Bidang Ilmu Rekayasa
LAPORAN PENELITIAN HIBAH FUNDAMENTAL TAHUN 2013
Studi Pertumbuhan Butir Prior Austenit Selama Pemanasan Awal Untuk Peningkatan Sifat Mekanik Baja HSLA Pada Proses Thermo Mekanik
Richard A. M. Napitupulu NIDN. 0126087301
Humisar Sibarani NIDN. 0117055801
Dibiayai oleh: Dana Riset Hibah Fundamental DP2M DIKTI Tahun Anggaran 2013 Dengan Kontrak Nomor 024/K1.2.2/KL/2013
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
HALAMAN PENGESAHAN 1.
Judul Penelitian
: Studi Pertumbuhan Butir Prior Austenit Selama Pemanasan Awal Untuk Peningkatan Sifat Mekanik Baja HSLA Pada Proses Thermo Mekanik.
2.
Bidang Penelitian
3.
Ketua Peneliti
: Metal Forming
a. Nama Lengkap
: Dr. Richard A. M. Napitupulu, ST. MT
b. NIP/NIK
:-
c. NIDN
: 0126087301
d. Jabatan Fungsional
: Lektor
e. Jabatan Struktural
:-
f. Fakultas/Jurusan
: Teknik/Teknik Mesin
g. Pusat Penelitian
: Teknologi Pembentukan Logam
h. Alamat Institusi
: Jln. Sutomo No. 4a, Medan, 20234
i. Telp./Faks./Email
: 08126551482/061-4571426/
[email protected]
j. Tim Peneliti
: Ir. Humisar Sibarani, MS.Met
4.
Lama Penelitian Keseluruhan : 2 tahun
5.
Biaya yang diusulkan ke DIKTI :
6.
a. Tahun pertama
: Rp. 42.500.000,-
b. Tahun kedua
: Rp. 50.000.000,-
Biaya dari instansi lain
:Medan, 26 Nopember 2013
Mengetahui, Dekan,
Ketua Peneliti,
(Ir. Humisar Sibarani, MSMet) NIDN.0117055801
(Dr. Richard A. M. Napitupulu, ST. MT) NIDN.0126087301
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian UHN
(Prof. Dr. Monang Sitorus, MSi) NIDN. 0109046201
ii
RINGKASAN Pengontrolan mikrostruktur akhir (ferit) yang baik merupakan salah satu cara yang efektif untuk mendapatkan baja karbon dengan sifat mekanis yang baik. Struktur butir yang diinginkan pada mikrostruktur akhir bergantung pada ukuran butir awal yang terbentuk selama proses pemanasan awal dan pembentukannya, dimana untuk mendapatkan butir ferit super halus, maka harus terbentuk butir prior austenit yang super halus saat proses pemanasan awal. Untuk itu dibutuhkan suatu proses yang dapat mengontrol mikrostruktur baja karbon selama proses pemanasan awal serta pendinginan. Pada proses pemanasan awal, butir pearlit akan bertransformasi menjadi butir austenit yang kan mengalami proses rekristalisasi dan tumbuh. Apabila butir austenit sempat bertumbuh menjadi besar, maka butir ferit akhir juga akan memiliki ukuran yang besar dan sifat mekanisnya akan menurun. Oleh sebab itu perlu suatu perhatian khusus pada pembentukan dan pertumbuhan butir prior austenit pada proses pemanasan awal (reheating) agar diperoleh ukuran mikrostruktur akhir yang memberikan sifat mekanis yang maksimal. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh parameter proses pemanasan awal yang meliputi temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap pertumbuhan butir austenit dan sifat mekanis materialnya (kekeresan). Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang saling terkait antara temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap pertumbuhan butir austenit dan kekerasan yang terjadi. Sementara itu hasil yang paling optimal diperoleh untuk temperatur pemasan 1060oC dengan laju pemanasan 7,5oC/menit dan temperatur pemanasan 1120oC dengan laju pemanasan 5oC/menit. Kata Kunci: Studi Pertumbuhan, Butir prior austenit, Baja HSLA.
iii
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan YME, dimana pada akhirnya Laporan Penelitian Hibah Fundamental Tahun ke-1 ini dapat diselesaikan. Penulis pada kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Direktur DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas kepercayaan yang diberikan kepada tim peneliti untuk melaksanakan program Hibah Fundamental ini. 2. Koordinator Kopertis Wilayah I yang telah menfasilitasi para dosen PTS di wilayahnya untuk mengusulkan dan melaksanakan hibah penelitian. 3. Ketua LPPM Universitas HKBP Nommensen, atas kesempatan yang diberikan kepada tim peneliti untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. 4. Dekan Fakultas Teknik Universitas HKBP Nommensen, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. 5. Ketua Jurusan dan Sekretaris Program Studi Teknik Mesin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini pada Laboratorium Metalurgi. 6. Sdr. Otto Situmorang, ST dan adik-adik mahasiswa S1 yang telah turut serta dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini. Akhir kata penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Medan,
Nopember 2013
Penulis
(Dr. Richard A.M.N, ST. MT)
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
ii
RINGKASAN
iii
PRAKATA
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB I. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan Umum Riset
2
1.3. Urgensi Riset
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1. Mekanisme Penguatan Pada Logam
4
2.2. Proses Thermomekanik Baja HSLA
5
2.3. Pemanasan awal (Reheating)
6
2.3.1. Transformasi fasa ferit + perlit menjadi austenit
7
2.3.2. Kelarutan endapan dalam matriks austenit
7
2.3.3. Pertumbuhan butir austenit
13
BAB III. METODE PENELITIAN
19
3.1. Bahan Yang Diteliti
19
3.2. Bentuk dan Ukuran Sampel
19
3.3. Peralatan
19
3.4. Diagram Alir Penelitian
20
3.5. Siklus Panas Yang Dilakukan
21
3.6. Pengamatan Mikrostruktur
22
3.7. Metode Perhitungan Besar Butir Austenit
23
3.8. Pengujian Kekersan Vickers
24
v
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
26
4.1. Penampakan Batas Butir Austenite
26
4.2. Perhitungan Diameter Butir Austenite
31
4.3. Pengujian Kekerasan
36
4.4. Hubungan Besar Butir dan Kekerasan Yang Terjadi
42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
48
5.1. Kesimpulan
48
5.2. Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
vi
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Koefisien difusitas berbagai elemen mikroalloy pada austenite
11
Tabel 2.2. Persamaan yang memperlihatkan pertumbuhan butir austenite
15
Tabel 3.1. Komposisi Baja HSLA (% Berat)
19
Tabel 4.1. Hasil Evaluasi Zat Etsa Terhadap Hasil Penampakan Butir Austenit 26 Tabel 4.2. Besar butir austenit hasil pengamatan dan standart deviasinya o
31
Tabel 4.3. Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 5 C
36
Tabel 4.4. Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 7,5 oC
37
Tabel 4.5. Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 10 oC
37
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Efek dari besar butir ferit terhadap kekuatan luluh dan temperatur impak
4
Gambar 2.2.
Ilustrasi skematis Proses Thermo Mekanik
6
Gambar 2.3.
Pengaruh Proses Reheating pada perubahan struktur mikro baja
Gambar 2.4.
7
Batas Kelarutan Untuk baja Nb(C+12/14 N ) sesuai rumus Irvine
Gambar 2.5.
9
Keadaan tunak akhir ukuran partikel dengan distribusi normal untuk difusi pada pengontrolan pengkasaran butir
Gambar 2.6.
11
Pengaruh temperatur dan persen karbon pada pertumbuhan butir austenit
13
Gambar 2.7.
Tahapan pada Proses Thermo Mekanik
18
Gambar 3.1
Diagram Alir Penelitian tahun I
20
Gambar 3.2
Dapur pemanas yang digunakan
22
Gambar 3.3
Mesin amplas dan poles
23
Gambar 3.4
Mikroskop optik digital
23
Gambar 3.5
Metode Intercept, dengan menggunakan garis berbentuk lingkaran dengan total panjang garis 500 mm, dengan foto perbesaran 100X
24
Gambar 3.6
Alat Uji Kekerasan Vickers
25
Gambar 4.1.
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit
Gambar 4.2.
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060 C, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit
Gambar 4.3.
29
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit
Gambar 4.5.
28
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit
Gambar 4.4.
28
o
29
o
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060 C, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit
29
viii
Gambar 4.6.
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit
Gambar 4.7.
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960 C, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit
Gambar 4.8.
30
Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 5oC/menit
Gambar 4.11
30
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit
Gambar 4.10.
30
Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit
Gambar 4.9.
29
o
32
Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 7,5oC/menit
33
Gambar 4.12. Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 10oC/menit Gambar 4.13.
Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 5oC/menit
Gambar 4.14.
35
38
Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 7,5oC/menit
39
Gambar 4.15. Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 10oC/menit Gambar 4.16
40
Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 960oC
41
Gambar 4.17 Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 1060oC Gambar 4.18
Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 1120oC
Gambar 4.19
43
Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 1060oC
Gambar 4.21
42
Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 960oC
Gambar 4.20
41
44
Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 1120oC
46
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Baja High Strength Low Alloy Steel (HSLA) merupakan baja karbon paduan rendah dengan kekuatan tinggi yang sangat dibutuhkan di industri manufaktur, serta memiliki sifat kuat dan ringan, sehingga aplikatif untuk bidang transportasi dan disain struktur[1]. Baja HSLA telah mampu diproduksi oleh industri baja nasional melalui proses canai panas. Namun daya saing industri baja masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun efisiensi. Untuk itu diperlukan model disain proses produksi yang lebih akurat. Salah satu parameter penting yang mempengaruhi sifat mekanis baja HSLA adalah besar butir Prior Austenit (besar butir austenit saat reheating sebelum mengalami deformasi) dan besar butir austenit setelah deformasi[2]. Proses canai panas baja terdiri dari proses reheating( pemanasan baja ke suhu austenit), roughing dan finishing (proses deformasi canai panas) dan cooling (pendinginan ke suhu ruang). Penelitian yang berawal dari prior austenit memiliki peran penting dimana ukuran butir prior austenit akan menentukan ukuran butir setelah rekristalisasi dan pertumbuhan butir setelah baja mengalami deformasi, yang digambarkan pada persamaan untuk baja HSLA-Nb di bawah ini[1]. Drek = A do 0,67,7ε-0,67
(1.1)
= + exp(− ) .
( 1.2)
Pada Persamaan 1.1 , drek adalah diameter austenit setelah rekristalisasi, do adalah diameter prior austenit, ε adalah deformasi. Pada Persamaan 1.2 n dan A adalah konstanta yang tergantung pada komposisi material dan kondisi proses. Q adalah energi aktivasi pertumbuhan butir, dan R adalah konstanta gas dan T adalah temperatur absolut. Sehingga dari persamaan 1.1 di atas tampak bahwa drek ditentukan oleh ukuran prior austenit dan pada tahap pertumbuhan butir, besar butir austenit akhir ditentukan oleh drek (Pers. (1.2).. Saat ini, dalam aplikasi di industri, diameter prior austenit (do) sebagai dasar perhitungan hanya didapatkan melalui trial-error dengan memanaskan baja hingga temperatur reheating, dengan kondisi yang ada pada industri, sehingga ada beberapa faktor yang diabaikan seperti kecepatan pemanasan (heating rate), lama pemanasan, dan waktu tahan. Akibatnya perhitungan besar butir prior austenit tidak 1
konsisten, yang mengakibatkan perhitungan besar butir austenit setelah proses canai panas tidak tepat dan sifat mekanis tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengontrol mikrostruktur baja HSLA selama proses pemanasan awal (reheating), canai panas (hot rolling), serta pendinginan (transformasi akhir). Sistem tersebut dicapai dengan berbagai studi pembuatan model transformasi dan perilaku butir pada proses canai panas[3] sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas proses canai panas. Besar butir pada mikrostruktur akhir ditentukan oleh butir prior austenit pada proses pemanasan awal (reheating), dimana untuk mendapatkan butir ferit yang halus, dibutuhkan butir austenit yang berukuran kecil saat proses pemanasan awal[1]. Penelitian pertumbuhan butir prior austenit pada baja dilakukan berbagai peneliti , seperti Beck[1,3] , Sellars[3], Richard[4,5] .Namun pada penelitian terdahulu, pendekatan kinetika pertumbuhan butir prior austenit dirumuskan dengan asumsi reheating dilakukan pada kondisi isothermal. Sedangkan pada kondisi nyata, proses reheating didahului dengan pemanasan non-isotermal hingga dicapai temperatur reheating dan dilanjutkan dengan penahanan pada temperatur reheating. Akibatnya prediksi dengan model isotermal memberikan perhitungan yang kurang tepat. Maka, penelitian yang diajukan melalui Hibah Fundamental ini adalah untuk mendapatkan model
pertumbuhan butir prior austenit pada proses reheating yang
memuat faktor non-isotermal. Pendekatan dilakukan secara empiris, melalui percobaan eksperimental di laboratorium yang kemudian dirumuskan dalam suatu model hubungan temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap besar butir austenit. Diharapkan akan didapat model perhitungan besar butir prior austenit yang tepat untuk diaplikasikan,yang menjadi dasar perhitungan besar butir austenit akhir yang akurat.
1.2. Tujuan Umum Riset. Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan pendekatan teori metalurgi mekanik dan fisik yang dapat digambarkan dalam bentuk model empiris dari hubungan antara besar butir α (ferit) terhadap besar butir austenit (γ) pada proses reheating nonisotermal pada baja HSLA pada proses pemanasan awal (reheating). Keluaran dari penelitian ini adalah suatu model besar butir prior austenit pada proses reheating , yang memperhitungkan temperatur, kecepatan pemanasan, waktu tahan dan hubungannya dengan model besar butir austenit akhir pada proses canai panas
2
yang terbentuk pada proses thermo mekanik baja HSLA. Keluaran ini akan didiskusikan dalam international conference serta diterima dalam publikasi jurnal internasional. Keluaran penelitian ini memiliki manfaat untuk menjadi perangkat model perhitungan disain besar butir austenit akhir pada proses canai panas, sehingga dapat menentukan besar butir ferit dan sifat mekanis akhir dengan akurat, dan kualitas produk yang lebih konsisten sesuai spesifikasi.
1.3. Urgensi Penelitian. Pada saat ini harga baja dunia cenderung menurun akibat intervensi dari produk baja China. Produk baja (Hot Rolled Coil) HRC China pada saat ini masuk ke Indonesia dengan harga US$400-600 /matrix ton sedangkan nilai jual baja dalam negeri saat ini mencapai di atas US$ 790 /matrix ton . Diperkirakan surplus produksi baja HRC dunia mencapai 15 juta ton. Dengan meningkatkan efisiensi produksi baja HSLA, maka dapat meningkatkan daya saing industri baja nasional terhadap produksi luar yang saat ini menguasai pasar Indonesia. Nilai jual baja dalam negeri saat ini tergolong tinggi antara lain disebabkan proses produksi yang belum efisien, antara lain sering tidak tercapainya spesifikasi sifat mekanis yang disebabkan prediksi proses yang tidak tepat,
serta
penambahan paduan lain yang mempertinggi biaya produksi . Penelitian ini amat dibutuhkan karena dapat memberikan masukan pada industri baja Indonesia dengan mendapatkan model kinetika pertumbuhan butir prior austenit yang lebih akurat dari sebelumnya, sehingga meningkatkan efisiensi produksi. Dengan model empiris yang didapat melalui penelitian Hibah Fundamental ini, dan dilakukan validasi dengan gabungan perhitungan analitis dan metode additive (siklus pemanasan dibagi menjadi penjumlahan siklus pendek isotermal), akan didapat model hubungan antara
besar butir prior austenit (γ) dan parameter operasi yang
dilakukan pada kondisi sesuai aplikasi di industri, sehingga akan didapat disain besar butir prior austenit dengan ketelitian tinggi, yang lebih tepat untuk diaplikasikan di industri baja, sehingga dapat mencapai spesifikasi produk yang jauh lebih baik dan efisiensi proses produksi yang tinggi, dan dapat mempertinggi daya saing terhadap produk luar negeri yang beredar di pasaran Indonesia.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mekanisme Penguatan Pada Logam Bidang rekayasa metalurgi dan material, sering dibutuhkan dalam mendesain suatu logam yang memiliki kekuatan tinggi, keuletan dan ketangguhan. Biasanya, keuletan dikorbankan ketika kita menginginkan logam dengan kekuatan yang lebih. Penting untuk dimengerti bahwa mekanisme penguatan adalah hubungan antara pergerakan dislokasi dan sifat mekanik dari logam. Karena deformasi plastis makroskopis berhubungan dengan pergerakan dislokasi dalam jumlah besar, kemampuan logam untuk diubah secara plastis tergantung pada kemampuan dislokasi untuk dapat bergerak. Dengan mengurangi pergerakan dislokasi, kekuatan mekanik dapat ditingkatkan. Penghalusan butir adalah salah satu cara yang efektif bagi penguatan yang dihasilkan dengan menghalangi pergerakan dislokasi di sekitar batas butir[6]. Dengan mengecilnya ukuran dari butir akan meningkatkan batas butir per unit volume dan mengurangi garis edar bebas dari slip yang berkelanjutan. Pergerakan selanjutnya membutuhkan tegangan yang tinggi untuk membuka atau menghasilkan suatu dislokasi baru pada butir tetangganya. Penghalusan butir adalah mekanisme penguatan yang paling diinginkan karena merupakan satu-satunya mekanisme penguatan yang dapat meningkatkan kekuatan dan ketangguhan Charpy.
Gambar 2.1 Efek dari besar butir ferit terhadap kekuatan luluh dan temperatur impak[6]. Mikrostruktur dari material logam dapat diubah dengan mengatur ukuran, bentuk dan orientasi dari butir-butirnya, dimana bentuk dan ukuran butir merupakan
4
hasil dari pertumbuhan butir yang umumnya bergantung pada orientasi kristalin dari butir ketika terjadi pertumbuhan. Ukuran dari butir atau diameter butir rata-rata, dalam logam polikristal mempengaruhi sifat mekanisnya. Logam dengan butir yang halus lebih keras dan kuat dibandingkan logam dengan butir kasar, karena butir halus memiliki area batas butir total yang lebih luas untuk menghalangi pergerakan dislokasi. Untuk sebagian besar material, kekuatan luluh σy bervariasi dengan ukuran butir sesuai dengan persamaan Hall Petch : σy = σ0 + k.d-1/2
... (2.1)
dimana σ0 adalah tegangan geser yang berlawanan arah dengan pergerakan dislokasi pada butir, d adalah diameter butir dan k adalah suatu konstanta yang merepresentasikan tingkat kesulitan untuk menghasilkan suatu dislokasi baru pada butir tetangganya[6]. Ukuran butir dapat diatur oleh laju solidifikasi dari fasa cair, dan juga oleh deformasi plastis yang diikuti dengan perlakuan panas yang sesuai. Salah satu metode pembentukan dalam proses deformsi plastis ini adalah melalui proses termomekanik.
2.2. Proses Thermo Mekanik Baja HSLA Baja HSLA (High Strength Low Alloy Steel) dapat dikembangkan
dari aspek
intrinsiknya, antara lain dengan menambahkan paduan mikro (microalloying) dengan unsur-unsur seperti Niobium,Vanadium,Titanium dan lain-lain, untuk membentuk presipitat selama proses canai panas dan pendinginan, yang akan meningkatkan kekuatan mekanik. Dari aspek ekstrinsik, peningkatan sifat mekanis dilakukan terkait dengan parameter proses canai panas dan pendinginannya[7]. Proses canai panas yang dilakukan dalam produksi HSLA dapat dilihat pada Gambar 2.1. Terlihat bahwa proses yang terjadi selama canai panas adalah perubahan bentuk butir austenit menjadi terdeformasi, yang kemudian mengalami proses rekristalisasi dan pertumbuhan butir akibat temperatur tinggi yang digunakan. Karakteristik akhir dari baja HSLA hasil canai panas ditentukan oleh besar butir prior austenit. Penelitian evolusi struktur mikro pada proses termomekanik banyak
dilakukan, mulai dari reheating, deformasi (canai),
rekristalisasi, pertumbuhan butir, hingga transformasi saat pendinginan akhir. Parameter struktur mikro penting yang mempengaruhi sifat mekanis produk canai panas adalah ukuran butir prior austenit yang terbentuk dari transformasi fasa ferit (α) saat reheating.
5
Dalam penelitian sebelumnya, oleh Richard dkk.[4] telah dipublikasikan dalam jurnal internasional suatu cara perhitungan pertumbuhan butir austenite prior secara physics dengan menggunakan data hasil pengamatan peneliti lainnya dalam skala nano. Metode ini sudah sangat baik, hanya saja di dalam aplikasinya di lapangan sulit untuk melakukan pengukuran skala nano disebabkan keterbatasan peralatan yang ada. Melalui penelitian yang akan dilakukan ini, pendekatan pertumbuhan butir austenite prior tersebut akan didekatii dengan parameter-parameter parameter parameter operasi dan dinyatakan dalam hubungan empiris.
Gambar 2.2. 2. Ilustrasi skematis Proses Thermo Mekanik
2.3 Pemanasan awal (Reheating Reheating) Pada proses pemanasan awal (reheating) pelat baja dipanaskan hingga temperatur austenit dengan tujuan antara lain untuk melarutkan berbagai paduan yang terdapat dalam baja, dan untuk mencapai besar austenit yang optimum, sehingga dapat mencapai kekuatan baja yang optimum setelah pengerjaan panas. panas. Proses pemanasan awal ini sangat penting dalam menghasilkan sifat mekanis benda jadi karena dengan pemanasan awal dapat diprediksi mikrostruktur akhir yang terbentuk. Proses reheating adalah proses pemanasan awal yang dilakukan sebelum baja diberikann proses deformasi panas. Menurut Tianjun Liu, selama proses reheating pada proses TMCP terjadi : a. Transformasi dari fasa Ferit dan Perlit menjadi Austenit b. Terjadi kelarutan endapan dalam matriks austenit c. Terjadi pertumbuhan butir Austenit
6
2.3.1. Transformasi fasa ferit + perlit menjadi austenit Selama proses reheating untuk baja karbon rendah pada temperatur di bawah Ac1, strukturnya adalah ferit dan perlit. Semakin tinggi temperatur melewati Ac1, dibawah Ac3 terjadi transformasi perlit menjadi austenit. Sehingga pada daerah tersebut fasa yang ada adalah austenit dan ferit. Pada temperatur di atas Ac3, seluruh struktur mikro baja bertransformasi menjadi austenit. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Untuk menentukan besarnya temperatur Ac1 maupun Ac3 dapat diketahui dengan melihat diagram kesetimbangan baja karbon atau dengan melihat model yang ada. Menurut K.W. Andrews [8], besarnya temperatur Ac1 dan Ac3 adalah : Ac1(°C) = 723 - 20.7(% Mn)- 16.9(%Ni) + 29.1(%Si) - 16.9(%Cr)
...(2.2)
dan Ac3(°C) = 910 - 203 %C - 15.2(% Ni) + 44.7(% Si) + 104(% V) + 31.5(% Mo)
...(2.3)
Gambar 2.3. Pengaruh Proses Reheating pada perubahan struktur mikro baja[9]
2.3.2. Kelarutan endapan dalam matriks austenit Pada proses pemanasan ini unsur paduan dan senyawa lain seperti karbida, nitride dan karbonitrida yang ada pada baja akan larut dalam fasa austenit. Temperatur reheating adalah di atas temperatur austenisasi dimana diharapkan seluruh endapan sudah larut dalam matriks austenit. Setiap paduan dan setiap senyawa memiliki temperatur kelarutan yang berbeda. Untuk mencapai kekuatan produk yang optimum maka sedapatnya pada proses reheating seluruh unsur paduan dan senyawa larut pada proses reheating. a. Kelarutan endapan 7
Kelarutan produk untuk paduan sederhana seperti AnBm dapat diperoleh dari energi bebas Gibb (∆G0) berdasarkan reaksi (Martin dan Doherty, 1976)[10] : AnBm = n[A] + m[B]
… (2.4)
dimana [A] dan [B] adalah konsentrasi larutan (dalam fraksi mol) dari atom A dan B, n dan m adalah fraksi atomik A dan B dalam campuran. Setelah mencapai kesetimbangan pada temperatur T, diperoleh : ∆G0 = ∆H0 –T∆S0 = -RT. lnK = -RT. ln10 x log(aAnaBm/aAnBm) 0
… (2.5)
0
dimana ∆H dan ∆S entalpi dan entropy dari reaksi, K adalah konstanta kesetimbangan, aA, aB, aAnBm adalah aktivitas dari A, B dan AnBm dalam larutan, R adalah konstanta gas. Ketika paduan AnBm murni diatur pada keadaan standar, aktivitas dari campuran (aAnBm) adalah menyamai suatu kesatuan. Untuk larutan tidak jenuh, suatu aproksimasi cukup baik untuk mengatur aA=[A] dan aB=[B], dimana unitnya dapat dinyatakan dalam % berat atau % jumlah atom, sehingga persamaan 4 dapat dinyatakan dengan : Log[A]n[B]m = (∆S0/R.ln10) – (∆H0/RT.ln10) = p – q/T
… (2.6)
dimana p dan q adalah konstanta. Persamaan diatas adalah sesuai untuk baja paduan rendah dengan kandungan unsur paduan yang sangat rendah, biasanya kurang dari 0,1 % berat dengan larutan yang tidak jenuh. Temperatur lebur menyeluruh (Td) dari endapan dapat dinyatakan dengan mengatur ulang persamaan 2.6 menjadi : Td = q/(p – log[A]n[B]m)
… (2.7)
Dengan kelarutan produk dan stokiometri yang ideal, kesetimbangan konsentrasi terlarut dan fraksi volume dari ketidaklarutan endapan dapat dihitung. Sebagai contoh, pengaruh dari beberapa elemen paduan terhadap kelarutan khususnya efek dari elemen-elemen paduan tersebut terhadap kelarutan Niobium pada austenit telah dinyatakan oleh Koyama dkk. (1972)[10]. Koyama menyatakan bahwa kelarutan dari carbida niobium pada austenit meningkat dengan penambahan kadar Mangan dan dinyatakan dengan persamaan: Log[%Nb][%C]= -7970/T+3,31 + [1371/T-0,9][%Mn] – [75/T-0,0504][%Mn]2 – [735/T-0,348][%Si]
... (2.8)
Kestenbach dkk. (1989) menyatakan bahwa kelarutan produk yang dinyatakan oleh Koyama memberikan suatu estimasi yang baik bagi kelarutan carbonnitrade pada baja karbon dengan kandungan mangan yang tinggi[10].
8
Selain itu untuk kandungan mangan yang relatif konstan (berkisar (berkis 1,5%), menurut Mori,et al. dan Irvine, et al., secara empiris terdapat dua rumus : Log[Nb][C]0,83[N]0,14 = 4,46 – 9800/T
...(2.9)
Log [Nb][C + 12/14N] = 2,26 – 6770/T
...(2.10)
dimana [Nb], [C] dan [N] adalah persentase berat Nb, C dan N [10]. Persamaan 2.9 diatas adalah berdasarkan baja komposisi tunggal, dan persamaan menjadi tidak berarti jika N = 0 %. Hal ini karena eksponen dari %C dan %N tidak konstan, tapi bervariasi dengan komposisi paduan. Persamaan 2.10 yang didapatkan di oleh Irvine dkk.. , dapat diterapkan hanya untuk paduan-paduan paduan paduan dimana persentase N lebih rendah dibandingkan dengan C dan koefisien 12/14 hanya sesuai dengan data eksperimen. Jadi jika mereka memiliki data empiris, maka persamaan di atas tidak memenuhi emenuhi dilihat dari sudut teoritis (Aaron dkk, 1971)[10].
Gambar 2.4. Batas Kelarutan Untuk baja Nb(C+12/14 N ) sesuai rumus Irvine[10]
Persamaan 2.10 di atas dapat diilustrasikan pada gambar 2.3 2. untuk berbagai temperatur yang berbeda pada austenit. Untuk mencerminkan pengaruh dari kelengkungan permukaan kurva (surface ( curvature)) pada persamaan-persamaan persamaan persamaan diatas, menurut Trivedi (1986) satu cara sederhana adalah dengan mengkombinasikan suatu persamaan kelarutan produk dengan persamaan Gibbs-Thompson Thompson
[10]
. Untuk satu partikel berbentuk bola dari suatu paduan
sederhana seperti AnBm, dapat dinyatakan dengan persamaan : 0 ∆G0 = ∆H0 –T∆S – – 2γi.Vm/r = -RT.ln([A]n[B]m)
...(2.11)
9
dimana γi adalah energi antar permukaan diantara endapan dan matrix. Vm adalah mol volume dari endapan dan r adalah radius dari endapan. Sama dengan turunan persamaan diatas, diperoleh : Log[A]n[B]m = {1/ln10}{(∆S/R) – (∆H0/RT) + 2γi.Vm /RTr} = (p– q/T) + ( 2γi.Vm/RT.r.ln10)
...(2.12)
dimana bentuk akhir dari persamaan yang sebelah kanan menyatakan efek dari GibbsThompson. Dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa endapan dengan jari-jari kecil memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan endapan dengan jarijari besar. Variasi dari kelarutan endapan pada berbagai ukuran menyediakan energi penggerak (driving force) untuk pengkasaran endapan (precipitate coarsening).
b. Pengkasaran endapan Menurut Martin dan Doherty (1976), model difusitas pengontrolan kinetik pengkasaran endapan diperoleh melalui penelitian yang dilakukan oleh Greenword, Lifshiz dan Slyozov, dan Wagner[10]. Teori dasar pengkasaran diasumsikan untuk suatu fraksi volume yang kecil dari bola, larutan padat endapan yang bebas regangan yang tumbuh atau menyusut pada suatu laju yang dikontrol oleh difusi pada matrix. Jalur difusi cepat seperti dislokasi dan batas butir diasumsikan tidak memainkan suatu peranan. Secara singkat, untuk suatu endapan dengan ukuran jari-jari r pada suatu kumpulan endapan dengan rata-rata jari jari ř, evolusi dari ukuran endapan dapat dinyatakan dengan : ∂r/∂t = (2Dm.γi.Vm2.X∞/RT.r )(1/ř – 1/r)
… (2.13)
dimana X∞ adalah konsentrasi terlarut dari endapan dengan besar ukuran yang tidak terbatas. Ditemukan bahwa jari-jari dari endapan-endapan jauh lebih besar dari rata-rata nilai pertumbuhannya, walaupun r<ř jauh berkurang. Dimana pada akhirnya endapan yang kecil terlarut dan rata-rata ukuran endapan meningkat. Hubungan antara rata-rata jari-jari kumpulan endapan dengan waktu tergantung kepada proses yang mengkontrol laju pertumbuhan partikel. Ketika reaksi antar permukaan yang dikontrol maka ř α t1/2, ketika pengkasaran yang dikontrol melalui suatu proses difusi bulk maka ř α t1/3. Jika difusi batas butir yang dikontrol maka ř α t1/4, dan jika difusi pipa yang dikontrol maka ř α t1/5 [11].
10
Dengan beberapa asumsi, ketika pengkasaran endapan dikontrol oleh difusi volume, persamaan 2.13 dapat diintegralkan menghasilkan persamaan Lifshitz-SlyozovWagner (LSW) yaitu : ř3 – ř03 = 8/9.( Dm.γi.Vm.X∞/RT).t
... (2.14)
Koefisien difusitas Dm pada persamaan diatas adalah fungsi dari temperatur, yang dapat dinyatakan dengan : Dm = Dm0.exp(–Qd/RT) dimana
Dm0
…(2.15)
adalah suatu konstanta dan Qd adalah energi aktivasi untuk difusitas.
Teori pada persamaan 2.14 diatas juga memprediksi bahwa partikel-partikel endapan akan terjadi merata pada suatu waktu ukuran distribusi yang independent dengan satu ukuran partikel yang terbatas rmax = 1,5.ř , seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.4. berikut.
Gambar 2.5. Keadaan tunak akhir ukuran partikel dengan distribusi normal untuk difusi pada pengontrolan pengkasaran butir. [11]
Beberapa data difusitas untuk baja microalloy diperlihatkan pada tabel 2.1.berikut. Tabel 2.1. Koefisien difusitas berbagai elemen mikroalloy pada austenite[10] Solute
Dm0 (mm2/s)
Qd (kJ/mol)
Solute
Dm0 (mm2/s)
Qd (kJ/mol)
C
67
157
Nb
492
285
N
91
169
V
365
70
Ti
15
250
Untuk difusi multi komponen, penentuan laju pengontrolan elemen dibutuhkan. Dibandingkan dengan elemen-elemen mikroalloy, atom interstisials (C dan N) memiliki 11
difusitas yang lebih cepat dalam austenit. Dari ketiga elemen mikroalloy tersebut, koefisien difusitas menurun sesuai dengan urutan V, Nb dan Ti. Oleh karena itu, salah satu elemen dengan laju difusitas terkecil berfungsi dalam laju pengontrolan elemen[10].
c. Evolusi endapan selama pemanasan kontinu Evolusi endapan selama pemanasan kontinu telah diteliti pada HAZ selama pengelasan oleh beberapa peneliti. Subyek utama dari penelitian tersebut adalah untuk menemukan persaman bagi pengkasaran/peleburan endapan yang dapat digunakan untuk pemanasan kontinu. Untuk pengkasaran endapan, Ion dkk. (1984) menyatakan : t2 1
r3 – r03 = c1 ∫
t1 T
exp(−
Qd )dt RT
…(2.16)
dimana ci adalah suatu konstanta. Untuk peleburan endapan, Anderson dan Grong (1995) menyarankan persamaan : t2
r2 = r02 - ∫ 2 k s Dm dt
... (2.17)
t1
Kedua persamaan diatas merupakan suatu persamaan modifikasi untuk memperlihatkan pengkasaran endapan dan peleburan pada penahanan temperatur isothermal [10]. Fraksi volume dari endapan berubah dengan meleburnya endapan. Hal itu tidak dapat dihitung dari data kelarutan produk dimana kesetimbangan tidak dapat dicapai seperti pada suatu siklus yang cepat pada pengelasan. Ashby dan Easterling (1982) menyatakannya dalam persamaan : fv = 1 – exp{(-t/t’)exp[(-Qd/R)(1/T – 1/T’)3/2]}
... (2.18)
dimana T’ dan t’ adalah temperatur dan waktu sewaktu fraksi volume dari endapan diketahui. Nilainya sangat sulit untuk ditemukan, sehingga membatasi penggunaan persamaan tersebut. Agren (1990) memberikan satu hubungan yang relatif untuk mengestimasikan perubahan fraksi volume dengan persamaan : fv/fvo = (r/r0)3
... (2.19)
dimana fvo adalah fraksi volume awal endapan. Dari persamaan ini, ditemukan bahwa seiring dengan meningkatnya temperatur, fraksi volume dan rata-rata diameter dari endapan menurun[10].
12
2.3.3. Pertumbuhan butir austenit Pertumbuhan butir terjadi karena adanya pembesaran butir tertentu dan terdifusinya butir yang lebih kecil. Batas butir memiliki atom-atom dengan energi bebas yang lebih tinggi daripada atom-atom yang terdapat dalam butir. Agar tercapai kondisi yang stabil, maka atom-atom pada batas butir mengurangi energi bebasnya yang tinggi dengan cara mengurangi luas permukaan batas butir, sehingga terjadi migrasi batas butir. Migrasi batas butir pada dasarnya adalah difusi atom-atom pada batas butir. Energi minimum yang dibutuhkan agar atom-atom dapat berdifusi untuk memperoleh keadaan yang lebih stabil dinamakan energi aktivasi untuk pertumbuhan butir (Q). Migrasi batas butir akan mengurangi energi bebas batas butir serta meningkatkan ukuran butir. Butir austenit muncul secara langsung begitu terjadi proses transformasi dari perlit ke austenit. Ukurannya bergantung dari kecepatan pertumbuhan serta jumlah inti (nuclei) yang ada pada volume dan waktu tertentu. Semakin banyak fasa karbida yang tersebar pada struktur awal, maka semakin kecil ukuran butir austenitnya, karena karbida (partikel fasa kedua) tersebut menghambat batas butir.
Gambar 2.6. Pengaruh temperatur dan persen karbon pada pertumbuhan butir austenit[12].
Pertumbuhan butir austenit dipengaruhi oleh temperatur dan waktu pemanasan, kadar karbon, dan jumlah paduan dalam baja. Peningkatan waktu dan temperatur pemanasan akan meningkatkan difusi karbon pada saat pembentukan inti austenit 13
sehingga butir austenit yang dihasilkan menjadi lebih besar. Dengan meningkatnya temperatur dan kadar karbon, maka ukuran butir semakin besar (Gambar 2.5) dan pertumbuhan butir terus terjadi pada butir-butir tertentu dengan ”memakan” butir yang lebih kecil. Ukuran butir austenit sangat berpengaruh terhadap sifat mekanik dan kekuatan impak baja setelah perlakuan panas. Pertumbuhan butir selama pemanasan lambat dalam dapur telah diteliti secara ekstensif
oleh berbagai peneliti. Dua metode yang secara luas digunakan untuk
memodelkan pertumbuhan butir adalah persamaan empiris yang didasarkan pada suatu hukum energi dan model phisik yang didasarkan pada pematangan Zener [10].
a. Persamaan empiris untuk pertumbuhan butir Persamaan empiris telah digunakan secara luas untuk menggambarkan karakter pertumbuhan butir selama pemanasan isothermal. Relasi hukum energi pertama sekali dinyatakan oleh Beck dkk., (1948) untuk pertumbuhan butir normal selama anil isothermal dalam bentuk persamaan : Dn – Don = k1.t
... (2.20)
dimana D0 dan D adalah diameter butir austenit prior (awal) dan akhir, t adalah waktu anil, n dan k1 adalah konstanta. Sellars dan Whiteman (1979) menyatakan bahwa nilai k1 dapat diekspresikan dari suatu persamaan Arhenius, sehingga persamaan 2.20 dapat dinyatakan sebagai : Dn – Don = k2.exp(-Qgg/RT).t
... (2.21)
dimana k2 adalah konstanta dan Qgg adalah energi bagi pertumbuhan butir [1,3]. Angel Zulfia[13] menyatakan bahwa untuk melihat kinetika pertumbuhan butir dalam kondisi non isothermal, dapat dilakukan dengan menggunakan suatu fungsi temperatur menggantikan fungsi waktu. Oleh Angel Zulfia persamaan Beck dan Sellars diatas dirumuskan dengan menyatakan t sebagai fungsi perubahan gradien temperatur (∆t = ∆T/Cr), sehingga : Dn – Don = k2/Cr . exp(Q/RT).∆T Beberapa persamaan empiris untuk pertumbuhan butir dari baja karbon dan mikroalloy dapat dilihat pada tabel 2.2. berikut.
14
Tabel 2.2. Persamaan yang memperlihatkan pertumbuhan butir austenite[10] Baja
Kondisi Austenit
C – Mn
Statik rekristalisasi
low C – Mn 0.22C – 0.9Mn C – Mn C – Mn – V
Statik rekristalisasi Statik rekristalisasi Statik atau metadinamik rekristalisasi Statik atau metadinamik rekristalisasi Statik atau metadinamik rekristalisasi
C – Mn – Ti C – Mn – Nb
Persamaan n=10, k2=3,87.1012, Qgg = 400kJ/Mol (T>1273 K) n=10, k2=5,02.1053, Qgg = 914kJ/Mol (T<1273 K) n = 2, k2 = 4,27.1012, Qgg = 278,4 kcal/mol n = 2, k2 = 1,44.1012, Qgg = 266,6 kcal/mol n = 7, k2 = 1,45.1027, Qgg = 400 kJ/mol n = 10, k2 = 2,6.1028, Qgg = 437 kJ/mol n = 4,5 k2 = 4,1.1023, Qgg = 435 kJl/mol
b. Model physic bagi pertumbuhan butir Tekanan penggerak (Pd) bagi pergerakan dari suatu elemen kurva berbentuk bola dari batas butir dinyatakan oleh Anderson dan Grong, 1995, sebagai : Pd = 2γgb/λ
... (2.22)
dimana γgb adalah batas energi butir dan λ adalah jari-jari dari kurva kelengkungan permukaan. Karena λ tidak mudah untuk dinyatakan, biasanya diganti dengan satu besaran yang terukur seperti diameter butir rata-rata. Biasanya λ = 3D digunakan dalam perhitungan (Patterson dan Liu, 1992; Anderson dan Grong, 1995). Dalam prakteknya, konstata numerik pada persamaan 2.22 dapat bervariasi dengan suatu faktor yang sedikitnya tiga. Sebagai akibatnya, pada kasus yang umum tekanan gaya penggerak dinyatakan dengan Pd = kd.γgb/r [10]. Pengaruh dari pematangan endapan pada pertumbuhan butir pertama sekali dinyatakan oleh Zener
[14]
. Tekanan pematangan Zener (PZ) dinyatakan dengan
persamaan : PZ = 3 γgb.fv/4r
... (2.23)
Diasumsikan bahwa seluruh endapan berukuran sama. Selanjutnya, disebabkan ketidakpastian dari konstanta numerik, persamaan 2.23 berubah menjadi PZ=kp.γgb.fv/r. Jari-jari butir kritis (Rc) ditentukan ketika PZ=Pd, yang mana memberikan suatu persamaan yang dikenal dengan nama persamaan Zener : Rc = kZ.r/fv
... (2.24)
dimana kZ adalah suatu konstanta (kZ=kp/kd). Walaupun pematangan Zener telah dikenal selama lebih dari dua puluh tahun, beberapa pendapat masih tetap ada untuk nilai kZ[14]. Pada model asli Zener, nilai kZ ditetapkan sebesar 4/3. Hellman dan Hillert (1975) mengajukan dua nilai yaitu 4/9 untuk pertumbuhan butir normal dan 2/3 untuk 15
pertumbuhan butir tidak normal. Manohar dkk. (1998)
[14]
menyimpulkan data
percobaan dari berbagai sistem paduan dan menemukan bahwa nilai kZ sebesar 0,17 untuk fv<0,05. Gladman dkk. (1997) menyatakan nilai kZ sebagai suatu fungsi dari distribusi ukuran butir. Pada kasus ini, kZ = π/6(3/2 – 2/Zg) dimana Zg adalah rasio dari diameter selama pertumbuhan butir dan pematangan butir. Berdasarkan pendekatan ini, nilai kZ dari model Hillert berhubungan dengan Zg=3 untuk pertumbuhan butir normal, sedangkan untuk model Manohar Zg=1,7. Dengan berbagai asumsi, nilai Rc mungkin bervariasi untuk setiap persamaan [10]. Beberapa asumsi tersebut telah memberikan konstribusi dalam persamaan Zener, termasuk ukuran endapan yang seragam, distribusi endapan kacau secara random, butir dan endapan spherical. Kebanyakan dari asumsi tersebut telah dimodifikasi oleh beberapa peneliti berikut untuk suatu kondisi yang realistis, yang telah dinyatakan oleh Nes dkk. (1985) dan Manohar dkk. (1998)
[14]
. Bagaimanapun, perhatian yang kecil
telah diberikan pada efek dari distribusi ukuran endapan terhadap pematangan Zener. Fullman mengenalkan suatu “ faktor pengotor pertama’untuk menggambarkan tekanan pematangan total dari suatu distribusi endapan (Manohar dkk., 1998) sebagai : PZ = 3 γgb I/4
... (2.25)
dimana I=Σfv(r)/r dan fv(r) adalah fraksi volume dari endapan berbentuk bola dengan ukuran tunggal berjari-jari r. Persamaan ini telah jarang digunakan sejak fv(r) tidak dapat ditentukan dengan mudah. Oleh sebab itu, pengaruh dari distribusi ukuran butir pada pematangan Zener sampai saat ini masih belum diketahui. Pada kondisi ini, ratarata ukuran endapan biasanya digunakan untuk mencari tekanan pematangan endapan[10]. Pengaruh dari solute drag pada pertumbuhan butir telah digambarkan secara sederhana melalui pendekatan yang dilakukan oleh Hu dan Rath (1969, 1970). Laju perpindahan batas butir (v) terkait dengan tekanan penggerak efektif (∆PG) dan eksponen (n) melalui persamaan : v = dR/dt = Mgb.∆PGn-1
... (2.26)
dimana Mgb adalah mobilitas batas butir yaitu Mgb=M0.exp(-Qgb/RT). Laju perpindahan batas butir (v) menjadi proporsional terhadap tekanan penggerak efektif (∆PG) ketika eksponen n=2. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan keadaan ketika batas butir akan lepas dari kekotoran udara disekelilingnya. Pada kebanyakan kasus, berdasarkan
16
hasil pengamatan, nilai eksponen n akan lebih besar daripada nilai teoritis yang disebabkan oleh solute drag [10]. Pada paduan yang mengandung endapan, (∆PG) didefiniskan sebagai perbedaan antara Pd dan PZ. Dengan merubah ekspresi dari PG dan PZ kedalam persamaan 2.26, diperoleh (Anderson dan Grong, 1995)[10]: v = Mgb.(kgb.γgb)n-1[1/D – fv/kZr]n-1
... (2.27)
Jadi kita memiliki persamaan berikut untuk pertumbuhan butir dengan solute drag dan pematangan endapan yaitu : dD/dt = M’.exp(-Qgg/RT)(1/D - fv/kZr)n-1
... (2.28)
dimana M’=2Mgb(kgb.γgb)n-1, M’ dan kZ adalah suatu konstanta fisik yang menyatakan mobilitas batas butir dan efisiensi pematangan dari endapan. Persamaan 2.28 dapat diintegralkan untuk memperoleh rata-rata ukuran butir sebagai fungsi dari waktu yaitu : t Q gg dD ' = − exp( )dt M ∫ 0 n −1 RT Do (1 / D − 1 / D c ) to D
∫
… (2.29)
dimana Dc adalah diameter kritis butir (Dc=2Rc). Bentuk sebelah kanan dari persamaan 2.29 menyatakan pengaruh dari siklus thermal yang berhubungan dengan pertumbuhan butir, yang mana dapat ditentukan secara metode numerik ketika siklus T-t diketahui. Pengaruh dari endapan pada pertumbuhan butir diperlihatkan pada Dc [10]. Penelitian-penelitian di atas berfokus pada penelitian transformasi dari fasa Ferit dan Perlit menjadi Austenit, kelarutan endapan dalam matriks austenit dan pertumbuhan butir Austenit selama proses pemanasan awal secara empiris dan physic dalam kondisi temperatur tetap. Sesuai tahapan proses canai panas pada gambar 2.6 di bawah, maka fokus penelitian yang akan dilakukan adalah pada daerah reheating yang dimulai dari temperatur ruang hingga temperatur reheating sesuai dengan perhitungan solubility product. Tampak dari gambar tersebut, bahwa pada tahap reheating, transformasi ferit (α) menjadi austenit (γ) berlangsung secara non-isotermal hingga ke temperatur austenit, selanjutnya dengan penahanan pada temperatur reheating. akan memberikan hasil perhitungan yang lebih akurat dibandingkan perhitungan yang mengasumsikan kondisi reheating yang dianggap berlangsung pada kondisi temperatur tetap (isotermal).
17
Reheating
Temperatur(oC)
1250
Roughing Finishing
1000C
Waktu (detik))
Gambar 2.7.Tahapan pada Proses Thermo Mekanik
18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Bahan Yang Diteliti Bahan yang diteliti adalah baja Baja HSLA . Bahan yang diteliti ada baja karbon rendah tanpa paduan dan baja karbon rendah dengan paduan Niobium rendah yang merupakan produksi dalam Negeri; Tabel 3.1 Komposisi Baja HSLA (% Berat) C
Si
Mn
P
S
Al
Nb
V
N
Cu+Cr+Ni
0,12 0,266 0,645 0,009 0,005 0,034 0,028 0,011 0,0037
0,077
3.2 Bentuk dan Ukuran Sampel Sampel dipotong dari slab baja berbentuk kubus dengan ukuran 25x25x25 mm. Ukuran ini diambil sesuai dengan kebutuhan dalam pengambilan data temperatur dan struktur mikro selama proses perlakuan pada material, dan memungkinkan untuk dimonitor dengan thermocouple.
3.3. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ; 1. 2 buah muffle furnace : Dengan kapasitas hingga 1200oC 2. Alat spray pendingin dengan media air, dengan sirkulasi terbuka 3. Acquisition data : - Thermocouple wire -
Software dan hardware
4. Perangkat Metallography : Alat pemotong sampel, Alat Ampelas, Polishing, perangkat etsa (zat-zat kimia, berbagai cawan ,erlenmeyer, alat pemanas listrik, berbagai alat bantu penjepit, timbangan digital, dsb), mikriskop optik, SEM, standar-standar grit penghitung butir.
19
3.4. Diagram Alir Penelitian. Penelitian berlangsung seperti skema di bawah ini
Mulai Studi Pustaka/Jurnal (State of the Art)
Studi Pendahuluan
Studi Lapangan
Tahun I Pemilihan Bahan (Baja HSLA-Nb) Pembuatan Sampel Uji (25mm x 25mm x 25mm) (ASTM A36) Pengujian Sampel Uji Reheating : - 3 Variasi Temperatur Pemanasan - 3 Variasi Laju Pemanasan - 3 Variasi Waktu Tahan
Water Quenching Pengamatan Mikrostruktur (ASTM E 112)
Analisis Hasil Pengujian Kesimpulan
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian tahun I
20
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan[4], perhitungan pertumbuhan butir austenite sangat baik didekati dengan teori physics pada skala nano. Hanya saja pendekatan ini membutuhkan peralatan TEM yang sangat sulit ditemui di ASEAN terlebih dalam aplikasi dilapangan. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan secara empiris berdasarkan parameter operasi di lapangan untuk memperoleh model pertumbuhan butir austenite pada baja HSLA. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan pada penelitian ini dibagi dalam dua tahap selama dua tahun. Dalam tahun pertama telah dilakukan proses reheating terhadap baja HSLA-Nb dengan parameter operasi temperatur pemanasan, gradient kenaikan temperature, laju pemanasan dan waktu tahan, dengan 3 variasi untuk setiap parameter operasi. Selanjutnya pada sampel dilakukan pendinginan cepat menggunakan media air. Setelah itu
dilakukan
proses
pengamatan
mikrostruktur
melalui
serangkaian
proses
metalography menggunakan mikroskop digital. Adapun etsa yang digunakan adalah Pikral. Besar austenite prior yang terjadi untuk setiap parameter operasi kemudian diukur dan dibuat kurva hubungan dari besar butir austenite prior terhadap masingmasing parameter operasi. Dari keseluruhan kurva tersebut kemudian dibuat model secara regresi empiris untuk memperoleh hubungan model pembentukan dan pertumbuhan butir austenite prior non isothermal selama proses reheating terhadap parameter operasi pemanasan. Model tersebut kemudian dibandingkan dengan modelmodel hasil penelitian para peneliti-peneliti sebelumnya.
3.5 Siklus Panas Yang Dilakukan. Penentuan temperatur reheating berdasarkan dari rumus solubility product dari Irvine[3]: Log (%Nb)(%C) + (12/14)(%N) = -6770/T + 2,26
(4.1)
Dimana %Nb, %C dan %N adalah persentase berat Nb, C dan T pada baja yang diteliti. T adalah temperatur reheating (oK). Dari persamaan di atas akan didapat temperatur reheating. Untuk mengantisipasi situasi dilapangan yang memiliki jarak antara oven dengan mesin canai, maka diberikan temperatur overheat sebesar 25oC diatas nilai perhitungan. Urutan siklus pengerjaan dalam penelitian: 1. Panaskan sampel ke temperatur reheating (tahap 1) dengan 3 variasi temperatur reheating, dengan 3 variabel kecepatan pemanasan yang berbeda,
21
antara 5-10oC/menit, didinginkan cepat dengan water jet spray, tanpa dan dengan varisi penahanan selama 10, 30 dan 60 menit.
Gambar 3.2 Dapur pemanas yang digunakan 2.
Dilakukan pengamatan struktur mikro dengan teknik metalografi yang ditentukan pada eksperimen pendahuluan, dan berdasarkan hasil penelitipeneliti terdahulu[15]. kemudian pengamatan dan pengukuran besar butir prior austenite dengan metode intercept analisis ( metalografi kuantitatif).
3. Dibuat kurva hubungan antara besar butir austenit awal (γ) yang didapat, dengan besar temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan. Kurva dibuat dalam berbagai kecepatan pendinginan. 4. Kurva eksperimen dibandingkan hasilnya dengan hasil yang didapat dari peneliti sebelumnya, dan dilakukan fitting secara regresi terhadap kurva untuk memperoleh persamaan model pertumbuhan butir terhadap parameter operasi pemanasan. 5. Untuk mendapatkan model empiris pembentukan dan pertumbuhan butir austenite prior yang valid, model yang telah didapat dibandingkan dengan model persamaan dari peneliti-peneliti terdahulu dan dibandingkan ulang dengan melakukan percobaan yang sama pada baja C-Mn tanpa adanya unsur paduan. 6. Hasil validasi ini akan memberikan model akhir terhadap pembentukan dan pertumbuhan butir austenite prior pada baja HSLA.
3.6. Pengamatan Mikrostruktur Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui evolusi mikrostruktur dari spesimen hasil laku panas. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong spesimen
22
hasil pengujian, lalu kemudian dilakukan proses amplas, poles dan etsa untuk melihat besar butir austenit yang terjadi. Alat yang digunakan untuk mengamati pertumbuhan mikrostruktur ini adalah mesin poles dan mikroskop optik sebagaimana terlihat pada Gambar 3.3 dan 3.4.
Gambar 3.3 Mesin amplas dan poles
Gambar 3.4 Mikroskop optik digital
3.7 Metode Perhitungan Besar Butir Austenit. Setelah metode etsa dapat menampilkan batas butir Austenit Prior, maka besar butir dihitung dengan menggunakan metode Intercept, sesuai dengan standar perhitungan Metalografi kuantitatif ASTM E112. Teknik Penghitungan dilakukan sebagai berikut; Dari gambar 3.5 di bawah , dihitung jumlah titik potong antara total panjang garis yang ditarik sepanjang 500mm dengan batas butir
pada foto struktur mikro dengan
perbesaran 100 kali. Jumlah titik potong persatuan panjang (PL) dihitung dengan
23
PL = P/ LT/M.
...(4.2)
dimana PL = jumlah titik potong fasa dan garis hitung LT (500 mm)/satuan panjang. P = Total titik potong fasa dan garis hitung LT (500 mm). M = Perbesaran
Gambar 3.5 Metode Intercept, dengan menggunakan garis berbentuk lingkaran dengan total panjang garis 500 mm, dengan foto perbesaran 100X
Panjang garis Perpotongan (L3) ; L3 = 1/PL
…(4.3)
LT = Panjang Garis Total (Sesuai standar ASTM =500mm) Dari PL atau L3 , dapat dilihat di tabel besar butir ASTM E 112, atau dimasukkan ke dalam rumus Empiris ; G = [6,646 log (L3) – 3,298]
…(4.4)
3.8. Pengujian Kekerasan Vickers Setelah pengambilan foto mikro, selanjutnya dilakukan pengujian kekerasan Vickers.
Pengujian kekerasan ini dilakukan sesuai dengan standar ASTM E92.
Gambar 3.6 berikut ini menunjukkan alat uji kekerasan Vickers yang dipergunakan dalam penelitian ini:
24
Gambar 3.6 Alat Uji Kekerasan Vickers Dalam penelitian ini, indentasi dilakukan selama 10 detik dengan beban indentasi sebesar 1000 gf. Setelah indentasi selesai, dilakukan pengukuran kedua diagonal hasil indentasi lalu dirata-ratakan.
Kemudian kekerasan Vickers dapat dihitung dengan
persamaan berikut: HVN = 1854P/d2
... [4.5]
dengan HVN menyatakan kekerasan Vickers, P menyatakan beban indentasi yang digunakan, yakni 1000 gf, dan d menyatakan diagonal rata-rata hasil indentasi dalam μm. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, indentasi dilakukan sebanyak 5 kali untuk masing-masing sampel.
25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penampakan Batas Butir Austenite Untuk mengetahui kondisi struktur mikro yang terjadi, maka harus dilakukan pengamatan struktur mikro khususnya fasa austenite. Dalam mengamati batas butir dari fasa austenite, ditemukan adanya kendala dalam pengamatan dengan menggunakan zat etsa yang sudah ada. Untuk itu, dicoba beberapa jenis etsa dan teknik peng-etsaan, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut. Secara umum dapat disimpulkan : Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Zat Etsa Terhadap Hasil Penampakan Butir Austenit No 1.
2.
3.
4
5.
6.
7.
8.
Zat Etsa
Waktu Etsa
Hasil Pengamatan Ket Mikro (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, tidak jelas terlihat dan diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit mikrostruktur gosong dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, kurang jelas terlihat diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, kurang jelas terlihat diendapkan 2 hari 1 menit dan mikrostruktur HCl + 2 tetes Teepol sedikit gosong dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, jelas terlihat namun diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit mikrostruktur gosong dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, jelas terlihat namun diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit mikrostruktur gosong dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, kurang jelas terlihat diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit dalam 10 ml pikral) (35 gr picric acid + 100 larutan dingin, Batas butir austenit Larutan picric jenuh ml alkohol) (2 tetes sampel dingin, kurang jelas terlihat diendapkan 2 hari HCl + 2 tetes Teepol 1 menit dalam 10 ml pikral) 4 gr asam picric + 100ml Larutan Batas butir austenit Larutan fresh aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, terlihat kabur (langsung dipakai
26
8 tetes Teepol
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
didinginkan, sampel dingin, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol didinginkan, sampel dingin, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol didinginkan, sampel dingin, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol didinginkan, sampel dingin, 30 detik 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol didinginkan, sampel dingin, 30 detik 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol didinginkan, sampel dingin, 30 detik 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit
setelah dibuat)
Batas butir austenit kurang jelas terlihat dan permukaan kabur
Larutan fresh
Batas butir austenit kurang jelas terlihat dan permukaan kabur
Larutan fresh
Batas butir tidak tampak, hanya strukturnya yang termakan
Larutan fresh
Belum tampak mikrostrukturnya
Larutan fresh
Batas butir austenit kurang jelas terlihat dan permukaan kabur
Larutan fresh
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
27
19. 4 gr asam picric + 100ml Larutan aquades + 8 tetes HCL + dipanaskan, 8 tetes Teepol sampel panas, 5 menit
Batas butir austenit terlihat sangat jelas
Larutan fresh
Dengan etsa larutan 4 gr asam picric dalam 100 ml aquades ditambah dengan 8 tetes teepol dan 8 tetes HCL, dengan teknik pengetsaan larutan dalam keadaan panas dan sampel juga dalam keadaan panas, untuk keseluruhan sampel menunjukkan batas butir yang cukup jelas untuk pemanasan isotermal pada temperatur 1150oC. Dari hasil studi literatur dan pengamatan hasil penelitian, untuk sementara diketahui bahwa zat etsa dan teknik pengetsaan ini sangat tepat untuk baja HSLA dengan 0,028% Nb dan belum ada dilakukan oleh para peneliti lainnya. Dari hasil evaluasi zat etsa terhadap penampakan batas butir austenite, diperoleh campuran dan metode etsa yang sesuai untuk penelitian ini. Adapun penampakan batas butir untuk setiap proses perlakuan yang dialami oleh setiap sampel dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.1. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit.
Gambar 4.2. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit.
28
Gambar 4.3. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 5oC/menit.
Gambar 4.4. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit.
Gambar 4.5. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit.
Gambar 4.6. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 7,5oC/menit.
29
Gambar 4.7. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 960oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit.
Gambar 4.8. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1060oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit.
Gambar 4.9. Butir austenit yang terbentuk pada temperatur 1120oC, pada waktu tahan 10,30 dan 60 menit dengan laju pemanasan 10oC/menit. Dari gambar 4.1 sampai gambar 4.9 dapat diamati bahwa batas butir austenite untuk semua perlakuan tampak dengan jelas dengan menggunakan larutan dan metode etsa di atas. Oleh sebab itu maka besar butir austenite dapat diamati dan dihitung dengan menggunakan metode interceipt Heyn dan ASTM E 112.
30
4.2. Perhitungan Diameter Butir Austenit Setelah larutan dan metode etsa dapat menampilkan batas butir Austenit, maka besar butir dihitung dengan menggunakan metode intercept, sesuai dengan standar perhitungan metalografi ASTM E112. Teknik penghitungan dapat dilihat pada sub bab 3.7. Dari hasil perhitungan, diperoleh rata-rata diameter butir austenit seperti pada tabel berikut. Tabel 4.2. Besar butir austenit hasil pengamatan dan standart deviasinya.
31
Dari tabel 4.2 diatas dapat digambarkan hubungan antara besar butir austenit yang terjadi dengan laju pemanasan dan waktu tahan untuk masing-masing variasi temperatur pemanasan seperti pada gambar 4.10, 4.11 dan 4.12 berikut.
Gambar 4.10. Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 5oC/menit. Dari gambar 4.10 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 5oC/mnt, untuk setiap temperatur pemanasan dengan semakin meningkatnya waktu tahan maka besar butir austenit yang terjadi semakin besar. Begitu juga dengan semakin meningkatnya temperatur pemanasan maka besar butir yang terbentuk juga semakin besar. 32
Hal ini dapat dipahami karena semakin lama waktu tahan dan semakin besar temperatur aktivasi akan meningkatkan energi aktivasi pertumbuhan, yang akan menguraikan dislokasi-dislokasi yang ada sebelumnya, sehingga pertumbuhan batas butir tidak terhalang oleh dislokasi untuk semakin membesar.
Gambar 4.11 Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 7,5oC/menit. Dari gambar 4.11 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 7,5oC/mnt, untuk setiap temperatur pemanasan dengan semakin meningkatnya waktu tahan maka besar
33
butir austenit yang terjadi semakin besar. Begitu juga dengan semakin meningkatnya temperatur pemanasan maka besar butir yang terbentuk juga semakin besar. Hal ini dapat dipahami karena semakin lama waktu tahan dan semakin besar temperatur aktivasi akan meningkatkan energi aktivasi pertumbuhan, yang akan menguraikan dislokasi-dislokasi yang ada sebelumnya, sehingga pertumbuhan batas butir tidak terhalang oleh dislokasi untuk semakin membesar. Selain itu, jika dibandingkan dengan laju pemanasan 5oC/mnt, besar butir austenit yang terbentuk lebih kecil. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa laju pemanasan juga berperan dalam pertumbuhan butir. Jika melihat pada gambar 4.10 dan 4.11 diatas, dapat diduga bahwa dengan laju pemanasan yang rendah, kehomogenan terurainya dislokasi-dislokasi yang ada lebih tinggi sehingga menurunkan halangan yang menghambat pertumbuhan butir khususnya pada batas butir. Selain itu, energi minimum yang dibutuhkan agar atom-atom dapat berdifusi untuk memperoleh keadaan yang lebih stabil (Q) akan semakin kecil yang akan meningkatkan migrasi batas butir untuk terus bertumbuh semakin besar. Dengan laju pemanasan yang lebih rendah, kehomogenan terurainya endapan yang terdapat pada matriks lebih tinggi sehingga tidak menghalangi batas butir untuk terus bertumbuh. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan Transmission Electron Microscope.
34
Gambar 4.12. Grafik hubungan diameter butir austenit, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 10oC/menit.
Sama seperti pada laju pemanasan lainnya, dari gambar 4.11 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 7,5oC/mnt, untuk setiap temperatur pemanasan dengan semakin meningkatnya waktu tahan maka besar butir austenit yang terjadi semakin besar. Begitu juga dengan semakin meningkatnya temperatur pemanasan maka besar butir yang terbentuk juga semakin besar. Hal ini dapat dipahami karena semakin lama waktu tahan dan semakin besar temperatur aktivasi akan meningkatkan energi aktivasi pertumbuhan, yang
akan
menguraikan
dislokasi-dislokasi
yang
ada sebelumnya,
sehingga
pertumbuhan batas butir tidak terhalang oleh dislokasi untuk semakin membesar. 35
Selain itu, jika dibandingkan dengan laju pemanasan 5oC/mnt, besar butir austenit yang terbentuk lebih kecil. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa laju pemanasan juga berperan dalam pertumbuhan butir. Jika melihat pada gambar 4.10 dan 4.12 diatas, dapat diduga bahwa dengan laju pemanasan yang rendah, kehomogenan terurainya dislokasi-dislokasi yang ada lebih tinggi sehingga menurunkan halangan yang menghambat pertumbuhan butir khususnya pada batas butir. Selain itu, energi minimum yang dibutuhkan agar atom-atom dapat berdifusi untuk memperoleh keadaan yang lebih stabil (Q) akan semakin kecil yang akan meningkatkan migrasi batas butir untuk terus bertumbuh semakin besar. Dengan laju pemanasan yang lebih rendah, kehomogenan terurainya endapan yang terdapat pada matriks lebih tinggi sehingga tidak menghalangi batas butir untuk terus bertumbuh. Dari ketiga gambar diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur maka besar butir austenit yang terjadi juga semakin besar. Selain mempengaruhi besar energi aktivasi pertumbuhan butir, kenaikan temperatur juga akan meningkatkan terurainya endapan yang terdapat pada matriks. Patutu juga diduga bahwa pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan timbulnya tekanan pematangan “Zener” yang merupakan faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan besar butir.
4.3 Pengujian Kekerasan Untuk melihat pengaruh dari temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap sifat mekanis awal, maka dilakukan pengujian kekerasan dengan Mesin Uji Keras Vickers, dimana hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.3, 4.4 dan 4.5 berikut ini. Tabel 4.3 Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 5 oC
36
Tabel 4.4 Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 7,5 oC
Tabel. 4.5 Data nilai kekerasan degan laju pemanasan 10 oC
Dari tabel 4.3, 4.4 dan 4.5 diatas dapat digambarkan hubungan antara sifat mekanis khususnya kekerasan yang terjadi dengan laju pemanasan dan waktu tahan untuk masing-masing variasi temperatur pemanasan seperti pada gambar 4.13, 4.14 dan 4.15.
37
Gambar 4.13. Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 5oC/menit. Dari gambar 4.13 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 5oC/mnt, kekerasan yang terjadi secara umum semakin berkurang seiring dengan meningkatnya waktu tahan pada variasi temperatur. Namun pada penahanan selama 10 menit, akan menghasilkan peningkatan profile kekerasan seiring dengan peningkatan temperatur.
Hal ini
dimungkinkan oleh terurainya unsur paduan yang lebih tinggi pada temperatur yang tinggi dan tersebar pada batas-batas butir maupun matriks, sehingga ketika dilakukan pengujian kekerasan maka paduan ini mempengaruhi hasil yang diperoleh.
38
Gambar 4.14. Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 7,5oC/menit. Dari gambar 4.14 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 7,5oC/mnt, kekerasan yang terjadi secara umum juga semakin berkurang seiring dengan meningkatnya waktu tahan pada variasi temperatur. Namun pada penahanan selama 10 menit, akan menghasilkan peningkatan profile kekerasan seiring dengan peningkatan temperatur. Hal ini dimungkinkan oleh terurainya unsur paduan yang lebih tinggi pada temperatur yang tinggi dan tersebar pada batas-batas butir maupun matriks, sehingga ketika dilakukan pengujian kekerasan maka paduan ini mempengaruhi hasil yang diperoleh. 39
Gambar 4.15. Grafik hubungan kekerasan, temperatur dan waktu tahan pada laju pemanasan 10oC/menit. Dari gambar 4.15 dapat dilihat bahwa pada laju pemanasan 10oC/mnt, kekerasan yang terjadi secara umum juga semakin berkurang seiring dengan meningkatnya waktu tahan pada variasi temperatur. Namun pada penahanan selama 10 menit, akan menghasilkan peningkatan profile kekerasan seiring dengan peningkatan temperatur. Hal ini dimungkinkan oleh terurainya unsur paduan yang lebih tinggi pada temperatur yang tinggi dan tersebar pada batas-batas butir maupun matriks, sehingga ketika dilakukan pengujian kekerasan maka paduan ini mempengaruhi hasil yang diperoleh. Namun jika melihat pengaruh waktu tahan secara menyeluruh terhadap kekerasan yang terjadi, maka dengan meningkatnya waktu tahan akan menurunkan besar 40
kekerasan yang terjadi. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu tahan yang kecil, persentase unsur paduan yang terurai lebih kecil dibandingkan dengan pada waktu tahan yang kecil, sehingga masih banyak terdapa unsur paduan pada batas butir yang akan menghalangi pergerakan batas butir untuk bertumbuh. Selain itu unsur paduan yang belum terurai secara lebih homogen akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan dislokasi-dislokasi, sehingga ketika dilakukan pengujian kekerasan akan menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi. Untuk semua variasi temperatur, peningkatan waktu tahan akan menurunkan kekerasan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.16, 4.17 dan 4.18 berikut.
Gambar 4.16 Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 960oC.
Gambar 4.17 Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 1060oC. 41
Gambar 4.18 Grafik hubungan nilai kekerasan, waktu tahan dan laju pemanasan pada temperatur 1120oC.
4.4. Hubungan Besar Butir dan Kekerasan Yang Terjadi Dari data pada sub bab 4.2 dan 4.3, maka dapat dicari hubungan antara variabel proses pemanasan (temperatur, laju pemanasan, waktu tahan) dengan besar butir dan kekerasan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.19, 4.20 dan 4.21 berikut ini.
42
Gambar 4.19 Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 960oC.
Gambar 4.19 memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya ukuran butir akan menurunkan kekerasan yang terjadi. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa untuk temperatur 960oC, laju pemanasan yang paling sesuai adalah 7,5oC/menit karena akan menghasilkan hubungan yang paling optimal antara besar butir austenit dan kekerasan. Patut diduga bahwa pada temperatur 960oC dengan laju pemanasan 7,5oC/menit akan menghasilkan energi pertumbuhan butir yang besar untuk meningkatkan ukuran butir yang terbentuk.
43
Selain itu, dari gambar 4.19 dapat dilihat bahwa pada waktu tahan yang rendah akan menghasilkan besar butir yang kecil dengan tingkat kekerasan yang besar. Hal ini dimungkinkan karena material dengan butir yang berukuran kecil lebih baik sifat mekanisnya jika dibandingkan dengan butir yang berukuran besar.
Gambar 4.20 Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 1060oC.
Gambar 4.20 memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya ukuran butir akan menurunkan kekerasan yang terjadi. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa untuk temperatur 1060oC, laju pemanasan yang paling sesuai adalah 7,5oC/menit karena akan 44
menghasilkan hubungan yang paling optimal antara besar butir austenit dan kekerasan. Patut diduga bahwa pada temperatur 1060oC dengan laju pemanasan 7,5oC/menit akan menghasilkan energi pertumbuhan butir yang besar untuk meningkatkan ukuran butir yang terbentuk. Selain itu, dari gambar 4.20 dapat dilihat bahwa pada waktu tahan yang rendah akan menghasilkan besar butir yang kecil dengan tingkat kekerasan yang besar. Hal ini dimungkinkan karena material dengan butir yang berukuran kecil lebih baik sifat mekanisnya jika dibandingkan dengan butir yang berukuran besar. Jika dibandingkan dengan gambar 4.19, dapat dilihat bahwa hubungan yang paling antara besar butir dan kekerasan yang terjadi adalah pada temperatur 1060oC dengan laju pemanasan 7,5oC/menit. Hal ini dimungkinkan bahwa pada temperatur 1060oC dan laju pemanasan 7,5oC/menit akan memberikan kombinasi yang paling optimal antara besar energi pertumbuhan butir yang terjadi dengan persentase terurainya unsur paduan, sehingga akan memberikan hasil yang optimal.
45
Gambar 4.21 Grafik hubungan besar butir austenit dengan kekerasan, laju pemanasan dan waktu tahan pada temperatur 1120oC.
Gambar 4.21 memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya ukuran butir akan menurunkan kekerasan yang terjadi. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa untuk temperatur 1120oC, laju pemanasan yang paling sesuai adalah 5oC/menit karena akan menghasilkan hubungan yang paling optimal antara besar butir austenit dan kekerasan. Patut diduga bahwa pada temperatur 1120oC dengan laju pemanasan 5oC/menit akan menghasilkan energi pertumbuhan butir yang besar untuk meningkatkan ukuran butir yang terbentuk.
46
Selain itu, dari gambar 4.21 dapat dilihat bahwa pada waktu tahan yang rendah akan menghasilkan besar butir yang kecil dengan tingkat kekerasan yang besar. Hal ini dimungkinkan karena material dengan butir yang berukuran kecil lebih baik sifat mekanisnya jika dibandingkan dengan butir yang berukuran besar. Jika dibandingkan dengan gambar 4.19 dan 4.20, dapat dilihat bahwa hubungan yang paling antara besar butir dan kekerasan yang terjadi adalah berbeda khususnya dengan laju pemanasan yang akan menghasilkan hasil yang optimal. Hal ini dimungkinkan karena dengan kombinasi antara temperatur yang tinggi dan laju pemanasan yang rendah mungkin akan memberikan kombinasi yang paling optimal juga antara besar energi pertumbuhan butir yang terjadi dengan persentase terurainya unsur paduan, sehingga akan memberikan hasil yang optimal.
47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan data diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Besar butir asutenite yang terjadi akan semakin meningkat
dengan
meningkatnya temperatur pemanasan. 2. Besar butir austenite yang terjadi pada temperatur pemanasan yang sama akan semakin meningkat dengan meningkatnya waktu tahan. 3. Besar butir austenite yang terjadi pada temperatur pemanasan yang sama akan semakin kecil dengan meningkatnya laju pemanasan. 4. Kekerasan yang terjadi akan semakin menurun dengan meningkatnya temperatur pemanasan. 5. Kekerasan yang terjadi akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu tahan. 6. Laju pemanasan 7,5oC/menit akan menghasilkan kekerasan yang paling optimal dibandingkan laju pemanasan lainnya. 7. Ada hubungan yang saling terkait antara temperatur pemanasan, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap pertumbuhan butir austenit dan kekerasan yang terjadi. 8. Dari hasil penelitian ini, diperoleh hasil yang paling optimal untuk temperatur pemasan 1060oC dengan laju pemanasan 7,5oC/menit dan temperatur pemanasan 1120oC dengan laju pemanasan 5oC/menit.
5.2 Saran Untuk lebih baiknya hasil penelitian ini, maka perlu diadakan : 1. Peralatan yang digunakan lebih baik khususnya mikroskop optik. 2. Perlu pengamatan lebih lanjut menggunakan SEM dan TEM 3. Perlu dibandingkan proses perlakuan ini dengan baja C-Mn yang tidak memiliki unsur paduan.
48
DAFTAR PUSTAKA 1.
C.M Sellars, (1980) :“ The Physical Metallurgy of Hot Working , Proc. Int. Conf.on Hot Working and Forming Processes , Sheffield, England, pg 3-15.
2.
I.V.Samarasekera and E.B.Hawbolt, July-August 1995, “Overview of Modelling the Microstructural State of Steel Strip During Hot Rolling” The Journal of The South African Institute of Mining and Metallurgy, pp 157-165
3.
C.M Sellars, (1982),”Static Recrystallization and Precipitation During Hot Rolling of Microalloyed Steels” , Mat Science Seminar, Sheffield, England.
4.
D. Priadi, R.A.M. Napitupulu and E.S. Siradj, 15 May 2011, “Austenite grain growth calculation of 0.028% Nb steel”, Journal of Mining and Metalurgy B, ISSN 1450-5339, IF. 1.294, University of Belgrade, Serbia, pp. 199 – 209.
5.
D. Priadi, R.A.M. Napitupulu and E.S. Siradj, October 2011, “Austenite Grain Growth Calculation during Hot Rolling of 0.028% Nb Steel”, Journal of Materials Science and Engineering A, ISSN 1934-8959 , USA, pp. 678 – 683.
6.
Khaled F. H., 2005, Disertasi: “The Grain Coarsening and Sbsequent Transformation Of Austenite in the HSLA Steel During High Temperature Thermomechanical Processing”, University of Pittsburgh, USA.
7.
Pat L Mangonon,PhD,PE,FASM, 1999, ”The Priciples of Materials Selection for Engineering Design”, Prentice Hall Inc, Simon & Schuster/A Viacom Company,Upper Saddle River,New Jersey 07458.
8.
ASM Handbook Volume 4, 1991, Heat Treating, ASM International.
9.
Panigrahi B. K., August 2001, “Processing of Low Carbon Steel Plate and Hot Strip—An Overview”, Bull. Mater. Sci., Vol. 24, No. 4.
10. Liu T., September 2001, Disertasi: Modelling Microstructural Evolution of Microalloyed Forging Steels During Thermomechanical Processing, Ontario Canada, Department of Materials and Metallurgical Engineering, Queen’s University, Canada. 11. Russel K. C., Precipitate Coarsening and Grain Growth in Steels, Department of Materials Science and Engineering, Massachusetts Institute of Technology.
49
12. Zainal Abidin M, (2000), Skripsi : Studi Kinetika Rekristalisasi Butir Austenit Baja C-Mn (0,046% C) Hasil Proses Canai Panas Sebagai Fungsi Dari Regangan dan Temperatur Deformasi, Jurusan Metalurgi FT UI, Depok. 13. Zulfia A., J. M. Llanos, 2001, Mathematical Simulation and Controlled Cooling in an EDC Conveyor of a Wire Rod Rolling Mill, ISIJ International Vol. 41 No. 10. 14. Manohar P.A. et. al., 1998, “Five Decades of the Zener Equation". ISIJ International, Vol.38, No. 9. 15. Dedi Priadi, Richard A.M.Napitupulu, Anugrah Martua Raja, Juli 2010, “Modifikasi Metode Etsa Terhadap Penampakan Batas Butir Fasa Austenit Pada Baja HSLA A572 Grade 50 Hasil Canai Panas”, Proceeding Seminar Nasional Metalurgi dan Material V, Cilegon. 16. A. Di Schino, J. M. Kenny, 2002, “Analysis of the recrystallization and grain growth processes in AISI 316 stainless steel”, Journal Of Materialas Science 37, p. 5291 – 5298. 17. Matthias Militzer, 2007, Computer Simulation of Microstructure Evolution in Low Carbon Sheet Steels, ISIJ International, Vol. 47 No. 1.
50