LITERASI, SASTRA, &
PENGAJARANNYA Editor: Sumiman Udu
OCEANIA PRESS
i
LITERASI, SASTRA DAN PENGAJARANNYA Editor: Sumiman Udu OCEANIA PRESS© 2017 ISBN: 978‐602‐73713‐9‐2 Editor : Sumiman Udu Desain Sampul : Anes PS Isi & Tata Letak : S. Arimba Cetakan Pertama : 2017 Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Oceania Press Bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Sulawesi Tenggara, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo dan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara Jln. Kakaktua No.73 G Kel.Kambu, Kec. Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara E‐ mail:
[email protected] Telp. 081245935975 Udu, Sumiman (ED) Literasi, Sastra dan Pengajarannya/ Editor Sumiman Udu—Kendari: Oceania Press, 2017 vii+390 hlm; 21x29,7cm
All rights reserved Hak cipta dilindungi oleh undang‐undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin dari penerbit
ii
KATA PENGANTAR Buku Prosiding Seminar Nasional yang ada di tangan pembaca ini dimaksudkan untuk menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang diseminarkan di dalam seminar nasional HISKI Sulawesi Tenggara tahun 2017 yang diselenggarakan bekerja sama dengan FIB UHO dan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Buku merupakan kumpulan makalah yang telah dipresentasikan di dalam seminar HISKI Sulawesi Tenggara tersebut. Pada Bab 1, menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan literasi. Dalam artikel pertama misalnya, Sumiman Udu menggali peran literasi sebagai jembatan emas pembangunan peradaban bangsa. Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan tentang betapa literasi sudah menjadi kekuatan bangsa-bangsa dalam membangun peradaban bangsanya. Beberapa kerajaan besar di Nusantara memiliki sistem literasi yang handal sebagai kekuatan kebudayaan mereka dalam membangun peradaban mereka. Buton tidak akan punya apa-apa tanpa memiliki warisan literasi untuk generasinya saat ini. Sementara dalam membangun Universitas, bangsa-bangsa maju sangat memprioritaskan perpustakaan sebagai bagian dari sistem literasi mereka. Beberapa langkah yang juga dapat dijadikan sebagai upaya membangun literasi juga diupayakan dalam berbagai aktivitas, baik melalui debat ditingkat sekolah, hingga lahirnya berbagai lembagalembaga literasi, seperti kebangkitan literasi tanah ombak di Padang, gerakan yang sama juga terjadi di Kendari seperti hadirnya Pustaka Kabhanti serta menjamurnya berbagai kegiatan literasi di berbagai belahan dunia. Semua ini akan mengantarkan kualitas kehidupan manusia, menuju keberadaban kehidupan yang lebih berkualitas. Upaya-upaya pembangunan literasi juga sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan, berbagai upaya telah dilakukan, misalnya melalui pembangunan penerbitan-penerbitan yang dimotori oleh orang-orang Tionghoa, semua menjadi suatu upaya untuk membangun peradaban manusia. Semua ini merupakan wujud dari betapa pentingnya literasi dalam membangun peradaban manusia. Melalui kertas kerjanya Wisnu menjelaskan tentang besarnya peran masyarakat Tionghoa dalam membangun literasi di zaman penjajahan Belanda di Nusantara.
iii
Pada Bab 2, buku ini memperbincangkan berbagai masalah yang berhubungan dengan sastra, mulai dari sastra lisan dan pengaruhnya bagi masyarakat, hingga persoalan kehidupan sosial di dalam novel. Misalnya tulisan Rima Devi yang melakukan kajian komparatif pada dua novel yang berasal dari Indonesia dan Jepang yaitu Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dan Novel Kifujin A No Sosei Karya Ogawa Yoko. Melalui kajian ini kita dapat memahami bagaimana keluarga di dunia timur memiliki kemiripan dalam beberapa hal, tetapi juga memiliki perbedaan dalam beberapa hal yang lain, sebagai pengaruh dari lingkungan yang berbeda. Pada Bab 3 menampilkan tulisan yang berkaitan dengan isu-isu baru dalam pembelajaran. Mulai dari pendidikan karakter yang menjadi jargon pemerintah dalam beberapa tahun terakhir hingga dampak kemajuan teknologi yang juga mempengaruhi pembelajaran dalam masyarakat. Dalam tulisan Abdul Jalil dan Mu’jizat misalnya, mereka mencoba meneliti perbandingan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada kitab Taklimul Muta’allim dengan Program Pendidikan Karakter lingkup Fakultas oleh FIB UHO. Penelitian mereka menunjukkan bahwa beberapa program atau materi yang ada dalam pendidikan karakter FIB UHO dengan apa yang ada dalam kandungan kitab Ta’limul Muta’alim hampir bisa dipastikan baik dan sama dalam kerangka menumbuhkan pendidikan yang baik, menjadikan peserta didik (mahasiswa) lebih berbudi mulia, berakhlakul karimah tanpa mengurangi kecerdasan keilmuan, namun seiring perkembangan zaman, kecerdasan secara pengetahuan peserta didik kita telah menghilangkan moralitas. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang ingin melihat bagaimana perkembangan literasi, sastra, dan pembelajarannya di Tanah Air. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini, karenanya masukan dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan buku ini. Selamat membaca. Kendari, Juli 2017 Editor
iv
DAFTAR ISI BAB I LITERASI Literasi: Jembatan Emas Membangun Peradaban Manusia Sumiman Udu .....................................................................................................................
2
Cerita Rakyat Asal Mula Benteng Matulunga Sebagai Bahan Literasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini Asma Kurniati .....................................................................................................................
16
Prosedur Penulisan Bahan Literasi : Berangkat Dari Penulisan Ulang Cerita Rakyat Untuk Anak Eva Yenita Syam .................................................................................................................
24
Pengembangan Literasi Di Pesantren Modern Internasional Dea Malela Juanda & Fita Sukiyani ......................................................................................................
29
Kaghati (Layang—Layang) dan Pemilihan Raja Muna Sebelum Islam Wa Ode Sifatu ....................................................................................................................
37
Boekhandel Tan Khoen Swie Pelopor Penerbitan Literatur Jawa Dr. Wisnu, M.Hum. ............................................................................................................
42
Gerak Literasi Komunitas Tanah Ombak, Membangun Habitus Baru dalam Masyarakat Marjinal Kota Padang Zurmailis ............................................................................................................................ 50 Strategi Pelestarian Budaya melalui Gerakan Literasi Sekolah La Ode Boa .........................................................................................................................
63
Pembelajaran Etnoliterasi Sastra Suwardi Endraswara ...........................................................................................................
76
BAB II SASTRA Revitalisasi Mitos Sungai Ninifala: Upaya Pelestarian Ekosistem Alam Kaki Gunung Binaya Abdul Karim Tawaulu ......................................................................................................... 90 Wacana Rasisme : Gambaran Diskriminasi Ras Oleh Kaum Penjajah Terhadap Pribumi, Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananata Toer :Studi Analisis Wacana Agus Supriatna & Arman ................................................................................................... 101
v
Merantau Dan Filosofinya dalam Novel-Novel Indonesia Berlatar Minangkabau Armini Arbain......................................................................................................................
108
Genre Fiksi Pop Islami Penerbit Mizan dalam Khazanah Kesusastraan Indonesia Cucum Cantini ....................................................................................................................
117
Realisme Magis Sebagai Strategi Eksistensi` Kolektor Mitos Di Ruang Hirarkis Sastra Indonesia Hat Pujiati .......................................................................................................................... 130 Cerita Asal-Usul Ritual Kaago-Agono Liwu Pada Masyarakat Koroni Di Maligano Dr. La Ode Sahidin, M.Hum ..............................................................................................
142
Sastra dan Pembelajaran Tentang Konsep Demokrasi Di Era Administrasi Presiden Trump Dalam Sajak Walt Whitman Lestari Manggong ..............................................................................................................
150
Analisis Wacana Kritis Terhadap Brosur Cetak Museum Wayang Kekayon Maria Vincentia Eka Mulatsih & Retno Muljani ...............................................................
159
Karakter Tokoh dan Motif Cerita yang Terkandung dalam Cerita Bale Ulaweng Sibawa Pallauruma’e Mustafa ...............................................................................................................................
165
Transformasi Dongeng-Dongeng Kuno Skriptorium Pakualaman Yogyakarta Sebagai Upaya Penguatan Karakter Anak Bangsa Rahmat ............................................................................................................................... 173 Rumah (Bagi) Terjajah Dalam Cerpen “Vonis Untuk Jago Bom” Ramis Rauf, S.S ..................................................................................................................
179
Menyampaikan Pesan Pendidikan Melalui Cerita Anak Retno Muljani, Maria Vincentia Eka M, Deasy Ekawati ...................................................
185
Keluarga dalam Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode Karya Sumiman Udu dan Novel Kifujin A No Sosei Karya Ogawa Yoko Rima Devi ...........................................................................................................................
194
Kearifan Lokal dalam Dongeng-Dongeng Korea Serta Relevansinya Bagi TKI Ronidin ...............................................................................................................................
205
Ekses Peristiwa G30/S 1965 Terhadap Etnis Tionghoa dalam Novel Pecinan Kota Malang Karya Ratna Indraswari Ibrahim Rosana Hariyanti ...............................................................................................................
215
vi
Kesadaran dan Kebangkitan Perempuan dalam Kumpulan Carpon “Dua Wanoja” Karya Chyé Rétty Isnéndés Siti Nuraeni ........................................................................................................................
222
Representasi Budaya Sunda dalam Sastra Grafis Wayang Golek Panakawan Wanda Listiani, Ai Juju Rohaeni, Dyah Nurhayati .............................................................
231
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Wakorumba Selatan dalam Cerita Rakyat Asal Mula Sanghia Pure-Pure Wa Ode Halfian ..................................................................................................................
239
Folklor Sebagai Sumber Daya Toponimi Masyarakat Sunda Cece Sobarna .....................................................................................................................
249
Hermeneutika Hans-Georg Gadamaer Sebagai Strategi Pembacaan Karya Sastra Muarifuddin ......................................................................................................................
257
The Practice Of Power And The Adaptation Process: Film Adaptations From Novels In 1950s Indonesia Christopher A. Woodrich .................................................................................................. 264 Kajian Semiotik Roland Barthes Dalam Cerpen “Bayi Yang Dipetik Dari Sebatang Pohon” Karya Yetti A.Ka Mustika, Fina Amalia Masri ...............................................................................................
276
BAB III PEMBELAJARAN Menggali Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Kitab Ta’limul Muta’allim Dengan Pendidikan Karakter Pada Fib Uho Abdul Jalil, S.H.I., M.A., M.E.I & Mu’jizat AR, L.c., M.A., M.Hum ..................................
293
Pendidikan Karakter dalam Kabhanti Dr. Aderlaepe, S.S., M.Hum. ..............................................................................................
307
Pendidikan Karakter dan Penampilan Karakter Dalam Pembelajaran Sastra Indonesia Di Sekolah La Ode Balawa ...................................................................................................................
317
Manusia dan Lingkungan dalam Cerita Pendek Indonesia Serta Relevansinya Dengan Pengajaran Sastra Lustantini Septiningsih .......................................................................................................
323
English Beginning Verbs: A Corpus Based Study Rohima Nur Aziza Al Hakim ...............................................................................................
334
vii
Filosofi Minangkabau Alam Terkembang Jadi Guru Menjadi Inspirasi Pembelajaran Sri Rustiyanti ......................................................................................................................
351
Revitalisasi Folklor Di Kecamatan Pangandaran Sebagai Legitimasi Objek Wisata dalam Upaya Penguatan Geopark Pangandaran Teddi Muhtadin, Asri Soraya Afsari ...................................................................................
362
Sastra Lisan Sulawesi Tenggara Sebagai Referensi Kultural dalam Pembelajaran Karakter Siswa Di Tengah Invasi Media Sosial Wd. Sinta Kalsum, S.Pd ......................................................................................................
368
Notulensi ............................................................................................................................
380
viii
BAB I LITERASI
1
LITERASI: JEMBATAN EMAS MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA 1 Sumiman Udu 2 Abstrak Peradaban bangsa dimanapun dan kapanpun, selalu dipengaruhi oleh faktor pengetahuan masyarakatnya. Karena hakikat dari pembangunan sesungguhnya adalah pembangunan sumber daya manusia. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat kemajuan suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lainnya. Bangsa-bangsa besar seperti China, India, bangsa-bangsa Arab, Latin (Eropa) memiliki warisan budaya dalam bentuk tulisan. Itulah kemudian yang membuat mereka memiliki keberlanjutan pengetahuan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membangun kebudayaan mereka, baik kebudayaan dalam bentuk ide, sistem, maupun kebudayaan dalam bentuk artefak. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan komparatif, sehingga dapat diketahui beberapa sejarah perjalanan literasi bangsa-bangsa dalam membangun peradabannya. Untuk dapat mengakses seluruh peradaban bangsa-bangsa, maka pemanfaatan sumber-sumber tertulis, lisan dan film dapat dikombinasikan, sehingga dapat mengakomodasi beradaban bangsa-bangsa yang masih menyimpan pengetahuan mereka di dalam berbagai tradisi literasi mereka. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Peran Tradisi Lisan sebagai Literasi dalam Peradaban Manusia, (a) Tradisi Lisan sebagai Literasi Tradisional, (b) Tradisi Lisan sebagai memori Kolektif Manusia, (2) literasi tulisan memiliki peran penting dalam membangun peradaban manusia, (a) Literasi dalam peradaban Barat, (b) peran Liteasi dalam Peradaban Timur, (3) Peran Literasi di era digital. Kata Kunci: literasi, jembatan emas, membangun, peradaban manusia
A. PENGANTAR Peradaban bangsa dimanapun dan kapanpun, selalu dipengaruhi oleh faktor pengetahuan masyarakatnya. Karena hakikat dari pembangunan sesungguhnya adalah pembangunan sumber daya manusia 3. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat kemajuan suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lainnya. Bangsa-bangsa besar seperti China, India, bangsabangsa Arab, Latin (Eropa) memiliki warisan budaya dalam bentuk lisan dan tulisan. Namun, hanya bangsa-bangsa yang mengawetkan pengetahuan mereka melalui tulisanlah yang kemudian jauh lebih maju peradabannya. Di sisi yang lain, bangsa-bangsa yang tidak memiliki sistem pengawetan pengetahaun yang baik, atau mereka tidak memiliki tulisan, akan berdampak pada proses pewarisan pengetahuan pada generasi mereka. Mereka hanya akan mengandalkan memori kolektif mereka yang tersimpan di dalam berbagai tradisi lisan itu. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan pada kebudayaan-kebudayaan yang melek huruf akan sangat rawan untuk terjadinya perubahan atas memori pengetahuan yang mereka miliki 4. Di sini, terkadang kematian seorang tokoh sekaligus menjadi kematian ilmu pengetahuan sebagai sumber literasi bagi masyarakat. Aspek lain yag menghambat pengetahuan masyarakat luas dalam kebudayaan lisan adalah tidak semua orang dapat mengakses ilmu pengetahuan tersebut. Ini disebabkan karena banyaknya aspek 1
Seminar nasional Himpunan Kesusastraan Indonesa (HISKI) Sulawesi Tenggara bekerja sama dengan FIB UHO dan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara tahun 2017 di FIB UHO yang dilaksanakan pada tanggal 29-30 April ’17 di aula FIB UHO. 2 Dosen FKIP UHO, ketua Hiski Sulawesi Tenggara 3 Menurut Inayatullah (dalam Agus Suryono, 2001: 1), pembangunan adalah perubahan menuju pola-pola masyarakat yang memungkinkan realisasi yang lebih baik dari nilai-nilai kemanusiaan yang memungkinkan suatu masyarakat mempunyai control yang lebih besar terhadap lingkungannya dan terhadap tujuan politiknya, dan yang memungkinkan warganya memperoleh control yang lebih terhadap diri mereka sendiri. 4 Bambang Purwanto menyebutkan bahwa Jan Vansinna mengakui tentang keterbatasan keterbatasan memori untuk meneruskan keberlangsungan tradisi lisan (Vanssina: 2014: xxvii). Ini menunjukan bahwa salah satu kelemahan tradisi lisan adalah terbatasnya memori yang menyimpan sebuah ingatan.
2
aspek kepercayaan dan persoalan hubungan kekerabatan yang menjadi penentu terkases atau tidaknya suatu ilmu oleh seseorang. Perbedaan akses ke sumber-sumber ilmu pengetahuan tersebut, sekaligus membuat manusia berbeda kemampuannya dalam menjalani kehidupannya. Di dalam masyarakat manampun, masalah literasi menjadi sangat kursial, terutama dalam menentukan kualitas turunan 5. Masyarakat Buton misalnya, akan selalu berpikir untuk mencari keturunan tertentu, sesungguhnya yang menjadi persoalan adalah pada aspek literasi yang tersimpan di dalam suatu keluarga. Karena di masa lalu, ilmu yang beredar di dalam kelas bangsawan (kaomu 6 dan walaka 7), tidak diajarkan pada keluarga maradhika 8 dan bhatua 9, demikian juga ilmu para keluarga pengusaha, akan menjadi rahasia mereka, dan tidak akan diajarkan kepada sembarang orang terutama yang bukan satu klan dengan mereka. Kondisi keterbatasan akses ini, kemudian melahirkan adanya kesenjangan pengetahuan di dalam masyarakat Buton masa lalu. Implikasinya kemudian adalah terjadinya perbedaan perilaku sebagai modal kulutral mereka dalam hidup, baik dalam konteks rumah tangga maupun dalam konteks bernegara. Mereka yang berasal dari kalangan kaomu dan walaka, mendapatkan akses yang luas terhadap literasi, baik lisan maupun tulisan, maka mereka lebih survife dalam menjalani kehidupan, karena mereka mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagai pembentuk peradaban mereka yang diwariskan dari keluarga masingmasing. Ini sangat merugikan masyarakat Buton kebanyakan. Inilah yang disinyalir oleh UNESCO bahwa literasi adalah hak setiap individu 10 yang harus dilindungi. Kalau kita merujuk pada beberapa pengertian literasi yang ada dalam kamus online Merriam-Webster, maka makna literasi berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)." Dari definisi di atas, maka literasi bukan hanya berhubungan dengan tulisan, tetapi lebih luas, termasuk dalam rangka untuk memahami adegan, seperti yang terjadi di dalam dunia tradisi lisan dan dunia perfileman, dimana komunikasi banyak terjadi secara lisan yang hanya dapat ditangkap melalui audio viusal. Kalau merujuk pada pengertian literasi dari National Institute for Literacy,literasi merupakan kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Merujuk pada definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa literasi dapat
5
Nabi Muhammad memberikan penekanan pada aspek kualitas iman, atau agama dalam memilih jodoh, dimana agama memuat ilmu pengetahuan atau salah satu sumber literasi yang dapat memperngaruhi akhlak seorang manusia (lihat, Hadis Riwayat Bukhari Muslim) dapat juga diakses pada https://www.slideshare.net/chandramarwanto/kupinang-engkau-dengan-al-quran diakses pada tanggal 18 April 2017. 6 Kaomu dan walaka merupakan salah satu bangsawan Buton yang keturunannya dari para pendiri kerajaan Buton. Merekalah yang berhak untuk mendapatkan jabatan sebagai raja atau sultan di zaman kesultanan. 7 Walaka adalah kalangan bangsawan Buton yang juga sama-sama berhak untuk menduduki jabatan tertentu. 8 Maradhika adalah kalangan orang kebanyakan yang sifatnya merdeka 9 Bhatua adalah mereka yang atas tindakan dan perbuatan yang menurunkan harka dan martabat mereka, sehingga mereka harus menjadi budak, misalnya mereka berutang dan tidak mampu membayarnya, maka ia harus bekerja sama si pemberi utang, hingga habis utangnya. 10 http://www.wikipendidikan.com/2016/03/pengertian-definisi-makna-literasi.html di akses pada tanggal 16 April 2017
3
dimaknai sebagai perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu. Di satu sisi, Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan kata lain, bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia. Itu artinya bahwa literasi bukan hanya semata-mata berhubungan dengan baca tulis, tetapi kemampuan seseorang dalam memahami dunia yang ada di sekitarnya sehingga ia dapat mempertahankan hidup dengan layak. Oleh karena itu, berbicara mengenai literasi, erat hubungannya dengan kemampuan seseorang dalam mengelola kemapuan fisik, pikiran dan perasaannya. René Descartes mengatakan bahwa manusia sangat terbatas dalam memahami dunia. Ia kemudian membedakan antara fikiran dan fisik. Ia mengatakan bahwa manusia itu sesungguhnya hanya hadir jika ia berfikir. Ia mengatakan bahwa cogito ergo sum yang artinya adalah "Aku berpikir maka aku ada" 11. Berangkat dari pemikiran Descartes tersebut di atas, maka sesungguhnya untuk mengubah peradaban suatu bangsa, maka rubahlah cara berpikirnya. Dengan demikian, untuk mengubah cara berpikir suatu bangsa, maka perlu kita mengubah sistem literasi yang ada di dalam bangsa tersebut. Karena revolusi mental yang digembar-gemborkan oleh pemerintah Indonesia sesungguhnya, harus dimulai dari gerakan revolusi literasi Indonesia di semua lini. Karena literasi merupakan jembatan emas dalam pembangunan peradaban manusia. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan komparatif, sehingga dapat diketahui beberapa sejarah perjalanan literasi bangsa-bangsa dalam membangun peradabannya. Untuk dapat mengakses seluruh peradaban bangsa-bangsa, maka pemanfaatan sumber tertulis dan lisan dapat dikombinasikan, sehingga dapat mengakomodasi beradaban bangsa-bangsa yang masih menyimpan pengetahuan mereka di dalam berbagai tradisi lisan mereka. Pendekatan histori komparatif merupakan salah satu pendekatan yang didasarkan pada kajian-kajian sejarah dengan membandingkan beberapa unsur sejarah tersebut. Sehingga pendekatan komparatif ini akan membandingkan beberapa sistem literasi dari berbagai bangsa, untuk melihat bagaimana peran literasi dalam mendorong peradaban manusia dalam setiap bangsa yang ada di dunia 12. Pengertian komparasi yang lebih luas dan sistematis dikemukakan oleh William E. Paden, yakni bahwa komparasi adalah studi terhadap dua objek atau lebih dalam pengertian faktor yang sama, suatu faktor yang sama dimana ia terkait secara baik dengan persamaan ataupun perbedaan antara objek-objek eksplisit dan implisit. Adapun pendekatan atau metode komparatif secara bebas diartikan sebagai pengkoordinasian seluruh data yang sebanding secara tidak memihak dan tanpa prasangka, terlepas dari konteks atau masa. Dengan menggunakan pendekatan kompratif sebagaimana dijelaskan di atas, maka kita dapat membandingkan beberapa sistem literasi dunia dan perannya dalam pembangunan peradaban manusia. Perkembangan sistem literasi di dunia tersebut meliputi (1) peran literasi lisan dalam peradaban manusia, (2) literasi lisan di beberapa daerah di nusantara, (3) peran literasi tertulis dalam membangun peradaban manusia, (a) peran literasi dalam peradaban barat, (b) peran liteasi dalam peradaban timur, (4) peran literasi di era digital.
11
https://id.wikipedia.org/wiki/Cogito_ergo_sum diakses pada tanggal 18 April 2017 http://d-scene.blogspot.co.id/2011/04/pendekatan-komparatif-dalam-studi-islam.html di akses pada tanggal 08/04/17
12
4
B. PERAN LITERASI LISAN DALAM PERADABAN MANUSIA Perjalanan panjang kehidupan manusia telah melahirkan sistem pengetahuan lisan yang luar biasa rapinya. Untuk mengabadikan pengetahuan mereka, masyarakat lisan menyimpannya dalam berbagai ingatan kolektif mereka seperti dalam sastra, sistem norma, sampai dengan benda-benda artefak lainnya (bdk. Jan Vansinna, 2014: 19) yang melihat tradisi lisan sebagai pesan-pesan yang disampaikan melampaui generasi yang melahirkannya. Pendapat Jan Vansinna tersebut, telah menyadarkan kepada kita, betapa tradisi lisan menjadi literasi hidup yang hampir kita temukan dalam setiap peradaban manusia. Di Afrika Selatan, penelusuran pengetahuan manusia, pernah dilakukan oleh Jan Vansinna (1985), dan dari penelitian tersebut, menjelaskan bahwa tradisi lisan menjadi sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan sistem pengetahuan modern (pengetahuan tertulis). Sehingga menurut Jan Vansinna, sumber-sumber lisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Vansinna 2014: 20). Dengan demikian, tradisi lisan merupakan sumber literasi yang tidak kalah pentingnya dengan literasi tulis. Di China, perjalanan peradaban bangsa China di abadikan dalam berbagai cerita yang dimainkan di dalam tradisi wayang potehi. Perjalanan hidup Jengis Khan, semula beredar dalam kisah-kisah lisan, kemudian di ditulis dalam buku The SecretHistory yang menurut John Man sebagai suatu cerita yang banyak diceritakan orang tentang perjalanan kempemimpinan seorang Ogedei yang menyesali dirinya, yang kalah dalam perjamuan anggur (Jhon Man, 2010: 27). Perjalanan bangsa-bangsa manapun di dunia, tentunya disimpan di dalam ingatan kolektif mereka yang tersimpan rapi di dalam literasi lisan. Bahkan ketika dunia sudah maju, sudah memiliki tulisan, bahkan diera digital, pengetahuan manusia, belum semuanya tertulis, tetapi masih banyak yang tersimpan rapi di dalam ingatan kolektif mereka. Perjalanan bangsa-bangsa yang ada di China terkoleksi dengan baik di dalam tradisi lisan. Ilmu-ilmu pengobatan tradisional China, kebanyakan masih tersimpan di dalam tradisi lisan. Baik yang dalam bentuk mitos, maupun dalam bentuk mantra dan tradisi pengobatan mereka. Ini menunjukan bahwa kebudayaan China modern, sangat berutang pada literasi lisan yang pernah ada, dan bahkan masih tetap tumbuh dan berkembang sampai dunia modern sekarang. Martin Jaques (2011: 13) bahkan mengatakan bahwa China adalah negara kebudayaan yang telah disusun dalam kurun waktu yang sangat panjang, baik yang diingat dalam memori kolektif masyarakatnya maupun perjalanan sejarah kebudayaan mereka yang tersimpan di dalam berbagai tulisan dan artefak yang ada di sana. Kisah cinta abadi yang di China, Sampek Engtay 13 juga diturunkan secara turun-temuran dalam tradisi lisan China yang kemudian saat ini sudah beredar dalam tradisi tulis dan dunia digital. Di Timur Tengah, berbagai kisah yang kemudian diabadikan di dalam berbagai tulisan oleh peradaban Islam, tentunya pernah beredar dalam literasi lisan. Kisah-kisah seribu satu malam misalnya, semula dikisahkan dalam bentuk lisan kepada raja, kemudian di tulis. Namun, hampir semua kisah seribu satu malam, sudah diawetkan dalam berbagai perpustakaan dunia, termasuk di dalam sistem literasi digital yang ada saat ini. Bahkan dewasa ini, film-film Turki seperti Scheherezade sudah mengadobsi kisah-kisah dalam cerita Seribu Satu Malam 14.
13
Sampek Engtay merupakan kisah cinta yang terjadi antara seorang gadis yang orang tuanya kaya raya, kemudian menyamar untuk dapat sekolah, dan mendapatkan teman sejati di sekolah. Lalu gadis itu akan ditunangkan dengan adik temannya, dan saat itulah terbongkar rahasianya, dan akhirnya mereka rela mati satu kubur. 14 Seribu Satu Malam merupakan sastraepik dari Timur Tengah yang lahir pada Abad Pertengahan. Kumpulan cerita ini mengisahkan tentang seorang ratu Sassanid, Scheherazade yang menceritakan serantai kisah-kisah yang menarik
5
Pengetahuan masyarakat lokal, dapat ditelusuri melalui nyanyian rakyat Yugoslavia yang pernah ditulis oleh Albert Bates Lord (1981: 7) dalam nyanyian rakyat tersebut, tersimpan berbagai pengetahuan masyarakat Yugoslavia termasuk sistem pengetahuan mereka yang ada dalam nyanyian rakyat mereka. Di dalam nyanyian rakyat itulah masyarakat Yugoslavia menyimpan berbagai ingatan kolektif mereka terhadap sejarah, ekonomi, sosial dan kebudayaan masyararakatnya. Sementara di India, negeri yang memiliki keragaman budaya ini, tentunya pernah menyimpan pengetahuan mereka dalam sistem literasi lisan. Kisah Taj Mahal 15 merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang sejarah, yang ditulis dari sejarah lisan yang beredar di dalam masyarakat selama bertahun-tahun. Kisah Mahabarata, Ramayana merupakan karya-karya yang pernah tumbuh secara lisan di dalam masyarakat India. Perkembangan film-film India yang dapat mengalahkan produk Holywood merupakan karya-karya yang dikembangkan dari berbagai tradisi lisan yang ada di suku-suku bangsa yang ada di India. Ini menunjukan bahwa, sistem literasi, tidak hanya terbatas pada baca tulis, tetapi lebih dari itu, sumber-sumber literasi lisan, tulis dan film adalah ruangruang literasi yang harus diperhatikan dengan baik. Karena pada lisan, tulisan dan filmlah yang banyak mengubah kebudayaan manusia. Semua itu adalah media yang banyak mempengaruhi kehidupan manusia 16. Di pesisir Barat Pasifik Brownislaw K. Malinowsky (1884-1942) menemukan bahwa kebudayaan masyarakat di daerah itu, memiliki budaya perdagangan yang tersimpan rapi di dalam tradisi lisan mereka. Pengetahuan mengenai sistem perdagangan tersebut, tersimpan rapi di dalam sistem literasi lisan. Dari laporan penelitian yang dianalisis Malinowsky, menjelaskan bahwa kehadiran sistem perdagangan masyarakat melanesia tersebut masih tersimpan di dalam adat istiadat mereka dalam melakukan perdagangan melalui sistem barter (saling memberikan hadiah) yang disebut oleh masyarakat Trobriand dengan istilah kula. Demikian juga pada sistem pengetahuan masyarakat Bajo, semua sistem pengetahuan mereka tentang laut, masih tersimpan rapi di dalam sistem memori kolektif mereka. Tradisi duata 17 menurunkan pengetahuan mereka tentang pengobatan penyakit, mereka melakukan tradisi duata, di sini terjadi banyak pengetahuan yang dapat ditelusuri dalam literasi yang tersimpan di dalam tradisi duata. Di sana ada mantra, yang menyimpaan sistem pengetahuan mereka tentang tuhan, nilai kemanusiaan dan kepercayaan mereka tentang mahluk ghaib dan tuhan. Hampir seluruh kebudayaan di dunia masih menggunakan literasi lisan sebagai literasi utama dan memegang peranan penting dalam penyusun pengetahuan manusia. Dalam kebudayaan manapun, mendengarkan merupakan salah satu sarana pembelajaran paling awal pada sang suami, Raja Shahryar, untuk menunda hukuman mati atas dirinya. Kisah-kisah ini diceritakannya dalam waktu seribu satu malam dan setiap malam Scheherezade mengakhiri kisahnya dengan akhir yang menegangkan sehingga sang raja pun selalu menangguhkan perintah hukuman mati pada diri Scheherazade (https://id.wikipedia.org/wiki/Seribu_Satu_Malam diakses pada tanggal 20 April 2017. 15 Novel yang diangkat dari berbagai sejarah lisan masyarakat India, yang kemudian dijadikan sebuah novel yang hebat, lalu mengilhami lahirnya filam Jodha Akbar yang banyak ditonton masyarakat dunia. 16 Teknologi komunikasi yang telah menciptakan “Jalan bebas hambatan” (Writson, 1996: 3) tidak hanya menciptakan ekonomi global, tetapi juga mengaburkan batas-batas sosial budaya, karena dunia yang kita bangun sekarang ini, tidak mungkin dipertahankan kedaulatan atas informasi, sebab “informasi dan alurnya juga meliputi langit bebas, dipergunakan secara bersama-sama. Budaya, sebagai identitas sebuah masyarakat, tidak luput dari pengaruh media massa (Samatan, 2008: 1). 17 Duata merupakan tradisi masyarakat Bajo dalam melakukan pengobatan dalam masyarakat Wakatobi (www.wakatobicenter.com/2015/10/tradisi-duata-dan-keberlanjutan-suku-bajo-di-wakatobi diakses pada tanggal 16 April 2017.
6
sebelum manusia mengenal tulisan. Oleh karena itu, peran literasi lisan di dalam kehidupan manusia belum dapat diabaikan. Melalui cara pengungkapan bahasa yang didengarkan oleh anak di dalam rumahlah, yang akan menentukan bagaimana anak itu menggunakan bahasa di masa dewasanya. Kemampuan berbahasa seseorang memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah-masalah kehidupan manusia. Kalau melihat peran literasi lisan tersebut di atas, maka peran orang tua terutama ibu, sebagai sumber literasi lisan bagi anak-anak mereka menjadi sangat penting. Oleh karena itu, seorang ibu seharusnyaa dapat menjadi agen literasi yang paling handal dan harus disiapkan untuk menjadi sumber literasi paling awal dalam kehidupan manusia. Ibu akan menjadi sumber literasi yang dapat menyiapkan generasi mendatang yan cerdas dan berdaya saing. Cantor dan Bernay (1998: 328-329) yang mengatakan bahwa orang tua dapat menawarkan beberapa impian mengenai kekuasaan dan kemasyhuran dan membesarkan anak-anak dengan cita-cita yang tinggi. Ibulah yang menentukan bagaimana masa depan anak-anaknya di masa yang akan datang karena merekalah yang akan menentukan bagaimana masa depan anak-anak mereka (Udu, 2010: 144) C. LITERASI LISAN DAN PENGEMBANGAN BEBERAPA KEBUDAYAAN DI NUSANTARA Kalau merujuk pada beberapa kebudayaan di Nusantara, kita dapat menemukan betapa besarnya peran tradisi lisan sebagai sumber literasi dalam setiap kebudayaan. Dalam konteks budaya Jawa, pengetahuan lokal mengenai sejarah tanah Jawa diuraikan melalui berbagai cerita lisan, seperti di dalam pewayangan, cerita rakyat, serta tembang. Informasi mengenai pemanfaatan daun waru untuk pengobatan anak-anak yang sering menangis dapat ditelusuri melalui cerita Joko Sangkrip dalam tradisi Jemblung masyarakat Kebumen Jawa Tengah. Di sini, peran wayang dalam kebudayaan Jawa masih sangaat tinggi hingga sekarang. Sementara, di Bugis Makassar, nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi kekuatan budaya masyarakaat Bugis Makassar diabadikan di dalam cerita I Lagaligo 18 yang kemudian ditulis menjadi sastra tulis, lalu dipentaskan kembali sebagai drama. Di Buton, kisah pembentukan kerajaan Buton yang kemudian ditulis oleh pedangang Banjar, sehingga kita mengenal Hikayat Negeri Buton 19 sebagaimana kita saksikan sekarang. Melihat hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa perjalanan sejarah Buton masih tetap diabadikan dalam ingatan kolektif mereka, baik yang ada dalam mitos, maupun yang tersimpan di dalam tradisi lisan kabhanti. Dan sampai saat ini, masih tetap tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Buton, sehingga tetap menjadi sumber literasi lisan tentang sejarah Buton di samping versi tulisan seperti yang ada sekarang. Di Manggarai Nusa Tenggara Timur misalnya, sistem hidup, kepercayaan, hingga sistem pertanian diabadikan di dalam tradisi lisan vera. Upaya untuk menuliskan tradisi lisan vera seperti yang dilakukan oleh Wayan Sumitri (2016) merupakan upaya untuk mengabadikan kebudayaan masyarakat Rongga tersebut ke dalam tulisan. Tetapi jika dilihat dari seberapa banyak orang yang membaca laporan penelitian itu, tentunya masih akan kalah banyaknya dengan mereka yang mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan tersebut dari sumber
18
Merupakan salah satu nama tokoh yang lahir dari hasil perkawinan Sawerigading dengan We Cudai yang diberi nama La Galigo, kemudian menjadi lambang keilmuan susastra klasik yang tersebar di hampir seluruh daratan Sulawesi (Matuladda, 1990: 4) 19 Lihat La Ode Taalami (2011)
7
lisannya. Mereka akan lebih senang menonton vera, sebagai sumber pengetahuan mengenai berbagai unsur kebudayaan yang ada di dalamnya. Demikian juga di beberapa daerah lain di Nusantara, di Kalimantan Selatan misalnya, kehidupan orang Meratus, masih tetap abadi di dalam sistem memori kelolktif mereka, baik yang tersimpan di dalam mitos, legenda, dongeng, serta mantra dan nyanyian rakyat mereka yang sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Meratus. Dalam buku DI Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan (1998), dijelaskan bahwa suku Meratus adalah suku terasing di Kalimataan Selatan yang terdesak oleh kehadiran etnis-etnis lain, terutama setelah Banjar menjadi pusat perdagangan di masa lalu. Pengetahuan orang Meratus mengenai cinta, obat, norma, pengolahan makanan, sistem ternak, tentunya masih tersimpan rapi di dalam kesadaran kolektif masyarakat meratus. Berbagai tulisan yang ada tentang Meratus, sesungguhnya hanyalah sebagian kecil mengenai kehidupan orang Meratus. Di pulau Taliabo Maluku Utara juga memiliki masyarakat Alwuru yang hidup nomaden. Di sana literasi lisan, sangat berperan dalam memberikan pengetahuan mengenai berbagai metode untuk mempertahankan diri dari berbagai masalah kehidupan mereka. Cara pandang masyarakat Alwuru terhadap pendatang, tentunya masih tersimpan rapi di dalam berbagai mitos mereka, serta pola berhubungan mereka dengan pendatang, juga tersimpan dengan baik dalam sistem norma mereka yang ada dalam literasi lisan mereka 20. Demikian, juga dengan literasi lisan mengenai makanan tradisi suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, sampai saat ini masih banyak yang tersimpan di dalam memori kolektif mereka (Udu, 2015: 49). Sistem hidup mereka juga masih banyak yang belum tergali, misalnya pengetahuan mereka terhadap obat tradisional, cara hidup sehat, mantra dan lain sebagainya. Ini menunjukan bahwa literasi hidup, masih tetap memiliki potensi untuk diperhatikan, jika kita mau memajukan peradaban bangsa ini. upaya untuk mengawetkan berbagai literasi tulis, memang sangat dibutuhkan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Ini menunjukan bahwa, literasi lisan yang tersimpan di dalam tradisi lisan suku-suku bangsa di Indonesia masih memegang peranan penting. Karena disanalah sumber-seumber moralitas bangsa yang selama ini diabaikan oleh negara. Kita selalu berpikir bahwa bangsabangsa yang tidak memiliki tradisi tulis, seolah tidak berbudaya, tetapi ternyata di dalam sistem lisan mereka itulah tersimpan di dalam memori kolektif mereka. Dengan demikian, literasi lisan merupakan perpustakaan yang hidup, sehingga untuk mewujudkan manusia yang berbudaya, berkarakter dalam konteks keindonesiaan dan dunia global, maka sistem pengetahuan yang tersimpan di dalam berbagai memori kolektif masyarakat harus tetap di dorong untuk tetap hidup, terutama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat setempat. Upaya untuk melestarikan berbagai perpustakaan hidup ini, harus tetap dijaga dan dilestarikaan. Ini disebabkan karena jika ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalam literasi lisan tidak dirawat, maka akan berhadapan dengan potensi hilangnya ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalam sistem tradisi lisan tersebut. Suryadi Sunuri mengatakan bahwa kematian seorang pelantun tradisi lisan dapat diibaratkan dengan terbakarnya sebuah perpustakaan di
20
8
Dalam sebuah pertemuan dengan masyarakat Alfuru di pulau Taliabo pada tahun 1992, 25 tahun yang lalu. Pengalaman bertemu dengan masyarakat Alfuru yang sangat menegangkan, karena ketika saya menyapa mereka, perempuan Alfuru dengan anaknya, lari dan di seberang gunung saya ditunggu dengan tombak kiri kanan jalan. Negosiasi akhirnya dilakukan dengan memberikan rokok pada keluarga laki-lakinya melalui pedang, dan ia pun menerimanya dengan ujung tombak. Ini merupakan literasi hidup, mengenai budaya masyarakat Alfuru ketika memberikan sesuatu. Untung waktu itu, saya ditegur oleh teman, bahwa adat mereka harus diberikan diatas parang.
dalam tradisi tulis 21. Betapa besarnya kerugian kemanusiaan, jika seorang pelantun tradisi lisan meninggal. Ini juga masih membutuhkan kerja keras kita, karena masih banyaknya sumbersumber literasi yang masih tersimpan di dalam bentuk lisan. D. PERAN LITERASI TERTULIS DALAM PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN Sejarah peradaban manusia mengalami revolusi yang luar biasa ketika mengenal tulisan. Mereka dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai belahan dunia melalui tulisan. Bangsa-bangsa yang besar di dunia, selalu berbarengan dengan kemajuan literasinya (perpustakaannya). Untuk menjelaskan tentang peran literasi dalam perkembangan kebudayaan dunia, akan diuraikan sebagai berikut. 1. Literasi dalam Kebudayaan Barat Perkembangan literasi Eropa, tidak terlepas dari beberapa perpustakaan kuno yang ada di Timur Tengah dan Afrika. Berdasarkan data sejarah, beberapa peradaban kuno yang memiliki perpustakaan adalah Asyria, Babylonia, Mesopotamia. Dari hasil penyelidikan yang didapat diketahui bahwa sejak berabad-abad perpustakaan sudah dipandang sebagai faktor sosial yang penting. Perpustakaan tertua yang mempunyai peninggalan sejarah yang penting didirikan dalam abad ke 7 SM. Oleh seorang raja Asyria yang bernama Asurbanipal (668-633) di kota Niniveh. Bahan-bahan bacaan yang di pergunakan ialah tablet-tablet tanah liat, yang berisi atau memuat cap, pokok persoalan dan terdapat pula penunjukan-penunjukan kepada sumber-sumber dan di mana pustaka itu bisa di temukan dalam perpustakaan 22. Perpustakaan lain, yang mempengaruhi literasi Eropa adalah perpustakaan Alexandria di Mesir. Perpustakaan Alexsandria didirikan di Alexandria oleh raja Ptolemey (Ptolemaeus) Soter (322-285 SM) raja pertama dinasti Diadoch. Perpustakaan tersebut dibangun Ptolemey dengan maksud mengumpulkan dan memelihara selengkapnya semua karya kesusastraan Yunani. Betapa pentingnya perpustakaan di Mesir pada waktu itu ditandai dengan diketahuinya beberapa orang yang bekerja di sana seperti: Zenodotus, Erastothenes, Aristophanes, Aristarchus, Callimachus dan Apollonius sekitar abad tiga dan dua SM. Setelah perpustakan di Alexsandria, muncullah perpustakaan di Pergamun yang didirikan oleh dinasti Attalid di Yunani sekarang wilayah Turki 23. Pada masa pemerintahan dinasti Attalid kota Pergamun sangat termansur di kota kecil dan di seluruh dunia lama karena hasil seni dan kebudayaannya. Dengan adanya embargo papyrus dari Mesir, menyebabkan para ahli dan raja di Pergamun berusaha mencari bahan lain, akhirnya ditemukan bahan yang mutunya lebih baik dari papyrus ialah parchemen atau parkemen yang dibuat dari kulit binatang. Perpustakan yang ada di Roma pada waktu itu adalah perpustakan perorangan yamg sebagian besar terdiri dari hasil rampasan perang dan bisanya mereka adalah panglima-panglima perang. Yulias Caesar adalah orang pertama-tama menganjurkan didirikannya perpustakaan umum di Roma. Varro (116-27 SM) memulai rencana-renacana dan menulis karya-karyanya mengenai perpustakaan, tetapi perang saudara menghambat pekerjaannya. Perpustakaan Augustus di Candi Apolo di bukit Palatino memamerkan koleksi Yunani yang dikumpulkan oleh Pompeius yang diawasi oleh Dalmatia. Perpustakan yang kedua di Porticus Octavianus antara bukit Capitoline dan Tiber di awasi oleh Gayus Melissus.
21
Lihat https://niadilova.wordpress.com/2017/03/13/rabab-pariaman-senjakala-sebuah-genre-sastra-lisanminangkabau/ di akses pada tanggal 18 April 2017 22 http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan-terhadap-buku-dan-perpustakaan/ diakses pada tanggal 16 Apr. 17 23 www.wikipedia.org/wiki/pergamun diakses pada tanggal 19 April 2017
9
Bibliotheca Ulpia milik Trajan melukiskan kecendrungan pendirian perpustakaan-perpustakaan pada serambi candi-candi dan disini ada pembagian karya-karya Yunani dan Latin, juga patungpatung badan pengarang-pengarang terkenal menghiasi didinding-dinding perpustakaan. Perpustakaan umum menjadi ciri khas di kota-kota lama di Italia dan provinsi-provinsi lainya. Abad pertengahan di tandai dengan runtuhnya peradaban kebudayaan Romawi dan timbul serta berkembangnya peradaban dan kebudayaan Nasrani. Para ahli sejarah tidak memberikan batasan yang tegas bila berakhirnya abad lama dan mulainya abad pertengahan, hanya dikatakan bahwa masa perubahan terjadi kira-kira 500 tahun. Orang orang Nasrani di seluruh kerajaan Romawi (Alexsandria, Caesaria, Yerussalem, Carthago) di kumpulkan dalam gereja-gerajanya tulisan yang bersifat Nasrani. Cara seperti ini kemudian ditiru di hampir semua perpustakan gereja Nasrani di Eropa. Di Inggris, Benedico bishop (628-690 M) menanamkan peranan yang penting dalam pembentukan perpustakaan di tempat-tempat seperti Yort, Canterbury, Wearmouth, dan Jarrow. Di Prancis, perpustakaan gereja yang tua diperbarui dan perpustakan-perpustakan baru banyak didirikan di seluruh kerajaan Perancis. Di Jerman, Otto I (936-973) selama masa pemerintahanya selalu di kelilingi oleh buasnya para cerdik-cendikiawan yang pengarungnya dapat dirasakan dalam gereja-gereja Jerman. Sedangkan Perpustakaan biara mencapai puncaknya pada abad ke 10 dan 11. Zaman renaissance abad ke 12 ditandai dengan timbulnya kembali perhatian untuk menyelidiki kebudayaan Yunani dengan pembahasan kembali ilmu-ilmu pengetahuan dalam bahasa latin. Sementara di Prancis dari abab 11 smpai abad 13, Char, Paris dan Orlean menjadi pusat-pusat perkembangan intelek. Abad ke 13 yang disebut juga abad scholastic 24, maka bukubuku pelajaran diproduksi secara besar-besaran. Pertumbuhan renaissance di percepat lagi dengan di temukannya alat cetak-mencetak oleh Johan Gutemberg dari Jerman abad 15. Di Italia yang menjadi pusat Negara Barat dalam dunia buku. Roma, Florence dan Naples menjadi pusat perpustakaan. Di Florence, Cosimo d Medici (1489-1464) mendirikan perpustakanperpustakaan medici yang besar. Dalam sejarah peradaban manusia, terlihat betapa besar peran perpustakaan sebagai pusat literasi. Perkembangan ilmu pengetahuan di Barat dipengaruhi oleh banyaknya buku-buku yang dirampas saat terjadi perang antara barat dan timur. Dalam beberapa kali perang, keruntuhan dunia timur adalah runtuhnya perpustakaan Islam di Bagdad, yang konon versi islamnya, mengatakan bahwa perang itu menyebabkan buku-buku perpustakaan Islam di Bagdad hilang, sementara dalam beberapa kisah dijelaskan bahwa sungai Tigris berubah warna airnya oleh tinta buku yang dibuang setelah perpustakaan dirampas dan dirusaki. 2.
Literasi dalam Kebudayaan Timur Berbicara mengenai peran literasi dalam kebudayaan timur, tidak akan terlepas dari beberapa kebudayaan besar yang pernah ada di timur. Salah satu peradaban yang pernah menjadi pusat-pusat perabadan di dunia timur adalah Mesir. Peradaban besar Mesir, memiliki korelasi dengan perpustakaan Alexsanderia yang berdiri pada pada tahun 290 SM, dan pada tahun 48 SM dibakar oleh Julius Caesar, pada hal di dalam perpustaakan itu pernah terjadi pertemuan internasional untuk menghasilkan 700 ribu gulung popyrus 25. Menanggapi hal
24
Scolastik merupakan istilah pada abad pertengahan yang berarti sekolahan. (lihat Asmoro Asmadi (2000). Papirus atau Papyrus (nama ilmiah: Cyperus papyrus) adalah sejenis tanaman air yang dikenal sebagai bahan untuk membuat kertas pada zaman kuno. Tanaman ini umumnya dijumpai di tepi dan lembah Sungai Nil. Kira-kira 3500
25
10
tersebut, salah satu tulisannya, Nurchalis Majid mengatakan bahwa andaikan perpustakaan Alexandria tidak terbakar, orang seperti Albert Einstein dapat muncul lebih awal, dan ini akan menentukan perjalanan peradaban manusia 26. Demikian juga dengan masa kejayaan Islam yang berpusat di Bagdad, selama beberapa perang yang melanda kota ini, selalu berhubungan dengan pusat peradabannya, yaitu perpustakaan Baitul Hikmah yang berdiri pada tahun 832 M pada masa Harun Al Rasyd menjadi khalifah. Untuk kepentingan literasi, banyak buku-buku dari berbagai peradaban di dunia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab 27. Pada masa Harun al-Rasyid institusi ini bernama khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Di lembaga ini baik muslim maupun non muslim bekerja mengalih bahasakan sebagai naskah kuno dan menyusun berbagai penjelasan. Tujuan utama didirikannya Baitul Hikmah adalah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu-ilmu pengetahuan asing ke dalam bahasa Arab. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam, yaitu menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Namun, sesungguhnya proses perampasan perpustakaan Bagdad itu berimplikasi pada perkembangan ilmu pengetahuan di Barat. Banyak buku-buku penting di Baitul Hikmah itu dibawa ke Barat kemudian dikaji dan dikembangkan di barat. Ilmu pengetahuan yang dibawa dari timur itulah yang akan kemudian mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di barat khususnya dimasa renaisanse. Demikian juga, perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam tidak terlepas dari berbagai literatur yang ada di Romawi, India dan China yang diterjemahkan oleh muslim maupun nonmuslim di dalam Baitul Hikmah. Adapun faktor-faktor Eksternal (ancaman/serangan dari luar), yaitu : (1) perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang, (2) Hadirnya tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan, kehadiran dan serangan tentara Mongol inilah yang secara langsung menyebabkan kejatuhan Daulah Abbasiyah dan kehancuran Baitul Hikmah di kota Baghdad, yaitu pada kekhalifahan al-Mu’tashim yang menjadi penguasa terakhir bani Abbasiyah. Serangan tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan adalah peristiwa yang banyak menelan waktu dan pengorbanan, pusat-pusat ilmu pengetahuan, baik yang berupa perpustakaan maupun lembaga-lembaga pendidikan mereka diporak-porandakan dan dibakar. Dalam serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari dimulai dari bulan Muharram sampai pertengahan Safar telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa, khalifah al-Mu’tashim bersama anakanaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol. Semua kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di tempat lainnya, guru-guru, imam-imam, pembacapembaca semuanya disapu habis, sehingga berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong. Khalifah al-Mu’tashim adalah khalifah Abbasiyah yang terakhir dan telah terbunuh oleh kaum Mongol yang menyerang dunia Islam serta mengakhiri pemerintahan Abbasiyah Sejarah perkembangan bangsa-bangsa di timur, mulai dari keruntuhan timur tengah (dunia Islam) setelah perpustakaan Islam dijarah, hingga perkembangan kebudayaan China dan berbagai literatur tradisionalnya telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa SM, bangsa Mesir Kuno sudah memanfaatkan papirus.https://id.wikipedia.org/wiki/Papirus diakses pada tanggal 17 April 17 26 http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan-terhadap-buku-dan-perpustakaan/ diakses pada tanggal 16 Apr. 17 27 http://pendidikanpustakawan.blogspot.co.id/2014/04/sejarah-perpustakaan-islam-baitul.html diakses pada tanggal 16 Apr. 17
11
kemajuan kebudayaan suatu bangsa, selalu ditentukan oleh bagaimana kemajuan perpustakaan mereka. Ini disebabkan karena perpustakaan merupakan pusat literasi dan sekaligus pusat peradaban yang dapat mewariskan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Demikian juga di dunia Melayu, perkembangan kebudayaan Melayu tidak terlepas dari kehadiran literasi Hindu, Budha, Islam yang datang ke dunia Melayu. Menulis dengan huruf Arab dalam bahasa Melayu telah memberikan kontribusi perkembangan kebudayaan di Nusantara khususnya kebudayaan Melayu. Nilai-nilai Islam kemudian berkembang di Nusantara melalui perkembangan huruf Arab yang kemudian mempengaruhi kebudayaan di berbagai daerah di Nusantara. Pelayanan perpustakaan modern di Jepang telah diusahakan sejak Jepang membuka hubungan dengan Negara-negara Barat dalam Abad ke 19. Pada tahun 1872 Imperial Library (perpustakaan kerajaan) didirikan di Tokyo yang merupakan perpustakaan yang pertama di Jepang. Selanjutnya. pada tahun 1950 Jepang menetapkan Undang-undang perpustakaan yang berisi: a. Perpustakan umum tidak menyumpulkan buku dan majalah, tetapi juga surat-surat kabar dan audio visual. b. Pelayanan harus bebas dari untuk seluruh warga masyarakat. c. Pelayanan perpustakaan dibebankan kepada negara melalui departemen Pendidikan. Dengan demikian, jika suatu bangsa mau maju, maka diperlukan kebijakan literasi yang berpihak pada pembangunan perpustakaan sehingga dapat melayani kebutuhan literasi warganya. Indonesia sudah harus memiliki kebijakan untuk menerjemahkan seluruh buku-buku penting di dunia ke dalam bahasa Indonesia. Karena hanya dengan upaya ini, masyarakat Indonesia dapat meningkatkan pengetahuannya, dan tidak lagi terkendala dengan bahasa. Di satu sisi, perpustakaan harus dikelola dengan pelayanan yang sangat baik. Dimana semua orang akan nyaman dalam melakukan berbagai aktivitas mereka. Perpustakaan harus menjadi pusat literasi, baik literasi lisan, literasi tulis, maupun literasi digital (film dan gambar). 3. Peran Literasi di Era Digital Perkembangan teknologi informasi sebagai leading sector pembangunan modern, di samping transportasi dan parawisata. Telekomunikasi telah mengubah kebudayaan dunia hari ini, sudah mengalami suatu arah dimana dunia berada dalam satu kesatuan yang dikenal dengan globalisasi. Satu sisi positif dari globalisasi adalah peran strategis dunia digital. Baik dalam bentuk tulisan, maupun perkembangan teknologi digital, yang meliputi teknologi di bidang pertelevisian, surat kabar digital, hingga perkembangan dunia maya. Kehadiran google telah memberikan perkembangan yang sangat luar biasa, dimana seluruh masyarakat dunia sudah memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan sumber ilmu pengetahuan. Dunia sudah menyatu dalam literasi yang disiapkan oleh dunia digital. Mulai dari litarasi tulis, hingga literasi dalam bentuk film, semua disiapkan dalam dunia digital. Ini menunjukan bahwa tidak ada lagi orang-orang yang tidak mendapatkan akses yang sama terhadap sumber-sumber infomasi pengetahuan. Semua orang sama, dunia sudah disuguhi sumber-sumber literasi yang sangat luas, dan gampang diakses oleh siapapun dan dimana pun. Dengan memanfaatkan dunia digital, dunia menjadi satu, karena peristiwa yang terjadi di satu daerah, langsung dapat didengar, dibaca dan disaksikan oleh hampir seluruh manusia. Seluruh persoalan dapat ditemukan dengan cepat di dalam dunia digital. Kita hanya mencari kata kunci, langsung keluar dengan ribuan bahkan jutaan artikel yang didapatkan dalam mesin pencarian google.
12
Perkembangan teknologi digital, telah melahirkan dampak yang sangat luar biasa. Ini merupakan kecenderungan sistem literasi modern yang ada di dalam masyarakat dunia. Perpustakaan Nasional sudah mulai melakukan digitalisasi literasinya, dengan harapan seluruh masyarakat Indonesia dapat mengakses seluruh buku-buku yang ada di perpustakaan nasional. Beberapa universitas besar di dunia memiliki perpusatakaan yang hampir buka 24 jam dalam sehari semalam. Ini juga berbanding lurus dengan kualitas universitas tersebut. Di Indonesia yang kualitas pelayanan perpustakaan sebagai pusat literasi juga sangat berkorelasi dengan rangking universitas. Beberapa universitas di Indonesia yang memiliki perpustakaan yang baik adalah Ugm dengan lama pelayanan perpustakaan mulai dari jam 07:00 sampai pukul 20:45. Sementara Universitas Indonesia memiliki jam pelayanan perpustakaan yang juga hampir saja dengan UGM. Fasilitas perpustakaan juga sangat mendukung budaya literasi di kampus kampus besar itu. Di tingkat dunia, Harvard membuka layanan perpustakaan selama 24 jam. Sementara di Universitas Leiden membuka hampir 17 jam, mulai dari pukul 07;30 pagi dan tutup pada pukul 01 dini hari. bentuk-bentuk pelayanan perpustakaan di dunia tersebut, tentunya merupakan kesaadarn kolektif global karena perpustakaan merupakan pusat literasi dunia. Di era digital, pelayanan literasi semakin canggih, sehingga kita tidak perlu datang ke perpustakaan nasional untuk meminjam buku, tetapi kita dapat meminjamnya dari berbagai belahan dunia. Dengan hanya memasang program perpustakaan nasional, yang tersedia di google play, kita dapat meminjam buku-buku yang ada di perpustakaan online yang saat ini dimiliki oleh perpustakaan nasional. Dampak negatifnya kemudian muncul, ketika para pembaca sudah tidak mau menggunakan akalnya untuk mengolah seluruh informasi yang disiapkan oleh literasi digital. Banyak mahasiwa yang membuat tugas, hanya berusaha untuk mengambil barang orang lain, yang tersedia di dunia dgitial. Ini juga harus disesuaikan dengan aturan untuk perlindungan hak intelektual, sehingga orang-orang masih mau bekerja. Di satu sisi, diperlukan hukum yang berat bagi para pelaku plagiat. Di Swedia, satu kalimat orang melakukan plagiat, maka diskors satu minggu, tetapi terjadi plagiat sebanyak satu paragraf maka hukumannya adalah drop out dari sekolah atau kampus. Di Indonesia, mencuri hak intelektual masih dianggap biasa-biasa saja, bahkan ada yang melakukan itu di kalangan akademis sendiri, termasuk dalam mengumpulkan kum untuk kepentingan guru besarnya. Ini sangat memalukan, dan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan masa depan pemikiran manusia, khsususnya mereka yang malas perpikir dan mau ambil gampangnya saja. E. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan suatu aktivitas yang tidak hanya sebatas baca tulis, tetapi literasi adalah jembatan emas untuk mengantarkan kehidupan manusia yang beradab dan berkebudayaan tinggi. Bangsa-bangsa yang besar dalam sejarah kebudayaan manusia, selalu berbanding lurus dengan kemampuan literasinya. Bangsa yang mendorong sistem literasi yang baik, akan berpotensi untuk maju dan memiliki kebudayaan yang mumpuni. Kejayaan mesir kuno, bagdad, China, India, Jepang, selalu berbanding lurus dengan sistem literasi yang mereka sudah miliki. Peradaban manusia modern, telah berada dalam sistem literasi digital, dimana semua manusia sudah hampir memiliki akses ke dunia digital. Namun, belum semua orang memilik kemampuan untuk menjangkau seluruh sistem-sistem literasi baik dalam bentuk buku-buku di
13
perpustakaan maupun naskah-naskah kuno yang ada. Selain itu, perkembangan literasi dalam era digital, memungkinkan semua orang untuk dapat mengakses sumber-sumber literasi, baik dalam bentuk tulisan, adegan, foto, dapat diakses dengan cepat dari berbagai belahan dunia. DAFTAR PUSTAKA Anna L. Tsing, 1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing (Penerjemah: Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Asmadi, Asmoro. 2000. Filsafat Umum. Bandung: PT. Raja Grafindo Persada. Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Henryk, Stepanus. 2013. “Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Kelurahan Sungai Keledang Kecamatan Samarinda Seberang Kota Samarinda” dalam eJournal Ilmu Pemerintahan, 2013, 1(2): 612-625 Jacques, Martin. 2011. When China Rules The World (Ketika China Menguasai Dunia): Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Diterjemakan oleh Noor Cholis dan Jarot Sumarwoto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. La Ode Taalami, 2011. Hikayat Negeri Buton Analisis Jalinan Fakta dan Fiksi dalam Struktur Hikayat dan Fungsinya Serta Edisi Teks. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press. Lull, James. 1998. Media, Communication and Culture: A Global Approach. Diterjemahkan oleh Setiawan Abadi:’Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global’. Cetakan I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Man, John. 2010a. Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Pustaka Alvabet. Man, John. 2010b. The Leadership Secret of Genghis Khan: 21 Pelajaran Kepemempinan dari Sang Penakluk Paling Gemilang dalam Sejarah. Jakarta: Azakia Publisher. Mattulada, dkk.. 1990. Sawerigading: Folklore Sulawesi. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Purwanto, Bambang. 2014. “Belajar dari Afrika: Tradisi Lisan sebagai Sejarah dan Upaya Membangun Historigrafi bagi Mereka yang Terabaikan” sebagai pengantar dalam Buku Tradisi Lisan sebagai Sejarah, karya Jan Vansinna. Yogyakarta: Penertbit Ombak. Samatan, Nuriyati. 2008. “Media Massa dan Perubahan Budaya” dalam http://educationcenter1.blogspot.co.id/ diakses pada tanggal 18 April 2017.
14
Sumitri, Wayan. 2016. Tradisi Vera: Jendela Bahasa, Sastra dan Budaya Masyarakat Rongga. Jakatra: Penerbit Mizan. Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Jakarta: UM Press. Udu, Sumiman dkk., 2015. Kajian Makanan Tradisional Tolaki Untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Kuliner Di Kabupaten Konawe. Unaaha: Laporan Penelitian yang dilaksanakan Oleh Pusat Studi Sains, Budaya, Pariwisata dan Humaniora Indonesia (PUSBUDPAR-I) bekerja sama dengan Balitbang Kabupaten Konawe. Udu, Sumiman. 2010. Perempuan dalam Kabhanti: Tinjauan Sosiofenis. Yogyakarta: Penerbit Diandra. Vansinna, J. 1985. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. London: Hatzel Watson and Viney Ltd.
15
CERITA RAKYAT ASAL MULA BENTENG MATULUNGA SEBAGAI BAHAN LITERASI DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Asma Kurniati Program Studi PG-PAUD Universitas Muhammdiyah Buton E-mail :
[email protected] Abstrak Pendidikan anak usia dini merupakan jenjang pendidikan dasar yang diharapkan menjadi fondasi kuat untuk membentuk sikap dan karakter anak yaitu dengan menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik terutama yang bersumber dari kearifan lokal budaya bangsa. Sebagai pewaris budaya bangsa yang kreatif, anak diharapkan memiliki inspirasi, rasa bangga dan memposisikan keunggulan budaya yang diwariskannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga penting untuk mengintegrasikan kearifan lokal tersebut dalam pembelajaran pendidikan anak usia dini. Pada dasarnya, pengetahuan tentang membaca dan menulis anak usia dini dapat diperoleh melalui perilaku yang sederhana yaitu dengan mengamati dan berpartisipasi pada aktifitas yang berkaitan dengan literasi seperti membacakan cerita rakyat. Karena sebuah cerita rakyat terkadang hanya menjadi kisah pengantar tidur anak, tidak tertulis dan belum menjadi bahan dalam kegiatan literasi di sekolah. Salah satunya adalah cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga. Merupakan legenda lokal masyarakat Siompu Barat yang terkait dengan peristiwa pertempuran antar daerah, kesaktian/keistimewaan tokoh utamanya dan pendirian benteng Matulunga yang bertujuan untuk menjaga atau melindungi masyarakatnya dari serangan luar. Melalui kegiatan literasi tersebut, anak akan memperoleh pengetahuan dan dapat mengembangkan sikap tentang kerja keras, kreatif, bersahabat/komunikatif, dan cinta tanah air yang mendalam, serta menjadi permulaan dalam mengembangkan keterampilan literasi yang konvensional. Kata kunci: benteng Matulunga, literasi, anak usia dini.
A. PENDAHULUAN Pendidikan dalam keluarga mewarisi nilai budaya yang didapat secara turun temurun. Orang tua mendidik anak sesuai dengan bagaimana cara nenek moyang mendidik anak-anaknya. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang berbudaya memberi peluang bagi pendidikan karakter untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya yang positif dalam dunia pendidikan. Permendikbud Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD pula menerakan bahwa metode pembelajaran dirancang dalam kegiatan bermain yang bermakna dan menyenangkan bagi anak, misalnya: bercerita, pemberian tugas, karyawisata dan lainnya. sarana prasarana serta disesuaikan dengan jumlah anak, usia, lingkungan sosial dan budaya lokal atau memanfaatkan potensi lokal. Kultur merupakan pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Produk itu berasal dari interaksi antar kelompok orang dan lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun, Organizta, & Marin, dalam Santrock, 2013) Sebagai daerah yang berbudaya, Buton Selatan telah dikenal sejak zaman kerajaan dan kesultanan Buton yaitu dalam Undang-Undang Martabat Tujuh (sekitar tahun 1610). Secara administratif, kabupaten Buton Selatan merupakan pemekaran dari kabupaten Buton dan memiliki 7 (tujuh) kecamatan dan salah satunya adalah kecamatan Siompu Barat . Batas-batas wilayah kecamatan Siompu Barat yaitu sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Siompu, dan sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Kadatua. Mata pencaharian utama masyarakat di kecamatan Siompu Batar
16
adalah petani dan nelayan. Diketahui pula bahwa tempat rekreasi/wisata di kecamatan Siompu Barat adalah pantai dan benteng yang salah satunya adalah Benteng Matulunga. Hampir semua objek wisata hebat di mana saja, selalu memiliki kisah-kisah yang secara turun temurun diwariskan dan dipercaya orang. Begitu pula dengan objek wisata di kabupaten Buton Selatan, jika digali lebih dalam, ternyata juga menyimpan kekayaan berupa kisah-kisah. Itulah magnet yang tidak terlihat, tetapi kuat mempengaruhi benak orang (Kurniati, 2016). Misalnya cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga. Kurniati (2016) menjelaskan bahwa bahwa cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga pada dasarnya memuat nilai-nilai karakter: kerja keras, kreatif, bersahabat/komunikatif, dan cinta tanah air yang mendalam. Anak usia dini adalah pewaris budaya yang kreatif. Pada tahun Ajaran 2013/2014, jumlah peserta didik pada 7 (tujuh) Taman Kanak-Kanak yang tersebar di kecamatan Siompu Barat adalah 270 orang dan guru sebanyak 23 orang (BPS Kabupaten Buton, 2015). Anak usia dini tersebut dapat menjadi pewaris nilai-nilai pendidikan karakter cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga melalui pengintegrasian dalam pembelajaran pendidikan anak usia dini terutama pada kegiatan literasi serta diharapkan memiliki inspirasi, rasa bangga dan memposisikan keunggulan budaya yang diwariskannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. B. PEMBAHASAN a. Pentingnya Literasi pada Anak Usia Dini Standar tingkat pencapaian perkembangan anak aspek bahasa terdiri atas: (a) memahami bahasa reseptif, mencakup kemampuan memahami cerita, perintah, aturan, menyenangi dan menghargai bacaan; (b) mengekspresikan bahasa, mencakup kemampuan bertanya, menjawab pertanyaan, berkomunikasi secara lisan, menceritakan kembali yang diketahui, belajar bahasa pragmatic, mengekspresikan perasaan, ide, dan keinginan dalam bentuk coretan; dan (c) keaksaraan, mencakup pemahaman terhadap hubungan bentuk dan bunyi huruf, meniru bentuk huruf, serta memahami kata dalam cerita (Permendikbud Nomor 137 tahun 2014). Kemampuan memahami bahasa reseptif dan ekspresif komunikatif merupakan ciri dari kemampuan komunikatif anak. Otto (2015) menjelaskan bahwa bahasa reseptif merujuk pada pemahaman anak mengenal kata-kata (symbol-simbol lisan) yaitu ketika kata tertentu digunakan, anak mengetahui kata itu merujuk ke apa atau menunjukkan apa. Bahasa ekspresif berkembang selama interaksi sosial dan ketika mekanisme ujaran anak mulai matang dan anak mulai bisa memegang kontrol dalam memproduksi bunyi-bunyi ujaran. Selanjutnya, keaksaraan dalam pendidikan anak usia dini terkait dengan literasi. Kemampuan literasi anak usia dini yang baik membantu anak untuk lebih mudah belajar membaca dan meningkatkan tingkat kesuksesan anak di sekolah (Senechal & LeFreve dalam Ruhaena, 2015). Kata literasi berasal dari bahasa Inggris Literacy yang diartikan sebagai kemampuan baca tulis. Pengertian literasi berkembang meliputi proses membaca, menulis, berbicara, mendengar, membayangkan, melihat. Pembaca harus secara aktif melibatkan pengalaman sebelumnya, proses berpikir, sikap, emosi dan minat untuk memahami bacaan. Kegiatan membaca bagi anak usia dini bukan hanya dengan kegiatan membaca secara langsung melalui buku, tapi kegiatan membaca pada anak usia dini lebih kepada membaca lingkungan sekitar, membaca dan mengenal berbagai tulisan-tulisan yang ada di sekitar anak, dan membawa anak ke tempat-tempat mereka bisa langsung terlibat dengan kegiatan membaca. Begitu pula dengan kegiatan menulis pada anak usia dini bukan hanya menulis di sebuah buku
17
tulis tetapi dengan banyaknya anak melakukan kegiatan mencoret-coret di berbagai media dan menirukan orang dewasa yang sedang menulis. Hal itulah yang akan mengantarkan anak kepada kemampuan untuk menulis (Inten, Permatasari & Mulyani, 2015). Anak usia dini berada pada masa bermain sehingga pemberian rangsangan atau stimulasi pendidikan dengan cara bermain. Bermain adalah kegiatan yang dilakukan berulangulang demi kesenangan (Piaget dalam Madyawati, 2016). Stimulasi harus disesuaikan dengan karakteristik anak, kebutuhan anak dalam hal cara dan materinya. Cara yang dilakukan harus menyenangkan dan membuat anak tidak terbebani serta mengoptimalkan semua sensoris yang dimiliki anak. Materi yang diberikan tidak hanya berkaitan dengan keterampilan literasi tetapi juga membentuk minat dan kebiasaan menyukai, memaknai aktivitas literasi sebagai sesuatu yang positif dan menyemangati. Mulai dengan materi literasi yang bersifat natural di rumah baru kemudian literasi yang bersifat formal di sekolah. Anak-anak yang belajar membaca dini biasanya adalah mereka yang orang tuanya sangat sering membacakan untuk mereka dan melakukan hal tersebut ketika mereka masih sangat muda. Interaksi social dalam membaca dengan keras, bermain dan aktivitas harian lain merupakan kunci bagi banyak perkembangan masa anak-anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Payne et al dalam Otto, (2015) menjelaskan bahwa kemampuan reseptif dan kosakata produktif anak usia dini dalam hal kemampuan membaca dan menulis berhubungan dengan peran spesifik lingkungannya yaitu: frekuensi membaca bersama anak, usia anak ketika membaca bersama dimulai, jumlah buku bergambar di rumah, tingkat keseringan anak meminta dibacakan buku cerita, dan tingkat keseringan kunjungan anak ke perpustakaan. Program pengembangan bahasa dalam kurikulum PAUD mencakup perwujudan suasana untuk berkembangnya kematangan bahasa dalam konteks bermain (Permendikbud Nomor 146 tahun 2014). Hal ini berarti ada guru yang menguasai teknik berkomunikasi yang tepat untuk membantu mencapai kematangan bahasa ekspresif dan reseptif. Tersedia tempat sumber, alat dan waktu yang dapat digunakan anak untuk berlatih berbahasa dan mengenal keaksaraan awal serta dilaksanakan dalam proses belajar yang menyenangkan. Membacakan cerita kepada anak memiliki manfaat yang sangat besar. Hal ini dapat menimbulkan minat membaca pada anak, karena anak dapat mengenal struktur kalimat dan ketertarikan terhadap suatu bacaan (Dalman, 2014). Kemampuan membaca yang baik akan meningkatkan konsep diri anak, yang pada akhirnya akan memotivasi mereka untuk belajar. Selanjutnya, membaca akan menentukan keberhasilan anak mendapatkan pengetahuan. b. Cerita Rakyat Asal Mula Benteng Matulunga sebagai Kearifan Lokal Budaya Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal/ budaya yang begitu beraneka ragam seperti taritarian, pakaian, adat istiadat, falsafah-falsafah hingga cerita rakyat. Kearifan lokal merupakan cerminan budaya suatu masyarakat yang dapat digali, misalnya melalui cerita rakyat sebagai sastra yang berkembang di daerah tersebut. Cerita rakyat merupakan kesusteraan Indonesia yang pada umumnya diceritakan secara lisan sejak dahulu. Kurniati (2016) mengemukakan bahwa cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga memiliki 2 (dua) versi dan versi yang sarat dengan nilai pendidikan karakter adalah versi pertama yaitu: Dikisahkan di suatu daerah yang bernama Siompu Barat ada seorang anak yang sangat sakti dan diberi nama Matulunga. Anak tersebut memiliki kekuatan kebal terhadap senjata tajam, api, dan rasa sakit ketika dipukul. Suatu ketika, masyarakat Siompu Barat diserang sekelompok penjahat dari daerah Tobelo.
18
Namun sekelompok penjahat tersebut tidak mampu membunuh Matulunga karena kesaktiannya. Sehingga Matulunga diculik dan dibawa ke Tobelo dan kemudian dia menjadi raja di daerah tersebut dalam waktu yang cukup lama. Hingga suatu saat, Matulunga bersama para anak buahnya orang Tobelo pergi ke Siompu Barat untuk melakukan penyerangan. Setibanya di Siompu Barat, ia tiba-tiba teringat kenangan masa kecilnya dan sadar bahwa sebenarnya Siompu Barat adalah kampung halamannya, kemudian ia mengurungkan niatnya untuk menyerang. Perselisihan pun terjadi antara Matulunga dan anak buahnya sampai terjadi perkelahian. Matulunga yang sakti hampir dapat mengalahkan seluruh anak buahnya, namun ternyata masih ada 3 orang anak buah tersebut yang berhasil lolos dan kembali ke Tobelo. Matulunga pun khawatir akan datangnya serangan susulan dari Tobelo. Akhirnya Matulunga bersama masyarakat Siompu Barat membangun benteng yang letaknya strategis untuk mengetahui jikalau orangorang Tobelo datang menyerang kembali dengan kapal laut. Ia pun memerintahkan kepada seluruh masyarakat Siompu Barat untuk bersama-sama membangun rumah di dalam kawasan benteng tersebut. Benteng tersebut pun dikenal dengan nama Benteng Matulunga. Bacaan sastra adalah suatu bahan bacaan yang berisi ekspresi, pikiran, perasaan, ide, pandangan hidup, dan lain-lain yang disajikan dalam bentuk yang indah melalui media bahasa (Dalman, 2014). Seperti cerita rakyat, pada umumnya sarat akan nilai-nilai moral yang penting untuk pendidikan karakter anak. Kurniati (2016) menjelaskan bahwa bahwa cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga pada dasarnya memuat nilai-nilai karakter: kerja keras, kreatif, bersahabat/komunikatif, dan cinta tanah air yang mendalam. Salah satu landasan filosofis kerangka dasar Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini adalah memandang anak sebagai pewaris budaya bangsa yang kreatif. Prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk memberi inspirasi dan rasa bangga pada anak. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini juga memposisikan keunggulan buadaya untuk menimbulkan rasa bangga yang tercermin, dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan berbangsa (Permendikbud Nomor 146 tahun 2014). Sehingga dibutuhkan penyebaran cerita rakyat tersebut melalui guru sebagai pendidik untuk menanamkan dan mempertahankan nilai-nilai lokal yang ada kepada peserta didik. Pendidikan karakter merupakan upaya penanaman nilai dan sikap yang memerlukan pola pembelajaran fungsional dan membutuhkan pelaksanaan yang sinergis oleh berbagai pihak yaitu orang tua, satuan/lembaga pendidikan, dan masyarakat. Materi dan pola pembelajarannya pun disesuaikan dengan pertumbuhan psikologis peserta didik, diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran lain serta berbasis kearifan lokal yang merupakan kebudayaan yang paling mendasar. Karakter perlu dibentuk dan dibina sedini mungkin agar menghasilkan kualitas bangsa yang berkarakter. Erikson dalam Papalia, Olds & Feldman (2008: 370). Pendidikan karakter pada anak paling efektif dimulai pada anak berusia di bawah 10 tahun. Pendidikan karakter mengoptimalkan fungsi otak kiri dan kanan sehingga menekan pengaruh otak tengah (instink hewani). Pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan
19
nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. c. Aktifitas Literasi Cerita Rakyat Asal Mula Benteng Matulunga pada Anak Usia Dini Pada umumnya masyarakat Siompu Barat menceritakan cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga kepada anaknya berdasarkan cerita yang pernah didengarnya sewaktu kecil. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Fuhaim (2004) bahwa pola pengasuhan anak dalam setiap keluarga bisa saja berbeda. Hal tersebut tergantung pada kepribadian dan pengalaman masa kanak-kanak orang tua serta hal-hal yang membentuk prinsip pengasuhan anak pada diri orang tua. Namun ceritaAsal Mula Benteng Matulunga tersebut akan menjadi berbeda-beda diceritakan jika penuturnya pun berbeda, apalagi jika cerita tersebut diceritakan turun temurun dan diulang kembali dalam waktu yang cukup lama. Cerita rakyat tersebut pun terbatas hanya pada antara penutur dan tidak tertulis/dibukukan, serta tidak beradar di pasaran. Padahal cerita rakyat tersebut mengandung nilai-nilai moral dan filosofi Buton yang baik dalam membentuk karakter anak. Sehingga sangat penting untuk menggunakan atau mengintegrasikan ceritaAsal Mula Benteng Matulunga tersebut dibuat tertulis sebagai bahan kegiatan literasi pada pendidikan anak usia dini. Kegiatan literasi dapat dilakukan pada saat membaca bersama yaitu guru dan murid tentang cerita tersebut. Interaksi sosial dapat membantu kemunculan literasi. Anak-anak cenderung menjadi pembaca dan penulis yang baik jika sepanjang usia dininya, jika diberikan percakapan menantang yang sudah siap diikuti oleh anak (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Sehingga membaca bukan hanya sekedar melihat kumpulan huruf yang telah membentuk kata, kelompok kata, kalimat, paragraf dan wacana saja, tetapi membaca adalah kegiatan memahami dan menginterpretasikan lambang/tanda/tulisan yang bermakna sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca (Dalman, 2014). Berbagai aktifitas pengintegrasian cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga pada proses pembelajaran pendidikan anak usia dini yaitu: 1. Membaca dan berdiskusi tentang cerita Cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga memiliki narasi cerita yang tidak terlalu banyak. Akan lebih baik jika cerita tersebut dikemas dengan gambar, warna dan bentuk yang menarik. Kegiatan membaca cerita tersebut dapat dilakukan di rumah atau di sekolah bersama guru atau orang tua. Isi cerita dapat didiskusikan bersama yaitu tentang tokoh-tokohnya, konflik atau masalah dan bagaimana pemecahannya, apa yang dirasakan tokoh tersebut tentang sesuatu. Selain itu, DeTemple & Beals dalam Otto (2015) menjelaskan bahwa ketika anak usia dini dibacakan buku cerita, maka mereka akan menggunakan bahasa untuk menggambarkan benda, tokoh atau peristiwa di dalam gambar dan menceritakan atau membacakan cerita tersebut, sehingga akan memperbesar kemampuan bahasa reseptifnya. Memberikan kesempatan kepada anak untuk membaca berulang-ulang cerita akan menjadi perangsang untuk mengingat peristiwa yang memiliki kemiripan, merangsang anak untuk bertanya, menarik kesimpulan, atau
20
membuat prediksi. Kegiatan tersebut akan dapat mengembangkan keterampilan pemahaman dan berpikir kritis pada anak. 2. Mencari dan Menyortir Huruf Aktivitas mencari dan menyortir huruf dapat dilakukan bagi anak yang baru belajar membaca (Weaver, 2003). Menuliskan kata-kata penting seperti nama tokoh Matulunga atau nama kerajaan Tobelo di selembar kertas kemudian meminta anak untuk menunjuk huruf-huruf tertentu pada kata, misalnya menunjuk huruf vokal (a, i, u, e, o) atau huruf awal dan akhir pada kata yang ada dalam buku cerita tersebut. Anak pun dapat mencari huruf yang sama dan jenisnya kecil atau besar. Kegiatan tersebut akan dapat mengembangkan kompetensi dasar mengenal keaksaraan awal melalui bermain dengan abjad dan membedakannya secara visual. Urutan perkembangan fonem menunjukkan kompleksitas yang ada di dalam produksi setiap fonem. Misalnya, fonem vokal diperoleh lebih awal dari konsonan karena bunyi vokal membutuhkan koordinasi mulut yang tidak rumit dibandingkan dengan bunyi konsonan (Otto, 2015). 3. Bermain Drama dan Sandiwara Boneka Pada saat bermain, anak-anak sering menggunakan benda-benda dan bertingkah secara simbolik untuk mempresentasekan ide-ide dari dalam diri mereka sendiri (Vygotsky dalam Perry, 1998). Mengatur aktivitas bermain drama dan sandiwara boneka tentang cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga tidak rumit dilakukan karena ceritanya pendek dan tidak memiliki banyak tokoh. Anak dapat berperan sebagai Matulunga, rakyat Siompu Barat ataupun pasukan kerajaan Tobelo sebagai inspirasinya. Hal ini dapat mengembangkan daya khayal/imajinasi, kemampuan berekpresi, dan kreatifitas anak yang diinspirasi dari tokoh-tokoh atau benda-benda yang ada dalam cerita tersebut. Dukungan berbagai media dalam aktivitas tersebut seperti barang-barang bekas yang tidak terpakai dapat digunakan untuk kostum. Dalam hal ini, anak dapat berpartisipasi dalam pembuatannya. Miarso (2013) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si pembelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan dan terkendali. Media pembelajaran dapat dipilih dengan pertimbangan akan memberikan dukungan terhadap isi bahan pembelajaran dan kemudahan untuk memperolehnya. Lebih lanjut, Kuffner (2006) menyatakan bahwa kebanyakan anak memiliki energy, keingintahuan dan kreatifitas. Sehingga banyak anak yang menyukai seni dan kerajinan tangan. Merencanakan kegiatan seni dan kerajinan tangan secara cermat akan membantu anak merasa puas dengan dirinya dan kemampuannya. Hal tersebut merupakan ekspresi seni, terlebih lagi jika dikonsentrasikan pada proses yang kreatif atau bukan pada hasil. 4. Karyawisata Cerita-cerita rakyat ataupun, kisah-kisah di balik objek-objek wisata yang melegenda dapat berbasis pada sejarah, arkeologi dan antropologi, ataupun yang berasal dari tradisi tutur yang kuat, sama-sama menjadi kekuatan tersendiri. Terlebih lagi jika cerita-cerita rakyat tersebut mengandung nilai-nilai karakter yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, maka ini akan memberikan kontribusi yang lebih besar juga menjadi pewarisan nilai-nilai kepribadian bangsa kepada generasi penerus atau menjadi materi/bahan ajar dalam pendidikan karakter. Salah satu cerita rakyat yang dapat dijadikan materi/bahan ajar pendidikan karakter adalah cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga, dimana benteng tersebut berada di kecamatan Siompu Barat, kabupaten Buton Selatan (Kurniati, 2016).
21
Ketika berjalan-jalan di lingkungan alam, anak-anak akan sangat antusias. Mereka adalah penjelajah spontan dan berbagai pertanyaan di pikirannya segera diterjemahkan dalam gerakan-gerakan. Pengalaman tersebut dirasakan sangat menyenangkan (Kharod and Anderson, 2015). Metode karyawisata bagi anak usia dini dapat berarti memperoleh kesempatan untuk mengobservasi, memperoleh informasi, atau mengkaji segala sesuatu secara langsung (Hildebrand dalam Moeslichatoen, 2004). Berkaryawisata penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak kepada sesuatu hal, memperluas perolehan informasi. Juga memperkaya kegiatan belajar anak usia dini yang tidak mungkin dihadirkan di dalam kelas (Kurniati, 2017). C. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga kearifan lokal yang sarat nilai-nilai pendidikan karakter dan dapat diintegrasikan pada pembelajaran anak usia dini sebagai bahan literasi. b. Aktifitas literasi cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga pada anak usia dini yaitu: (1) membaca dan berdiskusi tentang cerita, (2) mencari dan menyortir huruf, (3) bermain drama dan sandiwara boneka, (4) karyawisata. D. SARAN Berdasarkan pembahasan disarankan kepada: (1) pemerintah, dapat merekomendasikan agar cerita rakyat Asal Mula Benteng Matulunga dapat diintegrasikan sebagai bahan literasi pada pembelajaran anak usia dini. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. (2013). Kecamatan Siompu Barat dalam Angka 2013. Molona: Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Dalman. (2014). Keterampilan Membaca. Jakarta: Rajawali Press. Fuhaim, M. (2004). Manhaj Pendidikan Anak Muslim. Jakarta: Mustaqiim. Inten, D.N. et.al. (2015). Literasi Dini Melalui Teknik Bernyanyi. Al Murabbi. 3(1): 70-91. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014. (2015). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 146 Tahun 2014. (2015). Kuffner Kharod, D. and Anderson, M.G.A. (2015). Wild Beginnings: How a San Antonio Initiative Instills the Love of Nature in Young Children. International Journal of Early Childhood Enviromental Education. 3(1):72-84., T. (2006). Berkarya dan Berkreasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Kurniati, Asma. (2016). Pengidentifikasian Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Asal Mula Benteng Matulunga di Kabupaten Buton Selatan.Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat “Membangun Negeri”. 1(1): 60-71.
22
Madyawati, L. (2016). Strategi Pengembangan Bahasa pada Anak. Jakarta: Kencana. Miarso, Y. (2013). Menyemai Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Moeslichatoen R. 2004. Metode Pengajaran Di Taman Kanak – Kanak. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Otto, Beverly. (2015). Perkembangan Bahasa pada Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana. Papalia, Diane, Old, S. W., Feldman, R. D. (2008). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Perry, R. (1998). Play based Preschool Curriculum. Australia:Queesland University of Technology. Ruhaena, L. (2015). Model Multisensiri: Solusi Stimulasi Anak Prasekolah. Jurnal Psikologi. 42(1): 47-60. Santrock, John W. 2013. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga. Weaver, M. (2003). 365 Kegiatan untuk Anak Dini Usia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka.
23
PROSEDUR PENULISAN BAHAN LITERASI : BERANGKAT DARI PENULISAN ULANG CERITA RAKYAT UNTUK ANAK Eva Yenita Syam 28 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta
[email protected] Abstrak Cerita rakyat sangat dimungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran kepada anak tentang budaya daerah dan kearifan lokal. Kearifan lokal yang berisi nilai-nilai dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Cerita rakyat sangat kaya memuat nilai-nilai yang diharapkan mampu diadaptasikan kepada anak-anak yang hidup sangat berjarak dengan cerita itu. Kesulitan yang paling utama ketika menulis ulang cerita rakyat menjadi cerita anak adalah teknis kepenulisannya. Hingga saat ini tidak ada patokan yang jelas dalam menuliskannya. Hanya beberapa aturan yang dimungkinkan dengan merujuk kepada penulisan sastra anak. Penulisan ulang cerita rakyat sebagai salah satu cara menyediakan bacaan untuk anak-anak usia sekolah yang diberi nama Gerakan Literasi Nasional (GLN) memberikan gambaran tentang proses penulisan bahan bacaan untuk anak usia sekolah yang berasal dari cerita rakyat. Dalam hal ini, proses penulisan bahan bacaan cerita Asung Luwan: Asal Usul Kerajaan Bulungan sebagai bahan yang disajikan merupakan cerita rakyat Bulungan Kalimantan Utara. Kata Kunci: Cerita Rakyat, Sastra Anak, Literasi, Penulisan Asung Luwan
A. PENDAHULUAN Persoalan budi pekerti dan kebiasaan membaca mengalami persoalan yang sangat memprihatinkan dalam masyarakat. Kemajuan teknologi dan perubahan zaman sangat berpengaruh besar terhadap itu. Perangkat tenologi sepertinya memasung orang untuk sibuk dengan dirinya sendiri dan lebih banyak tenggelam dengan barang-barang teknologi itu sendiri. Kita bisa perhatikan dalam sebuah keluarga atau di sebuah kafe, kita menemukan orang-orang berkumpul bersama teman dan keluarganya akan tetapi mereka saling sibuk dengan perangkat teknologi masing-masing. Begitu juga kanak-kanak yang juga bermain mesin ajaib di tangan tanpa mempedulikan lingkungannya. Dunia anak-anak merupakan fase yang paling penting di dalam kehidupan sehingga sangat perlu mempertimbangkan jenis pembelajaran yang sesuai dengan dunia mereka. Pembelajaran sastra anak sangat penting diberikan kepada anak didik usia sekolah dasar karena cerita yang terkandung di dalam sastra anak memiliki tema yang mendidik, menggunakan latar yang ada di sekitar dunia anak, penokohannya mengandung nilai keteladanan yang baik, dan gaya bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Dengan demikian, kebiasaan membaca yang mulai ditinggalkan oleh anak-anak harus mulai ditanamkan kembali dengan membiasakan anak bercerita ataupun mendengarkan cerita sebelum tidur seperti kebiasaan yang telah dilakukan banyak orang tua di rumah. Kebiasaan yang sangat memungkinkan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan dan budi pekerti kepada anak adalah ketika berangkat tidur dan saat berkumpul keluarga.
28
Peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta
24
B. CERITA RAKYAT DAN SASTRA ANAK Cerita rakyat yang pada awalnya disampaikan secara lisan dari orang tua atau guru kepada anak untuk mengisi waktu luang dan penyampaian nilai-nilai dalam masyarakat. Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1986:50) cerita rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) Mite (myth), (2) Legenda (legend), dan (3) Dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh masyarakat pemilik cerita. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan bersifat khayalan. Cara berpikir masyarakat pada saat cerita itu disampaikan dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya dan kepentingan cerita itu disampaikan. Seperti diketahui bahwa cerita rakyat itu merupakan cerita lisan yang hidup dan berkembang dalam sebuah masyarakat dan disampaikan secara lisan untuk mengisi waktu luang dan untuk mendidik anak. Selanjutnya Djamaris (1993 : 15) memberikan pemahaman bahwa cerita rakyat adalah golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang. Sastra anak dalam pemahamannya adalah karya sastra yang diciptakan tentang dunia anak-anak, diciptakan anak-anak, dan ditujukan untuk anak-anak. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan karya sastra itu diciptakan orang dewasa untuk dibaca oleh anak-anak. Dengan menggunakan kalimat pendek sesuai dengan kemampuan anak dalam mencerna sesuatu yang disampaikan. Sastra anak ini seperti sastra pada umumnya yang berisi perenungan pengarang terhadap lingkungannya kemudian dituangkan dalam bentuk cerita untuk menyampaikannya. Menurut Sarumpaet (2010: 23), ciri-ciri sastra anak ada tiga, yakni: (1) berisi sejumlah pantangan, berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan: (2) penyajian secara langsung, kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan; (3) memiliki fungsi terapan, yakni memberi pesan dan ajaran kepada anak-anak. C. PROSES PENULISAN CERITA RAKYAT MENJADI BAHAN BACAAN ANAK a. Sinopsis Cerita Asung Luwan: Asal Usul Kerajaan Bulungan merupakan salah satu bahan bacaan untuk Gerakan Literasi Nasional yang menjadi program Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Cerita ini merupakan cerita rakyat Bulungan Kalimantan Utara. Cerita ini mengisahkan tentang Asung Luwan sebagai tokoh utama cerita yang merupakan kepala suku perempuan yang memimpin suku di pinggir Sei Kayan yang berada di daerah konflik. Cerita ini menarik karena berbicara tentang kepemimpinan seorang kepala suku dalam memberikan rasa aman kepada anggota sukunya dan juga mempertahankan sukunya dari Sumbang Lawing yang selalu berusaha merebut suku itu. Sumbang Lawing digambarkan sebagai sosok jahat bertubuh tinggi besar. Asung Luwan yang cantik jelita menjadi idaman setiap pria yang melihatnya. Dia menolak setiap pinangan yang datang kepadanya dengan halus. Dia lebih mengutamakan sukunya yang selalu berada dalam ancaman. Akan tetapi tidak semua pinangan itu mampu ditolaknya. Ketika Datuk Mencang yang merupakan salah seorang putra mahkota dari kerajaan Brunei melamar Asung Luwan, dia tidak bisa menolaknya. Kemudian Asung Luwan
25
memberikan persyaratan kepada Datuk Mencang jika ingin menikah dengannya. Asung Luwan meminta persyaratan dengan mengalahkan Sumbang Lawing sebelum mempersuntingnya. Meski bukanlah syarat yang biasa, Datuk mencang menyanggupi dan menantang Sumbang Lawing bertanding. Kekuatan pasukan, tubuh, dn keahlian bertarung, tentu dimiliki Sumbang Lawing lebih kuat. Datuk Mencang mencari sisi lemah yang dimiliki Sumbang Lawing sebab kekuatan otot adalah keunggulan Sumbang Lawing. Dia menemukan cara bertempur yang memerlukan ketelitian dan kecermatan. Hal yang tidak dimiliki Sumbang Lawing. Datuk mencang menantang untuk adu kecermatan dan ketepatan membelah jeruk dengan senjata masing-masing. Siapa di antara mereka yang kalah harus melepaskan dan meninggalkan wilayah suku Asung Luwan dan tidak pernah dating lagi untuk mengganggu. Sumbang Lawing menyanggupi persyaratan itu. Pertandingan itu dimenangkan oleh Datuk Mencang dan Sumbang Lawing pergi meninggalkan wilayah suku Asung Luwan. Datuk Mencang dan Asung Luwan kemudian menikah dan suku Asung Luwan bergabung di bawah kesultanan Brunei yang bernama kerajaan Bulungan. b. Proses Penulisan Cerita Ada beberapa tahap yang dilewati sehingga bahan cerita ini sampai menjadi bahan yang siap menjadi bacaan yang menarik dan bermanfaat bagi anak. 1) Tahap Seleksi Tahap seleksi yang dilaksanakan ini merupakan langkah awal dalam mendapatkan cerita rakyat sebagai bahan bacaan anak yang akan dituliskan oleh penulis yang terpilih. Sinopsis cerita dengan persyaratan bahwa cerita itu belum pernah dituliskan dalam bentuk buku, untuk bacaan anak-anak berusia hingga 12 tahun, tidak mengandung sara, dan tidak bertema kekerasan. Dari berbagai data yang sudah terkumpul maka terpilihlah cerita rakyat Kalimantan Utara yang berkisah tentang Asung Luwan sebagai cerita asal usul kerajaan Bulungan. Pertimbangannya bahwa cerita ini belum pernah dituliskan dalam bentuk buku dan Kalimantan Utara merupakan provinsi baru yang memiliki banyak cerita rakyat yang belum digarap. Pertimbangan yang paling mendasar adalah bahwa cerita rakyat tentang Kisah Asung Luwan ini memuat beberapa nilai-nilai sikap yang akan membantu anak sebagai pembaca menanamkan sikap yang baik dalam kesehariannya. Cerita ini berbicara tentang pendidikan lingkungan, cinta tanah air, kepahlawanan, dan budi pekerti. 2) Tahap Pengamatan Data dan Fakta Lapangan Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari tahap seleksi. Sinopsis kisah Asung Luwan ini lolos dan dilanjutkan denganturun ke lapangan untuk melakukan pembuktian dan koreksi data yang sudah ada dengan fakta yang ada dalam masyarakat. Tetua adat yang mengetahui cerita rakyat inilah yang dijadikan narasumber. Penulis mengumpulkan data tentang cerita, tokoh, mengunjungi setting cerita, mendapatkan data tentang budaya setempat (pakaian adat, permainan rakyat, dan kebiasaan masyarakat setempat) , melengkapi data dengan foto-foto, yang akan mendukung penulisan cerita nantinya. Semua catatan, data dari lapangan, data yang sudah ada, dirangkum dalam sebuah data sumber yang akan dijadikan bahan untuk menuliskan cerita itu. 3) Tahap Penulisan Tahap penulisan dilaksanakan selama beberapa hari dengan mengolah data-data yang sudah ada menjadi sebuah cerita baru yang disajikan sebagai bahan bacaan untuk anak-anak
26
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah pertama. Kemampuan menulis dan imajinasi serta pemahaman terhadap data sangat mempengaruhi cerita yang ditulis. Tahap penulisan ini menjadi penting karena beberapa catatan yang mesti dipahami tentang penulisan dengan tetap memberi warna kedaerahan yang ada, suasana yang dibangun juga suasana tempat cerita itu lahir dan berkembang. Nama tempat, nama tokoh, nama peristiwa, yang mesti dituliskan sesuai aslinya menjadi tantangan tersendiri. Selanjutnya akan diberikan catatan kaki sebagai keterangan istilah daerah yang bersangkutan. Kemudian cerita yang telah ditulis itu siap masuk pada tahap penilaian. 4) Tahap Koreksi Tahap koreksi ini yang menjadi ajang pembelajaran bagi penulis dan pakar literasi, pakar sastra anak, pakar bahasa, pakar psikologi, dan pakar sastra. Beberapa catatan penting menjadi acuan penulis dalam melakukan perbaikan setelah penilaian selesai dilaksanakan. Terkadang terjadi ‘pertentangan’ maksud antara penilai dengan penulis. Kemurnian tulisan tetap terjaga dengan sangat memperhatikan beberapa koreksi dari penilai agar tulisan itu memenuhi tujuannya semula sebagai bahan bacaan anak-anak. Catatan yang diberikan terhadap cerita Asung Luwan ini hampir tidak ada. Beberapa kesalahan ketik untuk huruf dan sekapur sirih yang salah tempat. Dari catatan tiga orang penilai, dua penilai menyatakan bahwa cerita ini layak sebagai bahan bacaan dan satu penilai yang menilai ilustrasi yang menyatakan tidak layak karena pemahaman ilustrator yang berbeda dengan cerita dan deskripsi yang diberikan penulis. Penulis kemudian memberikan catatan bahwa keberatan dengan ilustrasi mulai dari sampul hingga isi. Gambar animasi yang melekat pada buku cerita itu membuat cerita ini terkesan sangat kanak-kanak, padahal sudah dijelaskan bahwa cerita ini untuk anak-anak tingkatan Sekolah Dasar. Ilustrasi dalam sebuah cerita merupakan gambaran isi cerita selain juga menarik bagi anak-anak. Gambar itu tidak menyampaikan maksud cerita akan tetapi membuat cerita itu menjadi tidak berkesinambungan. 5) Tahap Presentasi Tahap ini merupakan tahap ujicoba perdana untuk mengukur keterbacaan sebuah cerita. Pertemuan ini menghadirkan guru-guru mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SD dan SMP yang akan memberikan masukan terhadap tulisan yang sudah dihasilkan. Penilaian guru sebagai fasilitator atau perantara cerita dengan anak didik sangat berpengaruh terhadap cerita yang sudah dituliskan dan juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan kegemaran membaca anak didik. Pada tahap inilah dapat diberikan penilaian awal bahwa sebuah cerita yang ditulis itu mendapatkan apresiasi dan saran atau masukan guru yang telah membaca cerita itu sebelumnya. Penulis memaparkan seluruh prosedur da nisi buku yang telah ditulisnya. Selanjutnya buku akan dicetak dan diterbitkan sebagai bahan bacaan. D. PENUTUP Cerita rakyat sebagaimana yang sudah dijelaskan sebagai tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat dijadikan sumber untuk bahan bacaan anak-anak untuk memberi pengetahuan tentang budaya yang berada di seluruh Indonesia melalui Gerakan Literasi Nasional. Cerita rakyat yang dahulunya ada dalam masyarakat setempat kemudian dijadikan sebagai bahan tertulis untuk menyediakan bahan bacaan untuk anak. Prosedur dan proses yang dilewati hingga menjadi bahan bacaan atau dituliskan merupakan sebuah proses panjang yang mesti menjadi pedoman dalam penulisan cerita untuk
27
literasi. Penulisan bahan bacaan ini berangkat dari cerita rakyat yang dilandasi pedoman penulisan sastra anak. DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. 2002. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. Endraswara, Suwardi, Metode dan Teori Pengajaran Sastra. 2005. Buana Pustaka: Yogyakarta. Huck, Charlotte S dkk, Literature in Elementary School. 1987. Halt and Rinehart and Winston : New York. Kurniawan, Heru, Sastra Anak: dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. 2009. Graha Ilmu: Yogyakarta. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi. 2000. Gadjah Mada University Press:Yogyakarta Sarumpaet, K. Toha Riris, Pedoman Penelitian Sastra Anak. 2010. Yayasan PustakaObor Indonesia: Jakarta Taum, Yoseph Yapi, Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan PendekatannyaDisertai Contoh Penerapannya. 2011. Lamalera: Yogyakarta.
28
PENGEMBANGAN LITERASI DI PESANTREN MODERN INTERNASIONAL DEA MALELA Juanda1& Fita Sukiyani2 1
Universitas Samawa, Sumbawa Besar SDN Sumber 1 Berbah Sleman DIY
[email protected]
2
Abstrak Setelah diberlakukannya Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, setiap penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menumbuhkan minat baca, tidak terkecuali Pesantren Modern Internasional Dea Malela (PMI-DM). Pembelakuan tersebut tentu sebagai upaya memperbaiki literasi, sains, dan matematika. Hal ini merujuk hasil Psychological International Student Assessment (PISA, 2015) yang menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 72 negara. Sebaliknya, dari sisi daya saing, berdasarkan The Indonesia Competitiveness Report 2011 menempatkan Indonesia pada urutan 41 dari 140 negara. Sebagai penyelenggara pendidikan, PMI-DM telah menerapkan Permendikbud tadi, yaitu menumbuhkan minat baca melalui tiga tahap: (1) tahap pembiasaan, (2) tahap pengembangan, dan (3) tahap pembelajaran. Dalam praktiknya, PMI-DM telah melakukan pola-pola pembiasaan, seperti: mewajibkan santri membaca selama 15 menit sebelum mengikuti pelajaran, manata sarana belajar secara teratur dan rapi. Namun demikian, kontinuitas pembiasaan ini harus ditunjang oleh pengembangan ketika sedang dan atau tidak berada dalam kelas. Pola-pola pengembangan yang dimaksud, antara lain: (1) santri menulis komentar singkat pada jurnal yang telah disediakan, (2) menaggapi isi buku baik lisan maupun tulisan, (3) indikator ketercapaian program. Kata kunci: literasi, pengembangan, santri, PMI-DM
A. PENDAHULUAN Dari sisi literasi, Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil Psychological International Student Assessment (OECD, 2000; 2012; 2015). Namun, The Indonesia Competitiveness Report 2011 (WEF, 2011) melaporkan bahwa Indonesia berada pada posisi 41 dari 140 negera bila dilihat dari sisi daya saing. Dengan demikian, pola pengembangan literasi yang telah dilakukan selama ini perlu ditingkatkan dan sesegara mungkin menemukan solusi segala persoalan literasi tersebut, sehingga butuh kesadaran semua pihak supaya membudayakan literasi kepada siswa, guru, karyawan atau semua pihak yang terlibat, khususnya di sekolah. Menyadari hal tersebut, Pesantren Modern Internasional Dea Malela (PMI DM) menyusun suatu program yang dinamai “Gemar Membaca.” Program ini, pada awalnya, dihajatkan untuk menstimulasikan santri dan ustad agar gemar membaca atau menjadikan membaca adalah kebiasaan atau kegiatan sehari-hari. Dengan demikian, maka proses akselerasi literasi yang diperkenalkan dan dipraktekkan akan memengaruhi proses pembelajaran, dan tentu saja pengetahuan yang luas. Hal ini sangat sesuai dengan nafas ayat pertama (Q. S. Al-Alaq: 1-5), yaitu: (1) bacalah! Dengan nama Tuhan-mu yang telah mencipta; (2) menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) bacalah! Dan Tuhan engkau adalah yang Maha Mulia; (4) Dia yang mengajarkan dengan qalam; (5) mengajari manusia apa-apa yang tidak ditahu). Barangkali dasar itulah yang melatarbelakangi mengapa program “Gemar Membaca” dirumuskan dan dilaksanakan sampai sekarang. Selain itu, para ustad tentu paham betul betapa urgensinya membaca dalam memperbaiki dan meningkatkan spiritual dan akhlak para santri dan ustad.
29
Melalui membaca, santri dan ustad menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta. Dengan membaca atau memiliki pengetahuan membaca pula, mereka semakin memahami betapa kuasanya Allah atas segala ciptaan-Nya (Juanda, 2017; Alfiah Adetutari, 2017). Dengan membaca pula santri dan ustad dibiasakan menjadi lebih karib dengan Allah Swt. Pada prinsipnya, pengetahuan seharusnya menjadi kompas atau navigator kehidupan bagi siapapun dan menjadi karib dengan pemilik ilmu pengetahuan. Fondasi itulah yang diletakkan oleh Dea Guru (bisa disebut Kiyai) agar semua stakeholder sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, yang bermuara pada hamba yang muabbid (dengan ilmu yang dimiliki, mereka semakin taat kepada Allah). Tentu pengalaman menerapkan pola pengembangan literasi yang dilakukan oleh PMI DM perlu dibagikan kepada khalayak. Bukankah pengetahuan harus dideseminasikan agar menjadi teladan bagi diri dan orang lain. Selain itu, rendahnya literasi siswa secara nasional juga melibatkan pihak sekolah karena setiap instansi tentu memiliki karakteristik persoalan yang berbeda. Oleh sebab itu, apa yang telah dilakukan oleh PMI DM perlu diapresiasi agar pola-pola pengembangan literasi serupa mampu diterapkan di sekolah-sekolah lainnya. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Perspektif Literasi Ada empat perspektif yang dapat digunakan dalam upaya mengembangkan literasi di sekolah, seperti: perspektif Goodman, McCormick & Mason, Strommen & Mates, dan van Kleeck, (Dunbar-Odom, 2007) dan Marchant (2008). Keempat perspektif ini tentu dapat menjadi pertimbangan bagi stakeholder terkait sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Goodman (dalam Dunbar-Odom, 2007) menjelaskan lima domain yang dapat meningkatan pengetahuan dan keterampilan anak-anak khususnya pada roots of literacy/basic literacy atau literasi dasar. Kelima hal tersebut meliputi: (1) membangun kesadaran konteks; (2) membangun kesadaran wacana; (3) fungsi dan bentuk penulisan; (4) keterampilan berbahasa lisan, dan (5) kesadaran metakognitif dan metabahasa penulisan. Pada butir (1) seorang anak yang memahami konteks dapat diamati ketika dia mulai mengenali lingkungan, seperti kemampuan menjelaskan jenis-jenis barang di kios, rumah, dan sebagainya. Sementara butir (2) membangun kesadaran wacana, seorang anak diperkenalkan atau didekatkan kehidupannya dengan buku, majalah, permainan yang mendidik, komputer, website, dan koran (Marsh & Millard, 2000; King, 2002). Kemudian butir (3), pengembangan fungsi dan bentuk penulisan, anak mulai menulis atau menggambar untuk mewakili dan mengetik huruf. Penggunaan bahasa lisan dapat diamati ketika anak mulai memahami dan berbicara tentang fungsi bahasa tulis. Terakhir butir (4), kesadaran metakognitif dan metalinguistik bahasa tertulis, anak mulai memahami arti, seperti surat dan halaman, serta menggunakan kata-kata untuk menggambarkan apa yang dia membaca. Perspektif lain dikemukakan oleh McCormick dan Mason (1986) yang menyarankan bahwa pengetahuan dan keterampilan anak dapat meningkat melalui sebuah hierarki. Hierarki ini terdiri dari tiga tingkat melek huruf muncul: (1) fungsi cetak; (2) bentuk cetak; dan (3) koordinasi bentuk dan fungsi cetak. Pemahaman anak-anak yang melek huruf berhubungan erat dengan lingkungan. Mereka mulai mengenali lingkungan, seperti tanda-tanda jalan, namun mungkin tidak dapat membaca kata-kata yang sama dalam situasi yang berbeda. Pada hierarki ini, anak-anak belajar bahwa kata-kata bermakna dapat direpresentasikan dalam bentuk cetakan dan tentu saja memiliki fungsi. Untuk sampai pada pemaknaan tersebut, anak-anak harus mempunyai bekal pengetahuan ejaan, kaidah, atau norma bahasa, termasuk
30
fonetik. Selanjutnya, ketika mereka telah mampu membedakan fungis cetak dan fungsi bentuk, maka mereka akan melangkah ke hierarki ketiga, yaitu anak-anak menerapkan pemahaman mereka tentang fungsi cetak dan bentuk cetak secara bersamaan. Strommen dan Mates (2000) menawarkan suatu kerangka perkembangan pemahaman anak-anak menjadi seorang pembaca. Kerangka ini berkembang dari sebuah studi longitudinal pada 18 anak-anak (usia 3 tahun) TK. Anak-anak bertemu dengan individu secara periodik untuk mendokumentasikan ide-ide mereka tentang membaca. Tujuan penelitiannya adalah untuk menentukan apakah anak-anak (1) sama konsep tentang apa dilakukan seorang pembaca, dan (2) menunjukkan urutan perkembangan konsep-konsep anak-anak. Hasilnya mengungkapkan bahwa ada keseragaman dalam pengembangan ide-ide ini, namun ada juga perbedaan. Ada enam konsep membaca yang diamati selama tahap literasi: - Membaca adalah salah satu aspek rutin seseorang—buku dipandang sebagai rutinitas sosial di mana buku itu sendiri memiliki peran kecil. - Pembaca fokus pada buku—buku dipandang sebagai rutinitas sosial di mana buku ini adalah fokus dari rutinitas. - Pembaca membuat akun—mereka bergantung pada ilustrasi daripada cetakan untuk membangun sebuah cerita yang bermakna. - Pembaca merekonstruksi akun—mereka mengakui bahwa isi cerita untuk setiap buku; dalam merekonstruksi cerita, kata-kata bisa berubah, tetapi maknanya harus tetap sama. - Pembaca merekonstruksi teks—teks tercetak diperlukan untuk merekonstruksi cerita; namun, hubungan antara decoding cetak dan membaca tidak selalu bisa dipahami. - Pembaca merekonstruksi teks dengan menggunakan beberapa strategi untuk menafsirkan bahasa yang dikodekan—ada pemahaman bahwa mereka harus secara akurat menafsirkan bahasa tertulis dengan menggunakan berbagai strategi bahasa dan decoding (misalnya, fonetik, semantik, dan sintaksis). Selain meningkatkan pengetahuan literasi dari sisi kebahasaan, literasi ternyata mempunyai dampak dalam sosial, budaya, dan ekonomi atau kesejahteraan seseorang. Literasi memiliki dampak besar pada individu sebagai testimonial, dan berinvestasi besar bagi pembebasan kemiskinan, prasangka, dan penindasan (Dunbar-Odom, 2007). Literasi sering dipandang sebagai sarana untuk memperjuangkan haknya secara politis (Hernandes-Zamora, 2010). Peningkatan literasi diperlukan untuk berpikir secara abstrak. Bahkan, untuk mengatasi diskriminasi gender, mengintegrasikan masyarakat, menghilangkan kesenjangan, dan berkontribusi terhadap stabilitas politik dan sosial juga memerlukan literasi yang unggul. Selanjutnya ada juga model pengembangan literasi yang ditawarkan Marchant (2008). Teradapat lima langkah yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan literasi anak-anak, seperti: (1) kesadaran literasi, (2) sintaktik literasi, (3) pengenalan kata, (4) kesadaran ortografi, (5) kesadaran fonologi (seperti terdapat pada gambar)
31
Sumber: Marchant (2008) 2. Model Pengembangan Modelmemiliki lima unsur dasar (Joyce, Weil, & Calhoun, 2011; Juanda, 2015), yaitu (1) syntax, yaitulangkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan normayang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimanaseharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system,segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkantujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturant effects). Dari pijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa model adalah prototife, kerangka, atau langkah-langkah penggunaan suatu model pembelajaran. Dengan kata lain, artikel hanya sampai pada pembahasan model pengembangan literasi. C. PEMBAHASAN 1. Model Pengembangan Literasi di PMI DM Pesantren ini merupakan ide dari Prof. Dr. Din Syamsuddin sekaligus sebagai pengasuh. Sejak didirikan pada tahun 2013, Pesantren Modern Internasional Dea Malela (PMI DM) telah berkomitmen untuk berperan aktif dalam mewujudkan daya saing bangsa, khususnya di Kabupaten Sumbawa. Oleh sebab itu, para pengelola menyusun rencana aksi, antara lain: penggunaan bahasa asing, berorientasi sains dan Islam, dan pembudayaan literasi. Untuk mencapai dua poin sebelumnya tentu santri dan ustad harus memiliki keunggulan literasi. Keunggulan literasi relevan dengan semangat pendirian PMI DM, yang secara garis
32
besar tertuang dalam keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan keunggulan dinamis. Pembudayaan literasi telah dilakukan oleh PMI DM, yaitu dengan membentuk sebuah program yang diberi nama “Gemar Membaca.” Program ini telah dilaksanakan sebagaimana yang diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Seperti dijelaskan oleh Juanda (2017) bahwa program “Gemar Membaca” disusun sebagai upaya mencapai visi Pesantren Modern Internasional Dea Malela (PMI-DM). Program “Gemar Membaca” bertujuan untuk mengondisikan dan membiasakan santri dan stakeholder agar literat (YPKDM, 2013). Program “Gemar Membaca” dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu: pramembaca, membaca, dan pascamembaca. Dalam pelaksanannya, masih ditemukan kekurangan baik dari sisi santri, ustad/ustazah, sumber belajar, prasarana, dan sebagainya. Namun demikian, program ini layak mendapat apresiasi karena telah mencoba membiasakan budaya literasi. Sebagai tindak lanjut dari pembiasaan tersebut, pada kesempatan ini izinkan kami memaparkan pola pengembangan literasi yang dilakukan di sana. Dengan demikian, pembiasaan dan pengembangan tidak bisa dipisahkan karena bersifat kontinuitas dan holistik. Adapun model pengembangan literasi yang telah dilaksanakan oleh PMI DM adalah sebagai berikut: - Saat dalam kelas, santri membaca cerita Pengadilan Abu Syahmah Karya Suwanti selama 15 menit (mereview bacaan ketika membaca sebelum mengikuti pembelajaran dalam kelas) - Santri mencatat poin-poin penting cerita - Santri memberi komentar singkat (lihat format menulis komentar singkat) - Setelah memberi komentar, santri diminta untuk menanggapi secara lisan isi cerita (lihat format menanggapi cerita secara lisan) - Ustad/ustazah memberi masukan/saran kepada santri terhadap hasil bacaannya. Format: Menulis komentar singkat Tgl/Hari Judul Buku & Pengarang Senin, 11-4-2017 Pengadilan Abu Syahmah/Suwanti
Halaman 1-2
Komentar Kota Madinah adalah kota yang gersang dan panas di siang hari. Kota ini juga dikenal kota para khalifah. Peternak Kota Madinah umumnya membeli rumput di Kota Tabuk, dekat dengan Yaman. Salah satu khalifah adalah Umar bin Khattab. Beliau sangat dihormati dan disayangi oleh warga Kota Madinah. Namun, beliau sangat dimusuhi oleh orang Yahudi. Istri Umar mengandung. Istri beliau ingin menggugurkan kandungannya, namun tidak diizinkan oleh Umar karena
33
melawan ketetapan Allah. Abdullah, adalah anak pembangkang. Format: Menanggapi Isi Buku Secara Lisan Teks Fiksi Tanggapan Pertanyaan: Apa tema cerita? Umar bin Khattab yang dihormati dan disayangi oleh warga Kota Madinah Apa masalah yang sedang dihadapi tokoh? Kota Madinah yang kering dan gersang Umar dimusuhi oleh orang Yahudi Istri Umar ingin menggugurkan kandungannya, namun ditolak oleh Umar. Anak Umar adalah anak yang tidak taat pada orang tua. Bagaimana identitas tokoh? Umar teguh pendiriannya, taat dan takwa kepada Allah. Istrinya gambang mengeluh karena tidak tahan melawan rasa sakit pada kandungannya. Abdullah adalah anak yang suka melawan perkataan orang tua. Di mana setting cerita? Di Kota Madinah Apa yang anda sukai dari cerita? Keteguhan dan kasalehan Umar bin Khattab. Keikhlasan seorang istri menahan rasa sakit kandungannya. Bagaimana akhir cerita? Dari halaman 1-2, anak yang disayanginya ternyata tumbuh menjadi anak pembangkang dan tidak patuh pada perkataan orang tua. 2. Evaluasi Ketercapaian Program Gemar Membaca Format: Indikator Ketercapaian Program No. Deskriptor 1
2 3 4 5
34
Ada kegiatan 15 menit membaca: • Membaca dalam hati dan/atau • Membacakan nyaring, yang dilakukan setiap hari (di awal, tengah, atau menjelang akhir pelajaran) Ada berbagai kegiatan tindak lanjut dalam bentuk menghasilkan tanggapan secara lisan maupun tulisan Peserta didik memiliki portofolio yang berisi kumpulan jurnal tanggapan membaca Guru menjadi model dalam kegiatan 15 menit membaca dengan ikut membaca selama kegiatan berlangsung Tagihan lisan dan tulisan digunakan sebagai penilaian nonakademik.
Indikator Sudah Belum √
√ √ √ √
6
Jurnal tanggapan membaca peserta didik dipajang di kelas dan/atau koridor sekolah 7 Perpustakaan, sudut baca di tiap kelas, dan area baca yang nyaman dengan koleksi buku non-pelajaran dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan literasi 8 Ada penghargaan terhadap pencapaian peserta didik dalam kegiatan literasi secara berkala 9 Ada poster-poster kampanye membaca 10 Ada bahan kaya teks yang terpampang di tiap kelas, koridor, dan area lain di sekolah 11 Ada kegiatan akademik yang mendukung budaya literasi sekolah, misalnya: wisata ke perpustakaan atau kunjungan perpustakaan keliling ke sekolah 12 Ada kegiatan perayaan hari-hari tertentu yang bertemakan literasi 13 Ada Tim Literasi Sekolah yang dibentuk oleh kepala sekolah dan terdiri atas guru bahasa, guru mata pelajaran lain, dan tenaga kependidikan Sumber: Kemendikbud (2016)
√ √
√ √ √ √
√ √
D. SIMPULAN Program “Gemar Membaca” patut diapresiasi di tengah prestasi literasi siswa Indonesia yang tergolong tertinggal. Jika mengacu kepada PISA, Indonesia berada di peringkat 64 dari 72 negara. Tentu ini bukan kabar yang bagus bagi institusi pendidikan, khususnya Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Barangkali berkaca dari berbagai lembaga survei internasional yang menempatkan Indonesia pada posisi inferior itulah yang mendorong pihak PMI DM untuk membangun tradisi cinta atau gemar membaca. Literasi yang baik selalu berawal dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik pula. Literasi yang baik sudah barang tentu tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi membutuhkan ketekukan, konsistensi, dan kontiunitas. Oleh sebab itu, apa yang telah dilakukan oleh PMI DM, meskipun masih tergolong baru sudah sepantasnya menjadi model bagi instansi pendidikan lainnya. Adapun pola pengembangan yang telah dilakukan oleh PMI DM, antara lain: (1) menulis komentar singkat, (2) menaggapi isi buku secara lisan, dan (3) untuk mengucur keterlaksanaan atau ketercapaain program, para ustad selalu memberikan evaluasi. DAFTAR PUSTAKA Alfiah Adetutari, dkk. (2017). Laporan Praktik Pengalaman Lapangan di SMP Internasional Dea Malela. Sumbawa: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samawa. Depdiknas. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dunbar-Odom, D. (2007). Defying the Odds: Class and the Pursuit of Higher Literacy. Albany: State University of New York Press.
35
Merchant, G. (2008). Early Reading Development. Dalam Marsh, J., & Hallet, E. (Eds.)., Desirable Literacies Approaches to Language and Literacy in the Early Years. Los Angles: Sage Publishing. Hernandes-Zamora, G. (2010). Decolonizing Literacy: Mexican Lives in the Era of Global Capitalism. Buffalo: Multilingual Matters. http://tafsir.cahcepu.com/alalaq/al-alaq-1-5/. Juanda. (2017). Pembiasaan Literasi di Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Artikel dipresentasikan pada International Conference on Literature, and Language Teaching, 4-5 April 2017 di Universitas Muhammadiyah Surakarta. ………. (2015). Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter Sastra Tau Samawa. Yogyakarta: UPY Press. Kemendikbud. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud. King, K. P. (2002). Technology, Science Teaching, and Literacy: A Century of Growth. Moskow: Kluwer Academic Publishers. Marsh, J., & Millard, E. (2000). Literacy and Popular Culture: Using Children’s Culture in the Classroom. London: Paul Chapman Publishing Ltd. 231-250. London: Routledge. OECD. (2000). Literacy in the Information Age: Final Report of the International Adult Literacy Survey. Paris & Ottawa: OECD. ……... (2012). PISA 2012 Results in Focus: What 15-Year-Olds Know and What They Can Do with What They Know. Paris: OECD Publishing. ………. (2015). PISA 2015: PISA Results in Focus. Paris: OECD Publishing. Rhyner, P. M., Haebig, E. K., West, K. M. (2010). Understanding Frameworks for the Emergent Literacy Stage. Dalam Rhyner, P. M., (2009)., Emergent Literacy and Language Development: Promoting Learning in Early Childhood. London: Guilford Press. Permendikbud RI No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. WEF. (2011). The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining the Growth Momentum. Geneva: World Economic Forum Bekerja sama dengan Center for Global Competitiveness serta Center for Regional Strategies’ Asia Team. YPKDM. (2013). Buku Pedoman Akademik Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Jakarta: Dea Malela Foundation.
36
KAGHATI (LAYANG—LAYANG) DAN PEMILIHAN RAJA MUNA SEBELUM ISLAM Wa Ode Sifatu 29 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan perbedaan fungsi Kaghati pada masyarakat Muna dengan layang-layang lainnya di Indonesia dan di dunia. Teori yang digunakan untuk membaca data adalah pemikiran E.B. Tylor dengan metode etnografi. Hasil penelitian, persekutuan La Pasindaedaeno sebagai penguasa Muna dan Ratu Wa Mboro sebagai penguasa makhluk halus di Kerajaan Luar Angkasa, keduanya sebagai pemegang kekuasaan wilayah tetapi tidak saling mengalahkan dan meniadakan, bahkan saling menghargai. Kaghati menjadi media dalam pemilihan Raja Muna hingga masuknya Islam. Model pemilihan raja seperti itu tidak berpotensi konflik antarkelompok karena masing—masing menyerahkan diri kepada alam. Persekutuan La Pasindaedaeno dan Ratu Wa Mboro hiingga sekarang tetap terpelihara oleh pemain Kaghati. Seharunya pemerintah daerah Kabupaten Muna dapat menangkap berbagai peluang bisnis berkenaan dengan popularitas Kaghati pada masyarakat internasional. Kata—kata kunci: Islam, Kaghati, pemilihan Raja Muna
A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara besar dari segi luas wilayah, terdiri atas + 17.000 buah pulau, 1.922.570 km persegi luas daratan, 3.257.483 km persegi luas laut, dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa. Implikasi dari luasnya wilayah dengan masyarakat majemuk dari segi suku bangsa, bahasa daerah, agama, golongan, kepercayaan, berbagai jenis permainan tradisional, dan sebagainya melahirkan persamaan dan perbedaan dalam segala aspeknya. Salah satu contohnya adalah perbedaan fungsi permainan tradisional Kaghati (layang—layang) di Muna dengan layang—layang di wilayah lain di Indonesia. Harian Antara, Rabu, 20 Agustur 2014 merilis berita bahwa Kaghati telah diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia dari pulau Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal itu berdasarkan pendapat Wolfgong Bick dalam La Kandi (2013: 79), menyatakan bahwasebagai salah satu bentuk permainan rakyat dalam masyarakat Muna diperkirakan telah berkembangan sejak 4000 tahun yang lampau. Dalam penelitian Wa Ode Husna (2016) menemukan bahwa: Kaghati hampir terlupakan oleh masyarakat Muna karena jarang diperkenalkan kepada generasi muda di Muna. Menurut pengamatan penulis, banhwa upaya pemerintah Kabupaten Muna untuk melestarikan Kaghati antara lain menyelenggarakan festival Kaghati Internasional Agustusan dengan mendatangkan peminatnya dari seluruh pelosok bumi ke Muna, dimotori oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun hasilnya, belum signifikan dalam mempopulerkan Kaghati kepada generasi muda Muna di Muna. Melalui artikel ini, penulis ingin mengungkapkan fungsi Kaghati dalam pemilihan Raja Muna pada masanya. Kaghati telah dikaji dari berbagai aspek, di antaranya: La Kandi (2013: 124—135) dalam tesisnya telah mengkaji Kaghati dari segi bentuk, makna dan nilai, yang dibaca dengan Teori Semiotik. Wa Ode Husna (2016) telah mengkaji mengenai Fungsi Mitos Asal-Usul Kaghati Roo Kolope (Layang-Layang) Pada Etnis Muna, La Ode Ali Basri, dkk.
29
Dosen Antropologi, FIB. Alamat Kontak: BTN Unhalu Blok W Nomor 28, Anduonohu, Kendari, Sultra. Telp. 081341762438, E—mail
[email protected].
37
(2017: 33) dalam penelitian mereka telah mengkaji “The Values Of Multicultural Education In Munanese Traditional Culture” Berbagai sumber yang telah mengkaji Kaghati dari luar negeri Indonesia di antaranya: Elaine (2015: 2) memberikan sambutan dalam event “Kite Trade International Assocoation 27th Annual Trade Show and Convention, Orlando, Florida 10—12, January 2015, mempersembahkan himbauan kepada para peminat layang-layang dari seluruh dunia agar berkunjung ke event mereka di Orlando, Florida dalam rangka berhibur, berlibur, dan berbisnis. Fabre, Pierre, et al. (2003: 15-16) dalam artikel mereka yang berjudul, “Time Will Give More Answers’ Muna Cave Painting Is Hard to Date.” menjelaskan bahwa masalah penentuan berapa usia lukisan Kaghati di atas batu di Muna, Indonisia, dapat membuka cakrawala masyarakat tentang betapa terampilnya masyarakat masa lampau. Tempat gua tidak hanya tersembunyi di dalam di Muna tetapi juga medan untuk mencapainya betapa sulit. Fabre berharap kondisi ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat global sesuai dengan kepentingannya. Planet Kite Matrix (2002: tanpa halaman) menjelaskan pandangan yang berbeda sesuai dengan keahlian dan minat masing-masing mengenai pulau Muna. Liang Kobhori, yang semua bersepakat bahwa Kaghati (layang-layang dari Muna) sebagai “the early ancient cave-kiteman” a story about possible prehistoric cavepaintings showing a man flying a kite... Planet Kite Matrix ditulis oleh Ruhe drachen foundation-journal, La Sima dari orang Muna sendiri, Mr. Tinton dari Kuala Lumpur Malaysia, Wolfgang Biecks dari Jerman, Robert Bednarik dari Convener, President and Editor, International Federation of Rock Art Organisations (IFRAO), Bart van Assen dari Belanda, Yusuf Susilo Hartono dari Jakarta Post, David Wagner dari The Drachen Foundation, Peter Lynn ahli ethnology and luinguistics. Ralph Stepp dari Bukit Kentucky tidak menggambarkan fungsi sebagai alat untuk pemilihan raja dari Kaghati. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian antropologi, membaca data melalui pemikiran E.B. Tylor tentang perubahan agama dengan metode etnografi.Teori perubahan agama: animisme, dinamisme, politeisme, dan monoteisme. E.B Tylor melihat perubahan agama suatu masyarakat dengan kerangka kerja yang koheren dan rapi bagi fieldwork. Prosedurnya hanya menuntut etnografer mengidentifikasi pola-pola tindakan dan keberagamaan, dan menjelaskan fungsi mereka. Peneliti memandang realitas konkret itu bukan sekadar entitas, tetapi sebuah proses kehidupan sosial yang dapat diobservasi, dideskripsikan, dibandingkan, dan diklasifikasikan. Informasi dari masyarakat Muna yang ada di Kabupaten Muna maupun di luar Kabupaten Muna tetap dibutuhkan.Instrumen dalam penelitian adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci, dilengkapi dengan pedoman wawancara, pedoman pengamatan, dan kamera.Penentuan informan dalam penelitian ini, dilakukan secara purposive sampling adalah pemain Kaghati dan mereka memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman tentang Kaghati. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif sehingga menemukan fungsi Kaghati dalam pemilihan pemimpin pada masyarakat Muna. C. HASIL DAN DISKUSI Legenda tentang awal mula kelahiran Kaghati merupakan hasil perjuangan La Pasindaedaeno yang sejak remaja telah bercita-cita menjadi kepala suku bagi etnis Muna (lihat Wa Ode Husna, 2016). Dalam perkembangan masyarakat Muna selanjutnya, Kaghati telah
38
berfungsi menjadi: hiburan, menjadi alat perantara bagi mereka yang ingin berinteraksi dengan penguasa alam semesta. Salah satunya adalah digunakan oleh panitia pemilihan raja untuk menentukan pemenang dalam kontestasi pemilihan Raja di Muna. Caranya adalah: semua orang yang berkontestasi menjadi calon raja Muna dibuatkan Kaghati. Ukuran besar Kaghati sesuai ukuran tubuh masing-masing kontstan, yaitu: semua kontestan berdiri tegak dan mengacungkan kedua tangan setinggi—tingginya ke arah atas. Dalam kondisi berdiri tegak dengan kedua tangan diacungkan ke atas, lalu diukurlah tingginya dengan bambu yang tegak lurus dari tanah hingga ke ujung jari tangan. Bambu itulah yang akan menjadi tiang Kaghati bagi yang bersangkutan. Kemudian membentangkan kedua tangan setinggi bahu ke arah kiri dan kanan, lalu diukur dengan bambu dari ujung jari kiri ke ujung jari kanan. Bambu itulah menjadi ukuran lebar sayap Kaghati bagi yang bersangkutan. Seluruh Kaghati para kontstan raja Muna mengudara hingga tujuh hari dan tujuh malam. Masyarakat dapat mengawasi semua Kaghati para kontestani yang sedang mengudara karena pembeda antara Kaghati satu dengan Kaghati lainnya adalah bunyi kamuu masing-masing. Bunyi Kamuu dapat berbeda tergantung pada kencang dan kendurnya daun lontar yang terpasang. Kontestan raja yang menjadi pemenang adalah kontestan yang Kaghati—nya dapat mengudara selama tujuh hari dan tujuh malam. Jika terdapat dua kaghati yang dapat bertahan, jumlah harinya ditambah hingga tersisa satu Kaghati. Masyarakat Muna mempercayai bahwa Kaghati yang sanggup mengudara hingga tujuh hari dan tujuh malam karena tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat telah sesuai dengan ajaran Toba (upacara peralihan dari kanak— kanak ke remaja. Dihormati dan disanjung bagi semua Kaghati yang dapat mengudara hingga tujuh hari tujuh malam dan selalu disambut dengan upacara Haroa untuk dimakan bersama seluruh kerabat dan handai taulan, baik Kaghati sebagai hiburan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada penguasa alam semesta, maupun Kaghati yang menjadi alat dalam pemilihan Raja Muna. Dianggap hanya sebagai sampah biasa bagi Kaghati yang tidak dapat mengudara selama tujuh hari dan tujuh malam sehingga tidak ada upacara penyambutan. Bentuk Kaghati dapat dilihat pada gambar berikut. Kamuu, Penghasil bunyi menjadi identitas di Udara)
Pani (Sayap) LenturanPani
Kainere (Tiang)
Ikatan pani dan kainere
Doc. La Kandi, 2013. Gambar 1: Bentuk Kaghati Tampak Tiang, Sayap, dan Kamuu.
39
Dalam permainan Kaghati, terdapat banyak fungsi, diantaranya adalah pendidikan politik berbeda dengan layang—layang pada umumnya. Perbedaan yang dimaksud bukan hanya dari segi bahan bakunya, tetapi juga dari segi fungsinya. Salah satu fungsi Kaghati pada masanya adalah sebagai alat untuk menyeleksi Raja Muna. Layang-layang di Sumatera Barat, misalnya banyak diterbangkan sebagai layang-layang aduan. Layang-layang diadu sesudah panen, sebagai ungkapan gembira dan syukur. Kriteria perlombaan layang-layang adalah ketinggian terbang dan tegaknya tali kendali. Layang-layang di Kalimantan Selatan banyak dimainkan oleh para petani untuk mengusir burung Pipit yng selalu makan padi. Terdapat 2 (dua) jenis layanglayang di Kalimantan Selatan yaitu Laki (dimainkan oleh anak laki-laki), dan Bini (dimainkan oleh anak perempuan). Bagi pemuda dan pemudi, layang-layang mempunyai makna khusus. Seorang pemuda yang bermain layang-layang merupakan kembanggan kepada calon mertuanya karena menunjukkan kemampuan dalam melindungi istrinya, sedangkan seorang perempuan bermain layang-layang merupakan kebanggan untuk memelihara hasil jeri payah suaminya. Di Bali, layang-layang tidak semata-mata sebagai permainan pengisi waktu senggang, tetapi berisi permohonan kepada dewa agar terbebas dari berbagai penyakit, sehingga dalam permainan layang-layang dilengkapi dengan sarana sesaji, seperti gamelan dan dupa atau kemenyan yang dibakar. Di Jawa Barat, layang-layang digunakan untuk menangkap ikan atau kelelawar (lihat Mudana, 2012). Perbedaan Kaghati dengan layang—layang pada umumnya yang ada di muka bumi bukan hanya dari segi bahan bakunya, tetapi juga dari segi fungsinya. Salah satu fungsi Kaghati pada masanya adalah sebagai salah satu sarana politik bagi masyarakat Muna. Sedangkan layang—layang dari daerah lainnya tidak mengandung sarana politik. Layang-layang di Sumatera Barat, misalnya banyak diterbangkan sebagai layang-layang aduan. Layang-layang diadu sesudah panen, sebagai ungkapan gembira dan syukur. Kriteria perlombaan layang-layang adalah ketinggian terbang dan tegaknya tali kendali. Layang-layang di Kalimantan Selatan banyak dimainkan oleh para petani untuk mengusir burung Pipit yng selalu makan padi. Terdapat 2 (dua) jenis layang-layang di Kalimantan Selatan yaitu Laki (dimainkan oleh anak laki-laki), dan Bini (dimainkan oleh anak perempuan). Bagi pemuda dan pemudi, layang-layang mempunyai makna khusus. Seorang pemuda yang bermain layanglayang merupakan kembanggan kepada calon mertuanya karena menunjukkan kemampuan dalam melindungi istrinya, sedangkan seorang perempuan bermain layang-layang merupakan kebanggan untuk memelihara hasil jeri payah suaminya. Di Bali, layang-layang tidak sematamata sebagai permainan pengisi waktu senggang, tetapi berisi permohonan kepada dewa agar terbebas dari berbagai penyakit, sehingga dalam permainan layang-layang dilengkapi dengan sarana sesaji, seperti gamelan dan dupa atau kemenyan yang dibakar. Di Jawa Barat, layanglayang digunakan untuk menangkap ikan atau kelelawar (lihat Mudana, 2012). D. KESIMPULAN Terdapat relasi fungsional antara unsur budaya Muna dengan struktur sosial yang ada. Persekutuan La Pasindaedaeno sebagai penguasa Muna dan Ratu Wa Mboro sebagai penguasa makhluk halus di Kerajaan Luar Angkasa, keduanya sebagai pemegang kekuasaan wilayah tetapi tidak saling mengalahkan dan meniadakan, bahkan saling menghargai. Kaghati menjadi media dalam pemilihan Raja Muna hingga masuknya Islam. Model pemilihan raja seperti itu tidak berpotensi konflik antarkelompok karena masing—masing menyerahkan diri kepada alam. Persekutuan La Pasindaedaeno dan Ratu Wa Mboro hiingga sekarang tetap terpelihara oleh pemain Kaghati. Seharunya pemerintah daerah Kabupaten Muna dapat menangkap berbagai peluang bisnis berkenaan dengan popularitas Kaghati pada masyarakat internasional.
40
DAFTAR PUSTAKA Ben Ruhe, et al. (2003). Time Will Give More Answers’ Muna Cave Painting Is Hard to Date. KITE Drachen Foundation Journal Spring 2003 Journal NNo. 11 Spring 2003. The Drachen Foundation:Kite Archives, Science and Culture Bednarik, Robert (2000-2003). Planet. Kite Matrix http://www.subvision.net/sky/planetkite/asia/indonesia/sulawesi-muna.htm, diakses tgl 28-8-2015. Jaques, Fissier et al. (1981). Kitelines (USPS 363-090) Succeeding Kite Tales. Quarterly Journal of Worldwide Kite Community, Winter Spring. Orlando: Aculus Press. Inc.. La Kandi (3013). Permainan Kaghati Roo Kolope Dalam Etnik Muna (Kajian Bentuk, Makna, Dan Nilai). Kendari: Tesis Kajian Budaya, Universitas Halu Oleo, Kendari, Belum Diterbitkan. La Ode Ali Basri, et al. (2017). The Values of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture. Asian Culture and History; Vol. 9, No. 1; 2017. ISSN 1916-9655 E-ISSN 19169663 La Ode Mudana (2012). Persamaan Kagahti dan layang-layang lainnya di Indonesia. Makalah untuk kelengkapan kenaikan pangkat guru, tidak diterbitkan. Leitner, Elaine (2015). Testimony From the President of the KTAI, to 27th Annual Trade Show and Convention. Orlando: Kite Trade Association International. Wa Ode Husna, (2016). Fungsi Mitos Asal-Usul Kaghati Roo Kolope (Layang-Layang) Pada Etnis Muna. Tesis, Kajian Budaya, Pascasarjana, Universitas Halu Oleo, Kendari, Belum diterbitkan. Wa Ode Sifatu (2013). Konflik dan Batas-Batas Antarkelompok: Studi Antropologis Mengenai Tawuran Antarkelompok Mahasiswa di kampus Perak, Sulawesi Tenggara. Disertasi Universitas Indonesia, Depok: Belum diterbitkan.
41
BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE PELOPOR PENERBITAN LITERATUR JAWA Dr. Wisnu, M.Hum. Dosen Jur.Pend.Sejarah FISH Unesa Surabaya Abstrak Perkembangan literer di Indonesia tampaknya tidak bisa dilepaskan dari peranan kaum minoritas Tionghoa. Ketika bangsa pribumi sedang terjajah, banyak di antara mereka tidak mampu baca tulis. Di pihak lain, ada segolongan warga Tionghoa yang bermodal dan memiliki idealisme berupaya meningkatkan derajat bangsa Indonesia, dengan menerbitkan buku. Dari berbagai wilayah di Jawa, seperti di Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Jakarta bermunculan penulis-penulis dan penerbit kaum minoritas Tionghoa yang berkecipung di dunia literer, terutama menerbitkan naskah-naskah Jawa. Belum lagi mereka yang berasal dari beberapa wilayah atau kota kecil, seperti Cilacap, Pasuruan, dan Kediri. Seiring dengan munculnya gagasan nasionalisme Jawa di awal abad XX, gagasan untuk menulis dan menerbitkan literature Jawa semakin semarak. Ditunjang pula dengan situasi dan kondisi jaman peralihan yang telah membangkitkan semangat baca bangsa pribumi di periode itu sebagai bukti telah terjadi perubahan budaya tutur ke budaya baca. Boekhandel Tan Khoen Swie meskipun namanya tidak setenar Balai Pustaka, tidak dimungkiri merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari daerah Kediri yang kecil. Ditunjang oleh manajemen yang bagus, hanya dalam beberapa tahun nama Tan Khoen Swie sudah sangat akrab dengan kalangan terpelajar. Boleh dibilang nama Tan Khoen Swie diidentikan dengan buku-buku bermutu yang diterbitkannya. Kata Kunci : Boekhandel Tan Khoen Swie, Literatur Jawa, Kediri, Tionghoa
A. PENDAHULUAN Eksistensi usaha penerbitan Boekhandel Tan Khoen Swie di Kediri tidak terlepas dari perkembangan aktivitas penerbitan di Jawa sejak awal abad XX yang dikelola oleh berbagai pihak, dengan berdasar latarbelakang kepentingan politik. Disebutkan sejak periode itu kelompok penerbit pers Belanda, pers Tionghoa, dan pers pribumi menampilkan hasil produk terbitannya dengan berbagai karakter bacaan. Pers Tionghoa dengan dukungan modal yang kuat mampu menampilkan wajah produk terbitannya dengan kualitas lebih baik daripada produkproduk terbitan pers Belanda dan pers pribumi (Leo Suryadinata,1988:79). Pilihan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi merupakan langkah jitu untuk mempermudah produk terbitannya dapat dikonsumsi sebagai bacaan pada berbagai lapisan masyarakat. Pilihan bahasa Melayu lebih didasarkan karena pada periode awal abad XX telah berkembang sastra Melayu Tionghoa dan pers Melayu Tionghoa di wilayah Hindia Belanda. Sastra Melayu Tionghoa dan pers Melayu Tionghoa bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Sastra Melayu Tionghoa dan pers Melayu Tionghoa saling mengisi dan mendukung satu sama lain. Banyak sastrawan Melayu Tionghoa merangkap jadi jurnalis, pemimpin redaksi, redaksi, pimpinan bahkan pemilik perusahaan penerbitan pers. Malahan ada yang menjadi pemilik percetakan yang menerbitkan harian, mingguan, bulanan atau majalahmajalah dan buku-buku sastra (Benny G. Setiono,2002:423). Selama tahun 1907 sampai 1923 bermunculan percetakan yang dikelola oleh orangorang Tionghoa di Malang, Kediri, Bandung, Jombang, Cirebon, Pekalongan dan Cilacap. Di Malang pada tahun 1907 oleh Kwee Khay Khee didirikan Snelpersdrukkerij Kwee Khay Khee yang mencetak koran Tjahaja Timoer. Pada 1918 percetakan lain Paragon Press didirikan oleh
42
Kwee Shing Tjhiang (1898-1940). Paragon Press merupakan sebuah percetakan yang pada masa itu dianggap paling modern di Hindia Belanda. Baru pada akhir 1920-an dan 1930-an Paragon Press mencetak dan menerbitkan majalah-majalah dan karya sastra dalam bahasa Melayu termasuk Majalah Liberty dan Tjerita Roman. Di Bandung pada 1917 berdiri Hoa Boe In Kiok dipimpin Lie Kim San. Lalu muncul Tjan (1920), Toko Marie (1922) dan Sin Bin (1923). Di Semarang pada 1909, Be Kwat Yoe sekretaris kamar dagang Tionghoa (Shang Hwe) mendirikan Java Ien Boe Kong Sie berlokasi di Gang Pinggir 68. Perusahaan ini menerbitkan koran berbahasa Melayu Djawa Tengah dan Djawa Kong Po dalam bahasa Tionghoa. Di Batavia Kho Tjeng Bie yang pada 1904 mengambil alih perusahaan Yap Goan Ho banyak menerbitkan novel dan mencetak berkala-berkala antara lain Sin Po yang dicetaknya sampai koran tersebut mempunyai percetakan sendiri. Ia juga mencetak Majalah Penghiboer yang diterbitkan Lauw Giok Lan pada 1913 (Ibid.,:431-432). Hal tersebut menunjukkan kepemilikan rangkap perusahaan percetakan dan penerbitan serta toko buku oleh pemiliknya yang sekaligus penulis atau penterjemahnya menjadi trend saat itu. Salah satu penerbitan yang memiliki kecenderungan seperti itu dan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri. B. BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE DAN PRODUK TERBITANNYA Nama Tan Khoen Swie tidak pernah disebut-sebut dalam historiografi Indonesia. Sepak terjangnya jarang mendapat perhatian, padahal ia memiliki kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan intelektualitas Jawa. Dia kelahiran Gunung Legong, Duren Siwo, Wonogiri pada tahun 1884 (Tan Hoen Boen,1935:89), dan meninggal di Kediri tahun 1953 (Jawa Pos,5 Mei 1953). Semasa hidupnya, ia menggeluti kebatinan Jawa, fasih berbahasa Jawa, menulis dan membaca aksara Jawa. Ia lebih dikenal sebagai seorang Cina yang berbudaya Jawa. Pengalaman di dunia penerbitan, ia peroleh ketika bekerja di Drukkerijk Sie Dhian Ho Solo (Benny G.Setiono,2002:339). Pekerjaannya itu yang mengenalkan dia dengan Ki Padmosusastra (Imam Supardi, 1961), seorang sastrawan dari keraton Solo. Tan Khoen Swie membuka usaha penerbitan di Kediri diduga karena situasi kehidupan sosial ekonomi di Solo kurang kondusif. Terjadinya kerusuhan rasial antara pedagang Jawa dan Tionghoa yang dikelola oleh Firma Sie DhianHo, sehingga aktivitas penerbitan di Solo terganggu. Hal ini yang mendorongnya untuk membuka usaha penerbitan di kota lain, yaitu Kediri. Pengaruh sastra Melayu Tionghoa pada naskah-naskah yang diterbitkan Tan Khoen Swie terlihat antara lain pada buku, Nabi Kong Hoe Tjoe,Haw King, Ling Djiat, Ngo Loen, Sioe Lian, Soesi Siang Loen, Soesi He Loen, Soesi Siang Beeng, Soesi He Beeng, Tay Hak Tiong Jong, Tjian Lie Gan (Adji Penerawangan), yang semuanya diterbitkan pada tahun 1929. Pada perkembangan berikutnya banyak diterbitkan buku-buku berbahasa Jawa. Kecenderungan ini yang kemudian menjadi fokus perhatian, terutama terkait dengan persoalan substansi dan penggunaan bahasa Jawa. Apa maksud Tan Khoen Swie menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa ? Adakah hubungannya dengan gerakan nativisme yang pada mulanya digagas oleh Mangkunegaran yang menganjurkan untuk memperkuat budaya Jawa ? Kehadiran Padmosusastro, R. Tanoyo, dan Mangoenwidjaja dari Kartasura di rumah Tan Khoen Swie mengindikasikan adanya kecenderungan untuk mengarahkan pada penerbitan buku-buku berbahasa Jawa. Latar belakang asal Tan Khoen Swie dari Wonogiri juga semakin memperkuat mengapa Tan Khoen Swie lebih tertarik untuk menerbitkan buku-buku berbahasa
43
Jawa, di samping alasan prospek pasar konsumennya terbanyak adalah orang-orang Jawa di berbagai wilayah, baik di pedesaan maupun di kota. Di samping ketiga penulis di atas, Tan Khoen Swie juga berhasil memanfaatkan jaringan penulis pribumi dari berbagai daerah dalam membantu usaha penerbitannya. Beberapa penulis yang diundang untuk membicarakan ide-ide yang akan ditulisantara lain berasal dari Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Surabaya, dan Lumajang. Demikian halnya beberapa penulis dari Cilacap dan Ngawi seringkali datang untuk bergabung (Jojo Soetjahjo Ghani,24 April 2012).Tan Khoen Swie juga didukung oleh warga Tionghoa, di antaranya Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe, Sioe Lian, Tjoa Hien Tjioe, Tan Soe Djwan. Mereka adalah para penulis, jurnalis, redaktur, dan pengusaha penerbitan Tionghoa. Fasilitas untuk keperluan penulis menjadi perhatian utama Tan Khoen Swie. Tan Khoen Swie menyediakan rumahnya menjadi semacam artist residence. Ia membangun kamar-kamar khusus untuk persinggahan jaringan penulis. Upaya ini dimaksudkan untuk menarik para penulis. Dari tangan Padmosusastro,R. Tanojo, dan Mangoenwidjajapada awal tahun 1916, pencetakan buku telah dilakukan, antara lain Serat Subasita, Serat Pustakaraja, Serat Paramayoga, Serat Nitimani. Dalam kurun waktu enam tahun atau tepatnya pada tahun 1922, telah diterbitkan 44 buku. Selanjutnya tahun 1929, terbit lagi 48 buku, kemudian tahun 1934, terbit 132 buku. Total buku yang diterbitkan Tan Khoen Swie sampai tahun 1953, saat Tan Khoen Swie meninggal, sudah 400-an buku dicetak. Terbitan terakhir berjudul “Alamat Ngimpi dan Artinja”, dicetak berulang kali hingga tahun 1956, setelah itu tidak ada lagi buku-buku baru yang beredar di pasaran. Beberapa buku Tan Khoen Swie tergolong best seller pada zamannya, sehingga mengalami beberapa kali cetak ulang. Buku-buku tersebut umumnya berupa buku pengetahuan populer, seperti tentang oriental, kebatinan, ramalan, primbon, legenda, dan filsafat. Misalnya saja Kitab Horoscoop, Kitab Rama Krisna, Kekoeatan Pikiran, Kitab Ramalan dan Ilmu Pirasat Manusia, Kitab Achli Noedjoem, serta Alamat Ngimpi dan Artinja. Buku-buku itu diterbitkan dalam tahun 1919 hingga 1956. Pada masa itu, buku-buku demikian paling banyak diminati masyarakat. Bagaimana Tan memahami peluang pasar terhadap buku-bukunya, menjadi perhatian menarik. Bagaimana buku-buku Tan Khoen Swie laris terjual ? Untuk menjawab pertanyaan itu dapat dijelaskan beberapa upaya Tan Khoen Swie dalam mentransformasikan naskah-naskah yang sebagaian besar berupa naskah macapat menjadi bentuk prosa. Pada umumnya masyarakat kurang bisa memahami dan bahkan kurang tertarik membaca naskah macapat, karena persoalan kaidah sastranya yang sulit dimengerti. Oleh karena itu Tan Khoen Swie berusaha menyajikan bacaan-bacaan sulit itu menjadi mudah dibaca dan dimengerti serta disukai masyarakat. Penjelasan Subardi (2012), dalam disertasinya “Transformasi Teks Macapat Terbitan Boekhandel tan Khoen Swie”, menerangkan tentang bagaimana Tan Khoen Swie mentransformasikan naskah-naskah tersebut. Menurut Subardi dalam upaya penyebarluasan karyakarya pujangga yang semula hanya terbatas pada kalangan tertentu, Boekhandel Tan Khoen Swie telah berusaha melakukan transformasi teks-teks dalam buku-buku penerbitannya. Hal ini dimaksudkan agar gagasan para pujangga dapat diketahui dan tersebar luas, serta lebih mudah dibaca masyarakat.
44
Bagan Transformasi Teks Macapat Tan Khoen Swie
Teks non macapat
Nilai pendidikan, nilaibudaya, nilai spiritual, dan nilai lain
Teks macapat
1. Transliterasi 2. Penerjemahan dgn gaya ungkap
BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE Transformasi Teks : 1. Bahasa jawa 2. Bahasa Indonesia 3. Para Frase Bahasa Jawa
1. Teks lebih mudah dipahami 2. Harga terjangkau 3. Penyebaran gagasan lebih luas
Masyarakat
Sumber : Subardi, “Transformasi Teks Macapat Terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie”, Disertasi S-3, UNM, 2012. Beberapa teks yang semula berbentuk macapat, oleh Tan Khoen Swie disederhanakan penyajiannya dengan memberi keterangan-keterangan penjelas agar lebih mudah dipahami. Tidak ada maksud untuk lebih mengutamakan kepentingan ekonomi yang dilakukan Tan Khoen Swie, melainkan sebuah keinginan agar buku tersebut dapat dijual murah. Menurut Subardi, analisis struktur teks hasil transformasi yang dilakukan Tan Khoen Swie dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tidak banyak mengalami perubahan dari teks macapat yang ditransformasikan. Namun demikian teks hasil transformasi ini tidak lagi berupa teks metrum macapat. Perubahan terjadi dengan penggantian beberapa diksi, dan penerjemahan (dalam bahasa Indonesia) tetapi jumlah diksi tidak banyak berubah dan tetap mempertimbangkan estetika bahasa. Struktur teks hasil transformasi parafrase yang dilakukan oleh Tan Khoen Swie dalam bahasa Jawa dari teks macapat menghasilan diskripsi sebagai hasil interpretasi. Dari tiga bentuk transformasi teks macapat terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie tampak bahwa transformasi teks macapat terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie dilakukan dengan mengganti atau mengubah diksi dan juga menambah sehingga strukturnya tidak lagi berupa teks macapat. Makna yang terdapat pada transformasi teks macapat terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie bahasa Jawa dan bahasa Indonesia ialah bahwa teks macapat maupun teks hasil transformasi menunjuk pada makna pokok yang sama.Teks hasil transformasi macapat tidak mengarah pada perubahan atau penambahan makna teks macapat dan masih relevan dengan fungsi macapat sebagai karya sastra untuk menyampaikan ajaran dan nilai-nilai. Secara lebih luas, dalam karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat terdapat tradisi intelektual, kearifan, ingatan kolektif, adat istiadat, religiusitas, interaksi budaya, etika dan estetika. Sedangkan makna yang terdapat pada transformasi teks macapat terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie parafrase dalam bahasa Jawa ialah bahwa teks hasil transformasi berupa parafrase menunjuk pada
45
makna pokok yang sama dengan teks macapat. Namun demikian teks transformasi mengalami penambahan dan perubahan diksi serta perubahan bentuk menjadi bentuk prosa. Perubahan menjadi prosa ini memungkinkan penambahan penjelasan dan uraian yang lebih leluasa. Penambahan ini lebih menunjukkan upaya memperjelas serta menafsirkan teks macapat. Namun demikian teks hasil transformasi macapat berupa prosa ini tetap mengacu pada makna pokok yang terdapat pada teks macapat. Makna ini masih relevan dengan fungsi macapat sebagai karya sastra untuk menyampaikan ajaran dan nilai-nilai budaya, dalam hal ini budaya Jawa. Teks hasil transformasi macapat tidak lagi berbentuk teks macapat. Struktur baru dari teks hasil transformasi ini berfungsi memperjelas makna atau isi pesan yang terkandung dalam teks macapat. Dengan teks hasil transformasi tersebut, makna teks macapat menjadi lebih mudah untuk dipahami masyarakat. Hal itu ditunjang lagi dengan upaya harga buku yang memuat transformasi macapat dapat dibeli dengan harga terjangkau oleh masyarakat. Makna teks macapat pada umumnya mengacu pada nilai-nilai pada budaya Jawa. Demikian juga teks hasil transformasi yang sudah tidak berupa teks macapat dengan struktur yang baru, makna yang dikandungnya tetap mengacu pada nilai-nilai yang ada pada budaya Jawa. Dengan demikian, pujangga sebagai pencipta teks macapat, pembaca yang kemudian meresepsi teks macapat dan menghasilkan transformasi teks serta pembaca lain yang membaca teks macapat dan teks hasil transformasi dalam penciptaan dan pembacaannya mengacu pada nilai-nilai yang terdapat pada budaya Jawa. C. PENYEBARAN BUKU-BUKU BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE SAMPAI TAHUN 1963 Apabila Sardono, menerangkan bahwa Tan Khoen Swie menawarkan buku-bukunya door to door, itu berarti pada mulanya buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swie beredar di sekitar kota Kediri (Tempo Interaktif, 2011).Pendapat itu dapat diterima, akan tetapi perlu perenungan, benarkah buku Tan Khoen Swie hanya beredar di Kediri ? Jawabnya tidak, karena Tan Khoen Swie memiliki usaha penerbitan di Solo (Wedodjatmoko, 1922). Di samping itu peran para pengarang yang telah menjalin kerjasama dengan Tan Khoen Swie juga tidak dapat diabaikan. Berarti dalam waktu serempak buku-buku Tan Khoen Swie juga beredar di berbagai wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penyebaran buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swie di wilayah Jawa Timur dapat ditunjukkan dari data surat-surat pembaca, terutama pembaca buku-buku Cina. Surat-menyurat seringkali dilakukan oleh pembaca dan pengarang. Mereka saling memberikan informasi mengenai ketertarikan pada isi naskah, harga, dan cara mendapatkan buku-buku itu di beberapa tempat. Ada pula yang menanyakan tentang kapan judul-judul buku yang diminati pembaca segera terbit, atau sebagain dari mereka (pembaca) mengajukan naskah-naskah menarik untuk diterbitkan. Seperti sepuluh surat yang masuk ke redaksi Boekhandel Tan Khoen Swie tahun 1920-1926 yang dilampirkan pada Kitab Sioe Lian Ke II (Ien Sie Thoe,1926). Surat-surat pembaca tersebut berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, seperti surat Ik Tie Tjoe dari Banyuwangi, surat Ik Tjong Tjoe dari Jember, Ik Kan Tjoe dari Probolinggo, Boen Sim Tjoe dari Pasuruan, Soe Pin Kie Soe dari Surabaya, Tjing Tjaij Tjoe Djien dari Kertosono, Siauw Jauw Loo Djien dari Kediri, Boen Iet Ong dari Tulungagung, Kwan Liam Tjoe dari Blitar, Boe Bing Tjoe dari Malang. Surat-surat tersebut berisi beragam pertanyaan, mulai dari rasa senang dengan terbitnya kitab tersebut sampai bagaimana harus bersikap dalam melakukan samadhi (Ibid:7-45). Pada tahun 1920-1930-an, buku-buku Tan Khoen Swie sudah menyebar di berbagai wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Data persebaran tersebut dapat diketahui dari daftar
46
suplemen buku-buku dari penerbit lain, misalnya Boekhandel Siti Sjamsijah Solo. Berdasarkan artikel Suripan Sadi Hutomo, Boekhandel Siti Sjamsijah Solo ikut andil memasarkan buku-buku Jawa terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri (Jayabaya, 1982). Sebuah Surat Kabar Tjahaja Timoer No.121, 17 November 1941 ikut pula menyebarkan buku-buku Tan Khoen Swie di Solo dan sekitarnya. Upaya promosi dari koran Tjahaja Timoer tersebut didasari dari ketertarikan pada naskah Kidungan Kawedar. Seringkali pembaca setelah membaca naskah-naskah yang menurut mereka cukup menarik, timbul rasa keinginan untuk ikut menyebarkan buku-buku itu. Pada tahun yang sama (1941), buku-buku Tan Khoen Swie telah menyebar sampai ke Dolok Merangir-Kabupaten Serbelawan, Medan, Sumatera Utara. Bukti itu ditunjukkan dari surat seorang pembaca yang dimuat di Catalogus tahun 1941 (Catalogus, 1941:76).Tidak ada data lain yang dapat ditemukan, sayangnya Tan Khoen Swie tidak menyimpan beberapa data yang lebih lengkap. Akan tetapi dapat dimungkinkan bahwa buku-buku beredar di berbagai daerah lebih banyak dari pada data yang ditemukan. Jojo Soetjahjo Gani, selalu mengatakan bahwa kakek buyutnya tidak menyimpan datadata penyebaran bukunya. Data-data itu baru dibuat pada saat Michael Tanzil. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa data-data yang dibuat Michael Tanzil itu tidak serta merta ada dan muncul begitu saja. Tentu itu melalui proses yang sudah ada sebelumnya. Para pemesan buku dan yang telah mendapat kiriman buku dari Tan Khoen Swie keadaannya terus berlanjut dari sejak Tan Khoen Swie masih hidup sampai Michael Tanzil mengendalikan usaha penerbitan. Oleh karena itu perkembangan persebaran buku-buku Tan Khoen Swie pada masa Michael Tanzil yang dicatat tahun 1958-1959 dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari masa Boekhandel Tan Khoen Swie saat Tan Khoen Swie masih hidup. Data penyebaran buku Boekhandel Tan Khoen Swie masa Michael Tanzil tahun 19581959, didapat dari Buku Pesanan dan Pembayaran tahun 1958, Buku Pengiriman dan Penerimaan Pos Wesel tahun 1958, dan Buku Ekspedisi Pengiriman tahun 1959. Berdasarkan ketiga buku itu dapat diketahui persebaran buku-buku Tan Khoen Swie tidak hanya di Jawa, melainkan menjangkau sampai pulau-pulau di luar pulau Jawa. Seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dan Timur. Di wilayah Jawa, hampir di seluruh wilayah itu, buku-buku Tan Khoen Swie telah tersebar. Berdasarkan informasi dari ketiga buku catatan tersebut, dapat diketahui bahwa bukubuku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie telah tersebar di seluruh kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat. Terutama kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta, buku Tan Khoen Swie banyak menjadi konsumsi bacaan yang digemari. Persebaran buku-buku di Sumatra Utara dan Timur sangat dominan. Di Sumatra Utara, berdasarkan Buku Ekspedisi, tahun 1959, terdapat 21 pemesan telah mendapat kiriman buku dari Boekhandel Tan Khoen Swie, terdiri dari pegawai 8 orang, toko buku 1 toko, penerbit 1, dan umum 9 orang pembaca. Untuk Sumatra Timur, 2 pegawai, dan 2 umum. Di Sumatra Utara, persebaran terfokus di kota Pematang Siantar, Medan, dan Labuhan Batu. Disusul Sumatra Selatan, terutama di kota Palembang, Tanjung Enim, dan Lubuk Linggau, berjumlah 8 orang, pegawai 3, petrani 1, dan umum 4. Kemudian Lampung 11 orang, dengan rincian, pegawai 4, toko buku 1, dan umum 6 terfokus di Lampung Utara, Lampung Tengah, terutama di Kota Metro dan Tanjung Karang. Wilayah Aceh, terutama di Kuala Simpang 1 orang, Sumatra Barat, di Padang Sidempuan 1 orang, dan Riau 1orang pembaca. Di Bangka Belitung, di Pangkal Pinang seorang pegawai tambang (Buku Ekspedisi, 1959).
47
Persebaran di wilayah Kalimantan meliputi : Kalimantan Timur 11 orang, pegawai 9, umum 2, terfokus di wilayah Balikpapan dan Samarinda. Kalimantan Selatan 7 orang, pegawai 5, umum 2. Terfokus di kota Martapura, Banjarmasin, dan Amuntai. Kalimantan Utara 1 toko buku di Tanjung Selor. Kalimantan Tenggara 1 orang pembaca di Kota Baru Pulau Laut. Kalimantan Barat 1 toko buku di Sambas (Ibid.). Di Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, di Kota Makasar, 4 toko buku. Sulawesi Tengah, terutama di Toli-Toli, satu orang penerima kiriman buku Tan khoen Swie. Sulawesi Utara, di Kota Menado, 1 orang pembaca. Di pulau-pulau luar Jawa lainnya, seperti Lombok 3 orang, pegawai 1, toko buku 1, pedagang 1 berada di Titian Ampenan dan Mataram. Bali 4 toko buku di Denpasar, Flores 1 orang, Maluku (Seram) seorang pegawai, di Pulau Geser Seram (Ibid.). Luasnya persebaran buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri menandakan bahwa penerbitan itu bukan sebuah usaha kecil yang hanya melayani masyarakat lokal melainkan lebih terlihat sebagai usaha yang telah mencapai akses sangat luas. D. KESIMPULAN Penyebaran buku-buku Boekhandel Tan Khoen Swiemenandai awal masa pencerahan bagi masyarakat Kediri dan bahkan untuk seluruh masyarakat Hindia Belanda di Jawa dan luar Jawa. Naskah-naskah itu membuka cakrawala baru dari budaya lisan menuju budaya baca. Berkembangnya intelektualitas muncul ketika masyarakat terbiasa dengan budaya baca. Proses transformasi pemikiran dari berbagai substansi dalam naskah-naskah itu secara visioner memberi pemahaman baru dan berpengaruh terhadap tingkat budaya intelektulitas masyarakat Indonesia. Gagasan Tan Khoen Swie sangat berarti untuk turut menyelamatkan lokal jenius yang semula diwariskan melalui tradisi lisan, serta mengembangkan sastra Jawa dan mengakrabkan ilmu pengetahuan Jawa kepada masyarakat luas merupakan misi terselubung yang diusungnya selama menggumuli bisnis percetakan. Melalui buku-buku terbitannya, Tan Khoen Swie menyatakan pandangannya kepada masyarakat, agar menselaraskan serta melestarikan nilainilai luhur kebudayaan dalam kehidupan. Hal ini tersirat dalam setiap kata pengantar di setiap halaman depan terbitannya. Seringkali Tan Khoen Swie mengingatkan pembacanya agar tidak sekedar menikmatinya sebagai suatu buku bacaan mapun cerita saja, tetapi juga memperhatikan falsafahnya, yang menjadi bekal untuk masa tua. DAFTAR PUSTAKA Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik Jakarta: Elkasa, 2002. Boen, Tan Hoen, Orang-orang Tionghoa yang Terkemoeka di Jawa Solo: The Biographical Publishing Center, 1935. Buku Penerimaan Boekhandel Tan Khoen Swie 1958 Buku Ekspedisi/Register Tahun 1959, Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri. Catalogus, Daftar Kitab-kitab Lahir Bathin, Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 1941. Catalogus : Daftar Kitab-kitab Kawedalaken Saha Kasade dening: Toko Buku Tan Khoen Swie Djalan Dhoho No.149 Kediri, Penerbitan tgl. 1 Februari 1953.
48
Daftar Buku Toko Tan Khoen Swie Kediri Tahun 1957. Daftar Buku/Barang dari Penerbit Tan Khoen Swie Kediri, per 31 Desember 1958 Imam Supardi, Ki Padmosusastro, Surabaya: Penyebar Semangat, 1961. Jawa Pos, 5 Mei 1953. Jaya Baya, 28 Nopember 1982. Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1988. Sie Thoe, Ien, Kitab Sioe Lian (Samadhi) Ke II, Alih bahasa Tie Tjiong Tjoe Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 1926. Subardi, “Transformasi Teks Macapat Terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie”, Disertasi S-3, UNM, 2012. Tjahaja Timoer, No. 121, 17 November 1941, Tahoen ka-33. Tempo Interaktif, 21 Oktober 2002. Wedodjatmoko, Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie,1922.
49
GERAK LITERASI KOMUNITAS TANAH OMBAK, MEMBANGUN HABITUS BARU DALAM MASYARAKAT MARJINAL KOTA PADANG Zurmailis FIB Universitas Andalas Padang
[email protected] Abstrak Tulisan ini akan membahas tentang aktivitas Komunitas Tanah Ombak, sebuah komunitas budaya yang menjadi penggerak literasi di lingkungan masyarakat Purus, wilayah pinggir pantai yang merupakan kawasan hunian masyarakat marjinal kota Padang. Aktivitas kelompok ini diangkat sebagai bahan kajian karena beberapa hal. Pertama, ruang sosial yang menjadi target gerakan merupakan wilayah marjinal yang dihuni masyarakat pinggiran yang selama ini tidak mendapat peluang dalam mengakses pendidikan, kesempatan kerja dan perbaikan ekonomi. Lingkungan ini mendapat stigma negatif sebagai wilayah yang menjadi ‘pembibitan’ pelaku kejahatan, karena ketimpangan ekonomi yang membelit kehidupan mereka. Komunitas ini memfokuskan diri kepada anak-anak dan remaja di lingkungan itu, yang selama ini selalu luput dari perhatian, baik perhatian pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga sosial yang ada. Kedua, aktivitas literasi yang bervariasi. Komunitas Tanah Ombak tak hanya sekedar mengenalkan bacaan, tetapi menyajikannya dalam beragam kegiatan seni, yang memungkinkan anak-anak Tanah Ombak mampu mengembangkan bakat seni dan berprestasi di bidang yang diminati. Ketiga, beragam kegiatan seni itu dipanggungkan dalam acara reguler yang digelar dalam lingkungan mereka sendiri. Pertunjukan mereka tidak hanya menjadi tontonan masyarakat sekitar, akan tetapi mendapat perhatian dari lingkungan luar, yang memungkinkan anak-anak Tanah Ombak mampu membangun rasa percaya diri, merasa mendapat apresiasi dari orang-orang yang tak terbayangkan akan mengunjungi pemukiman mereka. Dengan membingkaikan dalam proposisi teoretis Bourdieu, tentang habitus dan ruang sosial, kajian ini akan berusaha mengungkapkan bagaimana sebuah gerakan sosial akan dapat membangun habitus baru di lingkungan marjinal. Kata Kunci: ruang sosial, habitus, masyarakat marjinal, komunitas, intelektual kolektif.
A. PENDAHULUAN Secara personal saya merasa sakit ketika melihat seseorang terperangkap pada nasibnya, baik itu nasib menjadi yang miskin maupun menjadi yang kaya (Pierre Felix Bourdieu) Transformasi budaya tradisional menuju modernitas dengan terbentuknya ruang kota, selalu meninggalkan residu, dengan wilayah-wilayah liminal yang tak memiliki identitas kebudayaan yang jelas. Wilayah itu dihuni oleh orang-orang yang terpinggirkan dari percepatan perkembangan kota yang semakin merujuk pada trend globalisasi dengan paham neo-liberal yang berorientasi pasar di satu sisi, dan di sisi lain mereka juga mengalami redusibilitas atas identitas kultur asalnya. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang belum tersentuh modernisasi yang belakangan ini mendapat prioritas dan perhatian cukup sebagai objek sasaran atas proyekproyek yang diselenggarakan berbagai badan dan lembaga yang ada, mereka yang berada di
50
wilayah liminal ini cenderung terabaikan dari perhatian. Kehadiran mereka bahkan dipandang sebagai ekses yang tak diharapkan dari pembangunan kota. Sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, kota Padang yang tumbuh bersama munculnya pelabuhan dan sistem perdagangan modern sejak masa kolonial terus berkembang menjadi pusat pemerintahan, kegiatan bisnis, dan pendidikan. Daerah Purus, yang semula merupakan rawa pinggir pantai di tengah kota telah berubah menjadi wilayah metropolitan dengan jejeran flat, hotel, pusat perbelanjaan, dan ruang rekreasi yang nyaman. Akan tetapi, penduduk yang lebih awal menempati kawasan itu, yang mungkin dua atau tiga generasi sebelumnya bersusah payah menimbun rawa hingga menjadi pemukiman, belum seluruhnya ikut menikmati ruang kota yang nyaman itu. Mereka terjepit di antara himpitan ekonomi, ketakmampuan mencapai jenjang pendidikan yang lebih baik, ruang pemukiman yang sempit akibat pengambilalihan lahan tempat mereka hidup oleh para investor yang sebagian memanfaatkannya untuk membangun rumah susun yang justru dihuni para pendatang, maupun karena adanya pengembangan pariwisata dan tatakota. Mereka terjebak di pemukiman kumuh dengan orientasi hidup dan masa depan yang buram. Gang-gang sempit di Purus 2 dan Purus 3 teramat kontras keadaannya bila dibandingkan bertumbuhnya hotel dan restoran di sekitarnya, maupun daerah wisata pantai yang ditawarkan pemerintah daerah. Penghuni gang-gang sempit itu juga kehilangan orientasi budaya yang dapat menjadi pedoman bagi anutan tata nilai yang harus dijalani. Sistem nilai yang menjadi ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya tidak lagi mereka miliki.Mereka terpikat pada kekasaran materialisme kota besar yang dipertontonkan di depan mata, tapi tak mampu diraih. Kontras yang demikian tajam antara kehidupan mereka, yang sebagian bertahan hidup sebagai nelayan, pedagang kecil, buruh, pengangguran dan sebagian menjadi pegawai rendah, dengan perkembangan dan gemerlap kota di sekelilingnya menimbulkan rasa frustasi dan tekanan psikologis yang akut. Rasa frustasi itu diekspresikan dalam kekasaran verbal dan kekerasan fisik di antara mereka maupun terhadap dunia yang dicemburui. Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang ragu akan keberlangsungan masa depan itu cenderung menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan verbal dari orang tuanya. Seperti siklus yang berulang, sebagaimana orang tua mereka, anak-anak yang tumbuh dalam situasi demikian, dikhawatirkan akan menjadi pribadi-pribadi yang melihat kekerasan sebagai kewajaran karena telah mengalaminya secara berulang dan menjadi habitus dalam keseharian mereka.Boleh jadi mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak mengenal etika dan kesopanan. Anak-anak itu akan cenderung melihat kekerasan sebagai wujud eksistensi diri mereka dan memandang kekerasan sebagai prestasi dan kemenangan. Kehidupan yang kontras dan ketimpangan ekonomi dapat pula menjadi penyebab munculnya kalangan generasi muda yang frustrasi dan kehilangan orientasi. Mereka ingin menjadi baik, mereka juga ingin maju tapi tak ada jalan bagi mereka. Karenanya kemudian mereka mengambil jalan pintas untuk dapat mencapai apa yang tidak dapat diperoleh dengan cara yang wajar. Maka tindakan memutus mata rantai habitus antargenerasi menjadi hal yang mendesak, bila tidak, wilayah ini akan selalu menjadi pusat pertumbuhan kejahatan dan pelanggaran hukum. Beberapa pelaku budaya yang telah mengamati potensi destruktif lingkungan itu sejak lama, berupaya mencari solusi guna membangun habitus baru bagi generasi baru yang akan tumbuh. Kekhawatiran akan masa depan generasi muda pinggiran di tengah kota itu telah mendorong mereka melakukan perubahan melalui jalur budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural representation),sebentuk gerak literasi dengan membentuk
51
program khusus “ruang kreatif” bagi masyarakat marjinal di sekitar Pantai Padang.Kegiatan ini di satu sisi menjadi solusi bagi putusnya potensi destruktif, dan di sisi lain menjadi sarana pengetahuan pengasah bakat, menumbuhkan potensi kreatif generasi muda yang memungkinkan mereka dapat menjangkau apa yang semula dirasakan begitu jauh. B. TEORI DAN METODE Mengingat objek kajian dalam makalah ini menyangkut kebiasaan masyarakat di dalam ruang marjinal dan keterlibatan pelaku budaya/intelektual dalam pergerakan sosial, maka pemikiran Bourdieumenjadi acuan yang tepat sebagai landasan konseptual dalam memaknai ruang sosial dan gerakan sosial Tanah Ombak.Dalam banyak karyanya, Bourdieu menjelaskan tentang arena sosial yang di dalamnya orang-orang bermanuver dan berjuang dalam memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, melalui proses kekerasan simbolik dan dominasi budaya di berbagai bidang kehidupan sosial. Namun di sisi lain, Bourdieu juga memunculkan kelompok masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang pentingnya gerakan sosial yang memungkinkan adanya tindakan preventif atas pengaruh negatif dari kekerasan simbolik, menyihir mereka yang berada pada posisi lemah menjadi pengikut-pengikut pasif. Pelaku gerakan inilah yang dinamakan Bourdieu sebagai intelektual kolektif. Habitus merupakan terminologi yang penting dalam teori Bourdieu. Ia mendefenisikan habitus sebagaiasas yang melahirkan dan menyusun kebiasaandalam lingkungan sosio-kultural, yang mempradisposisi agen-agen dalam ruang sosial.Penggambaran habitus dapat disesuaikan secara obyektif pada hasilnya, tanpa mensyaratkan tujuan yang sadar terhadap hasil-hasil atau penguasaan secara jelas atas langkah-langkah yang perlu untuk mencapainya (1977 :72). Munculnya kondisi habitual tertentu di lingkungan masyarakat marjinal menunjukkan ketidaksadaran akan tujuan yang ingin dicapai. Kekasaran material yang menjadi anutan nilai sebagai imbas dari kapitalisme global telah mereka terima tanpa sadar, meskipun di lubuk hati mereka merasakan bahwa anutan mereka bukanlah pilihan yang benar-benar baik bagi mereka. Di sisi lain, habitus juga berkaitan dengan prinsip konstruksi dan evaluasi yang mendasar terhadap dunia sosial yang memberikan strategi bagi individu mengatasi berbagai perubahan tak terduga. Lewat pengalaman masa lalu, habitus berfungsi sebagai matriks persepsi, apresiasi dan tindakan (Bourdieu, 1994: 466; 1992: 18).Habitus lain sebagaimana yang menjadi pengalaman repetitif bagi mereka yang dinamakan Bourdieu sebagai intelektual kolektif,persepsi dan apresiasi yang memungkinkan bagi mereka untuk memberi evaluasi pada prinsip konstruksi kebudayaan dominan di ruang sosial, guna mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam wujud gerakan sosial. Dalam perkembangan pemikiran dan sikap budayanya, Bourdieu termasuk salah satu akademisi terpenting dunia yang terlibat aktif dalam gerakan sosial anti-globalisasi, karena ia benar-benar memahami terjanya dominasi budaya dan kekerasan simbolik, yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence) dan tak kasat mata (imperceptible and visible) (Bourdieu, 2001: 1).Kekerasan simbolik diterapkan sedemikian rupa sehingga meskipun praktik dominasi itu diakui secara salah (misrecognized), namun demikian ia diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah (legitimate) (Bourdieu, 1990: 197). Globalisasi baginya dipandang sebagai gerakan proyeksi ideologi terencana yang mengendalikan manusia dan tatanan masyarakat. Sejalan dengan itu, Priyono (2006: 1) menyatakan bahwa,“gerakan ini bersumber dari kekuatan koalisi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem”.
52
Globalisasi dengan paham neo-liberal yang diusungnya, menempatkan produktivitas dan daya saing sebagai tujuan utama, dan satu-satunya tindakan yang patut bagi manusiayang meyakini bahwa kekuatan ekonomi tidak dapat dilawan. Presuposisiyang demikiam menjadi dasar dari semua prasyarat ekonomi yang menyebabkan dilakukannya pemisahan radikal antara ekonomi dan sosial (Bourdieu, 1998: 30-31). Dengan demikian, globalisasi menjauhkan citacita kemakmuran yang berkeadilan dan pemerataan kesejahteraan sosial, yang menjadi dasar pembentukan negara dan cita-cita kebangsaan. Bourdieu menyebut neoliberal sebagai imperialisme yang menemukan alasan pencapaian intelektual tertinggi dalam dua figur baru produser budaya; yaitu salah satunya dalam isolasi think tank, yang menyiapkan dokumen teknis dengan sangat bagus, ditulis dalam bahasa ekonomi atau matematika, gunakan untuk membenarkan pilihan kebijakan yang dibuat dengan alasan yang tidak tepat. Figur yang lain adalah konsultan komunikasi berupa sintesis skolastik dari berbagai tradisi sosiologis dan filosofis yang secara tegas direnggut dari konteks mereka dan karenanya sesuai dengan tugas akademisi sociodicy(Bourdieu, 1998: 5).Atas nama program ilmiah pengetahuan diubah menjadi program aksi politik yang bertujuan menciptakan kondisi untuk mewujudkan dan menjalankan teori; Sebuah program penghancuran metodologis kolektif (ekonomi neo-klasik hanya mengenal individu, entah berurusan dengan perusahaan, serikat pekerja, atau keluarga)(ibid, hal 95-96), dalam mana kalangan akademisi/intelektual menjadi bagian di dalamnya. Bourdieu menganggap para akademisi itu sebagai orang-orang yang cukup beruntung telah menghabiskan hidup mereka untuk mempelajari dunia sosial, dan memetik keuntungan darinya. Mereka tidak dapat acuh tak acuh terhadap perjuangan untuk mendapatkan keadilan.Bagi Bourdieu, intelektual menanggung kepentingan universal, mempertahankan kebenaran dan keberpihakan pada yang tertindas. Oleh karena itu Bourdieu menyerukan suatu gerakan bagi mereka yang mempunyai kompetensi untuk membagi pengetahuan dan menyokong intelektual laindalam setiap gerakan membela mereka yang terdominasi, membela mereka yang menjadi korban dominasi kekuasaan dunia yang semakin komersial. Ia harus kritis terhadap tindakan yang diarahkan oleh pencarian keuntungan akan popularitas (Bourdieu, 2002: 5).Intelektual menurut Bourdieu selayaknya merefleksi kembali kerja intelektualnya, guna menghindari scholastic fallacyyang melihat realitas sosial sekedar untuk diterjemahkan ketimbang sebagai masalah yang harus dipecahkan. C. KULTUR MASYARAKAT MARJINAL Petugas PLN dan PDAM menyebutnya “Gang Setan”, akibat pengalaman buruk mereka berurusan dengan penghuni gang sempit di Jalan Purus III, yang selalu menunggak pembayaran berbulan-bulan dan memburu mereka dengan parang ketika aliran listrik atau air akan diputuskan. Sebutan itu kemudian menjadi populer di lingkungan itu. Gambaran tentang lokasi dan situasi Gang Setan dapat dilihat melalui uraian berikut: Gang setan memanjang hingga buntu berbataskan tembok pagar pembatas rumah susun warga (Rusunawa) yang berdiri kokoh di depan pantai Padang. Orangorang sekitar mengenal gang itu sebagai “Gang setan” atau “Gang Neraka”. Daerah pemukiman yang terletak di sisi kiri dan kana gang itu nyaris tak pernah dijejak oleh orang luar. Memasuki Gang Setan langsung dapat ditemui rumah penduduk yang berjejer di sisi jalan. Pemukiman di gang ini terbilang padat dan sudah ada sejak 3 generasi. Gang ini terdiri atas rumah dan gubuk sederhana, umumnya berbahan utama bangunan
53
kayu. Jika dilihat lebih dekat, semakin terasa sekali sebagai daerah pinggiran, tempat tinggal kaum marginal. Apalagi jika jika orang melihat dari ketinggian lantai lima gedung Rusunawa yang ada di sebelahnya, memandang sedikit menukik ke arah gang, akan terlihat atap-atap seng yang berkarat, rumah-rumah lama diakan usia, serta hamparan pemukiman padat dan sempit yang secara tersirat sebagai penanda bahwa penduduk yang tinggal di situ banyak yang miskin. Di gang itu tidak ditemui fasilitas sarana umum dasar yang memadai. Kondisi sanitasi di gang ini pun memprihatinkan dan cenderung berkategori perkampungan kumuh. Jika terjadi hujan lebat, tidak menunggu lama abnjir lokal gampang terjadi akibat tiadanya saluran drainase. Sejengkal di pintu rumah penduduk, terdapat got dangkal dengan air berwarna hitam dan berbau busuk, merupakan limbah air rumah tangga yang tak mengalir menurut aliran sanitasi yang ideal. Sesekali masih dijumpai adanya anak-anak sedang buang air besar di got dangkal itu, dan ibu-ibu mereka mandi di sisi lain dari got yang penuh dengan sampah rumah tangga pula. Ada sedikit hamparan tanah kososng bersemak di sekitar pemukiman di gang itu, tidak jarang akan ditemukan tinja dalam kantong kresek, yang dilemparkan ke tempat itu pada malam atau dinihari seusai buang hajat. Rumah-rumah penduduk di sekitar gang itu nyaris tidak dilengkapi WC. Pemerintah kota tampaknya tidak pernah menginjakkan kakinya di situ untuk memeriksa atau menangani keadaan itu. Meski ada saluran listrik dan air ledeng yang dialiri PAM pun kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Bahkan ada semacam keadaan antara pembiaran dan ketakutan untuk masuk ke gang itu untuk mengurus sarana umum dasar (Indrizal, 2016: 5). Lingkungan Gang Setan di Purus III merupakan lingkungan “pinggiran di tengah kota”. Kondisinya terlihat semakin kumuh setelah diluluhlantakkan gempa tahun 2009. Bila lingkungan sekitar berkemas dan mampu mempercantik diri melebihi keadaan awalnya, gang ini tetap tak tersentuh. Dana bantuan perbaikan bangunan yang diterima hanya dapat digunakan untuk perbaikan ala kadarnya, atau bahkan mungkin terpakai untuk kebutuhan lain, sehingga bangunan sederhna yang mereka tempati tampak semakin tua dan reyot. Gang ini termasuk ke dalam kelurahan Purus Tengah yang berada dekat dengan pusat kota. Kantor Gubernur dan Balai Kota hanya berjarak 2 km dari tempat ini.(sebelum Balai Kota dipindahkan ke Aia pacah yang semula tergolong wilayah pinggir kota). Lokasi ini juga hanya beberapa ratus meter dari ‘Mercure’, hotel bintang lima yang menjadi tujuan tempat istirahat bagi kalangan berduit. Beberapa puluh meter dari Gang Setan, di sepanjang jalan pinggir pantai, berderet restoran seafood dan tempat wisata kuliner lainnya. Tempat ini mudah diakses dengan angkutan umum kota, melalui Jalan Veteran yang merupakan salah satu gerbang utama kota atau melalui jalan mulus pinggir pantai yang diteduhi pohon pelindung dan danau Cimpago, pusat wisata pantai Purus. Namun seperti gambaran Indrizal di atas, pemukiman itu ditempatkan sebagai wilayah “buangan”, yang kehadiirannya sendiri diingkari. Menurut Indrizal, “jika dilihat dari segi mata pencaharian, warga laki-laki banyak yang bekerja sebagai nelayan upahan pada sampan dan kapal milik juragan yang membayar mereka dengan upah murah, buruh kasar dan bekerja serabutan” (ibid: 6). Bahkan bila ditelisik lebih dalam peerjaan serabutan itu ragamnya meliputi aktivitas yang dianggap negatif dalam nilai dan norma umum, seperti premanisme, judi, narkoba dan miras. Beberapa perempuan berprofesi sebagai PSK, disamping kerja mayoritas perempuan sebagai penganyam ketupat, buruh cuci atau pedagang kecil.
54
Tingkat pendidikan masyarakat di wilayah ini relatif buruk. Mereka yang sudah mencapai pendidikan lebih tinggi cenderung keluar dari gang setan dan akan merasa malu mengakui bahwa mereka pernah tinggal di lingkungan itu. Sebagian besar generasi muda putus sekolah dan nikah muda yang mayoritas karena pengaruh lingkungan yang buruk. Anak-anak menjadi usia 3 sampai 12 tahun menjadi mayoritas populasi di gang itu. Mereka sudah ditulari kebiasaan yang berlaku bagi orang tua dan lingkungan mereka. Makin dan kata-kata kotor akan keluar dengan lancar bahkan dari mulut para balita. “Pendidikan formal tampaknya juga gagal dalam membentuk karakter anak-anak gang setan. Tidak jarang pihak sekolah turut melegitimasi anak-anak dari daerah ini sebagai anak yang susah ditertibkan, susah dididik dan nakal” (ibid). Stigma negatif yang sudah melekat itu menurut Al Mujahidin (2016: 8) “tidak mudah diubah, meskipun mereka mengangankan kehidupan yang lebih baik”. Penolakan dan rasa dimusuhi yang selama ini diterima menimbulkan sikap sinis kepada lingkungan luar. Sikap yang demikian merupakan sebentuk regulasi diri, dan memandang lingkungan luar sebagai ancaman. Bila ada orang yang tidak dikenal masuk ke gang itu maka mereka mencurigainya sebagai Kibus (informan) atau Tekak(polisi). Mereka akan membangun tameng dan menolak komunikasi. Akan tetapi bila berada dalam kelompok, keberanian mereka muncul, dan terkadang mereka mampu melakukan tindakan-tindakan anarkis yang sulit dikontrol. Mereka datang dari berbagai tempat dan dari berbagai suku bangsa,terkumpul di kantong kemiskinan itu. Namun rata-rata mereka tidak lagi mempunyai komunikasi yang intens dengan kampung halaman sejak beberapa generasi. Wilayah itu sejak masa kolonial sudah menjadi wilayah hibrid, orang-orang Nias, Keling, Melayu, Minangkabau dan sebagian cina peranakan tinggal di sana. Wilayah pantai Padang karenanya dinamakan sebagai hunian Manicika, tempat bermukim yang multi etnis,suku bangsa Malayu/Minangkabau, Nias, Cina dan Kaliang (keling). Perpaduan itu telah membentuk kultur dan habitus sendiri, terlepas dari budaya asal mereka, sayangnya kultur baru yang terbentuk itu bukan merupakan kultur baru yang unggul. Kultur baru itu menimbulkan stigma negatif yang membuat pemangku kekuasaan pun enggan mendekat. Bila dalam suatu wilayah administratif pemerintahan ada tempat yang stigmanya “dihitamkan” oleh pemangku kebijakan sendiri, tanpa ada upaya pembinaan ke arah yang lebih baik, menunjukkan jangankan kesatuan organik antara warga dan pemerintahan, kesatuan mekanik pun sudah mengalami keretakan. Satu-satunya komunikasi antara aparatur negara dengan warga masyarakat di Gang Setan terjadi ketika ada ‘perburuan’ atas warga, mungkin karena pembunuhan, penganiayaan, pencurian, perampokan, pengedaran Napza, atau perkelahian. Komunikasi itu dilakukan melalui kokangan senjata.Tembak-menembak dan pengejaran di sepanjang gangsempit itu sudah biasa terjadi,tak ada pendekatan persuasif yang memungkinkan warga masih merasa ‘diorangkan’. Padahal mereka hanyalah anak-anak alam yang terbentur berkembang, tak seirama perkembangan peradaban karena lemahnya posisi sosial mereka, sehingga yang bertumbuh dalam jiwa mereka hanyalah naluri untuk bertahan hidup. Kelompok masyarakat ini tidak berdaya untuk menolong dirinya sendiri. Tudingan lingkungan sosial yang merasa lebih beradab semakin membuat mereka frustrasi dan merasa selalu terancam, bahkan oleh anggota kelompoknya sendiri. Mereka sulit mempercayai orang lain. Kecurigaan itu tak jarang menimbulkan pertengkaran sengit di antara mereka yang kadang
55
berakhir dengan perkelahian dan penganiayaan. Mereka seperti bergerak dalam gelap, menghantam apapun yang tersentuh tangan. Dalam situasi yang demikian, partisipasi sosial dari kalangan terpelajar untuk mendampingi dan memberdayakan mereka menjadi satu-satunya peluang bagi mereka untuk membangun kembali kepercayaan pada orang lain. Kehidupan transaksional yang mereka yakini selama ini sebagai satu-satunya bentuk relasi antarmanusia membuat mereka tak mudah percaya bahwa ada hubungan dalam wujudnya yang lain, dimana bantuan tak selalu mengharapkan imbalan. D. HABITUS DAN MODAL BUDAYA TANAH OMBAK Tanah Ombak tidak hadir secara tiba-tiba. Ada habitus dari agen-agen yang terlibat dalam gerakan yang terbentuk bersama waktu. Dua motor penggerak utama Tanah Ombak, Syuhendri dan Yusrizal KW telah memupuk modal budaya jauh sebelumnya. Keduanya telah berkecimpung di dunia seni sejak pertengahan 1980-an. Mereka para kreator yang bergerak di bidangnya, dan sebagaimana inteletual yang lain, mereka juga telah mengambil banyak “keuntungan” dengan menjadikan “tragedi sosial” di lingkungan masyarakat miskin sebagai inspirasi bagi kreativitas mereka yang kemudian mengangkat nama mereka sebagai orang-orang seni. Melalui karya teaternya, Syuhendri menjadikan logika-logika menyimpang masyarakat pinggiran itu sebagai tragik komedi di panggungnya. Cerpen-cerpen Yusrizal KW yang sebagian besar dimuat di harian nasional juga sarat dengan hal-hal yang demikian. Namun pada dasarnya, ketika fakta-fakta sosial memberi kesan mendalam dan menjadi inspirasi dalam penciptaan karya, dan dihadirkan menjadi sebentuk komedi situasi, seorang kreator sedang mengalami proses pergulatan dalam diri dan bagi dirinya sendiri. Apa yang ditampilkan karya seni sebagai lelucon, menjadi ironi yang pahit dalam diri para seniman. Dalam tahap ini, pengamatan yang eksploitatif berubah jadi empati. Pada awalnya, Syuhendri dan Yusrizal KW yang berbeda kecenderungan ekspresi seni (Syuhendri di bidang teater dan Yusrizal KW di bidang sastra) bersama tiga orang lainnya mendirikan Kelompok Studi Sastra dan Teater Noktah (KSST Noktah) pada 1993, sebagai organisasi seni pertama yang mereka dirikan bersama. Kelompok ini mengusung tiga misi; misi individual, misi sosial dan misi performance. Teater sebagai seni kolektif di masa-masa awal menjadi sarana representasinya. Misi individual dimaksudkan untuk menjadikan kelompok ini sebagai wadah pembentukan sikap mental para anggota, di mana mereka dapat berbagi pengalaman dan mengasah kepekaan sosial. Dengan misi yang demikian, KSST Noktah pada awalnya beranggotakan orang-orang dari beragam latar belakang; mahasiswa, pelajar, ibu rumah tangga, kuli, petinju, kernet bis, dosen, anggota organisasi PP, pegawai negeri, dan beberapa mantan mahasiswa (para sarjana baru). Dengan keberagaman latar belakang anggota, setiap proses latihan adalah ‘drama’ tersendiri. Pimpinan kelompok punya tantangan yang berat untuk menyatukan pemahaman di antara orang-orang yang berbeda tingkat pendidikan dan tingkat usia. Akan tetapi pada dasarnya dengan saling mengenal antara satu dan lain anggota kelompok, menjadi jembatan penghubung yang dapat menimbulkan empati di antara orang-orang yang berbeda latar kehidupan. Demikian pula dengan mengenal teater dan karakter tokoh dalam permainan, diharapkan memberi pengalaman lain yang bagi mayoritas anggota mungkin tidak akan dapat dialaminya dalam kehidupan nyata. Teater memberi kesempatan kepada seorang kuli untuk menjadi raja atau
56
pangeran di atas panggung. Dengan pengalaman yang demikian, di dalam habitat asalnya, setiap anggota diharapkan mampu menularkan pengalaman dan memberi pengaruh baik bagi lingkungan. Melalui cara ini, secara tak langsung misi sosial dapat berjalan beriringan. Kelompok ini kemudian lebih dikenal sebagai Teater Noktah. Kehadirannya di tengah publik dominan dikenal melalui pagelaran teater, dan identik dengan Syuhendri sebagai pimpinan kelompok sekaligus sutradara. Kajian sastra berjalan include melalui bedah naskah untuk pementasan, dan belum berdiri sebagai unit kegiatan tersendiri. Sementara itu, Yusrizal KW berkutat dalam pendirian beberapa kelompok seni budaya dan penerbitan seperti kelompok musik Pentassakral, dan mengurus Sanggar Pelangi, sanggar penulisan yang didirikannya, di samping aktivitasnya sebagai penulis, redaktur harian Padang Ekspres, mendirikan mediamedia baru Ini Oke dan Sumbar Satu, ditambah dengan kesibukannya di penerbitan Kabarita dan di komunitas Padang Membaca. Habitus dan pengalaman bertahun-tahun menyelami persoalan lingkungan sosial, harapan dan kekecewaan menghadapi situasi yang kurang kondusif, dan persentuhan dengan banyak karakter dan peristiwa bagi dua orang motor penggerak Tanah ombak menjadi modal sosial yang penting. Posisi yang mereka tempati di berbagai arena menjadi modal kultural yang memungkinkan bagi mereka menjangkau partisipasi dari intelektual lainnya untuk berkontribusi. E. STRATEGI OPERASIONAL DAN PROGRAM LITERASI Wagner menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusiaLingkungan literasi yang kondusif menciptakan generasi yang literat membutuhkan proses dan sarana yang kondusif. Lingkungan yang ideal bagi perkembangan literasi anak harus menyinergikan keluarga, sekolah, dan masyarakat.Ketiga kriteria yang menyatakan tentang rendahnya tingkat literasi secara mutlak menggambarkan kondisi dan situasidi Gang Setan, dan jauh dari persyaratan bagi kondusifnya pertumbuhan generasi yang literat. Anak-anak Gang Setan merupakan anak-anak yang diabaikan keluarga, sekolah, dan masyarakat, sebelum “sekelompok orang-orang nekat” datang dan bermukim di sana. Tanah Ombak bermaskas di sebuah rumah tua yang reyot dihantam gempa. Rumah tua itu berlokasi di bagian ujung Gang Setan, dibatasi oleh satu rumah dari dinding pagar Rusunawa yang berdiri kokoh di baliknya. Sekat-sekat ruangan yang rusak kemudian ditanggalkan, sehingga hanya ada ruangan lepas yang cukup luas bagi penempatan beberapa rak buku. Bukubuku pribadi dan buku milik KSST Noktah menjadi modal awal pendirian perpustakaan di gang kecil itu.Syuhendri bersama beberapa anggota sanggar; Obbe, Fahmi, dan Is, memutuskan bermukim di sana, mendirikan perpustakaan bagi anak-anak Gang Setan pada awal tahun 2015. Mereka menamakan tempat itu sebagai Rumah Budaya KSST Noktah. Perpustakaan sederhana itu mulai dikunjungi beberapa anak. Pada awalnya mereka hanya datang untuk bermain, memanfaatkan ruangan yang cukup luas sebagai arena permainan, mengingat terbatasnya ruang di rumah mereka dan di sepanjang gang, dengan sesekali membalik-balik buku-buku dan melihat gambar-gambar ilustrasi. buku. Mereka belum tertarik pada bacaan. Anak-anak dibiarkan bermain bebas, bercanda dan berbicara keras, kadang bertengkar, memaki sesamanya dengan kata-kata kotor.
57
F. SANKSI DAN HADIAH Beberapa anggota Noktah yang lain dan para mahasiswa mulai datang sebagai voluntir membantu memperkenalkan bacaan dan mendampingi anak-anak membaca. Pendidikan yang utama ditekankan pada pembangunan attitude anak-anak terutama pada tingkatan SD dan SMP dengan menetapkan aturan yang harus mereka patuhi yang bertujuan mengarahkan mereka menjadi karakter yang positif. Ketika mereka semakin ramai dan mulai menikmati keberadaan pustaka itu, Syuhendri dengan pengunjung-pengunjung kecilnyamembuat kesepakatan yang harus dipatuhi bersama, dengan sanksi yang disetujui bersama. Pada tahap ini aturan mulai diterapkan. Mereka menyepakati syarat untuk dapat bermain ke perpustakaan itu, pertama menjaga kebersihan dan ketertiban, barang yang dipakai atau dimainkan harus diletakkan kembali ke tempat semula. Ruangan harus dibersihkan kembali bila mereka selesai bermain.Kedua belajar mendengarkan dengan tidak menyela ketika yang lain sedang berbicara. Ketiga belajar mengemukakan pendapat. Bila ingin memberikan tanggapan acungkan tangan dan baru berbicara ketika dipersilahkan. Keempat, belajar berhenti mengucapkan kata-kata kotor, dengan sanksi bila masiah ada yang berkata kotor sesuai kesepakatanmereka harus dengan sukarela memakan lima buah cabe rawit untuk satu perkataan kotor. Sanksi ini cukup efektif untuk mengubah kebiasaan mereka. Prestasi juga harus mendapat penghargaan. Anak yang mampu menyelesaikan membaca satu buku hingga tamat akan mendapatkan hadiah-hadiah kecil. Hal itu cukup mampu memacu semangat baca, dan mereka berlomba untuk menyelesaikan satu persatu buku cerita yang diminati. Adalah suatu kebanggaan mampu membaca buku lebih banyak dibanding teman yang lain.Para voluntir hanya mewajibkan mereka membaca minimal 15 menit sebelum melakukan aktivitas lain. Perpustakaan kecil itu menjadi ruang kreatif bagi generasi muda Purus dengan beragam aktivitas pendidikan dan seni. Kegiatan dilakukan melalui pola literasi dan pendampingan kegiatan untuk mengenali bakat anak. Kegiatan seni, musik, tari, sastra dan teater kemudian menjadi pengasah sensitivitas anak untuk lebih peka terhadap lingkungan, solidaritas dan responsif terhadap perkembangan sekitar. Dengan cara itu mereka menyadari posisi mereka, dan menyadari pula bagaimana mereka bisa berubah menuju arah yang memungkinkan menunjang bagi masa depan mereka. Sensitivitas terhadap lingkungan yang mulai muncul memudahkan bagi para valuntir untuk mengajak mereka kerja bakti membersihkan selokan yang tersumbat, menjadikan gang itu terlihat sedikit cerah dan aroma menyengat mulai hilang. Perubahan kecil di lingkungan itu menjadi besar maknanya, meskipun kadang-kadang masih terlihat orang-orang yang membuang sampah ke selokan. Ketika sampah itu dipungut oleh para voluntir dan diletakkan ke dalam tempat sampah, beberapa saat berselang ada yang menuangkan kembali isi tong sampah itu ke selokan, sekedar untuk menunjukkan bahwa ini wilayah kekuasaannya, merekalah yang punya otoritas dan pemegang aturan. Namun kemudian sikap seperti itu berhenti dengan sendirinya. G. INTERAKSI DENGAN DUNIA LUAR Untuk membiasakan anak-anak menerima pendatang dan mengakrabkan dengan lingkungan luar, di rumah sederhana itu dibuat panggung pertunjukan. Beberapa seniman muda berpartisipasi menampilkan karyanya. Masyarakat Purus dan mahasiswa yang sudah terbiasa berkunjung menjadi penontonnya. Pertunjukan-pertunjukan yang sering diadakan, membuka
58
gerbang Gang Setan menerima orang luar, dan memberi keberanian pula bagi orang luar untuk masuk dengan nyaman. Anak-anak terbiasa dengan musik remix, dangdut dan pop Minang. Lagu Goyang Dumang dengan gerakannya yang erotik menjadi lagu kesukaan mereka. Kebiasaan itu dibiarkan dan dimanfaatkan untuk melatih spontanitas mereka. Ketika garapan pertama teater anak Lari ke Bulan yang mengambil cerita tentang kehidupan mereka, irama yang akrab itu tetap dipertahankan. Proses latihan dan pementasan mereka mulai disaksikan oleh tamu-tamu yang berkunjung. Hal itu membiasakan mereka berada di panggung pertunjukan dan menjadi pusat perhatian. Setelah dipentaskan di Taman Budaya Sumatera Barat, garapan pertama itu menjadi utusan mewakili Propinsi dalam Festival Teater Anak di tingkat Nasional 2015 yang diselenggarakan Kemendikbud di Jakarta, dan mendapat predikat sebagai penampil terbaik. Publisitas dan predikat itu semakin memupuk kepercayaan anak-anak tentang potensi diri mereka. Beberapa lembaga pemerintah, seperti Dinas Pariwisata Kota mulai menggunakan mereka untuk mengisi pertunjukan dalam event resmi di lokasi Wisata. Melalui partisipasi mereka di acara-acara resmi itulah anak-anak disalami dan mendapat usapan di kepala dari orang-orang yang tak terbayangkan akan mengarahkan pandangannya kepada mereka. H. PEMANTAPAN PROGRAM TANAH OMBAK DAN PENGHARGAAN Meskipun mulai mendapat perhatian, fasilitas seadanya yang dimiliki Rumah Budaya KSST Noktah sangat tidak memadai bagi keberlanjutan program pembinaan bagi anak-anak pantai itu. Syuhendri intens berdiskusi dengan Yusrizal KW tentang kelanjutan program.. Melalui pengalaman Yusrizal KW di Sanggar Pelangi dan Padang Membaca, dibuat kompilasi program antara ketiga lembaga dengan kontribusi bidang-bidangnya untuk dioperasinalkan di dalam sanggar yang kemudian dinamai Tanah Ombak. Program-program baru kemudian disusun. Anak-anak Tanah Ombak tidak lagi hanya belajar kesenian, mereka mulai belajar menulis, menggambar, mendongeng, baca puisi dan beragam kegiatan lain. Para voluntir semakin banyak datang menawarkan diri untuk membantu mengajar bahasa asing, dan keterampilan lain. Lembaga-lembaga formal juga mulai memberikan perhatian, dan Tanah Ombak kemudian menjadi rumah bagi penyelenggaraan beragam kegiatan yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat. Tentang aktivitas di Tanah Ombak, Indrizal mencatat: Sebagai lembaga pendidikan nonformal, rumah baca Tanah Ombak tidak hanya sebatas ruang baca untuk meningkatkan budaya membaca. Rumah baca ini juga dijadikan ruang melejitkan kreativitas anak. Di balik ituterkandung tujuan pendidikan yang lebih mendasar yaitu untuk membangun karakter anak dalam rangka generasi masa depan yang mandiri.... kegiatan biasanya lebih padat pada hari minggu, anak-naka dibagi sesuai minat mereka masing-masing.... Sejak pukul 08.00 anak-anak mulai berdatangan, mereka langsung menuju rak buku dan mulai membaca. Pada pukul 09.00 hingga 12.00 anak-anak belajar menulis, melukis, keterampilan tangan serta musik. Kegiatan diawali dengan bernyanyi lagu mars Ayo Membaca dan juga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada pukul 12.00 anak-anak dibolehkan pulang, istirahat dan makan siang. Pukul 14.00 bagi yang ikut kelas Basa Inggris, masuk lagi.... sedang di hari biasa kegiatan anak hanya membaca, itupun dilakukan tanpa paksaan. Setelah pulang sekolah anak-anak biasanya datang ke Tanah Ombak untuk bermain, namun mereka wajib
59
terlebih dahulu membaca buku minimal selama 15 menit. Bila menjelang pertunjukan, mereka akan latihan 3 kali seminggu di luar jadwal rutin mereka (Indrizal, 2016: 8). Tanah Ombak juga menghadirkan beberapa program reguler seperti Hantu Buku Malam Jum’at, Sedekah Buku, Hari Raya Buku. Kegiatan itu merupakan penghimpunan sumbangan buku dari masyarakat yang akan didistribusikan kepada perpustakaan komunitas di Sumatera Barat. Tanah Ombak berusaha pula memperkenalkan anak-anak binaan untuk mengenal secara dekat hal-hal yang semula tak terbayangkan akan dapat mereka jangkau. Berlokasi di gang sempit itu, diproduksi film mengenai literasi yang melibatkan anak-anak itu sebagai pemeran. Proses itu telah membuat mereka akrab dengan teknik produksi film yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang asing dan jauh. Beberapa anak juga mulai mahir mendongeng dan punya acara tetap tiap minggu di radio. Hal ini diharapkan akan menjadi pemicu semangat bagi mereka untuk merasa tidak terasing dari perkembangan dunia sekitar, membuat mereka berani bercitacita. Di lingkungan masyarakat ‘marjinal’itu Tanah Ombak mencoba membangun kembali respek terhadap akar-akar budaya lokal, penanaman nilai-nilai digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi. Sejauh ini, Tanah Ombak bersama relawan yang datang dari berbagai disiplin, berusaha untuk menciptakan ruang budaya bagi pemukiman.Tanah Ombak diharapkan dapat menjadi ruang publik di tengah-tengah kehidupan mereka, menciptakan orientasi yang baik terhadap budaya lokal, sebagaimana yang ada di nagari-nagari Minangkabau sebagai wilayah asal yang dijadikan acuan. Ia difungsikan sebagai ruang belajar dan galanggang (sasaran) yang merupakan ranah bagi anak nagari (generasi muda Purus) untuk mengekspresikan diri mereka, yang membentuk sistem dan tata nilai budaya. Di Tanah Ombak ini teraktualisasikan ekspresi individu, dan eksistensi komunitas masyarakat setempat. Tanah Ombak juga berusaha menjangkau lingkungan lebih jauh dengan program pustaka bergerak Vespa Pustaka, dan merencanakan program baru Ransel Pustaka yang akan diluncurkan bulan Juli mendatang. Setiap anak-anak Tanah Ombak akan membawa buku dalam ransel pustaka ke sekolah, dan menawarkan bacaan baru kepada teman-teman dengan lokasi tempat tinggal yang jauh dari Tanah Ombak. Program ini diharapkan dapat mengalihkan perhatian anak dari pengaruh gawai yang menyajikan ruang dunia yang tak selektif. Dengan konsep literasi yang dipilih, membangun habitus baru melalui gerakan sosial, Tanah Ombak mendapat atensi yang besar dari beberapa pihak. Gramedia Reading Community Competition Regional Sumatera 2016 memilih Tanah Ombak sebagai komunitas baca terbaik di wilayah Sumatera. Hadiah berupa bebrapa koli buku sebagian dibagikan kepada beberapa komunitas baca di Sumatera Barat. Gubernur Sumatera Barat memilih Tanah Ombak sebagai penerima penghargaan pertama, dan menjadi acuan bagi pegiat literasi dan model perlindungan anak. Namun bukan itu yang menjadi tujuan sesungguhnya, yang diinginkan adalah bagaimana partisipasi dan jaringan intelektual dapat terbangun, dan secara bersama membantu melindungi bagian terlemah dari tubuh sebuah bangsa.
60
I. JARINGAN SEBAGAI WUJUD KEHADIRAN INTELEKTUAL KOLEKTIF Kaoem intelektoeal adalah kaoem jang akal-fikirannja telah mendapat didikan dan pengadjaran (Ir. Soekarno) Sebagaimana dinyatakan Wagner bahwa lingkungan literasi yang kondusif menciptakan generasi yang literat membutuhkan proses dan sarana yang kondusif. Lingkungan yang ideal bagi perkembangan literasi anak harus menyinergikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun situasi ideal itu bagi Tanah Ombak telah diambil alih jaringan sosial yang berempati kepada lingkungan marjinal itu. Sejauh ini Tanah Ombak belum pernah mengajukan proposal permohonan dana kegiatan ke lembaga manapun. Sebagaimana dikatakan orang-orang bijak bahwa, “Orang-orang yang memiliki DNA yang sama akan terhubung dengan sendirinya”. Warung Ikhlas, Komunitas Tangan di Atas misalnya merupakan bagian yang berkontribusi untuk menyebutkan sedikit nama kelompok. Tanah Ombak hanyalah wadah, baik bagi kreativitas anak maupun bagi intelektual yang berkehendak atas pola pengasuhan anak dan lingkungan yang lebih baik. Ketika Tanah Ombak bergerak bermunculan donasi pribadi atau komunitas yang punya pandangan sama. Rumah reyot itu sering mendapat kunjungan orang-orang yang berempati, sebagian merupakan kenalan, dan lebih banyak kenalan dari kenalan yang datang. Tanah Ombak hanya perlu berterimakasih dengan mengundang orang-orang mulia itu hadir sebagai penonton, bila ada pertunjukan. J. SIMPULAN Sejak pertama beraktivitas di sebuah gang sempit yang kumuh di pantai Purus, hasil kerja Tanah Ombak secara perlahan mulai terasa, terlihat adanya perubahan pola hidup di lingkungan itu. Anak-anak mulai bersikap wajar sebagai anak, sedang sebelumnya mereka cenderung dewasa sebelum waktunya. Mereka sudah bisa berkata sopan dan punya sikap toleransi antar sesama anggota kelompok. Mereka punya rasa percaya diri berhadapan dengan lingkungan luar, dan yang terpenting stigma negatif yang melekat di dalam identitas mereka bagi pandangan orang luar mulai terkikis. Gang sempit itu sudah semakin sering mendapat kunjungan dari orang-orang luar yang sebelumnya tidak mereka kenal dan tidak mau kenal dengan mereka. Partisipasi dari berbagai pihak dengan kontribusi dalam berbagai bentuk meramaikan gang itu, akan tetapi kegiatan dan partisipasi itu dominan ditujukan bagi aktivitas anak. Sementara pendidikan anak tidak sepenuhnya dapat dilakukan hanya di Tanah Ombak, tetapi memerlukan sinergi pengasuhan yang juga harus dilakukan orang tua secara berimbang. Oleh karena itu, sasaran kegiatan yang ditujukan bagi orang tua menjadi hal yang mutlak pula dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Al Mujahidin, Rijal. 2016. “Peranan KSST Noktah dan Tanah Ombak dalam Mendidik Karakter Anak di Kelurahan Purus,” Srkripsi. Padang: Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas. Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. United Kingdom: Cambridge University Press. Bourdieu, Pierre Felix. 1990. In Other Words: Essays Towards a Reglexive Sociology. Cambridge: Polity Press.
61
Bourdieu, Pierre Felix. 1998. Acts of Resistance. New York: The New Press. Bourdieu, Pierre Felix. 2002. “The Role Intellectual Today,” Theoria. June. Bourdieu, P. & Wacquant. “Neoliberal Newspeak: Notes on The Planetary Vulgate”.Http://sociology.barkeley.edu/faculty/wacquant/wacquant_pdf/neoliberal.pdf. Indrizal, Edi. 2006. “Geliat Anak Tanah Ombak; Suatu Deskripsi Perubahan Sosial Kaum Marginal di Kelurahan Purus Kota Padang”. Artikel Laporan Penelitian. Padang: Universitas Andalas. Priyono, Herry B. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan,” Naskah Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta. Jakarta: DKJ.
62
STRATEGI PELESTARIAN BUDAYA MELALUI GERAKAN LITERASI SEKOLAH La Ode Boa A. LATAR BELAKANG Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki kemandirian atas pengembangan kebudayaan bangsanya. Karena kebesaran bangsa ditentukan oleh seberapa baik kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Perjalanan bangsa-bangsa di dunia, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaannya. China sebagai negara Super pawer yang dapat mengalahkan Amerika Serikat pada tahun 2050, merupakan negara yang dibangun atas nilainilai budaya yang kuat 30. Demikian juga dengan pertanyaan Kaisar Hirohito, ketika terjadi Bom Hirosima dan Nagasaki, Kaisar hanya bertanya masih berapa guru yang tersisa? 31Ketika gempa bumi beberapa tahun silam, dunia dibuat kagum dengan kemampuan orang Jepang membangun dirinya, yang tergambar dari cara mereka mengantri di tengah masalah yang menimpa mereka 32. Dalam suatu film The Last Samuarai 33 kaisar Jepang mengatakan bahwa “Kita dapat makan seperti orang Barat, kita dapat berpakaian seperti orang barat, kita dapat menggunakan mobil seperti orang barat, tetapi jangan pernah melupakan kebudayaan kita sendiri. Di sanalah, suatu pesan tersirat, dari pesan yang ada di dalam film tersebut. Bahwa di tengah serbuan perkembangan teknologi, transportasi dan pariwisata, yang sudah pasti akan mempengaruhi kebudayaan daerah dimanapun, maka kita juga harus memiliki kemandirian terutama dalam ranah kebudayaan. Kita harus belajar dari Jepang, bagaimana mereka bisa maju dengan 30
Jacques, Martin. 2011. When China Rules The World (Ketika China Menguasai Dunia): Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Diterjemakan oleh Noor Cholis dan Jarot Sumarwoto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 31 Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.” https://qurmut.wordpress.com/2014/11/25/kaisar-hirohito-berapa-jumlah-guru-yang-tersisa/ diakses pada tanggal 20 April 2017 32 Budaya ini benar-benar sudah tertanam begitu dalam di alam bawah sadar orang Jepang. Sehingga tetap saja nilainilai ini berlaku dan berjalan dalam kondisi apapun, termasuk di tengah kepungan penderitaan akibat bencana yang terjadi. Perlu kita ketahui bersama, bahwabudaya Jepang memang sangat berbeda dengan budaya negara lain. Mereka menomorsatukan harga diri, kehormatan, dan martabat. Warga Jepang tidak melihat bencana ini sebagai kesempatan untuk mencuri apapun. Kita warga Indonesia harus belajar bagaimana bisa berbudaya seperti mereka. Orang Jepang juga sangat disiplin dan penuh kebanggaan atas negaranya. Secara sosiologis, ini dimungkinkan terjadi akibat adaptasi nilai yang mereka buat. Bahwa masyarakat dalam jumlah yang besar harus hidup di tanah yang sangat terbatas. Mereka harus memiliki keteraturan yang sangat tinggi. http://www.kompasiana.com/nsudiana/budaya-jepang-di-tengah-penderitaan-gempa-dantsunami_550098fd813311275efa7c63 diakses pada tanggal 20 April 2017 33 https://www.youtube.com/watch?v=AciXvs3dSWIdiakses pada tanggal 20 April 2017
63
teknologi yang hebat, tetapi mereka masih tetap menjadikan nilai-nilai tradisionalJepang, sebagai nilai penting dalam kebudayaan mereka. Berangkat dari konteks pengembangan kebudayaan Jepang di atas, maka Indonesia sebagai negara yang dibangun atas keberagaman budaya hendaknya dapat belajar dari Jepang. Kita harus kembali menafsir ulang Bhineka Tunggal Ika sebagai komitemen keberagaman kita, dalam bingkai Indonesia. Sementara, serbuan globalisasi, serta berbagai kepentingan global yang ada di Indonesia telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang akan dimangsa dan dilahap oleh bangsa-bangsa besar. Namun celakanya, Indonesia tidak pernah menyadari betapa pentingnya keragaman, budaya tetapi bangsa ini sudah berjalan kearah penghancuran komiteman kebangsaan kita, dimana isu-isu sensitif yang menyangkut sara sudah digunakan sebagai pemecah belah bangsa. Jika ini tidak disadari, mungkin Indonesia akan sederet dengan Majapahit, Sriwisaja dan Buton, Uni Sofyet yakni bangsa-bangsa yang hanya dalam sejarah kegagalan. Di sisi yang lain, perkembangan globalisasi telah melahirkan ketidakpastian dalam berbagai kebudayaan di dunia. Rasa cinta terhadap budaya dari masyarakat lokal semakin berkurang dan ini sangat berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Besarnya pengaruh globalisasi yang masuk ke Indonesia, berdampak pada karakter masyarakat kita yang telah berubah menjadi masyarakat modern yang konsumtif dan kehilangan arah. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, modernisasi menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai proses yang tak terelakkan. Akibatnya lalu lintas antarwilayah dunia berjalan tanpa ada batasan. Batas-batas kedaulatan negara tidak mampu menahan masuknya budaya dari negara lain. Tidak ada dana besar yang perlu dianggarkan untuk menjadikan budaya lokal suatu daerah bermetamorfosis menjadi budaya global yang akan di anut oleh masyarakat global. hanya Korea Selatan dan India yang memiliki strategis yang jitu, karena ditunjang oleh kebijakan pemerintahnya yang dapat kita jadikan contoh dalam kasus ini. Berdasarkan fenomena di atas, maka diperkulan strategi untuk melestarikan budaya lokal di berbagai daerah di Nusantara. Kita harus menggunakan konsep untuk melihat nilai-nilai positif dari nilai global untuk kemudian dijadikan sebagai kekuatan dalam penguatan nilai-nilai lokal, atau sebaliknya. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai strategi pelestarian budaya melalui gerakan literasi sekolah, karena saya menyadari bahwa membaca dan menulislah yang harus dikembangkan, agar sistem literasi kita dapat menjadi daya tangkal yang kuat dalam melawan globalisasi. Masyarakat Indonesia harus mampu mengenal literasi sebagai suatu sistem yang harus dijangkau oleh seluruh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada negara-negara maju seperti Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark dan Swedia yang
64
merupakan negara dengan posisi literasi terbaik di dunia. Sementara Indonesia berada pada posisi 60 dari 61 negara yang dianalisis 34. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, rupanya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Bangsa kita masih mengandalkan apa yang dilihat dan didengar dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015 35, pada tahun 2006 menunjukkan 85.9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40.3 persen) dan membaca koran (23.5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis. Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan untuk membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa aktifitas akademika itu jauh dari budaya literasi. Bahkan lebih hebatnya lagi, perpustakaan bukan menjadi ruang yang nyaman, tetapi kadang berubah menjadi gudang, panas, kotor, berdebu. Perkembangan Wakatobi sebagai daerah sepuluh besar destinasi wisata Indonesia tentunya harus mempersiapkan diri terutama dalam rangka membentuk karakter masyarakatnya, sehingga tidak terombang-ambing oleh kebudayaan global yang melahirkan ketidakpastian. Di sinilah, pemerintah kabupetan Wakatobi harus kembali menghidupkan nilai-nilai budayanya. Karena sebagai daerah kesultanan Buton, Wakatobi tentunya memiliki kebudayaan yang mengandung nilai-nilai islami yang tentunya telah beradaptasi dengan nilai-nilai lokal 36. Oleh karena itu, untuk melestarikan kebudayaan Wakatobi dan menurunkannya kepada generasi berikutnya, maka perlunya suatu kebijakan yang dapat kompas pembangunan kebudayaan Wakatobi. Dari berbagai kajian yang telah ada di Wakatobi, rupanya kebudayaan Wakatobi memerlukan strategi pelestarian yang dapat menyentuh kalangan muda, karena masa
34 The World’s Most Literate Nations (WMLN) merilis daftar panjang negara-negara dengan peringkat literasi di dunia. Penelitian ini dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain. Hasil dari penelitian ini menempatkan Finlandia sebagai negara paling literat atau terpelajar di dunia. http://www.hipwee.com/feature/finlandia-peringkat-satu-dalam-jajaran-negara-literasi-di-dunia-mengapa-merekabisa-sebegitunya-gemar-membaca/ diakses pada tanggal 20 April 2017 35 36
Lihat Sumiman Udu (2017: 1) “Nilai-Nilai Islami Dalam Konservasi Lingkungan Masyarakat Adat Wakatobi” dijelaskan bahwa kebudayaan masyarakat Wakatobi merupakan akulturasi dari nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai masyarakat lokal.
65
depan mereka akan tergantung bagaimana mereka memahami dunia, dan bagaimana kita membentuk lingkungan mereka yang dapat mendukung berbagai aktifitas yang membuat mereka lebih survive dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang. Suatu masa depan yang tidak menentu, atau masa depan yang tidak pasti, karena saya berpikir bahwa masa depan hanya bisa diukir dari kemampuan mereka membaca, baik membaca dan menulis, membaca film, membaca gambar maupun membaca dunia secara umum 37. Dengan demikian, makalah dengan judul Strategi Pelestarian Budaya Melalui Gerakan Literasi Sekolah merupakan salah satu kajian yang berusaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Wakatobi ke kalangan muda, terutama melalui gerakan literasi sekolah. Karena hanya melalui gerakan literasi sekolahlah, intervensi berbagai kesemrawutan budaya yang disebabkan oleh globalisasi dapat atasi. B.
PENTINGNYA LITERASI DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN Di atas telah dijelaskan tentang pentingnya literasi di dunia. Finlandia sebagai peraih
nomor satu literasi dunia, juga sekaligus menjadi sistem pendidikan terbaik di dunia. Dengan demikian, persoalan literasi merupakan persoalan penting dalam pelestarian kebudayaan. Mereka yang memiliki sistem literasi yang baik, cenderung akan memiliki kebudayaan yang baik pula. Demikian juga sebaliknya, negara bangsa yang tidak memiliki sistem literasi yang jelak, akan memiliki ingat yang pendek, dan cenderung terlambat perkembangan kebudayaannya. Kalau merujuk pada pengertian literasi sebagai suatu bentuk kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menulis dan membaca, dan pengertian budaya literasi ialah melakukan kebiasaan berfikir yang disertai dengan proses membaca, menulis hingga akhirnya apa yang dilakukan dalam segala proses kegiatan literasi akan menciptakan karya. Menurut beberapa ahli, literasi dalam arti sempit ialah kemampuan membaca dan menulis (Goody:1999); menurut Alberta (2009) arti literasi bukan hanya sekedar kemampuan untuk membaca dan menulis namun menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Kern (2000) menurutnya, pada dasarnya terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi antara lain : literasi 37
Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan kata lain, bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia. Itu artinya bahwa literasi bukan hanya semata-mata berhubungan dengan baca tulis, tetapi kemampuan seseorang dalam memahami dunia yang ada di sekitarnya sehingga ia dapat mempertahankan hidup dengan layak. http://www.wikipendidikan.com/2016/03/pengertian‐definisi‐ makna‐literasi.html di akses pada tanggal 16 April 2017
66
melibatkan interprestasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, releksi dan refleksi diri, serta penggunaan bahasa. Cordon (2003) mengungkapkan definisi literasi adalah sumber ilmu yang menyenangkan yang mampu membangun imajinasi mereka untuk menjelajah dunia dan ilmu pengetahuan. Wells (1987) berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan dalam literasi: literasi performatif (literacy performative), literasi fungsional (literacy functional), literasi informasi (literacy informational) dan literasi epistermik (literacy epictermic). Jeanne R et al(2007) menurutnya, ada tiga tahapan yang dapat diamati dalam perkembangan literasi seseorang. Perkembangan ini muncul karena faktor motivasi intrinsik peserta didik yaitu: memilih membaca dan menulis, menemukan kesenangan dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan literasi, sadar menerapkan pengetahuan untuk lebih dalam memahami dan menulis teks. Irene dan Gay(2001) mengatakan bahwa nilai-nilai literasi yang berkualitas tergambar dari ketika siswa berhasil menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan dituangkan kedalam tulisan mereka sendiri. National Literacy Forum (2014) mengatakan bahwa ada empat cara yang harus dilakukan dalam membangun literasi yang universal yaitu: (1) meningkatkan kemampuan bahasa sejak dini dirumah dan dalam pendidikan non formal, (2) lebih mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan keterampilan membaca dan menulis disekolah, (3) adanya akses untuk membaca dan program yang membuat anak merasa senang melakukan kegiatan literasi, (4) menciptakan kerjasama antara sekolah, (5) lingkungan keluarga dan lingkungan kerja untuk dapat mendukung budaya literasi.Naeyc (1998), menurutnya, literasi adalah suatu kegiatan yang mampu mendorong anak-anak berkembang sebagai pembaca dan penulis sehingga hal ini sangat membutuhkan interaksi dengan seseorang yang sangat menguasai literasi 38. Dari beberapa pengertian literasi menurut para ahli diatas dapat dikatakan jika dalam melestarikan kebudayaan menumbuhkan motivasi anak untuk mencintai kegiatan literasi dibutuhkan dukungan pendidik dalam hal ini guru, orang tua dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Schelling (2003) yang menyatakan pendidik harus menjadi semakin sadar akan pentingnya memberikan motivasi keaksaraan, khususnya yang berkaitan dengan kemajuan siswa dalam mengembangkan tingkat tinggi kemahiran literasi mereka 39. Di samping itu, guru hendaknya dapat memberikan ruang kepada siswa untuk berkembang terutama dalam mendorong mereka untuk dapat survive dalam menjalani kehidupan mereka di masa depan. Guru yang baik adalah guru yang menjadi mendorong inspirasi bagi siswanya untuk membaca dan mencintai buku. Pemerintah harus mendorong siswa untuk tetap membaca, menulis yang
38 39
http://www.indonesiastudent.com/pengertian‐literasi‐menurut‐para‐ahli/ diakses pada tanggal 20 April 17 http://www.indonesiastudent.com/pengertian‐literasi‐menurut‐para‐ahli/ diakses pada tanggal 20 April 2017
67
nyaman dan terkoneksi dengan ruang bermain, kantin, dan perpustakaan sehingga siswa nyaman ketika berada di sekolah terutama perpustakaan. Ada beberapa tujuh prinsip yang harus diterapkan dalam pendidikan berbasis literasi yaitu (1) literasi adalah kemsmpusn hidup (life skill); (2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana, (3) Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah; (4) Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya, (5) Literasi adalah kegiatan refleksi (diri); (6) Literasi adalah kolaborasi, dan (7) Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi 40. Dari hasil pemaparan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa literasi itu penting dalam pengembangan kebudayaan, karena hanya melalui literasi yang baik, masyarakat dapat mengasah kemampuan berfikir kritis kita, mengasah kemampuan untuk cepat tanggap dalam berbagai situasi, dapat menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat sasaran serta kita bisa menghasilkan karya-karya yang bisa bermanfaat bagi para pembaca di dunia. Melalui literasilah bangsa Finlandia yang mendapatkan peringkat nomor satu sistem pendidikan di dunia. Untuk itu, kita harus mendorong sistem pendidikan kita dengan ditunjang oleh sistem literasi yang kuat, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk tidak membaca. C. STRATEGI PELESTARIAN KEBUDAYAAN MELALUI LITERASI SEKOLAH Budaya literasi haruslah ditanamkan sejak dini dan mulai di budayakan. Salah satu cara agar kebutuhan penunjang literasi terpenuhi adalah dengan adanya pemilihan strategi pembelajaran, pengajaran dan pendekatan yang tepat. Dalam karya tulis ini, penulis mengambil strategi yang ke tiga yaitu strategi pendekatan. Dari strategi pembelajaran tersebut, maka diharapkan pelestarian budaya dapat dilakukan melalui pembangunan literasi sekolah, baik yang menyangkit dalam pembelajaran maupun melalui kebijakan literasi yang ada di sekolah. Strategi pelestarian budaya melalui pendekatan penunjang literasi proses adalah strategi– strategi untuk mendukung dan meningkatkan keberhasilan pembelajaran membaca, menulis dan dapat membangun kreatifitas siswa. Kalau kita melihat aspek pengembangan kemampuan menulis bagi siswa, maka strategi tersebut harus diupayakan penerapannnya agar pembelajaran menulis proses terlaksana dan terjamin keberhasilannya. Strategi penunjang untuk melestarikan budaya melalui pembangunan sistem literasi sekolah itu meliputi, (1) perencanaan pembelajaran menulis, (2) penciptaan suasana menulis, (3) pemotivasian siswa, (4) pemberian struktur, (5) interaksi teman sekelas (peer), dan (6) kerja sama dengan orang tua, (7) penciptaan ruang literasi yang terintegrasi dengan ruang ber AC, yang terintegrasi dengan bermain, kantin sehingga nyaman bagi siswa untuk membaca di
40
http://prianganaulia.blogspot.co.id/2014/02/transformasi‐makna‐literasi.htmldiakses pada tanggal 20 April 17
68
perpustakaan sekolah. Langkah-langkah strategi untuk merencanakan pembangunan literasi sekolah akan dilakukan sebagai sebagai berikut. a) Perencanaan Pembelajaran Menulis Menulis merupakan keterampilan yang kompleks dan paling sulit dikuasai siswa, oleh sebab itu pembelajaran menulis harus direncanakan dengan sungguh-sungguh dan dipersiapkan sebaik-baiknya. Perencanaan meliputi pilihan tugas-tugas menulis yang jelas dan variatif dengan dukungan berbagai contoh jenis wacana atau genre, memberi kesempatan siswa agar banyak membaca dan menulis, waktu perlatihan, bimbingan, balikan dalam menulis, pajanan lingkungan yang kaya tulisan yang dapat mendorong siswa mau dan gemar menulis. Dalam hal ini, Graves (1983: 219 ‐ 229) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa siswa berpikir sebagai penulis ketika mereka terlibat dalam menulis 41. Para penulis membutuhkan banyak waktu, yaitu waktu untuk berpikir, waktu untuk menulis, konferensi, menulis berkali-kali, dan mereka membutuhkan waktu untuk dipercaya. Menulis sekali seminggu tidak menjadikan siswa merasa menjadi penulis dan akan memupuk ketergantungan siswa pada topik yang disarankan guru. Jika siswa menulis setiap hari, mereka belajar untuk berpikir mandiri tentang menulis dan mampu memilih serta mengembangkan topiknya sendiri (Dahl, 1985: ). Agar keterampilan menulis siswa berkembang sesuai dengan yang diharapkan, perlu pengalokasian waktu menulis bagi siswa sesuai dengan dunia pribadi mereka, selaras dengan minat, pengalaman, petualangan-petualangan, dan kehidupan mereka sebagai sumber materi menulis. Graves (1983) merekomen-dasikan waktu menulis empat kali per minggu selama 30 menit. Untuk menulis permulaan perlu tugas-tugas pendek. Menulis tidak dapat dipaksakan. Jika tidak, akan menciptakan kebosanan dan merusak tujuan menulis. Untuk menghindari hal tersebut, tugas menulis dapat dipadukan antarketerampilan berbahasa dalam pembelajaran menyimak, berbicara, dan membaca. Juga dapat dipadukan dengan mata pelajaran lain melalui pembelajaran area isi atau pembelajaran lintas kurikulum.Pengalokasian waktu menulis juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis dengan tujuan yang berbeda sesuai dengan tuntutan kurikulum yang meliputi menulis narasi, deskripsi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi. Akan tetapi, SBK harus mempertimbangkan kemampuannya. ABK hendaknya menerima pengajaran khusus dan kesempatan menulis pribadi, surat, sketsa biografi, petunjuk, laporan buku, script cartoon, menulis kreatif, editorial, dan script untuk permainan kelas. Di samping itu, untuk menunjang pelestasian budaya, maka pembelajaran menulis pada tingkat siswa hendaknya mengambil tema-tema yang berhubungan dengan budaya masyarakat setempat. Di sini, guru hendaknya mengantarkan siswa untuk dapat bermain di beberapa 41
http://courses.edtechleaders.org/resources/readings/upperelemliteracy/Graves_writingprocess.htm diakses pada tanggal 20 April 17
69
artefak, masyarakat, atau berbagai tulisan untuk menulis sesuai dengan presepsi yang dibangunnya. Sekolah harus mefasilitasi siswa untuk terlibat dalam penulisan budaya, sehingga mereka bukan hanya membacanya, tetapi mereka berpikir untuk memproses pemahamannya budaya mereka ke dalam tulisan yang sedang dikerjakannya. Di sini siswa juga akan memproduksi kebudayaan mereka sesuai dengan habitus 42 yang mereka miliki, atau konteks yang mereka pahami. b) Penciptaan Suasana Menulis Suasana menulis akan tercipta jika guru bersikap terbuka dan bersahabat kepada siswa dalam aktivitas menulis. Motivasi menulis siswa dapat berkembang jika guru penuh perhatian terhadap ekspresi tulisan siswa, membantu dengan memberi pengertian khusus, dan menyenangkan. Keakuratan asesmen level terakhir siswa dan identifikasi minat siswa merupakan hal yang penting dan fungsional untuk mengarahkan program menulis. Untuk memperbaiki level menulis, siswa perlu mengambil risiko takerisks ketika menulis. Graves (1983) menunjukkan sikap guru yang menghambat pengembangan keterampilan menulis siswa, yaitu (1) berlebih- lebihan dalam pembelajaran mekanik (2) kurang memahami menulis proses, cenderung pada hasil, (3) respons terhadap tulisan siswa bersifat umum, terbatas pada satu atau dua kata misalnya ‘bagus’ atau ‘tulis ulang’. Dalam program literasi sekolah, diharapkan sekolah dapat menciptakan suasana menulis, yaitu penciptaan ruang belajar dan perpusatakaan yang nyaman, dekat dengan ruang bermain, serta kantin. Di samping itu, suasana menulis juga dapat diarahkan ke luar kelas. Belajar menulis sambil rekreasi, misalnya ke pantai, ke benteng, ke hutan (kainde dan motika 43) atau ke tengah-tengah masyarakat. Suasana gembira dan nyaman, akan mendorong siswa untuk menulis tentang kebudayaan mereka.’ Dengan membawa siswa ke luar dari sekolah, terutama terjun langsung ke masyarakat, maka pelestarian terhadap budaya masyarakat Wakatobi dapat ditanamkan kembali kepada 42
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang: “habitus, yang merupakan produk histories menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah.” Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia social dimana kebiasaan itu terjadi. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu bidang ke bidang yang lain. Tetapi, ada kemungkinan bagi seseorang mempunyai habitus yang tak pantas dan menderita apa yang disebut Bourdieu sebagai hysteresis. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan social. http://muiftaste.blogspot.co.id/2009/01/teori‐habitus‐bourdieu.html diakses pada 20 April 2017 43
Arafah, Nur. 2015. Kaindea: Adaptasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Pulau-Pulau Kecil. Kendari: Penerbit Oceania Press.
70
siswa. Siswa akan belajar menginterpretasikan kebudayaan mereka, dengan mamadukan antara apa yang mereka baca, diskusian dan lihat di dalam konteks yang ada. Di sini, sistem literasi sekolah akan bekerja mendukung siswa untuk dapat bertahan hidup di masa depan. c)
Pemotivasian Siswa Agar siswa termotivasi dalam menulis guru perlu memberikan pengalaman yang kaya
sebagai sumber materi menulis, misalnya rekreasi, bercerita, kegiatan-kegiatan, diskusi, rangsangan visual, pengamatan, membaca, dan sebagainya agar siswa mengenal dan mempunyai skema tentang hal-hal yang akan ditulisnya. Siswa harus disiapkan perpusatakaan dan program ke luar kelas untuk membaaca literasi alam secara langsung. Lerner (1985) dalam Stahlman dan Luckner (1991) menyatakan bahwa kuantitas pengalaman siswa berhubungan erat dengan kualitas produk tulisannya. Penelitian-penelitian menunjukkan pentingnya pengenalan topik dan teks dalam pembelajaran menulis (Gormley, 1981 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Penulis-penulis dengan sedikit pengetahuan cenderung memproduksi tulisan deskriptif yang kurang logis dan tidak koheren (Stein, 1983 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Sehingga tulisan siswa akan baik, jika mereka pernah membaca tentang suatu topik, kemudian mengalami topik itu secara langsung. Berdasarkan konsep di atas, maka diperlukan kebijakan yang dapat memotivasi siswa untuk membaca dan menulis sebagai sebuah gerakan literasi sekolah. Kita harapkan setiap sekolah di kabupaten Wakatobi memberikan motivasi kepada siswa dengan memberikan intesif kepada setiap hasil tulisan siswa, baik dalam bentuk reiwuw, karya kreatif, maupun dalam bentuk karya tulis ilmiah. Sekolah, pemerintah daerah dan masyarakat hendaknya memberikan insentif, baik dalam bentuk memasukan tulisan mereka ke mading, web site, jurnal. Sekolah, pemerintah dan masyarakat hendaknya memberikan intesif sebagaimana dilakukan di Jawa barat dengan memberikan intesif Rp.15.000/ hasil resepsi atas buku yang dibaca oleh masyarakat. Sementara untuk karya-karya kreatif juga harus menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran di sekolah, sehingga siswa merasa dihargai, hingga tulisannya akan menjadikannya merasa punya harga diri. d)
Pemberian Struktur Salah satu strategi untuk mendorong sistem literasi sekolah adalah dengan memberikan
suasana menulis dengan struktur yang konsisten penting untuk menunjang keberhasilan siswa dalam mengembangkan keterampilan menulis mereka (Stahlman dan Luckner, 1991:316). Untuk kepentingan itu guru perlu menyediakan folder manila karton atau map portofolio untuk menyimpan seluruh aktivitas kegiatan menulis siswa. Di sisi folder siswa dapat ditulis sifatsifat tugas menulis, tanggal, lembaran komentar dari teman sekelas dan guru tentang kelemahan
71
untuk diarahkan dan kekuatan untuk dipertahankan. Hasil kegiatan menulis siswa dapat disimpan dalam satu kotak yang mudah dijangkau oleh siswa dan siswa dapat mendapatkannya kembali jika membutuhkan. Di samping itu, guru hendaknya dapat memberikan beberapa konsep tentang cara menulis yang baik. Di sini, kita dapat berharap agar ada pelatihan menulis untuk guru di kabupaten Wakatobi. baik menulis karya tulis ilmiah maupun untuk menulis kreatif. Karena hanya dengan membangun sistem literasi, kebudayaan dapat dilestarikan di dalam masyarakat. Dengan memberikan struktur menulis kepada siswa melalui pelatihan guru-guru, akan memudahkan siswa untuk menulis tentang kebudayaan mereka. Kepeulian mereka untuk menulis kebudayaan merekalah yang akan melestarikan kebudayaan, karena menulis merupakan masnisfestasi dari kemampuan membaca seorang manusia. Menulis merupakan bentuk refleksi dari pikiran manusia yang dalam, yang dihasilkannya melalui membaca yang panjang (buku dan dunia). e)
Interaksi Teman Sekelas (Peer) Interaksi teman sekelas dapat digunakan sebagai salah satu cara bagi siswa untuk
sharing tulisan mereka dan untuk memberikan dan menerima bantuan kritik (Johnson, 1988 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Siswa dapat sharing topik dalam kelompok kecil atau berpasangan, selanjutnya mendiskusi-sikan masalah yang mereka tulis atau saling membacakan tulisan mereka. Cara lain adalah saling menukar tulisan dengan partner dan melengkapi evaluasi untuk pekerjaan rumah. Dalam interaksi peer guru harus memberikan struktur yang jelas bagi siswa dan pemahaman tentang cara mengevaluasi tulisan. Komentar siswa yang bersifat evaluatif dapat dipancing oleh guru dengan pertanyaan-pertanyaan evaluatif. Pedoman membuat komentar dan saran dapat didisplaikan untuk mengembangkan keterampilan siswa bertanya yang lebih baik. Johnson (1991) menyajikan pertanyaan untuk pedoman interaksi peer sebagai berikut. (1) Bagaimana perasaanmu ketika menulis? (2) Dapatkah saya mengidentifikasi karakter? (3) Apakah saya mempunyai pengalaman yang sama? (4) Apa yang saya sukai secara khusus tentang topik tersebut? (5) Apakah yang ingin saya ketahui tentang topik tersebut? (6) Adakah hal-hal yang tidak jelas dan membingungkan dalam tulisan tersebut? f)
Kerja Sama dengan Orang Tua Orang tua perlu diberi pemahaman tentang menulis proses agar mereka memahami dan
mendukung
program
pembelajaran
menulis,
serta dapat memberikan bantuan yang
diperlukan bagi anaknya. Guru perlu memberikan petunjuk kepada orang tua tentang menulis proses, cara membantu mengumpulkan tulisan anaknya ke dalam file dan memberikan
72
fasilitasnya, memberikan dukungan dan memotivasi anaknya, dan mengunjungi sekolah untuk mengamati variasi program menulis. D. STRATEGI PELESTARIAN BUDAYA MELALUI GERAKAN LITERASI Pentingnya gerakan literasi dalam pelestarian budaya merupakan suatu inti dari sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Kemajuan kebudayaan Afrika, terutama Mesir, sebenarnya ditopang oleh tradisi literasi mereka yang sangat termashur yang terdapat dalam budaya literasi mereka di Perpustakaan Alexanderia 44. Keberadaan perpustakaan ini, sangat penting sebagai media pengawet pengetahuan yang saat diwarisi oleh masyarakat dunia. Sehubungan dengan pentingnya literasi sebagai pengawet ilmu pengetahuan itu, nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa “Ilmu pengetahuan itu seperti Binatang ternak, dan tulisanlah yang akan mengikatnya. Sementara di dalam Al Qur'an perintah untuk menulis itu diajarakan melalui tiga perintah yaitu Menulis dalam Islam al-Quran terdiri dari tiga akar kata, yaitu kata pena (qalam), kata tinta (Midad), dan menulis (kataba). Di dalam al-Qur’an kata “pena” secara eksplisit hanya disebutkan tiga kali; (1) pada Surat al-Alaq, (2) kata pena (qalam) dalam surat yang diberi nama al-Qalam yang dibuka dengan huruf nun, dan (3) kata pena qalam yang terdapat dalam Surat al-Luqman : 27. Perintah untuk menulis di dalam al-Qur’an memang banyak, tetapi jika dibandingkan dengan perintah untuk membaca, berfikir, dan menggunakan akal secara kuantitatif jumlahnya lebih sedikit. Sedikitnya, perintah menulis, bukan berarti kegiatan menulis menjadi tidak penting. Sebaliknya, sedikitnya perintah menulis itu seharusnya lebih memotivasi umat Islam untuk lebih giat menulis sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama besar dahulu 45. Dengan demikian, pengertian literasi bukan hanya menulis dan membaca, tetapi harus dimaknai lebih dalam melalui upaya untuk memberikan ruang untuk terjadinya aktifitas membaca dan berfikir. Bahkan dalam Aquran memberikan janji atas mereka yang menuntut ilmu dan mempergunakan akalnya untuk membaca dan berfikir. Dalam ayat lain Allah berfirman: 11 :ت َوﷲُ ِب َما تَ ْع َملُونَ خَ ِبي ٌر )المجادلة ٍ يَرْ فَ ِع ﷲُ الﱠ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالﱠ ِذينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-Mujadalah: 11) 44
Perpustakaan Alexsandria didirikan di Alexandria oleh raja Ptolemey (Ptolemaeus) Soter (322-285 SM) raja pertama dinasti Diadoch.http://www.perpusnas.go.id/magazine/kejahatan‐terhadap‐buku‐dan‐
perpustakaan/ diakses pada tanggal 16 Apr. 17 45
http://www.kompasiana.com/adesuyitno/urgensi-menulis-dalam-prespektif-islam_551ac370a33311ae20b659a5 diakses tanggal 20 April 17
73
Saya pikir, disini pentingnya pelestarian budaya Wakatobi yang berlandaskan nilai-nilai sebagai landasan kehidupaan manusia. Sementara kebudayaan Wakatobi merupakan sinkretisme nilai-nilai budaya lokal dengan nilai-nilai islami yang kemudian menjadi landasan kebudayan masyarakat Wakatobi. Hal ini dapat dilihat dalam tradisi kangkilo yang menjadi nilai dasar dari kebudayaan Wakatobi. Dimana kangkilo merupakan penafsiran berdasarkan pandangan masyarakat lokal terhadap ajaran mensucikan diri di dalam Al Qur'an Almaidah ayat 6 46. Berangkat dari beberapa konsep di atas, maka diperlukan stretegi pelestarian budaya malelui gerakan literasi sekolah, yaitu (1) diperlukan suatu kebijakan yang memberikan ruang kepada siswa untuk mendapatkan ruang untuk mempelajari budaya baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. (2) adanya gerakan kesadaran membangun perpustakaan sekolah di seluruh kabupaten Wakatobi; (3) adanya pemberian insetif mengenai hasil rewiuw yang dihasilkan oleh siswa, guru maupun masyarakat umum; (4) pembangunan perpustakaan keliling sehingga dapat membantu setiap sekolah untuk mendapatkan buku yang baik, (5) melaksanakan lomba baca di tingkat sekolah, kecamatan dan kabupaten Wakatobi, (6) memasukan budaya lokal dalam kurikum muatan lokal sesuai kurikum 2013, dengan menjadikan budaya sebagai salah satu bagian terintergasi dalam pembelajaran muatan lokal. Dengan masuknya pembelajaran budaya dalam kurikulum muatan lokal berbasis K13, maka diharapkan pelestarian budaya di dalam masyarakat Wakatobi dapat terjadi. Siswa diharapkan bukan hanya membaca buku budaya Wakatobi, tetapi mereka juga harus mampu menikmati, memahami, dan merasakan apa yang dalam berbagai artefak, ide, sistem yang ada dalam budaya masyarakat Wakatobi. Di sini, gerakan literasi sekolah harus dijadikan sebagai modal untuk menggeser keberadaan sekolah sebagai ruang baca yang pengap, panas, kotor dan tidak, menarik. Kita harus memikirkan bagaimana perpustakaan sekolah sebagai inti dari pembangunan sekolah. Penyediaan buku-buku melalui kerja sama dengan perpustakaan kabupaten akan mendukung pelaksanaan perpustakaan sekolah yang harmoni, tempat belajar membaca, menulis dan bermain. Dengan menjadikan gerakan literasi sekolah sebagai suatu kebijakan dalam pembangunan pendidikan di Wakatobi, maka diharapkan gerakan literasi ini dapat mendorong proses pelestarian budaya di dalam masyarakat Wakatobi. Di sisi yang lain, gerakan literasi
46
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (Q:5:6).
74
sekolah merupakan gerakan kebangkitan kebudayaan sebagaimana pernah dilakukan di Alexanndria di Mesir, gerakan Baitul Hikmah di Bagdag di zaman Sultan Harun Al Rasyd. Saya juga berharap, Wakatobi akan menjadi salah satu kabupaten yang maju dan memiliki sumber daya manusia yang mampu survive di dalam berbagai kesempatan dan konteks di masa depan. E. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, maka upaya pelestarian budaya melalui gerakan literasi sekolah adalah salah satu langkah stretagis yang harus dilaksanakan untuk melestatrikan kebudayaan, termasuk di dalamnya kebudayaan masyarakat Wakatobi. Pengembangan literasi sekolah harus diarahkaan untuk dapat mendorong kemampuan literasi bagi siswa terutama dalam menyiapkan mereka untuk lebih sukses dalam menghadapi masa depan mereka, dimana generasi mendatang berada dalam dua ranah, yaitu globalisasi dan keragaman budaya lokal. Karena hanya mereka yang memiliki sudah pandang yang luaslah yang lebih sukses dan tidak mudah stress dalam menghadap berbagai fenomena yang mereka hadapi. Kebijakan literasi sekolah yang ada di Wakatobi, hendaknya bukan hanya melibatkan siswa pada keterampilan membaca dan menulis seperti di dalam buku, tetapi harus mampu membaca (buku, lingkungan dan alam semesta), dan belajar menulis karena menulis merupakan tahapan lebih lama sebagai ranah pelestarian budaya. Sehingga gerakan literasi sekolah adalah gerakan yang dapat membantu siswa dalam memahami budaya lokal dan memahami budaya global yang terus berkecamuk dalam setiap detik. DAFTAR PUSTAKA Alifuddin, M. 2007. ISLAM Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal. Yogyakarta: Disertasi Program Pascasarajana UIN Sunan Kalijaga. Arafah, Nur. 2015. Kaindea: Adaptasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Pulau-Pulau Kecil. Kendari: Penerbit Oceania Press. Jacques, Martin. 2011. When China Rules The World (Ketika China Menguasai Dunia): Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Diterjemakan oleh Noor Cholis dan Jarot Sumarwoto. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Sthalman, Barbara Luetke; Luckner, John.(1991). Effectively Educating Studentswith HearingImparments.New York:Longman. Udu, Sumiman. 2017. Nilai-Nilai Islami Dalam Konservasi Lingkungan Masyarakat Adat Wakatobi Makalah yang disampaikan dalam International conference on Islam anda Local Wisdom, yang dilaksanakan oleh Kendari 25-26 April 2017 di Hotel Plasa In Kendari.
75
PEMBELAJARAN ETNOLITERASI SASTRA Suwardi Endraswara Ketua Umum HISKI Pusat A. LITERASI ETNOPEDAGOGI SASTRA Pembelajaran sastra dan literasi sastra, dapat disinergikan lewat perspektif etnopedagogik sastra. Sastra banyak menawarkan wejangan etnografis. Ajaran itulah yang dikenal dengan kearifan lokal (etnos). Sadar atau tidak, sastra itu banyak menawarkan kearifan local yang amat berharga untuk membangun bangsa. Kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang mampu mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Kalau membaca novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Adjidarma, jelas banyak menawarkan etnopedagogi yang pantas diselami maknanya. Tawaran itu dapat bersifat tafsir terbuka bagi siswa. Guru cukup membingkai dalam bentuk penguatan saja. Siswa diharapkan melalukan literasi etnopedagogi sendiri, agar semakin tertanam karakter etno apa saja yang dapat dipetik. Setiap karya sastra memiliki kelebihan masing-masing. Setiap karya sastra juga merupakan pendakian nilai budaya. Dalam wawasan Alexander (2009:2) pedagogi itu sebuah strategi investasi peradaban. Pedagogi terkait dengan budaya yang hendak ditanamkan. Dalam kaitan ini, etnopedagogi menjadi hal menarik untuk menanamkan budaya etnis lewat sastra. Yang lebih penting lagi penanaman pedagogi melalui etnopedagogi tidak harus berawal dari dan berakhir dalam kelas. Maksudnya, kelas etnopedagogi sastra lebih bebas. Kelas tidak selalu di ruang kelas. Peserta didik dapat diajak melakukan eksplorasi alam untuk berlatih penjiwaan. Peserta didik dapat diajak ke sebuah komunitas budaya, untuk merasakan keberagaman. Itulah sebabnya literasi etnopedagogik sastra begitu penting dikembangkan. Pembelajaran sastra perlu melakukan dua hal, yaitu: (1) menyediakan karya-karya sastra sebagai bahan literasi di kelas yang memuat etnopedagogik, yaitu kearifan local. Kearifan terhadap lingkungan, kearifan terhadap alam, dan sebagainya sering muncul dalam karya sastra, (2) strategi pembelajaran literasi etnopedagogik diarahkan pada upaya saling menghargai perbedaan kultur. Setiap local memiliki kekhasan ajaran yang dapat dipetik sebagai pedoman hidup. Dengan cara demikian, berarti pembelajaran sastra diharapkan dapat memberikan kesempatan siswa melakukan eksplorasi pedagogis. Siswa diajak melek (literasi) pada ajaran kearifan local dalam sastra. Etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity dan the culture of
76
teaching. Sastra penuh tawaran literasi nilai budaya. Budaya anti korupsi, kebersamaan, dan budaya toleren, selalu hadir dalam sastra. Oleh karena itu siswa perlu diajak berlierasi etnopedagogik sastra. Nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi dalam bidang pendidikan berbasis budaya masyarakat lokal, perlu pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, revitalisasi dan restorasi sesuai dengan kondisi jamannya. Karya sastra jelas percikan pedagogi. Sastra yang bagus, jelas harus memuat pencerahan. Maka Alwasilah (2009) mengemukakan dalam konteks budaya secara umum, etnopedagogi menaruh perhatian khusus terhadap local genius dan local wisdom. Dalam kaitan ini, siswa dapat diajak mengeksplorasi nilai-nilai pedagogic dalam karya sastra. Literasi etnopedagogi dapat mengajak siswa lebih kritis menyelami nilai-nilai karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran sastra yang berbasis literasi etnopegagogi dapat memandang pengetahuan atau kearifan lokal (local knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Literasi etnopedagogi sastra sudah seharusnya mampu mencerdaskan bangsa. Pembelajaran literasi etnopedagogi sastra kiblatnya adalah pada kearifan local. Lokalitas pun seringkali cocok untuk hal-hal yang mondial (globalitas). Oleh karena itu, etnopedagogi sastra sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal nampaknya sejalan dengan temuan Alexander (Suratno, 2010) yang menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara pedagogi dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Karya sastra itu sebuah perasan sari pati kehidupan. Sastrawan termasuk memiliki filter imajinatif untuk mengekspresikan gagasanya. Maka menarik apa yang dikemukakan oleh Suratno (2010) tentang upayanya untuk memposisikan etnopedagogi secara lebih strategis, pertama, etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya bagi pengajaran dan pembelajaran dalam konteks teaching as cultural activity dan the culture of teaching. Di sisi lain. Kedua, etnopedagogi berperan dalam menciptakan secara berantai kader-kader yang memiliki kecerdasan kultural dan konteks pendidikan guru. Apapun konteks yang dipelajari dalam literasi etnopedagogi sastra, selalu mengarah pada kebajikan. Sastra sudah taken for granted, memberikan ajaran wajah bangsa yang berliterasi masa depan. Literasi etnopedagogi sastra digarap agar mampu menggiring siswa agar mampu memilah dan memilih ajaran yang bagus dalam sebuah karya sastra. Karya sastra diciptakan untuk membuat dan mempengaruhi penikmat bersikap dan bertindak lebih arif. Itulah sebabnya, pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai kearifan lokal, merestorasi ajaran, dan revitalisasinya sesuai dengan kondisi masa kini. Kondisi jaman ini
77
sudah semakin membutuhkan ajaran yang menuju pada manusia purna. Dengan literasi etnopedagogi sastra, diharapkan menjadi obat ketakberdayaan bangsa ini. Jaman ii memang sudah keterlaluan. Mungkin, salah resep minum jamu. Yakni, yang diminum jamu cap “Serakah”, yang diramu dari daun-daun tega. Jamu itu sudah terlanjur diminum oleh bangsa ini, sehingga semakin sulit dikendalikan. Aliran jamu ke tubuh, seperti aliran bisa ular ketika menggigit manusia. Mungkin figure-figur tokoh sastra yang seperti Gusdur, Mukidi, Abunawas, dan sebagainya yang bisa mengatasi jaman. B. LITERASI ETNOLOGI SASTRA Diakui atau tidak, pembelajaran literasi sastra etnologis memang masih jarang dilakukan. Literasi sastra etnologis adalah upaya memahami karya sastra dengan perspektif etnologis. Tentu saja, bila literasi etnologis suatu bangsa rendah, tentu peradaban juga sangat memprihatinkan. Biasanya, orang lalu tidak mau memahami orang lain. Apalagi ada perbedaan etnis, seringkali memunculkan masalah baru. Oleh karena arti literasi juga jalan peradaban. Orang yang beradab tentu mampu bersikap arif dalam memahami perbedaan apa pun tentang bangsa. Dalam pembelajaran etnologi sastra, menurut hemat saya ada berbagai hal yang dapat dilakukan. Jika kita memahami tokoh Dasamuka dalam wayang, secara etnologi sastra dapat dilacak: (a) mimikri tokoh Dasamuka dalam sebuah cerpen, (b) menemukan metamorphose tokoh Dasamuka. Kedua hal itu, tentu dikaitkan dengan etnisitas (Endraswara, 2015:145). Kalau perlu ada perbandingan antar etnis, ketika menghayati tokoh Dasamuka.Begitu pula kalau kita menggunakan dongeng kancil, pada setiap etnis tentu memiliki persepsi yang berbeda. Pembelajaran dapat diarahkan untuk emnggali kekayaan pemikiran etnis terhadap kancil. Begitu pula saat pembaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam, tampak sangat Jawa etnis.Dari sisi etnologis, novel ini menarik diperbincangkan. Apalagi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, sangat kental etnis Jawa-Banyumasan. Perbedaan itu rahmah. Begitu kacamata pandang literasi sastra etnologis. Setiap etnis memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap etnis memiliki kekhasan dalam ekspresi sastra. Literasi sastra etnologis adalah jalan memelekkan manusia pada fenomena keindahan etnisitas yang berguna. Perlu diketahui bahwa Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk kedua dari 65 negara dalam hal budaya literasi. Tentunya hal ini termasuk kemampuan literasi sastra etnologis. Bandingkan dengan, Vietnam yang menduduki peringkat delapan dan Singapura di posisi nomor tiga. Mungkin ada benarnya, sebab di era orde baru memang ada program pemberantasan buta aksara. Sekarang
78
juga perlu pemberantasan buta literasi sastra, khususnya lietrasi etnologis. Kemampuan memahami etnis lain itu sebuah pilar kearifan yang mahal. Menurut hemat saya, sastra itu akan memelekkan tiga hal, yaitu: (1) membuat orang bisa memahami hidup itu indah, sehingga kita bisa mudah terhibur, dan akhirnya awet muda, (2) menyeimbangkan suasana ketika fenomena lain gagal atau angkat tangan mengontrol situasi, sastra tetap tegar memberikan control yang tidak menyakitkan, (3) mendorong manusia berbuat lebih baik, dengan meneladani tindakan tokoh sastra. Kalau begitu literasi sastra memang akan mengangkat derajat dan martabat manusia. Sastra memiliki dongkrak hidrolik untuk membangkitkan kehidupan semakin bagus. Masih perlu pembuktian, bahwa semakin meningkat orang berliterasi sastra, hidupnya semakin manis. Hidup tidak lagi harus dengan kacamata kuda. Begitu pula dalam pembelajaran, semakin siswa diajak berliterasi sastra yang bernuansa etnis, penghargaan terhadap keberagaman semakin terpercaya. Apalagi kalau yang dibaca adalah karya-karya sastra etnografi. Sastra etnografi, akan membuka mata siswa untuk lebih arif menghargai keanekaragaman budaya. Termasuk di dalamnya, apabila penguasaan literasi sastra handal, pemahaman terhadap perbedaan agama selalu dipandang sebagai anugerah. Oleh karena karya-karya etnografi yang bagus biasanya bersifat humanis. Harusnya, ada korelasi positif bahwa tingkat budaya literasi dengan pengakuan pada pentingnya agama dalam kehidupan. Sederhananya, semakin suka orang membaca, mencipta sastra, maka semakin mampu menghargai keberagaman agama. Sebaliknya, semakin tidak suka orang membaca karya sastra, maka bukan tidak mungkin jika pemahaman eksistensi keberagaman agama semakin berkurang. Dengan demikian, pemahaman etnoliterasi sastra penting dilakukan. Membaca novel Megat karya Rida K Liamsi, misalnya, justru akan mengajak siswa berliterasi terhadap budaya Riau. Etnisitas Riau yang kental dengan agama, ternyata ada pertumahan darah. Banyak wejangan moral etnis yang pantas diungkap untuk membuka mata bangsa. Pemerintahan keratin yang otoriter di etnis Riau, sudah melukiskan betapa pentingnya sastra etnografi dibaca secara etnologis. Literasi etnologis, yaitu aktivitas literasi yang menggunakan kacamata etnis. Etnis tidak selalu negative. Etnis adalah lokalitas yang memiliki gairah berbudaya tertentu. Literasi etnologis sastra, bercirikan: (1) membaca karya-karya yang berbau etnis, misalnya sastra etnis Tionghoa, (2) sastra etnis Aceh, (3) sastra etnis Papua, (4) sastra etnis Jawa, dan sebagainya. Biasanya ssastra etnis memberikan pemahaman bahwa hidup berbangsa itu ada renik-renik keindahan. Ada berbagai perbedaan dalam setiap etnis. Ajaran-ajaran sastra etnis, akan semakin
79
bagus apabila dibaca dengan basis etnoliterasi. Etnoliterasi bisa saya sebut literasi etnologis. Artinya membaca karya sastra dengan perspektif etnologi. Asumsi yang perlu dikemukakan dalam pemahaman literasi etnologis, yaitu hadirnya kekuatan etnis pada setiap karya sastra. Kekuatan etnis itu biasanya sebagai dokumen budaya setempat. Literasi etnologis memang tergolong hal baru. Literasi etnologis, perlu memilih karya-karya sastra yang melukiskan etnis tertentu. Sastra etnis Bugis, Toraja, Buton, Wakatobi, dan seterusnya perlu dibaca dengan kacamata etnologis. Etnologi adalah ilmu budaya yang mempelajari kultur etnis tertentu. Karya sastra yang menjadi tumpuan literasi etnologis amat banyak. Karya sastra yang dapat digunakan tidak sekedar yang memiliki warna local, melainkan memang ada nuansa etnografi tertentu. C. LITERASI ETNOPUITIKA SASTRA Sampai detik ini, etnopuitika sastra masih jarang digubris orang (ahli sastra). Mungkin sekali, yang banyak dilakukan adalah masih sebatas baca sastra sebagai teks. Jarang yang sudah mau melirik aspek etnopuitika. Sebenarnya, etnopuitika sastra mudah dilakukan. Orang yang sudah memiliki sense terhadap etnopuitika, berarti daya literasinya sudah meningkat. Literasi etnopuitika penting dikembangkan dalam pembelajaran. Literasi ini merupakan disiplin ilmu baru yang mulai berkembang, khususnya terkait dengan keindahan bunyi dalam karya sastra. Literasi etnopuitika sastra mengandung dua unsur pokok yaitu unsur bahasasusastra. Sastra adalah sebuah permainan bahasa yang tidak biasa. Keindahan bahasa dalam karya sastra bermati lewat estetika. Nmaun etnopuitika merupakan interdisiplin sastra, bahasa, folklore, dan antropologi. Berbagai keilmuan itu dapat dipakai bersama-sama, eks sastra. Unsur suara (the art or aesthetics of sounding the narratives), mmemang hal penting. Karya sastra sering dibaca dengan bunyi berbeda. Menurut pengalaman Hymes (2001:1-5) yang hadir dalam peristiwa sastra, antara lain menonton ketoprak, hadir dalam pernikahan, banyak karya sastra yang memuat etnopuitika dipentaskan. Menurut dia, ada sebagai berikut. Kasus 4. Kami yang tinggal di Malang, tetapi lahir dan dibesarkan di "daerah wayang kulit dan kethoprak" (misalnya, di Yogya, Solo, Semarang, Madiun, Kediri), sangat senang jika TVRI Surabaya menyiarkan kethoprak atau "kethoprak-based drama" produksi TVRI Yogyakarta. Semua dialog dalam kethoprak ini masih menggunakan bahasa Jawa ragam panggung dengan bagus sekali. Dan adegan jatuh cinta, misalnya, masih diungkapkan dengan tembang-tembang dengan irama yang menghanyutkan. Gejala apakah yang muncul di sini? Apresiasi terhadap keindahan teks dan pentas kethoprak merupakan sikap emotif-kolektif, yang tumbuh dari serta dipupuk oleh
80
lingkungan budaya yang mendukung tumbuh dan berkembangnya pementasan kethoprak tersebut. Ada catatan penting dalam literasi etnopuitika dari kutipan kasus itu. Menurut hemat saya, pembelajaran literasi etnopuitika perlu sampai pada: (1) memahami makna kehanyutan rasa seseorang pada sebuah puisi, (2) berbagai jenis etnopuitika apa saja yang digunakan dalam pentas sastra, (3) memahami emosi kolektif suatu bangsa. Dari tiga hal ini, berarti literasi etnopuitika dapat lebih leluasan cakupannya. Yang paling penting adalah memaknai kehebatan rasa dan keindahan suara dalam teks pentas. Literasi etnopuitika sastra merupakan disiplin ilmu baru dan mulai berkembang di Indonesia. Etnopuitika berasal dari kata etno dan puitika. Etno secara etimologis terkait dengan kata etnik atau etnis, mengacu pada sebuah masyarakat sebagai kelompok budaya. Puitika mengacu pada pengertian struktural sebagaimana dikemukakan oleh Jakobson (Kadarisman, 2002:4) tentang bahasa puitis atau poetic language. Jakobson menyatakan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah fungsi puitik yaitu untuk melahirkan keindahan bahasa susastra (Pringgawidagda, 2002). Bahasa puitis ala Jakobson bukan hanya mengacu pada teks puisi khususnya pada teks sastra, melainkan juga merujuk setiap teks yang bentuknya ditonjolkan demi mendapatkan perhatian khusus dari pendengar atau pembacanya. Etnopuitika merupakan perpaduan disiplin ilmu linguistik, sastra lisan folklor, dan antroplogi. Kemenonjolan peran masing-masing disiplin ilmu tersebut sangat tergantung pada latar belakang kemampuan utama pengguna ilmu etnoputika. Apabila pengguna memiliki latar belakang akademis linguistik, kajian etnopuitika menitikberatkan sudut pandang utama dari bidang linguistik. Apabila pengguna etnoputika memiliki latar belakang akademis antropologi, kajian etnopuitika menitikberatkan sudut pandang antropologi, dst. Literasi etnopuitika sastra lebih cocok untuk mencermati sastra pentas. PUisi yang dimusikalisasikan, cocok untuk dipandang dari etnopuitika ini. Kadarisman (2002:7-11) menuliskan ciri utama etnopuitika terutama terkait dengan sastra pentas.
Etnopuitika
memfokuskan diri pada pentas sastra atau verbal art performance. Etnopuitika dapat dipandang sebagai “puitika-pentas” yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti linguistik, antropologi, sastra (lisan) dan folklor. Orang yang mampu menangkap hal ihwal keindahan pementasan sastra, berarti daya literasinya sangat bagus. Peningkatan daya etnoliterasi pentas, perlu dipertajam, dengan mengaitkan berbagai aspek. Tanda literasi itu meningkat, sederhana saja. Yang bisa saya cermati, yaitu: (1) jika ada pameran buku sastra yang berbau sastra etnis, segera hadir dan menyerbut; (2) banyak yang lahap, membaca-baca di ruang pameran, dengan menemukan perbedaan budaya dalam sastra; (3) membeli buku sastra etnis di pameran, lebih dari satu, (3) setiap ada buku sastra baru
81
dikejar, dibeli, disimpan, dan disantap. Buku menurut hemat saya gudang ilmu.Buku adalah jalur literasi terbagus. Buku adalah jendela dunia, sekaligus wahana literasi. Literasi adalah proses melek dunia. Literasi sastra adalah upaya melek sastra. Orang yang melek sastra, biasanya humanis. Rasa humanitasnya tinggi. Lewat baca buku, seseorang semakin terbuka jendela hidupnya. Buku yang berkualitas akan mampu menginspirasi guru dan siswa dalam pembelajaran sastra. Buku adalah jendela menuju orang cerdas. Orang cerdas, biasanya mudah melek kehidupan. Untuk mengembangkan budaya literasi sekolah, perlu membuat program untuk membeli buku-buku sastra yang berkualitas. Buku sastra yang mencerdaskan seseorang, perlu disediakan di sekolah. Oleh karena sastra mampu menginspirasi kehidupan. Literasi sastra akan menciptakan dunia cerdas, humanis, dan penuh gelitik hidup. Dengan kata lain, pembelajaran sastra perlu memilih buku-buku yang mencerdaskan siswa. Buku yang menawarkan semangat hidup lebih humanis, layak diacu. Berkaitan dengan hal itu, ada beberapa kemungkinan untuk mengembangkan literasi sastra di sekolah: (1) menggiring siswa hadir ke pameran-pameran buku sastra. (2) melengkapi buku-buku sastra di perpustakaan sekolah. Kalau perlu menciptakan perpustakaan yang ramah lingkungan. Perpustakaan sekolah yang lengkap dan dikelola dengan baik memungkinkan pengguna untuk lebih mengembangkan dan mendalami pengetahuan yang diperolehnya, baik dalam berkelompok, maupun belajar mandiri pada waktu-waktu kosong, dengan berbagai profesi, (3) Sekolah membuat program agar para siswa bisa berkunjung ke perpustakaan daerah setempat. (4) Kunjungan ke penerbit buku terdekat. Sekolah membuat program agar para siswanya bisa berkunjung ke salah satu penerbit buku terdekat. Dengan banyaknya penerbit, komunitas perbukuan, stasiun radio, dan beberapa stasiun televisi lokal mampu melahirkan ideide kreatif sebagai tindak lanjut pesta buku. Selain memasyarakatkan minat membaca dan cinta buku melalui pameran, media lain seperti radio dan televisi dapat dimanfaatkan. Lebih bagus lagi apabila sekolah membuat program literasi sastra yang menantang. Biasanya program termaksud dilakukan dengan perlombaan. Tantangan membaca buku kepada siswa misalkan yang berhasil membaca 10 novel dalam satu semester maka akan mendapatkan reward. Reward berupa; (1) nilai yang menjanjikan di raport, (2) bisa berupa dana pembinaan. Yang penting program pengembangan literasi yang menggugah keinginan siswa. Dorongan awal untuk membaca dan menulis sastra kemungkinan awalnya dari reward. Sekolah juga dapat membuat festival sastra per semester. Misalkan saja festival antar kelas. Festival berupa keliling kampong atau ramai-ramai berkunjung ke televise, sambil membaca karya sastra. Sekolah juga dapat membuat lomba menulis karya sastra, bagi para pemenang karyanya diterbitkan sebagai bahan ajar. Dengan kata lain, sekolah perlu menjajdi
82
fasilitator literasi sastra. Sekolah perlu memberikan reward kepada siswa yang paling rajin membaca di perpustakaan, perpustakaan kelas terbaik, dan siswa yang berhasil menerbitkan karya dalam bentuk buku atau diterbitkan di media massa. Kebanggaan bila karyanya terbit Demikian cara menumbuhkan dan mengembangkan budaya literasi sekolah. Semoga dengan adanya tulisan ini akan bermanfaat bagi kita semua. D. ETNOMETODOLOGI MENUJU HIPERLITERASI SASTRA Etnometodologi adalah perspektif baru yang saya pinjam dari bidang antropologi. Di ranah antropologi sastra, perspektif etnometodologi akan mengajak kita lebih mendasarkan realitas dalam memahami sastra. Dalam konteks ini, etnometodologi akan lebih menggairahkan dalam menangkap makna karya sastra. Pembelajaran sastra dapat emmanfaatkan perspektif etnometodologi untuk menggali hiperliterasi sastra yag selama ini banyak diabaikan. Yang saya maksud makna pada tingkat hiperliterasi sastra yaitu teks sastra diaplikasikan pada realitas. Hiperliterasi sastra adalah makna karya sastra yang tidak sekedar membaca dan menulis teks. Hiperliterasi sastra akan sampai pada titik tertentu, yaitu yang saya sebut hipermeaning. Mencermati sajak-sajak “labirin” karya Tengsoe Tjahjono, memang layak dilakukan pemahaman secara etnometodologis. Belum lagi kalau disejajarkan dengan cerpen labirin karya Danarto, pembaca akan dibawa terbang ke dunia yang unik. Bila dalam pembelajaran sastra memanfaatkan perspektif etnometodologi berarti pemahaman makna ke depan termasuk taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Tentu dalam pemahaman sastra lebih leluasa. Yang dimaksud akal sehat yaitu keberterimaan sastra di aras realitas. Biarpun karya sastra itu sebuah fakta imajinatif, bila mampu dicelupkan ke siswa secara akal sehat, tentu akan menjadi hal yang dahsyat. Perlu diketahui, bahwa etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Karya sastra banyak bermain ungkapan. Ungkapan itu membawa pesan khusus,antara lain pesan etno yang tidak terduga sebelumnya. Gagasan itu tepat bila dikaitkan dengan konteks sastra sebagai cermin realitas seharihari. Maksudnya, dalam pembelajaran sastra, perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Tentu konteks semacam ini lebih cocok untuk memahami karya sastra secara reseptif. Resepsi sastra secara etnometodologi akan meraih hiperliterasi sastra yang tidak terbayangkan sebelumnya. Eksperimen sastra di dalam kelas, di dalam keluarga, dan dalam masyarakat boleh dilakukan. Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan
83
Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Analog dengan perlakukan demikian, untuk meraih hiperliterasi para pengajar sastra juga dapat melakukan resepsi sastra. Karya sastra yang disepakati bersama antara pengajar dan siswa, dibagikan kepada reseptor. Sementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu (1) responsif, (2) provokatif dan (3) subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya setelah membaca atau menonton teks sastra. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi di seputar pementasan sastra, misalkan tanggapan tentang tepuk tangan penonton. Latihan ini, juga dapat ditempuh melalui diskusi kelompok, debat antar individu, sehingga melahirkan komentar tentang karya sastra. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Maksudnya, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak ke tempat sastrawan, bahkan mungkin tinggal beberapa waktu seperti orang kos, agar merasakan kehidupan sastrawan. Boleh juga mengikuti seorang sutradara drama, bagaimana mereka menyiapkan pemain, menulis naskah, dan berlatih. Pada ke tiga tataran literasi itu, tentu ada kelebihan masing-masing untuk meraih hiperliterasi. Makna karya sastra dalam perspektif etnometodologi ini, lebih menekankan bahwa sastra perlu dipahami secara nyata. Karya sastra tidak sekedar dibaca dengan duduk, melainkan perlu penghayatan. Guru yang efektif perlu mengadopsi etnometodologi yang seimbang untuk mengajar membaca sastra. Aspek etno yaitu komunitas, tetap ditekankan dalam pemahaman hiperliterasi. Oleh karena itu, apabila akan bagus, kelompok diskusi juga hiterogin. Bila ada program tinggal bersama sastrawan, dicarikan yang memiliki budaya beragam. Maka kurikulum sastra pun biasanya lebih menekankan keterampilan bersastra yang menengarai sebuah kepentingan etnis. Di jagad literasi sastra, kerangka kerjanya untuk menghubungkan teori kontemporer dengan dengan aplikasi praktis. Kinerja keterampilan yang terisolasi belum tentu menghasilkan kemampuan membaca dan menulis dalam dunia nyata. Ketika keaksaraan dilihat melalui lensa sosial budaya, pendekatan pengajaran menekankan konstruksi makna melalui partisipasi aktif. Partisipasi inilah yang saya sebut etnometodologi sastra. Untuk itu, pengalaman memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk masuk atau pilih bahan bacaan amat cocok bisa dilakukan. Perlu mengkondisikan terwujudnya “role model” bagi guru-guru untuk mau dan kreatif mencintai sastra untuk memunculkan aura kesastraan di sekolah. Mengingat perilaku imitasi terhadap orang-orang sekitar sangat berpengaruh dalam pembentukan suatu karakter dan
84
pembiasaan positif sehari-hari. Tidak kalah pentingnya adalah peran keluarga sangat mempengaruhi terbentuknya insan cinta literasi sastra. Orang tua setidaknya meluangkan waktu dan ruang untuk munculnya sudut sastra di rumah untuk mewujudkan pembiasaan kesastraan. Rak pustaka mini berisi karya-karya sastra menjadi pengisi waktu senggang untuk dibaca bersama. Saya kira gerakan literasi yang sudah diwadahi dalam Permendikud nomor 23 tahun 2015 pantas diacungi jempol. Lepas dari pro kontra, tentu upaya yang mengharuskan para siswa membaca 15 menit sebelum memulai KBM adalah langkah revolusioner pemerintah untuk memulai kebiasaan membaca di kalangan siswa, sekaligus Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Gerakan ini diharapkan mampu memacu dan memicu kebiasaan membaca dikalangan pelajar. Berbagai gerakan literasi sedang dikembangkan oleh para penggiat literasi. Ikatan Guru Indonesia (IGI) misalnya sangat giat mengkampanyekan gerakan literasi sekolah, melalui berbagai kegiatannya. Beberapa kabupaten/kota di Indonesia sedang gencar menjadikan daerahnya sebagai daerah literasi. Daerah literasi perlu dibangun pula kampung berbasis literasi, sekolah berbasis literasi. Literasi sastra dengan perspektif etnometodologi dapat menjadi acuan membentuk hiperliterasi. Tataran hiperliterasi akan mengajak penikmat sastra lebih partisipatif. Pada tingkatan hiperliterasi, sastra adalah sebuah pemikiran. Karena itu siswa perlu didorong untuk menegosiasikan makna, mengeksplorasi kemungkinan, pertimbangkan pemahaman dari berbagai perspektif, mempertajam interpretasi mereka sendiri, dan belajar tentang sastra melalui wawasan tanggapan mereka sendiri. Tanggapan didasarkan sebanyak pada pembaca pengalaman pribadi dan budaya sendiri seperti pada teks tertentu dan penulisnya. Maka ada dua strategi: (1) pertemuan di kelas sebagai waktu bagi siswa untuk mengeksplorasi kemungkinan dan mengembangkan pemahaman nilai-nilai yang bertentangan dengan pengalamannya, (2) Jauhkan pemahaman siswa pada pusat makna tunggal, melainkan perlu makna yang cair, luas, dan terbuka. Siswa dapat memvalidasi pengalaman sendiri untuk memahami, dan mulai ada upaya membangun dan memperbaiki makna; (3) pembelajaran lebih banyak memberi bantuan yang bergerak melampaui kesan awal siswa, melibatkan ide-ide mereka, membimbing mereka dalam cara untuk mendengar satu sama lain - untuk membahas dan berpikir. Pada tahap ini guru perlu menjadi pendengar, responden, dan pembantu daripada informasi-pemberi. Mereka adalah bagian dari proses memahami sastra. Bila mungkin, mengajukan pertanyaan yang memanfaatkan pengetahuan siswa. Menangkap apa yang mereka katakan daripada mengikuti agenda sendiri. Mendorong siswa untuk mengembangkan sendiri interpretasi dengan baik dan mendapatkan visi dari orang lain. Guru serta siswa harus terbuka untuk kemungkinan arti. Dalam pengalaman sastra tidak ada ujungnya terbentuk sebelumnya
85
atau interpretasi akhir. Siswa belajar dengan cara terlibat dalam diskusi sastra yang lebih matang dengan menimbulkan respon mereka sendiri. Hiperliterasi sastra diraih dengan cara: (1) meminta klarifikasi kepada komunitas; (2) mengundang partisipasi komunitas untuk membaca, mendengar, dan menonton; dan (3) membimbing mereka dalam mempertahankan argument dalam diskusi sastrasecara intensif. Hiperliterasi dapat diraih manakala para guru memiliki pandangan tetang grand pembelajaran sastra, mengobati interaksi sebelum dan sesudah membaca aktual dan diskusi sebagai bagian penting dari pembelajaran. Dengan demikian, bentuk pembelajaran sastra guru ini terinternalisasi memiliki tiga bagian utama: (1) mulai dari pengalaman sastra (yang berarti semua interaksi yang terjadi sebelum siswa membaca teks, melihat film, menonton drama itu), dan (2) berlanjut (yang berarti semua interaksi yang melibatkan interaksi dengan teks sastra atau acara, (3) serta semua interaksi pribadi dan publik dan kegiatan dan makna negosiasi, termasuk yang terjadi lama setelah "pembelajaran" telah berakhir, tetapi berpikir terus). Kerangka berikut ini dimaksudkan untuk merangsang diskusi tentang pilihan, dengan penuh kesadaran bahwa ini adalah yang utama kelompok ini guru mengandalkan lebih luas daripada yang lain. Pembelajaran sastra yang berbasis hiperliterasi dilakukan dengan membangun konteks untuk meraih pengalaman sastra. Pengalaman digiring dengan etnometodologi, yaitu mempertimbangkan realitas etnis. Berolah sastra, akan melibatkan aspek folklore, seni suara, kemampuan acting, dan merefleksi budaya etnis. Fokusnya adalah membangkitkan hubungan pribadi, sejarah, budaya, atau konseptual yang luas mengundang pengalaman sastra (melangkah ke dalam teks dan menjelajahi kemungkinan). Memberikan kesempatan pada siswa untuk terlibat dalam kegiatan yang bervariasi terhadap pemikiran tentang sastra. Pengalaman mungkin melibatkan menciptakan, melakukan, atau mengamati buku, film, drama, puisi, atau selingan dramatis dicapai bersama-sama atau sendiri, untuk sendiri atau untuk lainnya. Definisi etnometodelogi yang dibuat oleh Garfinkel, oleh Ahimsa-Putra (1985:2) dicoba dipahaminya melalui penulis-penulis lainnya. Pertama, definisi Garfinkel bertitik tolak dari pandangan bahwa kegiatan-kegiatan interaksi sehari-hari mempunyai sifat sistematis dan terorganisir bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Di sini dapat dilihat bahwa proses memberikan keteraturan, mengingat proses merupakan bagian dari interaksi, maka mempelajarinya yang paling tepat adalah melalui partisipasi. Kedua, menekankan pada perbedaan ekspresi yang sifatnya obyektif dan ideksikal, hal ini bagi Garfinkel sangat penting. Ekspresi indeksikal adalah penggambaran obyek-obyek menurut kekhususan dan keunikan, sedangkan ekspresi obyektif adalah menggambarkan general properties dari obyek tersebut berdasarkan ciri yang menyebabkan obyek tersebut menjadi sesuatu yang khas.
86
Etnometodologi berusaha melihat interaksi sosial tidak hanya dari surface rule atau permukaan saja seperti nilai, norma, aturan; namun lebih dalam lagi juga berusaha melihat apa yang menjadi sumber-sumber dari terciptanya surface rule tersebut. Etnometodelogi juga memperhatikan bahasa atau percakapan yang ada di antara para pelaku. Bahasa merupakan alat untuk mengkomunikasikan kenyataan-kenyataan sosial serta makna-makna yang dimiliki oleh para pelaku yang terlibat dalam suatu interaksi. Etnometodologi ketika dihadapkan pada fenomena yang sama, akan memandangnya secara berbeda, menganalisisnya secara berbeda dan dengan teknik atau metode yang berbeda pula. Metode-metode yang digunakan oleh etnomethodologist selain wawancara adalah (1) cara yang ditempuh oleh Garfinkel, mahasiswanya diberi tugas untuk menulis pada sisi kiri secarik kertas hal-hal yang diucapkan oleh mereka yang terlibat interaksi; (2) dalam suatu interaksi sosial, si pembicara beranggapan bahwa orang yang diajak berbicara mengetahui apa yang dia maksud, maka Garfinkle menyuruh mahasiswanya untuk mengadakan percakapan dengan orang lain dan mengajukan pertanyaan yang seolah-olah dianggapnya tidak aneh; 3) doing ethnomethodology, si peneliti melakukan eksperimen sendiri dengan cara violate the scene. Etnometodologi sastra pantas untuk dijadikan acuan hiperliterasi. Hal ini mengingat bahwa sastra tidak selalu berdiri sendiri sebagai teks. Sastra sering memuat aneka teks di dalamnya. Sastra banyak menawarkan etnisitas yang layak dipelajari. Banyak hiperrealitas dan hipermeaning yang sering hadir dalam sastra tanpa terduga. Itulah sebabnya etnometodologi sastra pantas mendapat sambutan untuk meraih makna. Etnometodologi sastra menurut hemat saya lebih menitikberatkan aspek sastra terapan. Paling tidak etnometodologi sastra, akan menerapkan dua hal: (1) pembelajaran sastra diarahkan sampai pemahaman aplikasi sastra di lingkungan social, sastra menjadi sebuah sumber interaksi budaya, (2) pembelajaran sastra menggiring siswa untuk saling bertegur sapa tentang dua atau lebih karya sastra. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1985. Putra,Etnosains dan Etnometodelogi: Sebuah Perbandingan, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Agustus 1985 Jilid XII Nomor 2, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hlm 103-133. Alexander, R. 2009. Towards A Comparative Pedagogy. International Handbook of comparative Education, pp 923-942, Springer, 2009 Professor Robin Alexander University of Cambridge Faculty of Education 184 Hills Road Cambridge CB2 8PQ © R. Alwasilah, A. C., Suryadi, K., Tri Karyono. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama. Endraswara, Suwardi. 2015. Etnologi Jawa. Yogyakarta: Narasi.
87
Hymes, Dell. 2001. “Etnopuitika: Dari Bunga Rampai Teks dan Pentas Sampai Ke Akar Budaya”. Malang: Proseding seminar. Kadarisman, A Effendi. 2002. Etnopuitika: Dari Bunga Rampai Teks dan Pentas sampai ke Akar Budaya. Makalah Seminar Internasional Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Indonesia. Surakarta. Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Gita Wicara Jawi, Pranatacara saha Pamedhasabda. Yogyakarta: Kanisius. Suratno, Tatang. 2010. Memaknai Etnopedagogi Sebagai Landasan Pendidikan Guru Di Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Proceedings of The 4 th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November.
88
BAB II SASTRA
89
REVITALISASI MITOS SUNGAI NINIFALA: UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM ALAM KAKI GUNUNG BINAYA Abdul Karim Tawaulu Email:
[email protected] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk merevitalisasikan mitos yang mengitari sungai Ninifala demi menyelamatkan ekosistem alam yang ada di sekitarnya yang mana area tersebut merupkan bagian dari kawasan kaki gunung Binaya. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk mengungkap mitos yang selama ini dijaga oleh masyarakat desa adat Piliana serta menelusuri nilai-nilai kearifan lokal legenda tersebut. Penelitian ini dipandang sangat urgen mengingat ekosistem alam di area sungai tersebut telah rusak akibat pembongkaran bibir sungai untuk kepentingan wisatawan. Keberadaan pohon cinta yang menjadi maskot sungai juga sudah dalam kondisi memprihatinkan. Kondisi ini diperparah lagi dengan sedimentasi dasar sungai akibat penumpukan material batu dan tanah di dalamnya. Penulis beranggapan jika mitos yang menyelubungi keberadaan legenda Ninifala ini dieksiskan kembali, tentu nuansa kesakralan akan terasa, dan itu artinya sungai tersebut akan selamat dari ancaman kekeringan
Kata kunci: revitalisasi, mitos, ekosistem, Ninifala, sedimentasi A. PENDAHULUAN Masyarakat adat Piliana merupakan salah satu masyarakat suku terasing yang bermukim di lereng gunung Binaya yang hingga saat ini masih teguh mempertahankan praktek kebudayaan, termasuk di dalamnya nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal itu melekat dengan kehidupan kerohanian mereka. Mitos-mitos yang menyelubungi sebuah narasi sejarah, tradisi, dan sastra dipercaya merupakan perwujudan Tuhan yang ada di alam raya ini. Secara geografis negeri Piliana berada di wilayah kecamatan Tehoru, tepatnya berada 2100 mdpl di lereng gunung Binaya. Karena berada di jalur pendakian puncak Binaya maka alam yang ditawarkan sungguh eksotis. Ditambah lagi dengan sungai Ninifala (sering disebut juga dengan kali jodoh) yang belakangan ini viral di media sosial karena keunikan bentuk dan suhu air yang dingin seperti es makin menambah keseksian alamnya. Namun sayang daya pikat sungai Ninafala ini justeru membuat keberadaan mitos yang selama ini mengitarinya menjadi pudar. Masyarakat Piliana dari dulu hingga sekarang masih memercayai adanya mitos seputar kali jodoh ini. Hal ini dapat kita runut dari cerita rakyat mengenai asal usul pohon jodoh yang tumbuh di tengahnya. Cerita rakyat ini berhubungan dengan keberadaan negeri Piliana. Akan tetapi beberapa tahun belakangan cagar alam ini semakin berada di ambang “tutup usia”. Ninifala merupakan legenda seperti halnya legenda Tangkuban Perahu, legenda Gunung Batok, dan lain-lain karena dilegendakan oleh masyarakat Piliana. Dalam terminologi masyarakat Piliana, Ninifala merupakan gabungan dari dua nama manusia, yaitu Nini dan Fala. Dua nama inilah yang melatarbelakangi munculnya mitos di kalangan masyarakat Piliana. Masyarakat percaya bahwa dua pohon yang tumbuh tepat di tengah-tengah sungai merupakan jelmaan kedua insan itu. Salah satu mitos yang berkembang adalah mitos jodoh. Dua pohon yang berdiri kokoh itu diyakini sebagai lambang cinta atau jodoh, sehingga ketika ada orang yang belum berjodoh
90
disarankan datang ke sana lalu menghadirkan niat di bawah pohon itu. Selain mitos jodoh ada mitos-mitos sakral lain yang mempunyai kekuatan magis. Namun sayang mitos-mitos sakral itu perlahan mulai redup. Mitos-mitos tersebut adalah, akan dikutuk tak berjodoh jika melakukan tindakan asusila, dihampiri para leluhur ketika menebang pohon, mitos ruh tertinggal kalau bersuara lantang, dan mitos akan sakit kalau mencabut rumput di area sungai. Karena mulai redupnya nilai kesakralan itu maka kondisi sungai dan area sekitarnya makin memprihatinkan. Pepohonan yang tumbuh di sekitar bibir sungai sebagian sudah di tebang atau kering dengan sendirinya. Bibir sungai yang dipenuhi karang, tanah, dan kerikil telah merosot ke bawah sehingga menyebabkan sedimentasi atau pendangkalan pada dasar sungai. Pohon jodoh yang tumbuh di tengahnya juga sudah dalam kondisi terkelupas kulitnya karena sering dipanjat oleh pengunjung. Padahal sungai ini merupakan aset masyarakat Piliana karena sering dijadikan sebagai air minum sekaligus sebagai air perobatan/penyembuhan bagi penyakit sihir atau tenun. Gambar 1 Kondisi sungai Ninifala
B. TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN 1 Sastra Lisan Sastra lisan adalah hasil kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi (Purwadi, 2009:1). Vansina (dalam Taum, 2011: 10) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition) atau biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan berupah pesan-pesan, cerita-cerita atau kesaksian-kesaksian atau pun diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan merupakan salah satu mantifact (fakta kejiwaan), yakni fakta yang terjadi dalam jiwa, pikiran, atau kesadaran manusia yang dituturkan dan diwariskan melalui bahasa lisan. Melalui bahasa lisan itu manusia membangun kesadaran dirinya dan seluruh tingkah
91
lakunya dan menciptakan ruang gerak yang amat luas bagi dirinya. Dengan kata lain sastra lisan dan kesadaran berhubungan dengan bahasa sebagai mekanisme yang mengatur tingkah laku kemanusiaan dalam pengalaman hidup bermasyarakat (Taum, 2011: 11). Sastra lisan menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 21) dapat dirincikan dalam enam kelompok, yaitu bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat. Cerita rakyat dibentuk oleh dua kata yakni “cerita” dan “rakyat” maka hasilnya adalah cerita milik rakyat, cerita tentang rakyat, cerita yang dituturkan oleh rakyat, atau cerita yang dibuat oleh rakyat. Jika dimaknai dari tinjauan teori sastra, terminologi cerita rakyat tidak dapat dilepaskan dengan budaya, sastra, dan sejarah suatu bangsa. Cerita rakyat merupakan bagian dari hasil kebudayaan masyarakat pendukung suatu kebudayaan kolektif yang diwariskan secara turun temurun secara tradisional atau secara lisan, sehingga menimbulkan versi-versi cerita yang berbeda, baik secara lisan maupun sebagian lisan yang disertai dengan alat bantu pengingat (Danandjaja, 2002: 4). Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2002: 50) cerita rakyat terbagi dalam tiga golongan, yaitu (1) dongeng, (2) legenda, dan (3) mite. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi tetapi tidak diangap suci, ditokohi oleh manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat luar biasa dan sering juga dibantu oleh makhluk-makhluk gaib, tempat terjadiya adalah dunia seperti yang kita kenal ini, dan waktu terjadinya belum begitu lampau (Bascom dalam Hutomo, 1991: 64). Legenda menurut Danandjaja (2002: 5) adalah suatu cerita yang dianggap benar oleh masyarakat. Kebenaran itu dianggap sebagai kebenaran dari segi sejarah atau kepercayaan semata. Legenda merupakan sejarah rakyat karena legenda mempunyai latar belakang sejarah. Fokus legenda adalah tokoh tertentu, pada suatu sejarah tertentu dalam masyarakat. Sedangkan mitos adalah cerita-cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama (religi). Mitos merupakan cerita yang berhubungan dengan dengan keyakinan masyarakat di mana mitos itu ada. Mitos biasanya dijadikan semacam pedoman untuk ajaran suatu kebijaksanaan bagi manusia. Melalui mitos manusia merasa dirinya turut serta mengambil bagian dalam kejiadian-kejadian itu dan dapat pula merasakan kekuatan gaib di luar dirinya (Hutomo, 1991: 63). Yono (2013: 73) mengatakan mitos tidak hanya merupakan sebuah cerita atau reportase tentang apa yang telah terjadi saja, tapi mitos dapat memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman manusia itu. Menurutnya lewat mitos manusia mengambil peran (berpartisipasi). Peran yang dimaksud adalah partisipasi manusia dalam alam pikiran mistis tentang apa yang terjadi. Manusia sebagai subjek yang dilingkari dunia atau objek akan tetapi manusia tidak bulat sehingga kekuatan-kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia itu terbuka, dengan demikian ia berpartisispasi terhadap kekuatan-kekuatan alam. Dengan berpartisipasi tersebut artinya manusia belum mempunyai identitas yang bulat, masih terbuka dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya belum dapat disebut objek yang sempurnah atau utuh. Selanjutnya mitos memiliki fungsi untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatankekuatan gaib, memberi jaminan bagi masa kini bahwa usaha manusia dalam mengukir sejarah hidupnya akan terus terjadi akan ada retardasi atau keberhasilan yang terus berulang, dan memberi pengetahuan tentang dunia bahwa manusia selalu berada dalam lingkarn kekuatan alam. Di sinilah geliat tarik menarik antara imanensi dan transedensi (Yono, 2013: 74).
92
2 Konsep Revitalisasi Sartini (2004, hlm. 115) menjelaskan bahwa kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannnya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus menerus. Salah satu representasi kebudayaan yang di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal juga terdapat dalam bentuk karya sastra. Maka, sastra juga dapat dikatakan sebagai bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pencipta serta refleksi terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Kearifan lokal telah lama menjadi bagian dalam kajian filsafat para filosof terutama di Yunani. Pengertian kearifan kemudian berkembang. Kearifan dalam masyarakat Yunani pada waktu itu merupakan pengetahuan asli (indigenous knowledge) masyarakat setempat sebagaimana yang juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan sekitar tiga generasi yang lalu. Pengetahuan asli itu bermanfaat untuk mengatur kehidupan manusia, baik mengatur hubungan antarmanusia dalam suatu masyarakat, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Pengetahuan asli seperti itu dahulu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Pengetahuan asli itulah yang terus-menerus dipedomani dalam kebiasaan kehidupan mereka dalam mengelola mata pencaharian dan memperkuat kepribadian (Sibarani, 2012, hlm. 110-111). Secara istilah, kata kearifan lokal (local wisdom) terdiri atas kata “kearifan” (wisdom) yang berarti kebijaksaaan, sedangkan kata “lokal” (local) berarti setempat. Dengan demikian, kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang berdifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyaratnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas (Sibarani, 2012, hlm. 112). C. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang memusatkan analisis pada data-data empiris (Endraswara, 2009: 5). Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan pendekatan etnografi untuk mengungkap mitos yang menyelubungi legenda Ninifala yang selama ini dipegang oleh masyarakat Piliana. Untuk mengungkapkan keberadaan mitos itu, peneliti melakukan model parsipatori atau wawancara langsung kepada beberapa narasumber. Hal-hal yang peneliti wawancarai adalah cerita mengenai legenda Ninifala, asal usul nama Ninifala, mitos-mitos yang mengitarinya, dan unsur-unsur magis/pamali yang menyelubunginya. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemilahan data; mana data yang dipakai dan mana yang dibuang, analisis data, dan setelah itu dilakukan revitalisasi. D. PEMBAHASAN 1 Mitos Sebagai Tata Nilai Kearifan Lokal Dalam masyarakat tradisional, kedudukan mitos seperti sebuah “agama” yang kaya akan nilai. Boleh dikata, mitos adalah aktualisasi ide masyarakat yang bersemayam bersama kepercayaan. Taylor (dalam Pals, 2012: 40) mengatakan bahwa mitos yang dianggap sebagai
93
gudangnya ide-ide irasional dan cerita-cerita komikal, pada dasarnya berkembang dalam pola yang sama dengan pemikiran rasional. Mitos-mitos lahir dari kecenderungan alamiah untuk menyelubungi ide-ide dengan pakaian konkrit. Menurutnya Mitos lahir dari penggabungan ideide yang logis. Definisi mitos oleh beberapa ahli dirasa mengabaikan pendapat Taylor di atas, yang meletakan mitos dalam bangunan kosong ide, irasional, dan takhyul. Menurut mereka mitos tak lebih dari rangkaian cerita-cerita takhyul yang sarat akan ketidakbenaran apalagi bertemali secara rasional. Padahal ke-adaan mitos adalah lintasan ide-ide logis yang berkembang dalam pikiran masyarakat tradisional, artinya sesuatu yang dianggap mitos oleh kita sejatinya merupakan cerminan sebuah peristiwa yang terjadi secara nyata dan dianggap berwujud oleh masyarakat tradisional itu. Mitos-mitos tersebut kemudian bermeta menjadi nilai-nilai fundamen yang melingkupi kesadaran hidup berbudaya. Nilai-nilai tersebut yang kita kenal dengan kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal bukanlah sebuah gagasan dangkal yang muncul di luar nalar logis manusia. Nilai ini merupakan representasi pengetahuan murni masyarakat berbudaya. Sibarani (2012, 110-111) menyatakan bahwa pengetahuan asli itu bermanfaat untuk mengatur kehidupan manusia, baik mengatur hubungan antarmanusia dalam suatu masyarakat, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Pengetahuan asli seperti itu dahulu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Pengetahuan asli itulah yang terus-menerus dipedomani dalam kebiasaan kehidupan mereka dalam mengelola mata pencaharian dan memperkuat kepribadian. Karena menjadi sebuah pedoman, maka masyarakat menganggap hal-hal yang berada melingkupi sebuah mitos adalah bagian kecil realitas Tuhan yang terjewantahkan lewat tindak laku, peran, dan karakter dalam unsur-unsur mitos tersebut. Nilai ini terus dipedomani sepanjang hari dalam setiap gerak kehidupan mereka, bahkan dalam situasi tertentu mitos adalah “teks” suci yang berisi pesan-pesan suci pula. Secara subtansial, kearifan lokal adalah nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat. Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi nilai dan norma budaya untuk kedamaian dan kesejahteraan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembangunan masyarakat (Sibarani, 2012: 129). Sibarani (2012: 294-295) mengungkapkan, revitalisasi dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) komponen revitalisasi, yaitu (1) penghidupan/pengaktifan kembali, (2) pengelolaan, dan (3) pewarisan tradisi atau sastra lisan. Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi atau sastra lisan yang telah mengalami kepunahan, sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi atau sastra lisan yang masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi atau sudah tidak lagi menjadi bagian hidup masyarakatnya. Menurutnya pengelolaan merupakan hal penting agar tradisi lisan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pewarisan diperlukan untuk menjamin masa depan tradisi atau sastra lisan itu. 2 Revitalisasi Mitos Legenda Ninifala Sebagai Upaya Pelestarian Alam Penggalian nilai adat, budaya, mitos dan kearifan lokal legenda Ninifala perlu dihidupkan kembali. Salah satu upaya tersebut adalah dengan cara merevitalisasikan kesakralan mitos yang mengitari legenda Ninifala ini. Cara ini dianggap paling efektif untuk menjaga eksistensi sungai dan ekosistem alam yang ada disekitarnya karena pola ini berkaitan langsung dengan kesadaran tiap-tiap orang. Keesing (1999: 257) merumuskan revitalisasi sebagai
94
perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Lebih lanjut ia menekankan bahwa revitalisasi bertolak dari kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisitradisi lama. Masyarakat pendukungnya dalam hal ini masyarakat Piliana diberi suntikan pemahaman mengenai manfaat keberadaan sungai Ninifala serta kelangsungan ekosistem alam yang ada di sekitar perkampungan mereka. Cara yang peneliti lakukan adalah, pertama menyadarkan masyarakat akan pentingnya mempertahankan tradisi, adat, dan budaya serta nilainilai yang melingkupinya. Kedua, menanamkan rasa cinta dan rasa memiliki atas alam yang ada disekitarnya, karena hanya dengan cintalah manusia akan menjaga apa yang menjadi bagian dari dirinya. Ketiga, memberi pemahaman tentang cara mengolah lahan garapan dengan cara yang lebih baik. Mengingat 100% sumber kehidupan masyarakat Piliana bergantung dari alam kaki Gunung Binaya maka pemahaman mengenai dampak buruk dari kegiatan penebangan pohon yang berlebihan, pembakaran hutan, dan perkebunan yang berpindah-pindah dirasa sangat penting untuk dilakukan. Keempat, memberikan pengertian mengenai cara yang baik mengelolah wisata sungai Ninifala agar pengunjung yang datang tidak melakukann hal-hal yang membahayakan ekosistem sungai dan alam sekitarnya. Dan kelima, memberikan pemahaman bahwa materi atau uang bukan segala-segalanya, sehingga dengan demikian masyarakat dapat membatasi pengunjung yang datang. Dalam kegiatan revitalisasi, masyarakat dilibatkan karena hal ini berkaitan langsung dengan kepentingan mereka sebagai masyarakat pendukung. Revitalisasi dapat berupah cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap nengikuti norma-norma yang diwariskan oleh para leluhur dari generasi ke generasi. Pudentia (2010: 1) mengemukakan bahwa kebudayaan dapat direvitalisasi hanya jika budaya tersebut dipertimbangkan memiliki kepentingan signifikan bagi komunitas pendukungnya. Seberapa penting tradisi tersebut sebagai identitas sebuah komunitas atau seberapa jauh melambangkan sebuah komunitas ditentukan setelah melakukan penelitian mendalam. Menurutnya sebuah revitalisasi mestinya melibatkan komunitas pendukung tradisi tersebut. 3 Tahapan Revitalisasi Pudentia (2010: 14-17) mengemukakan bahwa revitalisasi dapat dilakukan melalui tiga tahapan yang berurutan, yaitu pengenalan, penguatan, dan pengembangan. Setiap tahapan memiliki tujuan dan upaya tersendiri. 1) Pada tahap pertama dilakukan introduksi yang bertujuan untuk mengajak para penampil atau pelaku tradisi lisan, masyarakat pendukung, generasi muda, pemuka adat, dan aparatur setempat agar menghidupkan kembali tradisi tersebut; 2) Pada tahap penguatan dilakukan upaya-upaya mengatasi permasalahan revitalisasi. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan permasalahan, antara lain faktor lingkungan, kondisi ekonomi, sikap masyarakat, dan penentu kebijakan atau pemegang kekuasaan; 3) Pada tahap pengembangan dilakukan publikasi dalam tiga berbentuk berbeda, yaitu penelitian, pertunjukan dalam kegiatan-kegiatan budaya, dan pertunjukan komersial di hotel atau tempat lainnya. Merujuk pada tiga konsep di atas maka tahapan yang dilakukan adalah pertama, menghidupkan kembali tradisi kesakralan mitos legenda Ninifala melalui sosialisasi berkala
95
yang dilakukan oleh peneliti sendiri dan pemangku kepentingan, diantaranya pemerintah kabupaten, pemerintah kecamatan, dan pemerintah negeri. Kedua, memberi pemahaman kepada masyarakat pendukung dan masyarakat sekitarnya akan pentingnya upaya pelestarian lewat model revitalisasi serta meminta masyarakat untuk membantu peneliti dan pemerintah mengatasi kendala-kendala revitalisasi yang didapatkan di lapangan, ketiga, akan dilakukan upaya mempublikasikannya dalam bentuk pertunjukan, didokumentasikan, dan penelitian secara berkesinambungan. Keempat, sinopsis cerita yang sudah dikonversikan dalam bentuk cerita utuh akan dibagikan ke masyarakat. Kelima, hasil penelitian akan diberikan kepada pemerintah daerah setempat untuk dijadikan sebagai arsip daerah dan juga ke lembaga-lembaga pendidikan agar dapat dijadikan sebagai bahan ajar berbasis kearifan lokal. 4 Strategi Revitalisasi Inti dari revitalisasi mitos sungai Ninifala adalah menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut sehingga bermuara pada kesadaran koletif masyarakat terutama masyarakat pendukungnya, bahwa menjaga dan melestarikan ekosistem alam di sekitarnya adalah hal terpenting agar debit air pada sungai tersebut tidak akan tergerus. Di bawah ini dipaparkan rencana strategi revitalisasi. 4.4.1 Perlombaan Bertutur Cerita Rakyat Kegiatan perlombaan yang bernuansakan tradisi lisan untuk daerah pesisir Selatan pulau Seram tidak pernah dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya sikap apriori generasi muda dan masyarakat terhadap sastra dan tradisi lisannya. Jika kegiatan-kegiatan perlombaan secara kontinyu dilakukan terutama pada lembaga-lembaga pendidikan maka dengan sendirinya kesadaran untuk menjaga dan melestarikan satra dan tradisi lisan itu akan ada. 4.4.2 Pendirian Sanggar Sastra dan Seni Keberlangsungan sebuah kreatifitas sastra dan seni tentunya harus didukung dengan adanya sarana dan prasarana penunjang seperti sanggar. Sanggar sangat diperlukan karena di sanalah para pemerhati, pemain, dan penikmat dapat menuangkan ide-ide kreatifitasnya. Untuk masyarakat terutama generasi muda kecamatan Tehoru dan Telutih dalam hal ketersediaan sarana penunjang sama sekali tidak ada. Masyarakat hanya bisa menikmati setiap pertunjukan tradisi lewat cerita-cerita adat yang diceritakan oleh para tetua di rumah-rumah, itupun dengan cara sembunyi-sembunyi. 4.4.3 Penggunaan Karya Sastra Dalam Setiap Momen Budaya Memanfaatkan panggung budaya untuk memperkenalkan karya sastra terutama sastra lisan sangat penting dilakukan. Misalnya dengan menampilkan cerita-cerita rakyat dalam acara pelantikan Raja, pembangunan rumah tua, acara panas pela, dan momentum adat lainnya. Hal ini tentu diperlukan apalagi momentum-momentum adat tersebut bertemali secara erat dengan adanya sastra lisan di masyarakat adat tersebut. 4.4.4 Sinergitas Antara Alam dan Sastra Lisan Lewat Pementasan Drama Cerita rakyat (mitos dan legenda), nyanyian rakyat, dan puisi rakyat dapat dipentaskan dalam bentuk drama. Cerita rakyat yang telah disusun kemudian dikonversikan dalam bentuk naskah drama lalu dipentaskan. Pementasannya dihubungkan dengan alam sekitarnya. Misalnya legenda Ninifala, dalam pemetasannya harus menjadikan alam sebagai latar seting atau setidaknya menyeting panggung dengan latar alam di mana legenda itu berada. Dengan demikian pesan yang ingin disampaikan akan tercapai dan audiens pun dapat menangkap pesan yang disampaikan itu.
96
4.4.5 Upaya Pembukuan Setiap Cerita Rakyat Keberhasilan cerita-cerita rakyat Jawa dan Melayu menjelajah seantero Nusantara karena adanya kepedulian untuk membukukannya. Cerita-cerita seperti legenda Tangkuban Perahu, legenda Danau Toba, legenda Gunung Batok, legenda Banyuwangi, dan lain-lain sudah kita ketahui semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) karena dikemas dalam bentuk buku cerita dengan gaya bahasa yang sederhana. Maka legenda Ninifala dan beberapa cerita rakyat yang lain rencananya akan dibukukan untuk disebarkan di setiap sekolah-sekolah yang ada di Seram Selatan. 4.5 Keintiman Masyarakat Piliana dan Budayanya Masyarakat Piliana memang merupakan masyarakat suku pedalaman yang dikelompokan dalam komunitas suku terasing tetapi sebagian pola kehidupan telah inklusif atau terbuka mengikuti perkembangan zaman sehingga dalam hal interaksi sosial mereka tidak sampai dinegasikan dari kelompok masyarakat lainnya. Olehnya itu dalam melakukan revitalisasi, peneliti menyuguhkan konsep keintiman budaya sehingga kebudayaan dengan segala aksesorisnya menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Dengan begitu akan tumbuh rasa tanggungjawab untuk melestarikannya. Selain itu masyarakat Piliana juga diberi pencerahan tentang lajunya perkembangan teknologi dan kencangnya arus modernisasi dapat membawa dampak buruk bagi eksistensi budaya jika masyarakat apriori terhadapnya. Pembangunan yang kian masif juga dapat berkonstribusi menggelincirkan nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini sudah menjadi perbendaharaan rohani mereka. Adat dan tradisi bagi masyarakat tradisional seperti masyarakat Piliana seperti kepala dengan badan, atau seperti jasad dengan nyawa. Mereka akan kehilangan “nyawa” manakalah adat yang mereka sakralkan berada dalam lokus ancaman. Bagi mereka tiada yang lebih berharga selain adat, karena lewat laku adat dan tradisi itu, mereka dapat mengaktualisasikan pesan-pesan Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Pendeknya adat menjadi agama kedua setelah agama yang mereka anut. 4.6 Geneologi Legenda Ninifala Legenda merupakan tuturan yang berisi kisah-kisah heroik, penuh tantangan, patriotis, mempunyai kelebihan di luar biasa, dan mengandung pelajaran. Kisah-kisah seperti itu dipercaya masyarakat benar-benar pernah terjadi. Setiap legenda selalu berhubungan dengan nama orang atau tokoh sakti, keagamaan, dan nama tempat. Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 67-68) mengemukakan, legenda setempat adalah cerita rakyat yang erat hubungannya dengan suatu tempat, nama daerah, dan bentuk topografi. Maka jika merujuk pada pengetian ini, Ninifala dapat dikelompokan dalam jenis legenda setempat (local legends) karena berhubungan dengan nama tempat dalam hal ini adalah nama sungai. Nama Ninifala merupakan gabungan dari dua suku kata, yaitu Nini dan Fala. Dalam kepercayaan masyarakat Piliana, Nini adalah nama seorang putri bungsu kayangan, sedangkan Fala adalah nama seorang laki-laki bumi. Dalam cerita yang berkembang di masyarakat Piliana, pada zaman dulu putri kayangan sering turun ke bumi untuk mandi di sungai ini. Pada suatu waktu sayap Nini disembunyikan oleh Fala yang ternyata adalah Sultan Bumi. Nini pun akhirnya menikah dengan Sultan Bumi. Namun pernikahan mereka tidak direstui oleh ayah sang putri yang tak lain adalah raja kayangan. Sang ayah tidak memberi restunya karena Fala adalah manusia bumi. Akhirnya mereka berdua dikutuk menjadi pohon. Pohon inilah yang sekarang
97
tumbuh di tengah-tengah area sungai. Masyarakat Piliana percaya bahwa dua pohon tersebut merupakan jelmaan Nini dan Fala yang menjadi simbol cinta dan jodoh. Gambar 2 Pohon jodoh (Nini dan Fala)
Sinopsis Cerita Pada zaman dulu di daerah kaki gunung Binaya berdiri kerajaan besar. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang Sultan gagah perkasa yang bernama Fala. Di wilayah kerajaannya terdapat sebuah sungai yang unik. Unik karena sungai itu tidak seperti layaknya sungai-sungai yang lain. Hulunya berupah kolam berwarna biru yang airnya bergelembung seperti sedang dipanaskan. Airnya dingin seperti es dan disekitarnya tumbuh bunga-bunga dan rumput-rumput liar. Sungai ini sering dikunjungi Sultan Fala untuk mandi atau sekadar berendam. Selain sultan, ternyata pada waktu tertentu sungai ini sering didatangi para gadis-gadis swargaloka atau putri kayangan untuk mandi. Pada suatu hari, Sultan Fala berniat datang untuk mandi, namun betapa terkejutnya dia melihat para wanita cantik nan molek sedang berada di tepi sungai itu. Mereka bersiap untuk mandi. Fala bersembunyi dan terus mengawasi mereka. Dilihatnya satu persatu ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Dari tujuh bidadari cantik itu matanya tertujuh pada sosok mungil mempesona. Wajahnya lebih muda dari keenam lainnya. Dengan segenap keberanian dia merangkak perlahan mendekat. Tempat yang dituju adalah sebuah batu paling ujung tempat berada pakaian dan selendang bidadari mungil itu. Tak perlu waktu lama, pakaian dan selendang putri mungil itu telah dia genggam. Selendang itu ia bawa dan sembunyikan di tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Waktu semakin beranjak hampir mendekati senja. Perempuan-perempuan cantik itu bergegas kembali ke kayangan. Pakaian telah mereka kenakan, namun satu diantara keenam bidadari itu gelisah, takut, dan panik karena pakaiannya tidak ia temukan. Karena matahari makin merosot ke peraduannya, maka terpaksa adik bungsu itu, mereka tinggalkan. Diliputi kecemasan bidadari cantik mungil itu terduduk lemas sambil menekuk lututnya menutupi sebagian tubuhnya. Dalam keadaan takut seperti itu, dia kemudian meminta tolong dengan berkata jika ada yang mau menolongnya maka ia akan mengikuti kehendak penolong itu. Jika perempuan dijadikan saudara, jika laki-laki dijadikan pasangan hidup. Tak menunggu lama, Fala kemudian mendekat dan membalut tubuhnya dengan kulit rusa yang telah dia siapkan. Perempuan swargaloka ini memberitahukan namanya Nini. Nini dibawa pulang dan dijadikan permaisuri. Mereka berdua hidup bahagia. Rakyat Fala pun bergembira dengan kehadiran permaisuri itu. Namun di kayangan kegemparan terjadi karena ayah Nini mengetahui tentang pernikahannya. Ayah Nini yang tak lain raja kayangan
98
murka dan mengutuk Nini dengan suaminya. Pada saat Raja kayangan menjalankan kutukannya, pasangan suami isteri ini sedang mandi di sungai itu. Tak berselang lama tiba-tiba langit gelap, guruh bersahutan di langit, hujan menerpa bumi, petir menyambar mereka berdua dan sejurus kemudian mereka berubah menjadi pohon. Kerajaan yang dipimpin pun hilang ditelan bumi. Sampai saat ini masyarakat Piliana percaya kerajaan yang tenggelam itu berada dalam sungai Ninifala. Hanya orang-orang berhati suci dan memiliki garis keturunan langsung saja yang bisa melihat kerajaan itu. Menurut salah tokoh keturunan langsung bahwa kerajaan itu berada di balik dunia ini, dunia yang tidak kasat. Menurutnya, kerajaan itu dapat dilihat di bawah dasar sungai. E. SIMPULAN Mitos dalam masyarakat tradisional merupakan sebuah mantifact (fakta kejiwaan) yang tumbuh bersama kehidupan. Mitos bukan sekadar cerita takhyul yang ahistori tapi merupakan kepercayaan batiniah yang mendarah bersama tata kehidupan masyarakat lokal. Ia terus menggeliat sampai pada kondisi tertentu, mitos seperti kumpulan narasi agama yang primordialistik, dan berbudhi, mengandung nilai-nilai kebijaksanaan yang dipedomani dalam perjalanan kehidupan mereka. Namun narasi itu tak selamanya bertahta dalam palung kesadaran manusia pendukungnya jika gempuran-gempuran modernisasi dengan segala kemolekannya tak dapat untuk dihindari. Memang modernisasi adalah bagian dari fenomena perubahan dan perjalanan zaman, namun ini dapat menjadi ancaman serius bagi tumbuh dan berkembangnya eksistensi budaya “pribumi” jika tidak dilakukan langkah-langkah preventif. Masyarakat Piliana adalah satu dari sekian ribu suku terasing yang mendiami tanah Nusantara. Dengan semua laku tradisionalnya, orang-orang Piliana dapat bertahan hidup hingga saat ini. Sekalipun Maluku pernah dilanda koflik medio 1999, namun tak sedikitpun menjadi ancaman bagi keberadaan mereka. Artefak-artefak kebudayaan mereka tetap hidup, termasuk di dalamnya mitos dan legenda. Untuk tetap menghidupkan nilai-nilai itu kearifan lokal, salah satu langkah yang dianggap efektif adalah dengan melakukan revitalisasi. Mitos yang hampir berada di ujung jalan kepunahan harus dihidupkan kembali. Dengan model ini selain menyelamatkan kearifan lokal, ekosistem alam yang ada di sekitar negeri Piliana juga akan terselamatkan. Hal ini anggap penting karena Piliana merupakan desa penyanggah hutan konservasi Taman Nasional Manusela (TNM) dan Gunung Binaya yang seringkali menjadi jalur pendakian para pendaki. Itu artinya ada dua manfaat yang didapatkan dari upaya ini, pertama keselamatan unsur-unsur sastra, tradisi lisan dan kearifan lokal masyarakat Piliana, dan kedua area hutan kaki gunung Binaya yang juga merupakan daerah penyanggah hutan konservasi TNM yang mana di sana hidup flora dan fauna endemik akan terselamatkan. Flora fauna tersebut adalah pakis seram, lumut raksasa, kakatua seram (cacatua moluccensis), kasturi tengkuk ungu (lorius domicella), nuri raja, dan kupu-kupu raksasa. DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, J. 2007. Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti. Endraswara, S. 2009. Metodologi penelitian folklor konsep, teori, dan aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
99
Hutomo, S.S. 1991. Mutiara yang terlupakan. Pengantar studi lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur. Keesing, R.M. (1999). Antropologi budaya: suatu perspektif kontemporer. Terj. Samuel Gunawan. Jakarta: Erlangga. Pals, L.D. 2012. Seven theories of religion (tujuh teori agama paling komprehensif). Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD. Pudentia. 2010. Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Purwadi. 2009. Folklor Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka. Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal Nusantara; sebuah kajian filsafat. Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 37 (2), hlm. 111-120. Sibarani, R. 2012. Kearifan lokal; hakikat, peran, dan metode tradisi lisan. Jakarta: ATL. Taum, Y.Y. 2011. Studi satra lisan sejarah, teori, metode dan pendekatan desertai contoh penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Lamalera. Yono, S. 2013. Revitalisasi mitos gunung Siklop (Cycloop): Sebuah alternatif konservasi danau Sentani melalui sastra lisan. Jurnal Metasastra Balai Bahasa Jawa Barat, 6 (1), hlm. 71-80.
100
WACANA RASISME : GAMBARAN DISKRIMINASI RAS OLEH KAUM PENJAJAH TERHADAP PRIBUMI , PADA NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANATA TOER :STUDI ANALISIS WACANA Agus Supriatna Arman Abstrak Makalah ini berjudul : “Wacana Rasisme : Gambaran Diskriminasi Ras oleh Kaum Penjajah Terhadap Pribumi , Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananata Toer :Studi Analisis Wacana. Metode yang digunakan dalam menulis makalah ini adalah metode deskriptif analitik. Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu novel yang mengangkat cerita mengenai kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Isi ceritanya banyak menceritakan dinamika kehidupan ketika masa itu. Permasalahan sosial sering kali muncul dalam cerita tak terkecuali masalah rasis. Mengangkat sebuah wacana dalam sebuah cerita umum dilakukan oleh seorang penulis. Adanya upaya untuk memunculkan suatu wacana tidak bisa lepas dari keinginan untuk memberikan perimbangan atau perlawanan terhadap suatu wacana yang berkembang di dalam masyarakat. Wacana yang berkembang di dalam masyarakat tidak bisa lepas dari faktor hegemoni atau kekuasaan. Wacana rasisme dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Annata Toer merupakan repleksi kejadian “real” yang berkembang pada masyarakat Indonesia pada waktu itu, bahkan berdampak pada saat sekarang. Wacana rasisme yang terdapat pada novel tersebut merupakan gambaran diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan oleh bangsa penjajah terhadap bangsa yang terjajah.
Kata Kunci: Wacana Rasisme, Diskriminasi Ras, Penjajah, Pribumi, Novel Bumi Manusia, Analisis Wacana A. PENDAHULUAN Pandangan masyarakat di dunia tentang status sosial masih berdasarkan ras bangsa, hal ini terlihat dari beberapa fenomena yang ada, seperti adanya pelayanan khusus bagi beberapa golongan ras suku bangsa, walaupun di era sekarang masalah rasis sudah dihapuskan, akan tetapi masih saja mengakar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Hal ini tentunya bukan fenomena yang dengan sendirinya langsung ada, akan tetapi merupakan suatu bentukan kewacanaan yang memakan proses yang cukup panjang, misalnya terlihat sangat jelas sekali pada zaman kolonial, dimana masyarakat suku bangsa yang terjajah (pribumi) mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan kaum penjajah. Salah satu novel yang menceritakan dan menggambarkan keadaan pada zaman kolonial di Indonesia adalah novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ( selanjutnya disingkat dengan novel BM) terlihat dalam novel ini beberapa kejadian yang menggambarkan adanya perbedaan status sosial masyarakat di Indonesia, dan perbedaan tersebut tidak hanya terlihat dari adanya golongan atas ( secara materi memiliki kekayaan yang banyak) juga golongan bawah ( secara materi tidak mampu / buruh) akan tetapi disana terlihat perbedaan strata sosial berdasarkan ras suku bangsa. Untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan mudah dipahami untuk menganalisis data yang terdapat pada karya novel tersebut, penulis akan menganalisinya berdasarkan teori analisi wacana, dalam hal ini teori dari Fairloaugh dengan judul makalah “ Wacana rasisme: Gambaran Diskriminasi ras oleh Kaum Penjajah terhadap Pribumi, pada novel bumi manusia (BM) karya Pramoedya A T sebuah analisis wacana”.
101
B. ANALISIS WACANA Wacana adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam domaindomain kehidupan yang berbeda, misalnya dalam domain “ wacana medis” dan “wacana politik, dengan demikian wacana merupakan analisis dari pola-pola tersebut ( MW Jorgensen&LJ Phillips : 1). C. WACANA KRITIS Lima ciri umum wacana kritis : 1. Sifat struktur dan proses kultural dan sosial merupakan sebagian linguistik kewacanaan. 2. Wacana itu tersusun dan bersifat konstitutif 3. Penggunaan bahasa hendaknya dianalisis secara empiris dalam konteks sosialnya. 4. Fungsi wacana secara ideologis 5. Penelitian kritis. D. ANALISIS WACANA KRITIS FAIRLOUGH Pendekatan Fairlough pada intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk praktik sosial yang memproduksi dan mengubah pengetahuan , identitas, dan hubungan sosial yang mencakup kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Model tiga dimensi fairlough terbagi kedalam praktik kewacanaan , teks, dan praktik sosial . konsep-konsep utama: - wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial - wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu bidang khusus - wacana digunakan sebagai suatu kata benda E.
PRAKTIK KEWACANAAN Analisis wacana dipusatkan pada bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi, dengan mengambil titik awal linguistik pada teks yang kongkret dan bagaimana wacana itu secara antartekstual menggunakan teks-teks lain. F. TEKS Dengan melakukan analisis karakteristik linguistik suatu teks tertentu secara terperinci . 1. Transitivitas Bagaimana peristiwa-peristiwa dan proses-proses dikaitkan dan tidak dikaitkan dengan subjek dan objek. 2. Modalitas Memusatkan perhatian pada penutur, dengan atau afiliasi pada pernyataannya. Jenis teks menurut acuannya: 1. Teks non-fiksi Yaitu teks yang acuannya pada dunia nyata, dan tidak terbatas mengacu pada unsur kebahasaan saja. 2. Teks Fiksi Yaitu teks yang acuannya hanya tekstual , yaitu unsur bahasa yang ada pada teks itu sendiri. Teks fiksi menampilkan kebenaran dalam cerita (hakiki) yang tidak tampak pada pandangan orang pertama (Kusuma, Okke&Harahap,Ayu, 2009:26).
102
G.
PRAKTIK SOSIAL Dengan cara menyusun konteks kewacanaan lebih luas dengan memetakan hubungan kultural , sosial, dan non kewacanaan (Jorgensen MW&Philips LJ. 2007: 149-157).
H. PENGERTIAN RASISME Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada rasmanusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe) 47 Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat controversial. I.
PRAKTIK KEWACANAAN Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun. Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis 48. Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam 47
http://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/pramoedya-ananta-toer/index.shtml
48
103
Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik. Di awal tahun 50an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisantulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI. Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.Kemudian terjadi peristiwa rasial antiTionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno. Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya. Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat. Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965. Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan
104
diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri. Dengan meilhat uraian bagaimana teks pada novel BM di produksi dan akan dikonsumsi, terlihat bahwa teks sebagian berasal dari antartekstual teks lain, seperti teks sejarah. Dalam wacana rasisme yang digemborkan pada novel BM memang memuat bahwa penutur mengambil teks dari sejarah, baik sejarah negara dan sejarah hidup pribadinya. J. TEKS WACANA RASISME Bentuk teks wacana rasisme pada novel BM berbentuk teks cerita atau fiksi, acuannya tekstual dan antartekstual . Berikut adalah analisis penelusuran kebenarannya. a. Transitivitas Penutur menempatkan dirinya sebagai penderita/objek diskriminasi ras oleh subjek ( penjajah/pemerintah kolonial). Dalam wacana rasisme yang diperlihatkannya betapa kekuatan politik suatu ras sangat mendiskriminasikan ras lainnya terutama ras pribumi sebagai bangsa yang terjajah, pribumi kehilangan harta, hak, tenpat tinggal, pendidikan(adanya penyelewengan tujuan ilmu pengetahuan oleh kaum penjajah), dan perbedaan perlakuan di depan hukum. b. Modalitas Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, , rumahnya dan tulisan-tulisannya. Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya. Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia). Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi
105
kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang. Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi. Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional, jadi teks BM berasal dari acuan antartekstual (sejarah). K. PRAKTIK SOSIAL Tatanan kehidupan di Indonesia masa penjajahan menurut novel bumi manusia terbagi kedalam kelas kelas golongan masyarakat berdasarkan ras, untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada bagan di bawah ini:
Ras Eropa Golongan atas Ras Keturunan Eropa Ras Priyayi Pribumi Golongan Bawah Ras Kuning/asia timur
Ras Pribumi
Ket. a. Ras kaum penjajah berada pada strata yang paling atas b. Ras kaum pribumi berada pada strata yang paling bawah c. Ras asia timur yang berada diantara ras eropa dan pribumi d. Ras kaum Indo berada pada strata menengah Berdasarkan cerita pada Novel BM, struktur sosial masyarakat kolonial Hindia Belanda di Indonesia berdasarkan ras dan materi. Hegemoni kaum penjajah yang berideologi gold, glory, and god ( emas , kejayaan, dan Tuhan ) membuat struktur sosial masyarakat terbentuk berdasarkan kekuasaan , ras , materi dan menempatkan ras kaum pribumi sebagai ras yang paling rendah.
106
L. BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PRIBUMI YANG TERDAPAT PADA NOVEL BM a. Pembunuhan Karakter Pribumi Adanya pembentukan oleh kaum penjajah untuk membentuk tingkatan ras pada kehidupan di negara kolonial, dan membunuh sistem nilai yang terstruktur pada pribumi yang telah ada sebelumnya dengan karakter budak . b. Ketidakadilan Kesempatan mengenyam pendidikan Pada era kolonial tergambar bahwa pribumi yang bisa bersekolah hanya dari golongan sosial yang tinggi/priyayi dan para pembantu pemerintahan kolonial. c. Tidak adanya kebebasan berpendapat Pribumi pendapatnya di muka umum tidak sebebas kaum penjajah, semenjak dari penglihatan sudah membedakan apalagi ketika adanya pendapat dari seorang pribumi. e. Adanya perlakuan tidak sama di depan peradilan ( hukum) . Hal ini terlihat ketika tokoh Minke kalah memperjuangkan peradilan tentang hak asuh istrinya yang merupakan seorang Indo. Minke yang merupakan seorang dari ras pribumi kalah pada peradilan karena melawan seorang dari ras penjajah. L. SIMPULAN Wacana rasisme yang terdapat pada karya novel BM merupakan wacana yang ingin dimunculkan pencerita tentang perlawanan terhadap kaum penjajah dan kaum rasis, dan kaum yang suka mendiskriminasi. Dilihat dari proses teks ketika di produksi bahwa karya BM merupakan teks yang ingin mengangkat adanya diskriminasi ( wacana baru ) untuk melawan pihak yang mempunyai kekuasaaan (wacana kuat berdasar hegemoni/ras). M. DAFTAR PUSTAKA Ananta Toer, Pramoedya. 2006. Bumi Manusia . Lentera Dipantara. Jakarta. Fairlclough, Norman. 1995. Critical Dis course Analysis : The Critical Study Of Language. Longman Group Limited. New York. Jorgensen MW&Philips LJ. 2007. Analisis Wacana : Teori dan Metode. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Kusuma, Okke&Harahap,Ayu.2009. Telaah Wacana. Intercultural Institute. Jakarta. http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/pramoedya-ananta-toer/index.shtml
107
MERANTAU DAN FILOSOFINYA DALAM NOVEL-NOVEL INDONESIA BERLATAR MINANGKABAU Armini Arbain Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Sumatera Barat Email
[email protected] Abstrak. Merantau merupakan sebuah tradisi yang sudah berakar di Minangkabau. Walaupun zaman sudah berubah, namun tradisi ini masih berlanjut sampai sekarang. Bagi orang Minangkabau merantau bukan hanya pergi ke luar kampung dan menetap di tempat atau di daerah lain, melainkan merupakan suatu aktivitas yang memiliki makna yang mengandung filosofi. Filosofi dalam aktivitas merantau ini bertalian dengan pembentukan karakter manusia atau generasi muda. Dengan demikian, bagi orang Minangkabau, merantau merupakan hal yang penting baik dalam kehidupan individual maupun dalam bermasyarakat. Sebagai cerminan masyarakat, karya sastra (novel) yang berlatar Minangkabau juga mengeksresikan aktivitas merantau dan filosofinya. Dari novel-novel ini dapat dilihat apa dan bagaimana aktivitas merantau dan filosofi yang dianut masyarakat Minangkabau yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai pembentukan karakter dalam pembangunan bangsa. Kata kunci: Masyarakat Minangkabau, Merantau, novel, dan pembentukan karakter.
A. PENGANTAR Merantau merupakan sebuah tradisi yang sudah berakar di Minangkabau. Walaupun zaman sudah berubah, namun tradisi ini masih berlanjut sampai sekarang. Bagi orang Minangkabau, merantau bukan hanya pergi ke luar kampung dan menetap di tempat atau di daerah lain, melainkan merupakan suatu aktivitas yang memiliki makna yang mengandung filosofi. Filosofi dalam aktivitas merantau ini bertalian dengan pembentukan karakter manusia atau generasi muda. Dengan demikian, bagi orang Minangkabau, merantau merupakan hal yang penting baik dalam kehidupan individual maupun dalam komunal. Aktivitas merantau tidak saja merupakan keinginan individu atau komunal namun suruhan untuk merantau tersebut ternukil dalam mamangan Minangkabau yang berbunyi: “Karatau madang di hulu” “Karatau madang di hulu” “Babuah babungo balun” “Berbuah berbunga belum” “Karantau Bujang dahulu” “Ke rantau (bujang) anak dahulu” “Di rumah banguno balun” “Di rumah berguna belum” Mamangan ini merupakan sebuah himbauan terhadap generasi muda untuk pergi merantau. Isi mamangan yang berbunyi Merantau Bujang Dahulu dapat dimaknai sebagai suruhan orang tua-tua kepada generasi muda untuk pergi merantau. Generasi muda disuruh merantau untuk mencari pengalaman hidup guna mendewasakan diri. Kalimat “di rumah belum berguna” dapat diartikan bahwa generasi muda belum memiliki pegalaman, ilmu, harta, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kedewasaan dan kematangan diri. Untuk itu, mereka disuruh pergi merantau. Artinya, untuk memcari pengalaman, penghasilan, pengetahuan dan segala sesuatu yang bertalian dengan kehidupan orang dewasa mereka harus meninggalkan kampung halaman.
108
Tradisi merantau di Minangkabau tersebut tidak saja terlihat dalam realitas keseharian masyarakat Minangkabau, tetapi juga terekspresi dalam karya sastra (novel-novel) yang dikarang oleh pengarang yang berasal dari Minangkabau. Apa yang diekpsresikan pengarang yang berasal dari Minangkabau ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan sosial yang ada di Minangkabau. Hal ini disebabkan seorang pengarang dilahirkan, dibesarkan dan dipengaruhi oleh masyarakat yang melahirkan (Damono, 1979: 1). Bertalian dengan itu Mahayana mengatakan bahwa pengarang digelisahkan oleh dinamika dan berbagai benturan yang terjadi di tengah kehidupan sosial budaya masyarakatnya (2007 :1). Begitu pentingnya aktivitas merantau bagi orang Minangkabau sehingga menjadi kegelisahan bagi pengarang sehingga mereka ekspresikan melalui novelnya. Pada umumnya tokoh-tokoh yang ada dalam novel yang dikarang oleh pengarang yang berasal dari Minangkabau ( dari zaman Balai Pustaka sampai Era Reformasi ini) pergi merantau atau pernah hidup di rantau. Untuk menggali aktivitas merantau dan filosofi yang terkandung dalam sastra digunakan pendekatan sosiologi sastra khususnya strukturalisme genetik. Teori strukturalisme genetik dianggap relevan untuk membongkar aktivitas merantau dan filosofinya dalam novel karena merupakan teori sastra yang berhubungan erat dengan aspek-aspek genetis sebuah karya sastra. Teori strukturalisme genetik merupakan teori yang berada di bawah payung sosiologi sastra. Dalam kajian sosiologi sastra ( Damono, 1979:42), strukturalisme genetik memiliki arti penting karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dari segi struktur karya itu sendiri maupun dari struktur sosial yang melatarbelakangi kelahiran karya itu. Strukturalisme genetik mulanya dirumuskan oleh seorang sosiolog Perancis bernama Lucien Goldmann. Kemunculan strukturalisme genetik Lucian Goldmann disebabkan karena adanya ketidakpuasannya terhadap pendekatan strukturalisme murni. Strukturalisme hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal, karya sastra tidak dapat lepas dari konteks sosialnya tersebut. Dalam pemakaiannya, teori dan metode strukturalisme genetik menghubungkan struktur karya sastra dengan struktur sosialnya untuk merekonstruksi pandangan dunia pengarang. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra di samping memiliki unsur otonom (instrinsik), juga tidak lepas dari unsur ekstrinsik. Apa yang digambarkan dalam teks sastra sekaligus merepresentasikan realitas sejarah yang melatarbelakangi kelahiran karya sastra tersebut. Hakikatnya, karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya sastra itu, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur sosial masyarakat sebab keduanya merupakan produk strukturasi yang sama. Melalui homologi antara struktur karya dengan struktur sosial yang melatarbelakangi kelahiran karya tersebut dapat dirumuskan pandangan dunia (ideologi) pengarangnya. Dalam hal ini, yang akan digali adalah relasi-relasi yang dibangun oleh setiap struktur karya yang saling berkelindan dengan struktur sosialnya.
109
Dalam pandangan Goldmann, kajian strukturalisme genetik memiliki dua tolak ukur yang jelas. Pertama, hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya (relasi-relasi struktur) dalam suatu karya sastra. Kedua, hubungan tersebut membentuk suatu jaring yang saling mengikat (homologi). Karena itu, seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri karena tidak mungkin ia lepas dari interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Pada dasarnya, pengarang akan merefleksikan pandangan dunia suatu kelompok masyarakat yang diwakilinya. Pandangan struktur global yang bermakna yang diungkapkan secara imajinatif dan konseptual dalam bentuk karya sastra yang besar (lihat, Goldmann, 1975: 9). Karya sastra besar yang berbicara tentang alam semesta, kelompok manusia, dan persoalanpersoalan kultural yang ada di dalamnya merupakan sebuah fakta sosial (historis) yang hanya bisa dilakukan oleh subjek transindividual. Subjek transindividual ini dapat dikatakan sebagai kelompok sosial yang mengatasi masing-masing individu dalam kelompok tersebut (Goldmann, 1981: 97, 1976: 89--107). Dalam proses analisis, karya yang menjadi acuan teori strukturalisme genetik seperti dikatakan Junus (1986: 25) adalah karya sastra yang kuat, yang mempunyai kesatuan (unity) di samping keragaman (complexity). Dalam pandangan Goldmann karya sastra yang menjadi objek kajiannya adalah novel-novel yang dianggapnya mempunyai tokoh yang bermasalah (problematic hero). Tokoh itu berhadapan dengan kondisi sosial tertentu (degraded) dan tokoh itu berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value) dari semua rangkaian yang terbentang dalam karya tersebut (lihat, Goldmann, 1975: 1-2). Dalam makalah ini karya yang dianggap meengeksresikan aktivitas merantau dan filosofinya tersebut adalah novel yang tokoh utamanya merantau. Novel tersebut adalah (1), Karena Mentua, karya Nur Sutan Iskandar (terbit pertama kali tahun 1932), (4) Keadilan Ilahi Karya Hamka (terbit pertama kali tahun 1938), (3) Panggilan Tanah Kelahiran karya Nurdin Yacub (1966), (4) Lima Menara karya Ahmad Fuadi ( 2009), dan (5) Novel Cindaku karya Azwar Sutan Malaka ( 2015). B. PEMBAHASAN 1. Merantau dan Filosofinya dalam Masyarakat Minangkabau Istilah merantau, secara sederhana bisa dimaknai suatu aktivitas pergi ke rantau (migrasi). Menurut Naim ( 1974: 3) dari sudut sosiologi istilah merantau mengandung enam unsur pokok, yaitu (1) meninggalkan kampung halaman, (2) dengan kemauan sendiri, (3) untuk jangka waktu yang lama atau tidak, (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud dengan kembali pulang, dan (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya. Dari pendapat Naim ini dapat disimpulkan bahwa merantau merupakan suatu aktivitas yang meninggalkan kampung dalam beberapa waktu yang bertujuan untuk mencari penghidupan, pengetahuan dan pengalaman. Dalam mencari pengalaman atau menarungi hidup ini orang Minangkabau selalu menjadikan alam sebagai guru Menurut Fanany ( 2003: 43) filosofi Alam Takambang Jadi Guru merupakan ajaran, prinsip dasar, pendirian hidup orang Minangkabau. Filosofi ini pulalah yang mendasari pandangan hidup orang Minangkabau. Pandangan hidup yang berasal dari undang-undang dan hukum itu telah dipandang sebagai adat. Bertalian dengan falsafah hidup orang Minangkabau Nasroen ( 1971: 146) menyatakan bahwa yang menjadi dasar falsafah hidup orang Minangkabau tercermin dalam tindakan seseorang dalam hidup bermasyarakat adalah keseimbangan dan pertentangan. Prinsip itu berdasarkan pertimbangan antara individu dan masyarakat, antara kepentingan seseorang dan masyarakat yang terungkap dalam pepatah “nan rancak di awak, katuju dek urang”. Dengan
110
demikian, orang Minangkabau tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri. Dalam bertindak seseorang harus memikirkan di samping sesuatu yang ia sukai dan sekaligus disukai orang banyak. Berkaitan dengan fungsi manusia ini, Navis ( 1984:62) mengatakan bahwa seseorang dikatakan orang yang sebenarnya orang ialah orang yang sempurnasebagai manusia. “Menjadi orang adalah merupakan pencerminan identitas atau jati diri ke-Minangkabauannya. Hal ini tercermin dari mamangan ketek banamo, gadang bagala (kecil diberi nama, besar diberi gelar). Seseorang belumlah dikatakan “orang” jika ia belum menikah. Apabila seseorang telah dewasa untuk diserahi tanggung jawab untuk bekeluarga, dia telah dikatakan menjadi orang. Selanjutnya, Navis (1984: 62) mengatakan bahwa Filsafat Minangkabau meletakkan kedudukan seseorang agar “menjadi orang” berarti dan penting malawan dunia orang (melawan dunia orang). Motivasi ini mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus untuk mencapai kemuliaan, kenamaan dan kepintaran. Motivasi inilah pulalah yang kemudian yang melahirkan tradisi merantau. Menurut Graves ( 2007 : 40) Sistem sosial Minangkabau membantu merangsang keinginan seseorang pergi merantau. Ada beberapa alasan anak muda untuk pergi merantau seperti alasan ekonomi pendidikan, politik. Hidup di rantau tentu membutuhkan persiapan baik mental maupun fisik. Oleh karena itu, secara kultural, generasimua diajari ilmu agama, ilmu bela diri dan juga ilmu berdagang. Serangkaian pesan yang disampaikan pada anak muda sebelum merantau ternukil dalam mamangan di bawah ini: Jikok jadi anak ka lepau, (Jika anak pergi ke warung) iyu beli, belanak pun beli, (hiyu beli, belanak pun beli) ikan panjang beli dahulu, (ikan panjang beli dahulu) Jikok jadi anak merantau (Jika anak pergi merantau) ibu cari, sanakpun cari, (ibu cari, sanak saudara pun cari) induak samang cari dahulu. (majikan cari lebih dulu) Mamangan (pantun) ini mengandung makna yang mendalam. Pesan yang tedapat dalam mamangan ini adalah bahwa dalam merantau hal pertama yang harus dicari seseorang bukanlah ibu atau sanak saudara, melainkan induk semang atau majikan. Jika yang dicari pertama kali itu adalah ibu atau sanak saudara, si anak tidak akan memiliki daya juang yang tinggi. Artinya ia hanya mencari orang tempat bermanja dan bersenang-senang. Hidup dengan seorang ibu atau berada di tengah-tengah keluarga tentu tidak perlu perjuangan. Si anak akan dapat bermanjamanja sehingga tidak memperoleh kemandirian. Hal pertama yang harus dicari adalah induk semang. Induk semang berarti seseorang yang memiliki usaha (modal). Jika induk semang yang dicari lebih dahulu, berarti seseorang disuruh mencari pekerjaan. Kata induk semang atau majikan akan berhubungan dengan kata anak semang atau orang suruhan. (hubungan dalam status pekerjaan). Induk semang atau majikan berarti pemilik modal sementara anak semang adalah orang suruhan. Induk semang adalah orang yang memberi pekerjaan dan anak semangan adalah orang yang diberi pekerjaan. Sebagai orang suruhan tentu saja seorang anak semang harus bisa melakukan pekerjaan dengan
111
baik, jujur, disiplin, tabah mandiri, setia, dan ulet. Jika seorang anak semang tidak dapat bekerja dengan baik dengan mudah ia bisa diberhentikan. Artinya, seseorang yang menjadi anak semang harus memiliki ketabahan, keuletan, kemandirian, kemampuan berinovasi, dan bisa bekerja sama dengan orang lain. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa dalam proses pendewasaan diri, seorang anak perlu berusaha untuk mencari pengetahuan, pengalaman. Dalam mencari semuanya itu, harus ada perjuangan, Berbagai persoalan akan ditemui dan ditempuhnya sehingga anak menjadi matang dan dewasa. Dengan demikian, suruhan untuk merantau dan mencari induk semang atau majikan tersebut dimaksudkan untuk mendewasakan sikap dan pemikiran seseorang agar mampu menjadi “urang” atau manusia dewasa yang bijaksana. Mampu bersaing dalam mengarungi hidup sehingga berhasil di kemudian . Mampu mengangkat batang tarandam.Mampu menaik marwah keluarga kembali atau mampu membawa keluarga ke arah yang lebih baik. 2. Merantau dan Filosofinya dalam Novel-Novel Berlatar Minangkabau Bertitik-tolak dari uraian di atas dapat dikaji filosofi dari aktivitas merantau yang terkandung dalam karya-karya yang disebutkan di atas. Tokoh utama dalam novel Keadilan Ilahi adalah Adnan, dalam Karena Mentua tokoh tokoh Marah Adil utamanya adalah Marah Adil, Dalam Novel Panggilan Tanah Kelahiran tokoh utamanya adalah Rusman, tokoh Alif dalam Lima Menara dan tokoh Salim Alamsyah dalam Novel Cindaku.Alasan mereka pergi merantau bervariasi. Sesuai dengan perkembangan zaman, semula tujuan merantau adalah untuk mencari penghidupan namun dalam masa kemerdekaan alasan tokoh merantau di samping alasan ekonomi juga dengan tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Tokoh Marah Adil dalam Karena Mentua (Nur St. Iskandar), tokoh Adnan dalam Keadilan Ilahi (HAMKA), pergi merantau untuk mencari kehidupan yang lebih layak atau mencari nafkah. Sementara, tokoh Rusman dalam Panggilan Tanah Kelahiran (Nurdin Jacub)sertaAlif dalam Novel Negeri 5 Menara (A. Fuadi) pergi merantau dengan tujuan melanjutkan pendidikan. Sementara, tokoh Salim dalam Cindaku (Azwar Sutan Malaka) di samping untuk mencari nafkah juga untuk menambah pengetahuan dan untuk memulihkan nama baiknya. Apapun alasan atau motivasi mereka merantau, yang pasti mental mereka harus diuji. Ujian yang mereka lalui berawal dari modal yang mereka bawa sangat sedikit sehingga mereka harus berhemat dan sampai di rantau mereka harus segera berusaha. Untuk berusaha mereka harus mengandalkan tenaga. Karena tidak memiliki modal, mereka harus mencari induk semang. mula-mula menjadi buruh rendah, dan seterusnya. Salim misalnya, mengawali perjuangannya di rantau dengan menjadi pencuci piring di sebuah restoran Padang. Sementara tokoh Marah Adil dan Adnan memulai usahanya dengan menjadi anak buah pada saudagar kaya. Artinya, mereka memulai usahanya dengan modal tenaga saja karena tidak memiliki uang dan pengetahuan dalam berdagang. Untuk itu, seorang perantau Minangkabau harus berusaha dari bawah, seperti yang dihadapi oleh tokoh Marah Adil, “Sudah jadi kebiasaan kepada kita orang Minangkabau berjalan jauh, mengarungi lautan. Menggalas tidak membawa pokok dari rumah. Melainkan pokok itu dicari sendiri di rantau orang” (Iskandar, 2002: 21). Maksudnya, di rantaulah seseorang mencari modal usaha dengan bekerja sekuat tenaganya. Mengumpulkan modal sedikit demi sedikit. Hal demikian juga dihadapi oleh Adnan dalam Keadilan Ilahi “Adnan adalah terbawa oleh udara perantauan yang demikian itu. Tetapi amat sukarbagi orang yang tidak bermodal seperti dia itu untu berjuang, sukar sekali akan dapat
112
meningkat baik. Pedagang-pedagang muda demikian, harus naik dari bawah sekali, lebih banyak modal tenaga daripada modal wang” ( HAMKA, 2008; 28). Hal di atas memperlihatkan bahwa mereka pergi merantau tidak memiliki modal uang untuk berdagang sehingga nereka lebih mengandalkan tenaga. Hal yang sama terlihat pada tokoh Salim dalam novel Cindaku karya Azwar. Tokoh Salim memulai pekerjaannya sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan. “saya belum berpengalaman di rumah makan, tetapi saya bisa mencuci piring Bu, bisa bersih-bersih ( 2015; 94). Sementara, tokoh yang pergi merantau dengan alasan untuk melanjutkan pendidikan seperti tokoh Rusman dan Alif, pergi merantau juga tidak membawa uang yang banyak. Rusman tinggal menumpang di rumah orang kaya yang bernama Tuan Yusuf. Rusman membayar sewa rumah dengan tenaganya. Artinya, walaupun ia seorang mahasiswa, ia juga menjadi pesuruh di rumah tuan Yusuf tersebut. Tokoh Alif juga pergi merantau dengan modal yang sangat minim. Walau pun ketika itu, transportasi udara sudah biasa digunakan untuk pergi ke rantau, namun, karena ketiadaan uang tokoh Alif tetap menggunakan transportasi darat untuk pergi ke Pulau Jawa. Ketika berangkat, Alif hanya membawa barang sekedarnya “ Bekalku sebuah tas kain abu-abu kusam berisi baju, sarung, dan kopiah serta sebuah kardus mie berisi buku”. ( Fuadi, 2009: 14). Gambaran di atas memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh di atas pergi merantau tidak memiliki modal. Hanya modal tekad dan tenaga yang mereka miliki sehingga mereka harus bekerja keras. Dalam kondisi seperti demikian, muncul tekad dan keinginan kuat untuk berhasil. Tekad ini juga muncul karena sebuah istilah yang ada di tengah masyarakat yakni “ Marantau Kapiak”. (merantau gagal). Kalimat yang sangat ditakuti dan memalukan bagi perantau. Merantau Kapiak atau merantau gagal. Artinya seorang yang pergi merantau, namun di rantau ia gagal, pulang dengan membawa kemiskinan. Hal ini sangat memalukan sehingga biasanya mereka yang gagal di rantau tidak mau pulang kampung. Dengan demikian, keinginan untuk berhasil perantau minang sangat besar dan kuat. Keinganan dan tekad yang kuat ini terlihat dari hasil yang mereka peroleh di perantau. Tokoh Marah Adil, karena kesungguhannya dalam berdagang ia mampu membawa uang yang banyak sebagai modal usaha di kampung. Dengan modal itu, ia dapat berdagang dan sekaligus memberikan penghidupan yang layak pada istrinya sehingga mertuanya menghormatinya. Hal yang sama juga terlihat pada pada tokoh Adnan Dari usaha dagang yang dilakukannya, ia mampu mengumpulkan uang untuk memperistri tunangannya Syamsiyah dan sekaligus bisa membelikan sawah untuk ibunya. Tokoh Salimpun berhasil mengumpulkan uang untuk melamar kekasihnya Laila. Sementara, tokoh Rusman dan Alif yang bertujuan untuk melanjutkan studi di rantau juga bisa meraih gelar sarjananya. Keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan keluarga. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa tokoh – tokoh dalam novel ini mampu menjadi perantau yang berhasil karena tekad dan kemauan yang kuat. Walaupun pergi merantau tanpa modal, hanya dengan menghandalkan tenaga dan kekuatan mereka tetapi mereka berhasil. Hal ini merupakan sebuah ajaran atau filosofi yang terkandung dalam aktivitas merantau yakni merantau menumbuhkan semangat dan tekad yang kuat serta disiplin dalam berusaha. Selanjutnya, dalam merantau juga diperlukan sifat kebersamaan, empati kepada teman, jujur, dan rasa gotong royong yang tinggi. Kersamaan itu sangat terlihat ketika mereka mengalami kesusahan. Tokoh Adnan dalam Keadilan Ilahi kecopetan ketika ia akan pulang kampung, semua uang yang dikumpulkannya hilang. Adnan putus asa karena ia berpikir tidak akan mungkin melaksanakan pernikahan dengan tunangan. Melihat kondisi Adnan yang demikian, teman-temannya sesama perantau berusaha menghiburnya dan memberi uang sesuai
113
dengan kebutuhan Adnan ( Hamka, 2008: 38). Tokoh Marah Adil yang miskin atau pun Salim mampu mencari penghidupan yang layak di rantau karena kejujurannya serta adanya rasa kebersamaan yang tinggi dari teman-temannya sesama anak rantau. Begitu juga tokoh Alif, memiliki empat orang sahabat yang selalu bersama-sama, saling membantu dalam menjalani pendidikan di Pesantren Madani. Persahabatan mereka tetap terus terjalin, walaupun kemudian mereka tidak lagi pesantren. Alif juga sangat menjaga persahabatannya dengan Randai, teman masa kecilnya semasa di kampung. Rasa kebersamaan ini pulalah yang menumbuhkan sifat gotong royong karena Falsafah hidup orang Minangkabau mengajarkan bahwa dalam bergaul seseorang harus seia sekata dengan orang lain. Di dalam hidup bersama, menurut Navis (1984: 75), orang Minang hidup mengelompok, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik dan teritorial. Dalam kelompok sosial mereka menyusun hidupnya ke dalam kelompok yang kecil, yang terdiri dari orang-orang yang bersaudara serumah, kumpulan orang-orang serumah bersatu dengan saudara-saudaranya yang sedarah di rumah lain. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh yang ada dalam novel-novel tersebut memiliki sikap pantang menyerah, ulet, inovatif, setia kawan, gotong royong. Sikap inilah yang kemudian membawa tokoh-tokoh ini pada keberhasilan hidup di rantau seperti yang dialami tokoh Marah Adil yang menumpang di rumah orang sekampungnya sehingga ia tidak was was untuk mencari tempat tinggal di rantau “Kemana saja mereka itu pergi dengan tak berwas-was, asal di tempat itu tinggal orang sekampungnya” (Iskandar, 2002:41). Orang Minang di rantau akan menerima suadaranya yang baru datang, menampung mereka sementara sebelum mereka bisa berdiri sendiri. Hal ini juga dialami Rusman yang menumpang di rumah Tuan Yusuf di Jakarta yang juga orang kampungnya. Sementara tokoh Salim dalam novel cindaku se sampai di perantauan menumpang tidur di Mesjid. Salim bisa menjadi Imam sholat, muazin, garin dan membersihkan mesjid. Arinya, tokoh Salim tidak bingung mau mencari tempat tinggal. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam merantau mereka tidak terlalu memikirkan tempatan. Dalam menumpang tentu saja mereka akan menempatkan diri sebagai orang tumpangan dan mau melakukan pekerjaan apa saja. Apa yang dilakukan oleh Salim tersebut merupakan bentuk keberanian seorang putra Minang dan sekaligus merupakan bentuk pemahaman orang Minangkabau dalam menjalankan agama. Sebelum merantau generasi muda tersebut sudah diajar memahami dan melaksanakan ajaran agama sehingga kehidupan di mesjid bukanlah yang baru bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka melaksanakan ajaran agama Islam dengan baik seperti yang terlihat dalam novel Keadilan Ilahi berikut “ Pagi-pagi, masih pukul lima, ibunya mendengar dia mengucap “ Astaghfirullah” dia pun bangun terus duduk, terus ke pancuran dan sholat subuh. Setelah sholat, lama pula dia duduk berdoa. Tokoh Alif dalam novel 5 Menara mau masuk pesantren juga karena ingin belajar agama dengan baik (2009: 12) Uraian di atas memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh yang merantau tersebut mengalami berbagai rintangan namun mereka mampu melaluinya dengan penuh perjuangan dan keuletan. Dengan demikian, terlihat bahwa aktivitas merantau merupakan proses pendewasaan diri seseorang untuk dapat menjadi pribadi yang ulet dan tangguh dalam menjalani bahtera kehidupan. Hal inilah agaknya yang menyebabkan orang Minangkabau sangat mendorong aktivitas merantau ini. Semua proses pndewasaan diri tersebut dapat membentuk karakter mereka. Memiliki tekad yang kuak, disiplin, ulet, rasa empati, dan religius merupakan karakter yang dikehendaki dari generasi muda Indonesia.
114
C.
KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas merantau dalam masyarakat Minangkabau memiliki sejumlah ajaran yakni ajaran agar manusia memiliki semnagat yang kuat, ulet, memiliki rasa simpati dan gotong royong dan berjiwa tegar serta mengamalkan ajaran agama. Ajaran ini tentu akan mendewasakan generasi muda sehingga ia bisa bertanggung jawab dengan masa depannya. Ajaran ini pada gilirannya akan mengjadi sebuah filosofi atau sesuatu yang harus dijalani. Dengan demikian, aktivitas merantau merupakan suatu hal yang penting bagi masyarakat Minangkabau dalam mendidik generasi muda. Atas dasar itulah semangat merantau sampai saat ini masih selalu digaungkan dalam masyarakat Minangkabau. Gambaran di atas terekspresi dalam karya sastra. Dengan demikian, terlihat bahwa karya sastra sesungguhnya memang selain menghibur juga memberi faedah pengajaran. Untuk itu, karya sastra dapat dijadikan sebagai wadah atau alat untuk pembentukan karakter manusia. Oleh sebab itu, karya sastra perlu dibaca oleh generasi muda sehingga mereka menjadi generasi yang tanggguh. DAFTAR PUSTAKA Arriyanti dkk. 2005. Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940. Padang: Balai Bahasa. Bandaro, Latief Dt dkk (ed) 2004. Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi Sosialisasi, Pewarisan, Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda. Bandung: CV Lubuk Agung. Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuh Kajian Sosiologi Budaya.(diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Bantul-Yogyakarta: Kreasi Wacana Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas , Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Faruk,
HT. 1988. Strukturalisme Yogyakarta: Lukman Offset.
Genetik
dan
Epistemologis
Sastra.
Fuadi, Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia. Graves, Elizabeth E. 2007. Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta:Obor. Goldmann, Lucian. 1981. Method of The Sociology of Literature, England, Blackwell Publisher. Hamka. 2008. Keadilan Ilahi. Cetakan pertama (edisi terkini) Shah Alam Selangor Darul Ehsan Malaysia: Pustaka Dini. Iskandar, Nur Sutan. 2002. Karena Mentua. Jakarta: Bulan Bintang. Jacub, Nurdin Dt B. 1967. Panggilan Tanah Kelahiran. Jakarta: PN Balai Pustaka. Junus,
Umar. 1974. Perkembangan Penerbit Universitas Malaya
Novel-novel
Indonesia.
Kuala
Lumpur:
Luxemburg, Jan Van dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick Hartoko) Jakarta: Gramedia.
115
Malaka, Azwar Sutan. 2015. Cindaku. Jakarta: Kaki Langit Kencana. Mahayana, Maman, 2007. Ekstrinsikkalitas Sastra Indonesia Grafindo Persada.
Jakarta: PT Raja
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasroen, M. 1971. Dasar Filsafat Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafity Press. Nusyirwan. 2010. Manusia Minangkabau: Iduik Bajaso, Mati Bapusako, Alam Takambang Jadi Guru. Yogjakarta: Gre Publishing.
116
GENRE FIKSI POP ISLAMI PENERBIT MIZAN DALAM KHAZANAH KESUSASTRAAN INDONESIA Cucum Cantini Alumni Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM
[email protected] Abstrak Kajian ini merupakan analisis terhadap fiksi-fiksi bernuansa islami yang diproduksi oleh Penerbit Mizan. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena fiksi bernuansa islami yang marak di era 2000-an dan telah mencapai puncak kejayaan di masa kini di Indonesia. Sebagai penerbit yang berlandaskan Islam, Penerbit Mizan, selanjutnya, menjadi objek material dalam penelitian ini karena penerbit ini merupakan satu diantara sedikit penerbit di Indonesia yang konsisten menerbitkan fiksi bernuansa islami. Sejak tahun 1985 hingga 2015, Mizan telah menerbitkan lebih dari 280 judul fiksi bernuansa islami. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah melihat formulasi yang ada dalam fiksi-fiksi yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan sehingga ditemukan kategori genre yang diusungnya. Dengan menggunakan metode analisis genre Cawelti, penelitian ini akan menunjukkan formulasi yang ada dalam fiksi-fiksi terbitan Mizan. Formulasi yang di dalamnya memuat konvensi dan invensi sebagai syarat utama pembentukan genre. Untuk melihat formula tersebut harus memuat dua atau lebih kriteria fiksi yang nantinya akan terlihat bagaimana fiksi-fiksi tersebut bergaradasi atau berintegrasi dengan genre-genre mapan lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penerbit Mizan produktif dalam menerbitkan fiksi pop islami yang merupakan invensi dari fiksi hikayat berupa konvensinya. Kekhasan fiksi pop islami ini yakni terdapat dalam plot, meliputi hidayah, peristiwa Islam, dan pertemuan dengan tokoh muslim; karakter, meliputi teladan tokoh Islam, dominasi tokoh Arab, dan ideal dengan hijab; dan latar, meliputi perbandingan antara Indonesia dan Timur Tengah yang lebih mengedepankan Arab sebagai latar yang penuh dengan spritualitas. Unsur-unsur keislaman tersebut bergradasi dengan tema-tema fiksi perjalanan, romance, dan sejarah-biografi. Kata kunci: genre, formula, konvensi dan invensi, fiksi pop islami, Penerbit Mizan.
A. PENDAHULUAN Kondisi kesusastraan saat ini sangat mungkin mendapat pengaruh yang begitu variatif dari menjamurnya penerbit-penerbit di Indonesia. Salah satu pengaruh paling kuat adalah pengelompokkan sastra adiluhung/serius dengan sastra populer. Tradisi tersebut merupakan bagian dari upaya awal Penerbit Balai Pustaka sebagai patron kesusatraan Indonesia tahun 1920-an untuk mengawasi serta membelenggu gagasan-gagasan yang dianggap berbahaya terhadap kondisi politis kekuasaan masa itu. Ketika belenggu itu terpatahkan tahun 1950-an, tak dipungkiri suasana kesusastraan Indonesia juga mengalami kondisi yang beragam dengan hadirnya penerbit-penerbit swasta, Adhe (2004) menyebutnya sebagai penerbit alternatif. Dengan hadirnya berbagai penerbit dengan segala macam idealisme yang dibangunnya, maka buku-buku yang diterbitkan akan pula mengalami karakteristik yang vaiatif, sehingga memengaruhi genre fiksi yang diterbitkannya. Genre hadir atas selera pembaca dan pada akhirnya penerbit yang terdorong menerbitkan fiksi sebagai konsumsi pembaca. Penentuan genre fiksi populer bergantung pada penonton dan penontonlah yang menjadi indikator dapat tidaknya fiksi tersebut terjual (Adi, 2011). Hal itu menunjukkan bahwa audiens menjadi penentu eksistensi sebuah genre dalam kesusastraan. Meski demikian, kondisi historis yang membuat pembaca mengkonsumsi genre dalam fiksi menjadi lebih besar dari sekadar selera pembaca.
117
Kondisi historis merupakan gambaran atas fakta di luar teks sastra kendatipun mungkin juga terekam dalam teks fiksi yang terbit. Kenyataan sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik mampu memengaruhi kondisi termaksud: bagaimana hal tersebut memengaruhi kesusastraan yang diterbitkan oleh penerbit; bagaimana pembaca meminati genre yang sedang trend saat itu; atau bahkan bagaimana munculnya penerbit-penerbit yang mempublikasikan fiksi genre yang sedang diminati. Terlepas dari dari kenyataan bahwa besar kemungkinan genre demikian sekadar mengikuti euforia pasar demi tuntutan keuntungan atau tidak. Betapapun, penerbit merupakan industri komersial yang berfokus pada profit untuk perusahaannya. Kondisi yang terakhir mengingatkan pada kelahiran banyak penerbit saat ini dalam pengertian yang positif. Dengan hadirnya tradisi kelahiran penerbitan, tak dipungkiri minat akan bacaan dianggap mengalami peningkatan. Menyangkut kondisi historis antara tradisi kesusastraan, penerbitan, dan kondisi sosialbudaya, sastra telah menjadi bagian dari dokumentasi sejarah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi memengaruhi sastra secara khusus. Salah satu identifikasi mencolok pasca-Orde Baru adalah bangkitnya Islam di Indonesia. Meski kehadirannya telah nampak jauh sebelumnya, namun eksistensinya dalam budaya populer merupakan fenomena luar biasa. Heryanto (2015) menyebutnya sebagai era post-islamisme, sebagai sebuah gejala sosial yang mendefinisikanulang religiusitas (Islam) ke dalam wacana di luarnya menjadi sebuah fenomena populer. Di dalamnya, kesusatraan telah pula tercairkan oleh gejala tersebut. Penerbit-penerbit berlomba mempublikasikan sastra-sastra bernuansa islami. Tidak sedikit penerbit yang—pada awalnya— bukan berlandaskan Islam kemudian membentuk lini khusus fiksi-fiksi bernuansa islami. Dan penerbit Islam yang tidak secara khusus menerbitkan fiksi, kemudian mengikuti euforia pasar menerbitkan fiksi serupa. Terdapat penerbit yang berlandaskan Islam yang juga produktif menerbitkan buku-buku fiksi mendapat keuntungan dari fenomena demikian. Mizan adalah salah satu diantara sekian banyak penerbit yang lahir di masa banyak bermunculannya penerbit-penerbit di tahun 1980-an. Kala itu, kehausan para akademisi terhadap bacaan-bacaan filsafat Islam meningkat seiring dengan banyak bermunculannya gagasan-gagasan Timur yang menyeruak masuk ke dalam kampus. Pada Maret 1983, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin Shahab keluar dari penerbit kampus yang digawangi ITB dan merintis penerbit yang memiliki kebebasan untuk menerbitkan buku-buku bermutu dan pandangan maju, tetapi tetap Islami. Mereka kemudian menyulapnya sebagai media yang seimbang dalam menerbitkan buku-buku dari berbagai pemikiran filsafat. Selanjutnya, Mizan dipilih sebagai nama penerbitan mereka, yang berarti timbangan atau seimbang. Kelahiran Mizan bukanlah pertama dan satu-satunya. Faruk dalam pengantar buku Anotasi Buku-buku Islam (1998) menyebut bahwa kelahiran buku-buku Islam tersebut merupakan unsur Kebangkitan Islam yang ditandai dengan melimpahnya buku-buku Islam di Indonesia. Sebagai penerbit yang berlandaskan Islam, Mizan memiliki idealisme terhadap bukubuku yang diterbitkannya. Dalam ranah non-fiksi, buku pertama yang diterbitkannya adalah buku Dialog Sunah-Syiah (1983) yang kemudian menjadi bestseller hingga memberi Mizan citra penerbit Syiah. Sementara itu, buku fiksi diterbitkan dua tahun kemudian setelah Mizan berdiri. Saat itu, Mizan yang mencoba mengikuti sukses serial Lima Sekawan menerbitkan beberapa buku dalam serial Tiga Sahabat, sebuah seri petualangan anak-anak bernuansa detektif di tahun 1985. Karena Mizan dianggap sebagai sebuah penerbit yang berlandaskan Islam, tak bisa dipungkiri bahwa fiksi-fiksi yang diterbitkannya pun ber-genre keislamaan. Seri fiksi keislaman juga menjadi ciri khas Penerbit Mizan dalam buku-buku terbitannya yang dikhususkan untuk
118
anak-anak dan remaja. Beberapa di antaranya seperti Serial Kisah Wanita Zaman Nabi dan Para Sahabat; Jalan Pintas ke Surga tahun 1986, Kaca-kaca Berdebu tahun 1987, Tebaran Cahaya Surga tahun 1994, Serial Kisah Zaman Nabi dan Para Sahabat; Rahasia Seuntai Kalung tahun 1985, Wanita Berlisan Suci tahun 1989, Sayap-sayap Menuju Surga di tahun 1994. Berdasarkan karakteristik tersebut, Mizan mampu tetap berada pada jalur idealismenya: islami, tetapi tetap berada di posisi jalur industri bisnis penerbitan sebagai penerbit buku fiksi dan non-fiksi yang bertahan hingga hampir 30 tahun lebih. Banyak penerbit lain yang lahir di era yang sama tetapi mati atau diakuisisi penerbit lain. Saat ini, Mizan telah mengakuisisi beberapa penerbit seperti Penerbit Bentang dan Noura Books untuk memperbesar perusahaannya. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji karena Mizan menjadi saksi lahirmati-nya penerbitan di Indonesia, sekaligus menjadi bukti penerbit yang mampu bertahan bahkan menjadi penerbit besar dengan tetap mempertahankan idealismenya. Sejak awal berdiri hingga saat ini, Mizan telah memproduksi fiksi dan non-fiksi islami, mulai dari tema-tema keislaman periode 80-an hingga kini yang lebih mutakhir. Tema islami berada pada puncaknya di tahun 2000-an. Sebuah apresiasi yang layak diberikan kepada Penerbit Mizan atas eksistensinya dalam perkembangan kesusastraan Indonesia khususnya sastra bernuansa islami yang keberadaannya mulai diminati pembaca. Kenyataan ini tidak dapat menghapus fakta masa lalu yang menghadapkan penerbit ini dengan banyak kendala. Terlebih lagi pada masa Orde Baru yang demikian ketat. Mizan sebagai salah satu penerbit swasta yang besar di Indonesia membawa pengaruh kuat pada produksi kesusastraan Indonesia. Hal ini menunjukkan eksistensi penerbit terhadap produk-produk yang dilahirkannya. Jika awalnya Mizan dianggap sebagai penerbit yang bisa seimbang menyuarakan tema keislaman dan tema umum, dalam perkembangannya sebagai penerbit besar, Mizan juga mampu menjadi contoh yang memiliki karakter terhadap genre-genre fiksinya. Penerbit ini memiliki genre bernuansa keislaman yang kuat dalam fiksi-fiksi yang diproduksinya. Maka menjadi menarik untuk melihat genre apa yang menjadi ciri khas Penerbit Mizan. B. GENRE SEBAGAI METODE ANALISIS SASTRA Kajian terhadap studi genre ditentukan oleh dua unsur penting di dalamnya, yakni kajian formula dan kajian terhadap arketipe. Pertama akan dijelaskan bahwa kedua unsur tersebut berbeda, formula merupakan kombinasi konvensi budaya yang spesifik antara satu budaya dengan budaya yang lainnya. Sementara arketipe adalah pola cerita yang tidak dibatasi oleh kebudayaan tertentu maupun oleh waktu (Cawelti, 1976). Mode kajian genre dan formula John Cawelti mengkategorikan genre fiksi populer berdasarkan tema dan formulanya. Misalnya genre adventure, romance, alien beings, misteri, dan melodrama, sehingga tampak sebagai genre yang sudah mapan. Definisi konvensional genre cenderung berdasarkan pada konvensi unsur-unsur teks fiksi seperti tema dan latar, genre diciptakan melalui dialog antara kesamaan dan perbedaan formula dari banyak fiksi. Konvensi dan invensi yang dilakukan dalam studi genre naratif populer menyajikan gambaran dan arti yang sudah akrab bagi audience sekaligus menekankan kesinambungan nilai; invensi-invensi merupakan persepsi atau arti baru yang belum disadari sebelumnya. Fungsi keduanya ini penting bagi budaya, konvensi membantu menciptakan stabilisasi budaya, sedangkan invensi membantu merespon keadaan yang berubah dan memberikan informasi baru tentang dunia (Cawelti, 1971). Dalam lain perkataan, penelitian genre dapat disamakan dengan penelitian pendekatan sejarah, yaitu dengan membuat seleksi sumber-sumber data dan membuat interpretasi berdasarkan fakta-fakta yang diambil dari sumber yang berlandaskan pada
119
paradigma tertentu. Pendekatan dengan formula ini merupakan sistem konvensional dalam menstrukturkan produk budaya. Formula dan arketipe berbeda, arketipe adalah cerita yang tidak dibatasi oleh kebudayaan tertentu maupun oleh waktu (Cawelti, 1971). Formula didefiniskan sebagai konvensi budaya yang spesifik antara satu budaya dengan budaya lain. Kadar islami dan novel pop yang berformulasi mampu dianalisis dengan metode analisis Genre menurut Cawelti. Konvensi dan invensi merupakan sebuah formula yang membentuk karakteristik sebuah genre. Metode tersebut membentuk genre yang mapan dari karakter genre-genre seperti romance, detektif, perjalanan, dan sebagainya. Dari studi mengenai Genre Cawelti, dapat dilihat bahwa fiksi bernuansa islami terbitan Mizan merupakan fiksi yang berdasar dari konvensi fiksi-fiksi sebelumnya yakni fiksi bernuansa hikayat, dan mengalami garadasi genre dengan menggunakan karakter fiksi populer seperti romance, biografi sejarah, dan perjalanan. Sehingga menjadi sebuah invensi yang utuh bernama fiksi pop islami. C. FORMULASI DALAM GENRE FIKSI POP ISLAMI PENERBIT MIZAN Genre fiksi pop islami Mizan mulai aktif diproduksi dari tahun 2000-an. Ketika itu Mizan membentuk lini DAR! Mizan: sebuah anak cabang sastra yang dikhususkan bagi anak dan remaja. Karya-karya Asma Nadia dan Helvy Tiana Rossa menjadi sastra paling produktif kala itu. Rembulan di Mata Ibu (2000), Serenade Biru Dinda (2000), dan Aisyah Putri (2000) telah memunculkan kebaruan dalam kesusastraan Indonesia, khususnya sastra bernuansa islami. Tokoh-tokoh remaja dan permasalahannya diselesaikan dengan cara yang islami. Hal ini seakan sebuah gaya berlawanan dengan popularitas novel-novel impor-dan lokal, yang menghindari agama sebagai sebuah wacana yang dianggap terlalu serius dalam novel-novel modern pop. Bagir (2003) mengatakan bahwa visi dari DAR! Mizan adalah membentuk pola gagasan islami ke dalam bacaan remaja Indonesia. Di tahun 2003, Sinta Yudisia telah menulis fiksi best seller dengan terbitnya Diorama Sepasang AlBanna. Setelah itu, Mizan kemudian melebarkan sayapnya ke dalam fiksi islami dewasa, mengenai cinta hakiki terhadap Allah SWT dan kepada manusia. Selain itu, tema-tema lainpun mulai diterbitkan dan tetap menjadikan Islam sebagai landasan utamanya. Klasifikasi terhadap fiksi Islam dan fiksi Islam populer dapat dilihat melalui genre yang dibawa oleh masing-masing fiksi. Dalam standar analisis Cawelti, penting untuk melihat kronologi fiksi dalam pembentukan genre. Sejumlah fiksi dilihat secara periodik sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akan bisa dilihat. Penelitian ini dilakukan terhadap 280 fiksi terbitan Mizan dari tahun 1985 hingga 2015. Hikayat sebagai Konvensi Fiksi hikayat mulai diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1985. Kisah-kisah Nabi dan para sahabatnya mulai dirilis melalui sastra berbentuk mini-cerpen, selanjutnya disebut fiksi hikayat. Penulis-penulis fiksi hikayat tersebut seperti Hamid As-Sahar, Djamil Suherman, Ahmad Hadi, Muhammad Ali, dan lainnya. Tema-tema yang diangkat adalah kisah-kisah teladan yang disegmentasikan bagi anak dan remaja, melalui narasi khas hikayat pada umumnya. Pola cerita hikayat Mizan berdasarkan pada Hadist, Al-Quran, dan referensi yang relevan. Sehingga narasi yang dibangunnya tidak mampu menjamah pembaca pop, dalam hal ini remaja dan dewasa. Hingga tahun 1993 Mizan masih memproduksi fiksi semacam ini, akan tetapi dengan bentuk yang dimodifikasi dan disegmentasikan khusus untuk anak-anak, berupa kisah-kisah sejarah Islam yang dibingkai oleh narasi sederhana disertai gambar. Menurut Soetarno (1967) dengan masuknya agama Islam di Indonesia abad 13 melalui Samudera Pasai, maka tersebarlah buku-buku yang berhubungan dengan agama Islam yang
120
berasal dari risalah, fikih, serta tafsir Al-Quran. Gaya cerita tersebut masuk ke dalam kriteria fiksi hikayat Mizan. Di dalamnya terkandung makna-makna kehidupan yang berisi tentang nilai-nilai keislaman yang jelas, seperti prosa berbentuk hikayat, ketakwaan, aspek kepercayaan pada lima rukun Islam serta enam rukun Iman, Tauhid, Al-Quran, dan Sabda Rasul, serta sejarah Islam yang menjadi bagian dari keberadaan Islam di dunia. Kelima poin penting tersebut menjadi landasan utama dalam pengkategorian fiksi islami yang utuh, dengan mengutamakan nilai-nilai moralitas dan religiusitas islam yang sebenarnya. Dari segi bahasa, fiksi hikayat Mizan serupa dengan hikayat-hikayat dengan narasi prosa. Seperti dalam kutipan berikut yang berdasar pada sejarah Islam yang memiliki landasan kuat yang berdasarkan pada Al-Quran serta hadis, dan hikayat hadir sebagai bagian dari kesusatraan yang memuat sejarah peradaban Islam, yang di dalamnya berkisah tentang Nabi dan perjuangannya menyiarkan agama Islam. Pada masa awal penyiaran Islam, semakin hari permusuhan yang ditampakkan oleh kaum kafir semakin nyata. Kaum muslim dikejar-kejar. Mereka tidak diberi kesempatan untuk beribadah dengan leluasa. Bahkan, dalam urusan jual-beli pun mereka disingkirkan. Maka Nabi memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berhijarh ke Madinah, sebab di sana telah terdapat cukup banyak orang yang memeluk Islam. Orang-orang pun berangkat, sedangkan Nabi beserta beberapa orang sahabat, antara lain Abu bakar ashShiddiq dan Ali Bin Abi Thalib r.a, tetap tinggal di Makkah. Beliau akan menyusul kemudian. (Hadi, 1989) Manusia meunjukkan dirinya diantara eksistensi Allah sebagai pencipta dan penguasa. Ada bagian yang secara vertikal (antara manusia dan Allah) dan horizontal (antara manusia dengan manusai), hal ini tentu saja mengakui dirinya (manusia) adalah manusia pada hakikatnya, dan Allah sebagai Zat atau Wujud nyata Tuhannya. Dalam mengakui keesaan Allah, cerita hikayat berisi tentang ajaran Islam tentang tauhid. Unsur ini ada dalam pola turunnya hidayah pada manusia yang semula tidak mengakui keesaan Allah, sehingga terlihat wujud tauhid tersebut dalam nilai moral yang bisa dilihat dengan jelas. Ajaran lainnya dalam hikayat adalah pedoman hakiki yang berdasar pada Kitab Suci Al-Quran serta hadis atau sabda Rasul. Ajaran Islam tersebut tertuang dalam narasi seperti berikut. Maka terdengarlah jawaban wanita itu. Suaranya agak parau, tapi lembut, mengandung suara nada yang merdu dan syahdu. Dari irama suaranya jelas tersimpul olehku, bahwa ia adalah seorang yang telah lanjut usia. Dia menjawab: “Mudah-mudahan selamat dan sejahteralah Tuhan tumpuan kasih dan sayang.” (QS 36: 58) (Ali, 1990) Bagi umat Muslim, sejarah Islam memiliki landasan kuat yang berdasarkan pada AlQuran serta hadis. Dan hikayat hadir sebagai bagian dari kesusatraan yang memuat sejarah peradaban Islam, yang di dalamnya berkisah tentang Nabi dan perjuangannya menyiarkan agama Islam. Pada masa awal penyiaran Islam, semakin hari permusuhan yang ditampakkan oleh kaum kafir semakin nyata. Kaum muslim dikejar-kejar. Mereka tidak diberi kesempatan untuk beribadah dengan leluasa. Bahkan, dalam urusan jual-beli pun mereka disingkirkan.
121
Maka Nabi memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berhijrah ke Madinah, sebab di sana telah terdapat cukup banyak orang yang memeluk Islam. Orang-orang pun berangkat, sedangkan Nabi beserta beberapa orang sahabat, antara lain Abu bakar ashShiddiq dan Ali Bin Abi Thalib r.a, tetap tinggal di Makkah. Beliau akan menyusul kemudian. (Hadi, 1989) Dengan melihat pola Hikayat Mizan, dapat dilihat bahwa Mizan lebih cenderung mengutamakan esensi Islam yang sebenanya. Tanpa menonjolkan karakteristik fiksi-fiksi modern yang melebihkan durasi tema-tema pop semacam romantisme manusia, fantastisme, melodramatis, ataupun menggantungkan cerita seperti genre misteri (Cawelti, 1976). Maka dapat dikatakan bahwa fiksi hikayat ini masuk ke dalam kategori fiksi Islam atau Sastra Islami. Fiksi Pop Islami sebagai Invensi Plot Dalam segi alur atau pot, fiksi pop islami Mizan memiliki tiga ciri khusus; hidayah, peristiwa Islam baik dalam dan luar Indonesia masa lalu (sejarah) maupun masa kini, dan pertemuan dengan tokoh-tokoh beragama Islam atau muslim. Ketiga identifikasi tersebut menjadi kekhasan dalam alur sehingga mengubah narasi cerita secara keseluruhan. Fiksi-fiksi Mizan menunjukkan hidayah yang khas yang memang diperuntukkan bagi pembaca yang pop, atau dalam hal ini pembaca yang tidak meminati fiksi Islam yang terlalu serius, karena pada hakikatnya, fiksi populer memang dibuat agar pembaca memiliki hiburan atas fiksi yang dibacanya, tidak seperti fiksi hikayat yang cenderung dikemas apa adanya. Dalam fiksi berjudul Alena (2009) yang ditulis oleh Ifa Avianty, sangat jelas terlihat perubahan sikap Alena sebagai tokoh utama, yang semula wanita modern yang fashionable menjadi wanita yang berpakaian syar’i. Berbeda dengan yang ditulis oleh Otong Sulaeman dalam fiksinya berjudul Dari Jendela Hauzah (2010), tokoh yang diberi hidayah adalah seorang Iran yang notabene beragama Islam, akan tetapi Daniel adalah seorang Yahudi yang kemudian mendapat hidayah saat bertemu dan jatuh cinta pada Wafa, gadis asal Lebanon muslim yang ditemuinya. Sementara dalam Lafaz Cinta (2007) karya Sinta Yudisia, terdapat tokoh bernama Barbara yang semula atheis. Ketika dirinya dipertemukan dengan Seyla dan Saule, dirinya mulai berpikir bahwa Tuhan memang ada, dan kemudian setelah perjalanan panjang dirinya mengenal Islam, dia kemudian menjadi mualaf. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan erat dengan Islam juga menjadi identifikasi dalam fiksi pop islami terbitan Mizan. Dalam Serambi Mujahid Mesopotamia (2010), Sukarjaputra menunjukkan, meskipun tidak banyak, peristiwa Perang Badar yang terjadi pada 17 Maret 64 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah yang terjadi antara kaum Muslimin yang berjumlah 313 orang, bertempur melawan pasukan Quraisy. Sejarah Islam sangat kuat memengaruhi tokoh Reihan untuk berubah pikiran, yang semula ragu bahkan berpikir ulang terhadap perjuangannya selama ini, akan tetapi Perang Badar telah menginspirasi dirinya dalam pergolakan batin yang sangat keras sehingga dirinya termotivasi untuk kembali melanjutkan perjuangan jihad yang dilakukannya sebagai wujud perjuangannya untuk saudaranya di Irak. Konflik Lebanon-Israel menjadi peristiwa yang mempertemukan Zevrin dan Fahiya dalam Izinkan Aku Bersujud (2009) karya Tyas Effendi. Pada fiksi dwilogi karya Sayf Muhammad Isa berjudul Sabil (2011) dan Cut Nyak Dien (2015) mengangkat peristiwa Perang Aceh atau bagi warga Aceh disebut Perang Sabilillah (perang di jalan Allah). Berbeda dengan sejarah pada umumnya yang dikenal di Indonesia khususnya, peristiwa dalam fiksi ini memiliki kekayaan sejarah yang cenderung lebih
122
dramatis. Terdapat beberapa tokoh yang menjadi sorotan serta peristiwa yang tidak dikenal secara real. Yakni bantuan dari Khalifah Utsmaniyah di Turki yang diwakili oleh Habib Abdurrahman Az-Zahir. Kuda-kuda berkaki kekar maju berderup. Ditunggangi gagah oleh para prajurit. Rombongan itu seluruhnya menunggangi kuda. Di barisan paling depan terlihatlah Habib Abdurrahman Az-Zahir. Dia sedang berada dalam perjalanan ke Tujuh Mukim, wilayah kekuasaan Teuku Bait, menjalankan tugasnya untuk mengundang para uleebalang agar datang Banda Aceh untuk menyelaraskan langkah dan merapatkan barisan guna menghadapi serbuan Belanda yang mungkin tak lama lagi terjadi. (Isa, 2011: 373) Selain itu, terdapat peristiwa Geger Cilegon yang diselipkan dalam plot Runtuhnya Menara Azan (2009) sebagai bagian dari narasi yang terjadi antara tokoh Bram dan Tokoh Sara. Peristiwa Geger Cilegon itu merupakan motif Bram untuk mengetahui pengaruh Islam dalam sejarah. Yang pada akhirnya menyatukan narasi antara kejadian masa sekarang yang diceritakan oleh Bram dan Sara, serta kejadian flashback yang dialami oleh Adrian melalui petunjuk buku hariannya yang dimiliki Sara. Dalam Dari Jendela Hauzah (2010), peristiwa Bom Bali yang melibatkan terorisme disisipkan ke dalam fiksi karya Otong Sulaeman tersebut. Tragedi ini terjadi pada sekitar tahun 2002 di Bali. Ciri terakhir dalam identifikasi plot fiksi pop islami Mizan adalah adanya pertemuan dengan karakter muslim. Pertemuan tersebut penting dalam alur cerita karena melaluinya, tokoh-tokoh dalam fiksi jadi lebih mengenal Islam dan menjadikan tokoh muslim tersebut sebagai tokoh muslim ideal. Dalam banyak hal, pertemuan dengan orang-orang muslim digambarkan sebagai sebuah pertemuan dengan Islam yang memberikan sumber informasi mengenai Islam lebih dalam bagi pembaca pop tersebut. Tokoh Dalam segi penokohan, fiksi pop islami Mizan mengutamakan unsur-unsur seperti; tokoh-tokoh Islam sebagai inspirator, tokoh Arab yang cenderung dominan, dan ideal dengan hijab. Ketiga hal tersebut merupakan bentuk utama dalam menggambarkan tokoh-tokoh dalam fiksi pop islami. Kekuatan penokohan inilah yang membedakan fiksi pop islami Mizan dengan fiksi-fiksi pop non-islami. Dalam fiksi-fiksinya, Mizan cenderung memasukkan unsur-unsur islami dengan melibatkan tokoh serta ikon islam ke dalam narasinya. Biasanya penulis menggambarkan sosok tokoh publik Islam sebagai bagian dari inspirasi yang pada akhirnya membuat tokoh tersebut sangat mencintai islam. Seperti tokoh teladan Islam yakni Nabi Muhammad Saw. dalam Lapaz Cinta (2007) karya Sinta Yudisia dengan narasi yang dimainkan oleh tokoh Seyla, berupaya menunjukkan tokoh Seyla tersebut sangat mengagumi Nabi Muhammad Saw. Teladan Nabi Muhammad juga menjadi sebuah inspirasi bagi tokoh Fahiya dalam memilih perempuan yang lebih tua darinya. Fahiya yang mencintai Zevrin yang usianya berbeda yang pada akhirnya perasaan cinta tersebut bisa diterima ketika Fahiya menjadikan kisah percintaan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah yang berbeda usia 25 tahun jauhnya. Terdapat pula Imam Khomenei yang menjadi tokoh publik yang dipuja di Iran yang ditunjukkan dalam Dari Jendela Hauzah (2010). Mobil masih terus merayap pelan menyusuri kepadatan jalan-jalan Kota Teheran. Sesekali Dewa memperhatikan jalanan yang dilewati. Foto Imam Khomeini dan Sayid Ali Khamenei terpampang di berbagai sudut jalan. Di sebuah dinding kusam pada gedung yang tinggi tertulis grafiti besar-besar, “DOWN WITH USA”. “Kalian benar-benar benci Amerika, ya?” tanya Dewa.
123
Ishak terbahak. “Tergantung siapa kalian itu. Kami, orang-orang Kalimi, merasa biasabiasa saja. Tidak ada urusan kami dalam hal ini.” “Kalimi?” “Sebutan orang-orang Iran bagi kami, orang-orang Yahudi.” (Sulaeman, 2010: 268-269) Teks di atas menjelaskan bahwa tokoh Khamanei serta Imam Khomenini (Ayahnya) merupakan tokoh penting di Iran, yang sekaligus merupakan tokoh yang sensasional dalam sejarah dunia karena melibatkan negara Islam Iran. Perombakan sistem pemerintah yang terjadi pada tahun 1979 menggambarkan bahwa sosok Khomeini menjadi sebuah tokoh yang amat diagungkan sekaligus dianggap tokoh mengancam bagi negara-negara lawannya; di Amerika dan Eropa. Apa yang kemudian menjadi menarik adalah bahwa informasi yang dibawa dalam fiksi ini menjadi sebuah momentum bagi negara Islam Iran untuk menunjukkan eksistensinya di dunia. Sebagai tokoh penting Muhammadiyyah, KH Ahmad Dahlan menjadi tokoh utama dalam fiksi berjenis biografi berjudul Sang Pencerah (2010) karya Akmal Nasery Basral. Fiksi tersebut merupakan sebuah novelisasi film yang berjudul sama. Memeriahkan euforia kebesaran Muhammadiyah, fiksi ini menjadi sebuah hal yang penting dalam rangka mengenang jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan. Selain itu pula, terdapat Syekh Siti Jenar yang diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2009 oleh Abdul Munir Mulkam dengan judul Misteri Kematian Syekh Siti Jenar. Fiksi tersebut merupakan adaptasi dari Serat Syeh Siti Jenar yang dinovelkan. Selain tokoh-tokoh Islam di atas, masih banyak tokoh-tokoh Islam yang dijadikan inspirator dalam fiksi pop islami Mizan, seperti Hassan AlBanna yang ditulis oleh Sinta Yudisia. Dalam fiksi-fiksi Mizan, terutama dalam hal ini fiksi pop islami, selalu ada tokoh yang berasal dari negara-negara beretnis Arab, baik dari Iran, Yaman, Oman, maupun Lebanon. Dan dalam gambaran tokoh tersebut, etnis Arab selalu menjadi dominan, baik dalam hal karakter (menjadi tokoh protagonis) maupun dalam gambaran fisik yang digambarkan menarik. Seperti dalam fiksi Dari Jendela Hauzah (2010) diceritakan Dewa berteman dengan tokoh Daniel Nikhbat yang berasal dari Iran. Misalkan dalam kisah Alena dalam Alena (2010), Alena dihadapkan pada sebuah situasi dirinya jatuh hati pada Khaidir, lelaki keturunan Turki sementara dirinya telah bertunangan dengan Haikal yang berasal dari Indonesia. Beberapa teks menunjukkan perbandingan antara Khaidir dan Haikal yang membuat Alena kemudian merasa bahwa Khaidir jauh lebih baik dari Haikal. Tak jauh berbeda dengan Zevrin dalam Lafaz Cinta (2009), sebelum dirinya menyadari bahwa juga mencintai Fahiya, yang memiliki usia yang jauh berbeda dengannya, Zevrin bertunangan dengan Arviga. Fahiya berasal dari Lebanon, dia merupakan korban perang di Israel-Lebanon. Meskipun Fahiya awalnya diperkenalkan sebagai sosok anak remaja, akan tetapi dari awal, Fahiya diceritakan sebagai seorang anak yang dewasa dan saleh. Dalam fiksi berjenis perjalanan karya Sukarjaputra, diceritakan tokoh Salwa, seorang perempuan Arab keturunan Irak. Dengan segala ketangguhannya, Salwa digambarkan sebagai seorang perempuan Arab yang cantik dan cerdas. Dari narasi di atas, tokoh Reihan menggambarkan Salwa sebagai seorang perempuan yang cantik dan cerdas, bahkan Reihan membandingkan Salwa dengan selebriti Indonesia, akan tetapi Reihan mengakui bahwa Salwa lebih cantik. Fiksi-fiksi bernuansa islami memiliki kekhasan bahwa karakter-karakter muslim yang ideal tentulah yang menggunakan pakaian yang disyariatkan oleh agama, menutup aurat, berhijab bagi wanita, dan ketika memakai pakaian tersebut, tokoh disorot sebagai tokoh yang lebih menarik dari sebelum dirinya memakai pakaian yang tertutup. Kecantikan (bagi
124
perempuan) yang nampak dalam teks adalah bagaimana pakaian yang digunakan tersebut menunjukkan kecantikan luar dan dalam dirinya. Seperti dalam Alena (2009), tokoh Alena yang semula tidak menggunakan hijab, pada akhirnya dirinya menginginkan dirinya lebih tertutup dalam hal pakaian dan lebih santun dalam bersikap. Yang kemudian Khaidir melihat Alena sangat cantik dan tertarik padanya. Sangat jelas terlihat bahwa penampilan yang lebih islami, menggunakan hijab, menutup aurat, berpengaruh terhadap pandangan tokoh-tokoh lain yang melihat tokoh Alena sebagai sosok yang cantik sempurna. Selain itu, digambarkan pula perasaan Zevrin ketika dirinya mengunakan hijab untuk pertama kalinya, dan saat Fahiya melihatnya menggunakan hijab yang membuat Zevrin merasa bahwa keputusan dirinya menggunakan hijab adalah benar dan membuatnya tidak perlu merasa khawatir akan penampilannya. Kecantikan dengan hijab menjadi sebuah ciri khas fiksi pop islami dalam mengajak pembaca untuk melihat bahwa hijab dapat menjadikan perempuan muslim tetap tampil menarik meskipun kepala dan badan tertutup rapat. Dan dengan pakaian syar’I wanita muslim bisa tetap tampil stylish. Latar Kecendrungan dalam latar fiksi pop islami Mizan adalah adanya dua latar yang berbeda (negara). Akan tetapi, dalam fiksi-fiksinya, Mizan menempatkan perjalanan yang pada akhirnya sangat religius bagi tokoh-tokohnya. Dengan menunjukkan dua latar tesebut, pembaca diajak untuk melihat bahwa latar akan sangat berbeda antara Indonesia dan Timur Tengah. Dengan menunjukkan eksistensi dua negara tersebut, penulis memperlihatkan bahwa ada semacam dua perbedaan antara keduanya. Fiksi-fiksi tersebut menampakkan Indonesia sebagai latar negara yang modern dan glamour sementara Timur Tengah cenderung lebih agamis atau religius. Beberapa fiksi Mizan memiliki karakteristik seperti itu, yang nampak pada fiksi pop islami yang diterbitkannya. Modernitas yang menjadi latar di Indonesia ditunjukkan dalam bentuk-bentuk suasana yang dibangun dalam cerita. Selain itu, modernitas juga masuk ke dalam perilaku tokohtokohnya, tokoh tersebut lebih memilih tempat-tempat yang memiliki suasana perkotaan dan ramai oleh modernitas baik suasana kantor atau suasana tempat-tempat hiburan. Seperti ketika tokoh Alena dalam Alena (2009) menggambarkan dirinya ketika di Indonesia, Jakarta digambarkan oleh Avianty sebagai sebuah kota yang penat. Seyla dalam Lafaz Cinta (2007) menyadari bahwa Indonesia sebagai tanah kelahirannya, sangatlah berbeda ketika dirinya melaksanakan ibadah umrah. Dalam perjalanannya itu, dia merasakan sisi spiritualnya miris mendapati Indonesia yang merupakan negara berkembang, terlalu mementingkan modernitas, banyak manusia yang tidak mementingkan kepentingan rohani. Alena ketika melaksanakan ibadah haji, dirinya menemukan bahwa Makkah berbeda dengan kota-kota yang pernah dia singgahi, meskipun kota-kota tersebut menawarkan banyak kenyamanan. Makkah memberikan Alena sebuah suasana yang sangat religius bahkan berbeda dengan Jakarta sebagai kota kelahirannya sendiri. Berbeda dengan gambaran Makkah dalam fiksi karya Yudisia yang berjudul Lafaz Cinta (2007), Seyla merasakan bahwa Makkah sangat berbeda dengan Jakarta meskipun sama-sama sebuah kota baginya. Dalam Serambi Mujahid Mesopotamia (2007), Isa mengisahkan perjalanan tokoh-tokohnya sebagai sukarelawan di Irak. Keindahan latar Timur-Tengah juga disandingkan dengan tanah kelahirannya, Aceh. Baik Indonesia dan Timur-Tengah, kedua wilayah ini dalam fiksi-fiksi pop Mizan selalu dijadikan oposisi yang berlawanan, baik dari segi religius maupun modernitas.
125
D. GRADASI GENRE FIKSI POP ISLAM Setelah melihat formula dalam fiksi-fiksi pop islami terbitan Mizan, terlihat jelas bahwa tema-tema keislaman dimasukan ke dalam unsur-unsur cerita, atau dalam istilah Cawelti disebut sebagai formula. Tema-tema keislaman tersebut menjadi sebuah media untuk mempopulerkan tema-tema keislaman dalam fiksi, ditemukan kata-kata yang identik dengan Islam seperti hidayah, akhlakul-karimah, sunnah, ta’aruf, syahid, serta jihad. Hal tersebut adalah sebuah upaya fiksi pop islami untuk memberikan ruang bagi pembaca untuk mengenal Islam ke dalam media fiksi yang populer. Mempopulerkan istilah-istilah Islam dalam fiksi memang menjadi wahana sastra populer agar pembaca bisa mengenal islam dalam sebuah wadah yang ringan, dengan begitu pembaca sekaligus mendapatkan hiburan. Hal ini merupakan tujuan fiksi populer sebagai media eskapisme pembaca. Dalam fiksi pop islami terbitan Mizan, yang dimulai dari tahun 2004 hingga 2015, ditemukan unsur-unsur Islam hanya dalam tiga kategori genre fiksi mapan, yakni genre romance, sejarah-biografi, dan genre perjalanan. Dengan menggunakan metode genre Cawelti, penelitian ini kemudian menemukan bahwa terdapat kekhasan dari fiksi-fiksi terbitan Mizan dalam waktu lebih dari 30 tahun usia Mizan. Dalam fiksi romance, ditemukan arketipe dengan pola percintaan antara laki-laki dan perempuan. Seperti pada genre umumnya dalam romance memang mengunggulkan tipe cerita semacam itu. Namun, dalam fiksi pop islami dimasukan unsur islam yang sangat kuat dengan adanya sifat tawadhu. Tawadhu merupakan sebuah sikap berserah pasrah terhadap keputusan Allah SWT. Hal ini merupakan bagian dari akhlak yang dijunjung dan menjadi kewajiban bagi seorang muslim. Berserah pasrah dalam hal ini dimaksudkan bahwa Sistem Konvensi dan Invensi Fiksi Bernuansa Islami Mizan tokoh utama selalu mempasrahkan dirinya terhadap kehendak Allah atas jodoh yang pada akhirnya didapatkan oleh dirinya. Arketipe dalam fiksi ini adalah cinta yang islami. Dengan formula yang sama dengan romance pada umumnya, yakni kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan yang dihadapkan pada halangan dan rintangan yang bisa dilewati dan berakhir dengan kebahagiaan (happy ending story). Yang membedakan cerita ini dengan fiksi pop islami romance adalah dalam penokohan, yaitu tokoh muslim/muslimah yang jatuh cinta akan tetapi dengan ketaatannya terhadap Allah SWT., tokoh tersebut menjadi bahagia karena kesabaan dan keikhlasannya. Sementara dalam plot, fiksi ini cenderung mengatasi masa sulitnya dengan mendekatkan diri kepada Islam. Kisah percintaan semacam itu ditemukan dalam fiksi-fiksi Mizan seperti Izinkan Aku Bersujud (2009), Diorama Sepasang AlBanna (2004), Dilatasi Memori (2009), atau juga Alena (2009). Fiksi pop islami sejarah-biografi membawa unsur sejarah dan juga tokoh yang menjadi unggulan dalam fiksi jenis ini. Baik secara histori maupun berdasar pada tokoh, fiksi ini memiliki arketipe peristiwa revolusioner dalam ceritanya. Baik dalam fiksi sejarah maupun biografi, keduanya menyajikan peristiwa yang merubah sebuah tatanan kehidupan orang banyak, yang diingat oleh individu dalam sejarah. Bedanya, dalam fiksi pop islami, unsur Islam sangat dominan. Tokoh berfungsi sebagai identitas yang sangat khas, tentu saja tokoh Islam menjadi fungsi narasi sehingga fiksi ini kemudian mengarah pada kejadian yang dimotori oleh semangat Islam, bukan nasionalisme. Berdasarkan sejarah, fiksi pop islami memegang peranan
126
penting dalam mendokumentasikan peristiwa-peristiwa islam, baik yang terjadi di Indonesia maupun di dunia. Peristiwa Geger Cilegon dinarasikan dalam Runtuhnya Menara Azan (2009), kelahiran Muhammadiyyah diceritakan dalam Sang Pencerah (2010), kematian Syekh Siti Jenar yang berdasar pada serat aslinya dinovelkan dalam Misteri Kematian Syekh Siti Jenar (2010), Perang Rencong di Aceh yang diceritakan kembali dalam fiksi dwiloginya berjudul Sabil (2011) dan Cut Nyak Dien (2015), peristiwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dinarasikan melalui novelnya berjudul Di Serambi Makkah (2004). Fiksi genre perjalanan bisa dikatakan baru di Indonesia. Fiksi ini bisa diterima pada periode tahun 2000 setelah banyak diproduksinya fiksi senada dengan penerbit di luar Mizan. Republika dan Gramedia lebih aktif dalam memproduksi fiksi perjalanan setelah booming-nya fiksi berjenis Naked Traveler. Uniknya, fiksi perjalanan semacam ini mengangkat perjalanan spiritual sebagai unggulannya. Ciri khas dari fiksi semacam ini adalah bagaimana sebuah perjalanan menjadikan tokoh-tokohnya mengenal Islam lebih dalam melalui sejarah-sejarah Islam yang dinarasikan oleh tokoh-tokohnya. Selain itu, pembaca juga diajak menelusuri negara-negara Islam di Timur-tengah, melalui tokoh yang melakukan perjalanan. Serambi Mujahid Mesopotamia (2007) menggambarkan keadaan tokoh utama yang seorang mujahid, yakni yang berjihad di jalan Allah. Melalui teks-teksnya, tokoh tersebut menunjukkan kondisi dan situasi perang antara Amerika dan dirinya sebagai prajurit sukarela muslim Irak. Situasi tersebut terjadi di sepanjang Mesopotamia, Amman, Al-Rutbah, Ramadi, Gurun Sahara, Karkuk (Irak), Makkah (Arab Saudi), Turki, hingga Aceh (Indonesia). Dari perjalanan tersebut, tokoh membawa pembaca pada gambaran situasi di Irak yang porak-poranda akibat perang antara Amerika dan Irak. Berbeda dengan Oki Setyana Dewi yang melabeli fiksinya sebagai catatan perjalanan spiritual. Fiksi ini menggambarkan secara ekslusif bagaimana Oki sebagai seorang selebriti menunjukkan dan menariskan kehidupannya bersama Islam melalui catatan-catatannya. Sebagai seorang selebriti, Oki menuliskan dirinya apa adanya, dan menggambarkan perjalannnya ke Makkah dan tanah Arab lainnya, dengan keadaan yang bernuansa Islam yang kental, terlebih Oki menggambarkan bagaimana keindahan Makkah sebagai Tanah Suci yang banyak didambakan umat muslim. Dalam Cahaya di Atas Cahaya (2012), Oki menjadikan fiksinya sebagai media dakwah, yang di dalamnya menjadikan hadist dan ayat Al-Quran sebagai rujukan dan menjadikan narasinya lebih unik. Sementara Yudisia menuliskan fiksi dengan dominan unsur romance dalam ceritanya. Akan tetapi, fiksi berjudul Lafaz Cinta (2007) ini lebih identik dengan fiksi pop islami perjalanan karena memiliki karakter kuat dalam menunjukkan dirinya sebagai sebuah fiksi yang di dalamnya memuat unsur-unsur perjalanan antara satu tempat dan lainnya. Fiksi ini menceritakan tiga negara yakni Indonesia, Belanda, dan Makkah (Arab). Indonesia merupakan tanah kelahiran tokoh utama bernama Seyla, sementara Belanda menjadi tempat dimana Seyla menempuh hidupnya sebagai seorang mahasiswa dan melakukan banyak perjalanan di sekitar Belanda dan negara Eropa lainnya. Terakhir, Seyla menggambarkan bagaimana Makkah menjadi tempat dimana dirinya lebih betah karena di sanalah Seyla menemukan banyak kebahagiaan, termasuk bagaimana Seyla mendapatkan jodohnya. Dalam fiksi karya Otong Sulaeman berjudul Dari Jendela Hauzah (2010) fiksi tersebut menunjukkan kategori perjalanan yang dilakukan oleh Dewa dan juga Asep yang mempertemukan mereka karena kasus Daniel di Iran. Dalam perjalanan tersebut, Iran diperkenalkan sebagai sebuah negara kuat atas kepemimpinan Imam Komenei. Imam Komenei menjadi sosok panutan para warga Iran meskipun Amerika melakukan embargo pada Iran.
127
Selain itu Iran dijadikan sebuah negara yang bagi Asep, adalah negara yang penuh berkah dan tempat yang nyaman untuk mencari ilmu. Dari Hauzah, Asep mendapatkan ilmu-ilmu Islam yang sulit didapatkan di Indonesia, yakni ilmu filsafat Murthada Muthahari dari Syekh Abdullah. E. KESIMPULAN Penerbit Mizan produktif dalam menerbitkan fiksi pop islami yang merupakan invensi dari fiksi hikayat berupa konvensinya. Dengan masih berlandaskan konvensinya berupa kekhasan ikon Islam berupa Bahasa Arab, sejarah Islam, Aqidah Akhlak, serta Al-Quran dan Hadis, kemudian berinvensi menjadi fiksi pop islami dan memperluas dirinya ke dalam genre mapan seperti romance, sejarah-biografi, dan perjalanan. Kekhasan fiksi pop islami ini yakni pertama, dalam plot, meliputi adanya hidayah, peristiwa Islam, dan pertemuan dengan tokoh muslim. Kedua, dalam karakter, meliputi teladan tokoh Islam, dominasi tokoh Arab, dan ideal dengan hijab. Ketiga, dalam segi latar,terdapat perbandingan antara Indonesia dan Timur Tengah yang lebih mengedepankan Arab sebagai latar yang penuh dengan spritualitas. Unsur-unsur keislaman tersebut bergradasi dengan tematema fiksi perjalanan, romance, dan sejarah-biografi. Fiksi pop islami menemukan kejayaannya di era 2000-an, bersamaan dengan Islam menemukan kebangkitannya dalam beragam aspek di Indonesia setelah keruntuhan Orde Baru. Kebangkitannya tidak hanya pada satu sisi, Islam sebagai agama yang diakui, diterima, dan memasyarakat tanpa kekangan pemerintah. Islam menemukan dirinya menjadi bagian dari perubahan jaman yang masuk ke dalam hampir semua tatanan masyarakat. Dan termasuk di dalamnya, kebangkitan fiksi bernuansa islami dalam kesusastraan di Indoensia. Dengan masuknya fiksi ini ke dalam kategori fiksi populer, maka menjadi sebuah bukti bahwa fiksi bernuansa islami memiliki banyak apresiasi dari pembaca serta menjadi era dimana Islam bisa menjadi media dakwah melalui fiksi pop islami. Dari fiksi-fiksi pop islami yang diterbitkan tersebut, produktivitas Mizan sebagai sebuah penerbit besar yang sangat mapan mampu menjangkau fiksi-fiksi yang banyak diminati pembaca masa kini. Terbukti, Mizan memiliki fiksi pop islami yang di dalamnya memuat unsur-unsur genre yang mapan seperti biografi sejarah, perjalanan, serta romance. DAFTAR PUSTAKA Adhe. 2007. Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007). Yogyakarta: KPJ. Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ali, Muhammad. 1990. Wanita Berlisan Suci. Bandung: Mizan. Anshoriy, HM Nasrudin. 2010. Matahari Pembaruan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. Avianty, Ifa. 2009. Alena: Selubung Cinta di Muzdalifah. Bandung: Mizan. Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan. Cawelti, John. 1976. Adventure, Mistery, and Romance. Chicago: The University of Chicago. Dewi, Oki Setiana. 2012. Cahaya di Atas Cahaya. Bandung: Mizan.
128
Effendi, Tyas. 2009. Izinkan Aku Bersujud. Bandung: Mizan. El-Humayra, Waheeda. 2009. Elegi Cinta Maria. Bandung: Mizan. Hadi, Ahmad. 1989. Para Pengawal Fajar. Bandung: Mizan. Hawwa, Said. 2004. Al-Islam. Jakarta: Gema Insani. Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG. Isa, Muhammad Sayf. 2011. Sabil. Bandung: Mizan. ________ 2015. Cut Nyak Dien. Bandung: Mizan. Mizan. 2003. 20 Tahun “Madzhab” Mizan. Bandung: Mizan. Mulkam, Abdul Munir. 2010. Misteri Kematian Syekh Siti Jenar. Bandung: Mizan. Nadia, Asma. 2000. Serenade Biru Dinda. Bandung: Mizan. Nadia, Asma. 2000. Dialog Dua Layar. Bandung: Mizan. Nur, Ari. 2003. Diorama Sepasang AlBanna. Bandung: Mizan. Nur, Ari. 2009. Dilatasi Memori. Bandung: Mizan. Soeparmo, Yanti. 2009. Runtuhnya Menara Azan. Bandung: Mizan. Soetarno. 1967. Peristiwa Sastra Melayu Klasik. Jakarta Suaedy, Ahmad. Dkk. 1998. Anotasi 200 Buku Islam Karya Muslim Indonesia. Yogyakarta: Dian/Interfidei. Suherman, Djamil. 1990. Jalan Pintas ke Surga. Bandung: Mizan. Sukarjaputra, Yoki. 2010. Serambi Mujahid Mesopotamia. Bandung: Mizan. Sulaeman, Otong. 2010. Dari Jendela Hauzah. Bandung: Mizan. Tasaro. 2005. Di Serambi Makkah. Bandung: Mizan. Yudisia, Sinta. 2007. Lafaz Cinta. Bandung: Mizan.
129
REALISME MAGIS SEBAGAI STRATEGI EKSISTENSI` KOLEKTOR MITOS DI RUANG HIRARKIS SASTRA INDONESIA Hat Pujiati Universitas Jember (081336790076
[email protected]) Abstrak Artikel ini mengkaji kehadiran Realisme Magis dalam cerpen Kolektor Mitos oleh Halim Bahriz sebagai sebuah mode tulisan (narasi) yang berstrategi di ruang hirarkis sastra Indonesia menggunakan perspektif Wendy B. Faris. Lima ciri dari tulisan realisme magis yang digagas Faris akan menjadi langkah kerja pertama dalam mengurai kehadiran realisme magis dalam cerpen. Berikutnya, analisis difokuskan pada teknik naratif defokalisasi yang dilakukan cerpen sebagai cara mendestabilisasi representasi realistis sehingga menggiring pada tiga langkah menghindari ideologisasi. Deideologisasi ini adalah ruang permainan Realisme Magis untuk memecahkan paradigma Modern akan totalitas, keutuhan tunggal. Dekonstruksi melakukan deconstructing pada teks, geneologi membuat unsettling doubt, dan pluralizing dilakukan oleh posmodern. Dengan demikian Kehadiran Realisme Magis dalam Kolektor Mitos akan terbaca secara teknik tekstual dan dihubungkan pada Antinomy realisme dan magis secara kontekstual yang dibangun oleh cerpen. Hasil dari analisis Kolektor Mitos sebagai mode tulisan yang digunakan Bahriz dalam cerpennya merupakan cara menentang sekaligus menerima hirarkisitas yang dibangun elit sastrawan sastra Indonesia di Jakarta. Sebagaimana maksud dari antinomy realisme dan magis dalam realisme magis, Kolektor Mitos mengganggu representasinya secara posmodernis sekaligus poskolonialis. Kata Kunci: Realisme Magis, deideologisasi, strategi sastra, posmodern, poskolonial
A. PENDAHULUAN Kritikus seni Jerman, Franz Roh, pada tahun 1925 menggunakan istilah realisme magis pertama kali sebagai kategoti seni. Ketika itu Realisme Magis dipandangnya sebagai cara menghadirkan dan merespon realitas dan secara piktorial dalam menggambarkan teka-teki realitas 49. Pada perkembangannya, Realisme Magis sebagai moda tulisan atau narasi ini dilihat sebagai bagian dari perlawanan terhadap pemikiran modern dengan mengahadirkan istilah yang kontras antara realisme dan magis. Aturan main dalam modernisme adalah logika, bisa ditelusuri dengan akal dan pasti. Paradigma modern yang demikain tidak memberikan ruang pada yang “di antara”; ada hitam dan putih, sementara abu-abu disembunyikan atau diabaikan, tidak dibicarakan (bukan berarti tidak ada) karena posisinya yang antara hitam dan putih, namun bukan hitam dan bukan putih (Lyotard, 2009: 206-9). Ketika yang “ada” namun tidak dapat dipahami tidak ada dalam lanskap yang sesuai dengan aturan main, maka hal itu tetap menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami. Sementara antinomy Realisme Magis dari sisi penamaan sudah menghadirkan kode-kode simultan yang saling berbenturan dalam teks (Faris, 2004:20). Pengungkapan yang tidak dibicarakan, yang didiamkan adalah bentuk tandingan dari gerakan pemikiran berikutnya, yaitu posmodern. Dengan demikian, realisme magis mengusung posmodern perspektif, menghadirkan yang tidak dibicarakan sekaligus bersama dengan yang menjadi topik dari perspektif modernisme. Terkait dengan usaha mendefinisikan realisme magis dalam banyak tulisan ilmiah, Faris menawarkan pendekatan yang berusaha mengkombinasikan antara teknik penulisan dengan teori poskolonial. Teknik naratif realistis yang tumbuh dalam Realisme Magis berhubungan dengan kondisi kondisi-kondisi kultural. Dengan kata lain, poetika dalam moda tulisan ini 49
(http://www.english.emory.edu/Bahri/MagicalRealism.html; 14 November 2008; 6.14pm)
130
diasumsikan berakar dari kondisi-kondisi kultural (Faris, 2004: 2). Dasar pemikiran yang mendasarkan pada respon kondisi kultural ini lah yang membingkai poskolonialme dalam perspektif Faris. Artinya, jukstaposisi dari realisme dan magis dalam satu istilah, ditelusur dari perihal ‘kata-kata’ penyusunnya yang dibahas dalam konteks poetika, tetapi di saat yang sama poetika tersebut lahir sebagai respon dari peristiwa-peristiwa kultural dalam kehidupan nyata. Antara realisme dan magis dipandang sebagai peristiwa kebangkitan yang di-lain-kan dari yang pokok, antara yang ‘ditiadakan’ dari yang ada, antara inferior dari yang superior, antara yang terjajah dari yang menjajah. Posisi realisme dan magis yang meletakkan istilah ini di wilayah antara merupakan refleksi dari kultur hibrid dalam masyarakat poskolonial (Faris, 2004: 1). Kolektor Mitos oleh Halim Bahriz menggunakan mode penulisan yang mengindikasikan kehadiran realisme dan magis. Bahriz lahir di Lumajang, Jawa Timur dan sempat menempuh pendidikan di Sastra Indonesia Universitas Jember, aktif di komunitas seni di dalam dan luar kampus, kemudian banyak tinggal di Jakarta dan bergaul dengan pegiat sastra nasional. Bahriz yang berangkat menulis dari luar Jakarta ini juga telah memenangkan banyak lomba penulisan, baik naskah teater mau pun penulisan puisi tingkat nasional. Kolektor Mitos adalah satu judul cerpen Bahriz dalam kumpulan puisi berjudul sama yang mengisahkan Otniel, tangan kanan sang pengumpul benda-benda yang memiliki keterkaitan dengan mitos. Dia datang ke Semarang untuk mendapatkan genta yang berasal dari leburan patung Margaretha Geertruida Zelle, seorang pebalet termasyur pada masa kekuasaan Belanda. Pebalet tersebut muncul dalam cerita melalui jejak-jejak sejarah di kota lama Semarang, dimulai dari bekas gedung pertunjukan di jaman penjajahan yaitu gedung Marabunta atau dulu disebut Schouwburg yang telah menjadi kafe. Kebenaran akan kisah Margaretha didukung oleh tanggal-tanggal sejarah terkait kisah Marabunta dan yang linier Greta dengan sejarah umum di dunia nyata. Adin, cucu buyut dari Mayor Rudolph mantan suami Greta, menjadi pencerita mitos yang mengaburkan cerita dengan fiksi. Pebalet itu dihukum mati karena kecemburuan sang suami pada popularitasnya yang dipuja banyak penggemar. Hadiah patung Margaretha dari salah satu penggemarnya yang dulu diletakkan di pintu masuk Schouwburg dilebur menjadi dua genta oleh Rudolph setelah kematian Greta. Satu untuk gereja dengan harapan dosa-dosa Greta diampuni dan satu lagi di bawa ke barak militer. Genta yang di gereja membuat para jemaat berbuat mesum saat ibadah setelah mendengar dentangnya. Sementra genta yang lain menyebabkan kepatuhan luar biasa pada prajurit di barak militer dimana genta tersebut dibawa. Akhirnya Otniel dan Adin mendapatkan genta yang pemicu mesum tersebut dan Otniel membawanya ke Jakarta. Di pesawat, tiba-tiba muncul perempuan di sisi Otniel saat ia antara tidur dan terjaga. Penggalan kisah Kolektor Mitos tersebut mengindikasikan kehadiran permainan narasi antara realisme dan magis sebagai penolakan sekaligus penerimaan. Dengan demikian, fokus artikel ini adalah untuk memetakan kehadiran realisme magis dalam cerpen. Kemudian mendiskusikan defokalisasi sebagai teknik narasi dalam cerpen. Lebih lanjut, teknik tekstual yang dipakai dalam cerpen dikaitkan dengan konteks yang di bawa pengarang sebagai bagian dari masyarakat penulis Indonesia. B. REALISME DALAM KARYA SASTRA Pencapaian peradaban modern dalam aliran pemikiran adalah realisme. Aliran pemikiran ini dalam seni berusaha menghadirkan kenyataan senyatanya; yang mampu dirunut melalui pengalaman empiris, rasional (berkaitan dengan koherensi, berusaha menjawab pertanyaan ‘mengapa’)(Faruk dalam diskusi Magical Realism di Pusat Sudi Kebudayaan) Novel dipandang sebagai karya imaginatif yang diramu dengan kenyataan (Fowler, 1987: 200-2).
131
Novel merupakan salah satu subgenre sastra yang lahir dalam peradaban modern. Sebelumnya prosa hadir dalam bentuk hikayat, roman, babat dimana kisah-kisah yang dihadirkan sangat panjang dan tokoh-tokoh di dalamnya silih berganti hingga ke para keturunan dari tokoh sebelumnya. Latar tempat dan waktu pada kisah-kisah sebelum modern tidak jelas. Sebaliknya, novel menunjukkan partikularitas di dalamnya yang ditunjukkan dengan waktu dan tempat yang linier dengan kenyataan waktu dan tempat modern atau disebut sebagai historis. Novel juga empirik, peristiwa yang diceritakan ada rujukannya dalam keseharian masyarakat kebanyakan (Ian Watt dalam The Rise of the Novel). Ciri novel yang demikian menegaskan realisme pada awal kelahirannya. Realisme juga bisa dibaca sebagai cara pandang, atau cara membaca sesuatu yang bercirikan empirisme dan rasional. Pesona dunia (enchantment) dalam novel realisme disangkal dengan rasio dan logika empirik, menjadi disenchantment sehingga cerita menjadi biasa. Presentasi dalam novel dan peristiwa di dalam kehidupan nyata ini lah yang membuatnya disebut sebagai refleksi kehidupan nyata. Konsekwensi dari kata refleksi ini membuat karya sastra tergolong dalam epiphenomenon; fenomena kedua, sedangkan fenomena yang pertama adalah kehidupan nyata. Goldmann menyebut kesamaan antara yang ada dalam karya sastra dengan yang ada dalam kehidupan nyata sebagai homolog. Magis yang Mempesona dalam Karya Sastra Bila aturan main dalam modernisme adalah logika, maka semua yang tidak mampu dinalar atau dijelaskan menggunakan logika akan dikeluarkan dari arena permainan. Yang irasional disembunyikan, tidak dibicarakan, dan keberadaannya dinihilkan. Realisme menghadirkan narasi yang realistik, semantara yang magis menghadirkan yang fantastik. Tsetan Todorov (dalam Mchale, 1987: 74) mentesiskan bahwa fantasi adalan kondisi antara uncanny(aneh) dan marvellous (mengagumkan). Menjadi genre uncanny bila peristiwa supernatural bisa dijelaskan dengan hukum-hukum alam, misalkan peritiwa aneh tersebut kemudian dinyatakan menjadi halusinasi, sulap, sihir sehingga keanehan tersebut tidak lagi mempesona setelah dijelaskan. Genre marvellous menerima kejadian-kejadian supernatural sebagai norma semisal dalam dongeng, realm hewan yang berbicara, ibu peri, transformasi ajaib yang ada dalam cerita-cerita Seribu Satu Malam dengan jinnya, karpet terbang, lampu ajaib. Cerita marvellous demikian kerab didaur ulang oleh cerita-cerita Realisme Magis (Hegerfeldt, 2005: 80). Daur-ulang yang dilakukan Realisme magis pada Marvellous adalah dengan menjadikan konvensinya berkebalikan, yaitu dengan menjadikan realistik kehidupan sehari-hari (ordinary) tampak fantastik (2005: 80). Fantasi dengan peristiwa natural dan supernaturalnya menghadirkan keraguan, Todorov menyebutnya sebagai ketidakpastian epistemologis (epistemological uncertainty). Sementara keraguan yang dihadirkan dalam Magical realism ada di posisi epistemologis dan ontologis. Yang epistemologis merupakan jejak modernisme, sedangkan yang ontologis sebagai produk posmodernisme. Metamorphosis oleh Kafka ditengarai sebagai sastra yang telah melenyapkan fantastik yang epistemological oleh Todorov namun penulis posmodern sebenarnya mengembangkan keraguan itu ke dalam keraguan ontologis, Todorov gagal membaca deep structure of the fantastic dalam Metamorphosis menurut McHale (1987: 75). Ranah seperti yang diungkapkan McHale ini lah yang juga kemudian dihadirkan dalam karya-karya realisme magis. Intinya, sastra fantastik menghadirkan keraguan melalui kehadiran yang natural dan supernatural, antara yang normal dan paranormal seperti kisah Harry Potter oleh JK. Rolling atau Twilight karya Stephani Meyer. Dalam dua cerita yang digolongkan fantasi tersebut bertaburan keanehan atau dunia supernatural atau paranormal bersama dengan yang normal, keraguan antara yang normal dan paranormal diaminkan dalam peristiwa cerita. Magis dengan demikian mempesona karena meghadirkan
132
kekuatan-kekuatan supernatural yang tak mampu diterjamahkan secara logis namun di suatu titik tertentu kadang peristiwa supernatural atau paranormal tersebut dijelaskan dalam kerangka logis. Alice in Wonderland mengisahkan gadis kecil yang bertualang ke negeri menakjubkan, peristiwa-peristiwa magis terjadi di negeri tersebut namun tidak terjadi di dunia nyata fiksional (diegest) Alice bersama saudara dan orangtuanya. Di akhir cerita itu ditegaskan bahwa perualangan yang dilalui Alice hanyalah terjadi di dunia mimpi. Atau cerita-cerita Lima Sekawan (Faruk dalam diskusi) yang dalam serialnya kerab menceritakan hantu yang akhirnya dijelaskan bahwa yang dikira hantu itu bukanlah hantu, kadang dia pencuri, kadang anjing dan sebagainya. Realisme Magis sebagai Sebuah Revolusi Pemikiran Cogito ergo sum yang ditesiskan oleh Descartes menginfeksi dunia dan menggiurkan bagi penduduk dunia untuk menjadi bagiannya. Ideologi modern mengundang subjek-subjek baru dan berbicara atas nama dunia, memberikan penilaian melalui perspektif modernitas. Proyek-proyek modernisasi bermunculan, kesusastraan Indonesia pun dalam naungan Balaipustaka mengkoridor karya-karya yang lahir dengan material yang anti takhayul. Modern itu rasional, empirik, sekuler dan duniawi. Cerita pun menceritakan cerita sehari-hari. Pemujaan modernisme pada abad 20 ini juga membuat Indonesia terpesona pada surat kabar. Kemajuan yang dihasilkan modernisme menakjubkan. Puncaknya, muncul anggapan ‘bila tidak modern berarti tidak hidup di masa kini’. Mimpi dan harapan menjadi ilusi ini menjadi ironi modernisasi (Faruk dalam diskusi). Kemudian ketika ilmu pengetahuan diekspos justru menimbulkan kerusakan lingkungan, membuat orang modern stres. Modern hanya menghasilkan puncak hampa. Obat ternyata berbahan kimia yang justru menimbulkan masalah bagi tubuh hidup. Sementara jamu tidak rasional, tidak ada ukuran yang sulit diterima oleh logika modern. Orang mulai mencari alternatif, menggabungkan yang modern dengan yang pramodern, muncullah herbal, bukan jamu tapi juga bukan obat. Wacana juga mengkonstruksi kehadiran herbal ini, penelitian juga dilakukan di ruang-ruang ilmiah seperti laboratorium universitas yang punya legitimasi kebenaran tinggi dalam dunia sains. Herbal pun mampu masuk apotik walau dia bukan obat, dan punya kode sendiri sebagai herbal (contoh ini disebut oleh peserta diskusi dan diulas bersama Faruk dalam diskusi di PSK UGM, November 18 2016). Konsep herbal ini mirip dengan konsep realisme magis, penggabungan dua unsur yang bertentangan, yang satu berakar dari cara pikir modern dan yang satu dari yang tradisional. Magis yang tak mampu didefinisikan secara logis dari sudut pikir modern dikeluarkan dari permainan. Magis dianggap bagian dari tradisional; sama dengan jamu. Herbal diterima, dilogikakan (dengan riset), kemudian tidak dipertanyakan lagi. Obat tidak lagi sebagai obat, jamu juga bukan lagi jamu ketika menjadi herbal, mereka bukan lagi modern dan tradisional, bukan juga pesona seperti konsep enchantment of the world (pesona dunia) yang tiba-tiba diterima, ketakjuban yang ditimbulkan herbal butuh legitimasi modern dengan riset ala sains. Maka herbal menyurut saya sebagai bentuk re-enchantmentof the world (kembalinya pesona dunia). Realisme magis yang ditawarkan Faris pun bukan mengusung jejak modern dan tradisi sebagai sebuah keutuhan, melainkan hanya bagian-bagian yang hadir dalam konteks itu. Bagian dari modern dan bagian dari tradisi. Bagaiman revolusi pemikiran dari yang ‘saklek’ menjadi sebuah perkawinan antara modern dan yang tradisional? Linguistik adalah biang dari revolusi ini (Faruk dalam diskusi). Linguistik menemukan bahwa semua hanyalah mitos yang dikonstruksi. Bahasa tidak lain adalah tanda dalam perspektif Saussurian. Tanda merupakan korelasi dari penanda dan petanda. Relasi tanda dan petanda itu arbitrer, tidak ada relasi alamiah antara penanda dan petanda. Kata
133
tree (pohon) dalam bahasa Inggris punya nama berbeda dalam bahasa lain seperti wit dalam bahasa jawa, bungka dalam bahasa madura, perbedaan tersebut mengacu pada hal yang sama. Konvensi masyarakat yang menyebabkan nama-nama itu bermakna. Tree (pohon) sebagai kenyataan dan nama-nama berbeda itu adalah konsep. Dengan demikian menjadi logis bahwa makna adalah sebuah konstruk sosial, sebuah persetujuan (Chandler, 1994: 15-22). Konsekwensi dari penjelasasn bahasa ini membawa pada kemapanan pengetahuan yang menjadi penopang modernisme. Modernisme tidak lebih sebagai mitos, sains hanya aturan main yang dikonstruk oleh modernisme. Rule of the game ini sama posisinya seperti grammar dalam bahasa. Perspektif Foucauldian menyimpulkan bahwa tidak ada kenyataan utuh kecuali wacana, manusia juga ada sebagai sebuah konstruksi. Hingga abad pertengahan, cerita-cerita sastra tidak menuliskan tentang manusia biasa, kecuali Yesus (Evans, 1976:20-21). Manusia biasa bukan subjek penting, tapi pada abad modern, hal ini dibalik, bahkan Tuhan dihilangkan karena disenchantment, manusialah yang menentukan dan memutuskan hidupnya (Pujiati, 2009: 135). Sebagai sebuah konstruksi wacana, maka substansi itu tidak ada. Herbal bisa masuk farmasi sebagai wujud keberhasilan konstruksi wacana sehingga menghadirkannya sebagai regime of truth, tetapi substansi itu tidak ada. Mencari substansi hanyalah usaha yang “disperately searching for the audience“. Definisi-definisi kebenaran itu tak lebih sebagai mitos, ada kepentingan, ada politik dalam bahasa. Pemikiran Thomas Kuhn juga punya andil dalam dekonstruksi pemikiran yang terjadi dalam peradaban posmodern, gagasannya tentang Scientific Revolution. Kuhn menggugah kemapanan sains dalam perspektif modern yang mengagungkan objektifitas. Menurutnya, kebenaran saintifik tidak hanya dipastikan oleh hal yang objektif, melainkan juga dibentuk oleh kesepakatan-kesepakatan dari kelompok ahli atau para specialis itu sendiri. Jadi pengetahuan tidak dibangun melalui akumulasi, menurutnya perkembangan pengetahuan adalah tidak terus menerus, tapi ada perubahan, ada patahan melalui alternatif akan yang normal dan revolusioner (amp.theguardian.com, diunduh 16 maret 2017, pukul 19.33 WIB). Apa yang ditawarkan Kuhn ini senada dengan apa yang Foucault tesiskan dalam Power/Knowledge, kekuasaan meregulasi, ilmu pengetahuan sebagai tampuk kekuasaan juga menjadi rule of the game. Aritnya ada kode-kode, ada konvensi untuk memahami sebuah pengetahuan, bila diiyakan oleh komunitas pakarnya maka jadilah. Peletakan modernitas sebagai mitos dengan demikian merombak cara berpikir kemapanan-kemapanan yang telah terbentuk sebelumnya. Semua menjadi mungkin, jika pengetahuan adalah mitos, maka mitos juga pengetahuan, keduanya ada di posisi sama sebagai rule nof the game. Realisme yang akan kita bahas dalam moda tulisan ini dengan demikian juga merupakan sebuah konvensi atau konstruksi. Apakah sebuah teks dinyatakan sebagai teks sastra atau bukan juga merupakan konvensi. Namun ketika mempertanyakan realitas yang diterima apa adanya (taken for granted reality) maka yang terjadi adalah dekonstruksi. Untuk lepas dari kebenaran-kebenaran yang ternyata hanyalah mitos, maka kebenaran perlu ditiadakan. Ada tiga cara keluar dari ideologisasi; (1) dekonstruksi; dengan menunda identitas dalam diri. Dekonstruksi ini bermain di antara self dan other. Barat-Timur yang dikonstruksi Said Misalnya, Timur tidak ada sebelum diciptakan Barat. Tradisi atau timur hanyanlah refleksi negatif dari self. Apa yang tidak ada atau tidak diinginkan self bila tidak ada self itu sendiri berarti fiktif (Konsep Defference-deffrance Derrida). (2) Geneologis, yaitu dengan mencari other ke belakang (trace back the other). Foucauldian membuktikan bahwa segala sesuatu itu historis. Geneologis ini melakukan unsettling doubt(3) pluralizing (posmodernisme membawa
134
ini dalam Realisme Magis), yaitu dengan mencari other ke samping, menunjukkan bahwa yang kita hadapi bukan satu-satunya, ada yang lain. Realisme Magis bekerja di tiga cara tersebut. C. PERANGKAT KERJA DALAM METODE REALISME MAGIS OLEH WENDY B. FARIS Realisme Magis adalah suatu konstruksi yang tidak memilih antara realisme dan magis. Realisme magis merupakan sebuah pertarungan wacana yang tidak bisa ditetapkan urutannya (order), dia ada dalam posisi chaos. Bila digambarkan dalam bagan maka akan tampak posisi sebagai berikut: Realisme
Realisme Magis
Fantastik
Gambar 1. Posisi Realisme Magis di antara Realisme dan magis Dalam konteks tulisan, Wendi B. Faris mencoba memetakan ciri-ciri dari Realisme Magis menjadi lima ciri yaitu: Irreduceable element, phenomenal world, unsettling doubt, Merging Realms, dan Dicruption time, space, and identity.Kelima ciri yang disebutkan Faris ini tidak menuntut keberurutan, pemetaan teks apakah termasuk realisme magis atau tidak bisa dimulai dari mana saja dari kelima unsur tersebut. Bisa diawali dengan menganalisis sisi magis yang dihadirkan memasuki realitas teks, kemudian data-data realisme dalam teks dalam mempertegas dirinya, atau dari keraguan yang tumbuh dari magis. Bisa juga benturan jagad atau dunia-dunia yang ada dalam cerita tanpa mediasi yang membuat fakta atau fiksi menjadi kabur dan mengacaukan konsep waktu, ruang dan identitas. Dalam analisis berikut ini, saya mengambil data berupa keseluruhan narasi cerpen Kolektor Mitos oleh Halim Bahriz untuk dipilah ke dalam lima elemen yang ditawarkan Faris. Setelah pemetaan tersebut, pembacaan keseluruhan permainan narasi akan dielaborasi, mereka ulang defokalisasi yang dilakukan teks untuk dihubungkan dengan data sekunder terkait pengarang dan lingkungan sosialnya. Akhirnya, kontestasi di balik realisme magis Kolektor Mitos sebagai mode tekstual bisa dikuak. D. TEKNIK NARATIF YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBANGUN REALISME MAGIS Lima elemen yang telah dipaparkan sebelumnya untuk mengenali genre teks, Faris menggunakan istilah defocalization (defokalisasi). Cerita biasanya dinarasikan dari satu perspektif yang disebut dengan focalization. Realisme Magis memecahkan ketunggalan perspektif dalam teks sehingga pengalaman pembaca menjadi beragam. Rupanya hal tersebut juga berdampak pada kesadaran simultan antara yang real dan historis dengan imajinasi; antara yang sensoris dan yang tak terkatakan tanpa keterputusan sehingga menghadirkan pluralitas (dengan cara pluralizing). Defokalisasi dalam realisme magis menunjukkan paradigma posmodernisme yang menantang modernisme. Akan tetapi Realisme Magis tidak juga terjebak dalam nostalgi primitivism, usahanya menghadirkan yang ditentang modern adalah dalam rangka membangun poetika yang menunda kepastian genre narasi. Defokalisasi juga menghadirkan arwah (spirit) sebagai usaha memecahkan ketunggalan perspektif. Kehadiran arwah tersebut memberikan jarak dengan fiksi modernis. Penghancuran sensori realitas dengan kehadiran spirit juga memberikan ruang bagi varietas-varietas otherness, personal, historikal, kultural, kesusastraan lampau, bahkan perbedaan raelitas virtual, termasuk juga tekstual(2004:74).
135
Moda naratif ini juga mengahdirkan shaman atau dukun. Praktik-praktik yang dilakukan oleh dukun merupakan usaha menghadirkan teks yang hibrid, mengankat budaya primitif sebagai konter terhadap narasi besar. Faris menyebut ini sebagai Shamanic Narrative Healing yaitu pengobatan atas keterpecahan antara yang konkrit dan yang imajinatif, yang ilmiah dan yang spiritual (2004: 80-81). Sebagai bentuk chaos, Realisme Magis menggunakan teknik-teknik poetik dalam menghancurkan fokalisasi menjadi defokalisasi. Teknik-teknik itu adalah dengan Magical detail, naïve narrators,Bridges,Two-way streets,Narrative distance and chinese boxes, serta Mirorring. Magical details ini bisa dimulai dari hal yang logis namun dilebih-lebihkan sehingga menjadi magis. Ukuran-ukuran matematis yang detil seperti yang diceritakan Marquez soal kalkulasi darah dan panjang rambut jenazah Jose Arcadio dalam kubur, magis disajikan dengan cara realis. Naïve narrator pun demikian, kepolosan narator yang menggunakan tokoh anak kecil atau tokoh inferior namun apa yang dinarasikan bisa dicari kebenarannya dalam kerangka realis (orang dewasa/ yang superior). Dengan demikian voice yang hadir berlipat ganda (2004: 104). Bridges itu menjembatni dunia-dunia yang dibangun melalui dunia wacana. Sedangkan two-ways street adalah ambiguitas yang dibangun untutk mendisidentifikasi. Gaya kotak cina atau jarak naratif mengaskan posisi fantastik yaitu yang uncanny dan marvellous memberikan jarak naratif. Sementara mirroring tak lain adalah repetisi prinsip naratif, seperti analogi-analogi secara struktural dan simbolik kerap menciptakan pergantian referensi. E. REALISME MAGIS DALAM KOLEKTOR MITOS a. Irreduceable Element; Elemen ini menghadirkan yang magis begitu saja tanpa mempertanyakan kenyataan-kenyataan (fiksional) tersebut. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa elemen ini tak dapat dirujuk dalam kenyataan namun diterima dalam cerita (Faris, 2004:07). Dalam Kolektor Mitos, menghadirkan “Belum genap setahun, genta itu dibuang entah ke mana oleh pihak gereja. Sejak logam itu berdentang, sering terjadi adegan mesum. Konon, di hari minggu yang tak terlupakan itu, sejumlah jemaat diam-diam saling berciuman saat puja-puji dinyanyikan. Sissanya telah lebih dulu saling menelanjangi.” (Bahriz, 2017: 24-25) … “pantesan lho Mas, kejadian mesum cukup sering di sekolah ini” (Bahriz, 2017: 25) … “Bapak minta berapa?” Pak Harto terdiam sebentar, “150 juta?” “Oke,” sahutku. Transaksi beres dan senyum pak Harto berlumur syukur. (Bahriz, 2017: 26) Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan kehadiran yang magis pada genta. Dentangnya yang mendorong orang untuk berbuat mesum bahkan saat puja-puji pada Tuhan sedang berlangsung adalah peristiwa yang melawan hukum alam. Peristiwa supernatural yang tidak disebabkan oleh Tuhan dan malaikatnya, dalam cerita-cerita tradisional dan cerita religius biasanya tak berdaya terhadap kesucian Tuhan. Namun sesuatu pada genta tersebut sebaliknya. Bahkan kemudian ditegaskan ulang oleh kepala sekolah akan peristiwa mesum yang kerab terjadi di lingkungan akademis tersebut. Dengan kata lain genta tersebut mengacaukan tatanan sosial yang telah ada, tak pandang ruang dan tempat. Otniel yang skeptis dengan hal-hal supernatural terkait mitos dalam cerita juga tidak menolak kekuatan ganjil pada dentang genta tersebut dan memutuskan membelinya setelah mendapat konfirmasi dari Adin dan sang kepala sekolah. Dalam ilmu
136
pengetahuan modern, dentang genta yang menaikkan libido pendengarnya menyalahi logika, dan Kolektor Mitos menggunakan cerita yang melenceng dari logika ini sebagai topik utama cerita. b. Phenomenal world; Dalam Realisme Magis, teks juga menghadirkan dunia empirik yang bisa diuji kebenarannya, apa yang dihadirkan memiliki referensi dalam kehidupan nyata atau pengalaman hidup orang kebanyakan (Faris:2004:14). Berikut kutipan-kutipan dalam Kolektor Mitos yang mencerminkan elemen ini: “Jl. Cendrawasih ya, Pak.” Ujarku kepada sopir taksi. “Kota lama? Tepatnya ke mana, Mas?” “Marabunta” (Bahriz, 2017: 19) ... “Mataku mulai menyisir ornamen kolonial dalam ruangan; kipas angin kuno yang menggantung kira-kira 3 meter di atas plafon, dengan ukiran berbentuk lingkaran dari era barock di pangkalnya, juga interior kaca patri bergambar bunga dan beberapa pemain musik …” (Bahriz, 2017: 21) Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan kehadiran objek-objek yang ada rujukannya dalam dunia nyata yang bisa dialami pembaca. Marabunta di kehidupan nyata ada di jalan Cendrawasih, Kota lama Semarang Jawa Tengah. Gedung tersebut telah dialih-fungsikan menjadi kafe. Apa yang diceritakan Oetniel mengenai sejarah Marabunta sebagai gedung pertunjukan di jaman kekuasaan Belanda, dibangun tahun 1890, soal pebalet bernama Margaretha Geertruida Zelle linier dengan sejarah atau historis. Linieritas objek-objek dan subjek dengan kenyataan tersebut menegaskan kehadiran dunia fenomenal dam cerpen Kolektor Mitos. c. Unsettling Doubt; Posisi ini tidak bisa membuat keputusan apakah itu realisme atau magis, menghadirkan keraguan (Faris:2004:17). Keraguan keraguan itu dibangun oleh wacana-wacana dalam menghadirkan kenyataan. “Adin terdiam sesaat, Mayor Rudolp…kakek buyutku.” (Bahriz, 2017: 24) Saat melintasi jalanan kota lama, kata Adin, genta tersebut seperti menangis. Ia mengelusnya. Aku yang dimintanya jadi sopir, menahan tawa. Tapi akhirnya gagal (Bahriz, 2017: 26) …Mayor Rudolp berharap, cara itu dapat membantu Greeta menebus dosa-dosanya. (Bahriz, 2017: 24) Cerita mengenai kepiawaian Greta sebagai pebalet dan perihal Marabunta sebagai gedung pertunjukan membawa kesadaran pembaca pada sejarah umum di dunia nyata, teks melakukan fiksionalisasi pembaca. Narasi sejarah oleh Adin atau pun Otniel seakan mengkonfirmasi kebenaran, mengaburkan kenyataan dan fiksi. Terkait materi cerita yang berujuk pada sejarah maka konfirmasi pada peristiwa-peristiwa tersebut ditarik mundur dari masa lalu kemudian ditandingkan dengan perspektif masa kini melalui tokoh Otniel sehingga melahirkan keraguan. Adin memperlakukan genta mistis yang mereka beli sepenuh hati karena menganggapnya hidup, melihatnya dengan perspektif magis. Sementara Otniel
137
menertawakannya karena sudut pandang yang berbeda. Hingga di akhir cerita, Otniel membenarkan kecantikan perempuan yang hadir di antara terjaga dan tidurnya selama di pesawat. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa keraguan itu terpelihara dan tidak ditarik ke satu kutub apakah realisme atau kah magis. d. Merging Realms; Jagad pikiran yang dibangun antara yang realistik dan magis hadir bersamaan. Konfrontasi dua dunia (normal-paranormal) ini menjadi peristiwa pengaburkan ikatan antara fakta dan fiksi. Magis dihadirkan nyata. Dunia-dunia itu saling memasuki dan bertemu dalam satu titik dalam cerita tanpa dimediasi (Fariz, 2004) “Ketika aku merasa mulaitertidur, kudengar seseorang merapikan posisi duduk di sampingku. Aku terjaga sebentar, menyadap wajahnya sekilas. Perempuan. “Halo…” sapanya, nyaris berbisik, dengan lidah yang tidak lihai memainkan fonologi bahasa Indonesia. Dalam pejam, aku teringat sepenggal kalimat Adin, “Dialah satu-satunya perempuan yang meraih definisi tunggal atas kecantikan.” (Bahriz, 2017: 26-27) Di antara tidur dan terjaga Otniel,di dalam pesawat yang telah lepas landas beberapa saat, dia menyadari kehadiran seorang perempuan di sampingnya. Padahal, sebelumnya dia sadar kursi di sampingnya kosong. Artinya kehadiran perempuan tersebut meragukan sebagai yang nyata, karena tak mungkin ada seorang penumpang pesawat naik di angkasa, tapi terlihat saat Otniel terjaga sesaat. Bahkan perempuan tersebut menyapanya dengan “Halo” yang tidak fasih berbahasa Indonesia dan penjelasan narator tentang kecantikan seperti yang dikatakan Adin akan Greta menggiring pada kemungkinan itu Greta yang diceritakan Adin. Sapaan nyaris berbisik tersebut meleburkan dunia Otniel dan dunia ruh Greta yang menghuni genta. e. Disruptions of Time, Space, Identity; Waktu, ruang dan identitas yang dibangun dalam cerita melenceng dari yang dialami orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari (Faris, 2004:23-27). Saat melintasi jalanan kota lama, kata Adin, genta tersebut seperti menangis. Ia mengelusnya. Aku yang dimintanya jadi sopir, menahan tawa. Tapi akhirnya gagal(Bahriz, 2017: 26) Sikap Adin terhadap genta yang menurutnya menangis menunjukkan ‘kehidupan’ pada genta tersebut. Seperti yang telah diceritakan, bahwa genta tersebut merupakan leburan dari patung Greata yang dihadiahkan padanya oleh salah satu pengagumnya. Greta hidup di masa Indonesia masih dijajah Belanda sementara latar waktu cerita setara dengan cucu buyut dari mantan suami Greta. Dari penalaran waktu tersebut, maka ada pelanggaran waktu yang terjadi pada ‘hidup’ genta tersebut. ‘yang hidup’ dalam genta (yang menangis) tersebut berusia lebih lama dari manusia kebanyakan. Greta sang pebalet cantik diyakini hidup dalam genta, maka Greta melintasi waktu; dari masa hidupnya di tahun 1800an ke masa-masa hidup anak cucunya, setelah kematiannya. “Genta itu sempat berpindah tangan. Kita harus ke sana untuk mencari tahu kebenarannya.”
138
“Kami mengunjungi tempat tersebut keesokan hari; SMA milik pemerintah yang tidakmaudisebutkan namanya dalam cerita ini. Nanti kalian tahu sebabnya. Ketika sampai, kami harus menunggu. Sebab hari itu adalah hari minggu.” (Bahriz, 2017: 25) Narasi Otniel menyadari bahwa ini cerita, seakan kisah tersebut sebagai sebuah kenyataan yang dilaporkan, bahkan pembaca dipanggil teks dengan menggunakan kata “kalian”. Artinya ruang fiksi dan ruang nyata tidak pada posisi seharusnya. Bila kisah itu adalah fiksi, pembaca adalah nyata, seharusnya itu dunia yang berjarak. Namun, teknik narrative distance dalam mengacau ruang (space) ini menghadirkan nyata dalam fiksi melalui penggunaan kata “kalian”. Fiksionalisasi demikian menghancurkan ketunggalan dunia dengan cara dekonstruktif. “Namaku, Otniel. Aku sedang menjalani tahun ketigaku sebagai pemburu benda-benda tak berguna –untuk apapun, untuk siapapun; kecuali bagi seorang pembohong besar di Jakarta. Orang mengenalnya sebagai kolektor mitos, dengan reputasi tanpa cacat. Ucapan-ucapannya amat presisi; antara mistik dan sejarah, dialah orang yang dilahirkan untuk menyatukan keduanya. Aku tangan kanannya yang mungkin tak setia."(Bahriz, 2017: 18). Pada epilog cerita, Otniel memperkenalkan dirinya sebagai orang yang tak percaya pada mitos. Dirinya sebagai pemburu barang terkait mitos hanyalah profesi, dia hendak menegaskan bahwa dirinya hanya menjalankan pekerjaan mencari barang-barang yang dikatakannya sebagai barang tak berguna. Tanpa ragu dia juga mengaku tak setia, karena tak percaya dengan mitos. Sebelum pesawatnya tinggal landas, dia mengirim pesan pendek pada Adin yang disebutnya Ndes,: “Ndes, Genta yang kita bawa bukan Margaretha Geertruida Zelle! ini lonceng buatan VOC.” … Dalam pesawat yang mulai mengapung sekian meter di udara, aku masih membayangkan 7 menit wajah adin setelah membaca pesan pendekku. Aku jadi geli sendiri, serasa mengulang adegan ketika ia dengan mendalam mengelus-elus lonceng itu. (Bahriz, 2017: 26) Kutipan tersebut juga menguatkan keakuan Otniel yang tak sepaham pada cerita genta dan arwah Greta di dalamnya. Namun di akhir cerita, dia membenarkan Adin akan kecantikan Greta. Melihat perempuan yang hadir di sampingnya, setelah sapaannya yang tak fasih bahasa Indonesia, dia mengkonfirmasi itu Greta si penghuni genta. Logika yang diapuja dalam dirinya lebur begitu ia melihat Greta. Menurut saya, realisme magis tak perlu ukuran kuat atau tidak, tetapi cukup dibuktikan ada atau tidak unsur-unsur pembangunnya untuk kemudian dikaji lebih lanjut dengan kajian naratologi sehingga ditemukan hal-hal yang melatari atau temuan dari teknik narasi yang digunakan cerita. Demikian pula yang ada di dalam Kolektor Mitos ini, melalui temuan pada elemen-elemen yang telah dibahas tersebut, cerpen ini tidak ada di posisi real atau pun fantastik, tetapi ada di antaranya. Hal tersebut ditegaskan dalam teknik defokalisasi yang dijalankan dalam teks, tak ada ketunggalan sudut pandang akan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan. Jarak naratif (narrative distance) menjadi teknik poetik yang dipakai dalam cerpen ini. Penundaan-
139
penundaan kepastian mewarnai cerita , dengan demikian Kolektor Mitos tidak menyajikan ketunggalan ideologis. Logis dan magis dihadirkan bersamaan dan sejajar. E. PENUTUP Terkait dengan kehadiran Jakarta dan Semarang sebagai latar cerita, begitu juga bahasa percakapan yang digunakan oleh Otniel dan Adin yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sejajar dengan realisme dan magis. Jakarta sebagai pusat, Semarang sebagai daerah, bahasa Indonesia sebagai bahasa formal dan bahasa Jawa (daerah) sebagai informal. Jakarta diwakili Otniel yang logis, dan Semarang oleh Adin yang percaya mistis. Artinya Jakarta adalah pusat logika, si kolektor mitos menurut Otniel adalah pembohong besar, dan Semarang (daerah) hanyalah pinggiran. Tetapi pusat tak kan ada tanpa pinggiran. Kolektor mitos yang tinggal di Jakarta juga membutuhkan daerah pinggiran untuk mendapatkan kolektornya. Jakarta yang diandaikan sebagai pusat logika tadi ternyata di dalamnya ada mistis-mistis, ilogis-ilogis yang dikumpulkan: pusat ada dari rangkaian peripheral-peripheral. Lebih lanjut, pusat dan pinggiran dalam hal ini tak dipertahankan dalam kutub dikotomis, sesekali dipertemukan, dan akhir cerita juga narrasi menaklikkan Otniel dengan ending yang mengaburkan identitas Otniel sebagai yang arogan dengan logikanya. Demikian pula yang terjadi dalam dunia kepenulisan sastra di Indonesia. Untuk bisa menjadi penulis Indonesia yang cukup diakui, maka dibutuhkan legitimasi dari penulis-penulis Jakarta. Setidaknya secara wacana, tulisan peripheral mengangkat yang dibicarakan di Jakarta. Katakan saja Salihara sebagai komunitas yang di dalamnya menampung penulis-penulis ternama dan juga orang-orang pakar dari sisi kebudayaan dan akademis. Pengaruh Salihara dalam hal kepenulisan sastra kerab menjadi tolak ukur kekinian dan kemutakhiran sastra. Maka masuk kedalam wacana yang ditebar Salihara akan membuat tulisan mereka yang berasal dari daerah diperhitungkan dalam kancah sastra Indonesia yang kekinian. Bukan sebuah dosa masuk dalam regime of truth Salihara untuk tumbuh menjadi mutakhir dan kekinian, tetapi dalam hal Kolektor Mitos, ini adalah strategi eksistensi, strategi untuk hidup di dunia kompetitif kesusastraan Indonesia. Bahkan, Bahriz cukup piawai memainkan realisme dan magis, sejarah dan fiksi, dalam teknik defokalisasi yang mengaburkan substansi. DAFTAR PUSTAKA Aldea, Eva. 2011. Magical Realism and Deleuze: the Indiscernibility of Difference in Postcolonial Literature. London: Continum Literary Study amp.theguardian.com, diunduh 16 maret 2017, pukul 19.33 WIB Chandler, Daniel. 1994. Semiotics for Beginners. (diunduh dari www.aber.ac.uk) Evans, Ifor. 1976. A short History of English Literature. Great Britain: C. Nicholls & Company Ltd. Faris, Wendy B., 2004. Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. USA: Vanderbilt University Press. Faruk terkutip dalam tulisan ini diambil dari diskusi Realisme Magis di Pusat Sudi Kebudayaan pada 16-18 November 2016 (pelatihan teori dan metode diadakan oleh PSK UGM) Flower, Rojer. 1987.A Dictionary of Modern Critical Terms. London and New York: Routledge & Kegan Paul
140
Hegerfeltdt, Anne C, 2005. Lies that tell the Truth: Realism Seen through Contemporary Fiction from Britain. Amsterdam: Rodopi B.V http://www.english.emory.edu/Bahri/MagicalRealism.html; 14 November 2008; 6.14pm Lyotard, Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on Knowledge (Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, penerjemah Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing McHale, Brian. 1987. The Postmodernist Fiction. Britain: Methuen & Co. Ltd Pujiati, Hat. 2009. Novel Enchanted dalam perspektif Posmodern; Brian McHale. Universitas Gadjah Mada (sebagai syarat lulus meraih gelar Master)
141
CERITA ASAL-USUL RITUAL KAAGO-AGONO LIWU PADA MASYARAKAT KORONI DI MALIGANO Dr. La Ode Sahidin, M.Hum Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Halu Oleo Abstrak Cerita-cerita rakyat mengisahkan berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakatnya termasuk di dalamnya cerita munculnya suatu tradisi yang ada pada suatu masyarakat tertentu. Koroni salah satu etnik yang mendiami wilayah Utara Pulau Buton memiliki cerita rakyat asal usul yang disebut tradisi ritual Kaago-ago liwu. Tradisi ritual Kaago-agono liwu dilaksanakan oleh masyarakat Koroni sebagai bentuk perlindungan kampung (desa) dari kekuatan negatif makhluk gaib (bencana). Dalam cerita asal usul ritual kaago-agonoliwu ini menceiritakan mengenai putri raja begitu cantik dan orang yang memandangnya terkesimak sampai perahu yang dibawanya salah haluan. Kamar putri raja selalu basah akibat dari semburan kerang besar yang ada di belakang kamarnya. Kerang ini dipindahkan oleh seorang pemuda yang wajah buruk rupa yang berasal dari Konawe. Kulit kerang ini dilempar oleh pemuda ini hingga sampai ke Kulisusu di Ereke dan yang lainnya sampai ke Ternate. Cerita-cerita ini banyak mengandung metafor dan membutuhkan penafsiran atau pemaknaan agar dapat dipahami sesuai dengan konteks wilayah dan masyarakatnya dengan menggunakan metode sejarah. Pemaknaan metafor yang terkandung di dalamnya dikaitkan dengan wilayah geografis dan sejarah hubungan Koroni dan Kesultanan Buton yang menjadi pusat pemerintahan. Kata kunci: Kajian metafora, Kaago-agono liwu, Koroni (Taaloki), cerita rakyat.
A. PENDAHULUAN Orang Koroni pernah diangkat oleh salah satu media lokal dengan topik Taaluki, Suku Baru di Pedalaman Muna. Sebagai orang yang masih berdarah Koroni (Taaloki) tentu bertanya dalam diri dan mencoba merenungkan judul (topik) yang dimuat oleh media lokal tersebut. Ada dua pertanyaan dari topik tersebut yaitu “suku baru” dan “pedalaman”. Merujuk pada “suku baru”, Taaloki datang ke Motewe (sekarang Maligano) sejak ratusan tahun silam. Berdasarkan buku Sejarah Fiy Darul Butuni (1977), Koroni/Taaloki sudah ada di masa pemerintahan La Sangaji (Sultan Kaimuddin) sekitar tahun1566-1570 dan menjadi salah satu kadie (desa) di pemerintahan Kesultanan Buton. Wilayah kekusaan pun begitu jelas, yakni Labunia sampai Labuan 50. Artinya kebaruan suku Taaloki berdasarkan apa, tidak jelas. Sama halnya dengan kata “pedalaman”, secara geografis Muna sebuah pulau kecil, sehingga memaknai kata pedalaman menjadi tidak sesuai karena Muna hampir keseluruhan wilayahnya berada di pesir pantai. Apalagi menyebut suku Taaloki di Maligano secara geografis, masyarakatnya menghuni di bagian pesisir Utara Pulau Buton, sangat bertolak belakang dengan makna pedalaman. Bila ke Maligano tempat suku Taaloki berada, ciri yang merujuk pada kata ‘pedalaman’ kepada orangorang terbelakang tidak ditemukan, misalnya pembatasan diri dari dunia luar, larangan menggunakan alat-alat teknologi seperti suku Badui di Banten dan suku anak dalam di Jambi. Dalam topik yang dimuat oleh media lokal tersebut memuat tradisi kaago-ago liwu yang ada pada suku Koroni. Tradisi ini dilakukan pada setiap pergantian musim timur atau barat sebagai bentuk permohonan dari kekuatan makhluk gaib agar terhindar dari bencana di dalam kampung. Karena tradisi inilah, suku Koroni (Taaloki) disebut suku pedalaman.
50
Baca Zahari, 1977
142
Dalam tulisan ini saya mengangkat topik yang dimuat oleh salah satu media lokal tersebut hanya karena melaksanakan tradisi, sehingga diberikan label ‘suku pedalaman’. Masyarakat Koroni menjalankan tradisi kaago-agono liwu memiliki cerita yang penting untuk dikaji. Koroni melaksanakan tradisi kaago-agono liwu sejak ratusan tahun lalu. Di dalam masyarakat diketahui terdapat ada dua narasi asal usul dilaksanakannya tradisi ini. Pertama, mula dilaksanakan ritual ini pada saat orang-orang Koroni membuka lahan baru yang natinya akan menjadi tempat permukiman. Kedua, diawali oleh sayembara Raja Koroni bahwa barang siapa yang mampu memindahkan atau mengangkat kerang yang selalu menyebur kamar putri raja akan dinikahkan dengan putri raja. Dalam penelitian ini akan mengangkat cerita pada bagian kedua dari awal mula dilaksanakan ritual kaago-agono liwu. Dalam cerita ini mengandung ungkapan metafor perlu dianalisis makna yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan pendekatan sejarah. B. KONSEP METAFORA Metafor menunjukkan suatu kecenderungan dasar dari pikiran manusia untuk memikirkan refern tertentu dengan cara tertentu. Metafor didefinisikan sebagai penggunaan sebuah kata atau frasa untuk tujuan pernyataan kemiripan (Danesi, 2011:137). Gorys Keraf (1988:98) mengatakan bahwa metafora adalah perubahan makna karena persamaan sifat antara dua objek. Rudyansjah (2009:24) memaparkan secara mendetail bahwa matafor adalah suatu kiasan kata-kata yang sebenarkan mengandung arti tertentu, digunakan sedemikian rupa dengan cara memaksimalkan kemiripan dan analogi di antara kata-kata yang sedang disandingkan pada kiasan tersebut, sehingga kalimat itu pada akhirnya dapat memiliki arti berbeda daripada arti harfiah. Dalam narasi awal mula diadakannya tradisi memiliki gaya bahasa (metafora) yang perlu dikaji untuk menggali makna yang dikandung di dalamnya. Tradisi kaago-agonoliwu tidak hanya bermakna nyata sebagai upaya penyelamatan desa, tetapi bermakna kiasan (metafora). C. METODE PENELITIAN Data yang diambil dalam penelitian ini adalah teks cerita asal usul diadakan tradisi kaago-agono liwu. Cerita ini berasal dari masyarakat Koroni di Lasiwa. Di dalam teks cerita ini terdapat metafora dan harus dijelaskan atau dipaparkan agar dapat memahami makna metafora yang dikandungnya. Untuk memahami itu pengkajiannya menggunakan pendekatan sejarah. Penggunaan pendekatan sejarah diharapkan dapat mengungkap maknanya karena cerita ini berisi menganai putri Raja Koroni dengan Nggori-Nggori Anakia dari Konawe. D. ASAL USUL KORONI/TAALOKI DI MALIGANO Penting diuraikan mengenai asal usul Koroni di Maligano untuk mengenal suku Koroni. Berdasarkan penelusuran kepada msayarakat Maligano dan sekitarnya mendapatkan informasi dan tulisan yang dimuat dalam salah satu media lokal serta jurnal Kandai (Bahasa dan Sastra) diperoleh tiga versi yang menjelaskan asal usul orang Koroni/Taaloki di Maligano. (1) La Djahudi menuturkan bahwa suku Koroni di Maligano berasal dari Selatan keraton sekitar abad 17 Masehi. Di kala itu ada kebijakan sultan, jika pemukiman yang dihuni lebih dari empat puluh kepala keluarga dan dan lebihnya telah mampu membentuk satu kadie, maka dipersilakan untuk membentuk kadie yang baru. Dengan aturan sultan tersebut, orang-orang yang berada di permukiman tersebut yang dipimpin oleh Koroni sebanyak sembilan orang dengan membawa orang-orang
143
Taaloki menelusuri pantai Buton. Sebelum sampai ke Langkoroni 9 orang ini mengambil orang Taaloki di Wakalambe. Orang Taaloki di Wakalambe berasal dari daerah Kaili Sulawesi Tenggah. Setalah itu mereka menelusuri pulau pantai Buton masuk di Langkoroni. Di Langkoroni mereka belum mendapatkan tempat yang baik dijadikan untuk tempat bermukim. Kemudian menuju Sungai Motewe saat ini disebut Motewe. Dalam bahasa Koroni Motewe berarti air tawar. Di sinilah mereka membuat permukiman baru atau disebut kampung Motewe dan membentuk satu kerajaan bernama kerajaan Koroni atau Lakina Koroni. 51 (2) La Samudi menuturkan bahwa etnik Koroni di Maligano berasal dari negeri Kaili di Sulawesi Tengah kemudian terdampar di pulau Buton dan membentuk wilayah yang sekarang disebut Maligano 52. Suku Taaloki berasal dari negeri Kaili Sulawesi Tengah dan tinggal di Wakalambe. Mereka datang ke Buton karena kalah di dalam peperangan sehingga memilih keluar dari Kaili. Sekitar Tahun 1906 orang Taaloki yang tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton bersama dengan suku Koroni menyelusuri daratan Buton. Tiba di daerah Koroni, mereka menemukan kali dan mandi di tempat itu. Lokasi tersebut kemudian dikenal dengan nama Desa Lakoroni, Kabupaten Muna. "Laa" artinya ‘kali’. Suku Koroni kemudian berdiam di wilayah itu. Sementara orang Taaloki kembali melanjutkan perjalanan menyelusuri daratan Buton. Mereka kemudian menemukan kali besar yang diberi nama Laeya. Karena wilayah itu tidak cocok dijadikan perkampungkan, mereka kembali melanjutkan perjalanan sampai ke Sungai Motewe. Setelah kemerdekaan Indonesia dan pembentukan daerah Tingkat Dua Muna, nama motewe berganti dengan nama Maligano. Di kala itu, kampung Motewe sudah didiami oleh penduduk, namun jumlahnya tidak banyak. Suku Taaloki kemudian membangun perkampungan dan menjadi warga mayoritas di desa tersebut sampai saat ini 53. (3) Aris Baaya menuturkan bahwa keberadaan suku Taaloki bermula dari pria La Baluwu yang berasal dari Kaili yang berkelana sampai ke Buton. La Baluwu kemudian menikah dengan putri keluarga kesultanan Buton bernama Bulawambona. Dari keturunan pasangan tersebut terbentuk satu etnis yang dikenal suku Taaloki. Keturunan dari La Baluwu yang menetap di lingkungan keraton Buton, tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton. Mereka ingin merebut kekuasaan dengan parang besar yang disebut dengan "Ta". Taluki memiliki arti menaklukan keraton Buton dengan parang besar. Upaya itu tidak berhasil, sehingga keturunan La Baluwu diusir dari lingkungan keraton dan "diungsikan" ke Desa Wakalambe dan sebahagian lagi menyelusuri daratan Buton sampai ke Maligano. "Sebanyak tiga generasi suku Taaloki ini menetap di lingkungan keraton Buton. Setelah tiga generasi, Taaloki diusir dari keraton menuju Desa Wakalambe dan Maligano 54. Terlepas dari kontroversi terkait dengan asal usul Koroni di Maligano berasal dari Kaili. Sahidin (2017) mengatakan bahwa berdasarkan ciri fisik tampak orang-orang Koroni memiliki kesamaan dengan suku-suku yang ada Tolaki di Kendari, termasuk bahasa yang digunakan. Hanya saja, apakah bahasa yang digunakan berdiri satu bahasa atau sebatas dialek, perlu
51
La Ode Sahidin, Disertasi Universitas Indonesia, (2017) Maligano dikenal setelah Koroni menjadi bagian dari Kabupaten Muna tahun 1964. 53 Awaluddin. Jejak etnik Koroni di Kabupaten Muna http://www.kendaripos.co.id/web/index. Akses April 2013 54 Awaluddin. Jejak etnik Koroni di Kabupaten Muna http://www.kendaripos.co.id/web/index. Akses April2013 52
144
penelitian. Selanjutnya Anwar Hafid (2010) mengaitkan suku-suku yang yang memiliki kemiripan suku-suku Tolaki. Suku Moronene, Wawonii, dan Kulisusu memunyai ciri fisik mirip dengan suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan mungkin juga Sulawesi Utara. Jika dilihat dari ciri-ciri, seperti mata, rambut, maupun warna kulit suku-suku tersebut memiliki persamaan dengan ras Mongoloid yang diduga berasal dari Asia Timur di Jepang kemudian tersebar ke selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina, Sangir Talaud, Pantai Timur Pulau Sulawesi kemudian sampai ke Sulawesi Tenggara. E. TRADISI KAAGO-AGO LIWU DAN FUNGSINYA Perludiuraikansedikit mengenai tradisi Kaago-ago liwu sebagai lanjutan narasi 55 munculnya tradisi ini 56. Sebelum membahas menganai Kaago-ago liwu ada baiknya mengatahui makna kata ini. Kaago-ago liwu terdiri atas kata ‘Kaago-ago’ bermaknapengobatan dan ‘liwu’ bermakna kampung (desa). Gabungan kedua kata ini bermakna pengobatan kampung/desa dari kekuatan negatif makhluk gaib 57. Tradisi Kaago-ago liwu dilaksanakan oleh lembaga sara, yakni sarana agama (imam desa, khatib, dan modji) dan sarana liwu yang mengatur tradisi yang ada dalam desa. Tradisi dilaksanakan atas persetujuan kepala desa. Apa bila kepala desa setempat tidak merestui untuk dilaksanakan tradisi, maka lembaga sara (adat) tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan tradisi ini. Ada kepercayaan masyarakat Koroni, segala kejadian yang melanda desa sebagai wujud keberhasilan lembaga sara dalam menjalankan tradisi kaago-ago liwu. Tradisi ini dilaksanakan dua kali setahun yakni pada peralihan musim timur ke musim barat atau sebaliknya. Anggapan masyarakat Koroni, kaago-ago liwu dilaksanakan dua musim peralihan karena penyakit atau bala yang berasal dari makhlug gaib selalu turun pada kedua musim ini. Oleh karena itu, upaya mencegah terjadinya bencana yang pada suatu negeri harus dilaksanakan tradisi kaago-agono liwu.
F. MAKNA METAFORA DALAM NARASI KAAGO-AGONO LIWU Dalam narasi awal mula diadakan tradisi kaago-agono liwu kalimat karang besar yang selalu menyembur kamar putrinya. Kerang besar merupakan metafor yang dapat dimaknai 55
Di masa dahulu bernama Waode Rampe55, Putri dari Raja Koroni di Istana Raja, berada di antara Dempa dengan Maligano sekarang ini. Putri Raja ini begitu cantik dan setiap orang yang memandangnya perahu yang dibawahnya salah haluan, sehingga di dekat kediaman raja itu disebut sala bose(salah haluan). Tak lama kemudian datang seorang pemuda yang berwajah buruk rupa duduk di tempat mengikat ayam tepatnya di serambi bagian depan rumah. Pemuda ini menyebut dirinya bernama Nggori-Nggori Anakia. Saat dilihat oleh Raja Koroni, pemuda ini kemudian disapa oleh Raja Koroni, “O..h, mengapa Anda duduk di tempat kotor, tempatnya ayam, sinilah duduk di tempat yang bersih”. Mendengar bahasa Raja, Nggori-Nggori Anakia tidak bergeming karena lagi-lagi ia merasa sangat kotor. Raja Koroni mengetahui keberadaan Nggori-Nggori Anakia bahwa pemuda ini adalah raja dari Konawe. Setelah menyapa pemuda tadi, Raja Koroni mulai mengeluh tentang kondisi tempat tidur putrinya karena selalu basah tersembur oleh karang besar persis di belakang kamar putrinya. Kemudian raja ini mengatakan kepada pemuda Nggori-Nggori Anakia, “Siapa yang bisa mengangkat kerang besar dari dasar laut itu, maka ia akan menjadi jodoh putriku”. Mendengar bahasa itu, Nggori-Nggori Anakia langsung menghilang dan pergi mencari 40 biji telur dan 40 biji ketupat. Setelah itu membuat anyaman kalapea sejenis tapis beras sebagai tempat 40 biji telur dan 40 biji ketupat. Itulah awal mulanya dilaksanakannya tradisi kaago-agono liwu. Setelah berhasil mengangkat kerang besar tersebut, Nggori-Nggori Anakia melempar kulitnya ke Ereke, maka dari itu Ereke disebut Kulisusu. Kulisusu yang ada di Ereke berasal dari Koroni dan satu sisinya lagi dibuang ke Ternate 56 Di dalam ilmu hadits disebut asbabul wuruj (sebab-sebab keluarnya suatu hadist) 57 Baca Sahidin (2017)
145
berdasarkan tempat asal kerang atau habitat kerang, yakni laut. Selain itu di dalam kerang itu sendiri menyimpan mutia yang sangat bernilai. Berdasarkan tempatnya, laut di masa lalu merupakan sarana menjalin hubungan sosial dengan wilayah-wilayah lain. Laut menjadi bagian yang tidak terpisah oleh masyarakatnya khususnya wilayah-wilayah kepulauan. Laut dijadikan sebagai jalur membangun hubungan kerajaan satu dengan kerajaan lain. Sebaliknya, suatu kerajaan tertentu melakukan penyerangan pada suatu wilayah tertentu melalui jalur laut. Semburan kerang kepada putri raja merupakan ancaman yang berasal dari laut. Kerang itu sendiri dapat dimaknai sesuatu yang bernilai tinggi. Dalam diri kerang mengandung mutiara, orang-orang yang melihatnya memiliki kecenderungan untuk memiliki. Kerang yang menyembut dapat dikatakan kekuasaan-kekuasan yang berada di luar memiliki keinginan besar untuk menguasai wilayah Koroni Selanjutnya bagi kerajaan Koroni “Putri Raja yang begitu cantik dan setiap orang yang memandangnya, perahu yang dibawa selalu salah haluan”. Putri raja merupakan metafor dan dapat dimaknai keindahan, ketertarikan, kestrategisan suatu wilayah atau pengembangan wilayah. Kembali pada masa kerajaan, gadis dapat dimaknai keindahan, ketertarikan, dan kestrarategisan suatu wilayah. Daya tarik ini dapat dikembangkan maknanya pada wilayah yang dimiliki atau posisi strategis wilayah Koroni. Ketertarikan terhadap wilayah tersebut diasosiasikan dengan gadis. Gadis merupakan ungkapan keindahan dan ungkapan posisi strategis wilayah itu. Semua orang yang melihatnya ingin mampir di wilayah itu atau mungkin ingin menguasai wilayah yang strategis itu. Gadis dapat juga dimaknai bahwa gadis bukti dari ketertarikan sedikitnya ada empat nama tempat bersandarnya kapal-kapal yang masuk ke wilayah Koroni. (1) Labuan Tobelo yakni tempat berlabuhnya kapal dari Tobelo. (2) Labuan Belanda, yakni tempat berlabuhnya kapal Belanda, (3) Labuan Wolio, yakni tempat berlabuhnya Labuan Wolio, dan (4) Labuan Bajo yakni tempat berlabuhnya orang-orang Bajo. Labuan Tobelo dan Labuan Belanda saat ini dihuni oleh orang-orang Muna, Bugis, dan Ereke. Labuan Wolio saat ini banyak dihuni oleh orang Cia-Cia/Wolio dan Labuan Bajo kebanyakan dihuni oleh-orang-orang Bajo. Saat ini Labuan Bajo menjadi Pelabuhan Veri yang menghubungkan Pulau Buton dan daratan Sulawesi, (Sahidin 2017). Selanjutnya Sahidin 2017 memaparkan bahwa di wilayah Koroni sedikitnya terdapat empat pelabuhan, memungkinkan pendatang itu dapat melakukan hubungan kerjasama kerajaan Koroni atau lebih besar kepada kerajaan Buton secara keseluruhan. Di dalam kisah tradisi kaago-agono liwu menggunakan metafor kerang di dalam menyampaikan pesan yang disampaikan kepada penguasa wilayah. Kerang besar yang selalu menyemburkan air ke kamar putri raja merupakan bentuk metafor yang dapat dimaknai sebagai ancaman bagi Koroni yang berasal dari laut. Apakah ancaman itu berasal dari bajak laut atau dari kekuatan-kekuatan lain yang membahayakan keselamatan negeri Koroni. Apalagi di wilayah negeri Koroni dijadikan sebagai tempat berlabuhnya kapal. Raja Koroni ketika mengeluhkan ancaman berasal dari laut yang disimbolkan dengan semburan kerang. Nggori-Nggori Anakia yang berasal dari Kerajaan Konawe memberikan bantuan kepada Raja Koroni. Keberhasilannya inilah Koroni boleh jadi pernah menjadi bagian dari kerjaan Konawe seperti yang ditulis oleh Basrin Melamba 58. Wilayah bekas kekuasaan Koroni ada nama kali yang disebut karagha Laiwoi (kali Laiwoi). Sahidin (2017) mengatakan
58
Melamba, Basrin, dkk. 2013.
146
bahwa berdasarkan keterangan dari masyarakat karagha laiwoi merupakan tempat masuknya orang-orang Laiwoi. Bila merunut pada wilayah, Koroni berada di wilayah kekuasan Buton, namun dalam teks sejarah diadakannya tradisi kaago-agono liwu menyebutkan bahwa raja Koroni mendapatkan bantuan dari kerajaan Konawe. Selanjutnya kerang dapat juga dimaknai berdasarkan sifatnya. Sifat kerang akan menutup diri apabila merasakan acaman yang dapat membahayakan dirinya. Artinya kerang akan membuka diri apabila mengutungkan buat dirinya. Dalam diri kerang terdapat mutiara, semua orang tertarik dan ingin memiliki mutiara yang ada dalam kerang. Namun berdasarkan sifat tadi, kerang bisa membuka diri dan dapat memberikan sesuatu yang ada dalam dirinya apabila ia bisa mendapatkan sesuatu lebih menguntungkan dari apa yang diberikan. Dalam konteks itu, kerang dalam cerita asal usul tradisi kaago-agono liwu merupakan bentuk simbolik yang menggambarkan hubungan kerjasama oleh semua pihak. Apabila melakukan hubungan kerjasama atau mendapatkan tawaran bantuan (dalam istilah sekarang disebut hibah), maka yang harus dimunculkan adalah sikap kehati-hatian sebelum kerjasama (bentuk hibah) itu diterima. Boleh jadi pihak yang menawarkan bantuan tersebut akan berakhir pada kemerosotan atau penindasan. Semburan kerang yang dimaksud dalam cerita tersebut dapat juga dimaknai sebagai bentuk penindasan atau peperangan. Dengan sayembara raja “siapa yang berhasil menganggakat kerang akan dinikahkan dengan putrinya”, pernikahkan merupakan salah satu strategi kerajaan untuk mengembangkan suatu wilayah yang nantinya akan dikuasai. Walaupun pada posisi ini Koroni tidak dalam posisi menguasai, tetapi wilayah Koroni sebagai penentu di dalam membagun atau mengembangkan suatu wilayah. Bila masuk pada kondisi saat ini dimulai dari terbentuknya Muna pada tahun 1964, wilayah Koroni masih menunjukan jati dirinya menjadi sesuatu yang penting untuk membangun suatu wilayah. Menurut La Niampe, Muna tidak akan penah terbentuk menjadi satu kabupaten karena syarat tidak dimiliki, yaitu minimal 5 distrik. Muna pada saat itu hanya memiliki empat distrik, yakni Katobu, Lawa, Kabawo, dan Tongkuno. Agar bisa membetuk kabupaten (Tingkat II), maka harus menambah dua distrik lagi. Begitu tinggi keinginan masyarakat untuk membentuk sebuah provinsi baru dan melepaskan diri dari Provinsi Sulawesi Selatan, sementara yang memenuhi syarat baru tiga kabupaten, yakni Buton, Kolaka, dan Kendari. Syarat untuk membentuk sebuah provinsi minimal 4 daerah tingkat II (dua), Buton memiliki 22 distrik kemudian melepas dua distrik yakni Wakorumba 59 dan Kulisusu. Pertimbangan pemerintah pada saat itu bahwa kedua ini secara geografis sangat berdekatan dengan wilayah Muna. Masa terbentuknya Buton Utara, wilayah Koroni sebagai penentu untuk menjadikan Buton Utara berdiri menjadi daerah otonomi baru. Pada saat Buton Utara memisahkan diri dari Kabupaten Muna dan membetuk otonomi Baru, wilayah Koroni bagai irisan kue yang tidak mau dibagi. Muna tetap bertahan agar wilayah Koroni tidak ikut masuk di wilayah Buton Utara yang akan dibentuk. Begitu pula Buton Utara menginginkan wilayah Koroni menjadi bagian dari wilayahnya. Berdasarkan undang-undang otonomi pembentukan wilayah otonomi baru, syarat terbentuknya otonomi baru setingkat kabupaten di suatu wilayah apabila secara adminstrasi telah memiliki lima kecamatan. Oleh karena itu, terjadinya tarik menarik wilayah Koroni antara Muna dan Buton Utara terulang kembali di masa terbentuknya Muna menjadi sebuah kabupaten sebagai syarat terbentuknya provinsi Sulawesi Tenggara. Kondisi yang terjadi tahun 1964 terulang kembali saat pembentukan daerah otonomi baru Buton Utara. Tarik menarik inilah
59
Setengah dari wilayah Wakorumba adalah wilayah Koroni mulai dari Labunia sampai Labuan.
147
mengakibatkan wilayah Koroni terbagi dua, yakni Wakorumba Utara masuk di wilayah Kabupaten Buton Utara dan Maligano masih bertahan di wilayah Kabupaten Muna. La Niampe menjelaskan bahwa faktor yang memengaruhi masyarakat Buton Utara untuk memisahkan diri dari pemerintahan Muna disebabkan oleh sikap ketidakadilan pemerintah Muna terutama pada sector pembangunan, yaitu: Masyarakat yang berasal dari luar etnik Ereka, seperti Wakorumba, Bonegunu, dan Kambowa memiliki kesamaan persepsi yang sama. Sikap pemerintah Muna daratan terhadap masyarakat di wilayah Buton Utara menganggap tidak meratanya pembangunan serta tidak diakomodirnya warga yang berasal dari Buton Utara sekarang untuk masuk dalam sistem pemerintahan, baik masuk sebagai guru, maupun sebagai pegawai dipemerintahan (Sahidin, 2017). Konsep keadilan inilah yang ingin dibangun oleh masyarakat Koroni melalui tradisi kaago-agono liwu. Tradisi kaago-agono liwu tidak akan pernah terlaksana apabila di antara lembaga adat dan pemerintah tidak terjalin hubungan baik di antara mereka. Keterjalinan hubungan baik dapat tercipta manakala masing-masing lembaga menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajiban serta mendapatkan hak sesuai dengan tugas yang diberikan. Apabila sistem keadilan ditumbuhkan, masyarakat tidak akan melakukan tuntutan pada hal-hal yang membawa ke arah perpecahan. G. PENUTUP Wilayah Koroni yang berada di Utara Pulau Buton tidak dapat dipisahkan dengan terbentuknya Buton Utara sampai Sulawaesi Tenggara 1964. Wilayah Koroni tetap mengiringi perkembangan terutama sejarah berdinya Muna. Di kala itu Muna tidak dapat berdiri untuk membentuk daerah tingkat II karena syarat pebentukan tidak tercukupi. Untuk itu, Buton yang memiliki 22 distrik melepas dua distrik yakni Kulisusu dan Wakorumba masuk dan bergabung dengan Muna. Demikian juga dengan Buton Utara, pengusulan daerah otonomi baru memisahkan diri Muna, ditentukan oleh Wakorumba Utara (di masa kerajaan menjadi bagian dari wilayah Koroni. Wilayah Koroni menjadi bagian berdirinya suatu wilayah itu diungkapkan dalam bentuk metafor yakni semburan kerang besar kepada putri Raja Koroni. gadis. Semburan dimaknai sebagai penindasan atau ketidakadilan dan ketika sikap ketika ketidakadilan muncul pihak yang menjadi korban mencoba untuk keluar dari sikap-sikap ketidak adilan ini. Sikap inilah yang dijadikan alasan orang-orang-orang di Buton Utara termasuk di dalamnya Koroni memisahkan diri dari Muna. DAFTAR PUSTAKA Danesi, Marsel. 2004. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra. Keraf, Gorys. 1988. Diksi danGaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Melamba, Basrin, dkk. 2013. Tolaki, Sejarah Identitas, dan kebudayaan. Yogyakarta: Lukita. Rudyansjah, Toni. 2009. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian tentang Lanskap Budaya.Jakarta: Rajawali Pers.
148
Sahidin, La Ode. 2017.Katingka dan Zikir dalam Tradisi Ritual Meagoliwu pada Masyarakat Koroni Kecamatan Wakorumba Utara Kabuapaten Buton Utara. Disertasi, Univ. Indonesia. Awaluddin. Jejak etnik Koroni di Kabupaten Muna. http://www.kendaripos.co.id/web/index.Akses April 2013 Anwar.
Hubungan kekerabatan Antarsuku di Sulawesi Tenggara http://anwarhapid.blogspot.com/2013/01/hubungan-kekerabatan-antar-etnik-di.html. akses Maret 2014
149
SASTRA DAN PEMBELAJARAN TENTANG KONSEP DEMOKRASI DI ERA ADMINISTRASI PRESIDEN TRUMP DALAM SAJAK WALT WHITMAN Lestari Manggong Departemen Susastra dan Kajian Budaya, Universitas Padjadjaran
[email protected] Abstrak Sajak “Song of Myself” karya pujangga Amerika abad ke-19, Walt Whitman, mengupas konsep demokrasi yang menjadi salah satu pondasi prinsip kebebasan berpendapat di Amerika. Makalah ini membahas pembelajaran tentang konsep demokrasi yang dapat diperoleh dari sajak tersebut. Arah pembahasan menjadi spesifik ketika konsep demokrasi dalam sajak tersebut dikaitkan dengan praktek demokrasi yang terjadi di Amerika sekarang, sejak Amerika berada dalam masa administrasi Presiden Donald Trump. Dalam pembahasannya, makalah ini mengemukakan argumentasi bahwa dalam prakteknya, prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat bagi setiap individu, secara dilematis mengantar Amerika pada masa kepresidenan Trump yang dinilai kontroversial. Selain “Song of Myslelf,” makalah ini juga membahas dan membandingkan sajak Whitman yang lain, yaitu “For You O Democracy” untuk melihat lebih jauh lagi persepsi Whitman tentang demokrasi. Pembahasan dilakukan dengan melihat aspek pragmatis sajak Whitman dengan merujuk pada Mack (2002) dalam bukunya The Pragmatic Whitman: Reimagining American Democracy. Selain itu, pembahasan juga akan berfokus pada aspek xenofobia dalam karya Whitman dengan merujuk pada salah satu tulisan Price (2004) dalam bukunya To Walt Whitman, America. Arah pembahasan kedua sajak tersebut akan bermuara pada gagasan bahwa konsep utopis semacam demokrasi pun tidak sepenuhnya ideal. Karena, seperti yang terjadi di Amerika sekarang, prinsip demokrasi yang dipraktekkan membuat rakyatnya memasuki era yang banyak menuai protes. Pada akhirnya, pembelajaran tentang konsep demokrasi ini secara global juga dapat memberi sudut pandang yang lebih kritis mengenai konsep demokrasi. Kata kunci: sastra dan pembelajaran, Walt Whitman, demokrasi Amerika, Donald Trump, kajian pragmatis, xenofobia.
The Americans of all nations at any time upon the earth have probably the fullest poetical nature. The United States themselves are essentially the greatest poem. In the history of the earth hitherto the largest and most stirring appear tame and orderly to their ampler largeness and stir. Here at last is something in the doings of man that corresponds with the broadcast doings of the day and night. Here is not merely a nation but a teeming nation of nations. Here is action untied from strings necessarily blind to particulars and details magnificently moving in vast masses. Here is the hospitality which forever indicates heroes . . . . Here are the roughs and beards and space and ruggedness and nonchalance that the soul loves. Here the performance disdaining the trivial unapproached in the tremendous audacity of its crowds and groupings and the push of its perspective spreads with crampless and flowing breadth and showers its prolific and splendid extravagance (Whitman, 1885: iv). A. PENDAHULUAN
150
Kebebasan berpendapat merupakan prinsip yang berpondasi pada konsep demokrasi. Dalam sajak “Song of Myself” karya pujangga Amerika abad ke-19, Walt Whitman, konsep demokrasi tersebut diantar, dan dapat digunakan sebagai rujukan untuk memahami konsep demokrasi yang diyakini Amerika. Makalah ini membahas pemahaman tentang konsep demokrasi tersebut dalam kerangka sastra sebagai media pembelajaran, dalam arti bahwa sajak Whitman dikaji untuk dilihat konsep demokrasi yang diantar di dalamnya, sebagai pembelajaran tentang konsep demokrasi yang melandasi prinsip kebebasan berpendapat di Amerika. Arah pembahasan dalam makalah ini menjadi spesifik ketika konsep demokrasi dalam sajak tersebut dikaitkan dengan praktek demokrasi yang terjadi di Amerika sekarang, sejak Amerika berada dalam masa administrasi Presiden Donald Trump. Dalam pembahasannya, makalah ini mengemukakan argumentasi bahwa dalam prakteknya, prinsip demokrasi yang mengedepankan kebebasan berpendapat bagi setiap individu, secara dilematis mengantar Amerika pada masa kepresidenan Trump yang dinilai kontroversial. Selain “Song of Myself”, makalah ini juga membahas dan membandingkan sajak Whitman yang lain, yaitu “For You O Democracy” untuk melihat lebih jauh lagi persepsi Whitman tentang demokrasi. Pembahasan dilakukan dengan melihat aspek pragmatis sajak Whitman dengan merujuk pada Mack (2002) dalam bukunya The Pragmatic Whitman: Reimagining American Democracy. Selain itu, pembahasan juga akan berfokus pada aspek xenofobia dalam karya Whitman dengan merujuk pada salah satu tulisan Price (2004) dalam bukunya To Walt Whitman, America. Arah pembahasan kedua sajak tersebut akan bermuara pada gagasan bahwa konsep utopis semacam demokrasi pun tidak sepenuhnya ideal. Karena, seperti yang terjadi di Amerika sekarang, prinsip demokrasi yang dipraktekkan membuat rakyatnya memasuki era yang banyak menuai protes. Pada akhirnya, pembelajaran tentang konsep demokrasi ini secara global juga dapat memberi sudut pandang yang lebih kritis mengenai konsep demokrasi. B. TEORI DAN METODE PENELITIAN Pembahasan dilakukan dengan melihat aspek pragmatis sajak Whitman dengan merujuk pada Mack (2002) dalam bukunya The Pragmatic Whitman: Reimagining American Democracy. Dalam tulisannya, Mack menjelaskan bahwa Whitman adalah seorang pemikir yang pragmatis karena bagi Whitman demokrasi itu lebih dari sekedar proses politik, demokrasi juga merupakan proses sosial dan kultural. Atas dasar inilah maka penting untuk mengkaji sajak Whitman secara pragmatis. Selain itu, pembahasan juga akan berfokus pada aspek xenofobia dalam karya Whitman dengan merujuk pada salah satu tulisan Price (2004) dalam bukunya To Walt Whitman, America. Dalam tulisannya, Price menyinggung fakta bahwa Whitman dinilai Kiri dan sosialis. Disinggung juga bahwa nama Whitman memiliki etimologi frase ‘white man,’ yang artinya orang kulit putih. Atas dasar inilah maka penelaahan atas karya Whitman perlu dilihat dalam kerangka supremasi kulit putih. C. PEMBAHASAN Konsep Demokrasi dalam “Song of Myself” dan “For You O Democracy” Banyak penyair generasi pasca Revolusi Amerika yang mencoba menulis sajak epik yang akan memberi definisi tentang kehidupan, budaya, dan nilai-nilai yang diyakini bangsa Amerika. Whitman mencoba menulis sajak semacam itu, yang berfokus pada tema tentang diri yang demokratis. Whitman kemudian memutuskan untuk menulis sajak “Song of Myself” dengan menggunakan aku liris sebagai penuturnya, yang berbicara langsung dengan pembaca.
151
Sajaknya memang didesain menyerupai pidato yang ditujukan kepada khalayak. Dalam catatannya, yang juga merupakan sumber utama gagasan “Song of Myself” berasal, Whitman menulis: ‘I am the poet of the body and I am the poet of the soul. I go with the slaves of the earth equally with the masters and I will stand between the masters and the slaves entering into both so that both shall understand me alike.’ Para kritikus karya-karya Whitman menilai bahwa pernyataan inilah yang mendasari gagasan utama konsep demokrasi dalam sajak “Song of Myself.” Ketika sajak tersebut mulai disusun pada tahun 1855, Amerika masih melegalkan praktek perbudakan, dan ini merupakan fakta yang sangat bertolakbelakang dengan konsep kebebasan dalam prinsip demokrasi. Dalam pernyataan tersebut diimplikasikan bahwa yang terjadi di Amerika pada waktu itu adalah ironis, karena di satu sisi demokrasi sedang dalam proses mengejawantah, namun di sisi lain Amerika masih menganggap bahwa perbudakan adalah hal yang legal. “Song of Myself” dibuka dengan pola konvensional baris iambic pentameter, yang mengindikasikan bahwa sajak ini dimulai sebagaimana karya epik klasik dimulai. Di baris-baris berikutnya, pola tersebut semakin ditinggalkan, dan di baris-baris berikutnya juga semakin terlihat bahwa sang aku liris membaur dengan penyairnya. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek dalam sajak yang disampaikan adalah Whitman sendiri. Berikut adalah bait pertama sajak tersebut: I CELEBRATE myself, and sing myself, And what I assume you shall assume, For every atom belonging to me as good belongs to you. I loafe and invite my soul, I lean and loafe at my ease observing a spear of summer grass. My tongue, every atom of my blood, form'd from this soil, this air, Born here of parents born here from parents the same, and their parents the same, I, now thirty-seven years old in perfect health begin, Hoping to cease not till death. Creeds and schools in abeyance, Retiring back a while sufficed at what they are, but never forgotten, I harbor for good or bad, I permit to speak at every hazard. Nature without check with original energy (Whitman, 1891-1892: 29) Whitman “merayakan” (“celebrates”) diri demokratisnya, dan jika ditelaah lebih lanjut, etimologi dari kata “celebrate” mengindikasikan makna “to return to” (“kembali kepada”) atau “to frequent” (“mengunjungi dengan sering”). “Song of Myself” menjadi sebuah sajak yang merekam proses peleburan diri Whitman ke dunia, yang dalam perjalanannya, melebar dan menyerap lebih banyak lagi pengalaman, kemudian mengecil dan melakukan evaluasi yang menuntunnya pada pemahaman bahwa ia dapat menampung dan menahan keberagaman pengalaman yang terus menerus ditemui dalam perjalanannya di dunia. Ia terus menerus memperluas batasan dirinya agar dapat menyertakan teman sebangsanya, umat manusia di dunia, dan akhirnya, alam semesta. Melalui konsep inilah Whitman mempertanyakan, sampai sejauh mana diri demokratis itu dapat melebarkan pengalamannya, sebelum akhirnya diri demokratis tersebut meledak menjadi serpihan-serpihan. Di tiga baris pertama sajaknya, Whitman mengeliminasi dua hal esensial yang membuat umat manusia terpecah: keyakinan agama dan harta kekayaan: ‘what I assume you shall assume, / For every atom belonging to you as good belongs to me.’ Disadari
152
atau tidak, di setiap tahapan keberadaan manusia, manusia senantiasa mengalami perubahan dan pertukaran gagasan, emosi, dan afeksi. Partikel-partikel atom yang dulunya berkontribusi dalam terciptanya mahluk hidup, sekarang menjadi bagian dari kita semua, dalam siklus yang tidak berkesudahan. Aku liris dalam sajak ‘mengamati secara santai’ (‘loafes’) dan ‘mengobservasi’ (‘observes’) ‘a spear of summer grass,’ dan keseluruhan sajaknya didasarkan pada aksi ini. Sambil berkontemplasi tentang kampung halaman tempatnya dan nenek moyangnya berasal, aku liris menyadari bahwa setiap lembar rumput tanda dari perpindahan, seperti rumput yang tumbuh di atas gundukan makam, partikel-partikel atom dari jasad yang kaku seolah dibangkitkan kembali dalam wujud yang lain. Pada intinya, “Song of Myself” mengajak pembacanya untuk membebaskan diri dari segala macam belenggu yang mewujud dalam bentuk keyakinan agama dan harta kekayaan yang dapat membatasi kita dari pertumbuhan individual. Penggunaan ‘aku’ dan ‘kamu’ dalam sajak ini sangat cair konsepnya. Di Bagian 5 dalam sajaknya, aku liris menunjukkan bahwa ‘kamu’ yang dimaksud adalah jiwanya: ‘I believe in you my soul,’ tetapi di Bagian 6, aku liris terlihat berbicara pada helai-helai rumput: ‘tenderly I will use you curling grass.’ Dari sini pembaca semakin diantar pada pemahaman bahwa Whitman menyajikan tidak adanya perbedaan, yang diperlihatkan melalui cairnya sosok ‘aku’ dan ‘kamu.’ Ketika membaca sajaknya, seolah aku liris sedang mengajak bicara pembaca yang diposisikan sebagai jiwa aku liris atau helai rumput. ‘Aku’ yang diajak bicara merepresentasi sosok yang bukan berasal dari masa yang sama ketika sajak tersebut ditulis. Whitman berbicara kepada khalayak di masa depan, yang merupakan masa kini kita. Whitman berulang kali menggunakan kata ‘di sini’ (‘here’) dan ‘sekarang’ (‘now’) yang kerap kali berpindah-pindah. Gaya penyampaian ini membuat seolah tidak ada tembok yang membatasi masa dulu dan sekarang. Semakin jauh sajak ini ditelusuri, semakin terlihat bahwa ‘jiwa’ yang dimaksud adalah imajinasi demokratis yang dibayangkan oleh Whitman, yang terus menerus berevolusi dan bergerak maju. ‘Jiwa’ yang dimaksud adalah diri yang ada kini, sekarang, pada saat ini. Imajinasi demokratis yang ada dalam bayangan Whitman adalah sosok kini tersebut, yang senantiasa berevolusi, dan bergerak menuju masa depan. Hal ini paralel dengan UndangUndang Dasar Amerika yang merupakan dokumen yang terus menerus mengalami progresi dalam penerapannya, sama halnya dengan fakta bahwa Whitman berulang kali membaca kembali dan merevisi sajak-sajaknya dalam Leaves of Grass. Revisi “Song of Myself” terlihat pada terbitan 1891-1892, terutama di bagian awal sajaknya. Jika didampingkan, akan terlihat seperti ini:
153
diakses 19 Maret 2017
diakses 19 Maret 2017
Tampak di situ bahwa ada penambahan ‘and sing myself,’ yang dilakukan oleh Whitman. Penambahan ini dinilai mengindikasikan keriangan dari kegiatan ‘merayakan’ yang disebut sebelumnya. Dari penyampaian sajaknya, ada indikasi bahwa dalam bayangan Whitman demokrasi tidak mewujud dalam bentuk sebuah institusi, melainkan cara pikir, cara mengimajinasikan, dan cara hidup. Untuk dapat memiliki imajinasi demokratis, berarti haru menerapkan konsep demokrasi tersebut, di setiap aspek kehidupan kita. Di akhir Bagian 14, Whitman menulis: ‘What is commonest, cheapest, nearest, easiest, is Me, Me going in for my chances, spending for vast returns, Adorning myself to bestow myself on the first that will take me, Not asking the sky to come down to my good will, Scattering it freely forever’ (Whitman, 1891-1892). tampak di sini bahwa ‘aku’ yang dimaksud bukanlah ‘aku’ yang berambisi naik ke puncak hirarki, tetapi ‘aku’ yang berekspansi keluar, yang terus-menerus meraih keluar untuk memperkaya pengalamannya. Dalam catatannya, Whitman menulis: As I speak, there are now existing in these States coming forward at the rate of over a million fresh recruits annually, an army, leaving out infants and grown persons of 15,000,000, counting both sexes from five to twenty years of age, inclusive. Think what this splendid mass of ductile humanity, each for his or own sake, under a schooling worthy of our time, were eligible to become (Whitman, 1891-1892). dan dari situ terlihat bahwa yang dibayangkan Whitman bukanlah sekedar individu-individu yang berekspansi menjadi diri yang lebih kaya akan budaya demokrasi, tetapi juga seluruh populasi di Amerika yang bergerak maju, serta evolusi generasi muda di masa mendatang.
154
Sajak ini dapat juga dilihat sebagai upaya menyuarakan ‘aku’ yang demokratis, dan memperlihatkan seperti apa ‘aku’ yang demokratis itu. Amerika memang didesain menjadi negara pertama yang menerapkan konsep demokrasi. Dalam bayangan Whitman, hal ini berkaitan dengan politik, namun tidak secara keseluruhan berkaitan dengan politik. Demokrasi membutuhkan pembenahan total dalam setiap aspek hidup. Umat manusia harus dapat berpikir dengan cara yang berbeda, harus dapat mengidentifikasi diri sendiri dengan cara yang berbeda, harus dapat berpikir tentang agama dengan cara yang berbeda, dan berpikir secara filosofis. Intinya, semuanya akan diubah oleh hal-hal tersebut. Ketika sajak dibuka dengan ‘I celebrate myself, and what I assume you shall assume, for every atom belonging to me as good belongs to you,’ tampak bahwa ada upaya untuk mengartikulasikan suara demokratis yang radikal. Dalam dua kalimat berikutnya, Whitman meluluhlantakkan segala pembatas dan pemecah belah kerukunan umat manusia: ‘What I assume you shall assume’, ‘Every atom belonging to be as good belongs to you.’ Pilihan istilah pertikel atom di sini dapat dimaknai dalam konteks ilmiah maupun filosofis. Secara ilmiah, memang yang dimaksud adalah partikel atom yang membentuk mahluk hidup. Penggunaan konsep ini dalam sajak Whitman menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di abad ke-19 memberi kontribusi signifikan terhadap pencerahan tentang pemahaman konsep demokrasi. Kita semua merupakan bagian dari serpihan partikel atom yang telah ada sejak alam semesta terbentuk. Secara filosofis, seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya, partikel atom ini merupakan metafor dari diri demokratis yang terus menerus ada dan berevolusi. Perbudakan yang menjadi latar belakang waktu sajak ini ditulis menggarisbawahi bahwa konsep demokrasi di Amerika jelas tidak diterapkan. Terlebih mengingat bahwa negara Amerika dibangun dengan prinsip ‘all men are created equal.’ Melalui sajak ini, disampaikan gagasan bahwa Amerika masih sedang dalam proses menerapkan konsep demokrasi. Bahkan ketika dalam naskah deklarasi kemerdekaan Amerika ditulis ‘all men are created equal,’ tidak ada yang dapat mengira bahwa frase ‘all men’ (seluruh umat manusia) menjadi problematis. Segala sesuatu secara kontinu mengalami proses, perlu dipikirkan ulang, dan inilah yang ditunjukkan dalam sajak ini, bahwa ada kalanya sebuah konsep perlu mengalami penelaahan ulang, untuk kemudian direkat kembali menjadi sebuah konsep yang lebih solid. Dalam satu lagi sajaknya yang bertema demokrasi, ‘For You O Democracy,’ dapat dilihat bahwa semangat kebersamaan dalam kesetaraan juga menjadi fokus Whitman: Come, I will make the continent indissoluble, I will make the most splendid race the sun ever shone upon, I will make divine magnetic lands, With the love of comrades, With the life-long love of comrades. I will plant companionship thick as trees along all the rivers of America, and along the shores of the great lakes, and all over the prairies, I will make inseparable cities with their arms about each other’s necks, By the love of comrades, By the manly love of comrades. For you these from me, O Democracy, to serve you ma femme! For you, for you I am trilling these songs. (Whitman,1892)
155
Dengan memfokuskan pada keinginan kuat dan rasa percaya yang mutual, sajak ini menawarkan upaya yang dapat dilakukan agar demokrasi terjamin keberlangsungannya. Sekali lagi, Whitman menyertakan unsur menyanyi, seperti yang dilakukannya dalam ‘Song of Myself.’ D. KONSEP DEMOKRASI DI ERA ADMINISTRASI PRESIDEN TRUMP Whitman menganggap bahwa praktek demokrasi di Amerika belum sepenuhnya terrealisasi. Mungkin Whitman akan menarik anggapannya jika ia masih hidup di Amerika era Presiden Trump sekarang. Dengan terpilihnya Trump, yang bukan sosok favorit dan sangat kontroversial, terbukti bahwa demokrasi di Amerika benar-benar dipraktekkan. Tanpa adanya demokrasi, tidak mungkin sosok semacam Trump dapat terpilih menjadi Presiden negara paling influensial di dunia. Sepanjang kampanyenya, Trump banyak menggunakan propaganda yang menjatuhkan rivalnya, Hillary Clinton. Strategi yang dilakukannya difokuskan pada janji-janji yang akan membuat rakyat Amerika dapat menjadi lebih terjamin kehidupannya. Salah satu kunci utama Trump adalah janjinya untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Amerika. Ia berjanji akan memberi ijin kembali kepada perusahaan tambang batu bara di Amerika agar pergerakan ekonomi Amerika kembali melaju, dan lapangan pekerjaan dapat tercipta. Demokrasi memberi jalan bagi Trump, sosok yang kapabilitasnya diragukan banyak orang bahkan dari partainya sendiri, untuk memenangkan kursi Presiden. Dalam dunia yang menjunjung tinggi demokrasi, siapapun berhak mengemukakan pendapatnya dan berhak didengar. Tampak di sepanjang kampanyenya, Trump disodorkan menjadi calon bagi partai Republik karena ia adalah sosok yang populer. Banyak analis politik yang menilai bahwa Trump adalah seorang populis, orang yang tahu cara memanipulasi “penggemar”nya. Banyak pemilihnya yang percaya bahwa karena Trump adalah seorang pengusaha, maka Trump dapat diandalkan dalam hal menjalankan administrasi negaranya. Sebagai seorang populis, Trump memberikan apa yang diinginkan oleh populasi Amerika: pekerjaan dan jaminan terbebas dari aksi teror. Dalam hal pekerjaan, langkah awal yang diambil Trump adalah memboikot produk Cina, yang kemudian menjadi pemicu keretakan hubungan bilateral Amerika-Cina. Dalam hal jaminan keamanan terhadap serangan terorisme, Trump mengeluarkan larangan masuk bagi enam negara mayoritas Islam. Dengan terpilihnya Trump, dunia dapat melihat bahwa supremasi kulit putih masih bertengger di Amerika. Berbagai manuver yang dilakukan untuk memenangkan kampanye seringkali keluar batas kewajaran. Dalam perseteruan antara Obama-McCain di tahun 2008, partai Republik menggandeng Gubernur negara bagian Alaska pada waktu itu, Sarah Palin, karena ia adalah sosok yang tepat untuk dapat memikat hati pemilih. Sengaja Palin dipilih karena ia diprediksi dapat menyedot banyak suara pemilih perempuan. Dengan segala keterbatasan pengetahuan politik domestik dan internasionalnya, Palin sedapat mungkin dilatih untuk dapat terlihat lebih cerdas di muka publik. Yang menjadi prioritas partai Republik pada waktu itu adalah memenangkan kampanye, bukan mengupayakan sosok yang pantas untuk menjadi Presiden untuk terpilih menjadi pemimpin Amerika. Sempat juga Amerika memiliki Presiden yang tidak populer seperti George W. Bush, Ronald Reagan, dan Nixon. Namun Amerika tetap dapat mempertahankan integritasnya sebagai salah satu negara terkuat di dunia. Yang dilakukan Trump jauh dari semua konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Whitman. Di bawah administrasi Trump, tidak ada penerapan kebersamaan dalam kesetaraan. Yang ada adalah sistem hirarkis, dengan Trump sebagai pucuk pimpinan. Tidak ada upaya menjangkau rakyat Amerika dan menjadi bagian dari mereka. Di minggu pertama masa
156
kepemimpinannya, Trump mengeluarkan banyak Perintah Eksekutif, yang menunjukkan bahwa Trump mengasersi kehendaknya sebagai Presiden. Namun rakyat Amerika masih dapat bernafas lega, karena tidak serta merta Perintah Eksekutif itu dapat langsung dilaksanakan. Perintah Eksekutif tersebut harus diloloskan dan disetujui realisasinya oleh keputusan Mahkamah Agung. Perintah Eksekutif larangan masuk ke Amerika bagi warga enam negara mayoritas muslim tidak diloloskan oleh Mahkamah Agung, dan telah ditentang keras oleh Gubernur negara bagian Hawaii. Kondisi ini memperlihatkan bahwa, sekali lagi, demokrasi terlaksana di Amerika. Pemimpin tiran yang dipilih secara demokratis, secara demokratis pula ditentang oleh lembaga hukum negara yang memiliki wewenang lebih tinggi dari lembaga kepresidenan. Mack (2002) menyebut bahwa bagi Whitman, kesetiaan terhadap Amerika adalah kesetiaan terhadap demokrasi. Mack menyebut Whitman sebagai seorang pemikir yang pragmatis karena bagi Whitman ‘democracy is more than a political process, that it is a social and cultural process as well.’ Dapat dikatakan bahwa dalam kondisi yang terjadi sekarang ini, demokrasi sebagai proses politis membuahkan hasil kemenangan Trump. Nantinya, demokrasi sebagai proses sosial dan kultural berpotensi membuahkan hasil digulingkannya Trump dari kursi kepemimpinan. Proses sosial dan kultural yang dimaksud adalah sebagaimana yang dideskripsikan Whitman dalam sajaknya; kekuatannya bergerak melebar, menjangkau semua bagian, membentuk sebuah jaringan, dan berevolusi menjadi jenis demokrasi yang berbeda. Lebih lanjut Mack mengemukakan bahwa Whitman ‘believed that democratic values such as individual liberty and self-governance and democratic processes such as collective decisionmaking are not just aspects of political life but also manifestations of principles that operate throughout the cosmos.’ Pernyataan ini jelas menggarisbawahi konsep bahwa demokrasi ada di setiap aspek kehidupan. Price (2004) menyatakan bahwa ‘Whitman's legacy is entangled with contentious issues involving immigration, religious and ethnic diversity, and the nature of Americanism,’ yang berarti bahwa warisan yang diturunkan Whitman mencakup pemahaman tentang isu-isu yang terkait imigrasi, perbedaan agama dan etnis, dan Amerikanisme. Amerikanisme yang dimaksud di sini salah satu contohnya adalah upaya membuat sajak yang khas Amerika, seperti yang telah disampaikan sebelumnya dalam makalah ini. Karya Whitman pernah dilarang sirkulasi dan publikasinya di Amerika karena Whitman dinilai Kiri. Langston Hughes, seorang penyair Afrika Amerika modern, adalah salah satu tokoh yang memandang Whitman sebagai ‘figur Bapak semi-mukjizat’ (Price, 2004). Dengan mengetahui fakta ini, maka ironis bahwa landasan konsep demokrasi Amerika diformulasikan oleh seorang yang berpaham Kiri dan seorang sosialis, dengan nama Whitman yang secara etimologis merupakan gabungan dari ‘white man,’ yang berarti ‘orang kulit putih.’ E. SIMPULAN Dari rangkaian analisis di atas tampak bahwa Whitman memiliki keyakinan terhadap masa depan. Ia melihat masyarakat Amerika sebagai individu-individu yang berpikiran jauh ke depan. Namun Whitman juga menggarisbawahi bahwa masa depan Amerika tidak jelas. Amerika bisa jadi sedang menuju ambang kehancuran. Amerika pernah mengalaminya ketika Perang Sipil. Namun Amerika bangkit lagi, dan ini terjadi berulang kali dalam sejarah. Instabilitas inilah yang merupakan hakikat dari demokrasi. Demokrasi di Amerika masih belum menemukan wujudnya, ia masih senantiasa dalam proses berevolusi. Ketidakberuntungan Amerika memiliki Presiden Trump bisa jadi akan berubah seiring dengan jalannya penerapan konsep demokrasi yang diformulasikan Whitman. Oleh karena itu dapat dismpulkan bahwa
157
konsep utopis semacam demokrasi pun tidak sepenuhnya ideal. Karena, seperti yang terjadi di Amerika sekarang, prinsip demokrasi yang dipraktekkan membuat rakyatnya memasuki era yang banyak menuai protes. Pada akhirnya, pembelajaran tentang konsep demokrasi ini secara global juga dapat memberi sudut pandang yang lebih kritis mengenai konsep demokrasi. DAFTAR PUSTAKA Mack. 2002. diakses 19 Maret 2017 Price. 2004. diakses 19 Maret 2017 Whitman, Walt. 1885. Leaves of Grass. Brooklyn, New York. Whitman, Walt. 1891-1892. Leaves of Grass. David McKay Publisher: Philadelphia. Whitman, Walt. diakses 19 Maret 2017.
158
ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP BROSUR CETAK MUSEUM WAYANG KEKAYON Maria Vincentia Eka Mulatsih & Retno Muljani Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma [email protected][email protected] Abstrak Museum memiliki fungsi utama, antara lain fungsi konservasi, edukasi, riset, dan rekreasi. Namun sayang, empat fungsi tersebut belum dapat dijalankan secara maksimal dan seimbang oleh banyak museum di Indonesia, termasuk Museum Wayang Kekayon (MWK) Yogyakarta. Ada beberapa faktor penyebab belum dikenalnya museum dengan fungsi utamanya tersebut dan salah satunya adalah kurang menariknya sarana promosi untuk memperkenalkan MWK secara efektif yang menjangkau semua lapisan masyarakat. Analisis terhadap sarana promosi MWK yang sekarang tersedia merupakan langkah awal dari serangkaian kegiatan penelitian untuk menghasilkan desain laman MWK yang lebih menarik, akurat, dan komunikatif sebagai sarana pengenalan dan promosi MWK untuk mengundang minat pengunjung lebih banyak lagi. Peneliti menggunakan teknik analisa wacana kritis untuk menganalisa brosur cetak MWK yang diawali dengan slogan “Belajar Filosofi Jawa bersama Budaya Wayang”. Dengan menerapkan pendekatan kualitatif dalam analisa wacana kritis, peneliti menelaah 1) organisasi brosur secara keseluruhan, 2) kalimat dan tata bahasa yang digunakan dalam brosur, 3) gambar dan deskripsi verbal yang digunakan. Terdapat tiga temuan dalam penelitian ini: 1) tidak adanya kesatuan ide pokok yang mendasari brosur cetak, 2) kalimat yang digunakan terlalu lugas, tidak menarik perhatian dan terdapat kerancuan dalam pemilihan kata dari tiga bahasa, 3) tidak adanya kesesuaian narasi antara gambar dan deskripsi verbal. Berdasarkan tiga temuan tersebut, brosur cetak yang telah dibuat kurang menarik dan komunikatif. Kata Kunci: MWK (Museum Wayang Kekayon), analisis wacana kritis, brosur cetak
A. PENDAHULUAN Wayang telah diakui sebagai karya agung budaya dunia oleh UNESCO pada 21 April 2004, namun masyarakat masih cenderung kurang memberi perhatian terhadap pelestariannya (Pradana, 2016; Firmansyah, Yunus, Apriyanto, 2014; Sunardi, Suwarno, Pujiono, 2016; Tirta, 2007). Analisis wacana kritis terhadap brosur cetak Museum Wayang Kekayon (yang selanjutnya disingkat menjadi MWK) merupakan langkah awal dari serangkaian kegiatan penelitian untuk menghasilkan desain website MWK yang lebih baik (Muljani et.al., 2017). Dengan adanya website MWK yang lebih baik, para peneliti memiliki harapan untuk menarik sebanyak mungkin generasi muda yang melek teknologi untuk lebih mengenal wayang dengan tampilan media yang lebih atraktif dan informatif. Selanjutnya, wayang sebagai warisan budaya daerah dapat pula dijadikan sebagai pendidikan karakter dan peningkatan literasi, juga penumbuhkembanganan kecintaan generasi muda dalam hal pewayangan. Pengenalan akan adanya MWK telah dilakukan baik dalam bentuk brosur cetak dan laman-laman. Pun tidak ketinggalan pula beberapa artikel yang berkaitan erat dengan MWK (Ismana, et.al., 2014; Hadi, 2008; Utari, 2016; Manisa et.al., 2016). Beragam usaha pengembangan termasuk penambahan koleksi MWK telah pula dilakukan (Juwita, 2014). Akan tetapi, minat masyarakat terhadap MWK masih rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan kurangnya jumlah kunjungan ke MWK. Mengingat pentingnya pengenalan wayang (Amir, 1991; Haryanto, 1992; Satoto, 1985) dan usaha pelestarian yang telah dilaksanakan, artikel ini
159
bertujuan menjembatani antara kekurangan dalam brosur cetak MWK demi terciptanya desain website MWK yang lebih baik. Desain website yang baik dapat menarik pembaca khususnya generasi muda untuk mengenal wayang. Analisis wacana kritis brosur cetak MWK ini dapat dipergunakan sebagai masukan terhadap desain laman MWK yang lebih menarik. B. TEORI DAN METODE Teori mengenai analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (cda) dikemukakan oleh beberapa pakar (Van Dijk, 1993; Wodak, 2005; Fairclough, 2013; Haryatmoko, 2010). Pada dasarnya analisis wacana kritis merupakan wujud pembedahan suatu wacana untuk mengetahui maksud dan tujuan terselubung di balik wacana tersebut. Subjek kajian yang adalah brosur cetak MWK dianalisis dengan mengaplikasikan analisis wacana kritis yang diterapkan oleh Haryatmoko. Selain contoh pengaplikasian teori yang telah dilakukan Haryatmoko cenderung mudah dipahami terkait latar belakang budaya yang sama, Haryatmoko juga telah menganalisis beberapa jenis iklan baik berupa iklan cetak maupun iklan audio dengan membagi menjadi beberapa sub bab yakni organisasi keseluruhan, kombinasi kalimat, dan semiotika antara gambar dan deskripsi verbalnya. Peneliti membedah brosur cetak MWK sebagai salah satu jenis iklan dengan menerapkan langkah-langkah yang juga telah dilakukan oleh Haryatmoko. C. ORGANISASI KESELURUHAN BROSUR Tema yang ingin diangkat dalam brosur cetak MWK ini diketengahkan dengan memberi judul “Belajar Filosofi Hidup bersama Budaya Wayang” pada halaman depan brosur. Sebuah judul yang menarik bagi pembaca brosur. Judul tersebut dapat menumbuhkan ekspetasi pembaca akan hal-hal terkait filosofi wayang yang mampu dipergunakan untuk menjalani hidup. Pada halaman kedua penjabaran sejarah mengenai pendiri, tahun peresmian, lokasi dan mendapat penghargaan dari UNESCO dinarasikan. Sedang pada halaman ketiga, terdapat narasi banyaknya koleksi dalam MWK. Selanjutnya pada halaman keempat terdapat keunikan wayang terkait media dakwah Nasrani, watak zodiac melalui astrologi wayang dan paket kunjungan. Pada halaman kelima dinyatakan lagi bahwa wayang mendapat piagam perhargaan dari UNESCO. Terakhir adalah gambar peta, facebook, twiter, pin BB serta jam kerja dan harga tiket masuk. Secara sepintas brosur cetak ini sepertinya lengkap. Dimulai dari sejarah, koleksi dan keunikan MWK. Namun, kesatuan ide pokok kurang dinarasikan dalam brosur ini. Judul yang diketengahkan adalah belajar filosofi hidup. Dari halaman pertama hingga akhir tidak terdapat narasi bahwa pendatang dapat belajar filosofi hidup dari wayang. Narasi yang dituliskan bersifat teknis. Secara umum, maksud brosur ini adalah menarik masyarakat untuk datang ke MWK. Hanya saja, pendekatan yang dipakai lebih menonjolkan hal-hal teknis terkait alamat maupun lokasi. Penggulangan lokasi terdapat di separuh bagian brosur yakni pada halaman pertama, kedua, dan keenam. Lokasi banyak diketengahkan, namun kurang mendalami narasi-narasi menarik yang mengetengahkan tema belajar filosofi hidup dalam pemaparan. Implikasi dari banyaknya pengulangan lokasi dan kurang mendalami ide dasar membuat pembaca brosur mengetahui lokasi MWK, namun kurang memahami alasan mengapa MWK patut dikunjungi. Meskipun secara langsung adanya frasa yang menyebutkan bahwa museum ini patut dikunjungi tidak serta merta membangun suatu konsep MWK yang menarik. Keutamaan wayang yang selalu dikemukakan dalam brosur ini adalah pengakuan dari UNESCO yang dicantumkan berulang pada halaman kedua dan kelima. Bahkan, pada halaman
160
lima hanya terdapat pengakuan keutamaan wayang oleh UNESCO yang dinarasikan dalam dua bahasa sebagai satu-satunya bahan. Di satu pihak pembacamengetahui bahwa wayang telah diakui, di lain pihak pembaca tidak mendapat keuntungan dari adanya pengakuan tersebut. Pembaca kiranya membutuhkan contoh nyata hal-hal yang dapat dipelajari jika pembaca mengunjungi MWK. Berdasarkan pemaparan di atas, tujuan untuk menarik pembaca mengunjungi museum ataupun belajar filosofi hidup dari wayang kurang tercapai. Banyaknya narasi runtuh tanpa adanya kesatuan ide dasar. D. KOMBINASI KALIMAT-KALIMAT DAN TATA BAHASA DALAM BROSUR Dari aspek bahasa yang dipergunakan, kalimat-kalimat dalam brosur MWK ini cenderung lugas dan langsung. Sebagai contoh dalam halaman ketiga; kalimat“museum ini patut dijadikan tujuan wisata pendidikan serta wisata keluarga” dituliskan secara langsung. Umumnya, bahasa yang digunakan untuk menarik minat pembaca untuk menyukai suatu hal cenderung terselubung, memiliki pemilihan kata yang baik dan didukung kalimat ataupun gambar yang dapat memperteguh kesan yang akan disampaikan pada pembaca. Kalimat “musem ini patut dijadikan tujuan wisata pendidikan serta wisata keluarga” tidak menarik pembaca dikarenakan beberapa hal. Pertama, kalimat tersebut mengesankan pembenaran ‘sendiri’; bahwa MWK patut untuk dikunjungi. Kedua, kalimat pendukung untuk menciptakan kesan sebagai wisata keluarga tidak ditemukan pada kalimat-kalimat selanjutnya. Ketiga, gambar yang ditampilkan tidak mendukung kesan MWK sebagai tujuan wisata keluarga dan pendidikan. Gambar yang ditampilkan pada halaman ketiga dan keempat adalah gambar topeng dan barisan wayang dengan nama tanpa ada tema khusus. Kelengkapan aspek bahasa yang digunakan dalam brosur inipun tidak tertata dengan baik. Sebagai contoh pada halaman ketiga terdapat kalimat “selain itu bagi pengunjung yang akan menambah pengetahuan akan dunia seni pewayangan juga bisa menyaksikan di museum ini …”. Adanya kata menyaksikan sebagai kata kerja yang membutuhkan objek (transitive verb) tidak dilanjutkan dengan penambahan objek. Jika disingkat, kalimat ini menjadi ‘bagi pengunjung juga bisa menyaksikan di museum ini’. Tidak adanya objek ditambah dengan kata bagi membuat kalimat ini tidak dapat dikategorikan sebagai kalimat yang baik. Meskipun setelah kalimat tersebut terdapat keterangan dalam bentuk frasa “boneka kayu Pinokio, topeng carnaval Venesia Italia, topeng sandiwara Kabukai Jepang dan masih banyak lagi”, kata menyaksikan tidak dapat disandingkan dengan kata benda seperti boneka kayu, topeng sandiwara, topeng carnaval. Kata menyaksikan lazimnya disandingkan dengan pertunjukan, bukan dengan boneka. Menyaksikan boneka berbeda dengan menyaksikan pertunjukan boneka. Pemilihan kata juga tidak dipertimbangkan dalam penulisan brosur ini. Kata dakwah pada halaman keempat dilanjutkan dengan Nasrani menjadi dakwah Nasrani terkesan rancu. Masyarakat pada umumnya mengenal kata dakwah sebagai kegiatan bersifat Islami. Dalam brosur ini dakwah dilekatkan dengan kata Nasrani, sedangkan istilah Nasrani dari dakwah tersebut adalah pewartaan. Selain itu, kata pahargyan dan trah dalam kalimat “pendopo di museum ini juga bisa dipergunakan untuk kegiatan umum seperti pahargyan pernikahan, pertemuan trah” mengindikasikan bahwa brosur ini tidak menedepankan pemilihan kata yang baik. Pahargyan lebih dikenal oleh orang Jawa khususnya Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Bahasa Indonesia, kata pahargyan dapat diganti dengan kata perhelatan. Kata trah juga kental akan unsur Jawa. Pembaca yang tidak berasal dari Jawa kemungkinan
161
besar tidak memahami secara jelas arti kata pahargyan dan trah. Penggunaan kata-kata tersebut telah mempersempit sasaran pembaca brosur. Dua bahasa yang digunakan dalam brosur ini yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris membuat brosur ini juga tidak informatif bagi turis mancanegara. Bahasa Inggris yang dipergunakan hanya menerangkan adanya pengakuan UNESCO atas wayang dan MWK sebagai museum terlengkap dan informatif dalam bangunan klasik Jawa. Pada halaman ketigapun frasa yang dituliskan “the most complete, genuine & informative” tidak dilanjutkan dengan kata benda seperti museum menyebabkan frasa ini tidak lengkap. Secara keseluruhan, penggunaan bahasa dalam brosur ini baik bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masih membutuhkan banyak perbaikan. Kerancuan beberapa istilah seperti dakwah Nasrani, pahargyan pernikahan, arisan trah juga dapat mempersempit segmentasi pembaca selain adanya kemungkinan timbulnya ketidaknyamanan pembaca dalam mengartikan beberapa kata tersebut. Penggunaan bahasa yang baik, kesatuan konsep tanpa ada tumpang tindih kosakata terkait budaya, juga penggunaan bahasa yang cenderung persuasif dibanding informatif dapat membuat brosur ini lebih menarik bagi pembaca. E. TEKS DAN GAMBAR DALAM BROSUR BESERTA DESKRIPSI VERBALNYA Secara keseluruhan, jumlah kata dalam brosur ini berkisar 648 kata tanpa disertai sub judul dalam tiap segmen pemaparan. Ketiadaan sub judul ini mencerminkan tidak adanya klasifikasi isi secara jelas; sebagai contoh: paragraf pertama dalam brosur lebih berupa narasi kapan dan oleh siapa MWK dibangun, sedangkan paragraf berikutnya lebih mendeskripsikan secara umum koleksi yang dimiliki MWK. Suatu iklan sejatinya memiliki jenis teks yang jelas; sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Rusli dan Sari (2013) yang menjelaskan jenis teks dalam iklan beberapa susu formula. Satu iklan memiliki jenis narasi dan yang lain memiliki jenis teks eksposisi. Hal ini berbeda dengan brosur cetak MWK, jenis teks dalam tiap paragraf brosur cetak MWK tidak mengarah pada keutuhan narasi ataupun deskripsi. Narasi yang sekiranya lebih mengetengahkan urutan kejadian secara runtut kurang nampak. Ciri paragraf deskriptif yang menggunakan pilihan kata sifat, detil lain yang dapat “ dilihat, di dengar, dirasakan” oleh pembaca teks juga tidak menjadi bagian penting dalam brosur. Brosur yang sebaiknya menonjolkan sikap persuasif sebagai media promosi tidak terancang dengan baik sehingga rasa ingin tahu dan ingin mengunjungi MWK kurang timbul. Kesatuan gambar dan deskripsi verbalnyapun tidak sesuai antara satu dengan yang lainnya. Secara umum, wayang lebih dikenal dengan gambar dua dimensi yang berbentuk pipih. Meskipun kita mengenal wayang golek yang berbentuk seperti patung, namun wayang juga tidak serta merta sama dengan topeng. Gambar yang ditampilkan pada halaman depan dan halaman ketiga sangat mengarah pada topeng. Tampilan gambar hendaknya disertai dengan penjelasan mengenai gambar tersebut. Sebagaimana dengan wayang golek dan topeng, gambar kayon atau gunungan tidak diberi penjelasan sedikitpun. Oleh karena itu, mustahil pembaca mengerti arti kayon atau gunungan sebagai lambang kehidupan alam semesta. Tidak hanya itu, terdapat penjelasan bahwa MWK memiliki koleksi masterpiece; sementara pada halaman tersebut hanya terdapat gambar topeng dan sederet gambar wayang tanpa ada judul yang menerangkan koleksi tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, pada bagian ini terdapat tiga kekurangan dalam brosur ini. Pertama adalah keabsenan sub judul dalam tiap paparan teksnya. Kedua adalah pemilihan
162
dan penerapan jenis teks yang kurang tepat. Kelemahan terakhir adalah tidak adanya keterkaitan antara gambar dan deskripsi verbal gambar tersebut ataupun sebaliknya. F. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis wacana kritis yang telah dipaparkan pada sub judul sebelumnya, brosur cetak sebagai media promosi MWK dapat dikatakan kurang dapat menimbulkan ketertarikan pembaca untuk mengunjungi MWK. Ketiadaan kesatuan ide dasar, kelengkapan aspek bahasa, pemilihan istilah, jenis teks dan kaitan antara gambar dan deskripsi verbalnya juga sebaliknya menjadi faktor penting kekurangefektifan brosur ini dalam menyapaikan pesan pada pembaca. Ketiga hal penting yang didapat dari analisis wacana kritis terhadap brosur cetak MWK diharapkan dapat menjadi masukan penting bagi penyusunan laman MWK. Laman MWK selayaknya memiliki kesatuan ide dasar yang jelas sesuai dengan tema besar yang akan diangkat dalam laman. Tampilan gambar visual yang menarik hendaknya juga disertai dengan penjelasan yang atraktif. Tidak lupa pula untuk menggunakan jenis teks yang sesuai dengan pemilihan kata yang jelas sesuai dengan sasaran pembaca. DAFTAR PUSTAKA Amir, H. (1991). Nilai-nilai etis dalam wayang. Pustaka Sinar Harapan. Fairclough, N. (2013). Critical discourse analysis: The critical study of language. Routledge. Firmansyah, I., Yunus, R., & Apriyanto, J. (2014). Wayang Kulit: Tinjauan Sosial Budaya di Daerah Transmigran Kotanagaya. KIM Fakultas Ilmu Sosial, 2(3). Hadi Pamungkas, A. (2008). Promosi Museum Wayang Indonesiamelalui Desain Komunikasi Visual Di Kabupaten Wonogiri (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). Haryanto, S. (1992). Bayang-Bayang Adhiluhung Filsafat, Simbolis, Dan Mistik Dalam Wayang. Haryatmoko, J. (2010). Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Ismana, A., Amiuza, C. B., & AS, N. S. (2014). Transformasi Bahasa Rupa Wayang Kulit Purwa Pada Perancangan Museum Wayang Kekayon Bantul Yogyakarta. Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur, 2(1). Juwita, I. A. E. R. (2014). Strategi Pemasaran Museum Wayang Kekayon Yogyakarta Dalam Meningkatkan Jumlah Pengunjung (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Manisa, T. W., Fahmi Prihantoro, S. S., Popi Irawan, S. S. M., & Wiwik Sushartami, M. (2014). Potensi Museum Wayang Kekayon Dan Upaya Peningkatannya Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). Pradana, D. P. (2016). Wayang Suket Purbalingga Karya Badriyanto. Rusli, L., & Sari, T. K. (2013). Analisis Teks Iklan Susu Formula Anak. Bahas, 22(2).
163
Satoto, S. (1985). Wayang kulit purwa: makna dan struktur dramatiknya. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunardi, S., Suwarno, B., & Pujiono, B. (2016). Pelestarian Dan Pengembangan Wayang Gedog. Gelar, 11(2). Tirta, M. (2007). Museum Wayang Nasional Di Yogyakarta (Doctoral dissertation, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Undip). Utari, S. A. (2016). Redesain Museum Wayang Kekayon di Yogyakarta dengan Pendekatan Arsitektur Metafora (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). Van Dijk, T. A. (1993). Principles of critical discourse analysis. Discourse & society, 4(2), 249283. Wodak, R., & Chilton, P. (Eds.). (2005). A new agenda in (critical) discourse analysis: theory, methodology and interdisciplinarity (Vol. 13). John Benjamins Publishing.
164
KARAKTER TOKOH DAN MOTIF CERITA YANG TERKANDUNG DALAM CERITA BALE ULAWENG SIBAWA PALLAURUMA’E Mustafa Balai Bahasa Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin Km 7 Talasalapang, Makassar Telepon (0411) 882401, faksimile (0411) 882403 Pos-el: [email protected] Abstrak Tulisan ini mengkaji salah satu karya saastra lisan Bugis “Bale Ulaweng Sibawa Pallauruma’e” tentang karakter tokoh cerita menurut model analisis Vladimir Proop. Fokusnya adalah bagaimana struktur intrinsik dan ekstrinsik sastra lisan Bugis dan fungsi pelaku apa saja yang muncul di dalamnya berdasarkan pendekatan yang digunakan. Kedua persoalan pokok tersebut berusaha dijawab dalam penelitian ini, sekaligus akan memberi gambaran secara nyata tentang berbagai hal yang berkaitan dengan cerita rakyat tersebut. Penelitian ini ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan apresiasi dan pemahaman kepada masyarakat begitu pentingnya karya sastra sebagai salah satu bahan pembelajaran dalam melakoni hidup ini. Penulisan penelitian ini menggunaka metode deskriptif. Dalam metode ini diharapkan mampu melukiskan secara sistematis fakta dan karasteristik populasi tertentu dengan faktual dan cermat. Hasil analisis ini ditemukan 4 lingkaran dengan memperlihatkan pola cerita yang berawal dari sebuah keinginan yang kuat untuk mengubah nasib dengan cara yang tidak benar. Meskipun pada gejolak selanjutnya mereka menjadi orang yang berada. Namun, pada akhirnya kembali menjadi miskin dan papa karena kerakusannya. Sementara itu, berdasarkan analisis telah dilakukan, diketemukan beberapa motif, antara lain; (1) motif pekerja keras, (2) motif keserakahan, dan (3) motif teguh memegang janji Kata kunci: karakter; motif; sosial budaya; kehidupan
A. LATAR BELAKANG Jika dicermati lebih dalam sastra pada umumnya dapat memberi sumbangan yang berarti bagi kehidupan secara keseluruhan. Ia dapat berperan sebagai salah satu unsur pembentuk kepribadian terutama dalam membangun karakter bangsa yang akhir-akhir ini sangat dirasakan sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan. Secara tegas Enre (1981:1) mengatakan bahwa sastra daerah merupakan bagian suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang pewarisannya melalui lisan dari generasi ke generasi. Sastra lisan Bugis sebagai bagian dari kebudayaan secara umum tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan serta kemajuan masyarakat. Salah satu pe-rannya yang sangat menonjol dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai pelestari dan pengokoh nilai-nilai kultural. Etnis Bugis sangat kaya dengan cerita rakyat. Enre (Enre, 1981) pernah mengumpulkan sebanyak 74 cerita rakyat dalam empat wilayah dialek yang berbeda, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, dan Luwu. Hal ini dapat dipastikan bahwa yang belum terinventarisasi jauh lebih banyak daripada yang telah disebutkan. Masalah mendasar yang muncul dalam artikel ini adalah (1) bagaimana struktur intrinsik lisan Bugis, (2) karakter tokoh apa saja yang muncul di dalamnya berdasarkan pendekatan yang digunakan, dan (3) bagaimana motif yang terkandung dalam sastra lisan tersebut. Ketiga persoalan pokok tersebut berusaha dijawab dalam artikel ini, sekaligus akan memberi gambaran secara nyata tentang berbagai hal yang berkaitan dengan cerita rakyat tersebut.
165
Artikel ini berfokus pada masalah fungsi para pelaku atau pendukung cerita yang memiliki sifat dan fungsi tertentu dalam membangun keutuhan dan motif cerita. Pembahasan tentang pelaku sangat penting karena dia lah yang menggerakkan peristiwa dalam cerita (lihat Sudjiman, 1988:4 dan 56 serta Zaidan, 2001:17). Seperti apakah sebuah cerita, apakah berkualitas dan disenangi oleh pembaca atau tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh peran pelaku. Demikian halnya dengan motif cerita yang terkandung di dalam cerita tersebut. B. KERANGKA TEORI Dalam analisis peran atau karakter tokoh akan digunakan model analisis yang dikembangkan Vladimir Propp. Vladimir Propp mengatakan bahwa fungsi adalah tindakan tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya. Menurut beliau ada tujuh fungsi umum yang pasti terdapat dalam cerita. Hal tersebut adalah (1) bahwa dalam cerita ada pelaku yang berfungsi sebagai penjahat yang tugasnya membentuk konflik dalam narasi, (2) pelaku yang berfungsi sebagai penderma yang berkontribusi sangat baik kepada pelaku pahlawan, baik melalui benda-benda tertentu, seperti keris atau pedang maupun berupa informasi, nasihat, atau kekuatan spiritual, (3) pelaku sebagai penolong, yaitu yang membantu secara langsung pahlawan dalam mengalahkan penjahat, (4) pelaku yang mengalami perlakuan buruk secara langsung dari penjahat, pelaku seperti ini diistilahkan sebagai putri, sementara itu ada pelaku lain yang merasakan penderitaan peristiwa yang dialami oleh putri. Pelaku seperti ini diistilahkan sebagai ayah, (5) pelaku pengirim, yaitu pelaku lain yang mengirim pahlawan untuk mengatasi kelakuan penjahat, dan (6) pelaku pahlawan, yaitu pelaku sanggup mengembalikan situasi kacau oleh penjahat menjadi aman dan tenteram kembali, dan (7) pahlawan palsu, yaitu pelaku yang memiliki fungsi antara pahlawan dan penjahat (Proop dalam Eriyanto, 2013: 65-72). Sementara itu, untuk membedah motif digunakan teori yang dikemukakan oleh Veselovskij (dalam Fokkema 1998:37) yang mengemukakan bahwa suatu motif mengacu pada suatu peristiwa khas dalam kehidupan sehari-hari atau kenyataan sosial. Menurut Danandjaja (2002: 53-54) istilah motif dalam ilmu menurut Propp adalah sebuah cerita dongeng biasanya dimulai dari situasi awal, di mana seorang ahli keluarga diperkenalkan begitu saja. Walaupun situasi ini bukan merupakan suatu fungsi, namun situasi ini merupakan unsur morfologi yang terpenting. Propp membedakan 31 fungsi motif dalam seratus cerita yang dianalisisnya. Propp menyimpulkan bahwa bukan motif, melainkan fungsi yang seharusnya dianggap sebagai bahan dasar cerita rakyat. Motif-motif yang berbeda mampu menimbulkan tindakan yang satu dan sama dalam rangkaian peristiwa dan karena itu bisa dilacak ke unit-unit yang lebih kecil. Propp menempatkan unit-unit barunya yang paling kecil (fungsi). Motif merupakan varian dari fungsi invarian yang satu dan sama (Propp dalam Fokkema, 1998: 79). C. METODE DAN TEKNIK Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode pustaka. Metode pustaka adalah metode pencarian data dengan menggunakan sumber-sumber data tertulis dan lisan (Subroto. 2007:47). Data diperoleh melalui pembacaan heuristik, yaitu pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya, kemudian dilakukan pembacaan hermeneutik, yaitu pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastranya dalam sebuah karya sastra yang memberi makna dan memanfaatkan unsur-unsur yang ada dalam cerita (Jabrohim 2001:101). Data tersebut kemudian dicatat dan dianalisis dengan metode struktural
166
sehingga pada akhirnya ditemukan fungsi pelaku dan motif cerita, sesuai dengan teori strukturalisme yang dikemukakan oleh Propp. D. BUDAYA BUGIS Dari segi aspek budaya, suku Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai aksara sendiri, yaitu ‘aksara lontarak’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia. Bahasa tersebut adalah bahasa yang digunakan oleh etnik Bugis yang tersebar dan terbanyak penuturnya di Sulawesi Selatan. Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya orang Bugis-Makassar diperkirakan kira-kira 90% beragama Islam, sedang 10 % memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik biasanya pendatang dari Maluku, Minahasa, dan lain-lain. Karena masyarakat Bugis-Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu, masyarakat Bugis juga sudah banyak mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. E. SELAYANG PANDANG ADAT ISTIADAT DAN PERILAKU HIDUP BERMASYARAKAT Sistem norma dan aturan-aturan adat masyarakat Bugis yang keramat dan sakral yang keseluruhannya disebut panngadderreng. Sistem tersebut terdiri atas 5 unsur pokok, yaitu: 1. Adek (adat), adalah bagian dari pangngadereng yang secara khusus terdiri dari: a. Adek akkalabinengeng atau norma mengenai hal-hal ihwal perkawinan serata hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga, rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat b. Adek tana atau norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai hukum negara, hukum antarnegara, serta etika dan pembinaan insan politik. Pengawasan dan pembinaan adek dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adat seperti: pakka tenniadek, puang adek, pampawa adek, dan parewa adek. 2. Bicara, yaitu unsur yang mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan keadilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara, menentukan prosedurenya serta hak-hak dan kewajiban seorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atu mengajukan gugatan; 3. Rapang yaitu perumpamaan, kias, atau analogi. Rapang menjaga kepastian dari suatu keputusan hukum tak tertulis dalam masa yang lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi dari kasus dari masa lampau dengan yang sedang di garap sekarang; 4. Warik, yaitu, melakukan klasifikasi dari segala benda, peritiwa, dan aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan social; untuk memlihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang muda dan mana yang tua dalam tata uacara kebesaran; dan
167
5.
Sarak, yaitu pranata dan hukum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi lima. Dalam kasusastraan, paseng (petuah leluhur) yang memuat amanat-amanat dari nenek moyang mereka, ada contoh-contoh dari ungkapan-ungkapan yang diberikan, seperti: 1) Sirik Emmi ri Onrowang ri Lino artinya: hanya untuk sirik sajalah kita tinggal di dunia. Arti sirik sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada orang Bugis. 2) Mate ri Sirikna artinya mati dalam sirik atau mati untuk menegakkan martabat dalam diri, yang dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat. 3) Mate Sirik artinya mati sirik atau orang yang sudah hilang martabat dirinya dalah seperti bangkai hidup. Kemudia akan melakukan jallo atau amuk sampai ia mati sendiri.
Lapisan gelar-gelar yang terdapat pada suku Bugis: 1) Datu adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang pemerintahan daerah, yang sekarang setingkat dengan bupati; 2) Arung adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang pemerintahan wilayah yang sekarang setingkat dengan camat; 3) Andi adala gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang biasanya anak dari perkawinan antara keturunan arung dengan arung; 4) Puang adalah gelar yang diberikan kepada anak dari hasil perkawinan antara arung atau andi yang mempunyai istri masyarakat biasa, begitu pun sebaliknya; 5) Iye adalah gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa yang masih memiliki silsilah yang dekat dengan kerabat bangsawan; dan 6) Uwa adala kasta terendah dalam masyarakat Bugis yaitu gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa. F. ANALISIS MORFOLOGI Ringkasan Cerita Pada zaman dahulu di sebuah kampung, hiduplah seorang petani miskin bersama dengan istrinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk. Sepulang dari sawah, petani itu sering singgah di sungai untuk memancing ikan. Pada suatu hari, petani itu mendapat ikan mas yang sangat besar. Dia sangat gembira karena dapat dijadikan lauk yang lezat. Ketika ikannya akan dibawa pulang, tiba-tiba petani itu sangat terkejut karena ikan yang baru dipancingnya dapat berbicara. Ikan itu memohon kepada petani itu agar ia jangan ditangkap dan di bawah pulang ke rumahnya, tolong dilepaskan kembali ke sungai. Ikan itu berjanji akan memenuhi tiga permintaan petani itu jika dia dilepaskan ke sungai. Mendengar janji ikan itu. Dilepaslah ikan itu kembali ke sungai dan petani itu pun pulang dengan lesu tanpa membawa hasil. Setiba di rumah, sang Petani menceritakan kepada istrinya hal ajaib yang baru saja dialaminya. Selesai sang Petani bercerita, istrinya langsung mengajak suaminya kembali ke sungai tempat ikan itu dikembalikan tadi. Sang Petani bersama istrinya lalu memanggil ikan mas yang dilepaskan tadi. Ikan mas itu lalu muncul memenuhi panggilan sang Petani bersama istrinya. Petani itu lalu meminta rumah yang besar, tanah yang luas, beserta kuda, dan sapi yang banyak atas perintah istrinya. Setelah mendengar permintaan itu, ikan mas pun menyuruh keduanya pulang ke rumahnya. Betapa gembiranya mereka, gubuknya yang tadinya gubuk lapuk dan reok, dan mau rubuh telah berubah menjadi rumah besar, di depannya sudah ternak berupa kuda dan sapi yang
168
banyak. Berselang beberapa lama, istri petani itu merasa belum puas, lalu mengajak suaminya pergi lagi untuk meminta sebuah istana yang megah. Permintaan kedua itu pun dipenuhi oleh ikan mas. Kini rumahnya telah berubah menjadi istana yang megah di kampung itu. Berselang beberapa waktu mereka hidup di istana yang megah itu, sang Istri masih merasa belum puas. Ia mengajak lagi suaminya agar ke sungai menemui ikan mas dan meminta agar istananya dapat diubah menjadi Surga. Sang Petani menolak dan melarang istrinya untuk melakukan apa yang dikatakannya tadi, mereka sudah memiliki segala-galanya, tidak kekurangan lagi. Sekarang, mereka sudah dapat dibilang mapan. Namun, istrinya tetap memaksa terus membuat sang Petani tidak mampu menolak. Akhirnya, mereka pergilah ke sungai lalu meminta kepada ikan mas agar mengubah istananya menjadi Surga. Mendengar permohonan sang Petani bersama istrinya itu, ikan mas lalu menyuruh keduanya pulang sebagaimana biasanya. Apa yang terjadi? Istana megah yang dihuninya telah berubah kembali menjadi gubuk lapuk dan reok sebagaimana semula. Petani bersama istrinya menjadi sangat bersedih melihat perubahan itu. Kini mereka kembali menjadi miskin seperti semula. G.
ANALISIS
KARAKTER
TOKOHDALAM CERITA Berikut ini disajikan analisis karakter tokoh dalam cerita Bale Ulaweng Sibawa Pallauruma’e sebagai berikut: Lingkaran Pertama: Pengenelanan Dalam lingkaran pertama cerita Bale Ulaweng Sibawa Pallauruma, hanya ada dua fungsi saja, yaitu absenctation (kehadiran). Seorang petani miskin yang setiap harinya meninggalkan istrinya seorang diri di rumah pergi bekerja di ladang. Profesinya itu ia lakoni setiap harinya. Suatu waktu, ia pulang dari ladang dan singgah memancing di tepi sungai seperti biasanya dan mendapatkan seekor ikan mas yang cukup besar. Sang Petani amat gembira dengan hasil tangkapannya karena dengan hasil tangkapan itu mereka akan menyantap dengan lauk yang lezat. Fungsi kedua, yaitu delivery (pengampaian). Cerita ini berkembang saat ikan mas yang dipancing tadi ternyata bisa berbicara dengan memohon agar ia (ikan) dilepas kembali ke sungai. Dan, berjanji akan mengabulkan tiga permintaan bila diminta nantinya. Lingkaran Kedua: Isi Cerita Pada lingkaran kedua ini juga terjadi fungsi, yaitu delivery (pengampaian), yaitu ketika sang Petani tiba di rumahnya, ia menceritakan pengalaman yang baru saja dialaminya di tepi sungai. Fungsi berikutnya, yaitu departure (kepergian).Sang Istri setelah selesai mendengar cerita suaminya langsung mengajak sang Suami menuju ke tempat di mana ikan mas tadi itu berada. Fungsi berikutnya adalah hero’s reaction (reaksi pahlawan, yaitu terlihat ketika sang Istri meminta suaminya memanggil ikan mas tersebut. Ikan mas itu pun muncul kepermukaan. Keduanya pun meminta kepada ikan mas agar diberi kekayaan yang melimpah berupa rumah yang besar, megah, dan ternak yang banyak. Setelah mendengar permintaan sang Petani bersama istrinya, ikan mas pun menyuruhnya pulang ke rumahnya. Betapa gembiranya mereka, gubuk reok dan peot telah berubah menjadi rumah besar, di depannya sudah ada kuda, dan sapi yang banyak. Kini keduanya menjadi hidup bahagia dan tak pernah merasa kekurangan, tidak seperti dulu ketika mereka miskin papan dan sandang, kebutuhan sehari-hari tidak pernah tercukupi. Lingkaran ketiga: Pelanggaran (Violation)
169
Pada lingkaran ketiga, sang Istri mencari cara bagaimana agar apa yang diperolehnya selama ini makin bertambah, senyampang ada cara memperolehnya dengan mudah tanpa bekerja keras. Cukup meminta saja, langsung ada. Ia pun mengajak suaminya untuk ke tempat ikan mas dan meminta agar kekayaannya ditambah atau diubah menjadi yang lebih baik lagi. Sang Istri lagi suaminya menuju sungai tempat ikan mas itu berada. Awalnya, rencana istrinya itu ditolak oleh suaminya karena kebutuhannya sudah lebih dari cukup. Tetapi ternyata, sifat manusia itu tidak pernah puas, ia selalu saja mau memiliki lebih dari yang sudah ada. Istrinya tetap memaksa, membuat sang Petani tidak mampu menolak keinginan istrinya itu. Akhirnya, pergilah keduanya ke sungai tempat ikan mas itu berada lalu memohon kepada ikan mas agar istananya diubah menjadi Surga. Setelah selesai mengungkapkan permintaannya pada sang Ikan Mas. Ikan Mas pun menyuruhnya agar keduanya pulang ke istananya. Mereka pun pulang ke istananya dengan penuh kegembiraan yang tiada tara karena permintaannya akan terkabul seperti biasanya. Lingkaran keempat: Hukuman (Punishmant) Setiba di istananya, keduanya merasa kaget dan sedih. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Tubuh keduanya menjadi lemah dan jatuh terduduk dengan pandangan kosong. Ia baru sadar, ternyata apa yang dimintanya itu di luar batas kewajaran. Istana megah yang dihuninya berubah kembali menjadi gubuk lapuk dan reok seperti semula. Kini mereka kembali miskin seperti semula. Cara Pengenalan Pelaku Dari keempat lingkaran dapat diidentifikasi pelaku sebagai berikut: 1. Pelaku utama cerita ini adalah petani yang digambarkan sebagai seorang petani yang sangat miskin. Dia tipe pekerja keras, rajin, dan bertanggung jawab. Wujud pertanggungjawabannya adalah setiap hari bekerja di ladang dan sepulangnya membawa ikan hasil pancingnya dari sungai untuk lauk pauk untuk dimakan bersama istrinya di rumah. 2. Pelaku kedua adalah istri petani merupakan pelaku bawahan yang digambarkan sebagai seorang istri yang tidak pernah mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya, tidak pernah merasa puas. Terlihat ketika pada permintaan perama, mereka sudah diberi kenikmatan oleh Tuhan berupa rumah yang besar, tanah yang luas, binatang ternak, tetapi terasa belum cukup baginya. Lalu pada permintaan kedua, yaitu meminta agar rumahnya diubah menjadi istana megah lengkap dengan segala isinya. Itu juga dikabulkan, tetapi masih terasa belum puas. Permintaan ketiga agar istana megah yang sudah dimilkinya itu minta diubah menjadi Surga. Permintaan ini bertanda bahwa sang Istri Petani ini adalah tipe orang yang materialistis, tidak ada rasa syukur akan nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya. Namun, apa yang terjadi dan dilihatnya sesapai di sitananya, ternyata istana megah itu berubah menjadi gubuk reok dan kecil seperti semula. 3. Pelaku ikan mas adalah juga pelaku bawahan yang sangat berperan akan kelangsungan cerita ini. Ikan mas ini digambarkan sebagai pelaku yang suka menolong orang. Hal ini terlihat ketika menolong si Petani miskin dengan mengubah kehidupannya sebagai orang kaya. Mengubah gubuk reok petani menjadi rumah yang besar dan serba ada, menjadi istana besar megah. Pelaku ikan mas ini juga digambarkan sebagai ikan yang tidak ingkar akan janji. Ini terlihat saat petani datang untuk menagih janjinya dan mengabulkan tiga permintaan sang Petani sesuai janji yang pernah diucapkan.
170
Berdasarkan isi cerita dapat ditarik kesimpulan bahwa tema cerita ini adalah suka duka hidup berumah tangga tanpa ditunjang ekonomi yang mapan. Sementara itu, amanat cerita yang dapat dipetik, yaitu (1) hendaknya selalu mensyukuri apa yang sudah diberi oleh Tuhan, bersabar, jangan rakus, rajinlah bekerja dengan baik agar apa yang diharapkan dapat terkabul dengan baik, dan (2) hendaknya ketika berjanji agar ditepati. H. MOTIF YANG TERKANDUNG DALAM CERITA Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketemukan beberapa motif sebagai berikut: 1. Motif Pekerja (Etos Kerja) Palloruma (petanai) adalah seorang pekerja yang ulet yang setiap harinya bekerja di ladang demi untuk menafkahi keluarganya meski hasil usahanya itu tidak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, maka dari itu setiap pulang dari ladang ia singgah memancing ikan di tepi sungai untuk di bawa pulang dan dimakan bersama dengan istrinya. Dari dasar inilah sehingga bisa ditarik kesimpulan kalau salah motif dari cerita ini adalah pekerja keras. 2. Motif keserakahan Dalam cerita telah diketahui petama dan kedua telah dipenuhi semua oleh sang Ikan Mas. Namun, pada permintaan ketiga, yaitu agar istananya yang megah nan indah dapat diubah menjadi Surga. Dari gambaran ketiga permintaan ini dapat ditarik kesimpulan kalau cerita ini juga bermotif keserakahan. 3. Motif Teguh Memegang Janji Sesuai apa yang dijanjikan oleh ikan mas, yaitu apabila engkau tidak menangkap saya dan melepaskan kembali ke sungai, ia akan mengabulkan tiga permintaannya, dan akan dipenuhi semuanya itu. Ternyata janji tersebut telah dipenuhi semuanya. Dari gambaran ini dapat juga ditarik kesimpulan kalau motif cerita ini juga bermotif teguh memegang janji. I. PENUTUP Berdasarkan analaisis cerita, penulis menyimpulkan bahwa Cerita Bale Ulaweng Sibawa Pallauruma’e terdiri atas empat lingkaran cerita yang memperlihatkan pola cerita yang berawal dari kerja keras sang Petani dalam usaha menghidupi keluarga. Sementara motif yang ditemukan dalam cerita ada tiga temuan, yaitu, motif pekerja keras, keserakahan, dan teguh memegang janji. Para pelaku di dalam cerita berupa manusia, dan binatang yang muncul dengan kekuatankekuatan saktinya. Pelaku-pelaku itu menelusuri dan bergerak sepanjang cerita sehingga cerita itu merupakan suatu rangkaian peristiwa hidup dan berakhir dengan pelaku itu. Pelaku-pelaku inilah yang sebagian langsung menjadi judul cerita dalam sastra lisan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Enre, Ambo Fachruddin, dkk. 1981. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Eriyanto. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
171
Fokkema, D.W. and Elrud Kunne Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Terjemahan J. Praptadiharja dan Kepeler Silaban). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hakim, Zainuddin. 2007. “Reaktualisasi Peran Sastra Daerah Dalam Pewarisan Nilai-nilai Budaya” dalam Prosiding Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. ----------. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jabrohim. 2001. Metodologi Pengkajian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia. Rahim, Rahman. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Lembaga
Sikki, Muhammad dkk. 1996. Struktur Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sulastin, Sutrisno. 1983. Hikayat Hang Tuah: Analasis Struktural dan Fungsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zaidan, Abdul Rozak et.al. 2001. Pedoman Penyuluhan Apresiasi Sastra. Editor: Nafron Hasjim. Jakarta: Pusat Bahasa.
172
TRANSFORMASI DONGENG-DONGENG KUNO SKRIPTORIUM PAKUALAMAN YOGYAKARTA SEBAGAI UPAYA PENGUATAN KARAKTER ANAK BANGSA Rahmat Universitas Sebelas Maret, FKIP, Pendidikan Bahasa Jawa [email protected] Abstrak: Pakualaman Yogyakarta merupakan salah satu istana di Jawa yang memiliki koleksi naskahnaskah kuno. Berdasarkan katalog naskah setempat, beberapa genre naskah antara lain, piwulang, babad, islam, primbon, sastra, dan satu genre yang disebut lain-lain. Dalam perkembangannya teks-teks naskah kuno itu ditransliterasi dan diterjemahkan oleh peneliti maupun staf perpustakaan. Transliterasi dan terjemahan terhadap teks naskah-naskah kuno itu merupakan usaha dasar konservasi terhadap isi naskah. Selain konservasi, ada pula usaha lain sebagai bentuk pelestarian terhadap naskah kuno yaitu transformasi. Transformasi adalah perubahan rupa atau bentuk. Transformasi dalam penelitian ini ialah usaha perubahan bentuk dari teks dongeng menjadi komik. Pemilihan komik sebagai transformasi teks dongeng didasarkan pada hipotesa ketertarikan anak-anak terhadap gambar daripada narasi. Adapun tujuan utama dari artikel ini diutamakan tentang penyajian langkah-langkah transformasi. Kata kunci: Pakualaman, transformasi, dongeng kuno, komik.
A. PENDAHULUAN Objek kajian filologi yaitu naskah (kuno) kiranya tidak pernah luput dari perhatian peminat. Peminat dalam pengertian ini antara lain peneliti, mahasiswa, dosen, maupun masyarakat yang melakukan penelitian tentang fisik naskah, kandungan isi naskah, maupun sekedar mengagumi keindahannya. Berbagai penelitian dengan kajian filologi telah banyak dilakukan. Salah satunya yang terkini dilakukan oleh Saktimulya (2016) dengan judul NaskahNaskah Skriptorium Pakualaman: Periode Paku Alam II (1830-1858). Penelitian dari Saktimulya itu berhasil mengungkap produksi naskah-naskah yang ditulis di Pakualaman pada masa Paku Alam II termasuk peranan sejumlah pujangga beserta tim penulisnya. Selain itu, dari sisi teks berhasil disintesiskan pemikiran-pemikiran Paku Alam II berupa untaian amanat yang ditujukan untuk generasi penerusnya. Dari penelitian tersebut didapatkan pula informasi bahwa naskah-naskah skriptorium Pakualaman mempunyai kekhasan pada teks yang bersifat didaktis, yaitu teks naskah yang mengandung ajaran moral (terutama) untuk generasi muda. Biasanya ajaran-ajaran moral yang ditujukan untuk generasi muda itu dituangkan dalam bentuk dongeng. Sehubungan dengan gencarnya perhatian dari kalangan pendidik serta pemerhati pendidikan akan pentingnya nilai-nilai pendidikan karakter, maka penelitian ini akan fokus pada upaya penguatan karakter anak bangsa melalui karya sastra (dongeng). Berdasarkan beberapa hal yang telah diutarakan di atas, maka dapat disebutkan masalah yang muncul dalam penelitian ini. Adapun masalah secara prinsipiil adalah memudarnya karakter kuat anak bangsa. Sementara itu, secara teknis masalah dalam penelitian ini ialah bagaimanakah langkah-langkah transformasi atau pengalihan rupa suatu karya sastra menjadi suatu bentuk lain yang lebih mudah dipahami dan diminati oleh pembaca (generasi muda). Sehingga, rupa baru itu dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk dapat lebih menguatkan karakter anak bangsa.
173
B. RUANG LINGKUP DAN MODEL Sehubungan dengan variabel penelitian ini yang meliputi karya sastra yaitu naskah kuno Jawa, lalu utile atau manfaat dari karya sastra yang dalam penelitian ini, serta transformasi teks sastra dari bentuk deskriptif-naratif ke bentuk gambar (komik) sebagai suatu cara penguat karakter anak bangsa, maka dipilihlah dongeng-dongeng naskah kuno yang menjadi koleksi Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta. Pemilihan dongeng-dongeng dari naskah kuno karena dalam setiap kisahnya mengandung moralisasi. Dipodjojo (1957:14—16) menerangkan bahwa moralisasi dalam sebuah dongeng biasanya diperankan oleh binatang yang pandai berbicara dan bertingkah laku seperti manusia. Penciptaan karya sastra yang sedemikian rupa tersebut dilakukan agar pembaca bisa memetik pelajaran yang tersembunyi dalam sebuah dongeng. Jadi, dalam hal ini karya sastra tidak saja hanya bersifat imajinatif (Wellek, 2014:12) semata namun ada visi misi yang disisipkan oleh pengarang. Pemilihan dongeng-dongeng dari naskah kuno karena dalam setiap kisahnya mengandung moralisasi. Dipodjojo (1957:14—16) menerangkan bahwa moralisasi dalam sebuah dongeng biasanya diperankan oleh binatang yang pandai berbicara dan bertingkah laku seperti manusia. Penciptaan karya sastra yang sedemikian rupa tersebut dilakukan agar pembaca bisa memetik pelajaran yang tersembunyi dalam sebuah dongeng. Jadi, dalam hal ini karya sastra tidak saja hanya bersifat imajinatif (Wellek, 2014:12) semata namun ada visi misi yang disisipkan oleh pengarang. Model dari penelitian ini meminjam istilah dari dalam buku berjudul Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Setyosari, 2012:222—223) yaitu model prosedural. Definisi model prosedural dapat dirangkum sebagai berikut. Model prosedural adalah model deskriptif yang menggambarkan alur atau langkah-langkah prosedural yang harus diikuti. Biasanya model prosedural menunjukkan langkah-langkah yang harus dilalui secara bertahap mulai dari awal hingga akhir. Jadi, dalam penelitian ini nanti akan membuat sebuah model prosedural sehubungan dengan transformasi karya sastra. Adapun langkah-langkah yang akan disajikan mulai dari karya sastra berupa dongeng kuno yang masih ditulis menggunakan huruf dan bahasa Jawa sampai dengan perubahan rupa menjadi komik berbahasa Jawa. C. PEMBAHASAN Naskah-naskah Kuno Jawa merupakan salah satu objek penelitian yang selalu diminati. Hal ini tidak terlepas dari berbagai informasi yang terkandung di dalamnya, antara lain sosial, humaniora, sejarah, sastra, hukum, dan pelajaran (Chamamah, 1992:193). Selain ketertarikan berdasarkan informasi yang terkandung di dalam teks naskah kuno, para peneliti maupun peminat naskah kuno memiliki ketertarikan pula terhadap naskah terutama pada bagian kertas, hiasan-hiasan, ilustrasi, ornamen bingkai teks, dan pewarnaan yang terlihat indah. Naskah kuno sebagai sumber penelitian merupakan objek yang secara kuantitatif berjumlah ribuan (bahkan mungkin ratusan ribu). Sebuah penelitian yang dilakukan Behrend (dalam Saputra, 2008:39— 40) memperlihatkan jumlah naskah kuno Jawa yang tersimpan di luar Indonesia sekitar 19.000an. Statistik tersebut belum ditambahkan dengan jumlah naskah kuno Jawa yang tersimpan di Indonesia. Beberapa naskah kuno koleksi Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta mengandung dongeng-dongeng yang bersifat fabel maupun non-fabel. Berikut judul koleksi naskah kuno yang mempunyai isi teks yang mengandung dongeng antara lain, Asthabrata, Panca Candra, Saha Dongeng Kancil (Pi.1), Asthabrata, Panca Candra, Saha Narpa Candra (Pi.2), Kyai
174
Adidamastra (Pi. 14), Sěstra Agěng Adidarma (Pi. 35), Bayan Budiman (St. 16), Kempalan Dongeng (St. 35), Sěrat Rama, Arjuna Wijaya, Saha Kěmpalan Dongeng (St. 79), dan Suleman Jamal, Suluk Luwang, Saha Kempalan Dongeng (St. 90). Dari indeks judul (Saktimulya, 2005:276) disebutkan beberapa judul tentang dongeng antara lain, dongeng kancil, tentang orang yang sering berbuat onar dan mengadu domba, tentang pembagian warisan, tentang seorang anak nakal, dan lain sebagainya. Berdasarkan data katalog naskah (Saktimulya, 2005) dan kondisi pernaskahan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa naskah kuno Jawa yang mengandung dongeng. Kondisi pernaskahan yang demikian itu membutuhkan tangan-tangan bijak untuk dapat mengungkapkan hikmat yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, perlu sekali mengkaji karya-karya sastra lama berupa dongeng-dongeng dari naskah kuno. Dongeng-dongeng naskah kuno koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Situasi yang demikian itu, tidak diiringi oleh kemampuan membaca dan berbahasa Jawa di kalangan anak-anak dan remaja. Sehingga, dikhawatirkan berbagai nilainilai atau hikmat yang terkandung di dalam dongeng-dongeng naskah kuno tidak dapat tersalurkan pada generasi saat ini. Kondisi yang terjadi ini, sungguh tidak dapat dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis agar apa yang hendak disampaikan oleh leluhur masyarakat Jawa dapat tersampaikan kepada generasi penerusnya. Berikut ini rencana strategis yang dapat dilakukan sehubungan dengan transformasi karya sastra. No. Aktivitas Langkah Kerja 1. Filologi 1.1. Pemilihan Teks Dongeng Naskah Kuno Teks Dongeng Naskah Kuno yang dipilih ialah naskah berjudul Sěstra Agěng Adidarma dengan nomor kode koleksi Pi. 35 koleksi Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta (Saktimulya, 2005:108). Dasar pemilihan naskah ini menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Istanti (2013:35), yaitu metode landasan. Metode landasan ialah memilih satu naskah yang dipandang paling unggul kualitasnya. Naskah berjudul Sěstra Agěng Adidarma (Pi. 35) dianggap memiliki kualitas yang unggul dari segi luasnya materi teks, huruf Jawa yang digunakan terbaca dengan jelas, dan memiliki penomoran halaman yang runtut. Selain itu, dalam awal teks naskah terdapat wasiat yang disampaikan oleh Paku Alam II selaku pemrakarsa naskah. 1.2. Transliterasi Transliterasi disebut juga dengan alih aksara. Anjarmartana (1991:5) menyebut transliterasi sebagai kegiatan pemindahan huruf ke huruf yang lain. Dalam penelitian ini akan dilakukan pemindahan huruf dari huruf Jawa ke huruf latin. 1.3. Terjemahan Penerjemahan dilakukan karena bahasa yang terdapat di dalam dongeng naskah kuno kemungkinan sekali sudah tidak diakrabi oleh generasi saat ini. Adapun bahasa yang terdapat di dalam teks dongeng Sěstra Agěng Adidarma (Pi. 35) adalah bahasa Jawa klasik yang berbentuk puisi těmbang macapat. Sehingga, penerjemahan harus dilakukan dalam penelitian ini dari bahasa Jawa Klasik menjadi bahasa Indonesia. Adapun runtutan penerjemahan mengikuti pola yang dikemukakan oleh Nida (1974:99—119) sebagai
175
berikut.
2.
Komik
Teks dalam bahasa sumber ↓ Analisa ↓ Pengalihan ↓ Penyusunan Kalimat ↓ Teks dalam bahasa sasaran 2.1 Pembuatan Karakter Setelah teks dongeng naskah kuno selesai ditransliterasi dan diterjemahkan, maka proses selanjutnya masuk pada bagian pembuatan komik. Langkah kerja pertama pada bagian ini ialah pembuatan karakter. Selain karakter yang sudah ada dalam dongeng, akan dibuat pula karakter lain yang akan menjadi tokoh utama. Pada bagian ini sudah mulai dilakukan sket gambar karakter. Adapun alat yang digunakan antara lain pensil gambar, penghapus, penggaris, dan alas gambar. 2.2 Produksi a. Dialog dan Jalinan Cerita. Pada bagian ini akan mulai disusun pembuatan dialog antar tokoh dan mulai pula dibuat jalinan cerita. b. Panel Sketsa. Selanjutnya dilakukan pembuatan sketsa dalam bentuk panel-panel atau kotak gambar pakai pensil. c. Clean Up. Setelah sketsa gambar dalam panel telah terisi, maka langkah selanjutnya ialah tahap merapikan gambar komik dan garis menggunakan drawing pen. d. Scanning. Tahap akhir dari bagian ini ialah proses scanning, yaitu pendokumentasian gambar ke dalam komputer. 2.3 Packaging Tahap ini meliputi cetak, print, covering. Covering adalah pembuatan sampul komik. Hal ini penting sekali agar anakanak dan remaja tertarik. Alat yang digunakan ialah komputer, mesin scan, dan printer. 2.4 Publish Tahap ini akan dilakukan penerbitan komik berbahasa Jawa.
Tabel di atas tentang langkah kerja sebuah pengalihan rupa melalui dua aktivitas. Dua aktivitas itu antara lain filologi dan pembuatan komik. Aktivitas yang pertama, yaitu filologi berguna sekali sebagai jembatan agar sebuah teks dapat terbaca. Karena pada bagian ini dilakukan proses alih aksara atau alih huruf serta dilakukan pula terjemahan. Kegiatan penerjemahan sangatlah penting juga karena mempermudah pembacaan dari sebuah bahasa yang kemungkinan sudah tidak diakrabi lagi oleh sebagian pembacanya.
176
Aktivitas yang kedua berkaitan dengan pembuatan komik. Kegiatan ini dapat terlaksana apabila aktivitas filologi sudah selesai dilakukan. Hal ini dikarenakan teks telah dapat “terbaca”. Sehingga, hasil dari aktivitas filologi dapat digunakan lebih lanjut. Adapun kegiatan pada pembuatan komik dimulai dari pembuatan karakter. Karakter dapat dibuat sama persis sesuai dengan teks dongeng, tetapi dapat pula ditambah dengan karakter lain dengan catatan tidak menyimpang dari isi teks. Langkah selanjutnya ialah produksi yang meliputi pembuatan dialog dan jalinan cerita yang didasarkan dari hasil transliterasi dan terjemahan. Setelah itu, dibuatlah panel sketsa yaitu kotak-kotak yang akan diisi dengan karakter dan dialog. Apabila telah terisi penuh, maka langkah yang dilakukan kemudian adalah proses clean up. Clean up adalah tahap merapikan gambar dengan drawing pen agar garis-garis itu terlihat dengan jelas. Langkah pada bagian ini diakhiri dengan proses scanning, yaitu pendigitalisasian gambar komik. Langkah ketiga disebut dengan packaging, yaitu proses cetak. Data yang sudah discan tadi selanjutnya dicetak atau diprint. Setelah selesai, maka dilanjutkan dengan proses covering. Covering yaitu pembuatan sampul. Bagian ini harus dipertimbangkan secara matang karena dapat dikatakan covering adalah ketertarikan pertama dari seorang pembaca. Terakhir, ialah penerbitan. Apabila covering sudah dibuat dan data gambar sudah selesai dicetak, maka proses akhir ialah penerbitan komik menjadi sebuah bacaan yang siap baca. Alangkah lebih baik, apabila komik yang diterbitkan mendapatkan nomor registrasi buku yang sah. D. SIMPULAN Penelitian tentang pendidikan karakter telah dilakukan oleh banyak pihak. Biasanya mereka melakukan penelitian terhadap suatu objek untuk kemudian dianalisa untuk dicari nilainilai karakter yang terdapat di dalamnya. Penelitian dengan model demikian tidak akan ada habisnya digali. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya terbaru untuk mengolah objek-objek maupun model penelitian itu agar tidak timbul kebosanan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh yaitu dengan cara membuat sebuah model atau bentuk baru. Bentuk baru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah transformasi. Transformasi menurut penelitian ini adalah pengalihan rupa dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Pengalihan rupa dalam penelitian ini adalah pengalihan dari sebuah teks deskriptif-naratif dongeng-dongeng kuno Jawa menjadi sebuah komik berbahasa Jawa. Pengalihan rupa dari teks dongeng-dongeng kuno Jawa menjadi komik berbahasa Jawa merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh mengingat kondisi literasi generasi muda terhadap bacaan tradisionalnya begitu memprihatinkan. Keprihatinan itu disebabkan oleh kemampuan membaca aksara daerah yang terbatas. Artinya, banyak generasi muda yang sudah tidak akrab lagi dengan aksara daerah. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah yang membuat generasi muda tertarik membaca dan memahami karya sastra berupa dongengdongeng kuno. Dengan dipilihnya komik sebagai wujud baru dari pengalihan rupa karena komik merupakan bacaan bergambar dalam panel-panel yang sangat digemari generasi muda. Sehingga, inti ajaran yang terkandung di dalam dongeng-dongeng kuno Jawa tetap dapat tersampaikan serta untuk semakin memperkuat karakter anak bangsa. DAFTAR PUSTAKA Anjarmartana, A.S.1991. “Transliterasi Jawa-Latin” dalam Proseding Kongres Bahasa Jawa Buku III. Surakarta: Harapan Masa.
177
Chamamah, Siti. 1992. “Pendekatan Filologis Dalam Penelitian Naskah Agama Islam” dalam Pengantar ke Arah Metode Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama Islam. Yogyakarta: IAIN. Dipodjojo, Asdi. S. 1957. Sang Kantjil Tokoh Tjeritera Binatang Indonesia. Djakarta: Gunung Agung. Istanti, Kun Zachrun. 2013. Metode Penelitian Filologi. Yogyakarta: Elmatera. Nida, Eugene A dan Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: J. Brill. Saktimulya, Sri Ratna (Penyunting). 2005. Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-The Toyota Foundation. Saktimulya, Sri Ratna. 2016. Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman Periode Paku Alam II (1830-1858). Jakarta: KPG, Ecole française d’Extrême-Orient, dan Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman. Saputra, Karsono. H. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Setyosari, Punaji. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Edisi kedua cetakan kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Cetakan kelima Januari 2014. Jakarta: PT Gramedia.
178
RUMAH (BAGI) TERJAJAH DALAM CERPEN “VONIS UNTUK JAGO BOM” Ramis Rauf, S.S S2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sebuah konsep rumah dalam kaitannya dengan isu kekuasaan melalui perspektif pascakolonial. Secara sederhana, penelitian ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana konstruksi rumah (bagi) terjajah dalam cerpen “vonis untuk jago bom”?. Penelahaan tersebut akan menggunakan teori yang diuraikan pertama kali oleh Sara Upstone (2009) dalam bukunya Spatial Politics in the Postcolonial Novels. Teori ini berasumsi bahwa rumah (bagi) terjajah adalah bentuk kontruksi kekuasaan kolonial yang berperan untuk menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilai-nilai kolonial yang ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi. Kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial dengan berbagai strategi. Hasil penelitian menemukan bahwa rumah (bagi) terjajah dalam cerpen “vonis untuk jago bom” adalah sebuah rumah yang berisi suara-suara heterogen yang berusaha untuk menghilangkan stabilitas wacana kolonialisasi mengenai pencapaian suatu kedamaian melalui bom bunuh diri yang merujuk pada mati syuhada sebagai dambaan di negeri ini. Pembongkaran terhadap pola pemahaman tersebut dihadirkan melalui penyingkapan chaos berupa vonis penjara (dalam ilustrasi persidangan di akhirat) terhadap tokoh Syafaat Abdullah karena telah melakukan bom bunuh diri. Kata kunci: Rumah, Terjajah, Wacana Kekuasaan, Pascakolonial, Sarah Upstone.
A. PENDAHULUAN Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke India pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda. Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi pada akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik melalui campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan koloni untuk menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka. Kolonialisme berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua, setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak pertikaian kuasa-kuasa imperialis (Fran, 1977). Terdapat banyak pendapat tentang kolonialisme. Pertama, secara umum kolonialisme didefinisikan sebagai penguasaan atas kontrol terhadap tanah dan barang milik pihak lain. Sedangkan, pada kolonialisme modern penguasaan tersebut tidak terbatas pada tindakan perampasan atas benda-benda dan kekayaan milik wilayah yang dikuasai, tetapi di dalamnya terdapat upaya penstrukturan kembali bangunan perekonomian bangsa yang dikuasai, yang mengakibatkan adanya aliran sumber daya manusia dan alam di antara penguasa dan wilayah yang dikuasai (Lombaa, 2005: 8-9). Berkaitan dengan kontrol atas teritori tersebut, Upstone (2009: 4) menyatakan bahwa kolonialisme sebagai klaim terhadap wilayah atas nama penyebaran agama, pengembangan
179
perekonomian, dan pengembangan wilayah (labenstrum), melihat kecocokan wilayah jajahannya sebagai empire, dan empire sebagai tujuan klaim atas wilayah tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan pascakolonialisme, Lombaa (2005: 16) menyatakan bahwa pascakolonialisme merupakan kontestasi atas dominasi kolonial dan warisan-warisan kolonialisme. Dengan kata lain, dominasi kolonial dan warisan-warisan kolonialisme itu akan dibongkar oleh konsep pascakolonial. Akan ditunjukkan bahwa kolonial yang mewariskan keteraturan sebenarnya tidak benar-benar bisa mewujudkan keteraturan yang diidamkan, dan masih ada jejak masa lalu yang dimiliki bangsa terjajah. Hal ini menyebabkan terjadinya kontestasi atau pertentangan-pertentangan yang pada akhirnya memunculkan keberagaman. Istilah poskolonial itu sendiri sebetulnya mengacu pada beberapa hal. Pertama, istilah poskolonial sering digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (masa kolonial dan masa poskolonial); misalnya dalam merekonstruksi sejarah-sejarah kesusastraan nasional atau memaparkan kajian-kajian perbandingan antar-tahapan dalam sejarah-sejarah tersebut. Kedua, istilah poskolonial juga mencakup seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Ini disebabkan karena adanya kontinuitas “penjajahan” yang terus berlangsung semenjak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga sekarang ini. Istilah poskolonial juga merupakan istilah yang paling tepat untuk menyebut kritik-kritik lintas budaya yang muncul akhir-akhir ini serta wacana yang dibentuknya. Dalam makalah ini akan merumuskan masalah bagaimana rumah pascakolonial (bagi) terjajah dalam Vonis Untuk Jago Bom karya Esti Nurayani Kasam dengan menggunakan teori yang berkaitan dengan pascakolonialisme, khususnya rumah pascakolonial. Teori ini diuraikan pertama kali oleh Sara Upstone (2009) dalam bukunya Spatial Politics in the Postcolonial Novels. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan penjelasan di atas maka dirumuskan suatu rumusan masalah: bagaimana konstruksi rumah (bagi) terjajah dalam vonis untuk jago bom karya Esti Nuryani Kasam? C. TINJAUAN PUSTAKA Karya ilmiah yang membahas tentang vonis untuk jago bom secara khusus sebagai objek materil untuk dijadikan tinjauan pustaka belum ditemukan, namun karya-karya ilmiah yang memiliki pokok bahasan yang mirip telah banyak dilakukan. Rumah pascakolonial sebagai objek formal juga dibahas dalam salah satu makalah yang berjudul Ruang Pascakolonial Dalam The God Of Small Things Karya Arundhati Roy oleh Endang Suciati yang dimuat dalam Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014. Makalah tersebut juga menggunakan teori rumah pascakolonial oleh Sara Upstone. D. KERANGKA TEORI Sebuah penelitian ilmiah sebaiknya melakukan pemilihan teori sebagai landasan kerja yang diperlukan penelitian tersebut menjadi terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka permasalahan yang akan dijawab mengantarkan pada pemilihan teori yang tepat (Chamamah Soeratno, 2001:13-14). Rumah pascakolonial dalam vonis untuk jago bom karya Esti Nuryani Kasam menuntun penelitian ini mengarah pada permasalahan yang berkaitan dengan pascakolonialisme sehingga teori yang dipakai untuk menjawab permasalahan tersebut adalah teori rumah pascakolonial Sara Upstone (2009).
180
Dalam pandangan pascakolonialisme, rumah (bagi kepentingan kolonial) merupakan salah satu konstruksi yang berperan untuk menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilainilai kolonial yang ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi (Upstone, 2009: 115). Kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial dengan berbagai strategi. Strategi yang digunakan untuk menanamkan wacana tersebut dalam pemikiran masyarakat koloninya adalah dengan menjadikan rumah sebagai lokasi yang tetap, berakar, stabil, antitesis dari perjalanan. Kecairan dari rumah dikaburkan. Sedangkan, harmoni yang ideal tentang rumah dimunculkan dengan mempropagandakan pandangan bahwa rumah adalah lokasi penanaman nilai-nilai dan tingkah laku yang dianggap krusial untuk membentuk dan mempertahankan identitas nasional, serta merupakan perlindungan yang diperlukan dari perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang tak terduga (Upstone, 2009: 117). Di sisi lain, kritik pascakolonial mengaitkan rumah dengan pertarungan politis, sebagai ruang domestik lokasi terjadinya upaya resistensi dengan dimensi politis yang radikal (Upstone, 2009: 16). Bila representasi kolonial atas rumah mengaburkan ketidakteraturan dan memisahkan rumah dari politik di ruang publik, maka representasi pascakolonial justru menampilkan ketidakteraturan dan status politis dari rumah. Dapat dikatakan bahwa pascakolonial ini benarbenar ingin mengungkapkan bahwa rumah (sebagai ruang domestik) menolak isolasi rumah dari lingkungan yang lebih besar, misalnya nation, karena pascakolonial menganggap bahwa pertarungan politis tersebut ada. Berkaitan dengan hirarki dan divisi-divisi yang diterapkan oleh kekuasaan kolonial dalam rumah, tampak bahwa rumah memiliki sekat-sekat, batas-batas yang sudah tetap. Dengan ini, maka rumah pascakolonial akan mengungkap bahwa dalam hirarki serta batas rumah kolonial terdapat ketidakteraturan dan chaos (Upstone, 2009: 124). Dapat dikatakan pula bahwa pascakolonial juga ingin mengungkapkan chaos dalam rumah terjadi karena ‘tidak semua penghuni rumah mendukung ideal kolonial’ (Upstone, 2009:128). Ketegangan yang tejadi dalam rumah hendak diungkap, dan kecairan pun akan dimunculkan. Dengan demikian, jelas bahwa rumah pascakolonial tidak lagi untuk melayani kepentingan kolonial, tetapi untuk melayani tujuan-tujuan lain yang akhirnya merusak relasi kekuasaan yang telah dibangun oleh konsep kolonial (Upstone, 2009: 131). E. HIPOTESIS Hipotesis adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang diterapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk, 2012:21). Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka teori yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditemukan hipotesis dari makalah ini. Hipotesisnya adalah Vonis Untuk Jago Bom dapat menjadi wacana rumah pascakolonial (bagi) terjajah karena mengangkat isu kolonialisasi untuk menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilai-nilai kolonial yang ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi. Dari hipotesis tersebut, ditemukan variabel-variabel. Variabel tersebut adalah variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Yang dimaksud variabel bebas adalah rumah, sedangkan variabel terikat adalah berupa isu kolonialisasi dalam idealisasi dan apolitisasi. F. METODE PENELITIAN Untuk dapat menjawab rumusan masalah dengan menggunakan teori maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini berisi tentang langkah-langkah yang akan dilakukan untuk melakukan analisis terhadap objek penelitian. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh
181
penulis adalah mengumpulkan data. Data tersebut didapatkan melalui proses pembacaan yang dilakukan secara teliti dan cermat. Hal ini berdasar pada objek yang berupa teks. Setelah memperoleh data, maka data-data tersebut diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang telah ditentukan. Kemudian data tersebut dikaitkan satu sama lain dalam sebuah proses yang disebut analisis data. Analisis data dilakukan dengan cara melihat relasi antara rumah pascakolonial yang terdapat dalam cerpen dengan isu kolonialisasi untuk menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilai-nilai kolonial yang ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi. Melalui tahapan yang telah dilakukan akan dapat diketahui hubungan antara rumah pascakolonial dengan isu kolonialisasi. G. PEMBAHASAN “Di negaranya di mana ia tinggal, mati syahid adalah dambaan. Demikianlah teman baruku, Syafaat Abdullah, mengawali ceritanya. Orangorang terdekat akan bangga memiliki almarhum yang telah mati sebagai syuhada. Dan mati dengan sebutan demikian memang banyak diminati oleh pemuda-pemuda seusianya. Ia sendiri menyiapkan pemboman dengan sangat rahasia (Esti Nuryani Kasam)”. Penggalan cerpen di atas membuka cakrawala mengenai adanya ruang yang membawa pemahaman akan sebuah konsep rumah pascakolonial (bagi) terjajah. Ungkapan“di negaranya di mana ia tinggal, mati syahid adalah dambaan” menunjukkan indikasi bahwa suatu “ruang” yang telah dibatasi, dikontrol, diabsolut, dan dinaturalisasi yang mengagungkan sebuah kematian yang syahid sebagai dambaan. Kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial dengan berbagai strategi. Salah satu strategi kolonial yang ditanamkan dalam cerpen ini ialah wacana terhadap masyarakat terjajah untuk mati sebagai syuhada. Bahkan acapkali wacana seperti itu dibentuk untuk mengadu domba masyarakat antar umat beragama dengan menyisipkan isu agama. Dalam cerpen “vonis untuk jago bom” tokoh “saya” direpresentasikan sebagai masyarakat terjajah yang pikiran, perasaan, perilaku dan sikap bahkan tubuhnya diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol dan dikendalikan melalui praktek, teori dan sikap oleh penjajah. Sikap penerimaan itu dapat kita lihat melalui kutipan berikut. “Ya, sudahlah. Kuikhlaskan semuanya, bahkan sehari sebelum bom itu diikatkan ke pinggang. Bukankah hidup ini pilihan? Sayangnya, kakakku tidak tega lagi melihatku. Jadi, ia tak tahu kalau saya telah mengikhlaskan diri”. Penerimaan ini mendeskripsikan sikap masyarakat terjajah yang pasrah dengan keadaan yang dibentuk oleh kolonial. Kepasrahan ini menerangkan ketidakberdayaan masyarakat terjajah dalam melawan wacana kolonial yang sudah mendarah daging di bumi tempat berpijak. Hal ini merujuk pada penjelasan Upstone (2009:4) mengenai konsep rumah yang telah dibatasi dan ditanamkan pada masyarakat Timur (terjajah) memiliki tujuan untuk melakukan kontrol, mempertahankan stabilitas, serta menghindarkan berbagai resistensi. Dengan adanya penerimaan dan persetujuan masyarakat bahwa batas bersifat alamiah, masyarakat seolah tidak menyadari adanya konstruksi kolonial tentang batas tersebut. Kondisi inilah yang akan menjadikan masyarakat homogen, sehingga mudah dikontrol.
182
Wacana atau isu kolonialisasi memperlihatkan sikap yang serba tidak pasti dan kontradiktif dalam kebijakan mereka mengenai negeri jajahan. Dikatakan kontradiktif karena ditanamkan sebuah ideologi mengenai kedamaian dan kemajuan yang ditempuh dengan cara bom bunuh diri. Tokoh “saya” mengakui bahwa dia bersedia untuk melakukan perbuatan bom bunuh diri tersebut atas dasar perjuangan. Secara eksplisit, pernyataan ini mendeskripsikan bahwa tokoh “saya” mengadopsi wacana kolonial mengenai kedamaian yang akan dicapai melalui sebuah tindakan bom bunuh diri yang kematiannya disebut sebagai mati syahid. Dalam pandangan pascakolonial, ruang lebih bersifat cair, berbeda dengan harmonisasi dan idealisasi ala kolonial (Upstone, 2009: 11). Sara Upstone menawarkan gagasan bahwa penulis-penulis pascakolonial menciptakan ruang sebagai tempat berbagai kemungkinan dan resistensi, dengan merebut kembali kecairan ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial dalam gagasan ruang berbatasnya dan dengan memberikan lokasi-lokasi fungsi-fungsi politis (Upstone, 2009: 11). Ini berarti bahwa penulis pascakolonial ingin mengungkapkan chaos yang ada, dan membuka peluang untuk suatu perlawanan atau resistensi terhadap konstruksi kolonial. Berbeda dengan pandangan kolonial, pandangan pascakolonial melihat ruangan berisi suara-suara heterogen, yang memiliki berbagai pengalaman, yang memberi penekanan pada perbedaan dan subjektivitas (Upstone, 2009: 13). Suara-suara heterogen dan pengalaman inilah yang memunculkan chaos. Dalam cerpen ini, penulis mencoba menghadirkan ruang persidangan di akhirat beserta ilustrasi pembacaan vonis terhadap dua tokoh untuk membuat kekacauan atau chaos atas wacana kolonial yang telah ditanamkan mengenai pencapaian sebuah kedamaian dunia melalui bom bunuh diri. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kutipan dalam cerpen di bawah ini. …Sang Hakim mulai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua hadirin tenang. Lalu mulailah perkataan yang kami nantikan itu terdengar. “Setelah mengetahui perbuatan kedua terdakwa secara jelas, maka Saudara Quiena Rafael dipercayakan sebuah istana untuk menjadi raja, dan Saudara Syafaat Abdullah sebagai penghuni penjara.” Penyingkapan chaos tersebut tidak untuk menghilangkan semua stabilitas yang ada, melainkan lebih pada upaya pemanfaatannya dalam membongkar pandangan yang dianggap tetap dan menanamkan pola-pola pemahaman dan pengalaman-pengalaman yang baru sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yangtidak bisa didapatkan dalam konsep kolonial maupun tradisi, atau pula dari konsep Barat dan Timur yang sudah dibatas-batasi tersebut; ini, pada akhirnya, memunculkan post-space. Menurut Upstone (2009: 15), post-space merupakan konsep yang berada di luar batas-batas kolonial maupun bata-batas tradisi, bahkan melampaui atau berada sebelum batas-batas tersebut muncul; ia juga bisa dikatakan suatu ruang yang hibrid, cair dan bergerak, sehingga tidak memiliki batas-batas lagi. H. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah pascakolonial (bagi) terjajah dalam cerpen vonis untuk jago bom karya Esti Nuryani Kasam adalah adalah bentuk kontruksi kekuasaan kolonial yang berperan untuk menjalankan fungsi politis dalam menegakkan nilainilai kolonial yang ditampilkan pada rumah secara paradoks dalam idealisasi dan apolitisasi. Kolonial menggunakan rumah untuk mempropagandakan wacana negara kolonial dengan berbagai strategi. Strategi yang digunakan untuk menanamkan wacana tersebut dalam pemikiran masyarakat koloninya adalah dengan menjadikan rumah sebagai lokasi yang tetap, berakar, stabil, antitesis dari perjalanan. Kecairan dari rumah dikaburkan. Sedangkan, harmoni yang
183
ideal tentang rumah dimunculkan dengan mempropagandakan pandangan bahwa rumah adalah lokasi penanaman nilai-nilai dan tingkah laku yang dianggap krusial untuk membentuk dan mempertahankan identitas nasional, serta merupakan perlindungan yang diperlukan dari perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang tak terduga. Rumah tersebut adalah sebuah rumah yang berisi suara-suara heterogen yang berusaha untuk menghilangkan stabilitas wacana kolonialisasi mengenai pencapaian suatu kedamaian melalui bom bunuh diri yang merujuk pada mati syuhada sebagai dambaan di negeri ini. Pembongkaran terhadap pola pemahaman tersebut dihadirkan melalui penyingkapan chaos berupa vonis penjara (dalam ilustrasi persidangan di akhirat) terhadap tokoh Syafaat Abdullah karena telah melakukan bom bunuh diri. Refleksi yang dapat diambil adalah bahwa cerpen ini tidak membuat oposisi antara konsep Barat dan Timur,namun menyandingkan keduanya. Cerpen ini melampaui orientalisme dimana Barat dan Timur tersebut cenderung menekan. Hal ini juga dikarenakan cerpen tersebut berangkat dari kondisi pascakolonial dimana permasalahan berawal. Permasalahan tidak berawal dari kondisi kolonial, namun dari kondisi dualistik masyarakat pascakolonial. DAFTAR PUSTAKA Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Frank, Andre Gunder. 1977. Long Live Transideological Enterprise: the socialist economies in the capitalist international division of labor.Review: A Journal of the Fernand Braudel Center. Kasam, Esti Nuryani Kasam. 2016. Vonis Untuk Jago Bom. Booklet Diskusi Sastra PKKH Universitas Gadjah Mada. Loomba, Ania. 2005. Colonialism/ Postcolonialism. New York: Routledge. Soeratno, Chamamah. 2001. Dalam Bunga Rampai Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya. Suciati, Endang. Ruang Pascakolonial Dalam The God Of Small Things Karya Arundhati Roy. Jurnal Poetika Vol. II No. 1, Juli 2014. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjha Mada. Upstone, Sara. 2009. Spatial Politics in the Postcolonial Novel. Farnham Surrey: Ashgate Publishing Company.
184
MENYAMPAIKAN PESAN PENDIDIKAN MELALUI CERITA ANAK Retno Muljani, Maria Vincentia Eka M, Deasy Ekawati Universitas Sanata Dharma [email protected] Abstrak Mudahnya mengakses beragam bacaan anak saat ini menyadarkan orang tua dan pendidik akan kebutuhan cerita anak yang mendidik namun tetap menarik dan sesuai dengan karakteristik anak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pengarang di era post modern tertantang untuk menghasilkan cerita anak yang dapat menyampaikan pesan yang mendidik dengan cara yang menarik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menulis cerita dengan tokoh binatang atau yang menyerupai binatang yang dapat berbicara dan berkelakukan seperti manusia untuk menyampaikan pesan tertentu. Makalah ini menganalisa cerita anak berjudul. “ Where the wild things are” oleh Maurice Sendack (1963) yang menggunakan tokoh anak bernama Max sebagai tokoh utama dan the wild things yang menyerupai binatang untuk menyampaikan pesan pendidikan melalui elemen-elemen verbal dan visual dalam cerita sehingga dapat memberikan pengalaman membaca yang menarik. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, elemen verbal dan visual dalam cerita tersebut dianalisa untuk mengidentifikasi pesan pendidikan yang terkandung dalam cerita. Elemen verbal dan visual yang digunakan dapat mendukung pemaparan cerita yang menarik. Selain itu, pengalaman membaca yang menyenangkan ( entertaining) dan mendidik ( educating) dapat digunakan untuk mengingatkan tentang relasi anak dan ibu yang positif, membangun proses pemahaman dan penerimaan diri pada anak serta mendukung fantasi dan keinginan anak akan petualangan. Kata kunci: pesan pendidikan, pengalaman membaca, pemahaman dan penerimaan diri.
A. PENDAHULUAN Penulis cerita anak menghadapi tantangan untuk menghasilkan cerita anak yang menghibur sekaligus juga membawa pesan pendidikan. Menurut Hallindale ( 1998: 1-2) penyebabnya mungkin karena “ Children are individual and have different tastes. A novel written for children may contain positive life messages even if children in general do not enjoy it”. Salah satu cara menjawab tantangan ini adalah menciptakan cerita anak yang dapat menghibur sekaligus mendidik dengan menggunakan tokoh binatang sebagai pembawa pesan pendidikan. Makalah ini membahas sebuah buku cerita anak dengan tokoh binatang yang digunakan penulisnya untuk menyampaikan pesan pendidikan melalui elemen verbal dan visual dalam alur cerita tersebut. Buku cerita tersebut berjudul “ Where The Wild Things Are” ( selanjutnya disingkat WTWTA) oleh Maurice Sendak ( 1963). Buku tersebut adalah salah satu buku karya Maurice Sendak yang memenangkan the Caldecott Medal dari perpustakaan anak-anak di tahun 1964 dan dikenal sebagai "most distinguished American picture book for children". Buku ini dipilih sebagai buku cerita bergambar nomor satu dalam survei pembaca School Library Journal (2012). Cerita WTWTA ini juga sudah difilmkan dan dialih bahasakan ke bahasa Indonesia di tahun 2009. Dalam makalah ini pertama kali disajikan pendahuluan kemudian ringkasan cerita WTWTA dan teori serta metodologi yang digunakan untuk menganalisa cerita WTWTA. Berikutnya, peran edukatif dan menghibur tokoh binatang sebagai pokok bahasan dianalisa melalui elemen verbal dan visual yang digunakan dalam cerita, dan diakhiri dengan simpulan.
185
B. RINGKASAN CERITA “ WHERE THE WILD THINGS ARE” OLEH MAURICE SENDAK (1963)
Seorang anak laki-laki bernama Max menjadi tokoh protagonis dalam cerita WTWTA. Max gemar mengenakan kostum serigala untuk bermain-main dan menakut-nakuti ibunya. Ketika ibunya membentaknya, dia akan menjawab “ Saya akan menghabisi mu” (terjemahan dari I ‘ll eat you up). Ibunya marah dan kemudian menghukum Max dengan cara mengurungnya dan tidak menyediakan makan malamnya. Ketika menjalani hukumannya, Max mendapati kamar tempat dia dikurung berubah menjadi portal ajaib yang membawanya ke dunia lain. Max seakan-akan naik sebuah perahu menuju sebuah pulau yang dihuni oleh mahluk-mahluk raksana yang disebut “ the wild things”. Mereka menyambut Max dengan hangat, menobatkan Max sebagai raja mereka dan berpesta-pora: menari, menyanyi dan bermain sepuas hati. Namun lama kelamaan, Max merasa lelah, gelisah, dan kesepian. Dia pulang kembali ke rumahnya yang nyaman. Sesampainya di rumah, Max mendapati ibunya sudah menyediakan makan malam yang hangat untuknya.
Ilustrasi Max bermain bersama the wild things (sumber: http. www. google.com…. ) C. TEORI DAN METODOLOGI Teori utama ang digunakan membahas WTWTA yaitu a) teori Sastra untuk anak (Friedman 2011; Shaw 2012; Keeling and Pollard 1999), b) teori perkembangan psikososial (Erikson 1993), dan c) teori tentang fantasi dalam perkembangan seorang anak (Pikiewicz 2012). Sastra untuk anak mempunyai tujuan positif, antara lain, menyajikan pesan didaktis secara ekplisit ataupun implisit ( Shaw 2012: 3). Anak sebagai pembaca dapat mencapai tujuan ini kalau mereka memahami pesan didaktis yang sering disampaikan melalui tokoh binatang yang menjembatani komunikasi manusia dewasa - anak- binatang (Friedman, 2011: 13). Selain itu, kehadiran tokoh binatang diperlukan karena dapat mengembangkan fantasi anak untuk melawan norma-norma sosial yang harus ditaatinya karena norma tersebut dirasakan membatasi kebebasannya. Dalam budaya Barat, fantasi dapat digunakan anak untuk memperoleh primitive freedom from civilized oppression (Shaddock, 1997-1998: 156). Max sebagai tokoh utama diperkirakan berada di antara usia sekolah awal (early school age) sampai menjelang remaja (pre adolescent). Dia mengalami perasaan tak berdaya dan tak bahagia karena hukuman yang dijalaninya. Dalam teori Erikson (1993), diperkirakan tahapan perkembangan Max adalah tahapan perkembangan ketiga ( initiative versus guilt yang terjadi
186
di usia 3-5 tahun) atau tahapan keempat (industry versus inferiority pada anak usia 5-12). Dalam setiap tahapan perkembangan, anak mengalami krisis dengan lingkungannya dengan kemungkinan berhasil mengatasi atau sebaliknya, gagal. Perasaan tak berdaya dan tak bahagia akibat krisis dengan ibunya dikompensasi oleh Max dengan cara menikmati perannya menjadi raja dari the wild things. Dalam khayalan Max, posisi seorang raja memiliki otoritas layaknya posisi orang tua (Keeling and Pollard 1999: 135; Pikiewicz 2012). Lebih lanjut lagi, teori psikoanalisa tentang values of dreams and fantasies for the human psyche digunakan untuk menganalisa pengalaman fantasi Max dengan the wild things yang membantunya mengalami perkembangan diri (Pikiewicz 2012: 2 dan DeLuca 1984). Cerita WTWTA dianalisa dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Elemen cerita dibagi menjadi elemen verbal (EVB) yang berupa kata-kata , kalimat, ucapan, dan elemen visual (EVS) yaitu gambar, warna, ilustrasi yang digunakan penulis WTWTA. Kedua macam elemen tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan apa pesan pendidikan yang disampaikan melalui tokoh Max dan binatang (the wild things) dalam cerita WTWTA. D. PEMBAHASAN Where the wild things are / WTWTA (Sendak, 1963) menggunakan tokoh binatang atau tokoh yang mirip binatang. Binatang apakah wild things itu sesungguhnya tidak dijelaskan oleh Sendak. Namun mereka nampaknya cukup cerdas, mampu berkomunikasi, namun bengis kepada manusia, paling tidak kepada Max. Mereka muncul di separuh cerita, tidak dari awal karena tokoh utama adalah Max. Mereka digambarkan dalam gambar-gambar non naturalistik konvensional (EVS) karena Sendak adalah seorang illustrator juga ( lihat gambar di halaman 3). Bentuk mereka yang kurang lazim cocok untuk cerita anak post modern yang menggunakan gambaran yang dapat menimbulkan “ an element of shock value” untuk menarik perhatian pembaca (Loo, 2012: 59). Dalam WTWTA, wild things bersikap agresif, lebih liar daripada tokoh binatang dalam cerita anak pada umumnya. Mereka berkomunikasi dengan Max namun hanya ada satu contoh komunikasi menggunakan bahasa (EVB) , yaitu ketika Max akan pergi dan mereka berkata; “ Oh , jangan pergi… kami akan memakanmu hidup-hidup – kami mencintaimu” (Sendak 1963: 30). Sendak –sang pengarang- menciptakan the wild things untuk berinteraksi dengan Max. Melalui interaksi itu pengarang menyampaikan beberapa pesan pendidikan yang positif untuk kehidupan (Shawa 2012: 3). 1. Pesan kehidupan yang positif Peran wild things adalah membantu Max menjadi lebih dewasa emosinya selama petualangannya di tanah fantasi. Max digambarkan (EVS) sebagai anak yang gemar berpetualang dan mengenakan ‘….. his wolf suit and made mischief of one kind… and another’ (Sendak, 1963: 1-3). Dia mempunyai perbedaan pemahaman dengan ibunya dan hal ini menyebabkan dia meninggalkan rumah dan bergabung dengan wild things. Menurut DeLuca (1984:13), komentar Max “I’LL EAT YOU UP!” terhadap ibunya merupakan ekspresi agresifitas dan kesenangan kekanak-kanakan (EVB). Dorongan untuk bebas dan menguasai ini bertentangan dengan kebutuhan akan cinta dan rasa aman. Wild things dan lingkungan mereka yang dekat dengan alam melambangkan fantasi dalam masa perkembangan anak untuk melawan tatanan sosial, juga fantasi untuk bebas dari tekanan masyarakat menuju kebebasan primitif (Shaddock1997-1998: 156). Cara Max menjinakkan wild things meniru cara ibunya mendisiplinkan dia, yaitu menghukumnya tidur
187
tanpa menikmati makan malam (Keeling and Pollard 1999: 135). Dengan cara ini, Max merasa memiliki otoritas seperti otoritas orang tua tanpa perlu “ merebut” otoritas itu melalui kekerasan. Max menjadi raja (Sendak 1963: 19-22), dan ia merasakan perasaan berkuasa dan bahagia yang mengalahkan ketidak-berdayaan dan ketidak-bahagiaan sebelumnya. Max memiliki kekuasaan atas “bawahan” (the wild things) dan dia dapat mengatur mereka (walaupun hanya sesaat). 2. Pesan tentang manfaat fantasi bagi anak Fantasi mempuyai manfaat atau kontibusi bagi terbentuknya kontrol diri, nilai-nilai sosial, dan pembentukan tingkah laku anak-anak. Seperti telah disebutkan sebelumnya, Sendak menggunakan WTWTA untuk merefleksikan ‘psychoanalytic values of dreams and fantasies for the human psyche’. Wild things mungkin menggambarkan potongan-potongan imajinasi Max. Sebelumnya, cara Max mengekspresikan diri hanya melalui kostum serigala yang dikenakan untuk menakuti ibunya (EVS). Ekor panjang kostum itu membentuk bayangan yang mengikuti Max seperti wujud binatang tak berbentuk yang melambangkan a primal desire (Gilead, 1991: 280 dan 281). Selain itu, fantasi juga berguna karena dapat mendorong eksplorasi dan kontrol diri. Dalam imajinasinya, Max dapat mengekspresikan diri, menghadapi dan mengalahkan kesepian, dan mengatasi ketidak-bebasan (DeLuca 1984: 15). Menurut Hoyt (2009: 2), Sendak seakan-akan menggambarkan petualangan Max sebagai sesuatu yang mempunyai implikasi walaupun sesungguhnya itu hanya perjalanan imajinatif. Keeling & Pollard (1999:128) meyakini bahwa Max mengimajinasikan daerah yang akan dihuninya bersama-sama mahluk bertubuh besar. Selain itu, ada petunjuk bahwa perjalanan Max hanyalah imajinasinya karena ada adegan ‘ Max chases his dog in his wolf suit. On the wall is Max’s drawing of a strange animal’s face with Max’s name under it. Max’s drawing closely resembles one of the wild things that he encounters later’ (Sendak, 1963: 14). Binatang aneh itu memiliki tiga tanduk, rambut kribo dan gigi besar (EVS). Seandainya binatang itu adalah mahluk raksasa yang nyata ( mungkin mirip Yeti) bagaimana mungkin salah satu dari mereka muncul dalam gambaran Max sebelum Max bertemu dengan mereka? Hal lain yang perlu disebutkan adalah gambar mahluk aneh itu mungkin digunakan untuk mengenalkan intertextuality sederhana dalam pengalaman membaca bagi anak . Salah satu definisi intertextuality adalahtheinterrelationshipbetweentexts,especiallyworksofliterature (http://www.dictionary.com/browse/intertextuality). Dalam WTWTA, gambar mahluk aneh yang disebut wild things muncul dalam episode sebelumnya yaitu penggambaran suasana rumah Max ( disebut pretext atau hypotext) dan muncul lagi sebagai karakter dalam episode selanjutnya ( disebut hypertext). Pengalaman membaca yang memperkenalkan intertextuality akan menjadi pengalaman membaca (selanjutnya) yang bermanfaat bagi anak (lihat pembahasan di halaman 9). Wild things dapat berperan sebagai teman berpetulang bagi Max karena mereka dapat menerima dan memenuhi keinginan akan petualangan dan kebebasan bagi Max. Mereka merupakan bagian dari fantasi Max, dan menurut McGillis (2008: 2-4) hal ini penting karena, ‘Fantasy is a safety valve…In fantasies, children and adults can imagine their most secret desires…we fantasise because we are dislocated and longing for home’. Sejalan dengan pendapat itu, Burke & Copenhaver (2004; 207) berpendapat salah satu fungsi sastra adalah ‘provide momentary escape from the current situation’. Max ingin melarikan diri dari rumah karena dia marah akibat miskomunikasi dengan ibunya: dia dilarang bermain bahkan dihukum oleh ibunya. Oleh karena itu, dia menciptakan fantasi akan sebuah lingkungan yang dapat
188
membuatnya kerasan. Lingkungan tersebut nampak alami dengan penghuninya yang berupa binatang-binatang eksotis, tumbuhan yang subur dan samodra berpenghuni naga. Semuanya digambarkan dengan warna tanah alami (EVS). Gilead (1991: 281) menganggap reaksi Max sebagai hal yang positif karena Max merespons hukuman dengan fantasi bukan kemarahan: fantasi menggantikan emosi negatifnya. 3. Pesan tentang proses pemahaman dan penerimaan diri oleh Max Max mengalami proses untuk mencapai pemahaman dan penerimaan dirinya. Semula Max adalah anak yang tidak bahagia dan sering bertingkah laku kurang pantas sebagai kompensasinya. Ibunya tidak memahami hal ini seperti yang disebut oleh Gilead (1991: 281) tentang ‘how children and adults often mismatch and misunderstand each other: a child does not easily conform with an adult’s traditional view of children as subjects to superior adult authority’. Max mengalami krisis dalam interaksinya dengan ibunya sehingga dia mengalami perasaan tertekan tidak bahagia lalu melalui fantasinya dia berinisiatif untuk bergabung dengan wild things untuk berpetualang (tahapan iniciative versus guilt). Semula, Max mengira petualangannya dapat membebaskannya dari superioritas ibunya. Ternyata tidak demikian. Semakin lama dia merasa tidak bahagia, bosan bermain dan menjadi raja mereka. Max merasa kehilangan ibunya dan rindu masakan ibunya (Sendak, 1963: 20). Max mulai menyadari siapa dia. Dia menyadari bahwa tidak mungkin dia menjadi bagian dari kelompok wild things; dia juga menyadari bahwa dia tidak dapat mempunyai otoritas atas mereka. Kesadaran dirinya ini juga cocok dengan ciri cerita anak era post modern karena karakter anak dapat memperlihatkan emosi orang dewasa dan pemahaman akan lingkungannya. (Loo 2012: 59) Akhirnya. Max meninggalkan kelompok wild things karena dia merasa kehilangan ibunya walaupun wild things memprotesnya. Dia rindu akan kasih ibunya. Ini juga menjadi salah satu ciri sastra anak era post modern yang menggambarkan bagaimana akhirnya tokoh anak merindukan penerimaan orang dewasa di sekelilingnya dan menyadari bahwa mereka dapat bertahan hidup karena dukungan ornag-orang dewasa tersebut (Loo 2012: 61). Menurut Keeling & Pollard (1999: 135), keputusan Max untuk kembali ke rumahnya menandakan telah hilang rasa terancam, rasa tertekan dan ketegangan akibat pertikaian antara dia dan ibunya yang terjadi di episode sebelumnya. Dia berhasil mengatasi krisis dengan ibunya (tahap industry versus inferiority) . Perubahan perasaan Max juga dianggap sebagai bagian dari kesadaran tentang proses melarikan diri dari kenyataan yang menunjukkan bahwa realitas baru ternyata tidak dapat selalu mengkompensasi kekurangan realita sebelumnya. McGillis (2008: 6) menyatakan ‘ We think we escape a dreary reality only to realize that this new reality will never deliver the fulfillment of the place we left.’ Akhirnya Max memutuskan pulang. Wild things merasa kecewa dan membuat gerakan (EVS) dan komentar (EVB): ‘Oh please don’t go—we’ll eat you up—we love you so!’ (Sendak1963:30). Reaksi itu cukup menakutkan dan membingungkan. Pickiewicz (2012: 1) berpendapat bahwa Sendak menggunakan episode ini sebagai simbol pandangan anak yang tak berdosa terhadap dunia sebagai tempat yang menakutkan dan dipenuhi oleh mahluk aneh dan menakutkan. Mahluk aneh menakutkan itu mungkin saja mengundang rasa ingin tahu anak untuk mengenalnya sampai akhirnya anak tersebut menyadari kekeliruannya dan dapat menerima bahwa keluarga dan rumahnya adalah tempat yang paling aman dan menyenangkan baginya.
189
4. Pesan tentang pentingnya pengalaman membaca yang bermanfaat Ada juga pesan verbal yang disampaikan melalui WTWTA yaitu memperkenalkan proses membaca dan memahami bacaan bagi anak. Proses ini meliputi proses memahami hubungan antara kata-kata dan gambar/ilustrasi dalam buku cerita bergambar. Menurut Shaw (2012: 2) ketika anak membaca buku cerita bergambar, mereka belajar bahwa gambar dan kata dapat saling mendukung ataupun bertentangan. Dalam teori, teks dan ilustrasi/gambar ada ( = co-exist) dan dapat digunakan untuk menjelaskan, mendukung dan juga mempertentangkan makna . Contoh dalam WTWTA, arti kata ‘mischief’ mungkin belum dikenal oleh anak (Sendak, 1963: 1). Namun demikian ada ilustrasi tentang Max yang sedang memaku beberapa kemejanya di dinding, menggantung leher boneka ‘ teddy bear’ nya, dan mengejar anjing keluarga dengan mengacung-acungkan garpu di tangannya. Ilustrasi atau gambar tersebut dapat menjelaskan makna kata ‘mischief’ yaitu nakal atau buruk. Penggunaan teks dan ilustrasi seperti itu (co-existence) dapat mendukung intertextuality dalam cerita seperti yang dijelaskan di bagian berikut. Intertextuality (= intertesktualitas) Ada dua tahapan membaca : linear reading dan comparative reading (Alfaro 1996). Membaca linear berarti membaca kata demi kata untuk memahami pesan-pesan. Membaca komparatif terdiri dari retroactive dan intertextual reading. Dalam retroactive reading, seorang pembaca akan mengulang kembali, dan membandingkan kembali dengan teks sebelumnya untuk memahami pesan-pesan. Dalam intertextual reading, pembaca akan berusaha menemukan dan memahami hal-hal yang dapat dibandingkan (comparabilities) yang diasumsikan dalam unit struktural dan semantik dalam teks yang dibaca. Dalam proses membaca semacam ini, ada kemungkinan ditemukan intertextualitas yang dijelaskan sebagai berikut. Intertekstualitas dalam WTWTA diperkenalkan melalui teknik enhancement dan contradiction antara teks (bagian teks) dan ilustrasi/ gambar. Enhancement dan contradiction antara teks dan ilustrasi terjadi di pertemuan pertama (Sendak 1969: 17-18) and pertemuan terakhir antara Max dan wild things (halaman 31-32). Dalam cerita, wild things digambarkan sebagai mahluk yang mengaum, menggesek-gesek gigi sehingga berbunyi gemerutuk, dan mengancam dengan cakar besar mereka. Gambaran secara visual ini cocok dengan karakteristik mereka sebagai mahluk yang menakutkan (EVS-EVB). Namun demikian, dalam situasi lain, wild things memperlihatkan ekspresi surprise dan rasa senang dengan menyambut Max sambil menyeringai dan melambaikan tangan yang bercakar dengan senang hati. Ini adalah contoh enhancement dan sekaligus contradiction antara teks dan ilustrasi. Enhancement dan contradiction sebagai bagian dari intertekstualitas dapat dipahami pembaca anak kalau ada pemahaman cerita yang sudah berkembang. Kedua contoh yang disebutkan sebelumnya memperlihatkan bahwa detil yang tepat dapat memperkaya makna cerita. Namun demikian detil tersebut dapat terabaikan kalau (pembaca) anak tidak atau belum memiliki pengalaman membaca yang mengenalkan dan mengajarkan intertekstualitas yaitu hubungan antara teks dan ilustrasi/gambar atau hubungan antara pre text/ hypertext dan latetext/ hypotext (lihat halaman 6). Memahami intertekstualitas dapat memperlihatkan telah terjadi proses membaca yang berkembang. Bersamaan dengan proses tumbuh-kembangnya anak, idealnya, mereka juga mengembangkan kemampuan dan pemahaman membaca mereka dalam berbagai konteks. Buku cerita bergambar dapat membantu anak berkembang ke tahap tersebut. Awalnya, anak
190
mungkin mengalami kesulitan untuk memahami intertekstualitas. Namun secara perlahan-lahan, kemampuan dan pemahaman tersebut akan membantu mereka untuk dapat menikmati bacaan sastra yang lebih kompleks bersamaan dengan proses mereka menjadi pembaca dewasa. Kemudian yang juga menarik untuk dipertanyakan adalah mungkinkah pembaca anak Indonesia mengalami pengalaman membaca yang kaya akan pesan pendidikan dengan menggunakan buku cerita dwibahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris? Jawaban penulis adalah mungkin. Perkembangan di bidang penerbitan buku cerita anak telah menghasilkan cerita anak dwibahasa walaupun teman-temanya lebih sederhana. Sebagai contoh, Lucy si Angsa dengan cerita tentang kasih sayang dan hubungan positif ibu angsa dan anaknya (diterjemahkan dari Lucy Goosey karangan Margaret Wild dan Ann James, dan diterbitkan oleh Erlangga for Kids. Ada juga seri cerita anak dengan tentang tokoh manusia dan binatang dalam dwi bahasa yang ditulis oleh Arleen yang diterbutkan oleh PT Kanisius Yogyakarta ( 2008). E. SIMPULAN Dalam cerita Where The Wild Things Are yang ditulis oleh Sendak (1963), tokoh binatang berperan di seputar tokoh manusia bernama Max. Mereka bersama-sama mempunyai peran untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan. Pesan-pesan ini dapat diidentifikasi melalui elemen verbal ( kata-teks) dan elemen visual (ilustrasi/gambar). Secara visual, wild things mempuyai peran membantu Max tumbuh menjadi dewasa secara emosi . Kehadiran mereka juga membawa pesan pentingnya fantasi bagi perkembangan anak agar anak dapat mencapai pemahaman diri, penerimaan diri secara jujur, dan kontrol diri. Mereka juga membantu tokoh anak dalam cerita ini untuk menanamkan nilai-nilai sosial dan mengembalikan relasi yang baik antara ibu dan anak. Secara verbal, tokoh binatang dalam cerita ini membantu tokoh anak (Max) untuk membentuk pemahaman dan penerimaan diri. Hal ini terjadi ketika Max menyadari dia membutuhkan cinta ibunya melebihi segalanya. Dia juga mengalami penerimaan diri ketika dia menyadari bahwa dia tidak akan pernah dapat menguasai wild things. Kesadaran diri ini menandakan kedewasaannya bertambah. Melalui elemen verbalnya, cerita ini juga memungkinkan terjadinya pengalaman membaca yang positif dan kaya. Secara keseluruhan, cerita ini berhasil mencapai tujuan didaktis karya sastra untuk anak yaitu menggambarkan keberhasilan internalisasi nilai-nilai sosial dan norma perilaku yang sepantasnya dalam diri seorang anak setelah dia mampu mengendalikan keinginan-keinginan negatif dalam dirinya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Aiken, Adel G. 2007. Postmodernism and Children’s Literature. ICCTE Journal 2.2 Burke, Carolyn L.& Copenhaver, Joby G. 2004. Animals as People in Children’s Literature. National Council of Teachers of English, halaman 205-213. Caldecott, William. 2006. Hey Diddle Diddle and Baby Bunting. Project Gutenberg, Kindle version. DeLuca, Geraldine. 1984. Exploring The Levels of Childhood: The Allegorical Sensibility of Maurice Sendak. Children’s Literature 12 , halaman 3-24.
191
Erikson, Eric. 1993 (terbitan ulang). Childhood and Society. ------: W.W Norton & Company, Inc. Friedman, Sara. 2011. Is Sharing A Bear Necessity? Anthrophomorphization and Learning Social Lessons from Children’s Books. Doctoral Dissertation, University of Virginia. Gilead, Sarah. 1991. Magic Abjured: Closure in Children’s Fantasy Fiction. Publications of the Modern Language Association of America 106.2 , ProQuest, 277-293. Hollindale, Peter. 1998. Ideology and The Children’s Book. Signal 55 Hoyt, Randy. 2009. Imagination in Where The Wild Things Are . In Journey to the sea. 15 Oct. 2009. Krueger, D.W.& Krueger, L. N. 2005. Animals in children’s stories. In Salman, Akhtar and Vamik, D. Volkan (Eds.).Cultural zoo: Animals in the human mind and its sublimations. International Universities Press. Loo, Hannah. 2012. Children in Postmodern Literature: A Reconstruction of Childhood. English 465 Fall 2011 UHH. Volume 10. Hilo: Hawai’i Community College. McGillis, Roderick. 2008. Fantasy As Epanalepsis: An Anticipation of Retrospection. Explorations Into Children’s Literature 18.2 , 7-20. Panteleo, Sylvia &Lawrence R. Sipe. 2008. Introduction: Postmodernism and Picture books. In Lawrence R. Sipe and Sylvia Panteleo (Eds.). Postmodern Picture Books: Play, Parody and Self-referentiality. New York: Routledge. Pikiewicz, Kristi. 2012. A Psychoanalytic Appreciation of Maurice Sendak. Meaningful You: Voices of Contemporary Psychoanalysis. Pollard, Scott &Keeling, Kara. 1999. Power, Food and Eating in Maurice Sendak and Henrik Drescher: Where the wild things are, the night kitchen, and the boy who ate around. Children’s Literature in Education 30. 2. 127-143. Sendak, Maurice. 1963. Where The Wild Things Are. New York: Harper and Row. Shaddock, Jennifer. 1997-1998. Where The Wild Things Are: Sendak’s Journey Into The Heart of Darkness. Children’s Literature Association Quarterly 22.4, 155-159. Shaw, Janice. 2012. Picture Books. Topic notes. Armidale: University of New England, Postgraduate School of Arts Spitz, Ellen Handler. 2010. Postmodern at Bedtime. From Newrepublic.com.
192
Online sources: Fourth wall [Def. 2] In Oxford Dictionaries Online. Diunduh 27 Agustus 2012dari http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/the-fourth-wall Intertextuality [Def. 1] In Dictionary.com Unabridged. diunduh 22 Agustus 2012 dari http://dictionary.reference.com/browse/intertextuality Intertextuality diakses dari http://www.dictionary.com/browse/intertextuality http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Literature/WhereTheWildThingsAre? from=Film.WhereTheWildThingsAre
193
KELUARGA DALAM NOVEL DI BAWAH BAYANG-BAYANG ODE KARYA SUMIMAN UDU DAN NOVEL KIFUJIN A NO SOSEI KARYA OGAWA YOKO Rima Devi FIB Universitas Andalas, [email protected] Abstrak Novelis di belahan bumi manapun di dunia ini, pada umumnya tidak dapat melepaskan diri dari konsep keluarga untuk menggambarkan latar belakang para tokoh yang dimunculkannya. Gambaran keluarga inipun juga tidak terlepas dari lingkungan sosial pengarang sehingga karya sastra berupa novel dapat digunakan untuk menelaah keluarga melalui pendekatan sosiologi sastra. Keluarga Buton yang tergambar dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dan Keluarga Jepang yang tergambar dalam novel Kifujin A no Sosei karya Ogawa Yoko, masing-masingnya mempunyai ciri tersendiri dalam menggambarkan hubungan kekeluargaan dan interaksi antaranggota keluarga. Kedua novel ini merupakan novel dengan latar belakang keluarga dari budaya yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam gambaran keluarga dari daerah Timur yang sama-sama menganut sistem kekeluargaan tradisional dan sekaligus keluarga modern. Bagaimana pengaruh sistem kekeluargaan tradisional mewarnai kehidupan masyarakat modern pada dua budaya yang berbeda yaitu keluarga Buton dan Jepang merupakan permasalahan pada tulisan ini. Kedua novel dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan menggunakan konsep yang terdapat dalam sosiologi keluarga. Dari penelaahan kedua novel ini diketahui bahwa dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam keluarga modern, ada kecendrungan untuk menggunakan tradisi-tradisi yang berlaku atau pernah diberlakukan dalam keluarga tradisional. Kata kunci: Keluarga, Novel, Indonesia-Jepang, Buton
A. PENDAHULUAN Keluarga merupakan satu institusi yang sudah langsung dapat dipahami oleh setiap individu di manapun berada. Hal ini dapat terjadi karena setiap individu lahir di dalam keluarga, tumbuh dan berkembang dalam keluarga, kemudian mengaktualisasikan dirinya dalam keluarga, lalu meninggal dunia pun akan dikembalikan kepada keluarga di mana individu tersebut berasal. Sehubungan dengan hal tersebut maka setiap keluarga yang berada dalam satu masyarakat tertentu pada umumnya akan mengikuti adat istiadat atau kebiasaan umum yang berlaku pada masyarakatnya. Setiap individu dalam satu keluarga akan diajarkan bagaimana berinteraksi dengan sesama anggota keluarga dan dengan sesama anggota masyarakat tempat mereka tinggal. Beragamnya adat istiadat dan kebiasaan di satu wilayah membuat kebiasaan dalam keluargapun juga bermacam-macam sehingga para ahli mengelompokkan jenis keluarga berdasarkan jumlah anggota dan hubungan antaranggota menjadi keluarga besar atau extended family dan keluarga inti atau nuclear family. Keluarga besar adalah satu keluarga yang anggotanya terdiri dari suami, istri, anakanak, orang tua, kerabat yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan. (Goode: 2007). Keluarga besar biasanya terdapat pada keluarga tradisional di negara-negara belahan dunia bagian timur seperti Indonesia dan Jepang. Pada keluarga di Indonesia ditemukan banyak keluarga tradisional dari berbagai suku dan keluarga tradisional tersebut biasanya adalah keluarga besar seperti keluarga pada suku Minang Kabau, Batak, dan lain sebagainya. Demikian juga pada keluarga tradisional di Jepang terdapat pula sistem kekeluargaan tradisional yang
194
pernah diberlakukan dan dikukuhkan pada undang-undang dasar negaranya ketika zaman Meiji (1868-1912). Seiring dengan perubahan zaman dan perubahan sistem yang terjadi dalam masyarakat secara global, bentuk keluarga tradisional turut berubah menjadi keluarga modern. Keluarga modern adalah keluarga yang anggota terdiri atas suami, istri dan anak-anak yang belum menikah, maka disebut juga dengan keluarga inti atau nuclear family. Perubahan struktur keluarga ini dipicu oleh berbagai hal dan salah satunya menurut Goode (2007) adalah karena semakin berkembangnya teknologi dan industri yang menuntut struktur keluarga menjadi keluarga inti. Anggota keluarga yang awalnya tergabung dalam keluarga besar meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk mencari kehidupan di daerah industri. Lahan-lahan baru yang dibuka untuk kawasan industri tidak hanya digunakan untuk membangun pabrik, juga dimanfaatkan untuk membangun perumahan bagi buruh pabrik. Perumahan yang dibangun dirancang pula untuk menampung anggota keluarga dari buruh pabrik tersebut, dan pada umumnya anggota keluarga yang dibawa serta adalah istri dan anak-anak yang belum menikah. Berubahnya struktur keluarga dari keluarga tradisional menjadi keluarga modern juga mengubah adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat. Persoalan-persoalan yang terjadi di dalam keluarga inti sedapat mungkin tidak dibawa ke dalam keluarga besar dan diusahakan untuk diselesaikan sendiri. Keluarga besar biasanya hanya dilibatkan dalam acara seremonial terkait pesta kelahiran, pesta perkawinan dan penyelenggaraan kematian anggota keluarga. Banyak hal terkait adat istiadat dan kebiasaan dalam keluarga besar secara berangsur-angsur tidak dilaksanakan atau ditinggalkan sehubungan dengan anggota keluarga yang semestinya hadir dalam acara tersebut tidak lengkap atau tidak ada. (Aruga: 1981). Seperti dalam keluarga tradisional Jepang, ada acara keluarga yang disebut dengan perjodohan atau omiai. Anggota keluarga yang sudah patut menikah akan dicarikan jodohnya oleh kepala keluarga atau kachō. Perjodohan ini harus diterima oleh anggota keluarga yang dijodohkan dan mereka tidak mempunyai hak untuk menolak calon pasangan hidup pilihan keluarganya. Mereka beranggapan kepala keluarga sudah memikirkan secara seksama calon pasangan dari anggota keluarga yang akan menikah. Sementara pada masa sekarang dalam masyarakat Jepang, tidak ada lagi kachō yang menjadi kepala keluarga. Masing-masing individu mempunyai hak untuk menentukan jalan hidupnya. Apakah akan menikah dengan pasangan yang disukai, apakah akan menikah atau tidak, apakah setelah menikah akan mempunyai anak atau tidak, semuanya diputuskan sendiri oleh individu tanpa campur tangan anggota keluarga yang lain termasuk ayah atau ibunya sendiri. (Sugimoto: 1997). Sama halnya dengan Jepang, masyarakat pada keluarga tradisional di Indonesia juga mengenal perjodohan. Anak pada keluarga tradisional yang dijodohkan oleh orang tuanya dituntut pula untuk patuh dan menerima perjodohan tersebut. Orang tua menganggap bahwa dirinya lebih paham siapa jodoh yang pantas untuk anaknya dan sang anak harus patuh dengan pilihan orang tua. Mengenai perjodohan ini terbaca dalam cerita roman di Indonesia seperti kisah Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli, ataupun cerita roman karya Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penggambaran kisah kawin paksa dalam dua roman ini menunjukkan bahwa adanya tradisi menjodohkan anggota keluarga sesuai dengan keinginan orang tuanya. Kawin paksa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada masa lalu sudah mulai hilang pada masa sekarang. Anak muda sudah mendapatkan kebebasan memilih jodoh yang diinginkan. Hampir tidak terdengar cerita kawin paksa dalam keluarga modern di Indonesia saat ini. Demikian juga halnya di Jepang. Sejak otoritas kachō dilemahkan dengan penghapusan
195
sistem kekeluargaan tradisional di Jepang dan aturan yang memberlakukan kaum pria dan wanita mempunyai kedudukan yang setara dalam masyarakat, hampir tidak terdengar pula kisah perjodohan seperti pada masa sistem ie atau sistem kekeluargaan tradisional Jepang masih diberlakukan secara hukum. Bebasnya seorang individu memilih jodoh di Jepang juga tergambar dalam novel-novel yang ditulis oleh pengarang Jepang seperti novel Kifujin A no Sosei yang ditulis oleh Ogawa Yoko. Dikisahkan dalam novel tentang seorang tokoh bernama Bibi Yuli yang berkebangsaan Rusia dapat dengan mudah menikah dengan pria Jepang tanpa ada pertentangan sedikitpun dari pihak keluarga. Padahal Bibi Yuli sudah lanjut usia yaitu berumur 69 tahun dan suaminya 51 tahun saat mereka menikah. Perkawinan mereka berjalan dengan baik walaupun tetap ada pergunjingan dari keluarga pihak laki-laki. Bibi Yuli dan suaminya hidup dalam masyarakat membentuk keluarga dengan struktur keluarga modern. Hak mereka sebagai individu dihormati dan dihargai dalam masyarakat modern sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan tenang. Sementara pada novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dikisahkan tokoh Amalia Ode yang dipaksa menikah dengan sepupunya yang sama-sama bergelar Ode. Pemaksaan tersebut memperlihatkan tidak adanya hak individu sebagai manusia modern dalam keluarga modern. Aruga (1981) mengatakan bahwa walaupun sistem kekerabatan tradisional di Jepang sudah dihapuskan dalam perundang-undangan tapi masih terlihat penerapan sistem tersebut dalam kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Sementara dalam masyarakat Buton yang sudah berada pada masa modern dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan modern namun dalam keseharian masih terlihat adanya pengaruh adat tradisional dalam masyarakat seperti yang tergambar dalam novel Di Bawah Bayang Bayang Ode ini. Bagaimanakah pengaruh sistem kekeluargaan tradisional mewarnai kehidupan masyarakat modern pada dua budaya yang berbeda yaitu pada keluarga Buton dan Jepang merupakan permasalahan pada tulisan ini B. TEORI DAN METODE PENELITIAN Menelaah dan menggali karya sastra secara mendalam sehingga terungkap hal-hal yang tersirat dari sebuah karya sastra merupakan satu kegiatan yang dilakukan dalam penelitian sastra. Pendekatan yang digunakan bermacam ragam sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan. Pada tulisan ini yang permasalahannya adalah keluarga yang terdapat dalam karya sastra maka pendekatan yang digunakan dalam analisis adalah pendekatan sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1993) mengatakan bahwa karya sastra dapat diteliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan mengemukakan tiga kategori sebagai berikut. Sosiologi pengarang yaitu hal yang berkaitan dengan keadaan sosial pengarang, sosiologi pembaca yaitu hal yang terkait dengan keadaan sosial pembaca ketika membaca satu karya sastra, dan sosiologi karya yaitu gambaran sosial masyarakat yang terdapat di dalam karya sastra. Penelaahan karya sastra menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini memerlukan pula konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi untuk menentukan variabel yang akan dianalisis seperti konsep keluarga. Keluarga dan permasalahannya yang dibahas dalam ilmu sosiologi merupakan pembahasan tersendiri yang memiliki beragam konsep. Konsep keluarga yang digunakan pada pengumpulan data adalah konsep yang terkait dengan struktur keluarga baik keluarga tradisional maupun modern. Goode (2007) memaparkan keluarga secara umum, keluarga tradisional dan struktur keluarga yang terdapat pada zaman modern ini. Selain menggunakan konsep yang dikemukakan Goode juga digunakan konsep keluarga yang
196
dikemukakan oleh Aruga (1981) mengenai sistem ie yaitu sistem kekeluargaan tradisional Jepang. Pada sistem ie ini satu keluarga dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang disebut dengan kachō. Anggota keluarganya terdiri dari anggota yang memiliki hubungan darah dengan kachō seperti anak-anak dan orang tuanya baik ayah maupun ibunya, serta saudara sekandungnya, anggota yang memiliki hubungan perkawinan dengan kachō seperti istrinya dan menantunya, dan anggota yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali atau disebut dengan hōkōnin. Konsep lain yang digunakan adalah konsep keluarga interdependen yang dikemukakan oleh Devi (2015) yaitu keluarga yang saling bergantung di mana struktur keluarga yang terbentuk bukan keluarga tradisional ataupun keluarga modern. Hubungan antaranggota dari keluarga tersebut dapat berupa hubungan darah, hubungan perkawinan, dan hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Sementara untuk melihat sistem kekeluargaan dalam masyarakat Buton, digunakan konsep keluarga yang tergambar tulisan-tulisan atau makalah yang ditulis oleh Udu (2009, 2015). Udu (2009) menggambarkan bagaimana seorang perempuan yang ditinggal merantau oleh suaminya memiliki otoritas penuh terhadap keluarga bahkan sampai kepada hal menjodohkan anak-anaknya. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan dengan menganalisis secara kualitatif. C. SINOPSIS NOVEL DI BAWAH BAYANG – BAYANG ODE Tokoh Imam adalah seorang pemuda desa Wakatobi yang tidak mempunyai gelar bangsawan jatuh cinta kepada Amalia Ode seorang perempuan kaya yang memiliki gelar kebangsawanan Buton. Cinta Imam diterima dengan suka cita oleh Amalia Ode dan mereka berdua berharap satu saat dapat hidup bersama sebagai suami istri. Baik Imam maupun Lia, panggilan akrab Amalia Ode, sama-sama menyadari status mereka di dalam masyarakat, tapi mereka masih bersikeras untuk bisa bersama. Imam yang menyadari bahwa dirinya yang tidak mempunyai gelar Ode tidak akan mungkin dapat menikahi Lia, tetap berusaha membujuk ayah dan ibunya agar bersedia pergi melamar Lia. Lia pun demikian. Lia meminta Imam untuk segera melamar dirinya agar dapat terbebas dari paksaan ibunya untuk menikah dengan sepupunya yang sama-sama memiliki gelar Ode. Tingginya nilai gelar kebangsawanan Ode bagi keluarga Lia, dan gelar Ode yang akan selalu melekat dalam diri Lia bila menikah dengan sesama Ode, serta gelar Ode yang dapat diturunkan kepada anaknya Lia kelak membuat ibu dari Amalia Ode tidak menyerah dengan keinginan keras anaknya yang menolak perjodohan. Ibu Lia berhasil menggagalkan niat Lia yang ingin lari dari rumah dan meninggalkan kampung halamannya menuju kota Kendari bersama Imam. Ibu Lia melalui bantuan sepupunya, La Ode Halimu, yang juga calon menantunya akhirnya berhasil menghentikan niat Lia lari bersama Imam dengan mencengat kapal yang ditumpangi Lia menuju Kendari. Dengan berat hati Lia kembali pulang dan gagal melarikan diri. Sikap Lia yang memperlihatkan perlawanan atas keinginan ibunya membuat sang ibu sangat khawatir bila anaknya kabur lagi. Lia pun akhirnya dikurung di dalam kamarnya dan tidak boleh ke mana-mana. Ibu Lia juga mempercepat proses pernikahan Lia dengan sepupunya. Dalam keadaan tak berdaya, Lia akhirnya menikah dengan sepupunya setelah ibunya meminta sambil bersujud di hadapannya. Lia kemudian menjalani perkawinan yang tidak bahagia. Lia yang jadi pemurung akhirnya mengalami depresi yang membuat kesehatannya menurun drastis. Berharap bayi yang dikandungnya dapat lahir dengan selamat, Lia masih mencoba bertahan hingga kandungannya
197
cukup bulan. Setelah kelahiran anak perempuannya yang diberi nama Anastasia, Lia pun menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara Imam yang patah hati tidak berniat untuk menikah. Imam lebih menikmati kehidupannya sebagai dosen di salah satu universitas di Kendari. Imam mengejar karir dan menambah pendidikannya sehingga berhasil memperoleh gelar doktor. Dalam kesibukannya mengajar dan membimbing mahasiswa, Imam bertemu dengan Anastasia yang sudah beranjak dewasa. Tanpa mengetahui bahwa mereka saling memilki hubungan darah, terjalin keakraban antara Imam dan Anastasia seperti seorang ayah dan anak hingga kebenaran itu terungkap ketika Anastasia datang menemui Imam yang sedang dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun akibat kanker darah yang dideritanya. Sumbangan sum-sum tulang dari Anastasia membuat kesehatan Imam sedikit membaik, namun tidak bertahan lama. Imam akhirnya menutup usia dan meninggalkan pesan terakhir agar dimakamkan di samping makam kekasihnya Amalia Ode. D. SINOPSIS NOVEL KIFUJIN A NO SOSEI Tokoh aku atau sebut saja Gadis yang ditinggal mati ayahnya mendapat tugas menjaga Bibi Yuli istri pamannya. Paman Gadis lebih dahulu meninggal dunia dua bulan sebelum kepergian ayah Gadis. Paman Gadis adalah seorang pengusaha kaya yang mempunyai pabrik plastik, mempunyai banyak koleksi binatang yang diawetkan, dan mempunyai rumah yang besar dan mewah berikut para pembantu yang mengurus dan menjaga koleksinya. Paman Sang Gadis menikah dengan seorang perempuan Rusia yang merupakan pelarian dan mendapat suaka tinggal di Jepang. Usia istri Paman Gadis atau Bibi Yuli saat menikah adalah 69 tahun, sementara Paman Gadis berusia 51 tahun. Semua orang berpraduga bahwa perkawinan mereka tidak akan berjalan lama dengan anggapan Bibi Yuli hanya mengharapkan harta saja. Kiranya perkawinana mereka berjalan mulus selama sepuluh tahun lebih, dan kematian Paman Gadis yang memisahkan mereka. Sepeninggal ayahnya, ibu Gadis dan adiknya yang tidak punya tempat bergantung akhirnya pulang ke rumah orang tuanya untuk mencari penghidupan baru. Sementara Gadis yang setahun lagi akan menyelesaikan kuliahnya mendapat tugas menjaga dan merawat Bibi Yuli di rumahnya yang besar dengan imbalan biaya kuliah Gadis ditanggung dari warisan pamannya. Gadis merawat dan menjaga Bibi Yuli dengan baik dan tidak membuatnya berubah pikiran, walaupun kemudian Gadis mengetahui bahwa harta pamannya yang tersisa hanyalah rumah dan koleksinya saja. Gadis mempunyai pacar bernama Niko yang sering berkunjung ke rumah Bibi Yuli dan membantu segala sesuatu yang terkait dengan urusan rumah yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Gadis. Bibi Yulipun dengan senang hati menerima kehadiran Niko di rumah mereka walaupun Niko memiliki kelainan psikologis yaitu OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Baik Gadis maupun Bibi Yuli, keduanya memikirkan bagaimana cara untuk membantu menyembuhkan penyakit Niko dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Sang Gadis tidak menyadari bahwa bola mata biru bibinya dan kulitnya yang putih menarik perhatian seorang wartawan majalah pencinta binatang yang diawetkan bernama Ohara. Ohara melihat Bibi Yuli mirip dengan Putri Anastasia, putri ke empat dari Raja Nicholas II yang digulingkan di Rusia. Ohara kemudian mempublikasikan keberadaan Bibi Yuli sebagai orang yang diduga mirip dengan Putri Anastasia di majalah yang dikelolanya. Sejak itu banyak tamu berdatangan ke rumah untuk bertemu dengan Bibi Yuli dan meminta tanda tangan. Ohara tanpa berbasa basi telah mendaulat dirinya sebagai manajer Bibi Yuli dan
198
mengatur pertemuan Bibi Yuli dengan tamu-tamu. Ohara juga mendatangkan ahli sejarah untuk mewawancarai Bibi Yuli dan untuk membuktikan apakah Bibi Yuli benar-benar Putri Anastasia. Bibi Yuli sendiri sangat senang dengan kedatangan para tamu yang menganggap dirinya adalah Putri Anastasia. Bibi Yuli terkadang menyempatkan diri bermain sulap di depan tamutamunya, sebuah permainan yang sangat mahir dilakukannya. Bibi yang diwawancarai oleh para tamu sering bercerita mengenai kehidupannya semasa tinggal di istana di Rusia dan kehidupannya setelah tiba di Jepang. Gadis dan pacarnya Niko tidak percaya bahwa Bibi Yuli adalah Putri Anastasia, terlebih setelah mereka melihat Bibi Yuli pergi ke toko barang antik, mengumpulkan barang-barang yang kira-kira terkait dengan Rusia dan melihat Bibi membukabuka album berisi foto-foto keluarga kerajaan Rusia. Ohara memberitahukan bahwa akan diadakan wawancara antara Bibi Yuli dengan para ahli untuk direkam dengan maksud akan ditayangkan di TV. Gadis dan Niko yang semula tidak begitu peduli dengan anggapan bahwa Bibi Yuli adalah Putri Anastasia, akhirnya ikut membantu Bibi Yuli menyiapkan diri agar ketika diwawancarai bisa menjawab pertanyaan yang terkait dengan Putri Anastasia dengan mempelajari silsilah keluarga kerajaan Rusia yang terakhir dan menyuruh Bibi Yuli menghafalkannya. Dari wawancara yang dilakukan untuk TV, ahli sejarah menyatakan kemungkinan Bibi Yuli adalah Putri Anastasia adalah 90% yang disimpulkan berdasarkan bukti fisik tampak luar dan dari foto ronsen rangka kepala dan susunan giginya. Sangat disayangkan beberapa hari setelah diwawancarai dan rekaman wawancara belum sempat di tayangkan di TV, Bibi Yuli meninggal dunia pada usia 80 di rumahnya di hadapan Gadis. E. STRUKTUR KELUARGA PADA KEDUA NOVEL Membaca kedua novel yaitu Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Ududan novel Kifujin A no Sosei karya Ogawa Yoko, sekilas terlihat sangat berbeda dan tidak ada kesamaannya sama sekali. Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode mengisahkan tentang kawin paksa dan bagaimana menderitanya kedua insan yang kasihnya tak sampai hingga salah seorang dari tokoh meninggal dunia lebih dahulu karena tertekan dengan kehidupan dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Sedangkan novel Kifujin A no Sosei lebih menekankan penceritaan pada kehidupan Bibi Yuli yang mengaku dirinya sebagai Putri Anastasia dari kerajaan Romanov Rusia. Namun bila dilihat gambaran keluarga dari kedua novel maka akan tampak banyak persamaan yang satu sama lain bisa saling diuraikan menggunakan pendekatan yang sama yaitu keluarga. Persamaan mendasar dari kedua novel ini adalah sama-sama menggambarkan kehidupan masyarakat pada zaman sekarang dan sama-sama menggambarkan interaksi antar individu dalam satu sistem kekerabatan yang tidak mengacu pada keluarga tradisional. Pada novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode, tokoh Imam awalnya digambarkan tinggal dalam keluarga inti yaitu bersama ayah, ibu dan saudaranya yang belum menikah, kemudian pada akhir cerita Imam tinggal sendiri di kota Kendari. Tokoh Lia digambarkan tinggal berdua saja dengan ibunya sedangkan ayahnya pergi merantau. Pada novel Kifujin A no Sosei, struktur keluarga yang terbangun adalah keluarga interdependen. Masing-masing tokoh memiliki hubungan yang berbeda-beda seperti Bibi Yuli dengan Gadis memiliki hubungan karena perkawinan Bibi Yuli dengan paman Gadis. Sedangkan tokoh Niko dan Ohara memiliki hubungan yang saling membutuhkan atau interdependen dengan Bibi Yuli yang berperan sebagai kachō.
199
Persamaan mendasar yang kedua adalah baik keluarga dalam masyarakat Buton maupun masyarakat Jepang pada masa sebelum berakhirnya perang dunia kedua ketika industri dan teknologi belum berkembang pesat, kedua masyarakat ini sama-sama menjalankan sistem kekeluargaan tradisional. Kedua masyarakat sama-sama menganut sistem kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang berdaulat. Pada saat raja masih memiliki kekuasaan penuh di Buton, sistem kekerabatan tradisional masih dijalankan, demikian pula halnya dengan kerajaan di Jepang yang dipimpin oleh seorang kaisar. Selain itu kedua masyarakat baik masyarakat Buton maupun Jepang masih menjalankan adat istiadat yang ada dalam keluarga tradisional walaupun sistem kekeluargaan tradisional sudah tidak diberlakukan lagi sebagaimana halnya di Jepang. Ahli sosiologi keluarga di Jepang, Aruga Kizaemon (1981) dengan tegas menyatakan bahwa sistem yang berlaku dalam kekeluargaan tradisional Jepang tidak serta merta hilang ketika sistem tersebut dihapuskan dari undang-undang dasar Jepang. Sampai saat ini masih ditemukan penerapan sistem ie dalam masyarakat Jepang walaupun hanya bersifat parsial. Keluarga dalam masyarakat Buton tergambar pada keluarga Imam. Imam tinggal seorang diri dan tidak menikah. Kehidupan melajang yang dijalani Imam adalah di luar kebiasaan masyarakat Buton. Imam tetap melajang sampai usia yang cukup matang sementara teman-teman sebayanya sudah menikah pada usia 20-an. Keluarga Imam yaitu ayah dan ibunya masih tinggal di Wakatobi sementara Imam seorang diri tinggal di kota Kendari. Bisa dikatakan Imam tidak membentuk keluarga di Kendari karena hanya hidup seorang diri hingga ajalnya menjemput. Mengenai keluarga Lia, sebelum Lia menikah hanya terdiri dari Lia dan ibunya saja. Dalam masyarakat Buton sekarang yang dikatakan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami/istri, atau suami, istri dan anaknya atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Definisi keluarga ini dituliskan oleh Bupati Buton dalam peraturan daerah no. 12 tahun 2014. Penggambaran keluarga dari definisi keluarga menurut Bupati Buton ini sangat bersesuaian dengan keluarga Amalia Ode yang hanya terdiri dari Lia dan Ibunya. Ayah Lia sudah lama pergi merantau dan tidak pulang-pulang sehingga segala urusan mengenai rumah tangganya diatur oleh ibu Lia. Ibu memiliki otoritas yang tinggi dalam satu keluarga yang dipimpin oleh perempuan (Udu, 2009). Mengenai kebiasaan pada keluarga tradisional, masih terlihat dalam masyarakat Buton seperti tergambar dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode. Keluarga Imam masih memegang teguh adat seperti tidak menggunakan gelar Ode padahal kakek Imam adalah seorang yang memiliki gelar Ode. Keluarga Imam beranggapan bahwa gelar Ode adalah satu gelar yang didapatkan dari Raja karena sudah berjasa kepada negara, dan bukan gelar yang didapatkan karena keturunan. Keluarga Imam juga menjalankan tradisi melamar Lia dengan mendatangi keluarga Lia. Pada masyarakat tradisional Buton, Ayah dan ibu pihak laki-lakilah yang mendatangi keluarga pihak perempuan untuk melamar. Sementara pada tradisi pada zaman modern ini, melamar seorang perempuan dilakukan sendiri oleh seorang laki-laki langsung kepada perempuan tanpa melibatkan keluarga. Setelah kedua pasangan saling sepakat menikah baru mereka menghubungi keluarga masing-masing untuk meminta restu. Tradisi yang berkaitan dengan keluarga pada masyarakat Buton yang tergambar dalam novel di Bawah Bayang-Bayang Ode berikutnya adalah ketika prosesi pernikahan Amalia Ode yang diselenggarakan menurut adat yang berlaku. Keluarga besar Lia yaitu paman-pamam beserta istri mereka membantu penyelenggaraan pesta perkawinan Lia dengan La Ode Halimu mulai dari proses lamaran, persiapan hal-hal yang berkaitan dengan adat seperti hidangan,
200
sampai pada proses pernikahan hingga selesai. Sementara pada masyarakat modern sekarang, banyak proses pernikahan secara adat ditinggalkan dan prosesi perkawinan yang biasanya berhari-hari bisa diselesaikan satu hari saja pada gedung pesta yang disewa secara bersama oleh kedua keluarga mempelai. Pelaksanaan kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional yang tergambar dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode juga hanya bersifat parsial atau sebagian saja yaitu ketika orang tua Imam pergi melamar Lia dan ketika proses pernikahan Lia dengan sepupunya. Pada novel tidak tergambar bagaimana Imam sebagai seorang individu megikuti kebiasaan menikah pada usia muda yaitu sekitar usia 20-an. Imam malah tetap melajang sampai akhir hayatnya. Di sini terlihat bagaimana kebiasaan menikah pada masyarakat Buton sudah sedikit bergeser dari kebiasaan tradisional. Pada novel Kifujin A no Sosei masih terlihat adanya kachō atau kepala keluarga yaitu Bibi Yuli yang memposisikan diri sebagai pemimpin dalam keluarganya. Anggota keluarga yang lain juga mengikuti apa yang diperintahkan Bibi Yuli yang berperan sebagai seorang kepala keluarga. Suami Bibi Yuli juga mengangkat anak yang dalam istilah pada sistem ie disebut dengan yōshi atau anak angkat. Anak angkatnya adalah Gadis. Ada pula hōkōnin yaitu anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan Bibi Yuli yaitu Niko dan Ohara. Selain itu terdapat pula bisnis keluarga atau kagyō sebagaimana terdapat dalam keluarga tradisional Jepang. Bibi Yuli bersama anggota keluarganya juga mempunyai kebiasaan keluarga atau kafu seperti mengadakan pesta makan bersama dengan semua anggota keluarga. Istilah kachō, yōshi, hōkōnin, kagyō, dan kafu adalah istilah-istilah yang terdapat pada sistem ie. Tapi sistem kekeluargaan yang berjalan dalam keluarga Bibi Yuli tidak sepenuhnya seperti pada keluarga tradisonal Jepang karena masih ada beberapa kebiasaan yang tidak dijalankan yaitu tidak adanya sosen suhai atau pemujaan arwah leluhur dan tidak ditentukannya calon pewaris.. F. PENYELESAIAN MASALAH KELUARGA PADA KEDUA NOVEL Kedua novel baik Di Bawah Bayang-Bayang Ode maupun Kifujin A no Sosei selain menggambarkan struktur keluarga juga tergambar permasalahan yang dihadapi oleh keluarga. Pada novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode, permasalahan keluarga yang muncul adalah tidak bersedianya Amalia Ode dinikahkan dengan sepupunya. Lia yang sudah mempunyai kekasih Imam, menolak untuk dinikahkan dengan sepupunya yang sama-sama menyandang gelar Ode. Bagi Lia gelar Ode bukanlah hal yang penting dalam kehidupannya. Malah gelar tersebut menjadi beban baginya karena harus menikah pula dengan sesama Ode. Penolakan Lia terhadap perjodohan dirinya yang terkesan seperti pemberontakan ketika Lia berusaha lari ke Kendari bersama Imam memperburuk situasinya. Ibu Lia yang sudah kehabisan akal menghadapi anak gadisnya akhirnya melakukan kebiasaan yang berlaku pada keluarga tradisional yaitu bersujud di kaki Lia. Ibu Lia dalam sujudnya memohon agar Lia bersedia menikah dengan calon pilihan ibunya. Atas dasar rasa kemanusiaan yang merupakan falsafah rakyat Buton dan hukum tertinggi dalam budaya masyarakat, Lia tak kuasa lagi menolak keinginan ibu dan keluarga besarnya. Falsafah ini mengajarkan cubitlah kulitmu sendiri, bila merasa sakit maka orang lain juga merasakan hal yang sama. (Udu, 2015). Tindakan sujud seorang ibu di hadapan kaki anaknya memperlihatkan bahwa masih tertanam dalam masyarakat Buton kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional. Masyarakat Buton yang sangat kuat memegang ajaran agama Islam tentu menyadari pula bahwa seharusnya anaklah yang bersujud di telapak kaki ibu, bukan sebaliknya. Namun apa yang dilakukan oleh ibu Amalia Ode adalah salah satu jalan keluar agar Lia bersedia menikah dengan
201
La Ode Halimu sehingga gelar kebangsawanan yang disandangnya tidak hilang dan mereka masih tetap menikmati kehidupan yang layak dari harta kekayaan keluarga besar yang tetap terjaga karena adanya ikatan perkawinan ini. Apa yang dilakukan oleh ibu Lia juga merupakan satu tindakan dari perempuan Buton yang menjadi kepala keluarga di rumahnya. Ibu Lia memiliki otoritas penuh terhadap keluarga dan dapat melakukan apa yang dianggap baik untuk kepentingan semua anggota keluarga, (Udu, 2009). Pada novel Kifujin A no Sosei permasalahan yang muncul dan berkaitan dengan keluarga adalah ketika Bibi Yuli yang sudah lansia kehilangan suaminya karena meninggal dunia. Keluarga besar suaminya kemudian memberikan solusi dengan mengirim Gadis, keponakan suaminya untuk mengurus Bibi Yuli. Keberadaan Gadis di dekat Bibi Yuli didukung oleh sistem kekeluargaan yang memperbolehkan kachō mengangkat anak atau yōshi untuk dijadikan calon pewaris. Gadis menjadi yōshi dari pamannya. Sebagai yōshi, Gadis mempunyai kewajiban menjaga Bibi Yuli berikut harta peninggalan pamannya. Mengangkat yōshi merupakan satu kebiasan yang terdapat dalam sistem ie. Sementara pada masyarakat modern, bila seorang istri yang sudah lansia kehilangan suami dan tidak sanggup mengurus dirinya sendiri maka perawatannya diserahkan ke panti jompo. Walaupun lansia tersebut mempunyai anak-anak, anak-anak tersebut tidak berkewajiban mengurus orang tua yang sudah lansia. Mereka hanya berkewajiban mengurus keluarga inti mereka yaitu suami, istri dan anak-anak yang belum menikah (Ochiai, 1997). Permasalahan lain yang muncul adalah Gadis yang kewalahan mengurus Bibi Yuli seorang diri. Bibi Yuli kemudian menjadikan Niko dan Ohara sebagai anggota keluarganya. Bibi Yuli memperlakukan Niko dan Ohara seperti anggota keluarganya sendiri dengan melibatkan mereka menghadapi tamu-tamu yang hadir ke rumah Bibi Yuli. Sikap Bibi Yuli yang penuh perhatian dan meminta bantuan dalam kesulitan yang dihadapinya seperti seorang kepala keluarga kepada anggota keluarnya. Hal ini membuat Niko dan Ohara juga merasa menjadi bagian dari keluarga Bibi Yuli sehingga mereka dengan sukarela melakukan apa yang diminta Bibi Yuli sebagaimana seorang anggota keluarga melaksanakan perintah dari kepala keluarga. Hal ini terlihat ketika Niko dan Ohara dengan senang hati menjamu dan melayani tamu Bibi Yuli yang diduga sebagai adik kandungnya Alexei. Kehadiran Niko dan Ohara dalam keluarga Bibi Yuli dan bersikap serta bertindak seperti bagian dari keluarga dapat disebut dengan hōkōnin karena keduanya tidak memiliki hubungan darah ataupun hubungan kekerabatan dengan Bibi Yuli. Kehadiran mereka berdua membuat Bibi Yuli merasa senang dan Gadis sangat terbantu dalam mengurus Bibi Yuli. Tindakan keluarga Bibi Yuli yang mengangkat anak untuk merawat Bibi Yuli yang sudah lansia hingga ajalnya merupakan satu pemecahan masalah keluarga yang diambil dari kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional Jepang. Demikian juga dengan menerima orang asing di dalam keluarga menjadi hōkōnin juga merupakan kebiasaan yang terdapat dalam sistem ie. Pemecahan masalah yang diambil menggunakan sistem kekeluargaan tradisional sangat membantu Bibi Yuli menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya dengan bahagia. Bibi Yuli meninggal dunia dengan tenang di hadapan Gadis. Sementara pada zaman sekarang di Jepang banyak kasus lansia yang meninggal seorang diri tanpa diketahui oleh keluarga atau tetangga hingga berhari-hari (Devi, 2013). Simpulan Uraian yang menjelaskan gambaran keluarga yang terdapat dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman Udu dan novel Kifujin A no Sosei karya Ogawa Yoko memperlihatkan bahwa kedua masyarakat yaitu Buton dan Jepang yang tergambar dalam novel,
202
walaupun anggota keluarga dalam masyarakat sudah berada dalam zaman modern, mereka masih menjalankan tradisi-tradisi dalam keluarga tradisional. Tradisi yang terdapat dalam keluarga tradisional baik pada masyarakat Buton maupun Jepang tidak sepenuhnya dijalankan pada keluarga modern, hanya sebagian saja dari tradisi tersebut yang dijalankan. Tradisi yang dijalankan adalah tradisi yang membantu para individu menyelesaikan persoalan ayng dihadapi di dalam keluarga sehingga dari penelaahan kedua novel ini diketahui bahwa dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam keluarga modern, ada kecendrungan untuk menggunakan tradisi-tradisi yang berlaku atau pernah diberlakukan dalam keluarga tradisional. DAFTAR PUSTAKA Aruga, Kizaemon. (1981). Ie : Nihon No Kazoku (Edisi Revisi). Tokyo: Shibundo. Bupati Buton. (2014). Peraturan Daerah Kabupaten Buton No. 12 tahun 2014 Devi, Rima. (2010). Perjuangan Simbolik Seorang Ilmuwan Sebagai Ayah Alternatif pada Novel Hakase No Aishita Shuushiki Karya Ogawa Yoko. Depok: Kajian Wilayah Jepang Pascasarjana Universitas Indonesia. (Tesis). Devi, Rima. (2012). Keluarga Alternatif dalam Masyarakat Jepang Abad Milenium pada Novel Hakase no Aishita Suushiki Karya Ogawa Yoko. Journal of Japanese Studies Vol. 01 No. 01 June 2012. Center for Japanese Studies Universitas Indonesia. Devi, Rima. (2013). Ketiadaan Muenshi pada Lansia dalam Novel Kifujin A No Sosei Karya Ogawa Yoko. Prosiding Simposium Nasional Asosiasi Studi Jepang Indonesia (ASJI), kamis, 28 November 2013 di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. ISBN: 979-26-0267-4. Devi, Rima. (2014). Keluarga Jepang Kontemporer dalam Tiga Novel Karya Ogawa Yoko. Lingua Cultura Jurnal Bahasa dan Budaya Vol. 8 No. 2 November 2014. Universitas Bina Nusantara. Devi, Rima. (2015). Keluarga Jepang dalam Novel Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki, dan Miina No Koushin Karya Ogawa Yoko. Depok: Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. (Disertasi). Devi, Rima. (2015). Struktur Keluarga Jepang dan Implementasinya dalam Keluarga Indonesia. Dalam buku, Sastra Kita: Kini, Dulu, dan Nanti. Jatinganor: Unpad Press Damono, Sapardi. (2013). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum. Faruk (2012). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai PostModernisme. (2nd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goode, William. (2007). Sosiologi Keluarga. (7th ed.). (Dra. Lailahanoum Hasyim, Penerjemah.). Jakarta: Bumi Aksara. Ogawa, Yoko. (2002). Kifunjin A no Sosei. Tokyo: Asahi Shinbunsha.
203
Ochiai, Emiko. (1997). The Japanese Family System in Transition. Japan: LTCB International Library Foundation. Sugimoto, Yoshio. (1997). An Introduction to Japanese Society. Hongkong: Cambridge University Press. Udu, Sumiman. (2009). Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton: Suatu Tatanan yang Terlupakan. Yogyakarta: Makalah Seminar PSW-UGM, 18 Juni 2009. Udu, Sumiman. (2015). Di Bawah Bayang – Bayang Ode. Pekanbaru: Seligi Press. Wellek, Rene, & Warren, Austin. (1993). Teori Kesusastraan. (3th ed.) (Melani Budianta, Penerjemah.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
204
KEARIFAN LOKAL DALAM DONGENG-DONGENG KOREA SERTA RELEVANSINYA BAGI TKI Ronidin (Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) email: [email protected] Abstrak Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu dan merupakan keutamaan budaya suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, ia perlu dijadikan acuan ataupun pegangan hidup bagi masyarakat pemiliknya secara terus-menerus. Meskipun secara kasat mata kearifan lokal bersifat setempat, tetapi pada hakikatnya nilai yang terkandung di dalamnya berlaku secara universal. Secara konseptual, kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang telah berpadu secara tradisional. Kearifan lokal merupakan nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Makalah ini akan membicarakan kearifan lokal dalam dongeng-dongeng Korea, disajikan secara deskriptif. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sesungguhnya dongeng adalah produk sastra yang merupakan pantulan realitas sosiobudaya masyarakat yang melahirkannya. Sumber data adalah dongeng-dongeng yang diterbitkan KBS World Radio siaran Indonesia. Melalui pembacaan yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa dongeng-dongeng tersebut mencerminkan ekspresi kultural masyarakat Korea sehari-hari. Di dalamnya ada gambaran kehidupan yang masih terikat kuat pada nilai-nilai dan etika, ada kebijaksanaan dan tanggung jawab, ada kebersamaan seayun-selangkah, sehilir-semudik dan ada kepercayaan tradisional yang masih alami dan agung. Ekspresi kultural semacam ini perlu kiranya dipahami oleh para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan bekerja di Korea agar tidak mengalami gegar budaya. Kata kunci: dongeng, kearifan lokal, kebijaksanaan, masyarakat Korea, TKI
A. PENDAHULUAN Cerita rakyat seperti dongeng, fabel, cerita-cerita jenaka, dan cerita pelipur lara, dan lainnya erat kaitannya dengan latar belakang sosiobudaya masyarakat yang melahirkannya karena diciptakan dengan ukuran-ukuran dan tata nilai yang berlaku selingkungannya. Karena itu, pemahaman terhadap suatu masyarakat dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap cerita rakyatnya. Menurut Maman S. Mahayana (2010: 84) cerita rakyat itu menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di luar diri manusia—bersifat gaib maupun ajaib—yang mengendalikan kehidupan manusia. Cerita rakyat juga memberikan pedoman atau rambu-rambu kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Selain itu, cerita rakyat merupakan alat ajar bagi manusia tentang proses penciptaan dunia (asal usul tempat), keberadaan dewa-dewa (Tuhan), serta pengukuhan eksistensi dan identitas manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan kebudayaannya. Dapat dikatakan bahwa cerita rakyat seperti dongeng sebagai produk kebudayaan tidak hanya sekedar cerita pengantar tidur saja tanpa sistem nilai yang dikandungnya. Dongeng biasanya berupa cerita prosa rakyat yang dianggap sebagai khayalan yang mustahil pernah terjadi. Dongeng diceritakan terutama memang sebagai hiburan yang di dalamnya terkandung kebenaran, ajaran moral, dan bahkan sindiran terhadap suatu situasi. Dalam pikiran banyak orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri dan legenda lainnya, namun dalam kenyataannya banyak juga dongeng yang mempunyai cerita atau plot yang wajar (Danandjaja, 2002: 83-84).
205
Dongeng Korea yang menjadi objek kajian ini jelas merefleksikan keseharian masyarakat Korea, tentang bagaimana masyarakat Korea dalam suatu masa. Meskipun dongengdongeng itu dominan berkisah tentang masyarakat tradisional Korea, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya berlaku universal sepanjang waktu. Dalam dongeng-dongeng itu dinukilkan refleksi mengenai eksistensi dan pola hidup orang Korea dalam ruang dan waktu, harmoni mereka dengan alam, serta hubungan antara sesama mereka dalam masyarakat (lihat Koenjtaraningrat, 1974: 35-35). Jadi, mengetahui karakter orang Korea, dapat dilakukan dengan memahami dongeng-dongeng mereka. Pemahaman terhadap karakteristik orang Korea yang dipantulkan melalui dongengdongeng mereka itu menarik untuk dibicarakan. Hal ini untuk menggali nilai-nilai budaya Korea yang bersumber dari akar tradisi mereka sebagai implementasi kerjasama di bidang kebudayaan dengan Indonesia. Selain itu, upaya membicarakan dongeng-dongeng Korea dapat pula untuk memperkenalkan serba sedikit tentang budaya Korea kepada Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya ditulis TKI) yang akan bekerja di negeri gingseng tersebut. Sejauh ini, pengiriman TKI ke perusahaan-perusahaan di berbagai kota di Korea Selatan terus meningkat. Begitu pula sebaliknya, investasi perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia juga terus meningkat sejalan pula dengan promosi pemerintah Korea mengenai wisata dan budaya Korea. Peningkatan ini selain efek menguatnya ekonomi Korea sebagai “macan” Asia, juga sebagai efek domino dari meningkatnya popularitas kebudayaan Korea melalui halyu (deman Korea) ke berbagai penjuru dunia. Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), secara kuantitatif jumlah TKI yang akan berangkat dan telah berada di Korea sangat besar. Pada tahun 2016, Pemerintah Korea menyediakan kuota 4.400 TKI untuk bekerja di Korea Selatan secara prosedural resmi dan dilindungi hukum. Total pada tahun 2016 ada sekitar 30—35 ribu TKI bekerja di Korea dan sekitar 4 ribu orang di antaranya merupakan TKI tidak resmi yang bekerja di perusahan-perusahan kecil. Jika dihitung dari tahun 2004 hingga akhir 2015 telah tercatat sekitar 61 ribu lebih TKI bekerja di Korea, ditambah 4 ribu orang lebih pada tahun 2016 (lihat: http://www.bnp2tki.go.id/read/11463/Lepas-146-TKI-ke-Korea-TahunIni-Masih-Tersedia-1700-Lowongan). Para TKI yang akan dan telah bekerja di berbagai perusahaan Korea harus diperkenalkan dengan kebudayaan Korea terutama mengenai karakteristik masyarakat Korea secara berkesinambungan. Pengenalan ini sangat diperlukan supaya para TKI tersebut tidak mengalami gegar budaya yang berkepanjangan bila telah berada di Korea dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. TKI yang akan berangkat maupun yang sudah berada di Korea diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai mengenai local wisdom seperti kebiasaan dan adat istiadat orang Korea, kondisi alam, maupun kondisi perusahaan. Dengan demikian, mengungkapkan makna dan isi dongeng-dongeng Korea sangat diperlukan. Dongeng Korea: Prosedur Analisisnya Dongeng-dongeng Korea yang dimaksudkan adalah dongeng-dongeng yang bercerita tentang “dunia” masyarakat Korea dengan setting Korea. Dongeng-dongeng tersebut diambil dari rubrik Taman Dongeng KBS (Korean Broadcasting System) World Radio berbahasa Indonesia. KBS World Radio (seperti RRI di Indonesia) merupakan radio pemerintah Korea yang menyiarkan berita-berita lokal dan internasional, aneka hiburan, budaya Korea, dan hal-hal lain tentang Korea dengan berbagai bahasa di dunia termasuk bahasa Indonesia. Acara-acara tersebut dapat didengarkan melalui siaran KBS World Radio masing-masing pada gelombang
206
9570 KHz pukul 19.00-20.00 WIB, gelombang 9570 KHz pukul 21.00-22.00 WIB, dan gelombang 9805 KHz pada pukul 05.00-06.00 WIB. Dongeng-dongeng yang terdapat dalam rubrik Taman Dongeng KBS World Radio dituliskan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Choi Sin Young, seorang professor bahasa Indonesia di Jurusan Melayu-Indonesia Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Choi Sin Young sangat fasih berbahasa Indonesia. Karena dongeng-dongeng ini merupakan hasil reproduksi, maka kemungkinan adanya interpretasi dan tambahan-tambahan dari penulis sangat terbuka. Meskipun demikian, esensi dari dongeng-dongeng tersebut tidak mengalami disfungsi karena tetap saja menyimpan pesan dan nilai-nilai tertentu. Dongeng seperti ini menurut pandangan Endraswara (2008: 150-151) dapat digolongkan kepada sastra lisan sekunder, yaitu sastra lisan yang telah diramu menggunakan alat elektronik. Dongeng-dongeng di rubrik Taman Dongeng KBS World Radio ini dipublikasikan secara mingguan dengan cara didongengkan atau didramatisasi (on air) dan juga dimuat dalam laman radio tersebut. Untuk kepentingan makalah ini, dongeng yang diambil merupakan dongeng yang diterbitkan dalam rentang 2 tahun antara edisi 10 April 2013 s.d. 17 April 2015. Dongeng-dongeng tersebut diambil dari laman KBS World Radio yang dapat diakses melalui alamat: http://world.kbs.co.kr/indonesian/program/program_koreastory_detail.htm. Dongeng-dongeng yang telah didownload dibaca secara keseluruhan, kemudian dipilah-pilah. Dongeng yang isinya menyajikan aspek kearifan lokal akan dipilih untuk dibicarakan, sedangkan dongeng yang tidak sesuai dengan topik kearifan lokal akan disisihkan. Dongeng yang memiliki tema dan motif yang sama, akan dipilih salah satunya saja. Selanjutnya dilakukan pembacaan lagi secara lebih seksama untuk mengetahui hubungan atau relasi-relasi dari setiap unsur yang membangun dongeng tersebut yang dapat dijadikan dasar analisis selanjutnya. Dari proses pembacaan yang dilakukan diperoleh pengetahuan dan kesan tentang latar dan isi cerita, tentang tokoh-tokohnya, tentang berbagai peristiwa yang dilakukan tokohtokoh itu, serta berbagai peristiwa yang mereka alami. Untuk tahap selanjutnya, langkah yang dilakukan mengikuti pola kerja Levi Strauss (dalam Putra, 2006: 93) yang menempatkan makna dongeng tidak terdapat pada bagian-bagian unsurnya. Jika dongeng dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna itu tidaklah terdapat pada unsur-unsur yang berdiri sendiri, yang terpisah satu sama lain, tetapi pada cara unsur-unsur itu dikombinasikan satu dengan yang lain “in the way the elements are combined”. Cara mengkombinasikan unsur-unsur dongeng inilah yang menjadi tempat beradanya makna. Makna terdapat pada relasi-relasi yang dibangun oleh tindakan atau peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam setiap bagian cerita yang dikemukan melalui kalimat. Oleh karena itu, dalam proses analisis perhatian ditujukan pada kalimat-kalimat yang menunjukkan tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang memperlihatkan suatu pengertian tertentu dihubungkan dengan kalimat-kalimat lain yang memperlihatkan pengertian yang lain pula. B. PEMBAHASAN Masyarakat Korea hidup dalam empat musim yang datang silih berganti dalam tiga bulan, yaitu musim tumbuh/semi (Maret—Mei) , musim hangat/panas (Juni—Agustus), musim luruh/gugur (September—November), dan musim beku/dingin (Desember—Februari). Setting waktu seperti inihadir dalam dongeng-dongeng Korea untuk menggambarkan aktivitas seharihari masyarakat Korea. Akan tetapi, hampir dalam semua dongeng, setting waktunya yang dominan adalah pada musim semi dan musim hangat/panas. Pada musim ini diceritakan bahwa
207
banyak pekerjaan dapat dilakukan. Masyarakat Korea dapat mengolah sawah dan tanah pertanian lainnya untuk bercocok tanam, kemudian memanennya di penghujung musim panas. Sebagian hasil itu dijual dan sebagian dikeringkan dan disimpan untuk bekal musim dingin. Hanya sedikit dongeng yang berlatar pada musim gugur dan musim dingin. Dongeng yang latarnya musim dingin umumnya adalah tentang binatang. Pada musim dingin masyarakat tidak bisa mengolah tanah pertanian. Pekerjaan yang dapat dilakukan adalah pekerjaan yang ringan saja. Masyarakat desa biasanya membuat arang untuk penghangat dan menjualnya di pasar atau kepada orang-orang kaya. Dalam dongeng “Pemuda dari Pohon Tua” (dimuat di laman KBS World Radio, 12/02/2014) digambarkan musim dingin saat itu sangatlah dingin dan salju tebal menumpuk di mana-mana, sampai-sampai orang-orang di desa tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Mereka tidak bisa bekerja. Sebaliknya pada musim semi, bunga-bunga kembali bermekaran dan penduduk satu desa pun mulai bertani. Padi-padi tumbuh dengan baik dan menghasilkan banyak beras pada musim panen. C. ETOS KERJA MASYARAKAT KOREA Dominannya latar dongeng pada musim semi dan panas menunjukkan etos kerja yang tinggi dari masyarakat Korea. Bagi mereka, kalau ingin mendapatkan kehidupan yang baik, maka harus bekerja dengan giat. Jika ingin mempunyai cadangan makanan yang cukup pada musim dingin, maka harus berusaha keras pada musim semi dan panas. Gambaran semacam ini misalnya dapat dilihat dalam dongeng “Kisah Sepasang Kekasih” (08/04/2015). Dalam dongeng ini dikisahkan seorang pemuda bernama Gilsu yang sangat rajin bekerja. Gilsu menghidupi diri dengan berladang sejak mulai musim semi/bunga hingga musim gugur dan membuat arang pada musim dingin. Gilsu menikah dengan Sojeong yang bekerja pada seorang bangsawan tempat Gilsu menjual arang. Sojeong terpaksa bekerja pada bangsawan tersebut untuk menebus utang keluarganya saat gagal panen. Ketika Gilsu ingin menikahi Sojeong, majikannya mensyaratkan pada Gilsu untuk membayar seratus karung kacang sebagai tebusan Sojeong. Gilsu kemudian bekerja keras menanam kacang dan merawatnya siang malam untuk memenuhi syarat itu. Gilsu merupakan prototipe tokoh yang rajin dan pantang menyerah. Dongeng “Bocah Cerdas” (11/03/2015) juga berlatar musim semi dan panas. Dalam dongeng ini digambarkan bahwa tokoh Pak Kim bekerja dengan giat menanam tanaman ararut (maranta arundinacea) yang gampang diambil dan dipanen, umbinya dapat dimakan. Pak Kim bisa menjadi orang kaya berkat kerja kerasnya mengolah lahan pertaniannya. Kesuksesan Pak Kim itu membuat seorang penguasa menjadi iri dan kemudian memungut pajak yang besar dari Pak Kim. Berkat kecerdikan anaknya, Pak Kim terhindar dari membayar pajak yang besar tersebut. Latar dongeng “Mengajari Buku Daehak” (20/08/2014) juga pada musim panas. Dalam dongeng ini seorang pemuda petani merasa bosan bekerja di ladangnya dan iri melihat pelajar murid-murid biksu yang kerjanya hanya membaca buku saja. Kemudian dia memutuskan untuk menjadi murid dan belajar membaca. Ketika gurunya mengajarinya membaca buku Daehak yang berisi ajaran Konfusius, dia tidak bisa-bisa sehingga dia dipukuli oleh gurunya dan ditertawakan murid-murid yang lain. Akhirnya Si Pemuda lari dari perguruan dan kembali ke ladangnya. Ia kembali bekerja dengan rajin. Ia menyadari bahwa ternyata menjadi murid itu juga harus bekerja dengan keras. Kepada sapi miliknya yang membantunya bekerja membajak sawah, pemuda itu mengatakan supaya tidak malas. Kalau malas ia akan memberinya hukuman. Selanjutnya, dongeng “Manusia yang Menjadi Sapi” (17/04/2013) yang latarnya pada awal-awal musim semi di mana orang-orang sibuk mengolah lahan pertanian mereka
208
menggambarkan hubungan etos kerja dengan sapi. Dongeng ini bercerita tentang seorang suami yang malas bekerja. Ia hanya mengandalkan istrinya yang rajin. Karena kesal, istrinya mengusir suami pemalas itu dari rumah. Dalam pengembaraannya, suami yang tidak punya uang itu luntang lantung di jalanan. Kemudian dia bertemu dengan seorang tua yang mengubahnya menjadi seekor sapi. Orang tua itu memerintahkan suami yang sudah menjadi sapi itu untuk bekerja keras. Bila ia berhenti bekerja, maka orang tua itu akan mencambuknya. Suatu hari sapi itu memakan lobak cina dan dia kembali menjadi manusia. Setelah menjadi manusia lagi, suami itu bertobat. Suami itu menjadi orang yang rajin bekerja. Sayang istrinya tidak percaya kepadanya lagi. Selain latar waktu yang dominan pada musim semi dan panas, latar tempat juga mendukung semangat kerja keras ini. Sebagaian besar dongeng yang latarnya desa menggambarkan para petani yang giat dan rajin mengolah lahan pertanian mereka, misalnya tokoh Petani dalam dongeng “Uang di dalam Kantong” (14/05/2014). Semangat kerja keras telah menjadi local wisdom bagi para petani di Korea. Walaupun kontur lahan yang digambarkan umumnya adalah sawah dan perbukitan yang berbatu, namun mereka mengolahnya dengan rajin kemudian menanami dengan tumbuh-tumbuhan yang sesuai. Pak Kim dalam “Bocah Cerdas” (11/03/2015) menanami bukit karang berbatu dengan tanaman ararut (maranta arundinacea) yang umbinya bisa dimakan. Sementara itu, dalam dongeng-dongeng yang berlatar pasar maupun kota, maka para tokoh yang terlibat di dalamnya juga memperlihatkan semangat kerja yang tinggi. Misalnya, tokoh Kim dalam dongeng “Pak Kim Jadi Orang Kaya” (26/03/2014) adalah seorang pedagang sendal jerami yang rajin. Walaupun dagangannya kurang laris, tetapi ia tidak pernah berputus asa. Setiap pekan, dia pergi ke pasar menjual sendal-sendal jeraminya. Hal yang sama dapat dibaca pula dalam dongeng “Penjual Ketimun dari Songlo” (27/08/2014) dan “Penjual Genteng Biru” (08/10/2014) di mana tokohnya adalah para pedagang yang rajin meskipun dalam berdagang ia dikalahkan oleh nafsu serakahnya. D. SIKAP ANAK PADA ORANG TUA Orang Korea sangat menghormati orang tua ataupun orang yang lebih tua. Karena itulah di Korea ada hari orang tua yang disebut oboinal. Pada hari orang tua itu, anak-anak akan memberikan berbagai hadiah terutama bunga anyelir sebagai simbol kasih sayang anak kepada orang tua mereka. Hadiah lain yang diberikan anak kepada orang tua mereka adalah membebaskan orang tua dari pekerjaan rutin sehari-hari. Anak-anak akan mengerjakan semua pekerjaan itu. Kebiasaan anak menghormati orang tua seperti ini bersumber dari ajaran konfusinisme yang menekankan pada beberapa aspek tata krama dalam pergaulan seperti saling menghargai sesama, menghormati yang lebih tua, dan menyayangi anak-anak. Sikap seperti ini terlihat dalam diri tokoh dongeng-dongeng Korea. Dalam dongeng “Suami Istri yang Berbakti” (28/01/2015) digambarkan tokoh suami-istri yang sedang pergi bekerja dan menitipkan anak mereka kepada ayah suaminya yang sudah tua. Ketika siang hari anak yang ditipkan itu meninggal dunia karena terbakar akibat bermain api, sedangkan kakeknya tertidur pulas karena terlalu banyak minum arak. Sepulang dari tempat bekerja, istri yang pulang lebih dulu sangat kaget melihat jasad anaknya. Akan tetapi sang istri tidak membangunkan ayah mertuanya yang masih pulas karena takut akan mengganggunya. Istri itu tidak mau ayah mertuanya jadi sakit gara-gara melihat cucunya yang meninggal itu. Diam-diam istri itu menguburkan anaknya di atas bukit. Setelah suaminya pulang pada malam hari, dia menceritakan semua kejadian yang barusan terjadi. Sambil menenangkan
209
suaminya dia berkata, “Anak kita meninggal karena kita kurang perhatian. Itu bukan karena kesalahan ayah. Lebih baik kita jangan menegur ayah. Bagi kita, ayah cuma ada seorang saja, bukan? Kita masih muda dan pasti dikaruniai bayi lagi". Bagi sang istri, keberadaan ayah mertuanya tak bisa digantikan, sedangkan anak bisa mereka lahirkan lagi. Sang suami menjadi terenyuh mendengar perkataan istrinya dan berterima kasih padanya. Suami itu kemudian membungkukkan badannya jika pulang dan pergi kerja kepada istrinya sebagai tanda penghormatan. Kisah yang hampir sama juga ada dalam dongeng “Gentong Ajaib” (25/02/2015) di mana sepasang suami istri merawat ibu mereka yang sudah tua dengan baik. Suami istri itu melayani kebutuhan ibunya dengan senang hati. Hanya saja, anak mereka selalu menghabiskan makanan yang disediakan untuk neneknya dengan lahap. Suami istri itu lalu berniat mengubur anak mereka supaya ibunya bisa makan dengan layak, tetapi niat itu tidak jadi dilakukan karena mereka menemukan sebuah gentong ajaib yang bisa menggandakan benda-benda yang dimasukkan ke dalamnya. Dengan gentong itu mereka menyediakan makanan untuk ibu dan anak mereka yang nafsu makannya sangat besar. Mereka berpikir bahwa Tuhan membantu mereka untuk melayani ibu mereka dengan lebih baik melalui keajaiban gentong itu. Ketika ibunya meninggal, suami istri itu mengubur gentong itu karena merasa tidak membutuhkannya lagi. Dalam dongeng “Kisah Shimcheong” (18/09/2013) digambarkan bakti tokoh Shimcheong kepada ayahnya yang buta. Setiap hari Shimcheong merawat ayahnya yang buta itu tanpa pernah mengeluh. Suatu hari ayah itu bertemu dengan seorang biksu. Biksu itu berkata bahwa jika ayah Shimcheong bisa menyediakan 300 karung beras, maka ia akan dapat melihat lagi. Untuk mencari beras sebanyak itu sangat sulit bagi Shimcheong dan ayahnya. Suatu hari, Shimcheong menghadap seorang pelaut yang sedang mencari seorang gadis muda yang akan dikorbankan untuk Dewa Laut. Shimcheong menawarkan dirinya ditukar dengan 300 karung beras agar ayahnya bisa sembuh. Ketika Shimcheong dikorbankan ke laut, ia dikasihi Dewa Laut. Shimcheong senang hidup dengan makhluk laut, tapi tidak bisa berhenti mencemaskan ayahnya. Sehingga Dewa Laut menempatkannya di atas teratai raksasa dan membawanya ke permukaan laut. Suatu hari seorang pelayan raja membawa bunga itu teratai ke istana. Ketika kelopak bunga dibuka, Shimcheong melangkah keluar. Setelah itu raja jatuh cinta pada Shimcheong dan berencana menikahinya. Tetapi Shimcheong tetap saja memikirkan ayahnya dan harus minta restu padanya. Raja berjanji mencari ayah Shimcheong. Lalu diadakanlah perjamuan dengan mengundang semua orang buta di negeri itu. Pada hari ketiga, ayah Shimceong datang ke istana dan bertemu kembali dengan anaknya yang sudah lama menghilang. Sebuah keajaiban terjadi. Mata ayah Shimcheong tiba-tiba terbuka dan bisa melihat kembali. Mereka kemudian berpelukan haru. Setelah menikah dengan raja, Shimcheong dan ayahnya tinggal di istana. Mereka hidup bahagia. Dalam dongeng yang lain seperti “Harimau yang Tidak Melupakan Budi Orang” (04/12/2013) tokoh seorang pemuda berjuang mencarikan obat untuk ayahnya yang sedang sakit parah meskipun obat yang akan dicarinya sangat sulit dan harus menghadapi tantangan yang berat karena saat itu sedang puncak musim dingin. Dalam pencariannya dia dibantu oleh seekor harimau yang membalas budi karena Si Pemuda pernah menolong anak harimau itu. Dongeng ini menggambarkan bagaimana seorang anak sangat mengkhawatirkan kesehatan ayahnya, kemudian rela mengorbankan diri demi kesembuhan ayahnya itu.
210
E. ETIKA DALAM PERGAULAN SEHARI-HARI Masyarakat tradisional Korea yang direfleksikan dalam dongeng-dongeng Korea adalah masyarakat yang masih terikat kuat dengan nilai-nilai luhur dan adat istiadat mereka. Tokohtokoh dalam dongeng-dongeng tersebut hidup sebagai makhluk sosial yang saling tolong menolong sesama, peduli kepada orang lain, bijaksana, dan menghargai orang lain. Walaupun dalam pergerakan tokohnya ditemukan pula tokoh yang bersifat asosial sebagai pengembangan peristiwa/cerita, namun tokoh itu akan tetap sebagai pihak yang kalah. Kebenaran selalu mengalahkan keburukan/kejahatan, kesederhanaan mengalahkan ketamakan, kejujuran mengalahkan kebohongan atau tipu muslihat, dan sebagainya. Dongeng “Jiseong dan Gamcheon” (06/08/2014) mengisahkan persahabatan dua orang pengemis Jiseong dan Gamcheon. Meskipun keduanya cacat secara fisik, tetapi mereka selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Mereka suka menolong. Mereka tidak egois dan tidak mementingkan diri sendiri. Sikap kedua pengemis ini merefleksikan sikap orang Korea secara umum yang suka menolong. Dalam realitas kehidupan hari ini, sikap seperti ini masih bisa dijumpai di dalam masyarakat Korea di mana banyak orang masih suka menolong orang lain yang membutuhkan bantuan. Dikisahkan bahwa Si Jiseong adalah pemuda lumpuh dan Si Gamcheon adalah pemuda buta. Kedua tokoh ini hidup saling membantu dan saling membutuhkan. Gamcheon selalu menggendong Jiseong yang lumpuh, sebaliknya Jiseong menunjuk jalan kepada Gamcheon yang tidak bisa melihat. Pada suatu hari dalam sebuah perjalanan, mereka menemukan sebongkah emas di dalam sungai. Keduanya saling mempersilakan untuk mengantongi emas itu lebih duluan. Jiseong mempersilakan Gamcheon mengantongi emas itu karena Gamcheon yang pertama melihatnya. Sebaliknya, Gamcheon mempersilakan Jiseong yang mengatongi emas itu karena Jiseong yang telah menggendong tubuhnya ke sungai itu. Akhirnya karena mereka samasama saling ingin mendahulukan teman, mereka putuskan tidak jadi mengambil emas itu. Mereka lalu meneruskan perjalanan dan memberitahukan tentang emas itu kepada seorang pengembara. Pengembara itu heran kenapa dua pemuda pengemis itu tidak mengambil emas yang sangat berharga itu. Kepada pengembara Jiseong dan Gamcheon mengatakan bahwa mereka tidak membutuhnya. Ketika emas itu akan diambil pengembara, emas itu berubah menjadi ular besar. Pengembara marah pada Jiseong dan Gamcheon karena merasa telah ditipu. Kemudian Jiseong dan Gamcheon kembali ke sungai dan menemukan emas itu telah terbelah menjadi dua bagian. Lalu mereka pungut masing-masing sebelah dan mereka kemudian meneruskan perjalanan. Emas itu tidak mereka jual tetapi diberikan kepada biksu untuk dibangunkan sebuah kuil. Ketika kuil selesai dibangun oleh para biksu terjadi keajaiban. Jiseong dan Gamcheon sembuh dari sakit mereka berkat doa dari para biksu itu. Jiseong dan Gamcheon kemudian hidup damai dan selalu berbuat baik serta menolong orang lain. Dongeng “Periuk dari Katak” (09/04/2014) merupakan dongeng yang berisi tentang prinsip tolong menolong. Seorang pria menolong sekelompok anak-anak katak/berudu yang kekeringan pada musim kemarau. Anak-anak katak itu menggelepar-gelepar di atas tanah sawah yang mulai kering. Pria itu lalu mengumpulkan semua anak berudu yang ada di sana, memasukkan ke dalam topi capingnya serta membawanya ke sumber air di sekitar sawah itu. Dua bulan kemudian pria itu lewat lagi di tempat itu. Ketika itu dia mendengar banyak katak bernyanyi dengan riang. Katak-katak itu lalu menghalangi perjalanan pria itu. Katak-katak itu ingin memberikan sebuah periuk kepada pria itu. Pria itu awalnya tidak mau menerima periuk itu karena sudah usang dan dia tidak membutuhkannya. Katak memaksanya. Akhirnya pria itu
211
membawa periuk itu ke rumahnya. Ternyata periuk pemberian katak itu adalah periuk ajaib yang bisa menggandakan beras yang dimasukkan ke dalamnya. Pria itu senang karena kebutuhan hidupnya setiap hari dapat dipenuhi dengan keajaiban periuk itu. Periuk itu adalah balas budi dari katak-katak yang pernah diselamatkan oleh pria itu. Meskipun dalam dongeng ini tokohnya adalah seorang pria dan katak, tetapi dongeng ini dapat dimaknai sebagai kiasan terhadap orang-orang yang suka menolong, suka melepaskan seseorang dari kesulitan hidupnya. Intinya adalah bahwa pertolongan yang diberikan secara tulus akan mendapatkan balasan yang setimpal. Barang siapa yang menabur kebaikan, maka dia akan menuai kebaikan pula. Kisah yang hampir sama tetapi berbeda tokoh juga dapat ditemukan dalam dongeng “Orang yang Jadi Kaya dengan Dua Gulung Kain” (19/02/2014). Dalam dongeng ini tokoh seorang suami menolong seorang ibu dan anaknya yang mengalami kebakaran. Rumahnya hangus dan tidak ada barang yang bisa diselamatkan. Suami itu memberikan dua gulungan kain kepada ibu dan anak itu. Dua puluh tahun kemudian, nasib baik berpihak pada ibu dan anak itu. Mereka menjadi kaya. Sebagai balas budi, ibu dan anak itu menghadiahkan sebuah rumah besar dan pekarangan yang luas kepada tokoh suami yang dulu menolongnya ketika terjadi kebakaran. Sementara itu, dongeng “Uang dalam Kantong” (14/05/2014) merupakan dongeng yang menyampaikan pesan tentang kejujuran seseorang dalam masyarakat. Sampai hari ini kejujuran merupakan budaya dalam masyarakat Korea yang masih terjaga. Dalam dongeng ini digambarkan seorang petani menemukan segepok uang dalam kantong di pinggir jalan. Petani jujur itu merasa bahwa ia tidak boleh mengambil uang orang lain yang bukan haknya. Uang itu kemudian diserahkannya kepada kepala kampung. Ia tidak mengambil sepersen pun meskipun saat itu ia sangat membutuhkan uang. Dongeng lain tentang kejujuran digambarkan melalui tokoh suami dan istrinya dalam dongeng “Seorang Sarjana dan Buah Kurma” (29/01/2014). Suami itu tidak mau memakan buah kurma yang diambil istrinya terjatuh di halaman samping rumah mereka. Buah kurma itu adalah milik tetangga mereka yang sebagian dahannya condong ke rumah suami istri itu. Sang suami marah pada istrinya kenapa mengambil milik orang lain tanpa izin. Suami istri itu lalu bertengkar. Suami mengusir istrinya. Pertengkarang mereka didengar oleh tetangga yang memiliki pohon kurma. Tetangga itu kemudian memutuskan untuk menebang pohon itu karena telah membuat suami istri itu bertengkar. Niatnya untuk menebang dicegah oleh si suami dengan berkata, “Sabar dulu... Saya pikir, saya salah... dan saya berbuat salah kepada istri saya yang baik. Saya tidak akan mengusir istri saya. Jadi Anda tidak perlu menebang pohon ini." Dongeng ini selain berisi tentang kejujuran, juga berisi tentang kehati-hatian, dan menghargai orang lain/tetangga. Tokoh suami itu tidak mau makan kurma yang didapat istrinya karena kurma itu bukan milik mereka. Sementara itu, tokoh tetangga yang mendengar pertengkaran suami istri itu memutuskan menebang pohon kurma yang menjadi biang pertengkaran suami istri tetangganya itu. Sikap tokoh tetangga ini mencerminkan bahwa ia sangat menghargai tokoh suami istri tetangganya. Kehidupan saling menghargai antara keluarga tokoh suami istri dengan tokoh tetangga dalam dongeng ini menunjukkan bahwa prinsip saling menghargai menjadi bagian penting dalam keseharian penduduk Korea. Dongeng tentang kejujuran lainnya adalah “Kapak Emas dan Kapak Perak” (07/08/2013) yang berkisah tentang seorang Dolsoe yang berhati baik dan jujur serta Meoksoe yang malas dan tamak. Ketika bekerja menebang pohon di dalam hutan, Dolsoe kehilangan kapak di sebuah telaga. Kapaknya tercebur ke telaga itu. Dewa Gunung kemudian menolong
212
membawakan beberapa kapak ke hadapan Dolsoe. Dolsoe mengatakan kepada Dewa Gunung bahwa kapaknya yang hilang adalah kapak yang sudah jelek, bukan kapak emas atau kapak perak yang diberikan Dewa Gunung. Sebaliknya Meoksoe yang pura-pura menghilangkan kapaknya di telaga itu mengaku kepada Dewa Gunung bahwa kapak emas dan kapak perak adalah miliknya. Dewa Gunung tahu bahwa Dolsoe jujur dan Meoksoe bohong. Kepada Dolsoe, Dewa Gunung memberi hadian kapak emas dan kapak perak. Kepada Meokso Dewa Gunung tidak memberikan apa-apa karena kebohongannya. Dalam dongeng ini, kejujuran Dolsoe mengalahkan kebohongan dan ketamakan Meoksoe. F. SISTEM KEPERCAYAAN Pada dasarnya masyarakat Korea adalah masyarakat yang mempercayai adanya kekuatan “lain” yang lebih tinggi daripada yang dimiliki manusia. Berkaitan dengan sistem kepercayaan ini, hampir semua dongeng Korea yang tokoh dan peristiwanya tentang kehidupan manusia maupun binatang memiliki korelasi vertikal yang jelas dengan kehidupan para biksu Buddha di kuil-kuil mereka dan atau kekuatan-kekuatan gaib pada benda-benda tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kepercayaan masyarakat Korea yang digambarkan dalam dongengdongeng mereka itu adalah kepercayaan yang bersumber pada ajaran Buddha dan kepercayaan totemisme. Kepercayaan terhadap Buddha digambarkan dalam beberapa dongeng. Umumnya tokoh Buddha adalah tokoh suci (spiritual) tempat manusia menyandarkan hidup mereka serta meminta dan berkeluh kesah. Dalam dongeng “Buddha Mengabulkan Mimpi” (17/04/2015) tokoh Jeong memohon kepada Buddha untuk diberikan istri dan anak. Jeong percaya bahwa Buddha adalah tempat yang tepat untuk berdoa. Buddha pasti akan mengabulkan doanya. Hal yang sama juga terdapat dalam dongeng “Pagoda Saudara” (04/03/2015) di mana dikisahkan seorang biksu Buddha yang sedang bertapa di kuilnya menolong seorang wanita yang hampir dimakan harimau. Wanita itu berterima kasih dan ingin menikah dengan biksu itu. Tetapi biksu itu tidak bisa menikah karena dia adalah abdi Tuhan. Dia menjadikan wanita itu sebagai saudaranya. Wanita itu pun akhirnya memilih menjadi biksu dan mereka kemudian membangun dua buah kuil tempat persembahyangan yang kini dikenal dengan Pagoda Saudara. Begitulah, jika tokoh-tokoh dongeng tersebut adalah biksu Buddha, maka perannya adalah sebagai penolong, sebagai dewa bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sementara itu kepercayaan totemisme wujud dalam dongeng-dongeng yang berisi tentang kepercayaan masyarakat pada kekuatan yang dimiliki oleh benda-benda dan makhluk selain manusia seperti dewa, tuyul. Kepercayaan terhadap benda-benda misalnya hadir melalui dongeng-dongeng yang menampilkan kekuatan gaib dari benda-benda seperti guji/gentong ajaib seperti dalam dongeng “Gentong Ajaib” (25/02/2015). Ada pula periuk ajaib seperti dalam dongeng “Periuk dari Katak” (09/04/2014). Kemudian ada air panas ajaib seperti dalam dongeng “Air Panas Ajaib” (11/02/2015). Ada juga lonceng ajaib dalam dongeng “Lonceng Balas Budi” (05/11/2014). Selain itu ada pula topi ajaib dalam dongeng “Topi Ajaib” (30/10/2013). Dalam hal kepercayaan terhadap dewa dinukilkan melalui keberadaan dewa dari kayangan/langit seperti dalam dongeng “Bidadari dan Penebang Kayu” (21/08/2013), seorang penebang kayu yang beristri seorang bidadari dari langit serta dongeng “Tarian Bidadari” (12/11/2014). Ada Dewa Laut seperti dalam “Kisah Simcheong” (18/09/2013), di mana ia melindungi Simcheong ketika dikorbankan ke laut. Kepercayaan terhadap dewa juga terdapat
213
dalam dongeng “Kapak Emas dan Kapak Perak” (07/08/2013) yaitu adanya Dewa Gunung yang tinggal di hutan. Kepercayaan pada makhluk gaib lain seperti tuyul ada dalam dongeng “Tuyul Jahat dan Menantu Baik” (17/07/2013), dongeng “Akulah Tuyul” (31/07/2013) atau dalam dongeng “Tuyul dari Sawah” (15/01/2014). G. SIMPULAN Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng-dongeng Korea merupakan media yang tepat untuk mengenal masyarakat Korea dari berbagai segi. Nilai-nilai luhur yang dikadung oleh dongeng-dongeng tersebut telah melembaga dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Korea adalah masyarakat yang berbudaya sejak dulu hingga kini. Analisis yang dilakukan terhadap unsur-unsur dongeng yang meliputi latar dan isi cerita, tokoh-tokoh, dan berbagai peristiwa yang dilakukan tokoh-tokoh ituakhirnya mengerucut pada gambaran tentang masyarakat Korea yang memiliki etos kerja yang tinggi, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan seperti menghormati orang tua, hidup saling tolong menolong, peduli pada orang lain, jujur. Selain itu, mereka juga hidup dengan sistem kepercayaan tradisional yang mempercayai kekutan-kekuatan lain seperti Buddha, dewa-dewa atau benda-benda lain yang dapat membantu manusia dari kesulitan-kesulitan hidup yang dihadapinya. Gambaran tentang masyarakat Korea yang dipantulkan dongeng-dongeng ini akan sangat membantu para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dan sudah bekerja di Korea dalam upaya memahami bagaimana dan seperti apa masyarakat Korea sesungguhnya. Dengan demikian, fungsi sastra seperti dongeng sebagai alat pendidikan dan alat pencerminan anganangan suatu kelompok masyarakat benar-benar dapat dimanfaatkan keberadaannya. DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo Press http://www.bnp2tki.go.id/read/11463/Lepas-146-TKI-ke-Korea-Tahun-Ini-Masih-Tersedia1700-Lowongan. Diakses 06/04/2017, 3:57 PM. http://world.kbs.co.kr/indonesian/program/program_koreastory_detail.htm??lang=i¤t_pa ge=&No=871 Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya Jawa Timur: Penerbit Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, HISKI. Koenjtaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Mahayana, Maman S. 2010. “Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Korea—Indonesia” dalam Prosiding Seminar International Toward a Better Cooperation Beetween Indonesia and Other Countries: Prospect and Retrospect, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 7 Agustus 2010, hlm 80-93. Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2006. Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kepel Press.
214
EKSES PERISTIWA G30/S 1965 TERHADAP ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL PECINAN KOTA MALANG KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM Rosana Hariyanti Program Studi Bahasa dan Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Brawijaya Malang Email: [email protected] Abstrak Peristiwa G30/S melahirkan berbagai ekses bagi bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di kota Malang pada masa itu. Dalam novel berjudul Pecinan Kota Malang yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim, hal itu disinggung melalui satu bagian riwayat hidup para tokoh perempuan yang dituturkan dalam novel yang berlatar belakang etnis Tionghoa. Ekses yang dialami kedua tokoh tersebut meliputi aspek pendidikan, ekonomi, dan keamanan. Melalui perspektif sosiologis, tulisan ini berusaha melakukan kajian mengenai kesejajaran antara fakta literer yang tertuang dalam novel dengan fakta sejarah. Hasil kajian menunjukkan bahwa ekses tersebut dialami oleh warga Tionghoa di Indonesia sebagai akibat dari kecurigaan terhadap komunisme, posisi yang lemah secara politis, dan faktor ekonomi. Namun demikian, situasi di kota Malang tetap kondusif karena warga Tionghoa dapat menerima perubahan akibat pergolakan politik tersebut. Kata kunci: ekses, peristiwa G30/S, etnis Tionghoa, kota Malang
A. PENDAHULUAN Sejarah Indonesia mencatat sebuah peristiwa kelam yang terjadi pada tahun 1965, yaitu Gerakan 30 September. Pergolakan politik tersebut tidak hanya berdampak di tingkat elit politik tanah air, namun juga masyarakat sipil dari berbagai kalangan sebagai akibat dari kecurigaan terhadap Partai Komunis Indonesia yang dianggap sebagai biang keladi dari peristiwa ini. Ekses dari peristiwa ini telah disinggung dalam berbagai karya sastra, salah satunya adalah novel Pecinan Kota Malang yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim. Dalam novel tersebut, penulis yang berasal dari kota Malang ini menceritakan dua sosok perempuan berdarah Tionghoa yang lahir dan tumbuh remaja di kota Malang pada tahun 1950 – 1970an. Pergolakan politik 1965 turut mewarnai perjalanan hidup keduanya sehingga terjadi perubahanperubahan dalam beberapa aspek kehidupan mereka. Hal ini menarik untuk ditelisik lebih jauh mengingat isu-isu yang terkait dengan etnisitas, khususnya bagi kelompok minoritas, acap kali berakar pada kecurigaan yang pada gilirannya berpotensi mengarah pada disintegrasi bangsa. Tulisan berikut ini mengupas bagaimana pergolakan politik yang terjadi di tahun 1965 tersebut menimbulkan ekses terhadap masyarakat etnis Tionghoa di kota Malang, sebagai akibat kecurigaan terhadap partai yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Melalui penyejajaran antara fakta literer dalam novel dengan fakta historis, tulisan ini juga akan memaparkan lebih jauh mengenai bagaimana sikap warga etnis Tionghoa masa itu dalam menghadapi ekses tersebut. B. TEORI DAN METODE Pembicaraan mengenai kehidupan sosial yang termuat dalam karya sastra tidak terlepas dari aspek dokumenter dari karya sastra. Sebagaimana disampaikan oleh Sapardi Djoko
215
Damono (1978, hal. 8-9), pendekatan terhadap aspek ini bertumpu pada landasan berpikir bahwa sastra merupakan cermin jamannya. Khusus mengenai novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, Michel Zeraffa dalam tulisannya yang bertajuk The Novel as Literary Form and Social Institution menjelaskan bahwa bentuk dan isi novel berkaitan erat dengan fenomena sosial, terutama dengan momen-momen tertentu dalam sejarah masyarakat. Dengan kata lain, novel tidak bisa dilepaskan dari realita sejarah yang berusaha diinterpretasikannya (Burns, ed., 1973, hal. 35-38). Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menganalisis hubungan antara pengalaman para tokoh ciptaan pengarang itu dengan fakta sejarah sesungguhnya. Terkait dengan fokus tulisan ini, yaitu situasi warga etnis Tionghoa di kota Malang di saat terjadinya peristiwa G30/S, maka pemahaman mengenai etnisitas juga perlu dipaparkan. Chris Barker (2000, hal. 195) mengemukakan bahwa etnisitas merupakan sebuah konsep kultural yang terkait dengan penyebaran norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktik budaya. Suatu kelompok masyarakat dikatakan sebagai kelompok etnis tertentu karena mereka memiliki penanda kultural yang dibentuk oleh konteks historis, sosial dan politik yang spesifik, sehingga melahirkan sense of belonging (rasa memiliki). Dengan kata lain, satu etnis tertentu memiliki identitas yang sama karena berakar pada budaya yang sama. Bertolak dari pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa warga etnis Tionghoa merupakan satu kelompok masyarakat yang memiliki identitas yang sama. Namun demikian, seiring dengan perkembangan sejarah keberadaan etnis tersebut di Indonesia, muncul dua kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia yang disebut sebagai totok dan peranakan. Tionghoa totok mengacu pada warga Tionghoa yang secara keturunan tidak bercampur dengan etnis lain, sedangkan peranakan adalah sebaliknya sehingga orientasi budayanya mengacu pada daerah tempat tinggalnya (Tan, 2000, hal. 166). Dengan berlandaskan pemikiran tersebut, maka kajian ini disusun dengan mengamati kesejajaran antara pengalaman yang dituturkan oleh tokoh dalam novel dengan fakta sejarah sesungguhnya. Fakta sejarah tersebut diperoleh dari berbagai catatan sejarah serta wawancara dengan narasumber yang mengalami masa-masa ketika peristiwa G30/S terjadi, khususnya ekses yang dihadapi warga Tionghoa kota Malang pada saat itu. C. PEMBAHASAN Novel yang ditulis oleh Ratna Indraswari Ibrahim ini mengisahkan dua orang perempuan yang bersahabat sejak kecil, yaitu Lely dan Anggraeni. Keduanya adalah warga etnis Tionghoa yang berasal dari kota Malang. Lely yang merupakan warga Tionghoa totok adalah seorang pengusaha dan tetap tinggal di Malang hingga dewasa, sedangkan Anggraeni yang peranakan berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Keduanya dipertemukan lagi setelah berusia 50-an tahun. Dalam pertemuan tersebut keduanya saling bercerita mengenai apa yang terjadi selama perjalanan hidup mereka, di antaranya terkait dengan peristiwa G30/S yang membawa perubahan dalam sejarah hidup masing-masing. Berdasarkan penuturan para tokoh, terdapat dua bidang yang secara signifikan menunjukkan ekses dari peristiwa tersebut dalam sejarah hidup mereka. Berikut ini keduanya dikaji lebih dalam dan dihubungkan dengan fakta sejarah sesungguhnya. a. Pendidikan dan Ekonomi Perubahan besar yang terjadi dalam bidang akademik bagi tokoh Lely adalah dengan terhentinya pendidikan akibat penutupan sekolah. Lely menempuh jenjang sekolah dasar di SD Ma Hwa, kemudian berlanjut ke sekolah Ma Chung. Namun, jenjang sekolah lanjutan ini tidak dapat dituntaskan sejak meletusnya peristiwa G 30/S sebagaimana dituturkan berikut ini:
216
Waktu SMP aku tidak sampai di kelas tiga. Bertepatan dengan ujian kenaikan kelas meletuslah peristiwa G 30 S. Sekolah Tionghoa ditutup dan diambil alih. Aku tidak mengerti, mengapa sekolah kami dituduh sebagai antek-anteknya PKI. Seingatku, guruguru tidak pernah mengajarkan teori tentang komunisme. Aku ingat guru sejarahku, Pak Han, menangis dan bilang pada kami, “Aku kira kalian harus belajar di manapun dan aku bersumpah tidak pernah mengajarkan teori komunisme pada kalian. Karena aku merasa bukan Tionghoa tapi orang Indonesia.” (Ibrahim, 2008, hal. 25) Kutipan tersebut menggambarkan adanya kecurigaan terhadap sekolah Tionghoa yang dianggap turut berperan dalam penyebaran paham komunisme. Seperti diketahui, Partai Komunis Indonesia (PKI) berikut paham yang dibawanya disinyalir sebagai dalang dari peristiwa berdarah di tahun 1965 tersebut. Meskipun hal itu dibantah oleh tokoh Lely melalui pernyataan bahwa sekolah dan gurunya tidak pernah mengajarkan komunisme, penutupan sekolah tetap terjadi. Dalam buku Dilema Minoritas Tionghoa (1984, hal.162-167), Leo Suryadinata memaparkan bahwa seluruh organisasi yang berafiliasi dengan Peking dinyatakan ilegal karena pejabat Indonesia menuduh Peking telah mendukung PKI. Selama beberapa tahun, anak Tionghoa “asing” tidak memperoleh pendidikan. Baru pada tahun 1969 didirikan Sekolah Nasional Proyek Chusus (SNPC) yang diajar oleh warga negara Indonesia. Pendirian sekolah ini dianggap sebagai sebuah solusi bagi “masalah Tionghoa” pada saat itu. Hal ini diperkuat oleh Mely G. Tan dalam kumpulan tulisan Etnis Tionghoa di Indonesia (2008, hal. 200) mengenai adanya peraturan penutupan sekolah berbahasa Tionghoa. Keberadaan SNPC bertujuan untuk menampung anak-anak dari sekolah yang ditutup tersebut. Sekolah ini berkurikulum nasional dan menempatkan pelajaran Bahasa Tionghoa sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Penggunaan aksara Tionghoa di tempat umum (nama toko dan perusahaan) juga mengalami pelarangan pada tahun 1967, demikian pula dengan masuknya buku maupun majalah beraksara Tionghoa. Penetapan peraturan tersebut berimbas ke kota Malang. Secara khusus terdapat catatan sejarah yang menyebutkan bahwa pernah berdiri Perguruan Malang Chung Hwa Xue Xiao (Perguruan TiongHwa Malang/Machung) di wilayah Jalan Tanimbar. Seiring dengan pergolakan politik yang berpuncak pada peristiwa G 30/S 1965, sekolah tersebut ditutup dan gedungnya dipergunakan oleh SMAN 5 hingga saat ini. Peristiwa ini menegaskan bahwa peraturan tersebut berlaku juga bagi warga etnis Tionghoa di kota Malang. Selain institusi pendidikan, warga Tionghoa yang menjalankan perdagangan juga menghadapi tindak penutupan tempat usaha. Seperti kebanyakan warga etnis Tionghoa, kedua orangtua Lely mencari nafkah dalam bidang perdagangan. Mereka mendirikan toko kue di dua tempat. Sejak kecil Lely telah terlatih untuk bekerja di toko kue tersebut, bahkan waktunya sehari-hari hanya dihabiskan untuk bersekolah dan bekerja. Namun, peristiwa kup 1965 mengakibatkan ditutupnya toko-toko keluarga Lely seperti diungkapkan dalam kutipan berikut ini: Setelah berusia limabelas tahun, ketika aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena sekolah Tionghoa ditutup, toko milik orangtuaku juga ditutup. Semuanya akibat peristiwa G 30 S. Toko yang di dekat bioskop Merdeka diambil alih oleh Angkatan Laut. Dan yang satu lagi, yang di dekat kantor kabupaten diambil oleh Kehakiman. Tapi untungnya kemudian yang di dekat bioskop Merdeka bisa dibuka lagi. Pihak Angkatan Laut memberi kesempatan dengan syarat dijaga oleh anggota Angkatan Laut. Sedang toko yang di dekat kantor kabupaten tidak boleh dibuka sama sekali. Namun setelah
217
dinegosiasi baru boleh diambil kembali dengan menggunakan nama kakakku yang sudah berwarga Negara Indonesia. Toko yang berada di dekat bioskop Merdeka sesungguhnya kami sewa dari pemiliknya, yaitu almarhum Tan Tjin Siong. (Ibrahim, 2008, hal. 32) Terkait dengan hal ini, fakta sejarah mencatat bahwa perasaan anti-Cina meningkat selepas tejadinya peristiwa G 30/S, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Para penguasa daerah mengambil tindakan sendiri-sendiri terhadap mereka. Salah satunya adalah ketika di awal tahun 1967, para penguasa militer di Jawa Timur dan sebagian Sumatera melarang warga Tionghoa ‘asing’ untuk berdagang (Suryadinata, 1982, hal. 144). Hal ini menjelaskan kutipan di atas yang menyatakan bahwa setelah terjadi peralihan kepemilikan toko kepada warga Tionghoa yang telah berwarganegara Indonesia, maka usaha tersebut bisa dibuka kembali. Satu hal yang menarik adalah bahwa ekses yang dialami oleh tokoh Lely tesebut tidak terjadi pada tokoh Anggareni yang notabene adalah warga Tionghoa peranakan. Nenek dari pihak ayahnya adalah seorang Jawa keturunan prajurit Diponegoro. Anggraeni menjalani kehidupan sebagaimana orang Indonesia pada umumnya. Pada saat Lely harus putus sekolah, Anggraeni tetap bisa menempuh pendidikan di sekolah negeri, seperti tertuang dalam kutipan berikut ini: Anggraeni tertegun. Pada waktu itu dia di SMP Negeri 3 Malang. Dia dan adik-adiknya tetap bisa sekolah (karena mereka warga Negara Indonesia). Akan tetapi, papinya sejak saat itu sering gelisah dan bilang, “Sungguh, aku tidak pernah merasa Tionghoa. Apakah sebaiknya kalian mencari negeri baru saja. Anggraeni, bisakah kau bayangkan bagaimana Lely dan sebayamu harus putus sekolah karena menjadi korban politik. Aku khawatir nasib itu akan menimpa kau dan adik-adikmu.” (Ibrahim, 2008, hal. 25) Pendidikan Anggraeni tetap berlangsung tanpa hambatan sampai ke jenjang perguruan tinggi, hingga akhirnya ia berhasil menjadi seorang dosen di Jakarta. Demikian pula dengan kehidupan perekonomian keluarganya. Ayahnya seorang dokter gigi yang juga membuat usaha gigi palsu bagi kebanyakan warga Tionghoa. Meskipun diliputi kecemasan, keluarga tersebut tidak mengalami perubahan besar sebagai ekses dari gejolak politik yang terjadi. Kondisi relatif stabil juga dipaparkan oleh Handoko J. Stefanus, seorang narasumber yang menginjak usia remaja ketika peristiwa 1965 meletus. Dinyatakan bahwa sebagai warga Tionghoa yang berdarah campuran dan menyatu dengan budaya Jawa, ia tidak telalu merasakan ekses dari pergolakan politik tersebut. Peralihan sekolah Tionghoa menjadi sekolah negeri benar terjadi, demikian pula dengan penutupan toko. Namun demikian, hampir separuh dari warga etnis Tionghoa kota Malang dapat menerima perubahan tersebut sehingga situasi tetap kondusif. Ditambahkan pula bahwa warga Tionghoa di kota Malang cukup diterima oleh warga asli. Berbeda dengan kota Surabaya, kekuasaan warga Tionghoa di kota Malang tidak terlalu kuat. Oleh karena itu, warga asli tidak merasa direndahkan sehingga gesekan antara kedua belah pihak dapat dihindarkan. b. Keamanan Secara politis, kecurigaan terhadap warga Tionghoa semakin meningkat seiring dengan memanasnya situasi Negara seputar gerakan 1965. Dalam novel ini diceritakan bagaimana kondisi menjadi tak menentu dan mencekam, khususnya bagi warga Tionghoa:
218
Sampai suatu kali ia bertanya, “Papi, apa yang terjadi hingga setiap kali harus ngomong politik dengan Pak Saleh?’ “Kau tahu? Indonesia kini seperti dilanda penyakit sampar. Tetapi aku tidak kepingin pindah dari negeri ini. Anggraeni, banyak pembunuhan yang dilakukan oleh orangorang yang tidak jelas. Pak Saleh juga menganjurkan Papi pindah, karena situasi politik pada saat ini sulit sekali. Kami tidak yakin apakah yang membuat onar itu Aidit, Untung atau golongan dari partai kami.” (Ibrahim, 2008, hal. 34-35) Kutipan tersebut menyiratkan bahwa akibat situasi politik yang bergejolak dan tidak menguntungkan, muncul wacana untuk meninggalkan Indonesia demi menyelamatkan diri, seperti yang disarankan oleh tokoh Pak Saleh kepada Papi Anggraeni. Dituturkan juga bahwa beberapa warga Pecinan telah berpindah ke Negara baru seperti Australia, Singapura, dan Malaysia. Warga etnis Tionghoa menghadapi ancaman keamanan akan keberadaan mereka di tanah air sebagaimana tampak dalam dialog Mami Anggraeni kepada putrinya berikut ini: “Anggraeni, sebagai anak sulung seharusnya kau memberi contoh pada adik-adikmu. Apalagi setelah G 30 S ini kita tidak tahu lagi harus berada di mana. Adik Mami mengajak kita semua pindah ke Negeri Belanda, tapi papimu yang merasa turunan prajurit Pangeran Diponegoro itu berat sekali meninggalkan kota ini.” (Ibrahim, 2008, hal. 33-34) Satu hal yang menarik dalam bagian ini adalah bahwa keluarga Anggraeni yang sesungguhnya telah berkewarganegaraan Indonesia ternyata juga tidak luput dari kekhawatiran akan keamanan mereka. Hal ini diperjelas oleh petikan berikut: Dan papinya yang dokter gigi itu sering mengatakan kepada Anggraeni dan adikadiknya, “Sejak peristiwa G 30 S, sekalipun kita warga Negara Indonesia, kita tidak pasti bisa tinggal terus di negeri ini. Makanya kusuruh kau dan adik-adikmu merantau ke Jakarta, kota yang paling gampang untuk menuju ke negeri lainnya.” Dan itu diucapkan papinya berulang-ulang, sampai meninggal 10 tahun yang lampau. (Ibrahim, 2008, hal. 9) Ketakutan akan jaminan keamanan untuk tetap berada di Indonesia sangat beralasan. Sejarah mencatat bahwa seiring dengan aksi penumpasan G 30/S maka lahir pula kampanye Anti-Cina (Sinophobia) yang diarahkan kepada Pemerintah RRT maupun warga etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka dijadikan “kambing hitam” , tanpa memandang apakah mereka masih berkewarganegaraan asing atau sudah menjadi warganegara Indonesia. Selain menangkap para pimpinan maupun kader PKI, orang-orang Tionghoa yang disinyalir terlibat dalam gerakan makar tersebut juga turut menjadi sasaran pengejaran dan penangkapan. Puluhan ribu warga Tionghoa yang menjadi pemimpin maupun kader PKI, Pemuda Rakyat, Baperki, Chung Hua Tsung Hui dan organisasi lainnya akan segera diciduk apabila dicurigai ikut terlibat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Handoko J. Stefanus mengenai situasi yang terjadi di kota Malang, yaitu terdapatnya beberapa anggota Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang juga ditangkap dan dipenjarakan. Kerusuhan yang ditujukan kepada warga Tionghoa seputar masa ketidakpastian 1965/1966 juga dicatat oleh Onghokham (2008, hal. 23-24). Namun demikian, sebagian besar kekejaman sesungguhnya hanya ditujukan kepada mereka yang dituduh komunis. Beberapa ahli luar negeri salah mengartikan hal ini sebagai pembunuhan besar-besaran warga Tionghoa. Kesalahpahaman ini tidak lepas dari pelarangan besar-besaran terhadap beragam aspek
219
kehidupan dan kebudayaan Tionghoa seperti pertunjukan, perayaan, dan penggunaan huruf Cina. Kampanye dan aksi represif yang dilakukan oleh penguasa militer ini menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi warga Tionghoa. Diperkirakan bahwa dipilihnya etnis Tionghoa sebagai kambing hitam tidak terlepas dari pertimbangan bahwa mereka menempati posisi politis yang lemah dan tanpa perlindungan. Selain itu, mereka juga dianggap sebagai parasit ekonomi dengan menimbun kekayaan, tidak peduli terhadap kepentingan rakyat, dan suka menransfer dana ke luar negeri. Terkait dengan hal ini, patut disimak pernyataan tokoh Anggraeni dalam novel bahwa memang benar banyak keturunan Tionghoa yang menguras negeri ini. Akan tetapi, di sisi lain banyak pula warga Tionghoa yang ditindas, dikorbankan, dan dikambinghitamkan. Oleh karena itu, Tionghoa atau bukan, sesungguhnya ia tidak menyukai keculasan ini. D. SIMPULAN Mely G. Tan menyebutkan bahwa sejak Pemerintahan Soekarno, hubungan antara minoritas etnis Tionghoa dengan mayoritas etnis Indonesia adalah “love-hate relationship”. Di satu sisi, peran mereka sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, kekuatan ekonomi mereka justru memunculkan kebencian. Posisi dilematis inilah yang pada akhirnya kerap memunculkan situasi tidak menguntungkan bagi mereka, di antaranya ketika pecah peristiwa G 30/S 1965. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekses peristiwa tersebut juga merambah wilayah kota Malang. Petikan cerita yang dituturkan dalam novel Pecinan Kota Malang mengindikasikan kesejajaran dengan fakta sejarah terkait ekses yang dialami warga etnis Tionghoa di Indonesia secara umum maupun di kota Malang secara khusus. Rasa khawatir akan keamanan bertempat tinggal di Indonesia meliputi seluruh warga etnis Tionghoa akibat situasi yang mencekam. Dalam hal pendidikan dan ekonomi, warga Tionghoa totok merasakan dampak yang lebih besar jika dibandingkan dengan warga Tionghoa peranakan yang telah memasuki sektor kehidupan sebagaimana warga Indonesia lainnya. Meskipun demikian, kondisi di wilayah kota Malang relatif stabil dan tidak terlalu bergejolak karena masing-masing pihak, baik minoritas maupun mayoritas, dapat menerima perubahan dengan baik dan tidak saling merendahkan. Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa ekses tersebut lekat dengan kecurigaan dan kecemburuan sosial terhadap etnis tertentu, yang pada gilirannya melahirkan citra negatif serta pandangan stereotipe terhadap seluruh warganya. Hal ini berimbas pada perlakuan yang tidak sepatutnya dalam konteks hak asasi manusia, dan lebih jauh lagi, berpotensi menjadi sebuah ancaman bagi kesatuan negara Indonesia yang pada hakekatnya terbentuk dari keberagaman. DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice.London : Sage Publications Burns, Elizabeth and Tom Burns, ed. 1973. Sociology of Literature and Drama. Middlesex: Penguin Education Damono, Sapardi D. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
220
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Giyanto. 2015. Sejarah Kekerasan Terhadap Orang Tionghoa. Diakses dari http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Sejarah_Kekerasan_Terhadap_ Orang_Tionghoa_di_Indonesia pada tanggal 8 April 2017 Ibrahim, Ratna Indraswari. 2008. Pecinan Kota Malang. Malang: Human Publishing. Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Jakarta: Komunitas Bambu Purmono, Abdi. 2010. Belajar Dagang di Universitas Ma Chung. Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2010/04/09/079239266/belajar-dagang-di-universitas-machung pada tanggal 4 April 2017 Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers. Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
221
KESADARAN DAN KEBANGKITAN PEREMPUAN DALAM KUMPULAN CARPON “DUA WANOJA” KARYA CHYÉ RÉTTY ISNÉNDÉS Siti Nuraeni Universitas Padjadjaran [email protected] Abstrak Penciptaan karya merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang terjadi disekitar lingkungannya. Beragam tema yang mengangkat persoalan-persoalan kehidupan manusia banyak ditampilkan dalam karya sastra. Tema yang menarik adalah tema yang mengangkat persoalan kehidupan perempuan yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Geofe (1986: 837) menegaskan feminisme sebagai teori persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Ketidakseimbangan kekuatan antara peran wanita dengan laki-laki menjadi bahan perdebatan dimana gender menjadi permasalahan yang cukup besar dan harus ada upaya mengakhirinya. Hal ini dibuktikan dengan adanya gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan atas laki-laki. Ketidakadilan gender terhadap perempuan muncul dengan adanya anggapan bahwa kedudukan dan posisi dianggap lemah dan tidak penting menyebabkan perempuan tidak memiliki kepercayaan diri serta kebebasan untuk menentukan pilihan dalam kehidupannya. Mengingat hal tersebut, untuk melawan ketidakadilan terhadap gender kumpulan carpon yang berjudul Dua wanoja karya Chyè Rètty Isnèndès muncul sebagai karya yang menyuarakan hak-hak perempuan dan membangkitkan kesadaran bahwasannya perempuan tidak selamanya lemah dan berada dibawah pihak laki-laki. Kumpulan carpon Dua Wanoja ini memunculkan ide-ide feminis yang selayaknya diakui oleh kaum laki-laki dan berpengaruh pada perubahan kehidupan. Dengan demikian, penelitian ini berupaya untuk mengungkap nilai-nilai feminitas yang mampu membentuk kesadaran dan kebangkitan perempuan atas laki-laki. Metode yang digunakan yaitu metode eksploratif dengan berfokus kepada pembongkaran teks dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan di dalamnya menyangkut representasi gender. Kata kunci : feminisme, kebangkitan dan kesadaran, ide-ide feminis
A. PENDAHULUAN Karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Karya sastra menjadi media transformasi informasi dari pengarang kepada pembaca. Salah satu karya sastra yang dapat menyampaikan gagasan pengarang adalah Carpon (Carita Pondok). Carita pondok (carpon) merupakan karya sastra yang paling memasyarakat dibandingkan dengan jenis karya sastra lain, seperti novel, puisi, dan drama. Beragamnya tema yang mengangkat persoalan-persoalan kehidupan manusia banyak ditampilkan dalam karya sastra terutama tema yang mengangkat persoalan kehidupan perempuan yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Mengingat hal tersebut, teori yang khusus membongkar kajian mengenai hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil yaitu feminisme. Seperti yang diungkapkan oleh Budianta (2002:201) mengartikan feminisme sebagai suatu kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin atau gender. Dengan kata lain, Feminisme merupakan gerakan perempuan dalam menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tarapan politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial. Maka dengan itu muncul gerakan
222
feminisme yang memperjuangkan dua hal untuk perempuan yaitu persamaan derajat dengan laki-laki, dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Berkaitan dengan hal itu, kumpulan carpon Dua Wanoja karya Chyé Rétty Isnéndés merupakan salah satu carpon yang dapat menyampaikan gagasan-gagasan pengarangnya terutama dalam hal feminis secara simbolik.Dimana dapat dikaitkan dengan pemikiran beserta rasa keperempuanan dalam diri seorang perempuan, sesama jenisnya, lawan jenisnya, dunia kreatifnya, dan yang tak terlupa dengan masyarakatnya. Karya sastra mengenai perempuan sebenarnya merupakan arus terpendam dalam arus utama sastra. Karya sastra yang berkaitan dengan perempuan terutama carpon ataupun novel merupakan sebuah tulisan yang membawa muatan dua suara dikarenakan selain dari menciptakan dunia sastra yang otonom, juga didalamnya terdapat nilai-nilai warisan sosial dan budaya dari suatu masyarakat yang dianggap lemah, rendah, dan tiada daya. Oleh karena itu tulisan mengenai perempuan sebenarnya suatu langkah dalam pemaknaan dirinya sendiri dengan kehidupan sekelilingnya yang erat kaitannya dengan tradisi juga sejarah yang melingkupinya. B. TEORI DAN METODE Teori Feminisme Feminisme adalah seperangkat ide yang tertata dan sekaligus suatu rencana aksi yang praktis, yang berakar dalam kesadaran kritis kaum perempuan tentang bagaimana suatu kebudayaan yang dikendalikan arti dan tindakannya oleh kaum laki-laki, demi keuntungan mereka sendiri, menindas kaum perempuan dan serentak merendahkan martabat kaum laki-laki sendiri sebagai manusia. (Joann Wolski Conn, New Vitality: The Challenge from Feminist Theology, America,156:217, 5 Oktober 1991). Feminisme merupakan suatu arena plural bagi teori dan politik yang memiliki perspektif dan preskripsi yang paling berkompetisi untuk sebuah aksi. Secara umum kita meyakini feminisme menyatakan bahwa jenis kelamin sebagai poros fundamental dan tak dapat tereduksi dari organisasi sosial yang sampai dengan hari ini telah mensubordinasi perempuan dibawah laki-laki. Jadi, feminisme memberi perhatian pada jenis kelamin dan prinsip penataan kehidupan sosial yang sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Karena perempuan tidak hanya bekerja dirumah saja, tetapi pekerjaanya setrata dengan laki-laki. Di zaman modern ini, perempuan tidak untuk ditindas, karena perempuan sadar memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki. Kesadaran perempuan dapat membantu dirinya untuk bebas dari pemahaman tradisi patriarki sejarah menunjukkan bahwa setelah berabad-abad perempuan tertindas dan terampas haknya, akhirnya muncul kesadaran baru dari mereka. Disinilah paham feminisme muncul dari kesadaran diskriminasi atas perempuan. Selain itu Feminisme, sebagai roh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut”.Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis. Untuk mengubah penindasan dan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun politik diperlukan kesadaran perempuan untuk melakukan perjuangan beserta seluruh rakyat demi tegaknya kesetaraan, keadilan dan demokrasi. Suatu keharusan untuk membangun pondasi kekuatan dengan persatuan kaum
223
perempuan yang berada di organisasi tani mau pun buruh atau organisasi-organisasi lainnya untuk bersama-sama dan bersatu padu yang juga harus didukung oleh kaum laki-laki. Feminisme berusaha untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional secara baru atau praktik-praktik yang kelihatannya diterima begitu saja dari waktu ke waktu. Feminisme menentang nilai-nilai tradisional menyangkut kedua jenis seks, khususnya nilai-nilai maskulin dan kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Berkenaan dengan ini, muncul pula apa yang dikenal dengan istilah feminisme sosial. Feminisme sosial meletakan persoalan sosial dalam kritik kapitalisme. Feminisme sosialis menganggap analisis partiarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas, yang juga menganggap ketidakadilan bukan akibat perbedaan biologis melainkan karena penilaianna dan anggapan terhadap perbedaan itu. (Ruth veen, 1990:35-36, Fakih, 1999:84-85) Metode Penelitian Menurut Ramlan & Ari (2011), Eksploratif adalah upaya awal membangun pengetahuan melalui peningkatan pemahaman atas suatu fenomena. Strategi yang digunakan memperluas dan memperdalam pengetahuan. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan eksploratif adalah suatu proses pembelajaran yang diawali dengan membangun pengetahuan awal untuk mencari informasi tentang yang akan dipelajari berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Metode yang digunakan yaitu metode eksploratif dengan berfokus kepada pembongkaran teks dengan mempertimbangkan hubunganhubungan di dalamnya menyangkut representasi gender. C. PEMBAHASAN Berbagai ketidakadilan gender terhadap perempuan beserta kedudukannya muncul di dalam masyarakat. Adanya anggapan bahwa kedudukan atau posisi yang dianggap lemah dan tidak penting menyebabkan perempuan tidak memiliki kepercayaan diri serta kebebasan untuk menentukan pilihan dalam kehidupannya sendiri. Karya sastra yang mengangkat tema mengenai masalah kekerasan terhadap perempuan. kesetaraan gender yang sering dialami perempuan, juga ketidakadilan gender yang dialami perempuan merupakan tema-tema feminisme. Kumpulan carpon Dua Wanoja diasumsikan mengandung bentuk-bentuk kesadaran terhadap perempuan yang dapat dikaji menggunakan teori sastra feminisme sehingga dapat menjadi sumber masukan baru bagi gerakan feminisme.Melalui penelitian terhadap karya sastra bergenre prosa berbentuk cerpen pembaca menjadi tahu bentuk-bentuk kebangkitan beserta kesadaran perempuan terhadap sesuatu yang mendominasinya. Kesadaran Kekuasaan dalam Karya Sastra Ada empat hal yang menjadi ciri perempuan agar bisa mengendalikan kekuasaan dirinya, kebebasannya, dan kesadarannya. Empat hal tersebut antara lain adalah : 1. tulisan perempuan dengan raganya, 2. Tulisan perempuan dengan bahasanya, 3. Tulisan perempuan dengan jiwanya, 4. Tulisan perempuan dengan budayanya. Keempat ciri tersebut dapat direpresentasikan oleh pengarang perempuan lewat tokoh-tokoh perempuan yang diciptakannya, baik dalam novel, carpon, puisi dan sebagainya. Tokoh perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan tiada lain : refleksi dari keperempuanannya sendiri; rasa perempuannya; pikirannya; aktivitasnya; budaya yang direpresentasikan; juga kemungkinan pilihan jawaban dari masalah yang dihadapinya.
224
Dua Wanoja (Dua Perempuan) merupakan judul carpon yang diangkat menjadi perwakilan dari isi carpon tersebut. Dalam carpon ini memuat isu-isu gender khususnya feminisme yang berkaitan dengan salah satu jenis feminisme yaitu feminisme sosial. Dalam kumpulan carpon atau Cerpen Dua Wanoja (Dua perempuan) terdapat 15 carpon diantaranya Dua Wanoja, Dongeng Demo Di Hiji Pabrik, Indung. Kebang Eurih Stasiun Gombong, Malaikat Jeung Spongebob, Ambara Trèsna, Kukupu Hibeur Dina Beus, Katumbiri Nutug Leuwi, Rakèan Sumur Tangtu Mandala Timur, Isukan Rèk Di Wisuda, Neng Adam Brigade Citarum Bayangan, Ilsa Sièta, Nu Umbut Kalinduan, Percaya Ka Kembang Bungur,Asih Kembang Jambu. Terlihat kebangkitan dari seorang wanita yang ditunjukan dalam profesi yang ada dalam semua carpon Dua Wanoja ini. Seperti seorang wanita yang menjadi buruh pabrik, penulis, mahasiswa dan seorang kader politik. Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita mampu bersaing dan menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki. Terdapat suatu hasrat perempuan yang ingin bangkit dari keterdintasannya dari laki-laki dengan cara menuangkan ide-idenya melalui tulisan. Seperti pada carpon yang berjudul Dua Wanoja dan Malaikat Jeung Spongbob. Tokoh perempuan mempunyai harapan tinggi untuk menyuarakan tulisan-tulisan perempuan, menyuarakan hak perempuan, membangun citra diri seorang perempuan lewat tulisan dan ide-idenya tersebut. Kesadaran tergambarkan melalui peristiwa karakter tokoh-tokoh dan latar sosial budaya yang terbangun didalam carpon tersebut. Ide utama sebagai suatu kebangkitan feminis yang ingin disampaikan kepada pembaca adalah pengutamaan kesetaraan gender, hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, menentang dominasi budaya patriarki yang ada dan melawan segala bentuk ketidakadilan gender yang terjadi. Terdapat wacana dalam carpon Dua Wanoja diantaranya berkisah tentang kurangnya antusias media menyampaikan tulisan-tulisan perempuan dan pandangan laki-laki engenai tulisan perempuan yang lebih rendah. “ Nu kedah disanghareupan ku urang ayeuna nyaéta kirangna media nu nyoarakeun tulisan tulisan wanoja” “ Sareng ngahimpun kakuatan kanggo nyanghareupan sora lalaki nu nuding yén tulisan-tulisan wanoja taya hartina”. Selain itu adanya harapan seorang perempuan untuk menjunjung tinggi kedudukannya dengan menyuarakan tulisan-tulisan perempuan yang selama ini dianggap rendah oleh kaum laki-laki menjadi suatu ketertindasan bahwasannya perempuan dianggap lemah dan tiada artinya serta tidak dapat menggerakan suatu geliat bidang kehidupan apapun walaupun hanya dengan tulisannya. Adanya pandangan-pandangan tentang perempuan dalam sebuah lingkungan dan kedudukannya di dalam budaya patriarki dan gerakan perempuan dalam kehidupan sosialnya untuk menyetarakan dirinya dengan kaum laki-laki sebagai sebuah wujud dari ide-ide kebangkitan dan kesadaran gender dalam mengubah persepsi dan posisi dari perempuan. Bahwasannya perempuan dapat menjadi sadar dan bangkit ketika lingkungan telah menyudutkan dirinya serta penindasan dan kekuasaan kaum laki-laki terlebih dalam ranah kapitalisme. Perempuan menjadi sentral eksploitasi tenaga secara gratis dalam ranah rumah tangga. Hal tersebut menunjukan bahwa pergerakan perempuan untuk menyamakan kedudukan dengan laki-laki, sudah tampak ketertindasan perempuan akibat budaya patriarki dan sistem kapitalis yang dipermasalahkan oleh feminis sosialis. Analisis isu perempuan dan tema feminisme tersebut menampilkan permasalahanpermasalahan perempuan yang diangkat pengarang dalam kumpulan carpon Dua Wanoja. Analisis isu perempuan tersebut akan membawa pada identifikasi perjuangan perempuan
225
menghadapi permasalahannya diwujudkan yang dalam karya sastra. Tema feminisme yang diangkat pada intinya adalah perempuan harus mampu mencapai titik kebangkitan dan mampu memberikan pandangan-pandangan baru terutama yang berkaitan dengan bagaimana karakterkarakter perempuan dalam karya sastra, yang sepanjang perjalanannya perempuan menjadi objek kaum laki-laki dalam posisi kehidupan. Dunia sastra dikuasai oleh laki-laki, artinya karya sastra seolah ditunjukkan untuk pembaca laki-laki. Kalaupun ada pembaca perempuan ia dipaksa untuk menjadi seorang lakilaki (Selden, 1991; 140). Ini terjadi pada novel-novel jaman dahulu termasuk terbitan Balai Pustaka. Namun Chyé rétty Isnéndés menjadi salah satu tokoh emansipasi dalam karyanya di era ini, menjadikan suara perempuan terdengar. Perempuan Mencari Posisi Baru Anggapan bernada arogan bahwa sifat-sifat maskulin lebih penting dibandingkan sifatsifat feminin, ditentang secara tegas oleh feminisme. Sebaliknya, kaum feminis menekankan bahwa sifat maskulin dan feminim masing-masing dapat dikembangkan oleh siapa saja tanpa mesti menjadi monopoli satu seks. Oleh karena itu, feminisme berupaya keras membuat resosialisasi (pemasyarakatan kembali) masyarakat, tempat setiap orang diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengungkapkan semua potensi yang ada tanpa harus terikat atau terintimidasi. Dengan demikian Kebangkitan feminine (feminim) bermakna kebangkitan untuk membela hak-hak wanita atas laki-laki dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Secara lebih reflektif, feminisme dapat dibaca sebagai wujud kebangkitan perempuan. Sejarah panjang telah mencatat pelbagai macam situasi manipulatif dan isolatif yang dialami kaum perempuan oleh sebab dominasi dan budaya patiarkat yang memenangkan laki-laki. Dalam banyak hal perempuan mengalami tindak kekerasan, sering diperlakukan kedudukannya di dalam masyarakat lebih rendah dari pada laki-laki. Mereka dianggap sebagai the second sex, warga kelas dua. Dalam pengambilan keputusan di banyak bidang yang mendapatkan kesempatan hanyalah masyarakat laki-laki. Perempuan dipaksa tunduk dan mengikuti mereka. Selama ini perempuan masih saja dianggap sebagai makhluk yang hanya mengurus rumah tangga dan berada satu tingkat di bawah laki-laki, karena anggapan tersebut maka munculah gerakan feminisme yang mulai mengangkat harkat dan martabat perempuan agar sederajat dengan laki-laki. Tidak menutup kemungkinan bahwasannya perempuan dapat berjuang dan bangkit tanpa adanya seorang laki-laki. Dalam kaitannya Carpon Dongeng Demo Hiji Pabrik dan Ilsa Sièta merepresentasikan peristiwa dimana kaum wanita yang memperjuangkan haknya, mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme untuk mencari posisi baru sehingga mencapai kesetaraan dan diperhitungkan keberadaannya. Hal ini mengungkapkan bahwasannya posisi perempuan dimata kultural dianggap tidak adil. Dari kedua judul carpon tersebut terdapat tokoh utama yang sama-sama terjebak oleh kuasa kaum laki-laki. Adanya Kesadaran seorang tokoh wanita yang bernama Kancanawati memperjuangkan haknya yang dibedakan dalam hal perekonomian khususnya upah. Keberanian seorang wanita yang mampu berada di barisan depan untuk memperjuangkan haknya dan menjadi vokal tertinggi dilakukan demi menyetarakan kedudukannya. Sedangkan tokoh Ilsa dihegemoni oleh dosen laki-lakinya dengan teori yang diajarkan dalam matakuliahnya yaitu teori marxisme yang sebenarnya bertentangan dengan ideologi tokoh utama.
226
“ Geus! Buka kerudungna ilsa! Buka kancing-kancing bajuna ari teu bisa ngabuktikeunmah! Kojayan ieu dunya sasuka sakarepna, sugan manèh meunang gusti nu eweuh tèa!” ceunah kasar pisan. Hal tersebut menunjukan betapa hinanya perempuan dimata laki-laki dan pada akhirnya membuat tokoh perempuan sadar. Kebangkitan tokoh perempuan ditunjukan dengan perubahanperubahan sikap, pola berpikir, dan cara hidup agar mendapatkan posisi yang diinginkannya tersebut demi memperbaiki pandangan laki-laki yang menganggap rendah seorang perempuan. Kumpulan carpon yang terdapat dalam Dua Wanoja menyuarakan kesadaran gender yang ingin merubah posisi seorang perempuan menjadi diakui keberadaanya dan keinginan adanya kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Seorang perempuan dianggap mempunyai daya tarik lain tentang harga dirinya yang membuatnya selalu dianggap mudah untuk direndahkan. Bahkan dalam sisi pekerjaannya pun selalu dicitrakan dalam hal yang tidak berkembang. Hal yang disubordinatkan membuatnya ingin pindah dari titik terbawah menjadi titik kesetaraan serta posisi yang di inginkan dengan diakui keberadaannya serta dihargai oleh dunia. Perubahan posisi yang diinginkan perempuan juga dapat terlihat dimana adanya tokoh utama yang direpresentasikan sebagai seorang perempuan yang berbeda perempuan lainnya. Politik menjadi kunci utama, dimana seorang perempuan yang notabene sibuk dengan dunia rumah tangganya. Namun dalam kisah ini, ia sebagai seorang kader partai politik, serta juru kampanye partai yang justru posisinya dipertimbangkan dalam partai. Dalam dunia sastra, nampaknya dilansir sebelum ada gerakan feminis, seorang perempuan tampak di subordinasikan dan jarang berperan sebagai pelaku utama cerita. Hal tersebut mengindentifikasikan bahwasannya suara perempuan di ranah politik sangat diperlukan. Selain menjadi seorang perempuan yang maju dalam dunia politik, perempuan juga menunjukkan eksistensinya, aspirasinya, menyuarakan haknya seperti dari segi pendidikan yang tokoh utama berikan kepada anaknya agar mengenyam pendidikan tinggi. Dalam dunia sastra jaman dulu, saat perempuan masih tersubordinatkan dalam masalah pendidikan, golongan tradisional dengan golongan modern reformis beradu pandangan mengenai pendidikan, hal ini dapat dilihat dalam buku Kritik sastra Feminis oleh Sugihastuti Suharto mengenai Siti Nurbaya. Selain itu dalam hal ini penulis merepresentasikan tokoh seorang Ibu sebagai seseorang yang kuat dan bijaksana namun sisi alamiah dari seorang perempuannya tidak dapat ditinggalkan. Perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Kondisi sosial budaya sangat berpengaruh dalam kedudukan seorang perempuan. Selain itu tokoh perempuan memiliki kedudukan yang penting dan berpengaruh dalam kehidupan keluarga. Tetapi di dalam sebuah keluarga tersebut tidak dapat dihilangkan dan terpungkiri akan adanya budaya patriarki yang di munculkan oleh seorang ayah menjadi figur kepala keluarga yang justru mengekang dan menyudutkan agar anak perempuannya mencari rijki untuk kehidupan keluarganya membuat diri perempuan ingin memberontak, muncul kesadara bahwa adanya keinginan dalam dirinya untuk bangkit dari posisi tersebut. “Duh Gusti, abdi teh hayang leupas ti jelema nu ongkoh cenah bapa, tapi geuning sok ngagaléntoran...”. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Laki-laki selalu menganggap lemah seorang perempuan, sehingga ruang gerak perempuan seakan sempit. Menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman
227
(Nasaruddin Umar, 1999: 60) yang cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja yaitu berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah atau dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral. Menurut feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna, 1999: 91). Membongkar Ide-ide feminis Ide-ide feminis adalah hasil pikiran /gagasan dari seseorang yang berpandangan bahwa perempuan sepatutnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki, atau pemikiran dari seseorang yang bercita-cita untuk mengubah posisi perempuan kedalam masyarakat yang menggolongkan laki-laki dan perempuan ke dalam perbedaan ruang-ruang sosial budaya agar tidak ada lagi ketimpangan diantara keduanya. Ide-ide feminis dalam carpon Dua Wanoja digambarkan melalui rangkaian peristiwa atau konflik yang melibatkan gagasan penulis yang direpresentasikan oleh pemikiran dan tindakan tokoh. Ide-ide feminis lebih tertuju pada potensi perempuan untuk melawan budaya patriarki. Keberadaan perempuan sebagai subyek yang berhubungan dengan bidang kehidupan demi mencapai pembebasan diri dari stereotipe yang dibentuk oleh budaya patriarki. Dalam usaha tersebut, mampu mempresentasikan bahwa perempuan juga memiliki keberanian dan kekuatan untuk melawan berbagai ketidakadilan gender yang terjadi padanya. Usaha dalam mencapai kesetaraan gender dapat dilihat bahwa ternyata perempuan memiliki keberanian dan kekuatan untuk memperoleh hak dalam menenentukan nasibnya sendiri, memperbaiki kehidupannya. Isu gender secara langsung maupun tidak langsung juga menunjukkan adanya kepedulian para pengarang Indonesia terhadap problem-problem yang berhubungan dengan gender. Karya sastra memiliki salah satu fungsi sebagai sarana menyuarakan hati nurani masyarakat, disamping fungsi-fungsi lainnya. Karya sastra dipersepsi sebagai produk masyarakat yang mampu memberi makna bagi kehidupan, menyadarkan masyarakat akan arti hidup, meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan (Soeratno,1994b:14). Melalui konstruksi gender dapat membuat masyarakat pembaca menjadi lebih peka dan responsif terhadap berbagai masalah relasi dan ketidakadilan gender yang ada disekitarnya. Perempuan yang bangkit dari kodratnya merupakan bukti dari kebangkitan yang selama ini terpendam di balik sosok keperempuanannya. Kebangkitan perempuan dari segi peran terjadi tanpa harus adanya peran laki-laki yang mendukungnya. Ide-ide feminis dapat terlihat dimana kaum perempuan menolak pandangan laki-laki yang nantinya akan merugikan kaum perempuan seperti merendahkan diri seorang perempuan. Adanya gambaran mengenai bagaimana kebangkitan perempuan yang bahkan kemudian diakui oleh kaum laki-laki yang dalam carpon Dua Wanoja ini dengan mengibaratkan perempuan seperti angin yang dapat menguasai laki-laki dan bangkit dari ketersiksaanya oleh kaum laki-laki. Upaya feminisme ditunjukan oleh pengarang melalui bagaimana kesungguhan tokoh perempuan yang ingin bangkit mencerminkan adanya kesadaran dari jiwa perempuan dengan ide-idenya bahwa seorang perempuan harus maju, baik dalam segi perekonomian maupun politik. Hal ini ditunjukan oleh pengarang dalam sisi sosialis khususnya perekonomian, bahwa pada kenyataanya di jaman sekarang yang bekerja untuk mencari kehidupan tidak harus selalu
228
laki-laki. Para wanita kareer telah menampakan dirinya dan bahkan karena adanya perkembangan tersebut, perempuan bisa lebih sukses dari pada kaum adam. Selain hal upaya peningkatan dalam hal perekonomian, kondisi yang menyudutkan adalah praktik-praktik tradisional menyangkut kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Seperti tingkat pendidikan dalam Carpon ini yang mencerminkan adanya ketidaksetaraan gender seorang perempuan yang diterbelakangkan karena tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Feminisme multikultural berlandaskan pada prinsip feminis bahwa semua wanita tidak diciptakan dan dikonstruksi secara setara (Tong, 1998:309). Feminis dapat dipahami juga dalam bentuk proses atau fase-fase kebangkitan kesadaran wanita tentang kedudukan dan hak-hak mereka dalam berbagai bidang dan dimensi perubahan sosial. Berkembang dan meluasnya kesempatan kerja dan memperoleh pendidikan tinggi bagi kaum wanita dan tingginya kesenjangan peran domestik sebagai ibu rumah tangga dan istri pada aspek lainnya. Ide-ide feminis yang terkandung dalam kumpulan carpon Dua Wanoja ini merupakan suatu representasi yang ingin disampaikan oleh pengarang dan perempuan-perempuan lainnya untuk menyuarakan hak-haknya dan keadilan atas apa yang menjadi kewajiban bagi perempuan dari kesewenangan pihak laki-laki terhadap dirinya. Perempuan mempunyai tingkatan yang dapat membangun dunia dengan sendirinya membuka cakrawala baru tanpa adanya budaya patriarki, marginalisasi, tidak diakui, pensubordinatan, maupun perbedaan kelas. D. KESIMPULAN Kesadaran dan kebangkitan seorang perempuan akan terasa ketika lingkungan telah menyudutkan dirinya, khususnya oleh pihak laki-laki sehingga seorang perempuan melakukan perlawanan kepada sosok laki-laki. Melalui penindasan dan adanya perlawanan tersebut maka timbul rasa dimana perempuan juga bisa menyamakan derajat atau bahkan lebih dari seorang laki-laki. Kumpulan carpon Dua Wanoja ini berpotensi dalam hal kesadaran dan kebangkitan seorang perempuan dimana carpon ini menceritakan bagaimana seorang laki-laki sangat berkuasa di atas perempuan sehingga seolah-olah perempuan tidak bisa berbuatapa-apa. Oleh karena itu munculah tekad dari tokoh perempuan untuk melakukan perlawanan dengan memunculkan ide-ide feminisnya sehingga dapat dibuktikan bahwa perempuan juga dapat setara dengan laki-laki bahkan bisa lebih dari seorang laki-laki melalui berbagai hal dalam kehidupan. Dalam perlawanannya seorang perempuan dikuatkan oleh suatu alat yang bernama feminism, yang mana feminism ini mampu membela hak-hak wanita atas laki-laki dalam pelbagai aspek kehidupan, dari yang kecil hingga hal yang besar sekalipun, feminism dapat dikatakan sebagai wujud kebangkitan perempuan, sehingga tidak ada lagi dominasi dari seorang laki-laki dan masyarakat sudah tidak mengenal budaya patriarki yang memenangkan laki-laki, sehingga tidak aneh jika saat ini banyak kemampuan perempuan yang melampaui seorang lakilaki. *** DAFTAR PUSTAKA Ahmad Sobandi,Dede . 2014. Artikel :Pendekatan Eksploratif. Bandung : UPI Anwarz, Ahyar. 2009. Geneologi Feminis : Dinamika Pemikiran Feminis Dalam Novel Pengarang Perempuan Indonesia 1933-2005. Jakarta : Republika.
229
Apriani, Fajar. 2013. Berbagai Pandangan mengenai Gender dan Feminisme. Kalimantan : Universitas Mulawarman. Barry, Peter. 2010. Beginning theory : pengantar komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta : jalasutra. Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar : Pustaka Pelajar. Muniarti, A Nunuk. 2004. Getar Gender. Magelang : Yayasan Indonesia Tera Réty Isnéndés, Chyé. 2014. Dua Wanoja. Bandung : Kiblat. Rina. 2013. Kecantika Dalam Iklan : Gambaran Kecantikan Dalam Iklan Sabun Dove Di Televisi. Universitas Mulawarman. Ryan, Michael. 2011. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Praktis. Yogyakarta : Jalasutra Sardjon, Asmowati, dkk. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta. Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis: perempuan dalam karya-karya Feminis. Yogyakarta : Citra Pustaka. Suharto, Sugihastuti. 2011. Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sutrisno, Mudji &Hedar Putranto. 2005.Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta :Kanisius Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminisme : Teori dan Aplikasinya dalam sastra Indonesia. Yogyakarta : Ombak.
230
REPRESENTASI BUDAYA SUNDA DALAM SASTRA GRAFIS WAYANG GOLEK PANAKAWAN Wanda Listiani, Ai Juju Rohaeni, Dyah Nurhayati Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Jl. Buahbatu No. 212 Bandung 40265 Email : [email protected] Abstrak Bermain bagi anak-anak adalah suatu cara berpikir tentang apa yang mereka tahu. Suatu cara tidak hanya melihat dunia tapi juga melihat dirinya di dalam dunia dan berbagai kemungkinan yang terjadi. Salah satu media bermain adalah jenis sastra grafis contohnya game.Game edukasi (edugame) lewat internet (online), handphone, komputer dan boardgame merupakan ruang dimana anak bisa bermain sambil belajar. Ide pembelajaran pada game berbeda dengan standar pembelajaran praktik pedagogis tradisional yang terbatas pada ruang fisik. Pembedaan ruang dan waktu virtual memberikan pengalaman belajar dan cara berpikir yang berbeda pada pemain untuk memahami mata pelajaran tertentu. Pengenalan anak pada edugame perlu dilakukan mengingat bahwa permainan game (komputer) termasuk game online (mobile phone dan internet) mendominasi waktu luang mereka dibandingkan menonton TV atau membaca buku, majalah maupun surat kabar. Salah satu konten edugame yang memperkenalkan nilai etis (baik dan buruk) dan etika (sopan santun) adalah wayang. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen visual. Hasil penelitian ini menjelaskan representasi budaya sunda dalam edugame wayang golek Panakawan. Karakter edugame dapat menjadi avatar. Avatar adalah representasi pemain atau identitas dalam sebuah edugame. Pemain dapat memilih identitas yang diinginkan seperti menjadi tokoh baik/tokoh jahat, ibu/ayah, orang tua/anak, perempuan/laki-laki, prajurit/raja, pahlawan/penjahat dan sebagainya. Karakter edugame biasanya dibedakan menurut bentuk tubuh, ekspresi, gesture dan sebagainya. Kata kunci : representasi, budaya Sunda, sastra grafis, wayang golek, panakawan
A. PENDAHULUAN Ayeuna mah kenging maen game sapuasna. Pan nuju pere. Ungkapan yang biasa dituturkan anak-anak ketika liburan sekolah tiba. Liburan diartikan kebebasan bagi mereka untuk berbuat sesuatu atau bermain sepuasnya. Seolah-olah waktu bermain tidak dibatasi oleh jam sekolah atau jam belajar. Bermain bagi anak-anak adalah suatu cara berpikir tentang apa yang mereka tahu. Suatu cara tidak hanya melihat dunia tapi juga melihat dirinya di dalam dunia dan berbagai kemungkinan yang terjadi. Salah satu media bermain adalah jenis sastra grafis contohnya game. Game edukasi (edugame) lewat internet (online), handphone, komputer dan boardgame merupakan ruang dimana anak bisa bermain sambil belajar. Ide pembelajaran pada game berbeda dengan standar pembelajaran praktik pedagogis tradisional yang terbatas pada ruang fisik. Pembedaan ruang dan waktu virtual memberikan pengalaman belajar dan cara berpikir yang berbeda pada pemain untuk memahami mata pelajaran tertentu. Pelajaran fisika, matematika, sejarah, bahasa asing dan budaya direpresentasikan lewat edugame. Pengenalan anak pada edugame perlu dilakukan mengingat bahwa permainan game (komputer) termasuk game online (mobile phone dan internet) mendominasi waktu luang mereka dibandingkan menonton TV atau membaca buku, majalah maupun surat kabar. Salah satu konten edugame yang memperkenalkan nilai etis (baik dan buruk) dan etika (sopan santun) adalah wayang. Jenis-jenis wayang di Indonesia (Mulyono, 1982: 165) sebagai berikut :
231
No. 1
Material Kulit
Wayang Bayangan Kulit Purwa Kidang Kencana Gedog Wayang Klitik Kulit Madya
Tahun 1500 SM 872/903 1556 1563 1648 1850
Kuluk
1830
Dupara
1830
Wahana
1920
Kancil Perjuangan
1925 1943
Adam Marifat Jawa
1940 1940 1947 1947 1963 1972 934
2
Daun
Suluh Pancasila Wahyu Sejati Rontal Purwa
3
Kain
Daun Kluwih Beber Purwa
1316 1361
Beber Gedog Golek Sunda Klitik Krucil/Golek Purwa
1564 1808 1564 1584
Tengul
XIX
4
Kayu
Golek Purwa Jakin 1965 Nata Wayang Wong 1760 Petilan Permainan/Dolanan Anak-anak
5
Orang
6
Suket; Bambu Logam Kertas Batu Candi-candi Sumber : Mulyono, 1982: 165
7
IX-XV
Konten Sebagai upacara agama Mahabartaa dan Ramayana Mahabarata dan Ramayana Panji Damarwulan Sesudah Parikesit/Gendrayana (Kediri) Cerita dari Kerajaan Demak s.d Yogya Dari Kerajaan Demak sampai Surakarta Cerita zaman sekarang dengan mengambil estetika wayang purwa Dongeng Binatang Cerita Perjuangan (untuk permainan anak-anak) Olah tasawuf Sejarah Indonesia/Pangeran Diponegoro Penerangan Perjuangan Kemerdekaan Sesudah Ajaran Pancasila Agama Katholik Sejarah Mahabarata dan Ramayana pada daun Tal Permainan anak Mahabarata dan Ramayana dengan gamelan slendro Panji dengan gamelan Pelog Mahabarata dan Ramayana Damarwulan Mahabarata dan Ramayana (siang hari) Cerita Amir Hamsyah, Omarmaya dan sebagainya Mahabarata Mahabarata dan Ramayana Mahabarata, Ramayana dan Panji
Mahabarata dan Ramayana
Seni wayang di Jawa Barat diartikan sebagai lambang kehidupan manusia seperti yang digambarkan dalam pupuh Asmarandana (Sopandi, 1978: 64) berikut ini :
232
“Eling-eling mangka eling Rumingkang di bumi alam Darma wawayngan bare Raga taya pangawasa Lamun kasasar lampah Nafsu nu matak kaduhung Badan anu katempuhan” Artinya : Wahai manusia sadarilah sepenuhnya bahwa kehidupan di dunia ini bagaikan pertunjukan wayang yang tidak dapat berbuat apa-apa tapi kalau (manusia) salah tindak akan timbul penyesalan akhirnya dia sendiri menderita karenanya Konsepsi kebudayaan dalam wayang purwa nampak pada panakawan (Guritno, 1988:79). Panakawan tidak hanya sekedar pembantu tapi juga teman di kala suka dan duka. Arti panakawan adalah kawan yang menyaksikan atau pengiring. Panakawan dalam cerita asli India tidak dikenal (Kresna, 2012: 30-31). Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, panakawan dikenal dengan istilah punakawan yang berarti kata “puna” yaitu “paham” dan “kawan” berarti “teman”. Dengan kata lain, punakawan berarti “teman yang memahami” atau abdi setia yang paham dan mengerti akan berbagai kesulitan dan masalah yang dialami oleh para tuannya (Listiani, 2016:1). Tokoh karakter panakawan dalam wayang golek Jawa Barat adalah semar, cepot, gareng dan dawala. Panakawan dalam Wayang Golek Purwa (Soepandi, 1990: 382) adalah Astrajingga, Badranaya, Bilung, Camongkrong, Cangik, Cepot, Citrayuda, Dawala, Gareng, Gurubug, Kudapawana, Kartomarmo, Limbuk, Sawita, Semar, Togog, Udel dan Wijamantri. Panakawan atau pawongan yaitu Semar, Astrajingga, Dawala dan Nala gareng menggambarkan empat nafsu yaitu amarah, loamah, sawiah dan mutmainah. Di cirebon panakawan ada sembilan yaitu semar, curtis, witorata, ceblok, bagong, dawala, cingkring, bogol bunting dan gareng (Djajakusumah, 1978: 2-3). Sembilan panakawan ini menggambarkan unsur bumi yaitu api, angin, air, batu, pohon, binatang, bintang, bulan dan matahari. Pada badan manusia kesembilan panakawan ini menggambaran lubang pada tubuh manusia yaitu mata (2), kuping (2), hidung(2), mulut (1), pantat(1) dan kemaluan (1). Wayang Panakawan Semar merupakan karakter dalam wayang yang fisiknya lucu bahkan bisa dikatakan aneh. Dalam setiap cerita wayang, Semar mendapat tempat terhormat cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Semar memiliki hati yang “nyegara” atau seluas samudera serta waskita. Ksatria sejati yang menjadi asuhan Semar : Prabu Herjuna Sastrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem, Satria Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara. Raden Abimanyu satria dari Plangkawai dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Bahkan para Dewa pun memanggil Semar dengan sebutan “kakang”. Semar mempunyai karakter fisik yang unik. Keunikan fisik tersebut merupakan simbolisasi dari dualisme di dunia ini.
233
Gambar 1. Tokoh Wayang Golek Semar Sumber : id.wikipedia.org Cepot atau bagong merupakan salah satu tokoh wayang panakawan yang dikenal humoris, suka bercanda pada siapapun dan kritis pada sesuatu. Cepot adalah tokoh panakawan dalam wayang golek yang sudah dikenal di kalangan masyarakat Jawa barat khususnya karena sifatnya humoris. Cepot dikenal dengan nama lain yaitu Astrajingga, memiliki ciri khas kulit berwarna merah dan gigi bawah besar yang menonjol ke atas.
Gambar 2. Tokoh Wayang Golek Sumber : www.canghegar.com
Cepot
Gareng adalah anak semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nala gareng adalah seorang yang tidak pandai bicara dan lucu. Nala gareng merupakan tokoh punakawan yang memiliki ketidaklengkapan bagian tubuh. Nala gareng mengalami cacat kaki, cacat tangan dan mata. Karakter yang disimbolkan adalah cacat kaki menggambarkan manusia harus berhati-hati dalam menjalankan kehidupan.
Gambar 3. Tokoh Wayang Golek Nala Gareng Sumber : http://collectie.wereldculturen.nl
234
Tangan yang cacat menggambarkan manusia bisa berusaha tetapi Tuhan yang menentukan hasil akhirnya. Mata yang cacat menunjukkan manusia harus memahami realitas kehidupan. Ciri khas dari gareng adalah rambut yang diikat ke atas. Hidung yang pesek dan bulat. Wajah yang berwarna putih, memiliki tangan yang melengkung karena cacat. Kaki yang tidak sejajar dan mata yang juling. Tokoh wayang ini menggunakan sarung bermotif dibagian pinggangnya. Dawala adalah adik Cepot dan kakak dari Gareng. Dawala merupakan anak kedua dari Semar Badranaya dan Sutiragen. Dengan ciri khas berhidung panjang Dawala selalu setia menemani kakaknya kemana pun pergi. Dalam pewayangan Jawa Dawala bernama Petruk. Dawala atau petruk memiliki istri bernama Ambarawati yang merupakan putri Prabu Ambasraya raja negara Pandansurat (Djajakusumah, 1978: 11).
Gambar 4. Tokoh Wayang Golek Dawala Sumber : https://commons.wikimedia.org B. TEORI DAN METODE Penelitian ini menggunakan teori representasi dan simulasi. Simulasi menurut Amit A dan Samuel H. Huang dalam Simulation Games in Engineering Education (2007:2) merupakan pengandaian sejumlah solusi yang berbeda dimana tidak ada kemungkinan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, hasrat pemain untuk mengubah skor menuntun pemain untuk mendapatkan lebih dan lebih dalam permainan sehingga waktu yang dibutuhkan untuk bermain semakin panjang. Game simulasi adalah sebuah game dimana elemen seperti skor performance, konflik, hadiah, dan simulasi situasi dunia nyata dipergunakan untuk mengambil keputusan atau evaluasi alternatif sebuah permasalahan. Game simulasi berlandaskan pada filsafat learning by doing. Penerapan game simulasi dalam area pendidikan seperti arsitektur, fisika, psikologi, manajemen, bisnis, matematika, sejarah, bahasa, teknik dan medis. Game simulasi biasanya digunakan untuk memecahkan konsep khusus, fenomena atau sebuah proses hubungannya dengan subjek tertentu. Hal ini memberikan anak sebuah pemahaman holistik tentang subjek dan relasi antar berbagai konsep dengan tindakan mereka di dunia nyata. Representasi merupakan kegiatan komunikatif penting, yang memerlukan perwujudan simbolik sesuatu kesatuan yang sebelumnya tidak ada. Game merupakan spektrum manifestasi yang jelas dari proses dialektika desainer dan realitas budaya. Visualisasi game tergantung pada keberhasilan desainer game mengidentifikasi refleksi kehadiran budaya, walaupun ada keterputusan dari ruang subjek dan waktu yang menjamin keotentikan sebagai representasi realitas yang asli. Representasi antara meniru subjek dan meninggalkan apa yang tidak teraba; informasi sesuatu direpresentasikan tapi tidak mengeluarkan energi apapun. Representasi sebagai indeks dan fungsi informasi yaitu memandang jumlah yang dibaca, dikode, diinterpretasikan dan dievaluasi untuk keotentikan.
235
Metode yang digunakan adalah metode eksperimen visual. Teknik visualisasi berbagai bentuk mata, hidung, mulut, wanda (ekspresi wajah) dan sifat tokoh Panakawan. Sifat karakter urang Sunda dapat dilihat dari wanda (ekspresi) wayang golek Panakawan sebagai berikut : No. 1.
Panakawan Semar
2.
Cepot
Wanda Mega Balukang Tembem Kuda Monyet Kodok
3
Udawala
Kelepon Bango Cangak
Tanda-Tanda Gembira, warna putih pada muka, badan hitam idem Gembira, muka agak bulat berisi Tertawa lucu, gembira, warna muka merah muda berbintik hiitam, dagu agak panjang Dagu agak pendek, tanda-tanda lahir sama dengan kuda Mata lebih besar, tanda-tanda lahir sama dengan diatas idem Hidung panjang, mulut (bibir) panjang sejajar atau sama panjang dengan hidup, sikap periang Mulut agak pendek, tanda-tanda lain sama dengan bango
Sumber : Sutarman, 1968: 180 C. HASIL DAN PEMBAHASAN Game wayang golek yang didasarkan pada pembelajaran wayang adalah paradigma pembelajaran berdasarkan kebudayaan Sunda. Game representasi budaya memberikan pengetahuan sekaligus pembelajaran bagi anak tentang budaya masa lau. Fitur edugame mendukung anak karena, pertama, skor yang diberikan memotivasi anak untuk maksimal bermain dengan mencoba berbagai strategi alternatif dan membaca lebih banyak literatur. Kedua, game online atau mobile game memungkinkan anak belajar dimanapun dan aman dilakukan. Ketiga, anak dapat mencoba berbagai strategi alternatif dan fokus pada minat masing-masing. Game wayang golek dibuat tidak hanya untuk mengkonstruksi diri dan identitas budaya pemain sejak dini melainkan memberikan pengetahuan tradisi budaya Sunda. Game edukasi buatan dalam negeri merupakan hasil perpaduan representasi dan simulasi. Simulasi merupakan kondisi tertentu yang diciptakan secara artifisial untuk mendapatkan pengalaman tertentu, yang diandaikan sebagai sesuatu yang nyata, padahal sebuah halusinasi. Game dalam bentuk tertentu mampu mensimulasikan atau merepresentasikan sebuah dunia virtual atau maya yang diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberikan realita buatan kepada pemainnya. Efek yang diberikan tidak hanya terbatas pada efek simulasi lingkungan saja, namun juga aspek perilaku atau psikologis, aspek pembelajaran bahkan pada tatanan tertentu mampu memberikan perspektif baru bagi anak. Game wayang golek merupakan representasi budaya atau pandangan hidup urang Sunda. Pandangan hidup urang Sunda ada dalam karakter wayang golek yaitu (Soepandi, 1990: 176-177): 1. Mahayu dora sapuluh 2. Mikukuh dasa prebakti 3. Pancaaksara guruning janma
236
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mikukuh darma pitutur Ngawakan tapa di nagara Tri tantu di nu reya Hirup cukup teu kaleuleuwihi Ulah pupujien Ulah bohong, maling jeung pamali
Berbeda dengan game non edukasi misal Lord of The Rings dan Lara Croft merupakan simulakrum dari realitas virtual. Game sebagai ruang praktik dan budaya bermain interaktif, kolaborasi dan pembelajaran sejarah lokal. Pembedaan antara pemain/avatar, bekerja/bermain dan fisik/virtual terjadi juga dalam edugame. Game representasi budaya digunakan sebagai ruang berlatih imajinasi, pembelajaran dan berpikir inovatif. Fitur game edukasi (edugame) tidak jauh berbeda dengan genre game yang lain seperti multiplayer/singleplayer, karakter dan permainan identitas. Identitas merujuk pada bagaimana seseorang memahami hubungan mereka pada dunia, bagaimana hubungan itu dikonstruksi menurut waktu dan ruang, dan bagaimana seseorang memahami kemungkinan mereka di masa depan. Identitas relasinya dengan hasrathasrat untuk pengakuan, hasrat untuk bergabung dan hasrat untuk perlindungan dan keselamatan. Identitas sifatnya cair, terartikulasi didalam perubahan hubungan interpersonal, struktur ideologis dan sejarah budaya seseorang. Dinamika identitas sebagai pusat pemahaman seseorang merupakan proses yang diimajinasikan termasuk dalam konstruksi dalam keseharian hidup mereka. Identitas dikonstruksi oleh pengalaman individu sebagai sebuah cara memposisikan diri sendiri dalam relasi sosial dan budaya. Karakter game dapat menjadi avatar. Avatar adalah representasi pemain dalam sebuah game atau identitas. Karakter game biasanya dibedakan menurut bentuk tubuh, ekspresi, gesture dan sebagainya. Pemain dapat memilih identitas yang diinginkan seperti menjadi tokoh baik/tokoh jahat, ibu/ayah, orang tua/anak, perempuan/laki-laki, prajurit/raja, pahlawan/penjahat dan sebagainya. D. SIMPULAN Edugame atau game simulasi sejarah maupun representasi budaya lokal pertama, memberikan pengetahuan dan pengalaman pembelajaran. Kedua, menghubungkan teori dan praktik sehingga anak mudah memahami subjek. Ketiga, anak terbuka untuk berpartisipasi dinamis menerima ide dan konsep inovasi. Keempat, anak dapat memahami konsep dan bekerjanya pengetahuan tentang subjek tertentu. kelima, anak memperoleh konsekuensi hasil level atau hukuman dan tidak hanya sebagai pengamat. keenam, mereka dapat mengulangi permainan dengan nyaman jika mengalami kesulitan atau menyukai tokoh tertentu. Oleh sebab itu, pengenalan game lokal sejak dini terutama tentang budaya Sunda perlu dilakukan. Tidak hanya untuk membangun nasionalisme melainkan kebanggaan mereka menjadi urang Sunda. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Kemenristek DIKTI Yang telah memberikan dana Hibah Penelitian Produk Terapan Tahun Anggaran 2017 untuk membiayai penelitian ini dan berbagai pihak khususnya ISBI Bandung yang memberikan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian.
237
DAFTAR PUSTAKA Deshpande, Amit A dan Samuel H. Huang, 2007. Simulation Games in Engineering Education : A State of the Art Review, Ohio : University of Cincinnati Djajakusumah, R. Gunawan, 1978. Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, Bandung : Lembaga Kesenian Bandung Guritno, Pandam, 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Kresna, Ardian, 2012, Punakawan : Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa, Narasi, Yogyakarta Listiani, Wanda, Ai Juju Rohaeni, Dyah Nurhayati, 2016. “Teknologi 3D Limas Holografis Wayang b-Panakawan”, Prosiding Seminar Sains dan Teknologi (Senastek), Bali : Universitas Udayana Mulyono, Sri, 1982. Wayang : Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Jakarta : Gunung Agung Soepandi, Atik, Enip Sukanda, Ma’mur Danasasmita, 1990. Dasar-dasar Pangaweruh Padalangan Wayang Golek Purwa Jawa Barat, Jawa Barat : Pemerintah Daerah Tingkat I Soepandi, Atik, Nana Darmana, R.M. Edy Azhari, 1978. Sejarah Perkembangan Seni Pewayangan di Jawa Barat, Jawa Barat : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Jawa Barat Sutarman, Djuhaeri, 1968. Wayang Golek Purwa pada Masyarakat Sunda, Bandung : ITB, tesis tidak diterbitkan id.wikipedia.org www.canghegar.com http://collectie.wereldculturen.nl https://commons.wikimedia.org
238
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT WAKORUMBA SELATAN DALAM CERITA RAKYATASAL MULA SANGHIA PURE-PURE Wa Ode Halfian Tenaga Pengajar Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo [email protected] Abstrak Sastra lisan termasuk didalamnya cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan, dilestarikan dan dimanfaatkan untuk kehidupan kini dan masa yang akan datang. Cerita rakyat merupakan salah satu tradisi lisan yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang sudah mulai dilupakan oleh masyarakatnya saat ini. Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah “Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Wakorumba Selatan dalam Cerita Rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-Pure” Cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-Pure” sebagai produk masyarakat lama Wakorumba Selatan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang masyarakat, sistem nilai, atau sistem budaya yang ada pada masyarakat sebelumnya dan hingga kini masih berpengaruh dalam kehidupan dan tingkah laku masyarakat Wakorumba Selatan. Hal-hal penting yang dapat diambil adalah apa yang dipuji, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, apa yang digemari dan dijunjung tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Wakorumba Selatan yang terkandung dalam cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-Pure”, dengan berlandaskan teori dari kearifan lokal, dan cerita rakyat. Asal Mula Sanghia Pure-Pure”. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan teknik perekaman dan wawancara sebagai teknik pengumpulan datanya. Datanya dianalisis dengan menggunakan teknik seleksi, transkripsi, penerjemahan, dan analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam cerita rakyat Asal Mula Sanghia Pure-Pure mengandung berbagai macam nilai kearifan lokal yang masih hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakorumba Selatan sebagai masyarakat pendukung cerita ini. Nilai-nilai tersebut tersirat dalam berbagai macam sikap yang ada dalam masyarakat Wakorumba Selatan yang berupa sikap musyawarah mufakat, sikap tolong-menolong/gotong-royong, sikap sopan-santun, sikap berserah diri pada yang Maha Kuasa dan sikap dermawan. Kata Kunci: Nilai-Nilai, Kearifan Lokal, Masyarakat, Wakorumba Selatan, Cerita Rakyat,Asal Mula Sanghia Pure-Pure
A. PENDAHULUAN Kearifan lokal merupakan warisan dari kelompok masyarakat yang diturunkan secara turun temurun dalam masyarakatnya dengan berbagai wujud. Baik berupa sistem nilai, normanorma, cara, perilaku dan sistem pengetahuan, keyakinan, wawasan atau pemahaman. Berbagai wujud kearifan lokal tersebut dapat diamati dalam kehidupan masyarakat, salah satunya lewat cerita rakyat. Lewat cerita rakyat kita dapat melihat gambaran kehidupan masa lalu dari suatu kelompok masyarakat, baik dari cara hidup atau apa yang mereka percayai dan tidak mereka percayai, termasuk didalamnya nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, dan jenis sastra liasan lainnya. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diinntegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.
239
Cerita rakyat yang didalamnya mengandung berbagai nilai kearifan lokal merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Eksistensi cerita rakyat merupakan suatu fenomena budaya yang bersifat universal dalam kehidupan masyarakat. Cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Cerita rakyat juga telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Kemampuan sastra lisan termasuk didalamnya cerita rakyat untuk melingkupi segala sendi kehidupan manusia, itu membuktikan bahwa nenek moyang kita di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang baik yang terkandung didalamnya. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal adanya cerita rakyat, demikian juga halnya masyarakat Wakorumba Selatan. Cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan disebarkan secara lisan dan hanya didasarkan pada daya ingat penuturnya saja, sehingga tidak mustahil jika cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan mengalami penyimpangan dari bentuk aslinya. Adanya radio dan televisi yang siarannya dapat ditangkap bahkan juga di daerah paling terpencil mempunyai pengaruh langsung kepada kehidupan tradisi lisan di seluruh daerah di Indonesia. Anak-anak lebih suka menonton televisi atau mendengarkan radio, dari pada mendengarkan dongeng kakek dan neneknya. Fungsi kakek dan nenek sebagai pendongeng digantikan oleh radio dan kaset rekaman dalam bahasa Indonesia yang dijajakan dimana-mana secara luas. B. LANDASAN TEORI 1. Kearifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “localknowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”. Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesa atau perubahan sosial budaya dan modernitasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai local tapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Dalam sudut pandang ilmu psikologi, kearifan lokal merupakan salah satu komponen strukturdan ketidaksadaran kolektif yang ada pada manusia dalam suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi, memberikan gambaran-gambaran atau visi-visi yang
240
dalam kehidupan sadar normal berhubungan dengan aspek tertentu dari situasi (Talami, 2009: 39). Stenrberg dalam Talami, (2009: 39) memaknai kearifan sebagai pengetahuan menyeimbangkan keinginan hidup manusia. Menurutnya, disetiap kehidupan, orang akan selalu membentuk nilai dirinya tergantung pada keinginan dominannya. Namun demikian nilai itu juga sangat tergantung pada tujuan yang sejalan untuk mencapai kebaikan pada umumnya. Dengan kata lain, dalam memenuhi kebutuhan tersebut seseorang akan mempertimbangkan “nilai apa” yang bisa dianggap mewakili kebaikan umum. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang diterima secara luas dan menjadi nilai yang universalistik pada umumnya, seperti; menghormati kehidupan manusia, jujur, ketulusan hati, keadilan dan berkembang mendorong pemenuhan potensi. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kearifan lokal merupakan inti pengetahuan yang tersembunyi dan sebagai pengetahuan yang menyeimbangkan kepentingan, artinya kearifan terletak pada pencapaian kebaikan bersama. 2.
Cerita Rakyat Cerita rakyat adalah golongan cerita yag hidup dan berkembang secara turun temurun dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup dikalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenalnya. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang. Cerita rakyat biasanya disampaikan secara lisan oleh tukang cerita yang hafal alur ceritanya. Itulah sebabnya cerita rakyat disebut sastra lisan. Cerita disampaikan oleh tukang cerita sambil duduk-duduk di suatu tempat kepada siapa saja, anak-anak dan orang dewasa (Djamaris, 1993: 6). Menurut Danandjaya (1996: 16) cerita rakyat adalah merupakan bagian dari folklore lisan yaitu folklore yang memang murni. Sedangkan pengertian folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda bahwa dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat. Di sisi lain Andre (1981: 1) mengemukakan pengertian dan fungsi cerita rakyat dalam bukunya yang berjudul “Sastra Lisan Bugis” sebagai berikut: cerita rakyat adalah suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat itu yang diwarisi secara lisan sebagaia milik bersama. Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang serta penyalur perasaan bagi penuturnya serta pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat pengesahan pranata, dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat. Sementara itu, menurut Gaffar (1990:3) cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian ini akan kabur bilamana dihadapkan dengan bentuk sastra lisan yang juga memakai media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan. Jadi cerita rakyat adalah bagian dari karya sastra berupa dongeng-dongeng atau bentuk cerita lainnya yang berkembang dikalangan masyarakat tertentu dan disebarluaskan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. 3. Cerita Rakyat dalam Masyarakat Wakorumba Selatan Cerita rakyat bagi masyarakat Wakorumba Selatan berperan sebagai alat pemersatu antar warga. Kehadiran cerita rakyat di tengah-tengah masyarakat Wakorumba Selatan dapat mengisi waktu senggang diantara anggota keluarga, sehingga hal ini dapat mempererat rasa cinta kasih diantara anggota keluarga. Saat berkumpul, biasanya orang-orang tua akan
241
menceritakan cerita rakyat bagi anak-anaknya, yang mana tujuannya dapat beragam, misalnya sebagai pendidikan budi pekerti bagi anak-anak, pengendali sosial (social control) atau sebagai alat pengawasan agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, cerita rakyat juga dapat dijadikan sebagai pengantar tidur bagi anak-anak. Cerita rakyat juga dapat menjadi pengesahan penguatan suatu adat kebiasaan dalam masyarakat Wakorumba Selatan karena di dalam cerita rakyat itu sendiri mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan panutan bagi masyarakatnya. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan dalam suatui masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat cerita rakyat dapat dijadikan sebagai pengisi waktu senggang serta dapat dijadikan sebagai alat pemersatu antar warga. Akibat kemajuan zaman dan kemajuan IPTEK, maka cerita rakyat tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Peranan cerita rakyat mulai tergantikan oleh alat-alat elektronik, misalnya radio, televisi, play station, dan lain-lain. Olehnya itu, kehadiran cerita rakyat mulai tergantikan oleh beragamnya acara televisi, sehingga anak-anak tidak lagi tertarik untuk mendengarkan cerita rakyat tersebut. Padahal cerita rakyat ini memiliki nilai-nilai budaya yang harus diturunkan secara turun temurun. Cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-Pure” merupakan produk lokal masyarakat Wakorumba Selatan. Cerita ini disampaikan secara turun temurun dalam masyarakat Wakorumba Selatan. Cerita ini merupakan legenda terbentuknya perkampungan yang bernama Sanghia Pure-Pure yang merupakan cikal bakal daerah yang menjadi ibu kota kecamatan Wakorumba Sekarang. C. PEMBAHASAN 1. Sekuen cerita Asal Mula Sanghia Pure-Pure a. Athesangkaburu adalah orang yang memiliki kesaktian, yaitu dapat bergerak atau berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lain dengan cepat. b. Dia dijuluki Maligano yang dalam bahasa muna berarti orang yang bergerak cepat. kalau ada pesta dirumahnya maka peralatan untuk pesta itu dipinjam di tempat lain. Talang dipinjam di Ternate dan piringnya dipinjam di Jawa. Kalau Dia berangkat air laut pasang, maka ketika pulang air laut tersebut belum surut. Seperti itu pula kalau Dia berangkat ke Jawa untuk meminjam piring selalu berlomba dengan buih air panas, saat berangkat ke Jawa, orang di rumahnya memasak air, maka saat Dia kembali ke rumahnya air tersebut belum mendidih.. c. Athesangkaburu memiliki beberapa orang anak, yaitu Kilambibito, Batakalambe dan Wadhe Namboitoto atau lebih dikenal dengan nama Wambona. d. Kilambibito adalah anak sulung, Dia menjabat sebagai Kiino Loghia dan tinggal di Loghia. Disisi lain, ada saudara perempuannya yang menjadi istrinya Kapitalaonya Loghia. e. Pada suatu pagi, Kilambibito pergi mandi di Sampuha. Pada saat lewat depan rumah Adiknya, adiknya ini sedang menapis beras sambil tertawa, kemudian Kilambibito bertanya pada adiknya "Apa yang kau tertawakan?" kemudian adiknya mejawab "Saya menertawakan beras ini karena banyak padinya" kemudian Kilambibito berkata lagi "Kamu pasti menertawakan saya karena kamu merasa lebihmulia dibandingkan saya, karena kedudukan suamimu lebih tinggi dari saya". f. Karena kekecewaanya itu, akhirnya Kilambibito memutuskan untuk pergi ke Ternate lewat Sampuha dan meninggalkan Loghia.
242
g. Pada saat Kilambibito sampai di Ternate, Sultan Babullah yang saat itu menjabat sebagai sultan Ternate sedang berperang melawan Portugis dari tanah Ternate, akhirnya Kilambibito memutuskan untuk membantu sultan Babullah. Berkat bantuan Kilambibito, akhirnya sultan Babullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate. h. Setelah 3 tahun di Ternate, Kilambibito pun minta izinuntuk kembali ke Loghia, pada saat Kilambibito hendak pulang ke Loghia, sultan Babullah memberikan hadiah berupa 40 orang pasukan dan menikahkan Kilambibito dengan seorang anggota keluarga kerajaan Ternate. i. Kilambibito dan pasukanya pulang ke Loghia berlabuh di kali,sesampainya di kali tersebut Kilambibito memerintahkan anak buahnya untuk menembakan senapannya di langit. Kali tempat berlabunya Kilambibito dan pasukannya diberi nama laa sunaapa (kali senjata). j. Ketika mendengar suara tembakan senapan, Kapitalaonya Lohia kaget dan menyuruh orang untuk meiihat apa yang sebenarnya terjadi. Maka turunlah orang suruhan tersebut, sesampainya di kali ternyata yang dilihatnya adalah Kilambibito beserta pasukannya. Setelah meiihat hal itudia pun pulang melapor pada Kapitalao. k. Setelah mendengar cerita orang suruhannya, maka Kapitalao pun turun ke kali untuk mengajak Kilambibito dan pasukannya kembali ke Loghia karena selama 3 tahun kilambibito meninggalkan Loghia Dia tidak pernah digantikan oleh siapa pun, tetapi Kilambibito tidak mau karena dia masih sakit hati dengan perlakuan adiknya yang merupakan istri dari kapitalaonya Loghia. l. Kilambibito dan pasukannya memutuskan untuk kembali ke daratan ButonUtara, dan mereka berlabuh di Labungka, kemudian melanjutkan perjalanan ke arahtimur melewati Tondothini. Sesampainya di Tondothini, mereka beristirahat untuksementara waktu, sambil mencari ternpat yang bisa dijadikan perkampungan baru. m. Setelah bermusyawarah dengan anggota pasukannya, Kilambibito pun melanjutkanperjalanan menuju bukit di atas Labunia. Mereka memilih tempat tersebut karenatempat tersebut berada di ketinggian, jadi kalau ada musuh yang datang dapat dilihat. n. Setelah bermusyawarah dengan anggota pasukannya, Kilambibito pun melanjutkanperjalanan menuju bukit di atas Labunia. Mereka memilih tempat tersebut karenatempat tersebut berada di ketinggian, jadi kalau ada musuh yang datang dapat dilihat. o. Setelah bertapa selama satu rninggu,Kilambibito pun mendapatkan petunjuk dan yang maha kuasa. Setelah ituKilambibito pun menyuruh pasukannya untuk mencari sumber mata air. Kilambibtomengatakan pada pasukaanya " Pergilah kalian ke utara mencari mata air, bawalahseekor anjing, jika kalian melihat anjing tersebut berhenti dan menggogong berartidisitulah mata air itu berada. p. Pasukan Kilambibito pun mencari sumber mata air yangdimaksudkan oleh Kilambibito, mereka ditemani oleh seekor anjing. Setelah lamamencari, akhirnya anjing yang dibawa oleh pasukan kilambibito pun berhenti di bawah bukit dan menggonggong ditempat tersebut. Mendengar hal itu pasukanKilambibito pun bergegas menghampiri tempat tersebut. Ternyata apa yang dikatakanoleh Kilambibito memang benar adanya, ditempat tersebut menyembur mata air yangsangat jernih.para pasukan itu pun kembali dan melaporkan hasil pencarian mereka. q. Sumber mata air itu sampai sekarang masih ada dan dikelola oleh PDAM. Karena dimuliakan oleh semua orang maka Kilambibito pun digelari "Sangia pure-pure" oleh masyarakatnya. Perkampungan yang di bangun oleh Kilambibto dinamai Sangia Pure-pure.
243
2. Nilai kearifan lokal dalam cerita rakyat Asal Mula Sanghia Pure-Pure a. Sikap tolong-menolong dalam kebaikan Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dalam hidupnya. Sekaya apa pun orang tersebut, dia tetap membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Gotong-royong merupakan salah satu aspek nilai tolong menolong dalam kebaikan. Dalam cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-pure” terdapat beberapa nilai kearifan lokal tolong menolong yakni gotong-royong. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. (1) Pada saat Kilambibito sampai di Ternate, Sultan Babullah yang saat itu menjabat sebagai sultan Ternate sedang berperang melawan Portugis dari tanah Ternate, akhirnya Kilambibito memutuskan untuk membantu sultan Babullah. Berkat bantuan Kilambibito, akhirnya sultan Babullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate. (2) Pasukan Kilambibito pun mencari sumber mata air yangdimaksudkan oleh Kilambibito, mereka ditemani oleh seekor anjing. Setelah lamamencari, akhirnya anjing yang dibawa oleh pasukan kilambibito pun berhenti di bawah bukit dan menggonggong ditempat tersebut. Mendengar hal itu pasukanKilambibito pun bergegas menghampiri tempat tersebut. Ternyata apa yang dikatakanoleh Kilambibito memang benar adanya, ditempat tersebut menyembur mata air yangsangat jernih.para pasukan itu pun kembali dan melaporkan hasil pencarian mereka. Pada data satu disebutkan bahwa Kilambibito membantu sultan Babullah untuk mengusir pasukan portugis dari tanah Ternate. Berkat bantuan Kilambibito tersebut, maka pasukan Portugis dapat diusir keluar dari tanah Ternate. Pada data dua disebutkan bahwa pasukan kilambibito bergotong-royong mencari sumber mata air yang disebutkan oleh Kilambibito. Setelah lama mencari akhirnya mereka menemukan sumber mata air yang disebutkan oleh Kilambibito, yaitu sumber mata air yang sangat bersih dan jernih. Berkat penemuan tersebut, mereka dapat hidup dengan baik di tempat baru tersebut. Sampai sekarang sumber mata air tersebut masih dipakai oleh warga kecamatan Wakorumba Selatan sebagai sumber mata air utama. Gotong-royong dalam masyarakat Wakorumba Selatan telah lama berlangsung. Sejak zaman dulu kelompok masyarakat ini telah melaksanakan sistem gotong-royong, yang dikenal denagn istilah “kadulu”. Pada zaman dulu, kadulu dilakukan oleh kaum laki-laki, para wanita hanya bekerja di rumah saja tetapi sekarang hal itu telah berubah. Perempuan tidak hanya bekerja lagi di dalam rumah tetapi telah menggantikan peran laki-laki dalam pelaksanaan kadulu ini. Hal ini disebabkan karena perempuan sudah mulai pintar bekerja di luar rumah dan para lelaki mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin tinggi. Sistem kadulu dilaksanakan dengan cara beberapa orang membentuk sebuah kelompok dan mengadakan kesepakatan untuk bekerja sama dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang telah disepakati, misalnya pemebersihan rumput di kebun-kebun anggota kelompok tersebut atau pada saat memanen hasil kebun. Kegiatan kadulu biasanya ramai dilaksanakan pada saat-saat itu Pada saat ini sistem gotong-royong masih terus dilaksanakan oleh masyarakat Wakorumba Selatan, seperti pembersihan jalan raya, lingkungan masjid, kantor
244
kecamatan, lapangan bola atau tempat-tempat umum lainnya. Selain itu kegiatan gotong royong masyarakat dapat dilihat pada saat acara pesta hidup seperti acara pernikahan, akikah, atau syukuran dan pesta kematian, yaitu pada saat pengurusan jenazah, atau pada peringatan hari ke tiga, tujuh, empat puluh, seratus dan seribu hari. b. Sikap musyawarah mufakat Musyawarah adalah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atau penyelesaian masalah bersama. Musyawarah adalah salah satu nilai budaya yang terkandung dalam hubungan manusia dengan dengan sesamanya. Dalam cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-pure”terdapat beberapa nilai budaya dalam hubungan manusia dengan sesamanya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. “Setelah bermusyawarah dengan anggota pasukannya, Kilambibito pun melanjutkanperjalanan menuju bukit di atas Labunia” Pada data di atas dikatan bahwa, Kilambibito dan pasukannnya bermusyawarah untuk mencari temapat yang baik yang dapat dijadikan perkampungan baru untuk mereka. Dan tempat yang mereka pilih adalah bukit di atas Labunia. Mereka memilih tempat ini karena mereka menganggap temapat tersebut sangat strategis. Kebiasaan bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara merupakan budaya yang diwariskan secara turun-temurun dalam generasi masyarakat Wakorumba Selatan. Musyawarah atau biasa disebut dengan dengkoragho kafaka dalam masyarakat Wakormba Selatan dilakukan pada zaman dulu dalam sekali seminggu. Hal yang biasanya menjadi pokok bahasan dalam musyawarah ini adalah masalah yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung, misalnya pembersihan kampung, pembuatan jalan atau ada hal-hal lain yang yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat, seperti wabah penyakit, dan lain-lain. Masyarakat dikumpulkan dengan cara memukul kentongan yang diletakan di depan balai pertemuan (bhenteno kampo). Kebiasaan bermusyawarah dalam masyarakat Wakorumba Selatan masih berlangsung sampai sekarang. Yang membedakannya adalah instensitas pertemuan antarwarga. Hal ini disebabkan oleh padatnya aktifitas warga sehingga tidak memungkinkan hal ini terjadi setiap minggu. Saat ini musyawarah mufakat atau dengkoragho kafaka biasanya akan selalu dilakukan jika ada hal-hal yang mendesak yang harus segera dilaksanakan, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Selain itu, demgkoragho kafaka juga berlaku dalam lingkungan keluarga. Dalam pengambilan keputusan dari suatu perkara maka seluruh anggota keluarga terutama yang dituakan akan berkumpul untuk membicarakan hal itu. Hal-hal yang dibahas biasanya yang berhubungan dengan masalah pemilihan jodoh, penetapan tanggal pernikahan, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan keluarga tersebut. Hal di atas dapat menjadi acuan bahwa seperti apapun perubahan yang terjadi dalam masyarakat, nilai-nilai baik yang ada dalam masyarakat tetap dapat dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri. c. Sikap sopan-santun Tenggang rasa atau menenggang rasa juga tercermin dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan. Tenggang rasa atau menenggang rasa dalam melakukan tindakan yang mengenai orang lain dalam hal ini salah satunya adalah nilai sopan santun.
245
Dalam cerita “Asal Mula Sanghia Pure-Pure” terkandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan sikap sopan-santun. Hal ini dapat dilihat pada petikan di bawah ini “Pada suatu pagi, Kilambibito pergi mandi di Sampuha. Pada saat lewat depan rumah Adiknya, adiknya ini sedang menapis beras sambil tertawa, kemudian Kilambibito bertanya pada adiknya "Apa yang kau tertawakan?" kemudian adiknya mejawab "Saya menertawakan beras ini karena banyak padinya" kemudian Kilambibito berkata lagi "Kamu pasti menertawakan saya karena kamu merasa lebihmulia dibandingkan saya, karena kedudukan suamimu lebih tinggi dari saya". Dari petikan cerita di atas, dapat diketahui bahwa Kilambibito tersinggung dengan perlakuan adiknya yang menertawakannya pada saat lewat di depan rumahnya. Dalam masyarakat Wakorumba Sealatan diajarakan maslah sopan-santun dalam bertindak dan berkata. Salah satunya adalah tidak boleh menertawakan orang yang sedang lewat dihadapan kita. Ajaran ini diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Wakorumba Selatan. Sopan-santun merupakan hal yang paling urgen dalam kehidupan bermasyarakat, olehnya itu nilai ini tidak bisa hilang dari lingkungan masyarakatpewarisnya. Upaya-upaya pelestaran nilaiiniterus dilakukan, seperti mengajarkan sopan-santun itu sendiri kepada anak-anak sejak usia dini. Sopan-santun atau dalam masyarakat Wakorumba Selatan lebih dikenal dengan istilahAdhathi merupakan ciri kepribadian seseorang, olehnya itu Adhathi ini terus-nu-nerus di ajarkan kepada anak-anak sejak dini. Tolak ukur keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya adalah ketika anak tersebut dapat membawa diri dalam masyarakat serta mempunyai sopan-santun atau Adhathi terhadap sesama, misalnya yang adik menghormati yang kakak, yang kakak menyayangi yang adik, yang kuat menolong yang lemah bukan malah berbuat sebaliknya. Contoh-contoh sopan-santun atau Adhathi itusendiri adalah , seperti ketika ada orang bicara kita tidak boleh menyela dan membiarkan orang tersebut menyelesaikan pembicaraannya, ketika ada orang tua cerita kita tidak boleh ribut, ketika berjalan di depan orang tua kita harus membungkuk dan mengucapkan kata permisi (tabhea), dan lain-lain. Jenis-jenis sopan-santun atau Adhathi yang disebutkan di atas terus menerus diajarkan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya.Sejak kecil ajaran sopan-santun sudah diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Para orang tua akan sangat marah kalau anak-anaknya tidak mengindahakan aiaran-ajaran tersebut. Ajaran sopan-santun yang diajarkan, misalnya harus berjalan dengan jongkok dan mengucapkan kata tabea ketika berjalan di depan orang tua, atau harusdiam ketika orang tua bicara tidak boleh menyela sampai orang tersebut selesai bicara, selain ituketika makan harus duduk dengan kaki terlipat atau biasa disebut paseba dan lidak boleh berbicara ketika makan, menurut para orang tua, makanan yang telah disajikan harus dihormati karena itu dalah rezki dari yang maha kuasa. Ajarun-ajaran seperi ini disampaikan pada saat berkumpul, misalnya selesai mengerjakan shalat berjamaah atau pada kesempatan-kesempatan lain. Jadi sopan santun atau Adhathi itu terus menerus diajarkan oleh orang tua kepada anaknya. Walau pun mungkin kedengarannya sangat membosankan bagi anak-anak mereka. Hal ini terus dilakukan karena mereka beranggapan bahwa semua ituharus diajarkan terus menerus agar para generasi tidak lupa dengan cara bersopan-santun dalam masyarakat. Melihat perkembangan dalam masyarakat akhir-akhir ini, nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat menjadi tameng bagi masyarakat dari hal-hal negatif yang dapat merusak
246
moral generasi muda saat ini, agar mereka dapat menjadi generasi yang diharapkan oleh bangsa ini. d. Sikap penyerahan diri pada yang kuasa. Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa sudah ada dalam dirimayarakat Wakorumba Selatan sejak duluwalau pun bentuk kepecayaan mereka masih dalam tingkatan yang sederhana. Bentuk kepercayaan mereka masih bersifat animisme, atau kepercayaan terhadap benda-benda yang diyakini dapat mendatangkan manfaat pada diri mereka. Cerita rakyat “Asal Mula Sanghia Pure-Pure” mengandung nilai kearifan lokal berupa sikap penyerahan diri pada yang Maha Kuasa. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini “Setelah sampai di tempat itu, mereka pun mencari sumber mata airtetapi merekatidak mendapatkan sumber mata air tersebut. Setelah itu Kilamoibito pun bertapauntuk meminta petunjuk dari yang maha kuasa. Setelah bertapa selama satu rninggu,Kilambibito pun mendapatkan petunjuk dan yang maha kuasa. Setelah ituKilambibito pun menyuruh pasukannya untuk mencari sumber mata air”. Dari petikan cerita di atas dapat diketahui bahwa Kilambibito dalam melaksanakan sesuatu Dia meminta petunjuk pada yang Maha Kuasa karena Dia meyakini di atas semua kemampuan dan kesaktiannya, masih ada zat yang lebih kuat dan berkuasa darinya. Olehnya itu Dia meminta petunjuk dari yang Maha Kuasa terlebih dahulu dalam melaksanakan kegiatannya. e. Sikap dermawan Dermawan adalah salah satu sikap yang terkandung dalam nilai budaya yang berhubungan dengan manusia dengan sesamanya. Dalam cerita rakyat Asal Mula Sanghia Pure-pure terdapat beberapa nilai budaya dalam hubungan manusia dengan sesamanya, yakni sikap dermawan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. “Pada saat Kilambibito hendak pulang ke Loghia, sultan Babullah memberikan hadiah berupa 40 orang pasukan dan menikahkan Kilambibito dengan seorang anggota keluarga kerajaan Ternate.” Pada petikan cerita di atas diceritakan bahwa, ketika hendak pulang ke Lohia, sultan Babullah memberikan Kilambibito 40 orang pasukan dan menikahkannya dengan seorang anggota keluarga kerajaan Ternate. Petikan cerita pada satu menggambarkan sikap dermawan dari Sultan Ternate, yaitu sultan Babullah. D. SIMPULAN Keberadaan cerita rakyat dalam suatu masyarakat merupakan wujud dari budaya dan kekayaan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam cerita rakyat tersebut mengandung berbagai macam nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai tameng dari budaya luar yang berdampak negatif terhadap masyarakat tempat cerita rakyat itu lahir. Sebuah cerita pada umumnya menggambarkan kebiasaan hidup dari suatu masyarakat pemilik cerita. Dalam cerita rakyat Asal Mula Sanghia Pure-Pure mengandung berbagai macam nilai kearifan lokal yang tercermin dalam sikap para tokoh dalam cerita, seperti sikap musyawarah mufakat, sikap gotong-royong, sikap sopan-santun, sikap berpasrah diri pada yang Maha Kuasa dan sikap dermawan. Nilai-nilai kearifan lokal ini masih ada dalam
247
masyarakat Wakorumba Selatan dan terus-menerus diwariskan kepada generasi masyarakat Wakorumba Selatan. DAFTAR PUSTAKA Achyar, Wardinah, 1986. Sastra Lisan Lampung. Jakarta: Depdikbud. Ayatrohadi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka Danandjaya, James, 1986. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. Djamaris, Edward. 1993. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Gafar, Zainal Abidin. 1991. Struktur Sastra Lisan Serawi. Jakarta: Depdikbud. Hakim, Amir. 1993. Struktur Sastra Lisan Kerinci. Jakarta: Depdikbud. Kasim, Razali, dkk. 2000. Struktur Sastra Lisan Batak Toba. Jakarta: Depdiknas. Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya ke Daerahan dalam Ke Indonesian. Jakarta: Pustaka Jaya. Sikki, Muhamad. 1986. Struktur Sastra Lisan Toraja. Jakarta: Depdikbud. Talami, La Ode, dkk. 2009. Kearifan Lokal dalam Kebudayaan Masyarakat Mekongga. Jakarta: Granada.
248
FOLKLOR SEBAGAI SUMBER DAYA TOPONIMI MASYARAKAT SUNDA Cece Sobarna Universitas Padjadjaran [email protected] Abstrak Kajian nama tempat atau yang biasa dikenal dengan toponimi tidak akan habis-habisnya dilakukan di berbagai wilayah mengingat pada nama tempat terkandung berbagai pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Di samping itu, toponimi dapat mencerminkan identitas, bahkan dapat menjadi branding. Masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang memiliki keunikan dalam adat budaya. Hal ini tidak terkecuali dengan pemberian nama pada sebuah tempat. Akan tetapi, sayangnya masyakat dewasa ini sebagian besar sudah tidak mengenalnya lagi perihal asal-usul nama tempat tersebut. Padahal, toponimi dapat memberikan gambaran budaya masa silam dan bagaimana pergerakan manusia terjadi di sebuah daerah atau wilayah. Bahkan, Anholt (2010) menyebutkan bahwa toponimi juga berfungsi sebagai bentuk identitas nasional yang dalam hal ini berkontribusi terhadap kedaulatan sebuah negara. Kondisi ini dapat dipahami mengingat pemberian nama tempat dilakukan dengan berbagai pertimbangan, terutama yang menyangkut kesejarahan. Jika memerhatikan kompleksitas tersebut, pengkajian mengenai toponimi memerlukan pendekatan yang komprehensif, salah satunya adalah folklor. Banyak tempat di Jawa Barat yang penamaannya berakar pada budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, keberadaan foklor menjadi bagian yang strategis dalam toponimi masyarakat Sunda. Kata Kunci: Folklor, Sumber Daya Toponimi, Masyarakat Sunda
A. PENGANTAR Penggunaan kata folklor tidak asing lagi, kata ini telah membumi dalam keseharian hidup bermasyarakat. Kehidupan ini seakan tidak lepas dari dunia folklor. Folklor sebagai bagian dari kehidupan manusia perkembangannya seiring dengan perkembangan zaman. Bahkan, folklor dapat mencerminkan kehidupan manusia pada zamannya. Folklor, termasuk sastra, merupakan karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keorsinalitasan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sujiman, 1990: 71). Hal ini berarti bahwa keindahan dan keunggulan folklor tidak hanya dilihat dari segi ungkapannya, tetapi juga dapat dilihat dari segi isi yang terkandung dalam folklor tersebut yang dapat memberikan manfaat. Folklor merupakan sebuah dunia yang keberadaannya selalu sejalan dengan perkembangan hidup manusia. Dunia folklor merupakan implementasi dari berbagai fenomena hidup manusia. Di negara-negara maju peran folklor, terutama sastra, sangatlah besar dalam kehidupan. Sastra merupakan bagian dari kegiatan politik negaranya. Seorang sastrawan dapat menyalurkan ide, kritik, ataupun doktrin melalui media karya sastra. Peran pemaknaan terhadap potensipotensi teks di sini sangatlah dibutuhkan. Bagaimana seorang pembaca dapat memahami apa maksud dan tujuan sastrawan membuat karya seperti ini. Begitu pula dengan di Indonesia, folklor sampai era mutakhir ini masih memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk jati diri masyarakatnya. Bahkan, folklor dapat menjadi wahana pendidikan karakter, sebagaimana dijelaskan oleh Endraswara (2013: 2), bahwa a.l. dongeng, legenda, peribahasa, mitos, dan rumah adat adalah budaya yang dapat dijadikan
249
wahana pendidikan karakter. Lebih lanjut Endraswara (2013: 2) menegaskan bahwa penyemaian pendidikan karakter lewat aneka folklor dapat dilaksanakan secara enkulturatif, yaitu secara halus melalui nilai-nilai budaya. B. KEARIFAN LOKAL DAN TRADISI LISAN Berbicara folklor tentu saja tidak bisa melepaskan dari kearifan lokal. Akan tetapi, kearifan lokal memiliki dimensi yang sangat luas dan dapat berupa sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas dalam mengelola lingkungannya, baik lahir maupun batin. Permana (2010: 1) menjelaskan bahwa kearifan lokal dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebudayaannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut meliputi seluruh unsur kehidupan, seperti agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Kearifan lokal dapat pula menaungi segala nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih, dan semboyan hidup (Permana, 2011: 3). Dalam masyarakat Sunda dikenal misalnya, silih asih, silih asah, silih asuh. Makna filosofis tersebut tentulah sangat dalam bahwa masyarakat Sunda mengedepankan cinta kasih pada sesama manusia, selanjutnya dapat saling memberi pengetahuan, dan tentu saja diharapkan tidak terjadi perselisihan. Ungkapan lain dalam masyakarat Sunda, misalnya herang caina, laukna beunang, merupakan strategi yang menghasilkan win win solution. Artinya, dalam menyelesaikan konflik masyarakat berprinsip kompromistis dengan hasil yang mengenakan bagi kedua belah pihak yang bertikai (baca pula Djajasudarma dkk., 1997). Kearifan lokal sendiri memiliki enam dimensi sebagaimana dijelaskan oleh Ife ((2002) dalam Permana, 2011: 4-6). Dimensi yang dimaksud mencakup (1) pengetahuan lokal, (2) nilai lokal, (3) keterampilan lokal, (4) sumber daya lokal, (5) mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan (6) solodaritas kelompok lokal. Setiap masyarakat sudah dapat dipastikan memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Hal ini tiada lain karena masyarakat tersebut telah mendiami daerahnya dengan waktu yang cukup lama sehingga dalam situasi apa pun juga mereka dapat beradaptasi dengan baik. Sebagai contoh, di Baduy sebagian masyarakat dapat mengetahui bahwa tiga hari yang akan datang akan turun hujan dengan melihat kemunculan sebuah tumbuhan. Hal ini terkait erat dengan pengetahuan pada siklus iklim, musim, demografi, sosiografi dll. setempat. Begitu pula dengan nilai-nilai lokal yang dimiliki yang tentu saja berguna untuk mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Nilai-nilai tersebut akan berubah selaras dengan perkembangan zaman. Keterampilan lokal digunakan sebagai kemampuan bertahan hidup, seperti bercocok tanam dan berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber daya lokal pada umumnya adalah sumber daya alam, seperti air, tanah, hutan, kebun, permukiman yang dimiliki secara kolektif. Dalam kaitannya dengan mekanisme pengambilan keputusan lokal, tentu saja setiap masyarakat memiliki pemerintahan lokal sendiri. Setiap masyarakat memiliki mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda satu sama lain, misalnya secara demokratis atau berjenjang. Selanjutnya, setiap masyarakat mempunyai upaya masing-masing dalam membentuk ikatan dengan warganya, misalnya dengan ritual keagamaan yang intinya adalah untuk membangun solidaritas antaranggota masyarakat tersebut. Kearifan lokal memiliki hubungan yang erat dengan tradisi lisan. Sebagaimana dijelaskan oleh Sibarani (2012: 123) bahwa tradisi lisan merupakan kegiatan budaya tradisional
250
suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain, baik lisan maupun nonlisan. Lebih lanjut Sibarani menguraikan bahwa tradisi lisan memiliki ciri (1) kebiasaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan, (2) memiliki peristiwa atau kegiatan sebagai konteksnya, (3) dapat diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional, (5) diwariskan secara turun-temurun, (6) proses penyampaian dengan media lisan, (7) mengandung nilai-nilai budaya sebagai kearifan lokal, (8) memiliki varian, (9) berpotensi direvitalisasi dan diangkat secara kreatif sebagai sumber industri budaya, dan (10) milik bersama komunitas tertentu. Dalam kaitannya dengan tradisi lisan, Sibarani (2012: 124) menjelaskan bahwa wujudnya dapat berupa (1) tradisi berkesusastraan lisan, (2) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat, (3) tradisi teknologi tradisional, (4) tradisi pelambangan atau simbolisme, dan (5) tradisi musik rakyat. Adapun jenis pengetahuan yang dapat digali menyangkut (1) cara-cara penggunaan, (2) kebiasaan rakyat, (3) moral atau etika, (4) norma, (5) adat istiadat, (6) keterampilan, dan (7) kompetensi atau pengetahuan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tradisi lisan mengandung nilai dan norma budaya luhur yang dapat dimanfaatkan masyarakat secara turun-temurun untuk menata kehidupan sosialnya secara arif dan bijaksana. Masyarakat Sunda, misalnya masyarakat Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, meyakini bahwa tradisi lisan yang melekat padanya memiliki daya dalam tatanan kehidupannya. Sebagian masyarakat Parigi tidak heran jika wilayah kecamatannya menjadi ibu kota Kabupaten Pangandaran karena hal itu sesuai dengan uga-nya (prediksi) bahwa “Parigi bakal ngajadi (Batawi), Cijulang ngarangrangan” (Parigi akan menjadi ibu kota, Cijulang memudar pamornya). Kenyataannya memang demikian, kini Kecamatan Parigi menjelma menjadi ibu kota yang tentu saja akan terus bersolek demi mengemban nama ibu kota Pangandaran yang prestisius sebagai objek wisata populer di Jawa Barat. C. FOLKLOR SEBAGAI SUMBER DAYA TOPONIMI Masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang memiliki keunikan dalam adat budaya. Kekhasan budaya inilah yang menjadi daya tarik para pendatang untuk mengetahui lebih dalam karakteristik seni budaya Sunda. Masyarakat Sunda menempati di dua wilayah, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Banten. Di samping itu, secara budaya, masyarakat Jawa Tengah bagian barat pun termasuk pada etnik ini, misalnya beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap mayoritas berbahasa Sunda. Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Sunda lama sedikit mengenal budaya tulis. Oleh karena itu, dalam berinteraksi antargenerasi dilakukan dengan media lisan. Dengan demikian, berkembanglah budaya lisan, seperti cerita rakyat. Terkadang cerita rakyat oleh sebagian masyarakat diyakini kebenarannya. Misalnya saja, cerita masyarakat yang berada di pesisir Pantai Selatan, sudah tentu mengenal cerita penguasa laut Pantai Selatan, yaitu Nyi Rorokidul. Keberadaan tokoh dalam cerita rakyat ini betul-betul diapresiasi sehingga hotel di daerah Sukabumi menyediakan kamar khusus untuk sang Penguasa Laut Selatan tersebut. Siapa yang tidak kenal legenda Nyiroro Kidul? Pengunjung yang datang ke Samudera Beach Hotel di Pelabuhanratu pasti akan penasaran dengan kamar 308. Ternyata, animo masyarakat untuk mengetahui isi kamarnya yang serba hijau itu cukup besar. Masih banyak cerita rakyat lain yang beredar di masyarakat Sunda dan dikenal masyarakat nusantara, bahkan dunia, seperti legenda Gunung Tangkuban Perahu dengan tokoh utamanya Dayang Sumbi dan Sangkuriang.
251
Dalam kaitannya dengan nama tempat (topinimi), banyak nama tempat di Jawa Barat yang berlandaskan pada folklor. Masalah tata nama tempat menjadi isu yang penting dibahas mengingat bahwa pada nama tempat, terkandung pandangan dan pemahaman terhadap lingkungannya, dan terutama mencerminkan identitas masyarakatnya, atau sebagai bentuk branding dari tempat tersebut, bahkan branding suatu negara (Anholt, 2010; Kostanski, 2011). Jika memerhatikan kompleksitas tersebut, pengkajian mengenai toponimi memerlukan pendekatan yang komprehensif. Sebagai disebutkan, toponimi menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari proses pembentukan identitas diri. Hall (1998, 1997) dan Woodward (2004) berpendapat bahwa identitas tidaklah ajek. Identitas akan terus-menerus berubah. Begitu juga dengan nama tempat walaupun nama tempat cenderung melekat, identitas yang menyertainya dapat saja berubah. Dengan demikian, toponimi juga dapat memberi gambaran budaya masa silam dan bagaimana pergerakan manusia terjadi di sebuah daerah atau wilayah. Sebagaimana disebutkan Anholt (2010), toponimi juga berfungsi sebagai bentuk identitas nasional yang dalam hal ini berkontribusi terhadap kedaulatan sebuah negara. Kondisi ini dapat dipahami mengingat pemberian nama tempat tentu dengan berbagai pertimbangan, terutama yang menyangkut kesejarahan, sekaligus juga sebagai upaya pelestarian budaya (bahasa). Hal senada ditegaskan pula oleh Rais dkk. (2008: xi) bahwa banyak nama tempat berakar dari sejarah dan kebudayaan bangsa (masyarakat) itu sendiri. Dengan mempertimbangkan saling keterkaitan tersebut, dapat diargumentasikan bahwa penelitian toponomi harus secara dekat memerhatikan dan membaca kearifan lokal, dalam hal ini folklor. Toponimi secara literal berarti nama tempat (baca pula Rais dkk., 2008: 5-6). Berbagai penelitian menekankan bahwa nama tempat mengisyaratkan juga keterikatan dengan tempat tersebut. Menurut Jorgensen dan Stedman, sebagaimana dibahas oleh Kostanski (2011), keterikatan dengan suatu tempat merupakan konsep yang dapat dikategorikan ke dalam istilah “sense of place”, sebagaimana banyak nama di Jawa Barat yang menggunakan nama ci- ‘air’. Hal ini cenderung mengisyaratkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah berair, tidak terkecuali dengan nama tempat yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian barat, seperti Cireang dan Ciberewek di Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Dalam kaitan dengan hal yang lebih luas, toponimi berhubungan dengan kearifan lokal sebagai bagian penting dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui “sense of place” yang hanya bisa dibangun melalui rasa keterikatan dengan tempat tersebut, William dan Vaske, sebagaimana dijelaskan Kostanski (2011: 14), menyebutkan adanya dua keterikatan. Yang pertama, kebergantungan terhadap suatu tempat (place dependence) yang merupakan keterikatan fungsional terhadap suatu tempat dan dan yang kedua adalah “identitas tempat” yang merupakan keterikatan emosional terhadap tempat tersebut. Dengan demikian, toponimi merupakan penanda signifikansi tempat dalam konteks fungsional sebagai sumber bagi pemenuhan berbagai kebutuhan dan juga sebagai investasi psikologis terhadap tempat tersebut. Toponimi bagaimanapun adalah ungkapan yang dalam teori linguistik dapat dilihat sebagai ‘tanda’, yang dalam hal ini tidak dapat dengan sederhana dianggap terjadi secara arbitrer. Seperti diargumentasikan Radding & Western (2010: 399), konteks di antara kata-kata yang arbitrer di dalam suatu bahasa tertentu dan dalam situasi tertentu di dalam bahasa tertentu tidaklah artbitrer. Kita mencintai dan memedulikan nama tertentu karena nama tersebut mengandung lapisan makna yang berasal dari budaya tempatnya berada yang melampaui katakata sehari-hari atau biasa. Dengan demikian, toponimi harus dapat dipahami sebagai sebentuk ‘tanda’.
252
Dalam hal ini, suatu nama tempat merupakan suatu tanda yang mengacu kepada suatu cerita (story) dan juga sejarah (history) yang berakar dalam pada budaya lokal. Perubahan dalam suatu budaya akan mengakibatkan perubahan pemaknaan terhadap nama tempat itu sebagai tanda (Radding & Western, 2010). Oleh karena itu, pemaknaan suatu nama dapat ditelusuri melalui cerita atau sejarah yang menyertainya, dan terutama adalah melalui cerita atau tradisi lisan yang menurunkan cerita/sejarah nama tempat tersebut. Tradisi ini berkontribusi besar bukan saja untuk melanggengkan nama tersebut, tetapi yang lebih dalam lagi, melanggengkan narasi yang menyertainya serta nilai-nilai yang tertanam di dalamnya, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budaya. Misalnya, di Kabupaten Pangandaran, di wilayah Kecamatan Parigi ada tempat wisata baru untuk bodyrafting bernama Santirah. Nama ini berbeda dengan nama tempat pada umumnya di wilayah ini, yang cenderung menggunakan nama tumbuhan atau binatang. Santirah merupakan nama seorang gadis desa yang berprofesi sebagai ronggeng gunung yang sangat terkenal akan kecantikannya sehingga tidak mengherankan banyak laki-laki yang tergila-gila. Di antara sekian banyak laki-laki yang jatuh cinta, ada seorang laki-laki yang tidak rela jika Santirah dimiliki oleh orang lain selain dirinya. Akhirnya, Santirah dibunuh secara tragis di tempat yang berupa goa. Goa itu sekarang dikenal dengan Goa Santirah. Goa Santirah
Sumber foto: www.googleweblight.com. Sebagaimana diutarakan oleh Ayatrohaedi, yang dibahas oleh Sudaryat dkk. (2005), pengetahuan mengenai nama lazim disebut onomastika, yang salah satu bagiannya adalahh toponimi, yaitu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul nama tempat. Lebih lanjut Nida, yang dikutip oleh Sudaryat dkk. (2005), menjelaskan bahwa penamaan tempat atau toponimi juga termasuk ke dalam teori penamaan (naming theory). Proses penamaan berkaitan dengan acuannya. Penamaan bersifat konvensional dan arbitrer. Hal ini dikatakan konvensional
253
karena disusun berdasarkan kebiasaan masyarakat pemakainya, sedangkan dikatakan arbitrer karena tercipta berdasarkan kemauan masyarakatnya. Nama lokal Cukang Taneuh sebagai nama lokal (bahasa Sunda: cukang ‘titian’, taneuh ‘tanah’) untuk objek wisata di kawasan Pangandaran, misalnya, lebih dikenal dengan nama Green Canyon daripada Cukangtaneuh. Nama Green Canyon sendiri diilahmi dari seorang pelancong asal Amerika yang melihat pemandangan memesona di Cukangtaneuh mirip dengan pemandangan di Green Canyon. Hingga saat ini masyarakat menyebut tempat wisata tersebut dengan Green Canyon (Sobarna dkk., 2015) Contoh lain, Puncakdarma di kawasan Taman Bumi Ciletuh, Sukabumi dulunya bernama Pasirmuncang (bahasa Sunda: pasir ‘bukir kecil’, muncang ‘kemiri’) yang kini banyak dikunjungi orang sebagai destinasi wisata alam yang menantang. Nama Puncakdarma lebih dikenal sekarang setelah di kawasan bukit itu dibangun jalan pada tahun 2004 oleh CV Darma Guna. Akhirnya, masyarakat mengabadikan nama perusahaan itu (Sobarna dkk., 2016). Nama tempat, sebagaimna telah disebutkan, merupakan suatu bentuk cerita dan sejarah yang secara tradisi diturunkan di antaranya melalui folklor (Danandjaja, 2004) yang menelusuri proses penamaan (naming) berbagai hal, misalnya jalan, orang, makanan, buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, dan tempat. Dalam kaitannya dengan penaman tempat, masyarakat Jabar Selatan mempertimbangkan penamaan tempat tersebut dengan lingkungan alam di mana mereka hidup, sebagai bentuk kesadaran ekologis. Hal tersebut dapat dilihat dari pada penamaan tempat yang cenderung berkaitan erat dengan latar lingkungan alamnya. Penamaan tempat di wilayah tersebut, pada umumnya sebagian besar dihubungkan dengan tumbuhan (flora) dan binatang (fauna). Beberapa nama tempat yang terkait dengan tumbuhan (flora) yang terjaring dalam penelitian kemungkinan besar tumbuhan yang menjadi unsur nama tempat itu dapat ditelusuri dan pernah ada tumbuh di daerah tersebut, sebagaimana dapat diamati nama tempat di wilayah Pangandaran dan Sukabumi Selatan berikut. Unsur nama tempat tersebut merupakan perpaduan leksem antara nama/jenis tumbuhan dan tempat/habitat di mana tumbuhan itu hidup, di antaranya ci- ‘air, sungai, kolam’, karang ‘karang’, bojong ‘jazirah, semenanjung’, dan poncol ‘bukit kecil’. Nama tumbuhan tersebut di antaranya adalah kangkung, nangka, dan jengkol, sebagaimana pada nama kampung Cikangkung, Karangnangka, dan Pocoljengkol. Di wilayah Sukabumi unsur nama tempat merupakan perpaduan nama tumbuhan dengan unsur selain ci, juga dengan jenis tempat berupa tegal ‘ladang’, pasir ‘bukit’, dan babakan ‘dusun yang baru’. Nama tumbuhan yang tercatat dalam data penelitian ini yaitu loa ‘sejenis pohon’, caringin ‘beringin’, haur ‘sejenis bambu’, dan jati ‘jati’, sebagimana pada nama desa/kampung Ciwaru, Tegalcaringin, Pasirhaur, dan Babakanjati. Adapun nama tempat yang berkaitan dengan binatang (fauna), di Pangadaran terdapat nama tempat yang unsurnya adalah binatang laut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat daerah Pangandaran merupakan wilayah pantai. Namun, ada pula binatang darat lainnya, sebaimana terlihat pada nama Desa/kampung Japuh, Cipepetek, Cilele, Cilembu, Batuhiu, Cikalong, Cimerak, dan Cibadak.4)Japuh ‘sejenis ikan yang hidup di muara’, pepetek ‘sejenis ikan laut’, lele merupakan jenis hewan yanghidup di perairan darat; manuk ‘burung’, lembu, hiu, kalong ‘kelelawar’, dan badak merupakan binatang darat. Di kawasan Taman Bumi Ciletuh dijumpai pula nama-nama tempat yang menggunakan binatang, seperti kadal, tirem ‘tiram’, dan manuk ‘burung’, sebagaimana pada Cikadal, Citirem, dan Pulau Manuk. D. PENUTUP Folklor menjadi bagian strategis bagi pewarisan budaya. Folklor dapat berfungsi juga sebagai media bagi pewarisan nilai-nilai kearifan lokal, yang pada gilirannya akan berkontribusi
254
secara signifikan terhadap adanya keterkaitan manusia pada lingkungannya. Kearifan lokal terakumulasi sepanjang hidup masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu, kesadaran akan eksistensinya terefleksikan melalui pemberian nama pada tempat yang menjadi ruang eksistensi tersebut. Dengan demikian, peran folklor tidak dapat diabaikan dalam pembangunan berkelanjutan dewasa ini. DAFTAR PUSTAKA Anholt, S. 2010. Places: Identity, Image and Reputation: Palgrave, Macmillan. Danandjaja, J. 2004. Folkor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Djajasudarma, T. Fatimah dkk. 1997. Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Jakarta: Pusat Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Buku Kita. Hall, S. 1998. The Local and the Global: Globalization and Ethnicity. In A. D. King (Ed.), Culture, Globalization and the World-System: Contemporary Conditions for the Representation of Identity (pp. 19-40). Minneapolis: University of Minnesota Press. Hall, S. (Ed.). 1997. Representation – Cultural Representation and Signifying Practices. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications in association with The Open University. Kostanski, L. 2011. "Toponymic dependence research and its possible contribution to the fi eld of place branding". Place Branding and Public Diplomacy, 7(1), 9-22. Permana, R., & Eka, C. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Bandung:: Wedatama Widya Sastra. Radding, L., & Western, J. 2010. Linguistics, Geography and Toponyms. The Geographical Review, 100(3), 394-412. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Sobarna, Cece dkk. 2015. "Kearifan Lokal Masyarakat Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran: Deskripsi dan Persepsi Cerita Rakyat". Laporan Penelitian. Bandung: Pusat Penelitian Pengabdian Masyarakat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Sobarnam Cece dkk. 2016. "Kearifan Lokal Masyarakat Sunda dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekowisata: Kajian Toponimi Jabar Selatan (Geopark 'Taman Bumi' Ciletuh). Laporan Akhir Hibah Penugasan Penelitian Unggulan Academic Leadership Grant (ALG). Universitas Padjadjaran: Fakultas Ilmu Budaya.
255
Sudaryat, Yayat. 2005. Pemakaian Bahasa Sunda dalam Sistem Toponimi Nama Daerah di Jawa Barat. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI. Woodward, K., & University, O. 2004. Questioning Identity: Gender, Class, Ethnicity: Routledge.
256
HERMENEUTIKA HANS-GEORG GADAMAER SEBAGAI STRATEGI PEMBACAAN KARYA SASTRA Muarifuddin Jurusan Bahasa dan Sastra Program Studi Sastra Inggris FIB Universitas Halu Oleo Abstrak Makalah ini membahas tentang hermeutika Han-Georg Gadamer yang tercakup dalam dua masalah utama yaitu (1) Konsep Humanis utama yang terdiri dari; a. Bildung, b. Sensus Communis, c. pertimbanga, d. Selera dan e. Erlibnis (pengalaman). (2). Hermeneutika Hans-Georg Gadamer sebagai sistem interpretasi atau strategi pembacaan karya sastra dimana dalam hal ini terjadinya relasi antara teks dan pembaca yang pada akhirnya menghasilkan pemaknaan. Proses relasi antara teks dan pembaca untuk menghasilkan makna ini sejalan dengan metode pembacaan abduksi yaitu langkah analisis yang berusaha mendekati data atau teks dengan sekian asumsi, prakonsepsi, pradisposisi dan prasangka yang melekat dalam diri penafsir. Kata kunci: Hermeneutika, Strategi,Pembacaan, Karya Sastra
A. Pendahuluan Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani beberapa abad sebelum menjelma jadi kata Latin di dunia Barat abad pertengahan. Hermeneutika berasal dari kata “Hermes”, nama salah seorang dewa dalam agama kuno Yunani. Selanjutya Hermenutika pertama kali diperkenalkan ke dalam kebudayaan Barat (Eropa) dalam bentuk kata Latin Hermeneutica oleh seorang teolog dari Strasbourg bernama Johann Dannhauer. Sementara itu sejarawan hermeneutika modern pertama, Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa isitilah ini muncul pada abad ke-16, seabad sebelum Dannhauer. Pengikut Luther yang pertama kali mengemukakan hermenutika sebagai teori penafsiran teks bible dan sekaligus respon terhadap keteguhan Katolikisme yang berpegang pada otoritas gereja dalam menafsirkannya (2008:61-62). Makalah ini mengungkapkan tentang cara mebaca karya sastra dengan memanfaatkan konsep hermeneutika Gadamer. Dalam bukunya Gadamer, Hans-Georg. 2004. Kebenaran Dan Metode. Terjemahan. Ahmad Sahida memang tidak secara spesifik menyinggung cara membaca karya sastra. hermeneutika Gadamer menbahas tentang teks secara umum, karena karya sastra merupakan bagian dari teks tersebut maka system filsafat yang dikemukakan Gadamer ini dapat dimanfaatkan untuk menkaji teks sastra. 1. Konsep Humanistik Utama Di bawah ini akan dipaparkan beberapa hal berkenaan dengan konsep dasar humanistik utama hermeneutika Hans-Georg Gadamer. a. Bildung Salah satu konsep humanistik utama adalah bildung. Bildung dihubungkan secara erat dengan kebudayaan dan terutama menunjukan cara menusia yang benar dalam mengembangkan salah satu bakat dan kemampuannya. Bildung dimaksudkan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih dalam yaitu sikap pikiran, yang dari pengetahuan dan perasaan intelektual total dan usaha moral, mengalir secara selaras ke dalam kepekaan dan karakter. Bildung di sini bukan lagi
257
berarti kebudayaan, yaitu perkembangan kemampuan-kemampuan dan bakat. Bildung sebagaimana juga pengguanaan kontemporer dari formation adalal lebih menggambarkan hasil dari proses manjadi daripada proses itu sendiri. Karena hasil dari bildung tidak dicapai dengan cara melakukan konstruksi teknis,tetapi tumbuh dari proses pembentukan dan penanaman batin dan oleh karena itu masih berada dalam eksistensi bildung yang terus berkesinambungan. Konsep bildung melampaui konsep tentang pemeliharaan tehadap bakat-bakat tertentu , dari mana konsep ini berasal. Pemeliharaan terhadap bakat adalah pengembangan terhadap sesuatu yang sudah ada, sehingga praktik dan pemeliharaan tehadapnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan (Gadamer, 2004: 11- 12). Konsep bildung merupakan suatu usaha dalam rangka mencapai kualitas manusia ke dalam tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain manusia dalam mencapai harkat dan marbatnya harus melalui proses penggemblengan diri dengan mengembangkan semua potensi yang ada padanya. Dalam proses penggemblengan ini, manusia terlepas dari kungkungan suatu lembaga tertentu yang mengikatnya sehingga ia dapat mengembangkan kemampuankemampuan atau bakat alamnya. bildung berarti upaya mencapai kualitas kemanusiaan yang lebih tinggi (empor bildung). Bildung tidak sama dengan penggemblengan seseorang dalam sebuah lembaga pendidikan atau pelatihan yang hanya bertujuan mengasah bakat dengan caracara tertentu dan punya tujuan-tujuan yang jelas (Gadamer, 2004: 13-22). Lebih lanjut Gadamer mengungkapkan bahwa bildung cara-cara spesifik yang ditempuh oleh manusia untuk menjadi dirinya sendiri lewat pembudayaan (enculturation) dirinya sendiri (Inyiak, 2008: 106). b. Sensus communis Konsep lain dalam humanistik adalah sensus communis. Sensus communis adalah keterampilan berbicara yang tidak hanya berkaitan dengan persoalan retoris yang membuat orang lain atau khalayak ramai “terpesona” dengan apa yang dikatakan, sebab yang terpenting di sini adalah apa yang dikatakan itu sendiri yakni kebenaran. Lawan bicara mengakui kebenaran perkataan tersebut karena ada pengertian bersama (kesepakatan bersama) tentang kebenaran dalam pembicaraan itu yang telah tercapai (Gadamer, 2004: 22-34). Pada abad ke-18 di Jerman berkembang konsep yang sangat berhubungan erat dengan konsep sensus communis, konsep tersebut adalah pertimbangan. Pada kenyataannya kerja pertimbangan yakni menggolongkan sesuatu yang khusus di bawah yang universal, mengakui sesuatu sebagai contoh dari sebuah aturan yang tidak bisa dipaparkan secara logis. Pertimbangan dapat dipelajari, namun bukan dalam pengertian sesuatu yang abstrak. Dia hanya bisa dipelajari dalam hal-hal yang kongkret dengan mempraktekkan dari satu kasus ke kasus yang lain, dan oleh karena itu, dia lebih dari suatu kemampuan daripada perasaan. Ia merupakan sesuatu yang tidak bisa dipelajari karena tidak ada penjelasan dari konsep-konsep yang bisa menjadi petunjuk penerapan aturan-aturan (Gadamer, 2004: 35). c. Pertimbangan Definisi pertimbangan ini tidak hanya menerapakan sebuah konsep yang ada sebelumnya tentang sesuatu, tetapi bahwa individu yang bijaksana dipahami sebagai suatu persetujuan dari banyak orang dengan seseorang yang diteliti. Ini bukan penerapan yang universal, tetapi persetujuan internal antara hal-hal yang berbeda. Akal sehat terutama dipandang dalam pertimbangan-pertimbangan tentang yang benar dan yang salah, yang tepat dan yang tidak tepat yang ia buat. Siapapun yang mempunyai pertimbangan logis, dengan
258
demikian tidak diperbolehkan untuk menilai yang parikular di bawah yang universal, tetapi dia mengetahui apa yang penting, dengan kata lain dia melihat sesuatu dari sudut pandang yang baik dan masuk akal. Misalnya seorang penipu yang dengan tepat menilai kelemahan manusia dan selalu mengerjakan sesuatu yang baik dalam tipuannya, meskipun demikian dia tidak mempunyai pertimbangan yang masuk akal dalam pengertian tertinggi dalam istilah ini (Gadamer, 2004: 36-37). d. Selera Menurut sifat esensialnya, selera bukan merupakan fenomena pribadi, tetapi merupakan fenomena sosial. Ia bisa menemukan kecenderungan individual seperti sebuah pengadilan hukum atas nama universalitas yang ia representasikan. Seseorang bisa menyukai sesuatu yang ditolak oleh seleranya sendiri. Fenomena selera adalah sebuah kemampuan intelektual dalam melakukan diferensiasi. Selera berlaku dalam komunitas, tetapi ia tidak bersikap patuh padanya. Sebaliknya, selera yang baik dibedakan dengan fakta bahwa ia bisa menyesuaikan dirinya pada arahan selera yang direpresentasikan oleh mode atau sebaliknya bisa menyesuaikan apa yang dituntut oleh mode untuk selera baik miliknya sendiri. Seseorang berpegang pada gayanya sendiri yakni seseorang yang menghubungkan tuntutan mode dengan keseluruhan yang dipertahankan selera seseorang dan hanya menerima sesuatu yang selaras dengan keseluruhan ini serta menyesuaikan sekaligus sebagaimana yang ia lakukan. Masalah selera terutama tidak hanya untuk mengakui ini atau itu sebagai sesuatu yang indah, tetapi untuk mempunyai pandangan tentang keseluruhan dimana segala sesuatu diselaraskan dengan yang indah. Selera apabila dibedakan dengan gaya atau mode, bahwa selera merupakan ketika seseorang mempertimbangkan apa yang akan dipilihnya bukan karena ikut-ikutan. Sebaliknya gaya atau mode yaitu ketika dia memilih karena orang lain sudah banyak yang memilihnya (Gadamer dalam Inyiak, 2008:114 ). e. Erlibnis (Pengalaman) Konsep erlibnis (pengalaman) sering muncul pada masa Goethe berasal dari kata erleben yang berarti bahwa ketika sesuatu terjadi kita masih hidup. Dalam hal ini berarti bahwa sesuatu yang rela dipahami tidak seperti sesuatu yang diasumsikan diketahui seseorang, teteapi konfirmasi melalaui pengalaman yang tidak dipunyai orang. Apakah ia diambil alih dari yang lain atau berasal dari kabar angin, atau apakah ia dilakukan, diduga atau dibayangkan. Sesuatu yang dialami adalah sesuatu yang dialami seseorang itu sendiri (Gadamer, 2004: 68-69). Dari dimensi teoritis konsep humanistik utama sebagaimana dideskripsikan di atas merupakan karakteristik atau substansi filosofis dari hermeneutika Hans-Georg Gadamer untuk melahirkan sebuah paradigma baru dalam sistem interpretasi atau jalan untuk mencapai pemaknaan terhadap suatu teks. 2. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer sebagai Sistem Interpretasi Sastra Dalam uraian di bawah ini akan diketengahkan berbagai perspektif hermeneutika HansGeorg Gadamer dalam aplikasinya terhadap proses pencapaian pemahaman atau pemaknaan pada suatu teks yang dalam hal ini tentunya termasuk dalam teks karya sastra. Berikut ini pandangan dari Janet Wolff mengemukakan bahwa; The fundamental proposition of Gadamer’s hermeneutics is that understanding is always from the point of view of the person who understands. Historical understanding cannot ever consist in somehow transposing oneself into the past, or in some act of
259
indirect emphaty with another person (social actor, author or anyone else.) one’s own present and ‘historicity’ in variably enter the hermeneutic act, therefore colour the understanding its self (1989: 99-100). Terjemahan bebasnya: konsep dasar hermeneutika Gadamer bahwa pemahaman selalu berasal dari pandangan seseorang yang mengerti. Pemahaman historis bukan berada pada pembawaan diri pada masa lampau atau kesan tak langsung terhadap orang lain seperti pelaku sosial, pengarang atau yang lain. Kenyataan-kenyataan yang melingkupi seseorang baik masa sekarang maupun masa lampau merupakan tindakan hermeneutika yang oleh karena itu dapat mewarnai atau mempengaruhi pemahaman itu sendiri. Hans-Georg Gadamer menjelaskan bahwa ketika manusia merasa nyaman secara epistemologis di dalam bahasa, maka di situ unsur pemahaman cenderung mandek, padahal pengetahuan atau pemahaman adalah suatu petualangan, dan karenanya berani menempuh bahaya dan resiko, menantang pelbagai kemungkinan. Sementara itu, kemungkinankemungkinan terus hadir secara dinamis dalam dan melalui imajinasi (Audifax, 2006: 155-156). Dalam pandangan lain Bilen menyatakan bahwa; Gadamer regards the relation between a text and the interpreting subject as the focus of hermeneutic. There are two components of this relation between an individual subject and the tradition; every subject has an interest in the subject matter and medium in which the subject matter is presented, that is language. For this reason, gadamer describes the hermeneutic circle as consisting of the ‘interplay of the movement of tradition and the movement of interpreter.”(Bilen, 2000: 49). Terjemahan bebasnya: Gadamer menganggap hubungan antara suatu teks dan interpretasi subjek sebagai focus hermeneutika. Ada dua komponen dari hubungan antara subjek individu dan tradisi. Setiap subjek mempunyai kesan pada unsur subjek dan medium dimana unsur subjek dihadirkan yaitu bahasa. Atas alasan ini Gadamer menggambarkan lingkaran hermeneutika yaitu arus bolak balik antara pergerakan tradisi dan pergerakan interpreter. Gadamer summarizes his views of the openness of the meaning of the text and its interpretation in the following way: “it is enough to say that we understand in a different way if we understand at all.”. Gadamer opposes the idea that the object of understanding is to ascertain meaning as the author’s intention. (Bilen, 2000: 50). Terjemahan bebasnya: Gadamer menyimpulkan pandangannya tentang keterbukaan maksud atau arti dari teks dan interpretasinya dengan cara “cukup kita mengatakan bahwa kita akan paham atau mengerti pada cara yang berbeda jika kita betul-betul mengerti. Gadamer menentang ide yang menyatakan bahwa inti dari pemahaman adalah berdasarkan pemahaman sebagaiamana yang dimaksudkan pengarang. Gadamer berpendapat bahwa penafsir harus menerima kenyataan bahwa tidak ada cara apapun juga untuk melepaskan diri dari lingkungan hermeneutik- suatu konsep yang didasarkan pada kontrakdisi yang menyatakan bahwa agar dapat memahami suatu bagian teks seseorang
260
harus mempunyai pengetahuan mengenai keseluruhannya, sementara pemahaman akan keseluruhan teks akan tergantung pada pemahamannya pada setiap bagian (Newton, 1994: 57). Gadamer mengikuti Heideger mengemukakan bahwa adalah suatu hal yang tak mungkin memisahkan diri dari tindakan interpretasi dan oleh karena itu interpretasi adalah selalu menginterpretasi kembali dari sudut pandang sekarang. Menurut hermeneutika Gadamer, makna suatu tindak (atau teks atau praktik) bukanlah sesuatu yang ada pada tindak itu sendiri; namun makna selalu bermakna selalu bermakna bagi seseorang sehingga bersifat relatif bagi penafsirnya (Mujdia, 2008:75). Gadamer menguraikan interpretasi sebagai suatu fusi “horizon-horizon” dimana suatu objek atau tindak yang bermakna yang bersal dari satu dunia konseptual diterjemahkan ke dalam pengertian yang sesuai dengan orang lain. Yang dimaksudkan “horizon” bagi Gadamer adalah menangkap “kepenatan” (situatedness) semua interpretasi yang terjadi dalam suatu tradisi wacana. Selain itu, horizon bergerak sewaktu mereka yang memandang horizon itu bergerak. Jadi dengan menggunakan “horizon” ini, Gadamer juga berharap menunjukan keterbukaan dan kelenturan paradigma konseptual. Yang dimaksudkan “fusi” (verschmelzung) oleh Gadamer adalah menangkap proses penuturan objek asing atau masa lalu kepada interpreter khusus yang ditempatkan dalam milieu kuluturalnya. Jadi, interpretasi bisa dipahami paling baik sebagai proses penerjemahan (Mudjia, 2008:77). Gadamer berpandangan bahwa tugas hermeneutika bukan menemukan makna asli dari sebuah teks. Interpretasi bagi Gadamer bukan mengambil suatu teks kemudian mencari makna yang diletakan oleh pengarang di dalamnya. Sebab bagi Gadamer arti sebuah teks tidak hanya terbatas pada pengarangnya saja, akan tetapi terbuka bagi adanya penafsir baru sesuai kreatifitas penafsir. Bahkan baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menjadi penafsir ideal atas karyanya (Mudjia, 2008:90). Menurut Gadamer, makna karya sastra tidak pernah terkuras oleh maksud pengarangnya; selagi karya itu berpindah antarkonteks budaya atau historis, makna-makna baru dapat dikumpulkan darinya, makna yang mungkin tidak pernah diantisipasi oleh pengarang atau pembaca saat karya itu ditulis. Lebih lanjut dikatakan bahwa semua penafsiran diadasari oleh situasi, dibentuk dan dibatasi oleh kriteria yang berhubungan dengna sejarah dalam sebuah kebudayaan tertentu; tidaklah mungkin untuk memahami teks apa adanya (Eagleton, 2007: 100). for Gadamer the meaning of literary work is never exhausted by the intentions of its author; as the work passes from one cultural or historical context to another, new meanings may be culled from it which where perhaps never anticipated by its author or contemporary audience (Eagleton, 1983:71). Semua penafsiran atas sebuah karya yang ditulis di masa lalu terdiri dari dialog antara masa lalu dan masa kini (Gadamer via Eagleton, 2007: 101). for Gadamer all interpretation of a past work consists in a dialogue between past and present (1983:71). Peristiwa pemahaman terjadi ketika pemahaman horizon historis kita berpadu dengan horizon karya itu diterima atau dibaca (Eagleton, 2007: 119). The event of understanding comes about when our own ‘horizon’ of historical meanings and assumptions ‘fuses’ with the ‘horizon’ within which the work itself is placed (Eagleton, 1983:71-72). Terkait penafsiran teks, lebih lanjut Gadamer mengatakan bahwa makna teks tidak pernah baku. Ia senantiasa beruba tergantung bagaimana ia dipahami. Dalam Gadamer’s Philoshophical Hermeneutics (1994) dinyatakan:
261
“The meaning of a text then is not fixed, but changes over a time according to how it is received and read. Thus to understand for Gadamer is to understand differently than the author or even one’s own earlier interpretations, because the process involves creating new horizons by bootstrapping from the old horizons which they replace” (Mudjia, 2008:80). Bagi Gadamer interpretasi bukan mengambil suatu teks kemudian mencari makna yang diletakkan oleh pengarang di dalamnya. Sebab menurutnya, arti sebuah teks tidak hanya terbatas pada pengarangnya saja, akan tetapi terbuka bagi adanya penafsir baru sesuai kreativitas penafsir. Bahkan baginya, tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menjadi penafsir yang ideal atas karnyanya. Pandangan ini mengindikasikan bahwa sebuah teks yang sudah dituangkan dalam tulisan dan dilempar ke ruang publik sepenuhnya menjadi milik pembaca dengan berbagai interpretasinya. Sebab teks itu sesuatu yang hidup. Oleh karena itu, interpretasi bukan hanya sebatas mereproduksi makna, tetapi juga memproduksi makna. Di tangan Gadamer, hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki pengarangnya, tetapi untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Ini merupakan konsekuensi dari sebuah teks yang berangkat dari sudut pandang “matinya sang pengarang”, sebagaimana dicetuskan oleh Umberto Eco (Mudjia, 2008: 90-91). Menurut Abdul Hadi WM bahwa secara ringkas hermeneutika Gadamer dapat dijelaskan sebagai berikut: (1). Hermeneutika menerangkan bagaimana sesuatu yang ada dalam teks dapat menyatu dengan pemahaman kita, yang caranya ialah ditempuh dengan menghilangkan prasangka, (2). Penggunaan kaidah hermeneutika memungkinkan kita melihat pengetahuan dan objek pengetahuan berubah atau mengalami transformasi, sebab antara keduanya senantiasa berada dalam interaksi yang dinamis, (3). Dalam menafsir sebuah karya seni, tidak diragukan lagi bahwa kita pasti menciptakan sebuah hubungan dengan karya seni tersebut. Cara menciptakan hubungan tersebut dilakukan dengan menukar dunia yang akrab bagi kita dengan dunia yang disajikan oleh karya yang kita kaji (2004:92-93). Dalam hal ini akan konsep-konsep Ibnu Arabi dan konsep-konsep lain yang relevan. 3.
KESIMPULAN DAN SARAN Berbagai konsepsi hermeneutika Hans-Gadamer di atas terkait pemaknaan suatu teks sejalan dengan metode pembacaan abduksi yang dipelopori oleh Charles Sanders Pierce yang mengungkpakan bahwa metode abduktif merupakan langkah analisis yang berusaha mendekati data atau teks dengan sekian asumsi, prakonsepsi, pradisposisi dan prasangka yang melekat dalam diri penafsir. Perbedaan dengan metode ilmiah empiris dan deduksi yang senantiasa terikat dengan realitas sebjek di satu sisi dan objek di sisi lain. Sedangkan abduksi memandang probabilitas-probabilitas yang dapat dijangkau sehingga muncul sekian wajah kebenaran dalam suatu fakta (data atau dunia teks(http://www. scribd.com/doc/40328945/Abduktif) Endraswara mengemukakan bahwa pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir sastra” yaitu, pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini. Kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode ini memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks histories-kultural. Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik yaitu: pertama, hermeneutika menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas cultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu
262
kebudayaan atau masyarakat pada level idiologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutika membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kini (2003: 42). DAFTAR PUSTAKA Bilen, Osman. 2000. The Historicity of Understanding and the Problem of Relativism in Gadamer’s Philosophical Hermeneutics. United Stated of America. The Council for Research in Values and Philosophy. B.S, Abdul Wahid. 2008. Tafsir Tehadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra. Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra. -------------------.1983. Literary Theory. An Introduction. England. Basi Blackwell Publisher Limited. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologis, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Widyatama. Gadamer, Hans-Georg. 2004. Kebenaran Dan Metode. Terj. Ahmad Sahida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hadi W M, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Esai-esai Sufistik dan Seni rupa. Yogyakarta: Matahari. --------- 2004. Hermenutika, Estetika dan Religiusitas.Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa.Jakarta. Matahari. Newton, K.M. 1994. Menafsirkan Teks. Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra. Terj. Dr. Soelistia, ML. Semarang. IKIP Semarang Press. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika. Antara Intensionalisme dan Gadamerian. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media. Ridwan Muzir, Inyiak. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta. ARRuzz Media Group. Wollf, Janet.1989. The SocialProductionof Art. New York: New York University Press. Sumber internet: http://www. scribd.com/doc/40328945/Abduktif) Di unduh pada 16 Februari, 2017, 07:23:35 PM
263
THE PRACTICE OF POWER AND THE ADAPTATION PROCESS: FILM ADAPTATIONS FROM NOVELS IN 1950S INDONESIA Christopher A. Woodrich 60 Universitas Gadjah Mada / International Indonesia Forum Abstract This article examines film adaptationsfrom novels in 1950s Indonesia, positioning them as being influenced by and subject to the exercise of economic, cultural, social, and symbolic power. It notes the various power structures that influenced the adaptation process during this time, including the selection of novels to adapt, as well as the advertising and reception of these films' positions as adaptations. It argues that the weak position of film adaptations in contemporary discourse can be attributed to several factors, particularly low literacy rates and the corresponding market implicationsand an emphasis on literature as belles lettres rather than the popular literature from which most films were adapted.
Background The adaptation of novels into films has become an important part of Indonesian cinema, with Woodrich (2015) terming the period since 2000 the "Second Golden Age" of adaptation.61 Of the ten most viewed Indonesian films released between 2000 and 2016, four have been adapted from novels ("10 Film Indonesia peringkat teratas…"). 62 Novels advertise that they will be adapted to the silver screen. Moviegoers write extensively about adaptations and how these films meet (or, more commonly, do not meet) their expectations. Indonesian academicshave begun to write extensively about adaptation and its implications as a form of reception (Afri, Nurizzati, and Nasution, 2014), as textual transformation (Isnaniah, 2015), or even as a theory (Eneste, 1991). However, thiswas not always the case. Although the practice of adaptation in the Indonesian archipelago can be traced to 1927 (Woodrich, forthcoming), it remained relatively uncommon until the 1970s. Of the 660 films listed by J.B. Kristanto's Katalog Film Indonesia ('Indonesian Film Catalog') as having been produced before 1970 (Kristanto, 2007), less than 5% (28 films) can be identified as having been based on novels. Public and academic discourse on the practice from this period is also scarce, be it in the popular media (newspapers, magazines) or in academic media (journals, books). In an attempt to explain this lack of production and recognition for film adaptations, this article explores film adaptation as it was practiced in 1950s Indonesia, a time of rapid social and political change as well as impressive rates of film production—more than 360 films produced in ten years, including 65 productions in 1955 alone (Kristanto, 2007). This exploration will follow a theoretical framework of capital and power derived from Pierre 60
The author is a doctoral student at Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. The subject of this paper is part of his dissertation. 61 The "First Golden Age" begins with the release and subsequent success of Karmila (1974) and ends with the downturn in the Indonesian film industry in the early 1990s (Woodrich, 2015). 62 Laskar Pelangi ('Rainbow Troops', 2008), Ayat‐ayat Cinta ('Verses of Love', 2008), My Stupid Boss(2016), and Eiffel I'm in Love (2003). Before 2016, in which half of the ten most viewed Indonesian films were released (with only one being an adaptation), three more adaptations were on this list: Ketika Cinta Bertasbih ('When Love Prays', 2009), 5 cm (2012), Ketika Cinta Bertasbih 2 ('When Love Prays 2', 2009), and Sang Pemimpi ('The Dreamer', 2009).
264
Bourdieu's categorization of capital; as such, it will focus on how adaptations were influenced by and subject to the exercise of economic, cultural, social, and symbolic power. Data collection for this article was conducted using library research, with a particular focus on contemporary newspapers and magazines. Data was analyzed using a qualitative approach. In the following section, this article will expand upon the connection between capital and power, using a Bourdieusian perspective. It will then provide a basic overview of the practice of film adaptation in colonial Indonesia, as required to understand better the influence of shifting capital and power orientations in independent Indonesia. Afterwards, the practice of adaptation in 1950s Indonesia will be mapped and analyzed, with a particular focus on three aspects of adaptation: the films, their marketing, and their critical reception. From this analysis, conclusions will be drawn in the final section. Capital and Power The conceptual framework for this article is based on Pierre Bourdieu's expansive theory that navigates between subjectivism and objectivism to explain a social reality that is constructed by individuals and collectives in a manner that is subjectto structural constraints from structures that are themselves socially structured(Bourdieu, 1990a: 131). Although his theory involves four key interwoven concepts—agents ("practical operator[s] of constructions of the real" [Bourdieu, 1995: 180]) field ("a series of institutions, [etc.] which constitutes an objective hierarchy, and which produce and authorize certain discourses and activities … [but] also constituted by, or out of, the conflict which is involved when groups or individuals attempt to determine what constitutes capital within that field and how that capital is to be distributed" [Webb, Schirato, and Danaher, 2002: x–xi]), capital (discussed below), and habitus ("the durably installed generative principle of regulated improvisations ... [which produces] practices" [Bourdieu, 1977: 78])—this article will focus on one, capital, and its implications for power. Capital is identified here as "all the goods, material and symbolic, without distinction, that present themselves as rare and worthy of being sought after in a particular social formation'" (Webb, Schirato, and Danaher, 2002: 22). Bourdieu recognizes four types of capital: economic (physical assets held by an agent that can take a variety of forms), cultural ("culturally authorized tastes, consumption patterns, attributes, skills and awards" [Webb, Schirato, and Danaher, 2002: x]), social ("the aggregate of the actual or potential resources … linked to possession of a durable network of … relationships [Bourdieu, 1986: 51]), and symbolic (a "degree of accumulated prestige, celebrity, consecration or honor … founded on a dialectic of knowledge … and recognition [Johnson, 2002: 7]"). They exist in all fields, but are weighted differently in different fields and different poles of the fields. These types of capital are not mutually exclusive, with economic capital being gained at the expense of cultural capital (for example). Agents can gain more than one type of capital through the same act, with different worth attributed to the types of capital gained. In releasing a film adaptation, for instance, filmmakers gain not only financial capital through ticket sales, merchandising, and other involved economic efforts. Filmmakers may also gain social capital through the creation of networks, cultural capital through their association with the novel, and symbolic capital through the acquisition of popular recognition. Capital of one type may be converted into capital of another type, as judged appropriate by the agent and informed by the habitus (Bourdieu, 2002: 99). The acquisition of rights to adapt a specific novel to film, for example, represents a conversion of economic capital (the
265
money paid for adaptation rights) into an opportunity to access the cultural and symbolic capital of the novel and its audience. Conversely, the symbolic capital (the reputation) earned from directing a successful film may be transformed into economic capital (greater funding). Different types of capital may also can be transformed into power. Instead of focusing on symbolic power as the practiced transmutation of different forms of capital (Bourdieu, 1990b: 170), this article divides power into four categories: economic, cultural, social, and symbolic. All of these forms of power are linked to the capital behind them, with economic power involving the use of economic capital to influence others, cultural power involving the use of cultural capital, and so on. As such, rather than view all forms of capital leading to symbolic power, this article holds that different forms of capital (or combinations thereof) may lead to different types of power. These types of power are not monolithic or mutually exclusive. They may be exerted at the same time, or even in the same action. When filmmakersmarket films as being adapted from specific novels and/or the works of particular writers, several forms of power are exercised simultaneously. Symbolic poweris realized by foregrounding the works/authors' existing fame, thus borrowing that fame in an attempt to transform it into (mostly economic) capital. Social power is exerted by implying of a special connection between filmmakers and authors, one that offers a unique perspective of the novels adapted; this may be particularly true when novelistshave a direct role in the production process. Cultural power is exerted by associating film, popularly understood as a form of popular media, with a medium that has a more consecrated literary heritage; filmsare consequently assumed to share this heritage, even when the novels adapted are not, in and of themselves, consecrated. Although possessing capital is a prerequisite to exerting power, with greater capital offering greater capacity or potential to exert power, capital is not the only factor in determining power. Power must be recognized, for the ability to exert power "is defined in and through a given relation between those who exercise power and those who submit to it" (Bourdieu, 1990b: 170). The identity of "those who exercise power" and "those who submit to [power]" is not fixed or static, but dynamic. Filmmakers, for example, are recognized as creative professionals and thus have the capacity to exercise symbolic power over audiences by determining what they see and how they see it. At the same time, however, filmmakers are subject to these audiences' power,recognizing themselves as being limited—through legislation, cultural values, societal situations, etc.—in what they may present and how it may be presented. Adaptations of Novels in the Indonesian Archipelago before 1950 Film adaptations of novels in the Indonesian Archipelagodid not begin in the 1950s. As we have shown elsewhere (Woodrich, forthcoming), the adaptation of novels was relatively common in colonial Indonesia. Eleven of the 101 feature films produced in the Indonesian archipelago between 1926 and 1942 (Biran, 2009a: 379–386), or 10.8% of all domestic feature films from this period, were adaptations of novels. The earliest of these adaptations was Eulis Atjih (1927), based on a Sundanese-language novel by Joehana (real name: Ahmad Bassakh). The other film adaptations of novels from this period are Setangan Berloemoer Darah ('A Blood-Caked Glove', 1928), Si Tjonat ('Tjonat', 1929), Njai Dasima ('Mistress Dasima', 1929), Melati van Agam ('Jasmine of Agam', 1930), Boenga Roos dari Tjikembang ('The Rose of
266
Tjikembang', 1931), Karnadi Anemer Bangkong ('Karnadi the Frog Contractor', 1931), 63Njai Dasima ('Mistress Dasima', 1932), Melati van Agam ('Jasmine of Agam', 1940), Dasima (1941), and Siti Noerbaja (1941). The source novels for these films varied in terms of language—some were written in Sundanese, some were in vernacular Malay, and some were in the state-sponsored Court Malay. Likewise, they came from authors of varied cultural backgrounds, including Eurasians, Chinese, and indigenous authors. However, these eleven films shared three characteristics that are essential to understanding both them and subsequent adaptations. First, these films were all adapted from novels that were popular successes. Boenga Roos dari Tjikembang, for instance, was adapted from a novel of the same name that had sold more than 1,000 copies during its first print run (Kwee, 1930: IV), while both Melati van Agam films were based on a novel of the same name that had reached its sixth printing by 1941 ("Bioscoop romans advertisement").Siti Noerbaja, meanwhile, was based on a novel of the same name that was the most popular book at Balai Pustaka lending libraries for much of the 1920s (Foulcher, 2002: 88). As such, it can be concluded that domestic filmmakers had, as early as the 1930s, found a correlation between a story's popularity with readers (i.e. existing audiences)and a film's potential marketability. Second, almost all of these filmswere adapted from novels subsequently branded "popular literature". Setangan Berloemoer Darah and Boenga Roos dari Tjikembang, being part of the corpus of Sino-Malay literature, were described as "wild readings" by the colonial government and later excluded from the canon of Indonesian literature; the same applies to other vernacular Malay works such as Melati van Agam (Soemardjo, 1989: 100). Likewise, the Sundanese-language novels Eulis Atjih and Roesia nu Goreng Patut (the latter being the basis for Karnadi Anemer Bangkong) have been excluded from the canon of modern Sundanese literature owing to their use of non-formal language (Kartini et al., 1979: 62). The sole exception is Sitti Nurbaya, which has been considered one of the three most important literary works of the Balai Pustaka period (Teeuw, 1980: 95). 64 However, this novel's consecration appears to have had little impact on the decision to adapt it to film. Third, and especially important in the face of widespread illiteracy in the archipelago, all of these stories had previously been adapted to stage form. Some, such as Njai Dasima, had been popular in traditional theatrical formats such as lenong, a type of Betawi stage drama. Others, such as Boenga Roos dari Tjikembang and Siti Noerbaja, had found popular acclaim with more "modern" (read: Europeanized) troupes; the former had been written for the Dhalia Opera in 1927 and performed by dozens of troupes since then (Kwee, 2002: 298–299), while the latter had been adapted by the Padangsche Opera as early as 1923 (Cohen, 2003: 215). Through such theatrical adaptations, these novels had a greater opportunity to reach illiterate audiences; consequently, these illiterate audiences could be expected to have an interest in a film adaptation of the story.
63
The title Karnadi Anemer Bangkong is commonly used to refer to this film. However, based on contemporary reports it is possible that the film's release title was Roesia Gadis Priangan (Woodrich, forthcoming) 64 The others being Salah Asuhan (Abdul Muis, 1928) and Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1936).
267
Adaptation on the Sidelines FilmProductions A survey of existing literature on film adaptations of novels in Indonesia (Woodrich, 2015) identifies only six films as being made based on novels between 1950 and 1959, or 1.6% of the films produced in this period. These films were Ditepi Bengawan Solo ('By the Banks of the Solo River', 1951), adapted from the novel Dipinggir Bengawan Soloby Muhammad Dimyati; Solo Diwaktu Malam ('Solo at Night', 1952), from the novel and stage play of the same name by Kamajaya; Pulang ('Homecoming', 1952), from the novel of the same name by Toha Mochtar; Sukreni, Gadis Bali ('Sukreni, Balinese Maiden', 1955), from the novel of the same name by A.A. Pandji Tisna; Arni (1955), from the novel of the same name by Nursiah Dahlan; and Saodah (1956), inspired by G. Francis' story TjeritaNjai Dasima('The Story of Mistress Dasima', 1896). 65 The exercise of power is evident in the selection of novels for adaptation. Perhaps most striking, given the prominence of works written in vernacular Malay and works written by ethnic Chinese authors in the colonial period, is these works' near complete absence in adaptations made after Indonesian independence—even among filmmakers who were themselves of ethnic Chinese. As a result of nativist nation-building following Indonesia's independence, emphasis on an Indonesian identity was prominent in mainstream discourse, and elements considered non-Indonesian—often equated with an indigenous identity 66—or counter-revolutionary were met with increasing hostility. Eventually, by the end of the 1950s, works of vernacular Malay were few and far between, while ethnic Chinese writers were increasingly sidelined (Benitez, 2004: 15–16, 82–83). This symbolic and cultural power, so prominent in national discourse, also worked on filmmakers, limiting their opportunity to select specific novels for adaptation. Aside from Tjerita Njai Dasima, works adapted to film were those written in the Indonesian language by indigenous authors. However, not all such novels were created equal. Of the novels adapted, four have not been considered part of the Indonesian canon. Teeuw (1980), for instance, completely ignores the oeuvre of Kamajaya, gives only brief mention of Nursiah Dahlan, and dismisses Muhammad Dimyati's work as semi-literary and lacking the "liveliness" of language enjoyed by Sumatran writers. He gives the adapted novel, Dipinggir Bengawan Solo(1950), no attention at all. Meanwhile, the story of Njai Dasima, owing in part to its use of vernacular Malay,has been classified as pre-Indonesian literature. Aside from TjeritaNjai Dasima, which has most recently been republished as a single volume with S.M. Ardan's 1965 retelling of the story, none of these stories remain in publication today. Only two of the works adapted have been considered part of the Indonesian literary canon. Toha Mochtar's Pulang (1952) has been described as "remarkable for the vision which it displays" (Teeuw, 1980: 247),and remains in publication through Pustaka Jaya. Meanwhile, A.A. Pandji Tisna's SukreniGadis Bali, which received similar attention from Teeuw (1980) and remains widely available in Indonesian, has also been translated into English by George Quinn; this translation was published in 2013 as The Rape of Sukreniby the Lontar Foundation, known for its focus on works from the Indonesian literary canon. 65
Two other films, Dewi Rimba ('Jungle Princess', 1954) and Eulis Atjih (1954), share titles with novels but have completely dissimilar plots. See theirflyers for further detail. 66 This is evidenced by claims that Darah dan Doa ('Blood and Prayers', 1950) was the first Indonesian film because it was the first to be made by an indigenous producer and director.For discussion of this case, see Setijadi‐Dunn & Barker (2011: 34).
268
From the above, it is clear that filmmakers in 1950s Indonesia prioritized adapting films from works of popular literature; this reflects the tendency found in other eras and other countries. Two reasons, both applicable here, are generally put forth to explain why this occurs. First, works of popular literature are expected to have a broader existing audience base than works of the literary canon, and as such offer the opportunity for greater financial return (Saputra, 2009). Filmmakers thus exercise the symbolic power granted to them, as part of their positions as filmmakers, to choose novels that offer the greatest opportunity for profit. Once an appropriate novel has been selected, financial power can be exercised (i.e. financial capital can be expended) to acquire adaptation rights. Second, filmmakers also attempt to reach the broadest possible audience by choosing novels that follow a linear pattern, with each narrative event leading readers (and, for the film adaptation, viewers) to the next narrative event. Works with more complicated narrative patterns or challenging themes (such as canonical works) are transformed by filmmakers, again using their recognized authority—their symbolic power—as filmmakers, so the adapted stories can be more easily followed by the average audience member. This is what Axelrod (1996) refers to as "the commodification of form in the adaptation of fictional texts": texts (novels) become simplified so they may be better marketed as commodities. Contemporary sources are unclear about specifically whyworks considered literary were rarely adapted in 1950s Indonesia. However, several interpretations are possible. Profitoriented filmmakers may have questioned the financial viability of adapting canonic works of literature, which frequently sold poorly, and thus exercised their financial and symbolic power to receive adaptation rights instead. They may also have found the themes too complex to translate adequately into film. It is also possible that writers themselves may have been—as discussed below—dismissive of film's ability to meet the artistic standards of literature, and thus exercised their power to block adaptations of their novels. A minority of writers do seem to have had an interest in seeing film adaptations of their novels, as indicated by Pandji Tisna being credited as directing the film version of his novel for Bali Film. Advertising Advertisements for film adaptations from this period do not recognize the films being advertised as adaptations. They do not directly refer to these films as adaptations, nordo they make reference to the works being adapted, either by title or by reference to the author. Rather, advertisements follow general tendencies in this period's film advertising, including in focusing on the films' stars in both text and images as well as presenting potential audiences with summaries of the films' plots. Two examples can be seen above. In advertising material for Solo Diwaktu Malam (1952), no mention was made of Kamajaya, the novel's author; the advertisement instead
Figure 2: Advertisement for Solo Diwaktu Malam (1952)
Figure 2: Advertisement for DitepiBengawan Solo (1951) 269
focused on the film having "12 silver-screen stars in one film" and named four of these stars (Figure 1). Likewise, advertising material for Di Tepi Bengawan Solo (1951), made no mention of the author, instead naming five of the film's stars and showing them in varied locations (prison, a room filled with flowers, and along the banks of the Solo River) and different costumes (Figure 2). This general lack of emphasis on films' status as adaptations can be attributed to the low literacy rate in Indonesia and, consequently, the written works' limited market penetration. In the 1950s, after more than five decades of modern schooling, literacy rates in Indonesia remained extremely low; a report by UNESCO (1957: 39) estimated that 80 to 85 percent of the country's adult population was illiterate. Even as the government exercised its power to promote literacy through a compulsory education program (Ministry of Education, 1951: n.p.) and adult education(Silitonga, Soekardi, and Tambunan, 1952: 22), 67the fact remained that the vast majority of the population could not be expected to have read the novels being adapted to film. This held particularly true for the lower-class audiences who made up the audience of most Indonesian productions; such viewers lacked the capital (both economic and social) necessary to access education and popular literature. It would appear, based on the evidence presented above, that filmmakers recognized this situation and presented films in a manner that offered them the greatest economic return. Rather than emphasize the story upon which the films were based, they instead used marketing similar to that of films that were not adaptations. Film flyers offered a wide variety of pictures and film stills, with a particular emphasis (both visual and written) on their stars. Meanwhile, to address potential audiences'—or, rather, educated potential audiences',—lack of familiarity with the story, they offered synopses of the films. Studios, unable to exercise direct power to draw audiences, instead relied on their economic capital to design and print the advertisements as well as the social and symbolic capital of their stars and cultural capital of tried and true marketing techniques. This is not to say that, had the market for popular novels been greater, filmmakers would not have included mentions of the books adapted. Rosidi (1955b: 10) notes that, in the case of Rindu Damai ('Longing for Peace', 1955), banner advertisements proudly proclaimed Pramoedya Ananta Toer's role in writing the film, despite the author having only written the treatment upon which the film was made. The popularity of the author, already recognized domestically as a master of his craft, offered this film's makers the opportunity to exercise cultural power and implicitly argue that their film was better than other productions. Through the association of their films to particular authors or works, filmmakers could exert symbolic power to promote their own interests. A similar exercise of power can be seen in Usmar Ismail's promotion of his 1962 film Anak Perawan di Sarang Penjamun ('The Virgin in the Bandits' Nest') as the first collaboration between an author and a director in Indonesia (in Anwar, 1962), despite—as shown above— numerous popular novels having been adapted previously. By doing this, Ismail exercised cultural power by linking his film to a novel by a consecrated author, Sutan Takdir Alisjahbana. He also used both his symbolic power as a consecrated filmmaker unlikely to be questioned and his cultural power as a pioneer of "films as art" to overwrite any prior
67
Efforts that were, to an extent, successful. The 1950 estimates cited above represent a 6 to 11 point gain over similar figures from 1930 (UNESCO, 1957: 70).
270
adaptations produced in Indonesia. The role of symbolic power and the ability to consecrate and deconsecrate specific works and authors will be further examined below. Critical Discourse In critical discourse on the practice of film adaptation, meanwhile, cultural and symbolic power was utilized to marginalize adaptations produced in Indonesia. This can be seen in two contemporary articles on film adaptation, both by prominent figures with significant cultural capital and capacity for cultural power. The first of these, penned in 1955 by the literary critic and poet Ajip Rosidi, 68was a two-part article on film adaptation published in the popular magazine Kentjana. Titled "Tentang Sastera dan Tjeritera Film" ("On Literature and Film Stories"), it dealt with film adaptation in general and Djoko Lelono's adaptation of a "synopsis" (more properly, a treatment) by Pramoedya Ananta Toer in particular. In the first installment, Rosidi mentioned numerous works of literature that were adapted to film, either successfully or unsuccessfully. These included five films based on classic Shakespearean plays (Hamlet, Macbeth, Romeo and Juliet, A Midsummer Night’s Dream, and Julius Caesar) as well as films based on W. Somerset Maugham'sshort story "Rain" (1921, adapted as Miss Sadie Thompson), Ernest Hemingway's novel To Have and Have Not(1937) and short story "The Snows of Kilimanjaro" (1936), Henryk Sienkiewicz's novel Quo Vadis? (1896), and Homer's epic The Odyssey (adapted as Ulysses). All of the films he mentioned were based on works in the Western literary canon, ranging from the Greek classics to Elizabethan drama and modern literature. No films based on popular fiction, such as The Big Night(based on Stanley Ellin'snovel Dreadful Summit), were discussed. 69 Later, Rosidi bemoaned the fact that a focus on consecrated works, a concern for works with sufficient cultural capital to be considered literary, had been, at least in his opinion, nonexistent in Indonesia. Ignoring adaptations of novels such as Pulang (1952) and Sukreni, Gadis Bali (1955), which entered the Indonesian literary canon (Teeuw, 1980), he wrote: Until now there has not been an awareness [of film as art] from many filmmakers in Indonesia. We do not see any efforts from them to film works of literature, and from the stories they select, we can judge them as lacking artistic accountability70 (Rossidhy, 1955a, 7, 32). Rosidi providedseveral examples of Indonesian literary adaptations that were announced but never realized. His selection, as with the Hollywood films he mentioned, is telling: Utuy Tatang Sontani's stage drama Bunga Rumah Makan ('Flower of the Restaurant', 1948)and Priyono Pratikto's short story "Dua Manusia Sepandjang Bukit" ('Two People along the Hills'). Both works were written by authors consecrated in the contemporary literary field, using media dominant among the literarily oriented. This focus on the consecrated continued in Rosidi's second installment, which mainly discussed on Rindu Damai (1955), a film by Djoko Lelono based on a treatment by Pramoedya Ananta Toer. After highlighting the Shakespearean films of Sir Laurence Olivier and Orson 68
Rosidi was credited in these articles as "A. Rossidhy". This film was screened in Indonesia in 1953 ("Agenda"), meaning that Rosidi could have seen it or at least been aware of it. 70 Original: "hingga sekarang belum mendjadi suatu kesadaran bagi sebagian pengusaha film di Indonesia ini. Tidak ada kita lihat usaha mereka untuk memfilmkan suatu hasil sastera, dan dengan tjerita‐tjerita jang djustru mereka pilih, bisalah agaknja kita menilai merkea (sic), dalam hal ini penilaian dari sudut seni jang djuga meminta pertanggung djawab." 69
271
Welles as examples of good adaptations, Rosidi condemnedRindu Damai as a total failure. The film was so poorly done, he wrote, that: I think the phrase 'story by an internationally-renowned writer' on the film's advertisements does nothing but besmirch the name of Pramoedya Ananta Toer, who can of course develop his characters further than this 71 (Rossidhy, 1955b: 10) Similar tendencies could be found in a second, lengthier discussion of adaptation used by Asrul Sani to introduce the 1957 Symposium on Literature and serialized in Siasat magazine from December 1957 to January 1958. Sani, by this point, was recognized both for his literary prowess—particularly his poetry—and for his experience as a screenwriter—the film Lewat Djam Malam('After the Curfew', 1954), which he wrote, won Best Film at the Indonesian Film Week (later the Indonesian Film Festival) in 1955. He thus had considerable social and symbolic capital, which he converted into power when addressing the symposium. As with Rosidi, Sani drew a clear divide between literature and film, contrasting (for example) screenplays and poetry. Though he conceded that the two mediums were united in their use of stories, and likewise shared narrative elements such as characters, he rejected any attempt to equate them. This rejection was rooted in a belief that the mediums differ both in their smallest unit of communication—camera angle/set-up for film, sentence for literature (Sani, 1984: 74)—and the capabilities required by creators. In doing so, Saniexercised clear symbolic power,using his language and metaphors to position literature as "more correct" and to question the validity of any attempt to find literature's position in film. This is seen early in his discussion, when Sani likenedthe task of discussing literature's positionin stage dramas, radio, and film to discussing President Sukarno's position in the constitutions of the Netherlands, China, and India (Sani, 1984: 68). By identifying literature with the Indonesian president, who was most correctly seen as holding a position in the Indonesian constitution, Sani implied that literature was best seen in its own terms, rather than as intersecting with other creative mediums.After expanding on this by identifying several key differences between literature and film, Sani concluded "the issue of literature's position in film is an insane issue" 72 (Sani, 1984: 78). He argued that, If literature did have a position in film, we would find some measure of equivalence between them. This means that a peak of literary achievement would lead to a peak of filmic achievement. Later, it will be shown, that this is not how things are 73 (Sani, 1984, 79). Sani demonstrated his point, as implied by his reference to literary and filmic peaks, through references to consecrated works of literature. He cited, for example, an unspecified adaptation of Edgar Allan Poe's "The Black Cat" 74 as lacking the same emotional release as the short story. Other adaptations mentioned, including John Huston's 1951 adaptation of Stephen Crane's The Red Badge of Courage(1895), as well as King Vidor's 1956 adaptation of Leo 71
Original: "Saja kira menuliskan kalimat ‘kisah pengarang tokoh internasional’ dalam reklame film itu, tjuma menodai nama Pramoedya Ananta Toer sadja, jang tentunja kemampuannja membangunkan tokoh2nja tidak tjuma sampai sekian." 72 Original: "Persoalan kedudukan sastra dalam film adalah suatu persoalan yang edan." 73 Original: "Jika kesusastraan mempunyai kedudukan dalam film, maka kita akan menemui semacam kesejajaran ukuran pada keduanya. Artinya suatu puncak yang tinggi dalam kesusastraan harusnya juga menghasilkan suatu puncak yang tinggi dalam film. Nanti akan terbukti bahwa tidaklah demikian adanya." 74 By 1957, two adaptations of "The Black Cat" had been released, one in 1934 and one in 1941.
272
Tolstoy's War and Peace (1869), were likewise found incapable of reaching the same peaks as their source novels. In both cases, the writers exerted cultural and symbolic power—power recognized because of the writers' own symbolic capital as men of letters—to marginalize adaptation. This was realized in two ways: by negatingthe act of adaptation to works of the literary canon and by identifying film adaptations as lacking the artistic value as the works adapted. First, both writers limited the act of adaptation to works of the literary canon. They implicitly argued that literature, as part of culture, must be solely limited to the belles lettres— to works of literary canon. By focusing on consecrated works of Western literature, they negatedexisting adaptations of Indonesian novels; no "true" adaptation could exist if the story filmed was not a "true" work of literature. This view was reinforced by statements that Indonesian filmmakers had ignored works of literary merit, as with Rosidi, or the complete omission of Indonesian film adaptations, as with Sani. "True" adaptations (i.e. adaptations of consecrated works of literature), they implied, were made only in the West. Second, both writers dedicated considerable space to describing film adaptations as lacking the same value as their literary counterparts, implying that adaptations of a literary work could not possibly have the same merits as the work adapted. Though Rosidi did identify several film adaptations as falling short of their sources, this tendency was clearest in his discussion of Rindu Damai (1955). He dedicated the vast majority of his article's second installment to vehementcondemnation of Djoko Lelono's work. Sani, meanwhile, focused on an adaptation of "The Black Cat", contrasting the beauty of Poe's prose with the banal depiction of "no more than the hanging of a cat from a limb" 75 in the film. Both writers positioned adaptation as being unable to compete, or even downright incompatible, with literature, and in doing so rejected the value of film adaptation. Though films may function as films, they wrote, they were not literature. Conclusion This article has examined the practice of adapting novels into films in 1950s Indonesia. It has identified six film adaptations produced during this period—Ditepi Bengawan Solo(1951), Pulang (1952), Solo Diwaktu Malam(1952), Arni (1955), Sukreni, Gadis Bali (1955), and Saodah (1956)—and situated them within their filmic and socio-political contexts. This article has arguedthat the exercise of power, both by filmmakers and by other parties, led the film adaptation process to be marginalized in contemporary discourse. This marginalization can be attributed to several factors, particularly low literacy rates, the minimal market for popular novels, and an emphasis on literature as belles lettres rather than the popular literature from which most films were adapted. This has two major implications for the act of film adaptation in Indonesia. First, the current "Second Golden Era" of film adaptation did not emerge on its own. Its form, and the historical developments which led to it taking this form, were shaped over time by various intersections of power and capital. These intersections affected the boundaries of fields involved in the practice of adaptation and, consequently, informed the habitus that influenced involved filmmakers. These intersections and their effect can be traced, leading to a genealogy of adaptation that understands adaptation as an ever-mutating practice. 75
Original: "Tidak lebih dari suatu penggantungan seekor kucing pada sebuah dahan".
273
Second, the current interest in film adaptations of novels in Indonesia will not last indefinitely. Shifts in power relations and capital will ultimately lead to decreased interest in this practice as another practice takes prominence. As with interest in other cultural practices, interest in film adaptation experiences ebbs and flows as the boundaries of various involved fields change. Although it is impossible to predict specifically how this will happen, it is undeniable that the current "Second Golden Age of Film Adaptation" will end one day. Bibliography "10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007-2017 berdasarkan tahun edar film". (2017). filmindonesia.or.id. Downloaded from http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2017 on 22 March 2017. "Agenda". (1953, 26 March). De Nieuwsgier. p. 3. Afri, P.N., Nurizzati, & Nasution, M.I. (2014). "Transformasi novel ke film Bidadari-Bidadari Surga: Kajian ekranisasi". Jurnal Bahasa dan Sastra2:3. pp. 13–26. Anwar, R. (1962). "Kerjasama sastrawan dan sinemawan dirintis: 'Anak Perawan di Sarang Penjamun'". Madjalah Purnama. 1:17. Axelrod, M. (1996). “Once upon a time in Hollywood; or, the commodification of form in the adaptation of fictional texts to the Hollywood cinema”. Literature/Film Quarterly24:2. pp. 201–208. Benitez, J.F.B. (2004). Awit and syair: Alternative subjectivities and multiple modernities in nineteenth century insular Southeast Asia (Ph.D. thesis). Madison: University of Wisconsin. "Bioscoop romans advertisement". (1941, 15 October). Poestaka Timoer 66. p. 39. Biran, M.Y.(2009a). Sejarah film 1900–1950: Bikin film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bamboo and the Jakarta Art Council. Biran, M.Y. (2009b). Peran pemuda dalam kebangkitan film Indonesia. Jakarta: Ministry of Youth and Sports. Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice. Cambridge: Cambridge University Press. Bourdieu, P. (1986). "The forms of capital". In J. E. Richardson (ed.), Handbook of theory of Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press. Bourdieu, P.(1990a). In other words: Essays towards a reflexive sociology. Stanford: Stanford University Press. Bourdieu, P. (1990b). Language and symbolic power. Oxford:Polity Press. Bourdieu, P. (1995). The rules of art: Genesis and structure of the literary field. Stanford: Stanford University Press. Bourdieu, P.(2002). The field of cultural production. London: Polity Press. Cohen, M.I. (2003). "Look at the clouds: Migration and West Sumatran 'popular' theatre." New Theatre Quarterly 19. pp. 214–29. Dewi Rimba (flyer). (1954). Merapi Film. Di Tepi Bengawan Solo(flyer). (1951). Bintang Surabaja. Eneste, P. (1991). Novel dan film. Ende: Nusa Indah. Eulis Atjih (flyer). (1954). Ardjuna Film and Tan & Wong Bros.
274
Foulcher, K. (2002). "Dissolving into the elsewhere: Mimicry and ambivalence in Marah Roesli's 'Sitti Noerbaja'". In Foulcher, K.; Day, T.Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press. pp. 85–108. Isnaniah, S. (2015). "Ketika Cinta Bertasbihtransformasi novel ke film". Kawistara5:1. pp. 23– 35. Johnson, R. (2002). "Pierre Bourdieu on art, literature and culture". In Randal Johnson (ed.) The Field of Cultural Production. London: Polity Press. Kartini, T; Hadish, Y.K.; Sumadipura, S.; Iskandarwassid (1979). Yuhana: Sastrawan Sunda Jakarta: Department of Education and Culture. Kristanto, J.B. (ed). (2007). Katalog film Indonesia 1926–2007. Jakarta: Nalar. Kwee, T.H. (1930). Boenga roos dari Tjikembang. Batavia: Panorama. Kwee, T.H. (2002). "Bunga roos dari Cikembang." in Marcus A.S. and Benedanto, P. (eds.), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Vol. 2. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia. pp. 297–425. Ministry of Information of Indonesia.Know Indonesia… Know your friend. (1951). Ministry of Information of Indonesia: Jakarta. Rossidhy, A. 1955a. “Tentang sastera dan tjeritera film”. Kentjana, 3:7. 6–7, 32. Rossidhy, A. 1955b. “Tentang sastera dan tjerita film (II)”. Kentjana, 3:10. 7–10. Sani, A. (1982). "Kedudukan sastra dalam sandiwara pentas, radio dan film". In Hoerip, S. (ed.) Sejumlah masalah sastra. Jakarta: Sinar Harapan. pp. 67–87. Saputra, H.S.P. (2009). "Transformasi lintas genre: Dari novel ke film, dari film ke novel". Humaniora. 21(1): pp. 41–55. Setijadi-Dunn, C. and Barker, T. (2011). "Membayangkan 'Indonesia': Produser etnis Tionghoa dan sinema pra-kemerdekaan". In Cheng, K.G., Barker, T., and Imanjaya, E. Mau dibawa ke mana sinema kita?. Jakarta: Salemba Humanika. Silitonga, G., Soekardi, R., and Tambunan, S. (1952). Indonesia tanah airku. W. van Hoeve: Bandung. Solo Diwaktu Malam(flyer). (1952). Borobudur Film. Sumardjo, J. (1989). "Kwee Tek Hoay sebagai sastrawan". In Sidharta, M. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena. Jakarta: Sinar Harapan. pp. 89– 121. Teeuw, A. (1980). Sastra baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah. UNESCO. (1957). World illiteracy at mid-century: A statistical study. UNESCO: Switzerland. Webb, J., Schirato, T., and Danaher, G. (2002). Understanding Bourdieu. London: SAGE Publications. Woodrich, C.A. (2015). "Ekranisasi: Adapting novels to the silver screen in Indonesia." Paper presented at the Weekly Forum, Gadjah Mada University. Yogyakarta. 9 April. Woodrich, C.A. (forthcoming). Ekraniasi awal: Bringing novels to the silver screen in the Dutch East Indies. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
275
KAJIAN SEMIOTIK ROLAND BARTHES DALAM CERPEN “BAYI YANG DIPETIK DARI SEBATANG POHON” KARYA YETTI A.KA Mustika1, Fina Amalia Masri2 1
Sastra Indonesia FIB UHO 2
Sastra Inggris FIB UHO
Email: [email protected] Abstrak Cerpen-cerpen Yetti A.KA yang tergabung dalam kumpulan cerpen berjudul Penjual Bunga Bersyal Merah, banyak menyajikan tanda yang menarik untuk dikaji. Salah satunya adalah cerpen berjudul “Bayi yang Dipetik dari Sebatang Pohon” (BDSP). Penelitian ini bertujuan mengkaji cerpen BDSP melalui tinjauan semiotik Roland Barthes. Analisis dilakukan dengan membagi cerpen ke dalam satuan-satuan pembacaan atau leksia. Selanjutnya leksia tersebut dianalisis menggunakan tataran lima kode Roland Barthes. Berikutnya, keterkaitan antarkode dan antarleksia ditafsirkan agar ditemukan makna yang kemudian makna-makna tersebut disimpulkan secara menyeluruh. Dalam cerpen ini ditemukan berbagai kode, baik kode aksi, kode semik, kode simbolik, kode kultural, maupun kode hermeneutik. Melalui kode aksi, cerpen ini menghadirkan serentetan-serentetan peristiwa yang terjalin dengan baik. Selain itu, banyak kesan yang dihadirkan cerpen ini melalui analisis kode semik. Begitupun dengan adanya beberapa simbol dan penanda pengetahuan melalui analisis kode simbolik dan kode kultural. Pembaca juga dituntut oleh teks untuk melakukan penafsiran terhadap tanda yang memuat unsur teka-teki melalui analisis kode hermeneutik. Penelitian ini menunjukan bahwa teks adalah hamparan tanda yang setiap leksia dimungkinkan terdiri atas berbagai macam kode. Dalam pemaknaan secara menyeluruh, cerpen ini menekankan bahwa waktu, perhatian, dan kejujuran adalah penghargaan tinggi yang bisa diberikan kepada anak. Sebaliknya, sedikitnya waktu dan perhatian yang diberikan kepada anak adalah cara paling mujarab untuk membuat anak menjadi keras kepala. Kata Kunci: Semiotik Roland Barthes, lima kode, cerpen.
A. PENDAHULUAN Cerpen-cerpen Yetti A.KA yang tergabung dalam kumpulan cerpen berjudul Penjual Bunga Bersyal Merah, banyak menyajikan tanda yang menarik untuk dikaji. Melalui cerpen “Landra dan Bunga Merah” misalnya. Yetti memoles bahasa cerpennya dengan diksi bunga yang dilambangkan sebagai kematian. Pada cerpennya yang lain berjudul “Maganda dan Kupukupu”, ia melambangkan seorang ibu yang rapuh dan lemah dengan penanda kupu-kupu. “Bayi yang Dipetik dari Sebatang Pohon” termasuk cerpen Yetti A.KA yang sarat akan tanda. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang dibesarkan oleh ayahnya sampai dewasa. Sejak kecil, ayah anak itu selalu menyembunyikan identitas ibunya. Saat berumur tujuh tahun, anak itu menanyakan perihal ibunya. Ayahnya menceritakan dongeng, mengatakan bahwa anak tersebut dipetik dari sebatang pohon. Penulis memilih cerpen berjudul “Bayi yang Dipetik dari Sebatang Pohon” (selanjutnya disebut BDSP) sebagai objek kajian,
276
sebab melalui judulnya, penulis sudah merasa “terpanggil” untuk menggali makna dalam cerpen tersebut. Kajian terhadap tanda untuk menemukan makna-makna yang terdapat dalam teks adalah wilayah kajian semiotik. Penulis menggunakan teori semiotik Roland Barthes untuk menginterpretasi makna dari tanda-tanda yang terdapat dalam cerpen. Penggunaan teori semiotik Roland Barthes terhadap cerpen BDSP ini dilakukan karena teori semiotik Roland Barthes dapat menjangkau secara rinci keragaman makna dalam teks dengan memecah teks menjadi beberapa leksia, sehingga tak ada satu pun kata yang terlewat dalam proses analisis. B. LANDASAN TEORI Semiotik Roland Barthes Barthes menjelaskan bahwa pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan kovensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit. Kode-kode sosial yang bersifat eksplisit ini adalah kode yang makna tandanya akan segera tampak ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada sistem konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya memiliki muatan makna-makna tersembunyi (1990: 7–8). Leksia Leksia (lexia) merupakan satuan-satuan analisis yang dihasilkan dengan cara memenggal teks (Barthes 1990:13). Dengan kata lain, leksia merupakan satuan pembacaan (units of reading) dengan panjang pendek bervariasi dan pemenggalan tersebut bersifat arbitrer. Barthes mengakui bahwa pemenggalan tersebut tidak mengimplikasikan tanggung jawab metodologis. Pemenggalan teks lebih banyak didasarkan pada kepekaan dan pengalaman peneliti. Ia mengemukakan bahwa leksia hendaknya merupakan penggalan terbagus, yaitu penggalan yang memungkinkan suatu penggalian makna. Selanjutnya leksia-leksia tersebut dihubungkan dengan lima kode umum. Di bawah lima kode inilah seluruh penanda tekstual dihubungkan (1975: 13, 19). Sepotong bagian teks merupakan sebuah leksia dan memiliki fungsi khas bila dibandingkan dengan potongan-potongan teks lain di sekitarnya apabila diisolasikan. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, kadang berupa satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, dan paragraf. Pemenggalan sebuah teks didasarkan pada kepekaan dan sensasi pengalaman penafsir ketika membaca sebuah teks (Culler, 2003: 140). Namun, menurut Zaimar (1991: 33) kriteria pemenggalan teks mengacu pada kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah: a. Kriteria pemusatan. Suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia bila penggalan
277
tersebut berpusat pada satu titik perhatian, misalnya berpusat pada satu peristiwa yang sama, tokoh yang sama, dan masalah yang sama. b. Kriteria koherensi. Suatu leksia yang baik merupakan pemenggalan teks yang mampu mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren, yaitu dapat berupa suatu hal, keadaan, peristiwa, dalam ruang dan waktu yang sama. c. Kriteria batasan formal. Suatu leksia dapat diperoleh dengan mempertimbangkan penandapenanda formal yang memberi jeda atau batas antarbagian dalam teks. Hal ini adalah ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf, dan tanda-tanda formal yang lain yang menandai pergantian suatu masalah. d. Kriteria signifikasi. Leksia sebaiknya merupakan penggalan yang benar-benar signifikan bagi sebuah narasi. Sebagai contoh, yaitu judul yang hanya berupa satu atau dua huruf, satu bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu, atau hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang tinggi dalam sebuah cerita sehingga dapat dipandang sebagai satu leksia tersendiri. Lima Kode Barthes Barthes mengembangkan teori kode dengan cara mendekonstruksi atau membongkar teks dengan memecahnya menjadi beberapa bagian untuk membentuk konstruksi lima kode. Sebagaimana cara yang telah dilakukannya pada teks karya Honoré de Balzac berjudul Sarrasine yang dibaginya menjadi 561 leksia, Barthes mengungkap pluralitas makna dalam sebuah analisis tekstual dengan mengemukakan teori tentang kode untuk memahami kode-kode bahasa estetik (dalam Mustika, 2013: 15-20). Setiap satuan analisis yang telah ditafsirkan oleh Barthes disebut “devagasi”. Ia menghasilkan konstruksi lima macam kode yang berbeda. Kelima kode tersebut yaitu: 1. Kode hermeneutik (HER) adalah kode yang mengandung unit-unit tanda dan berfungsi untuk mengartikulasikan dialektik pertanyaan serta responsi dengan berbagai cara. Dialektik pertanyaan dan responsi tersebut terkadang mengandung suatu persoalan, jawaban, penundaan jawaban sehingga menimbulkan semacam enigma (teka-teki), atau yang menyusun semacam teka-teki (enigma), kemudian memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Barthes mengemukakan bahwa kode ini mampu menimbulkan ketegangan (suspect) dan membangun semua intrik di dalam cerita sehingga menimbulkan semacam teka-teki di dalam alur cerita. Agar setiap enigma yang terjadi dalam suatu cerita dapat teridentifikasi, masing-masing bagian pada enigma ditandai dengan istilah-istilah tertentu. Masing-masing enigma ditandai dengan istilah-istilah berikut: a) Pentemaan, istilah ini digunakan untuk menyebut kode yang menandai kemunculan
278
pokok permasalahan atau setiap tema enigma. b) Pengusulan, istilah untuk kode yang secara eksplisit atau implisit mengandung sebuah pertanyaan teka-teki. c) Pengacauan, istilah untuk kode yang menyebabkan teka-teki menjadi semakin rumit. d) Jebakan, merupakan istilah untuk kode yang memberikan jawaban yang salah atau menyesatkan. e) Penundaan, adalah istilah untuk kode yang menunda kemunculan jawaban. f) Jawaban sebagian, istilah untuk kode yang secara tidak utuh memberikan jawaban. g) Jawaban sepenuhnya, merupakan isilah untuk kode yang memberikan jawaban secara keseluruhan. 2. Kode aksi atau kode proairetik (AKS) adalah kode yang mengatur alur sebuah cerita. Kode ini menjamin bahwa sebuah teks adalah cerita yang memiliki serangkaian aksi yang saling berkaitan satu sama lain. Analis yang baik dituntut untuk mampu memberikan nama yang representatif bagi rangkaian aksi-aksi itu. Kemunculan sebuah rangkaian aksi naratif berkaitan erat dengan proses penamaan yang bersifat empiris dan rasional. Kode ini merupakan kode yang didasarkan atas kemampuan analis untuk menentukan akibat dari suatu tindakan secara rasional dan tindakan yang berimplikasi pada logika perilaku manusia. 3. Kode simbolis (SIM) merupakan penanda teks yang mampu membawa pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang berikut maknanya. Lambang-lambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna (multivalence) yang dapat saling bertukar posisi (reversibility). Kode simbolik merupakan kode yang mengatur aspek bawah sadar dari tanda dan merupakan psikoanalisis. 4. Kode semantik (SEM) atau konotasi, merupakan kode yang memanfaatkan berbagai isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau objek tertentu. Kode semik merupakan penanda bagi dunia konotasi yang didalamnya mengalir kesan atau rasa tertentu. 5. Kode kultural atau referensial (REF) adalah kode yang membentuk suara-suara kolektif anonim dari pertanda yang berasal dari berbagai ragam pengalaman manusia dan tradisi. Dalam pengertian luas, kode referensial adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi/ pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit kode ini dibentuk oleh beraneka ragam pengetahuan serta kebijakan yang bersifat kolektif. Dalam mengungkapkan kode ini, analisis cukup mengindikasikan adanya pengetahuan yang menjadi rujukan.
279
C. METODE PENELITIAN Dalam prosedur pengumpulan data, langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis adalah (1) melakukan pembacaan terhadap cerpen BDSP karya Yetti A.KA, (2) melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi yang mendukung penelitian dan membuat struktur kerangka penelitian, dan (3) memecah teks ke dalam beberapa leksia. Penulis memecah leksia berdasarkan kriteria pemusatan, yaitu memenggal teks yang berpusat pada satu titik perhatian, yaitu pada peristiwa, tokoh, ataupun masalah yang sama. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tataran lima kode Roland Barthes, yaitu (1) menentukan kode pada setiap leksia, (2) menguraikan dan memaknai kode pada setiap leksia, dan (3) keterkaitan antarkode dan antarleksia ditafsirkan agar ditemukan makna untuk kemudian makna-makna tersebut disimpulkan secara menyeluruh. D. PEMBAHASAN Makna Cerpen “Bayi yang Dipetik dari Sebatang Pohon” (1) Judul Bayi yang Dipetik dari Sebuah Pohon * digambarkan sebagai kode hermeneutik (HER) yaitu kode yang menimbulkan tanda tanya di benak pembaca selama proses pembacaan cerita. Judul ini menimbulkan pertanyaan, benarkah bayi dipetik dari sebuah pohon? Ataukah cerpen ini sejenis dongeng yang kisahnya hanyalah bualan? Belitan pertanyaan tersebut membawa pembaca dalam upaya untuk menafsirkan. Cerpen ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Loneli yang dibesarkan oleh ayahnya sampai dewasa. Sejak kecil, ayah Loneli selalu menyembunyikan identitas ibunya. Saat berumur tujuh tahun, Loneli menanyakan perihal ibunya. Ayahnya menceritakan sebuah dongeng yang mengatakan bahwa Loneli dipetik dari sebatang pohon. Hal ini dikatakan ayahnya untuk menghibur sekaligus menjaga agar identitas ibunya tetap tidak diketahui oleh Loneli (HER. Enigma 1: cerita yang mengundang pertanyaan). ** Judul Bayi yang Dipetik dari Sebuah Pohon juga termasuk kode simbolik (SIM) yaitu penanda teks yang mempu membawa pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang atau simbol dan maknanya. Penanda “dipetik” bermakna diambil, sedangkan “sebatang pohon” bermakna seorang ibu. Artinya, judul cerpen tersebut mengacu pada makna Loneli diambil dari ibunya oleh ayahnya saat masih bayi (SIM: dipetik dari sebatang pohon = diambil dari seorang ibu). (2) Hari itu usiaku tujuh tahun dan sudah dua puluh tahun berlalu. * Ini merupakan kode semik (SEM) yaitu penanda konotasi yang di dalamnya terdapat kesan atau nilai rasa tertentu. Loneli yang berusia dua puluh tujuh tahun mengenang kisah hidupnya saat berusia
280
tujuh tahun. Leksia ini memberikan kesan terhadap suatu peristiwa yang pernah dialaminya ketika berusia tujuh tahun (SEM: mengenang). (3) Papa menyiapkan lilin angka tujuh untuk kutiup saat aku bangun. Kejutan, kata Papa berbisik. Aku lekas membuka mata sebab semalaman aku memang memikirkan apa yang bisa dilakukan papaku di hari ulang tahunku. * Ini adalah kode aksi (AKS) yaitu serangkaian aksi yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Aksi menyiapkan lilin, meniupnya, berbisik, dan membuka mata adalah rangkaian aksi yang saling berkaitan. Ini adalah rangkaian aksi yang terjadi ketika Loneli mendapat kejutan ulang tahun dari ayahnya (AKS: mendapat kejutan ulang tahun). ** Leksia tersebut juga merupakan kode hermeneutik. Leksia tersebut menimbulkan pertanyaan di benak pembaca: kado apa yang disiapkan ayahnya setelah Loneli meniup lilin? Setelah meneruskan pembacaan, ternyata tidak ada kado untuk Loneli. Leksia ini adalah kode hermeneutik bentuk penundaan, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang menunda kemunculan jawaban (HER. Enigma 5: Jawaban yang tertunda). *** Leksia tersebut juga tergolong kode semik. Loneli mengungkapkan kesannya saat mendapat kejutan ulang tahun dari ayahnya di pagi hari ketika ia bangun. Semalaman ia penasaran dan terus memikirkan tentang hal apa yang akan dilakukan oleh ayahnya di hari ulang tahunnya (SEM: rasa penasaran Loneli) **** Frasa “lilin angka tujuh” merupakan kode simbolik. Lilin angka tujuh yang ditiup saat ulang tahun tentu mengacu pada usia tujuh tahun (SIM: lilin angka tujuh = usia tujuh tahun). ***** Leksia tersebut juga merupakan kode kultural atau referensial (REF) yaitu penanda yang merujuk pada pengetahuan umum yang mendukung teks. Ulang tahun adalah perayaan hari kelahiran yang sudah menjadi budaya di hampir seluruh dunia. Dalam perayaan hari ulang tahun, biasanya si pemberi ucapan selamat melakukan kejutan-kejutan kepada yang berulang tahun. (4) Aku meniup lilin itu dengan cepat agar tiba pada kejutan berikutnya – biasanya, dari cerita teman-temanku, sebuah hadiah istimewa yang dibungkus dalam kotak besar berlapis-lapis. Tidak ada. Papa tidak menyembunyikan sesuatu di balik badannya. Papa juga tidak meletakkan hadiah itu di samping tempat tidurku, di bawah kolong ranjang, dalam tas sekolah. Dengan perasaan kering aku buru-buru ke kamar mandi dan berharap begitu keluar, aku mendapatkan bingkisan besar tepat di depan pintu. Tidak ada. Tak ada bingkisan apa-apa. Aku berusaha melupakan kalau hari ini ulang tahunku. Aku cukup mengenang kalau tahuntahun sebelumnya aku pernah merayakan ulang tahun yang meriah di playgroup dan di TK tempatku bersekolah; Aku pernah mengenakan pakaian adat dengan mahkota warna emas atau perak dan dapat hadiah yang banyak sekali dari guru dan teman-temanku.
*
Leksia
tersebut juga termasuk kode aksi atau proairetik. Saat Loneli mengatakan bahwa ia tidak melihat kado dari ayahnya di mana pun, termasuk di kolong ranjang dan dalam tas sekolah, artinya ada
281
upaya dari Loneli untuk mencari kado tersebut. Karena tak mendapatkan kado dari ayahnya, Loneli menuju kamar mandi untuk melarikan rasa kecewanya (AKS: mencari kado dan melarikan rasa kecewa ke kamar mandi). ** Leksia tersebut menimbulkan tanda tanya di benak pembaca: mengapa tak ada kado untuk Loneli? Apakah ayahnya tak mampu membelikan? Ataukah ayahnya sibuk sampai tak punya waktu untuk membelikan? Setelah membaca dengan tuntas isi cerpen, pembaca akan sampai pada pemahaman tentang ayah Loneli yang sangat sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Kesibukan ayahnya sampai-sampai membuatnya tak sempat untuk mencarikan kado untuk Loneli (HER Enigma 5: Jawaban yang tertunda). *** Leksia tersebut juga tergolong kode semik. Loneli mengungkapkan rasa kecewanya terhadap ayahnya yang tidak memberinya kado di hari ulang tahunnya (SEM: kekecewaan) **** Leksia tersebut juga merupakan kode kultural atau referensial. Dalam perayaan ulang tahun, biasanya yang berulang tahun akan meniup lilin dari kue yang diberikan. Kado juga biasanya menjadi kejutan lain yang diharapkan oleh orang yang berulang tahun (REF: meniup lilin dan mengharapkan kado saat ulang tahun). (5) Setelah aku selesai mengenakan pakaian, mengikat rambut, dan memasang sepatu, aku berangkat ke sekolah diantar Papa. Sampai di gerbang sekolah, aku segera turun. Lalu Papa buru-buru melarikan mobilnya. * Ini merupakan kode aksi atau proairetik. Aksi mengenakan pakaian, mengikat rambut, memasang sepatu, diantar ke sekolah, dan turun dari mobil adalah rutinitas yang biasa ia lakukan setiap hari saat sekolah. Ayah Loneli langsung melarikan mobilnya sesaat setelah Loneli turun dari mobil (AKS: diantar ke sekolah, buru-buru ke kantor). ** Leksia tersebut juga merupakan kode kultural atau referensial. Mengantar anak ke sekolah sudah menjadi budaya yang sering dilakukan oleh orang tua di seluruh dunia. (REF: mengantar anak ke sekolah). (6) Papa selalu takut terlambat masuk kantor. Ia sangat patuh pada bosnya. Aku belum pernah bertemu bosnya itu. Namun, rasanya, aku memang tidak ingin ketemu orang yang telah membuat Papa selalu buru-buru di pagi hari sampai-sampai kami tidak pernah sarapan di rumah. * Ini adalah kode semik. Loneli mengungkapkan kecemburuannya karena ia merasa ayahnya menganggap bosnya lebih penting dari pada dirinya sebagai anak (SEM: kecemburuan). (7) Aku diberi bekal makanan. Sesampai di sekolah, bekal itu sudah dingin dan aku berusaha menelannya dengan dorongan keras. Papa sendiri bisa sarapan di kantin dekat kantor setelah apel pagi. Atau Papa memesan makanan siap saji di antara waktu sarapan dan makan siang. * Ini merupakan kode aksi atau proairetik. Diberi bekal makanan dan menyantap bekal yang sudah dingin adalah rangkaian tindakan yang terjadi saat Loneli baru sampai di sekolah (AKS: menyantap bekal makanan yang sudah dingin).
282
(8) Kupikir, suatu hari aku juga ingin Papa memesan sesuatu untukku dan diantar ke sekolah. Meski aku tahu, selama ini tak sekalipun pengantar makanan siap saji berdiri di depan pintu gerbang untuk mengantar pesanan siswa. Itu memang terasa berlebihan. Namun, jika itu dilakukan di hari ulang tahunku, tidak terlalu masalah, meski tetap saja terasa aneh. * Ini adalah kode semik. Loneli mengungkapkan harapannya terhadap ayahnya. Sebuah perasaan ingin lebih diistimewakan oleh ayahnya (SEM: keinginan). (9) Sepanjang pelajaran sesi pagi di kelas, aku lebih banyak mencoreti kertas saja. Ibu guru menegurku tiga kali. Ia memperingatkan agar aku memperhatikan papan tulis. Di papan itu ibu guru menulis soal penambahan dan pengurangan. * Ini merupakan kode aksi atau proairetik. Mencoret kertas, ditegur oleh ibu guru, dan ibu guru menulis, adalah serangkaian aksi yang terjadi di dalam ruang kelas saat pelajaran berlangsung (AKS: mencoret kertas saat pelajaran berlangsung). (10) Aku tidak tertarik pada matematika. Atau aku tidak tertarik dengan cara guruku menerangkannya. Aku lebih suka belajar menyanyi atau menggambar yang membuatku tidak mau berhenti ketika waktu sudah habis.“Begitulah kalau tidak punya seorang ibu,” kata ibu guru memegang tanganku,”Tidak ada yang mengajarimu dengan baik di rumah.” Mimik wajahnya dibuat sedih, tapi itu tak membuatku terharu. Kukatakan,”Papaku bisa melakukan segalanya.” “Ingat, Loneli, Papa bisa melakukan semuanya untukmu.” Ujar Papa berjongkok di depanku. Tentu saja aku hanya percaya pada Papaku. * Ini adalah kode semik. Loneli mengungkapkan kesannya terhadap mata pelajaran matematika. Loneli juga merasa kalut saat gurunya mengatakan ia kekurangan kasih sayang dari seorang ibu sehingga tak fokus pada pelajaran. Sementara itu, ia tetap meyakinkan dirinya bahwa ia sudah merasa cukup bahagia meski hanya hidup dengan ayahnya (SEM: ketidaksukaan, kekalutan). ** Leksia di atas juga termasuk kode aksi atau proairetik. Ibu guru memegang tangan Loneli adalah aksi atau tindakan yang dilakukan saat Loneli mendapat teguran dari ibu gurunya (AKS: mendapat teguran guru). *** Leksia di atas juga merupakan kode kultural, sebagai penanda yang merujuk pada pengetahuan umum yang mendukung teks. Matematika adalah salah satu pelajaran wajid di tingkat sekolah. Sebagaimana Loneli dalam cerita yang tidak menyukai pelajaran matematika, begitulah pula yang terjadi pada umumnya di masyarakat. Umumnya orang-orang tidak menyukai pelajaran Matematika karena dianggap sulit (REF: matematika). (11) Di rumah, aku menunggu Papa pulang. Papa telah meminta sopir kantornya untuk menjemput aku di sekolah. * Ini merupakan kode aksi atau proairetik. Loneli menunggu ayahnya yang belum pulang dari kantor (AKS: menunggu ayah pulang). (12) Aku tahu tindakan Papa itu tidak baik. Bagaimana mungkin Papa menyerahkan aku pada sopir kantor yang tidak kukenal. Namun ternyata Papa sudah menelepon guruku dan guru
283
itu meyakinkan kalau aku harus ikut mobil itu untuk segera pulang mengingat tinggal aku sendirian yang belum dijemput dan guru-guru sudah tidak sabar meninggalkan sekolah. * Ini adalah kode semik. Loneli memberikan kesan terhadap apa yang sudah dilakukan ayahnya, bahwa meminta sopir yang tidak dikenalnya untuk menjemputnya adalah sesuatu yang ia rasakan tidak baik (SEM: kekhawatiran) ** Leksia ini juga termasuk kode aksi atau proairetik. Ayah Loneli menelepon guru Loneli agar Loneli mau dijemput oleh sopir suruhan ayahnya adalah aksi yang terjadi pada Leksia tersebut (AKS: dijemput sopir suruhan ayah). (13) Aku masuk dalam mobil dan diam saja meski sopir kantor Papa berusaha mengajakku bicara. Ia bertanya tentang pelajaranku di sekolah, bertanya apa aku senang, bertanya siapa nama teman sebangkuku—Sopir itu mungkin sudah dilatih cara menghadapi anak usia sekolah dasar dan sering diminta oleh teman-teman Papa di kantor untuk menjemput anak mereka dalam situasi genting, misalnya rapat yang tidak bisa ditinggalkan. Ia banyak sekali bertanya dan aku tidak mau menjawabnya. * Ini adalah kode semik. Loneli mengungkapkan kesan yang ia tangkap dari sopir suruhan ayahnya, dengan mengatakan bahwa sopir tersebut banyak bicara dan Loneli memilih untuk tidak mempedulikannya (SEM: ketidakpedulian) ** Leksia tersebut juga termasuk kode aksi atau proairetik. Tindakan yang terjadi saat sopir suruhan ayah Loneli menjemput Loneli adalah Loneli masuk ke dalam mobil dan sopir tersebut mengajak Loneli untuk berbicara dengan cara melontarkan sejumlah pertanyaan kepada Loneli (AKS: sopir suruhan ayah bertanya banyak). (14) Aku berbeda dengan anak lain. Papa selalu bilang begitu. Aku sulit ditundukkan siapa pun. “Kau sekeras Marinda”, kata Papa pelan dan buru-buru mengeluarkan kalimat lain secara beruntun agar aku tidak menemukannya lagi. Sayangnya, aku anak yang sering tertarik pada apa-apa yang berusaha orang sembunyikan, pada apa-apa yang tidak menjadi perhatian bagi anak lain. Otakku seperti akar-akar pohon yang terus menggeliat, terus menjalar-jalar, terus bergerak. Dan kalimat yang terus mendekam dalam kepalaku, terus hidup: Kau sekeras Marinda. * Leksia di atas adalah kode hermeneutik. Pernyataan ayah Loneli bahwa Loneli sekeras Marinda menimbulkan tanda tanya: siapakah Marinda? Namun pernyataan tersebut sekaligus membuka sebuah kemungkinan besar jawaban, bahwa Marinda adalah ibu Loneli yang selama ini disembunyikan identitasnya oleh ayahnya. Terlihat dari sikap ayah Loneli yang digambarkan dalam cerita. Ayah Loneli buru-buru mengeluarkan kalimat lain secara beruntun sesaat setelah menyebut nama Marinda. Leksia ini adalah kode hermeneutik bentuk jawaban sebagian, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut kode yang memberikan jawaban, tetapi tidak jawaban menyeluruh (HER. Enigma 6: jawaban sebagian). ** Leksia di atas juga termasuk kode semik. Terlihat dari gambaran Loneli yang meceritakan kesan ayahnya terhadap dirinya, bahwa ia
284
termasuk anak yang sifatnya keras. Sifat keras kerapkali diidentikkan dengan sifat laki-laki atau kemaskulinan (SEM: maskulinitas). *** Leksia tersebut juga merupakan kode simbolik. Loneli menggambarkan otaknya seperti akar-akar pohon yang terus menggeliat. Sifat akar adalah menjalar dan semakin memanjang. Hal ini dimaknai sama dengan otak Loneli yang terusmenerus berpikir. Loneli tidak melupakan begitu saja kata-kata ayahnya yang menyamakan sifat kerasnya dengan Marinda. Loneli terus menyimpannya dalam pikirannya (SIM: akar yang terus menjalar = otak yang terus berpikir). (15) Papa pulang. Aku mengenal lampu mobil Papa yang mengarah ke pintu pagar. Aku berlari menyongsongnya. Seolah aku sudah kehilangan Papa berabad-abad. Begitu Papa turun, aku langsung protes atas tindakan Papa yang mengirim sopir kantor untuk menjemputku tepat di hari ulang tahunku. Papa tertawa sembari memberikan tas kantornya kepadaku. Itu memang tugas yang kuminta pada Papa. * Ini adalah kode aksi atau proairetik. Tindakan yang terjadi saat ayah Loneli pulang adalah Loneli berlari menyongsong ayahnya yang baru turun dari mobil, melakukan protes terhadap sikap ayahnya yang meminta sopir suruhannya untuk menjemput Loneli, dan dijawab dengan tawa oleh ayahnya sambil memberikan tasnya kepada Loneli (AKS: ayah pulang, protes). ** Leksia juga mengandung kode kultural atau referensial, yaitu ulang tahun. Hal ini sudah dibahas sebelumnya pada leksia ke-3 (REF: ulang tahun). (16) Kalau Papa melakukan segalanya untukku, maka aku ingin melakukan satu hal saja untuk Papa. Aku menjejeri langkah Papa dengan terseok-seok. Kalau ada yang melihat mungkin berpikir kalau aku anak kecil yang terlalu ingin cepat dewasa dan ia merasa kasihan padaku. * Ini adalah kode semik. Loneli memberikan kesan tentang ayahnya yang bisa melakukan segalanya untuknya dan ia hanya cukup memegang tas kantor ayahnya saat ayahnya pulang dari kantor. Ia juga mengungkapkan kesan yang akan muncul manakala orang lain melihatnya seperti seorang anak yang ingin cepat dewasa (SEM: kecintaan). (17) “Apa Papa bisa menyenangkan bos hari ini?” tanyaku. Tawa Papa meledak. Ia mengambil tas di tanganku dan meletakkan di atas meja, “Kau sedang menyindir Papa?” “Hari ini ulang tahunku dan Papa tidak sempat menjemputku di sekolah,” kataku tetap melakukan protes. “Hari ini rapat penting,” kata Papa. “Kalau saja aku punya Mama,” kataku yang tiba-tiba ingat kalimat Ibu Guru. “Loneli…” Suara Papa mendadak terdengar tua dan kepayahan. Aku berjalan ke kamar. Aku butuh sendirian untuk waktu yang agak lama. Namun tidak sampai satu jam, Papa mengetuk pintu. * Ini adalah kode semik. Loneli mengungkapkan rasa kecewanya kepada ayahnya yang lebih mengutamakan urusan kantor ketimbang dirinya, apalagi di hari ulang tahunnya. Ia juga mengungkapkan harapannya yang ingin memiliki ibu (SEM: kekecewaan, keinginan). ** Leksia tersebut juga merupakan kode aksi atau kode proairetik. Aksi ayah Loneli yang tertawa, mengambil tas dari tangan Loneli lalu meletakkannya
285
di atas meja, berbicara kepada Loneli, menjawab pertanyaan Loneli, Loneli berjalan menuju kamar, dan pintu kamarnya diketuk oleh ayahnya, adalah serangkaian aksi yang terjadi setelah Loneli melakukan protes (AKS: menjawab pertanyaan Loneli, melarikan kekecewaan ke kamar mandi). *** Leksia tersebut juga mengandung kode kultural atau referensial, yaitu ulang tahun. Hal ini sudah dibahas pada leksia ke-3 dan ke-15 (REF: ulang tahun). (18) “Kau mau mendengar sebuah dongeng?” tanya Papa. * Ini adalah kode kultural atau referensial. Dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi yang gemar didengarkan oleh anak-anak. Biasanya orang tua membacakan dongeng kepada anaknya sebagai pengantar tidur (REF: dongeng). (19) Mulanya aku tidak tertarik. Namun saat Papa membuka dongengnya dengan pertanyaan, “Kau pernah dengar cerita tentang pohon yang membuat bayi-bayi?”, aku langsung membalikkan badan menghadap Papa. Wajahku mungkin saja masih tampak cemberut, tapi Papa tahu kalau aku tertarik pada dongengnya. “Bagaimana kalau mamamu adalah pohon itu?” “Itu keren,” timpalku. Papa mengetuk keningku satu kali dengan buku telunjuknya. Lalu ia tersenyum lama seakan-akan ia sengaja melakukan itu untuk memberikan waktu menyusun cerita dalam kepalanya. Sepanjang mendongeng – oh ya, Papa sudah pasti seorang pendongeng yang buruk – tak ada yang benar-benar kuperhatikan selain bagian “ada sebatang pohon yang memproduksi bayi-bayi” dan aku tentu tidak masalah jika ternyata lahir dari pohon itu. Punya mama sebatang pohon tentu saja sangat asyik. Aku bisa menceritakannya pada teman sebangkuku yang sangat memuja dan meniru segala sesuatu yang dilakukan ibunya, termasuk gaya rambut yang tampak tidak cocok untuknya. Mulutnya mungkin akan ternganga dan aku berharap ada seekor lalat yang mengira itu pintu goa dan masuk ke dalamnya saat aku bilang “Mamaku sebatang pohon yang rimbun.” Mungkin ia akan kesulitan memberikan masukan padaku tentang apa saja yang sebaiknya aku banggakan dan tiru dari mamaku yang sebatang pohon itu. * Ini adalah kode semik. Saat ayah Loneli akan menceritakan sebuah dongeng, awalnya Loneli tidak tertarik. Tetapi karena ceritanya terdengar menarik bagi Loneli, maka dia menjadi berminat mendengarkan dongeng dari ayahnya. Karena ayah Loneli menceritakan bahwa ibu Loneli adalah pohon, Loneli takjub dan sangat terkesan sehingga berniat akan menceritakan tentang ibunya yang pohon itu kepada teman sebangkunya (SEM: ketakjuban). ** Leksia tersebut juga termasuk kode aksi atau kode proairetik, yaitu aksi ayah Loneli yang menceritakan kisah dongeng, Loneli yang membalikkan badan saat mendengar dongeng, dan ayah Loneli yang mengetuk kening Loneli, adalah serangkaian aksi yang terjadi saat ayah mendongeng. (AKS: ayah mendongeng). *** Leksia tersebut juga merupakan kode simbolik. Hal ini sudah dibahas pada leksia pertama. (SIM: pohon = ibu). **** Leksia tersebut juga tergolong kode
286
kultural atau referensial, yaitu dongeng. Hal ini sudah dibahas pada leksia ke-18. (REF: dongeng). (20) “Kau ingin tahu bagaimana kau dilahirkan?” terdengar lagi suara Papa dan serta-merta bayangan teman sebangkuku lenyap. Aku mengangguk saja sambil berharap bagian itu akan menarik. “Hari itu Papa berdiri di bawah sebatang pohon. Papa melihat kau tergantung seperti kepompong raksasa.” “Dan Papa mengambilku?” “Papa mengambilmu.” “Papa mengambilku begitu saja dari Mama? ”Loneli…” “Mama tidak sedih?” “Pohon tidak tahu cara bersedih.” * Ini adalah kode simbolik. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada leksia pertama (SIM: sebatang pohon = seorang ibu) ** Leksia tersebut juga termasuk kode hermeneutik. Pernyataan ayah Loneli tentang caranya mengambil Loneli, menimbulkan tanda tanya: apa benar ayah Loneli mengambil Loneli begitu saja? Ataukah ibu Loneli yang justru pergi meninggalkan Loneli dan ayahnya? Sampai kisah ini berakhir, peneliti tidak menemukan sedikitpun petunjuk mengenai teka-teki ini. Selain itu, gambaran yang menimbulkan tanda tanya adalah ketika ayah Loneli mengatakan kepada Loneli bahwa ibunya tak menangis saat berpisah dari Loneli. Apa benar seorang ibu tak menangis saat berpisah dari anak yang sudah dikandung dan dilahirkannya? Ataukah pernyataan bahwa ibunya tak menangis saat berpisah dari Loneli adalah kebohongan ayahnya agar tidak membuat Loneli terus memikirkan ibunya? Sampai cerita ini berakhir, peneliti juga tidak menemukan petunjuk mengenai enigma ini. Leksia ini merupakan kode hermeneutik bentuk pengusulan, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang secara eksplisit maupun implisit mengandung pertanyaan tekateki (HER. Enigma 2: pengusulan). (22) Aku tidak bertanya lagi. Setelah aku pura-pura menguap, Papa menutup dongengnya dan menyuruh aku segera tidur. Malam itu aku tidak benar-benar tidur. Aku membatalkan rencana menceritakan tentang mamaku pada teman sebangkuku. Aku kira itu tidak menarik lagi. Aku kira cara Papa mengambilku mungkin membuat mama tidak berhenti menangis hingga hari ini. * Ini adalah kode semik. Loneli yang tadinya takjub terhadap dongeng yang diceritakan ayahnya bahwa ibunya adalah sebatang pohon, justru kecewa ketika ayahnya mengatakan bahwa pohon tak pernah menangis saat ayahnya mengambil Loneli (SEM: kecewa). ** Leksia tersebut juga termasuk kode aksi. Loneli menguap dan ayah menyuruh Loneli untuk tidur adalah rangkaian aksi yang terjadi setelah ayah Loneli menceritakan dongengnya kepada Loneli. Namun malam itu Loneli tak bisa tidur (AKS: menyuruh tidur, tak dapat tidur). *** Leksia tersebut juga memuat kode kultural atau referensial. Sebagaimana yang sudah dibahas pada leksia ke-18 dan ke-19 (REF: dongeng). (23) Aku masuk sekolah seperti biasa. Membawa bekal seperti biasa. Dan terpenting sudah melupakan hari ulang tahunku yang mengecewakan. Teman sebangkuku mencuil
287
lenganku saat aku menguap agak keras. Ia hanya khawatir ibu guru menegur dan mempermalukan aku di kelas. Ia seorang teman yang baik dan aku menjadi sedih menyadari kenyataan itu sebab betapa sering aku berpikir menjahilinya. Aku bertahan di kelas selama jam-jam pelajaran, meski aku ingin segera sekali lari ke luar gerbang dan menghirup udara kebebasan. * Ini adalah kode semik. Loneli menceritakan kesannya terhadap hari-harinya di sekolah yang sudah berlangsung seperti biasa, tentang jam-jam pelajaran yang membuatnya merasa bosan (SEM: kebosanan). ** Leksia tersebut juga termasuk kode aksi. Loneli masuk sekolah, membawa bekal, menguap, dan dicuil lengan oleh teman sebangku, adalah rangkaian tindakan yang terjadi saat Loneli sedang bersekolah (AKS: bersekolah). *** Leksia tersebut juga memuat kode kultural atau kode referensial, yaitu ulang tahun. Sebagaimana yang sudah dibahas pada leksia ke-3 dan ke-15 (REF: ulang tahun). (24) Papa pasti saja sedang sangat sibuk di kantor. Sebelum aku turun dari mobil tadi pagi, Papa memberi tahu kalau nanti kemungkinan aku akan dijemput sopir kantor itu lagi. Seminggu ini Papa akan sibuk sekali, tapi aku menduga akan lebih panjang dari perkiraan Papa. * Ini adalah kode aksi. Leksia tersebut menggambarkan beberapa tindakan, yaitu Ayah Loneli yang sibuk di kantor dan Loneli yang akan dijemput oleh sopir suruhan ayahnya (AKS: berkantor, dijemput sopir). (25) Teman sebangkuku berbisik pada menit-menit terakhir ibu guru menutup kelas hari ini, “Mamaku membanting pintu kemarin sore. Belum juga pulang sampai tadi pagi.” Aku menoleh penuh minat, “Apa mamamu pergi sambil nangis?” Teman sebangkuku menggeleng, “Tidak tahu.” “Kau tidak lihat?” “Aku ketakutan.” “Mamamu pasti pulang.” Teman sebangkuku tidak berkata apa-apa lagi. Ia membeku. Terus membeku. Dan itu membuatku takut dan buru-buru keluar kelas. Aku bahkan tidak perlu dipaksa ibu guru lagi untuk masuk ke dalam mobil sopir kantor Papa. * Ini merupakan kode aksi. Teman Loneli menceritakan sesuatu kepada Loneli saat mereka sedang dalam proses pembelajaran di kelas (AKS: teman Loneli bercerita) ** Leksia tersebut juga tergolong kode hermeneutik. Penggambaran leksia di atas menimbulkan tanda tanya di benak pembaca: Mengapa Loneli menanyakan perihal ibu temannya yang menangis atau tidak saat meninggalkan rumah? Seorang ibu yang membanting pintu dan meninggalkan rumah dapat dipahami sebagai petanda bahwa telah terjadi pertengkaran dalam rumah tangga teman Loneli, yaitu ibunya dan ayahnya yang berakibat pada minggatnya ibunya dari rumah. Namun mengapa Loneli menanyakan perihal ibu temannya yang menangis atau tidak? Pada pengisahan sebelumnya. Ayah Loneli pernah mengatakan bahwa ibu Loneli tak menangis saat berpisah dari Loneli. Pertanyaan Loneli tentang apakah ibu kawannya menangis atau tidak, bisa berarti ada hubungannya dengan akan kembali atau tidak. Ibu Loneli yang dikatakan ayahnya
288
kepada Loneli tidak menangis saat berpisah dari Loneli (Meski bisa saja ayahnya berbohong), tak pernah lagi bertemu Loneli. Hal ini bisa saja menimbulkan keyakinan dalam pikiran Loneli bahwa jika ibu kawannya tak menangis saat berpisah dari anaknya, maka ibunya itu tak akan kembali (HER. Enigma 6: jawaban sebagian). *** Leksia tersebut juga termasuk kode semik. Teman Loneli menceritakan kejadian ibunya yang meninggalkan rumah. Ekspresi beku yang dialami oleh temannya membuat Loneli merasa takut (SEM: ketakutan). (26) Aku membuka pintu mobil setelah lima belas menit melamun di dalamnya. Kulihat papa muncul di pintu. Ia tertegun dan memasang kacamata rantainya. Ia sudah berusia enam puluh tahun dan sedikit bungkuk. Aku cepat keluar dari mobil dan melambaikan tangan. Papa tak membalas. Ia tidak sedang melihatku, meski matanya tertuju tepat ke tubuhku. “Marinda, kaukah itu?” tanyanya bergetar. * Ini adalah penggambaran kode aksi. Loneli membuka pintu mobil, ayahnya muncul di pintu, ayahnya memasang kacamata rantai, Loneli melambaikan tangan, dan ayahnya bertanya adalah rangkaian tindakan yang terjadi saat Loneli menyapa ayahnya (AKS: menyapa ayah). ** Leksia tersebut juga termasuk kode hermeneutik. Terdapat penceritaan yang menimbulkan tanda tanya: mengapa ayah Loneli membalas sapaan Loneli dengan menyapanya “Marinda”? Sebagaimana yang diceritakan, ayahnya sudah berusia enam puluh tahun saat itu. Ia menyapa anaknya dengan menyebut nama Marinda. Pada leksia ke-14 peneliti telah mengungkap bahwa Marinda adalah ibu Loneli yang selama ini disembunyikan identitasnya oleh ayahnya. Ketika matanya tertuju pada Loneli, ayahnya yang sudah tua itu melihat Loneli sebagai Marinda, ibunya. Hal ini karena Loneli yang sudah dewasa itu menjadi terlihat mirip dengan ibunya dalam penglihatan ayahnya (HER. Enigma 6: Jawaban sebagian). *** Leksia tersebut juga merupakan kode kultural atau referensial. Pada usia senja, seringkali indera mata mengalami gangguan rabun. Hal ini terjadi karena adanya penurunan fungsi fisiologis organ tubuh. (27) Pohon itu bernama marinda. Ia memiliki bunga-bunga yang cantik di sepanjang dahannya. Bunga yang menjelma bayi-bayi. * Ini adalah kode simbolik. Pohon digambarkan pengarang sebagai simbol yang mengacu pada seorang ibu bernama Marinda. Sedangkan bunga adalah bagian dari pohon sebagai simbol yang mengacu pada bayi yang sekarang telah menjadi dewasa, yaitu Loneli (SIM: pohon=Marinda, bunga=Loneli). (28) Mulai sekarang ingat baik-baik nama itu dan simpan selamanya dalam hidupmu. Papa menutup dongengnya malam itu, lalu membisikkan ucapan selamat tidur yang sendu. * Ini adalah kode hermeneutik. Leksia tersebut adalah bagian akhir dari kisah cerpen, yang mana penceritaannya kembali melanjutkan kisah Loneli yang sudah dewasa. Bagian ini menimbulkan belitan pertanyaan di benak pembaca: apa iya ayahnya yang sudah renta masih menceritakan dongeng kepada Loneli dewasa sebelum tidur? Ataukah bagian ini digambarkan pengarang
289
sebagai alur mundur yang mengisahkan ayah Loneli mendongengkan Loneli kecil sebelum tidur? Tapi mengapa ayahnya menyebutkan secara langsung nama Marinda dalam dongeng dan meminta Loneli untuk menyimpan nama itu baik-baik dalam hidupnya? Bukankah ayahnya selalu berupaya menyembunyikan identitas Marinda? Ini adalah kode hermeneutik bentuk pengacauan, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebutkan sebuah kode yang menyebabkan enigma menjadi semakin rumit (HER. Enigma 3: Pengacauan). ** Leksia tersebut juga termasuk kode kultural atau referensial, yaitu dongeng. Sebagaimana yang sudah dibahas pada leksia ke-18, ke-19, dan ke-22 (REF: dongeng). Loneli sejak kecil sudah berpisah dengan ibunya. Ia diambil dan dirawat oleh ayahnya. Sejak kecil pula ayahnya selalu menyembunyikan identitas ibunya. Ayahnya sangat sibuk di kantor dan lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya. Kesemua hal ini menyebabkan Loneli kehilangan rasa bahagia di masa kecil, masa yang seharusnya ia berlimpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Masa kecilnya penuh dengan rasa kekecewaan, kecemburuan, kekalutan, kekosongan dan angan-angan. Kurangnya kasih sayang dan perhatian yang ia dapatkan membuatnya menjadi anak yang keras kepala. E. KESIMPULAN Dalam cerpen ini ditemukan berbagai kode, baik kode aksi, kode semik, kode simbolik, kode kultural, maupun kode hermeneutik. Melalui kode aksi, cerpen ini menghadirkan serentetan-serentetan peristiwa yang terjalin dengan baik. Selain itu, banyak kesan yang dihadirkan cerpen ini melalui analisis kode semik. Begitupun dengan adanya beberapa simbol dan penanda pengetahuan melalui analisis kode simbolik dan kode kultural. Pembaca juga dituntut oleh teks untuk melakukan penafsiran terhadap tanda yang memuat unsur teka-teki melalui analisis kode hermeneutik. Penelitian ini menunjukan bahwa teks adalah hamparan tanda yang setiap leksia dimungkinkan terdiri atas berbagai macam kode. Dalam pemaknaan secara menyeluruh, cerpen ini menekankan bahwa waktu, perhatian, dan kejujuran adalah penghargaan tinggi yang bisa diberikan kepada anak. Sebaliknya, sedikitnya waktu dan perhatian yang diberikan kepada anak adalah cara paling mujarab untuk membuat anak menjadi keras kepala.
290
DAFTAR PUSTAKA A.KA, Yetti. 2016. Penjual Bunga Bersyal Merah dan Cerita Lainnya. Yogyakarta: DIVA Press. Barthes, Roland. 1974. S/Z. (Translated By Richard Miller). Oxford: Basil Blackwell. Mustika, Juwita Nur. 2013. Keragaman Makna Politik dan Kekuasaan Cerpen “Sepotong Bibir paling Indah di Dunia” Karya Agus Noor: Kajian Semiotik Roland Barthes. Skripsi. Universitas Gadjah Mada. Widyawati, Ken. 2015. Cerpen Faruk “Bus Kota” dalam Semiotik Roland Barthes. Jurnal Humanika, Vol. 22 No. 2: 58-65.
291
BAB III PEMBELAJARAN
292
MENGGALI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA KITAB TA’LIMUL MUTA’ALLIM DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA FIB UHO Abdul Jalil, S.H.I., M.A., M.E.I/Dosen Antropologi FIB UHO Mu’jizat AR, L.c., M.A., M.Hum/Dosen Hubungan Internasional-FISIP UHO Abstrak Tulisan ini mendiskusikan tentang perbandingan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada kitab Taklimul Muta’allim dengan Program Pendidikan Karakter lingkup Fakultas oleh FIB UHO. Hal ini menarik untuk diungkap, mengingat program pemerintah dengan revolusi mental lewat nawacitanya sangat digalakkan. Selain ada kegelisahan bersama terkait generasi dewasa ini, para anak didik kita yang semakin hari mengalami degradasi moral, pendidikan hanya sebagai rutinitas, sebagai hal yang harus dilalui atas sebuah proses, tidak banyak yang mendesain sebagai proses yang menjadi kebutuhan menuju pencapai masa depan yang cemerlang, tentu hampir disemua lapisan masyarakat dengan profesinya juga mengalami hal yang sama, banyak perilaku-perilaku masyarakat yang semestinya menjadi tuladha, ternyata berlaku sebaliknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan deksriptif analisis dengan fokus pada nilai-nilai karakter pada kitab Ta’limul Muta’allim dengan program Pendidikan Karakter pada FIB UHO.Hasil dari assesmen awal bahwa beberapa program atau materi yang ada dalam pendidikan karakter FIB UHO dengan apa yang ada dalam kandungan kitab Ta’limul Muta’alim hampir bisa dipastikan baik dan sama dalam kerangkan menumbuhkan pendidikan yang baik, menjadikan peserta didik (mahasiswa) lebih berbudi mulia, berakhlakul karimah tanpa mengurangi kecerdasan keilmuan, namun seiring perkembangan zaman, kecerdasan secara pengetahuan peserta didik kita telah menghilangkan moralitas. Untuk itu dari tulisan ini, diharapkan khalayak lebih mengedepankan akhlakul karimah dari pada hanya kemampuan akademik. Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Ta’limul, Muta’aalim, FIB UHO.
A. PENDAHULUAN Berangkat dari kegelisahan penulis ketika dilaksanakannya kegiatan pendidikan karakter pada lingkup fakultas di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo tahun 2016, yaitu kegiatan pendidikan karakter bagi mahasiswa baru (baca: angkatan 2015). Tentu tulisan ini tidak kemudian mempermasalahkan apa yang telah menjadi program tahunan ini. Maksud dari sebuah kegiatan tentu muaranya baik, tidak terkecuali pada pendidikan karakter di lingkup UHO yang notabene di bawah UPT Pendidikan Karakter dan Konseling. Paling tidak sebagai wahana pengenalan kampus bagi calon-calon pemimpin masa depan. Diantara bekal yang hendak diberikan adalah agar dikemudian hari, setelah mahasiswa baru memasuki dunia kampus tidak gugup dan lebih mencintai apa yang telah menjadi pilihannya sebagai media untuk mewujudkan masa depannya melalui pendidikan di kampus. Mengapa perlu pendidikan karakter sejak dini, tentu tidak hanya pada calon mahasiswa tetapi semua lapisan masyarakat seharusnya dibekali dengan good character, bagaimana negeri ini akan dibangun oleh orang-orang yang hanya pragmatis, hedonisme dan budaya konsumtif. Tidak lagi melihat ke depan dan mempertimbangkan apa yang akan terjadi untuk generasigenerasi di tahun mendatang. Untuk itu pendidikan karakter dewasa ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah/kampus, tetapi di rumah dan di lingkungan sosial. Pesertanya pun bukan lagi anak usia dini dan remaja, tetapi juga usia dewasa. Banyak kegiatan di kampus UHO yang menarik untuk diteliti selain pendidikan karakter, misalnya kegiatan yang hampir sama yaitu MHMMD (Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan). Kegiatan ini diselenggarakan di tingkat universitas yang
293
diperuntukkan bagi mahasiswa baru sebagai agenda tahunan, sementara pendidikan karakter oleh fakultas yang muaranya memberikan pengenalan kampus, termasuk visi misi dan filosofi masing-masing jurusan, selain materi dari pendidikan karakter, misalnya wawasan kebangsaan dan bahaya narkoba, terkadang tentang terorisme (data pendidikan karakter tahun 2016). Selain itu, kegiatan yang hampir serupa juga diselenggarakan di tingkat universitas, terutama pembekalan bagi calon wisudawan/wisudawati yaitu ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang kemudian bertransformasi menjadi pelatihan sumber daya manusia, di lingkup UHO, ESQ merupakan program pengembangan karakter di Universitas Halu Oleo sebagai upaya menanamkan nilai-nilai kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual bagi calon wisudawan yang nantinya diharapkan dapat memberi nilai tambah dan manfaat positif bagi pengembangan karakter mulia dan dapat mengetahui jati diri yang sesungguhnya sebagai umat manusia. Terminologi pendidikan karakter secara literal dapat dimaknai sebagai proses transformasi pengetahuan terkait dengan perilaku dan moralitas seseorang agar selain menjadi akademisi juga memiliki karakter kepribadian yang baik dan memiliki integritas keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Meminjam definisi pendidikan karakter model Romawi lebih menekankan pada pentingnya aspek keluarga dalam pemberian nilai karakter. Bentuk nyata dari pembentukan karakter dimulai dengan memberikan nilai moral seperti memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur kepada generasi penerus. Sementara dalam kitab Ta’limul Muta’allim, terminologi pendidikan karakter dapat diartikan secara menyeluruh, tidak hanya untuk peserta didik semata, juga diperuntukkan bagi seorang pendidik/guru, termasuk hal-hal yang melingkupi kegiatan belajar-mengajar. Misalnya bagaimana adab atau tata cara mereka memberlakukan guru, memberikan penghormatan terhadap mata pelajaran, bagaimana bekal atau dana sebagai pra syarat untuk menuntut ilmu. Terkait dengan hal bekal yang harus ada bagi seseorang dalam setiap menuntut ilmu, ada sebuah kaidah yang artinya sesuatu tidak akan sempurna jika tanpa sesuatu lain yang membantunya, maka sesuatu itu menjadi wajib. Ilustrasinya, seorang pelajar tidak mungkin belajar nyaman tanpa cukup bekal yang memadai, maka bekal disini menjadi wajibain. Bagaimana pendidikan karakter yang menjadi icon pemerintah sekarang dengan nawacitanya, sekaligus sebagai pemerintahan yang mengedepankan “revolusi mental”. Oleh pemerintah kemudian diturunkan lagi menjadi nilai-nilai dasar pendidikan karakter. Nama lengkap kitab ini adalah Ta'limul Muta'alim Thariqatta'allum, terdiri dari tiga belas pasal, antara lain: Pertama, menerangkan hakekat ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya; Kedua, niat dalam mencari ilmu; Ketiga, cara memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan; Keempat, cara menghormati ilmu dan guru; Kelima, kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah dan cita-cita yang luhur; Keenam, ukuran dan urutannya; Ketujuh, tawakal; Kedelapan, waktu belajar ilmu; Kesembilan, saling mengasihi dan saling menasehati; Kesepuluh, mencari tambahan ilmu pengetahuan; Kesebelas, bersikap wara' ketika menuntut ilmu; Keduabelas, hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan yang melemahkannya; Ketigabelas, hal-hal yang mempermudah datangnya rijki, hal-hal yang dapat memperpanjang, dan mengurangi umur. (Az-zarnuji, 2004: 6) Salah satu pengejawantahan revolusi mental pemerintah adalah penulis mengambil contoh pada Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Aisiyah Kabupaten Bantul, yang mengelompokkan pendidikan karakter melalui budaya islami, budaya lingkungan, budaya budi pekerti, budaya PHBS, budaya kerja, budaya pembelajaran, budaya belajar sehat, dan budaya akhlakul karimah. Masing-masing budaya tersebut mempunyai nilai-nilai dasar pendidikan
294
karakter. Penulis membayangkan ada korelasi atau kontestasi pendidikan karakter yang diselenggrakan FIB UHO dengan apa yang ada dalam kitab ta’limul muta’allim. B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana pendidikan karakter pada FIB UHO bagi mahasiswa dihubungkan dengan penggalian dan pengungkapan makna dan isi yang terkandung dalam kitab Ta’limul Muta’allim? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter pada program FIB UHO dengan apa yang terkandung dalam kitab Ta’limul Muta’aalim. Adapun manfaatnya adalah berguna bagi penelitian-penelitian dengan tema yang sama serta memberi bekal akan pentingnya pembangunan karakter dan kepribadian bagi mahasiswa baru melalui pendidikan karakter FIB UHO dengan apa yang terkandung dalam Ta’limul Muta’allim. D. TELAAH PUSTAKA Banyak juga yang menulis tentang kajian kitab Talimul Muta’allim, baik sebagai tugas akhir atau penelitian. Pertama, penelitian kolaboratif Dosen dan Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim tahun 2016 dengan judul Pemahaman az-Zarnuuji Terhadap Hadis Nabi Dalam Kitab Ta’limul Muta’allim Dan Respon Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian ini berusaha menyingkap pemahaman hadis yang diusung oleh Burhaanul Islam azZarnuuji dalam kitab yang menjadi rujukan dalam dunia pendidikan Islam, yakni Ta’liimul Muta’allim. Kitab ini tidak lain merupakan kitab yang banyak dikaji dalam diskursus ilmu akhlak di pesantren mengalahkan kitab-kitab mengenai akhlak yang lain. Kemudian, pemahaman hadis az-Zarnuuji tersebut dikonfirmasikan dengan pemahaman yang dimiliki oleh mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang di kampus yang mengombinasikan kultur pesantren dan perguruan tinggi. Pemahaman hadis sendiri merupakan salah satu aspek sentral dalam kajian hadis, sebab ia akan menentukan “format” hadis yang teraplikasikan dalam masyarakat (Benny Afwadli, dkk, 2016). Kedua, penelitian mengenai pendidikan karakter dari Slamet Riyadi tentang implementasi pendidikan karakter terhadap perilaku siswa di SD Muhammadiyah terpadu Ronowijayan tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini melihat sejauhmana siswa-siswi kelas V SD berkarakter melalui pembiasaan-pembiasaan positif di rumah, sekolah, maupun masyarakat yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendidikan karakter (Slamet Riyadi, 2014) Ketiga, penelitian dari Muhammad Sholeh tentang Pembelajaran Akhlaq Melalui Kitab Ta’limul Muta’aallim Bagi Santri Di Komplek Ij Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta. Penelitian melihat seberapa besar nilai-nilai akhlak dalam kitab tersebut diterapkan oleh santri. Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa pengetahuan tentang akhlak disampaikan, baik yang terpuji dan tercela; metodenya lewat ceramah, tanya jawab, dan bandongan; dan yang menarik dari hasil penelitian ini disebutkan bahwa bagi yang pembelajaran kitab ini selesai, maka perilakunya bisa dianggap 100% bagus, sementara bagi yang belum masih ditemukan jika berbicara cenderung dan mudah kasar dan tidak sopan (Muhammad Sholeh, 2013).
295
E. LANDASAN TEORI a. Pendidikan Berbicara pendidikan, banyak ahli mendefinisikannya, misalnya menururt Mahmud Yunus, pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Sementara ahli lain, misalnya Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya. Dalam EnsiklopediPendidikanIndonesia, pendidikan, yaitu sebagai proses membimbing manusia atau anak didik dari kegelapan, ketidaktahuan, kebodohan, dan kecerdasan pengetahuan. Selain itu, dalam UU SISDIKNAS No.20 Tahun 2003, Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan,dan keterampilan yang diperlukan oleh dirinya dan masyarakat. Dengan demikian, dari beberapa definisi menurut ahli tersebut dapat disimpulkan pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya untuk mencapai tingkat kedewasaan dan bertjuan untuk menambah ilmu pengetahuan, membentuk karakter diri, dan mengarahkan anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik. (www.seputarpengetahuan.com). Adapun akar kata dari Pendidikan adalah “didik” atau “mendidik”, dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dengan demikian, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan baik proses, cara, maupun perbuatan mendidik (http://kbbi.web.id/didik). Dalam bahasa arab, pendidikan sering merujuk dari kata tarbiyah, dari kata robba-yurobbi-tarbiyatan (Kamus al-Munawwir, 1997: 462). b. Karakter Term “karakter”, meminjam istilah Kartono, akan melibatkan beberapa aspek dalam diri manusia, yakni menyangkut hati, kepribadian, pekerti, perangai, perilaku, personalitas, reputasi, sifat, tabiat, temperanen, watak, jiwa, roh, dan semangat (ST. Kartono, 2011). Sementara “karakter” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti: Sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Istilah karakter terkait dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (apersonofcharacter) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral yang berlaku. Merujuk nilai-nilai karakter yang telah tersosialisasi pada dunia pendidikan ada 18: 1. Beriman, 2. Jujur, 3. Transparansi, 4. Disiplin, 5. Kerja Keras, 6. Kreatif, 7. Mandiri, 8. Demokratis, 9. Rasa Ingin tahu, 10. Semangat Kebangsaan, 11. Cinta Tanah Air, 12. Menghargai Prestasi, 13. Bersahabat/Komunikatif, 14. Cinta Damai, 15. Gemar Membaca, 16. Peduli Lingkungan, 17. Peduli Sosial, dan 18. Bertanggung Jawab.
296
Selain itu, karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Sebaliknya, karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar, hari demi hari melalui suatu proses, tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari. Sementara Pendidikan Karakter merupakan sebuah proses untuk membentuk, menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan kepribadian agar menjadi pribadi yang bijaksana dan bertanggung jawab melalui pembiasaan pikiran, hati dan tindakan secara berkesinambungan yang hasilnya dapat terlihat dalam tindakan nyata sehari-hari (Jalil, 2015: 12). Pembangunan manusia unggul sangat diperlukan, apabila memiliki kriteria bermoral, berakhlak dan berperilaku baik, mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional yang inovatif dan terus mengejar kemajuan, yang terus berupaya mencari solusi dalam setiap menghadapi kesulitan. Bangsa kita/ masyarakat diharapkan mampu mengolah emosi, dan spiritual yang mampu mengeksplorasi dan menginternalisasi kekayaan fisik, rasa, dan spiritual dalam kehidupan. Dengan demikian, jika Pendidikan karakter di Universitas Halu Oleo adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada mahasiswa baru yang meliputi kompenen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan untuk melaksanakan nilai-nilai yang diberikan pada saat pendidikan karakter melalui beberapa gagasan-gagasan pemateri berupa wawasan kebangsaan, terorisme, dan narkoba, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang berguna. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku mahasiswa, cara mahasiswa berbicara, bersikap, atau dalam menyampaikan pendapat, bagaimana mahasiswa bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Dan pendidikan karakter dipahami sebagai upaya menanamkan kecerdasan dalam berfikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku yang sesaui dengan nilai-nilai luhur. c. Ta’limul Muta’allim Arti dasar dari terminologi taklimul muta’aallim adalah pengajaran bagi pelajar (santri/mahasiswa/siswa). Asal katanya adalah allama-yuallimu ta’liiman-fa huwa muallimun dengan taallam-yata’allmu taalluman-fa huwa muta’aalimun. Selain itu, istilah ini tidak lain adalah nama sebuah kitab Ta’limul Muta’allim Thoriqottaalum yang disusun oleh Burhan alIslam az-Zarnujiy (Az-zarnuji, 2004: 5), namun lebih dikenal dengan sebutan Ta’limul Muta’allim. Dalam muqaddimah (pendahuluan) nya disebutkan bahwa
Secara umum dapat diartikan, bahwa penyusun buku (kitab) ini melihat mayoritas para pencari ilmu sudah berusaha semaksimal mungkin namun kurang berhasil, terutama dari manfaat ilmunya, yakni berupa pengalaman dari ilmu tersebut dan menyebarkannya. Hal itu
297
terjadi karena ada kesalahan mereka dalam menuntut ilmu dan syarat-syarat yang mereka tinggalkan, karena barang siapa salah jalan, tentu tersesat dan tidak dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu, mushonnef/muallif (penyusun buku/kitab) ingin menjelaskan kepada mahasiswa/siswa/santri cara mencari ilmu, menurut kitab-kitab yang dibacanya dan menurut nasihat para gurunya yang ahli ilmu dan hikmah. Dengan harapan semoga orang-orang yang tulus ikhlas mendo'akannya mendapatkan keuntungan dan keselamatan di akherat. Begitu do'anya dalam istikharah ketika akan menulis buku (kitab ini). Saya memberi nama kitab ini: Ta’liimul Muta’aalim Thariqattaalumi. F. FIB UHO FIB UHO adalah Fakulitas Ilmu Budaya yang ada di Universitas halu Oleo, dalam sejarah perkembangannya, FIB sebagaimana yang ada pada panduan akademik FIB UHO 2016 diuraikan bahwa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo (UHO) didirikanpada Tahun 2014, tetapi sejak tahun 1995 (masih bergabung diFISIP) sudah memiliki Jurusan yaitu Jurusan Antropologi sebgai cikalbakal berdirinya Fakultas Ilmu Budaya dan kemudian pada tahun2011 telah mendirikan 3 (tiga) konsentrasi yaitu Konsentrasi SastraIndonesia, Konsentrasi Sastra Inggris dan Kosentrasi Tradisi Lisan.Selanjutnya pada tahun 2013 menambah lagi Konsentrasi yaitu IlmuSejarah dan Arkeologi. Selanjutnya pada tahun yang sama melaluikeputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudyaan melalui DirekturJenderal Pendidikan Tinggi dengan nomor : 677/E.E2/DT/2013.Memberi mandat kepada Rektor Universitas Halu Oleo untukmenyelenggarakan Program Studi (Panduan akademik FIB UHO 2016/2017:30) Dengan keluarnya mandat dari Direktur Jenderal PendidikanTinggi tersebut, Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RepublikIndonesia melalui Rektor UHO. menindak lanjuti denganmengeluarkan surat keputusan dengan nomor001/SK/UN29/PP/2014, tentang Pembentukan Fakutas Ilmu Budayadengan komposisi 1(satu) jurusan dan 5(lima) program, adapunmasing- masing Jurusan dan program studi tersebut, yaitu:pertama, Jurusan Antropologi Jenjang pendidikan Strata Satu (S1); kedua, PS. Sastra Inggris Jenjang pendidikan Strata Satu (S1); ketiga, PS. Sastra Indonesia Jenjang pendidikan Strata Satu (S1); keempat, PS. Ilmu Sejarah Jenjang pendidikan Strata Satu (S1); dan kelima PS. Tradisi Lisan Jenjang pendidikan Strata Satu (S1); keenam, PS. Arkeologi Jenjang pendidikan Strata Satu (S1). Hal ini menarik untuk diungkap karena disaat kepercayaan kegiatan mahasiswa berupa OSPEK (orientasi pengenalan kampus, saat penulis menjadi mahasiswa S1 tahun 1999) atau inisisasi (mahasiswa baru antropologi) atau apapun namanya terkait dengan media sosialisasi perguruan tinggi termasuk fakultas dan jurusan-jurusannya untuk diketahui dan dikenalkan bagi mahasiswa baru mengalami evaluasi berbagai stakeholder karena sudah menyimpang dari orientasi dan filosofi sebenarnya, wahana atau media pengenalan bagi mahasiswa baru oleh senior atau kakak angkatan dimakani sebagai ajang aktualisasi senior yang cenderung mudah dengan menggunakan kekerasan, baik fisik maupun psikis. Sarana atau media tersebut, barangkali dimaknai sebagai upaya yang sudah tidak mungkin untuk dilakukan oleh PTN UHO sehingga sebagai salah satu penggantinya adalah berbagai kegiatan, seperti: MHMMD, ESQ dan Pendidikan Karakter itu sendiri. G. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian focus pada pendidikan karakter pada Mei 2016 yang peserta pendidikan karakternya mahasiswa angkatan 2015. Dengan subyek penelitian, pemateri, panitia, dan mahasiswa angkatan 2015
298
yang mengikutui pendidikan karakter. Pokok bahasan yang digunakan adalah menggali nilainilai pendidikan karakter pada program FIBu UHO dihubungan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada kitab ta’limul muta’allim.
H. HASIL PENELITIA DAN PEMBAHASAN Secara teknis, kegiatan pendidikan karakter di fakultas diawali dengan pengisian formulir pendaftaran bagi mahasiswa baru (angkatan 2015), karena kegiatan ini dilaksanakan 26 Mei 2016. Pada kolom identitas, maka peserta diminta menuliskan nama, nomor stambuk, program studi, jurusan, alamat lengkap dan nomor Hp. Stelah itu, disusul dengan item-item yang sifatnya komitmen peserta dalam kegiatan pendidikan karakter. Berikut bunyi redaksinya: “...Dengan ini menyatakan kesediaan saya mengikuti pendidikan karakter yang akan dilaksanakan pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo pada hari Senin, tanggal 23 Februari 2016 dan bersedia menerima sanksi administrasi bila saya terbukti melanggar tata tertib yang berlaku selama pelaksanaan pendidikan karakter berlangsung. Demikian formulir ini saya tanda tangani atas kehendak saya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun...” (dokumen penulis, 2016) Sekilas item-item tersebut, menurut penulis sangat menegangkan, seakan-akan publik terbantu untuk memahami bahwa itulah kampus UHO, setiap ada kegiatan mudah terjadi gesekan-gesekan atau konflik, padahal belum tentu dan dapat dipastikan tetap damai karena kegiatan pendidikan karakter sebagai sebuah seminar dengan peserta mahasiswa baru yang notabene orang atau sekelompok masyarakat yang memulai masuk dunia kampus, tentu penulis tidak menyalahkan itu sebuah redaksi yang tidak tepat, melainkan perlu ditinjau kembali dengan redaksi yang lebih harmonis, bukankah perilaku seseorang cepat terpancing karena ucapan kita yang kurang santun terhadap lawan bicara kita. Mengapa mahasiswa baru perlu mengikuti pendidikan karakter bahkan jika pada saat semester 1 (satu) atau semester 2 (dua) belum ikut pendidikan karakter, maka pada tahun mendatang diwajibkan ikut karena selain bersifat wajib dan gratis bagi mahasiswa 2015 untuk pendidikan karakter 2016, sertifikat kegiatan ini sebagai syarat penawaran mata kuliah dan aktif menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan, selain diharuskan memakai baju putih lengan panjang disertai pita kuning dan celana hitam. Secara dukungan, banyak stakeholder yang terlibat dalam kegiatan ini, paling tidak dari komposisi kepanitian menunjukkan kegiatan ini sangat penting dan berdampak lebih baik khususnya bagi mahasiswa baru sebagai peserta pendidikan karakter, misalnya susunannya yang menarik untuk dianalisis adalah koordinator umum oleh para ketua jurusan langsung, pendamping dosen, pengawas perwakilan lembaga kemahasiswaan (dewan perwakilan mahasiswa FIB, HMJ Antropologi, HMPS Sastra Inggris, HMPS sejarah, HMPS Sasin, HMPS tradisi lisan, dan HMPS Arkeologi, BEM, serta pengawas independen). Kegiatan ini dianggarkan lewat DIPA BLU 2016. Dalam temuan di lapangan, beberapa informan menyebutnya, pendidikan karakter adalah MHMMD (mengelola hidup merencanakan masa depan), setelah dipastikan bahwa pendidikan karakter di lingkup fakultas baru “ngeh”, istilah ini saya gunakan sebagai pengakuan terminologi pribumi di bumi anoa. Artinya pendidikan karakter secara umum di lingkup UHO, bisa diselenggarakan di tingkat universitas yang disebut MHMMD, namun di lingkup fakultas lebih tepatnya pendidikan karakter. Hal ini perlu penulis sampaikan agar membantu pemahaman
299
bersama. Selain itu, jika MHMMD pematerinya dari luar Universitas Halu Oleo, sementara pendidikan karakter biasanya cukup dari internal dosen FIB sendiri, bisa para pembantu Dekan atau rektor sendiri. Pendidikan karakter sebagaimana hasil dari wawancara dengan salah satu panitia sekaligus dosen, tidak lain adalah sia-sia. Sia-sia maksudnya apa yang telah diberikan pada waktu kegiatan dari pemateri dengan peserta tidak berdampak pada perilaku mahasiswa secara keseluruhan, sebagian tentu sangat membantu sebagai bekal memotivasi “mahasiswa baru” agar sukses studi dan sukses masa depan di tentukan dari bagaimana mereka memulai dan merencanakan masa depan diawali dari bangku kuliah (wawancara dengan I, 1 April 2017). Berbeda dengan informan lain yang mengatakan bahwa posisinya selain sebagai kakak senior (angkatan 2013), juga di kepanitiaan sebagai mentor pendamping yang tugas dan fungsinya diantaranya mengarahkan adik-adik mahasiswa sebagai peserta pendidikan karakter. Berikut kutipan wawancaranya: “ Mentor pendamping itu tugasnya mengarahkan adik-adik saat pertama datang ke lokasi agar mereka tau di mana tempat berbaris dan di mana ruangan yang telah disediakan. Masing-masing jurusan ada 4-5 (empat sampai lima) mentor dari lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas dan jurusan (HMPS). Selain itu, tugas lain adalah mengarahkan adik-adik untuk tahu lagu Mars UHO dan Mars pendidikan karakter terlebih dahulu, biasanya hal ini dilakukan sesaat sebelum memasuki materi inti, dan terkadang juga ada arahan dulu dari ketua jurusan masing-masing...” (wawancara dengan Z, 31 Maret 2017). Sementara terkait dengan materi dalam pendidikan karakter adalah wawasan kebangsaan dan bahaya narkoba, pada umumnya masing-masing jurusan menerima dua materi pada setiap kegiatan dan diselenggarakan seharian mulai dari jam 08.00 sampai dengan 15.45 WITA. Materi wajib biasanya tentang wawasan kebangsaan, dan satunya disesuaikan dengan pematerinya dari internal jurusan, misalnya dalam data penulis waktu pendidikan karakter di jurusan sastra Inggris, selain materi wajib tentang wawasan kebangsaan, juga materi tentang bahaya Terorisme. Sumber: Keputusan Dekan FIB UHO No. 409/UN29.13/PP/2016.
No 1
3
Nara Sumber Drs. Hj. Wa Kuasa, M.Hum Ketua Jurusan Tradisi Lisan Wakil Dekan II
4 5 6 7
Istirahat Wakil dekan III Ketua BEM/DPM Penutupan
2
300
Waktu 08.00-09.30
Materi
09.30-10.30
Narkoba
10.30-11.30
Wawasan kebangsaan Ishoma
Keterangan
No 1 2 3 4 5
Nara Sumber Rektor Ketua Jurusan Sastra Inggris Ketua BEM/DPM Istirahat Wakil dekan II
6 7
Dekan Penutupan
Waktu 08.00-09.30 09.30-10.30
Materi
Keterangan
Terorisme
10.30-11.30 Ishoma Wawasan kebangsaan
Penulis mencoba memahami materi wawasan kebangsaan menjadi penting agar mahasiswa atau peserta pendidikan karakter sejak dini telah memahami sudut pandang sebagai warga negara yang baik. Merujuk makna “kebangsaan” dalam kamus besar bahasa Indonesia diantaranya adalah kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Hal ini penting agar dikemudian hari setelah menjadi warga negara yang hebat tidak lupa dengan bangsanya atau paling tidak akan mengakui segala sesuatu yang terkait dengan produk pemerintahan yang sah, bukan menjadi anomali yaitu pada sisi tertentu menjadi “abdi negara” dan menerima gaji negara, pada saat yang bersamaan cenderung memberontak atas proses demokrasi di Indonesia. Seiring dengan sikap pandang dan perilaku mahasiswa tentang pentingnya memiliki wawasan kebangsaan, maka materi terorisme (teroris berarti orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik) juga menjadi penting, selain materi tentang bahaya penggunaan narkoba agar “mahasiswa baru” utamanya memiliki cara pandang yang luas, tidak mudah menyalahkan orang lain diluar golongannya. Adapun terkait hasil dari kegiatan pendidikan karakter, menurut informan Z bahwa materi yang disampaikan kurang efektif karena waktu yang diberikan mepet dan kondisi gedung serta ruangan yang saling berdekatan, menjadikan fokus peserta pecah karena suara mudah didengar dari berbagai ruangan. Dengan demikian, bekal atau modal dalam mengawali menjadi akademisi, rasanya masih sangat kurang karena apa yang disampaikan dalam ruangan hanya dianggap angin lalu oleh para peserta pendidikan karakter. Jadi sampai dewasa ini, utamanya pasca kegiatan pendidikan karakter sangat tidak berdampak, hal ini bisa dilihat dari sikap dan akhlak peserta yang tidak berubah menjadi lebih baik, apalagi sampai disebut sebagai mahasiswa yang berkarakter. Lain halnya tanggapan dari salah seorang peserta pendidikan karakter, FP menyebutnya bahwa materi dalam pendidikan karakter adalah narkoba, terorisme dan wawasan kebangsaan. Ketika penulis menanyakan, apakah pendidikan karakter tetap diperlukan bagi mahasiswa baru, maka informan menjawab pendidikan karakter sangat diperlukan, meskipun dampaknya tidak bisa dipraktekkan secara keseluruhan bagi mahasiswa atau peserta pendidikan karakter untuk kemudian memiliki karakter baik, bahkan jika dibandingkan dengan menggunakan angka, dari 100 peserta hanya ada 1 (satu) peserta yang dianggap berhasil mempraktekkan dan menjadi mahasiswa yang berkarakter. Berikut wawancaranya: “...Walaikumsalam pak...maaf baru online. Seingat saya dapat materi tentang narkoba. Disitu kami dijelaskan tentang bahaya narkoba, bagaimana narkoba bisa masuk ke sendi-sendi manusia yang tidak mengenal usia sampai pada jenis-jenis narkoba. Kalau tidak salah juga ada materi tentang terorisme dan wawasan kebangsaan, tapi saya tidak
301
begitu ingat pemaparannya. Pendidikan karakter bagi saya sebenarnya cukup bagus, ia bersifat membangun dan memberikan masukan-masukan positif tetapi secara pribadi pendidikan karakter tidak begitu efektif. Menurut saya hanya ada kemungkinan 1 banding 100 dari mahasiswa yang akan menerapkan pendidikan karakter ini...” lebih lanjutnya, informan juga menjelaskan bahwa: “...Pendidikan karakter tetap diperlukan walaupun seperti yang saya bilang pendidikan karakter tidak menjamin 100% membangun karakter mahasiswa tetapi setidaknya ada usaha dalam membentuk karakter mahasiswa itu sendiri, sekalipun hasilnya belum tentu maksimal sih...” Dari sini dapat dirumuskan bahwa materi dalam pendidikan karakter pada FIB UHO sangat relevan terutama jika merujuk pada nilai-nilai karakter yang telah tersosialisasi pada dunia pendidikan yang berjumlah sekira 18 (delapan belas) nilai, diantaranya adalah semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan peduli sosial. Semangat kebangsaan berarti dalam materi pendidikan karakter pada FIB UHO bisa terwakili dengan wawasan kebangsaan, cinta tanah air dan cinta damai berarti dalam materi pendidikan karakter telah terwakili dengan materi terorisme, dan peduli lingkungan dan sosial diwakili dengan materi bahaya narkoba. Secara umum, tentu materi atau apapun kegiatan yang diselenggarakan tentu bermuara pada kebaikan semua pihak, hanya persoalannya masih banyak diantara kita, pasca kegiatan melupakan sepenuhnya tanpa ada satupun yang membekas sebagai kontrol perilaku kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam bahasa orang bijak, setiap nasehat masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, yang artinya semua kebaikan setelah masuk langsung keluar tanpa berdampak sedikitpun. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ta’limul Muta’aalim Dari 13 fasal dalam kitab Ta’limul muta’aalim, penulis tidak akan menjelaskan secara keseluruhan, melainkan dipilih secara acak, mana diantara bahasan dalam bab tersebut yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Diantara nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab ta’limul muta’aalim, adalah mengenai hakekat ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya. Dalam penjelasan yang perlu diungkap bahwa mencari ilmu adalah wajib, namun tidak semua ilmu itu wajib melainkan ilmu haal/perilaku. Ilmu yang utama adalah ilmu haal, dan perbuatan yang utama adalah menjaga perilaku. (Az-zarnuji, 2004: 8)
Belajar ilmu akhlak . (Az-zarnuji, 2004: 10-11):
302
Makna yang dijelaskan disini bahwa setiap oarng diharuskan mengetahui akhlak terpuji dan tercela, misalnya: sombong, watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah diri, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil terlalu hemat dan sebagainya. Sifat sombong, kikir, penakut, israf hukumnya haram. Dan tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Nilai yang lain, misalnya cara memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan. Penulis menjelaskan dalam isi bab ini adalah ilmu yang wajib diketahui yang utama memang ilmu tauhid, mengenali Allah lengkap dengan dalilnya. Sementara dalam memilih Dosen/guru adalah lebih alim, waro’ dan lebih tua. (Az-zarnuji, 2004: 19-20)
Selain itu, dalam menuntut ilmu hendaknya sabar dan tabah. Termasuk untuk mencapai keberhasilan dalam menuntut ilmu, harus memenuhi 6 syarat sebagaimana Sahabat Ali menuturkan dalam syairnya, (Az-zarnuji, 2004: 22-23):
Artinya Ingat...ilmu tidak akan kau dapatkan kecuali dengan 6 perkara: cerdas, lapang dada, sabar, ada bekal, petunjuk guru/dosen dan waktu yang lama. Sementara dalam memilih teman, hendaklah memilih yang tekun/rajin/pekerja keras, waro, bertabiat jujur serta mudah memahami masalah. Menyingkiri orang pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar memfitnah (Az-zarnuji, 2004: 23).
303
Untuk selanjutnya penulis tidak akan menjelaskan secara keseluruhan, banyak hal yang menarik selain nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada kitab Ta’limul muta’aalim, misalnya cara belajarpun sebaiknya diawali dengan berwudlu atau bersuci agar semua pelajaran yang hendak dipelajari mudah dimengerti dan memiliki daya ingatan yang kuat, menghadap ke kiblat/barat. Secara umum juga dapat dijelaskan disini bahwa pendidikan karakter bagi mahasiswa sebagaimana dalam kitab disebutkan ada 7 (tujuh), diantaranya: pertama, hendaknya seorang murid/mahasiswa tidak berjalan di depan seorang guru; kedua, tidak duduk di tempatnya (kursi dan meja dosen), kecuali ada ijinnya; ketiga, tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinnya; keempat, hendaknya tidak berbicara di depan guru/dosen; kelima, tidak bertanya sesuatu bila guru/dosen sedang capek atau bosan; keenam, harus menjaga waktu; Ketujuh, jangan mengetuk pintunya, tapi sebaliknya menunggu sampai beliau keluar. Tentu pertanyaan besarnya adalah mahasiswa bukan santri, dosen tidak semuanya seperti guru yaitu memiliki dan pernah mendapatkan teori pembelajaran yang baik layaknya mereka sarjana dari Tarbiyah atau IKIP, termasuk belum lagi jika dilihat dengan perspektif postmodernisme tentu sangat tidak dibenarkan, namun sebagai sebuah proses pemenuhan karakter bagi mahasiswa baru, ada hal-hal yang tetap ditumbuh kembangkan baik dari kegiatan pendidikan karakter pada FIB UHO melalui pembiasaan-pembiasaan perilaku yang baik, lebihlebih menerapkan hal-hal apa yang seharusnya dimiliki sebagai peserta didik. I. PENUTUP Kesimpulan Dalam observasi yang peneliti lakukan terutama pasca pemberian materi dalam kegiatan pendidikan karakter di FIB UHO, secara umum mahasiswa belum menampakkan perilaku yang jujur, terutama dalam setiap pemberian tugas kuliah. Belum hal lain yang dilihat, bagaimana perilakunya terhadap dosen, terhadap yang lebih tua dan bagaimana perilakunya terhadap adik kelasnya. Tentu banyak hal, meskipun formalitas sudah disediakan namun belum mampu merubah perilaku seseorang menjadi akademisi yang baik dan jujur, apalagi kemampuan berintegritas. Selain itu, masih banyak yang belum mampu mempertanggungjawabkan setiap yang dikerjakan, mungkin belum memahami perkembangan teknologi secara baik, seakan-akan dengan mencari tugas dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kampus, cukup copipaste/plagiat milik orang lain tanpa menulis rujukannya sebagai apresiasi dan penghargaan bagi penulis sebelumnya. Masih sering ditemukan perilaku-perilaku yang tidak selayaknya dipublis. Artinya, mungkin pendidikan karakter juga harus lebih luas, tidak hanya pada lingkup kampus, juga pembiasaan-pembiasaan positif di rumah, lingkungan sosial, maupun masyarakat yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendidikan karakter. Berdasarkan hasil pengamatan perilaku mahasiswa selama pembelajaran maupun diluar pembelajaran secara
304
keseluruhan masih banyak yang kurang baik. Hal ini berarti bahwa pendidikan karakter belum berpengaruh terhadap perilaku mahasiswa karena kurangnya perilaku atau pembiasaanpembiasaan nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu diperlukan pendidikan karakter dengan pembiasaan-pembiasaan secara intensif dan berkesinambungan. Dengan demikian, pendidikan karakter pada FIB UHO yang diwujudkan dalam materi wawasan kebangsaan, terorisme, dan bahaya narkoba sangat relevan dengan apa yang ada dalam kandungan kitab ta’limul muta’allim, meskipun tidak sepenuhnya bahkan jika dihubungan dengan nilai-nilai karakter yang diejawantahkan oleh pemerintah dengan 18 nilai tepat sekali, misalnya adanya semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan dan peduli sosial. Sementara dalam kitab ta’limul muta’allim, nilai-nilai pendidikan karakter adalah mencari ilmu adalah wajib, namun tidak semua ilmu itu wajib melainkan ilmu haal/perilaku. Ilmu yang utama adalah ilmu haal, dan perbuatan yang utama adalah menjaga perilaku. Berarti sesuai denga karakter atau tabiat baik seseorang, lebih-lebih bagi mereka yang memulai dunia kampus. Selain itu, sebagai mahasiswa atau pencari ilmu harus sabar dan tabah, bukan berarti tidak kerja keras dan semaksimal mungkin akan tetapi prasyarat sebagai akademisi harus sabar dalam setiap menemukan problem. Nilai lain, dalam memilih dosen/guru, mahasiswa hendaknya memperhatikan 3 (tiga) hal: lebih alim/cerdas/berwawasan luas, waro’ dan lebih tua. Termasuk yang lebih umum dan biasa diberikan dalam memotivasi para santri ketika mengawali pada dunia pendidikan pesantren, misalnya 6 syarat yang harus dimiliki agar berilmu berhasil yakni cerdas, lapangdada, sabar, ada bekalcukup (bayar SPP), adanya pengajaran seorang Dosen/petunjuk guru/irsyaadu ustadzin, dan waktu mencari ilmu panjang, yakni 4 tahun atau 8 semester. Saran Pendidikan karakter tetap diperlukan terutama selalu ada tim evaluator berapa tahun sekali, apakah ada perubahan sikap dan perilaku atau karakter mahasiswa yang lebih akademi dan bermoral, dengan harapan dapat terukur, tentu bukan hanya kegiatan pendidikan karakter saja, melainkan semua kegiatan yang ada. Meskipun pada tahun 2017 dapat dipastikan tidak ada karena berbagai pertimbangan. Sebaiknya kegiatan atau penanaman pendidikan karakter harus terpadu, tidak hanya di lingkup kampus, melainkan dari lingkungan keluarga, sosial dan berbagai instansi agar dikemudian hari, orang yang telah menerima kedudukan apapun dalam instansi tetap mampu bertanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi, termasuk terbiasa jujur. DAFTAR PUSTAKA Buku, prosiding, dan Opini: Az-zarnuuji, Burhanul islam. Ta’limul Muta’aallim Thariqattaallum, Cet.1 (Sudan: Addarus Suudaniyah Lil Kutub: 1425 H), 2004. Jalil, Abdul. Nilai-nilai Pembangunan Karakter Bangsa Dalam Serat Wirid Hidayat Jati (SWHJ), presenter dalam International Symposium On Religious Literature And Heritage (Islage) 15 – 18 September 2015 oleh Balibang dan Diklat Kemenag RI. ST, Kartono, Membumikan Pendidikan Karakter, artikel opini Kedaulatan Rakyat edisi Kamis, 5 Mei 2011.
305
Laporan Penelitian: Afwadli, Benny. dkk. Pemahaman az-Zarnuuji Terhadap Hadis Nabi Dalam Kitab Ta’liimul Muta’allim Dan Respon Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Laporan penelitian kolaboratif-Dosen-Mahasiswa, 2016. Riyadi, Slamet. Implementasi Pendidikan Karakter Terhadap Perilaku Siswa Di SD Muhammadiyah Terpadu Ronowijayan Tahun pelajaran 2013/2014. Skripsi UMP, 2014. Sholeh, Muhammad. Pembelajaran Akhlaq Melalui Kitab Ta’limul Muta’aallim Bagi Santri Di Komplek Ij Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta. Skripsi UIN Jogjakarta, 2013. Kamus: Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif), 1997. Peraturan Akademik: Panduan Akademik FIBU UHO 2016/2017. Keputusan Dekan FIB UHO No. 409/UN29.13/PP/2016 tentang Panitia Pelaksana Pendidikan Karakter pada lingkup Fakultas Ilmu Budaya. Internet: http://kbbi.web.id/didik www.seputarpengetahuan.com-15 definisi pendidikan menurut ahli. Interview: 1. Wawancara dengan I pada 1 April 2017 2. Wawancara dengan Z pada 1 April 2017 3. Wawancara dengan FP pada 2 April 2017
306
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KABHANTI Dr. Aderlaepe, S.S., M.Hum.
Abstract Kabhanti is a kind of Munanese folksong besides kau-kaudara and lagu ngkodau. It is chanted by people of Munanese in daily life. It is usually chanted by adults or the old ones in leisure, while they are working (mostly in the garden), while they are selling harvested crop in traditional market, or when the rock child in the cradle. Lyrics of kabhanti are chanted in metric melody with a medium tempo resembling country songs. Texts of the lyrics are organized as pantun, a four-line traditional verse or pantun karmina, a two-line one. The texts are short, consist of two or four lines only, and every line consists of eight syllables. The words choice are used selectively to represent meanings, mostly are in categories of marine, environment, and cosmos phenomenon. Due to Munaneses community status before the middle of 20th century as a illiterate society, kabhanti was treated as a social medium. Members of the community used kabhanti to express every thing both individually and collectively. Related to collective affair, Munanese ancestor used kabhanti to convey morality messages that aims at making all members of the community well behaved. This circumstance endorsed the existence of kabhanti as a medium of character building. Key Words: Kabhanti, character building, Munanese community, and illiterate society
A. PENDAHULUAN Masyarakat Muna pada umumya gemar berdendang kabhanti, baik secara perorangan maupun secara berbalasan antara pria dan wanita. Kabhanti bagi masyarakat Muna merupakan nyanyian rakyat (folksong) di samping kau-kaudara dan lagu ngkodau (Aderlaepe, 2014:4). Selain sebagai nyanyian rakyat (folksong), kabhanti juga merupakan nyanyian keseharian, dan nyanyian berbalasan. Sebagai nyanyian rakyat (folksong), kabhanti dapat didendangkan oleh siapa saja tanpa memandang status sosial. Sebagai nyanyian sehari-hari, kabhanti didendangkan dalam berbagai situasi, antara lain: pada saat bersantai, saat bekerja di ladang baik secara perorangan maupun secara gotong royong, saat berjualan di pasar, saat menidurkan anak, bahkan saat merasa kalut, sedih, atau kecewa. Sebagai nyanyian berbalasan, kabhanti didendangkan oleh dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok pria dan kelompok wanita secara berbalasan selama semalam suntuk dalam modero (menari sembil berdendang berbalasan), acara gambusu (bermain gambus sambil berdendang berbalasan), atau acara kusapi (bermain kecapi sambil berdendang berbalasan). La Mokui (1991:4) mendefinisikan kabhanti sebagai sindiran yang bersifat kritik terhadap keadaan, pandangan, sifat, atau sikap seseorang atau sekelompok masyarakat; atau ungkapan isi hati/perasaan yang mengandung permohonan atau menolak permohonan. Ia juga mengkalifikasi kabhanti ke dalam lima jenis, yakni (1) kabhanti modero, yaitu nyanyian yang didendangkan pada saat acara modero, (2) kabhanti gambusu, yaitu nyanyian yang didendangkan pada saat bermain gambus, (3) kabhanti kusapi, adalah nyanyian yang didendangkan pada saat bermain kecapi, (4) kabhantikantola, adalah nyanyian yang didendangkan dalam acara pokantola ‘berdendang kantola’, dan (5) kabhanti watulea, nyanyian yang didendangkan saat berkebun di ladang.Ia juga mengklasifikasi kabhanti menurut penyampaian maknanya ke dalam dua jenis yakni kabhanti peta, yaitu kabhanti yang menyampaikan makna secara lugas dan kabhanti palenda, yaitu nyanyian kabhanti yang menyampaikan makna secara tidak lugas tetapi melalui sindiran.
307
Dendang kabhanti berirama metrum (datar dan monoton) dan bertempo sedang, menyerupai lagu country. Dilihat dari bentuknya, kabhanti merupakan pantun yang terdiri atas empat baris, dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris berikutnya memuat isi pesan atau makna. Selain empat baris, ada juga yang hanya terdiri atas dua baris (pantun karmina) dan kedua baris tersebut merupakan isi pesan atau makna. Lirik-iriknya sederhana dan singkat, setiap baris hanya terdiri atas tiga atau empat kata. Ini menandakan bahwa pemilihan kata dalam lirik-liriknya untuk menyampaikan makna atau pesan benar-benar selektif. Penyampaian makna atau pesan di dalam lirik-liriknya tidak secara lugas, tetapi melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, untuk memahami kandungan maknanyadiperlukan kemampuan interpretasi terhadap simbol. Oleh karena lirik-liriknya diorganisir dalam bentuk pantun/pantun karmina dan digubah serta diekspresikan secara lisan tanpa dokumentasi, kabhanti tergolong sastra lisan. Suastika (2011:51) menyatakan bahwa sastra lisan disampaikan secara lisan (oral) oleh pencerita ke pendengar atau dari penggubah ke khalayak. Statusnya sebagai sastra lisan, kabhanti memiliki fungsi individual dan fungsi sosial. Sibarani (2012:31-35) menyatakan bahwa sastra lisan adalah bagian dari tradisi yang berkembang di tengah masyarakat yang memiliki fungsi individual dan fungsi sosial. Bila dibandingkan dengan jenis sastra lisan Muna lainnya, kabhanti merupakan jenis sastra lisan yang paling tinggi frekuensi pengekspresiannya di dalam kehidupan sehari-hari. Kabhanti bukan sekadar nyanyian, tetapi sebagai produk budaya yang menggambarkan cara memandang realitas dan cara menyikapi fenomena sosial bagi masyarakat pendukungnya, dalam hal ini masyarakat Muna Sulawesi Tenggara. Lirik-lirik kabhanti secara substansial merupakan pengejawantahan buah-buah pikiran dan curahan perasaan dalam menyikapi realitas kehidupan. Oleh karena itu, kajian terhadap kabhanti merupakan salah satu upaya untuk memahami cara berfikir masyarakat Muna sebagai salah satu masyarakat Nusantara. Oleh karena masyarakat Muna sebelum memasuki pertengahan abad ke XX merupakan masyarakat yang niraksara (illiterate society), berdendang kabhanti tidak hanya sekadar berekspresi estetis semata, tetapi juga untuk menyampaikan berbagai hal, baik secara individual maupun secara kolektif. Sebagai masyarakat yang tidak beraksara, tradisi lisan (salah satunya sastra lisan) digunakan sebagai media ekspresi untuk menyampaikan berbagai hal, baik secara pribadi maupun secara kolektif. Dalam kondisi seperti ini, kabhanti digunakan untuk mengekspresikan keadaan pribadi yang pada dasarnya merupakan fungsi individual kabhanti. Selain itu, kabhanti digunakan untuk mengekspresikan urusan-urusan sosial kemasyarakatan secara kolektif yang merupakan fungsi sosialnya. Fungsi individual kabhanti adalah sebagai media untuk menyatakan perasaan emosional pribadi berupa simpati, cita kasih, kerinduan, kekecewaan, harapan, dan keinginan terpendam. Adapun fungsi sosialnya adalah sebagai media pendidikan karakter (character building). Sebagai wadah pendidikan karakter, kabhanti digunakan oleh leluhur Muna dalam menyampaikan nasihat dan pesan-pesan moral serta prinsip-prinsip keteladanan dengan tujuan agar seluruh masyarakat Muna berbudi pekerti luhur. Inilah yang menjadi fokus pembahasan di dalam makalah ini, dengan persoalan utama yaitu bagaimana bentuk-bentuk nasihat, pesanpesan moral, dan prinsip-prinsip keteladanan yang terkandung di dalam kabhanti. Berdasarkan fokus persoalan ini, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menginventarisir, mendeskripsikan, dan menjelaskan jenis-jenis pendidikan karakter yang terkandung di dalam kabhanti. Adapun sasaran makalah ini adalah untuk menyanggah anggapan yang berkembang selama ini bahwa kabhanti hanya berisi ungkapan cinta bagi muda-mudi.
308
Pemaknaan lirik-lirik kabhanti di dalam makalah ini dilakukan melalui proses yang menggunakan sistem interpretasi simbolik. Pemahaman terhadap simbol-simbol dan tandatanda yang digunakan dalam sistem interpretasi ini melalui proses semiosis. Hoed (2014:33) menegaskan bahwa proses semiosis dalam pemaknaan dan penafsiran terhadap simbol dikaitkan dengan konteks atau pengalaman budaya seseorang. Interpretasi simbol melalui proses semiosis ini menerapkan Segi Tiga Pierce (Pierce Triangle), yang memaknai simbol melalui tiga tahap; pertama melalui panca indera (representamen), kedua mengaitkan representamen dengan pengalaman dan kognisi manusia yang memaknai representamen (objek), dan ketiga menafsirkan objek sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan. Teks kabhanti tidak hanya memuat konvensi bahasa, tetapi juga konvensi sastra sekaligus konvensi budaya masyarakat Muna sebagai masyarakat yang melahirkannya. Berdasarkan fenomena ini, penentuan makna kabhanti tentu saja tidak hanya mempertimbangkan kandungan makna semantisnya, tetapi dikaitkan dengan konteks sosial budaya masyarakat Muna. Konvensi bahasa yang terkandung di dalam lirik-lirik kabhanti pada dasarnya merupakan makna pada tingkat pertama, sedangkan konvensi sastra dan budaya merupakan makna pada tingkat kedua. Pesan sesungguhnya yang disampaikan di dalam kabhanti terdapat pada lapis makna tingkat kedua. B.
DATA DAN PEMBAHASAN Jenis-jenispendidikan karakter (character building) yang terkandung di dalam kabhanti adalah sebagai berikut. 2.1. Mawas diri Mawas diri menurut KBBI adalah sikap berhati-hati, selalu mengoreksi diri, dan tidak ceroboh dalam berkata-kata dan dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Mawa diri juga berarti tidak mudah percaya pada perkataan seseorang yang belum jelas kebenarannya dan tidak mudah terpengaruh oleh hasutan. Orang yang mawas diri senantiasa berhati-hati dalam berkata dan bertindak, terlebih dahulu memikirkan dampaknya apabila mengeluarkan kata-kata atau mengambil tindakan karena jangan sampai bahasa yang ia ucapkan menyakiti orang lain atau tindakan yang ia lakukan merugikan orang lain. Di bawah ini adalah kabhanti yang mengandung himbauan untuk senantiasa mawas diri. 1. Koe mekamba-kambagea Janganlah Engkau bermain-main Kambage domateane Bermain-main membawa mati 2. Oadhomo dua wamba Begitulah kiranya ucapan Nomeko golai pongke Manis menggulai kuping 3. Wa Ngkuni mepasighondo Wa Ngkuni waspadalah Engkau La Dhangka manu mbinasa La Dhangka ayam binasa Kabhanti nomor 1 di atas dikemas dalam bentuk kalimat imperatif larangan, berisi larangan bermain-main atau bercanda berulang-ulang (berlebihan). Kata mekamba-kambagea pada baris pertama merupakan bentuk reduplikasi dengan akar kambage ‘canda’ atau ‘mainmain’. Akar kambage ini mengalami reduplikasi penuh yang diikuti dengan substraksi (pengurangan) pada suku kata terakhir yaitu ge di konstituen kedua, sehingga menjadi kambakambage ‘bercanda selalu’. Kemudian bentuk kamba-kambage dilekati subjek me sebagai
309
persona kedua tunggal (Engkau), sehingga menjadi mekamba-kambage ‘engkau bercanda selalu’ atau ‘engkau bermain-main selalu’. Bentuk a yang terletak di akhir kata mekambakambagea adalah assertion ‘penegasan’ makna kata kamba-kambage. Reduplikasi yang terjadi pada kata kamba-kambage bermakna ‘repetitif’. Dengan demikian, kalimat koe mekambakambagea pada baris pertama kabhanti nomor 1 di atas bermakna larangan untuk bermain-main atau bercanda secara berulang. Pada kalimat kedua berisi informasi mengenai dampak terhadap canda atau main-main yang dilakukan berulang-ulang, yaitu domateane ‘membawa mati’ atau ‘menyebabkan kematian’. Kata mate ‘mati’ dalam konstituen domateane bermakna luas, tidak hanya ‘meninggal dunia’, tetapi juga ‘hancurnya karir’. Kabhanti nomor 1 di atas menyampaikan pesan agar tidak bercanda atau bermain-main secara berlebihan kepada seseorang karena dampaknya bisa menimbulkan kematian atau hancurnya karir. Orang yang dicandai (diganggu) secara terus menerus atau berulang-ulang akan marah karena merasa diremehkan atau tidak dihargai. Masyarakat Muna menjujung tinggi kehormatan dirinya lebih dari segalanya (harta atau pangkat/jabatan). Simbol kehormatan diri bagi mereka adalah kepala. Mereka keberatan bila dipegang atau disentuh kepalanya secara sengaja. Bagi masyarakat lain, mengelus atau memegang kepala mungkin saja sebagai salah satu bentuk perhatian atau simpati, namun bagi masyarakat Muna hal itu dianggap tidak menghargai atau tidak menghormatinya. Kabhanti nomor 1 di atas menyampaikan nasihat agar kita senantiasa mawas diri, tidak bermain-main atau bercanda secara berlebihan kepada seseorang karena orang itu bisa dendam kepada kita akibat merasa diremehkan. Rasa dendam seseorang pada dasarnya tidak pernah berakhir sebelum ia membalas perbuatan seseorang kepada dirinya. Orang yang merasa dendam kepada kita senantiasa mencari kesempatan untuk membalas perbuatan yang pernah kita lakukan kepadanya. Pada tingkat yang paling ekstirm, orang merasa dendam kepada kita bisa saja mencari kesempatan untuk membunuh atau mengabisi karir kita dengan caranya sendiri. Kabhanti nomor 2 di atas dikemas dalam bentuk kalimat pernyataan. Secara implisit kabhanti ini menyampaikan pesan agar kita tidak mudah percaya pada perkataan seseorang, tidak mudah terhasut, dan tidak mudah terengaruh oleh bujuk rayu. Orang yang memiliki kepentingan kepada kita niscaya “berkata manis”, namun tidak selamanya ia berniat baik kepada kita. Bisa saja ia berniat jahat ingin mencelakai kita atau memanfaatkan kita untuk mewujudkan keinginannya. Oleh karena itu, leluhur berpesan agar kita senantiasa mawas diri, “perkataan manis” seseorang hendaknya dicermati, tidak dipercaya begitu saja. Apabilakita lengah terhadap hal seperti itu, kita akan menjadi korban. Kabhanti nomor 3 di atas ditujukan kepada kaum perempuan yang ditandai dengan penggunaan subjek Wa Ngkuni pada baris pertama. Secara eksplisit dinyatakan bahwa kaum perempuan hendaknya selalu berwaspada. Yang harus diwaspadai oleh kaum perempun dinyatakan pada baris kedua, yaitu La Dhangka. La Dhangka dan Wa Ngkuni pada dasarnya tidak merujuk pada orang yang bernama La Dhangka dan Wa Ngkuni, tetapi merujuk kepada semua laki-laki dan semua perempuan. La Dhangka adalah representase kaum pria, sedangkan Wa Ngkuni representasi kaum wanita. Pada baris kedua, La Dhangka dinyatakan sebagai manu mbinasa ‘ayam binasa’. Ini bersifat kasuistik, biasanya terjadi dalam hubungan percintaan. Dalam kasus percintaan, tidak semua pria menghormati dan memuliakan wanita, bahkan menjadikan wanita hanya sebegai objek melampiaskan nafsu syahwat. Pria semacam ini biasanya mendekati wanita dengan berpura-pura baik, menyatakan rasa cintanya dengan bersungguh-sungguh, namun setelah mendapatkan keinginannya ia berkhianat meninggalkan
310
wanita itu. Akhirnya wanita itu menjadi korban. Pria semacam itu yang dimaksud dengan manu mbinasa ‘ayam binasa’ pada baris kedua kabhanti nomor 3 di atas. Secara implisit kabhanti nomor 3 di atas menyampaikan pesan dan nasihat kepada kaum perempuan agar senantiasa mawas diri dan berhati-hati dalam memilih tunangan atau kekasih. Pria yang diterima cintanya sebaiknya benar-benar dikenal sifat dan karakternya serta latar belakang keluarganya. Jika salah memilih tunangan atau kekasih berdampak fatal karena menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Nasihat dan pesan lain yang disampaikan leluhur melalui kabhanti nomor 3 di atas adalah kaum perempuan hendaknya “tidak menyerahkan kehormatannya” kepada pria walaupun kekasih yang dicintainya, kecuali setelah resmi menikah. Tidak menutup kemungkinan pria itu akan berhianat meniggalkannya walaupun telah berjanji untuk menikahinya. 2.2 Sabar Sabar adalah salah satu sifat yang memerlukan kematangan emosional. Seseorang dikatakan sabar apabila tetap tenang dan tidak tersulut amarah apabila mendapat perlakuan yang tidak wajar. Seseorang juga dikatakan sabar apabila nasib yang kurang beruntung menimpanya, tetapi ia tetap mampu mengendalikan dirinya untuk tidak tergoda dalam berbuat kejahatan guna memperbaiki nasibnya. Leluhur Muna menyampaikan pesan agar hidup di dunia fanah ini senantiasa menetapi kesabaran. Kesabaran adalah modal penting dalam melaksanakan ibadah. Tanpa kesabaran, seseorang tidak akan mampu menjalankan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Hal ini terkandung di dalam kabhanti nomor 4 di bawah ini. 4. Lateno tunggu dhunia Hidup di atas dunia Tabea dokonsabara Haruslah memiliki kesabaran Kabhanti nomor 4 di atas menekankan pentingnya kesabaran dalam kehidupan. Kalimat kedua berisikan penegasan bahwa kesabaran merupakan prasyarat hidup di dunia fanah ini. Tanpa kesabaran yang dimiliki, seseorang akan sulit menjalani kehidupannya karena alasanalasan tertentu. Pertama, kesabaran dibutuhkan untuk dapat beribada kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Kedua, kesabaran dibutuhkan dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang tidak sedikit membentangkan masalah yang harus kita alami, bahkan harus kita selesaikan. Ketiga, kesabaran merupakan benteng yang menjaga kita agar dapat menahan diri dari amarah. Keempat, kesabaran menghindarkan seseorang dari buruk sangka kepada Tuhan apabila ia bernasib yang kurang beruntung. Perhatikan kabhanti nomor 5 berikut ini. 5. Dedero ngkamarasai Menanggung penderitaan berlebihan Tabea dokosabara Haruslah memiliki kesabaran Kabhanti nomor 5 di atas menyampaikan nasihat bahwa penderitaan harus dijalani dengan kesabaran. Kata ngkamarasai ‘penderitaan’ pada baris pertama merujuk pada “nasib yang tidak beruntung atau miskin”. Dalam pandangan masyarakat Muna yang mayoritas beragama Islam, nasib seseorang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa sejak masih berada di dalam rahim ibu. Manusia wajib berusaha dan bekerja keras semaksimal mungkin, namun hasilnya diserahkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Muna meyakini bahwa mereka yang disempitkan rezkinya di dunia akan dilapangkan di akhirat. Dalam ajaran agama (Islam), orang-orang yang taat dan bersabar tidak dijanjikan (oleh Allah
311
SWT) kehidupan yang baik di dunia, tetapi kehidupan yang baik di akhirat. Oleh karena itu, ngkamarasai ‘penderitaan’ yang dialami di dunia haruslah dijalani dengan sabar.
2.3 Menjaga Persatuan Persatuan adalah pilar keberlanjutan kehidupan suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Bangsa atau masyarakat yang bersatu akan sulit dikuasai oleh bangsa lain. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan seluruh elemen bangsa dan seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara telah mengantarkan Indonesia ke alam kemerdekaan. Wilayah teritorial Kerajaan Muna pada abad ke -17 tidak dapat dimasuki oleh Belanda karena seluruh masyarakat Muna bersatu menolak kehadiran Belanda dengan cara membakar seluruh hutan jati yang ada di daerah Muna, sehingga Belanda kehilangan target untuk menguasai wilayah teritorial Muna ketika itu (Batoa, 2003:4). Menjaga persatuan salah satunya diwujudkan dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi tegaknya persatuan. Hal ini terdapat di dalam kabhanti nomor 6 berikut ini. 6. Idi itu ngkoihimo Saya tidak usah Somano bhaindo itu Asalkan orang lain Kabhanti nomor 6 di atas bila diparafrase adalah: “janganlah memikirkan diri/kepentingan saya, tetapi pikirkanlah kepentingan khalayak”. Kabhanti ini dikemas dalam bentuk kalimat negasi. Subjek menggunakan persona pertama tunggal (saya atau si pendendang). Si pendendang menafikan dirinya sendiri yaitu idi ‘saya’ dan mengedepankan orang banyak yaitu bhaindo. Sikap ini adalah wujud nyata pengorbanan seseorang yang tidak mempedulikan diri dan kepentingannya demi kepentingan yang lebih besar. Kepentingan dimaksud adalah tegaknya persatuan. Secara implisit kabhanti nomor 6 di atas menyampaikan pesan agar tetap menjaga tegaknya persatuan walaupun harus mengorbankan kepentingan diri sendiri. Pesan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi tegaknya persatuan targetnya adalah untuk keselamatan negeri. Hal ini terdapat di dalam ungakapn filosofis negeri Kerajaan Muna: Koemo arata somanomo liwu ‘korbankan harta demi negeri’. Ungkapan ini merupakan pernyataan sikap masyarakat Muna pada zaman kerajaan (bahkan hingga sekarang), bahwa keselamatan negeri harus didahulukan dari pada keselamatan harta (Aderlaepe, 2016:157-158). Menjaga tegaknya persatuan juga dilakukan dengan cara menjaga ucapan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain, apalagi keluarga atau kerabat. Kabhanti nomor 7 di bawah ini menekankan pentingnya berhati-hati dalam berbahasa, jangan sampai menyinggung bahkan menyakiti perasaan orang lain. Perhatikan kabhanti nomor 7 di bawah ini. 7. Dosimbasi-mbasitie Sesama kerabat Wamba sumempa ngkoise Bahasa menyakiti janganlah Kata dosimbasi-mbasitie pada baris pertama dalam kabhanti nomor 7 di atas merupakan bentuk reduplikasi dengan dasar mbasitie ‘kerabat’ atau ‘keluarga’. Bentuk do di awal konstituen dosimbasi-mbasitie adalah subjek persona pertama jamak inklusif (kita). Secara semantis, konstituen dosimbasi-mbasitie berarti “kita semua adalah keluarga atau kerabat”. Ini berarti bahwa dosimbasi-mbasitie merujuk pada anggota komunitas secara menyeluruh yang memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Baris kedua kabhanti nomor 7 di atas dikemas dalam kalimat inversi jenis imperatif larangan. Kata ngkoise ‘janganlah’ atau ‘jangan’ biasanya terletak di awal kalimat. Namun pada
312
kalimat di atas kata ngkoise terletak di akhir untuk mendapatkan efek estetis sebagai ciri bahasa sastra. Dalam kalimat pada baris kedua ini terkandung pesan agar senantiasa menjaga ucapan, jangan sampai menyakiti perasaan orang lain karena hal itu akan berdampak buruk yaitu hilangnya rasa persaudaraan dan putusnya silaturahmi. Apabila hal itu terjadi, maka persatuan dalam kehidupan berasyarakat akan runtuh. Menjaga persatuan juga diwujudkan dengan cara tetap menjaga hubungan silaturahmi walaupun gagal dalam menjalin hubungan percintaan. Hal itu dinyatakan dalam kabhanti nomor 8 berikut ini. 8. Tudu anahi nekarakadhi Menyuruh anak menggergaji Nekarakadhi sauno Raha Menggergaji kayu di Raha Medamo dua panadhumadhi Jikalau memang tak akan jadi Damoangkae pomosiraha Kita jalankan persaudaraan Isi pesan kabhanti nomor 8 di atas terdapat pada baris ketiga dan keempat. Kata panadhumadhi ‘tak akan jadi’ pada baris ketiga merujuk pada hubungan percintaan yang terputus akibat sesuatu hal sehingga tidak jadi menikah. Kalimat pada baris ketiga ini dikemas dalam bentuk pengandaian. Pengandaian yang dimaksud di sini tidak bersifat kondisional, tetapi telah ada gejala bahwa hubungan percintaan itu tidak bisa berlanjut sampai ke tahap pernikahan karena sesuatu hal. Menyikapi gejala itu, si pendendang (dalam puisi adalah si aku lirik) menunjukan sikap tidak ingin memutuskan hubungan silaturahmi. Hal ini dinyatakan dalam kalimat pada baris keempat, damoangkae pomosiraha ‘kita jalankan persaudaraan’. Kata pomosiraha secara semantis berarti “hubungan persahabatan menyerupai saudara”. Pesan yang terkandung di dalam kabhanti nomor 8 di atas adalah perlunya tetap menjaga hubungan silaturahmi walaupun gagal dalam melanjutkan hubungan percintaan. Slogan “jodoh di tangan Tuhan” merupakan dasar bagi muda-mudi untuk tidak saling bermusuhan apabilaputus cinta. Untuk menjaga tegaknya persatuan dan hubungan silaturahmi, mantan kekasih tidak perlu dianggap sebagai musuh, tetapi dianggap sebagai pomosiraha ‘sahabat seperti halnya saudara’. 2.4 Mewariskan Kebaikan Seseorang akan dikenang oleh generasi sesudahnya apabila ia mewariskan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Mewariskan kebaikan kepada generasi sesudahnya dapat ditempuh melalui berbagai macam cara, antara lain: menghasilkan karya yang dibutuhkan oleh orang banyak, menjadi pengayom bagi yang lemah, memberi contoh teladan kepada generasi muda, dan membantu meringankan beban orang lain. Semua itu dapat membentuk citra seseorang dan memberi label pada dirinya sebagai “orang baik”. Apabila ia telah meninggal dunia, maka generasi sesudahnya tetap mengenangnya karena kebaikan atau karya yang ia wariskan. Di dalam kabhanti, semua itu dinyatakan sebagai warisan untuk dunia. Perhatikan kabhanti nomor 9 di bawah ini. 9. Kaasi dhunia ini Kasihan dunia ini Darumunsaane hae Akan diwariskan apa Kata dhunia ‘dunia’ pada baris pertama kabhanti nomor 9 di atas mengandung arti kiasan, yaitu “generasi pelanjut”. Kalimat pada baris pertama diawali dengan kata kaasi ‘kasihan’, sebagai ungkapan perasaan mendalam yang menyatakan simpati. Ini berarti bahwa para petuah atau para leluhur berpesan agar kita sebaiknya bersimpati kepada generasi penerus. Kalimat kedua, darumunsaan hae ‘akan kita wariskan apa” merupakan kalimat interogatif yang disusun secara imperatif. Kata tanya hae ‘apa’ terletak di akhir kalimat. Kalimat interogatif pada
313
baris kedua ini tidak membutuhkan jawaban. Secara implisit kalimat ini mengandung pesan bahwa selama hidup harus berusaha untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat sehingga menjadikan kita tetap dikenang oleh generasi penerus walaupun kita telah tiada.
2.5 Tidak Mempermalukan Orang Lain Penggunaan bahasa simbolik dalam menyampaikan kritik terhadap kebobrokan moral seseorang adalah salah satu cara tidak mempermalukannya. Penggunaan bahasa simbolik dalam menyampaikan kritik dimaksud bertujuan agar orang yang dikritik itu tidak merasa dipermalukan. Dengan adanya kritik yang dikiaskan melalui simbol-simbol, orang yang amoral akan melakukan introspeksi diri dan menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan kesalahan fatal. Kabhanti nomor 10 di bawah ini menyampaikan kritik terhadap kebobrokan moral seorang wanita yang masih muda belia, membiarkan dirinya sebagai objek pemuas nafsu para pria hidung belang. Kritik tersebut disampaikan dengan menggunakan simbol-simbol agar wanita bersangkutan tidak merasa dipermalukan. Perhatikan kabhanti nomor 10 berikut ini. 10. Kahunda hundamu ngkeda Mau-maunya Engkau, aduhai sayang Dokale- kalembungoko Mereka memperlakukanmu bagaikan kelapa muda Kata kalembungo pada baris kedua dalam kabhanti nomor 10 di atas berbentuk reduplikasi sehingga menjadi kale-kelambungo. Pada bagian awal konstruksi kale-kalembungo, ada bentuk do ‘mereka’ sebagai subjek persona ketiga jamak (mereka) dan di akhir konstruksi kale-kalembungo ada bentuk ko sebagai objek untuk orang kedua tunggal (kamu). Konstruksi dokale-kalembungoko secara harfiah berarti “kamu diperlakukan seperti kelapa muda berkalikali”. Pada baris pertama, liriknya dikemas dalam kalimat eksklamatif, yang mengungkapkan rasa heran. Bila dinarasikan secara lugas, lirik kabhanti ini adalah sebagai berikut: “mengapa engkau, seorang wanita muda, sudi menyerahkan tubuhmu berkali-kali kepada pria-pria itu; bagaikan kelapa muda, setelah dinikmati air dan isinya, lalu dibuang”. Bila dinyatakn terangterangan seperti ini, tentu saja wanita bersangkutan akan merasa malu. Oleh karena itu, penyampaian kritik secara simbolis dilakukan untuk memberikan bahan renungan dan pelajaran kepada wanita itu, tanpa mempermalukannya. 2.6 Memegang Teguh Prinsip dan Pendirian Sikap teguh dalam memegang prinsip dan pendirian adalah salah satu pesan moral yang terkandung dalam kabhanti. Nyanyian kabhanti nomor 11 di bawah ini mengandung keteguhan hati yang tidak goyah terhadap bujukan maupun ancaman karena menolak cinta seseorang. Perhatikan kabhanti nomor 11 di berikut ini. 11. Ane pae bhae lalo Bila tidak ada hati Katau namangka hae Guna-guna akan lewat apa Baris pertama kabhanti ini mengandung makna penolakan cinta. Ekspresi tidak ada hati di baris pertama berarti tidak ada rasa cinta. Pada baris kedua, kata katau ‘guna-guna’ bermakna konotatif, yaitu “ancaman”. Secara implisit kabhanti ini mengandung pesan agar berpegang teguh pada prinsip dan pendirian dalam memilih jodoh, jangan takut dengan ancaman atau guna-guna. Lirik kabhanti ini mengandung keyakinan bahwa guna-guna tidak akan mampan pada seseorang yang tidak menaruh hati sama sekali. Seseorang terkena guna-
314
guna atau ilmu hitam karena ada rasa cinta, atau mungkin juga karena ada kesalahan dalam berucap atau berbuat. Keteguhan dalam prinsip yang terkandung dalam kabhanti nomor 12 di bawah ini mengarah pada kesetiaan seseorang (si pendendang) yang tidak ingin membagi cintanya. Perhatikan kabhanti nomor 12 berikut ini. 12. Laloku amafaane Hatiku entah kubuat jadi apa Andumawu-dawuea Kalau aku membagi-baginya Lirik kabhanti ini menyataka ketegasan sikap dalam memegang teguh prinsip untuk tidak membagi-bagi hati. Kata membagi-bagi hati di sini bermakna konotatif, yaitu membagi cinta dan kasih sayang. Kabhanti ini mengandung pesan agar kita teguh dalam prinsip, tidak menduakan seseorang dalam kasus percintaan, walaupun diperhadapkan dengan situasi yang rumit.
2.7 Berusaha Membalas Kebaikan Orang Lain Kebaikan orang lain semestinya selalu diingat dan kita senantiasa berusaha untuk membalas kebaikan itu. Ajaran moral ini merupakan salah satu pesan yang terkandung di dalam kabhanti. Nyanyian yang secara implisit mengandung pesan untuk membalas kebaikan orang lain adalah kabhanti nomor 13 di bawah ini. 13. Kaasi lalo mandeno Aduhai hati yang cerdas Dambolosiane hae Akan dibalas dengan apa Frasa lalo mandeno ‘hati yang cerdas’ pada baris pertama bermakna konotatif, yaitu “budi baik” yang telah dilakukan seseorang. Pada baris kedua, kalimat dambolosiane hae ‘akan (kita) balas dengan apa’ merefleksikan upaya sungguh-sungguh untuk membalas budi baik yang dinyatakan pada baris pertama. Kalimat pada baris kedua dikemas dalam bentuk interogatif, namun targetnya bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi sebagai pernyataan sikap bahwa kebaikan orang tetap akan dibalas. Bila hari ini belum mampu membalasnya, semoga hari esok sudah ada kemampuan untuk membalas kebaikan itu. Nyanyian kabhanti lain yang secara implisit mengandung pesan untuk membalas kebaikan orang lain terdapat dalam kabhanti nomor 14 di bawah ini. 18. Amaangko hae mpada Akan kuberi apa Amande lalo miina Aku tak tahu isi hatimu Baris pertama kabhanti ini dikemas dalam bentuk interogatif, namun targetnya bukan untuk mendapatkan jawaban. Kalimat ini mengandung rasa kebimbangan karena ingin memberikan sesuatu kepada seseorang, namun tidak diketahui pemberian apa yang cocok untuk dipersembahkan. Kebimbangan si pendendang dalam memikirkan bentuk pemberian yang layak disebabkan oleh kesungguhannya untuk membalas kebaikan orang itu. Tentu saja orang itu sebelumnya telah berbuat baik kepadanya sehingga ia merasa berutang budi. C. KESIMPULAN Kabhanti bagi masyarakat Muna merupakan ekspresi keseharian yang merefleksikan cara berfikir dan cara mereka dalam memandang realitas. Sebagai sastra lisan, kabhanti memiliki fungsi individual dan fungsi sosial. Fungsi individual kabhanti adalah sebagai wadah menyampaikan perasaan mosional pribadi berupa cinta kasih, simpati, kerinduan, kekecewaan, harapan keberhasilan, dan keinginan terpendam. Fungsi sosial kabahnti sebagai wadah pendidikan karakter. Lirik-liriknya mengandung pesan-pesan moral dan nasihat agar menjadi
315
insan yang berbudi pekerti luhur. Adapun nasihat dan pesan-pesan moral sebagai jenis-jenis pendidikan karakter yang terkandung di dalam lirik-lirik kabhanti adalah: (1) mawas diri, (2) sabar, (3) menjaga persatuan, (4) mewariskan kebaikan, (5) tidak mempermalukan orang lain, (6) memegang teguh prinsip dan pendirian, dan (7) membalas kebaikan orang lain. DAFTAR PUSTAKA Aderlaepe. 2014. Kumpulan Lagu-Lagu Rakyat Kabupatn Muna. Raha: Badan Perencanaan Pembangunan Darah Kabupaten Muna Aderlaepe. 2016. Sejarah dan Kebudayaan Muna. Raha: Badan Perencanaan Pembangunan Darah Kabupaten Muna Batoa, La Kimi. 2003. Profil Raja La Ode Kadiri, Gelar Sangia Kaindea, Raja Muna XII. Raha: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Muna Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu La Mokui. 1991. Kabhanti Wuna. Raha: CV Astri Pierce, C.S. (1965) Collected Papers, vols I, II. Cambridge: Harvard University Press Sibarani, Robert. 2012. Karifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana Bali
316
PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENAMPILAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH La Ode Balawa (Universitas Halu Oleo, Kendari) Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk (1) menegaskan ulang bahwa pernyataan tentang fungsi utama sastra untuk memanusiakan manusia dan tugas utama sastra untuk memberikan kenikmatan dan kehikmatan merupakan acuan dasar dalam menetapkan tujuan utama pembelajaran sastra di sekolah adalah membangun karakter, jati diri, atau kepribadian peserta didik; (2) memaparkan bagaimana masalah pendidikan karakter dan penampiln karakter dalam pelaksnaan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah selama ini, (3) bagaimana inovasi pembelaaran sastra Indonesia di sekolah untuk masa depan. Bahan informasi (data) yang menjadi fokus kajian dalam pembahasan ketiga pokok masalah yang disebutkan tadi, meliputi (1) kebijakan pembelaaran sastra dalam Kurikulum Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, (2) rumusan kebijakan pembelajaran sastra hasil Seminar Politik Bahasa Nasional Tahun 1974/1975 dan hasil Seminar Politik Bahasa Tahun 1990, (3) catatan pengalaman selama hampir 30 tahun sebagai dosen sastra Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP UHO. Pembahasan dilakukan dengan pendekatan instructional systems model Bela H. Banathy (t.t.) dan pendekatan teknologi pembelajaran model Barbara B.Seels dan Rita C.Richey (1994). Kata Kunci: teknologi pembelajaran, pembelajaran sastra Indonesia, pendidikan karakter,
A. PENDAHULUAN Kodrat bahasa Indonesia yang telah memiliki kedudukan yang kuat sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara adalah fakta yang telah menempatkan perencanan pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional. Secara nasional tanggung jawab itu dipikul oleh suatu lembaga yang semula (tahun 1874/1975) bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Baha, lalu berganti menjadi Pusat Bahasa, kemudian sekarang berganti nama lagi menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satu garis halun yang menjadi acuan dasar dalam perencanaan (pengembangan dan pembinaan bahasa) itu adalah rumusan hasil Seminar Politik Bahasa Nasional pada tahun 1974/1975 dan Seminar Politik Bahasa tahun 1999. Pada kedua rumusan hasil seminar itu terdapat penegasan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah merupakan salah satu jalur strategis upaya pembinaan bahasa Indonesia termasuk sastra Indonesia di dalamnya (Cf. Halim 1075b:152-153; Alwi, 2003: 1—6) . Dengan memperhatikan penjelasan di atas, pembicaraan tentang pembelajaran sastra Indonesia di sekolah (satuan pendidikan dasar dan menengah), sebaga pokok bahasan utama makalah ini, tidak bisa dipisahkan dengan masalah pembinaan sastra Indonesia yang terusmenerus diupayakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa/Pusat Bahasa/Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa selama ini. Pengalaman hampir tiga puluh tahun sebagai pengajar sastra di LPTK menunjukkan adanya persoalan mendasar antara kebijakan Pusat Bahasa/Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan kebijakan kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah menyangkut masalah pembelajaran sastra di sekolah selama ini. Boleh dikatakan bahwa masalah itu cenderung dibiarkan dan semakin kusut selama tiga puluh tahun terakhir ini. Masalah berkarat itu adalah pertentangan kebijakan antara Pusat
317
Bahasa/Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan kebijakan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah selama ini. Sehubungan dengan masalah tersebut akan dibahas secara berturut-turut masalah (1) fungsi dan tugas sastra sebagai dasar acuan penentuan tujuan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, (2) pendidikan karakter dan penampilan karakter dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, dan (3) Inovasi pembelajaran sastra Indonesia untuk masa depan. B. FUNGSI DAN TUGAS SASTRA: ACUAN DASAR TUJUAN PEMBELAJARAN SASTRA Bahasa dan Sastra adalah alat sekaligus bagian suatu kebudayaan. Fungsi sastra yang utama yang sudah berlangsung sejak dulu hingga sekarang adalah memanusiakan manusia. Tugas utama sastra adalah memberikan kenikmatan dan kehikmatan, Semua pernyataan tentang kenyataan sastra seperti itu menyarankan pentingnya sastra bagi pembangunan jiwa dan pendidikan karakter masyarakat pendukung dan/atau penikmatnya. Pokok-pokok pemikiran mengenai sastra seperti di atas sepatutnya dijadikan sebagai acuan dasar dalam kita menafsirkan dan menjabarkan tujuan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah yang berorientasi pada peningkatan mutu apresiasi sastra peserta didik. Jika harus ditegaskan, maka kenyataan fungsi dan tugas sastra yang sudah lama berlangsung secara alamiah itu cukuplah menjadi alasan yang kuat bahwa pembelajaran sastra Indonesia di sekolah patut memberikan porsi yang lebih besar untuk tujuan yang berorientasi pendidikan karakter dan penampilan karakter daripada tujuan yang berorientasi keterampilan membaca dan menulis karya sastra. Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah yang cenderung berorientasi pada keterampilan membaca dan menulis sastra sungguh kurang realistis karena selain alokasi waktu yang tak memadai untuk itu, juga member beban yang terlalu berat baik bagi guru yang mengajar maupun bagi siswa yang belajar. Rendahnya hasil UKBI bagi guru-guru bahasa Indonesia belakangan ini adalah fakta ironis yang seharusnya semakin menyadarkan semua pihak, bahwa kemampuan guru bahasa Indonesia untuk mengajarkan bahasa Indonesia saja ratarata masih sangat rendah, bagaimana mungkin dalam waktu yang sama mereka juga dituntut untuk mampu mengajarkan sastra Indonesia. Uraian di atas cukup kuat memberikan alasan bahwa arah dan tujuan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah-sekolah selama ini sangat tidak realistis bila dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia dalam kurikulum selama ini atau dengan kemampuan guru dan siswa dalam melaksanakannya. Oleh sebab itu, arah dan tujuan pembelajaran sastra yang dianggap cukup terjangkau dengan keadaan kurikulum dan guru-guru bahasa Indonesia seperti sekarang ini adalah memaksimalkan pembelajaran sastra Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan karakter dan perilaku peseerta didik. Dengan demikian, tujuan apresiasi sastra Indonesia dalam pembelajaran sastra Indonesia pun lebih difokuskan pada pengkajian dan pemahaman serta penghargaan dan pengamalan nilai-nilai kehidupan positif yang terdapat pada karya sastra Indonesia dalam segala bentuk dan jenisnya. Penekanan arah dan tujuan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah seperti yang diharapkan dan disaran di atas ini, juga sangat bernilai positif dalam upaya mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia bagi pembangunan jati diri bangsa atau pembangunan karakter peserta didik di sekolah. Harapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajukan ini sesuai pula dengan situasi pendidikan di Indonesia pada umumnya yang tengah memcari bentuk penyelenggaraan pendidikan karakter yang efektif dan efisien.bagi peserta didik di sekolah dan perguruan tinggi.
318
C. PENDIDIKAN KARAKTER DAN PENAMPILAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Salah satu keunggulan karya sastra disbandingkan dengan karya filsafat atau kitab agama tertentu adalah sastra tidak hanya menyuguhkan nilai-nilai kehidupan yang positif , tetapi juga bagaimana nilai-nilai itu hidup dalam interaksi social yang lebih dinamis dan actual bagi kelangsungan hidup manusia pada zamannya. Dengan perkataan lain, sastra (karya sastra) tidak hanya menyuguhkan nilai-nilai kehidupan positif secara lugas dan normatif, tetapi juga bagai keberadaannya pada individu dalam berinteraksi dengan orang lain, dengan alam, dan dengan tuhannya. Singkatnya, karya sastra tidak hanya menyuguhkan pendidikan karakter tetapi juga penampilan karakter, sehingga lebih praktis dan efektif dalam membangun karakter atau jati diri peserta didik. Keberadaan sastra untuk memanusiakan manusia pada prinsipnya juga adalah pendidikan karakter dan penampilan karakter bagi peserta didik baik dalam kedudukannya sebagai seorang umat beragama atau sebagai warga Negara. Hubungan itu antara lain dapat digambarkan diagram sebagai berikut ini. TUHAN Hikmah AGAMA
terbentuk manusia sesuai dengan visi-misi penciptaannya Menghidupkan jiwa agama di dunia filsafat
Menghidupkan jiwa agama di dunia sastra
A MEMANUSIAKAN MANUSIA
FILSAFAT
SASTRA
Diagram 1: Hubungan Sastra dengan Agama dan Filsafat Diagram 1 di atas memperlihatkan bahwa hikmah yang sesungguhnya adalah cahaya kebenaran yang bersumber dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia melalui agama yang dianutnya. Pengembangan filsafat dan sastra yang diharapkan adalah yang mengandung hikmah, yakni pengembangan filsafat dan sastra yang dapat menghidupkan jiwa agama. Kesemuanya itu diperlukan dalam rangka usaha memanusiakan manusia menuju terbentuknya manusia berkualitas sesuai dengan visi dan missi penciptaannya. MEMANUSIAKAN AGAMA
MANUSIA • BERAGAMA • WARGA NEGARA
FILSAFAT
• SISWA/MAHASISWA
MENJADI • BERIMAN/BERTAKWA PANCASILAIS • CERDAS/BERMARTABAT/ MANDIRI/ BERTANGGUNG JAWAB
SASTRA
Diagram 2: Contoh ”Alur Memanusiakan Manusia”
319
Diagram 2 di atas memperlihatkan bahwa sastra, sama halnya dengan agama dan filsafat, bertujuan memanusiakan manusia dalam wujud sebagai berikut: memanusiakan orang beragamahingga terbentuk menjadi orang berimanatau orang bertakwa; memanusiakan seorang warga negara hingga terbentuk menjadi seorang yang Pancasilais; dan memanusiakan seorang siswa/mahasiswahingga terbentuk menjadi orang yang cerdas, bernartabat, mandiri, dan bertanggung jawab. Pembelajaran sastra Indonesia di sekolah dapat memainkan peranan penting dalam proses memanusiakan manusia seperti digambarkan pada diagram di atas ini. Nilai-nilai kehidupan positif yang ditampilkan melalui berbagai perilaku sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi dan keagamaan secara dinamis dan aktual dalam berbagai jenis dan bentuk karya sastra Indonesia selama ini jelaslah perlu dimanfaatkan dan diberdayakan bagi peningkatan mutu pendidikan karakter dan mutu penampilan karakter peserta didik melalui pembelajaran sastra Indonesia berbasis pendidikan karakter dan penampilan karakter di sekolah. D. INOVASI PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA UNTUK MASA DEPAN Hampir semua model desain pengembangan pembelajaran menunjukkan bahwa penentuan arah dan tujuan pembelajaran itu penting mempertimbangkan pendapat para pakar yang relevan, pendapat dan kebutuhan peserta didik, kebutuhan pengguna (konsumen), pendapat guru atau pengajar, serta pendpat atau saran para lulusan. Kalau dicermati tujuan pembelajaran sastra Indonesia dalam kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah selama ini kemudian kita bandingan dengan rumusan pembinaan sastra Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, maka terdapat persamaan mendasar yang tak pernah berubah selama ini, yakni untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra peserta didik. Demikian pula tampaknya kesadaran yang terbangun di kalangan para ahli, para guru sastra, juga di kalangan peserta didik pada umumnya. Namun, pada tataran implementasi harapan dan tujuan itu justru berbenturan dengan kenyataan (1) kedudukan dan alokasi waktu yang tak memadai dalam kurikulum, (2) keterbatasan tenaga pengajar sastra yang berkelayakan, (3) kurang ketersediaan bahan ajar yang efektif, (4) tradisi akademis yang lebih dominan membicarakan kesalahan dan kelemahan ketimbang berupaya memperbaiki kesalah dan meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah selama ini. Yang perlu dijadikan fokus pembicaraan saat ini adalah dampak yang ditimbulkan oleh keadaan seperti di atas ini, yakni timbulnya kegoyahan atau ketidakpastian arah pencapaian tujuan pembelajaran sastra yang ditargetkan bagi peserta didik di sekolah. Dengan segala keterbatasan dalam pembelajaran sastra seperti dikemukakan di atas, tujuan pembelajaran sastra yang berorientasi keterampilan berbahasa pada kurikulum yang berlaku selama ini cenderung lebih bernilai sebagai bahan ejekan dan kritik permanen bagi kegagalan guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah yang sudah diperkirakan sebelumnya, seperti terlihat pada rumusan hasil Seminar Politik Bahasa Tahun 1999 yang menegaskan bahwa tujuan pembelajaran sasrta Indonesia seperti tercantum dalam kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah selama ini tidak mungkin dapat dicapai kalau porsi dan kondisi pembelajaran sastra Indonesia masih tetap seperti selama ini (Cf. Alwi, 2003). Kalau pertimbangannya adalah untuk mutu apresiasi sastra di samping terbatasnya ruang sastra dalam kurikulum, maka yang lebih realistis adalah memastikan perubahan orientasi pembelajaran sastra di sekolah, yakni dari orientasi tujuan untuk keterampilan berbahasa sastra
320
menjadi khusus untuk tujuan pendidikan karakter dan penampilan karakter dalam kerangka pembangunan jati diri bangsa yang menjadi masalah nasional yang cukup serius dewasa ini. Berdasar pada pokok-pokok pikiran seperti di atas, inovasi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah untuk masa depan perlu mempertibangkan hal-hal sebagai berikut: 1. Jika usulan Seminar Politik Bahasa Tahun 1999 tentang perubahan status sastra sebagai satu mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum satuan pendidikan dasar dan menengah, maka pembelajaran sastra Indonesia di sekolah dapat diorientasikan untuk (1) peningkatan mutu keterampilan berbahasa dan (2) peningkatan mutu pendidikan karakter dan penampilan karakter peserta didik; 2. Jika status dan porsi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia masih tetap seperti selama ini, maka pembelajaran sastra Indonesia di sekolah sebaiknya lebih diorientasikan untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan karakter dan penampilan karakter peserta didik di sekolah; 3. Peningkatan mutu pendidikan karakter dan penampilan karakter dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah itu kelak perlu diintegrasikan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis pembangunan jati diri bangsa atau kepribadian bangsa; 4. Perubahan orientasi pembelajaran sastra ke upaya peningkatan mutu pendidikan karakter, sebagaimana diusulkan di atas ini, perlu didukung dengan upaya konkret dalam hal pengembangan bahan ajar, seleksi karya sastra yang berkelayakan, pengembangan model atau metode yang efektif, seperti (1) pemanfaatan multimedia (interaktif) untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra, (2) pengembangan bahan ajar dan pemanfaatan karya sastra yang membangun fusi intelektual, spiritual, dan politik, (3) pengembangan metode dan media pembelajaran berbasis aneka sumber belajar Untuk mewujudkan innovasi pembelajaran seperti yang digambarkan di atas mutlak memerlukan pendekatan system, seperti inovasi pembelajaran dalam prosedur kawasan pengembangan, kawasan pemanfaatan, kawasan pengelolaan, dan kawasan penilaian (Barbara, 1994). Untuk menjalankan semua itu, kebersamaan semua guru untuk memutuskan melakukan suatu inovasi adalah kekuatan kolektif yang menjadi ujung tombak perubahan atau inovasi itu. Michael Fullan (2010) berpendapat bahwa sebuah sistem sosial yang rusak dapat direvormasi jika kekuatan kolektif guru semua bergerak ke arah reformasi itu. E. PENUTUP Menurut pandangan orang luar (yang tidak terlibat langsung ke dalam system), pertentangan kebijakan antara Pusat Bahasa dan Pusat Pengembangan Kurikulum tentang pembelajaran sastra Indonesia di sekolah selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan kurang sinerginya fungsi lembaga pemerintahan di Indonesia selama ini, juga menandakan betapa sulitnya mewujudkan kompromi antara kebijkan akademis dan kebijakan politis di Indonesia selama ini. Keadaan seperti itu tidaklah patut dibiarkan berlarut-larut, karena akibatnya sangatlah berdampak luas dan meresahkan dan mengacaukan orientasi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. Selama saran Pusat Bahasa/Departemen Pengembangan dan Pembinaan Bahasa agar sastra dijadikan mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum belum terakomodasi dalam perubahan kurikulum, Orientasi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, sebagaimana ditetapkan dalam kurikulum selama ini, sebaiknya direformasi dan dibatasi khusus untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan karakter dan penampilan karakter peserta didik di sekolah. Pilihan alternatif sedemikian ini dipandang masih sangat relevan dengan (1) tujuan umum pembelajaran
321
sastra untuk meningkatkan mutu apresiasi sastra peserta didik di sekolah, (2) konsep dasar tentang kedudukan, fungsi, dan tugas sastra dalam masyarakat sejak dulu hingga sekarang, (3) masalah pendidikan karakter yang masih mencari bentuk hingga sekarang. Inovasi pembelajaran sastra untuk masa depan mutlak mempertimbangkan pemasukan tujuan pendidikan karakter dan penampilan karakter bagi peserta didik di sekolah. Harapan sedemikian ini hanya bias diwujudkan melalui pendekatan system berbasis teknologi pembelajaran. Kesepahaman dan kesamaan persepsi guru tentang reformasi pembelajaran sastra Indonesia merupakan kekuatan kolektif yang sangat besar menuju perubahan dan inovasi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah seperti yang diharapkan itu. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.), 2003. Politik Bahasa, Rumusan Seminar Politik Bahasa. Pusat Bahasa, Jakarta. Barbara B.Seels dan Rita C.Richey. 1994. Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya, Terjemahan oleh Dewi S.Prawidilaga, Raphael Rahardjo, Yusufhadi Miarso. IPTPI Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Bela H.Banathy. t.t. Instructional Systems. Fearon Publisers, Inc,Belmont California, US America. Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Pustaka Setia. Bandung. Depdiknas. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar: Garis garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Jakarta: Depdiknas. Halim, Amran (Ed.). 1980a. Politik Bahasa Nasional 1. Balai Pustaka, Jakarta. ---------(Ed.). 1980b. Politik Bahasa Nasional 2. Balai Pustaka, Jakarta. Michael Fullan, Foreword by Peter Senge. All System Go, The Change for Whole System Reform. Corwin, A SAGE Company, 2455 Teller RoadThousand Oaks, California 91320 US America.
322
MANUSIA DAN LINGKUNGAN DALAM CERITA PENDEK INDONESIA SERTA RELEVANSINYA DENGAN PENGAJARAN SASTRA Lustantini Septiningsih Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [email protected] Abstrak Hampir setiap hari media elektronik menampilkkan berita tentang kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, suap, dan kerusakan lingkungan di negara kita. Gejala itu menunjukkan sikap masyarakat kita yang egois karena kurang memperhatikan kepedulian lingkungan. Keadaan itu harus diatasi secara terus-menerus agar tidak kembali berulang. Hal itu berarti diperlukan usaha untuk menanamkan semangat kepedulian terhadap peserta didik. Cara itu dapat dilakukan melalui pengajaran sastra yang bertema lingkungan karena pengajaran sastra merupakan pengajaran tentang kehidupan. Karya sastra, seperti cerita pendek, dapat memberi pengaruh terhadap cara berpikir seseorang mengenai kehidupan baik buruk, benar salah, serta mengenai caranya sendiri dan bangsanya. Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan manusia dan lingkungan yang dilukiskan dalam cerita pendek Indonesia serta relevansinya dengan pengajaran sastra. Oleh karena itu, penelitian ini menitikberatkan pada lingkungan. Teori yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori ekokritik sastra. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu memaparkan hubungan manusia dan lingkungan dengan disertai analisis. Sumber data penelitian ini adalah enam cerita pendek karya Karya Hamsad Rangkuti dan Korrie Layun Rampan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan dilukiskan dalam cerita pendek tersebut meliputi hubungan manusia dengan manusia lain, manusia dengan binatang, serta manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Hubungan antara manusia dan lingkungan yang dilukiskan tersebut mempunyai relevansi dengan pengajaran sastra, yaitu untuk menumbuhkan kepekaan batin dan sikap kritis sehingga siswa memiliki kebanggaan dan kecintaan terkadap karya sastra dan budaya bangsa. Kata kunci : manusia, lingkungan, cerita pendek, ekokritik, pengajaran sastra
A. PENDAHULUAN Dalam kehidupan masyarakat kita sering menyaksikan seorang anak menjadi pecandu obat atau peminum atau melihat berita di media elektronik tentang kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dan suap. Selain itu, di lingkungan alam, kita menyaksikan setiap musim hujan terjadi banjir dan setiap musim kemarau terjadi kebakaran hutan. Dampak semua itu adalah kerugian yang tidak ternilai banyaknya. Harapan keluarga terhadap anaknya musnah. Masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sungai atau berkebun kehilangan pencaharian. Berbagai pandangan atas keadaan seperti itu muncul dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Berkaitan dengan pendidikan, Marta Tilaar (dalan Nurjaman, 2006:1) menyatakan bahwa salah satu masalah pendidikan nasional adalah menurunnya akhlak dan moral peserta didik. Selama ini pendidikan hanya berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa) (Indonesia Heritage Foundation, 2011). Berkaitan dengan lingkungan, Sastrapratedja (2013:169) menyebutkan bahwa masalah ekologis tidak terlepas begitu saja dari masalah manusia yang bertindak atau berbuat karena hal itu menyangkut pemilihan nilai atau masalah etis. Hal itu ditunjukkan dengan laporan Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB yang menyebutkan bahwa Indonesia menjadi beban dunia dalam krisis global karena penggundulan hutan, penggunaan rekayasa pertanian nonorganik, pencemaran lingkungan, dan dampak sosial
323
budata lainnya (Hunga, 2013). Apabila diamati, permasalahan semua itu berkaitan dengan perilaku manusia. Karena masalah perilaku manusia itu menyangkut nilai dan moral, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pengajaran sastra. Mata pelajaran sastra sebagai salah satu materi yang diajarkan di sekolah dapat dijadikan alternatif untuk menyadarkan peserta didik terhadap masalah lingkungan. Karya sastra dipilih karena sastra mengajarkan kehidupan. Tarigan (1995:6—8) mengatakan bahwa sastra dapat mengembangkan wawasan peserta didik sehingga berperilaku insani. Di samping itu, Sayuti (1994:5) menyebutkan bahwa karya sastra (1) memiliki daya antisipasif, yaitu mampu mengontrol, meneropong, dan mengarahkan kehidupan yang menggejala keluar rel, (2) menjadi filter (penyaring) terhadap moral, kepribadian, dan budaya bangsa, serta (3) menjadi benteng pertahanan, yaitu tanggul baja terhadap penyimpangan norma kehidupan. Oleh karena itu, karya sastra Indonesia diharapkan dapat menjadikan manusia mencintai lingkungan karena karya sastra yang berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan kesenangan dan nilai (Fananie, 20002:113) . Gunawan Muhamamad (dalam Jubrohim, 1994:5) mengatakan bahwa para pengarang memang sering membesar-besarkan apakah sastra ada kegunannya atau tidak. Namun, ia tetap mengakui bahwa sastra itu penting. Pernyataan Gunawan itu dapat diartikan bahwa sastra tidak dapat lepas sama sekali dari kehidupan. Menurut Zen (dalam Jubrohim, 1991:1), beragam makna yang tersaji dalam karya seni dapat dimanfaatkan secara praktis dan pragmatis bagi kehidupan, baik pada sifatnya yang etis maupun yang kritis. Dalam sastra Indonesia, banyak pengarang yang mengangkat lingkungan ke dalam karyanya, baik puisi maupun prosa. Pengarang Pujangga Baru, seperti Muhammad Yamin, banyak karyanya mengangkat keindahan alam dan panorama tanah air. Pengarang lain, seperti Ahmad Tohari (dalam Ronggeng Dukuh Prauk dan Bekisar Merah), Korrie Layun Rampan (dalam Upacara dan Api Awan Asap), dan Dewi Lestari (dalam Supernova) mengeksplorasi alam melalui karya-karya mereka itu. Cerita pendek (cerpen) “Penyakit Sahabat Saya” (Hamsad Rangkuti), “Anak Menjangan” (Hamsad Rangkuti), “Musuh Petani” (Hamsad Rangkuti), “Kayu Naga” (Korrie Layun Ramoan), “Empana” (Korrie Layun Rampan), dan “Danau Bengkirai” (Korrie Layun Rampan) mengandung masalah lingkungan, baik yang tecermin melalui tokoh-tokohnya maupun peristiwa yang terdapat dalam cerpen tersebut. Pengarang melukiskan tokoh (manusia) dalam menyikapai lingkungan berbeda-beda. Untuk memahami sikap tersebut, cerpen karya Hamsad Rangkuti san Korrie Layun Rampan akan dianalisis dengan metode deskriptif. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi masalah dalam cerpen tersebut adalah bagaimana sikap (dalam hal itu hubungan) manusia terhadap lingkungannya, yaitu terhadap manusia lain, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, serta bagaimana relevanisnya dengan pengajaran sastra. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan manusia dan lingkungan dalam cerpen tersebut serta relevansinya dengan pengajaran sastra. B. KAJIAN TEORI Penelitian ini menitikberatkan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, teori yang digunakan adalah teori ekokritik sastra. Dasar pendekatan itu adalah adanya hubungan karya sastra dan lingkungan. Hubungan itu disebabkan sastra berpotensi mengungkapkan gagasan tentang lingkungan, termasuk nilai-nilai kearifan lingkungan. Ratna (2008:61) mengemukakan bahwa hubungan itu disebabkan oleh (1) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (2) pengarang adalah anggota masyarakat, (3) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat,
324
dan (4) hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Setiap zaman atau periode karya itu dibentuk oleh berbagai faktor dan kondisi sehingga hasil karyanya pun pada setiap zamannya berbeda. Menurut Grebstein (dalan Damono, 1984:4), karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya. Oleh karena itu, sastra harus dipelajari dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya dalam dirinya sendiri, seperti dalam konteks lingkungan. Istilah ekokritik, yang dalam bahasa Inggris ecocriticism, berasal dari kata ecologi dan criticism. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian tentang hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dan terkait lingkungan-lingkungannya. Menurut Kerridge (1998) ekokritik ingin melacak gagasan tentang lingkungan dalam representasinya. Ekokritik harus dijalankan sejalan dengan komitmen dan preksis (bukan hanya teori) para pejuang lingkungan hidup. Sementara itu, Glotfelty (1996:xix) mendefinisikan bahwa ekokritik sastra adalah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Dalam pandangannya itu, lingkungan fisik dapat mengacu pada lingkungan hidup, seperti semua benda, daya, keadaan, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dengan demikian, ekokritik merupakan kritik yang berwawasan lingkungan. Untuk dapat dikatakan sebagai sastra ekokritik, Buell (1995:7—8) menyebutkan beberapa kriteria, yaitu (1) lingkungannya bukan-manusia hadir tidak hanya sebagai sebuah bingkai, tetapi sebagai kehadiaran yang menunjukkan bahwa sejarah manusia diimplikasikan dalam sejarah alam, (2) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satu-satunya kepentingan yang sah, (3) akuntabilitas manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis teks, dan (4) beberapa pengertian lingkungan merupakan suatu proses, bukan sebagai pengertian yang konstan atau suatu pemberian yang paling tidak tersirat dalam teks. Pendapat lain menyebutkan bahwa sastra ekokritik memiliki karakteristik, di antaranya, adalah mengandung ciri pastoral, yaitu sastra yang mendiskripsikan desa dengan mengontraskannya secara implisit dan eksplisit dengan kota (Gifford, 1999:2). Sukmawan (2017:15) mengatakan bahwa karya sastra disebut sastra ekokritik, antara lain, ditandai dengan narasi kehidupan, penghidupan, dan tata cara (norma) yang selaras dengan alam dan gagasannya tentang kesatuan harmoni antara manusia dan lingkungannya, baik fisisk maupun metafisisk. Penelitian ini memandang bahwa cerpen yang dianalisis mengangkat lingkungan yang menggambarkan sikap tokoh (manusia) dalam menanggapi atau berhubungan dengan lingkungannya yang meliputi manusia lain, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Dalam kajian ekokritik sastra ditekankan pada sikap tokoh (manusia) dalam menyikapi lingkungannya. Oleh karena itu, analisis ekokritik sastra lebih mengacu pada etiket lingkungan atau kearifan lingkungan karena menyangkut nilai dan moral yang dianut manusia dalam berperilaku terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan merupakan sebuah kesadaran untuk menjadi bagian dari alam sehingga tercipta satu kesatuan harmoni (Amrih, 2008:33). Selain itu, Amrih memaknai bentuk kearifan sebagai (1) bentuk kemauan untuk melihat, merasakan, menggagas, dan mematuhi norma, (2) bentuk kemauan untuk melihat dan bertindak sesuai dengan alur hukum alam Sang Pencipta, dan (3) bentuk kesadaran untuk menjadi bagian dari alam sehingga tercipta satu kesatuan harmoni. Keraf (2010) menyebut kearifan ligkungan dengan istilah kearifan tradisional, yaitu semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dalam kehidupan sehari-hari kearifan tradisional
325
membentuk perilaku manusia terhadap sesama manusia dan manusia terhadap lingkungan atau alam. C. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif. Dalam metode tersebut dilakukan pendiskripsian fakta., kemudian dilakukan analisis data. Menurut Nawawi (2012:68), ciri-ciri pokok deskriptif adalah memusatkan perhatian pada masalah yang ada dan menggambarkan fakta tentang masalah yang diteliti dengan disertai interpretasi rasional. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka. Sumber data penelitian ini adalah enam cerita pendek, yaitu “Penyakit Sahabat Saya” (Hamsad Rangkuti), “Anak Menjangan” (Hamsad Rangkuti), “Musuh Petani” (Hamsad Rangkuti), “Kayu Naga” (Korrie Layun Ramoan), “Empana” (Korrie Layun Rampan), dan “Danau Bengkirai” (Korrie Layun Rampan). Pengumpulan data yang berupa cerpen dilakukan dengan mencari data berupa kutipan cerpen. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Manusia dengan Manusia Lain Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia hidup, tumbuh, serta berkembang dalam lingkungan alam dan sosial budayanya. Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari hubungan dengan orang lain. Manusia selalu terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya tempat hidupnya dalam sebuah hubungan timbal balik. Dalam cerpen yang dianalisis tergambar hubungan timbal balik antara manusia satu dan manusia lainnya. Hubungan timbal balik itu ada yang berupa hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau yang saling merugikan. Dalam cerpen “Penyakit Sahabat Saya (PSS)” karya Hamsad Rangkuti dilukiskan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Hubungan itu ditunjukkan ketika Kosim mengetahui temannya, Morad, mengidap penyakit aneh, yaitu dalam tidurnya sering terjaga, kemudian menuju dapur mengambil parang yang digunakan untuk menebang pohon. Setelah bangun tidur, Morad tidak menyadari apa yang telah dilakukannya itu. Untuk mengatasinya, Kosim memberikan saran kepada Morad dengan harapan cepat sembuh. Saran yang diberikan Kosim itu selalu dikerjakan, tetapi tidak ada yang berhasil. Karena yang menjadi sasaran pohon, Kosim memberikan saran yang berkaitan dengan lingkungan. Kosim menyarankan agar Morad menemui Emil Salim untuk berkonsultasi tentang penyakitnya, seperti dikatakan sebagai berikut. “Kalau begitu, coba kau konsultasi dengan Menteri Emil Salim. Dia mungkin punya saran. Siapa tahu dia bisa menemukan obatnya. Sebab, penyakit kau ini mirip penyakit merusakkan kelestarian alam dan merusakkan lingkungan hidup....” (PSS, 9) Apabila diperhatikan, Kosim memilih Emil Salim karena penyakit Morad merupakan penyakit merusak kelestarian alam dan lingkungan hidup. Di samping itu, Emil Salim merupakan tokoh lingkungan hidup. Meskipun saran tersebut tidak masuk akal, Morad mencobanya juga dengan menemui Emil Salim. Namun, Morad hanya bisa menemui sekretaris Emil Salim. Sekretaris itu justru yang memberikan saran kepada Morad. Sarannya adalah agar Morad pergi ke instanasi yang menangani penebangan hutan karena penyakitnya itu tidak perlu diobati, tetapi perlu
326
penyaluran. Morad menjalankan saran sekretaris Emil Salim. Dari sarannya itu, Morad bisa menjadi pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) di Kalimantan. Dari HPH itu pula, Morad menjadi kaya raya karena ia mempunyai hak untuk melakukan penebangan hutan. Perubahan Morad menjadi orang kaya tidak menjadikannya lupa kepada sahabatnya, Kosim. Morad menyadari bahwa perubahan nasibnya itu tidak lepas dari pertolongan Kosim. Untuk itu, Morad memberinya sebuah mobil Honda Civic sebagai tanda kepeduliannya. Pemberian mobil itu tidak lepas dari rasa terima kasih Kosim kepada Morad yang telah memberi saran pengobatan. Sikap Morad itu juga dapat disebut sebagai hubungan timbal balik yang menguntungkan, seperti dilukiskan sebagai berikut. “.... Berkat nasihat Bung. Coba kaubayangkan berapa juta hektar yang menunggu pembabatanku. Aku tidak perlu tujuh perbuatan yang Bung katakan itu. Tetapi saya tidak bisa melupakan Bung. Nasihat Bung telah membikin saya menjadi kaya.” “Kalau begitu, Bung harus kasi komisi pada saya!” “Berapa Bung minta?” “Satu Mercy!” “Gila kau?” “Volvo saja”. “Mabuk kau!” “Honda Civic kalau begitu!” .. Sebulan kemudian ada kiriman satu Honda Civic kerumahku” (PSS, 12—13) Dalam konteks tersebut dikatakan hubungan timbal balik positif karena antara penerima dan pemberi masing-masing saling memberi keuntungan. Hubungan manusia dengan manusia lain juga dilukiskan dalam cerpen “Musuh Petani” (MP) karya Hamsad Rangkuti. Hubungan terjadi karena kepedulian tokoh Aku terhadap Pak Tua, seorang transmigran Sumatera yang berasal dari Jawa. Di daerah transmigrasi, tempat tinggal Pak Tua masih berupa hutan sehingga masih banyak binatang buas. Binatang buas itu sering merusak ladang Pak Tua. Untuk mengatasi hal itu, di ladangnya dipasang tali dengan kaleng sepanjang ladang untuk ditarik-tarik agar menimbulkan suara sehingga binatang buas takut untuk masuk ke ladang jagung milik Pak Tua. Kepedulian tokoh Aku terhadap Pak Tua muncul saat mengetahui ladang Pak Tua rusak. Sebagai seorang wartawan, yang bisa dilakukan oleh Aku untuk menolong Pak Tua adalah memberitakan keadaan daerah transmigrasi. Untuk itu, usaha yang dilakukan Aku adalah memotret binatang buas yang masuk ke ladang Pak Tua. Aku melakukan pemotretan saat musim panen. Dari pemotretannya itu dapat diketahui bahwa binatang yang memorakporandakan ladang jagung milik Pak Tua adalah babi hutan. Binatang buas yang lain tidak ada. Keadaan ladang yang porak poranda dilukiskan berikut ini. .... Saya bergayut pada anak tangga. Memotretnya berulang-ulang sampai saya merasa puas. Kemudian saya naik kembali dan cukup lega karena telah mengabadikan seluruh serangan babi-babi itu di dekat dangau. Pada pagi hari tampak semua tanaman rusak seperti baru saja di tempat itu berlangsung pertandingan sepak bola. Pak Tua menangis melihat itu. (MP, 71) Dengan hasil pemotretan itu, Aku menjadi yakin bahwa binatang buas yang menyerang tanaman itu hanya babi hutan. Sementara itu, harimau yang juga diduga sebagai
327
perusak tanaman ternyata tidak benar. Selain itu, tokoh Aku juga melihat banyak kera di ladang, tetapi kera-kera itu tidak merusak tanaman. Pak Tua puas atas potretan wartawan Aku karena dapat mengetahui sebenarnya perusak tanamannya. Sikapnya yang puas itu ditunjukkan juga dengan memberitahukan kepada Aku bahwa selain binatang, yang membuat rugi petani adalah tengkulak. Pak Tua juga meminta Aku untuk memotret tengkulak tersebut. “Potretlah penumpang-penumpangnya. Itulah musuh para petani lainnya. Potret mereka! Para tengkulak-tengkulak itu. Mereka datang tanpa anak buah mereka. Itulah bos para tengkulak! Cepat potret! Mereka turun dari dalam mobil itu!” (MP, 72) Sikap kepedulian lain tokoh Aku terhadap Pak Tua ditunjukkan dengan kesediaanya untuk memotret para tengkukak yang juga merupakan musuh petani di daerah transmigrasi. Sebagai wartawan, adanya tengkulak di daerah transmigrasi juga merupakan data yang dapat diberitakan sebagai musuh petani selain babi hutan. Bagi seorang wartawan, apa yang dilakukan Aku merupakan tanggung jawab moral dari kepeduliannya terhadap manusia lain tanpa mengharapkan balasan. Hubungan Manusia dengan Binatang Pada dasarnya makhluk hidup, seperti binatang, mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat, dan tidak disakiti. Hal itu akan terwujud jika mausia dan binatang tidak saling mengganggu atau mengusik terhadap makhluk hidup. Menjaga kerukunan antarmakhluk merupakan perwujudan kasih sayang. Kasih sayang itu dapat terjaga jika setiap manusia berusaha mencintai sesama makhluk hidup. Cerpen “Anak Menjangan” (AM) karya Hamsad Rangkuti mengangkat sikap kasih sayang manusia terhadap binatang. Di rumahnya, Basri memelihara kambing sebanyak enam belas ekor. Terhadap binatang peliharaannya itu, ia sangat sayang. Rasa sayangnya dilukiskan dengan kebiasaan setiap pulang sekolah ia menggembala kambing miliknya. Ia menolak jika kambingnya disembelih atau dijual. Sikap kasih sayangnya terhadap binatang dilukiskan sebagai berikut. Aku memiliki binatang-binatang itu. Aku sangat menyayangi binatang-binatang itu. Aku selalu menangis kalau salah seekor mereka akan dijual. Atau salah seekor dari kambingkambing itu akan disembelih. (AM, 50) Penyebutan kata menangis dalam kutipan tersebut menunjukkan sikap kasih sayang Basri terhadap binatang. Sikap Basri tersebut disadari atau tidak menunjukkan bahwa binatang mempunyai hak untuk dipelihara. Rasa sayang Basri juga ditunjukkan terhadap anak menjangan. Saat mengetahui ada anak menjangan terkena ranjau, ia berusaha menyelamatkannya. Hal itu dilakukannya dengan mengawasi dan mengikuti terus-menerus anak menjangan yang dibawa oleh pemburu. Saat mengetahui anak menjangan akan disembelih untuk dimasak satai, Basri berusaha mencegahnya. Ia meminta agar anak menjangan tidak disembelih. Kepada pemburunya, ia akan menggantikannya dengan kambing betina. Namun, pemburu itu tidak begitu saja menerima tawaran yang diminta Basri. Bentuk tawaran Basri merupakan sikapnya yang peduli terhadap binatang yang didasari bahwa makhluk hidup, apalagi masih kecil, mempunyai hak untuk dilindungi. Hal itu dipertegas dengan sikapnya dengan menjelaskan bahwa kambing betina sebagai pengganti anak menjangan karena kambing betina dapat berkembang menjadi lebih banyak. Selain itu, anak
328
menjangan yang masih kecil tidak boleh disembelih untuk dimasak satai atau dijerat di hutan, seperti dilukiskan berikut ini. “Anak menjangan itu jadi aku tukar dengan seekor kambing betina. Tetapi, kalian harus berjanji tidak akan menjerat anak menjangan atau binatang lainnya di dalam hutan. Binatang-binatang itu harus dilindungi. Mereka tinggal sedikit menghuni hutan-hutan kita. Kalau kita tidak menjaganya, nanti semua binatang akan musnah.” (AM, 64) Dalam kutipan di atas, kata tidak akan menjerat dan dilindungi menunjukkan sikap kasih sayang Basri terhadap anak menjangan. Usaha Basri untuk menyelamatkan anak menjangan berhasil. Hal itu ditunjukkan dengan dilepaskannya kembali anak menjangan di hutan oleh pemburu menjangan. Dalam cerpen lain, yaitu “Kayu Naga” (KN) karya Korrie Layun Rampan, dilukiskan hubungan manusia dengan binatang dalam hubungan ekonomis. Dalam hal itu manusia memperlakukan binatang sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang. Sunge melakukan hal itu karena membutuhkan uang untuk biaya sekolah. Orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah Sunge. Dengan menjual burung hasil buruan, Sunge dapat membayar uang sekolah, seperti dilukiskan berikut ini. Selepas sekolah, di hari Sabtu dan Minggu, aku menghabiskan waktu menangkap burung lesio, salah satu jenis burung tanah yang indah. Dengan bentuk ekornya yang tokong, jenggernya yang besar, bulu pada lubang telinganya yang memerah, matanya yang biru seperti mata orang Aria, bulunya yang hitam bercampur merah kelabu, serta suaranya yang merdu, burung itu sangat dicari para pemelihara dan penangkar burung. (KN, 5) Pada dasarnya binatang ada yang dilindungi dan tidak. Oleh karena itu, burung yang tidak dilindungi boleh dijuabelikan. Bahkan, jika binatang itu dianggap sebagai pengganggu atau hama tanaman dan membahayakan manusia, binatang itu pun diperbolehkan untuk dibunuh, seperti hama tanaman tikus. Perburuan burung secara berlebihan juga dilarang karena dapat merusak ekosistem lingkungan. Dalam KN pengarang juga melukiskan adanya ketidakharmonisan manusia dengan ular karena keganasan binatang itu. Ketidakharmonisan itu ditunjukkan dengan kematian Bire dan calon suaminya karena dipatuk ular bentung. Selain itu, Biso (calon istri Sunge), ibu Sunge, dan Suker, keponakan Sunge, juga meninggal dunia karena dipatuk ular bentung saat berjalan di hutan. Atas kejadian itu, manusia pun melakukan pembelaan atas kematian Biso, ibu Sunge, dan Suker. Untuk itu, ular itu dibunuh meskipun pawang ular mencegahnya, seperti dilukiskan sebagai berikut. “Jangan bunuh ularnya! Jangan bunuh ularnya! Pawang tak bisa kembalikan bisanya!” seorang lelaki tua berteriak ke arah Koka. Akan tetapi, mataku sendiri menangkap bahwa kepala ular bentung itu sudah terpisah dari badannya dan beberapa bagian badannya nyaris putus dan saling menggeliat meregangkan napas. ..., sang pawang ular mengatakan tak mampu mengembalikan bisa ular ke ularnya karena ular itu sudah mati. (KN, 10—11) Dalam konteks tersebut terjadi hubungan timbal balik yang tidak menguntungkan karena manusia dan ular sama-sama mati.
329
Dalam cerpen “Danau Bengkirai” (Hamsad Rangkuti) dilukiskan hubungan manusia dengan binatang dalam hubungan bisnis. Tokoh Aku memanfaatkan binatang liar, seperti ular sawah, landak, trenggiling, rusa, menjangan, kancil, dan buaya, untuk diternakkan. Sikapnya itu dilatarbelakangi dengan keadaan tanah yang cocok untuk peternakan (penangkaran) binatang tersebut. Apa yang dilakukan oleh Aku merupakan kegiatan yang menjurus pada eksploitasi penjualan binatang karena tujuannya untuk berbisnis. Kegiatan itu akan mengorbankan nilai moral (kepedulian) karena hanya keuntungan pribadi yang dicari, apalagi terdapat binatang yang dilindungi, seperti buaya dan menjangan. Dampak negatif dari kegiatan itu akan menimpa manusia, khususnya yang berada di sekitarnya, karena adanya ketidakseimbangan ekosistem. Hubungan Manusia dengan Tumbuh-Tumbuhan Peranan tumbuhan terhadap manusia sangat besar. Manusia memerlukan tumbuhan untuk kelangsungan hidupnya. Peranan itu, antara lain, memberikan manfaat nilai konsumtif bagi manusia, seperti bahan pangan. Dalam cerpen “Empana” (Em) karya Korrie Layun Rampan dilukiskan besarnya manfaat pohon kelapa sawit. Tokoh Aku membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit dipilih karena cocok untuk ditanam di daerah itu dan juga sealigus ingin memberdayakan masyarakatnya. Usahanya itu berjalan lancar karena mendapat dukungan dari berbagai pihak, yaitu investor, masyarakat, dan pemerintah kabupaten, seperti dilukiskan sebagai berikut. Aku merasa sangat senang dan tersanjung karena dukungan itu benar-benar memuluskan usahaku. Semuanya berjalan lancar dan pertumbuhan sawit juga menggembirakan karena memang lahannya sangat subur. Tak terasa kerjaku telah memasuki tahun keempat—setelah penanaman – dan sebentar lagi akan dimulai panen. Pabrik sudah juga didirikan dan pada tahun kelima panen raya akan dicapai sehingga pabrik dapat beroperasi secara penuh. (Em, 18) Kutipan tersebut menunjukkan perlakuan baik manusia terhadap tumbuhan, kelapa sawit, sehingga hasilnya pun baik, yaitu memberi hasil yang banyak dan menguntungkan banyak orang. Karena perlakuan manusia terhadap tanaman baik, terjadi hubungan timbal balik yang baik juga, yaitu tanaman menjadi subur dan manusia memperoleh keuntungan dari kelapa sawit. Perlakuan kepedulian manusia terhadap tumbuhan juga ditunjukkan pengarang melalui sikap manusia yang menolak melakukan perataan tanah untuk perkebunan karena di lahan tanah itu banyak tumbuh buah-buahan lokal, seperti cempedak, keliwet (mirip buah rambai), engkarai (sejenis rambutan), langsat, dan ketingen (sejenis durian). Dengan demikian, meskipun dibuka perkebunan dengan lahan yang luas, phon kecil tetap hidup, tidak dimusnahkan. Jadi, antara pohon besar dan pohon tumbuh berdampingan. Hal itu berarti kepentingan masyarakat terhadap pohon tidak diabaikan. Dalam cerpen “Danau Bengkirai” (DB) karya Korrie Layun Rampan dilukiskan tokoh Aku memanfaatkan tanaman untuk menata lingkungan Danau Bengkirai yang akan dijadikan sebagai objek wisata. Tanaman yang menjadi pilihannya untuk keindahan objek wisata itu adalah tanaman aneka ragam bunga yang menyerupai bunga-bunga di Pasadena dan pohonpohon tinggi serta kebun rotan dan hutan rimba. Hasil dari penataan lingkungan diharapkan akan mempunyai daya tarik, seperti yang dilukiskan berikut ini.
330
Dengan menata lingkungan, aku menetapkan untuk mengemas Danau Bengkirai nenjadi objek wisata. Bagian tepi danau yang tinggi kutanam aneka bunga, sebagaimana bunga-bunga yang pernah aku lihat di pesta bunga Pasadena. Dalam suatu lawatan aku pernah kagum betapa indah bunga-bunga di sepanjang jalan kota Buguio City dan kuingin buatkan tepi Danau Bengkirai dipenuhi bunga .... Berikut kebun rotan dan hutan rimba menjadi daya tarik kawasan penangkaran binatang liar.... (DB, 185) E. PENGAJARAN SASTRA SERTA RELEVANSINYA LINGKUNGAN DENGAN PENGAJARAN SASTRA
MANUSIA
DAN
Dalam Kurikulum 2013 SMA /MA pengajaran materi sastra dijadikan satu dengan bahaaa Indonesia dengan nama mata pelajarannya adalah Bahasa Indonesia. Dalam Kurikulum 2013 disebutkan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia adalah pembelajaran berbasis teks, baik teks tulis maupun lisan. Pembelajaran sastra menurut Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk menumbuhkan kepekaan batin dan sikap kritis sehingga peserta didik memiliki kebanggaan dan kecintaan terkadap karya sastra dan budaya bangsa. Untuk menanamkan rasa bangga dan cinta terhadap karya sasatra dan budaya bangsa di kalangan peserta didik, pembelajaran harus berorientasi dari kehidupan masyarakat yang ada di Indonesia. Keragaman budaya bangsa tecermin dari beragamnya karya sastra sebagai bagian dari budaya bangsa. Ada karya sastra lama dan sastra modern. Untuk karya sastra modern yang berbentuk prosa dikenal adanya cerpen. Dalam Kurikulum 2013 cerpen diberikan di kelas XI. Materi pembelajarannya karakteristiknya adalah menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli, dan responsif mengenai permasalahan soaial dan lingkungan. Pengajaran sastra merupakan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, pengajaran sastra harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam hal itu tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, materi pembelajaran sastra, khususnya cerpen, difokuskan pada manusia dan lingkungan. Hubungan manusia dan lingkungan yang mengandung timbal balik sebagaimana terlihat dalam analisis memiliki relevansi dengan pengajaran sastra di SMA, khususnya yang berkaitan dengan materi pengajaran cerpen. Ada nilai-nila yang menjadikan hubungan timbal balik. Nilai itu meliputi nilai moral dan etika. Nilai tersebut yang akan memunculkan sikap atau perilaku keharmonisan atau ketidakharmonisan. Apabila manusia berlaku baik terhadap lingkungan, lingkungan akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila manusia itu berlaku tidak baik terhadap lingkungan, lingkungan menjadi tidak baik. Perwujudan nilai moral dan etika dapat berupa toleransi, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Selain itu, hubungan manusia dan lingkungan yang tecermin dalam cerpen, khususnya karya Hamsad Rangkuti dan Korrie Layun Rampan, relevan dengan materi pembelajaran sastra karena (1) mengangkat masalah lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan (2) mengandung nilai sosial, moral, dan etika kaitannya dengan kondisi sosial masyarakat. Relevansi hubungan manusia dan lingkungan yang terkandung dalam
331
cerpen Hamsad Rangkuti dan Korrie Layun Rampan tersebut dapat dijadikan acuan genre prosa, khususnya cerpen, sebagai materi dalam pembelajaran sastra. F. SIMPULAN Cerpen “Penyakit Sahabat Saya” (Hamsad Rangkuti), “Anak Menjangan” (Hamsad Rangkuti), “Musuh Petani” (Hamsad Rangkuti), “Kayu Naga” (Korrie Layun Ramoan), “Empana” (Korrie Layun Rampan), dan “Danau Bengkirai” (Korrie Layun Rampan) yang dianalisis dalam tulisan ini mengangkat masalah lingkungan. Oleh karena itu, cerpen tersebut dianalisis dengan menggunakan teori ekokritik sastra, terutama dalam hubungan manusia dengan lingkungan. Berdasarkan analisis ekokritik sastra, dapat disimpulkan bahwa hubungan manusia dan lingkungan yang dilukiskan dalam cerpen tersebut meliputi hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan binatang, dan hubungan manusia dengan tumbuhtumbuhan. Hubungan itu menunjukkan hubungan timbal balik, yaitu apabila manusia bersikap baik, lingkungan juga baik. Sebaliknya, jika manusia bersikap tidak baik, lingkungan menjadi tidak baik. Dalam pengajaran sastra, hubungan manusia dan lingkungan relevan dengan pengajaran sastra, khususnya cerpen. Hal itu berkaitan dengan pengajaran sastra dalam Kurikulum 2013 yang menyebutkan bahwa salah satu karakteristiknya adalah menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli, dan responsif mengenai permasalahan sosial, dan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Amrih, Pitoyo. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publiser. Buell, Lawrence. 1995. The Environmental Imagination. Cambridge: Harvard University Press. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Deoartemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Gifford, Terry. 1999. Pastoral. New York and London: Routhledge. Glothfelty, C dan H. Froom. 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. London: University of Georgia Press. Hunga, Arianti Ina Restiani. 2013. “Ekofeminisme, Krisis Ekologis, dan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya (Ed,). Dewi Candraningrum. Yogyakrata: Jalasutra. Jubrohim (Ed.). 1991. Siklus Muhammad Diponegoro: Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah. Indonesia Heritage Foundation. “Pendidikan Holistik Berbasis Karakter unyuk TK dan SD”. http://www. scribd.com/doc/606171777/Proposal/scribd. Diakses tanggal 10 April 2017. Pukul 23.23.
332
Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kerridge, R dan N. Sammells. 1998. Writing the Environment. London: Zed Books. Nawawi, Hadawi. 2012. Metode Penelitian Bidang Sosial.Jakarta: Sinar Harapan. Nurjaman, Aam. 2006. “Pembelajaran Sastra di Sekolah dalam Membentuk Insan yang Peka terhadap Etika dan Estetika”. Bogor: Universitas Pakuan. Rampan, Korrie Layun. 2007. “Kayu Naga”. Dalam Kayu Naga. Korrie Layun Rampan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rampan, Korrie Layun. 2007. “Empana”. Dalam Kayu Naga. Korrie Layun Rampan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rampan, Korrie Layun. 2007. “Danau Bengkirai”. Dalam Kayu Naga. Korrie Layun Rampan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rangkuti, Hamsad. 2016. “Penyakit Sahabat Saya”. Dalam Cemara. Yogyakarta: Diva Press.
Hamad Rangkuti.
__________ . 2016. “Anak Menjangan”. Dalam Cemara. Hamad Rangkuti. Yogyakarta: Diva Press. __________ . 2016. “Musuh Petani”. Dalam Cemara. Press.
Hamad Rangkuti. Yogyakarta: Diva
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian. Yogyakart: Pustaka Pelajar. Sastrapratedja, M. 2013. Pendidikan sebagai Humanisasai. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Sayuti, Suminta A. 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
333
ENGLISH BEGINNING VERBS: A CORPUS BASED STUDY Rohima Nur Aziza Al Hakim Universitas Sembilanbelas November Kolaka [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) persamaan dan perbedaan analisis semantik pada kata kerja beginning antara teori Dixon dan data dari korpus BNC dan COCA, dan (2) persamaan dan perbedaan konstruksi komplemenpada kata kerja beginning antara teori Dixon dan data dari korpus BNC dan COCA. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data penelitian terdiri atas Bahasa Inggris British dan Bahasa Inggris Amerika. Data Bahasa Inggris Britis diperoleh dari British National Corpus (BNC), sedangkan data Bahasa Inggris Amerika diperoleh dari the Corpus of Contemporary American English (COCA). Data dianalisis menggunakan pendekatan semantik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan antara teori Dixon dan data dari BNC dan COCA. Perbedaan yang pertama yakni, perbedaan analisis semantik dari empat kata kerja, yaitu begin, start, commence, dan complete. Berdasarkan teori Dixon begin merujuk ke suatu tempat, sedangkan start merujuk ke suatu waktu. Kemudian, commence dan complete merujuk ke suatu profesi yang signifikan. Sedangkan data dari korpus menunjukkan bahwa begin dan start dapat dipertukarkan dalam penggunaannya. Kata kerja tersebut dapat merujuk pada keduanya, yaitu tempat atau waktu. Selanjutnya, commence dan complete juga merujuk pada pekerjaan sehari-hari, bukan hanya suatu profesi yang signifikan. Perbedaan yang kedua, yaitu konstruksi komplemen pada kata kerja commence, keep, finish dan stop. Berdasarkan teori Dixon, mereka dibatasi pada konstruksi komplemen -ing, sedangkan data dari korpus membuktikan bahwa terdapat kemungkinan penggunaan komplemen to-; contohnya kata kerja stop bisa menggunakan konstruksi komplemen to- jika bertemu dengan kata kerja stative. Kata-kata kunci: beginning, analisis semantik, konstruksi komplemen, korpus
A. INTRODUCTION 1. Background Linguistics is often defined as the study of language, concerns with identifying the meaningful elements of specific languages and all aspects of how people use language and what they must know in order to do so. In linguistics, human language is a system of sounds, symbols and meaning (Kreidler, 1998: 3). Here the writer just wants to focus on the meaning of the words or we call semantics. Semantics is the field of linguistics concerned with the study of meaning in language. It is an attempt to explicate the knowledge of any speaker of a language which allows that speaker to communicate facts, feelings, intentions, and products of the imagination to other speakers and to understand what they communicate to him or her (Kreidler, 1998: 9). Dixon, in his book “A Semantic Approach to English Grammar” that intends to provide a fresh look at English grammar, arguing that a speaker “codes” a meaning into grammatical forms in order to communicate theme to a hearer. Investigating the interrelation of grammar and meaning, Dixon uncovers a rationale for the varying grammatical properties of different words. He offers a discussion of some English Verbs in terms of semantic types. One of them is BEGINNING verbs type. Furthermore, grammar and semantics are interrelated. A grammatical construction always considers aspect of meaning and a different form of sentence will also convey a different
334
meaning. Based on a meaning of a word one can think of its grammatical possibilities, for example the verb finish indicates that an activity terminates because it is completely done, whereas verb stop indicates that an activity terminates because there is something to do with the subject. The correlation between grammar and semantics can be described as follows: “When a speaker of a language encounters a new word they may first of all learn its meaning, and will then have fair idea of the morphological and syntactic possibilities. Or they my first of all learn something of how to use the word grammatically, and this will help them to work out its meaning.” (Dixon, 2005: 6) In order to know the correlation between grammar and semantics, this research investigates the extension of Beginning Verbs of semantic analysis and complement construction (form). Beginning verbs are divided into three groups: (i) begin, start and commence (ii) continue, keep (on) and go (on) (iii) finish, cease, stop, complete, discontinue. Corpus plays important role as a reference for information related to a specific language. Corpus not only provides information on the frequency of word but also other linguistics information including context of word. Despite its important contribution to the field, research on corpus has received attention in the linguists’ context. As Leitner (1994), who discussed begin and start as part of beginning verb and took the data from three corpora (British English LOB, the American English BROWN (BRN), and the Indian English KOLHAPUR (KOL)) in order to find out the frequency in using those verbs. The second is Ruan (2014), who investigated the factors affecting the choice of verbs “begin” or “start”. They investigate two verbs of beginning verbs which are also taken from corpora. The differences with this research are, the writer uses all beginning verbs, not only start or begin and the writer just wants to focus on semantic analysis from those beginning verbs. 2. Research Questions Based on the background, the writer formulates the research questions as follows: a. To what extent does the semantic analysis of beginning verbs of Dixon’s framework differ from those found in corpora? b. To what extent does the complement construction (form) of beginning verbs of Dixon’s framework differ from those found in corpora? B. THEORY AND METHODOLOGY 1. Theoretical Framework 1.1 Semantic types and grammatical word classes Dixon (2005: 7) defines semantic types as a group of words that have a general meaning element. Those words are classified in the same way naturally into large classes at the semantic level. For instance, the Adjectives such as big, broad, short, shallow are grouped as the Dimension type. Verbs begin, start, continue, finish are grouped as the Beginning type. Furthermore, Dixon (2005: 7) argues that word classes or called part of speech are grouped from certain words that have general morphological and semantic properties at the level of grammar On the other hand, at the level of semantics, words can be set in semantic types, with part of general meaning, while at the level of grammar words can be set in word classes, with common morphological and syntactic characteristics. Semantic types and grammatical word classes are related to each other. Many semantic types are categorized as the same word classes in each language. For instance, members of
335
liking verb type such as love, loathe, prefer and so forth can be categorized into the Verb class in some language, into the Adjective in other languages, or to the Noun class in a few language (Dixon, 2005: 9). 1.2 Beginning verbs Dixon (2005: 96) explains that the notion of verbs is divided into two types: primary and secondary verbs. The verbs which directly refer to some activity or situation belong to primary verb type. Furthermore, the verbs which offer semantic alteration of syntactic or morphological notion belong to secondary verb type. And beginning is included in secondary verb types. Semantically Dixon divides beginning verbs into three groups: (1) begin, start, commence; (2) continue (with), keep ((on) with), go on (with); (3) finish, cease, stop, complete, discontinue. a. Semantic analysis Group I: begin, start and commence According to Dixon (2005: 180), there is different meaning between begin and start. Begin refers to a place, while start refers to time. We may see the examples below: • The maraton race begins at Santa Monica (place) • The maraton race starts at three o’clock (time) Wierzbicka in Dixon has pointed out that the verb start refers to the first moment of some activity; it relates to Dixon’s explanation that the verb start refers to a time and the beginning refers to the first segment (2005:180). Consider another example: • The three o’clock race began at the 500-metre mark (place), it started ten minutes late (time) Usually, Start is used to replace begin and vice versa with little or no change in meaning. In fact, both verbs are semantically different that have broader scope in their use. Dixon (2005: 181) explains that commence has orientation to time, similar to start. Another semantic side of commence, itis used for definite and significant piece of work, not just any everyday job. For examples: • She has commenced writing her new symphony. NOT: • She commences breakfast at 8 o’clock. Group II: continue (with), keep on (with) and go on (with) Continue (with) refers to the activity which has stopped and then start again by the doer, whereas keep on (with) and go on (with) refer to the activity without termination. While keep (on) without with is used to express persistent and frequently unreasonable repetition of activity (Dixon, 2005: 181). For example: • He kept on mowing the grass. The verb kept on can be used to refer to someone cutting the grass once a week, although the grass had barely grown during that period.
336
Group III: finish, cease, stop, complete and discontinue Dixon explains that the difference between stop and cease is that stop tends to refer to something happening suddenly (often, unexpected) while cease may describe a general winding down to nothing (Dixon, 2005: 180). Consider the examples below: • The clock stopped (going) at five past three (it had been going perfectly until then). • My starter motor finally ceased to work (it had been in poor shape for months). On the other hand, cease and stop have similar semantic intention. They refer to ‘subject orientation’; the activity terminates because the person has another activity to do. While finish refers to ‘object orientation’, the activity is end because something to do with the object is clear (Dixon, 2005: 180). The examples below show the position of finish andstop and cease in the sentence: • Irma finished writing novellast night • Irma stopped/ceased writing novel last night The first sentence implies that the activity of writing is done because the novel was complete until the last of the story. Whereas the second sentence implies that the activity of writing was done because the subject had another activity to do at that time. The next verb is complete. It refers to the activity of making, preparing or performing. But, complete meaning is different when it refers to consumption (Dixon, 2005: 181). Complete and commence have the same semantic meaning; they are used for definite and significant piece of work, not just everyday job. For example: • She completes the meal Complete here means that she finished cooking or preparing the meal, not eating it. The last verb in this group is discontinue. It refers to a temporary or permanent ending, e.g. • They discontinued having the daily paper delivered while they were away on holiday (Dixon, 2005 181). b. Complement construction (form) Dixon (2005: 261) stated that beginning verbs restricted to two complement constructions, namely, –ing and to-. And they reflect the semantic possibilities. An –ing complement is used when the verb refers to an activity happens over a period of time, and tocomplement is used when the subject’s getting involved in an activity. All beginning verbs occur with –ing complement construction. The first group (begin, start, commence) refers to the inception, the second group (continue (with), keep ((on) with), go on (with)) refers to the continuation, and the last group (finish, cease, stop, complete, discontinue) refers to ending of some activities (Dixon, 2005:262). Dixon’s main framework of complement construction is explained as follows: Begin, start, continue, go on, and cease also occur with to- complement, whereas commence, keep (on), finish, stop, complete and discontinue do not. (Dixon, 2005: 262) Considering that all beginning verbs can occur with –ing, while only some of them can occur with to- complement, of course there is semantic explanation as to why these verbs cannot occur with to-. For example, the verb stop; in I stopped to read has different meaning with I stopped reading; the –ing refers to the activity of reading terminates because something happen
337
with the subject, while the to- implies that another activity terminates because the subject wants to read. Furthermore, Dixon (2005: 261-2) gives some examples about the difference of –ing and to- complement construction when they occur with the verbs start, continue, finish, as follows: (1a) Fred started hitting Mary (but she cried so much he stopped) (1b) Fred started to hit Mary (but checked himself before actually delivering the blow) (2a) John continued painting the wall (despite all the distractions) (2b) John continued to paint the wall (after that interruption) (3) John has finished peeling the potatoes Sentence (1a) implies that Fred hit Mary for a period, sentence (1b) could be used if he raised his stick, ready to bring it down on her head. Sentence (2a) implies that John carried on with an established activity, rather than stopping it, sentence (2b) is used when he becomes involved again after having stopped. While sentence (3) implies that the activity terminates because the potatoes are all peeled. Moreover, the verb commence and complete are object oriented, they refer to some definite and significant piece of work and must take an –ing, referring to the durative activity to achieve the work. The verb stop also restricted to –ing complement(Dixon, 2005: 262-2). 1.3 Corpus The definition of corpus or in plural form called corpora according to Sinclair as follows: “A corpus is a collection of pieces of language text in electronic form, selected according toexternal criteria to represent, as far as possible, a language or language variety as a source ofdata for linguistic research.” (Sinclair, 2005:12). It can be seen from theprevious definition, the term corpus stands for a large collection of natural texts, both written and spoken, andthey can be found in digital form stored. A corpus consists of millions of words from varioussources and registers: fiction and non-fiction writing, academic papers, newspaper articles,telephone conversations, commercials, lectures, public speeches, television interviews, writtenand spoken, formal and informal. There are precise rules for developing a corpus detailing thetypes and quantities of texts and they are designed to insure that a corpus isrepresentative and balanced (Meyer, 2002: 30). a. BNC (British National Corpus) The BNC is a collection of more than 100 million words designed to provide a wide range of samples, each not exceeding 45.000 words, of spoken and written English from the 1960‟s to 1990‟s. The written part represents 90% of the whole corpus and comprises extracts from regional and national newspapers, periodicals, journals for all interests, academic essays, popular fiction and others. Remaining 10% consists of transcriptions of both formal and informal conversations collected in contexts ranging from business meetings and radio shows to casual dialogues in the streets. Thus, the BNC may be classified as a synchronic (relates to a specific period in the English language), general (not restricted to any particular field or register), monolingual (British English only) and mixed corpus (examples of both written and spoken language) (Davies, 2009: 159) b.
338
COCA (Corpus of Contemporary American English)
The COCA which was released online in 2008 contains more than 402 million words since every year from period 1990-2009 is added by 20 million new words. Therefore, it is designed as a source for observing ongoing changes in the language. It is the first large, diverse and publicly available corpus of American English that contain texts from a wide range of genres and texts (Davis, 2009: 160). In comparison to the BNC, the COCA comprises 20% of spoken English and 80% of written texts. Portion of 20% is consistently dedicated to fiction, popular magazines, newspaper, academic and other genres as demonstrated in the contiguous table which contrasts numbers of words assigned to individual genres in the BNC and the COCA (Davies, 2009: 161). 2. RESEARCH METHODOLOGY 1.1 Research Design The writer used descriptive qualitative method in conducting this research, in which the similarities and differences of Dixon’s beginning verbs framework and the data from two corpora (BNC and COCA) as the representation of English in general are further presented descriptively in the form of comparison. 1.2 Technique of Analyzing Data The data which had been collected were reduced by selecting data which could be represented Dixon’s framework. Then, the data which had been reduced were presented based on each group. The data of semantic analysis came first and followed by the data of complement constructions. Finally, the writer analyzed the similarities and differences of semantic analysis and complement construction by using Dixon’s framework. C. DISCUSSION Beginning Verbs are divided into three groups. The first is a group of verbs which refer to the inception, the second is a group of verbs which refer to continuation and the third is a group of verbs which refer to ending of some activity. 1. Group I: verbs referring to the inception of an event a. The different semantic analysis of Dixon’s framework and the data from corpora Table 5. semantic analysis of group I No. Beginning Verbs Dixon’s Framework Corpora (BNC & COCA) 1. Place Place and time Begin 2. Time Time and place Start 3. Definite and significant Definite and significant Commence piece of work and everyday piece of work job
Dixon (2005: 180-2) argues that begin “tends to refer to a place” and start “tends to refer to a time”. But, corpora prove that in many contexts begin is interchangeable with start. Then the verb commence in Dixon’s framework is just used for definite and significant piece of work, while corpora show that it is used also for everyday job. In BNC and COCA the verbs begin and start refer to a place and a time. Data given to illustrate this notion are (1a), (1b), (1c), (1d), (2a), (2b), (2c), and (2d):
339
(1a) CRYSTAL PALACE'S struggling squad did their bit for Children in Need yesterday -- but today charity must not beginat home. (BNC 1) (1b) The UFF warned retaliatory action, similar to a shooting which left five Catholics dead in an attack on a Belfast betting shop last February, would beginatmidnight last night. (BNC 2) (1c) It should be made with ingrethents that beginatroom temperature. (COCA 1) (1d) The concerts will beginat4 p.m. Friday, and organizers have set up extra sound and video systems in case Discovery Green is overwhelmed. (COCA 2) (2a) It is important to realize, however, that what some commentators have called the' new realism' did not startin1979. (BNC 3) (2b) The thugs struck days before production was to startinthe Russian city of Kursk. (BNC 4) (2c) The radiator coughed steam as the old vehicle stopped in the center lane of more traffic than he'd ever seen gathered together in midafternoon. Did rush hour startatthree o'clock here? (COCA 3) (2d) After lunch, let's startatDolan's place at the lake. I'd like to look around some more. (COCA 4) Data (1a) and (1c) denote that the verb begin refers to a place, while data (1b) and (1d) denote that it also refers to a time. Furthermore, data (2a) and (2c) denoted that the verb start refers to a time, whereas data (2b) and (2d) denoted that it also refers to a place. Corpora show that the verb commence is used for definite and significant piece of work, as data (3a) and (3b) and some everyday jobs, as data (4a), (4b) and (4c): (3a) The designer could be assigned a geometric domain in which to work -- this would be described by default values within an assembly model. Alternatively, the designer may commenceworking in " free-space " and later declare it as having fu In either case it is necessary to map the geometric domain on to the object being designed, at the earliest possible time. (BNC 5) (3b) At precisely such a moment, having come into direct conflict with the institutional apparatus of federal Indian law, he commencedwriting a series of autobiographical sketches, addressed to a predominantly white audience. (COCA 5) (4a) The men of the seventeenth army of the world went to the mess hall to sit until the table corporal ordered them to commence eating potatoes were the staple of the meal, that and a stew of meat. (COCA 6) (4b) And we did commence to laugh at that funny picture of the old man and woman all tanned and healthy playing shuffleboard and looking sideways at each other like they was flirting. (COCA 7)
340
(4c) Most are difficult to trace; their names are apt to be commonplace and we do not know where to commencelooking for them. (BNC 6)
b.
The different complement construction (form) of Dixon’s framework and the data from corpora Table 6. complement construction of group I No. Beginning Verbs Dixon’s Framework Corpora (BNC & COCA) 1. -ing and to-ing and toBegin 2. -ing and to-ing and toStart 3. -ing -ing and toCommence
Dixon (2005: 262), states that the verbs begin and start occur with both –ing and tocomplement constructions, this phenomenon also occurs in BNC and COCA; the -ing complement is used when begin or start refers to an activity happening over a period of time, while the to- complement is used when the subject’s getting involved in an activity. Furthermore, the verb commence according to Dixon (2005: 262), only occurs with –ing complement construction, whereas in corpora, it also occurs with to- complement. Though the construction is different, but they share similar meaning; the –ing and to- complements refer to the duration to attain the work. Corpora prove that the verb begin and start occur with both –ing and to- complement constructions: (5a) Muslims are the majority in Nazareth, so they could beginbuilding the mosque; but they are a minority in Israel, so construction was stopped. (COCA 8) (5b) As they begin to remember their younger life and what their job was or the day they went on holiday to Margate, the more they may begintomake links with things happening today. (BNC 7) (6a) To receive a minimum pension at age sixty, women who startworkingat age twenty must contribute for at least 50 percent of their affiliation time (COCA 9) (6b) January is the peak month, but winter visitors now starttoarrivein October and November and depart in February and March, sometimes April. (BNC 8) Furthermore, the verb commence occurs with–ing complement construction as data (7a) and (7b), and to- complement construction as data (8a), (8b), (8c) and (8d): (7a) This is because we will commence knitting with the carriages at the right and be knitting the first row of background colour to the left. (BNC 9) (7b) They both commencelaughing to beat the band, her arms round his neck and Mr. Waldo looking like a sixteen-year-old schoolboy instead of something closer to fifty, and one of the richest men in the world, according to what Gan told. (COCA 10)
341
(8a) I will make a brash prediction: that by the year 2000 the social sciences, in conjunction with brain studies, will commence to replace biology in the central role. (BNC 10) (8b) Commencetofill the pool and, simultaneously, to backfill with sand or sifted soil. (BNC 11) (8c) He could hear Jennifer commenceto read aloud from the magic book. (COCA 11) (8d) I mean, it was the day before the sentencing which we all knowed would be bad. And we did commenceto laugh at that funny picture of the old man and woman all tanned and healthy playing shuffleboard and looking sideways at each other like they was flirting. (COCA 12) 2.
Group II: verbs referring to the continuation of an event a. The different semantic analysis of Dixon’s framework and the data from corpora Turning now into Group II of beginning verbs, there is no different phenomenon between Dixon’s Framework and those found in corpora about the semantic analysis in this group. As Dixon (2005: 181) frames that the verb continue (with) refers to the activity which has stopped and then start again by the subject, moreover, keep on (with) and go on (with) refer to the activity without termination. While keep (on) without with is used to express persistent and frequently unreasonable repetition of activity. Continue (with) refers to the activity which has stopped and then start again by the doer as data (9a) and (9b), whereas keep on (with) and go on (with) refer to the activity without termination as data (10a) – (10b) and (12a) – (12b). While keep (on) without with is used to express persistent and frequently unreasonable repetition of activity as data (11a) and (11b): (9a) W. is not in fact refusing all treatment. Her attitude is that she wishes to continuewith the treatment which she was receiving when the hearing of this appeal began. (BNC 12) (9b) In September, Congress piled expensive new chores on NASA: Develop a new space pod to carry humans into orbit and beyond, build the big new rocket by 2017 and continuewith some of Obama's pet projects, such as subsidies for private space companies. (COCA 13) (10a) As we said earlier, you can keeponwith your favourite foods and you need not formulate strict rules that ban your preferred treats from your life. (BNC 13) (10b) My father could keeponwith what he'd been doing all along, taking care of the bills from a distance, the price of staying untangled. (COCA 14) (11a) My one remaining ambition is to win a championship medal and I'll keepon playing as long as my legs will carry me,' he said. (BNC 14) (11b) I suspect that you are as frustrated as anyone that you haven't been able to advance that goal. But the people are expecting you to keepon trying to be the president of all Americans. (COCA 15) (12a) You must goonwith the preparations as though you were alone.
342
(BNC 15) (12b) There are supposed to be stages of grief, and then at the end you are supposed to be all calm and accepting and ready to goonwith your life. (COCA 16) b. The different complement construction (form) of Dixon’s framework and the data from corpora Table 7. complement construction of group II No. Beginning Verbs Dixon’s Framework Corpora (BNC & COCA) 1. -ing and to-ing and toContinue 2. -ing and toKeep -ing 3. -ing and to-ing and toGo on According to Dixon (2005: 262), the verbs continue and go onoccur with –ing and tocomplement constructions, this phenomenon also occur in corpora; the –ing complementis used when the subject carried on with an established activity, rather than stopping it, whereas the tois used when the subject becomes involved again after having stopped. Dixon (2005: 262) says that in group II the verb keep doesn’t occur with to- complement construction, nevertheless the data found in BNC and COCA are different, the to- complement construction are found. Although they have different complement but they share similar function and meaning; the –ing and to- referto continuation of an activity without a break. The verbs continue and go onoccur with both –ing and to- complement constructions: (13a) Can I extend my covenant, if I wish to continuemaking payments over a longer period? (BNC 16) (13b) Well, diplomacy hasn't run its course, that's what I'm trying to explain to you -- a la the Sanger question. And we'll continue working to make sure we give diplomacy a full opportunity to succeed. (COCA 17) (14a) Nearly half of Britain's women workers are part-timers. Many mothers continue to work part-time even when their children start schoo. (BNC 17) (14b) I think what the president's focused on right now as he's in South Korea right now, making sure that we continuetomake progress to securing loose nuclear weapons. (COCA 18) (15a) Everything will be overshadowed by these events but we intend to goonmaking the week work as well as we can. (BNC 18) (15b) Though he would goontowrite in other genres, science fiction became his hallmark (COCA 19) Data (13a), (13b) and (15a) state that the subject carried on with an established activity, rather than stopping it, whereas data (14a), (14b) and (15b) might be used when the subject becomes involved again after having stopped. BNC and COCA show that the verb keep occurs with both –ing and to- complement constructions, as data below: (16a) I keepgiving myself little deadlines for when the transplant will happen,' she says.'
343
(BNC 19) (16b)You have to keepworking out, trying to get in the best shape possible, so when this lockout is over, I will be ready to go and start training camp. (COCA 20) (17a)The early morning run was the worst part of the day. If Mike fell behind, he would be lost in the forest. And Christophe, keep to keep up his research, could make no concessions for a cameraman weighed down with 40kg of gear. (BNC 20) (17b) The number and size of the buildings of the farmstead was affected not only by the size of the farm but also by the type of farming practised. On an arable farm with only a few cattle kept to make manure, little provision would be made for these animals, but there would be one or more barns, stables and shelters for carts. (BNC 21) (17c) You know those master reels that the recording companies keep to produce CDs of famous music groups? It turns out that many of these modern tapes, made as recently as a few years ago, are disintegrating, literally, and people might never be able to play them again. (COCA 21) (17d) K.K. made a note in the climbing journal she kept to record her every climb:' Reached summit of Szarabajka Spire. 11:58 p.m. 22 January. (COCA 22) Data (17a), (17b), (17c) and (17d) imply that the to- complement construction shares similar meaning with –ing complement; referring to sustainable pursuit of some activities.
3. Group III: verbs referring to the ending of an event a. The different semantic analysis of Dixon’s framework and the data from corpora Table 8. Semantic analysis of group III No. Beginning Verbs Dixon’s Framework Corpora (BNC & COCA) 1. Object orientation Object orientation Finish 2. Subject orientation Subject orientation Cease 3. Subject orientation Subject orientation Stop 4. Significance piece of Significance piece of work Complete work and some everyday job 5. Temporary or permanent Temporary or permanent Discontinue ending ending Based on the data from corpora, the verb complete has different function from Dixon’s framework (2005: 181 – 2), while 4 of which are similar; finish refers to object orientation; it implies that the activity is completely done, cease and stop refer to subject orientation; they imply that the activity terminates because something to do with the subject, and discontinue refers to a temporary or permanent ending. Dixon (2005: 181) argues that the verb complete is like commence, it refers to significant piece of work, not just any everyday job. But, again Dixon’s framework is different with data from corpora because it is also used for everyday job. In this case, corpora prove that the verb finish refers to object orientation as data below:
344
(18a) Mark has recently finishedwriting a paper on the harmful effects of secrets in families. (BNC 22) (18b) The government finishedbuilding the fence in 2004 and, indeed, it has largely solved the problems it was designed to solve. (COCA 23) Data (18a) implies that the activity of writing is done because the paper was complete until the last page, and data (18b) implies that the activity of building is done in 2004 and has already used. The semantic analysis of the verbs cease and stop are different from finish, they refer to subject orientation: (19a) He held the Chair of Botany at Cambridge for thirty years, although heceasedlecturing in 1735 and that University's Botanic Garden was not established until 1762 (BNC 23) (19b) From time to time, theyceasedspeaking to look mournfully upon Rayne Holland as she sat motionless in the chair, her gaze fixed and unseeing. (COCA 24) (20a) He had been keeping a wary eye on Jacques Devraux while he made another laborious copy of the revolutionary tract and hestoppedwritingto watch the Frenchman walk back to his own quarters. (BNC 24) (20b) They stopped talking when they saw him. (COCA 25) Data (19a) implies that the activity of lecturing was done because there’s a problem with the university, and data (19b) implied that the activity of speaking is stopped because the subject want to do another activity before they continued their talk. Further, data (20a) and (20b) have the same intention with data (19a) and (19b), they implied that the activity of writing and talking terminate because something to do with the subject. Furthermore, the verb complete refers to significance piece of work as data (21a), (21b) and some everyday jobs, as data (22a), (22b), (22c): (21a) Firstly he showed a film which he called' My Unfinished Symphony', made in the early 1960s featuring the' Manors' on the Shrewsbury to Aberystwyth line -- unfinished because the Manors were withdrawn before he had time to completefilming. (BNC 25) (21b) This resulted from the belief that student teachers couldn't develop themselves enough to gain professional expertise, and that they would be able to learn how to teach through the working life. Therefore, they had to complete teaching practices without acquiring necessary professional knowledge, skills and abilities. (COCA 26) (22a) She encouraged, when he failed to completethe thought. (BNC 26) (22b) The old clock was always fast, no matter how they tried to adjust it, so she knew she had at least ten minutes to completelaying out the table she'd prepared for Tom's first meal with them. (COCA 27) (22c) As Figure 1 shows, the Jones family made relatively fast progress in reducing the amount of time to complete the bedtime routine with their daughter.
345
(COCA 28) The last but not least, the verb discontinue refers to permanent or temporary ending: (23a) The police are entitled to tell the person walking away from the scene to discontinue using his filthy language, which would in all likelihood constitute an offence under section 5 of the new Act. (BNC 27) (23b) " I have asked the Fayette Citizen today to discontinueserving the paper at my home. (COCA 29) Data (23a) implies that the use of language has to be terminated because it is not appropriate anymore, while data (23b) implied the activity of serving the paper terminates because it is need to be corrected before continuing to serve it again b. The different Complement construction (form) of Dixon’s framework and the data from corpora Table 9. complement construction of group III No. Beginning Verbs Dixon’s Framework Corpora (BNC & COCA) 1. -ing -ing and toFinish 2. -ing and to-ing and toCease 3. -ing -ing and toStop 4. -ing -ing Complete 5. -ing -ing Discontinue Dixon (2005: 262) states that all verbs in group III occur with –ing complement construction, and only the verb cease occurs with both –ing and to- complement construction. But corpora show that the verbs finish and stop also occur with to- complement construction. The data from corpora prove that the verb finish occurs with both –ing and tocomplement constructions, while based on Dixon’s framework it only occurs with tocomplement. However, the frequency of appearance of to- complement in corpora is less. Even though their complement construction is different, but they share similar meaning: denoting that all of activities terminate because the activity is completely done. Corpora show that the verb cease also occurs with –ing and to- complement constructions; they imply that the activity terminates because something to do with the subject. This framework is similar with Dixon’s. Based on Dixon’s framework (2005: 180) the verb stop involves the notion of termination from some activities temporarily and happening suddenly. But corpora prove that when the verb stop occurs with -ing complement construction, it denotes a habit and imply a permanent ending. Whereas, when stop occurs with to- complement construction, it refers to stative verbs, such as think, recognize, imagine and hear: Otherwise, if it occurs with dynamic verbs, then it is not part of beginning verbs but it is included in rest verbs. The verb complete only occurs with –ing complement construction in corpora, it is similar with Dixon’s Framework. And it implies that the –ing complement refers to the duration to attain the work. The last is the verb discontinue, it is similar with the verb complete which only occurs with an –ing complement construction, it implies impermanent or permanent termination.
346
Furthermore when the verb finish occurs with -ing complement construction, it has the same meaning when it occurs with –to as data below: (24a) Met at Preveza, one hour bus to Nidri, pause at cafe for cool drink, change money and a short relax while the crew finishpreparing the yachts. (BNC 28) (24b) I finishwriting checks and records, look at the tax bill again, look at the offer from the insurance millionaire who wants to buy Gullah Island. (COCA 30) (25a) Sincerely Thomas Fenster 22 Long Pond Road I had so many different reactions to various parts of this letter that I found it difficult when I finished to consider it as a whole. (COCA 31) (25b) Waiting at 18 after I finished to see if I've won or lost or have to go to a playoff. (COCA 32) (25c) Piece by piece, every timber is cut, shaped, notched and finishedtoexact specifications using the saws, chisels, planes and other hand tools that line the shop walls.? (COCA 33) Data of –ing and to- complement construction above denote that all of activities terminate because they are completely done. Furthermore, corpora show that the verb cease also occurs with –ing and tocomplement constructions, as data (26a), (26b) and (27a), (27b). The data imply that the activities terminate because something to do with the subject: (26a) The hotelier was ordered by the court to ceaseusing the TV in the lounge and to pay the cost of the case, expected to run into thousands of pounds. (BNC 29) (26b) If teachers are told that a student is; inherently uneducable based on misinterpretation of low IQ scores, they will cease trying and will treat the student as unable, thereby producing the result by ill nurture, rather than inherent nature. (COCA 34) (27a) If anguish is too great, an elder may simply cease to discuss loss and just keep going at the level of practical consciousness. (BNC 30) (27b) Sunk in apathy, sheceasedtocook and did almost no housework, sitting all day in the living room with the TV on but the sound off, watching the flickering bluish-gray images in silence. (COCA 35) Moreover, when the verb stop occurs with -ing complement construction, it implies definitive termination. This phenomenon occurs in corpora, five of which are given below: (28a) So to sum up, if we want to help ourselves towards a healthy heart and a long and happy life we need to eat a low fat diet, take regular exercise and stop smoking. (BNC 31) (28b) Almost all damage is, in the early stages, reversible provided people stopdrinkingalcohol. (BNC 32) (28c) First: Change the individual behavioral cognitive element. There are many people who stopstaying awake at night when they discover that it is harmful to health.
347
(COCA 36) (28d) In 1935, a man named Bill Wilson cofounded Alcoholics Anonymous. He had recently undergone a self-described spiritual revelation that caused him to stop drinking alcohol. (COCA 37) (28e) We have to stop exploiting nature and start living in partnership with nature. (COCA 38) Data (28a), (28b), (28c), (28d), (28e) indicate that the –ing complement construction of stop denotes a habit when it implies a permanent termination. Whereas, when stop occurs with to- complement construction, then it refers to stative verbs, such as think, recognize, imagine and hear: as data (29a), (29b), (29c), (29d) and (29e): (29a) Voice over Sergeant Newitt says he didn't stop to think about the danger. (BNC 33) (29b) When you next write to me, please try to jot down some details about yourself which might assist me to help you. When you stop to think about it, I really know remarkably little about you. (BNC 34) (29c) Any storyteller intuitively understands this. But we can make our intuitions more fully conscious if we stop to imagine our characters' emotional or psychological history.. (COCA 39) (29d) It is thus a prayer, preceded by other specific prayers, which reminds us that God will come, even in the midst of static, if we stop to recognize larger patterns (COCA 40) (29e) I don't stop to think about why it's so important for me to be able to move around from place to place. I just do it: I pack up and go. (COCA 41) The verb complete only occurs with –ing complement construction in corpora, as data (30a) and (30b). The data implied that the –ing complement refers to the duration to attain the work. (30a) By the time of his final payment in 1676, Isaac Abendana hadcompletedtranslating the Mishnah into Latin, nearly thirty years after the project first began to be discussed in the Hartlib circle, although his labours were never published. (BNC 35) (30b) Smith says. He has documented female beetles taking 50 to 72 minutes to complete egglaying. (COCA 42)
D. CONCLUSION 1.
The different semantic analysis of Dixon’s framework and the data from corpora a. Group I, Dixon’s Framework: the verb begin refers to a place, start refers to a time and commence is used for significance piece of work, while corpora showed that begin and start are interchangeable; they may refer to a place or a time. Moreover, the verb commence is not only used for significance piece of work, but used also for everyday job.
348
b. Group II, there is no different phenomenon between Dixon’s framework and the data from corpora. They prove the same restriction. c. Group III, Dixon’s framework: the verb finish refers to object orientation; it implies that the activity is completely done, cease and stop refer to subject orientation; they imply that the activity terminates because something to do with the subject, discontinue refers to a temporary or permanent endingand the verb complete refers to significant piece of work. But, corpora prove that it is also used for everyday job. 2. The different Complement construction (form) of Dixon’s framework and the data from corpora a. Group I, Dixon’s Framework: the verb begin and start occur with –ing and tocomplement, and commence only occur with –ing complement construction.Whereas, corpora show that the verb commence also occur with to- complement and has the similar meaning as –ing; referring to the duration to attain the work. b. Group II, Dixon;s framework: the verbs continue and go onoccur with –ing and tocomplement, and keep doesn’t occur with to- complement construction. Nevertheless the data in corpora are different, the verb keep occurs with to- complement construction are found and it has the same function with –ing complement construction in usage; referringto continuation of an activity without a break. c. Group III, Dixon’s framework: all verbs in group III occur with –ing, and only the verb cease occurs with both –ing and to- complement construction. But corpora prove that the verb finish and stop also occur with to- complement construction, even though they have some characteristics in usage. Thus, Dixon’s framework (2005: 262) that “commence, keep, finish and stop do not occur with to- complement construction” cannot be generalized into the whole British and American English beginning verbs, because in some cases in corpora the verb commence, keep, finish and stop occur with to- complement as well. REFERENCES Cambridge Dictionary. British Dictionary. Accessed on 23 March, 2015. From http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british Collins Dictionary. American Dictionary. Accessed 23 March 2015. From http://www.collinsdictionary.com/dictionary/american orpus.byu.edu. 2015. BNC. Accessed on April – August, 2015. From http://corpus.byu.edu/bnc/ Corpus.byu.edu. 2015. COCA. Accessed on April – August, 2015. From http://corpus.byu.edu/coca/ Davies, Mark. 2009. The 385+ million word corpus of contemporary American English (19902008+) Design, architecture, and linguistic insights. International Journal of Corpus Linguistics. 14(7): 159-190 Dixon, R.M.W. 2005. A Semantic Approach to English Grammar. Oxford: University Press. Kreidler, C.W. 1998. Introducing English Semantics. New York: Routledg.
349
Leitner, G. 1994. Begin and start in British, American and Indian English. Freie Universität Berlin Institut für Englische Philologie 14195 Berlin (D), Journal of Linguistics, 13(6): 89-120 Lindquist, Hans. 2009. Corpus Linguistics and The Description of English. Edinburgh: Edinburgh University Press. Meyer, Charles. 2002. English corpus linguistics: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Ruan, Jia-Cing. 2014. A Corpus Study on “Begin”/ “Start” in Academic Writing: A VARBRUL Approach. Journal of Modern Linguistics, 16(4): 260-274 Sinclair, John. 2005. Corpus and text—basic principles. ” In M. Wynne (ed.) Developing LinguisticCorpora: A Guide to Good Practice. New York: Routledge Wierzbicka, A. 1988. The Semantics of Grammar. Amsterdam: John Benjamins
350
FILOSOFI MINANGKABAU ALAM TERKEMBANG JADI GURU MENJADI INSPIRASI PEMBELAJARAN Sri Rustiyanti Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Email [email protected] Hp 081221418454 Abstrak Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Nusantara yang memiliki falsafah ‘Alam Terkembang Jadi Guru’. Falsafah ini merupakan pandangan hidup yang mempunyai dimensi kulturalis dan religius. Di balik dimensi kulturalis dan religius tersebut ada filsafat tali tigo sapilin yang merupakan kelompok yang terdiri atas ninik mamak, alim ulama, dan intelektual yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Filsafat adat Minangkabaumerupakan filsafat yang mendasarkan diri pada ketentuan hukum agama dan hukum alam.Epistemologi dalam filsafat adat Minangkabau cenderung dimaknai sebagai bentukpemahaman yang didasarkan pada fenomena alam sebagai sumber ide dan inspirasi. Namun,pemahaman secara kosmosentris terhadap filsafat ‘alam takambang jadi guru’ tersebut, tidakdimaksudkan sebagai pengetahuan objektif mengenai alam itu sendiri,tetapi alam dijadikan analog untuk membentuk tata nilai dan tata prilaku dalam kontekskehidupan bersama bagi masyarakat Minangkabau. Filsafat adat Minangkabaumenempatkan pengetahuan sebagai sintesis dari aspek empirik dan rasionalitas. Hasilpengetahuan menurut filsafat adat Minangkabau tidak hanya didasarkan pada tangkapanindrawi dan rasionalitas semata, tetapi juga berpijak pada aspek hatisehingga bermuara pada konsep etis-argumentatif. Relevansikajian epistemologi filsafat Minangkabau adat bersandi syarak-syarak bersandi kitabullah, relevansinya dengan seni, agama, dan budaya terletak padaproses dialog yang dilakukan masyarakat Minangkabau.Adat dan agama merupakan pandangan hidup bagi masyarakat Minangkabau merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kata Kunci: filosofi Minangkabau, budaya Minangkabau, tingkatan adat, pendidikan surau.
A. PENDAHULUAN Masuknya Islam ke Minangkabau merupakan awal proses pembaruan sosio-kultural bagi masyarakat Minangkabau. Pada saat bersamaan, terjadi pula kebudayaan baru yang ditandai oleh akulturasi budaya yang dimanifestasikan dalam falsafah adat basandi syarak – syarak bersandi katabullah. Kajian ilmu dalam Islam tidak hanya pada inti ajaran Islam itu sendiri, melainkan juga pada ilmu lain yang relevan terhadap ajaran Islam. Semua aspek dan hal dalam kehidupan manusia diatur oleh Islam. Cakupan kajian Islam sangatlah luas karena tidak ada satupun hal yang tidak diatur dan dibahas dalam Islam, mulai dari keindahan dalam hal ini seni dan budaya, ilmu pengetahuan, hingga cara berpikir dengan filsafat. Islam agama yang mencintai keindahan sehingga dalam Islam terdapat aspek hubungan Islam dengan seni dan budaya. Islam merupakan agama yang berkembang, fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun hal ini perlu dipikirkan secara lebih mendasar, logis dan menyeluruh sehingga perkembangan yang terjadi tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam. Islam adalah agama yang sangat menghargai seni. Hampir dalam setiap masa penyebaran Islam diberbagai belahan dunia, seni selalu dianggap sebagai salah satu media dakwah yang dianggap paling tepat. Oleh karena itu, masyarakat akan lebih mudah memahami nilai-nilai yang dibawa oleh agama Islam melalui seni tanpa perlu ada kekerasan. Masyarakat Minangkabau dikenal sebagaimasyarakat yang menjadikan nilai-nilai adat dan Islam sebagai pedoman hidupnyaatau patokan dalam bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul, dan berpakaian.Perpaduan antara nilai adat dan Islam dikenal dengan ungkapan
351
filosofis ‘alam terkembang jadi guru’, telah melandasi tatanan hidup danmenjadi pandangan atau falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau. Adat basandisyarak-syarakbasandi kitabullah adalah adat ataunorma hukum yang dipakai nenek moyang orang Minangkabau yang berdasarkankepada ajaran syarak. Sendi artinya dasar atau pondasi yang kuat, sedangkan syarak dan kitabullah artinya Al-Quran.Kesenian Minang pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari dasar falsafah atau pandangan hidup dan kehidupan sosial suku Minangkabau, tegasnya adalah adat Minangkabau itu sendiri. Hal ini telah menjadi ketetapan dengan suatu Sumpah Satir dalam sebuah ‘Piagam Bukit Marapalam’ pada tahun 1827 secara terpadu oleh para pendukung adat, ulama dan cendekiawan Minang di masa itu (Nursam, 1967: 76). Konsepsi ini jelas memberi kenyataan bahwa budaya Islami telah memberi kerangka dan konsep-konsep hukum Islam. Muncul pula istilah bahasa politik yang cukup minor dari tokoh seperti, Geertz melalui konsep yang disebut ‘agama Jawa’. Melalui pemilahan sosiologis, mengajukan gagasan tentang terbelahnya masyarakat Jawa ke dalam varian ‘santri, abangan, dan priyayi’ yang membentuk sub kulturnya masing-masing (Mahdini, 2003: 11). Pada dasarnya antara ajaran adat dan ajaran agama tidak ada pertentangan,meskipun ada perbedaannya. Islam merupakan agama yang bersumber danberlandaskan kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, sedangkan ajaran adat Minangkabaubersumber dari ajaran-ajaran yang mengambil perumpamaan dariketeraturan alam semesta ‘alam takambang jadi guru’, sehingga di dalam adat dikenalkaidah yang berbunyi syarak mangato adat mamakai, yang artinya apa-apa yangdijelaskan di dalam agama digunakan dalam adat (Bahar, 2009: 49).Adat dikatakan langgeng menurut pepatah tersebut dimanifestasikan dalam pepatah alam terkembang jadi guru. Oleh karena itu, segala sesuatunya yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan terkait dengan adat dan syarak, yang saling berjalan secara sinkron. Manusia pada dasarnya selalu ingin memenuhi semua kebutuhan hidupnya yang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kebutuhan material dan spiritual; untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manusia berusaha semaksimal kemampuan pikirnya meskipun mempunyai keterbatasan kemampuan akal dan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk mengimbangi keterbatasannya, adakalanya manusia melakukan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Melalui perilaku spiritual berusaha memenuhi kebutuhan rohani yang merupakan kebutuhan nonmateri. Adakalanya pula melalui perilaku spiritual manusia melakukan upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan materi (Rosmana, 2009: 243). Filosofi adat Minangkabau mendasarkan diri pada ketentuan hukum agama dan hukum alam yang tercermin dari ungkapan alamtakambang jadi guru. Pemahaman kosmosentris terhadap filosofi alamtakambang jadi guru, tidak dimaksudkan sebagai pengetahuan objektif mengenai alam itu sendiri (knowledge of nature), tetapi alam dijadikan analog untuk membentuk tata nilai dan tata prilaku dalam konteks kehidupan bersama bagi masyarakat Minangkabau, sehingga seluruh ajaran dan falsafah hidupnya diungkapkan melalui ungkapan kiasan dalam bentuk pepatah petitih yang mengambil ungkapan dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam. B. PEMBAHASAN Alam Terkembang Jadi Gurumerupakan filosofi Minang yang sangat universal. Di Minangkabau kebudayaan dan masyarakat bagaikan dua mata sisi uang logam yang tidak terpisahkan. Masyarakat sebagai penyangga kebudayaan, selagi kebudayaan tersebut masih dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat (sekumpulan manusia yang hidup bersama dan ada saling ketergantungan) yang didukung oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini dipertegas oleh Ralph
352
Linton, seperti yang dikutip oleh T.O Ihromi bahwa, setiap masyarakat memiliki kebudayaan, dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya, karena itu tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan (2000: 18). Masyarakat Sumatera Barat menamakan tanah airnya Alam Minangkabau. Merantau merupakan pola migrasi suku Minangkabau, sehingga orang Minangkabau sangat dikenal dengan sifatnya yang suka merantau, dengan berbekal ajaran ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’, mereka berani meninggalkan kampung halaman untuk mencapai cita-cita yang diharapkannya. Seperti misalnya orang Minang yang kebanyakan mempunyai sifat perantaunya, justru mempunyai banyak peluang-peluang yang bisa dilakukan di luar habitatnya, untuk mempertahankan hidup harus mampu survival di perantauan.Mencari ilmu, pengalaman, pendidikan, kekayaan, karir, dan kehidupan yang lebih baik. Hal ini senada dengan penjelasan dalam buku berjudul Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi ditulis oleh Al Makin yang merasakan: “saya milik dua dunia yang berbeda Timur sebagai identitas dasar dan pendidikan sedangkan Barat sebagai pengembangan diri dan pergaulan lebih luas (2015: 2), bahwasannya bagaimana Barat mempelajari dan menulis tentang Timur (Orientalisme), sedangkan Timur menanggapinya dan menjadikan Barat sebagai objek kajian (Oksidentalisme). Masyarakat Minangkabau adalah penganut agama Islam, agama ini telah diterima dan menyatu dengan budayasehingga dalam kehidupan masyarakat dituntun oleh norma agama dan adat yang tak dapat dipisahkan. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat telah menganut paham ke-Tuhanan. Hal ini tergambar dari pepatah yang berbunyi ‘alam takambang jadi guru’ (alam terkembang jadikan guru) yang merupakan landasan dalam membentuk pribadi seseorang dalam agama Islam. Pepatah ini menuntut masyarakat supaya senantiasa mempelajari alam sekelilingnya dengan kebesaran Sang Khalik Maha Pencipta.Dalam ajaran agama Islam dikatakan, bagi orang yang pandai membaca akan memperoleh banyak pelajaran-pelajaran yang terdapat pada alam. Berbicara mengenai perspektif agama bagi masyarakat Minangkabau, maka tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan sebuah surau (masjid). Pandangan ideal dalam dimensi agama terhadap surau tersebut menjadikan masjid sebagai suatu bagian dari kehidupan beragama bagi masyarakat Minang. Satu hal yang paling mendasar dalam Islam, bahwa beragama Islamnya manusia dalam agama (ajaran) ini, adalah karena diyakini adanya sesuatu, yaitu Allah yang ‘Maha Kuasa atas segala sesuatu’. Segala sesuatu dalam Islam berpusat pada kenyataan utama, yaitu Tuhan atau Allah (Smith, 1985: 270). Berdasarkan pada pandangan yang demikian, maka secara ideal pula masjid menempati tempat yang melekat pada pengakuan masyarakat Minang, bahwa Islam di atas segala-galanya. Kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Minangkabau, dilihat dari sisi religiusitas masyarakatnya tidak dapat dipisahkan dari kesenian. Sebagai gambaran kaitan keberadaan kesenian yang meyiratkan kebenaran estetik dengan pemikiran struktural dapat disimak pendapat Gadamer, bahwa di dalam seni mengandung nilai kebenaran (Richard, 2005: 92). Ada hal yang unik dari masyarakat Minangkabau. Sebagaimana diketahui pada umumnya masyarakat Minangkabau mengenal surau sebagai tempat beribadah (sholat) semata. Akan tetapi pada kenyataannya bagi masyarakat Minangkabau surau tidak hanya sebagai tempat ibadah saja. Pada masa lalu surau telah menjadi tempat tinggal bagi anak laki-laki yang mulai beranjak remaja, yang lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari. Seperti diketahui bahwa dalam ajaran Islam tidak ada konsep inkulturasi, yaitu agama sering menjadikan bentuk budaya untuk keperluan agama. Dalam Islam tugas seorang muslim dalam penyebaran agama hanya sampai pada batasan menyampaikan dan tidak ada paksaan untuk masuk Islam; untukmu
353
agamamu dan untukku agamaku (Smith, 1985: 292). Namun dalam konteks local genius, kemungkinan yang terjadi, hanya masyarakat setempat yang mengekspresikan budayanya dalam konteks menjalankan syariat Islam. Dengan demikian jelas bahwa nilai dan norma Islam secara ideal telah dijadikan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam kerangka ini dapat dibenarkan apa yang disampaikan Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa di dalam Al-qur’an sesungguhnya telah dimuat prinsip-prinsip dasar ajaran bagi manusia dalam pembentukan sebuah kebudayaan yang lengkap (1999: 2). Agama dan Adat sebagai Seni Budaya Minangkabau Secara garis besar, unsur-unsur pengaruh terwujudnya seni budaya tradisi, seperti yang diungkapkan oleh Edi Sedyawati, terdiri atas tiga pokok, yaitu: 1) sistem upacara daur hidup dan system upacara daur waktu, 2) adat pergaulan, dan 3) kesenian (Sedyawati, 2006: 429). Sistem upacara daur hidup dan sistem upacara daur waktu, ini sangat kental dengan budaya ritual dan mitos sebagai dasar dan latar belakang spirit tradisi; sedangkan adat pergaulan dimaksud adalah sistem budaya itu sendiri, tata aturan atau pola perilaku yang menjadi konvensi tradisi budaya setempat. Adapun kesenian dimaksud adalah media, wujud, hasil kerasi, produk/karya budaya itu sendiri dan bukan tujuan. Seni permainan rakyat di Minang yaitu pamenan dan pancak, terbina sebagai materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau pada surau-surau yang ada di berbagai pelosok daerah budaya Minangkabau. Materi ajar ini diajarkan sejalan dengan materi ajar lainnya, yaitu pengajaran agama Islam (baca Al-Qur’an beserta seluruh ajaran yang mengikutinya), pengajaran tentang pengetahuan adat istiadat Minangkabau, dan pengajaran-pengajaran praktis lainnya. Semua bentuk pengajaran itu menuju kepada sasaran untuk membentuk manusia Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai orang Minangkabau.Biasanya, latihan pancak dimulai sesudah sholat Isya, semua murid beserta guru menukar pakaian hariannya dengan pakaian latihan berwarna hitam, yaitu celana galembong, baju yang longgar dan destar. Seterusnya mereka melakukan doa bersama sambil duduk melingkar di halaman surau yang disebut sasaran. Doa bersama ini dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar dalam melaksanakan latihan pancak diberi keselamatan dan tidak ada yang cedera. Sesudah itu, setiap pasangan murid yang akan berlatih, berhadapan salam kepada guru dan seluruh murid yang hadir. Perilaku bersalaman itu adalah dengan cara berjabatan tangan. Jabat tangan kepada guru dilakukan dengan mendatangi sang guru dan bersalaman. Kemudian sang murid menarik tangan sang guru ke kening dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada selepas berjabatan tangan itu. Namun untuk jabat tangan kepada sesama murid cukup hanya dengan bersalaman dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada. Kemudian melakukan latihan di bawah bimbingan gurunya. Pepatah silat Minangkabau menyatakan ”indak ado gayuang nan indak basambuik, indak ado tangkok nan indak balapehan”. Artinya, keterampilan ilmu beladiri pancak bukanlah keterampilan untuk mencederakan lawan, melainkan lebih kepada memberi pelajaran agar lawan tidak lagi melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, pancak lebih ditujukan untuk membangun hubungan baik sesama manusia sebagaimana dipahami dari kata silat yang diambilkan dari kata silaturahmi, yang berarti hubungan baik (Murgiyanto,1991: 276). Keterampilan itu wujud pada saat melakukan gerakan dari posisi tegak lurus ke posisi dasar silat, yaitu menempatkan salah satu kaki ke depan dalam posisi rendah (pitunggue). Bentuk dari posisi demikian adalah lutut dibengkokkan dan berat badan bertumpu 8
354
pada salah satu kaki di depan atau di belakang. Kadang saat gerakan sedang berproses, berat badan boleh saja bertumpu di tengah antara kedua tungkai dalam posisi tetap pitunggue. Selanjutnya, pada saat kedua tungkai berada di posisi demikian, kedua lengan bergerak untuk mengawali anggota tubuh, seperti dada, kepala, dan bagian bawah perut dengan menyilangkannya di hadapan dada, atau satu lengan ke depan sebatas bahu, sementara lengan yang satunya lagi berada di dekat perut dalam posisi menjaga. Sementara itu, posisi kepala lurus dengan pandangan mata melirik tajam kepada bagian-bagian tertentu dari pada tubuh lawan. Sikap perlindungan diri tersebut merupakan sikap dasar bagi umumnya silat di Minangkabau, dan merupakan karya budaya yang dianggap penting karena selain berfungsi sebagai ilmu beladiri juga merupakan seni gerak yang dapat menjadi sumber perkembangan seni pertunjukan Minangkabau (pamenan) lainnnya. Dari penjelasan ini, bahwa pancak adalah kegiatan yang sangat berhubungan dengan ajaran Islam, baik dari segi konsep ide yang melatarbelakangi adanya pancak, maupun etika pelaksanaannya, serta unsur-unsur yang ada dari semua gerakan pancak. Apabila konsep ide, etika pelaksanaan, dan semua unsur-unsur gerakan pancak ini betul-betul dihayati sesuai makna Islam yang terkandung di dalamnya, maka pancak sebagai ilmu beladiri yang menjadi sumber bagi berbagai bentuk seni pertunjukan Minangkabau, akan menjadi salah satu produk budaya Melayu Minangkabau-Islam yang unggul. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang sempurna dalam memainkan pancak, sangat diperlukan konsentrasi ataupun kesatuan pikiran dan tindakan sesuai petunjuk-petunjuk dan arahan pancak tersebut. Tujuan dan petunjuk itu mengarahkan kosentrasi si pemain bagi penyeru kepada tujuan untuk mencapai tauhid dalam Islam. Hal ini, sesuai dengan seruan agama Islam yang menganjurkan umatnya supaya berusaha mewujudkan suatu kesatuan pikiran dan tindakan di bawah perintah Allah. Sekarang semua itu telah mengalami perubahan sesuai dengan kondisi kebutuhan ini. Namun perubahan yang terjadi tersebut tidak menjadi konflik, karena mereka menyadari perkembangan seni dan budaya mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Claire Holt yang menyebutkan bahwa kehadiran unsur-unsur dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya tidak berarti unsur-unsur budaya yang ada sebelumnya hilang. Antara unsur budaya lama dengan unsur budaya baru dapat saja hidup berdampingan, berbaur atau bahkan saling tumpang tindih (Holt, Terjmh. Soedarsono, 1991: 3). Ada pendapat Toynbee Arnold. J, bahwa penerimaan budaya baru merupakan derita dan serba tak menentu, mendatangkan rasa tidak senang dan merasa cara hidup tradisionalnya terancam, sebab sedikit banyak terjadi perubahan (1987: 88). Masalah ini tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau atau lebih tegas lagi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena pada prinsipnya budaya baru masuk ke Minangkabau bukan mengubah secara total nilai budaya dalam masyarakat Minangkabau. Dengan kata lain tidak mengubah seluruh aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat, melainkan justru menambah segi-segi baru kehidupannya. Unsur-unsur budaya luar masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja dan tanpa paksaan. Dalam Ilmu Sejarah, masuknya kebudayaan ini disebut dengan istilah penetration pacifique, berarti ‘pemasukan secara damai’ (Koentjaraningrat,1990: 245). Sehingga banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri manusia dan lingkungannya, di mana setiap perubahan itu senantiasa diikuti dengan kemunculan bentuk-bentuk baru, yang merupakan hasil perpaduan dan pembauran dari bentuk yang telah ada dengan bentuk yang baru itu. Terjadinya perubahan tata nilai dan tata kehidupan dalam masyarakat, ini membawa akibat juga terhadap kehidupan kesenian di Minangkabau, atau bila meminjam istilah A.A.M. Djelantik peristiwa itu diistilahkan dengan assimilasi. Proses pertemuan dua kebudayaan
355
akulturasi, kemudian mewujudkan sebuah budaya baru, yang diistilahkan dengan enkulturasi. Di Indonesia proses akulturasi tampaknya mengalir begitu saja dan simpang siur, dipercepat oleh suatu keadaan yang memaksa (semacam penjajahan), tetapi juga kadang-kadang terhambat atau dihambat oleh aliran-aliran kolot yang masih dianut masyarakatnya. Tetapi pada dasarnya terdapat arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan dari luar itu, apalagi yang jelas-jelas menguntungkan menurut pikiran mereka. Dalam prosesnya seringkali timbul reaksi yang diakibatkan karena belum seiramanya perasaan mereka terhadap kebudayaan asing tersebut. Lambat laun rasa itupun hilang, digantikan oleh sebuah kebiasaan yang kemudian dianggapnya sesuai dengan dirinya. Sistem sosial terdiri atas aktivitas-akivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dari waktu ke waktu, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan yang sudah membudaya. Hasil aktivitas itu sendiri dibentuk dengan melalui internalisasi sebagai pendalaman, sehingga seseorang menjadi anggota masyarakat (Kuntowijoyo,1987: 43). Berbicara soal kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Minangkabau, maka sisi religiusitas masyarakatnya tak dapat kita pisahkan dari kesehariannya. Ada hal yang unik dari masyarakat Minangkabau. Norma adat Minangkabau dibentuk oleh tali tigo sapilin yaitu: alua-patuik, anggotanggo, dan raso-pareso. Norma ini terkristalisasi di dalam adat Minangkabau, dan digunakan dalam berbagai pertimbangan adat. Ketiga hal ini merupakan tungku bagi pemasakan adat, sedangkan apinya adalah para pemangku adat. Setiap penghulu adat hendaknya memahami dan menguasai ketiga norma tersebut, sehingga kepemimpinan adat yang dimilikinya dapat menanak rasa keadilan dan kesejahteraan terhadap kaum yang dipimpinnya. Dalam ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmos, sesuai sistem berpikir budaya mistis Indonesia yang dikenal dengan ajaran tribuana atau triloka yaitu alam niskala, sakala- niskala, dan sakala (Dharsono, 2014: 66). Dalam proses seni, citra visual berperan sebagaia mediator yang menjembatani hubungan antara alam ketaksadaran dengan alam kesadaran, merekam dan menghadirkan simbolisasi masa lalu dan masa kini, serta masa depan seseorang. Manifestasi visual tampil dalam wujud naratif, simbolis, dan metaforis (Tridjata, 2014: 200). Seperti pada kesenian Randai pada masa lalunya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan ajaran agama Islam, yang dimainkan oleh kaum pria saja sebanyak sembilan orang, yang kemudian dikenal dengan nama Tari Bujang Sambilan (Wawancara dengan Dt. Indo Marajo, 58 th, Pimpinan Randai di Nagari Tambangan Padang Panjang). Tari Bujang Sambilan disajikan dalam bentuk tari yang berupa pencak silat, kemudian dipadukan dengan seni vokal (dendang) yang isinya ajaran agama yang didendangkan. Setelah tari bujang sambilan berkembang, dimasukkan lagi unsur cerita yang kemudian diberi nama Randai Dampieng. Randai Dampieng merupakan kelanjutan dari tari bujang sambilan yang semula berkembang di surau, dan sekarang telah beralih ke gelanggang/arena/medan. Dengan bertambahnya unsur cerita, randai tidak hanya merupakan tari tetapi juga dikenal sebagai teater rakyat yang mengisahkan cerita dari kaba Minangkabau. Agama tidak mengikat kepada anggota pemain Randai, mereka tidak harus beragama Islam yang taat beribadah. Randai hanya merupakan perkumpulan kesenian yang digemari masyarakat Minangkabau. Akan tetapi karena di Minangkabau pada umumnya mayoritas penduduknya pemeluk Islam, maka tidak mustahil kalau perkumpulan Randai anggotanya beragama Islam semua. Dengan didasari agama yang sudah melekat, maka sering juga diselipkan isi cerita yang bernafaskan keagamaan. Dalam agama, kesenian (keindahan) sangat diperlukan, seperti dalam salah satu hadist riwayat Quran, bahwa Tuhan cinta akan keindahan dan kesenian.
356
Masyarakat Minangkabau cukup teguh menjalankan adat-istiadatnya dan taat menjalankan ajaran agama Islam yang menempatkan adat bersandi syarak-syarak bersandi kitabullah. Dalam realisasinya, baik dalam aktivitas adat dan agama maupun dalam penyajian seni tradisi, ternyata masih dibarengi oleh berbagai ritual yang berhubungan dengan unsur-unsur animisme dan religio-magis yang intinya berseberangan dengan inti ajaran adat Minangkabau dan agama Islam. Meskipun paham Islam telah menghadirkan paradigma baru pada masyarakat minangkabau pada waktu itu, namun tradisi lama tidak begitu saja dapat dipisahkan. Dengan kata lain unsur-unsur budaya lokal jenius masyarakat minangkabau yang animistik dan dinamistik masih melekat hingga kini. Surau dan Rumah Gadang sebagai Seni Budaya Minangkabau Berbicara soal kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Minangkabau, maka sisi religiusitas masyarakatnya tak dapat kita pisahkan dari kesehariannya. Ada hal yang unik dari masyarakat Minangkabau. Surau pada umumnya dikenal sebagai tempat beribadah (sholat) semata, ternyata bagi masyarakat Minangkabau surau tak hanya sebagai tempat ibadah saja. Namun Surau waktu dulunya telah menjadi tempat tinggal bagi anak laki-laki yang mulai beranjak remaja. Di suraulah dulunya anak laki-laki yang mulai menginjak masa remajanya lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari. Di surau mereka belajar mengaji al Quran dan juga tafsirnya, ilmu hadis, aqidah, ibadah, muamalah, dan materi keIslaman lainnya. Di surau mereka belajar tentang petatah-petitih adat Minangkabau, beladiri, randai, dan berbagai kesenian serta adat budaya Minangkabau lainnya. Mereka ditempa dan dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya. Terkait dengan fungsi surau pada masa lalu di Minangkabau yang ternyata tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, tetapi juga memainkan peranan yang cukup banyak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tak salah kiranya apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk institusi, didefenisikan oleh Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat. Surau menyangkut fungsinya sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi berbagai informasi yang harus diketahui masyarakat. Tidak dapat disangkal, dahulunya surau mendapatkan peranan yang sangat strategis dalam membentuk pribadi orang Minang. Maka tak mengherankan apabila pada saat surau memainkan peranannya yang sangat strategis tersebut dengan sangat baik, maka saat itu pula Minangkabau dapat mencetak sederet tokoh nasional yang kemampuannya diakui berbagai kalangan di tingkat nasional dan bahkan internasional. Mencermati kondisi saat ini, di mana surau tak lagi mendapatkan peranan yang strategis dalam membentuk pribadi orang Minang, ternyata Minangkabau pun tak dapat lagi mencetak tokoh-tokoh hebat yang mampu mempengaruhi opini masyarakat nasional. Selain di surau, belajar semua pengetahuan dalam perkembangan selanjutnya di pesantren ternyata mampu bertahan dalam perkembangan masyarakat yang semakin luas mengakses kemajuan zaman. Pesantren dalam kemandiriaannya, ternyata terus mempertahankan diri dari penetrasi budaya yang makin lama semakin menggusur sendi kehidupan masyarakat pedesaan yang agamis dan tradisional. Transformasi budaya yang tidak terkendalikan sehingga membawa
357
dampak yang merugikan terhadap budaya tradisi. Akibat langsung dari penetrasi massa ini adanya realita mundur dan tersingkirnya berbagai seni tradisi sastra, seperti ungkapan sisi ndiran, petatah-petitih, sajak, puisi rakyat, kawih, beluk, dan pantun. Mundurnya berbagai budaya tradisi ini menuntut adanya upaya pembinaan, pengembangan, dan pelestariannya. Padahal pada zamannya, seni sastra salah satu aktualisasinya melalui tradisi-tradisi lisan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan, sebagai sarana penyampaian nilai-nilai budaya, fungsi ritual yang dikaitkan dengan peristiwa upacara budaya (Supriatna, 2009: 230). Ditegaskan pula oleh Prof. Yus Rusyana, bahwasannya seni sastra baik sastra lisan maupun sastra tulis mempunyai tujuan untuk memberikan pendidikan dan sekaligus memberikan hiburan (1981: 51). Rumah gadang di Minangkabau, diperuntukkan bagi anak perempuan, dan anak-anak yang masih kecil. Anak laki-laki yang sudah beranjak baligh hanya akan berinteraksi dengan keluarganya pada siang hari, sedangkan apabila sudah beranjak malam maka mereka akan kembali ke surau. Berbicara tentang rumah gadang di Minangkabau, maka fungsinya pada waktu dulu hanya diperuntukkan bagi anak perempuan, dan anak-anak yang masih kecil. Anak laki-laki yang sudah beranjak baligh hanya akan berinteraksi dengan keluarganya pada siang hari, sedangkan apabila sudah beranjak malam maka mereka akan kembali ke surau. Norma adat Minangkabau dibentuk oleh tali tigo sapilin yaitu: alua-patuik, anggotanggo, dan raso-pareso. Norma ini terkristalisasi di dalam adat Minangkabau, dan digunakan dalam berbagai pertimbangan adat. Ketiga hal ini merupakan tungku bagi pemasakan adat, sedangkan apinya adalah para pemangku adat. Dalam naskah Sunda lama disebut adanya azas tri tunggal kesetaraan dalam hidup masyarakat yaitu tri tangtu yang terdiri atas: resi (pemimpin agama), rama (pemimpin rakyat pedesaan), dan prabu (raja penguasa seluruh wilayah). Setiap pemimpin adat hendaknya memahami dan menguasai wilayah tersebut, sehingga kepemimpinan adat yang dimilikinya dapat menanak rasa keadilan dan kesejahteraan terhadap kaum yang dipimpinnya (Suhaenah, 2014: 21). Sedangkan bagi anak Minangkabau pada umumnya, pemahaman terhadap alua-patuik, anggo-tanggo, dan raso-pareso untuk menumbuhkan jatidiri dan memahami batasan-batasan hidup dalam bermasyarakat. Menurut adat Minangkabau, kesenian merupakan penyegar dari adat istiadat yang dijabarkan ke dalam Undang-Undang nan IX Pucuk. Adat Minangkabau dijabarkan ke dalam undang-undang nan ix pucuk yang isinya: 1) UU yang takluk kepada raja namanya tambo, 2) UU yang takluk kepada penghulu namanya limbago, 3) UU yang takluk kepada agama namanya syara’, 4) UU yang takluk kepada pakaian namanya dandan, 5) UU yang takluk kepada permainan namanya pamenan, 6) UU yang takluk kepada bunyi-bunyian namanya parentang, 7) UU yang takluk kepada ramai-ramaian namanya badunie, 8) UU yang takluk kepada hukum namanya hakekat, dan 9). UU yang takluk kepada kebesaran alam namanya hadist.Undang-undang nan IX Pucuk tersebut, terdiri atas empat pucuk dikhususkan untuk kesenian dan lima pucuk untuk adat dan agama. Dengan demikian undang-undang tersebut merupakan taman sari (sumber) kesenian Minangkabau. Di dalam taman sari itulah tempat berkembang dan berseminya ‘bunga adat’, yaitu kesenian (Jamal, 1985:16). Menurut undang-undang dalam konsepsi Hindu, hubungan manusia (mikrokosmos) dan alam (makrokosmos) adalah hubungan persamaan. Tubuh manusia terdiri atas delapan unsur yang terbagi atas lima unsur kasar yaitu: tanah, air, api, udara, ether; dan tiga unsur halus yaitu: pikiran, budi, ego. Oleh karena itu, alam semesta disebut dengan makrokosmos, sedangkan manusia disebut mikrokosmos (Arsana dkk, 2014: 116). Proses perkembangan kehidupan sosial Minangkabau, sedikit banyak akan membawa efek terhadap proses perkembangan keseniannya. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat,
358
struktur sosial, dan tata nilai juga akan mempengaruhi perkembangan kehidupan kesenian. Perkembangan yang menyangkut masalah struktur, bentuk, dan hubungan dalam kesenian dengan masyarakatnya, menunjukkan bahwa perjalanan kehidupan manusia tidak statis, akan tetapi terus mengalami perubahan sesuai dengan proses dinamika budaya lingkungannya. Pandangan budaya Jawa peristiwa seperti ini, disebut istilah catur marga, ‘empat jalan’ yaitu perjalanan hidup manusia dari lahir sampai dengan keberhasilan meraih puncaknya hingga berakhir kehidupannya (Hadiprayitno, 2014: 33). Dengan demikian, dalam kehidupan manusia, budaya berlangsung dinamis yang secara terus menerus mengalami pembentukan dan pembaharuan. Oleh karena itu, kebudayaan sebagai totalitas pikiran, rasa, dan hasil karya manusia akan tetap mengikuti pada suatu gerakan dinamika kehidupan manusia, sehingga semua bentuk kebudayaan adalah dalam gerakperubahan(Koentjaraningrat,1982:11). C. PENUTUP Di Minangkabau, awalnya kesenian merupakan alat untuk menyampaikan ajaran agama dan turut menyempurnakan tata nilai dalam kehidupan masyarakatnya. Kesenian mempunyai peranan penting dalam masyarakat, dengan fungsinya yang cukup kompleks. Walaupun secara nyata kesenian hanya memberi fungsi hiburan, akan tetapi selain sebagai hiburan, seni juga dimanfaatkan untuk berbagai kesempatan, antara lain untuk menyampaikan penerangan pesan pemerintah, pembangunan, Keluarga Berencana (KB), pengumpulan dana. Artinya kesenian digunakan sebagai alat komunikasi. Sebagai insan akademik di ISBI Bandung, kesenian memiliki peran menjadi ‘agen perubahan’ di dunia perkembangan seni dan budaya secara keseluruhan, maka setiap individu sebenarnya telah memiliki pengalaman dan kekuatan teknik operasional. Jurusan Tari, jelas bisa menari, Jurusan Karawitan jelas bisa terampil menabuh, Jurusan Teater minimal menguasai pemeranan, dan Jurusan Seni Rupa pasti bisa menggambar. Jadi jelaslah sudah, bahwa kita sebagai agen perubahan telah memiliki tiga kekuatan, meliputi aspek; pathos (kepekaan rasa), logos (logika; ilmu pengetahuan), dan technos (keterampilan; teknis). Namun demikian, ada satu lagi aspek yang juga menentukan keberhasilan dalam membangun moment kreatif di tengah- tengah kehidupan masyarakat, aspek itu adalah ‘perilaku sosial’ yang berkaitan erat dengan etika atau norma bergaul. Empat aspek inilah, setidaknya mampu menjadi kekuatan sebagai ‘agen perubahan’ untuk membangun motivasi ke arah kemajuan di bidangnya masing-masing. Menurut pandangan hidup orang Minangkabau ada unsur-unsur adat yang bersifat tetap dan adat yang bisa berubah. Yang tetap dikatakan ‘nan indak lapuak dek hujan, nan indak lakang dek paneh’, (yang tidak lapuk karena hujan, yang tidak lekang karena panas).Unsurunsur itulah yang dalam klasifikasi adat termasuk ‘adat nan sabana adat’ (adat yang sebenar adat), sedangkan yang lainnya tergolong ‘adat nan teradat, adat nan diadatkan dan adat istiadat’ yang dapat dirubah. Pengelompokkanadat nan sabana adat yang tidak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas sebenarnya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Allah SWT. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada. Adat dan alam merupakan pelajaran hidup masyarakat Minang. Adat basandisyarak syarak basandi kitabullah adalah adat atau norma hukum yang berdasarkan kepada ajaran syarak, sedangkan syarak dan kitabullah artinya AlQuran. Adapun alam terkembang jadi guru, maknanya banyak ayat-ayat ajaran Allah yang terhampar dalam alam dan hanya orang-orang pandailah yang dapat membacanya. Adat
359
bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah merupakan konsep estetik Minang yang sangat universal. DAFTAR PUSTAKA Arnold. J, Toynbee. 1987. “Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan”, dalam Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Ed. Y.B. Mangunwijaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bahar, Mahdi. 2009. Islam Landasan Ideal Kebudayaan Melayu (Pemikiran Fenomenologis). Padang Panjang: Penerbit Malak. Bakar dkk. 1981.Sastra Lisan Minangkabau: Pepatah, Pantun, dan Mantra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Cau Arsana, I Nyoman, L. Simatupang Lono, Soedarsono, RM, Dibia, I Wayan. “Kosmologi tetabuhan dalam Upacara Ngaben” dalam Jurnal Resital Vol 15 No 2 Desember 2014. Yogyakarta: ISI Yogyakarta. Dharsono. 2014. “Batik Klasik: Aspek, Fungsi, Filosofi, dan Estetika Batik dalam Pandangan Budaya Nusantara”. Jurnal Budaya Nusantara Budaya Adiluhung Vol 1 No. 1 Juni. Surabaya: LPPM Universitas PGRI Adi Buana. Ihromi, TO. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ismail Raji Al-Faruqi. 19999. Seni Tauhid, Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang. Jamal, MID. 1985. Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau. Padang Panjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia. Koentjaraningrat . 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyaraka. Yogjakarta: Tiara Wacana. Mahdini. 2003. Islam dan Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Daulat Riau. Makin, Al. 2015. Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Murgiyanto, Sal. 1991. “Minangkabau Dance Redefined: 1968 – 1971”, dalam Disertasi “Moving Between Unity and Diversity, Four Indonesian Choreographers”. New York: New York University. Nursam, Muhamad. 1967. Sejarah Kebudayaan Islam. Padang Panjang: Saadiyah. Rosmana, Tjetjep. 2009. “Budaya Spiritual: Persepsi Peziarah Pada Makam Keramat Leluhur Sumedang”. Jurnal Patanjala Vol 1 No.3 September. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung: CV. Dananjaya. Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung: Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Bandung.
360
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Smith, Huston. 1985. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. Soedarsono, RM. 1991. “Seni di Indonesia: Kontinuitas dan Perubahan”. Terjemahan. Art in Indonesia: Continuitas and Change, ClaireHolt.Yogyakarta: ISI Yogyakarta. Soedarsono, RM. 1985. Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kehidupan Manusia: Kontinuitas dan Perubahannya. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Sastra universitas Gadjah mada, 5 Oktober 1985. Spradley, James P.1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Terjemahan.
Misbah
Zulfa
Elizabeth.
Suhaenah, Euis. 2014. “ Rurukan: Manajemen Tradisi Masyarakat Petani Rancakalong”. Jurnal Makalangan Vol. I No. 2 Desember. Bandung: ISBI. Endang Supriatna. 2009. “Karya Sastra di Lingkungan Pesantren”. Jurnal Patanjala Vol 1 No.3 September. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung: CV. Dananjaya. Tridjata S, Caecilia, Amir Piliang, Yasraf. 2014. “Muatan Terapeutik dalam Ragam Gaya Ekspresi Seni Lukis Bali1930-an”. Jurnal Mudra Vol 29 No 2 Mei. Denpasar: ISI
361
REVITALISASI FOLKLOR DI KECAMATAN PANGANDARAN SEBAGAI LEGITIMASI OBJEK WISATA DALAM UPAYA PENGUATAN GEOPARK PANGANDARAN Teddi Muhtadin, Asri Soraya Afsari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran [email protected], [email protected]
Abstrak Pangandaran merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang sangat terkenal dengan destinasi wisata pantai. Setiap nama tempat destinasi wisata di Pangandaran tentu memiliki asal usul mengapa kemudian diberi nama tersebut. Cerita rakyat asal-usul nama tempat di Pangandaran berkembang sesuai dengan daerah dan zamannya. Dalam kaitannya dengan penguatan Geopark Pangandaran dari sisi budaya tentu diperlukan sebuah revitalisasi cerita rakyat (folklor) sebagai upaya untuk melegitimasi objek wisata Pangandaran. Mengingat tidak semua isi dari cerita rakyat tersebut masih relevan dengan kehidupan saat ini. Selain populer sebagai wilayah destinasi wisata pantai, Pangandaran pun ternyata memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wilayah Geopark sebab di sepanjang pantai yang tersebar di wilayah Pangandaran terdapat sejumlah situs geologi. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan bentuk-bentuk revitaslisasi yang dapat dilakukan terhadap berbagai cerita rakyat yang selama ini berkembang di masyarakat Pangandaran, terutama yang menyangkut asal-usul nama tempat destinasi wisata di Pangandaran. Kata kunci: Pangandaran, folklor, revitaslisai
A. PENDAHULUAN Wilayah Pangandaran adalah wilayah kedua yang akan diajukan Universitas Padjadjaran untuk menjadi Geopark yang diakui baik secara nasional maupun internasional, setelah Geopark Ciletuh-Palabuanratu yang ada di Kabupaten Sukabumi. Geopark, yang merupakan singkatan dari “Geological Park”, adalah satu kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi; dalam kawasan tersebut masyarakat setempat diajak berperan serta melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam, termasuk nilai arkeologi, ekologi dan budaya yang ada di dalamnya. Geopark dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Taman Geologi atau Taman Bumi. Karena Geopark mensyaratkan adanya peran serta masyarakat dalam melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam, nilai arkeologi, dan budaya, maka penelitan folklor merupakan salah satu penelitian yang perlu dilakukan. Mengingat folklor merupakan pengetahuan lokal. Folklor selalu berkaitan erat dengan masyarakat setempat ataupun alam lingkungannya. Dengan penelitian folklor di wilayah Pangandaran akan diketahui pengetahuan lokal atau kebijaksanaan tradisional masyarakat Pangandaran dalam mengelola masyarakat dan alam lingkungannya. Pangandaran awalnya merupakan sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Ciamis. Kemudian, menjadi nama kabupaten setelah terjadi pemekaran pada 16 November 2012 melalui terbitnya undang-undang nomor 21 tahun 2012. Kabupaten Pangandaran berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis. Kabupaten Pangandaran terdiri atas 10 kecamatan yakni Kecamatan Parigi, Cijulang, Cimerak, Cigugur, Langkaplancar, Mangunjaya, Padaherang, Kalipucang, Pangandaran, dan Sidamulih. Ibukota Kabupaten Pangandaran sendiri berada di
362
Kecamatan Parigi. Pangandaran memiliki potensi besar di bidang pariwisata. Sampai saat ini di wilayah Jawa Barat, Pangandaran masih merupakan destinasi wisata pantai yang paling populer. Setiap tempat pasti memiliki folklor, tidak terkecuali wilayah Pangandaran. James Dananjaya (2007: 2) memberi batasan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). James Dananjaya (2007: 2-22) pun membagi folklor ini dalam tiga bentuk yakni lisan, setengah lisan, dan bukan lisan. folklor lisan mencakup, antara lain, bahasa rakyat (logat, julukan, pangkat tradisional, titel kebangsawanan), ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan pemeo, pertanyaan tradisional, teka-teki), puisi rakyat (panyun, gurindam syair), cerita prsa rakyat (mite, legenda, dongeng ), dan nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan mencakup teater rakyat, tari rakyat, adat-istiafat, upacara, dan pesta rakyat. Folklor bukan lisan mencakup, antara lain, arsitektur, makanan, dan pakaian. Folklor lisan berbahasa Sunda dapat berupa paribasa, babasan, dongeng, sisindiran, pantun, janjawokan, tatarucingan, dan kakawihan barudak. Tulisan ini memfokuskan diri pada penelitian folklor lisan berupa dongeng asal usul nama tempat. Mengingat wilayah Kabupaten Pangandaran terdiri atas wilayah pegunungan dan pantai maka fokus tulisan ini adalah wilayah pesisir yang ada di Kecamatan Pangandaran.
Sumber: galonggong-ic.blogspot.co.id Gambar 1. Peta Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran B.
TEORI DAN METODE Kajian dalam tulisan ini merupakan kajian yang memfokuskan pada masalah revitalisasi folklor. Tulisan ini merupakan hasil penelitian budaya dan kearifan lokal yang merupakan bagian dari penelitian Geopark Pangandaran. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan diuraikan secara detail hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian revitalisasi folklor. Dalam bagian ini perlu dikemukakan beberapa kajian penelitian terdahulu. Studi terdahulu ini berkaitan dengan penelitian folklor Sunda yang ditulis oleh beberapa ahli sebagai berikut.
363
1. Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda: Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Depdikbud. Buku ini membahas sebagian folklor lisan Sunda, khususnya berupa sastra lisan berupa dongeng. 2. Idat Abdul Wahid, Min Rukmini, Kalsum. 1998. Kodifikasi Cerita Rakyat Daerah Wisata Pangandaran: Jawa Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Buku ini merupakan upaya kodifikasi atas cerita rakyat yang ada di daerah wisata Pangandaran. 3. Cece Sobarna, Nani Ismail, Asri Soraya Afsari. 2015. Kearifan Lokal Masyarakat Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran: Deskripsi dan Persepsi Cerita Rakyat. Bandung: Penelitian Hibah Fakultas. Penelitian ini mengkaji kearifan lokal masyarakat Kecamatan Parigi yang tercermin dari cerita rakyat yang hidup di masyarakat Parigi dan persepsi masyarakat Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran terhadap cerita rakyat tersebut. Berdasarkan kajian-kajian penelitian terdahulu, penelitian terkait folklor Sunda telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut terpusat pada penelitian bahasa dan sastra. Namun demikian, penelitian terkait revitaslisasi folklor sebagai legitimasi objek wisata dalam upaya penguatan Geopark Pangandaran khususnya di Kecamatan Pangandaran sepengetahuan penulis belum dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengisi kekosongan tersebut. Tulisan ini bersandar pada teori folklor yang dikembangkan oleh Dananjaya (2007) dan Endraswara (2013: 2). Selain itu, tulisan ini pun memanfaatkan teori fungsi folkor dari Bascom (1965). Adapun Metode yang dimanfaatkan dalam tulisan ini adalah kualitatif melalui data deskriptif. Data yang dimaksud adalah folklor lisan yang berupa cerita prosa rakyat. Secara garis besar tahapan dalam penellitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penganalisisan data, dan (3) revitalisasi. Akan tetapi, secara detil tahapannya sebagai berikut: (1) persiapan, (2) pengumpulan data di lapangan balik primer maupun sekunder, (3) pengklasifikasian data, (4) penganalisisan data, dan (5) merancang upaya revitalisasi. C. PEMBAHASAN Sampai saat ini dalam setiap tahun di Kabupaten Pangandaran setidaknya sudah ada lima lokasi wilayah yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN). PAD tersebut diperkirakan bisa mencapai Rp 15 milyar. Sumber terbesar didapat dari tempat wisata Pantai Timur dan Pantai Barat yang berada di Kecamatan Pangandaran. Jumlahnya mencapai Rp 11,98 milyar. Angka tersebut juga ditetapkan sebagai target pendapatan untuk tahun 2017 (Pikiran Rakyat, 24 Januari 2017). Sebagai daerah wisata penyumbang terbesar dalam APBN tentu perlu dilakukan berbagai upaya untuk lebih mengembangkan, menguatkan, dan meningkatkan potensi wisata yang ada di Kecamatan Pangandaran. Terlebih Pangandaran pun ternyata memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wilayah Geopark sebab di sepanjang pantai yang tersebar di wilayah Pangandaran terdapat sejumlah situs geologi. Pada segi budaya, salah satu upaya penguatan Geopark Pangandaran dapat dilakukan dengan cara merevitalisasi cerita rakyat (folklor). Upaya ini bertujuan untuk melegitimasi objek wisata. Bentuk-bentuk revitaslisasi tersebut dapat dilakukan terhadap berbagai cerita rakyat yang selama ini berkembang di masyarakat Pangandaran. Terutama yang menyangkut asal-usul nama tempat destinasi wisata di Pangandaran di antaranya nama Pantai Pangandaran itu sendiri
364
dan Desa Pananjung yang berada di Kecamatan Pangandaran. Adapun Bentuk-bentuk revitalisasi yang dapat dilakukan adalah pembinaan terhadap para pemandu wisata lokal, pementasan seni (teater) yang bersumber dari folklor, pengemasan folklor dalam bentuk yang lebih modern (kekinian). dan perlombaan cipta karya sastra. Sebelum diuraikan bentuk-bentuk revitalisasi tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan secara singkat asal-usul nama Pangandaran dan Pananjung yang didapat dari berbagai sumber. Beragamnya sumber data ini melahirkan beberapa versi cerita. 3.1 Asal-Usul Nama Pangandaran Setidaknya ada dua versi dari sumber berbeda yang menceritakan asal usul suatu tempat diberi nama Pangandaran. Sumber pertama menyebutkan bahwa awalnya daerah Pangandaran ini dibuka dan dihuni oleh para nelayan orang Sunda sebagai penduduk asli. Kemudian datang para pendatang yang berasal dari Jawa Tengah. Awalnya mereka hanya singgah saja tetapi kemudian menetap. Penyebab pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil yang membuat mudah untuk mencari ikan. Penduduk di daerah ini berbaur menjadi heterogen. Berdasarkan cerita ini asal-usul nama Pangandaran berasal dari dua buah kata yaitu pangan dan daran. Kata pangan berarti makanan dan daran berarti pendatang. Jadi, Pangandaran artinya sumber makanan bagi para pendatang. Versi lain menyebutkan bahwa daerah ini diberi nama Pantai Pangandaran karena terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung, tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai. Di tempat ini para nelayan menjadikan tempat tersebut untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa Sunda disebut andar. Daerah ini menjadi tempat bersandar perahu sambil menangkap ikan. Setelah beberapa lama banyak pendatang yang berdatangan ke tempat ini dan menetap. Mereka betah tinggal di daerah pantai Pangandaran dan ada beberapa di antaranya menikah dengan warga setempat, sehingga mereka enggan pulang ke kampung halamannya. kemudian, daerah ini berkembang menjadi sebuah perkampungan nelayan yang dikenal dengan nama Pangandaran. 3.2 Asal-Usul Nama Pananjung Nama Pantai Pangandaran tidak bisa lepas dari nama Pananjung sebab pantai ini berada di Desa Pananjung, Kecamatan Pangandaran. Menurut para sesepuh terdahulu Desa ini diberi nama Pananjung, sebab di samping di daerah ini terdapat tanjung ternyata di daerah inipun banyak sekali tempat-tempat keramat. Pananjung dalam bahasa Sunda memiliki arti pangnanjung-nanjungna yakni paling subur atau paling makmur. Menurut sumber ini kata Pananjung merupakan sebuah gambaran tentang melimpahnya sumber daya alam di daerah tersebut. Dalam arti bahwa pantai Pangandaran ibarat surga bagi siapapun yang tinggal di daerah tersebut. Pada zaman penjajahan, sekitar tahun 1922, Presiden Wilayah Priangan era pemerintahan Hindia Belanda, Y. Everen, menyulap daerah Pananjung ini menjadi sebuah taman. Saat itu ia melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa untuk berhabitat di kawasan tersebut. Kawasan hutan ini pun berubah menjadi taman konservasi yang dilindungi. Versi lain menyebutkan bahwa tempat ini diberi nama Pananjung sebab di daerah ini terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung. Dataran yang menjorok tersebut disebut tanjung. Dan tanjung inilah yang berfungsi untuk menghambat atau menghalangi gelombang besar sampai ke pantai.
365
3.3 Pembinaan terhadap Para Pemandu Wisata Lokal Pemandu wisata lokal merupakan ujung tombak dalam pengembangan objek wisata termasuk pengembangan kawasan Geopark Pangandaran. Dengan demikian, pemandu wisata memiliki peran sentral. Bagi wisatawan, pemandu adalah tuan rumah, pemandu perjalanan, tempat bertanya, dan juru cerita. Dalam kaitannya dengan juru cerita, seorang pemandu wisata tentu perlu dibekali dengan keterampilan bercerita termasuk dalam hal menceritakan cerita asal usul nama sebuah tempat wisata. Kemampuan ini tentu tidak didapat secara tiba-tiba. perlu dilakukan pembinaan dan penyuluhan menyangkut folklor dari para ahli. Hal ini bertujuan untuk menambah wawasan para pemandu wisata lokal di daerah Geopark Pangandaran terhadap budaya, meningkatkan minat para pemandu wisata lokal terhadap folklor, dan membantu Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran. Sehingga tugas sebagai seorang pemandu wisata lokal dapat dijalani secara profesional dan proporsional. Layanan prima dari pemandu wisata akan membuat wisatan terkesan dan terpuaskan. Dengan begitu, jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata Geopark Pangandaran akan semakin meningkat. 3.4 Pementasan Seni (Teater) yang Bersumber dari Folklor Umumnya sebuah pertunjukan seni yang bersumber dari folklor diselenggarakan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan pementasan tidak dapat dilaksanakan secara rutin. Dalam rangka penguatan Geopark Pangandaran, bentuk revitalisasi foklor yang dapat dilakukan adalah melalui penjadwalan pertunjukan seni yang bersumber dari folklor secara rutin. Penyelenggaran pementasan ini jangan hanya bergantung pada dana pemerintah. Namun, pegiat seni pun dapat ikut berperan serta dalam menyemarakan pertunjukan seni. Bahkan hotel-hotel yang selama ini menyediakan live akustic untuk menghibur para tamu pada malam hari dapat pula memberikan hiburan dengan menghadirkan sebuah pementasan seni yang bersumber dari folklor di samping pertunjukan lainnya. 3.5 Pengemasan Folklor dalam Bentuk yang lebih Modern (Kekinian) Mayarakat dewasa ini lebih menyukai tontonan yang bersifat instan, seperti acara dalam tayangan televisi, konser musik, dan pertandingan olahraga. Karena itu, sebuah folklor sering kali dianggap kurang menarik bahkan tidak sedikit yang mulai melupakan keberadaannya. Padahal dalam isi folklor masih ada nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan penguatan Geopark Pangandaran perlu dilakukan upaya yang dapat menarik minat masyarakat terhadap folklor. Salah satunya melalui pengemasan folklor dalam bentuk yang lebih modern (kekinian). Bentuk tersebut misalnya cerita rakyat yang disampaikan dalam bentuk komik ataupun template yang berisi informasi mengenai asal-usul nama suatu tempat objek wisata. Isi cerita rakyat ini dapat disampaikan melalui ragam bahasa populer sehingga mudah dipahami oleh para wisatawan. Bentuk lainnya adalah cerita rakyat yang dibuat dalam bentuk tayangan televisi berupa sinetron yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 3.6 Perlombaan Cipta dan Baca Karya Sastra Pemerintah dan sekolah memiliki peran penting dalam merevitaslisasi folklor. Begitu pun dengan folklor yang berada di Kecamatan Pangandaran. Bentuk revitalisai yang dapat dilakukan misalnya dengan mengadakan perlombaan cipta dan baca karya sastra. Para peserta dapat berasal dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan
366
tinggi. Jenis perlombaan meliputi lomba membaca cerita rakyat yang ada di Kecamatan Pangandaran. Lomba lainnya bisa berupa lomba mendongeng tentang cerita rakyat di Kecamatan Pangandaran dengan menggunakan kata-kata sendiri. Upaya ini di termasuk dalam penguatan objek wisata termasuk Geopark Pangandaran. D. SIMPULAN Tulisan ini mendeskripsikan upaya menghidupkan kembali kekayaan folklor di wilayah Kecamatan Pangandaran, khususnya folklor lisan. Bentuk-bentuk revitalisasi yang dapat dilakukan di antaranya melalui pembinaan terhadap para pemandu wisata lokal, pementasan seni (teater) yang bersumber dari folklor, pengemasan folklor dalam bentuk yang lebih modern (kekinian). dan perlombaan cipta dan baca karya sastra. Tulisan ini baru menjangkau wilayah Kecamatan Pangandaran. Bentuk-bentuk revitaslisasi lainnya pun masih perlu untuk digali lebih dalam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih jauh. Sehingga diperoleh hasil penelitian yang komprehensif. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat befungsi untuk mendukung objek wisata dan menguatkan keberadaan Geopark Pangandaran. E. DAFTAR PUSTAKA Buku: Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Cet. VII. Endaswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Rusyana, Yus dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda: Ceritera Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Depdikbud. Sobarna, Cece, Nani Ismail, Asri Soraya Afsari, 2015. Kearifan Lokal Masyarakat Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran: Deskripsi dan Persepsi Cerita Rakyat. Jurnal Metahumaniora. Wahid, Idat Abdul, Min Rukmini, Kalsum (1998). Kodifikasi Cerita Rakyat Daerah Wisata Pangandaran: Jawa Barat. Zaimar, Okke K.S. 2015. “Metodologi Penelitian Sastra Lisan” dalam Pudentia MPSS. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dan Yayasan Pustaka Obor Indonedia. Hlm. 374-409. Pikiran Rakyat, 24 Januari 2017. Pangandaran Jajaki Penetapan Lokasi Wisata Baru. Laman: www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/ (diunduh tanggal 8 April 2017). http://www.unpad.ac.id/2017/03/ajukan-jadi-Geopark-unpad-dorong-peningkatan-riset-dipangandaran/ (diunduh tanggal 10 April 2017).
367
SASTRA LISAN SULAWESI TENGGARA SEBAGAI REFERENSI KULTURAL DALAM PEMBELAJARAN KARAKTER SISWA DI TENGAH INVASI MEDIA SOSIAL Wd. Sinta Kalsum, S.Pd SMPN Satap Mantigola Kabupaten [email protected] Abstrak Kemajuan teknologi membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak tersebut adalah kehidupan sosial masyarakat bertransformasi kedalam dua ruang interaksi, yaitu dimensi nyata dan maya. Orang tua, terutama anak tidak hanya terlibat dalam interaksi sosial langsung tetapi juga interaksi virtual yang beberapa tahun belakangan sangat viral dan masif, misalnya facebook dan sejenisnya. Intensitas hubungan antara anak dengan orangtua berkurang, dan mulai bergeser menjadi interaksi transaksional. Fungsi kontrol, serta transfer nilai- nilai pendidikan karakter dari orangtua kepada anak semakin luput. Fenomena ini merupakan salah satu tantangan yang perlu dijawab oleh pendidik di sekolah melalui pembelajaran yang mengintegrasikan pendidikan karakter. Sastra lisan merupakan khasanah budaya yang sarat akan nilai- nilai religius, moral, etika, dan dapat dijadikan sebagai referensi kultural untuk pendidikan karakter di sekolah. Sastra lisan yang diangkat dalam tulisan ini adalah sastra lisan di Sulawesi Tenggara. Sastra lisan yang dipilih harus memenuhi kriteria pesan dan unsur instrinsik, serta relevansi dengan topik pelajaran. Guru berperan penting sebagai fasilitator yang memadukan sastra lisan terpilih kedalam pembelajaran karakter yang baik secara berkesinambungan. Dengan demikian, pembelajaran yang didapatkan di sekolah memberikan exposure konstruktif terhadap pembentukan karakter siswa. Upaya tersebut perlu diperkuat dengan exposure nilai- nilai teladan dari kepribadian guru, serta treatment yang relevan dari orang tua siswa. Kata kunci : sastra lisan Sulawesi Tenggara, pembelajaran karakter, media sosial
A. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi yang semakin tak terbendung telah membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Cara hidup, gaya hidup, hingga prinsip dan pandangan hidup terpengaruh oleh nilai- nilai asing yang semakin hari semakin menjamur di televisi, radio, maupun telepon genggam. Dalam hitungan detik, kita dapat mengetahui perkembangan fashion, kosmetik, film, musik, game, maupun aplikasi teknologi komunikasi yang instan dan canggih. Banyak manfaat yang didapatkan oleh masyarakat dari perkembangan tersebut. Namun, apabila tidak disikapi dengan bijaksana, pengaruh dan perubahan tersebut dapat mengancam budaya, kebiasaan, nilai, dan simbol-simbol kehidupan orisinil yang tertanam dalam karakter individu suatu masyarakat (Giddens 2003: 9-15). Salah satu perkembangan teknologi yang paling berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial masyarakat kita beberapa tahun belakangan adalah aplikasi teknologi media sosial. Di tahun- tahun sebelumnya, masyarakat kita bukanlah komunitas yang biasa melakukan obrolan instan via udara. Masyarakat kita bukan komunitas yang biasa menyiarkan kehidupannya kepada orang banyak melalui medium gambar dan kata- kata. Dahulu, kita hanya berinteraksi secara langsung di dunia nyata. Adapun secara tidak langsung hanya melalui telepon dan sms yang seperlunya. Namun saat ini, ada semacam interaksi turunan atau artifisial yaitu interaksi maya yang semakin digandrungi, muda maupun tua. Di awal tahun 2017, We Are Social menunjukan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia di awal 2017 naik 51 persen ke angka 132,7 juta dan 106 juta diantaranya merupakan penguna media sosial aktif. Berdasarkan data ini, hampir setengah dari total populasi masyarakat Indonesia berinteraksi secara virtual.
368
Dengan adanya media sosial, kehidupan sosial masyarakat yang tidak saja berotasi pada interaksi- interaksi yang nyata dan langsung, tetapi juga via udara (maya) membuat anak maupun orang tua semakin sibuk dengan kehidupannya masing- masing. Intensitas komunikasi antara keduanya berkurang. Anak tidak lagi merasa butuh berbagi cerita dengan orang tuanya sebab sudah ada dunia ceritanya sendiri di facebook, instagram, dan sejenisnya. Di saat yang sama, orang tua merasa anak- anaknya sudah pintar, mandiri, dan tidak terlalu membutuhkan pendampingan atau sekedar bertukar cerita. Tak dapat dipungkiri, dari media sosial tersebut, anak- anak mendapatkan informasi dan pengetahuan. Akan tetapi, media sosial tidak pernah mengajarkan dengan hati tentang yang baik dan yang buruk, yang membangun dan yang merusak. Sehingga, jika dibiarkan begitu saja, tanpa disadari karakter anak- anak kita akan terpola mengikuti apa yang setiap hari ia dapatkan di lingkungan pergaulan media sosialnya. Pembentukan karakter anak sedini mungkin merupakan aspek penting dalam pembangunan bangsa. Seperti halnya ketika menanam, selain memilih benih unggul, perawatan terbaik sejak pembibitan adalah tahapan terpenting yang akan menentukan kualitas tanaman dewasa yang akan dipanen. Begitu pentingnya anak- anak, Lickona dalam Megawangi (2009) menegaskan bahwa, walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak-anak adalah investasi yang akan menjadi penentu sejahtera, makmur, kuat, bermartabat, atau tidaknya suatu bangsa di masa depan. Oleh karena itu, pembentukan karakter anak- anak harus menjadi perhatian semua pihak, terutama orang tua dan guru. Melihat tradisi orang tua pada zaman dahulu, mereka menanamkan budi pekerti kepada anak-anak dengan menceritakan dongeng, atau menyanyikan lagu rakyat sebelum tidur. Sastra tersebut mengandung nilai- nilai kepribadian mulia. Dengan cara tersebut, orang tua memberikan kesan yang menyentuh dunia batin anaknya tentang nilai- nilai karakter yang hendak ia tanamkan. Sentuhan batiniah tersebut akan membawa pengaruh jangka panjang dan akan diingat sepanjang hidupnya (Widuroyekti, 2013). Dengan demikian, sastra lisan tersebut dapat mendukung pengembangan potensi karakter luhur yang dimiliki seorang anak. Tulisan ini mengajak pembaca untuk menggali nilai-nilai pendidikan karakter dalam Sastra Lisan Sulawesi Tenggara serta membahas peran strategis guru dalam mengajarkan nilainilai tersebut melalui pembelajaran di sekolah. Beberapa contoh sastra lisan Sulawesi Tenggara dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak bentuk sastra lisan yang ada dalam khasanah budaya Sulawesi Tenggara, yang dapat digunakan sebagai materi pembelajaran untuk pembentukan karakter anak secara berkesinambungan. B. TINJAUAN TEORI 2.1 Komunikasi Bermedia Komunikasi bermedia adalah komunikasi yang menggunakan saluran atau sarana untuk meneruskan suatu pesan kepada komunikan yang keberadaannya jauh atau berjumlah banyak. (Onong, 1984: 11). Komunikasi dengan menggunakan saluran atau sarana ini juga disebut sebagai komunikasi tidak langsung (indirect communication). Sebab feedback atau timbal balik tidak dilakukan seketika saat komunikasi berlangsung. Hal inilah kemudian oleh komunikator digunakan untuk memilih media dan komunikan secara matang agar komunikasi dapat berjalan secara efektif.
369
2.2 Ekologi Media Setiap jenis teknologi memiliki sekelompok pengguna, yang kemudian membentuk lingkungan teknologi. Lingkungan teknologi tersebut lambat laun, tanpa disadari merubah kebudayaan, norma-norma sosial, pola-pola interaksi, dan organisasi-organisasi masyarakat”, ungkap Tovler (Ibrahim, 1997). Ungkapan ini secara tidak langsung menjelaskan mengenai ungkapan McLuhan mengenai hubungan antara teknologi, media, dan masyarakat atau yang sering disebut dengan tehnological determinsm, yaitu paham bahwa teknologi bersifat determinan atau menentukan dalam membentuk kehidupan manusia. Pemikiran McLuhan (West & Turner, 2007) ini sering dinamakan teori mengenai ekologi media, dimana melihat lingkungan media, gagasan bahwa teknologi dan teknik, mode informasi dan kode komunikasi yang memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Asumsi dari teori ekologi media, yaitu (West & Turner, 2007): a) Media mempengaruhi setiap perbuatan atau tindakan dalam masyarakat. Asumsi pertama ini menekankan pada gagasan pada saat ini manusia tidak dapat lepas dari media. Media merupakan sebuah hal yang penting, bahkan menembus ke dalam kehidupan manusia yang paling dalam. Keberadaan media memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia dan masyarakat. b) Media memperbaiki persepsi dan mengelola pengalaman. Asumsi kedua ini menjelaskan bagaimana manusia secara langsung dipengaruhi media. Dimana media memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi padangan kita terhadap dunia. c) Media mengikat dunia bersama-sama. Asumsi ketiga dari teori ekologi media menyebutkan bahwa media mengikat dunia bersama-sama. Untuk menjelaskan bagaimana media mengikat dunia menjadi satu sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya global, atau yang disebut dengan global village. Kehadiran teknologi memberikan pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki hubungan simbolik dengan teknologi, dimana kita menciptakan teknologi dan kemudian teknologi kembali pada siapa diri kita. Menurut McLuhan (Griffin, 2003), teknologi media telah menciptakan revolusi di tengah masyarakat karena masyarakat pada saat ini masyarakat sudah sangat tergantung kepada teknologi dan tatanan masyarakat terbentuk berdasarkan pada kemampuan masyarakat menggunakan teknologi. Teknologi komunikasi menjadi penyebab utama perubahan budaya, McLuhan dan Innis menyatakan bahwa media merupakan kepanjangan atau eksistensi dari pikiran manusia, dengan demikian media memegang peran dominan dalam mempengaruhi tahapan perkembangan manusia. O’Brien (Bungin, 2006) mengatakan bahwa perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi di dalam lingkungan sosioteknologi. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketika IT hadir dalam bentuk yang baru, maka akan mempengaruhi struktur masyarakat, strategi komunikasi, masyarakat dan budaya, serta proses sosial. Kehadiran new media secara tidak langsung merubah struktur masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia, bisa dikatakan menganut struktur sosial yang lama atau sering disebut tradisional. Adanya pergeseran struktur sosial masyarakat secara tidak langsung mengubah pola komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Saat ini remaja di Indonesia menjadi tidak segan dalam menyampaikan segala kegiatan pribadinya ke dalam ruang publik. Terjadi pergeseran budaya, mereka hidup dalam sebuah desa global dimana mereka mencoba untuk mengenal dan saling perduli dengan orang lain. Individu- individu di dalam masyarakat Indonesia, sekarang lebih aktif dalam membagi kisah kehidupan mereka melalui sosial media.
370
2.3 Media Sosial Media sosial menurut Utari (2011: 51) adalah sebuah media online dimana para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi. Berpartisipasi dalam arti seseorang akan dengan mudah berbagi informasi, menciptakan konten atau isi yang ingin disampaikan kepada orang lain, memberi komentar terhadap masukan 9 yang diterimanya dan seterusnya. Semua dapat dilakukan dengan cepat dan tak terbatas. Internet telah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia. Kenapa demikian, hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sari (2011: 256) menurutnya internet kini telah menjadi bagian hidup kita sehari-hari. Informasi apapun yang ingin kita dapatkan dapat secara mudah kita lakukan dengan mengakses internet. Bahkan perusahaan yang tidak memiliki akun di internet saat ini dapat diragukan kebonafitasnya. Penggunaan media sosial tidak dapat terlepas dari motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukannya. Secara teori terdapat beberapa motivasi yang mendorong seseorang untuk menggunakan media sosial seperti yang disebutkan oleh McQuail (2000) berikut ini: a) Faktor informasi; konsep hyperlink dan meme di internet memudahkan penggunanya dalam pencarian informasi. Melalui internet pengguna akan dihadapkan pada gelombang informasi yang sangat banyak dan diperlukan bagi orang yang pertama kali menggunakan internet untuk dapat difungsikan secara optimal. b) Identitas personal; pengguna menggunakan media sosial dalam rangka mengasosiasikan aktor media dengan karakter tertentu pada dirinya sendiri. c) Faktor integratif dan interaksi sosial; internet telah berhasil selangkah meninggalkan media konvensional. d) Faktor hiburan; orang banyak mengunakan media sosial dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan dan hiburan. Perspektif lain tentang penggunaan new media disebutkan oleh McQuail (2010) dalam Rahardjo (2011: 15-16) ia menguraikan penggunaan new media lebih kepada perbedaan antara pengguna media baru dengan media lama (konvensional). Pengguna media baru menurutnya sebagai berikut: a) Interactivity; diindikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari pengguna terhadap sumber pengirim pesan. b) Sosial presence (sociability); dialami oleh pengguna new media, sense of personal contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui sebuah penggunaan media sosial. Media ini dapat menjembatani perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, memberikan isyarat yang lebih peka dan personal. c) Autonomy; pengguna dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber. d) Playfulness; digunakan untuk hiburan dan kenikmatan. e) Privacy; diasosiasikan dengan penggunaan medium dan/atau isi yang dipilih. f) Personalization: tingkatan dimana isi dan penggunaan media bersifat personal dan unik. 2.4 Pendidikan Karakter Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas ialah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Sedangkan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, berwatak, bertabiat, bersifat dan berbudi pekerti.
371
Menurut T. Ramli (2003) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Elkind (2004)menambahkan bahwa pendidikan karakter ialah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, pendidikan karakter adalah upaya konstruksi potensi kebaikan seorang anak melalui pendidikan. 2.5 Sastra Lisan dan Pendidikan Karakter Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar, memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Oleh karena itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik). Suhita et al. (1996:90) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang pencerita atau penyair kepada seseorang atau sekelompok pendengar. Mengacu kepada Kamus Besar bahasa Indonesia, sastra lisan adalah sastra yang diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat (http://www.kamusbesar.com/57248/sastra-lisan). Sastra lisan adalah sastra yang dituturkan dari mulut ke mulut (Emeis, 1995: 5). Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra lisan. Tjokrowinoto (Haryadi, 1994) memperkenalkan istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan manfaat sastra lama, yaitu (1) mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan. 2.6 Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran di Sekolah Peran pendidikan sekolah dalam masyarakat yang sedang berubah tidak hanya menjadikan anak menjadi pintar tetapi juga menjadikan anak kreatif, kritis, dan memiliki resistensi terhadap nilai-nilai global yang kurang sesuai dengan nilai-nilai lokal. Dalam
372
peradaban global yang ditandai oleh respiritualisasi masyarakat dan yang mengakibatkan suasana sekuler (Semiawan, 2008), tugas sekolah adalah membekali anak dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam rangka pembentukan karakter yang kuat. Pendidikan karakter, meskipun dalam kurikulum tidak dicantumkan secara eksplisit dalam mata pelajaran, namun muatan pendidikan karakter dapat diajarkan secara terpadu melalui semua mata pelajaran. Menurut Lickona, pendidikan karakter mencakup tiga hal, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral action. Moral feeling, yakni energy dari dalam diri untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Termasuk dalam moral feeling adalah (1) conscience (nurani), (2) self-esteem (percaya diri), (3) emphaty (merasakan penderitaan orang lain), (4) loving the good (mencintai kebenaran), (5) self-control (mampu mengontrol diri), dan (6) humility (kerendahhatian) (Megawangi, 2009). Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya tampak dalam tindakan nyata dalam perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, cinta kebaikan, dan sebagainya (Megawangi, 2009). Nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada anak harus dikemas dalam kegiatan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, sebagai bahan diskusi, maupun acuan model yang harus ditampilkan oleh guru-guru serta seluruh staf sekolah sebagai hidden curriculum (kurikulum yang tersembunyi). Nilai-nilai sebagai materi pembelajaran dapat bersumber dari kearifan lokal masyarakat, yang tercermin dalam banyak cerita rakyat. Sastra lisan dari masyarakat potensial untuk digali dan menjadi sumber rujukan bagi para pendidik untuk membentuk karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Khasanah budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang sangat kaya, berbagai tradisi yang sangat lekat dimiliki oleh setiap suku, serta nilai-nilai luhur yang diyakini dan dijadikan sebagai pedoman hidup (way of life) masyarakat merupakan kekayaan nilai yang sangat berharga. Nilainilai dalam budaya dan tradisi masyarakat tersebut dapat ditelusuri, dihidupkan, dan diinternalisasi sebagai rujukan bagi para pendidik untuk membentuk karakter anak bangsa. Harapannya adalah nilai-nilai kearifan lokal dapat diinternalisasi sehingga menjadi tuntunan untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Penanaman nilai-nilai melalui cerita sangat sesuai dengan dunia anak. Penelitian mutakhir oleh para humanis menjajagi tingkat “pengertian” tentang anak dengan pendekatan subjektif, yakni dengan memahami dan menghayati pengalaman anak dengan jalan “memasuki dunia anak melalui cerita sesuai dengan dunia anak”. Melalui cerita akan terjadi pertemuan dan keterlibatan emosi dan mental antara pencerita dan anak. Keteralibatan mental tersebut merupakan peluang untuk memasukkan segi-segi pedagogis dalam cerita sehingga tanpa disadari cerita akan mempengaruhi perkembangan pribadi, membentuk sikap moral dan keteladanan (Semiawan, 2008). C. METODE Tulisan ini dikembangkan dengan pendekatan deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan fakta- fakta kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2006: 53). Riset kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi terkait sastra lisan Sulawesi Tenggara, dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.”(Nazir,1988: 111). Riset kepustakaan ini dimaksudkan sebagai langkah awal penulis dalam menyiapkan penelitian eksperimental selama satu semester di tahun pelajaran yang akan datang. Sebagaimana disebutkan oleh Mustika Zed, metode riset kepustakaan diperlukan sebagai tahap
373
studi pendahuluan (preliminary research) untuk memahami lebih dalam gejala baru yang tengah berkembang di lapangan atau dalam masyarakat. Informasi atau data empiris yang telah dikumpulkan orang lain, berupa laporan hasil penelitian atau laporan-laporan resmi, buku-buku yang tersimpan dalam perpustakaan tetap dapat digunakan dalam kajian kepustakaan. D. PEMBAHASAN 4.1 Sastra Lisan di Sulawesi Tenggara Sebagai salah satu daerah dengan masyarakat multi-etnis, Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan sastra lokal yang berbeda antara etnik satu dengan yang lainnya. Misalnya pada etnik Buton, terdapat sastra lisan kabanti, hikayat Wandiu-diu, mitos Oheo, Onggabo yang berasal dari suku Tolaki, dan Kantola dari suku Muna. Sastra lisan tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun melalui budaya tutur sebagai alat penyampai pesanpesan moral. Sastra lisan Sulawesi Tenggara merupakan kekayaan budaya daerah yang kelestariannya ditentukan oleh masyarakatnya. Kekayaan budaya tersebut menyimpan nilainilai kedaerahan dan akan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan sastra di daerah dan Indonesia pada umumnya. Masalah yang ada saat ini adalah kurangnya perhatian masyarakat terhadap sastra daerah. Sastra daerah telah berada di ambang kepunahan. Suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai dari yang berorientasi moral spiritual ke orientasi fisikal material. Gaya hidup religius dan bersahaja sebagaimana dianut oleh masyarakat Indonesia zaman dahulu telah bergeser menjadi gaya hidup materialistis, hedonis, dan cenderung sekuler. Nilai-nilai kebaikan yang dulu diwariskan orang tua melalui media dongeng sebelum tidur telah tergantikan oleh instrumen canggih bernama internet khususnya media sosial. Meminjam istilah Sutarto (2011), internet, televisi, dan media cetak adalah “guru yang tidak bernafas”, yang tidak memiliki rasa, tidak juga bisa memberikan hukuman atau ancaman. Guru-guru yang tidak bernafas ini, saat ini telah menggeser peran orang tua dan guru sebagai “guru yang bernafas”. Ironisnya, guru-guru yang tidak bernafas ini bisa hadir kapan saja dan dimana saja, sementara guru-guru yang bernafas hanya ada pada waktu yang terbatas. 4.2 Nilai- Nilai Pendidikan Karakter dalam Sastra Lisan Sulawesi Tenggara Penulis melakukan kajian ini berdasarkan pada teori Asmani, Jamal Ma’aur. Berdasarkan sastra lisan Sulawesi Tenggara yang ditelaah, terdapat sedikitnya tiga dari lima nilai utama yang dikemukakan oleh Asmani, Jamal Ma’aur, yaitu (1) Pertama, nilai karakter hubungannya dengan Tuhan; (2) nilai karakter hubungannya dengan diri sendiri; (3) nilai karakter hubungannya dengan sesama. Penulis juga menggunakan teori Prayitno dan Afriva serta Zubaedi karena ada sebahagian dari deskripsi atau indikator yang dipaparkannya menggambarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cakupan nilai-nilai pendidikan karakter pada sastra lisan Sulawesi Tenggara. 4.2.1 Nilai- Nilai Pendidikan Karakter Berhubungan dengan Tuhan Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat, mengatur manusia itu dengan Tuhannya atau agama. Menurut Prayitno dan Afriva (2009: 130) nilai pendidikan karakter berhubungan dengan Tuhan ini indikatornya adalah beriman dan bertaqwa. Nilai pendidikan religius dalam sastra lisan Sulawesi Tenggara salah satunya dapat di lihat dalam kabantino yoai dari masyarakat Mawasangka Tengah (Liana, 2011) yaitu:
374
Mbola- bolai sarada Sarea nomoroyinta Wakambea saranda Wambungano isitingga Wakambeano dunia Wambungano dunia Surugaa pintu goa Dunia tolomangkue Di tempat-tempat syahadat Cahaya bersinar intan Si kembang syahadat Si bunga bersih (suci) Si kembang dunia Si bunga dunia Surga pintu masuk Dunia tempat bertamu Kabanti ini mengisahkan tentang seorang bayi yang akan lahir. Menurut kabanti ini, biarpun sang ibu sudah gelisah dan kesakitan tetapi kalau Tuhan belum mengizinkan maka sang ibunya harus bersabar karena Tuhan mengetahui segala sesuatu tentang kelahiran seorang bayi (Liana, 2011). 4.2.2 Nilai- Nilai Pendidikan Karakter Berhubungan dengan Diri Sendiri Dalam menganalisis nilai karakter berhubungan dengan diri sendiri, penulis mengacu kepada pendapat Jamal Ma’aur (2011: 36-39) yang menyatakan bahwa nilai- nilai pendidikan karakter berhubungan dengan diri sendiri memiliki indikator jujur, bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, ingin tahu, dan kesetiaan. Salah satu sastra lisan Sulawesi Tenggara yang mengandung nilai ini khususnya rasa ingin tahu dan kerja keras adalah cerita rakyat dari Buton berjudul Kaluku Gadi, dimana putra raja sangat penasaran terhadap kedatangan rombongan dari istana seberang terutama putri raja, berikut kutipannya: “Karena putranya ngotot, maka raja memerintahkan hulubalang agar juragang perahu itu diuji jenis kelaminnya. Alat ujiannya ialah kencing di daun jati. Kalau daun jati itu bolong sesudah kencing berati juragang itu laki-laki. Kalau daun jati itu tidak bolong setelah kencing, berati juragang itu perempuan”. “Putra raja belum lagi puas. Masih ada lagi ujian lain. Kini juragang diundang di sebuah kali. Kali itu akan merah kalau perempuan dan tidak merah kalau yang mandi laki-laki”. “Putra raja saat itu percaya bahwa memang juragang ittu adalah laki-laki. Akan tetapi, ujian yang dilakukan bukan hanya itu. Masi ada lagi ujian yang berat bagi juragang, yakni diundang bermain sepak raga (bermain dengan bola yang terbuat dari anyaman rotan)”. (La Ode Sidu, 2002: 24-28) Berdasarkan kutipan tersebut mencerminkan bahwa putra raja penasaran dan keingintahuan terhadap apa yang dia lihat meskipun sekali-kali dalam benaknya bahwa juragang kapal itu adalah laki-laki namun, meskipun juragang kapal beberapa kali lolos dari ujian yang diberikan kepada putra raja karna atas penasarannya ia memberikan beberapa kali tantangan. Artinya, bahwa dalam menghadapi kehidupan didunia ini yang semakin keras tuntutannya kita perlu beberapa persiapan utuk menghadapinya salah satunya, kita harus selalu sabar menghadapi berbagai rintangan (Gusal, 2015).
375
4.2.3 Nilai-nilai Pendidikan Karakter Berhubungan dengan Sesama Dalam mendeskripsikan data tersebut penulis mengacu kepada pendapat pakar yaitu pertama yang diungkapkan oleh Asmani, Jamal Ma’aur (2011: 36-39) tentang nilai-nilai pendidikan karakter berhubungan dengan sesama memiliki dua indikator, patuh pada peraturan sosial dan kasih sayang /santun. Berdasarkan pendapat tersebut, penulis menemukan sastra lisan Sulawesi Tenggara, khususnya mitos Onggabo dari suku Tolaki yang mengandung nilai pendidikan karakter berhubungan dengan sesama, yaitu: “Tuoombato taalaa oaso anadalo iyepo anolaa rumorangga laa umuhu ine wata mate. Lakoroto laulau tekono sumirui iepo aro pendeenggee noommore. Lakoroto wawei aro mbule ilaikaro i Hunibato, aro oana meamboi, dunggu mombewaiwaipode kaduito tewalino ronga meuda wuuno. Rotamoekeeto Kambuka Sio Ropo.” “Akan tetapi seorang anak perempuan, yang baru pandai merangkak, mereka temukan di sebuah rumah besar. Anak itu sedang menyusu pada bangkai seorang ibu yang tidak di ketahui namanya. Anak itu mereka bawa pulang ke Hunibato. Di sanalah anak itu mereka pelihara dan besarkan hingga menjelang remaja. Anak tersebut ternyata menjadi seorang gadis cantik lagi rupawan dengan rambut yang lembut dan cukup panjang sehingga di beri nama Kambuka Sio Ropo.” Setelah dianalisis, teks di atas menggambarkan tentang kasih sayang, cinta, dan kepedulian. Hal tersebut tercermin pada diri warga Hunibato yang menemukan bayi malang yang sedang menyusu pada bangkai seorang ibu. Mereka dengan tulus memelihara bayi itu dengan kasih sayang hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik. 4.3 Implementasi Pembelajaran Karakter dengan Sastra Lisan Sulawesi Tenggara Ada banyak cara untuk mengenalkan dan mengajarkan nilai-nilai melalui cerita rakyat. Salah satunya adalah bagaimana mencelupkan siswa dalam cerita-cerita rakyat sehingga mereka mengenali pola-pola umum cerita. Dengan dikenalkan cerita rakyat maupun sastra lisan lainnya, siswa akan melihat tema-tema serta pesan- pesan moral yang disampaikan. Dengan mengenalkan sastra lisan tersebut, kita mulai membangun jembatan untuk memahami masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membantu anak menemukan standar bagi kehidupannya sendiri dalam masyarakatnya. Dalam tulisan ini, implementasi pembelajaran karakter dengan menggali kearifan lokal dalam sastra lisan dapat dilakukan dengan kegiatan apresiasi sastra lisan. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan berlandas pada teks cerita rakyat, pantun, nyanyian rakyat Sulawesi Tenggara. Misalnya, guru dapat membantu siswa mengenali pola-pola cerita rakyat agar siswa dapat membangun pemahaman dan penghayatan (Widuroyekti, 2012: 37). Melalui wacana cerita, guru dapat mulai mengenalkan unsur- unsur dalam cerita rakyat sebagai berikut. 1) Konvensi Pada bagian awal pembelajaran, siswa diajak untuk mengenali pola-pola dalam cerita: bagian awal dan akhir cerita, alur, tokoh. Cerita rakyat biasanya diawali dengan kalimat “pada suatu hari” dan diakhiri dengan kalimat “mereka hidup bahagia selamanya”. Beberapa cerita juga ada yang bervariasi, misalnya menggunakan kalimat “pada jaman dahulu…”. Hal ini membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan untuk mendapatkan pola-pola umum dalam cerita rakyat. 2) Motif Pada tahap selanjutnya, siswa dibimbing untuk mengenali motif dalam cerita. Motif dapat dikenali melalui karakter-karakter stereotip, misalnya karakter orang baik, orang jujur,
376
orang taat, orang berani, dsb. Dengan mengenali karakter tokoh, siswa belajar untuk memprediksi apa yang akan dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut dengan cara-cara yang tetap. 3) Tema Selanjutnya, guru dapat mengajak siswa untuk menemukan tema cerita, yakni nilainilai universal yang terkandung dalam cerita. Tema merupakan pusat dan gagasan yang mendominasi suatu cerita, yang berkembang dari topik dan berkaitan dengan nilai-nilai universal manusia. Tema umum yang biasa dikenali pada cerita rakyat misalnya “kebaikan pasti menang, keburukan akan dikalahkan”. Contohnya pada cerita rakyat Buton dan Wakatobi “La ndoke ndoke ke la kolo kolopua”. Proses pembelajaran disarankan tidak hanya berhenti sampai disitu, melainkan dilanjutkan dengan memberi makna dan penekanan tentang karakter tokoh baik dan tokoh jahat. Tokoh baik la kolo- kolopua, dan tokoh jahat la ndoke ndoke. Dengan mengenali karakterkarakter tokoh, guru dapat menunjukkan perbedaan berbagai karakter/sifat manusia, ada yang baik dan ada yang buruk. Dalam mempresentasikan sastra lisan kepada siswa, guru juga dapat berperan sebagai pendongeng atau penutur cerita (a story teller), yang memberikan nafas ulang kehidupan manusia masa lalu dengan berbagai peradaban yang pernah hidup dan berkembang di muka bumi. Untuk itu, guru harus memiliki kemauan yang kuat agar mampu menjadi penutur cerita yang baik dan mumpuni (Sarmini dkk. 2012). Melalui sastra, anak memperoleh pemahaman tentang: (1) nilai-nilai intrinsik (tema, alur, tokoh, perkembangan pribadi, pemahaman tentang orang lain dan dunia sekitarnya); (2) nilai ekstrinsik (keterampilan berbahasa dan pengetahuan) (Ellis, 1989). Dalam penyajian pembelajaran dengan sastra lisan, guru perlu memperhatikan media yang variatif. Misalnya menyertakan gambar ilustrasi pada teks sastra lisan yang dipelajari, membuat whiteboard animation yang ditampilkan pada layar proyektor. Selain itu, metode pembelajaran juga harus variatif. Tak hanya menyajikan materi dengan berceramah di depan siswa, guru dapat mengajak siswa lebih terlibat dengan bermain role play tentang suatu cerita, story telling, atau menugaskan anak- anak untuk menampilkan vocal group kecil membawakan lagu daerah Sulawesi Tenggara terpilih dengan tetap menelaah nilai- nilai pendidikan karakternya. Hal penting lainnya adalah, guru perlu melihat efek pembelajaran dalam dunia batin anak. Oleh karena itu, perlu memperhatikan proses dalam pembelajaran. Jika anak diajarkan tentang cerita perjuangan, kepahlawanan, dan perlawanan terhadap kebatilan maka efek batin dari pengajaran itu adalah keberanian, semangat, tidak mudah putus asa. Jika anak diajarkan cerita penderitaan maka efek batin dari pengajaran itu adalah empati, welas asih, dan seterusnya (Widuroyekti, 2012). E. PENUTUP Nilai-nilai kearifan lokal merupakan modal yang dapat dimanfaatkan melalui pembelajaran karakter di sekolah untuk mengimbangi maraknya tayangan dan bacaan yang cenderung sekuler dan sangat mudah ditemukan khususnya di lingkungan pergaulan media sosialnya. Nilai-nilai tersebut dapat mengantarkan anak didik menjadi manusia yang arif dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh kebahagiaan hidup. Meskipun tradisi orang tua mendongengkan cerita sebelum tidur kepada anak sudah mulai ditinggalkan, setidaknya masih ada peluang menggantungkan harapan di pundak guru untuk memanfaatkan kearifan lokal di sekolah melalui cerita rakyat. Nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita rakyat dapat
377
terus dihidupkan dalam sanubari anak bangsa melalui pembelajaran dengan kegiatan apresiasi sastra. Sastra lisan Sulawesi Tenggara sebagai salah satu referensi kultural memuat nilai-nilai karakter mulia yang dapat dimanfaatkan sebagai materi pembelajaran dan pembentukan karakter. Peran guru dalam hal ini adalah mengintegrasikan materi pengetahuan (tentang unsurunsur intrinsik sastra) dan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu, guru juga berperan memilihkan materi cerita yang sesuai dengan tujuan dan tingkat perkembangan anak, sebagai penutur cerita yang mumpuni, dan yang lebih penting berperan menampilkan kearifan lokal melalui keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk meminimalkan dampak negatif media elektronik khususnya media sosial, maka disarankan: (1) orang tua membatasi jam dan memperhatikan intensintas interaksi anak dengan media elektronik khususnya media sosial; (2) memberikan penjelasan seperlunya bila ada konten asing untuk disesuaikan dengan kehidupan di Indonesia; (3) menyediakan teks atau buku tentang sastra lisan khususnya Sulawesi Tenggara untuk menjadi bahan edukatif di tengah keluarga dan sekolah. Dengan sinergi yang baik antara orang tua dan sekolah diharapkan mengurangi pengaruh negatif media elektronik sehingga terwujud generasi penerus yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia. REFERENSI Asmani, Jamal Ma’aur. (2011). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Ellis, A. 1989. Elementary Language Arts Istruction. New Jersey: Prentice Hall Giddens, A. 2003. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York: Routledge. Griffin, Jill. 2003. Customer Loyalty : Menumbuhkan Dan. Mempertahankan Pelanggan. Jakarta, Airlangga. Gusal. 2015. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Karya La Ode Sidu. Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3, Desember 2015 / ISSN 1979-8296 http://www.kamusbesar.com/57248/sastra-lisan. Diunduh pada 12 April 2017 http://id/techinasia.com/pertumbuhan-pengguna-internet-di-indonesia-tahun-2016. Diunduh pada tanggal 12 April 2017. Liana, A. 2011. Kesastraan Nilai Pendidikan Dalam Kabantino Ganda Pada Masyarakat Mawasangka Tengah Kabupaten Buton. Kendari: Universitas Haluoleo McQuail, Denis. 2000. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Megawangi, R. 2009. Pendidikan Karakter, Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
378
Semiawan, C. R. 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: PT Indeks Widuroyekti, B. 2012. Kearifan Lokal Dalam Sastra Lisan Sebagai Materi Pembelajaran Karakter Di Sekolah Dasar. Surabaya: UPBJJ-UT West, R., Turner, L.H. 2007. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika
379
NOTULENSI SEMINAR NASIONAL “LITERASI, SASTRA DAN PEMBELAJARAN” Sabtu, 29 April 2017 No. 1 2 3
380
Sesi Pembukaan Penyampaian Materi Penyampaian Materi
Nama Taruna Agung P. (Moderator) Rima Devi (Pemakalah Ke‐I) Lustantini Septiningsih (Pemakalah Ke‐ II)
Waktu 14.14 14.15 14.30
Narrasi Moderator membuka sesi pararel ini dengan menyebutkan seluruh pemakalah hari ini, menjelaskan sistematika jalannya presentasi dimana pemakalah diberikan waktu 10 menit untuk presentasi. Pemakalah menyampaikan sebuah materi dengan judul “Keluarga dalam novel Di Bawah Bayang‐Bayang Ode karya Sumiman Udu dan novel Kifujin A No Sosei Karya Ogawa”. Pemakalah mengkaji dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pemakalah mencoba membandingkan kedua karya yang berbeda Negara dan budaya. Terdapat kemiripan dalam kedua novel ini yakni dari latar belakang keluarga (Keluarga Buton dan keluarga Jepang). Kedua keluarga ini dianggap sebagai keluarga tradisional yakni keluarga yang masih memegang teguh tradisi. Disini, keluarga tradisional mencoba untuk bertahan dalam menghadapi pengaruh masyarakat modern di era post‐mo. Selainitu, dalam kedua novel ini sama‐sama membahas tentang “kawinpaksa”. Disini juga dapat dilihat bahwa tradisi parsial hanya di terapkan dalam keluarga zaman dahulu dan keluarga modern saat ini sudah banyak yang meninggalkan tradisi ini. Pemateri kedua menyampaikan materi dengan mengangkat judul “Manusia dan lingkungan” yang melatar belakangi dan mendasari penulisan makalah ini adalah kondisi sosail dan kondisi alam. Kondisi sosial seperti korupsi, narkoba, kenakalan remaja, dll. Dan kondisi alam seperti bencana alam (Longsor dan banjir). Kedua kondisi ini ada kaitannya dengan dunia sastra yang di refleksikan dalam sebuah novel (Khususnya cerpen). Sastra dianggap sebagai salah satu alternatif agar siswa dapat menyadari atau sadar akan lingkungan. Karena sastra dianggap dapat menjadi filter moral bagi siswa dan dapat menjadi kehidupan, dan memberi
4 5 6 7 8 9 10 11
Penyampaian Materi Sesi Tanya jawab Menjawab pertanyaan Menyampaikan pendapat atau feedback kepada pemateri Ke‐I Memberikan opni terhadap Materi ke‐II Menjawab Mengajukan pertanyaan Memberikan jawaban
Wa Ode Syifatu (Pemakalah Ke‐III) Penanya Ke‐ I Rima Devi Laxmi Laxmi Lustanti Septiningsih Laxmi Wa Ode Syifatu
14.50 14.55 15.00 15.04 15.06 15.08 15.11 15.12
guna dankeindahan. Karena pemerhati pendidikan merasa bahwa pendidikan nasional hanya berorientasi pada pengembangan otak kiri bukannya pengembangan akhlak. Disni, pemakalah menggunakan pendekatan ekokritik (berwawasan lingkungan) sastra. Pemateri ketiga memaparkan materi dengan judul “Kaghati (layang‐layang) dan pemilihan raja Muna sebelum Islam.” Pemateri disini menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh E.B Taylor. Seorang ahli Jermanmenyebut bahwa kaghati di Muna merupakan layang‐ layang tertua di dunia. Pemilihan raja Muna di sini berdasarkan keturunan bangsawan tidak menimbulkan konflik, masyarakat muna tetap menerima. Penanya tertarik dengan makalah I yang mengenai perbedaan tradisi keluarga yang ada di Buton dan di Jepang dalam sebuah novel. Adapun pertanyaannya, “Apakah dalam novel tersebut terdapat hubungan selain hubungan darah seperti berkumpul bersama atau memang ada hubungan keturunan dalam kedua novel ini?”
381
12 13 14 15 16
382
Mengajukan Pertanyaan Penutupan Sesi Ke‐ I Pembukaan Sesi Ke‐II Penyampaian Materi Penyampaian Materi
Rima Devi Taruna Agung P. (Moderator) Taruna Agung P. (Moderator) Dr. La Ode Sahidin, M.Hum (Pemakalah Ke‐I) Abdul JalildanMu’j izad (Pemakalah Ke‐II)
15.15 15.18 15.20 15.21 15.36
Pemateri I mengajukanpertanyaankepadapemateri III mengenaikaghati (layang‐layang). Beliau penasaran bagaimana bentuk dari kaghati (gambar) yang sebenarnya. Selain itu, menanyakan makna dari kaghati itu sendiri. Moderator dengan resmi menutup sesi I dalam ruang panel 3 ini karena sesi Tanya jawab telah berakhir di sesi I. Moderator membuka kembali diskusi seminar nasional sesi ke‐II dengan memperkenalkan pemakalah‐pemakalah di sesi ke‐II ini, dan mempersilahkan pemakalah pertama untuk mempersentasikan materinya. Pemateri memaparkan materi dengan judul “Cerita Asal‐Usul Ritual Kaago‐Agono Liwu pada masyarakat koroni di maligano”. Dalam makalah ini, di jelaskan mengenai berbagai jenis Labuan yang ada di Maligano seperti Labuan Bajo, dan Labuan Belanda. Kemudian, dijelaskan pula tentang proses terbentuknya berbagai jenis kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara seperti kabupaten Muna dan Buton Utara. Dalam proses terbentuknya atau keinginan untuk menjadi daerah otonom (Kabupaten), berkaitaneratdenganmasyarakat koroni tersebut. Dimana kedua kabupaten ini saling memperebutkan hak “Kepemilikan” masyarakat koroni. Hasilnya wilayah koroni ini terpecah menjadi 2 bagian, bagian pertama menjadi bagian dari wilayah Muna dan Bagian lainnya dimiliki Kabupaten Buton Utara. Pemakalah (Mu’jizad) mewakili Abdul Jalil yang tidak sempathadir. Pemakalah mengangkatjudul ”Menggali Nilai‐Nilai Pendidikan Karakter Pada Kitab Ta’’limulMuta’allim”. Dalam makalahini, pemateri menarik kesimpulan bahwa adanya ketidakberhasilan dari pelaksanaan pendidikan karakter. Para peserta tidak dapat menyerap nilai‐nilai atau karakter yang baik yang disampaikan pada saat kegiatan pendidikan karakter tersebut. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesinambungan antara mahasiswa dan lingkungan tempat belajarnya. Yang melatar belakangi ketidakberhasilan tertanamnya nilai‐
17 18 19 20
Penyampaian Materi Penyampaian Materi Sesi Tanya Jawab Menjawab
Laxmi (Pemakalah Ke‐III) Ramis Rauf (Pemakalah Ke‐IV) Lustantini Septiningsih Mu’jizad (Pemakalah Ke‐II)
15.44 16.00 16.13 16.14
nilai yang baik/moral baik dan karakter‐karakter yang baik dalam diri mahasiswa yakni antara lain materi yang tidak memadai, kondisi gedung yang tidak memungkinkan, terpecahnya konsentrasi para peserta karena suara ada dimana‐mana oleh karena itu, di sini pemateri mencoba merekomendasikan hal‐hal demi keberhasilan dan keefektifan kegiatan pendidikan karakter. Pemateri mengangkat tema dalam makalahnya yakni “Prosesualisme Literasi Anak Jalanan di Wilayah Perkotaan”. Pemateri menyatakan bahwa dunia pendidikan/ pedagogi saat ini membutuhkan yang namanya paradigma “Prosesualisme”. Paradigm ini memiliki pendekatan yang lebih baik dan efektif dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni bersifat produktif. Disini, pemateri mengambil sampel anak jalanan di kota Kendari. Pemakalah mengangkat judul tentang “Rumah (bagi) Terjadi dalam cerpen “Vonis untuk JagoBom”. Dalam makalah ini di jelaskan mengenai matisyahid dianggap sebuah kebanggaan atau dambaan. Padahal stereotype ini sebenarnya ditanamkan telah lama oleh para kaum kolonial kepada kaum pribumi. Kaum kolonial mencoba mengebomi pikiran, tubuh, perasaan kaum pribumi untuk mempercayai stereotype tersebut. Kesimpulannya disini adalah melalui cerpen “Vonis Untuk Jago Bom” dapat membuka atau menyadarkan masyarakat mengenai pemahaman yang salah terhadap mati syahid. Bu Lustantini Septiningsih mengajukan pertanyaan kepada pemakalahke‐II yakni “Pendidikan karakter seperti apa yang dapat menumbuhkan karakter bangsa yang bermoral dan berakhlak dan beretika?” Memberikan jawaban atas pertanyaan bu Lustantini
383
21 22 23 24
384
Mengajukan Pertanyaan Menjawab Pertanyaan, dan kritik Mengajukan pertanyaan Mengajukan Pertanyaan
Laxmi Mu’jizad (Pemakalah Ke‐II) Wa Ode Syifatu Mu’jizad
16.19 16.22 16.24 16.31
Bu Laxmi mengjukan pertanyaan dan memberian kritik dan opini penggunaan kitab Ta’limul Muta’alim dalam pembangunan karakter mahasiswa universitas Halu Oleo. Menurut bu Laxmi, penggunaan kitap ini tidaklah efektif dan dianggap relativisme karena tidak semua mahasiswa UHO beragama Islam, namun ada agama‐agama lainnya yang dianut oleh mahasiswa UHO. Hal ini mengandung tendensi ke agama Islam saja. Menurutpemakalahke‐II, disini beliau menegaskan bahwa isi dari kitab ini bukanlah ditunjukan kepada penganut agama islam saja. Namun, disini yang di jadikan contoh teladan untuk membangun karakter mahasiswa adalah adab‐adab yang ada dalam kitab tersebut. Yang dianggap efektif untuk pendidikan karakter di UHO. Kepada bapak La Ode Sahidin Kepada Bu Laxmi
NOTULENSI SEMINAR NASIONAL “LITERASI, SASTRA DAN PEMBELAJARAN” Sabtu, 29 April 2017 FIB UHO NO SESI 1 Paralel 1
NAMA Asma Kurniati, S.Pd, M.Pd
WAKTU 2.09 P.M • • • • •
•
•
NARASI Cerita rakyat asal mula benteng matulunga sebagai bahan literasi dalam pendidikan anak Tujuan pendidikan usia dini agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab Anak pada usia dini harus diberi rangsangan agar siap untuk belajar Pendidikan seharusnya menitik beratkan pada kebudayaan dan kearifan lokal. Apakah kemampuan literasi penting untuk anak usia dini? Sangat penting karena anak memiliki penglihatan terhadap lingkungannya dimana jika lingkungan peduli akan literasi. Contohnya benteng Matununga itu mengajarkan banyak hal salah satunya bekerja kesras. Cerita tentang benteng Matununga mempunyai dua versi, versi pertama yaitu versi yang memiliki unsur‐unsur adat dan kebudayaan yang sangat kuat yang mana diceritakan oleh para tokoh masyarakat setempat dan versi kedua yang sudah dipadatkan dan lebih modern sehingga dapat dipelajari oleh anak usia dini. Oleh sebab itu, kami mengambil versi kedua sebagai bahan ajaran. Ada banyak metode pengajaran yang menggunakan literasi ini, pertama, yaitu dengan mencari dan mengerti huruf, dimana cerita ini bisa dikembangkan untuk menambah pemahaman anak tentang huruf. Kedua, literasi ini juga bisa dijadikan sebagai cerita berbentuk boneka. Ketiga, metode pariwisata, yaitu mengunjungi situs atau tempat dimana Benteng Matulunga berada.
385
2.
Parallel I
Rahma Nur Aziza Al‐ Hakim S.Hum, M.Hum
2.22 P.M
• • • • •
• • •
•
•
3.
386
Parallel I
Wanda Listiani
Beginning Verbs Corpus Based Study Metode yang digunakan yaitu Semantic Contohnya dalam mendiskripsikan tentang waktu dan tempat. Contoh: ‐stop bertemu dengan –ing dan too Terdapat dua corpus yaitu British dan Amerika yang menjadi objek kajian Tujuannya yaitu bagaimana semantic analisis dan komponennya berbeda didalam teori Dickson. Kata dapat dibedakan berdasarkan kelas atau part of speech Complement structure : semua complement dapat menggunakan –ing tetapi too Cuma dibeberapa complement saja Beginning dan start beginning dan start hanya untuk mengidentifikasi waktu tetapi apabila bertemu too atau will not menunjukan tidak akan terjadi. Component structure Dickson mengatakan stop and finish hanya bisa sama –ing saja. Verb bertemu –ing, kegiatan itu benar‐benar berhenti. Teori Dickson tidak bisa digeneralisasi di semua bidang Bahasa Inggris.
2.35P.M ¾ Represtasi Wayang Sunda dalam Sastra Grafis • Ini adalah sebuah penelitian untuk menggali wayang Sunda dari penutur aslinya dimana hasil dari penelitiannya akan dibuat menjadi sebuah game agar membuat anak‐anak tertarik untuk mempelajari budaya Wayang Sunda itu sendiri • Ada beberapa jenis Wayang Sunda berdasarkan bahannya, yaitu wayang yang terbuat dari kulit, daun, jerami, kain, dan kayu. • Di dalam gamenya dibagi menjadi dua kriteria seperti, potongan Puzzel untuk mengetahui wajah dari Wayang dan game yang bebentuk ukuran dan sifatnya. • Konten edukasi yang terdapat pada game: ¾ belajar dari pengalaman dan nilai‐nilai yang bisa dipetik, ¾ tokoh‐tokoh wayang digabungkan dengan karakter lainnya. Contohnya : Cepot + Ant Man ¾ kesimpulan : dari proses tersebut kita dapat memberikan pengalaman dan pelajaran dari game.
Sesi tanya jawab
1. ketika kearifan local dicampur dengan hal yang bersifat modern, apakah akan menghilangkan kearifan local? (Ibu asma untuk Ibu Wanda) Jawaban: Anak‐anak diberikan informasi mengenai warna dari pemahaman warnanya/tokoh‐tokohnya. Misalnya: ada tokoh jahat itu dibuatkan visualnya. Untuk sementara tujuannya hanya untuk membuat anak‐anak memahami sifat dari warna wayang itu sendiri. Gamenya hanyalah sebagai media agar anak jaman sekarang tertarik untuk belajar budaya. 2. Apakah kemampuan anak dalam menggambar didapatkan dari lahir? Jawaban: Tidak harus. Kita bisa mengajarkan mereka menggunakan metode lain misalnya membatik. Contohnya seperti kita mengajarkan mereka membatik menggunakan cetakan seperti halnya membuat kue.
387
NOTULENSI SEMINAR NASIONAL “LITERASI, SASTRA DAN PEMBELAJARAN” Sabtu, 29 April 2017 FIB UHO NO SESI NAMA 1 Paralel II Lestari Pertanyaan
388
WAKTU NARASI 3.06 P.M • Sastra dalam demokrasi dari sajak Whit. Konsep ini menjadi sangat popular terutama sejak Trump menjadi president untuk mengkritisi pemerintahannya, dimana “Semua orang sama” adalah konsep yang diciptakan saat membentuk Amerika. • Pemerintah bukannya propaganda rakyat dan jika pemerintahannya tidak baik maka rakyat dapat menghancurkan pemerintahannya. • Tujuannya: mengkaji konsep, melihat kesenjangan • Teori yang diambil yaitu teori Mack and Price, dimana Price beranggapan bahwa Whitman menjurus ke kulit putih. Dimana dalam Whitman menyatakan dalam karyanya: hal‐hal yang memecahbelah itu tidak usah diperdebatkan. Disini juga membahas atom dimana atom ini membangun bumi secara historistic. • Whitman menyatakan bahwa kita berasal dari bahan yang sama, dimana Whitman juga berkata bahwa “aku yang disini sama dengan aku yang dimana saja” tetapi terdapat ironi disini dimana pembudakan masi berjalan pada saat itu. • Sedangkan saat ini kita melihat Trump, bahwa Trump dapat memanipulasi calon pemimpinnya. Ini membuktikan bahwa bangsa Amerika sebagai bangsa demokrasi tidak terbukti • Konsep demokrasi belum berhasil, ketidak beruntungan Amerika memilih presiden baru dan Trump bisa digulingkan dan memilih presiden baru yang lebih baik. 1. Apa cita‐cita ideal Amerika sebenarnya? Jawaban: Orang‐orang ingin orang Amerika bisa lebih banyak peluang pekerjaan akan tetapi semuanya kontradiktif sehingga Amerika kembali ke masa gelapnya
2.
Parallel II Salmiawati Pertanyaan
3.
Parallel II
Cucuk Cantini
3.25
Makna dan Nilai Sastra Lisan dan Pemetaan Ilmu Pengetahuan • Sastra lisan berbentuk teka teki, mantra, dongeng, syair • Dimana teka‐teki ini berasal dari Muna, syair yang berasal dari Wakatobi, dimana syair ini dilaksanakan oleh perempuan dan laki‐ lakikemudian berpencar seperti formasi yang telah ada dalam syair. Perempuan juga disini feminism, ketika perempuan menanam itu dispesialkan, dimana perempuan mengerjakan pekerjaan yang ringan. • Mantra membuka lahan dari Muna dimana mantra ini membahas tentang makna spiritual antara tuhan dan masyarakat. 1. Sejauh mana pengaruh islam dan kenapa disebut mantra bukan doa? Jawaban: Mantra itu meskipun berbau islam tetap ada kebudayaan yang menyatu atau mempengaruhi doa tersebut sehingga doa tersebut berubah atau diterjemahkan kedalam bahasa daerah sehingga disebut sebagai mantra, tetapi sebagian masyarakat beranggapan bahwa itu syirik 3.45 P.M Genre Fisik Pop Islami penerbit Mizan dalam Khazanah Kesusastraan Indonesia • Gejala social mempengaruhi fiksi dimana penulis harus memilih idealism atau komersil. • Dalam karyanya Mizan ini, ideology dan komersilnya berjalan sama. Hal ini ditulis karna fiksi islam dan cerita islam yang hanya ditambahkan saja islami. • Fiksi pop slam itu selalu menjadi inspiratory penggunaan hijab dalam fiksi, dalam latar Indonesia menjadi modern dan timur tengah itu lebih ke Islami. • Arketipenya Romance, perjalanan spiriyual, atau tentang orang yang menginspirasi. • Hadis yang awalnya jelas bisa menjadi kias dari Nizam. • 280 fiksi kecenderungan Nizam menjadi pop islami didalamnya selalu ada unsur islaminya. • Pengaruh orde baru bisa membuat hal baru dengan genrenya sendiri dan genre islami itu berbeda dengan pop islami dimana genre islami lebih islami sendiri.
389
Pertanyaan
4.
390
Parallel II Mustafah Pertanyaan
1. Nuansa penerbit islam masuk ke cerita yang tidak islami. Saya kurang sependapat apabila sejarah islam muncul sejak runtuhnya orde baru, akan tetapi telah muncul sebelum orde baru? Mengapa demikian? Jawaban: Karena pada saat orde baru akan runtuh pak Harto berusaha melindungi pemerintahannya dengan merangkul islam dimana seperti yang kita ketahui islam yang paling kontra dengan pemerinthannya. 4.00 P.M Karakter tokoh dan motif cerita yang terkandung dalam cerita Bale Ulaweng Sibawa Pallaurumae • Ada beberapa tokoh dari cerita ini yaitu petani, istri petani, dan ikan mas. • Petani ini bekerja di ladang dan setiap pulang dari lading ia memancing di sebuah telaga untuk dijadikan lauk. Suatu hari ia mendapat ikan mas, tetapi ketika si petani ingin membawa pulang ikan tersebut, ikan mas itu memohon agar dilepaskan dan sebagai tanda terima kasih, ikan itu memberikan tiga permintaan. Setelah mendengar cerita yang dialami suaminya, si istri meminta suaminya agar meminta ke ikan mas tersebut agar diberikan rumah mewah. Tidak puas dengan itu, istrinya meminta agar rumah mewahnya dijadikan istana yang megah. Dan masih tidak puas dengan itu, ia meminta istananya dijadikan surge. Ikan mas itupun menyuruh si petani dan istrinya pulang tetapi yang didapatkan hanyalah gubuk yang semula mereka tinggali. • Cerita seperti ini cukup banyak di Sulawesi selatan tetapi generasi muda tidak tertarik dengan cerita‐cerita rakyat seperti ini. • Cerita ini sifatnya lebih kepada moral, yang mana kita harus mensyukuri apa yang kita miliki hari ini. • Para penutur asli dari cerita ini sudah sangat jarang karena hanya para tetua yang masih mengetahui cerita seperti ini. 1. Apakah ceritanya haya terbatas diceritakan secara lisan saja? Jawaban: Sudah dibuatkan dokumentasinya dan juga beberapa masih diceritakan secara lisan tetapi penuturnya sudah sangat sedikit.