LAPORAN AKHIR PENELITIAN BIDANG ENERGI PENGHARGAAN PT. REKAYASA INDUSTRI
LAPORAN PENELITIAN BIDANG ENERGI Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah dengan Bahan Organik-Inorganik (Dye-sensitized Solar Cell)
Oleh :
Wilman Septina
13303022 / 2003
Dimas Fajarisandi
13303059 / 2003
Mega Aditia
13303061 / 2003
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BANDUNG 2007
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan
: Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah dengan Bahan OrganikInorganik (Dye-sensitized Solar Cell)
Bidang Kegiatan
: Penelitian Energi
2. Ketua Pelaksana Kegiatan/Penulis Utama a. Nama Lengkap
: Wilman Septina
b. NIM
: 13303022
c. Jurusan
: Teknik Fisika
d. Universitas/Institut
: Institut Teknologi Bandung
e. Alamat Rumah & No tel : Jl. Mig 2 No 39, Cimahi Selatan, (022)
6010645 /
08121476364 f. Alamat email
:
[email protected]
3. Anggota Pelaksana
: 2 orang
4. Dosen Pendamping
:
a. Nama lengkap dan Gelar : Dr. Brian Yuliarto b. NIP
: 132320061
5. Biaya Kegiatan Total a. Rekayasa Industri
: Rp. 4.850.000,-
6. Jangka Waktu Pelaksanaan : 6 bulan
Bandung, 22 November 2007 Menyetujui
Ketua Pelaksana Kegiatan
Dosen Pendamping
(Dr. Brian Yuliarto)
(Wilman Septina)
NIP. 132320061
NIM. 13303022 i
ABSTRAK Konversi energi surya menjadi energi listrik merupakan solusi yang ideal untuk menghasilkan energi yang bersih dan murah. Namun sekarang ini harga sel surya silikon, sel surya yang mendominasi pasar, masih relatif mahal dan membutuhkan teknologi yang tinggi dan proses produksi yang sulit. Dye-sensitized solar cell (DSSC), sebagai teknologi sel surya yang berkembang karena kebutuhan akan sel surya berefisiensi tinggi dan proses produksinya yang simpel, merupakan alternatif sel surya murah dimasa yang akan datang. Dye-sensitized solar cell merupakan sel surya yang berbasis fotoelektrokimia dimana proses absorbsi cahaya dilakkan oleh molekul dye dan proses separasi muatan oleh bahan inorganik semikonduktor TiO2. Pada peneltian ini telah berhasil dilakukan pembuatan prototipe dye-sensitized solar cell dengan menggunakan dye bahan organik jenis anthocyanin dye dari ekstraksi buah delima, dan semikonduktor nanopori TiO2 yang disintesis dengan menggunakan metoda sol-gel dengan bantuan block copolymer sebagai template pori. Dari hasil pengujian struktur nanopori TiO2 didapat bahwa TiO2 yang disintesis cocok untuk diaplikasikan dalam DSSC karena mempunyai luas permukaan yang tinggi dan kristalinitas yang baik, dan dari pengujian absorbsi cahaya dye ekstraksi buah delima diketahui bahwa dye dapat menyerap spektrum cahaya pada panjang gelombang 562 nm. Selain itu ketika sel surya disinari dengan cahaya matahari, sel surya dapat mengkonversi energi surya menjadi energi listrik dengan tegangan 162,4 mV dan arus listrik sebesar 0,07 mA untuk area aktif seluas 0.6 cm2. Kata kunci Dye-sensitized solar cell (DSSC), Titanium dioxide (TiO2), nanopori, metoda sol-gel, anthocyanin dye.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat meyelesaikan penelitian dan laporan akhir penelitian yang berjudul “Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah dengan Bahan Organik-Inorganik (Dyesensitized Solar Cell)”.
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka “Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa ITB Bidang Energi” yang seluruhnya dibiayai oleh PT. Rekayasa Industri. Penelitian ini lakukan di Laboratorium Proses Material Teknik Fisika ITB. Penulis melakukan penelitian dibidang energi surya karena penulis melihat potensi dari pengembangan sel surya di Indonesia sangat besar namun dalam kondisi sekarang masih belum optimal, dan nanoteknologi sebagai bidang yang penulis geluti saat ini mempunyai prospek untuk berkontribusi dalam perkembangan sel surya yaitu dengan munculnya sel surya generasi terbaru yang disebut dye-sensitized solar cell (DSSC). Penulis melihat DDSC mempunyai prospek yang baik untuk dikembnagkan di Indonesia baik dalam hal riset maupun produksi karena berbasis kepada proses produksi yang simpel dan murah..
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penelitian tugas akhir ini sehingga laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan yaitu : 1. PT. Rekayasa Industri selaku pemberi biaya penelitian ini. 2. Bapak Dr. Brian Yuliarto selaku pendamping penelitian ini. 3. Bapak Yakob dari PT. Wika Trading yang telah memberikan sampel block copolymer kepada penulis. 4. Teman-teman penulis semua yang ada di Laboratorium Komputasi dan Proses Material. 5. Dan terakhir rekan-rekan penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas inspirasi dan dukungan moralnya baik langsung maupun tidak langsung.
iii
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa sebagai manusia biasa kami tidak lepas dari segala kekurangan dan keterbatasan baik itu dalam pelaksanaan maupun penyusunan laporan tugas akhir ini. Untuk itu segala saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan. Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat untuk khalayak umum.
Bandung, 22 November 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI Hal. LEMBAR PENGESAHAN
i
ABSTRAK
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang Masalah
1
1.2. Perumusan Masalah
2
1.3. Tujuan Penelitian
3
1.4. Luaran yang Diharapkan
3
1.5. Kegunaan Penelitian
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1. Energi Surya
5
2.2. Sel Surya
6
2.2.1. Umum
6
2.2.2. Prinsip Kerja Sel Surya Kovensional Silikon
6
2.2.3. Performansi Sel Surya
8
2.2.4. Pasar Fotovolataik Dunia
9
2.2.5. Potensi Pengembangan Sel/Panel Surya di Indonesia
11
2.3. Dye-sensitized Solar Cell
12
2.3.1. Umum
12
2.3.2. Cara Kerja
13
2.3.3. Material DSSC
14
2.3.4. Fabikasi DSSC
17
2.3.5. Status DSSC
19
BAB 3 PELAKSANAAN PENELITIAN
24
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
24
3.2. Alat dan Bahan
24
3.3. Preparasi Komponen-komponen DSSC
25
v
3.3.1. Pembuatan Bubuk Nanopori TiO2
25
3.3.2. Pembuatan Pasta TiO2
26
3.3.3. Preparasi Larutan Dye
27
3.3.4. Preparasi Elektrolit
27
3.3.5. Preparasi Counter-Elektroda Karbon
27
3.4. Assembly DSSC
27
3.5. Pengujian
29
3.5.1. Pengujian Nanopori TiO2
29
3.5.2. Pengujian Absorbsi Dye
30
3.5.3. Pengujian Sel Surya
30
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
31
4.1. Analisis Nanopori TiO2
31
4.1.1. Hasil TG-DTA
31
4.1.2. Hasil XRD
31
4.1.3. Hasil SEM
32
4.1.4. Hasil N2 adsorption
34
4.2. Analisis Absorbsi Dye Buah Delima
34
4.3. Analisis Sel surya
36
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
41
vi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Energi adalah salah satu tantangan yang kita hadapi pada abad 21 ini. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Professor Ricards Smalley dari Rice University mengenai masalah terbesar yang akan dihadapi manusia untuk 50 tahun mendatang, ternyata energi menduduki peringkat pertama. Cadangan sumber energi fosil di seluruh dunia terhitung sejak 2002 yaitu 40 tahun untuk minyak, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Dengan keadaan semakin menipisnya sumber energi fosil tersebut, di dunia sekarang ini terjadi pergeseran dari penggunaan sumber energi tak terbahurui menuju sumber energi yang terbahurui. Dari sekian banyak sumber energi terbahurui seperti angin, biomass dan hydro power, penggunaan energi melalui solar cell / sel surya merupakan alternatif yang paling potensial. Hal ini dikarenakan jumlah energi matahari yang sampai ke bumi sangat besar, sekitar 700 Megawatt setiap menitnya. Bila dikalkulasikan, jumlah ini 10.000 kali lebih besar dari total konsumsi energi dunia.
Sel surya bekerja menggunakan energi matahari dengan mengkonversi secara langsung radiasi matahari menjadi listrik. Sel surya yang banyak digunakan sekarang ini adalah Sel surya berbasis teknologi silikon yang merupakan hasil dari perkembangan pesat teknologi semikonduktor elektronik. Walaupun sel surya sekarang didominasi oleh bahan silikon, namun mahalnya biaya produksi silikon membuat biaya konsumsinya lebih mahal daripada sumber energi fosil. Selain itu kekurangan dari solar cell silikon adalah penggunaan bahan kimia berbahaya pada proses fabrikasinya.
Tetapi seiring dengan perkembangan nanoteknologi, dominasi tersebut bertahap mulai tergantikan dengan hadirnya sel surya generasi terbaru, yaitu dye-sensitized solar cell (DSSC). DSSC merupakan salah satu kandidat potensial sel surya generasi mendatang, hal ini dikarenakan tidak memerlukan material dengan
1
kemurnian tinggi sehingga biaya proses produksinya yang relatif rendah. Berbeda dengan sel surya konvensional dimana semua proses melibatkan material silicon itu sendiri, pada DSSC absorbsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi pada proses yang terpisah. Absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh inorganik semikonduktor nanokristal yang mempunyai bandgap lebar.
Salah satu semikonduktor ber-bandgap lebar yang sering digunakan yaitu Titanium Dioxide (TiO2). TiO2 umum digunakan karena inert, tidak berbahaya, semikonduktor yang murah, selain memiliki karakteristik optik yang baik. Namun untuk aplikasinya dalam DSSC, TiO2 harus memiliki permukaan yang luas sehingga dye yang teradsorb lebih banyak yang hasilnya akan meningkatkan arus photo. Selain itu penggunaan bahan dye yang mampu menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi TiO2 juga merupakan karakteristik yang penting.
1.2. Perumusan Masalah Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan prototipe dye-sensitized solar cell dengan menggunakan material-material yang mudah didapat di Indonesia. DSSC sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena dalam proses produksinya tidak memerlukan fasilitas clean room yang selalu menjadi hambatan terbesar untuk mengembangkan sel surya silikon di Indonesia, selain itu produksinya relatif mudah.
Sebagai semikonduktor akan digunakan nanopori TiO2 (Titanium Dioxide) yang disintesis dengan menggunakan metoda sol-gel. Dengan struktur pori yang nano maka permukaan dari TiO2 menjadi luas sehingga memperbanyak dye yang teradsorb dan akan meningkatkan efisiensi. Sebagai sumber titanium (Ti), digunakan TiCl4 (Titanium Tetrachloride) dan untuk membentuk struktur nanopori, digunakan bantuan dari surfaktan block copolymer sebagai struktur template. Untuk dye digunakan bahan organik yaitu jenis dyes yang mengandung
2
pigmen anthocyanin yang bisa didapat dari alam melalui buah delima. Walaupun DSSC komersial dengan menggunakan dye sintetis yaitu jenis ruthenium complex sebagai dye telah mencapai efisiensi 10%, namun ketersedian dan harganya yang mahal tidak memungkinkan untuk pengembangan penelitian ini sehingga pada penelitian ini akan digunakan anthocyanin dye yang lebih mudah didapat.
Berdasarkan survei yang dilakukan, publikasi mengenai jenis sel surya ini sangat minim
di
Indonesia
pengembangannya
dan
lebih
tidak
lanjut.
ada
penelitian
Penelitian
ini
secara
intensif
diharapkan
dapat
untuk lebih
memasyarakatkan dye-sensitized solar cell sebagai sel surya murah di Indonesia dan juga sebagi studi awal untuk penelitian lebih lanjut dengan harapan agar dimasa mendatang bisa dikomersialisasikan di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu, 1. Menghasilkan prototipe dye-sensitized solar cell (DSSC) dengan menggunakan material-material yang bisa diperoleh di Indonesia. 2. Menghasilkan prototipe DSSC dapat mengkonversi energi surya menjadi listrik. 3. Menguasai teknologi pembuatan DSSC skala lab dengan pendekatan teknologi nano khususnya untuk optimasi struktur nanopri TiO2.
1.4. Luaran yang Diharapkan Luaran yang diharapkan dari penelitian ini yaitu, 1. Lebih memasyarakatkan DSSC sebagai alternatif sel surya yang murah 2. Dilakukan penelitian DSSC lebih lanjut secara intensif baik oleh peneliti ITB maupun peneliti di Indonesia pada umumnya dengan kolaborasi berbagai disiplin ilmu karena kajian mengenai DSSC merupakan kajian yang multidisiplin.
3
1.5. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini yaitu, 1. Teknologi pembuatan dye-sensitized solar cell (DSSC) yang dikembangkan di penelitian ini bisa menjadi studi awal untuk penelitian lebih lanjut sehingga menghasilkan sel surya yang mempunyai performansi lebih baik. 2. Sel surya yang dihasilkan dari penelitian ini bisa menjadi alat peraga bagi pelajar/mahasiswa untuk lebih memahami proses kerja sel surya, bahkan pelajar/mahasiswa bisa melakukan eksperimen pembuatan sel surya ini di laboratorium dengan mengacu pada penelitian ini.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Energi Surya Energi surya adalah radiasi yang diproduksi oleh reaksi fusi nuklir pada inti matahari. Matahari mensuplai hampir semua panas dan cahaya yang diterima bumi untu digunakan makhluk hidup. Energi surya sampai kebumi dalam bentuk paket-paket energi yang disebut foton.
Dalam kaitannya dengan sel surya, perangkat yang mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi listrik, terdapat dua paramater dalam energi surya yang paling penting : pertama intensitas radiasi, yaitu jumlah daya matahari yang datang kepada permukaan per luas area, dan karakteristik spektrum cahaya matahari. Intensitas radiasi matahari diluar atmosfer bumi disebut konstanta surya, yaitu sebesar 1365 W/m2. Setelah disaring oleh atmosfer bumi, beberapa sepktrum cahaya hilang, dan intensitas puncak radiasi menjadi sekitar 1000W/m2. Nilai ini adalah tipikal intensitas radiasi pada keadaan permukaan tegak lurus sinar matahari dan pada keadaan cerah. Sebagai contoh apabila seseorang mengikuti pergerakan matahari dalam delapan jam, maka rata-rata intensitas radiasi surya yang diterima per hari kira-kira 1000 (8/24) = 333 W/m2. Pada permukaan yang diam, nilai tipikal pada keadaan cerah yaitu antara 180-270 W/m2. Data energi surya untuk kepentingan ekonomis umumnya direpresentasikan dalam unit insolation. Hubungan antara rata-rata intensitas radiasi dan insolation dirumuskan dengan persamaan[1], insolation
kWh 24 jam 10 −3 kW radiasi . . = hari W hari.m 2
(2.1)
Sebagai contoh untuk intensitas radiasi 250 W/m2, nilai insolation yaitu 6 kWh/hari/m2.
Radiasi surya dipancarkan dari fotoshpere matahari pada temperatur 6000K, yang memberikan distribusi spektrumnya mirip dengan distribusi spektrum black body. Dengan melalui atmosfer bumi, radiasi surya diatenuasikan oleh berbagai partikel diantaranya molekul udara, aerosol, partikel debu, dll sehingga menghasilkan spektrum seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
5
Gambar 2.1. Standar Spektrum Radiasi Surya.
2.2. Sel Surya 2.2.1. Umum Sel surya atau fotovoltaik adalah perangkat yang mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi energi listrik. Efek fotovoltaik ini ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839, dimana Becquerel mendeteksi adanya tegangan foto ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Pada tahun 1954 peneliti di Bell Telephone menemukan untuk pertama kali sel surya silikon berbasis p-n junction dengan efisiensi 6%. Sekarang ini, sel surya silikon mendominasi pasar sel surya dengan pangsa pasar sekitar 82% dan efisiensi lab dan komersil berturut-turut yaitu 24,7% dan 15%[2][3].
2.2.2. Prinsip Kerja Sel Surya Konvensional Silikon Prinsip kerja sel surya silikon adalah berdasarkan konsep semikonduktir p-n junction. Sel terdiri dari lapisan semikonduktor doping-n dan doping-p yang membentuk p-n junction, lapisan antirefleksi, dan substrat logam sebagai tempat mengalirnya arus dari lapisan tipen (elektron) dan tipe-p (hole).
6
Gambar 2.2. Struktur Sel Surya Silikon pn-junction.[4]
Semikonduktor tipe-n didapat dengan mendoping silikon dengan unsur dari golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi dibanding atom sekitar. Pada sisi lain semikonduktor tipe-p didapat dengan doping oleh golongan III sehingga elektron valensinya defisit satu dibanding atom sekitar. Ketika dua tipe material tersebut mengalami kontak maka kelebihan elektron dari tipe-n berdifusi pada tipe-p. Sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yan terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini terlah terbentuk p-n junction. Dengan menambahkan kontak logam pada area p dan n maka telah terbentuk dioda.
Gambar 2.3. Cara kerja Sel Surya Silikon 7
Ketka junction disinari, photon yang mempunyai energi sama atau lebih besar dari lebar pita energi materia tersebut akan menyebabkan eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan akan meninggalkan hole pada pita valensi. Elektron dan hole ini dapat bergerak dalam material sehingga menghasilkan pasangan elektron-hole. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga menyebabkan perbedaan potensial dan arus akan mengalir. Skema cara kerja sel surya silikon ditunjukkan pada Gambar 2.3.
2.2.3. Performansi Sel Surya Daya listrik yang dihasilkan sel surya ketika mendapat cahaya diperoleh dari kemampuan perangkat sel surya tersebut untuk memproduksi tegangan ketika diberi beban dan arus melalui beban pada waktu yang sama. Kemampuan ini direpresentasikan dalam kurva arus-tegangan (I-V) (Gambar 2.4.).
Gambar 2.4. Karakteristik Kurva I-V pada Sel Surya
Ketika sel dalam kondisi short circuit, arus maksimum atau arus short circuit (ISC) dihasilkan, sedangkan pada kondisi open circuit tidak ada arus yang dapat mengalir
8
sehingga tergangannya maksimum, disebut tegangan open-circuit. (VOC). Titik pada kurva I-V yang menghasilkan arus dan tegangan maksimum disebut titik daya maksimum (MPP). Karaktersitik penting lainnya dari sel surya yaitu fill factor (FF), dengan persamaan, FF =
VMPP .I MPP VOC .I SC
(2.2.)
Dengan menggunakan fill factor maka maksimum daya dari sel surya didapat dari persamaan, PMAX = VOC .I SC .FF
(2.3.)
Sehingga efisiensi sel surya yang didefinisikan sebagai daya yang dihasilkan dari sel ( PMAX ) dibagi dengan daya dari cahaya yang datang ( PCahaya ) :
η=
PMAX PCahaya
(2.4.)
Nilai efisiensi ini yang menjadi ukuran global dalam menentukan kualitas performansi suatu sel surya.
2.2.4. Pasar Fotovoltaik Dunia Pada tahun 2006, industri fotovoltaik dunia telah mencapai 1.744 MW, mengalami kenaikan 19% dibandingkan tahun sebelumnya[5]. Sedangkan dibandingkan tahun 2003, telah mengalami kenaikan lebih dari 2 kali lipat seperti terlihat pada Gambar 2.5.
Sedangkan produksi sel surya dunia telah mencapai angka 2.204 MW tahun 2006, meningkat dari 1,656 MW tahun sebelumnya. Perusahaan Jepang masih mendominasi produksi sel surya global dengan menguasai 40% sel surya yan beredar didunia saat ini, turun dari tahun sebelumnya yaitu 46%. Hal ini menunjukkan bahwa pasar sel surya dunia semakin kompetitif dan terus mengalami kenaikan pasar yang signifikan. Membuktikan bahwa kebutuhan sel surya dunia akan terus meningkat dan implikasinya akan menurunkan harga dari modul surya itu sendiri.
9
a)
b)
Gambar 2.5. (a) Status PV(fotovoltaik) yang terinstall sampai tahun 2003 beserta tipe sel suryanya. (b) Status Instalasi PV sampai tahun 2006
Sekarang ini pasar sel surya masih didominasi oleh sel surya silikon, baik mono maupun multi-crystal silikon. Dari total 2.204 MW produksi fotovoltaik/sel surya pada tahun 2006, 0,22 GW merupakan teknologi sel surya berbasisi non-silikon[6]. Pasar sel surya non-silikon diperkirakan akan naik menjadi 13% dari total produksi sel surya 10 tahun yang akan datang. Kenaikan pasar sel surya non-silikon ini diakibatkan oleh kebutuhan
10
akan sel surya berbasis tanpa silikon, efisiensi lebih tinggi, harga yang lebih murah, dan juga proses produksniya yang lebih simpel. Sel surya non-silikon ini diantaranya sel surya berbasis lapisan tipis atau thin film solar cell, sel surya organik & polimer, dan dye-
sensitized solar cell.
2.2.5. Potensi Pengembangan Sel/Panel Surya di Indonesia Sebagai negara tropis, limpahan cahaya matahari di Indonesia sangat melimpah. Potensinya energi surya di Indoenesia yaitu sekitar 4,8 kWh/m2/hari. Namun berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, tahun 2005 kapasitas panel surya yang terpasang di Indonesia baru 8 MW. Nilai ini masih sangat kecil bila dibandingkan potensi tersebut. Padahal pemanfaatan energi surya misalnya dalam benuk
Solar Home System untuk daerah-daerah terpencil merupakan solusi andal untuk elektrifikasi desa-desa tersebut. Karena bagaimanapun tingkat elektrifikasi suatu bangsa menentukan derajat pengetahuan suatu bangsa, karena dengan listrik akan membuka jalan akses kepada masyrakat global dimana lintas informasi dan ilmu pengetahuan berjalan dengan sangat cepat.
Sebagai gambaran di negara lain, berdasarkan studi yang dilakukan Ketut Astawa, Eropa telah mencanangkan pengunaan energi terbarukan sekita 25% dari seluruh kebutuhan energinya pada tahun 2025 Sedangkan Jerman dan Amerika menjalankan program 1juta roof (instalasi sel surya di atap rumah). Jepang sebagai negara terdepan di dunia dalam hal memproduksi dan memakai sel surya bahkan telah mengambil pajak keuntungan mulai 2003 lalu dari setiap penggunaan sel surya oleh masyarakatnya, setelah bertahuntahun sejak tahun 80-an mensubsidi besar-besaran untuk penggunaan sel surya. Bahkan dalam roadmapnya, dicanangkan bahwa pada tahun 2030 kontribusi sel surya akan sebanyak 10% terhadap total elektrifikasi, belum juga kontribusi dai energi terbarukan yang
lain.
China
tidak
kurang
belasan
manufaktur
sel
surya
yang
tengah pemproduksi rata-rata 20-50 MW sel surya pertahunnya, India memiliki tidak kurang 8 manufaktur sel surya yang telah berproduksi mulai akhir tahun 90-an. Di Asia Tenggara, Thailand telah mengembangkan sel surya dan memiliki 3 manufaktur dengan kapasitas produksi 15-20 MW pertahun. Negara ini, saat ini juga mengembangkan sel
11
surya langsung untuk mensuplai listrik air condition (AC) untuk gedung-gedung pemerintahannnya. Philipina mendapat kesempatan mengembangkan sel surya, dimana UNI Solar USA, telah memindahkan salah satu cabang manufakturnya dari Amerika Malaysia satu manufaktur sel suryanya telah memproduksi 15MW per tahun dan satu manufaktur lainnya tengah dikerjakan untuk produksi sekitar 30MW pertahun.
Pemerintah Indonesia sendiri mencanangkan bahwa pada tahun 2025, energi terbarukan berkontribusi sekitar 4% terhadap total konsumsi energi lokal dimana 0,02% nya berasal dari energi surya. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan investasi baik dalam hal riset maupun untuk produksi massal melalui misalnya subsidi bagi perusahaan yang berminat mengembangkan sel surya dan juga konsumen pemakai sel surya. Dalam hal riset untuk sel surya silikon terutama harus difokuskan pada proses pengolahan pasir silika yang tersedia banyak di Indonesia menjadi wafer silikon yang bisa digunakan untuk sel surya. Selain itu riset mengenai jenis sel surya berbasis teknologi murah seperti dye-
sensitized solar cell (DSSC) juga perlu mulai dikaji untuk pengembangannya di Indonesia, karena jenis sel surya ini tidak memerlukan peralatan yang berteknologi tinggi untuk proses fabrikasinya sehingga dengan kondisi tersebut para peneliti di Indonesia bisa juga ikut ambil bagian dalam perkembangan DSSC dunia dan juga untuk kemungkinan produksi massal lokal.
2.3. Dye-sensitized Solar Cell (DSSC) 2.3.1. Umum
Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), sejak pertama kali ditemukan oleh Professor Michael Gratzel pada tahun 1991, telah menjadi salah satu topik penelitian yang dilakukan intensif oleh peneliti di seluruh dunia. DSSC bahan disebut juga terobosan pertama dalam teknologi sel surya sejak sel surya silikon[7].
Berbeda dengan sel surya konvensional, DSSC adalah sel surya fotoelektrokimia sehingga menggunakan elektrolit sebagai medium transport muatan. Selain elektrolit, DSSC terbagi menjadi beberapa bagian yang terdiri dari nanopori TiO2, molekul dye
12
yang teradsorpsi di permukaan TiO2, dan katalis yang semuanya dideposisi diantara dua kaca konduktif, seperti terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Struktur Dye-sensitized Solar Cell[8]
Pada bagian atas dan alas sel surya merupakan glass yang sudah dilapisi oleh TCO (Transparent Conducting Oxide) bianya SnO2, yang berfungsi sebagai elektroda dan counter-elektroda. Pada TCO counter-elektroda dilapisi katalis untuk mempercepat reaksi redoks dengan elektrolit. Pasangan redoks yang umumnya dipakai yaitu I-/I3(iodide/triiodide). Pada permukaan elektroda dilapisi oleh nanopori TiO2 yang mana dye teradsorpsi di pori TiO2. Dye yang umumnya digunakan yaitu jenis ruthenium complex.
2.3.2. Cara kerja Skema kerja dari DSSC ditunjukkan pada Gambar 2.7. Pada dasarnya prinsip kerja dari DSSC merupakan reaksi dari transfer elektron. Proses pertama dimulai dengan terjadinya eksitasi elektron pada molekul dye akibat absorbsi foton. Elektron tereksitasi dari ground
state (D) ke excited state (D*). D + e- Æ D*
(2.5)
Elektron dari excited state kemudian langsung terinjeksi menuju conduction band (ECB) titania sehingga molekul dye teroksidasi (D+). Dengan adanya donor elektron oelh elektrolit (I-) maka molekul dye kembali ke keadaan awalnya (ground state) dan mencegah penangkapan kembali elektron oleh dye yang teroksidasi. 2D+ + 3e- Æ I3- + 2D
(2.6)
13
Gambar 2. 7. Skema Kerja dari DSSC[8]
Setelah mencapai elektroda TCO, elektron mengalir menuju counter-elektroda melalui rangkaian eksternal. Dengan adanya katalis pada counter-elektroda, elektron diterima oleh elektrolit sehingga hole yang terbentuk pada elektrolit (I3-), akibat donor elektron pada proses sebelumnya, berekombinasi dengan elektron membentuk iodide (I-). I3- + 2e- Æ 3I-
(2.7)
Iodide ini digunakan untuk mendonor elektron kepada dye yang teroksidasi, sehingga terbentuk suatu siklus transport elektron. Dengan siklus ini terjadi konversi langsung dari cahaya matahari menjadi listrik.
2.3.3. Material DSSC
Substrat Substrat yang digunakan pada DSSC yaitu jenis TCO (Transparent Conductive Oxide) yang merupakan kaca transparan konduktif. Material substrat itu sendiri berfungsi sebagai badan dari sel surya dan lapisan konduktifnya berfungsi sebagai tempat muatan mengalir.
Material yang umumnya digunakan yaitu flourine-doped tin oxide (SnO2:F atau FTO) dan indium tin oxide (In2O3:Sn atau ITO) hal ini dikarenakan dalam proses pelapisan material TiO2 kepada substrat, diperlukan proses sintering pada temperatur 400-500oC 14
dan kedua material tersebut merupakan pilihan yang cocok karena tidak mengalami defect pada range temperatur tersebut.
Nanopori TiO2 Penggunaan oksida semikonduktor dalam fotoelektrokimia dikarenakan kestabilannya menghadapi fotokorosi[9]. Selain itu lebar pita energinya yang besar (> 3eV), dibutuhkan dalam DSSC untuk transparansi semikonduktor pada sebagian besar spektrum cahaya matahari. Selain semikonduktor TiO2, yang digunakan dalam penelitian ini, semikonduktor lain yang digunakan yaitu ZnO, CdSe, CdS, WO3, Fe2O3, SnO2, Nb2O5, dan Ta2O5. Namun TiO2 masih menjadi material yang sering digunakan karena efisiensi DSSC menggunakan TiO2 masih belum tertandingi. Di alam umumnya TiO2 mempunyai tiga fasa yaitu rutile, anatase, dan brookite seperti ditunjukkan struktur kristalnya. Fasa rutile dari TiO2 adalah fasa yang umum dan merupakan fasa yang disintesis dari mineral ilmenite melalui proses Becher. Pada proses Becher, oksida besi yang terkandung dalam ilmenite dipisahkan dengan temperatur tinggi dan juga dengan bantuan gas sulfat atau klor sehingga menghasilkan TiO2 rutile dengan kemurnian 91-93%. Titania pada fasa anatase umumnya stabil pada ukuran partikel kurang dari 11 nm, fasa brookite pad ukuran partikel 11 – 35 nm, dan fasa rutile diatas 35 nm[10]
Untuk aplikasinya pada DSSC, TiO2 yang digunakan umunya berfasa anatase karena mempunyai kemampuan fotoaktif yang tinggi. Selain itu TiO2 dengan struktur nanopori yaitu ukuran pori dalam skala nano akan menaikan kinerja sistem karena struktur nanopori mempunyai karakteristik luas permukaan yang tinggi sehingga akan menaikan jumlah dye yang teradsorp yang implikasinya akan menaikan jumlah cahaya yang terabsorb.
15
Dye Seperti telah dijelaskan diatas, fungsi absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye yang teradsorpsi pada permukaan TiO2. Dye yang umumnya digunakan dan mencapai efisiensi paling tinggi yaitu jenis ruthenium complex.
Walaupun DSSC menggunakan ruthenium complex telah mencapai efisiensi yang cukup tinggi, namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa dan ruthenium complex komersil berharga mahal. Alternatif lain yaitu penggunaan dye dari buah-buahan, khususnya dye antocyanin. Antocyanin ini yang menyebabkan warna merah dan ungu pada banyak buah dan bunga. Salah satu pigmen cyanin yang memegang peranan penting dalam proses absorbsi cahaya yaitu cyanidin 3-O-β-glucoside , struktur kimianya ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Struktur Kimia Antocynanin Dye
Elektrolit Elektrolit yang digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Karakteristik ideal dari pasangan redoks untuk elektrolit DSSC yaitu[11], 1. Potensial redoksnya secara termodinamika berlangsung sesuai dengan potensial redoks dari dye untuk tegangan sel yang maksimal. 2. Tingginya kelarutan terhadap pelarut untuk mendukung konsentrasi yang tinggi dari muatan pada elektrolit. 3. Pelarut mempunyai koefisien difusi yang tinggi untuk transportasi massa yang efisien.
16
4. Tidak adanya karakteristik spektral pada daerah cahaya tempak untuk menghindari absorbsi cahaya daatng pada elektrolit. 5. Kestabilan yang tinggi baik dalam bentuk tereduksi mauun teroksidasi. 6. Mempunyai reversibilitas tinggi. 7. Inert terhadap komponen lain pada DSSC.
Katalis Counter Elektroda Katalis dibutuhkan untuk merpercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide pada TCO. Platina, material yang umum digunakan sebagai katalis pada berbagai aplikasi, juga sangat efisien dalam aplikasinya pada DSSC. Platina dideposisikan pada TCO dengan berbagai metoda yaitu elektrokimia, sputtering, spin coating, atau pyrolysis.
Walapun mempunyai kemampuan katalitik yang tinggi, platina merupakan material yang mahal. Sebagai alternatif, Kay & Gratzel (1996) mengembangkan desain DSSC dengan menggunakan counter-elektroda karbon sebagai lapisan katalis[12]. Karena luas permukaanya yang tinggi, counter-elektroda karbon mempunyai keaktifan reduksi triiodide yang menyerupai elektroda platina.
2.3.4. Fabrikasi DSSC Cara paling umum dalam fabrikasi DSSC di laboratorium yaitu menggabungkan dua kaca dengan lapisan yang berbeda dengan struktur sandwich, sebagai substrat dan superstrat, yang salah satunya yaitu lapisan TiO2 dimana cahaya masuk dan yang lainnya yaitu counter-elektroda yang dilapisi katalis contohnya platina. Untuk meminimalisasi biaya produksi pada skala massal, satu sel bisa dideposisikan secarqa langsung antara kaca dengan luas permukaan yang tinggi.
Selain itu Kay dan Gratzel (1996) mengembangkan tiga lapisan struktur sel monolithic (Gambar 2.9), untuk mengadaptasi proses produksi sel surya lapisan tipis sehingga lebih mudah mencapai tahap komersialisasi. Pada struktur monolithic, semua lapisan dari sel dapat dideposisikan masing-masing diatas yang lainnya pada satu kaca yang dilapisi
17
TCO, sedangkan satu kaca lain yang berlawanan hanya berfungsi sebagai pelindung dan enkapsulasi.
Gambar 2.9. Skema dari Dua Struktur Umum sel DSSC (atas) dan modul (bawah) (a) Struktur Sandwich, (b) Struktur Monolithic [4]
Gambar 2.10. menunjukan alur produksi dari modul DSSC yang dikembangkan oleh Fraunhofer ISE [13]. Proses produksinya berdasarkan teknologi screen printing dan metoda thermal yang sering digunakan pada industri gelas. Selain itu proses produksinya relatif simpel karena menggunakan teknologi yang sudah umum.
18
Gambar 2.10. Proses Pembuatan DSSC yang Dikembangkan Fraunhofer ISE.[13]
2.3.5. Status DSSC
Efisiensi Tingginya efisiensi konversi energi surya menjadi listrik dari DSSC merupakan salah satu daya tarik berkembangnya riset mengenai DSSC di berbagai negara akhir-akhir ini, selain dari proses produksi yang simpel dan biaya produksi yang murah. Tabel 4.1. menunjukkan beberapa hasil penelitian dari peneliti-peneliti DSSC. 19
Tabel 4.1. Beberapa Hasil Penelitian DSSC dalam Skala Laboratorium.[4]
Selain itu juga terdapat beberapa penelitian yang mencoba alternatif pengganti TiO2 dengan semikonduktor dengan pita energi lebar yang lain contohnya, SnO2, ZnO, dan Nb2O5 seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2. Secara umum performansi TiO2 masih belum tergantikan.
Tabel 4.2. Beberapa Penelitian DSSC menggunakan Semikonduktor selain TiO2.4]
20
Kemudian Tabel 4.3. menunjukkan penelitian DSSC dalam skala modul dengan struktur
sandwich dan monolithic.
Tabel 4.3. Hasil Performansi dari Modul DSSC.[4]
Harga Berdasarkan literatur yang didapat, hanya sedikit publikasi mengenai perkiraan harga
dye-sensitized solar cell. Dan beberapa mengestimasi harga yang cukup berbeda dengan yang lain. Penemu sel surya ini, Gratzel (1994), merujuk kepada estimasi harga yang dikeluarkan Research Triangle Institute (USA) dengan perkiraan harga US $0,60/Wp. Tabel 4.4. menunjukkan detail harga yang diestimasi oleh Smestad (1994) dan Solaronix SA (Meyer 1996). Kedua estimasi harga ini meghasilkan nilai yang cukup berbeda jauh.
Tabel 4.5. menunjukkan perbandingan estimasi harga produksi modul DSSC dengan harga proyeksi sel surya multikrital silikon (mc-Si) dan sel surya lapisan tipis CdTe. Sebagai catatan hasil yang ditunjukkan merupaan prediksi harga DSSC untuk masa depan karena teknolgi DSSC sensdiri masih relatif baru sedangkan harga estimasi mc-Si dan CdTe merupakan harga yang akan diluncurkan dalam jangka pendek ini.
21
Tabel 4.4. Perbandingan Esimasi Harga Produksi DSSC dari Smestad dan Solaronix[4]
Tabel 4.5. Perbandingan Estimasi Harga DSSC dengan Teknologi Sel Surya lain.
(1) Harga Berdasakan Estimasi Smestad (2) Harga Berdasarkan Estimasi Meyer
Keuntungan DSSC Salah satu keuntungan utama teknologi DSSC dibandingkan dengan teknologi sel surya lain yaitu proses fabrikasinya yang relatif simpel, dan peralatan fasilitas yang dibutuhan
22
relatif mudah dan murah. Teknologi lama seperti screen printing dapat digunakan, dibandingkan dengan fasilitas clean room yang dibutuhkan oleh teknologi sel surya lain. Kemudian material dari sel dapat menjadi murah untuk produksi massal, karena keadaan sekarang harga menjadi signifikan akibat harga dye dan platina. Selain itu karena DSC dapat dilapisi pada substrat yang fleksibel, contohnya polimer, maka sel surya dapat diproduksi menjadi berbagai bentuk dan diberbagai lokasi.
23
BAB 3 PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan selama bulan April – November 2007 dengan waktu efektif kurang lebih 6 bulan. Eksperimen dilakukan di Laboratorium Proses Material, Program Studi Teknik Fisika, sedangkan pengujian dilakukan diberbagai tempat/institusi baik didalam ITB maupun di institusi luar ITB. 3.2. Alat dan Bahan Bahan- bahan : 1. TiCl4 (Titanium tetrachloride) dari Merck 2. 95%ethanol / methanol 3. Block copolymer Pluronic PE 6200 (PEO8-PPO30-PEO8, massa molar = 2450 g/mol) dari BASF 4. Aquades 5. Potassium iodide (KI) dari Merck 6. Iodine (I2) dari Merck 7. Acetonitrile dari Merck 8. PVA (Polyvinyl Alcohol) 9. PEG 400 (Polyethylene Glycol) 10. Asam asetat 11. Buah delima
Peralatan : 1. Gelas kimia 2. Tabung ukur 3. Pipet 4. Kaca konduktif (TCO) jenis ITO (Indium tin oxide) 5. Pengaduk magnetik 6. Cawan petri 7. Oven 8. Hot plate
24
9. Tungku listrik 10. Pembersih Ultrasonik 11. Mortar 12. Scotch Tape 13. Multimeter digital 14. Potentiometer
3.3.
Preparasi Komponen-komponen DSSC
Secara umum alur tahapan penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.1. Preparasi bubuk TiO2
Pasta TiO2
Deposisi TiO2 ke TCO
Preparasi larutan dye
Adsorbsi dye ke lapisan TiO2
Preparasi Counter elektroda karbon
Pembuatan Struktur Sandwich elektroda TiO2-karbon
Preparasi elektrolit
Pengisian elektrolit pada sel
Pengujian Sel surya
Gambar 3.1. Alur Tahapan Pembuatan DSSC
3.3.1. Pembuatan Bubuk Nanopori TiO2 Nanopori TiO2 disintesis dengan menggunakan metoda sol-gel dengan bantuan block copolymer sebagai template untuk membentuk struktur nanopori. Langkahlangkah eksperimennya dijelaskan sebagai berikut :
25
1. Block copolymer Pluronic PE 6200 sebanyak 3 gram dilarutkan pada ethanol sebanyak 30 gram kemudian diaduk selama 30 menit oleh pengaduk magnetik. 2. Pada larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan prekursor TiCl4 sebanyak 5.7 gram kemudian diaduk selama 30 menit, sehingga rasio molar TiCl4:ethanol:block copolymer adalah 1:21,7:0,0408. 3. Larutan kemudian dilakukan proses aging pada temperatur 40-45°C selama 6-7 hari pada cawan petri sampai terbentuk dry-gel. 4. Dry-gel yang terbentuk kemudian dikalsinasi pada temperatur 450°C selama 4 jam dengan kecepatan pembakaran 5-6°C/menit untuk mendapatkan bubuk TiO2.
Block copolymer + ethanol
Diaduk 30 menit
TiCl4
Diaduk 30 menit TiCl2(OR)2 (R = CmH2m+1) Aging Temp. 40-45°C 6 – 7 hari TiO2 dry-gel Kalsinasi Temp 450°C 4 jam Bubuk TiO2
Gambar 3.2. Prosedur Pembuatan TiO2
3.3.2. Pembuatan Pasta TiO2 TiO2 akan dideposisikan dengan teknik lapisan tebal sehingga sebelumnya dibuat TiO2 dalam bentuk pasta, yaitu dengan prosedur pembuatan sebagai berikut :
26
1. Tambahkan Polyvinyl Alcohol (PVA) sebanyak 10%berat kedalam air, kemudian diaduk pada temperatur 80oC. Suspensi ini akan berfungsi sebagai binder dalam pembuatan pasta. 2. Tambahkan suspensi tersebut kepada bubuk TiO2 sebanyak kurang lebih 10%volume. Kemudian digerus oleh mortar sampai terbentuk pasta yang baik untuk dilapiskan. 3. Derajat viskositas dari pasta untuk mendapatkan pasta yang optimal didapatkan dengan mengatur banyaknya binder dan juga bila diperlukan ditambahkan juga air pada campuran binder dan bubuk TiO2.
3.3.3. Preparasi Larutan Dye Gerus biji buah delima dengan mortar kemudian tambahkan methanol:asam asetat:air (25:4:21 perbandingan volume) sebanyak 10ml, gerus lagi. Larutan kemudian difilter dengan menggunakan kertas kasa.
3.3.4. Preparasi Elektrolit Larutan elektrolit iodide/triiodide dibuat dengan prosedur sebagai berikut, 1. Campurkan 0,8 gram (0,5 M) potassium iodide (KI) kedalam 10 ml acetonitrile kemudian diaduk. 2. Tambahkan 0,127 gram (0,05 M) Iodine (I2) kedalam larutan tersebut kemudian diaduk. 3. Simpal larutan dalam botol tertutup.
3.3.5. Preparasi Counter-Elektroda Karbon Sebagai sumber karbon digunakan graphite dari pensil. Graphite dilapiskan ke TCO pada bagian konduktifnya kemudian dipanaskan pada temperatur 450oC selama 10 menit agar graphite membentuk kontak yang baik sesama partikel karbon dan dengan TCO.
3.4. Assembly DSSC Setelah masing-masing komponen DSSC berhasil dibuat kemudian dilakukan assembly untuk membentuk sel surya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
27
•
Pada TCO yang telah dipotong menjadi ukuran 1,2 x 1,2 cm dibentuk area tempat TiO2 dideposisikan dengan bantuan Scotch tape pada bagian kaca yang konduktif sehingga terbentuk area sebesar 1 x 0,6 cm dengan ilustrasi seperti pada Gambar 3.3. Scotch tape juga berfungsi sebagai pengatur ketebalan pasta TiO2. 1,2 cm 0,6 cm 1,2 cm
1 cm
Gambar 3.3. Ilustrasi Skema Area Deposisi Pasta TiO2 •
Pasta TiO2 dideposisikan diatas area yang telah dibuat pada kaca konduktif dengan metoda doctor blade yaitu dengan bantuan batang pengaduk untuk meratakan pasta. Kemudian lapisan dikeringkan selama kurang lebih 15 menit dan dibakar/sintering dalam tungku listrik pada temperatur 450oC selama 30 menit.
•
Lapisan TiO2 kemudian direndam dalam larutan dye selama kurang lebih 30 menit kemudian lapisan TiO2 akan menjadi berwarna ungu. Pada proses ini terjadi adsorpsi cyanin ke permukaan TiO2, menggantikan OH- dari struktur Ti(IV) yang berkombinasi dengan proton dari grup cyanin[14], seperti terlihat skemanya pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Adsorpsi Senyawa Aromatic Dihidroxy ke TiO2.[15] •
Counter-elektroda karbon kemudian diletakkan diatas lapisan TiO2 dengan struktur sandwich dimana di masing-masing ujung diberi offset sebesar 0,2 cm
28
untuk kontak elektrik. Kemudian agar struktur selnya mantap dijepit dengan klip pada kedua sisi. •
Larutan elektrolit kemudian diteteskan kira-kira sebanyak 2 tetes kepada ruang antara kedua elektroda. Dan sel surya siap untuk diuji.
3.5. Pengujian Pada peneltian ini selain melakukan pengujian adanya arus dan tegangan pada sel surya yang telah dibuat, sebelumnya dilakukan pengujian terhadap karakteristik bubuk TiO2 dan juga larutan dye.
3.5.1. Pengujian Nanopori TiO2 Pada bubuk TiO2 dilakukan beberapa pengujian berupa : •
Thermogravimetry – Diferential Thermal Analysis (TG-DTA) TG-DTA digunakan untuk menganalisa proses dekomposisi termal dari sampel. Dari data TG-DTA dapat terlihat temperatur proses kristalisasi TiO2 dan juga dekomposisi block copolymer. Sampel dipanaskan pada rentang temperatur 50°-600°C dengan kecepatan 10°C/menit pada kondisi ruang. Pengujian TG-DTA dilakukan di Balai Bahan Keramik Bandung.
•
X-Ray Diffractometer (XRD) Struktur kristal dari TiO2 dianalisa dengan X-Ray Diffractometer menggunakan Philips Analytical X-Ray pada rentang sudut 2θ 10°- 90°. Persamaan Scherrer digunakan untuk menghitung ukuran kristal dari TiO2: D=
kλ β cos θ
(3.1.)
dengan D adalah ukuran kristal, k adalah konstanta yang bernilai 0,94, λ adalah panjang gelombang Bragg, β adalah nilai FWHM (Full-Width Half Maximum), dan θ adalah sudut Bragg. Pengujian XRD dilakukan di Laboratorium XRD, Program Studi Teknik Metalurgi, ITB. •
N2 adsorption
29
N2 adsorption digunakan untuk menentukan luas area spesifik material dengan metoda Brunau-Emmett-Teller (BET). Alat yang digunakan yaitu NOVA 1000 High Speed Gas Sorption Analyzer. Sebelum gas N2 diinjeksikan, sampel terlebih dahulu dipanaskan pada 200°C selama 2 jam pada keadaan vakum untuk menghilangkan air dan minyak. Pengujian N2 adsorption dilakukan di Laboratorium Analisis Instrumen, Program Studi Teknik Kimia, ITB. •
SEM (Scanning Electron Microscopy) SEM digunakan untuk menganalisa struktur morfologi dari sampel TiO2. Pengujian SEM dilakukan di BATAN, Serpong.
3.5.2. Pengujian Absorbsi Dye Profil absorbsi dari dye dianalisi dengan menggunakan UV-VIS Spektrometer dengan instrumen U-1800 Spectrophotometer. Panjang gelombang cahaya yang digunakan yaitu antara 1000-190 nm, lebar slit 4nm, dengan kecepatan scan 200nm/menit.
3.5.3. Pengujian Sel Surya Pada sel surya yang telah dirangkai dilakukan dua jenis pengujian yaitu, 1. Pengujian langsung tegangan dan arus yang terukur dari sel surya dengan menggunakan multimeter. Sumber cahaya yang digunakan yaitu cahaya matahari langsung dan cahaya OHP untuk pengujian dalam ruangan. 2. Pengujian arus dan tegangan dengan menggunakan potentiometer sebagai hambatan yang divariasikan dan dilihat perubahannya. Skema rangkaian listriknya ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Skema Rangkaian Listrik Pengujian Sel surya
30
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Nanopori TiO2 4.1.1. Hasil TG-DTA Gambar 4.1. menunjukkan hasil TG-DTA pada kisaran temperatur 50°C sampai 600°C dari sampel TiO2. Dari grafik TGA, yang menunjukan pengurangan massa sampel sebagai fungsi dari temperatur, terlihat bahwa sampel mengalami pengurangan massa sebesar 75% ketika dipanaskan sampai sekitar 460°C. Sehingga pada temperatur diatas 450°C, sampel merupakan murni TiO2 atau dengan kata lain block copolymer sudah seluruhnya hilang. Selain itu terlihat pada grafik DTA bahwa kristalisasi TiO2 dari fasa amorf menjadi anatase terjadi pada temperatur 350oC. Dari pengujian ini diambil bahwa temperatur kalsinasi ideal adalah 450oC.
Gambar 4.1. Hasil TG-DTA sampel TiO2 gel
4.1.2. Hasil XRD Pola difraksi sinar-X sampel TiO2 ditunjukkan pada Gambar 4.2. menandakan TiO2 mempunyai fasa kristal anatase sesuai dengan JCPDS no. 21-1272. Terlihat
31
juga bahwa intnsitas pola difraksi sampel cukup tinggi menandakan TiO2 mempunyai derajat kristalinitas yang baik. Dengan menggunakan persamaan Scherrer pada indeks bidang miller (101), ukuran kristal yang terhitung yaitu 12,9 nm.
2θ (derajat)
Gambar 4.2. Pola XRD Sampel TiO2 Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa TiO2 yang disintesis cocok untuk diaplikasikan dalam DSSC karena mempunyai fasa kristal anatase yang memiliki kemampuan fotoaktif yang tinggi. Selain itu derajat kristalinitas sampel ini cukup baik dilihat dari intensitas puncak difraksi yang tinggi dan tegas, dengan derajat kristalinitas yang baik maka proses difusi elektron di TiO2 akan lebih cepat yang implikasinya proses tranfer elektron untuk DSSC secara keseluruhan akan lebih tinggi sehingga akan menigkatkan efisiensi sel surya.
4.1.3. Hasil SEM Gambar 4.3. menunjukkan gambar SEM sampel TiO2 yang menunjukkan bahwa ukuran partikel dan pori umumnya lebik kecil dari 100 nm. Sampel juga mengandung sejumlah jaringan partikel yang membentuk struktur nanopori material TiO2. Struktur pori yang terlihat umumnya adalah struktur pori antar
32
partikel sedangkan struktur pori dalam partikel tidak terlihat karena keterbatasan resolusi alat.
Gambar 4.3. Hasil SEM Sampel TiO2 dengan Berbagai Perbesaran Struktur nanopori dari TiO2 merupakan karaktersitik penting untuk aplikasinya dalam DSSC, karena posisi dye akan berada pada pori-pori tersebut. Dengan
33
jumlah pori yang banyak yaitu dengan membuat ukurannya menjadi skala nano maka akan memperbanyak jumlah dye yang teradsorp. Dari gambar SEM terlihat sampel mempunyai interkoneksi antar partikel yang baik. Interkoneksi partikel ini dibutuhkan agar jalur difusi elektron menjadi lebih singkat.
4.1.4. Hasil N2 adsorption Berdasarkan pengukuran N2 adsorption, sampel TiO2 mempunyai luas permukaan spesifik 97 m2/g. Nilai ini lebih besar daripada nano-TiO2 komersial Degussa P-25 yang umunya dipakai sebagai referensi nanopartikel TiO2, dengan luas permukaan spesifik BET 50 m2/g. Degussa P-25 mempunyai ukuran kristal 22±3 nm. Berdasarkan analisa N2 adsorption dapat disimpulkan bahwa TiO2 yang dihasilkan dari penelitian ini cocok digunakan untuk aplikasi pada DSSC karena memiliki luas permukaan spesifik yang cukup tinggi diakibatkan oleh ukuran partikel dan struktur porinya yang berukuran dalam skala nano.
4.2. Analisis Absorbsi Dye Buah Delima Profil absorbsi cahaya dari pigmen antocyanin buah delima dianalisis menggunakan UV-Vis Spektrometer. Terlihat pada grafik UV-VIS pada Gambar 4.4. terdapat puncak
pada panjang gelombang 562 nm menandakan bahwa
pigmen antocyanin yang ada pada buah delima dapat mengabsorb cahaya dengan panjang gelombang 562 nm yang masih dalam spektrum cahaya tampak. Pada bagian panjang gelombang kurang dari 562 nm juga terdapat beberapa puncak yang merupakan area radiasi ultraviolet dimana hampir semua benda gelap dapat menyerap radiasi ini.
34
Gambar 4.4. Grafik UV-VIS dari Dye Buah Delima
Sebagai perbandingan, pada Gambar 4.5. merupakan grafik UV-VIS dari dye ruthenium complex jenis N719 (C58H86O8N8S2Ru) yang diambil dari penelitian Jian Zhan, dkk[16]. Dari grafik tersebut terlihat bahwa terdapat dua puncak absorbsi pada panjang gelombang 550 nm dan 400 nm. Ini menunjukkan bahwa dye jenis ruthenium complex dapat menyerap spektrum cahaya lebih lebar sehingga dalam hal performansinya lebih baik
Gambar 4.5. Grafik UV-VIS dari Ruthenium Dye N719
35
4.3. Analisis Sel surya Sel surya yang telah diassembly dilakukan pengujian langsung kemampuan konversi energinya dengan iluminansi dari cahaya matahari. Seperti terlihat pada Gambar 4.6. sel surya berhasil mengkonversi energi surya menjadi listrik ditunjukkan dengan nilai tegangan pada multimeter sebesar 162,4 mV atau 0,1624 V dan arus listrik sebesar 0,07 mA pada kondisi iluminansi cahaya matahari cerah.
Gambar 4.6. Pengujian Tegangan Sel Surya dengan Iluminansi Cahaya Matahari
Pengujian tegangan sel surya juga dilakukan didalam ruangan yaitu menggunakan cahaya OHP. Seperti terlihat pada Gambar 4.7(a), dengan iluminansi cahaya OHP, sel surya menghasilkan tegangan 0,004 V atau 40 mV. Sedangkan ketika sel surya dalam keadaan tanpa iluminansi cahaya OHP (Gambar 4.7(b)), tidak ada tegangan yang terukur pada sel surya.
Nilai tegangan yang lebih besar dari iluminansi cahaya matahri disebabkan cahaya matahri mempunyai intensitas cahaya yang lebih tinggi selain itu spektru cahaya
36
yang dipancarkan lebih lebar. Oleh karena itu cahaya matahari merupakan sumber iluminansi yang paling efektif untuk pengujian.
a)
b)
Gambar 4.7. Pengujian Tegangan Sel Surya didalam ruangan, (a) Dengan iluminansi cahaya OHP, (b) Tanpa iluminansi cahaya OHP
37
Kemudian dilakukan juga pengujian sel surya dengan menghubungkannya pada potentiometer dengan nilai resistansi yang dirubah-rubah. Namun karena ternyata stabilitas sel surya yang kurang baik sehingga hasil yang didapatkan kurang optimal untuk mendapatkan kurva I-V yang baik (nilai efisiensi sel surya). Hal ini diakibatkan enkapsulasi sel surya yang masih belum optimal sehingga larutan elektrolit cepat sekali menguap oleh panas dari sumber cahaya. Oleh karena itu untuk penelitian lebih lanjut dalam waktu dekat ini akan difokuskan pada optimalisasi enkapsulasi sel surya untuk menjaga stabilitas performansi sel.
38
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan pembuatan prototipe dyesensitized solar cell (DSSC) dengn menggunakan kombinasi bahan inorganik TiO2 dengan bahan organik dye dari ekstraksi buah delima. 2. DSSC yang dibuat berhasil mengkonversi energi surya menjadi energi listrik. 3. Karakteristik-karakteristik yang menentukan performansi sel surya diantaranya struktur TiO2, jenis dye (karakteristik absorbsi cahaya), dan enkapsulasi sel surya. 4. Secara umum teknologi pembuatan DSSC dalam penelitian ini relatif cukup murah dan tidak membutuhkan peralatan yang besar dan mahal.
5.2. Saran 1. Perlu dikaji lebih jauh mengenai pengaruh berbagai karakteristik komponen DSSC terhadap performansi sel surya. 2. Perlu dilakukan penelitian DSSC oleh peneliti-peneliti pada berbagai disiplin ilmu agar kajian yang dilakukan lebih spesifik. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai desain sel yang optimal untuk menjaga performansi sel surya.
39
DAFTAR PUSTAKA [1]
Greg P. Smestad, 2002, “Optoelectronics of Solar Cells”, SPIE PRESS.
[2]
Green, M. A., 2001, “Solar Cell Efficiency Tables (Version 18)”, Prog. Photovolt. Res. Appl., 9, 287-93
[3]
Shah, A., et al., 1999, “Photovoltaic Technology: The Case for Thin-Film Solar Cells”, Science, 30 July, 285, 692-8.
[4]
J. Halme, 2002, “Dye sensitized Nanostructured and Organic Photovoltaic Cells : technical review and preeliminary test”, Master Thesis of Helsinki University of Technology..
[5]
Annual World Solar Photovoltaic Industry Report, Marketbuzz 2007 report.
[6]
Global Market: Current & Next Generation Solar Cell & Related Material Market Outlooks, Research and Markets reports.
[7]
G. Phani, G. Tulloch, D. Vittorio, dan I. Skyrabin, 2001, “Titania solar cells: new photovoltaic technology”, Renewable Energy.
[8]
R. Sastrawan, 2006, “Photovoltaic modules of dye solar cells”, Disertasi University of Freiburg.
[9]
Kalyanasundaram, K., Grätzel, M., 1998, “Applications of functionalized transition metal complexes in photonic and optoelectronic devices”, Coordination Chemistry Reviews, 177, 347-414.
[10]
H. Zhang, J.F. Banfield, 2000, “Understanding Polymorphic Phase Transformation Behavior during Growth of Nanocrystalline Aggregates: Insights from TiO2 “, J Phys Chem B, vol. 104, pp. 3481..
[11]
http://www.ise.fhg.de/areas-of-business-and-market-areas/solar-cells/dyeand-organic-solar-cells/manufacturing-of-dye-solar-cells/manufacturingof-dye-solar-cells
[12]
Kay, A., Grätzel, M., 1996, “Low cost photovoltaic modules based on dye sensitized nanocrystalline titanium dioxide and carbon powder”, Solar Energy Materials & Solar Cells, 44, 99-117.
40
[13]
Wolfbauer, G., et al., 2001, “A channel flow cell system specifically designed to test the efficiency of redox shuttles in dye sensitized solar cells”, Solar Energy Materials & Solar Cells, 70, 85-101.
[14]
Nerine J. Cherepy, Greg P. Smestad, Michael Gra1tzel, and Jin Z. Zhang,1997,
“Ultrafast
Electron
Injection:
Implications
for
a
Photoelectrochemical Cell Utilizing an Anthocyanin Dye-Sensitized TiO2 Nanocrystalline Electrode” J. Phys. Chem. B, 101, 9342-9351. [15]
Qing Dai and Joseph Rabani, 2001, “Photosensitization of nanocrystalline TiO2 films by pomegranatepigments with unusually high efficiency in aqueous medium”, Chem. Commun., 2142–2143.
[16]
Jian Zhan, Peng Sun, Shan Jiang, Xiaohang Sun, “An investigation of the performance of dye-sensitized nanocrystalline solar cell with anthocyanin dye and ruthenium dye as the sensitizers”, 2006, Roskilde University Project.
41
LAMPIRAN
Gambar 1. Dye-sensitized Solar cell (DSSC) yang dibuat dalam Penelitian ini.
Gambar 2. DSSC dan Larutan Elektrolit
40
Gambar 3. Bahan-bahan untuk Pembuatan TiO2
Gambar 4. Bahan-bahan Larutan Elektrolit
41
Gambar 5. Tungku Listrik
Gambar 6. Binder untuk Pembuatan Pasta TiO2
42
Gambar 7. Biji Buah Delima
Gambar 8. Proses Perendaman Lapisan TiO2 pada Larutan Dye
43