LEADERSHIP OF CARLOS GHOSN AT NISSAN Oleh: Ariefka Sari Dewi, M.B.A. Nissan Automobile merupakan perusahaan manufaktur kendaraan (mobil) yang terletak di Jepang. Pada 1990, Nissan mengalami keberhasilannya melalui kompetisi pada kualitas, daya tahan produk dan efisiensi bahan bakar. Namun pada awal tahun 1999, Nissan mengalami kemunduran karena adanya krisis keuangan yang melanda Asia hingga pada akhirnya Renault sebuah perusahaan otomotif Prancis melakukan aliansi strategis dengan Nissan. Pada bulan Maret 1999, Carlos Ghosn seorang Vice President R&D Renault mengambil alih posisi sebagai Chief Operating Officer (COO) pada Nissan. Beberapa analis industri mengantisipasi adanya ketidaksesuaian gaya kepemimpinan budaya Prancis dengan budaya karyawan Jepang, selain itu Carlos Ghosn juga menghadapi perbedaan budaya antara Renault dan Nissan. Jepang memiliki budaya bahwa karyawan Jepang cenderung menghindari kesalahan untuk menjaga pertumbuhan karirnya. Hasilnya terlihat pada rapat informal dan koalisi antara karyawan dalam hal pengambilan keputusan. Selain itu pada budaya Jepang, umur, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pada suatu organisasi merupakan faktor penting yang menentukan kesuksesan seseorang atau bagaimana karyawan meningkatkan jenjang karirnya. Jepang menerapkan prinsip budaya yang disebut dengan Nennkou-Jyoretu dimana menempatkan karyawan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta promosi secara umum didasarkan pada senioritas dan tingkat pendidikan. Budaya Jepang tersebut telah digunakan untuk merangsang peningkatan kualitas dan produktivitas. Norma budaya tersebut telah menghalangi atau menghambat Nissan dalam mengambil keputusan. Norma budaya tersebut menjadi penghambat bagi Nissan dalam pengambilan risiko dan lamban dalam membuat keputusan pada seluruh level organisasi. Secara rutin, seluruh karyawan yang ada menghabiskan waktu untuk bekerja namun tidak adanya sesuatu yang penting dalam mengambil tindakan baru sehingga hasil yang diinginkan tidak tercapai. Terkait dengan masalah tersebut, kesadaran karyawan meningkat bahwa Nissan tidak dapat berkinerja dengan baik karena budaya Jepang melindungi kemajuan karir daripada mengambil sebuah tanggung jawab. Misalkan manajer penjualan menyalahkan perencanaan produk, perencanaan produk menyalahkan teknisi, dan seterusnya. Ketika Carlos Ghosn datang ke Jepang untuk pertama kalinya, ia mempelajari bahwa pada dasarnya mayoritas karyawan mengetahui masalah yang ada pada Nissan, namun karyawan meyakini bahwa masing-masing departemen dapat bekerja secara optimal. Carlos Ghosn juga mempelajari
bahwa karyawan Nissan tidak memiliki perasaan kebangkrutan Nissan, karena adanya tradisi bisnis Jepang dimana seluruh karyawan akan selalu diberi tanggungan atau jaminan oleh pemerintah Jepang. Pandangan tersebut didasarkan pada hubungan kerjasama jangka panjang antara pemerintah dan perusahaan untuk memastikan penempatan karyawan dan ekspansi ekspor ke pasar global. Masalah kedua yang dihadapi oleh Carlos Ghosn adalah prosedur norma yang ada pada Nissan. Pertama, ketidakefektifan yang dialami oleh Nissan mulai dari pembuatan dan pengambilan keputusan hingga pengimplementasian serta tindakan lanjutan atas keputusan tersebut. Kedua, manajemen puncak mengembangkan visi atas fokus strategisnya untuk mendapatkan pangsa pasar. Ketiga, masalah komunikasi antara tiap-tiap bagian pada organisasi dimana karyawan tidak mendapatkan informasi penting mengenai keputusan bisnis perusahaan. Keempat, kurangnya kejelasan perusahaan mengenai orientasi pada laba. Kelima, perusahaan terlalu fokus pada pesaing sehingga kurangnya fokus pada konsumen. Keenam, tidak adanya penyampaian visi perusahaan atau rencana jangka panjang. Ketujuh, rendahnya pengertian atau perasaan mengenai pentingnya perusahaan atau masalah yang sedang dihadapi perusahaan. Kedelapan, kurangnya cross-functional, cross-border, serta cross-cultural. Berdasarkan beberapa masalah tersebut baik dari sisi budaya Jepang maupun budaya organisasi sendiri, Carlos Ghosn berpegang pada tiga prinsip dalam melakukan perubahan terhadap organisasi di Nissan, diantaranya: 1. Transparansi: sebuah organisasi dapat berjalan efektif apabila karyawan meyakini apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh pemimpinnya. 2. Pelaksanaan: Carlos Ghosn menerapkan pelaksanaan strategi tersebut dengan proporsi 95%. Beberapa strategi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas, menekan biaya dan meningkatkan kepuasan pelanggan. 3. Komunikasi: dimaksudkan untuk menyampaikan visi dan misi pemimpin kepada karyawan (bawahan) serta untuk memperkuat atau mempersatukan komunikasi antar departemen. Dalam merealisasikan prinsip-prinsipnya tersebut, Carlos Ghosn melakukan beberapa tindakan seperti membentuk Cross-Functional Teams (CFT) yang terdiri dari 10 anggota pada berbagai divisi seperti pengembangan bisnis, pembelian, manufaktur, logistik, R&D, penjualan dan pemasaran, administrasi, keuangan dan struktur organisasi. Melalui CFT, Carlos Ghosn mengembangkan budaya baru dalam Nissan yang terdiri dari elemen-elemen terbaik budaya nasional Jepang. Masing-masing CFT terdiri dari beberapa sub-tim yang
terdiri dari 10 anggota dimana para anggota tersebut fokus pada isu-isu khusus seperti rekomendasi untuk peningkatan laba serta mengakpan berbagai peluang masa depan yang dihadapi oleh tim-tim besar. Kemudian isu-isu tersebut dilaporkan kepada supervisor, namun tidak diberi kewenangan dalam mengambil keputusan. Selain itu, Carlos Ghosn menjadi COO pertama yang terjun langsung ke lapangan untuk bertemu, berjabat tangan, berkenalan serta berdiskusi dengan setiap karyawan di Nissan, sehingga mengetahui berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan. Dengan berbagai rekomendasi yang diperoleh dari CFT, Carlos Ghosn menerapkan dan mengkomunikasikan Nissan Revival Plan (NRP) yang berfokus pada pengembangan citra merek Nissan, investasi pada R&D, serta mengurangi biaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Carlos Ghosn cukup berani bertentangan dengan budaya Jepang yang cenderung untuk memperkerjakan karywan dalam waktu yang lama. Tindakan yang dilakukan yaitu menutup lima pabrik dan memberhentikan 21.000 pekerja (setara dengan 14% dari keseluruhan karyawan Nissan). Pemberhentian pekerja tersebut terjadi pada level manufaktur, mananajemen hingga dealer. Tindakan lain yang dilakukan oleh Carlos Ghosn adalah reorganisasi terhadap departemen cross-functional dan staf pada level atas. Pada staf level atas, Carlos Ghosn membentuk matriks organisasi untuk meningkatkan transparansi dan komunikasi. Dengan matriks tersbeut, masing-masing staf memiliki dua tanggungjawab yaitu fungsional (seperti pemasaran dan teknik) serta regional (seperti domestik dan Amerika Utara) sehingga masing-masing staf memiliki dua atasan. Hal tersebut bertujuan agar setiap staf memiliki kesadaran mengenai masalah-masalah fungsional dan regional yang terjadi pada Nissan. Carlos Ghosn juga menetapkan standar pertanggungjawaban pelaporan yang tinggi dimana pelaporan tersebut harus akurat 100%. Carlos Ghosn juga melakukan tindakan lain yang berbeda dengan budaya Jepang yaitu fokus pada kinerja karyawan dengan menerapkan sistem insentif berdasarkan pada kinerja karyawan. Insentif tersebut meliputi uang tunai dan stock options untuk pencapaian yang dilakukan karyawan terhadap peningkatan pendapatan dan laba perusahaan. Sebelumnya tradisi Jepang tidak menerapkan sistem kompensasi, dimana manajer pada umumnya tidak mendapatkan stock options atau bonus atas hasil kinerja mereka. Dibawah kepemimpinan Ghosn, sistem kompensasi didasarkan pada karyawan yang mendapatkan pencapaian tertinggi akan mendapatkan reward tertinggi pula. Selain itu, Carlos Ghosn menerapkan sistem promosi jabatan tidak berdasarkan pada batasan usia, tingkat pendidikan maupun lamanya pengalaman. Sehingga memungkinkan seorang pekerja pabrik dengan tingkat pendidikan diploma menjadi manajer pabrik karena kinerja dan kemampuan yang
dimilikinya. Bagi manajer yang kurang produktif dan tidak mencapai target yang telah ditetapkan, maka Carlos Ghosn dapat memberhentikannya. Carlos Ghosn mampu merubah sistem budaya tradisi Jepang yang telah lama melekat pada karyawan dan perusahaan menjadi budaya organisasi yang berbeda. Carlos Ghosn berorientasi pada pencapaian tujuan dengan peningkatan laba, penjualan dan pangsa pasar, orientasi dan tujuan tersebut dikomunikasikan dengan baik kepada karyawan agar setiap karyawan memiliki rasa untuk mengembangkan perusahaan. Dengan kata lain, agar karyawan memahami arah dari perusahaan sehingga karyawan termotivasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam mengambil suatu keputusan, Carlos Ghosn melibatkan para karyawan yang terbentuk dalam suatu tim untuk membuat rekomendasi bagi Carlos Ghosn meskipun karyawan tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Dengan kebijakan tersebut, karyawan merasa memiliki andil atau peranan penting bagi perusahaan. Sedangkan bekerja secara tim lintas fungsional dan regional, menjadikan karyawan memahami tugas-tugas yang dilakukan oleh departemen lain sehingga karyawan memiliki kepedulian terhadap karyawan lainnya. Carlos Ghosn juga memberikan reward kepada karyawan yang berkinerja baik serta memberikan punishment bagi manajer atau karyawan yang tidak dapat mencapai target. Carlos Ghosn juga memantau kinerja CFT dengan memberikan review laporan selama tiga bulan sekali serta memastikan kesesuaian kinerja CFT dengan isu-isu yang dihadapi dimana isu-isu tersebut merupakan tujuan atau sasaran yang harus diberikan solusinya. Melakukan perubahan dari tradisi Jepang menjadi tradisi yang berbeda dari sebelumnya merupakan hal yang sangat sulit. Meskipun beberapa analis industri meragukan gaya kepemimpinan Carlos Ghosn karena perbedaan budaya yang sangat mencolok, namun Carlos Ghosn dapat membuktikan kesuksesannya memimpin Nissan sehingga mengeluarkan Nissan dari krisis. Carlos Ghosn bukan merupakan warga Jepang, namun pengalaman multikultural yang dimilikinya dapat menyesuaikan dan menciptakan budaya baru dalam perusahaan. Carlos Ghosn dapat memadukan kerjasama tim yang menjadi ciri khas orang timur dengan individualistik khas orang barat. Tidak hanya itu, Carlos Ghosn mampu melakukan transisi dari dari tipikal tradisi Jepang birokratis (bergantung pada pemerintah) menjadi perusahaan yang proaktif dan fokus pada pasar global. Berikut ini merupakan sebelum dan sesudah perubahan budaya Nissan dibawah kepemimpinan Carlos Ghosn:
Tabel 1: Perubahan Budaya sebelum dan sesudah kepemimpinan Carlos Ghosn Keterangan Komitmen
Sebelum Bergantung
pada
Sesudah kebijakan Tanggung jawab individu.
pemerintah. Kejelasan
Melibatkan
hubungan
komunikasi Hubungan
linguistik,
Komunikasi
antar karyawan secara vertikal.
Menghargai
Mentalitas “too big to fail”. Semakin Budaya
Budaya Lain
beragam budaya dapat menyebabkan kesederhanaan.
transparansi,
sistematis. kerendahan
hati
dan
kegagalan. Kejelasan
Keinginan untuk sama dengan Toyota
Indentitas Promosi
yang menarik, desain produk unik/ Berdasarkan umur, tingkat pendidikan Berdasarkan kinerja dan kemampuan dan pengalaman kerja (senioritas).
Reward
Memiliki identitas perusahaan, produk
yang dimiliki karyawan.
Tidak ada sistem kompensasi atau Bonus bagi karyawan dengan kinerja bonus.
yang baik. REFERENSI
Kreitner, Robert. Kinicki, Angelo. (2010). Organizational Behavior. Ninth Edition. McGraw Hill. Millkin, John. Fu, Dean. (2003). The Global Leadership of Carlos Ghosn at Nissan. Thunderbird School of International Management. Nakae, Koji. (2005). Cultural Change: A comparative Study of The Change Efforts of Douglas Macarthur and Carlos Ghosn in Japan. Master Thesis. Massachusetts Institute of Technlogy.
Pertanyaan: 1. Gaya kepemimpinan apa yang sesuai dengan Carlos Ghosn? 2. Teori/Pendekatan apa yang sesuai dengan Carlos Ghosn? 3. Saran apa yang dapat Anda berikan terkait dengan kepemimpinan Carlos Ghosn?