LOMBA KARYA TULIS ILMIAH NASIONAL
Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Berbasis Koperasi Untuk Peningkatan Daya Saing dan Kesejahteraan Petani
Disusun Oleh : Ahmad Zaki Rahman (H34090140/2009) Achmad Fachruddin (H34090130/2009)
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
PENGESAHAN LOMBA KARYA TULIS ILMIAH
1. Judul Karya Tulis
: Strategi Pengembangan Agribisnis Karet
Berbasis
Peningkatan
Koperasi
Daya
Untuk
Saing
dan
Kesejahteraan Petani 2. Ketua Pelaksana a. Nama Lengkap
: Ahmad Zaki Rahman
b. NIM
: H34090140
c. Jurusan
: Agribisnis
d. Universitas/Institut/Politeknik
: IPB
e. Alamat Rumah dan No Tel./HP
: Jl. Kamper, wing 4, level 5, Bogor, 085641088857
f. Alamat email 3. Anggota Penulisan
:
[email protected] : Satu orang
4. Dosen Pendamping a. Nama Lengkap dan Gelar
: Lukman M. Baga, M.Ec.
b. NIP
: 196402201989031001
c. Alamat Rumah dan No Tel./HP
: Jl Hegarmanah IV No. 48 Gunung Batu, Bogor 16118 / 085217100317
Bogor, 21 Mareti 2012 Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ketua Pelaksana Penulisan
(Ir. Lukman M. Baga, M.Ec.)
(Ahmad Zaki Rahman)
NIP. 196402201989031001
NIM. H34090140
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahma dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dalam Simposium Karet Nasional yang berjudul “Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Berbasis Koperasi Untuk Peningkatan Daya Saing dan Kesejahteraan Petani”. Judul tersebut merupakan ide dari penulis untuk memberikan solusi dalam permasalahan agribisnis karet di Indonesia.. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Lukman M. Baga yang telah membimbing kami dalam penyusunan karya tulis ini. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Departemen Agribisnis, dan semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan karya tulis ini. Semoga karya tulis ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan Agribisnis Karet sebagai upaya peningkatan daya saing karet dan kesejahteraan petani. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bogor, 21 Maret 2012
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
ii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ..
v
RINGKASAN ..................................................................................................
vi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
4
1.3 Tujuan ......................................................................................................
4
1.4 Manfaat ...................................................................................................
4
TELAAH PUSTAKA .....................................................................................
5
2.1 Sistem Agribisnis ....................................................................................
5
2.2 Kelembagaan ..........................................................................................
5
METODE PENULISAN ..................................................................................
7
ANALISIS dan SINTESIS ..............................................................................
8
4.1 Gambaran Industri Karet .........................................................................
8
4.2 Pendekatan Sistem Agribisnis .................................................................
11
4.3 Model Kelembagaan Ideal ......................................................................
13
4.4 Strategi Kebijakan Berbasis Koperasi .....................................................
16
PENUTUP ........................................................................................................
21
5.1 Simpulan ..................................................................................................
21
5.2 Rekomendasi ...........................................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
22
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Luas Areal Perkebunan Seluruh Indonesia ...............................
1
2
Perkebunan Karet ...................................................................
2
3
Pohon Industri Berbasis Karet ………………………………...
8
4
Lateks SIR 20 ………………………………. ………………..
9
5
Sistem Agribisnis karet ………………………………………..
12
6
Model Kelembagaan Ideal agribisnis karet …………………...
16
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Spesifikasi Standard Indonesian Rubber (SIR) .........................
9
2
Indonesia Rubber Export By Type And Grade 2005-2010 (in metric 10 tons) …….................................................................................
v
RINGKASAN Karet merupakan salah satu komoditas unggulan promosi ekspor Indonesia. Luas areal perkebunan karet Indonesia adalah yang terbesar di Dunia yaitu 3.450.144 Ha, dengan produksi diperkirakan mencapai 2.640.849 ton pada tahun 2011. Sebanyak 85% perkebunan karet Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan produktivitas yang sangat rendah, yaitu 926 kg/ha/tahun. Permasalahan utama perkebunan karet rakyat adalah posisi tawar petani yang lemah dalam penentuan harga, sehingga petani tidak mendapatkan insentif untuk terus meningkatkan produksi dan mutu karet. Kelembagaan dan kebijakan yang selama ini dibentuk dirasakan kurang relevan terhadap kebutuhan stakeholder dalam agribisnis karet. Asosiasi yang saat ini ada seperti Gapkindo, dewan Karet, dan asosiasi petani selama ini hanya merupakan representasi kepentingan masing-masing pihak. Model kelembagaan yang ideal perlu melibatkan seluruh komponen tersebut agar tercipta sinergisitas antar lembaga yang ada untuk peningkatan daya saing karet. Koperasi sebagai pemangku kepentingan petani karet rakyat sekaligus penghubung antara petani dan pengusaha adalah salah satu solusi kelembagaan yang cocok untuk model ini. Dalam pelaksanaanya, peran koperasi ini perlu ditunjang oleh Dewan Karet sebagai lembaga yang mengawasi dan mengatur regulasi pada agribisnis karet. Akan
dibahas
pula
strategi
Kebijakan
yang
sesuai
dan
mendukung
pengembangan model ini. Kata kunci: daya saing karet, koperasi, dewan karet
vi
ABSTRACT Rubber is one of the leading commodity export promotion Indonesia. Indonesian rubber plantation area is the largest in the World which 3,450,144 hectares, with production estimated at 2,640,849 tons in 2011. A total of 85% Indonesian rubber plantations dominated by smallholder with very low productivity,
926 kg / ha / year. The main problems of smallholder rubber
plantations is a weak bargaining position of farmers in the determination of prices, so farmers do not have incentives to continuously improve production and quality rubber. Institutional and policy that had been formed felt less relevant to the needs of agribusiness stakeholders in rubber. Associations that currently exist as Gapkindo, Rubber Board, and farmers' associations have only a representation of the interests of each party. Institutional model of the ideal need to involve all the components in order to create synergy between existing institutions to increase the competitiveness of rubber. cooperatives as rubber farmer stakeholders as well as a liaison between farmers and entrepreneurs are one of the institutional solutions that are suitable for this model. In implementation, the role of cooperatives is to be supported by the Rubber Board as the agency that oversees and regulates the regulation of the agribusiness of rubber. That will be discussed are the appropriate strategies and policies to support the development of this model. Keywords: rubber competitiveness, cooperatives, the board rubber
vii
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman karet yang dikenal dengan nama botani Hevea Braziliensis berasal dari daerah amazon di Brazilia. Pada tahun 1860 markham dikirim ke amerika selatan oleh “de Royal Botanic Gardens” untuk mengumpulkan biji-biji untuk disemaikan di Kew Garden London, dan hasilnya dikirim untuk ditanam di India dan Sailan (Siswoputranto, 1991). Di Indonesia karet merupakan salah satu komoditas unggulan untuk promosi ekspor. Pada tahun 2011 luas areal total perkebunan karet Indonesia seluas 3.450.144 Ha. Dari total luasan tersebut produksi karet alam Indonesia tahun 2011 diperkirakan mencapai 2.640.849 ton. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 2.592.935 ton. Perkebunan karet utamanya berada di Pulau Sumatera. Di pulau yang berada di Indonesia bagian barat ini, pada 2010 perkebunan karet menempati lahan seluas 2,433 juta hektare dan menghasilkan 1,892 juta ton karet alam. Sisanya tersebar di beberapa wilayah di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Dirjen Perkebunan, 2011). Data
selengkapnya
dapat
dilihat
berikut:
Gambar 1. Luas Areal Perkebunan Seluruh Indonesia
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011
dari
grafik
2
Indonesia merupakan salah satu produsen karet alam besar dunia dengan sumbangan 26,59 persen terhadap total produksi karet dunia yang pada 2010 sebanyak 10,291 juta ton (Gapkindo dikutip dari Republika,2011). Produksi dan ekspor karet alam dunia sampai saat ini masih didominasi oleh tiga negara yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia dengan proporsi masing-masing 33%, 25%, dan 13% dari total produksi dunia (wahyudi et al., 2001). Produk karet alam Indonesia yang diekspor terutama terdiri atas karet olahan berupa Latex concentrade, SIR, dan RSS. Data dari Gapkindo tahun 2010 menyebutkan ekspor berupa latex, RSS, dan SIR masing-masing 12,929 metric ton, 60,166 metric ton, dan 2,276,287 metric ton dengan total nilai ekspor 7 juta USD. Penggunaan karet olahan sebagian besar digunakan untuk industri ban dan komponen-komponennya (72 persen). Dengan negara importir utama AS (25 persen), Jepang (14 persen), China ( 9 Persen), Korea Selatan (6 persen), dan Jerman (5 persen) (wahyudi, et al., 2001). Sedangkan negara tujuan ekpor Indonesia adalah Jepang, China, Singapore, AS, dan Brazil dimana masingmasing memiliki total ekspor lebih dari 100 ribu metric ton (BPS, 2010 data diolah Gapkindo). Terdapat tiga jenis perkebunan karet di Indonesia berdasarkan pihak yang mengelola, antara lain perkebunan rakyat, perkebunan pemerintah, dan perkebunan swasta seperti yang terlihat pada gambar 1. Perkebunan karet rakyat memiliki areal yang lebih luas dibandingkan dengan perkebunan pemerintah dan swasta. Perkebunan karet rakyat diperkirakan memiliki luas 2,935 juta hektar sedangkan perkebunan karet pemerintah dan swasta masing-masing 239 ribu hektar dan 275 hektar (Dirjen. Perkebunan, 2011). Artinya sekitar 85 persen perkebunan karet Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat.
Gambar 2. Perkebunan Karet
Sumber: Balitbang, Deptan
3
Perkebunan rakyat saat ini mengalami permasalahan baik dalam aspek budidaya, pemasaran, maupun dukungan kelembagaan. Dari aspek budidaya, perkebunan karet rakyat memiliki produktivitas yang rendah, yaitu 926 kg/ha/tahun jauh lebih rendah dari produktivitas perkebunan negara (1.327 kg/ha/tahun) dan swasta (1.565 kg/ha/tahun) (PERHEPI, 2011). Produktivitas yang rendah disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan kemampuan petani dalam hal teknik budidaya (Siregar, 2011). Sehingga dalam implementasinya masih jarang penggunaan klon karet yang unggul, proporsi tanaman tua yang sangat besar, dan perawatan yang sederhana. Saat ini, lebih dari 90 persen kebun rakyat kondisinya hampir mirip hutan karet. Hal ini disebabkan proporsi tanaman tua yang yang jauh lebih banyak dari tanaman muda. Hanya 9,3 persen perkebunan rakyat yang kondisinya relatif baik, yaitu yang dikembangkan melalui proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau program bantuan lainnya. Kondisi ini juga menyebabkan mutu bokar atau bahan olah karet rakyat yang lebih rendah dibandingkan mutu yang dihasilkan oleh perkebunan karet milik pemerintah dan swasta. Pemasaran bokar saat ini belum menunjukkan keadilan bagi petani perkebunan karet rakyat. Petani memiliki posisi tawar yang lemah sehingga petani hanya memiliki posisi sebagai penerima harga dari pembeli, dalam hal ini asosiasi petani
karet
dan
pedagang
pengumpul.
Kelembagaan
belum
mampu
meningkatkan posisi petani dalam hal harga, sehingga petani tidak mendapatkan insentif untuk menghasilkan bokar yang bermutu dan berkualitas. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka agribisnis karet di Indonesia akan semakin menurun. Petani karet rakyat memiliki posisi tawar yang lemah dan tidak mendapatkan insentif untuk menghasilkan karet yang bermutu. Petani sangat mungkin mengkonversi lahan karetnya menjadi komoditas perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, karena diinilai memiliki prospek yang lebih menjanjikan.
4
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam artikel ilmiah ini di antaranya: 1. Apakah industry karet saat ini telah menguntungkan petani? 2. Apakah agribisnis karet saat ini telah mencapai produktivitas dan mutu yang optimal? 3. Bagaimanakah pola kelembagaan dalam agribisnis karet yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan daya saing karet Indonesia? 1.3 Tujuan 1. Mengidentifikasi permasalahan dan potensi karet Indonesia. 2. Merumuskan konsep kelembagaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan daya saing karet Indonesia. 1.4 Manfaat Tulisan ini dapat dijadikan masukan kepada pemerintah dalam menyempurnakan kebijakan pengembangan agribisnis karet Indonesia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani perkebunan karet rakyat dan daya saing karet Indonesia.
5
TELAAH PUSTAKA 2.1 Sistem Agribisnis Komoditas karet sebagai salah satu andalan ekspor Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Namun potensi tersebut belum mampu dioptimalkan karena ada beberapa masalah laten yang timbul pada agribisnis karet. Masalahmasalah tersebut dapat didekati melalui pendekatan sistem agribisnis. Sistem agribisnis sendiri mengandung pengertian sebagai rangkaian kegiatan dari beberapa sub-sistem yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Setidaknya ada lima sub-sistem yang saling terkait tersebut (Krisnamurthi dan Saragih, 1992). Kelima subsistem tersebut adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian, (2) sub-sistem Usahatani, (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian, (4) sub-sistem pemasaran, dan (5) sub-sistem Penunjang. Sedangkan Sistem agribisnis jika dipandang dari konsep sistem mempunyai dua konsep yaitu sistem dan bisnis. Perubahan sebutan sistem komoditas
dalam
ekonomi
pertanian
melalui
jalur
usahatani-tataniaga
perdagangan menjadi sistem agribisnis bukan hanya perubahan nama, melainkan bersama dengan itu terjadi perubahan struktural dalam ekonomi maupun sektor pertanian sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi pada tahap pembangunan pertanian yang berbeda. Keadaan sistem agribisnis tersebut telah mengalami perubahan dinamis sehingga pemerintah dan lembaga-lembaga terkait seyogyannya harus merubah orientasi dalam kebijakan dan tindakan pada sektor ini (Soetrisno,1998).[diakses dari http://www.smecda.com/deputi7/file_infokom].
2.2. Kelembagaan Agribisnis Pada karya tulis ini pendekatan sistem agribisnis erat kaitannya dengan peran kelembagaan di dalamnya. Kelembagaan memainkan peran yang vital dalam agribisnis karet. Pada dasarnya kelembagaan memiliki dua pengertian, yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal dan informal mengenai tata hubungan manusia dan
6
lingkunagnnya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang dengan sadar memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Pembangunan Kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia, berupa manusia maupun dan secara efektif (Lukman, 2009). Secara umum , ada tiga jenis kelembagaan yang bergerak dalam agribisnis karet di Indonesia yaitu kelembagaan social, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan social-ekonomi. Pola Inti Rakyat (PIR) adalah salah satu betuk kelembagaan ekonomi dalam agribisnis karet. Kemitraan dalam kelembagaan ini dilakuakn antara perusahaan inti dan petani plasma. Perusahaan sebagai inti melakukan fungsi perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit, pengolahan hasil dan pemasaran hasil usahatani mitrannya, sambil menjalankan usahatani yang dimilikinnya sendiri. Pada dasarnya pembangunan proyek PIR
adalah pengembangan
wilayahdengan membangun atau menghadirkan keseluruhan komponen, yang untukoptimalisasi efisiensi pemanfaatan dan efisiensi keseluruhan sistem menghendaki adanya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dari keseluruhan komponen (Lukman, 2009). Namun dalam pelaksanaannya pembangunan proyek PIR sering gagal karena ketidaksesuaian harga yang dibayar perusahaan akibat lemahnya posisi tawar petani. Oleh karena itu pengembangan pola PIR perlu didukung oleh pengembangan lembaga social ekonomi di tingkat petani yaitu koperasi.
7
METODE PENULISAN Tulisan dalam karya tulis ini bersifat kajian pustaka atau library research. Data yang diperoleh merupakan data sekunder yang disajikan secara deskriptif dan disertai dengan analisis sehingga menunjukkan suatu kajian ilmiah yang dapat dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut. Informasi yang dikumpulkan adalah informasi yang berkaitan dengan tanaman karet, data produksi dan produktivitas karet, data lahan karet, data produk olahan karet, sentra produksi, dan data tentang perdagangan karet. Selain itu literatur yang digunakan adalah literatur mengenai kelembagaan agribisnis karet dan sistem agribisnis. Informasi ini diperoleh dari berbagai literatur baik berupa majalah, jurnal ilmiah, skripsi, thesis, internet, buku maupun publikasi dari pemerintah
yang
relevan
dengan
objek
yang
akan
dikaji.
8
ANALISIS SINTESIS 4.1 Gambaran Industri Karet Pohon karet sebagai salah satu komoditas perkebunan memiliki beberapa komponen yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya melalui proses pengolahan. Secara komprehensif hal itu digambarkan dalam pohon industry berbasiskan karet pada Gambar 3.
Gambar 3. Pohon Industri Berbasis Karet
Sumber: Balitbang Deptan, 2005 Lateks atau getah karet merupakan bagian utama dari pohon Karet yang dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi berbagai jenis karet. Beberapa jenis karet yang dikenal luas oleh masyarakat antara lain bahan olah karet, karet alam konvensional, lateks pekat, karet bongkah (block rubber), karet spesifikasi teknis (crumb rubber), tyre rubber, dan karet reklim (reclaimed rubber). Bahan olah karet meliputi lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan lump segar. Karet alam merupakan olahan karet yang terdiri dari golongan sheet dan crepe, meliputi
9
ribbed smoked sheet (RSS), white crepe dan pale crepe, estate brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remilis, thick blanket crepes ambers, flat bark crepe, pure smoked blanket crepe, dan off crepe (Zuhra, 2006).
Gambar 4. Lateks SIR 20 Sumber: Litbang, Deptan
Lateks yang dapat diperdagangkan oleh masayarakat berupa lateks segar, slab, dan sheet angin. Produk tersebut merupakan bahan baku Pabrik crumb rubber/karet remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industry hilir seperti ban, sepatu karet, sarung tangan, dan lain sebagainya (Dep. Perindustrian, 2007). Pabrik crumb rubber dapat memproduksi 2 kategori produk yaitu produk biasa dan premium. Kedua produk tersebut sama-sama dihasilkan dari lateks, namun kepekatan dari lateks tersebut yang menjadi perbedaan. Lateks biasa yaitu SIR 20 (Standard Indonesian Rubber), sedangkan lateks premium seperti SIR 3L, SIR 3 CV, dan SIR 3WF. Spesifikasi SIR dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Standard Indonesian Rubber (SIR)
Spesifikasi*
SIR 3 CV
Kadar kotoran, 0.03 % maks (b/b) Kadar abu, % 0.50 maks (b/b) Kadar zat menguap, % 0.80 maks (b/b) PRI, min 60 PO, Min Nitrogen, maks 0.60 (b/b) Sumber: Litbang, Deptan
SIR 5 SIR 10 SIR 3 L SIR 3 SIR Koagulum Koagulum (Lateks) WF 20 Lateks Tipis Lapangan 0.03
0.03
0.05
0.10
0.20
0.50
0.50
0.50
0.75
1.00
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
75 30
75 30
70 30
60 30
50 30
0.60
0.60
0.60
0.60
0.60
Pabrik crumb rubber cenderung memproduksi SIR 20 daripada SIR 3L, SIR 3CV dan SIR 3WF, meski harganya jauh lebih mahal. Hal ini terlihat dari perbedaan volume ekspor yang sangat besar antara SIR 20 dan SIR lainnya. Pada
10
tahun 2010, volume ekspor SIR 20 sebesar 2.165.418 metric ton sedangkan SIR 3L dan SIR3CV berturut-turut 11.297 metric ton dan 34.465 metric ton. “Keengganan” prossecor menghasilkan lateks premium disebabkan kurangnya jaminan bahan baku. Hanya pabrik yang memiliki kebun, yang memproduksi latex premium. Sementara, pabrik crumb rubber yang menghasilkan SIR 20, umumnya tak memiliki perkebunan karet lain dan mengandalkan suplai getah rakyat. Hal ini mengindikasikan hasil perkebunan rakyat memiliki mutu yang rendah sebab tidak dapat menjamin keberlangsungan pasokan bahan baku untuk memproduksi lateks premium. Tabel 2. Indonesia Rubber Export By Type And Grade 2005-2010 (in metric tons)
Type and Grade Latex Concentr ate Ribbed Smoked Sheet Others Standard Indonesi a Rubber SIR 3L SIR 3CV 10 20
2005
2006
2007
2008
2009
2010
4,014
8,344
7,610
8,547
9,147
12,929
334,125
325,393
275,497
137,756
77,040
60,166
--
--
205,522
73,985
82
804
1,674,721
1,952,268
2,121,863
2,148,447 1,905,016
2,276,28 7
--
--
8,352
9,722
11,702
11,297
64,880
50,726
4,287
9,894
14,828
34,465
3,381
--
33,792
40,921
59,868
1,605,956
1,897,205
2,063,306
63,733 2,165,41 8
2,077,274 1,812,929
Others 504 4,337 12,126 10,636 5,064 3,907 SIR *) Other Natural 10,921 3 1,786 706 60 -Rubber *) GRAND 2,351,91 2,023,781 2,285,997 2,406,756 2,295,456 1,991,263 TOTAL 5 Sumber: Gapkindo Jumlah pelaku usaha dalam bentuk perusahaan baik sebagai penghasil karet (perkebunan pemerintah dan swasta), pengolah (pabrik crumb rubber), maupun pengekspor terdapat 75 unit yang mayoritas berada di Pulau Sumatera
11
(Dep. Perindustrian, 2007). Agribisnis karet menyerap tenaga kerja sebesar 2,30 penduduk Indonesia (Siregar, 2011). Perusahaan pemerintah dan swasta yang bergerak pada agribisnis karet tergabung dalam asosiasi Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo). Sedangkan, petani rakyat memiliki wadah Asosiasi Petani Karet Indonesia, namun sayangnya wadah ini cendrung mengarah pada kepentingan elit atau petani skala besar.
4.2 Pendekatan Sistem Agribisnis Komoditas karet sebagai salah satu andalan ekspor Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Namun sayangnya potensi tersebut masih belum dapat dikembangkan sedemikian rupa untuk menjadikan komoditas karet sebagai tulang punggung dalam pembangunan sektor agribisnis. Bahkan dikhawatirkan sektor agribisnis karet ini akan mengalami penurunan seiring semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Untuk mendapatkan solusi dalam mengatasi permasalahan yang ada pada agribisnis karet akan digunakan pendekatan sistem agribisnis. Pendekatan ini mencakup seluruh kegiatan operasi agribisnis melalui suatu sistem yang utuh dan saling terkait antar sub-sistemnya. Sub-sistem tersebut antara lain sub-sistem hulu; sub-sistem usahatani; sub-sistem pengolahan; sub-sistem pemasaran; dan subsistem penunjang. Anwar (1995), melihat dua aspek perubahan dalam memandang sistem agribisnis.
Pertama,
perubahan
dalam
memusatkan
perhatian
kepada
komoditasnya, kebijaksanaan dan pembinaan dari orientasi peningkatan produksi ke arah budidaya komoditas yang bernilai tinggi salah satunya karet. Kedua, perubahan orientasi dalam campur tangan pemerintah kepada orientasi yang lebih mengandalkan kepada daya tarik pasar(market attractiveness), yang hal ini perlu didukung perubahan pendekatan kebijaksanaan yang langsung berintervensi ke sistem produksi, pemasaran, serta perdagangan hasil produk pertanian di mana swasta
belum
mampu
menanganinnya.
[diakses
dari
http://www.smecda.com/deputi7/file_infokom]. Dalam pendekatan sistem agribisnis ini setidaknya ada dua permasalahan dalam agribisnis karet. Pertama, kelemahan pada struktur produksi dimana hasil
12
produksi usahatani karet kurang memiliki kaitan dengan sektor lain baik input maupun output. Kedua, peningkatan produksi dan produktivitas pertanian tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan petani. Akibatnya, petani menjadi kurang termotivasi lagi untuk bekerja mengusahakan karet. Bahkan ada kecenderungan petani karet beralih ke komoditas lain yang lebih profitable seperti sawit. Khususnya untuk masalah kedua, berbagai faktor yang diduga sebagai penyebab antara lain: 1. Harga relatif yang diterima petani tidak sesuai dengan harga pasar dengan elastisitas harga yang lebih rendah dari harga pasar internasional. 2. Nilai tukar komoditas karet terhadap sarana produksinya yang kecil 3. Nilai tukar komoditas karet terhadap barang olahan karet semakin rendah 4. Kebijaksanaan campuran pemerintah antara bekerjanya mekanisme pasar dan regulasi tindakan pemerintah menghasilkan nilai tambah yang besar pada komoditas karet. Namun nilai tambah yang besar itu relatif berakumulasi pada sub-sistem pengolahan dan sub-sistem diluar usahatani yang tidak dikuasai oleh petani karet. Berikut kami sajikan gambar 5. Mengenai sistem agribisnis karet.
Sub-sistem Hulu
On-Farm
Sub-sistem
Susbsistem
Pengolahan
pemasaran
Pupuk
Perkebunan
Pemanenan
Periklanan
Benih karet
karet rakyat
Penanganan
Promosi
Peralatan
Perkebunan
Pengolahan
Negosiasi
Pestisida
karet Swasta
penyimpanan
Distribusi
transportasi
Perkebunan
Industri kayu
karet negara Sistem
Sistem
Sistem
Sistem
pendukung
pendukung
pendukung
pendukung
Gambar 5. Sistem Agribisnis karet
Pada sub-sistem on-farm karakteristik pada agribisnis karet Indonesia dimana sebagian besar penguasaan lahan berada di lahan rakyat menjadi suatu indikator mengapa dari segi produktivitas karet kurang optimal. Masalah yang dihadapi terutama pada, keterbatasan modal, rendahnya penguasaan teknologi,
13
lemahnya posisi tawar petani pada sistem tataniaga karet serta akses terhadap subsistem lain yang minim. Sehingga petani tidak memiliki insentif untuk meningkatkan produksi secara optimal karena membaiknya produksi tidak mampu memperbaiki kesejahteraan petani karet (Krisnamurthi,1991) . Sementara
masalah
pada
sub-sistem
pengolahan
dan
pemasaran
sebenarnya sangat terkait dengan sub-sistem usahatani. Masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas bahan baku karet dalam negeri. Hal ini berdampak kualitas olahan karet belum optimal. Sehingga standar mutu olahan karet Indonesia masih dibawah negara produsen lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Kualitas karet indonesia masih menggunakan SIR 20, sedangkan Malaysia dan Thailand menggunakan SIR 16. Oleh karena itu perlu langkah insentif agar kualitas bahan baku karet alam ini dapat meningkat. Salah satunya dengan menerapkan mekanisme penguatan harga untuk mensejahterakan petani. Dalam jangka panjang, keterkaitan sub-sistem “on farm” dengan subsistem pengolahan dan pemasaran dalam usaha agribisnis karet perlu mendapat perhatian yang proporsional, dan upaya ini akan direalisasikan dalam bentuk pengembangan usaha patungan yang bercirikan perusahaan kemasyarakatan (corporate community) melalui replikasi model-model pengembangan yang sudah ada atau membangun model baru yang sesuai. Strategi ini akan sangat cocok jika didukung oleh penguatan kelembagaan petani yang berbasis koperasi.
4.3 Model Kelembagaan Ideal Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia, berupa manusia (human) maupun dana (financial) secara efektif (Lukman dkk, 2009). Dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, masalah-masalah internal dan eksternal yang ada di dalamnya merupakan masalah kelembagaan yang pemecahannya hanya dapat dilakukan melalui reformasi kelembagaan. Tanpa adanya sistem kelembagaan yang kondusif sebagai sarana untuk melaksanakan strategi pembangunan, maka kesejahteraan masyarakat yang lebih akan sulit dicapai, bahkan akan semakin jauh. Dengan demikian, dalam proses
14
pembangunan pertanian untuk mensejahterakan masyarakat maka kelembagaan merupakan unsur yang strategis. Pada agribisnis karet lembaga/organisasi petani di tingkat pedesaan sudah cukup
lama
dikembangkan
sejalan
dengan
pelaksanaan
proyek-proyek
pengembangan karet berbantuan. Kelompok tani dan koperasi tani/perkebunan cukup banyak tumbuh dan berkembang di daerah sentra karet rakyat. Di tingkat wilayah (kabupaten dan propinsi) juga telah terbentuk Asosiasi Petani Karet Indonesia (APKARINDO), yang berada di bawah naungan organisasi petani tingkat nasional yaitu Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO). Kebijakan pengembangan kelembagaan karet diarahkan pada upaya pemanfaatan kawasan-kawasan pembangunan terpadu yang pernah diperkenalkan dan disosialisasikan (kapet, klaster industri, dan KIMBUN). Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) karet yang telah dirancang didayagunakan sesuai perencanaannya dengan selalu mengkaitkan dan bersinergi dengan kepentingan sektor industri pengolahan dan perdagangan, serta sektor terkait lainnya (litbang Deptan, 2005). Namun tampaknya pengembangan kelembagaan tersebut belum mampu berjalan
dengan
optimal.
Mungkin
hal
ini
disebabkan
pengembangan
kelembagaan tersebut tidak berbasiskan koperasi. Kebijakan yang dianut selama ini lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis dalam hal ini investor. Bahkan ada beberapa kebijakan yang dalam pelaksanaannya merugikan petani. Padahal peran koperasi dalam agribisnis karet sangatlah vital. Secara ringkas peran dari koperasi karet adalah sebagai berikut: 1. Menguatkan bargaining potition petani dalam tataniaga karet. 2. Menjamin kesesuaian harga karet yang dijual petani ke pabrik dan harga karet di pasar. 3. Menjamin kualitas dan Penyediaan bahan baku karet bagi pabrik. 4. Menguatkan permodalan di tingkat petani melalui lembaga keuangan mikro yang dikelola koperasi. 5. Mengelola keterlambatan pembayaran pabrik kepada petani.
15
6. Mempermudah penyaluran bantuan dan program pemerintah kepada petani karet agar lebih efisien dan efektif. 7. Melakukan lobby dan advokasi kepada petani jika pemerintah mengeluarkan aturan dan kebijakan yang merugikan petani. Untuk mengoptimalisasi peran koperasi dalam ekonomi karet dan peran koperasi dalam mendukung integrasi antar sub-sistem dapat dikembangkan dalam suatu model. Dalam model tersebut akan menempatkan koperasi sebagai pelaku utama dalam agribisnis karet sehingga diharapkan pemerataan pertumbuhan akan lebih baik. Model ini mengadopsi pola kemitraan PIR plus dan dewan gula di Thailand. Dimana pada intinya koperasi berperan sebagai perwakilan petani pada dewan karet dan mewakili kepemilikan saham petani dalam perusahaan pada pola kemitraan PIR-plus. Model ini dibuat dari studi kasus yang dikemukakan Bungaran Saragih yang memperlihatkan kelemahan pada pola PIR. Pada pola PIR pada intinya ada tiga hal yang harus dapat dijamin oleh kemitraan ini. Pertama, kepastian dalam penyediaan input bagi petani plasma. Perusahaan inti menyediakan keperluan input berupa klon unggul, dan pupuk bagi petani. Kedua, kepastian dalam pemasaran hasil produksi petani. Petani plasma dari perusahaan inti Rakyat perkebunan yang menurut ketentuannya harus menyerahkan hasilnya kepada perusahaan inti dan mendapat pembayaran kurang lebih 70% dari harga FOB. Ketiga, kepastian harga yang diperoleh petani. Namun dalam kenyataannya poin ketiga sering dilanggar oleh perusahaan inti. Sehingga sering timbul masalah petani plasma yang berusaha menjual hasilnya kepada pedagang bebas atau pengumpul. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, seperti pembayaran yang dilakukan perusahaan inti tidak kontan, harga jual di pasar bebas lebih tinggi daripada yang dibayar perusahaan inti, dan adanya pemotongan langsung untuk pembayaran cicilan kredit pembangunan kebun plasma sebesar 25% hingga 30% dari setiap penjualan hasil ke perusahaan inti (saragih,1991). Oleh karena itu dalam pemodelan kelembagaan PIR ini perlu mengangkat peran koperasi untuk mengakomodasi kepentingan petani. Koperasi akan memperkuat posisi petani dalam kepastian harga. Sebab semua hasil petani
16
terdistribusi melalui koperasi. Perusahaan juga akan mendapatkan keuntungan kepastian bahan baku. Terkait kelembagaan dewan karet disini yang perlu dioptimalkan adalah peran dan komposisi anggota didalamnya. Sebenarnya dewan karet di Indonesia telah dibentuk pada tahun 2010. Namun peran yang ada belum optimal. Bahkan ada kecenderungan dewan ini dibentuk atas inisiatif kaum elite saja yang berkepentingan pada bisnis karet. Sehingga aplikasinya masih ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan seperti petani. Idealnya Komposisi dewan karet terdiri dari Perwakilan Koperasi sekunder yang mewakili petani, Gapkindo yang mewakili pengusaha, dan perwakilan pemerintah dalam hal ini dirjen perkebunan. Komposisi ini dirasa mampu mengakomodasi kepentingan masingmasing pihak yang terlibat dengan agribisnis karet. Dari segi peran, dewan ini bertugas dalam mengawasi harga, mengawasi kualitas, rekomendasi kebijakan, menetapkan regulasi dalam pola kerja PIR plus, melaksanakan sanksi, dan memutuskan sengketa. Peran tersebut dimksudkan agar tercipta iklim usaha yang baik, keterbukaan antar pihak, dan prinsip keadilan yang senantiasa harus dijunjung. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan oleh model kelembagaan ideal pada gambar 6.
Gambar 6. Model Kelembagaan Ideal agribisnis karet
4.4 Strategi Kebijakan Berbasis Koperasi Arah pengembangan agribisnis karet di Indonesia diharapkan mampu menangkap peluang yang terbuka lebar pada pasar ekspor. Sebagai komoditas
17
promosi ekspor arah pengembangan agribisnis karet Indonesia ke depan menurut Litbang Deptan dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal sebagai berikut : 1. Permintaan karet alam dunia ke depan akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan perekonomian dunia, semakin mahalnya bahan baku karet sintetis, dan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan. 2. Produksi karet di Malaysia diperkirakan akan terus mengalami penurunan karena kebijakan pemerintahnya lebih berkonsentrasi pada industri hilir dan juga telah mengalihkan sebagian areal tanaman karet menjadi areal kelapa sawit. 3. Thailand diperkirakan akan menghadapi banyak kendala dalam upaya peningkatan
karet
alamnya
karena
keterbatasan
ketersediaan
lahan
pengembangan yang berlokasi di wilayah bagian utara dengan kondisi marginal sehingga produktivitasnya lebih rendah serta keterbatasan dalam jumlah tenaga kerja. Dengan demikian maka peluang ini paling mungkin diisi oleh Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan yang ada seperti tersedianya tenaga kerja yang berlimpah dan murah serta tersedianya lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan karet baru serta peningkatan produksi dan produktivitas tanaman melalui upaya peremajaan tanaman tua/rusak. Oleh karena itu pemerintah menetapkan pada jangka panjang (2025), agribisnis karet diarahkan menjadi usaha agribisnis yang berbasis lateks dan kayu yang berdaya saing tinggi, mensejahterakan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Berdaya saing berarti bahwa agribisnis karet harus selalu berorientasi pada pasar, mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital-driven), pemanfaatan inovasi teknologi (innovationdriven) dan kreativitas sumberdaya manusia (skill-driven). Di samping itu agribisnis karet yang dibangun harus berorientasi mensejahterakan bagi para pelaku utama usaha agribisnis tersebut dan memberikan nilai tambah yang dapat dinikmati
secara nyata oleh masyarakat.
Berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan berarti bahwa dalam menjalankan agribisnis karet, pelaku selalu merespon perubahan pasar dengan cepat dan efisien, serta berorientasi pada kepentingan jangka panjang, menggunakan inovasi teknologi yang ramah
18
lingkungan secara terus menerus, dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk mencapai target tersebut Pemerintah menetapkan tujuan kegiatan pengembangan agribisnis karet ke depan adalah sebagai berikut: 1. Mempercepat peremajaan karet dengan menggunakan teknologi anjuran. 2. Meningkatkan produksi dan produktivitas serta mutu hasil perkebunan karet melalui upaya rehabilitasi dan intensifikasi kebun. 3. Mengembangkan industri hilir berbasis karet alam. 4. Meningkatkan nilai tambah dan pendapatan pekebun. Sedangkan sasaran jangka panjang (2006-2025) pengembangan agribisnis karet adalah sebagai berikut: 1. Produksi karet Indonesia akan mencapai 3,8-4 juta ton dan menjadi produsen utama karet alam dunia. Dari produksi tersebut 25% diserap oleh industri di dalam negeri dan 75% untuk ekspor. 2. Produktivitas rata-rata kebun karet akan meningkat menjadi 1.200- 1.500 kg/ha. dan hasil kayu karet minimal 300 m3/ha/siklus. 3. Jenis bahan tanam yang digunakan minimal 85% klon karet unggul penghasil lateks dan kayu. 4. Pendapatan petani pekebun akan mencapai US$ 2.000/KK. Pendapatan ini terkait juga dengan harga yang diterima petani yaitu minimal 80% dari harga FOB, petani mempunyai saham di unit pengolahan karet serta pendapatan dari diversifikasi usaha termasuk hasil kayu karet. 5. Berkembangnya industri hilir berbasis karet alam dan industri pengolahan kayu karet. Jika ditinjau dari arah pengembangan agribisnis karet tersebut maka strategi pengembangan agribisnis karet berbasis koperasi merupakan suatu hal yang paling relevan. Jadi setiap program pengembangan agribisnis karet harus melibatkan koperasi dan diikuti dengan program revitalisasi koperasi secara menyeluruh. Sehingga diharapkan akan tercipta positive sum game pada kegiatan di setiap sub-sistem agribisnis karet. Konkritya strategi ini akan menempatkan koperasi sebagai pemain utama dalam agribisnis karet. Koperasi akan berfungsi secara optimal untuk
19
meningkatkan kesejahteraan anggota dalam hal ini petani, serta berperan dalam mengintegrasikan atau menghubungkan antar sub-sistem yang ada. Pemerintah perlu mendukung penuh langkah ini melalui kebijakan fiskal dan moneternya. Serta diintegrasikan dalam kebijakan pengembangan wilayah dan investasi yang mendorong tumbuh kembangnya koperasi. Di bidang fiskal, pemerintah di semua tingkatan hendaknya memiliki kebijakan yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis karet, yaitu pembebanan pajak dan pungutan lainnya yang rasional, baik menyangkut besaran yang dibebankan, maupun prosedur penerapannya. Pemerintah daerah seyogyanya memikirkan dampak jangka panjang dalam penetapan retribusi ataupun pungutanpungutan lainya dalam usaha agribisnis karet. Sebisa mungkin pungutan dan retribusi tersebut jangan dibebankan pada sektor usahatani dan koperasi yang menaunginya. Dalam bidang moneter diupayakan agar tersedia dana dari sumber sumber perbankan atau non perbankan yang dapat memberikan rangsangan dan dorongan bagi tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis karet yang kompetitif pada semua sub-sistem usaha agribisnis tersebut terutama koperasi dan sub-sistem “on farm”. Untuk itu diperlukan inovasi dan kreasi di tingkat nasional maupun lokal dalam mengupayakan tersedianya dana bagi pengembangan usaha agribisnis karet. Dengan demikian dari segi permodalan koperasi akan semakin kuat seperti dalam pengembangan LKM (lembaga keuangan mikro). Namun hal ini juga memerlukan perhatian mengenai proporsi bantuan yang diberikan kepada koperasi agar sesuai dengan prinsip koperasi sebagai lembaga independen. Misalnya proporsi modal anggota yang harus lebih besar dari modal eksternal sehingga independensi koperasi dapat dipertahankan. Dukungan pendanaan dari perbankan diharapkan akan kembali pulih sebagaimana sediakala, karena usaha agribisnis karet masih cukup prospektif dan tingkat profitabilitasnya cukup memadai, serta sifat dari arus tunainya (cash flow) berkelanjutan. Dari segi kebijakan investasi dan pengembangan agribisnis karet juga perlu memperhatikan peran koperasi. Kebijakan yang dibuat seyogyanya juga melibatkan koperasi sebagai pelaku, bukan hanya swasta dan BUMN. Misalnya dalam program PIR plus. Skema kepemilikan saham petani dalam perusahaan
20
dapat diwakili oleh koperasi. Sehingga peran koperasi sebagai kelembagaan ekonomi juga semakin berkembang. Pemerintah juga wajib mendorong perusahaan pengolah karet untuk memberikan CSR bagi pengembangan koperasi karet, petani, dan wilayah. Kebijakan tersebut perlu diikuti sanksi yang tegas seperti pencabutan izin usaha agar perusahaan menyalurkan CSR-nya sesuai dengan aturan. Hal ini merupakan evaluasi dari beberapa kasus yang terjadi dimana
masih
ditemui
perusahaan
yang
tidak
menyalurkan
CSR-nya
(http://www.medanbisnisonline.com). Dari segi penguatan tataniaga menuju tataniaga yang efisien juga harus melibatkan koperasi. Langkah yang dapat ditempuh dengan memberlakukan peraturan suplai bahan baku karet dengan satu pintu yaitu melalui koperasi. Jadi setiap pabrik pengolahan karet yang bermitra dengan petani atau mengambil bahan baku dari petani wajib membeli karet petani melalui koperasi. Demikian pula halnya dengan suplai petani ke pabrik juga harus melewati koperasi. Harapannya partisipasi anggota dalam mengembangkan koperasi akan semakin tinggi dan pabrik pengolah karet juga mendapatkan kepastian bahan baku karet dengan kualitas yang sesuai. Pemerintah juga dapat memberlakukan peraturan untuk memperlancar arus kas dalam koperasi dan petani. Misalnya dengan memperbolehkan koperasi menetapkan pajak progresif atas setiap keterlambatan pembayaran yang dilakukan pabrik pengolahan kepada koperasi.
21
PENUTUP 5.1 Simpulan Indonesia merupakan negara luas lahan perkebunan karet terbesar di Dunia. Namun, Produktivitas dan mutu karet belum optimal. Hal ini disebabkan petani perkebunan karet rakyat yang memiliki luas lahan terbesar tidak sepenuhnya dilibatkan dalam usaha peningkatan daya saing karet. Dalam hal ini, posisi tawar petani yang lemah dalam penentuan harga, sehingga petani tidak mendapatkan insentif untuk terus meningkatkan produksi dan mutu karet. Kelembagaan dan kebijakan yang selama ini dibentuk dirasakan kurang relevan terhadap kebutuhan stakeholder dalam agribisnis karet. Oleh karena itu, model kelembagaan yang ideal perlu melibatkan koperasi sebagai sebagai pemangku kepentingan petani karet rakyat sekaligus penghubung antara petani dan pengusaha. Dalam pelaksanaanya, diperlukan Dewan Karet sebagai lembaga yang mengawasi dan mengatur regulasi pada agrbisnis karet. Kebijakan yang dibuat pemerintah diharapkan turut mendukung model kelembagaan ideal yang berbasiskan koperasi. 5.2 Rekomendasi 1. Mengingat peningkatan produktivitas dan mutu karet akan tercapai jika ada insentif terhadap peningkatan kesejahteraan petani, maka implikasinnya perlu dilakukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani. Baik pengawasan terhadap kesesuaian harga, pengawasan terhadap persaingan usaha yang tidak sehat dan penguatan modal di tingkat petani sebagai antisipasi jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran. 2. Berdasarkan pemodelan kelembagaan ideal yang dibuat diperlukan usaha untuk merevitalisasi koperasi dan kelembagaan yang ada untuk menunjang koperasi. Seperti pembaharuan dewan karet, penguatan koperasi primer, pembentukan koperasi sekunder, dan revitalisasi program PIR dan PIR plus. 3. Pengembangan kelembagaan koperasi juga perlu ditunjang dengan program program pengembangan sektor sektor terkait, antara lain industri pengolahan bahan mentah dan industri pengolahan lanjut karet kearah Community Corporate. Sehingga tetap memperhatikan pengembangan koperasi sebagai unit usaha dan sebagai lembaga sosial.
22
DAFTAR PUSTAKA Baga, Lukman M. 2005. Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani untuk Revitalisasi Pertanian. Manchester, United Kingdom. Baga, Lukman M. dkk. 2009. Koperasi dan Kelembagaan Agribisnis. Bogor: Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Hal 2-3, 5, 14-17, 20-21. Dirjen perkebunan. 2011. Area and Production by Category of Producers. .http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/graph/komoditiutamabar/Karet [diakses tanggal 10 maret 2012]. Gapkindo.
2011.
INDONESIA
RUBBER
EXPORT
BY
TYPE
AND
GRADE.http://www.gapkindo.org/index.php/en/component/content/article/1artikel/149-menurut-negara-tujuan-eng.html[diakses
tanggal
10
maret
2012]. Gapkindo.
2011.
INDONESIA
RUBBER
EXPORT
BY
COUNTRY
OF
DESTINATION.http://www.gapkindo.org/index.php/en/component/content/ article/1-artikel/151-menurut-tipe-eng.html[diakses
tanggal
10
maret
2012]. Hayami, Y dan M. Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at the Crossroad An Economic Approach To Institutional Change. Tokyo: University of Tokyo Press. Krisnamurthi, Bayu. 1991. Pengembangan pasar lelang lokal(salah satu Pengalaman
IPB
dalam
Pengembangan
Kelembagaan
Ekonomi
Pedesaaan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal 49, 50 Krisnamurthi, Y.B. dan B. Saragih. 1992. Perkembangan agribisnis kecil. Mimbar sosek No.6 Desember 1992. Sosek Faperta IPB, Bogor. Malian, Husni. A. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia. Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.Hal 144 -146. Pitakasari, Ajeng. 2011. Produksi Karet Nasional 2011 Diperdiksi Capai 2 ,9 Juta Ton.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/11/04/15/ljowr1-
produksi-karet-nasional-2011-diperdiksi-capai-2-9-juta-ton [diakses tanggal 19 Maret 2012]. Siregar, H. 2011. Analisis Potensi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat Di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hal 3, 5.
23
Soetrisno. 2004. Model pengembangan Koperasi Yang Berorientasi Pada Usaha Yang Kuat. http://www.smecda.com/deputi7/file_infokom [diakses tanggal 9 Maret 2012] Tim penyusun. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribosnis Karet. Jakarta: badan penelitian dan pengembangan pertanian Departemen Pertanian. Hal 13, 14, 19. Tim penyusun. 2007. Gambaran Industri Karet. Bandung : Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian. Hal 5, 9. Tim
redaksi.
2009.
Kebijakan
Pemerintah
Rugikan
Petani
Karet.
http://www.medanbisnisonline.com [diakses tanggal 9 Maret 2012] Winardi, J. 2003. Teori Organisasi dan Pola Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Zuhra, CF. 2006. Karet [artikel ilmiah]. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Hal 19-22.