LIKUIDASI TERHADAP BANK YANG BERBENTUK HUKUM PERUSAHAAN DAERAH : Suatu Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Kepentingan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Pelaksanaan Program Penjaminan Simpanan Oleh : Rizal Ramadhani, S.H., LL.M 1
I. Pendahuluan Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak tanggal 22 September 2006 menandai mulainya babak baru rezim penjaminan simpanan nasabah (deposit guarantee 2 scheme) dan resolusi bank (bank 3 resolution) oleh LPS sebagai suatu 1
Kepala Divisi Peraturan LPS.
2
Sebelumnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Pemerintah melaksanakan Program Penjaminan Pemerintah berupa blanket guarantee. Walaupun program ini dinilai berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat pasca krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997, namun efek buruk terhadap keuangan negara dan timbulnya moral hazard dari pemilik dan pengurus bank untuk melakukan tindakan yang tidak berhati-hati dalam pengelolaan bank menyebabkan Pemerintah berkeputusan untuk mengeluarkan skim penjaminan simpanan yang bersifat terbatas. Lihat Tim Penyusun RUU tentang Lembaga Penjamin Simpanan, “Naskah Akademik RUU tentang Lembaga Penjamin Simpanan”, Jakarta, 2003. 3
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga penjamin simpanan di AS, menggolongkan resolusi bank (bank resolution) dalam 2 (dua) tahap, yaitu resolution process dan receivership process. Resolution process merupakan kegiatan untuk menilai harga dari bank atau thrift yang mengalami kegagalan, memasarkannya dan kemudian melakukan penawaran penjualannya kepada pihak lain. Receivership process merupakan tindakan untuk melakukan penutupan terhadap bank atau thrift yang gagal, melakukan
lembaga yang independen. Rezim ini tidak memisahkan resolusi bank dari penjaminan nasabah penyimpan dengan pemahaman bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya untuk meningkatkan kepercayaan nasabah penyimpan terhadap bank yang memang sangat diperlukan untuk mewujudkan stabilitas sistem perbankan. Sebelum berlakunya UU LPS, kewenangan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha suatu bank hanya dimiliki oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawas perbankan berdasarkan amanat Pasal 37 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Restrukturisasi perbankan kemudian dilakukan oleh Badan Penyehatan
likuidasi terhadap asetnya dan membagikan hasil penjualan asset kepada seluruh kreditor. Lihat www.fdic.gov/bank/historical/reshandbook/index.html.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
25
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk berdasarkan UU Perbankan dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999. Setelah berlakunya UU LPS, kewenangan untuk melakukan restrukturisasi perbankan dilakukan oleh LPS yang diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan penyelamatan atau penanganan suatu bank dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 UU Perbankan tersebut di atas tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank dan/atau keadaan bank tersebut membahayakan sistem perbankan berdasarkan penilaian BI. Dalam rezim resolusi bank yang dianut UU LPS, kewenangan untuk melakukan likuidasi bank berada di tangan LPS yang sebelumnya merupakan kewenangan penuh pemegang saham bank, termasuk pengawasan terhadap pelaksanaan likuidasi yang sebelumnya berada di BI. Dengan kata lain, UU LPS memberikan kewenangan yang sangat besar kepada LPS untuk menangani seluruh aspek likuidasi bank, baik yang upstream maupun 4 Tujuan yang downstream .
pembentuk UU memberikan kewenangan yang sangat luas kepada LPS sangat mungkin dilandasi pemikiran untuk mengatasi hambatan-hambatan yang pernah dialami oleh BI dalam menjalankan fungsinya sebagai otoritas pengawasan likuidasi bank berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (PP Likuidasi Bank) yang telah dicabut oleh UU LPS. Di sisi lain, terkait dengan pelaksanaan fungsi penjaminan simpanan, LPS melakukan pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya sepanjang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh UU LPS. Melalui asset recovery, pembayaran klaim penjaminan tersebut di kemudian hari diupayakan diperoleh kembali oleh LPS dengan cara melakukan pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada debitur sesuai urutan preferensi yang ditentukan UU LPS.
4
Kewenangan LPS dimulai dengan pengambilalihan wewenang pemegang saham, termasuk untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu perseroan terbatas (PT), memberikan talangan pembayaran gaji dan pesangon pegawai bank, memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi sampai dengan meminta pertanggungjawaban pelaksanaan likuidasi dari tim likuidasi serta membubarkan tim likuidasi.
Kewenangan ini sangat berbeda dengan kewenangan BI sebagai otoritas pengawasan bank yang dilikuidasi yang dilakukan oleh BI berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. BI hanya diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap proses pelaksanaan likuidasi yang dilakukan oleh tim likuidasi yang dibentuk oleh RUPS.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
26
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
II. Permasalahan Secara tersurat pengaturan resolusi bank dalam UU LPS cenderung dilakukan dengan pendekatan bank sebagai perseroan terbatas (PT), padahal UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 juga mengakui eksistensi bank yang berbentuk hukum koperasi dan perusahaan daerah (PD), selain bank yang berbentuk hukum PT. Oleh karena itu, pendekatan ini menimbulkan implikasi hukum yang cukup kompleks yaitu apakah kewenangan LPS yang luas dalam likuidasi bank dimaksud dapat pula berlaku secara efektif terhadap bank gagal yang berbentuk hukum perusahaan daerah (PD) yang didirikan berdasarkan peraturan daerah (Perda). Dalam hal kewenangan ini tidak dapat secara efektif dilakukan, masalah yang muncul adalah apakah asset recovery berupa perolehan kembali atas pembayaran klaim penjaminan yang telah dikeluarkan LPS masih tetap terjamin.
III. Pembahasan
memiliki kekuasaan tertinggi, sehingga sebetulnya di luar RUPS, pemegang saham PT tidak memiliki kekuasaan apa pun terhadap perseroan. RUPS memiliki kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris. Persetujuan RUPS mutlak dibutuhkan dalam hal PT memutuskan kebijakan-kebijakan umum (penggabungan, peleburan dan pengambilalihan PT serta pembubaran PT), pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris, serta pengesahan laporan tahunan direksi/komisaris. Disamping itu, kesakralan RUPS juga terlihat dari proses penyelenggaraan RUPS yang wajib didahului dengan adanya pemanggilan kepada seluruh 5 pemegang saham. Ketentuan ini bersifat memaksa, sehingga apabila hal ini tidak terpenuhi dalam konteks tidak dilakukan pemanggilan sebelum RUPS diselenggarakan atau tidak mememenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Akte Pendirian/Anggaran Dasar PT yang bersangkutan, maka akan berakibat hukum pada dapat dibatalkannya RUPS oleh pengadilan.6
1. Pengaturan RUPS dalam UU PT Dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, RUPS menduduki tempat yang sangat sakral sebagai organ PT yang
5 UU PT membedakan jenis RUPS menjadi RUPS Tahunan dan RUPS Lainnya (RUPS Luar Biasa). Total jumlah hari yang dibutuhkan untuk melaksanakan RUPS Tahunan adalah paling lama 35 hari (vide Pasal 73). 6 Putusan Mahkamah Agung RI No. 878/K/SIP/174 dalam C. Ali, Yurisprudensi Hukum Dagang, dalam
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
27
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
2. Pengaturan PD dalam UU PD Sampai saat ini pengaturan mengenai PD masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang merupakan produk Orde Lama yaitu UU No. 5 Tahun 1962 tentang PD. Pada dasarnya tujuan dari pengaturan PD dalam suatu UU adalah untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945 (yang belum diamandemen) dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah swatantra yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagian atau seluruh permodalan PD berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan dan seperti halnya PT, modal PD terdiri dari sahamsaham. Dalam UU PD, diatur bahwa saham-saham tersebut digolongkan dalam 2 jenis, yaitu saham prioriteit yang hanya dapat dimiliki oleh daerah, dan saham biasa yang dapat dimiliki oleh daerah, warganegara, 7 dan/atau badan hukum Indonesia.
Anisitus Amanat, SH., CN, Pembahasan Undangundang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam Akta Notaris, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996. 7
Secara common practice, penggolongan saham semacam ini memang sudah lazim dikenal dalam praktek, terutama di negara-negara maju, yang membagi jenis saham menjadi saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock). UU PT sendiri menggolongkan menjadi klasifikasi saham biasa dan klasifikasi saham lain (vide Pasal 46). Penggolongan ini menjadi penting dalam konteks resolusi bank dalam hal LPS melakukan penyertaan modal sementara terhadap bank gagal yang sedang dilakukan penyelamatan atau penanganannya oleh LPS. Jaminan terhadap pengembalian dana yang telah disuntikkan oleh LPS tersebut lebih terlindungi apabila
Suatu hal yang perlu digarisbawahi dalam mencermati ketentuan dalam UU PD ini adalah bahwa Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit memiliki kedudukan istimewa, misalnya dalam mengangkat dan memberhentikan direksi PD. Kewenangan Rapat Pemegang Saham (RPS) bagi pemegang saham prioriteit serta RUPS bagi pemegang saham prioriteit dan pemegang saham biasa, yang identik dengan RUPS dalam UU PT, untuk memutuskan suatu kebijakan dapat “dikalahkan” oleh kewenangan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 dalam hal RPS/RUPS PD tidak bermufakat dalam mengambil suatu keputusan. Dengan demikian RUPS bukanlah suatu forum yang memiliki kedaulatan yang tertinggi sebagaimana halnya RUPS dalam UU 8 PT. Dalam mekanisme pembubaran badan hukum PD, pembubaran dan penunjukan likuidator ditetapkan dengan Perda, setelah mendapat pengesahan oleh instansi atasan (Presiden, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur) sesuai ketentuan LPS berkedudukan sebagai pemegang saham preferen pada bank tersebut. 8
Sebagai perbandingan, istilah yang dikenal dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah “Rapat Anggota” yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi dan bukan RUPS, mengingat pemilik koperasi adalah para anggota koperasi dan kepemilikan terhadap modal koperasi tidak terbagi dalam bentuk saham.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
28
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
Pasal 29 UU PD, bukan kewenangan dari pemegang saham dalam RPS/RUPS. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatur bahwa Perda merupakan peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten atau kota yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD dan berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Artinya, prosedur yang ditempuh untuk melakukan pembubaran dan pembentukan PD tidaklah sesederhana seperti mekanisme pada pembubaran PT karena tidak hanya membutuhkan kontrol dari pemegang saham PD, melainkan juga kontrol wakil rakyat di lembaga legislatif.
3. Efektivitas Kewenangan LPS Sebagaimana telah disinggung di atas, kewenangan LPS dalam likuidasi bank mencakup pula wewenang LPS untuk mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS. Dengan pemberian wewenang ini kepada LPS, diharapkan agar LPS dapat menjalankan proses pemberesan aset dan penyelesaian kewajiban dari bank yang dicabut izin usahanya secara efektif dan efisien sesuai ketentuan yang
berlaku serta dapat mengoptimalkan tingkat pengembalian dana penjaminan yang telah dikeluarkan oleh LPS, tanpa intervensi dari pemegang saham.9 Penggunaan istilah RUPS dalam UU LPS dapat ditafsirkan sebagai keinginan pembentuk UU untuk menyerahkan forum pengambilan keputusan tertinggi pada bank sebagai legal entity kepada LPS. Pengambilalihan wewenang RUPS dari pemegang saham menyebabkan pemegang saham menjadi invalid, dengan tidak menghilangkan kewajiban tanggung jawab pribadi pemegang saham apabila di kemudian hari terbukti bahwa kegagalan bank juga disebabkan adanya kontribusi dari pemegang saham. Apabila kewenangan LPS untuk mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS, tersebut di atas ditafsirkan secara gramatikal10, kewenangan LPS hanyalah melakukan Rapat Pemegang Saham 9
Per tanggal 1 November 2006 terdapat 2 (dua) buah BPR yang telah dicabut izin usahanya oleh BI, masingmasing PD BPR Cimahi, Kabupaten Bandung yang dicabut izin usahanya berdasarkan SK Gubernur BI No. 8/3/KEP.GBI/2006 tanggal 25 Januari 2006 dan PD BPR Gununghalu yang dicabut izin usaha berdasarkan SK Gubernur BI No. 8/74/KEP.GBI/2006 tanggal 11 Oktober 2006. 10 Prof. Muchsin mengartikan penafsiran hukum gramatikal sebagai penafsiran berdasarkan kata-kata dalam rumusan ketentuan peraturan perundangundangan. Lihat Prof. Dr. H. Muchsin, SH, “Ikhtisar Ilmu Hukum”, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
29
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
dengan agenda misalnya mengangkat semacam Tim Pemberes Sementara, sebagai kepanjangan tangan LPS untuk melakukan penagihan kredit kepada debitor tanpa memiliki kewenangan untuk membubarkan badan hukum bank, membentuk Tim Likuidasi, menetapkan status bank sebagai “BDL”, dan menonaktifkan seluruh direksi dan komisaris sebagaimana diatur dalam UU LPS. Bahkan untuk melakukan perbuatan hukum berupa pencairan aset bank dalam rangka pengembalian dana penjaminan pun, LPS akan terkena ketentuan Pasal 178 UU Pemda yang mengatur bahwa barang milik daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan, atau digadaikan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 152/2004 tentang Pengelolaan Barang Daerah menegaskan bahwa perubahan status hukum barang daerah berupa penghapusan barang, penjualan kendaraan dinas, penjualan rumah daerah dan pelepasan hak atas tanah dan atau bangunan harus dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah atau Keputusan Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD.
Hambatan yang akan dihadapi oleh LPS berasal dari pihak legislatif dan eksekutif di daerah berupa kemungkinan terjadinya keterlambatan proses penyusunan perda sebagai dasar hukum dari pembubaran suatu bank yang berbadan hukum PD. Berdasarkan pengalaman BI sebagai otoritas pengawas perbankan, alasan yang dikemukakan oleh DPRD antara lain adalah bahwa pembahasan perda mengenai pembubaran PD tidak termasuk salah satu agenda rapat DPRD pada tahun berjalan atau tidak termasuk agenda yang diprioritaskan, sedangkan pemda memberikan alasan antara lain bahwa tidak tersedianya anggaran pada APBD tahun berjalan untuk penyusunan perda atau satu perda mengatur lebih dari satu bank berbentuk hukum PD, sehingga menyulitkan pembuatan perda baru yang hanya mengatur pembubaran satu atau beberapa PD yang merupakan bagian dari perda yang 11 lama. Sebaliknya apabila dianut penafsiran ekstensif12 dimana RUPS dalam UU 11
Berdasarkan data DPBPR BI, terdapat lebih kurang 24 buah BPR yang berbentuk PD yang tersebar di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat yang telah dicabut izin usahanya oleh BI yang sampai saat ini belum dilakukan pembubarannya melalui perda. Beberapa BPR tersebut telah dicabut izin usahanya oleh BI sejak tahun 2001. 12 Penafsiran ekstensif adalah penafsiran hukum secara kontekstual sehingga lebih luas daripada penafsiran gramatikal. Sebagai contoh, istilah “jual” dalam Pasal
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
30
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
LPS ditafsirkan sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi pada bank sebagai business entity, seyogianya proses pembubaran bank cukup diawali dengan Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS sebagaimana layaknya RUPS dari suatu PT dengan agenda sebagaimana diatur dalam UU LPS, tanpa perlu mendapatkan pengesahan dari instansi atasan dan persetujuan dari DPRD, serta diakhiri dengan pengundangan dalam lembaran daerah. Dengan dilatarbelakangi oleh pertimbangan untuk melakukan penyelamatan terhadap kekayaan negara yang telah digunakan sebagai semacam “dana talangan” berupa pembayaran terlebih dahulu kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya, penggunaan istilah RUPS oleh pembentuk UU LPS dapat ditafsirkan sebagai ketentuan horizontal yang berlaku terhadap semua bentuk hukum bank yang diatur dalam UU Perbankan. Disamping itu dalam rangka pelaksanaan resolusi bank yang dijalankan oleh LPS, UU LPS dapat ditafsirkan sebagai lex specialis terhadap peraturan perundangundangan yang mengatur PT,
1576 KUH Perdata yang mengatakan bahwa “penjualan barang yang disewakan tidak memutuskan hubungan hukum sewa menyewa” ditafsirkan oleh HogeRaad tidak hanya sebagai perbuatan hukum penjualan, melainkan mencakup setiap perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan barang yang disewakan. Lihat Prof. Dr. H. Muchsin, SH, op.cit.
koperasi, PD dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity. Walaupun dari sisi LPS penafsiran secara luas ini membawa dampak positif bagi terselenggaranya tugas LPS, namun implikasi negatif dari penafsiran secara luas ini adalah dapat berupa terjadinya dampak politis kepada pihak legislatif dan eksekutif (DPRD maupun pemda tempat bank beroperasi), sehingga dapat terjadi semacam konflik kelembagaan dengan LPS yang pada gilirannya akan mempersulit tugas Tim Likuidasi sebagai kepanjangan tangan LPS dalam melakukan tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan bank. Penerapan adagium “lex specialis derogat legi generali” dalam kasus ini sangat mungkin menimbulkan polemik mengingat kewenangan pemda dan DPRD dalam membubarkan badan hukum PD telah diatur secara eksplisit dalam UU PD, sedangkan kemungkinan pembubaran badan PD oleh LPS dengan hanya melakukan RDK baru pada tataran interprestasi/penafsiran hukum. Oleh karena itu kemungkinan terjadinya gugatan hukum kepada LPS melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
31
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
Hambatan lain yang akan dihadapi LPS yang berkaitan dengan penerapan adagium “lex specialis derogat legi generali” dalam kasus ini dipastikan juga akan datang dari pihak yudikatif, misalnya kemungkinan dari hakim untuk mengatakan bahwa adagium dimaksud dapat diaplikasikan sepanjang UU yang mengatur sesuatu hal yang bersifat sangat khusus yang akan menyimpangi dalil yang umum yang diatur dalam UU lain menegaskan secara eksplisit pemberlakuan adagium tersebut. Dalam hal ini, apabila penafsiran secara luas tersebut di atas akan dianut, maka seharusnya UU LPS menyebutkan secara eksplisit untuk menyimpangi UU PT, UU Koperasi, UU PD dan UU lain yang mengatur mengenai hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity, termasuk UU Pasar Modal dan UU BUMN.
4. Pelaksanaan Pembayaran Klaim Penjaminan
atas
Secara yuridis, pengembalian aset kepada LPS dari hasil pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada debitur bank dapat mengalami hambatan yang disebabkan ketidakefektifan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang LPS sebagaimana telah dibahas di atas. Padahal proses pembubaran badan
hukum bank merupakan pintu masuk untuk dilakukannya pemberesan harta kekayaan bank yang akan digunakan untuk pembayaran tagihan kreditur, termasuk kepada LPS. Dapat dibayangkan masalah yang akan dihadapi oleh LPS apabila di kemudian hari terdapat banyak bank yang berbentuk PD yang masuk dalam pengawasan khusus (special surveillance) BI yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia dicabut izin usahanya oleh BI, sedangkan kewajiban pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah harus segera dilakukan oleh LPS. Mengingat kekayaan LPS adalah kekayaan negara yang dipisahkan yang termasuk ke dalam cakupan pengertian piutang negara berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka hambatan yang timbul dalam proses asset recovery tersebut di atas berpotensi menimbulkan kerugian negara sebagai akibat dari tertundanya pemasukan sejumlah uang kepada negara yang tidak tertutup kemungkinan ditafsirkan sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat dikriminalisasi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Telah
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
32
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
Diubah dengan UU No. 20 Tahun 13 2001.
IV. Kesimpulan Beberapa ketentuan yang diatur dalam UU LPS yang berkaitan dengan resolusi bank, termasuk ketentuan mengenai likuidasi bank, memberikan ruang yang terlalu luas terhadap penafsiran yang beragam yang menimbulkan potensi perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum korporasi. Hal ini jelas akan melahirkan kondisi yang tidak kondusif dalam melindungi kepentingan negara, terkait dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang LPS di bidang penjaminan simpanan nasabah bank. Oleh karena itu seyogianya LPS dalam jangka pendek, terhadap hambatan yang timbul dari penafsiran secara sempit dapat dieliminir dengan jalan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
13 Dalam kaitan ini perlu disimak kasus penahanan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta atas sangkaan melakukan penjualan pabrik gula PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) atau Rajawali III di Gorontalo. Pabrik strategis yang asetnya lebih Rp 600 milyar dijual oleh BPPN pada 2003 dengan harga Rp 84 milyar. Kejaksaan Tinggi beranggapan bahwa negara dirugikan Rp 500 milyar lebih. Lihat http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/2/4/n1.ht m. Padahal Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN telah menegaskan bahwa BPPN berwenang untuk menjual aset dalam restrukturisasi BPPN di bawah nilai buku.
terkait seperti dengan Departemen Dalam Negeri serta Departemen Hukum dan HAM. Disamping itu dapat pula dilakukan usaha permintaan opini hukum kepada Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang mengatur bahwa MA dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain. Oleh karena LPS merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif di bawah Presiden, LPS seyogiyanya dapat memanfaatkan ketentuan ini. Dalam jangka panjang, UU LPS perlu disempurnakan guna memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan lebih tegas kepada LPS khususnya dalam rangka melakukan kewenangan resolusi bank. Terkait dengan itu, rencana Amandemen UU Perbankan dan RUU tentang Perbankan Syariah yang antara lain mengusulkan muatan mengenai keharusan bentuk hukum bank berupa PT patut didukung untuk memperoleh ketegasan mengenai tanggung jawab pemegang saham PT.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
33
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
34
Volume 4, Nomor 3, Desember 2006