sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33 : 339 – 354
ISSN 0125 – 9830
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN PADA MUSIM TIMUR DITINJAU DARI KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN INDEKS AUTOTROPIK oleh AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO Pusat Penelitian Oseanografi–LIPI Received 2 May 2007, Accepted 9 October 2007
ABSTRAK Perairan Teluk Banten dalam beberapa tahun terakhir telah mendapat tekanan serius dari daratan dan perairan sekitarnya yaitu dengan meningkatnya aktivitas industri, kawasan pemukiman penduduk dan adanya penambangan pasir secara besar-besaran didalam perairan Teluk. Penelitian tentang kualitas perairan Teluk Banten dan keramba jala apung di perairan Teluk Banten telah dilakukan pada bulan Juni 2005 (musim timur). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan Teluk Banten berdasarkan konsentrasi klorofil-a fitoplankton dan indeks autotropik. Pengambilan sampel dilakukan di 10 stasiun yang tersebar di perairan Teluk Banten dan 2 stasiun di dalam keramba jala apung. Parameter yang diukur adalah klorofil-a, karbon organik, seston dan beberapa parameter fisika kimia (suhu, salinitas dan oksigen terlarut) sebagai faktor pendukung. Pengukuran konsentrasi klorofil-a dilakukan dengan metode fluorometrik, seston secara gravimetrik dan karbon organik dengan metode pengabuan. Konsentrasi rata-rata klorofil-a yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 0,17 ± 0,12 mg/m3 dengan kisaran 0,13 – 0,52 mg/m3. Konsentrasi seston berkisar antara 3,17 – 9,00 mg/l dengan rata-rata 4,61 ± 1,74 mg/l, karbon organik tersuspensi berkisar antara 0,63 – 1,88 mg/l dengan rata-rata 1,18 ± 0,39 mg/l, dan konsentrasi karbon dalam sedimen berkisar antara 3,89 – 9,40 % dengan rata-rata 6,83 ± 1,88 %. Indeks autotropik berkisar antara 2,88 – 14,46 dengan rata-rata 8,20 ± 3,45. Hasil analisis menunjukkan bahwa perairan Teluk Banten masih dalam kondisi normal. Kata kunci: Teluk Banten, keramba jala apung, klorofil-a, karbon organik, indeks autotropik.
ABSTRACT THE QUALITY OF BANTEN BAY WATERS AT EAST MONSOON SEASON BASED ON CHLOROPHYLL-A CONCENTRATION AND AUTOTROPHIC INDEX. Banten Bay waters have got serious pressure in the last few years, that come from the land and surrounding waters with increasing of industries and urban activity, and sand mining exploitation in Bay waters. Investigation on the quality of Banten Bay waters and floating net cage in Banten Bay waters has been conducted on June 2005 (east monsoon). The aim of the study was to see the quality of Banten Bay waters at east monsoon season evaluated from chlorophyll-a
339
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
concentration and autotrophic index. Samples were taken from ten different stations in Banten Bay and two stations in floating net cage. The parameters measured were chlorophylla, organic carbon, seston and as well as physicochemical parameters(DO, temperature and salinity) as supporting factors. Determination of chlorophyll-a concentration was performed by fluorometric method, seston by gravimetric method, whereas the organic carbon was determined as the ash content of the samples. In this research, average of chlorophyll-a concentration is 0.17 ± 0.12 mg.m-3 with a range 0.13 – 0.52 mg m-3. Seston concentration varied from 3.17 – 9.00 mg.l-1 with the mean 4.61 ± 1.74 mg.l-1, dissolve organic carbon ranged from 0.63 – 1.88 mg.l-1 with the mean 1.18 ± 0.39 mg.l-1, and carbon concentration in sediment varied from 3.89 – 9.40 % with the mean 6.83 ± 1.88 %. Autotrophic index varied from 2.88 – 14.46 with the mean 8.20 ± 3.45. The result showed that the Banten Bay water was still in good condition. Key words: Banten Bay, floating net cage, chlorophyll-a, organic carbon, autotrophic index.
PENDAHULUAN Perairan Teluk Banten terletak di sebelah utara kota Cilegon yang berjarak ± 60 km sebelah barat kota Jakarta. Teluk ini mempunyai luas ± 150 km2 dan merupakan perairan yang relatif dangkal dengan rata-rata kedalaman 7 m (LINDEBOOM et al. 2001). Beberapa tahun terakhir ini di perairan Teluk Banten telah dikembangkan budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba jala apung. Ikan kerapu telah banyak dibudidayakan karena merupakan salah satu ikan laut ekonomis penting yang merupakan komoditas ekspor (DARWISITO 2002). Sejalan dengan dampak positif adanya budidaya ikan kerapu, kawasan Teluk Banten juga mendapatkan tekanan serius dari lingkungan sekitarnya akibat pertambahan penduduk yang cukup pesat dan dijadikannya kawasan pantai sebagai tempat pemukiman. Berdirinya beberapa industri dan adanya penambangan pasir secara besar-besaran di perairan teluk menambah tekanan terhadap perairan Teluk Banten. Suatu konsekwensi yang terjadi pada suatu ekosistem pantai (termasuk estuari dan teluk) adalah terjadinya perubahan kualitas lingkungan akibat penyuburan perairan (CLOERN et al. dalam WANG et al. 1999). Salah satu dampak dari penyuburan perairan ini adalah meningkatnya pertumbuhan fitoplankton dan tingkat kekeruhan perairan (turbiditas). Fitoplankton, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan sumber makanan utama bagi hampir semua hewan yang ada di laut. Konsentrasi dari pigmen hijau fotosintesis (klorofil-a) di perairan estuari, pantai dan laut merupakan indikator kelimpahan dan biomassa dari tumbuhan mikroskopis (fitoplankton) sebagai alga uniseluler. Di samping itu, klorofil-a biasanya juga digunakan sebagai ukuran kualitas perairan yaitu sebagai petunjuk ketersediaan nutrien di perairan (WARD et al. 1998; NLWRA 2002). Peningkatan konsentrasi klorofil-a di perairan teluk selalu berhubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien, berkurangnya kekuatan arus/
340
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
perubahan hidrodinamik (peningkatan residence times) dan penurunan turbiditas (peningkatan penetrasi cahaya) (WARD et al. 1998). Kualitas perairan juga bisa dilihat dari indeks autotropik perairan tersebut (CROSSEY & LA POINT dalam FLYNT et al. 2001). Indeks autotropik merupakan rasio atau perbandingan antara karbon organik dengan konsentrasi klorofil-a. Dalam makalah ini dibahas mengenai kualitas perairan Teluk Banten ditinjau dari konsentrasi klorofil-a dan indeks autotropik perairan. Di samping itu dibahas pola sebaran klorofil-a, seston, dan karbon organik di perairan Teluk Banten pada musim timur. BAHAN DAN METODE Contoh air laut untuk penentuan konsentrasi klorofil-a fitoplankton, seston dan karbon organik diambil pada lapisan permukaan di 10 stasiun yang tersebar diperairan Teluk Banten dan 2 stasiun di dalam keramba jala apung (Gambar 1). Contoh sedimen untuk pengukuran karbon organik diambil pada lapisan dasar dengan menggunakan alat grab pada stasiun yang sama.
Gambar 1. Lokasi stasiun penelitian di perairan Teluk Banten, Juni 2005. Figure 1. Station observation in Banten Bay waters, June 2005.
341
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
Metode untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a fitoplankton dilakukan secara fluorometrik mengikuti cara yang dilakukan STRICKLAND & PARSONS (1968) dan ARAR & COLLINS (1997). Contoh air laut sebanyak 0,5 – 1,0 liter disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman CNM berpori 0,45 μm dan berdiameter 25 mm. Penyaringan dibantu dengan pompa hisap dengan kekuatan < 20 kPa. Filtrat diekstrak dengan larutan aseton 90 % kemudian di-sentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan cairan yang mengandung klorofila. Kemudian cairan tersebut dibaca fluororesensinya dengan menggunakan Fluorometer Turner Model 450 pada besaran 50 kali. Setelah diberi larutan HCl 0,1 N contoh tersebut kemudian dibaca kembali fluororesensinya pada besaran yang sama. Konsentrasi klorofil–a fitoplankton dihitung dengan menggunakan rumus sbb: Klorofil − a = Fs x
Fs r RB RA Ve Vs
= = = = = =
(
r Ve x (R B − R A ) x μg l −1 mg m −3 r −1 Vs
)
Faktor sensitivitas fluorometer RB/RA fluororesensi dari ekstraksi sampel sebelum penambahan asam fluororesensi dari ekstraksi sampel setelah penambahan asam volume ekstrak (ml) volume sampel (L)
Pengukuran konsentrasi seston (suspended particulate matter) dilakukan secara gravimetrik mengikuti cara yang dilakukan BANSE et al. (1963). Sebanyak 1 – 2 liter contoh air laut disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman GF/ C ukuran pori 1,20 μm dan berdiameter 25 mm. Sebelum dan sesudah penyaringan kertas saring dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 60 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kadar air dan mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi seston adalah selisih berat kertas saring sebelum dan sesudah penyaringan dibagi volume air yang tersaring dalam satuan mg/l. Untuk pengukuran karbon organik tersuspensi, kertas saring hasil pengukuran seston dibakar pada suhu 450 oC selama satu jam. Konsentrasi karbon organik didapatkan dengan menggunakan rumus di bawah ini: Karbon Organik tersuspensi (mg / l ) =
342
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
Berat Kering (mg ) − Berat Abu (mg ) Volume sampel (l )
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
Untuk pengukuran karbon organik dalam sedimen dilakukan dengan metode pengabuan. Sebelumnya sampel sedimen dipanaskan pada suhu 60 oC selama 24 jam, kemudian dibakar pada suhu 450 oC selama satu jam. Penimbangan dilakukan sebelum dan sesudah pembakaran sedimen.
Organik karbon dalam sedimen (%) = Berat Kering − Berat Abu x 100 % Berat Kering Indeks autotropik didapatkan dengan membandingkan antara konsentrasi karbon organik tersuspensi dengan konsentrasi klorofil-a. Berdasarkan besaran dari kisaran indeks autotropiks tersebut dapat diketahui apakah Teluk Banten sudah tercemar atau belum (CROSSEY & LA POINT dalam FLYNT et al. 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konsentrasi klorofil-a, seston dan karbon organik di perairan Teluk Banten. Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan Juni 2005 menunjukkan kondisi perairan Teluk Banten relatif heterogen, hal ini ditandai dengan tingginya standar deviasi untuk setiap parameter sebagaimana yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a, seston, karbon organik dan indeks autotropik di perairan Teluk Banten, Juni 2005.
Table 1.
Mean value of chlorophyll-a concentration, seston, organic carbon and autotrophic index in Banten Bay waters, June 2005.
Chlorophyll-a (mg.m-3)
Seston (mg.1-1)
Suspended carbon (mg.1-1)
Carbon in sediment (%)
Autotrophic index
Mean
0.17
4.61
1.18
6.83
8.20
Standard deviation
0.12
1.74
0.39
1.88
3.45
Minimum
0.13
3.17
0.63
3.89
2.88
Maximum
0.52
9.00
1.88
9.40
14.46
343
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pola umum sebaran klorofil-a di perairan Teluk Banten memperlihatkan pola yang sangat jelas, yakni maksimum (> 0,50 mg/m3) ditemukan di bagian barat daya dari lokasi penelitian dan semakin ke Utara dan Timur laut konsentrasinya semakin berkurang hingga mencapai nilai minimum (< 0,20 mg/m3). Klorofil-a yang konsentrasinya < 0,20 mg/m3 menempati areal yang cukup luas dari Utara sampai ke Timur lokasi penelitian (Gambar 2). Hal yang serupa juga terjadi pada penelitian bulan Desember 2001 (musim barat), konsentrasi maksimum juga ditemui di sekitar Stasiun 1 dan semakin ke arah timur dan utara nilainya semakin berkurang hingga mencapai minimum (Gambar 4B). Namun jika dibandingkan dengan musim yang sama pada bulan Juli 1985 terjadi pola yang sebaliknya. Pada pengamatan Juli 1985 konsentrasi maksimum > 5,0 mg/m3 ditemukan di bagian timur laut dari lokasi penelitian dan semakin ke Barat dan Selatan nilainya semakin berkurang hingga mencapai minimum sebesar < 0,5 mg/m3 (Gambar 3). Hal serupa ditemui pada pengamatan bulan Desember 1985, konsentrasi maksimum (> 0,75 mg/m3) juga ditemukan di bagian
Gambar 2. Sebaran horisontal konsentrasi klorofil-a fitoplankton di perairan Teluk Banten, Juni 2005. Figure 2. Horizontal distribution of phytoplankton chlorophyll-a in Banten Bay waters, June 2005.
Oseanologi 344 dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 3. Sebaran horisontal konsentrasi klorofil-a fitoplankton di perairan Teluk Banten, Juli 1985. Figure 3. Horizontal distribution of phytoplankton chlorophyll-a in Banten Bay waters, July 1985. timur laut (di sekitar Tanjung Pontang) dan semakin ke arah selatan dan barat nilainya semakin menurun, namun terjadi kenaikan di bagian barat daya yakni di sekitar Stasiun 1 (Gambar 4A). Meningkatnya konsentrasi klorofil-a di bagian barat daya lokasi penelitian pada pengamatan tahun 2005 disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas manusia di perairan tersebut terutama dengan meningkatnya kegiatan budidaya dengan menggunakan keramba jala apung yang mengakibatkan perairan sekitarnya menjadi lebih subur. Konsentrasi klorofil-a pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan pengamatan tahun-tahun sebelumnya pada musim barat. Konsentrasi klorofila pada bulan Desember 1985 berkisar antara 0,25 – 0,75 mg/m3 (Gambar 4A), sedangkan pada bulan Desember 2001 didapatkan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 1,0 – 4,0 mg/m3 (Gambar 4B). Perbedaan tersebut disebabkan oleh pengaruh musim yang berkembang pada saat penelitian. Tingginya konsentrasi klorofil-a fitoplankton pada musim barat (Desember 1985 dan 2001), memberikan gambaran adanya pengaruh darat yang cukup besar. Curah hujan yang
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
345
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 4. Sebaran horisontal konsentrasi klorofil-a fitoplankton di perairan Teluk Banten, Desember 1985 (A) dan 2001 (B). Figure 4. Horizontal distribution of phytoplankton chlorophyll-a in Banten Bay waters, December 1985 (A) and 2001 (B).
tinggi pada musim barat akan membantu mengalirkan bahan organik dan anorganik yang berasal dari darat dalam aliran sungai yang bermuara di Teluk Banten sehingga bermanfaat bagi fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang. Pada musim timur (Juni 2005) terjadi penurunan konsentrasi klorofil-a sejalan dengan berkurangnya pasokan nutrien yang berasal dari daratan melalui aliran sungai yang bermuara ke perairan Teluk Banten. Pada musim hujan konsentrasi klorofil-a 2 kali lebih tinggi dari pada musim kemarau (LACERDA et al. 2004)
Oseanologi 346 dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
Konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Banten dibandingkan dengan perairan Teluk Jakarta dan Teluk Klabat (Bangka Belitung) pada musim yang sama relatif lebih rendah. Di perairan Teluk Jakarta pada musim timur (Juli 2003) nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 31,37 mg/m3 dan konsentrasi seston 130 mg/l (RIYONO 2004). Sedangkan pada bulan Juli 2004 di perairan Teluk Klabat konsentrasi klorofil-a rata-rata sebesar 2,5 mg/m3 dan konsentrasi seston 50,16 mg/ l. Pada bulan September 2004 (musim peralihan II) di perairan Teluk Kelabat ratarata konsentrasi klorofil-a sebesar 3,49 mg/m3 dan konsentrasi seston 8,51 mg/l (RIYONO et al. 2006). Rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Banten disebabkan oleh kecilnya runoff yang berasal dari daratan karena sungai-sungai yang bermuara ke perairan teluk relatif kecil dan hanya aktif pada musim hujan. Kecilnya runoff dari daratan pada bulan Juni 2005 ditandai dengan nilai salinitas dan konsentrasi oksigen yang cukup tinggi untuk perairan teluk dan muara masing-masing 31,5 ± 0,8 ‰ dan 5,8 ± 0,37 ppm, serta konsentrasi seston yang relatif rendah yaitu 4,82 ± 1,66 mg/l. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Banten lebih dipengaruhi oleh massa air yang berasal dari laut Jawa yang kondisi perairannya relatif jernih dan nilai salinitasnya relatif tinggi. Salinitas perairan laut Jawa pada musim timur berkisar antara 32 – 34 ‰ (WYRTKI dalam NONTJI 2002). Sedangkan ke dalam perairan Teluk Jakarta bermuara sungai-sungai besar yaitu Sungai Cisadane, Sungai Citarum, Sungai Gembong, Sungai Sunter dan Sungai Ciliwung yang memberikan kontribusi yang besar terhadap kondisi perairan Teluk Jakarta. Begitu juga halnya dengan perairan Teluk Klabat, ke dalamnya bermuara sungai-sungai yang cukup besar yang selalu mengalir sepanjang tahun. Berdasarkan konsentrasi klorofil-a fitoplankton yang berkisar antara 0,13 – 0,52 mg/m3, kualitas perairan Teluk Banten dikategorikan masih normal. BOHLEN & BOYNTON (1966) dalam Cheaspeake Bay Program memberikan kriteria untuk perairan teluk dan muara berdasarkan konsentrasi klorofil-a nya. Perairan dengan konsentrasi klorofil-a <15 mg/m3 dikategorikan ke dalam kondisi yang bagus (normal), 15 – 30 mg/m3 kategori sedang dan >30 mg/m3 dikategorikan buruk (tercemar). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi (>30 mg/m3) mengindikasikan terjadinya eutrofikasi di suatu perairan. Eutrofikasi adalah proses peningkatan laju input bahan organik ke dalam perairan, atau penyuburan perairan secara berlebihan yang disebabkan oleh masukan bahan organik. Salah satu akibat dari peningkatan bahan organik di suatu perairan pesisir adalah terjadinya fitoplankton bloom, yaitu fenomena peledakan populasi fitoplankton di perairan secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar disebabkan oleh berlimpahnya unsur hara (BRICKER et al. 1999). Keadaan seperti ini akan berdampak negatif bagi ekosistem perairan, antara lain berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya.
347
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Di perairan Teluk Banten rasio antara total karbon organik dengan klorofil-a (indeks autotropik) berkisar antara 2,88 – 14,46. Suatu perairan dikatakan tercemar apabila indeks autotropiknya >200 (CROSSEY & LA POINT dalam FLYNT et al. 2001). Keadaan ini memberikan indikasi bahwa kondisi perairan Teluk Banten sangat baik (belum tercemar). Gambar 5, memperlihatkan sebaran horisontal konsentrasi seston di perairan Teluk Banten pada bulan Juni 2005. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi maksimum (> 8,0 mg/l) diperoleh di sekitar Tanjung Pontang dan semakin ke barat konsentrasinya semakin menurun hingga mencapai minimum (<4,0 mg/l). Tingginya konsentrasi seston di sekitar Tanjung Pontang karena dangkalnya perairan, dimana pada saat penelitian kondisi perairan berombak dan arah arus dari timur sehingga dasar perairan teraduk dan terangkat ke arah permukaan sehingga konsentrasi seston di sekitar Tanjung Pontang bertambah. Kuatnya arus di sekitar Tanjung Pontang karena lokasi tersebut relatif terbuka, namun semakin ke barat dan ke dalam teluk kekuatan arus sudah melemah sehingga konsentrasi sestonpun semakin rendah.
Gambar 5. Sebaran horisontal konsentrasi seston di perairan Teluk Banten, Juni 2005. Figure 5. Horizontal distribution of seston concentration in Banten Bay waters, June 2005.
Oseanologi 348 dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
Gambar 6 menunjukkan bahwa konsentrasi karbon tersuspensi yang tinggi diperoleh di sekitar pantai, terutama yang berdekatan dengan muara – muara sungai dan semakin ke tengah dari teluk nilainya semakin rendah. Keadaan ini menggambarkan bahwa karbon tersuspensi berasal dari darat melalui aliran sungai yang bermuara di teluk. Hal sebaliknya terjadi pada pola sebaran karbon dalam sedimen, konsentrasi maksimum justru diperoleh di lokasi paling luar dari daerah pengamatan. Perlu diketahui bahwa karbon organik dalam sedimen tidak terbentuk dalam waktu yang singkat namun merupakan akumulasi karbon yang berasal dari darat maupun pengendapan dari berbagai jenis bahan organik ataupun biota dalam waktu yang relatif lama (LOICZ 1996). Selanjutnya NYBAKKEN (1992) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik pada sedimen. Semakin halus tekstur substrat semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik. B. Konsentrasi klorofil-a, seston dan karbon organik dalam Keramba Jala Apung. Hasil pengukuran konsentrasi klorofil-a Teluk Banten dalam keramba jala apung menunjukkan kondisi yang homogen, konsentrasi klorofil-a yang didapatkan di keramba yang dihuni ikan sehat dan keramba yang dihuni ikan sakit nilainya sama yaitu 0,13 mg/m3. Rata-rata konsentrasi seston di perairan dalam keramba sebesar 5,88 ± 0,53 mg/l dan konsentrasi material karbon organik tersuspensi 1,38 ± 0,18 mg/l (Tabel 2 dan Gambar 7). Konsentrasi seston dan material karbon organik tersuspensi juga menunjukkan kondisi yang homogen, hal ini tercermin dari nilai standar deviasi yang relatif kecil. Sedangkan nilai karbon organik yang terdapat dalam sedimen menunjukkan kondisi yang heterogen atau berbeda nyata antara keramba yang dihuni ikan sehat dan keramba yang dihuni ikan sakit, nilai rata-ratanya sebesar 10,28 ± 8,08 %. Di dalam keramba sakit ditemukan nilai karbon organik dalam sedimen sebesar 15,99 % atau hampir 4 kali nilai konsentrasi karbon organik yang terdapat dalam keramba sehat (4,56 %). Adanya perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah makanan yang terendapkan ke dasar perairan. Dalam keramba yang dihuni ikan sakit, makanan ikan kerapu (rucah/pelet) yang diberikan kemungkinan lebih banyak mengendap di dasar perairan, karena ikan kerapu yang sakit kemampuan makannya berkurang, sehingga apabila jumlah makanan yang diberikan ke dalam keramba yang dihuni ikan sehat sama dengan keramba yang dihuni ikan sakit, maka makanan di dalam keramba yang dihuni ikan sakit akan lebih banyak terendapkan.
349
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 6.Sebaran horisontal konsentrasi karbon tersuspensi (A) dan karbon dalam sedimen (B) di perairan Teluk Banten, Juni 2005. Figure 6. Horizontal distribution of suspended carbon (A) and carbon into sediment (B) in Banten Bay waters, June 2005.
Oseanologi 350 dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
Tabel 2.
Konsentrasi klorofil-a, seston, dan karbon organik dalam keramba jala apung perairan Teluk Banten Juni 2005.
Table 2.
The concentration of chlorophyll-a, seston, and organic carbon into floating net cage in Banten Bay waters, June 2005.
Chlorophyll-a (mg.m-3)
Seston (mg.1-1)
Suspended organic carbon (mg.1-1)
floating net cage wih healthy fish
0.13
6.25
1.50
4.56
floating net cage wih ill fish
0.13
5.50
1.25
15.99
Mean
0.13
5.88
1.38
10.28
0
0.53
0.18
8.08
Stasiun
Standard deviation
11
10,28
in floating net cage
10
out of floating net cage
9
concentration
Organic carbon in sediment (%)
8 6,83
7 5,88
6
4,61
5 4 3 2 1
1,38 1,18 0,13 0,17
0 chlorophyll-a
seston
suspended carbon
carbon into sediment
parameter
Gambar 7. Perbandingan konsentrasi klorofil-a (mg/m3), seston (mg/ l), karbon tersuspensi (mg/l) dan karbon dalam sedimen (%) di dalam keramba dan luar keramba di perairan Teluk Banten, Juni 2005. Figure 7. The comparison of chlorophyll-a concentration (mg.m-3), seston (mg.l-1), suspended carbon (mg.l-1) and carbon into sediment (%) among in and out of floating net cage in Banten Bay waters, June 2005.
351
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
Makanan yang terendapkan ini akan meningkatkan konsentrasi nutrien di dasar perairan. Apabila proses ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi penumpukan nutrien di dasar perairan dan suatu saat akan terangkat ke lapisan permukaan akibat turbulensi atau pengaruh pasang surut. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya pengayaan nutrien pada lapisan permukaan sehingga mengakibatkan peningkatan konsentrasi klorofil-a dan bakteri di perairan tersebut. Lebih jauh lagi pengayaan nutrien pada lapisan permukaan ini akan memicu terjadinya blooming alga yang tentunya akan menurunkan kualitas perairan Teluk Banten sehingga akan berdampak berkurangnya pendapatan pengusaha keramba jala apung. Secara umum, nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a yang ditemukan di perairan Teluk Banten (0,17 mg/m3) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a di dalam keramba (0,13 mg/m3). Sedangkan konsentrasi seston, karbon organik tersuspensi dan karbon organik dalam sedimen relatif lebih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya populasi ikan yang terdapat dalam keramba apung yang mengkonsumsi fitoplankton dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di luar keramba. KESIMPULAN Berdasarkan evaluasi konsentrasi klorofil-a dan indeks autotropik disimpulkan bahwa perairan Teluk Banten masih dalam kondisi yang normal (bagus), sehingga perairan ini masih cocok untuk pengembangan budidaya ikan kerapu.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Ruyitno, M.Sc. yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti penelitian ini serta mengijinkan penggunaan data dalam pembuatan makalah ini. Penelitian ini didanai oleh proyek “Pengendalian penyakit bakterial pada budidaya ikan kerapu dalam skala laboratorium” (DIPA). Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan makalah ini.
352
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN
DAFTAR PUSTAKA ARAR, E. J. and G. B. COLLINS 1997. In Vitro determination of chlorophyll a and phaeophytin a in marine and freshwater algae by fluorescence. National Exposure Research Laboratory Office of Research and Development U.S. Environmental Protection Agency Cincinnati, Ohio 45268: 22 pp. BANSE, K; C.P. FALLS and L.A. HOBSONS 1963. A Gravimetric method for determine suspended matter in seawater using millipore filter. Deep Sea. Res. 10 : 639 – 642. BOHLEN and BOYNTON 1966. Chlorophyll in Mid Atlantic Estuaries. Cheaspeake Bay Program. US-EPA-MAIA: 10 pp. BRICKER, S. B., C.G. CLEMENT, D.E. PIRHALLA, S.P. ORLANDO and D.R.G. FARROW 1999. Effect of nutrient enrichment in the nation’s estuaries. National Estuarine Eutrophication Assessment. U.S. Department of Commerce, NOAA: 84 pp. DARWISITO, S. 2002. Strategi reproduksi pada ikan kerapu (Epinephelus sp.). Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Website: http://ad.acceleratorusa.com (diakses pada tanggal 21 Juni 2005). FLYNT, A.S., J.G. LEBKUECHER and M.C. BONE 2001. Effect of water quality on photoautotrophic periphyton production and photochemical efficiency of a pollution-intolerant alga within Miller Creek, Robertson County, Tennesse. (A. FLOYD SCOTT edt.). Contributed papers session II: Aquatic Biology and Water Quality: 1 – 11. LACERDA, S. R., M. L. KOENING, S. NEUMANN-LEITÃO, M. J. FLORESMONTES 2004. Phytoplankton nyctemeral variation at a tropical river estuary (Itamaracá-Pernambuco-Brazil). Braz. J. Biol. 64 (1): 81 – 94. LAND-OCEAN INTERACTION IN THE COASTAL ZONE (LOICZ) 1996. Coastal seas: A net source or sink of atmospheric carbon dioxide?. LOICZ reports and studies (1): 27 pp. LINDEBOOM, H., J.V. OOIJEN, S.V. SMITH, V. DUPRA and YANAGI 2001. Teluk Banten: Water and salt budget, and implications for the nutrient budgets. Budget for Estuaries in Indonesia: 100 – 103.
353
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
AFDAL DAN SUMIJO HADI RIYONO
NATIONAL LAND and WATER RESOURCES AUDIT (NLWRA) 2002. Australian catchment, river and estuary assessment 2002, NLWRA Vol. 1, Commonwealth of Australia, Canberra. Available at http:// audit.deh.gov.au/ANRA/coasts/docs/estuary_assessment/ Est_Ass_Preface.cfm NONTJI, A. 2002. Laut nusantara. edisi - 3. Djambatan, Jakarta: 59 – 67. NYBAKKEN, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta. Penerjemah: Eidman dkk. 459 Hal. RIYONO, S.H. 2004. Evaluasi pengamatan klorofil-a, produktivitas primer fitoplankton dan seston di perairan Teluk Jakarta periode 1974 – 2003. Tidak dipublikasikan. RIYONO, S.H., AFDAL dan A. ROZAK 2006. Kondisi perairan Teluk Klabat ditinjau dari konsentrasi klorofil-a fitoplankton dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 39: 55 – 73. STRICKLAND, J.D.H. and T.R. PARSONS 1968. A Practical Hand Book of Seawater Analysis. Fish. Sea. Res. Bull. 167: 1 – 311. WARD, T., E. BUTLER and B. HILL 1998. Environmental indicators for national state of the environment reporting – estuaries and the sea, Australia: State of the Environment (Environmental Indicator Reports), Department of the Environment, Canberra. Available at (www.sa.waterwatch.org.au/ programs. htm#manuals) and (www.waterwatch.org.au/) WANG, P. F., J. MARTIN and G. MORRISON 1999. Water quality and euthropication in Tampa Bay Florida. Estuarine, Coastal and Shelf Science 49; 1 – 20. Article No. ecss. 1999.0490, available online at http:/ /www.idealibrary.com.
354
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 33 (3), 2007