basis akuntansi syariah pada gabungan dua konsep seka ligus: penghambaan (worship, ‘abdullah) dan khalifah fil ardh. Selanjutnya, konsep akuntabilitas dalam persepktif Islam tersebut di atas dapat dikembangkan ke dalam praksis, pertama, accountability through zakat, kedua, (b) Islamic accountability (Yaya 2004). Akuntabilitas yang direfleksikan melalui pembayaran (optimal) zakat, dikembangkan Adnan dan Gaffikin (1997) dan Triyuwono (2012:349359). Sedangkan konsep akuntabilitas (amanah) yang dikiaskan melalui zakat dalam lingkup organisasi, menurut Triyuwono (Muhammad 2002) memiliki beragam makna. Pertama, adanya transformasi dari pencapaian laba bersih ke pencapaian zakat. Kedua, karena berorientasi zakat, maka segala bentuk operasi perusahaan (akuntansi) harus tunduk pada aturan main syariah. Ketiga, zakat sebagai lambang perpaduan karakter manusia yang seimbang: antara egoistik dan altruistik. Keempat, zakat mengandung nilai pembebasan (emansipatoris). Terakhir, zakat adalah jembatan penghubung antara aktivitas manusia yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Namun, Yaya (2004) melihat bahwa zakat tidak harus menjadi perhatian utama, mengingat bahwa kesadaran ketuhanan le bih penting. Lebih daripada itu, maksimum zakat juga akan menciptakan ketidakeadilan bagi pembayar zakat. Konsekuensinya dapat dilihat dalam tujuan laporan keuangan yang diusulkan Triyuwono (2002) dalam Triyuwono (2012:375). Dengan menggunakan konsep khalifah fil ardh, Triyuwono mencoba membangun dua sasaran tujuan laporan keuangan, yaitu tujuan yang bersifat “materi” dan yang bersifat “spirit”. Lengkapnya dijelaskan : “…tujuan dasar laporan keuangan akuntansi syariah yang bersifat “materi” adalah untuk pemberian informasi (akuntansi), sedangkan
426
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Desember 2015, Hlm. 421-431
yang bersifat “spirit” adalah untuk akuntabilitas… Kedua tujuan ini mutually inclusive, tujuan yang satu tidak dapat meniadakan yang lain; keduanya berada dalam kesatuan (unity) sebagaimana bersatunya badan dan ruh kita. Pemberian informasi seolah-olah merupakan “badan”, sedangkan akuntabilitas adalah “ruh”. “Badan” tidak akan eksis tanpa “ruh”. Demikian juga sebaliknya, “ruh” tidak dapat membumi tanpa “badan”.” Di sisi lain, Mulawarman (2009:40), mengembangkan basis akuntansi syariah dari gabungan konsep penghambaan (worship, ‘abdullah) dan khalifah fil ardh. Sekalipun memiliki irisan dengan pendekatan Triyuwono, namun karena dimensinya berbeda ternyata menghasilkan tujuan laporan keuangan yang berbeda pula. Mulawarman (2009:40) memberi definisi sebagai berikut: Tujuan laporan keuangan syariah adalah realisasi tujuan akuntansi syariah yang memiliki nilai ma’isyah untuk mendapatkan rizq dan berdampak pada maal yang barakah (Mulawarman 2009:186). Atas dasar inilah maka penggalian pendekatan “murni syariah”, seperti maqasid syariah sangat diperlukan. Syariah memiliki kecanggihan metodologis untuk membangun disiplin pengetahuan tertentu, seperti metodologi ushul dan qiyas (Kamali 2013:403), termasuk metode maqasid syariah. Maqasid syariah (maksud/tujuan ditetapkannya syariah) merupakan salah satu pendekatan dan metode yang layak dikedepankan untuk mencapai maslahah yang sejalan dengan prinsip syariah. Kelebihannya, Metode ini berpeluang membuka ijtihad dan luwes mengantisipasi fenomena baru, tanpa bermaksud membatalkan teks suci (Al-Quran dan Hadits) (Kamali 2013:171-175). Maqasid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad yang bermakna maksud atau tujuan (Omar et.al. 2012:823). Istilah maqasid pertama sekali muncul dalam karya AlHakim (w. 932) dan setelahnya banyak ditemukan dalam karya Al-Juwayni (w. 1085), dan seterusnya dikembangkan muridnya Al-Ghazali (Kamali 2013:166). Sementara itu, syariah secara harfiah bermakna “titian
menuju sumber air atau titian menuju kebahagiaan dan keselamatan” (Kamali 2013:4); “jalan menuju air” (Sardr 2005). Menurut Syarifuddin (2001a:1), syariah bermakna “jalan ke tempat pengairan”, “jalan yang harus diikuti” atau “tempat lalu air di sungai”; makna yang terakhir ini bahkan masih digunakan orang Arab sampai saat ini (Syarifuddin 2001a:1). Secara istilah syariah ber arti “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak” (Syarifuddin 2001a:1). Pengertian ini menekankan syariah lebih sebagai aspek hukum atas sebuah tindakan sehingga mengabaikan pembahasan di luar nya. Hal ini dipertegas dengan pernyataan bahwa “syariah adalah nama bagi hukumhukum yang bersifat amaliah” (Syarifuddin 2001a:1). Namun, istilah syariah yang lebih menekankan pada aspek hukum tidak diterima secara bulat, sekalipun oleh sarjana hukum Islam. Pemaknaan syariah hanya pada aspek hukum, menurut pandangan Kamali (2013:21), merupakan salah satu contoh yang menggiring syariah menjadi bersifat legalistik; dampaknya, aspek yang menyangkut perintah mengenai etika dimasukkan ke dalam topik moralitas (adab dan akhlak). Sardr (2005:98) merupakan salah seorang yang menolak pengertian syariah sama dengan hukum Islam. Menurutnya, syariah melampaui cakupan hukum yang sangat terbatas. Safi (1990) dalam Triyuwono (2012:89) melihat syariah dalam maknanya yang total, yaitu sebagai “…sistem yang komprehensif melingkupi seluruh bidang hidup manusia. Oleh karena itu, Ia (syariah) bukan sebuah sistem hukum, tetapi sistem lengkap yang mencakup hukum dan moralitas.” Ketika “maqasid” dan “syariah” dipadankan menjadi maqasid syariah, maka makna istilah yang ditimbulkannya melampaui makna masing-masing. Hal ini terlihat dari definisi maqasid syariah yang digagas Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali (Chapra 1999:1), maqasid (tujuan) syariah adalah “meningkatkan kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan iman, hidup, akal, keturunan dan harta. Apa saja yang memantapkan perlindungan kelima hal ini merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki”. Dalam redaksi yang sedikit berbeda, menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Kamali (2013:166), “syariah hendak mencapai lima tujuan, yakni yang terkait keimanan, kehidupan, intelek, keturunan,
Birton, Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan ...
dan kepemilikan yang harus dilindungi seba gai prioritas yang absolut”. Dari dua definisi tersebut, konsep maqasid syariah terlihat lebih kaya, visioner, dan sekaligus antisipatif atas berbagai masalah di masa depan dan karenanya melampaui semangat zaman. Tujuan akhir maqasid syariah yaitu untuk mencapai kemaslahatan (mashlahah atau maslahat). Demikian eratnya hubungan antara maqasid dan maslahah, sampai-sampai para ulama seringkali mempertukarkan makna maqasid syariah dengan maslahah (Dusuki dan Abdullah 2007:31). Sedemikian kuatnya penekanan Al-Syatibi (Kamali 2013:43, 175) pada maslahah, hingga ia menyatakan bahwa maslahah sebagai tujuan utama syariah, dengan cakupannya yang luas, termasuk dalam menjalankan ibadah dan keadilan. Para ulama juga sepakat bahwa tidak ada satupun syariah yang tidak memberi kemaslahatan, berupa usaha mewujudkan manfaat dan menghindari dari keburukan dan kerusakan. Perintah syariah menunjukkan kebaikan dan larangannya ditujukan untuk mencegah kerusakan (Syarifuddin 2001b: 208). Sekalipun demikian, antara maqasid syariah dan maslahah tetap dapat dibedakan. Maslahah menurut Sya fruddin (2001b: 207) adalah: …sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan oleh Allah dapat diketahui oleh akal, kenapa Allah menyuruh, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau tidak. Meski akal mendapat peran penting dalam menimbang batas kemaslahatan, akan tetapi kemaslahatan tidak dapat ditafsirkan secara serampangan dan menyim pang dari tujuan syariah itu sendiri. Itulah mengapa Al-Ghazali (Kamali 2013: 45) membagi hakikat maslahah menjadi yang hakiki (haqiqiyyah) dengan yang meragukan (wahmiyyah). Maslahah yang hakiki adalah yang melindungi lima hal dan melanggarnya adalah kerusakan (mafsadah), sedangkan mencegahnya merupakan sebuah kebaikan. Al-Juwayni (w. 1085), dan kemudian diikuti para ulama, membuat kategori maqasid (kemaslahatan) menjadi tiga tingkatan. Tingkatan tersebut terdiri dari yang esensial
427
(dharuriyyat), komplementer (hajiyyat), dan yang diinginkan (tahsiniyyat) (Kamali 2013: 44); lihat juga Abdul Rahman (2010: 49-50); sedangkan Syarifuddin (2001b: 209-217) menyebutnya sebagai tujuan primer, sekunder, dan tersier. Maslahah yang esensial berarti yang harus ada dalam kehidupan manusia, meliputi (mengikuti peringkat) agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan (harga diri) (Syarifuddin, 2001b:209); kehidupan, agama, akal, kekayaan dan keturunan (Kamali, 2013:45). Sehingga, berbagai langkah harus dilakukan untuk memberikan perlindung an terhadap lima hal pokok tersebut, baik oleh individu maupun pemerintah (Kamali, 2013:45). Maslahah komplementer merupakan pelengkap maslahah primer, yang apabila ditinggalkan akan menimbulkan kesusahan (Kamali 2013:45). Syarifuddin (2001b:213) membagi maslahah komplementer (sekun der) ini menjadi (1) yang disuruh syara’ melakukannya, sehingga kewajiban syara’ dapat dilakukan dengan baik, (2) hal yang dilarang syara’ melakukannya guna menghindari pelanggaran atas salah satu unsur yang esensial, dan (3) segala bentuk kemudahan (ruksah). Maslahah tersier merujuk kepada halhal yang jika dilakukan dapat menimbulkan perbaikan dan hal-hal yang menyenangkan (Kamali 2013:45). Tahsiniyat itu tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang diperintahkan dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang, sebagaimana pada tingkatan primer dan sekunder. Dalam ibadah tahsiniyat, misalnya memakai wangi-wangiaan; dalam muamalat seperti berhemat dalam mengkonsumsi (Syarifuddin 2001b:214). Sebelum melakukan sintesis antara maqasid syariah pada tujuan laporan keuangan syariah, terdapat satu isyarat awal bahwa menjaga harta merupakan salah satu pilar penting pencapaian maqasid syariah. Sekalipun harta berada dalam urutan yang lebih akhir, akan tetapi, ketiadaan pilar harta akan merusak struktur maqasid syariah itu sendiri. Dengan kata lain, harta dan berbagai elemen maqasid lain, bergerak bersama-sama untuk mewujudkan tujuan syariah. Di dalam perspektif maqasid, Jauhar (2009:167-204) mencatat setidaknya terdapat 54 tempat di dalam Al-Quran yang menjelaskan mengenai hakikat, motif, sumber dan penggunaan harta; di samping 14
428
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Desember 2015, Hlm. 421-431
Hadits. Sedangkan penjelasan tentang perlindungan terhadap harta serta larangan mengambilnya secara tidak sah, terdapat pada sembilan tempat di dalam Al-Quran dan 12 tempat dalam Hadits. Pelarangan mengambil harta yang tidak sah antara lain dapat ditemukan dalam transaksi suap (ris ywah), pencurian, riba, dan penimbunan. Prinsip umum terhadap harta adalah semuanya milik Allah (Q.S. Al-Baqarah [2]: 284). Sehingga Allah menentukan caracara mendapatkan, mengelola, mengkonsumsi, mendistribusi kepada pihak-pihak yang ditentukan. Contohnya, larangan melakukan riba (Al-Baqarah [2]: 275-276, 278-279), larangan mencari harta dengan cara batil (curang atau tipu daya) (Q.S. AlBaqarah [2]:188; Q.S. An-Nisa [4]:29) termasuk curang dalam menimbang, menakar (mengukur) (Q.S. Al-Muthaffifin [83]. Dalam harta ada hak orang miskin (Q.S.Adz-Dzariyat [51]:19); perintah membayar zakat (Q.S. At-Taubah [9]: 103); cara-cara mengelola dan menggunakan harta, seperti tidak pelit (Q.S. Ali Imran [3]:110; Q.S. An-Nisa [4]:37; tidak hidup bermewah-mewahan (Q.S. AlIsra’ [17]:16; Al-Mukminun [23]: 64); terlalu mementingkan kenikmatan (Q.S. Hud [11]:116); tidak cenderung pada harta dan selalu menghitung-hitungnya (Q.S. AlHumazah [104]: 1-4); harta tidak beredar pada orang kaya saja (Q.S. Al-Hasyr [59]:7. Cara-cara mengadminsitrasikan harta, se perti mencatat utang piutang dengan benar, baik kecil maupun besar, dengan jujur, dan sebagainya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 282). Secara lebih khusus, Askary dan Clarke (1997:152) bahkan mampu mengeksplorasi lebih lebih jauh, dan mencatat sembilan konsep akuntansi modern dapat ditemukan pembandingnya di dalam Al-Quran. Konsep (1) account ditemukan pada 83 ayat tersebar dalam 39 Surat; (2) asset terdapat dalam 49 ayat termaktub dalam 17 surat; (3) capital 1 ayat [1 surat], (4) credit 1[1), (5) measurement 12[7], (6) liability 11[7], (7) record 9[8], (8) relevance 6[4], dan (9) reliable 19[11). Ber bagai konsep tersebut apabila disusun maka akan menghasilkan satu kerangka konseptual akuntansi syariah yang independen, terlepas dari kerangka konseptual akuntansi konvensional (Askary dan Clarke 1997:152). Sejumlah hadits tentang tema terkait, sebagaimana dikutip dari Jauhar (2009:170207), seperti, antara lain, hadis mengenai pengelolaan tanah yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bawa Rasulullah SAW “Barang siapa memiliki tanah, hendaklah ia
menanaminya. Bila ia tidak mampu menanaminya dan lemah, maka hendaklah dia memberikannya kepada saudara muslimnya, dan tidak menyewaknnya kepada saudaranya itu” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah); larangan suap, dari Abdullah bin Umar meriwayatkan “Rasulullah melaknat penyuap (ar-rasyi) dan penerima suap (al-murtasyi) (H.R Abu Dawud dan At-Timidzi). Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits tersebut di atas sudah terkumpul berbagai tema mengenai perintah, anjuran, kebolehan, sebaiknya dihindari, maupun larangan dalam perolehan, pengelolaan, pengadiministrasian, dan penyampaian informasi tentang harta. Dengan cara pandang ini, maka bukan hanya yang diperintah dan dilarang saja yang harus menjadi pusat perhatian, tetapi juga menyangkut “anjuran” (sunat), boleh (mubah), dan sebaiknya dihindari (makruh). Hal ini akan menghindarkan syariah seakan akan berkutat pada dua titik ekstrim: boleh dan tidak boleh, sebagai wilayah legalitas syariah. Dengan demikian, aspek akhlak (etika) semestinya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Melalui tema-tema tersebut dapat diberikan pena laran berdasarkan cara pandang maqasid dampak positif atau negatif yang ditimbulkan bila dilaksanakan atau mengabaikannya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa inti dari maqasid syariah pada harta adalah perlindungan terhadap harta dan kemaslahatannya. Kemaslahatan tidak hanya untuk pengambilan keputusan ekonomi melainkan juga untuk kepentingan sosial dan lingkung annya. Oleh karena itu perolehan, pengelolaan, pengadministrasian dan penyampaian informasi atas harta yang diwakili oleh tujuan laporan keuangan haruslah menca kup tema-tema tersebut. Mengingat tujuan laporan keuangan tidak ditemukan sumber khusus di dalam syariah, maka proses mengidentifikasi sumber-sumber syariah untuk dijadikan tema umum yang lebih dapat diterima sebagai tujuan laporan keuangan (entitas) syariah. Berbagai tema tersebut dirumuskan kemudian dipilah mana yang diwajibkan atau dilarang syariah. Tema-tema tersebut kemudian dijadikan sebagai tujuan primer (dharuriyyat) laporan keuangan entitas syariah. Tujuan sekunder (hajiyyat) diturunkan dari tujuan-tujuan primer untuk mendukung tujuan primer tersebut. Sedangkan tujuan tersier (tahsiniyyat) dapat diambil dalil-dalil yang bersifat anjuran, kebolehan, maupun yang sebaiknya ditinggalkan.
Birton, Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan ...
SIMPULAN Maqasid syariah melalui kerangka maslahah berupaya mendorong segala bentuk kebaikan dan mencegah segala bentuk kerusakan. Cara pandang syariah atas harta (kekayaan) berimplikasi pula pada bagaimana maqasid syariah dapat diaplikasikan untuk menentukan administrasi atas harta (baca: akuntansi) dan penyampaian informasi atas hakikat dan keberadaan harta: terutama terkait atas sumber dan penggunaannya. Dengan demikian maka (sumber dan penggunaan) harta serta pengadministrasian dan penyampaian informasi tentang harta menjadi pilar esensial dalam syariah. Pilihan ini lebih masuk akal dan argumentatif karena tujuan laporan keuangan syariah dapat ditelusuri sandarannya dan dijustifikasi dari sumber-sumber syariah yang otentik. Akhirnya kerangka maslahah inilah yang diaplikasikan dalam perolehan, penge lolaan, pengadministrasian dan penyampaian informasi akuntansi atas sumber dan penggunaan harta (kekayaan) suatu entitas syariah. Karena syariah Islam sangat menekankan pada pemenuhan hak dan kewajiban para pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk dalam harta, maka tujuan laporan keuangan juga harus meliputi pemenuhan hak dan kewajiban tersebut. Disebabkan maqasid syariah khususnya dalam pemenuhan kemaslahatan memiliki tiga tingkatan maka tujuan laporan keuangan perlu dibagi menjadi tiga tingkatan pula: tujuan primer, sekunder dan tersier.3 Dengan demikian maka tujuan laporan keuangan yang esensial (primer) adalah: “menyediakan informasi yang berdampak materi dan nonmateri meliputi, namun tidak terbatas pada transaksi, peristiwa, dan/ atau aktivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan yang relevan dan terpercaya sejalan dengan syariah Islam menyangkut hak dan kewajiban para pihak sebagai sarana pertanggungjawaban pemegang amanah yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan semesta." 3. Pembagian tingkatan tujuan laporan keuangan menurut urut-urutan atau tingkatan pernah dilakukan APB dalam menetapkan tujuan laporan
429
Dari tujuan esensial (primer) ini kemudian diturunkan tujuan sekunder yang berfungsi membantu menjelaskan lebih detil dari tujuan primer, termasuk menjelaskan ukuran pencapaian unsur-unsur tujuan primer. Tujuan laporan keuangan syariah sekunder adalah: (1) Menyediakan informasi yang berdampak materi dan nonmateri meliputi, namun tidak terbatas pada transaksi, peristiwa, dan/atau aktivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan pada masa lalu, masa kini, dan masa datang secara periodik yang menggambarkan bagaimana sumber daya diperoleh, dikelola, dan didistribusikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sejalan dengan syariah Islam. (2) Menyediakan informasi yang berdampak materi dan nonmateri meliputi, namun tidak terbatas pada transaksi, peristiwa, dan/atau aktivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan secara periodik tentang bagaimana kewajiban masa lalu, masa kini, dan masa datang diselesaikan dengan pihak-pihak yang berkepentingan sejalan dengan syariah Islam. Pernyataan tujuan laporan keuangan tersier menekankan pada penyampaian informasi yang berdampak materi dan nonmateri meliputi namun tidak terbatas pada transaksi, peristiwa, dan/atau aktivitas, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dilakukan secara ihsan (rela dengan kualitas terbaik) yang berdimensi duniawi dan ukhrawi. Penyajian informasi secara ihsan melampaui pemenuhan aspek legal-formal atas seluruh tanggung jawab entitas syariah dan pemegang amanah. Meskipun demikian metode maqasid syariah melalui kerangka maslahah bukanlah metode tanpa kritik. Sebagaimana diingatkan Kamali (2013:46), dalam merumuskan maslahah harus lebih banyak mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih luas ketimbang individu dan kelompok. Sebab, sekalipun syariah Islam bersifat abadi tanpa terpengaruh waktu, namun ketika maslahah ditegakkan atas kesukaan pribadi, manfaat pribadi, prasangka dan hasrat, maka dipastikan maslahah tersebut berpotensi bertentangan dengan berbagai maslahah lainnya, bahkan dengan maslahah esensial.
keuangan dalam pernyataan (statement) No. 4, yaitu adanya tujuan umum, tujuan khusus, dan tujuan kualitatif.
430
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 3, Desember 2015, Hlm. 421-431
Peringatan Kamali (2013:46) ini dapat ditemukan tantangan dan relevansinya dalam penyusunan tujuan laporan keuangan entitas syariah. Sebagaimana dinyatakan Belkaoui (2006: 210-211) bahwa ada tiga kelompok kepentingan yang bersaing menentukan tujuan laporan keuangan, yaitu perusahaan selaku penyusun laporan keuangan, pengguna laporan terutama investor dan kreditor, dan profesi akuntansi, terutama yang berprofesi sebagai auditor. Jadi, apabila penyusun standar akuntansi syariah hendak menyusun tujuan laporan keuangan entitas syariah, maka perlu pertimbangan cermat dalam mengidentifikasi pesan-pesan kemaslahatan yang paling sejalan dengan syariah. Wallahu a’lamu bisshawab. DAFTAR RUJUKAN Al-Quran dan Terjemahnya, Penerbit Diponegoro. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). 2001. Accounting, Auditing and Governance Standards for Islamic Financial Institution. AAOIFI. Bahrain. Abdul Rahman, A.R. 2010. An Introduction to Islamic Accounting, Theory and Practice, Mashi Publication Sdn. Bhd. Selangor. Abd Rahman, R. dan Ahmad, S. 2010. Pengukuran Keberkesanan Agihan Zakat: Perspektif Maqasid Al-Syariah, Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy, Bangi Adnan, M.A. dan Gaffikin, M. 1997. The Shari’ah, Islamic Bank and Accounting Concepts, Proceedings of International Conference I, 18-20 February, Accounting, Commerce and Finance: Islamic Perspective, University of Western Sydney. Australia. Ahmed, H. 2011. “Maqosid Al-Shari’ah and Islamic Financial Products: A Framework For Assessment.” ISRA International Journal of Islamic Finance, Vol. 3, No. 1. Askary, S. dan Clark, F.L. 1997. Accounting in the Koranic Verses, Proceeding of International Conference I, Sydney 18-20 February. Azli, M.R., R. Othman, M. Sahri, N.A. Aris, R. Arshad, dan A.R. Yaakob, 2011. “Implementation of Maqasid Shari’ah in Islamic House Financing: A Study of The Rights and Responsibilities of Contracting Parties In Bai Bithaman Ajil
and Musharakah Mutanaqisah.” The Journal of Applied Business Research – September/October, Vol. 27, No. 5. Baydoun, N. and Willet, R. 2000. Islamic Corporate Reports, ABACUS, Vol. 36. No. 1. Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti. Surabaya. Chapra, M.U. 2011. Visi Islam dalam Pembangunan Ekonomi Menurur Maqosid As-Syariah, Penerjemah: Ikhwan Abidin Basri, Al-Hambra. Solo. Dusuki, A.W. dan Abdullah, N. 2007. Maqasid al-Shari`ah, Maslahah, and Corporate Social Responsibility. The American Journal of Islamic Social Sciences. Diunduh 18 Oktober 2013.
Dusuki, A.W. dan Bouheraoua, S. 2011. The Framework of Maqasid Al-Shariah (Objectives of The Shariah) and Its Implications for Islamic Finance. Diunduh 18 Oktober 2013. . FASB, 2008, Statement of Financial Accounting Concepts No. 1, Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises, Gaffikin, M. 2008. Accounting Theory, Research, Regulation an Accounting Practice, Pearson Education, Australia Hasan, A. 2001. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Cetakan III, Penerjemah Agah Garnadi. Pustaka. Bandung. IAI, 2007a, Standar Akuntansi Keuangan, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan. Salemba empat. Jakarta. IAI, 2007b, Standar Akuntansi Keuangan, Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah.Salemba empat. Jakarta. IASC, 1989, Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements. Ibrahim, D. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam, Membongkar Konsep Al-Istiqra’ Al-Ma’nawi Asy-Syatibi, Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. Jauhar, A.A.H. 2009, Maqasidus Syariah fil Islami, Terjemahan Khikmawati. Amzah. Jakarta. Kamali, M.H. 2013, Membumikan Syariah, Pergulatan Mengaktualkan Islam, Terjemahan Miki Salman. Mizan. Ban dung.
Birton, Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan ...
Kamla, R. 2009. “Critical Insights Into Contemporary Islamic Accounting.” Critical Perspectives on Accounting, Vol. 20, hlm 921–932. Karim, R.A.A. 1995. “The Nature and Rationale of a Conceptual Framework for Financial Reporting by Islamic Banks.” Accounting and Business Research, Vol. 25, No. 100, hlm 285-300. Maurer, B. 2002. “Anthropological and Accounting Knowledge in Islamic Banking and Finance: Rethinking Critical Accounts.” Journal of Royal Anthropological Institute, Vol. 8, hlm 645–667. Muhamad. 2002. “Penyesuaian Teori Akuntansi Syari`ah: Perspektif Akuntansi Sosial dan Pertanggungjawaban.” Iqtisad Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 1, hlm 67-87 Narsa, I.M. 2007. “Struktur Meta Teori Akuntansi Keuangan (Sebuah Telaah dan Perbandingan Antara FASB dan IASC).” Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, Vol. 9, No. 2, hlm 43-51 Omar, F.A.; A.H.M. Nor; M.N. Alias; M.A. Samsudin, I.A. Ibrahim; H. Laluddin; A.W.M.M. El-Seoudi, dan Husni, A.M. 2012. “The Importance of The Maqasid Al-Shari‘ah in The Process of Governing and Policy Making.” Advances in Natural and Applied Sciences, Vol. 6, No. 6. Roni, R.A. dan M.T. Tokhid. 2012. The Application of Maslahah Concept in Information Technology Governance, 3rd International Conference on Business and Economic Research (3rd ICBER 2012) Proceeding, 12 - 13 March, Golden Flower Hotel, Bandung, Indonesia.
431
Sardr, Z. 2005. Kembali Ke Masa Depan, Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, terjemahan, oleh R. Cecep Lukman Yasin & Helmi Mustofa. Serambi. Jakarta. Scott, W. R. 2009. Financial Accounting Theory, Fifth Edition, Toronto: Prentice Hall. Shaharuddin, A. 2010. “Maslahah-Mafsadah Approach in Assessing the Shari’ah Compliance of Islamic Banking Products.” International Journal of Business and Social Science, Vol. 1, No. 1. Suwardjono. 2005 Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi Ketiga, BPFE. Yogjakarta. Syarifuddin, A. 2001a, Ushul Fiqih, Jilid 1, Cetakan Kedua, Logos. Jakarta. Syarifuddin, A. 2001b, Ushul Fiqih, Jilid 2, Cetakan Kedua, Logos. Jakarta. Triyuwono, I. 2012, Akuntansi Syariah, Perspektif, Metodologi dan Teori, Edisi Ke dua, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Vinnicombe, T. 2010. “AAOIFI Reporting Standards: Measuring Compliance, Advances in Accounting.” Incorporating Advances in International Accounting, Vol. 26, hlm 55–65. Yaya, R. 2004. “Would The Objectives And Characteristics of Islamic Accounting For Islamic Business Organizations Meet The Islamic Socio-Economic Objectives?,” Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 8, No. 2. Young, J.J. 2006. “Making Up Users.” Accounting, Organizations and Society, Vol. 31, hlm 579–600.