LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Semiotik Pesan-Pesan Komunikasi Kesehatan Dalam al-Qur’an)
Oleh: Dr. H. Abdul Basit, M. Ag NIP. 19691219 199803 1 001
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PURWOKERTO 2016
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Semiotik Pesan-Pesan Komunikasi Kesehatan Dalam al-Qur’an)
Oleh: Dr. H. Abdul Basit, M. Ag NIP. 19691219 199803 1 001
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PURWOKERTO 2016
KATA PENGANTAR
Puji Syukur
Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tanpa menemui hambatan yang berarti. Penelitian ini berisi tentang “Komunikasi Kesehatan Dalam Perspektif Islam (Analisis Semiotika Pesan-Pesan Komunikasi Kesehatan Dalam alQur’an)”. Di dalam penelitian ini dibahas tentang term-term komunikasi kesehatan dalam al-Qur’an, analisis semiotika tentang term-term komunikasi kesehatan, dan konsepsi komunikasi kesehatan menurut al-Qur’an. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor IAIN beserta Wakil Rektor IAIN Purwokerto dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IAIN Purwokerto atas kepercayaan dan kerja samanya. Ucapan terima kasih juga kepada rekan-rekan kerja di Pascasarjana IAIN Purwokerto, Isteriku Reni Fitriyani tercinta dan anak-anakku tersayang, Rafi Ilmi Badri Utama dan Kharisma Aufa Badri Tsania yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan penelitian ini. Akhirnya, Penulis berharap mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi upaya pengembangan keilmuan komunikasi Islam. Kritik dan saran untuk perbaikan tulisan ini sangat diharapkan. Semoga Allah meridhai semua upaya yang kita lakukan. amiin Purwokerto, 26 Agustus 2016 Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii DAFTAR ISI..............................................................................................................iii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Rumusan Masalah.....................................................................
7
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian...........................................
7
D. Telaah Pustaka..........................................................................
8
E. Dasar Pemikiran........................................................................
9
F. Metode Penelitian.....................................................................
11
G. Sistematika Penulisan...............................................................
14
KOMUNIKASI KESEHATAN, AL-QUR’AN, DAN SEMIOTIKA A. Komunikasi Kesehatan.............................................................
15
1. Pengertian Komunikasi Kesehatan....................................
15
2. Teori Komunikasi Kesehatan............................................
17
B. Al-Qur’an................................................................................
18
1. Komunikasi Dalam Al-Qur’an..........................................
18
2. Kesehatan Dalam Al-Qur’an............................................
20
3. Tafsir Al-Qur’an..............................................................
21
C. Semiotika...............................................................................
23
1. Pengertian Semiotika....…................................................
23
iii
2. Perkembangan Semiotika................................................
24
3. Analisis Semiotika C. Sanderce Pierce...........................
26
BAB III TERM-TERM KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM AL-QUR’AN A. Shihhah ................. .................................................................
31
B. Quwwah...................................................................................
32
C. Ithma’anna...............................................................................
34
D. Thahaara..................................................................................
36
E. Tazkiyya..................................................................................
45
F. Maridl.....................................................................................
48
G. Adza.......................................................................................
52
H. Rizsun....................................................................................
56
I. Saqiyyun.................................................................................
57
J. Syifa.......................................................................................
60
BAB IV PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KOMUNIKASI KESEHATAN A. Analisis Semiotika Charles Sanderce Pierce Tentang
BAB V
Komunikasi Kesehatan............................................................
63
B. Konsepsi Komunikasi Kesehatan Dalam Islam......................
100
1. Perilaku Sehat ..................................................................
100
2. Bentuk-Bentuk Komunikasi Kesehatan Dalam Islam......
106
3. Prasarana Kesehatan........................................................
116
PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................
iv
119
B. Rekomendasi.............................................................................. 120 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
v
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu dan makhluk sosial tidak mungkin hidup sendirian. Dia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia terhadap orang lain menuntut dirinya senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia memerlukan komunikasi. Menurut Harold D. Lasswell yang dikutip oleh Hafied Cangara, ada tiga fungsi dasar yang menyebabkan manusia perlu berkomunikasi, yakni hasrat manusia untuk mengontrol lingkungan, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan upaya manusia untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi.1 Salah satu komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia, yakni komunikasi kesehatan. Sehat dan sakit merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Semua orang pasti akan mengalami yang namanya sehat dan sakit. Tidak ada manusia selama hidupnya sehat terus menerus tanpa mengalami sakit. Sebaliknya, tidak ada manusia yang selama hidupnya sakit terus menerus tanpa merasakan adanya sehat. Mengingat manusia memiliki kemampuan untuk membedakan sehat dan sakit, maka manusia menginginkan hidupnya senantiasa sehat. Sakit itu tidak menyenangkan dan bisa menjadi beban serta ujian yang berat, bukan saja bagi dirinya, melainkan juga bagi keluarga. Oleh Karena itu, sehat sangat diutamakan dalam kehidupan sehari-hari manusia karena sehat sangatlah mahal. Orang yang mengalami sakit akan merasa menderita karena fungsi tubuhnya tidak dapat digunakan dengan baik. Hidup sehat memungkinkan seseorang untuk menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan. Agar manusia bisa terhindar dari sakit, maka manusia memerlukan pengetahuan atau wawasan yang berhubungan dengan kesehatan. Demikian juga, ketika manusia terkena penyakit, maka dia memerlukan informasi atau komunikasi yang bisa membantunya dalam mengatasi penyakit yang 1
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 2.
2
dideritanya. Pada konteks inilah komunikasi kesehatan2 amat penting keberadaannya. Dalam catatan sejarah, komunikasi kesehatan merupakan bagian dari ilmu komunikasi yang berkembang pada akhir abad ke-19. Komunikasi kesehatan (health communication) merupakan salah satu konteks yang amat penting dalam komunikasi antar individu (interpersonal communication).3 Kajian komunikasi kesehatan terkait erat dengan bagaimana orang mendapatkan sumber informasi yang valid tentang kesehatan atau cara hidup yang sehat, tatacara menggugat resep dokter atau pengobatan yang keliru (malpraktek), membangun hubungan dengan tenaga medis, komunikasi terapeutik, dan berbagai kajian lainnya yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan. Adler (1977) merupakan orang pertama yang melakukan penelitian tentang komunikasi antar individu dalam konteks peduli kesehatan (the health care context). Adler meneliti tentang hubungan komunikasi antara dokter dengan pasien. Menurutnya, dokter merupakan salah satu sumber informasi tentang penyakit dan pasien dapat memanfaatkan jalur lain untuk mendapatkan informasi tentang penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, seorang dokter perlu mengakui adanya saluran informal tersebut dan memberi hak kepada pasien untuk menentukan pilihannya. Apakah dia menerima saran dari dokter ataukah dia menerima masukan dari jalur lain.4 Setelah Adler mempublikasikan hasil penelitiannya, pada beberapa tahun kemudian muncul berbagai penelitian tentang komunikasi kesehatan, baik yang bersifat teorititis maupun praktis.5 Dari hasil-hasil penelitian tersebut
2
Maksud dari komunikasi kesehatan dalam penelitian ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Renata Schiavo: “health communication is a multifaceted and multidisciplinary approach to reach different audiences and share health-related information with the goal of influencing, engaging, and supporting individuals, communities, health professionals, special groups, policymakers and the public to champion,introduce, adopt, or sustain a behavior, practice, or policy that will ultimately improve health outcomes. Renata Schiavo, Health Communication from Theory to Practice, San Fransisco: Jossey-Bass, 2007, hlm. 35. 3 Kathleen K. Reardon, Interpersonal Communication Where Minds Meet, California: Wadsworth Publishing Company, 1987, hlm. 201. 4 Teresa L. Thompson, “Interpersonal Communication and Health Care”, dalam Mark L. Knapp and Gerald R. Miller (Ed.), Handbook of Interpersonal Communication, second edition, London: Sage Publications, 1994, hlm. 696. 5 Informasi lebih lengkap tentang perkembangan penelitian komunikasi kesehatan bisa dibaca dalam tulisan Teresa L. Thompson, “interpersonal…, hlm. 696-725.
3
menunjukkan bahwa komunikasi kesehatan merupakan wilayah kajian yang penting dan menarik bagi semua orang. Apalagi menyangkut kesehatan manusia yang tentunya semua orang akan membutuhkan informasi tersebut. Selain itu, krisis kesehatan yang melanda manusia merupakan daya tarik lainnya terhadap kajian komunikasi kesehatan. Hal ini dinyatakan oleh Rajiv N Rimal & Maria K Lapinski sebagai berikut: “Health communication has much to celebrate and contribute. The field is gaining recognition in part because of its emphasis on combining theory and practice in understanding communication processes and changing human behaviour. This approach is pertinent at a time when many of the threats to global public health (through diseases and environmental calamities) are rooted in human behaviour. By bringing together researchers and practitioners from diverse disciplines and adopting multilevel theoretical approaches, health communicators have a unique opportunity to provide meaningful input in improving and saving lives”.6 Dalam bahasa yang berbeda, Kathleen K. Reardon mengungkapkan tentang pentingnya kajian komunikasi kesehatan, yaitu: “Health communication, an important and interesting area of study, affects us all. As people become increasingly aware that they are in large part responsible for their own health, they may seek more information about how they can increase their chances for long lives. Patients may become and interpersonal channels can increase awareness and change behavior in ways that facilitate health. Much research remains to be done in this area, but it has a promising future”.7 Meskipun kajian komunikasi kesehatan merupakan kajian yang menarik dan memiliki peluang masa depan yang menjanjikan, tetapi realitas yang berkembang ternyata kajian komunikasi kesehatan masih didominasi oleh kajian-kajian yang bersumber dari kalangan Barat yang notabene memiliki paradigma berpikir yang sekuler dan materialistik. Oleh karena itu, penting artinya untuk menghadirkan komunikasi kesehatan alternatif yang bersumber dari Islam. Dalam tradisi Islam, kajian komunikasi kesehatan belum menjadi wacana publik yang banyak ditelaah dan didiskusikan di kalangan ilmuwan Muslim.
6
Rajiv N Rimal & Maria K Lapinski, “Why health communication is important in public health”, dalam Bull World Health Organ 2009:87, hlm. 247. 7 Kathleen K. Reardon, Interpersonal…,hlm. 204.
4
Pada masa awal Islam (abad III H/IX M), ilmuwan Muslim tertarik pada pandangan-pandangan medis dan pengobatan-pengobatan yang bersumber dari Yunani. Selain itu, mereka juga tertarik untuk menemukan pandangan Nabi tentang berbagai penyakit dan cara penyembuhannya. Mereka mulai melakukan koleksi-koleksi hadits Nabi yang berhubungan dengan pengobatan dan penyakit, seperti yang dilakukan oleh Bukhari (W. 256 H/870 M) dalam kitab Shahih Bukhari yang membahas secara khusus pada kitab al-mard (bab penyakit) dan kitab al-tibb (bab pengobatan). Begitu juga Ibnu Majah (w. 273 H/887 M) dalam kitab Sunan Ibnu Majah yang memuat kitab al-tibb.8 Dari hadits-hadits tersebut selanjutnya para ulama tertarik untuk melakukan kajian dalam bentuk tulisan. Buku paling awal yang membahas altibb al-nabawi (pengobatan Nabi) ditulis oleh Abu Nu’aym Isfahani (w.430 H/1038 M). Buku ini merupakan kompilasi hadits-hadits Nabi tentang pengobatan. Dalam buku ini, Isfahani belum memberikan pandangan atau opini tentang kesehatan dan pengobatan. Adapun buku yang berhasil memberikan ulasan tentang pentingnya nasehat-nasehat atau ajaran-ajaran Nabi dalam pengobatan, diawali dari tulisan ‘Abd al-Latif al-Baghdadi (w. 629 H/1231 M) yang mengarang kitab al-Arba’in al-Tibbiyah (40 tradisi pengobatan) dan ‘Ala al-Din al-Kahhal b. Tarkhan (w.720 H/1320 M) yang menulis buku al-Ahkam al-Nabawiyyah fi al-Sina’a alTibbiyah (aturan-aturan Nabi dalam seni pengobatan). Selanjutnya, al-Dhahabi (w. 748/1348 M) dan Ibn Qayyim al-Jawjiyyah (w. 751 H/1350 M) yang banyak memberikan ulasan tentang pengobatan dengan diperkuat dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.9 Tulisan dari dua tokoh terakhir tersebut pada akhirnya juga dapat memicu beberapa tulisan lainnya yang berkembang pada era kontemporer ini yang notabene berdialog dengan pengobatan yang bersumber dari Barat. Selain muncul berbagai tulisan tentang pengobatan, dalam sejarah Islam klasik juga telah berkembang rumah sakit yang bergerak di bidang pengobatan Islam. Rumah sakit di dunia Islam pertama kali didirikan pada zaman Khalifah 8
Irmeli Perho, “Pengobatan dan Al-Qur’an”, dalam Dale F. Eickelman, Al-Qur’an, Sains dan Ilmu Sosial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010, hlm. 54. 9 Irmeli Perho, “Pengobatan…hlm. 54-56.
5
al-Walid pada tahun 87 H/706 M. Kemudian rumah sakit yang dianggap sebagai cikal bakal rumah sakit modern seperti sekarang ini dibangun oleh Khalifah Harun al-Rasyid (169-193 H/786-809 M) sebagai rumah sakit Pemerintah.10 Ada hal menarik saat awal berkembangnya rumah sakit Islam, diantaranya: Pertama, petugas medis bukan hanya orang Islam, tetapi juga orang yang beragama di luar Islam. Kedua, buku-buku tentang kesehatan yang bersumber dari Yunani, banyak diterjemahkan dalam bahasa Arab. Ketiga, keberadaan rumah sakit diletakkan di dekat masjid jami’. Keempat, rumah sakit bukan hanya dijadikan tempat pengobatan, tetapi juga sebagai tempat belajar calon tenaga medis. Kelima, sumber pembiayaan rumah sakit diambil dari dana zakat dan wakaf. Keenam, tenaga kesehatan memberikan pelayanan di bidang medis (pengobatan fisik) dan memberikan motivasi spiritual (pengobatan rohani).11 Meskipun
kajian-kajian
dan
praktek-praktek
pengobatan
telah
berlangsung lama dalam tradisi Islam, namun kajian dan praktek khusus tentang komunikasi kesehatan belum terbangun secara spesifik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan: Pertama, komunikasi kesehatan merupakan bagian dari ilmu komunikasi yang mulai berkembang pada akhir abad ke-19, seperti yang peneliti ungkapkan pada bagian awal. Karenanya, pada era Islam klasik, kajian komunikasi kesehatan belum ada. Kedua, praktek pengobatan yang ada di dunia Islam, belum menunjukkan secara spesifik adanya kegiatan komunikasi kesehatan. Praktek yang berkembang berkisar pada pengobatan fisik dan rohani. Ketiga, literatur yang ada, khususnya di kalangan muslim, lebih fokus pada kajian tentang kesehatan atau pengobatan yang bersumber dari Nabi atau dari pendapat-pendapat para filosof seperti ar-Razi (250-312/865-925) dan Ibn Sina (369-428/980-1037).12 Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk mendalami kajian tentang komunikasi kesehatan yang bersumber dari al-Qur’an. Bagi peneliti, al-Qur’an merupakan sumber rujukan yang dapat dijadikan pedoman
10
Munawar A. Anees (Ed.), Health Sciences in Early Islam, Vol. I, Noor Health Foundation and Zahra Publications, 1983, hlm. 97-98. 11 Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan STAIN Press, 2006, hlm. 136-137. 12 Pembahasan lengkap dapat dilihat dalam tulisan Munawar A. Anees (Ed.), Health Sciences….1983.
6
dalam pengembangan ilmu, seperti yang dinyatakan oleh Mahdi Ghulsyani “…meskipun al-Qur’an bukan ensiklopedi sains, namun ada pesan penting di dalam ayat-ayat yang melibatkan fenomena, dan ilmuwan Muslim harus memusatkan perhatiannya pada misi tersebut daripada melibatkan diri mereka pada aspek-aspek keajaiban al-Qur’an dalam bidang sains.13 Pernyataan Ghulsyani tersebut memacu peneliti untuk mengkaji pesan-pesan al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan. Bahkan, menurut Shabbir Akhtar sudah menjadi kewajiban orang yang beragama untuk mengkaji al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan intelektualitasnya “the Qur’anic mandate ordering the uses of the intellect is a central religious obligation. The Qur’an condemns the disbeliever as unintelligent and irrational, a dumb animal who fails to reason and to ponder the signs God. The devout believer engages in “deep reflections” (Tadabur QS. 38:29). Sinners in hell confess: if only we had listened (to the warning of prophets) and reasoned correctly (na’qilu), we should not now be among the companions of the blazing fire (QS. 67: 10)”.14 Dalam kajian awal peneliti, paling tidak, ada dua isyarat yang terungkap dalam al-Qur’an berkenaan dengan komunikasi kesehatan, diantaranya: Pertama, di dalam al-Qur’an tersebar beberapa ayat yang menunjukkan adanya komunikasi antar individu yang merupakan induk dari komunikasi kesehatan, seperti dialog (pembelajaran tentang kesabaran) yang dilakukan oleh Khidr kepada Nabi Musa yang terdapat dalam surah al-Kahfi (18) ayat 65-82, dialog Nabi Ibrahim kepada Nabi Isma’il tentang qurban yang terdapat dalam surah ash-shaffat (37) ayat 102-107, pembelajaran Luqman kepada anaknya yang terdapat dalam surah Luqman (31) ayat 12-19, dan beberapa ayat lainnya. Kedua, di dalam al-Qur’an ada beberapa term yang dekat dengan term kesehatan dan komunikasi, seperti maridl (sakit), syifa (obat penawar), ishlah (perbaikan), shalat, do’a (hubungan spiritual), muhasabah (perbaikan diri), ‘ibrah, mauidzah (pelajaran), dan sebagainya. Menurut al-Jahiz yang dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, “tidak pernah ada kosakata yang muspro dalam 13
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, hlm.
14
Shabbir Akhtar, The Quran and the Secular Mind, London: Routledge, 2008, hlm. 60.
144.
7
teks, sekaligus tidak ada sinonim”. Karena itu, term-term yang ada di dalam alQur’an tersebut perlu diungkap maknanya lebih dalam sehingga menghasilkan pesan yang bermanfaat, khususnya dalam pengembangan ilmu komunikasi kesehatan dalam Islam.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Term-term apa saja yang digunakan oleh al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan? 2. Bagaimana Analisis semiotika Charles Sanderce pierce terhadap term-term al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan? 3. Bagaimana konsepsi al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, mengetahui term-term komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Kedua, menjelaskan proses analisis semiotika Charles Sanderce Pierce terhadap termterm al-Qur’an tentang konsepsi komunikasi kesehatan. Ketiga, mendeskripsikan konsep al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: Pertama, memberikan sumbangsih pemikiran dalam pengembangan ilmu agama Islam, khususnya dalam kajian semiotika al-Qur’an. Kedua, menambah wawasan dan pengetahuan baru tentang komunikasi kesehatan yang ada dalam keilmuan komunikasi Islam. Ketiga, memperkuat wacana dalam pengembangan ilmu komunikasi kesehatan yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan baik secara teoritis maupun praktek di dunia kesehatan. Keempat, membantu mengatasi berbagai problem kehidupan manusia, khususnya dalam bidang kesehatan baik secara fisik maupun ruhani. Kelima, memperkokoh keilmuan program studi yang ada di Fakultas Dakwah dalam bidang komunikasi kesehatan dan konseling keagamaan.
8
D. Telaah Pustaka atau Penelitian Terdahulu Penelitian atau kajian tentang komunikasi kesehatan telah banyak dilakukan oleh para peneliti, diantaranya: Teresa L. Thompson yang meneliti tentang peran komunikasi antar individu dalam konteks kepedulian pada kesehatan.15 Selanjutnya, Kathleen K. Reardon yang meneliti tentang isu-isu penting yang ada dalam komunikasi kesehatan.16 Renata Schiavo yang mengkaji komunikasi kesehatan baik secara teori maupun praktek17 dan Jane T. Bertrand yang mengkaji tentang strategi dalam mendesain komunikasi kesehatan.18 Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti tersebut lebih banyak mengkaji komunikasi kesehatan dari perspektif ilmu-ilmu sosial atau dalam perspektif ilmu komunikasi. Mereka tidak menjelaskan tentang komunikasi kesehatan dalam perspektif agama atau al-Qur’an yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Selanjutnya, Munawar A. Anees mengumpulkan beberapa tulisan (papers) yang diterbitkan dalam beberapa jurnal ilmiah internasional.19 Tulisan ini mengkaji tentang sejarah pengobatan dalam Islam, pendidikan kesehatan dalam Islam, dan perkembangan literatur dalam bidang kesehatan. Tulisan dalam buku ini belum menyinggung tentang komunikasi kesehatan yang ada dalam Islam, khususnya dalam perspektif al-Qur’an. Kemudian tulisan Mohd Khairie Ahmad dan John Harrison yang meneliti tentang penggunaan nilai-nilai Islam dalam mengembangkan strategi komunikasi untuk mempromosikan perubahan perilaku dalam bidang kesehatan.20 Tulisan ini ada sebagian yang sama, khususnya dalam pemanfaatan nilai-nilai Islam dalam pengembangan promosi kesehatan. Namun demikian, tulisan ini tidak secara spesifik mengkaji komunikasi kesehatan dalam al-Qur’an.
15
Teresa L. Thompson, “Interpersonal Communication….hlm. 696-725. Kathleen K. Reardon, Interpersonal….hlm. 201-204 17 Renata Schiavo, Health Communication ….2007. 18 Jane T. Bertrand (Ed.), A Field Guide to Designing A Health Communication Strategy, Baltimore, MD: Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health/Center for Communication Programs, March 2003. 19 Munawar A. Anees (Ed.), Health Sciences… 20 Mohd Khairie Ahmad dan John Harrison, “Untapped Potential: Cultural SensitivityIslamic Persuasive Communication in Health Promotion Programs”, Paper presented at the Global Communication and Development Conference, 16-21 October 2007, Shanghai, China 16
9
Tulisan J.H. Sinaulan tentang Komunikasi Terapeutik Dalam Islam, juga tidak mengkaji komunikasi kesehatan yang bersumber dari Islam. Dalam tulisan ini lebih menyoroti pandangan Islam tentang komunikasi terapeutik.21 Peneliti lainnya adalah Fazlurrahman yang menulis buku tentang Etika Pengobatan Islam. Beliau banyak mengelaborasi tentang etika pengobatan yang diajarkan oleh Nabi dan juga konsep pengobatan yang dilakukan oleh para filosof Muslim, khususnya Ibn Sina.22 Berbeda dengan Fazlurrahman, Irmeli Perho melakukan penelitian tentang pengobatan dan al-Qur’an. Dalam tulisan tersebut, Irmeli Perho menyoroti aspek sejarah pengobatan yang ada di dunia Muslim dari era klasik hingga kontemporer yang bersandarkan pada al-Qur’an.23 Dari beberapa kajian atau penelitian terdahulu, peneliti belum menemukan secara khusus penelitian komunikasi kesehatan yang bersumber dari al-Qur’an atau bersumber dari ajaran Islam. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan diri pada penelitian komunikasi kesehatan dari perspektif al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan analisis semiotik.
E. Dasar Pemikiran Al-Qur’an diciptakan oleh Allah sebagai pedoman lengkap yang memuat segala aspek kebutuhan manusia baik di dunia dan akhirat. Apabila diteliti dengan seksama, hampir semua problematika manusia tercantum dalam alQur’an, tak terkecuali ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Tidak heran, jika banyak ilmuwan yang menemukan banyak hal-hal baru dalam al-Qur’an terkait dengan ilmu pengetahuan. Salah satu kebutuhan manusia yang amat urgen untuk diketahui lebih jauh dari al-Qur’an berkaitan dengan komunikasi kesehatan. Manusia membutuhkan berbagai informasi kesehatan agar hidup yang dijalaninya dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan, sesuai dengan harapan semua umat manusia.24 Kesehatan yang dimaksudkan bukan hanya kesehatan fisik semata, melainkan kesehatan yang holistik, seperti yang dikemukakan oleh organisasi 21
J.H. Sinaulan, “Komunikasi Terapeutik Dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 2, No. 2, Desember 2012. 22 Fazlurrahman, Etika Pengobatan Islam, Bandung: Mizan, 1999. 23 Irmeli Perho, “Pengobatan….2010. 24 Doa yang selalu dipanjatkan oleh umat Islam adalah meminta kebahagiaan di dunia dan di akhirat, seperti tertera dalam ayat al-Qur’an surah 2:201.
10
kesehatan dunia (WHO) tentang konsepsi kesehatan yang terdiri dari kesehatan fisik (biologis), psikis (psikologis), sosial, dan spiritual.25 Al-Qur’an bagi manusia tidak banyak memberikan makna manakala alQur’an hanya dijadikan sebagai bacaan saja. Sejatinya, al-Qur’an diposisikan sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh al-Qur’an itu sendiri, yakni sebagai petunjuk (QS. 2:2,185), penjelas dan pembeda (QS. 2:185), nasehat, penawar, dam rahmah (QS. 10:57; 17:82). Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti menjadikan al-Qur’an sebagi teks yang hidup dan memiliki manfaat bagi masyarakat (living qur’an). Teks alQur’an akan dibedah melalui pendekatan semiotika Charles Sander Peirce (1931-1958). Semiotika merupakan salah satu pendekatan (tradisi) dalam mengkaji
ilmu
komunikasi,
khususnya
dalam
mengkaji
pesan-pesan
komunikasi.26 Selain itu, semiotika dianggap mampu membedah teks secara rasional karena di dalam semiotika penafsiran teks tidak hanya melibatkan teks dan penafsir saja, tetapi juga terkait dengan tanda. Jadi dalam semiotika ada tiga hubungan yang saling terkait dalam memaknai teks (triad of meaning) yaitu: benda (atau yang dituju, teks), manusia (penafsir), dan tanda. Langkah yang dilakukan dalam penelitian komunikasi kesehatan yang ada di al-Qur’an diawali dengan pendefinisian komunikasi kesehatan. Dalam hal ini, peneliti mengambil definisi komunikasi kesehatan yang dikemukakan oleh Renata Schiavo: “health communication is a multifaceted and multidisciplinary approach to reach different audiences and share health-related information with the goal of influencing, engaging, and supporting individuals, communities, health professionals, special groups, policymakers and the public to champion,introduce, adopt, or sustain a behavior, practice, or policy that will ultimately improve health outcomes”.27 Dari definisi tersebut, ada beberapa kata kunci berkaitan dengan komunikasi kesehatan, diantaranya: Pendekatan multidisiplin, audiens, informasi yang berhubungan dengan peduli kesehatan,
25
Abdul Basit, Dakwah Antarindividu Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Grafindo Litera Media & STAIN Press, 2008, hlm. 143. 26 Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Jakarta: Salemba Humanika, 2009, hlm. 53-56 dan 153-163. 27 Renata Schiavo, Health Communication ….hlm. 35.
11
mempengaruhi dan memotivasi individu dan komunitas, perubahan perilaku, dan tercapainya kesehatan yang paripurna. Kemudian kata kunci tersebut dikaitkan dengan term-term yang ada di dalam al-Qur’an baik secara eksplisit maupun secara implisit. Term-term yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika. Dalam analisis semiotika, selain mencari makna-makna yang bersumber dari kamus, peneliti juga akan melakukan analisis sosio-historis dari teks yang ada untuk dapat memahami dan menafsirkan pesan-pesan yang dikandungnya. Di samping itu, peneliti akan mengaitkan dengan teori komunikasi kesehatan yang dikemukakan oleh Renata Schiavo dalam buku Health Communication from Theory to Practice dan informasi aktual lain yang bersumber dari data-data sekunder untuk dapat memaknai tanda-tanda yang ada dalam ayat al-Qur’an. Dengan demikian, konsepsi triad of meaning dalam semiotika dapat terbangun dan dapat menjawab rumusan masalah yang ada. Untuk mempermudah pemahaman dalam langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti, di bawah ini akan peneliti ilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:
Term Komunikasi kesehatan
dianalisis
Term al-Qur’an
s e m i o t i k a
TEKS (ayat)
PENAFSIR
Komunikasi kesehatan
TANDA (teori dan informasi aktual)
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini mendapatkan data-data berupa ungkapan-ungkapan, pernyataan-
12
pernyataan, catatan-catatan, tingkah laku orang yang terobservasi, dan berbagai simbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan.28 Berkenaan dengan penelitian ini, data-data yang diperoleh berupa pernyataan-pernyataan, catatancatatan dan berbagai simbol yang bermakna dan dapat diinterpretasikan. Dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif tersebut akan terungkap secara mendalam dan komprehensif tentang komunikasi kesehatan dalam perspektif Islam. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik.29 Semiotika yang digunakan adalah semiotika Charles Sander Peirce (1931-1958) yang menjelaskan tentang produksi tanda-tanda. Menurutnya, semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang makna dari tanda-tanda. Tanda (sign) ialah sesuatu yang berdiri untuk seseorang atau sesuatu yang mencerminkan suatu kapasitas atau kepentingan tertentu. Peirce menyatakan “a sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. It addresses somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object”.30 Ada tiga komponen penting dalam semiotika Charles Sander Peirce yang saling berhubungan (triangular relationship), yaitu tanda (sign), penafsir (interpretant), dan objek (object or external reality as a necessary means of studying meaning). Dalam hal ini, interpretant adalah konsep mental dari pengguna tanda, baik sebagai pembicara, pendengar, penulis, pembaca atau pengamat yang aktif dan kreatif berdasarkan pengalaman yang didapatnya dan juga disandarkan pada tanda yang berhubungan dengan objek.
28
Robert Bodgan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya: Usaha Nasional, 1993, hlm. 30. 29 Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Kemudian secara terminologis, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Lihat Alex sobur, Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 15. 30 dikutip dari John Fiske, Introduction to Communication Studies, London: Methuen & Co.Ltd, 1985, hlm 45.
13
2. Data, Sumber Data, dan Teknik Pengumpulan Data Data utama dari penelitian ini bersumber dari Al-Qur’an dan kitab Tafsir, khususnya Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Qur’an alAdzim karya Ibn Katsir. Adapun data sekunder bersumber dari buku-buku, majalah, surat kabar dan media lainnya yang dapat membantu menjawab permasalahan penelitian ini. Buku-buku yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam penelitian ini, diantaranya: a.
Daniel A. Stout (Ed.), Encyclopedia of Religion, Communication, and Media, New York: Routledge, 2006.
b.
EM Griffin, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, Boston: Mc Graw Hill, 2003.
c.
Katherine Miller, Communication Theories Perspectives, Processes, and Contexts, Second Edition, Boston: Mc Graw Hill, 2005.
d.
Munawar A. Anees (Ed.), Health Sciences in Early Islam, Vol. I, Noor Health Foundation and Zahra Publications, 1983.
e.
Renata Schiavo, Health Communication from Theory to Practice, San Fransisco: Jossey-Bass, 2007.
f.
Shabbir Akhtar, The Qur’an and the Secular Mind, London: Routledge, 2008.
g.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan, Jakarta: Salemba Humanika, 2009. Kemudian teknik pengumpulan data digunakan langkah-langkah sebagai
berikut: Pertama, mencari kata-kata kunci yang berkaitan dengan komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Kata-kata tersebut selanjutnya dianalisis secara semantik untuk mengetahui makna yang komprehensif dari kata tersebut dan dapat menjawab rumusan masalah yang pertama. Kedua, Menafsirkan datadata yang ada dengan menggunakan analisis semiotik yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu komunikasi kesehatan. Ketiga, menyajikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini.
14
3. Analisa Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika Charles Sander Peirce tentang tanda. Analisis dilakukan dengan menemukan dan mempelajari tanda dalam al-Qur’an. Selanjutnya dilakukan analisis pemaknaan dengan langkah identifikasi, dokumentasi, dan klasifikasi. Identifikasi dilakukan dengan cara mencari kata kunci yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan, diantaranya kata: syifa, marid, do’a, shalat, ishlah, muhasabah, ibrah, tawakal, sabar dan sebagainya. Kemudian teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung tanda. Selanjutnya ayat-ayat yang mengandung tanda disusun sesuai dengan ikon, indeks, dan simbol. Kemudian ditafsirkan dengan menggunakan segitiga semiosis Charles Sander Peirce untuk mendapatkan makna yang representatif dan menjawab rumusan masalah.
G. Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini akan dibuat menjadi lima bab yaitu: bab pertama berisi pendahuluan yang didalamnya dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, Dasar Pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian pada bab kedua dibahas tentang komunikasi kesehatan, AlQur’an, dan Semiotika yang meliputi pengertian komunikasi kesehatan; teori komunikasi kesehatan; komunikasi dalam Al-Qur’an, kesehatan dalam alQur’an, Tafsir al-Qur’an, pengertian semiotika, perkembangan semiotika, dan Analisis semiotika Charles Sanderce Pierce. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tentang term-term komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an beserta makna yang terkandung di dalam term-term komunikasi kesehatan. Pada bab keempat akan diuraikan pandangan al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan yang terdiri dari uraian tentang analisis semiotika Charles Sanderce Pierce tentang komunikasi kesehatan dan konsepsi komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Selanjutnya, kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian ini akan dibahas pada bab kelima.
15
BAB II KOMUNIKASI KESEHATAN, AL-QUR’AN, DAN SEMIOTIKA
Pada bab kedua ini akan dikemukakan konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan penelitian ini. Konsep-konsep dasar tersebut dijadikan sebagai landasan teori dalam membahas komunikasi kesehatan dalam al-Qur’an. Dalam mengelaborasi teori yang digunakan, penulis bertitik tolak dari pengertian tentang komunikasi kesehatan. Selanjutnya akan diuraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan. Setelah memahami teori komunikasi kesehatan, kemudian penulis membahas tentang al-Qur’an dan komunikasi sebagai pijakan dasar untuk mengetahui bahwa di dalam al-Qur’an terdapat pengetahuan tentang komunikasi, termasuk di dalamnya komunikasi kesehatan. Untuk dapat memahami al-Qur’an, maka diperlukan metode tafsir. Oleh karena itu, pada pembahasan berikutnya akan diuraikan metode tafsir kontemporer yang digunakan dalam penelitian ini, yakni semiotika al-Qur’an. Semiotika penulis uraikan lebih jelas baik yang berhubungan dengan metode mengkaji al-Qur’an maupun semiotika sebagai metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, khususnya semiotika Charles Sanderce Peirce. A. Komunikasi Kesehatan. 1. Pengertian Komunikasi Kesehatan Sebelum membahas lebih jauh tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu peneliti mengemukakan beberapa makna komunikasi yang ada dalam penelitian ini. Penjelasan ini penting dilakukan agar dalam proses penelusuran data di dalam al-Qur’an tidak mengalami hambatan yang berarti. Komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini, bukan saja dipahami sebagai proses pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain baik menggunakan media ataupun secara langsung, tetapi juga dipahami sebagai penciptaan makna (the generation of meaning). Bahkan, komunikasi juga
16
dipahami sebagai sistem yang saling berhubungan antara elemen satu dengan elemen lainnya.1 Sementara, pemahaman tentang kesehatan juga tidak hanya dipahami secara biologis saja, tetapi kesehatan paripurna yang meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Pemahaman semacam ini memungkinkan untuk menganalisis manusia secara komprehensif atau sebagai insan kamil. Manusia yang dapat menggunakan seluruh potensi yang diberikan oleh Tuhan berupa akal, pancaindera, dan hati yang semuanya dapat berperan dalam menyerap atau menangkap ilmu pengetahuan. Dari pemaknaan yang komprehensif terkait dengan komunikasi dan kesehatan, maka komunikasi kesehatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini pun dimaknai secara holistik. Oleh karena itu, komunikasi kesehatan merupakan pendidikan kesehatan (health education), pemasaran social (social marketing), dan teori perilaku dan perubahan social (behavioral and social change theories). Beberapa ahli memberikan defnisi yang beragam tentang komunikasi kesehatan, diantaranya : 1. Menurut Alo Liliweri definisi kesehatan sebenarnya melekat pada hubungan konseptual antara “komunikasi” dengan “kesehatan” sehingga konsep komunikasi memberikan peranan pada kata yang mengikutinya “kesehatan”.2 2. Menurut E. M. Rogers “health communication has been defined as referring to ‘any type of human communication whose content is concerned with health”3 3. Menurut Nikmah Hadiati Salisah, komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai proses simbolik yang di dalamnya masyarakat baik secara individual maupun kolektif memahami, membentuk dan mengakomodasi mengenai sehat dan sakit.4
1
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 49-54. 2 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 45. 3 Rogers, E.M., The Field Of Health Communication Today: An Up-To-Date Report, Journal of Health Communication, 1996, hlm.1 . 4 Nikmah Hadiati Salisah, “Komunikasi Kesehatan: Perlunya Multidisipliner Dalam Ilmu Komunikasi”, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 1, No.2, Oktober 2011, hlm. 180.
17
Dari
definisi-definisi
tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
komunikasi kesehatan merupakan salah tipe komunikasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan fisik, psikis, sosial, dan spiritual yang ada pada individu, kelompok atau masyarakat. 2. Teori Komunikasi Kesehatan Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses pembahasan dan perumusan teori, maka peneliti menggunakan teori komunikasi kesehatan yang bersumber dari teori perilaku dan perubahan sosial. Menurut Renata Schiova, ada delapan teori yang dapat digunakan dalam merumuskan komunikasi kesehatan, yaitu: 1. Diffusion of innovation theory (teori difusi inovasi) yang dikembangkan oleh Everett Rogers (1962, 1983, 1995), 2. Health belief model (pola kepercayaan kesehatan) yang dikemukakan oleh Becker, Haefner, and Maiman, 1977; Janz and Becker, 1984; Strecher and Rosenstock, 1997, 3. Social Cognitive Theory (teori kognisi social) atau social learning theory (teori pembelajaran social) yang dikemukakan oleh Bandura (1977, 1986, 1997). 4. Theory of Reasoned Action (teori tindakan rasional) yang dikemukakan oleh Ajzen and Fishbein (1980). 5. The ideation theory (teori ideasi) yang dikembangkan oleh Kincaid, Figueroa, Storey, and Underwood (2001); Rimon (2002); Cleland and Wilson, (1987). 6. Convergence Theory (teori konvergensi) yang dikemukakan oleh Kincaid (1979); Rogers and Kincaid (1981). 7. Stages of Behavior Change Model (model perubahan perilaku) yang dikemukakan oleh Prochaska and DiClemente (1983); Grimley, Gabrielle, Bellis, and Prochaska (1993); Prochaska and Vellicer (1997).
18
8. Communication for Persuasion Theory (teori persuasi) yang dikemukakan oleh McGuire (1984); National Cancer Institute and National Institutes of Health (2002); Alcalay and Bell (2000). 5 Dari delapan teori yang ada, peneliti menggunakan dua teori yaitu teori difusi inovasi dan teori konvergensi untuk membahas komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Teori difusi inovasi, peneliti gunakan untuk menganalisis perubahan perilaku manusia yang bersumber dari dalam diri manusia. Mengingat teori difusi inovasi menyatakan bahwa perubahan perilaku terjadi pada setiap waktu dan sangat bergantung pada tahapan-tahapan: kesadaran, pengetahuan dan ketertarikan, pengambilan keputusan, uji coba, dan penerimaan atau penolakan perilaku. Sementara, teori konvergensi digunakan untuk mendalami perubahan perilaku yang bersumber dari faktor lingkungan atau dari luar diri manusia. karena teori konvergensi lebih menekankan pada sharing informasi, pemahaman bersama, dan tindakan kolektif dalam merubah perilaku manusia. Meskipun kedua teori tersebut digunakan untuk menganalisis objek penelitian ini, tidak menutup kemungkinan teori lainnya yang berhubungan perilaku dan perubahan sosial bisa digunakan. Walhasil, peneliti akan membiarkan teks al-Qur’an berbicara dengan bahasanya sendiri dan teori hanya dijadikan sebagai pisau analisis.
B. Al-Qur’an. 1. Komunikasi dalam al-Qur’an Sesuai dengan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (QS. 2: 185), maka tidak keliru apabila penulis menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam mengkaji komunikasi. Bagi penulis, al-Qur’an merupakan sumber rujukan segala ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia. Meski di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tentang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia, tetapi secara global dan implisit ada isyarat-isyarat atau
5
Renata Schiavo, Health Communication from Theory to Practice, San Fransisco: Jossey-Bass, 2007, hlm. 32- 44.
19
makna-makna yang bisa didapatkan dari al-Qur’an tentang berbagai ilmu pengetahuan, termasuk komunikasi. Al-Qur’an yang tersusun dari huruf, kata, dan kalimat serta memiliki makna tentunya mengandung unsur-unsur komunikasi baik pesan secara verbal maupun non verbal. Pesan secara verbal dapat dikaji melalui ayat-ayat yang terkait dengan istilah lafadz, qaul, dan kalimah, seperti yang terdapat dalam ayat al-Qur’an surat Qaf ayat 18:
Artinya: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. Sementara, pesan yang bersifat non verbal, al-Qur’an amat kaya dengan ungkapan atau makna yang terkait dengan isyarat mata, wajah, tangan, kaki, gerakan tubuh, bibir, kepala,dan lain sebagainya. Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 31
Artinya: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan
20
berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia." Selain mengandung pesan-pesan yang bersifat verbal dan non verbal, di dalam al-Qur’an juga banyak memberikan istilah-istilah yang mengandung makna komunikasi, seperti kata an-naba (berita), qaul (perkataan), khabar (kabar), jidal (debat), indzar (peringatan), dan sebagainya.6 Mengingat al-Qur’an banyak memberikan isyarat dan petunjuk tentang komunikasi, maka penulis meyakini bahwa komunikasi kesehatan pun bisa dikaji dan dikembangkan dari sumber al-Qur’an. Kajian komunikasi kesehatan akan dianalisis melalui term-term kunci yang terkandung dalam ayat-ayat alQur’an melalui bacaan semiotika Charles Sanderce Peirce yang mengedepankan unsur ikon, indeks, dan simbol. 2. Kesehatan dalam Al-Qur’an Seperti halnya komunikasi, kesehatan pun tidak luput dari pembahasan yang ada di dalam al-Qur’an. Karena kesehatan merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Kekayaan, jabatan, dan status sosial, tidak memiliki arti penting bagi seorang yang terkena penyakit. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk terhindar atau mengobati dari segala macam penyakit. Mengingat betapa urgennya kesehatan bagi manusia, maka tidak mungkin Allah mengabaikan elemen penting tersebut dalam kitab petunjuknya. Allah memberikan petunjuk kepada manusia melalui ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, baik dalam bentuk konsep sehat dan sakit, cara pengobatan, pola hidup sehat, dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan kesehatan. Kementerian Agama RI melalui Tafsir Al-Qur’an Tematik jilid 5 membahas secara khusus tema kesehatan dalam perspektif al-Qur’an. Di dalam tafsir tersebut dijelaskan ada sepuluh tema besar yang dibahas: (i) kebersihan, (ii) kehamilan dan proses kelahiran, (iii) menyusui dan kesehatan, (iv) pertumbuhan bayi, (v) gerontologi kesehatan lanjut usia, (vi) fenomena tidur,
6
Pembahasan lebih lengkap tentang istilah komunikasi dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam Harjani Hefni, Komunikasi Islam, Jakarta: Kencana, 2015.
21
(vii) makanan dan minuman, (viii) pola hidup sehat, (ix) kesehatan mental, dan (x) kesehatan masyarakat.7 Dari sepuluh bahasan tersebut, secara garis besar ada tiga hal penting yang terkait dengan kesehatan dalam al-Qur’an, yaitu: Pertama, konsep kesehatan., baik secara individu maupun masyarakat. Konsep kesehatan tercermin dalam konsep kebersihan dan kesehatan mental. Kebersihan dalam alQur’an bukan hanya bersifat jasmaniah saja, melainkan juga pada kebersihan ruhaniah. Kebersihan merupakan suatu yang amat tabi’iyyah (alami) dan fitriyyah (original) bagi makhluk hidup. Dalam ajaran Islam, kebersihan saja belum cukup, tetapi harus disertai dengan kesucian. Karenanya, kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan dan perlu diaktualkan dalam rangka membangun kebersihan akidah, ibadah, raga, dan jiwa. Untuk dapat mengaktualkan kebersihan, maka kondisi individu dan masyarakat harus dalam keadaan sehat. Pada konteks inilah diperlukan adanya kesehatan mental. Kedua, pola hidup sehat. Pola ini dibentuk dari semenjak manusia melakukan proses perkawinan. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam yang bertujuan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS. 30:21). Selanjutnya, al-Qur’an mengatur tentang kehamilan, proses melahirkan, menyusui, pertumbuhan bayi dan anak-anak, perlakuan terhadap orang tua lanjut usia, mengatur makanan dan minuman serta gaya hidup. Pola hidup sehat yang ditunjukkan oleh al-Qur’an mengarah pada pola sehat secara fisik dan jiwa. Sementara sehat secara sosial dan spiritual merupakan efek yang ditimbulkan oleh sehat fisik dan jiwa. Ketiga, sarana dan lingkungan yang sehat. Al-Qur’an juga amat menekankan pentingnya sarana dan lingkungan dalam mendukung adanya kesehatan. Suatu hal yang mustahil tercipta kesehatan manakala tidak mendapatkan dukungan dari sarana dan lingkungan yang sehat. Air bersih, tanah bersih, dan udara yang bersih merupakan sarana penting yang banyak mendapatkan penekanan dalam al-Qur’an untuk mendukung proses terjadi kesehatan pada individu dan masyarakat.
7
2012.
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik, Jilid 5, Jakarta, Penerbit Aku Bisa,
22
3. Tafsir Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran Islam dan menjadi petunjuk hidup bagi semua manusia. Mengingat al-Qur’an menggunakan bahasa Arab dan tidak semua manusia memahami bahasa arab, maka keberadaan tafsir amat urgen kehadirannya agar petunjuk tersebut dapat dipergunakan dengan sebaikbaiknya. Apalagi bahasa al-Qur’an masih bersifat umum dan berupa garis-garis besar yang tidak mudah dimengerti, sehingga memerlukan penjelasan yang lebih rinci, baik yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits, maupun pendapat dari para Ulama. Tafsir hadir dalam berbagai bentuk bahasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menggunakan tafsir tersebut. Oleh karena itu, tafsir banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa dunia, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Salah satu tafsir yang berkembang pada era kontemporer ini adalah tafsir tematik. Tafsir ini ditengarai sebagai metode alternatif yang paling sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Karena dalam metode tafsir tematik ini, segala persoalan umat dapat dipecahkan dan ditemukan jawabannya melalui pembacaan ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an.8 Dalam tafsir tematik, seorang mufassir tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat secara berurutan sesuai urutan yang ada di dalam mushaf, tetapi menafsirkan dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat alQur’an yang berbicara tentang topik tertentu, untuk kemudian diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan alQur’an.9 Bentuk tafsir tematik inilah yang Penulis gunakan untuk mengkaji topik komunikasi kesehatan. Penulis menelusuri kata-kata kunci yang ada di dalam alQur’an tentang komunikasi kesehatan, kemudian kata-kata kunci tersebut 8
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik,....hlm. xxii. Menurut Muchlis M. Hanafi, ada beberapa langkah yang telah dirumuskan oleh para ulama dalam menyusun tafsir tematik, yaitu: 1). Menentukan topik atau tema yang akan dibahas. 2). Menghimpun ayat-ayat menyangkut topik yang akan dibahas. 3). Menyusun urutan ayat sesuai masa turunnya. 4). Memahami korelasi (munasabah) antar ayat. 5). Memperhatikan sebab nuzul untuk memahami konteks ayat. 6). Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits dan pendapat para ulama. 7). Mempelajari ayat-ayat secara mendalam. 8). menganalisis ayat-ayat secara utuh dan komprehensif dengan jalan mengkompromikan antara yang’am dan khas, yang mutlaq dan muqayyad dan lain sebagainya. 9).Membuat kesimpulan dari masalah yang dibahas. Lihat dalam Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik,....hlm. xxx. 9
23
ditafsirkan menurut pandangan ulama tafsir, dan selanjutnya penulis pahami dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce, guna menghasilkan pesan-pesan dan ideologi yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan komunikasi kesehatan, khususnya di kalangan umat Islam. C. Semiotika. 1. Pengertian Semiotika Secara
etimologi,
kata
semiotik10
atau
semiologi
(semiology,
11
semiologie) berasal dari akar kata semeion yang berarti tanda (sign), atau seme yang berarti penafsir tanda. Kemudian pada abad ke-17, John Locke menggunakan istilah semiotika yang berarti sebagai “the Doctrine of Signs” (doktrin atau ajaran tentang tanda). Selanjutnya, pada era modern ini istilah semiotika digunakan sebagai “Theory of Signification”.12 Adapun secara terminologis, menurut John Lechte yang dikutip oleh A. Luthfi Hamidi menyatakan bahwa semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda-tanda (signs) dan berdasarkan pada sistem tanda (sign system).13 Dari definisi tersebut jelaslah bahwa konsep dasar yang membangun tradisi semiotika dalam komunikasi adalah tanda. Tanda (sign) adalah sebuah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebagai contoh, jika anda melatih kucing anda untuk berguling, maka kata “guling” adalah sebuah tanda untuk kucing supaya berguling. Dengan demikian, sebuah tanda berhubungan erat dengan makna dari kejadian sebenarnya. Hubungan sederhana ini disebut dengan pemaknaan (signification). Tanda berbeda dengan simbol. Simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat seseorang untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Simbol adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal. Dengan perhatian pada tanda dan simbol, semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan dengan bahasa, wacana, 10
Istilah yang lazim dikenal di kalangan ilmuwan Eropa Timur, Italia, dan Amerika. Istilah yang lazim dikenal di kalangan para ilmuwan Eropa . 12 Bronwen Martin aand Felizitas Ringham, Dictionary of Semiotics, New York: Cassell, 2000. Hlm. 1. 13 A. Luthfi Hamidi, Semantik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta: Grafindo Litera Media & STAIN Press Purwokerto, 2010, hlm. 63. 11
24
dan tindakan-tindakan nonverbal atau dalam bahasa yang lain semiotika adalah the study of signs and symbols atau a general philoshopical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. 2. Perkembangan Semiotika Cikal bakal lahirnya kajian semiotika bersumber dari zaman Yunani Kuno. Ketika itu terjadi perdebatan antara pemahaman “tanda natural “ (yang terjadi secara alami) dan “tanda konvensional” (yang khusus dibuat untuk komunikasi) antara madzhab Stoik dengan Epikurean di Athena pada masa Greek Stoics, kira-kira 300 SM. Selanjutnuya, kajian semiotika semakin meluas dan tersusun secara sistematis setelah catatan-catatan kuliah linguistik umum yang disampaikan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) di Universitas Jenewa pada tahun 19061911 M dengan judul “Cours de linguiticque generale” diterbitkan pada tahun 1966 M. Saussure memperkenalkan semiotik melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signified dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “”coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa, yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme.14 Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Bagi aliran strukturalisme, kejadian-kejadian yang secara empiris terlihat acak pada dasarnya memiliki suatu struktur terdalam yang tetap. Maka, 14
Strukturalisme adalah paham yang mengedepankan pola berpikir struktur. Struktur adalah suatu bangunan abstrak yang terdiri atas beberapa komponen pembentuknya. Struktur harus dianggap sebagai sebuah totalitas.
25
tugas seorang strukturalis adalah menemukan struktur terdalam dalam sebuah fenomena, sehingga bisa dijadikan sebagai objek studi yang layak Kemudian aliran strukturalisme mendapatkan gugatan dari Derrida. Derrida mengkritisi dikotomi petanda dan penanda ala Saussurean yang bersifat tertutup. Bagi Derrida, tanda bukan hanya bermakna dari sudut pandangan diffirence (perlawanan) sebagaimana yang disampaikan oleh Saussure. Akan tetapi, yang terpenting, tanda menjadi bermakna dengan teori diffirance (penundaan). Penanda tertentu tidak harus segera dimaknai dengan petandanya. Manusia harus melakukan penundaan supaya penanda bisa jadi lebih bermakna. Proses penundaan inilah yang ia sebut sebagai dekonstruksi. Bagi Benny, meskipun Derrida menggugat sistem tanda Saussurean, ia tetap menggunakan pola itu. Semiotika masih terus berkembang. Saat ini muncul sebuah teori yang disebut dengan hyper-semiotika (di atas semiotika). Teori ini memiliki kecurigaan bahwa tidak semua penanda memiliki petanda. Dalam ungkapan yang lebih tepat, tidak semua penanda memliki petanda yang ada dalam realitas. Sebagai contoh sederhana adalah tampilan-tampilan di dunia digital atau televisi. Pada dasarnya, banyak hal dalam televisi adalah penanda. Akan tetapi, ia tidak memiliki petanda dalam realitas. Aksi-aksi heroik dalam film, umpamanya sama sekali tidak memiliki realitas. Pada akhirnya, penanda digital tersebut menjadi realitas tersendiri. Pada titik ini, ada kekaburan mengenai petanda, atau juga disebut penanda bersatu dengan petanda.15 Semiotika selain berkembang di wilayah Eropa (Perancis), juga berkembang di wilayah Amerika dengan Tokoh yang terkenal, yakni Charles Sanderce Peirce (1839-1914 M). Pemikiran Peirce semakin berkembang dan mendapatkan respons dari kalangan ilmuwan setelah kumpulan makalahnya--terutama The Rule of Reason--- dipublikasikan pada tahun 1931 M. bagi Pierce, semiotika mengkaji tanda dalam konteks komunikasi lebih luas yang melibatkan berbagai elemen komunikasi. Ada 66 jenis tanda yang dielaborasi oleh Pierce, dan tiga diantaranya berkaitan dengan semiotika. Tiga tipologi tersebut adalah ikon, index, dan symbol. Ikon adalah tanda yang berkaitan dengan unsur 15
Piliang, 2012, hlm.247.
26
kemiripan, seperti antara foto dengan modelnya. Index adalah tanda yang memiliki hubungan tertentu, baik bersifat fisik atau kausalitas terhadap sesuatu yang lainnya, seperti adanya asap dengan api. Sementara simbol adalah tanda yang disepakati secara konvensi. Artinya, Pierce memiliki semiotika dengan ruang lingkup yang lebih luas, dengan melibatkan unsur-unsur ekstralinguistik. Dengan demikian, secara garis besar, semiotika kemudian hari berkembang dalam dua muara besar. Semiotika signifikansi (semiotics of signification) dan semiotika komunikasi (semiotics of communication). Aliran pertama dikembangkan berdasarkan teori-teori penanda dan petanda yang digagas oleh Ferdinand de Saussure. Aliran semiotika ini memandang bahwa semiotika atau semiologi adalah a science that studies the life of signs within society. Menurut Sussure, tanda-tanda disusun dari dua elemen yang tidak terpisahkan, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Elemen yang pertama biasa disebut dengan penanda, sedangkan yang kedua biasa disebut dengan petanda. Meskipun antara penanda dan petanda tidak terpisahkan satu sama lain, hubungan antara keduanya bersifat arbitrer atau semena-mena, tidak mempunyai hubungan langsung yang bersifat alamiah. Sedangkan
aliran
kedua,
semiotika
komunikasi
(semiotics
communication) dikembangkan berdasarkan teori triadik Charles Sandercs Peirce. Aliran semiotika yang kedua ini memandang bahwa semiotika adalah the study of patterned human behavior in communication in all its modes. Berbeda dengan aliran yang pertama, yang memandang hubungan antara penanda dan petanda sepenuhnya bersifat arbitrer, aliran yang kedua ini memandang bahwa hubungan antara keduanya dapat dijelaskan melalui tiga hal, yakni keserupaan, sebab akibat, dan ikatan konvensional. Menurut Peirce, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, disebut dengan “icon”, yang berkaitan dengan sebab akibat disebut dengan “indeks”, dan yang berkaitan dengan ikatan konvensional disebut dengan “simbol”. 3. Analisis Semiotika Sanderce Pierce Semiotika dalam penelitian ini penulis tempatkan sebagai pisau analisis dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan komunikasi
27
kesehatan. Menurut Bronwen Martin dan Felizitas Ringham, ada empat prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika semiotika dijadikan sebagai alat analisis, yaitu: Pertama, makna tidak inheren ada di dalam objek dan objek tidak berarti bermakna dengan sendirinya. Kedua, semiotik memandang teks sebagai unit yang mengurusi kebutuhan sendiri (autonomous). Karena itu, kajian semiotik diawali dari kajian tentang struktur dan bahasa yang ada dalam teks tersebut. Ketiga, semiotik menunjukkan bahwa struktur cerita atau narasi mendasarkan diri pada semua perbincangan, tidak hanya pengetahuan yang tersurat saja. Keempat, semiotik juga menunjukkan adanya ide atau gagasan level makna.16 Semiotika sebagai alat analisis terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Arkoun melakukan analisis semiotika terhadap kandungan surat al-fatihah. Lewat analisisnya, Arkoun berusaha memahami surat al-Fatiihah secara intensif. Usahanya itu, secara garis besar dilakukan lewat dua tahap. Langkah pertama, ia melakukan semacam “intellectual exercise” melalui analisis linguistik kritis. Langkah kedua adalah usaha untuk melakukan semacam “re-enacment”pengalaman keagamaan, yakni dengan analisis mitis teks surat al-fatihah.17 Demikian juga Ali Imron melakukan analisis semiotika dalam mengkaji kisah Yusuf AS. Kisah Yusuf dibedah dalam beberapa fragmen alur cerita melalui pembacaan semiotik tingkat pertama (heuristik) dan pembacaan semiotik level dua (retroaaktif). Hasil dari kedua pembacaan tersebut ditemukan pesan-pesan filosofis atau ideologi-ideologi yang tersumbunyi dibalik kisah Yusuf tersebut.18 Hal yang sama juga dilakukan oleh Nor Faridatunnisa dalam mengkaji Kisah Zu al-Qarnain yang terdapat di dalam al-Qur’an. Kisah tersebut dibedah dengan menggunakan semiotika Roland Barthes. Dari kisah tersebut didapatkan makna kontekstual dan pesan moral yang dapat dijadikan pelajaran untuk umat selanjutnya, khususnya umat Islam.19
16
Bronwen Martin aand Felizitas Ringham, Dictionary..... hlm. 7- 8. Dikutip dari Khusnul Khotimah, “Semiotika: Sebuah Pendekatan dalam Studi Agama”, Jurnal Komunika Vol. 2 No. 2, Juli- Desember, 2008, hlm. 277-289. 18 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2011. 19 Nor Faridatunnisa, “Kisah Zu al-Qarnain Dalam al-Qur’an (telaah Semiotika)”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. 17
28
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, analisis semiotika tentang komunikasi kesehatan dalam al-Qur’an menggunakan analisis semiotika Charles Sanderce Peirce. Semiotika Peirce bermula dari ketertarikan dirinya untuk menyelidiki bagaimana manusia berpikir, sampai-sampai Peirce menyimpulkan bahwa semiotika tak lain adalah sinonim dengan logika. Titik sentral dari semiotika Peirce adalah sebuah trikotomi dasar mengenai relasi “menggantikan” (stands for) di antara tanda dengan objeknya melalui interpretan, sebagaimana tertera dalam gambar di bawah Interpretan
Representamen
objek
Representamen adalah sesuatu yang bersifat inderawi (perceptible) atau material yang berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya membangkitkan interpretan, yakni suatu tanda lain yang ekuivalen dengannya di dalam benak seseorang (interpreter). Dengan kata lain, baik representamen maupun interpretan pada hakekatnya tidak lain dan tidak bukan adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain. Hanya saja representamen muncul mendahului interpretan, sementara adanya interpretan dibangkitkan oleh representamen. Objek yang diaju oleh tanda atau sesuatu yang kehadirannya digantikan oleh tanda adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya, objek tersebut tidak mesti konkrit, tetapi bisa pula entitas lain yang abstrak, imaginer atau fiktif. Relasi di antara representamen, objek, dan interpretan ini membentuk sebuah struktur triadik. Contoh sederhana dari struktur triadik peirce: tanda kebahasaan atau verbal berupa rangkaian bunyi /m/, /a/, /t/, dan /a/ yang secara beruntun kita ucapkan dan yang kemudian bisa kita tuliskan sebagai mata. Kata mata ini adalah sebuah tanda atau representamen karena ia menggantikan objek tertentu, yakni mata. Kata ini juga membangkitkan tanda lain di dalam benak kita, misalkan indra penglihatan atau alat pandang atau alat untuk melihat. Tanda yang lain inilah yang dinamakan sebagai interpretan.
29
Proses tiga tingkat (three fold process) di antara representamen, objek dan interpretan yang dikenal sebagai proses semiosis ini niscaya menjadi objek kajian yang sesungguhnya dari setiap studi semiotika. Jika proses tiga tingkat tersebut diaplikasikan dalam menganalisis ayatayat al-Qur’an yang mengandung komunikasi kesehatan, maka ayat-ayat alQur’an dijadikan sebagai objek semiotik. Kemudian ayat-ayat al-Qur’an tersebut membangkitkan tanda komunikasi kesehatan yang menjadi representamen. Ayat yang mengandung komunikasi kesehatan tersebut, selanjutnya menjadi tanda lain berupa interpretan, yang penafsirannya sesuai dengan asbabun nuzul, munasabah ayat, dan kontekstualitas ayat. Selain itu, proses semiotika Charles Sanderce Peirce juga mengenal tiga hubungan yang saling terkait dan memunculkan makna atau nilai, yakni ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang berhubungan dengan kesamaan (similarity) dengan objek semiotik. Indeks adalah tanda yang berhubungan dengan objek semiotika yang berkaitan dengan efek alami atau sebab akibat (casual or natural relation). Selanjutnya, simbol adalah hubungan tanda dengan objek semiotik yang lebih kompleks yang didasarkan pada hasil konvensi sosial (social convention).20 Kategorisasi yang dilakukan oleh Peirce tersebut, jika diaplikasikan dalam membedah komunikasi kesehatan dalam perspektif al-Qur’an, maka ikonnya adalah kata-kata atau ayat-ayat yang memiliki kesamaan dengan makna komunikasi kesehatan. Sedangkan indeks-nya adalah hubungan kausal atau alami antara ayat-ayat komunikasi kesehatan, baik secara semantik, wacana, maupun hermeneutik. Kemudian simbol-nya adalah makna-makna yang disepakati baik oleh para ulama tafsir, ahli bahasa maupun para ilmuwan muslim tentang komunikasi kesehatan. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan dibawah ini: Tipe tanda Semiotik Peirce
Ikon Kesamaan
indeks
Simbol
Relasi kausal atau Konvensi sosial alami
20
Floyd Merrell, “Charles Sanders Peirce’s Concept of the Sign”, dalam Paul Cobley, The Routledge Companion to Semiotics and Linguistics, New York: Routledge, 2001, hlm. 31.
30
Analisis
al- Kesamaan
Qur’an
Relasi baik secara Pandangan
mufrodat ayat al- semantik, wacana, mufassir, Qur’an
dengan maupun
komunikasi
hermeneutika
ahli
linguistik maupun pemikir muslim
kesehatan
Dalam tataran yang lebih praktis lagi, triad of meaning dari teori semiotika Charles Sanderce Pierce dalam mengkaji kata-kata kunci yang ada dalam ayat-ayat al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan dilakukan dengan menggunakan analisis semantik, analisis sintaksis, dan analisis pragmatis. Analisis semantik berupaya mencari kesamaan antara istilah kesehatan dengan kosakata yang ada dalam term-term komunikasi kesehatan yang ada di dalam alQur’an. Analisis ini lebih banyak didapatkan melalui proses pencarian makna yang bersumber dari kamus. Kemudian analisis sintaksis berupaya mencari hubungan antar ayat, kosakata, makna, dan bahkan wacana. Sedangkan analisis pragmatis berupaya untuk menarik makna yang bersifat konvensional sehingga terbangun gagasan utuh berkenaan dengan komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an.
31
BAB III TERM-TERM KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM AL-QUR’AN Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Salah satu kemukjizatan yang dimiliki oleh al-Qur’an berhubungan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung berbagai informasi pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia, baik menyangkut
ilmu-ilmu
alam,
ilmu-ilmu
sosial
maupun
ilmu-ilmu
humaniora. Dalam konteks ini, penulis akan menguraikan beberapa kata kunci dari ayat-ayat al-Qur’an yang berisi tentang komunikasi kesehatan yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial. Menurut Izutsu yang dikutip oleh A. Luthfi Hamidi bahwa memahami konsep-konsep pokok yang mewujud dalam kata-kata kunci dalam al-Qur’an akan memiliki arti penting dalam memahami totalitas pandangan dunia al-Qur’an.1 Pilihan kata-kata kunci (key words) didasarkan pada pemahaman dari istilah komunikasi kesehatan. Istilah komunikasi kesehatan tersusun dari kata komunikasi dan kesehatan. Tidak ada satu kata atau istilah pun yang ada di dalam Bahasa Arab untuk mewakili kata komunikasi kesehatan. Oleh karena itu, Penulis mengikuti pendapat dari Alo Liliweri bahwa pemahaman komunikasi kesehatan sebenarnya melekat pada hubungan konseptual antara “komunikasi” dengan “kesehatan”, sehingga konsep komunikasi memberikan peranan pada kata yang mengikutinya.2 Artinya kata kesehatan merupakan inti dari pemahaman terhadap komunikasi kesehatan. Karenanya beberapa kata kunci yang akan penulis jelaskan lebih banyak terkait dengan kata kesehatan, sementara komunikasi akan dilihat dari redaksi ayat yang ada dalam istilah kesehatan tersebut. A. Shihhah Dalam Bahasa Arab kata sehat diungkapkan dengan kata asshihhah atau yang seakar dengannya yaitu keadaan baik, bebas dari
1
A. Luthfi Hamidi, Semantik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta: Grafindo Litera Media & STAIN Press Purwokerto, 2010, hlm. 10. 2 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm.46.
32
penyakit dan kekurangan serta dalam keadaan normal. Kata ini dan yang seakar dengannya tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Namun dalam hadits, kata ini dan yang seakar dengannya sering digunakan oleh Rasulullah saw, diantaranya:
)نعمتان مغبون فيهما كثري من الناس الصحة والفراغ (رواه البخاري Artinya: “Banyak manusia merugi karena dua nikmat: kesehatan dan waktu luang” (riwayat al-Bukhari). Meskipun kata as-shihhah tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi kata ini akan dijadikan sebagai bahan untuk analisis lebih lanjut terkait dengan konsep komunikasi kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Karena kata as-shihhah banyak digunakan dalam hadits dan hadits di dalam ajaran Islam berperan sebagai penjelas dari al-Qur’an, maka kata as-shihhah menjadi kata kunci penting dalam komunikasi kesehatan.
B. Quwwah Istilah sehat dalam bahasa al-Qur’an dekat maknanya dengan kata al-Quwwah. Kata al-Quwwah dan berbagai derivasinya terulang sebanyak 42 kali. Dalam Bahasa Arab, kata ini menunjukkan arti kuat, lawan dari lemah. Kuat bisa pada fisik dan atau mental serta pikiran, seperti pada surat al-Anfal ayat 60
33
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. Kuat secara mental, dalam bentuk keinginan kuat dan kesungguhan dapat ditemukan misalnya dalam surat al-Baqarah (2) ayat 63, al-A’raf (7) ayat 171, Maryam (19) ayat 12.
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa" (QS. 2:63). Dalam surat tersebut, pesan-pesan Allah yang disampaikan melalui wahyu harus diambil dan diterima dengan kekuatan, baik dalam kesungguhan maupun keinginan kuat untuk melaksanakannya. Untuk itu dibutuhkan jiwa yang sehat dan siap untuk menjadi persemaian nilai-nilai ajaran agama. Sementara kuat dalam arti secara fisik dapat dilihat dalam alQur’an surat al-Qashash (28) ayat 26, sebagai berikut:
34
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Dalam ayat tersebut, kuat dalam arti fisik tergambar dalam permintaan putri nabi Syu’aib kepada nabi Musa karena putri tersebut melihat kekuatan fisik dan wibawanya saat mengambil air untuk ternak mereka di tengah kerumunan orang banyak. C. Itma’anna ()اطمئن Sehat dalam konsep Islam tidak hanya dilihat dari aspek fisik saja, melainkan juga dari aspek psikis. Salah satu istilah kata yang menggambarkan kesehatan secara psikis atau non fisik adalah istilah itma’anna ()اطمئن. Ada kurang lebih 12 kali ayat yang menyebutkan istilah itma’anna dan derivasinya. Dalam surat al-Fajr ayat 27, Allah memanggil jiwa-jiwa yang tenang untuk masuk ke dalam golongan yang selamat dan golongan yang masuk ke dalam surganya Allah swt. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang diliputi dengan iman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah surat an-Nahl ayat 106:
35
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. Kemudian orang yang beriman adalah orang yang memiliki keyakinan hati yang kuat atau teguh dan tidak memiliki keraguan, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Ibrahim yang belum memiliki keyakinan tentang kemampuan Allah dalam menghidupkan orangorang yang mati, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 260:
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orangorang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap
36
mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Orang yang memiliki iman dan keyakinan yang kuat adalah orang yang senantiasa berzikir kepada Allah swt karena dengan berzikir hatinya menjadi tentram
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du ayat 28) Kemudian, orang yang sehat secara psikis, bukan hanya memiliki jiwa yang tenang, tetapi juga diwujudkan dalam sikap seharihari yang menunjukkan ketenangan (QS. 10: 7; 4:103; 3:126, 17:95) dan perilaku yang baik (QS. Al-Hajj ayat 11) serta berdampak luas pada ketentraman dan keamanan suatu negara.
37
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (QS. An-Nahl ayat 112). D. Thahaarah ()طها رة Kesehatan dalam Islam ditunjukkan melalui perilaku bersih. Oleh karena itu, perlu juga dikaji lebih dalam istilah kebersihan dalam al-Qur’an. Ada dua kata yang sering digunakan untuk menyebut istilah kebersihan dalam al-Qur’an, yaitu kata “thahaarah” dan “tazkiyyah” Kata “thahaarah” dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 25 ayat. Ayat awal yang turun kepada Nabi dan menyebutkan tentang thahaarah atau kebersihan terdapat dalam surat al-Mudassir ayat 4:
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah”. Ayat tersebut banyak ditafsirkan secara berbeda, ada yang majazi, bersih bisa berarti bersih dari kesyirikan, maksiat, dan segala macam dosa. Sedangkan bersih secara hakiki berarti bersih dari segala kotoran yang melekat pada pakaian. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut mengutip pendapat Ibnu Jarir at-Tabari sebagai berikut:
وثيابك فطهر اي اغسلها بالماء وقال ابن زيد كان المشركون ال يتطهرون فامره هللا ان يتطهر وان يطهر يثابه وهذا القول اختاره ابن جرير “ Dan sucikanlah pakaianmu, artinya basulah dengan air karena sebagaimana dikatakan Ibnu Zaid, orang-orang Musyrik itu tidak
38
bersuci, maka Allah memerintahkan agar bersuci dan menyucikan pakaiannya”.3 Pemaknaan kata “thahaarah” dalam arti bersih secara fisik juga digunakan oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 222 dan surat alMaidah ayat 6, dimana kata “thahaarah” dimaknai secara fisik, yakni perempuan yang haidl memiliki kewajiban mandi (bersuci) setelah berhenti haidl sebelum melakukan hubungan seks dan ketika mau melaksanakan shalat.
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. Selain kata “thahaarah” bermakna kebersihan secara fisik, alQur’an juga menggunakan kata tersebut untuk makna kebersihan secara psikis, diantaranya: 3
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Juz IV, Beirut;Daar Ihyaa al-Turats al-Arabii, hlm. 441.
39
1. Kebersihan dari perbuatan syirik Dalam surat al-Baqarah ayat 125, Allah menjelaskan tentang perlunya baitullah dibersihkan dari perbuatan-perbuatan syirik yang dilakukan oleh kalangan musyrikin arab.
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". 2. Tidak tersentuh oleh keonaran orang-orang kafir Allah membersihkan Nabi Isa as dari keonaran-keonaran yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sebagaimana diungkapkan dalam alQur’an surat al-Imran ayat 55:
40
Artinya: “(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orangorang yang kafir hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya". Orang-orang kafir menduga bahwa nabi Isa disalib,padahal tidak demikian adanya, sebagaimana diterangkan dalam ayat lain:
Artinya: “Dan karena Ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah[378]", Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang
41
mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya
orang-orang
yang
berselisih
paham
tentang
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa”. (QS. An-Nisa ayat 157) 3. Suci, tidak berbuat dosa, berzina dan fahisyah lainnya.
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)”. (QS. Al-Imran ayat 42) Ada beberapa penafsiran tentang makna wa tahharaki, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, yaitu: pertama, Allah swt menyucikan dari kekafiran dan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah pada surat al-Ahzab ayat 33 tentang isteri-isteri Nabi Muhammad. Kedua, Allah swt menyucikan Maryam dari sentuhan lelaki. Ketiga, Allah swt menyucikannya dari haid karena dikatakan bahwa Maryam tidak haid. Keempat, Allah swt menyucikannya dari perbuatanperbuatan
tercela
dan
kebiasaan
jelek.
Kelima,
Allah
swt
menyucikannya dari ucapan-ucapan orang Yahudi, tuduhan dan kedustaan mereka terhadapnya. Ayat lain yang berkaitan dengan suci dari perbuatan onar adalah tuduhan kepada Nabi Luth, sebagaimana diterangkan bahwa mereka melakukan perbuatan khaba’is (QS. 21: 74), yaitu perbuatan homoseksual.
42
Artinya: “Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?" (QS. Hud ayat 78)
Artinya: “Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka
(Luth
Sesungguhnya
dan mereka
pengikut-pengikutnya) adalah
orang-orang
dari yang
kotamu
ini;
berpura-pura
mensucikan diri." ( QS. al-A’raf ayat 82) 4. Bersih dari perbuatan dosa Keluarga Rasulullah adalah keluarga suci dan terhormat, sehingga tidak sembarangan pergi keluar rumah. Mereka memiliki “protokoler” tersendiri yang diatur oleh Allah swt. Mereka tinggal di rumah, kecuali pada saat-saat amat diperlukan meninggalkan rumah.
43
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al-Ahzab ayat 33). Makna tathhira adalah menyucikan atau memelihara dari segala yang kotor, baik dalam arti nyata maupun abstrak karena rumah Rasulullah saw adalah tempat turunnya wahyu yang tentu harus suci dari segala perkataan dan perbuatan tercela.
44
Artinya:“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah ayat 232). 5. Kalamullah yang suci
Artinya: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqi’ah ayat 79). Ulama berbeda pendapat dalam memaknai ayat di atas. Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah menyentuh mushaf alQur’an harus berwudlu terlebih dahulu. Ada pula yang menyebut bahwa yang dimaksud al-muthahharun itu adalah para Malaikat. Quraish Shihab menuturkan, mayoritas ulama memahami pengganti nama tersebut kepada al-Qur’an yang dinyatakan ayat sebelumnya, “di kitab yang terpelihara itu” dan atas dasar itu mereka memaknai al-muthahharun adalah para Malaikat. Di samping itu juga al-Qur’an bukan dari jin yang diturunkan kepada para dukun yang dibisikkan setan, sebagaimana tuduhan mereka pada Nabi sebagai kahin.
Artinya: “(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)” (QS. AlBayyinah ayat 2).
45
Ayat ini, menurut Quraish Shihab, makin mempertegas lagi atas bukti kebenaran kerasulan Muhammad saw karena yang dibacanya adalah lembaran-lembaran yang disucikan dari segala najis dan kotoran yang immaterialseperti syirik dan dosa. 6. Kesucian harta. Kesucian harta merupakan dimensi lain dari dimensi kesucian dalam Islam. Karena itu, umat Islam yang memiliki harta yang telah mencapai nishabnya hendaknya mengeluarkan zakat agar harta yang dimilikinya menjadi harta yang suci (bersih). Zakat membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Di samping itu juga, zakat juga menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati dan memperkembangkan harta benda.
Artinya:”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658]
dan
mensucikan[659]
mereka
dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. At-Taubah ayat 103) 7. Suci berarti tidak pernah disentuh laki-laki manapun. Pasangan-pasangan yang ada di surga merupakan pasanganpasangan yang suci dan tidak ada seorang lelaki pun yang menyentuhnya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat alBaqarah ayat 25; al-Imran ayat 15, dan an-Nisa ayat 57.
46
Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah ayat 25) E. Tazkiyyah ()تزكية Seperti yang penulis ungkapkan di atas bahwa al-Qur’an ketika menyebutkan kata kebersihan terkandung dalam makna “thahaara” dan “tajkiyyah”. Bahkan ada beberapa ayat al-Qur’an yang merangkai kedua kata tersebut dalam satu ayat. Kata “thahaarah” disebutkan sebanyak kurang lebih 25 kali, sementara kata “tazkiyyah” dan derivasinya disebutkan sebanyak kurang lebih 23 kali. Kata tazkiyyah banyak digunakan oleh al-Qur’an dalam pengertian kebersihan yang bersifat maknawi atau abstrak, terutama berkaitan dengan kebersihan jiwa
47
Artinya; “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy-Syams ayat 9)` Ayat di atas menggambarkan tentang pilihan hidup yang diberikan oleh Allah swt. Dalam ayat sebelumnya, Allah memberikan gambaran bahwa manusia diciptakan oleh Allah memiliki potensi yang besar guna meraih kebajikan. Manusia diberikan ilham “fujur” dan ilham “taqwa”. Manusia yang memilih ilham taqwa adalah manusia yang beruntung dan berbahagia. Dalam konteks ini, manusia memiliki andil yang besar dalam menentukan pilihan hidupnya. Kedurhakaan yang dilakukan oleh manusia disebabkan karena ulah manusia sendiri. Namun, menurut Quraish Shihab, ulama memahami ayat di atas dalam arti telah beruntunglah manusia yang disucikan jiwanya oleh Allah dan merugilah dia yang dibiarkan Allah berlarut dalam pengotoran jiwanya.4 Pandangan ulama tersebut diperkuat juga dengan beberapa ayat al-Qur’an
yang
menyatakan
bahwa
Allahlah
yang
berkuasa
memberikan kesucian kepada siapa yang dikehendakinya.
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya
bersih?
sebenarnya
Allah
membersihkan
siapa
yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun” (QS. An-Nisa ayat 49). Meskipun Allah membersihkan siapa yang dikehendakinya, namun manusia tidak bisa berdiam diri, perlu upaya yang bersungguh4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati), 2007, hlm. 301.
48
sungguh untuk bisa mensucikan dirinya. Manusia jangan mengikuti langkah-langkah syaitan (QS. 24: 21) dan perlu melakukan perbuatanperbuatan positif yang dapat menghindari dirinya dari perbuatan dosa.
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu. Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. dan Barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu) (QS. Fathir ayat 18). Upaya manusia dalam mensucikan dirinya dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Karena Allah mengutus beliau untuk menjalankan fungsi kerisalahannya, yakni membacakan ayatayat-Nya, mengajarkannya, dan mensucikannya.
49
Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayatayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al-Imran ayat 164). Orang yang membersihkan jiwanya akan mendapatkan balasan surga dari Allah swt dan sebaliknya orang yang mengotorinya dirinya akan mendapatkan siksa dari Allah swt
Artinya: “(Yaitu) syurga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. dan itu adalah Balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)” (QS. Thaha ayat 76).
F. Mariidl ( ) مريض
50
Kata mariidl berasal dari akar kata maridla berarti yang sakit, berpenyakit, tidak sehat atau to be (come) sick or ill.5 Kata Maridla dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali. Di antaranya terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 10,184,185,196; an-Nisa (4) :43; al-Maidah (5): 6,52; al-Anfal (8): 49; at-Taubah (9): 91; Maryam (19): 23; al-Hajj (22): 53; al-Ahzab (33): 12,32,60; Muhammad (47): 20,29; al-Fath (48): 17; al-Muzammil (73): 20; dan al-Mudatstsir (74): 31. Secara umum, kata maridla dan derivasinya memiliki arti penyakit atau sakit. Namun, dalam al-Qur’an terdapat perbedaan makna antara kata al-maradl dengan kata al-maridl. Ketika al-Qur’an menggunakan kata al-maradl, maka sakit yang dimaksud bermakna majazi, yaitu berupa penyakit-penyakit kejiwaan, dan kebanyakan berkaitan dengan sifat nifaq. Berbeda dengan ungkapan al-mariid (QS. 24:61, 48:17), maridlu (QS. 26: 80), maridan (QS. 2: 184, 185), dan marda (QS. 4: 43) yang kesemuanya menggambarkan penyakit dalam bentuk fisik. Kata maridh dalam Al-Qur'an lebih banyak disebutkan dibandingkan dengan kata saqim. Kata maridh disebutkan sebanyak 24 kali,6 sedangkan kata saqim disebutkan sebanyak 2 kali.7 Dari
dua
kata
tersebut,
sakit
dalam
al-Qur’an
dapat
diklasifikasikan menjadi dua: Pertama, sakit yang berkaitan dengan penyakit yang ada di dalam dada manusia atau penyakit ruhani (hati). Penyakit hati ada dua macam yaitu penyakit “syubhah wa syak” dan penyakit “syahwat wa ghayy”.8 Penyakit “syubhah wa syak” atau penyakut keraguan yang ada dalam hati disebutkan dalam ayat alQur’an surat al-Baqarah (2) ayat 10.
5
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: Krapyak, 1984, hlm. 1421-1422. Lihat juga Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid, Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya: Penerbit Halim Jaya, 2006, hlm. 859. 6 Lihat QS. 2:10,184,185, 196; 4:43,102; 5:6,52; 8:49; 9:91,125; 22:53, 24:50, 61; 26:80; 33: 12,32,60; 47:20, 29; 48:17; 73:20; dan 74:31 7 Qs. 37: 89 dan 145. 8 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Tibb al-Nabawi, Beirut: dar al-Nadwah aljadidah, tt. hlm. 2.
51
Artinya: ‘Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. Dalam ayat di atas, Allah mengemukakan tentang penyakit hati yang dimiliki oleh orang-orang munafik yang memiliki sikap dan perilaku yang buruk, seperti membenci Nabi dan iri hati terhadap beliau, kesesatan, kebodohan dan lain-lain yang menyebabkan ketidakseimbangan mental, bahkan kematian rohani.9 Menurut Quraish Shihab yang mengutip pendapat Ibn ‘Asyur bahwa sifat-sifat buruk yang melekat pada diri mereka itu dari hari ke hari bertambah, karena demikian itulah sunnatullah terhadap akhlak. Ia bertambah sedikit demi sedikit tanpa disadari oleh pelakunya bahwa kemunafikan menambah buruk sifat-sifat mereka, karena seorang yang memilikinya selalu berusaha menutupi sifat-sifat buruk itu, sehingga ia tidak pernah mendapat kritik atau nasehat.10 Ayat yang sejenis dengan surat al-Baqarah ayat 10 tersebut, disebutkan dalam al-Qur’an kurang lebih ada 12 kali.11 Para mufassir menerjemahkan ayat-ayat tersebut adalah jiwa yang ragu, was-was atau buruk sangka kepada Allah, Rasul dan manusia. Perasaan cemas, raguragu yang berlebihan dan berlangsung terus-menerus pada seseorang dapat menimbulkan stress. Salah satu bentuk stress yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan adalah depresi, yaitu salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. I, ......, hlm. 99. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol 1,.....hlm. 102. 11 Adnan Syarif, Psikologi Qur’an, (Bandung: Pustaka Hidayah), 2002, hlm. 10
157.
52
kemurungan, kelesuan, ketidakberdayaan hidup, perasaan tidak berguna dan lain-lain.12 Penyebab adanya penyakit ruhani dikarenakan jiwanya tidak mengakui kebenaran secara penuh, ia dikuasai hawa nafsu (Qs. Al-Hajj: 53), termasuk syahwat yang tidak terkontrol (berbuat zina) terhadap perempuan yang bukan mahromnya (Qs. Al-Ahzab: 32). Inilah yang oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah disebut sebagai penyakit “Syahwat wa gayy”. Pengaruh jiwa atas nafsu sama hebatnya dengan penyakit kanker atas jasmani. Apabila jiwa telah sakit sebagai sebab pertama (menuruti hawa nafsu), maka timbul penyakit yang kedua, yaitu kepercayaan kepada Tuhan yang tidak ada dalam hatinya (Qs. Al-Anfal: 49, Al-Hajj: 32, dan Al-Ahzab: 60), orang-orang demikian adalah lalim, dzalim, dan aniaya yang sama dengan “adz-dzulumat”. Penyakit ruhani tidak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyakit jasmani. Penyembuhannya perlu menengok hati atau jiwa karena penyakit ini berkaitan dengan perasaan yang
tidak dapat
dirasakan (oleh tubuh), tidak dapat dilihat ataupun diketahui dengan alat medis modern sekalipun, karena tidak ada neraca untuk mengukurnya. Oleh karena itu, penyembuhannya adalah dengan introspeksi
untuk
kembali
ke
jalan
yang
benar,
meyakini
kemahakuasaan Allah Swt sehingga senantiasa dalam rahmat dan petunjuk-Nya. Kedua, penyakit yang berkaitan dengan penyakit fisik. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nuur ayat 61:
12
Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dan Bhakti Prima Yasa), 1999, hlm. 54.
53
Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, Makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudarasaudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagi kamu Makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
54
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”. Allah menyebutkan penyakit fisik di saat al-Qur’an menjelaskan panjang lebar akan ibadah puasa, haji ataupun wudhu yang disertai dengan keterangan bahwa al-Qur’an akan mampu memberikan solusi manakala al-Qur’an dipahami dengan baik. Sebagai contoh, dalam alQur’an surat al-Baqarah ayat 184 memberikan kaidah dasar akan kesehatan fisik manusia yang tidak terlepas dari tiga hal, yaitu: menjaga kesehatan, mencegah timbulnya penyakit dengan menghindari hal-hal yang menimbulkannya, dan membuang serta menghindari hal-hal dan materi yang bersifat merusak. Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, penyakit fisik (raga) adalah penyakit yang diakibatkan oleh kelebihan materi di dalam tubuh sehingga mengganggu kenormalan fungsi organ tubuh dalam kehidupan sehari-hari.13 Penyakit fisik dibagi menjadi dua, yaitu penyakit fisik permanen (akut) dan penyakit fisik yang bersifat kondiktif. Penyakit kondiktif yaitu penyakit yang timbul akibat adanya unsur materi berbahaya yang masuk ke dalam tubuh, yang menyebabkan raga terjangkiti penyakit akut atau penyakit yang timbul akibat kejadian (peristiwa tertentu), yang menyebabkan rasa jatuh sakit. Adapun pengobatan penyakit fisik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, sesuatu yang fitrah sudah terdapat pada manusia dan hewan. Ia tidak membutuhkan pengobatan dokter, seperti mengobati rasa lapar, haus, dingin dan lelah. Kedua, sesuatu yang membutuhkan pemikiran dan penelitian, seperti mengobati penyakitpenyakit yang banyak terjadi sekarang ini. Karenanya membutuhkan dokter atau para ahli terapi.14
13
Ibnu Qoyyim Al-Jauziah, Pengobatan Cara Nabi Muhammad SAW, (Surabaya: Arkola), 2008, hal. 8. 14 Musfir bin Said Az-zahrani, Konseling Terapi, (Jakarta Gema Insani), 2005, hlm. 521.
55
G. Adza ()اذى Selain menggunakan kata maridl dan saqim, al-Qur’an juga menggunakan kata “adza” untuk menunjukkan makna penyakit atau sesuatu yang menyakiti. Di dalam al-Qur’an, kata adza dan derivasinya disebutkan kurang lebih ada 23 kali. Dari 23 ayat yang disebutkan dalam al-Qur’an terkandung tiga makna utama: Pertama, penyakit fisik, seperti diungkapkan dalam surat al-Baqarah ayat 196 sebagai berikut:
56
Artinya; “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”. Quraish Shihab menafsirkan ayat “ فمن كان منكم مريضا او به اذى من “رأسهjika ada di antara kamu yang sakit, seperti luka atau ada gangguan di kepalanya akibat penyakit atau kutu dan semacamnya yang mengharuskan ia bercukur, lalu ia bercukur, maka wajiblah atasnya membayar fidyah.15 Gangguan yang ada di kepala lebih dimaknai sebagai penyakit fisik yang ada di kepala. Demikian juga dengan kandungan yang ada di dalam surat alBaqarah ayat 222 yang menyatakan bahwa haidl seorang wanita merupakan gangguan atau kotoran yang ada pada perempuan. Karena itu dilarang suami atau pasangan hidupnya untuk melakukan persetubuhan pada saat wanita sedang haidl.
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1,....hlm. 431.
57
Kedua, kata “adza” dimaknai sebagai gangguan atau penyakit yang berkaitan dengan relasi atau hubungan sosial, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 58
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan
yang mereka perbuat, Maka
Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. Makna kedua dari kata “adza” ini yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Ada kurang lebih 20 ayat yang menjelaskan tentang makna gangguan yang berkaitan dengan hubungan sosial, baik hubungan antara nabi dengan umatnya, hubungan orang yang bersedekah dengan penerima, maupun hubungan sosial antara orang munafik dengan umat islam. Ketiga, makna kata ‘adza” yang berarti gangguan atau penyakit yang disebabkan oleh alam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 102
58
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah
datang
golongan
yang
kedua
yang
belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu”.
59
H. Rizsun ()رجس Kata rijsun di dalam al-Qur’an disebutkan kurang lebih sebanyak 8 ayat. Kata rijsun atau al-rijsu dalam kamus diartikan sebagai kotoran, perbuatan keji, godaan dan bujukan syetan, dan gerak yang pelan.16 Kata rijsun yang dimaknai kotoran dalam arti fisik, hanya ada satu ayat, seperti tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 145
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi ---karena Sesungguhnya semua itu kotor--- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya
dan
tidak
(pula)
melampaui
batas,
Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Kemudian kata rijsun digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjukkan makna perbuatan keji karena mereka melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala (QS. Al-Hajj ayat 30) maupun perbuatan-perbuatan yang mengikuti godaan syetan. 16
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,.....hlm. 511.
60
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah ayat 90). Perbuatan-perbuatan keji yang mereka lakukan karena mereka tidak memiliki iman (QS. 6: 125) dan juga tidak menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya (QS. 10: 100). Oleh karena itu, Allah akan memberikan balasan berupa neraka jahannam.
Artinya: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena Sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (QS. At-Taubah ayat 95)
61
I.
Saqiyyun ) ) شقي Kata saqiyyun dan derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an kurang lebih sebanyak 12 kali. Kata saqiyyun berasal dari kata syaqiyya yang berarti celaka, malang, sial, dan sengsara. Kata saqiyyun merupakan lawan kata dari sa’idun yang berarti bahagia. Kata saqiyyun dan sa’idun disebutkan dalam satu rangkaian ayat, seperti yang tertera dalam surat Hud ayat 105.
Artinya: “Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia”. Kata saqiyyun banyak digunakan untuk memaknai orang-orang yang celaka akibat dari perbuatan manusia yang menyimpang dari ajaran Allah swt
Artinya: “Mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah dikuasai oleh kejahatan Kami, dan adalah Kami orang-orang yang sesat” (QS. AlMu’minun ayat 106). Akibat dari perbuatan tersebut, manusia akan dimasukkan oleh Allah swt ke dalam neraka (QS. Hud ayat 106) dan bahkan Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surganya Allah swt juga akibat dari perbuatan menyimpang yang dilakukannya.
62
Artinya: “Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersamasama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (Thaha ayat 123). Kemudian, kata saqiyyun dalam al-Qur’an juga bermakna kecewa dalam arti penyesalan. Nabi Zakariyya dan Nabi Ibrahim tidak merasa kecewa dengan do’a-do’a yang selama ini dipanjatkannya artinya Nabi Zakariyya dan Ibrahim merasa optimis bahwa do’anya kepada Allah akan dikabulkan, seperti do’a Zakariyya
yang
menginginkan keturunan
Artinya: “Ia (Zakariyya) berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku” (QS. Maryam ayat 4).
Artinya: “Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-
63
mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku" (Maryam ayat 48). Makna saqiyyun yang berbeda dengan kedua makna sebelumnya disebutkan dalam al-Qur’an surat Thaha ayat 2
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. Dalam ayat tersebut, makna saqiyyun berarti susah. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan
ال وهللا ما جعله شقاء ولكن جعله رحمة ونورا ودليال الى الجنة “Allah tidak menjadikan al-Qur’an membuat (manusia) susah, tetapi Allah menjadikan al-Qur’an sebagai rahmat, cahaya, dan petunjuk ke arah surga”.17 Sementara, M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa “al-Qur’an tidak diturunkan untuk menjadikan Nabi Muhammad saw menderita, mengisyaratkan tuntunan Allah kepada Beliau agar tidak terlalu bersedih hati akibat penolakan kaumnya atau dapat juga dipahami dalam arti janji tentang kemenangan dan keberhasilan yang segera akan diraih oleh nabi Muhammad saw”.18 J.
Syifa Istilah syifa berasal dari kata syafa-yasyfi-syifaan yang berarti menyembuhkan atau obat.19 Dengan berbagai derivasinya kata ini berulang sebanyak 8 kali, 6 diantaranya bermakna kesembuhan, baik dari penykit fisik maupun kejiwaan, yaitu pada surat 9:14, 10:57, 16:69, 17:82, 26:80, 41:44; dan 2 kali bermakna pinggir atau tepi yang mendekat kepada kejatuhan yaitu pada surah 3:103 dan 9:109.
17
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Juz III,....hlm. 141. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. VIII,....hlm. 270. 19 A. Warson al-Munawwir, Al-Munawwir,,.... hlm. 782. 18
64
Secara implisit, kata-kata syifa mengandung arti: Pertama, bahwa Allah yang menyembuhkan segala penyakit yang ada di dalam dada manusia, khususnya manusia beriman, seperti dinyatakan Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 14:
Artinya: “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman”. Ayat yang senada juga terdapat di dalam al-Qur’an surat AsySyu’ara (26) ayat 80 dan surat Yunus (10) ayat 57. Kemudian, di dalam hadits juga dijelaskan bahwa “ Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan obatnya” (HR. Bukhari). Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil makna bahwa konsep pengobatan dalam Islam sangat terkait dengan Tuhan, hubungan tersebut dibangun dengan landasan iman. Seorang yang beriman akan dibekali rasa aman dan tentram serta dapat menjaga dirinya dari berbagai keresahan dan penyakit. Hal ini disebabkan karena keimanan yang sungguh-sungguh kepada Allah akan membekali dirinya dengan harapan akan pertolongan, lindungan dan penjagaan Allah. Kedua, makanan dan minuman serta perbuatan dapat menjadi obat penyakit yang diderita oleh manusia.
65
Artinya: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat
obat
yang
menyembuhkan
bagi
manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan “(QS. 16:69). Dalam ayat tersebut Allah mencontohkan madu sebagai salah satu obat yang dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Selain itu, perbuatan-perbuatan seperti zikir, taubat, puasa dan shalat dapat menyembuhkan penyakit seseorang. Dalam makna kedua dapat dijelaskan
bahwa
pengobatan
dalam
Islam
dala
proses
penyembuhannya bukan hanya membutuhkan makanan dan minuman yang dapat dapat menghilangkan penyakit seseorang, tetapi lebih jauh lagi perlu ada penyembuhan yang bersifat psikologis dengan memberikan ajaran-ajaran yang dapat mendorong si pasien lebih dekat dengan Tuhan dan dapat mengurangi beban psikologis yang ada di dalam dirinya. Ketiga, al-Qur’an itu sendiri menjadi obat bagi orang-orang yang sakit (QS. 17: 82 dan QS. 41:42).
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu
66
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al-Isra: 82). Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah bahwa al-Qur’an dilihat dari salah satu fungsinya merupakan obat bagi penyakit hati yang ada di dalam dada manusia. Bahkan seluruh ayat mengandung aspek pengobatan. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa kata min (dari) dalam surat al-Isra ayat 82 menjelaskan jenis bukan menjelaskan sebagian. Dengan demikian, maka sesungguhnya al-Qur’an itu semuanya adalah penawar (obat).20 Pendapat senada juga diperkuat oleh Fakhruddin yang mengatakan bahwa al-Qur’an menjadi syifa bagi berbagai macam penyakit ruhaniyah dan jasmaniah.21
20
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Tafsir al-Qayyim, Beirut: Dar al-Fikr, 1998,
hlm. 46 21
M. Al-Razi Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Juz XI, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hlm. 35
63
BAB IV PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KOMUNIKASI KESEHATAN
Pada bab keempat ini, penulis akan menguraikan tentang analisis semiotika terhadap ayat-ayat yang menjadi kata kunci dalam komunikasi kesehatan. Ayat-ayat yang menjadi kata-kata kunci dalam komunikasi kesehatan diambil dari kata-kata yang terkait dengan kesehatan, seperti yang penulis uraikan pada bab sebelumnya. Ada sembilan kata yang akan penulis analisis terkait dengan komunikasi kesehatan yaitu: quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyya, maridh, adza, rijsun, syaqiyyun, dan syifa. Dalam menganalisis kata-kata yang ada dalam ayat al-Qur’an tersebut, penulis menggunakan analisis semiotika Charles Sanderce Pierce, yakni analisis semantik, sintaksis, dan pragmatik. Selanjutnya, penulis akan menarik secara general pesan dan makna yang bisa didapatkan dari hasil analisis semiotika menjadi konsepsi komunikasi kesehatan yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya yang bersumber dari alQur’an. Generalisasi konsep didasarkan pada teori komunikasi kesehatan yang penulis gunakan pada bab kedua, yakni teori difusi inovasi dan teori konvergensi. A. Analisis Semiotika Charles Sanderce Peirce Tentang Komunikasi Kesehatan Menurut Stephen W. Little John dan Karen A. Foss bahwa dalam mengkaji dan menganalisis semiotika tidak terlepas pada tiga wilayah kajian yaitu: semantik, sintaksis, dan pragmatik. Semantik berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjukknya.
1
Dalam
konteks penelitian ini, kata-kata kunci quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyya, maridh, adza, rijsun, syaqiyyun, dan syifa yang ada di dalam alQur’an menunjukkan tanda-tanda yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan. Sintaksis berkaitan dengan kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang 1
Menurut Stephen W. Little John dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, (Jakarta: Salemba Humanika), 2009, hlm. 55.
64
lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu. Oleh karena itu, sintaksis mengacu pada aturan-aturan yang dengannya orang mengkombinasikan tandatanda ke dalam sistem makna yang kompleks.2 Hubungan yang dimaksudkan dalam penelitian ini, baik yang terkait dengan munasabah kata, kalimat, ayat, surah dan bahkan juga munasabah dalam arti makna yang terkandung dalam beberapa ayat yang ada di dalam al-Qur’an. Sementara, wilayah kajian pragmatik memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial. Wilayah kajian ini yang memiliki pengaruh yang penting dalam teori komunikasi karena tanda-tanda dan sistem tanda dilihat sebagai alat komunikasi manusia. 3 Wilayah pragmatik inilah yang oleh Penulis akan dianalisis dengan memperhatikan asbabun nuzul ayat dan teori komunikasi kesehatan yang digunakan dalam tulisan ini, seperti yang penulis ungkapkan di bab kedua. 1. Quwwah. Berikut ini kata quwwah dan derivasinya yang disebutkan dalam alQur’an dan penulis urutkan berdasarkan turunnya surat yang disusun oleh Noldeke yaitu: NO
SURAT DAN AYAT
KATA
1
Ath-Thariq ayat 10
من قوة
2
At-Takwir ayat 20
ذى قوة
3
An-Najm ayat 5
القوي
4
Adz-Dzariyat ayat 58
ذوالقوة
5
Al-Waqi’ah
للمقوين
6
Maryam ayat 12
بقوة
7
An-Naml ayat 33
اولوا قوة
8
An-Naml ayat 39
لقوي
9
Al-Kahfi ayat 39
القوة
01
Al-Kahfi ayat 95
بقوة
2 3
Stephen W. Little John dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9,...hlm. 55 Stephen W. Little John dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9,....hlm. 56.
65
00
Fushshilat ayat 15
قوة
12
An-Nahl ayat 92
13
Ar-Rum ayat 9
منهم قوة
14
Ar-Rum ayat 54
من بعد قوة
15
Hud ayat 52
قوتكم,قوة
16
Hud ayat 66
القوي
17
Hud ayat 80
قوة
08
Al-Mu’min ayat 21
منهم قوة
09
Al-Mu’min ayat 22
قوي
21
Al-Mu’min ayat 82
واشد قوة
20
Al-Qashash ayat 26
القوي
22
Al-Qashash ayat 76
اولى القوة
23
Al-Qashash ayat 78
اشد منه قوة
24
Asy-Syura ayat 19
القوي
25
Fathir ayat 44
26
Al-A’raf ayat 171
بقوة
27
Al-Baqarah ayat 63
بقوة
28
Al-Baqarah ayat 93
بقوة
29
Al-Baqarah ayat 165
ان القوة
31
Al-Anfal ayat 52
قوي
30
Al-Anfal ayat 60
من قوة
32
Al-Anfal ayat 144
اشد منكم قوة
33
Muhammad ayat 13
34
Al-Ahzab ayat 25
قويا عزيزا
35
Al-Mujadilah ayat 21
قوي عزيز
36
Al-Hajj ayat 40
لقوي عزيز
37
Al-Hajj ayat 74
لقوي امين
38
At-Taubah ayat 69
اشد منكم قوة
39
Al-Hadid ayat 25
قوي عزيز
من بعد قوة
اشد منهم قوة
اشد قوة
66
a. Analisis semantik Kata yang banyak digunakan oleh al-Qur’an adalah kata ( قوةquwwah) dan ( قويqawiyyu). Kata quwwah dalam kamus berarti kekuatan (strength), kemampuan (force), kekuasaan (power), kekerasan (might), tenaga (vigor), potensi (potency), otoritas (authority), kecakapan (ability), kesanggupan (capability), dan energi (energy). Sedangkan kata qawiyyu berarti memperkuat (to strengthen), membentengi (fortify), mengkonsolidasikan (consolidate), menguatkan (reinforce), memperkaya (enrich), menaikkan tegangan (to boost), mempromosikan (promote), melanjutkan (further)
dan mengeraskan (to
harden).4 Kata quwwah dan qawiyyu tidak memiliki makna yang berarti jika berdiri sendiri. Karenanya kata quwwah dan qawiyyu senantiasa berdampingan dengan nama/benda/keadaan yang diterangkan oleh kata quwwah dan qawiyyu tersebut. Kurang lebih ada 7 nama/benda/keadaan yang dijadikan sandaran untuk memahami makna quwwah dan qawiyyu, yaitu: 1) Allah sebagai pemilik kekuatan utama ان ربك هو القوي العزيز, (QS. Hud ayat 66) merupakan salah satu contoh kalimat yang menunjukkan bahwa Dialah Allah yang memiliki kekuatan dan keperkasaan. Kata “al-qawiyyu” disandingkan dengan kata “rabbaka” (Tuhanmu). Kata yang sejenis ini disebutkan dalam beberapa ayat diantaranya dalam QS. Al-Kahfi ayat 39, Fushshilat ayat 15, al-Anfal ayat 52, adz-Dzariyat ayat 58, al-Baqarah ayat 165, al-Hajj ayat 40 dan lain sebagainya. 2) Malaikat jibril yang diberikan kekuatan Jibril merupakan malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu. Dia melaksanakan tugas secara profesional karena dia diberikan kekuatan oleh Allah dalam melaksanakan tugas yang berat tersebut.
4
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid, Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya: halim Jaya, t.t., hlm. 734-735.
67
Lafadz “rasulin karim“ dalam surat at-Takwir ayat 19 tersebut di atas merupakan tempat sandaran untuk menunjukkan adanya kekuatan atau “dzi quwwatin” yang terdapat dalam ayat 20. Lafadz “rasulin karim” diterjemahkan jibril yang bertugas membawa firman Allah untuk disampaikan kepada utusannya. 3) Kitab suci yang perlu dipegang teguh Lafadz ( خذ الكتاب بقوةQS. Maryam ayat 12) dan lafadz خذوا ماءاتيناكم بقوة (QS. Al-Baqarah ayat 63 dan 93 serta al-A’raf ayat 171) menunjukkan secara jelas bahwa kitab suci perlu dipegang dengan teguh (kuat). Kitab suci yang dimaksud bukan hanya al-Qur’an, tetapi kitab-kitab suci lainnya yang diturunkan kepada para nabi sebelum nabi Muhammad saw. 4) Orang yang kuat secara fisik dan mental. Lafadz “( ”أن هللا قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد منه قوة واكثر جمعاQS. AlQashash ayat 78) menyatakan bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta. Lafadz quwwah dalam ayat tersebut disandarkan kepada lafadz “man” (orang-orang terdahulu) yang memiliki kekuatan. Dalam konteks ayat ini, kekuatan fisik yang dimiliki oleh umat-umat terdahulu, sebelum masa hidupnya qarun yang merasa sombong dengan kekuatan hartanya. Demikian juga kekuatan fisik ditunjukkan dalam surat al-Qashash ayat 26, dimana lafazd “al-qawiyyu” digandengakan dengan lafadz “man”, من استئجرت القوي االمينyakni nabi Musa yang memiliki kekuatan fisik saat mengambil air untuk ternak yang sedang digembalakan oleh kedua putri nabi Syu’aib as. Bahkan, dalam ayat tersebut digandengkan dengan lafadz “alamin” artinya dipercaya. Hal ini menunjukkan bahwa Musa selain memiliki fisik, juga memiliki integritas (mentalis) yang bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan yang profesional. 5) Peralatan atau besi yang kuat Lafadz “( ”فاعينونى بقوةQS. Al-Kahfi ayat 95) menjelaskan bahwa maka bantulah aku (Dzulqarnain) dengan kekuatan. Bantuan yang diminta oleh dzulqarnain diterangkan dalam ayat sesudahnya yakni potongan-potongan besi ()زبر الحديد. Besi memiliki kekuatan sebagai alat penegak keadilan dan juga
68
sebagai bahan untuk pertahanan perang, baik berupa senjata maupun bangunan, seperti diperkuat dalam surat al-Hadid ayat 25 yang menyatakan bahwa Allah telah meenciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia. 6) Perjanjian yang teguh. Kalimat “( ”وال تكونوا كالتى نقضت غزلها من بعد قوة انكاثاQS. An-Nahl ayat 92) merupakan ilustrasi terhadap orang-orang yang melanggar perjanjian, mereka seperti perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai. Lafadz quwwah dalam ayat ini digandengkan dengan tenunan yang sudah dipintal ()غزلها من بعد قوة. Meskipun demikian, makna yang tersirat lebih diarahkan pada lafadz “( ”ايمانكمperjanjian) yang disebutkan sesudah kalimat tersebut. 7) Jin ifrit yang memiliki kekuatan. Dalam surat an-Naml ayat 39, kalimat “”وانى عليه لقوي أمين, maksudnya jin ifrit memiliki kekuatan dan lagi dipercaya. Kata ifrit, menurut Quraish Shihab berarti yang sangat kuat lagi sangat cerdas dan tidak dapat diciderai, tidak juga dapat dikalahkan. Biasanya kata ini hanya menunjuk kepada makhlus halus, dan bila digunakan menyifati manusia, maka itu dalam konteks mempersamakannya dengan makhluk halus itu.
b. Analisis sintaksis Korelasi yang tersusun dalam ayat-ayat yang mengandung lafadz quwwah dan derivasinya mengandung tanda-tanda komunikasi yang tersusun secara sistematis, diantaranya: 1) Lafadz quwwah dan derivasinya senantiasa didampingi oleh hurup “jar, nasab, rafa, maupun bentuk ma’rifah. Hal ini mengandung arti bahwa lafadz quwwah dan derivasinya tidak memiliki makna yang sempurna apabila tidak disandarkan kepada kata benda atau kata sifat yang mendahuluinya. 2) Komunikasi antara Allah (Tuhan) dengan makhluknya senantiasa ditunjukkan melalui kejadian-kejadian atau hasil ciptaan Tuhan, agar manusia dapat mengambil pelajaran dan hikmahnya. Lafadz “ , واسمعوا,واذكروا
69
افلم يسيروا, اولم يسيروا, اولم يعلمmenunjukkan dengan jelas bahwa kekuatankekuatan yang dimiliki oleh Allah ditunjukkan kepada manusia melalui kejadian-kejadian atau ciptaan-Nya agar manusia senantiasa ingat dan belajar darinya. 3) Komunikasi antara Nabi dan umatnya dilakukan secara dialogis yang diketahui melalui tanda ucapan “ ,قالوا,“قال. Yang bersatu dengan lafadz quwwah dan derivasinya. 4) Allah dalam beberapa ayat menggunakan lafadz yang berbeda untuk makna yang sama, seperti lafadz “ ”ورفعنا فوقك الطورdengan lafadz “ واذ نتقنا الجبل فوقهم “ yang berarti kami (Tuhan) yang mengangkat gunung di atas mereka. 5) Allah mengulang beberapa kali ayat yang menjelaskan kekuatan yang dimiliki oleh umat-umat terdahulu. Pengulangan yang dilakukan tidak dinyatakan dalam redaksi yang sama, tetapi ada beberapa perubahan dan perbedaan, seperti kelebihan berupa harta dan anak (QS. At-Taubah ayat 69), hasil bumi (QS. Ar-Rum ayat 9), dan negeri yang subur (QS. Muhammad ayat 13).
c. Analisis pragmatik Dari kata quwwah dan derivasinya yang ada di dalam a-Qur’an, secara pragmatik bisa ditafsirkan dalam konteks komunikasi kesehatan. Allah mengkomunikasikan kepada manusia agar memiliki perilaku yang sehat, baik secara aqidah, jasmani, dan rohani. Perilaku sehat secara aqidah merupakan muatan yang paling banyak dijelaskan dalam ayat-ayat yang mengandung kata quwwah. Allah mengecam perilaku-perilaku tidak sehat yang dilakukan oleh kalangan musyrikin dan kaum munafiqin, terutama perilaku yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum nabi Muhammad. Informasi ini disampaikan kepada umat nabi Muhammad agar mereka jangan mmengikuti perilaku tidak sehat secara aqidah seperti yang dilakukan umat-umat sebelumnya. Umat-umat terdahulu, terutama kaum Yahudi, mereka melanggar perjanjian yang telah mereka perbuat kepada para utusan Allah. Mereka meminta untuk diperlihatkan adanya Tuhan dan berjanji akan mematuhinya
70
manakala mereka bisa melihatnya. Nyatanya ketika mereka ditunjukkan dengan adanya halilintar dan berbagai bukti ciptaan-Nya yang ada di muka bumi, kaum Yahudi tetap membangkang kepada Tuhan dan Rasulnya. Demikian juga, ketika mereka diminta untuk berpegang teguh kepada ayat-ayat yang disampaikannya, mereka hanya mau mendengar saja dan tidak mau mengamalkannya. (QS. Al-Baqarah ayat 63 dan ayat 93). Menepati janji merupakan salah satu indikator dari orang yang berperilaku sehat. Orang yang sering ingkar janji berarti ia sering menyakiti orang lain. Karena dalam perjanjian ada hubungan antara pihak yang berjanji dengan yang dijanjikan. Tidak mungkin akan terjadi perjanjian, jika seseorang tidak berhubungan dengan orang lain. Menepati janji selain memberikan kesehatan secara psikologis kepada kedua orang yang melakukan perjanjian, juga menepati janji akan melanggengkan hubungan kekerabatan di antara keduanya. Umpamanya seorang ayah berjanji kepada anaknya akan membelikan sepatu baru apabila anaknya mendapatkan rangking 5 besar di sekolah. Bagi si anak janji itu tentu menjadi pemicu untuk belajar lebih giat lagi agar bisa meraihnya. Setelah anak bisa meraih prestasi sesuai dengan harapan orang tuanya, ternyata si ayah tidak memenuhi janjinya. Secara psikologis, anak akan kecewa, perasaannya sakit dan bisa jadi menimbulkan perilaku yang negatif apabila ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Demikian juga, si ayah akan memiliki beban berat dan perasaannya pun akan tersakiti. Dia merasa berdosa dan merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi janjinya. Selanjutnya, hubungan mereka pun akan terjadi jarak yang bisa jadi akan mengurangi keharmonisan di dalam rumah tangga. Selain tidak menepati janji, orang Yahudi juga tidak berpegang teguh kepada kitab suci (Taurat) yang di bawa oleh Rasul-Nya. Mereka mau mendengarkan ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci mereka dan secara lisan mau meyakini kebenarannya, tetapi mereka tidak mau mengamalkannya. Dari peristiwa yang dialami oleh orang Yahudi tersebut, Islam hadir untuk meluruskan pemahaman dan menetapkan prinsip umum yang berlaku dalam ajaran islam bahwa tidak ada nilai satu ucapan tanpa amal. Amallah yang
71
dinilai atau kesatuan antara ucapan lidah serta gerak nyata, dan inilah yang menjadi dasar bagi ketetapan hukum dan penilaiannya. Allah dalam surat ashshaff ayat 4 menyatakan
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Dengan demikian, orang yang sehat juga berarti orang yang memiliki perkataan dan tindakan yang selaras. Orang yang semacam ini dikatakan orang yang memiliki iman sempurna. Menurut imam Bukhari, iman adalah diucapkan melalui lidah, ditetapkan dalam hati dan diwujudkan dalam tindakan. Jadi orang yang sehat adalah orang yang memiliki keimanan yang sempurna, sebagaimana diperkuat oleh ayat lain dalam surat al-Hujurat ayat 14-15.
Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk',
72
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. Selanjutnya, orang yang sehat dalam Islam adalah orang yang tidak sombong. Kesombongan hanyalah milik Allah semata. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kekurangan dan kelemahan serta ketergantungan kepada orang lain. Sifat sombong muncul dalam diri seseorang karena merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Sifat sombong yang ada pada manusia ditularkan oleh jin. Jin dikeluarkan dari surga Allah swt karena merasa sombong. Dia tidak mau sujud kepada Adam karena merasa dirinya lebih utama dibandingkan dengan Adam. Dalam surat al-Qashash ayat 76 dijelaskan bahwa Qarun yang merasa dirinya kuat karena memiliki harta yang berlimpah pada akhirnya juga mengalami kehancuran. Ayat ini memberikan peringatan kepada kalangan Musyrikin Mekkah bahwa mereka tidak perlu sombong dengan harta kekayaan yang dimilikinya dan jangan menjadikan harta kekayaan mereka dipergunakan untuk menindas umat Islam. Begitu juga dalam surat al-Qashash ayat 78, Allah juga mengingatkan Qarun untuk tidak menyombongkan diri karena memiliki harta yang banyak. Mengingat orang-orang sebelum Qarun juga memiliki harta yang berlimpah, kemudian lenyap dan dibinasakan oleh Allah swt. Rasulullah saw mencela sifat sombong dan memberikan ancaman berupa azab yang sangat pedih
يحشر المتكبرون يوم القيامة أمثال الذر فى صور الرجال يغشاهم الذل من كل مكان فيساقون الى سجن فى جهنم يسمى بولس تعلوهم نار االنيار يسقون من عصارة اهل النار طينة الخبال Artinya: “orang-orang sombong kelak pada hari kiamat akan digiring seperti semut-semut kecil. Mereka akan diliputi kehinaan di setiap tempat. Mereka
73
akan digiring ke dalam sebuah penjara jahanam yang dinamakan penjara bulas. Mereka direndam kobaran api dan diberi minum thinatul khabal yaitu nanah dan darah penghuni neraka” (HR. Turmudzi) Indikator sehat lainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah amanah atau dapat dipercaya. Ada dua ayat yang langsung menyebutkan kata “ ”امينyang digandengkan dengan kata quwwah (QS. An-Naml ayat 39 dan alQashash ayat 26). Amanah yang dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut berkaitan
dengan
kemampuan
dalam
menjalankan
pekerjaan
yang
dilakukannya, baik yang dilakukan oleh manusia (nabi Musa) dalam membantu putri nabi Syu’aib dalam mengambil air untuk ternaknya maupun oleh Jin ifrit yang mendatangkan singgasana ratu Bilqis dihadapan nabi Sulaiman. Untuk bisa meraih perilaku sehat yang telah diuraikan di atas, dalam alQur’an juga dijelaskan beberapa tanda komunikasi bagaimana manusia bisa meraih perilaku sehat tersebut. Pertama, manusia perlu memahami tahapan proses penciptaan manusia. Seperti dijelaskan dalam surat ar-rum ayat 54 bahwa manusia bermula diciptakan dari kondisi lemah pada usia anak-anak, kemudian memasuki usia remaja dan dewasa, dia menjadi kuat, selanjutnya memasuki usia tua (manula), dia kembali menjadi lemah. Orang yang ingin sehat hendaknya memperhatikan proses pertumbuhan fisik manusia. Makanan, minuman, aktivitas, dan sarana hidup lainnya hendaknya memperhatikan tahapan pertumbuhan manusia tersebut. Manusia tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik. Pepatah Arab mengatakan bahwa “akal yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat”. tubuh yang sehat amat dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan, seperti yang dicontohkan oleh Musa yang memiliki fisik yang kuat dalam mengambil air untuk memberi minuman ternaknya putri nabi Syu’aib (QS. Al-Qashash ayat 26). Selanjutnya untuk membangun kesehatan secara rohani atau non fisik, Allah mengajarkan kepada manusia untuk berpegang teguh kepada kitab suci masing-masing umat.
kehadiran kitab suci bukan sekedar untuk dibaca,
apalagi dijadikan hiasan di rumah atau di kendaraan, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandungannya dan diamalkan dengan harapan dapat mengantar kepada ketaqwaan, yakni keterhindaran dari segala macam sanksi dan bencana
74
di dunia dan di akhirat. Di dalam kitab suci dijelaskan berbagai aturan main dalam hidup dan juga kisah-kisah yang menggambarkan tentang kehidupan yang dialami oleh umat-umat terdahulu. Kisah-kisah tersebut dapat dijadikan pelajaran (ibrah) bagi umat sesudahnya agar terhindar dari malapetaka. Bahkan, di dalam kitab suci juga terdapat beberapa informasi yang mendorong manusia untuk bisa memprediksi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat diperlukan oleh manusia di masa yang akan datang. Kitab suci diturunkan oleh seseorang yang memiliki kekuatan dalam menjalankan misinya. Jibri menjalankan tugas dengan quwwah (QS. At-Takwir ayat 20 dan an-Najm ayat 5). Kata Quwwah dalam ayat tersebut, menurut Quraish Shihab “biasa diartikan kemampuan melaksanakan pekerjaan yang tidak mampu dilakukan oleh kebanyakan makhluk sejenisnya. Ia juga berarti ketahanan mental serta keberanian menghadapi tantangan baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Kedua makna ini dapat menyifati rasul yang dimaksud yakni malaikat jibril as. Penyifatan itu mengisyaratkan kedudukan al-Qur’an yang demikian mantap lagi berat tanggung jawabnya, dan karena itu yang memikulnya haruslah orang yang kuat. Di tempat lain Allah melukiskan beratnya tanggung jawab itu dengan firman-Nya dalam surat Al-Hasyr ayat 21.
Artinya: “Kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”. Dalam ayat yang lain, al-Qur’an juga mengajarkan kepada manusia salah satu upaya yang bisa dilakukan agar kondisi fisik dan mentalnya sehat,
75
yakni melakukan pertobahan dan memperbanyak istigfar. Mengapa istigfar diperlukan oleh manusia? Salah satu alasannya karena manusia dalam menjalani aktivitas tidak selamanya lurus dan istiqamah, terkadang manusia mengalami kesalahan dan penyimpangan dari yang sebenarnya. Hal ini sangat manusiawi, bisa disebabkan karena ketidaktahuannya, kemalasannya maupun dilakukan secara sengaja. Pepatah mengatakan bahwa “manusia adalah tempat salah dan lupa”. Barangsiapa yang melakukan pertobatan dan istigfar, niscaya Allah akan memberikan rizki yang berlimpah, berupa hujan yang dapat menyuburkan tanah dan tanaman, serta diberikan kekuatan yang lebih, baik dalam kemampuan, harta, anak, dan lain sebagainya (QS. Hud ayat 52). 2. Ithma’anna Kata ithma’anna dan derivasinya disebutkan kurang lebih sebanyak 12 kali dan berikut ini penulis sebutkan surat dan ayat yang menyebutkan kata itma`anna beserta urutan waktunya menurut Noldeke, yaitu: No
Surat dan Ayat
Kata
1
Al-Fajr ayat 27
المطمئنة
2
Al-Isra ayat 95
مطمئنين
3
An-Nahl ayat 106
مطمئن
4
An-Nahl ayat 112
مطمئنة
5
Yunus ayat 7
واطمانوا
6
Ar-Ra’du ayat 28
تطمئن
7
Al-Baqarah ayat 260
ليطمئن
8
Al-anfal ayat 10
ولتطمئن
9
Al-Imran ayat 126
ولتطمئن
10
An-Nisa ayat 103
اطماننتم
11
Al-Hajj ayat 11
اطمان
12
Al-Maidah ayat 113
تطمئن
a. Analisis Semantik Ada tiga kata yang yang umum digunakan oleh ayat-ayat di atas yaitu kata “”مطمئن, “”تطمئن, dan “”اطمأن. Ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang sama, yakni kata “( ”اطمأنithma’anna) yang berarti tenang, tenteram, dan
76
aman. Kata ithma’anna sebenarnya berasal dari akar kata ( طمأنtham’ana) yang berarti menentramkan hati (reassure), meyakinkan (assure), membebaskan keraguan atau ketakutan seseorang (relieve someone’s worry or fear).5 Kata muthma’innu merupakan maushuf (yang disifati) yang mengikuti kata sifat yang sebelumnya, yakni jiwa (QS. Al-Fajr ayat 27), hati (QS. AnNahl ayat 10), dan negeri (QS. An-Nahl ayat 112). Sedangkan kata tathma’innu menggunakan bentuk kata kerja masa kini. Penggunaannya bukan bertujuan menggambarkan terjadinya ketentraman itu pada masa tertentu, tetapi yang dimaksud adalah kesinambungan dan kemantapannya. Penggunaan kata tathma’innu tidak bertentangan dengan firman Allah
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayatayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfal ayat 2).
b. Analisis Sintaksis Penggunaan kata ithma’anna dan derivasinya banyak dikaitkan dengan kata qulub (hati). Ada kurang lebih tujuh kali, kata ithma’anna dikaitkan dengan kata qulub. Artinya kata ini berkaitan dengan ketentraman atau ketenangan hati. Sedangkan kata ithma’anna dalam ayat lainnya dikaitkan dengan jiwa yang tentram (QS. Al-Fajr ayat 27), negeri yang tentram (QS. AnNahl ayat 112), kebajikan yang langgeng (QS. Al-Hajj ayat 11), dan keadaan yang damai atau tidak dalam kondisi perang (QS. An-Nisa ayat 103).
5
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid...hlm. 585. Bandingkan dengan A. Warson al-Munawwir, Al-Munawwir.....hlm. 926.
77
Kata ithma’anna yang terkait dengan qulub karena di dalam qulub itulah adanya iman. Oleh karena itu, menurut Thabathaba’i yang dikutip Quraish Shihab dalam menafsirkan surat ar-ra’d ayat 28 menyatakan bahwa “kata tathma’innu (menjadi tenteram) adalah penjelasan tentang kata sebelumnya yakni beriman. Iman tentu saja bukan sekedar pengetahuan tentang objek iman karena pengetahuan tentang sesuatu belum mengantar kepada keyakinan dan ketentraman hati. Ilmu tidak menciptakan iman. Bahkan bisa saja pengetahuan itu melahirkan kecemasan atau bahkan pengingkaran dari yang bersangkutan seperti diisyaratkan oleh QS.an-Naml ayat 14 “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”.6 Memang ada sejenis pengetahun yang dapat melahirkan iman, yaitu pengetahuan yang disertai dengan kesadaran akan kebesaran Allah serta kelemahan dan kebutuhan makhluk kepada-Nya. Ketika pengetahuan dan kesadaran bergabung dalam jiwa seseorang, maka ketika itu lahir ketenangan dan ketentraman. Ketika seseorang menyadari bahwa Allah adalah penguasaa tunggal dan pengatur alam raya dan yang dalam genggaman tangan-Nya serta sifat-sifat-Nya yang agung, pasti akan melahirkan ketentraman dan ketenangan dalam jiwanya. Sebaliknya, orang-orang yang lalai (gafiluun) adalah orangorang yang tidak mengharapkan adanya pertemuan dengan Allah atau tidak beriman kepada Allah (QS. Yunus ayat 7). Kemudian dalam surat al-Hajj ayat 11, Allah memperhadapkan kata khair dengan fitnah. Padahal lawan kata dari kata khayr adalah syarr. Agaknya ayat ini memilih kata fitnah untuk mengisyaratkan bahwa ujian dan cobaan yang dihadapi manusia tidak selalu berupa kejahatan dan tidak selalu buruk. Namun orang yang lemah iman selalu menganggapnya buruk.7 Dalam ayat yang lain, Allah juga menggunakan kata kufur bukan hanya dimaknai kufur dalam konteks keimanan kepada Allah swt, seperti yang ada dalam surat an-Nahl ayat 106, tetapi Allah juga menggunakan kata kufur untuk
6 7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 6,.....hlm. 600. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 9,.....hlm, 20.
78
menyebut orang yang mengingkari akan nikmat Allah swt (kufur bi al-ni’mah), sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nahl ayat 112. Selanjutnya dalam kata ithma’anna juga terkandung unsur komunikasi karena dalam beberapa ayat yang mengandung kata ithma’anna, terdapat tanda-tanda yang menunjukkan komunikasi, diantaranya kata “qaala” yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 260 menunjukkan adanya dialog antara Nabi Ibrahim dengan Tuhan. Demikian juga kata “qaala” digunakan dalam surat al-maidah ayat 113 yang menunjukkan adanya dialog umat Nabi Isa dengan Nabi Isa. Selain menggunakan kata “qaala”, juga digunakan kata tadzkir atau peringatan (QS. Ar-Ra’d ayat 28) dan kata “yaaayyatuhaa” yang menunjukkan adanya panggilan kepada jiwa-jiwa yang tenang (QS. Al-Fajr ayat 27).
c. Analisis Pragmatik Dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengemukakan tentang kata ithma’anna dan derivasinya sebagian besar membahas tentang kesehatan yang berkaitan dengan hati dan jiwa seseorang atau kesehatan yang bersifat rohaniah. Pembahasan kesehatan ruhaniah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan pembahasan kesehatan secara jasmaniah. Kesehatan ruhaniah yang ada pada manusia melibatkan banyak unsur yang ada di dalamnya, seperti ruh, hati, akal, nafsu, jiwa, dan fitrah. Semua unsur tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya. Para Ilmuwan pun kesulitan ketika harus memisahkan masing-masing unsur tersebut secara rigid dan clear. Apalagi dalam struktur Bahasa Arab yang ada di dalam al-Qur’an, seringkali satu kata memiliki banyak makna atau bersifat musytarak. Satu contoh kata nafs, banyak arti yang bisa digunakan untuk kata tersebut, bisa berarti jiwa, diri pribadi, nafsu, dan gabungan dari berbagai unsur yang ada di dalam ruhani manusia. Berkaitan dengan kata ithma’anna yang dihubungkan dengan komunikasi kesehatan, ada dua kata yang bisa menjadi tanda untuk menghubungkan makna ithma’anna, yakni kata qulub (hati), “ ”وتطمئن قلوبهمdan nafs (jiwa), “يايها النفس المطمئنة. Kedua kata tersebut yang menjadi sandaran
79
sehingga kata ithma’anna memiliki makna, yakni hati yang tentram dan jiwa yang tenang. Hati merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan, selain panca indera dan akal (rasio). Hati berfungsi untuk menerima pengetahuan yang bersifat haq al-yaqin, sementara pancaindera menerima pengetahuan ‘ain al-yaqin, dan akal menerima ‘ilmu alyaqin. Ketiga alat tersebut yang oleh Allah dalam beberapa ayatnya disebutkan dan kelak di kemudian hari dimintai pertanggungjawabannya.
Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang Amat berat” (QS. AlBaqarah ayat 7). Hati selain berfungsi sebagai alat untuk menerima pengetahuan, hati juga berperan sebagai wadah untuk menerima keyakinan seseorang kepada pengetahuan baru dan kekuatan yang ada di luar dirinya atau kepada yang kudus. Karena itu, hati memiliki peran penting bagi keimanan seseorang kepada Tuhan dan rukun iman yang lainnya. Hati yang muthma’innu adalah hati yang tentram karena berisi keimanan kepada Allah swt, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nahl ayat 106
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya
80
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. Hati yang tentram diperoleh bukan hanya melalui proses transfer pengetahuan yang berasal dari luar dirinya, tetapi jauh lebih penting diperoleh melalui proses kesadaran yang ada di dalam diri seseorang. Kesadaran diperoleh manakala manusia senantiasa ingat kepada Allah (zikrullah). Allah lah yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua makhluknya. Kesadaran terhadap Allah perlu dihadirkan dalam setiap saat agar manusia terhindar dari perbuatan maksiat dan senantiasa bisa mawas diri dalam melakukan aktivitasnya. Hati yang tentram inilah yang merupakan salah satu indikator dari rohani yang sehat menurut ajaran Islam. Selain hati yang tentram, jiwa yang tenang juga merupakan salah satu indikator lainnya dari rohani yang sehat. Jiwa (nafs) menurut Psikologi Sufi diterjemahkan sebagai “personality, self or level of personality development”.8 Menurut Shafii yang dikutip oleh Subandi,9 ada beberapa taraf perkembangan nafs yaitu: 1) Vegetatif nafs (nafs an-nabati), yakni nafs tumbuhan yang manifestasinya adalah nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. 2) Animal nafs (nafs al- hayawan), yakni nafs kehewanan yang mempunyai dua kekuatan yaitu kekuatan penggerak (driving force) dan kekuatan perseptual (perceptual force). 3) Human nafs (nafs al-insani), yakni nafs yang memiliki dua komponen utama yaitu intelect (aql) dan heart (qalb) 4) Accusing nafs (nafs al-lawwamah), yakni nafs yang menyadari pikiranpikiran, keinginan-keinginan dan cela diri sendiri. Nafs ini merupakan awal dari perjalanan rohani. 5) Inspired nafs (nafs al-mulhama) yakni nafs yang telah mendapat ilham atau petunjuk rohani. Nafs ini merupakan permulaan dari integrasi mental, ketika jiwa mampu beroperasi pada tatanan rohani yang lebih tinggi. 8
Subandi, “Psikologi Islami dan Sufisme”, Dalam Fuat Nashori (Ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: SI Press), 1994, hlm. 105. 9 Subandi, “Psikologi Islami.....hlm. 105-107.
81
6) Secure nafs (nafs al-muthma’inna), yakni nafs yang tenang, tenteram. 7) Fullfilled nafs (nafs ar-radiyya), yakni nafs yang ridla terhadap Allah. 8) Fullfilling nafs (nafs al-mardiyya), yakni nafs yang mendapat ridla dari Allah swt. 9) Complete nafs (nafs al-kamila), nafs yang sempurna. disini seorang manusia telah mencapai taraf insan kamil.
3. Thahaarah Di dalam al-Qur’an sebenarnya tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan tentang kata thahaarah ()طهارة, tetapi al-Qur’an banyak menyebutkan kata-kata yang diturunkan dari akar kata thahara ()طهر, yang berarti suci dan bersih. Berikut ini kata thahara dan derivasinya yang disebutkan di dalam al-Qur’an yaitu: NO
SURAT DAN AYAT
KATA
1
Al-Mudatsir ayat 4
فطهر
2
Abasa ayat 14
مطهرة
3
Al-Waqi’ah ayat 79
4
Al-Insan ayat 21
طهورا
5
Al-Furqon ayat 48
طهورا
6
Hud ayat 78
أطهر
7
Al-A’raf ayat 82
8
Al-Baqarah ayat 125
طهرا
9
Al-Baqarah ayat 222
تطهرن,يطهرن
10
Al-Baqarah ayat 232
مطهرة
11
Al-Bayyinah ayat 2
مطهرة
12
Al-Anfal ayat 11
ليطهركم
13
Al-Imran ayat 15
مطهرة
14
Al-Imran ayat 42
طهرك
15
Al-Imran ayat 55
مطهرك
16
An-Nisa ayat 57
مطهرة
07
Al-Ahzab ayat 33
يطهركم تطهيرا
المطهرون
يتطهرون
82
18
Al-Ahzab ayat 53
أطهر
19
Al-Mujadilah ayat 12
أطهر
20
Al-Hajj ayat 26
طهر
21
At-Taubah ayat 103
تطهرهم
22
At-Taubah ayat 108
يتطهروا
23
Al-Maidah ayat 41
يطهر
a. Analisis Semantik Kata thahaarah yang berarti kebersihan berasal dari kata dasar thahara yang berarti suci dan bersih. Kata tersebut disebutkan dalam al-Qur’an dan derivasinya kurang lebih sebanyak 23 kali seperti yang penulis sebutkan di atas. Kata thahara apabila dibaca thahura berarti menjadi bersih atau suci (to be/become clean or pure), sedangkan kata thahara apabila huruf “ha” diberi tasydid
menjadi thahhara berarti membasmi kuman (to disinfect),
mensterilkan (sterilize), membersihkan (to purge), memurnikan (purify), mencuci (clean), dan menyabun (deterge).10 Kata thahaarah dalam al-Qur’an maknanya bisa dikaitkan dengan kebersihan yang bersifat fisik, seperti tanda yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 222 “ ” فاعتزلواالنساء فى المحيض وال تقربوهن حتى يطهرن فاذا تطهرن فاتوهنdan bisa juga dimaknai secara non fisik seperti tanda yang ada di dalam surat al-Maidah ayat 41 ““ اولئك الذين لم يرد هللا ان يطهر قلوبهم. Bahkan, ada ayat yang secara jelas membedakan antara kata thahara dengan kata tazkiyyah seperti yang ada dalam surat at-Taubah ayat 103 ““ خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها.
b. Analisis Sintaksis Dalam surat al-Baqarah ayat 222 disebutkan bahwa ada dua kata thahara yang diperkenalkan dalam ayat ini, yathhurna ((يطهرن
dan
tathahharna ()تطهرن. Kata yang pertama berarti suci, yakni berhenti haidlnya dan yang kedua berarti amat suci, yakni mandi setelah haidlnya berhenti. Tentua saja yang kedua lebih ketat dari yang pertama, dan agaknya ini lebih baik dan memang lebih suci. 10
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid,....hlm. 586.
83
Kemudian di dalam surat al-imran ayat 42, kata thahara diapit oleh dua kata “ "اصطفك. Kata ishthafaaki yang pertama tidak menggunakan kata ’ala ((على, sementara yang kedua menggunakan kata ’ala. Menurut Quraish Shihab, “ayat di atas menginformasikan bahwa Maryam dua kali dipilih Allah. Pilihan pertama dikemukakan tanpa menggunakan kata ‘ala mengisyaratkan bahwa sifat-sifat yang Maryam sandang, disandang juga oleh orang-orang lain yang juga telah dipilih Allah swt. Adapun pilihan kedua, yang menggunakan kata ‘ala, maka ia adalah pilihan khusus di antara wanita-wanita seluruhnya. Pilihan kali ini mengatasi yang lain sehingga tidak dapat diraih oleh wanita-wanita lain, yaitu melahirkan anak tanpa berhubungan seks atau boleh jadi juga beliau dipilih sebagai satu-satunya Nabi dari kalangan wanita. Bukankah malaikat menyampaikan kepada beliau wahyu-wahyu ilahi? 11
c. Analisis Pragmatis Kebersihan (thahaarah) merupakan suatu yang amat tabi’iyyah (alami) dan fitriyah (original) bagi makhluk hidup, utamanya makhluk bernyawa. Dalam ajaran Islam kebersihan saja belum cukup, tetapi harus disertai kesucian karena dalam kebersihan ada kalanya menggunakan istilah thahara atau tazkiyyah yang semua itu berkaitan dengan kebersihan dan kesucian, baik hissiyyah maupun maknawiah, baik jasmani maupun rohani. Dari berbagai penggunaan kata thahaarah dan derivasinya dapat disimpulkan bahwa konsep kebersihan dalam Islam amat jami’ (komprehensif). Sayangnya konsep tersebut belum dimaknai secara kontekstual dalam rangka membangun kebersihan akidah, ibadah, raga, dan jiwa. Kebersihan terkadang masih terkotak antara orang yang cenderung pada pemaknaan kebersihan secara fisik dan ada juga yang memaknai kebersihan secara rohani saja. Sehingga ajaran Islam tentang kebersihan belum diwujudkan secara sempurna. Dalam upaya membangun keseimbangan antara kebersihan jasmani dan rohani, ajaran islam mengutamakan kebersihan dan kesucian sebagai salah satu bagian dari unsur-unsur yang terpadu dan terkait dengan akidah, ibadah dan
11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2,.....hlm, 89.
84
muamalah. Umat Islam tidak boleh membedakan keduanya, karena al-Qur’an dan Hadits secara rinci mengelaborasi hal tersebut.12
4. Tazkiyyah Seperti yang penulis sampaikan di bagian atas bahwa kata tazkiyyah yang berarti kesucian tidak bisa dipisahkan dengan kata thahara. Meskipun demikian, perlu diperjelas dan dikaji lebih dalam beberapa kata tazkiyyah yang ada di dalam al-Qur’an, sehingga kita dapat memahami secara lebih komprehensif. Berikut ini ada kurang lebih 26 kali kata tazkiyyah dan derivasinya digunakan di dalam al-Qur’an, yaitu sebagai berikut: No
Surat dan Ayat
Kata
1
Al-Lail ayat 18
يتزكى
2
Asy-Syams ayat 9
زكها
3
Abasa ayat 3
يزكى
4
Abasa ayat 7
يزكى
5
Al-A’la ayat 14
تزكى
6
An-Najm ayat 32
تزكوا
7
An-Nazi’at ayat 18
تزكى
8
Thaha ayat 76
تزكى
9
Maryam ayat 13
زكوة
10
Maryam ayat 19
زكيا
11
Maryam ayat 31
الزكوة
12
Maryam ayat 55
الزكاة
13
Al-Kahfi ayat 74
زكية
14
Al-Kahfi ayat 09
ازكى
15
Al-Kahfi ayat 80
زكوة
16
Ar-Rum ayat 39
زكوة
17
Fathir ayat 18
18
Al-Baqarah ayat 129
يزكيهم
19
Al-Baqarah ayat 151
يزكيكم
12
يتزكى,تزكى
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik, Vol. 5, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009, hlm.35.
85
20
Al-Baqarah ayat 164
يزكيهم
21
Al-Baqarah ayat 174
يزكيهم
22
An-Nisa ayat 49
يزكى
23
An-Nur ayat 21
زكى
24
An-Nur ayat 28
ازكى
25
An-Nur ayat 30
ازكى
26
At-Taubah ayat 103
تزكيهم
a. Analisis Semantik Kata tazkiyyah berasal dari akar kata zakiyya yang berarti نمى, meningkatkan atau mengembangkan, juga berarti طهر, memurnikan atau menyucikan, dan bisa berarti اوصى ب, merekomendasikan. 13 Kata tazkiyyah dan derivasinya di dalam al-Qur’an banyak digunakan dalam bentuk kata kerja, seperti disebutkan di atas. Hal ini mengandung maksud bahwa penyucian diri merupakan suatu upaya yang mesti dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Kata mensucikan diri dipahami dalam arti kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir perlu ditekankan bukan saja karena sekian banyak riwayat yang mengaitkannya dengan surat al-Imran ayat 42, tetapi juga karena perlunya meningkatkan perhatian kaum muslimim menyangkut kebersihan lahiriah, terutama di masjid-masjid dan bagi para jama’ahnya.14
b. Analisis Sintaksis Kata tazkiyyah dan derivasinya dalam beberapa ayat dikaitkan dengan tugas seorang Rasul, baik nabi Muhammad maupun rasul-rasul sebelumnya, yakni menyucikan jiwa, ويزكيكم........( رسوالQS. Al-Baqarah ayat 129, 151, dan ayat 164). Kemudian dalam ayat-ayat tersebut, tugas penyucian tersebut ditempatkan secara berbeda dalam urutannya, nomor (dua) atau nomor 3 (tiga) setelah membacakan ayat-ayat Tuhan.
13 14
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid,....hlm.438. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5,.....hlm, 721..
86
Selain tugas dari seorang rasul, dalam beberapa ayat yang lain juga disebutkan bahwa penyucian diri merupakan tugas dari orang-orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, yakni surga adn. Tugas penyucian diri ini merupakan tugas individu itu sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab orang lain, “( “ ومن تزكى فانما يتزكى لنفسهQS. Fathir ayat 18). Selanjutnya kata tazkiyyah juga seringkali dipertukarkan dengan kata thahara, terkadang kata thahara lebih dahulu baru kata tazkiyya (QS. AtTaubah ayat 103) dan sebaliknya kata tazkiyya dulu baru kemudian kata thahara (QS. Al-Baqarah ayat 232). Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan dan penyucian jiwa merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam hal pengambilan zakat, seperti terdapat dalam surat at-Taubah ayat 103, membersihkan dari dosa-dosa ( thahara) hendaknya didahulukan dibandingkan dengan penyucian jiwa (tazkiyya). c. Analisis Pragmatis Secara umum kata tazkiyyah dimaknai sebagai kesucian batin dari kekafiran, perbuatan dosa besar dan perbuatan keji. Kesucian dari kekafiran dapat dilihat dari tanda yang ada dalam surat an-Nazi’at ayat 18 “ فقل هل لك الى ( ان تزكىkatakanlah kepada Fir’aun, adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri dari kesesatan)”. Kemudian, kesucian dari perbuatan dosa besar dapat diamati dari tanda-tanda yang ada dalam ayat al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 174 “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, Yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih”. Selanjutnya kesucian batin juga bisa dilihat dari ayat al-Qur’an surat an-Nur ayat 21 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar
87
itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dari kata tazkiyyah tersebut mengisyaratkan bahwa kesehatan yang bersifat batiniah dalam islam bukan hanya menyangkut aspek emosional dan moralitas saja, melainkan juga menyangkut aqidah. Orang yang sehat secara batin atau rohani adalah orang yang memiliki aqidah yang suci, emosi yang tenang, dan juga memiliki moralitas yang bersih. Dengan demikian, kosep kesehatan dalam Islam bersifat komprehensif (menyeluruh).
5. Maridh Kata maridh yang berarti sakit berkaitan dengan komunikasi kesehatan karena pembahasan sakit tidak mungkin dipisahkan dari kajian kesehatan. Sehat merupakan kondisi tidak sakit atau bisa dikatakan sehat merupakan lawan kata dari sakit. Oleh karena itu, kata maridh menjadi salah satu bagian yang perlu dianalisis dalam mengkaji komunikasi kesehatan. Ada kurang lebih 22 kali al-Qur’an menyebutkan kata maridh, seperti diungkapkan di bawah ini: NO
SURAT DAN AYAT
KATA فى قلوبهم مرض
1
Al-Mudatsir ayat 31
2
Al-Mujammil ayat 20
منكم مرضى
3
Asy-Syuara ayat 80
واذا مرضت
4
Al-Baqarah ayat 10
مرضا,فى قلوبهم مرض
5
Al-Baqarah ayat 184
فمن كان منكم مريضا
6
Al-Baqarah ayat 185
من كان مريضا
7
Al-Baqarah ayat 196
منكم مريضا
8
Al-Anfal ayat 49
فى قلوبهم مرض
9
Muhammad ayat 20
فى قلوبهم مرض
01
Muhammad ayat 29
فى قلوبهم مرض
00
An-Nisa ayat 43
ان كنتم مرضى
02
An-Nisa ayat 102
او كنتم مرضى
03
Al-Ahzab ayat 12
فى قلوبهم مرض
04
Al-Ahzab ayat 32
فى قلبه مرض
05
Al-Ahzab ayat 60
فى قلوبهم مرض
88
06
An-Nur ayat 50
أفى قلوبهم مرض
07
An-Nur ayat 61
على المريض
08
Al-Hajj ayat 53
فى قلوبهم مرض
09
Al-Fath ayat 17
على المريض
20
At-Taubah ayat 91
على المرضى
21
At-Taubah ayat 125
فى قلوبهم مرض
22
Al-Maidah ayat 6
ان كنتم مرضى
a. Analisis Semantik Dalam kamus ada beberapa bentuk kata yang berkaitan dengan penyakit. Ada kata maridha yang berarti menjadi sakit atau tidak enak badan. Kemudian ada kata marradha yang berarti merawat atau memelihara. Kemudian ada juga kata maradha yang berarti penyakit dan ada kata murdhi yang berarti yang memuaskan, menjadikan puas, atau menyenangkan. 15 Dari arti-arti tersebut menunjukkan bahwa istilah penyakit berhubungan dengan kondisi badan dan ruhani yang menyangkut rasa senang dan puas serta berhubungan dengan proses perawatan. Dalam al-Qur’an, Allah swt membedakan antara kata “( “ مرضmaradha), kata “( "مريضmaridh), dan kata “( "مرضىmardla). Kata maradha dikaitkan dengan psenyakit yang bersifat ruhaniah, sementara kata maridh dan mardha umumnya digunakan untuk penyakit yang bersifat jasmaniah.
b. Analisis Sintaksis Dalam surat al-Baqarah ayat 10, Allah mengemukakan kata maradh dua kali dan keduanya berbentuk nakirah (indefinite). Menurut Quraish Shihab, ada kaidah yang menyatakan bahwa apabila dalam satu susunan kata terulang kata yang sama dalam bentuk nakirah, maka kandungan makna kata pertama berbeda dengan kandungan kata yang kedua. Ini berarti penyakit yang tadinya diderita oleh orang-orang munafik bertambah akibat kemunafikan mereka sehingga menimbulkan komplikasi dan penyakit-penyakit baru.16
15 16
Munir Baalbaki dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid,....hlm.859. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1.......hlm. 103.
89
Kemudian ada satu ayat (QS. Asy-syu’ara ayat 80) yang memberikan tanda “ ( “ مرضتpenyakit) dikaitkan dengan kata “( ”يشفينobat). Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa setiap penyakit yang menimpa manusia pasti ada obat yang dapat menyembuhkannya. Kata yasyfin berbentuk kata kerja artinya manusia diminta untuk berupaya mencari segalan macam obat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita manusia. Dalam ayat yang lain (QS. At-Taubah ayat 125), Allah juga mengaitkan kata maradh (penyakit hati) dengan rijsun yang secara bahasa berarti kotoran. Dalam bahasa al-Qur’an kotoran bisa berbentuk material dan immaterial. Kekufuran, kemunafikan, dan godaan syetan dilukiskan juga sebagai kotoran (rijsun). Kemudian dalam beberapa ayat Allah juga mengaitkan kata maradh dengan tanda-tanda komunikasi berupa perkataan (qaala) maupun berupa panggilan kepada orang-orang mukmin (ya ayyuha al-ladziina ‘aamanuu). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita oleh manusia membutuhkan komunikasi baik dalam rangka pencegahan, pengobatan, maupun dalam upaya penemuan dan pengembangan obat yang diperlukan manusia.
c. Analisis pragmatis Penyakit merupakan sunnatullah yang bisa menimpa kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Ketika seseorang terkena penyakit lantas tidak menggugurkan kewajiban seseorang untuk melaksanakan ibadah kepada Allah swt. Hanya saja, orang yang sakit akan mendapatkan keringanan dalam proses pelaksanaannya, seperti dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an (QS. 2:184, 185, 196) yang memberikan tanda terkait dengan keringanan dalam beribadah. Selanjutnya, al-Qur’an menyebutkan ada dua jenis penyakit yang diderita oleh manusia yaitu: pertama, penyakit yang berhubungan dengan hati. Dalam beberapa ayat ditemukan simbol-simbol “”فى قلوبهم مرض, yang menyatakan penyakit hati. Kedua, penyakit yang berkaitan dengan fisik sehingga seseorang diberikan keringanan untuk melaksanakan kewajiban dalam beribadah maupun dalam berjihad. Simbol yang digunakan dalam menyebutkan penyakit fisik yakni tidak dikaitkan dengan kata qulub dan juga
90
penggunaan istilah maridh atau mardha, seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 91 “( ”ليس على الضعفاء وال على المرضى وال على الذين ال يجدون ما ينفقون حرجtidak dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”.
6. Adza Kata adza merupakan salah satu kata kunci yang ada dalam komunikasi kesehatan karena kata ini banyak digunakan untuk menjelaskan adanya relasi yang berjalan kurang sehat. ada kurang lebih 20 kali ayat al-Qur’an menyebutkan kata adza dan derivasinya, seperti disebutkan di bawah ini: No
Surat dan Ayat
Kata ءاذيتمونا
1
Ibrahim ayat 12
2
Al-Ankabut ayat 10
أوذي
3
Al-A’raf ayat 129
أوذينا
4
Al-An’am ayat 34
أوذوا
5
Al-Baqarah ayat 196
أذى
6
Al-Baqarah ayat 262
أذى
7
Al-Baqarah ayat 263
أذى
8
Al-Baqarah ayat 264
االذى
9
Al-Imran ayat 111
أذى
01
Al-Imran ayat 186
أذى
00
Al-Imran ayat 195
أوذوا
02
Al-Shaf ayat 5
فاذوهما
03
An-Nisa ayat 16
فاذوهما
14
An-Nisa ayat 102
اذى
15
Al-Ahzab ayat 53
يؤذي, يؤذن,تؤذوا
16
Al-Ahzab ayat 57
يؤذون
17
Al-Ahzab ayat 58
يؤذون
18
Al-Ahzab ayat 59
يؤذين
19
Al-Ahzab ayat 69
ءاذوا
91
21
At-Taubah ayat 61
يؤذون
a. Analisis semantik Dalam kamus al-Munawwir, kata adza berasal dari kata adziya-adzaawa adzaatan yang berarti tertimpa bahaya, sesuatu yang menyakiti, merugikan, menyakiti, menyusahkan. Kata ta’adzdza berarti menderita sakit, al-adzaa wa al-adzaatu berarti bahaya ringan atau sesuatu yang menyakitkan. Kemudian kata al-mu’dzii berarti yang membahayakan, merugikan atau menyakitkan.17 Kemudian dalam al-Qur’an penggunaan kata adza dan derivasinya banyak berbentuk kata kerja baik aktif (yu’dzi) maupun pasif (udzia). Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan menyakiti atau gangguan merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang-orang kafir atau munafik kepada para rasul dan orang-orang yang beriman atau bisa juga gangguan tersebut berasal dari binatang atau kuman (QS.al-Baqarah ayat 196) maupun dari air hujan (QS. An-Nisa ayat 102).
b. Analisis sintaksis Para utusan Allah dan orang-orang yang menyatakan dirinya beriman senantiasa mendapatkan ujian baik secara material maupun immaterial. Penggunaan kata adza dan derivasinya dikaitkan dengan ujian yang bersifat immaterial. Allah berfirman “dan sesungguhnya telah didustakan (pula) RasulRasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka”. (QS. Al-An’am ayat 34) dan juga firman Allah “dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al-Ahzab ayat 58). Dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut, Allah memberikan nasehat melalui simbol-simbol yang ada dalam ayat-ayat yang terkait dengan adza, yakni sabar dan bertaqwa () اذى كثيرا وان تصبروا وتتقوا, serta bertawakkal
17
A. Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir.....hlm. 17.
92
kepada Allah () ودع اذئهم وتوكل على هللا. Dengan sikap tersebut niscaya Allah akan memberikan pertolongan kepada mereka. Selanjutnya, ayat al-Qur’an juga menghubungkan kata adza dengan tanda-tanda komunikasi berupa panggilan “ya ayyuhalladzina aamanuu” dan perkataan “qaala” atau “qaaluu”. Komunikasi yang terbangun bisa bersifat transendental, dari Allah kepada manusia dan bisa juga bersifat interpersonal antara nabi dengan kaumnya.
c. Analisis pragmatis Ada beberapa simbol yang menunjukkan ragamnya objek yang diganggu oleh orang-orang kafir, musyrikin, dan munafik, diantaranya lafadz يؤذون هللا ورسوله, يؤذون النبي, يؤذون المؤمنين والمؤمنات, ءاذوا موسى. Gangguan tersebut bisa menyasar kepada individu, keluarga dan juga harta benda yang mereka miliki. Oleh karena itu, orang yang diganggu hendaknya memiliki kesabaran, bertaqwa, senantiasa bertawakkal kepada Allah. Dengan sikap tersebut, Allah akan menolong dan membantu mereka dalam mengatasi gangguan tersebut dan mereka akan mendapatkan balasan di akhir berupa penghapusan segala dosa dan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya orang yang suka mengganggu akan mendapat laknat dan adzab dari Allah swt, kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri mereka.
7. Rijsun Kata rijsun yang berarti kotoran merupakan salah satu kata kunci yang terkait dengan komunikasi kesehatan. Perbuatan kotor merupakan salah satu perbuatan yang tidak sehat. kata rijsun disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak kurang lebih 7 kali sebagai berikut: No
Surat dan Ayat
Kata
1
Yunus ayat 100
الرجس
2
Al-A’raf ayat 71
رجس
3
Al-An’am ayat 45
رجس
4
Al-An’am ayat 125
الرجس
5
Al-Hajj ayat 30
الرجس
93
6
At-Taubah ayat 95
رجس
7
At-Taubah ayat 125
رجسهم,رجسا
a. Analisis Semantik Kata ar-rijsu bisa berarti kotoran, perbuatan keji, godaan dan bujukan syetan, dan gerak yang pelan. Sedangkan kata ar-rajisu berarti yang kotor, keji atau yang melakukan perbuatan keji. Sementara, menurut Quraish Shihab, kata ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup empat hal. Kekotoran berdasarkan pandangan agama, akal, tabiat manusia atau ketiga hal tersebut. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara, meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan keringat yang melekat adalah kotoran dalam pandangan tabiat manusia. Sedang bangkai adalah kotoran dalam pandangan agama, akal dan juga tabiat manusia.18 Lebih jauh, Shihab juga mengatakan kata rijsun mengandung makna yang sangat luas, antara lain kotor lahir maupun batin, dosa, pekerjaan yang tidak layak dilakukan dan yang mengarah kepada resiko siksa, termasuk kebobrokan moral dan keburukan budi pekerti.
b. Analisis Sintaksis Kata rijsun yang dikaitkan dengan kata tha’am (makanan), maka kata tersebut mengandung arti kotoran secara lahir, baik disebabkan karena kuman, zat kimiawi, atau penyebab lainnya. Menurut Alexis Carrel yang dikutip oleh M. Quraish Shihab bahwa pengaruh campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan percobaan-percobaan secara memadai. Namun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas makanan dan kuantitasnya. Makanan dan minuman memiliki pengaruh yang besar bukan saja bagi jasmani manusia, tetapi juga perasaan dan jiwanya.
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11,...... hlm 264.
94
Apabila kata rijsun dikaitkan dengan kata al-a’mal, maka kata rijsun berarti perbuatan keji, perbuatan dosa maupun perbuatan menyekutukan Tuhan. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan, karena itu umat Islam hendaknya menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut. Kemudian
kata
rijsun
juga
berhubungan
dengan
tanda-tanda
komunikasi dengan adanya simbol perkataan qul, qaala, atau kata ya ayyuhalladziina aamanuu. Komunikasi yang terjalin dalam tanda-tanda tersebut antara Tuhan dengan utusannya.
c. Analisis Pragmatis Perilaku kotor merupakan perilaku yang tidak sehat dan menyimpang dari ajaran islam. Perilaku tersebut bisa disebabkan karena godaan dan rayuan syetan, atau bisa juga karena nafsu manusia. Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia, khususnya orang-orang yang beriman agar mereka menjauhi perbuatan-perbuatan kotor. Cara yang ditunjukkan al-Qur’an bisa menghindari makanan-makanan dan minuman-minuman yang diharamkan, menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan perbuatan-perbuatan dosa, serta menghindar dari perbuatan-perbuatan yang menyekutukan Tuhan. Untuk bisa menjalankan perintah Tuhan tersebut, peran komunikasi kesehatan amat penting. Manusia bisa membaca al-Qur’an, as-sunnah, dan juga pendapat ulama sebagai media komunikasi agar manusia bisa mengetahui makanan, minuman, dan perbuatan-perbuatan kotor yang menjauhkan manusia dari Tuhan.
8. Syaqa Orang yang celaka atau malang termasuk salah satu indikator orang yang tidak sehat menurut al-Qur’an. Karena itu, ada kurang lebih 12 kali alQur’an menyebutkan kata celaka (syaqa) dan derivasinya, seperti disebutkan di bawah ini: No 1
Surat dan Ayat Al-Lail ayat 15
Kata االشقى
95
2
Asy-Syams ayat 12
اشقاها
3
Al-A’la ayat 11
االشقى
4
Thaha ayat 2
لتشقى
5
Thaha ayat 117
فتشقى
6
Thaha ayat 123
يشقى
7
Maryam ayat 4
شقيا
8
Maryam ayat 32
شقيا
9
Maryam ayat 48
شقيا
10
Al-Mu’minun ayat 106
شقوتنا
11
Hud ayat 105
شقوا
12
Hud ayat 106
شقي
a. Analisis Semantik Kata syaqa, syaqawah dan syiqwah, menurut Quraish Shihab, mengandung berbagai makna, antara lain kepayahan yang luar biasa akibat kerja keras yang melampaui kemampuan atau kesusahan dan keresahan yang sangat berat untuk dipikul.19 Rasulullah telah mencurahkan segala pikiran dan tenaga guna menyampaikan tuntunan al-Qur’an. Beliau hampir-hampir saja binasa akibat upaya tersebut, seperti dinyatakan dalam surat al-Kahfi ayat 6 “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran)”.
b. Analisis Sintaksis Allah mengaitkan kata saqiyyun (celaka) dengan kata sa’idun (bahagia) dalam satu rangkaian ayat “( ”فمنهم شقي وسعيدQS. Hud ayat 105). Tanda ini menyatakan bahwa kelak akan ada dua kelompok yakni orang yang celaka dan orang yang bahagia. Orang yang celaka dalam ayat selanjutnya akan dimasukkan ke dalam neraka dan mereka kekal di dalamnya (QS. Hud ayat 10107), sementara orang yang berbahagia akan dimasukkan ke dalam surga yang kekal di dalamnya (QS. Hud ayat 108). 19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 8, ....hlm.269.
96
Kemudian kata syiqwatuna yang terdapat dalam surat al-Mu’minun ayat 106, berasal dari kata asy-syaqwah yang berarti kesengsaraan. Kata ini juga berhubungan dengan kata “ghalabat” yang berarti mengalahkan dan diletakkan sebelum kata syiqwatuna. Hubungan antara kedua kata tersebut menandakan bahwa kesengsaraan yang melekat pada diri itu telah mengalahkan kebahagiaan. Ini berarti pengakuan bahwa sebenarnya diri mereka berpotensi untuk memperoleh kebahagiaan, tetapi terjadi pertarungan antara keduanya dan satu pihak (kesengsaraan) mampu menundukkan kebahagiaan. Hal ini karena mereka mengikuti rayuan syetan dan hawa nafsu serta mengabaikan panggilan fitrah dan tuntunan ilahi. Selanjutnya dalam konteks komunikasi kesehatan, Allah juga mengaitkan kata syaqa dengan tanda-tanda yang ada dalam komunikasi yaitu kata qaala. Kata qaala dalam surat Thaha ayat 123 berhubungan dengan titah Allah kepada Adam supaya turun dari surga akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh Adam dan Hawa. Kemudian dalam surat Maryam ayat 4, makna qaala dikaitkan dengan permohonan do’a yang dipanjatkan oleh nabi Zakariyya yang sudah tua dan menginginkan adanya keturunan. Sementara kata qaala dalam al-mu’minun ayat 106 menunjukkan adanya perkataan dari orang-orang yang durhaka tentang alasan mereka melakukan kedurhakaan.
c. Analisis Pragmatis Secara pragmatis , ada dua makna umum yang bisa diambil dari tandatanda yang ada dalam kata syaqa: Pertama, orang celaka yang oleh Allah dimasukkan ke dalam neraka. Mereka adalah orang kafir yang mendustakan kebenaran dan berpaling dari tuntunan Tuhan. Kedua,
makna
yang
berhubungan
dengan
kepayahan
dalam
melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Seperti penggunaan kata fatasyqa (QS. Thaha: 117) dipahami dalam arti kepayahan, kegelisahan dan lain-lain yang berkaitan dengan penderitaan duniawi, karena jika kepayahan itu mencakup penderitaan ukhrawi, tentu Adam as, kelak mendapatinya di hari kemudian setelah ia wafat. Pemahaman ini diperkuat dengan ayat berikutnya yang menguraikan kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan di dunia ini.
97
Memang hidup di dunia ini tidak terlepas dari kepayahan dan penderitaan. Dalam al-Qur’an surat al-Balad ayat 4 menegaskan bahwa “ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”. Manusia sejak dalam rahim ibunya sampai dengan kematian, bahkan sesudah kematiannya, tidak pernah luput dari kesulitan demi kesulitan. Manusia selalu saja menerima tempaan peristiwa yang tidak mudah dielakkannya, kalaupun ia mampu mengelak, maka kesulitan lain akkan muncul dihadapannya, bagaikan seorang yang mengarungi samudera, bila selamat dari ombak yang mengganas, ia tetap akan diliputi rasa takut oleh bahaya yang lain. Apabila manusia bebas dari lapar, belum tentu ia bebas dari penyakit. Kalau dari keduanya ia bebas, ia tidak mungkin bebas dari ketuaan, yang sedikit atau banyak akan menggelisahkannya dan pada akhirnya kematian akan merenggut jiwa tanpa izinnya. Semua manusia dalam kesulitan dan susah payah, bukan saja dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga dalam memelihara dan melindungi diri dan keluarga mereka. Bahkan dalam upayanya mengarahkan potensi-potensi positifnya, manusia masih harus berjuang menghadapi dirinya sendiri, sebelum menghadapi orang lain. Kemudian ar-Raghib al-Ashfahani yang dikutip oleh M. Quraish Shihab bahwa kesengsaraan sebagaimana halnya kebahagiaan terdiri dari yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Duniawi terbagi tiga yaitu nafsiyyah (kejiwaan), badaniyah (fisik), dan eksternal. 20
9. Syifa selain menyebutkan tentang penyakit, al-Qur’an juga menyebutkan tentang obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Oleh karena itu, kata syifa yang berarti obat juga menjadi salah satu pembahasan dalam komunikasi kesehatan. Berikut ini beberapa ayat yang ada dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata syifa dan derivasinya: No
Surat dan Ayat Asy-Syua’ara ayat 80
1 20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 8, ....hlm.270.
Kata يشفين
98
2
Al-Isra ayat 82
شفاء
3
Fushshilat ayat 44
شفاء
4
An-Nahl ayat 69
شفاء
5
Yunus ayat 57
شفاء
6
At-Taubah ayat 14
يشف
a. Analisis Semantik Kata syifa berasal dari bahasa arab, tersusun dari huruf-huruf ش ف ي dengan pola perubahannya ( شفى – يشفى – شفاءsyafa-yasyfi-syifa’) yang berarti mengobati (to cute), menyembuhkan (heal), mengembalikan kesehatan (restore to health), membuat sehat (make healthy), dan membuat baik (make well). Menurut catatan Ibnu Mandzur yang dikutip Aswadi berarti obat yang terkenal, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Ibnu Faris bahkan menegaskan bahwa kata ini telah mengalahkan penyakit dan menyembuhkannya.21 Kata yang seakar dengan syifa diulang sebanyak 6 kali yang bertempat pada 6 surat dan 6 ayat seperti tertera di atas. Penggunaan kata syifa dan derivasinya secara garis besar ada dua bentuk, yaitu 2 ayat menggunakan fiil mudhari (QS. Asy-Syua’ara ayat 80 dan surat at-Taubah ayat 14) dan 4 ayat berbentuk masdar (QS. Al-Isra ayat 82, Fushshilat ayat 44, An-Nahl ayat 69, dan Yunus ayat 57). Sementara, kata syifa menurut Quraish Shihab biasa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan juga dalam arti keterbebasan dari kekurangan atau ketiadaan aral dalam memperoleh manfaat.22
b. Analisis Sintaksis Kata syifa di kamus juga dikaitkan dengan kata “( “ برءbur’a) yang berarti kesembuhan atau penyembuhan dan bisa juga dikaitkan dengan kata “‘( ”عالجilaj) yang berarti penyembuhan atau perbaikan. Pengkaitan kedua kata tersebut menunjukkan bahwa dalam proses penyembuhan penyakit bisa dalam arti membebaskan seseorang dari berbagai penyakit fisik, jasmani dan rohani, 21
Aswadi, “Dakwah Perspektif Konseling Syifa”, Dalam Proceeding International Conference Islamic Da’wa Development in Europe and Asia Pasific, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016, hlm. 126. 22 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol.7,.......hlm. 541.
99
bisa juga dimaknai sebagai perbaikan dari segala penyakit. Artinya makna penyembuhan bisa bersifat preventif dan kuratif. Kemudian al-Qur’an mengaitkan kata syifa dengan orang yang menjadi objek penyembuhan. Untuk penyembuhan melalui ayat-ayat kauniyah, penyembuhan ditujukan kepada semua manusia. Dalam surat al-Isra ayat 69 disebutkan dengan jelas kata syifa dan objeknya “( ”شفاء للناسobat bagi manusia). Sedangkan penyembuhan melalui ayat-ayat qauliyah, khususnya alQur’an, kata syifa dikaitkan dengan objek yang bersifat khusus, yakni orangorang yang beriman “للمؤمنين........ ”شفاء, obat bagi orang-orang yang beriman (QS. Yunus ayat 57). Secara komunikasi kesehatan pun al-Qur’an melalui tanda komunikasi berupa panggilan “ ”يايها الناسyang intinya mendorong umatnya untuk membaca al-Qur’an, menelaahnya, dan mengamalkan ajaran-ajaran agar manusia dapat menjadi orang-orang yang memiliki perilaku sehat, khususnya sehat secara spiritual dan rohani.
c. Analisis Pragmatis Kata syifa yang ada di dalam al-Qur’an dapat menjadi simbol dari tanda-tanda yang berkaitan dengan komunikasi kesehatan. Kata syifa bisa dimaknai sebagai simbol pengobatan dan bisa juga sebagai simbol terapi. Kesembuhan yang dikemukakan dalam kata syifa bisa diperoleh melalui ayatayat qauliyah (QS. Al-Isra ayat 82 dan Surat Yunus ayat 57), ayat-ayat kauniyah (QS. An-Nahl ayat 69), dan integrasi antara ayat-ayat qauliyah dan kauniyah sebagaimana diisyaratkan dalam surat At-Taubah ayat 14 dan 15. Sedangkan kata syifa dalam arti terapi banyak digunakan oleh para sufi, psikolog, dan kalangan terapist. Terapi merupakan sebuah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit dan perawatan penyakit. Terapi yang digunakan bisa terapi psikologis, fisiologis, dan juga spiritual. Salah satu terapi yang banyak digunakan oleh para ahli adalah terapi melalui ayat-ayat al-Qur’an. Bacaan al-Qur’an, menurut M. Utsman Najati, merupakan obat mujarab untuk menghilangkan perasaan gundah, mengobati semua ketidakstabilan jiwa dan kegoncangan psikis
100
maupun mental. Bahkan, beliau juga mengatakan bahwa al-Qur’an dapat menjadi obat untuk penyakit fisik, seperti yang dilakukan oleh nabi Muhammad dengan sabdanya “ketika Rasulullah saw sedang shalat, tepatnya ketika sujud, ada seekor kalajengking yang menyengat beliau. Beliau pun bersabda ‘semoga Allah melaknat kalajengking, bahkan dia tidak membiarkan seorang Nabi maupun orang lain (untuk disengatnya). Kemudian beliau minta diambilkan sebuah wadah yang berisi air dan garam. Beliau meletakkan anggota tubuh yang terkena sengat ke dalam larutan air dan garam tersebut. Dan beliau membaca “qul huwallahu ahad dan mu’awwidzatain”23 Dari uraian di atas tentang analisis semiotika Charles Sanderce Pierce terhadap kata-kata kunci komunikasi kesehatan yang ada dalam ayat-ayat alQur’an dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara semantik, kata-kata kunci quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyyah, maridh, adza, rijsun, syaqiyya, dan syifa yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak menunjukkan adanya makna komunikasi kesehatan. Semua kata-kata tersebut terkait dengan makna kesehatan, baik dalam arti sehat secara fisik, rohani maupun spiritual. 2. Secara sintakis, kata-kata kunci quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyyah, maridh, adza, rijsun, syaqiyya, dan syifa yang terdapat di dalam al-Qur’an, semuanya menunjukkan adanya hubungan dengan kata komunikasi yang disimbolkan dalam beberapa kata komunikasi seperti,qaala, indzar, tadzkir, dan an-nida. Dengan adanya relasi tersebut, maka konsepsi komunikasi kesehatan dapat terbangun dan memiliki makna yang jelas. 3. Secara pragmatis, kata-kata kunci quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyyah, maridh, adza, rijsun, syaqiyya, dan syifa yang terdapat di dalam al-Qur’an, dapat membentuk satu ideologi atau tuntunan islam dalam memahami komunikasi kesehatan. Ideologi yang terbangun bukan hanya bersifat teoritis, tetapi juga bersifat praktis, yang memungkinkan untuk bisa diterapkan dalam kehidupan manusia di masa yang akan datang.
B. Konsepsi Komunikasi Kesehatan dalam Islam 23
M. Utsman Najati, Psikologi Dalam Tinjauan Hadits Nabi, Jakarta: Mustaqiim, 2003, hlm. 424-429.
101
Berdasarkan tanda-tanda yang didapatkan dari kata-kata kunci yang ada di dalam al-Qur’an seperti yang penulis analisis pada bagian sebelumnya, setidaknya ada tiga hal penting yang berhubungan dengan konsepsi komunikasi kesehatan dalam perspektif Islam yaitu: 1. Perilaku Sehat Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad ditujukan untuk manusia secara keseluruhan (QS. 2: 185) sebagai petunjuk, pembeda, penjelas, rahmat, dan obat. Konsekuensi logis dari maksud tersebut, maka ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur’an keberlakuannya pun bersifat universal untuk semua manusia. Demikian halnya dengan komunikasi kesehatan yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini, keberlakuan konsepsi komunikasi kesehatan yang diajarkan oleh al-Qur’an ditujukan untuk semua manusia. Tanda-tanda yang didapatkan dari kata-kata kunci yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan, yakni adanya perintah kepada manusia untuk berperilaku sehat agar hidupnya di dunia dan akherat selamat dan mendapatkan ridla Allah swt.
Ayat al-Qur’an di dalam surat al-Mudatsir ayat 1- 7
merupakan salah satu contoh
adanya tanda komunikasi kesehatan yang
berkaitan dengan perilaku kesehatan.
Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah!,dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
102
Asbabun Nuzul ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan dakwah Islam, tetapi secara substansi makna yang dikandungnya, keberlakuan ayat tersebut juga ditujukan kepada semua umat
manusia.
Manusia
dipanggil
oleh
Tuhan
untuk
bangkit
dan
mengkomunikasikan kepada dirinya dan orang lain untuk melaksanakan 3 hal pokok dalam berperilaku yang sehat, yakni mengagungkan Tuhan, menjaga kesehatan fisik, dan juga merawat kesehatan rohani. Tanda yang menunjukkan adanya komunikasi dalam ayat tersebut, alQur’an menggunakan kata “faandzir”. Kata Indzar secara bahasa berarti menyampaikan pesan dengan cara mengingatkan yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa takut dan kehati-hatian, baik untuk diri komunikator maupun komunikan. Indzar selalu terkait dengan mengingatkan orang untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan mereka di masa depannya, baik di dunia maupun diakherat. 24 Salah satu gelar yang disandang oleh Nabi Muhammad adalah mundzir (orang yang memberi peringatan). Tugas nabi sebagai pemberi indzar disebutkan dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 7.
Artinya: “Orang-orang yang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya
(Muhammad)
suatu
tanda
(kebesaran)
dari
Tuhannya?"
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk”. Tugas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad telah dilaksanakan oleh beliau dengan sukses dan berhasil menumbuhkan kesadaran para Sahabat untuk melakukan antisipasi terhadap perbuatan yang akan merugikan mereka ke depan sekaligus menumbuhkan rasa takut untuk melakukan pelanggaran hukum. Keberhasilan itu dibuktikan dengan respons para Sahabat untuk
24
Harjani Hefni, Komunikasi Islam, Jakarta: hlm. 141
103
membuat langkah-langkah antisipasi dan minimnya tingkat kriminal atau penyimpangan moral yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Tugas untuk mengkomunikasikan perilaku sehat tersebut, setelah Rasulullah wafat, dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’in, dan selanjutnya oleh para Ulama dan pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman. Tugas suci tersebut harus tertanam kuat dalam kesadaran umat Islam yang menyatakan dirinya
sebagai
pengikut
Nabi
Muhammad.
Menurut
Maududi,
mengkomunikasikan ajaran Islam, termasuk komunikasi kesehatan, merupakan konsekuensi logis dari seorang yang menyatakan dirinya Muslim. Maududi memperkuat pendapatnya dengan mengutip ajaran al-Qur’an dalam surat alImran ayat 102 dan 104. Ayat 102 menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”. Ketika seorang menyatakan dirinya muslim, maka dia harus melaksanakan ayat 104 dalam surat al-Imran “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Kata kunci untuk mengkomunikasi kesehatan adalah adanya perubahan pada diri seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat. Ajaran al-Qur’an yang diperkenalkan kepada manusia, tidak hanya sekedar wacana, tetapi perlu ada transformasi atau perubahan yang ada pada diri manusia. Al-Qur’an dalam banyak ayat mengecam kepada umat yang hanya menjadikan kitab sucinya sebagai wacana, pengingat, atau hanya didengar saja dan mengabaikan adanya perbuatan nyata, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an ketika menyebut tanda “quwwah” dalam surat al-Baqrah ayat 93.
104
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguhteguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. Untuk bisa melakukan perubahan ke arah perilaku yang sehat, maka alQur’an mengajarkan kepada umat-Nya untuk memahami terdahulu konsep kesehatan yang ada di dalam al-Qur’an. Berdasarkan kata kunci yang penulis sampaikan di awal, secara umum ada tiga makna kesehatan yang dikembangkan oleh al-Qur’an, yakni kesehatan spiritual, kesehatan rohani, dan kesehatan jasmani. Kesehatan spiritual yang penulis maksudkan adalah kesehatan yang berkaitan dengan perilaku manusia ketika berhubungan dengan Allah. Manusia hendaknya bebas dari kemusyrikan, kekafiran, dan kemunafikan dalam berhubungan dengan Allah. Dalam ajaran Islam, spiritualitas merupakan salah satu unsur pokok yang ada di dalam diri manusia dan bersifat thabi’iyyah. Manusia oleh Tuhan diberikan Fitrah untuk bisa mengenal diri Tuhan (QS. 7: 172). Fitrah yang ada pada manusia bersifat tetap atau tidak mengalami perubahan (QS. 30: 30). Fitrah ini akan berkembang manakala manusia memanfaatkan akal dan hatinya untuk menemukannya. Selanjutnya, fitrah tersebut akan terus berkembang secara sempurna apabila manusia menemukan fitrah lain yang diturunkan Allah berupa al-Qur’an dan as-sunnah. Nabi menjelaskan dalam satu haditsnya berkaitan dengan fitrah tersebut.
105
حدثنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم حديثين رايت احدهما وانا انتظر االخر حدثنا ان االمانة نزلت فى جذر قلوب الرجال ثم علموا من القرأن ثم علموا من السنة Artinya: “Rasulullah saw menceritakan kepada kami, ada dua hadits, aku melihat salah satu dari keduanya dan aku menunggu hadits yang lain. Diceritakan kepada kami bahwasanya amanah telah turun di relung hati seseorang (fitrah maqbullah), kemudian ajarkan olehmu al-Qur’an dan alsunnah (fitrah munajjalah). Kemudian kesehatan rohani adalah kesehatan yang bersifat psikis yang terdapat dalam tubuh manusia. Kesehatan rohani amat kompleks dalam tubuh manusia. Mengingat struktur rohani yang ada dalam tubuh manusia juga bersifat kompleks. Menurut al-Ghazali yang dikutp oleh Nina Winangsih Syam, bahwa ada 4 (empat) potensi yang ada dalam diri manusia yaitu: qolb (hati), ruh (roh), Nafs (jiwa), dan aql (akal). Qalb merupakan sentra pemahaman yang hanya dapat dirasakan secara subyektif. Ruh adalah sesuatu yang abstrak, ada dalam rongga biologis sebagai pembawa kehidupan. Nafs bermakna sebagai amarah (syahwat) dan bisa juga bermakna jati diri manusia yang memiliki potensi mengetahui. Kemudian aql adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang bertempat di hati atau wadah yang menampung pengetahuan.25 Kata thahaarah, tazkiyyah, dan ithma’anna merupakan kata-kata yang banyak menunjukkan ayat-ayat yang berbicara tentang kesehatan rohani. Katakata “( ”ليطمئن قلبىQS. Al-Baqarah: 260), “”يايتها النفس المطمئنة, (QS. Al-Fajr: 27)" ( ”ذلكم ازكى لكم واطهرQS. Al-Baqarah: 232) merupakan sebagian dari tandatanda yang membicarakan tentang kesehatan rohani. Sehat secara rohani merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat vital keberadaannya. Seperti halnya makan, minum dan pakaian yang diperlukan untuk menjaga kesehatan jasmaniah.
Kebutuhan
ruhaniah
tersebut
disebabkan
karena
manusia
merupakan makhluk yang memiliki dimensi ruhaniah yang membutuhkan
25
hlm. 18.
Nina Winangsih Syam, Komunikasi Transendental, Bandung: Remaja Rosdakarya,
106
perawatan dan pengendalian agar manusia tidak terjatuh ke alam kenistaan dan penuh dosa. Kesehatan terakhir yang juga menjadi perhatian dalam Islam adalah sehat secara fisik. Kesehatan secara fisik adalah terhindarnya tubuh atau badan manusia dari berbagai penyakit fisik yang disebabkan oleh kuman, virus, atau penyebab penyakit fisik lainnya. Rohani yang sehat sementara fisiknya tidak sehat, maka orang tersebut tidak bisa melakukan aktivitas secara maksimal. Pepatah mengatakan bahwa “al-aql al-salim fi al-jism al-salim” (akal yang sehat terletak dalam tubuh yang sehat. Nabi Muhammad banyak memberikan contoh tentang perlunya menjaga kesehatan secara fisik. Beberapa diantaranya yang diajarkan oleh Beliau, yakni bersiwak (menggosok gigi); mandi; membersihkan kemaluan; memotong kuku; berolah raga memanah, berenang, dan menunggang kuda serta beberapa petunjuk lainnya. Kesehatan fisik ini menjadi perhatian dari al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam kata-kata “rijsun (kotoran), adza (penyakit), dan maridh (sakit). Perkataan “ ( " وثيابك فطهرQS. Al-Mudatsir: 4), “ ويسئلونك عن المحيض قل هو ( ”اذىQS. Al-Baqarah: 222), dan “”اال ان يكون ميتة او دما مسفوحا او لحم خنزير فانه رجس (QS. Al-An’am: 125) merupakan beberapa ayat yang secara jelas menunjukkan adanya konsep sehat secara fisik. Setelah mengetahui tentang konsep kesehatan yang ada dalam Islam, selanjutnya Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan perilaku sehat. langkah untuk mengembangkan perilaku sehat diperlukan adanya komunikasi kesehatan. Dalam konteks ini, komunikasi kesehatan tidak hanya dipahami dalam arti penyampaian pesan-pesan yang berhubungan dengan kesehatan. Komunikasi kesehatan yang penulis maksudkan mencakup di dalamnya upayaupaya untuk memberitahukan dan mempengaruhi keputusan individu maupun komunitas, memotivasi diri dan orang lain, merubah perilaku, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan isu-isu kesehatan dan memberdayakan manusia. Untuk itulah, maka penulis akan menguraikan konsep berikutnya yang ada dalam komunikasi kesehatan dalam Islam berhubungan dengan bentuk-bentuk komunikasi kesehatan.
107
2. Bentuk-Bentuk Komunikasi Kesehatan Ada beberapa bentuk komunikasi kesehatan yang diajarkan oleh AlQur’an kepada manusia agar dia memiliki perilaku yang sehat. bentuk komunikasi yang dimaksud oleh penulis bisa dimaknai sebagai jenis, pola atau sistem komunikasi yang dilakukan oleh manusia (human communication). Semua bentuk komunikasi yang akan penulis uraikan merupakan upaya-upaya atau langkah-langkah yang diajarkan oleh al-Qur’an dalam membentuk perilaku yang sehat. Adapun bentuk-bentuk komunikasi kesehatan yang ada dalam al-Qur’an sesuai dengan kata-kata kunci yang telah penulis uraikan sebelumnya adalah sebagai berikut: a. Komunikasi Transendental Komunikasi transendental adalah komunikasi yang terjalin antara seorang hamba dengan sang khalik atau antara seorang hamba dengan sesuatu yang supranatural. Menurut Nina Winangsih Syam, komunikasi transendental adalah komunikasi yang berlangsung di dalam diri dengan sesuatu di luar diri yang disadari keberadaannya oleh individu karena adanya kesadaran tentang esensi di balik eksistensi.26 Komunikasi transendental dilakukan oleh seorang hamba dengan menggunakan peralatan hati. Hati manusia hendaknya dibersihkan dari perilaku syirik, kafir, munafik, dan perbuatan-perbuatan hati lainnya. Dalam hal ini, manusia hendaknya memiliki hati yang sehat. hati yang sehat adalah hati yang tentram yang diisi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Hati yang tentram akan tercipta manakala manusia senantiasa melaksanakan dzikir kepada Allah swt`
26
Nina Winangsih Syam, Komunikasi Transendental,....hlm. xvi.
108
Artinya: “Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya". (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’d: 27-28). Dalam ayat tersebut dan ayat-ayat yang lain, istilah komunikasi disebutkan dengan menggunakan istilah tadzkir. Kata tadzkir berasal dari kata dzakara yang berarti mengingat. Sementara, kata tadzkir artinya mengingatkan atau memberikan peringatan. Tadzkir merupakan salah satu metode dalam komunikasi yang bermanfaat untuk memberikan peringatan dini kepada manusia agar tidak lupa dengan tujuan hidup yang sebenarnya. Karena manusia memiliki kecenderungan lalai dalam mengambil peringatan dini dan lupa dengan hakikat diri, karena itu diperlukan orang yang mengingatkan. Dengan adanya orang yang mengingatkan, maka akan ada orang yang dapat mengambil pelajaran atau peringatan dan akan melahirkan orang-orang yang selalu berzikir. Mereka yang tidak pernah lalai berzikir dalam kondisi apapun baik saat berdiri, duduk, dan berbaring adalah mereka yang sehat secara spiritual. Dampak positif dari orang yang sehat secara spiritual tentu dia akan mawas diri dalam berkata, bersikap, dan berperilaku. Karena apa yang dilakukannya mendapatkan pengawasan dari Allah swt dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir. Lebih jauhnya lagi, orang yang sehat secara spiritual akan memiliki perkataan, sikap, dan tingkah laku yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah swt. Dzikir dapat dilakukan dengan cara
membaca asma-asma Allah,
membaca al-Qur’an, dan senantiasa menghadirkan Tuhan dalam berbagai aktivitas kehidupannya, baik di masjid, rumah, tempat kerja, dan sebagainya. Kesadaran akan wujud Tuhan dalam dirinya menjadi kunci penting bagi orang
109
yang sehat secara spiritual. Sehat secara spiritual inilah yang menjadi pondasi kuat untuk mengembangkan kesehatan yang lainnya. Allah mengumpamakan orang yang sehat secara spiritual seperti sebatang pohon yang kuat akarnya, dahan dan batangnya menjulang tinggi. b. Komunikasi emosi Sebagai fenomen kehidupan, emosi yang dialami manusia tidak hanya sekedar dirasakan sendiri, tetapi juga dikomunikasikan dengan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, diinginkan ataupun tidak diinginkan. Kisah al-Qur’an tentang masyarakat Arab Jahiliyah yang mukanya spontan berubah merah karena marah jika mendapat (berita) karunia anak perempuan, adalah contoh emosi yang terjadi tapi tak diinginkan. Peristiwa emosi akan terus terjadi dalam kehidupan. Ada saatnya kita kecewa, sedih, cemas, tapi di saat yang lain kita senang, puas, dan bahagia. Lalu emosi-emosi itu diekspresikan dengan berbagai model sebagai bentuk komunikasi pada diri sendiri dan juga kepada orang lain. komunikasi emosi dengan diri sendiri ada dua bentuk: Pertama, emosi sebagai komunikasi pesan dan pendorong tingkah laku. Ketika menerima surat keputusan promosi jabatan mungkin getaran emosi senang menyelimuti diri kita dan langkah keluar dari ruangan terasa ringan seperti di awang-awang. Apa yang terjadi pada tubuh memberi sinyal-sinyal komunikasi bahwa kita dalam kondisi sangat senang atau ketika jantung berdebar-debar karena baru saja terhindar dari tabrakan maut memberi sinyal komunikasi akan adanya emosi kaget bercampur senang lepas dari maut. Orang-orang munafik (yang memiliki penyakit hati) merasa takut mendapat bencana atas perbuatan yang mereka lakukan karena itu mereka mencoba mendekati orang-orang Yahudi dan Nasrani dan mengatakan mudahmudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada Rasul-Nya (QS. AlMaidah ayat 52). Emosi yang dialami manusia bersifat sangat personal (subyektif). Seseorang yang mengalami emosi tertentu mungkin terdorong untuk melakukan suatu tindakan karenanya, tetapi belum tentu hal yang sama terjadi pada orang lain dengan kondisi yang sama. Planalp menjelaskan bahwa
110
“emotions might help us as individuals to orient to important cencerns and guide our actions, but they would not interest anybody else”.27 Bagi penggemar lagu-lagu
nasyid,
misalnya,
ketika
mendengar
sayup-sayup
lagu
kesayangannya dinyanyikan oleh Snada di sebuah station radio, maka boleh jadi perhatiannya tertuju ke lagu itu dan mungkin volumenya dibesarkan untuk diikuti dengan perasaan senang. Akan tetapi, orang lain yang hadir disitu mungkin tidak mengalami emosi senang terhadap nasyid itu sehingga tidak bereaksi apa-apa bahkan mungkin menganggap aneh orang pertama tadi. Apa yang dikemukakan oleh psikologi tersebut menunjukkan bahwa karakter manusia ketika melakukan suatu tindakan berdasarkan patronnya secara subyektif.
Artinya: “Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masingmasing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya” (QS. Al-Isra: 84). Menurut al-Jauzy (W. 1404 H, 80), ungkapan “ala syakilatihi” mempunyai kandungan makna yang luas, antara lain bahwa manusia melakukan suatu tindakan berdasarkan sudut pandangnya (nahiyatih), argumentasinya (jadilatih), karakternya (tabi’atih), metodologinya (tariqatih), motifnya (niyyatih), atau menurut keyakinannya (dinih). Tindakan yang diambil setiap individu berdasarkan emosi yang dialaminya mengikuti subyektivitas personal yang bersangkutan. Di sini terjadi komunikasi individual terus menerus antara sinyal-sinyal emosi dengan kondisi subyektif individu itu (ala syakilatih) Kedua, sebagai komunikasi prestasi. Salah satu fungsi emosi adalah sebagai informasi tentang keberhasilan yang telah dicapai. Jika emosi positif yang didambakan terealisasi, maka sinyal-sinyal tubuh mengomunikasikan 27
Planalp, Communicating Emotion: Social, Moral and Cultural Process, Cambridge: Cambridge university,1999, hlm. 134.
111
kepada diri individu bahwa apa yang selama ini diharapkan ternyata telah terjadi dengan emosi yang dirasakan itu. Manusia mendambakan keindahan dan mengetahui telah memperolehnya ketika ia merasakan kenikmatan estetis dalam dirinya. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggambarkan kondisi obyektif yang dialami manusia terhadap prestasi atau anugerah yag telah diperolehnya. Nabi Sulaiman merasa sangat senang telah dibantu oleh stafnya yang memiliki ilmu (expert) menghadirkan singgasana ratu Balqis dari kaum Saba, menyadarkannya bahwa ia telah mendapatkan kelebihan (prestasi) yang bersumber dari Allah, apakah ia akan mensyukuri atau mengingkarinya?
Artinya: “Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat
dudukmu;
Sesungguhnya
aku
benar-benar
kuat
untuk
membawanya lagi dapat dipercaya". Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di
112
hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia" (QS. An-Naml: 39-40). Komunikasi prestasi dari emosi tidak selamanya pada hal-hal positif saja, karena adakalanya terjadi pada hal-hal negatif. Orang yang takut pada gerakan dan bunyi deraian dahan pohon di depan rumah karena tertiup angin menyebabkan
merinding
(emosi
takut),
dikiranya
itu
ada
hantu,
mengkomunikasikan pada dirinya bahwa ia masih takut pada hantu. Demikian juga orang yang irihati terhadap kelebihan yang dimiliki orang lain menyadarkan dirinya bahwa ia tak memiliki apa yang diberikan Allah kepada orang lain tersebut (QS. An-Nisa: 32). Setia mengikuti ajaran (millah) pendahulunya, dan hal itu disyukuri karena terbebas dari syirik merupakan hasil komunikasi prestasi dari emosi (QS. Yusuf: 38). Menyadari kemampuan mempertahankan diri dari godaan nafsu birahi sehingga terbebas dari pelanggaran moral dan agama (QS. Yusuf: 24). Selain komunikasi emosi terhadap diri sendiri juga terjadi pada kehidupan sosial. Dalam peristiwa mengenaskan yang menimpa sebuah keluarga biasanya banyak orang ikut bersedih, meneteskan air mata, dan turun tangan membantu meskipun mereka bukan keluarga bahkan mungkin tidak kenal. Orang ikut menangis dan bersedih itu ada dua kemungkinan: pertama, ketularan emosi (emotional contagion), yaitu suatu kondisi dimana seseorang menangkap emosi tertentu dari ekspresi emosi yang sedang dialami orang lain. seseorang ikut tersenyum secara spontan ketika semua orang dalam ruang sidang tertawa serempak, padahal ia belum tahu penyebabnya atau ikut berlari ketika semua orang di tempat itu berhamburan. Kedua, empati terhadap apa yang dialami oleh orang lain, yaitu dengan melibatkan diri seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang tersebut. Planalp menulis “emotional contagion occurs when you catch the emotions of others from their expressions (as you might catch a cold). We even talk about contagious fear and laughter. Empathy occurs when you see the situation from
113
the other person’s point of view, leading you to feel the other person’s feelings. You can imagine how someone feels when he loses his job so that you can empathize with his plight”.28 Kedua kemungkinan ini, ketularan emosi dan empati, sejatinya adalah suatu komunikasi emosi antara satu orang dengan orang lain. Seorang mengekspresikan emosi yang dialami dan yang lain menangkap atau menanggapi yang terjadi. Respons tidak selamanya emosi baru tetapi bisa juga dalam bentuk yang lain. Turun tangan membantu apa yang diperlukan oleh orang yang mendapatkan musibah adalah contoh respons dalam bentuk lain atau bukan dengan emosi yang sama. Komunikasi emosi dalam hubungan interpersonal dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dan dielaborasi oleh penelitian-penelitian Psikologi bahwa emosi ternyata menjadi media komunikasi antar manusia. Komunikasi emosi dalam hubungan keluarga dijelaskan misalnya dalam surat an-Nisa ayat 4 (empat). Komunikasi emosi antara kelompok etnis dalam masyarakat dijelaskan misalnya dalam surat al-Hasyr ayat 9. Komunikasi emosi yang terjadi dalam tataran kehidupan bernegara dalam rangka penegakan hukum antara lain dijelaskran dalam surat Shad ayat 22 dan Komunikasi emosi dalam hubungan internasional dalam surat an-Naml ayat 36. Komunikasi
emosi
sangat
penting
dalam
menumbuhkan
dan
mengembangkan perilaku sehat. Menurut Ari Ginanjar Agustian, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber-IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik dan nilai raport tinggi tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang. Justru keberhasilan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosi. Nabi menyatakan “ dosa membuat hati menjadi gelisah”.
29
Beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya (QS. Asy-Syams ayat 9-10). Selain itu, komunikasi emosi itu penting untuk menambah keyakinan sesorang kepada Tuhannya, seperti Ibrahim yang ingin mengetahui bagaimana Tuhan menghidupkan orang yang mati, agar hatinya bertambah yakin tentang 28 29
Planalp, Communicating Emotion:....hlm. 62. Ari Ginanjar Agustian, ESQ, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001, hlm. 56.
114
keberadaan Tuhan (QS. Al-Baqarah ayat 260). Demikian juga, pengikut nabi Isa menggunakan komunikasi emosi untuk ketentraman hatinya.
Artinya: “Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati Kami dan supaya Kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada Kami, dan Kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu" (QS. Al-Maidah ayat 113). Tanda-tanda yang ada dalam ayat-ayat tersebut jelas menunjukkan adanya komunikasi kesehatan. Dalam ayat-ayat tersebut terdapat simbol kata “qaaluu” atau “qul” yang berarti mereka berkata atau katakanlah. Kedua kata tersebut berasal dari kata qaala atau qaul yang berarti kata. Kata qaul disebutkan 1.722 kali dalam al-Qur’an, yang tersusun dari 529 kali dalam bentuk qala, 92 kali dalam bentuk yaqulun, 332 kali dalam bentuk qul, 13 kali dalm bentuk qulu, 49 kali dalam bentuk qila, 52 kali dalam bentuk al-qaul, 12 kali dalam bentuk qauluhum, dan bentuk-bentuk lainnya. Menurut Ibnu Mandzur yang dikutip oleh Harjani Hefni, qaul adalah lafadz yang diucapkan oleh lisan baik maknanya sempurna ataupun tidak. Menurut definisi Ibnu Mandzur ini, maka qaul bisa berarti kata atau bisa juga berarti kalimat, karena kata yang maknanya sempurna dalam bahasa Indonesia disebut dengan kalimat. Selain mengandung makna, qaul adalah ucapan yang diucapkan oleh pembicara karena keinginan darinya,30 seperti terdapat dalam surat al-an’am ayat 93
30
Harjani Hefni, Komunikasi Islam,....hlm 82-83.
115
Artinya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya”. c. Komunikasi sosial Komunikasi sosial merupakan komunikasi yang dilakukan seseorang dengan orang lain, baik antar individu, individu dengan kelompok, atau individu dengan masyarakat. Komunikasi sosial berperan penting dalam membangun konsep diri, aktualisasi diri serta kelangsungan hidup manusia. Selanjutnya, melalui komikasi sosial manusia dapat bekerja sama dengan berbagai anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, kata kunci pokok yang digunakan dalam komunikasi sosial adalah relationship. Orang yang sehat, salah satu indikatornya adalah orang yang mampu menjalin
116
hubungan sosial dengan baik. Menurut Eloy Zalukhu “ tak ada individu yang pernah mencapai kesuksesan besar seorang diri. Kepercayaan bahwa satu orang dapat menghasilkan karya besar seorang diri adalah sebuah kemustahilan”.31 Agar seseorang bisa memiliki kemampuan dalam komunikasi sosial, alQur’an mengajarkan beberapa langkah, seperti yang disimbolkan dari kata-kata kunci yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan, yaitu: Pertama, menyucikan diri sendiri dengan cara beriman kepada Allah swt dan menjalankan amal shaleh sesuai dengan tuntunan Islam. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy-Syams: 9-10) Kedua, hendaknya memiliki kesamaan langkah antara kata dengan perbuatan, jangan seperti perilaku yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" mereka menjawab: "Kami mendengar tetapi tidak mentaati". dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: "Amat jahat[74] perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat)”. (QS. Al-Baqarah: 93). Ketiga, memiliki perkataan yang baik, “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik (QS. Al-Ahzab ayat 32). Keempat, Jangan menyakiti orang lain, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al-Ahzab ayat 58). Kelima, saling berbagi atau menolong orang lain, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan 31
Eloy Zalukhu, Life Success Triangle, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 189.
117
disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Mujadilah: 12), atau ayat lain “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS. At-Taubah: 103) Keenam, menahan pandangan dan memelihara kemaluan, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat" (QS. An-Nur ayat 30). Ketujuh, meminta izin ketika memasuki rumah orang lain, “Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. An-Nur ayat 28). 3. Prasarana Kesehatan Untuk mendukung suksesnya perilaku sehat, maka diperlukan adanya prasarana kesehatan. Perilaku sehat bukan hanya dipicu oleh perilaku yang bersumber dari dalam diri seseorang, tetapi faktor luar diri berupa prasarana dan lingkungan yang sehat juga amat penting keberadaannya. Seperti yang penulis kemukakan dalam teori konvergensi bahwa sharing informasi, pemahaman bersama, dan tindakan kolektif merupakan faktor luar yang penting untuk merubah perilaku sehat. berikut ini beberapa faktor luar yang mendukung adanya perilaku sehat yang dikemukakan al-Qur’an, yaitu: a. Adanya Air bersih Air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia untuk menjadi orang yang sehat. Air diperlukan untuk mandi, mencuci, memasak, minum dan bersuci. Allah swt berfirman “(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan
dari
kamu
gangguan-gangguan
syaitan
dan
untuk
118
menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu) (QS. AlAnfal ayat 11). Dalam ayat yang lain Allah menyatakan “Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang Amat bersih”. b. Larangan mengkonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan. Allah swt telah menciptakan semua jenis makanan untuk menusia di bumi. Ada beberapa jenis makanan yang dihalalkan untuk dikonsumsi, tetapi ada juga jenis makanan dan minuman yang diharamkan karena berbahaya dan membahayakan, sebagaimana firman Allah swt “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah ayat 172-173). Termasuk larangan adalah minuman khamr, “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah
perbuatan-perbuatan
itu
agar
kamu
mendapat
keberuntungan” (QS. Al-Maidah ayat 90). c. Perlunya istirahat yang cukup bagi tubuh. Dalam beberapa ayat disinggung adanya keringanan (rukhsah) bagi orangorang yang sakit untuk melaksanakan aktivitas ibadah, seperti shalat, puasa, dan ibadah haji. Hal ini menunjukkan adanya perhatian al-Qur’an untuk mengistirahatkan tubuh, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 185 “ dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada harihari yang lain”. d. Urgensi Olah raga dan gerak badan bagi kesehatan tubuh`
119
Tidak ditemukan ayat dalam al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan urgensi olah raga bagi kesehatan tubuh, namun isyarat tentang itu ditemukan dalam firman Allah yang sejalan dengan kata kunci quwwah, yaitu firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 60 “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kudakuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. Kata quwwah dalam ayat ini ditafsirkan dengan memanah dan ini sejalan dengan sabda nabi yang menunjukkan pentingnya memanah sebagai salah satu olah raga yang dianjurkan oleh Rasulullah. Berdasarkan uraian di atas, jelas menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan beberapa isyarat atau simbol-simbol yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan. Simbol yang ditunjukkan oleh al-Qur’an semuanya mengarah kepada perlunya perubahan perilaku manusia menuju individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang sehat baik secara spiritual, rohani, maupun fisik. Untuk bisa berperilaku sehat, manusia diharuskan untuk memperbaiki diri dan lingkungannya melalui proses komunikasi kesehatan, yang meliputi komunikasi spiritual, komunikasi emosi, dan komunikasi sosial.
119
BAB V PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan menguraikan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari masalah pokok yang ada dalam penelitian ini. Kemudian, penulis memberikan catatan rekomendasi untuk bisa ditindaklanjuti dalam penelitian atau kajian berikutnya, baik oleh penulis sendiri maupun para pembaca yang budiman. A. KESIMPULAN Komunikasi kesehatan merupakan salah satu komunikasi manusia yang amat penting keberadannya dalam kehidupan manusia. Agar manusia dalam memahami dan mengembangkan komunikasi kesehatan secara komprehensif, maka diperlukan kajian yang bersumber dari al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Setelah dilakukan kajian secara tematik, dihasilkan temuan-temuan sebagai berikut: 1. Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan secara langsung term-term yang secara khusus menyebut tentang komunikasi kesehatan. Di dalam al-Qur’an terkandung term-term yang terpisah antara term komunikasi dan term kesehatan. Mengingat komunikasi kesehatan merupakan sebuah pengetahuan untuk mengkomunikasikan kesehatan, maka inti pembahasannya terletak pada kata kesehatan. Oleh karena itu, penulis menjelaskan secara rinci tentang term-term yang terkait dengan kesehatan yaitu quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyyah, maridh, adza, rijsun, saqiyyun, dan syifa. 2. Analisis semiotika yang penulis gunakan dalam mengkaji komunikasi kesehatan dalam perspektif al-Qur’an adalah analisis semiotika Charles Sanderce Pierce yang memiliki gagasan pokok the triad of meaning, yang tersusun dari representament, interpretan, dan objek. Gagasan pokok tersebut dalam aplikasinya diwujudkan dalam bentuk analisis secara semantik, sintaksis, dan pragmatis. Secara semantik, term-term quwwah, ithma’anna, thahaarah, tazkiyyah, maridh, adza, rijsun, saqiyyun, dan syifa tidak menunjuk pada term komunikasi kesehatan, melainkan pada term kesehatan. Namun, ketika term-term tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis sintaksis, terdapat beberapa simbol yang menunjukkan adanya komunikasi.
120
Dengan demikian term kesehatan dan komunikasi terbangun dalam satu rangkaian ayat yang maknanya tersusun secara utuh dan sistematis sehingga secara
pragmatis
mengandung
ideologi
atau
tuntunan
yang
bisa
dikembangkan dalam komunikasi kesehatan. Ideologi tersebut tidak saja bersifat teoritis melainkan juga bersifat praktis yang dapat diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut. 3. Konsepsi al-Qur’an tentang komunikasi kesehatan bertitik tolak pada pentingnya perubahan perilaku manusia secara sehat. hal ini tentu sejalan dengan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk, penjelas, pembeda, mauidzah, rahmah, dan obat. Perilaku sehat diawali dengan pemahaman tentang sehat yang komprehensif, yakni sehat fisik, ruhani, dan spiritual. Untuk memenuhi ketiga sehat tersebut diperlukan adanya komunikasi spiritual, komunikasi emosi, komunikasi sosial, dan dukungan dari parasarana (lingkungan) yang sehat. hal ini sejalan dengan teori yang ada dalam komunikasi kesehatan, yakni teori difusi inovasi yang mengedepankan unsur dalam diri manusia dalam melakukan komunikasi kesehatan dan teori konvergensi, yang menekankan pentingnya faktor luar diri (lingkungan) dalam mendukung proses pelaksanaan komunikas kesehatan pada manusia dan masyarakat.
B. REKOMENDASI Setelah melakukan kajian tentang komunikasi kesehatn dalam perspektif Islam, khusus dalam pandangan al-Qur’an, penulis menyampaikan beberapa rekomendasi yang urgen untuk ditindaklanjuti pada masa berikutnya, yaitu: 1. Term-term yang dikaji oleh penulis masih terbatas dalam konteks kesehatan, penulis
belum
memperdalam
term-term
yang
berhubungan
dengan
komunikasi, apakah term-term komunikasi juga didalamnya dijelaskan tentang adanya kesehatan, sehingga pemahaman tentang komunikasi lebih komprehensif. 2. Dalam kajian komunikasi kesehatan dalam al-Qur’an, penulis belum banyak mengkaji dari aspek asbabun nuzul, ragam pendapat ulama tafsir, dan teoriteori komunikasi yang lainnya. Karena itu penelitian ini perlu dilanjutkan.
121
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ari Ginanjar, ESQ, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001. Ahmad, Mohd Khairie dan John Harrison, “Untapped Potential: Cultural SensitivityIslamic Persuasive Communication in Health Promotion Programs”, Paper presented at the Global Communication and Development Conference, Shanghai, China, 16-21 October 2007. Akhtar, Shabbir, The Quran and the Secular Mind, London: Routledge, 2008. Anees, Munawar A. (Ed.), Health Sciences in Early Islam, Vol. I, Noor Health Foundation and Zahra Publications, 1983. Aswadi, “Dakwah Perspektif Konseling Syifa”, dalam Proceeding International Conference Islamic Da’wa Development in Europe and Asia Pasific, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016. Baalbaki, Munir dan Rohi Baalbaki, Kamus al-Maurid: Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya: Penerbit Halim Jaya, 2006. Basit, Abdul, Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan STAIN Press, 2006. ______, Dakwah Antarindividu Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Grafindo Litera Media & STAIN Press, 2008. Bertrand, Jane T. (Ed.), A Field Guide to Designing A Health Communication Strategy, Baltimore, MD: Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health/Center for Communication Programs, March 2003. Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), 2006. E.M, Rogers, “The Field of Health Communication Today: an up to date Report”, Journal of Health Communication, 1996. Fakhruddin, M. Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz XI, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Faridatunnisa, Nor, “Kisah Zu al-Qarnain Dalam Al-Qur’an (telaah semiotika)”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015. Fazlurrahman, Etika Pengobatan Islam, Bandung: Mizan, 1999. Fiske, John, Introduction to Communication Studies, London: Methuen & Co.Ltd, 1985.
122
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998. Griffin, EM, A First Look at Communication Theory, Fifth Edition, (Boston: Mc Graw Hill), 2003. Hamidi, A. Luthfi, Semantik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta: Grafindo Litera Media & STAIN Press Purwokerto, 2010. Hawari, Dadang, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999. Hefni, Harjani, Komunikasi Islam, Jakarta: Kencana,2015. Imron, Ali, Semiotika Al-Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2011. Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, al-Tibb al-Nabawi, Beirut: Dar al-Nadhwah al-Jadidah, tt. _________, Pengobatan Cara Nabi Muhammad saw, Surabaya: Arkola, 2008. _________, al-Tafsir al-Qayyim, Beirut: Dar al-fikr, 1998. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I- IV, Beirut: Daar Ihyaa al-Turats alArabii, tt. Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur'an Tematik, Jilid 5, Jakarta: Penerbit Aku Bisa, 2012. Khotimah, Khusnul, “Semiotika: sebuah Pendekatan dalam Studi Agama”, dalam Jurnal Komunika, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember, 2008. Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Jakarta: Salemba Humanika, , 2009. Martin, Bronwen and Felizitas Ringham, Dictionary of Semiotics, New York: Cassell, 2000. Merrel, Floyd, “Charles Sanders Peirce’s Concept of the Sign”, dalam Paul Cobley, The Routledge Companion to Semiotics and Linguistics, New York: Routledge, 2001. Miller, Katherine, Communication Theories Perspectives, Processes, and Contexts, Second Edition, Boston: Mc Graw Hill, 2005.
123
Munawwir, A. Warson, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Krapyak, 1984. Najati, M. Utsman, Psikologi Dalam Tinjauan Hadits Nabi, Jakarta: Mustaqim, 2003. Perho, Irmeli, “Pengobatan dan Al-Qur’an”, dalam Dale F. Eickelman, Al-Qur’an, Sains dan Ilmu Sosial, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Planalp, Communicating Emotion: Social, Moral and Cultural Process, Cambridge: Cambridge University, 1999. Reardon, Kathleen K., Interpersonal Communication Where Minds Meet, California: Wadsworth Publishing Company, 1987. Rimal, Rajiv N & Maria K Lapinski, “Why health communication is important in public health”, Bull World Health Organ, 2009:87. Robert Bodgan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya: Usaha Nasional, 1993. Salisah, Nikmah Hadiati, “Komunikasi Kesehatan: perlunya Multidisipliner Dalam Ilmu Komunikasi”, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011. Schiavo, Renata, Health Communication from Theory to Practice, San Fransisco: Jossey-Bass, 2007. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1 – 15, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Sinaulan, J.H., “Komunikasi Terapeutik Dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 2, No. 2, Desember 2012. Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. Stout, Daniel A. (Ed.), Encyclopedia of Religion, Communication, and Media, New York: Routledge, 2006. Subandi, “Psikologi Islami dan Sufisme”, dalam Fuat Nashori (Ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: SI Press, 1994. Syam, Nina Winangsih, Komunikasi Transendental, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015. Syarif Adnan, Psikologi Qur’an, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
124
Thompson, Teresa L., “Interpersonal Communication and Health Care”, dalam Mark L. Knapp and Gerald R. Miller (Ed.), Handbook of Interpersonal Communication, second edition, London: Sage Publications, 1994. Az-Zahrani, Musfir bin Said, Konseling Terapi, Jakarta: Gema Insani, 2005. Zalukhu, Eloy, Life Success Triangle, Jakarta: Gramedia, 2012.