ANALISIS PERBANDINGAN KEMANDIRIAN DAERAH PASCA PENDAERAHAN BPHTB DI KAB/KOTA SE-JAWA TIMUR Dewi Prastiwi, Dian Nuswantoro, dan Made Dudy satyawan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya Email :
[email protected]
ABSTRACT Regulation number 32 of 2004 on Regional Government has brought considerable changes in the basic mechanisms of governance in Indonesia . The changes are mainly related to regional autonomy. Regional autonomy has given local autonomy , authority , and duty on local governments to regulate and manage the affairs and interests of their local communities according with the law. One form of implementation of regional autonomy is autonomy in the areas of financial management. But the reality shows that until 2009, regional autonomy has not materialized . This is indicated by the ratio of local independence in the counties and cities in East Java is still relatively low . To increase the level of independence financial, the government issued Law no. 28 of 2009 which mandated the PBB and BPHTB region policy . Delegation of authority is effectively done BPHTB collection began in 2011 . This study aims to demonstrate empirically the difference (Comparative Study) level of independence financial in the District / City in East Java . This research is expected to obtain evidence that the output can be used by governments as a policy evaluation to local BPHTB success rate. Key words : regional autonomy, BPHTB region policy, ratio of local independence ABSTRAK Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban pada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut dengan desentralisasi fiskal atau kemandirian secara fiskal.Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2009 kemandirian daerah belum juga terwujud. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kemandirian daerah di kabupaten dan kota di Jawa Timur yang masih relatif rendah. Untuk meningkatkan tingkat kemadirian daerah, Pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 yang mengamanatkan pendaerahan PBB dan BPHTB. Pelimpahan wewenang pemungutan BPHTB secara efektif dilakukan mulai tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris perbedaan (Studi Komparatif) tingkat kemadirian daerah pasca pendaerahan BPHTB di Kab/Kota Se-Jawa Timur. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh bukti keluaran yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan evaluasi tingkat keberhasilan kebijakan pendaerahan BPHTB. Kata kunci : otonomi daerah, pendaerahan BPHTB, rasio kemandirian daerah
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif” otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sekarang menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan UndangUndang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
yang sekarang menjadi Undang-Undang No.33 tahun 2004 yang memberikan imbas terhadap pemberian kewenangan daerah. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tersebut, daerah diberikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tatanan pemerintah yang mengarah pada diperlukannya otonomi daerah menuntut kemandirian di dalam mengatur dan menetapkan kebijakan pemerintahan di daerah menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
319
320
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Salah satu wujud pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang disebut dengan desentralisasi fiskal atau kemandirian secara fiskal. Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (public services). Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya: 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat 2. Mendorong perkembangan perekonomian daerah 3. Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang 4. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat 5. Meningkatkan pendapatan asli daerah 6. Mendorong kegiatan investasi Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2009 kemandirian daerah belum juga terwujud. Hal ini sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1 tentang rasio kemandirian daerah di kabupaten dan kota di Jawa Timur. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rasio tertinggi diraih oleh Kota Surabaya yaitu sebesar 32,5% pada tahun 2005 pada periode tahun-tahun berikutnya relatif mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian Kota Surabaya baru bersifat konsultatif yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi.
Bahkan di tahun 2009 kemandirian Surabaya mengalami penurunan hingga menjadi 29,8%. Rasio kemandirian semakin buruk ketika dilihat di tiap-tiap kabupaten maupun kota se-Jawa Timur. Secara rata-rata kemandirian pada 38 kota dan kabupaten di Jawa Timur tidak lebih tinggi dari 10% dan ini berarti pola hubungan pusat daerah masih kental dengan campur tangan pemerintah pusat. Sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) antara lain berasaldari PAD dan Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah dari Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu juga ada sumber lain yang berasal dari pembiayaan berupa Pinjaman Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu sendiri terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, BUMD dan Lain PAD yang sah. Pemerintah telah menyusun berbagai perangkat kebijakan dalam mengimplementasikan desentralisasi fiskal, diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah diperbarui menjadi Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD). Undang-Undang tersebut memberikan otonomi lebih bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola keuangannya. Salah satu wujud otonomi keuangan tersebut direalisasikan dalam bentuk pelimpahan kewenangan pemungutan pajak dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Tabel 1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota Jawa Timur tahun 2005-2009 No Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 1 2 3 4 5 6 7 8
Kota Surabaya Kab. Sidoarjo Kab. Gresik Kota Kediri Kota Malang Kab Tuban Kota Blitar Kab. Pasuruan
52.5 18.7 18.5 17.1 14.3 13.6 12.5 11.6
51.4 18.2 15.7 11.0 11.5 12.1 11.1 9.8
29.9 17.7 15.6 14.2 13.5 11.5 9.3 9.3
30.3 19.8 17.3 13.2 11.6 12.3 10.2 8.8
29.8 21.3 15.4 12.7 7.8 10.8 11.1 9.1
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
321
Tabel 1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/ Kota Jawa Timur tahun 2005-2009 (Lanjutan) 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kab. Probolinggo Kab. Mojokerto Kab. Lumajang Kab. Nganjuk Kab. Jombang Kab. Lamongan Kota. Mojokerto Kab. Bojonegoro Kab. Jember Kab. Malang Kota Pasuruan Kota Madiun Kab. Banyuwangi Kab. Probolinggo Kab. Kediri Kab. Pamekasan Kab. Ponorogo Kab. Sumenep Kab. Magetan Kab. Situbondo Kab. Tulungagung Kab. Bondowoso Kab. Blitar Kab. Bangkalan Kab. Trenggalek Kota Bata Kab. Madiun Kab. Sampang Kab. Pacitan Kab. Ngawi
10.9 9.5 8.8 9.1 11.0 9.3 7.2 8.5 7.8 7.7 7.8 8.1 7.9 6.0 6.7 6.7 7.3 6.4 6.6 7.8 7.2 6.6 6.4 6.7 5.8 5.0 4.8 3.8 4.4 3.6
9.5 8.0 8.0 8.2 2.5 6.5 7.3 6.4 7.1 6.8 7.9 6.7 6.7 5.7 7.3 7.1 6.3 6.4 5.8 5.2 4.2 5.4 5.4 5.3 4.8 4.9 4.9 4.7 3.9 3.7
9.4 7.6 8.3 7.6 11.4 7.4 8.2 7.5 7.0 7.2 6.0 6.8 6.6 9.4 6.9 5.9 6.0 5.9 6.2 5.7 6.7 5.8 5.3 4.8 5.2 4.8 4.9 5.0 4.4 3.4
8.5 7.6 8.5 8.0 10.4 7.5 7.8 7.6 10.1 10.8 9.7 7.2 7.6 8.3 7.7 5.9 5.9 5.4 6.8 5.6 8.2 5.9 6.1 4.8 5.7 4.7 4.3 5.5 4.6 3.2
5.1 8.1 8.9 8.2 10.7 9.0 7.6 6.6 9.8 11.5 8.8 5.4 7.5 9.0 6.2 6.2 5.3 4.9 6.5 6.8 8.5 6.1 5.9 4.5 6.7 4.3 8.2 4.5 4.2 3.1
Sumber : Data Penelitian Diolah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diterbitkan dengan maksud untuk memperbaiki sistem pemungutan pajak dan retribusi di daerah, selain itu dimaksudkan juga sebagai pemberian kewenangan perpajakan yang lebih kepada daerah sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan perpajakan (Jawa Pos, Senin, 23 November 2009). Salah satu implikasi UU No. 28 tahun 2009 dari sisi penerimaan daerah adalah pengalihan PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah dan perluasan basis pajak dan retribusi tertentu. Hal ini berarti semua hak atas pemungutan PBB dan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Status BPHTB yang
semula merupakan objek pajak pusat berubah menjadi salah satu jenis pajak kabupaten/kota membuat Pemerintah Kab/Kota berperan besar dalam pengenaan dan pemungutan BPHTB, mulai dari penetapan peraturan, penetapan pajak, pemantauan pembayaran, sampai pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak, untuk memasikan uang pajak masuk ke kas daerah. Sebelum resmi menjadi Pajak Daerah, hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang harus dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta Kab/Kota.
322
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Pemerintah pusat mendapatkan 20% dari hasil penerimaan BPHTB, sedangkan imbangan pembagian kepada pemerintah daerah sekurang-kurangnya 80% dengan rincian 16% untuk daerah provinsi dan 64% untuk daerah Kab/Kota. Terhitung mulai 1 Januari 2011, BPHTB resmi sepenuhnya 100% menjadi pajak daerah (local tax). Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan lebih bisa meningkatkan kemandirian daerah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian daerah sebelum dan sesudah pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah. Oleh karena itu penelitian ini mengambil judul Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan BPHTB di Kab/Kota Se-Jawa Timur. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Otonomi Daerah Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut: “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Berdasarkan Pasal 19 Ayat (2) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang diatur pada Pasal 20 Ayat (1) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang terdiri atas: 1. asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara. 2. asas tertib penyelenggara negara, yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara. 3. asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif. 4. asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. 5. asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara. 6. asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. asas efisiensi, yaitu asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna. 9. asas efektivitas, yaitu asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik Di dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pemerintah daerah membutuhkan panduan dan pedoman yang sepenuhnya tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Telah disebutkan di atas terdapat 9 asas dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang salah satunya adalah asas akuntabilitas. Menurut Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dijelaskan bahwa asas akunt-
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
abilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batasbatas yang ditentukan peraturan perundangundangan (Halim, 2008: 229). Organisasi sektor publik (pemerintah) merupakan organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan publik kepada masyarakatdengan sebaik-baiknya, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi dan sebagainya. Pelayanan publik diberikan karena masyarakat merupakan salah satu stakeholder organisasi sektor publik. Sehingga pemerintah tidak hanya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat saja, tetapi juga kepada masyarakat luas. Oleh karena itulah diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk membantu manajer publik untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi. Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu (Mardiasmo, 2002: 121) : 1. Memperbaiki kinerja pemerintah. 2. Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. 3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
323
Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah, semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh pemerintah daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri (Hirawan, 1990: 26). Dengan demikian maka perlu mengetahui apakah suatu daerah itu mampu untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka kita harus mengetahui keadaan kemampuan keuangan daerah. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri (Mardiasmo, 2002: 121 ). 1. Kemampuan struktural organisasinya. Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas. 2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh daerah. 3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam kegiatan pembangunan. 4. Kemampuan keuangan daerah Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
324
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Analisis Rasio Keuangan Daerah Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2008: 231). Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, maka analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002 :169). Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2008 : 233) yaitu rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi keuangan daerah dan rasio keserasian belanja. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pemerintah daerah (Halim, 2008: 233) adalah: 1. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya. 2. Pemerintah pusat atau provinsi sebagai masukan dalam membina pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. 3. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman maupun membeli obligasi. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah
tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Halim (2004:150) menyatakan, ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD. Salah satu rasio kinerja keuangan tersebut adalah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan sebaliknya. Formulasi rasio kemandirian adalah sebagai berikut: Rasio (Pendapatan Asli Daerah)i Kemandirian= (Total Pendapatan Daerah)i
Rumus (2.1)
Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah serta menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Hersey dan Kenneth (dalam Halim, 2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu sebagai berikut : 1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah. 2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi. 3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola di mana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. 4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
325
Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat kemandirian dan kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks seperti tampak pada Tabel 2 berikut ini (Mahsun, 2006: 187). Tabel 2. Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah Kemampuan Keuangan Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi
Rasio Kemandirian (%) 0 – 25 > 25 – 50 > 50 – 75 > 75 – 100
Pola Hubunggan Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif
Sumber : Mahsun Moh, 2006.
Jenis-Jenis Pajak Baik PBB maupun BPHTB sebelum diberlakukannya UU PDRD pada tahun 2009 adalah merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat namun hasil pemungutan seluruhnya diberikan kepada pemerintah daerah. Namun seiring dengan berkembangnya otonomi daerah maka daerah diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola sumber-sumber pendapatannya. Dengan demikian mekanisme pemungutan pajak dengan bagi hasil tersebut sudah tidak relevan dengan UU PDRD yang ditetapkan pada tahun 2009. Pajak yang berlaku di Indonesia secara umum dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajakpajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di dalam UU Nomor 34 Tahun 2000) termasuk Pajak Pusat. Namun setelah diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD yang baru), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) termasuk ke dalam pajak daerah. Berikut adalah perbandingan pajak daerah yang diatur pemerintah menurut Undang-Undang sebelum dan sesudah di perbarui.
Tabel 3. Perbandingan pajak daerah yang diatur pemerintah menurut Undang-Undang sebelum di perbarui No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Undang-Undang No. 34 tahun 2000 (Sebelum Diperbarui) Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan (PPJ) Pajak Parkir Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol. C
Undang-Undang No. 28 tahun 2009 (Setelah Diperbarui) Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan Pajak Air Tanah
Pajak Sarang Burung Walet PBB Pedesaan & Perkotaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Sumber:(http://eddiwahyudi.wordpress. com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-resmi-menjadi-pajak-daerah)
Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang orang pribadi atau badan (Mardiasmo 2009).
326
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Obyek BPHTB Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam buku Perpajakan edisi revisi 2009 yang ditulis oleh Mardiasmo, Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi: 1. Pemindahan hak karena : a Jual beli b Tukar-menukar c Hibah d Hibah wasiat e Waris f Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya. g Pemisahan hak yang mengakibatkan Peralihan h Penunjukkan pembeli dalam lelang i Pelaksanaan putusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap j Penggabungan usaha k Peleburan usaha l Pemekaran usaha m Hadiah 2. Pemberian hak baru karena : a Kelanjutan pelepasan hak b Di luar pelepasan hak Pengertian Hak atas Tanah adalah Hak atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria, UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku lainnya. Yang termasuk dalam kategori Hak atas Tanah: 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai 5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun 6. 6Hak Pengelolaan Tidak Termasuk Objek BPHTB Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh: 1. Perwakilan Diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum 3. Badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut 4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama 5. Orang pribadi atau badan karena wakaf 6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah Subjek BPHTB Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB menurut Undang-Undang BPHTB. Dasar Pengenaan BPHTB Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a jual beli adalah harga transaksi; b tukar menukar adalah nilai pasar; c hibah adalah nilai pasar; d hibah wasiat adalah nilai pasar; e waris adalah nilai pasar; f pemasukan dalam peseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar; g pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k penggabungan usaha adalah nilai pasar; l peleburan usaha adalah nilai pasar; m pemekaran usaha adalah nilai pasar; n hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o penunjukan pembeli dalam lelang harga transaksi tercantum dalam risalah lelang.
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
2. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. 4. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Penelitian Terdahulu Pendaerahan BPHTB merupakan kebijakan yang relative baru yang ditetapkan oleh pemerintah, yang memberikan dampak pada aspek finansial maupun non finansial. Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan pendaerahan BPHTB ini diantaranya: Prastiwi (2011) menyimpulkan pemungutan BPHTB di Kabupaten Madiun pada tahap awal tidak memenuhi azas Economic of Collection. Fanida dan Prastiwi (2011) menyimpulkan penerimaan pemungutan BPHTB di Kabupaten Madiun pada saat menjadi pajak pusat lebih besar dibandingkan setelah pendaerahan BPHTB, hal ini disebabkan NJOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB masih di bawah harga pasar dan penetapan NJOPTKP sebesar Rp. 60.000.000,- yang menyebabkan banyak transaksi pemindahan hak yang tidak terkena BPHTB.
327
METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dalam satu tahap, yaitu untuk membuktikan secara empiris perbedaan tingkat kemadirian daerah pasca pendaerahan BPHTB, oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitaif adalah penelitian yang data penelitiannya berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2008: 7). Penelitian ini disebut penelitian kuantitatif karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kemandirian keuangan daerah di Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan metodologi berdasarkan data dari hasil pengukuran, variabel penelitian yang ada dan menggunakan teknik pengumpulan data serta melibatkan lima komponen informasi ilmiah yaitu teori, hipotesis, observasi, generalisasi empiris, dan penerimaan atau penolakan hipotesis. Sehingga berdasarkan tingkat ekspanasinya atau tingkat penjelasannya, maka penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian komparatif. Penelitian komparatif adalah suatu penelitian yang bersifat membandingkan (Sugiyono, 2008). Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemandirian keuangan daerah. Bentuk dari pengukuran kemandirian keuangan daerah tersebut berupa rasio Kemandirian Keuangan Daerah. Langkah-langkah untuk melakukan perhitungan kemandirian keuangan daerah adalah: 1. Membuat tabel perkembangan APBD dari tahun 2009 hingga 2012, lalu membagi untuk tahun 2009-2010 (periode sebelum penerapan UU PDRD) dan tahun 20112012 (periode sesudah penerapan UU PDRD). 2. Mengidentifikasi PAD dan total pendapatan daerah untuk masing-masing tahun berdasarkan kedua kelompok di atas.
328
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
3. Membandingkan antara PAD dengan total penerimaan (sesuai formulasi rasio kemandirian keuangan daerah menggunakan rumus 2.1) masing-masing kelompok. Definisi Operasional Rasio kemandirian keuangan daerah merupakan rasio yang menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber pendanaan dari pemerintah pusat. Semakin tinggi tingkat kemandirian daerah, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen terbesar pendapatan daerah yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat daerahnya. Rasio kemandirian dihitung dengan formula sebagai berikut: Rasio Kemandirian=
data penelitian sebanyak 152 amatan. Jenis dan Sumber Data Data yang dianalisis dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang bersumber dari dokumen Laporan Realisasi APBD seluruh kabupaten dan kota se-Jawa Timur, yang diperoleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) ProvinsiJawa Timur. Metode dan Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metodedokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari dokumen yang sudah ada. Data dalam penelitian ini berasal darilaporan realisasi APBD pemerintah kabupaten/kota se-Jawa Timur periode 2009, 2010, 2011 dan 2012.
(Pendapatan Asli Daerah)i (Total Pendapatan Daerah)i
Metode Analisis Data Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah Daerah serta tingkat kemandirian dan kemampuan Analisis rasio kemandirian keuangan daerah keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks digunakan untuk menganilisis kemandirian seperti tampak pada tabel berikut: keuangan pemerintah daerah Jawa Timur. Rasio Tabel 4. Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah serta Tingkat Kemandirian Kemampuan Keuangan Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi Sumber : Data Penelitian Diolah
Rasio Kemandirian (%) 0 – 25 > 25 – 50 > 50 – 75 > 75 – 100
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah kabupaten/ kotase-Jawa Timur yang terdiri 38 kabupaten/kota (9 kota dan 29 kabupaten). Data kelompok setelah penerapan UU PDRD dimulai setelah tahun efektif diberlakukannya UU tersebut yaitu tahun 2011, sehingga terdapat 2 tahun berturut-turut. Dengan demikian untuk menjaga keseimbangan jumlah data amatan maka untuk sebelum penerapan UU PDRD diambil 2 tahun juga atau mulai tahun 2009 sampai 2010. Dengan demikian total sampel penelitian adalah 4 X38 amatan. Data tentang Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)pemerintah kabupaten/kota sebagai dasar perhitungan kemandirian keuangan daerah sebelum dan sesudah pendaerahan BPHTBdengan jumlah
Pola Hubunggan Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif
tersebut kemudian dibandingkan dengan rasio kemandirian sebelum dan sesudah pendaerahan BPHTB yang sudah ditetapkan sebagai variabel penelitian. Hasil perhitungan analisis rasio tersebut dapat digunakan sebagai data dalam pengujian statistik. Langkah-langkah untuk melakukan perhitungan kemandirian keuangan daerah adalah: 1. Membuat tabel perkembangan APBD dari tahun 2009 hingga 2012, lalu membagi untuk tahun 2009-2010 (periode sebelum penerapan UU PDRD) dan tahun 20112012 (periode sesudah penerapan UU PDRD). 2. Mengidentifikasi PAD dan total pendapatan daerah untuk masing-masing tahun berdasarkan kedua kelompok di atas.
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
3. Membandingkan antara PAD dengan total penerimaan (sesuai formulasi rasio kemandirian keuangan daerah menggunakan rumus 2.1) masing-masing kelompok. Pengujian Statistik Pengujian statistik digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian yang diajukan pada bab sebelumnya mengenai perbedaan kemandirian keuangan daerah di Provinsi Jawa Timur sebelum dan sesudah pendaerahan BPHTB. Pengujian statistik dilakukan karena dengan uji statistik penelitian uji beda tersebut dapat dilakukan dengan lebih signifikan karena jika hanya melakukan uji beda dengan rumus skala rasio saja dapat memberikan arti atau hasil yang berbeda dengan penelitian yang juga dilakukan dengan uji statistik karena akan memberikan hasil yang lebih akurat dan signifikan, metode analisis statistik yang dipergunakan adalah: Uji Normalitas Data Melakukan uji normalitas dari variabel rasio kemandirian daerah. Uji normalitaspada data kemandirian daerah dilakukan dengan menggunakan uji one sample kolmogorovsmirnov. Kriteria penentuan normal tidaknya distribusi rasio kemandirian daerah adalah sebagai berikut: • Apabila nilai signifikansi uji one sample kolmogorov-smirnov lebih besar dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan distribusi dari data telah mengikuti sebaran normal. • Apabila nilai signifikansi uji one sample kolmogorov-smirnov lebih kecil dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan distribusi dari data belum mengikuti sebaran normal. Batas tingkat kesalahan 5% karena sesuai dengan tingkat toleransi kesalahan yang dapat diterima dalam penelitian ekonomi. Uji Beda Hasil uji normalitas data digunakan untuk menentukan alat uji apa yang paling sesuai digunakan dalam pengujian hipotesis. Melakukan uji beda pada rasio kemandirian
329
daerah dengan menggunakan uji beda berpasangan (paired sample t-test) untuk distribusi data yang telah menyebar normal dan uji wilcoxon untuk distribusi data yang tidak menyebar menurut distribusi normal. Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan perbedaan yang signifikan adalah sebagai berikut: • Apabila nilai signifikansi uji paired sample t-test atau wilcoxon kurang dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan rasio kinerja keuangan periode sebelum krisis global dan setelah krisis global berbeda nyata. • Apabila nilai signifikansi uji paired sample t-test atau wilcoxon lebih besar dari tingkat kesalahan 5% maka disimpulkan rasio kinerja keuangan periode sebelum krisis global dan setelah krisis global tidak berbeda nyata. Batas tingkat kesalahan 5% karena sesuai dengan tingkat toleransi kesalahan yang dapat diterima dalam penelitian ekonomi. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 Km2 dan lautan seluas 110.764,28 Km2 membentang antara 111°0’ BT - 114°4’ BT dan 7° 12’ LS - 8°48’ LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, dan daerah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Letak Jawa Timur yang strategis memberikan keuntungan bagi daerah ini karena menjadi penghubung antara wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian tengah. Topografi di Provinsi Jawa Timur beragam, ada yang berupa pegunungan, perbukitan, dan kepulauan. Oleh karena itu, wilayah ini memiliki sumber daya pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertambangan yang potensial. Iklim di daerah Jawa Timur termasuk dalam tropis lembab dengan curah hujan rata-rata 2.100 mm setiap tahun. Suhu udara di daerah ini berkisar antara 18°-35° Celcius.
330
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Struktur geologi di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh batuan sedimen Alluvium. Batuan hasil gunung berapi juga tersebar di bagian tengah wilayah Jawa Timur sehingga daerah ini relatif subur. Beragam jenis batuan yang tersebar di Jawa Timur menyebabkan besarnya ketersediaan bahan tambang di wilayah ini. Provinsi ini terbagi menjadi 29 kabupaten, meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, serta 9 kota, yaitu Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto. Secara fisiografis, wilayah provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan-barat (plato), merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; zona tengah (gunung berapi), merupakan daerah relative subur terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi (dari Ngawi, Blitar, Malang, hingga Bondowoso); dan zona utara dan Madura (lipatan), merupakan daerah relative kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan). Di bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga pulau Madura) ini terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relative tandus. Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, pada 2008 mencapai 37.094.836 jiwa, dengan laju pertumbuhan 0,54%. Pada 2007 jumlah penduduk Jawa Timur tercatat sebanyak 36.895.571 jiwa (51% di antaranya adalah perempuan), dengan kepadatan 814 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi disbanding di kabupaten. Kota Surabaya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yakni 8.335 jiwa/Km2, sekaligus mempunyai jumlah penduduk terbesar, yaitu 2.720.156 jiwa, diikuti kabupaten Malang (2.442.422 jiwa), dan kabupaten Jember (2.293.740 jiwa). Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian, selebihnya bekerja di sector perdagangan (18,80%), sector jasa (12,78%), dan sector industry (12,51%). Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta, dan propinsi Jawa Barat, sebab kontribusi PDRB Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16%. Perekonomian Jawa Timur ditopang tiga sektor utama yaitu perdagangan, industry dan pertanian. Anggaran Pendapatan dan Belanjan Daerah Propinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun pada periode 2004-2008 cenderung meningkat. Pada 2005, APBD propinsi Jawa Timur naik sebesar 15% disbanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 meningkat sebesar 26% disbanding 2005, dan 2007 kembali meningkat sebesar 16% disbanding 2006. Namun pada 2008 justru mengalami penurunan sebesar 10% disbanding 2007. Peningkatan APBD tertinggi terjadi pada periode 2005-2006, yang mungkin disebabkan adanya penyesuaian APBD akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Peningkatan PDRB per kapita dari tahun ke tahun sebagai proxy pertumbuhan ekonomi dapat digunakan sebagai salah satu indicator kemajuan perekonomian, dan kesejahteraan masyarakat antar-kabupaten/ kota di Jawa Timur. Namun meningkatnya pendapatan perkapita belum mencerminkan pemerataan distribusi pendapatan regional Jawa Timur di dalam masyarakat. Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis perbandingan terhadap rasio kemandirian keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur sebelum dan sesudah pendaerahan BPHTB yang efektif dimulai per 1 Januari 2011 dilakukan untuk mengukur perbedaan tingkat kemandirian daerah yaitu kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang dibutuhkan daerah. Rasio kemandirian di propinsi Jawa Timur masih rendah, dimana rasio tertinggi diraih oleh Kota Surabaya yaitu sebesar 32,5% pada tahun
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
2005. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian Kota Surabaya baru bersifat konsultatif. Bahkan pada tahun 2009 kemandirian Surabaya mengalami penurunan. Dalam penelitian ini, rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD) kabupaten/kotadi Jawa Timur diukur dengan menggunakan Jumlah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dibagi dengan Total Pendapatan Daerah. Berikut adalah tabel 4 rasio kemandirian keuangankabupataen/kota di Jawa Timur untuk periode 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah pendaerahaan BPHTB sebagai pajak daerah yang dimulai per 1 Januari 2011.
Tabel 5. Rasio Kemandirian Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Pendaerahan BPHTB No
Kabupaten/Kota
1 Kab. Blitar 2 Kab. Sumenep 3 Kab. Banyuwangi 4 Kab. Kediri 5 Kab. Nganjuk 6 Kota. Surabaya 7 Kab. Magetan 8 Kab. Malang 9 Kab. Pasuruan 10 Kab. Sampang 11 Kab. Sidoarjo 12 Kab. Tuban 13 Kota. Mojekerto 14 Kab. Bangkalan 15 Kab. Gresik 16 Kab. Jember 17 Kab. Lumajang 18 Kab. Ngawi 19 Kab. Bojonegoro 20 Kab. Madiun 21 Kab. Ponorogo 22 Kab. Trenggalek 23 Kota Kediri 24 Kota Pasuruan 25 Kota Probolinggo 26 Kab. Bondowoso 27 Kab. Lamongan 28 Kab. Pacitan 29 Kab. Pamekasan 30 Kab. Situbondo 31 Kab. Tulungagung 32 Kab. Jombang 33 Kab. Mojokerto 34 Kab. Probolinggo 35 Kota Batu 36 Kota Madiun 37 Kota Malang Sumber : Data Penelitian Diolah
331
Sebelum Pendaerahan BPHTB 2009 2010 0.076863252 0.073572819 0.061130357 0.059300982 0.094836780 0.097764634 0.094831859 0.081847478 0.101017072 0.109815802 0.559150833 0.628598255 0.082283169 0.087760114 0.132146488 0.108340411 0.100012013 0.099793911 0.064402998 0.061477827 0.289877689 0.367442767 0.152687249 0.151213482 0.096587209 0.105276811 0.055368844 0.060759646 0.236728929 0.237618509 0.123363618 0.133509672 0.101076030 0.115492320 0.023110271 0.039873824 0.088969081 0.085147850 0.054029846 0.078263444 0.070316608 0.070644667 0.070040998 0.091384363 0.171006678 0.179666370 0.119994102 0.119834643 0.121413147 0.137212427 0.074899726 0.084635606 0.097647456 0.128197714 0.053138746 0.055176350 0.069315739 0.081121405 0.063515171 0.086913925 0.106897055 0.121746438 0.126592197 0.149583095 0.093234199 0.106038114 0.066108042 0.068159784 0.060932527 0.057436837 0.084020422 0.127378319 0.154382139 0.181287652
Sesudah Pendaerahan BPHTB 2011 2012 0.089510788 0.821943596 0.064675523 0.916899918 0115439784 0.846888567 0.107335594 0.76253808 0.120359428 0.912398834 1.958143286 0.321017496 0.094522592 0.928456493 0.134079123 0.80803341 0.131066984 0.761396253 0.072687317 0.845784781 0.470626813 0.780751875 0.170849387 0.885068915 0.155066006 0.678916116 0.084719304 0.717187735 0.354741393 0.669835868 0.146140256 0.913572176 1.118652001 0.973370184 0.078045413 0.510905416 0.139703237 0.609490889 0.091895600 0.851656061 0.085211800 0.829047935 0.096982353 0.942278258 0.233681966 0.76884996 0.143035574 0.837796078 0.152108408 0.90206997 0.101141975 0.836800011 0.115866586 1.10642523 0.082919253 0.665422669 0.106181521 0.763987973 0.098258975 0.884539299 0.141783732 0.858677064 0.159234909 0.939386316 0.528945904 0.200470622 0.095675411 0.71240649 0.090969029 0.631388916 0.168797582 0.754621709 0.287257295 0.631098513
332
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Gambar 1. Line Plot (Sebelum Penetapan, Setelah Penetapan) Dari line plot di atas, secara deskriptif Tabel 6. Hasil Uji Normalitas dapat dilihat bahwa nilai-nilai setelah Sebelum Sesudah penetapan cenderung berada di atas nilai-nilai Penetapan Penetapan sebelum penetapan. Dalam kurun waktu setelah N 76 76 penetapan BPHTB terlihat terjadi peningkatan Normal Mean .1201 .4916 rasio kemandirian di seluruh Kabupaten/kota. Parameters Std. .9585 .38663 Bahkan di Kabupaten Lamongan dan Kota Deviation Surabaya mengalami peningkatan tertinggi Most Extreme Absolute .243 .218 masing-masing sebesar 1,106 di tahun 2012 Differences Positive .243 .218 dan 1,958 di tahun 2011. Negative -.216 -.135 Uji Normalitas Data Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah. Semakin rendah rasio kemandirian daerah, tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern semakin tinggi. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat uji statistic one sample Kolmogorov-Smirnov, hal ini dilakukan untuk melihat apakah data rasio kemandirian daerah terdistribusi secara normal. Hipotesis : H0: Data berdistribusi normal bilamana >α = 5% H1: Data tidakberdistribusi normal<α = 5% Tingkat signifikansi :α = 5%
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig (2 failed)
2.120 .000
1.897 .001
a. Test distribution is Normal b. Calculated from data Dari hasil pengujian yang dapat dilihat pada tabel 6. Hasil Uji Normalitas dapat diketahui bahwa data terdistribusi secara tidak normal, baik sebelum dimulainya pendaerahan BPHTB yakni tahun 2009 dan 2010 maupun setelah dimulainya pendaerahan BPHTB yakni tahun 2011 dan 2012, karena tingkat signifikansinya sebelum pendaerahan BPHTB kurang dari 0,05 yaitu sebesar 0,00 dan setelah pendaerahan BPHTB sebesar 0,01 Hal ini menunjukkan bahwa rasio tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berdistribusi normal, sehingga dapat dilakukan ke pengujian non parametic yang menggunakan alat uji MannWhitney. Hipotesis : H0: M1 = M2 (untuk non parametric memakai M atau median, bukan µ) H1: M1≠ M2 Tingkat signifikansi : α = 5%
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
Tabel 7. Hasil Uji Mann Whitney U Test Statistics* Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Nilai 970.000 3896.000 -7.068 .000
a. Grouping Variable: Kodeb. Berdasarkan tabel 7. Kelompok test statistic, ternyata memberikan hasil Pvalue (0,00) < 0,05 maka Ho ditolak, dapat disimpulkan terdapatperbedaandiantara data sebelumdansetelahpenetapan pendaerahan BPHTB. Uji Statistik Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat ketergantungan daerah pemerintah kabupaten/ kota dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebelum pendaerahan BPHTB dan setelah pendaerahan BPHTB terhadap terhadap pemerintah pusat. Uji perbedaan rata-rata (satu arah) dilakukan karena berdasarkan hasil pengujian sebelumnya menggunakan Mann Whitney U dapat disimpulkan terdapat perbedaan sehingga perlu dilanjutkan pengujian satu arah untuk mengetahui kabupaten/kota mana yang lebih tinggi mengalami perbedaan. Pengujian statistic ini diaplikasikan menggunakan Minitab. Hipotesis : H0 : M1 = M2 (untuk non parametric memakai M atau median, bukan µ) H1 : M1< M2 Keterangan: sebelum = 1; setelah = 2 Tingkat signifikansi :α = 5%
333
Tabel 8 Hasil Uji Satu Arah ver. MINITAB Output Minitab Mann-Whitney Test and CI: SebelumPenetapan, SesudahPenetapan N Median SebelumPenetapan 76 0.0971 SesudahPenetapan 76 0.4908 Point estimate for ETA1-ETA2 is -0.3012 95.0 Percent CI for ETA1-ETA2 is (-0.5570,-0.0877) W = 3896.0 Test of ETA1 = ETA2 vs ETA1 < ETA2 is significant at 0.0000
Berdasarkan tabel 8. Kelompok test statistic, ternyata memberikan hasil Pvalue (0,00) < 0,05 maka Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa nilai sebelum penetapan lebih kecil dibandingkan nilai kemandirian kabupaten/kota setelah penetapan pendaerahan BPHTB. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setelah adanya penetapan pendaerahan BPHTB sebagai pajak daerah terdapat kenaikan kemandirian kabupaten/kota dalam pendanaan pembangunan daerah atau dapat dikatakan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan dari rasio kemandirian kabupaten/kota di Jawa Timur. Dengan demikian hasil pengujian ini menunjukkan bahwa untuk rasio tingkat ketergantungan pemerintah daerah kabupaten/ kota terhadap pusat mengalami kenaikan, yang artinya kemampuan membiayai sendiri APBD yang ditunjukkan melalui rasio kemandirian keuangan daerah ini menjadi lebih besar setelah pendaerahan BPHTB. Pembahasan Rasio kemandirian Keuangan Daerah Pelaksanaan otonomi daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri serta mengelola sumber daya alamnya. Untuk dapat melaksanakan otonomi secara maksimal, maka setiap daerah harus mandiri secara fiscal, yang artinya tingkat ketergantungan terhadap sumber dana pusat harus semakin kecil, yang dalam hal ini ditunjukkan dengan rasio kemandiriannya.
334
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Jilid 2, Nomor 3, Maret 2014, hlm. 319 - 335
Guna mendukung desentralisasi fiscal pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, di mana di dalam undangundang tersebut mengamanatkan pendaerahan pajak BPHTB dan PBB. Pendaerahan BPHTB secara efektif mulai dilaksanakan per tahun 2011, sementara pendaerahan PBB maksimal harus dilaksanakan mulai tahun 2014. Tujuan pendaerahan BPHTB selain untuk meningkatkan kemandirian daerah juga guna meningkatkan penerimaan pajak dari sector ini. Sebagaimana kita ketahui pajak BPHTB dikenakan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai wajar atau harga jual pengalihan hak atas tanah dan bangunan setelah dikurangi dengan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), dengan tariff sebesar 5%. Karena pengalihan hak terjadi di daerah, maka dengan pengalihan BPHTB ini diharapkan aparat pemungut pajak di daerah ikut serta melaksanakan pengawasan terhadap dasar pengenaan pajaknya. Rasio kemandirian keuangan daerah mencerminkan tingkat ketergantungan daerah kabupaten/kota dalam hal pendanaan APBD terhadap pemerintah pusat yang ditunjukkan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah setelah pendaerahan BPHTB yang efektif dimulai per 1 Januari 2011 menunjukkan perkembangan yang positif. Berdasarkan hasil uji statistic terhadap rasio kemandirian di 37 Kabupaten/Kota se Jawa Timur dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan rasio tingkat kemandirian keuangan daerah sebelum dan setelah pendaerahan BPHTB, artinya pendaerahan BPHTB mampu meningkatkan penerimaan pajak daerah. Pendaerahan BPHTB berarti memberikan wewenang pemungutan kepada daerah. Wewenang pemungutan ini meliputi penetapan tariff, dasar perhitungan, prosedur pembayaran sampai dengan pelaporan. Besarnya penerimaan BPHTB dihitung berdasarkan tariff dan dasar perhitungan yang megaju pada harga wajar obyek BPHTB atau NJOP PBB. Selama ini penerimaan BPHTB relative kecil karena dasar pengenaannya mengacu pada NJOP PBB, dimana nilai
tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan harga wajarnya. Dalam proses pengajuan balik nama kepemilikan, syarat yang harus dilampirkan salah satunya adalah SSP BPHTB. Pembayaran BPHTB ini, pada saat menjadi pajak pusat tidak ada proses verifikasi oleh pejabat yang berwenang. Dengan pendaerah BPHTB, daerah memiliki wewenang untuk menetapkan nilai NJOP, dan dalam prosedur pembayaran BPHTB ada proses validasi yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Dalam proses validasi tersebut, pemerintah daerah dapat menolak pembayaran Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pendaerahan BPHTB sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah telah berhasil meningkatkan Rasio kemandirian di 38 Kabupaten/Kota Se-Jawa Timur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan analisis data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, membuktikan secara empiris terdapat perbedaan tingkat kemandirian daerah pasca pendaerahan BPHTB. Hasil pendaerahan BPTHB ini mampu meningkatkan penerimaan PAD dari sector pajak. Saran Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendaerahan BPHTB mampu meningkatkan rasio kemandirian daerah, untuk meningkatkan penerimaan BPHTB maka disarankan kepada : 1. Pemerintah pusat untuk Meninjau kembali penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 60.000.000, 00. Hal ini disebabkan karena sebagian besar transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan di daerah kabupaten/kota selain Surabaya nilainya di bawah Rp. 60.000.000,00 sehingga banyak yang BPHTB nya nihil. 2. Pemerintah daerah, kami sarankan untuk meningkatkan peran serta aparat pemungut pajak dalam memverifikasi data harga wajar pengalihan hak atas tanah dan bangunan sebagai dasar pengenaan BPHTB.
Analisis Perbandingan Kemandirian Daerah Pasca Pendaerahan Bphtb Di Kab/Kota Se-Jawa Timur
DAFTAR PUSTAKA ……………………………... Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 126. Sekretaris Negara Republik Indonesia. Jakarta. ……………………………... Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 126. Sekretaris Negara Republik Indonesia. Jakarta.
335
………………………………. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005, Nomor 140. Sekretaris Negara Bidang Perundang-Undangan. Jakarta Halim, Abdul. 2008. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat. Hirawan, Susiati B. 1990. Keleluasaan Daerah atau Kontrol Pusat?. Jakarta: Bunga Rampai Ekonomi, FE UI. Halim, Abdul. 2001. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP. YKPN.
………………………………..Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Halim, Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
………………………………….Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 49. Jakarta.
Mardiasmo. 2002 . Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi. Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.