KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN (Analisa Tafsir dengan Metode Tematik) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.kom I)
Oleh:
MUHAMMAD HIZBULLAH NIM: 1111051000171
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ABSTRAK Muhammad Hizbullah 1111051000171 Konsep Maúizhah Hasanah Dalam Al-Qur’an Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya. Berdasarkan konteks diatas, bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an? Apakah kriteria da’i mau’izhah hasanah? Siapakah mad’u mau’izhah hasanah? Sejauh mana dampak dan keuntungan menggunakan konsep mau’izhah hasanah? Mau’izhah hasanah maksudnya adalah petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus pikiran, menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan audiens. Pesan yang disampaikan dengan santun dan dialog, memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya yang suci agar mau berbuat baik. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, tafsir, dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang digunakan, adalah metode deskritptif dan tafsir mawdhu’i. Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam alQur’an. Sedangkan metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash alQur’an terkait sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau’izhah hasanah terbentuk. Konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah konsep dakwah yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Tidak memaksa, tidak menyakiti, bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. seorang da’i mau’izhah hasanah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, kasih sayang di samping itu juga seorang penasihat (da’i) harus usianya lebih dewasa dengan objek dakwah dan memiliki kapasitas hikmah (ilmu) yang memadai. Sementar Mad’u mau’izhah hasanah adalah dari kalangan awam atau orang kebanyakan, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan. Jadi mau’izhah hasanah adalah konsep berdakwah dengan penuh kelembutan, ketenangan, dan penuh kasih sayang. Begitu juga da’i yang menggunakan mau’izhah hasanah harus berbekal ilmu, penyayang dan santun. sedangkan mad’unya dari kalangan awam atau tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah. Dengan itu, Sehingga pesan dakwah dan kebaikan akan lebih cepat tersampaikan dan membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa sehingga menimbulkan rasa takut dan tunduk.
i
KATA PENGANTAR Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Yang senantiasa memberikan nikmat iman, islam, serta nikmat sehat, kesempatan, yang tiada henti kepada penulis. Dengan nikmat tersebut, penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat untuk meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu komunikasi dan penyiaran islam (KPI). Meski penulis dalam prosesnya, menyadari banyak kendala yang dihadapi. Namun atas berkat dan izin Allah SWT, penulis mampu menyelesaikannya dengan penuh rasa syukur yang amat mendalam. Shalawat serta salam tidak lupa pula terucap kepada baginda Nabi Muhammad Saw, yang menjadi panutan umat, dengannya ilmu pengetahuan terungkap. Nabi yang telah menerangi jalan kehidupan dari kegelapan menuju jalan penuh terang benderang. Seorang da’i dan tokoh orator sejati yang visi dan misinya tetap dikenang hingga akhirat nanti. Semoga shalawat selalu tercurah kepada beliau, para sahabat, tabi’iin dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan semangat dari semua pihak yang telah membantu guna penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan beribu terima kasih yang sebesar-besanya, semoga Allah membalas budi baik bapak, ibu, dan saudara Amiin. Kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor yang mendapat amanah Ilmiah dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Suparto, M.Ed, MA.Selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Bapak Dr. Jumrani, M.Si. Selaku pembantu Dekan Bidang Administrasi dan keuangan, dan juga Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA. Selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan. 3. Bapak Drs. Rahmat Baihaky, MA. selaku ketua jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 4. Bapak Dr. Ahmad Ilyas Ismail, M.A selaku dosen pembimbing yang tak kenal lelah serta senantiasa sabar meluangkan waktunya untuk membantu, menempa dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, pengalaman, serta keteladanan dalam menajalani dan memaknai kehidupan ini. 6.
Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Penyiaran Islam, dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk mencari referensi dalam penyelesain skripsi ini.
7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, yang kasih sayang, doa, cinta serta motivasinya yang tiada henti penulis terima, hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat dan untuk terus menuntut ilmu sampai nanti.
iii
8. Kakaku tercinta, Zuhrah, Ramdhan, Saifullah dan adik tercinta Syamsul Lutfi yang tak kenal lelah memberi semangat moril dan materil serta mendoakan penulis untuk terus berkarya, memberi mamfaat, belajar dan mencari jati diri dalam mencapai kesuksesan dunia akhirat. 9. Teman-teman seperjuangan KPI E 2011, dan seluruh KPI semester akhir yang selalu membantu dan saling menasihati dan tetap menjaga kekompakan. Penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan keridhaan, balasan yang terbaik di sisi Allah Swt. Dengan pahala yang berlipat ganda serta limpahan rahmat, hidayah, serta berkahny-Nya. Amiin Ya Rabbal Alamin. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat menenteramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan dan kritik yang sipatnya membangun guna menuju kesempurnaan. Semoga skripsi ini menjadi menjadi Khazanah /tolls serta dapat memberikan kontribusi positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah Khazanah perpustakaan.
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 9 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...........................10 D. Tinjauan Pustaka .................................................................11 E. Metode Penelitian ................................................................12 F. Sistematika Penulisan ..........................................................15
BAB II
LANDASAN TEORI A. Pengertian Mau’izhah Hasanah ..........................................18 1. Pengertian Nasihat ........................................................26 2. Kriteria-Kriteria Seorang Penasihat ..............................27 B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir .......................28 C. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir .......................34 D. Pendekatan Dakwah dalam Bentuk Mau’izhah Hasanah....39
BAB III
DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH A. Ayat-ayat Tentang Mau’izhah hasanah .............................44 1. Ayat dalam Bentuk Al-mau’izhah ...............................45 2. Ayat dalam Bentuk Wa’azha & Yu’izhu.......................47 B. Klasifikasi Ayat ................................................................48
v
1. Ayat-Ayat Makiyah & Madaniah ................................48 2. Ciri khas Makiah & Madaniah .....................................50 C. Pengelompokan Makiyah Madaniah Ayat Mau’izah..........52 D. Asbabu An-Nuzul ...............................................................53 BAB 1V
KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah ...................58 B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah ..........................................64 C. Siapakah Mad’u Mauizah Hasanah? ......................................69 D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah ..............73
BAB V.
PENUTUP A. Simpulan ...................................................................................77 B. Saran-Saran ...............................................................................80
DAFTAR PUSTAKA
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya. 1 Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.2 Mau’izhah
hasanah
dapatlah
diartikan
sebagai
ungkapan
yang
mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.3 Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang mengajak kepada perbuatan ma’ruf dan melarang orang lain berbuat munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma’ruf dan yang mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.dan yang dimaksud 1
Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 48 2 Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), h.260 3 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16
1
2
dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya.jadi, berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktik Nabi Saw.4 Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf :102) Di antara cara mentarbiah yang ada di dalam Al-Qur’an adalah: tarbiah dengan talqin (dikte), cerita, teladan yang baik, pengilmuan, praktikum, pembiasaan, amal nyata, logika, penyadaran hati, menggugah rasa, bercermin dari peristiwa masa lalu, bukti yang mematahkan argumen pembantah
(mukjizat),
dialog,
permisalan,
penggunaan
hikmah,
pengakuan realitas, penggunaan alat indra, pikiran dan analisis, saling berwasiat dengan benar dan sabar, amar ma’ruf nahi mungkar, siraman ruhiah, pembersihan hati, ikhlas, cinta, harap dan cemas, Qishas (balasan setimpal), ta’zir (hukuman berdasarkan ijtihad hakim), tobat, ampunan, amal shalih, kesucian dan kemuliaan, dan seterusnya.- di riwayatkan dari al-Irbadh bin Sariyah RA yang berkata “Rasulullah Saw menasihati kami dengan nasihat yang dalam dan menggetarkan hati. Kami bertanya, “ya Rasullah sepertinya ini nasihat orang yang hendak berpisah maka berilah kami wasiat.” Nabi bersabda, “aku berwasiat, hendaklah kalian bertakwa
4
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 144
3
kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsy. Sesungguhnya, siapa diantara kalian yang hidup (berumur panjang) maka akan melihat banyak perselisihan. Karena itulah berpegang teguhlah terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah arRyasidin yang ditunjuk sesudahku, pertahankanlah dengan gigi taringmu (bersungguh-sungguh), dan berhati-hatilah terhadap hal-hal baru karena semua bid’ah sesat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).5
“demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-ashr :1-3) Kata Tawashauw terambil dari kata washa, washiah yang secara umum diartikan menyuruh secara baik. Beberapa pakar bahasa lebih jauh menyatakan bahwa kata ini berasal dari ardhun waashiah, yang berarti tanah yang dipenuhi tumbuhan. Hatta mereka lebih jauh menasihati adalah tampil kepada orang lain dengan kata-kata halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara berkesinambungan. Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk diwasiatkan yaitu (al-haqq dan Ashabr). Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah apapun
yang terjadi. Allah adalah al-haqq karena tidak mengalami
perubahan. Nilai-nilai agama juga al-haqq. Seperti Nabi mengatakan:
5
Taufik al-Wa’iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 336-338
4
agama itu adalah nasihat. Allah swt. adalah al-haq karena itu sebagian para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini dengan arti yakni bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang keberadaan, kekuasaan Allah,keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya. Hal-hal yang diwasiatkan dalam al-Qur’an antara lain adalah: a. Pelaksanaan agama, bersatu padu, tidak bercerai berai. b. Bertakwa kepada-Nya. (QS An-Nisa:13) c. Berbuat baik kepada orang tua khususnya kepada ibu. (QS. Lukman:14) d. Beberapa perincian ajaran agama seperti: pembagian harta warisan (QS An-Nisa:11), shalat dan zakat. e. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat al-An’am ayat 151153 yaitu: 1. Jangan memepersekutukan-Nya, 2. Berbuat baik kepada ibu bapak, 3. Jangan membunuh anak, 4. Jangan mendekati zina, 5. Jangan membunuh kecuali dengan cara yang sah dan dibenarkan, 6. Jangan menyalahkan harta anak yatim, 7-8. Menyempurnakan timbangan dan takaran, 9. Percakapan atau sikap hendaklah secara benar dan adil, 10. Memenuhi perjanjian yang dikuatkan atas nama Allah. Dalam surah ini pada urutan yang terakhir terdapat kata-kata watawa shau bishabr dan saling menasihati dalam kesabaran. Menurut Imam Al-Ghazali lebih dari 70 kali Allah menguraikan masalah sabar dalam Al-Qur’an.6
6
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 247-248
5
Nasihat yang baik, lanjut Quthub, adalah nasihat yang diberikan dengan penuh kasih sayang, seperti nasihat luqman kepada anaknya (Q.S. Luqman:13). Nasihat luqman adalah nasihat yang bebas dari celaan, karena pelakunya adalah orang yang mendapat hikmah. Nasihat luqman juga tulus dan terlepas dari unsur subjektivitas, karena ia merupakan nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat yang baik kelihatannya ada kaitannya dengan sifat hikmah. Bila nasihat luqman dijadikan sebagai contoh, maka nasihat yang baik itu kelihatannya hanya dapat dilakukan oleh orang yang arif dan bijaksana (orang yang mendapat hikmah).7 Prinsip-prinsip metode ini diarahkan terhadap mad’u yang kapasitas intelektual dan pemikiran serta pengalaman spiritualnya tergolong kelompok awam. Dalam hal ini peranan juru dakwah, adalah sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, menyayangi dan memberikan segala hal yang bermanfaat, serta membahagiakan mad’unya. Cara berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia. Mereka adalah orangorang yang tidak mencapai taraf kemampuan manusia jenis pertama. Secara potensial, mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi mereka selalu ragu-ragu antara mengikuti kebatilan yang selama ini tumbuh di sekelilingnya atau mengikuti kebenaran yang disampaikan kepada mereka.8 Menurut Muhammad Husain Yusuf9:
7
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008).h. 250 8 Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 166 9 Husain Yusuf, op.cit, hlm. 49-50
6
“mereka membutuhkan pelajaran yang baik (al-mau’izhah alhasanah), ucapan yang mengena (qaul baligh), serta penjelasan yang berguna , berupa sugesti (targhib) untuk mengikuti kebenaran, penjelasan tentang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman (tarhib) mengikuti kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang , serta dapat menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orangorang mukmin di bawah panji Nabi dan rasul yang paling mulia.” Dengan demikian, dakwah dengan pendekatan mau’izah hasanah ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut: 1. Tutur kata lembut sehingga akan terkesan di hati. 2. Menghindari sikap sinis dan kasar. 3. Tidak
menyebut-nyebut
kesalahan
atau
bersikap
menghakimi orang yang diajak bicara (mukhatab).10 Komunikasi yang efektif dalam dakwah, menurut Ahmad Mubarok apabila dilihat dari sudut psikologi dakwah, maka dakwah yang efektif itu memiliki lima ciri yaitu: 1.
jika dakwah memberikan pengertian kepada masyarakat (mad’u) tentang apa yang didakwahkan.
2.
Jika masyarakat (mad’u) merasa terhibur oleh dakwah yang diterima.
3.
Jika dakwah berhasil meningkatkan hubungan baik antara da’i dan masyarakat mad’u.
4.
Jika dakwah dapat mengubah masyarakat mad’u.
5.
Jika dakwah berhasil memancing respons masyarakat berupa tindakan.
10
Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.167
7
Komunikasi yang efektif hanya jika dan jika hanya (only if) ia menyerap sinar dan ke-Maha Muliaan dan ke-Mahatauan Allah Swt. Dalam dirinya. Dalam teori komunikasi modern sifat mulia itu disebut trusttworthiness dan sifat tahu itu disebut expertness. Terkait dengan hal tersebut, berbagai penelitian membuktikan bahwa orang cenderung mengikuti pendapat atau keyakinan orang yang dianggapnya jujur (percaya dan meiliki keahlian). Orang yang berakhlak rendah, yang tidak memiliki integritas pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang berpengaruh. Begitu pula orang yang jahil yang tidak memiliki gairah terhadap ilmu, yang pengetahuannya lebih di bawah rata-rata orang yang banyak, sukar untuk mengubah atau mengarahkan perilaku orang lain.11
“mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. An-Nisa:63) Bertolak dari pandangan bahwa khalayak itu aktif dan memiliki potensi mengingkari fitrah dan kehanifannya, maka khalayak itu harus diajak agar kembali kepada fitrahnya, yaitu al-khayr, amar ma’ruf, dan nahy munkar, dengan beriman, berilmu dan beramal saleh. Telah dijelaskan bahwa pesan dakwah harus menarik perhatian dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan khalayak sebagai manusia atau sebagai makhluk
monodualis
(individu
dan
sosial),
maka
pesan
harus
direncanakan.- dalam perencanaan pesan dan metode dakwah, para pakar 11
Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173
8
selalu mengambil rujukan utama kepada firman Tuhan (QS, An-Nahl:125 yang artinya: “serulah(manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dalam ayat tersebut, dikandung makna perlunya memerhatikan kondisi dan situasi mad’u atau khalayak, sehingga mereka merasa tidak dipaksa. Demikian juga pesan disampaikan dengan santun dan berdialog dengan cara yang baik. Suasana dialogis harus bersifat manusiawi. Pada prinsifnya dakwah itu harus memanusiakan manusia, sesuai dengan fitrahnya yang suci. Hal ini wajib menjadi pegangan dalam merumuskan pesan dan menetapkan metode dakwah.12 Lebih daripada itu, sesungguhnya kelemah-lembutan, pelan-pelan, dan sikap penuh kasih dan sayang dalam hargai manusia konteks dakwah dapat
membuat
seorang
merasa
dihargai
kemanusiaanya
dan
membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat membangkitkan semangatnya untuk menjadi mukmin baik.13 Seperti yang telah disinggung di depan dakwah dengan mau’izah hasanah adalah dakwah dengan penuh kelambutan tutur kata yang sopan, tidak memaksa dan menyentuh hati mad’u. Dengan itu fungsi dakwah akan cepat tersampaikan kepada mad’u.
12
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2011), h. 246-247 13 Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 49
9
Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad’u, persuasif atau tidak. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri. Konsep itu telah ada dalam mau’izhah hasanah dengan itu fungsinya akan cepat meyakinkan mad’u. Keberhasilan suatu dakwah dimungkin oleh berbagai hal: 1. Kemungkinan pertama karena pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias. 2. Kemungkinan kedua karena faktor pesona da’i, yakni da’i tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja. 3. Kemungkinan ketiga karena kondisi psikologis masyarakat yang sedang haus siraman rohani, dan mereka terlanjur memeliki persepsi positif kepada setiap da’i, sehingga pesan dakwah yang sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh masyarakat dengan penafsiran yang jelas. 4. Kemungkinan keempat, adalah karena kemasan yang menarik. Masyarakat yang semula acuh tak acuh terhadap agama dan juga terhadap da’i setelah melihat paket dakwah yang diberi
10
kemasan lain (misalnya kesenian, stimulasi, atau dalam program-progam pengembangan masyarakat) maka
paket
dakwah itu berhasil menjadi stimulasi yang mengglitik persepsi masyarakat, dan akhirnya mereka merespon secara positif.14 Mengingat pentingnya penelitian ini, maka penulis merasa perlu meneliti bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Karena dakwah diera modern ini mutlak dibutuhkan, sebagaimana kata Quthub, yang dikutip oleh A.Ilyas Ismail dalam bukunya Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, mengatakan, Semua manusia tegas Quthub membutuhkan dakwah disadari maupun tidak. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia moderen tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang medasar baik sebagai individu, keluarga, maupun masyarakat. Peradaban modern menurut Quthub, terbukti tidak sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan fundamental di atas. Bahkan
pohon
peradaban
moderen
kini
mulai
gonjang-ganjing.
Keberadaannya sama dengan keadaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad saw yang kemudian berhasil membangun dan menyatukan peradaban umat manusia. Jika demikian, maka betapa besar kebutuhan manusia kepada risalah ini (risalah islam) untuk sekali lagi membebaskan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran. Jika demikian, maka dakwah menurut sayyid Quthub bukan hanya menjadi kebutuhan umat islam, tetapi merupakan kebutuhan kemanusiaan.15
14
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999), h. 161-162 Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, ( Jakarta: PENAMADANI, 2008), h. 134-135 15
11
Atas dasar itu dakwah yang menyentuh, mendidik tidak memaksa adalah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dewasa ini dengan konsep metode mau’izhah hasanah. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Masalah mau’izhah hasanah atau nasihat yang baik merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk menunjang eksistensi dakwah islam, dan di dalam al-Qur’an banyak sekali yang menjelaskan mengenai mau’izhah hasanah dalam berbagai bentuk dan derivasi. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan tidak berujung, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yakni dengan mengambil sebagian surat yang ada dalam al-Qur’an. dari kata-kata mau’izhah terdapat dalam: 1. Surat al-Baqarah: 66, 2. An-Nahl: 125, 3. An-Nur: 32 Sedangkan dari kata wa’aza terdapat dalam: 1. Surat, al-Baqarah: 232, 2. An-Nisa: 63, 66, kemudian dari ya’izhuhu terdapat dalam: 1.
Surat luqman: 13,
2. An-Nur: 17 dan 3. Al-A’raf: 164 Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah melalui surat dan ayat ini akan diproleh:
12
1. Siapakah da’i mau’izhah hasanah? 2. Siapakah mad’unya? 3. Bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an? 4. Bagaimanakah dampak keuntungan menggunakan mau’izhah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara umum 1. Untuk mengetahui konsep dakwah yang baik dan benar serta menyentuh hati menurut al-Qur’an. 2. Untuk mengetahui bagaimana menyesuaikan antara da’i dan mad’u menurut konsep dakwah mau’izah hasanah.supaya pesan dakwah bisa menyentuh dan tersampaikan ke masyarakat. b.
Secara khusus 1. Mengetahui korelasi antara konsep mau’izah hasanah dalam alQur’an dengan dakwah yang dibutuhkan. 2. Memberikan wawasan kepada publik tentang pentingnya konsep mau’izah hasanah dalam berdakwah. 3. Untuk meyakinkan publik bahwa konsep dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa dan mengumbar aib-aib sangat menjadi prioritas utama dalam berdakwah.
Manfaat Penelitian a. Segi teoritis 1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan dan wawasan bagi dunia dakwah, khususnya pagi para aktivis
13
dakwah, bagaimana konsep dakwah yang diterapkan dan bagaimana orientasi dakwah yang sebenarnya? berorientasi kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market oriented) dengan pendekatan “bil mauizah hasanah” 2. Dapat mengetahui Konsep dan metodologi dakwah mau’izhah hasanah yaitu dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan nasihat yang baik penuh kasih sayang, serta jauh dari caci maki menurut konsep al-Qur’an b. Segi praktis 1. Penelitian ini berguna bagi penelitian selanjutnya, terutama menjadi rujukan dan pegangan bagi siapapun yang ingin mengkaji tentang dunia dakwah. 2. Para
da’i
dapat
menerapkan
konsep
dakwah
yang
sesungguhnya, yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan menjadikan mad’u sebagai teman yang harus dinasihati. D. Tinjauan Pustaka Sebagai bahan telaah dari penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa buku dan tulisan, serta skripsi yang telah ditulis para ahli yang kompeten di bidang komunikasi dan masalah keagamaan, seperti berikut ini: 1. Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudu’i atas pelbagai Persoalan umat. Yang membahas tentang segala permasalahan umat dengan menyajikannya dalam bentuk-bentuk topik, tema biar mudah di baca oleh masyarakat sesuai seleranya serta
14
mengambil kadar yang dinginkan dari meja yang telah ditata dalam buku itu. Penulis Quraish Shihab. 2. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah yang membahas tentang Sayyid Quthub sebagai tokoh Dakwah harakah yang mampu merubah dunia dakwah islam di kancah dunia international. Penulis DR A.Ilyas Ismail,MA. 3. Dakwah Kolaboratif Tarmidzi Taher, yang membahas tentang dakwah-dakwah yang dikembang tarmidzi taher melalui metodenya yang multidimensi, sangat menghargai pluralism, dengan pendekatan dialog antar agama, toleran, bersahabat, harmonis dan berkepribadian. Sebagaimana yang ditulis oleh Nurul Badruttamam. Dengan begitu, penulis hendak merangkum gagasan-gagasan yang terserak tentang dakwah dalam sebuah skripsi secara utuh dan konfeherensif dengan judul konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an (Analisa Tafsir dengan Metode Tematik), saya rasa skripsi yang membahas tentang dakwah sudah banyak dalam berbagai bentuk, baik metodologi, maupun macam-macam dakwah, namun sedikit sekali yang membahas tentang tafsir dakwah, konsep dakwah dalam metode tematik. Yakni dakwah dengan menghadirkan tematema yang aktual dalam al-Qur’an seputar dakwah dan yang berkaitan dengannya, bagaimana da’i, mad’u dan konsep yang menyentuh hati ( mau’izhah hasanah) dalam al-Qur’an.
15
“Di skripsi penulis itulah yang akan dibahas khususnya tentang konsep mauidzah hasanah bahwa konsep mauizah hasanah adalah konsep berdakwah yang menyentuh hati, jauh dari sikap egois, agitasi emosional, dan apologi menurut al-Quran serta para pakar tafsir. E. Metode Penelitian Dalam mengupaya menghimpun data, lazimnya karya akademik, penulis menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang penulis gunakan, adalah metode deskritptif16dan tafsir mawdhu’i. Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an. Sedangkan metode mawdu’i
digunakan untuk mencari nash-nash al-Qur’an terkait
sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau’izhah hasanah terbentuk. Adapun langkah atau cara kerja tafsir mawdu’i adalah sebagai berikut:17 1. Membahas atau menetapkan masalah dalam al-Qur’an yang akan dikaji secara mawdu’i. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, maka penulis mencari garis besarnya saja yang mengenai konsep mau’izhah hasanah. 2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang terkait
16
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). Cet-3, h. 35 17 Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet-2, h. 48
16
3. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dimasing-masing suratnya. 4. Menyusun tema bahasannya dalam kerangka yang pas dan sistematis. 5. Melengkapi pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan jelas. 6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara. Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam memplajari dan menghasilkan konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan masalah tentang konsep mau’izhah hasanah 2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan masalah mau’izhah hasanah atau kata yang serupa dengannya. 3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami asbabunnuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk memahami makna yang tersembunyi dibaliknya. 4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna. 5. Melengkapi pembahasan ini
akan dilengkapi dengan hadits-hadits
Nabi yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditemukan pandangan al-Qur’an terhadap konsep mau’izhah hasanah. Tafsir mawdu’i menurut pengertian istilah para ulama adalah: “menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang
17
sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan akurat. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat diselami.”18 Dalam buku Baqir Hakim, Allamah Baqir Shadr mengemukakan bahwa ada tiga arti dari kata Maudhu’iy: 1. Objektivitas, adalah sikap amanah dan konsistensi serta sikap berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas peristiwa dalam membahas setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian peribadinya, serta tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang diperoleh dari pembahasannya. 2. Memiliki makna memulai pembahasan dari tema yang merupakan peristiwa nyata yang dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran, untuk mengetahui pendirian (Mawqif) dari peristiwa nyata tersebut. Karena itulah, seorang mufassir yang menggunakan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) harus memusatkan perhatiannya pada tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan, akidah, sosial dan fenomena-fenomena alam, di samping ia juga harus menguasai permasalahan-permaslahan seputar tema-tema tersebut 18
Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet-2,h. 43-44
18
yang di dapatkan melalui pemikiran manusia, mengetahui solusi permasalahan tersebut yang disambungkan oleh pemikiran manusia, serta mengetahui apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai pertanyaan dan poin-poin yang belum dijabarkan. Setelah itu barulah seorang mufassir memulai Tanya jawabnya dengan Al-Quran, saat mufassir bertanya dan AlQuran menjawab. Dengan demikian diharapkan mufassir dapat mengetahui sikap Al-Quran terhadap tema yang ditanyakan. 3. Terkadang istilah Maudhu’iy dimaksudkan untuk menyebutkan apa-apa yang dinisbatkan kepada suatu tema. Saat seorang mufassir memilih tema tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta berusaha menyimpulkan pandangan Al-Quran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.19 Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) merupakan salah satu cara menafsirkan Al-Quran dengan menggunakan metode mengumpulkan atau menyusun ayatayat Al-Quran menjadi sebuah tema atau judul. Pencetus metode tafsir ini adalah Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960, beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.20 Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan skunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Qur’an al-Karim dan 19 20
M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 508-509 Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Quran, (Jakarta: Qultum Media, 2008), hal. 52
19
hadits jika dibutuhkan. Sedangkan data skunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas dakwah dan Ilmu Komuniksai ” yang disusun oleh tim fak dakwah dan komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.21 F. Sistematika Penulisan Untuk memproleh gambaran yang utuh dan dalam rangka mempermudah pemahaman, skripsi ini penulis bagi kedalam bab-bab sebagai berikut. BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan nencakup latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, metodologi penelitian, serta tinjauan pustaka dan sistematika penulisan, yang dijelaskan dalam point perpoint. BAB II GAMBARAN UMUM / TINJAUAN TEORITIS Membahas tentang gambaran umum tentang mau’izhah hasanah meliputi: Pengertian Maui’zhah hasanah baik secara bahasa maupun istilah, pengertian nasihat dan kriteria seorang penasihat, menjelaskan makna mau’izhah hasanah dalam bentuk Tabsyir dan Tandzir, dan pendekatan dakwah mau’izhah hasanah. BAB III SEKITAR DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH
21
Lihat panduan penulisan skripsi Fak Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang disusun oleh Dr. Arief Subhan, MA, Dra. Lili.L. Prihatini, Msi, dan Drs. Jumroni, Msi. Tahun 2011
20
Membahas masalah konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an meliputi: a. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah 1. Ayat dalam Bentuk Al-Mau’izhah 2. Ayat dalam Bentuk Kata Wa’azha dan Yu’izhu b. Klasifikasi Ayat 1. Ayat-Ayat Makiyah 2. Ayat-Ayat Madaniyah c. Asbab An-Nuzul BAB IV KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A. Makna dan ruang lingkup mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah Hasanah BAB V PENUTUP Terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dan juga memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga para pembaca dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini. DAFTAR PUSTAKA
21
Berisi tentang buku-buku, artikel, media online yang menjadi sumber rujukan dalam menyempurnakan skripsi ini.
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Mau’izhah Hasanah Terminologi mau‟izah hasanah dalam perspektif dakwah sangat populer, bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (baca dakwah atau tabligh) seperti Maulid Nabi dan isra‟ Mi‟raj, istilah mau‟izah hasanah mendapat porsi khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan sebuah acara. Namun demikian agar tidak menjadi kesalah pahaman, maka akan dijelaskan pengertian mau‟izah hasanah. Secara bahasa, mau‟izah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟izah dan hasanah. Kata mau‟izah berasal dari kata wa‟adza ya‟idzu-wa‟dzan-idzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.1 Sebagian ahli tafsir seperti yang diungkapkan oleh Fadhlullah Muhammad Husaen mengatakan, bahwa al-wa‟zat al-hasanat ialah berpaling dari yang jelek atau perbuatan buruk – melalui anjuran (targhib) dan larangan (tarhib).1 Menurut at-Tabataba‟i yang dimaksud dengan metode al-Mau‟idzat adalah suatu penjelasan atau keterangan yang dapat melunakkan jiwa dan menggetarkan hati.2
1
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 15 Fadhlullah Muhammad Husayn, uslub ad-Da‟wat fi al-Qur‟an, alih bahasa oleh tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997), h. 48 3 Al-„Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain at-Tabataba‟i, al-mazan fi tafsir al-Qur‟an, ( Beirut: Muassasah al-A‟lami li al-Matbu‟at, 1972), h. 371 2
22
23
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain; 1. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh hasanuddin adalah sebagai berikut: “al-Mau‟izah hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Qur‟an.”3 2. Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.4 Menurut beberapa komentar ahli bahasa dan pakar tafsir,5 beberapa deskripsi pengertian Al-Mau‟izhah hasanah, adalah sebagai berikut. 1. Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling dari hal perbuatan melalui tarhib dan targhib (dorongan dan motivasi); penjelasan, keterangan, gaya bahasa. Peringatan, petutur, teladan, pengarahan, dan pencegahan dengan cara halus. 2. Bi al-mau‟izhah al-hasanah adalah melalui pelajaran, keterangan, petutur,
peringatan,
pengarahan
dengan
gaya
bahasa
yang
mengesankan atau menyentuh dan terpatri dalam nurani. 3. Dengan bahasa dan makna simbol, alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan melalui al-qaul al-rafiq (ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);
4
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37 Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar alDakwah, 1989), h.260 6 Dalam kitab-kitab tafsir, antara lain: tafsir Al-Maraghi, At-Tafsir Al-Munir karya muhammad nawawi, tafsir Al-Munir karya wahbah Al-juhaili, dan jalalain. Lihat pula Muhammad Husain Fadhlullah dalam Uslub Ad-Da‟wah fi Al-Qur‟an (metode dakwah) dalam Al-Qur‟an. 5
24
4. Dengan
kelembutan
hati
menyentuh
jiwa
dan
memperbaiki
peningkatan amal; 5. Melalui suatu nasihat, bimbingan dan arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab dan komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan di hati sanubari mad‟u; 6. Suatu ungkapan dengan penuh kasih sayang yang dapat terpatri dalam kalbu, penuh kelembutan sehingga terkesan dalam jiwa, tidak melalui cara pelarangan dan pencegahan, mengejek, melecehkan, menyudutkan atau menyalahkan, dapat meluluhkan hati yang keras menjinakkan kalbu yang liar; 7. Dengan tutur kata yang lembut, pelan-pelan bertahap, dan sikap kasih sayang- dalam konteks dakwah-, dapat membuat seseorang merasa dihargai rasa kemanusiaanya sehingga akan mendapat respon positif dari mad‟u. Mau‟izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.6 Mau‟izhah hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di
hati, menyentuh
perasaan,
lurus pikiran,
menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan
7
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16
25
audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subjek dakwah. Jadi, dakwah bukan propaganda.7 Manurut Ali Musthafa Yakub, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Munir Amin menyatakan, bahwa “mau‟izah hasanah adalah ucapan yang berisi
nasihat-nasihat
baik
dan
bermanfaat
bagi
orang
yang
mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audiensi dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek dakwah.”
Seorang
da‟i
sebagai
subjek
dakwah
harus
mampu
menyesuaikan pesan dakwahnya sesuai dengan tingkat berpikir dan lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ke dalam kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.8 Dari beberapa definisi diatas, mau‟izah hasanah tersebut bisa di klasifikasikan dalam beberapa bentuk: a. Nasihat atau petuah9 b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan) c. Kisah-kisah d. Kabar gembira dan peringatan ( al-Basyir dan al-Nadzir) e. Wasiat (pesan-pesan positif)
8
Siti Muriah, Metode Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), h. 43-44 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 100 10 Nasihat biasanya dilakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, baik tingkatan umur, maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya, perhatikan QS. Lukman(13):13 yang artinya” dan (ingatlah) ketika lukman berkata kepada anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah atau nasihat kepadanya; hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezhaliman yang amat besa” 9
26
Menurut K.H. Mahfudz kata tersebut mengandung arti: 1. Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya. 2. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan Tuhannya, yaitu jalan Allah Swt. Sedangkan menurut pendapat Imam Abdullah bin Ahmad anNashafi , kata tersebut mengandung arti: Al-Mau‟izhatul hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi bagi
mereka,
bahwa
engkau
memberikan
nasihat
dan
mengehendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur‟an. Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam qalbu dengan penuh kasih sayang dan kedalam
perasaan dengan penuh
kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.10 Menurut pakar bahasa, nasehat (al-wa‟zh atau mau‟izhah) mengandung arti teguran atau peringatan. Ashfahani, dengan mengutip pendapat Imam Khalil, menyatakan bahwa nasihat adalah memberikan peringatan (al-tadzkir) dengan kebaikan yang dapat menyentuh hati. Jadi
11
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 16-17
27
makna terpenting dari nasihat adalah mengingatkan (tadzkir) dan membuat peringatan (dzikra) kepada umat manusia. Sesuai dengan makna nasihat diatas, maka nasihat yang baik menurut Quthub, adalah nasehat yang dapat masuk ke dalam jiwa manusia serta dapat menyejukkan hati, bukan nasihat yang dapat memerahkan telinga karena penuh kecaman dan caci maki yang tidak pada tempatnya. Nasihat yang baik lanjut Quthub, bukan pula dengan membuka dan membeberkan aib dan kesalahan-kesalahan orang lain yang terjadi karena tidak mengerti atau karena motif yang tidak baik. Nasihat yang baik adalah nasihat yang lemah lembut yang dapat melunakkan hati yang keras dan menyejukkan hati yang gersang. Nasihat seperti ini, menurut Quthub, jauh lebih baik dibanding caci-maki, celaan dan hujatan.11 Cara mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quthub dalam Tafsirnya Fizhilalilqur‟an, ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 125, mengatakan: “Cara Mau‟izhah hasanah „nasihat yang baik‟ harus bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahankesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang
12
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008), h. 250
28
membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.”12 Mau‟izhah hasanah, baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.13 Cara mau‟izhah hasanah memiliki keitimewaan dan kelebihan yang banyak diantaranya: 1. Ungkapan dan lafalnya adalah lembut serta sesuai dengan keadaan. Karena itu, mau‟izhah hasanah harus dengan ungkapan yang lembut dan sesuai kondisi (keadaan). 2. Banyak dan macam-macam bentuknya sehingga para da‟i dapat memilih bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. 3. Besar pengaruhnya terhadap jiwa orang-orang yang diseru dan hal ini tampak dalam perkara sebagai berikut: a. Biasanya,
orang-orang
menerima
nasihat
dan
cepat
menyambutnya.
13
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, dibawah naungan al-Qur‟a, (Jakarta: Gema Insani, 2003), cet ke-1, jilid 7,h. 224 14 Quraih Shibab, TafsirAl-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet ke-VII, vol 7, h. 392-393
29
b. Menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dihati orang-orang yang diseru. c. Membatasi (menahan) kemungkaran dan memutus penyebarannya, dimana orang-orang merasa malu apabila tidak menyambut dari orang yang menasihati dengan nasihat yang baik, maka minimalnya mereka tidak menampakkan keingkarannya.14 Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara garis besar membagi 3 golongan yang masingmasing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula: 1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil atau diseru diberi nasihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan doa mereka. 2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini diseru/ diberi nasihat dengan cara “mau‟izhah hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaranajaran yang mudah dipahami. 3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas tertentu, tidak 14
Syekh Muhammad Abu Al-Fath Al-bayanuniy, Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik, Berdakwah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akademika Pressindo, 2010), h. 331-332
30
sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru/ dinasihati dengan cara “mujadalah billati hia ahsan” yakni dengan cara bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik. Kesemuanya disimpulkan dalam kalimat.15 Perkataan (Qaulan) sebagai simbol komunikasi penyejuk hati dan penumbuhan kesadaran jiwa dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 11 variasi dalam berbagai ayat antara lain: 1. Qaulan ma‟rufan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 235, An-Nisa‟ ayat 5 dan 8 serta surat Al-ahzab ayat 32 2. Qaulan sadidan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 9 dan Al-Ahzab ayat 70 3. Qaulan Balighan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 63 4. Qaulan karimah, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 23 5. Qaulan maysuran, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 28 6. Qaulan Azhiman, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 40 7. Qaulan Layyinan, terdapat dalam surat Thaha ayat 44 8. Qaulan min abbin rahim, terdapat dalam surat Yasin ayat 58 9. Qaulan Tsaqilan, terdapat dalam surat al-Munzammil ayat 5 10. Qaulan Ahsan (ahsan Qaula), terdapat dalam surat Lukman ayat 33 11. Qaulan Salaman, terdapat dalam surat Alfurqan ayat 63
15
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006),cet ke-2, edisi revisi, h. 252-253
31
Semua bentuk perkataan tersebut terpakai dan digunakan dalam kegiatan dakwah termasuk dakwah dengan menerapkan prinsip metode mauziah alhasanah.16 An-Nisaburi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ‟il al-iqna‟iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. AlBaidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai seruanseruan
yang
memuaskan/meyakinkan
(al-khithâbât
al-muqni„ah)
dan
ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-„ibâr al-nâafi„ah). An-Nawawi alJawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azhzhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau‟izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan). Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau‟izhah hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti anNisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ‟il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata
16
Itdafriyenny, “Metode Dakwah“Mau‟izhah Hasanah dan Turunannya dalam Al-Qur‟an dan Hadits” diakses tanggal 28 nopember 2013 dari http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-danturunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/
32
dalâ‟il iqnâ„iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan alAlusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni„ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ„) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.17 Dari makna di atas mau‟izhah hasanah mengandung beberapa hal: 1.
Nasihat Kata nasihat berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang berarti khalasa yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti “khata” yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata ( ن صح ارج له ث وب هorang itu menjahit pakaiannya) apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan
kebaikan
orang
yang
dinasihatinya
dengan
jalan
memperbaiki pakaiannya yang robek. Sebagian ahli ilmu berkata tutur Munir dalam bukunya metode dakwah mengatakan: “Nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasihati siapapun dia. Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau‟izhah al-Hasanah
yang
bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan akibat. Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut dengan makna al-mau‟izhah merupakan tindakan mengingatkan seseorang 17
Ivanmarzamaya, “Tafsir Surat an-Nahl ayat 125” diakses tanggal 29 Nov. 13 dari http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html
33
dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakkan hatinya. Dan apabila
ditarik
suatu
pemahaman
bahwa
al-Mau‟izhah
hasanah
merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan cara memberikan nasihat.” Secara terminologi nasihat adalah memerintah atau melarang atau menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian nasihat dalam kamus bahasa indonesia balai pustaka adalah memberikan petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar dengan cara melunakkan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa atau mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.18
“Dan
Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),” (QS. an-Nisa:66)
18
Munir, metode Dakwah, h. 242-243
34
2. Kriteria Seorang Penasihat Da‟i yang menghendaki mau‟izhah hasanah yang tepat sasaran, kata alQahtany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di masyarakat. Ketiga, memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga finansial. Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur‟an, hadis Nabi, perkataan sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau, nasihat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka untuk bertobat. Adapun jika mau‟izhah hasanah tersebut dimaksudkan untuk memotivasi amal shaleh, maka langkah-langkahnya berikut ini. Pertama, merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang berisi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema seperti diatas.19 B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai arti memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara
19
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 205-206
35
berarti penampakan dengan baik dan indah. Maka basyar dalam bahasa Arab sering diartikan kulit, karena kulitlah yang membuat keliatan indah , demikian pula tabsyir diterjemahkan dengan berita gembira karena disebut basyar, karena bagian yang terbesar yang bisa dilihat adalah kulitnya serta yang bisa membuat kelihatan indah. Adapun Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang yang mengikuti dakwah.20 Hemat penulis dakwah tabsyir mutlak dibutuhkan, dakwah dengan penuh kesantunan dan membawa pesan bahagia, gambaran syurga dan buah kenikmatan janji Tuhannya, akan lebih menyentuh relung hati sanubari mad‟u. Ia merasa dipihakkan dan dinomorkan dalam pesan dakwah yang disampaikan da‟i, hingga ia mempunyai motivasi yang tinggi dan tanpa lelah untuk selalu mencari beribadah dan beramal shaleh serta meraih ridha Tuhannya Dzat pemberi kebahagiaan. Dengan itu sosialisasi dakwah akan cepat sampai tanpa paksaan dan bujukan. Di dalam Al-Qur‟an, kata tabsyir banyak disebutkan menurut Muhammad Abdul Baqi‟ kata-kata tabsyir atau mubasyir disebutkan sebanyak 18 kali. Dari sekian banyak kata tabsyir diartikan dengan “kabar gembira atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya beragam, antara lain kabar gembira dengan syariat islam, kabar gembira dengan kedatangan rasul, kabar gembira tentang akan turunnya Al-Qur‟an dan kabar gembira tentang syurga. Dalam kontek dakwah, sesungguhnya
20
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 256-257
36
bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata tabsyir, tetapi apa saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang mendengarnya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan motivasi dan beramal shaleh.21 Basyira atau kabar gembira adalah informasi mengenai pahala, imbalan, berkah, manfaat, faidah, kebaikan atau yang menjalankan ajaran islam (perintah Allah swt). Simbol utama pahala bagi pelaku kebaikan itu adalah syurga sebuah tempat di alam akhirat yang digambarkan penuh kenikmatan dan kesenangan. Informasi berupa reward tersebut berpungsi sebagai dorongan rangsangan (stimulus), atau motivasi agar komunikan (mad‟u) untuk melaksanakannya. 22 Contoh kabar baik itu sebagaimana Firman Allah swt.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah: 7-8)
21
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 257 Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn., 2013), h. 15 22
37
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. alBaqarah: 97)
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghunipenghuni neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)
Itulah sekian contoh kalimat tabsyir dalam al-Qur‟an, sebagai pemberi semangat dan motivasi bagi mad‟u, untuk lebih meningkatkan ibadah dan kedekatannya kepada Tuhan. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 119 di atas Rasulullah sebagai juru dakwah sebagai pemberi kabar gembira. Sebagaimana kata Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, dari Nabi SAW. Sebagaimana yang dikutip ibnu Katsir dalam tafsirnya, berkata: “Telah diturunkan kepadaku ayat: sesungguhnya kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” Beliau Saw bersabda: (yaitu) berita gembira berupa surga dan peringatan dari api neraka.”23 Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas, yaitu mengajak, mengarahkan orang untuk mengikuti jalan yang benar, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Karena target yang amat panjang ini akan selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan yang bisa 23
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh; penerjemah, M. „Abdul Ghoffar; Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2009), h.239
38
menimbulkan sifat psimis dan keputus asaan, maka konsep tabsyir ini diharapkan bisa membantu menghilangkan sifat-sifat di atas. Adapun tujuan-tujuan tabsyir antara lain. a. Menguatkan atau memperkokoh keimanan b. Memberikan harapan c. Menumbuhkan semangat untuk beramal d. Menghilangkan sifat keragu-raguan Tujuan-tujuan di atas diharapkan menjadi sebuah motivasi di dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.24 Dan untuk mengaplikasikan metode tabsyir ini, setiap juru dakwah bebas memiliki karakter mereka masing-masing, sehingga metode dalam penyampaian dakwah pun akan berbeda-beda, yang perlu ditekankan adalah bentuk tabsyir yang dilakukan tidak boleh menyimpang dari hal-hal yang telah di tetapkan oleh syari‟at, atau terlalu berlebihan sehingga tujuan penyampaian materi tidak tercapai, semisal membuat lawak yang terlalu berlebihan, sehingga para penyimak hanya mengingat kelucuannya saja dan mengabaikan isi ceramahnya. Dakwah sejatinya memberi motivasi kepada mad‟u seperti dengan metode tabsyir ini, supaya pesan dakwah lebih cepat diserap di jadikan pegangan dalam kehidupannya. Adapun motivasi tersebut oleh Sa‟id bin Ali al-Qahtani25 dibagi menjadi dua: Pertama, pemberian motivasi dengan janji, kedua, pemberian motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan. 24
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 259 Said bin Ali al-Qahtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 362 25
39
Pemberian motivasi dengan janji Bagian ini mempunyai gambaran yang beraneka ragam, antara lain: a. Memberikan motivasi dengan janji dunia Misalnya, jika seseorang beriman dan istiqomah dalam ketaatan atau ketakwaannya kepada Allah, ia akan mendapat keberuntungan dan berkah di dunia ini sebelum ia mendapatkannya lagi nanti di akhirat, bahkan keberuntungan di akhirat, jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang diterima di dunia. Semua janji tentang keberuntungan di dunia ini dapat kita ringkas sebagai berikut; -
Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala yang dibenci Allah. Dalam firman-Nya Allah menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang beramal shaleh yang disertai dengan ikhlas.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (anNahl: 97) -
Janji berupa pemberian kekuasaan di atas bumi (QS al-Nur: 55)
40
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Nur: 55)
b. Menyebutkan Motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar berlombalomba
berbuat
bermacam-macam
ketaatan.
Seorang
da‟i
harus
memperhatikan hal ini, yaitu senantiasa mendorong agar orang-orang mau mengerjakan shalat, zakat haji, sodaqah, jihad, silaturrahim dan lain sebagainya. Demikian pula para da‟i harus menjelaskan bahwa ketaatan kepada Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena manusia diciptakan oleh Allah sesungguhnya merupakan fitrah manusia, karena manusia diciptakan oleh Allah untuk taat kepada-Nya. Di dalam al-Qur‟an surah al-Dzariyat ayat 56 disebutkan: tidak Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. alDzariyat: 56)
41
kata beribadah oleh para tafsir antara lain mempunyai arti taat atau loyalitas,26 dengan demikian taat kepada Allah adalah sebagai kebutuhan manusia yang harus dilakukan setiap saat. C. Mauizhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir Kata Tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-dza-ra, menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang menunjukkan untuk penakutan (Takhwif).27 Adapun Tandzir menurut istilah dakwah adalah penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.28 Menurut M. Munir dalam bukunya metode dakwah mengatakan tandzir adalah ungkapan yang mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan bentuk ancaman berupa siksaan di hari kiamat.29 Hemat penulis tandzir atau peringatan berupa kalimat atau kata ancaman sangat mendorong efektifitas dakwah, mengingat kondisi mad‟u yang semakin hari semakin jauh dari Tuhan dan agamanya perlu sesekali seorang da‟i memberi kalimat penegasan akan dampak dari suatu kerusakan, dosa, yang di perbuat. Mengingat manusia itu sering lalai dan
26
Muhammad Ali al-Shabuni, rawa‟iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam, (Beirut: da fikri,
tt.), h. 27 27
Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu‟zam al-maqayis fi al-Lughah, (Beirut:dar fikr, 1994),
h. 1021 28
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1997), h. 49 29 M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 263
42
lupa dengan kemewahan, kegembiraan yang berlebihan, untuk itu sistem atau metode tandzir menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Namun disamping itu seorang da‟i tetap berada dalam koridor dan batas-batas yang telah ditetapkan agama. Tidak boleh memaksa, menakutnakuti dengan bahasa kecaman dan paksaan, hal itu dilarang dalam agama islam. Islam melarang keras pemaksaan agama itu,. Hal ini, menurut Quthub, karena masalah agama (Aqidah) adalah masalah menerima atau menolak setelah adanya penjelasan (al-bayan) dan pemahaman, dan sama sekali bukan masalah pemaksaan. Itu sebabnya, islam datang dengan mengetuk pikiran dan kognisi manusia serta semua potensi kesadaran yang dimiliki. Ia berbicara kepada akal dan kesadaran manusia yang aktif, sebagaimana ia juga berbicara pada fitrah yang merupakan hakikat primer manusia, tanpa sedikitpun menggunakan unsur paksaan. Kepercayaan agama itu tidak dapat masuk ke dalam jiwa manusia dengan cara pemaksaan. Pemaksaan agama itu menurut Qutub, selain dilarang, juga tidak ada artinya apa-apa.30 Namun perlu dipahami pula bahwa kebebasan agama itu, menurut Quthub, tidak mengandung arti bahwa setiap orang bebas
mempertuhankan
hawa
nafsunya,
atau
merelakan
dirinya
diperbudak oleh orang lain. Hal ini, karena prinsip yang harus ditegakkan menurut ajaran islam ialah prinsip ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Allah semata, Tuhan yang maha kuasa. Setelah tegaknya prinsip tersebut, maka setiap orang bebas menganut kepercayaan apapun. Dengan 30
A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 237
43
begitu, ketundukan dan kepatuhan manusia benar-benar hanya kepada Allah Swt (wa yakun al-din kulluh li Allah, Q.S. al-Baqarah:192). 31 Di dalam al-Qur‟an, Istilah Tandzir biasanya dilawankan dengan kata Tabsyir (QS. al- Baqara: 119, al-Maidah: 19).
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.” (QS. al-Baqarah:119).
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Maidah:19) Menurut Musthafa Malaikah dalam hasil penelitiannya tentang manhaj dakwah yusuf al-Qardhawi, bahwa sebagai seorang da‟i hendaknya beramal dengan seimbang antara rasa harap dan takut dan seimbang dalam menyampaikan kabar gembira dan ancaman, karena dalam agama islam terdapat konsep “tawazun dan tawasuth” atau keseimbangan dan pertengahan. Jangan sampai seorang da‟i melebihkan dengan peringatan memberikan rasa takut kepada umatnya sehingga justru 31
A.Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet-2, h. 238
44
akan mengakibatkan seseorang merasa putus asa dari rahmat Allah, padahal Allah berfirman:
“...jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (QS Yusuf:87). Sebaliknya, juga para da‟i tidak seyiogianya terlalu, berlebihan dalam memberikan kabar gembira, sehingga seseorang merasa aman dan tenang dari murka Allah, padahal juga berfirman:
“...tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. al-A‟raf:99) Sikap berlebih-lebihan dalam islam dianggap sebagai sifat yang tidak terpuji, maka berkaitan dengan pemberian tabsyir dan tandzir pun harus diterapkan secara proporsional, sehingga kedua konsep itu mampu memberikan arah yang jelas bagi umat.32 Imam Ibnu al-Qayyim Rahimahullah ketika menjelaskan surat AnNahl:125, menjelaskan makna mau‟izhah hasanah, beliau berkata, “ia adalah perintah dan larangan yang disertai dengan motivasi dan ancaman.33 Hal ini serupa dengan apa yang dinyatakan oleh syaikh asSa‟di Rahimahullah dalam tafsirnya. Jika kita meneliti ayat tersebut, niscaya kita akan memahami urutan dalam berdakwah. Diantara yang didakwahi ada orang yang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran, orang 32 33
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 264-265 At-Tafsir al-Qayyim, Ibnul Qayyim, hal. 244
45
ini –seperti telah dijelaskan sebelumnya- didakwahi dengan hikmah, yaitu menjelaskan kebenaran dari Al-kitab dan as-Sunnah. Adapun orang yang mengetahui kebenaran, akan tetapi tidak mengamalkannya, disebabkan kelalaian, maka pantas baginya adalah dinasihati, dan diingatkan dengan adanya pahala dan siksa, sehingga hatinya menjadi luluh untuk melakukan kebaikan secara terus menerus. Syaikh abdul Aziz bin Bazz Rahimahullah berkata, “jika orang yang didakwahi agak berpaling, maka dia pantas dinasihati dengan ayatayat Al-Qur‟an dan as-Sunnah, yang didalamnya mengandung motivasi.34 Nasihat itu dilakukan dengan mengungkapkan ayat, hadits, dan segala macam permisalan yang ada dalam Al-Qur‟an, demikian pula dengan mengungkapkan pahala, siksa, dan akibat yang bisa meluluhkan orang yang didakwahi, dan bisa menjadikannya selalu mengingat Allah.35 Nadzira atau peringatan adalah kabar buruk berupa informasi tentang ancaman, balasan bagi pelaku keburukan, kejahatan atau perilaku yang bertentangan dengan ajaran islam- pelanggaran atas larangan Allah Swt, informasi buruk “punishmant” tersebut berisi pesan agar komunikan atau melanggar ajaran islam.36 Tabsyir dan tandzir merupakan salah satu dari beberapa pendekatan dakwah yang dikenalkan al-Qur‟an. Karena hakikat mad‟u adalah manusia sendiri, yang mempunyai sifat dan karakter manusiawi, yaitu sosok makhluk yang mencintai kesenangan material, ingin 34
Fadhl ad-Dakwah, Abdul Aziz bin Bazz, hal. 23 Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah as-Suhaimi; Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf, (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 150-151 36 Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn., 2013), h. 16 35
46
mempunyai masa depan yang bahagia, senang terhadap penghargaan, ingin terhindar dari mala petaka dan bencana,
uslub
dakwah yang
diintrodusur al-Qur‟an, di temukan nada atau pendekatannya, memang sesuai dengan sifat dan karakter manusiawi, yakni tabsyir dan tandzir. Dalam beberapa kitab tafsir37, ketika menjelaskan ayat yang memuat kalimat tabsyir dan tandzir, hampir semua mufassir memberikan penjelasan bahwa pendekatan melalui tabsyir dilakukan dengan ilustrasi pahala, penghargaan, dan dengan janji mendapatkan kehidupan syurga bagi seorang yang menerima positif atau beriman dan menjalankan amal shaleh. Adapun pendekatan melalui tandzir dilakukan melalui ilustrasi sanksi, akibat buruk, dan atau mendapat ancaman suatu kehidupan pahit, gersang, dan sangat menyedihkan, yaitu suatu kehidupan an-nar.38 D. Pendekatan Dakwah Mau’izhah Hasanah Pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah secara praktikal terdiri dari dua bentuk, pengajaran (ta‟lim) dan pembinaan (ta‟dib). Dakwah mau‟izhah hasanah dalam bentuk ta‟lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan tauhid disertai pengamalan implikasinya dari hukum syari‟at yang lima, wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai dengan kondisi mad‟u dari bersikap gemampang (al-Tahawun) terhadap salah satunya. Contoh dari bentuk dakwah dengan pendekatan mau‟izhah
37
Antara lain dapat dilihat dalam kitab At-Tafsir Al-Munir, jilid 11-12, karya wahbah alJuhayly, Dar Al-Fakr, Beirut 1991, h. 12 38 Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, ( Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 79-80
47
hasanah melalui ta‟lim dalam al-Qur‟an misalnya dapat di telaah lewat firman Tuhan QS. al-Baqarah/2:222-223.39
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah:222) Sebagaimana kata At-Thabari dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat alBaqarah ayat 222 berkaitan dengan seorang yang bertanya masalah haidh, dan kaitannya dengan dakwah ta‟lim beliau berkata: “bahwa
mereka
menanyakan
kepada
Rasulullah
tentang
haidh
sebagaimana yang kami riwayatkan, karena sebelum ada hukum dari Allah mereka tidak menempatkan orang haidh dalam rumah, tidak memberi makan
dalam
satu
nampan,
tidak
menggaulinya,
maka
Allah
memberitahukan kepada mereka dengan ayat ini, bahwa yang wajib bagi mereka ketika masih haidh adalah dilarang menggaulinya saja sedangkan yang lainnya di perbolehkan, memberinya makan, minum, dan tidur bersama dalam satu ranjang.40
39
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 204-205 40 Abu Ja‟far Muhammadbin Jarir Ath-Thabari, Ahsan Askan terjemah, besus hidayat ed., Tafsir At-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.645
48
Rasulullah dalam ayat itu sebagai juru dakwah menjelaskan, seputar masalah tauhid dan hukum serta pengamalannya dalam syariat. Begitulah sejatinya para da‟i juga dituntut mengembangkan dakwah mau‟izhah hasanah dengan ta‟lim supaya mad‟u yang menjadi sasaran dakwah dalam menentukan hukum dan syariat tidak bingung dan nglantur. Syaikh Ali Mahfuzh mengatakan sebaik-baik dakwah adalah tarbiyah. Sekaligus menjawab keragu-raguan tentang poso tarbiyah dan dakwah. Dapat ditegaskan bahwa tarbiyah dan ta‟lim turunan dari metode dakwah serta induk dari tarbiyah adalah dakwah. Adapun pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekerti mulia) seperti kesabaran, keberanian, menepati janji, welas asih, hingga kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan bermsyarakat, di samping menjauhkan mereka dari perangai-perangai tercela yang dapat menghancurkan kehidupan seperti emosional, khianat pengecut, cengeng dan bakhil.41 Tahap penerangan dan propaganda atau tahap perkenalan ide, jika tidak diiringi dengan tahap pembentukan dan pembinaan (takwin) atau pemilihan pendukung dan pembela seperti golongan Anshar dan Hawariyun, dan mempersiapkan pasukan atau laskar serta mengatur taktik barisan dari kalangan orang-orang yang diseru (mad‟u), kemungkinan akan menjadikan segala usaha yang telah dikorbankan pada tahap
41
A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filasafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta;Kencana, 2011), h. 205
49
penerangan dan pengenalan ide dakwah akan menjadi sia-sia, bahkan akan hilang tanpa bekas. Kesadaran rohani yang telah muncul dalam tahap penerangan dan pengenalan (ta‟rif) tidak boleh dibiarkan musnah dan padam, tetapi harus dipelihara dan diarahkan ke dalam jiwa agar bergerak dan berusaha membuat perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan yang sejati dalam diri sendiri. Medan pertama untuk pembentukan dan pembinaan serta perubahan ini dimulai dalam diri sendiri. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ArRa‟du: 11) Banyak dikalangan kaum muslimin yang diseru sekarang ini akan dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu masyarakat yang jauh dari jiwa islam, menjadikan suatu masyarakat yang akan dikuasai oleh adat istiadat dan tradisi yang telah hancur, yang telah meresap dan bersatu dalam diri dan kehidupan mereka. Jadi bagi seorang da‟i yang menyeru manusia ke jalan Allah, memanggil manusia untuk hidup secara islami, harus memperhatikan dengan serius dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam membersihkan diri mereka dari segala tradisi islam yang suci, akhlak islam dan membentuk hidup manusia menurut karakter islam, serta mengembalikan kehidupan mereka menurut cara-cara kehidupan yang islami. Firman Allah yang artinya:
50
“Sibhgah Allah. Dan siapakah yang lebih baik dari shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya kami menyembah.” (AlBaqarah:138). Perubahan ini harus dimulai dari diri pribadi yang telah disirami dengan aqidah tauhid, mengesakan dan merasakan manisnya iman serta dapat diaktualisasikan dalam seluruh anggota tubuhnya dalam seluruh aspek kehidupannya. Renungkanlah betapa indahnya ungkapan yang telah dikatakan oleh Hasan Al-Hudhaibi dalam masalah ini, ia berkata: “tegakkan Daulah Islamiyah di dalam hatimu, agar dia tegak di atas bumimu”42 Sistem dakwah memiliki fungsi mengubah lingkungan secara lebih terinci, yang memiliki fungsi meletakkan dasar eksistensi masyarakat islam,
menanamkan
perdamaian,
kebaikan
nilai-nilai dan
keadilan,
keindahan,
persamaan, sebagai
inti
persatuan, penggerak
perkembangan masyarakat; membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan zhalim (tirani, totaliter) menuju sistem yang adil; menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku dalam masyarakat, dalam rangka mengemban tugas nahi mungkar, dan memberi alternatif konsepsi atas kemacetan sistem, dalam rangka melaksanakan amar ma‟ruf, meletakkan sistem sebagai inti penggerak jalannya sejarah; memberikan dasar orientasi keislaman kegiatan ilmiah dan teknologi; merealisasi sistem budaya yang berakar pada dimensi spritual yang merupakan dasar akspresi akidah; meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menegakkan hukum; mengintegrasikan kelompok-kelompok kecil 42
h. 22-23
Syaikh Musthafa Masyhur, Fiqh Dakwah, (Jakarta: Al-I‟tisham Cahaya Umat, 2012),
51
menjadi suatu kesatuan umat; merealisasi keadilan dalam bidang ekonomi, dengan mempertemukan golongan aghniya dengan golongan ekonomi lemah dan memberikan kerangka dasar keselarasan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.43 Pengajaran adalah kesempatan untuk pertanyaan yang bermacammacam yang mencakup seluruh isi dan berkaitan dengan tema. Juga kesempatan bagi da‟i dan mad‟u. Bagi mad‟u pengajaran adalah sarana yang baik agar mad‟u mengetahui keikhlasan da‟i, kebenaran dakwahnya, takaran ilmunya, serta keahlian dan daya penguasaanya. Bagi da‟i pengajaran dapat menjadi kesempatan baginya untuk menerangkan fikrahnya, menyingkap pendapat orang yang ada dihadapannya, serta mengukur seberapa kepuasannya. Demikian juga ia mampu dengan perlahan menghilangkan syubhat, keraguan, dan kebimbangan yang ada pada mad‟u. Pengajaran adalah sarana efektif untuk ta‟aruf
(perkenalan),
memperkuat komunikasi, memperdalam ukhuwwah antar berbagai pemikiran yang berbeda, berlangsungnya hubungan saling memberi, juga kesempatan untuk mutaba‟ah (mengikuti, memantau) kondisi mad‟u karena jumlah yang terbatas. Hal tersebut memungkinkannya untuk menanyakan tentang orang yang tidak ada, menanyakan keadaanya, memberikan pesan tertentu, memberikan bantuan jika memungkinkan,
43
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h.68
52
memberikan kelonggaran jika diperlukan, serta dapat bersama-sama dalam suka dan duka.44
44
Taufik al-Wa‟iy, Dakwah Ke Jalan Allah, (Jakarta: Rabbani Press, 2010), h. 406-407
BAB III DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH 1. Ayat-Ayat Tentang Mau’izhah Hasanah Mau‟izhah hasanah merupakan salah satu prinsip metode dakwah yang digariskan oleh Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 125. Sedangkan pemakaian kata-kata mauizhah dalam berbagai versi ditemukan dalam beberapa surat dan ayat, sekurang-kurangnya 25x dalam berbagai bentuk. Penjelasan oleh para mufassir tentang mau‟izhah hasanah memiliki keragaman dan turunannya yang banyak. Turunan yang dimaksud adalah ketika konsepsi mau‟izhah atau prinsip mau‟izhah diaflikasikan menjadi sebuah metode, maka akan didapatkan beragam teknik yang dapat dipergunakan oleh da’i dalam menjalankan misi dakwahnya.1 Metode pembelajaran atau mauizhah al-hasanah memiliki berbagai variasi seperti dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang dijadikan sebagai bentuk turunan dari mauizhah itu sendiri. Muhammad Fuad al-Baqiq2 memaparkan kata-kata mauizhah ditemukan sebanyak 9x dalam berbagai surat antara lain : Qs. Al-Baqarah ayat 66 dan 275, Ali Imran:138, al-Maidah: 46, al-A’raf:57, 145. al-Nahal: 125, dan Al-Nur: 34, dan Yunus: 57 Kemudian dalam bentuk asal waaza ditemukan sebanyak 10x terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 232, Anisa’ 63 dan 66, as-Shura 136, Shaf 16
1 Itdafriyenny, “METODE DAKWAH “MAUIZHAN AL-HASANAH DAN
TURUNANNYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS” diakses tanggal 28 nopember 2013 dari http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-alhasanah-dan-turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/ 2 Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Qur‟an al-Karim, (Qahirah: Dar al-Hadis,1998), h.153-154
53
54
dan 53, al-Waqiah 47, al-Mujadalah 3, at-Thalaq 2 dan QS Hud: 20. Dalam bentuk fi’il mudhari “yaizhu” ditemukan sebanyak 9x seperti dalam surat alBaqarah ayat 231, an-Nisa 58, an-Nahal 90, al-Hajji 30 dan 32, an-Nur 17, Luqman 13 dan at-Talaq ayat 5 dan Al-A’raf: 164. Kata-kata yaizhuhu diartikan sebagai kegiatan memberikan pembelajaran. Kegiatan yang bernuansa edukatif dalam al-Qur’an ditemukan berbagai variasi atas bentuk yang akan dinaha pada bahasa berikut ini. Kata mau‟izhah juga adalah perubahan kata dari dari akar kata dasar wa‟az, artinya memberi nasihat, memberi peringatan kepada seseorang yang bisa membawanya taubat kepada Allah. Kata wa‟aza dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an 25 kali, dalam bentuk mau’izat 9 kali.3 A. Ayat dalam bentuk kata mau’izhah a. QS Al-Baqarah: 66
“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang Kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Baqarah:66 ). b. QS Ali-Imran 138
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS AL-Imran: 138). c. QS Al-Maidah: 46
3
Lihat Ibnu Mandzur, lisan al-Arab, jilid 9, h. 346-347
55
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Maidah:46) d. QS An-Nahl: 125
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. e. QS An-Nur: 34
“Dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS An-Nur:34)
56
B. Ayat dalam Bentuk Kata Waaza dan Yu’izhu a. Baqarah ayat 232
“Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 232). b. Anisa’ 63 dan 66,
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” ( QS An-Nisa: 63)
“...kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),” (QS An-Nisa: 66) c. As-Shura 136,
“mereka menjawab: "Adalah sama saja bagi Kami, Apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat,” (QS As-Shuara: 136) d. Al-Waqiah 47,
57
“Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila Kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, Apakah Sesungguhnya Kami akan benar-benar dibangkitkan kembali?” (QS Al-Waqi’ah: 47) e. Al-Mujadalah: 3,
“...Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan: (QS Al-Ma’idah: 3) f. At-Thalaq:2.
“...Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS At-Thalaq: 2)
1. Klasifikasi Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah A. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah Al-ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makiyah dan Madaniyah ada dua cara; sima‟i (pendengaran) dan qiyasi (analogi). Sudah tentu sima‟i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.4
4
Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Cet. 13, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 73
58
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli ilmu-ilmu al-Qur’an tentang bahasan al-Makki wa al-Madani. Secara garis besar, perbedaan mereka itu dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok yakni: Pertama, sebagian mereka memformulasikan makiyah dengan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya; sedangkan madani mereka gunakan untuk menjuluki surat dan ayat-ayat alQur’an yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya. Kedua, ada ulama yang mendefinisikan al-Makki dengan surat dan ayatayat al-Qur’an yang titik berat khithah (arah pembicaraanya) lebih ditujukan kepada penduduk makkah; sedangkan al-madani adalah surat-surat dan ayatayat al-Qur’an yang titik tekan arah pembicaraanya (khitabnya) lebih ditujukan kepada penduduk madinah. Ketiga, dan inilah yang disebut-sebut sebagai pendapat yang paling masyhur dari ketiga pendapat yang ada yaitu pendapat para ulama yang mendefinisikan al-makki sebagai sebutan untuk surat-surat dan ayat-ayat alQur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw hijrah ke madinah, tanpa peduli apakah ayat itu turun di Makkah atau tempat lain. Sedangkan apa yang disebut al-Madani ialah kelompok surat dan ayat al-Qur’an yang diturunkan sesudah hijrah ke madinah walaupun turunnya di Makkah. Ketiga pendapat di atas tampak berangkat dari persepsi yang berbedabeda. Pendapat pertama lebih menekankan pemikirannya kepada tempat tinggal Nabi semata-mata, sementara pendapat kedua lebih menitik beratkan kepada penduduk yang dijadikan obyek pembicaraan al-Qur’an; dan pendapat
59
ketiga lebih mengutamakan peristiwa sejarah yang amat besar yakni waktu sebelum dan sesudah Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Pendapat terakhir inilah agaknya yang lebih kuat. Alasannya, selain karena didasarkan pada peristiwa besar dan bersejarah yakni kepindahan (hijrah) Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, juga terutama disebabkan standard ini dapat mengakomodir tempat kediaman Nabi Muhammad Saw seperti yang dijadikan titik tolak oleh kelompok pertama; dan juga sekaligus menampung kelompok kedua yang lebih mengandalkan pendapatnya pada perbedaan penduduk makkah yang kebanyakan non muslim serta penduduk madinah yang pada umumnya telah memeluk agama islam.5 B.
Ciri Khas Makiyah dan Madaniyah Setelah para ulama meneliti surat-surat Makiyah dan Madaniyah, mereka membuat kesimpulan analogis bagi keduanya, yang dapat menjelaskan ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakan oleh masing-masing ayat yang Makiyah dan Madaniyah. Kemudian, lahirlah kaidah-kaidah kunci untuk mendapatkan ciri-ciri tersebut. Penetapan Makiyah dan Ciri khas temanya 1. Setiap surat yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” adalah Makkiyah. 2. Setiap surat yang mengandung lafazh kalla, adalah Makkiyah. Lafazh ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari al-
5
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004), h. 194-195
60
Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam surat. 3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan-nas dan tidak mengandung ya ayyuhal-ladzina amanu, adalah Makkiyah, kecuali surat Al-Hajj yang pada akhir suratnya terdapat ya ayyuhal-ladzina amanurka‟u wasjudu. Namun demikian, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiyah. 4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah. 5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah Makkiyah kecuali, surat al-Baqarah. 6. Setiap surat yang dibuka dengan hurup-hurup muqhata‟ah atau hija‟i, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lainlainnya, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran. Adapun Surat Ra;d masih diperselisihkan. Penetapan Madaniyah dan Ciri Khas temanya 1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi hukum. 2. Setiap surat yang di dalamnya di sebutkan orang-orang munafik, kecuali surat Al-Ankabut, ia adalah Makkiyah. 3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab. Ini dari segi karakteristik secara umum. Adapun dari segi tema dan gaya bahasanya, adalah sebagai berikut:
61
1. Menjelaskan
masalah
ibadah,
muamalah,
had,
kekeluargaan, warisan, jihad, dan hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun di waktu perang, kaidah hukum, dan masalah perundangundangan 2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitabkitab Allah, permusuhan mereka terhdap kebenaran dan perselisihan mereka setelah keterangan datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka. 3. Menyingkap perilaku munafik, menganalisis kejiwaanya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama. 4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan syariatnya.6
C. Pengelompokan Surat dan Ayat Makkiyah dan Madaniyah Tentang Mau’izhah Hasanah Menurut perkiraan sebagian Ulama, di
antaranya Syaikh
Muhammad al-Khudhari Bek, surat dan ayat al-Qur’an yang tergolong ke dalam kelompok makkiyah berjumlah sekitar 13/30% dari keseluruhan al6
Syaikh Manna Al-Qaththan; Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha, Muhammad Ihsan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), cet. 13, h. 75-77
62
Qur’an; sementara jumlah surat dan ayat yang digolongkan ke dalam kelompok madaniyah hanya berjumlah sekitar 11/30%. Jadi kelompok surat Makiyah lebih banyak jumlahnya daripada kelompok surat madaniyah. Yang tergolong ke dalam kelompok surat madaniyah ialah alBqarah (2) Ali Imran (3) An-Nisa (4) al-Maidah (5) al-Anfal (6) at-Taubah (7) an-Nur (8) al-Ahzab (9) al-Qital (10) al-Fath (11) al-Hujarat (12) alFath (13) al-Mujadalah (14) al-Hasyr (15) al-Mumtahanah (16) as-Shaffat (17) al-Jumuah (18) al-Munafikun (19) at-Tagahabun (20) at-Tahalaq (21) at-Tahrim dan (22) an-Nashr. Kecuali yang telah disebutkan ini semuanya ke dalam kelompok surat makkiyah.7 Adapun surat dan ayat-ayat kata-kata maui‟zhah dan dalam bentuk kata wa‟aza adalah sebagai berikut: a. Ayat dan Surat Makkiyah dari kata ma’uizhah dan wa’aza dalam al-Qur’an adalah Surat an-Nahl: 125, Asyuara: 136 dan Surat Al-Waqi’ah: 47 b. Sedangkan ayat dan surat Madaniyah dari kata mau’izhah hasanah dan wa’aza adalah surat al-Baqrah: 66, 232, Ali Imran: 138, Al-Maidah:46, an-Nur: 34, al-Mujadalah: 3, at-Thalaq: 2.
3. ASBAB AN- NUZUL Menurut bahasa “sabab Al-Nuzul” berarti turunnya ayat-ayat alQur’an. Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Kepada Muhammad SAW. Secara 7
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004), h. 196-197
63
beangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Subhi Al-Shalih memberikan definisi Sabab Al-Nuzul sebagai berikut: “sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang menagandung sebab itu , atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.” Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat-ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.8 Manna’ al-Qaththan mendefinisikan, sababun nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur’an diturunkan pada waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan. Mengacu pada kedua definisi diatas, dapatlah diformulasikan bahwa sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.9 Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul Pengetahuan mengenai Asbab an-nuzul mempunyai banyak faedah, yang terpenting diantaranya yaitu:
8
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur‟an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 89-90 9 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004), h. 101-102
64
1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syari’at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai Rahmat bagi umat. 2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka
yang
berpendapat
bikhushsush as-sababi
al-„Ibrah
„umum
al-Lafzhi
la
(yang menjadi pegangan adalah lafazh
umum, bukan sebab khusus). 3. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbabunnuzul akan membatasi takhsish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.10
a. QS Surat An-Nahl: 125 Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.11 Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah)
10
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 96-97 11 Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, (Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir , tt), hal. 440/ 1
65
dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.12 Ayat ini turun di Makkah saat diperintahkan agar berdamai dengan Quraisy. Allah juga memerintah beliau agar berdakwah menyeru kepada Agama Allah dan syari’at-Nya dengan lemah lembut, tidak kasar atau keras demikiannlah seharusnya kaum muslim memberikan nasihat tentang hari kiamat. Yang merupakan hikmah bagi bagi para pelaku kemaksiatan dari kalangan ahli tauhid, dan mengahapus perintah perang terhadap orang-orang kafir. Telah dikatakan pula, “siapa saja kalangan orang-orang kafir yang bisa diharapkan keimananya dengan cara hikmah maka dia harus melakukan tanpa ada pertempuran.”13 b. QS Al-Baqarah: 66 Hari sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi-bagi orang-orang yahudi sesuai usul mereka sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas duniawi. Mereka dilarang mengail ikan pada hari itu. Tetapi, sebagian mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail, tetapi membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu. Peristiwa ini sementara tafsir terjadi di salah satu desa kota Aylah yang kini dikenal dengan Teluk Aqabah. Kemudian setelah hari sabtu berlalu, mereka mengailnya. Allah murka terhadap mereka, maka Allah berfirman kepada mereka, “jadilah kamu kera yang hina
12
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, (Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’,1420 H), jilid iv, h.613 13 Syaikh Imam Al-Qurthubi; Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti, Tafsir AlQurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 498
66
terkutuk.” Perintah ini bukan perintah kepada Bani Isra’il untuk mereka laksanakan, tetapi ini adalah
taskhir, yakni perintah menghasilkan
terjadinya sesuatu. Anda ingat firman-Nya: sesungguhnya perintah-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, „jadilah!‟, maka terjadilah ia” (QS. Yasin {36}: 82). Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal dikalangan mereka, khususnya para pemuka agama mereka sebagaimana diisyaratkan oleh kata “sesungguhnya kalian telah mengetahui.” Dalam ayat lain dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan kera dan babi (baca QS. Al-Maidah {5}: 60). Apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi selanjutnya. Hal ini juga sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orangorang bertakwa.14 c. QS Al-Baqarah: 232 Salah seorang sahabat Nabi saw yang bernama Ma’qal bin yasar menentang pernikahan anaknya dengan mantan suaminya yang bernama Asim bin Adi. Orang ini, Asim, telah menalaknya tetapi, setelah berakhir masa iddahnya, keduanya ingin mengikatkan tali pernikahannya kembali dengan sebuah pernikahan baru.
14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol, 1, h. 221-22
67
Dengan latar belakang inilah ayat tersebut diwahyukan dan mencegahnya (Ma’qal) dari penentangannya atas pernikahan tersebut. Juga di riwayatkan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut diwahyukan tatkala Jabir bin Abdullah menentang pernikahan sepupunya dengan mantan suaminya. Barang kali, di zaman jahiliah, hak ini diberikan kepada banyak saudara dekat. Jelas dalam hukum fiqih kita, saudara laki-laki dan sudara sepupu tidak memiliki perwalian (wilayat) atas saudara-saudara perempuan atau para sepupunya, tetapi seperti yang kita akan jelaskan dalam pembahasan ini, makna dari ayat di atas merupakan sebuah aturan umum mengenai perwalian dan selain dari mereka yang tak satupun dari orang-orang ini dibolehkan menentang pernikahan semacam itu: termasuk ayahnya, ibunya, sepupunya, ataupun orang-orang yang tidak ada kaitan saudara).15 D. QS An-Nahl: 90 Asbabu an-Nuzul ayat ini terdapat melalui hadits dari Al-Hafizh Ya’la meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair, dia berkata, (520) yang artinya: “Berita kedatangan, Nabi saw. Sampai kepada Aksam din shaifi. Dia bermaksud menemuinya. Namun kaumnya melarang aktsam. Dengan berkata, Engkau pemuka kami tidak rela jika jika kamu berendah diri kepadanya. Aktsam berkata, kalau begitu, agar ada orang yang menemuinya guna menyampaikan siapa aku dan mengetahui siapa dia. Maka dia mengutus dua orang untuk menemui Nabi saw. Keduanya berkata, kami utusan aktsam bin Shaifi. Dia bertanya, siapa engkau dan apa engkau? Nabi menjawab, siapa aku? Aku adalah Muhammad bin Abdullah. Dan apa aku? Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Nabi saw membaca ayat „sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan‟. Mereka berkata, Ulangilah ucapan 15
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 239-240
68
itu untuk kami, maka beliau mengulang-ulangnya hingga mereka hafal. Dua orang utusan kembali kepada aktsam dan berkata, „ dia menolak untuk memerinci nasabnya sampai ke atas. Lalu kami menanyakannya tentang nasabnya. Ternyata dia bernasabkan orang bersih dan terpandang. Dia pun menyampaikan beberapa kalimat yang kami hafal.‟ Tatkala Aktsam mendengar kalimat-kalimat tersebut, dia berkata, „ aku berpendapat bahwa dia menyuruh manusia berakhlak mulia dan melarang berkahlak tercela. Karena itu, jadilah kalian sebagai pelopor dalam masalah ini, jangan menjadi pengekor. “ (HR al-Hfizh Abu Ya’la).
BAB IV KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah Berdasarkan 6 surat dan ayat yang penulis kutip mengenai makna mau‟izah hasanah dalam al-Qur‟an, baik dalam bentuk kata al-ma‟izhatu yang terdapat dalam surat an-Nahl: 125, al-Baqarah: 66, an-Nur: 34, maupun dalam bentuk kata wa‟aza atau yu‟izhu yang terdapat dalam surat an-Nisa: 63, alBaqarah 232, al-A‟raf: 164 dan luqman: 13, semua bentuk kata itu, menurut seluruh mufassir sepakat mendefinisikan kata-kata mau‟izhah hasanah dengan kata-kata yang mengandung nasihat yang bagus, tidak menyakiti dan menakut-nakuti. Akan tetapi Imam As-suyuti dalam tafsirnya jalalain menafsirkan mau‟izhah hasanah lebih menekankan kepada nasihat atau perkataan yang halus.1 Sementara At-Thabari lebih menekankan kepada peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya).2 Sedangkan menurut Quraish Shihab, Kata-kata al-mau‟izhatu dalam Tafsirnya mengatakan, al-Mau‟izhatu terambil dari kata wa‟azha yang berarti Nasihat. Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. adapun
1
Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo, tt), h, 363 2 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil AlQur‟an, (Mesir: Muassatur Risalah, 1420 H), jilid 17, h.321
69
70
Mau‟izhah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang
buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.3 Sementara Quthub dalam tafsirnya bahwa nasihat yang baik atau mau‟izhah hasanah yakni lebih menekankan kepada dakwah yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.4 Dalam sebuah nasihat yang baik (mau‟izhah hasanah), dikatakan bahwa seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya;
3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 7, h. 392-393 4 Sayyid Quthub, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7, h. 224
71
a. ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan. b. Kepada para pemeluknya, Islam menawarkan gizi mental (dengan kebijaksanaan) serta pengayaan spritual (nasihat yang baik) seraya menganjurkan metode-metode logis manakala menghadapi lawan dialog. c. Kemurahan hati dan kebaikan merupakan dua metode dasar dalam semua jenis seruan kampanye jika dilakukan pada saat yang tepat dan ditempat yang semestinya.5 Berbeda dengan Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat alBaqarah:66 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Mau‟izhah adalah peringatan keras. Jadi makna ayat ini adalah kami jadikan siksaan dan hukuman sebagai balasan atas pelanggaran mereka terhadap laranganlarangan Allah dan perbuatan mereka membuat berbagai tipu muslihat. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang bertakwa menjauhi tindakan seperti itu agar hal yang sama tidak menimpa mereka.” Sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu „Abdillah bin Baththah, dari Abu hurairah Ra, bahwa Rasulullah bersabda: “janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, dengan cara menghalalkan apa yang di haramkan Allah melalui tipu muslihat yang amat rendah”. (Isnad hadits ini jayyid (baik)).6
5
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 721-722 6 Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M. „Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2009), jilid 1, h. 151
72
Selain al-Qur‟an menggunakan kata dalam bentuk al-mau‟izhatu, al-Qur‟an juga menggunakan Kata ya‟izhuhu dalam bentuk mudhari‟. Meski demikian Quraish Shihab menjelaskan atau memaknakan nasihat tetap dengan kata-kata yang menyentuh hati mad‟u. Akan tetapi dalam bentuk yai‟zuhu beliau lebih menekankan kepada makna ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Sebagaimana ketika beliau menafsirkan surat luqman:13. Penyebutan kata ini sesudah kata dia berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak. Kata ini juga mengsiyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat ke saat, sebagaimana dari bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata ya‟izuhu . Sementara ulama yang memahami kata wa‟zh dalam arti ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa anak luqman itu adalah seorang musyrik, sehingga sang ayah menyandang hikmah itu terus menerus menasihatinya sampai akhirnya sang anak mengakui tauhid. Hemat penulis sebagaimana tutur Quraish Shihab, pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Thahir Ibnu Asyur ini adalah sekedar dugaan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Nasihat dan ancaman tidak harus dikaitkan dengan kemusyrikan. Di sisi lain, bersangka baik terhadap anak luqman jauh lebih baik dari pada bersangka buruk.
73
Kata bunayya dalam surat luqman: 13 tersebut adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah ibny, dari kata ibn yakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini kita dapat berkata bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik. Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah untuk menekan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik. Memang “At-takhliyah muqaddamun al attahliyah” (menyingkirkan keburukan lebih utama dari pada menyandang perhiasan).7 Di riwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari al-Qasimbin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya: “Luqman Hakim berkata kepada anaknya ketika menasihatinya, hati anakku, janganlah kamu bertopeng karena pada malam hari menakutkan dan pada siang hari dicela.” Perkataan luqman kepada Anaknya Hai anakku, kebijakan itu mendudukan kaum miskin di majlis para raja. Hai anakku, jika kamu mendatangi suatu perkumpulan manusia, lepaskanlah kepada mereka panah islam, yaitu salam. Kemudian duduklah di sisi mereka. Janganah kamu berbicara hingga mereka selesai bicara. Jika mereka tercurah ke dalam dzikrullah, tahanlah panahmu bersama 7
Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M. „Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2009), jilid 1, h.126-127
74
mereka. Jika mereka tercurah kepada selain itu maka pindahlah dari mereka ke kaum yang lain.8 Pelajaran merupakan salah satu cara untuk menyeru kepada kebenaran dan tak ada seorang pun yang tidak membutuhkannya. Salah satu nama lain al-Qur‟an adalah pelajaran (al-mau‟izhah). Surah Yunus, ayat 57, menegaskan, “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu...” dalam kitab-kitab hadits, ada bab khusus yang membahas tentang pelajaran. Sebagian ayat-ayat al-Qur‟an menyatakan bahwa Rasulullah saw adakalanya meminta Jibril supaya memberi pelajaran kepadanya. Ali bin Abi Thalib ra adakalanya pula meminta sebagian dari sahabat-sahabat beliau supaya memberi pelajaran kepadanya karena mendengarkan pelajaran itu akan berdampak bagi orang yang mendengarkan apabila ia tidak tahu. (Murthada Muthahhari, Dah Guftar, hal. 224). Selanjutnya untuk
memperkenalkan
Luqman
dan
tingkat
keilmuan
serta
kebijaksanaanya, ayat ini menunjukkan nasihat pertama dari luqman. Nasihat yang tercantum dalam al-Qur‟an itu merupakan nasihat paling utama kepada putranya. Nasihat Luqman ini mengajarkan bahwa manusia itu harus berpegang teguh pada idiologi yang paling mendasar, yaitu idiologi tauhid dan memiliki nilai Tauhid dalam segala aspek dan dimensi kehidupan. Segala gerak yang bersifat destruktif dan melawan Allah SWT berakar dari mempersekutukan Allah SWT. Kesukaan kepada uang, memuja tahta, 8
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, penerjemah, Syihabuddin, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), jilid 3, h. 794-795
75
nafsu
birahi
dan
semacamnya
termasuk
cabang-cabang
dari
mempersekutukan Allah, memenuhi perintah-Nya, berlepas diri dari selain-Nya dan menghancurkan segala berhala di dalam wilayah kekuasaanya.9 Sementara At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan makna dari wa‟izhhum yakni berilah pelajaran kepada mereka dengan menakut-nakuti mereka akan siksa Allah yang akan datang menimpa mereka, dan siksa itu akan turun di rumah-rumah mereka. Juga memperingatkan mereka dari perbuatan buruk yang dilakukannya dari keraguan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.10 Kata-kata wa‟izhhum juga di artikan oleh Al-Qurthubi dengan pelajaran yang membuat mereka takut.11 Dalam surat an-Nisa:63 yang dikutipnya mengatakan, kata wa‟izhhum di susul dengan kata qaulan Baligan, menunjukkan bahwa pelajaran itu harus berbekas dan masuk ke relung hati mad‟u yang menjadi obyek dakwah. Kata baligan terdiri dari huruf-huruf Ba, Lam, dan gain. Pakar bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu kepada batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup
9
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 279-280 10 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah, Akhmad Affandi; Editor, Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 7, h. 284-285 11 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor, Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626
76
dinamai balig. Muballigh adalah seorang yang menyampaikan suatu berita yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar sastra menekankan perlunya dipenuhi beberapa kriteria sehingga pesan yang disampaikan dapat disebut baligan, yaitu: 1. Tertampungya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan. 2. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan. Artinya kalimat tersebut cukup, tidak berlebih atau berkurang. 3. Kosakata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat” terdengar. 4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara. Lawan bicara atau orang kedua tersebut boleh jadi telah meyakini sebelumnya atau belum memiliki ide sedikitpun tentang apa yang akan disampaikan. 5. Kesesuaian dengan tata bahasa. Ayat an-Nisa itu mengibaratkan hati mereka sebagai wadah ucapan, sebagaimana dipahami dari kata fi anfusihim. Wadah tersebut harus diperhatikan, sehingga apa yang dimasukkan ke dalamnya sesuai, bukan saja dalam kuantitasnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang harus diasah dengan ucapan-ucapan halus, dan ada juga yang harus dihentakkan
dengan
kalimat-kalimat
keras
atau
ancaman
yang
77
menakutkan. Walhasil, disamping ucapan yang disampaikan, cara penyampaian dan dan waktunyapun harus diperhatikan.12 Sementara Al-Qurthubi dalam tafsirnya menafsirkan kata wakul lahum fi anfusihim Qaulan Baligan, dengan larangan kepada mereka dengan cara yang baik saat berbisik lagi sendiri. Al-Hasan berkata, “katakan pada mereka jika kalian menampakkan apa yang ada dalam hati kalian, maka aku akan memerangi kalian, dan balagha al qaul balaghatan dan rajulun baligh yaitu ia berbicara dengan apa yang ada dalam hatinya.13
B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah Pembicaraan mengenai siapa da‟i mau‟izhah hasanah, secara spesifik tidak disebutkan dalam al-Qur‟an, sebagaimana 6 surat dan ayat yang penulis kutip di awal, kecuali surat lukman:13. Namun al-Qur‟an berbicara mengenai kriteria seorang da‟i mau‟izhah hasanah menurut al-Qur‟an yakni, Bagaimana da‟i seharusnya memberikan nasihat yang baik, tidak menyakiti, dan tidak menyebut-nyebut kesalahan mad‟u. Serta bagaimana cara menggugah hati sanubari mad‟u sehingga pesan dan kesan dakwah tersampaikan. Pelaku da‟i mau‟izhah hasanah sebagaimana yang dijelaskan sementara mufassir dalam al-Qur‟an di atas, ketika menafsirkan al-Qur‟an surat an-Nahl, dikatakan bahwa seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan
12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), vol, 2, h. 468-469 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor, Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626-627 13
78
dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan. Di samping itu da‟i mau‟izhah hasanah adalah dari golongan orang tua, sebagaimana nampak dalam surat luqman: 13, bahwa lukman menjadi da‟i yang mengajak anaknya untuk menuju ke jalan Allah. Oleh karena itu seorang penasihat biasanya orang yang lebih tua dan memiliki hikmah dan ilmu. Sebagaimana yang disandang sang ayah (lukman) yaitu hikmah hingga terus menasihati anaknya sampai akhirnya anaknya mengakui tauhid. Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang da‟i termasuk da‟i mau‟izhah hasanah yang mengajak kepada perbuatan ma‟ruf dan melarang orang lain berbuat mungkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma‟ruf dan yang mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang. Dan yang dimaksud dengan ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya. Jadi berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktek Nabi saw.,
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf: 108).
79
Pentingnya seorang da‟i berbekal ilmu yang benar berdasarkan nash al-Qur‟an memiliki kualitas akademik tentang islam, konsisten antara amal dan ilmunya, santun dan lapang dada dan lain-lain sangat mendukung dalam memberikan pesona kepada mad‟u, karena bagaimana seorang da‟i berdakwah menyeru kepada manusia kepada dien Allah sedangkan da‟i tidak mengetahui jalan menuju-Nya tidak mengetahui Syariat-Nya.14 Namun dewasa ini banyak kita saksikan, berdasar al-Qur‟an di atas. Banyak da‟i yang memberikan nasihat tidak sesuai dengan makna dan ruang lingkup dari nasihat itu sendiri. Banyak kita saksikan khususnya di televisi misalnya, yang memberi nasihat kadang tidak sesuai dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya serta masih jauh dari kebenaran dan sering kepada penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini memberi dampak negatif bagi pesan dakwah itu sendiri. seharusnya da‟i pemberi mau‟izhah apalagi dalam skup yang lebih luas dalam hal ini televisi seharusnya lebih memperhatikan konten ketimbang entertain, sebab bagaimana bisa tersampaikan pesan dakwah kalau yang mendakwahi tidak memiliki jalan menuju syariat-Nya sebagaimana kata Ibnu Taimiyah diatas. Seorang da‟i adalah seorang pejuang yang mengembangkan kasih sayang kepada segala sesuatu. Dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keliru untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan kekerasan, kekuatan, dan paksaan. Karena untuk meneguhkan iman dalam hati seorang tidak perlu menggunakan cara-cara yang keliru seperti yang
14
Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 243-244
80
kami sebutkan diatas. Untuk menerangkan keimanan dapat tumbuh subur di hati setiap orang yang mendengar nasihat baiknya. Hendaknya setiap da‟i mampu menggunakan cara-cara yang menarik simpatik di hati para pendengarnya. Hendaknya ia menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya, agar umatnya menghargai kepribadian para da‟i. Tetapi kalau ada da‟i yang menggunakan cara kekerasan dan paksaan, maka para pendengarnya tidak akan merasa terpanggil untuk mengikuti tuntunannya. Sikap kasih sayang kepada umat yang diperankan oleh pribadi Rasulullah saw. Menjadikan dakwah beliau dapat diterima orang banyak dalam waktu yang sungguh sangat singkat. Dalam salah satu sabdanya beliau menyebutkan, “Aku bagi kalian adalah seorang ayah.”15 Komunitas muslim adalah suatu komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi moral iman, islam dan takwa yang dipahami secara utuh, benar dan menyeluruh. Komunitas ini tidaklah eksklusif karena ia berfungsi sebagai komunitas teladan ditengah-tengah masyarakat yang plural baik dari segi budaya, etnis, dan agama, yang sering kali manusia lupa bahwa ada sendi-sendi agama yang mengatur kehidupan. Di saat manusia lengah, lupa bahkan mungkin saja melakukan penyimpangan maka saat itu pulalah ada kewajiban saling menasihati. Namun tentunya ada cara-cara yang baik bagaimana seseorang menasihati orang lain agar nasihat itu sampai ke dalam dada si pendengar nasihat.16
15
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta: Republika, 2011), h. 314-315 16 Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke 2, h. 242
81
“perumpamanaanku dengan umatku bagi seorang laki-laki yang menyalahkan api, kemudian ada sejumlah serangga yang mendekat kepada api itu, tetapi orang itu mengusir serangga-serangga itu dari api, agar tidak terjatuh ke dalam api, demikian juga senantiasa berusaha menyelamatkan kalian dari api neraka, tetapi kalian berusaha menolakku.”17 Cara yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Untuk menyampaikan dakwahnya adalah sangat luwes dan santai, sehingga siapapun yang menempuh cara-cara yang dilakukan oleh beliau saw., untuk mengajak orang lain kepada kebenaran, pasti akan sukses. Sebaliknya, jika cara yang ditempuh bertentangan maka ia akan gagal. Demikian pula, hendaknya setiap da‟i mempunyai jiwa yang penuh kasih sayang kepada semua orang, agar mereka dapat menyelamatkan orang-orang itu di dunia dan akhirat. Adapun contoh yang paling baik bagi kita adalah pribadi Rasulullah Saw. Sepanjang hidupnya Nabi saw. Terus menerus berdakwah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah, meskipun beliau menghadapi berbagai tantangan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Adakalanya beliau saw. Dijerat lehernya dengan sehelai kain oleh musuhnya, adakalanya pula beliau saw. Dilumuri dengan kotoran binatang, adakalanya pula jalan beliau saw. Dijerat lehernya dengan sehelai kain oleh musuhnya. Adakalanya pula beliau saw. Dipenuhi dengan duri-duri, meskipun beliau selalu berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, agar mereka masuk ke dalam syurga. Ingatlah, ketika beliau saw. Berdakwah di kota Thaif, maka beliau saw. Disakiti oleh sejumlah penduduknya dengan kedua kaki dan wajah beliau saw. Terluka. Ketika itu beliau hanya ditemani oleh zaid bin
17
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Al-Fadhail, 17-19, Al-Bukhari, Ar-Riqaqu 26
82
haritsah ra, sehingga malaikat penjaga gunung menawari jasanya akan menjatuhkan gunung kota thaif kepada mereka yang telah melukai pribadi Rasulullah Saw., tetapi tawaran baik dari malaikat itu ditolak oleh beliau seperti yang disebutkan dalam sabda beliau berikut ini, Áku masih berharap semoga Allah mengeluarkan anak cucu dari mereka yang mau menyembah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu baginya. (HR Bukhari). Ingatlah ketika wajah beliau Saw. Terluka di medan perang, sehingga darah beliau Saw. Menetes ke bumi, pada saat seperti itu beliau Saw. Masih berdoa sebagai berikut, “Ya Allah, berilah ampun apa yang telah dilakukan oleh umatku terhadap diriku, karena mereka tidak mengerti.”(HR Bukhari). Doa Nabi di atas adalah untuk menyelamatkan umatnya dari siksa Allah. Hal ini bisa terjadi karena besarnya rasa kasih sayang beliau Saw. Terhadap umatnya.18 Begitulah sejatinya para juru dakwah dengan cara mau‟izhah hasanah menyebarkan pesan-pesan dakwah, yaitu dengan penuh kasih sayang, kelembutan, pengayoman, dan tidak memaksa. Dengan itu nilai dakwah akan cepat tersampaikan dan tersentuh di hati masyarakat yang mendengar. C. Siapakah Mad’u Mau’izhah Hasanah? Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da‟i dan berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologi mereka, setiap da‟i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya 18
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta: Republika, 2011), h. 317-318
83
harus memperhatikan kondisi psikologis mad‟u. Kalau kita perhatikan perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di Makkah ataupun di madinah tampaknya salah satunya disebabkan oleh berbedanya kondisi psikologis kelompok-kelompok yang didakwahi. Muhammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah” nya sebagaimana yang dikutip oleh M. Munir dalam bukunya metode dakwah, mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan dengan kondisi psikologis mad‟u ini bahwa: pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da‟i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika seorang da‟i mencium adanya sikap memusuhi islam dalam diri penerima dakwah, maka dengan alasan apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Dia mesti berusaha sebisa-bisanya untuk menghilangkan sikap permusuhan tersebut.19 Bila diperhatikan pemaknaan mau‟izhah hasanah dalam ayat-ayat alQur‟an maka tekanan tertuju kepada peringatan yang baik dan dapat menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens terdorong untuk berbuat baik.20 Mad‟u mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quraish shihab ketika menjelaskan al-Qur‟an surat al-Baqarah:232, bahwa mad‟u mau‟izhah hasanah adalah orang-orang beriman kepada Allah dan hari akhir. Ketika menunjuk nasihat ditemukan lagi kata itu, tetapi kali ini berbentuk jamak 19
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 58-59 Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an, Disertasi Doktor, Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta, 2002), h. 186-187 20
84
(dzalikum). Penggunaan bentuk jamak ini mengisyaratkan, lanjut beliau, bahwa petunjuk-petunjuk tersebut akan memberi manfaat untuk banyak orang. Memberi ketenangan dan kebahagiaan untuk seluruh anggota keluarga bahkan untuk masyarakat seluruhnya.21 Di samping itu mad‟u mau‟izhah hasanah juga bisa dilihat dalam alQur‟an surat lukman, yakni sasaran dakwah tertuju kepada keluarga terdekat, dalam hal ini anak. Lukman (da‟i) dan anak (mad‟u). Anak sebagai mad‟u dalam ayat tersebut mendapat nasihat hingga anak mengakui tauhid. Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni mengelompokkan mad‟u dalam dua rumpun besar, yaitu: a) rumpun muslimun atau mukminun atau umat istijabah (umat yang telah menerima dakwah), dan b) Non muslim atau ummat dakwah (umat yang perlu sampai kepada mereka dakwah islam)). Umat istijabah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: a) Sabiqun bi al-khairat (orang-orang shalih dan bertakwa), b) Dzalimun Linafsih (orang fasik dan ahli maksiat), c) Muqtashid (mad‟u yang labil keimanannya). Sedangkan ummat da‟wah dibagi dalam empat kelompok, yaitu: a) Atheis, b) Musyrikun, c)Ahli Kitab, d) Munafiqun. Said bin Ali bin Wahf alQahthani melakukan pembagian yang hampir sama dengan al-Bayanuni, yaitu membagi mad‟u dengan kategori muslim dan non muslim. Mad‟u dari rumpun muslim dibagi dua, yaitu: a) muslim yang cerdas dan siap menerima kebenaran, dan b) Muslim yang siap menerima kebenaran, tetapi mereka sering lalai dan kalah dengan hawa nafsu. Sedangkan non 21
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera hati, 2002), vol 1, h. 502
85
muslim, pembagiannya sama dengan al-Bayanuni, tetapi beliau tidak memasukkan Munafik dalam kelompok non muslim. Sedangkan berdasarkan klasifikasi, masyarakat dapat dihampiri dengan dua pendekatan, yaitu: a. Pendekatan kondisi sosial budaya, yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa; b. Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok masyarakat maju (industri), dan kelompok masyarakat terbelakang.22 Seruan dengan mau„izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut alBaidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi. Atas dasar itu dalam al-Qur‟an di awal, mad‟u mau‟izhah hasanah bisa dilihat sperti anak, yang lebih bawah ilmunya dengan sang ayah dalam hal itu lukman. Akan tetapi si anak ini, masih bisa mempunyai fitrah dan hati yang bersih untuk bisa mencerna mana yang benar dan mana yang salah. Berdasarkan ungkapan dari Abu al-Fath al-Bayanuni di atas sejalan juga yang di jelaskan al-Qur‟an sebagaimana tutur al-Biqai ketika menjelaskan sasaran dakwah (mad‟u) dalam al-A‟raf:164 yakni mad‟u atau sasaran dakwah adalah qauman. da‟i yang harus menyampaikan dakwah kepada siapapun, tanpa kecuali, meskipun kepada mereka yang jelas-jelas menentang ajaran Allah swt., sehingga layak menerima azab-
22
M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 106-108
86
Nya. Justru menurut al-Biqai, kesiapan untuk berdakwah kepada setiap kalangan tanpa kecuali dan tanpa memilih-milih sasaran dakwah menunjukkan keikhlasan dakwah seseorang dan optimisme serta komitmennya terhadap ajaran Allah swt. Agar tersebar ke setiap jengkal bumi Allah swt. Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur‟an di atas dapat dikategorikan bahwa metode maw‟izhah al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi informasi yang mereka jera melakukannya. Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu: pertama, maw‟izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua; mau‟izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur (peradaban)
yang
dijadikan
sebagai
pedoman
dalam
kehidupan
87
bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai
media
mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi tersebut. Sudah menjadi fitrah manusia suka kepada yang menyenangkan dan benci kepada yang menakutkan, maka selayaknya bagi para da‟i untuk memulai dakwahnya dengan memberi harapan yang menarik, mempesona dan
menggembirakan
sebelum
memberikan
ancaman.
Muslim
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “serulah manusia! Berilah kabar gembira dan janganlah membuat orang lari”. Seorang da‟i seharusnya lebih dahulu memberikan targhib (kabar gembira) sebelum tarhib (ancaman), mendorong, beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakutnakuti dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan Ilmu dan memotivasi untuk melaksanakan shalat pada waktunya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan shalat. Kita memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragamnya tabiat manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan itu bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega. Pemeberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme
88
seseorang inilah sebagai tarhib (ancaman) diberikan mana kala ada perlawanan
dan
pembangkangan
guna
menyadarkan
dan
mengembalikannya ke jalan yang benar. Kita perhatikan Firman Allah QS Al-Hijr:49-50:
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.”23
D. Dampak dan Keutamaan Menggunakan Mau’izhah Masanah Berdasarkan al-Qur‟an di atas dampak dari mau‟izhah hasanah sebagaimana singgung Sayyid Quthub di awal bahwa kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.24 Di samping itu dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah: 232 ditegaskan dengan kata-kata zalikum adzkalakum wa‟athar (lebih baik dan lebih suci) maksudnya Iman kepada Allah dan hari kemudian inilah yang menjadikan nasihat ini dapat sampai kedalam hati, ketika hati berhubungan dengan alam yang lebih luas daripada dunia ini, dan ketika ia menghadapkan diri kepada Allah dan ridha-Nya mengenai apa saja yang ia lakukan dan ia tinggalkan. Perasaan dan kesadaran bahwa Allah menghendaki apa yang lebih suci dan lebih bersih dari pada keadaanya sekarang, akan mendorong 23
Jum‟ah Amin Abdul Aziz, Fiqh Dakwah, (Solo: Era Inter Media, 2000), h. 393 Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7, h. 224 24
89
si mukmin itu untuk mematuhi Allah dan meraih kesucian dan kebersihan untuk dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Karena merasakan sentuhan hati bahwa yang memilihkan jalan untuknya adalah Allah yang mengetahui apa yang tidak diketahui oleh manusia, maka ia akan segera menyambut dan menerima semua aturan Allah dengan ridha dan pasrah.25 Kata-kata ma‟ziratan ila rabbikum... dalam al-A‟raf: 164 itu memberikan penjelasan akan dampak dari nasihat yang diberikan. Lanjut At-Qurthubi maksudnya adalah mereka ingin mengatakan bahwa nasihat ini, agar kalian bertakwa kepada Allah dan tidak lagi melakukan perbuatan yang fasik. Pendapat ini dinisbatkkan oleh at-Thabari kepada ibnu AlKalbi.26 Keutamaan metode ini terletak pada pemakaian ungkapan yang lemah lembut yang dapat menggugah hati para pendengarnya. Metode ini juga mempunyai bentuk yang bermacam-macam sehingga memungkinkan seorang da‟i untuk memilih suatu bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi mad‟u. Metode ini juga mampu memberikan implikasi yang sangat dalam di dalam jiwa para mad‟u, dengan menanamkan kecintaan dan kedekatan dengan para mad‟u, di samping dapat memerangi kemungkaran dan mencegah penyebarannya, karena seseorang akan merasa malu jika mereka tidak mendengar atau menerima apa yang dinasehatkan kepada mereka, paling tidak mereka malu untuk memperlihatkan perbuatan mungkar mereka. Di samping itu juga metode ini sering dilakukan oleh
25
Sayyid Quthub, penerjemah, As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7,Jilid1, h. 301 26 Atabik Luthfi, Tafsir Da‟awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da‟i, (Jakarta: alI‟thisam, 2011), h. 96-97
90
Rasulullah Saw. Ketika berhadapan dengan orang Quraish.
27
seperti yang
di riwayatkan oleh Anas ra. Ia berkata “ketika kami duduk bersama Rasulullah di masjid tiba-tiba datanglah seorang badui berdiri lalu kencing di dalam masjid. Hal ini membuat para sahabat menjadi jengkel dan marah. Namun Rasulullah saw. Berkata kepada para sahabatnya “janganlah engkau memarahinya, biarkanlah ia menyelesaikan hajatnya, lalu para sahabat meninggalkan orang tersebut, kemudian Rasulullah saw. Memanggilnya dan berkata kepadanya: “sesungguhnya masjid ini didirikan bukan untuk dikencingi atau dikotori, namun ia didirikan untuk mengingat Allah, shalat dan membaca al-Qur‟an.28 Jadi, dakwah al-Mauidzat al-Hasanat adalah metode yang dilakukan agar dakwah dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan. Sebab, kelemah-lembutan dalam menasihati (alMaui‟zhat) sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Bahkan, ia lebih mudah melahirkan kebaikan ketimbang larangan dan ancaman.29 Menyampaikan dakwah dengan ruhani yang dalam, menjadikan “Perilaku dan tutur katanya akan dijadikan suri teladan yang baik bagi orang lain dan sebagai tanda bahwa ruhaninya adalah sehat. Setiap kali ia
27
Muhammad Abu al-Futuh. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da‟wat, ( Beirut: Muassasah alRisalah, 1991), h. 14 28 Lihat, „Abd al-Hamid Muhammad Muhyiddin, sirat an-Nabawi, (Kairo: Maktabat Muhammad „Ali Sabih, 1983), h. 43 29 Faizah, “konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik” Tesis Pasca Sarjana, (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.50-51, t.d
91
melihat mendengar, atau memegang sesuatu, maka ia selalu ingat kepada Allah, sehingga Allah menjadi sumber hidup baginya. Setiap kali ia mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menambah ilmu baginya dan ia akan selalu diberi petunjuk oleh-Nya, sehingga ia akan mendapatkan jalan keluar bagi setiap kesulitannya dan ia akan menjadi tuntunan hidup bagi kaumnya, sehingga semua orang menjadikan pribadinya sebagai tuntunan hidup bagi mereka. Jika seorang da‟i sangat dalam keruhaniannya, maka ia akan sukses dalam dakwahnya kepada orang lain, seperti Rasulullah menyebutkan dalam sabda beliau berikut ini, keyakinan itu semuanya termasuk keimanan.” Arti keyakinan adalah kesiapan seseorang untuk menerima bukti-bukti kebenaran, sehingga ia akan mengisi otaknya dengan berpikir dan mencari Ilham. Ia akan mengisi perilakunya dengan berbagai macam amal saleh dan ibadah, sehingga hatinya menjadi cemerlang yang terang setiap kali melihat kebenaran yang datangnya dari Allah.30 Berikut ini contoh dakwah terbaik yang pernah dicontohkan Rasulullah Saw., seperti dilaporkan oleh Abu Umamah sebagai berikut, “Ada seorang pemuda Quraisy datang kepada Nabi Saw. Seraya berkata, “Ya Rasulullah, berilah aku ijin untuk berzinah.‟ Maka para sahabat murka kepadanya sambil berkata, „Janganlah berkata seburuk itu kepada Rasulullah.‟ Tetapi beliau Saw. Menyuruhnya mendekat kepada beliau. Kemudian beliau bertanya, apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan ibumu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak.‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela jika ada 30
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta: Republika, 2011), h. 337-338
92
seorang berzinah dengan putrimu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak‟. ‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan saudara perempuanmu? Jawab pemuda itu, „Tidak.‟ Tanya Rasulullah, „Apakah apakah kamu rela jika ada seorang laki-laki yang berzinah dengan saudara ayahmu?‟ jawab pemuda itu, „Tidak.‟ ‟tanya Beliau, „Apakah kamu rela jika ada seorang berzinah dengan saudara perempuan ibumu? Jawab pemuda itu, „Tidak.‟ Kemudian beliau Saw. Meletakkan tangan beliau Saw. Di atas telapak tangan pemuda itu seraya berdoa. Ya Allah, ampunilah
dosa
pemuda
ini,
sucikan
hatinya,
dan
lindungilah
kemaluannyadari perbuatan keji.‟ Kemudian kata Abu Umamah, „setelah mendapat berbagai pertanyaan dari beliau Saw. Seperti itu, maka pemuda itu segera pergi dan ia menjadi pemuda yang paling suci dari sejumlah pemuda yang ada di kota Madinah.31
31
Ibnu Ibrahim, Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup, (Jakarta: Republika, 2011), h.337
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa al-Qur’an ketika berbicara mengenai konsep mau’izhah hasanah, diartikan dengan konsep metode berdakwah dengan penuh kelembutan, kasih sayang, tidak memaksa, dan tidak menyakiti hati para mad’u. Dengan berdakwah yang menyentuh hati, di mungkinkan mad’u akan cepat dengan sendirinya menyadari pentingnya kebaikan untuk dilaksanakan dan keburukan untuk ditinggalkan. Dari arti yang diberikan oleh beberapa ahli tafsir tersebut, kata mau’izhat dapat dikelompokkan, pertama bahwa mau’izhat itu lebih dekat sebagai dalil; kedua, mau’izhat itu pelajaran yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikaitkan dengan dakwah, dapat disimpulkan bahwa mau’izhat adalah pekerjaan (materi dakwah) yang disampaikan dengan dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang tepat yang dapat memuaskan orang atau audien yang dihadapi sehingga jiwanya menjadi tenang. Dari pemahaman di atas, mau’izhat
ketika dikaitkan sebagai
metode dakwah adalah merupakan sebuah metode dengan menggunakan dalil-dalil, argumentasi yang tepat sehingga orang yang diseru (obyek dakwah) menjadi puas
menerima seruan atau materi dakwah dengan
penuh rasa kasih sayang.
93
94
Sementara da’i mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an adalah seorang juru dakwah yang berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan. Pelaku da’i mau’izhah hasanah adalah tergolong usianya lebih tua dari yang di dakwahi sebagaimana menurut al-Quran surat luqman: 13. Yakni seseorang yang lebih tua/ayah dan memiliki kapasitas ilmu dan hikmah yang memadai. Sedangkan mad’u metode ini adalah orang-orang awam atau golongan kebanyakan. Materi yang akan disampaikan kepada mereka harus sesuai dengan daya tangkap mereka. Di hadapan mereka tidak sesuai apabila kata yang mempunyai arti logis, mengucapkan istilah-istilah asing. Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya; 1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66). 2) Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba ( QS al-Baqarah; 275). 3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. alMaidah; 46). 4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
95
5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57) 6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud; 120) 7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125) 8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS. al-Nur;34) 9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63) Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya. Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya. Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang
96
dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah al-hasanah, meliputi : 1. Menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa umat yang dihadapi, 2. Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana, 3. Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka jera melakukannya, dengan menempuh targhib wa al-tarhib 4. Memberikan teladan yang baik B. Saran-saran Setelah membahas secara panjang lebar “Konsep Mau’izhah hasanah dalam al-Qur’an”, penulis akhirnya menyarankan beberapa hal kepada semua pihak yang terkait, guna mendukung konsep metodologi dakwah yang lebih efektif ke depannya. Di antaranya adalah: 1. Terdapat
banyak
ayat
dalam
al-Qur’an
yang
belum
terklasifikasikan. Maka, kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan secara konkrit dan lebih luas lagi, agar kita sebagai juru dakwah dapat lebih memahami konsep berdakwah yang lebih luas lagi, supaya sasaran dan pesan dakwah lebih cepat tersampaikan kepada para mad’u. 2. Ayat-ayat mau’izhah hasanah yang di bahas pada skripsi ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan seputar cara berdakwah dengan konsep mauizah hasanah, yakni berdakwah dengan kasih sayang, menyentuh hati, tidak memaksa namun diberi alasan logis, serta menentramkan jiwa. Oleh karena itu diharapkan kepada semua umat khususnya para wakil dan juru bicara Allah, untuk
97
melaksanakan dan mengamalkan konsep berdakwah ini dengan penuh semangat dan taat, insya Allah bermamfaat dan meraih berkah dunia akhirat. Aminn 3. Ayat-ayat yang penulis bahas mengenai mau’izhah juga tidak lepas dari unsur da’i dan mad’u , untuk itu seorang da’i hendaklah menyampaikan sesuai dengan kadar kemampuan para mad’u, begitu juga dengan mad’u hendaklah menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk mencerna dan menghayati pesan-pesan Allah melalui wakil-Nya di atas muka bumi ini, dengan itu perpaduan antara da’i dan mad’u insya Allah akan membentuk komunitas dakwah IlaAllah dan membumikan dakwah Allah di atas jagat bumi ini, hingga tercapailah kedamaian, ketentraman dalam hidup. 4. Semoga dengan adanya pembahasan mengenai konsep tata cara berdakwah mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an ini, bisa lebih membuka hati para da’i dan mad’u untuk lebih memfokuskan makna dakwah dan cara berdakwah sebenarnya. Serta semoga semakin banyak kajian dakwah yang lebih mengkhususkan kepada penafsiran, karena terbukti sedikit sekali buku yang membahas tentang tafsir dakwah, bagaimana berdakwah menurut al-Qur’an dan pandangan para ulama-ulama salaf dan khalaf serta kontemporer. Supaya lebih merata pesan dakwah dan kebajikan yang tersampaikan.
98
Terakhir, penulis berharap semoga penelitian ini mampu menjadi setitik sumber pengetahuan yang bermamfaat, khusus bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar. Kuwait: Dar alDakwah. 1989. Al-Farmawy, Al-Hayy. metode tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996. Al-Wa’iy, Taufik. Dakwah Ke Jalan Allah. Jakarta: Rabbani Press, 2010. Arifin, Arifin. Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.2011. Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2009. At-Tabataba’i, Al-‘Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain. al-mazan fi tafsir alQur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Matbu’at, 1972. Al-bayanuniy, Syekh Muhammad Abu Al-Fath. Ilmu Dakwah prinsip dan kode etik, berdakwah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta Timur: Akademika Pressindo. 2010. Alu Syaikh; Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin ishak. Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. M. ‘Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Imam AsySyafi’i. 2009. Al-Qahtani, Said bin Ali. Dakwah Islam Dakwah Bijak. Jakarta: Gema Insani Press. 1994. Al-Shabuni, Muhammad Ali. rawa’iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam. Beirut: da fikri. Tt. Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan. besus hidayat ed. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha. Muhammad Ihsan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2012, cet. Ke- 13. Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi. Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir, tt Ibn Umar Ibn Katsir, Abu Al-Fida, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim. Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah. Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’,1420 H, jilid iv. Al-Qurthubi, Syaikh Imam,Tafsir Al-Qurtubi. Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
As-Suyuthi, Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, Tafsir Jalalain. Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo. Tt. Ath Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid. Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an. Mesir: Muassatur Risalah. 1420 H. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.s Abdul Aziz, Jum’ah Amin. Fiqh Dakwah. Solo: Era Inter Media. 2000. Al-Futuh, Muhammad Abu. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da’wat. Beirut: Muassasah alRisalah. 1991. As-Suhaimi, Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah. Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf. Jakarta: Darul Haq, 2008. Abdul Baqi’, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Qur’an al-Karim. Qahirah: Dar al-Hadis. 1998. Baqir Hakim, M. Ulumul Quran. Jakarta: Al-Huda. 2006. Fadlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 1997. Faqih Imani, Allamah Kamal, dan Tim utama. Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2008. Faizah, konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik. Tesis Pasca Sarjana. Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. 2004. Fadhlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Lentera. 1997. Husayn, Fadhlullah Muhammad. uslub ad-Da’wat fi al-Qur’an. alih bahasa oleh tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam AlQur’an. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997. Hasanuddin, Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996. Hafidhuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani. 1998. Ismail, Ahmad Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2008. Ilaihi, Wahyu, Komunikasi Dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup. Jakarta: Republika. 2011. Ismail, Ahmad Ilyas & Hotman, Prio. Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana. 2011. Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup. Jakarta: Republika. 2011. Luthfi, Athabik. Tafsir Da’awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da’i, Jakarta: al-I’thisam. 2011. Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006. Muhiddin, Asep. Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia. 2002. Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999. Muriah, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta:Mitra Pustaka. 2000. Masyhur, Syaikh Musthafa. Fiqh Dakwah. Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat. 2012. Machfoed, A. Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Nizhan, Abu. Buku Pintar Al-Quran. Cianjur: Qultum Media. 2008. Quthub, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. dibawah naungan al-Qur’a. Jakarta: Gema Insani. 2003. Romli, Asep Syamsul M. Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis. (T.tp.: T. Pn., 2013. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Shihab, Quraish. TafsirAal-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2007, cet ke-VII, vol 7. Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004. Syadali, Ahmad & Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.
Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an. Disertasi Doktor, Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta. 2002. Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1997. Zakaria, Ahmad bin Faris bin. Mu’zam al-maqayis fi al-Lughah. Beirut:dar fikr. 1994. Sumber Internet http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-danturunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/
http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat125.html