LSM, DEMONSTRASI & DEMOKRASI PERTUMBUHAN LSM, DEMONTRASI DAN DEMOKRASI ERA REFORMASI Oleh : Abdul Fickar Hadjar (disampaikan pada “Diskusi Implementasi Kebebasan Berbicara & Berserikat”, Kesbang DKI Jakarta, 18 Juli 2006, Hotel Puncak Jaya, Bogor) Pengantar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan SKP3 Soeharto Tidak Sah , putusan ini dijatuhkan oleh Hakim Tunggal Andi Samsan Nganro atas permohonan praperadilan yang dilajukan oleh koalisi beberapa LSM yang menamakan dirinya Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan baru-baru ini. Koalisi LSM yang terdiri dari PBHI, Imparsial, ELSAM, DEMOS dan ICW memanfaatkan ketentuan Pasal 80 KUHAP yang memberikan akses kepada pihak ketiga untuk mempermasalahkan keabsahan penghentian penuntutan suatu perkara pidana. Pemerintah diminta meninjau ulang dan mengoreksi kebijakannya untuk mengalokasikan APBN-nya dalam betuk gaji ke-13, terutama bagi para penjabat maupun perwira tinggi di lingkungan pegawai negeri sipil dan juga TNI serta Kepolisian Negara RI. Hal itu disampaikan oleh sejumlah LSM, seperti LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (11/7) di Jakarta. Reformasi di tubuh Kepolisian RI sangat lamban, kondisi seperti ini dapat dengan mudah terlihat dari masih sangat buruknya kinerja kepolisian, khususnya terkait dengan upaya menyelesaikan kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat seperti korupsi, terutama jika kasus-kasus itu terjadi di daerah. Kritik ini disampaikan oleh sejumlah LSM seperti YLBHI, DEMOS, ICW, Imparsial, Kontras, P2D dan Elsam (11/7) di Jakarta. Tiga langkah aktivitas diatas menunjukan sebagian kecil dari peran LSM ditengah-tengah masyarakat, masih ada sejumlah peran lain dari LSM yang tidak terpublikasi, tetapi langkah dan aktivitasnya dilakukan dalam kerangka membantu (karitatif), memberdayakan (empowering), advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat, yang dilakukan pada era reformasi. Kita tidak dapat membayangkan terpublikasinya dengan bebas suara-suara berbeda dengan kekuasaan secara terbuka, pada masa-masa sebelum datangnya era reformasi di republic ini. Tentu saja baik keberanian, kinerja para actor reformasi serta kondisi politik yang ada saat ini bukanlah sesuatu yang tumbuh begitu saja, itu semua merupakan sebuah resultante dari proses tahapan panjang dengan segala pengorbanan yang harus dibayar (pelanggaran HAM, orang hilang dsb). Contoh paling kongkrit adalah peristiwa pertama diatas, yaitu keberanian hakim menafsir prase “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP secara ekstensif, sehingga Koalisi beberapa LSM dimasukan dalam pengertian pihak ketiga itu. Padahal pada waktu-waktu yang lalu dibatasi pengertiannya hanya kepada Tersangka/Terdakwa atau saksi
korban saja. Hakim yang berani seperti ini pada waktu yang lalu selain akan macet pangkat kepegawaiannya juga akan ditempatkan didaerah terpencil yang tingkat kompleksitas masyarakatnya rendah. LSM hanyalah satu dari sekian banyak komunitas dalam masyarakat yang menjadi pelaku reformasi, masih banyak komunitas lainnya, ada mahasiswa, pekerja serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Biasanya komunitas lain selain LSM dalam mengaktualisasikan aspirasinya menggunakan cara berdemontrasi atau unjuk rasa, tentu saja hal ini dimaksudkan agar aspirasi yang disuarakan dapat terlihat dan terdengar oleh sasaran maupun masayarakat pada umumnya. Cara berdemontrasi dengan mengerahkan massa ini kerap juga dilakukan oleh LSM, biasanya LSM yang melakukan demonstrasi hanya mengusung “issue-issue” yang derajat kepentingan umumnya sangat rendah, bahkan lebih banyak pesan sponsornya. Apapun kepentingannya LSM yang mengaktualisasikan pendapatnya melalui media massa, melalui seminar, siaran pers maupun LSM yang berdemontrasi dengan segala kepentingannya, adalah realitas yang berjalan diatas dua ujung yang berlawanan dari system politik di negri kita, yaitu otoritarianisme dan demokrasi. Diantara kedua ujung inilah terdapat bermacam-macam pemerintahan yang letaknya antar kedua ujung tadi, yang tidak seluruhnya dapat digolongkan ke dalam dua katagori tadi. Upaya dan proses perubahan dari otoritarianisme kearah system politik demokrasi inilah yang dinamakan sebagai demokratisasi. Makalah ini akan membahas secara diskriptif pertumbuhan LSM sebagai actor pendorong perubahan, demonstrasi sebagai alat / bentuk penyampaian pendapat dimuka umum, serta pertumbuhan demokrasi sampai pada era reformasi. LSM dalam konteks politik Indonesia Istilah Istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang dikenal dan popular pada akhir-akhir ini, sesungguhnya merupakan metamorfosa dari beberapa istilah yang dikenal sebelumnya. Populeritas penyebutan istilah bergantung pada tekanan pemberian arti pada komunitas ini yang dikaitkan dengan paradigma politik actual. Pada mulanya istilah yang digunakan adalah Ornop (organisasi non pemerintah) terjemahan harfiah dari NGO (Non Governmental Organizations). Istilah ini lahir dari paradigma masyarakat sipil yang mengejawatah dalam berbagai wadah social politik di masyarakat mulai dari bidang keagamaan, profesi, paguyuban, kaum tani, buruh, pedagang dan unit-unit komunitas lainnya, domain mereka terpisah dari Negara maupun sector bisnis. Ornop (NGO) adalah salah satu komunitas dari masyarakat sipil yang sering menjadi perhatian. Sesuai karakteristiknya lembaga masyarakat nirlaba ini biasanya membawa misi penguatan dan pemberdayaan masyarakat di luar Negara dan sector swasta, yang merupakan substansi gagasan dan praksis hidup masyarakat sipil. Disampaing itu sebutan Ornop dalam arti wadah non pemerintah ini dirasakan parallel dengan terminology masyarakat sipil sebagai ranah non Negara. Dalam arti umum, pengertian Ornop mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar
struktur dan jalur formal pemerintahan, dan tidak dibentuk oleh dan merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Karena cakupan pengertiannya terlalu luas, beberapa tokoh LSM generasi pertama mencari padanan yang pas atas istilah NGO. Kemudian muncul istilah-istilah LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat), SHPI (Self Helf Promoting Institute), SHO (Self Helf Organizations), PVO (Privat Voluntary Organization), dan akhirnya kembali lagi NGO popular diartikan sebagai LSM. Munculnya Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan justru menimbulkan masalah jika istilah LSM disandingkan dengan istilah Organisasi Keormasan, karena LSM tidak termasuk dalam criteria pengertian Ormas dalam UU tersebut. Menurut Rudini (Menteri Dalam Negeri) LSM itu bentuk organisasinya tidak sama, kalau organisasi itu kan jelas, perkumpulan orang seprofesi, mempunyai Anggaran Dasar, sudah ditentukan asasnya, rumah tangganya. LSM itu bisa incidental, kalau ada kegaiatan yang bisa dikerjakan bersama. Yang penting ada kelompok yang berinsiatif, jadi LSM itu bukan ormas. Kemudian pengertian LSM dirumuskan oleh Pemerintah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat kepada seluruh Gubernur. Dalam Instruksi ini disebutkan LSM adalah lembaga yang anggotanya masyarakat WNRI yang secara sukarela dan kehendak sendiri berniat serta bergerak dibidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya. Tipologi LSM Tipologi atau katagorisasi LSM di Indonesia dikemukakan oleh bebarapa ahli dan pemerhati, antara lain : Philip Eldridge, membaginya dalam tiga model pendekatan dalam konteks hubungan LSM dengan Pemerintah: pertama, Kerjasama tingkat tinggi: pembangunan akar rumput (High Level Partnership: Grassroots Development) LSM dalam katagori ini menekankan kerjasama program pembangunan dengan pemerintah dengan mendorong kearah yang lebih partisipatif, meneyentuh dan menlibatkan akar rumput. Kegiatan LSM ini tidak bersinggungan dengan proses politik, tetapi mengarah langsung pada proyek-proyek yang bersifat teknis. (Bina Swadaya, Yayasan Indonesia Sejahtera). Kedua, Politik Tingkat Tinggi: Mobilisasi Akar Rumput (High level Politics: Grassroot mobilization) LSM dalam katagori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat baik dalam upaya perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu kebijakan yang menjadi wilayah perhatiannya (LSP, LP3ES, WALHI, YLKI, YLBHI). Ketiga, Penguatan Akar rumput (empowerment at the grassroot) LSM katagori ini pusat perhatiannya pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput akan hak-haknya, ketimbang aksi yang bermaksud mengubah kebijakan dalam proses politik (Kalyana Mitra, yasanti Yogya, KSBH Yogya). Dari perspektif sejarah perkembangannya, LP3ES merumuskan kegiatan-kegaiatan LSM menjadi tiga , Pertama: LSM dengan kegiatan amal social (charity) memberi bantuan kepada kaum miskin, masayarakat korban bencana alam, korban perang dsb, dengan memberi bantuan dana dan material yang dibutuhkan (Organisasi social, organisasi keagamaan dsb). Kedua, LSM
dengan kegiatan berorientasi pada perubahan dan pembangunan (change and development) masyarakat, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development & community empowerment), Ketiga, LSM yang bergerak dibidang pelayanan dan advokasi / pembelaan, yang melihat permasalahan secara structural. Dinamika perkembangan LSM LSM / Ornop di Indonesia bukanlah fenomena baru yang lahir dimasa reformasi atau orde baru, sebagai kelompok otonom yang dibentuk, diorganisir, dan digerakan oleh masyarakat diluar struktur formal Negara, kehadiran dan aktivitasnya sudah ada sejak zaman colonial Belanda. LSM pertama yang dibentuk mahasiswa Stovia sebelum jaman colonial (1908) yaitu BOEDI OETOMO, kemudian pada masa colonial Belanda, lahir: Sarekat Dagang Islam (SDI – Tjokroaminoto), Persatuan Bangsa Indonesia (PBI-Soetomo), Sarekat Priyayi (RM Tirtoadisuryo), Perguruan Taman Siswa (Ki Hajar Dewantara), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dsb. Tujuan perjuangan ornop/LSM pada saat ini adalah membebaskan Indonesia dari segala bentuk penindasan, kemiskinan, kebodohan serta keterbelakangan diberbagai bidang dengan upaya pendidikan dan usaha-usaha di bidang ekonomi. Karena itu tidak berlebihan ornop / LSM pada masa itu merupakan embrio dari pergerakan menuju Indonesia merdeka. LSM yang lahir tahun 1950an, antara lain: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI1957). Sebagaimana diketahui iklim politik pada saat ini dipengaruhi politik kepartaian, sehingga hampir seluruh pemimpin Indonesia memakai partai politik sebagai kendaraan dalam meraih kekuasaan. LSM yang lahir tahun 1960an, disebut juga LSM generasi awal, yaitu BINA SWADAYA yang lahir pada 1967, cikal bakal LSM ini adalah Ikatan Petani Pancasila (IPP-1958), Yayasan Sosial Tani Membangun (YSTM). LSM yang lahir tahun 1970an, Lembaga bantuan Hukum (LBH-1970), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan penerangan Ekonomi (LP3ES-1971), Yayasan Lembaga Konsumen (YLK1973), Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS-1974), Skretariat Bina Desa (SBD-1974), Lembaga Studi Pembangunan (LSP-1976), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y-1977), Yayasan Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU-Makasar). Pada era Orde Baru ini gerakan LSM/ornop terorganisir dengan agenda yang lebih rapih dan jangkauan program aksi yang lebih luas, hal ini tidak dapat dilepaskan dari perubahan iklim politik menyusul tumbangnya pemerintahan Demokrasi terpimpin, Pemerintahan yang baru bertekad melaksanakan UUD 45 secara “murni dan konsekuen” sesuai komitmen awal para pendiri bangsa, yang kemudian memunculkan harapan baru bagi terbangunnya system politik yang memberi banyak kebebasan disegala bidang. Namun demikian pada perjalanannya system politik Orde Baru setali tiga uang dengan rezim sebelumnya, bahkan cenderung sentralistik dan elitis. Program pembangunan nasional berencana yang dilaksanakan bersifat top-down dan kurang memperhatikan partisipasi rakyat. Birokrasi
memegang posisi dominant, sementara arah orientasi kebijakan pembangunan lebih memprioritaskan aspek pertumbuhan ekonom. Kekecewaan sebagian tokoh/pemimpin terhadap pemerintah yang menunjukan indikasi menyimpang dari komitmen awal untuk membangun tatanan masyarakat berkeadilan dan demokratis, telah melahirkan reaksi beberapa aktivis LSM mengambil inisiatif untuk menciptakan kegiatan-kegiatan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dampak pembangunan seperti kemiskinan, dianggap tidak dapat diterapi melalui kedermawanan semata (karitatif), dibutuhkan bantuan yang dapat mendorong masyarakat miskin untuk bisa memanfaatkan sumber daya diseputar mereka dan memecahkan masalah secara mandiri. Pada masa ini gagasan lebih kritis mengenai partisipasi politik dan demokratisasi selain masih asing juga belum memperoleh bentuk yang jelas. Berhadapan dengan kebijakan pembangunan Orde Baru yang dipandang sebagai masalah structural, telah menumbuhkan suatu perspektif politik bersifat radikal dan transformative. Gerakan Mahasiswa menggugat, Golongan Putih (Golput) dan Gerakan Anti Korupsi turut mematangkan orientasi kritis radikal LSM. Puncaknya terjadilah Malapetaka 15 Januari (malari) yang menandai putusnya hubungan antara pemerintah dengan mahasiswa, aktivis, cendekiawan yang semula mendukung orde baru. Cukup banyak aktivis LSM yang ditangkap dan dipenjarakan rezim Orba menyusul peristiwa malari. Tahun 1980an, merupakan era kebangkitan LSM/ornop di Indonesia, hal ini ditandai oleh kelahiran ratusan LSM yang tidak hanya di Jakarta dan ibukota propinsi, tetapi juga di tingkat local, tercatat jumlah keseluruhan LSM secara nasional 699 LSM terdiri dari 433 tersebar di Jawa dan sisanya diluar Jawa. Selain peningkatan jumlah kehadiran LSM dasawarsa 1980an diwarnai oleh kehadiran LSM “generasi kedua” yang mampu menunjukan eksistensinya di tingkat nasional. Ciri LSM generasi ini, antara lain mengambil model pengorganisasian berbentuk jaringan, yang tujuannya saling memperkuat dan bekerjasama menangani issue-isue tertentu. Tercatat YLBHI di Jakarta (1980) membentuk jejaring dengan kantor-kantor LBH daerah, Kelompok sepuluh lingkungan hidup membentuk WALHI sebagai jejaring dengan LSM peduli lingkungan di daerah, Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA-1983), Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI-1986), Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan (SKEPHI-1982), Kelompok Relawan Anti Penyalahgunaan Pestisida (KRAPP-1982), Sekretariat Kerjasama Penanggulangan Pencemaran (SKREPP-1982), Jaringan Aksi Riset Indonesia (JARI-1983), dan Perkumpulan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M-1983). Menurunnya pendapatan pembangunan dari minyak bumi mendorong pemerintah untuk menerima gagasan pembangunan negeri-negeri donor dan lembaga keuangan international yang mendesak dan menuntut negeri penerima bantuan agar membuka partisipasi masyarakat yang lebih besar. Pada saat bersamaan LSM-LSM sebagai wadah partisipasi masyarakat, mendorong pembangunan berdasarkan strategi bottom-up. Kekecewaan terhadap peran partai politik pasca kebijakan otoritarian penyederhanaan partai, juga menjadi pemacu lahirnya LSM-LSM tahun 1980an. Partai politik hanya berperan sebagai alat legitimasi kekuasaan pemerintah ketimbang berjuang mewakili kepentingan kelompokkelompok masyarakat. Eksploitasi buruh, penggusuran paksa dan perampasan tanah rakyat atas
nama pembangunan, pencemaran lingkungan, penangkapan dan penyiksaan terhadap tokohtokoh masyarakat, penyimpangan kekuasaan, korupsi, dan sebagainya tidak pernah menjadi agenda pembicaraan serius partai politik. Jikapun ada “suara vocal” yang mengkomentari isu-isu tersebut oleh anggota DPR, maka partai bersangkutan akan merecall sipolitikus dari posisinya. Begitu kuatnya hegemoni kekuasaan otoriter orde baru, karena itu sangatlah logis ditengah memudarnya peran partai politik akan muncul wadah alternative seperti LSM yang berjuang untuk kepentingan masyarakat. Pada 1985, YLBHI dan NOVIB (de Nederlands Organisatie voor Internationale Bijstand- LSM Belanda) membentuk INGI (Ineter-NGO Confrence on IGGI Matters) yang dibentuk koalisi LSM untuk memberikan masukan, kritik dan rekomendasi kepada IGGI ( The Inter Governmental Group on Indonesia) berkaitan dengan kebijakan pemberian utang kepada Indonesia yang harus dikaitkan dengan kepentingan rakyat. Ketika IGGI berubah nama menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia), INGI pun berubah menjadi INFID (International NGOs Forum on Indonesia Development. Menutup dasawarsa 1980an terjadi suatu peristiwa yang mengganggu hubungan pemerintah orde baru dan LSM yang terkenal sebagai “Insiden Brussel”, dimana INGI bersama LSM International mengeluarkan “aide memori” dan mengirimkan surat kepada Presiden bank Dunia tentang dampak social dan lingkungan dari pembangunan waduk Kedung Ombo. Surat itu secara keras mengkritik pelanggaran HAM dalam kasus Waduk Kedung Ombo. Presiden Soeharto marah dan menyatakan tindakan tersebut sangat tidak menguntungkan Indonesia. Beberapa pejabat menyatakan sebagai tindakan yang tidak patriotic. Pemerintah mengirim Menteri Dalam Negeri RUDINI untuk menggelar pertemuan dengan beberapa LSM dan sepakat membentuk sebuah forum pemerintah-LSM untuk membahas berbagai aspek pembangunan. Setelah gagal memasukan LSM dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang ORMAS, pemerintah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 1990 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan LSM yang ditujukan kepada seluruh Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) untuk menginventarisasi semua LSM yang berada di wilayahnya. Irmendagri ini dimaksudkan untuk mengontrolseluruh aktivitas LSM. Pada dasawarsa 1990an, LSM “generasi ketiga” lahir dengan membawa cirri tersendiri, LSM pada masa ini dibagi menjadi dua katagori, sebagian adalah keturunan LSM generasi sebelumnya dengan tradisi keLSMan yang sangat kental, dan sebagian lagi muncul didasari atas kepentingan pragmatis/sesaat. Kebanyakan LSM jenis terakhir ini lahir hanya untuk “menyulap” bantuan dana dari lembaga-lembaga donor international bagi pembangunan di Indoesia, misalnya bantuan IMF mengatasi masa krisis moneter dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS), banyak pihak menyebut LSM jenis ini sebagai “LSM Siluman”, “LSM Jadi-jadian” atau “LSM Plat Merah” yang mempunyai hubungan dekat, bagian dari dan didirikan oleh oknum pemerintah atau pejabat Negara, yang biasanya dipakai untuk “menampung” dana-dana proyek yang dikucurkan lembaga donor international. LSM jenis ini biasanya akan lenyap jika proyek yang digarap atau uang yang diterima sudah habis, hasil proyek merekapun tidak menyentuk kebutuhan dasar masyarakat. LSM 1990an yang kebanyakan turunan generasi kedua, dalam arti dibentuk oleh tokohnya, antara lain: LPHAM (Lembaga Pembelaan Hak Asasi Indonesia-1990), Serikat Buruh Merdeka
Setia Kawan (SBMSK-1990), Indonesia Front for the Defence of Human Right ( Infiight-1990), Pusat Informasi dan Pendidikan HAM (PIPHAM-1993), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI-1992), Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat (ELSAM-1993), Interfidei (1992), Perhimpunan Bantuan Hukumdan HAM Indonesia (PBHI-1996), Fron National Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI-1999), Urban Poor Consortium (UPC-Konsorsium Rakyat Miskin Kota-1997), Komisi untuk orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS-1998), Indonesia Corruftion Watch (ICW-1998), KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN-1998), Center for Electoral Reform (CETRO-1999), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI-1994) Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Rakyat (FIJAR), Alieansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) dan sebagainya. Pada era ini, muncul juga LSM yang mewakili gerakan feminisme, antara lain: Yayasan annisa Swasti di Yogyakarta (YASANTI), Kalyanamitra (1985), Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW-1986), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA-1997), Solidaritas Perempuan untuk kebebasan Pers (KPKP), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan sebagainya. Gambaran spesifik dari LSM era 1990an adalah makin kentalnya karakter politik mobilisasi akar rumput dengan aksi-aksi advokasi yang berorientasi pada penegakan demokrasi. Aliansi dengan gerakan mahasiswa terjadi pada advokasi dan pembelaan terhadap kasus-kasus pertanahan, perburuhan, lingkungan hidup, korupsi, pelanggaran HAM yang tergolong sensitive dari segi politis, antara lain Kasus tanah Badega, Cimacan, Nipah, Rancamaya, Kedung Ombo, Inti Indorayon, Freport Indonesia dll. Aliansi mahasiswa-LSM yang bergandengan dengan elemen-elemen masyarakat lain telah mendorong proses perubahan politik kearah demokratisasi. Keberhasilan mereka ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto akhir Mei 1998. Demokrasi era reformasi Era reformasi diawali dengan amandemen terhadap konstitusi, yang telah meletakkan dua prioritas utama sebagai sentral perubahan. Prioritas perubahan ini sudah jauh-jauh hari ditandai untuk direformat dan direformulasikan dalam rangka pergeseran signifikan dari kadar otoritarianisme menuju kadar konstitusi yang demokratis. Dua prioritas itu adalah (1) pembatasan kekuasaan presiden dan (2) penguatan / pemberdayaan lembaga legislative (DPR). Munculnya dua prioritas ini didasarkan oleh praktek penyelenggaraan negara selama ini, dimana disatu sisi kekuasaan presiden yang begitu besar dan sangat kuat, sementara DPR begitu lemah dalam menunakan tugas-tugas konstitusionalnya. Keduanya dipandang memberi kontribusi besar terhadap berlangsungnya penyelenggaraan negara yang korup, sentralistik dan tertutup serta tidak berkembangnya demokrasi. Selain dua prioritas diatas, lebih jauh amandemen konstitusi / UUD 45, yang telah dilakukan MPR sebanyak empat kali sejak tahun 1999 hingga tahun 2002, telah menghasilkan perubahanperubahan substansial bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara, diantaranya menyangkut soal penempatan materi HAM, penegasan otonomi daerah, restrukturisasi MPR, pemilihan anggota eksekutif dan legislative secara langsung, serta penguatan bagi pelaksanaan fungsi kekuasaan
yudikatif, dan bersamaan dengan perubahan-perubahan tersebut beberapa lembaga negara baru dibentuk, antara lain Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Penempatan materi HAM pada konstitusi telah melahirkan paradigma baru demokrasi Indonesia, dan yang palingsignifikan dan dinikmati langsung oleh masyarakat adalah hak atas kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal kebebasan berserikat, sejalan dengan pencabutan UU Subversif lahir pula UU tentang partai politik yang memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk memperjuangkan asfirasinya melalui organisasi politik. Demikian juga lahirnya kebebasan pers yang ditandai dengan dicabutnya ketentuan tentang SIT (Surat Izin Terbit) sebagai pengejawatahan hak atas kebebasan berpendapat. Demontrasi Agak sulit mengidentifikasi berapa banyak penerbitan yang ada di Indonesia pasca reformasi ini sebagai pengejawatahan hak atas kebebasan berpendapat, karena hampir setiap hari kita saksikan pertambahan media massa cetak baik yang diterbitkan oleh badan hukum / usaha, organisasi profesi atau lainnya maupun perorangan. Namun terbitnya “majalah ply boy” edisi Indonesia baru-baru ini sempat menarik perhatian kita, karena telah menjadi polemic dan tarik-menarik diantara kepentingan-kepentingan. Demikian juga lahirnya media elektronik baik radio maupun televisi di setiap kota, juga merupakan dampak positif dari kebebasan mengeluarkan pendapat. Mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat ini, pada awal reformasi saat pemerintahan Presiden Habibie, telah dilahirkan undang-undang yang mengatur kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, melalui undang-undang ini di satu sisi kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin keberlangsungannya di sisi yang lain kebebasan tersebut harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa bentuk penyampaian pendapat di muka umum,yang diatur dalam UU ini antara lain: unjuk rasa atau demontrasi, pawai, Rapat Umum dan atau Mimbar bebas. Demontrasasi ini sering kali menjadi pilihan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya baik pada instansiinstansi formal seperti DPR/MPR, MA, Departemen-Departemen atau instansi lainnya yang dianggap relevan, bahkan dilakukan juga di depan rumah seoarang artis. Demikian juga tak sedikit LSM melakukan demontrasi dalam melaksanakan aktivitasnya terutama LSM yang aktivitasnya melakukan advokasi dan pembelaan terhadap masyarakat. Demontrasi atau unjuk rasa dalam hal bagian dari advokasi dimaksudkan penekan (pressure) agar instansi terkait yang menangani atau yang mempunyai kompetensi menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat segera dapat menyelesaikan masalah yang dipersoalkan. Tak hanya itu advokasi dengan demontrasi tak jarang dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan secara sistemik (mendorong dilakukan atau tidak dilakukannya perubahan peraturan), contoh kongkrit demontrasi yang dilakukan pekerja untuk menekan tidak dilakukannya perubahan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meski berakhir anarkis. Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu bagian dari demokrasi di era reformasi ini bukannya tanpa batas, ia dibatasi selain oleh hak asasi orang lain juga oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adail sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Paradigma Baru Demokrasi Indonesia Ada dua teori yang memberikan pengertian tentang kedaulatan. Pertama, monoisme yang menyatakan kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat dibagi-bagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang tertinggi dalam negara (baik person maupun institusi). Kedua, Pluralisme, yang menyatakan negara bukanlah satu-satunya organisasi yang mempunyai kedaulatan. Banyak organisasi-organisasi lain yang berdaulat terhadap orang-orang dalam masyarakat, sehingga tugas negara hanyalah mengkoordinir organisasi yang berdaulat dibidangnya masing-masing. Jika diamati konteks demokrasi Indonesia hari ini, disadari atau tidak dengan reformasi konstitusi telah berubah dari paradigma lama demokrasi integralistik menuju kearah paradigma baru demokrasi pluralistic. Indikator kearah ini terlihat dari kedaulatan rakyat tidak lagi dipegang oleh satu tangan (MPR) atau hanya dalam tiga lembaga (trias politika Eksekutif, legislative dan yudikatif), melainkan tersebar pada lembaga-lembaga negara dengan wewenang terbatas masingmasing pada fungsinya sebagai alat perlengkapan negara secara menyeluruh. Fungsi-fungsi eksekutif yang ditempatkan pada lembaga-lembaga independent seperti Kejaksaan, Kepolisian, Angkatan Bersenjata (Tentara) , Bank Sentral, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) adalah fungsi-fungsi yang diharapkan dapat berjalan secara independent (bebas dari intervensi Presiden dan lembaga negara lainnya). Ide-ide mengenai independensi kelembagaan seperti ini adalah pengembangan dinamis dari pemikiran demokrasi agar dapat menjalankan akuntabilitas publiknya dalam tuntutan perkembangan zaman. Dalam khasanah perkembangan teori kedaulatan, juga berkembang factor-faktor yang dapat merelatifisir konsep kedaulatan antara lain globalisasi dan interdependensi yang semaikin kuat diantara negara-negara di dunia. Kedaulatan ke dalam yang selama ini kuat direlatifisir oleh adanya konsep “otonomi daerah”. Kedaulatan keluar dari suatu negara pada saat ini direlatifisir oleh hokum-hukum international dan konsep HAM universal. (atas nama kemanusiaan sebuah negara diintervensi oleh pengadilan ad hoc international). Demikian juga entitas-entitas yang telah menjadi “state actor” seperti “multi national corporation, konglomerat dan NGO / LSM International kerap juga dapat merelatifisir kedaulatan negara. Konvergensi Demokrasi dan Hukum Secara umum dapat dipahami bahwa konsekuensi logis dari operasionalisasi kedaultan rakyat / demokrasi membutuhkan kerangka yuridis atau format hokum agar wajah demokrasi itu mengemuka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum yang telah disetujui oleh rakyat kemudian berdaulat atas nama kedaulatan rakyat. Kepastian hokum dijadikan alat untuk mencapai keadilan yang didambakan rakyat. Disinilah kemudian letak transformasi dan konvergensi, yaitu hukum berdaulat atas nama rakyat. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah yang dicantumkan dalam konstitusi serta pembatasan pelaksanaan HAM seseorang yang dibatasi oleh HAM orang lain dan UU (Pasal 28 J
UUD 45) merupakan perwujudan dari konvergensi antara kedaulatan rakyat / demokrasi dengan hukum. Akhirnya kita berdoa, doa adalah bukti penyerahan diri kita kepada Allah atas segala ikhtiar duniawi kita, semoga reformasi membawa kebaikan bagi kita dan anak cucu kita semua. Amien. Billahitaufiqwalhidayah, wassalamaualaikum warohmatullahi wabarakatuh.