MAKALAH KASUS IKLAN Nama : Angger Yhamabrata Puspanegara Nim : 01211127 Prodi : Ekonomi Manajemen ___________________________________________________________________________ Iklan Suplemen Extra Joss
Maraknya berbagai macam produk minuman suplemen membuat para produsen maupun distributor minuman suplemen saling bersaing keras untuk mendapat bagian pasar produk minuman suplemen. Sayangnya, ketatnya persaingan membuat salah satu produk sebuah iklan yang dianggap menyesatkan masyarakat. Extra Joss, produk keluaran PT BINTANG TOEDJOEH ini membuat sebuah tulisan promosi yang memakai nama POM sebagai bagian dari etiket yang beredar. Setelah secara teliti memang ada tertera tulisan “ 3 kali Sehari DITETAPKAN POM SD 051 219 991”. Tulisan pada box kemasan serta sachet disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan persepsi bahwa ada penetapan dari POM untuk mengkonsumsi 3 kali sehari. Pencantuman tulisan ‘3 kali sehari’ diletakkan diatas tulisan ‘DITETAPKAN’ lalu dibawahnya ada tulisan ‘POM SD 051 219 991’ yang menghasilkan tulisan “ 3 kali Sehari DITETAPKAN POM SD 051 219 991”. Tulisan tersebut menghasilkan kesan POM menetapkan mengkonsumsi 3 kali sehari. Hal ini jelas merupakan cara beriklan yang menyesatkan. Selain menggunakan badan Negara demi kepentingan pihak pemilik produk juga menghasilkan pemikiran yang menyimpang. Seperti diketahui bersama produk-produk sejenis minuman suplemen merupakan minuman pelengkap yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang bekerja kasar seperti kuli angkut, kuli bangunan, supir dan masyarakat menengah kebawah yang rata-rata memiliki
pengetahuan kurang memadai. Persepsi tulisan tersebut akan ditelan mentah-mentah sebagai legalisasi badan POM untuk meminum sedikitnya 3 kali sehari. Hal ini jelas melanggar Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 9 nomor (1) huruf j, pasal 17 nomor 1 (satu) huruf c dengan rujukan sanksi pada Pasal 62 ayat (1) “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”, dan Pasal 63 “Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa : Perampasan barang tertentu; Pengumuman keputusan hakim; Pembayaran ganti rugi; Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau Pencabutan izin usaha. Belum lagi Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada pasal 55 yang berbunyi : Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pada saat dikonfirmasi, Michael dan Agus bagian marketing Produk Extra Joss menyatakan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan telah mengetahui keberadaan tulisan tersebut. “Kami mempersilahkan untuk melakukan konfirmasi dengan BPOM. Pihak BPOM sudah mengetahui label sebelum kami mengedarkan produk ini ke masyarakat”, demikian keterangan sdr. Agus dari EXTRA JOSS. Saat dikonfirmasi ke bagian Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) BPOM, justru jawaban berlawanan dari bu Nining BPOM. “Kami tidak mengetahui, ini jelas sebuah hal yang tidak boleh. Nanti kami akan mencoba menindaklanjuti temuan ini”, Bu Nining memberi penjelasan. Satu minggu setelah melakukan konfirmasi ternyata iklan yang diduga menyesatkan tersebut tetap saja beredar. Pak Uden dari ULPK BPOM mengatakan bahwa laporan ini sudah masuk ke bagian Inspektorat dan Sertifikasi BPOM. BPOM memiliki tanggung jawab terhadap peredaran produk obat, makanan dan minuman yang beredar di masyarakat. Tujuannya adalah melindungi masyarakat terhadap apapun penyimpangan produk-produk komersial. Tindakan pelaporan dugaan penyimpangan merupakan upaya tanggung jawab masyarakat untuk membantu BPOM dalam melaksanakan tugasnya. Masyarakat diminta waspada terhadap gembar-gembor produk makanan dan minuman yang tidak bertanggungjawab terhadap kata-kata promosi yang menyesatkan. Contoh Lain pelanggaran UU Perlindungan Konsumen : Maximum Service. Misalnya provider internet membodohi konsumen dengan menjanjikan kecepatan internet “up to 512 Kbps” padahal kecepatan rata2 kurang dari 100 Kbps. Dalihnya : “kan itu angka maksimal, jadi bisa kurang dong”. OK, tapi mengapa menuntut konsumen untuk membayar biaya flatdengan memberikan service yang berfluktuasi?
Introductory Offer. Nah kalau ini biasanya dari para penerbit kartu kredit yang memberikan tawaran bunga rendah di tahun pertama. Tapi tanpa sepengetahuan konsumen mereka mnaikan bunga secara sepihak sebelum waktu yang dijanjikan. Jadi simak baik2 setiap tagihan kartu kredit dan pastikan bunga yang dijanjikan sesuai dengan apa yang diiklankan. Buy one, get one. Yang satu ini jangan pernah percaya. Produsen biasanya sudah menggelembungkan harga produknya sehingga mereka tetap mengeruk keuntungan atau paling tidak menghabiskan stok barang yang tidak laku. Misrepresentation. Ini tipu menipu jenis lain yang biasa kita saksikan di jalan tol. Banyak spanduk di sepanjang jalan tol dengan tulisan “Derek Gratis Sampai Pintu Tol Terdekat”. Jasa Marga kita memang sakti meramalkan bahwa mobil mogok akan kembali normal setelah diderek ke pintu tol terdekat. Tentu saja mobil mogok harus diderek ke bengkel bukan hanya sampai pintu tol. Dengan ringan mereka akan berkata, “masalah tarif derek dari pintu tol ke bengkel silakan bernegosiasi dengan pengemudi derek”. Lho? Kadang saya tidak habis pikir mind set para pejabat negeri ini yang membuat aturan lucu2. Padahal gampang solusinya, pasang saja skema tarif menurut jarak sampai dengan bengkel terdekat dan umumkan secara terbuka daripada banyak pengguna jalan tol yang berdebat kusir karena tiba2 ditagih jasa derek yang gila2an. Syarat & Ketentuan Berlaku. Coba perhatikan iklan di berbagai media, selalu saja ada kalimat kecil ini yang hampir tidak terbaca dan itu memang disengaja. Apakah anda tahu yang syarat dan ketentuannya? Tidak satupun orang yang tahu karena sama sekali tidak disebutkan dalam iklan terebut. Misalnya, sebuak iklan properti berbunyi ” Apartemen mewah seharga 300 juta sudah bisa anda miliki tanpa rasa resah”. Jangan keburu bernafsu dengan iklan seperti ini. Biasanya itu baru uang muka atau down payment dan anda harus mencicil lagi sekian ratus juta rupiah. Saya yang keburu nafsu langsung kecewa setelah diberi penjelasan oleh sales nya yang terus merayu saya untuk segera bertransaksi. Boro2 mampu menambah lagi uang sekian ratus juta, dpnya pun mau berhutang. Ini jenis iklan yang membuat false hope konsumen. False Ad. Misalnya iklan Shampo atau krim pemutih kulit. “Pakailah shampo ini selama 6 hari dan rambut anda akan hitam berkilau”. Tidak sedikit orang terpengaruh dan membeli produknya, tapi sampai sekarang rambutnya masih saja tidak ada perubahan. Keponakan saya yang masih di SD kelas satu langsung memvonis bahwa iklan itu telah menipu. Ia benar. Kalau terjadi di Amerika produsennya bisa dituntut dengan klausul false advertising. Misleading. Banyak terjadi pada produk kesehatan dengan menggunakan pemeran entah dokter beneran atau aktor yang dikasih jas putih. Iklan jenis ini menggiring persepsi konsumen
bahwa produk yang dipromosikan aman dipakai karena dokter di iklan pun menkonsumsinya. Bayangkan yang diiklankan adalah obat-obatan yang apabila dipakai dalam jangka panjang akan menimbulkan komplikasi liver, seperti iklan obat sakit kepala. Susu Formula. Ini jenis iklan yang sudah pada tahap mengkhawatirkan. Melalui blog ini saya menghimbau kepada para ibu dan calon ibu bahwa tidak ada satupun susu formula di dunia yang bisa menggantikan ASI, sehebat apapun rekayasa teknologi yang dilakukan untuk meningkatkan mutu susu sapi tersebut. Menurut situs Child Rights Information Network iklan susu formula telah menurunkan tingkat menyusui bayi di banyak negara termasuk di ASEAN. Di Thailand termasuk juga di Indonesia, tingkat menyusui ASI ekslusif selama enam bulan hanya tinggal kurang dari 5% saja. Jadi susui bayinya sampai usia enam bulan daripada menghabiskan uang membeli susu formula. Pokoknya anda pasti dapat hadiah. Hati-hati kalau di mal bila tiba-tiba ada sales yang sangat “ramah” merayu anda untuk mengambil hadiah di tokonya. Ini sudah banyak terjadi dimana konsumen akan digiring dengan iming2 hadiah yang menumpuk dan hanya membayar sekian juta. Tapi coba perhatikan barang yang dihadiahkan. Mereknya asing dengan kualitas yang tidak jelas. Tapi banyak yang seolah terhipnotis oleh rayuan para sales yang terus mengerubungi anda dan melancarkan rayuan untuk menyerahkan kartu kredit. Kadang mereka menggunakan konsumen palsu yang seolah-olah akan mendorong anda untuk melakukan tindakan yang sama. Kalau ada yang begini, jangan dihiraukan atau pasang saja muka jutek seperti saya.
PerlindunganKonsumen Atas Iklan Menyesatkan. Isi iklan yang memuat pernyataan dan janji produk harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Permasalahannya adalah, apakah janji iklan itu memang benar-benar didukung manfaat produk tersebut? Kalau janji kosong, berarti iklan itu membohongi konsumen atau masyarakat. Dalam tatakrama dan tatacara periklanan Indonesia yang disusun dan disahkan pada 1978, terdapat tiga hal pokok sebagai asas umum, yaitu: Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat agama, tatasusila, adat, budaya, suku dan golongan; Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Kalau dikaitkan ketentuan yang merupakan asas umum tatakrama periklanan itu dengan promosi niaga, maka selayaknya promosi niaga lewat iklan tidak dibenarkan memuat janji kosong yang membohongi masyarakat. Isi iklan yang memuat pernyataan dan janji produk harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu iklan, tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat (konsumen). Pada 1972 dikenal konsep baru dalam dunia periklanan yang disebut self regulation. Pada Kongres Internasional Advertising Association di Teheran pada 1974, self regulation mencapai momentum yang baik untuk menyebar ke seluruh dunia. Pada dasarnya. konsep self regulation ini mencakup dua hal penting yaitu: Melindungi konsumen secara efektif dari iklan yang menyesatkan (misleading advertisement); Melindungi produsen secara efektif dari pesaingan curang. Di Indonesia, self regulation ini dituangkan dalam bentuk Kode Etik Periklanan. Kode etik ini dimaksudkan untuk menciptakan persamaan sikap yang merata di kalangan semua pihak yang berkepentingan dengan iklan. Kode etik ini menentukan hal
yang boleh atau dilarang dilakukan dalam dunia periklanan. Dengan Kode Etik Periklanan ini, semua pihak yang berkepentingan dengan periklanan secara suka rela dan atas inisiatif sendiri membangun semacam ‘pagar’ yang membatasi tindak tanduknya. Di Indonesia, self regulation dapat dilihat dari adanya: Kode Etik Periklanan yang disusun dan disahkan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) pada 1968; Tatakrama dan Tatacara Periklanan Indonesia yang disusun dan disahkan pada 1978, kemudian diperbaharui Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPKI) 1980; Ikrar pendukung berlakunya Tatakrama dan Tatacara Periklanan Indonesia, yang dikeluarkan dalam Konvensi Periklanan di Jakarta pada 17 September 1981. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dalam hal ini iklan yang menyesatkan dapat dikenakan sanksi administratif sebagai ultimum remedium dan sanksi pidana. Di samping itu, terhadap perbuatan produsen yang melakukan promosi niaga lewat iklan menyesatkan ini, konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti rugi perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Di AS pernah terjadi kasus tentang iklan menyesatkan yang diselesaikan berdasarkan tort (tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum di mana tidak disyaratkan adanya hubungan langsung dalam perjanjian/privity of contract). Kalau ada hubungan langsung di antara keduanya, misalnya pembeli dan penjual, maka dasar gugatan untuk meminta ganti rugi adalah wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata). Dengan adanya self regulation di Indonesia yang berlakunya didukung oleh kalangan/pihak yang berkepentingan dengan periklanan, maka selayaknyalah produsen, perusahaan iklan dan media massa bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen secara tanggung menanggung. Sebenamya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perilaku periklanan telah dikeluarkan, untuk mengatur perilaku periklanan yang menyimpang dan melanggar hukum (iklan yang menyesatkan), seperti: Tata Krama dan Tata Cara periklanan Indonesia; UU tentang Barang; UU tentang Pangan; UU tentang Kesehatan; UU tentang Penyiaran; dan yang terpenting UU tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang tata can beriklan yang baik dan perilaku¬perilaku yang tidak boleti dilakukan oleh pengusaha dalam mengiklankan produknya. Namun dalam kenyataannnya, berbagai macam peraturan perundang-undangan tersebut yang bermaksud mengatur perilaku periklanan seolah-olah hanya menjadi “macan kertas”, hanya sekedar “pajangan etalase”. Penegakan hukum terhadap iklan obat-obatan yang menyesatkan masih jauh dari harapan. Akibatnya penyiaran dan penayangan iklan yang menyesatkan makin marak Baja di media mass; tanpa ada pengawasan dan tindakan yang tegas dari pihak yang berwenang. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian lapangan diperoleh temuan, bahwa penegakan hukum terhadap iklan obat¬obatan yang menyesatkan tidak dapat berjalan dengan balk, disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari aparat hukum, khususnya polisi sebagai “ujung tombak” untuk mengusut kasus tersebut. Selama ini polisi selalu bertindak pasif dalam menangani kasus kejahatan iklan obat-obatan yang menyesatkan dengan menunggu laporan stall pengaduan dari masyarakat yang dirugikan oleh iklan yang menyesatkan tersebut. Apabila tidak ada laporan atau pengaduan dari masyarakat, maka polisi tidak dapat menindak atau mengusut kasus tersebut.
Di samping hal di atas, antara lembaga pemerintah (Departemen Penerangan dan Departemen Kesehatan) tidak terjalin kerjasama dan koordinasi yang baik dalam menangani kasus iklan yang menyesatkan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perilaku periklanan, sehingga mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan mengenai instansi manakah yang berwenang mengawasi perilaku periklanan yang menyimpang atau melanggar hukum tersebut. Dengan demikian fungsi kontrol dan pengawasan yang dimiliki oleh kedua instansi tersebut menjadi lemah, karena kedua instansi tersebut sibuk berkonsentrasi pada penyelesaian tugasnya masing-masing yaitu Departemen Kesehatan (Ditjen POM) lebih menitikberatkan pada pemeriksaan dan pengujian secara klinis terhadap produk-produk yang dianggap bermasalah atau melanggar hukum, sedangkan Departemen Penerangan (Kanwil Deppen Jateng) menitikberatkan pengawasannya terhadap berita-berita di media massa; apakah telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat, seperti: menyebarkan fitnah, menyinggung masalah SARA, mengandung pornografi, dan sebagainya. Fungsi kontrol dan pengawasan terhadap perilaku periklanan juga dilaksanakan oleh lembaga swasta di antaranya adalah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia dam Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen (YLKI dan LP2K). Fungsi kontrol dan pengawasan terhadap iklan yang menyesatkan dilaksanakan secara aktif oleh YLKI dan LP2K Semarang dengan mengadakan penelitian terhadap iklan yang menyesatkan yang disiarkan dan ditayangkan di media mass; di mans hasil penelitian tersebut di publikasikan ice media mass; agar dapat diketahui oleh masyarakat luas. Tidak berjalannya penegakan hukum terhadap iklan obat-obatan yang menyesatkan secarabaik, disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan sebagai berikut: 1. Belum adanya undang-undang periklanan. 2. Kurangnya perhatian aparat penegak hukum terhadap iklan obat-obatan yang menyesatkan. 3. Terbatasnya saran dan fasilitas yang mendukung upaya penegakan hukum terhadap iklan obat-obatan yang menyesatkan. 4. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terhadap iklan obat¬obatan yang menyesatkan sebagai kejahatan. Namun, masih banyak berbagai kasus iklan yang menyesatkan konsumen dan di negeri ini perangkat hukum masih belum cukup untuk menjerat produsen dan pelaku periklanan yang tidak bertanggung jawab itu. Ada satu tips bagus : “bahwa tidak ada makan gratis di dunia”. Teliti sebelum membeli adalah tindakan yang bijaksana. Iklan dibuat dengan segala cara untuk mempengaruhi persepsi konsumen yang pada akhirnya membuat keputusan untuk membeli atau menggunakan barang/jasa dari produsen. Jadi anda dituntut untuk : Waspadalah, waspadalah!. Supaya yang lain tidak menjadi korban, sebaiknya anda turut serta melaporkan segala pelanggaran atas Iklan Menyesatkan.