BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penjara bagi kalangan awam adalah tempat bagi penjahat/ kriminal menjalani hukuman atas perbuatannya. Dalam perspektif hukum, penjara adalah sebuah institusi yang melakukan penanganan terhadap pelaku pelanggaran hukum dalam menjalani hukumannya. Penjara dalam konteks kenegaraan diatur dalam sebuah sistem peradilan pidana sebagai sebuah kesatuan institusi yang menangani permasahan hukum di negara tersebut. Sebagai sebuah sistem, sistem pemenjaraan di Indonesia baru dikenal pada zaman penjajahan dan kemudian sejak tahun 1964, istilah sekaligus paradigma pemidanaan di Indonesia bergeser dari paradigma restitusi (pembalasan) dalam bentuk kepenjaraan menjadi paradigma rehabilitatif dalam bentuk pemasyarakatan. Pasca berubahnya paradigma serta pola pemidanaan dari “Kepenjaraan” menjadi “Pemasyarakatan”, praktis membawa sistem peradilan pidana Indonesia pada babak baru yang lebih modern. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 (1) disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sahardjo (1963: 18) juga menegaskan dalam pidatonya bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangnya perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanaya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat. Secara singkat, Sulhin (2010; 138) menjelaskan tugas utama (sistem) Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap tahanan, narapidana, serta klien dalam terminologi-terminologi pembinaan, perawatan, dan pembimbingan, di dalam kerangka hak asasi manusia. Sejatinya, institusi Pemasyarakatan dalam menangani terpidana/ terdakwa pelaku pelanggaran hukum harus mengedepankan prinsip-prinsip perlakuan yang bertujuan untuk “mengembalikan” konsep tertib hukum dan tertib sosial kedalam pikiran dan perilaku para pelanggar hukum. Proses perawatan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) maupun proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan salah satu proses pelaksanaan Pemasyarakatan dalam rangka membina pelanggar hukum. Dengan demikian, harapan yang ingin dicapai setelah pelanggar hukum selesai menjalani hukumannya adalah agar mereka dapat kembali hidup normal ditengah-tengah masyarakat dengan dilandasi perilaku tertib hukum dan tertib sosial. Apabila hal ini tercapai, maka tujuan Pemasyarakatan juga tercapai. Meskipun
demikian,
cita-cita
yang
diinginkan
melalui
sistem
Pemasyarakatan seakan-akan “jauh panggang dari api”. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya angka kelebihan kapasitas di Rutan/ Lapas. Sepanjang tahun 2014 yang lalu terdapat 252 UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan dari 24 Kantor Wilayah Kemenkumham di Indonesia yang jumlah WBP-nya melebihi kapasitas
2 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan kisaran 130% - 210% (www.smslap.Direktorat Jenderalpas.go.id). Kelebihan kapasitas ini tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana yang meliputi ruang tahanan, layanan kesehatan, layanan pembinaan maupun logistik. Kondisi kelebihan kapasitas yang relatif tinggi tentu akan mempengaruhi proses perawatan maupun pembinaan didalamnya. Terhambatnya proses pemasyarakatan di dalam institusi pemasyarakatan tentu memunculkan dampak pengganda (multiplier effect) yang tidak sedikit, baik secara internal maupun eksternal. Dampak yang paling terasa secara internal adalah munculnya peluang bagi oknum petugas untuk memanfaatkan kondisi kelebihan kapasitas yang ada didalam. Salah satu bentuk “pemanfaatan” kondisi, dalam hal ini konteksnya adalah penyalahgunaan wewenang, yaitu praktek pungutan liar untuk jual beli kamar. Fakta terjadinya pungutan liar di dalam institusi pemasyarakatan tidak hanya berhenti pada jual beli kamar saja, tapi juga fasilitas lainnya di dalam lembaga.
3 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tentu kita masih ingat bagaimana kasus Ayin di Rutan Klas IIA Jakarta Timur (Pondok Bambu) yang bisa mendapatkan fasilitas kamar mewah setelah dilakukan sidak oleh satgas
anti
mafia
hukum pada tahun 2010
yang
lalu.
Satgas menemukan Ayin
memiliki
kamar
dengan
fasilitas
lengkap
dengan TV, AC dan
Gambar 1.1. Satgas Anti Mafia Hukum saat melakukan sidak ke Rutan Pondok Bambu Sumber: nasional.news.viva.co.id
kasur empuk, bahkan di ruangan milik Aling terdapat fasilitas karaoke (http://news.detik.com). Dari kasus tersebut, beberapa pejabat di Rutan Pondok Bambu dinon-aktifkan dari jabatannya. Tidak hanya itu, beberapa pejabat di tingkat Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta juga ikut di non-aktifkan akibat keterlibatannya dalam kasus ini. Fenomena pungutan liar (pungli) nyatanya malah menumbuhsuburkan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum petugas dalam konteks yang lebih luas, yaitu penggunaan telepon genggam (handphone/ hape) serta peredaran narkoba. Para bandar narkoba yang berada didalam lembaga seringkali memanfaatkan integritas petugas yang lemah untuk tetap menjalankan bisnis narkobanya didalam lembaga. Petugas diajak bekerjasama atau diminta tidak
4 http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengganggu bisnis yang dijalankannya dengan diiming-imingi sejumlah uang yang jumlahnya melampaui gaji yang diterimanya dari negara. Mungkin masih segar dalam ingatan kita mengenai kasus pabrik narkoba yang dikelola oleh Freddy Budiman (WBP di Lapas Narkotika Cipinang) yang ada didalam dengan bantuan petugas di dalam. Melalui pemberitaan di media massa, dinyatakan bahwa sipir Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, IR, mendapat upah 5 juta rupiah dari perannya membantu jaringan gembong narkobaFreddy Budiman.
IR
bertugas
sebagai
staf
keamanan
dan
ketertiban
lapas
(http://tribunnews.com). Hal ini tentu menunjukkan belum optimalnya sistem pemasyarakatan berjalan sesuai dengan filosofi awalnya sebagaimana disebutkan di atas. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya penegakkan aturan guna memberantas masalah-masalah yang dihadapi oleh institusi Pemasyarakatan. Upaya pemberantasan ketiga hal tersebut kemudian menjadi salah satu kebijakan yang diunggulkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai salah satu bentuk reformasi birokrasi. Kebijakan penanggulangan masalah tersebut dikenal dengan istilah yang kerap disebutkan Wamenkumham dalam setiap pemberitaan yakni “Anti Halinar”. Dalam pelaksanaannya, kebijakan anti halinar ini diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-54.PK.01.04.01 TAHUN 2013 Tentang Pedoman Lapas, Rutan Dan Cabang Rutan Bebas Dari Handphone, Pungli Dan Narkoba (Halinar) untuk dipatuhi seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Lapas/ Rutan/ Cabang Rutan di seluruh Indonesia atau yang dikenal dengan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar. 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar 1.2. Salah satu spanduk Getting to Zero Halinar Sumber: www.pemasyarakatan.com
Gambar 1.3. Salah satu Poster Getting to Zero Halinar Sumber: lapassingkawang.com Surat edaran ini menjadi landasan hukum dilaksanakannya program peningkatan layanan Pemasyarakatan yang selaras dengan semangat Reformasi Birokrasi. Keluarnya surat edaran di atas merupakan bagian dari pelaksanaan komunikasi pemerintahan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Salah satu langkah yang dapat kita lihat sebagai dampak dari keluarnya kebijakan ini adalah maraknya spanduk/ baliho/ poster di seluruh UPT yang berisi tentang upaya penegakkan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar. Beragam bentuk pengumuman tersebut tersebar di lingkungan UPT, baik di dalam maupun diluar sebagai bentuk sosialiasi program ini kepada petugas, warga binaan maupun masyarakat luas. Dari aspek komunikasi, hal yang dilakukan oleh Direktorat
6 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jenderal Pemasyarakatan di atas merupakan bagian dari komunikasi pemerintahan dalam konteks pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Komunikasi pemerintahan dapat dipahami sebagai ( Indarto, 2012: 30) proses penyampaian ide-ide, gagasan-gagasan dan program pemerintah kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyat. Riant Nugroho (2004: 121) menjelaskan komunikasi pemerintahan sebagai komunikasi manajerial, yakni tentang bagaimana para manajer professional didalam organisasi publik menggunakan komunikasi secara opitimal didalam proses memejenemeni organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Program Aksi Pemasyarakatan (Proksi Pas) Getting to Zero Halinar ini merupakan salah satu kebijakan yang memiliki nafas yang sama dengan semangat Reformasi Birokrasi. Untuk dapat menjadikan kebijakan anti halinar ini efektif, maka dibutuhkan manajemen
komunikasi
pemerintahan
yang
tepat
agar
seluruh
jajaran
Kemenkumham menjalankan kebijakan ini secara sinergis. Sinergitas dalam menjalankan
kebijakan
ini
sangat
dibutuhkan
mengingat
organisasi
Kemenkumham ada disetiap provinsi di seluruh Indonesia. Manajemen komunikasi yang tepat tentu sangat dibutuhkan untuk menjalankan sebuah kebijakan dalam organisasi yang begitu besar seperti Kemenkumham. Manajemen komunikasi (Kaye, 1994:8) adalah bagaimana individu atau manusia mengelola proses komunikasi melalui penyusunan kerangka makna dalam hubungannya dengan orang lain dalam berbagai lingkup komunikasi dengan mengoptimalisasi sumberdaya komunikasi dan teknologi yang ada. Indarto (2012:
7 http://digilib.mercubuana.ac.id/
31) menjelaskan manajemen komunikasi adalah proses pengelolaan sumberdaya komunikasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pertukaran pesan yang terjadi dalam berbagai konteks komunikasi (individual, organisasional, pemerintahan, sosial dan internasional). Fungsi manajemen komunikasi pemerintahan dalam lembaga birokrasi pada umumnya dilaksanakan oleh bagian komunikasi atau hubungan masyarakat. Cutlip dkk (2005) dalam M. Taufiq Hidayat (2012:33) menjelaskan bahwa pemerintah membutuhkan humas karena: (1) pemerintah yang demokratis harus menyampaikan informasi kegiatan kepada warga negara dan (2) administrasi pemerintahan yang efektif memerlukan partisipasi serta dukungan aktif warga negara. Peran manajemen komunikasi pemerintahan disini juga sangat dibutuhkan untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dapat dipahami oleh publik sasaran dan dijalankan secara efektif. Apabila sasaran/ tujuan dari kebijakan yang dikeluarkan tidak berjalan dengan efektif maka perlu dilakukan evaluasi yang mendalam. Tidak sedikit kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah tidak berjalan dengan baik karena publik sasaran kebijakan tidak memahami tujuan kebijakan tersebut ataupun minimnya sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan kebijakan tersebut. Disamping itu, pemerintah seringkali tidak melakukan evaluasi terhadap publik sasaran untuk mengetahui masukan dari mereka terkait kebijakan yang dikeluarkannya. Dalam konteks ini peneliti berpendapat bahwa manajemen komunikasi pemerintahan adalah perspektif yang lebih sesuai untuk mengetahui bagaimana Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar dapat efektif memecahkan masalah pungli, peredaran hape dan narkoba di dalam lembaga.
8 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Setelah dua tahun berjalan (2013-2014), Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar belum membuahkan hasil yang signifikan. Beberapa waktu lalu kita masih disajikan berita terkait peredaran narkoba di dalam Lapas oleh Franola (Ola) terpidana mati yang kemudian mendapatkan grasi menjadi pidana seumur hidup dari Presiden SBY (http://merdeka.com). Kejadian ini bisa jadi hanya puncak gunung es yang muncul dipermukaan saja, masih banyak kasus lain yang belum terungkap media yang masih ada hingga saat ini. Melihat hal tersebut, maka langkah penyusunan kebijakan sebagai instumen hukum tidak cukup untuk menangani berbagai permasalahan di dalam lembaga pemasyarakatan. Pengawasan dan evaluasi yang konsisten diperlukan juga untuk memastikan program yang ada dapat dilaksanakan secara baik hingga tujuan dari kebijakan ini akan tercapai dan berdampak secara signifikan. Dalam mengelola komunikasi program semacam ini, Cutlip, Center dan Broom (2006:365) menawarkan metode manajemen komunikasi empat langkah yang meliputi upaya-upaya untuk: 1. Mendefinisikan Problem; 2. Perencanaan dan Pemrograman; 3. Mengambil Tindakan Dan Berkomunikasi; dan 4. Mengevaluasi Program.
Keempat langkah ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para praktisi kehumasan dalam mengkomunikasikan suatu produk/ kebijakan kepada khalayak umum karena metode pengukurannya yang masih sangat relevan hingga
9 http://digilib.mercubuana.ac.id/
saat ini. Selain itu, peneliti juga menggunakan Teori Kendali Organisasi yang diperkenalkan oleh Tompkins dan Cheney (1987), dalam Littlejohn (2009: 378382) untuk menjelaskan cara-cara komunikasi yang biasa digunakan oleh organisasi dalam membentuk kendali atas pegawainya. Dilatarbelakangi berbagai hal yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti kemudian mengangkat permasalahan tersebut kedalam penelitian yang diberi judul “Manajemen Komunikasi
Pemerintahan
(Studi
Evaluasi
Komunikasi
Program
Aksi
Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar [Hand Phone, Pungutan Liar Dan Narkoba] Pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan)”.
1.2. Rumusan Masalah Secara spesifik penelitian ini berusaha merumuskan permasalahan berikut: 1. Bagaimana metode identifikasi masalah, program dan perencanaan, implementasi
serta
evaluasi
komunikasi
pemerintah
dalam
mengkomunikasikan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar? 2. Bagaimana pelaksanaan manajemen komunikasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam mengkomunikasikan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar?
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tugas, fungsi dan peran Direktorat Informasi dan Komunikasi pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam mengkomunikasikan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar di lingkungan Pemasyarakatan. 2. Mengetahui proses manajemen komunikasi yang dilakukan dalam mengkomunikasikan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar di lingkungan Pemasyarakatan. 3. Mengetahui bagaimana jiwa korsa Pemasyarakatan dalam konteks kendali organisasi bisa efektif dalam pelaksanaan kebijakan anti halinar di lingkungan Lapas/ Rutan dan Cab. Rutan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemahaman tentang manajemen komunikasi pemerintahan di Indonesia. Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan untuk penelitianpenelitian selanjutnya dengan tema yang serupa.
11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memberikan manfaat pengetahuan, kesadaran ataupun sikap kepada khalayak umum atau masyarakat dan peneliti secara pribadi dalam menanggapi manajemen komunikasi pemerintahan di Indonesia saat ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Kementerian Hukum dan HAM RI serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai institusi pembina Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan secara berkesinambungan.
12 http://digilib.mercubuana.ac.id/