LEGITIMASI HAK MINORITAS DALAM MULTIKULTURALISME (Sebuah Studi terhadap Pemikiran Will Kymlicka) Arga Tyas Asmoro, Tommy F Awuy 1. Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia 2. Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas permasalahan hak terhadap minoritas kultur dalam padangan filsafat politik mengenai keadilan, melalui penjabaran dan analisis terhadap pemikiran Will Kymlicka, terkhusus pada buku Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan interpretatifanalisis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengesampingan permasalahan kultural pada liberalismeprosedural membuat permasalahan good life masuk dalam masalah privat, dibedakan dari masalah publik tentang justice, sehingga keadilan bagi minoritas kultur tidak dapat tersentuh oleh sistem. Di samping minoritas kultur yang membutuhkan struktur politik berperspektif multikultural, hak khusus terhadap minoritas kultur justru sejalan dengan teori liberal tentang keadilan. Dengan demikian teori liberal melalui pemberian hak khusus pada minoritas kultural memberikan harapan terhadap penyelesaian permasalahan kultural. Kata kunci: Multikulturalisme, hak minoritas, keadilan, keragaman, liberalisme.
LEGITIMACY FOR MINORITY RIGHT IN MULTICULTURALISM (A Study to Will Kymlicka Thought) Arga Tyas Asmoro, Tommy F awuy 1. Philosophy, Faculty of Humanity, University of Indonesia 2. Philosophy, Faculty of Humanity, University of Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRACT The focus of this study is to explain the problem of minority culture through political philosophy perspective concerning to the right discourse, by reporting the research that author did to Will Kymlicka, especially in Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right. This is an analytic-descriptive research. The results of this study indicate that the inconcideration of the cultural issues by procedural-liberalism brings the good life issues as a private matter. Therefore, the justice for minority culture cannot be touched by the system, because it is excluded from public matter. It implies that minority cultures need multicultural perspective as its political structure, specifically about the minority right. The right for minority culture is precisely in line with the liberal theory of justice. Thus, the liberal theory should count special right for minority culture. Key word: Multiculturalism, minority right, justice, diversity, liberalism
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Pendahuluan Keterikatan manusia pada ruang dan waktu membuat keadaan manusia begitu unik. Interaksi manusia dalam ruang dan waktu tertentu pada akhirnya membentuk suatu cara tersendiri, yang akhirnya secara berkesinambungan membentuk suatu kebudayaan. Mereka secara bersama-sama terikat pada ruang dan waktu namun tidak pernah pada ruang dan waktu yang sama, inilah yang membuat setiap manusia dalam kondisi unik antara satu dan yang lain. Keragaman di dalam suatu masyarakat kini sudah tidak dapat terelakan lagi. Keragaman kini semakin memasuki fase ketegangannya. Hal ini direpresentasikan melalui semakin maraknya perselisihan yang hadir secara kolektif. Empat dekade terakhir ini telah memberi bukti bahwa banyak perlawanan atas penyamarataan sudut-sudut kehidupan terhadap suatu cara pandang tertentu. Ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan politik dan intelektual yang dimotori oleh beranekaragam kelompok; seperti kelompok adat, kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kutural dan lain-lain, yang mewakili cara hidup yang berbeda-beda. Meskipun kelompok-kelompok ini begitu berbeda, namun mereka semua bersatu dalam hal menentang pandangan masyarakat luas yang cenderung menyamaratakan. Menolak cara pandang yang didasarkan pada keyakinan pokok, bahwa hanya ada satu jalan benar untuk memahami dan menstrukturkan wilayah-wilayah kehidupan (Parekh, 2000: 1). Tuntutan semacam ini jauh dari sekedar tuntutan terhadap toleransi, karena toleransi saja bersandar pada pemahaman masyarakat dan pemahaman masyarakat bergantung pada sistem nilai tertentu yang dianutnya, sehingga toleransi yang lahir pun membawa batasanbatasan tertentu. Kata toleran dalam bahasa aslinya mengacu pada “to put it with” atau “bertahan”, tidaklah cocok untuk menjadi penghubung antar-kepercayaan orang. Misalnya dalam bahasa Indonesia "Budi mentoleransi Rina" diartikan bahwa Rina melakukan kesalahan atau hal yg tak pantas, namun Budi masih bisa menerima perlakuan Rina tersebut. Artinya bukan sesuatu dengan wujud apresiasi, bukan untuk menghargai kepercayaan di luar kita. Malah justru seakan terdapat suatu justifikasi terlebih dahulu, bahwa sesuatu itu salah atau menyimpang sebelum ada toleransi. “the furhter demand we are looking at here is that we all recognize the equal value of different cultures; that we not only let them survive, but acknowledge their worth” (Taylor, 1994: 64).
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Mereka memperjuangkan penerimaan, respek bahkan pengakuan publik atas perbedaan mereka, dan bukan merupakan pengakuan yang bersifat mekanistik-yang diterima secara konseptual namun tidak secara praktek-dengan kata lain penerimanaan terhadap mereka adalah menerima dengan respek, bukan menerima mereka seperti penyakit yang diterima dengan menggerutu. Melainkan diterima secara setara, sama-sama sah dan berharga dalam menjalani kehidupan baik secara individual maupun secara kolektif. Mereka menghendaki adanya legitimasi atas perbedaan-perbedaan mereka, setidaknya bukan perbedaan yang remeh-temeh. Melalui sudut pandang mereka merupakan hal yang sangat penting yang membentuk identitas mereka. Identitas yang mengacu pada karakteristikkarakteristik tertentu, dipilih atau diwariskan. Perbedaan yang diwakili oleh kelompokkelompok dengan praktik, gaya hidup, pandangan dan cara hidup yang berbeda, terkadang malah saling berseberangan, dan dalam sejumlah hal ditentang yang lain dalam kehidupan masyarakat. Menemukan jawaban yang secara moral dapat dibela dan secara politik dapat diakui atas permasalahan-permasalahan ini adalah tantangan besar bagi demokrasi saat ini (Kymlicka, 1995; 1). Menghadapi permasalahan ini banyak kaum liberal berpikir bahwa pemisahan antara ranah privat dan ranah publik telah memberikan jawaban juga kepada permasalahan etnokultural semacam itu. Artinya negara tidak menentang kebebasan rakyat untuk menyatakan keterikatannya terhadap kebudayaan tertentu dan juga tidak memupuknya. Para anggota kelompok dilindungi dari diskriminasi, mereka bebas mempertahankan identitas kelompok yang mereka inginkan, dengan tetap konsisten terhadap hak-hak orang lain. Namun nampaknya ini murni upaya mereka pribadi, karena hukum tidak mampu menjangkau keanggotaan kelompok tersebut. Justru seakan-akan pemisahan antara negara dan ranahranah privat menghindarkan kelompok dari pengakuan hukum. Demikianlah bagaimana hak kelompok ditempatkan di bawah hak azasi manusia yang bersifat universal, banyak kebutuhan yang secara kolektif tidak terakomodasi lewat sistem liberal semacam itu. Tercermin dari standar hak azasi manusia yang tidak dapat menyelesaikan beberapa permasalahan penting dan kontroversial dalam kaitannya dengan permasalahan kelompok. Di sisi lain munculah multikulturalisme sebagai wacana atau sistem distribusi keadilan guna mengakomodir permasalahan tersebut. Di tengah semangat membangun suatu
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
tatanan masyarakat yang lebih berdamai dengan perbedaan, secara mengejutkan Perdana Menteri Inggris memberikan pernyataan yang mengejutkan dunia pada tahun 2011. “Under the doctrine of state multiculturalism, we have encouraged different cultures to live separate lives, apart from each other and the mainstream. We have failed to provide a vision of society to which they feel they want to belong.” (David Cameron, Perdana Menteri Inggris).
Demikian kecemasan-kecemasan terhadap perbedaan semakin menjadi masalah serius, kekhawatiran terhadap hilangnya identitas suatu bangsa atau ketakutan akan terjadinya disintegrasi kedaulatan negara menjadi alasan-alasan untuk memakamkan keragaman. Memang keragaman yang ditimbulkan dalam masyarakat tidak hanya sebagai tantangan bagi suatu tatanan politik, keadaan semacam itu justru lebih sering dilihat sebagai suatu ancaman bagi kedaulatan suatu negara daripada dipandang sebagai sebuah kesempatan. Singkatnya, keberagaman itu begitu problematik. Jika tidak dikelola dengan benar perbedaan rentan akan gesekan-gesekan yang berpotensi berujung pada perpecahan dan disintegrasi bangsa. Kondisi semacam ini yang membuat perbedaan harus dipelajari kemudian mencari solusi untuk antisipasi. Will Kymlicka adalah seorang filsuf asal Kanada, yang kebanyakan karyanya berkonsentrasi pada permasalahan kelompok dan politik. Dia telah menginspirasi penulis untuk mengkaji permasalahan ini secara filosofis. Kymlicka mencoba mencari jalan keluar atas permasalahan kelompok-kelompok, yang terpinggirkan dalam dominasi mayoritas. Sebuah skema pemikiran yang dipupuk oleh teori-teori liberal yang semula dianggap bertentangan dengan objek kajian ini akan diusahakan untuk menterjemahkan permasalahan ini, dengan harapan ada solusi atau pandangan yang dapat kita jalani.
Tinjauan Teoritis Sebagai sebuah kebijakan atau sistem kerjasama sosial, multikulturalisme sering mengandung makna yang seharusnya bukan merupakan masalah multikultural. Hal ini yang terkadang membuat multikulturalisme menuai banyak kritik yang tidak semestinya. Dalam hal ini Kymlicka menawarkan jalan bagi multikulturalisme untuk lebih berdamai dengan perbedaan kultural dengan terlebih lagi memberikan jaminan kepada minoritas kultur yang selama ini menjadi pihak paling dirugikan.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Sejak liberalisme mulai banyak didefinisikan secara berbeda oleh banyak penafsirnya. Kymlicka memulai dengan mengidentifikasi liberalisme pada prinsip-prinsip dasarnya. Baginya human being memiliki sebuah interest yang sifatnya esensial pada suatu kehidupan yang baik. Hal ini termasuk dua hal, yang pertama bahwa mereka dapat mengatur hidupnya dari dalam, yaitu mengacu pada kepercayaan terhadap nilai-nilai. Kedua, bahwa suatu ketika kepercayaan tersebut dapat disadari kesalahannya, maka mereka harus bebas untuk dapat merevisi itu. Apa yang disebut Kymlicka sebagai otonomi (Kymlicka, 1995: 81). Bagi Kymlicka minoritas kultur memiliki perbedaan, beberapa terkonsentrasi secara teritorial sedangan yang lain tidak, Kymlicka membedakan antara minoritas bangsa dengan minoritas etnis. 1. Minoritas Bangsa Minoritas bangsa yaitu suatu kelompok yang timbul karena keragaman yang kultur-kultur yang terkonsentrasi secara teritorial, yang tumbuh secara historis, mempunyai bahasa dan kebudayaan tersendiri. Mereka sering kali bertahan dalam suatu wilayah geografis yang kecil, mencari pengakuan dan dukungan untuk memerintah sendiri atas dasar historisitas yang mereka miliki, mereka merasa memiliki rasa kepemilikan atas budaya dan wilayah mereka sendiri. 2. Minoritas Etnis Sumber pluralisme yang kedua adalah melalui jalur imigrasi. Para imigran yang datang ke dalam suatu negara sering bergabung dalam suatu perkumpulan lepas, kelompok ini yang kemudian akan kita sebut sebagai “kelompok etnis”. Kedatangan para imigran yang sukarela dan tidak berkelompok hanya sendiri atau bersama keluarga mereka membuat mereka pasrah untuk menerima kebijakan yang mengharus mereka berintegrasi dengan kebudayaan mayoritas di negara yang mereka datangi. Selain itu ada juga kelompok kebudayaan lain yang juga tidak sesuai jika dimasukan ke dalam dua kategori minoritas kebangsaan maupun imigran, mereka adalah para pengungsi yang seperti para imigran yang datang perorangan ataupun keluarga tetapi tidak datang atas kemauannya sendiri. Diskursus soal hubungan antara hak kelompok dan hak individu telah menjadi pembicaraan sejak lama, terdapat dua pandangan (Will Kymlicka, 1994: 17). Pandangan pertama, kelompok memiliki hak yang independen, dan memungkinkan terjadinya konflik, dengan hak individu. Pandangan kedua, kelompok memiliki hak yang mana hak itu
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
merupakan apa-apa yang memang diemansipasikan oleh individu-individu di dalamnya sebagai anggota dari kelompok itu, dan tidak mengikat individu secara universal dalam statusnya sebagai human being. Versi kedua ini memungkinkan suatu konsepsi di mana hak kelompok tidak bertentangan dengan hak individu, karena hak kelompok dalam versi ini dengan sendirinya telah sesuai dengan hak individu. Dengan kata lain, pandangan ini menyelesaikan perdebatan antara individualis dan komunitarian. Dalam pengaktualisasiannya, konsep hak khusus ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk kelompok minoritas sehubungan dengan posisinya sebagai etnis atau bangsa, yang diantaranya adalah: 1.
Hak atas Pemerintahan Sendiri Tuntutan untuk pemerintahan sendiri bergerak ke dalam bentuk pengalihan
kekuasaan politik kepada unit politik yang lebih kecil, di sana secara substansial dikuasai oleh para anggota minoritas bangsa dan wilayahnya secara substansial sesuai dengan tanah air atau tanah historis mereka. 2.
Hak-hak Polietnis Asimilasi yang dituntutkan kepada kelompok minoritas etnis, biasanya
diusahakan untuk membentuk kesamaan-kesamaan supaya kaum minoritas etnis dapat masuk dalam kultur mayoritas. Kebijakan-kebijakan khusus kelompok itu –hak polietnis- dimaksudkan untuk kelompok etnis yang ingin menyatakan kekhasan kulturnya, kemudian akan jaminan untuk perlindungan atas praktik kultur dan kepercayaan mereka agar terhindar dari diskriminasi (Kymlicka, 1995: 31). 3.
Hak-hak Perwakilan Khusus Dalam pandangan tradisional hak perwakilan khusus sering dikenal dengan
istilah perwakilan cermin, maksudnya ialah bahwa badan legislatif dianggap mewakili masyarakat secara keseluruhan yang merupakan cerminan dari seluruh kelompokkelompok masyarakat yang ada. Suatu kelompok minoritas dapat menuntut perwakilan khusus, apabila kelompok kultural bersama anggotanya tersebut dirugikan secara sistemik dalam proses politik, atau jika kelompok kultural itu memiliki tuntutan untuk memerintah sendiri (Kymlicka, 1995: 32).
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Metode Penelitian Seperti layaknya penelitian filosofis lainnya, penelitian ini meninjau literatur dari kumpulan data mengenai topik yang dibicarakan. Ada dua kategori rujukan yang digunakan penulis dalam penelitian ini, yaitu data rujukan primer dan rujukan sekunder. Rujukan primer berisikan konsep-konsep dan teori yang dihasilkan langsung melalui karya-karya Will Kymlicka dan rujukan sekunder merupaka karya-karya lain yang bersumber dari website ataupun artikel. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan analisis-interpretatif untuk memaparkan bagaimana multikulturalisme dalam pandangan Will Kymlicka. Pemaparan akan difokuskan pada konsep keadilan terhadap minoritas kelompok. Kemudian penulis akan melakukan refleksi-kritis terhadap Will Kymlicka tentang bagaimana mewujudkan keadilan yang turut mengakomodir minoritas melalui interpretasi ulang terhadap minoritas yang kemudian mengacu pada multikulturalisme.
Hasil Penelitian Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penghindaran terhadap permasalahan kolektivitas mengenai hak, sebenarnya terbagi menjadi dua pandangan menurut Kymlicka. Pembagian menjadi dua versi mengenai konsepsi hak kelompok di atas dilatarbelakangi oleh penggunaan titik tolak yang berbeda dalam merespon sumber dari persoalan instabilitas kukltur (Will Kymlicka, 1994: 19). Pandangan pertama merupakan respon atas permasalahan destabilisasi kultur yang timbul dalam kultur itu sendiri, atau yang disebut juga dengan intragroup-relation view. Persoalan interest individu yang sering kali tidak sesuai dengan interest kelompok dapat berujung pada penanggalan ritualitas kelompok oleh individu. Untuk menghindari lunturnya nilai-nilai kultural di dalam individu itu, maka pemenuhan hak kelompok diasumsikan harus berada di atas hak individu. Di sisi lain, banyak kritik mengatakan bahwa konsepsi hak kelompok seperti itu merupakan kekerasan terhadap individu. Dalam pandangan hak kelompok yang seperti ini, kebebasan individu dapat tercederai atas nama solidaritas sosial. Pandangan yang kedua merespon persoalan eksternal, atau yang disebut juga dengan inter-group-relation view. Tekanan ekonomi dan politik dari kelompok masyarakat yang mayoritas menuntut pentingnya konsepsi mengenai hak kelompok yang sifatnya forwardlooking untuk menghindari adanya subordinasi kultural. Pemahaman hak kelompok seperti
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
ini juga tidak lepas dari masalah. Konsekuensi dari pendistribusian hak berdasarkan domain kultural suatu grup salah satunya adalah dapat menimbulkan segregasi antar kultur demi membela kulturnya sendiri. Dengan demikian, konsepsi hak kelompok ini di satu sisi mungkin bisa berdamai dengan hak individu. Namun di sisi lain, konflik dalam pemahaman versi kedua ini masih dapat berlangsung di level kelompok dengan kelompok. Pandangan kedua ini dapat dipertahankan, sedangkan pandangan pertama seharusnya sudah selesai dengan prinsip-prinsip liberalisme. Keistimewaan dari liberalisme yaitu adanya kebebasan fundamental tertentu yang dimiliki setiap individu. Secara khusus, mereka memberi kebebasan yang sangat luas untuk seseorang dalam memilih jalan hidupnya. Termasuk juga mengijinkan orang untuk memilih konsep hidup yang baik dan memperbolehkan mereka untuk kembali memikirkan keputusannya serta kembali mengambil keputusan yang baru yang mungkin lebih baik untuk hidupnya ke depan. Oleh karena bisa saja seseorang itu salah dalam menentukan pilihan. Namun bagi Kymlicka kebebasan individual untuk memilih tersebut baru aktual ketika konteks pilihan untuk cara hidup itu benar ada dan dijamin.
Pembahasan Banyak kaum liberal sebenarnya telah sadar sepenuhnya terhadap dimensi sosial dan kebudayaan pada kehidupan manusia dan telah mengintegrasikan permasalahan tersebut ke dalam teori kebebasan individu dan kesetaraan. Namun permasalahannya adalah banyak dari kaum liberal tersebut berasumsi bahwa individu akan menerima kebebasan dan kesetaraan mereka dalam kultur mayoritas; bahwa kultur minoritas akan hilang seiring terbentuknya negara-bangsa dengan common language dan identitas nasional mereka. Dimana integrasi sosial menjadi andalan untuk membentuk suatu negara yang dapat terus berdaulat dan berjalan secara praktis. Melalui prinsip kesetaraan warga negara yang didasarkan pada prinsip universalitas hak asasi manusia, permasalahan good life dimasukan dalam ranah privat dan dibedakan dari masalah publik tentang keadilan. Partikularitas dianggap dapat mencederai prinsip-prinsip kebebasan individu. Individu dalam berekspresi diberikan kebebasan, namun tidak ada legitimasi atas setiap ekspresi itu. Isolasi semacam ini yang menjadi bahan permasalahan, yaitu bahwa kerangka otonomi individu berdasarkan prinsip universalitas tidak cukup tajam
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
menganalisa permasalahan keragaman pada tinggat partikular. Di sisi lain, pilihan nilai dari individu secara bebas membutuhkan akses yang sepenuhnya dijamin. Pengabaian terhadap keragaman ini nampak jelas pada perdebatan antara kaum individualis dan komunitarian. Bahwa bagi kaum individualis hak merupakan sesuatu yang bersifat metafisis, tertanam secara otomatis pada setiap orang, di mana asumsi terhadap setiap orang adalah born as free and equal. Sementara komunitarian beranggapan lain; hak merupakan sesuatu yang tertanam secara historis, butuh pengakuan terhadap seseorang untuk memiliki hak, equality based on recognition. Perdebatan mereka tidak menghasilkan apa-apa, hanya memunculkan pertentangan antara dua jalan berbeda dengan tujuan yang sama, yaitu no-discrimination through being different-blind dan no-discrimation through acknowledging differences. Hal itu menyebabkan ketakutan kaum liberal menghindari pengakuan terhadap partikularitas. Kita harus melihat bahwa hak kelompok menimbulkan dua macam pandangan. Pandangan pertama menganggap bahwa kelompok memiliki hak yang independen dan mungkin konflik dengan hak individu. Hak kelompok berada di samping, bahkan di atas hak individual. Hal ini menimbulkan bahaya terhadap penindasan individu. Dalam hal ini kebebasan individu untuk tidak sejalan dengan kelompoknya dapat gugur atas nama solidaritas kelompok. Pandangan kedua menganggap kelompok memiliki hak yang mana hak itu merupakan apa-apa yang memang diemansipasikan oleh individu-individu di dalamnya sebagai anggota dari kelompok itu dan tidak mengikat individu secara universal dalam statusnya sebagai human being. Versi kedua ini memungkinkan suatu konsepsi di mana hak kelompok tidak bertentangan dengan hak individu. Hak kelompok dalam versi ini dengan sendirinya telah sesuai dengan hak individu, yang dengan kata lain, pandangan ini menyelesaikan perdebatan antara individualis dan komunitarian. Kymlicka percaya bahwa kebebasan berekspresi dapat dijamin melalui kebebasan individu. Hak minoritas tidak hanya konsisten dengan prinsip demokrasi liberal, bahkan secara aktual dapat mempromosikan kebebasan individu. Sebab kebudayaan berharga bukan pada dirinya sendiri, melainkan karena hanya dengan memiliki akses terhadap kebudayaan orang memiliki sejumlah opsi yang berarti. Budaya yang dimaksud secara spesifik adalah kebudayaan kemasyarakatan yang terkonsentrasi secara teritoris atau setidaknya memiliki bahasa sendiri. Akses individu yang terjamin terhadap objek ini akan meningkatkan kualitas hidup seseorang, yaitu persoalan good life yang diperhitungan dalam permasalahan tentang keadilan.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Perlindungan eksternal yang diusahakan melalui tiga hak kolektif yang dibedakan, yang sejalan dengan otonomi individu melalui penjaminan akses terhadap interest kultural. Hak kolektif dengan kategori : 1. Minoritas-minoritas bangsa, kelompok masyarakat dengan ikatan historis pada suatu tanah air dan berpotensi memerintah sendiri. 2. Minoritas-minoritas etnis, para imigran yang meninggalkan komunitas bangsa mereka dan masuk ke dalam satu struktur masyarakat yang baru. 3. Gerakan-gerakan sosial baru, semacam kelompok homoseksual, feminisme. Kepentingan kelompok yang terabaikan melalui kerangka hak universal dan usaha komunitarian yang kurang menonjolkan kebebasan individual, telah diselesaikan oleh Kymlicka dengan menghadirkan teori keadilan tentang hak kelompok. Seorang individu harus bebas dalam memilih sehingga tidak terjebak dalam esensialisme kultural, termasuk juga mengijinkan orang untuk memilih konsep hidup yang baik dan memperbolehkan mereka untuk kembali memikirkan keputusannya serta kembali mengambil keputusan yang baru yang mungkin lebih baik untuk hidupnya ke depan. Oleh karena bisa saja seseorang itu salah dalam menentukan pilihan. Namun bagi Kymlicka kebebasan individual untuk memilih tersebut baru aktual ketika konteks pilihan untuk cara hidup itu benar ada dan dijamin.“…we have two preconditions for leading a good life. The first is that we lead our life from the inside, in accordance with our beliefs about what gives value to life” (Kymlicka, 1995:81). Namun kita dapat saja salah dalam memahami arti atau nilai dari apa yang kita lakukan, maka dari itu kita butuh secara rasional untuk dapat mengevaluasi konsep yang telah kita miliki. Dengan demikian kenyataan bahwa kita telah salah memilih, telah menunjukkan kita bahwa kita satu langkah lebih maju dalam hal mampu meninjau kembali apa yang kita yakini, yang artinya kita beroleh akses untuk merevisi yang juga dapat sebagai bukti bahwa kita otonom. “The second precondition is that we be free to question those beliefs, to examine them in light of whatever information…” (Kymlicka, 1995:81). Individu dalam kerangka liberalime bebas melepaskan diri dari berbagai pratik kelompok yang ada, jika ia merasa tidak lagi bermanfaat untuk mengikutinya. Berdasarkan nilai-nilai liberalisme bahwa individu tidak ditentukan oleh keanggotaannya terhadap semua bentuk hubungan ekonomi, agama, gender atau bentuk-bentuk khusus lainnya. Mereka berhak untuk menolak semua bentuk hubungan. Mereka bebas menentukan dan siapapun dapat menarik diri kelompok yang
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
diikutinya, untuk selanjutnya memutuskan apakah akan mengikutinya atau meninggalkannya sama sekali (Kymlicka, 1995: 27). Dalam tradisi liberal mengatakan bahwa secara moral, individu ada sebelum komunitas. Komunitas dianggap bernilai hanya jika mereka menambah kesejahteraan individu yang berada di dalam komunitas tersebut. Apabila individu itu tidak lagi merasa perlu untuk mempertahankan praktik-praktik dalam komunitas, maka komunitas tidak memiliki hak untuk mencegah individu untuk menolaknya. “Individualists argue that the individual is morally prior to the community: the community matters only because it contributes to the well-being of the individuals who compose it.” (Kymlicka, 1995:47). Secara luas seperti apa yang telah kita bahas dalam bab II, kaum liberal selalu menentang pengakuan ataupun juga dukungan politik terhadap keanggotaan kultural. Tuntutan terhadap hak-hak kelompok dianggap merupakan hal yang menyimpang dari nilai dan praktik liberal yang telah lama terbentuk (kymlicka, 1995: 50). Nilai-nilai tradisi liberal yang dikehendaki hanya untuk memperlakukan individu secara sama dan setara, dengan tidak memandang ras atau kelompok kultural yang dimiliki. Di mana ide kesamaan ini berimplikasi pada kesamaan hak untuk dapat berpartisipasi penuh dalam politik. Bagi liberalisme keanggotaan kultural merupakan sesuatu yang justru disesali karena memberikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang menjadikannya halangan bagi kesetaraan umat manusia. Melalui pengabaian terhadap keanggotaan kultural tersebut, liberalisme dibutakan terhadap ketidak-adilan yang terjadi pada tinggat kelompok kultural. Yaitu kesempatan yang tidak sama rata bagi kelompok-kelompok kultur yang menjadi minoritas dan lemah kekuatan politiknya. Kelemahan liberalisme justru dianggap terletak pada penekanannya yang terlalu kuat terhadap otonomi individu. Dalam hal ini Kymlicka mencoba mencermati lebih jauh perselisihan antara kaum individualisme dan para kolektifisme, yang sebenarnya kekhawatiran yang mereka rasakan terlalu tidak beralasan yaitu bahwa kelompok kultural dapat mereduksi otonomi individu. Menurutnya liberalisme harusnya peka atau bahkan dapat sensitif terhadap permasalahan keanggotaan kultural. Otonomi individu tidak dimaksudkan untuk menjarakkan seseorang dengan yang lain. Namun membuka kesempatan bagi siapa saja, dari kelompok mana saja untuk mengejar dan meningkatkan tujuan-tujuan hidupnya. Hidup mereka bebas, bebas memilih, dan melalui keanggotaan kultural mereka dapat menemukan konteks pilihan yang dapat membawa mereka kepada kehidupan yang baik.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Individu harus memiliki kebebasan tanpa takut ada diskriminasi. Dengan demikian kehidupan akan menjadi baik, bahwa hidup itu bukan suatu keterpaksaan atau hasil intervensi pihak lain di luar dirinya, seorang tidak dipaksa untuk hidup dengan cara ini atau itu, melainkan mereka dapat memilih caranya sendiri untuk hidup sesuai dengan kepercayaan yang mereka anggap bernilai. Otonomi individu tidak mereduksi otonomi individu lainnya, justru dengan tegaknya prinsip otonomi individu maka kebebasan individu semakin dihargai. Jika diskriminasi ataupun marjinalisasi semakin kecil peluangnya untuk terjadi, maka
dengan demikian
praktik-praktik hidup yang berbeda akan terlindungi dan terjamin keberadaannya. Dengan demikian hak individu dapat menopang satu ruang lingkup sosial, yang menjadi wadah individu dalam masyarakat. Liberalisme memang seharusnya memperhatikan keanggotaan kultural, hanya dengan memiliki kultur yang terjamin, orang-orang akan menyadari banyak pilihan dalam hidupnya untuk hidup lebih baik lagi. Sejauh kultur dihubungkan dengan konteks pilihan (contexs of choice) maka seharusnya liberalisme juga memiliki alasan yang kuat untuk mendukung hak-hak kultural, karena keanggotaan kultural konsisten dengan respek terhadap kebebasan dan otonomi individu. Prinsip-prinsip dasar liberalisme adalah kebebasan individu dan otonomi individu justru menemukan dasarnya pada otonomi dari kelompok-kelompok kultural mereka (Kymlicka, 1995: 112). Diskursus tentang multikulturalisme hadir dalam konteks menangani problem minoritas yang aspirasinya kurang terlayani. Sebelum Kymlicka, Charles Taylor pernah hadir dengan kontroversi multikulturalisme melalui politik pengakuan. Analisis Taylor terhadap teori liberal membawa dia kepada suatu kesimpulan. Sebagai sebuah sistem yang netral, liberalisme prosedural tidak dapat mengakomodasi orang-orang dengan latar belakang perbedaan kultur. Dengan demikian, keragaman kultural pada suatu masyarakat menuntut adanya tatanan politik baru yang lebih berdamai terhadap perbedaan. Pilihan bebas dari individu dalam liberalisme membutuhkan akses terhadap kebudayaan tempat ia tumbuh. Pilihan individu liberal pun sesungguhnya selalu bergerak pada garis kultural yang spesifik, maka sudah seharusnya keanggotaan individu pada suatu kultur tertentu patut diperhitungkan dalam permasalahan publik. Taylor menolak gagasan politics of equal dignity dan menggantinya dengan politics of difference di mana akan selalu ada ruang untuk recognition bagi kelompok minoritas.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Recognition didorong oleh rasa saling menghargai, bahwa pengakuan terhadap minoritas kultur bukanlah sebagai pengakuan yang sifatnya ‘wajib’, tetapi harus pengakuan yang berasal dari dalam diri sendiri. Respect bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan oleh suatu standar tuntutan. “if the judgment of value is to register something independent of our own wills and desires, it cannot be dictated by a principle of ethics.”(Taylor, 1994: 69). Sementara kontroversi Taylor tersebut banyak bergerak pada wilayah sosio-kultural yang menjadi dasar bagi masalah multikulturalisme. Kymlicka bergerak lebih konkrit dan melangkah lebih jauh dengan rumusan teori keadilan, dengan memasukan hak-hak minoritas sebagai bagian dalam sistem hak. Subjek hak yang ditawarkan Kymlicka pada diskursus ini bukanlah individu, melainkan hak kolektif yang didefinisikan secara berbeda ke dalam tiga kategori; (1) minoritas-minoritas bangsa, kelompok masyarakat dengan ikatan historis pada suatu tanah air dan berpotensi memerintah sendiri. (2) minoritas-minoritas etnis, para imigran yang meninggalkan komunitas bangsa mereka dan masuk ke dalam satu struktur masyarakat yang baru. (3) gerakan-gerakan sosial baru, kelompok non-etnis semacam kelompok homoseksual, feminisme. Munculnya minoritas bangsa sebagai suatu kondisi yang diperhitungkan dalam tatanan sistem hak di sini adalah suatu langkah yang cukup radikal dalam diskursus mengenai multikulturalisme. Meskipun keragaman etnis dapat diterima oleh suatu negara, namun penerimaan eksistensi minoritas bangsa dan legitimasinya terhadap hak untuk memerintah sendiri tentunya cukup problematis. Hal tersebut tentunya mengundang banyak kekhawatiran terhadap runtuhnya kedaulatan suatu negara, seperti kekhawatiran terhadap ancaman separatisme. Terlihat pada dimensi ini, ada semacam identifikasi pengertian tentang bangsa dan negeri yang ingin dipertahankan oleh Kymlicka atau dengan kata lain Kymlicka mengajak pembacanya untuk bersikap lebih adil terhadap penduduk pribumi, bahwa penyamarataan pandangan tersebut merupakan warisan dari sikap imperialis-kolonial. Di satu sisi usaha Kymlicka memang memberikan landasan teortis tentang bagaimana langkah tepat untuk mengelola permasalahan ini, namun lebih khusus Kymlicka tidak memberi rumusan pasti tentang permasalahan separatisme dan implikasi dari penggunaan hak-hak tersebut dalam suatu tatanan sistem.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Pada akhirnya kita akan kembali pada intensi dasar politik multikulturalisme yang merupakan kepentingan untuk mendengarkan suara minoritas yang terabaikan secara sistematis di dalam prinsip mayoritas. Dalam kehidupan sosial kita seharusnya layak untuk setara, bahwa kesamaan bukan berarti penyamaan dan diferensiasi tidak harus berakhir pada diskriminasi.
Kesimpulan Subjek hak yang ditawarkan Kymlicka pada diskursus ini bukanlah individu, melainkan hak kolektif yang didefinisikan secara berbeda ke dalam tiga kategori; (1) minoritas-minoritas bangsa, kelompok masyarakat dengan ikatan historis pada suatu tanah air dan berpotensi memerintah sendiri. (2) minoritas-minoritas etnis, para imigran yang meninggalkan komunitas bangsa mereka dan masuk ke dalam satu struktur masyarakat yang baru. (3) gerakan-gerakan sosial baru, kelompok non-etnis semacam kelompok homoseksual, feminisme. Hak yang sifatnya kolektif yang semula dihindari dari prinsip-prinsip liberalismeprosedural, yang Kymlicka selesaikan dengan menginterpretasi ulang prinsip-prinsip dasar tersebut.
Saran Meskipun pertanyaan telah dirumuskan dan jawaban telah dielaborasikan, penulisan skripsi ini masih menyisakan residu-residu yang mungkin bisa dijadikan peneletian lanjutan. Misalnya dengan mengidentifikasi negara multibangsa semacam Indonesia. Jika kita mengikuti logika yang ditawarkan Kymlicka, maka kita dapat melihat adanya konsep ilusif tentang bangsa Indonesia, yang mana konsep itu seakan sedang berusaha membentuk suatu identitas negara-bangsa dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Terkesan mengeneralisir secara halus keragaman bangsa yang ada, bangsa-bangsa pribumi yang ada dimasukan kedalam satu kategori di bawah nama bangsa Indonesia. Di satu sisi, konsep ilusif tersebut telah berjasa kepada kita. Melalui nama Indonesia kita berhasil menghimpun identitas bersama guna memobilisasi perlawanan terhadap kekuasaan kolonial untuk melepaskan diri dari jajahan menuju status merdeka. Namun waktu terus berlalu, narasi agung ini mulai dapat dicurigai ketika kita meninjau ulang kata pribumi dan non-pribumi. Siapa yang memiliki sejarah pada tanah ini, bahasa yang berlaku pada suatu bangsa. Ketika orang Cina yang telah mendapatkan status
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
WNI, mereka tetap saja dipandang sebagai orang asing dihadapan mayoritas pribumi (Indonesia). Dalam kondisi ini, mayoritas dianggap sebagai suatu substansi etnis yang sifatnya tunggal, homogen dan lebih asli daripada para orang asing, padahal dalam kenyataannya mayoritas ini juga sangat polietnis dan heterogen. Dasar pemikiran yang ditawarkan Kymlicka membuka kita pada bagaimana keadaan sesungguhnya secara politik, kondisi bangsa-bangsa minoritas di Indonesia. Mereka yang berada di ujung-ujung pulau yang memiliki kebudayaannya sendiri. Apakah akses demokrasi Indonesia telah cukup mengakomodir kebutuhan kultural mereka? Saya pikir sangat sulit untuk menilai karena banyak term-term birokrasi yang belum sempurna dalam pelaksanaannya, namun dalam struktur politis yang ideal apakah mampu teratasi problemproblem kultural seperti yang Kymlicka gambarkan. Presiden RI pertama, Ir. Soekarno pernah mengatakan ‘Jas Merah’ yang kurang lebih artinya jangan pernah melupakan sejarah. Apakah ketika kita telah lupa pada sejarah yang membentuk narasi tentang bangsa Indonesia. Akankan kita lupa pada sesuatu yang menyatukan kita, mengembalikan pada masa lampau, ketika kelompok-kelompok bangsa berdiam secara teritorial dalam suatu wilayah dengan kearifan lokalnya masing-masing. Kymlicka memang tidak mengeluarkan rumusan-rumusan pasti tentang bagaimana mengelola perbedaan dalam persatuan, namun dalam akhir-akhir bab buku multicultural citizenship dia menyinggung nama Parekh untuk mengatakan satu identitas nasional yang bercirikan keragman kultural. Saya pikir ini sebuah optimisme untuk memandang Indonesia sebagai negara yang kaya akan keragaman dapat dikelola dengan benar, kita sudah memilikinya identitas itu sebagai embrio dan dapat diajukan sebagai bahan penelitian lanjutan.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Daftar Referensi Daftar Buku Bollafi, Guido dkk. (2003). Dictionary of Race. Roma: Passegiata di Ripetta 11. Dworkin, Ronald. (2000). Sovereign Virtue: The Theory and Practice of Equality. United State: Harvard University Press. Gutmann, Amy. (1994). Introduction dalam buku Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Jersey: Princeton University Press. Kymlicka, Will. (2002). Contemporary Political Philosophy: An Introduction. New York: Oxford University Press Inc. -------------------- (1994). Individual and Community Right dalam buku Group Right (Judith Barker ed.). Canada: University of Toronto Press -------------------- (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Right. New York: Oxford University Press Inc. -------------------- (2012). Multiculturalism: Success, Failure, and the Future. Washington, DC: Migration Policy Institute. Parekh, Bhikhu. (1997). A Commitment to Cultural Pluralism. Paris. --------------------- (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London: MACMILLAN PRESS LTD. Rawls, John. (1993). Political Liberalism. New York: Columbia University Press. Taylor, Charles. (1994). The Politics of Recognition dalam buku
Multiculturalism:
Examining the Politics of Recognition (Amy Gutmann ed.). New Jersey: Princeton University Press. Daftar Jurnal Driedger, Leo. (2008). Multicultralism: Bridging Ethnicity, Culture, Religion And Race. Dipublikasikan oleh Forum on Public Policy. Garcia, Frank. (2001). John Rawls – The Law of Peoples. Dipublikasikan oleh Harvard University Press. Kymlicka, Will. (1996). Interpreting Group Rights. Dipublikasikan oleh Penn State University Press. ------------------
(1989). Liberal Individualism and Liberal Neutrality. Dipublikasikan oleh
The University of Chicago Press. Kymlicka, Will., & Marin, Ruth. (1999). Liberalism and Minority Right. An Interview. Dipublikasikan oleh Blackwell Publishers LTD.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013
Vujadinovic, Dragica. (2009). Ronald Dworkin – Theory of Justice. Dipublikasikan oleh European Scientific Journal. Daftar Media Elektronik BBC
News.
David
Cameron
warns
of
failed
‘state
multiculturalism’.
http://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-12372629 diakses pada 25 Mei 2013, pukul 01.00 WIB. Kymlicka, Will. Biography. http://post.queensu.ca/~kymlicka/biography.php diakses pada 1 Mei 2013, pukul 00.19 WIB. --------------------. Full CV. http://post.queensu.ca/~kymlicka/documents/CV-web.pdf diakses pada 1 Mei 2013, pukul 00.31 WIB. --------------------.
The
Three
Lives
of
Multiculturalism.
http://academia.edu/2397536/The_Three_Lives_of_Multiculturalism diakses pada 20 Juni 2013, pukul 01.27 WIB.
Legitimasi hak …, Arga Tyas Asmoro, FIB UI, 2013