Konsep Sanksi dalam RUU-AP (Suatu upaya penguatan pelaksanaan putusan PTUN) Oleh: Umar Dani* A. PENDAHULUAN Polemik seputar pelaksanaan putusan pemidanaan terhadap Susno Duadji menunjukkan betapa pentingnya ketegasan rumusan norma dan perangkat pelaksananya, meskipun dihadapkan kepada perdebatan mengenai keabsahan putusan pengadilan oleh terpidana dan didukung pengacara serta beberapa tokoh hukum yang berpengaruh, namun institusi kejaksaan selaku eksekutor tetap melaksanakan putusan pengadilan untuk mempertahankan wibawa hukum dan wibawa institusi kejaksaan itu sendiri sebagai lembaga penegak hukum, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa hukum itu tegas dan pemberlakuannya tidak kenal kompromi terhadap siapapun, ketegasan hukum tersebut tidak terlepas dari tanggungjawab institusi-institusi yang diberikan amanah dalam rangka penegakannya. Dalam konteks ini institusi pengadilan (pidana) tidak dalam posisi sebagai pelaksana putusan sehingga terlaksana atau tidak terlaksananya putusan (putusan yang eksekutabel) menjadi tanggungjawab institusi lain, demikian juga pengadilan tata usaha negara (PTUN) tanggungjawab pelaksanaan putusan tidak bisa dibebankan kepada pengadilan, apabila putusan tidak dipatuhi maka harus ada lembaga yang bertanggung jawab, lembaga yang bertanggungjawab inilah yang sepantasnya dilekatkan dengan istilah “macan ompong” ketika putusan pengadilan tidak dijalankan, atau setidak-tidaknya peraturan yang tidak tegas atau legislatornya yang pantas menyandang predikat “macan ompong”. Konsep tentang sanksi administrasi dengan sanksi pidana memang berbeda, sanksi pidana dijatuhkan selalu berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan sanksi administrasi bukan atasa dasar putusan pengadilan melainkan dari instansi pemerintahan sendiri, PTUN hanya diberi wewenang sebatas menilai keabsahan *
Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
(menilai dari segi hukum/rechmatigheid) surat keputusan pejabat, akan salah kiranya berpikir bahwa PTUN berwenang memberikan jenis sanksi langsung kepada pejabat atas kesalahannya dalam membuat keputusan, pengadilan hanya berwenang menegaskan dan/atau menyatakan bahwa keputusan pejabat yang bersangkutan batal atau tidak sah dan karenanya secara hukum keputusan tersebut haruslah dicabut, kewajiban mencabut keputusan yang dibatalkan tersebut bukanlah bentuk sanksi yang sesungguhnya melainkan konsekuensi terhadap keputusan yang cacad, pada posisi tersebut pajabat yang bersangkutan tidak dalam kapasitas dirugikan ataupun disandera kebebasannya untuk melakukan tugas dan fungsinya selaku pelayan publik, konsep sanksi mulai lahir ketika badan/pejabat TUN tidak mau melaksanakan putusan pengadilan, ancaman dan jenis sanksinya juga terlepas dari isi putusan pengadilan tapi merupakan sanksi baru yang akan dijatuhkan secara intern institusi itu sendiri. Hukum acara PTUN sebenarnya telah mengatur tentang sanksi terhadap badan atau pejabat TUN yang ingkar terhadap putusan PTUN, namun pengaturan tersebut tidak konkrit dan tidak tuntas karena masih menggantungkan pada aturan pelaksana yang sampai sekarang belum terealisasi, kondisi demikian memberi peluang bagi pejabat untuk tidak mematuhi putusan PTUN karena tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan jika tidak patuh, situasi inilah salah satu faktor yang melatarbelakangi gagalnya penegakan hukum administrasi di Indonesia, diperparah lagi timbulnya istilah pembangkangan pejabat tersebut sudah membudaya sehingga pejabat sudah tidak malu ketika tidak mematuhi putusan PTUN kerana dianggap lumrah, kerap kali ditemukan dibebarapa pertemuan ilmiah menempatkan budaya hukum pejabat sebagai salah saru kendala pelaksanaan putusan PTUN, istilah demikan tentunya tidak tepat karena budaya hukum adalah sikap dan perilaku menurut hukum, sedangkan prilaku pejabat tersebut adalah sikap dan perilaku yang betentangan dengan hukum. Sanksi tegas merupakan jalan satu-satunya sarana efektif memaksa orangorang yang berada dibalik jabatan untuk patuh terhadap hukum, manusia cenderung
mematuhi hukum apabila ada sanksi yang nyata, suatu undang-undang tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan saja tapi harus disertai sanksi nyata. Hakikatnya badan atau pejabat TUN harus menjadi contoh yang baik disegala tindakannya karena orang yang menduduki jabatan adalah orang-orang pilihan yang dipercayakan negara atas kemampuan, intregritas dan keprofesionalannya dalam mengembankan amanah, oleh karenanya jabatan tidak dapat dipisahkan dari pemangkunya, terhadap jabatanpun harus diberi perlindungan dari orang-orang yang tidak professional, salah satunya adalah dengan memberi sanksi yang tegas ketika pemangkunya unprofessional, selama ini perlindungan terhadap keprofesionalan jabatan masih digantungkan dari rumusan kode etik atau etika jabatan yang tersebar di profesi masing-masing secara sektoral dan cenderung tidak mengandung sanksi yang tegas, oleh karenannya perlu dirumuskan etika administrasi negara secara khusus dalam rangka penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sudah saatnya pejabat administrasi diberi rambu-rambu yang tegas dalam pelaksanaan tugasnya, bila tidak, penyalahgunaan kewenangan atau kesewenangwenangan akan menjadi biasa dalam memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, di Indonesia rambu-rambu itu mulai disusun dalam RUU-AP yang masih digodok oleh pemerintah, permasalahannya adalah apakah RUU-AP memberikan sanksi yang tegas ketika pejabat TUN tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN? Pertanyaan tersebut akan diuraikan dalam pembahsan berdasarkan draf terkahir RUUAP. B. PEMBAHASAN Penguatan eksekusi PTUN dimulai dari revisi undang-undang peratun, rumusan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 ternyata tidak efektif karena tidak adanya upaya paksa yang dapat diterapkan, pelaksanaan putusan tergantung sepenuhnya kepada kesadaran pejabat TUN model seperti ini diistilahkan dengan floating execution, kemudian perubahan kesatu dan kedua undang-undang peratun model floating execution diganti dengan model fixed execution yaitu eksekusi yang pelaksanaannya
dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yaitu dengan ancaman pengenaan uang paksa dan/atau sanksi administrasi serta diumumkan di media massa cetak, di samping itu ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Pasal 116 ayat (7) UU No. 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan”, permasalahnnya adalah pemerintah (Presiden) telah lalai dalam melaksanakan perintah undang-undang, kelalaian tersebut sangat merugikan pencari keadilan karena pelaksanaan mengenai besaran uang paksa dan jenis sanksi admnistrasi belum diatur sehingga tidak dapat diterapkan. Ada satu hal yang menarik dalam tahapan pelaksanaan putusan yang diatur dalam UU No. 51 Tahun 2009 yang tidak diadopsi dalam RUU-AP yaitu dalam keadaan pejabat tidak mau melaksanakan putusan PTUN maka Ketua Pengadilan diharuskan mengajukan permasalahan tersebut kepada Presiden selaku kepala pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk melakukan fungsi pengawasan. Ini suatu keadaan yang sangat istimewa Presiden secara atributisi ditempatkan sebagai pihak ketiga dalam rangka pelaksanaan putusan PTUN, namun sayang masalah yang selama ini terjadi adalah seringkali yang menerima dan menindaklanjuti permasalahan yang diajukan tersebut bukan Presiden secara langsung padahal itu perintah undang-undang secara atribusi, dan tindak lanjut dari presiden tersebut biasanya tidak dalam bentuk perintah secara tegas, kemudian tidak ada follow up ataupun pengawasan atas surat tanggapan dari presiden padahal upaya penyerahan kepada Presiden merupakan upaya terakhir dalam sistem eksekusi di PTUN, pada akhirnya karena tidak ada pengawasan secara khusus dari Presiden persoalannya pun
menjadi bias tanpa ada kepastian, ketika pencari keadilan menuntut haknya Ketua Pengadilanlah yang menjadi sasaran luapan emosi. Kalau memang Presiden dan DPR menyadari tugas yang dibebankan kepadanya, sudah sepantasnya untuk mengisi kekosongan hukum terkait pelaksanaan putusan PTUN dibentuk suatu lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden khusus menangani masalah pelaksanaan putusan PTUN, lembaga ini akan efektif dan berfungsi karena akan mengurus tingkahlaku pejabat se Indonesia yang berpotensi membangkang terhadap putusan PTUN, namun sayang kewenangan tersebut tidak menjadi prioritas Presiden, persoalan yang melukai rasa keadilan masyarakat sepertinya dibiarkan tanpa ada solusi yang tepat. Negara hukum kita memang unik, dan mempunyai cirikhas tersendiri untuk itu hukumnyapun harus bercirikhas tersendiri pula, selama ini hukum TUN yang diterapkan berkiblat kepada negara yang maju yang belum tentu sesuai dengan watak pejabat birokrasi di Indonesia. Sepertinya kita sudah kaya dengan pengalaman jika pelaksanaan putusan PTUN sepenuhnya disreahkan pada niat baik pejabat TUN, model seperti ini nampaknya sudah gagal, kenapa tidak mencoba dengan model baru seperti di Negara Turky yang memberikan sanksi pidana terhadap pejabat yang tidak patuh terhadap putusan PTUN, model ini cukup relevan sebagai pedoman dalam membenahi ego pejabat yang berlindung dibalik kekuasaan. Perkembangan konsep teori-teori administrasi negara tidak terlepas dari pilosofi yang melatarbelakangi berdirinya suatu negara, jadi tidak salah jika Indonesia melahirkan konsep administrasi sendiri yang mengedepankan Pancasila sebagai landasannya, karena pada sila kelima menyebutkan “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”, ketika pejabat TUN tidak melaksanakan putusan PTUN berarti dia tidak menghayati sila kelima tersebut, untuk itu perlu hukum tersendiri untuk membangun kesadaran hukum pejabat TUN dalam melaksanakan kewajibannya. Sebenarnya ketentuan dalam UU No. 51 Tahun 2009 sudah jelas secara normatif Presiden mempunyai tanggung jawab terhadap pelaksanaan putusan PTUN, dan negara membutuhkan lembaga yang tegas untuk menindak ketidak patuhan
aparat pemerintahan kepada hukum, jika ketegasan tersebut diwujudakan maka wibawa pengadilan akan terjaga, oleh karena ketegasan tersebut belum terealisasi maka masyarakat masih menggantungkan harapan sampai disahkannya RUU-AP menjadi undang-undang. Di tengah pesimisnya pendangan masyarakat terhadap eksistensi peradilan tata usaha negara, pemerintah mulai menampakkan keseriusannya untuk membenah sistem admanistrasi di Indonesia secara bertahap melalui RUU-AP walaupun sebenarnya usaha itu sudah sedikit terlambat, selama ini pembentuk undang-undang masih berkutat merumuskan norma yang tepat untuk menjerat atau menghukum pejabat yang tidak patuh terhadap putusan PTUN dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, usaha itu akan sia-sia karena peradilan tata usaha negara tidak seperti pada peradilan pidana yang memiliki lembaga khusus menangani masalah eksekusi. Pada peradilan pidana kejaksaan sebagai lembaga eksekutor bersikap tegas dan bertanggungjawab atas pelaksanaan putusan, sedangkan di peradilan tata usaha negara eksekutornya adalah pejabat itu sendiri, dengan demikian penempatan norma sanksi yang tepat bukan pada hukum acara karena terkadang pejabat TUN merasa tidak tunduk kepada hukum acara peradilan tata usaha dalam pelaksanaan putusan melainkan kembali keadminitrasi institusi masing-masing, seharusnya rumusan sanksi bagi pejabat tersebut dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar jabatannya secara sektoral, jika itu kepala daerah maka sanksi yang tepat ketika tidak melaksanaknakan putusan PTUN dimuat dalam undang-undang tentang otonomi daerah, jika itu pejabat pertanahan maka sanksi yang tepat diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pertanahan dan lain sebagainya, dengan demikian mereka dipaksa oleh hukumnya sendiri untuk patuh pada putusan PTUN. Memang tidak mudah untuk merusmuskan sanksi disetiap undang-undang publik secara sektoral (bijzondere bestuurswetten) dan membutuhkan waktu yang panjang, namun setidaknya penempatan sanksi tersebut harus diatur dalam undangundang tersendiri yang menjadi pedoman administrasi pemerintahan secara umum, di
Indonesia undang-undang semacam itu masih dalam perjuangan, sekarang baru dalam bentuk draft yang dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP), nantinya RUU-AP ini diharapkan menjadi kodifikasi hukum administrasi umum (general rules of administrative law) sebagai pedoman pejabat administrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam beberapa kesempatan dapat dilihat bongkar pasang pasal-pasal RUUAP sehingga susah memprediksi pasal mana yang konsisten dipertahankan sebagai rumusan yang tepat untuk diundangkan, sebagai gambaran komposisi terakhir dari Draft RUU-AP yang penulis terima apabila sandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang peradilan tata usaha negara ksusus mengenai konsep sanksi menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan bagi pencari keadilan. Konsep sanksi dalam RUU-AP secara umum dapat dilihat pada Pasal 77 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) yang memuat tentang sanksi administrasi, Pasal 77 adalah sebagai berikut: (1)
Pejabat Pemerintahan yang melanggar dikenakan sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a.
Sanksi ringan terdiri atas: 1)
teguran lisan;
2)
teguran tertulis;
3)
penundaan kenaikan pangkat, golongan dan/atau hak-hak jabatan;
b. Sanksi sedang terdiri atas: 1)
pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
2)
pemberhentian percobaan dengan memperoleh hak-hak jabatan;
3)
pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan;
4)
pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan;
c. Sanksi berat terdiri atas: 1) pemberhentian tetap dengan memperoleh hak pensiun; 2) pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak pensiun;
3) pemberhentian
tetap
dengan
memperoleh
hak
pensiun
dan
dipublikasikan di media massa; 4) pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak pensiun dan dipublikasikan di media massa. (3)
Sanksi administratif
ringan, sedang atau berat yang dijatuhkan dengan
mempertimbangkan unsur proporsional dan keadilan. (4)
Apabila sanksi ringan yang dijatuhkan kepada pejabat pemerintahan yang melanggar undang-undang ini
belum
juga
dipatuhi,
maka
pejabat
pemerintahan yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sedang, dan jika belum juga dipatuhi maka dapat dikenakan sanksi berat. (5)
Sanksi administratif ringan dapat dijatuhkan secara langsung, sedang sanksi administratif sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan internal. Kemudian pada Pasal 78 dituangkan secara detail pelanggaran terhadap pasal-
pasal yang mana saja yang dapat dikenakan sanksi administari ringan, sanksi administrasi sedang dan sanksi administrai berat, adalah sebagai berikut: Pasal 78 (1)
Pelanggaran terhadap Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 14 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 31 ayat (3), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (2), Pasal 34 ayat (3), Pasal 35, Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (5), Pasal 39 ayat (6), Pasal 40 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 42 ayat (4), Pasal 42 ayat (5), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45, Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (3), Pasal 49 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (5), Pasal 63 ayat (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (3),
Pasal 71, Pasal 72 ayat (4), Pasal 74 ayat (3), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 74 ayat (7), Pasal 75 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), atau Pasal 75 ayat (6) diancam dengan dikenakan sanksi administratif ringan. (2)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 33 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (1), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (5), atau Pasal 69 diancam dengan dikenakan sanksi administratif sedang.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf a, Pasal 28 ayat (1) huruf b, Pasal 19 ayat (3), atau Pasal 32 ayat (1) diancam dengan dikenakan sanksi administratif berat.
(4)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang menimbulkan
kerugian pada
keuangan
nasional, dan/atau merusak lingkungan hidup
negara, perekonomian
diancam dengan dikenakan
sanksi administratif berat. Pada Pasal 80 dirumuskan bahwa “Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh”: a.
atasan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan Keputusan;
b.
Kepala Daerah apabila Keputusan dikeluarkan oleh Pejabat Daerah;
c.
Menteri/ Pimpinan Lembaga Negara/ Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian apabila Keputusan dikeluarkan oleh pejabat di lingkungannya;
d.
Presiden apabila Keputusan dikeluarkan oleh para Menteri/Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan Kepala Daerah. Kewajiban pejabat administrasi untuk melaksanakan putusan PTUN diatur
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf o, Pasal 69 dan Pasal 79 ayat (1) adalah sebagai berikut:
1.
Pasal 7 ayat (2) huruf o menyebutkan bahwa “penyelenggara administrasi pemerintahan berkewajiban untuk mematuhi keputusan tata usaha negara yang telah berkekutan hukum tetap”.
2.
Pasal 69 menyebutkan bahwa “Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan”
3.
Pasal 79 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Putusan pengadilan tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib dilaksanakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan”. Dari rumusan kewajiban pejabat administrasi dan pasal-pasal yang diancam
sanksi administrasi dalam RUU-AP sebagai mana disebut dalam Pasal 77 dan Pasal 78, ketentuan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o dan Pasal 79 ayat (1) tidak dicantumkan sebagai pelanggaran yang dapat diancam sanksi administrasi, akan tetapi pelanggaran terhadap Pasal 69 dimasukkan ke dalam kategori sanksi administrasi sedang (vide Pasal 78 ayat (2)), sistem pengenaan sanksi menurut RUU-AP bertingkat yaitu apabila sanksi ringan belum dipatuhi, maka pejabat pemerintahan yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sedang, dan jika belum juga dipatuhi maka dapat dikenakan sanksi berat, mekanisme pengenaan sanksi terhadap sanksi administratif ringan dapat dijatuhkan secara langsung, sedang sanksi administratif sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan internal. Khusus tata cara pengenaan sanksi terhadap pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan PTUN dirumuskan tersendiri dalam Pasal 79 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), rumusan tersebut adalah sama dengan rumusan Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004 yang memuat tentang upaya paksa berupa pengenaan uang paksa dan sanksi administrasi serta pengumuman di media massa, perbedaannya adalah dalam RUU-AP tidak dicantumkan keharusan ketua pengadilan mengajukan
permasalahan eksekusi putusan PTUN ke Presiden dan DPR namun Presiden tanpa dimintakan oleh Ketua Pengadilan secara otomatis setelah melakukan pemeriksaan menjatuhkan
sanksi
administrasi
khusus
kepada
menteri/pejabat
setingkat
menteri/kepala lembaga pemerintahan non kementrian dan kepala daerah jika tidak melaksankan putusan PTUN. Dalam RUU-AP pengertian uang paksa dan ganti rugi tidak dipisahkan dari pengertian sanksi administrasi karena pembayaran uang paksa dan ganti rugi merupakan jenis dari sanksi administrasi itu sendiri (lihat Pasal 77 ayat (2) hurf b angka 1) akan menjadi tidak tepat kiranya rumusan Pasal 79 ayat (4) yang pada pokoknya menyatakan bahwa bagi pejabat pemerintahan yang tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN dikenakan pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administraf, rumusan Pasal 79 ayat (4) tersebut seolah-olah membedakan antara jenis sanksi pembayaran uang paksa dan sanksi administrasi. Kedaan demikian menimbulkan multi tafsir apakah pengenaan uang paksa yang dimaksudkan oleh Pasal 79 ayat (4) menjadi kewenangan pengadilan untuk menentukan besarannya dalam putusan atau merupakan bagian sanksi administrasi yang pengenaannya melalui pemeriksaan intern instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b angka 1. Konsep mengenai pengenaan pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi dikelompokkan ke dalam jenis sanksi administrasi sedang, dengan demikian kedua jenis sanksi administrasi sedang tersebut dalam kasus konkrit penarapannya dapat secara besamaan ataupun dikenakan salah satu. Kategori dan beban ganti rugi dirumuskan dalam Pasal 67 ayat (3) menyatakan “kerugian warga masyarakat akibat keputusan dan atau tindakan yang tidak sah menjadi tanggungjawab pribadi pejabatnya” sedangkan pada Pasal 68 ayat (5) menyatakan “kerugian yang ditimbulkan
akibat keputusan dan/atau tindakan
yang dibatalkan
menjadi
tanggungjawab jabatan dan/atau pejabatnya”, akan tetapi terhadap pengenaan uang paksa RUU-AP tidak merumuskan secara tegas kepada pribadi atau kepada jabatankah pengenaan uang paksa itu dibebankan, konsep pertanggungjawaban
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 67 ayat (3) dan Pasal 68 ayat (5) berbeda dengan konsep pengenaan uang paksa, karena pengenaan uang paksa didasarkan kepada ketidakpatuhan pejabat ketika tidak menaati kewajiban melaksanakan putusan PTUN. Pengenaan uang paksa dan ganti rugi yang dirumuskan dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b angka 1 mengindikasikan bahwa pengadilan tidak berwenang menentukan uang paksa maupun ganti rugi dalam putusannya karena sudah ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (5) jo Pasal 80 yang pada pokonya menegaskan bahwa terhadap pengenaan sanksi administrasi sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa oleh karena Pasal 69 tentang kewajiban pejabat pemerintahan untuk melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara dimasukkan dalam Pasal 78 ayat (2) dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang dikenakan sanksi administrasi sedang, maka sesuai Pasal 77 ayat (2) huruf b pejabat administrasi tersebut dikenakan sanksi: 1.
berupa pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
2.
pemberhentian percobaan dengan memperoleh hak-hak jabatan;
3.
pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; dan,
4.
pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan,
tata cara pengenaan sanksi tersebut telah diatur dalam Pasal 79 yang kurang lebih sama dengan Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan kesatu UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan lembaga eksekutornya sebagaimana diatur dalam Pasal 80 adalah: 1.
atasan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan Keputusan;
2.
Kepala Daerah apabila Keputusan dikeluarkan oleh Pejabat Daerah;
3.
Menteri/ Pimpinan Lembaga Negara/ Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian apabila Keputusan dikeluarkan oleh pejabat di lingkungannya;
4.
Presiden apabila Keputusan dikeluarkan oleh para Menteri/Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan Kepala Daerah.
C. K E S I M P U L A N Kewajiban badan atau pejabat TUN melaksanakan putusan PTUN diatur dalam pasal secara sendiri dalam RUU-AP, apabila pejabat administrasi melalaikan kewajibannya berarti melanggar undang-undang dan diancam pengenaan sanksi administrasi sedang berupa: 1.
pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
2.
pemberhentian percobaan dengan memperoleh hak-hak jabatan;
3.
pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; dan,
4.
pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan, Pengenaan sanksi administrasi bagi pejabat administrasi yang melalaikan
kewajibannya untuk melaksanakan putusan PTUN secara otomatis menjadi tanggungjawab 1.
atasan Pejabat Pemerintahan yang menerbitkan Keputusan;
2.
Kepala Daerah apabila Keputusan dikeluarkan oleh Pejabat Daerah;
3.
Menteri/ Pimpinan Lembaga Negara/ Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian apabila Keputusan dikeluarkan oleh pejabat di lingkungannya;
4.
Presiden apabila Keputusan dikeluarkan oleh para Menteri/Pejabat setingkat Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan Kepala Daerah. RUU-AP tidak memberikan kewenangan kepada PTUN untuk menentukan
pengenaan uang paksa dan ganti rugi dalam putusannya, akan tetapi uang paksa dan ganti rugi tersebut merupakan salah satu jenis sanksi administrasi yang dapat dikenakan kepada pejabat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN dan proses pengenaan sanksi tersebut harus melalui pemeriksaan intern pemerintahan.