DITERBITKAN OLEH: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH GIZ - Sustainable Urban Transport Improvement Project (SUTIP) d/a : Gedung Graha Mandiri, Lt.17 Jl. Imam Bonjol No. 61 Jakarta Pusat 10310 P : +62-21 3192 3375/390 8290 F : +62-21 3193 4745 Email:
[email protected]
Ketua Tim Pengarah: Bambang Prihartono Penanggung Jawab: Daniel Herrmann Editor: • Syafrita Ayu Hermawan • Dhany Utami Ningtyas Tim Pengarah: BAPPENAS • Petrus Sumarsono • Dail Umamil Asri • Ikhwan Hakim • Bastian • Adi Perdana • Ahmad Zainudin • Wayan Deddy Wedha Setyanto Penulis: GIZ SUTIP • Achmad Izzul Waro • Anugrah Ilahi • Septina Setyaningrum • Titis Efrindu Bawono • Tedy Murtejo • Muhammad Nanang Prayudyanto • Achmad Faris Saffan Sunarya
efisien, angkutan massal seharusnya menjadi tulang punggung dalam struktur
REPUBLIK INDONESIA
mobilitas warga perkotaan. Sayangnya, belum semua kota di Indonesia siap menjalankan sistem ini. Buku ini mengidentifikasi persoalan dasar
TOOLKIT UNTUK MOBILITAS PERKOTAAN DI INDONESIA
angkutan perkotaan yang ada saat ini dan langkah-langkah praktis untuk meningkatkan layanannya. Pada akhirnya, diharapkan akan memudahkan pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat untuk bersama-sama menyiapkan sebuah sistem angkutan massal yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Didukung oleh:
L A N G K A H J I T U P E M B E N A H A N A N G K U TA N P E R K O TA A N
TOOLKIT UNTUK MOBILITAS PERKOTAAN DI INDONESIA LANGKAH JITU PEMBENAHAN ANGKUTAN PERKOTAAN
Glosarium
Sebagai upaya mewujudkan sistem transportasi perkotaan yang efektif dan
LANGKAH JITU PEMBENAHAN ANGKUTAN PERKOTAAN
PARK AND RIDE
HALTE TANAH AB
ANG
P 19 TANAH ABANG- BLOK M
N ANGKUTA
KOTA
Perancang Grafis: Fredy Susanto Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan SUTIP 96 Halaman, 17.6cm x 25cm Edisi pertama, tahun cetak 2015 Dicetak di Jakarta, Indonesia, Maret 2015 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
5 BW B 391
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Bus Kecil : Bus dengan kapasitas antara 9-16 orang Bus Sedang : Disebut juga bus 3/4 dengan kapasitas 17-35 orang Ngetem : Istilah untuk angkutan atau kendaraan umum yang sedang berhenti menunggu penumpang Angkutan massal : Angkutan umum dengan daya tampung besar Trunk Line : Jalur utama angkutan umum Demand : Permintaan perjalanan SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BBM : Bahan Bakar Minyak LLAJ : Lalu Lintas Angkutan Jalan RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Organda : Asosiasi Pengusaha Angkutan Darat CSR : Corporate Social Responsibility ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas Prameks : Prambanan Ekspres NMT : Non-Motorized Transport Transportasi tidak bermotor KRD : Kereta Rel Diesel NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak Sekda : Sekretaris Daerah LF : Load Factor Sekda : Sekretaris Daerah BMC : Bus Management Company Tatrawil : Tataran Transportasi Wilayah Tatralok : Tataran Transportasi Lokal RIJLLAJ : Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
TOOLKIT UNTUK MOBILITAS PERKOTAAN DI INDONESIa
Langkah Jitu Pembenahan Angkutan Perkotaan
PARK AND RIDE
HALTE TANAH AB
ANG
P 19 TANAH ABANG- BLOK M
N ANGKUTA
B 391
KOTA
5 BW
Prakata
K
TOOLKIT TRANSPORTASI PERKOTAAN ita menyadari bahwa proses urbanisasi dan kebutuhan lapangan kerja yang tinggi telah mempercepat pertumbuhan penduduk di perkotaan. Dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang mencapai 4,4% per tahun, pada tahun 2025 diperkirakan terdapat sekitar 60% penduduk Indonesia atau sekitar 170 juta orang akan tinggal di wilayah perkotaan. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi untuk mengendalikan urbanisasi, antara lain dengan menghindari konsentrasi penduduk yang terjadi hanya di beberapa kota metropolitan dan kota besar, serta memperkuat pelayanan kota-kota kecil dan sedang melalui peningkatan kualitas infrastruktur. Di wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk lebih dari 500 ribu jiwa, kebutuhan infrastruktur dalam hal peningkatan peran angkutan massal wajib dikelola, dioptimalkan, dan diselaraskan dengan infrastruktur moda angkutan lainnya. Akan tetapi, upaya tersebut tidak cukup untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan yang memadai. Secara bersamaan jumlah kendaraan pribadi juga harus ditekan semaksimal mungkin. Sementara itu, untuk wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu, kebutuhan infrastruktur yang harus dilakukan adalah dengan mempertahankan pelayanan melalui low cost traffic management dengan meningkatkan dan menyelaraskan peran berbagai moda angkutan umum, tetapi tetap menjaga kualitas aksesibilitas penduduk. Dalam perspektif ekonomi makro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur transportasi perkotaan dapat memengaruhi marginal productivity of private capital, dan dalam perspektif ekonomi mikro, hal ini akan berpengaruh terhadap penurunan biaya produksi. Selain itu, kontribusi infrastruktur transportasi perkotaan terhadap peningkatan kualitas hidup ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan, produktivitas dan akses terhadap lapangan kerja, serta stabilitas ekonomi makro. Pemerintah Indonesia yang telah mengesahkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019, berupaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan transportasi perkotaan dengan prioritas “pembangunan transportasi massal perkotaan” dan fokus pada infrastruktur angkutan massal berbasis jalan, angkutan massal berbasis rel, dan pemeliharaan kualitas jaringan jalan perkotaan. Sasaran yang akan dicapai pada akhir tahun 2019 di antaranya peningkatan modal share minimal 32%, jumlah kota yang menerapkan BRT meningkat 70% menjadi 29 kota, kapasitas angkut angkutan umum meningkat 80%, peningkatan kecepatan lalu-lintas minimal 20 km/jam, berkembangnya aplikasi teknologi manajemen lalu-lintas perkotaan, dan perbaikan moda alternatif non-jalan pada kota-kota yang berpotensi serta perbaikan pemanfaatan energi berbasis gas khususnya untuk angkutan umum di perkotaan, perbaikan keselamatan lalu-lintas di perkotaan dan pengurangan dampak lingkungan khususnya emisi udara perkotaan. Pemerintah merasa perlu untuk merangkul pihak-pihak lain seperti swasta, BUMN dan negara-negara donor termasuk GIZ-SUTIP untuk membantu perbaikan sistem tarnsportasi perkotaan serta menjelaskan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Buku yang tersaji ini merupakan kelanjutan dari Buku Sustainable Urban Transport (Bappenas, 2014), merupakan kerja sama Bappenas, Kementerian Perhubungan, dan GIZ SUTIP, dengan harapan agar pemerintah daerah dapat menindaklanjuti aspek yang lebih teknis berdasarkan arahan dari pemerintah pusat. Buku petunjuk ini fokus pada bahasan mengenai empat hal: (1) manajemen parkir di perkotaan; (2) Perbaikan Angkutan Umum Perkotaan (Angkot Reform), (3)Pengembangan Transportasi Tidak Bermotor (NMT); dan (4) Implementasi PEP untuk RAD GRK (Rencana Aksi Daerah tentang Gas Rumah Kaca). Dalam kesempatan ini, saya menyampaikan penghargaan saya kepada tim yang telah bekerja keras dalam menyelesaikan buku ini. Saya harap buku ini dapat membantu kita semua untuk memahami langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan visi perkotaan di Indonesia, yaitu mencapai transportasi perkotaan yang berkelanjutan.
Jakarta, Maret 2015 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
1
Latar Belakang, Permasalahan, dan Tujuan
strategi pengembangan 35 3.1 angkutan umum perkotaan
1.1 LATAR BELAKANG
IDENTIFIKASI, PERMASALAHAN 12 1.2 DAN TANTANGAN
Daftar Isi
2
16
Pentingnya Komitmen 16 2.1 Politis
46 3.3.1 Prinsip Penentuan Sarana dan Prasarana 48 3.3.2 Teknis Penentuan Halte dan Lajur Bus 49 3.3.3 Pengawasan
50 3.4 Aspek Sosial 50 3.4.1 Pelecehan Seksual di Angkutan Perkotaan
2.2 REGULASI
26
TIBA: M 09 : TANAH
ABANG-MERUYA
28
ISTRIK ANGLING L
Kebijakan Pengembangan Transportasi/ Angkutan Jalan Terminal Tempat Pemberhentian Angkot dan Bus
4.2 PEMBIAYAAN Prasarana Pendukung
57
4.3 Alternatif Sistem Kontrak
4.4 Sistem Tiket dan Tarif
62
4.5 Pengembangan Sistem Subsidi 62 4.5.1 Prinsip Pemberian Subsidi 63 4.5.2 Peruntukan Subsidi 64 4.5.3 Menentukan Besaran Subsidi
5 70
TIAN HEN BER PEM KOT ANG
ILIR LAMA N
MERUYA KEBAYORA -
TANAH Trayek M11 M09A
ABANG ABANG
TANAH
ABANG TINGGI TANAH N SLIPI JEMBATAN TUBUN M11 KS. JERUK BUNDERA ILIR PALMERAH KEBUN AN MERUYAABANG
TANAH PETAMBUR LAMA M09 SLIPI N BELONG PALMERAH RAWA KEBAYORA
Anda Posisi
66
Pembentukan Manajemen Angkot yang Efektif dan Efisien
5.1 Perizinan Angkutan Umum
67 5.1.1 Izin Usaha Angkutan 69 5.1.2 Izin Trayek/Koridor
2.3 Sarana Angkutan
2.4 praSarana Angkutan
55
66
26 2.3.1 Ragam Jasa Angkutan 28 2.3.2 Paratransit: Angkutan Alternatif
28 2.4.1 28 2.4.2 32 2.4.3
4.1PenYEDIAAN Anggaran (Financing Public Transport)
58 4.4.1 Pengembangan Sistem Pembayaran dan Integrasi Tiket 60 4.4.2 Penerapan Tarif
3.3 Transformasi MenUJU Angkutan Massal
22 2.2.1 Standar Pelayanan Minimum (SPM) 25 2.2.2 Manajemen Operasional (Badan Hukum)
52
52
58
S U
22
Kemauan Politis dan Komitmen Aksi Komitmen Politis dan Dampaknya terhadap Perencanaan Keuangan Penerapan Konsep TDM Kemauan Politis dan Komitmen Aksi di Berbagai Tingkatan Sinkronisasi Antara Pemangku Kepentingan
46
4
Mekanisme Pembiayaan
57 4.3.1 Kontrak kerjasama
40 3.2.1 Tipologi Angkutan Umum di Perkotaan 42 3.2.2 Penataan Angkutan Perkotaan
35 3.1.1 Konsolidasi 36 3.1.2 Restrukturisasi Trayek 37 3.1.3 Penerapan Konsep TDM
Penataan Angkot di 40 3.2 Indonesia
Pengembangan Kebijakan Angkutan Umum
16 2.1.1 17 2.1.2 18 2.1.3 19 2.1.4 21 2.1.5
35
B
8
3
Penataan Angkutan Perkotaan di Indonesia
8
74
5.2 Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
5.3 Tata Cara Pembentukan Badan Hukum 74 5.3.1 Perseroan Terbatas (PT) 75 5.3.2 Koperasi
8
1
9
Latar Belakang, Permasalahan, dan Tujuan
Mobil itu ibarat kolesterol. Kita membutuhkannya untuk mengalirkan darah di dalam tubuh, tetapi kita harus mengontrolnya. Jika kita gagal mengontrolnya, kolesterol akan mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah dan kita akan mati karena serangan jantung. (PM Singapura Goh Cok Tong)
1.1 Latar Belakang
P
engaturan angkutan jalan di wilayah perkotaan memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi serta mewujudkan konektivitas dan integrasi nasional. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi dan dijabarkan oleh Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sejalan dengan itu, dibutuhkan sebuah rangkaian sistem, sarana dan prasarana angkutan jalan yang efektif dan efisien yang dapat menjawab kebutuhan mobilitas masyarakat perkotaan. Rangkaian sistem tersebut dapat diwujudkan melalui reformasi sistem angkutan jalan di wilayah perkotaan dengan mengembangkan sebuah reformasi layanan yang mengacu kepada konsep Bus Rapid Transit (BRT) dengan menggunakan format buy the service. Sistem buy the service atau beli layanan mampu menghilangkan budaya buruk akibat sistem setoran yang ada di pelayanan angkutan jalan konvensional selama ini. Ditunjang dengan mekanisme bisnis yang transparan, sistem ini diyakini akan membuat pengusaha angkutan berkompetisi secara sehat dengan mendahulukan sisi keamanan, keselamatan dan kenyamanan penumpang. Pemerintah pusat dapat mendorong pemerintah daerah dan pihak swasta untuk menerapkan sistem ini di wilayahnya masing-masing. Sistem angkutan umum yang efektif dan efisien pada muaranya akan menunjang tata kota yang lebih baik, dimana warga kota mempunyai akses yang merata untuk melakukan mobilitasnya
Mengenal Buy the Service pada sistem BRT Buy the Service adalah sistem yang dapat diberlakukan untuk mengoperasikan bus dengan spesifkasi pelayanan, baik ditinjau dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pemerintah akan membayar operator berdasarkan tarif atas pelayanan yang mereka laksanakan, sesuai jumlah kilometer yang mereka tempuh (Heru Sutomo, 2007).
Foto oleh: Anugrah Ilahi (keduanya)
10
11
b ab 1 L ata r B e l a k a ng , Pe r masalahan, dan Tujuan
tanpa harus tersiksa oleh kemacetan dan polusi udara. Sistem BRT telah berkembang baik di sejumlah kota mancanegara, seperti Bogota dan Guangzhou. Di Indonesia dikenal pula angkutan massal berbasis jalan atau disebut juga Sistem Transit atau Busway. Akan tetapi, sejauh ini keberadaannya masih terbatas baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Hingga akhir tahun 2014, dari 34 pemerintahan provinsi dan 505 pemerintahan kota/kabupaten yang ada, baru tersedia 18 unit layanan angkutan massal berbasis jalan. Dari ke-18 layanan tersebut, baru Trans Jakarta yang memiliki lajur khusus bus, itu pun hanya untuk sebagian rute saja. Pengoperasian sebagian besar layanan angkutan massal tersebut juga masih belum sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditentukan pemerintah. Kendalanya antara lain adalah minimnya infrastruktur dan tingginya biaya operasional untuk mendukung sistem buy the service ini. Kondisi ini menjadi beban subsidi yang memberatkan anggaran pemerintah daerah untuk menjamin keberlangsungan operasional konsep BRT ini. Hingga saat ini, pelayanan angkutan jalan perkotaan di seluruh kawasan perkotaan masih didominasi oleh layanan angkutan jalan konvensional. Jenis layanan angkutan ini diisi oleh armada yang beraneka ukuran, mulai dari bus kecil hingga bus besar. Jalur operasinya pun terkadang masih tumpang tindih. Pengelolaan dilakukan secara individual dan orientasi pelayanan masih menggunakan paradigma kejar setoran, belum sampai kepada upaya memberikan rasa nyaman dan aman kepada para penumpang. Persoalan tersebut harus segera diatasi dengan melakukan upaya yang sistematis dan terstruktur untuk meningkatkan sistem angkutan umum atau angkutan kota (angkot) dari konvensional menuju modern. Pengelolaan angkot yang selama ini berbasis individual dialihkan menjadi badan hukum profesional dengan tata kelola yang baik. Peningkatan kualitas manajemen angkutan umum diharapkan secara perlahan tetapi pasti akan dapat membangkitkan minat masyarakat untuk kembali menggunakan angkutan umum hingga akhirnya kemacetan dan pencemaran udara di kawasan perkotaan pun akan berkurang secara signifikan. Merespon kondisi tersebut, disusun toolkit ini dengan harapan dapat memberikan sumbangsih langkah jitu yang tersaji dalam lima bab yang praktis digunakan sebagai panduan penyelenggaraan angkutan umum yang efektif dan efisien pada wilayah perkotaan.
Jaminan Ketersediaan Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan di kawasan perkotaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 158 UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Angkutan tersebut harus didukung oleh:
•
Mobil bus berkapasitas angkutan massal
•
Lajur khusus
•
Trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal
•
Angkutan pengumpan
Permasalahan Penyediaan Sistem Angkutan Jalan: Meninjau Kasus Bogor Penyediaan sistem angkutan jalan yang baik di kawasan perkotaan adalah dambaan para pengguna jasa angkutan umum. Akan tetapi, masih sering dijumpai sejumlah masalah dalam penerapan penyediaan angkutan berbasis jalan ini. Poin di bawah ini, merujuk kasus di Kota Bogor, dapat menjadi acuan informasi untuk segera memulai menerapkan penyediaan angkutan umum berbasis jalan: • Volume lalu lintas semakin padat sehingga menimbulkan kemacetan dan meningkatkan waktu perjalanan. • Kebiasaan ngetem sopir angkot untuk menunggu penumpang. • Terjadi penurunan jumlah penumpang, yang beralih moda ke kendaraan pribadi khususnya sepeda motor. Kondisi ini menyebabkan load factor atau keterisian penumpang menurun drastis dan bisnis angkutan umum semakin mendekati titik nadir. • Terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan armada angkot dan jumlah permintaan penumpang. • Adanya persaingan yang sangat ketat dan tidak sehat di antara para pengemudi untuk mencari penumpang.
Foto: Anugrah Ilahi: (mobil bus, lajur khusus), Achmad Fuadi (angkutan penumpang), Raden Mirza (angkot Bogor).
13
b ab 1 L ata r B e l a k a ng , Pe r masalahan, dan Tujuan
M 09
BK 3915 WO
Atau Penurunan Kecepatan Rata-rata Perjalanan di Wilayah Perkotaan di Jakarta membuktikan penurunan kualitas perjalanan, berdasarkan penelitian atas waktu tempuh perjalanan di Jakarta pada ruas Pasar Minggu- Manggarai dan Cilandak-Monas (Jakarta) pada pagi hari.
1. Tidak tersedianya perencanaan yang menyeluruh, meliputi sarana, prasarana, pembiayaan, dan pengembangan SDM di bidang transportasi. 2. Jumlah ketersediaan BRT di Indonesia masih sangat terbatas. 3. Terdapat angkot melayani hampir seluruh kota di Indonesia, tetapi minim pembinaan. Pada tataran praktis, banyak dijumpai kendala dalam melakukan implementasi kebijakan perundang-undangan di bidang penataan angkot. Identifikasi atas kendala tersebut adalah: • Kondisi umum yang berlaku saat ini, yang memungkinkan kepemilikan dan pengoperasian angkot oleh individu, menyebabkan pengelolaan angkot seringkali tidak dilakukan secara profesional. Pola ini mengakibatkan pelayanan tidak maksimal karena para pemilik armada umumnya tidak memiliki SDM yang memadai untuk mengelola bisnis angkutannya secara profesional. Hal ini merupakan tantangan mendasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengembangkan sistem angkutan perkotaan yang baik. • Terdapat permasalahan trayek angkutan kota dan pembentukan sistem transit yang tidak terintegrasi. Pada kasus tertentu hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman bahkan ketegangan karena beberapa operator beranggapan bahwa rencana pemerintah untuk menyediakan sistem transit/BRT justru akan merugikan mereka mengingat potensi penumpang di suatu trayek atau koridor tertentu terganggu. Hal ini pun dipandang sebagai bentuk kompetisi yang lalu menimbulkan resistensi besar di kalangan pelaku usaha angkutan kota yang sudah ada. • Timbul ketidakefisienan biaya operasional kendaraan (BOK) karena usia armada angkutan perkotaan yang sudah tua. Hal ini juga berdampak negatif terhadap kualitas udara perkotaan akibat emisi yang ditimbulkan oleh kendaraan berusia tua tersebut.
Tabel Perbandingan Waktu Tempuh Perjalanan di Jakarta 1985-2011 Pasar Minggu - Manggarai
Cilandak - Monas
2011
Reformasi angkot perlu dilakukan untuk menjawab sejumlah masalah angkutan umum di perkotaan.
Tren Peningkatan Waktu Tempuh
(9,4 km/jam) (6,1km/jam)
2000
Mengapa Perlu Reformasi Angkot?
P
ermasalahan angkutan umum yang pelik dapat diidentifikasi dalam beberapa kelompok masalah sebagaimana di bawah ini:
tahun
1.2 Identifikasi, PERMASALAHAN dan Tantangan
(16,1 km/jam)
1985
12
(26,3 km/jam)
100 95
(19,2 km/jam)
49 36
(24,7 km/jam)
0
38 22
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Waktu tempuh rata-rata (dalam menit) Sumber: ARSDS (1985), SITRAMP Phase 1 Travel Speed Survey (2000), JUTPI Travel Speed Survey (2011).
T
oolkit ini disiapkan sebagai acuan dalam melakukan langkah perbaikan sistem angkutan perkotaan, termasuk konsolidasi angkutan perkotaan. Dengan demikian, para pengusaha dan awak angkutan akan memiliki dasar pemahaman yang cukup untuk diarahkan dala upaya meningkatkan metode kerjasama menuju ke sistem transit yang sesungguhnya. Secara lebih spesifik, toolkit ini difokuskan sebagai panduan bagi proses peningkatan kapasitas layanan sistem angkutan perkotaan non massal, sekaligus juga perbaikan sistem manajerial angkutan perkotaan tersebut agar lebih terstruktur yang akan mendukung program pembangunan kota yang berkelanjutan. Pada akhirnya, akan dicapai kualitas layanan angkutan umum yang lebih baik dan andal sehingga mampu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap angkutan perkotaan. Toolkit ini dirancang dengan tujuan memberikan langkahlangkah jitu yang akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi angkutan umum di perkotaan. Hal ini diawali dengan menyediakan deskripsi untuk mengembangkan kebijakan transportasi umum,
1.3 Ruang Lingkup dan Struktur Toolkit
14
15
b ab 1 L ata r B e l a k a ng , Pe r masalahan, dan Tujuan
dan berlanjut dengan penjelasan lebih rinci tentang upaya mengatur angkutan umum perkotaan di Indonesia berdasarkan praktik terbaiknya saat ini. Pada bab keempat akan dijelaskan beberapa pertimbangan pembiayaan, dan bab terakhir menyajikan langkahlangkah untuk mengaplikasikan manajemen angkot yang efektif dan efisien. Toolkit ini bertujuan memberikan gambaran lengkap tentang penerapan transportasi reformasi, terutama difokuskan pada kondisi khas Indonesia, pembaca juga didorong untuk meninjau dokumen lain untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. GIZ SUTP telah menerbitkan serangkaian dokumen kebijakan yang dapat melengkapi informasi ini1, terutama “Training Document-Bus Regulation and Planning & Bus Sector Reform”. Daftar Dokumen Kebijakan secara lengkap dapat diunduh melalui tautan berikut: http://www.sutp.org/en/resources/publications-by-topic/public-transport-44.html
Mengenal Istilah dalam Konsep Angkutan Umum
Kendaraan bermotor umum
Angkutan adalah kendaraan yang digunakan untuk melakukan perjalanan.
Badan hukum
adalah badan usaha pengelola angkutan umum yang memiliki legalitas.
adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
Sistem transit
Trayek atau koridor adalah rute perjalanan suatu jenis angkutan umum.
Angkot
Bus Rapid Transit (BRT) adalah sistem angkutan umum massal yang menggunakan mobil bus dengan lajur khusus yang terproteksi sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas angkut yang bersifat massal, atau bisa juga disebut sebagai konsep Think Rail Use Bus.
adalah istilah untuk angkutan perkotaan, meskipun bisa juga untuk kategori bus sedang dan bus besar, umumnya angkot dikategorikan sebagai bus kecil. Di sejumlah kota, angkot memiliki nama julukan khas yang masing-masing.
adalah bentuk modifikasi BRT yang tidak dilengkapi dengan lajur khusus bus yang terproteksi, biasa disebut juga dengan Semi BRT.
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
adalah bakuan mutu pelayanan yang harus dicapai oleh operator dalam memberikan jasa pelayanan kepada pengguna jasa.
Menciptakan layanan angkutan umum yang menjamin Standar Pelayanan Minimal bagi masyarakat. — Foto oleh Anugrah Ilahi
16
2
17
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Pengembangan Kebijakan Angkutan Umum
2.1 Pentingnya Komitmen Politis
K
omitmen politis merupakan katalisator, dan bahkan tak jarang menjadi kunci utama bagi perubahan sistem transportasi perkotaan, khususnya di bidang angkutan umum. Pada prinsipnya hal tersebut dapat diwujudkan sepanjang ada kemauan, maka di situ ada jalan. 2.1.1 Kemauan Politis dan Komitmen Aksi Ada dua kelompok pemangku kepentingan di tingkat pemerintah daerah; yaitu kelompok eksekutif, yang meliputi gubernur, walikota atau bupati, berikut jajarannya; dan kelompok legislatif, yang meliputi unsur pimpinan dan anggota DPRD. Kedua kelompok pemangku kepentingan ini hendaknya melihat masalah transportasi sebagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan guna memastikan konsep transportasi perkotaan yang baik dimasukkan ke dalam program dan anggaran pemerintah. Kemauan politis dan komitmen aksi dapat dibangun dan dijaga melalui beberapa upaya, antara lain: 1. Mendapatkan pemahaman langsung atas masalah yang ada. Misalnya, dengan mengunjungi suatu daerah yang telah menerapkan dan mengembangkan sistem transportasi secara baik, atau melakukan studi banding ke luar negeri. 2. Mengadakan diskusi publik. 3. Mendapatkan dukungan publik sekaligus mengakomodasi aspirasi mereka. Peraturan yang ada seharusnya mengarahkan pemerintah dalam berperan mereka sebagai regulator untuk mengembangkan rencana dan mengelola sistem transportasi umum yang selamat, nyaman, dan mudah diakses. Selain hal-hal tersebut di atas, kemauan politis dan komitmen aksi juga dapat dikembangkan melalui mekanisme politik anggaran. Salah satu contoh dampak kemauan politis anggaran adalah kebijakan alokasi dana sebagaimana dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Sebagai pembina teknis pada sektor transportasi darat, Ditjen Hubdar dapat mengalokasikan dana yang digunakan untuk mengembangkan infrastruktur dan pembelian bus sebagai bantuan bagi pemerintah daerah. Anggaran juga dapat dialokasikan untuk membantu pengembangan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, atau yang sering disebut sebagai Tatralok (Tataran Transportasi Lokal) untuk tingkat Kabupaten/Kota, dan Tatrawil (Tataran Transportasi Wilayah) untuk tingkat Provinsi. 2.1.2 Komitmen Politis dan Dampaknya terhadap Perencanaan Keuangan Anggaran belanja pemerintah semestinya menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pembangunan yang ditetapkan pada tingkat nasional dan lokal. Persaingan antar sektor pembangunan, berbagai lembaga maupun kelompok kepentingan dalam alokasi anggaran publik biasanya terjadi karena kebutuhan akan anggaran umumnya lebih tinggi daripada anggaran yang tersedia. Kasus yang umumnya terjadi, dan biasanya muncul pada negara berkembang seperti Indonesia adalah kesenjangan antara harapan dari banyak kelompok masyarakat pada pembangunan dan banyaknya tuntutan kepentingan. Hal ini ini berdampak pada perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik yang tidak seimbang. Akan tetapi, terdapat beberapa daerah dan wilayah metropolitan di Indonesia yang tumbuh dan berkembang secara mandiri. Pada umumnya pembangunan infrastruktur di Indonesia 70-80% berasal dari APBN, sedangkan APBD berkontribusi sekitar 20-30%. Pada beberapa proyek tertentu, porsi persentase sharing tersebut di atas bisa jadi bervariasi. Selain itu dimungkinkan pula kontribusi swasta dalam pembangunan infrastruktur dengan nilai sharing yang juga bervariasi. Pendekatan model anggaran publik di atas menekankan kondisi pengembangan angkutan umum sulit terjadi tanpa alokasi anggaran yang memadai. Alokasi anggaran tersebut semestinya dibedakan dengan anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang diperlukan (misalnya jalan untuk pengembangan jalur bus dan transformasi desain wilayah perkotaan) dan anggaran untuk mendukung operasi angkutan umum (misalnya dukungan keuangan untuk operasional bus). Karena kebutuhan anggaran yang diperlukan umumnya cukup besar, maka diperlukan kemauan politis tingkat nasional yang cukup
18
19
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
kuat guna menetapkan alokasi anggaran pembangunan sarana dan prasarana transportasi umum. Hal ini diperlukan terutama agar kualitas angkutan umum yang dicita-citakan tidak terhambat secara substansial karena persoalan kekurangan anggaran yang pada akhirnya akan menghasilkan infrastruktur yang buruk. State-of-the-art transportasi umum -khususnya yang berkaitan dengan sistem angkutan massal seperti jaringan BRT atau LRTmemerlukan infrastruktur khusus berdasarkan parameter desain yang secara internal telah terbukti efektif. Sedangkan untuk mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah, perlu dibangun inisiatif dan aksi lobi terus menerus dari kepemimpinan tingkat lokal menuju tingkat nasional. Di samping itu seringkali pemerintah daerah harus menyediakan anggaran sebagai kontribusi daerah. Hal ini menunjukkan komitmen dan keseriusan Pemda dalam menjalankan proyek-proyek skala besar. Setelah infrastruktur transportasi umum terbangun, harapan berikutnya adalah agar operasi angkutan umum bisa berkelanjutan, cukup dengan pendapatan yang diterima dari hasil operasional, tidak lagi diperlukan kontribusi dana publik (subsidi) secara signifikan. Sayangnya, lisensi kendaraan pribadi baik untuk sepeda motor dan mobil juga murah. Akibatnya, penumpang akan dengan mudah memilih transportasi bermotor individu dengan alasan keamanan, kenyamanan hingga biaya akan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket angkutan umum yang cenderung lebih tinggi atau terus meningkat. Oleh karena itu, tanpa kompensasi (subsidi) untuk biaya operasional, maka operator bus swasta sulit mengembangkan orientasi layanan berkualitas yang tinggi secara berkelanjutan. Penyajian layanan berkualitas rendah ini akan selalu menimbulkan lingkaran setan dengan asumsi bahwa penurunan kualitas pelayanan akan menghasilkan penurunan penumpang dan memperburuk keberadaan angkutan umum di kota-kota Indonesia. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan oleh pengambil keputusan baik di tingkat nasional maupun lokal untuk mendukung keuangan operasi angkutan umum secara konstan dengan dukungan dari dana publik di Indonesia, selama biaya energi tidak meningkat secara substansial. 2.1.3 Visi dan Misi Para Pengambil Keputusan Para bakal calon kepala daerah yang ingin maju dalam pemilu kepala daerah (pemilu-kada) umumnya memaparkan visi dan
misi yang akan dilaksanakan jika berhasil memenangkan pemilukada. Perencanaan tata kota seharusnya menjadi bagian dari visi dan misi tersebut, termasuk juga skema transportasi yang akan meningkatkan mobilitas dan kegiatan ekonomi perkotaan. Sejumlah ide transportasi perkotaan yang diajukan oleh calon sepatutnya bersifat aplikatif/layak implementasi.
Visi Misi dan Ide Kebijakan Kota
Kotamadya Bogor: Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, memiliki visi penataan moda dan sistem transportasi penghubung (feeder busway) bagi warga Kota Bogor yang sesuai dengan kondisi struktur jalan di kota tersebut.
Kotamadya Bandung: Walikota Bandung Ridwan Kamil, giat berupaya menciptakan angkutan perkotaan yang nyaman dan mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dan sepeda.
Kotamadya Palembang: Walikota Palembang periode 2003-2013, Eddy Santana Putra, memiliki visi agar pemerintah kota terus berkomitmen mewujudkan transportasi massal yang ramah lingkungan.
2.1.4 Kemauan Politis dan Komitmen Aksi di Berbagai Tingkatan Setiap kepala daerah memiliki kemauan politis dan komitmen aksi yang berbeda dalam meningkatkan kinerja pelayanan transportasi di wilayah mereka. Ada hubungan langsung yang sangat erat antara pemahaman dan cara pandang seorang kepala dearah terhadap sistem transportasi perkotaan dengan komitmen politis mereka dalam upaya mengembangkan sistem angkutan perkotaan yang baik. Hal terpenting bagi para perencana transportasi adalah mengetahui seberapa kuat kemauan politis pimpinan daerahnya dan bagaimana menyikapinya, sehingga perencana transportasi tersebut dapat menyampaikan rekomendasi yang mudah diaplikasikan.
20
21
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Beberapa Cara Menumbuhkembangkan Komitmen Politis
Kadar Pemahaman Kepala Daerah Terhadap Suatu Masalah yang Memengaruhi Level Komitmen Politis dan Komitmen Aksi
4
3
INDIKATOR PEMAHAMAN KEPALA DAERAH ATAS DAMPAK KEMAUAN POLITIS
Aksi (action)
Sikap (attitude)
2
Kesadaran (awareness)
1
Pengetahuan (knowledge)
Indikator Kepala daerah memiliki pengetahuan dan memahami pentingnya sustainable transport atau transportasi berkelanjutan.
Kepala daerah memiliki kesadaran dan keinginan untuk menerapkan sustainable transport, namun belum mengetahui caranya.
Kepala daerah sudah mulai mengemukakan sikap politis dan rencana aksi pada rapat dinas, serta menyebarkan sikap tersebut melalui media massa, atau berbagai rapat dinas.
Kepala daerah menuangkan kebijakan sustainable transport dalam perencanaan, dan implementasi lapangan.
Komitmen Politis dan Realisasi Kebijakan: Studi Kasus BRT Trans Jakarta
S
ebuah contoh tepat tentang bagaimana politik diubah menjadi aksi oleh kepala daerah dapat dilihat dalam pelaksanaan sistem BRT TransJakarta. Awalnya, pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak yakin bahwa sistem angkutan jalan dengan jalur khusus bus, akan memecahkan masalah lalu lintas kota metropolitan ini. Akhirnya pada tahun 2002 Gubernur Sutiyoso diundang Walikota Kolombia untuk melihat penerapan sistem BRT di sana. Bogota adalah kota yang telah berhasil menerapkan sistem BRT dalam masa jabatan Enrique Penalosa; Walikota Bogota periode 1998-2001. Penalosa menolak keras gagasan untuk membangun jalan tol dalam kota, dan memutuskan untuk memilih dan mengembangkan sistem BRT dengan nama Trans Milenio. Keputusan ini terbukti berdampak besar pada pemecahan masalah lalu lintas di Bogota. Kunjungan Sutiyoso ke Bogota ini kemudian Foto oleh: Deddy Wedha Setyanto
METODE
INDIKATOR
mengilhaminya untuk menyetujui dan mengadopsi konsep BRT di Jakarta. Pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah No. 12/2003 tentang Transportasi, yang menjadi dasar bagi penyusunan Pola Transportasi Makro Jakarta. Rencana ini meliputi pengembangan sistem BRT dan beberapa kebijakan pendukungnya. Pada tanggal 15 Januari 2004, konsep yang diberi nama TransJakarta Busway itu diresmikan untuk Koridor 1: Blok M-Kota. TransJakarta saat ini melayani sekitar 400.000 penumpang setiap hari. Dengan kata lain, kemauan politik kepala daerah dan komitmen aksi menjadi kunci dalam upaya menerapkan program perubahan. Hal ini juga menunjukkan bahwa untuk memantapkan komitmen adalah sangat penting bagi perencana untuk memberikan saran dan masukan kepada Kepala Daerah dan pimpinan di SKPD yang bersangkutan.
Knowledge (Pengetahuan) Awareness (Kesadaran)
Studi banding ke kota yang sudah maju
Attitude (Sikap)
Action (Aksi)
Partisipasi pada forum internasional atau nasional
Memberikan motivasi politis
Mendorong dengan insentif asistensi teknis
Mendorong dengan insentif pendanaan nasional/ internasional
2.1.5 Sinkronisasi Antara Pemangku Kepentingan Memastikan kemauan politik dari para pemangku kepentingan yang berbeda agar sejalan adalah hal sangat penting untuk disinkronkan dalam mempercepat pembangunan dan reformasi transportasi umum, terutama di daerah perkotaan. Tanpa sinkronisasi, kesalahpahaman kebijakan antara politisi dan staf teknis mungkin terjadi dan berdampak negatif pada tataran pelaksanaan. Perbedaan pemahaman dapat lebih menonjol jika pemangku kepentingan utama memiliki latar belakang politik yang berbeda, seperti di internal pemerintah daerah itu sendiri maupun antara pemerintah daerah dengan pemerintah provinsi atau nasional. Di pemerintah daerah, pejabat seperti walikota, gubernur dan sekretaris daerah, biasanya memiliki tingkat tertinggi otoritas untuk membuat keputusan atas berbagai proyek, termasuk yang berkaitan dengan reformasi transportasi perkotaan. Ini berarti bahwa staf teknis harus memiliki keberanian untuk mengekspresikan pendapat dan memberikan rekomendasi kepada para pemimpin politik senior selama proses pengambilan keputusan.
Mencari peluang apresiasi nasional/ internasional
22
23
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Bermotor Umum Dalam Trayek, yang diubah dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 29/2015. Standarpelayanan minimal tersebutmencakup sejumlah aspek, seperti keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Di tingkat lokal, SPM kemudian diaturmelalui Peraturan Kepala Daerah. Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan SPM adalah masalah keuangan. Sangat disayangkan bahwa keuntungan signifikan yang didapat oleh operator angkutan umum tidak tercermin dalam kualitas layanan yang diberikan. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam sistem transportasi publik yang perlu dibenahi melalui revisi kebijakan yang akan mendukung layanan yang baik dalam upaya memenuhi target SPM. Pendekatan ini diharapkan akan mengembangkan operasi angkutan umum yang lebih baik dan efisien.
Matriks Tipe Manajemen Angkutan Umum pada Perkotaan di Indonesia
Instansi
Komponen Umum Penyelengggaraan Angkutan Umum
Kepala Daerah DPRD Bappeda
Perencanaan sistem
Penyusunan anggaran
Pengembangan manajemen bus
Pengembangan SPM
Dishub/ DLLAJ
Konsolidasi operator
Pengembangan infrastruktur dan prioritas bus dalam berlalu-lintas
PU (Jalan) Polisi Lalu Lintas
2.2 Regulasi
Isu Layanan Angkutan Umum
R
egulasi atau ketentuan hukum menjadi landasan hukum bagi semua kegiatan pemerintahan. Kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan studi akan lebih kuat dan efektif jika didukung oleh peraturan dan undang-undang yang disetujui oleh semua tingkatan - eksekutif (kepala daerah dan pemerintah daerah), legislatif, dan pelaksana operasional. Kebijakan yang baik tidak bisa efektif tanpa regulasi yang kuat dan tepat. Salah satu contoh adalah kasus di Bogor. Kebijakan untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum dikembangkan dan diterapkan oleh DPRD. Padahal, sebagai lembaga legislatif, DPRD tidak memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan eksekutif. Dengan demikian, kebijakan tersebut dikeluarkan secara tidak pada tempatnya dan tentu saja menjadi tidak efektif untuk dilaksanakan dan ditegakkan. 2.2.1 Standar Pelayanan Minimum (SPM) Pemerintah harus melakukan sejumlah upaya untuk menjamin layanan transportasi umum yang berkualitas baik untuk masyarakat. Salah satu bentuk upaya untuk mencapai hal tersebut adalah Peraturan Menteri Perhubungan No. 98/2013 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Angkutan Orang dengan Kendaraan
Sejumlah isu terkait SPM dapat dilihat pada infografis di bawah ini
Keamanan
Keselama ta
n
Keamanan pengguna di atas angkutan umum belum difasilitasi dengan layak, sehingga masih sering terjadi tindak kriminal seperti pencurian dan pelecehan seksual.
Keselamatan berkendara yang terkait dengan fasilitas keselamatan, pengemudi, dan sarana pendukung keselamatan.
n
a Kenyaman
Kapasitas angkutan, dan fasilitas penunjang, seperti halte dan jalur pejalan kaki.
Keterjangkauan
Aksesibilitas (jarak halte, lokasi halte), tarif angkutan umum.
Kesetara an
Pelayanan prioritas bagi penumpang penyandang cacat, usia lanjut, anak-anak serta ibu hamil dan menyusui.
n Keteratura
Jadwal kedatangan dan keberangkatan, informasi, dan kinerja operasional.
24
25
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Penerapan pelayanan sesuai dengan indikator SPM harus didukung oleh infrastruktur yang tepat. Misalnya, pelayanan angkutan umum massal dan kendaraan pengumpan harus dilaksanakan sejalan dengan penyiapan infrastruktur, seperti jalur khusus bus dan fasilitas transfer. Ini akan memastikan waktu perjalanan, titik transfer dan kekerapan kedatangan bus. Masalah lain SPM adalah pergeseran tren sistem pembayaran dari manual ke elektronik. Pergeseran ini memerlukan investasi keuangan serius yang merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan melalui kerja sama antara pemerintah dan operator angkutan umum. Memberikan layanan sesuai dengan SPM indikator harus didukung oleh infrastruktur yang tepat. Misalnya, transportasi dan pengumpan pelayanan publik massal harus dilaksanakan sejalan dengan infrastruktur yang diperlukan, seperti jalur bus dan fasilitas transfer. Ini akan memastikan kali lebih cepat wisata, transfer halus, dan kedatangan lebih sering. Masalah MSS lain adalah bahwa tren bergeser sistem pembayaran dari manual ke elektronik. Pergeseran ini memerlukan investasi keuangan yang serius dan dengan demikian, merupakan tantangan
Proses Implementasi SPM di Kota Solo
Standar Pelayanan Minimal dituangkan dalam Surat Keputusan
UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan, pasal 141 PP No. 65 Tahun 2005 tentang pedoman Penyusunan dan Penerapan SDM, pasal 3. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia PM No. 98 Tahun 2013 tentang SPM Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek.
Proses Drafting dan Workshop
Ekstraksi 33 indikator SPM menjadi tujuh indikator prioritas yang sesuai dengan kontrak ditambah isu pelayanan tiket elektronik.
Finalisasi
Persetujuan Walikota Pengukuhan SK Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara regulator dan operator.
besar yang harus diselesaikan melalui kerja sama antara pemerintah dan operator angkutan umum. 2.2.2 Manajemen Operasional (Badan Hukum) Kewajiban untuk menyediakan layanan angkutan umum disebutkan dalam UU No. 22/2009, Pasal 139, Pasal 4, yang berbunyi: „Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“. Tersedianya ketentuan tentang penyelenggara angkutan berbadan hukum akan menjadikan operator dapat bergerak lebih efektif dan efisien, ditunjang dengan beberapa insentif dari pemerintah. Masalah ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 5. Gambar di atas dan di bawah merupakan contoh penerapan di Singapura. Lembaga penyelenggara angkutan berbadan hukum akan menjadikan para operator angkutan perkotaan dapat bergerak lebih efektif dan efisien dalam menjamin mutu pelayanan seperti waktu kedatangan bus , dan kenyamanan penumpang di dalam bus —Foto oleh Fredy Susanto
26
27
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
2.3 Sarana Angkutan
B
erdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79/2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal yang dimaksud dengan sarana jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubung untuk penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Kegiatan transportasi umum di ruang ini terdiri dari beberapa jenis angkutan umum. Dua di antaranya adalah bus kecil dan bus sedang; dua jenis layanan inilah yang menjadi subyek dari toolkit ini. Mikrolet, salah satu angkot yang dikenal di Jakarta.— Foto oleh: Fredy Susanto
2.3.1 Ragam Jasa Angkutan Bus kecil (angkot) beroperasi di banyak kota di seluruh Indonesia. Di beberapa kota, moda angkutan ini memiliki nama lokal khusus - misalnya, di kota-kota di luar Jawa, seperti Samarinda, Lampung dan Bengkulu, angkot dikenal sebagai taksi. Berikut adalah beberapa kata lain untuk bus kecil: Medan: sudako
Surabaya: bemo
SAMARINDA: taksi
BENGKULU: taksi
Makassar: pete-pete
PADANG: angkot
Bandung: kobutri Jakarta: angkot atau mikrolet
Malang: angkota
Sementara itu, istilah untuk angkutan kota jenis bus sedang pun bermacam-macam, seperti beberapa contoh berikut ini: • Jakarta: Kopata, Kopaja • Yogyakarta: Kopata, Kobutri. • Bandung: Kobutri
—Foto oleh: Angkot Samarinda: Normalita Fauziah, Angkot Medan: Achmad Fuadi, Angkot Jakarta dan Bengkulu: Anugrah ilahi, Padang : Raisya Farah Monica
2.3.2 Paratransit: Angkutan Alternatif Selain jenis angkutan kota jenis bus baik besar, sedang atau kecil, terdapat pula kendaraan jenis angkutan yang tumbuh sebagai alternatif atau dikenal sebagai paratransit. Termasuk dalam kategori paratransit adalah becak dan bajaj (Indonesia), Tuk Tuk (Thailand), Mikrobus, Minibus, Jeepney (Filipina). Angkutan jenis ini beroperasi dengan sistem monopoli oleh individu (Cervero, 1990). Paratransit adalah layanan angkutan penumpang perkotaan yang beroperasi di jalan-jalan umum pada lalu lintas yang tercampur (mix traffic). Angkutan ini biasanya dimiliki oleh operator swasta atau publik dan tersedia dalam kelompok tertentu atau masyarakat umum, sesuai dengan keinginan penumpang terkait rute dan penjadwalannya (Vuchic, 1981). Belakangan ini berkembang pula beberapa jenis layanan angkutan yang memanfaatkan teknologi mutakhir (smart phone). Layanan angkutan berbasis IT tersebut ada yang menggunakan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat.
Tabel Kelas Angkutan Umum Kota di Asia Tenggara Kapasitas Penumpang
Kota-Kota
Jenis Kendaraan
I
24 - 59 Penumpang
• • • • • • •
Jakarta, Bangkok, Manila, Surabaya, Singapura, Bandung, Kuala Lumpur
Trans Jakarta, Patas AC, Stage Buses, Double Decker, SMRT, Trans Metro Bandung, Rapid KL
II
12 – 24 Penumpang
• • • •
Jakarta Manila Bangkok Kuala Lumpur
Metro Mini Jeepney Minibus, Silor Minibus
III
6 - 12 Penumpang
• • • •
Jakarta Surabaya Medan Bandung
Angkot, Kolt, Bemo, Elf, Mikrolet
IV
2-6 Penumpang
• • • •
Jakarta Bangkok Manila Medan
Bajaj Tuk Tuk, Samlor Motor Tricycle Becak Motor
V
1–3 Penumpang
• • • •
Jakarta Medan Manila Singapura, Kuala Lampur
Ojeg Motor Becak Calesa, Tricycle Trishaw
Kelas
Diolah dari sumber: Cervero (1990) diperbaharui dan GIZ SUTIP (2014)
28
29
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
2.4 Prasarana Angkutan
T
erlepas dari koridor sistem transportasi, ada komponen yang sangat relevan lainnya. Ini dijelaskan di bawah ini.
2.4.1 Kebijakan Pengembangan Transportasi/Angkutan Jalan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membagi tugas dan wewenang untuk mengelola lalu lintas dan angkutan jalan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memiliki peran sangat penting dalam pelaksanaan pengembangan transportasi perkotaan. Relevansi visi, misi, dan persepsi transportasi terhadap pembangunan daerah membentuk dasar yang menjadi landasan pengembangan konsep transportasi di setiap wilayah. Banyak ahli transportasi percaya bahwa kemauan politis dan komitmen aksi kepala daerah adalah unsur paling penting dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan. Komitmen ini berperan dalam mewujudkan sistem transportasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). 2.4.2 Terminal Hal yang tak kalah penting dalam infrastruktur angkutan perkotaan adalah adalah prasarana terminal. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor atau angkutan umum yang digunakan sebagai simpul transportasi untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintan No. 74/2014 tentang Angkutan Jalan.. Lebih lanjut, simpul terminal penumpang terdiri atas tiga kategori, sesuai dengan regulasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri No. 132/2015:
Simpul terminal penumpang tipe A: berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar provinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan.
Simpul Terminal penumpang tipe B: berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan kota dan/atau angkutan pedesaan.
Simpul Terminal penumpang tipe C: berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan.
Terminal Laladon
Terminal Bubulak
Efektivitas Terminal Sebuah terminal hendaknya dibuat dengan memperhitungkan efektivitas fungsi dalam perencanaan. Dengan demikian, dalam eksekusi pembangunannya, harus diperhatikan berbagai sisi kebutuhan perjalanan, termasuk juga aspek keberlanjutan dan kenyamanan pengguna jasa prasarana terminal tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Siswanto, dkk, 2010), 90% responden menyatakan bahwa keberadaan terminal Laladon dan Terminal Bubulak yang jaraknya berdekatan membuat sulit supir mobil penumpang umum, dan 73.3% keberadaan terminal tidak mengurangi permasalahan lalu lintas/kemacetan yang selama ini terjadi. Sehingga efisiensi dan efektifitas pembangunan menjadi kurang optimal.
Contoh Kasus: Terminal Bubulak dan Laladon Lokasi Terminal Bubulak, Bogor, yang diarahkan di pinggiran kota, dengan daerah pengawasan Jalan KH. Abdullah Bin Nuh, menurut presepsi responden, diperoleh bahwa 96,7% menganggap lokasi sulit memperoleh penumpang, dan 90% responden berpendapat waktu tunggu penumpang tidak layak. Persepsi penumpang terminal Bubulak menyatakan bahwa 86,75% responden berangapan mudah memperoleh
angkutan (Siswanto, dkk, 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi over supply di Terminal Bubulak, dengan jumlah angkutan yang berlebih dan penumpang yang kurang, sehingga menyebabkan tidak efisien dalam memberikan pelayanan angkutan. Kondisi yang sama terjadi juga dengan Terminal Laladon yang dianggap kurang melayani kebutuhan angkutan umum dan lokasinya tidak sesuai dengan persetujuan Gubernur, terlebih dengan keberadaan ke dua terminal ini yang saling berdekatan.
Lokasi Terminal Laladon (kiri) di Kab. Bogor dan Bubulak (kanan) di Kota Bogor yang hanya berjarak 1.4 km, menjadi contoh pentingnya komunikasi antar stakeholder dalam merencanakan pembangunan infrastruktur transportasi yang efektif dan efisien.— Foto oleh Mirza Aldi
30
31
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Keberadaan terminal penumpang juga dapat ditinjau dari sistem kota, dengan melihat lokasi terminal. Berdasarkan lokasi ini, terdapat dua model terminal, yaitu model nearside terminating dan model central terminating (Dephub, 1998). Model nearside terminating adalah pengembangan sejumlah terminal di pinggiran kota, sedangkan pergerakan di dalam kota dilayani oleh angkutan kota yang berasal dan berakhir di terminal-terminal yang ada. Sedangkan model central terminating adalah terminal yang berlokasi di tengah kota, dan biasanya merupakan terminal terpadu. Secara administratif, regulasi terbaru tentang pengelolaan terminal angkutan penumpang diatur oleh UU No. 2/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang membagi wilayah administratif pengelolaan terminal dalam tiga tipe. Tipe pertama adalah simpul terminal penumpang tipe A yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, selanjutnya simpul terminal penumpang tipe B dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan simpul terminal penumpang tipe C dikelola oleh Pemerintah Kota atau Kabupaten. Meskipun regulasi disusun guna mengatur keberadaan terminal dengan baik namun tetap saja banyak terminal yang tidak berfungsi sesuai harapan dan perencanaannya ataupun belum mampu memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki persepsi bahwa terminal identik dengan calo, kondisi tidak aman, kotor dan bau. Pembangunan sarana terminal harus dapat menjadikan simpul transportasi tersebut berfungsi secara optimal. Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan terminal, agar terminal dapat berfungsi optimal: Kesesuaian dengan rencana pembangunan jalan dan jaringan trayek. 1. Kesesuaian dengan rencana pengembangan pusat kegiatan. 2. Permintaan angkutan. 3. Kelayakan teknis dan ekonomi. 4. Rancang bangun terminal. 5. Analisis mengenai dampak lalu lintas. 6. Analisis mengenai dampak lingkungan. 7. Keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan. 8. Kelestarian lingkungan hidup. 9. Aksesibilitas pengguna jasa angkutan jalan termasuk bagi penyandang disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui, anak balita dan kaum lanjut usia. 10. Kemudahan dan kenyamanan konektivitas pengguna angkutan jalan.
Terminal bus terpadu di Pulo Gebang, Jakarta. — Foto oleh: Fredy Susanto
DKI Jakarta: Terminal Terpadu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Perda No. 5 Tahun 2014, menyebutkan bahwa terminal dapat dibangun terpadu dengan pusat kegiatan ekonomi, kegiatan pemerintahan dan/atau kegiatan lainnya dengan mengacu pada konsep pembangunan berorientasi pada simpul angkutan umum massal (Transit Oriented Development).
Kelak, pengelolaan terminal dapat pula dialihkan ke pihak ketiga (swasta profesional) sebagai operator prasarana, sehingga diharapkan pelayanan kepada operator sarana (pengusaha angkutan) dan juga masyarakat pengguna jasa bisa menjadi lebih baik. Analogi ini mengadopsi konsep angkutan udara, yang menempatkan pemerintah sebagai regulator sekaligus pengawas sistem pelayanan. Adapun pengelolaan bandar udara diserahkan kepada PT Angkasa Pura sebagai operator prasarana, yang melayani operator sarana (maskapai) dan masyarakat pengguna jasa angkutan udara.
33
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
Trayek M11 TANAH ABANG - MERUYA ILIR M09A TANAH ABANG - KEBAYORAN LAMA
Ilustrasi Desain Pole Angkutan Perkotaan
Trayek
Trayek
M11 TANAH ABANG - MERUYA ILIR M09A TANAH ABANG - KEBAYORAN LAMA
M11 TANAH ABANG - MERUYA ILIR M09A TANAH ABANG - KEBAYORAN LAMA
PEMBERHENTIAN TANAH ABANG
PEMBERHENTIAN TANAH ABANG
M11 TANAH ABANG JEMBATAN TINGGI KS. TUBUN BUNDERAN SLIPI PALMERAH KEBUN JERUK MERUYA ILIR
M11 TANAH ABANG JEMBATAN TINGGI KS. TUBUN BUNDERAN SLIPI PALMERAH KEBUN JERUK MERUYA ILIR
M11 TANAH ABANG JEMBATAN TINGGI KS. TUBUN BUNDERAN SLIPI PALMERAH KEBUN JERUK MERUYA ILIR
M09 TANAH ABANG PETAMBURAN SLIPI PALMERAH RAWA BELONG KEBAYORAN LAMA
M09 TANAH ABANG PETAMBURAN SLIPI PALMERAH RAWA BELONG KEBAYORAN LAMA
M09 TANAH ABANG PETAMBURAN SLIPI PALMERAH RAWA BELONG KEBAYORAN LAMA
Posisi Anda
Posisi Anda
M11 TANAH ABANG JEMBATAN TINGGI KS. TUBUN BUNDERAN SLIPI PALMERAH KEBUN JERUK MERUYA ILIR M09 TANAH ABANG PETAMBURAN SLIPI PALMERAH RAWA BELONG KEBAYORAN LAMA
Posisi Anda
Posisi Anda
25mm
Ilustrasi Teknis Detail Konstruksi Pole Angkutan Perkotaan
Baut pengaman sambungan tiang 25mm
Detail sambungan 450mm
Pastikan ujung tiang tidak runcing, bisa juga ditutup karet.
Posisi jika ingin menempatkan dua panel A3. R 225mm
Reflektor berukuran 100mm
350mm
PEMBERHENTIAN TANAH ABANG Trayek M11 TANAH ABANG - MERUYA ILIR M09A TANAH ABANG - KEBAYORAN LAMA
Baut 10
M11 TANAH ABANG JEMBATAN TINGGI KS. TUBUN BUNDERAN SLIPI PALMERAH KEBUN JERUK MERUYA ILIR
Jari-jari 15mm
13mm 450mm
Detail panel atap
M09 TANAH ABANG PETAMBURAN SLIPI PALMERAH RAWA BELONG KEBAYORAN LAMA
Posisi Anda
Permukaan tanah
600mm
25mm
Kebiasaan supir ngetem di sembarang tempat menyebabkan tidak berfungsinya tempat pemberhentian bus sehingga menyebabkan kemacetan seperti yang terjadi di Pulo Gadung, Jakarta.
Peletakan tiang di muka tanah
minimal 2.100 mm
Panel berukuran A3
1.300mm dari permukaan tanah
2.4.3 Tempat Pemberhentian Angkot dan Bus Kesalahan yang selama ini terjadi pada pola operasi angkutan perkotaan adalah penumpang angkutan perkotaan dapat berhenti di mana saja sesuka hati. Hal ini lalu menumbuhkan budaya ngetem pada kebanyakan supir angkutan umum, yakni berdiam di jalan untuk menunggu penumpang datang. Dampak buruk yang langsung timbul akibat kebiasaan ini adalah menurunnya kapasitas jalan pada ruas yang digunakan ngetem, sehingga menimbulkan kemacetan. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk memastikan angkutan perkotaan berhenti secara aman dan layak di sepanjang rutenya. Selain untuk alasan keselamatan penumpang, hal ini juga dapat memberikan kesan positif para penumpang terhadap angkutan umum tersebut. Untuk itu harus disediakan fasilitas pemberhentian yang layak untuk menghilangkan kebiasaan ngetem ini. Fasilitas ini akan mendorong penumpang untuk hanya naik dan turun di tempat yang telah ditentukan. Di samping itu, harus juga disediakan akses yang layak menuju ke tempat pemberhentian, yang akan membangkitkan dan meningkatkan semangat masyarakat untuk berjalan kaki. Secara umum, fasilitas ini akan mendorong masyarakat memanfaatkannya, sekaligus juga membantu menghilangkan kebiasaan buruk masyarakat serta mengubahnya menjadi kebiasaan baik dengan bersikap lebih tertib dan teratur. Lokasi pemberhentian angkutan perkotaan dapat dimakna lebih luas lagi, sebagai area utama yang mempertemukan sarana
PEMBERHENTIAN TANAH ABANG
PEMBERHENTIAN ANGKOT
600mm
32
—Foto oleh: Fredy Susanto Perkerasan untuk memperkuat fondasi tiang.
Tepi trotoar
Bentuk landasan yang tidak mudah berputar.
Elevasi
Sumber: Translink Transit Authority, 2012
750mm
34
35
b ab 2 P E N G E M B A N G AN KE B I JAKAN ANG KUTAN UMUM
3
angkutan umum dengan pejalan kaki yang akan berpindah ke angkutan umum. Sejalan dengan makna tersebut, perencanaan fasilitas pemberhentian angkutan perkotaan harus didesain paralel dengan perencanaan fasilitas akses pejalan kaki, untuk menjamin tersedianya kemudahan akses menuju lokasi.
•
Lokasi angkutan dan penumpang menunggu jelas terlihat satu sama lain.
•
Dekat dengan pusat-pusat kegiatan (misalnya pusat perbelanjaan, stasiun, perkantoran, universitas, rumah sakit, sekolah) sehingga meminimalkan perjalanan saat melakukan perpindahan antar layanan.
•
Lokasi pemberhentian yang terintegrasi dengan trotoar, memiliki aksesibilitas yang baik dan tidak memakan lahan trotoar sehingga memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi penumpang untuk naik dan turun dari angkutan umum.
S U B
Memiliki visibilitas tinggi; pencahayaan yang cukup dan terlihat jelas dari sekitar lokasi (jauh dari dedaunan lebat dan benda-benda lain yang menghalangi pandangan langsung). Pada malam hari digunakan lampu jalan yang dapat membantu mempertahankan visibilitas.
N
IA
NT
HE ER MB OT PE GK AN
ILIR LAMA YA N YORA MERU G KEBA G
ABAN
ek H ABAN H Tray TANA M11 M09A
TANA
I
G
•
Tidak berada pada posisi yang dapat menimbulkan blind spot sehingga rentan terhadap ancaman kecelakaan, misalnya pada belokan/tikungan yang tajam, puncak bukit atau selokan. Juga mutlak terdapat visibilitas yang jelas antara operator kendaraan, bus, halte bus dan penumpang.
•
Dilengkapi simbol dan marka yang terbaca jelas sehingga pemberhentian mudah terlihat oleh penumpang dan sopir angkutan.
An advanced city is not a place where the poor move about in cars, rather it’s where even the rich use public transportation. (Enrique Penalosa, Walikota Bogota, Colombia)1
Beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam mendesain pemberhentian, antara lain: •
Penataan Angkutan Perkotaan di Indonesia
ABAN TINGG H N SLIPI ATAN TANA
JEMB TUBU M11 KS. ERAN ERAH BUND JERUK N ILIR PALM YA G KEBU N MERUH ABAN BURA TANA NG PETAM M09 SLIPI ERAH LAMA BELON PALM RAWAYORA KEBA
i Anda Posis
S
istem transportasi perkotaan berkelanjutan akan menempatkan keberadaan angkutan umum massal cepat sebagai tulang punggung. Moda transportasi utama ini kemudian akan diselaraskan dengan angkutan umum reguler, sepeda dan pejalan kaki sebagai sarana angkutan pengumpan (feeder service) atau sebagai pemadu moda pada konsep first mile and last mile management. Sinergi tersebut akan berperan sebagai sebuah layanan transportasi yang menerus (seamless connectivity). Sistem tersebut dimaksudkan untuk mampu menjaga keseimbangan manfaat ekonomi dan ekologi, sehingga dalam penataan dan pengembangannya, transportasi perkotaan memperhitungkan aspek sosial, selain juga mengedepankan kepuasan pelanggan.
3.1 Strategi Pengembangan Angkutan Umum Perkotaan
3.1.1 Konsolidasi Para pakar dan pengamat seringkali merujuk pada kondisi pelayanan transportasi di kota-kota negara tetangga, antara lain Singapura, dalam upaya membenahi sistem transportasi perkotaan. Kota tersebut pernah mengalami kondisi kualitas pelayanan transportasi di bawah standar yang dioperasikan oleh operator individual. Bahkan pernah menjadi chaos pada saat terjadi demo besar-besaran para operator pertengahan dekade 1950-an. Kondisi tersebut berhasil diperbaiki secara bertahap melalui langkah konsolidasi yang konsisten. Singapura mengawali penataan pada dekade 1970-an dengan melebur para operator individu ke dalam tiga perusahaan besar yang masing-masing memegang hak lisensi pelayanan trayek di wilayah tertentu (sistem franchise). Saat ini, keberadaan angkutan umum berbasis jalan di Singapura https://www.ted.com/talks/enrique_penalosa_why_buses_represent_democracy_in action?language=en#t-48577
36
37
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
telah efektif diselenggarakan oleh dua operator besar, yaitu SBS dan SMRT. Kedua operator tersebut bekerja sama dengan regulator, yaitu Land Transport Authority (LTA), menerapkan Program Peningkatan Pelayanan Bus (Bus Services Enhancement Programme) sejak 7 Maret 2012. Dalam program tersebut, baik regulator maupun operator sepakat mengembangkan skema baru untuk mengukur kinerja pelayanan, termasuk sistem reward and punishment yang tepat bila operator berhasil atau gagal dalam memberikan pelayanannya kepada pelanggan. Rute trayek yang ada pun ditata ulang (restrukturisasi) sesuai dengan dinamika perkembangan pembangunan di Singapura, disertai pula dengan penambahan 1.000 bus baru. Langkah ini merupakan aspek konsolidasi yang bermakna penting. Kondisi layanan yang semula tersebar dengan para pelaku usaha yang cenderung unregulated, ditata ulang sesuai prinsip manajemen profesional. Terdapat pula kontrol layanan yang menjamin mobilitas masyarakat yang menguntungkan semua pihak, baik para pengusaha dan awak angkutan, masyarakat pengguna jasa dan juga pemerintah. Daftar Konsorsium Operator Trans Jakarta No.
Nama Konsorsium
Anggota Konsorsium
Koridor
1
PT Jakarta Express Trans (JET)
PPD, Bianglala, Steady Safe, Ratax, Pahala Kencana
1 (Blok M – Kota)
2
PT Trans Batavia
Mayasari Bakti, Steady Safe, PPD, Metro Mini
2 (Pulogadung – Harmoni); 3 (Kalideres – Pasar Baru)
3
PT Jakarta Trans Metropolitan (JTM)
Mayasari Bakti, PPD, Steady Safe
4 (Dukuh Atas – Pulogadung); 6 (Ragunan – Dukuh Atas)
4
PT Jakarta Mega Trans (JMT)
Mayasari Bakti, Steady Safe, Pahala Kencana, PPD
5 (Ancol – Kp. Melayu); 7 (Kp. Melayu – Kp. Rambutan)
5
PT Trans Mayapada
Mayasari Bakti, PPD
9 (Pinang Ranti – Pluit); 10 (Priok – Cililitan)
Daftar Konsorsium Operator Batik Solo Trans No.
Nama Konsorsium
Anggota Konsorsium
Koridor
1
PT Bengawan Solo Trans
Nusa Atmo, Surya Kencana, SKA Jaya, Sumber Rahayu
2 Palur - Kartasura
Pemerintah Indonesia juga telah memiliki visi konsolidasi sistem transportasi. Hal itu terlihat pada upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengonsolidasikan program sistem BRT Trans Jakarta, serta Pemerintah Kota Surakarta untuk program Batik Solo Trans. Langkah konsolidasi yang dilakukan adalah dengan melebur (merger) para operator bus besar pemilik trayek yang berimpitan rute dengan rencana pengembangan jalur BRT menjadi sebuah konsorsium dan masuk sebagai bagian dari operator Bus Trans Jakarta dan Batik Solo Trans. Langkah konsolidasi operator angkutan yang dilakukan secara tepat, diharapkan akan melahirkan operator baru yang lebih kuat dan profesional dalam pengelolaan angkutan umum. Akan tetapi, pemerintah tetap perlu berhati-hati terhadap friksi-friksi sosial yang seringkali muncul dalam proses perubahan kebijakan ini. Prinsip kehati-hatian ini diharapkan dapat mengatasi dan meredam sedini mungkin semua bentuk ancaman friksi yang mungkin timbul. 3.1.2 Restrukturisasi Trayek Setiap daerah layaknya memiliki rencana induk transportasi darat, atau master plan; atau disebut sebagai Tataran Transportasi Wilayah (Tatrawil) untuk tingkat provinsi, dan Tataran Transportasi Lokal (Tatralok) untuk perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Master plan tersebut memuat berbagai aspek pengelolaan transportasi yang berkelanjutan, termasuk mekanisme tata ulang trayek dan lainnya, yang bermanfaat untuk meningkatkan aspek pelayanan angkutan umum. Kebijakan untuk mendukung strategi transportasi perkotaan yang digariskan dalam peraturan daerah merupakan penentu kuat terhadap implementasi strategi angkutan perkotaan. Berikut rincian sejumlah langkah yang dapat diambil untuk memastikan implementasi secara tepat: 1. Melakukan studi akademis dan makalah tertulis tentang pengembangan angkutan umum. 2. Dengar pendapat atas hasil studi tersebut. 3. Penyelarasan persepsi pemangku kepentingan terhadap pengembangan angkutan umum. 4. Evaluasi jaringan angkutan umum yang ada. 5. Pemangku kepentingan mengedepankan rekomendasi yang sesuai dan berdasarkan data untuk divalidasi melalui analisis screen line. Hal ini dapat memberikan gambaran
38
39
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
3.1.3 Penerapan Konsep TDM Instrumen pendukung berikutnya yang sangat penting dalam upaya menyelenggarakan sistem angkutan umum yang baik adalah pembatasan permintaan perjalanan atau Travel Demand Management (TDM) untuk moda transportasi kendaraan bermotor pribadi. Serangkaian dokumen tentang parameter TDM yang mengacu pada tinjauan global telah diterbitkan oleh GIZ SUTP. Beberapa parameter tersebut sudah diterapkan pula di Indonesia.1 Regulasi penerapan TDM ini diatur dalam PP No. 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Manajemen Kebutuhan dan Analisas Dampak Lalu Lintas. Adapun regulasi tambahan tentang jalan berbayar (road pricing) diatur juga di dalam PP No. 97 tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Sedangkan pembatasan lahan parkir diuraikan lebih lanjut dalam Toolkit Parking Management.
permintaan angkutan umum. 6. Membangun konsensus antara pemangku kepentingan sesuai hasil analisis. 7. Legalisasi konsensus, idealnya adalah berupa Peraturan Daerah tetapi minimal berupa Keputusan Bupati. Konsep jaringan pengelolaan angkutan perkotaan saling terkait satu sama lain, namun pada saat ini tidak terintegrasi dengan baik. Perizinan angkot, misalnya, masih mengacu pada pedoman pengusulan trayek baru ke pemerintah. Sistem perizinan trayek pun baru terbatas pada ruas per rute atau koridor. Idealnya, pemilihan dan penetapan rute ditetapkan berdasarkan tingkat permintaan dan ketersediaan jaringan jalan yang ada. Rencana pembangunan jaringan jalan baru juga hendaknya menjadi pertimbangan dalam perencanaan jaringan rute angkutan perkotaan. Secara ideal, jaringan layanan harus terintegrasi satu sama lain dan tidak bersifat parsial. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah tidak terbukanya sistem penunjukan operator pada rute trayek tersebut. Rute dengan tingkat permintaan yang tinggi, atau biasa disebut dengan jalur gemuk, pada umumnya terletak pada jalanjalan protokol suatu kota. Rute ini semestinya dilayani dengan angkutan massal (Sistem Transit). Hal ini terkait pula dengan karakteristik dan kelas jalan yang tersedia, mengingat layanan angkutan massal dengan bus besar membutuhkan badan jalan yang lebih lebar dibandingkan dengan layanan angkot dengan bus kecil. Berikut sejumlah panduan dalam merancang rute angkutan umum baru: • Analisis data matriks asal-tujuan. • Kalibrasi data. • Otomatisasi model. • Merasionalisasi rute diusulkan berdasarkan model dan kondisi lapangan. • Melakukan lokakarya dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan sektor angkutan umum untuk mengevaluasi rute yang diusulkan.
Beberapa Strategi TDM yang Dapat Digunakan Kebijakan
Strategi
Pergeseran waktu
Pengaturan jam masuk/keluar kantor/sekolah
Mengarahkan agar kegiatan terjadi secara tidak bersamaan.
Batasan waktu pergerakan angkutan barang
Menetapkan waktu bergerak kendaraan berat pengangkut barang.
Perpindahan rute atau lokasi
Jalan Berbayar
Electronic Road Pricing (ERP) Area Licensing System (ALS) Menetapkan tarif parkir tinggi di pusat kota.
Jalan khusus angkutan umum/massal
Busway (lajur khusus bus) High Occupancy Vehicle (HOV) lane Bicycle path
Rp
Pergeseran moda
Pergeseran lokasi tujuan
Teknis
Pembatasan kendaraan
3in1, car sharing, car pooling Pembatasan sepeda motor di ruas tertentu. Pembatasan kendaraan sesuai plat nomor Pembatasan usia kendaraan, Park & Ride
Peningkatan pelayanan angkutan umum
MRT, Monorail, Aeromovel Bus reform, Revitalisasi KRL
Pengembangan moda telekomunikasi
Surat elektronik, faksimili, internet
Pembangunan tata guna lahan
Pergerakan diarahkan pada satu atau beberapa lokasi berdekatan. Penyebaran sentra-sentra perjalanan Home-schooling, home-working
Diolah dari sumber: Prayudiyanto dan Tamin (2007), diperbaharui.
Available from http://www.sutp.org/en/resources/publications-by-topic/land-use-planning-and-demandmanagement.html
40
41
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
3.2 Penataan Angkot di Indonesia Penataan angkot di Indonesia menjadi suatu keharusan untuk merespon kebutuhan mobilitas penduduk perkotaan. Penataan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah aspek terkait, sebagaimana diuraikan berikut ini.
seperti ini, ketersediaan jalan arteri, dengan lebar di atas delapan meter dapat diprioritaskan bagi angkutan umum dengan jumlah penumpang besar yang melayani rute utama. Jika kemudian kebutuhan perjalanan sepanjang rute ini dinilai terus meningkat, pemerintah daerah juga dapat membangun sistem transportasi massal berbasis jalan (BRT) di sepanjang jalan arteri tersebut. Oleh karena itu, selalu diperlukan upaya untuk mengembangkan sistem transportasi didasarkan pada pola permintaan dan perjalanan penduduknya. Secara ideal, selayaknya kondisi infrastruktur tersebut diwujudkan terlebih dahulu baru kemudian menata jaringan angkutan penunjangnya dengan menggunakan armada bus sedang dan bus kecil. Keseluruhan jaringan pelayanan angkutan tersebut harus terintegrasi sehingga dapat memberikan kepastian layanan menerus (seamless connection) bagi para penggunanya. Idealnya, kondisi infrastruktur harus diwujudkan terlebih dahulu dengan menetapkan ruang jalan yang memberikan prioritas bagi angkutan umum di atas moda transportasi bermotor lainnya (dan kendaraan tidak bermotor diberikan prioritas di atas semua moda). Jika tidak tersedia kapasitas jalan yang cukup, mungkin perlu dikembangkan infrastruktur jalan skala besar untuk dapat memberikan prioritas bagi angkutan umum, yang kemudian didukung oleh jaringan jalan di sekitarnya. Di jaringan sekunder ini bus sedang dan bus kecil digunakan untuk melayani penumpang, dan harus terintegrasi dengan sistem angkutan massal (BRT) untuk memastikan konektivitas yang terintegrasi
3.2.1 Tipologi Angkutan Umum di Perkotaan Ditinjau dari jenis armada yang digunakan, tipologi dan hirarki angkutan umum perkotaan (angkot) di kota-kota Indonesia terdiri dari beberapa jenis:
Bus besar, melayani angkutan kota yang beroperasi di jalan arteri, mengangkut 24-60 penumpang, dengan kecepatan rata-rata 1522km/jam.
Bus sedang, melayani penumpang di jalan kolektor, mengangkut 12-28 penumpang, dengan kecepatan rata-rata 12-17km/jam.
Bus kecil, melayani penumpang hingga ke jalan lingkungan, mengangkut 8-24 penumpang, dengan kecepatan rata-rata 5-15km/jam.
Di sejumlah kota besar dan kota metropolitan di Pulau Jawa dan Sumatera, karakteristik angkutan di kawasan perkotaannya dilengkapi pula dengan jaringan angkutan umum berbasis rel. Beberapa angkutan rel yang melayani mobilitas masyarakat di wilayah perkotaan antara lain: • Kereta Commuter (Commuter Line/CL) Jabodetabek. • Prambanan Ekspress (Prameks) di wilayah SurakartaYogyakarta-Purworejo. • KRD di Surabaya dan sekitarnya • KRD di kawasan Bandung Raya. Terdapat setidaknya tiga pertimbangan utama dalam menentukan karakteristik layanan angkutan perkotaan yang sesuai dengan kebutuhan, yakni besaran jumlah penduduk atau ukuran populasi, pola perjalanan mereka (asal dan tujuan, jumlah perjalanan, moda yang digunakan) dan kondisi infrastruktur kota. Jika sebuah distrik bisnis dalam kota memiliki permintaan angkutan umum yang sangat tinggi, maka sebaiknya dikembangkan kereta api komuter yang melayani pekerja yang tinggal di pinggiran tetapi bekerja di pusat kota. Sedangkan pada kawasan perkotaan dengan tingkat permintaan perjalanan yang tidak terlalu tinggi, sistem angkutan jalan dapat menjadi pilihan utama. Untuk kawasan perkotaan
Gambar Tipologi Angkutan Jalan di Perkotaan, Kapasitas Penumpang dan Kecepatan Rata-rata yang Direncanakan
Objek Pembahasan 8-12
12-24
Kapasitas Penumpang (Orang) 12-28
24-60
Kecepatan Rata-rata (Km/jam) 5-10
5-15
12-17
15-22
Foto oleh: Anugrah Ilahi. Tipologi transportasi jalan di perkotaan dengan perencanaan penumpang dan kapasitas kecepatan.
42
43
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
(seamless connectivity). Di sisi lain, penataan angkot juga harus dilakukan secara paralel hingga suatu saat ketika kondisi angkutan sudah menjadi lebih baik dan permintaan perjalanan (demand) meningkat, reformasi angkutan bisa dilanjutkan dengan menghadirkan layanan Sistem Transit di kota tersebut. Akan tetapi, reformasi angkot juga harus dilakukan bersamaan dengan pembangunan infrastruktur skala besar. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya permintaan angkot, dan pada gilirannya akan memungkinkan reformasi menyebar ke seluruh sistem transit. 3.2.2 Penataan Angkutan Perkotaan Saat ini hampir dipastikan terdapat sistem angkot yang beroperasi di setiap kota di Indonesia. Untuk menciptakan sistem angkutan umum perkotaan yang efektif, kelak sistem angkot ini perlu ditata ulang. Permasalahan angkot sangat rumit, dan cenderung menjadi tipikal permasalahan angkutan perkotaan di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu, sejumlah kota telah melakukan langkah penataan angkot. Pada tabel berikut dapat dilihat garis besar pelaksanaan program penataan angkot di beberapa kota: Contoh Perbaikan Sistem Angkutan Umum di Beberapa Kota Kota Bogor
Kondisi Eksisting
Restrukturisasi
Regulasi
Layanan transportasi di Kota Bogor, tediri dari 3.400 unit minibus dalam 23 trayek, dan 4.600 angkutan kota (angkot, elf, dan L300) dari Kabupaten Bogor dan antar kota dalam provinsi.
Perubahan kepemilikan angkot dari kepemilikan pribadi ke badan hukum, dan penataan trayek.
Perda Provinsi Jawa Barat 03/2011. Perda Kota Bogor 03/2013.
Khas Lokal Sistem Shifting. Melakukan perbaikan rute angkutan (re-routing). Peremajaan Kendaraan. Penghapusan kendaraan.
Solo
Palembang
Keterisian penumpang angkutan umum sangat rendah.
Konsolidasi antar pengusaha angkutan dan bergabung menjadi konsorsium BST.
Pemangku kepentingan angkot yang bergabung dalam koperasi.
Konsolidasi angkot, armada diganti, scrapping.
Pelayanan angkutan umum cukup rendah, banyak armada berumur yang tidak laik dan membahayakan penumpang.
Pembatasan peremajaan untuk armada yang berumur lebih dari 10 tahun.
Perwali
Pembatasan usia angkot.
Bogor Bogor kerap dijuluki sebagai Kota Sejuta Angkot, merujuk pada begitu banyaknya angkot beroperasi di kota ini, yang saling berimpit rute dan menimbulkan kemacetan. Pemerintah Kota Bogor lalu melakukan upaya penataan angkot dengan menerapkan beberapa konsep di bawah ini: • Berdasarkan Keputusan DPRD Kota Bogor Nomor 551.230 Tahun 2010, ditetapkan pola shifting, sebagai berikut: • Angkot dengan keterisian penumpang di bawah 50% masuk kelompok shift AB, yaitu sehari beroperasi dan sehari libur. • Angkot dengan tingkat keterisian penumpang di atas 50% masuk kelompok shift ABC yaitu dua hari beroperasi dan sehari libur. • Program ini diterapkan pada 13 trayek (2.277 kendaraan) dari 23 trayek (3.412 kendaraan) yang ada, dan berhasil mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi sebanyak 793 atau 3,21%. • Pengalihan angkot kepada trayek pengembangan baru (re-routing). Angkot yang telah beroperasi pada tujuh koridor utama menjadi prioritas re-routing. • Penghapusan izin bagi kendaraan angkot yang tidak melakukan uji kir dan perpanjangan ijin trayek, dan menjadikan kendaraan tersebut berplat hitam.
Kondisi angkot di Bogor yang keterisian penumpangnya rendah. — Foto oleh: Mirza Aldi
44
45
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
Akan tetapi, patut diwaspadai pula kemungkinan kebijakan shifting ini tidak bisa berjalan secara terus-menerus karena tidak semua pengusaha dan awak angkutan umum setuju dengan prinsip berbagi kesempatan ini. Selain itu, terdapat pula perbedaan cara pandang di antara para pejabat politis di Kota Bogor. Hal lain adalah landasan hukum yang digunakan dirasa kurang tepat, diterbitkan oleh pihak legislatif (DPRD), padahal semestinya penerbitan sebuah keputusan politis yang akan dilaksanakan di lapangan, sepenuhnya merupakan wewenang pihak eksekutif (walikota dan jajarannya). Jakarta Salah satu hal yang menjadi perhatian penataan angkot di Jakarta adalah masalah peremajaan angkutan. Lebih dari 65% armada kendaraan yang beroperasi saat ini sudah berumur lebih dari 10 tahun yang mengundang masalah kelaikan beroperasi, kemacetan, dan juga isu emisi yang mencemari udara. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2030 jo Perda No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, menyebutkan bahwa untuk mengatasi persoalan kemacetan dan tingginya pencemaran udara akibat pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, Pemprov DKI Jakarta harus mengubah pola pergerakan penumpang di wilayah DKI Jakarta hingga mencapai 60% dari keseluruhan perjalanan yang ada. Dengan demikian, laju rata-rata perjalanan di Jakarta akan bisa mencapai sekurangkurangnya 35 km/jam. Oleh sebab itu, diperlukan ketersediaan layanan angkutan umum yang benar-benar aman, nyaman dan berorientasi keselamatan yang akan mampu meningkatkan animo masyarakat berkendaraan umum dalam mendukung mobilitas sehari-hari dan meninggalkan kendaraan pribadinya. Lebih lanjut, pada pasal 51 Perda No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, disebutkan bahwa untuk menjamin ketersediaan layanan angkutan umum yang memenuhi aspek laik jalan dan ramah lingkungan, ditetapkan masa pakai kendaraan bermotor umum, yaitu 10 tahun untuk bus besar, sedang, kecil maupun angkutan barang, serta tujuh tahun untuk taksi. Dengan demikian, merujuk pada data Dinas Perhubungan DKI (2014), 65% kendaraan tersebut di atas sudah harus segera diremajakan. Tabel di bawah ini menunjukkan sebanyak 63.913 atau lebih 50% kendaraan berusia lebih dari 10 tahun.
Jenis Usia Kendaraan di Atas Usia 10 Tahun yang Terdaftar di Dishub DKI Jakarta No.
Jenis Kendaraan
Kend usia >10 thn
Jumlah Kend.
Jumlah
%
Harga/unit*
Total
(dalam Rp juta)
(dalam Rp juta)
1
Bus Besar
2.881
2.288
79%
1.000
2.288.000
2
Bus Sedang
4.944
4.890
99%
500
2.445.000
3
Bus Kecil
14.192
8.748
62%
150
1.312.000
4
Taksi
24.724
19.622
64%
200
3.165.000
5
Bus AKAP
3.840
2.867
75%
1.000
2.867.000
6
Bus AJAP
94
-
0%
1.000
-
7
Bus Pariwisata
4.416
3.019
68%
1.250
3.773.750
8
Bus Sewa
644
9
1%
1.000
9.000
9
Bajaj
13.864
10.131
73%
50
506.550
10
Kancil
160
159
99%
50
7.950
11
Truk Besar
26.090
15.068
58%
800
12.054.400
12
Truk Sedang
2.067
529
26%
300
158.700
13
Truk Kecil
613
377
62%
100
37.700
Jumlah
98.529
63.913
65%
-
29.384.650
Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Dewan Transportasi Kota Jakarta, 2014 * Estimasi harga per unit
Peremajaan kendaraan ini akan membutuhkan biaya sejumlah Rp 29,38 triliun. Angka tersebut menunjukkan kebutuhan pendanaan yang sangat besar dalam upaya peremajaaan angkutan perkotaan dan menjadi devisa negara yang harus dibelanjakan baik untuk pembelian kendaraan dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini menjadi tantangan yang harus dicari jalan keluarnya agar para pengusaha angkutan umum segera mengganti kendaraan tua dengan kendaraan yang baru.
46
47
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
3.3 Transformasi Menjadi Angkutan Massal
P
emerintah wajib menyediakan angkutan massal berbasis jalan di kawasan perkotaan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, pasal 158. Oleh karena itu, langkah berikut setelah melakukan penataan dan pembenahan angkot sebagai angkutan umum perkotaan berbasis individu, adalah menggagas ide untuk beralih ke sistem angkutan umum berbasis jalan. Sistem ini akan lebih efektif dan efisien karena angkutan umum konvensional dinilai tidak cocok lagi pada kawasan perkotaan dengan tingkat kepadatan penduduk yang terus meningkat tajam. Beberapa prasyarat wajib diperhatikan oleh pemerintah daerah sebelum memutuskan mengubah layanan angkutan umum reguler menjadi angkutan massal berbasis jalan. Rencana tersebut juga harus dituangkan dalam Tatralok atau Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RIJLLAJ), antara lain: 1. Kondisi infrastruktur jalan memiliki kapasitas yang cukup dengan prioritas untuk angkutan umum (yaitu setidaknya satu jalur khusus untuk angkutan umum). Sebuah studi komprehensif harus dilakukan untuk menilai apakah perlu untuk meningkatkan kapasitas jalan untuk moda lainnya, tetapi umumnya preferensi angkutan umum akan menyediakan kapasitas yang cukup dalam kondisi infrastruktur yang ada. 2. Tersedianya permintaan layanan (demand) yang cukup, sekitar 8.000 pphpd (penumpang perjam perarah). 3. Kesiapan regulator dalam hal penyediaan payung hukum yang tepat, baik untuk aspek kelembagaan maupun persiapan operasional. 4. Kesiapan operator dalam hal persiapan armada dan manajemen sumber daya operasional yang mencukupi. Untuk mencapai kondisi ideal, sistem angkutan massal berbasis jalan hendaknya mengacu kepada konsep BRT. Selain itu juga dapat merujuk pada buku BRT Planning Guide (ITDP dan GTZ-SUTP, 2007)2 yang memuat panduan teknis lebih detail. Pada faktanya, tidak banyak kota-kota di Indonesia yang bisa menerapkan konsep BRT secara utuh sehingga konsep tersebut harus diterapkan dengan sejumlah modifikasi. Materi dalam buku ini menjelaskan tentang modifikasi atau penyesuaian penerapan dengan kondisi perkotaan di Indonesia.
2 Tersedia di http://www.sutp.org/en/resources/publications-by-topic/brt-planning-guide.html
3.3.1 Prinsip Penentuan Sarana dan Prasarana Penerapan infrastruktur angkutan umum di Indonesia seringkali dihadapkan pada terbatasnya ketersediaan lahan di jalan. Menyediakan ruang umum bagi bus transit yang layak dan cukup memerlukan pemahaman sebagai berikut:
Dimensi Bus Harus Sesuai Kebutuhan (Demand) Move people, not cars. Oleh karena itu, sebesar apapun dimensi bus yang diperlukan, bus tetap menjadi prioritas di jalan. Aktivitas kendaraan pribadi yang berdimensi lebih kecil dapat disesuaikan dengan beberapa rekayasa lalu-lintas di jalan raya.
Akses Halte Setiap pengguna bus, biasanya adalah pejalan kaki, oleh karena itu lokasi akses halte perlu memadai. Umumnya, jarak ideal antar halte bagi orang Indonesia adalah 500m.
Prioritas dalam Lalu-lintas Agar dapat bersaing dan menarik minat penumpang, waktu tempuh dan kecepatan bus haruslah lebih singkat dan tinggi dari pada kendaraan pribadi. Apabila kondisi memungkinkan, sangat dianjurkan untuk memberikan lajur khusus bus yang steril dari kendaraan lain.
49
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
B
Halte sebaiknya ditempatkan pada pusat bangkitan utama, dengan jarak antar halte 5001.000m, merujuk pada SPM Angkutan Massal PM 10/2012.
S
3.3.2 Teknis Penentuan Halte dan Lajur Bus Kementerian Perhubungan, telah mengatur beberapa petunjuk teknis pembangunan halte, dan rambu pemberhentian bus. Oleh karena itu, penyediaan halte mengacu pada Panduan Perencanaan Halte dan Lajur tersebut. Sejumlah prinsip yang sebaiknya dipenuhi dalam penyediaan halte, adalah:
U
48
Berada pada sistem transit dengan pola pembayaran tiket on-bus. yang transparan dan akuntabel.
Daerah sekitar halte harus bebas hambatan samping.
Harus tetap selaras dengan akses pejalan kaki dan kaum disabilitas.
Terdapat rambu yang lengkap, penerangan, serta memiliki informasi peta kota, trayek dan rute kendaraan umum.
N
IA
NT
HE ER MB OT PE GK AN
ILIR LAMA YA N YORA MERU G KEBA G
ABAN
ek H ABAN H Tray TANA M11 M09A
TANA
I
G ABAN TINGG H N SLIPI ATAN TANA
JEMB TUBU M11 KS. ERAN ERAH BUND JERUK N ILIR PALM YA G KEBU N MERUH ABAN BURA TANA NG PETAM M09 SLIPI ERAH LAMA BELON PALM RAWAYORA KEBA
i Anda Posis
3.3.3 Pengawasan Setelah sejumlah upaya di atas, langkah berikut adalah melakukan pengawasan atau kontrol. Beberapa pengawasan yang dilakukan mencakup: 1. Pengawasan terhadap SPM Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan SPM terlaksana. Berdasarkan PM No. 98 Tahun 2013 tentang SPM angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek, bakuan mutu SPM mencakup enam aspek yang meliputi keamanan, keselamatan, kenyamanan, keteraturan, kesetaraan dan keterjangkauan. Selain peraturan menteri tersebut terdapat pula beberapa peraturan gubernur dan peraturan walikota masing masing provinsi dan kota. Sekalipun sudah dilakukan upaya untuk memenuhi kriteria SPM tersebut di atas, masih banyak kendala yang dihadapi, antara lain: • Sistem setoran • Organisasi individu • Kontrol penerapan SPM itu sendiri. 2. Pengawasan terhadap Tarif Langkah berikut adalah melakukan pengawasan terhadap tarif dengan menjadikan isu regulasi tarif sebagai kewenangan pemerintah. Penetapan tarif berhubungan dengan profit operator yang seharusnya memberikan dampak positif pada pelayanan angkutan umum. Sayangnya, sejauh ini keuntungan yang besar tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan pelayanan yang baik oleh para operator. Hal tersebut mengindikasikan ada sesuatu yang salah dalam sistem penyediaan angkutan umum sehingga perlu dilakukan perbaikan kebijakan untuk mendapatkan suatu sistem operasional bus yang efisien dan lebih baik. Pelayanan angkutan umum yang tidak memenuhi syarat berkaitan erat dengan pola kecenderungan masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada angkutan umum. 3. Upaya Lain Pengawasan Sejumlah upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan pelayanan angkutan umum adalah dengan: 1. Menyediakan pusat pengaduan masyarakat; sebagai sarana bagi masyarakat untuk memberikan kritik dan saran pelayanan terhadap masyarakat.
50
51
b ab 3 P E N ATA A N A N G KUTAN PE R KO TAAN DI I NDO NE SIA
2. Aktivitas berbagai komunitas lokal di kota-kota, yang memiliki perhatian terhadap pelayanan angkutan umum. Beberapa di antara komunitas yang sudah terbentuk adalah Suara Transjakarta, Busway Mania, KRL Mania, Aspeka (Asosiasi Penumpang KA), Koalisi Pejalan Kaki (KPK). 3. Pengaktifan Forum Lalu Lintas, sebagaimana diatur dalam PP No. 37 tahun 2011 tentang Forum LLAJ. Forum tersebut beranggotakan perwakilan instansi pemangku kepentingan, perguruan tinggi dan juga masyarakat. 4. Di Provinsi DKI Jakarta, terdapat Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Gubernur terkait kebijakan transportasi secara umum, termasuk tentang pembinaan dan penyelenggaraan angkutan perkotaan. Selain dari instansi pemangku kepentingan, seperti Dinas Perhubungan dan Kepolisian Lalu Lintas, keanggotaan DTKJ juga secara spesifik menyebutkan unsur pakar transportasi, unsur perguruan tinggi, unsur pengusaha angkutan, unsur awak angkutan, unsur LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang bergerak di bidang transportasi dan unsur masyarakat pengguna jasa transportasi. Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh kepala daerah sudah mengakomodasi suara dari setiap elemen masyarakat yang berkepentingan terhadap penyelenggaraan angkutan umum.
3.4 Aspek Sosial
S
ejumlah hal yang menjadi isu aspek sosial pada kendaraan umum adalah masalah keamanan dan pelecehan seksual. Masalah keamanan yang berhubungan dengan isu sosial adalah bahaya copet, penodong, pengemis yang memaksa atau ancaman verbal, dll. Sedangkan aspek sosial yang berhubungan dengan pelecehan seksual adalah perlakuan tidak senonoh yang umumnya dialami kaum perempuan pada saat berada di kendaraan umum, meskipun tidak tertutup kemungkinan pelecehan seksual ini juga menimpa kaum lelaki. Isu aspek sosial adalah salah satu hal yang sangat luas, dianjurkan untuk meninjau dokumen lain seperti gender dan modul Transportasi Perkotaan oleh GIZ SUTP dan aspek sosial dokumen teknis dari SUTP3.
3.4.1 Pelecehan Seksual di Angkutan Perkotaan Berdasarkan data yang dirilis oleh Komnas Perempuan (2013) terdapat sebanyak 279.630 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 40 kasus perkosaan terjadi pada pada periode januari 3 Tersedia di http://www.sutp.org/en/resources/publications-by-topic/social-issues-in-transport.html
hingga September 2011, dan tiga di antaranya terjadi di angkutan perkotaan. Pada tahun 2011 terdapat 2.937 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik. Terhitung sejak tahun 1998 terdapat sebanyak 22.284 kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum. Modus kekerasan seksual yang terjadi di angkutan umum, biasanya pelaku seksual mencari kesempatan di dalam angkutan umum ketika korban lengah, dan kondisi angkutan umum penuh sehingga tidak ada jarak antara pelaku dan korban. Pelcehan seksual juga tidak hanya dilakukan secara fisik namun juga verbal seperti merayu dan berkata-kata kotor. Merespon isu tersebut di atas, pemerintah telah melakukan upaya dengan membuat kebijakan prioritas bagi perempuan dengan menyiapkan gerbong khusus, atau kursi khusus. Hal ini sudah diterapkan antara lain pada Trans Jakarta, dan kereta komuter. Akan tetapi, hal ini dirasa masih kurang efektif karena kebijakan tersebut baru sebatas menciptakan tameng agar dapat menanggulangi kekerasan seksual. Setidaknya dibutuhkan upaya lain untuk menghentikan pelaku kekerasan seksual dengan memberikan efek jera.
Beberapa implementasi pencegahan pelecehan seksual di antaranya adalah: 1. Memberikan pendidikan melalui pemuka agama, sekolah, dan penyuluhan dari organisasi masyarakat. 2. Gerakan kolektif masyarakat dalam memerangi pelecehan seksual di angkutan umum. 3. Mempertimbangkan kehadiran tenaga keamanan perempuan pada fasilitas angkutan perkotaan yang dapat merespon kasus dan keluhan pelecehan seksual secara lebih spesifik. Hal ini sekaligus untuk merespon keprihatinan karena korban pelaku pelecehan seksual selama ini justru banyak terintimidasi ketika melaporkan kejadian yang dialaminya kepada petugas. Mereka cenderung disalahkan, sehingga jarang korban yang bersedia melaporkan kejadiaan ini.
Penumpang kerap menjadi obyek kejahatan di angkutan umum, diperlukan sistem yang dapat menjamin keselamatan. —Foto oleh Efrindu Titis
52
4
53
b ab 4 P E M B I AYA A N
Mekanisme Pembiayaan
Gambaran Beberapa Peluang Pembiayaan Pembiayaan yang sehat di kota-kota dapat memberikan stimulus positif bagi meningkatnya pelayanan angkutan umum di perkotaan yang berkelanjutan, operasional dan perawatan berkualitas tinggi bagi angkutan umum dan Non-Motorized Transport
P
enataan dan pengembangan angkot berhubungan erat dengan isu pembiayaan, baik untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana, maupun untuk penetapan tarif. Pemerintah provinsi maupun kota atau daerah dituntut cermat sekaligus kreatif dalam merespon isu ini agar program penataan angkot dapat berlangsung.
4.1 Penyediaan Anggaran (Financing Public Transport)
Terdapat beberapa peluang pendanaan infrastruktur kota, yaitu APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Di samping itu, terbuka pula kemungkinan potensi pendanaan kreatif dengan melibatkan banyak pihak baik kalangan pemerintah di berbagai level, hingga pihak swasta. Indonesia memiliki beberapa model pendanaan gotong royong yang dapat diaplikasikan pada model penataan angkot. Pola pembiayaan lokal tersebut antara lain Ngayah di Bali dan Sambatan di Jawa. Format Ngayah adalah bekerja untuk kepentingan bersama (masyarakat) secara suka rela tanpa dibayar (lebih cenderung altruism), sedangkan Sambatan (Jawa) adalah bekerja bersama tanpa dibayar, dengan sistem seperti arisan (ada unsur fairness, yaitu reciprocity). Keduanya merupakan contoh implementasi dari public goods game, serta sangat efektif untuk mengatasi masalah kelangkaan kapital, yaitu dengan cara mentransformasi keberlimpahan faktor non-kapital, menjadi kapital.
Pendanaan angkutan kota di Jerman memanfaatkan anggaran dari National Funding Share antara 60-90%.
BUMN/BUMD
Bisnis operasi yang jelas dan menguntungkan
Kerjasama Pemerintah Swasta
Dukungan dari Pemerintah Pusat
Insentif dan Disinsentif
BAGAIMANA UPAYANYA?
Pendanaan dengan model insentif diberikan kepada daerah atau perusahaan yang mencapai target pemenuhan SPM transportasi nasional.
Anggaran pemerintah pusat khusus untuk angkutan umum.
Surat Hutang Obligasi Perusahaan, Pinjaman Langsung, cadangan dan arus kas perusahaan.
Kerjasama swasta dengan jaminan pemerintah.
— Foto oleh: Qi Yahya
Beberapa operator angkutan bekerjasama membentuk sebuah perusahaan.
54
55
b ab 4 P E M B I AYA A N
S
etiap kota dapat melakukan pembiayaan atas pembangunan infrastruktur di masing-masing kota dengan memanfaatkan dana APBD di kota atau daerahnya sendiri. Selain itu, terbuka juga peluang pembiayaan lain yaitu APBN, APBD Provinsi, dan pendanaan dari pihak swasta. Berikut beberapa contoh proyek sektor transportasi dengan model pembiayaan dari berbagai sumber:
Model Mekanisme Pembiayaan di Sejumlah Negara Pola pembiayaan dari beberapa sumber tersebut menjadi model di sejumlah Negara. Berikut beberapa contoh jenis pembiayaan tersebut:
Maximum national funding share BRAZIL
95%
Minimum private participation Tidak ada jumlah minimum
Tabel Alternatif Pembiayaan di Jakarta dan Kota Sistem Transit Minimum local governments participation 5%
Jenis Angkutan
Kota
Koridor
Pendanaan APBN
COLOMBIA
40-70%
10%
30%
BRT
Jakarta Bogor
PERANCIS
20-25%
Tidak ada jumlah minimum
Tidak ada jumlah minimum Sistem Transit
Yogyakarta Solo
JERMAN
Tidak ada jumlah minimum
Tidak ada jumlah minimum
15-90%
Tidak ada jumlah minimum
Tidak ada jumlah minimum
MEXICO
Lebih dari 50%
34%.
Meski tidak berlaku umum, ditetapkan minimum kontribusi pada studi perencanaan sebesar 50%.
INGGRIS
Tidak ada maksimum dana APBN, meski pemerintah daerah disarankan untuk me ngupayakan pembiayaan sendiri.
Tidak ada jumlah minimum
Tidak ada jumlah minimum
80%, namun untuk sejumlah proyek transportasi skala besar, pendanaan APBN mencakup 50% saja.
Tidak ada jumlah minimum
20% untuk pembangunan infrastruktur jalan, namun secara prinsip 50% untuk pembangunan proyek transportasi utama.
INDIA
AMERIKA SERIKAT
60-90%
4.2 PEMBIAYAAN Prasarana Pendukung
Palembang
APBD Provinsi
1-12
√
√
1-3
√
√
4
√
√
√
√
√
√
2-7 1-8
Swasta √
√
1-6 1 dan 8
APBD Kota
√
√ √
√
√
Salah satu sistem transit di Kota Bogor yang pembiayaannya menggunakan APBD kota. —Foto oleh: Mirza Aldi (Sumber: Financing Sustainable Urban Transport GIZ-EMBARQ, 2012)
56
57
b ab 4 P E M B I AYA A N
Selain itu, pembiayaan pembangunan di kota-kota dapat dilakukan dalam beberapa metode pembiayaan, antara lain dengan penerapan pembiayaan yang dibantu oleh pihak ketiga, baik dari kerjasama dengan pihak swasta nasional atau grant/ loan dari pemeritah asing. Beberapa komponen pendukung sistem transportasi perkotaan dapat diterapkan dengan model pembiayaan seperti pada ilustrasi berikut: Penerapan ATCS untuk menunjang sistem transportasi perkotaan di Bali.— Foto oleh: Anugrah Ilahi
Tabel Potensi Pendanaan Komponen Pendukung Sarana Transportasi APBN
APBD
LOAN/ GRANT
SWASTA
R LU S JA U B
BUS
Pengadaan kendaraan
TRAYEK
JALUR KHUSUS
Jaringan utama dan feeder
Khusus untuk lajur BRT
P
ER IC
EC
EL
TR
AD RO
G
ICIN
PR
ON
P
NMT
Pedestrian dan lajur sepeda
ITS/ATCS
Prioritas BRT
ROAD PRICING Pembatasan lalu lintas berbayar
PARK & RIDE
Parkr kendaraan pribadi sebelum berganti ke angkutan massal
S
4.3.1 Kontrak kerjasama alah satu skema pembiayaan adalah melalui sistem kontrak dalam bentuk Kontrak Kerjasama (KKS). Skema ini berupa dokumen kerjasama antara perusahaan angkutan umum dengan operator bus, yang berisi tentang penyediaan operator angkutan umum. Sesuai dengan rencana pengoperasian dan standar prosedur penyediaan angkutan umum, dalam KKS perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Volume pekerjaan; yaitu jumlah total kilometer produksi atas seluruh angkutan perkotaan selama masa kontrak. 2. Jangka waktu kontrak; ditetapkan selama tujuh tahun terhitung sejak tanggal kontrak, dan apabila pada saat kontrak berakhir, volume pekerjaan belum tercapai, maka kontrak ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua tahun atau hingga volume pekerjaan tercapai (mana yang lebih dahulu). 3. Rupiah per kilometer (Rp/km); yaitu biaya atas jasa operator angkutan perkotaan per satu kilo meter tempuh berdasarkan hasil lelang. 4. Pendapatan operator bus; yaitu pendapatan bulanan yang berasal dari pembayaran atas jasa operator angkutan perkotaan yang dihitung berdasarkan kilometer tempuh dikalikan rupiah per kilometer (Rp/km). Kilometer tempuh bulanan ditetapkan setelah melalui proses verifikasi antara perusahaan dan operator angkutan perkotaan. 5. Mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. 6. Operator angkutan perkotaan wajib mengoperasikan bus dalam kondisi laik jalan dan telah memenuhi seluruh persyaratan dan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Denda dan sanksi dikenakan kepada operator angkutan perkotaan apabila lalai mematuhi kewajiban dan tanggung jawab, juga dalam menerapkan standar prosedur operasi, dan/atau standar pelayanan minimum, seperti yang tercantum dalam kontrak. Sanksi diberikan berupa pengurangan kilometer tempuh. 8. Memuat klausul-klausul umum yang ada dalam suatu kontrak seperti pengakhiran kontrak, kerahasiaan, penyelesaian perselisihan, pajak dan asuransi, force majeur, serta ketentuan lain.
4.3 Alternatif Sistem Kontrak
58
59
b ab 4 P E M B I AYA A N
Menghitung Operational Cost atau Biaya Operasional Kendaraan
Kerjasama Angkutan pada Batik Solo Trans Kota Solo telah melakukan penataan angkot dan melahirkan sistem angkutan perkotaan dalam konsep sistem transit dengan nama Batik Solo Trans (BST). Penerapan konsep kerjasama angkutan di BST adalah dengan melibatkan operator di Solo dalam format kontrak franchising, dan menempatkan risiko biaya sebagai tanggungan penuh operator yang harus mematuhi SPM dan tarif ditentukan oleh pemerintah. Kriteria kerjasama mencakup hal berikut: • Jika operator tidak memenuhi SPM yang disepakati, maka dihentikan kerja samanya. • Tidak ada lagi sistem kejar setoran yang ditargetkan pemilik bus kepada awak bus; sebagai gantinya pemerintah menerapkan sistem penggajian. • Risiko kebocoran pendapatan yang telah diperhitungkan harus terbagi dengan tujuan saling kontrol supaya proyek BST berjalan sesuai rencana.
4.4 Sistem Tiket dan Tarif
Implementasi tiket bus sebagai smart card, yang dapat digunakan juga dalam pembayaran tol, kereta, dan minimarket. —Foto oleh: Anugrah Ilahi
Rencana Rute Data panjang rute
Asumsi • • • •
Nilai residu 20% per kendaraan. Untuk luar DKI penggunaan BBM 3 km/liter. Daya tempuh ban tergantung koefisien gesek jalan. Dan lain-lain bisa dilihat di SKD 687.
Foto oleh: Anugrah Ilahi
Formula Sederhana BOK per unit/Km
T
arif merupakan harga yang harus ditanggung oleh pengguna angkutan umum. Penentuan nilai harga secara proporsional sangat penting untuk menunjang operasional angkutan perkotaan, agar operator dapat memperoleh keuntungan, dan angkutan umum menarik minat penggunanya. Penetapan tarif yang proporsional adalah merupakan langkah awal yang signifikan untuk meningkatkan jumlah pengguna angkutan perkotaan. Sedangkan sistem tiket merupakan cara pembayaran tarif yang dilakukan pengguna jasa kepada operator angkutan. Pada umumnya, sistem tiket di angkutan perkotaan di Indonesia masih berbasis manual. Kelak penggunaan e-ticketing system akan semakin diperluas untuk mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. E-ticketing system ini bahkan sudah menjadi sebuah keharusan untuk Sistem Transit yang baik dan mengacu kepada SPM yang tepat. 4.4.1 Pengembangan Sistem Pembayaran dan Integrasi Tiket Biaya Operasional Kendaraan merupakan komponen yang melekat pada sisi operasional berdasarkan satuan per kilometer. Kementerian Perhubungan telah menjabarkan secara detail mengenai metode perhitungan BOK dalam Surat Keputusan Dirjen Pehubungan Darat No. 687 Tahun 2002 mengenai “Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur”.
n
=∑
k=0
Biaya unit Km tempuh harian
Biaya Langsung
Biaya Tak Langsung
• • • • • • • • •
• •
Penyusutan kendaraan Bunga modal Gaji awak kendaraan Bahan bakar minyak Ban Servis kecil dan besar Oli Asuransi Retribusi terminal
Biaya pegawai non awak bus Biaya pengelolaan (overhead kantor, seragam, dll)
Analisis Perkiraan Keuntungan dan Kerugian
Diperoleh Harga Komersial
60
61
b ab 4 P E M B I AYA A N
4.4.2 Penerapan Tarif Pada umumnya, penentuan tarif angkutan dibagi berdasarkan kelas layanannya. Untuk kelas ekonomi ataupun angkutan umum bersubsidi, tarif diajukan oleh operator angkutan dan kemudian diputuskan oleh kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) sesuai dengan tingkat kewenangannya. Sedangkan untuk tarif kelas non-ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar.
Selanjutnya, teknis implementasi tarif akan berkaitan dengan konsep tarif dan sistem kontrak yang digunakan antara pemerintah dengan pemberi layanan angkutan perkotaan. Konsep Tarif yang Dapat Dilakukan melalui Berbagai Macam Metode Implementasi. Konsep Tarif Tarif pasar (dapat berubah menyesuaikan keadaan)
Franchising
Jika tarif < cost = risiko operator Jika tarif > cost = keuntungan operator Jika tarif = cost = keuntungan operator
Tarif pasar, user subsidy (menggunakan tiket khusus)
Tarif PASAR
Tarif batas Atas
gross COST CONTRACT
Tarif Pasar, user subsidy, tarif gratis
Jika tarif < cost = subsidi Jika tarif > cost = subsidi silang Jika tarif = cost = tak ada subsidi
Total biaya Pokok Tarif Pokok =
Load factor (%) x kapasitas kendaraan
Tarif BEP = Tarif pokok x Jarak Rata-rata Tarif - Tarif BEP + (10% x Tarif BEP) Jatah keuntungan operator
NETT COST CONTRACT
Jika tarif < cost = risiko operator Jika tarif > cost = keuntungan operator Jika tarif = cost = keuntungan operator
Tarif batas atas
Tarif gratis
Rumus di samping menunjukkan perhitungan tarif yang ditetapkan dalam SK Dirjen Perhubungan Darat No. 687 Tahun 2002.
Teknis implementasi
Keterangan
Distance based fare
Tarif berbasis jarak
Tarif jam puncak
Tarif menjadi mahal pada saat jam sibuk.
Tarif jam tidak puncak
Tarif angkutan lebih murah pada saat jam tidak sibuk.
Tarif paket mingguan/bulanan
Tarif tiket berlangganan
Distance based fare
Tarif berbasis jarak
Tarif jam puncak
Tarif menjadi mahal pada saat jam sibuk.
Tarif jam tidak puncak
Tarif angkutan lebih murah pada saat jam tidak sibuk.
Tarif khusus pelajar
Tarif khusus lebih murah bagi pelajar.
Tarif masyarakat miskin
Tarif khusus lebih murah bagi masyarakat miskin.
Tarif khusus lansia
Tarif khusus lebih murah bagi warga senior.
Penerapan tarif flat
Penetapan tarif sama
Tarif dikurangi PSO
PSO: Public Service Obligation, subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah.
Tarif promosi wisata
Tarif khusus tempat wisata baru atau pada saat promosi tertentu, misalnya: 1. Tiket Transjakarta digratiskan pada saat ulang tahun Kota Jakarta. 2. Tiket feeder untuk Trans Sarbagita di Kota Denpasar
62
63
b ab 4 P E M B I AYA A N
4.5 Pengembangan Sistem Subsidi
S
ebagai bentuk pelibatan negara dalam pelayanan publik di bidang jasa transportasi, pemerintah perlu memperhatikan daya beli masyarakat terhadap tarif angkutan yang disediakan oleh operator. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengembangkan sebuah konsep bantuan keuangan terhadap komoditas ini melalui mekanisme subsidi. Atau dengan kata lain, subsidi berarti bantuan pemerintah untuk menanggung sebagian dari harga jual suatu komoditas. Subsidi ini diperuntukkan bagi kalangan bawah agar mereka bisa melakukan mobilitas demi kebutuhan hidup sehari-hari. Di sektor transportasi perkotaan, jasa angkutan yang mendapat subsidi dari pemerintah umumnya adalah tarif angkutan kelas ekonomi. Sedangkan tarif angkutan untuk kelas non-ekonomi tidak mendapat subsidi dan sepenuhnya tergantung pada mekanisme pasar. Ke depannya, subsidi untuk harga jual komoditas cenderung dihapuskan, sedangkan kelompok masyarakat yang berhak mendapat subsidi tetap akan menikmati tarif spesial melalui mekanisme subsidi langsung ke pengguna (end-user).
4.5.1 Prinsip Pemberian Subsidi Pada dasarnya, sistem angkutan umum yang terstandardisasi dengan baik akan lebih optimal jika dijalankan secara komersial atau tanpa subsidi. Akan tetapi dalam fase transisi, subsidi masih diperlukan sebagai modal awal start-up bussiness. Terdapat beberapa bentuk subsidi misalnya, subsidi infrastruktur, subsidi pengguna, dan subsidi operasional. Di antara ketiga bentuk tersebut, sangat disarankan untuk menghindari subsidi operasional dengan pertimbangan: • Menghilangkan insentif dan dorongan untuk mengoptimalkan bisnis. • Menyebabkan ketergantungan sehingga cenderung membebani anggaran belanja daerah. Pada situasi yang membuat pemberian subsidi tidak lagi dapat dihindari, maka hal itu harus dilaksanakan sebagai kebijakan politis, dan terikat beberapa syarat untuk dipatuhi, yaitu: 1. Informasi harus sempurna kepada seluruh operator. 2. Tidak boleh terjadi monopsony (hanya ada penerima subsidi tunggal/operator tunggal). 3. Dibangun iklim kompetisi yang dikendalikan oleh standar pelayanan. 4. Tersedia insentif untuk mengurangi ketergantungan subsidi.
Subsidi yang baik selalu mengedepankan prinsip untuk melindungi hak kaum marginal, dan sekaligus dapat mendorong perkembangan bisnis angkutan umum. Grafik Prinsip Pemberian Subsidi. Kasus Trans Jogja Pada kondisi informasi sempurna, tingkat optimalitas pembiayaan akan diketahui. Optimalisasi pembiayaan terjadi di titik E* ketika total biaya angkutan perkotaan bersinggungan dengan cakupan dan kualitas layanan. Jika untuk mendapatkan tingkat cakupan dan kualitas layanan ternyata biaya operator tidak mencukupi, maka subsidi dapat disalurkan untuk menanggung sebagian biaya.
Kadangkala, subsidi itu seperti obat, bisa menyembuhkan penyakit namun juga beracun. Jika dikonsumsi dalam taraf yang tidak wajar, akan memberikan efek negatif akibat kelebihan dosis. 4.5.2 Peruntukan Subsidi Dalam praktiknya, jenis peruntukkan subsidi pengembangan angkutan perkotaan dapat dikategorikan dalam tiga hal:
1. Subsidi Infrastruktur Infrastruktur yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan angkutan jalan perkotaan umumnya disediakan oleh pemerintah sebagai bagian dari public service di sektor jalan. Dengan infrastruktur yang memadai, diharapkan layanan angkutan juga dapat berjalan dengan lancar. Salah satunya penyertaan modal pemerintah (PMP)dari pemerintah ke BUMN atau dari pemerintah daerah ke BUMD.
2. Subsidi Pengguna Pada umumnya, subsidi jenis ini diberikan dalam wujud potongan harga tiket, kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan pelajar. Misalnya, pelajar hanya perlu membayar tiket Rp 2.000,- untuk sekali perjalanan sedangkan harga tiket komersial adalah Rp 3.000,- . Subsidi semacam ini cukup baik dikembangkan untuk menghindari operator yang terlalu mengandalkan subsidi sebagai pendapatannya.
3.Subsidi Operasional Biasanya berwujud pembayaran BOK, bahan bakar, atau suku cadang, dari pemerintah langsung kepada operator. Dalam konteks penugasan pemerintah ke badan usaha semestinya dimungkinkan adanya PSO (Public Service Obligation) sebagai salah satu bentuk subsidi operasonal.
64
65
b ab 4 P E M B I AYA A N
Contoh subsidi infrastruktur berikut fungsinya dalam mendukung pengembangan angkutan perkotaan:
CAPEX/ Armada Angkot
Depo angkot TUJUAN:
TUJUAN:
TUJUAN:
TUJUAN:
Memberikan kenyamanan pemberhentian dan aktivitas menurunkan penumpang.
Menjamin ketersediaan akses bagi masyarakat menggunakan angkutan umum.
Meningkatkan akses pengguna angkot ke halte.
Mengurangi biaya investasi operator.
Halte dan terminal
Fasilitas Pejalan kaki
4.5.3 Menentukan Besaran Subsidi Subsidi diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan pelayanan jasa angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan beragam moda transportasi, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, dan juga mampu menunjang pemerataan. Hal tersebut tersurat pada pasal 2 KM No. 60 Tahun 2007 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum di Jalan. Subsidi dimaksudkan untuk tercapainya pertumbuhan nasional khususnya di daerah terisolir yang belum berkembang serta memberikan kemudahan pelayanan angkutan orang yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat di kawasan perkotaan dan pedesaan dengan biaya yang terjangkau masyarakat. Subsidi dapat juga sebagai kompensasi terhadap peningkatan manfaat sosial ekonomi. Sebagai contoh, pemerintah memberikan subsidi pelayanan dan ongkos angkutan umum, yang berdampak pada peningkatan jumlah pengguna angkutan umum yang secara langsung memberikan manfaat terhadap meningkatnya kesehatan lingkungan, dan mengurangi proporsi biaya transportasi bulanan masyarakat.
Pemberian subsidi harus memperhatikan komponen di bawah ini: 1. Besar subsidi angkutan penumpang umum di jalan diberikan pada suatu trayek tertentu berdasarkan: • Selisih biaya pengoperasian angkutan umum yang dikeluarkan oleh penyedia jasa angkutan umum dengan pendapatan operasional apabila pendapatan diambil langsung oleh penyedia jasa. • Biaya pengoperasian angkutan umum yang dikeluarkan oleh penyedia jasa angkutan penumpang umum apabila pendapatan diambil oleh pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi subsidi. 2. Perhitungan biaya pengoperasian angkutan umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan biaya pokok angkutan ditambahkan dengan keuntungan maksimal 10%. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan pembiayaan besarnya subsidi.
Terminal adalah salah satu infrastruktur yang pembangunan dan pengelolaannya membutuhkan subsidi demi meningkatkan pelayanan. —Foto oleh: Mirza Aldi
66
5
67
Pembentukan Manajemen Angkot yang Efektif dan Efisien
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
S
istem angkutan jalan di wilayah perkotaan saat ini masih didominasi oleh layanan berbasis kepemilikan individu atau keluarga, yang praktis tidak disertai dengan sistem manajerial yang profesional. Pada konsep penataan angkutan umum modern, di samping tersedianya sarana dan prasarana angkutan, dibutuhkan juga sistem manajemen yang andal. Tanpa dukungan manajemen operator angkutan yang profesional, pelayanan yang baik kepada pengguna jasa mustahil terwujud. Pada pelaksanaannya, pengelolaan angkutan umum yang profesional bertumpu pada banyak hal mencakup antara lain masalah regulasi perizinan dan konsep pengelolaan.
5.1 Perizinan Angkutan Umum
1
Adapun bentuk badan hukum yang sesuai adalah :
Selain mengacu pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ dan PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, terdapat beberapa acuan lain berupa regulasi tingkat menteri dan daerah yang mengatur lebih rinci tentang perizinan angkutan umum perkotaan. Regulasi di tingkat kementerian antara lain Keputusan Menteri No. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum. Sedangkan regulasi tingkat daerah dikeluarkan oleh masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhan. Adapun hal yang dimaksud sebagai perizinan angkutan umum adalah:
Izin usaha angkutan.
2
Izin trayek atau izin operasi.
Penyelenggaraan angkutan orang dan atau barang dengan kendaraan umum wajib memiliki izin usaha angkutan. Pemohon izin penyelenggaraan angkutan orang dan barang harus berupa perusahaan angkutan umum yang berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Perseroan Terbatas (PT)
Badan hukum milik pemerintah berupa BUMN dan BUMD sudah memiliki banyak panduan. Oeh karena itu, materi pada toolkit ini akan khusus membahas pengembangan badan hukum untuk kepengusahaan angkutan dalam trayek yang berbentuk perseroan (PT) dan koperasi. 5.1.1 Izin Usaha Angkutan Badan hukum yang ingin melakukan bisnis di sektor angkutan jalan perkotaan dapat mengajukan izin usaha angkutan kepada pejabat yang berwenang. Pengajuan izin usaha jenis angkutan Antar Kota dalam Provinsi (AKDP) ditujukan kepada gubernur selaku pejabat berwenang. Sedangkan pengajuan izin usaha jenis angkutan dalam satu wilayah administrasi pemerintah kota/ kabupaten, dialamatkan kepada walikota atau bupati. Persyaratan untuk memperoleh rekomendasi izin usaha angkutan umum untuk jasa penumpang dikeluarkan oleh Dishub setempat. Isi persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: • Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lembaga. • Memiliki akte pendirian serta pengesahan badan hukum bagi pemohon berbentuk PT, dan akte pendirian koperasi bagi pemohon yang berbentuk Badan Hukum Koperasi. • Memiliki surat keterangan domisili perusahaan. • Memiliki Surat Izin Tempat Usaha (SITU). • Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai sejumlah minimal kendaraan bermotor. • Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. • Permohonan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud, diajukan kepada pejabat yang berwenang. • Pemberian atau penolakan izin usaha angkutan, diberikan oleh pejabat pemberi izin selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. • Penolakan atas permohonan izin usaha angkutan disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan.
Koperasi
68
69
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
Pengajuan Izin Usaha Angkot di Kota Bogor
Badan Hukum mengajukan izin usaha
Mendapatkan rekomendasi
Mengajukan permohonan penerbitan izin usaha angkutan kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (Provinsi/Kabupaten /Kota)
Mengurus Dokumen Persyaratan yang harus dilengkapi dalam mengurus dokumen Surat Keterangan Domisili Perusahaan, NPWP/PKP, SIUP, TDP dan HO/SITU, adalah:
√ Kartu Tanda Penduduk (KTP) Direktur Utama Perseroan / Ketua Koperasi. √ Kartu Keluarga (KK) Direktur Utama Perseroan/Ketua Koperasi. √ NPWP perorangan Direksi/ Pengurus (kalau tidak ada, minimal Direktur Utama/Ketua Koperasi). √ Fotokopi perjanjian sewa gedung berikut surat keterangan domisili dari Pengelola Gedung (apabila kantornya berstatus sewa). √ Fotokopi sertifikat tanah dan fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir berikut bukti Surat Tanda Terima Setoran (STTS). √ Pas foto Direktur Utama Perseroan/Ketua Koperasi berukuran 3X4 sebanyak dua lembar.
√ Foto kantor tampak depan, tampak dalam untuk mempermudah pengenalan lokasi pada waktu dilakukan survey lokasi sebelum penerbitan lembar Perusahaan Kena Pajak (PKP) atau Surat izin Usaha Perdagangan (SIUP). √ Fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan Akta Perubahan yang telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. √ Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). √ Fotokopi Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL). √ Surat Persetujuan warga terdekat secara mayoritas atau yang berbatasan langsung dengan lokasi usaha, dilampiri KTP yang masih berlaku dan diketahui oleh RT, RW, Lurah dan Camat setempat.
Bilamana sebuah badan hukum telah mendapat izin usaha angkutan hendaknya melakukan beberapa hal sebagaimana berikut: • Memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam Izin Usaha Angkutan. • Melakukan kegiatan usaha angkutan selambat lambatnya dalam waktu enam bulan, sejak diterbitkannya Izin Usaha Angkutan. • Melaporkan kegiatan usaha setiap tahun kepada pejabat pemberi Izin Usaha Angkutan. • Melaporkan apabila terjadi perubahan kepemilikan perusahaan ataupun domisili perusahaan. 5.1.2 Izin Trayek/Koridor Setelah mendapat izin usaha, setiap badan hukum yang akan melakukan usaha pelayanan angkutan di suatu trayek/koridor juga harus mendapat izin trayek atau operasi. Izin trayek ini merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi angkutan kota. Sejumlah persyaratan administratif harus disiapkan oleh pemegang izin usaha untuk mendapatkan izin trayek, sebagaimana rincian berikut: • Membuat laporan realisasi angkutan dari pengusaha yang siap melayani trayek dimaksud. • Memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) Kepegawaian. • Memiliki SOP Perawatan Kendaraan. • Menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi seluruh kewajiban sebagai pemegang izin trayek termasuk SPM yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. • Memiliki paling sedikit 20 unit armada kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan dengan umur kendaraan yang ditetapkan oleh pemberi izin. • Menguasai fasilitas penyimpanan/depo kendaraan bermotor yang dibuktikan dengan gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai pemilikan atau penguasaan. • Memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat kendaraannya untuk tetap dalam kondisi laik jalan. • Surat keterangan kondisi usaha, seperti permodalan dan sumber daya manusia. • Surat keterangan komitmen usaha, seperti jenis pelayanan yang akan dilaksanakan dan standar pelayanan yang diterapkan. • Membuat atau memiliki sistem manajemen keselamatan.
70
71
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
Sedangkan persyaratan teknis yang harus dipenuhi sebelum dikeluarkannya izin trayek untuk sebuah badan hukum/usaha angkutan perkotaan antara lain: • Pada trayek yang diajukan, masih terdapat peluang penambahan jumlah kendaraan sebagaimana hasil penetapan kebutuhan kendaraan. • Prioritas pemberian izin trayek diberikan bagi perusahaan angkutan yang mampu memberikan pelayanan angkutan yang terbaik. Penentuan perusahaan angkutan yang terbaik dilakukan melalui sistem lelang atau seleksi. Apabila pengajuan izin trayek tersebut disetujui oleh pejabat berwenang, maka izin trayek akan diberikan, berupa: • Surat Keputusan Izin Trayek • Surat Keputusan Pelaksanaan Izin Trayek • Lampiran Surat Keputusan Izin Trayek berupa daftar kendaraan • Kartu Pengawasan Kendaraan • Surat pernyataan kesanggupan untuk menaati seluruh kewajiban sebagai pemegang izin trayek, yang ditandatangani pemohon dan diketahui pejabat pemberi izin.
5.2 Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
G
ood Corporate Governance atau Tata Kelola Perusahaan yang Baik merupakan prinsip-prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggung-jawabannya kepada stakeholders. Prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai perangkat standar yang bertujuan untuk memperbaiki citra, efisiensi, efektivitas dan tanggung-jawab sosial perusahaan. Perangkat tersebut dapat menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen melalui supervisi, monitoring dan mekanisme pengendalian keputusan dan kinerja perusahaan. Adapun di sektor bisnis angkutan, terdapat ketentuan jumlah unit armada yang harus dimiliki oleh setiap badan hukum yang melakukan usaha/bisnis angkutan jalan di wilayah perkotaan (pada poin 5 persyaratan pengajuan izin trayek). Di samping itu, terdapat beberapa pertimbangan dalam melakukan penyesuaian (technical adjustment), yakni:
1. Kebutuhan Per Koridor/Demand Side Pada setiap trayek atau koridor angkutan umum, idealnya hanya terdapat satu sampai tiga perusahaan operator yang beroperasi. Hal ini terkait dengan efektivitas kontrol dan efisiensi pelayanan yang dilakukan untuk menghindari monopoli usaha sekaligus juga menghindari kompetisi yang tidak sehat akibat over supply.
Izin Trayek dan Jumlah Armada Berikut ini adalah simulasi untuk melihat peluang izin trayek dan jumlah armada yang harus disediakan. Pemerintah kota A tengah merencanakan untuk membuka izin trayek atau koridor baru dengan kondisi sebagai berikut:
Jenis angkutan: Bus kecil atau sedang
Waktu istirahat: 10 menit di tiap pangkalan/terminal ujung
Kecepatan rata-rata: 12km/jam
Waktu siklus (total): 80 menit
Panjang rute koridor: 6km
Headway direncanakan: 5 menit
Waktu tempuh: 30 menit/rit, atau 60 menit/PP
Manajemen operasional: 90% siap operasi, 10% cadangan
Kebutuhan armada: 18 unit armada, dengan komposisi 16 operasional dan dua cadangan (untuk masa perawatan kendaraan)
Simulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa kebutuhan minimal armada untuk tiap perusahaan angkutan bisa jadi bersifat fleksibel. Jika memang kondisi permintaan (demand) masih rendah dan kebutuhan armada di sebuah trayek atau koridor tidak mecapai angka minimal, maka pengadaan armada tidak harus 20 unit untuk setiap badan hukum pengaju izin trayek.
73
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
2. Aspek regulasi Undang-undang Koperasi menyebutkan bahwa setiap koperasi primer beranggotakan minimal 20 orang. Ketentuan undang-undang ini tentu berlaku bagi koperasi yang bergerak di sektor usaha angkutan jalan di wilayah perkotaan. Sedangkan koperasi sekunder merupakan gabungan dari sedikitnya tiga koperasi primer. Badan hukum berbentuk koperasi, yang menetapkan anggotanya memiliki satu suara yang sama, bisa jadi akan sangat cocok untuk sektor usaha angkutan dengan satu rute izin trayek. Berbeda dengan PT, yang suara pemilik saham umumnya ditentukan oleh besar kecilnya saham yang dimiliki dalam perseroan tersebut. Dengan menggunakan badan hukum koperasi, pelaku UMKM di bidang bisnis angkutan perkotaan tetap memiliki akses terhadap kepemilikan armada, hanya saja mereka harus melepaskan aspek operasionalnya pada sebuah manajemen angkutan yang profesional. 3. Kebutuhan Efisiensi Operasional Kondisi pelayanan angkutan umum perkotaan saat ini berada dalam keadaan stagnan dan bahkan cenderung menurun. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, termasuk di antaranya adalah lemahnya kapasitas dan konsistensi terhadap aspek perawatan kendaraan. Kelemahan tersebut terlihat nyata terutama pada moda angkutan umum konvensional seperti angkot (bus kecil) dan Kopata (bus sedang). Kedua jenis angkutan umum tersebut seringkali dikelola secara perorangan, dengan pemilik armada bertanggung jawab langsung terhadap kondisi kendaraan dalam operasi sehari-harinya. Keprihatinan muncul karena tidak semua pemilik kendaraan mengerti, memahami dan mempunyai cukup waktu untuk melakukan perawatan kendaraannya yang dioperasikan sebagai angkutan umum tersebut. Akibatnya, secara kasat mata, kondisi armada yang beroperasi seringkali tidak laik jalan dan bahkan membahayakan keselamatan penumpang dan pengguna jalan raya lainnya. Hal demikian terjadi pula pada aspek prasarana perawatan. Idealnya, setiap pengusaha angkutan memiliki depo untuk idle time (istirahat kendaraan) baik di malam hari maupun pada saat lain ketika demand sedang sepi. Sayangnya, hanya pengusaha atau badan hukum bermodal besar yang mampu menyediakan lahan yang dapat dijadikan depo. Pemerintah daerah sebagai regulator proses penyelenggaraan angkutan umum hendaknya terus mendorong pemilik armada melakukan proses penyelenggaran layanan angkutan dengan
baik. Salah satu instrumen yang dikembangkan pemerintah adalah mendorong penghapusan usaha angkutan penumpang perkotaan yang berbasis kepemilikan dan pengelolaan individual. Sebagai solusinya, para pemilik angkutan diharapkan bergabung dalam sebuah manajemen yang lebih profesional dalam mengelola bisnis semacam ini. Penggabungan operasional layanan diharapkan akan dapat mendorong terbentuknya entitas baru pengusaha angkutan yang lebih sehat sehingga mampu menyelenggarakan jasa angkutan yang baik dan akan dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan pelanggan. Korelasi antara Jumlah Armada dan Biaya Produksi Jasa Transportasi
Biaya produksi
72
0
Marginal Cost Average Cost Optimum
Jumlah armada
Efisiensi produksi layanan jasa transportasi meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah armada hingga pada suatu titik tertentu, sehingga tercipta ratarata biaya produksi jasa layanan transportasi yang optimum.
Bisnis angkutan umum perkotaan, layaknya bisnis pada umumnya, tentu saja harus memiliki tatanan manajemen yang baik. Struktur organisasinya juga harus berbentuk badan usaha angkutan yang terdiri dari pemilik usaha sebagai pemegang saham, tenaga ahli, dan karyawan yang menjalankan roda perusahaan secara manajerial dan operasional. Sayangnya, hal ini belum terlaksana dengan baik mengingat masih banyak usaha dijalankan secara konvensional, sehingga sangat sedikit perusahaan angkutan yang menerapkan konsep bisnis yang baik tersebut. Badan usaha yang sehat berbanding lurus dengan kepemilikan armada yang memadai. Pada Bab IV disebutkan dalam rincian perhitungan BOK, bahwa jumlah armada sedikit akan berdampak pada mahalnya biaya produksi per unit. Hal ini terkait dengan beberapa komponen biaya langsung dan tak langsung (overhead) yang cukup besar. Sebaliknya, jika sebuah badan usaha memiliki sedikitnya 20 unit armada, sesuai dengan teori economies of scale, maka biaya produksi rata-rata per unit armada akan semakin mengecil.
74
75
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
5.3 Tata Cara Pembentukan Badan Hukum
P
ara pelaku usaha jasa transportasi perkotaan, perlu memahami dengan baik tata cara pembentukan badan hukum angkutan umum.
5.3.1 Perseroan Terbatas (PT) Untuk membentuk perseroan, perlu ditentukan besarnya modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor yang berkaitan dengan jenis atau kelas Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang diinginkan. Penentuan kelas SIUP bukan berdasarkan besarnya modal dasar, melainkan besarnya modal disetor ke kas perseroan. Persyaratan utama dalam mendirikan perseroan adalah menetapkan kerangka anggaran dasar perseroan sebagai acuan untuk penerbitan Akta Autentik sebagai Akta Pendirian oleh notaris. Ketentuan dalam penetapan pendiri perseroan antara lain: • Jumlah pendiri perseroan minimal dua orang. • Pendiri harus WNI, kecuali untuk perseroan dengan kategori Penanaman Modal Asing (PMA). • Para pendiri pada saat perseroan didirikan, yaitu saat pembuatan Akta Pendirian, harus menjadi pemegang saham perseroan. • Para pendiri juga dapat diangkat sebagai salah satu pengurus baik sebagai Direktur atau Komisaris. Jika anggota Direksi atau Komisaris lebih dari satu orang maka salah satu dapat diangkat menjadi Direktur Utama atau Komisaris Utama. • Perseroan dalam konteks kepengusahaan angkutan umum agar mencantumkan jenis kegiatan usaha utamanya yakni Bidang Angkutan Umum. Dalam menetapkan nama dan tempat kedudukan perseroan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengingat pemakaian nama perseroan tidak boleh sama atau mirip sekali dengan nama perseroan yang sudah terdaftar sebelumnya, maka perlu disiapkan dua atau tiga alternatif nama. Hendaknya diusahakan agar nama perseroan yang akan didaftarkan mencerminkan kegiatan usahanya. 2. Sebelum akta dibuat, notaris akan melakukan pengecekan terlebih dahulu melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) secara elektronik untuk mengetahui apakah nama calon perseroan tersebut bisa gunakan atau tidak. Jika bisa, sebaiknya langsung dilakukan
pemesanan untuk menghindari pemakaian nama tersebut oleh pihak lain. 3. Pemakaian nama perseroan diatur dalam PP No. 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. 4. Kedudukan Perseroan harus berada di wilayah Republik Indonesia dengan menyebutkan nama kota tempat perseroan melakukan kegiatan usaha sebagai kantor pusat. Persoalan lainnya yang harus mendapat perhatian dalam proses pembuatan sebuah perseroan adalah jangka waktu berdirinya perseroan. Para pendiri perseroan dapat memilih untuk menetapkan jangka waktu berdirinya perseroan (untuk jangka waktu tertentu) atau tidak perlu ditentukan jangka waktunya, atau berdirinya perseroan berlaku seumur hidup. 5.3.2 Koperasi Jika sekelompok orang ingin bergabung dan mendirikan sebuah koperasi angkutan jalan, maka yang bersangkutan hendaknya memahami pengertian, nilai dan prinsip-prinsip koperasi, selain juga memahami panduan teknis dalam buku ini. Hal utama yang harus dipahami adalah syarat pembentukan koperasi harus, sebagai berikut: 1. Koperasi Primer • Dibentuk dan didirikan oleh sekurang-kurangnya 20 orang yang mempunyai kegiatan dan kepentingan ekonomi yang sama. • Pendiri Koperasi Primer sebagaimana dimaksud dalam poin pertama adalah WNI, cakap secara hukum dan mampu melakukan perbuatan hukum. 2. Koperasi Sekunder • Dibentuk dan didirikan oleh sekurang-kurangnya tiga badan hukum koperasi. • Pendiri Koperasi Sekunder adalah Pengurus Koperasi Primer yang diberi kuasa oleh masing masing Koperasi Primer untuk menghadiri rapat pembentukan Koperasi Sekunder. 3. Usaha yang akan dilaksanakan oleh koperasi harus layak secara ekonomi, dikelola secara efisien dan mampu memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi anggota. 4. Modal harus cukup tersedia untuk mendukung kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh koperasi. 5. Memiliki tenaga terampil dan mampu mengelola koperasi. Para pendiri wajib melakukan beberapa hal berikut:
76
77
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
•
•
•
•
•
•
• •
•
Sebelum melaksanakan rapat pembentukan koperasi terlebih dahulu dilaksanakan penyuluhan tentang koperasi yang dilaksanakan oleh Pejabat Pemerintah dari Instansi yang membidangi koperasi. Mengadakan rapat persiapan pembentukan koperasi yang akan membahas semua hal yang berkaitan dengan rencana pembentukan koperasi meliputi antara lain penyusunan Rancangan Anggaran Dasar/Materi Muatan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan hal hal lain yang diperlukan untuk pembentukan Koperasi. Rapat Pembentukan Koperasi Primer dihadiri oleh sekurang kurangnya 20 orang sedangkan Rapat Pembentukan Koperasi Sekunder dihadiri oleh sekurang kurangnya tiga koperasi yang diwakili oleh orang yang diberi kuasa berdasarkan keputusan rapat anggota koperasi yang bersangkutan. Rapat pembentukan dihadiri oleh pejabat yang membidangi koperasi sesuai tingkatannya; skala nasional, provinsi, atau kabupaten/kota. Pada rapat ini dibahas antara lain mengenai pokok pokok materi, muatan anggaran dasar dan susunan nama pengurus serta pengawas yang pertama. Anggaran Dasar memuat sekurang kurangnya daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, jenis koperasi, maksud dan tujuan, bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, pengelola, pedoman, jangka waktu berdirinya, pembagian sisa hasil usaha, pembubaran dan ketentuan mengenai sanksi. Pelaksanaan rapat anggota pembentukan koperasi wajib dituangkan dalam notulen rapat pembentukan koperasi. Para pendiri koperasi atau kuasanya mempersiapkan akta pendiri koperasi melalui bantuan notaris pembuat akta koperasi. Dalam penyusunan pembuatan akta koperasi para pendiri atau kuasanya dan notaris pembuat akta koperasi dapat berkonsultasi dengan pejabat yang berwenang mengesahkan akta pendirian koperasi. Para pendiri koperasi atau kuasanya mengajukan permintaan pengesahan akta pendirian koperasi secara tertulis kepada pejabat yang berwenang mengesahkan
Akta Pendirian Koperasi. 1. Untuk Koperasi Primer dan Sekunder yang anggotanya tersebar pada lebih dari satu provinsi, permintaan pengesahan disampaikan kepada Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM, Kementerian Koperasi dan UKM. 2. Untuk Koperasi Primer yang anggotanya meliputi satu provinsi, permintaan pengesahan disampaikan kepada instansi yang menangani urusan koperasi di provinsi setempat. 3. Untuk Koperasi Primer yang anggotanya meliputi satu kabupaten/kota, permintaan pengesahan disampaikan kepada Kepala Dinas/instansi yang menangani urusan koperasi setempat. Adapun persyaratan administrasi permintaan pengesahan akta pendirian koperasi adalah: • Dua salinan akta pendirian koperasi bermaterai cukup. • Data akta pendirian koperasi yang dibuat dan ditandatangani oleh notaris. • Surat bukti tersedianya modal yang sekurang kurangnya sama dengan jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib yang harus dilunasi oleh para pendiri. • Rencana kegiatan usaha koperasi minimal tiga tahun ke depan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja koperasi. • Dokumen lain yang diperlukan atau yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pejabat yang berwenang wajib melakukan penelitian atau verifikasi terhadap materi anggaran dasar yang akan disahkan, selain juga melakukan pengecekan terhadap koperasi yang akan didirikan terutama yang berkaitan dengan domisili/alamat, kepengurusan, usaha yang dijalankan dan keanggotaannya. Pelaksanaan penilaian dapat dilakukan pada waktu penyusunan akta pendirian koperasi. Apabila dari hasil penelitian dan pengecekan, koperasi tersebut dimilai layak untuk disahkan, maka pejabat mengesahkan akta pendirian koperasi tersebut. Pengesahan akta pendirian koperasi ditetapkan dalam jangka waktu selambat lambatnya 20 hari sejak diterimanya permintaan pengesahan secara lengkap. Koperasi diberikan status Badan Hukum setelah mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang.
78
79
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
Mekanisme Tahapan Proses Pendirian Kepengusahaan Angkutan Umum
Berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) Dan Tata Cara Pengajuan Perizinan
Tahap 1
Persiapan berupa konsultasi, pengisian formulir pendirian PT dan surat kuasa. Konsultasi diperlukan untuk mengetahui ruang lingkup pendirian PT, biaya dan cara pembayaran, prosedur dan persyaratan yang dibutuhkan untuk pendaftaran dan perizinan serta berbagai aspek terkait dengan kegiatan usaha yang akan dilaksanakan Perseroan. Persiapan dilakukan oleh para pendiri Peseroan dengan cara mengisi formulir dan surat kuasa pendirian. Waktu proses tahapan ini tergantung kepada para pendiri Perseroan.
Tahap 2
Pemeriksaan formulir, surat kuasa dan pengecekan nama Perseroan yang diajukan melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) secara elektronik, Pemeriksaan formulir dan surat kuasa untuk memastikan kebenaran data yang disampaikan. Pengecekan dilakukan untuk mengetahui apakah nama PT yang dipilih sudah didaftarkan atas nama perusahaan lain atau belum, jika belum nama tersebut bisa langsung didaftarkan oleh notaris, namun jika nama PT yang diajukan sudah didaftarkan oleh perusahaan lain maka para pendiri harus mengganti nama perseroan yang diajukan dengan nama yang lain. Persyaratan administrasi: • Melampirkan asli formulir dan surat kuasa pendirian. • Melampirkan fotokopi KTP para pendiri dan pengurus. • Melampirkan fotokopi Kartu Keluarga (KK) pimpinan perseroan (Direktur Utama/Direktur). • Waktu proses adalah satu hari kerja setelah formulir dan surat kuasa diterima.
Tahap 3
Proses pendaftaran dan persetujuan pemakaian nama perseroan tersebut dilakukan melalui kantor notaris yang ditunjuk. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pemakaian Nama Perseroan Terbatas. Proses tahap ini adalah lima hari kerja setelah permohonan diajukan.
Tahap 4
Pembuatan notulen Anggaran Dasar PT dilakukan oleh NOTARIS berdasarkan informasi yang diberikan oleh para pendiri perseroan pada formulir pendirian perseroan dan surat kuasa. Waktu proses tahapan ini adalah satu hari kerja setelah permohonan diajukan Persyaratan yang dibutuhkan sama dengan tahap 2.
Tahap 5
Pembuatan Akta Pendirian oleh notaris, dilakukan setelah penetapan nama perseroan disetujui Menteri Hukum dan HAM. Akta Pendirian Perseroan dibuat dan ditandatangani oleh notaris yang berwenang, dan dibuat dalam Bahasa Indonesia sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Peseroan. Waktu proses tahapan ini satu hari kerja setelah permohonan diajukan. Persyaratannya antara lain melampirkan foto kopi KTP pendiri PT dan fotokopi KTP pengurus, jika bukan Pendiri Perseroan.
TAHAP 6
Pengajuan permohonan Surat Keterangan Domisili Perseroan ditujukan kepada Kepala Kantor Kelurahan setempat sesuai dengan alamat kantor Perseroan berada, sebagai bukti keterangan atau keberadaan alamat perseroan. Proses tahap ini memakakn waktu dua hari kerja setelah permohonan diajukan. Persyaratan lain yang dibutuhkan: • Fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat). • Jika status kantor sewa maka dilampirkan fotokopi kontrak/sewa tempat usaha atau bukti kepemilikan tempat usaha. • Surat keterangan dari pemilik gedung apabila berdomisili di gedung perkantoran. • Fotokopi Surat Tanda terima Setoran (STTS) bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir.
TAHAP 9
Pendaftaran Undang Undang Gangguan (Hinder Ordonatie) atau Surat Izin Tempat Usaha (SITU) sebagai persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau untuk izin kegiatan usaha yang dipersyaratkan adanya UUG/SITU berdasarkan Undang-undang Gangguan.
TAHAP 10
Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) sesuai dengan keberadaan domisili perseroan. Waktu proses tahapan ini adalah 10 hari kerja setelah permohonan diajukan.
TAHAP 7
TAHAP 11
TAHAP 8
TAHAP 12
Permohonan pengesahan Perseroan dilakukan oleh notaris kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia untuk mendapatkan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (Akta Pendirian) sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas sesuai Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Waktu proses tahapan ini adalah 25 hari kerja setelah permohonan diajukan. Persyaratan lain yang dibutuhkan adalah lampiran bukti setor bank senilai modal disetor sesuai Akta Pendirian.
Permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan keberadaan domisili perusahaan. Waktu proses tahapan ini adalah dua hari kerja setelah permohonan diajukan. Demikian juga waktu proses Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Wajib Pajak, dua hari kerja setelah permohonan diajukan.
Permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) diajukan kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota/Kabupaten/Provinsi sesuai dengan keberadaan domisili perseroan. Bagi perusahaan yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat Tanda Daftar Perusahaan sebagai bukti bahwa perusahaan/badan usaha telah melakukan Wajib Daftar Perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. Waktu Proses Tahapan ini adalah 14 hari kerja setelah permohonan diajukan.
Setelah perseroan mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM RI, maka akan diumumkan dalam Berita Negara. Perseroan yang telah diumumkan dalam Berita Negara telah sempurna statusnya sebagai Badan Hukum. Waktu Proses Tahapan ini adalah 90 hari kerja.
80
81
b ab 5 P E M B E N T U K A N ANG KO T YANG E FE KTI F DAN E F ISIEN
MEKANISME TAHAPAN PROSES PENDIRIAN KEPENGUSAHAAN ANGKUTAN UMUM BERBADAN HUKUM KOPERASI DAN TATA CARA PERIZINAN
TAHAP 1
Penyuluhan persiapan pembentukan koperasi; sekelompok orang berkumpul minimal 20 yang mempunyai kegiatan dan kepentingan ekonomi yang sama, dalam hal ini kepengusahaan angkutan, dan wajib memahami pengertian, nilai dan prinsip-prinsip koperasi.
TAHAP 2
Rapat persiapan/ pembentukan koperasi didahului penyuluhan oleh pejabat dari instansi yang membidangi koperasi kepada para pendiri, dengan ketentuan sebagai berikut: • Rapat dipimpin oleh seorang atau beberapa dari pendiri atau kuasa pendiri dihadiri oleh pejabat yang membidangi koperasi sesuai tingkatnya (nasional, provinsi atau kabupaten/kota). • Materi pokok dalam pembahasan pembentukan koperasi antara lain nama koperasi, keanggotaan, usaha yang dijalankan, permodalan, pengurus/pengawas yang pertama, pengelolaan usaha dan penyusunan anggaran dasar/anggaran rumah tangga.
TAHAP 4
Pengajuan permintaan pengesahan akta pendirian koperasi; para pendiri/kuasanya mengajukan permintaan pengesahan secara tertulis, kepada pejabat Instasi yang membidangi koperasi dengan melampirkan: • Dua salinan akta pendiri koperasi bermaterai cukup. • Data akta pendirian koperasi yang dibuat dan ditandatangani oleh notaris. • Surat bukti tersedianya modal yang sekurang kurangnya sama dengan jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib yang harus dilunasi oleh para pendiri. • Rencana Kegiatan Usaha koperasi minimal tiga tahun ke depan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja koperasi. • Dokumen lain yang diperlukan atau yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
TAHAP 5
Terhadap materi Anggaran Dasar yang akan disahkan dan data administrasinya, dilakukan penelitian/verifikasi oleh pejabat dari instansi yang membidangi koperasi.
TAHAP 7
Proses pendirian kepengusahaan angkutan umum jenis koperasi dinyatakan selesai dan pejabat instansi yang membidangi koperasi menyerahkan dokumen badan hukum.
TAHAP 10
Pendaftaran Undangundang Gangguan (Hinder Ordonatie) atau Surat Izin Tempat Usaha (SITU), diperlukan untuk proses Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau untuk Izin Kegiatan Usaha yang dipersyaratkan adanya UUG/SITU berdasarkan Undang-undang Gangguan.
TAHAP 8
Setelah menerima penyerahan dokumen badan hukum, pengurus koperasi mengajukan permohonan surat keterangan domisili kepada Kepala Kantor Kelurahan setempat sesuai dengan alamat kantor perusahaan berada, sebagai bukti keterangan atau keberadaan alamat koperasi. Waktu proses tahapan ini adalah dua hari kerja setelah permohonan diajukan. Persyaratan lain yang dibutuhkan: • Fotokopi bukti kepemilikan Hak Atas Tanah (sertifikat). • Jika status kantor sewa maka dilampirkan fotokopi kontrak/sewa tempat usaha atau bukti kepemilikan tempat usaha. • Surat keterangan dari pemilik gedung apabila bedomisili di gedung perkantoran. • Fotokopi Surat Tanda terima Setoran (STTS) bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir.
TAHAP 11
Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) disampaikan kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota/Kabupaten/Provinsi sesuai dengan keberadaan domisili koperasi. Waktu proses tahapan ini adalah 10 hari kerja setelah permohonan diajukan.
TAHAP 12 TAHAP 3
Menghadap notaris pembuat akta koperasi, membuat alat bukti tertulis dan otentik sebagai bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu dalam proses pendirian, dan aktaakta lain yang terikat dengan koperasi untuk diajukan pengesahannya kepada pejabat yang berwenang.
TAHAP 6
Penelitian lapangan oleh pejabat dari instansi yang membidang koperasi dilaksanakan berkaitan dengan domisili, kepengurusan, usaha, keanggotaan, pengesahan akta pendirian koperasi selambat lambatnya 20 hari terhitung sejak diterimanya permintaan pengesahan secara lengkap.
TAHAP 9
Permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan keberadaan domisili koperasi. Waktu proses tahapan ini adalah dua hari kerja setelah permohonan diajukan. Adapun waktu proses Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Wajib Pajak adalah dua hari kerja setelah permohonan diajukan.
Permohonan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) diajukan kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota/Kabupaten/Provinsi sesuai dengan keberadaan domisili koperasi. Bagi Koperasi yang telah terdaftar akan diberikan sertifikat Tanda Daftar Perusahaan sebagai bukti bahwa koperasi/badan usaha telah melakukan Wajib Daftar Perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 37/M-DAG/ PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan. Waktu proses tahapan ini adalah 14 hari kerja setelah permohonan diajukan.
82
83
Lampiran
Contoh Form K 2 Penyusunan Bisnis Plan Koperasi .............. I.
Contoh Form K 1
No.
JANGKA PENDEK
JENIS KEGIATAN
TAHUN
BULAN
FORMULIR PENDIRIAN PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) 1. Nama PT: 1. ....................................................... 2. ....................................................... 3. ....................................................... II. Pemegang saham/Pengurus: Nama: Jabatan: Saham (%) 1. ........................................ .................................... ............................ 2. ........................................ .................................... ............................ 3. dst Modal: 1. Modal dasar : Rp ............................... 2. Modal disetor : Rp ............................... IV. Jenis Usaha ............................................................................................................ V. Alamat/Domisili: ............................................................................................................ No. Telp &/ Fax: ............................................................................................................ Persyaratan: • Fotokopi KTP pemegang saham & pengurus perusahaan (min 2 orang) • Fotokopi KK (kartu keluarga) & copy NPWP pribadi penanggung jawab perusahaan • Pas foto direktur/penanggung jawab perusahaan (3X4 = 2 lbr berwarna) • Fotokopi SPPT PBB + bukti pembayaran (tahun terakhir), apabila tempat milik sendiri, atau surat perjanjian sewa/kontrak bila tempat usaha sewa/ kontrak (bila sewa/kontrak di gedung melampirkan surat keterangan domisili dari pengelola gedung),
2.
II.
.................
2014
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
.................
2015
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8
Jangka Menengah
JENIS KEGIATAN
TAHUN
BULAN
1.
.................
2014
10, 11
2.
.................
2014
1, 2
III.
Jangka Panjang
JENIS KEGIATAN
TAHUN
BULAN
1.
.................
2015
7, 8
2.
.................
2015
9, 10
Pelaksanaan usaha oleh Pengurus melalui Koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Demikian kegiatan usaha koperasi ini kami buat untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ketua, -----------------------------
................................ Sekretaris, -----------------------------
84
85
LAMPI R A N
Contoh Form K 3
Contoh Form K 4
Contoh Surat Kuasa Penandatanganan Anggaran Dasar Pendirian Koperasi ........................
DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN PENGAWAS KOPERASI .................
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Periode Tahun ........ s/d ........ Nama
:
Alamat
:
Jabatan
: Ketua
PENGAWAS
Nama
:
Ketua
Alamat
:
Jabatan
: Wakil Ketua
Anggota
: ....................................
Anggota
: ....................................
Nama
:
Alamat
:
Jabatan
: Sekretaris
: ....................................
PENGURUS
Nama
:
Alamat
:
Jabatan
: Sekretaris II
Wakil Ketua
Nama
:
Sekretaris
Alamat
:
Jabatan
: Bendahara
Sekretaris II
: ....................................
Bendahara
: ....................................
Ketua : .................................... : ....................................
: ....................................
Atas kuasa rapat pendirian Koperasi.........., diselenggarakan pada tanggal..... bulan....... Tahun ......... yang selanjutnya ditunjuk oleh peserta rapat pendirian koperasi dan sekaligus
Ketua,
.......................................... Sekretaris,
.................................
.................................
untuk pertama kalinya sebagai pengurus koperasi dan menyatakan mendirikan koperasi serta mendatangani Anggaran Dasar Koperasi. ................................... Yang Menerima kuasa, Pengurus Koperasi
Nama 1.
.......................
2.
.......................
3.
.......................
4.
.......................
Kuasa Rapat Pemimpin Rapat Pendirian Koperasi .........................
86
87
LAMPI R A N
Contoh Form K 5
Contoh Form K 6
Contoh Surat Pernyataan bahwa Koperasi Bersedia untuk Diperiksa dan Dinilai Kesehatannya oleh
Contoh Surat Pernyataan Kesediaan Memberitahukan/Melapor jika Pindah Alamat
Pejabat yang Berwenang Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
NIK
:
NIK : Alamat : Jabatan
Alamat : Jabatan
: Ketua
Dengan ini menyatakan:
: Ketua Koperasi.............
Bertindak untuk dan atas nama Koperasi......... yang diangkat berdasarkan keputusan Rapat Anggota
Bahwa jika tempat kedudukan/alamat kantor Koperasi........ pindah, kami akan memberitahukan/melapor kepada Pejabat yang berwenang sesuai dengan
Koperasi......... pada hari......... tanggal......... bulan......... Tahun.........
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian surat Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan dapat
Dengan ini menyatakan:
dipertanggungjawabkan.
Bahwa Koperasi ......... bersedia untuk diperiksa dan dinilai kesehataannya oleh pejabat yang berwenang
Ketua Koperasi,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggung jawabkan.
K6
..........................................
.......................................... Ketua Koperasi, .................................
.................................
88
89
LAMPI R A N
Contoh Form K 7
Contoh Form K 8
Contoh Surat Pernyataan Keberadaan Alamat Kantor Koperasi
Contoh Surat Pernyataan Tidak Mempunyai Hubungan Saudara Ataupun Kerabat Dengan Semua Pengawas atau Pengurus
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tempat/ Tgl Lahir : Jabatan : Pekerjaan : Alamat : Dengan ini menyatakan sesungguhnya: Bahwa benar Kantor Koperasi.......... yang terletak di Jalan.......... adalah milik sendiri/ Sewa dari dari........... dengan Sertifikat Hak Milik atas nama........... Bahwa benar kantor tersebut akan digunakan untuk segala aktivitas Koperasi........... Demikian surat pernyataan ini dirbuat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakaan sebagaimana mestinya. Yang membuat pernyataan Ketua Koperasi,
...........
Kami yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Alamat : Jabatan : Ketua Pengawas Nama : Alamat : Jabatan : Anggota Pengawas Nama : Alamat : Jabatan : Anggota Pengawas Nama : Alamat : Jabatan : Ketua Nama : Alamat : Jabatan : Wakil Ketua Nama : Alamat : Jabatan : Sekretaris Nama : Alamat : Jabatan : Sekretaris II Nama : Alamat : Jabatan : Bendahara Dengan ini menyatakan bahwa kami tidak mempunyai hubungan saudara ataupun kerabat dengan semua Pengawas atau Pengurus Koperasi............ Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dengan benar dan mempunyai akibat hukum yang pasti. ............... Kami yang memberikan pernyataan: 1. 2. 3. Dst....
90
91
LAMPI R A N
Contoh Form K 9
11.
Contoh Berita Acara Rapat Pendirian Koperasi Rapat Pendirian Koperasi .................. Nomor: .......... Pada hari.......... tanggal.......... bulan.......... tahun.......... pukul .......... bertempat di ........... telah diadakan Rapat Pendirian Koperasi........... Dengan peserta rapat berjumlah 21 (dua puluh satu) orang yang sepakat membentuk Koperasi dan menjadi Pengawas Pengurus dan Anggota Koperasi (Daftar Hadir: Nama, Alamat, Pekerjaan dan Tanda Tangan Terlampir), kemudian peserta rapat menunjuk (Tuan/Nyonya).......... sebagai pemimpinan rapat dan selanjutnya memimpin rapat pendirian koperasi sesuai Bab IV (Pasal 7 ayat(1) dan Pasal, UU No. 17 Tahun 2012 yang membahas: 1.
Nama Koperasi
:
Koperasi
2.
Tempat Kedudukan
:
..........
3.
Jenis Koperasi
:
Koperasi ..........
4.
Usaha Koperasi di Bidang
:
a. ..........
5.
Jangka Waktu Berdirinya Koperasi
:
Tidak Terbatas
6.
Kebutuhan Modal Usaha
:
Rp. ..........
7.
Modal Sendiri
12.
8.
a. Setoran
:
Rp. ........... /orang
b. Sertifikat Modal Koperasi
:
Minimal ..........lembar per orang dengan nilai Rp. ........../ per lembar
Modal Luar a. Hibah
:
Rp. ..........
b. Modal Penyertaan Modal Penyertaan
: :
Rp. .......... - % dari total asset
9.
Jumlah Total Modal Awal
:
Rp. ..........
10.
Pengurus dan Pengawas : : :
Minimal sudah menjadi anggota ...... tahun Sebanyak-banyaknya.......... periode Lima tahun Lima orang Tiga orang, masa jabatan lima tahun
a. b. c. d.
Syarat Menjadi Pengurus Periode Masa Jabatan Pengurus Berjumlah Pengawas Berjumlah
:
Susunan Pengawas a. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Ketua
b. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Anggota
c. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Anggota
a. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Ketua
b. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Wakil Ketua
c. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Sekretaris
d. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Sekretaris II
e. Nama Alamat Pekerjaan NIK Jabatan di Koperasi
: : : : :
Bendahara
Susunan Pengurus
92
93
LAMPI R A N
13
Contoh Form K 10
Pembagian Selisih Hasil Usaha (SHU) a. b. c. d. e. f. g. h.
NERACA AWAL Koperasi Jasa .................. Per Bulan Januari Tahun .....
40% Untuk dana cadangan 10% untuk anggota 15% untuk anggota 15% untuk pengurus 10% untuk pengawas 2.5% untuk karyawan koperasi 5% untuk dana pendidikan perkoperasian kepada anggota 2.5% untuk dana sosial dan pembangunan
I.
Bahwa Acara Rapat pendirian ini telah diketahui oleh peserta yang hadir, dan pimpinan rapat menyatakan seluruh hasil pembahasan dalam agenda rapat pendirian koperasi ini secara bulat, musyawarah dan mufakat disetujui peserta rapat.
Yang Menerima Kuasa, Pengurus Koperasi NAMA
1.
2.
..............
..............
TTD
1.
2.
II.
................. Pemimpin Rapat Pendiri Anggran Dasar Koperasi .....................
AKTIVA
JUMLAH
Aktiva Lancar 1. Kas 2. Bank 3. Piutang
Rp. ...... Rp. ...... Rp. ......
Aktiva Tetap 4. Inventaris 5. Peralatan Kantor
NO
PASIVA
JUMLAH
III.
Kewajiban Lancar 1. Model Penyertaan 2. Simpanan Lain-lain Jumlah
Rp. ...... Rp. ...... Rp. ......
VI. Rp. ...... Rp. ......
Rp. ...... Jumlah
Kekayaan Bersih 3. Setoran Pokok 4. SMK (Sertifikat Modal Koperasi) Min 5. SMK (Sertifikat Modal Koperasi) Tambahan 6. Hibah Jumlah
..............
..............
.......................... Pengurus Koperasi ........
Ketua
Bendahara
Sekretaris
............
............
............
Rp. ...... Rp. ...... Rp. ......,Rp. ...... Rp. ......
94
95
LAMPI R A N
Contoh Form K 11
Contoh Form K 13 BIODATA PRIBADI
KEGIATAN USAHA YANG DILAKSANAKAN KOPERASI .............
Nama :
Berdasarkan Rapat Pendirian Koperasi yang dilaksanakan pada tanggal...... bulan ........ tahun ........ di mana telah disepakati dan disetujui peserta rapat bahwa kegiatan usaha Koperasi yang dilaksanakan oleh pengurus antara lain: Bidang ............. Bidang ............. Bidang ............. dst
Jenis Kelamin
:
Tempat/Tanggal Lahir
:
Kewarganegaraan : Status : Tinggi/Berat :
Pelaksanaan usaha oleh pengurus melalui koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Demikian kegiatan usaha ini kami buat untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketua ................
Agama : Hobi : Alamat /No Tlp
Sekretaris ................
:
Pendidikan Formal Dst Pendidikan Non Formal 1. Dst
Contoh Form K 12
Seminar/Workshop
DAFTAR HADIR
Dst
RAPAT PENDIRIAN KOPERASI
Pengalaman Lainnya
Tanggal ........................ NO 1
NAMA
Dst. Alamat
Pekerjaan
Tanda Tangan 1.
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
2. 3.
2
4. 5. 6.
3
Berkas
4 20. 5 6 . dst 20
Permohonan
96
97
LAMPI R A N
Contoh Form K 14
Contoh Form K 15
NOTULEN RAPAT PENDIRIAN KOPERASI.............
Surat Bukti Kepemilikian Modal Koperasi.............
Hari/Tanggal
Nomor
: ...............................
Pukul :
Sudah Terima Dari
: Koperasi ................
Tempat :
Banyaknya Uang
: ...............................................
Pemimpin Rapat
:
Untuk Pembayaran
: Setoran Pokok, Sertifikat Modal Koperasi Modal
Isi Rapat
:
Jumlah Peserta
: Rapat Pendirian Koperasi dihadiri oleh 21 orang
:
peserta yang berdomisili sesuai KTP Kota Bogor, dengan pimpinan rapat yang dipilih oleh peserta rapat. JUMLAH Pimpinan rapat menyampaikan agenda acara rapat antara lain: Pembukaan oleh pemimpin rapat menyambung pertemuan-pertemuan sebelumnya mengenai kesepakatan pendirian koperasi. Sambutan pengantar calon Ketua koperasi Bimbingan dan penyuluhan oleh.................. dari Kantor Koperasi Kota Bogor. Penutup. Peserta rapat masing-masing menyampaikan : ................... dst Pimpinan Rapat menyampaikan kesimpulan akhir adalah sebagai berikut: Koperasi telah terbentuk dan disepakati dengan nama...... (Koperasi Pengusaha Angkutan) dan logonya. Jumlah pengurus dan pengawas ganjil dengan masa bakti kepengurusan lima tahun. Pengurus dan anggota segera membuat program kerja, rencana anggaran tahunan, dan anggran rumah tangga. Oleh karena tidak ada lagi yang dibahas maka peserta rapat sepakat untuk menutup rapat Pendirian Koperasi pada pukul ...... WIB. Dari segala sesuatu yang tersebut terdahulu, maka dibuatlah notulen rapat ini untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Wakil Peserta Rapat
Pimpinan Rapat
.................
.................
Pemohon
Penyertaan dan Hibah
98
Daftar Pustaka
Cervero, R, (1990), Paratransit in Southeast Asia: A Market Response to Poor Roads?, Review of Urban and Regional Development Studies University of California, Berkeley. Darmaningtyas; Saksono, B, Waro, AI; (2012), Manajemen Trans Jakarta Busway, Koperasi Trans Jakarta, Jakarta. Falatehan, AF; Oktaria, A; Siswanto, AD; (2010), Peranan Terminal Bubulak Dan Terminal Laladon Sebagai Terminal di Perbatasan Kota dan Kabupaten Bogor, Sumber : Warta Penelitian Perhubungan. Gauthier, A; Mika, K; (2007), Gender and Urban Transport: Smart and Affordable, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jerman. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK 687/Aj.206/Drjd/2002 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggraan Angkutan Penumpang Umum di wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur. Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun 1995 Tentang Terminal Transportasi Jalan. Keputusan Walikota Palembang No. 1465 Tahun 2008 tentang Penghentian Peremajaan atau Penggantian Kendaraan Bus Kota dan Angkutan Kota. Nakamura, F; Yabe T, (2005), Study on the Relationship Between Capacity, Cost and Operation Alternatives of Bus Rapid Transit, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies Yokohama National University, Jepang. Nugrahini, Y, (2012), Analisis Kinerja Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik Bidang Angkutan Kereta Api Penumpang Kelas Ekonomi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 1993 tentang Prasaraan dan LaluLintas Jalan. Prayudyanto, MN dan Ofyar ZT, 2007. Perbandingan Penerapan Travel Demand Management di Singapura dan London. Jurnal Transportasi, Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT) Vol.7 No.1 Hal 2332. Bandung. Translink Transit Authority, (2012), Public Transport Infrastructure Manual, Queensland Government, Brisbane. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan