KONTRIBUSI YUSUF AL-QARADHAWI BAGI PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM Studi atas Fatwa-fatwa Kontemporer yang Berkaitannya dengan Tantangan Perubahan Perubahan Sosial A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perubahan sosial dan masyarakat selalu menuntut adanya perubahan hukum, sebaliknya perubahan hukum dapat menimbulkan perubahan sosial. Dalam ajaran Islam perubahan hukum selalu inheren didalamnya, sekalipun dalam Hukum Islam ada ajaran yang bersifat pasti (qat}’i), yang tidak berubah sepanjang zaman, ada yang bersifat elastis (z}anni), dapat berubah sesuai dinamika zaman. Munculnya Yusuf al-Qaradhawi yang dikenal dengan fatwa-fatwanya yang dapat dilacak melalui buku-buku yang ditulisnya seperti: al-Ijtihād alMu’ās}ir baina al-Ind}ibāt} wa al-Infirāt}, al-Halāl wa al-Harām fi al-Islām dan Min Hadyi al-Islām Fatāwa Mu’ās}irah, menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki konsep perubahan hukum dan kontribusinya bagi pengembangan Hukum Islam saat ini. 2. Identifikasi dan Perumusan Masalah Formulasikan perubahan fatwa hukum yang dilakukan Yusuf alQaradhawi dalam sejumlah karyanya di atas merupakan rumusan konsep pembaruan pemikiran hukum Islam, karena itu masalah pokok penelitian ini: 1) Bagaimana pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hukum Islam yang tidak bisa berubah (thabit) dan bisa berubah (mutaghayyir)?; 2) Bagaimana konsep perubahan fatwa menurut Yusuf al-Qaradhawi?; 3) Bagaimana fatwa-fatwa Yusuf al-Qaradhawi mengenai hukum yang terkena perubahan sosial?; 4) Bagaimana implikasi pemikiran Yusuf al-Qaradhawi bagi pengembangan hukum Islam? 3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui konsepsi al-Qarad}āwi: 1
1) Mengenai hukum Islam yang tidak bisa berubah (thabīt) dan bisa berubah (mutaghayyir); 2) Konsep perubahan fatwa menurut pandangan Yusuf al-Qaradhawi; 3) Fatwa-fatwa al-Qarad}āwi mengenai hukum yang terkena perubahan sosial; dan 4) Implikasi pemikiran dan kontribusinya bagi pengembangan hukum Islam. Hasil penelitian ini mempunyai arti penting dalam mengembangkan hukum Islam, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang, sehingga segala permasalahan yang muncul dalam masyarakat akan dijawab oleh hukum Islam secara adil dan realistis. Karena itu, kegunaan penelitian ini diharapkan berguna bagi setiap upaya pengembangan pemikiran di bidang hukum Islam. Selain itu, penelitian ini diharapkan pula berguna bagi peningkatan dan pengembangan potensi akademik penulis, sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu yang selama ini ditekuni. 4. Tinjauan Kepustakaan Studi dan penelitian terhadap konsep perubahan hukum (taghayyur alAh}kām) sebagai konsep dasar dinamisasi hukum Islam, memang bukan untuk yang pertama kali dilakukan, tetapi sudah banyak dilakukan orang lain. Akan tetapi, sekalipun objek studi dan penelitiannya sama, yang menjadi fokus penelitiannya berbeda sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas. Mengawali studi ini, tentu terlebih meletakkan posisi penelitian ini di antara beberapa studi dan penilitian yang dilakukan sebelumnya, baik yang sama objek tokohnya maupun yang tidak sama, seperti diketahui bahwa telah ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu, maka penelitian-penelitian tersebut bagi penulis merupakan kajian awal untuk mengetahui konsep pemikiran al-Qarad}āwi, yang selanjutnya menempatkan penelitian ini sebagai kelanjutan atas penelitian-penelitian terdahulu, dan sekaligus memformulasikan gagasan terutama metode yang ditempuh alQarad}āwi dalam memberikan fatwa-fatwa hukumnya atas berbagai perubahan sosial yang terjadi dewasa ini. Adapun karya-karya penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
2
No Penulis 1
2
3
4
5
6
Amru Abd al-Karīm Sa’dawi
Judul
Teori
Metode
Hasil
Qad}āyā al-Marati fi fiqh alQarad{āwi
Library Deskriptif Menggambarkan peResearch -Normatif mikiran al-Qarad{āwi tentang wanita Islam, baik dalam menghadapi realitas kekinian maupun kesesuaian dengan ajaran Islam Mus{tafa Fi Us{ūl al-Da’- Library Deskriptif Menggambarkan sowah MuqtabiMalaikah Research -Normatif sok al-Qarad}āwi, sesāt min Kutub bagai ulama moderat Yūsuf al-Qarayang mampu menguasai term-term d{āwi Islam modern Ahmad bin Raf’u al-LithāLibrary Deskriptif Buku kritik ini mengMuhammi ‘an MukhaResearch -Normatif ungkap pemikiran almad bin lāfat al-Qarad}āQarad}āwi,yang meMans{ūr al- wi, li al-Sharī’at nyimpang dari tradisi ‘Udaini al- al-Islām ulama salaf dan sekaligus menyimpang dari Yamani ajaran Islam Syukri Iska Pemikiran Fiqh Library Deskriptif Menjelaskan pemikiral-Aulawiyyat Research -Normatif an Yusuf al-Qaradhawi Yūsuf altentang persoalan fiqh yang perlu mendapat Qarad{āwi prioritas dalam pengamalan umat Abdurrahm Pembaharuan Library Deskriptif Penelitian ini lebih terHukum Islam: an Qadir Research -Normatif fokus pada konsep Studi Pemikiran zakat dan penerapan Yūsuf al-Qarazakat profesi yang d}āwi, Tentang dikemukakan Yusuf Zakat Profesi al-Qaradhawi. Bahar Metode Ijtihād Library Deskriptif Penelitian ini mengYūsuf al-QaraMukhlis Research -Normatif ungkapkan gagasan ald}āwi, dalam Qarad}āwi, tentang Ma salahpentingnya membangmasalah an ijtihād dewasa ini
3
7
Muhamma d Atho Mudzhar
8
Badri Khaeruman
Kontemporer Fatwa-fatwa MUI: Sebuah Studi ten-tang Pemikiran Hk. Islam di Indonesia Hukum Islam dalam Perubahan Sosial: Kaji-an Pemikiran Yūsuf al-Qara-d}āwi, dalam Fatwafatwanya
Library Normatif- Mengungkap proses Research Sosiologis pengambilan fatwa hukum Islam di lingkungan MUI
Library AnalitisResearch kritis
Diharapkan menemukan orisinalitas pemikiran al-Qarad}āwi dan relevansinya bagi pengembangan hukum Islam terutama dalam menghadapi perubahan sosial
5. Kerangka Teori Pemikiran hukum Islam (ijtihād) pada hakikatnya, dilakukan oleh ulama sebagai respon terhadap perubahan sosial dan perubahan alam yang terjadi, melalui seperangkat metodologi dengan Al-Qur’ān dan al-Sunnah sebagai sumber nilai (postulat). Segala bentuk ketetapan hukum harus senantiasa dapat dikembalikan kepada kedua sumber itu melalui penalaran yang cerdas, terutama dalam masalah-masalah yang sama sekali baru, yang secara tekstual tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut. Karena, jika tidak dapat dikembalikan kepada kedua sumbernya tersebut, maka produk pemikiran hukum itu tidak memiliki legitimasi. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, orang pertama yang berani berbeda pandangan (fatwa) dalam penetapan hukum adalah ‘Umar ibn alKhat}t}hāb (w. 23 H), yang kemudian diikuti oleh generasi umat sesudahnya, misalnya Imām al-Shafi’i (150-204 H) yang terkenal dengan qawl qadīm dan qawl jadīd-nya, pandangannya yang berubah karena perubahan situasi dan kondisi. Bahkan kemudian Najm al-Dīn al-Thufi (675716 H) berpendapat bahwa kemaslahatan menjadi kunci (‘illat) bahwa hukum boleh berubah. Mas}lah}at menurutnya merupakan dalil baru yang paling kuat untuk dijadikan alasan dalam menentukan hukum shara’. Demikian pula Ibn Qayim al-Jauziyah (691-751 H) yang menyatakan bahwa fatwa hukum berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, 4
kebiasaan dan niat. Fatwa ini kemudian dikenal dan diakui dalam khazanah pemikiran Islam sebagai kaidah bagi perubahan hukum Islam. Pandangan di atas kemudian dikukuhkan pula oleh Abū Ishāq alShāt}ibī (730-790 H), dengan pendekatan maqās}id al-Sharī’ah, yakni bahwa kemaslahatan hukum itu harus melindungi, agama, jiwa, harta dan keturunan. Dengan demikian rangkaian pemikiran tentang perubahan hukum akibat perubahan sosial sebagai ‘illat hukum, sesungguhnya merupakan suatu keharusan, sehingga hukum Islam tidak bersifat statis melainkan mengikuti alur kehidupan umat manusia, yang dasar-dasar pemikirannya telah dimulai oleh ulama terdahulu seperti yang telah dijelaskan di atas. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan kerangka teoritis yang akan dijadikan panduan dalam penelitian ini, serta kaidah-kaidah us}ūl dalam penetapan hukum yang telah ditawarkan oleh para ulama lainnya. Sedangkan kerangka konseptualnya adalah pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang metode ijtihād kontemporer dan fatwa-fatwanya, hubungan nash dengan perubahan sosial dan prinsip-prinsip fiqh perubahan (fiqh al-taghyir) dan fiqh realitas (fiqh al-waqi’) yang kesemuanya itu merupakan stimulanstimulan penting dalam perumusan konsep perubahan fatwa hukum Islam. Karena itu yang menjadi sumber nilai (postulat) Hukum Islam dalam tantangan perubahan sosial, adalah ayat-ayat Al-Qur’ān yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang telah disempurnakan dan sekaligus sebagai agama yang diridhai Allah (al-Maidah, 5: 3). Dalam ayat lain dinyatakan bahwa Allah melarang umat Islam membuat keputusan hukum yang mendahului keputusan hukum Allah dan Rasul-Nya (al-Hujurat, 49: 1).
5
Di lain ayat Allah berfirman bahwa perubahan kehidupan umat manusia harus dilakukan oleh manusia yang bersangkutan, bukan oleh pihak lainnya termasuk oleh Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam al-Ra’d, 13: 11: Demikian pula Sabda Nabi, seperti terungkap dalam banyak kitab hadith, yang menyatakan bahwa Nabi berpesan untuk berpegang teguh pada al-Qur’ān dan al-Sunnah, agar tidak tersesat dalam kehidupan. Dalam riwayat Malik bin Anas redaksi hadith tersebut:
ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﺃﻣﺮﻳﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﻣﺎ ﲤﺴﻜﺘﻢ ﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﺳﻨﺔ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ Al-Qur’ān telah selesai diturunkan, demikian pula al-H}adith telah selesai disabdakan bersamaan dengan wafatnya Nabi SAW, namun persoalan sosial akan terus bermunculan hingga akhir zaman, hal ini tentu menuntut penyelesaian hukum atas persoalan yang baru itu dengan melalui ijtihād. Karena itu dalam mengurai Hukum Islam dalam tantangan perubahan sosial dengan spesifikasi pemikiran al-Qarad}āwi, maka digunakan Grand Theory yang diangkat pemikiran al-Syahrastani, yakni:
اﻟﻨﺼﻮص ﻗﺪ اﻧﺘﻬﺖ واﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻻﺗﺘﻨﺎﻫﻰ Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa nas}-nas} agama dari ayatayat al-Qur’ān dan al-H}adith adalah terbatas, sementara kehidupan sosial akan terus bergulir hingga akhir zamān. Karena itu, Middle Theory Hukum dalam tantangan perubahan sosial adalah kaidah us}ūl, yang diangkat dari pemikiran Ibnu Qayim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa fatwa hukum itu bisa berubah karena perubahan waktu, tempat, keadaan, kebiasaan (adat) dan niat (motivasi). Kaidah ini memberi jawaban hukum atas tantangan perubahan sosial, apapun bentuknya, dan merupakan solusi atas terhentinya nas}-nas} al-Qur’ān dan al-Sunnah seperti yang telah dijelaskan. Kaidah yang dimaksud adalah:
ﺑﺘﻐﲑ اﻷزﻣﺎن و اﻷﻣﻜﻨﺔ و اﻷﺣﻮال واﻟﻌﻮاﺋﺪ و اﻟﻨﻴ ّﺎت ّ ﺗﻐﲑ اﻟﻔﺘﻮى ّ Kaidah ini memberi jalan yang seluas-luasnya bagi penyelesaian hukum atas berbagai perubahan yang ada, baik terdapat nas} maupun tidak ada nas}. 6
Applicative theory yang digunakan dalam membedah ijtihād dan pemikiran al-Qarad}āwi dalam menjawab perubahan sosial adalah teori qiyās, yakni penalaran deduktif dan induktif ( )اﻟﺸﻤﻮﻟﻰ واﻻﺳﺘﻘﺮائdan t{arīqat aljam’i atas berbagai aliran pemikiran Islam baik dalam fiqh maupun kalam. Dengan begitu, diharapkan dapat tergambar pemikiran hukum Islam al-Qarad}āwi dan relevansinya bagi pengembangan hukum Islam dewasa ini.
ﺗﻜﺎﻣﻞ واﻟﺘﻀﻢ:اﻟﻜﻠﯿﮫ واﻟﺠﺰﺋﯿﺔ
ﺗﻐﻴﺮﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﺑﺘﻐﻴﺮ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻭﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﻭﺍﻟﻌﻮﺍﺋﺪ ﻭﺍﻟﻨﻴﺎﺕ
ﺍﻟﺸﻤﻮﱃ ﻭﺍﻻﺳﺘﻘﺮﺍﺉ:ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ
7
6. Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat studi pustaka (library research). Karena itu untuk mensistematisasikan langkah-langkah penelitian ini digunakan metode AnalitisKritis, sebagai suatu cara mengelola data yang relevan dengan objek yang dipaparkan dan kemudian dianalisis implikasinya hingga mencapai tujuan yang hendak dicapai. Berpegang pada metode analitis-kritis ini, langkah pertama mendeskripsikan gagasan primer pemikiran Yusuf al-Qaradhawi. Kedua, membahas gagasan primer tersebut yang pada hakikatnya adalah memberikan penafsiran terhadap gagasan yang telah dideskripsikan tersebut. Jadi, analisis kritis itu adalah mendeskripsikan, membahas, dan mengeritik gagasan primer yang selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan, dan pengembangan model. B. TEORI DAN METODOLOGI PERUBAHAN FATWA DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Islam Hukum Islam yang terdiri dari rangkaian kata “hukum” dan “Islam”, secara tegas tidak terdapat dalam Al-Qur’ān. Hukum Islam merupakan terjemahan dari Sharī’ah Islam atau hukum Shar’i, yang memiliki pengertian adalah tuntutan shar’i (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa yang berupa perintah, pilihan atau hubungan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan menurut Fuqaha adalah bekas atau pengaruh yang dikehendaki oleh khitab Allah dan terwujud dalam bentuk perbuatan, seperti wājib, harām, dan mubah}.
اﳊﻜﻢ اﻟﺸﺮﻋﻰ ﰱ اﺻﻄﻼح اﻻﺻﻮﻟﻴـﲔ ﻫﻮ ﺧﻄﺎب اﻟﺸﺮع اﳌﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻓﻌﺎل اﳌﻜﻠﻔﲔ ﻃﻠﺒﺎ او وﺿﻌﺎ و ﻟﻠﻔﻘﻬﺎء ﻓﻬﻮ اﻻﺛﺮ اﻟﺬى ﺑﻘﺘـﻀﻴـﻪ ﺧﻄﺎب اﻟﺸﺎرع ﰱ اﻟﻔﻌﻞ ﻛﺎﻟﻮﺟﻮب و اﳊﺮﻣﻪ و اﻹﺑﺎﺣﺔ Definisi ini menegaskan bahwa hukum Islam adalah seperangkat peraturan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam.
8
Dilihat dari segi objek dan pembahasannya, hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu Ibadah dan Mu’amalah. Termasuk ke dalam ibadah ialah shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Termasuk ke dalam mu’amalah ialah munakahat (pernikahan), jual beli, dan segala macam transaksi keuangan, jinayat (‘uqūbat, hudūd, hukum pidana) mawaris, qada’ (peradilan), khilafah,dan jihad. Dari pembagian di atas terlihat perbedaan antara Sharī’at dan fiqh. Sharī’ah seperti Sharī’at ibadah bersifat konstan, tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu (tidak berubah). Sedangkan Hukum Islam dalam bidang mu’amalah menerima interpretasi, sejauh tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan Shara’ dan bersifat menerima perubahan, maka sifat menerima perubahan dan menerima interpretasi inilah disebut fiqh, untuk kepentingan memahami, menafsirkan, dan menerapkan Sharī’at dalam suasana tertentu. 2. Hukum Islam dan Perubahan Sosial Perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat merupakan hal yang pasti terjadi. Karena alam semesta tempat hidup manusia ini adalah baru, yang ada setelah tiada yang selalu bergerak dan berubah-ubah, tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu sebenarnya perubahan itu merupakan salah satu ciri bahwa masyarakat itu ada dan hidup. Bahkan berfirman Allah mengisharatkan bahwa manusia harus berubah jika ingin mencapai kehidupan yang lebih baik: “... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, hingga mereka merubah keadaan yang ada pada mereka sendiri.. “. ( al-Ra’du: 11) Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya pada aspek tertentu, tetapi bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat baik secara material, maupun immaterial. Karena itu definisi perubahan sosial itu menjadi luas, namun secara umum dapat ditafsirkan bahwa pada prinsipnya perubahan sosial adalah sebuah proses. Yakni sebuah proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi suatu sistem kemasyarakatan. 9
Dalam ilmu sosial, faktor-faktor pendukung perubahan sosial menjadi tiga yakni; 1) adanya penemuan baru; 2) pertumbuhan penduduk; dan 3) kebudayaan. Faktor ketiga ini secara timbal balik dapat mendorong perubahan pada bentuk dan hubungan sosial kemasyarakatan. Terkait dengan perubahan sosial, maka hukum Islam yang berfungsi sebagai pagar pengaman sosial atau pranata sosial, memiliki dua fungsi; pertama, sebagai control sosial, dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial. Jika fungsi yang pertama ditempatkan sebagai “cetak biru” Tuhan selain sebagai kontrol sosial juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, baik dalam budaya dan maupun politik. Karena itu perubahan sosial akan berjalan pincang jika tidak ada alat kontrol terhadap proses interaksi sosial. 3. Teori Perubahan Fatwa Hukum dalam Pemikiran ‘Umar bin alKhat}t}āb hingga para Ulama Ada beberapa tokoh yang mempelopori dan telah melakukan perubahan hukum Islam dalam bentuk fatwa, ijtihād maupun konseptualisasi teori hukum Islam. Di antaranya yang menjadi referensi adalah apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khat}t}āb yang dikenal sebagai sahabat Nabi yang berilian dan sekaligus kontroversial dalam berijtihād karena selalu mengacu pada ruh Sharī’at. Kemudian Imām Shāfi’i sebagai tokoh peletak dasar ilmu Us}ūl fikih dengan Qawl Qadīm dan Qawl Jadīd-nya memberikan kontribusi akan pleksibilitasnya hukum Islam dan perlu juga dimasukkan al-T}ūfi dengan konsep mas}lah}ah-nya, dan Ibnu Qayyim alJauziyyah seorang pemikir pertama yang secara eksplisit menyebutkan kaidah perubahan fatwa karena adanya perubahan zaman, pelbagai keadaan, adat dan niat dalam karyanya I’lām al-Muwaqi’īn. Yang terakhir adalah alShāt}ibī dengan konsep Maqās}id al-Sharī’ah-nya yang sangat terkenal dalam pemikiran hukum Islam.
10
C. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AL-QARAD}ĀWI DALAM MENJAWAB TUNTUTAN PERUBAHAN SOSIAL 1. Metode al-Qarad}āwi untuk Pemahaman Hukum Islam Kontemporer Al-Qarad}āwi menempatkan dirinya sebagai kelompok moderat di antara sikap ekstrem dan liar, dengan alasan sebagai sikap yang terbaik dan merupakan jalan tengah antara dua titik antara kelompok pemikiran yang ekstrem yakni antara kelompok tekstualis yang mengabaikan ruh dan asrar Sharī’at dan kelompok liberalis yang sebaliknya yang cenderung mengabaikan nash. Sikap moderat tersebut merupakan kebenaran yang realistis dan merupakan pijakan pemikiran Ibnu Taymiah yang menyatakan bahwa kebenaran itu pada yang riil bukan dalam angan-angan: Moderasi dan toleransi al-Qarad}āwi tersebut terlihat jelas ketika ia memunculkan istilah baru dalam diskursus ijtihād kontemporer, yakni istilah “Ijtihād Intiqāiy” dan “Ijtihād Inshāiy”. a) Ijtihād Intiqāiy/Tarjih
، اﺧﺘﻴــﺎر أﺣــﺪ اﻵراء اﳌﻨﻘﻮﻟــﺔ ﰲ ﺗﺮاﺛﻨــﺎ اﻟﻔﻘﻬــﻲ اﻟﻌ ـﺮﻳﺾ ﻟﻠﻔﺘــﻮى أو اﻟﻘﻀــﺎء ﺑــﻪ:اﻻﺟﺘﻬــﺎد اﻻﻧﺘﻘــﺎﺋﻲ ﺗﺮﺟﻴﺤﺎ ﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﻏﲑﻩ ﻣﻦ اﻵراء واﻷﻗﻮال اﻷﺧﺮى Memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqh Islam. b) Ijtihād Inshāiy
ﱂ ﻳﻘﻞ ﺑﻪ أﺣﺪ ﻣﻦ، اﺳﺘﻨﺒﺎط ﺣﻜﻢ ﺟﺪﻳﺪ ﰲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻣﻦ اﳌﺴﺎﺋﻞ:أﻣﺎ اﻻﺟﺘﻬﺎد اﻹﻧﺸﺎﺋﻲ ﻓﻨﻌﲏ ﺑﻪ وﻣﻌﲎ ﻫﺬا أن اﻻﺟﺘﻬﺎد اﻹﻧﺸﺎﺋﻲ ﻗﺪ ﻳﺸﻤﻞ، ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ اﳌﺴﺄﻟﺔ ﻗﺪﳝﺔ أم ﺟﺪﻳﺪة،اﻟﺴﺎﺑﻘﲔ ﺑﻌﺾ اﳌﺴﺎﺋﻞ اﻟﻘﺪﳝﺔ ﺑﺄن ﻳﺒﺪو ﻟﻠﻤﺠﺘﻬﺪ اﳌﻌﺎﺻﺮ ﻓﻴﻬﺎ رأي ﺟﺪﻳﺪ ﱂ ﻳﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﻋﻠﻤﺎء اﻟﺴﻠﻒ Adapun yang dimaksud dengan Ijtihād Inshāiy adalah pengambilan istinbāt} hukum dari suatu persoalan yang baru, yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik istinbāt} itu menyangkut masalah lama (dengan ’illat baru) atau masalah yang betul-betul baru. Itulah yang dimaksud Ijtihād Inshāiy, yang mencakup persoalan lama di mana seseorang
11
mujtahid kontemporer bekerja keras untuk mendapat istinbāt} hukum yang baru, yang belum ditemukan di dalam pendapat ulama salaf. Dalam praktiknya, kedua metode Ijtihād tersebut menurut alQarad}āwi terdapat beberapa aturan dan ketentuan pokok: 1) Tidak ada Ijtihād tanpa mencurahkan kemampuan; 2) Tidak ada Ijtihād dalam masalah-masalah yang bersifat qat}’i; 3) Tidak boleh menjadikan yang zhanni menjadi qat}’i; 4) Menggabungkan antara fiqh dan H}adīth, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara fuqaha dan muh}adīthin; 5) Waspada agar tidak mudah tergelinsir oleh tekanan realitas; 6) Mengantisipasi pembaruan yang bermanfaat dengan tidak menerima atau menolak hal-hal yang bersifat asing, tetapi menyeleksi terlebih dahulu; 7) Tidak mengabaikan perkembangan zaman; 8) Melakukan transformasi dari ijtihād individu kepada ijtihād kolektif; 9) Bersifat lapang dada terhadap kekeliruan mujtahid. c) Metode Masālik al-’Illat dalam Intiqāiy dan Inshāiy Dari uraian di atas belum terlihat secara jelas bagaimana rumusan masālik al-’illat dipakai serta bagaimana tekniknya dalam proses menentukan ’illat hukum untuk menetapkan suatu fatwa yang dilakukan oleh al-Qarad}awi dalam metode Intiqāiy maupun Inshāiy-nya. Namun ketika melihat contoh-contoh fatwa yang dikemukakannya tampak terlihat bahwa al-Qarad}awi berpegang pada rumusan masālik al-’illat sebelum ia menetapkan fatwanya. Hal ini seperti dalam disimak dalam kasus siapa yang berkewajiban membayar zakat, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah? Jika berpegang pada pendapat H}anafi, maka pemilik tanahlah yang wajib membayar zakat. Menurut H anafi, berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman. Demikian juga pendapat Ibrāhim alNakhhai. Mālik, Shāfi’i, al-Thaurī, Ibn al-Mubārak dan jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil 12
biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibn Rushd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya. Sementara al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan al-Rāfi’i berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka al-Qarad}āwi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan perolehannya. Pemilih tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihād yang demikian disebut Ijtihād Inshāiy. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan di zaman sekarang. Atas fatwa ini menunjukkan bahwa al-Qarad}āwi menggunakan metode al-Munāsabah, yakni menentukan ’illat dari yang paling pantas dan sesuai dengan pensharī’atan suatu hukum. Menurut alGhazali, metode al-Munāsabah ini ialah penetapan ’illat yang cocok dan memang terdapat persesuaian ketika dihubungkan pershari’atan hukum padanya. Metode al-Munāsabah ini merupakan langkah ke-4 dari 8 langkah dalam penetapan ’illat (masālik al-’illat) yang dirumuskan oleh para ahli Us}ūl klasik, yang diistilahkan oleh al-Ghazali dengan isbāt al-’illat, yakni yang membawanya kepada makna hukum yang dikehendaki (liannahā tawassul ila al-ma’na al-matlūb). Adapun delapan metode dalam masālik al-’illat tersebut yang telah dirumuskan ulama adalah sebagai berikut: Pertama, dengan menggunakan nas} al-Qur’ān dan al-Sunnah (dalil naqli). Terhadap ‘illat yang sarih} dapat dengan mudah diketahui, karena secara lafz}iyah disebutkan langsung oleh nas. ‘Illat yang sarih} biasanya diungkapkan atau ditunjukan dengan lafaz}-lafaz}: Liajli, min Ajli (demi untuk, karena untuk) dan lafal kay (agar, supaya). Kedua, melalui al-Imā’. Yang dimaksud dengan cara ini ialah upaya yang ditempuh untuk menemukan ‘illat dengan memperhatikan hubungan antara suatu ketetapan hukum dengan sesuatu sifat yang mendasarinya. Dengan kata lain, sifat ‘illat yang mendasari suatu ketetapan hukum tersebut 13
diperoleh melalui tanda yang disebut secara beriringan (bersama-sama) dengan ketetapan hukum dimaksud. Penyebutan sifat secara beriringan ini dipandang sebagai dasar (alasan) atas penetapan hukum tersebut, karena jika tidak demikian, tentu tidak disebutkan secara beriringan. Contoh: Sesungguhnya kucing itu bukanlah hewan yang najis karena ia selalu berada di sekeliling manusia.”(Sunan Ibn Majah, Juz I: 131). Dari h}adīth ini tidak tampak dengan jelas dan tegas apa yang menjadi ‘illat-nya. Akan tetapi, bisa dipahami bahwa pernyataan kucing ‘tidak najis’ (innaha laisat binajasin) dan dihubungkan dengan pernyataan bahwa kucing itu merupakan hewan yang selalu berada di sekeliling manusia, maka hal ini —yang disebut terakhir ini—mengindikasikan bahwa ia adalah sebagai ‘illat. Sebab, jika tidak demikian tentu tidak ada gunanya disebutkan secara beriringan. Ketiga, menetapkan ‘illat dengan Ijmā’. Berdasarkan praktek yang berkembangan di kelangan ulama Us}ūl, bahwa sesuatu yang sudah disepakati dapat dijadikan alasan (hujjah) untuk menentukan ‘illat, dengan melihat sifat atau keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap penetapan hukum. Contoh yang sering dirujuk oleh ulama Us}ūl dalam persoalan ini ialah jika seorang perempuan mempunyai dua orang saudara laki-laki, yang salah satunya saudara kandung dan yang lainnya saudara seayah, maka saudara laki-laki kandung lebih utama (didahulukan) dalam soal wali nikah. ‘Illat-nya ialah karena saudara laki-laki kandung lebih utama dari saudara laki-laki seayah dalam hak penerimaan harta waris. Keempat, menetapkan ‘illat melalui al-munāsabah. Yang dimaksud dengan cara ini ialah menentukan ‘illat apa yang paling pantas dan sesuai dalam penshari’atan suatu ketentuan hukum. Artinya, ‘illat (sifat) penshari’atan hukum itu didasarkan pada sesuatu yang dapat menciptakan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemadaratan. Tegasnya, seperti dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa al-munasabah ialah penetapan ‘illat yang cocok dan memang terdapat persesuaian ketika dihubungkan pershariatan hukum itu padanya. Kelima, dengan al-Daurān. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah meneliti dan melihat hubungan hukum dengan sifat (‘illat) yang menjadi dasar dari suatu ketentuan hukum. Artinya penshari’atan tidak terlepas dari adanya ‘illat yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, cara ini, seperti dijelaskan oleh Sabiq Hasan Khan, bahwa hukum itu ada karena ada ‘illat 14
dan hukum menjadi tidak ada karena ketiadaan ‘illat (Wa huwa an yujad alhukm al-wasf wa yartafi’ bi irtifa’ihi). Keenam, dengan cara apa yang disebut dengan al-sabr wa taqsīm. Yang dimaksud dengan cara ini ialah menghimpun sejumlah sifat yang terdapat pada suatu ketentuan hukum dan kemudian memilih mana yang paling tepat untuk dijadikan ‘illat. Al-Ghazali menegaskan bahwa cara ini adalah cara yang paling tepat untuk menentukan ‘illat hukum. Contoh: Ddalam sebuah hadīth disebutkan bahwa penukaran. (barter) pada enam macam benda (emas, perak, gandum, shair, kurma dan gandum) dengan cara yang tidak sama akan menimbulkan riba fadal. Menyatakan riba pada penukaran barang sejenis dengan cara tidak sama pada contoh yang disebutkan ini, ‘illat-nya tidak jelas. Sebab, gandum sebagai salah satu jenis dari enam macam benda—kadang-kadang sebagai makanan pokok dan makanan biasa. Jika gandum dianggap sebagai makanan biasa tidaklah tepat, karena riba bisa pula terjadi pada garam yang bukan makanan pokok. Jika gandum dianggap makanan pokok, juga tidak cocok karena riba terjadi pula pada emas dan perak yang bukan makanan pokok. Akhirnya, setelah meneliti semua sifat yang ada satu persatu secara seksama maka mujtahid berkesimpulan bahwa ‘illat yang paling tepat adalah takaran atau timbangan. Dengan demikian, penukaran (barter) pada enam macam benda dengan cara yang tidak sama jumlah atau takarannya—yang bisa menimbulkan riba fadal tersebut, ‘illat-nya ialah takaran atau timbangan. Ketujuh, dengan cara al-Shabah. Yang dimaksud dengan cara ini ialah upaya mencari kesamaan atau keserupaan ‘illat dengan yang lainnya. Dengan kata lain, al-shabah ialah mencari hubungan keserupaan ‘illat di antara dua hukum pokok yang berbeda—di mana satu sama lainnya mempunyai persamaan dalam hal tujuannya. Seperti soal wud}u’ dan tayamum adalah dua hal yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan, yaitu menghilangkan najis (izlat al-najasat). Kedelapan, dengan cara Tanqīh al-manāt. Prosedur ini ialah memilih dan mengambil salah satu dari sejumlah sifat ‘illat yang ditunjukan oleh nas} dan pengenyampingkan (membuang) yang lainnya, sehingga sifat ‘illat yang terakhir dijadikan sebagai ‘illat penetapan hukum. Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh Zaki al-Dīn Sha’ban bahwa dalam hadīth diceritakan, seorang laki-laki Arab telah menggauli isterinya pada siang hari 15
bulan Ramadan. Terhadap kasus ini Rasulullah menetapkan hukuman agar laki-laki Arab tersebut memerdekakan budak. Dalam kasus ini timbul masalah, yaitu apa yang menjadi ‘illat penetapan hukuman memerdekakan budak tersebut. Dari kasus ini ada beberapa kemungkinan sifat yang dapat dijadkan sebagai ‘illat, yaitu lakilaki Arab yang bersetubuh, menyetubuhi isteri dan bersetubuh di siang hari di bulan Ramadhan. Ternyata dua sifat yang pertama—laki-laki Arab yang bersetubuh dan menyetubuhi isteri—tidak dapat diterima, sebab hukum tidak hanya berlaku untuk orang Arab yang bersetubuh dan menggauli isterinya, tetapi berlaku bagi semua orang mukallaf dimana pun ia berada, tanpa membedakan jenis bangsa. Oleh karena itu, terhadap kasus yang disebut terakhir ini, maka alternatif terakhir yang bisa dijadikan sebagai ‘illat ialah bersetubuh di siang hari di bulan Ramadan inilah yang paling mungkin dijadikan sebagai ‘illat penetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dengan memerdekakan budak. Sebab, jika tidak demikian tentu tidak akan ada ketentuan hukum yang mewajibkan untuk memerdekakan budak. Dengan kata lain, persetubuhan di siang hari bulan Ramadan itulah yang menjadi sebab lahirnya ketetapan hukum wajibnya memerdekakan budak, karena jika persetubuhan tersebut dilakukan di malam hari tidak dilarang. Kedelapan langkah masālik al-‘illat di atas yang ditetapkan para ulama Us}ūl klasik kemudian diringkas menjadi 4 langkah oleh Us}ūl kontemporer dan dirumuskan secara sederhana dan praktis, seperti oleh Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Zaki al-Din Sha’ban, Khudari Beik dan Abd al-Karim Zaidan menetapkan hanya tiga cara, yaitu dengan nas} al-Kitab dan alSunnah, dengan Ijmā’ dan al-Munasabah, yang di dalamnya tercakup apa yang disebut dengan tahqiq al-manat, tanqih al-manat dan takhrij al-manat. Hanya saja, Khudari Beik menambahkan satu cara, yaitu al-daurān dan ia tidak menyebut al-munasabah, tetapi ia gunakan al-sabr wa al-taqsim. Selanjutnya, apakah al-Qarad}āwi dalam memberikan fatwa-fatwanya terlebih dahulu mengacu pada masālik al-‘illat sebagaimana yang telah dirumuskan ulama Us}ūl baik yang klasik maupun yang kontemporer? Maka jawabannya tentu harus ditelusuri terlebih dahulu, dan fatwa-fatwa tersebut disampaikan bukan dalam forum ilmiah melainkan kepada masyarakat umum, yang terkadang langsung disampaikan kepada mustafti (peminta fatwa) ketika acara TV berlangsung maupun dalam forum pengajian, atau siaran radio. 16
2. Orientasi Pemikiran Hukum al-Qarad}āwi dalam Menjawab Persoalan-Persoalan Kontemporer Adapun fiqh yang berorientasi pada persoalan-persoalan kontemporer, yang diistilahkan oleh al-Qarad}āwi sebagai Fiqh Jadid, bercirikan: a) Fiqh al-Muwazanah (fiqh keseimbangan), metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara mashlahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan keburukan. Menurutnya, sebuah kemadaratan kecil boleh dilakukan untuk mendapatkan kemashlahatan yang lebih besar, atau kerusakan temporer boleh dilakukan untuk mempertahankan kemash-lahatan yang kekal, bahkan kerusakan besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. b) Fiqh Waqi’i (Fiqh realitas), metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan umat, sehingga dapat menerapkan hukum sesuai tuntutan zaman. c) Fiqh al-Aulawiyat (Fiqh Prioritas), metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagaimana mendahulukan Ushūl daripada furu’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan lain-nya, ilmu pengetahuan sebelum beramal, kualitas daripada kuantitas, agama daripada jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad. d) Fiqh al-Maqāshid al-Sharī’ah, metode ini ditujukan bagaimana memahami nas}-nas} shar’i yang juz’i dalam konteks maqās}id al-Sharī’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya untuk melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. e) Fiqh al-Taghyīr (Fiqh Perubahan), metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan. Kelima orientasi hukum Islam yang sangat luwes, yang menekankan prinsip kemudahan dan keringanan tersebut, dinilai oleh banyak ahli sebagai gagasan asli Yusuf al-Qaradhawi dalam upayanya melakukan pembaruan pemikiran hukum, terutama dalam upaya menyikapi perubahan kemajuan zaman dewasa ini. Dalam Fiqh Waqi’ misalnya, al-Qaradhawi (1997) menjelaskan bahwa fiqh waqi’ ialah pengetahuan mengenai realitas yang sebenarnya, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Realitas ini penting dipahami karena, menurut al-Qaradhawi, pemahaman atas realitas 17
akan menjadi pertimbangan tentang bagaimana kita berhubungan dengan realitas: apakah realitas itu akan kita terima atau kita tolak? Menurut al-Qaradhawi, dalam Sirah Nabi Saw kita akan menemukan hukum yang tidak sama penerapannya dalam berbagai situasi, yang terjadi karena perbedaan realitas yang melatarbelakanginya. Misalnya, sikap Nabi Saw yang keras terhadap Yahudi Bani Quraizhah dengan sikap beliau yang lembut terhadap kaum musyrik Makkah saat Fathu Makkah. Karena itu, menurut al-Qaradhawi, para ulama menetapkan, fatwa itu bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan adat-istiadat, mengutip kaidah yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Latar belakangnya menurut al-Qaradhawi, bahwa sejak tahun 1950-an dan 1960-an, telah terjadi dua aliran paham yang tidak menguntungkan bagi upaya kebangkitan umat: pada satu sisi ada sikap berlebihan (ifrâth), sedangkan pada sisi lain ada sikap meremehkan (tafrîth). Sikap berlebihan, misalnya, tidak mengakui pendapat lain, keras, dan suka mengkafirkan. Sebaliknya, sikap meremehkan ialah sikap kaum liberal yang berfatwa tanpa landasan agama dan hanya mengikuti hawa nafsu. Karena itulah, perlu dihidupkan prinsip moderatisme (tawassuth) yang berintikan dua prinsip: (1) berasaskan kemudahan (taysîr) dan kabar gembira; (2) perpaduan salafiyah dan pembaruan (tajdîd). Maksud salafiyah adalah mengikuti sumber pokok, yakni al-Quran dan al-Sunnah; sedangkan pembaruan, maksudnya, adalah menyatu dan mengikuti za-man, tidak jumud (beku) atau taklid buta. Dalam rangka pembaruan itu, digagaslah fiqh al-wâqi‘. Menurut M. Siddiq, (2010), bahwa landasan fiqh al-wâqi‘ dapat dicermati dari manhaj al-Qaradhawi dalam berfatwa, yang diuraikannya dalam Al-Fatwa bayna al-Indhibâth wa al-Tasayyub (Ikut Ulama Yang Mana?, 1994). Dapat dilihat juga dari segi ushul fikihnya dalam kitab Taysîr al-Fiqh (Fikih Praktis, 2003). Manhaj al-Qaradhawi dalam berfatwa adalah: (1) melepaskan diri dari fanatisme mazhab dan taklid buta; (2) memberikan kemudahan (taysîr) dan keringanan (takhfîf), bukan memberikan keketatan (tasydîd) dan mempersulit (tas‘îr); (3) berfatwa dengan bahasa yang populer; (4) tidak menyibukkan diri kecuali untuk hal-hal yang bermanfaat; (5) mengedepankan ruh moderat (tawassuth), antara ifrâth dan tafrîth; (6) berfatwa dengan penjelasan dan syarh. Dalam kitab Taysîr al-Fiqh (2004), al-Qaradhawi menjelaskan dalildalil syariat yang melandasi fatwanya. Selain berpegang dengan 4 (empat) 18
dalil pokok (Al-Quran, al-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas), al-Qaradhawi juga berpegang dengan dalil al-Istihsân dan al-Mashâlih al-Mursalah. AlQaradhawi berpegang pula pada kaidah, “Adanya perubahan fatwa berdasarkan berubahnya zaman, tempat, dan kondisi.” Kaidah ini tampaknya sangat diutamakan dan ditonjolkan oleh al-Qaradhawi, yang bahkan secara khusus beliau jelaskan menjadi satu kitab tersendiri, yaitu kitab Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam (‘Awâmil as-Sâ’ah wa al-Murûnah fî alSyarî‘ah al-Islâmiyyah, 1993). Orientasi pemikiran hukum Islam yang terkesan ringan dan mudah tersebut bukan tanpa kritik. Bahkan Ahmad ibn Muhammad ibn Mansur al‘Adini, ulama salaf dari Yaman, mengeritik al-Qaradhawi dengan memakai judul buku yang tidak pantas: Raf’u al-Litsami ‘an Mukhalafati alQaradhawi li Syariat Islam, 2001, (Mengungkap Tabir Kebusukan alQaradhawi dalam bukunya Syari’at Islam). Sebelumnya, Syeikh Shalih ibn Fauzan dari Saudi Arabia, mengeritik buku al-Halal wa al-Haram fi al-Islam karya al-Qaradhawi, dengan bukunya: al-I’lam bi Naqd Kitab al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, 1975. Namun soal pro-kontra dalam dunia pemikiran nampaknya soal yang lumrah dan biasa. Bahkan pikiran-pikiran al-Qaradhawi banyak diterima dan juga fatwanya dinanti oleh dunia Islam Internasional. Al-Qaradhawi misalnya membenarkan sistem demokrasi dan tidak dianggap bertentangan dengan Islam, dan membolehkan bergabung dengan pemerintahan yang bukan Islam. Mengapa Islam dapat menerima demokrasi? Sebab, menurut al-Qaradhawi, substansi demokrasi adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan orang banyak untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Ini, menurutnya, sejalan dengan Islam, dan bahkan, berasal dari Islam itu sendiri. Sebab, Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai makmum. Jika dalam shalat saja demikian, apa lagi dalam urusan politik. Prinsip kedaulatan rakyat, kata al-Qaradhawi, tidak mesti dipertentangkan dengan kedaulatan Allah, selama tidak ada pertentangan di antara keduanya. Menurut M. Siddiq al-Jawi (2010), bolehnya bergabung dengan pemerintahan bukan Islam, menurut al-Qaradhawi, hukum dasarnya sebenarnya tidak boleh. Akan tetapi, al-Qaradhawi lalu keluar dari hukum dasar ini dan kemudian membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Alasannya: (1) tuntutan meminimalkan kejahatan dan kezaliman adalah menurut kesanggupan; (2) itu dilakukan untuk memilih kemadaratan yang 19
paling ringan; (3) karena melepaskan nilai tertinggi lalu turun ke realitas terendah; (4) ada prinsip pentahapan (tadarruj). Di kalangan umat Islam, ada yang mengharamkan demokrasi, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Maududi, dan Abdul Qadim Zallum; ada pula menghalalkan demokrasi, seperti Fahmi Huwaidi, Sulaiman ath-Thamawi, dan Abdul Hamid Mutawalli. Al-Qaradhawi cenderung pada yang mudah dan ringan, yakni yang menghalalkan demokrasi, yang sedang mendominasi realitas. Di kalangan umat ada ulama yang menghalalkan bergabung dengan sistem pemerintahan bukan Islam (yang menjadi realitas di tengah umat), ada pula ulama yang mengharamkannya. Al-Qaradhawi cenderung pada yang mudah dan gampang, yakni yang menghalalkannya, walaupun menurutnya pada dasarnya tidak boleh. 3. Fatwa-fatwa al-Qarad}āwi di Seputar Masalah Perubahan Sosial Dalam empat bidang yang diamati, yakni fatwa bidang sosial-budaya, sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan kedokteran, serta bidang sosial politik, pemikiran al-Qarad}āwi tersebut dengan memberikan ruang yang sangat dinamis bagi kemajuan hukum Islam dan kehidupan umatnya, seperti dapat dijelaskan sebagai berikut: (TERLAMPIR)
20
D. KONTRIBUSI YUSUF AL-QARADHAWI BAGI PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM Al-Qarad}āwi memandang bahwa teks hukum tidak boleh berubah, tetapi ‘illat hukum secara alami akan terus berubah dan bahkan bisa kembali kepada asalnya semula, maka fatwa hukum pun seharusnya demikian. Itu sebabnya, ulama fiqh sejak dulu telah mengusulkan bahwa hukum akan berlaku bersama ‘illat hukum itu sendiri (al-hukm yaduru ma’a ‘illatihi). Kaidah ini tampak dipegangi oleh al-Qarad}āwi dalam memberikan fatwa-fatwanya. Bahkan al-Qarad}āwi tampak mengikuti apa yang telah dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththāb yang berpegang pada ruh Sharī’at Islam, maupun mengikuti sikap al-Shāfi’i dengan konsep qawl qadim dan qawl jadid-nya, dan pandangan al-Shāthibi yang berpegang pada maqāshid al-Sharī’ah. Hal ini terlihat misalnya dalam memberikan fatwa tentang bolehnya wanita bepergian dengan tanpa ditemani oleh muhrimnya. Karena semula larangan itu karena ‘illat hukumnya keadaan sosial yang tidak memungkinkan seorang perempuan bepergian jauh karena keamanan tidak terjamin. Namun sekarang kondisi sosial telah berubah dan terjamin keamanannya. Karena itu dengan sendirinya larangan bepergian itu harus berubah pula bersamaan dengan berubahnya ‘illat hukum. Demikian pula al-Qarad}āwi mengikuti jejak dan pemikiran Najm alDīn al-Thūfi yang berpegang pada mashlahat dan berpegang kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang adanya perubahan kondisi sosial yang dipandang sebagai ‘illat baru dalam menentukan suatu hukum. Hal ini terlihat dalam memberikan fatwa tentang asuransi maupun fatwa-fatwa lainnya yang betul-betul baru seperti tentang transpalansi organ tubuh manusia. Karena itu kemunculan metode ijtihād kontemporer melalui metode intiqaiy dan inshaiy, yang disodorkan al-Qarad}āwi sekaligus sebagai kontribusi beliau bagi pengembangan hukum Islam kontemporer saat ini, tentu memunculkan manfaat yang sangat besar, baik dari segi metode maupun substansi pengembangan hukum, antara lain sebagai berikut: 1. Adanya metode Intiqāiy dan Inshāiy, yang kemudian disusul dengan lahirnya fatwa-fatwa al-Qarad}āwi yang merespon atas munculnya ‘illat baru dalam hukum Islam sebagai akibat dari adanya kemajuan zaman, maka dilihat dari aspek pengembangan ilmu Sharī’at, pemikiran alQarad}āwi di atas sangat relevan dengan kebutuhan kehidupan umat 21
2.
3.
4.
5.
Islam dewasa ini yang semakin kompleks dan membutuhkan justifikasi baru atas berbagai persoalan baru maupun persoalan lama dengan kondisi dan ‘illat yang baru. Dari aspek teori, metode Intiqāiy dan Inshāiy mampu menghilangkan perbedaan madhhab, baik perbedaan madhhab empat yang dominan dalam internal Sunni, maupun perbedaan antar Suni-Shi’ah. Karena dalam praktik atas kedua metode tersebut, sebelum mengambil istinbat} hukum, terlebih dahulu diharuskan menggali khazanah hukum yang telah ada dalam fiqh terdahulu, baik yang ada dalam fiqh suni maupun shi’ah. Dengan begitu, kedua metode tersebut akan mampu menggabungkan seluruh prinsip fiqh yang ada, yang terkadang berbedabeda. Munculnya kedua metode tersebut, tentu akan melahirkan kaidah us}ūl yang baru, atau menguatkan kembali kaidah lama sesuai dengan adanya ‘illat baru atas hukum itu. Adanya nilai-nilai komprehensif, yang terkandung dalam metode Intiqāiy dan Inshāiy ini, jelas menempatkan perubahan sosial sebagai wujud dari kemajuan teknologi dewasa ini, bukan merupakan ancaman bagi keterasingan hukum Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melainkan sebagai anugerah kehidupan yang harus dishukuri. Karena kemajuan identik dengan kemudahan. Terkait dengan kontribusi al-Qarad}āwi bagi pengembangan ilmu berfatwa, terutama berkaitan dengan penentuan ’illat (masālik al-’illat) sehingga fatwa itu kemudian diputuskan, al-Qarad}āwi mengisyaratkan berpegang pada rumusan yang telah dibuat oleh para ahli Us}ūl yang menetapkan sekurang-kurangnya pada tiga cara yaitu dengan nas} alKitab dan al-Sunnah, dengan Ijmā’ dan dengan al-Munasabah, yakni penetapan ‘illat yang cocok dan memang terdapat persesuaian ketika dihubungkan dengan penetapan hukum itu kepadanya.
E. PENUTUP Berbagai persoalan yang perlu mendapat pengujian kembali atas fatwa masa lalu maupun persoalan baru yang memerlukan fatwa-fatwa baru, sebagaimana mengacu pada pemikiran al-Qaradawi di atas antara lain: 1. Mengabaikan rukhsah karena tidak diperlukan lagi. 22
Aturan tentang rukhsah (keringanan) yang ditetapkan Allah bagi musafir, seperti salat bisa di-jama’ dan qasar, serta wudhu’ bisa diganti dengan tayamum. Rukhsah ini berlaku jika memang perjalanan itu ‘illat-nya seperti perjalanan yang terjadi dizaman al-Qur’an turun, yang penuh dengan kesulitan. Jika perjalanan yang dilakukan oleh manusia modern dewasa ini yang dalam faktanya penuh dengan kemudahan, bisa sambil tidur dan setiap saat bisa istirahat di setiap tempat, maka tampak tidak ada ‘illat yang bernama kesulitan itu, dan dengan begitu seharusnya hukumnya kembali ke asal. Jika bepergian dianggap sebagai ‘illat hukum, baik bepergian yang menyenangkan atau penuh kesulitan, sehingga bisa diberlakukan hukum rukhsah, maka tindakan ini dipandang tidak adil dan tidak rasional. Sebab sosial zaman lalu berbeda dengan sekarang. Zaman dulu bepergian itu identik dengan adanya unsur kesulitan, sementara sekarang, zaman telah jauh berubah. Demikian pula rukhsah bagi wanita yang melahirkan di mana pada zaman Rasul ditetapkan dan dibolehkan untuk meninggalkan salat selama 40 hari. Jika ketetapan ini terus berlaku, maka tampaknya ketetapan ini tidak rasional, sebab penanganan kelahiran dewasa ini jauh lebih maju dibanding pada zaman Nabi. 2. Peninjauan kembali ketentuan membayar zakat fitrah. Masyarakat muslim Indonesia secara tradisi, yang mungkin merupakan fatwa ulama tempo dulu, membayar zakat fitrah dengan ukuran beras, sebagai Qiyas dari makanan pokok gandum. Pengiyasan seperti itu dipandang kurang tepat karena yang dinyatakan dalam teks Syari’at zakat fitrah itu terlebih dahulu disebutkan dengan kurma, seperti Hadit Nabi menyatakan: “Zakat fitrah itu satu sa’ kurma, atau satu sa’sha’ir dari setiap kepala, atau satu sa’ bur atau gandum antara dua orang…” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Abd Allah bin Ta’labah. Bahkan Hadith-hadith tentang zakat fitrah yang diriwayatkan dan dijadikan dasar hukum oleh Imam al-Shafi’i dalam memberikan fatwanya, tidak menyebutkan bahwa zakat fitrah itu dengan gandum, melainkan dengan makanan secara umum (ta’am).
23
Zakat fitrah dengan memakai ukuran kurma seperti dijelaskan dalam Hadith di atas, jelas akan membedakan nilai harganya, jika dibanding dengan memakai ukuran gandum. Harga kurma yang standar, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah harganya, misalnya yang dijual di pasar-pasar di Indonesia yaitu: 40.000/kg x 2,5 kg (1 sa’) = 100.000/perorang, untuk setiap zakat fitrah. Sebaliknya, jika bersandar pada ukuran beras (gandum), adalah: 6.000/kg x 2,5 (1 sa’) = 15.000/perorang, untuk setiap zakat fitrah. Perbedaan ini jauh sekali, dan tentunya memiliki kadar paling rendah nilai ‘ubudiyah-nya. Alasan para ulama atas pengiyasan kepada beras dari gandum itu karena dipandang sebagai makanan pokok. Hal ini juga dipandang tidak tepat, sekalipun beras dan gandum memiliki kesamaan sebagai makanan pokok yang dapat mengenyangkan perut, tetapi makanan ini memerlukan makanan pendamping lainnya ketika dikonsumsi seperti lauk pauk dan sayuran, yang tentunya penyediaannya memerlukan biaya. Sementara jika diqiyaskan kepada kurma, yang sesungguhnya disebutkan paling awal dalam teks Hadith tersebut, maka makan kurma tidak memer-lukan makanan pendamping lainnya, seperti ikan dan sayuran, ia hanya cukup ditemani oleh segelas air. Demikian pula nilai gizi yang dikandung kurma jauh lebih tinggi dibanding dengan yang terdapat dalam gandum. Jadi, zakat fitrah dengan memakai ukuran kurma jauh lebih mendekatkan pada maqasid al-Syari’at zakat fitrah itu sendiri dibanding dengan zakat dengan memakai ukuran gandum. Apalagi sekarang berzakat fitrah dengan memakai ukuran kurma dan gandum sama-sama dalam praktiknya bisa dinilaikan kepada harga kedunya (diuangkan). Bukan dengan kedua jenis makanan itu sendiri. 3. Peninjauan kembali ketentuan ‘iddah wanita yang dicerai. Para ulama dengan segala otoritas yang dimilikinya telah menetapkan bahwa masa menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai suaminya adalah 3 bulan. Ketetapan ini berdasarkan tafsiran dari kata quru’, yang diartikan dengan tiga kali suci dari mestruasi (haid). Kata tersebut dinyatakan ayat: “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan din (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya…” (Q.S. al-Baqarah, 2: 288). Padahal kata quru’ bersifat ambigus atau mushtarakah (mempunyai arti lebih dan satu). Kata tersebut dapat berarti menstruasi (haid) dan dapat 24
pula berarti dalam keadaan suci (tuhr). ‘Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Talib, ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-Ash’ari, menafsirkan kata “aqra’“, yakni bentuk tunggal, mufrad dan kata quru’ itu dengan tafsiran menstruasi (haid). Tafsiran ini dipegangi pula oleh Sa’id al-Musayyab, Ata’, dan beberapa kelompok tabi’in serta sejumlah ahli hukum. Sementara itu, ‘Aishah, Zayd ibn Tabit dan Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa mereka menafsirkan kata “aqra’” yang terdapat pada ayat di atas dengan tafsiran masa suci serta di antara menstruasi (athar). Perbedaan tafsiran mengenai ayat hukum di atas menyebabkan perbedaan dalam penentuan ‘iddah bagi wanita yang dicerai. Menurut tafsiran pertama masa menunggu bagi wanita yang dicerai (‘iddah) itu adalah setelah selesai menstruasi ketiga. Sedangkan menurut tafsiran kedua, ‘iddah selesai dengan dimulainya menstruasi ketiga. Jadi, tafsiran pertama mengharuskan wanita menyelesaikan masa ‘iddah-nya itu selama tiga bulan penuh. Sedangkan tafsiran kedua menyatakan tidak harus selama tiga bulan penuh, yakni cukup pada waktu dimulai mestruasi ketiga saja. Bahkan Hadith da’if menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang dicerai itu cukup dua kali mestruasi saja. Ketentuan ‘iddah ini ‘illat hukumnya untuk mengetahui apakah wanita yang dicerai itu sedang mengandung janin dari suaminya atau tidak dalam keadaan mengan-dung. Jika diketahui sedang mengandung, ‘Umar bin Khattab melarang suami men-ceraikan istrinya dalam keadaan mengandung. Jika pun harus terpaksa bercerai, maka ‘iddah wanita yang dicerai dalam keadaan mengandung itu adalah hingga melahirkan. ‘illat tersebut sesungguhnya sudah bisa diketahui melalui bantuan teknologi kedokteran atau alat USG, apakah wanita itu mengandung atau tidak mengandung, dengan tidak harus menunggu hingga tiga kali quru’. Namun hikmah dibalik ketentuan itu, bisa jadi Tuhan masih memberi kesempatan kepada pasangan yang bercerai itu untuk bisa kembali lagi sebagai suami istri sebagaimana semula. Namun jika perceraian itu telah tiga kali dilakukan di mana telah terjadi talaq ba’in, yang tentunya tidak bisa kembali menikah, maka dengan bantuan teknologi kedokteran atau alat USG untuk mengetahui apakah istri yang dicerai itu dalam keadaan hamil atau tidak hamil, sepertinya tidak perlu menunggu hingga tiga kali mestruasi, melainkan cukup satu kali saja untuk membuktikan kebenaran diagnosis kedokteran yang menyatakan ketidak-hamilan perempuan yang dicerai itu. 25
Tentu kecanggihan alat kedokteran ini akan berhadapan dengan teks ayat yang menyatakan tiga kali quru’ seperti di atas, yang sesungguhnya ‘illat hukumnya untuk mengetahui keadaan rahim wanita yang dicerai itu apakah dalam keadaan hamil atau tidak hamil. Dalam fatwa tersebut terlihat bahwa al-Qaradawi mendukung kemajuan teknologi kedokteran. Karena itu seharusnya pula ketetapan tentang masa ‘iddah wanita yang dicerai itu pun yang ‘illat-nya untuk mengetahui hamil dan tidaknya wanita yang dicerai itu tidak bisa secara mutlak ditentukan harus selama tiga kali haid. Karena rahasia rahim wanita yang menjadi ‘illat bagi masa ‘iddah telah diketahui secara gamlang oleh teknologi kedokteran. Lagi pula bagi manusia modern sekarang yang lebih rasional, dalam memutuskan untuk bercerai biasanya didahului dengan proses pisah ranjang yang berbulan-bulan, yang tentunya tidak melakukan persetubuhan (junub) antara pasangan itu, yang bisa menyebabkan kehamilan. Pemikiran-pemikiran al-Qaradawi tersebut di atas merupakan wacana bagi reformasi pemahaman di bidang hukum Islam di masa mendatang, yang lebih arif dan bijaksana sebagai respon positif atas berbagai kemajuan teknologi yang telah dicapai manusia modern, terutama yang dialami dunia Barat dewasa ini, yang imbasnya tentu dialami pula oleh masyarakat muslim di mana pun berada. Wallahu a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, HM., Abstrak Disertasi: Telaah terhadap Kriteria al-Hakim dalam Menentukan Status H}adīth, Jakarta: Pascasarjana, IAIN Sharif Hidayatullah, 1995. Abdullah, M. Amin., Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Abu Zahrah, Muhammad., Us}ūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-Arābi, t.th. ’Abd al-Rahman al-’Ak, Shekh Khalid., Us}ūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, Beirut: Dār alNafāis, 1986. Ali, Abdullah., Model Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam, Bandung: Puslit IAIN Sunan Gunung Djati, 1998. Ali, Abdul Karim.,dkk., “Faktor Perubahan pendapat Imām al-Shāfi’i dari Qawl Qa-dim kepada Qawl Jadid,” dalam: Jurnal Sharī’ah. Vol. 16, No. 2, tahun 2008.
26
Athao Mudhhar, Muhammad., Fatwa-fatwa MUI: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993. Ali Engineer, Asghar., Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA, 2000. Anonimous, CD Hadīth al-Sharīf, Kutub al-Tis’ah, 2000. Anonomous, Himpunan Fatwa MUI, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Haji, Depag RI, 2003. Al-'Abadi, Abī T}ayyib Muhammad Shams al-Haqq al-Az}īm., 'Aun al-Ma'bud Sharh Sunan Abī Dawūd, jilid XI, Beirut: Dār al-Fikr, 1979. Al-Jurjani, Abi al-Hasan al-Husaeni., al-Ta'rifat, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1938. Al-Qattan, Manna Khalil., Mabāhis fi ’Ulūm al-Qur’ān, terj. Mudhakir AS, Jakarta: Pustaka Lentera Antarnusa , 1992. Al-Shāfi’i, Abū ‘Abd Allāh Muhammad bin Idrīs., al-Um, Mahmud Matraji, (ed.), Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, jld I, cet. II. 2009. Al-Shāt}ibī, Abū Ishāq., al-Muwāfaqāt fi Us}ūl al-Sharī’ah, jilid II, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1991. Al-Fatah, ‘Abd., Tarikh al-Tashri’ al-Islāmi, Kairo: Dār al-Ittihād al-‘Arābi, 1990. Al-Bukhāri, Abū ‘Abd Allāh Muhamamd bin Ismā’īl bin bin Ibrāhīm., Shahīh alBukhāri, Juz VIII, Semarang: Maktabah Wamathba’ah Usaha Keluarga, T.th. Al-Tirmīdhi, Abū Isa., Sunan al-Tirmīdhi, Yordan: Bait al-Afkār al-Dauliyah, 1999. Al-Nasāi, Abi Abd Allāh Ahmad ibn Shua’ib ibn Ali., Sunan al-Nasāi, Pentahqīq: Muhammad ibn Shalīh al-Rajikhi, Yordan: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 1999. Al-Shais, Ali., Nash`atu al-Fiqh al-Ijtihād wa at-T}awaruh, Beirut: Lajnah Buhūth alIslāmiyah, 1980. Al-‘Arābi, Abū Bakr bin ‘Abd Allāh bin., Ah}kām al-Qur’ān, juz III, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Al-Ghazāli, Abū Hamīd., al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usūl, jilid II, Beirut: Dār al-Kutub alIlmiah, 1983. Al-Shaukani, Irhād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min ‘Ilmi al-U}sūl, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Al-Fayumi, al-Misbah al-Munīr al-Gharib; al-Sharh al-Kabīr li al-Rāfī’i, Kairo: Maktabah al-Amiriyyah, cet. VI, 1965. Al-Nawāwi, al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab, Kairo; Maktabah Zakaria Ali Yūsuf, t.th. Al-Maqdisi, Faidullah al-Husni., Fath al-Rahmān, Beirut: Mathba’ah Ahliyah, 1323 H. Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim., I’Iām al-Muwāqqi’īn ‘an Rabb al-‘Alamīn, Beirut; Dār alFikr, 1977. -----------------, Manhaj Fikih Yusuf al-Qaradhawi, terj. Samson Rahman, Pustaka AlKausar: 2001. Al-’Asqalāni, Ibn Hajar., Fath al-Bāri, juz II, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. ----------------, Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Fikr, T.th. Anderson, JND., Law Reform in The Muslim Word, London: Univ; Of London The Athlon Press, 1976. Al-Suyūthi, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman., al-Asbah wa Al-Nadhāir fi al-Furu’, Dār alFikr: tth.
27
-----------, Jāmi’ al-Shaghīr fi Ah}adīth al-BaShīr al-Nad}īr, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. -------------, Tārikh al-Khulafā, Mesir: Dār al-Sha’bi, T.th. Al-Qasimi, Jamaluddin., al-Fatāwa fil Islām, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, t.tt. Amīn, Muhammad., al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islamīyah, dalam: http: //www. shareah.com/ index.php?/records/view/action/view/id/2483/ Al-Thu’alabi al-Fasi, Muhammad al-Hijawi ibn al-Hasan., al-Fikr al-Samīy fi Tarīkh alFiqh al-Islāmi, Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1977. Al-Zarqa,Muhammad.,Sharah al-Qawā’id al-Fiqhiyyat, Damaskus: Dār al-Qalam, 1989. Al-Halawi, Muhammad Abd al-‘Aziz., Fatawa wa Aqdhiyat Amiril Mukminin ‘Umar Ibn al-Khat}t}ab, terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1999. A-Nawawi, Muhyi al-Din Abu Zakariya., al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab, Beirut: Dār Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 2001. Al-Majdub,Muhammad.,'Ulamā wa Mutafakkirūn 'Araftuhum, Beirut: Dār al-Nafāis, 1977. Al-Khan, Mustafa Said., al-Kafi al-Wafi fī Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Beirut: Mu'assah alRisālah; 2000. Al-Shaukāni, Muhammad., Irshād al-Fuhūl ila Tahqīq al-Haq min Ilmi al-Usūl, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Arshad, M. Nathir., Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, bandung: Mizan, 1995. Al-Khatib, M. Ajaj., Us}ūl al-H}adīth ‘Ulumuhu wa Mus}t}alah}uhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1989. Anas, Mālik bin., al-Muwat}t}ā’, jilid II, Dār al-Fikr. T.th. Al-Manawi, Muhammad Abd al-Rauf.,Faid} al-Qadīr, juz IV, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Al-Ghazāli, Muhammad., al-Sunnah Nabawiyyah, Kairo: Dār al-Shuruq, 1989. Al-Zarqa, Musthafa Ahmad., al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, al-Fiqh al-Islāmi fi Thaubihi al-Jadīd, Damaskus: Dār al-Fikr, 1968. Al-Bukhāri, Muhammad bin Ismāil., Shahīh al-Bukhāri, jilid II, Tahqīq: Muhammad Dib al-Bugha, Beirut: Dār al-Ibn Kathīr, cet, III,1987. Al-Halawi, Muhammad ‘Abd al-‘Azīz., Fatāwa wa Aqdiyah Amīr al-Mu’minīn ‘Umar ibn al-Khaththtāb, terj. Wasmukan & Zubeir Suryadi Abdullah, Jakarta: Risalah Gusti, cet. I, 1999. Al-Albāny, Nāshir al-Dīn., Ghāyat al-Marām fi Takhrīj Ah}ādīth Halāl wa al-Harām, Dimshiq: al-Maktab al-Islāmi, cet. I, 1980. Al-T}ūfi, Najm al-Dīn., Risalah fi Ri’ayat al-Mas}lah}at, pentahqiq: Ahmad Abd alRahīm Sayikh, Mesir: al-Dār al-Mishriyah al-Lubnaniyah, cet. I, 1993. Al-Khurasyi, Sulaimān bin Shalīh., al-Qarad}āwi fī al-Mizan, Saudi Arabia: Dār al-Jawāb, 1999. Ash-Shiddiqi, T.M. Hasbi., Pokok-pokok Pegangan Imām Madhhab dalam Membina Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Anwar, Shamsul., Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian, Ke Arah Fiqh Indonesia: Mengenang Jasa Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Sharī’ah IAIN Sunan Kali Jaga, 1994. Al-Amīdi, Saif al-Dīn., al-Ih}kām fi Us}ūl al-Ah}kām, jilid III, Beirut: Dār al-Fikr, 1996. Al-Zuhaili, Wahbah., Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H/1986 M. Al-Qarad}āwi, Yūsuf., Al-Ijtihād wa al-Tajdīd Baina D}awābit} al-Sharī’yyah wa alHayat al-Mu'ās}irah, Majallat al-Ummah, No. 45, 1985.
28
-------------, Silsilah Rasāil Tarshīd al-Shahwat: Mustaqbal al-Us}ūliyah al-Islamīyah, Beirut: al-Maktab al-Islamī, cet. III, 1418 H/1998 M. -------------, al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islāmiyah, dalam: http://www.scribd.com/ doc/28241941/ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ-اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ-ﻓﻰ-اﻻﺟﺘﮭﺎد-اﻟﻘﺮﺿﺎوي-ﯾﻮﺳﻒ -------------, al-Ijtihād fi al-Sharī’at al-Islāmiyah, ma’a Naz}rāt Takhlīliyat fi al-Ijtihād al-Mu’ās}ir, Kuwait: Dār al-Qalam li al-Nashr wa al-Tauzī’, cet.III, 1999. ------------, Awāmil al-Sittah wa al-Murunah fi al-Sharī’ah al Islāmiyyah, Kairo: Dār alShahwah, 1985. ------------,Tafsīr al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fadilah, 1987. ------------, Nahwa Wahdah Fikrah li al-Islām, Kairo: Maktabah Wahbah, 1991. ------------, Al-Marja'iyah al-'Ulya fi al-Islām li al-Qur'ān wa al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992. -------------, Al-Fatwa Bainal Ind}ibāt} wa al-Tasayyub, Maktabah Wahbah: cet. III, 1993. ------------, Ijtihād al-Mu'ās}ir Baina al-Ind}ibāt} wa al-Infirāt}, Dār al-Tauzi wa alNashr al-Islāmiyah, 1994. ------------, Taisīr al-Fiqh li al-Muslim al-Mu'ās}ir, Kairo: Maktabah Wahbah, 1999. -------------, Madkhal li al-Dirāsat al-Sharī’ah al-Islāmiyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001. ------------, Min Hadyi al-Islam: Fatāwa Mu’ās}irah, 3 jilid, Kuwait: Dār al-Qalam: 2005. ------------, Al-Halāl wa al-Harām, Kairo: Maktabah Wahbah: 2007. ------------, Mujibat Taghayyur al-Fatwa fi ‘Asrina, Ttp: Dār al-Shurūq, cet. II, 2008. ------------, Al-Siyāsah al-Shar’iyyah fi D}aui’ Nus}ūs} al-Sharī’ah wa Maqās}idiha, Kairo: Maktabah Wahbah: t.th. ------------, Al-Fiqh al-Islāmy Bain al-As}alah wa al-Tajdīd, Kairo: Maktabah Wahbah, 2003. ------------, Kaifa Nata’āmalu ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, terjemahan M. al-Baqir, Bandung: Karisma, 1993. ------------, Umat Islam Menyongsong Abad ke-21, Solo: Era Intermedia, cet.I, 2001. ------------, MaSharakat Berbasis Sharī’ah Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak, Alih bahasa oleh Abdus Salam MaShkur (Solo: Era Intermedia, cet. I, 2003. ------------, Perjalanan Hidupku I, Penterjemah: Cecep Taufikurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kauthar, 2003. ------------, Ijtihād Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, alih bahasa oleh Abu Barzani, Surabaya: Risalah Gusti 1995. Baiquni, Achmad., makalah seminar: Etos Kerja dan Iptek Masa Depan, Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1993. Baz, Abd Allāh bin., Fatāwa Islāmiah, Riyadh: Dār al-Wathan li al-NaShr, 1413 H. Cawang, Robert M. Z., Materi Pokok Sosiologi, Jakarta: Dekdikbud, 1985. Cowan, J. Milton., (ed.), Hens Wehr, Dictionary of Modern Writen Arabic, London: George Allen and Unwin, Cet.III, 1997. Dawis, Muhammad.,& Hamid Shadiq, Mu'jam Lughat al-Fuqaha,Tp: Dār al-Nafāis, 1985. Dāwūd, Abū., Sunan Abī Dāwūd, tahqīq: Muhammad Muhyi al-Dīn Abd al-H}amīd, Beirut: Dār al-Fikr, t.th. Dahlan, Abdul Aziz., (Eds.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid. I, Jakarta: Ichtiar Baru Han Hoeve, Cet. IV, 2000.
29
Djazuli, A., dan I. Nurol Aen, Us}ūl Fiqh, Jakarta: Rajawali Press, 2000. Djamil, Fathurrahman., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos: 1997. ----------------, “Hukum Perjanjian Sharī’ah,” dalam Komplilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. ----------------, “The Muhammadiyah and The Theory of Maqashid al- Sharī’ah”, Studia Islāmika, II, I, 1995. Faidullah, Muhammad Fu'ad Fauzi., al-Ijtihād fi al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Kuwait: Maktabah Dār al-Turāth, 1988. Fauzan, Shalīh bin., al-I’lām bi Naqdi Kitab al-Halāl wa al-Harām, (Riyādh; Mathba’ah Imām Muhammad bin Sa’ud al-Islāmiyyah; 1396 H. Ghazāli, Abdurrahman., Ijtihād Kontemporer dalam Pandangan Yusuf al-Qaradhawi, Tesis Magister Agama, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif Hidayatullah,1996. Hassan, Ahmad., The Early Development of Islāmic Juriprudence, Edisi Indonesia, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka Salman, 1984. Hassan, A., Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, 4 jilid, Bandung: CV. Diponegoro, 1997. --------------“Risalah Riba” dalam Kumpulan Risalah A. Hassan, Bangil: Pustaka Elbina, 2005. Hassan, Abdul Qadir., Kata Berjawab: Soal Jawa Berbagai Masalah Agama, jilid 1-5, Bangil: Yayasan Almuslimun, 1991. Haroen, Nasrun., Ijtihad Ibnu Qayyim Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perpustaka-an Pascasarjana UIN Jakarta, 1995. Hakim, Abdul Hamid., Mabadi Awaliyah, Padang Panjang: Penerbit Shamsial, t.th. Hornby, A.S., Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford Uneversty Press, 1980. Hidayat, Komaruddin., Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996. Hooker, HB., Islam Madhhab Indonesia, Bandung: Mizan, 2003. Haekal, Muhammad., Hayah Muhammad, Jakarta: Tinta Mas, 1984. Hosen, Ibrahim., “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Haidar Baqir dan Shafiq Basri (Eds.), Ijtihād dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988. Hazm, Ibn., al-Muhālla, juz VII, Kairo: Maktabah Jumhuriyyah al-’Arābiyyah, 1968. Ibnu Kathīr, Abū al-Fida Ismā’īl., Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, Jilid I, (Pentahqīq: Sami bin Muhammad al-Salamah), Ttp: Dār al-Thayyibah, tth. T.th. Iska, Shukri., "Pemikiran Fiqh al-Auliyyat Yusuf al-Qaradhawi " Tesis Magister Agama, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif Hidayatullah,1996. Ismail, Shuhudi., H}adīth Nabi Menurut Pembela, Pengikar dan Pemalsunya, Jakarta Gema Insani Press, 1995. Iqbal, Muhammad., Reconstruction of Religious Thought Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981. Khaeruman, Badri., Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’ān, Bandung: Pustaka Setia, 2004. -------------------, dkk, “Responsible Citizen’s Democracy”, lihat Bab 1: Demokrasi sebagai Sistem Sosial Politik MaSharakat Dunia, Bandung: Iris Press, 2008.
30
Ka’bah, Rifyal., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yasri, 1996. Kontjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: UI Prees, 1964. Khallaf, Abd al-Wahab., ’Ilm al-Us}ūl al-Fiqh al-Islāmi, Kuwait: Dār al-Qalam, 1978. Khaldun, Ibnu., Al-Muqaddimah, Mesir: al-Bahaiyah, t.th. Mahmas}ani, Subhi., Falsafat al-Tashrī’ al-Islāmi, Beirut: Dār al-Malayyīn, 1961. Malaikah, Musthafa., Fi Us}ūl al-Da’wah Mustaqimat min Kitab Yusuf al-Qaradhawi, terjemah Samson Rahman, Jakarta Timur: Pustaka al-Kaisar, cet. I, 2001. Masud, Muhammad Khalid., Filsafat Hukum Islam, terjemah Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1996. Mubarok, Jaih., Modifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. -----------, Ijtihād Kemanusiaan, di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani QuraiSh, 2005. Mūsa, Yūsuf., al-Fiqh al-Islāmi Madkhal li-Dirāsatih, tt.: t.p., 1958. Mahfudh, Sahal., Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKS, 1994. Mamun, Sukron., Studi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Ide-ide Demokrasi Dalam Islam, Tesis Magister Agama Islam, Jakarta: Perpustakaan Pascasa-rjana UIN Sharif Hidayatullah, 2005. Magestari, Noerhadi., “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya” dalam: Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antradisiplin Ilmu, Mastuhu (Eds), Jakarta: Pusjarlit, 1998. Madjid, Nurkholish., “Konsep Asbāb al-Nuzūl Relevansinya bagi Pandangan Histo-risis Segi-segi Tertentu Ajaran Keagamaan,” dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994. Muhammad, Afif., Model Penelitian tentang Pemikiran, Bandung: Puslit IAIN Sunan Gunung Djati, T.th. Madani, Muhammad., Mawathin al-Ijtihād fi al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Kuwait: alMaktabah al-Manār, t.th.. Mukhlis, Bahar., Metode Ijtihād Yusuf al-Qaradhawi dalam Masalah-masalah Kontemporer, Disertasi Doktor, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif Hidayatullah, 2001. Nuswantari, Dyah., (ed.), Kamus Saku Kedokteran Dorland, Jakarta: EGC,1998. Manz}ur, Ibn., Lisān al-'Arāb, Juz IV, Mesir: Dār al-Mishriyyah, t.th. Nuruddin, Amiur., Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khat}t}ab, Jakarta: CV Rajawali, 1991. Nasution, Harun., Kedudukan Akal dalam Islam, Jakarta: Yayasan Idayu, 1979. Nu’man, Farid., al-Ikhwan al-Muslimin, Sebuah Koreksi Bijak dan Tuntas atas Tuduhan Fitnah dan Celaan tak Pantas terhadap Manhaj dan Tokoh-tokohnya, Depok: Pustka Nauka, 2004. Praja, Juhaya S., Teori-teori Hukum, Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat, Bandung: Pascasarjana, UIN, 2009. -----------------, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya: Latihifa Press, 2009. -----------------, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002. Quthb, Sayid., Nahwa Mujtami' al-Islāmi, Bandung, terjemahan Mu'ti Nurdin, Masyarakat Islam, PT Alma'arif, cet. Ke-3, 1983.
31
Qadir, Abdurrahman., "Pembaharuan Hukum Islam: Studi Pemikiran Yūsuf al- Qarad}āwi tentang Zakat Profesi", Tesis Magister Agama, Jakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Sharif Hidayatullah,1990. Rusli, Nasrun., Konsep Ijtihad Al-Shaukani, Jakarta: Logos, 1999. Rofiq, Ahmad., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,Yogyakarta: Gama Media, 2001. Rahman, Fazlur., Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious, Thaought in Islam, New Delhi: Ktab Bavan, 1981. Ramali, Ahmad., dan K. St. Pamoentjak, Ensiklopedi Indonesia I, Abortus, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980. --------------, dan K. St. Pamoentjak, Kamus Kedokteran, Jakarta: Djambatan, cet. XXI, 1996. Rakhmat, Jalaluddin., Rekayasa Sosial: Reformasi, Refolusi atau Manusia Besar?, Cet. II, Bandung: Rosda Karya, 2000. -----------, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh, Bandung: Muthahari Press. 2002. Sharīf al-Dīn, Abd al-Azīm., Ibn Qayyim al-Jauziyah Asruhu wa Arā’uhu fi al-Fiqh wa al-Aqā’id wa al-Tas}awuf, Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-Azar, 1967. Shaltūt, Mahmud., al-Islām ’Aqīdatu wa Sharī’atu, Beirut: Dār Shuruq, 1983 Cet, 11. --------------, al-Fatāwa, Kairo: Dār al-Shurūq, cet. Ke-18, tahun 2004. Shani, Abdul., Sosiologi dan Perubahan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. -----------------, Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Sugihen, Bahrein T., Sosiologi Pedesaan, Jakarta: Grafindo Persada, 1996. Sa’dawi, Amru Abd al-Karim., Qad}āya al-Mar’ati fi Fiqh al-Qarad}āwi, terjemahan Muhyiddin Mas Rida, Jakarta Timur: Pustaka al-Kauthar, 2009. Suramatputra, Ahmad Munif., Problematika Hukum Islam Kontemporer, edt. Chuzaimah T. Yanggo, Jakarta: LSIK, 1997. Sukarja, Ahmad., Problematika Hukum Islam Kontemporer, editot: Chuzaimah T. Yanggo, Jakarta: LSIK, 1997. Suma, Muhammad Amin., Ijtihād Ibnu Taimiyah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Suriasumantri, Yuyun S., “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Baru”, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antradisiplin Ilmu, Mastuhu (Eds.), Jakarta: Pusjarlit, 1998. Sharifuddin, Amir., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990. Suyatman, Ujang., Konsep Qath’i dan Zahnni dalam Hukum Islam, Jurnal Spektrum, No. 1, tahun 2003. Shihab, Quraish., Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996. Shafruddin, Rif'an., Ijtihād Kontemporer dalam Perspektif Yusuf al-Qaradhawi, Antasari: Tesis IAIN Antasari, 2004. Soekanto, Soerjono., Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI Press, 1975. ----------------, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1986. ----------------, Sosiolog Hukum, Jakarta: UI Prss, 1988. Schacht, Joseph., Studia Problems of Modern Islāmic Legislation Islāmica, vol.12,1960.
32
-----------------, An Introduction to Islāmic Law, London: Oxfrod at the Clerendon Press, 1971. Siradj, Said Aqiel., Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999. Taymiah, Ibnu., Majmū’u Fatāwa, juz 30, Jami’ wa tartib: Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qāsim dan Sa’ad bin Muhammad, Madinah al-Munawarah: Waqaf Raja Fahd, 1425 H./2004. Talimah, Isham., al-Qarad}āwi Faqihan,Tp: Dār al-Tauzi wa al-Nashar al-Islāmiyyah, T.th. Thahhān, Musthafa Muhammad., Menuju Gerakan Islam Modern, terj. Jasiman, Jakarta: Gramedia, 2000. Uways, Abdul Halim., Fikih Statis Dinamis, terj. A. Zarkasi Humaidi, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Wensink, A.J., Mu’jam al-Mufah}ras li Alfaz} al-H}adīth al-Nabawi, jilid V, Leiden: Maktabah Brill, 1969. Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Studi Pemikiran Najmuddin al-Thūfi, Yogyakarta: UII Press, 2000. Yamani, Ahmad Zaki., al-Sharī’ah al-Khalidat wa Mushkilat al-‘Ashr, terjemahan KMS. Agustjik, Sharī’ah Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, 1977. Zaid, Mushtafa., al-Mas}lah}at fi al-Tashrī al-Islāmi wa Najm al-Dīn al-T}ūfi, Ttp: Dār al-Fikr al-‘Arabi, cet. II, 1964. Zahrah, Abū., Ibn Taimiyah; Hayatuh wa 'Asruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Kairo: Dār alFikr al-'Arābi, t.th. ------------------, Us}ūl Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1957.
33