ISSN 2580-0795
JURNAL
LITERASI Teknologi, Informasi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan 2017
Volume V
Edisi 1/Juni/2017
dan Komunikasi
ISSN 2580-0795
PENGANTAR REDAKSI
J
urnal AKRAB Volume V edisi 1/Juni/2017 ini mengangkat tema Literasi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Literasi TIK merupakan bagian dari enam literasi dasar dalam membangun budaya literasi masyarakat. Literasi TIK adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan atau jaringan dalam mendefinisikan, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menciptakan, dan mengomunikasikan informasi secara baik dan legal dalam rangka membangun masyarakat berpengetahuan. Fokus tema kita kali ini adalah bagaimana pentingnya peranan TIK dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan, baik keaksaraan dasar maupun keaksaraan lanjutan. Artikel pertama mengangkat tentang diskursus dan disrupsi literasi TIK menuju masyarakat pembelajar. Untuk menuju masyarakat pembelajar perlu sarana dalam membangun budaya literasi masyarakat. Sehingga pada artikel kedua mengangkat tentang peranan TBM berbasis internet untuk memelihara keberaksaraan masyarakat. Dalam hal ini diperlukan strategi dan metode pembelajaran keaksaraan yang kreatif dan inovatif berbasis TIK. Sebagaimana yang tertuang dalam artikel ketiga sampai keenam. Budaya literasi juga akan terbangun melalui komunikasi yang baik. Misalnya dengan menggunakan komik sebagai media komunikasi untuk meningkatkan budaya literasi dalam artikel ketujuh. Selain itu, komunikasi juga berperan penting dalam mengembangkan kewirausahaan masyarakat yang tersaji dalam artikel kedelapan dan kesembilan. Semoga para pembaca dapat mengkaji lebih mendalam rangkaian tulisan tentang keaksaraan dan upaya membangun budaya literasi. Salam Redaksi.
1
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017 Dipublikasikan Oleh: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
114 hlm + foto; 17 x 24 cm ISSN: 2580-0795
Tim Redaksi Penanggung Jawab : Dr. Yusuf Muhyiddin (wks. Direktur Bindiktara) Pimpinan Redaksi : Dr. Kastum Editor : Johan Winarni, S.P, M.Pd. Moh. Alipi, S.Pd. Dr. Ade Kusmiadi Dr. Puji Hadiyanti Erika Yuanita F, S.Pd Tim Redaksi dan Pengolahan Naskah : Hamzah Hakim, M.Pd. Siti Nurul Aini, S.Kom Drs. Tjahyono Hadi, SE Erna Fitriawati NH, SE Bambang Sutrisno, S.Pd. Penulis Artikel: Safuri Musa Muhamad Affandi Tri Widayati Arie Ekadharma,dkk. Dadang Surnawan Cucu Sukmana Fauzan Effendi Asep Saepudin dan Ahmad Ginanjar Iip Saripah Sekretariat: Syaharuddin Rendhany, S.Kom Lilasari, A.Md. Febri Kelana Toni Hikmat Desain/Layout : Rulnaidi
2
Alamat Redaksi: Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kompleks Kemdikbud Gedung E Lantai 8, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta (10270) Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017 Telepon: (021) 5725715, 5725575, Fax: (021) 5725039 email:
[email protected]
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ISSN 2580-0795
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi ............................................................................................................................1 Daftar Isi ................................................................................................................................................3 TEMA KITA Literasi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Dr. Yusuf Muhyiddin .........................................................................................................................4 ARTIKEL Diskursus dan Disrupsi Literasi TIK Menuju Masyarakat Pembelajar Safuri Musa ..........................................................................................................................................6 Peranan TBM Berbasis Internet Dalam Memelihara Keberaksaraan Masyarakat (Studi pada TBM Rumah Baca Kota Palangka Raya) Muhammad Affandi ...................................................................................................................... 21 Strategi Pengembangan Literasi TIK Pada Old Generations Dalam Pendidikan Multikeaksaraan Tri Widayati ....................................................................................................................................... 33 Dada (Dana Daring) Pelibatan Netizen Dalam Pendidikan Nonformal Untuk Pemberdayaan Masyarakat Arie Ekadharma, Chinta Darma, dan Edi Rukmana ............................................................ 47 Kemampuan Literasi TIK Tutor Keaksaraan Dalam Praktek Kegiatan Pembelajaran di Kelompok Dadang Sunarwan ........................................................................................................................ 59 Pengaruh Metode Penyadaran Dalam Meningkatkan Minat Baca Warga Belajar Keaksaraan Cucu Sukmana .............................................................................................................................. 67 Metode Pembelajaran Membuat Komik Dalam Upaya Peningkatan Budaya Literasi di PKBM Melati Indonesia Fauzan Effendi ................................................................................................................................. 81 Penyelenggaraan Program Keaksaraan Usaha Mandiri Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Bisnis Peserta Didik Asep Saepudin dan Ahmad Ginanjar .................................................................................... 90 Implementasi Pelatihan Kewirausahaan Bagi Anak Putus Sekolah Iip Saripah .......................................................................................................................................101
Jurnal AKRAB ini dipublikasikan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini danPendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pandangan dari kontributor dalam jurnal ini mencerminkan berbagai persfektif mengenai pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan. Berbagi pandangan ini tidak harus mencerminkan pandangan editor. 3
TEMA KITA
LITERASI TEKNOLOGI, INFORMASI, DAN KOMUNIKASI Dr. Yusuf Muhyiddin Wks. Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
D
irektorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendorong pendidikan literasi sejak dini. Pada abad 21, seseorang bisa survive (bertahan) dengan TIK, tak hanya baca tulis saja. Sehingga setiap warga negara harus punya enam literasi dasar. Adapun enam komponen dalam literasi dasar yang mengacu pada World Economic Forum pada tahun 2015, yaitu kemampuan baca-tulis-hitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Keenam literasi dasar ini saling berkaitan untuk mengembangkan literasi masyarakat agar lebih berdaya. Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti perangkat keras atau hardware, perangkat lunak atau software, serta etika dan etiket dalam memahami teknologi. Dalam praktiknya, juga pemahaman dalam menggunakan komputer atau computer literacy yang di dalamnya termasuk menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan mengolah data, serta mengoperasikan beberapa perangkat.
4
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Pendidikan keaksaraan melalui TIK mempunyai tujuan untuk meningkatkan, memelihara, dan melestarikan kompetensi keaksaraan peserta didik pendidikan keaksaraan, melalui optimalisasi perangkat teknologi sebagai media belajar pendukung pencapaian tujuan pembelajarannya. Lliterasi TIK dapat diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran keaksaraan, sebagai media pembelajaran yang digunakan oleh tutor maupun peserta didik keaksaraan. Misalnya penggunaan handphone, VCD pembelajaran, komputer sangat membantu dalam menarik minat belajar peserta didik keaksaraan sekaligus mengembangkan minat baca masyarakat. Penggunaan TIK dalam pembelajaran keaksaraan memiliki banyak manfaat, antara lain: (1) informasi yang dibutuhkan akan semakin cepat dan mudah diakses untuk kepentingan pembelajaran; (2) inovasi dalam pembelajaran semakin berkembang dengan adanya inovasi e-learning yang semakin memudahkan proses pendidikan, berkembangnya metode-metode pendidikan baru misalnya belajar berbasis teknologi; (3) metode belajar berbasis aplikasi ini sedang sangat berkembang saat ini, misalnya belajar hanya dengan melihat video tutorial yang dibagikan menggunakan aplikasi tertentu; (4) mudahnya berkomunikasi antara tutor dengan tutor atau tutor dengan peserta didik di daerah lainnya; (5) pembelajaran akan berlangsung lebih efektif dan efisien jika memanfaatkan teknologi dengan sebaik baiknya. Penerapan TIK dalam pembelajaran keaksaraan membutuhkan kesiapan sarana prasarana dan sumber daya manusia, baik dari unsur tutor, peserta didik, pengelola lembaga, dan partisipasi masyarakat dalam rangka mendukung pembelajaran sepanjang hayat. Diharapkan pembelajaran keaksaraan yang didukung oleh TIK ini akan membantu mengentaskan penduduk buta aksara sekaligus memelihara kemampuan keberaksaraan karena mampu menggunakan sarana TIK dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain budaya literasi TIK sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
5
ARTIKEL
DISKURSUS DAN DISRUPSI LITERASI TIK MENUJU MASYARAKAT PEMBELAJAR Oleh : Safuri Musa Doktor PLS, Dosen dan Praktisi PLS
ABSTRAK Di era digitalisasi dewasa ini kecakapan literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan suatu tuntutan yang tidak terelakan. Kecakapan literasi, tidak semata pada kecakapan baca, tulis, hitung dan pengetahuan dasar melainkan juga pada kecakapan multi-literasi, salah satunya adalah literasi TIK. Perkembangan TIK mengakibatkan terjadinya disruption dalam berbagai bidang kehidupan, hal tersebut terjadi pada 90% pengguna internet di Indonesia dari jumlah 132,7 juta orang. Tulisan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang diskursus dan disrupsi literasi TIK menuju masyarakat pembelajar. Metode kajian dengan analitis deskriptif berdasarkan kondisi empirik perkembangan literasi dewasa ini yang dianalisis dengan menggunakan kajian konsep dan teori pendukung yang berkenaan dengan literasi, TIK dan pembelajaran. Kajian ini menyimpulkan bahwa dalam pengembangan literasi TIK diperlukan landasan filosofis dan keilmuan yang kokoh agar memiliki arah yang jelas yakni: (1) telah terjadinya disrupsi kecakapan literasi TIK yang didominasi generasi muda, walaupun dalam penggunaan TIK sebagian besar untuk jejaring sosial, (2) pengembangan dan kecakapan literasi TIK agar dioptimalkan menuju masyarakat pembelajar untuk memiliki daya saing bangsa, dan (3) diperlukan etika dalam memanfaatkan TIK yang tidak bertentangan dengan norma agama, hukum, nilai-nilai adiluhung, kepantasan, kesopanan dan tanggungjawab. Kata kunci: diskursus TIK, disrupsi TIK, literasi TIK 6
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
A. Pendahuluan Dewasa ini perkembangan TIK demikian masif. Bahkan dapat dianggap terjadi disruption. Hampir dalam semua sendi kehidupan manusia tidak lepas dari peran TIK. Dalam kemajuan peradaban manusia, baik pada bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kesehatan, perhubungan, pertahanan, keamanan, pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lainnya tidak lepas dari peran penting TIK. Perkembangan TIK bukan sekedar iteration dan innovation, melainkan sudah pada tahapan disruption. Jika iteration perubahan yang terjadi karena proses yang berulang, terus lama-lama menghasilkan karya yang baik, lebih bagus, lebih bagus, dan lebih bagus. Adapun inovasi adalah creating something new sedangkan disruption yaitu sebuah inovasi creating something new sedemikian rupa sehingga sesuatu yang lama menjadi ketinggalan jaman bahkan dapat menimbulkan goncangan. Lingkungan dan kehidupan kita menjadi complexity, uncertainty, ambiguity. Volatility dan VUCA (Kasali, 2017). Salah satu prediktor terjadinya perkembangan TIK adalah kemudahan dalam mengakses internet. Menurut hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII, 2016) setengah dari penduduk Indonesia atau 132,7 juta orang telah terhubung ke internet. Rata-rata mereka mengakses internet menggunakan perangkat telp genggam, dengan rincian 67,2 juta orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan computer, 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari smartphone dan 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer. Meski demikian, penetrasi internet tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa dengan 86,3 juta orang atau 65 persen sedangkan sisanya adalah: 20,7 juta atau 15,7 persen di Sumatera, 8,4 juta atau 6,3 persen di Sulawesi, 7,6 juta atau 5,8 persen di Kalimantan, 6,1 juta atau 4,7 persen di Bali dan NTB dan 3,3 juta atau 2,5 persen di Maluku dan Papua. Berdasarkan survey tersebut juga mengungkapkan bahwa pengguna internet berdasarkan usia, pengguna terbanyak adalah usia 35-44 tahunsebesar 29,2%. Adapun pengguna paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 10%. Dilihat dari sisi pengguna, pengguna internet terbanyak berprofesi sebagai pekerja/wiraswasta sebesar 82,2 juta atau 62%. Urutan pengguna internet berikutnya adalah ibu rumah tangga sebesar 22 juta atau 16,6%. Jika teori Maslow tentang hirarki kebutuhan manusia yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari makan, papan, sandang, rasa aman, sosial, 7
penghargaan dan aktualisasi diri, maka kini kebutuhan manusia modern adalah yang pertama Wi-fi dan kedua power bank, baru kemudia kebutuhan makan, papan, sandang, rasa aman dan seterusnya. Artinya kebutuhan dasar manusia dewasa ini adalah akses TIK. Program literasi dewasa ini selayaknya tidak terbatas pada literasi baca, tulis dan hitung melainkan juga literasi multi aksara yang esensial bagi kehidupan manusia. Walaupun demikian khususnya di Indonesia program literasi berupa baca, tulis dan hitung melalui program keasaraan dasar dan keaksaraan lanjutan tetap dilanjutkan dan diintensifkan pada kantong-kantong buta huruf. Di pihak lain program literasi multi aksara, diantaranya literasi TIK mendesak untuk dikembangkan. Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas pengguna internet di Indonesia terdapat 132,7 juta orang. Walaupun penyebarannya belum merata dan kebanyakan penggunanya usia muda dan para pekerja. Pengguna TIK dari tahun ke tahun makin pesat dan telah memberikan kemajuan serta kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudahan akses internet mengakibatkan transaksi keuangan dalam genggaman tangan, proses jual-beli menjadi praktis melalui jasa belanja on-line yang makin meningkat, mencari berita dan informasi menjadi mudah dan cepat, komunikasi dan informasi menjadi luas tanpa batas melalui pilihan media sosial diantaranya facebook, whats app, path, instagram dan tweeter. Semua masyarakat berlomba meraih manfaat kemajuan TIK. Walaupun demikian pemanfaatan literasi TIK yang tidak bijak akan berakibat buruk bagi penggunanya. Berbagai kasus telah kita ketahui akibat ketidaktahuan, kelalaian dan penyalahgunaan TIK. Sebagai contoh kelalaian melakukan pengisian baterai (charg hand phone) mengakibatkan kebakaran dan ledakan, kemudian TIK digunakan untuk penipuan, berita bohong (hoax), menghasut, fitnah, permusuhan, dan hujatan yang dapat mengakibatkan aspek pidana dan perdata. Berdasarkan pemikiran di atas penulis melakukan kajian tentang diskursus dan disrupsi literasi TIK menuju masyarakat pembelajar.
B. Kajian Pustaka 1. Literasi TIK menuju Masyarakat Pembelajar Dalam melakukan diskursus dan disrupsi literasi TIK menuju masyarakat pembelajar diperlukan suatu pijakan yang kuat sehingga dalam implementasinya memiliki orientasi yang terarah. Pijakan yang dijadikan dasar bagi diskursus dan disrupsi literasi TIK setidaknya ada tiga, yakni pijakan filosofis, perkembangan TIK dan etika pemanfaatan literasi TIK. 8
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Berikut ini kami sajikan ketiga pijakan tersebut. a. Landasan filosofis Manusia dengan potensi kemanusiaannya berupaya meningkatkan kualitasnya untuk lebih maju, berkembang dan bertanggungjawab (Syam, 1983). Untuk mengembangkan potensi kemanusiaanya, manusia membutuhkan belajar, belajar sepanjang hidupnya. Proses belajar sepanjang hayat pada hakekatnya adalah fitrah manusia untuk menjadi lebih baik dan menyempurnakan kehidupannya (learning tobe). Belajar bukan hanya untuk menjadi tahu sesuatu (learning to know), dapat melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk belajar (learning how to learn), belajar untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan sesame (learning together be ather), melainkan juga belajar untuk menjadi pribadi yang lebih mendewasa. Kajian pribadi yang mendewasa dicirikan antara lain oleh pribadi yang mandiri, berani bertanggungjawab terhadap keputusannya sendiri, dan yang segala pola kehidupannya dilandasi oleh norma, etika dan keyakinannya (EFA Mid Decade Assessment Indonesia, 2007), (Djudju Sudjana, 2010), (Redja Mudyahardjo, 2001), (Setiono, 2103). Pribadi yang mendewasa adalah pribadi yang selalu belajar sepanjang hayatnya. Hal ini sejalan dengan pandangan filsafat reconstructionisme yang dikemukakan oleh Bramel dalam bukunya Philosophies of Education in Cultural Prespective (Syam, 1983). Pandangan filsafat ini menyatakan bahwa perubahan peradaban dunia yang demikian pesat harus disikapi dengan suatu jalan bagi pemecahan masalah agar manusia tidak mengalami goncangan atau menurut Kasali (2017) disebutnya Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity. atau VUCA. Jika aliran filsafat perenialisme mengambil jalan pemecahan masalahnya dengan menggali nilai-nilai lama yang dianggap luhur untuk dijadikan acuan tata kehidupan dimasa kini, tetapi menurut pandangan filsafat reconstructionisme jalan pemecahan masalahnya adalah dengan merombak tata kehidupan lama dengan tata kehidupan baru bahkan sama sekali baru. Makin tinggi goncangan perubahan, mengakibatkan makin besar pula tata kehidupan masyarakat yang harus dilakukan. Melalui kemajuan TIK yang amat pesat dewasa ini, kehidupan manusia modern sangat tergantung pada Wi-fi. Kini hampir segala transaksi kehidupan manusia berada dalam genggaman. Maka diperlukan cara pandang baru menghadapi perubahan dunia dengan melek literasi TIK. 9
b. Perkembangan TIK Pada awal perkembangannya TIK hanya sebatas sebagai penyampai pesan atau informasi mulai dari gambar-gambar yang tak bermakna di dindingdinding gua, candi, batu, lontar, tembikar, lempengan besi, timah, kuningan, kemudian kertas dan terus berkembang dengan diketemukan huruf dan angka serta teknologi baru sampai diperkenalkannya dunia arus informasi atau disebut internet. Bangsa Sumeria merupakan pengguna pertama simbol-simbol piktografi sebagai huruf pada abad 3000 SM. Setiap simbol mempunyai bentuk bunyi yang berbeda sehingga mampu menjadi kata, kalimat dan bahasa. Kemudian pada abad 2900 SM bangsa Mesir Kuno menggunakan huruf hieroglif, yang lebih maju daripada huruf piktografi. Simbol dalam huruf hieroglif dapat dirangkai sehingga menjadi kata, kalimat dan makna tersendiri. Pada Tahun 500 SM masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Nil mulai mengenal cara membuat serat dari pohon papyrus untuk digunakan sebagai kertas, sehingga menggunakan kertas sebagai media untuk menulis dan menyampaikan informasi. Adapun bangsa Cina waktu itu membuat bahan kertas dari serat bambu yang dihaluskan, disaring, dicuci kemudian dicetak tipis layaknya lembaran kertas. Perkembangannya berikutnya ditemukan mesin cetak oleh Johan Gutenberg pada tahun 1455 dengan menggunakan plat huruf yang terbuat dari besi. Disusul tahun 1830 ditemukan program komputer yang pertama di dunia oleh Augusta Lady Byron dan Charles Babbage dengan menggunakan mesin analytical yang di desain untuk memasukan data, mengolah data dan menghasilkan bentuk luaran dalam sebuah kartu. Kemudian tahun 1837 ditemukan telegraf oleh Samuel Morse bersama Sir William Cook dan Sir Charles Wheatstone. Dalam telegraf menggunakan kode-kode sederhana untuk mewakili pesan-pesan yang ingin dikirimkan dengan pulsa listrik melalui kabel tunggal. Tahun 1877 Alexander Graham Bell mengembangkan telepon dengan system pemanggilan menggunakan nomor untuk mencegah operator yang tidak mengenal semua pelanggan. Kemudian berturut-turut ditemukan kalkulator pada tahun 1931 oleh Vannevar Bush, komputer elektronik digital pada tahun 1939 oleh John V. Atanasoff dan Clifford Berry, ARPANET tahun 1960 oleh United State Departement of Defense Advanced Research Projects Agency, dan sejak 1990-an perkembangan internet terus berkembang secara pesat sampai saat ini. 10
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Perkembangan internet saat ini sudah mendunia, artinya arus informasi dan komunikasi sudah tidak mengenal batas-batas negara. Indonesia merupakan pangsa besar dunia dari perkembangan internet ini. Tetapi sayangnya penggunaan internet kehilangan arah. Pemerintah dan pengambil kebijakan kalah cepat dengan perkembangan internet. Berdasarkan hasil survey APJII bersama Puskakom UI pada tahun 2015 antara lain menyatakan bahwa hampir 90% pengguna internet di Indonesia menggunakan internet untuk menggunakan jejaring sosial, sisanya digunakan untuk berbelanja, belajar, bekerja, mencari jalan, mempromosikan usaha, berkomunikasi dan sebagainya. Kemudian saat melakukan browsing pengguna internet paling banyak menggunakan perangkat mobile (smartphone) sebesar 89,9 juta atau 67,8%, dan browser yang paling banyak digunakan adalah Google Chrome sebesar 66,6%. Berdasarkan pada gambaran perkembangan TIK di atas maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan TIK belum dioptimalkan untuk kegiatan produktif, bagi usaha, bisnis, bekerja dan juga pendidikan. Kondisi tersebut dapat menjadi peluang yang sangat besar untuk mengembangkan literasi TIK agar tidak sekedar sebagai media untuk jejaring sosial, melainkan bagaimana mengembangan literasi TIK untuk mewujudkan masyarakat pembelajar. c. Perkembangan Literasi Perkembangan literasi dimulai pada abad ke-12-13 di Inggris melalui BIBLE atau Basic Information Before Leaving Earth yang maknanya sebagai informasi dasar sebelum seseorang meninggalkan bumi. Dengan BIBLE masyarakat dibekali berbagai informasi selama hidupnya agar mengetahui berbagai hal. Pada abad ke-19 mulai dikembangkan literasi tradisional yang meliputi kemampuan membaca, menulis, mendengar, berbicara kecakapan fungsional, memecahkan masalah dan memperoleh informasi. Pada setiap negara memiliki standar literasi masing-masing, tetapi pada intinya bagaimana masyarakat memiliki kecakapan mendapatkan informasi dan memanfaatkan informasi tersebut bagi kehidupannya. Pada tahun 1990-an beberapa negara seperti Korea, Taiwan, Amerika, dan Jepang sudah mengembangkan literasi komputer, dan multi media. Masyarakat mulai dibelajarkan konsep literasi berbasis digital atau TIK yang bukan hanya literasi pada baca, tulis dan hitung. Tujuan literasi berbasis digital masyarakat diharapkan dapat mengetahui perkembangan informasi 11
dan bergaul secara lebih luas serta dapat belajar secara otodidak dengan cara berbagi pengalaman antar anggota masyarakat. Dampak dari literasi digital perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan mulai makin cepat daripada pada masa-masa sebelumnya (Ace Suryadi, 2009) Perkembangan literasi di Indonesia secara gencar dilakukan pasca kemerdekaan yang waktu itu jumlah penyandang tuna aksara amat tinggi. Kemudian pada tahun 1990-an dikembangkan keaksaraan fungsional dengan fokus pembelajaran baca, tulis, hitung dan aksi untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi warga belajar dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan beberapa negara sebagaimana yang disebutkan di atas perkembangan literasi di Indonesia relatif tertinggal. Beberapa faktor penghambatnya antara lain: (1) belum meratanya akses pendidikan dasar, (2) letak geografis yang membuat persebaran penduduk tersebar luas, khususnya di daerah terpencil, terdalam dan terluar, (3) rendahnya ekonomi masyarakat yang mengakibatkan anakanak dari keluarga miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi dengan mengenyampingkan pendidikan mereka, (4) adopsi dan inovasi TIK belum dioptimalkan bagi upaya pemberantasan tuna aksara, dan (5) masih tingginya tradisi lisan pada masyarakat Indonesia, sehingga belum cukup kuat daya dorong lahirnya budaya literasi (Kusnadi dkk., 2003), (EFA, 2007), (Safuri Musa dkk. 2011), (Komisi Nasional Indonesia Untuk UNESCO dan BP-PLSP Regional II Jayagiri, 2007).
C. Metode Kajian Tulisan ini menggunakan kajian deskriptif analitis terhadap obyek yang ditulis yakni tentang literasi yang dikaitkan dengan kemajuan TIK dan berbagai aspek yang terkait. Kajian tentang literasi tidak hanya sebatas baca, tulis dan hitung melainkan multi literasi yang menyertai kehidupan manusia. Sepanjang peradaban manusia terjadi evolusi bahkan revolusi dalam berbagai aspek kehidupannya, yang jika tidak diikuti akan tertinggal dan ditinggalkan oleh peradaban. Dalam pengkajian, penulis melakukan analisis dan validasi terhadap berbagai fakta empiris tentang literasi dikaitkan dengan konsep dan teori pendukung sehingga diperoleh validasi secara akademis.
D. Hasil dan Pembahasan World Economic Forum bekerja sama dengan INSEAD, telah mengeluarkan hasil Network Readiness Index (NRI) yang merupakan pengukuran sejauh mana 12
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
pengaruh Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap daya saing ekonomi suatu negara. Berdasarkan data NRI pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 79 dari 143 negara yang diukur, sementara Singapura menduduki peringkat pertama. Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia menduduki peringkat ke 32, Thailand ke 67, dan Vietnam ke 85. Ini menunjukan bahwa walaupun Indonesia salah satu pengguna terbesar TIK di dunia dengan jumlah pengakses 132,7 juta orang, tetapi dampak penggunaan TIK terhadap daya saing ekonomi masih rendah. Kalo daya saing ekonomi rendah berimplikasi pada rendahnya pemanfaatan TIK dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Perkembangan TIK belum memberikan manfaat yang optimal dalam kegiatan belajar, dan pembelajaran. Lembaga-lembaga pendidikan dalam memanfaatkan perkembangan TIK, baik formal, nonformal dan informal kalah cepat dengan perkembangan TIK itu sendiri. Saking kalah cepatnya perkembangan TIK berkembang dengan liar yang memunculkan berbagai diskursus, oleh karena kebijakan atau regulasi pun tertinggal. Sebut saja misalnya tentang berita hoax yang berakibat pembunuhan karakter, fitnah, penipuan, caci maki, dan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan tidak mengindahkan agama, etika, norma dan nilai-nilai adiluhung. Demikian halnya dalam dunia bisnis transportasi misalnya, transportasi dengan menggunakan jasa online dewasa ini demikian marak dan menjadi pilihan yang favorite. Bagimana tidak? Karena lebih murah, mudah, cepat dan dengan kendaraan yang relative baru. Pelanggan bisa memilih jenis kendaraan dan pengemudi hanya melalui telepon genggam. Rute-rute dan tarifnya pun dapat diketahui lebih awal sehingga ada kenyamanan bagi pengguna jasa transportasi online. Ini salah satu dampak TIK lainnya dalam kehidupan kita. Dalam perdagangan yang saat ini marak adalah bisnis online, telah menjadi salah satu trend dewasa ini. Kita sekarang dapat membeli beragam produk dan layanan jasa hanya dalam genggaman (handphone). Kita dapat memilih produk dan layanan jasa dengan cepat dan pembayaran pun dilakukan hanya melalui handphone tanpa harus repot-repot pergi ke bank atau pembayaran dengan tunai, dan harga yang ditawarkan jauh lebih murah jika membeli langsung di toko dan gerai sehingga banyak pengeluaran pemasaran yang dipangkas. Kita memesan tiket pesawat, kereta, bus dan kapal laut juga kini sudah berada dalam genggaman. Tanpa harus membuang waktu datang ke loket pemesanan serta dapat dipesan jauh-jauh hari. Ini beberapa contoh dampak kemajuan TIK. 13
Bagaimana dengan dalam dunia pendidikan, khususnya literasi? Pemangku kepentingan di bidang pendidikan nonformal harus melakukan langkah-langkah fundamental, dengan mengubah pola pikir lama dalam upaya pemberantasan tuna aksara dengan pola pikir baru dengan memanfaatkan kemajuan TIK. Diperlukan daya dorong terjadinya diskursus kebijakan dalam program pemberantasan tuna aksara, dan juga kebijakan tentang bagaimana pengembangan literasi TIK bukan semata-mata sebagai alat informasi dan komunikasi atau media sosial melainkan digeser menuju masyarakat pembelajar. Masyarakat pembelajar adalah masyarakat yang mampu memanfaatkan kemajuan TIK sebagai alat, media dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan dalam kehidupannya. Dalam kaitan ini pemangku kepentingan memerlukan landasan filosofis dan yuridis yang mendasar bahwa proses belajar berlangsung sepanjang hidup manusia, tanpa batas usia, ruang, waktu dan tempat. Tanpa batas dinding, lembaga penyelenggara dan pemilihan bahan ajar. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan akses data dan informasi yang begitu bebas dengan adanya internet. Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan masyarakatnya untuk mengakses informasi. Kalau sebelumnya kita belajar dan mengakses informasi begitu terbatas, dengan melalui lembaga-lembaga pendidikan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal, tetapi kini masyarakat dapat bebas mengakses informasi tersebut. Peran pendidik kini sudah hampir tergantikan oleh keberadaan internet. Pendidik yang gagap teknologi dipastikan akan tergerus oleh siswa yang menguasai TIK, maka pendidik mau atau tidak mau harus menguasai TIK. Keberadaan internet dengan kemajuan TIK-nya kini menjadi disrupsi dalam perilaku belajar. Pengembangan literasi TIK mendesak menjadi kebijakan, program dan aksi semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Caracara lama dalam upaya pemberantasan tuna aksara perlu di revieu ulang, apakah masih relevan dengan kondisi sekarang. Perubahan yang terjadi bukan sekedar pada kulitnya saja, atau menurut Kasali (2017) dengan istilah iteration dan innovation, melainkan sudah pada tataran disruption. Jika kebijakan itu sifatnya iteration, maka perubahan yang terjadi pada tataran perbaikan secara gradual. Sedangkan jika perubahan yang lebih meningkat adalah dengan inovasi atau creating something new, yaitu kebijakan dan program pemberantasan buta aksara dengan membuat sesuau yang baru dari sebelumnya. Tetapi yang lebih mendasar adalah dengan melakukan disrupsi (disruption) yaitu sebuah kebijakan dan program pemberantasan tuna aksara dengan inovasi creating something new 14
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
sedemikian rupa sehingga melahirkan kebijakan dan program yang sama sekali baru. Ini membutuhkan komitmen yang kuat bagi pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan dan program pemberantasan tuna aksara yang sama sekali baru dari sebelumnya. Hal ini karena lingkungan sudah berubah. Lingkungan dan kehidupan kita sekarang ini terjadi volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (Kasali, 2017). Lingkungan kehidupan yang kita hadapi dewasa ini demikian berubah cepat (volatility), serba mungkin dan tidak pasti (uncertainty), kompleks (complexity), dan berada dalam keraguan dan was-was (ambiguity). Generasi muda yang lahir dewasa ini kreatif dan familiar dengan keberadaan TIK. Bahkan dapat kita katakana generasi muda yang lahir di abad ini disebut sebagai Generation Z, mereka content provider, mereka sangat dibesarkan dalam iklim yang change, berubah. Generation Z, yang merubah peta dunia, mereka pemilik dan penguasa kemajuan TIK. Sedangkan kita yang lahir sebelumnya justru sebaliknya, sebagai digital imigrant, pendatang di dunia digital. Anak-anak kita adalah digital native, pribumi di dunia digital, lahir saja sudah pegang mouse ditangan kanannya. Sehingga terjadi berbenturan karena pendidiknya adalah digital imigrant sedangkan murid-muridnya adalah digital native. Dengan demikian jika langkah-langkah dan upaya pemberantasan tuna aksara masih menggunakan cara-cara lama atau perubahan-perubahan kecil, maka masyarakat itu sendiri yang mengalami gocangan akibat perkembangan TIK. Goncangan akibat perkembangan TIK dewasa ini sudah kita rasakan dan lihat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa hal yang perlu dijadikan kajian pengembangan literasi TIK menuju masyarakat pembelajar paling tidak ada tiga hal mendasar yang harus diperhatikan, yakni tentang kecakapan literasi TIK, pemanfaatan literasi TIK dalam pembelajaran, pengembangan literasi TIK untuk pemberantasan tuna aksara, dan etika pemanfaatan literasi TIK. 1. Kecakapan literasi TIK Kecakapan literasi dapat didefinisikan sebagai kecakapan seseorang dalam mengelola informasi, yakni dalam memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, dan memanipulasi informasi dengan berbagai macam cara dan prosedur dengan tujuan mendapatkan informasi yang lebih berkualitas dan bermanfaat. Kita yang lahir belakangan merupakan digital immigrant keberadaan TIK, sedangkan generasi muda yang lahir di abad ini adalah digital native. Generasi muda sekarang adalah Generation Z. Generasi Z ini sangat masif terhadap keberadaan TIK. 15
Berdasarkan hasil survey APJII (2016) menunjukan bahwa generasi muda pada kelompok usia 20-24 tahun penetrasi terhadap penggunaan internet mencapai 82 persen, kelompok usia 25-29 tahun penetrasinya 80 persen, dan yang mencengangkan adalah pada kelompok usia 10-14 tahun penetrasinya 100 persen. Artinya seluruh anak yang disurvey pada kelompok usia 10-14 memiliki akses internet. Sedangkan pengguna paling sedikit adalah usia 55 tahun ke atas hanya sebesar 10%. Ini menunjukan bahwa Generasi yang lahir abad ini telah memanfaatkan perkembangan kemajuan TIK. Hasil survey APJII (2016) juga menjelaskan bahwa rata-rata pengguna internet menggunakan perangkat telepon genggam sebesar 67,2 juta orang atau 50,7 persen, dan hanya 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari computer, dengan menggunakan telepon genggam atau handphone memperlihatkan bahwa pengguna dapat lebih leluasa memanfaatkan internet dimana saja dan lebih praktis. Kita dapat lihat dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak ada seorangpun lepas dari genggaman handphone. Tetapi sayangnya penetrasi internet tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa dengan 86,3 juta orang atau 65 persen sedangkan sisanya adalah: 20,7 juta atau 15,7 persen di Sumatera, 8,4 juta atau 6,3 persen di Sulawesi, 7,6 juta atau 5,8 persen di Kalimantan, 6,1 juta atau 4,7 persen di Bali dan NTB dan 3,3 juta atau 2,5 persen di Maluku dan Papua. Data ini menunjukan bahwa penyebaran literasi TIK di Indonesia belum merata. Diperlukan kebijakan afirmatif agar kecakapan literasi TIK dapat merata ke seluruh pelosok Indonesia dengan memperluas jaringan dan provider layanan telekomunikasi. Bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dengan mencermati perkembangan TIK khususnya pada program keaksaraan harus memiliki kecakapan literasi TIK perlu meningkatkan kecakapan TIK (computer, laptop dan handphone) yang tidak hanya untuk dipakai mengetik, kirim informasi, dan media sosial, melainkan untuk kepentingan yang lebih optimal. Banyak diantara kita memiliki laptop dan handphone yang canggih dengan harga yang mahal, tetapi sangat disayangkan pemanfaatannya tidak optimal. Penggunaan play store misalnya merupakan perangkat yang memudahkan kepada kita memperoleh beragam aplikasi yang sangat bermanfaat untuk menunjang kehidupan kita. Dalam satu genggaman handphone beragam manfaat yang memudahkan kehidupan kita termasuk untuk menunjang pembelajaran.
16
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
2. Pengembangan literasi TIK dalam pembelajaran keaksaraan Kecakapan literasi TIK yang kita miliki membawa kita berada dalam dunia informasi tanpa batas. Beragam informasi dari belahan dunia manapun dapat di akses, baik berupa berita dalam bentuk teks maupun gambar dan video. Informasi pun dapat di akses secara live, tanpa perlu terbitnya media masa pada surat kabar, majalah, jurnal atau buku-buku. Bahkan sekarang surat kabar, majalah, jurnal dan buku-buku dapat diperoleh secara online. Dengan mudah, luas dan beragamnya data dan informmasi yang ada bagaimana peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan diri kita memanfaatkannya untuk pembelajaran, pembelajaran sepanjang kehidupan kita. TIK juga harus dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran keaksaraan sehingga pembelajaran menjadi lebih mudah, menarik, efektif, dan menyenangkan peserta didik (warga belajar). Bahan-bahan belajar keaksaraan sudah tidak perlu lagi dengan buku-buku cetak dengan harga yang mahal, metode belajar tidak perlu lagi digunakan dengan ceramah dan contoh-contoh gambar mati yang membosankan, tetapi sudah dapat digantikan dengan tayangan video interaktif yang lebih menarik, efektif dan menyenangkan. Bahan-bahan bacaan untuk peserta didik keaksaraan pun dapat dikemas ke dalam softcopy, sehingga lebih praktis, dan efektif. Colin Rose and Malcolm J. Nicholl (1997) dalam bukunya Accelerated Learning for The 21st Century menyatan bahwa dalam memasuki abad ke-21 diperlukan cara-cara belajar baru untuk menggali pengetahuan secara cepat. Ada enam strategi untuk meraih percepatan belajar belajar di abad ke-21 seiring dengan kemajuan TIK, yakni: (a) motivating your mind, (b) acquiring the information, (c) searching out the meaning, (d) triggering the memory, (e) exhibiting what you now, and (f ) reflecting on how you have learned. Untuk mewujudkan diri dan peserta didik sebagai pembelajar yang efektif di abad sekarang diperluka kegigihan untuk memotivasi dan memusatkan pikiran kita pada hal-hal memiliki nilai manfaat bagi kehidupan kita (motivating your mind). Kemudian carilah informasi tersebut walaupun informasi yang berseliweran itu berserakan hendaknya kita dapat memilih dan memilah halhal yang diperlukan, sehingga tidak sia-sia membuang waktu dan biaya quota internet (acquiring the information), pahami setiap informasi denga kritis, gali maknanya, jangan terprokasi dan timbang-timbang baik dan buruknya, jangan asal copy and paste (searching out the meaning), kaitkan pengetahuan dan informasi baru dengan pengalaman kita, bandingkan, selerasikan dan 17
internalisasikan secara bijak untuk menetapkan keputusan, ujaran dan sikap yang lebih bermakna (triggering the memory), selanjutnya lihat realitas yang ada supaya ada harmonisasi diri dan lingkungan, agar keberadaan kita tidak tercerabut dalam kehidupan kemasyarakatan (exhibiting what you now) dan yang terakhir adalah refleksikan manfaat, keuntungan dan dampak dari pengalaman belajar yang diperoleh (reflecting on how you have learned). Bagi peserta didik dan diri kita belajar akan makin termotivasi jika pengalaman belajar adalah memberi manfaat, keuntungan dan dampak yang lebih baik. 3.
Etika pemanfaatan literasi TIK Kita maklumi bahwa perkembangan TIK telah mendisrupsi dalam berbagai aspek kehidupan. Ada pernyataan yang menyatakan siapa yang menguasai TIK, maka akan menguasai dunia. Pernyataan ini membuktikan bahwa orang-orang yang tergolong terkaya di dunia adalah mereka para bos dan pendiri di bidang TIK sebut saja misalnya Bill Gates terkaya ke-1, Carlos Slim Helu terkaya ke-2, Larry Elliso terkaya ke-5 dan Jeff Bezos terkaya ke6. Dan anak muda yang berhasil menyabet sebagai pemuda yang tergolong terkaya ke-14 di dunia adalah Mark Zuckenberg dengan facebook-nya. Mereka-mereka adalah orang-orang terkaya di dunia karena menguasai TIK. TIK sifatnya netral, tetapi memiliki dampak positif dan negatif. Dampak negative harus diminimalisasi dan dampak positif harus di dongkrak. Sehingga diperlukan etika dalam pemanfaatan literasi TIK. Dampak negatif literasi TIK antara lain pornografi, kecanduan hubungan, perjudian, kecanduan computer, kekejaman dan kesadisan, penipuan, penculikan, umpatan dan pelecehan cyber, perdagangan pasar gelap cyber, propaganda, online sexual predators, virus komputer dan worms, dan hacking. Mengantisipasi dan membentengi masyarakat terhadap penyalahgunaan dan dampak negatif pemanfaatan literasi TIK diperlukan etika pemanfaatan literasi TIK. Beberapa etika pemanfaatan literasi TIK antara lain: (a) tidak melakukan pelanggaran norma agama, adat, nilai-nilai adiluhung, dan kesopanan serta hukum, (b) TIK jangan dijadikan ajang hujatan, penipuan, pornografi, penculikan, hacking, pelecehan dan berita bohong, (c) menggunakan TIK secara wajar, pantas, tepat dan bertanggungjawab, dan (d) cerdik dalam memilih dan memilah informasi yang diperlukan dan tidak berlebihan.
18
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Jika merujuk Undang- undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE) Tahun 2008 terdapat beberapa pasal berkenaan dengan pelanggaran yang diancam dengan pidana, perdata maupun denda, diantaranya : Pasal 27 tantang Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pasal 28 Tantang Berita Bohong, Sesat, Kebencian, Pasal 29 Tantang Tindakan Ancaman/Menakut-takuti, Pasal 30 Tentang Cracking, Hacking, Illegal Access, Pasal 31 Tentang Penyadapan, Perubahan, Penghilangan, Pasal 32 Tentang Pemindahan, Perusakan, Membuka informasi rahasia, dan Pasal 33 Tentang Penyebaran Virus. Pasal-pasal ini perlu disosialisasikan dan dipahami pemangku kepentingan, pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik agar kelak dikemudian hari tidak terjadi pelanggaran hukum yang merugikan pihakpihak lain. Dengan demikian kecakapan literasi TIK harus selaras dengan pemahaman etika dan peraturan perundangan yang berlaku.
E. Kesimpulan Perkembangan TIK yang demikian pesat berdampak luas terhadap berbagai segi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Pengembangan literasi tidak hanya dibatasi pada literasi baca, tulis, hitung dan pengetahuan dasar fungsional melainkan multi literasi, termasuk literasi TIK. Perkembangan dan pemanfaatan TIK yang demikian masif di Indonesia selama ini belum memberikan dampak yang cukup berarti bagi daya saing bangsa. Simpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan paparan di atas adalah: (1) telah terjadi disrupsi kecakapan literasi TIK yang didominasi generasi muda. Penggunaan TIK di Indonesia didominasi generasi muda dan pada daerah perkotaan. Generasi muda adalah digital native, pemilik TIK sedangkan golongan tua (di atas 50 tahun) adalah digital immigrant, sebagai tamu TIK. Kaum muda merupakan pemilik TIK, walaupun dalam penggunaan TIK sebagian besar untuk jejaring sosial, (2) pengembangan dan kecakapan literasi TIK agar optimalkan pada upaya menuju masyarakat pembelajar untuk memiliki daya saing bangsa. Di pihak lain pengembangan literasi TIK juga harus dapat menyasar penduduk tuna aksara di Indonesia yang masih terdapat kurang lebih lima juta orang, dan (3) diperlukan etika dalam memanfaatkan TIK yang tidak bertentangan dengan norma agama, hukum, nilai-nilai adiluhung, kepantasan, kesopanan dan tanggungjawab.
19
DAFTAR PUSTAKA Ace Suryadi. 2009. Mewujudkan Masyarakat Pembelajar. Bandung: Widya Aksara Press. Colin Rose and Malcolm J. Nicholl. 1997. Accelerated Learning for The 21st Century. New York: Dell Publishing. Djudju Sudjana. 2010. Pendidikan Nonformal: Wawasan. Sejarah Perkembangan, Filsafat, Teori Pendukung, Asas. Bandung Al Falah. EFA Secretariat. 2007. EFA Mid Decade Assessment Indonesia. Jakarta: EFA Ministry of National Education Republic of Indonesia. Kasali. 2017. Self Driving: Are You Driver or a Passanger? Jakarta : Rumah Perubahan, IndonesiaX. Komisi Nasional Indonesia Untuk UNESCO dan BP-PLSP Regional II Jayagiri. 2007. Panduan Pengembangan Pendidikan Keaksaraan. Bandung: BP-PLSP Regional II Jayagiri. Kusnadi dkk. 2003. Keaksaraan Fungsional di Indonesia. Jakarta: Mustika Aksara. Marvin Weisbord and Sandra Janoff. Future Search: An Action Guiede to Finding Common Ground in Organizations and Communities. 2000. San Francisco: Berrett Koehler Publishers. Mohammad Noor Syam. 1983. Filsafat Pendidikan dan dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Redja Mudyahardjo. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosda. Safuri Musa dkk. 2011. Meretas Jejak Penuntasan Tuna Aksara di Indonesia. Bandung: STKIP Siliwangi Bandung. Setiono. 2103. Education in Indonesia. Jakarta: CSIS The Indonesian Quarterly, Third Quarter 2013, Vol 41 No.3. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161024161722-185-167570/ pengguna-internet-di-indonesia-didominasi-anak-muda http://www.banyumurti.my.id/2016/01/statistik-internet-indonesia-2016. html https://tikom2sobang.wordpress.com/topik/kelas-vii/sejarah-perkembanganteknologi-informasi-dan-komunikasi/ 20
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
PERANAN TBM BERBASIS INTERNET DALAM MEMELIHARA KEBERAKSARAAN MASYARAKAT (Studi pada TBM Rumah Baca Kota Palangka Raya) Oleh : Muhamad Affandi Dosen Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya
ABSTRAK Taman Bacaan Masyarakat (TBM) merupakan suatu wadah dengan tujuan membudayakan kegemaran membaca bagi masyarakat yang menyediakan berbagai bidang bahan bacaan. Kajian ini berupaya untuk mendeskripsikan suatu fenomena peran aktif TBM dalam memelihara keberaksaraan masyarakat dengan mensinergikan antara kebutuhan membaca dengan perkembangan teknologi-informasi. Pada kajian ini, pendekatan yang digunakan ialah kualitatif dengan menggunakan pedoman wawancara, lembar observasi serta dokumentasi sebagai instrumen pengumpul datanya. Adapun dalam menganalisis data, digunakan teknik reduksi, display data serta penarikan kesimpulan (conclution). Hasil kajian ini yakni mendapatkan deskripsi data berupa fenomena bahwa sistem layanan yang diterapkan di TBM Rumah Baca ini lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau pembaca, sekaligus memberikan penguatan (reinforcement)dalam hal pengenalan teknologi kepada masyarakat itu sendiri . Selain itu, TBM Rumah Baca ini juga sudah merintis katalog elektronik dengan beberapa koleksi e-book yang tentunya mampu menarik minat masyarakat dalam berkunjung. Pada prakteknya selain pendekatan berbasis internet, TBM Rumah Baca juga melaksanakan beberapa alternatif kegiatan untuk menstimulasi minat masyarakat 21
untuk berkunjung ke TBM. Treatment tersebut juga sukses memelihara keberaksaraan masyarakat, mengingat mayoritas dari peserta kegiatan ialah alumni pendidikan keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri. Kata Kunci: Taman Bacaan Masyarakat, Internet, Keberaksaraan Masyarakat
A. Pendahuluan Membaca merupakan salah satu upaya dalam mengakses semua informasi yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sebagai komponen keberaksaraan pada tingkat dasar menjadi pengantar kepada gerbang ilmu pengetahuan dan keterampilan yang disertai dengan penguatan sikap dan karakter sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pengembangan pendekatan dan strategi pembelajaran pada pendidikan keaksaraan harus senantiasa diperbaharui sesuai dengan konteks situasi dan kondisi perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Fenomena tersebut ternyata belum sepenuhnya dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Mengacu pada data yang diperoleh PDSP Kemdikbud tahun 2015, penyandang buta aksara usia 15-59 tahun mencapai 5. 984.075 orang atau setara 3,70%. Didasari pada kesenjangan tersebut maka para stakeholders serta praktisi pendidikan di Indonesia berupaya untuk menyusun berbagai strategi efektif untuk menekan jumlah penyandang buta aksara. Saat ini, pendidikan keaksaraan dipandang sebagai salah satu layanan pendidikan nonformal untuk membelajarkan warga masyarakat buta aksara. Fokus permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya ialah bagaimana menjaga keberaksaraan masyarakat yang telah melek aksara. Beberapa fakta di masyarakat menunjukkan bahwa seseorang yang sebetulnya sudah pernah mendapatkan pendidikan keaksaraan dan sudah “melek aksara”, menjadi buta aksara kembali (reiliterate) karena berbagai faktor, salah satunya ialah ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan dengan keseharian warga belajar. Atas dasar tersebut, pemerintah mengeluarkan berbagai program untuk memelihara keberaksaraan masyarakat. Beberapa program tersebut diantaranya adalah mensinergikan antara kebudayaan dan bahasa ibu ke dalam nilai-nilai pendidikan keaksaraan. Selain solusi tersebut di atas, terdapat pula suatu upaya untuk mensinergikan antara kebutuhan membaca dengan kemudahan akses teknologi. Faktor tersebutlah yang kemudian diterapkan oleh Taman Bacaan Masyarakat Rumah Baca di Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. TBM Rumah Baca merupakan program pendidikan nonformal yang didirikan dengan tujuan 22
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
mengembangkan budaya serta minat baca masyarakatmelalui penyediaan fasilitas bahan bacaan, dan juga berfungsi sebagai sumber informasi bagi masyarakat di sekitar TBM. TBM ini berdiri dengan menginduk pada PKBM Luthfillah yang memang mengembangkan program-program pendidikan nonformal, khususnya di Kota Palangka Raya. Pada perkembangannya, TBM Rumah Baca telah mengembangkan suatu bentuk layanan masyarakat dengan berbasis internet. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas layanan bahan bacaan dan informasi kepada khususnya peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan nonformal, serta masyarakat luas. Mengacu pada latar belakang tersebut di atas, maka kajian ini diharapkan mampu memaparkan fenomena tentang peran aktif TBM dalam memelihara keberaksaraan masyarakat dengan memanfaatkan kemudahan akses serta kecanggihan sistem teknologi informasi.
B. Kajian Pustaka 1. Konsep Taman Bacaan Masyarakat Taman Bacaan Masyarakat adalah lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan dan memberikan layanan di bidang bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik dan bahan multi media lain, yang dilengkapi dengan ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator. Taman Bacaan Masyarakat juga berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan informasi bagi masyarakat. Satuan pendidikan luar sekolah ini didirikan dengan tujuan untuk memfasilitasi seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan segmentasinya masing-masing terutama masyarakat yang memiliki kebutuhan bahan bacaan untuk meningkatkan keberaksaraannya. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) memiliki fungsi yang melekat, antara lain: a. Sebagai sumber belajar. TBM dengan menyediakan bahan bacaan utamanya buku merupakan sumber belajar yang dapat mendukung masyarakat pembelajar sepanjang hayat, seperti buku pengetahuan untuk membuka wawasan, juga berbagai keterampilan praktis yang bisa dipraktekkan setelah membaca. b. Sebagai sumber informasi. TBM dengan menyediakan bahan bacaan berupa koran, tabloid, referensi, booklet-leaflet, dan/atau akses internet dapat dipergunakan masyarakat untuk mencari berbagai informasi. 23
c. Sebagai tempat rekreasi-edukasi. Melalui buku-buku nonfiksi yang disediakan memberikan hiburan yang mendidik dan menyenangkan lebih jauh dari itu, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berperilaku, bergaul di masyarakat lingkungan. Adapun layanan yang dapat diberikan TBM antara lain membaca di tempat, peminjaman buku, pembelajaran, praktek keterampilan, kegiatan literasi serta melaksanakan aneka lomba. 2. Konsep TBM Berbasis Internet Taman Bacaan Masyarakat berbasis internet merupakan layanan taman bacaan yang dalam penyelenggaraannya sudah memadukan dan memanfaatkan bahan pustakan dan sumber-sumber informasi yang dikemas secara digital dan dioperasikan menggunakan sejumlah peralatan elektronik. Layanan Taman Bacaan Masyarakat berbasis internet merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas layanan bahan bacaan dan informasi kepada khususnya peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan nonformal, serta masyarakat luas. Layanan taman bacaan masyarakat secara elekronik meliputi antara lain: (i) layanan bahan bacaan (buku, majalah, surat kabar/ koran) digital, (ii) layanan informasi secara elektronik baik melalui media terkemas maupun dunia maya. Layanan taman bacaan masyarakat berbasis internet diharapkan mampu menstimulasi: a. Terwujudnya masyarakat yang berkeaksaraan media, teknologi dan informasi. b. Tumbuhnya masyarakat yang gemar dan berbudaya baca secara berkelanjutan. c. Memasyarakatkan budaya membaca pada masyarakat, mengkritisi setiap informasi yang diterima melalui bahan bacaan digital (elektronik) maupun dunia maya. Pada pelaksanaannya, konsep taman bacaan masyarakat berbasis internet kerap melibatkan sejumlah komponen, antara lain perangkat peralatan eletronik, bahan pustaka berbasis elektronik dan sumber daya manusia. 3. Konsep Keberaksaraan Masyarakat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keberaksaraan diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis: usaha itu dapat dianggap sebagai 24
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
langkah awal dalam proses peralihan dari keberaksaraan bahasa ibu ke keberaksaraan bahasa nasional. Keberaksaraan itu sendiri bukanlah hal yang absolut, artinya kompetensi tersebut dapat menurun atau meningkat seiring dengan aktivitas keseharian seorang individu. Melalui layanan TBM yang terintegrasi dengan internet serta keseharian masyarakat, diharapkan mampu menjaga keberaksaraan tersebut sebagai upaya konkrit pemberantasan buta aksara.
C. Metode Kajian Pada kajian ini, pendekatan yang digunakan ialah pendekatan kualitatif dengan metode survei. Metode penelitian survei dimaksudkan untuk memperoleh faktafakta yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi politik dari suatu kelompok atau pun suatu daerah. Adapun instrumen yang digunakan ialah wawancara, observasi serta studi dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang dilakukan pada kajian ini yaitu menggunakan reduksi data, display data serta penarikan kesimpulan (conclution). 1. Reduksi data; yakni editing, pengelompokkan, meringkas, pengkodean serta menganalisis catatan lapangan. 2. Display data; mencakup langkah mengorganiassikan data. Nantinya data yang tersaji akan berupa kelompok-kelompok yang kemudian saling dikaitkan dengan kerangka teori yang digunakan. 3. Conclution; pada tahap ini peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan berbagai pola yang ada atau kecenderungan dari penyajian data yang telah dibuat. Kajian ini berpusat di TBM Rumah Baca, yang berada di bawah naungan PKBM Luthfillah yang berlokasi di Jl. Rindang Banua, Kota Palangka Raya, Prov. Kalimantan Tengah. Adapun TBM Rumah Baca itu sendiri didirikan sebagai upaya memelihara keberaksaraan dengan cara mendekatkan masyarakat dengan berbagai sumber bacaan yang informatif.
D. Hasil Dan Pembahasan Fokus pada kajian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu layanan TBM berbasis internet dan keberaksaraan masyarakat. Untuk mengukur variabel peranan TBM berbasis internet, digunakan metode observasi serta studi dokumentasi, sedangkan untuk mengukur tingkat keberaksaraan masyarakat, digunakan metode wawancara dengan pengamatan langsung. Mengacu pada proses penelitian dan pengumpulan data menggunakan multi instrument sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka diperoleh deskripsi sebagai berikut. 25
1. Peranan layanan TBM Rumah Baca Berbasis Internet Sistem layanan yang diterapkan di TBM Rumah Baca ini lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau pembaca. Artinya, pengelola memberikan kebebasan bagi pembaca untuk memilih, meminjam dan tentunya membaca bahan bacaan sesuai dengan kebutuhannya. TBM berbasis internet ini pada hakikatnya bukanlah program yang berorientasi pada pemenuhan finansial, melainkan salah satu program dalam memperkenalkan, mensosialisasikan serta mempermudah masyarakat dalam mengakses internet.
Pengembangan layanan ini didasari oleh fenomena bahwa mayoritas masyarakat masih belum terlalu akrab dengan dunia virtual berbasis online, terlebih bagi mereka yang baru terbebas dari buta aksara. Atas dasar tersebut maka pengelola TBM Rumah Baca memberikan pengetahuan serta keterampilan mengoperasikan internet melalui berbagai koleksi buku, web, serta beberapa aplikasi serupa sebagai penunjang aktivitas keberaksaraan para alumni pendidikan keaksaraan. Langkah ini terbukti mampu menstimulasi masyarakat, khususnya alumni pendidikan keaksaraan untuk memelihara keberaksaraannya dengan memanfaatkan berbagai produk komputer tersebut. TBM Rumah baca menyediakan fasilitas komputer dengan koneksi internet yang stabil untuk dimanfaatkan oleh pengunjung. Adapun beberapa produk komputerisasi yang dimaksud antara lain: a. Ketersediaan sarana komputer dengan koneksi internet yang stabil. Melalui pemenuhan sarana ini, pengunjung memperoleh kesadaran akan pentingnya membaca dan update dengan teknologi. Artinya dengan
Kondisi Fisik TBM Rumah Baca Kota Palangka Raya 26
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
membaca masyarakat memperoleh ilmu pengetahuan, dengan ilmu atau pengetahuan yang diperoleh akan meningkatkan keterampilan atau mendapatkan keterampilan baru, dan keterampilan yang dimiliki akan mempengaruhi wawasan, pola pikir, gagasan baru, perubahan sikap dan perilaku. Dampak sosial budaya juga dapat dirasakan melalui terbinanya sifat jujur, tertib, dan berinteraksi sosial antara sesama pengunjung. b. Koleksi berbagai buku elektronik (e-book) yang interaktif e-book didefinisikan sebagai versi elektronik dari sebuah buku cetak yang dapat diakses melalui komputer pribadi atau perangkat tertentu yang dirancang khusus untuk itu. Secara umum pengunjung tertarik membaca e-book karena lebih interaktif dan tergolong pengetahuan yang baru. Banyaknya pembaca e-book di TBM Rumah Baca menyebabkan semakin bertambahnya peminat e-book sebagai sarana belajar dan informasi. Keistimewaan lain dari e-book ini ialah terdapatnya fitur self evaluation yang memungkinkan pembaca untuk langsung mengukur tingkat kemampuannya terhadap materi yang tersedia dalam e-book tersebut. c. Adanya simulasi ujian pendidikan kesetaraan berbasis komputer Computer Based Test (CBT) merupakan sistem pelaksanaan ujian nasional dengan menggunakan komputer sebagai media ujiannya. Pada pelaksanaannya.
Fasilitas Komputer yang Tersedia 27
UNPK berbeda dengan ujian berbasis kertas yang selama ini digunakan. Ujian ini diselenggarakan dengan sistem semi-online, dimana soal dikirim oleh server pusat ke server lokal. CBT ini mulai merambah pendidikan kesetaraan pada tahun 2017 ini. Untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan tersebut, maka TBM Rumah Baca memfasilitasi para peserta didik kesetaraan, khususnya di PKBM Luthfillah untuk melakukan aktivitas simulasi dalam rangka pembiasaan terhadap sistem ujian tersebut. Melalui aktivitas tersebut, diharapkan mampu menarik minat peserta didik tersebut untuk berkunjung ke TBM sekaligus mempersiapkan diri menghadapi UNBK. d. Adanya berbagai bentuk kegiatan yang bertujuan memelihara keberaksaraan Keterampilan hidup/life skill sangat diutamakan di TBM Rumah Baca karena pengunjung akan lebih termotivasi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan memberikan dampak positif bagi mereka baik secara pengetahuan maupun material. Jenis keterampilan yang dilaksanakan disesuaikan dengan minat dan bakat pengunjung namun tetap diberikan batasan yaitu jenis keterampilan yang mengarah pada unggulan lokal
Beberapa contoh e-book yang tersedia di TBM Rumah Baca 28
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Contoh Soal Simulasi Computer Based Test (CBT) dan pemeliharaan lingkungan. Beberapa kegiatan yang dimaksud yakni berupa keterampilan handycraft, daur ulang kertas, limbah gelas dan botol plastik, komputer, menjahit, service handphone, budidaya ikan keramba, tata boga, sulam pita, membuat stempel serta tata niaga. 29
2. Keberaksaraan masyarakat Keberaksaraan merupakan kemampuan membaca dan menulis dimana usaha itu dapat dianggap sebagai langkah awal dalam proses transisi dari bahasa ibu menuju bahasa nasional. Keberaksaraan itu sendiri bukanlah hal yang absolut, artinya kompetensi tersebut dapat menurun atau meningkat seiring dengan aktivitas keseharian seorang individu. Keberaksaraan ini memiliki standar kompetensi yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam hal membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia secara cepat dan tepat yang ditampilkan dalam bentuk untuk kinerja keaksaraan dan sosiodrama keaksaraan. Pada prakteknya selain pendekatan berbasis elektronik dan internet, TBM Rumah Baca juga melaksanakan beberapa kegiatan alternatif untuk menstimulasi minat masyarakat untuk berkunjung ke TBM. Adapun beberapa kegiatan tersebut berupa bedah buku kesukuan Banjar, lomba membaca puisi, lomba menulis cerpen berbasis cerita rakyat budaya Banjar, lomba stand up comedy serta lomba mewarnai untuk anak usia dini. Langkah-langkah ini dianggap cukup efektif, karena disamping mendapatkan hadiah, para peserta secara tidak langsung juga akan tergerak minatnya untuk berkunjung dan membaca di TBM. Treatment tersebut juga sukses memelihara keberaksaraan masyarakat, mengingat mayoritas dari peserta kegiatan ialah alumni pendidikan keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri. Artinya, sinergitas antara pendekatan bahasa ibu-tatap muka dengan pendekatan virtual berbasis online terlihat saling melengkapi dan pada akhirnya mampu menambah wawasan masyarakat, terutama terkait dengan pelestarian budaya membaca. 3. Faktor pendukung dan penghambat a. Faktor pendukung 1) Keberadaan TBM Rumah Baca sangat membantu bagi masyarakat lingkungan Kecamatan Pahandut pada umumnya dan peserta didik pada khususnya untuk mendapatkan informasi yang up to date tanpa harus mengeluarkan biaya mahal. 2) Koleksi buku yang variatif dan lengkap, dimana saat ini TBM Rumah Baca telah mengoleksi 112 Judul buku dengan jumlah 867 exemplar. 3) Lokasi yang strategis. TBM Rumah Baca didirikan berdekatan dengan PKBM Luthfillah serta aktivitas PAUD. Hal ini memudahkan para
30
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
warga belajar keaksaraan serta para siswa di PAUD Luthfillah untuk mencari referensi dan bahan bacaan. 4) Kondisi ruang baca yang nyaman. 5) Sarana prasarana di TBM Rumah Baca ini cukup lengkap, mulai dari ruang baca yang dilengkapi dengan kursi baca serta karpet, koleksi buku yang tersusun rapi, serta pendataan inventaris buku yang terbilang cukup baik. Dengan adanya program TBM berbasis internet ini juga menambah kelengkapan di Rumah Baca ini dengan koleksi 8 komputer dan koneksi yang stabil. b. Faktor penghambat 1) Jumlah tenaga administrasi TBM masih kurang, hal ini terjadi dikarenakan profesi sebagai pengelola TBM yang memang belum menjanjikan dari sisi finansial. 2) TBM masih mengalami kesulitan dalam pengadaan buku-buku terkini, mengingat sumber dana pada TBM ini masih bersifat swadaya. 3) Ketidakdisiplinan pengunjung terkait dengan sirkulasi buku (pinjam, kembali, denda dan sebagainya). 4) Masih banyak pengunjung yang belum “melek teknologi”, sehingga membutuhkan perhatian serta waktu ekstra untuk memfasilitasi kebutuhan belajar mereka.
E. KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil pengamatan serta analisis data lapangan, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain: 1. Sistem layanan yang diterapkan di TBM Rumah Baca ini berorientasi pada kebutuhan masyarakat atau pembaca. Artinya, pengelola memberikan kebebasan bagi pembaca untuk memilih, meminjam dan membaca bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhannya. 2. Keterampilan hidup/life skill sangat diutamakan di TBM Rumah Baca karena peserta didik akan lebih termotivasi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan memberikan dampak positif bagi mereka baik secara fisik maupun materi. 3. Pada prakteknya selain pendekatan berbasis internet, TBM Rumah Baca juga melaksanakan beberapa alternatif kegiatan untuk menstimulasi minat masyarakat untuk berkunjung ke TBM. Adapun beberapa kegiatan tersebut berupa bedah buku kesukuan Banjar, lomba membaca puisi, lomba menulis 31
cerpen berbasis cerita rakyat budaya Banjar, lomba stand up comedy serta lomba mewarnai untuk anak usia dini. Langkah-langkah ini dianggap cukup efektif, karena disamping mendapatkan hadiah, para peserta secara tidak langsung juga akan tergerak minatnya untuk berkunjung dan membaca di TBM. Treatment tersebut juga sukses memelihara keberaksaraan masyarakat, mengingat mayoritas dari peserta kegiatan ialah alumni pendidikan keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (1996). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Creswell.J. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Third ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. (2013). NSPK Taman Bacaan Masyarakat Berbasis Elektronik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan. (2016). Petunjuk Teknis Bantuan Sarana TBM dan Prosedur Pengajuan Bantuan Tahun 2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. http://edefinisi.com/tag/definisi-keberaksaraan diakses tanggal 19 April 2016. Noorhidawat, A and Gibb, Forbes. How Students Use e-books-Reading or Referring?, Malaysian Journal of Library and Information Science 13, Malaysia: Wilson Select Plus, 2009. Database Online. Permendikbud No. 81 Tahun 2013 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Nonformal. Sudjana, H.D. (2004). Pendidikan Non Formal, Bandung: Falah Production. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yulaelawati, Ella. 2010. Taman Bacaan Masyarakat Kreatif. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal Kementrian Pendidikan Nasional.
32
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
STRATEGI PENGEMBANGAN LITERASI TIK PADA OLD GENERATIONS DALAM PENDIDIKAN MULTIKEAKSARAAN Oleh : Tri Widayati Pamong Belajar Madya pada BP-PAUD & Dikmas Kalimantan Timur
ABSTRAK Literasi teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) pada old generations mempunyai nilai strategis dalam memperkuat life long education bagi peningkatan kemampuan dan keterampilan belajar sepanjang hayat. Strategi pengembangan literasi TIK pada old generations dilakukan dengan pengintegrasian strategi akselerasi literasi TIK dalam pendidikan multi keaksaraan. Strategi terdiri dari tiga tahapan, yaitu: (1) menciptakan konteks (demand change) dalam assessmen kebutuhan belajar yang ditindaklanjuti dengan penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, (2) melibatkan teknologi (supply providing) dalam pembelajaran berbasis karya/produk, dan merubah perilaku (behaviour change), yang dapat dilihat dalam penilaian pembelajaran dan tindak lanjut (tingkat kematangan literasi TIK). Strategi ini mengupayakan terpenuhinya indikator pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan serta peningkatan literasi TIK secara beriringan. Kata Kunci: Literasi TIK, Old Generations, Pendidikan Multikeaksaraan
A. Pendahuluan Masyarakat yang kuat dan unggul di era informasi adalah masyarakat yang menguasai atau mengendalikan informasi, dan masyarakat yang menguasai informasi adalah masyarakat yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Kemajuan TIK membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Globalisasi telah mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat yang menutut adanya percepatan dan efisiensi. Menurut
33
Toffler (1990), dalam era informasi ini, sesorang dituntut untuk literasi dalam enam aspek, yaitu melek fungsional (functional literacy), melek ilmiah (scientific literacy), melek teknologi (technological literacy), melek informasi (information literacy), melek budaya (cultural literacy), dan kesadaran global (global awareness). Oleh karena itu pendidikan keaksaraan dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, tidak hanya sekadar mendidik masyarakat agar mampu membaca, menulis, dan berhitung, namun pendidikan keaksaraan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan aksara dan angka dalam bentuk bahasa tulis, lisan, dan penguasaan TIK pada tingkat yang diperlukan untuk berfungsi di tempat kerja, berusaha mandiri, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya pendidikan keaksaraan tidak hanya mengarah pada literasi fungsional tapi juga literasi TIK. Dalam literasi TIK mengandung tiga dimensi yaitu dimensi pengetahuan, keahlian dan keterampilan. Menurut Pernia (2008), indikator literasi TIK dapat diidentifikasi dalam tiga dimensi tersebut. Pada dimensi pengetahuan, seseorang dianggap telah literasi TIK jika telah memiliki kompetensi utama seperti: (1) Akrab dengan HP, komputer, dan internet; (2) mempunyai keahlian dalam mengidentifikasi TIK; (3) mempunyai apresiasi terhadap fungsi-fungsi potensial TIK dalam kehidupan seharihari; (4) mempunyai pengetahuan dasar dalam menggunakan TIK dan (5) dapat membedakan antara dunia maya dan dunia nyata. Data statistik pengguna internet Indonesia tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet menunjukan bahwa pengguna internet yang berusia 45+ (28%) jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (tabel 1). Tabel 1. Jumlah Pengguna Internet Per Usia
NO 1
USIA (tahun) 10 – 24
JUMLAH (juta) 24.4
PROSENTASE (%) 18.4
2
25 – 34
32.3
24.4
3
35 – 44
38.7
29.2
4
45 – 54
23.8
18
5
55 keatas
13.2
10
Terdapat faktor yang mempengaruhi rendahnya jumlah pengguna internet pada usia 45 tahun ke atas. Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2014 menunjukkan bahwa penggunaan teknologi biasanya terkait dengan tingkat pendidikan lansia. Semakin tinggi pendidikan maka kecenderungan mengakses teknologi semakin tinggi. Faktor tingkat pendidikan ini juga dapat diwakili dengan tingkat literasi fungsional. Pada tahun 2015 Tingkat literasi fungsional penduduk Indonesia usia 45+ mencapai 88.2%. Angka ini berada dibawah tingkat literasi penduduk usia 15+ sebesar 34
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
95.22% dan usia 15-44 sebesar 98.9%. Ada hubungan linier antara tingkat literasi fungsional dan jumlah pengakses TIK (Internet) di usia 45+. Peningkatan literasi TIK di usia 45+ memerlukan strategi yang tepat. Penduduk usia 45+ merupakan kombinasi antara old dan today generations, generasi yang mengenal TIK setelah dewasa muda/dewasa atau memasuki usia lanjut. Untuk itu diperlukan startegi upaya pengembangan literasi TIK yang berpijak pada potensi dan karakteristik usia tersebut dalam program pendidikan multikeaksaraan. Berdasarkan uraian di atas, studi ini memfokuskan pada masalah sebagai berikut; pertama bagaimanakah strategi pengembangan literasi TIK pada old generations yang dapat dilakukan dalam pendidikan multi keaksaraan. Kedua, bagaimanakah tahapan pelaksanaan strategi pengembangan literasi TIK pada old generations dalam pendidikan multi keaksaraan.
B. Kajian Pustaka 1. Literasi Teknologi, Informasi dan Komunikasi Literasi adalah kompetensi,kemampuan, atau kefasihan yang telah digunakan dalam kerangka kerja. Untuk beberapa “melek” berkonotasi keaksaraan fungsional dan menunjukkan keterampilan dasar atau fundamental. Dalam arti luas, keaksaraan adalah alat dinamis yang memungkinkan individu untuk terus belajar dan tumbuh, (ETS,2002). Teknologi informasi dan komunikasi mewakili segala bentuk teknologi yang memampukan kita untuk menerima informasi dan berkomunikasi ataupun bertukar informasi dengan orang lain. Segala jenis alat elektronik dan semua yang menggunakan jaringan termasuk ke dalam TIK (Anderson,2010). Unesco sejak 2002 memberikan rumusan pengertian ICT sebagai kombinasi dari teknologi informasi dengan teknologi komunikasi. Teknologi informasi dipahami sebagai suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, merekayasa data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat, dan tepat waktu untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer lain sesuai dengan kebutuhan, dan kemudian disebarluaskan secara global. Menurut ETS (2002), definisi Literasi TIK adalah kemampuan dalam menggunakan teknologi digital atau peralatan komunikasi, dan mengaplikasikannya sebagai alat untuk mengakses, mengelola, 35
menyatukan,mengevaluasi, dan membuat informasi. Dalam pengertian yang lebih luas definisi TIK mencakup komputer, internet, telepon, televisi, radio, dan peralatan audiovisual (Pernia, 2008). Terdapat lima komponen penilaian dari ICT literacy. Lima komponen mewakili keterampilan dan pengetahuan, yang disajikan dalam urutan menunjukkan kompleksitas kognitif meningkat. Lima komponen ICT literacy adalah sebagai berikut: (1) Access yaitu mengetahui tentang danmengetahui bagaimana mengumpulkan dan atau mengambil informasi. (2) Manage yaitu menerapkan skema organisasi atau klasifikasi yang ada. (3) Integrate yaitu menafsirkan dan mempresentasikan informasi, dimana didalamnya melibatkan meringkas, membandingkan dan membedakan. (4) Evaluate yaitu membuat penilaian tentang kualitas, relevansi, kegunaan, atau efisiensi informasi dan (5) Create yaitu menghasilkan informasi dengan mengadaptasi, menerapkan, merancang, menciptakan, atau membuat informasi. Adapun indikator literasi TIK dapat diidentifikasi melalui tingkat kompetensi utama dalam tiga dimensi tersebut. Pada dimensi pengetahuan mereka yang dianggap telah literasi TIK jika telah memiliki kompetensi utama seperti: (1) Akrab dengan HP, komputer, dan internet; (2) mempunyai keahlian dalam mengidentifikasi TIK (3) mempunyai apresiasi terhadap fungsi-fungsi potensial TIK dalam kehidupan sehari-hari; (4) mempunyai pengetahuan dasar dalam menggunakan TIK, untuk HP misalnya dapat menelpon dan ber-sms; untuk komputer dapat mengetahui bahasa komputer, data dasar, dan penyimpanan informasi; sedangkan untuk internet misalnya mengetahui browsing dan e-mail; dan (5) dapat membedakan antara dunia maya dan dunia nyata (Pernia,2008). 2. Old Generations Siklus evolusi e-literacy di dalam masyarakat berbeda-beda, yang jika diamati sungguh-sungguh memperlihatkan adanya ketersamaan pola berdasarkan kelompok generasi. Tapscott dalam Indrajit (2005) menyatakan adanya old generations of literacy, new generations of literacy dan today generations of literacy. Old generations yang oleh Tapscott diistilahkan sebagai generasi baby boomers biasanya mengawali proses evolusi e-literacy-nya dengan kompetensi information literacy yang telah dikuasainya terlebih dahulu. New generations merupakan generasi yang diperkenalkan teknologi komputer pada usia dini. Karena mereka sudah memiliki computer literacy dan digital literacy 36
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
dari awal, maka tidak sulit bagi mereka untuk dapat memahami cara kerja internet dan memanfaatkannya. Today generations merupakan generasi pada saat ini, yang berada pada dua titik ekstrem antar old dan new generations. Berdasarkan data APJII tahun 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia dikuasai oleh mereka yang tinggal di daerah perkotaan, well educated dan berusia muda. Sementara kelompok masyarakat di luar kategori tersebut dapat dikatakan bukanlah pengguna internet. Banyak hal yang menyebabkan mengapa mereka bukan menjadi pengguna internet, mulai dari akses internet yang belum mampu menjangkau daerah daerah tertentu, harga perangkat dan akses internet yang masih cukup mahal, rendahnya skill untuk mengoperasikan perangkat teknologi komunikasi dan informasi, hingga konstruksi pemikiran yang negatif tentang teknologi, seperti belum membutuhkan, atau tidak ingin direpotkan oleh teknologi itu sendiri. Upaya peningkatan literasi teknologi, informasi dan komunikasi pada masyarakat yang old generations memerlukan strategi yang mampu meminimalisir kendala-kendala yang ada. Terutama dalam mengubah konstruksi pemikiran yang negatif tentang teknologi pada old generations. Indrajit (www.academia.edu) menyatakan terdapat tiga tahapan strategi sebagai pendekatan efektif guna mengakselerasi peningkatan e-literacy dikalangan old generations dan today’s generations, yaitu: (1) Menciptakan Konteks (Demand Creation); menemukan sebuah konteks agar masyarakat yang dalam kesehariannya mengalami peristiwa positif maupun negatif dapat berfikit yang berujung pada tingginya nilai sebuah informasi sebagai sebuah faktor produksi penting maupun bahan baku dari pengetahuan yang berkualitas. (2) Melibatkan Teknologi (Supply Providing ); menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana efektif dan efisien mengakuisisi informasi yang menjadi kebutuhannya. dan (3) Mengubah Perilaku (Behavior Change); secara sadar mereka akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah aset yang sangat bernilai dan teknologi sebagai sebuah sarana atau medium atau perangkat yang mutlak untuk dipergunakan. 3. Pendidikan Multikeaksaraan Pendidikan multikeaksaraan merupakan pendidikan keaksaraan lanjutan yang menekankan pada peningkatan keberagaman dalam keberaksaraan dalam segala aspek kehidupan. Dalam panduan penyelenggaraan dan pembelajaran pendidikan multi keaksaraan disebutkan bahwa tujuan pendidikan multi
37
keaksaraan adalah (1) Memberikan kesempatan kepada lulusan program keaksaraan dasar untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Indonesia, sehingga mampu menjadi warga masyarakat yang sepenuhnya melek aksara fungsional (2) Memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan akses pada informasi baru untuk memperbaiki kualitas kehidupannya (3) Mengembangkan sikap rasional dan ilmiah pada diri peserta didik, sehingga tumbuh kesadaran kritis tentang peristiwa mutakhir yang terjadi dilingkungan sekitar kehidupannya; dan (4) Mengorientasikan peserta didik pada nilai dan sikap baru yang dibutuhkan dalam pembangunan, sehingga memiliki aset yang secara sosio-ekonomi mampu berpartisipasi aktif dan produktif dalam proses pembangunan bangsa (Direktorat pendidikan keaksaraan dan kesetaraan, 2017). Pembelajaran pendidikan multikeaksaraan harus dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan berbasis karya/produk sebagai bentuk aktualisasi dari fungsionalisasi hasil belajar yang sebaiknya dilakukan secara berkelompok, serta menekankan pembelajaran pada kegiatan pemecahan masalah sehingga peserta didik mempunyai nilai dan sikap baru yang dibutuhkan untuk memperoleh solusi dari persoalan atau dinamika yang sedang terjadi pada kehidupan peserta didik. Lulusan pendidikan multikeaksaraan diharapkan memiliki kualifikasi kemampuan sebagai berikut: (1) Sikap; memiliki perilaku dan etika yang mencerminkan sikap orang beriman dan bertanggung jawab menjalankan peran dan fungsi dalam kemandirian berkarya di masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup; (2) Pengetahuan; menguasai pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural tentang pengembangan peran dan fungsi dalam kehidupan di masyarakat dengan memperkuat cara berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan berhitung untuk meningkatkan kualitas hidup; dan (3) Keterampilan; mampu menggunakan bahasa Indonesia dan keterampilan berhitung secara efektif dalam melakukan pengembangan peran dan fungsi untuk kemandirian berkarya di masyarakat serta meningkatkan kualitas hidup.
C. Metode Kajian Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode dalam pencarian, mengumpulkan dan menganalisis gagasan atau teori yang saling berkaitan dan didukung oleh data-data. Sumber data sebagai bahan kajian dapat berupa jurnal penelitian ilmiah, disertasi, tesis, skripsi, buku dan teks (makalah/artikel/tulisan) yang dapat dipertanggungjawabkan. 38
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Analisis data dibagi dalam tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Tahap reduksi data mencakup proses pemilihan dan penyederhanaan data. Penyajian data ditampilkan dalam bentuk teks naratif yang disusun dengan sistematis untuk mempermudah proses analisis data. Analisis data menggunakan model interaktif, artinya reduksi dan penyajian data dilakukan dengan memperhatikan hasil data yang dikumpulkan, kemudian dilanjutkan dengan proses penarikan kesimpulan.
D. Hasil Dan Pembahasan Literasi TIK merupakan upaya yang membawa perubahan bagi masyarakat. Melalui literasi TIK, masyarakat dapat memiliki pengetahuan TIK dan memanfaatkan kemajuan teknologi secara maksimal, sedangkan masyarakat yang gagap teknologi adalah masyarakat yang tidak paham kaidah TIK secara umum. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, yaitu minimnya kesadaran akan perlunya TIK dalam kehidupan, kurangnya pengetahuan tentang TIK dan keterbatasan kompetensi dalam penguasaan TIK. Indrajit mengemukakan bahwa strategi mempercepat literasi TIK pada old generations terdiri dari tiga tahapan, yaitu (1) menciptakan konteks (demand creation), (2) melibatkan teknologi (supply providing) dan (3) merubah perilaku (behaviour change) (http://www.academia.edu). Tahap menciptakan konteks merupakan tahapan yang membuat peserta menyadari bahwa mereka berada dalam permasalahan yang harus segera mendapatkan solusi pemecahan. Solusi pemecahan yang tidak sekedar “dunia fisik” tapi juga dunia maya yang memiliki value yang lebih, yaitu literasi TIK. Tahap melibatkan teknologi tahapan tersebut diintegrasikan dalam dalam komponen pembelajaran pendidikan multikeaksaraan, baik dalam perencanaan, proses dan penilaian & tindak lanjutnya (Gambar 1). Tema pembelajaran pendidikan multikeaksaraan bersumber pada konteks lokal. Cakupannya meliputi (1) keagamaan, (2) pekerjaan, keahlian dan profesi, (3) Pengembangan seni budaya, (4) sosial, politik dan kebangsaan, (5) kesehatan dan olah raga dan (6) ilmu pengetahuan & teknologi. Terkait dengan upaya literasi teknologi dan informasi, maka fokus tema pembelajaran mengarah pada matei ilmu pengetahuan & teknologi. Dalam pelaksanaan pendidikan multikeaksaraan, cakupan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi (1) literasi teknologi, (2) pengetahuan umum, (3) teknologi tepat guna, (4) literasi keuangan dan (5) mitigasi bencana.
39
Gambar1. Strategi Pengembangan Literasi Teknologi, Informasi dan Komunikasi pada Old Generations dalam Pendidikan Multikeaksaraan Demand Creation
Asessmen Kebutuhan Belajar
Silabus
Supply Providing
Kegiatan Belajar Mengajar Berbasis Behaviour Change
Rencana Pelaksanaaan Pembelajaran
T E M A : I P T E K
Penilaian & Tindak Lanjut
Strategi pengembangan literasi teknologi, informasi dan komunikasi pada old generations dalam pendidikan multikeaksaraan, diarahkan pada pengintegrasian tahapan akselerasi literasi TIK dalam pendidikan multikeaksaraan. Penerapan strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menciptakan konteks (demand creation) a. Asessmen kebutuhan belajar Kebutuhan belajar merupakan suatu kondisi yang senyatanya dengan yang seharusnya, atau yang senyatanya dengan yang diinginkan (Knowles, 1980). Kebutuhan belajar ada yang tampak dan ada yang tak tampak. Semakin tepat mengidentifikasi permasalahan maka semakin konkret kebutuhan belajarnya. Kegiatan assessmen ini diharapkan dapat menciptakan konteks, dimana peserta didik menyadari bahwa literasi TIK meupakan sebuah kebutuhan. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pendidik dalan asessmen kebutuhan belajar adalah: 1) Pendidik menggali keinginan atau harapan peserta didik yang ingin diraih. 2) Pendidik menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang muncul ketika akan meraih harapan. 3) Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkapkan solusi dari pemecahan masalahnya. 4) Pendidik memberikan gambaran dan deskriptif tentang orangorang yang sukses dalam mewujudkan keinginannya. Orang-orang yang sukses karena menempatkan informasi sebagai salah satu dari komponen penentu dalam pencapaian harapan yang dimiliki. 5) Pendidik membuat analogi, bahwa peserta didik pun dapat meraih keinginannya jika ingin seperti orang sukses yang diceritakan. 40
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
6) Pendidik memfasilitasi penarikan kesimpulan dengan mengarahkan pembangunan kesadaran peserta didik tentang pentingnya informasi. Informasi diperoleh setelah mengenal dan mempelajari TIK 7) Pendidik dan peserta didik bersama-sama menetapkan kebutuhan belajar adalah literasi TIK 8) Pendidik mengajak peserta didik untuk menentukan karya literasi TIK yang akan dilaksanakan bersama. Pendidik menyampaikan contohcontoh produk literasi TIK, agar peserta didik mempunyai bayangan karya bersama tersebut. 9) Pendidik dan peserta didik menetapkan karya literasi TIK yang akan dibuat. 10) Kesepakatan kebutuhan belajar tentang literasi TIK dan karya bersama dituangkan dalam bentuk kontrak belajar. b. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pembelajaran pada pendidikan multikeaksaraan ditujukan pada pencapaian standar kompetensi lulusan dalam dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Silabus harus memuat garis pokok kegiatan pembelajaran untuk mencapai ketiga kompetensi tersebut. Terkait dengan kebutuhan belajar, silabus pembelajaran multikeaksaraan disusun dengan tema ilmu pengetahuan dan teknologi dan sub tema literasi TIK. Berikut ini contoh silabus dengan tema ilmu pengetahuan dan teknologi dan sub tema literasi TIK (Tabel 2). Tabel 2. Contoh Silabus Pembelajaran Multikeaksaraan dengan Tema IPTEK dengan Sub Tema Literasi TIK Kompetensi Dasar 2.3 Menggali informasi dari teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang keilmuan dan teknologi yang diminati berkaitan dengan pekerjaan atau profesinya
Materi Pembelajaran Brosur atau leaflet tentang penggunaan program PAINT
Indikator Pencapaian Kegiatan Alokasi Penilaian Sumber Kompetensi Pembelajaran Waktu Belajar • Brosur 2.3.1 Mampu membaca • Memotivasi untuk 20 JP Sikap: Tumbuhnya atau merawat keaksaraan lancar teks khusus yang dalam rangka karakter kerja leaflet berbentuk brosur atau tentang keras dalam leaflet sederhana tentang peningkatan kualitas menjalankan program keilmuan dan teknologi hidup melalui tertentu yang diminati pengenalan dan tugas PAINT • Komputer berkaitan dengan pembelajaran TIK Pengetahuan: • Printer pekerjaan atau profesinya • Membangun konteks Kemampuan 2.3.2 Mampu menjelaskan melalui diskusi Membaca dan secara lisan isi teks khusus tentang pentingnya mengenal dan belajar menceritakan yang berbentuk brosur TIK. Contoh: cerita kembali teks atau leaflet sederhana kesuksesan sesorang khusus dalam tentang keilmuan dan yang old generation bentuk brosur teknologi yang diminati karena menguasai TIK atau leaflet berkaitan dengan pekerjaan atau profesinya
41
3.4.1 Mampu merancang • Membaca teks pada brosur atau leaflet desain dan spesifi kasi produk teknologi tentang penggunaan sederhana yang inovatif program PAINT dan diminati dengan • Menceritakan kembali memanfaatkan peluang isi teks tentang penggunaan program PAINT dan sumber daya yang ada di sekitarnya; • Mendiskusikan tentang hal-hal yang 3.4.2 Mampu membuat dapat dibuat dengan produk teknologi program PAINT, sederhana yang kreatif, contoh: membuat inovatif dan diminati desain motif batik dengan memanfaatkan • Membuat desain motif peluang dan sumber batik dengan program daya yang ada di PAINT sekitarnya • Menuliskan nama dan cara pembuatan desain motif batik pada kertas • Menuliskan nama dan cara pembuatan desain motif batik dengan menngunakan keyboard computer
Keterampilan: Membuat produk (desain motif batik sederhana) lengkap dengan tulisan nama produk dan cara membuatnya
Silabus harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, potensi lokal yang ada dan ketersediaan sarana & prasarana. Old generation memiliki keterbatasan dalam mengakses, mengenal dan menggunakan media-media TIK sehingga silabus dibuat dengan memperhatikan hal-hal tersebut, sedangkan RPP disusun oleh pendidik untuk satu kali pertemuan. RPP merupakan penjabaran dari silabus yang telah dibuat sebelumnya. Berikut ini contoh RPP dari silabus dengan tema IPTEK dan sub tema literasi TIK Tabel 3. Contoh RPP dengan Tema IPTEK dan Sub Tema Literasi TIK
KELOMPOK BELAJAR : PKBM Buka Dunia PROGRAM : Pendidikan Multikeaksaraan TEMA : IPTEK SUBTEMA : Literasi TIK ALOKASI WAKTU : 2 Jam @ 60 menit A. KOMPETENSI INTI Mengacu pada kurikulum pendidikan multikeaksaraan B. KOMPETENSI DASAR DALAM INDIKATOR Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Pembelajaran 2.3 Menggali informasi dari teks khusus yang berbentuk brosur atau leaflet sederhana tentang keilmuan dan teknologi yang diminati berkaitan dengan pekerjaan atau profesinya
42
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
3.4 Mempraktikkan pengetahuan dan 3.4.2 Mampu membuat produk teknologi kreativitas yang dimiliki dan diminati sederhana yang kreatif, inovatif dan menjadi produk teknologi sederhana yang diminati dengan memanfaatkan peluang inovatif dengan memanfaatkan peluang dan sumber daya yang ada di sekitarnya dan sumber daya yang ada di sekitarnya C. TUJUAN PEMBELAJARAN Sikap: Tumbuhnya karakter kerja keras dalam menjalankan tugas Pengetahuan: Kemampuan membaca dan menceritakan kembali teks khusus dalam bentuk brosur atau leaflet Keterampilan: Membuat produk (desain motif batik sederhana) lengkap dengan tulisan nama produk dan cara membuatnya D. MATERI PEMBELAJARAN Brosur atau leaflet tentang penggunaan program PAINT E. METODE PEMBELAJARAN • Tutorial • Pendampingan F. MEDIA, ALAT DAN SUMBER BELAJAR • Brosur atau leaflet tentang program PAINT • Komputer • Printer G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Kegiatan Pendahuluan • Menceritakan kembali success story old generation, karena mengenal dan belajar TIK • Mengingat kembali isi pembelajaran pertemuan sebelumnya 2. Kegiatan Inti • Proses mencapai kompetensi dengan belajar aktif dan prinsip belajar andragogi 3. Kegiatan Penutup • Membuat rangkuman, simpulan, refleksi, dan tindak lanjut H. PENILAIAN Sikap : observasi Pengetahuan : tes lisan Keterampilan: portofolio
2. Melibatkan teknologi (supply providing) Pembelajaran dalam pendidikan multikeaksaraan menggunakan pendekatan andragogi yang berbasis karya/produk. Pendekatan ini sangat memungkinkan adanya pelibatan teknologi dalam penerapannya. Dalam setiap pembelajaran, diusahakan adanya pengenalan media-media TIK. Dengan demikian upaya literasi TIK akan berjalan seiring dengan pembelajaran multikeaksaraan. Pencapaian kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi tidak hanya dilakukan secara manual tapi juga melalui media-media digital. 43
Artinya peserta didik tidak hanya menulis di kertas/papan dengan menggunakan alat tulis, tetapi peserta didik juga menulis dengan di atas papan keyboard komputer, handphone atau tablet. Peserta didik tidak hanya membaca buku, poster, leaflet tetapi juga membaca teks-teks pada media online. Demikian juga dalam belajar berhitung, peserta didik dikenalkan dengan operasi matematika sederhana dalam computer. Peserta didik juga diajak melakukan komunikasi melalui media digital baik secara langsung (e-mail) maupun langsung (Whats App, Line, Mesengger). Dengan demikian peserta didik dibiasakan mengakses, mengenal dan menggunakan media TIK. Pendidik menjadi pendamping dan pembimbing yang memfasilitasi peserta didik dengan media TIK. Pendidik dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) meyakinkan peserta didik bahwa teknologi itu mudah dan menyenangkan, (b) membimbing dengan sabar dan telaten agar peserta didik semakin mudah mengakses, mengenal dan belajar menguasai TIK, (c) memilihkan teks-teks sederhana pada media online, (d) mengenalkan teknologi tepat guna yang sederhana, dan (e) melatih cara-cara menguasai informasi dengan cepat dan tepat Pelibatan teknologi dalam pembelajaran multikeaksaraan menuntut adanya penyediaan media-media digital. Untuk memenuhi ketersedian prasarana tersebut, penngelola program dan pendidik dapat menjalin kerja sama dengan komunitas TIK yang ada di lingkungannya. Kerja sama dilakukan dalam bentuk peminjaman prasarana dan pendampingan dalam membuat karya/produk. 3. Merubah perilaku (behavior change) Keberhasilan menjalani tahap pertama (menciptakan konteks) dan tahap kedua (melibatkan teknologi) sangat mempengaruhi proses pada tahap ketiga (merubah perilaku). Pengalaman bahwa penggunaan TIK dapat membantu mewujudkan harapan dan pemecahan masalah, menjadi modal adanya perubahan perilaku peserta didik. Penilaian perilaku dalam literasi TIK peserta didik dapat dilihat dari penilaian pembelajaran dan penilaian tingkat kematangan literasi TIK. a. Penilaian pembelajaran Penilaian pembelajaran didasarkan pada penilaian dalam pendidikan multikeaksaraan. Penilaian pembelajaran mencakup penilaian dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan serta penilaian hasil karya/produk. Penilaian dimensi sikap merupakan penialain perilaku peserta didik, yang dapat dilakukan dapat dengan teknik observasi, jurnal atau penilaian diri. 44
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Penilaian dimensi pengetahuan bertujuan melihat kekuatan dan kelemahan kompetensi pengetahuan peserta didik. Penilaian dapat dilakukan dengan dengan tes tertulis atau tes lisan. Tes lisan dapat berupa tes pertanyaan, tes kosa kata dan tes jawaban pendek. Dimensi keterampilan dapat dinilai dengan cara observasi, tes tertulis, penilaian praktik dan portofolio. Penilaian keterampilan bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam memenuhi indikator pencapaian kompetensi keterampilan, sedangkan penilaian hasil karya/produk dilaksanakan untuk melihat kemampuan peserta didik dalam membuat produk sesuai tema pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan melalui penilaian produk dan penilaian proyek. b. Penilaian tingkat kematangan literasi TIK Penilaian ini didasarkan pada frekuensi mengakses media TIK dan tingkat penggunannya. Berdasarkan teori Personal-Capability Maturity Model (P-CMM), terdapat 6 (enam) level tingkat kematangan literasi TIK, yaitu: 1) Level 0 - jika peserta didik sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari 2) Level 1 - jika peserta didik pernah memiliki pengalaman satu dua kali dimana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapain keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mencarinya. 3) Level 2 - jika peserta didik telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberuntungan dalam penggunaannya. 4) Level 3 - jika peserta didik telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari. 5) Level 4 - jika peserta didik telah sanggup meningkatkan secara signifikan kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi 6) Level 5 - jika peserta didik telah menganggap informasi dan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya 45
E. KESIMPULAN Literasi TIK pada old generations lebih rendah dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal ini lebih dipengaruhi oleh faktor tingkat dan lamanya pendidikan generasi tersebut. Upaya literasi TIK pada old generations mempunyai nilai strategis dalam memperkuat life long education bagi peningkatan kemampuan dan keterampilan belajar sepanjang hayat. Strategi akselerasi literasi TIK berpijak pada potensi dan karakteristik kelompok usia tersebut. Strategi percepatan literasi TIK diintegrasikan dalam pendidikan multikeaksaraan. Implementasi strategi tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) menciptakan konteks (assesmen kebutuhan belajar yang ditindaklanjuti dengan penyusunan silabus dan RPP), (2) melibatkan teknologi (pencapaian kompetensi membaca, menulis, berhitung dan komunikasi melalui media manual dan digital), dan (3) merubah perilaku melalui penilaian pembelajaran dan tingkat kematangan literasi TIK.
DAFTAR PUSTAKA Anderson,J. (2010). ICT Transforming Education; A Regional Guide. Bangkok: UNESCO. Anonim. (2014). Statistik Penduduk Lanjut Usia. Badan Pusat Statistik. Anonim. (2016). Statistik Pengguna Internet Indonesia. Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Anonim. (2017). Panduan Penyelenggaraan dan Pembelajaran Pendidikan Multikeaksaraan. Direktorat Pembinaan Keaksaraan dan Kesetaraan, Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud. Educational Testing Service (ETS). (2002), Digital Transformation A Framework for ICT Literacy: A Report of the International ICT Literacy Panel, ETS: New Jersey, p.iii. Indrajit , R.E. (2005). Teknologi Informasi dan Pembangunan Multi Sektor. Jakarta: UPI Press. _________________ Strategi dan Kiat Meningkatkan E-Literacy Masyarakat Indonesia. www.academia.edu. Diakses tanggal 15 Maret 2017. Knowles,M.S. (1980). The Modern Practice of Adult Education; From Pedagogy to Andragogy. Chicago: Follet Publishing Company. Pernia. E. (2008), Strategy Framework for Promoting ICT Literacy in The AsiaPacific Region, Bangkok: UNESCO Bangkok, Asia and Pacific Regional Bureau for Education. Toffler, A. (1990). Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century. Bantam Books.
46
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
DADA (DANA DARING) PELIBATAN NETIZEN DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Oleh : Arie Ekadharma, S.Pd, Chinta Darma, S.Pd, Edi Rukmana, S.Pd* Pamong Belajar pada PP-PAUD dan Dikmas Jawa Barat
ABSTRAK Dada (Dana Daring) merupakan sebuah model yang memberikan alternatif penggalangan dana pendidikan bagi penyelenggara program pemberdayaan perempuan melalui jaringan internet sekaligus memandu penyelenggaraan pembelajarannya. Dengan kata lain, model ini memformulasikan pola penyelenggaraan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan peningkatan ekonomi dengan cara meningkatkan percaya diri peserta didik melalui pembelajaran, pemanfaatan teknologi informasi, pelibatan masyarakat dengan cloud funding, dan penggunaan dana bergulir dalam pembelajaran wirausaha. Salah satu fokus yang akan disempurnakan di dalam model ini adalah faktor “klasik” seperti permodalan yang sangat mempengaruhi jalannya program pemberdayaan. Oleh karena itu, model ini fokus pada upaya mencari celah permodalan yang fleksibel dan tidak mengikat. Salah satu upaya yang dikembangkan adalah dengan memanfaatkan jaringan komunikasi melalui internet (daring). Konsep Model Dada adalah penggalangan dana melalui media daring atau dikenal dengan istilah cloud funding yaitu memanfaatkan potensi yang tersebar di masyarakat menjadi kegiatan yang lebih terfokus untuk merekontruksi kehidupan sosial masyarakat secara bersama-sama. Prinsipnya model Dada menyambungkan kepercayaan masyarakat, peserta didik, dan penyelenggara program. Ketiga pihak tersebut dimediasi internet yang dikelola oleh penyelenggara program melalui media sosial sebagai wadah untuk mengutarakan ide, menginformasikan aktivitas peserta didik dan penyebaran informasi di dunia maya agar dapat diakses secara global oleh masyarakat untuk berpartisipasi sebagai donatur. 47
Pola penyelenggaraan terbagi menjadi tiga aktivitas. Aktivitas pertama adalah aktivitas pengelola sebagai penanggung jawab program, yaitu (1) aktivitas penggalangan dana dan (2) aktivitas pembelajaran. Aktivitas kedua, adalah aktivitas masyarakat, dalam berdonasi untuk aktivitas peserta didik. Aktivitas ketiga, adalah aktivitas aktif peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh pengelola dari bantuan donasi masyarakat. Kata Kunci: Cloud Funding, pemberdayaan perempuan, wirausaha
A. Pendahuluan Keberhasilan pembangunan nasional, bergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan, namun data statistik menunjukan peran perempuan belum teroptimalkan dalam pembangunan tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari total tersebut, penduduk laki-laki mencapai 128,1 juta jiwa sementara perempuan sebanyak 126,8 juta jiwa. Distribusi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa struktur umur penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk muda. Secara nasional, frekuensi terbesar untuk penduduk laki-laki berada pada kelompok umur 1014 tahun sedangkan penduduk perempuan berada di kelompok umur 25-29 tahun. Bagi sebagian penduduk terutama penduduk usia produktif, masih beranggapan bahwa daerah perkotaan jauh lebih menarik dibandingkan daerah perdesaan, fenomena tersebut tercermin pada persentase penduduk berumur 20-24 dan 25-29 tahun lebih tinggi di daerah perkotaan baik penduduk perempuan (18,46 persen) maupun penduduk laki-laki (18,16 persen) dibandingkan dengan di daerah perdesaan yang hanya 16,32 persen penduduk perempuan dan 15,85 persen penduduk laki-laki. Khusus pada kondisi perempuan, beberapa indikator memperlihatkan belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Dalam bidang pendidikan, 73% dari orang yang buta huruf adalah perempuan, perempuan tamat SLTA dan Universitas lebih rendah dari laki-laki, perempuan drop out sekolah lebih tinggi dari laki-laki; di bidang kesehatan, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi (373/100.000 kelahiran hidup tahun 1998) perempuan usia subur yang kekurangan energi kronik 24%, prevalensi anemia ibu hamil 51,9%; di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah dari lakilaki, kredit usaha tani hanya diberikan pada laki-laki, upah perempuan lebih rendah dari laki-laki; di bidang hukum, banyak produk hukum bias gender; di bidang keamanan, banyak perempuan korban tindak kekerasan, di bidang media massa, perempuan sering dijadikan objek media; dll. 48
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Permasalahan mendasar lainnya yang masih terjadi sampai saat ini berkaitan dengan diskriminasi perlakuan yang diterima oleh kaum perempuan dalam dunia kerja. Kenyataan di masyarakat menunjukkan masih terjadinya perbedaan perlakuan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki, terutama mereka yang bekerja di sektor formal masih banyak yang mendapatkan perlakuan yang berbeda antara lain perbedaan gaji, perbedaan proses seleksi dan promosi yang dikaitkan dengan status perkawinan pekerja perempuan. Di samping itu, kaum perempuan dililit oleh permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial yang lain. Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan yang tinggi, dan persebaran yang timpang dan tingginya angka kemiskinan tanpa disadari semua ini menjadi beban pembangunan. Kemiskinan tidak memandang jenis kelamin dan kelompok umur. Bahkan ada kecenderungan bahwa kemiskinan lebih banyak dijumpai pada kelompok usia lanjut dan perempuan. Kecepatan perubahan yang ditimbulkan oleh derasnya arus globalisasi, politik, ekonomi dan informasi yang tidak seimbang dengan kesiapan masyarakat, berdampak pada makin berkembang dan meluasnya bobot, jumlah dan kompleksitas berbagai permasalahan kesejahteraan rakyat. Masalah tersebut adalah kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, pengungsian, kerentanan, dan kelompok-kelompok yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba. Kondisi ini juga menimbulkan permasalahan yang kompleks seperti kerusuhan sosial konflik sosial, perlakuan salah dan tindak kekerasan. Perlunya pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan sebagai kebijakan pemerintah bertujuan untuk memampukan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan secara aktif tanpa menghapus peran reproduktif perempuan. Pemberdayaan Perempuan pada hakekatnya adalah peningkatan hak, kewajiban, kedudukan, kemampuan, peran, kesempatan, kemandirian, ketahanan mental dan spiritual wanita sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas SDM. Pemberdayaan perempuan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu perempuan tidak berdaya menjadi berdaya. Pendidikan yang dirancang secara khusus dapat menjadi medium dalam memberikan pengetahuan kepada perempuan agar dapat mengatur diri dan 49
meningkatkan rasa percaya diri sehingga mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, yang berdampak dalam membangun kemampuan dan konsep diri seperti yang dijelaskan di atas. Pengembang berasumsi pendidikan peningkatan ekonomi (gabungan pengetahuan dan kemandirian secara ekonomi) menjadi alat yang tepat untuk dapat meningkatkan rasa percaya diri tersebut.
B. Kajian Pustaka 1. Dana dalam Jaringan (Dana Daring) Program peningaktan ekonomi akan sangat terkait dengan kegiatan prduktif, kegiatan usaha dan kebutuhan permodalan. Saat ini, kredit pendanaan melalui bank merupakan satu-satunya sumber permodalan yang umum ditempuh masyarkat. Namun kenyatannya, sumber pendanaan yang paling besar adalah masyarakat itu sendiri. Beberapa contoh pendaan yang digalang dari masyarakat adalah seperti: Jalinan Kasih, Koin untuk Prita, dan Rereongan Sarupi, serat masih banyak contoh lainnya. Inilah yang disebut dengan crowd funding, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai pendanaan yang digalang atau dikumpulkan dari orang banyak (crowd). Crowd funding atau dikenal juga dengan istilah cloud funding adalah upaya kolektif dari sejumlah individu untuk mengumpulkan dana guna mendukung orang lain (the Lewes Pound, 2013). Istilah ini dimaknai juga sebagai upaya meminta bantuan sejumlah besar orang untuk masing-masing mengumpulkan sedikit uang (UK Crowdfunding, 2015). Dana yang terkumpul disalurkan kepada individu atau kelompok untuk mendukung kegiatan mereka. Saat ini, crowd funding dimungkinkan untuk berkembang berkat pesatnya media komunikasi melalui jaringan internet dan media sosial. Pola crowd funding diawali dengan tahap dimana pencari pendanaan menyusun profil yang menggambarkan kegiatan yang akan dilakukannya. Profil tersebut kemudian diunggah di internet atau jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Line, BB Messenger, dan sebagainya untuk menjaring calon pemberi dana. UK Crowdfunding (2015) menyebutkan 3 skema yang tercakup dalam crowd funding, yaitu: (1) Sumbangan (donation-crowdfunding), yaitu dimana individu-individu mengumpulkan sejumlah uang untuk alasan sosial tanpa mengaharapkan pengembalian atau keuntungan finansial, meskipun terkadang diberikan penghargaan (reward) dalam bentuk lain, seperti penyebutan nama (acknowledgements) atau sekedar update berita secara berkala; (2) Pinjaman (debt crowdfunding), yaitu para donatur 50
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
“meminjamkan” uangnya dengan bunga yang sangat rendah –atau bahkan tanpa bunga, kepada pemohon dana. Donatur mengharapkan pengembalian pinjaman tersebut dalam jangka waktu tertentu beserta jasanya. (3) Saham (equity crowdfunding), dimana donatur memberikan “modal” dan mendapatkan hak kepemilikan saham. 2. Pendidikan Peningkatan Ekonomi Perempuan Di bidang ekonomi, pemberdayaan perempuan lebih banyak ditekankan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola usaha, khususnya dalam hal ini adalah usaha home industry. Ada lima langkah penting yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan kemampuan berwirausaha bagi perempuan. Menurut IMF yang dikutip oleh Herri, dkk (2009: 5) lima langkah tersebut, yaitu: a. Membantu dan mendorong kaum perempuan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan serta kompetensi diri mereka, melalui berbagai program pelatihan, b. Membantu kaum perempuan dalam strategi usaha dan pemasaran produk, c. Memberikan pemahaman terhadap regulasi dan peraturan pemerintah terkait dengan legalitas dunia usaha, d. Mendorong dan membantu kaum perempuan untuk mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal, e. Membuat usaha mikro/jaringan usaha mikro perempuan/forum pelatihan usaha. Adapun program-program pemberdayaan perempuan yang ditawarkan menurut Riant Nugroho (2008: 165-166) adalah : a. Penguatan organisasi kelompok perempuan di segala tingkat mulai dari kampung hingga nasional, misalnya: PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), perkumpulan koperasi maupun yayasan sosial. Penguatan kelembagaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan lembaga agar dapat berperan aktif sebagai perencana, pelaksana, maupun pengontrol, b. Peningkatan fungsi dan peran organisasi perempuan dalam pemasaran sosial program-program pemberdayaan. Hal ini penting mengingat selama ini program pemberdayaan yang ada, kurang disosialisasikan dan kurang melibatkan peran masyarakat, c. Pelibatan kelompok perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring semua program pembangunan yang ada. Keterlibatan perempuan meliputi program pembangunan fisik, penguatan ekonomi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, 51
d. Peningkatan kemampuan kepemimpinan perempuan, agar mempunyai posisi tawar yang setara serta memiliki akses dan peluang untuk terlibat dalam pembangunan, e. Peningkatan kemampuan anggota kelompok perempuan dalam bidang usaha (skala industri kecil/rumah tangga hingga skala industri besar) dengan berbagai keterampilan yang menunjang seperti kemampuan produksi, kemampuan manajemen usaha serta kemampuan untuk mengakses kredit dan pemasaran yang lebih luas.
C. Metode Kajian Metodologi yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development). Sumber data adalah pengelola program dari PKBM dan SKB sebanyak 3 orang, pendamping lapangan 20 orang di dua lokasi, dengan peserta didik sebanyak 20 orang di dua lokasi Kota Cimahi dan Kota Sukabumi provinsi Jawa Barat. Proses uji coba pengembangan dilakukan selama 6 bulan pada tahun 2016. Data diambil dengan menggunakan instrument angket, observasi, dan wawancara. Dari tahap awal atau studi pendahuluan, sampai dengan kegiatan pembimbingan ujicoba data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis kualitatif dengan menggunakan model analisis interaktif.
D. Hasil Dan Pembahasan Konsep Model Dada adalah penggalangan dana melalui media daring atau dikenal dengan istilah cloud funding yaitu memanfaatkan potensi yang tersebar di masyarakat menjadi kegiatan yang lebih terfokus untuk merekontruksi kehidupan sosial masyarakat secara bersama-sama. Prinsipnya model Dada menyambungkan kepercayaan masyarakat, peserta didik, dan penyelenggara program. Ketiga pihak tersebut dimediasi internet yang dikelola oleh penyelenggara program melalui media sosial sebagai wadah untuk mengutarakan ide, menginformasikan aktivitas peserta didik dan penyebaran informasi di dunia maya agar dapat diakses secara global oleh masyarakat untuk berpartisipasi sebagai donatur. Pola penyelenggaraan terbagi menjadi tiga aktivitas yang dikomandoi oleh pengelola sebagai penyelenggara program. Aktivitas pertama adalah aktivitas aktif pengelola sebagai penanggung jawab program, pengelola memiliki dua aktivitas utama yaitu (1) aktivitas penyelenggaraan dan (2) aktivitas pembelajaran. Pada (1) aktivitas penyelenggaraan, pengelola akan menyusun program pemberdayaan perempuan berupa kegiatan penggalangan dana daring untuk pembelajaran dalam meningkatkan ekonomi peserta didik melalui kegiatan jual 52
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
beli. Kemudian pengelola mencari sasaran peserta didik yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, membuat narasi dan foto yang menarik mengenai aktivitas peserta didik, disebarkan melalui media sosial daring agar masyarakat secara global bisa mengetahui kebutuhan-kebutuhan peserta didik sehingga masyarakat dapat berperan sebagai donatur untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. (2) aktivitas pembelajaran, yaitu kegiatan mengelola bantuan yang diberikan donatur untuk peserta didik dalam sebuah kegiatan pembelajaran, mengkaji progress dan keberhasilan peserta didik untuk disebarkan pada media daring sebagai bentuk pelaporan agar dapat diakses oleh donatur dan diapresiasi oleh masyarakat lainnya. Aktivitas kedua, adalah aktivitas pasif yang diperankan oleh masyarakat. Pada aktivitas ini masyarakat akan memperoleh informasi mengenai aktivitas peserta didik melalui media daring (medsos) kemudian memutuskan untuk berpartisipasi dan beraksi dengan memberikan donasi melalui Rekening Bank ke pengelola untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan peserta didik. Aktivitas ketiga, adalah aktivitas aktif peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh pengelola dari bantuan donasi masyarakat. Peserta didik akan didampingi oleh penyelenggara untuk mengikuti tahapan pembelajaran dengan tujuan mengubah sikap peserta didik dan membiasakan hasil belajarnya dalam kehidupan kesehariannya agar kehidupannya lebih berdaya. Indikator berdaya jika peserta didik mampu merubah sikapnya dengan mendisiplinkan diri dalam mengelola keuangannya, memiliki pengetahuan untuk mempertahankan dan meningkatkan usahanya, serta memiliki keterampilan untuk menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan kesehariannya. Dalam mewujudkan ketiga aktivitas tersebut pengelola harus mengikuti kegiatan teknis yang dibuat menjadi tiga tahap, yaitu: Tahap 1 : menyiapkan infrastruktur, meliputi langkah berikut: 1. Merancang Program Pemberdayaan Perempuan Lembaga perlu merancang program pemberdayaan perempuan sebagai salah satu bidang garapannya. Merancang program kegiatan untuk mempersiapkan masa depan dan membangun rasa tanggung jawab pengelola atas keberlangsungan pelaksanaan program. Secara Ilmiah bertujuan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya hambatan. Perencanaan program lebih bersifat preventif, karena kegiatannya merupakan bimbingan pendidikan peningkatan ekonomi dan mengenai cara-cara hidup di masyarakat yang lebih baik (memberdayakan). 53
2. Menyusun keorganisasian (kepanitiaan) Keorganisasian disusun seefisien dan seefektif mungkin, model dada membutuhkan: penanggung jawab dan Ketua Pelaksana, Koordinator Daring, Pengolah Data, Koordinator Pembelajaran, dan Pendamping. 3. Buat perangkat Media Sosial melalui Media Daring (Instagram, Facebook, WhatsApp, Line, Path) dan kelengkapan lainnya berupa nomor rekening Bank. 4. Cari Sasaran, Mencari sasaran merupakan kegiatan yang mudah namun dapat menjadi kegiatan yang sulit. Carilah sasaran yang benar-benar perlu diberdayakan. Langkah ini menguji pengelola untuk bersikap professional, jeli dan logis. 5. Mengunggah Profil Peserta didik Kenalkan peserta didik ke masyarakat melalui media sosial untuk dapat mengenalkan maka pengelola perlu membuat profil yang menarik, menggugah, dan senyata mungkin sehingga membuat calon donatur percaya. Langkah sederhananya gambar di samping:
seperti
Tahap 2: penggalangan dana daring. Langkah pada Tahap 2: 1. Menerima Donasi Donatur akan mengirimkan donasi tanpa kita tahu kapan dan berapa jumlah yang akan dikirim. Maka sebaiknya rekening bank tempat menampung donasi dilengkapi dengan fasilitas “sms banking” atau layanan sejenis yang dapat memberi peringatan kepada pemilik rekening jika terjadi transaksi. 2. Mengelola Donasi Donasi terbagi menjadi dua kategori: kategori 1, donasi yang diperuntukan khusus bagi peserta didik, pengelola tidak berhak mengambil sepeserpun dari bagian ini. Kategori 2, donasi yang diperuntukan untuk pembiayaan aktivitas pengelola, bagian ini merupakan hak pengelola untuk pembiayaan opersional. 3. Amanatkan kepada Sasaran Donasi diberikan berdasarkan kebutuhan peserta didik yang tercantum di setiap profil peserta didik. Maka pengelola harus jeli mengenai pembagian 54
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
jumlahnya dan segera memberikan laporan kepada masyarakat melalui medsos jika jumlah kebutuhan peserta didik telah terpenuhi. Tahap 3: Eksekusi Pembelajaran, pada tahap ini pendamping akan terlibat secara intens dengan peserta didik, pengelola akan lebih banyak memantau kegiatan dan mendokumentasikan ke media sosial. Eksekusi Pembelajaran terdiri dari 5 (lima) langkah, dilakukan selama empat minggu, langkah tersebut adalah: 1) Orientasi peserta didik Orientasi peserta didik pada dasarnya untuk mengkondisikan peserta didik yang telah memperoleh donasi untuk melakukan pembelajaran. Kegiatan ini harus mampu memberikan pencerahan kepada peserta didik terkait program dan aktivitas yang akan dilakukan termasuk dengan menekankan komitmen dan konsekwensi yang akan diterima oleh setiap peserta didik. Kegiatan yang akan dilakukan pada orientasi ini meliputi kegiatan berikut: a) Penjelasan program b) Mengisi lembar Kesanggupan mengikuti program c) Mengisi Lembar Penghasilan 1 2) Memantapkan Usaha Pendamping akan membantu merancang, membantu usaha yang telah dirintis peserta didik dan menyerahkan modal usaha. Memastikan keterampilan berdasarkan minat yang telah dikuasai peserta didik untuk dijadikan sebagai penopang usaha. Keterampilan yang dimaksud tidak hanya terkait pada vokasi atau keterampilan produksi saja, akan tetapi dapat diartikan pula menjadi keterampilan memasarkan dan menjual hasil produksi. Artinya, berikan kesempatan berpikir kepada peserta didik untuk dapat menentukan apakah akan produksi sendiri atau memasarkan produk yang telah jadi (reseller). 3) Lakukan Usaha Tahap ini tahap melakukan usaha, artinya semua yang telah direncanakan peserta didik segera dipraktikan pada tahap ini. Pendamping perlu menyiapkan mental peserta didik dan segera bekerja melakukan produksi, menjual, dan mencatat keuangan. 4) Menghitung Laba/Rugi, Yaitu tahap kegiatan mengkalkulasi untung dan rugi. Melalui pembiasaan peserta didik harus mampu membedakan (a) pendapatan 55
yang diperoleh dari usaha yang dia lakukan dengan beban usaha dan (b) membagi penghasilan yaitu kegiatan dimana peserta didik wajib mencatat keuangan untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari usahanya, kemudian membaginya ke dalam tiga pos, (1) Modal, (2) Laba, dan (3) Tabung. 5) Laporkan Hasil Kegiatan ini merupakan puncak dari proses dokumentasi. Pelaporan juga memberikan informasi kepada donatur dan pengelola mengenai sejauh mana ketercapaian tujuan program yang dilakukan peserta didik. Selain itu, kegiatan ini digunakan sebagai pertanggungjawaban (akuntabilitas) pengelola dan penyelenggara program kepada donatur terhadap kepercayaan yang diberikan padanya. Implementasi Model Dada, pengelola perlu menyiapkan “ekosistem” di wilayah kerjanya agar model ini dapat diimplementasikan dengan sempurna. Penyiapan itu meliputi (1) prasyarat model yang terkait dengan infrastuktur berupa Perangkat Daring serta Perangkat Pembelajaran dan (2) syarat pelaksanaan model berupa kriteria Sumber Daya Implementasi Model, Orientasi Teknis, Pola Penggalangan Dana Daring dan Pola Pembelajaran. Kesuksesan model ini terletak pada kejujuran pengelola, jika tidak amanah maka tidak akan pernah memperoleh kepercayaan masyarakat. Maka pemberdayaan sasaran melalui pendidikan mengubah yang tidak tahu menjadi tahu, mengubah yang tidak mampu menjadi mampu, dari objek sumbangan menjadi penyumbang.
E. Kesimpulan Model Dana dalam Jaringan (Model Dada) dalam Pendidikan Peningkatan ekonomi pada Program Pemberdayaan Perempuan dirancang untuk memandu pengelola program pemberdayaan perempuan dalam menggali sumber pendanaan dari masyarakat yang tidak mengikat. Terdapat dua bagian utama dari model Dada, yaitu: (1) tahap penggalangan dana melalui jejaring media sosial (crowd funding) dan (2) tahap pembelajaran peningkatan ekonomi perempuan (Gentenan). Tahap pertama menekankan penggunaan jejaring media social seperti Facebook (FB), Instagram (IG), Line, Whatsapp(WA), dan sebagainya untuk menggalang dana dari masyarakat yang menggunakan media social tersebut serta yang turut tergerak untuk menyisihkan sebagian dana yang dimilikinya guna membantu sesama perempuan. Keberhasilan penggalangan dana ini sangat tergantung dari: 56
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
1) Kemampuan pengelola dalam membuat profil dan deskripsi sasaran (peserta program) sehingga mampu menggugah hati yang membacanya untuk turut membantu; 2) Pemilihan media sosial yang tepat sesuai dengan tingkatan social-ekonomi penggunanya. Hasil ujicoba menunjukan bahwa pengguna media social tertentu (Instagram) cenderung lebih aktif berkontribusi dalam program ini dibanding dengan pengguna media sosial yang lain; 3) Tingkat kepercayaan yang mampu dibangun dan ditanamkan oleh pengelola kepada masyarakat. Tahap kedua adalah pembelajaran peningkatan ekonomi. Pada model Dada, konsep bergilir yang diterapkan adalah modal atau dana yang dikelola dan digulirkan dari penerima (warga sasaran) ke penerima berikutnya. Dengan demikian terjadi perubahan peran dari penerima bantuan menjadi pemberi bantuan. Untuk menerapkan model ini, terdapat beberapa pra-syarat utama yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia: (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Sumber Daya Manusia yang kompeten dalam kegiatan pemberdayaan perempuan; Gawai, berupa Komputer/ Telepon Pintar/ tab yang sesuai; Nomor rekening Bank atas nama Lembaga; Jaringan internet; Nomor Telepon, Pulsa, dan Paket Data (Kuota) internet; Akun media social.
Sedangkan syarat untuk menjadi pengelola adalah sebagai berikut: (1) Berpengalaman mengelola program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan; (2) Memiliki kemampuan memotivasi sasaran; (3) Diutamakan perempuan berusia produktif, Berjiwa sosial, Berjiwa entrepreneur; (4) Melek teknologi dan mampu mengelola media social; (5) Mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulisan; (6) Mampu melakukan monitoring kegiatan program; (7) Mampu menyusun laporan kegiatan. Satu hal yang perlu diperkuat di dalam penerapan model ini, meskipun penggalangan dan pengelolaan dana sangat sederhana, terbuka dan fleksibel, namun untuk lebih meningkatkan kredibilitas kelompok atau pengelola, maka legalitas pengelola harus dikukuhkan dalam bentuk organisasi yang memiliki ijin dan pengakuan dari pemerintah. 57
DAFTAR PUSTAKA Baznas. (2016, june 30). berita utama: Baznas luncurkan zakat digital bersama Kitabisa.com. Retrieved november 10, 2016, from pusat.baznas.go.id: http:// pusat.baznas.go.id/berita-utama/baznas-luncurkan-zakat-digital-bersamakitabisa-com/ Harnish, T. (2010, august 03). Managing Money: Cash Flow: Cloud Funding Offers More than Pennies from Heaven. Retrieved july 18, 2016, from american express open forum: https://www.americanexpress.com/us/small-business/openforum/articles/cloud-funding-offers-more-than-pennies-fromheaven-1/ Hasibuan, A. S. (2016, november 10). riau1.kemenag.go.id. Retrieved november 10, 2016, from Pengelolaan Zakat: http://riau1.kemenag.go.id/index. php?a=artikel&id=398 Kiva. (2016, November 10). about Kiva. Retrieved November 10, 2016, from kiva. org: https://www.kiva.org/about PP PAUDNI Regional I Bandung. (2015). Model Pembelajaran Gerakan Pendidikan Peningkatan Ekonomi Kemaritiman dalam Pemberdayaan Perempuan. Bandung: PP PAUDNI Regional I Bandung. the Lewes Pound . (2013, october 19). Home: What is crowdfunding and how does it work? Retrieved july 20, 2016, from The Lewes Pound: Making MOney Work for Lewes: http://www.thelewespound.org/2013/10/19/what-iscrowdfunding-and-how-does-it-work/ Tribun Jogja. (2016, November 13). Home-Features: Para Remaja Hebat Bergerak Lewat Komunitas “Ketimbang Ngemis’. Retrieved August 31, 2016, from jogja tribunnews.com: http://jogja.tribunnews.com/2016/03/13/para-remaja-hebat-bergerak-lewat-komunitas-ketimbang-ngemis?page=1 UK Crowdfunding. (2015). Home: What is Crowdfunding. Retrieved july 20, 2016, from UK Crowdfunding: http://www.ukcfa.org.uk/what-is-crowdfunding UU no 23 thn 2011. (n.d.). Pengelolaan Zakat. UU RI no 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat . Yunus, Syarifudin. (2010). Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 32.
58
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
KEMAMPUAN LITERASI TIK TUTOR KEAKSARAAN DALAM PRAKTEK KEGIATAN PEMBELAJARAN DI KELOMPOK Oleh : Dadang Sunarwan Pamong Belajar Madya pada SPNF SKB Kabupaten Sukabumi
ABSTRAK Kemampuan literasi teknologi, informasi dan teknologi (TIK) dituntut dimiliki oleh setiap orang siapapun dia termasuk tutor keaksaraan. Secara umum, tutor keaksaraan sudah mengetahui berbagai perangkat TIK seperti komputer/laptop/ipad dan smartphone. Hanya dalam penggunaannya belum tentu optimal apalagi diperuntukkan untuk kegiatan layanan pembelajaran. Oleh karena itu melalui penelitian ini ingin diketahui sejauh mana kemampuan tutor keaksaraan dalam literasi TIK tersebut dalam rangka meningkatkan mutu layanan pembelajaran keaksaraan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan teknik wawancara dan observasi diperoleh hasil di mana responden rata-rata cukup baik dalam literasi TIK-nya dilihat dari aspek kemampuan memanfaatkan teknologi, menguasi aplikasi perkantoran, mengerti internet, mengerti manajerial data pada perangkat TIK serta akrab dengan infokus. Hanya perlu ada upaya peningkatan literasi TIK untuk tutor keaksaraan tersebut melalui berbagai kegiatan berupa pelatihan, bimbingan teknis, dan workshop. Kata kunci : Literasi TIK, Kemampuan Tutor, Keaksaraan
A. Pendahuluan Literasi yang diartikan secara harfiah sebagai keaksaraan. Literasi dimaksud tidak sekedar berhubungan dengan bahasa/huruf dan angka tetapi juga berkembang kepada literasi yang berhubungan dengan TIK. Sejak bertahun-tahun dan sampai sekarang pun masih berlanjut, di negara kita Indonesia, literasi (non TIK) dibangun secara terstruktur melalui program keaksaraan dasar dan keaksaraan lanjutan. 59
Pada program tersebut, masyarakat sebagai peserta didik difasilitasi untuk dapat memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa yang baik dan benar menurut kaidah yang berlaku. Secara kasat mata, dapat diungkapkan bahwa hasil dari kedua program tersebut di mana peserta didik memang mampu menunjukkan kemampuan membaca, menulis, berhitung dan berkomunikasi meski dalam taraf dasar. Ketercapaian peserta didik dalam menguasai aspek membaca, menulis dan berhitung tersebut tidak terlepas dari peran tutor. Hanya secara umum, tutor ketika melakukan layanan pembelajaran masih mempergunakan bahan ajar dan media konvensional. Sehingga ada kecenderungan, dapat membosankan peserta didik ketika mengikuti pembelajaran. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap percepatan penguasaan literasi peserta didik. Sebagai tutor sudah tentu dituntut untuk melakukan terobosan atau inovasi tertentu dalam hal bahan ajar dan media ajar keaksaraan yang aktual mengikuti perkembangan sarana dan prasarana yang aktual. Pada hal, perkembangan sarana dan prasarana berupa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) begitu cepat, hal demikian belum dimanfaatkan secara optimal dalam program pendidikan keaksaraan. Di samping itu, fakta menunjukkan bahwa perkembangan dunia informasi melalui TIK begitu cepat secara deret ukur sementara kemampuan manusia dalam memanfaatkan TIK berkembang secara deret hitung hingga terjadi kesenjangan yang signifikan. Khususnya yang terjadi di kalangan tutor keaksaraan. Tutor keaksaraan yang memiliki keterbatasan kompetensi, tidaklah mudah untuk dapat memanfaatkan TIK tersebut tetapi berupaya untuk dapat memanfaatkannya meski dalam skala terbatas dalam upaya meningkatkan kualitas layanan pembelajaran. Kehadiran sarana TIK sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat seperti komputer/laptop/tab, dan telepon seluler. Dalam keseharian, siapapun tidak terlepas dari sarana TIK tersebut. Bahkan dilihat dari segi kepemilikan, sudah banyak orang memiliki sarana komputer bahkan hampir setiap orang memiliki sarana TIK berupa telepon seluler termasuk tutor keaksaraan, tinggal bagaimana melakukan optimalisasi dalam penggunaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah sejauh mana kemampuan literasi TIK untuk kepentingan layanan pembelajaran keaksaraan yang dilakukan tutor keaksaraan binaan SKB Kab. Sukabumi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan literasi TIK untuk kepentingan layanan pembelajaran keaksaraan yang dilakukan tutor keaksaraan binaan SKB Kab. Sukabumi 60
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
B. Kajian Pustaka Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai produk dari makhluk manusia yang pandai dalam mengoptimalkan akalnya memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan masyarakat dunia, tidak ada yang dapat menghindar dari pengaruh kehadiran TIK tersebut. Dalam hal ini TIK mencakup perangkat komunikasi atau aplikasi seperti radio, televisi, telepon seluler, komputer dan jaringan perangkat keras, perangkat lunak, sistem satelit dan sebagainya. Sejalan dengan hal ini, dapat diikuti pendapat Adimphrana (2008) bahwa TIK bukan sekedar komputer dan internetnya, TIK juga melingkupi media informasi seperti telepon maupun telepon seluler dengan SMS, MMS, Music Player, Video Player, kamera foto digital, kamera video digital serta e-book readernya. Adapun kata literasi dimaknai sebagai melek aksara/keaksaraan. Dalam arti luas Literasi TIK merupakan penggunaan teknologi digital, alat komunikasi, dan jaringan untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi supaya berguna dalam suatu masyarakat informasi. Literasi TIK itu sendiri digerakkan oleh orang yang paham menggunakannya, atau dengan kata lain orang yang memiliki kemampuan menggunakannya. Menurut Laporan forum ICT Literacy internasional, Educational Testing Service (ETS), menguraikan tiga kemahiran dalam ICT Literacy (ETS, 2002:18),yaitu: 1. Kemampuan Kognitif (Cognitive Proficiency) merupakan keterampilan dasar yang diharapkan dapat dilakukan dalam rutinitas sehari-hari di sekolah, rumah, dan tempat kerja. Keterampilan dasar tersebut meliputi kemampuan membaca dan menulis, kemampuan dalam matematika, memecahkan masalah, dan keterampilan di bidang spasial atau visual. 2. Kemahiran Teknis (Technical Proficiency) merupakan komponen dasar dari literasi digital yang mencakup pengetahuan dasar mengenai perangkat keras, aplikasi perangkat lunak, jaringan, dan unsur-unsur teknologi digital. 3. KemahiranTIK (ICT Proficiency) merupakan pengintegrasian dan penerapan keterampilan kognitif dan teknis. Kemahiran TIK memungkinkan individu untuk memaksimalkan kemampuan teknologinya.
C. Metode Kajian Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analitik dengan teknik wawancara dan observasi. Populasi dan sampel adalah tutor keaksaraan binaan SKB Kabupaten Sukabumi sebanyak 20 orang.
61
D. Hasil Dan Pembahasan Melalui wawancara dan observasi, ditemukan perolehan penelitian sebagai berikut: 1. Identitas responden Kualifikasi pendidikan responden rata-rata sarjana pendidikan dengan usia antara 30-45 tahun, pengalaman sebagai tutor rata-rata 5 tahun, dengan penguasaan ilmu pedagogik formal lebih banyak dibandingkan dengan ilmu andragogiknya. Jika dihubungkan dengan kompetensi yang bersangkutan dalam hal kemampuan sebagai tutor keaksaraan, dibuktikan dengan sudah diikutinya kegiatan bimbingan teknis/pelatihan sebagai tutor keaksaraan sehingga secara esensi sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan perannya sebagai tutor keaksaraan tersebut. Meskipun ratarata, pekerjaan sebagai tutor adalah pekerjaan tambahan atau sekedar mengisi waktu luang saja daripada tidak bekerja. Tutor sebagai pekerjaan utama bukanlah menjadi bagian dari hidupnya. Apalagi secara finansial,penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tutor relatif kecil. Apa yang memotivasi mereka, untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat yang memang membutuhkan kehadirannya. Kekuatan moral mendorong mereka untuk mengambil bagian peran sebagai tutor keaksaraan 2. Kompetensi pemanfaatan teknologi Responden pada umumnya memiliki perangkat TIK seperti laptop dan smartphone. Perangkat yang dimiliki tersebut dipergunakan hampir setiap hari dengan variasi penggunaan untuk keperluan pribadi maupun untuk kepentingan pekerjaan. Hanya proporsi untuk kepentingan pekerjaan lebih sedikit mengingat keterbatasan kemampuan dalam menggunakan perangkat yang dimiliki tersebut. 3. Menguasai aplikasi perkantoran (Office), wordprocessor (word), spreadsheet (excel), presentations (powerpoint). Responden berkategori baik pada saat menggunakan MS-Word untuk menyusun dokumen pengolah kata seperti menyusun perangkat pembelajaran, membuat bahan ajar sederhana berupa teks saja atau membuat media belajar berupa poster sederhana. Responden berkategori cukup baik dalam menggunakan Excel untuk membuat dokumen/konten seperti pengolahan dan analisis evaluasi yang berisikan data angka, rumus-rumus dengan menggunakan fungsi tertentu dapat digunakan sesuai keperluan. Sedangkan kemampuan yang berhubungan dengan pembuatan materi presentasi melalui fasilitas power point tergolong rendah. Kemampuan menggunakan power 62
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
point ini, masih bersifat sangat dasar seperti membuat file baru, membuka, menutup dan mencetak. Sedangkan kemampuan-kemampuan yang lebih mendalam seperti editing, variasi isi file/Slide belum mampu dilakukan 4. Mengerti internet Responden memanfaatkan fasilitas internet untuk mencari dan membagi informasi kepada khalayak. Mencari informasi dengan memanfaatkan situs pencarian seperti google, email, wiki, upload-download, dan pengetahuan internet standar lainya. Informasi yang diperoleh dari internet tersebut, digunakan untuk menambah referensi konten yang disusun responden seperti untuk referensi penyusunan media ajar dan materi ajar 5. Mengerti manajerial data di perangkat TIK Responden cukup mampu melakukan manajerial data di perangkat TIK seperti laptop. Dalam hal ini, membuat file, menyimpan file, membuat folder, melakukan editing, copy-paste, dan melakukan cetak. Meski untuk hal-hal lainnya masih kurang dikuasai. 6. Akrab dengan infokus. Mampu memasang, setting dan bekerja dengan infokus Responden cukup mampu dalam memanfaatkan fasilitas infokus untuk kepentingan kegiatan pembelajaran kepada peserta didik yang menjadi binaannya, yang tadinya terbiasa menulis melalui media papan tulis dialihkan dengan mengoptimalkan ketersediaan infokus dengan terlebih dahulu menyiapkan bahan ajar yang bersifat digital meski masih relatif sederhana dalam penampilannya. 7. Memiliki pengetahuan standar mengenai software pendukung lainya, semacam winrar, pdf, player, dan lainnya. Responden cukup memahami yang berhubungan dengan perangkat lunak lainnya seperti pdf dan winrar. Paling tidak dapat melakukan pembuatan file pdf dan winrar sesuai kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diungkapkan bahwa responden menunjukkan kemampuan yang cukup berhubungan dengan pengetahuan dasar teknologi: mengetahui komputer dan internet, mengetahui fitur dasar perangkat TIK serta mampu membedakan dunia visual dan dunia nyata. Kemampuan berhubungan dengan keterampilan teknis menggunakan teknologi: menggunakan fitur dan aplikasi TIK, mengakses dan mencari website, memanfaatkan layanan internet, menggunakan komputer dan internet untuk membuat konten pembelajaran. 63
Merujuk pada kondisi tersebut maka seyogyanya kemampuan literasi TIK sudah menjadi keharusan yang dimiliki oleh setiap orang apalagi yang beridentitas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan seperti tutor keaksaraan. Seorang tutor keaksaraan yang hanya mengandalkan kemampuan konvensional tanpa bantuan TIK dalam kegiatan pembelajarannya relatif kurang menimbulkan daya tarik bagi peserta didiknya. Apalagi dalam TIK memiliki berbagai keunggulan di antaranya: 1. TIK memiliki potensi sebagai sarana untuk membangun wawasan dan keterampilan peserta didik dalam proses pembelajaran di mana dengan TIK ini interaksi pembelajaran tidak lagi mengenal jarak, ruang, dan waktu sehingga akan terjadi perubahan pendidikan dari pendidikan terpusat menjadi pendidikan tersebar. 2. Dengan TIK akan merubah pola pikir dari tutor sebagai pusat pembelajaran menjadi peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Disamping itu, manfaat yang dapat diperoleh bagi tutor keaksaraan yang menguasai TIK adalah sebagai berikut : 1. Hemat waktu Seorang tutor keaksaraan tidak perlu menulis lagi di papan tulis ketika membahas materi ajar yang diberikan kepada peserta didik karena sudah disiapkan melalui fasilitas Word, atau Power Point sehingga waktu yang tadinya untuk menulis dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lainnya yang lebih bermakna. Waktu akan lebih berharga karena dalam usaha pencarian dan menemukan informasi itu menjadi lebih mudah. Dalam beberapa kasus pelayanan online juga akan menghemat waktu yang digunakan karena tidak harus mengunjungi langsung ke tempat layanannya 2. Belajar lebih cepat Seorang tutor keaksaraan dapat belajar mencari informasi, menyusun konten akan lebih cepat dan lengkap. Dibandingkan dengan mencari referensi yang berbentuk cetak, maka akan lebih cepat dengan memanfaatkan sebuah aplikasi khusus misalnya glosarium yang berisi istilah-istilah penting. 3. Membuat lebih aman Sumber informasi yang tersedia dan bernilai di internet jumlahnya sangat banyak dan dapat disimpan dengan aman baik pada laptop itu sendiri atau melalui flashdisk/hardisk. 4. Selalu memperoleh informasi terkini Seorang tutor keaksaraan dengan leluasa kapan pun dapat memperoleh informasi terkini terkait dengan materi ajar yang akan diupdate atau informasi 64
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
terkini yang bersifat umum dalam upaya menambah wawasan keilmuannya. Kehadiran apps terpercaya akan membuat seseorang akan selalu memperoleh informasi baru. 5. Selalu terhubung Mampu menggunakan beberapa aplikasi yang dikhususkan untuk proses komunikasi, maka akan membuat orang akan selalu terhubung. Dalam halhal yang bersifat penting dan mendesak, maka ini akan memberikan manfaat tersendiri. 6. Membuat keputusan yang lebih baik Literasi TIK membuat seorang tutor keaksaraan dapat membuat keputusan yang lebih baik karena ia memungkinkan mampu untuk mencari beragam informasi, mempelajari, menganalisis dan membandingkannya kapan saja untuk kemudian memutuskan sesuatu dengan tepat. Jika Individu mampu membuat keputusan hingga bertindak, maka sebenarnya ia telah memperoleh informasi yang bernilai. Kaitan dengan ini Sarosa (2009:12) menyatakan bahwa Informasi adalah data yang sudah mengalami pemrosesan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan oleh pengunanya dalam membuat keputusan 7. Dapat membuat anda bekerja Kebanyakan pekerjaan saat ini membutuhkan beberapa bentuk keterampilan komputer. Dengan literasi TIK, maka ini dapat membantu pekerjaan seharihari terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer misalnya penggunaan Microsoft Word, Power Point atau bahkan aplikasi manajemen dokumen ilmiah seperti Mendelay dan Zetero. 8. Membuat lebih bahagia Dalam pandangan Brian Wright, di internet banyak sekali berisi kontenkonten seperti gambar atau video yang bersifat menghibur. Oleh karenanya, dengan mengaksesnya bisa berpengaruh terhadap kebahagiaan seseorang. 9. Mempengaruhi dunia Di internet tersedia tulisan-tulisan yang dapat mempengaruhi pemikiran para pembacanya. Dengan penyebaran tulisan melalui media yang tepat akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan perubahan dinamika kehidupan sosial. Dalam lingkup yang lebih makro, sumbangsih pemikiran seseorang yang tersebar melalui internet itu merupakan bentuk manifestasi yang dapat mempengaruhi kehidupan dunia yang lebih baik 65
Hasil penelitian dengan kategori cukup menunjukkan bahwa masih terdapatnya berbagai kekurangan yang dimiliki oleh responden (tutor keaksaraan). Kekurangan utama adalah belum mampu melakukan pengembangan secara mendalam terkait dengan pengetahuan dasar TIK dan keterampilan teknis TIK tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat responden memiliki keterbatasan wawasan atas kedua hal tersebut dan diperlukan upaya intervensi oleh pihak yang terkait dalam rangka meningkatkan wawasan tutor keaksaraan sehingga akan mampu melakukan kegiatan yang lebih baik dalam layanan proses pembelajaran keaksaraan dengan memanfaatkan kehadiran TIK tersebut. Bentuk kegiatannya dapat berupa bimbingan teknis, pelatihan, workshop, dan aktivitas sejenis lainnya.
E. Kesimpulan Kemampuan literasi TIK Tutor Keaksaraan dengan mempergunakan ketujuh indikator sebagaimana yang diuraikan di atas, bahwa tutor keaksaraan sebagai responden dari penelitian ini menunjukkan sejumlah kemampuan dalam kategori cukup baik atau cukup mampu berhubungan dengan pengetahuan dasar TIK dan keterampilan teknis TIK. Kemampuan ini ternyata digunakan untuk mendukung peningkatan layanan proses pembelajaran kepada peserta didik yang menjadi binaan tutor keaksaraan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Adimphrana, K. (2008). Strategi Pengembangan Pembelajaran Berbasis TIK (https://superarief21.wordpress.com/2010/01/30/strategi-pengembanganpembelajaran-berbasis-tik/, diakses 21 Maret 2017) Badan Litbang SDM Kemkominfo. (2013). Dinamika Perkembangan Pemanfaatan TIK serta Implikasinya di Masyarakat. Jakarta : Media Bangsa ETS (2002). Digital transformation: A framework for ICT literacy. USA: Educational Testing Service. Francis-Pelton, L. & Pelton, Samiaji Sarosa (2009). Sistem Informasi Akuntansi. Jakarta : Grasindo
66
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
PENGARUH METODE PENYADARAN DALAM MENINGKATKAN MINAT BACA WARGA BELAJAR KEAKSARAAN (Studi Kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi) Oleh : Cucu Sukmana, M.Pd Dosen Jurusan PLS, STKIP Siliwangi Bandung
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk : mendeskripsikan langkah-langkah dan metode penyadaran, menganalisis pengaruh dan mengetahui kelebihan dan kelemahan metode penyadaran dalam meningkatkan minat baca warga belajar pendidikan keaksaraan di PKBM se-Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Teori Metode Penyadaran Paulo Friere terdiri dari 2 indikator metode penyadaran yaitu: 1. Kampanye kemampuan baca tulis hitung 2. Kampanye pasca kemampuan baca tulis. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik analisis data adalah regresi sederhana. Populasi dalam penelitian ini adalah 200 warga belajar keaksaraan fungsional di 5 PKBM di Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi yang memiliki keterlibatan dalam program keaksaraan. Jumlah sampel yaitu sebanyak 60 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa Uji korelasi dengan menggunakan Pearson Product Moment menghasilkan nilai korelasi 0,467 nilai ini menunjukkan cukup kuat pengaruh metode penyadaran terhadap meningkatnya minat baca warga belajar keaksaraan, dengan koefisien determinasi sebesar 47% hal ini berarti bahwa minat baca warga belajar dipengaruhi oleh faktor penerapan metode penyadaran sebesar 47% sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu faktor sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga pendidik.
67
Kesimpulan bahwa deskripsi langkah-langkah metode penyadaran yang dilakukan oleh tutor sesuai apa yang telah disusun oleh tim tutor dari fase I kampanye kemampuan baca tulis hitung dan fase II kampanye pasca kemampuan baca tulis. Pengaruh dari metode penyadaran memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap minat baca warga belajar keaksaraan. Kata Kunci : Metode Penyadaran, Minat Baca, Warga Belajar, Keaksaraan.
A. Pendahuluan Program Pendidikan Keaksaraan masih dianggap strategis dan harus menjadi gerakan nasional yang perlu disosialisasikan secara menyeluruh dengan beberapa alasan aktual yakni: 1) merupakan salah satu unsur utama yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia; 2) masih adanya kelompok masyarakat yang buta aksara; 3) adanya kelompok masyarakat yang telah melek huruf namun menjadi buta kembali; 4) kemelekhurufan merupakan dasar pengetahuan bagi seluruh manusia the essential learning needs. Banyak para ahli mengungkapkan betapa pentingnya pemberantasan buta aksara bagi masyarakat. Coombs (1973) mengungkapkan bahwa pendidikan keaksaraan merupakan kebutuhan dasar yang memiliki daya ungkit bagi pembangunan masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan wadah yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian warga belajar. Salah satu program di PKBM adalah program pendidikan keaksaran.Penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan dalam pembelajaran dirancang dengan beberapa komponen, di antaranya tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, tutor, warga belajar, sarana pembelajaran, dan waktu pembelajaran. Paulo Freire, paedagog kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses konsientisasi. Konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik dan merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan menjadi problem solver, tidak menjadi part of problem. Lima PKBM yang berlokasi di kecamatan Cimahi Selatan, kota Cimahi mencoba mengimplementasikan metode penyadaran dalam penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan. Sesuai dengan permasalahan di atas, Peneliti merasa tertarik untuk mengkaji dan mengetahui sejauhmana pengaruh metode penyadaran dalam meningkatkan minat baca warga belajar keaksaraan di PKBM se-Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. 68
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, teridentifikasi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana langkah-langkah metode penyadaran dalam meningkatkan minat baca warga belajar keaksaraan fungsional di PKBM se-Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi? 2. Bagaimana pengaruh metode penyadaran terhadap meningkatnya minat baca pada warga belajar keaksaraan fungsional di PKBM se-Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi? 3. Bagaimana keunggulan dan kelemahan metode penyadaran dalam meningkatkan minat baca warga belajar keaksaraan fungsional di PKBM seKecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi?
B. Kajian Pustaka Landasan teori dapat digunakan sebagai alat dalam melakukan analisis penelitian. Adapun teori yang melandasi dalam penelitian ini adalah : 1. Konsep Keaksaraan Fungsional Salah satu permasalahan dalam pendidikan di Indonesia adalah masalah kebutaaksaraan penduduk. Hal ini sangat berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tidaklah heran, jika hal tersebut dijadikan sebagai salah satu aspek penentu tingkat pembangunan suatu bangsa. Berikut ini beberapa istilah konsep yang berkaitan dengan keaksaraan, di antaranya : a. Buta aksara murni adalah penduduk yang sama sekali tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan sistem aksara apapun juga. b. Buta aksara dalam konteks Indonesia didefinisikan sebagai buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar. c. Buta aksara fungsional adalah penduduk yang belum dapat memecahkan masalah keaksaraan yang ditemui atau belum dapat memfungsikan keaksaraannya dalam kehidupan sehari–hari. d. Melek aksara ditafsirkan sebagai melek aksara latin dan angka arab, melek bahasa Indonesia, dan melek pengetahuan dasar. e. Melek aksara fungsional adalah penduduk yang memiliki kemampuankemampuan tersebut sehingga dapat memfungsikan kecakapannya untuk memecahkan masalah keaksaraan yang ditemui dalam kehidupan seharihari dan dapat meningkatkan taraf hidupnya. f. Keaksaraan fungsional terdiri atas dua konsep yakni “keaksaraan” dan “fungsional”. Keaksaraan (literacy) secara sederhana diartikan sebagai
69
kemampuan membaca dan menulis. Keaksaraan diartikan secara luas adalah sebagai pengetahuan dasar dan keterampilan yang diperlukan oleh semua warga negara dan salah satu fondasi bagi penguasaan kecakapankecakapan hidup lainnya. Terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan berkaitan erat dengan fungsi dan atau tujuan dilakukannya pembelajaran di dalam program pendidikan keaksaraan serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar–benar “bermakna bermanfaat” atau fungsional bagi “peningkatan mutu dan taraf hidup” warga belajar dan masyarakatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan keaksaraan fungsional adalah layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah terhadap warga negara Indonesia dalam mengentaskan buta aksara. Secara sederhana diartikan sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhitung dengan pendekatan keterampilan fungsional yang dimiliki oleh warga belajar. 2. Metode Penyadaran Metode ini secara ekstensif digunakan karena dapat memberikan suatu hubungan yang jelas antara prinsip-prinsip filosofis dan pelaksanaan pendidikan. Filosofi pendidikan dan metode Paulo Freire muncul dalam keadaan sejarah yang pasti. Filosofi dan metode Freire bertujuan untuk membuat masyarakat yang tertindas melek huruf dan mengetahui tentang politik. Paulo Freire (1973), konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas dan menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik serta merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan menjadi problem solver, tidak menjadi part of problem. Penggunaan metode ini sangat berguna karena metode Freire mempunyai implikasi pada berbagai tipe pendidikan untuk orang dewasa, salah satunya pendidikan kemampuan baca tulis. Berikut ini langkah-langkah metode penyadaran dalam penyelenggaraan kemampuan baca tulis. 1. Fase Pertama Sosialisasi Kemampuan Baca Tulis a. Tahapan ke-1: Kajian Konteks Sebuah tim interdisipliner menelaah konteks di mana orang-orang hidup agar dapat menentukan perbendaharaan kata dan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat dalam area tersebut. Pada tahapan ini, diperlukan partisipasi penuh dari masyarakat. Pemikiran, aspirasi, dan masalah-masalah yang ada didiskusikan dalam percakapan70
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
percakapan informal. Tim ini senantiasa mencatat atau merekam katakata dan bahasa masyarakat. Karena metode Freire sangatlah bersifat kontekstual, ia mengembangkan daftar-daftar kata serta permasalahan yang berbeda untuk orang perkotaan dan orang pedesaan. b. Tahapan ke-2: Pemilihan Kata-Kata dari Perbendaharaan Kata Yang Ditemukan Dari kata-kata yang ada dalam masyarakat, tim kemudian memilih katakata yang paling eksis dan mempunyai arti yang relevan untuk masyarakat. Freire tidak hanya tertarik pada ucapan-ucapan biasa, melainkan juga pada kata-kata yang mempunyai muatan emosional di dalamnya. Freire menyebut kata-kata semacam ini “generatif ’ karena kekuatan kata-kata ini dalam membuat kata-kata lain untuk warga belajar. c. Tahapan ke-3: Proses Pelatihan Kemampuan Baca Tulis 1) Sesi Motivasi. 2) Pengembangan Materi Pengajaran. 3) Pelatihan Kemampuan Baca Tulis (Dekodifikasi). 2. Fase Kedua: Sosialisasi Pasca Kemampuan Baca Tulis a. Tahapan ke-1: Investigasi Tema b. Tahapan ke-2: Kodifikasi Tema c. Tahapan ke-3: Pendidikan Pasca Kemampuan Baca Tulis 3. Konsep Minat Baca Minat menurut bahasa (etimologi) adalah usaha dan kemauan untuk mempelajari (learning) dan mencari sesuatu sedangkan secara terminologi, minat adalah keinginan, kesukaan, dan kemauan terhadap sesuatu hal. Selanjutnya, Andi Maprare (1988: 62) mengatakan bahwa pengertian minat adalah suatu perangkat mental yang terdiri atas suatu campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut atau kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada suatu pikiran tertentu. Sifat dari minat itu sendiri adalah bersifat perseorangan, artinya minat tidak biasa digeneralisisasi berdasarkan kesamaan, tetapi dapat dirasakan oleh masingmasing individu yang mendapatkan sesuatu dari apa yang ia kerjakan. Dogless dalam Cox (1988) memberikan definisi membaca sebagai suatu proses penciptaan makna terhadap segala sesuatu yang ada dalam lingkungan tempat membaca mengembangkan suatu kesadaran. Lilawati (1988) mengartikan minat baca sebagai suatu perhatian yang kuat dan 71
mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan seseorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca, dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh seseorang. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian minat baca adalah suatu proses pengembangan dalam mencampurkan seluruh kemampuan yang ada untuk mengarahkan individu ke suatu pikiran tertentu dengan cara mambaca. Minat baca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antusias dan keinginan warga belajar pada program pendidikan keaksaraan di PKBM se-Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi dalam kegiatan membaca. 4. Konsep Pendidikan Orang Dewasa Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: “aner”, dengan akar kata “andr”, yang berarti orang dewasa, dan “agogus” yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah “pedagogi”, yang ditarik dari kata “paid” artinya anak dan “agogus” artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah “pedagogi” berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa dan seharusnya bersifat andragogis, tetapi dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini, prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan orang dewasa. Dengan demikian, istilah andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).
72
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
C. Metode Kajian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif untuk menganalisis dan menggambarkan atau menjelaskan metode penyadaran dan minat baca. Dengan metode kuantitatif, peneliti mencoba untuk menguji besarnya pengaruh metode penyadaran terhadap minat baca warga belajar keaksaraan dengan menggunakan statistik deskriptif.
D. Hasil Dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Objek Penelitian Jumlah PKBM yang berada di kecamatan Cimahi Selatan yang melaksanakan langkah-langkah metode penyadaran dalam program keaksaraan fungsional berjumlah lima PKBM di antaranya: 1) PKBM Munggaran, 2) PKBM Mitra Mandiri, 3) PKBM Darul Pikri, 4) PKBM Atajdid, 5) PKBM Asy-Syifa. Secara keselurahan, lembaga PKBM yang berada di Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, sudah mempunyai profil lembaga, visi dan misi, tujuan, struktur kepengurusan, program yang dijalankan, serta legalitas hukum yang benar-benar diakui dan dirasakan oleh masyarakat di kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Keseluruhan warga belajar keaksaran fungsional yang menjadi sampel dalam penelitian berjumlah 60 orang yang keseluruhannya adalah perempuan dan rata-rata berusia antara 45 tahun sampai dengan 60 tahun yang tersebar di lima PKBM Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Umumnya, pekerjaan sehari-hari warga belajar keaksaraan adalah sebagai ibu rumah tangga, buruh lepas, dan pedagang. 2. Hasil Penelitian a. Deskripsi Metode Penyadaran Paulo Freire (1973) menyatakan, proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik, serta merekonstruksikan penyelesaian problem masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem. Adapun indikator dari metode penyadaran adalah sebagai berikut: 1) Kampanye kemampuan baca tulis; 2) Kampanye pascakemampuan baca tulis. Berdasarkan hasil pengamatan catatan lapangan, hasil wawancara pengelola, serta hasil wawancara tutor, berikut adalah gambar langkahlangkah pelaksanaan metode penyadaran dalam meningkatkan minat baca warga belajar keaksaraan. 73
b. Deskripsi Minat Baca Dari beberapa uraian, definisi, dan pendapat para ahli maka dapat diklasifikasikan beberapa indikator untuk mengukur minat baca warga belajar sebagai berikut :1) Perasaan dan emosi: Suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan seseorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Warga belajar keaksaraan dalam membaca, 2). Kesadaran akan manfaat membaca: Warga belajar sadar akan manfaat dari membaca di antaranya menambah ilmu dan wawasan warga belajar.3). Usaha yang dilakukan: Warga belajar mencari bahan bacaan yaitu dengan cara membeli dan meminjam bahan bacaan dari taman bacaaan masyarakat atau perpustakaan.4) Frekuensi membaca : Waktu yang dibutuhkan warga belajar untuk menyelesaikan bahan bacaan serta frekuensi membaca bahan bacaan. Berdasarkan pengamatan peneliti, ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya minat baca pada program keaksaraan yang berada di PKBM sekecamatan Cimahi Selatan kota Cimahi diantaranya: a. Masih terlalu banyak jenis hiburan dan tayangan TV yang tidak mendidik, bahkan kebanyakan acara-acara yang ditayangkan lebih banyak yang mengalihkan perhatian untuk membaca buku kepada halhal yang bersifat negatif. b. Kebiasaan masyarakat terdahulu yang turun temurun dan sudah mendarah daging, masyarakat sudah terbiasa dengan cara mendongeng, bercerita yang sampai saat sekarang masih berkembang di masyarakat, sedikitnya kebiasaan menulis sebagai salah satu pembiasaan membaca warga belajar. c. Masih adanya kesenjangan penyebaran buku di perkotaan dan pedesaan. d. Rendahnya dukungan dari lingkungan keluarga, yang kesehariannya hanya disibukkan oleh kegiatan-kegiatan keluarga yang tidak menyentuh aspek-aspek penumbuhan minat baca pada keluarga. e. Minimnya sarana untuk memperoleh bahan bacaan seperti perpustakaan atau Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Sebagai upaya untuk mengembangkan minat baca warga belajar, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain : 1) tutor berupaya merekomendasikan bahan-bahan bacaan yang harus dibaca oleh warga belajar yang dikaitkan dengan tugas-tugas pembelajaran. 74
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
2) tersedianya sarana sumber informasi/ perpustakaan/ taman bacaan masyarakat/pusat dokumentasi dan informasi yang memadai, mudah terjangkau dan representatif, 3) pemerataan akses informasi dengan dikembangkannya taman bacaan masyarakat ke tingkat Desa, 4) menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat tentang betapa pentingnya kebiasaan membaca Analisis Pengaruh Metode Penyadaran Terhadap Minat Baca Warga Belajar Keaksaraan Deskripsi variabel dalam statistik deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nilai minimum, maksimum, mean, dan standar deviasi dari variabel dependen yaitu metode penyadaran dan variabel independen yaitu minat baca. Statistik deskriptif selengkapnya dalam penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1 Analisis Hasil Statistik Deskriptif
N
Metode Minat Valid N (listwise)
Minimum Maximum
Statistic 60 60 60
Statistic 50.00 42.00
Statistic 89.00 88.00
Sum
Mean
Statistic Statistic Std. Error 4054.00 67.5667 .96795 3930.00 65.5000 1.35453
Std. Deviation Statistic 7.49772 10.49213
Sumber :Hasil hitungan SPSS versi 17
a. Deskripsi Metode Penyadaran Dari tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa skor terendah (minimum) sebesar 50 dan skor jawaban tertinggi (maksimum) sebesar 89. Rata-rata skor jawaban dari variabel tersebut adalah 67,56 dan standar deviasi 7,49 sehingga standar deviasi lebih kecil dari nilai rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa sebaran data akan persepsi responden terhadap metode penyadaran (X) pada program pendidikan keaksaraan fungsional baik. Dari hasil perhitungan daerah kontinum secara lebih jelas dapat divisualisasikan ada tabel berikut : Tabel 4.2 Daerah Kontinum Variabel X
Rendah
1.200-2.800
Sedang
2.800-4.400
Tinggi
4.400-6.000 75
Dari pengolahan dan analisis data diperoleh skor faktual metode penyadaran sebesar 4.054. Jika dipersentasikan dengan skor kriterium diperoleh sebesar 67,56%. Setelah di konsultasikan tehadap daerah kontinum terlihat bahwa skor responden termasuk kategori sedang. Kategori ini mengandung arti bahwa penerapan metode penyadaran dalam program pendidikan keaksaraan fungsional menurut warga belajar keaksaraan pada lembaga PKBM di Kecamatan cimahi selatan, Kota cimahi, baik. Tanggapan responden dari perhitungan diperoleh rata-rata skor dari variabel metode penyadaran sebesar 204.9. Jadi kecenderungan tanggapan responden terhadap metode penyadaran jika dilihat angka secara kuantitaif sebesar 68.32%. Jika dikonsultasikan dengan skor kriterium berada pada kategori sedang. b. Deskripsi Minat Baca Dari tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa skor terendah (minimum) sebesar 42 dan skor jawaban tertinggi (maksimum) sebesar 88. Ratarata skor jawaban dari variabel tersebut adalah 65,50 dan standar deviasi 10,49 sehingga standar deviasi lebih kecil dari nilai ratarata. Hal ini mengindikasikan bahwa sebaran data akan persepsi responden terhadap minat baca (Y) pada program pendidikan keaksaraan fungsional baik. Kelebihan dan Kelemahan Langkah-Langkah Metode Penyadaran Terhadap Minat Baca Warga Belajar Keaksaraan. Tabel 4.3 Kelebihan dan Kelemahan Langkah-Langkah Metode Penyadaran
No Kelebihan Kelemahan 1 Metode penyadaran mampu membangkit- Metode penyadaran membutuhkan kan minat membaca melalui pendekatan pendekatan personal yang lebih intensif, personal warga belajar yang lebih intensif. tentunya dalam hal ini membutuhkan waktu yang banyak untuk warga belajar yang banyak 2 Tenaga pendidik berasal dari lingkungan Sulitnya mencari calon pendidik yang bersedia terdekat warga belajar, yang lebih menge- dan mampu menjadi figur bagi warga belajar. nal karakteristik lingkungan dan personal warga belajar. 3 Penjabaran kurikulum diperoleh dari Kaya akan kebutuhan warga belajar yang lingkungan sosial warga belajar, kajian disusun ke dalam kurikulum, sehingga agama, politik, kesehatan, ekonomi dan diperlukan kecermatan tutor dalam hal yang lebih dekat dengan lingkungan mengklasifikasikan tema. warga belajar, yang disusun ke dalam tema besar materi pembelajaran 76
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
4
5 6 7
8
9
Berbasis sumber daya lokal dan lokal wisdom (kearifan lokal)
Kurang tepat dilaksanakan pada sasaran buta aksara yang terpencar dan tersebar oleh geografis dan sasaran buta aksara kurang dari 3 (tiga) kelompok Pembelajaran dapat dilaksanakan di mana Minimnya sarana pembelajaran, hanya saja mengoptimalkan lingkungan yang ada Orientasi penilaian terhadap nilai Lemahnya instrumen pengawasan individu kemandirian dan nilai individu. Lingkungan warga belajar yang heterogen, Evaluasi pembelajaran diperoleh dari membutuhkan waktu untuk mengkajinya hasil pengamatan lingkungan warga belajar yang dianggap sebagai lingkungan dalam evaluasi pembelajaran terdekat warga belajar sehingga akan membantu dalam memecahkan permasalahan hidup warga belajar Lembaga desa/kelurahan tidak semuanya Meningkatkan kapasitas lembaga desa/ kelurahan dalam melaksanakan program memiliki prinsip yang sama, terutama dalam penuntasan buta aksara dan pelembagaan mendukung gerakan tuntas buta aksara budaya beraksara secara berkelanjutan Menjamin adanya keberlanjutan Keberlanjutan program tidak saja didukung pelestarian dan fungsionalisasi oleh kemandirian warga belajar, namun pascapencapaian keaksaraan, karena juga didukung pula oleh peranan seluruh komponen masyarakat diperkuat dengan taman bacaan masyarakat karena pengaruh kemandirian dan inisiatif warga belajar pada saat proses pembelajaran.
Sumber: Analisis peneliti
E. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada warga belajar, tutor dan pengelola dianggap punya kontribusi dalam program keaksaraan fungsional maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Deskripsi langkah-langkah metode penyadaran terhadap minat baca peserta didik keaksaraan pada fase satu yakni kampanye kemampuan baca tulis terdiri atas penjajakan di lapangan terhadap warga belajar (tahap satu) tim tutor melaksanakan langkah-langkah metode penyadaran diawali dengan tim tutor berdiskusi menentukan permasalahan-permasalahan umum yang berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari karena sebagian responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hasil diskusi dari tim tutor akan dijadikan sebagai kebutuhan belajar warga belajar keaksaraan. Hasil diskusi tersebut di antaranya permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, keluarga, serta daya beli warga belajar keaksaraan. Selanjutnya tim 77
tutor menyeleksi dan memilih kata-kata yang berkaitan dengan eksistensi berdasarkan makna yang berhubungan dengan peserta didik di antaranya tim tutor bersama-sama menyusun tema pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan warga belajar, menyusun kata-kata secara bersama-sama ke dalam bahasa sehari-hari warga belajar, dan bersama-sama mempelajari huruf dan bunyi yang sederhana sampai dengan yang sulit (tahap dua). Dilanjutkan dengan proses aktual tentang tutor, diantaranya yaitu motivasi warga belajar, mengembangkan bahan-bahan pengajaran, mengembangkan kata-kata dan gambar. Pada fase dua yakni kampanye pasca kemampuan baca tulis terdiri atas: tahap I Investigasi Tema, tahap II Kodifikasi Tema dan tahap III Pendidikan Pasca Kemampuan Baca Tulis. 2. 2. Pengaruh metode penyadaran terhadap meningkatnya minat baca peserta didik keaksaraan berdasarkan uji regresi diperoleh persamaan regresi yaitu persamaan ini menunjukan bahwa setiap kenaikan satu unit pada metode penyadaran, maka akan terjadi peningkatan terhadap minat baca warga belajar keaksaraan sebesar 0,489. Sedangkan koefisien determinasi yang menunjukan berapa besar sumbangan atau kontribusi variabel metode penyadaran terhadap variabel minat baca warga belajar keaksaraan diperoleh sebesar 47%. Hal ini menunjukan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi minat baca warga belajar keaksaraan yaitu sebesar 53% yang dalam hal ini tidak diteliti oleh peneliti. Setelah dilakukan uji signifikansi, perhitungan koefisien F diperoleh Fhitung sebesar 18,20 sedangkan Ftabel sebesar 4,00, artinya Fhitung > Ftabel yaitu 18,20 > 4,00, maka Ho yang menyatakan tidak ada pengaruhnya ditolak dan Ha yang menyatakan ada pengaruh diterima. dengan demikian hipotesis yang yang diajukan peneliti dapat diterima. 3. Kelebihan dan Kelemahan Metode Penyadaran Terhadap Minat Baca Warga Belajar Keaksaraaan Dari hasil deskripsi langkah-langkah metode penyadaran terhadap minta baca warga belajar keaksaraan maka di bawah ini peneliti membuat kelebihan dan kelemahan dari langkah-langkah metode penyadaran yaitu sebagai berikut: a. Kelebihan dari metode penyadaran sebagai berikut : 1) Metode penyadaran mampu membangkitkan minat membaca melalui pendekatan personal warga belajar yang lebih intensif. 2) Tenaga pendidik berasal dari lingkungan terdekat warga belajar, yang lebih mengenal karakteristik lingkungan dan personal warga belajar. 78
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
3) Penjabaran kurikulum diperoleh dari lingkungan sosial warga belajar, kajian agama, politik, kesehatan, ekonomi, dan hal yang lebih dekat dengan lingkungan warga belajar, yang disusun ke dalam tema besar materi pembelajaran. 4) Berbasis sumberdaya lokal dan lokal wisdom (kearifan local) 5) Penggunaan metode “belajar lewat pengalaman” sehingga kosakata berasal dari warga belajar 6) Pembelajaran dapat dilaksanakan di mana saja 7) Orientasi penilaian terhadap nilai kemandirian dan nilai individu. b. Kelemahan dari metode penyadaran sebagai berikut : 1) Metode penyadaran membutuhkan pendekatan personal yang lebih intensif, tentunya dalam hal ini membutuhkan waktu yang banyak untuk warga belajar yang banyak. 2) Kaya akan kebutuhan warga belajar yang disusun ke dalam kurikulum, sehingga diperlukan kecermatan tutor dalam mengklasifikasikan tema. 3) Kurang tepat dilaksanakan pada sasaran buta aksara yang terpencar dan tersebar karena geografis dan sasaran buta aksara kurang dari 3 (tiga) kelompok 4) Lebih banyak berdiskusi/komunikasi dari pada kegiatan menulis dan berhitung. 5) Minimnya kontroling tutor (tatap muka) sehingga perkembangan warga belajar tidak teramati langsung. 6) Minimnya sarana pembelajaran yang hanya mengoptimalkan lingkungan yang ada 7) Lemahnya instrumen pengawasan individu
79
DAFTAR PUSTAKA Abdulhak,I., (2000), Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa, Bandung : Andira. Admuddipura, E dan Atmaja,SB. (1986). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : Karunika. Anwar, (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup, Bandung : Alfabeta Arikunto, S. (1998), Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Baderi, Athaillah (2003),Gerakan Nasional Membaca ; Suatu Pemikiran Ke Arah Akuntabilitas Pemerintah, Jakarta : Perpustakaan Nasional. RI Bambang dan Lina. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan aplikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Coombs, P.H and Manzoor, Ahmed (1978). Attacking Rural Goverty How Non Formal Education Can Help. Baltimore : The John Hopkins Press. Delly, H.Dadang (2005) Strategi Dinas Pendidikan, Dalam Meningkatkan Budaya Baca Masyarakat, Bandung : Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Jawa Barat. Jalal, Fasli., (2005), Pendidikan Keaksaraan : Filosofi, Strategi, dan Implementasi, Jakarta:Dirjen PLS Direktorat Pendidikan Masyarakat Knowles, Malcolm (1970). The Adult Learner, A Neglected. Kusnadi. (2005). Pendidikan Keaksaraan, Filosofi, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Dirjen PLS, Depdiknas.
80
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
METODE PEMBELAJARAN MEMBUAT KOMIK DALAM UPAYA PENINGKATAN BUDAYA LITERASI DI PKBM MELATI INDONESIA Oleh : Fauzan Effendi, S,Pd.I Tutor LBB Melati Indonesia, Sidoarjo.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan, pertama untuk mendeskripsikan keefektifan metode pembelajaran membuat komik dalam meningkatkan budaya membaca peserta didik PKBM Melati Indonesia, kedua untuk melakukan analisa kendala-kendala yang di alami dalam pelaksanaan metode pembelajaran membuat komik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dikarenakan dilakukan pada latar yang alamiah dengan kontek suatu keutuhan. Manusia sebagai alat, bersifat deskriptif yang menggambarkan situasi dan pandangan dunia secara deskriptif dengan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, diagram bukan angka, serta lebih mementingkan proses dari pada hasil. sifat penelitian ini ada tiga teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini seperti apa yang disampaikan oleh Bogdan dan Biklen yaitu, (1) wawancara mendalam (in depth interview); (2) observasi partisipan (participant observation); dan (3) Studi dokumentasi. Hasil Peneltian ini menunjukkan bahwa, Metode yang diajarkan ke peserta didik terlihat ada peningkatan dalam budaya literasi di PKBM Melati Indonesia dan bahkan menghasilkan karya yang sudah diakui oleh masyarakat sekitar. Dari temuan tersebut artinya bahwa metode tersebut cukup efektif sekaligus metode ini bisa menambah atau melengkapi metode-metode pembelajaran yang sudah ada sebelumnya. Metode pembelajaran ini perlu penyempurnaan dan penggunaan di tempat lain yang mungkin bisa jadi ada dinamika lain dalam penerapan metode tersebut. Masih adanya kendalakendala dalam penerapannya, khususnya ketika dipakai dalam matapelajaran tertentu contohnya matematika yang berisi angka-angka. Kata kunci: Metode Pembelajaran, Komik, Budaya Literasi 81
A. Pendahuluan Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara Indonesia yang telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” sebagai upaya untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang merata untuk warga Negara maka perlu adanya keterliabtan seluruh elemen masyarakat Indonesia bukan hanya pemerintah. Dalam Sisdiknas pemerintah memberikan kewenangan masyarakat untuk bisa melaksanakan proses belajar mengajar tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003) pasal 13 ayat 1 menegaskan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling mengganti dan memperkaya. Berdasarkan definisi pasal tersebut pendidikan formal merupakan jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan diluar formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Depdiknas 2003). Dalam pendidikan dikenal life long education yang kemudian di Indonesia bisa di artikan dalam dimensi yang sangat luas, seperti banyak model pendidikan di masyarakat, mulai model lama dengan konsep pengajian di musolah-musolah, pondok pesantren, Madin (Madrasah Diniyah) kegiatan les atau LBB di rumahrumah hingga sampai sekarang bermunculan model pembelajaran homeschooling, pembelajaran on-line dan lain-lain. Semakin pesatnya kemajuan model pembelajaran tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi. Namun semakin pesatnya teknologi informasi tidak diimbangi oleh budaya literasi masyarakat, kegiatan copy paste sana sini dan plagiasi menjadi hal lumrah di dunia pendidikan dan akademik sehingga semakin membuat peserta didik malas untuk membaca. Karena sejatinya ilmu itu akan mudah kita dapatkan jika kita banyak membaca dan menulis. Dalam data PISA menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia berada pada peringkat ke 64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) dari sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2012 (OECD,2014). Melihat realita tersebut, perlu adanya sebuah cara belajar untuk bisa meningkatkan budaya literasi kepada peserta didik. Keberhasilan proses belajar sendiri dapat ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku atau kebiasaan menuju yang lebih baik. Muhibin Syah dalam Elis Mediawati (2011:68) mendefinisikan belajar sebagai tahap perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif, dan 82
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh tiga aspek utama peserta didik, pendidik dan sumber belajar. Namun saat ini yang masih sering menjadi masalah adalah tidak adanya keselarasan dari ketiga aspek dalam proses pembelajaran tersebut. Beberapa bentuk ketidak selarasan adalah variabelisme, salah tafsir, perhatian tidak berpusat dan tidak terjadinya pemahaman (I Wayan Satyasa, 2007:5). Terjadinya permasalahan diatas adalah masih kurangnya kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran menjadi efektif ditambah lagi, dengan lingkungan yang mendukung peserta didik untuk bermalas-malasan membaca dan menulis dikarenakan media teknologi komunikasi yang semakin canggih. Di hampir semua sekolah formal penerapan metode pembelajaran masih menggunakan klasikal yaitu menyuruh siswa membaca kemudian menyimpulkan atau menggunakan penugasan untuk merangkum sebuah bacaan. Pemerintah melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) membuat sekolah berlomba-lomba membuat metode pembelajaran atau cara semaksimal mungkin untuk bisa meningkatkan budaya literasi di sekolah masing-masing. Tentu metode pembelajaran yang sudah lama perlu adanya inovasi untuk bisa meningkatkan budaya literasi. Hal yang menarik adalah adanya sebuah inovasi pembelajaran untuk meningkatkan budaya literasi yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan non formal yakni PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Melati Indonesia yang berada di desa Krembung memiliki inovasi dalam pembelajarannya dengan pengajaran membuat komik yang tujuannya agar peserta didik suka dengan budaya literasi. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui keefektifan metode pembelajaran dengan membuat komik dan apakah kendala-kendala yang di hadapi dalam melakukan pembelajaran tersebut. Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, peneliti ingin mengetahui “bagaimana metode pembelajaran membuat komik untuk meningkatkan budaya memabaca di PKBM Melati Indonesia” dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah metode pembelajaran membuat komik efektif dalam meningkatkan budaya membaca peserta didik PKBM Melati Indonesia? 2. Apa saja kendala-kendala yang dialami dalam pelaksanaan metode pembelajaran membuat komik ? Sesuai dengan judul di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah dapat dipaparkan sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan keefektifan metode pembelajaran membuat komik dalam meningkatkan budaya membaca peserta didik PKBM Melati Indonesia.
83
2. Untuk melakukan analisa kendala-kendala yang dialami dalam pelaksanaan metode pembelajaran membuat komik
B. Kajian Pustaka Teori yang mendasari penelitian dengan judul “Bagaimana metode pembelajaran membuat komik untuk meningkatkan budaya memabaca di PKBM Melati Indonesia”, adalah antara lain, meliputi teori tentang : 1. Metode Pembelajaran Metode Pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pembelajaran yang digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individual ataupun berkelompok, agar tujuan pembelajaran yang direncanakan tercapai (Ahmad Sabri, 2011: 52). Seorang guru harus mengetahui beberapa metode sesuai dengan situasi dan kondisi. Penggunaan metode mengajar sangat bergantung pada tujuan pembelajaran 2. Komik Menurut Nana Sujana dan Ahmad Rivai (2005:64) komik adalah sebuah bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat dihubungkan dengan gambar untuk memberikan hiburan kepada para pembacanya. Predikat menghibur dan menyenangkan telah melekat pada komik semenjak awal kemunculannya pada tahun 1980an. Komik dapat diterbitkan dalam berbagai bentuk, mulai dari strip dalam koran, atau dalam majalah, atau dalam bentuk tersendiri. Ada juga yang berpendapat, komik adalah dunia tutur kata, suatu rangkaian gambar yang bertutur menceritakan suatu kisah (Masdiono Toni, 1998:9). 3. Budaya Literasi Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) diartikan sebagai pikiran, akal budi, hasil. Membudaya bermakna menjadi kebudayaan atau menjadi kebiasaan yang wajar yang dianggap wajar. Sedangkan menurut kimbay (1975,622) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan sehingga budaya dilakukan terus menerus menjadi sebuah kepribadian. Literasi dalam (Kemendikbud, 2016) adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis dan berbicara. Adapun Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar sepanjang hayat melalui pelibatan masyarakat. 84
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
C. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dikarenakan dilakukan pada latar yang alamiah dengan kontek suatu keutuhan. Manusia sebagai alat, bersifat deskriptif yang menggambarkan situasi dan pandangan dunia secara deskriptif dengan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, diagram bukan angka, serta lebih mementingkan proses daripada hasil. Dalam analisisnya cenderung melakukan secara induktif, adanya batas yang ditentukan oleh fokus dan adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (Lexy Moleong, 2011:8-3). Penelitian ini termasuk tipe studi kasus analisa situasional, karena peneliti melakukan pengamatan secara langsung dan mendalam di peroses pembalajaran sebuah lembaga non formal terkait dilakukannya metode pembelajaran dengan keefektifannya. 2. Tempat dan Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada suatu lembaga pendidikan non formal yaitu PKBM Melati Indonesia yang beralamat di Desa Keret Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo. Alasan peneliti mengambil penelitian tersebut adalah karena peneliti melihat PKBM ini termasuk baru dalam 2 tahun tapi sudah mengalami perkembangan cukup pesat salah satunya hampir semua dibuka program kejar paket A, B dan C, selain itu PKBM ini juga membuka kelas Homeschooling yang mempunyai murid dari bebagai latar belakang yang berbeda-beda. PKBM Melati Indonesia juga memiliki TBM (Taman Bacaan Masyarakat), dan yang menjadi fokus peneliti sesuai dengan penelitian adalah karena memiliki metode pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan budaya literasi peserta didik selain lembaga tersebut yang memang sudah memiliki TBM. 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Sesuai dengan sifat penelitian ini ada tiga teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini seperti apa yang disampaikan oleh Bogdan dan Biklen yaitu, (1) wawancara mendalam (in depth interview); (2) observasi partisipan (participant observation); dan (3) studi dokumentasi (study documents) (Bogdan dan Biklen,2011:119). Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis data yang telah diperoleh. Dalam menganalisis data ini peneliti menggunakan model Miles and Huberman dengan menggunakan 3 cara yakni pertama, reduksi data di sini
85
peneliti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting sesuai dengan masalah penelitian. Kedua, display data dengan membuat uraian singkat, bagan, model, tipologi atau hubungan antara katagori yang bersifat naratif, sehingga keseluruhan data dan bagian-bagian detailnya dapat dipetakan dengan jelas. Ketiga, adalah menyimpulkan dan verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat sementara dan akan berubah bila kemudian ditemukan buktibukti yang kuat yang mengharuskan adanya perubahan kesimpulan.
D. Hasil Dan Pembahasan 1. Profil Wilayah Penelitian Secara geografis PKBM Melati Indonesia terletak di desa Keret, Kecamatan Kerembung kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Desa ini merupakan desa yang penduduknya mayoritas petani dan memiliki pendidikan yang tidak sampai tinggi. Kurang lebih dua tahun lalu berdiri PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk memberikan pendidikan non formal bagi masyarakat sekitar, akan tetapi hampir semua usia melakukan pendidikan di tempat tersebut. PKBM yang memiliki ijin oprasional dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan Nomor SK 421.9/527/404.3.1/2015 dan memiliki Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN) P9934573 yang didirikan pada tanggal 5 Mei 2014 ini dipimpin ketua yayasan atau kepala PKBM bernama Jainul Arifin, SE yang berusia muda 26 tahun. PKBM yang mempunyai program kejar paket A, B dan C ini mempunyai banyak metode pembelajaran dalam membuat peserta didiknya nyaman belajar. Ada pelatihan membuat sablon bagi orang-orang tua, ada pelatihan komputer, kemudian ekstrakurikuler fotografi dan yang terbaru ekstrakurikuler robotika. Dalam proses belajar mengajar peserta didik tidak diajarkan hanya pembelajaran di kelas tetapi juga pembelajaran di luar ruangan kelas seperti out bond, berenang, dan observasi ke tempattempat bersejarah. Dari program dan metode pembelajaran yang bervariasi menunjukkan bahwa PKBM tersebut sudah mempunyai inovasi di dalamnya, maka sesuai dengan visi dan misi PKBM Melati Indonesia menjadi PKBM unggul ditingkat nasional (Brosur Melati Indonesia). 2. Efektifitas Metode Pembelajaran Membuat Komik Dalam Meningkatkan Budaya Membaca Peserta Didik. Dari data yang diperoleh peneliti di lapangan baik melalui observasi, interview, maupun dokumen yang terkait metode pembelajaran membuat 86
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
komik ini mempunyai beberapa tujuan, yang pertama diharapkan peserta didik memiliki kemampuan dalam menyimpulkan atau menganalisis sebuah bacaan. Kedua dengan membiasakan membaca terlebih dahulu sebelum dituangkan ke komik, agar peserta didik memiliki ketertarikan membaca dengan menuangkan kesimpulan membaca dalam bentuk gambar, sehingga kegiatan membaca menjadi menarik dan tidak membosankan. Ketiga dengan adanya pembelajaran dengan metode tersebut peserta didik diharapkan akan mempunyai karya berupa komik. Teknik dan cara metode pembelajaran membuat komik ini adalah yaitu pertama, peserta didik diajak untuk membaca sebuah cerita atau sebuah tulisan deskriptif sampai selesai. Untuk panjang tulisan tidak terlalu banyak maksimal 5 halaman sebagai contohnya adalah membaca tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, maka dalam tema itu peserta didik disuruh membaca. Langkah kedua setelah peserta membaca maka peserta diwajibkan mendeskripsikan atau menyimpulkan bacaan dalam bentuk gambar berupa komik atau gambar bertuliskan kata-kata sesuai imajinasi peserta didik. Peserta didik tidak dibatasi tentang model gambar, bentuk atau model gambar terserah kreasi dan imajinasi peserta didik. Ketiga adalah pengumpulan tugas komik terserah berapa lembar dan ditanyakan atau dipresentasikan hasil gambar komik yang telah dibuat. Waktu pengerjaan tidak dalam satu pertemuan saja, baru nanti setelah 2 atau 3 pertemuan, hasil komik peserta didik akan dikumpulkan. Dari metode yang disampaikan di atas bisa disimpulkan bahwa beberapa keunggulan dari yang sudah mereka pelajari yaitu: pertama, peserta didik tidak merasa bosan dengan cara pembelajaran literasi yang selama ini diajarkan dengan cara merangkum atau hanya sekedar membaca di perpustakaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat), kedua peserta didik secara tidak langsung sudah memiliki karya dengan hasil menggambar komik selama mengikuti metode pembelajaran ini, bahkan peserta didik PKBM Melati Indonesia sudah menerbitkan komik yang di pesan oleh Kepala Desa Porong sebagai media edukasi kepada warga. Ketiga adalah peserta didik lebih mudah memahami isi bacaan karena mencoba berimajinasi dengan bacaan dan lebih memahami manfaat membaca. 3. Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan Metode Pembelajaran Membuat Komik Dalam proses pembelajaran membuat komik memiliki beberapa kendala yang dalam pelaksananya yaitu adanya keterbatasan metode pembelajaraan
87
ini digunakan dalam beberapa mata pelajaran seperti dalam pembelajaran matematika, karena dalam pembelajaran matematika mengunakan angkaangka yang tidak bisa dideskripsikan dalam sebuah cerita. Kendala berikutnya adalah ketika berhadapan terhadap peserta didik yang minder dengan hasil gambarnya, karena adanya alasan malu gambarnya jelek atau tidak bisa gambar. Pelaksanaan metode pembelajaran ini tidak mewajibkan bagi peserta didik yang bisa menggambar saja, apapun hasil gambarnya akan diapresiasi, karena gambarannya yang ditampilkan adalah, dinilai dari imajinasi atau mendeskripsikan sebuah bacaan bukan bagus atau jeleknya hasil gambar dari peserta didik. Dari beberapa kendala dalam metode tersebut perlu adanya pengembangan dan penyempurnaan metode pembelajaran literasi yang semakin baik. Setiap bulan PKBM Melati Indonesia melakukan evaluasi untuk memperbaiki pengajaran khususnya, sehingga program TBM yang identik dalam pendidikan non formal akan bisa digunakan dengan maksimal oleh masyarakat.
E. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran membuat komik untuk meningkatkan budaya literasi pada peserta didik pendidikan orang dewasa, menghasilkan pembelajaran dan peningkatan kemampuan yang efektif, sebagai berikut berikut : 1. Metode yang diajarkan ke peserta didik terlihat ada peningkatan dalam budaya literasi di PKBM Melati Indonesia dan bahkan menghasilkan karya yang sudah diakui oleh masyarakat sekitar. Dari temuan tersebut artinya bahwa metode tersebut cukup efektif. Disamping metode ini bisa menambah atau melengkapi metode-metode pembelajaran yang sudah ada sebelumnya. 2. Metode pembelajaran ini perlu penyempurnaan dan penggunaan di tempat lain yang mungkin bisa jadi ada dinamika lain dalam penerapan metode tersebut. Artinya, kondisi dan konteks perlu dipertimbangkan sebagai bahan masukan. 3. Masih adanya kendala-kendala dalam penerapannya, khususnya ketika dipakai dalam mata pelajaran tertentu, contohnya matematika yang berisi angka-angka.
88
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem . .. Pendidikan Nasional . Jakarta. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,1989) I Wayan Satyasa, (2007) Model-model Pembelajaran Inovatif. Makalah disajikan dalam pelatihan PTK . .. . bagi guru nusa Penida. Http//digilib.unesa. ac.id//. Diakses pada 15 Maret 2017 Pukul 07.30 Kemendikbud. Desain Induk Gerakan Literasi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan . . . .. . . Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2006) Kimbley, Gregory A., 1975. “Habit”. Encyclopedia American Lexy Moleng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) OECD. (2014). PISA 2012 Result in Focus. Program for International Student Masdino Toni. 14 Jurus Membuat Komik, (Jakarta: Creativ Media, 1998) Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar, (Yogyakarta : Diva Press, 2011) Syah, Muhibin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya .. .. .. Offset, 2010) Sudjana Nana dan Ahmad Rifai. Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005)
89
ARTIKEL
PENYELENGGARAAN PROGRAM KEAKSARAAN USAHA MANDIRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI BISNIS PESERTA DIDIK Oleh : Asep Saepudin (Dosen Departemen Pendidikan Luar Sekolah Universitas Pendidikan Indonesia) dan Ahmad Ginanjar (Penggerak Pendidikan Non Formal Kabupaten Cianjur)
ABSTRAK Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) merupakan tindak lanjut dari keaksaraan dasar dalam rangka memberikan penguatan keberaksaraan agar peserta didik agar tidak kembali buta aksara setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan dasar. Untuk itu diperlukan pendekatan lain yang dapat membantu peserta didik untuk terus belajar tanpa merasa diatur dalam sebuah proses pembelajara. Salah satunya adalah belajar efektif melalui intervensi kegiatan kewirausahaan bagi peserta didik program pendidikan keaksaraan, dengan penekanan pada peningkatan keterampilan komunikasi bisnis. Tujuan program keaksaran usaha mandiri adalah untuk meningkatkan kemampuan usaha mandiri dan mengaktualisasi berbagai potensi yang dimiliki peserta didik, termasuk kemampuan komunikasi bisnis, karena keterampilan komunikasi bisnis sangat diperlukan oleh peserta didik dalam menyelenggarakan kegiatan kewirausahaan mandiri. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah mengenai pengelolaan program keaksaraan usaha mandiri dalam meningkatkan kemampuan komunikasi bisnis peserta didik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) Penyelenggaraan program keaksaraan usaha mandiri (KUM) di SKB Kabupaten Cianjur; 2) Kemampuan komunikasi bisnis peserta didik dalam program keaksaraan usaha mandiri di SKB Kabupaten Cianjur; 3) Faktor pendukung dan penghambat pada program keaksaraan usaha mandiri di SKB Kabupaten Cianjur. Responden penelitian ini adalah pengelola 90
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
1 orang, Tutor 2 orang dan peserta didik 10 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Alat pengumpul data penelitian menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil Penelitian yang diperoleh yaitu deskripsi penyelenggaraan program keaksaraan melalui kegiatan usaha mandiri telah berhasil meningkatkan kemampuan komunikasi bisnis peserta didik dalam melakukan kegiatan usaha. Kata kunci: Pendidikan Keaksaraan, Usaha Mandiri, Komunikasi Usaha, SKB
A. Pendahuluan Program keaksaraan dasar lebih dikenal dengan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional, sehingga secara terminologi (istilah) fungsional dalam keaksaraan, berkaitan erat dengan fungsi dan tujuan dilakukannya Pembelajaran di dalam program pendidikan keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar-benar “bermakna/bermanfaat” atau fungsional bagi “peningkatan mutu dan taraf hidup” peserta didik dan masyarakatnya. Tujuan dari keaksaraan fungsional diantaranya yaitu menuntaskan angka buta aksara di kalangan masyarakat Indonesia, meningkatkan pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung serta keterampilan fungsional untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selain itu, tujuan dari keaksaraan yaitu untuk menggali potensi dan sumber-sumber kehidupan yang ada di lingkungan masyarakat. Adapun pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) merupakan lanjutan dari keaksaraan dasar yang dimaksudkan untuk memberikan penguatan keberaksaraan agar peserta didik yang sudah mengikuti (pasca program) pendidikan keaksaraan dasar tidak kembali buta aksara, dengan penekanan peningkatan keterampilan atau berusaha (kewirausahaan), sehingga dapat memiliki mata pencaharian dan penghasilan dalam rangka peningkatan taraf hidupnya. Program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) merupakan kegiatan peningkatan kemampuan keberaksaraan bagi peserta didik yang telah mengikuti dan atau mencapai kompetensi keaksaraan dasar, melalui pembelajaran keterampilan usaha (kewirausahaan) yang dapat meningkatkan produktivitas peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok sehingga diharapkan dapat memiliki mata pencaharian dan penghasilan dalam rangka peningkatan taraf hidupnya. Program Keaksaran Usaha Mandiri ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan usaha mandiri dan mengaktualisasi berbagai potensi yang dimiliki peserta didik, selain 91
itu program ini juga bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan berwirausaha secara mandiri. Kemampuan berwirausaha sangat diperlukan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui kemandirian atau kemampuan berwirausaha yang dimiliki oleh masyarakat khususnya kemampuan komunikasi usaha, akan mejadikan masyarakat lebih mandiri dalam menciptakan lapangan kerja, tidak bergantung pada pemerintah maupun pihak lainnya. Dalam mewujudkan peningkatan kemampuan berwirausaha masyarakat, perlu diadakannya program pendidikan dan pemberian pengetahuan kewirausahaan kepada masyarakat, baik itu melalui program pemerintah maupun program swadaya. Upaya untuk meningkatkan kewirausahaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah terus berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan baik formal mapun non formal, salah satu kegiatan yang telah dilaksanakan adalah kegiatan Program Keaksaraan Fungsional tahap pemberantasan yang dilaksanakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di setiap wilayah. Salah satu lembaga Pendidikan Nonformal yang mengembangkan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) adalah SKB kabupaten Cianjur. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kabupaten Cianjur sebagai bagian integral dari pemerintahan daerah melakukan upaya penanggulangan pemberantasan buta aksara dan mengembangkan kewirausahaan masyarakat secara terorganisir. Tanggung jawab SKB terhadap pemberantasan buta aksara dan pengembangan kewirausahaan masyarakat ditunjukan melalui realisasi visi dari pusat kegiatan masyarakat, untuk menanggulangi permasalahan yang berhubungan dengan rendahnya tingkat kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan sehingga berdampak pada lemahnya perekonomian masyarakat. Berdasarkan data empirik di kabupaten Cianjur yang berkaitan erat dengan permasalahan masyarakat buta aksara, diketahui bahwa rendahnya perekonomian masyarakat yang banyak menimbulkan dampak tidak baik dalam keberlangsungan pembangunan pendidikan dan ekonomi, disebabkan oleh faktor ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung sebagian masyarakat (buta aksara) sehingga menyebabkan ketidak optimalan dalam mengeksploitasi potensi yang dimiliki setiap individu yang di klasifikasikan buta aksara. Mereka memiliki keterbatasan dalam dinamika sosial, teknologi dan informasi. Dalam ruang lingkup umum buta aksaraan menyebabkan ketertinggalan bangsa ini dalam mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi yang sarat dengan kompetisi, sehingga SKB Kabupaten Cianjur ini berinisiatif untuk menyelenggarakan 92
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
dan merancang program Keaksaraan Usaha Mandiri sebagai wadah untuk menyalurkan kemampuan, kreatifitas masyarakat dan menuntun masyarakat untuk berwawasan tinggi dan mandiri dalam berwirausaha. Di lingkungan Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Cianjur masih terdapat warga masyarakat yang memiliki status buta aksara dan ekonomi lemah. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk menyelenggarakan program Keaksaraan Fungsional 1 (satu) dan dilanjutkan dengan Keaksaraan Fungsional Usaha Mandiri (KUM). Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu tujuan diadakannya program keaksaraan usaha mandiri guna memberikan motivasi dan meningkatkan kemampuan berwirausaha peserta didik di lingkungan masyarakat. Dari hasil identifikasi yang telah dilaksanakan oleh pihak SKB Kabupaten Cianjur, maka terpilihlah tempat untuk pengelolaan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM), yaitu salah satunya di Kampung Pasir Jengkol I, Kabupaten Cianjur. Masyarakat di wilayah tersebut sangat berpotensi dalam pengembangan program ini, karena tingkat antusias masyarakat untuk meningkatkan kemampuan berwirausahanya sangat tinggi, dan juga didorong oleh keterampilan yang dimiliki masyarakat dapat dikembangkan. Namun pelaksanaan program keaksaraan usaha mandiri belum dikelola secara baik, sehingga membuat minimnya narasumber dalam keterampilan yang ada dimasyarakat tersebut. Secara khusus tujuan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu untuk mengetahui: (1) Mengetahui pengelolaan program keaksaraan usaha mandiri di SKB Kabupaten Cianjur, (2) Mendeskripsikan kemampuan komunikasi bisnis dalam kegiatan berwirausahaan peserta didik dalam program keaksaraan usaha mandiri di SKB Kabupaten Cianjur, dan (3) Mengetahui faktor pendukung dan penghambat pada program keaksaraan usaha mandiri di SKB Kabupaten Cianjur.
B. Kajian Pustaka Teori yang menjadi rujukan dalam penyusunan penelitian ini yaitu konsep keaksaraan usaha mandiri menurut Menurut UNESCO (dalam Babang Robandi, 2012, hlm.30) Keaksaraan merupakan kemampuan yang dicapai seseorang dalam hal membaca, menulis dan berhitung sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan konsep keaksaraan dengan kegiatan kewirausahaan, dijelaskan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat (2010) keaksaraan usaha mandiri adalah kegiatan peningkatan kemampuan keberaksaraan melalui pembelajaran keterampilan usaha yang dapat meningkatkan produktivitas perorangan maupun kelompok secara mandiri bagi peserta didik yang telah mengikuti dan/atau mencapai kompetensi keaksaraan dasar. 93
Kewirausahaan menurut Suryana (2006, hlm.2) mendefinisikan kewirausahaan (enterpreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Menurut Sudjana (2004:57) menjelaskan secara terminologis tentang pengertian pengelolaan program yaitu, “Sesuai dengan fungsi Manajemen Program, dalam pengelolaan program, terdapat beberapa tahapan kegiatan yang saling berkaitan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi.”. Adapun komunikasi usaha adalah proses menyampaikan dan menerima informasi atau pesan dalam konteks kegiatan kewirausahaan yang bertujuan untuk saling memahami feedback yang ditimbulkannya sehingga terjadi perubahan perilaku pada diri individu. Dalam bahasa lain, Komunikasi usaha disebut dengan komunikasi bisnis. Komunikasi bisnis adalah pertukaran gagasan, pendapat, informasi, instruksi yang memiliki tujuan tertentu yang disajikan secara personal atau impersonal melalui simbol - simbol atau sinyal. Dalam komunikasi bisnis terdapat enam unsur pokok, yaitu; (1) Memiliki tujuan, artinya komunikasi bisnis harus memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sejalan dengan tujuan organisasi, (2) Pertukaran, dalam hal ini melibatkan paling tidak dua orang atau lebih yakni komunikator dan komunikan, (3) Gagasan, opini, informasi, instruksi merupakan isi dari pesan yang bentuknya beragam tergantung tujuan, situasi, dan kondisinya, (4) Menggunakan saluran personal atau impersonal yang mungkin bersifat tatap muka, menggunakan media tertentu atau melalui media yang menjangkau jutaan orang secara bersamaan, (5) Meggunakan simbol atau sinyal yang merupakan alat atau metode yang dapat dimengerti atau dipahami oleh penerima untuk menyampaikan pesan, Kaitannya dengan analsis terhadap faktor pendukung dan penghambat Sudjana (2007, hlm. 259) mengungkapkan bahwa faktor pendukung dan penghambat dari suaru kegiatan atau program ini dapat diukur dengan menggunakan analis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities And Threats) atau kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan.
C. Metode Kajian Metode yang digunakan saat penelitian menggunakan metode kualitatif dan menggunakan studi deskriptif. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena memiliki pemikiran dasar bahwa pendekatan tersebut sesuai dengan fokus penelitian dalam memperoleh informasi pada objek penelitian atau gambaran mengenai pengelolaan program keaksaraan usaha mandiri dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha peserta didik di SKB kabupaten Cianjur. Menurut Zainal Arifin (2012, hlm.29) pendekatan kualitatif merupakan : Penelitian 94
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
untuk menjawab permasalahan yang memerlukan pemahaman secara mendalam dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan, dilakukan secara wajar dan alami sesuai dengan kondisi objektif di lapangan tanpa manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan terutama data kualitatif. Lokasi penelitian adalah di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kabupaten Cianjur. Pertimbangan peneliti melaksanakan penelitian di wilayah ini karena di wilayah ini masih banyak diselenggarakan program pendidikan keaksaraan bagi warga masyarakat. Umumnya program pendidikan keaksaraan bagi warga masyarakat yang berada di daerah perkampungan. Selain itu, daerah yang dijadikan lokasi penelitian secara geografis sangat efektif untuk mendapatkan data secara cepat, tepat dan akurat sehingga dapat memperoleh data yang objektif. Subjek penelitian dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, artinya subjek penelitian sebagai sumber data dipilih dengan pertimbangan tertentu. Subjek dalam penelitian ini adalah pihak yang terlibat dalam program KUM untuk meningkatkan kompetensi berwirausaha di SKB kabupaten Cianjur. Subjek penelitian disini berjumlah satu orang pengelola, dua orang tutor dan 10 orang peserta didik. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut: pertama; (1) sudi dokumentasi, yaitu metode mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, legger, agenda dan sebagainya. Arikunto (2013, hlm. 274), (2) Observasi partisipatif yaitu, keterlibatam peneliti dalam mengumpulkan data yang berkenaan dengan kegiatan melalui kegiatan keaksaraan usaha mandiri tentang bagaimana pelaksanaan, perencanaan, serta evaluasi serta dampak hasil kegiatan keaksaraan usaha mandiri SKB Kabupaten Cianjur. (3) Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya-jawab secara langsung antara peneliti dengan sumber data. (4) Triangulasi Data, yaitu mengecek sebuah kebenaran data yang diperoleh serta untuk meningkatkan pemahaman penelitian mengenai apa yang telah peneliti peroleh kemudian peneliti dapat membandingkannya baik dari sumber maupun tekniknya.
D. Hasil Dan Pembahasan 1. Pengelolaan Program Keaksaraan Usaha Mandiri di SKB Kabupaten Cianjur Dalam perencanaan program KUM perlu dilakukan Identifikasi kebutuhan belajar, identifikasi karakter peserta didik, analisis program/kurikulum pembelajaran, dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap identifikasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui kebutuhan belajar masyarakat, analisis 95
karakteristik peserta didik bertujuan untuk mengetahui apakah peserta didik program KUM sudah memiliki SUKMA atau tidak. Analisis kurikulum yang dilakukan di SKB Kabupaten Cianjur yaitu kurikulum yang digunakan berasal dari pusat namun disesuaikan dengan hasil kebutuhan peserta didik dan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia atau sumber daya non-manusia. Pelaksanaan program. Aspek-aspek dalam pelaksanaan program terangkum dalam beberapa tahapan yaitu strategi pelatihan, metode pelatihan, media pelatihan, bahan ajar, fasilitator, sarana dan prasarana.Materi pembelajaran disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Artinya materi pembelajaran yang dirancang menitikberatkan pada bahan belajar yang bertujuan untuk pembentukan, perubahan, serta pematangan sikap dan perilaku peserta pelatihan. Metode yang digunakan ini sudah tepat, karena penggunaan metode tersebut disesuaikan dengan penyampaian materi yaitu teori menggunakan metode ceramah, ketika penerapan aplikasi menggunakan metode praktek dengan peserta didik mempraktekan sesuai dengan perintah, dan dalam metode diskusi ditunjukan jika ada tugas atau materi yang harus didiskusikan dengan teman dan jika ada materi yang kurang dipahami maka dapat menggunakan metode diskusi. Media yang digunakan dalam pembelajaran secara teori dan praktek adalah modul, dalam praktek adanya bahan-bahan kue, buku-buku resep, dan alat membuat kue. Evaluasi yang dilakukan oleh tutor terhadap peserta didik melalui tes praktek atau ujian praktek yang dinilai oleh tutor, selain ujian praktek adapula tes tulis dimana peserta didik diberikan soal yang harus diisi kemudian dinilai. Kegiatan evaluasi ini dilakukan diawal proses pembelajaran dan diakhir pembelajaran karena untuk mengukur sejauh mana peserta didik dapat menyerap materi yang telah disampaikan berupa pengetahuan dan keterampilan. Namun untuk evaluasi resmi adalah adanya ujian akhir dimana materi telah selesai diberikan. 2. Kemampuan Komunikasi Bisnis Peserta Didik Dalam Program Keaksaraan Usaha Mandiri di SKB Kabupaten Cianjur Hasil lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi bisnis dilihat dari karakteristik peserta didik dan peluang yang mampu di peroleh peserta didik. Kemampuan komunikasi bisnis peserta didik dapat dilihat dari karakteristik peserta didik. Karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik dapat diobservasi oleh tutor dan pengelola saat keikutsertaan peserta didik dalam proses pembelajaran program keaksaraan usaha mandiri (KUM) 96
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
serta usaha yang akan dilakoninya. Peserta didik mengikuti program KUM adalah karena faktor ekonomi dan adanya kelompok Belajar Usaha (KBU), dengan adanya program KUM ini dapat membantu peserta didik untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dimasa depan. Perubahan yang terjadi pada peserta didik diantaranya; (1) pemahaman tentang perlunya memiliki keterampilan keaksaraan sebagai modal dasar dalam melakukan komunikasi, khususnya komunikasi bisnis, (2) perubahan pengetahuan peserta didik berupa kemampuan mengolah informasi yang berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung, (3) perubahan keterampilan pada diri peserta didik seperti kemauan untuk membaca setiap teks yang dilihatnya, serta keterampilan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk tulisan tangan. Dalam program KUM ini pihak Tutor mendapatkan informasi bahwa peserta didik memiliki kepercayaan yang tinggi untuk membuka usaha, hal tersebut dibuktikan saat proses pembelajaran berlangsung dimana peserta didik selalu berperan aktif hingga terjadinya komunikasi lisan yang bagus. Kepemimpinan yang bagus dimiliki oleh peserta didik karena mereka dapat memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu dengan mengatur waktu belajar mereka sehingga tidak bentrok dengan kegiatan pribadi peserta didik. Pembelajaran komunikasi bisnis dalam program KUM ini peserta didik diajarkan menjadi wirausaha tangguh dan mandiri hingga bagaimana cara memasarkan produk, dari peserta didik tidak bisa menjadi bisa. Keterampilan komunikasi bisnis yang diajarkan adalah berupa ketrampilan menyampaikan gagasan untuk mempromosikan salah satu produk yang dihasilkan oleh peserta didik. Selanjutnya produk yang diajarkan salah satu yang menonjol adalah membuat kue kering dan kue basah, kemudian kue tersebut dapat dijual oleh peserta didik. Kue basah dan kering selalu dijual dipasar tradisional, dititip di warung atau pembeli datang kerumah. Pembelajaran program KUM menuntut peserta didik berperan aktif agar peserta didik mendapatkan manfaat yang serius setelah mengikuti program KUM ini. Peserta didik diajarkan selalu bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan oleh tutor maupun pengelola agar nantinya mereka dapat menyelesaikan. Sehubungan dengan urian diatas, penilaian hasil belajar oleh tutor merupakan kesimpulan objektif, sebab tutor adalah pihak yang berwenang untuk memberikan penilaian dan paling tahu tentang kondisi peserta didiknya. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Sudjana (2005, hlm. 22) yaitu kemampuan-kemampuan yang dimiliki setelah menerima pengalaman 97
belajar, yang dimaksud kemampuan disini mencakup kemampuan yang bersifat kognitif, afektif dan psikomotor. Kemampuan peserta didik dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan dapat diketahui berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh pendidik atau pengajar. 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pada Program Keaksaraan Usaha Mandiri di SKB Kabupaten Cianjur Kekuatan pelaksanaan program KUM adalah adanya keterbukaan mengenai kesulitan yang dihadapi dalam program KUM. Peserta didik tidak segan mengungkapkan jika mengalami kesulitan dalam kegiatan pembelajaran berlangsung, dan kesulitan tersebut diselesaikan bersama. Selain itu pemberian motivasi kepada peserta yang diberikan oleh tutor dan pengelola sehingga peserta sangat antusias mengikuti program KUM ini. Pemberian motivasi tersebut dengan cara tutor dan pengelola menyediakan fasilitas yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang telah dilakukan. Program KUM menghasilkan produk yang beraneka ragam seperti kue basah dan kue kering. Kemudian banyak mitra pasar yang berminat membeli produk yang dihasilkan oleh program KUM yang dilaksanakan oleh SKB Kabupaten Cianjur. Dalam pelaksanaannya juga program KUM sangat di dukung oleh masyarakat lingkungan sekitar SKB. Kelemahan kegiatan program KUM yang dilaksanakan di SKB Kabupaten Cianjur masih ada beberapa hambatan yang dirasakan yaitu dalam pemasaran, selalu ada mitra usaha yang tidak membayar produk langsung setelah produk dikirim. Biasanya mitra usaha tersebut membayar seminggu setelah produk dikirim, serta mitra usaha yang selalu menginginkan produk yang bagus, tapi dengan harga murah. Peluang dari program KUM terbantu dengan dukungan masyrakat sekitar SKB Kabupaten Cianjur. Selain itu keaktifan dan keterlibatan peserta didik mendorong program KUM tersebut tetap berjalan. Program KUM yang dijalankan juga membuka peluang usaha untuk peserta didik dalam program KUM setelah tamat. Ancaman terjadi dalam hal pelaksanaan kegiatan program KUM di SKB Kabupaten Cianjur, diantaranya pesaing yang menawarkan harga murah, kepada mitra usaha akan berdampak pada kerjasama yang sudah terjalin dengan SKB Kabupaten Cianjur. Selain itu kehadiran peserta didik yang tidak semuanya hadir terus dalam proses pembelajaran, tidak hanya itu beberapa 98
Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
dari peserta didik tidak mengikuti pembelajaran secara tuntas mengakibatkan perubahan yang terjadi tidak menyeluruh. Hal tesebut menyebabkan peserta didik menjadi tidak mandiri, sehingga tutor dan pengelola harus memberikan pengarahan lebih kepada peserta didik yang belum mandiri. Selain faktor-faktor di atas, hambatan lain adalah individual dan hambatan psikologis. Menurut Cruden dan Sherman (2017), hambatan ini mencakup : (1) Hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia, seperti perbedaan persepsi, umur, keadaan emosi, status, keterampilan mendengarkan, pencarian informasi, penyaringan informasi, (2) Hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi atau lingkungan sosial dan budaya, seperti suasana dan iklim kerja serta tata nilai yang dianut.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan hasil penelitian berdasarkan pada fungsi manajemen program, dalam hal ini adalah pengelolaan program terdapat beberapa tahapan kegiatan yang saling berkaitan, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Perencanaan program KUM menggunakan strategi perencanaan bottom-up pengelola melakukan identifikasi terlebih dahulu dan mengetahui kebutuhan peserta didik dalam mengikuti kegiatan program KUM. Pelaksanaan dalam kegiatan program KUM ini menggunakan pendekatan pembelajaran partisipatif Metode pelatihan yang digunakan yaitu ceramah, praktek dan diskusi. Media yang digunakan saat proses pembelajaran berlangsung adalah modul. Evaluasi yang dilakukan dalam program KUM ini yaitu dilakukan melalui tes tulisan dan praktek atau ujian praktek. Kemampuan komunikasi bisnis peserta didik yang mengikuti program keaksaaan usaha mandiri (KUM) dapat dilihat dari karakteristik peserta didik itu sendiri dan bagaimana cara mengambil peluang yang ada. Kemampuan komunikasi bisnis dimaksud adalah berupa keterampilan menyampaikan gagasan tentang produk usahanya, keterampilan mempromosikan atau menawarkan produk hasil usahanya untuk dikenalkan kepada warga masyarakat, keterampilan negosiasi berkenaan dengan harga produk yang dihasilkannya. Faktor yang membantu dalam program KUM yaitu adanya keterbukaan jika ada kesulitan yang dihadapi peserta didik. Faktor penghambat yaitu, masih kurangnya pemasaran produk mitra usaha yang selalu menginginkan produk bagus akan tetapi dengan harga yang murah.
99
Saran yang disampaikan peneliti adalah untuk pengelola, tutor, dan alumni. Untuk pengelola SKB sebaiknya perlu adanya perbaikan dan peningkatan dalam hal sarana dan prasarana serta sosialisasi program keaksaraan. Untuk Tutor disarankan lebih meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Untuk peserta didik atau alumni, agar terus mengembangkan potensi yang telah diperoleh setelah mengikuti program KUM dan agar lebih kreatif dalam membuat keterampilan dan jangan terlalu terpaku dengan keterampilan yang diajarkan.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainal. (2012). Penelitian Pendidikan - Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rinerka Cipta Direktorat Pendidikan Masyarakat. (2010). Acuan Penyelenggaraan dan Pembelajaran Keaksaraan Usaha Mandiri. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Robandi, Babang. (2012), Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Waraga Belajar Mencapai Kompetensi Keaksaraan Usaha Mandiri. Tesiss PLS-UPI Sudjana, D. (2005). Penelitian Hasil Proses Belajar. Bandung: Falah. _________ (2007). Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press _________. (2004). Manajemen Program Pendidikan. Bandung: Fallah Production Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta Suryana, (2006). Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses, Edisi Ketiga, Penerbit Salemba, Jakarta Cruden dan Sherman (2017), Komunikasi Bisnis. Available: http//www.http://forzainterkomunikasi.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-komunikasi-bisnis.html
100 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
ARTIKEL
IMPLEMENTASI PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN BAGI ANAK PUTUS SEKOLAH Oleh : Iip Saripah Dosen PLS pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK Anak putus sekolah umumnya berada pada rentang usia remaja. Pada usia ini, anak semakin dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu mengatasi berbagai permasalahan akibat interaksi dengan lingkungan sosialnya, serta mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Remaja dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan sosial untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan remaja beradaptasi dengan lingkungan dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung berprilaku antisosial. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi, dan wawancara dengan 5 orang menjadi subjek penelitian. Temuan yang dilaksanakan mulai dari mereview dan menyajikan masalah dimana anak mampu mengidentifikasi masalah sendiri dengan mencari solusi melalui pengalaman dan latihan dan akan diperoleh hasil yang bervariasi; menyusun strategi melalui bimbingan yang cukup dari tutor dalam memecahkan masalah; tutor mengajukan pertanyaan sebagai bentuk dukungan dalam menyelesaikan tugas anak, pada tahap akhir tutor meminta anak untuk mendiskusikan dan mengevaluasi solusi. Simpulannya adalah implementasi pelatihan kewirausahaan bagi anak putus sekolah sangat memiliki dampak yang baik terhadap kehidupan anak putus sekolah. Kata Kunci : Pelatihan, Kewirausahaan, Anak Putus Sekolah 101
A. Pendahuluan Pemerintah menyelenggarakan program wajib belajar 9 tahun, bahkan saat ini berkembang menjadi 12 tahun. Program ini didasari konsep pendidikan dasar untuk semua yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua anak. Melalui program wajib belajar pendidikan dasar diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Namun karena berbagai hal anak tidak dapat menyelesaikan atau melanjutkan program pendidikannya sehingga harus keluar dari sekolah (putus sekolah). Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakukan orang tua yang tidak memberikan perhatian terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat MC Millen Kaufman, dan Whitener, 1996 dalam Gonzales (2012) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan program belajarnya. Pengertian anak putus sekolah yang dimaksud dalam model ini adalah anak yang pada saat tertentu tidak sedang mengikuti sekolah (baik SD, SLTP, maupun SLTA) karena tidak dapat menyelesaikan program belajar sebelum waktunya (drop out), atau orang yang telah lulus Sekolah Dasar (SD) atau lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya, disebabkan oleh berbagai factor. Banyak faktor yang menyebabkan anak putus sekolah, diantaranya: 1. Faktor pertama, yaitu ekonomi, yaitu ketidakmampuan keluarga si anak membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan. 2. Faktor kedua, Rendahnya motivasi atau minat anak untuk bersekolah. Hal ini disebabkan karena anak merasa minder, rendah diri, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya , atau dicemooh temannya karena tidak dapat membayar uang sekolah. 3. Kurangnya perhatian orang tua, akibat kondisi ekonomi rendah sehingga orang tua lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok keluarga 102 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
4. Kurangnya ketersediaan sarana prasarana, seperti di pelosok atau di daerahdaerah tertinggal 5. Fasilitas belajar yang kurang memadai yang mengakibatkan turunnya minat anak untuk belajar 6. Rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan Dari keenam faktor, masalah ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan anak putus sekolah. Di pedesaan umumnya orang tua tidak mampu untuk membiayai kebutuhan sekolah anak karena lemahnya kehidupan ekonomi keluarga, atau anak dibutuhkan tenaganya untuk membantu orang tua mencari nafkah. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anak. Akibatnya anak terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya karena harus bekerja membantu orang tua. Padahal berdasarkan undang- undang ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003 pasal 68, pemerintah baru memperbolehkan mempekerjakan anak pada usia minimum 18 tahun. Sementara anak di bawah usia tersebut diperkenankan bekerja dengan syarat tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik mental dan sosialnya, karena pada usia itu anak lebih diharapkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Anak putus sekolah umumnya berada pada rentang usia remaja. Pada usia ini, anak semakin dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu mengatasi berbagai permasalahan akibat interaksi dengan lingkungan sosialnya, serta mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain remaja semakin dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan sosial untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan remaja beradaptasi dengan lingkungan dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung berprilaku antisosial. Hambatan untuk beradaptasi bagi anak-anak putus sekolah, semakin besar. Hal ini diperparah dengan kondisi keluarga yang tidak mendukung, motivasi dan minat yang rendah, serta rasa percaya diri yang kurang karena merasa minder dan rendah diri, menambah kesulitan mereka untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Di samping itu anak-anak putus sekolah pada usia remaja ini umumnya merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih atau bahkan belum memiliki keterampilan sama sekali untuk bekerja. Akibatnya semakin meningkatkan pengangguran dengan kualitas SDM yang rendah. Risiko yang paling sering dan 103
dialami oleh kalangan remaja putus sekolah akibat tidak adanya kegiatan yang jelas serta tidak adanya keahlian yang dimiliki cenderung mendorong mereka terjerumus melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif seperti memakai narkoba, kenakalan remaja, perkelahian, pencurian, penodongan, dan sebagainya. Pada kondisi demikian peranan keluarga terhadap pencarian identitas diri remaja sangat besar dan menentukan. Menurut Hauser dalam Jukes (2014), orang tua yang menggunakan perilaku-perilaku yang memudahkan (enabling behaviors) seperti menjelaskan, menerima, dan berempati lebih memfasilitasi perkembangan identitas remaja daripada orang tua yang menggunakan perilaku membatasi (constraining behavior) seperti mengkritik dan tidak menghargai.
B. Kajian Pustaka 1. Konsep Pelatihan Istilah “latihan” sebagaimana dijelaskan oleh Poerwadarminta (1984) mengandung arti sebagai pelajaran untuk membiasakan atau memperoleh sesuatu kecakapan, dalam kaitan dengan pekerjaan. Seorang pegawai atau karyawan suatu organisasi/lembaga, dengan jalan melatih diri sendiri melalui coba-coba atau ikut- ikutan orang lain saja, tidak akan mencapai hasil dan kualitas yang diharapkan. Adanya program latihan yang terencana dengan baik dan sistematis merupakan cara utama untuk membiasakan atau memberikan kecakapan kepada seorang pekerja agar dia terampil mengerjakan pekerjaannya. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka latihan dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisasi, dan sistematik di luar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengetahuan dan keterampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu, dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan metode yang mengutamakan praktik daripada teori, agar mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam memahami dan melaksanakan suatu pekerjaan dengan cara yang efisien dan efektif. 2. Pengembangan Kewirausahaan Pengertian Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja,
104 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan adalah suatu proses kreativitas dan inovasi yang mempunyai resiko tinggi untuk menghasilkan nilai tambah bagi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan kemakmuran bagi wirausahawan. Kewirausahaan itu dapat dipelajari walaupun ada juga orang-orang tertentu yang mempunyai bakat dalam hal kewirausahaan. Menurut Drucker, 1985 (dalam Suryana, 2003) dalam bukunya Innovation and Entrepreneurship mengemukakan perkem-bangan teori kewirausahaan menjadi tiga tahapan: a) Teori yang mengutamakan peluang usaha. teori ini disebut teori ekonomi, yaitu wirausaha akan muncul dan berkembang apabila ada peluang ekonomi; b) Teori yang mengutamakan tanggapan orang terhadap peluang, yakni, teori Sosiologi, yang mencoba menerangkan mengapa beberapa kelompok sosial menunjukkan tanggapan yang berbeda terhadap peluang usaha dan teori Psikologi yang mencoba menjawab karakateristik perorangan yang membedakan wirausaha dan bukan wirausaha serta karakteristik perorangan yang membedakan wirausaha berhasil dan tidak berhasil, dan c) Teori yang mengutamakan hubungan antara perilaku wirausaha dengan hasilnya. Disebut dengan teori perilaku, yaitu yang mencoba memahami pola perilaku wirausaha. Kewirausahaan dapat dipelajari dan dikuasai, karena kewirausahaan bisa merupakan pilihan kerja, atau pilihan karir. 3. Anak Putus Sekolah Dan Masalahnya Pemerintah menyelenggarakan program wajib belajar 9 tahun, bahkan saat ini berkembang menjadi 12 tahun. Program ini didasari konsep pendidikan dasar untuk semua yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua anak. Melalui program wajib belajar pendidikan dasar diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Namun karena berbagai hal anak tidak dapat menyelesaikan atau melanjutkan program pendidikannya sehingga harus keluar dari sekolah (putus sekolah). Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran
105
karena sikap dan perlakukan orang tua yang tidak memberikan perhatian terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Padahal berdasarkan undang- undang ketenagakerjaan no. 13 Tahun 2003 pasal 68, pemerintah baru memperbolehkan mempekerjakan anak pada usia minimum 18 tahun. Sementara anak di bawah usia tersebut diperkenankan bekerja dengan syarat tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik mental dan sosialnya, karena pada usia itu anak lebih diharapkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Anak putus sekolah umumnya berada pada rentang usia remaja. Pada usia ini, anak semakin dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu mengatasi berbagai permasalahan akibat interaksi dengan lingkungan sosialnya, serta mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain remaja semakin dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan sosial untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan remaja beradaptasi dengan lingkungan dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung berprilaku antisosial. Hambatan untuk beradaptasi bagi anak-anak putus sekolah, semakin besar. Hal ini diperparah dengan kondisi keluarga yang tidak mendukung, motivasi dan minat yang rendah, serta rasa percaya diri yang kurang karena merasa minder dan rendah diri, menambah kesulitan mereka untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Di samping itu anak-anak putus sekolah pada usia remaja ini umumnya merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih atau bahkan belum memiliki keterampilan sama sekali untuk bekerja. Akibatnya semakin meningkatkan pengangguran dengan kualitas SDM yang rendah. Risiko yang paling sering dan dialami oleh kalangan remaja putus sekolah akibat tidak adanya kegiatan yang jelas serta tidak adanya keahlian yang dimiliki cenderung mendorong mereka terjerumus melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif seperti memakai narkoba, kenakalan remaja, perkelahian, pencurian, penodongan, dan sebagainya.
106 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
C. Metode Penelitian Penelitian ini didesain dengan pendekatan kualitatif yang berpandangan fenomenologis Bogdan (1982). Secara lebih spesifik menggunakan metode penelitian deskripsi analisis. Sasaran intervensi pelatihan ditinjau dari pelatihan kewirausahaan bagi anak putus sekolah di PKBM Bina Cipta Ujungberung Kelurahan Cigending Kecamatan Ujungberung Kota Bandung, sebagai subjek penelitian ini, meliputi para pengelola PKBM dan Tutor serta 3 anak putus sekolah. Teknik dan alat pengumpul data meliputi pengamatan partisipasi, indepth interview, studi dokumentasi.
D. Hasil Dan Pembahasan 1. Implementasi model dalam pelatihan Kewirausahaan bagi anak putus sekolah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Cipta Ujungberung yang berdomisili di Andir Kaler No.05 RT.06 RW.03 Kelurahan Cigending Kecamatan Ujungberung Kota Bandung berdiri diatas lahan seluas 10 m x 14 m dan luas bangunan 10m x 12 m atas nama Yayasan Bina Cipta Ujungberung di dirikan pada tanggal 14 Mei 2009 dengan akta notaries No. 05/2014 dan Izin PKBM No. 421.10/3133-Disdik/2013, diprakarsai oleh Ibu Santi Susilawati, S.Pd. Untuk menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun melalui Program Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA juga penuntasan Buta Aksara melalui Program Keaksaraan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Cipta Ujungberung memperhatikan dan melayani masyarakat miskin. Fungsi dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) meliputi: Sebagai tempat kegiatan belajar masyarakat, sebagai tempat bertemunya berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat, sebagai sumber informasi bagi warga masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional, sebagai ajang tukar manukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional diantara warga, sebagai tempat berkumpulnya warga masyarakat yang ingin meningkatkan pengtahuan dan keterampilan, sangat disadari bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) amat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang terbelakang yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Mengapa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bina Cipta Ujungberung membelajarkan program tersebut, karena dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) dan informasi dari Ketua Rukun Tetangga di Andir Kaler RT.06 RW.03
107
Kecamatan Ujungberung menyatakan bahwa warga masyarakat yang putus sekolah (DO) cukup banyak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,antara lain: faktor sosial ekonomi yang menghimpit mereka, akibatnya mereka tidak memikirkan pendidikan putra-putrinya, lingkungan yang tidak kondusif serta ketidakpedulian warga masyarakat terhadap pendidikan. PKBM Bina Cipta Ujungberung tidak hanya meningkatkan minat baca masyarakat dengan dibentuk Taman Bacaan masyarakat tahun 2009 sebagai program pendukung dari satuan program yang dilaksanakan dengan diberi nama TBM Rumah Baca Ujungberung yang awalnya dirintis dari rumah baca. Program lain adalah kepedulian terhadap masyarakat di bidang kesehatan PKBM Bina Cipta Ujungberung bekerjasama dengan kader PKK menyelenggarakan kegiatan sosial setiap bulannya yaitu pemeriksaan kesehatan gratis untuk lansia, ada satu program yang bermuatan lokal wajib di selenggarakan adalah program kelompok belajar seni yang terinspirasi karena muatan lokal di wilayah kami sebagian besar berjiwa seni tinggi. Sehingga kami mengadakan kegiatan belajar Seni Tari seperti jaipong, rampak. Implementasi pembelajaran yang dikembangkan dan diadopsi dari pendidikan konvensional kedalam pembelajaran melalui media what’s App, SMS yang bisa memanfaatkan teknologi yang sudah sangat mudah digunakan. SMS yang dilakukan untuk memecahkan persoalan yang terjadi baik dalam pra pembelajaran, proses pembelajaran maupun pada saat akhir pembelajaran. Peserta memiliki kesempatan untuk berdiskusi atau bertanya tentang semua permasalahan yang dirasakan oleh peserta belajar. Untuk menjawab fokus masalah dilakukan analisa melalui pelatihan dengan menggunakan pengembangan model PBL (Problem Based Learning) dimana pelatihan Kewirausahaan bagi Anak putus sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan nonformal terlaksana dengan baik sesuai kebutuhan peserta didik. Pada setiap fase pelatihan dimulai saat tutor mereview pengetahuan awal yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan kemudian menyajikan masalah itu sendiri. Dari 5 partisipan yang dilibatkan setiap partisipan mengungkapkan masalah yang sederhana di depan partisipan yang lainnya. Dari cara pengungkapan masalah yang dialami anak, pengalaman bagaimana memecahkan masalah dengan cara masing-masing sehingga anak memperoleh bimbingan dan pendampingan dari tutor untuk memecahkan
108 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
masalah. Fokus masalah yang disampaikan pada akhirnya tutor dapat mengetahui kebutuhan partisipan. Dari hasil identifikasi akhirnya pelatihan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan anak. Setelah teridentifikasi masalah tutor membagi anak untuk berkelompok sesuai dengan kemampuan dasar anak mulai dari pengelompokan berdasarkan latar belakang pendidikan, latar belakang keinginan melakukan usaha dan berdasarkan usia. Di sisi lain penelitian ini memberikan tantangan bagi para tutor untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan materi pembelajaran, sehingga palatihan yang dilakukan tidak hanya berakhir setelah selesai pelatihan dilaksanakan. Akan tetapi menjadi awal pembelajaran bagi peserta untuk dapat mengimplementasikan hasil belajarnya. Dari teknis pembelajaran yang dilakukan tentunya memiliki kekhasan dalam pembelajaran yang dilakukan bagi anak putus sekolah karena secara psikologis anak putus sekolah memiliki kelebihan dari segi mental yang sudah terkontaminasi oleh dunia diluar sekolah yang didapatkan sebelumnya. Kewirausahaan menjadi sangat penting bagi para peserta karena peserta pelatihan sebagian belum memiliki keterampilan yang dapat dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha, karena aktivitas mereka setelah putus sekolah. Sementara itu mereka yang sudah mempunyai keterampilan masih kebingungan untuk mengembangkan kemampuannya peserta belajar menjadi suatu kegiatan usaha. Kemampuannya membuat produk hanya untuk konsumsi sendiri. Pengaplikasian materi yang diberikan pada proses pembelajaran program pelatihan kewirausahaan ini boleh dilakukan kapan saja bahkan peserta belajar dituntut utuk dapat langsung mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari mereka. Waktu yang diberikan kepada peserta belajar dalam penyelesaian tugas yaitu paling lama 3 hari. Hal ini berdasarkan kesepakatan bersama untuk mereview tugas-tugas tersebut. Havelock (1975) dalam penggolangan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekadar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
109
Peserta belajar diberikan refleksi dari pengaplikasian materi yang diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk melihat dan memonitoring kemampuan peserta belajar hasil penyelenggaraan program. Refleksi yang dilakukan kepada peserta belajar program pendidikan kecakapan hidup ini setelah peserta mengaplikasikan materi yang diberikan yitu dengan merenungkan apa yang telah dilakukan dan mengambil hikmah sebagai pengalaman yang berharga bagi diri peserta belajar, sehingga mereka termotivasi untuk terus berpacu untuk lebih baik lagi. Kunci teori belajar ini adalah law of effect-nya Thorndike dalam Romiszowki, A.J., (1981) Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya. Hal diatas sesuai dengan pendapat Surya dalam Sudjana (2001) proses pembelajaran ialah proses individu mengubah perilaku dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Hal ini mengandung arti bahwa individu akan melakukan kegiatan belajar apabila ia menghadapi situasi kebutuhan. Dengngan demikian penting baginya untuk merefleksi materi yang sadah mereka dapatkan, apakah memberikan nilai tambah dan dapat diaplikasikan pda kehidupaan sehari-hari. Dalam keadaan individu menghadapi situasi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan insting atau kebiasaan, maka individu harus mengubah perilakunya. Dalam keadaan ini individu harus melakukan proses pembelajaran untuk memperoleh perilaku yang baru agar dapat memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran akan terjadi apabila individu menghadapi situasi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan insting atau kebiasaan. Adanya kebutuhan, akan mendorong individu untuk mengkaji perilaku yang ada dalam dirinya, apakah yang ada dapat memenuhi kebutuhan atau tidak. Apabila tidak, maka ia harus memperoleh perilaku yang baru dengan proses pembelajaran. Secara keseluruhan, proses pembelajaran akan merupakan suatu rangkaian aktivitas sebagai berikut: a. Individu merasakan adanya kebutuhan dan melihat tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini situasi individu merasakan bahwa ada kekurangan dalam dirinya sebagai suatu kebutuhan.
110 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
b. Kesiapan (readness) individu untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Dalam proses pembelajaran, hal ini sangat diperlukan untuk menunjang agar aktivitas pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. c. Pemahaman situasi. Yang dimaksud dengan pemahaman situasi yaitu segala sesuatu yang ada di lingkungan individu dan mempunyai hubungan dengan aktivitas individu dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya. d. Menafsirkan situasi, yaitu bagaimana individu melihat kaitan berbagai aspek yang terdapat dalam situasi. Kemampuan menafsirkan ini sangat diperlukan untuk merancang berbagi alternatif aktivitas yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. e. Akibat (hasil) pembelajaran. Dalam fase ini individu akan memperoleh umpan balik dari apa yang telah dilakukannya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu berhasil (sukses) atau gagal. Berhasil artinya ia dapat memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuannya, sedangkan gagal artinya ia tidak memenuhi kebutuhannya dan tidak mencapai tujuannya. 2. Evaluasi Implementasi model dalam pelatihan Kewirausahaan bagi anak putus sekolah Evaluasi merupakan tahap terakhir dari semua fungsi manajemen, di PKBM Bina cipta Ujungberung, evaluasi kegiatan implementasi pelatihan kewirausahaan bagi anak putus sekolah dilakukan setiap hari, yaitu dengan pengamatan atau observasi dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan dan sikap anak yang dilakukan dengan mengamati tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus. Tutor PKBM Bina Cipta Ujungberung juga melakukan evaluasi pada tahap penutup, kemudian juga melalui pelatihan yang dilakukan peserta lebih memahami materi kewirausahaan lebih mendalam. Akhirnya, melalui penelitian ini, diharapkan anak-anak putus sekolah pada usia remaja ini umumnya merupakan tenaga kerja yang tidak terlatih atau bahkan belum memiliki keterampilan sama sekali untuk bekerja. Meningkatkan pengangguran dengan kualitas SDM yang rendah. Risiko yang paling sering dan dialami oleh kalangan remaja putus sekolah akibat tidak adanya kegiatan yang jelas serta tidak adanya keahlian yang dimiliki cenderung mendorong mereka terjerumus melakukan kegiatan-kegiatan yang negatif seperti memakai narkoba, kenakalan remaja, perkelahian, pencurian, penodongan, dan sebagainya.
111
Dari hasil deskripsi penelitian monitoring dan pembinaan kegiatan pelatihan kewirausahaan memiliki tujuan sebagai berikut: (a) mengetahui sampai sejauhmana peserta belajar (kelompok) mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimilikinya dari hasil pelatihan/pembelajaran dalam kegiatan usaha secara nyata dilapangan, (b) mengetahui perkembangan kegiatan usaha peserta belajar (kelompok) dari waktu ke waktu berikut permasalahan yang dihadapinya dalam kegiatan usaha, (c) mengumpulkan data dan informasi tentang keberhasilan dan/atau ketidakberhasilan usaha kelompok berikut faktor-faktor penyebabnya sebagai input bagi penyelenggara/pengelola/pendamping untuk melakukan tidak lanjut, (d) sebagai bahan dokumentasi informasi tentang temuan-temuan yang terjadi dilapangan dengan pelaksanaan pelatihan kewirausahaan.
E. Kesimpulan Implementasi pelatihan kewirausahaan lebih ditekankan penggunaan yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti kelompok diskusi, latihan praktek, demonstrasi, dan bimbingan konsultatif. Proses bimbingan yang bisa dilakukan oleh peserta belajar dengan menggunakan media yang sederhana yaitu Whats app dan SMS yang sangat memungkinkan dimiliki oleh peserta belajar. Dengan pendekatan tersebut lebih banyak melibatkan diri dan partisipasi peserta dalam proses pembelajaran, maka makin aktif peserta dalam proses pemebelajaran, makin banyak pula terjadi belajar pada dirinya. Pada proses penyampaian materi dilakukan dengan menggunakan pendekatan Problem-Based Learning dengan beberapa tahapan berikut yaitu: Orientasi Masalah. Peserta belajar akan disajikan suatu masalah dalam kegiatannya, fasilitator menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi Peserta belajar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Peserta belajar mendiskusikan masalah dalam tutorial pembelajaran problem based learning dalam sebuah kelompok kecil. Peserta belajar merencanakan dan menyiapkan penyajian/presentasi solusi dari masalah yang diberikan oleh fasilitator, peserta belajar bisa bertanya pada pakar (kader) yang mendampingi untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (re-visiting the problem).
112 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017
Peserta belajar bersama-sama dengan fasilitator melakukan review terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Evaluasi terhadap peserta belajar dalam hal ini adalah anak putus sekolah dilakukan pada akhir kegiatan. Aspek yang di evaluasi meliputi evaluasi kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari jawaban informan, dalam melakukan kegiatan evaluasi hasil belajar menitikberatkan pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta belajar. Bentuk evaluasi yang dilakukan yaitu memberikan pertanyaan kepada setiap peserta yang dibarengi dengan curah pendapat (brainstorming) mengenai pemahan apa yang sudah diperoleh oleh peserta belajar dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi sikap terhadap peserta belajar dilakukan dengan melakukan pengamatan selama proses pembelajaran dan melakukan pengamatan selama proses pembelajaran. Selain itu motivasi belajar peserta belajar pada program pendidikan kecakapan hidup semakin tinggi. Hal ini dilihat dari semangat peserta didik untuk mempelajari usaha yang mereka tekuni dan berupaya untuk merintis usaha dari produksi barangan yang mereka tekuni. Peserta belajar sudah bisa dan terampil dalam mempraktekan hasil mengikuti pelatihan kecakapan hidup, mulai dari bagian dasar seperti pemilihan bahan sampai ke pengemasan dan pemasaran serta pembukuan mengenai bidang kewirausahaan, dan untuk menilai peningkatan keterampilan peserta belajar, diharuskan melakukan unjuk kinerja atau mendemonstrasikan keterampilan yang sudah mereka miliki diantaranya meliputi pemilihan dan pengenalan bahan, pembuatan, pengemasan dan pemasaran produk.
113
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistika. 2012. Jumlah pengangguran di Indonesia 2012. Jakarta Balitbang. Data Statistika Pendidikan 2011. Jakarta: Kemdikbud. Bogdan, RC dan Biklen, SK. (1982). Qualitative Research for Education: Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Gonzalez, M, Heracleous M. Winters P. 2012. “Leaving the Safety Net: An Analysis of Dropouts in an Urban Conditional Cash Transfer Program. World Document Journal Vol 40 No 12 hal. 2502-2521. Jukes, M, Jere, C and Prodmore P. 2014. Evaluating the provision of flexible learning for children at risk of primary school dropout in Malawi. International Journal of Educational Development Vol 39 Hal. 181-192. Romiszowki, A.J., (1981), Designing Instructional System, London : Kogan Page. Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Sudjana, Djudju. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production. Undang- undang no. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
114 Jurnal AKRAB! Volume V Edisi 1/Juni/2017