Edisi Februari 2002
PEMERINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA Studi Kasus di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia
PERDA BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT Membangun Daerah Berbasis Masyarakat (Kajian atas Beberapa Ranperda Kota Gorontalo) Nonon Sonthanie, Walikota Bekasi :
“KOTA BEKASI BERBENAH DIRI UNTUK MENJADI KOTA JASA DAN PERDAGANGAN”
Editorial Perda bagi Kesejahteraan Rakyat DISHARMONI PERDA dengan S.K. BUPATI/ WALIKOTA STANDAR PELAYANAN PERDA: EFISIENSI DAN KEPASTIANNYA PERLAKUAN DISKRIMINATIF PADA PELAKU USAHA PEMERINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA Studi Kasus di 90 Kabupaten/ Kota di Indonesia PUNGUTAN BERGANDA :
“KEBERAGAMAN OBYEK, PELANGGARAN KEWENANGAN” Membangun Daerah Berbasis Masyarakat
(Kajian atas Beberapa Ranperda Kota Gorontalo) Nonon Sonthanie, Walikota Bekasi :
“KOTA BEKASI BERBENAH DIRI UNTUK MENJADI KOTA JASA DAN PERDAGANGAN” Gambar Sampul : Sampul Buku Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota. Foto-foto diambil dari Internet dengan fasilitas google.
HUKUM TERTINGGI ADALAH KESEJAHTERAAN RAKYAT Dalam bidang ekonomi, pelaksanaan otonomi daerah selama setahun membawa ke suatu pertanyaan mengenai apakah otonomi daerah membawa perbaikan kinerja ekonomi Indonesia. Jawaban sementara adalah pelaksanaan otonomi daerah tidak menunjukkan arah yang benar untuk perbaikan ekonomi. Paling tidak indikator keamanan, kepastian hukum dan peraturan daerah (perda) dari beberapa daerah menunjukkan hal tersebut. Dalam kaitan tersebut, pemeringkatan yang dilakukan KPPOD terhadap 90 Kabupaten/Kota di Indonesia mengenai daya tarik investasi menunjukkan bahwa faktor keamanan & kepastian hukum masih dipersepsikan oleh para investor dan pengamat ekonomi sebagai faktor dominan bagi pertimbangan suatu investasi. Masih cukup banyak daerah yang dipersepsikan belum memberikan kepastian hukum yang memadai. Kasus kasus pelanggaran hukum yang diadukan ke aparat keamanan masih banyak yang belum ditanggapi sebagaimana diharapkan. Misalnya pendudukan lahan perkebunan dan pembakaran areal perkebunan oleh sekelompok masyarakat, perusakan fasilitas produksi manufaktur, pencurian, dll. Belum lagi kasus kasus besar seperti tuntutan daerah untuk penguasaan Semen Padang-Tonasa, penjualan perkebunan ke Guthrie, penjualan timah dari pulau Bangka, rebutan pengelolaan pelabuhan, dll. Begitu juga dalam hal perda pungutan, terjadi berbagai jenis pelanggaran perda terhadap prinsip prinsip dasar ekonomi seperti hambatan tarif/non-tarif, pungutan ganda, timbal balik jasa, diskriminasi, dll., seperti disajikan dalam apendix hasil pemeringkatan, mempertegas bahwa baik daerah maupun pusat masih gagap dalam melaksanakan otonomi daerah. Hasil pemeringkatan KPPOD yang disajikan dalam newsletter ini paling tidak bisa memberikan pemetaan awal bagi kecenderungan pelaksanaan otonomi daerah. Hasil pemeringkatan tersebut diharapkan dapat dipergunakan oleh daerah untuk mengetahui secara sistematis posisi relatifnya terhadap daerah daerah lain yang diperbandingkan dalam batasan indikator yang digunakan. Lebih lanjut diharapkan daerah yang bersangkutan dapat memperbaiki kinerja indikator yang masih lemah. Dalam konteks pemeringkatan tersebut, untuk menghindari kekeliruan intepretasi suatu penelitian, ringkasan hasil pemeringkatan yang disajikan mesti dibaca/dicermati berdasarkan batasan batasan penelitian seperti: sampling daerah penelitian, indikator pemeringkatan, sumber data, metodologinya dan kategori hasil peringkat. Hasil pemeringkatan tersebut jangan sampai diintepretasikan melampaui batasan penelitian tersebut yang bisa menyesatkan!. Sementara itu, dalam kaitannya dengan perda bermasalah yang banyak diangkat dalam berbagai media masa nasional akhir tahun 2001, sampai saat ini ternyata masih tetap saja menggantung. Pasalnya Mendagri sendiri kesulitan bersikap tegas menghadapi masalah tersebut yang mungkin berkaitan dengan batas waktu kewenangan pengawasan represif yang dimilikinya. Di sisi lain, pemda umumnya bersifat resisten terhadap pengawasan tersebut. Dalam tulisan berjudul “Perda Bagi Kesejahteraan Rakyat”, penulisnya mengingatkan bahwa perdebatan mengenai perda bermasalah jangan hanya berpedoman pada pendekatan legalistik formal yang mempunyai sejumlah keterbatasan. Tawaran sudut pandang ekonomi yang bertujuan untuk kemanfaatan bagi rakyat banyak perlu kiranya dipertimbangkan; karena pada dasarnya secara filosofis diyakini bahwa hukum yang tertinggi adalah kesejahteraan rakyat. Yang mungkin menjadi soal adalah pendekatan ekonomi dengan dasar pemikiran ekonomi klasik yang meyakini bahwa persaingan dalam pasar bebas mampu menjamin efisiensi ekonomi, belum tentu secara serta merta akan menjamin kesejahteraan sosial (rakyat banyak). Pembangunan kelembagaan ekonomi maupun hukum yang gagal terwujud selama puluhan tahun di Indonesia masih menjadi momok yang siap menggagalkan pendekatan ekonomi yang telah dipilih bangsa ini; suatu pilihan pendekatan pembangunan ekonomi yang belum pernah dijalankan secara utuh dan konsisten. Itulah PR besar bangsa kita yang sangat rentan terhadap berbagai macam manufer elit politik pusat maupun lokal!. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, http://www. kppod.org/, E-mail :
[email protected]. Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
PERDA BAGI KESEJAHTERAAN RAKYAT P. Agung Pambudhi
*)
D
i akhir tahun 2001, beberapa media masa nasional mengangkat berita mengenai perda bermasalah secara intensif. Meskipun bukan merupakan issue yang sama sekali baru karena jauh sebelumnya kalangan dunia usaha sudah seringkali mengeluhkan persoalan perda bermasalah tersebut, namun issue tersebut menarik karena sampai lembaga tertinggi negara MPR merekomendasikan MA untuk melakukan judicial review terhadap perda bermasalah tersebut. Tidak kurang IMF juga mengangkat permasalahan tersebut dalam salah satu butir rekomendasinya ke pemerintah kita. Pembicaraan masalah ini semakin kuat ketika Kompas memuat secara detail perda perda (tentang Pajak & Retribusi Daerah) yang dalam penilaian pemerintah pusat – dalam hal ini Depdagri yang mendapat kewenangan untuk itu – dianggap bermasalah (lengkap dengan alasannya), dan karenanya harus dibatalkan!. Hal lain yang menarik tentang perda bermasalah ini adalah sikap Mendagri Hari Sabarno yang sampai awal tahun 2002 sebagaimana disampaikannya melalui media masa, masih ‘maju mundur’ dengan mengatakan bahwa pemerintah pusat tidak akan membatalkan perda bermasalah tersebut namun akan mengembalikannya ke daerah untuk disempurnakan!. Bila mengacu pasal 114 UU 22/1999 tentang “Pemerintahan Daerah” yang memberikan hak pemerintah pusat untuk membatalkan perda; sikap Mendagri tersebut bisa diartikan bahwa Depdagri sendiri masih ragu ragu atas hasil kajiannya sendiri. Namun bila mencermati pasal 5A UU 34/2000 tentang “Pajak & Retribusi Daerah” yang memberi waktu pemerintah pusat 30 hari dalam menjalankan pengawasan represifnya dengan hak pembatalan perda (dipertegas dalam PP No.65/2001, PP No.66/2001 & Kep Men No.41/2001); sikap Mendagri bisa dipahami karena hak pembatalan perda tersebut sudah lewat waktu – 68 perda tentang pungutan tersebut 41 diantaranya perda tahun 2000 dan sisanya juga sudah melebihi waktu satu bulan. Persoalannya menjadi rumit ketika pemda menggunakan kelemahan pemerintah pusat di atas dengan berlindung pada landasan hukum UU 34/2000 tersebut untuk menolak pembatalan perda oleh pemerintah pusat. Lebih rumit lagi karena menurut penilaian pemda, pemerintah pusat juga dinilai telah membuat produk hukum pusat yang dianggap bertentangan dengan produk hukum di atasnya sebagaimana asas lex superior derogat lex inferiori (contoh Keppres No.10/2000 tentang pertanahan yang menarik kembali masalah pertanahan ke pusat yang berdasar UU 22/1999 telah diberikan kepada daerah). Sedangkan bila mengharapkan judicial review MA sebagaimana ‘instruksi’ MPR, rasanya kurang menjanjikan mengingat begitu banyaknya tumpukan perkara yang harus diselesaikan lembaga tersebut. Terlebih bila melihat substansi permasalahannya, memang lebih tepat lingkungan internal lembaga eksekutif yang mesti menyelesaikannya sendiri – antara pemerintah pusat dan pemda.
Ekonomi Biaya Tinggi Penyelesaian permasalahan dengan pendekatan legalitas formal memang sangat diperlukan dalam pengaturan kehidupan ketatanegaraan karena dari sana makna bernegara ini menemukan pengaturannya dalam kontrak sosial negara dan masyarakatnya. Namun pendekatan legalitas formal saja mempunyai sejumlah keterbatasan yang seringkali tidak dapat memecahkan masalah. Gugat menggugat antara pusat dan daerah dengan hanya mengandalkan pendekatan legal bisa tidak berkesudahan karena acuan suatu produk hukum akan banyak peluang untuk diperdebatkan atau bahkan dinegasikan dengan mempergunakan acuan produk hukum lainnya. Contoh kasus hiruk pikuk perpolitikan kita dengan debat hukum yang tidak berkesudahan sudah sangat banyak di Republik ini karena cukup banyak disharmoni suatu produk hukum dengan produk hukum lainnya. Bahwa kegunaan pendekatan legalitas formal sebagai salah satu pijakan pendekatan permasalahan tentu tidak bisa dipungkiri; namun apabila terjadi benturan suatu produk hukum dengan produk hukum lainnya – terutama di masa transisi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah – maka tawaran pendekatan sudut pandang lain perlu menjadi pertimbangan para pemegang kebijakan publik. Dalam sudut pandang ekonomi, perda perda yang digolongkan bermasalah dan karenanya perlu dibatalkan atau direvisi tersebut umumnya disebabkan adanya pelanggaran prinsip prinsip dasar ekonomi. Secara singkat pelanggaran prinsip ekonomi tersebut dikarenakan pertama, adanya hambatan perdagangan terhadap arus keluar masuk barang dari satu daerah ke daerah lain baik dengan mekanisme tarif maupun non tarif (perda nomor: 6/2000 propinsi Lampung, 2/2001 kab. Pasaman, 16/2000 kab. Bima, dll.). Kedua, adanya monopoli dengan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha lainnya (perda nomor: 53/2001 kab. Cirebon, 15/2001 kab.Karawang, dll.). Ketiga, pungutan berganda terhadap pajak pusat seperti PPN, PBB, dll. (perda nomor: 6/2001 kab. Bengkulu Selatan, 7/2001 kab. Serang, 10/2000 kab. Kapuas, dll.). Keempat, pungutan dalam bentuk sumbangan yang dipaksakan dengan penerapan sanksi (perda nomor: 2/2000 kab. Flores Timur, 5/2000 kab. Tapin, 23/2000 kab. Kampar, dll.), Kelima, retribusi yang tidak memberi manfaat langsung terhadap pembayar retribusi sebagaimana filosofi dasar retribusi (perda nomor: 22/2001 kab. Bengkulu Selatan, 24/2000 kab. Blitar, 25/2000 kab. Bekasi, dll.). Disadari bahwa kajian terhadap suatu perda akan lebih komprehensip apabila dapat mengetahui secara utuh latar
2
belakang penyusunannya karena lahirnya perda tentu tidak lepas dari konteks masyarakatnya. Namun untuk pendekatan beberapa kategori permasalahan tersebut di atas, kajian perda sangat straight forward, sudah jelas rambu rambunya sehingga dengan kajian tekstual perda dengan dibekali pemahaman dasar hukum maupun ekonomi, judgement tersebut tepat. Para pemerhati ekonomi umumnya akan terusik dengan adanya beberapa pelanggaran prinsip dasar ekonomi tersebut karena dikhawatirkan akan mengancam kesatuan ekonomi nasional dan mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Sedangkan para praktisi bisnis jelas merasa terbebani dengan berbagai macam pungutan yang menambah unsur biaya produknya. Selanjutnya praktek ekonomi biaya tinggi tersebut sangat berpotensi memandulkan daya saing produk baik di pasar global maupun dalam negeri. Di luar pertimbangan faktor keamanan dan stabilitas politik yang sangat penting bagi suatu investasi, para investor lama maupun investor baru juga cenderung menahan investasinya sambil mengharap perbaikan kebijakan serta menimbang nimbang untuk mengalihkan atau menanamkan investasinya ke daerah atau negara lain yang dipandang lebih kondusif bagi usahanya. Daerah/Negara yang dipandang tidak kondusif bagi usahanya tentu akan dijauhi para investor. Di sisi lain, konsumen sebagai bagian dari masyarakat dapat terbebani dengan membayar harga produk yang dibebani dengan biaya pungutan yang tidak semestinya. Pekerjapun dapat menanggung akibat biaya tersebut bila pengusaha mengalihkannya ke beban kesejahteraan pekerja. Sedangkan dalam tinjauan yang lebih luas, daerah otonom Kab./Kota juga besar kemungkinan kehilangan potensi pendapatan daerahnya bilamana dijauhi oleh investor; selain rugi karena investasi itu sendiri, juga karena efek berganda yang ditimbulkan oleh suatu investasi. Pun pula daerah kehilangan kesempatan untuk memfasilitasi masyarakatnya dalam mendapatkan penghasilan melalui kesempatan kerja dari suatu investasi dan multiplier effectnya tersebut. Hukum Tertinggi Beberapa kerugian potensial tersebut tentu harus menjadi pertimbangan pengambil keputusan kebijakan daerah karena pada dasarnya peran pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif ) dalam otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan masyarakat untuk kesejahteraan rakyatnya. Walaupun bukan merupakan asas hukum, namun kiranya menarik bagi kita untuk membuka khasanah kekayaan sikap mental bangsa kita melalui salah seorang anak bangsanya I.J. Kasimo yakni salus populi suprema lex yang berarti kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Dalam kebuntuan pendekatan hukum, motto tersebut sangat relevan untuk diambil sarinya bahwa untuk kegiatan perekonomian dalam rambu rambu hukum yang berlaku, kesejahteraan rakyat harus tetap dipegang sebagai acuan utama – sebagai hukum tertinggi. Sangat naif bila perdebatan hukum hanya akan mereduksi kejernihan berfikir dan ketegasan bersikap sehingga melupakan tujuan esensial yang ingin dicapai. Dalam hal perda bermasalah di atas, ungkapan Syaukani H.R. sebagai ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) yang mungkin dapat dianggap sebagai representasi kepala daerah, untuk membicarakan permasalahan hambatan investasi dengan para stakeholdernya diharapkan tidak sekedar retorika tanpa tindak lanjut akibat arogansi kekuasaan daerah; namun betul betul untuk kesejahteraan rakyatnya. Upaya serius dalam transparansi kebijakan publik, pendekatan partisipatoris stakeholder dalam penyusunan perda, dan pertanggungjawaban pelaksanaannya sangat ditunggu masyarakat. Hanya dengan pendekatan tersebut pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dapat diciptakan, lepas dari kepentingan jangka pendek kekuasaan dalam masa kepemimpinan kepala daerah yang bersangkutan. Rakyat benar benar menunggu apakah masih ada negarawan kita yang dapat mewujudkan makna mendasar dari motto di atas, yakni menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan individu, kelompok, go longan, agama maupun isme isme lainnya. Sementara itu bagi pemerintah pusat, berbagai kritikan tentang kelambatan pengambilan keputusan dalam menyikapi perda diharapkan mendorong perbaikan manajemen review perda sehingga memperbaiki kinerjanya. Lepas dari segala macam keterbatasan pemerintahan menyangkut kelembagaan maupun SDM, jangan sampai kelemahan manajerial review perda bergeser menjadi pertanyaan mendasar mengenai kekosongan kepemimpinan. Sangat ironis bagi bangsa ini bila terus menerus hanya mau mendengarkan desakan unsur luar bangsanya seperti IMF, yang sebenarnya sudah disuarakan rakyatnya sendiri. Dalam desakan alam demokrasi dan krisis multidimensional saat ini, pemerintah sudah tidak mempunyai luxury of time untuk berbenah, masyarakat selalu mengawasi dan menuntut hasil kerja secepatnya!. Secara sistemis untuk jangka panjang, fenomena perda bermasalah – dan disharmoni suatu Undang Undang dengan Undang Undang lainnya – mendorong kebutuhan dikembangkannya lembaga tim ahli sebagai penasehat teknis para politisi di legislatif karena tidak ada seorangpun yang menguasai berbagai persoalan teknis secara utuh (pengembangan dari Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi yang dimiliki DPR saat ini). Lembaga sejenis yang dimiliki negara negara maju ini semakin penting urgensinya di masa datang untuk diperkuat keberadaannya demi hasil produk peraturan perundang undangan yang jelas, meminimalisir gray area yang multiintepretatif. Hal ini harus didukung komitmen yang kuat dari para anggota legislatif/politisi kita, agar dalam keputusan politiknya, tidak melakukan perubahan perubahan yang bisa mengaburkan esensi draft original yang disiapkan para ahli tersebut. Blue print kelembagaan, dukungan finansial, mekanisme sosialisasi draft RUU ke masyarakat, dll., rasanya perlu dipersiapkan mulai sekarang untuk direalisasikan tahun 2004?! *)
Penulis adalah Direktur Eksekutif KPPOD
3
Nonon Sonthanie, Walikota Bekasi :
“KOTA BEKASI BERBENAH DIRI UNTUK MENJADI KOTA JASA DAN PERDAGANGAN”
S
ecara administratif Kota Bekasi terbentuk pada tnggal 10 Maret 1997 setelah resmi memisahkan diri dari Kabupaten Bekasi. Pada awal terbentuk, Kota Bekasi dipimpin oleh Pejabat Sementara Walikota yaitu Kailani. Satu tahun kemudian Nonon Sonthanie terpilih sebagai Walikota Bekasi yang pertama dan masih bertahan hingga saat ini. Kota Bekasi merupakan sebuah wilayah administratif yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta di sebelah Barat, di Utara dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, dan di sebelah selatan dengan Kabupaten Bogor. Karena letaknya yang berdekatan dengan DKI Jakarta tersebut menjadikan Kota Bekasi sebagai sebuah wilayah untuk pembangunan pemukiman / perumahan berbagai tipe yang ditujukan untuk pekerja yung bekerja di Jakarta. Berdasarkan data BPS Kota Bekasi, pada tahun 2002 jumlah penduduk Kota Bekasi sebesar 1.637.610 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 5.19 persen, dimana 3.68 persen diantaranya merupakan laju pertumbuhan penduduk migrasi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka sektor perdagangan dan jasa pun turut berkembang pesat sebagai pendukung kebutuhan penduduk. Gejala ini muncul jauh sebelum Kota Bekasi menjadi kota otonom dan masih merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi. Dalam perkembangannya Kota Bekasi lebih dikenal sebagai kawasan pemukiman berbasis jasa dan perdagangan, sedangkan Kabupaten Bekasi menjadi kawasan industri. Posisi Kota Bekasi yang berada diantara kawasan industri dan ibukota negara tersebut memberikan banyak peluang sekaligus permasalahan baik dari dalam wilayahnya maupun akibat imbas dari persoalan-persoalan daerah-daerah di sekitarnya. Banyak warga Jakarta yang hendak bekerja di Kota Bekasi atau sebaliknya, mengakibatkan Kota Bekasi menjadi kawasan yang padat lalu lintas, dengan kemacetan di berbagai jalanan di kota ini. Belum lagi masalah persampahan, dan kriminalitas akibat perkembangan perkotaan. Dibutuhkan kerja keras oleh berbagai pihak terkait baik Pemda maupun masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Sasaran Pembangunan Menurut Sonthanie, dari pertumbuhan tiap
4
sektor ekonomi yang ada telah mendorong terjadinya perubahan struktur ekonomi Kota Bekasi. Pada tahun 2000 – 2001 (akhir tahun kegiatan) sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor industri pengolahan sebesar 46,54% dari seluruh kegiatan ekonomi, kemudian disusul dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 28,75%, dimana dari sub-sektor perdagangan kontribusinya 25,12%. Walaupun kontribusi sektor industri pengolahan jauh lebih besar daripada sektor perdagangan dan jasa, namun ke depannya sektor perdagangan dan jasa mempunyai potensi lebih besar untuk dikembangkan lagi. Hal ini mengingat bahwa lahan untuk mengembangkan sektor industri di Kota Bekasi sudah semakin sempit dan kurang memadai dibandingkan untuk sektor perdagangan dan jasa. Apalagi dilihat dari arah perkembangan Kota Bekasi, maka sektor jasa dan perdagangan lebih dibutuhkan. Ditambahkannya pula bahwa, dengan bergesernya paradigma pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Pemda Bekasi merubah pendekatan pembangunan dari Top Down Policy menjadi Buttom Up Planning. Dalam mewujudkan Kota Bekasi sebagai Kota Jasa dan Perdagangan, Pemda melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta/dunia usaha untuk berperan serta dalam pembangunan. Antara lain dengan menghimpun masukan dari masyarakat (stake holder) untuk pengambilan kebijakan/keputusan dalam rangka pembangunan, serta mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam proyek-proyek pembangunan di daerah (padat karya). Untuk pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar ikut memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan mengajak dunia usaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan di Kota Bekasi. Untuk mewujudkan good governace dilakukan transparansi, keterbukaan dari berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan serta akuntabiltas, melalui komunikasi yang harmonis antara unsur legislatif, eksekutif maupun masyarakat. Dalam tahun pertama dan kedua pelaksanaan otonomi daerah, fokus perhatian dalam pelaksanaan pembangunan di Kota
Bekasi ditujukan pada upaya-upaya untuk memperbaikan kesejahteraan warga dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Beberapa diantaranya yang terpenting adalah penetapan kelembagaan berupa pembentukan perangkat daerah yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kemudian peningkatan pembangunan sumber daya manusia, pemberdayaan perekonomian rakyat, pembangunan sarana dan prasarana umum (jalan, jembatan, pasar, kantor pelayanan publik, dsb), penegakan hukum dan HAM melalui sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat, penanggulangan dan pencegahan atas bahaya bencana alam antara lain melalui perbaikan saluran/drainase dan tanggul penahan banjir serta penyediaan alat-alat perlindungan masyarakat dan sarana pemadam kebakaran. Strategi Pembangunan Ekonomi Dalam melakukan pembangunan ekonomi, Pemda Kota Bekasi menerapkan 4 (empat) strategi pembangunan ekonomi. Pertama, Strategi pengembangan fisik/lokalitas, yaitu memperbaiki kondisi fisik/lokal daerah untuk kepentingan pembangunan industri dan perdagangan. Secara khusus Kota Bekasi menciptakan identitas fisik kota, memperbaiki kualitas masyarakat dan memperbaiki daya tarik kota dalam upaya memperbaiki dunia usaha daerah. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah, dengan terbangunnya beberapa buah jembatan dan pelebaran beberapa ruas jalan. Dilanjutkan dengan rencana pembangunan underpass maupun overpass dan penambahan pintu masuk/keluar tol serta merumuskan KPS “Pengelolaan Perparkiran Tepi Jalan Umum”, sebagai upaya untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di Kota Bekasi. Selanjutnya juga ditambah dengan pemberian peluang melalui RTRW Kota Bekasi Tahun 2000 – 2010 yang sangat memungkinkan untuk menarik investasi di Kota Bekasi. Untuk perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat, saat ini Pemda Kota Bekasi telah membangun KPS “Penyediaan dan Pelayanan Air Minum Perpipaan Kecamatan Pondok Gede dan Jati Asih”, dan akan melakukan KPS “Penyediaan dan Pembangunan Terminal Type A”, “Rehabilitasi dan Pembangunan Rumah Sakit Umum”, “Pengelolaan dan Pelayanan
Persampahan Kota Bekasi”, “Pembangunan dan Pengelolaan Jalan Tol Dalam Kota”, serta “Pembangunan Sarana dan Prasarana kota lainnya” . Kedua, Strategi pengembangan dunia usaha. Dunia usaha diposisikan sebagai komponen penting dalam perencanaan pembangunan ekonomi, mengingat daya tarik kreasi atau daya tahan kegiatan usaha akan menciptakan perekonomian daerah yang sehat. Beberapa kebijakan yang telah diambil Pemerintah Kota Bekasi adalah dengan penetapan dan penyebaran sentra-sentra perdagangan; perumusan dan penetapan produk hukum yang kondusif bagi dunia usaha serta menyederhanakan rantai birokrasi; melakukan promosi potensi peluang usaha ekonomi Kota Bekasi; dan optimalisasi potensipotensi yang dinilai dapat menjadi sumber pendapatan daerah; serta mengembangkan dan memanfaatkan teknologi tepat guna. Dalam mewujudkan visi dan misi Kota Bekasi, telah ditetapkan berbagai kebijakan sebagai landasan pengembangan investasi yang difokuskan pada sektor jasa dan perdagangan. Ketiga, Strategi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Sebagai konsistensi atas upaya peningkatan kualitas dan keterampilan SDM yang tidak bisa ditawar dan sebagai satu bagian penting dalam proses pembangunan makro. Keempat, Strategi pembangunan ekonomi masyarakat, sebagai suatu upaya pengembangan ekonomi kerakyatan yang ditujukan untuk mengembangkan dan memberdayakan kelompok masyarakat tertentu dalam wilayah pengembangan tertentu (kecamatan dan kelurahan/desa). Dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang sudah dirumuskan tersebut Pemda Kota Bekasi tidak melakukan secara sendirian. Mengingat posisi Bekasi sebagai kawasan pendukung ibu kota, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bekasi yang merupakan daerah industri, Kota Bekasi memandang perlu untuk melakukan kerjasama dengan daerah-daerah yang berbatasan maupun yang berdekatan dengan wilyahnya serta lembaga-lembaga asing. Terlebih lagi dalam kerangka globalisasi, dari segi manajemen dan teknologi, perekonomian Kota Bekasi masih perlu untuk bekerjasama dengan berbagai pihak untuk pembangunan ekonomi dan berbagai prasarana pelayanan publik. Ada beberapa kerjasama yang akan dan sedang dilakukan dengan berbagai pihak. Untuk pengelolaan dan pengembangan transportasi dan saluran air Pemda Kota Bekasi menjalin kerjasama dengan daerah sekitar, yaitu DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor. Secara khusus untuk masalah air minum, dalam waktu dekat akan dijalin kerjasama dengan Kabupaten Bogor dan salah
seorang pengusaha asing dalam rencana BOT pengelolaan air minum. Sementara itu untuk mengatasi masalah persampahan, dilakukan kerjasama pengelolaan TPA Bantar Gebang, dengan DKI Jakarta, yang dilanjutkan kerjasama dengan Case Australia dalam proses pembuatan kompos. Kendala Semangat Kota Bekasi, untuk melaksanakan pembangunan dan perbaikan daerahnya bukan berarti tanpa kendala sama sekali. Di samping persoalan di tingkat daerah ada permasalahan-permasalah yang berasal dari Pemerintah Pusat yang sering mengakibatkan kegamangan Pemda. Keseriusan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan otonomi daerah, dirasakan belum sepenuhnya terlihat nyata. Pada kenyataannya terdapat kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah, tetapi ditarik kembali menjadi kewenangan pusat. Sebagai contoh, permasalahan kewenangan pertanahan yang menurut UU NO. 22 Tahun 1999 menjadi kewenangan daerah akan tetapi menurut Keppres Nomor 103/2001 masalah pertanahan ditarik kembali atau ditangguhkan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun. Masalah pembagian dan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dirasakan kurang obyektif untuk tiap daerah belum mencerminkan rasa keadilan dan kebutuhan daerah bersangkutan. Perimbangan keuangan selain pembagiannya seharusnya lebih objektif dan transparan, juga substansi yang diberikan ditambah dan lebih diperluas, seperti Pajak penghasilan badan usaha, dan pajak- pajak lainnya; pembagian sebagai daerah operasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT. Jasa Marga – Pengusahaan jalan tol dan lain-lain. Selain itu itu juga harus ada transparansi dan rasionalitas atas bagi hasil dari provinsi, misalnya dari PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor). Persoalan-persoalan di atas merupakan kendala bagi pemda dalam melaksanakan tugas pemerintahnnya dan merupakan permasalahan krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama satu tahun, sehingga harus segera diselesaikan. Untuk itu, Sonthanie sangat setuju dengan rencana revisi UU NO. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, asalkan revisi tersebut menyangkut pasal-pasal yang memperjelas kewenangan daerah serta dalam rangka pemberdayaan Pemerintah Daerah dan bukannya revisi untuk mengembalikan kewenangan pusat yang telah diserahkan daerah. Disamping itu juga harus dilakukan koreksi atas pasal-pasal yang menjadi sumber konflik antara Pemerintah Daerah dengan DPRD, Pemerintah Daerah dengan
Pemerintah Pusat maupun DPRD dengan Pemerintah Pusat. Hasil yang telah dicapai Terlepas dari segala persoalan di atas, dirasakan bahwa selama satu tahun pelaksana otonomi daerah telah tampak adanya perubahan kondisi di Kota Bekasi baik dalam tubuh Pemda maupun perekonomian masyarakatnya. Pada bidang pemerintahan, antara lain yang telah dirasakan bahwa substansi dan proses penetapan Peraturan Daerah sebagai kebijakan publik dapat langsung dilaksanakan setelah ditetapkan oleh DPRD. Dalam hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD semakin seimbang sebagai mitra kerja, terutama dalam fungsi kontrol politis DPRD lebih dinamis. Di tubuh birokrasi, manajemen dan kebijakan kepegawaian terdapat kemudahan dengan tanpa menunggu persetujuan tingkat yang lebih atas sehingga diperoleh optimalisasi prestasi dan dedikasi serta hubungan kerja di antara aparatur. Untuk bidang keungan daerah, upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat terus dipacu sesuai dengan potensi riil di lapangan. Diantaranya adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah; mengundang investor untuk menanam modal di Kota Bekasi; memperpendek dan mempermudah jalur birokrasi perijinan; serta tidak memberatkan masyarakat mengenai tarif pajak, retribusi dan lain-lain. Dalam pembangunan ekonomi, menurut Sonthanie strategi pembangunan yang telah dilakukan oleh Pemda Kota Bekasi saat ini sudah membuahkan hasil. Sebagai contoh saat ini di Kota Bekasi telah tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perdagangan dan jasa. Ditambahkan pula bahwa secara konseptual, berdasarkan hasil penelitian KPPOD, Kota Bekasi berada pada peringkat ke-4 dari 90 Kota/Kabupaten dalam hal daya tarik investasi. Sonthanie memandang bahwa penelitian tersebut cukup objektif sehingga dapat digunakan sebagai indikasi keberhasilan pembangunan. Namun demikian, kedepannya dalam proses penelitiannya, perlu melibatkan pihak-pihak tertentu di daerah. Dengan strategi dan perencanaan pembangunan yang telah dirumuskan serta partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarkat di daerahnya, Pemda Kota Bekasi merasa yakin akan dapat mewujutkan Kota Bekasi sebagai Kota Jasa dan Perdagangan. Apalagi saat ini masyarakat di daerah (putra daerah) telah memiliki kesiapan untuk berpartisipasi dalam pembangunan khususnya di jajaran birokrasi. Kondisi riil peta politik menunjukkan bahwa suara putra daerah di DPRD kurang lebih 27%. (git, nia)
5
Membangun Daerah Berbasis Masyarakat (Kajian atas Beberapa Ranperda Kota Gorontalo)
Pembangunan berbasis masyarakat, sebagaimana yang bisa disimpulkan secara umum dari Ranperda Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat dan Ranperda Pengawasan Pembangunan Berbasis Masyarakat dari Kota Gorontalo, berintikan upaya pelibatan masyarakat (public involvement) dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan, di seluruh rangkaian dan tahapannya (dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan). Melalui kedua instrumen regulasi tersebut, keterlibatan masyarakat itu diberi standar dan prosedur keteraturannya, dan fungsi pengawasan masyarakat maupun pengawasan fungsional lembaga pemerintah atas keberhasilan pembangunan itu bisa lebih terjamin efektifitasnya. Pertama, dalam Ranperda Perencanaan, telah dirumuskan secara ringkas metode pembuatan perencanaan pembangunan berbasis masyarakat, dengan cara membuka forum lokakarya berjenjang (tingkat kelurahan disebut Musbang, tingkat kecamatan disebut UDKP dan tingkat Kota disebut Rakorbang), di mana berbagai agenda kerja (agenda keswadayaan, agenda kemitraan dan agenda pemerintah) disepakati bersama peserta forum. Dalam proses penyusunan agenda tersebut, prinsip partispatif, transparansi dan akuntabilitas; pendekatan dialogis, komunikatif dan persuasif; dan berbagai kaidah lainnya juga menjadi bagian utuh dari rangkaian kerja pembangunan tersebut. Kedua, untuk mengecek dan menjaga konsistensi pelaksanaan pembangunan, Ranperda Pengawasan mengatur sejumlah bentuk pengawasan dari berbagai pihak, yakni pengawasan fungsional (oleh lembaga pemerintah, seperti Walikota dan BPD), pengawasan legislatif (oleh DPRD Kota) dan pengawasan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan metode pengawasan yang dikembangkan melalui cara-cara pemeriksaan berkala, pengujian, pengusutan dan penilaian atas proses pembangunan oleh Pemeirntah; melalui forum rapat kerja dan rapat dengar pendapat oleh DPRD; dan melalui penyampaian saran dan informasi oleh unsur masyarakat setempat (utamanya LSM dan Kampus lokal). * * * Sejalan dengan prinsip otonomi daerah, dorongan bagi pemberdayaan masyarakat, penumbuhan kreativitas dan peningkatan partisipasi (lihat Dasar Pemikiran UU No.22 Tahun 1999 dalam bagian Penjelasan) telah menjadi trend
6
pilihan strategi pembangunan lokal dewasa ini. Pentingnya kita menggunakan nomenklatur otonomi daerah dari pada desentralisasi, agar pergeseran peran pembangunan tidak hanya bergerak dari pusat kepada daerah tetapi juga dari negara (state) kepada masyarakat (society). Setelah desentralisasi, selanjutnya orang mesti bertanya tentang makna dari pergeseran peran pusat-daerah tersebut (yang sama-sama sebagai entitas state). Di sinilah konsep otonomi daerah mulai dipakai. Sejumlah anggota DPRD Kota Gorontalo nampaknya menyadari paradigma baru ini, dan menjadikan konsep pembangunan berbasis masyarakat sebagai usul inisiatif mereka. Sebuah upaya yang patut disambut (meski tidak berarti kita sepakat atas semuanya), baik karena refleksi komitmen mereka terhadap pembangunan masyarakat yang diwakilinya maupun atas tersusunnya usul inisiatif itu sendiri. 1. Ranperda tentang Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat Dalam Pasal 2 Perda ini diatur secara jelas bahwa, di tingkat perencanaan, terjemahan operasional pembangunan berbasis masyarakat adalah keterlibatan menyeluruh masyarakat dalam setiap bentuk agenda pembangunan Kota Gorontalo (ayat 1). Karena itu pula, standar prosedur operasi perencanaan harus memenuhi syarat-sarat pembangunan yang partisipatif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (ayat 2). Dengan demikian tujuan dari perda ini, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5, adalah memberikan dan menjamin hak keterlibatan masyarakat tersebut. Dari sana diharapkan banyak hal, terutama akuntabilitas publik dari setiap langkah kebijakan pemerintah di mana masyarakat mengetahui proses pengambilan keputusannya maupun alasan-alasan yang melatari suatu pilihan kebijakan; sedangkan bagi masyarakat itu sendiri, keterbiasaan mengambil peran dalam maslaha strategis semacam ini bisa melatih kemampuannya dalam mengajukan berbagai kepentingannya kepada pemerintah. Sebagaimana yang dilihat dalam berbagai pasal berikutnya, tampaknya proses keterlibatan masyarakat lokal ini memang diatur dan diselenggarakan secara terorganisir. Baik prinsip maupun prosedur yang ditetapkan itu bisa menciptakan kerteraturan tersendiri dalam proses keterlibatan, dan menjamin efektifitas dalam pembuatan perencanaanya. Dengan
demikian, hak dan kewajiban masyarakt maupun badan publik (pemerintah) dalam Pasal 5 – 8 mendapatkan saluran pelaksanaannya. Namun perlu dijaga, prosedur yang terkesan formal tersebut (seperti lokakarya, rapat koordinasi pembangunan, dll) bukan tidak mungkin malah sulit merangsang keterlibatan masif dari masyarakat, karena kesulitan akses, pengetahuan, atau pun halangan teknis lainnya. Bahkan yang lebih prinsipil, pengorganisasian semacam ini bisa mengerucut kepada elitisme oligharkis kelompok-kelompok tertentu di daerah karena pada akhirnya keterlibatan partisipatif itu ber ubah menjadi keterlibatan representatif dalam bentuk organ-organ masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah. 2. Ranperda tentang Pengawasan Pembangunan Berbasis Masyarakat Ranperda ini membuka sejumlah saluran bagi pengawasan proses pelaksanaan dan penilaian atas capaiannya kemudian. Pertama, adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga dan unit pemerintahan yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian (pengawasan fungsional). Secara kelembagaan, pengawasan ini merupakan kewenangan dari Wali kota (dan lembaga dan unit yang didelegasikan) terhadap kinerja dari seluruh aparatur pemerintah kota. Dalam hal pemeriksaan, pengawasan itu dijalankan secara berkala, secara insidentil atau pun pemeriksaan yang terpadu. Dalam hal pengujian, pengawasan itu dilakukan atas laporan berkala dan insidentil dari setiap satuan kerja pemerintahan. Dalam hal pengusutan, pengawasan atas kebenaran laporan mengenai indikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan dalam hal penilaian, berlangsung pengawasan atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program, dan segala yang berkaitan dengannya. Kedua, pengawasan yang dilakukan secara kelembagaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap keseluruhan kinerja pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang dan hak lembaga tersebut (pengawasan legislatif ). Dikatakan secara kelembagaan, karena pengawasan itu dilakukan oleh fraksi, komisi dan berbagai alat kelengkapan lain yang idbentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD. Proses pengawasan legislatif ini dilakukan melalui permintaan laporan dan keterangan dari pihak-pihak terkait, penyidikan dan pemeriksaan di tempat-tempat pekerjaan, pengecekan kebenaran informasi yang diberikan kelompok-kelompok masyarakat,
pemanggilan para pejabat pemerintahan untuk mendapatkan keterangan tentang suatu perkara, atau pun pemberian saran dan umpan balik kepada lembaga/pejabat tertentu untk kepentingan koreksi kerja selanjutnya. Sedangkan bentuk pengawasannya berupa pemandangan umum fraksi (dalam rapat paripurna DPRD) atas suatu isu, rapat pembahasan (dalam sidang komisi atau kepanitian khusus), rapat dengar pendapat dengan pemerintah daerah dan kelompok masyarakat, atau pun dengan melakukan kunjungan kerja lapangan. Ketiga, pengawasan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok masyarakat untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana kerja dan aturan legal yang berlaku (pengawasan masyarakat). Pengawasan ini adalah bentuk dari keberdayaan masyarakat di depan negara (civil society) dan sekaligus sumbangan keterlibatan bagi pembentukan tata pemerintahan yang fungsional dan bersih di daerah (good governace dan clean government). Bentuk-bentuk pengawasan partikulir semacam ini biasanya berupa pemberian infomasi, data maupun aspirasi mereka agar pemerintah mampu memperbaiki kinerja (good governance) dan kepatutan dirinya (clean government) sehingga rencana-rencana strategis pembangunan, penegakan hukum dan etika pemerintahan bisa terwujud di tingkat lokal. Merupakan bagian yang penting dalam rangkaian pengawasan ini adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah dan ketersediaan mekanisme komunikasi dan koordinasi antara masyarakat dan pemerintah daerah. * * * Satu terobosan strategi pembangunan telah diambil oleh para pengusul inisiatif. Tidak sekedar sebagai wacana dan rencana pembangunan, tetapi telah berupa sebuah aturan legal—yang kalau disahkan menjadi perda maka berlaku otoritatif dan wajib dijalankan oleh pemerintah daerah. Kedua perda ini mengatur hal-hal normatif, ideal dan makro sehingga perlu pengembangan lebih lanjut lagi dalam berbagai perda lainnya dan terjemahan lebih terinci dan parktis lagi dalam kebijakan delegatif pemerintah daerah (SK Kepala Daerah, Instruksi Kepala Daerah, SK Dinas Daerah, dll). Sebagai catatan akhir, sesuai dengan prosedur legal drafting, ranperda ini sebenarnya belum bisa disebut sebagai ranperda karena statusnya masih bersifat usul inisiatif, untuk selanjutnya perlu meminta persetujuan forum paripurna DPRD agar sah menjadi ranperda inisiatif Dewan, dan lalu bersama-sama pemerintah membahas dan menetapkannya sebagai perda. (Endi)
7
PEMERINGKATAN DAYA TARIK INVESTASI KABUPATEN / KOTA Studi Kasus di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia LATAR BELAKANG Undang-undang (UU) No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah disahkan pada pertengahan tahun 1999 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 2001, memberikan kewenangan yang begitu besar kepada daerah otonom yaitu Kabupaten dan Kota untuk mengatur urusan pemerintahan. Beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom menurut UU tersebut antara lain menyangkut bidang pertanian, perhubungan, perdagangan, industri, investasi, pendidikan, kehutanan dan lain-lain. Dengan kewenangan yang begitu besar, persoalan desentralisasi ekonomi selanjutnya bergeser menjadi pilihan beberapa strategi terobosan dan pendekatan pembangunan untuk pengembangan ekonomi lokal. Sampai dengan berakhirnya tahun 2001, tidak terlalu banyak daerah otonom yang telah secara konsisten merencanakan, memilih, dan menerapkan suatu strategi pembangunan ekonomi lokal. Bahkan, tidak jarang beberapa studi ilmiah dan laporan media masa menunjukkan fenomena yang cukup mengkhawatirkan terhadap arah perjalanan otonomi daerah. Kewenangan daerah baru diterjemahkan menjadi keleluasaan menetapkan beberapa peraturan daerah (perda) yang lebih banyak distortif bagi pengembangan ekonomi lokal. Fokus dari langkah dan kebijakan daerah masih seputar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), yang justru dapat berdampak inflatoir, jika tidak dikatakan justru menciptakan ketidakpastian baru yang sangat kopntraproduktif bagi aktivitas investasi dan ekonomi lain di daerah. Masih jarang ditemukan daerah yang menerapkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang dengan terlebih dahulu mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya, yaitu dengan membuat suatu kebijakan strategis untuk menarik masuk arus investasi. Sebagai salah satu upaya untuk menelaah persoalan rersebut, KPPOD melakukan suatu studi awal untuk melihat gambaran bagaimana kualitas kebijakan yang dibuat oleh daerahdaerah otonom dalam bentuk peraturan-peraturan daerah yang berkaitan dengan dunia usaha serta gambaran mengenai daya tarik investasi daerah-daerah tersebut. TUJUAN 1. 2. 3. 4.
Sebagai salah satu upaya untuk menelaah daya tarik investasi Kabupaten/Kota. Membuat pemeringkatan daya tarik investasi Kabupaten/Kota. Membantu daerah-daerah dalam melihat daya tariknya terhadap investasi ditinjau dari berbagai aspek. Memberikan rambu-rambu bagi daerah untuk tidak membuat peraturan daerah (pajak dan retribusi) yang semata-mata hanya untuk meningkatkan PAD yang justru akan merugikan perekonomian daerah. Sebagai suatu panduan bagi kalangan dunia usaha atau investor dalam membuat keputusan berinvestasi, dengan mencermati batasan indikator-indikator yang digunakan dalam pemeringkatan ini.
5.
CAKUPAN Studi pemeringkatan ini dilakukan terhadap daerah-daerah otonom yaitu kabupaten dan kota. Pemilihan daerah kabupaten dan kota sebagai basis daerah penelitian, dengan pertimbangan bahwa dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999, daerah Kabupaten/Kota mempunyai peranan strategis dalam pembangunan perekonomian lokal dan dituntut untuk lebih mandiri dalam hal pendanaan kegiatan pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat. Dengan berbagai keterbatasan dan pembatasan akhirnya studi ini hanya dilakukan di 90 daerah (68 Kabupaten, 22 Kota) dari 24 Propinsi di seluruh Indonesia.
DAERAH PEMERINGKATAN PAPUA 1,47%
BALI 5,88%
BANTEN 4,41%
GORONTALO 1,47% SUMATERAUTARA 5,88%
RIAU SUMATERABARAT 1,47% JAMBI 2,94% 2,94%
NUSATENGGARABARAT 1,47%
SUMATERASELATAN 5,88%
NUSATENGGARATIMUR 5,88%
BENGKULU 0,00%
SULAWESITANGGARA 1,47%
LAMPUNG 4,41%
SULAWESISELATAN 4,41% SULAWESITENGAH 5,88%
JAWABARAT 10,29% SULAWESIUTARA 1,47% JAWATENGAH 2,94%
KALIMANTANTIMUR 4,41% KALIMANTANSELATAN 2,94% KALIMANTANTENGAH 2,94%
8
JAWATIMUR 11,76% KALIMANTANBARAT 7,35%
METODOLOGI Untuk studi awal ini dibatasi dengan menggunakan 7 (tujuh) indikator utama sebagai parameternya, yang terbagi dalam 17 (tujuh belas) sub indikator. Pemilihan indikator-indikator, berdasarkan studi literatur dan masukan para ahli yang terdiri dari para pengusaha nasional dan pengamat ekonomi. Masukan para ahli tersebut dilakukan melalui lokakarya dan dilanjutkan dengan perumusan oleh beberapa ahli terbatas dalam suatu panel judgement. Ke-7 indikator dan 17 sub indikator ini diberi bobot oleh para panelis dalam panel judgment dan dianalisis dengan pendekatan metode AHP (The Analytic Hierarchy Proccess). Adapun cara perhitungan peringkat daya tarik daerah terhadap investasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak yang disebut dengan Expert Choice.
INDIKATOR & BOBOT 0,0459 0,0551
0,3255 KEAMANAN
0,0961
POTENSI EKONOMI
0,1262
SUMBER DAYA MANUSIA BUDAYA DAERAH INFRASTRUKTUR PERATURAN DAERAH
0,1341
KEUANGAN DAERAH
0,2173
SUB INDIKATOR & BOBOT Kepastian Hukum
0,006
Gangguan Keamanan
0,008
0,035
PDRB Perkapita PDRB Sektor Primer
Ketersediaan SDM
0,109
0,035
0,024
PDRB Sektor Sekunder
0,005
0,014
0,217
0,072
Kualitas SDM Budaya Masyarakat
0,042
Budaya Birokrasi Akses Infrastruktur Kualitas Infrastruktur Perda Produksi Perda Distribusi Perda lainnya Rasio Pajak Daerah / Retribusi Daerah
0,084 0,023 0,034
Rasio Ang. Pembang / Anggaran Rutin
0,101
0,056
0,138
Rasio PAD / APBD
DATA PENELITIAN Data-data yang digunakan untuk pemeringkatan ini terdiri dari : 1. Data Primer : sebagai basis analisis untuk melihat faktor keamanan, kualitas dan akses terhadap infrastruktur, serta budaya daerah. Datadata tersebut merupakan data kualitatif yaitu persepsi tentang keadaan kemanan daerah, kondisi infrastruktur daerah, serta nilai budaya masyarakat dan birokrasi daerah, yang diperoleh melalui mekanisme panel judgement, yang melibatkan beberapa informan / expert di bidangnya masing-masing. Para informan terdiri dari kalangan pengusaha di bidang perkebunan, perikanan, manufaktur, dan jasa; kalangan pers; serta beberapa pengamat ekonomi. Sebelum diolah data-data yang diperoleh di cross cek dengan data-data sekunder (berita di media masa, dan informasi-informasi yang dihimpun dari masyarakat di daerah). 2. Data sekunder : berupa data-data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa data statistik daerah digunakan sebagai basis analisa untuk indikator-indikator yang tercakup dalam bidang : Potensi Ekonomi, Keuangan Daerah dan SDM. Data kualitatif yang digunakan sebagai basis analisa untuk indikator Peraturan Daerah, berupa hasil analisis terhadap peraturan daerah yang dilakukan dengan beberapa parameter/kriteria yang telah ditentukan.
9
PERINGKAT DAYA TARIK INVESTASI 90 DAERAH KABUPATEN DAN KOTA KAB. BADUNG (1) KAB. GIANYAR (2) KOTA DENPASAR (3) KOTA BEKASI (4) KAB. KAMPAR (5) KAB. TABANAN (6) KAB. MUSI RAWAS (7) KAB. INDRAMAYU (8) KAB. MUSI BANYUASIN (9) KAB. BOGOR (10) KAB. LUWU (11) KAB. BULELENG (12) KOTA MOJOKERTO (13) KOTA BOGOR (14) KAB. BEKASI (15) KOTA CIREBON (16) KAB. LUWU UTARA (17) KAB. PEKALONGAN (18) KAB. SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG (19)
HASIL PEMERINGKATAN
KAB. MOJOKERTO (20) KOTA PROBOLINGGO (21)
Berdasarkan Skor Total Bobot indikator keamanan (kepastian hukum dan gangguan keamanan) yang relatif besar dibandingkan bobot indikator lainnya mempertegas bahwa faktor keamanan merupakan faktor penentu utama dalam pertimbangan suatu keputusan investasi. Daerah-daerah konflik/bekas konflik, meskipun mempunyai nilai indikator sedang untuk indikator lainnya, terpuruk dalam urutan peringkat bawah karena jatuh di faktor keamanan (contoh Kabupaten Sambas pada posisi terbawah).
KAB. LOMBOK BARAT (22) KOTA BITUNG (23) KOTA PADANG (24) KAB. OGAN KOMERING ILIR (25) KOTA PEKALONGAN (26) KAB. CIREBON (27) KAB. MAGELANG (28) KAB. KARAWANG (29) KAB. TASIKMALAYA (30) KOTA PARE-PARE (31) KOTA PEKAN BARU (32) KAB. SUMEDANG (33) KAB. KEDIRI (34) KAB. PESISIR SELATAN (35) KAB. PAMEKASAN (36) KAB. MAGETAN (37) KAB. KOLAKA (38) KAB. BLITAR (39) KOTA KUPANG (40) KAB. TANA TORAJA (41) KAB. NGADA (42) KOTA TANGERANG (43) KAB. TANGERANG (44) KOTA SURABAYA (45) KAB. MUARA ENIM (46) KAB. TIMOR TENGAH SELATAN (47) KAB. TIMOR TENGAH UTARA (48) KAB. GORONTALO (49) KAB. KUTAI (50) KAB. MINAHASA (51) KAB. FLORES TIMUR (52) KAB. PASURUAN (53) KOTA MEDAN (55) KAB. DELI SERDANG (54) KAB. PASIR (56) KAB. BUOL (57) KOTA TEBING TINGGI (58) KAB. SERANG (59) KAB. SIMALUNGUN (60) KOTA SIBOLGA (61) KAB. DAIRI (62) KAB. BATANGHARI (63) KAB. FAKFAK (64) KOTA BALIKPAPAN (65) KAB. BANYUWANGI (66) KAB. BARITO UTARA (67) KOTA BINJAI (68) KOTA SAMARINDA (69) KAB. BANGKALAN (70) KAB. BERAU (71) KAB. ASAHAN (72) KOTA BANDAR LAMPUNG (73) KAB. KAPUAS (74) KAB. PONTIANAK (75) KOTA BENGKULU (76) KAB. BANGGAI (77) KAB. LAMPUNG BARAT (78)
Keamanan
KAB. LAMPUNG TIMUR (79) KAB. POSO (80) KAB. KAPUAS HULU (81)
Potensi Ekonomi
KAB. KERINCI (82) KAB. SANGGAU (83)
Peraturan Daerah
KAB. LAMPUNG SELATAN (84) KAB. DONGGALA (85) KAB. LEBAK (86)
SDM, Budaya Daerah, Infrastruktur, & Keuangan Daerah
KAB. KETAPANG (87) KAB. TANAH LAUT (88) KAB. HULU SUNGAI SELATAN (89) KAB. SAMBAS (90)
0
10
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Urutan pertama diduduki oleh Kabupaten Badung yang diperoleh dengan skor tinggi hampir di semua indikator, kecuali untuk indikator potensi ekonomi, yang ditempati Kab. Kutai di peringkat pertama. Untuk indikator ini Kab. Badung berada di peringkat 61. Hal ini karena jika dibandingkan daerah-daerah lain, seperti Kabupaten Kutai, Fak Fak, Kampar, Indramayu, Pasir, Barito Utara, Muara Enim, Luwu Utara, Musi Rawas, dan beberapa daerah lainnya yang kaya potensi ekonomi berbasis sumber daya alam asli maupun buatan (pertambangan, kehutanan, perikanan dan perkebunan); Kab. Badung jauh dibawah daerah-daerah tersebut. Untuk indikator SDM, Kab. Badung juga masih kalah bila dibandingkan dengan Kabupaten Gianyar, Kota Bekasi dan Kota Surabaya yang menempati peringkat pertama dengan skor sama; sementara Badung menempati urutan kedua dengan skor sama dengan Kota Denpasar, Kab. Kutai, Kab. Kampar, Kab. Buol Toli Toli, dan Kota Medan. Hal ini menunjukkan indikasi kuatnya kesiapan SDM Kabupaten Badung terhadap investasi di daerahnya, baik dari segi ketersediaan maupun ketrampilan SDM. Semakin besar rasio anggaran pembangunan dibandingkan anggaran rutin menunjukan bahwa dana yang dimiliki oleh daerah lebih banyak dibelanjakan untuk kegiatan pembangunan ekonomi produktif yaitu membangun infrastruktur daripada untuk kegiatan rutin pemerintahan, seperti gaji pegawai, biaya perjalanan dinas dan sebagainya. Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total APBD, dipakai untuk melihat kemampuan daerah dalam menggalang dana dari pendapatan asli daerah. Dengan asumsi bahwa semakin besar kemampuan daerah dalam menggalang dana dari APBD, maka kemungkinan untuk melakukan pungutan-pungutan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi kalangan usaha akan semakin kecil.
Peringkat Daya Tarik Investasi 10 Kabupaten/Kota Terbaik KAB. BADUNG (1) KAB. GIANYAR (2) KOTA DENPASAR (3) KOTA BEKASI (4) KAB. KAMPAR (5) KAB. TABANAN (6) KAB. MUSI RAWAS (7) KAB. INDRAMAYU (8) KAB. MUSI BANYUASIN (9) KAB. BOGOR (10)
0 Keamanan
5
10
Potensi Ekonomi
15 Perda
20
25
30
35
40
45
50
NilaiBudaya Daerah, Infrastruktur, & Keuangan Daerah SDM,
Pada peringkat 10 daerah teratas, terlihat masih didominasi oleh daerah-daerah di Jawa-Bali (7 daerah dari 10 terbaik). Hal ini memperkuat pendapat bahwa selama ini benar telah terjadi ketimpangan pembangunan antar daerah (Jawa-Bali dengan Luar Jawa-Bali). Peringkat 10 teratas juga terlihat didominasi oleh daerah-daerah yang berbasis pada sektor manufaktur (sekunder) dan perdagangan, dengan tingkat keamanan yang baik. Tingginya aktivitas ekonomi di daerah-derah yang berbasis sektor sekunder ini memperlihatkan bahwa daerah dan masyarakatnya telah terbiasa dengan kegiatan ekonomi moderen atau perekonomiannya telah berorientasi pada industrialisasi dan perdagangan. Dilihat dari infrastukturnya juga merupakan daerah-daerah yang telah mempunyai infrastruktur yang sudah baik untuk mendukung kegiatan usaha dan investasi. PDRB perkapitanya / pendapatan masyarakat yang tinggi, memberikan gambaran daya beli masyarakat untuk kegiatan konsumsi dan investasi, serta menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya telah cukup baik. Pada umumnya untuk daerah yang masyarakatnya mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik kondisi keamannya pun akan baik juga. Kondisi keamanan ini juga didukung lagi dengan budaya masyarakat yang terbuka dan mendukung masuknya investasi. Keterbukaan budaya daerah terhadap unsur dari luar daerah bisa tercermin dari sikap dan perilaku birokrasi dan masyarakat. Budaya birokrasi ini memperngaruhi juga terhadap komitmen pemerintah untuk pembangunan ekonomi produktif di daerah yaitu infrastruktur. Dari 90 daerah pemeringkatan hanya 5 daerah yang anggaran pembangunannya lebih besar daripada anggaran rutin, tiga diantaranya menduduki peringkat atas yaitu Kabupaten: Badung, Gianyar, dan Kampar. Budaya masyarakat dan birokarasi yang mendukung iklim investasi dan usaha ini didukung pula sumberdaya manusia yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas /ketersediaan.
11
Peringkat Daya Tarik Investasi 10 Kabupaten/Kota Terbawah KAB. KAPUAS HULU (81) KAB. KERINCI (82) KAB. SANGGAU (83) KAB. LAMPUNG SELATAN (84) KAB. DONGGALA (85) KAB. LEBAK (86) KAB. KETAPANG (87) KAB. TANAH LAUT (88) KAB. HULU SUNGAI SELATAN (89) KAB. SAMBAS (90) 0
Keamanan
2
Potensi Ekonomi
4
Perda
6
8
10
12
14
16
SDM, Budaya Daerah, Infrastruktur, & Keuangan Daerah
Peringkat 10 terbawah didominasi oleh daerah-daerah yang mempunyai kondisi kemanan yang tidak baik. Daerah-daerah konflik/bekas konflik, meskipun mempunyai nilai indikator sedang untuk indikator lainnya, terpuruk dalam urutan peringkat bawah karena faktor keamanan. Keterpurukan ini juga disebabkan oleh adanya hambatan budaya daerahnya, baik budaya masyarakat mapun dari pemerintah daerah sendiri yang berupa hambatan birokrasi. Seperti misalnya pemda yang kurang memberikan insentif terhadap kegiatan perekonomian, penyelesaian perizinan yang berbelit-belit, kepastian waktu penyelesaian perizinan, dan lain sebagainya. Komitmen pemerintah terhadap pembangunan infrastuktur yang kurang terlihat dari buruknya kondisi infrastruktur. Hal ini dipertegas lagi dengan indikator keuangan daerahnya dimana untuk sebagian besar daerah di peringkat bawah, struktur anggaran daerah dalam APBD lebih banyak dibelanjakan untuk anggaran rutin dibandingkan untuk anggaran pembangunan yang menunjukkan bahwa komitmen pemda untuk melakukan ekonomi produktif yaitu membangun infrastruktur masih kurang baik seperti akses transportasi ke daerah-daerah yang bersangkutan baik akses transportasi udara, darat, maupun sungai; dan kualitas infrastruktur jalan raya, Hal yang juga menarik adalah bahwa tidak semua daerah dengan potensi ekonomi yang tinggi mempunyai daya tarik yang baik terhadap investasi. Terlihat dari daerah yang menempati peringkat 10 terbawah ini mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi. Artinya bahwa faktor keamanan masih merupakan pertimbangan yang lebih penting dibandingkan potensi ekonomi daerah.
12
PEMERINGKATAN BERDASARKAN INDIKATOR POTENSI EKONOMI KAB. KUTAI (50) KAB. FAKFAK (64) KAB. KAMPAR (5) KAB. INDRAMAYU (8) KAB. PASIR (56) KAB. MUARA ENIM (46) KAB. BARITO UTARA (67) KAB. MUSI RAWAS (7) KAB. LUWU UT ARA (17) KOT A BALIKPAPAN (65) KAB. PONT IANAK (75) KAB. MUSI BANY UASIN (9) KAB. ASAHAN (72) KAB. SANGGAU (83) KOT A BEKASI (4) KAB. BEKASI (15) KOT A TANGERANG (43) KAB. SERANG (59) KAB. BERAU (71) KAB. BOGOR (10) KAB. TANGERANG (44) KAB. PASURUAN (53) KAB. SIMALUNGUN (60) KAB. BAT ANGHARI
(63)
KAB. KOLAKA (38) KAB. GORONT ALO (49) KOTA SIBOLGA (61) KAB. SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG (19) KAB. OGAN KOMERING ILIR (25) KAB. BUOL (57) KAB. KAPUAS (74) KAB. LAMPUNG BARAT (78) KAB. POSO (80) KAB. KAPUAS HULU (81) KAB. DELI SERDANG (54) KOTA CIREBON (16) KOTA SURABAY A (45) KOTA SAMARINDA (69) KAB. PESISIR SELATAN (35) KOT A BANDAR LAMPUNG (73) KAB. LAMPUNG SELATAN (84) KAB. KETAPANG (87) KAB. TANAH LAUT (88) KAB. PEKALONGAN (18) KAB. MOJOKERTO (20) KAB. KARAWANG (29) KAB. LUWU (11) KAB. LOMBOK BARAT (22) KAB. PAMEKASAN (36) KAB. TANA TORAJA (41) KAB. NGADA (42) KAB. TIMOR TENGAH SELATAN (47) KAB. TIMOR T ENGAH UT ARA (48) KAB. FLORES TIMUR (52) KAB. DAIRI (62) KAB. BANY UWANGI (66) KAB. BANGGAI (77) KAB. LAMPUNG TIMUR (79) KAB. KERINCI (82) KAB. DONGGALA (85) KAB. BADUNG (1) KAB. GIANYAR (2) KOTA MOJOKERTO (13) KOT A PROBOLINGGO (21) KOT A BIT UNG (23) KOTA PADANG (24)
PDRB Perkapita
KOTA MEDAN (55) KOT A TEBING TINGGI (58)
Sektor Primer (Pertanian Non Pangan, Pertambangan)
KOT A BOGOR (14) KOTA PEKALONGAN (26) KAB. MAGELANG (28)
Sektor Sekunder (Manufaktur)
KAB. SUMEDANG (33) KOT A BINJAI (68) KAB. SAMBAS (90) KOTA DENPASAR (3) KOTA KUPANG (40) KAB. TABANAN (6) KAB. BULELENG (12) KAB. CIREBON (27) KAB. TASIKMALAY A (30) KOTA PARE-PARE (31) KOTA PEKAN BARU (32) KAB. KEDIRI (34) KAB. MAGETAN (37) KAB. BLIT AR (39) KAB. MINAHASA (51) KAB. BANGKALAN (70) KOTA BENGKULU (76) KAB. LEBAK
(86)
KAB. HULU SUNGAI SELATAN (89)
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
13
Dalam pertimbangan melakukan investasi, potensi ekonomi tidak selalu menjadi pertimbangan, khususnya untuk investasi pada sektor-sektor yang memiliki mobilitas yang tinggi seperti perdagangan, dan manufaktur. Untuk investasi di sektor seperti ini maka pertimbangan keamanan menjadi lebih penting dibandingkan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Terbukti dari dari hasil pemeringkatan berdasarkan indikator potensi ekonomi, yaitu sektor primer dan sekunder serta pendapatan masyarakat, ternyata tidak menunjukkan hubungan yang cukup kuat antara tingggi rendahnya potensi ekonomi dengan daya tarik nya terhadap investasi. Daerah-daerah yang mempunyai potensi ekonomi tinggi tidak selalu menempati peringkat atas dalam pemeringkatan secara keseluruhan seperti Kabupaten Fak Fak, Muara Enim, Kutai dan lain-lain. Sebaliknya untuk daerah-daerah yang mempunyai potensi ekonomi sedang dapat menempati peringkat atas dan menengah, seperti Kabupaten Badung, Tabanan, Kota Denpasar dan lain-lain. Lain halnya untuk investasi di sektor-sektor yang mobilitasnya rendah atau bahkan tetap seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan dan sebagainya, maka pertimbangan faktor potensi ekonomi untuk sektor ini menjadi sangat berpengaruh terhadap daya tarik terhadap investasi.
Peringkat Daya Tarik Investasi dari 8 Kabupaten/Kota Berbasis Pertambangan KAB. KAMPAR (5) KAB. MUSI RAWAS (7) KAB. INDRAMAYU (8) KAB. LUWU UTARA (17) KAB. MUARA ENIM (46) KAB. KUTAI (50) KAB. PASIR (56) KAB. FAKFAK (64) 0
5
10
Keamanan
15
20
Nilai
Potensi Ekonomi
25
30
Perda
35
40
45
Lainnya
PERATURAN DAERAH Indikator perda menilai perda tentang pajak dan retribusi daerah dari berbagai macam jenis perda yang mengatur tentang: perijinan usaha, tenaga kerja, perdagangan, pasar, penggunaan jalan, pengelolaan hasil hutan, perikanan, pertambangan, pasar, reklame, dll. Hasil urutan peringkat ditentukan dari tingkat kondusifitas perda terhadap dunia usaha menyangkut beberapa kriteria diantaranya mengenai : ketentuan arus barang dari satu daerah ke daerah lain, pelayanan yang didapat dari kewajiban pembayaran pungutan, kewajaran tarif, kesamaan perlakuan terhadap pelaku usaha, kepastian hukum, harmoni perda dengan peraturan hukum lainnya, dll. Dalam kategori indikator perda ini, diterapkan suatu tolok ukur yang relatif ‘lunak’, misalnya pelanggaran terhadap kriteria kepastian waktu yang diperlukan untuk suatu perijinan masih dikategorikan sebagai perda yang ‘dapat diterima’, walaupun disadari bahwa kepastian tersebut sangat diperlukan oleh para pelaku usaha. Selain karena mencoba untuk memahami ‘tingkat pelayanan’ yang baru dapat diberikan oleh birokrasi kita, faktor lain yang mendasari ‘lunaknya’ kriteria penilaian tersebut adalah diharapkannya kepastian waktu tersebut akan dapat tercermin di tingkat peraturan dibawah perda seperti SK Bupati/Walikota atau SK Instansi. Posisi peringkat atas ditempati daerah-daerah yang memiliki perda yang tidak mempunyai pelanggaran terhadap beberapa hal mendasar yang ditetapkan. Pelanggaran yang ada umumnya bersifat teknis penyusunan suatu perda, serta beberapa diantaranya pelanggaran terhadap standar pelayanan yang belum jelas dapat diidentifikasikan seperti mengenai standar waktu yang diperlukan untuk suatu perijinan. Pada umumnya peringkat bawah untuk kategori ini dikarenakan beberapa pelanggaran perda terhadap hal hal mendasar seperti hambatan tarif/non tarif perdagangan, pungutan berganda, tidak ada timbal balik jasa terhadap subyek retribusi, bertentangan dengan substansi perundangan, dll. Secara umum terdapat beberapa daerah yang membuat perda yang melanggar beberapa hal mendasar, misalnya Kab. Asahan yang menerapkan perda sumbangan pihak ketiga yang melanggar prinsip dasar suatu peraturan dan sifat suatu ‘retribusi’; namun masih berada pada urutan menengah (peringkat 16) dari 40 urutan peringkat yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan untuk kategori perda lainnya yang dianalisa, relatif dapat diterima karena tidak melanggar beberapa hal mendasar tersebut di atas.
14
JENIS PELANGGARAN PERDA Hambatan Non Tarif 0,65% Hambatan Tarif 1,72% Syarat Teknis UU 34/2000 9,27%
Monopoli 1,08%
Membahayakan LH 0,43% Pungutan Ganda 4,74%
Kewenangan Pusat 0,86% Dilaksanakan Sebelum Perda 0,43% Bukan Pajak/Retrib 1,51% Cakupan Obyek Punguta 7,33%
Konsideran Yuridis Formal 10,13% Potensi Penyalahgunaan 1,51% Syarat Teknis Perundangan 0,86%
Kejelasan Obyek Pungutan 3,66% Timbal Balik Jasa 10,78%
Acuan SK 0,86%
Kewajaran Tarif 3,02%
Konsistensi Antar Pasal 5,60%
Biaya Tambahan Adminis 0,65% Kesetaraan Hukum 0,00%
Standar (Tarif, Prosedur,Waktu) 30,17% Diskriminasi 0,86%
Substansi Perundangan 3,88%
REKOMENDASI UMUM 1. Posisi dalam pemeringkatan yang belum memenuhi harapan daerah yang bersangkutan diharapkan memacu daerah tersebut dalam memperbaiki kinerja di sektor yang masih lemah. 2. Perlu dibentuk semacam resource center daerah yang terdiri dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu sebagai patner pemerintah daerah dalam pembangunan daerahnya. 3. Untuk pemeringkatan di masa mendatang, perlu dikembangkan lebih lanjut mengenai kelengkapan indikator indikator yang dipergunakan sebagai tolok ukur daya tarik investasi daerah. REKOMENDASI KHUSUS PERDA 1. Penyusunan perda harus melibatkan partisipasi masyarakat/stakeholdernya, selain untuk menyerap masukan dari berbagai pihak juga untuk mendapatkan dukungan dalam pelaksanaannya. 2. Berbagai perda mengenai pungutan daerah harus diletakkan dalam konteks untuk pembangunan ekonomi daerah maupun nasional yang berkelanjutan. Perda yang disusun untuk kepentingan ekonomi daerah jangka pendek hanya akan menurunkan daya saing daerah yang oleh karenanya harus dihindari. 3. Penyusunan perda agar tidak ditujukan untuk kepentingan periode kekuasaan jangka pendek 5 tahunan mengikuti siklus agenda politik, karena hanya akan merusakkan infrastruktur mekanisme ekonomi daerah maupun nasional. 4. Dalam penyusunan perda yang berhubungan dengan dunia usaha harus mengikuti pendekatan pasar yang berarti menyesuaikan tuntutan wajar bagi kondusifitas dunia usaha, dengan tanpa mengorbankan kepentingan daerah maupun nasional. Perda yang kondusif akan mengundang investasi dengan segala multiplier effectnya dalam pembangunan. 5. Dalam penyusunan perda, daerah daerah agar mengikuti beberapa prinsip dasar seperti: bebas hambatan tarif/non tarif perdagangan, menghindari pungutan ganda, bebas perlakuan diskriminasi pelaku usaha, kejelasan timbal balik pelayanan terhadap subyek pungutan, kepastian hukum, kejelasan dan kewajaran struktur dan besaran tarif pungutan, dan harmoni dengan aturan perundangan lainnya, terutama terhadap substansinya. 6. Muatan suatu perda harus dideskripsikan dengan jelas untuk menghindari ‘gray area’ yang dapat sangat multi intepretatif. 7. Isi perda harus memuat indikasi yang jelas sehingga bisa dijadikan tolok ukur dalam penjabarannya di SK Bupati/Walikota. Misalnya perda mengenai perijinan harus memuat unsur indikasi kepastian prosedur, waktu, maupun instansi yang berkaitan, sehingga bisa dijadikan tolok ukur yang jelas dalam penjabarannya di SK Bupati/Walikota untuk operasionalisasi perda tersebut. 8. Peran pengawasan represif pemerintah pusat terhadap perda agar dipahami sebagai mekanisme untuk menjamin keutuhan perekonomian nasional. Pertimbangan daerah untuk menerima atau menolak instruksi/panduan dari pemerintah pusat maupun masukan dari unsur masyarakat, jangan hanya berpedoman pada aspek yuridis formal yang mempunyai banyak keterbatasan, namun terutama dengan pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat banyak.
15
Appendix Pemeringkatan
PUNGUTAN BERGANDA : “KEBERAGAMAN OBYEK, PELANGGARAN KEWENANGAN”
P
ungutan oleh negara baik itu pajak dan retribusi maupun pungutan lain, mengadung asas ekonomis yaitu menghendaki supaya penarikan pungutan oleh negara itu jangan mengganggu kehidupan ekonomi rakyat atau wajib pungut. Dengan kata lain, pungutan oleh negara jangan mengakibatkan rakyat melarat dan perusahaan menjadi pailit atau bangkrut. Dalam hal ini harus diperhitungkan bahwa pungutan tersebut dikenakan harus atas keuntungan atau hasil pendapatan, bukan dari modal. Hasil analisis perda-perda yang dijadikan sub indikator pemeringkatan 90 daerah Kabupaten/kota di Indonesia, memperlihatkan bahwa setelah pelaksanaan otonomi daerah, banyak daerah yang mengeluarkan berbagai macam perda baru yang mengatur berbagai pungutan daerah terhadap hampir seluruh sendi kehidupan perekonomian masyarakat dan dunia usaha. Pungutan oleh daerah di satu sisi merupakan salah satu bentuk kontribusi masyarakat untuk membantu negara dalam membangun perekonomian di daerah. Tetapi di sisi lain, bagi masyarakat dan kalangan dunia usaha merupakan suatu beban. Tidak terlalu menjadi persoalan jika pungutan tersebut jelas dasar hukumnya dan jelas penghitungannya serta tidak saling tumpang tindih. Masalahannya dengan banyak macam obyek pungutan, sering kali mengakibatkan tumpang tindih pungutan atau terjadi pungutan berganda. Seperti yang terjadi di Kab. Bogor, dimana untuk Komoditi peternakan ayam unggas dikenakan pungutan ganda yaitu berdasarkan Perda No.4/2001 tentang Retribusi Pemeriksaan, Pemotongan dan Pemasaran Daging Ayam, dan Perda No.6/2001 tentang Retribusi Pemasaran dan Pemotongan Hewan Unggas. Pasal 69 UU No.22 Tahun 1999, menyatakan bahwa perda harus mengacu / merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 18 ayat (4). UU No.34 Tahun 2000, memberikan kewenangan kepada daerah Kabupaten dan Kota untuk memungut Pajak/Retribusi selain yang sudah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU tersebut, dengan catatan pungutan tersebut berupa pajak atau retribusi atas obyek yang menjadi kewenangannya sebagai daerah otonom. Beberapa daerah pemeringkatan, melakukan pelanggaran atas kewenangannya sehingga mengakibatkan pungutan
16
berganda dengan pajak pemerintah pusat. Contoh pelanggaran kewenangan yang mengakibatkan pungutan berganda adalah pungutan atas hasil perkebunan di daerah Kab. Sangau, Kab. Lampung Barat, dan Deli Serdang yang melakukan pungutan Pajak dan Retribusi atas produksi hasil perkebunan antara lain terhadap Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, Inti Sawit dan CPO, Getah Karet dan lain-lain. Produk perkebunan tersebut merupakan obyek Pajak Pertambahan Nilai dimana pemungutannya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Di banyak daerah diberlakukan pungutan baik pajak maupun retribusi atas komoditi yang keluar dan masuk daerah. Banyaknya pungutan yang saling tumpang tindih dan berganda, baik menyangkut kewenangan maupun obyek pungut, mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang memberatkan dunia usaha. Selain itu juga dengan adanya beberapa pihak yang mengklaim sebagai pihak yang berwenang melakukan pungutan, mengakibatkan ketidakpastian dalam berusaha yang membingungkan kalangan dunia usaha. Banyaknya daerah yang melakukan praktek pungutan berganda, serta ketidakpastian dan kerancuan dalam pungutan di berbagai daerah telah menyalahi produk hukum yang lebih tinggi (UU, PP dan lain-lain), yang pada akhirnya akan membebani perekonomian daerah dan masyarakatnya. Sangat mungkin bila terus berlangsung akan mematikan sektor-sektor ekonomi produktif seperti perekonomian rakyat dan kalangan dunia usaha. Seharusnya daerah memerankan peran negara dengan menempuh politik pemungutan yang bijaksana dengan tidak mematahkan usaha dan menurunkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yaitu dengan jangan membuat kebijakan pungutan yang menghambat produksi usaha orang dan badan hukum. Pungutan oleh daerah seharusnya diarahkan dengan suatu dorongan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat tanpa merugikan kepentingan umum, sehingga dirasakan pungutan oleh negara tersebut sebagai pengaturan atau fungsi reguleren. Tanpa perekonomian rakyat yang baik tidak mungkin daerah akan memperoleh hasil pungutan yang memadai untuk pembiayaan pembangunan. (git)
Appendix Pemeringkatan
PERLAKUAN DISKRIMINATIF PADA PELAKU USAHA alah satu hal yang dapat menjamin berlakunya rejim pasar bebas dengan menutup atau mengurangi kesempatan berusaha pelaku yang dianut dalam kebijakan perekonomian Indonesia secara ekonomi lainnya secara tidak adil. utuh, adalah adanya perlakuan yang sama bagi para pelaku Dari segi harga yang harus dibayar oleh pengguna ekonomi. Secara global, Indonesia sudah mengikatkan diri pada akhir akan juga menkesepakatan internasional galami persaingan harga dalam wadah WTO yang yang tidak adil karena berpegang pada prinsip ini. ada pemain usaha yang Di tingkat regional, pasar diberi kebebasan dalam bebas juga menjadi kesekewajiban membayar pakatan AFTA yang berturetribusi (perdagangan juan menjadikan kawasan limbah padat). Penetapan ASEAN sebagai pasar yang harga oleh pemerintah lebih besar untuk berkomdan kewajiban penjualan petisi secara bebas diantara ikan hanya di TPI sebanggotanya dengan mengagai contoh di atas, mehilangkan sebaga macam nyebabkan tidak adanya hambatan tarif maupun alternatif bagi produsen non tarif. Dalam konteks (penangkap ikan) untuk ini, berbagai hal yang bisa mendapatkan harga pasar. mendistorsi pasar tentu bertentangan dengan prin- Tempat Pelelangan Ikan : Pemberian Proteksi Monopoli bagi Koperasi di Tempat Pele- Demikian juga dengan langan Ikan menyulitkan nelayan untuk memperoleh harga pasar yang layak. konsumen yang harus sip pasar bebas tersebut. membayar harga yang Berdasar beberapa hal di atas, perlakuan yang diskriminatif tidak bisa diperbandingkan dengan harga pasar karena tidak terhadap pelaku usaha tidak bisa diterima dalam pendekatan ada mekanisme pasar. pembangunan ekonomi Indonesia. Daerah otonom Kabupaten/ Perlakuan diskriminatif tersebut di atas mungkin saja didasari Kota sebagai bagian dari Indonesia dengan sendirinya terikat dan harus mengikuti ketentuan tersebut. Dalam kajian berbagai suatu pertimbangan lain yang bersifat non ekonomi. Misalnya Perda yang digunakan sebagai salah satu indikator pemering- mengenai perdagangan limbah padat tersebut yang mungkin katan ini, didapati beberapa Perda yang bertentangan dengan dimaksudkan untuk memberikan self financing lembaga lembaga prinsip di atas, dengan adanya praktek monopoli / diskriminasi itu, atau bisa jadi untuk meredam/mengakomodir tuntutan terhadap pelaku usaha yang membatasi pelaku usaha untuk politik setempat. Bagaimanapun perlu pertimbangan yang berkompetisi secara adil. Sebagai contoh Perda Kabupaten mendalam dengan tidak meninggalkan para pelaku ekonomi Karawang No.15/2001 tentang Pengendalian Perizinan dan setempat dalam penentuan kebijakan. Hal ini juga dimaksudkan Retribusi Limbah Padat, yang mengharuskan 50% penjualan agar meminimalisir kemungkinan bentuk lain kolusi yang sarat limbah padat diberikan kepada lembaga lembaga sosial ke- dengan kepentingan untuk mendapatkan dukungan politis dan masyarakatan, agama dan pemuda. Diskriminasi juga terjadi pendapatan rente ekonomi. dalam hal membebaskan lembaga lembaga itu dari retribusi Walaupun untuk kepentingan yang lebih luas, suatu peryang dikenakan kepada pemain swasta di komoditi tersebut. Contoh lain adalah Perda Kabupaten Cirebon No.53/2001 aturan dapat mengabaikan pertimbangan faktor ekonomi, mistentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan, yang memberikan alnya demi kestabilan keamanan, dll.; namun tetap diperlukan proteksi monopoli TPI (Tempat Pelelangan Ikan) hanya pada suatu mekanisme yang terbuka dalam mengambil kebijakan Koperasi dengan menutup akses swasta lainnya. Selain itu juga akhir. Selain untuk meminimalisir kemungkinan vested interest mewajibkan semua hasil penangkapan ikan harus dijual ke TPI tersebut di atas, juga untuk meminimalisir distorsi ekonomi tersebut dengan harga penjualan yang ditentukan pemerintah. yang dalam jangka panjang akan sangat merugikan masyarakat sendiri. Prinsip untuk tidak mencampur adukkan kebijakan Untuk barang yang berdasar cirinya masuk dalam domain ekonomi dengan skema kebijakan sosial harus selalu dipegang barang yang bebas diperdagangkan pihak swasta, perlakuan yang demi konsistensi kebijakan ekonomi secara makro. Diyakini tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama antar pelaku bahwa dengan menjalankan pilihan kebijakan ekonomi secara ekonomi jelas tidak bisa diterima. Diskriminasi perlakuan keg- utuh akan dapat menguji efektivitas kebijakan perdagangan iatan usaha tersebut hanya akan menguntungkan pihak tertentu bebas, bagi kesejahteraan masyarakat. (pap)
17
Appendix Pemeringkatan
STANDAR PELAYANAN PERDA: EFISIENSI DAN KEPASTIANNYA
K
ebijakan otonomi daerah pada masa reformasi ini mestinya menjadi suatu tanda mulai bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dominasi peran negara dan aparatur pemerintahnya mesti digeser dari peran pembangunan (developmentalism state) dengan segala varian konsekuensinya, menjadi penyedia jasa (service provider) yang memungkinkan masyarakat dan dunia usaha di daerah terfasilitasi secara maksimal dalam mengembangkan kegiatannya. Atau dalam teori pemerintahan umum, pergeseran itu menggantikan nomenklatur dan sistem k e r j a g ov e r n m e n t menjadi governance, di mana terpola persamaan hubungan antara pemerintah dan warga masyarakat yang dilayani dan terbentuk proses pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang luas dalam berbagai bidang pembangunan. Berbagai peraturan daerah yang menjadi salah satu uji-kasus dari asumsi pokok tersebut, sejauh yang masuk kategori sub indikator penelitian ini, memperlihatkan minimalnya tingkat konsistensi penggunaannya. Pertama, sebagian perda yang mengatur tentang pungutan retribusi, misalnya, sering tidak menggambarkan secara jelas menyangkut kontraprestasi (jasa/fasilitas/perizinan) yang akan menjadi kompensasi bagi subyek retribusi nantinya. Hal ini jelas melanggar filosofi umum retribusi, dan merupakan beban kerugian bagi masyarakat karena harus menanggung pungutan yang tidak disertai kejelasan timbal baliknya. Kedua, unsur esensial lain dalam pelayanan sebuah perda adalah kepastian waktu, kebakuan prosedur dan kejelasan instansi penanggungjawab atas suatu urusan perizinan dan pelayanan jasa lainnya. Rendahnya tingkat kepastian dalam soal waktu, misalnya, terlihat secara jelas dalam perda yang mengurus perizinan usaha, perizinan gangguan, uji kendaraan bermotor, dsb. Sedangkan ketidakjelasan prosedur dan instansi penanggungjawab atas urusan pelayanan menyebabkan terhambatnya kelancaran pengurusan izin (seperti pembukaan usaha, izin distribusi komoditas, dll.) dan bisa membuka kemungkinan terjadinya praktik-praktik ilegal. Ketiga, pelayanan yang mesti disediakan dalam pasal-pasal pengaturan sebuah perda juga menyangkut kelengkapan yuridis formal sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4 dan 24 UU No. 34/2000. Terutama untuk perda retribusi, komponen yang sering diabaikan justru menyangkut hal-hal mendasar seperti obyek retribusi, prinsip pungutan dan ukuran tingkat penggunaan
18
jasa. Kelemahan demikian menyebabkan sulitnya masyarakat memastikan kejelasan besaran pungutan dan ketepatan penjabaran obyek tersebut ke dalam pasal-pasal pengaturan berikutnya. Keempat, menyangkut penetapan jumlah pungutan. Selain ketidakjelasan tadi, hal lain yang perlu ditunjukan secara tersendiri adalah jumlah pungutan yang terkadang tidak mencerminkan kalkulasi rasional menyangkut biaya fasilitasi perkembangan usaha di daerah tapi malah memberatkan dan menghambat kelancaran usaha tersebut. Untuk jenis perda yang digolongkan sebagai perda perizinan tertentu, misalnya, penetapan b e s a r a n pungutan melampaui ketentuan pasal 18 ayat (3C) sebagai biaya pencegahan gangguan/ kerugian yang disebabkan oleh kehadiran obyek retribusi bersangkutan dan justru mengarah kepada pencarian keuntungan lebih (profit taking) Rendahnya jaminan pelayanan dalam kebijakan atau peraturan di daerah banyak disebabkan oleh masih kuatnya orientasi pembangunan dari pada orientasi pelayanan di kalangan pemda. Sebagai agen pembangunan mereka berupaya mengumpulkan dana sebanyak mungkin, dan abai memberikan perhatian (fasilitas pelayanan) kepada masyarakat / dunia usaha yang memungkinkan mereka berkesempatan luas mengembangkan aktivitasnya. Kecenderungan ini terlihat pada begitu banyaknya komponen pungutan (terutama retribusi) dan besarnya penetapan jumlah pungutan di setiap jenis pungutan tersebut. Sebab utama lain berasal dari pemerintah pusat. Sampai saat ini pusat tetap menjadi faktor negatif bagi keberhasilan otonomi daerah karena kelambanannya menerbitkan kerangka kebiijakan makro nasional dan menetapkan standar pelayanan minimal (SPM) yang mesti disediakan oleh pihak pemda. SPM itu, di tingkat kebijakan, terlihat pada sejauh mana perda yang dikeluarkan telah memberikan berbagai komponen pelayanan tersebut di atas. Kelambanan pusat ini membuat daerah seakan tidak punya panduan dalam menerbitkan lembaran daerahnya. (ndi)
Appendix Pemeringkatan
DISHARMONI PERDA dengan S.K. BUPATI/WALIKOTA
S
alah satu ukuran layak tidaknya suatu kebijakan publik adalah harmoninya suatu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Dalam ketentuan hukum berlaku bahwa suatu kebijakan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan dalam hirarki hukum diatasnya sebagaimana adagium hukum yang menyatakan lex superior derogat lex inferiori. Karenanya jelas bahwa suatu Perda (Peraturan Daerah) layak dibatalkan atau direvisi bila bertentangan dengan suatu UU (Undang Undang). Logikanya adalah bahwa suatu UU dibuat untuk suatu pengaturan hal tertentu yang mempunyai spektrum kepentingan dan lingkup masyarakat yang lebih luas dibandingkan dengan suatu Perda. Di tingkat Kabupaten/Kota, Perda menjadi landasan hukum bagi Bupati/Walikota untuk menerbitkan (SK) Surat Keputusan yang merupakan operasionalisasi Perda. Sebagaimana prinsip hukum di atas, seharusnya SK Bupati/ Walikota yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan Perda yang menjadi acuannya, terlebih terhadap UU. Dalam kajian sejumlah sangat terbatas SK Bupati, didapati SK Bupati yang bertentangan dengan Perda acuannya. Misalnya SK Bupati Lampung Selatan No. 6/2000 sebagai pelaksanaan Perda No.5/1998 tentang Pajak Reklame. Secara substansial SK tersebut melampaui intepretasi Perdanya dengan mengkategorikan ‘merk” sebagai jenis reklame. Selain bertentangan dengan Perda, SK tersebut juga bertentangan dengan UU tentang pangan dan UU perlindungan konsumen. Dari penelitian ini dapat diindikasikan beberapa hal, pertama, adanya rambu rambu yang kurang tegas (‘gray area’) dalam perda yang bersangkutan yang bisa dimultiintepretasikan. Perda memang bukan instrumen hukum yang mengatur teknis operasional sebagaimana yang sudah digariskan dalam pedoman penyusunannya. Namun hal itu bukan berarti membebaskannya dari keharusan adanya kejelasan peraturan, terlebih untuk hal hal mendasar, misalnya obyek pungutan. Kedua, adanya kelemahan SDM penyusun SK yang bisa terjadi karena kapasitas pemahaman substansi perundangan yang kurang memadai. Ketiga, kemungkinan adanya kesengajaan pemerintah dengan tujuan mendapatkan pemasukan yang sebesar besarnya bagi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Bila hal ini terjadi maka bisa diperkirakan berasal dari level
supervisi menengah jabatan pemerintahan daerah karena akan sangat kecil kemungkinannya diinisiasi oleh pegawai eselon bawah pemerintahan. Lantas patut dipertanyakan political will eksekutif dalam hal ini. Keempat, kemungkinan poin ketiga tersebut bisa saja terjadi karena kejaran target penerimaan APBD, sementara sumber sumber pendapatan lainnya sangat terbatas. Terdapat kemungkinan tidak realistisnya budget daerah dibandingkan dengan potensi daerah yang ada, atau kemungkinan kurangnya terobosan kreatif dalam mensiasati sumber sumber penerimaan daerah yang belum digali secara serius. Kelima, bila tidak terdapat unsur kesengajaan penyimpangan SK terhadap Perda, maka bisa dikatakan manajemen supervisi pemerintahan sangat lemah. Lolosnya SK bermasalah dengan otorisasi Bupati/Walikota menandakan kegagalan filtering di tingkatan supervisi yang berwenang. Secara teknis kegagalan filtering ini bisa saja karena tidak adanya tolok ukur teknis penyusunan SK, kewenangan lapis supervisi yang tidak tepat, dll. Dari segi manusia, bisa dikarenakan lemahnya kapasitas SDM supervisor, kepercayaan membuta atasan, dll. Dalam hal fungsi pengawasan, Keputusan Menteri Dalam Negeri No.41/2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah, mengatur bahwa kewenangan pengawasan represif terhadap SK Bupati/Walikota, selain masalah Sumbangan Pihak Ketiga dan Penghapusan/Perubahan Aset Daerah, ada pada Gubernur. Berdasar KepMen tersebut secara intern pemerintahan, Gubernur menjadi salah satu tumpuan bagi terselenggaranya pemerintahan yang menjamin kepastian hukum dalam konteks permasalahan ini. Secara politis, DPRD Kabupaten/Kota diharapkan aktif melaksanakan fungsi pengawasan jalannya pemerintahan oleh eksekutif. Banyaknya indikator ketidakjelasan rambu rambu Perda yang membuka peluang untuk disalahgunakan yang ditemukan dalam penelitian ini, setidaknya memberikan dua pekerjaan rumah dewan, pertama: mengawasi implementasi Perda; dan kedua: meningkatkan kapasitas dewan untuk tidak meloloskan Perda dengan ketentuan ketentuan yang tidak tegas; dengan asumsi tidak ada kolusi kepentingan eksekutif dan legislatif dalam penyusunan Perda dengan berbagai grey areanya.(pap)
19
Berita Jawa Pos tentang Hasil Pemeringkatan KPPOD
Hasil penelitian KPPOD mengenai pemeringkatan daya tarik investasi Kabupaten/Kota di 90 daerah sampel penelitian diberitakan oleh harian Djawa Pos tanggal 25 Januari 2001 berjudul “Perda Bikin Investor Lari”. Pemberitaan pertama cukup obyektif dengan menyajikan informasi yang walaupun tidak lengkap namun juga tidak distortif. Sayangnya pemberitaan susulan tanggal 28 Januari 2002 dengan judul: “Konsentrasi Penelitian Hanya ke Perda” terdapat kesalahan dalam beberapa hal prinsip. Pertama, Kabupaten Tulang Bawang bukan merupakan sampel daerah penelitian sehingga menyesatkan pembaca bila mengulas ranperda daerah tersebut untuk menyikapi hasil penelitian. Kedua, diberitakan bahwa konsentrasi penelitian lebih ke perda (bahkan untuk judul berita) adalah keliru karena perda hanya bagian sangat kecil bobotnya dalam pemeringkatan, bobot terbesar adalah faktor keamanan (gangguan keamanan dan kepastian hukum). Ketiga, KPPOD tidak pernah dihubungi oleh Jawa Pos mengenai hasil penelitian tersebut, begitu juga yang tercatat dalam daftar hadir konferensi pers KPPOD dimana dibagikan informasi yang cukup utuh mengenai pemeringkatan tersebut untuk menghindari distorsi informasi. Sebagai media besar, diharapkan Jawa Pos menyampaikan informasi yang benar sehingga tidak membingungkan masyarakat. Beberapa berita hasil pemeringkatan tersebut yang disajikan beberapa media masa cetak nasional & daerah, serta media elektronik lain yang menyajikan data akurat mungkin perlu menjadi bahan rujukan peningkatan kualitas jurnalistik Jawa Pos.
Referensi Hasil Penelitian KPPOD
KPPOD mungkin patut berbesar hati karena dalam suatu diskusi yang diadakan Yayasan Harkat Bangsa mengenai “Kaji Ulang Pembagian Peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Dunia Usaha dalam Periode Transisi Pemulihan Ekonomi Indonesia” tanggal 29 Januari 2002 di Jakarta; dalam salah satu bagian presentasinya, Ihsanuddin Usman dari “Forum Inovasi & Kepemerintahan Yang Baik PPS PSIA UI” ikut mensosialisasikan hasil pemeringkatan KPPOD terhadap daya tarik investasi di 90 Kabupaten/Kota. Dikatakannya bahwa dalam era otonomi daerah, masing masing daerah diharapkan benar benar melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik untuk perwujudan salah satu prinsip “good governance” yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kontroversi Seputar Revisi UU No.22/1999
Rencana Pemerintah untuk merevisi UU No. 22/1999 ditanggapi keras oleh banyak pihak. Berbagai kalangan yang menanggapi rencana tersebut menilai terlalu dini untuk merevisi UU. Mereka menduga rencana revisi itu adalah upaya pemerintah pusat untuk kembali pada sistem sentralisasi. Mendagri Hari Sabarno sendiri mengharapkan agar proses revisi yang tengah disosialisasikan itu tidak perlu diributkan karena perbedaan pendapat menurutnya adalah hal wajar. Seperti dikutip oleh Jawa Pos, Dirjen Otonomi Daerah yang juga Ketua Tim Revisi UU No. 22/1999 Sudarsono mengatakan UU Otonomi Daerah punya banyak kelemahan karena itu pihaknya melakukan kajian akademik yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.
Seputar Pemecatan Walikota Surabaya
Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno meminta pada Gubernur Jawa Timur untuk membentuk tim independen guna meneliti kasus pemberhentian Sunarto Sumoprawiro dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya. Langkah para wakil rakyat di Kota Surabaya untuk memberhentikan Wali Kota-nya tersebut akibat kinerja pemerintahan yang terganggu karena kepergian Sunarto ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Kondisi itu, diperparah oleh masalah sampah yang mengotori Ibu Kota Jawa Timur itu karena ditutupnya tempat pembuangan akhir di Keputih.
Eksekutif dan Legislatif Diduga Selewengkan Dana Rakyat
Penyimpangan dana APBD diduga telah terjadi di Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Biak Numfor. Di Sumatera Barat dugaan penyimpangan dana itu terjadi setelah kalangan DPRD setempat melalui Keputusan DPRD Sumbar No. 02/ SB/2002 tanggal 31 Januari 2002, yang menetapkan APBD Sumbar tahun 2002 berdasarkan kesepakatan plafon tanpa rincian mata anggaran. Kalangan akademisi setempat menduga bahwa keputusan itu sebagai upaya untuk membohongi rakyat. Keputusan tersebut menetapkan adanya uang premi asuransi bagi anggota dewan padahal ketetapan itu juga menganggarkan mata anggaran kesehatan. Di Kabupaten Biak Numfor, seperti diberitakan oleh Kompas, Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 13 Milyar telah disalahgunakan untuk membeli kendaraan dan fasilitas kantor bagi DPRD. Nilai barang yang dibeli tersebut terdapat selisih harga sebesar Rp 7 Milyar sebab barang-barang tersebut dibeli di Jakarta sementara stok barang tersebut ada di Biak.
20
*Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan
keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna
gradasi biru gelap.
*
Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.