KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI KOMARASCA (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) DAN APLIKASINYA PADA TANAMAN DAUN DEWA
Abdul Gani
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Pebruari 2007 Abdul Gani NRP. P062020271
ABSTRAK ABDUL GANI. Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa di bawah bimbingan ZAINAL ALIM MAS’UD, BIBIANA WIDIYATI LAY, SURJONO HADI SUTJAHJO, dan GUSTAN PARI. Sampah organik hingga saat ini masih menjadi permasalahan yang belum terpecahkan di sebahagian besar Kota di Indonesia. Sampah ini baru sebahagian kecil yang mampu diolah menjadi kompos dan sebahagian besarnya terutama sampah padat masih dibakar dengan incinerator, walaupun cara ini sudah dilarang di beberapa kota di dunia karena mencemari udara. Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknologi pengolahan sampah organik menjadi kompos, arang, arang aktif dan asap cair serta aplikasi produknya pada tanaman daun dewa. Sampah organik lunak dikonversi menjadi kompos dengan biodekomposer EM-4, Orgadec, Biodek atau kombinasinya. Sampah organik padat dikonversi menjadi arang dan asap cair dengan menggunakan reaktor pirolisis. Arang ditingkatkan mutunya dengan cara aktivasi menjadi arang aktif. Asap cair difraksinasi dan diuji aktivitas antifeedantnya terhadap larva Spodoptera litura. Selanjutnya, komarasca hasil konversi sampah tersebut diaplikasikan pada tanaman daun dewa. Hasil pengomposan sampah organik lunak dengan biodekomposer EM-4, campuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap cair atau campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair, selain mempercepat proses pengomposan juga dihasilkan kompos yang relatif mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004. Hasil pirolisis sampah organik padat pada suhu 350-510 oC diperoleh 22,36-41,12% arang dan 30,33-37,83% asap cair. Arang yang dihasilkan pada suhu 505 oC relatif mendekati persyaratan SNI-011682-1996, dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan kadar total fenol tertinggi. Kualitas arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik dengan uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit relatif mendekati persyaratan SNI-06-3730-1995, terutama dalam hal daya jerapnya terhadap iodin. Fraksi metanol dan air dari asap cair berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya terhadap larva S. litura melebihi 50%, yaitu secara berturut 80,65 dan 62,07% pada konsentrasinya 1% dan nilai Effective Inhibitor (EI50)-nya sama-sama 0,71%. Penggunaan komarasca berpengaruh sangat nyata baik terhadap pertambahan tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun terhadap bobot biomassa tanaman daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan campuran tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan antifeedant fraksi metanol dari asap cair sampah organik. Kata kunci: kompos, arang aktif, asap cair, sampah organik
ABSTRACT ABDUL GANI. Conversion of Organic Waste into Komarasca (Compost-Active Charcoal-Liquid Smoke) and Its Application on Gynura pseudochina (Lour) DC. Under supervision of ZAINAL ALIM MAS’UD, BIBIANA WIDIYATI LAY, SURJONO HADI SUTJAHJO, and GUSTAN PARI. Untill recently, organic waste has been unsolvable problem in most cities in Indonesia. Only little amount of them has been processed into compost and the rest of them has been burnt by incinerator, even this way has been forbidden in some countries in the world because its smoke has polluted the air. The objectives of this research were to develop technology to process organic waste into compost, charcoal, active charcoal and liquid smoke, and to observe their effect on Gynura pseudochina (Lour) DC. The soft organic waste was converted into compost by biodecomposers of EM-4, Orgadec, Biodek or their combination. The solid organic waste was converted into charcoal and liquid smoke by a pyrolysis reactor. Then, the charcoal was activated to be active charcoal to improve its quality. The liquid smoke was fractionated and its antifeedant activity was tested on Spodoptera litura larvae. The komarasca was applied on G. pseudochina (Lour) DC. The composting of soft organic waste by biodecomposers EM-4, mixture of Orgadec – EM-4 – charcoal – liquid smoke or mixture of Orgadec – Biodek – charcoal – liquid smoke, beside accelerating composting process, they could also produce relatively resemble the requirement of SNI 19-7030-2004. Pyrolysis of solid organic waste at 350 – 510oC produced 22.36 – 41.12% charcoal and 30.33 – 37.83% liquid smoke. The pyrolysis process at 505oC produced charcoal which was relatively resemble the requirement of SNI 01-1682-1996, and the liquid smoke showed the highest total phenol. The active charcoal that was obtained by activation with water vapour in 800oC for 120 minutes had the relatively resemble the requirement of SNI 06-3730-1995, especially in its iodine adsorbance. Methanol and water fraction from liquid smoke were potential to be antifeedant because their activity on the larvae of S. litura were more than 50%, and at the concentration of 1% were 80.65% and 62.07%, respectively. Their Effective Inhibitor (EI50) value was 0.71%. The utilization of komarasca significantly increased steam height, leaves number and young plant as well as biomass weight of G. pseudochina (Lour) DC., especially observed at the utilization of soil - ash - compost mixtures added with active charcoal produced by activation with H2O steam and methanol fraction antifeedant from liquid smoke of organic waste. Keyword : compost, active charcoal, liquid smoke, organic waste
KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI KOMARASCA (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) DAN APLIKASINYA PADA TANAMAN DAUN DEWA
Abdul Gani
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Penelitian
: Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa
Nama
: Abdul Gani
NIM
: P062020271
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA. Ketua
Prof. Dr. drh. Bibiana Widiyati Lay, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Anggota
Dr. Gustan Pari, M.Si., APU. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S.
Tanggal Ujian : 23 Pebruari 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1966 di Gampoeng Sukon Kemukiman Meemeuaneuk Kecamatan Grong-Grong Kabupaten Pidie Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan putra ke dua dari enam bersaudara dari Ayah bernama Haji bin Ibrahim dan Ibu bernama Hamdiah binti Cut Mad. Penulis menamatkan Pendidikan Dasar tahun 1979 di Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN) Grong-Grong; Pendidikan Menengah Tingkat Pertama tahun 1982 di SMP Negeri Blangkula Pidie, dan Pendidikan Menengah Tingkat Atas tahun 1985 di SMA Adidarma Banda Aceh. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi Mahasiswa Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan lulus menjadi Sarjana Pendidikan Kimia tahun 1990. Pada tahun 1992, penulis mendapat kepercayaan mengikuti Pendidikan Pascasarjana strata dua (S2) di Program Studi Kimia Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan meraih gelar Magister Sains (M.Si.) dalam bidang Kimia Organik tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2002 hingga sekarang, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pendidikan Pascasarjana strata tiga (S3) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1987-1990 penulis diangkat menjadi Asisten Dosen di Laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (LIPA) Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh. Sejak tahun 1991 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan jabatan dosen di Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh. Penulis menikah dengan Dra. Ramlah Zaini, M.Si. pada tahun 1992, dan hasilnya telah dikaruniai seorang putri (almarhumah, yang lahir dan meninggal pada saat proses kelahirannya tahun 1994), dan dua orang putra, yaitu Fakhri Ramadhan (lahir tahun 1995 di Kuala Simpang Aceh Timur), dan Fauzan Rabbani (lahir tahun 1997 di Banda Aceh).
xi
Selama mengikuti program pendidikan doktor (S3), penulis aktif mengikuti berbagai seminar maupun workshop berskala internasional, antara lain: Seminar Internasional tentang “Strengthening Nation’s Competitiveness throuhg Mutual Partneship Between University and Industry” tahun 2003, Seminar Internasional tentang “Sensor and Biosensor” tahun 2004, Workshop Internasional tentang “Bioinformatics” tahun 2005, dan pada tahun yang sama juga mengikuti Konferensi Internasional tentang “Visi Bangun Kembali Aceh Pasca Tsunami”. Selain itu penulis juga terdaftar sebagai anggota Himpunan Kimia Indonesia (HKI) cabang Aceh, sejak tahun 1992 s.d. sekarang, sebagai anggota Kelompok Peneliti Tumbuhan Obat Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, sejak tahun 1996 s.d. sekarang. Penulis juga terdaftar sebagai anggota Ikatan Keluaga Mahasiswa Pascasarjana (IKAMAPA) Aceh di Bogor, sejak tahun 2002 s.d. sekarang. Artikel yang ditulis selama mengikuti pendidikan program doktor (S3) antara lain 1) Pembuatan Arang dari Sampah Organik Padat dengan Reaktor Pirolisis yang sedang dalam proses penerbitan di Jurnal PURIFIKASI Volume 7 No.2 Edisi Desember 2006, Departemen Teknik Lingkungan ITS Surabaya, 2) Karakterisasi Kompos Hasil Dekomposisi Sampah Organik Perkotaan dengan Biodekomposer EM-4, Orgadec dan Biodek yang sedang dalam proses penerbitan di Jurnal ENVIRO Volume 8 No.2 Edisi September 2006, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNS Solo, dan 3) Karakterisasi Asap Cair Hasil Pirolisis Sampah Organik Padat yang sedang dalam proses penerbitan di Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 16 No.3 Edisi Maret 2007, Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA Institut Pertanian Bogor.
xii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berjudul “Konversi Sampah Organik Menjadi
Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa” yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2005 sampai Oktober 2006. Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh. Bibiana Widiyati Lay, M.Sc., Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., dan Dr. Gustan Pari, M.Si., APU. selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi kemajuan penulis dan lebih sempurnanya tulisan ini. 2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang selalu memacu, memberi semangat dan solusi bagi setiap masalah yang penulis hadapi serta meluangkan waktu hingga larut malam, agar penulis cepat selesai dalam studi ini dan segera kembali untuk membangun Aceh. 3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajaran administrasinya yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini. 4. Rektor dan Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala beserta staf administrasinya yang telah berkenan memberi izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar ini. 5. Pimpinan DIKTI dan penanggung jawab Program Beasiswa BPPS yang telah membiayai pelaksanaan tugas belajar ini. 6. Dr. Adi Santoso, M.Si., APU. dan Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, M.S. yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka. viii
7. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., Prof. Dr. drh. Bibiana Widiyati Lay, M.Sc., Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc., dan Dr. Ir. Rustikawati, M.Si. selaku penanggung jawab dan pengelola Dana Hibah Pascasarjana dari Direktur P2M DIKTI yang telah membantu sebahagian dana penelitian dan kelancaran penulis baik dalam penulisan disertasi maupun publikasinya. 8. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kabupaten Aceh Besar serta Pimpinan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias yang turut memberi dukungan dana bantuan pelaksanaan penelitian ini. 9. Pemerintah Jerman dan Pimpinan Institut Pertanian Bogor yang telah berusaha menggalang, mengelola dan mendistribusikan bantuan beasiswa secara transparan bagi mahasiswa IPB asal NAD yang mengalami musibah gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. 10. Dr. Gustan Pari, M.Si., APU selaku Ketua Kelti pada Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomassa Puslitbang Hasil Hutan Bogor beserta stafnya yang telah memberi izin pemakaian ruangan, penggunaan sarana/peralatan, membantu tenaga, pikiran, dan memberi suasana yang aman, nyaman serta dukungan lingkungan yang sangat kondusif sehingga penulis dapat bekerja optimal dalam pelaksanaan penelitian ini. 11. Saudari Heny yang selalu memotivasi dan telah memperkenalkan penulis dengan Dr. Adi Santoso, M.Si., APU. selaku pembimbingnya untuk membantu memecahkan persoalan rencana penelitian yang telah penulis rumuskan. Oleh karenanya, Bapak Adi telah meluangkan waktunya untuk tekun mendengarkan curahan pikiran penulis tentang rencana penelitian ini, dan akhirnya penulis dipertemukan dengan Dr. Gustan Pari, M.Si., APU sebagai salah seorang ahli peneliti yang mendalami bidang tersebut. 12. Staf Laboratorium Servis Seameo Biotrob Bogor yang telah membantu analisis kompos dan asap cair. 13. Staf Laboratorium Teknologi Mineral ITB Bandung yang telah membantu analisis bahan baku, arang dan arang aktif dengan XRD. 14. Staf Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FPMIPA UPI Bandung yang telah membantu analisis bahan baku, arang dan arang aktif dengan FTIR. 15. Staf Laboratorium Kuarter Puslit Geologi Bandung yang telah membantu analisis bahan baku, arang dan arang aktif dengan SEM. ix
16. Staf Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Pemda DKI Jakarta yang telah membantu analisis kimia asap cair dengan teknik GCMS. 17. Staf Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB yang telah membantu analisis fitokimia tanaman hasil panen. 18. Staf Laboratorium Biologi Tanah Departemen Tanah FAPERTA IPB yang telah membantu analisis total mikroba dan fungi dari media campuran sisa panen. 19. Ibu Alfa sebagai salah seorang tetangga yang sangat baik, telah membantu dan merelakan perkarangannya penulis gunakan untuk penelitian lapangan. 20. Teman-teman seperjuangan, terutama Tim Peneliti Sampah yang secara berkala bertemu, berdiskusi dan bertukar informasi serta literatur yang bermanfaat dan sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. 21. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, baik secara moril maupun materil. Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada Ayah dan Ibu yang telah mengasuh, membimbing, membiayai dan setiap saat mendoakan agar penulis diberi kemudahan dalam setiap langkah dan selalu mendapat ridha dari Allah S.W.T. Demikian juga halnya kepada Istri dan Anak-anakku tersayang yang selalu mendampingi, membantu dalam suka maupun duka dan mendoakan penulis sehingga selalu tabah, sabar dan diberi kekuatan terutama dalam menerima musibah gempa bumi dan tsunami yang telah meluluhlantakkan sebagian anggota keluarga dan harta benda penulis di Banda Aceh serta penulis diberi kemampuan dalam menjalani tugas belajar ini hingga sukses. Akhir kata, semoga semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat berdoa agar diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah S.W.T. dan dinilai sebagai amal shaleh. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan segala kerendahan hati menerima masukan, kritikan, dan saran agar tulisan ini dapat disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah terutama yang diberi kewenangan menangani sampah baik di tingkat kota hingga rukun tetangga, masyarakat, pengusaha yang berminat berinvestasi mengolah sampah, dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang membutuhkannya. Bogor, Pebruari 2007 Abdul Gani x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………....
xi
I. PENDAHULUAN.………………………………………………………….... 1.1 Latar Belakang..………………………………………………………… 1.2 Kerangka Pemikiran……………………………………………………. 1.3 Perumusan Masalah.…………………………………………………..... 1.4 Tujuan Penelitian..........……………………………………………….... 1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………………........ 1.6 Novelty..……………………………………………………………........
1 1 5 8 9 10 10
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………... 2.1 Sampah Organik..……….………………………………………………. 2.2 Kompos…..……………………………………………………………… 2.2.1 Karakteristik Kompos....................................................................... 2.2.2 Prinsip Pengomposan........................................................................ 2.2.3 Proses Pengomposan......................................................................... 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan........................... 2.2.5 Biodekomposer................................................................................. 2.3 Arang ........….… ………………………………………………………... 2.4 Arang Aktif…….………………. ……………………………………..... 2.4.1 Pembuatan Arang Aktif.................................................................... 2.4.2 Sifat-sifat Arang Aktif...................................................................... 2.4.3 Struktur Arang Aktif......................................................................... 2.4.4 Daya Jerap Arang Aktif.................................................................... 2.4.5 Kegunaan Arang Aktif..................................................................... 2.5 Asap Cair................................................................................................... 2.5.1 Komposisi Asap Cair........................................................................ 2.5.2 Kegunaan Asap Cair......................................................................... 2.6 Tanaman Daun Dewa................................................................................
11 11 13 13 14 15 17 18 19 20 21 25 26 27 27 31 32 33 34
III. METODE PENELITIAN….…..……………………………………………. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .………………………………………..... 3.2 Bahan dan Alat ………………………………………………………..... 3.2.1 Bahan................................................................................................ 3.2.2 Alat................................................................................................... 3.3 Prosedur Penelitian…………………………………………………........ 3.3.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos................................... 3.3.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair.............. 3.3.3 Pembuatan Arang Aktif....................................................................
37 37 38 38 39 42 42 45 49 xiii
3.3.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair................................................... 3.3.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa............................. 3.3.6 Bagan Alir Penelitian........................................................................ 3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data.................................................. 3.4.1 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Pembuatan Arang Aktif.. 3.4.2 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Aplikasi Komarasca.......
54 55 57 59 58 59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 4.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos............................................ 4.1.1 Karakteristik Bahan Baku................................................................. 4.1.2 Proses Pengomposan........................................................................ 4.1.3 Mutu Kompos................................................................................... 4.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair....................... 4.2.1 Karakteristik Bahan Baku................................................................. 4.2.2 Hasil Pirolisis.................................................................................... 4.2.3 Arang................................................................................................ 4.2.4 Asap Cair.......................................................................................... 4.3 Pembuatan Arang Aktif............................................................................. 4.3.1 Karakteristik Bahan Baku................................................................. 4.3.2 Identifikasi Struktur Arang Aktif..................................................... 4.3.3 Mutu Arang Aktif............................................................................. 4.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair............................................................ 4.4.1 Fraksinasi Asap Cair......................................................................... 4.4.2 Bioassay Asap Cair........................................................................... 4.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa...................................... 4.5.1 Pertumbuhan Tanaman Daun Dewa................................................. 4.5.2 Biomassa Tanaman Daun Dewa....................................................... 4.5.3 Kandungan Total Mikroba dan Fungi............................................... 4.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Daun Dewa ...................
61 61 61 63 71 76 76 76 77 85 92 92 92 117 130 130 130 135 136 141 143 143
V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 5.1 Kesimpulan................................................................................................ 5.2 Saran..........................................................................................................
146 146 147
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
148
LAMPIRAN..........................................................................................................
162
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku..…………………………….. 21 2. Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan karbon aktif secara pirolisis…………………………………………...............
22
3. Penggunaan arang aktif secara umum………………………………………....
28
4. Kandungan hara arang dan arang aktif beberapa bahan baku……………........
31
5. Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm) melalui pirolisis dalam larutan alkali (30% Na2CO3) dan non alkali...............
33
6. Kombinasi perlakuan pengomposan sampah organik pasar......………….......
43
7. Kombinasi perlakuan pembuatan arang aktif....................................................
50
8. Kadar air dan nisbah C/N sampah organik pasar................................................ 61 9. Rataan perubahan suhu kompos seminggu pertama pengomposan..................
64
10. Rataan perubahan suhu kompos selama minggu ke dua pengomposan..........
65
11. Rataan perubahan suhu kompos setelah minggu ke dua pengomposan..........
67
12. Karakteristik kompos sampah organik pasar pada hari ke-30 pengomposan.
72
13. Kadar unsur hara makro kompos pada hari ke-30 pengomposan...................
73
14. Kadar unsur hara mikro dan logam berat kompos sampah organik pasar......
74
15. Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor listrik.....................................
76
16. Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor drum......................................
76
17. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik................................
77
18. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor drum.................................
78
19. Data bilangan gelombang serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya.....................................................................................................
81
20. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya.................................................
83 xv
21. Diameter permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya................
84
22. Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik......
85
23. Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum.......
86
24. Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik.......................
87
25. Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum........................
87
26. Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik.......................
89
27. Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum........................
89
28. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi panas............
93
29. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi uap H2O.......
94
30. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...
96
31. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 1M......
97
32. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.
98
33. Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M....
100
34. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi panas..............................................................
101
35. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi uap H2O........................................................
103
36. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M.....................................................
104
37. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi KOH 1M........................................................
106
38. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M..................................................
107
xvi
39. Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La), antar lapisan serta jumlah (N), lapisan aromatik pada arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M.....................................................
109
40. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi panas.............................
110
41. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi uap H2O........................
111
42. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M....................
113
43. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 1M........................
114
44. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M..................
115
45. Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M.....................
116
46. Rendemen arang aktif pada perbagai perlakuan aktivasi................................
117
47. Karakteristik arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik pasar..............
120
48. Residu hasil fraksinasi asap cair hasil pirolisis sampah organik.....................
130
49. Persentase aktivitas antifeedant asap cair dan fraksi-fraksinya.......................
131
50. Kandungan kimia fraksi metanol asap cair ....................................................
132
51. Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama............................................................
137
52. Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa setelah pemberian pengendali hama..............................................................
139
53. Biomassa tanaman daun dewa pada perlakuan komarasca............................
141
54. Kandungan total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen Tanaman daun dewa......................................................................................
144
55. Kandungan senyawa metabolit sekunder tanaman daun dewa......................
145
xvii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alur pikir penelitian.......………………………………………….......
7
2. Mekanisme pengomposan secara umum........................................................
15
3. Reaksi biokimiawi pada pengomposan anaerobik.........................................
16
4. Reaksi biokimiawi pada pengomposan aerobik.............................................
16
5. Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif….......
25
6. Orientasi pelat-pelat karbon heksagonal pada (a) struktur arang aktif dan (b) struktur grafit….…..…………………………………………................
26
7. Reaksi hidrogenasi orto-nitroklorobenzena yang berlangsung dengan bantuan katalis arang aktif dan platina…………………………………......
29
8. Tempat pengomposan..........................………..............................................
39
9. Reaktor pirolisis (a) Reaktor listrik, (b) Reaktor drum............…………......
40
10. Retort pembuatan arang aktif........................................................................
41
11. Bagan alir penelitian.....................................................................................
58
12. Grafik perubahan pH kompos seminggu pertama pengomposan..................
68
13. Grafik perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 pengomposan...........
69
14. Histaogram persentase penyusutan bobot bahan baku kompos....................
70
15. Histogram daya jerap arang terhadap larutan iodin.......................................
79
16. Histogram daya jerap arang terhadap uap benzena.......................................
80
17. Spektrum serapan IR bahan baku dan arang hasil pirolisisnya......................
81
18. Difraktogram bahan baku dan arang hasil pirolisisnya..................................
83
19. Topografi permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya.............
84
20. Kromatogram asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar........................
90
21. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi dengan panas........................
92 xviii
22. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi uap H2O...............................
94
23. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...........................
95
24. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..............................
97
25. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M........................
98
26. Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M...........................
99
27. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi panas................................................
101
28. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi uap H2O...........................................
102
29. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M.......................................
104
30. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..........................................
105
31. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.....................................
107
32. Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M........................................
108
33. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas....................................
110
34. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O...............................
111
35. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M...........................
112
36. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M..............................
113
37. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M.........................
114
38. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M............................
115
39. Kromatogram fraksi metanol asap cair hasil pirolisis sampah organik..........
132
40. Struktur senyawa gamma-butirolakton............................................................
134
41. Daur karbon di alam.........................................................................................
135
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sidik Ragam Aktivator, Waktu, Suhu dan Interaksinya pada Pembuatan Arang Aktif......................................................................................................
163
2. Uji BNT Cara Duncan Rendemen Arang Aktif................................................
165
3. Uji BNT Cara Duncan Kadar Air Arang Aktif................................................
167
4. Uji BNT Cara Duncan Kadar Zat Terbang Arang Aktif.................................
169
5. Uji BNT Cara Duncan Kadar Abu Arang Aktif...............................................
171
6. Uji BNT Cara Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Aktif............................
173
7. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Iodin Arang Aktif....................................
175
8. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Benzena Arang Aktif...............................
177
9. Hasil Analisis Probit Asap Cair dan Fraksi-fraksinya.....................................
178
10. Kandungan Kimia Asap Cair yang Teridentifikasi dengan teknik GCMS....
183
11. Sidik Ragam Media, Pestisida dan Interaksinya pada Tanaman Daun Dewa.
185
12. Uji BNT Cara Duncan Tinggi Batang Tanaman Daun Dewa.......................
186
13. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Daun Tanaman Daun Dewa..........................
187
14. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Anakan Tanaman Daun Dewa.......................
188
15. Uji BNT Cara Duncan Bobot Basah Tanaman Daun Dewa...........................
189
16. Uji BNT Cara Duncan Bobot Kering Tanaman Daun Dewa..........................
190
17. Baku Mutu Kompos Sampah Domestik.........................................................
191
18. Baku Mutu Arang Aktif..................................................................................
192
19. Baku Mutu Arang Kayu..................................................................................
193
xx
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah sampah perkotaan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan, baik di Indonesia maupun di kota-kota lain di dunia, karena hampir semua kota menghadapi masalah persampahan. Meningkatnya aktivitas pembangunan kota, pertambahan penduduk, tingkat aktivitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat, menimbulkan terjadinya peningkatan jumlah (volume) timbunan sampah dari hari ke hari. Di pihak lain, sarana dan prasarana pemerintah yang terbatas akan menambah permasalahan sampah yang semakin luas dan kompleks. Menurut Wahyono (2004), sampah telah menjadi masalah besar di Indonesia. Hingga tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Pada tahun 1995 saja, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata sebanyak 0,8 kg per kapita per hari, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000. Maka pada tahun 2020, diperkirakan produk sampah mencapai 2,1 kg per kapita per hari. Jumlah timbunan sampah yang semakin lama semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk memerlukan penanganan yang terpadu. Penanganan sampah di Indonesia hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Hampir semua kota masih menerapkan pola konvensional dalam penanganan sampah, yaitu pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Di samping itu, ada juga yang sudah mengusahakan penanganan sebagian sampah secara pengomposan di tempat pembuangan akhir (TPA) dan sebagian lainnya dibakar dengan incinerator. Sistem penanganan tersebut ternyata bukan solusi yang tepat untuk menangani sampah yang kian hari volumenya terus meningkat. Hal ini disebabkan antara lain, 1) tingginya biaya angkut/transportasi dari sumber sampah ke lokasi pembuangan di TPA; 2) TPA akan cepat penuh dan kesulitan mencari lahan penggantinya di perkotaan; 3) TPA menyebabkan pencemaran lingkungan (air, udara, tanah) dan tempat berkembangbiaknya hama penyakit; dan 4) kebersihan dan keindahan di sekitar lingkungan TPA akan menjadi berkurang. Pengelolaan sampah yang dapat menjadi solusi terbaik saat ini adalah menerapkan sistem pengelolaan sampah secara terpadu berbasis “zero waste” dengan melibatkan masyarakat (BPPT 1999; Wibowo & Djajawinata 2003). Sistem ini
2 merupakan kombinasi pengolahan dan/atau penanganan dengan cara daur ulang, pengomposan, pengarangan, dan pembuangan produk akhir yang aman bagi lingkungan. Pendekatan ini merupakan salah satu upaya minimisasi sampah dengan menerapkan prinsip mengurangi (reduce), memanfaatkan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle), yang dimulai dari sumbernya (Setiawan 2001). Di Indonesia, sampah pada umumnya berupa sampah anorganik dan organik. Sampah anorganik antara lain logam-logam, dan kaca. Sampah ini umumnya tidak menjadi bahagian dari sampah pasar lagi, karena diambil oleh pemulung untuk dijual kepada lapak. Sedangkan sebagian besar sampah organik belum dimanfaatkan secara optimal atau dibiarkan begitu saja. Sampah organik terdiri atas bahan penyusun tumbuhan dan hewan, baik yang diambil dari alam ataupun dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan dan lain-lain (Murtadho & Sa’id 1988). Hingga saat ini, sampah organik masih menimbulkan permasalahan yang sangat serius dalam pengelolaan sampah di perkotaan. Penanganan sampah organik yang diperkirakan dapat menjadi alternatif solusi terbaik, yaitu dengan cara konversinya menjadi kompos dengan cara pengomposan, dan sampah organik yang sukar dikomposkan dikonversi menjadi arang dan asap cair dengan cara pirolisis. Sebahagian besar komponen sampah organik dapat ditangani dengan cara pengomposan. Menurut Indriani (2005), pengomposan merupakan penguraian bahan organik secara biologi dalam temperatur termofilik dengan hasil akhir berupa kompos yang cukup bagus untuk menyuburkan tanaman dan tidak merugikan lingkungan. Pengomposan sangat tepat dan efektif dilakukan pada sampah organik lunak, seperti sayur-sayuran, dedaunan dan buangan warung-warung/restoran. Cara pengomposan yang tepat dapat mengurangi volume timbunan sampah organik di perkotaan, sehingga dapat menghemat lahan TPA sampah. Di samping itu, jika produk kompos yang dihasilkan berkualitas baik, secara ekonomi akan memberi nilai tambah. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menambahkan bahan aktif yang mengandung berbagai mikroorganisme yang disebut biodekomposer. Menurut Yuwono (2006) biodekomposer adalah bahan bioaktif yang mampu mendegradasi bahan organik secara cepat. Beberapa biodekomposer yang sudah beredar, yaitu EM-4, Starbio, Orgadec, Fix plus, Harmony, dan lain-lain. Biodekomposer yang sudah terbukti mampu
3 mendegradasi bahan organik secara cepat, yaitu cairan EM-4 dan serbuk Orgadec (Komarayati & Indrawati 2003; Indriani 2005), dan cairan Biodek (Saraswati 2005). Dewasa ini, berkembangnya sistem pertanian organik memberi peluang pasar bagi produk kompos. Sistem pertanian organik menggunakan pupuk organik seperti pupuk kandang dan kompos sebagai substitusi pupuk anorganik (pupuk buatan). Oleh karena itu, usaha pengomposan sangat berpotensi untuk dikembangkan, terutama jika dilihat dari tersedianya bahan baku yang melimpah dan teknologi pengomposannyapun relatif sederhana, serta biaya produksi yang diperlukan tergolong murah karena tidak membutuhkan jumlah tenaga yang banyak. Dengan demikian, kegiatan ini akan mendatangkan keuntungan yang memadai. Di pihak lain, komponen sampah organik padat seperti kayu, bambu, dedaunan, kertas, dan kulit buah-buahan termasuk bahan organik yang sukar dikomposkan, sehingga penanganan jenis sampah ini akan efektif dan tepat bila ditangani dengan cara pirolisis (pengarangan). Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (asap cair) (Paris et al. 2005). Menurut Demirbas (2005), umumnya proses pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300 oC dalam waktu 4-7 jam. Namun keadaan ini sangat bergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya (Qadeer & Akhtar 2005; Machida et al. 2005). Pirolisis sampah menjadi arang sangat menguntungkan, terutama dalam rangka menekan volume timbunannya di perkotaan. Arang yang dihasilkan sangat bermanfaat sebagai sumber energi/bahan bakar (Matsuzawa et al 2007), selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina & Pari 2002). Arang dapat ditingkatkan mutu dan nilainya dengan cara aktivasi menjadi arang aktif. Arang aktif mempunyai spektrum penggunaan yang cukup luas dalam kehidupan manusia, antara lain sebagai adsorben (Guo et al. 2007; Figueroa-Torres et al. 2007; Klose & Rincon 2007), katalis (Gheek et al. 2007; Zawadzki & Wisniewski 2007), dan produk ini juga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pemanfaatan arang aktif selain sebagai adsorben dan katalis, saat ini juga sedang dikembangkan sebagai soil conditioner pada budidaya tanaman holtikultura (Gusmailina et al. 2001; Smith et al. 2004).
4 Akhir-akhir ini, beberapa peneliti melaporkan pemanfaatan arang/arang aktif pada tanaman akan memberikan hasil yang cukup baik, apabila penggunaannya dicampur dengan kompos. Hasil penelitian tersebut, antara lain meningkatkan pertambahan tinggi tanaman sebesar 4,8 kali pada penggunaan media arang aktif bambu yang dicampur dengan kompos, sedangkan jika tidak dicampur dengan kompos hanya meningkat sebesar 1,7 kali (Gusmailina et al. 2001), pemberian arang kompos sebesar 30% dari berat total media dapat meningkatkan pertambahan tinggi 1 kali, diameter 2 kali, panjang akar 1,5-2,6 kali dan berat kering anakan Pinus merkusii 4,66,0 kali lebih besar dari kontrol (Komarayati et al. 2003). Selanjutnya HernandezApaolaza et al. (2005), melaporkan beberapa material sampah, seperti campuran kulit kayu cemara, serabut kelapa dan kompos dapat meningkatkan produksi tanaman hias. Penggunaan arang kompos juga dapat mencegah pembusukan akar tanaman melon (Nischwitz et al. 2002). Pada proses pengarangan sampah organik, selain menghasilkan arang juga dihasilkan asap yang dapat dikondensasi menjadi asap cair (destilat). Kondensasi asap bertujuan untuk mencegah pencemaran udara akibat proses tersebut. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa asap cair mengandung sejumlah senyawa kimia yang berpotensi antara lain sebagai zat pengawet (Chacha et al. 2005; Nurhayati 2000), flavour (Morales et al. 2004), antioksidan (Su & Silva 2006; Davalos et al. 2005), desinfektan dan pestisida (Nurhayati 2000), fuel oil (Shen & Zhang 2005), dan bio-oil (Demirbas et al. 2006). Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang telah penulis laksanakan, belum ditemukan publikasi tentang pembuatan arang dan/atau arang aktif serta asap cair dari bahan baku sampah organik. Literatur tentang metode pengomposan yang dapat menghasilkan kompos matang dalam waktu relatif cepat juga masih terbatas. Demikian juga halnya tentang penggunaan produk komarasca berupa campuran kompos dan arang aktif sebagai soil conditioner serta asap cair sebagai antifeedant yang aman bagi keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan, yang bersumber dari bahan baku sampah organik belum banyak diteliti atau dipublikasi. Pemanfaatan komarasca dalam bidang pertanian untuk meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanaman sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena komarasca selain mengandung komponen unsur hara yang dibutuhkan tanaman, juga
5 mengandung karbon aktif yang dapat menyimpan air lebih lama dan menyerap berbagai macam komponen larut air. Di samping itu, asap cair yang dikandungnya diharapkan bermanfaat sebagai antifeedant terhadap hama. Jadi penggunaan komarasca pada budidaya tanaman akan memberi banyak manfaat terutama untuk mendapatkan tanaman yang aman dikonsumsi. Penggunaan komarasca sangat baik diterapkan pada budidaya tanaman obat-obatan. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa tanaman obat saat ini berkembang cukup pesat, seiring meningkatnya penggunaan obat bahan alami oleh sebagian masyarakat, dan untuk itu tanaman ini harus tumbuh subur serta bebas dari pestisida sintetik. Salah satu tanaman obat yang cukup populer saat ini adalah tanaman daun dewa. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Gynura pseudochina (Lour) DC. yang diketahui mempunyai beberapa aktivitas biologi, antara lain sebagai antialergi, bronkhitis, batu ginjal, antitumor, kencing manis (Zhang & Tang 2000), dan ekstrak etanolnya dapat melawan infeksi virus herpes (Jiratchariyakul et al. 2001). Beberapa senyawa aktif yang dikandung tanaman ini antara lain flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, dan alkaloid (Wijayakusumah et al. 1992; Siregar & Utami 2002). Di samping itu, tanaman ini juga termasuk salah satu jenis tanaman yang rentan terhadap serangan hama, baik pada umbi maupun daunnya (Winarto et al. 2003). Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanaman ini, perlu diberi pupuk dan pengendali hama yang aman. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan komarasca hasil konversi sampah organik. Untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka serangkaian penelitian ilmiah dilakukan yang berjudul “Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa”.
1.2 Kerangka Pemikiran Laju pertambahan penduduk dan urbanisasi telah menyebabkan peningkatan produksi sampah di perkotaan yang sangat tajam dari tahun ke tahun. Hal ini akan menjadi masalah besar apabila dibiarkan, sementara upaya penanganannya masih banyak mengalami hambatan, terutama lahan yang tersedia untuk pembangunan TPA sangat terbatas dan harganyapun relatif mahal. Di samping itu, saat ini sudah banyak
6 kasus konflik masyarakat di sekitar TPA sampah yang mencuat ke permukaan. Di pihak lain, timbulan sampah baik yang ada di TPS maupun di TPA, apabila tidak ditangani secara baik dan optimal akan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan (udara, air, tanah), sumber bibit penyakit, dan mengurangi estetika kota. Berdasarkan sifatnya, sampah di perkotaan terdiri atas 20% sampah anorganik dan 80% sampah organik (Engelhardt 1995). Sampah anorganik dengan mudah dapat dipilah untuk diperoleh bahan yang masih terpakai atau dapat didaur ulang, sedangkan bahan yang tidak terpakai lagi, dapat dimusnahkan dengan cara membakarnya dalam incinerator. Di samping itu, sampah organik hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, dan umumnya dibiarkan begitu saja di TPA, hanya baru sebahagian kecil saja yang mampu diolah menjadi kompos dan sebahagian besar sampah padatnya ditangani dengan cara pembakaran dengan incinerator. Padahal, berdasarkan kandungan kimianya, sampah ini dapat dikonversi menjadi bahan yang berguna dan ramah lingkungan, baik melalui cara pengomposan maupun pengarangan. Sebahagian besar sampah organik dapat dikonversi menjadi kompos. Proses ini dapat dipercepat dengan menggunakan biodekomposer terutama yang sudah terbukti kehandalannya seperti EM-4, Orgadec dan Biodek. Di samping itu, pada proses pengomposan ini juga dicoba dengan kombinasi antar biodekomposer tersebut untuk menghasilkan produk kompos dengan kematangan yang cepat dan berkualitas terbaik. Produk kompos yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk yang sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman. Walaupun sebagai produk sampingan pada proses pengomposan dihasilkan licit, namun masalah ini relatif sudah dapat ditangani menjadi produk berguna berupa pupuk cair. Sampah organik yang sukar dikomposkan, dapat dikonversi menjadi arang dan asap cair dengan reaktor pirolisis. Arang yang diperoleh dapat ditingkatkan mutunya dengan cara aktivasi menjadi arang aktif dengan menggunakan berbagai aktivator seperti panas, uap H2O, KOH dan H3PO4. Arang aktif yang dihasilkan pada proses tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai adsorben, dan katalis, di samping sebagai soil conditioner untuk meningkatkan pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman. Asap cair yang diperoleh sebagai produk sampingan hasil pirolisis sampah tersebut diharapkan berguna sebagai pengendali hama yang aman.
7 Produk komarasca hasil konversi sampah organik dapat diketahui manfaatnya secara pasti setelah diaplikasikan pada tanaman. Salah satu jenis tanaman yang diperkirakan cocok untuk aplikasi produk tersebut adalah tanaman daun dewa. Salah satu alasan pemilihan tanaman ini karena ia termasuk salah satu jenis tanaman obat yang diduga berpotensi untuk digunakan sebagai obat antikanker (Soetarno et al. 2000). Pada saat ini, tanaman tersebut juga mulai populer di kalangan masyarakat pencinta obat-obatan dari bahan alam. Di samping itu, tanaman ini mudah tumbuh dan tidak memerlukan kondisi yang spesifik untuk pertumbuhannya, akan tetapi daun dan umbi tanaman ini rentan terhadap serangan hama (Winarto et al. 2003). Uraian di atas, dapat disistematisasikan dalam bentuk bagan alur pikir penelitian sebagaimana tertera pada Gambar 1. Kelestarian Lingkungan Hidup
Pertambahan Penduduk
Sampah Organik
Lunak
Padat/Keras
Pengomposan
Pengarangan
Biodekomposer
Licit
Kompos
Reaktor Pirolisis
Arang Aktivator Arang Aktif
Komarasca
Tanaman Gambar 1 Bagan alur pikir penelitian
Asap Cair
8
1.3 Perumusan Masalah Pemanfaatan sampah organik untuk menghasilkan produk yang berguna dan bernilai komersial, sebenarnya telah sejak lama diupayakan para ahli. Di antaranya ialah pemanfaatannya untuk produksi kompos (Sahwan 1999; Noike 2005), produksi biogas (Dahuri 2003), produksi pakan ternak (BPTP 2004) dan produksi sirup glukosa dan etanol (Murtadho & Sa’id 1988). Namun upaya tersebut, hingga saat ini belum menunjukkan solusi yang efektif dan efisien dalam pemecahan masalah sampah di hampir semua kota-kota di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perhatian pemerintah dalam hal penanganan dan/atau pemanfaatan sampah hingga saat ini masih kurang, dan peran serta masyarakatpun belum menggembirakan. Di samping itu, teknologi pemusnahan atau pengolahan sampah yang ada, masih tergolong mahal. Oleh karena itu, agar penanganan dan/atau pemanfaatan sampah organik lebih optimal, perlu diupayakan teknologi yang lebih sederhana dan harganya yang relatif murah. Penanganan sampah organik menjadi kompos selain mengalami kendala teknologi, juga belum didapat metode pengomposannya yang dapat menghasilkan kompos bermutu terbaik dan waktu pematangannya relatif cepat. Di samping itu, tidak semua sampah organik dapat dikomposkan, terutama sampah organik padat yang sukar diurai oleh mikroorganisme. Salah satu cara untuk menangani jenis sampah ini, yaitu dengan proses pengarangan menggunakan reaktor pirolisis. Reaktor pirolisis dapat dibuat secara sederhana dari bahan-bahan drum bekas. Penggunaan alat ini untuk menangani sampah tersebut dapat diperoleh arang dan asap cair. Arang dapat digunakan sebagai bahan baku arang aktif. Asap cair dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan terutama sebagai pengendali hama yang alami. Hambatan lain dalam penanganan dan/atau pemanfaatan sampah organik adalah produk yang dihasilkan belum standar dan pemasarannya masih terbatas. Di samping itu, pemanfaatan produk ini baik kompos, arang aktif maupun asap cair pada budidaya tanaman juga belum populer, terlebih lagi penggunaannya dalam bentuk komarasca belum pernah dilakukan. Untuk itu, perlu dikaji sejauh mana penggunaan komarasca mampu meningkatkan pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman. Sehubungan dengan hal di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
9 1. Apakah perbedaan jenis biodekomposer berpengaruh terhadap proses pengomposan dan mutu kompos terbaik dari sampah organik? 2. Apakah sampah organik yang sukar dikomposkan dapat dikonversi menjadi arang dan asap cair menggunakan reaktor pirolisis? Dan bagaimanakah karakteristik produknya? 3. Bagaimanakah karakteristik dan mutu arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik dengan aktivator panas, uap H2O, KOH, atau H3PO4, dengan suhu 700 dan 800 oC dan waktu selama 60 dan 120 menit? 4. Apakah asap cair dan/atau fraksi-fraksinya berpotensi sebagai pengendali hama tanaman yang bersifat antifeedant (anti/menolak makan)? 5. Apakah penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh pada pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman daun dewa?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan mendapatkan teknologi pengolahan sampah organik menjadi kompos, arang, arang aktif dan asap cair serta aplikasi produknya pada tanaman daun dewa. Secara spesifik, penelitian ini betujuan: 1. Mendapatkan jenis biodekomposer yang mampu mempercepat proses pengomposan sampah organik menghasilkan kompos bermutu terbaik; 2. Mendapatkan teknologi tepat guna berupa model reaktor pirolisis yang mampu mengkonversi sampah organik menjadi arang dan asap cair; 3. Mendapatkan metode aktivasi terbaik untuk pembuatan arang aktif dari arang hasil pirolisis sampah organik; 4. Mengetahui karakteristik asap cair hasil pirolisis sampah organik dan potensinya sebagai antifeedant bagi hama tanaman; dan 5. Mengetahui pengaruh penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik pada tanaman dengan studi kasus tanaman daun dewa.
10 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan persoalan sampah organik dengan cara: 1. Mereduksi volume sampah organik secara cepat; 2.
Menghasilkan produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomi, berupa kompos, arang, arang aktif dan asap cair;
3. Memberi informasi kepada masyarakat terutama pengusaha kecil/menengah tentang peluang usaha/bisnis baru dengan cara memanfaatkan sampah organik sebagai bahan baku pembuatan arang, arang aktif dan asap cair.
1.6 Novelty Novelti (kebaruan) pada penelitian ini yang belum pernah ditemukan/ dipublikasikan sebelumnya, yaitu metode penanganan sampah organik padat menggunakan reaktor pirolisis menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap cair. Di samping itu, juga akan diperoleh produk komarasca hasil konversi sampah organik yang berpotensi untuk meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Organik Sampah organik telah menjadi permasalahan bagi masyarakat dan pemerintah, diantaranya terjadi akibat timbulnya pencemaran lingkungan. Murtadho & Sa’id (1988) menyatakan sampah organik dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sampah organik yang mudah membusuk (garbage) dan sampah organik yang tidak mudah membusuk (rubbish). Garbage adalah limbah padat agak basah, berupa bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari sektor pertanian dan makanan. Limbah ini mudah terurai oleh mikroorganisme karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek. Sedangkan rubbish merupakan sampah organik padat yang sukar terurai oleh mikroorganisme karena mempunyai rantai kimia yang relatif panjang dan kompleks. Laju dekomposisi sampah jenis ini sangat bergantung pada struktur molekul penyusunnya. Jadi sampah organik padat ada yang dapat terurai secara cepat dan ada yang lebih lama. Sumber, komposisi dan karakteristik sampah merupakan hal yang terpenting dalam memilih teknologi pengolahan sampah. Salah satu contoh kasus di Kota Bogor, pada tahun 2004 rata-rata volume sampah mencapai 2124 m3/hari. Sampah yang berasal dari pasar tradisional rata-rata sekitar 350 m3/hari, dengan 88% diantaranya berupa sayuran, buah-buahan dan sisa-sisa makanan (Anonim 2004). Apabila sampah tersebut dibiarkan menumpuk atau tidak diolah menjadi produk yang bermanfaat, akan timbul berbagai permasalahan pencemaran lingkungan, di antaranya menyebar bau busuk yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme. Di sisi lain, sampah organik yang membusuk juga dapat mengakibatkan timbul atau berkembangnya berbagai macam bibit penyakit (Setiawan 2001). Menurut Satori (2002), persoalan pencemaran lingkungan tidak saja menyangkut sampah yang tidak terangkut, tetapi juga sampah yang terangkut ke TPA. Di daerah perkotaan sulit untuk mencari lahan yang dapat digunakan untuk membangun TPA. Hal ini selain harganya yang cenderung sangat mahal, juga selalu berhadapan dengan reaksi masyarakat yang cenderung negatif. Sikap resistensi masyarakat yang paling utama disebabkan oleh persoalan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh penumpukan sampah secara open dumping di TPA, baik menyangkut pencemaran udara, air, maupun tanah. Pola penanganan sampah dengan sistem kumpul, angkut dan buang ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan sampah. Untuk itu,
12 perlu dikaji sistem penanganan sampah yang mengarah pada upaya minimisasi sampah, terutama yang ada di TPA. Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, diantaranya: 1) melakukan pengenalan karakteristik sampah dan metode penanganannya; 2) merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu; 3) menggalakkan program reduce, reuse, dan recycle atau lebih dikenal dengan program 3R, berorientasi untuk dapat tercapainya program zero waste; 4) mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberi nilai tambah secara ekonomi (Wibowo & Djajawinata 2003). Pemikiran tersebut selaras dengan beberapa pemikiran yang berkembang dewasa ini, di mana pengelolaan sampah mengarah kepada upaya menekan segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah (reduce), memanfaatkan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan (reuse), dan melakukan pendaurulangan (recycling). Hasil kajian Satori (2002) menunjukkan bahwa belum signifikannya proses pendaurulangan sampah pasar, baik sampah organik maupun anorganik saat ini, antara lain: 1) belum adanya rancangan usaha (business plan) sistem daur ulang sebagai sebuah industri dengan memperhitungkan berbagai aspek keindustrian; 2) belum adanya sistem jaringan pemasaran produk-produk daur ulang sehingga tidak adanya koneksitas (linkage) baik antara produsen-konsumen, produsen-produsen, dan konsumen-konsumen; 3) kegiatan daur ulang masih dianggap sebagai usaha sampingan dan alternatif usaha terakhir karena tidak ada peluang lain; 4) masih terbatasnya anggaran yang disediakan terutama oleh pemerintah untuk menerapkan berbagai pemikiran yang mengarah pada kegiatan daur ulang sampah; 5) kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat tentang manfaat kegiatan tersebut baik dari segi lingkungan maupun ekonomi sangat minim; dan 6) kegiatan tersebut tidak sinergi dan terintegrasi dalam sistem manajemen sampah. Pengolahan sampah organik menjadi produk yang bernilai ekonomi dan ramah lingkungan yang telah dilaksanakan saat ini antara lain pengolahannya menjadi kompos (Sahwan 1999), biogas (Dahuri 2003), bioenergi, pakan ternak (BPTP 2004), pembuatan sirup glukosa dan etanol (Murtadho & Sa’id 1988). Kegiatan pengkomposan dan produksi biogas dari sampah organik sebenarnya sudah mulai dikembangkan di hampir semua TPA sampah. Namun kegiatan tersebut tidak berjalan secara optimal karena berbagai hambatan, dan kenyataannya hingga kini kegiatan
13 tersebut belum mampu menekan laju produksi sampah di perkotaan yang kian hari volumenya makin meningkat. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sistem pengolahan sampah organik pasar yang dapat menghasilkan produk bermanfaat dan ramah lingkungan. Alternatifnya yang tepat yaitu melalui pengomposan dan pengarangan.
2.2 Kompos 2.2.1 Karakteristik Kompos Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Bahanbahan organik tersebut antara lain dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, dan lain-lain (Murbandono 2005). Menurut Djuarnani et al. (2005), kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau sampah organik. Secara ilmiah kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Indriani (2005) menyatakan kompos mempunyai beberapa sifat antara lain: 1. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan; 2. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai; 3. Menambah daya ikat air pada tanah; 4. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah; 5. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara; 6. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit (jumlah hara ini tergantung dari bahan baku kompos); 7. Membantu proses pelapukan bahan mineral; 8. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba; dan 9. Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan. Kandungan utama kompos adalah bahan organik. Selain itu, kompos juga memiliki unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, kalsium, belerang dan magnesium. Hanya saja unsur hara yang dikandung oleh kompos tidak tetap. Hal ini dipengaruhi oleh bahan baku yang dikomposkan, cara pengomposan, dan cara penyimpanannya (Tim Redaksi Trubus 1999). Harada et al. (1993) menyatakan bahan organik yang dikomposkan untuk penggunaannya pada tanah pertanian sebaiknya terdekomposisi
14 dengan baik dan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Umumnya kompos dicirikan oleh sifat-sifat berikut: 1. Berwarna cokelat tua hingga hitam; 2. Tidak larut dalam air meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk suspensi; 3. Sangat larut dalam pelarut alkali, sodium pirofosfat, atau larutan amonium oksalat dengan menghasilkan ekstrak yang berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi fraksi-fraksi humic, fulfvic, dan humin; 4. Memiliki nilai nisbah C/N sebesar 10-20, tergantung bahan bakunya dan derajat humifikasinya; 5. Secara biokimiawi tidak stabil, tetapi komposisinya berubah melalui aktivitasaktivitas mikroorganisme, sepanjang kondisi lingkungannya sesuai; 6. Menunjukkan kapasitas pemindahan kation dan absorpsi yang tinggi; dan 7. Jika digunakan pada tanah, kompos memberi efek-efek yang menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P, K, Ca, S, dan Mg. Selain itu, kompos mengandung trace element untuk pertumbuhan tanaman.
Pengaruhnya
terhadap
tanah
sangat
tinggi
jika
digabungkan
penggunaannya dengan pupuk mineral (Delgado & Follent 2002).
2.2.2 Prinsip Pengomposan Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen yang terkandung pada suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Talashilkar et al. 1999). Agar diperoleh hasil optimal perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh karena proses ini merupakan proses biologi. Faktor yang mempengaruhi laju pengomposan di antaranya ukuran bahan, nisbah C/N, kelembapan dan aerasi, temperatur, derajat keasaman, dan mekanismenya. Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air; 2) zat putih telur menjadi amonia, CO2 dan air; dan 3) penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian, nisbah C/N semakin
15 rendah dan relatif stabil mendekati nisbah C/N tanah (Sahwan 1999). Mekanisme pengomposan secara umum dapat dilihat pada Gambar 2. Panas
Karbondioksida
Air
Energi
Mikroorganisme baru
Humus (Kompos)
Sampah Organik
Oksigen
Air
Mikroorganisme
Gambar 2 Mekanisme pengomposan secara umum (Djuarnani et al. 2005)
Proses dekomposisi bahan organik secara biologis (oleh mikroorganisme) di bawah kondisi lingkungan yang tertentu disebut pengomposan. Tujuan pengomposan adalah merubah bahan organik menjadi produk yang mudah dan aman untuk ditangani, disimpan, dan diaplikasikan ke lahan pertanian tanpa menimbulkan efek negatif pada lingkungan (Tuomela et al. 2000).
2.2.3 Proses Pengomposan Proses pengomposan dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik. Menurut Indriani (2005), pengomposan aerobik terjadi dengan bantuan O2 dan menghasilkan CO2, air dan panas, sedangkan pengomposan anaerobik berlangsung dalam keadaan tanpa O2 menghasilkan metana atau alkohol, CO2 dan senyawa antara seperti asam organik. Menurut Haug (1980), pada proses pengomposan anaerobik timbul bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik. Energi yang dihasilkan pada proses ini sebesar 26 kkal per mol glukosa. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 3.
2(CH2O)x (s)
Bakteri penghasil asam
⎯⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯→ xCH3COOH (aq)
xCH3COOH (aq)
Methanomon as
⎯⎯ ⎯ ⎯ ⎯ ⎯→
xCH4 (g) + xCO2 (g)
16 N-organik (s)
⎯⎯ ⎯ ⎯ ⎯→ NH3 (g)
2xH2S (g) + xCO2 (g)
⎯Cahaya ⎯ ⎯⎯→ (CH2O)x (s) + 2xS (s) + xH2O (l)
Gambar 3 Reaksi biokimiawi pada pengomposan anaerobik (Haug 1980)
Pada pengomposan aerobik organisme hidup memanfaatkan oksigen untuk mendekomposisi bahan organik dan mengasimilasi beberapa karbon, nitrogen, belerang, fosfor, dan unsur-unsur lainnya untuk fotosintesis plasma sel (Gaur 1983; Jeong & Hwang 2005). Hasil akhir pengomposan aerobik adalah karbondioksida, air, unsur hara, humus, dan energi sebesar 484-674 kkal/mol glukosa. Reaksi yang terjadi selama proses ini dapat dilihat pada Gambar 4.
1. Gula, selulosa dan hemiselulosa: (CH2O)x (s) + xO2 (g) ⎯⎯⎯→ xCO2 (g) + xH2O (l) + Energi
2. Protein (Senyawa N-organik): N-organik (s) ⎯⎯→ NH4+ (aq) ⎯ ⎯→ NO2- (aq) ⎯ ⎯→ NO3- (aq) + Energi
3. Sulfur organik S-organik (s) ⎯⎯→ SO42- (aq) + Energi
4. Fosfor organik, Kitin, Lesitin P-organik (s) ⎯⎯→ H3PO4 (aq) ⎯ ⎯→ Ca(H2PO4)2 (aq) Gambar 4 Reaksi biokimiawi pada pengomposan aerobik (Gaur 1983)
Diketahui bahwa sebenarnya bahan baku kompos adalah sampah. Sampah merupakan limbah padat yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dibuang atau dikelola agar tidak mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Oleh karenanya, sampah harus ditanggulangi sebaik-baiknya. Pengolahan sampah organik menjadi kompos itu dapat mengatasi masalah lingkungan, sebab dapat mengubah lingkungan yang semula kotor, berbau, dan dikerumuni lalat menjadi lingkungan yang bersih. Segala timbunan sampah yang semula tak berguna dapat dimanfaatkan lagi (didaur ulang) (Gusmailina et al. 2004; Murbandono 2005).
17 2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Menurut Indriani (2005), faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat antara lain: 1. Nilai nisbah C/N bahan. Semakin rendah nilai nisbah C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat. 2. Ukuran bahan. Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya, karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan mikroba. Untuk itu, bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran lebih kecil. Bahan yang keras sebaiknya dicacah hingga berukuran 0,5-1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras dicacah dengan ukuran yang agak besar, sekitar 5 cm. 3. Komposisi bahan. Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar. 4. Jumlah mikroorganisme. Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, Actinomycetes, dan protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat. Beberapa aktivator yang tersedia di pasaran antara lain EM-4, Orgadec, Stardec, Starbio, Fix-Up Plus, dan Harmony. 5. Kelembapan dan aerasi. Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembapan sekitar 40-70%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembapan yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan tersebut, aerobik atau anaerobik. 6. Temperatur. Pengomposan berlangsung secara optimal pada temperatur sekitar 3050 oC (hangat). Bila temperatur terlalu tinggi mikroorganisme akan mati, sedangkan bila temperatur rendah menyebabkan mikroorganisme belum dapat bekerja dengan baik. Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur tetap optimal sering dilakukan pembalikan. Namun, ada mikroorganisme yang bekerja pada temperatur yang relatif tinggi (mencapai 80 oC), seperti Trichoderma pseudokoningii dan
18 Cytophaga sp. Kedua jenis mikroorganisme ini digunakan sebagai aktivator dalam proses pengomposan skala besar atau skala industri (Suler & Finstein 1977). 7. Keasaman (pH). Nilai pH dalam tumpukan kompos mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik, yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur untuk menaikkan pH.
2.2.5 Biodekomposer Biodekomposer merupakan bahan bioaktif yang mampu mendegradasi bahanbahan organik secara lebih cepat. Beberapa jenis bahan ini yang telah beredar di pasaran antara lain: 1. EM-4. EM-4 dibuat dari bahan yang mengandung beberapa mikroorganisme yang sangat bermanfaat dalam proses pengomposan. Larutan EM-4 ini ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Mikroorganisme yang terdapat dalam larutan EM-4 terdiri atas bakteri fotosintetik, Lactobacillus (bakteri asam laktat), Actinomycetes, Streptomyces sp., dan ragi (yeast). EM-4 dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan aktivitas serangga, hama, dan mikro-organisme patogen (Sukmadi & Hardianto 2000). 2. Orgadec. Menurut Goenadi & Away (2000), Orgadec diformulasikan dengan bahan aktif mikroba asli Indonesia yang memiliki kemampuan menurunkan C/N secara cepat dan bersifat antagonis terhadap beberapa jenis penyakit akar. Mikroba yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Kedua jenis mikroba tersebut memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan enzim penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Beberapa keunggulan Orgadec, yaitu 1) sesuai untuk kondisi tropis; 2) menurunkan rasio C/N secara cepat; 3) tidak membutuhkan tambahan nutrisi; 4) mudah dan tahan disimpan; 4) antagonis terhadap penyakit jamur akar; dan 5) penggunaannya dapat mengurangi pertumbuhan gulma. 3. Biodek. Biodek merupakan perombak bahan organik biologis yang diracik khusus untuk meningkatkan efisiensi dekomposisi residu tanaman, mengurangi penyebab penyakit, dan mengatasi masalah lingkungan pada sistem penumpukan sampah. Biodek dibuat dari campuran kapang Aspergillus niger dan Trichoderma sp. dan jamur Trametes versicolour. Penggunaan Biodek pada residu bahan organik
19 pertanian mampu mengubah lingkungan mikro tanah dan komunitas mikroba menuju peningkatan kualitas tanah dan produktivitas tanaman. Biodek memiliki kualitas yang konstan dalam merombak bahan organik. Bahan pembawa dilengkapi dengan bahan aktif yang mampu menjamin lamanya penyimpanan produk (Saraswati 2005).
2.3 Arang Arang dapat dibuat dari bahan-bahan yang mengandung karbon (C) baik organik maupun anorganik, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang. Menurut Kinoshita (2001), arang adalah suatu elemen (bahan) padat berporipori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang mengandung karbon. Pirolisis merupakan proses pembakaran tidak sempurna suatu bahan yang mengandung senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida. Demirbas (2005) menyatakan bahwa pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga senyawa karbon yang kompleks sebagian besar terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis mulai terjadi pada suhu 150-300 oC yang berlangsung secara lambat (pirolisis primer lambat) dan pada suhu 300-400 oC berlangsung lebih cepat (pirolisis primer cepat). Hasil proses pirolisis lambat adalah arang, H2O, CO, dan CO2, sedangkan hasil pirolisis primer cepat adalah arang, gas-gas hidrokarbon, H2 dan H2O. Pirolisis pada suhu di atas 600 oC disebut pirolisis sekunder, dan hasilnya adalah gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. Proses pirolisis sekunder umumnya digunakan untuk gasifikasi (Paris et al. 2005). Sebagai bahan bakar, arang lebih menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberi kalor pembakaran yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Manocha (2003) mengatakan umumnya struktur arang berupa karbon amorf dan sebahagian besar terdiri atas karbon bebas. Arang tersusun dari atom-atom karbon bebas yang berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar. Sebahagian besar poripori arang masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan komponen lain, seperti abu, air, nitrogen, dan sulfur (Puziy et al. 2002; Concheso et al. 2005). Byrne & Nagle (1997) mengatakan bahwa penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terdiri atas empat tahap, yaitu: 1. Pada suhu 100-150 oC terjadi penguapan air;
20 2. Pada suhu 200-240 oC, terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah, seperti asam asetat, formiat, dan metanol), gas kayu (CO dan CO2), dan sedikit ter; 3. Pada suhu 240-400 oC, terjadi proses depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO2 menurun, sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat; 4. Pada suhu lebih dari 400 oC, terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai suhu 500 oC. Di atas suhu 600 oC mulai terjadi proses pembesaran luas permukaan karbon. Menurut Djatmiko et al. (1985), standar mutu arang, yaitu kadar air 6%, kadar abu 4%, kadar zat mudah menguap 30% dengan titik bakar 300 oC menghasilkan ukuran partikel 95%, dan sifat kekerasan 90%. Arang yang baik mutunya adalah arang yang mempunyai kadar karbon tinggi dan kadar abu yang rendah. Manfaat dari arang antara lain untuk adsorpsi bahan asing pada pemurnian pelarut, minyak jelantah (goreng), bahan katalis dalam proses gasifikasi, dan pemupukan tanaman.
2.4 Arang Aktif Arang aktif adalah suatu karbon yang mampu mengadsorpsi anion, kation, dan molekul dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, baik berupa larutan maupun gas (Pari 1996). Menurut Sartamtomo et al. (1997), arang aktif merupakan suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebahagian besar terdiri atas atom karbon bebas dan mempunyai permukaan dalam (internal surface) sehingga mempunyai kemampuan daya jerap (adsorption) yang baik. Arang aktif tergolong bahan yang mempunyai poripori terbuka, dan luas permukaannya besar. Arang aktif mengandung kadar karbon dan keaktifan yang bervariasi, tergantung pada suhu dan lamanya waktu aktivasi yang diberikan pada bahan baku arang. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada permukaannya. Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghambat keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif telah bebas dari deposit dan mampu mengadsorpsi karena permukaannya luas dan pori-porinya telah terbuka (Gomez-Serrano et al. 2003).
21 2.4.1 Pembuatan Arang Aktif Arang aktif yang biasa beredar di pasaran umumnya dibuat dari tempurung kelapa, kayu dan batubara. Beberapa publikasi menyatakan bahwa arang aktif dapat dibuat dari semua bahan yang mengandung karbon, seperti kayu atau serbuk gergajian kayu, bambu, sekam padi, gambut, batu bara, tempurung kelapa, bagase, resin, dan serat akrilonitril (Concheso et al. 2005; Paris 2005). Perbedaan bahan baku dapat menyebabkan sifat dan mutu arang aktif yang berbeda pula. Sifat-sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat arang aktif dari beberapa jenis bahan baku Sifat
Tempurung kelapa
Batubara
Lignit
Kayu
Mikropori
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Makropori
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kekerasan
Tinggi
Tinggi
Rendah
Sedang
5
10
20
5
Rendah
Sedang
Tinggi
Sedang
Regenerasi
Baik
Baik
Jelek
Cukup
Iodin (mg/g)
1100
1000
600
800
Kerapatan (g/cc)
0,48
0,48
0,3
0,35
Abu (%) Debu
(Sumber: Actech 2002 dalam Pari 2004) Berdasarkan data Tabel 1 di atas, terlihat bahwa masing-masing bahan baku dari arang aktif tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda, dan sifat ini sangat mempengaruhi proses penerapannya. Mutu suatu arang aktif sangat bergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara mengaktifkannya (Jaguaribe et al. 2005). Arang aktif dapat dibuat melalui proses pirolisis material yang mengandung karbon, baik bahan tumbuhan seperti kayu, batubara, lumut, biji-bijian, dan tempurung buah-buahan, serta sampah biji sawit, maupun bahan-bahan polimer sintetik, seperti rayon, poliakrilonitril (PAN), dan polivinil klorida (PVC). Pada proses pirolisis berbagai material karbon melalui dekomposisi molekul organik tanpa udara dihasilkan ter, gas-gas ringan dan arang padat berpori (Guo & Lua 2000; Manocha 2003). Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan karbon aktif secara pirolisis ditunjukkan pada Tabel 2.
22 Tabel 2 Karakteristik beberapa material kasar yang digunakan pada pembuatan karbon aktif secara pirolisis
55-60
Massa jenis (kg/m3) 0,4-0,5
0,3-1,1
40-42
55-60
0,55-0,8
0,3-1,2
Lignin
35-40
58-60
0,3-0,4
-
Kulit bijibijian Lignit
40-45
55-60
1,4
0,5-6,0
55-75
35-40
1,0-1,35
5-6
Batu bara lunak
65-80
25-30
1,25-1,50
2,12
Petroleum kokas
70-85
15-20
1,35
0,5-0,7
Batu bara semi keras Batu bara keras
70-75
1-15
1,45
5-15
85-95
5-10
1,5-2,0
2,15
Karbon (%)
Volatil (%)
Kayu lunak
40-45
Kayu keras
Material
Abu (%)
Tekstur karbon aktif
Aplikasi karbon aktif
Lunak, volume pori besar Lunak, volume pori besar Lunak, volume pori besar Keras, volume pori beragam Keras, volume pori kecil Semi keras, volume mikropori sedang Semi keras, volume mikropori sedang Keras, volume pori besar Keras, volume pori besar
Adsorpsi fase larutan Adsorpsi fase larutan Adsorpsi fase larutan Adsorpsi fase uap/asap Perlakuan limbah cair Adsorpsi fase cair dan uap
Adsorpsi gasuap
Adsorpsi gasuap Adsorpsi gasuap
(Sumber: Manocha 2003) Data Tabel 2 menunjukkan karakteristik karbon, komponen volatil, abu, dan tekstur serta ukuran pori-pori dari arang yang diproses secara pirolisis sangat beragam. Hasil tersebut sangat bergantung dari bahan baku yang digunakan, sehingga mutu dari arang aktif yang dihasilkanpun sangat beragam. Hal ini juga akan berpengaruh pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Nurhayati et al. (2002) menunjukkan bahwa produksi arang aktif dari bahan baku kayu bakau akan diperoleh rendemen yang lebih tinggi pada perlakuan sampel dengan cara dipotong-potong secara manual menggunakan pisau, dibandingkan dengan yang ditumbuk menggunakan lesung. Rendemen arang aktif yang paling tinggi yaitu 77,39% terdapat pada bakau, kemudian tempurung kelapa 72,93%, diikuti akasia mangium 66,28%, dan tusam 57,89%. Di samping itu, teknik produksi arang aktif dengan cara aktivasi udara lebih baik bila dibandingkan dengan uji perendaman menggunakan larutan asam fosfat 5%. Menurut Manocha (2003), proses pembuatan arang aktif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: aktivasi cara kimia dan cara fisika.
23 2.4.1.1 Aktivasi cara kimia Aktivasi arang secara kimia dilakukan melalui proses pirolisis pada suhu tinggi dan tanpa udara. Prinsip aktivasi ini dimulai dengan merendam arang dalam suatu larutan pengaktif dengan konsentrasi tertentu, selama beberapa jam sebelum dipanaskan, biasanya antara 12 sampai 24 jam. Kemudian hasil rendaman tersebut disaring dan ditiriskan, lalu dipanaskan pada suhu berkisar antara 400-600 oC selama 12 jam. Pada keadaan ini, komponen pengaktif akan masuk di antara kisi-kisi lapisan heksagonal dan akan berperan untuk membuka lapisan pada permukaan arang yang tertutup, sehingga permukaan menjadi lebih besar dan arang akan lebih aktif. Setelah selesai pemanasan, retort yang berisi arang didinginkan di udara terbuka selama ± 1 jam. Setelah dingin, hasil tersebut dikeluarkan, dicuci dengan air sampai filtratnya netral dengan cara mengujinya menggunakan kertas lakmus, lalu dikeringkan dalam oven sampai suhu 105 oC, dan selanjutnya diperoleh hasil arang aktif (Manocha 2003). Bahan kimia yang sudah dilaporkan dapat mengaktivasi arang menjadi arang aktif, antara lain H3PO4, ZnCl2, H2SO4, K2S, atau KOH (Muzammel et al. 2002 dalam Smisek & Cerny 2002). Di samping itu, juga NaOH, CaCO3, MgCO3, Fe2(CO3)3, CaCl2, MgCl2, atau FeCl3 (Derbyshier 1995 dalam Manocha 2003). Beberapa literatur lain melaporkan NaOH (Figueroa-Torres et al. 2007), KOH (Stavropoulos & Zabaniotou 2005; Robau-Sanchez et al. 2005), H3PO4 (Gomez-Serrano et al. 2005), H2SO4 (Guo et al. 2007; Maroto-Valer et al. 2005), HCl (Zhang et al. 2005), HNO3 (El-Hendawy 2003), ZnCl2 (Namane et al. 2005), MgCl2 atau CaCl2 (Sudradjat & Soleh 1994), Na2CO3 (Hartoyo & Pari 1993), K2CO3 (Hayashi et al. 2005), NH4HCO3 (Pari 2004), Pt(NH3)4(NO3)2 (Shih & Chang 2005), SO2 atau H2S (Nguyen-Thanh & Bandosz 2005), asam sitrat (Chen et al. 2003), dan amonia (Boudou et al. 2003). Hasil penelitian Pari (2004) menunjukkan pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering kali mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa yang tidak diinginkan, misal oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu, dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan kembali arang aktif dengan HCl untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif.
24 2.4.1.2 Aktivasi cara fisika Aktivasi arang secara fisika menggunakan oksidator lemah, misalnya gas CO2, uap air, nitrogen, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada proses ini tidak terjadi oksidasi terhadap atom-atom karbon penyusun arang, akan tetapi oksidator tersebut hanya mengoksidasi komponen yang menutupi permukaan pori arang. Prinsip aktivasi ini berbeda dengan aktivasi kimia, yaitu dimulai dengan mengaliri gas-gas ringan, seperti uap air, CO2, atau udara ke dalam retort yang berisi arang dan dipanaskan pada suhu 800-1000 oC. Pada suhu di bawah 800 oC, proses aktivasi dengan uap air atau gas CO2 berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000 oC, akan menyebabkan kerusakan struktur kisi-kisi heksagonal arang. Oleh karena itu, proses gasifikasi terhadap material yang diarangkan dengan uap dan CO2 akan berlangsung melalui reaksi endoterm (Manocha 2003). Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: C(s) + H2O(g)
Æ CO(g) + H2(g)
ΔH = + 29 kkal
C(s) + CO2(g)
Æ 2CO(g)
ΔH = + 39 kkal
CO(g) + H2O(g) Æ CO2(g) + H2(g)
ΔH = + 10 kkal
Molekul H2O lebih kecil dibandingkan molekul CO2, sehingga ia lebih cepat berdifusi ke dalam pori karbon. Akibatnya reaksi dengan uap lebih cepat dibanding dengan CO2. Aktivasi dengan CO2 meningkatkan oksidasi eksternal dan mengembangkan perluasan pori arang sebanding dengan aktivasi uap, sehingga aktivasi yang terjadi menjadi kurang efektif, akibat panas yang terbentuk menjadi berkurang. Menurut Manocha (2003), salah satu cara menangani kasus ini, ialah dengan membakar gas-gas yang terbentuk, seperti reaksi di bawah ini. CO(g) + 1/2O2(g) Æ CO2(g) H2(g) + 1/2O2(g)
Æ H2O(g)
ΔH = - 1192,44 kkal ΔH = - 995,79 kkal
Akan tetapi kehadiran gas O2 dalam retort aktivasi akan menimbulkan masalah terutama karena sangat sulit dikontrol, sehingga menyebabkan terjadi reaksi eksoterm terhadap karbon. CO2 (g)
ΔH = - 92,40 kkal
2 C(s) + O2(g) Æ 2 CO(g)
ΔH = - 53,96 kkal
C(s) + O2(g)
Æ
25 Beberapa gas pengoksidasi yang dapat digunakan untuk aktivasi arang secara fisika, antara lain uap air (H2O) (Basumatary et al. 2005), gas CO2 atau N2 (Machnikowski et al. 2005), H2 (Takagi et al. 2004), Br2 (Gaier et al. 2005), O3 (Sanchez-Polo et al. 2005), argon (Nguyen & Bhatia 2005), atau CH4 (Rangel-Mendez & Cannon 2005).
2.4.2 Sifat-sifat Arang Aktif 2.4.2.1 Sifat-sifat kimia Arang aktif tidak hanya mengandung atom karbon saja, tetapi juga mengandung sejumlah kecil oksigen dan hidrogen yang terikat secara kimia dalam bentuk gugusgugus fungsi yang bervariasi, misalnya gugus karbonil (C=O), karboksil (COO), fenol, lakton, dan beberapa gugus eter. Oksigen pada permukaan arang, kadang-kadang berasal dari bahan baku atau dapat juga terjadi pada proses aktivasi dengan uap (H2O) atau udara. Keadaan ini biasanya dapat menyebabkan arang bersifat asam atau basa (Brennan et al. 2001; Laszlo et al. 2001). Gugus-gugus fungsional dari berbagai komponen yang terikat pada permukaan arang aktif ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Beberapa gugus fungsional yang terikat pada permukaan arang aktif (Laszlo et al. 2001). Pada umumnya bahan baku arang aktif mengandung komponen mineral. Komponen ini menjadi lebih pekat selama proses aktivasi arang. Di samping itu, bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses aktivasi sering kali menyebabkan perubahan sifat kimia arang yang dihasilkan.
26 2.4.2.2 Sifat-sifat fisika Berdasarkan sifat fisika, arang aktif mempunyai beberapa karakteristik, antara lain berupa padatan yang berwarna hitam, tidak berasa, tidak berbau, bersifat higroskopis, tidak larut dalam air, asam, basa ataupun pelarut-pelarut organik. Di samping itu, arang aktif juga tidak rusak akibat pengaruh suhu maupun perubahan pH selama proses aktivasi.
2.4.3 Struktur Arang Aktif Arang aktif mempunyai struktur berupa jaringan berpilin dari lapisan-lapisan karbon yang tidak sempurna, yang dihubungsilangkan oleh suatu jembatan alifatik. Menurut Kyotani (2000), luas permukaan, dimensi dan distribusi atom-atom karbon penyusun struktur arang aktif sangat tergantung pada bahan baku, kondisi karbonasi dan proses aktivasinya. Susunan atom-atom karbon pada arang aktif mirip susunan atom-atom karbon dalam grafit, yang terdiri atas pelat-pelat datar. Atom-atom karbon penyusun struktur grafit terikat secara kovalen di dalam suatu kisi heksagonal dengan susunan paralel (Hirose et al. 2002). Orientasi struktur arang aktif dan grafit ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Orientasi pelat-pelat karbon heksagonal pada (a) struktur arang aktif, dan (b) struktur grafit (Wigman 1986 dalam Pari 2004). Penelitian dengan sinar X memperlihatkan bahwa cincin-cincin enam atom karbon dengan susunan karbon yang teratur dan membentuk pelat-pelat. Pelat-pelat karbon heksagonal dalam struktur grafit terorientasi tegak lurus terhadap sumbunya. Sedangkan struktur arang aktif berbeda dengan struktur grafit, karena pelat-pelat
27 karbon heksagonal dalam struktur arang aktif tidak terorientasi sempurna terhadap sumbunya (Solovyov et al. 2002). Perbedaan ini berpengaruh pada besar kecilnya derajat kristalinitas, sehingga pelat-pelat tersebut bertumpuk satu sama lain secara tidak beraturan membentuk kristalit (Wigman 1986 dalam Pari 2004).
2.4.4 Daya Jerap Arang Aktif Daya jerap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya komponen dipermukaan/antarmuka dalam dua fasa. Bila ke dua fasa saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masing-masing fasa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya gaya tarik menarik antar molekul, ion atau atom dalam ke dua fasa tersebut. Gaya tarik menarik ini dikenal sebagai gaya Van der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau molekul dalam daerah antarmuka mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai (Manocha 2003). Menurut Agustina (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya jerap arang aktif, yaitu: 1) sifat arang aktif; 2) sifat komponen yang dijerapnya; 3) sifat larutan; dan 4) sistem kontak. Daya jerap arang aktif terhadap komponen-komponen yang berada dalam larutan atau gas disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur porinya (Guo et al. 2007). Beberapa literatur lain melaporkan bahwa pada umumnya penjerapan oleh arang aktif tergolong penjerapan secara fisik. Hal ini disebabkan oleh pori yang banyak dan permukaannya luas. Faktor lain yang mempengaruhi daya jerap arang, yaitu sifat polaritas dari permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis arang aktif, karena hal ini sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan bahan pengaktif yang digunakannya (Lee & Radovic 2003).
2.4.5 Kegunaan Arang Aktif Arang aktif umumnya dapat digunakan sebagai bahan penjerap, pembersih atau pemurni, dan juga sebahagian kecil sering digunakan sebagai katalisator (Gheek et al. 2007; Zawadzki & Wisniewski 2007). Menurut Sartamtomo et al. (1997), arang aktif dapat digunakan sebagai bahan pemucat (penghilang zat warna), penyerap logam, gas dan juga untuk pemurnian pada industri, seperti minyak, asam sitrat, gula, monosodium glutamat, dan lain-lain. Manocha (2003) menyatakan arang aktif digunakan untuk pengembangan teknologi, misalnya sebagai adsorben, katalis, penyerap gas alam,
28 kontrol fasa gas dan cair di lingkungan, penjernihan air dan sumber energi. Beberapa tujuan penggunaan arang aktif untuk berbagai keperluan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Penggunaan arang aktif secara umum No. 1.
2.
3.
Maksud/Tujuan Untuk Gas: Pemurnian gas Pengolahan LNG Katalisator Lain-lain Untuk Zat Cair: Industri obat dan makanan Minuman ringan, minuman keras Kimia perminyakan Penjernih air Pembersih air buangan Penambakan udang dan benur Pelarut yang digunakan kembali Lain-lain: Pengolahan pulp Pengolahan pupuk Pengolahan emas Penyaringan minyak makan dan glukosa
Pemakaian Desulfurisasi, menghilangkan gas beracun, bau busuk, asap Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan mentah dan reaksi gas Reaksi katalisator atau pengangkut vinil klorida dan asetat Menghilangkan bau dalam kamar pendingin dan mobil Menyaring dan menghilangkan warna, bau, rasa yang tidak enak pada makanan Menghilangkan warna, bau pada arak/minuman keras dan minuman ringan Penyulingan bahan mentah, zat perantara Menyaring/menghilangkan bau, warna, zat pencemar dalam air, sebagai penukaran resin dalam alat/ penyulingan air Mengatur dan membersihkan air buangan dan pencemar, warna, bau, logam berat Pemurnian, menghilangkan bau dan warna Penarikan kembali berbagai pelarut, sisa metanol, etil asetat, dan lain-lain Pemurnian dan menghilangkan bau Pemurnian Pemurnian Menghilangkan bau, warna, dan rasa tidak enak
(Sumber: LIPI 1999) Produk arang aktif lebih 70% digunakan di sektor industri, seperti industri gula, sirop, minyak, air minum, kimia dan farmasi. Di samping juga digunakan untuk keperluan kenderaan bermotor untuk menyerap bau sebagai pengganti pewangi yang menggunakan bahan-bahan kimia. Penggunaan arang aktif sebagai adsorben fasa gas dalam suatu industri kimia berfungsi untuk mengikat kembali uap pelarut dengan jalan mengalirkannya ke dalam suatu wadah yang berisi arang aktif. Uap pelarut yang sudah terikat dapat dilepas lagi dengan cara mengalirkan uap air pada tekanan tinggi.
29 Umumnya adsorpsi uap pelarut dilakukan pada suhu normal, dan jumlah uap air yang dialirkan sebanyak 3 kali jumlah uap pelarut yang diserap (Fuertes et al. 2003). Harris (1999) menyatakan arang aktif sangat penting dalam penjernihan air dan udara. Beberapa publikasi lain melaporkan arang aktif sangat efektif sebagai adsorben dalam pengolahan air guna menghilangkan kontaminan, seperti ion-ion Co2+ dan Sr2+; mikropolutan organik seperti trihalometana, trinitrotoluena, p-klorofenol, dan klorin (Marinovic et al. 2005), 4), fenol (Srivastava et al. 2006; Daifullah & Girgis 1998). Arang aktif merupakan adsorben yang cukup potensial dalam mengadsorpsi ion-ion logam berat, misalnya ion Cu2+ (Sayan 2006), Pb2+ (Machida et al. 2005), dan Hg2+ (Maroto-Valer et al. 2005). Di samping itu, arang aktif dapat mengadsorpsi anion surfaktan, seperti alkil benzena sulfonat (ABS), dan dodekil benzena sulfonat (DBS) yang biasanya mencemari air (Sibelzor 2004), dan kation dari campuran surfaktan resorsinol/formaldehida (Nishiyama et al. 2005). Penggunaan arang aktif sebagai katalis pada berbagai macam reaksi kimia dapat dilakukan melalui pengembangannya dengan logam-logam, antara lain Pt, Pd, Ag, Au, dan Co (Yang et al. 2005; Yu et al. 2005). Salah satu reaksi hidrogenasi penting yang berlangsung dengan bantuan katalis arang aktif dan platina ialah reaksi hidrogenasi orto-nitroklorobenzena seperti digambarkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Reaksi hidrogensasi orto-nitroklorobenzena yang berlangsung dengan bantuan katalis arang aktif dan platina (Cheng-Juri et al. 2005).
Hasil penelitian Poage et al. (2000) yang mencampurkan arang aktif ke dalam makanan tambahan domba, ternyata dapat mencegah domba tersebut dari keracunan rumput liar yang pahit (Hymenoxys odorata) yang diketahui mengandung senyawa seskuiterpen lakton himenokon. Selanjutnya Villalba et al. (2002) melaporkan
30 campuran makronutrien dan arang aktif pada tumbuhan semak-semak (Artemisia tridentate Nutt) merupakan makanan tambahan yang kaya energi dan dapat menangkal racun bagi domba dan kambing. Penambahan arang aktif dan antibiotik dapat menyerap racun yang dikeluarkan E. coli dari anak sapi (Bali et al. 2000). Di samping itu, arang aktif yang ditambah logam perak atau perak klorida mempunyai kemampuan sebagai antibakteri terhadap E. coli atau S. aureus (Shuixia et al. 2001). Penambahan arang aktif ke dalam kultur media mikrospora Brassica oleracea, Brassica juncea, dan Brassica napus dapat meningkatkan produksi embrio (Prem et al. 2004; Zhang et al. 2004). Arang aktif dapat mendeaktivasi kontaminan pestisida yang terdapat di dalam tanah dengan dosis antara 100-400 kg/ha (Miller & McCarty 2002). Manfaat lain pada penambahan arang aktif ke dalam tanah adalah dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikroba, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, karena arang aktif dapat menjerap dan menyimpan panas (Weil et al. 2003). Gerard & Barthelemy (2003) melaporkan arang aktif telah digunakan di beberapa negara untuk menjerap residu pestisida pada proses penjernihan air untuk mendapatkan air minum yang bebas pestisida. Hasil penelitian Gusmailina et al. (2001) dan Gusmailina & Pari (2002), menunjukkan bahwa arang dan arang aktif dapat digunakan untuk membangun kembali kesuburan lahan kritis yang miskin hara. Keuntungan pemberian arang, antara lain memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar dan memberikan habitat untuk pertumbuhan semai tanaman. Lebih lanjut, Gusmailina et al. (2000) mengatakan bahwa penambahan arang dan arang aktif bambu meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan Eucalyptus urophylla lebih baik dibandingkan kontrol, namun pertumbuhannya akan lebih baik lagi, bila pada waktu penanaman arang dicampur dengan kompos. Pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan anakan Pinus merkusii yaitu pada pemberian kompos dan arang kompos masing-masing 30% (Komarayati et al. 2003). Pemberian arang kompos serasah tusam dan arang kompos campuran dengan konsentrasi 40% dapat meningkatkan panjang akar dan berat total anakan mahoni (Komarayati 2004). Kandungan hara arang dan arang aktif dari beberapa bahan baku disajikan pada Tabel 4.
31 Tabel 4 Kandungan hara arang dan arang aktif beberapa bahan baku
Komponen
Arang
Kandungan Unsur Hara (ppm) Arang Aktif 200
Serbuk Gergaji 600
400
400
9800
1200
2100
2100
2800
6070
1600
500
500
1200
1370
1500
900
900
3100
300
Tempurung Kemiri 100
140
300
K
960
Ca Mg
N
Tempurung Kemiri 200
P
Bambu
Bambu
(Sumber: Gusmailina et al. 2000) Menurut Hernandez-Apaolaza et al. (2005), beberapa material sampah, seperti campuran kulit kayu cemara, serabut kelapa, dan kompos dapat digunakan sebagai substrat untuk meningkatkan produksi tanaman hias. Penggunaan arang aktif juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan akar dan bobot biomassa tanaman pule landak, serta pengembangan stek tanaman Capsicum annuum (Ciner & Tipirdamaz 2002), juga mencegah pembusukan akar pada tanaman melon (Nischwitz et al. 2002). Di samping itu, arang dapat merangsang aktivitas dan merupakan tempat berkembang biak mikroorganisme (Komarayati & Indrawati 2003).
2.5 Asap Cair Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1880 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, yang dikembangkan dengan metode kasar destilasi kering dari bahan kayu (Pszczola 1995). Asap cair adalah asap yang terbentuk melalui proses pembakaran yang terkondensasi pada suhu dingin. Menurut Darmadji (1995), asap merupakan sistem yang kompleks, yang terdiri dari fase cairan terdispersi dalam medium gas sebagai pendispersi. Asap terbentuk karena pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen terbatas yang melibatkan reaksi dekomposisi bahan polimer menjadi komponen organik dengan bobot yang lebih rendah, karena pengaruh panas (Tranggono et al. 1997). Jika oksigen tersedia cukup, maka pembakaran menjadi lebih sempurna dengan menghasilkan gas CO2, uap air, dan abu, sedangkan asap tidak terbentuk.
32 2.5.1 Komposisi Asap Cair Girard (1992) menyatakan komposisi asap telah diteliti oleh Pettet dan Lane pada tahun 1940, di mana pada asap kayu ditemukan hampir 1000 senyawa kimia. Beberapa senyawa yang telah berhasil diidentifikasi, yaitu fenolik 85 macam, karbonil 45 macam, asam 35 macam, furan 11 macam, alkohol dan ester 15 macam, lakton 13 macam, dan hidrokarbon alifatik 21 macam. Menurut Maga (1998) dalam Firmansyah (2004), komposisi rata-rata asap cair dari bahan kayu terdiri atas 11-92% air, 0,2-2,9% senyawaan fenolik, 2,8-4,5% asam, 2,6-4,6% karbonil, dan 1-17% ter, sedangkan menurut Bratzler et al. (1969) komponen utama kondensat asap kayu, yaitu karbonil (24,6%), asam karboksilat (39,9%), dan senyawaan fenolik (15,7%). Tranggono et al. (1997) mendapatkan tujuh macam komponen kimia utama dalam asap cair tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2-siklopentadion, yang larut dalam eter. Sementara Yulistiani (1997) mendapatkan kandungan senyawaan fenolik dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1,28%. Menurut Nurhayati (2000), hasil destilasi kering 4 jenis kayu menunjukkan bahwa kadar asap cair tertinggi terdapat pada kayu karet (98,60%), sedangkan yang terendah pada kayu bakau (59,33%). Komponen fenol tertinggi (3,24%) terdapat pada asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) kayu bakau, dan kadar alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati. Asap cair dari akar kayu Erythrina latissima dilaporkan oleh Wanjala et al. (2002) dalam Chacha et al. (2005) mengandung beberapa senyawa alkaloid, stilbenoid, lignan, dan flavonoid. Asap cair dari kayu Erythrina latissima mengandung beberapa flavonoid yang bersifat antimikrobial (Chacha et al. 2005). Menurut Demirbas (2005), kandungan kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm) melalui proses pirolisis dengan larutan alkali (30% Na2CO3) dan non-alkali, tertera pada Tabel 5.
33 Tabel 5 Hasil analisis senyawa kimia fraksi cair dari partikel pohon kayu (0,425 mm) melalui pirolisis dalam larutan alkali (30% Na2CO3) dan non-alkali Senyawa Asetaldehida Metanol Aseton Metil asetat Guaiakol 4-Metil-guaiakol 2-Butanon Asam asetat 1-Hidroksi-2-propanon 1-Hidroksi-2-butanon Furfural Furfuralik alkohol 2,6-Dimetoksifenol 3-Metil-2,6-dimetoksifenol Tidak teridentifikasi
Larutan Non-alkali (suhu 735 oK)
Larutan Alkali (suhu 800 oK)
0,95 0,44 0,71 0,46 0,42 0,44 0,27 14,26 12,63 5,72 1,73 1,69 0,74 0,62 52,92
1,42 8,65 1,18 0,55 0,34 0,32 0,68 18,37 13,88 5,98 1,95 2,06 1,08 0,86 42,28
(Sumber: Demirbas 2005) Berdasarkan data Tabel 5, ditunjukkan bahwa pada proses pirolisis kayu baik dengan larutan alkali maupun non alkali diperoleh komponen kimia utama yang sama dalam fraksi cairnya, yaitu asam asetat dan 1-hidroksi-2-propanon.
2.5.2 Kegunaan Asap Cair Produk asap cair telah lama dikenal dan digunakan untuk mengawetkan daging babi dan babi asin serta untuk memberi cita rasa pada beberapa bahan makanan, karena memiliki kelebihan antara lain: 1) flavor yang khas; 2) kehilangan flavor lebih mudah dideteksi; 3) dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan; 4) dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial; dan 5) polusi lingkungan dapat diperkecil (Maga 1998 dalam Firmansyah 2004). Menurut Girard (1992), asap cair dapat digunakan sebagai antimikroba, antioksidan, pembentuk aroma, flavor, dan warna pada ikan kayu. Pszczola (1995) menyatakan asap cair mempunyai beberapa sifat fungsional, antara lain: 1) untuk memberikan flavor dan warna yang diinginkan pada produk asap karena kandungan senyawan fenolik, dan karbonil; dan 2) sebagai pengawet karena mengandung senyawaan fenolik dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan. Menurut Bukle et al. (1985), asap cair mengandung senyawaan kimia, seperti aseton, formaldehida, dan fenolik mempunyai sifat antibakteri dan antifungi,
34 sedangkan asam dapat berfungsi menurunkan pH, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa fenolik sudah diidentifikasi dan sebahagian besar digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, dan makanan, karena aktivitas biologi yang dimilikinya, yaitu sebagai antimikroba, antioksidan, antimetanogenesis dan antimutagenesis (Ahmad et al. 1980). Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenolik dan asam asetat, dan peranannya akan semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama (Darmadji 1995). Di samping itu, beberapa senyawaan fenolik yang diisolasi dari berbagai jenis tumbuhan, seperti Pisum sativum L., Ocimum basilicum L., dan dari sampah kulit buah-buahan pada industri juice anggur, ternyata mempunyai sifat aktivitas antioksidan yang cukup potensial (Javanmardi et al. 2003). Nurhayati (2000) menyatakan bahwa di samping sebagai bahan pengawet, asap cair juga dapat digunakan sebagai pestisida karena mengandung berbagai senyawa toksik terutama golongan lakton. Hal ini juga didukung beberapa penelitian antara lain, yang dilaporkan oleh Narasimhan et al. (2005) bahwa senyawa salanobutirolakton aktifb sebagai antifeedant, sedangkan senyawa desasetilsalanobutirolakton aktif sebagai insektisida dan pertumbuhan regulasinya. Senyawa gamma lakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga (Frackowiak et al. 2006).
2.6 Tanaman Daun Dewa Tanaman daun dewa mempunyai nama latin Gynura pseudochina (Lour) DC. Tanaman ini mempunyai beberapa sinonim, yaitu Gynura segetum (Lour) Merr, dan Gynura sarmentosa BI. Menurut Heyne (1987), tanaman ini berasal dari Birma dan Cina. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama daerah beluntas cina (Sumatera), daun dewa (Melayu), tigel kio (Jawa). Menurut Winarto et al. (2003), tanaman ini merupakan terna impor dengan tinggi mencapai 45 cm dan memiliki umbi akar. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada ketinggian sekitar 200800 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini sangat ideal dibudidayakan di daerah dengan curah hujan kurang lebih 1.500-2.500 mm/tahun dan suhu udara 25-32 oC, kelembapan berkisar 70-90% dengan penyinaran agak tinggi. Daun dan umbi tanaman ini sangat rentan terhadap terserang hama. Hal ini terbukti, umumnya tanaman ini yang ditanam di Kebun Percobaan Sukamantri dan Kebun Cikabayang IPB rata-rata daunnya
35 terserang hama. Demikian juga halnya, dengan tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat di Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur, Bogor. Tanaman daun dewa dapat dikembangbiakkan melalui umbi atau setek batang. Bagian tanaman ini yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan adalah daun dan umbi, baik dalam keadaan segar maupun kering. Menurut Winarto et al. (2003), efek farmakologi yang menonjol pada tanaman ini adalah efek antikoagulan, gangguan pada peredaran darah, dan mengurangi pembengkakan. Manfaat lainnya, yaitu sebagai antialergi, bronchitis, batu ginjal, antitumor, penawar racun, kencing manis (Zhang & Tang 2000), dan ekstrak etanol tanaman ini dapat melawan infeksi virus herpes (Jiratchariyakul et al. 2001). Daun dan umbi tanaman daun dewa mengandung bahan aktif seperti flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, dan alkaloid, (Ratnaningsih et al. 1985; Wijayakusuma 1992; Siregar & Utami 2000). Hasil penelitian Agusta et al. (1998) menunjukkan daun dewa mengandung 0,05% minyak atsiri dari bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen dan didominasi oleh senyawa seskuiterpena. Menurut Soetarno et al. (2000), senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida kuersetin yang diduga mempunyai kemampuan sebagai obat antikanker. Selain itu, juga ditemukan ada delapan asam fenolat, diantaranya asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat, sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Santoso & Gunawan (1999) melaporkan tanaman daun dewa mengandung alkaloid, tanin, saponin, polifenol, minyak atsiri dan flavonoid. Sedangkan Winarto et al. (2003) melaporkan kandungan kimia yang terdapat pada tanaman ini antara lain berupa flavonoid, asam fenolat, asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, dan asam vanilat. Kandungan kimia tanaman daun dewa telah diketahui bermanfaat sebagai antikanker, daun dan umbinya mengandung flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, dan alkaloid golongan pirolizidin yang bersifat hepatotoksik. Hasil uji fitokimia yang telah penulis lakukan terhadap ekstrak daun dan umbi tanaman ini juga positif menunjukkan kandungan kimia alkaloid, terpenoid, flavonoid, antosianin, dan saponin. Berbagai literatur mempublikasikan kandungan dan manfaat flavonoid, alkaloid, saponin, dan minyak atsiri diindikasikan dapat menurunkan kolesterol darah, merangsang sirkulasi darah, juga bersifat antiseptik, analgetik, dan antiinflamasi.
36 Winarto et al. (2003), menyatakan hasil panen dari budidaya tanaman daun dewa yaitu daun dan umbi. Pemanenan daun dapat dilakukan setelah daun tanaman terbentuk dengan sempurna, ukuran daun cukup besar, dan warnanya sudah hijau tua, sedangkan umbinya baru dapat dipanen pada umur kira-kira 6-8 bulan, namun sangat tergantung pada cara pengelolaan dan kondisi tanah. Pemanenan yang terlalu cepat atau terlalu lama, akan berpengaruh pada kesempurnaan pembentukan atau kehilangan zatzat yang terkandung di dalam umbi dan daun.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Serangkaian penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai Oktober 2006, yang dibagi ke dalam dua fase. Fase pertama adalah kegiatan di laboratorium yang meliputi proses pengomposan, pengarangan, pembuatan arang aktif dan analisis produk-produk yang dihasilkan serta bioassay asap cair yang diselesaikan dalam waktu sebelas bulan. Fase kedua adalah kegiatan di lapangan untuk mengaplikasikan produk komarasca yang dihasilkan pada percobaan di laboratorium pada tanaman daun dewa yang membutuhkan waktu selama lima bulan. Kegiatan di laboratorium dilaksanakan di beberapa laboratorium yang terdiri atas: 1) Laboratorium Kimia Kayu dan Energi Biomasa Puslitbang Hasil Hutan, Bogor dilakukan proses pengomposan, pengarangan dan analisis sifat-sifat dasar arang, asap cair dan arang aktif serta bioassay asap cair; 2) Laboratorium Servis Seameo Biotrob, Bogor dilakukan analisis kadar total fenol asap cair dan pengukuran nisbah C/N kompos serta analisis kandungan unsur makro, mikro dan logam beratnya dengan Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS); 3) Laboratorium Teknologi Mineral Departemen Teknik Pertambangan ITB, Bandung dilakukan analisis arang dan arang aktif dengan X-Ray Diffraction (XRD); 4) Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung dilakukan analisis arang dan arang aktif dengan spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR); 5) Laboratorium Kuarter Pusat Penelitian Geologi, Bandung dilakukan analisis arang dan arang aktif dengan Scanning Electron Microscopy (SEM); 6) Laboratorium Kesehatan Daerah (d/h. laboratorium Doping) Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI, Jakarta dilakukan analisis komponen asap cair dengan spektrometer Gas ChromatographyMass Spectrometri (GCMS); 7) Laboratorium Biologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, Bogor dilakukan analisis mikrobiologi tanah dan unsur hara campuran media tanam; dan 8) Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia Fakultas MIPA IPB, Bogor dilakukan analisis kandungan fitokimia tanaman daun dewa hasil panen. Kegiatan di lapangan dilaksanakan di perkarangan rumah Ibu Alfa Blok A7 No.1 Perumahan Griya Melati Kelurahan Bubulak Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
38 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini dirinci menurut tahapan pelaksanaan masing-masing percobaan sebagai berikut:
3.2.1.1 Bahan pengomposan Bahan baku kompos adalah sampah organik lunak yang diperoleh dari Pasar Anyar, Warung Jambu dan Pasar Bogor. Biodekomposer yang digunakan adalah cairan EM-4 dari pasar komersial, serbuk Orgadec dari Badan Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor dan cairan Biodek dari Laboratorium Mikrobiologi Tanah Puslitbang Tanah dan Agroklimat Cimanggu, Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah arang dan asap cair hasil pirolisis sampah organik. Bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, urea, gula, dan bahan untuk karakterisasinya yang meliputi kadar air, N, C, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mn, Fe, Cr, Cd, dan Pb.
3.2.1.2 Bahan pengarangan Bahan baku arang dan asap cair adalah sampah organik padat yang sukar dikomposkan terdiri atas 30% kayu, 30% bambu, 20% pepohonan/ranting, dan 20% dedaunan yang diperoleh dari Pasar Anyar, Warung Jambu dan Pasar Bogor. Sebagai bahan bakar digunakan serbuk gergaji dari limbah Perusahaan Pengolahan Kayu Gunung Batu, Bogor. Untuk proses kondensasi asap digunakan air dari instalasi PDAM Tirta Pakuan, Bogor. Bahan karakterisasi arang digunakan KBr, dan pelet emas. Bahan untuk fraksinasi dan karakterisasi asap cair antara lain digunakan pelarut metanol, nheksan, etil asetat, larutan Na2S2O3 0,1 N, NaOH 0,2 N, KBr 0,2 N, KI 15%, kanji 1%, HCl pekat, dan aquades.
3.2.1.3 Bahan pembuatan arang aktif Bahan utama yang digunakan adalah arang hasil pengarangan sampah organik padat. Bahan kimia yang digunakan sebagai aktivator antara lain uap H2O, larutan KOH 0,5 dan 1 M, dan larutan H3PO4 0,5 dan 1 M. Bahan karakterisasinya digunakan KBr, pelet emas, larutan iodin 0,1 N, larutan Na2S2O3 0,1 N, larutan kanji 1%, benzena, aluminium foil dan aquades.
39 3.2.1.4 Bahan bioassay Bahan utama adalah asap cair hasil sampingan proses pengarangan sampah organik padat. Sebagai bioindikator digunakan larva ulat S. litura Linn yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Daun uji digunakan merupakan pakan utama ulat tersebut, yaitu daun kubis yang masih muda. Bahan lain yang digunakan antara lain aquades, kain kasa, dan pelarut aseton untuk melarutkan asap cair dan fraksi-fraksinya.
3.2.1.5 Bahan aplikasi komarasca pada tanaman daun dewa Bahan utama yang digunakan adalah kompos, arang, arang aktif dan asap cair hasil percobaan di atas. Bahan tanaman yang digunakan adalah umbi tanaman daun dewa hasil panen dari Kebun Cikabayang Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, Bogor. Bahan penunjang lainnya adalah pupuk kandang, tanah kebun bekas tanaman singkong, dan abu hasil samping pada proses pengarangan. Sebagai pengendali hama pembanding digunakan pestisida merk sidamethin dari pasar komersial.
3.2.2 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dirinci menurut tahapan percobaan sebagai berikut:
3.2.2.1 Peralatan pengomposan Pengomposan sampah organik lunak digunakan peralatan seperti Gambar 8, yang terbuat dari drum plastik bertutup dengan ukuran tinggi 53 cm dan diameter 28 cm. Peralatan lain yang digunakan antara lain, timbangan, pH meter merk Waterproof, termometer, mesin chopper, sekop, dan ember plastik.
Gambar 8 Tempat pengomposan
40 Peralatan untuk karakterisasi kompos antara lain digunakan cawan porselin, oven, desikator, timbangan analitik, labu Kjeldahl, labu destilasi, wadah teflon, microwave, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah AAS seri SL-AAS-01 nov-300.
3.2.2.2 Peralatan pengarangan Pada proses pengarangan sampah organik padat digunakan peralatan seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Komponen peralatan tersebut terdiri atas: 1. Reaktor pirolisis (I) dibuat dari bahan drum bekas (tebal ± 1,5 mm) dengan ukuran tinggi 48 cm dan diameter 60 cm; 2. Pipa penyalur asap terbuat dari besi berdiameter 2 inci dengan panjang 120 cm, yang terhubung antara reaktor pirolisis dengan tabung pendingin; 3. Tabung pendingin (II) dibuat dari bahan yang sama dengan reaktor pirolisis, dengan ukuran tinggi 88 cm dan diameter 60 cm. Melalui tabung ini disambungkan pipa penyalur asap dari reaktor pirolisis untuk proses kondensasi asap; 4. Tungku pembakaran (III) dibuat dari bahan yang sama dengan reaktor pirolisis, dengan ukuran tinggi 40 cm dan diameter 60 cm; dan 5. Ember plastik (IV) untuk menampung asap cair.
I II III IV
a
b
Gambar 9 Reaktor pirolisis: (a) Reaktor listrik, (b) Reaktor drum Peralatan untuk karakterisasi arang antara lain timbangan analitik, oven, cawan porselin, desikator, tanur listrik, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah spektrofotometer FTIR merk Shimadzu 8400, SEM merk JEOL JSM-6360LA, dan
41 XRD merk Philips PW-1835. Peralatan untuk karakterisasi dan fraksinasi asap cair antara lain pH meter merk Waterproof, Erlenmeyer bertutup, termometer, botol pisah, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah GCMS merk Hewlett Packard seri GC 6890 MSD 5973.
3.2.2.3 Peralatan pembuatan arang aktif Peralatan utama untuk pembuatan arang aktif digunakan retort listrik seperti terlihat pada Gambar 10. Komponen pelaratan tersebut terdiri atas: 1. Retort yang terbuat dari baja antikarat dengan ukuran panjang 100 cm dan diameter 5 cm, yang dililit dengan elemen kawat nikel sebagai pemanas; 2. Termokopel disediakan dua buah untuk mengendalikan suhu aktivasi; 3. Ketel yang juga terbuat dari baja antikarat sebagai pemasok uap yang berasal dari bahan pengaktif yang digunakan; 4. Kondensor yang terbuat dari kaca sebagai pendingin; dan 5. Labu boiler yang terbuat dari kaca pyrex untuk menampung destilat.
Gambar 10 Retort pembuatan arang aktif Peralatan untuk karakterisasi arang aktif sama dengan peralatan yang digunakan pada karakterisasi arang dan bahan bakunya.
3.2.2.4 Peralatan bioassay Peralatan yang digunakan pada bioassay asap cair terhadap larva S. litura Linn antara lain, berupa alat-alat gelas yang umum terdapat di laboratorium kimia,
42 timbangan analitik, pipet mikro, gelas ukur, pinset, spidol, gunting dan petri dish yang berlubang (diameter lubang 5 x 5 cm), kain kasa dan selotip.
3.2.2.5 Peralatan aplikasi komarasca pada tanaman daun dewa Peralatan yang digunakan antara lain, timbangan, pacul, sekop, terpal, wadah plastik, timba plastik, plastik poliback, golok, tali plastik, spidol, pisau, alat penyiram, dan botol penyemprot.
3.3 Prosedur Penelitian Dalam rangka menangani sampah organik pasar menjadi produk-produk yang bermanfaat terutama bagi kelestarian lingkungan, maka penelitian ini dibagi atas beberapa sub kegiatan penelitian sebagai berikut:
3.3.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos 3.3.1.1 Prosedur pengomposan Pengomposan sampah organik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan prosedur yang dimodifikasi dari metode yang dikembangkan Indriani (2005), dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Sampah yang masih segar dikumpulkan dan dipilih bahan-bahan yang mudah dikomposkan seperti sayur-sayuran dan sisa makanan; 2. Kemudian sampah tersebut dicacah dengan mesin chopper. Diambil contoh sampah yang sudah dicacah untuk dianalisis kadar air dan nisbah C/N-nya. Disiapkan 10 karung contoh dan masing-masing ditimbang sebanyak 20 kg. Selanjutnya masingmasing contoh ditebar di atas terpal plastik; 3. Ke dalam masing-masing contoh, dicampurkan dengan larutan/campuran sesuai kombinasi perlakuan pada Tabel 6; 4. Campuran diaduk secara merata, lalu dimasukkan ke dalam tempat pengomposan (Gambar 8), ditutup dan ditimbang kembali; 5. Untuk mengontrol proses pengomposan diukur suhu, pH, dan kelembapan setiap hari sampai kondisi mencapai keadaan stabil. Apabila suhunya tinggi, bahan dibalik, didiamkan sebentar agar suhunya turun, lalu ditutup kembali. Demikian seterusnya; 6. Untuk mengetahui tingkat dekomposisi selama pengomposan dilakukan pengukuran nisbah C/N dan penimbangan bobotnya pada hari ke-0, 10, 20, dan 30;
43 7. Dibiarkan proses ini berlangsung sampai terbentuk kompos matang. Kompos yang telah matang dicirikan dengan warna hitam, gembur, tidak panas, dan tidak berbau; 8. Masing-masing perlakuan pengomposan dibuat triplo (3 unit percobaan). Tabel 6 Kombinasi perlakuan pengomposan 20 kg sampah organik pasar Kode Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
Biodekomposer (gram) Orgadec EM-4 Biodek 0 200 0 0 100 100 100 100 100 100
0 0 200 0 100 100 100 0 0 0
0 0 0 200 0 0 0 100 100 100
Arang 0 0 0 0 200 200 0 200 200 0
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B2 = biodekomposer EM4 B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair
Bahan Tambahan (gram) Asap cair Gula 0 0 0 0 200 0 200 200 0 200
Urea
40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
40 40 40 40 40 40 40 40 40 40
Pelarut Air (mL) 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000
B1 = biodekomposer Orgadec B3 = biodekomposer Biodek B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
3.3.1.2 Prosedur penetapan mutu kompos (BSN 2004) 1. Kadar air Cawan porselin dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya contoh ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah ditimbang, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang. Kadar air (%) =
bobot contoh awal − bobot contoh akhir bobot contoh awal
x 100
2. Kadar nitrogen Contoh ditimbang sebanyak 0,25 gram, lalu dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 0,25 gram selen. Larutan tersebut kemudian didestruksi hingga jernih. Selanjutnya ke dalam larutan hasil destruksi yang dingin ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 15 ml. Dipihak lain, disiapkan penampung yaitu 25 ml HCl pekat dan 2 tetes indikator nitrogen dalam labu Erlenmeyer 125 ml.
44 Kemudian larutan contoh dimasukkan ke dalam labu destilasi. Destilasi dihentikan apabila larutan HCl dalam labu Erlenmeyer menjadi 2 kali lipat. Selanjutnya hasil destilasi dititrasi dengan larutan NaOH. %N=
(ml titrasi blanko − ml titrasi contoh) x N NaOH x 14 x fk x 100 mg contoh
3. Kadar karbon Contoh kering udara ditimbang sebanyak 0,25 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan 2,5 ml H2SO4 pekat secara perlahan-lahan. Larutan tersebut dikocok hingga bereaksi sempurna. Selanjutnya sebanyak 1 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125 ml dan ditambah 9 ml aquades. Campran dititrasi dengan larutan Fe2(SO4)3 0,1 N dengan indikator diphenilalanin sebanyak 2 tetes. Titrasi dihentikan jika warna larutan berubah menjadi warna hijau. %C =
(ml titrasi blanko − ml titrasi contoh) x N Fe2(SO4)3 x 3 x 10 x 100 mg contoh
4. Kadar fosfor (metode Bray I) Contoh kompos ditimbang sebanyak 2,5 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml, lalu ditambah 25 ml larutan Bray dan Kurt I, kemudian dikocok selama 5 menit, lalu disaring. Dipipet 2 ml filtrat jernih ke dalam tabung, lalu diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Hasil pengukuran dibandingkan dengan kurva standar. Kadar P (ppm) =
(Absorbansi contoh − Absorbansi blanko) x ppm standar x 10 x fk Absorbansi standar
5. Kadar unsur makro, mikro dan logam berat (metode Morgan-Wolf) Contoh kompos ditimbang sebanyak 20 gram, lalu dimasukkan dalam botol pisah 100 ml, ditambah 1 ml karbon aktif dan 40 ml pereaksi Morgan-Wolf. Kocok selama 5 menit dengan mesin pengocok pada minimum 180 goyangan/menit. Saring dengan kertas saring Whatman No.1 untuk mendapatkan filtrat jernih.
45 Pengukuran K, Ca, dan Mg. Dipipet 1 ml filtrat contoh dan deretan standar masing-masing ke dalam tabung kimia dan ditambahkan 9 ml larutan La 0,25%. Kocok menggunakan pengocok tabung sampai homogen. Ca dan Mg diukur dengan AAS dan K diukur dengan alat Flamephotometer dengan deret standar sebagai pembanding. Pengukuran Fe, Cu, Zn, dan Mn. Dipipet masing-masing 1 ml filtrat contoh dan deret standar campuran Fe, Cu, Zn, dan Mn ke dalam tabung kimia. Ditambahkan 9 mL air bebas ion dan dikocok (pengenceran 10x). Selanjutnya filtrat contoh diukur langsung menggunakan AAS. Pengukuran Cd, Cr, dan Pb. Dipipet masing-masing 1 ml filtrat contoh dan deret standar campuran Cd, Cr, dan Pb ke dalam tabung kimia. Ditambahkan 9 ml air bebas ion dan dikocok (pengenceran 10x). Selanjutnya filtrat contoh diukur langsung menggunakan AAS. Unsur (ppm) =
(Absorbansi contoh − Absorbansi blanko) x ppm standar x 2 x fk Absorbansi standar
3.3.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair 3.3.2.1 Prosedur pengarangan Bahan baku sampah organik padat yang akan digunakan terlebih dahulu dikarakterisasi dengan prosedur yang meliputi penentuan kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat, nilai kalori, daya jerap terhadap iodin dan benzena serta dianalisis strukturnya dengan FTIR, XRD, dan SEM. Proses pengarangan dimulai dengan menggunakan reaktor listrik kapasitas 1 kg (Gambar 9a) pada suhu 150, 250, 350, 450, dan 550 oC dalam waktu 5 jam. Pengarangan ini bertujuan untuk mendapatkan suhu proses yang optimum. Selanjutnya pengarangan dilanjutkan dengan peralatan reaktor drum (Gambar 9b) dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Sampah organik padat sisa karakterisasi ditimbang sebanyak 12,8 kg, lalu dimasukkan ke dalam reaktor drum, dan selanjutnya reaktor diletakkan di atas tungku pembakaran yang berisi serbuk gergaji sebagai bahan bakar; 2. Tungku pembakaran yang dilengkapi besi penghubung thermostat ke dalam reaktor dinyalakan dan diamati peningkatan suhu dan keluarnya cairan; 3. Jika asap yang keluar ke udara masih banyak, maka diberi bambu penghubung yang relatif basah dimulut cerobong agar kondensasi lebih sempurna. Kondensasi ini bertujuan mengurangi pencemaran udara;
46 4. Asap cair hasil kondensasi ditampung dalam ember plastik; 5. Proses pirolisis berlangsung selama 5 jam; 6. Reaktor pirolisis dibiarkan dingin sampai 24 jam; 7. Arang yang dihasilkan ditimbang dengan teliti untuk menghitung rendemennya dan dikarakterisasi seperti yang dilakukan terhadap bahan bakunya. Selanjutnya hasil yang diperoleh dibandingkan dengan SNI-01-1682-1996; 8. Asap cair yang diperoleh dihitung rendemennya dan dikarakterisasi yang meliputi pengukuran pH, total fenol dan diidentifikasi kandungan kimianya dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2, suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dengan kecepatan alir 0,6 μl/menit dan volume injeksi 1 μl; dan 9. Diulangi percobaan ini sampai diperoleh arang yang cukup untuk pembuatan arang aktif dan untuk berbagai keperluan analisis lainnya.
3.3.3.2 Prosedur karakterisasi arang dan bahan bakunya (BSN 1996) Baik arang maupun bahan bakunya ditumbuk dengan menggunakan lumpang dan alu. Kemudian serbuk diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Selanjutnya dikarakterisasi yang meliputi rendemen, kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat, daya jerap terhadap iodin, dan benzena. 1. Rendemen arang Rendemen arang ditetapkan dengan menghitung perbandingan bobot arang terhadap bobot bahan baku. Rendemen arang (%) =
bobot arang x 100 bobot bahan baku
2. Kadar air Contoh ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar air contoh (%) =
bobot contoh awal − bobot contoh akhir x 100 bobot contoh awal
47 3. Kadar zat terbang Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar zat terbang contoh (%) =
bobot contoh awal − bobot contoh sisa x 100 bobot contoh awal
4. Kadar abu Contoh kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar abu arang (%) =
bobot contoh sisa x 100 bobot contoh awal
5. Kadar karbon terikat Kadar karbon terikat dalam contoh dihitung dengan jalan pengurangan dari kadar abu dan zat terbangnya. Kadar karbon contoh (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang) 6. Nilai kalor Contoh kering oven ditimbang 1 gram, lalu diikat dengan kawat halus. Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pembakaran pada alat kalorimeter dan ditutup dengan rapat supaya tidak ada udara yang masuk. Dicatat perubahan kalor yang terjadi. Diulang percobaan ini sebanyak tiga kali. 7. Daya jerap contoh terhadap larutan iodin Contoh kering oven ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iodin 0,1 N serta dikocok selama 15 menit. Larutan disaring dan dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N
48 sampai berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iod (mg/g) =
{10 − ( vol.contoh x N Na 2S 2 O 3 )} bobot contoh (g)
x 126,93 x fp
8. Daya jerap contoh terhadap uap benzena Contoh kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam petri dish, lalu ditimbang lagi dengan teliti. Kemudian di letakkan di dalam eksikator yang berisi uap benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat pedri dish, lalu dibiarkan ± 15 menit, dan selanjutnya ditimbang. Daya jerap uap benzena (%) =
bobot contoh akhir − bobot contoh awal x 100 bobot contoh awal
3.3.2.3 Prosedur karakterisasi asap cair (LTP 1974) Asap cair yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil sampingan dari proses pirolisis sampah organik pasar. Asap cair hasil kondensasi ditampung dalam ember plastik. Selanjutnya dikarakterisasi yang meliputi rendemen, nilai pH dan kadar total fenolnya. 1. Rendemen Botol berwarna gelap yang bersih ditimbang dengan teliti, lalu diisi asap cair. Kemudian botol yang berisi asap cair ditimbang lagi. Selanjutnya ditentukan rendemennya dengan formula berikut: Rendemen asap cair (%b/b) =
bobot asap cair x 100 bobot bahan baku
2. Nilai pH Untuk mengetahui nilai pH asap cair yang dihasilkan, maka pada penelitian ini dilakukan penetapan pH menggunakan pH meter digital Waterproof Hanna dengan cara mencelupkan elektroda ke dalam aquades terlebih dahulu, lalu dilap dengan tissue. Selanjutnya elektroda di masukkan ke dalam contoh asap cair. Dicatat nilai pH yang muncul dilayar monitor.
49 3. Kadar total fenol Kandungan asap cair yang dilaporkan di beberapa literatur pada umumnya mengandung senyawaan fenolik, maka pada penelitian ini dilakukan analisis kadar total fenol untuk mengetahui karakteristik dari asap cair berdasarkan metoda LTP (1974) dengan prosedur, yaitu: 1) asap cair diuapkan pelarutnya dalam evaporator. Kemudian residu asap cair ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml, lalu ditambah 30 ml aquades; 2) campuran ditambah lagi 5 ml larutan NaOH 0,2 N dan diencerkan sampai tanda garis; 3) larutan dipipet sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml, lalu ditambah 25 ml larutan kromat bromida 0,2 N, 50 ml aquades dan 5 ml HCl pekat. Erlenmeyer ditutup dan digoyang-goyang selama 1 menit agar campuran homogen; 4) ke dalam campuran ditambahkan 5 ml larutan KI 15% dan digoyang-goyang lagi selama 1 menit; 5) campuran dititer dengan larutan standar Na2S2O3 0,1 N yang diberi larutan kanji 1% sebagai indikator sampai warna larutan berubah menjadi bening; 6) diulangi prosedur yang sama untuk blanko. Kadar total fenol dihitung dengan formula berikut:
Kadar fenol (%) =
{( v. blanko − v. contoh) x N N 2 S 2 O 3 x Mr fenol/6 x 1000} x 100 0,1 x bobot contoh
3.3.3 Pembuatan Arang Aktif 3.3.3.1 Prosedur pembuatan arang aktif Prosedur pembuatan arang aktif dari bahan baku arang hasil pirolisis sampah organik padat digunakan peralatan retort listrik (Gambar 10) dengan aktivator seperti ditunjukkan pada Tabel 7. 1. Aktivasi dengan panas Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian dan masing-masing dibungkus dengan kawat kasa nikel. Kemudian dimasukkan ke dalam retort dan dipanaskan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali. 2. Aktivasi dengan uap H2O Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian dan masing-masing dibungkus dengan kawat kasa nikel. Kemudian dimasukkan ke dalam retort dan dialiri
50 uap H2O secara kontinyu sambil dipanaskan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali. Tabel 7 Kombinasi perlakuan pembuatan arang aktif Perlakuan Kode Perlakuan A1W1S1 A1W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W1S1 A2W1S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W1S1 A3W1S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W1S1 A4W1S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W1S1 A5W1S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W1S1 A6W1S2 A6W2S1 A6W2S2 Keterangan: A1 A2 A3 A4 A5 A6
Aktivator Panas Sda Sda Sda Uap H2O Sda Sda Sda KOH 0,5 M Sda Sda Sda KOH 1 M Sda Sda Sda H3PO4 0,5 M Sda Sda Sda H3PO4 1 M Sda Sda Sda
= aktivasi dengan panas = aktivasi dengan uap H2O = aktivasi dengan basa KOH 0,5 M = aktivasi dengan basa KOH 1 M = aktivasi dengan asam H3PO4 0,5 M = aktivasi dengan asam H3PO4 1 M
Waktu (menit) 60 60 120 120 60 60 120 120 60 60 120 120 60 60 120 120 60 60 120 120 60 60 120 120 W1 W2 S1 S2
Suhu (oC) 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800 700 800
= waktu aktivasi 60 menit = waktu aktivasi 120 menit = suhu aktivasi 700 oC = suhu aktivasi 800 oC
3. Aktivasi dengan larutan KOH Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian. Satu bagian direndam selama 24 jam dengan larutan KOH 0,5 M dan satu bagian lain dengan larutan KOH 1 M dengan volume masing-masing 370 ml. Kemudian arang ditiriskan selama 24 jam. Masing-masing contoh dibungkus dengan kawat kasa nikel dan dimasukkan ke dalam retort, lalu dilakukan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali.
51 4. Aktivasi dengan larutan H3PO4 Arang ditimbang sebanyak 200 g, lalu dibagi dua bagian. Satu bagian direndam selama 24 jam dengan larutan H3PO4 0,5 M dan satu bagian lain dengan larutan H3PO4 1 M dengan volume masing-masing 370 ml. Kemudian arang ditiriskan selama 24 jam. Masing-masing contoh dibungkus dengan kawat kasa nikel dan dimasukkan ke dalam retort, lalu dilakukan sesuai perlakuan Tabel 7. Percobaan ini diulangi dua kali.
3.3.3.2 Prosedur penetapan mutu arang aktif (BSN 1995) Arang aktif yang dihasilkan pada setiap perlakuan di atas, ditumbuk dengan menggunakan lumpang dan alu. Kemudian serbuk arang aktif diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Selanjutnya serbuk arang aktif dikarakterisasi sesuai parameter mutu yang meliputi rendemen, kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat, dan daya jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform. 1. Rendemen arang aktif Rendemen arang aktif yang dihasilkan pada semua perlakuan aktivasi ditetapkan dengan menghitung perbandingan bobot arang hasil aktivasi terhadap bobot arang sebelum aktivasi. Rendemen arang aktif (%) =
bobot arang hasil aktivasi x 100 bobot arang sebelum aktivasi
2. Kadar air arang aktif Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar air (%) =
bobot arang aktif awal − bobot arang aktif akhir x 100 bobot arang aktif awal
3. Kadar zat terbang arang aktif Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 950 oC selama 10 menit. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap.
52 Kadar zat terbang (%) =
bobot arang aktif yang hilang x 100 bobot arang aktif awal
4. Kadar abu arang aktif Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 700 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar abu (%) =
bobot arang aktif sisa x 100 bobot arang aktif awal
5. Kadar karbon arang aktif Kadar karbon yang dikandung arang aktif dihitung dengan jalan pengurangan dari kadar abu dan zat terbangnya. Kadar karbon (%) = 100% - (% kadar abu + % kadar zat terbang) 6. Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup dan ditambahkan 25 ml larutan iodin 0,1 N serta dikocok selama 15 menit. Larutan disaring dan dipipet 10 ml, dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator sehingga larutan berwarna biru. Selanjutnya larutan dititer kembali sampai warna biru hilang.
Daya jerap iodin (mg/g) =
{10 − ( vol.contoh x N Na 2S 2 O 3 )} bobot contoh (g)
x 126,93 x fp
7. Daya jerap arang aktif terhadap uap benzena Serbuk arang aktif kering oven ditimbang 1 gram dan dimasukkan ke dalam petri dish, lalu ditimbang lagi dengan teliti. Kemudian diletakkan di dalam eksikator yang berisi uap benzena. Diamati pada jam ke-24 dan 48 dengan cara mengangkat petri dish, lalu dibiarkan ± 15 menit, dan selanjutnya ditimbang.
53 Daya jerap benzena (%) =
bobot arang aktif akhir − bobot arang aktif awal x 100 bobot arang aktif awal
3.3.3.3 Karakterisasi pola struktur arang aktif, arang dan bahan bakunya Untuk mengetahui pola struktur arang aktif, arang dan bahan bakunya dikarakterisasi dengan menggunakan peralatan sebagai berikut: 1. FTIR Analisis dengan FTIR untuk mengetahui perubahan gugus fungsi contoh akibat kenaikan suhu pada proses pirolisis dan/atau aktivasi. Analisis ini dilakuan dengan cara mencampurkan serbuk contoh dengan KBr menjadi bentuk pelet. Selanjutnya diukur serapannya pada bilangan gelombang 600-4000 cm-1. 2. SEM Analisis dengan SEM untuk mengetahui topografi permukaan dan ukuran pori contoh. Pengukuran ini mengikuti metode Smisek & Cerny (1970) dalam Pari (2004) dan Kim et al. (2001) yang dilakukan dengan cara melapisi contoh dengan platina. 3. XRD Analisis dengan XRD untuk mengetahui derajat kristalinitas, tinggi, lebar, jarak dan jumlah lapisan aromatik pada contoh. Analisis ini dilakukan dengan cara menginterpretasi pola difraksi dari hamburan sinar X pada contoh. Penetapan derajat kristalinitas, tinggi (Lc), lebar (La), jarak (d) dan jumlah lapisan aromatik (N) pada contoh dilakukan sesuai dengan prosedur yang dikembangkan Kercher & Nagle (2003); Han et al. (2003); Yusa & Watanuki (2005) dengan perhitungan sebagai berikut: Derajat kristalinitas (X) =
bagian kristalin bagian kristalin + bagian amorf
x 100%
Jarak antar lapisan aromatik d(002) : λ = 2 d sin θ dan d =
Tingi lapisan aromatik (Lc) pada θ 24-25 : Lc(002) =
Kλ β cos θ
λ 2 sin θ
54 Lebar lapisan aromatik (La) pada θ 43 : La(100) =
Jumlah lapisan aromatik (N) : N =
Kλ β cos θ
Lc d
λ = 0,15406 nm (panjang gelombang dari radiasi sinar Cu)
β = intensitas ½ tinggi dan lebar intensitas difraksi (radian)
K = Tetapan untuk lembaran graphene (0,89)
θ = sudut difraksi X = derajat kristalinitas
3.3.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair 3.3.4.1 Fraksinasi asap cair Fraksinasi bertujuan untuk mendapatkan fraksi-fraksi asap cair dari segi kepolarannya. Fraksinasi dilakukan dengan cara mengukur 1 liter contoh asap cair hasil pirolisis sampah organik padat pada suhu 505 oC. Selanjutnya contoh asap cair diekstraksi secara berturut-turut dengan pelarut n-heksan, etil asetat, metanol dan air menggunakan botol pisah. Fraksi-fraksi yang didapat dipekatkan dengan evaporator dan residunya ditimbang.
3.3.4.2 Bioassay Prosedur bioassay untuk menelusuri aktivitas biologi asap cair dan fraksifraksinya sebagai antifeedant bagi hama tanaman dimodifikasi dari metode Narasimhan et al. (2005) dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Contoh asap cair dan fraksi-fraksinya dibuat konsentrasi 0,0; 0,125; 0,25; 0,5 dan 1,0 (%b/v) dalam pelarut aseton-air(1:10); 5. Daun kubis digunakan sebagai pakan dan dipotong dengan ukuran 3x4 cm; 6. Potongan daun ini dicelupkan secara terpisah ke dalam masing-masing larutan sesuai konsentrasinya selama 20 detik, lalu dikeringudarakan;
55 7. Dua potongan daun (satu potongan diberi perlakuan dan satu lagi sebagai kontrol) dimasukkan ke dalam petri dish berlubang yang ditutup kain kasa; 8. Larva ulat S. litura Linn instar 3 sebanyak 8 ekor dimasukkan ke dalam masingmasing petri dish, lalu ditutup; 9. Pengamatan dilakukan pada jam ke-24 dengan menghitung bagian daun yang tidak dikonsumsi larva pada perlakuan dan kontrol. Tiap perlakuan diulangi 5 kali; 10. Persentase aktivitas antifeedantnya dihitung dengan rumus Narasimhan et al. (2005) sebagai berikut: % bagian daun yang tidak dikonsumsi (kontrol – perlakuan) x 100% % bagian daun yang tidak dikonsumsi (kontrol + perlakuan) 11. Untuk mengetahui tingkat aktivitas antifeedant dari contoh dihitung nilai Effective Inhibitor (EI50) secara analisis probit menggunakan software SPSS versi 12; dan 12. Asap cair dan/atau fraksi-fraksinya yang berpotensi sebagai antifeedant bagi larva dianalisis komponen kimianya dengan teknik GCMS.
3.3.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa Prosedur aplikasi komarasca hasil konversi sampah organik pasar dilakukan dengan mengacu pada metode budidaya tanaman daun dewa yang dikembangkan Winarto et al. (2003) melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
3.3.5.1 Persiapan bahan dan perlengkapan Bahan wadah tempat menanam tanaman daun dewa pada percobaan ini digunakan plastik poliback kecil (10x5 cm). Perlengkapan peralatan disiapkan untuk pengolahan dan pencampuran media. Tanah yang digunakan sebagai media tanam diambil dari kebun bekas tanaman singkong.
56 3.3.5.2 Pemilihan umbi untuk pembibitan Umbi tanaman daun dewa yang akan digunakan sebagai bibit diambil dari tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik dan sehat, serta dipanen pada umur 6 bulan. Seleksi umbi dilakukan dengan memilih umbi yang besar, tidak terserang hama, dan mempunyai banyak tunas. Pembibitan dilakukan dengan cara memotong umbi kecil-kecil kira-kira 1,5-2 cm. Selanjutnya potongan tersebut diletakkan di atas wadah pembibitan yang berisi media Tanah-abu dan ditutup dengan tisu basah. Apabila potongan-potongan tersebut sudah bertunas, lalu dipindahkan ke dalam plastik poliback yang berisi 100 gram Tanah-abu dan dibenamkan kira-kira 2-3 cm dari permukaan media. Bibit yang telah berdaun kira-kira 3-4 helai siap ditanami.
3.3.5.3 Penanaman dan perawatan tanaman daun dewa Bibit tanaman daun dewa. ditanam di dalam plastik poliback yang berisi 3.000 gram campuran media sesuai perlakuan. Waktu penanaman bibit dipilih pada sore hari untuk menghindari terkena sinar matahari, sehingga tidak terjadi dehidrasi yang bisa menyebabkan kematian pada bibit. Bibit untuk setiap perlakuan dipilih secara acak. Pada saat penanaman, bibit dibenamkan kira-kira 5 cm ke dalam media. Perawatan tanaman tersebut dilakukan dengan cara menyiang, menyiramnya sesuai kebutuhan, dan menanggulanginya dari serangan hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman ini digunakan asap cair dan sidamethin sebagai pembandingnya yang disemprotkan pada saat tanaman berumur 30 hari.
3.3.5.4 Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman daun dewa Untuk mengetahui pengaruh kompos dan arang aktif dilakukan pengukuran terhadap parameter pertumbuhan, yaitu: 1) jumlah daun (dihitung jumlah helainya); 2) tinggi batang (diukur dengan menggunakan mistar stanless); 3) jumlah anakan (dihitung jumlah batang anakan). Ketiga parameter tersebut diamati pada hari ke-0, 10, 20, dan 30. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan kompos dan arang aktif serta asap cair dilakukan pengukuran lagi terhadap pertumbuhan jumlah daun, tinggi batang, dan jumlah anakan tanaman tersebut pada hari ke-40, 60, dan 80.
57 3.3.5.5 Pemanenan tanaman Pada penelitian ini pemanenan tanaman ini dilakukan pada umur tanaman 90 hari. Tanaman hasil panen diukur tebal daun, jumlah akar dan dianalisis kandungan fitokimianya serta dihitung biomassanya dengan cara menimbang bobot basah semua bagian tanaman. Selanjutnya tanaman dipotong akarnya, lalu dikeringkan dalam oven secara bertahap pada suhu 65
o
C selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan lagi pada suhu 105 oC selama 24 jam, didinginkan dan ditimbang kembali bobotnya masing-masing.
3.3.5.6 Analisis kandungan fitokimia tanaman daun dewa Daun dan akar tanaman daun dewa hasil panen dipilih yang masih bagus dan dianalisis kandungan fitokimiannya yang meliputi alkaloid, flavonoid, fenilhidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin, dan saponin. Analisis ini dilakukan menggunakan prosedur baku yang dikembangkan Harborne (1988).
3.3.5.7 Analisis tanah dan campuran media bekas tanaman daun dewa Tanah dan campuran media bekas tanaman daun dewa yang memberi respon terbaik bagi pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman dianalisis kandungannya yang meliputi kadar unsur C, N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mn, Fe, Cr, Pb, dan Cd. Selanjutnya, dianalisis juga kandungan total mikroorganisme dan funginya.
3.3.6 Bagan Alir Penelitian Kegiatan penelitian tersebut di atas dapat digambarkan secara sistematis pada bagan alir seperti tertera pada Gambar 11. Bahan baku sampah organik diambil pada pukul 5 pagi agar tidak terlalu sukar pemisahannya. Sampah lunak langsung dicacah untuk memperkecil ukurannya sedangkan sampah padat dapat disimpan terlebih dahulu sebelum diproses. Proses penanganan sampah dengan langkah-langkah di atas, lebih efektif dan efisien serta tidak menjijikkan karena sampah yang terkumpul masih segar.
58 Sampah Organik Pemilahan secara manual
Sampah lunak (dicacah dengan chopper)
Sampah padat (dicacah dengan golok)
Pengomposan Biodekomposer (Orgadec, EM-4 dan Biodek)
Kompos
Pengarangan Reaktor Pirolisis (Reaktor Listrik dan Drum)
Arang
Karakterisasi
Karakterisasi Aktivator - panas - uap H2O - larutan KOH - larutan H3PO4
Asap Cair
Karakterisasi Fraksinasi - n-heksan - etilasetat - metanol - air
Arang Aktif
Bioassay (larva S. litura)
Karakterisasi
Fraksi Aktif
Komarasca Aplikasi
Tanaman Daun Dewa
Gambar 11 Bagan alir penelitian
59 3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 3.4.1 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Pembuatan Arang Aktif Untuk mengetahui pengaruh perlakuan aktivator, waktu dan suhu aktivasi terhadap rendemen, kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat dan daya jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform dari arang aktif yang dihasilkan, dilakukan perhitungan statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga kali ulangan. Faktor-faktor perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Aktivator, yaitu panas (A1), uap H2O (A2), KOH 0,5 M (A3), KOH 1 M (A4), H3PO4 0,5 M (A5), dan H3PO4 1 M (A6); 2. Waktu, yaitu 60 menit (W1), dan 120 menit (W2); dan 3. Suhu, yaitu 700 oC (S1), dan 800 oC (S2). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijkl = µ + Ai + Wj + (AW)ij + Sk + (AS)ik + (WS)jk + (AWS)ijk + εijkl Yijkl µ Ai Wi Si (AW)ij (AS)ik (WS)jk (AWS)ijk εijkl
= Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor W, dan taraf ke-k faktor S, yang terdapat pada ulangan ke-k = Nilai rata-rata umum = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i = Pengaruh perlakuan W pada taraf ke-i = Pengaruh perlakuan S pada taraf ke-i = Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor W = Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-k faktor S = Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-j faktor W dan taraf ke-k faktor S = Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor W dan taraf ke-k faktor S = Pengaruh galat dari taraf ke-i faktor, ke-j faktor W dan ke-k faktor S pada ulangan ke-l
Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis secara sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf α =
0,05, maka
dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan cara Duncan untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Mattjik & Sumertajaya 2000; Sudjana 1985).
60 3.4.2 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Aplikasi Komarasca Untuk mengetahui pengaruh penggunaan komarasca pada pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman daun dewa dilakukan perhitungan statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor-faktor perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Campuran media, yaitu: 100% tanabu (M0); 90% tanabu ditambah 10% pupuk kandang (M1);
90% tanabu ditambah 10% kompos (M2); 86,67% tanabu
ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang (M3); 86,67% tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan panas (M4); 86,67% tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan dengan uap H2O (M5); 86,67% tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan KOH 1M (M6); dan 86,67% tanabu ditambah 10% kompos ditambah 3,33% arang aktif hasil aktivasi dengan H3PO4 1M (M7). 2. Pengendali hama yaitu: kontrol (air) (P0); asap cair (larutan 0,5% fraksi metanol) (P1); dan pestisida sintetik (larutan 0,5% sidamethin) (P2). Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Mi + Pj + (MP)ij + εijk Yijk
= Pengamatan karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j faktor P pada ulangan ke-k µ = Nilai rata-rata umum Mi = Pengaruh sebenarnya dari taraf-i faktor M Pj = Pengaruh sebenarnya dari taraf ke-j faktor P (MP)ij= Pengaruh sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor M dan taraf ke-j faktor P εijk = Pengaruh galat dari taraf ke-i faktor M dan ke-j faktor P pada ulangan ke-k Data yang diperoleh berdasarkan rancangan percobaan di atas dianalisis secara sidik ragam. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf α =
0,05, maka
dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan cara Duncan untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya (Mattjik & Sumertajaya 2000; Sudjana 1985).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Konversi Sampah Organik Menjadi Kompos Konversi sampah organik pasar menjadi kompos difokuskan untuk jenis sampah lunak, seperti sayur-sayuran, dedaunan dan kulit buah-buahan. Langkah ini bertujuan untuk mempercepat proses penanganan atau minimisasi jumlah timbunan sampah di pasar yang kian hari terus meningkat dan juga untuk sampah yang sudah menumpuk di TPA. Proses ini akan optimal, bila sampah yang akan diolah, diambil langsung dari sumbernya di pasar pada waktu pagi, sebelum sampah dicampur dan dibuang ke TPS. Jika hal itu dapat dilakukan, maka proses pemilahannya tidak sukar dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga dapat menghemat biaya dan tenaga.
4.1.1 Karakteristik Bahan Baku Hasil karakterisasi bahan baku sampah organik pasar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kadar air dan nisbah C/N sampah organik pasar Contoh
Sampah Organik Pasar
Ulangan
Kadar (%) Air
Karbon
Nitrogen
Nisbah C/N
1
60,76
34,98
1,82
19,22
2
55,63
39,14
1,74
22,49
Rataan
58,20
37,06
1,78
20,86
Dari data Tabel 8 diketahui bahwa rata-rata kadar air sampah organik pasar, yaitu 58,20%, hasil ini masih dalam batas yang dikemukakan oleh Djuarnani et al. (2005) bahwa pada umumnya sampah pasar mengandung air berkisar 30-60%. Proses pengomposan suatu bahan secara aerobik akan berlangsung cepat dan optimal, jika bahan baku yang digunakan mengandung 40-50% air, sedangkan secara anaerobik lebih baik mengandung kadar air 50% ke atas (Yuwono 2006). Menurut Sahwan (1997), pengomposan sampah lunak akan berlangsung lebih cepat jika kandungan airnya berkisar 50-55%. Jika bahan baku mengandung kadar air terlalu rendah pada proses pengomposan secara aerobik, maka bahan cepat kering sehingga pengomposan berjalan lambat,
62 sedangkan jika kandungan airnya terlalu tinggi dapat menyebabkan aerasi akan berkurang sehingga proses pengomposannya juga akan berjalan lambat karena perkembangbiakan mikroorganisme pengurai membutuhkan oksigen yang cukup. Hal ini akan berbeda, jika proses pengomposan berlangsung secara anaerobik membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu lebih 50%, karena untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan asam-asam organik, mikroorganisme membutuhkan air yang cukup sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Kadar air yang tinggi juga diperlukan untuk memudahkan penghancuran bahan organik dan mengurangi bau. Nisbah C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon dan nitrogen sebagai sumber energi dan pembentukan selnya. Dari data Tabel 8 ditunjukkan rata-rata nisbah C/N sampah organik pasar, yaitu 20,86. Menurut Yuwono (2006), proses pengomposan secara aerobik akan optimal, jika bahan baku mengandung nisbah C/N berkisar 25-30, sedangkan pada proses secara anaerobik membutuhkan nisbah C/N lebih 30. Proses pengomposan yang baik, idealnya suatu bahan mengandung nisbah C/N berkisar 20-40, tetapi nisbah C/N yang paling baik, yaitu 30 (Djuarnani et al. 2005). Jika nisbah C/N terlalu tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu, mikroorganisme memerlukan beberapa siklus untuk menyelesaikan proses degradasi bahan organik sehingga waktu untuk pembentukan kompos akan lebih lama dan mutu kompos yang dihasilkan juga relatif rendah. Jika nisbah C/N terlalu rendah, maka kadar amoniak yang dihasilkan terlalu banyak sehingga dapat meracuni mikroorganisme yang berdampak pada penurunan aktivitasnya (Fricke et al. 2007). Di samping itu, Su & Puls (2007) menyatakan kelebihan kandungan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi. Proses pengomposan akan lebih cepat jika bahan bakunya memiliki ukuran yang kecil. Untuk itu, bahan baku yang terlalu kasar perlu dicacah sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Bahan yang berukuran kecil akan terdekomposisi secara lebih cepat karena mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kontak dengan mikroorganisme akan lebih maksimal. Namun, ukuran bahan yang terlalu kecil akan menyebabkan aerasi ke dalam timbunannya akan berkurang dan kelembapannya juga sangat tinggi sehingga mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak dapat bekerja secara optimal. Dengan demikian, agar proses pengomposan bahan baku seperti di atas
63 dapat berlangsung secara lebih cepat, perlu dibantu dengan bahan aktif yang berasal dari biodekomposer. 4.1.2 Proses Pengomposan Pada awal proses pengomposan, campuran bahan mengeluarkan bau busuk yang menyengat dan air licit yang keluar melalui lubang pada bagian bawah tempat pengomposan, maka di sekitar tempat tersebut dihinggapi banyak lalat. Setelah proses berlangsung lebih dari satu minggu, jumlah lalat jadi berkurang seiring dengan menghilangnya bau busuk dari campuran kompos. Menurut Haug (1980), bau busuk yang dihasilkan pada proses pengomposan terjadi karena timbulnya gas NH3, H2S, dan sulfur organik akibat proses berlangsung secara anaerobik (Gambar 3). Pengomposan sampah organik pasar pada penelitian ini secara umum berlangsung selama ± 30 hari, dan selama proses tersebut terjadi perubahan sifat-sifat bahan, antara lain perubahan warna, suhu, pH dan kelembapan. Pada pengamatan perubahan warna ditunjukkan warna bahan baku yang semula coklat kekuningan berubah menjadi coklat kehitaman pada saat dihasilkan kompos, yang diikuti juga dengan perubahan bentuknya dari kasar menjadi remah/gembur. 4.1.2.1 Perubahan suhu selama proses pengomposan Perubahan suhu pada proses pengomposan merupakan salah satu faktor penting sebagai penentu apakah proses dekomposisi berjalan dengan baik atau tidak. Faktor suhu berhubungan erat dengan proses dekomposisi atau perombakan bahan organik, aktivitas mikroorganisme dan kadar air bahan yang dikomposkan. Data perubahan suhu kompos selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 9, 10 dan 11. Data Tabel 9 menunjukkan bahwa perubahan suhu selama seminggu proses pengomposan rata-rata berkisar antara 31,41-45,02 oC. Semua perlakuan pengomposan mengalami peningkatan suhu pada hari ke-1, dan peningkatan suhunya yang paling mencolok ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan biodekomposer campuran Orgadec-Biodek-Arang (B8) dan EM-4 (B2) yang secara berturut rata-rata suhunya mencapai 51,25 dan 49,17 oC. Peningkatan suhu yang cepat dan tertinggi pada proses pengomposan dengan campuran biodekomposer Orgadec-Biodek-Arang kemungkinan disebabkan karena pada perlakuan ini mengandung jenis dan jumlah mikroba lebih beragam yang terdiri atas Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. dari serbuk Orgadec dan campuran kapang Aspergillus niger, Trichoderma sp. dan jamur Trametes
64 versicolor dari cairan Biodek mampu bekerjasama secara cepat dan intensif sehingga menghasilkan kalor yang relatif tinggi dalam waktu relatif cepat. Trichoderma sp mengandung enzim sellulose yang berperan memecahkan ikatan β-glikosidik pada struktur sellulosa (Wang et al. 2003), dan Trametes versicolor mengandung enzim yang mempunyai aktivitas memecahkan struktur molekul lignin (Hossain & Anantharaman 2006). Pada proses pengomposan ini suhu meningkat tajam dan mencapai optimum pada hari ke-1, sedangkan pada hari ke-2 dan seterusnya suhu proses menurun secara perlahan-lahan seiring dengan semakin berkurangnya bahan nutrisi yang tersedia. Tabel 9 Rataan perubahan suhu kompos seminggu pertama pengomposan Perubahan suhu (oC) pada hari ke-
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
0 30,33 30,83 32,17 31,50 30,75 31,75 31,75 31,25 31,50 32,25
1 33,50 34,67 49,17 46,83 46,75 46,00 47,50 47,75 51,25 46,75
Suhu Lingkungan
29,00
31,00
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
2 36,17 37,50 47,67 45,83 45,50 45,50 46,75 46,25 49,25 46,50
3 35,67 42,83 46,00 43,50 43,25 42,75 42,00 44,00 45,75 43,75
4 33,83 38,73 44,50 38,73 40,25 41,25 39,75 41,25 43,50 41,00
5 33,67 37,50 42,83 39,00 39,25 38,75 37,25 40,25 42,25 39,75
6 34,33 36,40 41,33 37,50 39,00 37,50 37,00 38,00 40,75 38,00
7 33,17 33,50 40,00 36,50 38,25 37,25 37,25 36,75 40,00 34,75
30,50
30,00
29,00
28,00
29,00
29,00
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Biodekomposer EM-4 juga mengandung mikroorganisme yang beragam yakni Lactobacillus, Actinomycetes, Streptomyces sp. dan ragi yang bekerja secara cepat dan efektif dalam mendekomposisi bahan-bahan organik. Mikroorganisme yang terdapat dalam biodekomposer EM-4 mengandung enzim yang mampu memecah ikatan dalam struktur polisakarida dan protein (Mahendra & Alvarez-Cohen 2005; Nakashima et al. 2005 dan Srivibool et al. 2004). Di samping itu, juga karena EM-4 yang digunakan adalah berupa cairan yang relatif dapat bercampur secara lebih homogen dengan bahan baku yang dikomposkan sehingga terjadi interaksi lebih baik antar komponen. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Djuarnani et al. (2005) bahwa cairan EM-4
65 sangat potensial untuk melangsungkan proses dekomposisi bahan-bahan organik melalui fermentasi yang berlangsung secara cepat dan eksoterm. Pada hari ke-1 proses pengomposan semua perlakuan menunjukkan peningkatan suhu yang maksimum, kecuali kontrol dan perlakuan yang menggunakan biodekomposer Orgadec. Perlakuan dengan biodekomposer ini menunjukkan peningkatan suhu yang relatif lambat, pada hari ke-1, suhunya hanya mampu mencapai 34,67 oC, jauh dibanding suhu rata-rata yang mencapai 45,02 oC. Proses pengomposan dengan perlakuan ini baru dapat mencapai peningkatan suhu yang maksimum pada hari ke-3, yaitu sebesar 42,83 oC. Namun, suhunya juga masih di bawah rata-rata hari ke-3, yaitu 42,95 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan karena biodekomposer Orgadec yang hanya mengandung mikroba Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. tidak mampu bekerja optimal dalam mendekomposisi jenis sampah organik pasar yang kandungan airnya lebih 50%. Di samping itu, juga disebabkan karena biodekomposer ini berbentuk serbuk berwarna coklat kehitaman yang mempunyai sifat sukar larut dalam air. Oleh karena bentuk biodekomposer ini berupa serbuk, akibatnya tidak dapat bercampur secara homogen dengan bahan-bahan yang dikomposkan, sehingga interaksi yang terjadi antar komponen dalam tempat pengomposan kurang sempurna dan reaksi eksoterm berjalan lambat. Tabel 10 Rataan perubahan suhu kompos selama minggu ke dua pengomposan Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
8 32,17 33,17 37,50 35,17 34,75 34,00 34,75 35,75 39,25 34,00
9 31,00 32,00 33,17 34,83 34,00 33,25 32,75 35,25 38,00 32,25
Suhu Lingkungan
29,00
28,50
Perubahan suhu (oC) pada hari ke10 11 12 13 30,67 30,33 29,83 29,83 31,33 30,67 29,83 29,50 30,83 30,17 30,33 29,50 34,17 32,00 30,83 30,33 33,75 33,00 31,75 31,00 32,25 30,75 30,25 29,75 32,50 32,25 30,75 30,50 33,25 32,00 31,75 30,25 37,00 33,50 32,75 31,75 31,75 31,50 30,75 29,25
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
28,50
29,00
28,50
27,50
14 29,00 29,17 29,00 28,83 30,75 29,75 31,00 30,00 30,50 28,75 27,50
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
66 Dari data Tabel 10, diketahui bahwa proses pengomposan selama minggu ke dua masih berlangsung secara intensif. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan suhu di dalam tempat pengomposan yang rata-rata berkisar 29,68-35,05
o
C dari semua
perlakuan masih jauh di atas suhu lingkungannya yang berkisar 27,50-29,00 oC. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bahan organik masih tercukupi untuk kebutuhan mikroorganisme dalam melakukan aktivitasnya. Secara umum perubahan suhu selama minggu pertama dan ke dua proses pengomposan dapat disimpulkan bahwa proses yang terjadi berlangsung dalam suasana semianaerobik. Rata-rata kisaran suhu pada minggu pertama 31,41-45,02 oC dan minggu ke dua 29,68-35,05 oC. Keadaan ini sesuai dengan yang dikemukan Suler & Finstein (1977) bahwa proses pengomposan berlangsung optimal pada kondisi dengan suhu berkisar 30-50 oC. Namun, kondisi ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rentang suhu optimum yang umumnya dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan-bahan organik, yaitu berkisar antara 35-55 oC (Djuarnani et al. 2005). Perombakan bahan organik mengakibatkan pelepasan sejumlah energi ke lingkungannya melalui perubahan dalam bentuk panas, sehingga terjadi kenaikan suhu dalam tempat pengomposan. Jika proses dekomposisi berlangsung dalam suhu yang agak tinggi, misalnya mencapai 60-70 oC, kondisi ini memungkinkan semua bakteri termofilik bekerja secara lebih optimal. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses dekomposisi bahan baku, karena bakteri patogen tidak dapat hidup pada kondisi tersebut (Strom 1985). Di pihak lain, bila suhu di dalam tempat pengomposan terlalu tinggi, akan mengakibatkan sejumlah mikroorganisme mati, sedangkan bila suhunya rendah dapat mengakibatkan mikroorganisme tidak mampu bekerja secara cepat dan baik. Namun ada mikroorganisme yang bekerja pada suhu mencapai 80 oC, seperti Trichoderma pseudokoningii dan Cyptophaga sp. Ke dua jenis mikroorganisme tersebut cocok digunakan sebagai biodekomposer dalam proses pengomposan skala besar atau industri (Suler & Finstein 1977). Peningkatan suhu pada setiap perlakuan pengomposan terjadi karena bahan nutrisi yang tersedia untuk mikroorganisme dari bahan organik masih cukup banyak, sehingga pertumbuhan dan aktivitasnya masih berlangsung sangat intensif.
67 Tabel 11 Rataan perubahan suhu kompos setelah minggu ke dua pengomposan Perubahan suhu (oC) pada hari ke-
Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 Suhu Lingkungan
16 28,48 29,31 28,76 28,79 29,92 29,90 30,45 29,40 30,07 28,95 27,00
18 28,41 29,30 28,72 28,74 30,02 29,78 30,37 29,32 30,04 28,91 27,00
20 28,33 29,27 28,67 28,67 30,25 29,50 30,25 29,25 30,00 28,75 27,00
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
22 28,30 29,21 28,16 28,50 30,04 29,33 29,93 29,19 29,69 28,68 26,50
24 28,26 29,13 27,83 28,33 29,75 29,25 29,50 29,00 29,25 28,50 26,50
26 28,25 28,92 27,79 28,21 29,70 29,20 29,28 28,63 29,17 28,21 27,00
28 28,20 28,73 27,62 28,14 29,66 29,08 29,01 28,47 29,12 27,57 27,00
30 28,17 28,67 27,67 28,00 29,50 29,00 28,75 28,25 29,00 27,25 27,50
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Berdasarkan data Tabel 11 diperlihatkan bahwa pada semua perlakuan pengomposan tidak terjadi perbedaan suhu yang jauh dengan suhu lingkungannya selama pengomposan hari ke-16 hingga hari ke-30. Pada hari ke-30 proses pengomposan, sebahagian perlakuan telah menunjukkan suhu yang mendekati suhu lingkungannya. Hal ini dapat diamati pada perlakuan pengomposan yang menggunakan biodekomposer campuran Orgadec-Biodek-Asap Cair (B9), EM-4 (B2), dan Biodek (B3). Kondisi ini menurut Komilis (2006), merupakan penurunan suhu proses pengomposan yang mendekati suhu lingkungan sebagai indikasi bahwa kompos yang dihasilkan telah sempurna terdekomposisi. Pendapat ini juga sesuai dengan yang dikemukan oleh Harada et al. (1993) bahwa pematangan kompos dapat ditentukan berdasarkan sifat fisik, biologis dan kimia, yaitu menurunnya suhu mendekati suhu lingkungan, sehingga bentuknya stabil dan menurunnya kandungan karbon. 4.1.2.2 Perubahan derajat keasaman Derajat
keasaman
(pH)
merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan-bahan organik selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme secara umum meningkat pada pH 5,5-8, terutama untuk fungi (jamur), sedangkan kebanyakan bakteri beraktivitas
68 pada pH 6-7,5 (Strom 1985). Pengukuran nilai pH dilakukan setiap hari selama 1 minggu dan selanjutnya diukur dalam waktu selang 5 hari. Perubahan nilai pH kompos pada minggu pertama pengomposan dapat dilihat pada Gambar 12.
pH
8.8 8.4 8.0 7.6 7.2 6.8 6.4 6.0 0
1
2
3
4
5
6
7
Hari ke-
Kontrol Orgadec EM-4 Biodek Campuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap Cair Campuran Orgadec-EM-4-Arang Campuran Orgadec-EM-4-Asap Cair Campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap Cair Campuran Orgadec-Biodek-Arang Campuran Orgadec-Biodec-Asap Cair Air
Gambar 12 Grafik perubahan pH kompos seminggu pertama pengomposan Pada minggu pertama pengomposan hampir semua perlakuan menunjukkan nilai pH cenderung meningkat pada awal proses hingga hari ke-3, dengan kisaran pH rata-rata antara 7,0-8,5 dan selanjutnya cenderung menurun dengan rata-rata pH pada hari ke-7 pengomposan, yaitu 7,6. Perlakuan yang hingga hari ke-7 masih menunjukkan peningkatan nilai pH ditunjukkan oleh perlakuan dengan menggunakan biodekomposer campuran Orgadec-EM-4-Asap cair dan campuran Orgadec-BiodekAsap cair. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada campuran tersebut terdapat Asap cair yang mempunyai pH di bawah 7 sehingga pH awal dari proses ini lebih rendah dari pH air. Penurunan nilai pH setelah hari ke-3 hingga hari ke-7 proses pengomposan yang cukup signifikan diamati pada perlakuan dengan menggunakan biodekomposer EM-4. Hal ini disebabkan karena biodekomposer EM-4 mengandung mikroorganisme yang lengkap sehingga proses pengomposannya berlangsung lebih cepat. Kondisi ini sesuai dengan yang pernyataan Djuarnani et al. (2005), bahwa cairan EM-4 mengandung sejumlah mikroba yang bekerja efektif dan cepat dalam mendekomposisi bahan organik, juga mengandung mikroba Lactobacillus sp. yang
69 mampu merombak gula atau karbohidrat menjadi asam laktat, sehingga proses penurunan pH semakin cepat dibanding pengomposan dengan perlakuan lain. Secara umum rata-rata perubahan nilai pH pada setiap perlakuan masih tergolong sangat baik bagi kesempurnaan proses pengomposan. Nilai pH optimum bagi perkembangbiakan mikroorganisme berkisar antara 6,0 sampai 8,0 (Murbandono 2005). Nilai ini hampir tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Edwards (1990), bahwa pH optimum yang dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme berkisar antara 5,5 sampai 8,0. Selanjutnya perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 proses pengomposan dapat dilihat pada Gambar 13. 8.6 8.2 7.8 7.4 pH 7.0 6.6 6.2 5.8 9
12
15
18
21
24
27
30
Hari keKontrol Orgadec EM-4 Biodek Campuran Orgadec-EM-4-Arang-Asap Cair Campuran Orgadec-EM-4-Arang Campuran Orgadec-EM-4-Asap Cair Campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap Cair Campuran Orgadec-Biodek-Arang Campuran Orgadec-Biodec-Asap Cair Air
Gambar 13 Grafik perubahan pH kompos hari ke-9 hingga ke-30 pengomposan Gambar 13 memperlihatkan bahwa perubahan nilai pH pada semua perlakuan pengomposan cenderung terjadi fluktuasi secara lambat dengan kisaran pH rata-rata antara 7,2-7,4. Pada awal proses pengomposan, aktivitas mikroorganisme sangat intensif menyebabkan terjadinya proses mineralisasi sehingga banyak ion-ion logam, seperti K+, Mg2+, Ca2+, dan lain-lain dilepas dan mengikat senyawaan asam yang terbentuk, sehingga terjadi peningkatan nilai pH (Yang 1997). Penurunan nilai pH suatu proses pengomposan disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikroorganisme, sehingga jumlah ion-ion logam yang dilepas relatif kecil, sedangkan produksi senyawaan asam semakin meningkat. Kondisi yang demikian menunjukkan penurunan nilai pH mendekati netral. Keadaan tersebut sesuai dengan pernyataan Djuarnani et al.
70 (2005) dan Komilis & Ham (2006), bahwa jika pH terlalu tinggi (kondisi basa), konsumsi oksigen akan meningkat, sehingga memberi kondisi buruk bagi lingkungan dan akan menyebabkan sebahagian unsur nitrogen dalam bahan dirombak menjadi amonia (NH3), sebaliknya jika pH terlalu rendah (kondisi asam) akan menyebabkan sebagian mikroorganisme mati. 4.1.2.3 Penyusutan bobot bahan baku kompos Salah satu parameter yang juga menentukan tingkat kualitas kompos yang dihasilkan, yaitu terjadinya penyusutan bobot bahan baku kompos yang digunakan selama proses pengomposan. Persentase penyusutan bobot bahan baku kompos dapat
% susut bobot kompos
dilihat pada Gambar 14.
33.13
35 30 25 20
28.38 29.48 29.50
26.68
31.09 31.48 30.01 30.85
22.10
0 hari 10 hari 20 hari 30 hari
15 10 5 0 B0
B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
B8
B9
Perlakuan
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Gambar 14 Histogram persentase penyusutan bobot bahan baku kompos Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa semua perlakuan pengomposan terjadi penyusutan bobot bahan baku kompos rata-rata 29,22% pada hari ke-30. Penyusutan bobot yang melebihi 30% ditunjukkan oleh perlakuan pengomposan dengan menggunakan biodekomposer EM-4 (B2), campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair (B7), campuran Orgadec-EM-4-Arang (B6), campuran Orgadec-Biodek-Asap cair (B9), dan campuran Orgadec-Biodek-Arang (B8). Hal ini memberi gambaran bahwa perlakuan pengomposan dengan menggunakan kombinasi biodekomposer baik
71 Orgadec-EM-4 maupun Orgadec-Biodek dapat mengimbangi keunggulan penggunaan biodekomposer EM-4 secara tunggal. Dari Gambar 14 juga ditunjukkan bahwa penggunaan campuran Orgadec-Biodek yang ditambah dengan arang dan asap cair menghasilkan penyusutan bobot nomor dua tertinggi setelah EM-4, yaitu 31,48%. Kondisi ini kemungkinan dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme sehingga aktivitasnya lebih meningkat. Penyusutan bobot bahan baku kompos terjadi karena pelepasan molekul air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang cukup besar selama proses pengomposan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Komilis (2006) bahwa kehilangan H2O dan CO2 yang cukup banyak selama proses dekomposisi bahan-bahan organik dapat menyebabkan penyusutan bobot bahan mencapai 20-40% dari bobot awal, namun hal ini bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Penyusutan ini disebabkan karena terjadinya aktivitas perombakan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme, sehingga kadar air bahan berkurang, dan juga akibat panas yang timbul menyebabkan terjadinya penguapan. Perlakuan pengomposan yang menunjukkan persentase penyusutan bobot bahan baku yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot kompos yang rendah, demikian juga sebaliknya. 4.1.3 Mutu Kompos Mutu suatu kompos ditentukan oleh karakteristiknya, di samping kandungan unsur hara dan logam beratnya. Tingkat kesempurnaan kompos dapat diketahui dengan memperhatikan beberapa parameter antara lain nisbah C/N yang relatif rendah (sesuai dengan nisbah C/N tanah), penampakan fisik yang berwarna cokelat tua hingga hitam dan remah/gembur, serta suhunya mendekati suhu lingkungan. Kompos yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Jika kompos kurang matang akan menimbulkan efek yang merugikan bagi tanaman, karena dapat terjadi persaingan penggunaan bahan nutrien antara mikroorganisme dan tanaman. Data hasil karakterisasi kompos pada hari ke-30 proses pengomposan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik kompos sampah organik pasar pada hari ke-30 pengomposan Perlakuan
Kadar air (%)
Nisbah C/N
Suhu (oC)
pH
Rendemen
(%)
Warna
Waktu pematangan kompos
72 (hari)
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
67,84 59,13 51,72 53,44 60,73 58,49 59,61 62,38 54,46 57,15
14,73 12,82 10,76 12,47 9,93 9,08 9,97 12,09 11,14 13,05
SNI
≤ 50
10-20
28,17 28,67 27,67 28,00 29,50 29,00 28,75 28,25 29,00 27,25 Air tanah
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
7,70 7,26 6,97 7,18 6,56 7,66 6,97 7,23 7,97 7,10
77,00 66,27 66,83 72,16 70,52 70,50 68,91 68,52 69,99 69,15
Coklat tua Coklat tua Kehitaman Kehitaman Kehitaman Kehitaman Kehitaman Kehitaman Kehitaman Kehitaman
56-60 41-45 21-25 26-30 21-25 26-30 26-30 21-25 26-30 26-30
6,8-7,5
-
Kehitaman
-
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 12 diketahui bahwa sebahagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan kompos dalam waktu berkisar 21-30 hari, kecuali pada B0 (kontrol) berkisar 56-60 hari dan perlakuan B1 (biodekomposer Orgadec) berkisar 4145 hari. Hal ini dapat diamati dan ditentukan berdasarkan karakteristik kompos yang dihasilkan telah menunjukkan ciri-ciri sebagai kompos yang berkualitas. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Gaur (1983) bahwa kompos yang baik berwarna cokelat tua hingga kehitaman dan berbau tanah. Selanjutnya, kompos mempunyai nisbah C/N berkisar antara 10-20, dan suhunya sudah mendekati suhu lingkungan (Indriani 2005; Komilis 2006). Mutu kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan di atas, secara umum relatif mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004 untuk kompos dari sampah domestik (BSN 2004). Menurut Indriani (2005), semakin rendah nisbah C/N bahan baku, waktu yang diperlukan untuk proses pematangan kompos semakin singkat. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan kompos yang matang dalam waktu berkisar 21-30 hari. Di samping itu, nisbah C/N bahan baku yang digunakan untuk pengomposan juga menentukan variasi dari nisbah C/N kompos yang dihasilkan. Penurunan nisbah C/N selama proses dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan aktivitas biodekomposer yang membebaskan gas CO2 dan CH4, sehingga kadar unsur karbon yang terdapat pada bahan pengomposan cenderung menurun, sedangkan unsur nitrogennya cenderung meningkat. Di samping itu, aktivitas biodekomposer yang bekerja lebih intensif menyebabkan pengambilan
73 unsur P dan K dari bahan tersebut lebih tinggi untuk pembentukan tubuhnya. Akan tetapi pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur tersebut akan dilepas kembali, sehingga kandungan unsur haranya meningkat. Kandungan unsur hara merupakan persyaratan utama sebagai kualitas suatu kompos, karena tinggi rendahnya kandungan unsur akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Rataan kadar unsur hara makro, mikro dan logam berat pada kompos pada hari ke-30 proses pengomposan disajikan pada Tabel 13, dan 14. Tabel 13 Kadar unsur hara makro kompos pada hari ke-30 pengomposan Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 SNI
N 1,98 2,16 2,36 2,15 2,39 2,30 2,30 2,20 2,14 2,00 ≥ 0,40
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
P 0,76 0,86 0,89 0,87 1,02 0,92 0,94 0,85 0,99 1,08 ≥ 0,10
Kadar unsur (%) K Ca 0,29 2,78 0,58 0,35 2,04 0,48 1,22 1,03 1,22 1,55 1,44 2,51 1,53 1,75 1,90 1,38 1,35 1,04 1,65 1,52 ≥ 0,20 ≤ 25,50
Mg 0,32 0,25 0,24 0,25 0,26 0,28 0,41 0,34 0,26 0,22 ≤ 0,60
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 13 dapat diketahui bahwa semua perlakuan pengomposan mengandung unsur hara makro yang memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004 (BSN 2004). Ditinjau dari aspek kandungan unsur hara makronya dapat dikatakan bahwa kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan sampah organik pasar bermutu cukup baik. Semakin lengkap kandungan unsur haranya maka semakin tinggi pula mutu kompos yang dihasilkan (Harada et al. 1993). Kandungan unsur hara kompos sangat menentukan kemampuannya untuk menaikkan kadar unsur hara dalam tanah sehingga dapat menyuburkan tanaman. Kehadiran unsur hara makro dalam kompos sangat penting bagi kesuburan tanah dan tanaman. Menurut Agustina (2004), unsur N, P, dan K tergolong unsur hara primer, karena diperlukan dalam jumlah besar, sedangkan unsur Ca, Mg dan S tergolong unsur hara sekunder, karena relatif banyak terdapat dalam tanah. Unsur N dan P sangat dibutuhkan pada pembentukan protein dan asam nukleat, sedangkan unsur
74 K, Ca, dan Mg diperlukan sebagai antagonis yang berinteraksi dengan efek racun dari elemen mineral yang lain dengan cara mengatur keseimbangan ion (Agustina 2004). Di samping itu, mineral Ca dan Mg juga merupakan unsur-unsur yang biasa dihubungkan dengan kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya tergolong kation yang cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikkan nilai pH tanah. Tabel 14 Kadar unsur hara mikro dan logam berat kompos sampah organik pasar Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9 SNI
(%) Fe 0,48 0,75 0,64 0,31 0,47 0,28 0,25 0,33 0,29 0,41 ≤2
Kadar unsur hara mikro (--------------ppm------------) Mn Cu Zn 473,28 23,10 411,25 514,26 19,14 140,76 520,22 18,28 249,83 364,90 16,90 248,60 377,50 17,20 343,10 404,30 10,30 237,40 434,80 13,50 414,30 490,80 13,30 403,60 393,00 14,60 238,80 432,50 10,50 327,20 ≤ 1000 ≤ 100 ≤ 500
Ket.: B0 = tanpa biodekomposer (kontrol) B1 = Orgadec B2 = EM4 B3 = Biodek
Kadar logam berat (------------ppm--------------) Cd Pb Cr 41,37 206,20 165,40 21,04 141,79 146,79 16,44 120,70 139,21 16,80 198,30 123,60 23,60 180,30 141,70 16,30 178,30 127,90 46,30 163,80 161,20 33,30 127,30 158,80 28,40 132,70 153,70 40,40 189,00 146,60 ≤ 30 ≤ 150 ≤ 210
B4 = campuran Orgadec-EM4-Arang-Asap cair B5 = campuran Orgadec-EM4-Arang B6 = campuran Orgadec-EM4-Asap cair B7 = campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair B8 = campuran Orgadec-Biodek-Arang B9 = campuran Orgadec-Biodek-Asap cair
Dari data Tabel 14 dapat diamati bahwa kandungan unsur hara mikro pada semua kompos yang dihasilkan pada proses pengomposan sampah organik pasar dengan berbagai perlakuan biodekomposer memenuhi persyaratan SNI-19-7030-2004 (BSN 2004), untuk kadar logam beratnya hanya Cr yang memenuhi, sedangkan Pb dan Cd hanya sebahagian perlakuan saja yang memenuhi persyaratan tersebut. Hasil ini juga menunjukkan semua perlakuan pengomposan menghasilkan kompos yang relatif berkualitas baik, terutama dari aspek ketersediaan unsur hara mikronya. Namun ditinjau dari kandungan logam beratnya, maka kualitasnya tergolong masih rendah. Unsur hara Fe, Mn, Cu, dan Zn merupakan zat yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah sedikit, oleh karena itu disebut sebagai unsur hara mikro. Hal ini bukan berarti unsur hara mikro kurang essensial dibanding unsur hara makro, karena meskipun tanaman mengambilnya dalam jumlah sedikit, akibatnya dapat mengurangi jumlah yang tersedia. Hal ini seperti dikemukakan oleh Salisbury & Ross (1995), unsur hara sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan sel, misalnya Fe berguna sebagai komponen struktural porfirin, sitokhrom, hemes, hematin, dan hemoglobin. Di
75 samping itu, unsur Fe juga ikut dalam proses oksidasi-reduksi di dalam fotosintesis dan respirasi serta sebagai kofaktor beberapa enzim. Menurut Gardner et al. (1991), unsur Mn berperan dalam transport elektron pada fotosistem II, sebagai elemen struktural membran kloroplast, dan ikut berperan dalam beberapa fungsi enzim. Unsur Cu berperan dalam transport elektron pada fotosintesis, pembentukan klorofil, dan secara tidak langsung berperan di dalam pembentukan nodul akar. Unsur Zn sangat berguna untuk pembentukan asam amino triptofan sebagai prekursor asam indol asetat (IAA), dan metabolisme triptamin. Di samping itu, Zn juga berperan sebagai kofaktor beberapa enzim dan merangsang sintesa sitokhrom C (Agustina 2004). Akan tetapi, keberadaan sebagian unsur logam berat di dalam tanah belum diketahui secara pasti peranannya baik terhadap tanaman maupun mikroba. Ada tiga unsur logam berat yang dianalisis pada penelitian ini, yaitu Cd, Pb, dan Cr, karena ke tiga unsur ini sering dijumpai di dalam komposisi sampah organik pasar. Kandungan logam berat pada kompos merupakan faktor penting untuk menilai kualitas suatu kompos, di samping kandungan unsur hara lainnya. Penggunaan kompos yang mengandung logam berat lebih tinggi secara terus menerus akan mengakibatkan unsur tersebut terakumulasi di dalam tanah dan menjadi bahan pencemar yang berbahaya karena logam berat bersifat tidak dapat terurai, artinya tidak dapat terdekomposisi oleh mikroorganisme. Hal ini akan meracuni tanaman, bahkan hewan dan manusia yang memakan tanaman tersebut. Beberapa negara telah membuat standar untuk menjamin mutu kompos, terutama untuk logam berat. Standar untuk logam berat dibuat untuk melindungi lingkungan dan mempertahankan mutu kompos yang dihasilkan. Tingginya kandungan logam berat pada kompos sangat dipengaruhi oleh jenis bahan baku kompos sampah pasar, terutama jika sampah pasar jenis sayur-sayuran atau buah-buahan yang sudah terakumulasi logam berat atau mengandung residu pestisida. Oleh karena itu, untuk mengurangi kandungan logam berat, sebelum dilakukan proses pengomposan penting sekali dilakukan pemilihan terhadap bahan bakunya.
76 4.2 Konversi Sampah Organik Menjadi Arang dan Asap Cair 4.2.1 Karakteristik Bahan Baku Bahan baku sampah organik yang digunakan pada percobaan ini merupakan sampah organik yang sukar dikomposkan dengan komposisi 30% kayu, 30% bambu, 20% pepohonan/ranting, dan 20% dedaunan. Sampah bambu dan kayu merupakan bekas tempat buah-buahan, sedangkan pepohonan dan ranting serta dedaunan merupakan sampah dari tanaman perkarangan dan/atau tanaman pelindung jalan. Hasil analisis sifat-sifat dasar bahan baku sampah padat dengan komposisi tersebut menunjukkan rata-rata 7,45% air, 77,06% zat terbang, 6,32% abu, 16,62% karbon terikat, dan 4444 kalori nilai kalor. 4.2.2 Hasil Pirolisis Untuk mempelajari karakteristik proses pirolisis bahan baku sampah organik pasar pada penelitian ini diawali dengan menggunakan reaktor listrik skala laboratorium dengan kapasitas ± 1 kg bahan. Selanjutnya pendekatan tersebut diterapkan pada reaktor drum dengan kapasitas ± 13 kg bahan. Data hasil pirolisis sampah organik pasar disajikan pada Tabel 15 dan 16. Tabel 15 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor listrik Percobaan 1 2 3 4 5
Kadar Air Contoh (%b/b) 14,25 13,88 13,70 13,33 13,14
Suhu Pirolisis (oC) 150 250 350 450 550
Residu Arang (%b/b) 80,03 45,55 41,50 37,17 31,91
Rendemen Asap Cair (%b/b) 18,51 37,01 42,09 45,33 51,14
Ter (%b/b) 0 2,62 4,55 5,67 6,12
Tabel 16 Hasil pirolisis sampah organik dengan reaktor drum Percobaan 1 2 3 4 5 6
Kadar Air Contoh (%b/b) 20,76 28,00 29,32 25,40 23,59 25,41
Suhu Pirolisis (oC)
Residu Arang (%b/b)
350 355 375 405 505 510
41,12 32,51 30,65 26,76 22,36 27,38
Rendemen Asap Cair (%b/b) 33,15 34,67 32,87 37,83 31,24 30,33
Pada proses pirolisis sampah organik padat dengan menggunakan reaktor listrik (Tabel 15), selain dihasilkan residu arang dan asap cair, juga diperoleh ter, sedangkan
77 pada proses pirolisis dengan reaktor drum (Tabel 16) hanya menghasilkan residu arang dan asap cair saja. Di samping itu, hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik juga menunjukkan makin tinggi suhu pirolisis makin rendah perolehan residu arang dan makin tinggi perolehan asap cair dan ter, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum tidak mengikuti pola di atas. Hal ini disebabkan karena model reaktor drum yang digunakan (Gambar 9b) mempunyai tutup atas yang rata sehingga ter tidak teruapkan, melainkan terkarbonisasi menjadi arang. 4.2.3 Arang Arang yang dihasilkan umumnya memiliki penampilan fisik dengan bentuk yang beragam dan berwarna hitam. Arang ini kemudian dihaluskan hingga berbentuk serbuk untuk keperluan analisis sifat-sifat dasar dan strukturnya. Serbuk arang ini memiliki warna hitam, tidak berbau dan tidak larut dalam air. Residu (rendemen) merupakan nilai yang penting untuk mengetahui hasil yang diperoleh dari suatu proses. Tinggi rendahnya rendemen arang yang dihasilkan sangat bergantung pada kadar air bahan baku dan suhu pirolisisnya. Bervariasinya rendemen arang yang dihasilkan juga disebabkan komposisi bahan baku yang digunakan relatif kurang homogen. Akibat suhu tinggi sebahagian arang berubah menjadi abu dan gas-gas yang mudah menguap, sehingga rendemennya rendah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Paris et al. (2005) bahwa akibat peningkatan suhu yang tinggi pada proses pirolisis, sebahagian arang dapat berubah menjadi abu, gas CO, H2, dan gas-gas hidrokarbon. 4.2.3.1 Karakteristik sifat-sifat dasar arang Data hasil karakterisasi sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis sampah organik pasar disajikan pada Tabel 17 dan 18. Tabel 17 Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik Kadar (%) Air Zat terbang Abu Karbon terikat 7,45 77,06 6,32 16,62 0,61 72,90 3,34 23,76 0,95 44,55 5,91 49,54 0,79 32,40 6,29 61,31 1,72 27,32 7,26 65,42 0,48 14,72 8,80 76,48 6,00 30,00 4,00 66,00 L0 = tanpa pirolisis (kontrol) L3 = suhu 350 oC o L4 = suhu 450 oC L1 = suhu 150 C o L5 = suhu 550 oC L2 = suhu 250 C
Perlakuan L0 L1 L2 L3 L4 L5 SNI Keterangan:
Nilai kalor (kalori) 4444 4625 5841 5986 6419 6835 -
78 Tabel 18. Karakteristik arang hasil pirolisis dengan reaktor drum Kadar (%) Nilai kalor (kalori) Air Zat terbang Abu Karbon terikat 7,45 77,06 6,32 16,62 4444 4,33 31,47 12,82 55,71 6151 4,00 28,96 14,91 56,13 6337 3,03 25,85 15,68 58,47 6479 3,06 23,19 17,53 59,28 6633 2,46 18,30 12,22 69,48 6634 3,09 19,99 13,00 67,01 6640 6,00 30,00 4,00 66,00 D0 = tanpa pirolisis (kontrol) D3 = suhu 375 oC D5 = suhu 505 oC D4 = suhu 405 oC D6 = suhu 510 oC D1 = suhu 350 oC o D2 = suhu 355 C
Perlakuan D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6 SNI Keterangan:
Karakteristik arang hasil pirolisis sampah dengan reaktor listrik (Tabel 17) menunjukkan bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin rendah kadar zat terbang dan makin tinggi kadar abu, karbon terikat dan nilai kalor, sedangkan arang hasil pirolisis dengan reaktor drum (Tabel 18) menunjukkan hal yang sama untuk kadar zat terbang, karbon terikat dan nilai kalor. Sebahagian besar sifat-sifat dasar arang hasil pirolisis dengan reaktor listrik tidak memenuhi persyaratan SNI-01-1682-1996 (BSN 1996), kecuali pirolisis pada suhu 550 oC, sedangkan pada arang hasil pirolisis dengan reaktor drum sebahagian besar sifat-sifat dasarnya terutama hasil pirolisis pada suhu 505 oC memenuhi persyaratan tersebut kecuali untuk kadar abu. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa arang hasil pirolisis sampah organik pasar dengan reaktor drum relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan hasil pirolisis dengan reaktor listrik. Maka oleh karena itu, pembuatan arang untuk kebutuhan penelitian ini dilanjutkan dengan menggunakan reaktor drum.
4.2.3.2 Daya jerap arang 1. Daya jerap terhadap iodin Secara umum ukuran daya jerap arang terhadap iodin, sering dijadikan sebagai dasar menilai kualitas suatu bahan dalam hal kemampuan jerapannya, terutama dalam menyerap larutan berwarna. Nilai daya jerap arang terhadap larutan iodin pada penelitian ini berkisar 176,46–379,76 mg/g (Gambar 15).
79 379.76
Daya jerap iodin (mg/g)
400 350
281.08
300 225.87
250 200
176.46
150 100 50 0
28
405
505
510
Suhu Pirolisis (o C)
Gambar 15 Histogram daya jerap arang terhadap larutan iodin Arang yang mempunyai daya jerap tertinggi terhadap larutan iodin ditunjukkan oleh perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC dan daya jerap yang terendah terdapat pada perlakuan kontrol/tanpa pirolisis (28 oC). Tingginya daya jerap arang hasil pirolisis ini terhadap iodin menggambarkan meningkatnya permukaan aktif arang akibat perlakuan suhu pada pirolisis. Pergeseran pelat-pelat karbon akibat suhu tinggi mendorong senyawa hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lainnya untuk keluar pada saat pirolisis (Gambar 19). Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina (2004) dan Concheso et al. (2005) bahwa rendahnya daya jerap suatu bahan bisa disebabkan karena masih banyaknya senyawa hidrokarbon dan komponen lain seperti ter, abu, air, nitrogen, dan sulfur yang terdapat pada permukaan arang. Akan tetapi pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan daya jerap arang berkurang. Menurut Tansel & Nagarajan (2004) berkurangnya daya jerap arang akibat terjadi kerusakan atau erosi pada dinding pori arang yang menyusun struktur mikropori pada saat proses pirolisis berlangsung. Dalam hal daya jerap untuk arang belum ada persyaratan SNI-nya, karena arang jarang digunakan secara langsung sebagai adsorben, akan tetapi lazimnya diaktivasi terlebih dahulu menjadi arang aktif. 2. Daya jerap arang terhadap benzena Penetapan daya jerap arang terhadap uap benzena (C6H6) bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang dalam menjerap berbagai macam gas yang bersifat nonpolar. Nilai daya jerap arang terhadap uap benzena dalam waktu 24 jam berkisar 8,00–12,37 % dan dalam waktu 48 jam berkisar 6,21-11,72 % (Gambar 16). Daya jerap
80 arang yang tertinggi terhadap uap benzena ditunjukkan pada waktu 24 jam dari perlakuan pirolisis pada suhu 505 oC. Daya jerap arang dalam waktu 24 jam lebih tinggi dibanding dengan daya jerap dalam waktu 48 jam. Hal ini disebabkan tingkat kejenuhan uap benzena dalam chember berkurang akibat dibuka tutupnya pada waktu pengukuran 24 jam. Di samping itu, waktu 24 jam sudah menggambarkan kemampuan jerapan arang terhadap uap atau gas yang bersifat non polar.
Daya jerap benzena (%)
14.00
12.37
12.00 10.00 8.00
11.72 9.85
9.53
8.61
8.00
7.23
24 jam
6.21
48 jam
6.00 4.00 2.00 0.00
28
405
505
510
Suhu Pirolisis (o C)
Gambar 16 Histogram daya jerap arang terhadap uap benzena Rendahnya daya jerap arang terhadap uap benzena disebabkan oleh pori yang terbentuk pada permukaannya masih banyak mengandung senyawaan non polar, sehingga gas atau uap yang dapat dijerap menjadi lebih sedikit (Pari 1996). Dengan kata lain, permukaan arang masih ditutupi oleh berbagai senyawaan yang bersifat polar seperti golongan fenolik, aldehid dan asam-asam karboksilat dari hasil karbonisasi yang tidak sempurna, sehingga penjerapan terhadap uap benzena menjadi rendah.
4.2.3.3 Identifikasi Struktur Arang 1. Identifikasi gugus fungsi Gugus fungsi dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR. Hasil analisis spektrum absorpsi IR dapat memberi petunjuk tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perubahan suhu pirolisisnya. Hasil serapan arang terhadap spektrum IR ditunjukkan pada Gambar 17 dan Tabel 19.
81
Transmisi (%)
28 oC 405 oC 505 oC
Bilangan gelombang (cm-1) Gambar 17 Spektrum serapan IR bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Tabel 19 Data bilangan gelombang serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Suhu Pirolisis (oC)
Bilangan gelombang (cm-1)
28
3421,5 – 2920,0 – 2854,5 – 1635,5 – 1508,2 – 1056,9 – 617,2
405
3425,3 – 2923,9 – 1585,4 – 1438,8 – 1091,6 – 875,6
505
3409,9 – 2923,9 – 1577,7 – 1438,8 – 1103,2 – 875,6
Pola spektrum serapan IR dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan suhunya. Selama proses pirolisis terjadi penguraian struktur kimia yang diperlihatkan oleh adanya perubahan pola spektrum, yaitu dengan menurunnya persentase serapan di daerah bilangan gelombang 3425,3-3409,9 dan 2923,9-2920,0 cm-1, serapan yang hilang ditunjukkan di daerah bilangan gelombang 1635,5; 1508,2 dan 617,2 cm-1. Di samping itu, pada arang yang dihasilkan terdapat serapan baru di daerah bilangan gelombang 1585,4-1577,7; 1438,8; 1103,2-1091,6 dan 875,6 cm-1. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu pirolisis mengakibatkan perubahan gugus fungsi, yang diikuti terbentuknya senyawa baru melalui mekanisme radikal. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukan Demirbas (2005) bahwa makin tinggi suhu pirolisis suatu bahan makin banyak gugus-gugus fungsi yang teroksidasi atau terurai sehingga menjadi hilang atau tingkat serapannya berkurang atau menyebabkan pergeseran bilangan gelombang serapannya.
82 Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada bahan baku tanpa pirolisis (28 oC) antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah bilangan gelombang 3421,5 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2920,0 dan 2854,5 cm-1, regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1635,5 cm-1, ikatan C-O dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah 1056,9 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur polisiklik diindikasikan di daerah 617,2 cm-1 dengan serapan lemah. Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada arang hasil pirolisis dengan suhu 405 oC antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah 3425,3 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1, regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1585,4 cm-1, ikatan C-H dari senyawa alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1 dengan serapan sedang, ikatan C-O dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah 1091,6 cm-1 dengan serapan sedang, dan adanya struktur polisiklik diindikasikan di daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah. Pada arang hasil pirolisis dengan suhu 505 oC teridentifikasi gugus-gugus fungsi antara lain adanya regang OH dengan serapan kuat di daerah 3409,9 cm-1, regang C-H dengan serapan lemah di daerah 2923,9 cm-1, regang C=C dengan serapan sedang di daerah 1577,7 cm-1, ikatan C-H dari senyawa alifatik juga diindikasikan di daerah 1438,8 cm-1 dengan serapan sedang, ikatan C-O dari gugus eter alifatik ditunjukkan di daerah 1103,2 cm-1 dengan serapan lemah, dan adanya struktur polisiklik diindikasikan di daerah 875,6 cm-1 dengan serapan lemah. Berdasarkan data di atas dapat dikemukakan bahwa gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi baik pada bahan baku tanpa pirolisis maupun arang hasil pirolisis pada suhu 405 dan 505 oC secara umum relatif sama, akan tetapi tingkat serapannya yang cenderung menurun dan bilangan gelombangnya sedikit bergeser dengan semakin meningkatnya suhu pirolisis. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Menendez et al. (1999) bahwa pada proses pirolisis suatu bahan pada suhu tinggi, maka akan terjadi pergeseran serapan bilangan gelombang antara produk dengan bakunya.
2. Identifikasi pola struktur kristal Pola struktur dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya pada berbagai tingkatan suhu ditelusuri dengan difraktometri XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui
83 struktur kristal suatu bahan, dan perubahan strukturnya akibat perubahan suhu pirolisis. Hasil analisis dengan XRD ditunjukkan pada Gambar 18 dan Tabel 20.
Intensitas
28 oC
405 oC
505 oC
Sudut difraksi (derajat) Gambar 18 Difraktogram bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Tabel 20 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik dari bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Suhu pirolisis (oC)
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
28
47,72
21
0,423
-
-
3,996
9,453
-
405
43,45
22
0,404
40
0,225
4,031
9,978
8,357
505
43,50
22
0,404
42
0,215
4,031
9,978
8,405
Data Tabel 20 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas dan jarak antar lapisan aromatik makin sempit dengan meningkatnya suhu. Namun pada proses pirolisis dengan suhu 405 sampai 505 oC tidak menunjukkan perbedaan jarak antar lapisan kristal. Hal ini berarti bahwa makin tinggi suhu pirolisis makin banyak struktur kristal arang yang menyusut, sehingga derajat kristalinitasnya menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan yang diperoleh Schukin et al. (2002) bahwa derajat kristalinitas suatu bahan meningkat seiring terjadi peningkatan suhu pirolisisnya.
84 3. Identifikasi pola struktur Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph SEM. Analisis ini bertujuan mengetahui topografi permukaan struktur akibat perubahan suhu pirolisisnya. Data hasil analisis SEM ditunjukkan pada Gambar 19.
28 oC
405 oC
505 oC
Gambar 19 Topografi permukaan bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Tabel 21 Diameter permukaan pori bahan baku dan arang hasil pirolisisnya Suhu pirolisis (oC)
Diameter pori (µm)
28
-
405
0,4-1,3
505
0,5-1,7
Pada Gambar 19 dan Tabel 21 diperlihatkan pola topografi permukaan bahan baku dan arang hasil pirolisisnya mengalami perubahan sesuai dengan kenaikan suhu. Bahan baku tanpa pirolisis (28 oC), memperlihatkan topografi permukaannya belum terbentuk pori-pori, sedangkan pada arang hasil pirolisisnya, baik pada suhu 405 oC maupun pada suhu 505 oC, topografi permukaannya memperlihatkan pembentukan pori yang makin besar sesuai kenaikan suhu. Pori-pori yang terbentuk diperkirakan berasal dari adanya zat yang menguap (zat terbang) dari struktur yang terdegradasi akibat panas yang tinggi pada proses tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novicio et al. (1998) bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang disebabkan oleh karena menguapnya sejumlah zat yang dikandung oleh bahan baku tersebut akibat terjadinya pirolisis. Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang disebabkan oleh peningkatan suhu pirolisis, ada kemungkinan semakin banyak pula
85 jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponenkomponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada proses pirolisis semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses pirolisis suatu bahan dapat mengubah pola struktur permukaannya. 4.2.4 Asap Cair 4.2.4.1 Rendemen Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui hasil dari suatu proses. Asap cair pada penelitian ini dihasilkan melalui proses kondensasi asap yang dikeluarkan dari reaktor pirolisis. Selama proses pirolisis terjadi penguapan berbagai macam senyawa kimia. Data asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik disajikan pada Tabel 22 dan 23. Rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat selama 5 jam dengan reaktor listrik berkisar 18,51-51,14% (Tabel 22), sedangkan yang dihasilkan pada pirolisis dengan reaktor drum berkisar 30,33-37,83% (Tabel 23). Rendemen asap cair yang dihasilkan pada ke dua jenis reaktor di atas lebih rendah dibanding hasil asap cair yang diperoleh Tranggono et al. (1996) pada pirolisis beberapa jenis kayu dengan kisaran suhu 350-400 oC yang menghasilkan asap cair dengan rendemen rata-rata 49,10%. Tabel 22 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor listrik
1
Suhu pirolisis (oC) 150
Rendemen (%b/b) 18,51
2
250
37,01
Coklat tua
3
350
42,09
Coklat tua
4
450
45,33
Merah kecoklatan
5
550
51,14
Merah kecoklatan
Percobaan
Warna Coklat kekuningan
86 Tabel 23 Data rendemen dan warna asap cair hasil pirolisis dengen reaktor drum
1
Suhu pirolisis (oC) 350
Rendemen (%b/b) 33,15
Coklat kekuningan
2
355
34,67
Coklat kekuningan
3
375
32,87
Coklat kekuningan
4
405
37,83
Merah kecoklatan
5
505
31,24
Merah kecoklatan
6
510
30,33
Merah kecoklatan
Percobaan
Warna
Jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat bergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang diperoleh juga sangat bergantung pada sistim kondensasi yang dipakai. Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan Tranggono et al (1996), bahwa untuk pembentukan asap cair digunakan air sebagai medium pendingin agar proses pertukaran panas dapat terjadi dengan cepat. Pirolisis pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama akan menyebabkan pembentukan asap cair berkurang karena suhu dalam air pendingin semakin meningkat sehingga asap yang dihasilkan tidak terkonsensasi secara optimal (sempurna). Proses kondensasi akan berlangsung optimal apabila air di dalam sistim pendingin dialiri secara kontinyu sehingga suhu dalam sistim pendingin tidak meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Demirbas (2005) bahwa asap cair hasil proses pirolisis bahan kayu dapat dihasilkan secara maksimum jika proses kondensasinya berlangsung secara sempurna.
4.2.4.2 Kualitas asap cair Kualitas asap cair sangat bergantung pada komposisi senyawa-senyawa yang dikandungnya. Kriteria mutu asap cair baik cita rasa maupun aroma sebagai ciri khas yang dimiliki asap ditentukan oleh golongan senyawa yang dikandungnya. Senyawa yang terdapat di dalam asap cair sangat bergantung pada kondisi pirolisis dan bahan baku yang digunakan (Nakai et al. 2006). Di samping itu, proses pirolisis bahan yang tidak sempurna dapat menyebabkan komponen-komponen kimia yang dihasilkan dalam asap cair kurang lengkap. Komponen kimia yang telah diidentifikasi pada asap cair
87 antara lain dijumpai senyawa-senyawa golongan fenol, karbonil, asam-asam karboksilat, furan, hidrokarbon, alkohol, dan lakton (Girard 1992).
1. Kadar Fenol Identifikasi senyawaan fenolik dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik padat diharapkan dapat mewakili kriteria mutunya, sehingga sasaran penggunaannya akan lebih tepat. Data hasil analisis rata-rata kadar total fenol asap cair disajikan pada Tabel 24 dan 25. Tabel 24 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik Percobaan 1 2 3 4 5
Suhu pirolisis (oC) 150 250 350 450
Kadar total fenol (mg/l) 46,80 143,00 152,39 158,70
550
124,60
Tabel 25 Data total fenol asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum Percobaan 1 2 3 4 5 6
Suhu pirolisis (oC) 350 355 375 405 505 510
Kadar total fenol (mg/l) 61,50 70,20 82,50 128,27 223,95 129,19
Kadar total fenol dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan reaktor listrik berkisar 46,80-158,70 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada pirolisis dengan suhu 450 oC (Tabel 24), sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum berkisar 61,50-223,95 mg/l dan kadar yang paling tinggi diperoleh pada pirolisis dengan suhu 505 oC (Tabel 25). Faktor utama yang menentukan kadar total fenol dalam asap cair adalah banyaknya asap yang dihasilkan selama proses pirolisis berlangsung. Jumlah asap yang dihasilkan sangat bergantung pada bahan baku yang digunakan dan suhu yang dicapai selama proses. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Djatmiko et al. (1985) bahwa keberadaan senyawa-senyawa kimia dalam asap cair dipengaruhi oleh kandungan kimia dari bahan baku yang digunakan dan suhu
88 yang dicapai pada proses pirolisis. Berkaitan dengan hal tersebut, Byrne & Nagle (1997) mengatakan penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terjadi secara bertahap, yaitu pada suhu 100-150 oC hanya terjadi penguapan molekul air; pada suhu 200 oC mulai terjadi penguraian hemiselulosa; pada suhu 240 oC mulai terdekomposisi selulosa menjadi larutan pirolignat, gas CO, CO2, dan sedikit ter; pada suhu 240-400 oC, terjadi proses dekomposisi selulosa dan lignin menjadi larutan pirolignat, gas CO, CH4, H2 dan ter lebih banyak; dan pada suhu di atas 400 oC terjadi pembentukan lapisan aromatik. Kadar total fenol asap cair dalam kondisi terbaik pada penelitian ini, yaitu 2,24x10-2 %. Nilai ini sangat jauh berbeda dengan kadar total fenol yang diperoleh Tranggono, et al. (1996) pada proses pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400 o
C dengan menghasilkan total fenol rata-rata 2,90%. Kadar senyawa fenolik yang
didapat Yulistiani (1997) dalam asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa adalah 1,28%, sedangkan Nurhayati (2000) berhasil memperoleh kadar fenol 3,24% dalam asap cair hasil pirolisis kayu tusam. Kadar total fenol yang lebih tinggi didapat oleh Darmadji (1995), yaitu berkisar 2,10-5,13%. Demirbas (2005) telah berhasil mengidentifikasi 2 macam senyawa fenol dalam asap cair hasil pirolisis bahan kayu pada suhu 735 oK, yaitu 2,6-dimetoksifenol dan 3-metil-2,6-dimetoksifenol dengan kadar kadar berturut-turut 0,74 dan 0,62%, sedangkan Tranggono et al. (1997) telah mengidentifikasi 5 macam senyawa-senyawa golongan fenol dalam asap cair hasil pirolisis berbagai jenis kayu pada suhu 350-400 oC, yaitu 2-metoksifenol, 4-metil-2metoksifenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, dan 2,5-dimetoksifenol. 2. Nilai pH Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Pengukuran nilai pH dalam asap cair yang dihasilkan bertujuan untuk mengetahui tingkat proses penguraian bahan baku secara pirolisis, juga untuk menghasilkan asam alami berupa asap. Hasil pengukuran nilai pH rata-rata dalam asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar ditunjukkan pada Tabel 26 dan 27. Asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik padat baik dengan menggunakan reaktor listrik (Tabel 26) maupun reaktor drum (Tabel 27) ditinjau dari nilai pH-nya tergolong asam. Akan tetapi tingkat keasaman asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis dengan reaktor listrik lebih tinggi dibandingkan hasil pirolisis dengan reaktor drum. Hasil ini disebabkan karena penguraian atau dekomposisi komponen kimia
89 dalam masing-masing bahan baku semakin sempurna dengan meningkatnya suhu. Nilai pH yang terendah pada pirolisis dengan reaktor listrik ditunjukkan pada suhu pirolisis 150 oC, yaitu 3,02, sedangkan hasil pirolisis dengan reaktor drum ditunjukkan pada suhu pirolisis 405 oC, yaitu 3,80. Tabel 26 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik Percobaan 1 2 3 4 5
Suhu pirolisis (oC) 150 250 350 450 550
pH 3,02 3,13 3,23 3,36 3,19
Tabel 27 Rataan nilai pH asap cair hasil pirolisis dengan reaktor drum Percobaan 1 2 3 4 5 6
Suhu pirolisis (oC) 350 355 375 405 505 510
pH 4,25 4,09 4,78 3,80 4,10 3,84
Jika nilai pH rendah berarti asap yang dihasilkan berkualitas tinggi terutama dalam hal penggunaannya sebagai bahan pengawet makanan (Nurhayati 2000). Nilai pH yang rendah secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap ataupun sifat organoleptiknya. Ditinjau dari tingkat keasaman untuk penggunaannya sebagai pengawet, maka asap cair hasil pirolisis dengan reaktor listrik relatif berkualitas lebih baik dibandingkan dengan reaktor drum karena bersifat lebih asam sehingga nilai awetnya lebih lama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pszczola (1995) bahwa asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet apabila mengandung senyawaan fenolik dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan. Lebih lanjut, Bukle et al. (1985) menyatakan asap cair yang bersifat asam dapat digunakan sebagai pengawet karena asam berfungsi menurunkan nilai pH, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
90 4.2.4.3 Komponen kimia asap cair Asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik pasar terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut metanol untuk selanjutnya diidentifikasi kandungan kimianya dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2 dengan suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6 μl/menit serta volume injeksinya 1 μl. Kromatogram GCMS dari asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini
Kelimpahan
ditunjukkan pada Gambar 20.
Waktu retensi (menit) Gambar 20 Kromatogram asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar Gambar 20 memperlihatkan bahwa asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sampah organik pasar menunjukkan pemisahan komponen kimianya melalui puncak-puncak kromatogram yang muncul pada GC. Puncak-puncak tersebut mulai muncul pada waktu retensi 3,04 hingga 47,44 menit dan berdasarkan chemstation data system yang dipunyai alat tersebut teridentifikasi sebanyak 61 senyawa penyusun asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar (Lampiran 10). Dari data tersebut terdapat dua senyawa dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 1,1-dimetil hidrazin (8,98%), dan 2,6dimetoksi fenol (8,68%). Di antara ke-61 senyawa yang teridentifikasi pada asap cair terdapat 17 senyawa (27,9%) golongan keton, 14 senyawa (23%) yang merupakan golongan fenolik, 8 senyawa (13%) golongan asam karboksilat, 7 senyawa (11,5%) golongan alkohol, 4 senyawa (6,6%) golongan ester, 3 senyawa (4,9%) golongan aldehid dan lain-lain rata-rata 1 senyawa (1,6%).
91 Hasil ini dari sisi komponen penyusun asap cair tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Maga (1998) dalam Firmansyah (2004), yang melakukan pirolisis bahan kayu memperoleh air (11-92%), senyawa fenolik (0,2-2,9%), asam-asam organik (2,8-4,5%), dan karbonil (2,6-4,6%). Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Bratzler et al. (1969), bahwa komponen utama kondensat asap kayu, yaitu karbonil (24,6%), asam karboksilat (39,9%), dan senyawaan fenolik (15,7%). Lebih lanjut, Tranggono et al. (1997) sudah mendapatkan tujuh macam komponen kimia utama dalam asap cair tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4etil-2-metoksi-fenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2-siklopentadion, yang larut dalam eter. Sementara Yulistiani (1997) mendapatkan kandungan senyawaan fenolik sebesar 1,28% dalam asap cair tempurung kelapa. Komponen fenol tertinggi (3,24%) terdapat pada asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) kayu bakau, dan kadar alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati. Hasil penelitian lain dilaporkan oleh Wanjala et al. (2002) dalam Chacha et al. (2005) bahwa asap cair dari akar kayu Erythrina latissima mengandung beberapa senyawa alkaloid, stilbenoid, lignan, dan flavonoid. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diyakini bahwa pada hampir semua asap cair dari berbagai jenis kayu dijumpai adanya senyawa golongan fenolik. Oleh karena itu, asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet alami. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Pszczola (1995) bahwa asap cair yang mengandung sejumlah komponen fenolik dan asam dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Pada asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini, selain diidentifikasi terdapat senyawaan fenolik, juga diketahui adanya senyawa golongan lakton. Oleh karena itu, asap cair selain dapat digunakan sebagai pengawet juga mempunyai potensi sebagai pengendali hama. Menurut Nurhayati (2000), asap cair juga dapat digunakan sebagai pestisida karena umumnya mengandung senyawa toksik terutama golongan lakton. Narasimhan et al. (2005) telah menemukan dua senyawa turunan lakton, yaitu salanobutirolakton dan desasetilsalanobutirolakton yang aktif sebagai antifeedant bagi serangga. Di samping itu, Frackowiak et al. (2006), juga melaporkan senyawa turunan lakton, yaitu gamma butirolakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga.
92 4.3 Pembuatan Arang Aktif 4.3.1 Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada percobaan ini adalah arang hasil pirolisis sampah organik pasar dengan menggunakan reaktor drum (Gambar 9b) dengan suhu pirolisis ± 500 oC dalam waktu 5 jam. Arang yang diperoleh pada kondisi ini merupakan arang berkualitas terbaik dari bahan baku sampah organik pasar yang mendekati persyaratan SNI-01-1682-1996 kecuali untuk parameter kadar abu. Arang yang akan digunakan pada setiap perlakuan aktivasi terlebih dahulu dicacah secara manual agar ukurannya lebih kecil, sehingga kontak dengan panas pada saat diaktivasi akan lebih merata dan cepat. 4.3.2 Identifikasi Struktur Arang Aktif 4.3.2.1 Identifikasi gugus fungsi arang aktif Hasil analisis spektrum serapan IR pada arang aktif dapat memberi petunjuk tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat perlakuan akitivasi baik pengaruh aktivator, waktu, suhu maupun interaksi antar faktor tersebut. 1. Aktivasi arang dengan aktivator panas Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator panas ditunjukkan pada Gambar 21. W1S1
Transmisi (%)
W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 21 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi panas
93 Tabel 28 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi panas Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3429,2 – 2858,3 – 1423,4 – 1053,1 – 875,6
W2S1
3394,5 – 2923,9 – 2854,5 – 1743,5 – 1454,2 – 1033,8 - 879,5
W1S2
3425,3 – 2854,5 – 1419,5 – 1045,3 – 875,6
W2S2
3417,6 – 2923,9 – 2854,5 – 1743,5 – 1427,2 – 1045,3 – 875,6
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 21 dan data Tabel 28 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil aktivasi dengan panas cenderung makin bertambah daerah serapannya dengan semakin lamanya waktu aktivasi, sedangkan dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi hanya terjadi pergeseran daerah serapannya. Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada perlakuan aktivasi arang dengan aktivator panas secara umum tidak jauh berbeda dengan gugus-gugus fungsi dari bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), kecuali pada perlakuan waktu aktivasi selama 120 menit baik pada suhu 700 maupun 800 oC munculnya serapan IR di daerah bilangan gelombang 1743,5 cm-1 yang berarti terbentuknya gugus karbonil (C=O). Hal ini dapat terjadi akibat panas yang diberikan dalam waktu lebih lama menyebabkan sebagian senyawa selulosa dan/atau lignin terdekomposisi menjadi senyawa karbonil, terutama golongan aldehid dan asam-asam karboksilat. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Pastorova et al. (1994), bahwa akibat panas dalam waktu yang lama sebagian molekul selulosa dan lignin akan terurai melalui mekanisme radikal membentuk senyawa baru yang lebih stabil.
2. Aktivasi arang dengan aktivator uap H2O Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator uap H2O ditunjukkan pada Gambar 22.
94
Transmisi (%)
W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 22 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi uap H2O Tabel 29 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi uap H2O Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3417,6 – 2850,6 – 1450,4 – 1126,4 – 875,6
W2S1
3425,3 – 2923,9 – 1427,2 – 1161,1 – 875,6
W1S2
3444,6 – 2854,5 – 1442,7 – 1164,9 – 875,9
W2S2
3409,9 – 2920,0 – 1427,2 – 1060,8 – 875,6
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 22 dan data Tabel 29 dapat diketahui bahwa arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O hampir semua perlakuan waktu dan suhu aktivasi cenderung mempunyai daerah serapan yang sama. Akan tetapi dibandingkan dengan serapan IR pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19) terdapat daerah serapan yang hilang di sekitar bilangan gelombang 1577,7 cm-1 pada arang aktif ini. Namun serapan IR arang aktif pada semua perlakuan ini menunjukkan pita serapan yang lebih kuat di daerah sekitar 1450,4-1427,2 cm-1, yang berarti perlakuan ini meningkatkan konsentrasi C-H dari senyawa alifatik. Di samping itu, semua perlakuan ini juga memperkuat
95 keberadaan gugus hidroksil (OH) yang ditunjukkan dengan tidak berubahnya secara berarti pita serapan di daerah 3444,6-3409,9 cm-1. Hal ini dapat terjadi karena uap H2O pada suhu aktivasi yang tinggi dengan waktu lebih lama akan terurai menjadi radikal hidrogen (oH) dan hidroksil (oOH) sehingga memungkinkan terjadi reaksi dengan atom karbon yang dapat meningkatkan konsentrasi OH. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ercin & Yurum (2003), bahwa selama proses karbonisasi terjadi perubahan gugus fungsi yang diikuti oleh pembentukan reaksi baru. Arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O menunjukkan separan di daerah bilangan gelombang 40003000 cm-1 lebih kuat dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi panas sehingga tingkat kepolarannya relatif lebih besar.
3. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 23.
Transmisi (%)
W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 23 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M Tabel 30 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
96 Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3436,9 – 2854,5 – 1639,4 – 1427,2 – 1130,2 – 875,6
W2S1
3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1423,4 – 1083,9 – 875,6
W1S2
3444,6 – 2923,9 – 1639,4 – 1461,9 – 1049,2 – 867,9
W2S2
3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1404,1 – 1060,8 – 875,6
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 23 dan data Tabel 30 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan gelombang yang sama artinya gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini tidak berbeda akibat perbedaan waktu dan suhu aktivasi. Akan tetapi pita serapan IR arang aktif pada semua perlakuan ini ada yang bertambah, yaitu di daerah 1639,4 cm-1 dibandingkan dengan pita serapan IR pada bahan bakunya (Gambar 17 dan Tabel 19), sehingga akibat perlakuan tersebut mengindikasikan terbentukan gugus C=O pada arang aktif yang dihasilkan. Namun daerah serapan lainnya cenderung sama dengan bahan bakunya. Di samping itu, akibat perlakuan ini, pita serapan di daerah 3448,5 - 3436,9 cm-1 semakin kuat, sehingga arang aktif yang dihasilkan mengandung konsentrasi OH yang besar, akibatnya arang aktif lebih bersifat polar.
4. Aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 1M Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 24.
97
Transmisi (%)
W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 24 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Tabel 31 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3429,2 – 2923,9 – 1631,7 – 1384,8 – 1053,1 – 867,9
W2S1
3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1461,9 – 1064,6 – 867,9
W1S2
3433,1 – 2923,9 – 1627,8 – 1388,7 – 1114,8 – 875,6
W2S2
3448,5 – 2923,9 – 1639,4 – 1404,1 – 1083,9 – 867,9
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 24 dan data Tabel 31 ditunjukkan bahwa arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa daerah. Hal ini berarti tingkat konsentrasi larutan KOH cenderung tidak memberi pengaruh terhadap perubahan gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. Arang aktif hasil aktivasi dengan KOH mengandung lebih banyak gugus OH dan juga residu kalium
98 oksida di dalam strukturnya sehingga tingkat kepolarannya lebih tinggi dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O (Gambar 22) dan panas (Gambar 21) terutama di daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. Arang aktif ini bersifat basa.
5. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator l larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 25.
Transmisi (%)
W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 25 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Tabel 32 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1527,5 – 1083,9
W2S1
3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1407,9 – 1083,9
W1S2
3436,9 – 2854,5 – 1627,8 – 1404,1 – 1083,9
W2S2
3433,1 – 2854,5 – 1735,8 – 1438,8 – 1118,6
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
99 Berdasarkan Gambar 25 dan data Tabel 32 diperlihatkan bahwa arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M cenderung mempunyai serapan di daerah bilangan gelombang yang sama dengan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5 atau 1M. Namun, yang berbeda hanyalah tingkatan serapannya dan terjadinya sedikit pergeseran serapan ke arah bilangan gelombang yang lebih rendah pada arang aktif ini. Dengan demikian gugus-gugus fungsi pada arang aktif ini relatif tidak berbeda dibandingkan hasil aktivasi larutan KOH baik pada konsentrasi 0,1 maupun 1M, namun cenderung berbeda dibandingkan dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O dan panas terutama serapan pada daerah bilangan gelombang 4000-3000 cm-1. maupun akibat pengaruh waktu dan suhu aktivasinya. Arang aktif ini mengandung residu P2O3 atau P2O5 pada strukturnya sehingga tingkat kepolarannya relatif tinggi dan bersifat asam.
6. Aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 1M Spektrum serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 26.
Transmisi (%)
W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
Bilangan gelombang (cm-1) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 26 Spektrum serapan IR arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
100 Tabel 33 Bilangan gelombang serapan IR dari arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M Bilangan gelombang (cm-1)
Perlakuan W1S1
3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1407,9 – 1083,9
W2S1
3448,5 – 2854,5 – 1639,4 – 1400,2 – 1110,9
W1S2
3433,1 – 2854,5 – 1627,8 – 1400,2 – 1083,9
W2S2
3444,6 – 2854,5 – 1635,5 – 1407,9 – 1083,9
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 26 dan data Tabel 33 ditunjukkan bahwa gugus-gugus fungsi arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M relatif tidak berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M, kecuali tingkat serapan IR-nya pada beberapa daerah. Hal ini berarti tingkat konsentrasi larutan H3PO4 cenderung tidak memberi pengaruh terhadap gugus-gugus fungsi pada arang aktif yang dihasilkan. H3PO4 merupakan asam lemah yang sering digunakan sebagai salah satu aktivator pada pembuatan arang aktif untuk menghasilkan arang aktif yang bersifat asam dengan tingkat kepolaran lebih tinggi sehingga penggunaannya sebagai adsorben lebih optimal.
4.3.2.2 Identifikasi pola struktur kristalit arang aktif Pola struktur kristalit dari arang aktif dapat ditelusuri dengan difraktometri XRD. Analisis ini bertujuan mengetahui struktur kristalit suatu bahan, dan perubahan strukturnya akibat perlakuan yang diberikan. Dengan analisis ini dapat diketahui perubahan bentuk kristalit sebagai akibat dari perlakuan aktivator yang diikuti dengan perubahan suhu dan waktu aktivasi.
1. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan panas Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 27 dan Tabel 34.
101
Intensitas
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 27 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi panas Tabel 34 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi panas pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
51,57
22
0,404
43
0,210
4,031
9,978
8,461
W2S1
43,46
23
0,386
43
0,210
2,677
6,935
5,664
W1S2
45,21
24
0,370
43
0,210
4,031
10,895
8,566
W2S2
23,12
24
0,370
43
0,210
3,214
8,677
8,409
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 27 dan data Tabel 34 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit baik akibat pengaruh peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin lama waktu aktivasi arang dengan aktivator panas menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah, sedangkan semakin tinggi suhunya cenderung menyebabkan semakin tinggi pula tinggi dan lebar antar lapisan aromatik. Di samping itu, jumlah lapisan
102 aromatik cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi, dan sebaliknya dengan semakin lama waktu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator panas yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinias maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 700 oC.
2. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi uap H2O Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 28 dan Tabel 35.
Intensitas
W1S1
W2S1
W1S2 W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 28 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi uap H2O
103 Tabel 35 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi uap H2O pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
39,87
24
0,370
43
0,210
3,212
8,681
12,703
W2S1
45,06
24
0,370
43
0,210
3,212
8,681
8,566
W1S2
44,67
23
0,386
43
0,210
4,031
10,443
6,316
W2S2
46,16
24
0,370
43
0,210
2,677
7,229
8,409
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 28 dan data Tabel 35 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi dengan aktivator uap H2O cenderung tidak berbeda walaupun ditingkatkan suhu maupun waktu aktivasinya. Semakin tinggi suhu dan lamanya waktu aktivasi cenderung menyebabkan tinggi dan lebar antar lapisan aromatik semakin rendah. Di samping itu, jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu aktivasi selama 60 menit. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif ke arah yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator uap H2O yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 120 menit dan suhunya 800 oC.
3. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 0,5M Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 29 dan Tabel 36.
104
Intensitas
W1S1
W1S2
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 29 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M Tabel 36 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
41,50
20
0,444
43
0,210
3,068
6,909
8,445
W2S1
41,17
20
0,444
43
0,210
3,068
6,909
8,445
W1S2
44,83
22
0,404
43
0,210
2,667
6,602
7,036
W2S2
36,48
22
0,404
43
0,210
2,667
6,602
7,036
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 29 dan data Tabel 36 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi, sedangkan lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M menyebabkan
105 baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah, sedangkan lamanya waktu aktivasi tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah lapisan aromatik cenderung berkurang dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 0,5M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
4. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 30 dan Tabel 37.
Intensitas
W1S1
W1S2
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 30 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Tabel 37 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi
106 (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi KOH 1M pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
40,95
20
0,444
43
0,210
3,068
6,909
8,445
W2S1
30,40
23
0,386
43
0,210
3,645
9,443
10,132
W1S2
39,38
22
0,404
43
0,210
2,667
6,601
7,036
W2S2
44,42
22
0,404
43
0,210
2,667
6,601
7,036
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 30 dan data Tabel 37 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif cenderung semakin menyempit dengan semakin lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC, sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 800 oC tidak berpengaruh. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan KOH 1M menyebabkan baik tinggi maupun lebar antar lapisan aromatiknya semakin rendah, sedangkan lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC cenderung meningkat dan pada suhu 800 oC tidak berpengaruh. Demikian juga halnya dengan jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu aktivasi pada suhu 700 oC dan menurun pada suhu 800 oC. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin tinggi akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan KOH 1M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 120 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
5. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 0,5M Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 31 dan Tabel 38.
107
Intensitas
W1S1
W1S2
W2S1
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 31 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Tabel 38 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
39,60
24
0,370
43
0,210
3,569
9,646
10,132
W2S1
38,79
23
0,386
43
0,210
3,563
9,231
9,286
W1S2
54,00
24
0,370
43
0,210
3,650
9,857
8,460
W2S2
44,99
24
0,370
43
0,210
3,650
9,857
8,460
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 31 dan data Tabel 38 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif cenderung tidak berubah baik pada peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu maupun lamanya waktu aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M menyebabkan lebar antar lapisan aromatiknya semakin kecil, sedangkan tingginya cenderung tidak berbeda. Jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat akibat semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal
108 tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 0,5M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 60 menit dan suhu aktivasinya 800 oC.
6. Pola struktur arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M Hasil analisis dengan XRD arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 32 dan Tabel 39.
Intensitas
W1S1
W2S1 W1S2
W2S2
Sudut difraksi (derajat) W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 32 Difraktogram arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
109 Tabel 39 Data derajat kristalinitas (X), sudut difraksi (θ), jarak antar lapisan (d), tinggi (Lc), dan lebar (La) antar lapisan serta jumlah (N) lapisan aromatik arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M pada berbagai suhu dan waktu Perlakuan
X (%)
θ
d1 (nm)
θ
d2 (nm)
Lc (nm)
N
La (nm)
W1S1
40,48
23
0,386
43
0,210
3,563
9,231
10,132
W2S1
41,14
23
0,386
43
0,210
3,563
9,231
10,132
W1S2
39,27
24
0,370
43
0,210
3,650
9,857
8,460
W2S2
33,51
24
0,370
43
0,210
3,650
9,857
8,460
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 32 dan data Tabel 39 ditunjukkan bahwa jarak antar lapisan aromatik arang aktif cenderung menurun dengan semakin meningkatnya suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu aktivasi arang dengan aktivator larutan H3PO4 1M menyebabkan tinggi antar lapisan aromatik semakin meningkat dan lebarnya semakin mengecil. Jumlah lapisan aromatik cenderung meningkat akibat semakin meningkatnya suhu aktivasi. Hal tersebut menggambarkan bahwa terjadi penyusutan struktur kristalit arang aktif yang semakin teratur sehingga derajat kristalinitasnya cenderung menurun. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Saito & Arima (2002, 2007) dan Schukin et al. (2002) yang mendapatkan derajat kristalinitas semakin meningkat akibat terjadinya peningkatan suhu aktivasi. Pada aktivasi arang dengan larutan H3PO4 1M yang menunjukkan peningkatan derajat kristalinitas secara maksimum ditunjukkan pada waktu aktivasi selama 120 menit dan suhu aktivasinya 700 oC. 4.3.2.2 Identifikasi pola struktur permukaan pori arang aktif Pola struktur permukaan pori dari suatu bahan digambarkan dengan fotograph SEM. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui topografi permukaan struktur suatu bahan akibat perubahan suhu aktivasinya. 1. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan panas ditunjukkan pada Gambar 33 dan Tabel 40.
110
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 33 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi panas Tabel 40 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi panas Perlakuan
Diameter pori (µm)
W1S1
2,6-5,8
W2S1
3,1-6,3
W1S2
1,8-4,7
W2S2
2,0-5,2
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 33 dan data Tabel 40 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan panas menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 700 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon. Hal ini disebabkan pada perlakuan tersebut suhu idealnya adalah 700 oC, akan tetapi pada suhu 800 oC cenderung pori-pori tertutupi oleh debu akibat dekomposisi permukaannya sehingga kualitasnya menjadi lebih rendah.
111
2. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan uap H2O ditunjukkan pada Gambar 34 dan Tabel 41.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 34 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi uap H2O Tabel 41 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi uap H2O Perlakuan
Diameter pori (µm)
W1S1
3,5-7,1
W2S1
2,6-6,5
W1S2
3,8-7,7
W2S2
3,7-10,2
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 34 dan data Tabel 41 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah dan diameter pori, baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Hasil ini cenderung berbeda dengan arang aktif hasil aktivasi dengan
112 panas, yaitu diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pada aktivasi ini kadar abu meningkat akibat dekomposisi permukaannya, kemungkinan disebabkan oleh pemberian uap air secara kontinyu pada suhu 800oC cenderung molekul-molekul air terurai menjadi radikal hidrogen dan hidroksil yang sangat reaktif dan bereaksi dengan gugus-gugus fungsi pada arang sehingga menyebabkan pergeseran serapan IR-nya (Gambar 22).
3. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan KOH 0,5M ditunjukkan pada Gambar 35 dan Tabel 42.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 35 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M
Tabel 42 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 0,5M Perlakuan
Diameter pori (µm)
113 W1S1
2,3-6,2
W2S1
2,1-5,6
W1S2
3,5-8,9
W2S2
2,6-6,8
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 35 dan data Tabel 42 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 0,5M menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah dan diameter pori akibat peningkatan suhu aktivasi, sedangkan lamanya waktu aktivasi menyebabkan terjadi penurunan jumlah dan diameter pori. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 60 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon.
4. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan KOH 1M ditunjukkan pada Gambar 36 dan Tabel 43.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 36 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Tabel 43 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi KOH 1M Perlakuan
Diameter pori (µm)
114 W1S1
1,2-3,4
W2S1
2,2-4,9
W1S2
2,3-5,1
W2S2
2,4-5,3
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 36 dan data Tabel 43 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit. Pola ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000) yang membuat arang aktif dari serat rayon. 5. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan H3PO4 0,5M ditunjukkan pada Gambar 37 dan Tabel 44.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 37 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Tabel 44 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 0,5M Perlakuan
Diameter pori (µm)
115 W1S1 W2S1 W1S2 W2S2
2,7-7,1 2,9-7,4 3,1-7,9 4,2-12,2
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Dari Gambar 37 dan data Tabel 44 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu aktivasi 800 oC dan waktu aktivasinya selama 120 menit, yaitu berkisar 4,2-12,2 µm. Hasil ini sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif dari serat rayon yang dilakukan oleh Brasquet et al. (2000). 6. Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M Hasil analisis dengan SEM arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivasi arang dengan larutan H3PO4 1M ditunjukkan pada Gambar 38 dan Tabel 45.
W1S1
W2S1
W1S2
W2S2
W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Gambar 38 Topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M Tabel 45 Diameter permukaan pori arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M Perlakuan
Diameter pori
116 W1S1
(µm) 2,1-7,8
W2S1
2,5-8,3
W1S2
3,6-9,4
W2S2
4,0-11,5
Ket.: W1 = waktu aktivasi 60 menit S1 = suhu aktivasi 700 oC
W2 = waktu aktivasi 120 menit S2 = suhu aktivasi 800 oC
Berdasarkan Gambar 38 dan data Tabel 45 dapat diketahui bahwa topografi permukaan arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 1M menunjukkan kecenderungan yang sama dengan pola struktur arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M, yaitu peningkatan jumlah dan diameter pori baik akibat peningkatan suhu maupun lamanya waktu aktivasi. Diameter pori tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu 800 oC dan waktu aktivasi selama 120 menit, yaitu berkisar 4,0-11,5 µm. Hasil ini sesuai dengan pola topografi permukaan pori arang aktif dari serat rayon yang diperoleh Brasquet et al. (2000). Menurut Novicio et al. (1998) bahwa proses terbentuknya pori-pori pada arang aktif disebabkan oleh menguapnya sejumlah zat terbang bahan baku akibat proses pirolisis. Semakin besar atau lebarnya ukuran pori yang terbentuk pada suatu bahan yang disebabkan oleh peningkatan suhu aktivasi, ada kemungkinan semakin banyak pula jumlah komponen bahan baku yang terdegradasi akan menguap. Penguapan komponenkomponen tersebut dapat mengakibatkan pergeseran antara lapisan kristal dan mengubah struktur kristal arang, sehingga terbentuk kristal baru yang berbeda dengan struktur bahan asalnya. Di samping itu, dengan menguapnya produk dekomposisi pada proses karbonisasi semakin menguntungkan karena bila tidak menguap, komponen tersebut akan menutupi celah di antara lembaran kristal arang, sehingga kinerja arang akan berkurang (Villegas & Valle 2001). Oleh karena itu, proses karbonisasi suatu bahan dapat mengubah pola struktur permukaannya.
4.3.3 Mutu Arang Aktif
117 Arang aktif yang diperoleh dari proses aktivasi arang hasil pirolisis sampah organik pasar secara umum memiliki penampakkan fisik berupa warna dan bentuk yang sama dengan arang sebagai bahan bakunya. Mutu arang aktif sangat bergantung pada rendemen, sifat-sifat dasar, daya jerap dan strukturnya.
4.3.3.1 Rendemen Rendemen merupakan salah satu aspek penting untuk menilai produktivitas suatu proses sehingga dapat diketahui prospeknya. Data hasil perhitungan rata-rata rendemen arang aktif yang dihasilkan pada berbagai perlakuan aktivator, suhu dan waktu disajikan pada Tabel 46. Tabel 46 Rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan aktivasi Percobaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Aktivator Panas Panas Panas Panas Uap H2O Uap H2O Uap H2O Uap H2O KOH 0,5 M KOH 0,5 M KOH 0,5 M KOH 0,5 M KOH 1 M KOH 1 M KOH 1 M KOH 1 M H3PO4 0,5 M H3PO4 0,5 M H3PO4 0,5 M H3PO4 0,5 M H3PO4 1 M H3PO4 1 M H3PO4 1 M H3PO4 1 M
Perlakuan aktivasi Suhu (oC) Waktu (menit) 700 60 700 120 800 60 800 120 700 60 700 120 800 60 800 120 700 60 700 120 800 60 800 120 700 60 700 120 800 60 800 120 700 60 700 120 800 60 800 120 700 60 700 120 800 60 800 120
Rendemen (%b/b) 78,25 82,20 79,50 84,25 55,88 57,35 52,75 57,60 62,55 62,75 63,21 65,50 72,04 80,00 81,03 82,75 75,43 77,15 77,25 78,95 79,00 81,15 83,50 84,15
118 Dari Tabel 46 diketahui bahwa rendemen arang aktif yang dihasilkan pada percobaan ini secara umum berkisar 52,75-84,25%. Rendemen arang aktif hasil aktivasi dengan panas cenderung meningkat seiring meningkatnya suhu dan lama aktivasi. Demikian juga halnya dengan rendemen arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH dan H3PO4, cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi, suhu dan lama aktivasi. Akan tetapi berbeda halnya dengan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O bahwa makin tinggi suhu dan lama aktivasi cenderung rendemennya semakin menurun. Rendemen arang aktif tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi dengan panas pada suhu 800 oC dan waktu 120 menit, yaitu 84,25%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800 oC dan waktu 60 menit, yaitu 52,75%. Hasil ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan rendemen arang aktif yang diperoleh dari kulit kayu Acasia mangium, yaitu 67,40-99,40% (Pari et al. 2006). Rendahnya rendemen arang aktif yang dihasilkan secara umum disebabkan oleh reaksi kimia yang terjadi antara karbon yang terbentuk dengan uap H2O makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya suhu dan lamanya waktu aktivasi, sehingga karbon yang bereaksi menjadi gas CO2 dan H2O dalam satuan waktu makin banyak, sebaliknya kadar karbon yang dihasilkan makin rendah (Lee et al. 2003). Hasil ini relatif sama dengan yang dilakukan oleh Hartoyo et al. (1990) yang membuat arang aktif dari bahan baku tempurung kelapa dan kayu bakau dengan perlakuan aktivasi menggunakan uap H2O pada suhu 500-900 oC dan waktu 10-50 menit. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor aktivator, waktu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap rendemen arang aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 2a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 1M dapat menghasilkan rendemen tertinggi yang berbeda nyata dengan aktivator lain. Faktor waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan rendemen tertinggi yang nyata dibandingkan aktivasi selama 60 menit. Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu 60 atau 120
119 menit, atau antara aktivator panas dengan waktu aktivasi selama 60 atau 120 menit dapat menghasilkan arang aktif dengan rendemen tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC, atau antara aktivator panas dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan rendemen arang aktif tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2c). Faktor interaksi antara waktu aktivasi selama 60 atau 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan rendemen arang aktif yang berbeda tidak nyata (Lampiran 2d). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit dapat menghasilkan arang aktif dengan rendemen tertinggi berbeda tidak nyata (Lampiran 2e). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang aktif dengan rendemen tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, atau aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 60 menit.
4.3.3.2 Karakteristik sifat-sifat dasar arang aktif Mutu arang aktif yang dihasilkan pada suatu proses, antara lain dapat diketahui melalui analisis sifat-sifat dasarnya yang meliputi parameter kadar air, zat terbang, abu, karbon terikat, daya jerap terhadap iodin, benzena dan kloroform. Data hasil karakterisasi sifat-sifat dasar arang aktif disajikan pada Tabel 47. Dari data Tabel 47 ditunjukkan bahwa arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan dengan aktivator panas pada waktu 120 menit dan suhu 800 oC merupakan arang aktif yang sebahagian besar karakteristiknya memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), terutama dalam hal daya jerapnya terhadap larutan iodin. Kemampuan daya jerap arang aktif
120 terhadap larutan iodin sering kali dijadikan sebagai patokan utama untuk menilai kualitas suatu arang aktif terutama untuk penggunaannya sebagai adsorben. Tabel 47 Karakteristik arang aktif hasil aktivasi arang sampah organik pasar
Perlakuan
Kadar (%)
Daya jerap Iodin Benzena (mg/g) (%) 546,76 8,75 700,16 8,55 339,56 8,12 209,63 7,88 616,94 14,99 757,82 16,70 504,82 15,87 873,53 22,51 459,73 5,05 479,55 4,44 306,04 5,87 313,02 6,12 323,25 5,46 327,17 8,17 309,32 11,87 409,52 14,03 308,49 7,99 284,92 7,12 324,76 5,98 243,52 7,26 338,28 9,75 373,59 11,20 438,74 8,97
Air
Zat terbang
Abu
A1W1S1 A1W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W1S1 A2W1S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W1S1 A3W1S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W1S1 A4W1S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W1S1 A5W1S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W1S1 A6W1S2 A6W2S1
2,36 1,02 1,28 2,23 0,98 0,92 1,19 1,36 1,53 3,83 1,76 4,70 1,45 1,11 4,82 5,41 2,46 3,22 3,34 2,58 3,22 2,65 1,71
19,32 18,66 17,82 20,00 12,77 10,87 10,49 8,87 14,43 14,33 13,74 20,06 16,13 13,68 17,34 17,27 7,08 7,29 8,30 6,61 8,66 8,42 6,30
15,56 17,38 12,55 14,44 14,86 16,87 14,95 12,27 21,81 22,52 19,02 23,98 26,25 26,53 20,36 26,59 9,78 10,41 9,89 10,44 9,84 9,55 12,61
Karbon terikat 65,12 63,97 69,63 65,56 72,38 72,26 74,56 78,86 63,76 63,14 67,24 55,96 57,62 59,79 62,31 56,14 83,14 82,30 81,81 82,94 81,50 82,03 81,09
A6W2S2
1,20
6,55
11,45
81,99
268,03
8,76
SNI
≤ 15
≤ 25
≤ 10
≥ 65
≥ 750
≥ 25
Keterangan: A1 = aktivator panas A2 = aktivator steam (uap H2O) A3 = aktivator basa KOH 0,5 M A4 = aktivator basa KOH 1 M A5 = aktivator asam H3PO4 0,5 M A6 = aktivator asam H3PO4 1 M
W1 W2 S1 S2
= waktu aktivasi 60 menit = waktu aktivasi 120 menit = suhu aktivasi 700 oC = suhu aktivasi 800 oC
121 1. Kadar air Kadar air arang sebelum diaktivasi berkisar 2,46-3,09%. Kadar air arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 0,92-5,41% (Tabel 47), nilai ini memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995). Hasil ini masih lebih baik bila dibanding dengan kadar air arang aktif kulit kayu A. mangium, yaitu 8,39-15,19% (Pari et al. 2006). Kadar air tertinggi terdapat pada arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang terendah terdapat pada arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator uap air pada suhu 800 oC selama 60 menit. Kadar air arang aktif yang dikehendaki harus bernilai sekecil-kecilnya karena akan mempengaruhi daya jerapnya terhadap gas ataupun cairan (Pari 1996). Kadar air yang terkandung dalam arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara, lama proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan (Hendaway 2003). Arang aktif yang bersifat higroskopis mudah sekali menyerap uap air di udara karena strukturnya terdiri atas 6 atom karbon pada sudut heksagonal, memungkinkan uap air terperangkap di dalamnya dan tidak dapat dilepas pada kondisi pengeringan oven 105 oC. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor aktivator, waktu, suhu, maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar air arang aktif, sedangkan interaksi faktor waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa faktor aktivator uap H2O menghasilkan kadar air terendah yang nyata dibanding perlakuan lain. Faktor waktu aktivasi selama 60 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah dibanding aktivasi selama 120 menit. Demikian juga halnya dengan aktivasi pada suhu 700 oC menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air terendah dibanding aktivasi pada suhu 800 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan waktu selama 60 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan waktu selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3b). Faktor interaksi antara aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator
122 panas dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan suhu 700 oC, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M menghasilkan arang aktif dengan kadar air terendah yang berbeda tidak nyata (Lampiran 3c). Faktor interaksi antara aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120 menit, atau antara aktivator larutan KOH 0,5M dengan suhu 700 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar air terendah yang tidak nyata (Lampiran 3d). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan pembuatan arang aktif terbaik dengan kadar air terendah, yaitu menggunakan aktivator uap H2O dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau aktivator panas dengan suhu 800 oC selama 60 menit, atau aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120 menit, atau aktivator larutan KOH 0,5M dengan suhu 700 oC selama 60 menit, atau aktivator larutan KOH 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit, atau aktivator larutan H3PO4 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit.
2. Kadar zat terbang Kadar zat terbang arang sebelum diaktivasi berkisar 18,30-19,99%. Kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 6,30-20,06% (Tabel 47). Nilai kadar zat terbang arang aktif yang dihasilkan pada semua perlakuan memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya kurang dari 25,00%. Arang aktif yang mengandung kadar zat terbang terendah terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 1M pada suhu 700 oC selama 120 menit, dan yang tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan KOH 0,5M pada suhu 800 oC selama 120 menit. Secara umum kadar zat terbang yang dihasilkan cenderung meningkat seiring meningkat suhu dan waktu aktivasi. Tingginya kadar zat terbang ini menunjukkan bahwa permukaan arang aktif yang dihasilkan masih menempel senyawaan non karbon dan juga zat terbang yang berasal dari hasil interaksi antara karbon dengan uap air sebagaimana terbukti dari hasil identifikasi gugus fungsi dengan
123 FTIR (Gambar 25) dan dengan SEM (Gambar 35). Kadar zat terbang yang tinggi pada arang aktif tidak diinginkan karena senyawaan yang menempel pada permukaannya dapat mengurangi daya jerapnya baik terhadap larutan maupun gas-gas. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang arang aktif, sedangkan faktor waktu dan suhu tidak nyata (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M berpengaruh tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah yang dihasilkan, sedangkan faktor lain berpengaruh nyata. Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit dan antara aktivator larutan larutan H3PO4 1M dengan waktu 60 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 4b). Pada interaksi faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara aktivator larutan larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah yang dihasilkan, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 4c). Pada interaksi faktor waktu-suhu menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang (Lampiran 4d). Pada interaksi faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit
menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar zat terbang terendah, sedangkan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 4e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa untuk membuat arang aktif dengan kadar zat terbang terendah dapat dilakukan dengan aktivasi arang menggunakan aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 120 menit, antara aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit.
3. Kadar abu
124 Kadar abu dari arang sebelum diaktivasi berkisar 12,22-13,00%. Kadar abu arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 9,55-26,59% (Tabel 47). Nilai tersebut umumnya tidak memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadar abu yang dihasilkan jauh di atas batas maksimum, yaitu kurang dari 10,00%, kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 0,5M pada suhu 700 oC selama 60 dan 120 menit atau larutan H3PO4 1M pada suhu 700 atau 800 oC selama 60 menit. Kandungan kadar abu yang terdapat pada arang hasil pirolisis pada berbagai perlakuan cenderung fluktuatif. Hal ini disebabkan karena komposisi bahan baku sampah organik pasar yang digunakan relatif tidak homogen. Kadar abu tinggi terdapat pada perlakuan aktivasi dengan larutan KOH 1M pada suhu 800 oC selama 120 menit dan yang terendah terdapat pada perlakuan aktivasi dengan larutan H3PO4 1M pada suhu 800 oC selama 60 menit. Tingginya kadar abu pada suatu arang aktif disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi. Menurut Pari (2004), kadar abu yang besar dapat mengurangi daya jerap arang aktif baik terhadap larutan maupun gas-gas, karena kandungan mineral yang terdapat dalam abu seperti kalium, natrium, kalsium, dan magnesium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif, sehingga mengakibatkan kinerja arang aktif berkurang (Tanaike & Inagaki 1999; Benaddi et al. 2000). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator, suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, dan interaksi aktivatorwaktu-suhu memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar abu arang aktif, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan interaksi faktor waktu dan suhu (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 5a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan KOH 1M berpengaruh nyata terhadap kadar abu arang aktif yang dihasilkan. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit berbeda nyata terhadap kadar abu arang aktif yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan faktor suhu aktivasi 800 oC berbeda nyata terhadap kadar abu arang aktif. Pada interaksi antara faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu 60 atau 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dalam menghasilkan kadar abu arang aktif yang relatif lebih rendah, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 5b). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC tidak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu arang
125 aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 5c). Pada interaksi antara faktor aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, antara aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120 menit, dan antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 o
C selama 120 menit menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap kadar abu
arang aktif terendah yang dihasilkan, sedangkan dengan perlakuan lain berbeda nyata (Lampiran 5d). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk menghasilkan arang aktif dengan kadar abu relatif rendah dapat dilakukan dengan aktivasi arang menggunakan aktivator larutan KOH 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator panas dengan suhu 700 oC selama 120 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
4. Kadar karbon terikat Kadar karbon terikat bahan baku arang sebelum diaktivasi berkisar 67,0169,48%. Kadar karbon terikat yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 55,96–83,14% (Tabel 47). Nilai tersebut lebih separuh perlakuan memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995) karena kadarnya melebihi 65,00%, kecuali arang aktif yang dihasilkan pada perlakuan aktivator larutan KOH. Kadar karbon tertinggi terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan H3PO4 0,5M dengan suhu 700 o
C selama 60 menit dan yang terendah terdapat pada aktivasi dengan aktivator larutan
KOH 0,5M dengan suhu 800 oC selama 120 menit. Rendahnya kadar karbon terikat menunjukkan sebagian atom-atom karbon teroksidasi menghasilkan gas CO dan/atau CO2 sehingga atom karbon yang tertata kembali membentuk struktur heksagonal berkurang. Arang aktif tersusun atas atom-atom karbon bebas yang berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar (Puziy et al. 2003). Pada aktivasi dengan aktivator uap H2O dan KOH, menunjukkan kecenderungan dengan semakin lamanya waktu aktivasi semakin berkurang kadar karbon yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kadar abu yang dihasilkan. Akan tetapi kebalikannya pada perlakuan aktivasi dengan panas dan/atau larutan H3PO4 menunjukkan
126 kecenderungan peningkatan kadar karbon dengan semakin meningkatnya waktu aktivasi. Hal ini disebabkan kadar abu yang terbentuk pada arang aktif hasil aktivasi dengan kedua aktivator tersebut relatif lebih rendah berkisar 12,55-17,38% untuk aktivator panas dan 9,55-11,45% untuk aktivator H3PO4 (Tabel 47) dibandingkan dengan hasil aktivasi uap H2O dan KOH. Hasil ini berbeda dengan perlakuan aktivasi yang dilakukan oleh Williams & Reed (2003) bahwa kadar karbon semakin menurun akibat semakin meingkatnya waktu aktivasi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa baik faktor aktivator, suhu maupun interaksi aktivator-waktu, aktivator-suhu, waktu-suhu dan interaksi aktivator-waktu-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar korbon terikat arang aktif (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 6a) menunjukkan bahwa faktor aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dapat menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda nyata dengan aktivator lain. Faktor suhu aktivasi 700 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 800 oC. Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan waktu aktivasi selama 60 atau 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6b). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6c). Faktor interaksi antara waktu aktivasi baik selama 60 maupun 120 menit dengan suhu 700 atau 800 oC menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6d). Faktor interaksi antara aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau antara aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi yang berbeda tidak nyata (Lampiran 6e). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang aktif dengan kadar karbon tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi menggunakan aktivator larutan H3PO4 0,5 atau 1M dengan suhu 700 atau 800 oC selama 60 atau 120 menit, atau aktivator KOH 1M dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
5. Daya jerap iodin
127 Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin merupakan indikator penting dalam menilai kualitas suatu arang aktif. Daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin mempunyai arti bahwa arang tersebut mampu menyerap zat dengan ukuran molekul yang < 10 Ao atau memberikan indikasi bahwa arang tersebut memiliki jumlah pori > 10 Ao. Semakin tinggi daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin maka semakin baik kualias arang aktif tersebut. Daya jerap arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini terhadap larutan iodin berkisar 209,63-873,53 mg/g (Tabel 47). Nilai tersebut pada umumnya tidak memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), kecuali arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800 oC selama 60 atau 120 menit, karena batas minimal daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin adalah 750,00 mg/g. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin semakin menurun sesuai dengan meningkatnya waktu aktivasi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Pari (1995) yang memperoleh daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin yang terendah ditunjukkan pada arang hasil aktivasi selama 30 menit dibandingkan dengan aktivasi selama 90 menit yang mempunyai daya jerap lebih tinggi. Di samping itu, apabila hasil ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin berkisar antara 369-607 mg/g, maka kualitas arang aktif hasil penelitian ini relatif lebih baik. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa semua faktor baik tunggal maupun interaksinya memberi pengaruh yang nyata terhadap daya jerap arang aktif terhadap larutan iodin (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 7a) menunjukkan bahwa aktivasi dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal menghasilkan arang aktif yang mempunyai daya jerap lebih tinggi terhadap larutan iodin. Faktor waktu aktivasi selama 60 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan dengan waktu aktivasi selama 120 menit. Faktor suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi antara aktivator panas dengan waktu
128 aktivasi selama 60 menit, atau antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O dengan suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7c). Faktor interaksi antara waktu aktivasi baik selama 60 menit dengan suhu 700 atau 800 oC, atau antara waktu aktivasi selama 120 menit dengan suhu 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7d). Faktor interaksi antara aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 7e). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan terbaik pembuatan arang aktif yang mempunyai daya jerap terhadap larutan iodin tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan aktivator uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit.
6. Daya jerap benzena Benzena merupakan senyawa aromatis sederhana yang bersifat nonpolar. Senyawa ini memiliki titik didih yang lebih rendah dari pada air, yaitu 80 oC, tidak berwarna, tidak larut dalam air, larut baik dalam kebanyakan pelarut organik, mudah terbakar dengan nyala yang berjelaga. Karakteristik daya jerap arang aktif terhadap benzena memberi indikasi akan kemampuan arang aktif dalam menjerap gas-gas yang bersifat nonpolar dengan ukuran molekul < 6 Ao. Daya jerap arang aktif terhadap uap benzena yang dihasilkan pada pengamatan jam ke-24 berkisar 4,44-22,51% (Tabel 47). Nilai daya jerap arang aktif terhadap uap benzena tidak ada yang memenuhi persyaratan SNI-06-3730-1995 (BSN 1995), karena batas ambangnya minimal 25,00%. Nilai daya jerap arang aktif terhadap benzena tertinggi terdapat pada perlakuan aktivasi uap H2O dengan suhu 800 oC selama 120 menit dan yang terendah terdapat pada perlakuan aktivasi larutan KOH 0,5M dengan suhu 800 oC selama 60 menit. Rendahnya daya jerap arang aktif terhadap uap benzena menunjukkan bahwa masih terdapatnya senyawaan nonkarbon yang menempel pada permukaan arang aktif terutama atom hidrogen dan oksigen sehingga permukaan arang
129 aktifnya lebih bersifat nonpolar. Apabila hal ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Pari et al. (2006) yang memperoleh daya jerap arang aktif dari A. mangium terhadap uap benzena berkisar antara 9,22-16,20%, maka arang aktif yang dihasilkan pada penelitian ini relatif berkualitas sama. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa faktor aktivator, suhu, waktu maupun interaksi aktivator-waktu dan aktivator-suhu memberi pengaruh yang nyata terhadap daya jerap arang aktif terhadap uap benzena (Lampiran 1). Selanjutnya hasil uji BNT faktor tunggal (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa aktivasi dengan uap H2O berbeda nyata dalam hal menghasilkan arang aktif yang mempunyai daya jerap lebih tinggi terhadap uap benzena. Faktor waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan dengan waktu aktivasi selama 60 menit. Faktor suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena lebih tinggi yang berbeda nyata dibandingkan aktivasi dengan suhu 700 oC. Faktor interaksi antara aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 8b). Faktor interaksi antara antara aktivator uap H2O dengan suhu aktivasi 800 oC menghasilkan arang aktif dengan daya jerap terhadap uap benzena tertinggi yang berbeda nyata (Lampiran 8c). Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa perlakuan terbaik untuk pembuatan arang aktif dari sampah organik pasar yang mempunyai daya jerap terhadap uap benzena tertinggi, yaitu dengan cara aktivasi arang menggunakan aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.
130 4.4 Fraksinasi dan Bioassay Asap Cair 4.4.1 Fraksinasi Asap Cair Asap cair yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil pirolisis pada suhu o
505 C dari bahan baku sampah organik pasar yang sukar dikomposkan. Fraksinasi asap cair bertujuan untuk mencari fraksi-fraksi dari asap cair yang berpotensi terutama sebagai antifeedant bagi hama tanaman. Fraksinasi dilakukan secara berturut yang diawali dengan pelarut n-heksan (nonpolar), lalu diikuti dengan etil asetat (semipolar), dan selanjutnya dengan metanol (polar), sedangkan sisanya merupakan fraksi air (pelarut universal yang bersifat polar). Residu hasil evaporasi dari fraksi-fraksi yang diperoleh disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Residu hasil fraksinasi asap cair hasil pirolisis sampah organik Bahan
Asap Cair
Pelarut
Filtrat (ml)
Residu (g/l)
n-Heksan
722
3,47
Etil asetat
3155
23,74
Metanol
1350
8,78
Air
2804
3,68
Berdasarkan data Tabel 48 diperoleh informasi bahwa residu hasil fraksinasi asap cair dengan kadar tertinggi terdapat pada fraksi etil asetat, yaitu 23,74 g/l, dan yang paling rendah terdapat pada fraksi n-heksan, yaitu 3,47 g/l. Hasil ini menunjukkan bahwa pada asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar dengan suhu 505 oC selama 5 jam mengandung lebih banyak komponen senyawa yang bersifat semipolar. Hal ini relatif sesuai dengan komponen kimia yang teridentifikasi pada analisis dengan teknik GCMS (Lampiran 10).
4.4.2 Bioassay Asap Cair Bioassay antifeedant merupakan salah satu teknik pencarian senyawa atau komponen aktif dari suatu bahan yang bersifat tidak membunuh dan tidak mengusir, melainkan hanya bersifat anti/menolak makan saja bagi hama pengganggu tanaman. Data hasil bioassay asap cair dan fraksi-fraksinya terhadap larva S. litura disajikan pada Tabel 49.
131 Tabel 49 Persentase aktivitas antifeedant asap cair dan fraksi-fraksinya Contoh
% Aktivitas antifeedant pada konsentrasi contoh 0,125%
0,250%
0,500%
1,00%
Asap Cair
17,39
29,41
30,61
44,68
Fraksi Air
18,18
30,77
41,18
62,07
Fraksi Metanol
26,83
48,00
65,38
80,65
Fraksi Etil asetat
19,15
20,83
22,45
28,57
Fraksi n-Heksan
10,45
12,12
17,65
23,40
Dari data Tabel 49 diketahui bahwa persentase aktivitas antifeedant dari asap cair dan/atau fraksi-fraksinya cenderung meningkat seiring meningkatnya konsentrasi yang diberikan. Pada konsentrasi contoh 1% (v/v) aktivitas antifeedant yang melebihi 50,00% ditunjukkan oleh fraksi metanol dan air, yaitu secara berturut 80,65 dan 62,07%, sedangkan aktivitas terendah ditunjukkan fraksi n-heksan, yaitu 23,40%. Hasil ini memberi petunjuk bahwa baik fraksi metanol maupun air yang berasal dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pengendali hama tanaman yang bersifat antifeedant terutama dalam menggulangi larva S. litura. Hasil ini juga diperkuat data analisis probit yang menunjukkan ke dua fraksi tersebut mempunyai nilai EI50 yang sama-sama terendah, yaitu 0,71% (Lampiran 11). Nilai ini berarti ke dua fraksi tersebut pada konsentrasi 0,71% saja mampu menyebabkan 50% sasarannya bersifat antifeedant. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Han et al. (2006) bahwa ekstrak metanol dari akar Angelica dahurica, keseluruhan tanaman Lysimachia davurica, dan umbi Nardostachys chinensis sangat potensial sebagai insektisidal atau antifeedant terhadap larva Attagenus unicolor japonicus. Pada penelitian yang dilakukan oleh Narasimhan et al. (2005), juga diperoleh hal yang sama, yaitu ekstrak metanol dari biji Momordica dioica yang mempunyai aktivitas antifeedant tertinggi terhadap larva S. litura. Komponen kimia penyusun fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar diidentifikasi dengan teknik GCMS menggunakan kolom kapiler HP Ultra-2 dengan suhu injektor 250 oC, gas pembawa helium dan kecepatan alir 0,6 μl/menit serta volume injeksinya 1 μl. Kromatogram GC yang diperoleh dari hasil analisis fraksi metanol asap cair ditunjukkan pada Gambar 39.
Kelimpahan
132
Waktu retensi (menit) Gambar 39 Kromatogram fraksi metanol asap cair hasil pirolisis sampah organik Hasil identifikasi kromatogram pada Gambar 39 dengan chemstation data system yang ada pada alat tersebut diketahui senyawa-senyawa penyusun fraksi metanol seperti yang tersajikan pada Tabel 50. Tabel 50. Kandungan kimia fraksi metanol asap cair Nomor Peak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Waktu Retensi (menit) 2,19 2,53 3,07 3,22 3,78 3,93 4,05 4,65 5,34 6,36 6,90 10,39 12,21 19,33
Nama Senyawa Asam butanoat Gamma-butirolakton 2-furan metanol 2-hidroksi-3-metil-2-siklopenten-1-one fenol Trans-4-siklopenten-1,3-diol 2-metil-3-buten-2-ol 2,6-dimetoksi fenol Asam 2-metil-2-propenoat 3-metoksi-1,2-benzenadiol 2-metoksi-4-propil fenol 3-metil-1,2-benzenadiol 2-metil-1,4-benzenadiol 1,4-benzenadiol
Konsentrasi (%) 6,59 21,75 3,50 13,71 15,54 6,60 7,68 11,71 3,66 3,43 7,11 1,21 6,33 2,19
Dari data Tabel 51 diketahui bahwa kandungan kimia fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar menunjukkan 50% dari total 14 senyawa
133 yang teridentifikasi pada fraksi tersebut dengan teknik GCMS merupakan senyawa golongan fenolik. Hasil ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dapat dijumpai baik pada tumbuhan berbunga, pakisan, lumut, lumut hati, maupun pada jasad renik (Harborne 1988). Menurut Salisbury & Ross 1995, fungsi senyawa fenolik pada tumbuhan sangat beragam, misalnya asam protokatekuat berfungsi mencegah corengan pada varietas bawang berwarna tertentu yang disebabkan oleh fungi Colletotrichum circinans. Asam klorogenat berfungsi mencegah penyakit tertentu pada kultivar yang resisten dan asam ini tidak beracun bagi manusia. Asam galat penting karena diubah menjadi galotanin, merupakan polimer heterogen yang mengandung berbagai molekul asam galat yang saling terkait dengan asam galat lain serta sukrosan dan gula-gula lain. Galotanin umumnya berperan sebagai alelopati dan sangat menghambat pertumbuhan tanaman terutama spesies lain yang tumbuh di sekitar tumbuhan yang mengandung dan melepaskannya (Rice 1984). Senyawa tanin tersebar luas di dalam jaringan tumbuhan dan mempunyai fungsi melindungi tumbuhan terhadap serangan bakteri dan fungi (Swain 1979). Selanjutnya, Hemingway & Karchesy (1989) menyatakan tanin juga bertindak sebagai senyawa aktif yang menyebabkan herbivora menolak makan/antifeedant tumbuhan yang mengandungnya, sebagian karena sifat astringensinya (kemampuan mengkerutkan mulut) dan sebagian karena menghambat pencernaan dan penggunaan makanan. Kelompok senyawa yang berhubungan erat dengan asam fenol dan juga berasal dari lintasan asam sikimat adalah kumarin. Kumarin merupakan salah satu senyawa atsiri yang terbentuk terutama dari turunan glikosida tak atsiri saat penuaan atau perlukaan. Hal ini penting terutama pada tumbuhan alfafa dan semanggi, yaitu kumarin menyebabkan timbulnya aroma yang khas sesaat setelah kedua jenis tumbuhan tersebut dibabat. Skopoletin merupakan salah satu senyawa golongan kumarin yang berperan menghambat perkecambahan biji. Hasil analisis dengan teknik GCMS pada asap cair juga menunjukkan bahwa senyawa yang teridentifikasi dengan konsentrasi tertinggi adalah gamma-butirolakton
134 (21,75%). Berdasarkan hasil bioassay (Tabel 49), di samping senyawa golongan fenolik, senyawa ini juga diduga berfungsi sebagai pestisida antifeedant terhadap larva S. litura. Senyawa ini mempunyai rumus struktur seperti Gambar 40.
Gambar 40 Struktur senyawa gamma-butirolakton
Aktivitas antifeedant dari senyawa yang mengandung inti lakton sudah banyak publikasi antara lain seperti dilaporkan oleh Frackowiak et al. (2006) bahwa golongan gamma-lakton dapat digunakan untuk aktivitas antifeedant terhadap berbagai macam serangga, sedangkan Narasimhan et al. (2005) melaporkan salannobutirolakton sangat potensial sebagai antifeedant terhadap larva S. litura dan desasetilsalannobutirolakton bersifat insektisidal terhadap larva tersebut. Selanjutnya, Thoison et al. (2004) menemukan senyawa 12-hidroksioleanolat lakton dan pektolinarigenin dari ekstrak Nothofagus dombeyi yang memberi antivitas antifeedant sangat signifikan. Senyawa linearolakton dan 4-(3-furil)-gamma-butirolakton sangat potensial sebagai antifeedant (Gebbinck et al. 2002). Di samping itu, beberapa golongan keton lain seperti 12ketoepoksi-azadiradion dan turunannya juga mempunyai kemampuan sebagai insektisida dan antifeedant (Fernandez-Mateos et al. (2005). Senyawa-senyawa asam 3hidroksi alkanoat yang merupakan golongan asam alkanoat juga mempunyai aktivitas yang signifikan sebagai antifeedant terhadap larva S. litura (Jannet et al. 2001).
135 4.5 Aplikasi Komarasca pada Tanaman Daun Dewa Aplikasi produk komarasca (kompos-arang aktif-asap cair) hasil konversi sampah organik pasar pada tanaman sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bukti secara nyata akan fungsi atau manfaat dari masing-masing komponen yang dihasilkan. Di samping itu, juga untuk kebutuhan informasi tentang tingkat pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman serta kemampuan komponen asap cair yang terkandung di dalam komarasca yang berperan mencegah atau menanggulangi hama pengganggu. Penggunaan produk komarasca sebagai pupuk organik yang mengandung komponen berpori dan pengendali hama alami pada tanaman, terutama tanaman obat-obatan sangat menguntungkan bagi manusia karena dapat mengkonsumsi tanaman tersebut secara aman dan terhindar dari dampak residu pestisida sintetik yang sangat merugikan dan membahayakan kesehatan. Di samping itu, pemanfaatan komarasca hasil konversi sampah organik pasar sangat menguntungkan bagi daur karbon seperti ditunjukkan pada Gambar 41.
Gambar 41. Daur karbon di alam (Salisbury & Ross 1995)
136 Hal ini disebabkan karena berdasarkan perhitungan kandungan karbon di dalam produk komarasca yang dihasilkan melalui proses yang terbaik didapat 33,78% karbon di dalam kompos pada perlakuan B2 (Tabel 12), 30,29% karbon di dalam arang hasil pirolisis pada suhu 505 oC (Tabel 16 dan 18), dan sebahagian karbon juga dikandung oleh asap cair hasil pirolisis 505 oC dengan rendemen 31,24% (Tabel 23). Di samping itu, penggunaan produk komarasca hasil konversi sampah organik pasar pada tanaman, selain menjaga keseimbangan daur karbon, juga sangat penting bagi menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, karena fraksi metanol dari asap cair (Tabel 48 dan 49) yang digunakan tidak bersifat membunuh hama pengganggu, melainkan hanya bersifat antifeedant saja. Oleh karena itu, penelitian semacam ini perlu digiatkan atau dikembangkan agar kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati tetap terjaga, di samping mendapatkan keuntungan ekonomi dan kesehatan bagi manusia.
4.5.1 Pertumbuhan Tanaman Daun Dewa 4.5.1.1 Pertumbuhan tanaman sebelum pemberian pengendali hama Pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indikator yang menjadi ukuran dampak atau akibat dari pemberian suatu perlakuan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman berlangsung secara terus-menerus sepanjang daur hidupnya dan bergantung pada tersedianya meristem, hasil asimilasi, hormon serta substansi pertumbuhan lainnya dan kondisi lingkungan yang mendukung (Gardner et al. 1991). Data hasil pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama disajikan pada Tabel 51. Berdasarkan data Tabel 51 dapat diketahui bahwa secara umum ditunjukkan
pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman. Peningkatan tinggi batang tanaman daun dewa yang paling tinggi yaitu sebesar 1,8 cm ditunjukkan oleh perlakuan dengan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit.
137 Tabel 51 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa sebelum pemberian pengendali hama Tingkat Pertumbuhan pada Hari keTinggi batang (cm)
Perlakuan
M0 M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Jumlah daun (helai)
Jumlah anakan (batang)
0
10
20
30
0
10
20
30
0
10
20
30
3,2 4,1 3,6 3,6 3,7 4,0 3,5 3,7
3,3 4,3 3,7 3,7 3,8 4,1 3,7 3,8
3,5 4,6 4,0 4,2 4,3 4,7 4,2 4,3
3,8 5,2 4,6 4,8 5,1 5,8 5,0 5,1
5 6 7 7 7 6 8 7
6 7 8 8 8 7 9 8
8 8 10 9 10 9 10 10
9 9 11 11 11 11 12 12
1 1 1 1 1 1 2 2
2 1 2 2 2 1 2 2
2 2 3 3 2 2 5 3
2 3 4 4 3 3 6 4
Ket.: M0 = 100% tanabu (tanah-abu)(kontrol); M1 = pupuk kandang; M2 = kompos; M3 = kompos-arang;
M4 = kompos-arang aktivasi panas; M5 = kompos-arang aktivasi uap H2O; M6 = kompos-arang aktivasi KOH 1M; M7 = kompos-arang aktivasi H3PO4 1M
Hal ini kemungkinan disebabkan penggunaan kompos yang mengandung sejumlah unsur hara yang sangat diperlukan (Tabel 13 dan 14) dan arang aktif hasil aktivasi uap H2O yang mempunyai daya jerap lebih tinggi (Tabel 47) terutama unsurunsur hara yang bermanfaat bagi menunjang peningkatan tinggi batang. Pertambahan jumlah daun terbanyak, yaitu 6 helai ditunjukkan oleh perlakuan dengan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 1M. Hal ini kemungkinan selain disebabkan oleh unsur hara yang dikandung oleh komposnya, juga penggunaan arang aktif hasil aktivasi larutan H3PO4 1M yang mengandung residu fosfor yang sangat dibutuhkan untuk pertambahan jumlah daun. Pertambahan jumlah anakan terbanyak, yaitu 4 batang ditunjukkan oleh perlakuan dengan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh penggunaan arang aktif hasil aktivasi larutan KOH 1M yang mengandung residu kalium sangat berpengaruh dalam menyumbang unsur hara kalium yang melengkapi unsur hara pada kompos yang digunakan. Dari hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa pengaruh campuran media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang
138 maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 12). Selanjutnya dari hasil uji BNT ditunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi batang yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13). Pertambahan jumlah daun yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abukompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 14). Pertambahan jumlah anakan yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 15). Selanjutnya, berdasarkan lampiran 13 sampai 15, juga diketahui penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol asap cair memberi pengaruh sangat nyata pada pertumbuhan tanaman daun dewa, baik tinggi batang, jumlah daun, maupun anakannya. Hasil yang didapat pada penelitian ini, ternyata sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan peningkatan tinggi batang sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat penggunaan media tanam yang diberi arang dan arang aktif dari bambu. Demikian juga halnya dengan hasil penelitian Komarayati et al. (2003) yang mengamati pertumbuhan anakan Pinus merkusii cukup baik pada pemberian arang kompos sebanyak 30%. Keuntungan pemberian arang dan/atau arang aktif antara lain untuk memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang dan memberi habitat yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
4.5.1.2 Pertumbuhan tanaman setelah pemberian pengendali hama Pemberian pengendali hama pada penelitian ini dilakukan pada umur tanaman daun dewa berumur 30 hari, karena pada umur tersebut pertumbuhannya sudah kuat dan menunjukkan pertumbuhan yang baik sehingga waktu yang tepat untuk mencegah dan mengendali hama pengganggu. Pemberian pengendali hama yang terlalu cepat dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, sedangkan jika diberikan
139 pada umur yang relatif tua akan berdampak pada hasil panennya. Pengendali hama yang diberikan pada penelitian ini terdiri atas pestisida nabati fraksi metanol yang berasal dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar. Sebagai pembanding digunakan pestisida sintetik jenis serbuk merk sidamethin dan air sebagai kontrol. Masing-masing pengendali hama tersebut dibuat larutan dengan konsentrasi 0,5% dan diaplikasikan dengan cara menyemprotkan-nya secara merata pada tanaman. Data hasil pengukuran pertumbuhan tanaman daun dewa setelah pemberian pengendali hama disajikan pada Tabel 52. Tabel 52 Pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa setelah pemberian pengendali hama
Perlakuan M0P0 M0P1 M0P2 M1P0 M1P1 M1P2 M2P0 M2P1 M2P2 M3P0 M3P1 M3P2 M4P0 M4P1 M4P2 M5P0 M5P1 M5P2 M6P0 M6P1 M6P2 M7P0 M7P1 M7P2 Ket.:
Tingkat Pertumbuhan pada Hari keTinggi batang Jumlah daun Jumlah anakan (cm) (helai) (batang) 40 60 80 40 60 80 40 60 80 3,7 4,5 5,1 10 13 17 3 5 7 5,4 6,9 7,8 11 15 20 2 3 5 3,3 3,9 4,4 9 11 13 3 4 5 5,1 6,4 7,4 12 16 22 4 8 10 6,2 8,0 9,2 11 15 21 4 10 12 5,8 7,4 8,5 11 15 21 4 7 9 4,7 6,1 7,0 12 16 21 7 10 13 5,3 6,8 7,9 12 17 23 6 10 13 5,6 7,4 8,7 13 17 23 5 10 13 5,4 7,0 8,0 12 16 21 5 11 15 5,3 7,1 8,3 13 16 22 5 10 14 6,1 8,2 9,5 13 17 26 3 8 12 5,7 8,2 9,8 12 16 23 5 15 17 6,3 9,1 10,8 14 19 28 3 11 14 6,4 8,8 10,2 13 17 26 3 9 14 7,0 9,9 11,7 12 19 28 5 14 19 7,4 10,9 13,0 17 27 35 15 21 26 7,3 10,4 12,3 14 20 34 6 15 18 6,1 8,7 10,3 13 17 23 7 21 24 6,1 8,7 10,4 14 20 34 11 22 25 5,9 8,6 10,1 13 18 31 7 14 19 6,2 8,8 10,5 16 21 32 6 14 19 5,7 7,7 9,0 13 18 25 5 15 21 6,2 8,7 10,4 14 20 30 6 15 20
M0 = kontrol (100% tanabu) M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M1 = pupuk kandang M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M M2 = kompos M3 = kompos-arang P0 = kontrol (air) M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas P1 = fraksi metanol (asap cair) M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
140 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui bahwa penggunaan campuran media memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang maupun pertambahan jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa. Penggunaan pengendali hama memberi pengaruh sangat nyata terhadap pertambahan jumlah anakan, sedangkan untuk pertambahan jumlah daun hanya berpengaruh nyata. Pada interaksi antara penggunaan campuran media dan pengendali hama memberi pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang maupun terhadap pertambahan jumlah daun dan anakan. Selanjutnya dari hasil uji BNT diketahui bahwa pertumbuhan tinggi batang dan jumlah daun yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O (Lampiran 13 dan 14). Pertambahan jumlah anakan yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan larutan KOH 1M (Lampiran 15). Pertumbuhan tinggi batang dan pertambahan jumlah daun serta anakan yang sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan fraksi metanol dari asap cair (Lampiran 13 dan 14). Pada interaksi antara penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol dari asap cair menunjukkan pengaruh sangat nyata baik terhadap pertumbuhan tinggi batang maupun jumlah daun dan anakan tanaman daun dewa (Lampiran 13, 14, dan 15). Berdasarkan data Tabel 53 dan hasil analisis sidik ragam serta uji BNT dapat disimpulkan bahwa peranan fraksi metanol dari asap cair baik sebagai faktor tunggal maupun dalam bentuk kombinasinya dengan media campuran tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman daun dewa terutama terhadap pertumbuhan tinggi batang, jumlah daun dan anakannya. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai senyawa yang terkandung dalam fraksi metanol dari asap cair, yang sebahagian besarnya merupakan golongan fenolik (Tabel 50) yang memacu kerja hormon pertumbuhan seperti auksin, giberelin, dan sitokinin. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang mencukupi sehingga kandungan unsur hara pada sisa campuran media relatif masih banyak (Lampiran 18).
141 4.5.2 Biomassa Tanaman Daun Dewa Biomassa tanaman uji merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui pengaruh atau respon dari perlakuan yang diberikan. Data hasil aplikasi komarasca hasil konversi sampah organik pasar disajikan pada Tabel 53. Tabel 53 Data rataan hasil penentuan jumlah akar, daun dan bobot biomassa tanaman daun dewa hasil panen pada perlakuan komarasca Perlakuan
Jumlah akar (potong)
Tebal daun (cm)
Bobot basah total (g)
M0P0
75
0,10
M0P1
41
M0P2
Ket.:
Bobot kering (g) akar
daun
89
15
14
0,15
99
9
8
43
0,10
64
6
5
M1P0
64
0,11
145
6
10
M1P1
68
0,15
104
6
9
M1P2
66
0,11
127
10
15
M2P0
95
0,10
191
18
15
M2P1
63
0,14
149
14
10
M2P2
75
0,10
148
7
18
M3P0
114
0,13
233
28
16
M3P1
119
0,15
176
19
13
M3P2
118
0,11
176
19
19
M4P0
104
0,12
179
22
32
M4P1
58
0,15
141
12
8
M4P2
44
0,10
117
10
16
M5P0
116
0,11
190
46
28
M5P1
119
0,15
236
44
38
M5P2
105
0,11
157
17
11
M6P0
112
0,11
208
42
26
M6P1
95
0,15
224
41
38
M6P2
62
0,12
177
22
21
M7P0
92
0,11
209
27
30
M7P1
114
0,14
113
14
6
M7P2
89
0,11
140
24
31
M0 = kontrol (100% tanabu) M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M1 = pupuk kandang M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M M2 = kompos M3 = kompos-arang P0 = kontrol (air) M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas P1 = fraksi methanol (asap cair) M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
142
Dari Tabel 53 diperoleh informasi bahwa hasil aplikasi komarasca secara umum menunjukkan respon positif baik terhadap pertumbuhan akar maupun bobot biomassanya. Perlakuan yang memberi respon terbaik terhadap bobot biomassa tersebut terdapat pada penggunaan kompos hasil pengomposan terbaik sampah organik pasar dengan biodekomposer EM-4 dan arang aktif hasil aktivasi dengan menggunakan aktivator uap H2O pada suhu 800 oC selama 120 menit serta fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis sampah organik pasar pada suhu 505 oC. Hasil ini kemungkinan disebabkan kompos yang digunakan mengandung unsur hara yang mencukupi kebutuhan tanaman tersebut yang ditandai dengan banyak unsur hara yang diserap oleh akar dan masih bersisanya unsur hara pada campuran media sisa panen (Lampiran 18). Di samping itu, juga disebabkan penggunaan arang aktif yang mempunyai pori relatif besar (Gambar 35 dan Tabel 41) sehingga dapat menyerap air dan komponen unsur hara lebih banyak. Demikian juga halnya, akibat penggunaan fraksi metanol yang mengandung sejumlah senyawa (Tabel 50), selain sebagai antifeedant bagi serangga, juga mengaktifkan hormon pertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis secara sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui bahwa penggunaan campuran media, pengendali hama maupun interaksinya memberi pengaruh yang sangat nyata baik terhadap bobot basah maupun kering tanaman daun dewa. Selanjutnya dari hasil uji BNT diketahui bahwa baik bobot basah maupun kering tanaman daun dewa berpengaruh sangat nyata pada penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang dicampur dengan arang aktif hasil aktivasi uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair sampah organik pasar (Lampiran 16 dan 17). Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan Gusmailina et al. (2000) yang mendapatkan peningkatan bobot biomassa sangat nyata pada tanaman Eucalyptus urophylla akibat penggunaan media tanam yang diberi arang dan arang aktif dari bambu.
143 4.5.3 Kandungan Total Mikroba dan Fungi Data hasil analisis total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen tanaman daun dewa disajikan pada Tabel 54. Tabel 54 Kandungan total mikroba dan fungi pada campuran media sisa panen tanaman daun dewa Total Mikroba
Total Fungi
(SPK/g 107)
(SPK/g 104)
M0P0
1,74
2,00
M5P1
3,40
5,28
Perlakuan
Dari data Tabel 54 diketahui bahwa total mikroba pada campuran media tanahabu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dan fraksi metanol dari asap cair menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding kontrol yang hanya berisi tanah-abu, yaitu secara berturut 3,40 dan 1,74 SPK/g x 107. Demikian juga halnya, dengan kandungan total fungi. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan campuran media yang terdiri atas kompos hasil pengomposan dengan biodekomposer EM-4 mengandung
sejumlah
mikroba
seperti Lactobacillus
(bakteri
asam laktat),
Actinomycetes, Streptomyces sp. Di samping itu, arang aktif yang mempunyi pori-pori relatif besar (Gambar 35 dan Tabel 41) dan memungkinkan sejumlah mikroba berkembangbiak secara baik dan cepat sehingga hasilnya jauh lebih meningkat dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga halnya dengan penggunaan fraksi metanol asap cair yang mengandung sejumlah senyawa (Gambar 50) tidak menghalangi mikroba dan fungi untuk berkembangbiak. Kandungan mikroba dan fungi pada campuran media tersebut kemungkinan memberi dampak positif bagi pertumbuhan dan bobot biomassa tanaman daun dewa.
4.5.4 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Daun Dewa Kandungan metabolit sekunder dari tanaman sering kali dijadikan dasar pemanfaatan tanaman tersebut sebagai tanaman berkhasiat obat atau untuk keperluan
144 lainnya dalam kehidupan manusia. Biasanya untuk menelusuri kandungan komponen metabolit sekunder dari suatu tanaman terlebih dahulu dilakukan penapisan awal sebelum dilanjutkan dengan isolasi dan penentuan struktur molekulnya. Data hasil penapisan fitokimia pada tanaman daun dewa yang memberi respon pertumbuhan dan bobot biomassa tertinggi disajikan pada Tabel 55. Tabel 55 Kandungan senyawa metabolit sekunder tanaman daun dewa Respon pada perlakuan komarasca Golongan
M0P0
M5P1
Daun
Akar
Daun
Akar
Alkaloid
-
+
-
+
Flavonoid
++
-
++
+
Fenilhidrokuinon
+
-
+
-
Terpenoid
-
-
++
-
Steroid
++
-
+
-
Saponin
++
+
++
++
Tanin
++
-
++
-
Keterangan: M0P0 = Campuran media tanah-abu tanpa pestisida M5P1 = Campuran media tanah-abu-kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O dan pestisida fraksi metanol asap cair - = tidak ada senyawa + = cenderung terdapat senyawa ++ = positif terdapat senyawa
Berdasarkan data Tabel 55 diketahui bahwa penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik pasar cenderung berpengaruh terhadap kandungan beberapa senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa, karena hasil responnya menunjukkan jenis senyawa dan tingkat keberadaannya relatif berbeda baik pada perlakuan penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol yang hanya berisi campuran tanah-abu. Hasil ini menunjukkan bahwa baik kandungan senyawa alkaloid, fenilhidokuinon, maupun tanin tidak berpengaruh sama sekali, baik pada penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair maupun pada kontrol.
145 Penggunaan campuran media tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O dengan fraksi metanol dari asap cair berpengaruh positif terhadap kandungan flavonoid pada bagian akar, terpenoid pada bagian daun, steroid pada bagian daun dan saponin pada bagian akar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan penggunaan campuran media yang terdiri atas kompos yang mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan serta biosintesis berbagai senyawa metabolit sekunder pada tanaman daun dewa. Demikian juga halnya dengan kandungan arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O yang mempunyai pori relatif besar (Gambar 35 dan Tabel 41) diperkirakan mampu menyimpan air maupun sinar yang mencukupi untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman tersebut, dan fraksi metanol dari asap cair mengandung senyawa antifeedant (Tabel 50) yang berperan melindungi tanaman dari serangan hama sehingga proses biosintesis senyawa metabolit primer maupun sekunder dapat berlangsung secara sempurna.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitan yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan teknologi pirolisis pada proses pengolahan sampah organik padat dapat menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap cair, sedangkan teknologi biodekomposer
sangat
efektif
untuk
menangani
sampah
organik
lunak
menghasilkan kompos berkualitas. 2. Biodekomposer yang dapat mempercepat proses pengomposan sampah organik menghasilkan kompos bermutu terbaik adalah EM-4, campuran Orgadec-EM-4Arang-Asap cair dan campuran Orgadec-Biodek-Arang-Asap cair. 3. Teknologi pirolisis dapat mengkonversikan sampah organik yang sukar dikomposkan menjadi arang dan asap cair. Arang hasil pirolisis pada suhu 505oC bermutu terbaik dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan kadar total fenol tertinggi. 4. Metode aktivasi arang sampah organik pasar menjadi arang aktif bermutu terbaik, terutama dalam hal daya jerapnya terhadap iodin, ialah dengan cara aktivasi menggunakan uap H2O pada suhu 800oC selama 120 menit. 5. Asap cair hasil pirolisis sampah organik pada suhu 505oC menghasilkan rendemen 31,24%, kadar total fenol 223,95 mg/l, dan pH 4,1. Fraksi metanol dan air dari asap cair tersebut berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya melebihi 50% terhadap larva S. litura, dan nilai EI50-nya sama-sama 0,71%. 6. Penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh sangat nyata baik terhadap pertambahan tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun terhadap bobot biomassa tanaman daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan campuran tanah-abu-kompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800oC selama 120 menit, dan fraksi metanol dari asap cair.
147 5.2 Saran Agar proses pengomposan sampah dapat diterapkan di lingkungan permukiman, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang proses pengomposan yang mampu mendapatkan metode minimisasi bau secara lebih optimal. Di samping itu, juga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengisolasi senyawa aktif antifeedant dari fraksi metanol hasil fraksinasi asap cair sampah organik guna mengetahui rumus strukturnya.
DAFTAR PUSTAKA Agusta, A., Jamal, Y., dan M. Harapini.1998. Komponen minyak atsiri daun dewa (Gynura procumbens) dan kirinyu (Tithonia diversifolia). Laporan Teknik. Proyek Penelitian, Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat 1997/1998. Puslitbang Biologi-LIPI. p:328-333. Agustina, S. 2004. Kajian Proses Aktivasi Ulang Arang Aktif Bekas Adsorpsi Gliserin Dengan Metode Pemanasan [Tesis Program Magister]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ahmad, S.A., A. Tochidi, dan S. Efendi. 1980. Ilmu Kimia Organik. Angkasa. Bandung. Anonim. 2004. Mekanisme pelayanan kebersihan di Kota Bogor. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor. Bogor. Bali, R.M., S.G. Mode, A.Y. Kolte, R.D. Sadekar, and S.D. Harne. 2000. Efficacy of pefloxacin in enteric colibacillosis in calves. Journal of Indian Veterineer 77: 981983. Basumatary, B., P. Dutta, M. Prasad and K. Srinivasan. 2005. Thermal modeling of active carbon based adsorptive natural gas storage system. Carbon 43(3):541-549. Benaddi, H., T.J. Bandosz, J. Jagiello, J.A. Schwarz, J.N. Rouzaud, D. Legras, and F. Beguin. 2000. Surface functionality and porosity of activated carbons obtained from chemical activation of wood. Carbon 38:669-674. Boudou, J.P., M. Chehimi, E. Broniek, T. Siemieniewska, and J. Bimer. 2003. Adsorption of H2S or SO2 on an activated carbon cloth modified by ammonia treatment. Carbon 41(10):1999-2007. [BPPT] Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi. 1999. Penerapan Konsep Zero Waste Sampah Perkotaan di Indonesia. Kelompok Teknologi Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat. BPPT. Jakarta. [BPTP] Balai Penelitian Teknologi Perkebunan. 2004. Sampah ternyata efektif untuk pakan ternak. http://www.balipos.go.id. [8 Mei 2005]. Brasquet, C., B, Rousseau, H.E. Szwarckopf., and O.L. Cloirec. 2000. Observation of activated carbon fibres with SEM and AFM correlation with adsorption data in aqueous solution. Carbon 38:407-422 Bratzler, L.J., M.E. Spooner, J.B. Weathspoon, and J.A. Maxey. 1969. Smoke flavours as related to phenol, carbonil, and acid content of Bologna. Journal of Food Science 34:146-153. Brennan, J.K., T.J. Bandosz, K.T. Thomson, and K.E. Gubbins. 2001. Water in porous carbons. Colloids and Surfaces A: Phycicochem. Eng. Aspects 187-188:539-568.
149 [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik. Jakarta: BSN; (SNI 19-7030-2004). [BSN] Badan Standarisari Nasional. 1996. Arang kayu. Jakarta: BSN; (SNI 01-16821996). [BSN] Badan Standarisari Nasional. 1995. Arang aktif teknis. Jakarta: BSN; (SNI 063730-95) Bukle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. H. Purnomo dan Adiono [Penerjemah]. Terjemahan dari: Food Science. UI Press. Jakarta. Byrne, C.E., and D.C. Nagle. 1997. Carbonization of wood for advanced materials applications. Carbon 35(2):259-266 Chacha, M., G. Bojase-Moleta, and R.R.T Majinda. 2005. Antimicrobial and radical scavenging flavonoids from the steam wood of Erythrina latissima. Phytochemistry 66:99-104. Chen, J.P., S. Wu, and K.H. Chong. 2003. Surface modification of a granular activated carbon by citric acid for enhancement of copper solution. Carbon 41:1979-1986. Cheng-Juri, J., Y. Hong, and C. Zhi-Rong. 2005. Hydrogenation of ortho-nitrochlorobenzene on activated carbon supported platinum catalysts. Jounal of Zhejiang University Science 6B(5):378-381. Ciner, D.O., and R. Tipirdamaz. 2002. The effects of cold treatment and charcoal on the in vitro androgenesis of Pepper (Capsicum annuum L.). Turk Journal of Botany 26:131-139. Concheso, A., R. Santamaria, M. Granda, R. Menendez, J.M. Jimenez-Mateos, R. Alcantara, P. Lavela, and J.L. Tirado. 2005. Influence of oxidative stabilization on the electrochemical behaviour of coal tar pitch deriveds carbons in lithium batteries. Electrochemica Acta 50:1225-1232. Dahuri, D. 2 Juni 2003. Sampah organik dan kotoran kerbau sebagai energi alternatif. Media Indonesia: 7 (kolom 2-5). Daifullah, A.A.M., and B.S. Girgis. 1998. Removal of some substituted phenols by activated carbon obtained from agricultural waste. Water Research 32(4):11691177 Darmadji, P. 1995. Produksi asap cair dan sifat fungsionalnya [Laporan Penelitian]. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Davalos, A., B. Bartolome, and C. Gomez-Cordoves. 2005. Antioxidant properties of commercial grape juices and vinegar. Food Chemistry 93:325-330 Delgado, J.A., and R.F. Follent. 2002. Carbon and nutrient cycles. Journal of Soil and Water Conservation 57(6):455-458
150
Demirbas, A., E. Pehlivan, and T. Altun. 2006. Potential evolution of Turkish agricultural residues as bio-gas, bio-char and bio-oil sources. International Journal of Hidrogen Energy 31:613-620 Demirbas, A. 2005. Pyrolysis of ground beech wood in irregular heating rate conditions. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 73:39-43. Djatmiko, B., S. Ketaren, dan S. Setyahartini. 1985. Pengolahan arang dan kegunaannya. Agro Industri Press. Bogor Djuarnani, N., Kristian, dan B.S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Edwards, C. 1990. Microbiology of Extreme Environment. McGraw-Hill Publishing Company. New York. El-Hendawy, A.N. 2003. Influence of HNO3 oxidation on the structure and adsorptive properties of corncob-based activated carbon. Carbon 41(4):713-722. Engelhardt, J. 1995. Industrial derivatives and commercial aplication of cellulose. Journal Carbohydrate in Europe 12:5-13. Ercin, D. and Y. Yurum. 2003. Carbonisation of Fir (Abies bornmulleriana) wood in an open pyrolysis system at 50-300 oC. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 67:11-22 Fernandez-Mateos, A., E.M. Martin, R.R. Clemente, R.R. Gonzalez, and M.S.J. Simmonds. 2005. Synthesis of the insect antifeedant CDE molecular fragment of 12-ketoepoxyiazadiradione and related compounds. Tetrahedron 61:12264-12274. Figueroa-Torres, M.Z., A. Robau-Sanchez, L.D.I. Torre-Saenz, and A. AguilarElguezabal. 2007. Hydrogen adsorption by nanostructured carbons synthesized by chemical activation. Microporous and Mesoporous Materials 98:89-93 Firmansyah. 2004. Penggunaan Kombinasi Serbuk Kayu Jati dan Cangkang Telur Ayam pada Produksi Asap Cair [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Frackowiak, B., K. Ochalik, A. Bialonska, Z. Ciunik, C. Wawrzenczyk, and S. Lochynski. 2006. Stereochemistry of terpene derivates. Part 5: Synthesis of chiral lactones fused to a carane system-insect feeding deterrents. Tetrahedron: Asymmetry 17: 124-129 Fricke, K., H. Santen, R. Wallmann, A. Huttner, and N. Dichtl. 2007. Operating problems in anaerobic digestion plants resulting from nitrogen in MSW. Waste Management 27:30-43 Fuertes, A.B., G. Marban, and D.M. Nevskaia. 2003. Adsorption of volatil organic compound by means of active carbon fibre-based monoliths. Carbon 41(1):87-96.
151
Gaier, J.R., N.F. Ditmars, and A.R. Dillon. 2005. Aqueous electrochemical intercalation of bromine into graphite fibers. Carbon 43:189-193. Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UIPress. Jakarta Gaur, A.C. 1983. A Manual Rural of Composting. Project Field Document. Food and Agricultural Organization United Nations. Rome. Gebbinck, E.A.K., B.J.M. Jansen, and A.D. Groot. 2002. Review: Insect antifeedant activity of clerodane diterpenes and related model compounds. Phytochemistry 61: 737-770 Gerard, M.C., and J.P. Barthelemy. 2003. An assessment methodology for determining pesticides adsorption on granulated activated carbon. Biotechnology Agron. Soc. Environ. 7(2):79-85. Gheek, P., S. Suppan, J. Trawczynski, A. Hynaux, C. Sayag, and G.D. Mariadssou. 2007. Carbon black composites-supports of HDS catalysts. Catalysis Today 119:19-22 Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis Horwood. New York. Goenadi, D.H. dan Y. Away [penemu]; Balai Penelitian Bioteknologi Perkebnan Indonesia. 5 Des 2000. Orgadec. Paten No.: ID 0 000264 S Gomez-Serrano, V., M.C. Fernandez-Gonzales, M.L. Rojas-Cervantes, M.F. AlexandreFranco, and A. Macias-Garcia. 2003. Carbonization and demineralization of coals: a study by means of FT-IR spectroscopy. Bulletin Material Science 26(7):721-732. Gomez-Serrano, V., E.M. Cuerda-Correa, M.C. Fernandez-Gonzalez, M.F. AlexandreFranco, and A. Macias-Garcia. 2005. Preparation of activated carbons from chestnut wood by phosphoric acid chemical activation. Study of microporosity and fractal dimension. Material Letters 59(7):846-853. Guo, J., Y. Luo, A.C. Lua, R.A. Chi, Y.L. Chen, X.T. Bao, and S.X. Xiang. 2007. Adsorption of hydrogen sulphide (H2S) by activated carbons derived from oil-palm shell. Carbon 45:330-336 Guo, J., and A.C. Lua. 2000. Preparation and characterization of adsorbents from oil palm fruit solid wastes. Journal of Oil Palm Research 12(1):64-70. Gusmailina, G. Pari, S. Komarayati, dan Rostiwati S. 2001. Alternatif arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19(3):185-199. Gusmailina, dan G. Pari. 2002. Pengaruh pemberian arang terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah (Capsicum annum). Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(3):217-229.
152 Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2004. Teknologi produksi dan pemanfaatan arang kompos dari limbah pembalakan dan industri kayu skala kecil. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2000. The Utilization Technology on Charcoal as a Soil Conditioning [Project Report]. Forest Products Research Centre. Bogor. Han, M-K., S-I. Kim, and Y-J. Ahn. 2006. Insecticidal and antifeedant activities of medicinal plant extracts against Attagenus unicolor japonicus (Coleoptera: Dermestidae). Journal of Stored Production Research 42: 15-22. Han, M.S., B.G. Lee, B.S. Ahn, D.J. Moon, and S.I. Hong. 2003. Surface properties of CuCl2/AC catalysts with various Cu contents: XRD, SEM, TG/DSC and CO-TPD analyses. Applied Surface Science 211(1-4):76-81. Harada, Y., K. Haga, Tosada, and M. Koshino. 1993. Quality of compost produced from animal waste. Japan Agriculture Research Quarterly. 26(4):238-246. Harborne, J. B. 1988. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (Terjemahan Kosasih Padmawinata). Terbitan ke-2, ITB Press. Bandung. Harris, P. 1999. On charcoal. Interdisciplinary Science Review 24(4):301-306. Hartoyo, dan G. Pari. 1993. Peningkatan rendemen dan daya serap arang aktif dengan cara kimia dosis rendah dan gasifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(5):205-208. Haug, R.T. 1980. Compost Engineering Principles and Practices. Ann Arbor Science. Michigan. Hayashi, J., N. Yamamoto, T. Horikawa, K. Muroyama, and V.G. Gomes. 2005. Preparation and characterization of high-specific-surface-area activated carbons from K2CO3-treated waste polyurethane. Journal of Colloids Interface Science 281(2):437-443. Hemingway, R.W., and J.J.Karchesy. 1989. Chemistry and significance of condensed tannins. Plenum. New York. Hendaway, A.N.A. 2003. Influence of HNO3 oxidation on the structure and adsorptive properties of corncorb-based activated carbon. Carbon 41:713-722 Hendra, D., dan G. Pari. 1995. Pembuatan arang aktif dari kayu Acacia managium dengan gasifikasi “Fluidized bed”. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(6):252-257 Hernandez-Apaolaza, L., A.M. Gasco, J.M. Gasco, and F. Guerrero. 2005. Reuse of waste materials as growing media for ornamental plants. Bioresource. Technology. 96:125-131. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta
153 Hirose, T., T. Fujino, T. Fan, H. Endo, T. Okabe, and M. Yoshimura. 2002. Effect of carbonization temperature on the structural changes of woogceramics impregnated with liquefied wood. Carbon 40(5): 761-765. Hossain, S.H. and N. Anantharaman. 2006. Activity enhancement of lignolytic enzymes of Trametes versicolor with bagasse powder. African Journal Biotechnology 5(1): 189-194 Indriani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Cetakan VII. Penebar Swadaya. Jakarta. Jaguaribe, E.F., L.L. Medeiros, M.C.S. Barreto, and L.P. Araujo. 2005. The performance of activated carbons from sugarcane bagasse, babassu, and coconut shells in removing residual chlorine. Brazilian Journal Chemical Enggineering 22(01):41-47. Jannet, H.B., F.H. Skhiri, Z. Mighri, M.S.J. Simmonds, and W.M. Blaney. 2001. Antifeedant activity of plant extracts and of new natural diglyceride compounds isolated from Ajuga pseudoiva leaves against Spodoptera littoralis larvae. Industrial Crops Production 14: 213-222 Javanmardi, J., C. Stushnoff, E. Locke, and J.M. Vivanco. 2003. Antioxidant activity and total phenolic content of Iranian O. accessions. Food Chemistry 83:547-550. Jeong, Y-K. and S-J Hwang. 2005. Optimum doses of Mg and P salts for precipitating ammonia into struvite crystals in aerobic composting. Bioresource Technology 96:1-6. Jiratchariyakul, W.S, A. Jarikasem, Somanbandhu, and A.W. Frahm. 2001. Atiherpes simplex viral compounds from G. procumbens. http://www.ppp. upsi.Edu.my/ pi.2.htm. [4 Juni 2005] Kercher, A. and D.C. Nagle. 2003. Microstructural evolution during charcoal carbonization by X-Ray diffraction analysis. Carbon 41:15-27. Kim, Y.A., T. Matusita, T. Hayashi, M. Endo, and M.S. Dresselhaus. 2001. Topological changes of vapor grown carbon fibers during heat treatment. Carbon 39(11):17471752. Kinoshita K. 2001. Electrochemical uses of carbon. Di dalam Electrochemistry Encyclopedia. http://electrochem.cwru.edu/ed/encycl/htm [10 Mei 2005] Klose, W., and S. Rincon. 2007. Adsorption and reaction of NO on activated carbon in the presence of oxygen and water vapour. Fuel 86:203-209 Komarayati, S., Gusmailina, dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(1):15-21. Komarayati, S., dan I. Indrawati. 2003. Isolasi dan identifikasi mikroorganisme dalam arang kompos. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(3):251-258.
154
Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4):193-203. Komilis, D.P. 2006. A Kinetic analysis of solid waste composting at optimal conditions. Waste Management 26:82-91 Komilis, D.P., and R.K. Ham. 2006. Carbon dioxide and ammonia emissions during composting of mixed paper, yard waste and food waste. Waste Management 26:62-70 Kyotani, T. 2000. Control of pore structure in carbon. Carbon 38:269-286 Laszlo, K., K. Josepovits, and E. Tombacz. 2001. Analysis of active sites on synthetic carbon surfaces by various methods. Analytical Science 17:41-44 Lee, Y.J. and L.R. Radovic. 2003. Oxidation inhibition effects of phosphorus and boron in different carbon fabrics. Carbon 41:1987-1997. Lillo-Rodenas, M., D. Cazorla-Amoros, and A. Linares-Solano. 2003. Understanding chemical reactions between carbons and NaOH and KOH: An insight into the chemical activation mechanism. Carbon 41(2):267-275. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1999. Arang aktif dari tempurung kelapa. http://www.pdii.lipi.go.id/arang_aktif_ tempurung_kelapa.htm. [10 Mei 2005]. [LTP] Lembaga Teknologi Pertanian. 1974. Metode dan Prosedur Pemeriksaan Kimiawi Hasil Perikanan. Dirjen Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta: LTP. Machida, M., M. Aikawa, and H. Tatsumoto. 2005. Prediction of simultaneous adsorption of Cu(II) and Pb(II) onto activated carbon by conventional Langmuir type aquations. Journal of Hazardous Materials 120(1-3):271-275. Machnikowski, J., B. Grzyb, H. Machnikowska, and J.V. Weber. 2005. Surface chemistry of porous carbons from N-polymers and their blends with pitch. Microporous and Mesoporous Materials. in press. Mahendra, S. and L. Alvarez-Cohen. 2005. Pseudonocardia dioxanivorans sp. Nov., a novel actinomycete that grows on 1,4-dioxane. Internatioan Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 55: 593-598 Manocha, S. 2003. Porous carbon. Sadhana 28(1-2):335-348. Marinovic, V., M. Ristic, and M. Dostanic. 2005. Dynamic adsorption of trinitro-toluene on granular activated carbon. Journal of Hazardous Materials 117(2-3):121-128. Maroto-Valer, M.M., Y. Zhang, E.J. Granite, Z. Tang, and H.W. Pennline. 2005. Effect of porous structure and surface functionality on the mercury capacity of a fly ash carbon and its activated sample. Fuel 84:105-108.
155 Matsuzawa, Y., K. Mae, I. Hasegawa, K. Suzuki, H. Fujiyoshi, M. Ito, and M. Ayabe. 2007. Characterization of carbonized municipal waste as substitute for coal fuel. Fuel 86:264-272 Mattjik, A.A., dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor Menendez, J.A., E.M. Menendez, M.J. Iglesias, A. Garcia, and J.J. Pis. 1999. Modification of the surface chemistry of active carbons by means of microwave induced treatments. Carbon 37:1115-1121 Miller, L.C., and L.B. McCarty. 2002. Activated charcoal for pesticide deactivation. http://www.sodsolutions.com/turffmgt/charcoal.htm. [10 Mei 2005]. Morales, M.L., B. Benitez, and A.M. Troncoso. 2004. Accelerated aging of wine vinegars with oak chips: evaluation of wood flavour compounds. Food Chemistry 88:305-315 Murbandono, L. 2005. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta Murtadho, D., dan E.G. Sa’id. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Nakai, T., S.N. Kartal., T. Hata, and Y. Imamura. 2006. Chemical characterization of pyrolysis liquids of wood-based composities and evaluation of their bio-efficiency. Building and Environment. In press. Nakashima, N., Y. Mitani, and T. Tamura. 2005. Actinomycetes as host cells for production of recombinant proteins. Microb. Cell Factories 4(7): 1-5 Namane, A., A. Mekarzia, K. Brenrachedi, N. Belhaneche-Bensemra, and A. Hellal. 2005. Determination of the adsorption capacity of activated carbon made from coffee grounds by chemical activation with ZnCl2 and H3PO4. Journal of Hazardous Materials 119(1-3):189-194. Narasimhan, S., S. Kannan, K. Ilango, and G. Maharajan. 2005. Antifeedant activity of Momordica dioica fruit pulp extracts on Spodoptera litura. Fitoterapia 76: 715-717 Narasimhan, S., S. Kannan, V.P. Santhanakrishnan, and R. Mohankumar. 2005. Insect antifeedant and growth regulating activities of salannobutyrolactone and desacetylsalannobutyrolactone. Fitoterapia 76: 740-743 Nguyen-Thanh, D., and T.J. Bandosz. 2005. Activated carbon with metal containing bentonite binders as adsorbents of hydrogen sulfide. Carbon 43(2):359-367. Nguyen, T.X., and S.K. Bhatia. 2005. Characterization of activated carbon fibers using argon adsorption. Carbon 43(4):775-785.
156 Nischwitz, C., M. Olsen, and S. Rasmussen. 2002. Influence of salinity and root rot nematode asa stress factors in charcoal rot on melon. http://ag.arizona.edu/pubs/ crops/az. 292.pdf. [23 Juni 2005]. Nishiyama, N., T. Zheng, Y. Yamane, Y. Egashira, and K. Ueyama. 2005. Microporous carbons prepared from cationic surfactant-reasorcinol/formaldehyde composites. Carbon 43(9):269-274. Noike, T. 2005. Present status of Biowaste recycling in Japan. http://www.jora.jp/anor/ eng/img/noike.pdf. [6 Juni 200]. Novicio, L.P., T. Hata, T. Kajimoto, Y. Imamura, and S. Ishihara. 1998. Removal of mercury from aqueous solutions of mercuric chloride using wood powder carbonized at high temperature. Journal of Wood Research 85:48-55 Nurhayati, T., Saepuloh, dan Sylviani. 2002. Analisis teknis dan ekonomis produksi arang aktif industri pedesaan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(5):353-366. Nurhayati, T. 2000. Sifat destilat hasil destilasi kering 4 jenis kayu dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17:160-168. Pari, G. 1996. Pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian sengon dengan cara kimia. Bulletin Penelitian Hasil Hutan 14(8):308-320. Pari, G. 2004. Kajian Struktur Arang Aktif dari Serbuk Gergaji Kayu sebagai Adsorben Emisi Formaldehida Kayu Lapis [Disertasi Program Doktor]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pari, G., D. Hendra, dan R.A. Pasaribu. 2006. Pengaruh lama waktu aktivasi dan konsentrasi asam fosfat terhadap mutu arang aktif kulit kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1):33-46 Paris, O., C. Zollfrank, and G.A. Zickler. 2005. Decomposition and carbonization of wood biopolymer microstructural study of softwood pyrolisis. Carbon 43:53-66. Pastorova, I., R.E. Botto, P.W. Arisz, and J.J. Boon. 1994. Cellulose char structure: A combined analytical Py-GC-MS, FTIR, and NMR study. Carbohydrate Research 262:27-47 Poage, G.W., C.B. Scott, M.G. Bisson, and F.S. Hartmann. 2000. Activated charcoal attenuates bitterweed toxicosis in sheep. Journal of Range Management 53(1):73-78. Prem, D., K. Gupta, and A. Agnihotri. 2004. Development of an efficient high frequency microspore embryo induction and doubled haploid generation system for Indian mustard (Brassica juncea). Proceeding of the 4th International Crop Science Congress. Brisbane. Australia. 26 Sep –1 Oct 2004.
157 Pszczola, D.E. 1995. Tour highlights production and uses of smoke-based flavors. Liquid smoke a natural aqueous condensate of wood smoke provides various advantages in addition to flavors and aroma. Journal of Food Technology 1:70-74. Puziy, A.M., O.I. Poddubnaya, A.M. Alonso, F.S. Garcia, and J.M.D. Tascon. 2003. Synthetic carbons activated with phosphoric acid III. Carbons prepared in air. Carbon 41:1181-1191 Qadeer, R., and S. Akhtar . 2005. Kinetics study of lead ion adsorption on activated carbon. Turk Journal Chemistry 29:95-99. Rangel-Mendez, J.R., and F.S. Cannon. 2005. Improved activated carbon by thermal treatment in methane and steam: Physicochemical influences on MIB sorption capacity. Carbon 43(3):467-479. Ratnaningsih, I., Dyatmiko, W., dan I.G.P. Santa. 1985. Studi Pendahuluan Fitokimia Gynura procumbens Back. Prosiding I Seminar Pembudidayaan Tanaman Obat. Poerwokerto. Rice, E.L. 1984. Allelopathy, Second Edition. Academic Press. New York. Robau-Sanchez, A., A. Aguilar-Elguezabal, and J. Aguilar-Pliego. 2005. Chemical activation of Quercus agrifolia char using KOH: Evidence of cyanide presence. Microporous and Mesoporous Materials 85:331-339 Sahwan, L.F. 1999. Karakteristik kompos dari sampah kota di plant pengomposan Tambakboyo, Kabupaten Dati II Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1(4): 75-79. Saito, Y., and T. Arima. 2007. Features of vapor-grown cone-chaped graphitic whiskers deposited in the cavities of wood cells. Carbon 45:248-255 Saito, Y., and T. Arima. 2002. Growth of cone-chaped carbon material inside the cell lumen by heat treatment of wood charcoal. Journal of Wood Science 48(5):451-454 Salisbury, F.B., and. C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Terjemahan D.R. Lukman dan Sumaryono. ITB Press. Bandung. Sanchez-Polo, M., R. Leyva-Ramos, and J. Rivera-Utrilla. 2005. Kinetics of 1,3,6naphthalene-trisulphonic acid ozonation in presenc of activated carbons. Carbon 43(5):962-969. Santoso, D., dan D. Gunawan. 1999. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Penebar Swadaya. Jakarta. Saraswati, R. 6 November 2005. Komunikasi Pribadi. Bogor Sartamtomo, I. Fauzi, M. Rifai, D. Maniaryadi, I. Setyaningsih, S. Haryati, dan Saifuddin. 1997. Teknologi adsorpsi karbon aktif untuk mengolah air limbah industri.
158 Balitbang Industri. Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Semarang. Satori, M. 24 Januari 2002. Daur ulang, solusi atasi sampah kota. Harian Pikiran Rakyat: 5 (kolom 2-4). Sayan, E. 2006. Ultrasound-assisted preparation of activated carbon from alkaline impregnated hazelnut shell: An optimization study on removal of Cu2+ from aqueous solution. Chemical Engineering Journal 115:213-218 Schukin, L.I., M.V. Konnievich, R.S. Vartapetjan, and S.I. Beznisko. 2002. Low temperature plasma oxidation of activated carbons. Carbon 40:2021-2040 Setiawan, M.D. 2001. Penerapan konsep zero waste dalam pengelolaan sampah perkotaan. http//.www.geocities.com.0-zero.waste.doc. [10 Mei 2005]. Shen, L., and D.K. Zhang. 2005. Low-temperature pyrolysis of sewage sludge and putrescible garbage for fuel oil production. Fuel 84:809-815 Shih, C.C., and J.R. Chang. 2005. Genesis and growth of platinum subnano-particles on activated carbon characterized by X-ray absorption spectroscopy: effects of preparation conditions. Materials Chemistry and Physics 92(1):89-97. Shuixia, C., L. Ying, X. Ruimei, and Z. Hanmin. 2001. Preparation and their antibacterial acitivity of activated carbon fiber loading silver compounds. http://acs.omni-booksonline.com/papers/2001_P1.45.pdf. [4 Juni 2005]. Sibelzor. 2004. Investigation of the adsorption of anionic surfactants different pH values by means of activated carbon and the kinetics of adsorption. Journal of Serbia Chemical Society 69(1):25-32. Siregar H.M. dan N.W. Utami. 2002 Usaha Untuk Meningkatkan Produktivitas Umbi Daun Dewa {Gynura pseudochina (L.)DC.}. Di dalam: Naiola B.P et al., editor. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik APINMAP; Bogor, 8-10 Agustus 2001. Bogor: Pusat Penelitian Biologi – LIPI bekerja sama dengan KEHATI, APINMAP, UNESCO, JICA. 310-315. Smith, R.S.J., C.S Hodges CS & Cordell CE. 2004. Charcoal root rot and black root rot. http:www.forestpests.org/ver.2/X1.1.html. [23 Juni 2005]. Smisek, M., and S. Cerny. 2002. Active carbon: manufacture, properties, and application. Elsevier Publishing Co. New York. http://www.ams.usda.gov/nop/ NationalList/ TAPReviews/activecarbon.pdf. [10 Mei 2005]. Soetarno, S., Suganda, A.G., Sugihartina, G. dan Sukrasno. 2000. Flavonoid dan asamasam fenolat dari daun dewa (Gynura procumbens). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 6:6-7. Solovyov, L.A., A.N. Shmakov, V.I. Zaikovskii, S.H. Joo, and R. Ryoo. 2002. Detailed structure of the hexagonally packed mesostructured carbon material CMK-3. Carbon 40:2477-2481
159
Srivastava, V.C., M.M. Swamy, I.D. Mall, B. Prasad, and I.M. Mishra. 2006. Adsorptive removal of phenol by baggase fly ash and activated carbon: equilibrium, kinetics, and thermodynamics. Colloids and Surfaces A: Physicochemical Enggineering Aspects 272:89-104 Srivibool, R., K. Kurakami, M. Sukchotiratana, and S. Tokuyama. Coastal soil actinomycetes: thermotolerant strains producing N-acylamino acid racemase. Science Asia 30: 123-126 Stavropoulos, G.G., and A.A. Zabaniotou. 2005. Production and characterization of activated carbons from olive-seed waste residue. Microporous and Mesoporous Materials 82:79-85 Strom, P.F. 1985. Effects of temperature on bacterial species diversity in thermophilic solid-waste composting. Applied and environmental microbiology 50(4):899-905 Strom, P.F. 1985. Identification of thermophilic bacteria in solid-waste composting. Applied and environmental microbiology 50(4):906-913 Su, C., and R.W. Puls. 2007. Removal of added nitrate in cotton burr compost, mulch compost, and peat: Mecanisms and potential use for groundwater nitrate remediation. Chemosphere 66:91-98 Su, M-S., and J.L. Silva. 2006. Antioxidant activity, anthocyanins, and phenolicc of rabbiteye blueberry (Vaccinium ashei) by products as affected by fermentation. Food Chemistry 97:447-451 Sudjana. 1985. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung. Sudradjat, R., dan S. Soleh. 1994. Petunjuk teknis pembuatan arang aktif. Bagian Proyek Litbang Pemanfaatan Hasil HTI Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Suler, D.J., and M.S. Finstein. 1977. Effect of temperature, aeration, and moisture on CO2 formation in Bench-scale, continuously thermophilic composting of solid waste. Applied and Environental Microbiology 33(2):345-350 Sukmadi, B., dan D. Hardianto. 2000. Pengujian aktivitas formulasi mikroorganisme dekomposisi pada proses pengomposan bahan organik. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Mikrobiologi Indonesia di Denpasar, 27-28 Juni 2000. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Denpasar, pp. 23-28. Swain, T. 1979. Tannins and lignin: Their interaction with secondary metabolites. Academic Press. New York. Takagi, H., H. Hatori, Y. Yamada, S. Matsuo, and M. Shiraishi. 2004. Hydrogen adsorption properties of activated carbons with modified surfaces. Journal of Alloys and Compounds 385(1-2):257-263.
160 Talashilkar, S.C., P.P. Bhangarath, and V.B. Metha. 1999. Changes in chemical properties during composting of organic residues as influenced by earthworm activity. Journal of the Indian Society of Soil Science 47(1):50-53. Tanaike, O., and M. Inagaki. 1999. Degradation of carbon materials by intercalation. Carbon 37:1759-1769 Tansel, B., and P. Nagarajan. 2004. SEM study of phenolphthalein adsorption on granular activated carbon. Advances in Environmental Research 8:411-415 Thoison, O., T. Sevenet, H.M. Niemeyer, and G.B. Russell. 2004. Insect antifeedant compounds from Nothofagus dombeyi and Nothofagus pumilio. Phytochemistry 65: 2173-2176 Tim Redaksi Trubus. 1999. Pupuk Akar. Penebar Swadaya. Jakarta. Tranggono, S., B. Setiadji, P. Darmadji, Supranto, dan Sudarmanto. 1997. Identifikasi asap cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 1(2):15-24. Tuomela, M., M. Vikman, A. Hatakka, and M. Itavaara. 2000. Biodegradation of lignin in a compost environment: a review. Bioresource Technology 72:169-183. Villalba, J.J., F.D. Provenda, and R.E. Banner. 2002. Influence of macronutrients and activated charcoal on intake of sagebrush by sheep and goats. Journal Animal Science 80:2099-2109. Villegas, J.P., and C.J.D. Valle. 2001. Pore structure of chars and activated carbon prepared using carbon dioxide at different temperatures from extracted rockrose. Carbon 57:1-13 Wahyono, S. 12 Januari 2004. Teknologi pengomposan untuk atasi sampah. Kompas:11 (kolom 6-8). Wang, L-S., J. Liu, Y-Z. Zang, Y. Zhao, and P-J. Gao. 2003. Comparison of domains function between cellobiohydrolase I and endoglucanase I from Trichoderma pseudokoningii S-38 by limited proteolysis. Journal Molecular Catalysis. B: Enzimatic 24-25: 27-38. Weil, R.R., K.R. Islam, M.A. Stine, J.B. Gruver, and S.E. Susan-Liebeg. 2003. Estimating active carbon for soil quality assessment: a simplified method for laboratory and field use. American Journal of Alternative Agriculture 18(1):3-17. Wibowo, A., dan D. Djajawinata. 2003. Penanganan sampah perkotaan terpadu. http:// kkppi.go.id/papbook/pananganan%20sampah%20perkotaan%20terpadu.pdf. [10 Mei 2005]. Wijayakusuma, H.M.H., Wirian, A.S., Yaputra, T., Dalimartha, dan S.B. Wibowo. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat Di Indonesia. Jilid 1. Pustaka Kartini. Jakarta.
161 Williams, P.T., and A.R. Reed. 2003. Pre-formed activated carbon matting derived from the pyrolysis of biomass natural fibre textile waste. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 70:563-577 Winarto, W.P., A. Permadi, dan B. Mahendra. 2003. Daun Dewa: Dudi Daya & Pemanfaatan untuk Obat. Penebar Swadaya. Jakarta. Yang, R., X. Qiu, H. Zhang, J. Li, W. Zhu, Z. Wang, X. Huang, and L. Chen. 2005. Monodispersed hard carbon spherules as a catalyst support for the electrooxidation of methanol. Carbon 43:11-16. Yang, S. 1997. Preparation of Compost, and Evaluating Its Maturity. Extension Bulletin 445. Food and Fertilizer Technology Center. Yu, G., F. Wang, Z. Dai, and Z. Yu. 2005. Porous catalyst intraparticle status of paralel, equilibrium-restrained reactions. Chemical Engineering and Processing 44:33-39 Yulistiani, R. 1997. Kemapuan penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri pathogen dan perusak pada lidah sapi [Tesis Program Magister]. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yusa, H., and T. Watanuki. 2005. XRD of multiwalled carbon nanotube under high pressure structural durability on static compression. Carbon 43(3):519-523. Yuwono D. 2006. Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Zhang, F.S., J.O. Nriagu, and H. Itoh. 2005. Mercuri removal from water using activated carbons derived from organic sewage sludge. Water Research 39(2-3):389-395. Zhang, G.Q., G.X. Tang, W.J. Song, and W.J. Zhou. 2004. Resynthesizing Brassica napus from interspecific hybridization between Brassica rapa and Brassica oleracea through ovary culture. Euphytica 30:1-7. Zang, X.F, and B.K.H. Tang. 2000. Effects of an ethanolic extract og Gynura procumbens on serum glucose, cholesterol ang triglyceride levels in normal and streptozotocininduced diabetic rats. http://www.singaporemedj2000,vol 41(1) [4 Juni 2005]. Zawadzki, J., and M. Wisniewski. 2007. An infrared study of the behavior of SO2 and NOx over carbon and carbon-supported catalysts. Catalysis Today 119:213-218
LAMPIRAN
163 Lampiran 1. Sidik Ragam Aktivator, Waktu dan Suhu dan Interaksinya pada Pembuatan Arang Aktif A. Faktor Tunggal Sifat
JK
KT
Fhitung
Aktivator 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, %
12447,80 53,21 1908,60 2830,25 8003,70 1613252,60 1417,66
2489,56 10,64 381,72 566,05 1600,74 322650,52 283,53
503,83** 28,34** 277,82** 142,17** 248,38** 200,03** 59,62**
32,03 7,75 0,48 27,21 20,45 158817,16 37,78
32.03 7,75 0,48 27,21 20,45 158817,16 37,78
6,48** 20,63** 0,35 6,83** 3,17 98,46** 7,94**
7,01 2,84 0,01 37,34 38,62 29931,93 33,02
7,01 2,84 0,01 37,34 38,62 29931,93 33,02
1,42 7,56** 0,01 9,38** 5,99* 18,56** 6,94**
Waktu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, % Suhu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, %
Keterangan: ** = sangat nyata * = nyata
B. Interaksi Dua Faktor
164 Sifat
JK
KT
Fhitung
Aktivator-Waktu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, %
681,37 61,47 84,30 85,97 109,37 435902,48 179,53
136,27 12,29 16,86 17,19 21,87 87180,50 35,91
27,58** 32,74** 12,27** 4,32** 3,39** 54,05** 7,55**
259,72 26,02 61,95 55,09 165,97 271171,45 62,60
51,94 5,20 12,39 11,02 33,19 54234,29 12,52
10,51** 13,86** 9,02** 2,77* 5,15** 33,62** 2,63*
57,27 1,12 18,49 3,58 38,27 9264,78 5,42
57,27 1,12 18,49 3,58 38,27 9264,78 5,42
11,59** 2,98 13,46** 0,90 5,94* 5,74* 1,14
Aktivator-Suhu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, % Waktu-Suhu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, %
C. Interaksi Tiga Faktor Sifat
JK
KT
Fhitung
Aktivator-Waktu-Suhu 1. Rendemen, % 2. Kadar air, % 3. Kadar zat terbang, % 4. Kadar abu, % 5. Kadar karbon, % 6. Daya jerap iodin, mg/g 7. Daya jerap benzena, %
407,79 7,74 40,56 72,59 177,22 178128,11 27,37
81,56 1,55 8,11 14,52 35,44 35625,62 5,47
Lampiran 2. Uji BNT Cara Duncan Rendemen Arang Aktif
16,51** 4,12** 5,90** 3,65* 5,50** 22,09** 1,15
165
A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1 A2 A3 A4 A5 A6
81,05 51,85 63,45 78,96 77,20 81,95
AB E D C B A
W1 W2
71,58 73,23
B A
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M W1= waktu 60 menit W2= waktu 120 menit
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
80,45 56,54 62,55 76,01 79,49 81,55 81,00 50,45 63,73 79,24 77,11 83,48
ABC F E D BCD AB ABC G E BCD CD A
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
78.79 82.66 54.04 49.61 62.35 63.93 76.44 78.81 79.11 79.55 80.78 82.19
AB A D E C C B AB AB AB AB A
D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
166 W1S1 W1S2 W2S1 W2S2
71.72 73.81 71.11 72.11
A A A A
E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
78.70 82.20 55.59 57.50 62.75 62.35 71.95 80.08 82.85 80.25 78.50 80.48 78.88 83.13 52.50 49.73 61.95 65.50 80.93 77.55 75.38 78.85 83.05 83.90
CDE ABC IJ I GH GH F BCD AB BCD DE ABC CDE AB J K H G ABCD DE E CDE AB A
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 3. Uji BNT Cara Duncan Kadar Air Arang Aktif
167 A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1.72 1.12 2.95 3.20 2.90 2.19
C D A A A B
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 W2
2.06 2.63
B A
W1= waktu 60 menit W2= waktu 120 menit
S1 S2
2.17 2.52
B A
S1= suhu 700 oC S2= suhu 800 oC
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
1.69 0.95 2.68 1.28 2.84 2.93 1.75 1.28 3.23 5.11 2.96 1.46
C C B C B B C C B A B C
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
1.82 1.62 1.09 1.14 1.64 4.26 3.13 3.26 2.90 2.90 2.47 1.92
DEF EF F F DEF A ABC AB BCD BCD BCDE CDEF
C. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2
2.36 1.02
CDEF H
168 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
0.98 0.93 1.53 3.83 1.45 1.11 2.46 3.23 3.22 2.65 1.28 2.23 1.20 1.36 1.76 4.70 4.82 5.41 3.34 2.58 1.71 1.20
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
H H EFGH B FGH H CDE BC BC CD GH DEFG H GH EFGH A A A BC CD EFGH H
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 4. Uji BNT Cara Duncan Kadar Zat Terbang Arang Aktif A. Faktor Aktivator Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
Keterangan:
169 A1 A2 A3 A4 A5 A6
18.95 10.75 15.64 16.11 7.32 7.48
A C B B D D
A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
18.99 11.82 14.39 14.91 7.19 8.54 18.91 9.68 16.90 17.31 7.46 6.43
A D C C FG EF A E B AB FG G
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
18.57 19.33 11.63 9.87 14.09 17.20 16.74 15.48 7.69 6.95 7.48 7.49
AB A E F D BC C CD G G G G
D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
W1S1 W1S2 W2S1 W2S2
13.07 12.21 12.33 13.23
A A A A
170
E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
19.32 18.66 12.77 10.88 14.44 14.34 16.13 13.68 7.09 7.29 8.66 8.42 17.82 20.01 10.49 8.87 13.74 20.07 17.34 17.27 8.30 6.61 6.30 6.55
AB ABC E F E E D E HIJK HIJK H HI BCD A FG GH E A CD CD HIJ IJK K JK
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 5. Uji BNT Cara Duncan Kadar Abu Arang Aktif A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1
14.98
C
Keterangan: A1= aktivasi panas
171 A2 A3 A4 A5 A6
14.73 21.83 24.93 10.13 10.87
C B A D D
A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 W2
16.78 15.71
A B
W1= waktu 60 menit W2= waktu 120 menit
S1 S2
15.62 16.87
B A
S1= suhu 700 oC S2= suhu 800 oC
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
16.47 15.86 22.17 26.39 10.10 9.70 13.50 13.61 21.50 23.48 10.17 12.04
C CD B A F F DE DE B B F EF
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
14.06 15.91 14.90 14.57 20.42 23.25 23.30 26.56 9.83 10.43 11.23 10.50
D D D D C B B A E E E E
D. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1
15.56 17.38 14.86 16.86 21.81
FG EF FGH EF BCD
172 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
22.52 26.25 26.53 9.78 10.42 9.85 9.55 12.55 14.44 14.95 12.27 19.02 23.98 20.36 26.59 9.89 10.44 12.62 11.46
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
BC A A J J J J GHIJ FGHI FGH HIJ DE AB CD A J J GHIJ IJ
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 6. Uji BNT Cara Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Aktif A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1 A2 A3
66.07 74.52 62.52
C B D
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M
173 A4 A5 A6
58.96 82.55 81.65
E A A
A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
S1 S2
71.68 70.41
A B
S1= suhu 700 oC S2= suhu 800 oC
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
64.54 72.32 63.45 58.71 82.72 81.77 67.60 76.71 61.60 59.22 82.38 81.54
DE C E F A A D B EF F A A
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
67.38 64.76 73.47 75.56 65.50 59.55 59.97 57.96 82.48 82.62 81.29 82.01
C C C B C D D D A A A A
D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
W1S1 W1S2 W2S1 W2S2
70.59 70.58 72.77 70.24
A A A A
174 E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
65.12 63.97 72.38 72.26 63.76 63.14 57.63 59.79 83.14 82.30 81.50 82.03 69.63 74.56 78.86 67.24 55.96 62.31 56.14 81.81 82.95 81.09 82.00 83.27
FG FG CD CD FG GH I HI A AB AB AB DE C B EF I GH I AB AB AB AB A
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 7. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Iodin Arang Aktif A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1 A2 A3 A4 A5
449.03 688.28 389.59 342.31 290.42
B A C D E
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M
175 A6
354.66
D
A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 W2
459.72 378.37
A B
W1= waktu 60 menit W2= waktu 120 menit
S1 S2
401.39 436.71
B A
S1= suhu 700 oC S2= suhu 800 oC
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
623.46 687.38 469.64 325.21 296.70 355.94 274.59 689.17 309.53 359.42 284.14 353.38
A A B C C C C A C C C C
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
443.16 454.90 560.88 815.67 382.88 396.29 316.28 368.35 316.63 264.22 388.51 320.81
C C B A CD CD DE CDE DE E CD DE
D. Interaksi Dua Faktor (Waktu-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
W1S1 W1S2 W2S1 W2S2
432.24 487.20 370.54 386.21
AB A B AB
E. Interaksi Tiga Faktor (Aktivator-Waktu-Suhu)
176 Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1S1 A1W1S2 A2W1S1 A2W1S2 A3W1S1 A3W1S2 A4W1S1 A4W1S2 A5W1S1 A5W1S2 A6W1S1 A6W1S2 A1W2S1 A1W2S2 A2W2S1 A2W2S2 A3W2S1 A3W2S2 A4W2S1 A4W2S2 A5W2S1 A5W2S2 A6W2S1 A6W2S2
546.76 700.16 616.94 757.82 459.73 479.56 323.25 327.17 308.49 284.92 338.28 373.60 339.56 209.63 504.82 873.53 306.04 313.02 309.32 409.52 324.77 243.52 438.74 268.03
E C D B FGH FG JKL JKL JKL KLM JK IJ JK N EF A KL JKL JKL HI JKL LMN GH LMN
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
W1 = waktu 60 menit W2 = waktu 120 menit S1 = suhu 700 oC S2 = suhu 800 oC
Lampiran 8. Uji BNT Cara Duncan Daya Jerap Benzena Arang Aktif A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1 A2 A3 A4 A5 A6
8.33 17.52 5.37 9.88 7.09 9.67
BC A D B C B
Keterangan: A1= aktivasi panas A2= aktivasi uap H2O A3= aktivasi KOH 0,5M A4= aktivasi KOH 1M A5= aktivasi H3PO4 0,5M A6= aktivasi H3PO4 1M
177 W1 W2
9.01 10.27
B A
W1= waktu 60 menit W2= waktu 120 menit
S1 S2
9.06 10.23
B A
S1= suhu 700 oC S2= suhu 800 oC
B. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Waktu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1W1 A2W1 A3W1 A4W1 A5W1 A6W1 A1W2 A2W2 A3W2 A4W2 A5W2 A6W2
8.65 15.85 4.74 6.81 7.56 10.48 8.00 19.19 6.00 12.95 6.62 8.86
DEF B G EFG EF D DEF A FG C EFG DE
C. Interaksi Dua Faktor (Aktivator-Suhu) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
A1S1 A1S2 A2S1 A2S2 A3S1 A3S2 A4S1 A4S2 A5S1 A5S2 A6S1 A6S2
8.44 8.21 15.43 19.61 5.46 5.28 8.67 11.10 6.98 7.19 9.36 9.98
CD CDE B A E E CD C DE DE CD CD
Lampiran 9. Hasil Analisis Probit Asap Cair dan Fraksi-fraksinya a. Asap Cair Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50) Prob
konsentr
95% Confidence Limits Lower Upper
,01 ,02 ,03
-2,29821 -1,89201 -1,63429
. . .
. . .
178 ,04 ,05 ,06 ,07 ,08 ,09 ,10 ,15 ,20 ,25 ,30 ,35 ,40 ,45 ,50 ,55 ,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,91 ,92 ,93 ,94 ,95 ,96 ,97 ,98 ,99
-1,44041 -1,28271 -1,14848 -1,03078 -,92540 -,82957 -,74135 -,37609 -,08580 ,16325 ,38690 ,59414 ,79080 ,98106 1,16831 1,35556 1,54583 1,74248 1,94973 2,17338 2,42242 2,71272 3,07797 3,16619 3,26203 3,36741 3,48510 3,61933 3,77704 3,97091 4,22863 4,63484
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
b. Fraksi Air Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50) Prob
konsentr
,01 ,02 ,03 ,04 ,05 ,06
-1,39662 -1,14965 -,99296 -,87509 -,77921 -,69760
95% Confidence Limits Lower Upper -5,53087 -4,75102 -4,25673 -3,88524 -3,58335 -3,32665
-,60607 -,45649 -,36108 -,28896 -,23002 -,17959
179 ,07 ,08 ,09 ,10 ,15 ,20 ,25 ,30 ,35 ,40 ,45 ,50 ,55 ,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,91 ,92 ,93 ,94 ,95 ,96 ,97 ,98 ,99
-,62604 -,56197 -,50370 -,45007 -,22799 -,05150 ,09992 ,23589 ,36190 ,48146 ,59714 ,71098 ,82483 ,94051 1,06007 1,18608 1,32205 1,47347 1,64996 1,87203 1,92567 1,98394 2,04801 2,11957 2,20118 2,29706 2,41493 2,57162 2,81859
-3,10179 -2,90068 -2,71799 -2,55002 -1,85763 -1,31328 -,85512 -,45872 -,11958 ,15123 ,34551 ,48221 ,58841 ,68060 ,76722 ,85321 ,94245 1,03916 1,14971 1,28676 1,31962 1,35524 1,39432 1,43786 1,48742 1,54552 1,61678 1,71129 1,85984
-,13516 -,09515 -,05856 -,02466 ,11867 ,23854 ,35021 ,46554 ,60060 ,77976 1,02082 1,31257 1,63481 1,97797 2,34131 2,72951 3,15201 3,62513 4,17880 4,87749 5,04648 5,23015 5,43219 5,65793 5,91550 6,21824 6,59058 7,08577 7,86665
c. Fraksi Metanol Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50) Prob
konsentr
,01 ,02 ,03 ,04 ,05 ,06
-1,39662 -1,14965 -,99296 -,87509 -,77921 -,69760
95% Confidence Limits Lower Upper -5,53087 -4,75102 -4,25673 -3,88524 -3,58335 -3,32665
-,60607 -,45649 -,36108 -,28896 -,23002 -,17959
180 ,07 ,08 ,09 ,10 ,15 ,20 ,25 ,30 ,35 ,40 ,45 ,50 ,55 ,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,91 ,92 ,93 ,94 ,95 ,96 ,97 ,98 ,99
-,62604 -,56197 -,50370 -,45007 -,22799 -,05150 ,09992 ,23589 ,36190 ,48146 ,59714 ,71098 ,82483 ,94051 1,06007 1,18608 1,32205 1,47347 1,64996 1,87203 1,92567 1,98394 2,04801 2,11957 2,20118 2,29706 2,41493 2,57162 2,81859
-3,10179 -2,90068 -2,71799 -2,55002 -1,85763 -1,31328 -,85512 -,45872 -,11958 ,15123 ,34551 ,48221 ,58841 ,68060 ,76722 ,85321 ,94245 1,03916 1,14971 1,28676 1,31962 1,35524 1,39432 1,43786 1,48742 1,54552 1,61678 1,71129 1,85984
-,13516 -,09515 -,05856 -,02466 ,11867 ,23854 ,35021 ,46554 ,60060 ,77976 1,02082 1,31257 1,63481 1,97797 2,34131 2,72951 3,15201 3,62513 4,17880 4,87749 5,04648 5,23015 5,43219 5,65793 5,91550 6,21824 6,59058 7,08577 7,86665
d. Fraksi Etil Asetat Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50) Prob
konsentr
95% Confidence Limits Lower Upper
,01 ,02 ,03 ,04 ,05 ,06
-4,83381 -4,10877 -3,64876 -3,30270 -3,02122 -2,78163
. . . . . .
. . . . . .
181 ,07 ,08 ,09 ,10 ,15 ,20 ,25 ,30 ,35 ,40 ,45 ,50 ,55 ,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,91 ,92 ,93 ,94 ,95 ,96 ,97 ,98 ,99
-2,57156 -2,38346 -2,21240 -2,05493 -1,40298 -,88483 -,44031 -,04111 ,32881 ,67982 1,01943 1,35366 1,68788 2,02749 2,37851 2,74842 3,14762 3,59215 4,11030 4,76225 4,91971 5,09078 5,27887 5,48894 5,72853 6,01002 6,35607 6,81609 7,54113
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
e. Fraksi n-Heksan Confidence Limits for Effective Inhibitor (EI50) Prob
konsentr
95% Confidence Limits Lower Upper
,01 ,02 ,03 ,04 ,05 ,06 ,07
-1,73890 -1,41287 -1,20601 -1,05040 -,92382 -,81608 -,72162
. . . . . . .
. . . . . . .
182 ,08 ,09 ,10 ,15 ,20 ,25 ,30 ,35 ,40 ,45 ,50 ,55 ,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,91 ,92 ,93 ,94 ,95 ,96 ,97 ,98 ,99
-,63704 -,56011 -,48930 -,19613 ,03687 ,23676 ,41627 ,58261 ,74046 ,89317 1,04346 1,19376 1,34647 1,50432 1,67066 1,85017 2,05006 2,28306 2,57623 2,64704 2,72396 2,80855 2,90301 3,01075 3,13733 3,29294 3,49980 3,82583
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Lampiran 10. Kandungan Kimia Asap Cair yang Teridentifikasi dengan Teknik GCMS
Nomor Peak 1 2 3 4 5 6 7
Waktu Retensi (menit) 3,04 3,09 3,62 4,21 4,48 4,57 5,00
Nama senyawa 2,2-dimetil propanoat 1,1-dimetil hidrazin 2-Furan karboksaldehid 1-(2-furanil)-etanon Metil butirat Asam propanoat 2,3-dimetil siklopent-2-en-1-on
Konsentrasi (%) 0,71 8,98 1,44 0,70 1,90 2,55 0,47
183 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
5,26 5,67 6,15 6,38 6,75 8,66 9,12 9,96 10,70 10,98 11,53 12,50 14,08 14,27 15,53 16,61 17,57 17,87 18,10 19,84 20,46 21,15 22,02 22,80 23,81 24,50 24,57 25,02 25,24 26,12 26,51 27,01 27,41 27,59 27,90 28,15 28,39 29,01 29,46 29,98 31,01 31,43 31,82 32,10 32,26 32,48 33,97 37,37 37,74 38,24 39,15
5-metil furfural 3-metoksi piridin Asam butanoat Gamma-butirolakton 2-furan metanol 2 (5H)-furanon 2-hidroksi-2-siklopenten-1-on 2,2,5-trimetilsiklopentanon 2-hidroksi-3-metil-2-siklopenten-1-on 3-metilsikloheksanon 2-metoksi fenol 3-etil-2-hidroksi-2-siklopenten-1-on 3-hidroksi-2-metil-4H-piran-2-on 2-metoksi-2-metil fenol fenol 4-etil-2-metoksi fenol Trans-4-siklopenten-1,3-diol 3-metil fenol 4-metil fenol 2-propen-1-ol 2-metil-3-buten-2-ol 4-etil fenol Asam 3,3-dideuterio-DL-Glutamanat 2,6-dimetil-1,7-oktadien-1-ol 2,6-dimetoksi fenol Iso amil butirat 1,2,3-propantriol Asam siklamat 5-dodekanon 5-asetil-2-metilthiopirimidin Asam 2-metil-2-propenoat Koumaran 4(1H)-piridinon 2,3,5-trimetoksitoluena 4-metil-2-pirrolidinon 2 (3H)-Furanon Isobutil alkohol 3-metoksi-1,2-benzenadiol 2,5-dietil-thiofen 4-hidroksi-3-metoksi benzaldehida siklodekanon 1-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-etanon 2-metoksi-4-propil-fenol 1-(2,3,4-trihidroksifenil)-etanon 3-metil-1,2-benzenadiol 1,2-benzenadiol 4-metil katekol (Z)-Asam-9-oktadekenoat 2-metil 1,4-benzenadiol 1,4-benzenadiol 2-metilamino-6,7-dihidroimidazol
0,50 1,01 0,85 1,53 2,78 0,98 0,62 0,76 4,01 0,47 3,83 1,61 1,60 1,26 4,19 1,47 4,91 1,17 1, 05 0,78 4,66 1,20 0,61 0,56 8,68 0,35 0,31 0,75 0,47 2,60 1,79 0,25 2,48 1,93 0,38 1,14 0,25 3,19 0,29 0,26 0,32 0,41 1,29 0,44 1,12 5,65 0,70 0,32 1,39 2,53 0,57
184 59 60 61
45,05 45,09 47,44
Asam oleat Metil-dihidromalvalat Asam heptanoat
0,14 0,02 0,82
Lampiran 11. Sidik Ragam Media, Pengendali hama dan Interaksinya pada Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Sifat
JK
KT
464,20 2780,85 4086,64 33950,00 0,002 97119,76 16209,27
66,03 397,26 583,81 4850,00 0,0003 13874,25 2315,61
Fhitung
Media 1. Tinggi batang, cm 2. Jumlah daun, helai 3. Jumlah anakan, batang 4. Jumlah akar, potong 5. Tebal daun, cm 6. Bobot basah total, gram 7. Bobot kering total, gram
25,52** 19,09** 70,56** 10,42** 1,95 7,18** 5,16**
185 8. Bobot kering akar, gram
6456,22
922,32
6,74**
16,44 84,41 118,25 6173,86 0,024 22334,36 3059,69 1491,44
8,22 42,40 59,12 3086,93 0,012 11167,18 1529,84 745,72
3,18 2,03 7,15** 6,63** 84,07** 5,78** 5,16** 5,45**
JK
KT
Pengendali hama 1. Tinggi batang, cm 2. Jumlah daun, helai 3. Jumlah anakan, batang 4. Jumlah akar, potong 5. Tebal daun, cm 6. Bobot basah total, gram 7. Bobot kering total, gram 8. Bobot kering akar, gram
B. Interaksi Dua Faktor Sifat
Fhitung
Media-Pengendali hama 1. Tinggi batang, cm 2. Jumlah daun, helai 3. Jumlah anakan, batang 4. Jumlah akar, potong 5. Tebal daun, cm 6. Bobot basah total, gram 7. Bobot kering total, gram 8. Bobot kering akar, gram
545,78 4204,15 4697,30 50565,78 0,028 150671,94 27021,28 10513,78
23,73 182,80 204,23 2198,51 0,001 6550,95 1174,84 457,12
9,17** 8,97** 25,24** 4,72** 8,55** 3,05** 2,62** 3,44**
Keterangan: ** = sangat nyata * = nyata
Lampiran 12. Uji BNT Cara Duncan Tinggi Batang Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5 M4 M6 M7 M3 M1 M2 M0
12,33 10,26 10,26 9,94 8,58 8,36 7,86 5,75
A B B B C C D D
P1 P2 P0
9,53 9,06 8,71
A AB B
Keterangan:
186 M0 = kontrol (100% tanabu) M1 = pupuk kandang M2 = kompos M3 = kompos-arang M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
P0 = kontrol (air) P1 = fraksi methanol (asap cair) P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5P1 M5P2 M5P0 M4P1 M7P0 M6P1 M7P2 M6P0 M4P2 M6P2 M4P0 M3P2 M1P1 M7P1 M2P2 M1P2 M3P1 M3P0 M2P1 M0P1 M1P0 M2P0 M0P0 M0P2
12,97 12,27 11,72 10,80 10,48 10,42 10,38 10,25 10,20 10,12 9,78 9,52 9,15 8,97 8,70 8,53 8,25 7,98 7,87 7,83 7,38 7,00 5,05 4,37
A AB ABC BCD BCDE BCDE BCDE BCDE BCDEF BCDEF CDEFG CDEFGH DEFGHI DEFGHI DEFGHI EFGHI EFGHI FGHI GHI GHI HI I J J
Lampiran 13. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Daun Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5 M6 M7 M4 M3 M2 M1 M0
30,33 29,17 28,78 25,94 23,00 22,22 21,22 16,39
A A AB B C D D E
P1 P2 P0
25,25 24,84 23,46
A A A
Keterangan:
187 M0 = kontrol (100% tanabu) M1 = pupuk kandang M2 = kompos M3 = kompos-arang M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
P0 = kontrol (air) P1 = fraksi methanol (asap cair) P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5P1 M5P2 M6P1 M7P0 M6P2 M7P2 M5P0 M4P1 M4P2 M3P2 M7P1 M4P0 M2P2 M6P0 M2P1 M3P1 M1P0 M3P0 M2P0 M1P1 M1P2 M0P1 M0P0 M0P2
35,33 34,00 33,83 32,17 30,83 29,67 28,33 28,17 26,33 25,83 24,50 23,33 23,00 22,83 22,50 21,83 21,67 21,33 21,17 21,00 21,00 19,67 16,83 12,67
A AB AB ABC ABCD ABCDE BCDEF BCDEF CDEFG CDEFGH EFGH FGH FGHI FGHI FGHI GHI GHI GHI GHI GHI GHI HI IJ J
Lampiran 14. Uji BNT Cara Duncan Jumlah Anakan Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M6 M5 M7 M4 M3 M2 M1 M0
22,56 20,40 19,94 14,89 13,72 12,89 10,22 5,39
A B B C C C D E
P1 P0 P2
15,73 15,27 13,58
A A B
Keterangan:
188 M0 = kontrol (100% tanabu) M1 = pupuk kandang M2 = kompos M3 = kompos-arang M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
P0 = kontrol (air) P1 = fraksi methanol (asap cair) P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5P1 M6P1 M6P0 M7P1 M7P2 M7P0 M6P2 M5P0 M5P2 M4P0 M3P0 M4P2 M3P1 M4P1 M2P2 M2P0 M2P1 M3P2 M1P1 M1P0 M1P2 M0P0 M0P2 M0P1
26,00 25,00 23,67 20,50 20,33 19,00 19,00 18,50 17,67 17,00 15,00 14,00 13,83 13,67 13,18 12,83 12,67 12,33 11,83 9,67 9,18 6,50 5,00 4,67
A A AB BC BC C C CD CD CDE DEF EF EF EF FG FGH FGH FGH FGH GHI HI IJ J J
Lampiran 15. Uji BNT Cara Duncan Bobot Basah Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M6 M3 M5 M2 M7 M4 M1 M0
202,67 195,00 184,44 162,78 154,11 145,67 125,22 84,00
A AB ABC ABCD BCD CD DE E
P0 P1 P2
180,42 151,58 138,21
Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu) M1 = pupuk kandang
A B B P0 = kontrol (air) P1 = fraksi methanol (asap cair)
189 M2 = kompos M3 = kompos-arang M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5P1 M3P0 M6P1 M7P0 M6P0 M2P0 M5P0 M4P0 M6P2 M3P1 M3P2 M5P2 M2P1 M2P2 M1P0 M4P1 M7P2 M1P2 M4P2 M7P1 M1P1 M0P1 M0P0 M0P2
236,00 232,67 223,67 209,00 207,67 191,00 190,33 179,00 176,67 176,33 176,00 156,67 149,00 148,33 144,67 141,00 140,33 126,67 117,00 113,00 104,33 99,00 89,00 64,00
A AB ABC ABCD ABCD ABCDE ABCDE ABCDEF ABCDEF ABCDEF ABCDEF ABCDEFG BCDEFG BCDEFG CDEFGH CDEFGH CDEFGH DEFGH EFGH EFGH FGH FGH GH H
Lampiran 16. Uji BNT Cara Duncan Bobot Kering Total Tanaman Daun Dewa A. Faktor Tunggal Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M6 M5 M7 M3 M4 M2 M0 M1
63,56 54,56 44,11 38,00 36,78 27,56 19,00 18,89
A AB ABC BCD BCD CD D D
P0 P1 P2
47,00 33,79 32,63
Ket.: M0 = kontrol (100% tanabu) M1 = pupuk kandang
A B B P0 = kontrol (air) P1 = fraksi methanol (asap cair)
190 M2 = kompos M3 = kompos-arang M4 = kompos-arang aktif hasil aktivasi panas M5 = kompos-arang aktif hasil aktivasi uap H2O M6 = kompos-arang aktif hasil aktivasi KOH 1M M7 = kompos-arang aktif hasil aktivasi H3PO4 1M
P2 = sidamethin (pestisida sintetik)
B. Interaksi Dua Faktor (Media-Pengendali hama) Faktor
Rata-rata
Klasifikasi
M5P1 M3P0 M6P1 M7P0 M6P0 M2P0 M5P0 M4P0 M6P2 M3P1 M3P2 M5P2 M2P1 M2P2 M1P0 M4P1 M7P2 M1P2 M4P2 M7P1 M1P1 M0P1 M0P0 M0P2
79,00 74,00 68,33 62,00 57,33 54,67 54,33 43,67 43,33 38,00 35,67 33,33 32,33 29,00 27,67 25,33 25,33 24,00 20,33 20,33 17,00 16,00 15,33 11,00
A AB ABC ABCD ABCDE ABCDE ABCDE ABCDEF ABCDEF BCDEF BCDEF BCDEF CDEF CDEF CDEF DEF DEF DEF DEF DEF EF EF EF F
Lampiran 17. Baku Mutu Kompos Sampah Domestik (SNI-01-1683-2004) No.
Satuan
Minimum
Maksimum
Kadar air
%
-
50
2
Temperatur
o
3
Warna
4
Bau
5
Ukuran partikel
6
Kemampuan ikat air
7
pH
8
Bahan asing
1
Parameter
C
Suhu air tanah Kehitaman Berbau tanah
mm
0,55
25
%
58
-
6,80
7,49
%
*
1,50
%
27
58
Unsur Makro 9
Bahan organik
191 10
Nitrogen
%
0,40
-
11
Karbon
%
9,80
32
12
Phosfor (P2O5)
%
0,10
-
13
Nisbah C/N
10
20
14
Kalium (K2O)
%
0,20
*
Unsur Mikro 15
Arsen (As)
mg/kg
*
13
16
Kadmium (Cd)
mg/kg
*
3
17
Kobalt (Co)
mg/kg
*
34
18
Kromium (Cr)
mg/kg
*
210
19
Tembaga (Cu)
mg/kg
*
100
20
Merkuri (Hg)
mg/kg
*
0,80
21
Nikel (Ni)
mg/kg
*
62
22
Timbal (Pb)
mg/kg
*
150
23
Selenium (Se)
mg/kg
*
12
24
Seng (Zn)
mg/kg
*
500
Unsur lain 25
Kalsium (Ca)
%
*
25,50
26
Magnesium (Mg)
%
*
0,60
27
Besi (Fe)
%
*
2,00
28
Aluminium (Al)
%
*
2,20
29
Mangan (Mn)
%
*
0,10
Bakteri 30
Fecal coli
31
Saalmonella sp
MPN/g
1000
MPN/4 g
3
Keterangan: * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
Lampiran 18. Baku Mutu Arang Aktif (SNI-06-3730-1995)
Uraian
Satuan
Persyaratan Butiran
Serbuk
Kadar zat terbang
%
maks. 15
maks. 25
Kadar air
%
maks. 4,4
maks. 15
Kadar abu
%
maks. 2,5
maks. 10
Bagian tak mengarang
%
0
0
Karbon aktif murni
%
min. 80
min. 65
mg/g
min. 750
min. 750
Daya serap terhadap Iodium (I2)
192 Daya serap terhadap benzene
%
min. 25
-
Daya serap terhadap biru metilen
ml/g
min. 60
min. 120
Bobot jenis curah
g/ml
0,45-0,55
0,3-0,35
Lolos mesh
-
-
min. 90
Jarak mesh
%
90
-
Kekerasan
%
80
-
Lampiran 19. Baku Mutu Arang Kayu (SNI-01-1682-1996) Karakteristik
Satuan
Persyaratan
Kadar air
% b/b
maks. 6
Kadar zat terbang
% b/b
maks. 30
Kadar abu
% b/b
maks. 4
Kadar karbon
% b/b
min. 60
Benda asing
% b/b
maks. 1
Tertahan ayakan berlobang 6,35 cm
% b/b
min. 90
Lolos ayakan berlobang 3,18 cm
% b/b
maks. 2