Konflik Kepemimpinan di Kesultanan Palembang (1812-1818)1 Oleh: Dr. Farida, M.Si2
Abstrak Kajian ini akan membahas masalah kepemimpinan di Kesultanan Palembang dengan berbagai konflik yang dihadapinya. Konflik-konflik tersebut menyebabkan Palembang mengalami kehancuran. Kesultanan besar tersebut dihapuskan pada 1825. Sebagai kerajaan besar dan luas, dalam menjalankan pemerintahannya sultan dibantu oleh para menteri untuk mengurusi masalah pemerintahan, keamanan, agama, peradilan, dan perdagangan (syahbandar). Di samping itu, mereka juga berfungsi sebagai penasehat. Munculnya konflik di Kesultanan Palembang tidak dapat dilepaskan dari faktor ekstern yaitu keinginan Inggris (Raffles) untuk menguasai Palembang yang sangat terkenal kaya. Kekayaan tersebut berasal dari pertambangan dan perkebunan, serta hasil hutan. Penolakan Sultan Mahmud Badaruddin II atas keinginan Inggris menggantikan posisi Belanda pasca di daerah ini, menjadi alasan bagi bangsa tersebut untuk melakukan ekspedisi militer. Keinginan tersebut menjadi “mudah” dengan adanya kesepakatan antara panglima perang Gillespie dan Pangeran Adipati, selaku panglima perang Palembang pada waktu itu. Inilah awal konflik berkepanjangan di Kesultanan Palembang. Konflik itu semakin meluas dengan terlibatnya Belanda pascatraktat London (1814). Akibatnya kedua bangsa (Inggris dan Belanda) tersebut berhadap-hadapan di wilayah Kesultanan Palembang. Kehadiran kembali Belanda di Kesultanan Palembang dengan berbagai kebijakan politiknya, menyebakan kedua bangsa terlibat tiga kali peperangan. Setelah dua kali mengalami kemenagan melawan Belanda, pada peperangan yang terakhir penguasa Palembang harus mengakui keunggulan Belanda. Ini lah awal penguasa Palembang selanjutnya tidak lebih hanyalah “boneka” Belanda. Perlawanan yang dilakukan oleh sultan terakhir (Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom) menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menghapuskan Kesultanan Palembang. Kata Kunci: konflik, pemimpin, pemerintahan.
1
Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Indeppemda Sumatera Selatan, di RRI Sumsel, 22 Oktober 2012. 2 Dosen FKIP Universitas Sriwijaya.
2
I.Pendahuluan Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan pada setiap masa. Sebagai makhluk sosial, manusia berkelompok. Dengan demikian, membutuhkan orang yang dapat menghimpun kelompok tersebut demi kehidupan yang lebih baik. Yang terpilih tentunya yang terbaik dari semua anggota kelompok tersebut (primus inter pares). Berbagai definisi tentang kepemimpinan telah dikembangkan oleh para ahli (Weber, Burns, Stogdill, Terry dan lainnya), dengan sudut pandang masing-masing. Esensi dari kepemimpinan seorang pemimpin adalah kemampuan untuk memberi contoh teladan bagi yang dipimpinnya. Jadi, seorang pemimpin harus memiliki suatu kelebihan dibandingkan dengan yang dipimpinnya. Atas dasar itulah, maka kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok agar bertindak sesuai dengan yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan suatu proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap pihak lain untuk menjalankan hubungan dan berbagai aktivitas dalam kelompok yang dipimpinnya. Kepemimpinan berkaitan erat dengan kekuasaan, tanpa kekuasaan, maka pemimpin tidak memiliki kekuatan yuridis atau kekuatan lain untuk mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut teori kepemimpinan dari Weber (1947), disebutkan bahwa terdapat tiga tipe kepemimpinan. Ketiganya adalah tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Tipe kepemimpinan tradisional berpedoman pada kebiasaankebiasaan kuno. Status dan hak-hak ditentukan oleh tradisi. Teori rasional-legal menempatkan kepemipinan yang diatur secara jelas dalam bentuk aturan-aturan tertulis dan perundang-undangan. Seorang pemimpin wajib mematuhi lembaga yang mengangkatnya. Teori
kharismatis,
pemimpin
adalah orang
yang mampu
memberikan efek besar dan luar biasa kepada pengikutnya. Terkadang dalam diri seorang pemimpin, melekat dua tipe sekaligus. Contohnya pemimpin tradisional yang juga memiliki kharisma. Gabungan keduanya akan menghasilkan pemimpin yang akan mendapat dukungan penuh dari para pengikutnya. 3
Apabila dikaitkan dengan kepemimpinan di Kesultanan Palembang, hal itu tidak dapat dilepaskan pada sosok sultan yang menjadi pemimpin tertinggi di kerajaannya. Sejak berdiri pada sekitar pertengahan abad XVI sampai abad XIX, selama sekitar 250 tahun terjadi silih berganti sultan-sultan berkuasa, di wilayah yang membentang dari Ampat Lawang dan Rejang di sebelah barat, Rawas di sebelah utara, Kisam dan Makakau di selatan dan pulau Bangka-Belitung di sebelah timur. (Veth, 1869: 651). Wilayah luas ini berada pada posisi yang sangat strategis, dalam jalur perdagangan dunia saat itu. Di samping memiliki wilayah yang sangat luas, kesultanan ini juga menghasilkan tambang khususnya timah (sejak 1710), dan hasil perkebunan dan hutan (lada, katun, gambir, nila, tembakau, sirih, buah pinang, tarum godong pipit, dan rami) yang sangat besar. Dengan wilayah yang sangat luas dan kaya tersebut, bagaimana sultan-sultan Palembang mengendalikan kekuasaannya? Berbagai faktor di atas menempatkan Kesultanan Palembang pada kondisi dilematis yaitu menjadi incaran bangsa-bangsa asing khususnya Belanda dan Inggris untuk mendudukinya. Kondisi itu juga membawa para penguasa Palembang pada konflik yang berkepanjangan, baik yang disebabkan oleh faktor dari luar yaitu keinginan bangsa asing (Inggris dan Belanda), maupun faktor dari dalam yaitu napsu ingin berkuasa dari dua bersaudara (Sultan Ahmad Najamuddin II dan Sultan Mahmud Badaruddin II). Kedua faktor tersebut membawa Kesultanan Palembang pada kehancurannya, yaitu kerajaan tersebut dihapuskan pada 1825. Dengan demikian, bagaimanakah para pemimpin di kesultanan Palembang menghadapi hal tersebut, dan apa akibatnya bagi Kesultanan Palembang itu sendiri? Untuk itu kajian di bawah ini mencoba mengurainya dalam bentuk tulisan berikut. II. Pemerintahan Sebagai pemimpin tradisonal yang berkuasa turun temurun yang dijamin oleh lembaga historis. Penguasa tertinggi di pusat pemerintahan Kesultanan Palembang adalah sultan. Kekuasaan sultan tidak dibatasi oleh aturan-aturan hukum. Sultan dibantu oleh putera mahkota yaitu Pangeran Ratu. Pangeran Ratu berperan sebagai calon raja, wakil sultan yang berkuasa penuh apabila sultan berhalangan, sekaligus 4
berfungsi sebagai penasehat (Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No. 10; Sturler, 1855:71). Dalam menjalankan pemerintahannya sultan juga didampingi oleh para pembantu. Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, saudara-saudaranya berfungsi sebagai adipati atau perdana menteri (adik tertua). Bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang lain, adipati juga berfungsi sebagai penasehat, dan membantu tugas-tugas sultan. Selain saudara-saudaranya, Sultan mengangkat para pejabat yang mengurusi masalah pemerintahan, keamanan, agama, peradilan, dan perdagangan (syahbandar). (Java Gouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No. 10; Masyhuri, 1983: 42-4; Sevenhoven, 1971: 25-29). Untuk mengurusi masalah uluan (pedalaman), Sultan menempatkan jenang. Pejabat ini bertugas menjalankan pemerintahan, dan menarik pajak dari penduduk. Sementara itu, pemerintahan di uluan dijalankan oleh Pasirah dengan gelar Depati. Depati adalah kepala marga yang merdeka. Dalam menjalankan pemerintahannya depati dibantu oleh beberapa proatin (anak buah), beginda, dan kria. Tugas mereka adalah menjalankan pemerintahan, peradilan dan menjaga tradisi (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6; ANRI, Bundel Palembang No. 15.7;Sturler, 1855:76). Dengan demikian, di uluan terdapat dua penguasa, yaitu yang mewakili sultan dan penguasa lokal yang bertanggungjawab langsung atas pemerintahan di wilayahnya. Tampaknya pada masa itu telah terjadi pembagian tugas dan kewajiban antara kedua lembaga tersebut, sehingga tidak ditemukan adanya konflik langsung antarkeduanya. Di bidang ekonomi, selain mendapat manfaat langsung dari daerah kepungutan, Sultan juga mengembangkan kesatuan wilayah yang disebut Sikap. Sikap adalah dusun-dusun (Belida, Sungsang, Sukarami, dan lainnya), yang sebagian penduduknya ditugaskan membantu pekerjaan dan memenuhi kebutuhan keraton. Pada waktu-waktu tertentu mereka ditugaskan untuk membantu urusan rumah tangga keraton, menggarap pertanian dan membawanya ke keraton, menyiapkan tenaga pendayung, membangun, dan memperbaiki keraton atau rumah para bangsawan. 5
Pihak keraton juga mempekerjakan kelompok orang miji (orang yang disetorkan). Pendapatan lain yang juga menjadi sumber utama pemasukan keraton adalah diberlakukannya sistem perdagangan Tibang (Tiban)3 dan Tukong (Tukon)4. Dengan cara ini pihak keraton menjalankan monopoli terhadap produk tertentu, antara lain baju Jawa, kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam. Di luar produk di atas tidak diperkenankan dimasukkan ke dalam Tibang Tukong, Sebagai kota dagang, ibu kota Palembang juga mendapat manfaat besar dari perdagangan dengan pihak luar yang ramai memasuki perairan sungai Musi dari berbagai daerah di Nusantara dan dunia. Melalui syahbandar (pejabat yang menangani perdagangan dan bea cukai yang bertanggungjawab langsung kepada sultan), pihak keraton mendapat keuntungan yang sangat besar, bahkan ada istilah bahwa syahbandar adalah “kas sultan”. Suatu ungkapan
yang
menunjukkan
betapa
penting
peran
syahbandar
dibidang
perekonomian kerajaan. Dalam kaitannya dengan berbagai kontrak monopoli perdagangan pihak asing khususnya Belanda, terjadi pasang surut. Maksudnya, disaat pihak kolonialis kuat, maka mereka memiliki bargaining power yang tinggi agar isi kontrak ditaati oleh pihak sultan. Akan tetapi, disaat kondisi mereka mundur, khususnya diakhir abad XVIII dan awal abad XIX (dihapuskannya VOC dan masa sesudahnya), maka pihak kesultanan akan meraup keuntungan besar. Keuntungan itu diperoleh melalui perdagangan “ilegal” (dijual dipasar bebas dengan harga yang lebih kompetitif). Istilah illegal tentunya dilihat dari sudut pandang kaum imperilais (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; Marsden, 2008: 333). Di sinilah tampak “kelihaian dan kepiawaian” sultan sebagai pemimpin, yang bermain sedemikian rupa, demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi kerajaann yang dipimpinnya. Wilayah kekuasaan sultan terdiri dari dua kelompok, yaitu Kepungutan dan Sindang. Kepungutan berasal dari kata pungut, yaitu daerah yang diperintah secara 3
Tibang adalah pertukaran wajib barang-barang produk dari pedalaman dengan barangbarang impor. Barang-barang yang digunakan untuk tibang adalah baju Jawa, kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam. 4 Tukong adalah penukaran barang dari pedalaman dengan uang.
6
langsung oleh sultan. Di wilayah kepungutan sultan menetapkan (memungut) pajak, dan tenaga kerja. Sedangkan Sindang yaitu daerah perbatasan (Lampung, Bengkulu). Kawasan ini bebas dari berbagai beban sebagaimana ditetapkan terhadap penduduk kepungutan. Ketentuan tersebut termaktub di dalam Undang-Undang Sindang Mardika (Peraturan Penjaga Perbatasan Bebas). Tugas yang dibebankan kepada penduduk sindang adalah menjaga keamanan wilayah mereka dari berbagai bentuk gangguan. Selain itu mereka juga diwajibkan Milir seba (sebo) ke ibu kota Palembang untuk mempersembahkan upeti, sebagai bukti penghormatan terhadap sultan Palembang. Atas penghormatan tersebut, sultan membalasnya dengan memberikan atur-atur atau rubo-rubo yaitu berupa hadiah kepada para penguasa sindang yang telah melakukan sembah sebagai tanda tunduk kepada sultan (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; ANRI, Bundel Palembang No. 47.6; ANRI, Bundel Palembang No. 62.6; Stibbe, 1932: 353). Inilah bentuk pemerintahan tidak langsung yang dijalankan oleh sultan terhadap daerah yang jauh. Suatu penggambaran tepat dengan istilah “semakin jauh dari sumbunya, maka sinar akan semakin redup”. Luasnya wilayah, sarana transfortasi dan komunikasi yang sulit, dan keterbatasan sumber daya manusia, maka pola yang dijalankan tersebut adalah pola yang paling ideal pada saat itu.
III. Konflik Kepemimpinan di Kesultanan Palembang Sampai pada pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, telah berkuasa sebanyak tujuh orang sultan (1659-1804). Dalam kurun yang panjang itu, belum pernah terjadi konflik besar yang melibatkan bangsa asing (Belanda). Hal ini berarti hubungan Kesultanan Palembang dengan bangsa-bangsa asing khususnya Belanda berjalan tanpa gejolak yang berarti. Para sultan Palembang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Integritas sultan tetap terjaga baik di dalam maupun di luar kerajaan.
7
Masalah muncul setelah Inggris (Raffles) mengirimkan ekspedisi pada MaretApril 18125. Persiapan besar yang telah Sultan Badaruddin II lakukan tidak berarti sama sekali, karena benteng Borang sebagai benteng terkuat pada waktu itu, tidak melakukan perlawanan. Hal ini disebabkan adanya kesepakatan antara Kolonel Gillespie (panglima perang armada Inggris) dan Pangeran Adipati (panglima perang Kesultanan Palembang). Kesepakatan itu adalah pihak Palembang tidak melakukan perlawanan dengan imbalan Pangeran Adipati akan menduduki tahta menggantikan kakaknya Sultan Badaruddin II (Java ouvernement Gazette, 2 Mei 1812 No.10; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Waey, 1875:102-03, Woelders, 1975: 7, 91). Konsekuensi dari peristiwa di atas, Sultan Badaruddin II mundur ke uluan, dan menciptakan pemerintahan di pengasingan. Sementara itu, Pangeran Adipati naik tahta dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sejak itu pemerintahan di Kesultanan Palembang terbelah, antara Sultan Najamuddin II yang didukung oleh Inggris dan Sultan Badaruddin II yang didukung oleh rakyat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Kesultanan Palembang dihadapkan pada kondisi tersebut. Di pihak Inggris sendiri pemerintahannya di Palembang tidak solid. Terbukti residen Inggris Robison menaikkan kembali Sultan Badaruddin II ke atas tahtanya (Juli-Agustus 1813), karena meyakini bahwa suatu kesia-siaan melawan Sultan Badaruddin II yang mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Keputusan sepihak itu ditentang Rafless, sehingga untuk kedua kalinya kedua saudara naik dan turun tahta. Sultan Najamuddin II kembali naik tahta (Agustus 1813-Nopember 1818), sedangkan Badaruddin II ditempatkan di keraton Kuto Lamo sebagai orang yang selalu dalam pengawasan penguasa.
5
Ekspedisi ini terjadi karena Sultan Badaruddin II menolak kehadiran Inggris dan menyerahkan Bangka pascakehancuran loji Belanda di Sungai Aur pada 14 September 1811. (House of, vol. 109, 1819; Lady Raffles, 1835,158-59).
8
Inilah
drama
kepemimpinan
tradisional
di
Kesultanan
Palembang.
Kepemimpinan yang menuntut dipertahankannya status quo, dan menjaga tradisi tidak dapat bertahan. Kekuatan asing dengan segala kekuatan perangkat militer, dan pengaturan manajemen yang solid, serta kecanggihan strategi. Kekuatan Inggris tersebut berhadapan dengan kekuasaan rapuh dari pihak Palembang. Ambisi pribadi, mendapat peluang dengan “iming-iming kesempatan”, menjadi momen istimewa untuk mewujudkan keinginan dari Pangeran Adipati menduduki tahta di Kesultanan Palembang. Semua itu mampu menggoyahkan sendi-sendi sistem kekuasaan turuntemurun (kekuasaan jatuh ke tangan Pangeran Ratu sebagai anak tertua) yang sudah berlangsung selama dua setengah abad. Kesultanan yang besar dan kaya6 itu harus menelan pil pahit kehilangan miliknya yang paling berharga yaitu kehilangan Pulau Bangka-Belitung dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Rakyat Palembang juga harus menerima kenyataan di bawah kendali sultan yang tidak mereka kehendaki karena keluar dari “pola umum” dan pola kepemimpinannya yang jauh dari yang mereka harapkan, sehingga sering terjadi kekacauan khsususnya di daerah uluan. Masa pemerintahan Inggris di Kesultanan Palembang, terjadi “kedamaian semu”. Tidak lain disebabkan “pengaturan dan kekuatan militer” Inggris. Akibatnya, pascamundurnya Inggris (Traktat London 1814), dan belum kuatnya pemerintahan Belanda di Palembang, kekacauan semakin besar dan meluas. Rakyat Palembang terbelah antara mendukung dua sultan yaitu Najamuddin II dan Badaruddin II. Untuk itu, pemerintah Belanda di Batavia mengirimkan orang kuat yaitu Komsaris Muntinghe. Dengan alasan meredakan ketegangan, Muntinghe menyodorkan konsep membagi kekuasaan di kesultanan itu. Wilayah terluar dan paling luas dikuasai oleh Belanda, sisanya dibagi dua antara dua bersaudara. Konsekuensinya terdapat dua penguasa yaitu Sultan Tuo (Badaruddin II) dan Sultan Mudo (Najamuddin II) (ANRI, 6
Laporan Raffles kepada Gubernur Jenderal Lord Minto di Calcutta, bahwa sangat penting membina hubungan dengan Sultan Palembang. Sultan Palembang digambarkan sangat kaya dan paling penting diantara sultan-sultan lain dari kerajaan Melayu, sekaligus untuk mendapatkan hak monopoli atas timah. (Wurtzburg, 1949: 40-41, Baud, 1853: 10,28).
9
Bundel Palembang No. 67; ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821. Pascapembagian tersebut, muncul petaka baru bagi Kesultanan Palembang dan pemerintah Belanda. Sultan Mudo menolak keputusan tersebut, dan meminta bantuan Raffles yang berkedudukan di Bengkulu. Tindak lanjutnya adalah ekspedisi militer Inggris dari Bengkulu menuju ibu kota Palembang (Juni-Juli 1818). Krisis ini sangat kritis karena melibatkan wakil penguasa terbesar di Asia (Inggris dan Belanda). Jika penanganannya tidak tepat akan mengakibatkan krisis internasional. Dengan kekuatan diplomasinya, Komisaris Muntinghe berhasil mengirim kembali pasukan Inggris ke Bengkulu. Akan tetapi, sebagian besar pasukan Inggris justru tinggal di uluan (Baylangu dan Muara Bliti). Keberadaan pasukan yang dikirimkan berkali-kali oleh Raffles, kembali menyulut konflik besar antara Inggris dan Belanda di wilayah Kesultanan Palembang. Konflik itu baru berakhir pada Januari 1819, setelah melibatkan kedua Negara induk masing-masing di Eropa. (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant, 26 Juni 1819, nomor 26, halaman 2; Asiatic Journal, Pebruari 1819: 210). Bagaimana dengan kepimpinan di Kesultanan Palembang itu sendiri dengan terjadinya berbagai konflik tersebut? Konsekuensi dari tindakan Sultan Najamuddin II mengundang kehadiran pasukan Inggris ke Palembang, membawanya sebagai orang buangan ke Pulau Jawa. Dengan demikian, Sultan Badaruddin II kembali sebagai satu-satunya sultan di Kesultanan Palembang, dengan tambahan wilayah yang menjadi bagian Sultan Najamuddin II. (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821; Kemp, 1900: 432). Selanjutnya, terjadi episode penting dalam sejarah Kesultanan Palembang, seorang pemimpin tradisional yang kharismatis, diasah oleh berbagai pengalaman luar biasa sejak 1812. Selama tujuh tahun Sultan Badaruddin II dihadapkan pada berbagai peristiwa besar yang menempatkannya sebagai objek dalam konflik yang melibatkan darah dagingnya sendiri, berhadapan dengan Inggris, Belanda, bahkan 10
konflik antara adiknya dan Belanda, serta antara Belanda dan Inggris. Kurun waktu yang singkat dilihat dari angka yang belum mencapai puluhan tahun, namun peristiwa-demi peristiwa menjadikan waktu yang singkat itu menjadi begitu berharga, dan monumental. Berbagai peristiwa itu memberi pelajaran yang sangat berharga kepada sultan yang digelari oleh ahli-ahli sejarah Belanda dengan sebutan “macan”, “srigala”, untuk menjadikan dirinya sebagai “pelaku” dalam lakon yang akan segera diwujudkannya. Bermodalkan tekad bulat, dengan dukungan yang sangat besar dari para bangsawan, dan rakyatnya. Sultan Badaruddin II merancang untuk menjadikan dirinya satu-satunya sultan yang berkuasa penuh memimpin seluruh wilayah nan luas tersebut tanpa keterlibatan Belanda di dalamnya. Keberadaan Komisaris Muntinghe selama lima bulan di uluan, dimanfaatkan oleh Sultan untuk menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengusir Belanda dari Palembang. Kesempatan itu terwujud pada Juni 1819. Lasykar Palembang melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda, sehingga pecah perang antara kedua pihak. Dalam peperangan itu Palembang memetik kemenangan (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Kemenangan itu sangat berarti bagi Palembang dari iliran hingga uluan. Untuk pertama kali Palembang mengecap kebebasan lepas dari pengaruh bangsa manapun. Kemenangan itu dirayakan dengan menyembelih empat puluh kerbau, sedangkan itik dan ayam jumlahnya mencapai ratusan ekor. Pesta digelar dengan menampilkan pertunjukan permainan adat bahari, dan menabuh gamelan selama tujuh hari tujuh malam, serta pemberian hadiah berupa uang dan pakaian kepada semua yang terlibat dalam peperangan tersebut sesuai dengan perang masing-masing (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Sevenhoven, 1971: 50; Woelders, 1975: 104, 130). Sebagai pihak yang kalah, Belanda mempersiapkan diri lebih baik dengan melibatkan armada dan pasukan yang lebih besar di bawah panglima perang Laksamana Woterbeek. Semua itu diperuntukkan untuk menebus kekalahan sebelumnya. Pada Oktober 1819, ekspedisi militer Belanda dengan kekuatan sembilan kapal perang dan pengangkut, perahu-perahu, 68 orang perwira dan 1432 11
orang personil serdadu, 14 pucuk meriam, mesiu, kanon dan howitzer. Penyerangan yang dilancarkan oleh pasukan Belanda dengan kekuatan penuh, dapat dibalas dengan gigih dari benteng pertahanan di Gombora (Pulau Kemaro) dan Plaju. Peperangan yang berlangsung hampir setengah bulan, harus menerima kenyataan bahwa pasukan Belanda tidak sanggup meneruskan peperangan. Pada akhir Oktober 1819 armada Belanda menarik diri menuju Sungsang7, untuk selanjutnya ke Bangka dan Batavia. Dalam laporannya kepada penguasa di Batavia, Wolterbeek menyatakan bahwa “kekalahan dua kali dalam peperangan melawan Palembang, merupakan bencana besar, dan sangat mahal bagi negara Belanda dengan dampak yang tidak bisa diperhitungkan”. Pada waktu itu berkembang pendapat umum di Batavia bahwa “ekspedisi Belanda ke Palembang adalah suatu kesia-siaan dan membuang dana yang besar”. Lebih lanjut Wolterbeek menyatakan bahwa jika peperangan akan dilakukan kembali, maka harus fokus dengan mengesampingkan tugas-tugas lain dan dilancarkan secara besar-besaran (ANRI. Bundel Palembang No. 66.10). Dua kali kemenangan itu memberi makna yang sangat besar bagi eksistensi Kesultanan Palembang di bawah kepeimpinan Sultan Badaruddin II. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, dengan persiapan besar di bawah pimpinan Jenderal Mayor H.M. De Kock menyerang Palembang (1821). Perlawanan gigih dari pihak Palembang, tidak mampu membendung kekuatan pasukan Belanda yang mendapat dukungan dari armada, dan persenjataan yang lengkap. Kesultanan Palembang harus mengakui keunggulan lawan. Selanjutnya, Sultan dan pengikutnya dibuang ke Ternate (Bataviasche Courant, Rabu tanggal 11 Juli 1821; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821). 7
Sejak kekalahan pada peperangan pertama, pihak Belanda sudah memutuskan untuk memblokade Sunsang yang berfungsi sebagai pintu masuk ke ibu kota Palembang. Kekalahan yang kedua kalinya, membuat mereka tetap menutup daerah tersebut dengan maksud agar Palembang “mati: karena jalur keluar masuk dari dan ke Palembang jadi tertutup. Pada kenyataannya apa yang mereka harapkan tidak tercapai, terbukti Kesultanan Palembang tetap survive bahkan berhasil menghalau Belanda dengan kerugian yang sangat besar. Lebih dari seratus serdadunya jadi korban, dan tidak terhitung yang mengalami luka berat dan ringan . (ANRI, Bundel Palembang No. 67; ANRI, Naskah Sumber No.4: 86; The Asiatic Journal, vol.10, agustus 1820).
12
Kekalahan itu merupakan akhir eksistensi Kesultanan Palembang sebagai bangsa yang berdaulat. Sejak itu, meskipun nama Kesultanan Palembang tetap ada sampai 1825, namun kekuasaan sultan (Najamuddin Prabu Anom) hanya sebagai lambang. Sia-sia perlawanannya pada penghujung 1824-1825 dari uluan, sampai akhirnya sultan dibuang ke Banda. Episode Palembang sebagai sebuah kesultanan berakhir. Selanjutnya Palembang menjadi keresidenan Palembang dengan residennya yang pertamanya Komisaris Van Sevenhoven.
IV. Penutup Sebuah kerajaan yang hidup pada kurun waktu perkembangan Islam di Nusantara, sekaligus berhadapan dengan kekuatan asing khsusus Belanda dan Inggris. Kesultanan Palembang mengembangkan institusinya di bawah kepemimpinan seorang sultan. Sebagai pemimpin tradisional, sultan melanjutkan kepemimpinan sebelumnya dan berkuasa secara absolut. Akan tetapi, sultan juga didampingi oleh aparat yang membantunya di segala bidang, dan para penasehat. Untuk kawasan uluan, sultan mengirimkan wakilnya (jenang). Fungsinya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, sekaligus membina dan mengawasi pemerintahan uluan dalam bentuk marga yang dipimpin oleh para depati. Demikian, cara sultan memerintah dan mendelegasikan kekuasaannya. Sebagai penguasa, sultan juga tidak terlepas dari berbagai intrik di dalam keraton. Seorang sultan yang mampu muncul sebagai tokoh yang disegani, tidak terlepas dari kemampuannya melepaskan diri dari kekuatan tarik-menarik di dalam kerajaan. Namun, secara umum di Kesultanan Palembang berlaku hokum bahwa yang berhak menjadi sultan adalah Pangeran Ratu sebagai putera tertua. Dilihat dari tradisi di atas, keberadaan Sultan Badaruddin II di atas tahta merupakan “hak mutlak” baginya. Legitimasi itu ditopang pula dengan kemampuan dan kharisma yang dimilikinya. Dua kekuatan tersebut bergabung padasatu pribadi, sehingga 13
menempatkan Palembang sebagai kerajaan besar yang disegani oleh kawan dan lawan. “Modal besar” yang dimiliki Kesultanan Palembang, menjadikannya primadona di mata Inggris dan Belanda. Inilah awal petaka bagi keruntuhan kesultanan ini, sehingga terlibat konflik multi dimensi, baik dari dalam maupun dari luar. Perpaduan tersebut mengakhiri eksistensi Kesultanan Palembang.
Daftar Pustaka
ANRI, Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang No. 15.7 ANRI, Dagverhall Wegens de Expeditie na Palembang 21 Juli 1819, Bundel Palembang No.66.10. ANRI Extract uit het verbaal gehouden bij Generaal Majoor opperbevelhebber der Palembangsche expeditie en Kommisaris van het Gouvernement aldaar 1821, Bundel Palembang, No. 47.6. ANRI, Nota rapporten betreffende Palembang over 1811 tot 1821, Bundel Palembang No. 5.1 ANRI, Verhaal van de politieke en militaire gebeurtenissen te Palembang gedurende 1811, 1821 en eiland Banka door A. Meis, kapitein der arteleerie, 1840, Bundel Palembang No. 67. ANRI, Algemeen Verslag van den Staat der Residentie Palembang over het Jaare 1839,1840 en 1841, Bundel Palembang No. 62.6 ANRI, Laporan Politik Tahun 1837: 1971, Penerbitan Naskah Sumbar Sejarah No.4, ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 109. Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26 Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821 Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 2 Mei 1812. nomor 10 14
Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812 Baud, J.C., 1853, Palembang in 1811 en 1812, Bijdrage van Koloniaal Instituut,JilidI. Kemp, P.H, van der, 1900, Palembang en Banka in 1816 – 1820, Bijdrage van Koloniaal Instituut, Jilid LI. Lady Raffles, 1835, Memoirs of the Public Services of Sir T.S. Raffles, his widow. Marsden, William, 1966, The History of Sumatra, Kuala Lumpur, Oxford University Prees. Masyhuri, 1983, Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825, Thesis yang belum diterbitkan, Fakultas Pascasarjana Bid.Studi Sejarah Universitas Indoensia. Stibbe, D.G., 1932, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, eerste deel, „s Gravenhage, Martinus Nijhoff. Sturler, W.L. de,1855, Bijdrage tot de Kennis en Rigtige Beoordeling van de Zedelijken, Maatschappelijken en Staatkundige Toestand van het Palembangsche Gebied, Groningen. Sevenhoven,J.L.van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang, (Terjemahan Beschrijving van de Hooodplaats van Palembangsche ), Jakarta, Bhrata. The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies, Pebruari 1819, volume 7. The Asiatic Journal and monthly register for British India, Agustus 1820, volume 10. Veth, P.J., 1869, Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam, P.N. van Kampen. Waey, H., van, 1875, Palembang 1809-1819, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, I. Woelders,M.C., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden, B.V. de Nederlansche Boek-en Steendrukkerij v/h H.L. Smits „Gravenhage Wurtzburg, C.E., 1949, Raffles and The Massacre at Palembang, JMBRAS.
15
16