LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN TIM PASCASARJANA
JUDUL PENELITIAN: PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (Tahun ke-2 dari rencana 3 tahun)
TIM PENELITI Prof. Dr. Joko Widodo, M.Pd Prof. Dr. Samsudi, M.Pd Dr. Trisnani Widowati, M.Si
NIDN. 0006016706 NIDN. 0008086014 NIDN. 0027026202
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG OKTOBER 2016
i
ii
RINGKASAN Tujuan utama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah untuk mencetak tenaga kerja, baik sebagai karyawan (employee) maupun pemilik pekerjaan (employeer) atau wirausahawan (entrepreneur). Namun sistem penyelenggaraan pendidikan yang ada saat ini tidak mendukung apa yang menjadi tujuannya. Terbukti masih banyak lulusan SMK yang belum siap bekerja, utamanya sebagai wirausahawan. Untuk mencetak seorang wirausahawan, tidak dapat dilakukan secara parsial, namun semua pihak atau unit-unit yang terkait perlu menangani secara terpadu. Keterpaduan antara lain melibatkan LPTK sebagai lembaga penghasil guru SMK, model pembelajaran di SMK, Unit Produksi di SMK, dan keterlibatan dunia usaha dan industri (DUDI) melalui pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan atau Praktik Kerja Industri (Prakerin). Topik penelitian ini telah mengacu pada Rencana Strategis LP2M Unnes Tahun 2015-2019, dimana terdapat beberapa topik bidang inovasi pendidikan berkualitas & berkarakter yang perlu dikaji, antara lain tentang manajemen sekolah, kurikulum berbasis kewirausahaan & kearifan lokal, dan model pembelajaran. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Melalui penelitian Tim Pascasarjana ini akan dikembangkan model manajemen pendidikan kewirausahaan yang dikaji melalui empat aspek yang saling terkait yaitu LPTK sebagai lembaga penghasil guru SMK, model pembelajaran, Unit Produksi di SMK, dan pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan atau Prakerin. Penelitiaan dirancang dalam tiga tahun menggunakan pendekatan Research and Development (R & D) dan saat ini menginjak tahun kedua. Pada tahun pertama dan kedua melibatkan empat mahasiswa program pascasarjana, terdiri dua mahasiswa S-3 program Manajemen Kependidikan dan dua mahasiswa S-2 program Pendidikan Kejuruan. Subjek penelitian adalah semua stakeholder terkait dengan penyelenggaraan pendidikan pada SMK maupun LPTK, antara lain guru, dosen, dunia usaha dan industri, Dinas Pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan yang terkait di Jawa Tengah. Pada tahun kedua ini telah berhasil disusun model dan panduan pelaksanaan manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan local pada SMK. Model ini mencakup empat sub-model, yaitu: 1) Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan oleh LPTK, 2) Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan di SMK, 3) Model Manajemen Penyelenggaraan PKL/ Prakerin di SMK, dan 4) Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK. Diharapkan pada tahun ketiga model tersebut dapat diimplementasikan pada SMK dalam lingkup terbatas maupun diperluas, sehingga dapat dihasilkan model akhir yang bermanfaat dalam pengembangan pendidikan Kewirausahaan di SMK maupun pengembangan dunia pendidikan pada umumnya.
iii
PRAKATA
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang karena tim peneliti telah dapat menyelesaikan laporan tahunan penelitian tentang Pengembangan Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan. Penelitian menginjak tahun kedua, dan telah dihasilkan empat sub-model model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tim peneliti pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah sangat membantu dalam pelaskanaan kegiatan penelitian ini. Pada kesempatan ini tim peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Direktur Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTM) Kemenristekdikti. 2. Rektor Unversitas Negeri Semarang beserta jajaran pimpinan. 3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Semarang serta seluruh staf. 4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang beserta seluruh staf. 5. Kepala Dinas Pendidikan di Kota Semarang, Kota Salatiga, dan Kab. Demak 6. Para Kepala SMK di Kota Semarang, Kota Salatiga, dan Kab. Demak yang telah memberi izin dan membantu dalam pengumpulan data penelitian. 7. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Tim peneliti menyadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangankekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan senang hati. Kami berharap semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan dunia pendidikan. Semarang, Oktober 2016 Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. RINGKASAN .................................................................................................. PRAKATA ...................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1.2. Identifikasi Masalah ................................................................... 1.3. Perumusan Masalah .................................................................... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 2.1. Peran Pendidikan Kejuruan Dalam Pembangunan ..................... 2.2. Kewirausahaan ........................................................................... 2.3. Keunggulan Lokal ...................................................................... 2.4. Kajian Penelitian yang Relevan.................................................. 2.4. Kerangka Berpikir ...................................................................... BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .................................... 3.1. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3.2. Manfaat Penelitian ...................................................................... BAB 4. METODE PENELITIAN ................................................................. 4.1. Pendekatan Penelitian ................................................................ 4.2. Lokasi dan Subjek Penelitian ..................................................... 4.3. Metode dan Alat Pengumpulan Data ......................................... 4.4. Teknik Analisis Data .................................................................. 4.5. Desain Penelitian ........................................................................ BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ...................................... 5.1. Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan ............... 5.2. Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan .......... 5.3. Model Manajemen Penyelenggaraan PKL/Prakerin ................. 5.4. Model Pengelolaan Unit Produksi .............................................. 5.5. Hasil Perkembanagn Mahasiswa Bmbingan Penelitian ............. BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ....................................... 7.1. Rencana Penelitian Berikutnya .................................................. 7.2. Agenda Penelitian Tahun Ketiga ................................................ BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 7.1. Kesimpulan ................................................................................ 7.2. Saran ........................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................... v
i ii iii iv v 1 1 4 6 8 8 10 12 14 16 17 17 18 19 19 19 20 20 21 23 25 26 29 32 34 35 35 36 37 37 37 39 43
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Berpikir ..........................................................................
16
Gambar 2. Bagan Alur Penelitian .....................................................................
22
Gambar 3. Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan pada SMK ...........
24
Gambar 4. Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan ....................
25
Gambar 5. Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan .............
28
Gambar 6. Konsep Dasar Model PKL Bebasis Kewirausahaan.......................
31
Gambar 7. Model Pelaksanaan PKL Berbasis Kewirausahaan pada SMK ......
32
Gambar 8. Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK ....................................
33
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Personalia Tenaga Peneliti ...........................................................
44
Lampiran 2. Artikel Penelitian .........................................................................
45
vii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan Badan Pusat Statitik (BPS, 2013), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 7,2 juta orang atau 5,92 persen dari 121,3 juta angkatan kerja. Jika dilihat berdasarkan latar belakang pendidikannya,
jumlah
pengangguran yang berasal dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 847.052 orang atau 11,81 persen, atau lebih besar daripada tingkat pengangguran nasional 5,92 persen. Tingginya angka pengangguran tersebut perlu mendapatkan perhatian serius semua pihak, baik pemerintah maupun para ahli pendidikan, karena terkait langsung dengan kemiskinan, kriminalitas,
dan masalah-masalah sosial lainnya. Sebagai
implikasinya, diperlukan adanya inovasi atau pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan, sehingga dapat memperkecil gap antara apa yang menjadi harapan dengan kenyataan yang ada. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimanakah peran SMK selama ini, apakah sekolah tidak mampu menyiapkan lulusan untuk memasuki dunia kerja? Berbeda dengan pendidikan menengah umum (SMA) yang lebih mengutamakan penyiapan peserta didik untuk melanjutkan jenjang lebuh tinggi, pendidikan menengah kejuruan (SMK) lebih mengutamakan pada penyiapan siswa untuk bekerja dalam bidang tertentu (UU RI No. 20 Th. 2003 ps. 15). Hal senada dikemukakan Cahoun dan Finch (dalam Sonhaji, 2012:154), pendidikan kejuruan sebagai program pendidikan terorganisasi yang secara langsung berkaitan dengan penyiapan individu untuk memasuki dunia kerja. Jadi jika lulusan SMK masih banyak yang menganggur, dapat dikatakan apa yang menjadi tujuan SMK belum sesuai dengan harapan. Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah, pengangguran terjadi karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja lebih banyak daripada lapangan kerja yang ada. Paradigma ini sebetulnya berlaku ketika angkatan kerja adalah mereka yang hanya mencari pekerjaan (job seeker) dan tidak berlaku bagi pencipta lapangan kerja, yaitu para wirausahawan (entrepreneur) atau pekerja mandiri (independent worker). Bagi seorang wirausahawan, tidak ada istilah jumlah lapangan kerja terbatas, karena lapangan kerja tidak untuk dicari tetapi 1
diciptakan. Apabila
paradigma kewirausahaan ini dipahami dan diterapkan di SMK, diharapkan akan lebih banyak lulusan SMK yang menjadi wirausahawan atau entrepreneur yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah pengangguran lulusan SMK. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 50 ayat 5 secara eksplisit menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Kemudian dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan kurikulum SMK dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014 juga disebutkan bahwa salah satu strategi pengembangan program pendidikan menengah kejuruan
adalah melalui sistem
pembelajaran SMK bermutu yang berbasis keunggulan lokal dan relevan dengan kebutuhan daerah yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota (Renstra Kemdiknas 2010-2014:56). Menurut Balitbang Depdiknas (2007), pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Kebijakan tentang pendidikan berbasis keunggulan lokal ini juga sejalan dengan Rencana Strategis LP2M Unnes Tahun 2015-2019, dimana terdapat beberapa topik bidang inovasi pendidikan berkualitas & berkarakter yang perlu dikaji, antara lain tentang manajemen sekolah, kurikulum berbasis kewirausahaan & kearifan lokal, dan model pembelajaran. Oleh karena itu penelitian tentang model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ini sudah sejalan dengan yang telah digariskan dalam Renstra Kemdiknas maupun Renstra LP2M Universitas Negeri Semarang. Untuk mencetak seorang wirausahawan, tidak dapat dilakukan secara parsial, namun semua pihak atau unit-unit yang terkait perlu menangani secara terpadu. Keterpaduan antara lain melibatkan LPTK sebagai lembaga penghasil guru SMK, model pembelajaran di SMK, Unit Produksi di SMK, dan keterlibatan dunia usaha dan industri (DUDI) melalui pelaksanaan Praktik Kerja Industri (Prakerin). Selama ini masing-masing unit penyelenggara pendidikan di SMK dan penyiapan calon guru 2
SMK oleh LPTK terkesan kurang terpadu dan roadmap untuk mencetak wirausahawan kurang jelas. Pada Kurikulum SMK yang berlaku sebelumnya (1995, KBK, KTSP), mata pelajaran Kewirausahaan diberikan mulai kelas/tingkat I hingga III (Lihat Kurikulum SMK). Namun demikian outcome yang dihasilkan belum sesuai harapan karena masih banyak lulusan yang menganggur. Hal ini tidak lepas dari kompetensi guru pengampu mapel Kewirausahaan di SMK, dimana tidak dipersiapkan khusus oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Secara bertahap pemerintah akan memberlakukan Kurikulum 2013, mata pelajaran Kewirausahaan juga tetap dipertahankan dengan nama mata diklat Prakarya dan Kewirausahaan. Mata diklat ini merupakan mata diklat wajib kelompok B yang dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi muatan yang berkearifan lokal sesuai potensi sekolah dan daerah. Mata diklat Prakarya dan Kewirausahan wajib ditempuh semua siswa sejak semester 1 sampai semester 6 dan merupakan unsur penting dalam sistem penyelenggaraan pembelajaran (diklat) di SMK. Bagaimana model pembelajaran kewirausahaan yang tepat, dalam arti mampu memberikan kontribusi signifikan dalam menyiapkan lulusan SMK yang mampu berwirausaha, perlu dikaji lebih jauh. Selain aspek guru dan model pembelajaran, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah menengah kejuruan (SMK) terdapat unit atau program yang tidak dilaksanakan oleh sekolah menengah umum (SMA), yaitu adanya Unit Bisnis atau Unit Produksi, dan program Praktik Kerja Industri (Prakerin). Unit dan program pendidikan tersebut sebetulnya sangat relevan dengan upaya menyiapkan lulusan SMK untuk menjadi wirausahawan. Melalui Unit Bisnis/Unit Produksi, siswa dapat berlatih berwirausaha dengan menjual produk dan/atau jasa yang dibutuhkan pasar, utamanya yang sesuai potensi lokal daerah setempat. Demikian juga dalam penyelengaraan Praktik Kerja Industri (Prakerin) sebagai implementasi pendidikan sistem ganda (PSG) yang dicanangkan sejak tahun 1995 justru memperkuat paradigma penyiapan lulusan SMK sebagai buruh yang mengisi lowongan pekerjaan di industri. Sebelum adanya kebijakan PSG, nama program ini adalah PKL (Praktik Kerja Lapangan) dimana istilah ini lebih tepat karena siswa SMK dengan jumlah bidang keahlian sangat beragam (9 3
bidang
keahlian, 46 program keahlian, dan 128 paket keahlian-sesuai Spektrum Keahlian SMK 2013) tidak mungkin semuanya sebagai buruh industri. Untuk itulah perlu adanya inovasi atau pengembangan model Prakerin yang tidak hanya berorientasi pada penyiapan lulusan SMK untuk menjadi buruh industri tetapi juga menyiapkan wirausahawan. Selain keberagaman kompetensi keahlian di SMK, wilayah Indonesia yang luas mencakup 33 provinsi dimana masing-masing provinsi mempunyai keunggulan lokal. Dalam lingkup Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kota, masingmasing kabupaten/kota juga mempunyai keunggulan lokal yang meliputi berbagai aspek sperti sumber daya alam, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Sekolah Menengah Kejuruan sebagai pencetak tenaga kerja, baik sebagai karyawan maupun wirausahawan, merupakan sumber daya manusia potensial guna mendukung pembangunan masing-masing daerah yang bertumpu pada sumber daya lokal, dan secara umum dapat mendorong kemajuan pembangunan nasional. Harus diakui bahwa hasil pembangunan belum sesuai dengan harapan, negara Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam, dengan keunggulan yang dimiliki masing-masing daerah yang beragam danmemiliki penduduk lebih dari 237 juta (nomor 4 di dunia), namun indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) masih rendah yaitu ranking 121 dari 186 negara yang disurvei (http://hdr.undp.org/en/statistics, 2012). Paling tidak ada benang merah antara hasil pembangunan
dengan
praktik
penyelenggaraan
pendidikan,
termasuk
penyelenggaraan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 1.2 Identifikasi Masalah Dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan menengah kejuruan dengan, titik beratnya adalah menyiapkan lulusan siap kerja. Perlu disadari bahwa bekerja tidak harus menjadi karyawan atau buruh dalam suatu perusahaan atau industri, tetapi juga dapat bekerja secara mandiri atau menjadi wirausahawan. Masih minimnya lulusan SMK yang menjadi wirausahawan disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal sekolah antara lain guru, siswa, kurikulum, metode pembelajaran, sarana-prasarana, sistem evaluasi, dan lain-lain. Faktor eksternal sekolah antara lain DUDI, kondisi sosial, ekonomi, pemerintahan, dan kondisi 4
perkembangan dunia secara global. Dalam konteks manajemen pendidikan, faktorfaktor pendidikan tersebut dapat dianggap sebagai unsur atau sarana manajemen. Manajemen pendidikan merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan oleh organisasi pendidikan dalam mempergunakan sumberdaya yang ada guna mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan dengan efektif dan efisien (Hikmat 2011; Amtu 2011). Walaupun semua faktor pendidikan terpenuhi dan bermutu, namun pengelolaan atau manajemennya tidak baik, tujuan pendidikan juga tidak akan tercapai. Menurut George Terry, paling tidak ada empat fungsi manajemen yang harus diperhatikan yaitu Planning, Organizing, Actuating, Controlling (Hasibuan, 2007:3). Dalam mengembangkan manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK, paling tidak ada empat permasalahan penting yang perlu dikaji lebih jauh dan dicari solusinya, yaitu: 1. Masih rendahnya lulusan SMK yang menjadi wirausahawan tidak lepas dari kompetensi guru mata diklat Kewirausahaan. Selama tiga tahun (6 semester) siswa SMK diberikan mata diklat wajib Kewirausahaan namun dampak (outcome) belum sesuai harapan. Kompetensi guru terkait dengan penguasaan teori, dan tak kalah penting adalah praktik kewirausaan, variasi metode pembelajaran,
inovasi
pembelajaran,
dll.
Untuk
menyiapkan
guru
Kewirausahaan yang professional dan kompeten tidak lepas dari LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang menyiapkan calon guru Kewirausahaan SMK. 2. Materi Kewirausahaan di SMK sebagai penjabaran Kurikulum SMK (KBK, KTSP) masih menyisakan masalah, yaitu terbukti belum efektif mencetak lulusan SMK menjadi wirausahawan, namun saat ini diberlakukan Kurikulum 2013 dimana materinya justru lebih sempit dan umum daripada materi Kewirausahaan pada kurikulum sebelumnya. Mata pelajaraan Kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 termasuk Kelompok B dengan nama Prakarya dan Kewirausahaan. Dalam implementasinya dipastikan guru mengalami kesulitan karena paradigma kurikulum 2013 berbeda dengan Kurikulum KBK dan KTSP. Bagaimana model pembelajaran kewirausahaan pada SMK yang tepat perlu dikaji lebih jauh agar sesuai dengan yang diharapkan. 5
3. Untuk mengasah jiwa wirausahawan siswa, di SMK terdapat unit bisnis yang disebut Unit Produksi atau Business Center
dan sekarang ada yang
dikembangkan menjadi Teaching Factory. Namun nyatanya dampak yang dihasilkan juga belum sesuai harapan karena lulusan SMK masih banyak yang menganggur atau tidak menjadi wirausahawan. Kondisi ini mengindikasikan ada masalah terkait pelaksanaan Unit Produksi tersebut, yang mencakup sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, manajemen, kebijakan pimpinan, dan faktor lain yang terkait. 4. Kewajiban lain siswa SMK adalah melaksanakan Praktik Kerja Industri (Prakerin) sebagai implementasi pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Dalam praktiknya siswa kelas II atau III melakukan praktik di suatu industri (umumnya industry menengah dan besar) selama kurang lebih tiga bulan. Berdasarkan studi pendahuluan, dapat dikatakan bahwa materi Prakerin hanya mencakup aspek keterampilan teknis (skill) yang terkait dengan pekerjaan sebagai
karyawan.
Siswa
kurang
diarahkan
untuk
belajar
sebagai
wirausahawan, karena sistem yang tidak mendukung, yaitu sebagai pembimbing praktik di lapangan adalah karyawan, bukan pemilik usaha atau wirausahawan. Untuk itulah perlu dikembangkan model PSG lain yang lebih berorientasi pada penyiapan lulusan untuk menjadi wirausahawan. 1.3 Rumusan Masalah Permasalahan utama penelitian ini adalah bagaimana model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, yang efektif dan efisien dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan menjadi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah model manajemen pendidikan kewirausahaan yang ada saat ini, kaitannya dengan: a. Kompetensi guru mata diklat Kewirausahaan, yang dikaji mulai dari sistem penyiapannya guru oleh LPTK dan praktik penyelenggaraan belajar-mengajar Kewirausahaan yang berlangsung selama ini. b. Model
pembelajaran
di
SMK, 6
khususnya
pada
mata
pelajaran
Kewirausahaan serta mata pelajaran lain yang terkait dalam rangka menyiapkan lulusan SMK yang nantinya dapat menjadi wirausahawan. c. Penyelenggaraan Unit Produksi atau Business Center di SMK yang mencakup sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, manajemen, kebijakan pimpinan, hasil yang telah dicapai, dan faktor lain yang terkait. d. Penyelenggaraan Praktik Kerja Industri (Prakerin) di SMK yang mencakup sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, manajemen, kebijakan pimpinan, hasil yang telah dicapai, dan faktor lain yang terkait. 2. Bagaimana mengembangkan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK, kaitannya dengan: a. Upaya menyiapkan guru mata diklat Kewirausahaan oleh LPTK sehingga dalam praktik PBM mempunyai kompetensi yang mendukung dalam menyiapkan lulusan untuk menjadi wirausahawan. b. Upaya mengembangkan model pembelajaran di SMK, khususnya pada mata pelajaran Kewirausahaan serta mata pelajaran lain yang terkait dalam rangka menyiapkan lulusan SMK yang nantinya dapat menjadi wirausahawan. c. Upaya mengembangkan model manajemen Unit Produksi atau Business Center di SMK yang mendukung penyiapan siswa/lulusan untuk menjadi wirausahawan. d. Upaya mengembangkan model manajemen Praktik Kerja Industri (Prakerin) di SMK yang mendukung penyiapan siswa/lulusan untuk menjadi wirausahawan. 3. Bagaimana keefektifan model akhir (jadi) manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan?
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran Pendidikan Kejuruan (SMK) dalam Pembangunan Teori Human Capital modern berkembang sejak tahun 1960, yang dipelopori Theodore W. Schultz. Di hadapan Perkumpulan Para Ahli Ekonomi Amerika (the American Economic Assosiation) beliau menyampaikan pidato yang berjudul Investmen in Human Capital. Pesan utama pidato tersebut adalah proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu kegiatan konsumtif semata-mata, melainkan suatu bentuk investasi manusia (human investment). Menurut Schultz dan Denison (dalam Suryadi, 2012:42), pendidikansebagai sarana pengembang kualitas manusia- memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari pekerja terdidik. Hasil-hasil kajian yang dilakukan hingga saat ini di berbagai belahan dunia pun memperkuat teori Human Capital. Seperti yang dikemukakan Rivai (2012:780), berbagai studi mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan
masyarakat, semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Hipotesis tersebut telah terbukti kebenarannya secara empirik dengan korelasi yang cukup signifikan. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sistem pendidikan di Indonesia dapat dibedakan menurut jalur, jenjang, dan jenisnya. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Jenjang pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 13-15). Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar (SD dan SMP). Pada jenjang pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah, dan pendidikan menengah kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Disebutkan secara eksplisit dalam penjelasan UU pasal 15, bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah 8
yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Kebijakan
penting
pemerintah
(Depdiknas)
saat
ini
adalah
ingin
meningkatkan jumlah siswa SMK hingga mencapai 70% siswa SMK dan 30% siswa SMU pada tahun 2015 (Depdiknas, 2006). Kebijakan ini membawa beberapa implikasi, antara lain tentang pembangunan sarana dan prasarana baru, kebutuhan guru, dan yang tak kalah penting adalah bidang dan program keahlian apa saja yang relevan atau sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Pembagian bidang atau penjurusan pada pendidikan menengah umum (SMA) lebih sederhana, yaitu hanya terdiri dari tiga jurusan: IPA, IPS dan Bahasa. Pada pendidikan menengah kejuruan (SMK), pembagian bidang dan program keahlian lebih banyak dan terspesialisasi. Berdasarkan spektrum pendidikan kejuruan kurikulum SMK edisi 2004, bidang keahlian pada SMK terdiri dari 34 bidang keahlian, masing-masing bidang keahlian diperinci lagi ke dalam beberapa program keahlian. Banyaknya program keahlian adalah 121 program. Pembagian bidang dan program keahlian yang rinci tersebut membawa konsekuensi tersendiri, baik sisi positif maupun negatifnya. Sisi positifnya, paling tidak lulusan SMK akan lebih siap kerja daripada lulusan pendidikan umum, namun dengan syarat bidang pekerjaannya sesuai dengan bidang keahlian selama menempuh pendidikan. Sisi negatifnya, apabila lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan bidang atau program keahliannya, maka lulusab terpaksa menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Dampak negatif ini lebih parah jika dibandingkan dengan lulusan SMA yang bersifat general (umum) dimana penyesuaian bidang keahlian dengan pasar kerja lebih mudah daripada sudah terbentuk sejak awal. Kebijakan di bidang pendidikan menengah kejuruan di era pemerintahan orde baru yang cukup fenomenal adalah tentang program pendidikan sistem ganda (PSG). Program yang dicanangkan oleh Mendikbud Prof. Dr. Ing. Wardiman Djoyonegoro secara resmi diberlakukan sejak tahun ajaran 1994/1995. Tujuan utama program PSG adalah untuk meningkatkan kualitas tamatan agar lebih sesuai dengan tuntutan 9
kebutuhan pembangunan nasional pada umumnya, dan kebutuhan ketenagakerjaan pada khususnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan Link and Match yang berlaku pada semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia (Depdiknas, 1994). Kebijakan di atas merupakan respons atas keprihatinan pemerintah atas kesenjangan
antara
program
pendidikan
dengan
kebutuhan
tenaga
kerja.
Sebagaimana dikemukakan Tilaar (1995: 214) kesenjangan program pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja terus-menerus terjadi. Pada Kurikulum SMK yang berlaku sebelumnya (1995, KBK, KTSP), mata pelajaran atau mata diklat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu program Normatif, Adaptif, dan Produktif. Salah satu mata diklat program adaptif adalah mata diklat Kewirausahaan yang diberikan mulai kelas/tingkat I hingga III (Lihat Kurikulum SMK). Demikian juga dengan diberlakukannya Kurikulum 2013, mata pelajaran kewirausahaan juga tetap dipertahankan, dengan nama Prakarya dan Kewirausahaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebetulnya juga sudah berupaya mempersiapkan lulusan SMK tidak hanya untuk mengisi lowongan kerja tetapi juga dipersiapkan untuk mandiri sebagai wirausahawan. Adapun kenyataan masih banyak lulusan SMK yang menganggur atau tidak mau berwirausaha, perlu dikaji lebih jauh latar belakang penyebabnya.
2.2 Kewirausahaan Menurut Hisrich (2008:7) istilah entrepreneur atau kewirausahaan sudah ada sejak abad 17 yang diperkenalkan oleh ekonom Perancis, Richard Cantilon. Definisi kewirausahaan terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman.
Definisi
yang
terkini
menurut
Hisrich
(2008:18),
kewirausahaan
(entrepreneurship) adalah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi. Sementara itu Pearce II (2013;430) kewirausahaan adalah proses menggabungkan ide serta tindakan kreatif dan inovatif dengan keahlian manajemendan organisasi yang diperlukan untuk mengerahkan SDM, uang, dan operasi yang tepat untuk mencapai suatu kebutuhan yang dikenalidan menciptakan kekayaan dalam prosesnya. 10
Istilah kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia cukup populer akhirakhir ini, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997. Sebelumnya (tahun 1970-an) orang lebih banyak menggunakan istilah kewiraswastaan atau wiraswasta. Istilah “wiraswasta” berasal dari kata wira = utama, gagah, luhur, berani, teladan; swa = sendiri; sta = berdiri. Swasta= berdiri di atas kaki atau kemampuan sendiri. Jadi wiraswasta artinya seseorang yang mempunyai sifat-sifat keberanian, keutamaan dan keteladanan dalam mengambil resiko berdasarkan pada kemampuan diri sendiri (tidak bergantung pada orang/bangsa lain). Sekarang banyak dipakai istilah kewirausahaan atau wirausaha. Pada dasarnya makna kedua istilah tersebut adalah sama. Untuk memasyarakatkan kewirausahaan ini telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Banyak pakar mengutarakan pendapatnya tentang ciri-ciri atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan. Namun pada prinsipnya antara pendapat yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Untuk mengetahui ciri atau sifat tersebut dapat diketahui melalui lima azas kewirausahaan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No. 961/Kep/M/XI/1995, yaitu: 1) Kemampuan yang kuat untuk berkarya dengan semangat kemandirian, Kemauan dan kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan secara sistematis, termasuk keberanian mengambil resiko usaha, 3) Kemampuan berfikir dan bertindak kreatif dan inovatif, 4) Kemampuan bekerja secara teliti, tekun, dan produktif, 5) Kemauan dan kemampuan untuk berkarya dalam kebersamaan berlandaskan etika bisnis yang sehat.
Sementara itu Pearce II (2013:435-436) mengemukakan bahwa seorang wirausaha harus menguasai keahlian teknis dan manajemen bisnis. Karakteristik lain yang perlu dimiliki agar menjadi wirausaha sukses antara lain adalah: Komitmen tiada akhir dan kebulatan tekad, Keinginan kuat terhadap pencapaian, Orientasi terhadap peluang dan tujuan, Lokus pengendalian internal, Toleransi terhadap ketidakjelasan dan stres, Keahlian dalam mengambil banyak risiko, Tidak terlalu membutuhkan status dan kekuasaan, Penyelesaian masalah, Kebutuhan yang besar akan umpan balik, Kemampuan menghadapi kegagalan, Energi yang tak terbatas, 11
kesehatan yang baik, dan kestabilan emosional, Kreativitas dan inovasi, Intelegensi dan kemampuan konseptual yang tinggi, dan Visi dan kapasitas untuk mengilhami. Kementerian Pendidikan Nasional (2010) juga mengembangkan materi pendidikan kewirausahaan yang dapat diterapkan pada pendidikan dasar dan menengah (termasuk SMK), dimana terdapat 17 nilai pokok kewirausahaan, yaitu: mandiri,
kreatif,
berani
mengambil
resiko,
berorientasi
pada
tindakan,
kepemimpinan, kerja keras, jujur, disiplin, inovatif, tanggung jawab, kerja sama, pantang menyerah (ulet), komitmen, realistis, rasa ingin tahu, komunikatif, dan motivasi kuat untuk suskes. Pada tahap pertama, implementasi nilai-nilai kewirausahaan diambil 6 (enam) nilai pokok, yaitu: 1) Mandiri, 2) Kreatif, 3) Berani mengambil resiko, 4) Berorientasi pada tindakan, 5) Kepemimpinan, 6)Kerja keras. Di dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, juga disebutkan secara eksplisit sasaran strategis untuk mencapai tujuan pada pendidikan menengah kejuruan, yaitu seluruh SMK menyediakan layanan pembinaan pengembangan kewirausahaan (Kemdikbud, 2010:21).
2.3 Keunggulan Lokal Kebijakan pokok tentang pendidikan berbasis keunggulan lokal diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Kemudian dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan kurikulum SMK dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Menurut Balitbang Depdiknas ( 2007 ) Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Keunggulan lokal meliputi: hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah. Keunggulan lokal adalah potensi suatu daerah untuk menjadi produk atau jasa yang bernilai dan dapat menambah penghasilan daerah dan bersifat unik serta memiliki keunggulan kompetitif (Ahmadi, Amri dan Elisah, 2012). 12
Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi masing-masing daerah. Konsep pengembangan potensi lokal meliputi potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, geografis, budaya dan historis. Selama ini Indonesia belum serius mengembangkan potensi lokal karena terlihat masyarakat lebih banyak terfokus pada produk-produk dari impor (luar negeri) . Akibatnya potensi sumber daya alam dan manusia tidak dikembangkan dengan maksimal. Potensi daerah yang khas memiliki keunggulan kompetitif namun belum tergarap dengan baik. Menurut Asmani (2012), salah satu cara untuk menjadi negara maju adalah pemanfaatan sumber daya, kekayaan alam dan budaya sendiri, sehingga mencapai kemandirian dan kepercayaan diri. Tujuan penyelenggaraan pendidikan keunggulan lokal adalah agar peserta didik mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal dan memahami berbagai aspek terkait dengan keunggulan lokal tersebut (Asmani, 2012). Selanjutnya mampu mengolah sumber daya, sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan sumber daya potensi lokal. Menrut Balitbang Diknas (2007)Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah dimana dia tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal daerahnya, selanjutnya siswa mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan / jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh penghasilan dan melestarikan budaya / tradisi / sumber daya yang menjadi unggulan daerah serta mampu bersaing secara nasional maupun global. Keunggulan yang dimiliki daerah dapat dipahami peserta didik dan keunggulan daerah dapat menyejahterakan masyarakatnya diharapkan keunggulan daerah dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat pada umumnya. Sehingga masyarakat dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri dengan semaksimal mungkin, sehingga bermanfaat bagi hidupnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan pendidikan karakter yang harus dikembangkan dan diaplikasikan pada konteks nyata di masyarakat. Dengan demikian pendidikan karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi juga internalisasi diri dan penerapan nyata dalam kehidupan sehari-hari (Ahmadi, Amri dan Elisah, 2012). Tentu hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana sikap siswa dalam memanfaatkan potensi lokal yang telah dijelaskan sebelumnya. 13
Berdasarkan uraian di atas, maka karakter keunggulan lokal harus diintegrasikan dalam pembelajaran yang menunjang pendidikan kewirausahaan pada semua jenjang pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Kompetensi yang akan dintegrasikan disesuaikan dengan keunggulan lokal masing-masing daerah. Selanjutnya dianalisis dan disesuaikan dengan kompetensi sampai terbentuk bahan ajar dan bahan assessment, yang akhirnya dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran. 2.4 Kajian Penelitian yang Relevan Untuk mengurangi jumlah pengangguran di suatu negara, idealnya terdapat 2% wirausahawan (entrepreneur) dari jumlah penduduk sehingga dari tangan mereka mampu membangkitkan perekonomian nasional dan banyak menyerap tenaga kerja. Menurut data yang ada, pada tahun 2007 jumlah entrepreneur di Indonesia baru sekitar 0,18%. Sebagai perbandingan, jumlah enterepreneur di Malaysia 3%, dan Singapura 7,2%. Pada tahun 2011, jumlah entrepreneur Indonesia sedikit meningkat menjadi 0,26%. Jika jumlah penduduk Indonesia 230 juta, paling tidak dibutuhkan 4,6 juta entrepreneur. Jika baru terdapat 0,26% atau 598.000 entrepreneur, maka Indonesia masih kekurangan lebih dari 4 juta entrepreneur
(Patriasih, 2011;
Pujantiyo, 2012, Hendro, 2010). Kajian maupun penelitian terkait upaya meningkatkan entrepreneur melalui jalur pendidikan sudah banyak dilakukan.
Menurut Patriasih (2011), jiwa
kewirausahaan pada siswa sekolah kejuruan dapat ditingkatkan tidak hanya melalui pemberian mata pelajaran Kewirausahaan. Spirit kewirausahaan dapat diintegrasikan pada seluruh mata pelajaran, pengaturan metode pembelajaran, dan pengembangan aktivitas ekstrakurikuler. Penelitian sejenis yang dilakukan terhadap mahasiswa juga menunjukkan hasil bahwa
mental
kewirausahaan
antara
yang
telah
mendapatkan
pelatihan
kewirausahaan dan yang tidak pernah hasilnya terbukti berbeda (Suranto, 2011). Mereka yang telah mendapatkan pelatihan kewirausahaan mempunyai karakter berwirausaha lebih kuat, seperti: berusaha mandiri, keterampilan manajemen, keterampilan berpikir, kreatif, inovatif, tidak putus asa,
job-oriented, berani
mengambil resiko, kerja keras, dan karakter kewirausahaan lain. Karyono (2009) juga menyimpulkan bahwa status industri dan motivasi belajar berkontribusi secara 14
signifikan terhadap sikap kewirausahaan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga merintis model pembelajaran kewirausahaan teknologi (Technopreneurship) pada perguruan tinggi. Pada model ini prinsipnya mahasiswa dipersipkan untuk menjadi wirausahawan melalui empat tahap, yaitu pembelajaran di kelas, pengamatan lapangan, pembuatan rencana bisnis, dan inkubasi (Hadi, 2010). Model peningkatan spirit berwirausaha bagi siswa SMK melalui pembelajaran ekstrakurikuler telah dilakukan oleh Hasanah (2011) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran kewirausahaan ekstrakurikuler terbukti sangat efektif dalam mengembangkan semangat berwirausaha siswa SMK. Dalam model tersebut, pembelajaran kewirausahaan tidak hanya melalui jalur formal, tetapi juga melalui jalur informal, dalam hal ini penambahan pelajaran melalui kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai upaya untuk menyiapkan atau melahirkan wirausahawan bagi lulusan SMK telah banyak dilakukan. Seperti yang dilakukan Rakib (2010) yang menyimpulkan bahwa model komunikasi wirausaha, pembelajaran wirausaha, dan sikap kewirausahaan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja usaha kecil. Sementara Rahayu (2010) telah menghasilkan modul kewirausahaan bagi SMK. Peneliti yang sama (Rahayu, 2012:104) juga menekankan pentingnya program kerjasama dengan dunia usaha untuk membangun sikap kewirausahaan, karena selama ini pembelajaran kewirausahaan lebih menekankan pada aspek kognitif. Sementara itu Lahming (2012:224) menekankan menunjukkan bahwa model pelatihan yang efektif digunakan untuk membentuk keterampilan berwirausaha adalah model pelatihan dengan metode demonstrasi. Prakerin juga sering dinamakan magang. Menurut (Pattayanunt, 2009), sitem magang didasarkan pada pengaturan kelembagaan yang kuat dan beradaptasi ke pasar tenaga kerja dan tuntutan yang berkembang, ia memiliki potensi besar untuk menghasilkan berbagai jenis keterampilan tingkat menengah. Sementara itu menurut Ferrante (2005) dan Vliamos (2011), pendidikan merupakan bagian penting dari pembentukan jiwa kewirausahaan manusia. Dalam penelitian yang dilakukan Sunyoto (2012) dapat diketahui bahwa kemunculan tecnopreneur siswa SMK lebih dominan dipengaruhi oleh faktor siswa dibandingkan faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal senada dikemukakan 15
oleh Priyanto (2005:97) yang menyatakan bahwa hanya 2,5% wirausahawan belajar tentang wirausaha dari sekolah. 2.5 Kerangka Berpikir Untuk menyiapkan atau mencetak wirausahawan dari lulusan SMK, paling tidak ada empat komponen pendidikan di SMK yang perlu dikelola (di-manage) secara terpadu yaitu mulai dari penyiapan guru oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), model pembelajaran Kewirausahaan di SMK, pelaksanaan Praktik Kerja Industri, dan pengelolaan Unit Produksi. Masing-masing komponen perlu di-manage dengan menjalankan fungsi manajemen yaitu Planning, Organizing, Actuating, Controlling, yang mengarah pada tercapainya tujuan dengan efektif dan efisien yaitu model manajemen pendidikan kewirausaahaan berbasis keunggulan lokal. GURU: LPTK Planning Organizing
MODEL PBM
Actuatung
Planning
Controlling
Organizing
INTEGRASI KEBIJAKAN DARI SEMUA UNIT/PROGRAM
Planning Organizing
PRAKERIN
Actuating
Planning
Controlling
Organizing
UNIT PRODUKSI
Gambar 1. Kerangka Berpikir
16
Manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal (MPKBKL) pada SMK
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan model manajemen
pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, yang efektif dan efisien dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan model manajemen pendidikan kewirausahaan yang ada saat ini, kaitannya dengan: a. Kompetensi guru mata diklat Kewirausahaan, yang dikaji mulai dari sistem penyiapannya guru oleh LPTK dan praktik penyelenggaraan belajar-mengajar Kewirausahaan yang berlangsung selama ini. b. Model
pembelajaran
di
SMK,
khususnya
pada
mata
pelajaran
Kewirausahaan serta mata pelajaran lain yang terkait dalam rangka menyiapkan lulusan SMK yang nantinya dapat menjadi wirausahawan. c. Penyelenggaraan Unit Produksi atau Business Center di SMK yang mencakup sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, manajemen, kebijakan pimpinan, hasil yang telah dicapai, dan faktor lain yang terkait. d. Penyelenggaraan Praktik Kerja Industri (Prakerin) di SMK yang mencakup sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, manajemen, kebijakan pimpinan, hasil yang telah dicapai, dan faktor lain yang terkait. 2. Mengembangkan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK, kaitannya dengan: a. Upaya menyiapkan guru mata diklat Kewirausahaan oleh LPTK sehingga dalam praktik PBM mempunyai kompetensi yang mendukung dalam menyiapkan lulusan untuk menjadi wirausahawan. a. Upaya mengembangkan model pembelajaran di SMK, khususnya pada mata pelajaran Kewirausahaan serta mata pelajaran lain yang terkait dalam rangka menyiapkan lulusan SMK yang nantinya dapat menjadi wirausahawan. b. Upaya mengembangkan model manajemen Unit Produksi atau Business Center di SMK yang mendukung penyiapan siswa/lulusan untuk menjadi wirausahawan. 17
c. Upaya mengembangkan model manajemen Praktik Kerja Industri (Prakerin) di SMK yang mendukung penyiapan siswa/lulusan untuk menjadi wirausahawan. 3. Mengetahui
keefektifan
model
akhir
(jadi)
manajemen
pendidikan
kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan.
3.2.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut: 1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan kajian terkait pengembangan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan. 2. Secara praktis model atau hasil penelitian ini dapat diterapkan di SMK, dalam lingkup kabupaten/kota dengan keunggulan lokal masing-masing daerah, maupun lingkup provinsi dan bahkan dalam lingkup nasional. 3. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah (Kementerian Pendidikan dan/atau Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota atau provinsi) dalam mengambil kebijakan terkait pengembangan SMK. 4. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi LPTK dalam menyiapkan guru SMK, uatamanya dalam menyiapkan guru pelajaran Kewirausahaan. 5. Dapat dijadikan bahan pertimbangan pimpinan dan guru SMK dalam pengembangan kurikulum, proses belajar-mengajar, penyelengaraan Unit Bisnis, dan Prakerin. 6. Secara
langsung
maupun
tidak
langsung
dapat
mengurangi
masalah
pengangguran, sehingga mempunyai kontribusi nyata dalam mewujudkan tujuan pembangunan.
18
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and Development). Hal ini berkaitan dengan tujuan umum penelitian yaitu untuk menemukan model manajemen
pendidikan kewirausahaan berbasis
keunggulan lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan, yang efektif dan efisien dalam menyiapkan atau mencetak lulusan untuk menjadi wirausahawan. Dengan demikian, penelitian ini berupaya menghasilkan suatu komponen dalam sistem pendidikan, melalui pengembangan dan validasi. Seperti dijelaskan oleh Borg & Gall (1983:772) “Educational research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational products”. Maksud penggunaan istilah produk pendidikan (educational products) dijelaskan lebih jauh, tidak hanya mencakup wujud material seperti buku-buku teks, film-film pembelajaran dsb; tetapi juga berhubungan dengan semua aspek/komponen pendidikan. Dengan dasar tersebut, maka pendekatan penelitian dan pengembangan dipandang memiliki relevansi yang tinggi untuk mengembangkan model manajemen kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK. Dalam penelitian dan pengembangan ini dilakukan penyederhanaan langkah, dari sepuluh langkah (Borg & Gall, 1983:773), menjadi tiga tahap, yaitu: studi pendahuluan, pengembangan, dan validasi, yang terbagi dalam tiga tahun kegiatan. Tahun pertama, dilaksanakan studi pendahuluan, tahun kedua pengembangan model; dan tahun ketiga dilaksanakan validasi model. 4.2 Lokasi dan Subjek Penelitian Walaupun penelitian ini tidak untuk menggeneralisasi, selain terdapat LPTK sebagai pencetak calon guru yang menjadi subjek penelitian, namun aspek heterogenitas SMK tetap dipertimbangkan dengan harapan tingkat penerimaan model oleh SMK dalam tahap implementasi/desimasi akan lebih tinggi. Dari segi lokasi penelitian dipilih pada tiga wilayah, yaitu Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Demak. Kota Semarang mewakili wilayah perkotaan yang berada di pusat pemerintahan provinsi, Kota Salatiga mewakili wilayah perkotaan sekaligus wilayah 19
yang secara geografis di tengah provinsi/jauh dari pantai. Kabupaten Demak mewakili wilayah kabupaten sekaligus secara geografis di daerah pesisir/pantai. Dari segi satuan pendidikan, akan dipilih SMK dengan status negeri dan swasta dimana masing-masing wilayah terdiri dari 4 SMK. Sumber data penelitian adalah seluruh stakeholder terkait dengan penyelenggaran pendidikan di SMK seperti guru, siswa, konselor, kepala sekolah, komite sekolah, dunia usaha dan industri (DUDI) mitra SMK, serta lembaga/dinas terkait. Dengan demikian lokasi dan subjek penelitian ditetapkan secara purposive, dengan mempertimbangkan tahap-tahap penelitian serta tujuan khusus penelitian. 4.3 Metode dan Alat Pengumpulan Data 4.3.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu, studi pendahuluan, pengembangan, dan uji validasi. Pada semua tahap penelitian digunakan metode wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi, di samping kajian literatur (literature review). Secara umum, keempat metode tersebut (wawancara, angket, observasi dan dokumentasi) digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi. Dalam kegiatan ini juga dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) sebagai sarana pengumpulan dan validasi data dari nara sumber. 4.3.2 Alat/Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data yang dikembangkan dalam penelitian ini disesuaikan dengan metode pengumpulan data yang dilakukan pada masing-masing tahap penelitian, yaitu pedoman wawancara, angket (kuesioner), lembar observasi, dan catatan dokumentasi. Semua instrument sebagai alat pengumpul data harus terjamin keabsahan datanya. Untuk data kuantitatif diuji dengan teknik pengujian validitas konstruksi (judgment experts), validitas isi, dan validitas eksternal. Pengujian reliabilitas dengan teknik gabungan test-retest dan ekuivalen. Untuk data kualitatif, dilakukan uji credibility, transferability, dependability, dan confirmability (Sugiyono, 2008). 4.4 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dijelaskan dalam tiga tahap (studi), yaitu tahap pendahuluan, pengembangan dan validasi. Sesuai dengan karakteristik data 20
penelitian, analisis dilakukan secara terpadu dan saling mendukung baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif dianalisis dengan teknik analisis deskriptif (statitistik deskriptif). Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara kualitatif model interaktif Miles & Huberman (Sugiyono, 2008: 246-247), yang secara simultan terdiri dari tahapan: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, yaitu menampilkan data yang mendukung kepentingan penyusunan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK (3) penyajian (display) data, berupa klasifikasi, penampilan, uraian, pembagian, dan sebagainya, dan (4) penyimpulan atau verifikasi. 4.5 Desain Penelitian Secara garis besar penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian yaitu, studi pendahuluan, pengembangan, dan uji validasi. Pada studi pendahuluan diungkap dan dideskripsikan bagaimana perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi terkait pendidikan calon guru di LPTK, model pembelajaran di SMK, Unit Produksi, dan Prakerin. Pada tahap pengembangan akan dirancang dan diimplemetasikan model (hipotetis) manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK dalam lingkup terbatas. Pada tahap validasi, akan dirancang diimplemetasikan
model manajemen
pendidikan kewirausahaan berbasis
keunggulan lokal pada SMK yang telah disempurnakan dalam lingkup yang lebih luas.
21
TAHAP STUDI PENDAHULUAN Studi Literatur &Lapangan
Deskripsi model manajemen pendidikan kewirausahaan pada SMK yg sesuai dg keunggulan lokal
TAHAP PENGEMBANGAN
Deskripsi dan Analisis Temuan (Model Faktual)
Pengembangan Model Manajemen Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal (MPK-BKL) pada SMK
Uji Coba terbatas pada kelompok model (SMK )
Penyusunan Perangkat Pendukung dan Panduan Implementasi MPKBKL
Evaluasi dan Perbaikan
Uji Coba II pada kelompok model (SMK)
Evaluasi Penyempurnaan
Desain Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal (MPK-BKL)
TAHAP VALIDASI MPK-BKL (Final)
Ujicoba model pada skala yang lebih luas
Gambar 2. Bagan Alur Penelitian Model Pengembangan Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan 22
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk menghasilkan Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan. Pemdekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan yang dirumuskan oleh Borg & Gall (1983:775). Secara garis besar penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian yaitu, studi pendahuluan, pengembangan, dan uji validasi. Pada studi pendahuluan diungkap dan dideskripsikan bagaimana perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi terkait pendidikan calon guru di LPTK, model pembelajaran di SMK, Unit Produksi, dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) atau Prakerin. Untuk mengembangkan model di atas telah dilakukan serangkaian kegiatan, antara lain melalui wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pihak SMK dan LPTK sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kepala sekolah dan guru SMKN 5 Semarang Kepala sekolah dan guru SMKN 6 Semarang Kepala sekolah dan guru SMKN 1 Sayung Demak Kepala sekolah dan guru SMK IPT Karangpanas Semarang Kepala sekolah dan guru SMK Ibu Kartini Semarang Kepala sekolah dan guru SMK Saraswati Salatiga Ketua jurusan dan dosen jurusan PKK FT UNNES
Pihak-pihak yang terkait dari SMK yang dilibatkan dalam penyusunan model: 1. Kepala Sekolah 2. Wakasek Bidang Kurikulum 3. Wakasek Bidang Hubungan Industri/Humas 4. Ketua Program Studi Pemesinan dan Tata Busana 5. Koordinator Unit Produksi/Ketua Lab Pemesinan dan Tata Busana 6. Guru Mapel Produktif/Paket Keahlian Tek. Pemesinan dan Tata Busana 7. Guru Mapel Prakarya dan Kewirausahaan
23
Adapun pihak dari LPTK yang dilibatkan adalah: 1. Ketua Jurusan PKK FT UNNES 2. Ketua Program Studi PKK-Tata Busana S1 3. Ketua Laboratorium PKK FT UNNES 4. Dosen Mata Kuliah Bidang Studi PKK-Tata Busana S1 5. Dosen Mata Kuliah Kewirausahaan Prodi PKK Berdasarkan serangkaian kegiatan dan FGD akhirnya pada tahun kedua telah dihasilkan empat sub-model sebagai berikut: 1. Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan oleh LPTK, 2. Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan di SMK, 3. Model Manajemen Penyelenggaraan PKL/Prakerin di SMK. 4. Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK. Model secara keseluruhan dapat digambarkan seperti Gambar 3.
Gambar 3. Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan pada SMK 24
Model di atas merupakan integrasi dari empat sub-model yang telah dihasilkan. Secara garis besar konsep dan gambaran keempat model dapat dilihat pada gambar di bawah. Uraian detail mengenai model maupun panduan atau perangkat pendukung dilampirkan secara terpisah dari dalam laporan ini.
5.1
Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan oleh LPTK Model Manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal ini
merupakan integrasi pembelajaran teori terkait kewirausahaan dan mata kuliah praktik atau produktif untuk mahasiswa prodi pendidikan tata busana yang dikembangkan dari 4 tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi Integrasi pembelajaran yang dilakukan tidak merubah alokasi waktu pembelajaran dan tidak menggunakan system blok dalam perkuliahan.
Gambar 4. Bagan Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan oleh LPTK (Prodi Tata Busana) Model Manajemen pendidikan ini akan optimal diterapkan mahasiswa semester dua minimal dengan beberapa pertimbangan kurikulum mata kuliah kewirausahaan semester 2 sehingga sejak dini sudah mengenal karakter wirausaha, teknik membaca peluang harga jual biaya produksi dan menyusun bisnis plan. 25
Materi yang digunakan pada model pembelajaran ini adalah materi produktif sesuai dengan silabus yang digunakan. Materi produktif ditambahkan dengan materi kewirausahaan berbasis keunggulan lokal dengan metode, proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi kewirausahaan mahasiswa meliputi sikap/ karakter, konsep, dan ketrampilan. Materi yang diberikan mahasiswa secara terbimbing sesuai pada penerapan hasil observasi mahasiswa dalam mengamati potensi lingkungan yang akan dibuat produk . Metode yang digunakan dengan metode ceramah, brainstorming deskripsi realita kebutuhan produki proyek based learning, diskusi, problem based learning selanjutnya merencanakan disain produk praktik yang sudah dikonsultasikan dengan dosen pengampu untuk dijadikan sebagai project praktik yang dikerjakan. Langkah-langkah tahapan kewirausahaan tersebut mengakibatkan mahasiswa terlibat langsung dengan permasalahan kebutuhan produk di masyarakat sehingga akan meningkatkan tingkat kepedulian mahasiswa membaca peluang memecahkan masalah berupa solusi merupakan wujud karakter seorang kewirausahaan menurut pendapat Okorie (200466) Penilaian dilakukan dengan penilaian produk hasil mahasiswa dan kompetensi kewirausahaan yang dikelompokkan dalam sikap/karakter mahasiswa, pengetahuan wirausaha dan pengetahuan produk berbasis unggulan lokal serta hasil produk. Proses penilaian sesuai dengan penilaian praktek yang sudah ada ditambah dengan dengan penilaian pada kompetensi kewirausahaan meliputi karakter/ sikap wirausaha, pengetahuan dan keterampilan produk.
5.2. Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan di SMK Model pembelajaran Technopreneurship POL 4T ini merupakan integrasi pembelajaran praktik produktif berorientasi lingkungan untuk siswa Teknik Pemesinan dengan pembelajaran technopreneurship yang dikembangkan dari 4 tahap model SEED Integrasi pembelajaran yang dilakukan tidak merubah alokasi waktu pembelajaran dan tidak menggunakan system blok dalam pembelajaran. Model Pembelajaran technopreneurship ini mengandung model-model pembelajaran scientific yaitu discovery learning, problem base learning,dan project 26
base learning. Unsur discovery learning muncul pada saat siswa melakukan observasi lingkungan untuk mencari, mendata dan melaporkan hasil pengamatan lingkungan sekitar terkait teknologi yang diperlukan masyarakat untuk membantu kinerja masyarakat. Unsur problem base learning terletak pada kompetensi mengidentifikasi kebutuhan teknologi pada masyarakat sesuai dengan keahlian teknik mesin yang dipelajari siswa. Hasil identifikasi tersebut dijadikan dasar dalam merencanakan produk alat yang akan dikerjakan saat pembelajaran praktik produktif siswa. Hal ini berbeda dari pembelajaran praktik produktif yang sebelumnya hanya mengerjakan bagian-bagian komponen pemesinan menjadi produk yang operasional. Jadi pembelajaran akan lebih menarik dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap kebutuhan teknologi masyarakata sesuai keahlian siswa. Unsur project base learning terlihat pada saat siswa secara berkelompok membuat produk praktik berupa alat yang akan digunakan oleh masyarakat untuk membantu kebutuhan produk teknologi. Unsur technopreneurship diberikan kepada siswa berupa pengetahuan untuk cara berwirausaha dengan unsur teknologi, menghitung biaya produksi, harga jual, break even point, cara pemasaran dan tahap-tahap technopreneurship. Kompetensi las, bubut, kerja bangku, perkakas tangan, perakitan mekanik, keselamatan kerjadilakukan pada saat pembuatan alat yang operasional. Capaian kompetensi siswa sesuai dengan kompetensi yang ada pada silabus pembelajaran praktik produktif. Kompetensi-kompetensi yang sudah dilalui siswa saat guru menerapkan model pembelajaran technopreneurship dinyatakan sudah mampu dan kompeten. Model pembelajaran ini akan optimal diterapkan minimal siswa kelas XI Semester 2 dengan beberapa pertimbangan kurikulum mata pelajaran ewirausahaan siswa kelas XI Semester 2 sudah mencapai pada strategi pemasaran teknik membaca peluang harga jual biaya produksi
dan pengelolaan usaha. Siswa tingkat ini
sudah menerima materi kewirausahaan yang menunjamg model pembelajaran Technopreneurship POL 4T. Ketercapaian kompetensi bagian technopreneurship pada materi kewirausahaan ini akan mempermudah siswa dalam menciptakan kreativitas dan inovasi setelah memperoleh pengetahuan memecahkan persoalan dan
27
menemukan peluang sesuai pendapat Zimmerer dan Scarborough 2002 dalam Sudarsih 201357) Bagan Model Pembelajaran Technopreneurship pada Paket Keahlian Teknik Pemesinan adalah sebagai berikut: PEMBELAJARAN SCIENTIFIC Discovery Learning,Problem BaseLearning, Project Base Learning, Inquiry Learning)
Penambahan Materi Technopreneurship
MASALAH DALAM MASYARAKAT 1. Kebutuhan TTG 2. Pemanfaatan Potensi Lokal
Materi Produktif
PEMBELAJARAN TECHNOPRENEURSHIP
KETERAMPILAN TECHNOPRENEURSHIP
KEGIATAN 1. 2. 3. 4.
Mendesain produk Membuat produk Menghitung biaya produksi Menghitung harga jual
1. Tahap Pemahaman Diri
PEMBELAJARAN PRODUKTIF
2. Tahap Pemahaman Lingkungan 3. Tahap Pemahaman Wirausaha 4. Tahap Pengenalan Hasil
Kompetensi Technopreneurship
HASIL PRODUK SISWA
1.
Sikap Interpersonal
2.
Sikap Intrapersonal
3.
Pengetahuan wirausaha
4.
Pengetahuan Alat TTG
Gambar 5. Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan di SMK (Prodi Teknik Pemesianan) Materi yang digunakan pada model pembelajaran ini adalah materi produktif sesuai dengan silabus yang digunakan. Materi produktif ditambahkan dengan materi technopreneurship dengan metode, proses pembelajaran yang dapat meningkatkan sikap
technopreneurship
siswa
meliputi
interpersonal,
intrapersonal
dan
extrapersonal. Materi yang diberikan siswa secara terbimbing sesuai pada penerapan hasil observasi siswa dalam mengamati lingkungan yang akan dibuat benda praktik. 28
Metode yang digunakan dengan metode ceramah dari guru deskripsi realita kebutuhan teknologi hasil observasi siswa identifikasi permasalahan teknologi masyarakat penentuan upaya pemecahan permasalahan masyarakat selanjutnya merencanakan produk praktik yang sudah dikonsultasikan dengan guru pengajar untuk dijadikan sebagai project praktik yang dikerjakan. Langkah-langkah tahapan technopreneurship tersebut mengakibatkan siswa terlibat langsung dengan permasalahan kebutuhan teknologi masyarakat sehingga akan meningkatkan tingkat kepedulian siswa membaca peluang memecahkan masalah berupa solusi merupakan wujud karakter seorang technopreneurship menurut pendapat Okorie (200466) Jadi pelaksanaan model technopreneurship ini akan meningkatkan indikator-indikator seorang Penilaian dilakukan dengan penilaian produk hasil siswa dan kompetensi technopreneurship siswa yang dikelompokkan dalam sikap interpersonal, intrapersonal, extrapersonal, pengetahuan wirausaha dan pengetahuan alat Teknologi Tepat Guna (TTG). Proses penilaian sesuai dengan penilaian produktif yang
sudah
ada
technopreneurship
ditambah meliputi
dengan
dengan
interpersonal,
penilaian
intrapersonal,
pada
kompetensi
pengetahuan
dan
keterampilan technopreneur dan produk technopreneurship berupa produk yang operasional.
5.3. Model Manajemen Penyelenggaraan PKL/Prakerin di SMK Sekolah
Menengah
Kejuruan
(SMK)
sebagai
sebuah
organisasi
menyelenggarakan pendidikan mempunyai tujuan tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam UU RI No 20 tahun 2003, pendidikan menengah kejuruan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat bekerja pada bidang tertentu. Bekerja mempunyai arti luas, tidak hanya sebagai karyawan sebuah perusahaan/industri namun juga dapat sebagai wirausahawan yang justru memiliki perusahaan/industri. Pelaksanaan PKL atau Prakerin merupakan salah satu program SMK dalam rangka mencapai apa yang menjadi tujuan lembaga/sekolah tersebut. Namun model pelaksanaan PKL/Prakerin yang ada selama ini lebih mengarah pada penyiapan siswa untuk bekerja sebagai karyawan perusahaan/industri. Pola atau 29
model
ini
tidak
sepenuhnya
tidak
baik,
bagaimana
pun
antara
pengusaha/wirausahawan dan buruh/karyawan saling melengkapi dan membutuhkan. Namun yang terjadi saat ini adalah, pelaksanaan PKL/Prakerin pada SMK di Indonesia mempunyai pola/model dengan ciri-ciri yang sama, yaitu 1) sebagai institusi pasangan (DUDI) umumnya industri/usaha berskala menengah atau besar; 2) sebagai pembimbing lapangan adalah pekerja/karyawan/operator; 3) tujuan utamanya agar siswa menguasai keterampilan aspek teknis/operator;
4)
menitikberatkan pada penyiapan siswa untuk mengisi lowongan pekerjaan di industri. Dengan pola seperti ini, maka siswa lebih cenderung untuk bermental pekerja daripada sebagai wirausahawan. Prakerin dengan ciri-ciri di atas mempunyai beberapa kelemahan, antara lain: 1) Karena sebagai mitra dalam Prakerin adalah DUDI bersklala menengah/besar, siswa tidak memungkinkan untuk belajar langsung pada pemilik usaha/industri yang notabene sebagai wirausahawan (technopreneur); 2) siswa hanya menguasai aspek teknis, dan kurang menguasai aspek manajemen usaha, padahal untuk menjadi wirausahawan tidak cukup berbekal kemampuan teknis; 3) Sebagai dampak lebih lanjut, ketika lulus siswa kurang berani untuk berwirausaha, siswa lebih tertarik untuk menjadi karyawan, padahal lowongan pekerjaan juga terbatas. Apabila pelaksanaan PKL/Prakerin masih
dengan pola seperti yang
berlangsung selama ini, maka upaya untuk menyiapkan technopreneur sulit terwujud. Hal ini bertentangan dengan prinsip kewirausahaan, dimana untuk menjadi wirausaha harus mengusai dua aspek sekaligus, yaitu kompetensi teknis dan keahlian manajemen bisnis (Pearce II, 2013:435). Dalam penelitian ini akan dikembangkan model PKL pada SMK berbasis kewirausahaan sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi pada model PKL/Prakerin yang ada saat ini. Berbeda dengan PKL/Prakerin yang lebih menitikbertakan pada penyiapan peserta didik untuk menjadi karyawan, pada model PKL berbasis kewirausahaan lebih menitikberatkan pada penyiapan siswa untuk menjadi wirausahawan, dalam hal ini disebut technopreneur. Agar tujuan
untuk menyiapkan tecnopreneur dapat dicapai dengan efektif
dan efisien tidak bisa lepas dari manajemen. Oleh karena itu dalam mengembangkan model PKL ini perlu dikaji berdasarkan fungsi pokok manajemen, dalam hal ini 30
dipakai fungsi manajemen menurut Terry, yang menyebutkan fungsi manajemen meliputi Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC). Model ini dapat dianggap sebagai model alternatif, karena SMK juga tetap bisa melakukan PKL/Prakerin dengan pola lama sepanjang memang untuk menyiapkan siswa/lulusan untuk menjadi karyawan/buruh/pekerja atau bukan wirausahawan. Namun sekolah juga mempunyai tanggung jawab untuk menyiapkan peserta didik yang berminat menjadi wirausahawan dan/atau mengatasi masalah banyaknya pengangguran lulusan SMK.
KOMITE SEKOLAH
SMK
MAJELIS SEKOLAH
DUDI
SISWA
PKL/PRAKERIN
TEKNIS
MANAJEMEN
LULUSAN: WIRAUSAHAWAN (TECHNOPRENEUR)
Gambar 6. Konsep Dasar Model PKL pada SMK berbasis Kewirausahaan Dalam konteks kajian ini, program dikhususkan untuk menyiapkan lulusan SMK agar menjadi technopreneur. Salah satu caranya adalah melalui pelaksanaan PKL yang tidak hanya memberikan keahlian teknis, tetapi juga keahlian manajemen bisnis. Hal ini dapat dilakukan bukan hanya belajar atau magang kepada operator/instruktur,
tetapi
juga
belajar
31
atau
magang
kepada
pemilik
usaha/wirausahawan. Dengan pola seperti ini maka syarat untuk menyiapkan siswa menjadi wirausahawan terpenuhi. Akhirnya dapat dikemukakan bahwa model PKL pada SMK berbasis kewirausahaan diduga kuat efektif untuk menyiapkan siswa/peserta didik untuk menjadi technopreneur. Alur pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 6. Selanjutnya dapat digambarkan model yang lebih detail yang mencakup aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Model Pelaksanaan PKL pada SMK Berbasis Kewirausahaan (Prodi Teknik Pemesinan) 5.4. Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK Model
Pengelolaan
Unit
Produksi
untuk
Mengembangkan
Sikap
Kewirausahaan Siswa SMK Paket Keahlian Tata Busana adalah model yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip unit produksi yang menitik beratkan pada pelaksanaan kegiatan yaitu mendesain, produksi, pengemasan hingga pemasaran yang dilakukan siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Sehingga kegiatan pengelolaan Unit Produksi yang demikian akan memberikan pengalaman pada siswa 32
dalam
mengembangkan
sikap
kewirausahaan,
sehingga
siswa
mempunyai
pengalaman secara langsung dalam mengelola usaha Penyelenggaraan UP untuk mengembangkan Sikap Kewirausahaan menggunakan metode team work dalam pelaksanaannya sedangkan dalam evaluasi kemampuan wirausaha yang siswa dapatkan dengan metode individual test dalam mengerjakan tes tertulis yang disusun
oleh guru kewirausahaan bersama Unit
Produksi Sekolah dengan tetap mempertimbangkan job description yang siswa lakukan. Salah satu komponen yang penting dalam sistem pembelajaran pendidikan kejuruan adalah keberadaan sarana dan pra sarana untuk siswa. Sarana dan pra sarana diperlukan untuk pembelajaran dan mengembangkan kompetensi siswa, baik teori maupun praktik. Salah satu sarana pembelajaran yang digunakan SMK untuk mengembangkan pengembangan
kompetensi pengelolaan
siswa unit
adalah produksi
unit untuk
produksi.
Berikut
model
mengembangkan
sikap
kewirausahaan siswa SMK paket keahlian tata busana.
6. Gambar 1. Bagan Pengelolaan Unit Produksi Gambar 8. Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK (Prodi Tata Busana) 33
5.5.
Hasil Perkembangan Mahasiswa Bimbingan Penelitian Dalam penelitian tim Pascasarjana ini melibatkan empat mahasiswa dengan
daftar seperti pada Tabel 1. Hingga tahun kedua, satu mahasiswa sudah lulus tahun 2016. Diharapkan pada tahun ketiga semua mahasiswa sudah lulus.
Tabel 1. Mahasiswa Pelaksana Penelitian Tim Pascasarjana. NO NAMA Sri Endah 1. Wahyuningsih
PRODI Manajemen Kependidik an S3
2.
Sunyoto
Manajemen Kependidik an S3
3.
Edy Ismail
Pendidikan Kejuruan S2
4.
Sri Sumaryani
Pendidikan Kejuruan S2
JUDUL Pengembangan Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal bagi Calon Guru Tata Busana. Pengembangan Model Manajemen Pemagangan (Apprenticeship) pada SMK untuk Menyiapkan Technopreneur Model Pembelajaran Technopreneurship pada Paket Keahlian Teknik Pemesinan Sekolah Menengah Kejuruan Pengembangan Model Pengelolaan Unit Produksi untuk Mengembangkan Sikap Kewirausahaan Siswa SMK Paket Keahlian Tata Busana
KETERANGAN Penerapan model lingkup terbatas dan dilanjutkan lingkup yang lebih luas.
Penerapan model lingkup terbatas dan dilanjutkan lingkup yang lebih luas.
Sudah selesai/lulus tahun 2016.
Penerapan model lingkup terbatas dan dilanjutkan lingkup yang lebih luas.
Diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan pada tahun ketiga, dengan menambah 2 (dua) mahasiswa S2 program studi Pendidikan Kejuruan. Topik penelitiyang perlu diangkat berdasarkan hasil penelitian sebelumnya adalah: 1. Sinkronisasi Kurikulum Prakarya dan Kewirausahaan Sesuai dengan Program Keahlian Siswa SMK. 2. Model Kemitraan SMK dengan Dunia Usaha dan Industri untuk Mendukung Terlaksananya Program PKL Berbasis Kewirausahaan. 34
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1
Rencana Penelitian Berdasarkan hasil dan luaran yang dicapai hingga laporan kemajuan ini
disusun, tim peneliti akan melanjutkan penelitian yang bersifat jangka pendek dan penelitian lanjutan untuk tahun ketiga. Untuk kegiatan jangka pendek adalah melanjutkan kegiatan tahun kedua (2016) yang belum final, antara lain: 6.1 Melakukan validasi dan sosialisasi terhadap tiga sub-model yang telah dihasilkan, yaitu tentang: 1) Model Manajemen Penyiapan Guru Kewirausahaan oleh LPTK, 2) Model Pembelajaran Produktif Berbasis Kewirausahaan di SMK, 3) Model Manajemen Penyelenggaraan PKL/Prakerin di SMK, dan 4) Model Pengelolaan Unit Produksi di SMK. 6.2 Melakukan validasi dan sosialisasi terhadap tiga panduan pelaksanaan dan/atau perangkat pendukungsub pelaksanaan tiga sub-model yang dihasilkan. 6.3 Mematangkan integrasi empat sub-model yang telah dihasilkan dalam kesatuan yang utuh model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal pada SMK. 6.4 Menyusun artikel penelitian yang siap untuk disubmit ke jurnal ilmiah bereputasi internasional.
Untuk penelitian lanjutan tahun ketiga, tim peneliti akan melaksanakan: 6.5 Mengimplementasikan tiga sub-model yang dihasilkan dalam lingkup terbatas atau yang diperluas. 6.6 Menambah dua mahasiswa S2 pelaksana penelitian dari program studi Pendidikan Kejuruan untuk mendukung penelitian yang dilakukan sebelumnya. 6.7 Menyusun laporan penelitian berdasarkan hasil penelitian tahun ketiga. 6.8 Menyusun artikel penelitian yang siap untuk disubmit ke jurnal ilmiah bereputasi internasional.
35
6.2
Agenda Kegiatan Penelitian Tahun Ketiga
Agenda kegiatan penelitian tahun ketiga dapat dilihat pada barchart di bawah ini. Kegiatan Penelitian Tim Pascarjana Tahun ketiga No
Kegiatan
1
Pemantapan Panduan Pelaksanaan Model Manajemen Kewirausahaan Berbasis Keunggulan Lokal (MPK-BKL) pada SMK Sosialisasi Panduan Pelaksanaan MPK-
1
2
3 4 5 6
BKL kepada stake holder dan SMK yang akan menerapkan model MPKPBL Implementasia MPK-BKL pada skala lebih luas (SMK) Analisis dan perumusan model final Penyusunan artikel ilmiah untuk publikasi di jurnal internasional Penyusunan laporan akhir
36
2
3
Bulan ke 4 5 6 7
8
9
10
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sementara dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut: 7.1.1 Penelitiam Tim Pascasarjana ini telah melibatkan empat mahasiswa, yang terdiri dari dua mahasiswa program studi Pendidikan Kejuruan S2 dan dua mahasiswa Manajemen Kependidikan S3, dengan topik/judul penelitian yang saling terkait dalam rangka pengembangan model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal di SMK. 7.1.2 Empat topik penelitian yang dikembangkan tersebut adalah: 1) model manajemen penyiapan guru mata diklat Kewirausahaan oleh LPTK, 2) model pembelajaran produktif berbasis kewirausahaan di SMK, 3) model pengelolaan unit produksi di SMK, dan 4) model penyelenggaraan PKL atau Prakerin di SMK. 7.1.3 Telah dihasil empat sub-model manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal di SMK. 7.1.4 Telah dihasil empat panduan pelaksanaan atau perangkat pendukung submodel manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal di SMK.
7.2 Saran Berdasarkan kesimpulan sementara, dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut: 7.2.1 Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
(tahun
ketiga)
untuk
mengimplementasikan sub-model yang telah disusun. 7.2.2 Perlu penelitian pendukung dengan melibatkan dua mahasiswa program studi Pendidikan Kejuruan S2, dengan topik penelitian: 1) Sinkronisasi Kurikulum Prakarya dan Kewirausahaan Sesuai dengan Program Keahlian Siswa SMK, dan 2) Model Kemitraan SMK dengan Dunia Usaha dan Industri untuk 37
Mendukung Terlaksananya Program PKL Berbasis Kewirausahaan. 7.2.3 Model dan panduan yang telah disusun perlu disosialisasikan kepada SMK pada lingkup yang lebih luas, tidak hanya pada SMK subjek penelitian. 7.2.2 Melakukan bimbingan secara intensif terhadap mahasiswa pelaksana penelitian tim Pascasarjana sehingga penelitian dapat selesai tepat waktu.
38
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, I., Amri, S., dan Elisah, T. 2012. Mengembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Jakarta: Prestasi Pustaka. Asmani, Jamal M. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Jogjakarta: Diva Press Alip, Moch. dan Sunarto. 2008. “The roles School Committee in Vocational High Schools in Yogyakarta”. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. No.1, Tahun XI. Amtu, Onisimus. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta. Balitbang Depdiknas . 2007 . Model Kurikulum Keunggulan Lokal Borg, Walter R dan Meredith Damien Gal. 1983. Eduacational Research An Introduction, 4th edision, New York: Longman. BPPT. 2010. Pengembangan Kurikulum Teknopreneurship di Perguruan Tinggi. Jakarta: BPPT BPS.2013. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Cohn, Elchanan. 1978. The Economics of Education. Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Company. Depdikbud. 1994. Konsep Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Depdikbud. Depdiknas. 2006. ”Sekolah Menengah Kejuruan”. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (DPSMK), Depdiknas. Ferrante, Francesco. 2005.” Revealing Entrepreneurial Talent”. Economics (2005) 25: 159-174
Small Business
Hadi, Aunur Rofiq, dkk. 2010. Pengembangan Kurikulum Kewirausahaan Teknologi di Perguruan Tinggi. Jakarta: badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT). Hasibuan, Malayu SP. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hendro. 2010. Kewirausahaan untuk SMK dan MAK. Jilid 1-3. Jakarta: Erlangga. Hikmat. 2011. Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. 39
Hisrich, Robert D, dkk. 2008. Entrepreneurship Kewirausahaan. (Terj). Jakarta: Salemba Empat. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Lahming. 2012. “Model Diklat Kewirausahaan dan Keterampilan Wirausaha Berwawasan Lingkungan bagi Remaja Putus Sekolah”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 18, No 2. Karyono, Akhmad. 2009. “Kontribusi Status Industri Tempat Prakerin, Lama Prakerin, dan Motivasi Belajar terhadap Sikap Kewirausahaan Siswa SMK di Kabupaten Indramayu”. Teknologi dan Kejuruan. Vol. 32, No. 2, September hlm. 165-176. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Kewirausahaan. Jakarta: Kemdiknas.
Pengembangan
Pendidikan
----------.2010. Rencana Strategis Kementerian pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta: Kemdikbud.
Keputusan Menteri Koperasi 961/Kep/M/XI/1995
dan
Pembinaan
Pengusaha
Kecil
No.
Nasution, Arman Hakim, dkk. 2007. Entrepreneurship Membangun Spirit Teknopreneurship. Yagyakarta: Andi. Patriasih, Rita., Cica Yulia, Dian Hardijana. 2011. ”Realizing Entrepreneurial Character Through Curriculum Implementation in Vocational High School”. Proceeding of ICVET, Yogyakarta State University, pp. 26-32. Pattayanunt, Suwimon . 2009. “Does the Concept of Apprenticeship still have Relevance as a Model of Skill Formation and Vocational Learning in Contemporary Society?” Transit Stud Rev (2009) 16:529–541 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan. Pearce II, John A dan Richardo B. Robinson Jr. 2013. Manajemen Strategis. (Terjemahan). Jakarta: Salemba Empat. 40
Priyanto, Sony Heru dan Iman Sandjojo. 2005. ”Dinamika Pembelajaran Kewirausahaan pada UKM”. Kritis, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. Vol. XVII, No.1, pp. 84-103. Pujantiyo, Bambang S. 2012. ”Manfaatkan Teknologi demi Pengembangan Produksi”. Gagas, Majalah BPPT. Edisi Perdana, Januari. Rahayu, Wening Patmi. 2010. “Pengembangan Modul Kewirausahaan di SMK” Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 17, No 2 (2010) ----------. 2012. ”Sikap Kewirausahaan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 18, No 1 Rakib, Muhammad. 2010. “Model Komunikasi Wirausaha, Pembelajaran Wirausaha, Sikap Kewirausahaan, Dan Kinerja Usaha Kecil”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol 17, No 2 . Rivai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2012. Education Management, Analisis Teori dan Praktik. Jakarta: Rajawali Pers.
Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi. Edisi 10. (Terjemahan). Jakarta: PT Indeks. Sonhadji, Ahmad. 2012. Manusia, Teknologi, dan Pendidikan, Menuju Peradaban Baru. Malang: UM Press. Subini, Rini. 2012. Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Mentari Pustaka. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta ----------. 2013. Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung: Alfabeta Sunyoto. 2012. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Munculnya Technopreneur (Studi Kasus pada Lulusan SMK Teknologi). Laporan Penelitian, Semarang: LP2M Unnes.. Suranto. 2011. ”Analysis Entrepreneurship Learning to Improve Mental Entrepreneurial in Student”. Proceeding of ICVET, Yogyakarta State University, pp. 37-41. Suryadi, Ace. 2012. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan. Bandung: Widya Aksara Press. Surat Keputusan Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 251/C/Kep/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Spektrum Pendidikan Menengah Kejuruan. 41
Tilaar, HAR. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995, Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: Gramedia. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Vliamos,Spyros J. & Nickolaos G. Tzeremes. 2011. “Factors Influencing Entrepreneurial Process and Firm Start-Ups: Evidence from Central Greece”. DOI 10.1007/s13132-011-0043-x Borg, Walter R. and Gall, Meredith D. (1993). Educational Research : An Introduction. New York and London; Longman.
42
Lampiran 1 PERSONALIA TENAGA PENELITI DAN PEMBAGIAN TUGAS Alokasi waktu (jam/ minggu) 15
Nama/NIDN
Instansi Asal
1
Prof. Dr. Joko Widodo, M.Pd 0006016706
Fakultas Ekonomi Unnes
Administrasi Pendidikan/ Pendidikan Kewirausahaan
2
Prof. Dr. Samsudi, M.Pd 0008086014
Fakultas Teknik Unnes
Teknologi Kejuruan/ Kurikulum Pendidikan
10
3
Dr. Trisnani Widowati, M.Si 0027026202
Fakultas Teknik Unnes
Teknologi Pendidikan/ Teknologi Pembelajaran
10
4
Sunyoto NIM: 0101612003
Mhs PPs Prodi Manaje men Kependi dikan S3
Pendidikan Teknik Mesin/Manaje men Industri
10
No
Bidang Ilmu
43
Uraian Tugas Beratanggung jawab thd seluruh proses penelitian dan terlibat dalam pembuatan instrumen, pengumpulan data, analisis data, pembuatan laporan, Panduan Model Manajemen Pendidikan Kewirausahaan berbasis Keunggulan Lokal (MPK-BKL) Bertanggung jawab thd tahapan metode panelitian,tabulasi dan analisis data, pengembangan model manajemen pendidikan kewirausahaan pada LPTK dan SMK, serta terlibat dalam proses penelitian yang lain Bertanggung jawab thd pengumpulan dan analisis data terkait keunggulan lokal, pengembanagn model pembelajaran dan pengelolaan unit produksi, serta terlibat dalam proses penelitian yang lain Terlibat aktif dalam semua tahapan penelitian, mengkaji dan mngembangkan model Prakerin relevansinya dengan manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal di SMK
5
Sri Endah Wahyuningsih NIM: 0101612031
Mhs PPs PKK/Pendidik Prodi an Manaje Kewirausahaan men Kependi dikan S3
10
6
Edy Ismail NIM: 0501513014
Mhs PPs Pendidikan Prodi Teknik Mesin Pendidik an Kejuruan S2
10
7
Sri Sumaryani NIM: 0501513011
Mhs PPs Pendidikan Program Tata Busana Pendidik an Kejuruan S2
10
44
Terlibat aktif dalam semua tahapan penelitian, mengkaji dan mengembangkan model pendidikan bagi calon guru SMK relevansinya dengan manajemen pendidikan kewirausahaan berbasis keunggulan lokal di SMK Terlibat aktif dalam semua tahapan penelitian, mengkaji dan mengembangkan model pembelajaran pada SMK, khususnya pada keahlian pemesinan Terlibat aktif dalam semua tahapan penelitian, mengkaji dan mengembangkan model pengelolaan unit produksi pada SMK, khususnya pada keahlian tata busana
Lampiran 1 ARTIKEL PENELITIAN (Disajikan pada 5th Engineering International Conference, 5 Oktober 2016 di Hotel Patra Jasa Semarang)
IMPLEMENTATION OF INDUSTRIAL WORK PRACTICE MANAGEMENT AT VOCATIONAL HIGH SCHOOL
Joko Widodo1, a), Samsudi2, Sunyoto 2 1 2
a)
Faculty of Economics, Universitas Negeri Semarang Faculty of Engineering, Universitas Negeri Semarang
Correspondent author:
[email protected]
Abstract. The purpose of this study was to develop a management model of entrepreneurship-based Industrial Work Practice (Prakerin) at Vocational High School. This research was planned for three years under Research and Development design. The respondents were public and private Vocational High Schools in Semarang, Salatiga and District of Demak, Central Java, Indonesia. Data were collected through interviews, questionnaires, observation, and documentation. The data were analyzed qualitatively and quantitatively. Preliminary study shows that the implementation of Industrial Work Practice at Vocational High School, which has been carried out, was only to prepare the graduates to become employee of the industry instead of entrepreneur. Further study is needed to develop a management model of entrepreneurship-based Industrial Work Practice at Vocational High School. Keywords: Industrial Work Practice management, Vocational school
INTRODUCTION Indonesia as a huge country with a population of more than 237 million (the fourth largest in the world) with a wealth of natural resources were excellent but the development results achieved are still far from the expected. Until 2012, the Human Development Index (HDI) Indonesia depicting the success of development in the fields of education, health and economics field, ranks 121 of 186 countries monitored. Compare with neighboring ASEAN countries, such as Singapore (18th), Malaysia (lined 64), and the Philippines, Thailand (sequence 103), and the Philippines (114 sequences) [1]. Challenges faced by Indonesia at the beginning of the 21st century marked by globalization in almost all aspects of life is getting heavier day to day. The success of developed countries proves that the success achieved is not determined by the fortune of its natural resources but more due to the excellence of its human resources. In other words, competition in the 21st century is more determined by competitive advantages rather than comparative advantage. One typical of a developed country is to have at least 2% of the population as an entrepreneur, while Indonesia currently has about 0.8 % [2]. Therefore Indonesia most needs about 2.88 million entrepreneurs in order to align with the developed countries so that they are able to compete in the global era. The lack of entrepreneurs is also characterized by high rates of unemployment. Based on the Statistic Central Bureau until the month of February 2013, the amount of unemployment in Indonesia as many as 7.2 million people, or 5.92% of the 121.3 million workforce [3]. When viewed under the background of education, the amount of unemployed who graduated from vocational schools as many as 847.052 people, or 11.81 percent, or greater than the national unemployment index was 5.92 percent.
45
The high unemployment index need to get serious attention of all parties, both government and educational experts, because it is directly related to poverty, crime cases, and other social problems. As an implication, it is necessary for innovation at the vocational education, so as to minimize the gap between what the expectations with reality. One of the government's programs are intended to make quick work of vocational graduates are dual system education program (PSG) which is started since the school year 1994/1995. Through the PSG program, organized education both in schools and in businesses or industries causing link and match between school and the world of business [4]. The implementation, the program PSG also called Industrial Work Practice (Prakerin). The main objective of the program is to help graduate get a job in the industry or institution. It is true that Prakerin keep running as it exists today, however keep in mind that the amount of vocational school graduates is always more than the capacity of the industry or company. Therefore, it needs to think about how to design an Industrial Work Practice model more oriented toward preparing graduates to become entrepreneurs or businesspeople. This is important because after 18 years the program PSG implementation, its impact of programs on reducing unemployment is almost unreal. The fact that the unemployment index vocational graduates in 2004 amounted to 12.23% [3], is not much different from the condition in 2013 in which the unemployment rate amounted to 11.81% [5] or the difference is only 0.42%. This paper explains the results of the preliminary study on the implementation of Industrial Work Practice s that exist in vocational school, as a benchmark in developing a management model based Industrial Work Practice on entrepreneurship. Studies and related study efforts to increase entrepreneurs through education has been done. The entrepreneurial interest of vocational school students can be improved not only through the provision of entrepreneurship subjects. Entrepreneurial interest can be integrated in all subjects, one of them through Industrial Work Practice (Prakerin) [6]. However an interest to start own trading or business might be influenced by many factors [7]. While, internships are becoming an overall part of engineering curriculum as a learning initiative and an attractive path for students to enter real professional market [8]. Beside, students with entrepreneurial interest and motivation are more innovative [9]. Practice and internship stages strengthen entrepreneurial skills of students in encouraging them to practice entrepreneurship [10]. The purpose of vocational high school is to prepare graduates to work at the company. This is in contrast with the aim of general high schools to prepare graduates to continue their study at a higher education level such us university or academy. Prakerin program as only in vocational high schools it is right. The challange is how to prepare vocational school graduates ready to start their entry career world reached. Related this issue the need for management education in order to manage existing resources so that the vocational high school goal is reached. Management education is an ongoing process carried out by the organization of education in the use of existing potency in order to achieve set educational goals effectively and efficiently [11], [12]. Management functions advised by experts are vary, but in guiding principle not much substantial difference. As stated Terry, Henry Fayol, Louis A. Allen, Luther Gulick, Harold Koontz and Cyril O'Donnell who stated five management functions, known as: Planning, Organizing, Staffing, Directing and Controlling. Beside, according to Terry management function scoping Planning, Organizing, Actuating, Controlling (POAC) [13].
RESEARCH METHODS This research was carried out using a Research and Development design [14]. The respondents were teachers from educational institutions (LPTK) from Faculty of Engineering in Semarang State University and some Vocational High Schools (SMK) in three regions consisting two cities (Semarang and Salatiga) and one district of Demak. There were 4 Vocational High Schools (public and private schools) in each region. The data were also taken from a teacher (productive and entrepreneurship subject), the principal, vice principal, head of study program, head of production unit, and head of the laboratory. The data in this study were in three parts; a preliminary study, development, testing and validation. During the study, complementary data were also gathered in the form of interviews, questionnaires, observation, and documentation, including literary review. Focus Group Discussion (FGD) was also conducted as a means of data collection and validation of the resource. Data analysis were carried out
46
quantitatively and qualitatively. Quantitative data were analyzed with descriptive analysis techniques, while qualitative data were analyzed using qualitatively interactive model of Miles & Huberman [15].
RESULTS AND DISCUSSION The objective this study was to develop management model of entrepreneurship-based Industrial Works Practice at Vocational High School. This study was conducted in three parts; a preliminary study, development, testing and validation. Preliminary study disclosed and described the planning, organizing, implementation, and evaluation of the model related Industrial Work Practice s at this time. The questionnaires were assessed using Likert scale under four answer options: strongly agree (SS), agree (S), disagree (TS), and strongly disagree (STS). The data analysis were presented using descriptive percentages, as described below. In terms of planning, the respondents mostly „strongly agree‟ and „agree‟. Semarang and Salatiga respondents mostly gave „strongly agree‟ answers (57.00% and 46,00%), while Disctrict of Demak and LPTK generally „agree‟ (58% and 48.00%). In average, there were 42.50% and 43.50% respondents provided „strongly agree‟ and „disagree‟ answers. These results indicate that the Planning of Industrial Works Practice (Prakerin) had been running well.
FIGURE 1. The Planning of Prakerin in SMK
In terms of organization, most respondents gave „agree‟ option; respondents from Salatiga were 53.13%, Demak (56.25%), and LPTK (56.25%). While respondents from Semarang answered „strongly agree‟ (56.25%). So the overall respondents who answered strongly agree and disagree were 41.40% and 50.39%. These results indicate that the organizing of the Industrial Works Practices in SMK had also been necessary.
47
FIGURE 2. The Organizing of Prakerin in SMK
However, the implementation of Prakerin was considered not so good. Figure 3 shows that most respondents gave „disagree‟ answer dealing with this matter. The number of „disagree‟ respondents were quite a lot that is 26.25%.
FIGURE 3. The Implementation of Prakerin in SMK
Meanwhile, respondents viewed that the evaluation of Prakerin in Vocational High School was not too good yet not too bad. Most respondents provided „agree‟ option (65.10%), and „disagree‟ option for 15 , 36%, as shown in Figure 4.
FIGURE 4. The Evaluation of Prakerin in SMK
Based on the analysis, it can be concluded that lately, the implementation of Industrial Works Practice (Prakerin) in SMK has run well in terms of planning and organizing, however the implementation and evaluation phases are not in satisfying condition. It is noted that the implementation of Industrial Works Practice in some industries only concerns in vocational areas of expertise. In Prakerin for Mechanical Engineering students, there are some conditions that (1) an institutional partner is medium or large sclae of industry/enterprises, (2) the field supervisor is the worker/employee/operator, 3) The main purpose of Prakerin is to help students mastering the skills of the technical aspects/operator, and 4) Prakerin focuses on preparing students to fill vacancies in the industry. Those conditions likely create the students to be workers instead of entrepreneurs. Prakerin is the form of cooperation between the Vocational School and Industry and it has several drawbacks. First, Prakerin partners are usually medium or large scale industries and when the students work there, they are assisted by company managers or particular staffs. The students could not learn
48
directly from the business owners as the entrepreneurs. Second, the students only learn technical aspects instead of business management. In fact, to be an entrepreneur is technical capabilities are not enough. Third, by the end of Prakerin, most students are not motivated to be an entrepreneur and they are more interested to be an employee although vacancies are limited. If the implementation of Prakerin still works based on those conditions, then it is hard to create entrepreneurs from SMK graduates. This is contrary to the principles of entrepreneurship, where to become entrepreneur, one should capable in two aspects at the same time; the technical competence and business management skills [16]. So, good management has been applied for Prakerin, however there is less effort to prepare the graduates to become entrepreneurs. This happens because the students were only equipped mostly with technical aspects alone during their study and they did not obtain business management skill. To overcome the weakness the existing Prakerin model, entrepreneurial-based model of Prakerin is necessary. The model will cover the following characteristics; 1) the industrial partner is a small industry or medium scale industry, 2) the field supervisor is a business owner or entrepreneur, 3) during Prakerin, it is expected that the students could learn both technical and management aspect at the same time.
CONCLUSION Preliminary study has concluded the following points: 1. The implementation of Industrial Work Practice in Vocational High School (SMK) has been running well in terms of planning and organizing, but it has not been so good in the implementation, and enough in terms of evaluation. 2. Industrial Work Practice (Prakerin) in SMK is not specifically designed to prepare the students to become entrepreneurs, but it is designed to prepare the students to be an employee. 3. It should be designed management model of industrial working practices based on entrepreneurship, which is to prepare graduates ready to become entrepreneurs, not as an employee of the industry. 4. The existing model of Industrial Work Practice should not necessarily be changed or removed, but there should also be an alternative model which is entrepreneurial-based.
ACKNOWLEDGMENT Our thanks go to all those who have helped either directly or indirectly in research, especially to the Directorate Research and Community Service (Ditlitabmas), the Ministry of Research and Higher Education of the Republic of Indonesia, as the funder of this research. To the Director of the Graduate Program, LP2M chairman, and dean of the Faculty of Engineering, Semarang State University who had expedite this research. Also to the principals and teachers of SMK in Semarang, Salatiga, and Demak sampled studies have provided valuable information and data for the research team.
REFERENCE 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Jones, Gavin W; Hull TH. Indonesia Assessment: Population and Human Resources. 1997th ed. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Publishing; 1997. 1997 p. McClelland DC. Achieving society. Simon and Schuster; 1967 Feb 1. first edit. New York: A Free Press Paperback The Macmillan Publishing Co.,Inc.; 1967. 1967 p. Datamikro K, Statistik BP. Indonesia - Survei Angkatan Kerja Nasional 2013 Triwulan 1. 2014;1–72. Kemendikbud. PENDIDIKAN SISTEM GANDA Pendidikan, Keputusan Menteri, and Kebudayaan Republik Indonesia Nomor. “323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan.” Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (1998). 1998;1998. Datamikro K, Statistik BP. Indonesia - Survei Angkatan Kerja Nasional 2013 Triwulan 3. 2014; Patriasih, Rita; Yulia, Cica; Hardijana D. Realizing Entrepreneurial Character Through Curriculum Implementation in Vocational High School. Proc Int Conf Vocat Educ Train Publ Inst. 2011;2011.
49
7. 8.
9.
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Papulová Z, Papula J. Entrepreneurship in the Eyes of the Young Generation. Procedia Econ Financ. Elsevier B.V.; 2015;34(15):514–20. Calvo R, D‟Amato R. A Collaborative Method of Enhancing Internships Evaluation through Stakeholders‟ Alignment. Procedia Eng [Internet]. Elsevier B.V.; 2015;132:167–74. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.proeng.2015.12.466 Çolakoğlu N, Gözükara İ. A Comparison Study on Personality Traits Based on the Attitudes of University Students toward Entrepreneurship. Procedia - Soc Behav Sci [Internet]. 2016;229:133–40. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042816310576 Otilia A, Pop-cohu IC, Florentina L. Do practice stages encourage students in Economics to practice entrepreneurship ? Practeam project. 2014;15(14):1083–90. Hikmat. Manajemen Pendidikan. Pusaka Setia; 2011. Amtu O. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Alfabeta; 2011. Hasibuan M. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara; 2007. Gall, Meredith Damien, Walter R. Borg and JPG. Educational research: An introduction . Longman Publishing, 1996. Six. London: Longman Publishing; 1996. 1996 p. Sugiyono. Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2000. Pearce II JA dan RBRJ. Manajemen Strategis. (Terjemahan). Jakarta: Salemba Empat; 2013. 2013 p.
1.
50