LAPORAN AKHIR PENELITIAN PENELITI MUDA (LITMUD) UNPAD
Judul: PENINGKATAN EFEKTIVITAS INTEGRASI DAN KOORDINASI PERAN ANTARA PENYULUH PERTANIAN PEMERINTAH, SWASTA DAN SWADAYA BAGI PEMBERDAYAAN PETANI DAN PELAKU AGROINDUSTRI SKALA KECIL MENENGAH (Suatu Kasus di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat)
Oleh: IWAN SETIAWAN, SP., MSi DR. HEPI HAPSARI, Ir., MSi A. CHOIBAR TRIDAKUSUMAH, SP., MSi
Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2009 Nomor SPK: 277/H6.26/LPPM/PL/2009 Tanggal: 30 Maret 2009
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN
JURUSAN SOSIAL EKONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BULAN NOPEMBER TAHUN 2009
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN PENELITI MUDA (LITMUD) UNPAD SUMBER DANA DIPA UNPAD TAHUN ANGGARAN 2009 1. a. Judul penelitian
: Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran Antara Penyuluh Pertanian Pemerintah, Swasta dan Swadaya Bagi Pemberdayaan Petani dan Pelaku Agroindustri Skala Kecil Menengah di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. b. Macam penelitian : ( ) Dasar (v ) Terapan ( ) Pengembangan c. Kategori : I/II/III 2. Ketua Peneliti : a. Nama lengkap & Gelar : Iwan Setiawan, SP, MSi b. Jenis kelamin : Laki-Laki c. Pangkat/Gol/NIP : III D/ Penata Muda/19730217 199802 2001 d. Jabatan fungsional : Lektor Kepala e. Fakultas/Jurusan : Pertanian / Sosial Ekonomi Pertanian f. Bidang ilmu yang diteliti : Sosial Ekonomi Pertanian 3. Jumlah Tim Peneliti : 3 orang 4. Lokasi penelitian : Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat 5. Jangka waktu penelitian : 8 bulan 6. Biaya penelitian : Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)
Bandung, Nopember 2009 Mengetahui : Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Ketua Peneliti
Prof. Dr. Hj.Yuyun Yuwariah AS, Ir, MS NIP. 19480105 197412 2 001
Iwan Setiawan, SP, MSi NIP. 19730217 199802 2001
Menyetujui : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran,
Prof. Oekan S. Abdoellah, MA., Ph.D NIP. 195405061981031002
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) peran yang dijalankan oleh para pelaku penyuluhan, 2) tingkat integrasi dan koordinasi peran inter dan antar pelaku penyuluhan, 3) faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi efektivitas integrasi dan koordinasi tersebut, dan 4) strategi peningkatan efektivitas integrasi dan koordinasi peran antar pelaku penyuluhan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara mendalam, diskusi terfokus dan observasi, dengan informan para penyuluh, petani dan pelaku usaha kecil menengah di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat. Data primer dan data sekunder yang terkumpul selama delapan bulan penelitian dianalisis secara deskriptif dan dengan SWOT Analysis. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) peran penyuluh masih lemah, 2) integrasi dan koordinasi peran antar penyuluh, baik secara vertikal maupun horizontal, tidak berjalan efektif; 3) ketidakefektifan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal penyuluh; dan 4) integrasi dan koordinasi dapat diefektifkan melalui fungsionalisasi Badan Penyuluhan dan BPP sebagai sekretariat bersama penyuluh; menjadikan program CSR sebagai perekat, stimuli dan program penyuluhan bersama; mengaktifkan musrenbang tingkat kecamatan dan desa sebagai of rum koordinasi pengelolaan pembangunan pertanian; meningkatkan inovasi, demplot, diskusi, pelatihan dan penelitian partisipatif di tingkat desa; dan sebgainya.
ABSTRACT
The aim of this research were to identify roles of agricultur extension agent, performance integration and coordination of agricultue extension agent, af ctors affected, and effectivness strategy of integration and coordination. This research was used qualitative descriptive design and indepth interview, focus discution, and observation toward extension agents, farmers and small scale agroindustries agent at Cililin District Bandung Barat regency. Descriptive and SWOT used to analysis of data was collected as long as eight month. The result show that roles of extension agent is powerless, as well as both of vertical or horizontal integration and coordination of extension agent un-effective, un-effectivness was affected by internal and external factors, and it can emporcement by strategy: 1) capacity building institution of agriculture extension at district area (BPP) and regency are (Badan Penyuluhan), 2) construction of CSR programe or f agriculutre extension empowerment; 3) fungtionalitation of Musrenbangdes (forum dyalog outonomus) as orum f of coordination for managing of agriculture development; 4) increasing inovation, demonstration plot, discution, training and research participatory at village area; and so on.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan nikmat, rahmat dan ilmunya, sehingga atas ilmu dan kekuatan-Nya pula penelitian yang berjudul “Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran Antara Penyuluh Pertanian Pemerintah, Swasta dan Swadaya Bagi Pemberdayaan Petani dan Pelaku Agroindustri Skala Kecil Menengah” ini dapat diselesaikan. Selesainya penelitian ini tentu tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: (1)
(2) (3) (4) (5)
Kepada Rektor Universitas Padjadjaran yang telah membiayai penelitian ini. Kepala dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padjadjaran Bandung Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Koordinator dan para Penyuluh Pertanian Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat Para Formulator, Pendamping Masyarakat, Tokoh Tani dan Narasumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam ruang ini. Saudara Agung dan Ade atas bantuannya selama di lapangan.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak erlepas t dari kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi dan memberi manfaat kepada semua pihak.
Bandung, November 2009
Hormat Kami,
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….. i ABSTRACT……….. ii KATA PENGANTAR ……….. iii DAFTAR ISI ……….. iv DAFTAR TABEL ……….. v BAB I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4
BAB II
Latar Belakang ……….. 1 Identifikasi Masalah ……….. 5 Tujuan Penelitian ……….. 5 Kegunaan Penelitian ……….. 6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Penyuluhan Pertanian ……….. 7 Penyuluh Pertanian ……….. 8 Peran Penyuluh Pertanian ……….. 9 Pendekatan Integrasi (Keterpaduan) Peran Penyuluh Pertanian…… 13 Pendekatan Koordinasi Peran Antar Penyuluh Pertanian……….. 15 Faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhi Efektivitas Integrasi dan Koordinasi ……….. 16
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Disain Kajian dan Pengumpulan Data ………..18 Teknik dan Alat Analisis Data ……….. 19 Operasionalisasi Variabel ……….. 20 Tempat dan Sampel Kajian ……….. 22 Jadwal Kegiatan Penelitian ……….. 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Keadaan Umum Lokasi ……….. 23 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4
4.2
Keadaan Geografi dan Demografi ……….. 23 Potensi dan Kegiatan Pertanian ………..25 Sarana dan Prasarana ……….. 28 Keragaan Kelembagaan Petani ……….. 30
Keragaan Kelembagaan Penyuluhan ……….. 33
4.3 4.4 4.5 4.6
Peran Penyuluh ……….. 39 Integrasi dan Koordinasi Penyuluh……….. 42 Faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhi Integrasi dan Koordinasi Peran ……….. 45 Strategi Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi ………..47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 5.2
Kesimpulan ……….. 50 Saran ……….. 51
DAFTAR PUSTAKA ……….. 53
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Matrik Analisis SWOT Bagi Strategi Peningkatan Peran Koperasi ……20 Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kajian Peranan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bandung Barat ……….. 20 Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan Penelitian Peran Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bandung Barat ……….. 22 Tabel 4.1
Data Keadaan Penduduk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat (Juli 2009) ……….. 24
Tabel 4.2
Potensi Lahan Usahatani di Tiap Desa di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 25
Tabel 4.3
Luas dan Produksi Tanaman Utama yang Dikembangkan di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 27
Tabel 4.4
Rata-RataTingkat Produktivitas Usahatani Berdasarkan Kategori Petani di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 28
Tabel 4.5
Nama, Alamat, Jumlah Anggota dan Kelas Kemampuan Kelompok Tani di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 31
Tebel 4.6
Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 36
Tebel 4.7
Peluang dan Ancaman Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 38
Tebel 4.8
Peran Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat ……….. 41
Tebel 4.9
Integrasi dan Koordinasi Antara Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 43
Tabel 4.10 Matrik SWOT Analisis Strategi Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran Antar Penyuluh di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat ……….. 48
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Visi Kabupaten Bandung Barat (KBB) adalah “Bandung Barat Cermat, Bersama Membangun Masyarakat yang Cerdas, Rasional, Maju, Agamis dan Sehat Berbasis Pada Pengembangan Kawasan Agroindustri dan Wisata Ramah Lingkungan”. Visi tersebut menegaskan bahwa KBB menjadikan sumberdaya manusia sebagai inti (core) program pembangunan dan agribisnis, agroindustri serta potensi lingkungan sebagai basis. Visi tersebut juga merupakan wujud pemihakan politis pemerintah terhadap sektor pertanian dan lingkungan. Visi tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Misi KBB, yaitu: (1)
(2) (3)
(4) (5) (6)
Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, profesional, efektif, efisien dan ekonomis yang berbasis pada sistem penganggaran yang pro publik. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang beraskhlak, cerdas, sehat dan berdaya saing. Memberdayakan perekonomian daerah berbasis ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada pengembangan sektor agribisnis dan agroindustri dalam upaya pengentasan kemiskinan. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Meningkatkan kualitas derajat kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Modernisasi desa melalui peningkatan kapasitas pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Mewujudkan Visi dan Misi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan harapan dan sekaligus tanggungjawab semua pelaku pembangunan di KBB. Salah satu pelaku pembangunan yang memiliki posisi, peran dan fungsi strategis dalam mewujudkan Visi dan Misi tersebut adalah penyuluh pertanian. Secara kelembagaan, penyuluhan yang menjadi aktivitas utama penyuluh pertanian merupakan salah satu subsistem dalam sistem agribisnis, yaitu sebagai kelembagaan pelayanan pendukung (supporting system) pengembangan sektor agribisnis dan agroindustri yang peran utamanya adalah memberdayakan pelaku utama dan pelaku usahanya, termasuk pengentasan kemiskinan. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 menegaskan bahwa penyuluh pertanian memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (a) memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (b) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (c)meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (d) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (e) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku
1
usaha dalam mengelola usaha; (f) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (g) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Mewujudkan pengembangan sektor agribisnis dan agroindustri tentu harus dimulai dengan memberdayakan masyarakat pelakunya, yaitu petani sebagai pelaku utama dan pengusaha agroindustri sebagai pelaku usahanya. Memberdayakan mereka merupakan tugas utama dan fungsi pokok para penyuluh. Meskipun memberdayakan petani menjadi tanggungjawab semua institusi terkait, namun kel embagaan penyuluhanlah yang paling strategis (Departemen Pertanian, 2008). Memberdayakan masyarakat petani dan pelaku agroindustri agar berkualitas dan mencapai kemandirian merupakan tujuan utama dari Penyuluhan Pertanian (Margono Slamet, 1998; Sumardjo, 1999). Melalui kualitas dan kemandirian itulah agribisnis dan agroindustri dapat berkembang dan memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Bagi KBB, keberadaan tenaga-tenaga pemberdaya yang berkualitas dan mandiri, seperti penyuluh pertanian, merupakan kebutuhan nyata (the real need). Apalagi dengan kondisi KBB yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) KBB yang secara administratif terbagi kedalam 15 kecamatan memiliki luas wilayah sekitar 130,577 Ha. Dari luas tersebut, sebagian besar (66,500 Ha) digunakan untuk budidaya pertanian; (2) Secara demografis, sebagian besar masyarakat di KBB tergolong kedalam kelompok petani (33,87%) dan mayoritas (82%) dari petani yang ada tergolong petani kecil (Suseda KBB, 2006); dan (3) Secara geografis, pembangunan pertanian di KBB masih menampilkan ketimpangan yang nyata antara bagian utara dengan bagian selatan. Secara keruangan (spatial), sebagian besar lahan budidaya pertanian di KBB terdapat di wilayah bagian selatan yang tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah (<500 jiwa/km2), seperti Gunung Halu, Rongga dan Sindangkerta. Tidak seperti di bagian utara, pertanian di KBB bagian selatan belum berkembang. Secara sosiologis dan demografis, masyarakat KBB yang tinggal di wilayah bagian selatan benar-benar masih bercorak pedesaan. Sektor pertanian masih menjadi lapangan kerja utama mayoritas penduduk, bahkan turut mewarnai semua aktivitas dan kelembagaan yang ada, seperti usaha kecil (agroindustri). Selain itu, masyarakat KBB bagian selatan yang lemah aksesnya terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, masih identik dengan kemiskinan. Oleh karena itu, wajar jika keragaan indeks pembangunan manusia (IPM) daerah tersebut rendah, rata-rata kurang dari 65 (Bapeda KBB, 2007). Para pakar penyuluhan menganalisis bahwa posisi penyuluh pertanian akan tetap strategis dalam pembangunan pertanian, baik di negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Van den Ban dan Agbamu (2002) menegaskan bahwa “baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju, peran penyuluh pertanian tetap diperlukan oleh para petani, terutama petani kecil. Penyuluh yang dimaksud tentu bukan hanya penyuluh pemerintah, tetapi jugapenyuluh swasta dan swadaya”. Bahkan, menurut Cees Leeuwis (2004), di negara maju pun, penyuluh yang dikelola oleh pemerintah masih tetap strategis, terutama dalam memberikan pelayanan kepada para petani kecil yang pada umumnya tidak banyak diperhatikan oleh penyuluh swasta.
2
Selain itu, penting dan strategisnya peran dan fungsi penyuluh ke depan juga tidak terlepas dari upaya meningkatkan kinerja pencapaian IPM, termasuk bagi KBB yang angka IPM rata-ratanya baru 67,51 (Bapeda KBB, 2007). Penelitian Sarma (2004) di Taiwan, Bangladesh, India, Peru dan Brazil, mengungkap bahwa peran penyuluh dalam meningkatkan IPM sangat nyata. Hal itu terjadi karena penyuluh pertanian tidak hanya berperan memfasilitasi penyelesaian persoalan yang terkait dengan pertanian (termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan), tetapi juga menyangkut aspek kesehatan, pendidikan anak-anak petani, pemberdayaan perempuan, peningkatan akses permodalan, pengelolaan perpustakaan desa dan kelembagaan pertanian, baik kelompok tani maupun kelompok usaha bersama. Persoalannya, baik sisi sumberdaya manusia maupun sumberdaya institusi dan pendukungnya, penyuluhan pertanian di Indonesia, telah mengalami pelandaian (leveling-off). Imang Hasansulama (2005) mengungkapkan, banyak penelitian yang dilakukan para mahasiswa, baik program S1, S2 maupun S3 yang menyatakan bahwa para penyuluh pertanian telah ditinggalkan oleh para petani, atau sebaliknya, para penyuluh pertanian telah meninggalkan para petani. Jauh sebelumnya, penelitian World Bank (1990) dan Rivera (1998) mengungkap bahwa penyuluhan pertanian di Indonesia sangat terpuruk dan keterkaitannya dengan lembaga penelitian dan petani sangat lemah, kehadiran penyuluh pertanian dari perusahaan swasta cenderung lebih mengejar kepentingan perusahaan yang seringkali sangat eksploitatif dan destruktif, kehadiran lembaga swadaya pun tidak banyak membantu para petani karena lemah dalam hal penguasaan informasi dan teknik pertanian sehingga kurang direspon positif oleh para petani, begitu juga dengan kelompok tani dan petani berlahan luas. Hasil penelitian Sumardjo (1998) di Jawa Barat mengungkap “penyuluh pertanian dipersepsi lemah oleh para petani. Implementasi penyuluhan yang cenderung sentralistik, top down dan dengan model komunikasi linear (cenderung searah) tidak mempengaruhi peningkatan tingkat kemandirian petani. Secara umum, kinerja penyuluh di Jawa Barat tegolong rendah, begitu juga kinerja kedinamisan dan kelembagaannya. Lebih jauh ditegaskan oleh Sumardjo bahwa lemahnya kinerja penyuluhan tersebut disebabkan oleh lemahnya atau kurang berkembangnya keterkaitan (interface) antara kegiatan penyuluhan dengan kegiatan lembaga pe nelitian, pengembangan Iptek, lembaga pengaturan, lembaga pelayanan dan lembaga bisnis secara sinergis. Disamping itu, juga disebabkan aliran informasi belum bersambung antara pelaku sistem agribisnis hulu sampai ke hilir. Penelitian Rolling dan Rivera (1991) mengungkap bahwa sebagian besar (85%) usia penyuluh pertanian di Indonesia sudah tergolong tua, keterkaitannya dengan sumber informasi, baik lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun dinas teknis, sangat lemah. Persoalan penyuluhan lainnya adalah masih tingginya ego pelaku penyuluhan, baik penyuluh swasta, penyuluh swadaya maupun penyuluh pemerintah. Penelitian Yayat Riwayat (2007) di Kab. Ciamis mengungkap, pada kasus difusi inovasi padi organik system of rice intensification (SRI), para penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, cenderung menonjolkan ego sektoral dan status, sehingga berimplikasi pada kemandegan program SRI. Menurut Rivera (1990), para penyuluh swasta cenderung komersial dan eksploitatif. Sedangkan penyuluh swadaya lebih mengarah pada advokasi, namun tidak jarang mendorong kearah aksi-aksi yang
3
radikal. Penyuluh pemerintah cenderung diam, kecuali jika dilibatkan oleh penyuluh swasta. Menurut van den Ban (1999), para penyuluh swadaya yang semakin aktif menjangkau pedesaan pada umumnya lemah dalam penguasaan teknis pertanian. Namun sangat militan didalam memberdayakan kapasitas kelembagaan petani. Penelitian Sutawan (2002), Martius dan Osmet (2006) di Jawa Tengah dan Sumatera Barat menegaskan bahwa pelaku penyuluhan pertanian, baik penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya belum terkoordinasi, meskipun melakukan aktivitas pada lokasi yang sama. Tidak adanya integrasi (keterpaduan) dan koordinasi peran antar pelaku penyuluhan telah mengakibatkan terciptanya segregasi persepsi pada khalayak. Tidak jarang, terjadi pula persaingan yang tidak sehat (saling menjatuhkan). Akibatnya, tujuan memberdayakan para petani tidak lagi menjadi dasar kegiatan. Implikasi dari ketidak kondusifan hubungan dan integrasi antara pelaku penyuluhan telah terbukti mengabaikan petani untuk semakin tidak terkendali dalam menggunakan sarana produksi pertanian (menjadi sangat tidak ramah terhadap lingkungan). Sebagai contoh, menurut Agus Thomas (1997), penggunaan pestisida pada tanaman cabe dan pupuk kimia pada tanaman tomat di Kecamatan Lembang sudah sangat tidak terkendali. Dosisnya sudah melebihi dua kali lipat dari yang dianjurkan. Akibatnya, produktivitas lahan semakin menurun dan begitu juga kesehatan para petani (terutama pekerja penyemprotan). Pada kasus di Tasikmalaya, penelitian Setiawan dkk (2007) mengungkap bahwa propaganda dan klaim-klaim yang berlebihan dari penyuluh swasta dan swadaya dalam pengembangan padi organik dan sayuran dataran tinggi telah mengakibatkan berkembangnya sikap antipati petani terhadap penyuluh pemerintah. Akibatnya, terjadi ketidak kondusifan hubungan antar penyuluh dengan para tokoh tani. Akibat lebih jauh, terjadi saling mencari kelemahan dan saling menjatuhkan antar penyuluh. Keadaan yang lebih parah juga ditampilkan oleh para penyuluh pemerintah pada berbagai sektor terkait, seperti penyuluh pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dengan penyuluh dinas kopeasi dan usaha kecil menengah, juga dengan dinas perdagangan dan agro. Ini sangat ironi, padahal Undang-Undang Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 menegaskan bahwa penyuluh peranian memiliki peran dan fungsi sebagai berikut: (1) (2)
(3) (4)
(5)
(6)
Memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka da pat mengembangkan usahanya; Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; Menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan
4
(7)
Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk diungkap bagaimana strategi mengefektifkan integrasi (keterpaduan) dan koordinasi peran antara penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya? Untuk merumuskan strategi tersebut tentu harus diketahui terlebih dahulu bagaimana keragaan peran dari masing-masing pelaku penyuluhan? Bagaiaman keragaan keterpaduan dan koordinasi peran dari masingmasing pelaku penyuluhan?
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pertanyaan penelitian sebagaimana dimunculkan dalam latar belakang di atas, maka diidentifikasi enam permasalahan penelitian, yaitu: (1) (2) (3) (4)
1.3
Apa saja peran yang dijalankan oleh para penyuluh pertanian pemerintah, swasta dan swadaya. Bagaimana integrasi dan koordinasi antara penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Faktor-faktor apa saja yang cenderung mempengaruhi efektivitas koordinasi dan integrasi peran penyuluh pertanian. Bagaimana strategi integrasi dan koordinasi peran antar pelaku penyuluhan yang efektif bagi pemberdayaan petani dan pelaku agroindustri skala kecil menengah.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan tingkat integrasi dan koordinasi antar penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya berikut strategi untuk mengefektifkannya bagi pemberdayaan petani dan pelaku agroindustri skala kecil menengah di Kecamatan Cililin. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk mengetahui: (1) (2) (3) (4)
Peran-peran yang dijalankan oleh para penyuluh pertanian pemerintah, swasta dan swadaya. Tingkat integrasi dan koordinasi peran antara penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi efektivitas koordinasi dan integrasi peran penyuluh pertanian. Strategi integrasi dan koordinasi antar pelaku penyuluhan yang efektif bagi pemberdayaan petani dan pelaku agroindustri skala kecil menengah.
5
1.4
Kegunaan Penelitian
Bagi aspek ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai pengetahuan baru untuk memperdalam khasanah ilmiah penyuluhan dan komunikasi pertanian, khususnya aspek ilmiah integrasi dan koordinasi peran dalam organisasi, kelompok maupun komunitas penyuluh pertanian. Sedangkan bagi aspek gunalaksana, hasil kajian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dalam meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan penyuluhan ke depan. Secara praktis, dengan terciptanya keterpaduan dalam kelembagaan penyuluhan, aksi-aksi memberdayakan petani dan kelembagaannya akan lebih efektif. Selain itu, hasil kajian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi para pengguna, baik praktisi, peneliti maupun akademisi yang mengupas tentang integrasi dan koordinasi peran penyuluh pertanian.
6
BAB II TINAJAUAN PUSTAKA
2.1
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non-formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai (Departemen Pertanian, 2002). Paradigma penyuluhan pertanian telah mengalami pergeseran, dari hanya sekedar proses alih teknologi, alih informasi, merubah sikap dan perilaku petani (trasfer of knowledge) menjadi proses pemberdayaan petani (empowerment). Pergeseran paradigma tersebut otomatis menggeser pula pola pendekatan yang digunakan, yakni dari pendekatan searah (topdown atau supply driven) menjadi pendekatan partisipatif (demand-deriven). Pada Bab I Pasar 1 Undang-Undang Penyuluhan Pertanian Nomor 16 Tahun 2006 ditegaskan bahwa : “Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Konsekuensinya, kegiatan penyuluhan pertanian bergeser menjadi tahapantahapan yang meliputi: (1) memfasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta pelaku agribisnis; (2) memberikan rekomendasi dan mengikhtiarkan akses petani dan keluarganya ke sumber-sumber informasi dan sumberdaya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi; (3) menciptakan iklim usaha yang menguntungkan; (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh, dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluhan sebagai lembaga mendiasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis (Departemen Pertanian, 2002). Pendekatan baru ini menuntut para penyuluh pertanian untuk melihat usaha yang dikelola petani (on-farm) sebagai bagian dari sistem agribisnis. Kondisi ini sekaligus memperluas sasaran penyuluhan pertanian menjadi petani dan keluarganya serta masyarakat pelaku agribisnis. Materi penyuluhan pun tidak hanya sebatas teknik budidaya, tetapi juga menyangkut aspek ekonomi usaha dan pembangunan organisasi petani sebagai organisasi sosial ekonomi. Sementara itu penyelenggaraan penyuluhan pertanian itu sendiri dilakukan dengan pendekatan kesisteman agribisnis (Departemen Pertanian, 2006). Pada Bab I Pasal 1 (poin 3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 ditegaskan bahwa: bahwa: “Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang
7
pengelolaan sumber daya alam hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat”. Sajogyo (2002) menyatakan bahwa peran penyuluhan pertanian elah t mengalami perubahan paradigma, seperti : (1) dari penyuluhan “persuasif” (a predetermined correct course of action that needs to be used by extension’s targets) kepada penyuluhan “fasilitatif” (given the right conditions, information, mutual interaction and opportunity to the people); (2) dari transfer teknologi dan informasi (technology transfer) kepada pengembangan manusia (human development); (3) dari penyuluhan terpusat dan terprogram kepada participatory farmer group extension, client-oriented extension, gender-sensitive extension, research extension-farmers linkages; dan (4) dari target pencapaian produksi (better farming) kepada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan petani serta masyarakat perdesaan (better business, better living and better community). Hasan Sulama (2005) dan Padmanegara (2006) menambahkan bahwa perubahan peran penyuluhan juga terjadi: (1) dari penyuluhan yang bersifat searah (topdown atau supply driven) kepada penyuluhan yang bersifat partisipatif (bottom-up atau demand driven); (2) dari penyuluhan untuk petani kepada penyuluhan untuk pengusaha hulu, pengusaha tani, pengusaha hilir, pedagang hulu, pedagang hilir, penyedia jasa penunjang; (3) dari penyuluhan yang bertujuan mengubah perilaku petani agar dapat bertani lebih baik (better farming), berusaha tani lebih menguntungkan (better business), hidup lebih sejahtera (better living), bermasyarakat lebih baik (better community) kepada penyuluhan pertanian yang bertujuan untuk menghasilkan manusia pembelajar, penemu ilmu dan teknologi, pengusaha agribisnis yang unggul, pemimpin di masyarakatnya, guru dari petani lain, bersifat mandiri (secara material, intelektual, pembinaan), interdependensi dan mengusung modal sosial da n keberlanjutan lingkungan (sustainability); (4) dari penyuluh sebagai subyek kepada petani (pelaku utama), pedagang dan pengusaha (pelaku usaha) dan pelaku kebijakan sebagai subyek; dan (5) dari penyuluhan yang berpusat pada penguatan teknologi dan komoditas kepada penguatan sumberdaya manusia (empowerment) dan kapasitas kelembagaannya (capacity building).
2.2
Penyuluh Pertanian
Menurut UU Penyuluhan No. 16 Tahun 2006: “Penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh pemerintah, swasta, maupun swadaya, yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Berikut adalah deskripsinya: (1) Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan (pasal 1 butir 19). (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan (pasal 1 butir 20). (3) Penyuluh swadaya adalah pelaku
8
utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh (pasal 1 butir 21). Sampai kapanpun, penyuluh PNS akan tetap eksis dan diperlukan, sekalipun di negara yang telah maju, terutama bagi pelayanan para petani kecil. Rivera (1998) menegaskan bahwa penyuluh pert anian akan senantiasa diperlukan dalam pembangunan pertanian. Keberadaannya tidak akan tergantikan walaupun hadir penyuluh swasta, penyuluh swadaya dan teknologi komunikasi semakin berkembang pesat dan menyebar ke desa-desa. Cees Leeuwis (2004) dan Van den Ban (2005), menegaskan bahwa di negara-negara maju, seperti AS, Eropa Barat dan di Asia Pasifik, para petani kecil tidak banyak menjadi persoalan, karena mendapatkan pelayanan yang prima dari para penyuluh pemerintah. Tentu dengan jaminan bahwa sumberdaya manusia penyuluh pertanian pemerintah (actor pemberdayaan) dan jaringan kelembagaan pertaniannya berada dalam keadaan berdaya. Dalam Bab IV pasal 21 UU Penyuluhan Nomor 16 Tahun 2006 ditegaskan bahwa: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan pelatihan; (2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya; dan (3) Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar, akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh yang diatur dengan peraturan menteri. Menurut Hasansulama (2005) kompetensi standar penyuluh pertanian di masa sekarang dan yang akan datang meliputi empat ranah sebagai berikut: kemampuan kognisi, kemampuan afeksi, kemampuan psikomotorik, dan kemampuan konasi dan spiritual. Kompetensi merupakan identitas bahwa penyuluh berdaya dan profesional. Penyuluh masa depan yang berdaya sebagaimana dimaksud oleh Soetrisno (1997) adalah yang memiliki value creating. Artinya, penyuluh tidak hanya menjadi objek keputusan dari atas (top down), tetapi subjek yang dapat menentukan nilai-nilai dan dapat menentukan apa yang baik bagi diri petani, mereka sendiri dan lingkungannya. Keberdayaan penyuluh dapat dimaknai sebagai sikap mental yang value creating (menciptakan nilai, menentukan nilai), bukan value transmitting. Hal ini akan tercermin dalam indikator-indikator keberdayaan, yakni bagaimana ia memiliki inisiatif, melakukan perencanaan, mampu mengambil keputusan dan melaksanakannya, berjaringan, berkomitmen dan akuntabel.
2.3
Peran Penyuluh Pertanian
Peran penyuluh pertanian telah bergeser dari sekedar agen perubahan, pembina, instruktur dan pengajar menjadi fasilitator, dinamisator, motivator, stimulator, inisiator, mediator dan inovator. Peran-peran tersebut telah lama diimplementasikan oleh para penyuluh di negara-negara maju, termasuk di Taiwan (Rivera, 1999). Van den Ban (2001) menegaskan bahwa pran-peran penyuluh yang akan datang tersebut telah disinergikan dengan perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang berkembang pesat. Sehingga penyuluh akan pula berperan sebagai jembatan. Sebagai fasilitator, inisiator, motivator dan dinamisator masyarakat pedesaan (terutama petani),
9
seorang penyuluh pertanian hendaknya memiliki kemampuan dan kompetensi sebagaimana diuraikan di atas. Untuk menghasilkan penyuluh atau pemberdaya seperti itu, jelas membutuhkan suatu proses, seperti penelitian dan pengembangan atau pemberdayaan. Langkah untuk meningkatkan peran penyuluh pertanian pemerintah tersebut dapat ditempuh melalui proses pendidikan, pelatihan, magang dan pendampingan. Menurut Chamber (2003), untuk masuk ke pengembangan sumberdaya manusia sebaiknya terlebih dahulu dilakukan penilaian kebutuhan (need assesment). Melalui pemberdayaan penguasan materi dan keterampilan (profesional skills) sesuai dengan bidang keahlian, mampu selalu beradaptasi dengan teknologi baru, menguasai pengetahuan ilmu-ilmu dasar, mampu berpikir analitis, memiliki leadership, mampu mengisi posisi yang lintas profesionalisme, penguasan dan pemahaman kearifan lokal sehingga menjadi sarjana pengembang keunggulan wilayah, mampu memanfaatkan IT, problem solver, memiliki jiwa entrepreneurship, memiliki business knowledge (teknologi, hukum, dan pengetahuan dalam bidang usaha), komunikatif dan kolaboratif, memiliki kemampuan superleaders dan memiliki general competence pada sektor pertanian (termasuk agroindustri). Peran penyuluh sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 UU Penyuluhan No. 16 Tahun 2006 adalah: (1) memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (2) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (3) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (4) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (5) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (6) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (7) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan. Penyuluh pertanian juga berperan sebagai pelaku pendampingan kepada para petani. Pendampingan merupakan salah satu instrumen pemberdayaan yang implementasinya perlu dilakukan secara hati-hati, agar tidak menimbulkan ketergantungan, tetapi benar-benar menumbuhkan kemandirian (powerness) dan kesiapan (readiness) pada subjek pemberdayaan (petani). Oleh karena itu, menurut Grootaert (1997), agar pendampingan dapat menumbuhkan kemandirian dan berkelanjutan, maka harus dilakukan secara sistemik dan terintegrasi. Artinya, pelaksanaan pendampingan keirigasian harus diintegrasikan dengan pendampingan kewirausahaan, pendampingan kredit, pendampingan pertanian, pendampingan penguatan kelembagaan dan pendampingan usaha ekonomi produktif lainnya. Penguatan dan penguasaan modal-modal sosial (seperti trust, collaboration, norms, networking dan commitment) dan kapasitas kelembagaan capacity ( building) merupakan kunci suksesnya. Pengertian Pendampingan (impolvement) adalah: “kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan tenaga pendamping yang berperan sebagai fasilitator, komunikator, motivator dan dinamisator. Pendampingan
10
pada dasarnya merupakan upaya untuk menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Selain itu diarahkan untuk memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, membangun kemampuan dalam meningkatkan pendapatan, melaksanakan usaha yang berskala isnis b serta mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan secara partisipatif. Pada kenyataannya, transformasi peran penyuluh pertanian di Indonesia tidak dapat dilakukan secara sporadis. Artinya, peran penyuluh masa lalau sebagaimana diungkapkan Padmanegara (1978), untuk beberapa konteks, masih tetap relevan, seperti: (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat; (2) mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya; (3) memberikan rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran; (4) mengusahakan fasilitas yang lebih mendorong semangat sasaran ;(5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan dalam usaha perbaikan. Persoalannya, selam tiga dekade lebih peran penyuluh pertanian mengalami banyak penyimpangan (distorsi). Para penyuluh menjadi tidak jelas, banyak yang berperan ganda, beralih tugas menjadi pegawai administrasi atau bekerja pada perusahaan swasta. Penyuluh pertanian yang dalam kerangka otonomi daerah didudukan sebagai pejabat fungsional, justru mengalami penajaman penyimpangan peran dan fungsi serta ketidakjelasan struktur. Menurut Slamet (1994), Sumardjo (1999) dan Padmanegara (2004), peran penyuluh adalah: (1) menumbuhkan dinamika petani untuk mampu mengubah perilakunya kearah yang lebih baik lagi dengan memberikan jasa konsultasi bagi mereka; (2) Seorang penyuluh adalah guru, motivator, pelatih, pemandu, fasilitator dan juga pendamping masyarakat (community development); (3) Membangun etos kerjanya, yaitu memadukan etika (acuan moralitas dan spiritualitas) dan metode (cara, prosedur sistematis). Menurut Padmanegara (2004) dan Hasansulama (2005), peran penyuluh pertanian adalah: (1) unsur atau fungsi pertama dan erakhir t dalam pembangunan pertanian (extension first and extension last, farmers first and farmers last); dan (2) mengawali aktivitas penyusunan program, memandu dan memfasilitasi petani melakukan identifikasi dan analisis kritis terhadap situasi, dan mengakhirinya dengan kegiatan evaluasi partisipatif. Keberhasilan penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia penyuluhan (penyuluh). Menurut Sumardjo (1999), dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan inovasi akan senantiasa dibutuhkan oleh petani. Hal ini jelas menuntut kesiapan penyuluh untuk memenuhi kebutuhan informasi inovasi bagi sasaran penyuluhan. Pengembangan sumberdaya penyuluh dapat dilakukan melalui pelatihan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadi proses belajar mandiri pada para penyuluh tersebut. Kegiatan penyuluhan pertanian meliputi: (1) fasilitasi proses pembelajaran petani dan keluarganya beserta pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengikhtiarkan akses petani dan keluarganya ke sumber-sumber informasi dan sumberdaya yang akan membantu mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh, dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluhan sebagai lembaga mendiasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat
11
pelaku agribisnis (Departemen Pertanian, 2002). Mengingat kondisi yang demikian itu, seorang penyuluh hendaknya memiliki kualifikasi yang profesional. Profesional dalam arti ahli dalam bidang penguasaan materi yang “semestinya” disuluhkan (content area) dan ahli dalam bidang metode menyuluhkannya (process area). Ia harus pula memperhatikan prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Selanjutnya, agar proses pembelajaran petani berlangsung efektif, Sudijanto (1995) masih dalam Sumardjo (1999) mengungkapkan sepuluh azas proses belajar-mengajar dalam suatu pelatihan bagi penyuluh pertanian, yaitu: kemitraan, pengalaman nyata, kebersamaan, partisipasi, keswadayaan, kesinambungan, manfaat, keseuaian, lokalitas dan keterpaduan. Peran penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan juga dapat dilihat dari kapasitas, kemampuan dan kompetensi kelembagaannya. Rasmussen (1992:118) mengajukan dua pendekatan untuk menilai atau mengukur kemampuan kelembagaan. Pertama, sistem analisis kemampuan kelembagaan (the institutional capacity analisys system, ICAS) yang dikembangkan oleh Tobelem dari Bank Dunia. Ia mengidentifikasi lima unsur kemampuan kelembagaan: (1) aturan main; (2) hubungan antar lembaga; (3) organisasi badan terpisah; (4) kebijakan personalia dan sistem penghargaan; dan (5) keterampilan. Kelima variabel kemampuan kelembagaan tersebut dapat mengungkap tingkat produktivitas dan diungkap dari orang-orang yang terlibat dalam organisasi (penyuluh). Kedua, sistem pengukuran berdasarkan parameter dasar keberhasilan, seperti efektivitas, efisiensi dan daya hidupnya. Pendekatan kedua ini menekankan kepada pendekatan proses belajar sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1980). Unsur-unsur pentingnya adalah: (1) kekuatan struktur organisasi; (2) kemampuan untuk menyerap kekeliruan; (3) kemampuan untuk belajar bersama orang banyak; (4) kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan baru serta kapasitas kelembagaan melalui aksi. Sebagai pekerja sosial, penyuluh memiliki 5 (lima) tugas yang dapat dilaksanakan (Schwartz, 1961), yaitu: (1) mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka; (2) mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak orang dan membuat frustasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh signifikan terhadap mereka; (3) memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial dan masalah yang dihadapi mereka; (4) membagi visi kepada masyarakat; dan (5) mendefinisikan syaratsyarat dan batasan-batasan situasi dengan mana sistem relasi antar penyuluh dan masyarakat terbangun. Menurut Sumardjo (1999), peran penyuluh pertanian ke depan akan berpola pada pertanian berkelanjutan dengan indikator: (1) mengkondisikan iklim yang memungkinkan meningkatnya kesiapan petani berkemampuan agribisnis; (2) mengedepankan pola komunikasi yang dialogis, berkedudukan setara antara komunikator dan komunikan; (3) dapat berperan sebagai komunikan atau komunikator (inspirator aktif dan menentukan); (4) menjadi pusat informasi dan cenderung non formal; (5) model komunikasinya memadukan interpersonal dan impersonal (media massa); (6) berperan sebagai personal dan lembaga penghasil atau penyebar informasi atau inovasi petani; (7) substansi penyuluhan lebih mengetengahkan diversifikasi
12
komoditas agribisnis; (8) relasinya bersifat kolegial (setara dalam pengambilan keputusan usahatani dan informasi; (9) hadap masalah, mengutamakan kebutuhan dan kepentingan petani; (10) kedudukannya tersebar secara lokal (balai atau pusat penelitian teknologi dan balai penyuluhan di daerah petani); (11) pemadu sistem, merumuskan masalah dari bawah, memproduksi dan menyebarkan informasi atau inovasi unggul lokal tepat guna; (12) business oriented dan berwawasan lingkungan hidup (misalnya, pertanian organik, pengendalian hama terpadu, sekolah lapangan iklim, mitigasi bencana, low eksternal input); dan (13) mengedepankan kreatifitas, kemandirian dan keinovatifan (kosmopolit).
2.4
Pendekatan Integrasi (Keterpaduan) Peran Penyuluh Pertanian
Secara historis, Sumardjo (1999) menyatakan bahwa selama 90 tahun perjalanan penyuluhan pertanian di Indonesia, agaknya semua pendekatan sudah diterapkan, seperti: (1) pendekatan secara umum, (2) pendekatan secara komoditas, (3) pendekatan secara latihan dan kunjungan/Laku, (4) pendekatan secara partisipatif, (5) pendekatan secara linier atau proyek, (6) pendekatan sistem usahatani, (7) pendekatan sumber dana, dan (8) pendekatan kelembagaan pendidikan. Namun semua pendekatan itu hanya terjadi dalam relasi penyuluh dengan sasaran (petani), sementara pendekatan antar pelaku penyuluhan sendiri tidak diciptakan. Padahal, sudah sejak tahun 80-an bermunculan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Penelitian Kurnia (1999) pada kasus penyuluhan, integrasi peran antar pelaku penyuluhan sangat diperlukan oleh para petani, agar tidak menciptakan kebingunan. Pada kenyataannya, pemerintah menciptakan integrasi yang salah, yaitu integrasi kedalam institusi penyuluhan pemerintah, yang sering diberi istilah “peran ganda”. Pendekatan integrasi kedalam jelas melemahkan peran dan fungsi penyuluh, bahkan itu pula yang menyebabkan stagnasinya penyuluh pemerintah. Mengacu kepada hasil penelitian Sudiyanto (1995), Sumardjo (1999), menegaskan bahwa seyogyanya penyuluh mempunyai karakteristik penerapan metode dan teknik (process area) sebagai berikut: (1) dapat melebur menjadi anggota kelompok sasaran penyuluhan, (2) mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar diantara sesama warga belajar, (3) mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi, rasa pengabdian, dan idealisme untuk kerjanya, (4) mau meikirkan orang lain/sasaran, (5) menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, dan tahu bahwa diantara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada suatu situasi et rtentu, (6) dapat melihat permasalahan secara tepat/proporsional dan menentukan pemecahannya, (7) peka dan mengerti perasaan orang lain lewat pengamatan, (8) mengetahui cara meyakinkan dan memperlakukan orang lain, (9) selalu optimis dan mempunyai itikad terhadap orang, (10) menyadari bahwa perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar, dan (11) menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif dan positif. Ada beberapa isu penyuluhan pertanian yang diangkat kepermukaan dalam lima tahun terakhir ini, yaitu: (1) relevance, dampak, pengadaan dan keberlanjutan
13
pendanaan, dan sistem penyuluhan yang partisipatif -dapat menampung seluruh kebutuhan para petani; (2) keunggulan model penyuluhan pertanian visit and training. Bagaimana menemukan cara unuk meningkatkan linkage antara penyuluhan dan penelitian, termasuk pengembangan penelitian partisipatif antara petani -- penyuluh – peneliti; (3) Peran-peran relatif dari penyuluh profesional, para profesional, dan para petani sebagai provider –pemerintah sebagai enabler-- informasi pertanian; dan (4) memikirkan kembali model intervensi atas masyarakat pedesaan, seperti: peningkatan produksi, pemberdayaan (empowerment), perlindungan lingkungan (environmental protection), dan pengentasan kemiskinan, termasuk pengefektifan nilai-nilai penyuluhan yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Isu penting lain yang sedang diperdebatkan dalam penyuluhan pertanian adalah proses pengambilan keputusan (decision-making process) pada berbagai kondisi, menyangkut (1) bagaimana pentingnya dan apa gunanya sumber informasi yang beragam bagi petani pada berbagai kategori/kelas? (2) apa tipe informasi yang gagal bagi petani? (3) usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan oleh berbagai –extension suppliers—untuk melayani petani dan meningkatkan efisiensinya? (4) bagaimana menjalin hubungan yang baik (langsung) antara extension suppliers dengan dengan peneliti dan dengan berbagai extension suppliers lainnya? dan (5) usaha apa yang telah dilakukan untuk mendudukan penyuluhan pada pijakan pembiayaan yang berkelanjutan? Berbicara tentang pembiayaan penyuluhan pertanian, penelitian van den Ban dan Agbamu (2000) mengungkap, jika swastanisasi penyuluhan sudah diterapkan, maka kita tidak usah merisaukan masalah pendanaan, karena pada kenyataannya aliran dana datang dari berbagai pihak, seperti: (1) pelayanan pemerintah yang dibiayai dari pajak; (2) pelayanan pemerintah yang dibiayai dari pajak produk-produk pertanian tertentu; (3) perusahaan komersial yang menjual input kepada petani melalui penyuluh; (4) persatuan petani yang membayar penyuluh dari iuran anggota; (5) persatuan petani yang disubsidi oleh pemerintah; (6) Non Goverenmental Organization (NGO) atau LSM yang dibiayai oleh donatur dari dalam atau luar negeri, atau oleh perusahaan komersial untuk kepentingan public relations; (7) NGO yang dibiayai oleh subsidi atau kontrak dengan pemerintah; (8) perusahaan Konsultan (consulting egent) yang menarik sumbangan dari petani yang menjadi konsumennya; (9) perusahaan penerbitan yang menjual jurnal pertanian atau publikasi lain kepada petani, dan kombinasi lainnya. Menurut Rivera dan Cary (1997), penyuluhan pertanian yang didanai oleh pemerintah mungkin akan memfokuskan aktivitasnya pada pelayanan keperluan publik yang tidak disediakan pasar, seperti: transfer teknologi luas, diseminasi tentang informasi lingkungan, pengembangan sumberdaya teknologi, dan pengembangan sumberdaya manusia. Rivera dan Gustafson (1996) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya melakukan investasi dalam penyuluhan pertanian pada kondisi sebagai berikut: (1) ketika masyarakat umum mendapatkan manfaat yang lebih banyak dari penyuluhan pertanian; (2) jika tipe penyuluhan yang dilakukan dipandang lebih murah dan lebih baik oleh pemerintah dari pada oleh yang lain; (3) ketika proram pembangunan pertanian pemerintah dapat dibuat lebih efektif jika dokombinasikan dengan penyuluhan; dan (4) ketika kebutuhan masyarakat tidak tertutupi oleh perusahaan swasta atau konsultan.
14
Integrasi (keterpaduan) peran antar pelaku pembangunan (termasuk antar penyuluh) di Indonesia diakui berbagai pihak sangat lemah. Penelitian Warya (2006) di Provinsi Banten mengungkap bahwa kegagalan penyuluhan terjadi karena faktor pendekatan yang terlalu parsial (segmented). Faktor pendanaan penyuluhan memang signifikan, tetapi itu memungkinkan diselesaikan dengan model keterpaduan, seperti pengaturan alokasi dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), kerajasama dengan perusahaan dan integrasi peran dengan penyuluh swadaya. Penelitian Sutawan (2003) di Bali mengungkap bahwa integrasi peran antara pelaku penyuluhan dapat diwujudkan melalui pembentukan forum koordinasi penyuluhan di tingkat lokalita. Selain itu, penting pula dibangunnya sebuah perencanaan bersama bagi sinkronisasi program, seperti pemetaan agroekologi zone (AEZ). Dengan itu, setiap pihak yang akan melakukan penyuluhan dan pemberdayaan tinggal menyesuaikan dengan perencanaan tersebut. Perencanaan tentunya harus dilakukan secara partisipatif.
2.5
Pendekatan Koordinasi Peran Antar Penyuluh Pertanian
Koorinasi diartikan oleh Stoner sebagai proses penyatu paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit atau organisasi-organisasi yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Unsur-unsur yang terkandung dalam koordinasi adalah: unit-unit atau organisasi-organisasi, sumber-sumber potensi, kesatupaduan, gerak kegiatan, keserasian, arah yang sama. Berdasarkan lingkupnya, koordinasi terbagi menjadi dua bagian yaitu koordinasi internal dan eksternal. Sedangkan berdasarkan arahnya, koordinasi terbagi menjadi empat macam, yaitu: koordinasi horizontal, vertikal, diagonal, dan fungsional. Koordinasi menjadi istilah yang mendapat perhatian serius dari lembaga donor seperti Asia Foundation dan World Bank yang akan mengucurkan bantuan pembangunan di negara sedang berkembang dan di negara dunia ketiga. Bahkan diharuskan untuk dicantumkan sebagai salah satu program. Jauh sebelumnya, Kartasasmita (2005) telah mengemukakan arti penting koordinasi dalam pembangunan di Indonesia. Menurutnya: ”koordinasi ternyata sering juga merupakan masalah yang menganggu dalam upaya seseorang, kelompok, atau komunitas mencapai tujuan aktivitasnya secara optimal. Tidak sendikit petani yang mengalami kerugian karena tidak melakukan koordinasi dengan petani lainnya dalam melakukan aktivitas usahatani dan transaksi hasil usahatani. Koordinasi menjadi sangat penting seiring dengan semakin meningkatnya permasalahan dan kebutuhan petani, terutama menyangkut risiko dan ketidakpastian dari alam dan lingkungan strategis lainnya” Penelitian Cees Leeuwis (2001) di Asia Selatan mengungkap bahwa koordinasi penting bagi implementasi pemberdayaan dan diseminasi inovasi. Menurutnya, koordinasi dapat dilakukan melalui: (1) pernbagian atau pemakaian secara bersama sama sumber-sumber data yang bernilai bagi organisasi (sharing valued data resources); (2) menempatkan kontrol atas sumber surnber data kepada pihak yang bertanggung
15
jawab dalam organisasi dengan dasar profesionalisme atau spesialisasi; dan (3) kerjasama dalam penanganan dan pemeliharaan sumber sumber data organisasi. Pada kasus program pembangunan irigasi, Harun (2005) mengungkap bahwa tanpa koordinasi, bagaimanapun bagusnya perencanaan dan proses komunikasi suatu program mustahil akan mencapai tujuan. Menurutnya, dengan ko ordinasi memungkinkan terciptanya kesatuan, keterpaduan antar unit-antar pelaku-antar pengguna (sasaran)-antar pejabat, serta keharmonisan organisasi. Mengacu pada penelitian Fayol, Harun (2005) mengidentifikasi bahwa koordinasi dapat dilakukan melalui berbagai pendektan, seperti melalui pertemuan-pertemuan berkala antar pelaku dan dengan sasaran pembangunan. Khusus untuk organisasi, dengan terwujudnya koordinasi (termasuk dalam administrasi), maka segala sesuatu akan berjalan lancar. Menurut Harun (2005) koordinasi hanya mungkin terjadi apabila ada kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi, partisipan atau pemimpin organisasi untuk bekerjasama didalam proses pelaksanaan kerja dibawah pengarahan atau koordinator yang memiliki kewenangan tertentu. Dalam hal ini, koordinasi menuntut sikap dan perilaku tertentu dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan kerjasama. Sikap itu hanya mungkin ada apabila semua pihak benar-benar mengerti dan menghayati kedudukan dan fungsi masing-masing. Untuk itu komunikasi yang efektif sangat penting dalam membuka jalan kerah saling pengertian. Komunikasi inilah yang dianggap mekanisme yang ampuh untuk menciptakan koordinasi. Namun hal penting yang harus diperhatikan oleh semua pelaku pembangunan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas koordinasi itu sendiri.
2.6
Faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhi Efektivitas Koordinasi
Tubbs dan Moss (1996), menyatakan bahwa sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial, peran seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal (karakteristik personal) maupun faktor lingkungan eksternal (limitative causes). Faktor internal yang mempengaruhi peran seseorang terdiri dari karakteristik personal (pribadi) atau karakteristik demografi (agent characteristics) dan karakteristik sumberdaya kelembagaannya (institutions resources). Menutur Nelly (1988), dan Sugiyanto (1996), karakteristik personal adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang (individu) atau masyarakat, yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap, dan pola tindak terhadap lingkungannya. Ia seringkali digunakan untuk membedakan seseorang atau suatu masyarakat dengan yang lainnya. Usia, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, suku, dan agama diasumsikan turut menentukan peran seseorang. CYMMIT (1993), menyatakan bahwa karakteristik personal yang meliputi pendidikan, usia, gender, kesehatan, suku, agama, dan faktor komunitas (community factors), serta karakteristik sumberdaya kelembagaannya sangat mempengaruhi kemampuan seseorang atau masyarakat. Secara konseptual, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi peran dan koordinasi penyuluh tercakup dalam konsepsi kelembagaan. Menurut Bromley (1982), kelembagaan merupakan kesepakatan kolektif (norms) dan prinsip aturan yang membentuk standar perilaku individu maupun kelompok yang diterima. Ia lebih jauh
16
membedakan antara konsep kelembagaan sebagai norma-norma dan prinsip-prinsip yang melandasi organisasi dan organisasi sendiri sebagai wadah opersionalisasi normanorma dan prinsip-prinsip tersebut. Hanafiah (1997) dalam Budiman (1998), menambahkan bahwa kelembagaan pada dasarnya dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: (1) kelembagaan sebagai software atau rules of the game (aturan main) yang mengatur interdependensi baik antar individu kelompok masyarakat, kondisi maupun situasi, misalnya ilmu pengetahuan, dan teknologi, dan (2) kelembagaan sebagai hardware yaitu sebagai organisasi yang membungkus aturan main . Sebagai contoh: lembaga penyedia sarana produksi, kelompok tani, lembagan penyuluhan, lembaga pelayanan informasi, lembaga perkreditan, koperasi, dan sebagainya. Komponen kelembagaan juga meliputi sistem norma, pola perilaku, fasilitas, dan personil pendukung kelembagaan (Koentjaraningrat, 1982). Kelembagaan pendukung dalam sistem pertanian terbagi dalam dua wujud, yakni kelembagaan formal dan kelembagaan non-formal. Pada kenyataannya, kedua kelembagaan tersebut saling melengkapi. Secara jelas Saragih (2000), menuangkannya dalam konsepsi agribisnis. Sebagai suatu sistem, agribisnis terdiri dari empat subsistem yang terintegrasi secara fungsional. Eksistensi budaya pada suatu masyarakat sangat mewarnai proses-proses sosial dan interaksi sosial, yang secara otomatis mempengaruhi proses komunikasi masyarakatnya, terutama dalam pengambilan keputusan. Unsur-unsur sosial budaya masyarakat yang sangat berpengaruh atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi aktornya menurut Mulyana dan Rakhmat (1989), meliputi: 1) sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Unsur-unsur tersebut oleh Putnam (1993) disebut modal sosial (social capital) yaitu: “feature of social organization, such as networks, norms, and trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial sangat berpeng aruh terhadap penyuluhan, sehingga jika tidak diperhatikan dapat menjadi penghambat penyuluhan. Letak suatu wilayah juga sangat mempengaruhi aspek komunikasi atau aksesibilitas masyarakatnya. Hal ini sangat terkait dengan ketersediaan fasilitas dan sumber informasi, serta keragaman informasi yang diperlukannya. Myerson (2003), mengatakan bahwa globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi telah mendorong semua bangsa ke arah komunikasi massa. Pada kondisi seperti itu, kerapatan maupun keterbukaan komunikasi menjadi relatif, karena dipengaruhi oleh eksistensi fasilitas komunikasi. Fasilitas yang dimaksud adalah stasiun radio, televisi, surat kabar, majalah, buku-buku, telepon (termasuk handphone, exspert system, internet, faksimile, dan sebagainya), komputer, CD-ROM, kantor pos, kelompok atau organisasi petani, lembaga penyuluhan, pusat informasi pasar, pusat informasi pertanian, dan kelembagaan lainnya. Keberadaan fasilitas komunikasi yang dimaksud tidak hanya menyangkut sumberdaya fisik saja, tetapi juga meliputi keterjangkauan dan kesesuaian substansi informasinya. Informasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan kegiatan usahatani (pertanian) dan pengembangan kesejahteraan hidup petani. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), informasi adalah pola yang diterapkan manusia pada fenomena yang dapat mereka amati. Fisher menguatkan bahwa informasi dapat diartikan secara non ilmiah sebagai suatu fakta atau data yang diperoleh selama tindak komunikasi, dan secara teoretis informasi dianggap sebagai jumlah ketidakpastian yang dapat diukur.
17
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Disain Kajian dan Pengumpulan Data
Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan cepat (rapid appraisal). Dengan rapid appraisal, informasi yang relevan, akurat dan bermanfaat dapat diperoleh dengan menghemat waktu, namun mendalam. Beberapa prinsip dasar rapid appraisal adalah: mendengarkan dan bel ajar, menggunakan pendekatan yang beragam, menghindari formalitas, mengoptimalkan informasi, menggunakan indikator-indikator refleksi dan meminimalisasi bias. Diskusi terfokus dilakukan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, termasuk penyuluh pemerintah, penyuluh swasta, penyuluh swadaya, petani, pelaku usaha dan pelaku kebijakan. Diskusi terfokus juga dilakukan dalam rangka mengumpulkan data primer, yaitu data yang dikumpulkan dari sumber-sumber yang diambil secara langsung, seperti dari dinasi pertanian, perikanan, kehutanan, koperasi dan usaha kecil, dari pengelola penyuluhan dan dari para petani, baik anggota maupun bukan anggota kelompok. Untuk mendapatkan data primer, maka digunakan teknik pengumpulan data melalui tiga pendekatan, yaitu: wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci dari institusi-institusi terkait (termasuk dari lembaga swadaya atau lembaga advokasi bisnis lokal), diskusi terfokus dan wawancara terstruktur dengan menggunakan panduan, dan observasi (melihat dan mengunjungi langsung obejek dan lingkungan kajian). Agar kegiatan wawancara berjalan efektif dan efisien, maka terlebih dahulu dilakukan dua pendekatan, yaitu menetapkan informan dan menyiapkan panduan. Menyiapkan informan untuk wawancara mendalam dilakukan secara sengaja kepada orang yang dipandang mewakili institusi atau komunitasnya. Informan dari setiap isntitusi atau komunitas dibatasi jumlahnya (1-2 orang). Berbeda dengan wawancara mendalam, diskusi terfokus dengan pendekatan wawancara terstruktur yang menggunakan panduan dilakukan terhadap petani yang dianggap mewakili kelompok atau komunitasnya, sehingga informasi-informasi yang disampaikannya atau yang digali dianggap cukup untuk diinduksi atau digeneralisir. Sampel lajimnya diambil dari suatu populasi, seperti petani, tokoh tani, pelaku usaha, pelaku agroindustru, pelaku kebijakan dan penyuluh itu sendiri. Dalam kajian ini, pengambilan sampel juga dilakukan untuk memilih lokasi, terutama kecamatan sampel. Untuk wawancara mendalam maupun dengan kuesioner, ditetapkan atau disepakati terlebih dahulu waktu wawancaranya. Selain wawancara mendalam dan terstruktur, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui teknis observasi (mengunjungi dan melihat langsung ke lapangan). Observasi biasanya dilakukan dengan mencatat atau menggambarkan hal-hal yang terlihat, baik yang bersifat data-data, fasilitas, lingkungan fisik, kelembagaan maupun sosial budaya masyarakat. Observasi sangat penting untuk menghemat waktu dan untuk
18
melakukan receck atau stimuli pertanyaan kepada informan atau responde. Penggunaan dpendekatan diskusi terfokus ditujukan untuk untuk menjaring informasi yang lebih akurat dari berbagai stakeholders. Dengan pendekatan ini, maka memungkinkan pengumpulan data primer akan lebih efisien dan efektif. Disamping itu, data yang dikumpulkan akan lebih valid, karena terjadi ceck and receck informasi dari semua pihak. Untuk pendekatan ini jelas diperlukan seorang fasilitator dan perlengkapan untuk menuangkan berbagai informasi. Selain data primer, juga dilakukan pengumpulan data sekunder, berupa kebijakan-kebijakan pusat, provinsi dan daerah yang terkait dengan penyuluhan pertanian. Termasuk dalam hal ini adalah data pertanian, data organisasi/ lembaga baik lembaga pemerintah, swasta, koperasi, swadaya masyarakat dan lembaga penyuluhan itu sendiri, tentunya yang terkait dengan peran penyuluh dan kelembagaannya. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan pendekatan studi literatur (desk study) dan review laporan-laporan yang terkumpul. Dalam kajian ini, pengumpulan data sekunder akan dilakukan terhadap pemerintah daerah (berupa kebijakan), dinas terkait (berupa laporan dalam angka), kantor penyuluhan (berupa laporan kegiatan), dan lembaga terkait lainnya (berupa laporan penelitian, laporan diskusi) dan sebagainya.
3.2
Teknik dan Alat Analisis Data
Data-data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun sekunder, selanjutnya ditabulasi, direkap, diedit, di-coding, dan dilakukan pemilihan item atas dasar prioritas kebutuhan untuk pengolahan data. Terkait dengan peran penyuluh dan perumusan strategi peningkatan peran penyuluh, maka sebagian data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dari berbagai sumber di luar penyuluh akan dikategorikan kedalam data-data pendukung yang terdiri dari peluang (opportunity) dan ancaman (treatment). Sedangkan data-data primer yang lebih menggambarkan kondisi internal penyuluh (termasuk kelembagaannya) akan dikategorikan kedalam data potensi yang menggambarkan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Semua kegiatan ini termasuk kegiatan pengolahan data. Sebagai seorang ineterviewer yang baik, sulit untuk dapat melepaskan tugas editing hasil interview, sehingga kemungkinan akan membuat kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dapat ditekan sekecil mungkin. Setelah data-data diolah, selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan berdasarkan kebutuhan, yaitu: (1) data-data kualitatif akan dianalisis secara deskriptif, dan sebagian akan dikuantifikasikan agar memenuhi kebutuhan analisis deskriptif; dan (2) data-data kuantitatif dan data kualitatif yang dikuantifikasikan akan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif, dan untuk kebutuhan analisis deskriptif, maka akan dideskripsikan. Analisis yang akan digunakan didalam penelitian ini adalah: 1) analisis kekuatan internal dan eksternal; 2) analisis peran (kinerja); dan 3) analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi peningkatan efektivitas integrasi dan koordinasi peran antara penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (Tabel 3.1).
19
Tabel 3.1. Matrik Analisis SWOT Bagi Strategi Peningkatan Peran Koperasi INTERNAL STRENGTHS (S)
WEAKNESSES (W)
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI MAXI-MAXI (SO)
STRATEGI MAXI-MINI (WO)
THREATS (T)
STRATEGI MINI-MAXI (ST)
STRATEGI MINI-MINI (WT)
EKSTERNAL
Sumber: Rangkuti (1999)
3.3
Operasionalisasi Variabel
Mendeskripsikan peran penyuluh pertanian dan merumuskan strategi peningkatan peran itu membutuhkan kontruksi pemikiran yang kompleks dengan variabel yang kompleks pula. Pendekatan-pendekatan sudah dikemukakan didepan dengan menyertakan secara eksplisit variabel-variabelnya. Namun, untuk mendapatkan kemudahan didalam melakukan survey, eksplorasi dan analisis data, maka variabelvariabel yang kompleks tersebut perlu dioperasionalkan terlebih dahulu. Operasional juga ditujukan agar mempermudah didalam penyusunan instrumen kajian, seperti guiden untuk wawancara mendalam dan kuesioner untuk wawancara terstruktur. Berikut adalah uraiannya (Tabel 3.2).
Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kajian Peranan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bandung Barat. Variabel Karakteristik Penyuluh
Indikator Umur Jenis Kelamin Pendidikan Formal Pendidikan Nonformal Pengalaman Bekerja Pengalaman Bertani Jumlah Tanggungan Spesialisasi Luas Areal Kerja Tingkat Kesehatan Jarak ke Lokasi Kerja Motivasi Bekerja
Parameter Tahun Laki /Perempuan Tinggi, Sedang, Rendah Tinggi, Sedang, Rendah Tahun Tahun Orang Pertanian, Perkanan, Peternakan, Kehutanan Ha Tinggi, Sedang, Rendah Km Tinggi, Sedang , Rendah
20
Lanjutan Peranan Penyuluh Pertanian
Koordinasi dan Integrasi Penyuluh
Jaringan Komunikasi dan Koordinasi Menjadi Pendorong Demplot dan Pertemuan Kelompok Jenis Stimuli Produktif dari Penyuluh Kedinamisan Kelompok, Berusahatani, Diskusi Berkelompok, Mandiri, Belajar, Berkelanjutan Petani Akses Pada Sumberdaya Produktif Ada Kemauan, Kesanggupan dan Kemampuan Kel Tani Berperan, Tertib Administrasi, Terencana, Ada Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan Menumbuhkan Kesadaran Penggunaan Pupuk Berimbang, Ramah Lingkungan, Memperbaiki Kondisi Lahan, Lingkungan Partisipasi dalam SLPHT Kelompok Berperan, Berkembangan Usaha Menguatkan Manjerial, Ekonomi Produktif, Posisi Tawar Meningkat, Leadership dan Usahatani Efisien Wirausaha Menguatkan Modal Sosial Saling Percaya, Ada Kerjasama, Disiplin (Berkomitment) Merubah Perilaku Petani Bertani, Berbisnis, Hidup, Masarakat, Lingkungan Lebih Baikk Sumber Informasi & Iptek Ragam Informasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Inovasi) Memperbaiki Kinerjanya Kapasitas, Akses, Kepekaan, Tanggungjawab, Mutu Layanan Kemodernan, Daya Saing, Keberlanjutan, Edukasi & Pemadu Interaktif, Nonformal Sistem Kebijakan Keterlibatan, Keterjangkauan, Daya Dukung Permodalan Akses ke Sumber Modal (Bank, Investor, Mitra Usaha, dll) Informasi Kesesuaian, Ketersediaan, Ketepatan, Kecepatan dan Kegunaan Akses Sumberdaya Akses Lahan, Akses Sarana Produksi, Akses Bisnis Akses Kuantitas, Kualitas dan Kontinuitas Pasokan Akses Teknologi Teknologi Budidaya, Teknologi Pengolahan, Teknologi Pengangkutan, Teknologi Komunikasi, Teknologi Akses Layanan Layanan Pemerintah, Layanan Swasta, Layanan Swadaya Integrasi Sosial Interaksi dan Komunikasi Sosial, Tanggungjawab Sosial Integarsi Ekonomi Hubungan dengan Perbankan, Sumber Modal, Mitra Usaha, Industri Pengolahan Integrasi Pelayanan Hubungan dengan Perusahaan Swasta, BUMN, Asing Komunikasi/ Informasi Ketersediaan (Eksistensi, Fungsi, Intensitas); Keterjangkauan (Lokasi, Biaya, Waktu Tempuh); Efektivitas (Kesesuaian, Kecukupan); Mutu Layanan (Kemudahan, Efisiensi, Kesesuaian); Kredibilitas (Trust, Keandalan, Komitment) Koordinasi Koorinasi Vertikal, Koordinasi Horizontal
Memfasilitasi Memotivasi Memediasi Menginisiasi Mendinamiskan Mendampingi Meningkatkan Akses Meningkatkan Partisipasi Capacity Building
21
3.4
Tempat dan Sampel Kajian
Kajian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan data-data dari Bappeda (2007) dan konsultasi dengan narasumber di Kantor Penyuluhan Pertanian, maka ditetapkan sampel penyuluh sebanyak 7 orang dan 30 orang tokoh tani dan pelaku agroindustri. Selain lembaga-lembaga di atas, informasi juga akan diambil dari lembaga-lembaga pengkajian, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya. Hasil-hasil penelitian yang lebih representatif yang dihasilkan oleh lembaga pengkajian dan juga perguruan tinggi akan pula digunakan sebagai informasi tambahan untuk menguatkan analisis dan pendeskripsian hasil penelitian. Disamping itu, kelembagaan lokal yang bergerak dalam advokasi bisnis lokal dan jaringan-jaringan ranatai pasokan yang terkait dengan kajian, akan pula dieksplorasi. Tentu dengan memperhitungkan zaminan dari dukungan waktu kegiatan, biaya kegiatan dan tenaga kegiatan, terutama di lapangan.
3.5
Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan penelitian ini sudah ditetapkan waktunya, yaitu selama 8 (delapan) bulan, terhitung dari 30 Maret 2009 sampai dengan 14 November 2009. Namun demikian, disesuaikan dengan operasionalnya di lapangan baru mulai berjalan sesuai Tabel 3.3
Tabel 3.3.
No.
Jadwal Kegiatan Penelitian Peran Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bandung Barat.
Uraian Kegiatan
Juli 1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
2
3
Bulan September
Agustus 4
1
2
Observasi Pengumpulan Data Sekunder Penyusunan Laporan Pendahuluan Pembahasan Laporan Pendahuluan Survey/Penelitian Lapangan Penyusunan Laporan Antara Pembahasan Laporan Antara Penyusunan Laporan Akhir Pembahasan Laporan Akhir Finalisasi Laporan
22
3
4
1
2
3
4
Oktober 1
2
3
November 4
1
2
3
4
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Lokasi
4.1.1
Keadaan Geografi dan Demografi
Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat yang terletak pada ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut memiliki suhu berkisar antara 13-280C, hari hujan terbanyak 120, curah hujan 700 mm/tahun dengan bentuk wilayah 40 persen berombak, berombak sampai berbukit 0.2 persen dan 59.8 persen berbukit sampai bergunung. Kecamatan yang terletak di bagian selatan Kabupaten Bandung Barat ini memiliki jarak dengan desa terjauh sekitar 10 km (waktu tempuh 2 jam), jarak dengan kota kabupaten 21 km (waktu tempuh 1 jam) dan jarak dengan ibu kota provinsi 39 km (waktu tempuh 2 jam). Secara administratif Kecamatan Cililin berbatasan dengan Kecamatan Cihampelas di sebelah timur, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sindangkerta dan Kecamatan Cipongkor, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciwidey dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cihampelas. Kecamatan Cililin terdiri dari 11 desa (terdapat 1 desa swadaya, 1 desa swakarya dan 1 desa swasembada), 28 dusun, 112 RW (rukun warga) dan 451 RT (rukun tetangga). Hingga bulan Juli tahun 2009, jumlah penduduk kecamatan ini mencapai 82.404 jiwa yang terbagi kedalam 23.616 KK (kepala keluarga). Mukapayung, Rancapanggung dan Cililin merupakan tiga desa dengan jumlah penduduk terpadat (di atas 11 ribu jiwa). Sedangkan Karyamukti dan Kidangpananjung merupakan desa dengan jumah penduduk di bawah 4.000 jiwa (Tabel 4.1). Jika dianalisis, maka tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah, namun karena bentang alamnya didominasi perbukitan dan pegunungan, maka MLR (man land ratio) cenderung berat. Keadaan tersebut pula yang mendorong sebagian warga (terutama kaum muda) melakukan migrasi ke perkotaan atau menjadi tenaga kerja di luar negeri. Berdasarkan analisis MLR dan tingkat kepadatan penduduk diketahui bahwa setiap hektar lahan di Kecamatan Cililin dihuni oleh sekitar 22 jiwa, atau dengan kepadatan sekitar 2.160 jiwa per kilometer persegi. Artinya, tingkat kepadatan penduduk kecamatan tersebut sudah tergolong padat, karena kepadatan yang dianggap ringan itu 6 jiw per hektar atau sekitar 1.000 jiwa per kilometer persegi. Namun demikian, melihat keadaan geografisnya yang sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan, maka MLR dan tingkat kepadatan penduduk yang sejatinya jauh lebih berat, yakni 32 jiwa per hektar, dengan kepadatan sekitar 3.136 jiwa per kilometer persegi. Analisis demografis terakhir ini jauh lebih rasional, karena lahan perbukitan dan kehutanan yang ditetapkan sebagai daerah konservasi harus dilindungi dan ditutup bagi keperluan pemukiman adan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan gender, diketahui bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan di kecamatan tersebut adalah 103%, artinya setiap 100 wanita terdapat sekitar 103 pria. Tentu saja, besar MLR, tingkat kepadatan dan sex rasio untuk tiap-tiap desa bervariasi, dengan sebaran besaran
23
tertinggi berada di pusat pertumbuhan (pusat pemerintahan) dan berkurang signifikan untuk desa-desa di daerah yang lebih dalam.
Tabel 4.1 Data Keadaan Penduduk Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat (Juli 2009) Jumlah Penduduk (Orang) Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Cililin 5.617 5.593 11.210 2 Karangtanjung 3.824 3.367 7.191 3 Budiharja 2.677 2.437 5.114 4 Batulayang 5.002 4.720 9.722 5 Mukapayung 5.821 5.913 11.734 6 Rancapanggung 5.822 5.912 11.734 7 Bongas 4.433 4.271 8.704 8 Karanganyar 3.137 2.981 6.118 9 Naggerang 2.114 2.073 4.187 10 Karyamukti 1.633 1.606 3.239 11 Kidangpananjung 1.754 1.697 3.451 Jumlah 41.834 40.570 82.404 (Sumber: Monografi Kecamatan Cililin Tahun 2009) No.
Nama Desa
Jumlah KK 2.999 2.057 1.551 2.763 3.264 3.223 2.495 1.729 1.330 1.048 1.157 23.616
Jumlah penduduk yang besar, baik pria maupun wanita, yang tidak sebanding dengan potensi sumberdaya lahan telah mendorong sebagian dari generasi muda melakukan migrasi, baik ke perkotaan maupun ke luar negeri. Selain migrasi, sebagian kelompok penduduk usia muda yang lemah aksesnya terhadap sumberdaya lahan juga melakukan diversifikasi usaha, baik ke peternakan maupun ke usaha pengolahan hasil pertanian berskala kecil menengah. Berdasarkan data monografi diketahui bahwa di Kecamatan Cililin terdapat sekitar 1.452 orang peternak dengan jumlah ternak 11.413 ekor. Terdiri dari peternak sapi biasa (11 orang), kerbau (15 orang), kambing (5 orang), domba (403 orang), kuda (6 orang), ayam (1.000 orag) dan itik (12 orang). Sebagian masyarakat juga mengusahakan dan bekerja menjadi buruh pada usaha budidaya perikanan air tawar (jaring terapung) di areal Saguling. Selain mengusahakan budidaya tanaman (usahatani), sebagian masyarakat di Kecamatan Cililin juga melakukan pengolahan hasil pertanian, seperti agroindustri wajit Cililin. Usaha ini bukan sekedar sampingan, tetapi sudah menjadi andalan atau maskot (trade mark) bagi Kecamatan Cililin. Sebagian petani yang berada di pinggiran Saguling (termasuk yang mengusahakan lahan-lahan pasang surut Saguling) juga berusaha meningkatkan usahanya dengan membudidayakan ikan dan meningkatkan intensitas tanam padi melalui pompanisasi. Melalui pompanisasi (dengan retribusi kepada PLN sebesar Rp 500.000,-/musim), lahan-lahan sawah di pinggiran Saguling menjadi lebih intensif pengusahaannya dibanding lokasi lainnya, yakni tiga kali dalam setahun (IP300).
24
4.1.2
Potensi dan Kegiatan Pertanian
Sebagian besar penduduk Kecamatan Cililin bermatapencaharian sebagai petani, baik petani sawah, petani palawija maupun petani sayuran. Keadaan tersebut terbentuk secara turun temurun oleh kultur yang berkorelasi nyata dengan keadaan umum lokasi (nature). Disamping bertani, sebagian penduduk juga mengusahakan ternak dan perikanan (terutama pada wilayah yang berada dan berbatasan dengan Waduk Saguling). Namun demikian, secara umum potensi pertanian Kecamatan Cililin sangat dibatasi oleh keadaan geografisnya yang sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan (1.187,00 ha). Menurut data monografi kecamatan dan Balai Penyuluhan Pertanian Kabupaten Cililin (2009), potensi lahan pertanian produktif untuk sawah hanya sekitar 1.099 ha dan untuk palawija sekitar 1.079,8 ha (Tabel 4.2). Berbeda dengan sawah di daerah Kabupaten Bandung pada umumnya, sawah di kecamatan ini tidak ada yang terairi oleh irigasi teknis, tetapi hanya mengandalkan irigasi setengah teknis, irigasi pedesaan dan air hujan (tadah hujan). Oleh karena itu, lahan-lahan yang ada hanya dapat diusahakan dengan tanaman padi dua kali dalam setahun (IP200). Keadaan tersebut merupakan salah satu daya dorong (push factor) terjadinya migrasi.
Tabel 4.2 Potensi Lahan Usahatani di Tiap Desa di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat Luas Lahan (ha) Sawah Darat 1 Cililin 99 154,071 2 Karangtanjung 101 300,000 3 Budiharja 60 90,620 4 Batulayang 114 132,801 5 Mukapayung 59 240,900 6 Rancapanggung 28 214,000 7 Bongas 91 74,000 8 Karanganyar 232 241,450 9 Naggerang 120 473,589 10 Karyamukti 89 434,411 11 Kidangpananjung 106 346,000 Jumlah 1.099 2.701,842 (Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Cililin Tahun 2009) No.
Nama Desa
Jumlah 253,071 431,000 150,620 247,170 299,900 242,000 165,000 320,450 593,714 523,411 452,000 2.800,842
Pada kenyataannya, tidak semua daerah (desa) di Kecamatan Cililin memiliki potensi yang sama dalam usahatani. Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa beberapa desa hanya memiliki luas areal sawah yang kurang dari 100 ha, namun memiliki luas areal lahan kering yang lebih luas (kecuali Desa Budiharja dan Bongas yang didominasi lahan kehutanan). Secara umum, hanya desa-desa yang memiliki cekungan yang memiliki luas lahan sawah di atas 100 ha (21%). Itu pun dengan hanya mendandalkan irigasi pedesaan dan tadah hujan. Sedangkan perbukitan dan kehutanan hanya sedikit sekali yang diusahakan, kecuali di wilayah dataran tinggi yang banyak diusahakan sayuran.
25
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa sebagian besar lahan sayuran berada di tiga desa yang berbatasan dengan lahan kehutanan, dan usahatani sayuran tersebut sejatinya diusahakan pada lahan konservasi dan lahan kehutanan. Keragaman luasan sawah, tegalan dan perbukitan/pegunungan telah mendorong tumbuhkembangnya adaptasi yang bervariasi pada para pelaku usahatani, terutama para petani, sehingga mengakibatkan beragamnya komoditas yang diusahakan oleh mereka. Keragaman tersebut dipertajam oleh adanya diversifikasi perlakuan dan pengolahan hasil pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Keragaman tersebut otomatis turut menganekaragamkan pelayanan, termasuk pelayanan penyuluhan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Relatif sempitnya potensi lahan sawah dan lahan darat di Kecamatan Cililin bukan hanya mendorong migrasi dan meningkatkan diversifikasi usaha, tetapi juga meningkatkan alih fungsi lahan kehutanan atau lahan konservasi. Mengacu pada data Monografi Kecamatan Cililin (2009), teridentifikasi pula sekitar 2 (dua) ha lahan hutan yang beralih fungsi menjadi pemukiman dan diperkirakan puluhan hektar menjadi areal pertanian. Para petani yang lemah aksesnya terhadap penguasaan lahan telah secara terang-terangan maupun dengan motif lain mengusahakan lahan-lahan kehutanan. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah terkait dan perhutani menerapkan alternatif solusi melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Bagi pemerinta dan pihak terkait, sejatinya memiliki potensi lahan lainnya, yaitu tanah bengkok (carik desa). Sebuah potensi lahan yang dapat juga dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan demonstrasi plot dan laboratorium penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Berdasarkan data monografi kecamatan diketahui bahwa luas tanah kas desa di Kecamatan Cililin sekitar 36.480 ha dan luas bengkok sekitar 4.238 ha yang terdiri dari 2,05 ha lahan sawah, 7 ha lahan kering dan lain-lain 11.142 ha. Bervariasinya keadaan geografis dan potensi lahan di Kecamat an Cililin mengakibatkan beragamnya komoditas pertanian yang diusahakan. Berdasarkan data Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Cililin diketahui bahwa komoditas yang banyak diusahakan oleh petani terdiri dari padi sawah, padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, cabe merah, tomat, ketela pohon, dan ubi jalar. Komoditas-komoditas tersebut ada yang diusahakan secara tunggal (monocultur) ada juga yang diusahakan secara tumpangsari (diversifikasi). Pada umumnya, terapat empat pola tanam yang diterapkan oleh para petani Kecamatan Cililin di lahan sawah, yakni: padi+padi+palawija/sayuran (115 ha), padi+padi (959 ha), padi+sayuran+sayuran (25 ha) dan palawija+sayuran. Sedangkan pada lahan darat terdapat tiga pola tanam yang diterapkan para petani, yakni: padi gogo+palawija (150 ha), palawija+sayuran (300 ha) dan padi gogo+palawija+ bera (200 ha). Penerapan pola tanam cenderung dipengaruhi oleh pasokan air (baik air hujan maupun air irigasi), orientasi usaha (tradisional maupun komersial), perubahan iklim (ketidak menentuan datangnya musim hujan maupun musim kemarau), adaptasi para petani terhadap berbagai perubahan lingkungan dan tradisi yang diturunkan atau ditiru secara turun temurun. Secara spasial, akses para petani di Kecamatan Cililin terhadap berbagai sumberdaya produktif yang berkaitan dengan kegiatan pertanian tergolong lemah,
26
bahkan untuk beberapa desa sangat lemah. Namun secara sosial, akses para petani terhadap sumberdaya produktif pelayanan pertanian relatif kuat, apalagi posisinya berdampingan dengan beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung. Tingkat adopsi para petani terhadap inovasi dan penerapan teknologi pertanian juga sudah cukup baik, terutama di dataran tinggi dan di zona agroekosistem sawah. Berdasarkan data monografi Kecamatan Cililin dapat diketahui luas dan produksi tanaman utama secara umum (Tabel 4.3). Secara kuantitatif, produktivitas tiap-tiap komoditas tidak berbeda signifikan dengan produktivitas di Jawa Barat pada umumnya, terutama untuk tanaman padi. Namun dengan melihat perkembangan teknologi, produktivitas tersebut sejatinya memungkinkan untuk ditingkatkan, baik melalui perubahan metode usahatani dari konvensional ke pendekatan pertanian yang lebih berkelanjutan, seperti SRI (System of Rice Intensivication) dan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu), maupun dengan meningkatkan kualitas benih dan input prouksi.
Tabel 4.3 Luas dan Produksi Tanaman Utama yang Dikembangkan di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat Luas Tanam Luas Panen (ha) (ha) 1 Padi 2.200 2.200 2 Jagung 200 200 3 Ketela Pohon 300 300 4 Ketela Rambat 20 20 5 Kacang Tanah 15 15 6 Kedelai 10 10 7 Sayur-sayuran 60 60 (Sumber: Monografi Kecamatan Cililin Tahun 2009) No.
Jenis Tanaman
Produktivitas (ton/ha) 4.6 3 10 3 2 1 6
Pada kenyataannya, tingkat pro duktivitas tiap-tiap komoditas yang dikembangkan di Kecamatan Cililin tidak bersifat homogen, tetapi bervariasi, tergantung kepada jenis komoditas, lokasi dan kategori petani. Kecenderungannya, produktivitas yang tinggi dihasilkan oleh para kontak tani dan petani maju yang lebih akses terhadap informasi, modal dan input produksi, tentu dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan petani biasa atau petani pada umumnya (Tabel 4.4). Menurut informan “di Kec. Cililin kemampuan petani maju atau KTNA masih merata, sehingga belum ada yang benar-benar menonjol dan diakui oleh para petani pada umumnya, apalagi yang berperan sebagai penyuluh swadaya (petani teladan). Memang ada KTNA yang diakui, yakni H. Arifin, namun bukan di pertanian, tetapi bergerak di usaha budidaya perikanan darat”. Di Kecamatan Cililin, persentase petani berdasarkan kategori tersebut bervariasi antara satu desa dengan desa yang lainnya. Pada desa-desa yang berbasis padi, persentase ketiga kategori tersebut adalah 1%:15%:84%. Keadaan yang lebih terpolarisasi pada petani biasa ditampilkan oleh para petani di desa-desa berbasis palawija. Sedangkan porsi yang relatif cukup besar untuk kategori kontak tani dan 27
petani maju ditemukan di desa-desa berbasis sayuran dataran tinggi. Secara sosiologis, kategorisasi tersebut menggambarkan bahwa kinerja perilaku bertani para petani di Kecamatan Cililin cenderung stagnan. Keadaan tersebut juga mencerminkan tingkat ketimpangan dalam penerimaan dan penerapan (adopsi) teknologi usahatani pada tiaptiap lapisan petani. Ada kecenderungan, para petani yang sejatinya sudah cukup tinggi pengalaman dan tingkat pengetahuannya terhadap aplikasi teknologi konvensional, belum mampu menerapkan teknologi secara optimal karena faktor kemampuan modal usaha, kondisi pengairan dan akses.
Tabel 4.4 Rata-RataTingkat Produktivitas Usahatani Berdasarkan Kategori Petani di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Produktivitas Produktivitas Rata-Rata (ton/ha) Tertinggi (ton/ha) 1 Kontak Tani 55 57 Tani Maju 53 55 Tani Biasa 50 52 2 Padi Gogo Kontak Tani 33 35 Tani Maju 32 40 Tani Biasa 30 35 3 Jagung Kontak Tani 54 64 Tani Maju 50 62 Tani Biasa 48 61 4 Kedelai Kontak Tani 11 12 Tani Maju 9 10 Tani Biasa 8 9 5 Kacang Kontak Tani 30 32 Tanah Tani Maju 28 29 Tani Biasa 24 24 6 Cabe Merah Kontak Tani 65 74 Tani Maju 60 60 Tani Biasa 58 58 7 Tomat Kontak Tani 70 74 Tani Maju 65 70 Tani Biasa 60 70 8 Ketela Pohon Kontak Tani 120 130 Tani Maju 110 120 Tani Biasa 100 120 (Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bandung Barat Tahun 2009) No.
4.1.3
Jenis Tanaman Padi Sawah
Kategori Petani
Sarana dan Prasarana
Dinamika aktivitas masyarakat Kecamatan Cililin yang pada umumnya berbasis pertanian, pada kenyataannya sangat dipengaruhi oleh akses (kemampuan menjangkau) terhadap sumber-sumber produktif yang mendukung aktivitas tersebut. Secara riil, 28
akses masyarakat terhadap sumber-sumber produktif (terutama pela yanan) masih tergolong lemah, terutama untuk desa-desa yang lebih dalam. Namun secara umum, aktivitas masyarakat dan pemerintahan di Kecamatan Cililin telah didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana, seperti 6 (enam) buah dam, 3 (tiga) buah pompa air, 3 (tiga) buah sungai, 188 buah perahu motor tempel, 242 buah perahu dan 1 (satu) buah dermaga. Sarana umum lainnya adalah 842 buah ojek (sepeda motor), 5 (lima) buah delman, 62 buah becak, 40 unit mikrolet, 288 mobil pribadi, 51 buah truk, dan 3 (tiga) bus umum. Namun demikian, secara umum lalu lintas melalui darat lebih dominan (80%) dibandingkan lalu lintas melalui sungai (20%). Faktornya, sudah terbangun jalan kabupaten sepanjang 36,8 km (2 km dalam keadaan rusak), jalan desa sepanjang 198 km (34,98 km dalam keadaan rusak) dan 3 (tiga) buah jembatan sepanjang 30 meter (2 dalam keadaan sedang dan 1 dalam keadaan rusak). Hasil observasi menunjukkan bahwa lemahnya akses desa-desa bagian dalam terhadap pusat pertumbuhan dan pelayanan terjadi karena kondisi jalan yang masih rusak dan terbatasnya angkutan. Sarana pelayanan yang teridentifikasi eksis di Kecamatan Cililin adalah 3 (tiga) unit instansi vertikal (Polsek, Koramil, KUA), 9 (sembilan) unit instansi otonom (dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas perhubungan, dinas kependudukan Casip dan KB, dinas PU, Disperindag, dinas peternakan, dinas lingkungan hidup dan dinas pertanian) dan 3 (tiga) instansi BUMN/BUMD (BRI, PLN, PDAM, BTPN, KUD, Pos dan Giro, dan Perhutani). Secara khusus, sarana penunjang perekonomian di Kecamatan Cililin terdiri dari 18 buah koperasi (12 Kosipa, 1 KUD, 5 koperasi lainnya), 5 unit pasar (4 pasar umum dan 1 pasar hewan), 281 toko/kios/warung, 3 unit bank, sebuah pasar bangunan permanen, tiga buah pasar tanpa bangunan, satu stasion bus dan 12 unit telepon umum. Terdapat pula 1.786 industri (149 industri kecil dengan jumlah tenaga kerja 576 orang dan 1.274 industri rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja 179 orang), 34 buah rumah makan dengan 35 orang tenaga kerja, 52 usaha perdagangan dengan 167 orang tenaga kerja, 227 usaha angkutan dengan 364 oran tenaga kerja dan usaha lain-lain 50 buah dengan 172 orang tenaga kerja. Sarana sosial budaya yang teridentifikasi di Kecamatan Cililin terdiri dari 2 (dua) buah taman kanak-kanak, 40 buah sekolah dasar, 1 (satu) buah SLB, 9 (sembilan) sekolah menengah pertama, 7 (tujuh) sekolah menengah umum, 1 (satu) buah akademi swasta dan 1 (satu) buah lembaga kursus keterampilan, 226 buah mesjid, 474 buah surau, 2 (dua) buah tempat rekreasi, 14 buah sanggar kesenian (dengan 40 orang budayawan, 215 anggota seniman), 23 restoran, 2 (dua) unit puskesmas, 2 (dua) buah puskesmas pembantu, 3 (tiga) buah apotek, 2 (dua) buah pos/klinik KB, dan 60 unit posyandu. Masyarakat Kecamatan Cililin juga akses terhadap sarana komunikasi, hal ini terlihat dari adanya pemilikan 9.989 buah televisi, 386 telepon umum, 1(satu) kantor Pos, dan 3 (tiga) buah Orari. Kecenderungannya, masyarakat juga sudah akses terhadap telepon genggam (hand phone). Bagi para petani dan peternak, informasi yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan tidak hanya diperoleh dari prasarana umum, tetapi juga dari sumber-sumber khusus, seperti penyuluh pertanian, penyuluh peternakan, penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan. Bagi para pengusaha kecil menengah, pelayahan khusus juga bersumber dari penyuluh KUKM atau fasilitator (sarjana
29
pendamping). Pada kenyataannya, pelayanan penyuluhan (termasuk penyuluh KB dan penyuluh kesehatan) tidak hanya diperoleh dari penyuluh pemerintah, tetapi juga dari penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Bagi pertanian dan peternakan, penyuluh swasta umumnya para pekerja pemasaran (sallesmen) atau formulator dari perusahaanperusahaan swasta, baik perusahaan benih, perusahaan pupuk maupun perusahaan pestisida. Sedangkan penyuluh swadaya umumnya adalah para pekerja sosial, baik dari masyarakat sendiri (para tokoh tani, KTNA maupun inovator) maupun dari lembaga advokasi (LSM). Secara riil, akses para petani terhadap berbagai sumber informasi (baik personal, institusi maupun media) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut terjadi karena meningkatnya penguasaan media komunikasi pada masyarakat, terutama telephon genggam dan media audio visual (televisi atau VCD). Keberadaan telepon genggam telah terbukti mampu meningkatkan daya jangkau, akselerasi, eskalasi dan intensitas komunikasi para petani di pedesaan dengan berbagai sumber informasi di pusat pertumbuhan, di pinggiran kota maupun di perkotaan. Termasuk akses terhadap lembaga pelayanan informasi, seperti penyuluh dan dinas-dinas terkait.
4.1.4
Keragaan Kelembagaan Petani
Secara umum, meskipun lahir melalui proses linear (rekayasa sosial), para petani (baik kontak tani, petani maju maupun petani biasa) di Kecamatan Cililin telah berkelompok (telah dibagi habis ke dalam kelompok tani-kelompok tani dan kelompok usaha bersama). Pengelompokan petani tersebut dilakukan oleh para penyuluh, tokoh masyarakat (pemerintah desa) dan dinas teknis (seperti dinas pertanian, peternakan dan kehutanan). Pada kenyataannya, sedikit sekali kelompoktani yang mampu berkembang dan menjelma menjadi kelompok dinamis (kelompok maju) yang mampu berperan dan berfungsi. Bahkan, di Kecamatan Cililin kelompoktani yang dinamis belum ada, kecuali untuk kelompok usaha bersama (KUB) yang bergerak dalam pengolahan hasil dan kelompok usaha budidaya perikanan jaring terapung. Berdasarkan jumlahnya, terdapat sekitar 28 kelompok tani yang tercatat aktif dan tersebar di desa-desa di Kecamatan Cililin. Dari jumlah tersebut, berdasarkan kelas kemampuannya, diketahui bahwa 25 persen kelompok tani tergolong dalam kategori kelompok lanjut dan 75 persen tergolong kelompok pemula. Sedangkan kelompok madya dan kelompok utama belum ada, artinya belum ada kelompok tani yang benarbenar dapat dijadikan andalan atau unggulan bagi petani dan pemerintahan setempat. Jumlah anggotanya pun bervariasi dari 18 orang hingga 62 orang petani, tergantung banyaknya penduduk dalam satu domisili. Menurut informan “kelompok tani mah aktifteh mun aya program pamarentah, misalna mun aya KUT, atawa siga ayeuna aya program SLPHT (sakola lapangan pengendalian hama panyakit tanaman)…” (kelompok tani itu hanya aktif apabila ada program pemerintah, misalnya ada KUT, atau seperti sekarang ada program SLPHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu).
30
Berdasarkan lokasinya, terdapat 4 (empat) kelompok tani di Desa Cililin, 2 (dua) kelompok di Desa Budiharja, 4 (empat) di Desa Batula yang, 3 (tiga) di Desa Kidangpananjung, 3 (tiga) di Desa Karangtanjung, 2 (dua) di Desa Nangerang, 4 (empat) di Desa Bongas, 1 (satu) di Desa Karyamukti, 3 (tiga) di Desa Karanganyar, 3 (tiga) di Desa Mukapayung, dan 1 (satu) di Desa Rancapanggung. Meskipun secara administrasi para petani sudah dikelompokan, namun faktanya hanya sekitar 897 orang petani yang relatif aktif dalam berkelompok (Tabel 4.5). Hal ini terjadi karena kelompoktani bukan terbentuk, melainkan dibentuk oleh para petugas pertanian atau para pendamping lapangan. Akibatnya, tingkat motivasi dan partisipasi anggota dalam berkelompok sangat rendah. Rendahnya partisipasi berkelompok (terutama petani padi) juga ada kaitannya dengan faktor lain, seperti tidak terasanya peran kelompok, terbatasnya pola dan intensitas tanam (IP200) dan keterbatasan pasokan air. Sebagai salah satu kecamatan yang masuk dalam kategori tertinggal di bagian selatan Kabupaten Bandung Barat, Cililin sudah lama dikenal masyarakat priangan dan Jawa Barat karena agroindustrinya, yakni wajit Cililin. Eksistensi wajit Cililin tentu tidak terlepas dari keberadaan usaha rumah tangga dan usaha kecil menengah berbasis agro (agroindustri). Menurut ni forman, terdapat satu kelompok usaha bersama agroindustri yang cukup kuat di Kecamatan Cililin. Bahkan, sudah terbentuk asosiasinya dan aktif mewakili kecamatan dalam ajang pelatihan maupun pameranpameran. Namun, pada kenyataannya, agroindustri yang berkembang tidak banyak tertautkan dengan usaha para petani. Bahan baku untuk agroindustri wajit Cililin (ketan) sendiri pada kenyataannya masih didatangkan dari luar Cililin.
Tabel 4.5
No.
Nama, Alamat, Jumlah Anggota dan Kelas Kemampuan Kelompok Tani di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat Desa
1.
Cililin
2. 3.
Budiharja Batulayang
4.
Kidang Pananjung Karang Tanjung Nangerang Bongas
5.
Anggota (Orang) Itikurih Mandiri, Mitra Usaha, 18, 35, 21, Kurnia, Mandiri 36 Dahlia, Harapan 22, 56 Harapan Makmur, Dipatiukur, 23, 21, 42, Harapan Jaya, Tita Raharja 36 Mulus, Saluyu, Rahayu 24, 46, 37 Kelompok Tani
Kelas Pemula, Lanjut, Pemula, Pemula Pemula, Pemula Pemula, Pemula, Pemula, Pemula Pemula, Pemula, Pemula Lanjut, Pemula, Lanjut Lanjut, Lanjut Pemula, Pemula, Pemula Pemula Lanjut, Lanjut, Pemula Pemula, Pemula
Giri Mulya, Giri Mukti, Giri 22, 24, 26 Raharja 6. Tumaritis, Giri Waluya 42, 62 7. Triwidia Mukti, Nusa Indah, 22, 25, 27 Anggrek 8. Karyamukti Tani Mukti 40 9. Karanganyar Riung Gunung, Karang Sari, 40, 42. 36 Haur Ngambang 10. Mukapayung Harapan, Lembang, Mekar 26, 24, 22 Tani (Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Cililin Tahun 2009). 31
Gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang umumnya terbentuk pada saat digulirkannya program pemerintah, terutama program kredit usahatani (KUT) atau kredit ketahanan pangan (KKP), pada kenyataannya hanya hidup pada saat ada program (baca: proyek). Pada umumnya, lebih dari 90 persen kelompok tani atau gabungannya statis atau jalan ditempat (tukcing atau dibentuk cicing). Kecenderungannya, semakin banyak program semakin tinggi tingkat keterganntungan petani dan kelompoknya pada program (bias orientasi). Selain itu, proses regenerasi anggota dan pengelola kelompok pun sulit dilakukan (sulit direvitalisasi). Adapun 10 persen kelompok tani yang aktif lebih karena adanya program SLPHT. Pada perkembangannya, beberapa program mulai membidik dan melibatkan kelembagaan lokal, seperti program lumbung pangan masyarakat desa (LPMD), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), program usaha agribisnis ppedesaan (PUAP), gerakan mandiri agribisnis (Gemar) dan desa mandiri pangan (DMP). Namun karena lumbung sudah tidak eksis lagi di Cililin,maka program LPMD tidak terserap. Kecuali untuk LM3, program PUAP, Gemar dan DMP juga tidak terakses oleh masyarakat Cililin. Teraksesnya program LM3 tidak terlepas dari eksistensi Cililin sebagai daerah pesantren. Namun demikian, keberadaan pesantren yang banyak terdapat di Kecamatan Cililin belum semuanya berpera nyata dalam pengembangan pertanian dan agroindustri. Begitu juga lembaga swadaya masyarakat (LSM), disamping belum ada yang tumbuh dari kepedulian lokal, juga belum mampu mendorong LSM dari luar untuk masuk dan berperan sebagai lembaga advokasi, terutama dalam pengembangan sumberdaya lokal (pertanian). Kelembagaan sosial ekonomi yang selayaknya berperan aktif dan strategis adalah koperasi unit desa (KUD). Meskipun KUD dan koperasi lainnya teridentifikasi dan aktif di Cililin, namun faktanya belum berperan nyata dalam mendinamiskan pembangunan pertanian. Kecenderungannya, pelayanan modal dan input produksi masih mengandalkan lembaga-lembaga swasta, seperti toko sarana produksi pertanian. Pada kenyataannya, toko sarana produksi pertanian bukan hanya berperan sebagai penyedia saprotan, tetapi juga menjadi tempat bertemunya para petani (ruang disksui), tempat tukar menukar informasi dan sekaligus menjadi mitra para petani dalam penyediaan modal usaha. Pemasaran hasil pertanian juga masih berpangku pada para tengkulak dan bandar. Bagi para petani, tengkulak dan bandar lebih dihargai dan dipercaya “ketimbang” KUD. Apalagi relasi antara petani dengan bandar sering melebihi hubungan jual beli, seperti kemitraan dalam penyediaan modal atau sarana produksi. Hal serupa juga berlaku dalam adopsi inovasi atau diseminasi informasi. Kecenderungannya, para petani lebih mempercayai sesama petani, para formulator (sallesmen) atau penyuluh swasta dan penjual sarana produksi pertanian daripada pengurus KUD dan penyuluh pertanian pemerintah. Meskipun faktanya, masih ada PPL yang diakui dan intensif berdiskusi dengan para petani, terutama PPL yang telah lama bertugas di wilayah kerja Cililin. Pada perkembangannya, masyarakat juga semakin akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology atau ICT). Adopsi teknologi komunikasi dan informasi, seperti televisi, vcd/dvd dan telegpon genggam (handphone) telah secara perlahan menggeser pola komunikasi masyarakat pedesaan. Selain komunikasi masyarakat berjalan cepat, juga
32
semakin bergeser dari komunitas tertutup menjadi masyarakat terbuka terhadap dunia luar (cosmopolitan). Dengan ICT, akses sebagian masyarakat mengalami peningkatan, baik terhadap sumber-sumber informasi umum maupun sumber informasi pertanian. Namun, ada kecenderungan, media komunikasi lokal, model komunikasi tatap muka dan media komunikasi lama (seperti radio) mulai memudar dari masyarakat.
4.2
Keragaan Kelembagaan Penyuluhan
Kelembagaan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di Kabupaten Bandung Barat masih menginduk ke Dinas Pertanian. Hal ini dilakukan karena kelembagaan penyuluhan di Kabupaten Bandung Barat belum memiliki badan khusus, yakni Badan Pelaksana Penyuluhan (BPP) atau Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian (BKP3). Namun demikian, di tingkat kecamatan telah ada Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dengan wilayah kerja (Wilkel) satu kecamatan. BPP merupakan unit pelaksana dan sekaligus menjadi “basecamep” bagi para penyuluh, terutama penyuluh PNS atau tenaga harian lepas (THL). Secara fungsional, BPP bukan hanya sekedar lembaga perpanjangan tangan dinas teknis atau pemerintah, tetapi merupakan lembaga yang otonom para penyuluh bagi pemberdayaan diri, lembaga dan pelaku pertanian (terutama petani). Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, BPP merupakan lembaga yang multi fungsi, selain sebagai tempat berkumpul dan berdiskusinya para penyuluh pemerintah, BPP juga berfungsi sebagai ruang belajar, laboratorium, ruang dialog dan ruang koordinasi antar pelaku penyuluhan dan pelaku pertanian. Pada kenyataannya, BPP belum m ampu menjalankan fungsi idealnya sebagaimana diharapkan dalam undang-undang. Di Kecamatan Cililin, BPP cenderung lebih berperan sebagai lembaga perpanjangan tangan pemerintah kabupaten (belum otonom). Meskipun sudah lama berdiri, namun peran ideal yang diharapkan baru nampak dalam konsep atau perencanaan, sedangkan implementasinya masih “jauh panggang dari api”. Selain keterbatasan sarana dan prasarana, juga faktor keterbatasan sumberdaya manusia. Disamping belum dipandang dan diperankan sebagai ruang dialog sosial, ruang dialog produktif dan ruang dialog kritis bagi pelaku-pelaku pembangunan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Baik penyuluh PNS maupun penyuluh swasta dan swadaya. Hingga tahun 2009, BPP Kecamatan Cililin masih memiliki sumberdaya manusia yang terbatas, yakni 5 (lima) orang tenaga penyuluh tetap (PNS) dan 4 (empat) orang tenaga kerja harian lepas (THL). Mereka terdiri dari PPL pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan pengendali organ pengganggu tanaman (POPT). Penyuluh yang berstatus PNS pada umumnya sudah masuk kategori tua (dilihat dari umur dan pengalaman kerjanya). Sedangkan THL yang tergolong muda, meski memiliki motivasi yang lebih tinggi, namun sangat minim pengalaman. Upaya mendorong para penyuluh untuk menggeser paradigmanya dari rekayasa ke pemberdayaan, dan dari sebagai agen difusi inovasi ke fasilitator, ternyata belum dapat berjalan sebagaimana diharapkan.
33
Paradigma yang dianut para penyuluh (terutama yang sudah berusia tua) masih terpolarisasi pada model lama (transfer teknologi dan pengetahuan), belum mengacu pada paradigma yang digagaskan dalam undang-undang penyuluhan tahun 2006, yakni pemberdayaan pelaku-pelaku pertanian. Para penyuluh memandang bahwa transformasi tersebut tidak dapat dilakukan secara sekaligus, tetapi bertahap (gradual). Secara konseptual maupun praksis, para penyuluh sudah berusaha bergeser ke paradigma penyuluhan baru, namun baru pada bagian-bagian tertentu. Sebagai catatan: 1) “penyuluh berperan sebagai motor dalam pengembangan agribisnis melalui pemberdayaan sumberdaya manusia petani dan keluarganya”; 2) “programa penyuluhan disusun berdasarkan hasil penggalian potensi dan pengakomodasian aspirasi atau prakarsa dari para petani”; dan 3) sejalan dengan itu, kegiatan penyuluhan pertanian masih ditempuh melalui “rekayasa teknologi, rekayasa sosial dan rekayasa ekonomi”. Implementasi penyuluhan juga disinergikan dengan “visi pembangunan pertanian nasional, visi kabupaten dan visi dinas pertanian KBB”. Transformasi “koseptual” terlihat jelas dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di KBB, yakni dari semula berorientasi pangan menjadi bercorak agribisnis. Beberapa muatan transformasi tersebut adalah: 1) meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dengan target pertumbuhan produksi lima persen per tahun melalui efisiensi usahatani padi, palawija dan hortikultura, ternak dan ikan, serta hasil perkebunan dan hutan rakyat; 2) meningkatkan mutu produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 3) meningkatkan pendapatan petani pelaksana usaha pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 4) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam (lahan dan air) dengan tetap mempertahankan aspek keseimbangan dan kelestarian lingkungan; 5) meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha pada sektor pertanian; 6) mengembangkan kelembagaan tani dan usahatani yan mendukung pengembangan agribisnis; dan 7) meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan LPE kabupaten. Beberapa kondisi eksisting yang relatif relevan dengan tranformasi adaah: 1) pelibatan petani dan pelaku pertanian lainnya dalam penyusunan rencana definitif kegiatan kelompok; 2) ketersediaan sumberdaya manusia disesuaikan dengan kondisi sumberdaya dan potensi lokal, sehingga lebih merata, seperti penyuluh pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, hama penyakit tanaman, dan lainnya; 3) melakukan kunjungan rutin (16 hari di lapangan) dan berdiskusi dengan para pelaku pertanian, terutama ditekankan untuk para penyuluh muda (THL); 4) melanjutkan penerapan metode penyuluhan partisipatif, seperti SLPHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu), SLUT (sekolah lapang usaha tani terpadu), kursus tani dan demplot. Namun demikian, di Kecamatan Cililin KBB para petani belum akses terhadap pelatihan dan kegiatan usahatani ramah lingkungan, seperti SLPTT (sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu), SLI (sekolah lapang iklim), dan SLSRI(sekolah lapang system of rice intensivication). Upaya transformasi konseptual sebagaimana diuraikan di atas, pada kenyataannya belum mampu diwujudkan dalam tataran implementasinya. Beberapa kendalanya adalah: 1) belum sebandingnya jumlah sumberdaya penyuluh dengan luas wilayah binaan, belum terwujudnya upaya “one village one penyuluh” sebagaimana dicita-citakan undang-undang penyuluhan; 2) akibat marginalisasi institusi dan
34
lambatnya proses regenerasi, maka sebagian besar sumberdaya penyuluh berusia tua, sehingga selain sudah mengalami penurunan kinerja juga sulit melakukan perubahan pola pikir (mindset) dan ketergantungannya pada metode-metode yang bias rekayasa sosial; dan 3) menurunnya tingkat kepercayaan (trust) dan penilaian (under value) para petani terhadap kelembagaan penyuluhan, sehingga upaya menyulitkan penyuluh untuk menggeser peran dari seorang agent transfer of technology dan knowledge menjadi fasilitator, motivator, mediator dan inisiator. Kendala untuk mewujudkan transformasi penyuluhan lainnya adalah keterbatasan sarana dan prasarana. Secara institusi, kelembagaan penyuluhan di KBB belum memiliki struktur vertikal yang jelas (Badan Pelaksana Penyuluhan) di tingkat kabupaten. Secara internal, kelembagaan penyuluhan belum memiliki jaringan informasi yang memadai, cepat dan efektif, baik ke bawah (ke para pelaku pertanian), ke samping (ke sesama penyuluh) maupun ke atas (ke jaringan vertikal). Secara teknis, kelembagaan penyuluhan pertanian belum memiliki stok informasi, stok teknologi dan stok inovasi, sehingga senantiasa mengalami kesulitan dalam mewujudkan perannya sebagai lembaga konsultansi dan fasilitasi bagi masyarakat. Secara sosial, kelembagaan penyuluhan mengalami penurunan peran dan partisipasi dalam melakukan kajian, bahkan cenderung ketergantungan terhadap program-program yang digulirkan dari atas (baca: proyek). Arah kegiatannya pun masih bias pola lama, sehingga masih menitikberatkan pada target-target produksi yang juga bias komoditas generik (pangan), terutama padi. Secara umum, program penyuluhan telah menampakan adanya transformasi, namun beberapa program yang dipandang strategis dan relevan dengan pembangunan berkelanjutan, masih belum terakses, sebut saja SLI, SRI dan usaha ekonomi produktif. Keragaan tersebut menggambarkan bahwa kelemahan akses Kecamatan Cililin sebagai bagian dari KBB yang tergolong baru terbentuk bukan karena faktor kelembagaan pemerintahan yang baru, tetapi terjadi karena sumberdaya manusia pelayanan penyuluhan di tingkat kabupaten dan di tingkat kecamatan belum berdaya, belum berperan nyata (sebagai fasilitator, inisiator, kreator atau inovator) dan masih berakses rendah. Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa 69,97% penyuluh berkinerja kuat dan cenderung kuat, dan sekitar 31,03% berkinerja lemah. Menguatkan hasil diskusi terfokus dengan penyuluh, secara lebih terperinci dan obejktif, para petani memberikan penilaian kepada para penyuluh dan kelembagaannya berdasarkan 20 indikator kekuatan dan kelemahannya (Tabel 4.6). Hasilnya, secara parsial penyuluh di Kecamatan Cililin menampilkan kinerja yang kuat (kekuatan) dalam aspek: (1) status penyuluh pemerintah lebih diakui oleh masyarakat dibanding penyuluh swasta dan swadaya; (2) para penyuluh pemerintah lebih berpengetahuan, terutama menyankut keadaan petani, keadaan lokasi (wilayah kerja) dan keadaan klimatologi; (3) para penyuluh pemerintah lebih berpendidikan (rata-rata sarjana dan master); (4) para penyuluh mayoritas berusia tua, faktor usia yang tua sejatinya merupakan kelemahan, namun di sisi lain juta merupakan kekuatan, karena mereka lebih berpengalaman dalam kerja dan penguasaan lokasi; (5) para penyuluh pemerintah lebih perhatian terhadap petani dibandingkan penyuluh swasta dan swadaya, hanya karena sudah tua, maka mobilitas mereka lebih lambat; (6) memiliki akses yang cukup tinggi terhadap media komunikasi (terutama telepon genggam); (7) penyuluh sudah
35
memiliki kantor penyuluhan (BPP), meskipun belum dilengkapi dengan fasilitas; (8) penyuluh pemerintah masih menjadi sumber informasi bagi petani, terutama petani yang berada dalam naungan kelompok tani, sedangkan penyuluh swasta baru menjadi sumber informasi bagi petani kaya dan tokoh tani; (9) pendekatan penyuluhan lebih partisipatif, dengan menggunakan demplot atau diskusi kelompok terfokus; dan (10) dibandingkan dengan penyuluh swasta, penyuluh pemerintah lebih digugu dan ditiru petani, terutama dalam SLPHT, legowo dan muatan informasi dari pemerintah (dinas pertanian). Artinya, dari 21 indikator yang ditanyakan kepada responden, hanya 13 (61,90%) idikator yang menjanjikan kekuatan. Sedangkan indikator yang cenderung kuat adalah informasi yang disampaikan lebih beragam (karena beragamnya program pemerintah), informasi lebih sesuai (terutama untuk petani padi), para penyuluh lebih terbuka (terutama untuk THL), semakin mengedepankan diskusi dan semakin jelas arah pembinaan kepada kelompoktaninya (terutama terkait dengan SLPHT, SLPTT).
Tebel 4.6 Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh Pengakuan masyarakat Tingkat pengatehuan Tingkat pendidikan Umur Kunjungan ke lapangan Kemudahan dihubungi Penguasaan informasi Keragaman informasi Kesesuaian informasi Keterbukaan Tingkat perhatian Kompetensi dan spesifikasi Pemilikan HP/telepon Kecepatan pelayanan Pemilikan kantor Sumber informasi Penggunaan metode diskusi Penggunaan metode demplot Adopsi penelitian partisipatif Pembinaan kelompoktani Tingkat digugu/ditiru petani Total
1 18 23 27 10 9 3 4 11 11 16 19 0 28 12 27 16 15 16 0 15 13 304
Derajat 2 4 5 1 0 6 3 12 15 12 10 5 4 2 12 0 7 13 1 4 13 16 145
3 9 3 3 21 16 25 15 5 8 5 7 27 1 7 4 8 3 14 27 3 2 202
Keterangan: (1) Kuat; (2) Sedang; (3) Lemah; N = Narasumber
36
∑N 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 651
Persen Derajat ∑% 1 2 3 58.06 12.90 29.03 100 74.19 16.13 9.68 100 87.10 3.23 9.68 100 32.26 0.00 67.74 100 29.03 19.35 51.61 100 9.68 9.68 80.65 100 12.90 38.71 48.39 100 35.48 48.39 16.13 100 35.48 38.71 25.81 100 51.61 32.26 16.13 100 61.29 16.13 22.58 100 0.00 12.90 87.10 100 90.32 6.45 3.23 100 38.71 38.71 22.58 100 87.10 0.00 12.90 100 51.61 22.58 25.81 100 48.39 41.94 9.68 100 51.61 3.23 45.16 100 0.00 12.90 87.10 100 48.39 41.94 9.68 100 41.94 51.61 6.45 100 46.70 22.27 31.03 100
Hasil diskusi dengan penyuluh dan wawancara dengan para petani di Kecamatan Cililin mengungkap bahwa kelemahan penyuluh meliputi 8 (38,10%) dari 21 indikator yang dianalisis. Beberapa indikator yang menampilkan kinerja yang sangat lemah adalah: (1) jarang ke lapangan (mengunjungi petani), bahkan berkembang istilah penyuluh hanya kelapangan kalau ada proyek; (2) para penyuluh sulit dihubungi (dalam kontek komunikasi tatap muka) oleh para petani, terutama pada saat petani mau berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapinya; (3) sebagian besar penyuluh sering berperan ganda, sebagai PPL dan sebagai perpanjangan tangan perusahaan sarana produksi swasta (merangkap formulator); dan (4) para penyuluh masih lemah dalam menerapkan pendekatan penelitian partisipatif, baik dengan petani maupun dengan lembaga penelitian. Beberapa faktor yang cenderung lemah adalah penyuluh minim inormasi, informasi yang disampaikan cenderung monoton dan kurang beragam (intruksional dari dinas teknis), iformasi yang disampaikan kurang sesuai dengan kebutuhan petani, dan pelayanannya lambat. Selain kekuatan dan kelemahan, penyuluh juga memiliki peluang dan ancaman. Beberapa peluang yang terungkap dari hasil penelitian (Tabel 4.7) adalah: (1) penggunaan HP di masyarakat (dikalangan petani) semakin tinggi; (2) akses dan penggunaan TV sudah sangat tinggi; (3) penggunaan radio juga relatif masih tinggi; (4) akses dan aplikasi internet semakin meluas ke pedesaan; (5) penggunaan buku-buku juga semakin berkembang dengan adanya perpustakaan desa dan perpustakaan keliling; (6) akses dan penggunaan koran semakin baik dengan semakin banyaknya media cetak; (7) berkembangnya kemitraan petani dengan perusahaan melalui program CSR; (8) banyaknya suber informasi (baik perorangan, organisasi pemberdaya; (9) media cetak maupun elektronik); dan (10) berkembangnya kolaborasi antar pelaku penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat. Secara umum, peluang pengembangan penyuluh meliputi 10 (50%) dari keseluruhan indikator peluang dan ancaman yang dianalisis. Peluang lainnya adalah diberlakukannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, adanya upaya revitalisasi sumberdaya dan kelembagaan penyuluhan, bergesernya paradigma penyuluhan ke arah pemberdayaan dan keberlanjutan, banyaknya program pemberdayaan dari pemerintah maupun perusahaan, dan sebagainya. Selain peluang, pada Tabel 4.7 juga terlihat beberapa ancaman serius pada penyuluh dan kelembagaannya, seperti: (1) petani semakin pamrih, sehingga hanya mau datang kalau ada sesuatu (amplop atau iming-iming); (2) ada rivalitas antar penyuluh pemerintah, swasta (termasuk pendamping), dan swadaya, dalam menjalankan perannya di lapangan; (3) kepercayaan (trust) petani kepada PPL lemah dibandingkan kepada pendamping atau formulator; (4) cara penyuluhan formulator lebih menarik; (5) formulator yang didukung moda dan fasilitas lebih dekat dengan petani; (6) jumlah formulator (penyuluh swasta) semakin meningkat, begitu juga para pendamping masyarakat yang menggerakan berbagai program pembangunan; (7) para formulator dan pendamping lebih intensif bersentuhan dengan petani; (8) terjadi monopoli informasi oleh sumber informasi tertentu; (9) terjadinya pengendalian PPL oleh perusahaan, sehingga peran penyuluh bergeser menjadi perpanjangan tangan atau agent perusahaan (formulator); (10) lemahnya kerjasama antar pelaku penyuluhan; dan (11) meningkatnya peran formulator dan pendamping, terutama berkaitan dengan banyaknya program pemberdayaan. Ancaman meliputi 50% dari keseluruhan peluang dan ancaman. Ancaman lainnya adalah berkembangnya teknologi komunikasi dan
37
informasi (ICT), menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan, dan sebagainya. Secara kelembagaan, ancaman penyuluhan yang sejatinya datang dari kebijakan pemerintah dalam kerangka otonomi daerah. Ada kecenderungan, otonomi daerah meminggirkan peran lembaga-lembaga yang tidak memberikan kontribusi ekonomi secara nyata, termasuk kelembagaan penyuluhan. Implikasinya, bukan hanya perhatian yang melemah tetapi juga anggaran dan pengembangan kelembagaan, terutama bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia penyuluh. Sebagai catatan, perekrutan THL yang gencar dilakukan sejatinya bukan kebijakan daerah, tetapi kebijakan pusat (Departemen Pertanian). Namun demikian, kebijakan daerah juga memberi sinyal positif, diantaranya adalah diarusutamakannya program satu desa satu penyuluh (one village one extension agent).
Tebel 4.7 Peluang dan Ancaman Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Peluang dan Ancaman Penyuluhan
Derajat 1 2 Tingkakat pamrih petani 18 8 Rivalitas antar penyuluh 29 2 Trust petani ke PPL 23 2 Daya tarik metode formulator 22 4 Kedekatan petani-formulator 28 0 Jumlah formulator meningkat 19 8 Kontak formulator-petani 24 4 Penggunaan HP 29 2 Penggunaan TV 24 0 Penggunaan radio 27 4 Penggunaan internet 30 0 Penggunaan buku-buku 24 0 Penggunaan koran 25 2 Program kemitraan petani (CSR) 30 1 Banyaknya suber informasi 19 7 Berkembangnya kolaborasi 30 1 Monopoli informasi oleh media 29 2 Pengendalian PPL oleh korporate 30 1 Koordinasi antar penyuluh 29 2 Peran formulator/ pendamping 28 0 Total 517 50
∑N
3 5 31 0 31 6 31 5 31 3 31 4 31 3 31 0 31 7 31 0 31 1 31 7 31 4 31 0 31 5 31 0 31 0 31 0 31 0 31 3 31 53 620
Keterangan: (1) Tinggi; (2) Sedang; dan (3) Rendah; N = Narasumber
38
Persen Derajat 1 2 3 58.06 25.81 16.13 93.55 6.45 0.00 19.35 6.45 74.19 70.97 12.90 16.13 90.32 0.00 9.68 61.29 25.81 12.90 77.42 12.90 9.68 93.55 6.45 0.00 77.42 0.00 22.58 87.10 12.90 0.00 96.77 0.00 3.23 77.42 0.00 22.58 80.65 6.45 12.90 96.77 3.23 0.00 61.29 22.58 16.13 96.77 3.23 0.00 93.55 6.45 0.00 96.77 3.23 0.00 93.55 6.45 0.00 90.32 0.00 9.68 83.39 8.06 8.55
∑% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
4.3
Peran Penyuluh
Penyuluh, menurut undang-undang penyuluhan terdiri dari penyuluh pemerintah (baik yang PNS maupun THL), penyuluh swasta maupun penyuluh swadaya. Meskipun pelabelan masyarakat terhadap pelaku penyuluhan masih tertuju pada penyuluh pemerintah (PNS), namun faktanya ada penyuluh swastadan penyuluh swadaya. Siapa yang dimaksud penyuluh swasta? tidak lain adalah penyuluh yang bernaung dibawah perusahaan swasta atau yang oleh para petani lebih sering disebut formulator atau penjual sarana produksi pertanian. Sedangkan penyuluh swadaya adalah penyuluh yang bergerak secara mandiri, baik perorangan maupun lembaga swadaya. Siapa saja mereka itu? Adalah tokoh tani, kontak tani, akademisi yang bergerak secara personal maupun kelembagaan, lembaga bantuan, asisten sosial, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau lembaga advokasi masyarakat petani. Selain penyuluh-penyuluh di atas, terdapat juga pendamping atau fasilitator masyarakat (social assistance). Mereka pada umumnya bekerja hanya untuk beberapa bulan dan bernaung di bawah mbaga le tertentu yang menggerakan dan mengpoperasikan pemberdayaan. Biasanya, kehadirannya berkaitan dengan digulirkannya suatu proyek. Misalnya, program pemberdayaan masyarakat (baik pada KUT, KKP, P4K, P2KP, PUAP, PPK IPM, PNPM, dan sebagainya). Pendamping masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Meski digaji oleh pihak tertentu dari dana proyek, namun sebagiannya lebih mengakar pada masyarakat. Sebagai contoh pada program pendampingan dalam rangka penguatan masyarakat untuk konservasi, pemberdayaan kelompok tani, pemberdayaan perhimpunan petani pemakai air dan sebagainya. Berkaitan dengan berbagai aktivitas sosial ekonomi dan pembangunan pada umumnya di pedesaan, eksistensi penyuluh sejatinya cukup banyak dan bervariasi. Selain penyuluh pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan, juga terdapat penyuluh pengairan (termasuk ulu-ulu), penyuluh koperasi, penyuluh kesehatan, penyuluh KB (keluarga berencana), penyuluh usaha kecil dan menengah, penyuluh keagamaan, dan penyuluh hukum. Ironisnya, keragamannya tidak pernah sejalan, sehingga tidak terwujud integrasi dan sinkronisasi. Mereka bernaung dalam lembaga yang bervariasi dan bekerja secara sendiri-sendiri. Secara struktural, pemerintah kecamatan sendiri tidak pernah berinisiatif mensinergikan mereka. Padahal pertanian bukanlah sektor yang berdiri sendiri. Berbeda dengan para penyuluh pemerintah (PPL lama) dan swasta, para pendamping dan THL bekerja dengan metode yang lebih ramah terhadap lingkungan (pertanian berkelanjutan), lebih berparadigma pemberdayaan dan partisipatif. Hal ini terlihat dari proses-proses kerja yang mereka terapkan yang lebih mengacu pada model pemberdayaan masyarakat (participatory appraisal). Seperti halnya THL, para pendamping umumnya masih berusia muda, sehingga masih memiliki motivasi dan mobilitas kerja yang lebih tinggi. Namun demikian, seperti halnya penyuluh dan tokoh tani, tidak sedikit pendamping masyarakat yang bias orientasi dan berperan layaknya para perekayasa sosial (social enginnering).
39
Pada kenyataannya, di Kecamatan Cililin, peran ketiga penyuluh sebagaimana diharapkan undang-undang penyuluhan, belum berjalan efektif. Sebagai pelaku lama, meski belum sejalan dengan peran dan fungsinya, namun penyuluh pemerintah lebih dikenal oleh masyarakat. Sedangkan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, meski peran dan fungsinya semakin meningkat, namun belum dikenal (disebut) sebagai penyuluh oleh para petani. Padahal, diakui oleh Uteng (koordinator PPL Kecamatan Cililin) bahwa “keberadaan formulator telah membantu menguatkan kinerja PPL, baik dalam permodalan kerja, fasilitas maupun materi penyuluhan” bahkan “melalui demplot-demplot benih unggul baru, penggunaan obat-obatan atau pupuk baru, turut meningkatkan pengetahuan dan intensitas penyuluhan kepada para petani”. Namun sejatinya posisi penyuluh tidak lebih sebagai alat pengondisian dan pengendalian petani untuk kepentingan promosi atau demplot perusahaan. Peran PPL (terutama yang berusia tua) lebih sebagai informan atau diseminator (orang yang menginformasikan atau mendiseminasikan) informasi-informasi pertanian atau kebijakan dari atas (dari pemerintah kabupaten, provinsi atau pusat). Kecenderungannya, dalam kerjasama dengan formulator (perusahaan swasta) atau pendamping masyarakat pun, para PPL ini hanya mendampingi dan memobilisasi para petani. Itu pun hanya dalam tahap pelaksanaan, tahap sosialisasi dan demonstarasi kepada masyarakat. Paling “banter” berperan dalam pendistribusian CBN (cadangan benih nasional) ke tiap-tiap kelompok tani atau ke tiap-tiap desa. Sedangkan pada tahapan perencanaan, monitoring evaluasi dan pemanfaatan hasil, para PPL jarang sekali dilibatkan. Peran nyata penyuluh dapat dikatakan sudah berhasil dalam transfer teknologi konvensional dan merubah perilaku petani menjadi modern (menerapkan teknologi). Namun belum banyak berhasil dalam memberdayakan kelompok tani, menguatkan lembaga pemasaran dan pengolahan hasil. Hingga sekarang, kelompok tani belum banyak yang dinamis, apalagi berperan sebagai sokoguru anggotanya. Selain tidak memiliki perencanaan program, juga banyak yang tidak memiliki struktur yang jelas. Pemberdayaan kelompok tani belum diikuti dengan upaya regenerasi dan revitalisasi. Selama ini kelompok tani hanya dijadikan sebagai media untuk penyebaran informasi, pendistrubusian benih, alat mobilisasi bagi sosialisasi input luar, dan prasyarat bagi pengucuran dan penyelenggaraan program. Padahal, kelompoktani hendaknya menjadi sentral bagi para petani dan penyuluh dalam mengembangkan ilmu pengatahuan dan keterampilannya, serta menjadi laboratirum dalam mengembangkan kemampuan dan usahanya. Selain hasil diskusi terfokus, hasil survey (Tabel 4.8) menguatkan bahwa dari 26 indikator yang diidentifikasi sebagai peran penyuluh, hanya delapan (30,77%) indikator peran yang menampilkan kinerja tinggi, meliputi: (1) (2)
Peran penyuluh sebagai sumber informasi, artinya penyuluh masih dipandan sebagai sumber informasi oleh para petani (terutama petani padi); Peran penyuluh sebagai penyedia benih unggul dan pupuk bersubsidi atau sarana produksi pertanian. Hingga kini penyuluh masih diperankan dalam pendistribusian bantuan sarana produksi bersubsidi;
40
(3)
(4) (5) (6) (7) (8)
Peran penyuluh dalam penyelenggaraan demonstrasi plot (demplot). Demplot masih dipandang sebagai pendekatan yang positif oleh petani, baik yang dilakukan secara mandiri maupun mengerjakan yang formulator; Peran penyuluh dalam mengembangkan SRI (sudah ada, belum signifikan); Peran penyuluh dalam memotivasi keamanan pangan masyarakat; Peran penyuluh dalam mendorong petani berusaha lebih baik; Peran penyuluh dalam membantu pengendalian OPT; dan Peran penyuluh dalam mengunjungi petani secara rutin.
Tebel 4.8 Peran Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Derajat Peran ∑N 1 2 3 1 Sumber informasi 20 9 2 31 2 Penyedia input bersubsidi 17 7 7 31 3 Penyedia obat OPT 13 4 14 31 4 Penyedia teknologi baru 6 3 22 31 5 Inisiator diskusi rutin di desa 7 20 4 31 6 Inisiator pertemuan kelompok 11 12 8 31 7 Mengadakan demplot 16 9 6 31 8 Fasilitasi petani-formulator 6 7 18 31 9 Motivator pengrajin 4 3 24 31 10 Fasilitator petani-sumber kredit 4 4 23 31 11 Motivator kegiatan kelompok 13 12 6 31 12 Mengembangkan SRI 16 8 7 31 13 Menyelenggarakan SLPHT 1 6 24 31 14 Mengatur waktu tanam 3 7 21 31 15 Sumber informasi pasar 1 1 29 31 16 Pendamping petani 7 16 8 31 17 Mentautkan kemitraan 3 4 24 31 18 Memberikan pelatihan 15 7 9 31 19 Motivator keamanan pangan 20 10 1 31 20 Motivator bertani lebih baik 19 12 0 31 21 Motor pengendalian OPT 22 7 2 31 22 Mengunjungi petani (rutin) 18 12 1 31 23 Mediasi petani dengan pasar 1 2 28 31 24 Mediasi petani-industri 0 1 30 31 25 Mediasi petani daerah lain 3 4 24 31 26 Fasilitasi sekolah lapang iklim 0 0 31 31 Total 246 187 373 806
No.
Peran Penyuluh
Persen Derajat Peran 1 2 3 64.52 29.03 6.45 54.84 22.58 22.58 41.94 12.90 45.16 19.35 9.68 70.97 22.58 64.52 12.90 35.48 38.71 25.81 51.61 29.03 19.35 19.35 22.58 58.06 12.90 9.68 77.42 12.90 12.90 74.19 41.94 38.71 19.35 22.58 25.81 51.61 3.23 19.35 77.42 9.68 22.58 67.74 3.23 3.23 93.55 22.58 51.61 25.81 9.68 12.90 77.42 48.39 22.58 29.03 64.52 32.26 3.23 61.29 38.71 0.00 70.97 22.58 6.45 58.06 38.71 3.23 3.23 6.45 90.32 0.00 3.23 96.77 9.68 12.90 77.42 0.00 0.00 100 30.52 23.20 46.28
Keterangan: (1) Berperan; (2) Kadang-kadang; dan (3) Tidak Berperan; N = Narasumber
41
∑% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Keadaan tersebut menegaskan bahwa peran penyuluh dalam pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani di pedesaan masih menampilkan kinerja yang lemah. Bahkan, secara umum, kinerja peran penyuluh hanya 30,52% yang menampilkan kinerja kuat, sedangkan hampir separuhnya (46,28%) menampilkan kinerja sangat lemah. Artinya, transformasi peran penyuluh dari agen perubah perilaku ke fasilitator, motivator, inisiator, mediator dan inovator belum berjalan efektif. Kegiatan-kegiatannya pun masih tergantung pada pemerintah atau perusahaan yang sedang promosi. Lemahnya peran penyuluh pemerintah dapat dimaknai dari dua sisi, pertama para petani semakin mandiri dalam mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkannya dan kedua petani memiliki sumber informasi yang lebih baik pelayanannya daripada para penyuluh pemerintah maupun penyuluh swasta. Lemahnya peran penyuluh tampak signifikan pada indikator sebagai berikut: (1) penyediaan teknologi atau inovasi baru, para penyuluh yang umumnya sudah tua dan yang muda kurang berpengalaman kurang inovatif; (2) tidak menjadi pihak yang mempertemukan petani dengan formulator, justru menjadi pengendali petani; (3) belum mampu menjadi motivator bagi para pengrajin; (4) belum mampu memfasilitasi petani dengan sumber kredit; (5) dalam SLPHT masih tergantung pada program pemerintah; (6) belum mampu mengatur waktu tanam, baik karena keterbatasan tenaga kerja, keragaman orientasi usaha petani, maupun karena keterbatasan pasokan air dari bendung dan jaringan irigasi; (7) belum mampu berperan sebagai sumber informasi pasar; (8) penyuluh belum mampu mentautkan kemitraan petani dengan pihak produktif lainnya; (9) penyuluh juga belum mampu memediasi petani dengan pasar; (10) belum mampu memediasi petani dengan industri; (11) belum mampu memediasi petani dengan petani daerah lainnya; dan (12) belum mampu menyelenggarakan penyuluhan iklim, apalagi sekolah lapang iklim.
4.4
Integrasi dan Koordinasi Penyuluh
Undang-undang Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2006 menegaskan bahwa pelaku penyuluhan adalah penyuluh pemerintah, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Tenaga harian lepas (THL) termasuk penyuluh pemerintah, sedangkan tenaga pendamping (fasilitator) termasuk penyuluh swasta (dibayar oleh perusahaan swasta atau pengelola proyek pendampingan). Termasuk penyuluh pemerintah adalah penyuluh keluarga berencana (KB), penyuluh keagamaan (Depag), penyuluh koperasi dan usaha kecil menengah (KUKM) dan penyuluh kesehatan (Pukes). Sedangkan penyuluh swadaya meliputi tokoh tani (KTNA), asisten atau pekerja sosial (LSM atau lembaga advokasi), tokoh agama, partisipan sosial dan penggerak sosial. Pemberdayaan yang dilakukan oleh perguruan tinggi ada yang bersifat swadaya dan ada yang bekerjasama dengan pemerintah atau swasta (multistatus). Idealnya, para pelaku penyuluhan dapat bekerjasama dan bekerja bersama dalam satu wilayah kerja yang sama dengan sentral koordinasi berada di BPP. Namun faktanya berbicara lain, para penyuluh berjalan sendiri-sendiri berdasarkan garis
42
intruksi dari masing-masing dinas atau sektor yang menaunginya. Ironisnya, para penyuluh yang bernaung dalam lembaga pemerintah justru jauh lebih sulit bekerjasama dibanding dengan penyuluh lainnya. Misalnya, penyuluh pertanian dengan penyuluh KUKM, penyuluh KB, penyuluh kesehatan dan penyuluh keagamaan. Meskipun mereka sama-sama berada di wilayah kerja kecamatan, namun koordinasi dan kolaborasinya sangat lemah. Padahal, dalam kerangka UU PPPK Nomor 16 Tahun 2006 ditegaskan bahwa agribisnis sebagai suatu sistem merupakan paradigma yang harus dijadikan dasar oleh semua pelaku penyuluhan dalam melaksanakan penyuluhan. Artinya, semua penyuluh yang bergerak dari hulu sampai hilir, dari on-farm sampai offfarm merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hasil diskusi terfokus dan survey (Tabel 4.9) mengungkap bahwa integrasi dan koordinasi peran yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta hanya kuat dan berjalan dengan penyuluh swadaya (kelompok tani). Sedangkan koordinasi dengan yang lainnya tidak berjalan, baik penyuluh pemerintah dengan penyuluh lainnya maupun penyuluh lainnya dengan penyuluh pemerintah. Koordinasi antar penyuluh pemerintah dengan penyuluh swasta (formulator) relatif lebih nampak meskipun sama-sama lemah kinerjanya. Hal ini terjadi karena para penyuluh swasta banyak melibatkan PPL pada tahap pengorganisasian petani, namun tidak dilibatkan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Ironisnya, koordinasi antar penyuluh pemerintah (seperti penyuluh pertanian, penyuluh KB, penyuluh KUKM, penyuluh agama, penyuluh kesehatan) jauh lebih parah. Padahal, semuanya berada dalam koordinasi dan wilayah kerja yang sama.
Tebel 4.9
No. 1 2 3 4 5
Integrasi dan Koordinasi Antara Penyuluh Pertanian (Baik Penyuluh Pemerintah, Penyuluh Swasta maupun Penyuluh Swadaya) di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. Koordinasi Antar Penyuluh
Koordinasi dengan kelompok tani Koordinasi dengan penyuluh KB Koordinasi dengan formulator Koordinasi dengan perguruan tinggi Koordinasi dengan LSM atau organisasi tani Total
Derajat Koordinasi 1 2 3
Total Res
Persen Derajat Koordinasi 1 2 3
Total Persen
24
0
7
31
77.42 0.00
22.58
100
2
0
29
31
6.45 0.00
93.55
100
11
0
20
31
35.48 0.00
64.52
100
3
0
28
31
9.68 0.00
90.32
100
0 40
0 0
31 115
31 155
0.00 0.00 25.81 0.00
100.00 74.19
100 100
Keterangan: (1) Ada Koordinasi; (2) Kadang-kadang; dan (3) Tidak Ada; N = Narasumber
Koordinasi penyuluh pemerintah maupun yang lainnya dengan LSM atau organisasi tani tidak terjadi, hal ini disebabkan oleh dua alasan, yakni tidak adanya LSM atau organisasi tani di Kecamatan Cililin dan hingga kini LSM/organisasi tani 43
banyak tidak sejalan (bahkan terkesan alergi) bekerja sama dengan lembaga penyuluhan pemerintah maupun swasta. Rendahnya kinerja koordinasi antar pelaku penyuluhan ini sejatinya tidak perlu terjadi, apalagi di zaman yang serba bermedia seperti sekarang ini. Para penyuluh yang menggerakan SLPHT atau dalam mendistribusikan benih unggul dapat dengan mudah berkoordinasi dengan para pengurus kelompoktani dan pemerintah desa dengan hanya menggunakan telepon genggam. Koordinasi dengan kelompok tani berjalan, karena setiap tahun diadakan satu sampai tiga kali pertemuan kelompok tani sekecamatan, bahkan bisa lebih jika ada program (seperti PUAP baru-baru ini). Koordinasi lain yang tergolong berjalan adalah yang dibangun oleh para penyuluh dengan pemerintahan desa dan pengelola air irigasi (ulu-ulu). Koordinasi internal penyuluh, baik dengan sesama PPL (pertemuan rutin) dilaksanakan dua kali sebulan. Sedangkan koordinasi dengan dinas terkait di tingkat kabupaten dilaksanakan satu sampai tiga kali per bulan. Pertemuan intensif dilakukan jika ada program, seperti program SLPHT, PNPM dan sebagainya. Sedangkan koordinasi penyuluh dengan kelembagaan pendukung, seperti pasar dan industri pengolahan belum berjalan sama sekali. Memang ada musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes) di tingkat desa dan kecamatan yang memungkinkan semua pihak bertemu, namun ruang dialog otonom tersebut hanya mampu menjadi wadah bagi integrasi masukan-masukan, belum sampai pada efektivitas koordinasi dan kerjasama kelembagaan di lapangan. Koordinasi dan kerjasama PPL Kecamatan Cililin dengan PPL daerah lain dilakukan dalam bentuk studi banding kecil-kecilan ke kecamatan lain di Kabupaten Bandung Barat atau Kabupaten Bandung. Komunikasi juga dijalin dengan penyuluh di kabupaten lain, baik di Jawa Barat maupun dengan luar Jawa Barat, dengan menggunakan SMS. Koordinasi dengan petani dan dengan PPL di wilayah kerja dan dengan wilayah kerja lain meng alami peningkatan jika berhadapan dengan permasalahan massal, seperti serangan hama penyakit parah, banjir dan kekeringan. Jika harga komoditas (terutama padi) mengalami penurunan yang tajam, maka koordinasi juga dilakukan dengan bandar atau tengkulak-tengkulak untuk mengetahui perkembangan harga. Persoalannya, karena para bandar atau tengkulak sibuk, mereka sulit untuk hadir dalam pertemuan atau rapat-rapat, baik di tingkat desa maupun kecamatan. Secara umum, koordinasi antar penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya masih menampilkan kinerja yang lemah. Belum adanya wadah atau ruan dialog otonom (seperti Badan Pelaksana Penyuluhan) di tingkat kabupaten merupakan salah satu penyebabnya. Adanya peningkatan intensitas koordinasi antar pelaku penyuluhan selama ini lebih didorong oleh adanya program (proyek) multi sektor, seperti PPKIPM, PNPM dan PUAP. Sehingga koordinasi tersebut masih bersifat sementara atau semu. Hal serupa juga terjadi antara penyuluh pemerintah, baik penyuluh pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, KUKM, KB maupun keagamaan.
44
4.5
Faktor-Faktor yang Cenderung Mempengaruhi Koordinasi dan Integrasi Antar Penyuluh
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan diskusi terafokus dengan penyuluh, diketahui bahwa lemahnya koordinasi antar penyuluh pemerintah dengan penyuluh pemerintah lainnya, dengan penyuluh swasta dan dengan penyuluh swadaya terjadi karena banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang cenderung mempengaruhi lemah atau tidak efektifnya koordinasi dan integrasi adalah: 1)
2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
11)
Perbedaan orientasi antar penyuluh, yakni penyuluh pemerintah lebih berorientasi tugas (perintah dari atas/instruksi), penyuluh swasta lebih berorientasi pada profit (keuntungan) dari penjualan produk, dan penyuluh swadaya lebih berorientasi pada kesukarelaan dan kesadaran; Semua pelaku penyuluhan belum m emahami paradigma penyuluhan sebagaimana digariskan dalam undang-undang penyuluhan; Masih tingginya ego sektoral dan ego institusi penyuluhan; Belum adanya wadah atau ruang dialog otonom yang dapat mewadahi dan menjadi ruang diskusi dan kerjasama antar penyuluh di tingkat kecamatan; Masih lemahnya penghargaan dari para pelaku penyuluhan terhadap sesama profesinya; Masih lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap prinsip pembangunan pertanian berparadigma agribisnis; Timpangnya pemilikan dan penguasaan fasilitas pendukung, inovasi dan modal operasi antara penyuluh swasta dengan penyuluh pemerintah dan swadaya; Umur penyuluh pertanian pemerintah yang rata-rata berusia tua juga menjadi hambatan berkoordinasi; Status kontrak penyuluh swasta dengan wilayah kerja yang berpindah-pindah menjadi hambatan bagi keberlanjutan kerjasama antar institusi penyuluhan; Belum adanya aturan main yang jelas dalam kerjasama dan integrasi peran antar penyuluh, karena faktanya kegiatan (proyek) tidak mudah begitu saja dikerjasamakan; dan Rendahnya partisipasi kelembagaan dalam pertemuan atau kegiatan (pamrih), bahkan ada kecenderungan perilaku meminta bagian apabila satu kelompok penyuluh dilibatkan dalam kegiatan (program atau proyek).
Namun demikian, di sisi kelemahannya, beberapa faktor internal cenderung menampilkan kekuatan (positif) adalah: 1) 2) 3) 4)
Adanya pertemuan rutin di tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan, baik pertemuan penyuluh maupun pertemuan para pelaku pembangunan pertanian; Relatif tingginya tingkat pendidikan para penyuluh, pada umumnya para penyuluh sudah berpendidikan sarjana; Pemilikan dan penguasaan media komunikasi (terutama telepon genggam) oleh para penyuluh maupun masyarakat semakin meningkat; Adanya kantor balai penyuluhan pertanian di tingkat kecamatan;
45
5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Sudah terjalin kerjasama antar penyuluh di lapangan, terutama dalam pelaksanaan demplot; Terjadinya regenerasi (peremajaan) tenaga penyuluhan di tingkat kecamatan, dengan arah pengembangan satu desa satu orang penyuluh; Meningkatnya jumlah tenaga pendamping atau fasilitator pemberdayaan masyarakat; Intensifnya kontak antar penyuluh dalam pertemuan persiapan dan sinkronisasi program-program pemberdayaan di tingkat kecamatan; Adanya pelatihan fasilitasi dan pengembangan jejaring komunikasi melalui aplikasi internet; Adanya upaya penilaian kinerja institusi melalui sistem crosceck antar institusi dalam rangka mengetahui kompetensi; dan Aktifnya kembali musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes), baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan.
Sedangkan faktor eksternal yang cenderung mempengaruhi lemah atau tidak efektifnya koordinasi antar penyuluh adalah: 1) 2)
3) 4) 5) 6)
7) 8)
9)
10)
Belum terintegrasinya skema pembangunan agribisnis di tingkat kecamatan, baik dalam satu sektor maupun antar sektor; Masih parsialnya pemahaman para pemimpin tingkat kecamatan dan desa terhadap kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan penyuluhan, sehingga kurang memberi terobosan dan alternatif solusi bagi efektivitas koordinasi; Lemahnya fasilitas untuk mobilitas fisik para penyuluh, baik sarana transportasi maupun perhubungan (terutama kondisi jalan desa-desa yang rusak berat); Tidak berkelanjutannya program-program (proyek) pembangunan pertanian, sehingga jalinan kerjasama tidak berkelanjutan pula; Belum konsistennya penerapan kebijakan pembangunan pertanian, agribisnis dan penyuluhan oleh pemerintah daerah; Masih rumitnya jalur birokrasi, sehingga dipandang menghambat aktivitas penyuluh swasta, akibatnya banyak program yang dilakukan dengan cara memotong jalur atau bergerak sendiri-sendiri; Masih adanya sikap tidak percaya dari pihak swasta terhadap pemerintah atau dari pihak swadaya terhadap pihak swasta dan pemerintah; Belum memasyarakatnya budaya kerjasama positif dalam pengelolaan program atau proyek pembangunan, sehingga yang terjadi bukan “bagaimana bersamasama untuk memberdayakan petani, tetapi bagaimana bersama-sama memaksimalkan keuntungan dan memperdaya para petani; Kondisi georafis Cililin yang berbukit dan bergunung diakui oleh para penyuluh dan masyarakat mempersulit mobilitas para pelaku penyuluhan, terutama para penyuluh swadaya setempat; dan Belum intensif dan efektifnya pertemuan para pelaku pembangunan pertanian di pedesaan. Selama ini, pertemuan di tingkat kecamatan maupun desa hanya dilakukan apabila ada program musyawarah pembangunan desa.
46
Berdasarkan hasil diskusi mendalam dan diskusi terfokus terungkap bahwa sisi ekternal juga memiliki beberapa peluang bagi terciptanya koordinasi dan integrasi, yakni: 1) 2)
3)
4)
5) 6)
7) 8)
Meningkatnya program pemberdayaan petani yang digulirkan oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten; Dikembangkannya metode penelitian partisipatif dan penyuluhan partisipatif, sehingga membuka peluang semua pihak untuk berpartisipasi, seperti dalam SLPHT, SLPTT, SLIklim dan sebagainya; Meningkatnya upaya pemberdayaan dan kemitraan yang digerakan oleh perusahaan melalui program corporate social responsibility (CSR) yang melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholders) di lapangan; Diarusutamakannya pembangunan pertanian berbasis agribisnis an d pemberdayaan pelaku-pelakuny, seperti pengembangan desa mandiri pangan, desa peradaban, desa terpadu mandiri, gerakan mandiri agribisnis, program usaha agribisnis pedesaan dan sebagainya; Diarusutamakannya pendekatan perencanaan dan pengelolaan partisipatif dalam pembangunan daerah; Diprogramkannya desa mandiri energi dan internetisasi pedesaan, serta modernisasi teknologi komunikasi pedesaan, sehingga akses terhadap media dan jejaring komunikasi di pedesaan semakin meningkat; Dibentuknya badan pelaksana penyuluhan pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanandi tingkat kabupaten; dan Meningkatnya partisipasi perusahaan BUMN/swasta dan swadaya dalam pemberdayaan petani.
Dibandingkan faktor eksternal, faktor internal memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kuat dan lemahnya koordinasi dan integrasi peran antara penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta. Kalaupun ada faktor eksternal yang paling utama adalah fasilitasi dari pemerintah, selebihnya akan ditentukan oleh kesadaran, kesempatan, kemauan dan kemampuan para pelaku penyuluhan itu sendiri. Regulasi bagi koordinasi memang perlu, tetapi kemandirian lebih layak untuk dikedepankan. Karena kemandirian merupakan bentuk keberdayaan. Kecenderungannya, sejalan dengan perkembangan teknologi dan revitalisasi kelembagaan penyuluhan, maka sudah saatnya penyuluhan digerakan oleh yang lebih muda, kreatif, inovatif dan berjejaring.
4.6
Strategi Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran
Meningkatkan integrasi dan koordinasi peran antara penyuluh pertanian pemerintah, swasta dan swadaya bukanlah pekerjaan mudah, apalagi selama ini eksistensinya bagaikan air dan minyak, ada dan beroperasi dalam satu wilayah kerja tetapi sulit untuk menyatu (terhalang pembatas yang kompleks). Artinya, membutuhkan strategi agar kalaupun sulit menyatu, minimal dapat berjalan lebih efektif. Mengacu pada pendekatan analisis sebagaimana dipaparkan dalam metodologi, maka strategi dirumuskan melalui SWOT analisis (Tabel 4.10).
47
Tabel 4.10 Matrik SWOT Analisis Strategi Peningkatan Efektivitas Integrasi dan Koordinasi Peran Antar Penyuluh di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat.
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan:
Kelemahan:
1. Adanya pertemuan rutin di kabupten & musrenbangdes. 2. Adanya revitalisasi SDM penyuluh (peremajaan PPL). 3. Jumlah penyuluh swasta dan pendamping meningkat 4. Pemilikan dan penguasaan media komunikasi (terutama HP) tinggi 5. Diterapkannya demplot, pelatihan & penelitian partisipatif 6. Ada program satu desa satu penyuluh 7. Ada kantor BPP di tingkat kecamatan (sedang direhab) 8. Sudah ada koordinasi antar penyuluh dalam perencanaan
1. Belum ada Badan Pelaksana Penyuluhan di kabupaten 2. Melemahnya semangat dan partisipasi penyuluh (pamrih dan karena semakin tua) 3. Perbedaan orientasi antar pelaku penyuluhan 4. Lemahnya pemahaman atas paradigma penyuluhan 5. Tingginya ego sektoral 6. Belum ada aturan main untuk kerjasama & koordinasi efektif 7. Belum ada wadah akomodatif di tingkat lokal 8. Timpangnya penguasaan sumberdaya
Peluang:
Satrategi A
Strategi B
1. Diarusutamakannya paradigma pemberdayaan, agribisnis dan pembangunan berkelanjutan 2. UU PPPK No.16 Tahun 2006 3. Membaiknya akses ke ICT, perguruan tinggi, LSM dsb 4. Meningkatnya program CSR (kemitraan dan pemberdayaan) 5. Meningkatnya program pelatihan partisipatif (SLPHT, SLPTT, SLI, dsb) 6. Meningkatnya program agribisnis dan pembangunan berbasis pedesaan 7. KBB baru terbentuk 8. Dikembangkan agribisnis berbasis komunitas
1. Jadikan BPP sebagai sekretariat bersama 2. Jadikan program CSR sebagai program penyuluhan bersama 3. Aktifkan musrenbang tingkat kecamatan dan desa sebagai forum koordinasi pengelolaan pembangunan pertanian 4. Tingkatkan inovasi, demplot, diskusi, pelatihan dan penelitian partisipatif di tingkat desa 5. Optimalkan penyuuh muda dan pemanfaatan ICT bagi efektivitas koordinasi 6. Sosialisasikan bahwa formulator, pendamping, PPL, tokoh tani adalah sama, yakni penyuuh
1. Jadikan UU PPPK sebagai dasar orientasi dan paradigma penyuluhan 2. Dirikan dan aktifkan badan pelaksana penyuluhan di kabupaten adalah amanat UU PPPK, juga sebagai wadah bagi penyuluh untuk menghasilkan kesepakatan bersama (aturan main) 3. Kembangkan kemitraan dan kolaborasi peran dan tugas antara pelaku penyuluhan
Ancaman:
Strategi C
Strategi D
1. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi petani 2. Melemahnya partisipasi (petani semakin pamrih) 3. Kelompoktani belum dinamis 4. Monopoli informasi oleh media dan pengendalian oleh swasta 5. Lemahnya perhatian pada sektor pertanian 6. Tingginya ketergantungan ke pemerintah pusat/provinsi 7. Rusaknya infrastruktur perhubungan (jalan desa) 8. Sebagian besar progam tidak berkelanjutan
1. Jadikan kelompok tani sebagai ruang dialog dan laboratorium pelatihan dan penelitian bersama 2. Tingkatkan kerja sama dengan pusat inovasi, lembaga penelitian, perusahaan dan perguruan tinggi bagi pengembangan program bersama yang berkelanjutan
1. Perankan pemerintah desa dan lembaga lokal (karang taruna, pesantren, dsb) sebagai motor penyuluhan dan pembangunan pertanian
48
Berdasarkan matrik SWOT analisis di atas, maka dapat dirumuskan tahapan strategi yang dapat diimplementasi untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan integrasi peran antara penyuluh sebagai berikut: 1.
Jadikan BPP sebagai sekretariat bersama, baik bagi penyuluh pemerintah, penyuuh swadaya maupun penyuluh swasta. Hal ini sudah dijelaskan di dalam UU PPPK No. 16 Tahun 2006.
2.
Jadikan program CSR sebagai perekat dan program penyuluhan bersama, dalam artian program yang digerakkan secara partisipatif dengan melibatkan pelakupelaku penyuluhan dan masyarakat.
3.
Aktifkan musrenbang tingkat kecamatan dan desa sebagai forum koordinasi pengelolaan pembangunan pertanian. Selama ini, musrenbang hanya dilakukan pada saat perencanaan program pem bangunan, sementara dalam pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi tidak dilakukan.
4.
Tingkatkan inovasi, demplot, diskusi, pelatihan dan penelitian partisipatif di tingkat desa. Pendekatan ini sangat memungkinkan, karena setiap desa menjadi wilayah kerja (minimal satu orang penyuluh satu desa).
5.
Optimalkan penyuluh muda dan pemanfaatan ICT bagi efektivitas koordinasi. Untuk beberapa hal, koordinasi dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dapat dilakukan, terutama ke penyuluh swadaya di tingkat desa yang infrastruktur dan transportasinya terhambat.
6.
Sosialisasikan bahwa formulator, pendamping, PPL, tokoh tani adalah sama, yakni penyuluh. Selama ini, penyuluh masih identik dengan PPL (penyuluh pemerintah), padahal menurut UU PPPK No. 16 Tahun 2006, termasuk juga formulator dan pendamping (penyuluh swasta), tokoh masyarakat teladan, lembaga swadaya dan perguruan tinggi (penyuluh swadaya).
7.
Jadikan UU PPPK sebagai dasar orientasi dan paradigma penyuluhan. Dijelaskan di dalam UU PPPK bahwa orientasi dan paradigma penyuluhan adalah memberdayakan petani yang lemah.
8.
Dirikan dan aktifkan badan pelaksana penyuluhan di kabupaten adalah amanat UU PPPK, juga sebagai wadah bagi penyuluh untuk menghasilkan kesepakatan bersama (aturan main). Ini penting, karena lembaga penyuluhan tetap membutuhkan payung yang jelas, baik bagi kepentingan regulasi maupun pengembangan SDM dan fasilitas pendukung (terutama inovasi).
9.
Kembangkan kemitraan dan kolaborasi peran dan tugas antara pel aku penyuluhan, sehinga dapat saling melengk api dan berbagi kelebihan sumberdaya, inovasi dan teknologi.
10.
Jadikan kelompok tani sebagai ruang dialog dan laboratorium pelatihan dan penelitian bersama.
11.
Tingkatkan kerja sama dengan pusat inovasi, lembaga penelitian, perusahaan dan perguruan tinggi bagi pengembangan program bersama yang berkelanjutan
12.
Perankan pemerintah desa dan lembaga lokal (karang taruna, pesantren, dsb) sebagai motor penyuluhan dan pembangunan pertanian
49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Penyuluh pemerintah lebih dikenal dan diakui oleh masyarakat, meskipun perannya masih belum bergeser dari agen perekayasa (change agent), perpanjangan tangan pemerintah atau swasta, difusi informasi dan teknologi budidaya modern (transfer of technology), ke arah fasilitasi, mediasi, inisiasi dan demokratisasi. Sebagai pelaku penyuluhan, formulator dan pendamping masyarakat, belum disebut sebagai penyuluh oleh masyarakat. Sebagai agen swasta, formulator masih dipandang sebagai penjual (sallesman) input produksi. Begitu juga tenaga pendamping, meskipun sudah disiapkan untuk berperan sebagai fasilitator, namun karena masa kerjanya singkat (kontrak), bias kepentingan proyek dan miskin pengalaman, maka belum disebut penyuluh oleh masyarakat. Secara umum, peran nyata penyuluh adalah sebagai sumber informasi, distributor benih bersubsidi, dan pendamping pengendalian OPT. Secara umum, peran penyuluh masih lemah dan belum terintegrasi. Dari 26 indikator peran penyuluh yang diidentifikasi, hanya 30,52% yang menampilkan kinerja relatif kuat, dan 46,28% lemah.
2.
Secara umum, koordinasi dan integrasi peran antar penyuluh pemerintah, antar penyuluh swasta, antar penyuluh swadaya, antara penyuluh pemerintah dengan penyuluh swasta, penyuluh pemerintah dengan penyuluh swadaya, dan antara penyuluh swasta dengan swadaya, tidak berjalan efektif. Secara spesifik, koordinasi yang relatif nyata, terjadi antara penyuluh pertanian (pemerintah maupun swasta) dengan penyuluh swadaya (tokoh tani). Koordinasi antar penyuluh pemerintah (PPL) dengan penyuluh swasta (formulator) hanya terlihat dalam pengorganisasian petani dan pelaksanaan demplot, namun tidak terlihat dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi peny uluhan. Sedangkan koordinasi antara PPL dengan tenaa pendamping (penyuluh swasta) hanya terlihat dalam perencanaan program.
3.
Lemahnya efektivitas koordinasi cenderung dipengaruhi oleh perbedaan orientasi penyuluh, lemahnya pemahaman para pelaku penyuluhan terhadap paradigma penyuluhan partisipatif, masih kuatnya ego sektoral, lemahnya daya dukung fasilitas dan ruang koordinasi, lemahnya sikap saling menghargaimempercayai antar penyuluh, lemahnya pemahaman terhadap konsep dan aplikasi pendekatan agribisnis, timpangnya penguasaan sumberdaya (modal dan inovasi), belum adanya kesepakatan (komitment) bersama pelaku penyuluhan, melemahnya keberdayaan (terutama kesadaran dan partisipasi) para penyuluh, belum teritegrasinya skema pendekatan agribisnis, masih parsialnya
50
pemahaman aparat kecamatan/desa terhadap peran-fungsi lembaga penyuluhan, masih sempitnya penyelenggaraan Musrenbangdes, tidak berkelanjutannya program-program (proyek) pembangunan pertanian, belum konsistennya penerapan kebijakan penyuluhan oleh pemerintah daerah, masih rumit dan tertutupnya jalur birokrasi, belum memasyarakatnya budaya kerjasama positif dalam pengelolaan program, dan belum intensifnya pertemuan para pelaku pembangunan pertanian di pedesaan. 4.
Peningkatan efektivitas koordinasi dan integrasi peran penyuluh dapat dilakukan melalui strategi: (1) jadikan BPP sebagai sekretariat bersama para penyuluh; 2) jadikan program CSR sebagai perekat, stimuli dan program penyuluhan bersama; 3) aktifkan musrenbang tingkat kecamatan dan desa sebagai forum koordinasi pengelolaan pembangunan pertanian; 4) tingkatkan inovasi, demplot, diskusi, pelatihan dan penelitian partisipatif di tingkat desa; 5) optimalkan penyuluh muda dan pemanfaatan ICT bagi efektivitas koordinasi; 6) sosialisasikan bahwa formulator, pendamping, PPL, tokoh tani adalah sama, yakni penyuluh; 7) jadikan UU PPPK No. 16 Tahun 2006 sebagai dasar orientasi dan paradigma penyuluhan; 8) dirikan dan aktifkan badan pelaksana penyuluhan di tingkat kabupaten a; 9) kembangkan kemitraan dan kolaborasi peran dan tugas antara pelaku penyuluhan; 10) jadikan kelompok tani sebagai ruang dialog dan laboratorium pelatihan dan penelitian bersama; 11) tingkatkan kerja sama dengan pusat inovasi, lembaga penelitian, perusahaan dan perguruan tinggi bagi pengembangan program bersama yang berkelanjutan; dan 12) perankan pemerintah desa dan lembaga lokal (karang taruna, pesantren, dsb) sebagai motor penyuluhan dan pembangunan pertanian.
5.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disarankan: 1.
Agar peran penyuluh lebih nyata dan sesuai amanah UU PPPK No.16 Tahun 2006, maka perlu dilakukan regenerasi penyuluh pemerintah, penyegaran (recharging) pemahaman para pelaku penyul uhan secara bersama, meningkatkan kegiatan yang melibatkan semua pelaku (seperti: sekolah lapang PHT, PTT, SRI, Iklim dan penelitian inovatif partisipatif), dan penyuluh harus proaktif memfasilitasi petani, bukan hanya memfasilitasi pemerintah atau perusahaan swasta.
2.
Koordinasi dan integrasi peran penyuluh akan terwujud apabila semua pelaku memahami pembangunan pertanian dan agribisnis sebagai sistem (kesatuan), para pelaku saling memahami peran dan posisi strategisnya, serta ada ruang yang memungkinkan semua pelaku dapat berinteraksi dan berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan. Untuk itu, aktifkan dan efektifkan relasi penyuluh, petani, peneliti, pengusaha dan perguruan tinggi.
51
3.
Peningkatan koordinasi antar penyuluh hendaknya dimulai dari yang paling memungkinkan, yakni aktifkan badan pelaksana penyuluhan di ingkat t kabupaten, jadikan BPP sebagai sekretariat bersama (basis koordinasi) dan kelompok tani sebagai basis fasilitasi, kembangkan musrenbandes ke arah pengelolaan bersama (bukan hanya untuk perencanaan), tingkatkan kegiatan pelatihan dan penelitian partisipatif (seperti SLPHT, SLPTT, SLIklim, SLSRI, SLKewirausahaan, SLSertifikasi, dan sebagainya) dan bangun kerjasama dengan BUMN/BUMS melalui CSR sebagai aksi untuk menguatkan institusi dari sisi sumberdaya inovasi dan finansial operasional.
52
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Bandung Barat. 2007. Rencana Strategis Kabupaten Bandung Barat. Bappeda, Bandung Barat Bromley, D. 1982. Land and Water Problems an Institutional Perspective. American Journal of Agricultural Economics. Volume 64, December 1982. Budiman, D. 1998. Implementasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dalam Meningkatkan Pendapatan Petani. Tesis: Program Pascasarjana Unpad. Bandung. Cees Leewis. 2004. Communication for Rural Innovation. Rethingking Agricultural Extension, Third Edition. Blackwell. Publishing LTD, UK Chamber, R. 2003. Membangun Desa dari Belakang. LP3ES, Jakarta. CYMMIT. 1993. The Adoption of Agricultural Technology: A Guide for Survey Design. Departemen Pertanian. 2006. Kebijaksanaan Nasional Penyelenggaran Penyuluhan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Grootaert, C. 1997. Social Capital: The Missing Link? Environmentally and Socially Sustainable Development. The World Bank Harun, R. 2005. Prinsip-Prinsip Dasar Komunikasi untuk Koordinasi. Makalah Pelatihan Pendamping Pemberdayaan P3A. Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Bandung. Imang Hasansulama. 2005. Petani dan Penyuluh Manusia Cerdas. Makalah Orasi Ilmiah. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Unpad. Kartasasmita, G. 2005. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi. Makalah Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Unibraw, Malang. Kurnia, G. 2004. Petani: Pejuang yang Terpinggirkan. Makalah Pengukuhan Guru Besar. Unpad, Bandung. Kurnia, G. 1999. Triangulasi: Penyuluh, Petani dan Peneliti. Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Bandung. Koentjaraningrat. 1982. Antropologi Budaya. Rineka Cipta, Jakarta. Margono Slamet. 1998. Reformasi Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta
53
Mulyana, D dan J. Rakhmat. 1993. Komunikasi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya, Bandung. Myerson, G. 2003. Heidegar, Habermas dan Telekom Genggam. Jendela, Yogyakarta Padmanagara, S. 2006. Memberdayakan Penyuluh Pertanian. Makalah Pengukuhan Doktor Honoris Causa. Unpad, Bandung.
Orasi
Rivera. 1998. Making The Link: Agriculture Exstension, Riset Institutuin and Farmers. IWMY, Colombo. Rivera, W.M dan Gustafson, D.J. 1997. Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. Elsevier Science Publishing, Amesterdam. Saragih, B. 2000. Pembangunan Agribisnis. Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sarma. 2004. Gender Empowering in Asia: Case Study Water Irrigation Sectore Management. IWMI, Colombo Setiawan, I dan Y Sukayat. 2007. Penelitian Peran Penyuluh Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya. Kantor Penyuluhan Pertanian, Tasikmalaya. Soetrisno, L. 1997. Pemberdayaan Perempuan dan Kemiskinan. Kanisius, Yogyakarta. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Kemandirian Petani di Jawa Barat. Disertasi. IPB, Bogor Suseda Kabupaten Bandung Barat. 2006. Sensus Sosial Ekonomi Daerah Kabupaten Bandung Barat. BPS, Jawa Barat Sutawan, Nyoman. 2002. Peran Penyuluh Kelembagaan Lokal. Udayana, Bali
Pertanian
dalam Pengembangan
Tubbs, S.L dan S.Moss. 1996. Human Communications: Prinsip-Prinsip Dasar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Van den Ban dan Agbamu .2000. Agricultural Research-Extension Linkage System an International Perspective. Wageningen University, Netherlands.
54
No Responden : KUESIONER UNTUK PETANI DAN PENGRAJIN AGROINDUSTRI KECIL A. Identitas Lokasi 1. 3.
Desa Ekotipe Lokasi
: ………………………………………………………………………….. : (1) Sawah (2) Lahan Kering Palawija (3) Dataran Tinggi Sayuran/Perkebunan
B. Karakteristik Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama : …………………………….. Jenis Kelamin :L/P Umur : …………………………….. Tahun Lama Sekolah : …………………………….. Tahun Pekerjaan Utama : …………………………...... Pekerjaan Sampingan : …………………….............. a. Lama Bertani : …. ………………………… Tahun b. Lama Usaha : …………………………….. Tahun (jika responden pengusaha/pengrajin kecil menengah) Jenis Tanaman/Produk yang Diusahakan: ……………………………………………………………………………
C. Tingkat Partisipasi dalam Kelompok dan Kegiatan Sosial No
Ragam Kelompok dan Kegiatan Sosial
1. Kelompok Tani/ Asosiasi Petani 2. Kelompok Pengajian 3. Koperasi/ KUB 4. Karang Taruna atau Lainnya 5. Kelompok Peternak 6. Posyandu/Pustu 7. Kelompok Kesenian Daerah 8. Musyawarah 9. Gotong-royong 10 Penyuluhan Keterangan: 1) Aktif 2) Kadang-kadang
(1)
Partisipasi (2) (3)
(1)
Pemilikan (2) (3)
(1)
Intensitas (2) (3)
3) Tidak Aktif
D. Pemilikan Media Komunikasi No
Jenis Media Komunikasi
1. Televisi 2. Radio 3. Telepon/ HP 4. Koran, Buku-buku, majalah 5. Publikasi Penyuluhan (Poster, Pamflet, Brosur dan selebaran lainnya) 6. Komputer/ Internet 7. VCD/DVD dan CD 8. Komputer/ Internet Keterangan: 1) Ada Berfungsi 2) Ada Tidak Berfungsi 3) Tidak Ada
E. Kontak dengan Sumber dan Narasumber Informasi No
Sumber dan Narasumber Informasi
1. Aparatur Dinas/Pamong Pemerintahan Kecamatan/Desa 2. Tokoh Tani/ Ketua Asosiasi Petani/ Pengurus Kelompoktani 3. Penyuluh Lapangan/ Petugas Pertanian 4. Pedagang Perantara (Tengkulak, Bandar) 5. Penjual Sarana Produksi Pertanian (Penjual Benih Unggul atau Penjual Obat Hama) 6. Bidan Desa, Pengurus Posyandu, Penyuluh KB 7. Peneliti dan Ahli dari Perguruan Tinggi 8. Pengurus Koperasi/ Pengurus Perhimpunan Pengrajin 9 Televisi 10 Radio 11 Surat Kabar/ Koran/ Majalah 12 LSM/ LBH/Pendamping Masyarakat Keterangan: 1) Sering 2) Kadang-kadang 3) Tidak Pernah
1
F. Peran Penyuluh No
Peran Penyuluh
(1)
Peran (2) (3)
(1)
Jawaban (2) (3)
1. Memberikan informasi penting kepada para petani , baik langsung maupun brosur 2. Menyediakan benih unggul dan pupuk bersubsidi 3. Menyediakan obat pengendalian hama penyakit tanaman 4. Menyediakan teknologi baru, seperti traktor, alat pemipil jagung, perontok gabah dll 5. Mengadakan rapat atau diskusi rutin di Desa 6. Menggerakan pertemuan kelompok 7. Mengadakan demplot atau dem area 8. Mempertemukan petani dengan penjual benih dan penjual obat 9 Mendorong pengrajin untuk ikut pameran 10 Membantu petani atau pengrajin dalam mendapatkan kredit 11 Mendorong kegiatan kelompok tani atau kelompok pengrajin 12 Mengembangkan pertanian organik (SRI) 13 Menyelenggarakan kursus tani atau sekolah lapangan (PHT) 14 Mengatur waktu tanam 15 Menjadi sumber informasi harga atau informasi pasar 16 Menjadi pendamping petani atau pengrajin dalam pengembangan usaha 17 Mempertemukan petani atau pengrajin dengan mitra usaha 18 Memberikan pelatihan kepada petani atau pengrajin 19 Memotivasi petani atau pengusaha untuk menjaga kualitas dan kesehatan produk 20 Mendorong petani atau pengusaha untuk bertani atau berusaha lebih baik 21 Membantu petani dalam pengendalian hama penyakit tanaman 22 Mengunjungi petani atau pengrajin secara rutin 23 Menghubungkan petani atau pengrajin dengan super market/ swalayan/ pasar 24 Menghubungkan petani atau pengrajin dengan industri 25 Menghubungkan petani atau pengrajin dengan petani atau pengrajin di daerah lain 26 Menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Keterangan: (1) Ya (2) Kadang-kadang (3) Tidak
G. Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh No
Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh
1 Apakah penyuluh masih dipandang sebagai sumber informasi oleh para petani atau pengrajin? 2 Apakah pengetahuan dan keterampilan penyuluh lebih tinggi daripada petani atau pengrajin? 3 Apakah pendidikan para penyuluh lebih tinggi? 4 Apakah sebagian besar penyuluh berusia tua? 5 Benarkah para penyuluh jarang turun ke lapangan? 6 Benarkah para penyuluh sulit dihubungi? 7 Benarkah informasi dari penyuluh sangat sedikit ? 8 Apakah informasi dari penyuluh sudah beragam dan meyakinkan petani atau pengrajin? 9 Apakah informasi dari penyuluh sesuai dengan harapan petani atau pengrajin? 10 Apakah penyuluh terbuka kepada petani atau pengrajin? 11 Apakah penyuluh perhatian terhadap petani atau pengrajin ? 12 Apakah banyak penyuluh yang menjadi formulator, yaitu penjual obat atau benih unggul? 13 Apakah para penyuluh dapat dihubungi melalui telepon atau HP? 14 Apakah pelayanan informasi dari penyuluh cepat dan akurat? 15 Apakah petani tahu tempatnya kantor atau balai penyuluhan pertanian (BPP) ? 16 Apakah penyuluh masih dijadikan sumber informasi oleh petani atau pengrajin? 17 Apakah petani/pengurus kelompok sering berdiskusi dengan penyuluh? 18 Adakah demplot atau dem area yang dilaksanakan penyuluh bersama petani/kelompok tani 19 Adakah penelitian yang dilakukan penyuluh bersama petani/ kelompok tani 20 Apakah penyuluh suka hadir dalam setiap pertemuan kelompok tani 21 Apakah informasi dari penyuluh digunakan oleh para petani? Keterangan: (1) Ya (2) Kadang-kadang (3) Tidak
2
H. Peluang dan Ancaman Penyuluh No
Kekuatan dan Kelemahan Penyuluh
(1)
Jawaban (2) (3)
(1)
Jawaban (2) (3)
1 Apakah para petani mau mengikuti kegiatan penyuluhan jika tidak diberi amplop/transport? 2 Adakah persaingan antara PPL dengan formulator (penjual obat, benih, pupuk) dan tokoh tani? 3 Benarkah para petani lebih percaya kepada formulator dan tokoh tani daripada kepada PPL? 4 Benarkah cara penyuluhan dari formulator lebih menarik daripada PPL? 5 Benarkah formulator lebih dekat dengan para petani daripada dengan PPL? 6 Benarkah formulator semakin banyak jumlahnya? 7 Benarkah formulator lebih sering memberikan penyuluhan daripada PPL? 8 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dengan menggunakan HP? 9 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dari televisi? 10 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dari radio? 11 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dari internet? 12 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dari buku? 13 Benarkah informasi pertanian atau usaha dapat diperoleh petani dari koran? 14 Benarkah para petani sudah bekerja sama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi? 15 Benarkah para petani memiliki banyak sumber informasi pertanian atau usaha? 16 Benarkah para petani telah menjalin kerja sama dengan perusahaan agribisnis? 17 Benarkah PPL sudah menjadi penjual obat, benih atau pupuk? 18 Benarkah PPL lebih membela perusahaan obat, benih dan pupuk daripada membela petani? 19 Benarkah antara PPL, Formulator, PLKB, Pendamping UKM tidak ada koordinasi? 20 Benarkah PPL tertinggal kemampuannya oleh formulator atau pendamping masyarakat? Keterangan: (1) Tidak (2) Kadang-kadang (3) Ya
I. Koordinasi Antar Penyuluh No
Pertanyaan
1 Pernahkah ada penyuluhan pertanian atau demplot dari PPL bersama Kelompok Tani? 2 Pernahkah ada penyuluhan pertanian yang disatukan dengan penyuluhan KB? 3 Pernahkah ada penyuluhan atau demplot dari PPL bersama agen penjual benih/obat-obatan? 4 Pernahkah ada penyuluhan atau demplot dari PPL bersama peneliti dari perguruan tinggi? 5 Pernahkah ada penyuluhan atau demplot dari PPL bersama LSM atau HKTI? Keterangan: (1) Ya (2) Kadang-kadang (3) Tidak
3