KOMPOSISI JENIS KOPEPODA DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR
NURUL FITRIYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
2
ABSTRACT Nurul Fitriya. Species Composition of Copepod in Berau Waters, East Kalimantan. Under direction of R. KASWADJI, and MULYADI. Copepods is a dominant group of marine zooplankton, and has an important role in the marine food chain. Copepods live in various habitats, i.e. freshwater, estuaries, and seas. Information on copepods in Indonesia mostly come from expedition reports in east Indonesian waters. Nevertheless, information concerning estuarine copepods is very limited. The Berau waters has a unique ecosystem. It has a high biodiversity, in most of them are copepods. Therefore, a study on biodiversity of copepods in Berau waters was conducted in September 2005. The objectives of this study were to understand the diversity of copepods species in Berau waters, to get available information on description and illustration of copepods. Biological and physical parameters were measured with analysis included dominance, diversity, and similarity. The results showed that there were fourty-four species belonging to 19 families was recorded. They include 27 species of Calanoida, 8 species of Cyclopoida, 2 species of Harpacticoida, 6 species of Poecilostomatoida and one species of Siphonostomatoida. The Calanoids were the most abundant in the community with Acartia pacifica and Acartia eryhtraea as the main species. This indicated that the two species were common and distributed more widely than others. During the observations, one new record of species (Centropages dorsispinatus), male of Kelleria pectinata and one new species (Oncaea sp.) were obtained. Keyword : Copepods, Berau, Calanoida, new record, new species
3
RINGKASAN NURUL FITRIYA. Komposisi Jenis Kopepoda di Perairan Berau, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh R. KASWADJI, dan MULYADI. Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut. Kopepoda seringpula dijuluki sebagai insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda masih sangat terbatas. Kajian biosistematika kopepoda laut di Indonesia pun masih sangat minim, tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis kopepoda meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis kopepoda yang ada di perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan secara akurat. Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 stasiun penelitian. Parameter yang diukur meliputi suhu dan salinitas yang diukur menggunakan CTD, sedangkan arah dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2. Sampel kopepoda dikoleksi menggunakan conical plankton net dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 180 cm. Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air yang tersaring. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menarik jaring plankton secara horizontal dengan perahu motor berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%. Di laboratorium sampel kopepoda disortir dari organisme planktonik lainnya dan diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon. Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian ini yang berkisar antara 28,5 – 31 oC masih merupakan kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda. Salinitas di perairan Berau yang berkisar antara 26 – 33 psu nampaknya memberi pengaruh pada distribusi kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo Calanoida. Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan berlaku untuk seluruh badan air. Pada periode air pasang di permukaan laut pola aliran pada perairan lepas dari muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada pesisir barat Selat Makassar pada umumnya. Sebanyak 44 jenis kopepoda yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini terdiri atas 27 jenis Calanoida, 8 jenis Cyclopoida, 2 jenis Harpacticoida, 6 jenis Poecilostomatoida dan 1 jenis Siphonostomatoida. Pada umumnya jenis kopepoda yang ditemukan merupakan jenis kopepoda estuaria dan neritik walaupun terdapat beberapa jenis kopepoda oseanik seperti Subeucalanus crassus, S. subcrassus, Centropages furcatus dan Phaenna spinifera. Hal itu terjadi karena wilayah penelitian ini merupakan perairan estuaria dimana terdapat muara tiga sungai besar dan beberapa sungai kecil lainnya sehingga massa air yang ada
4
merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Pola arus pada saat penelitian menunjukkan bahwa massa air saat pasang menyusup ke muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik ditemukan di perairan ini. Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di dunia terlihat bahwa jenis kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan Samudera India, seperti Acartia eryhraea, A. pacifica, Centropages furcatus, Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim, 1985). Dalam penelitian di perairan Berau ditemukan jenis Kelleria pectinata berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya hanya dilaorkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga. Satu jenis lainnya Oncaea sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new species. Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah koleksi data kopepoda laut Indonesia dan dunia pada umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam distribusi geografi kopepoda. Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase tidak mencapai 1 %. Tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida lebih banyak dibanding ordo lainnya dengan nilai kelimpahan juga tinggi. Tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas perairan yang mendukung pertumbuhan beberapa jenis Calanoida seperti; Acartia erythraea, A. pacifica, Pseudodiaptomus incisus, dan Acrocalanus gibber. Kelimpahan total kopepoda di perairan Berau berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23201 ind/m3 (Haryono, 1998). Kelimpahan jenis tertinggi terdapat di stasiun 1 (812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3. Kisaran kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda semakin menurun ke arah lepas pantai. Hal ini terjadi karena daerah muara dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan hidupnya. Nilai indeks dominansi di perairan Berau yang berkisar antara 0,17-0,53 menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak ada satu jenis tertentu yang mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa jenis seperti Acartia, Acrocalanus dan Pseudodiaptomus. Indeks keanekaragaman yang berkisar antara 1,09 – 1, 74 merupakan petunjuk lingkungan yang cenderung stabil. Nilai indeks keseragaman yang berkisar antara 0,40-0,68 dapat diartikan bahwa ada beberapa spesies kopepoda yang tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan Berau. Kata kunci : Kopepoda, Berau, Calanoida, new record, new species
5
KOMPOSISI JENIS KOPEPODA DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR
NURUL FITRIYA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
6
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1973 dari ayah H. Appe Mallimoengan dan Ibu Hj. Darmiah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada 15 Juni 2002 dengan Agus Nurhidayat dan telah dikaruniai seorang putra yaitu M. Wirayudha (Aranda). Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 15 Jakarta dan melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 2004, penulis diterima di sekolah Pasca Sarjana IPB pada program studi Ilmu Kelautan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penulis bekerja pada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI sejak April 2000 dan ditempatkan di Laboratorium Plankton dan Produktivitas Primer. Bidang penelitian yang menjadi tanggungjawab peneliti adalah zooplankton laut.
8
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Komposisi Jenis Kopepoda Di Perairan Berau, Kalimantan Timur” berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan kepada Bapak
Dr. Ir. R. Kaswadji, M.Sc dan Bapak Dr. Mulyadi, atas kesediaan dan
kesabarannya memberi bimbingan sampai selesainya penulisan karya ilmiah ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Bapak Ir. L.F.Wenno yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk ikut dalam penelitian CoML. Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Bapak Dr. Suharsono, selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh staf karyawan 3. Ketua Program Studi IKL IPB beserta staf pengajar dan karyawan 4. Kepala BOK LIPI beserta staf karyawan 5. Bapak Dr. Augy S., Ibu Dra. Hikmah Thoha, Msi., ibu Trimaningsih, ibu Sugestiningsih, ibu Elly, Bapak SH. Riyono serta seluruh staf dan teknisi P2O 6. Conny MS Ssi., beserta seluruh staf dan teknisi Museum Zoologi Bogor 7. Rekan-rekan IKL atas suka dan duka bersama. Mbk Riris, Hani, Iwan, Meutia, Heron, Nurman, Hawis, Mbk Ninit, Yayank, Nani, Begin.......”Love u all”………. 8. Bapak, Ibu, Suami dan anak tercinta (Mas Agus & Aranda) serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. 9. Rekan-rekan seperjuangan di P2O LIPI (Ari, Amran, Yoni, Mbk Erna, Teri, Rahman, Dani) yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan. Amin. Bogor,
Juli 2007
Nurul Fitriya
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ...............................................................................…….. Perumusan Masalah …………………………………………………….. Tujuan Penelitian ...........................................................................……... Manfaat Penelitian ...................................................................................
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 Kopepoda .................................................................................................. 4 Peranan Kopepoda ………………………………………........................ 6 Distribusi Kopepoda .................................................................................. 8 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kopepoda........................ 9 Suhu ................................................................................................... 9 Salinitas .............................................................................................. 9 Arus ................................................................................................... 10 METODE PENELITIAN ................................................................................ Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................... Pengambilan Sampel di Lapangan............................................................. Parameter suhu, salinitas dan arus .................................................. Sampel Kopepoda ........................................................................... Analisis Sampel di Laboratorium ............................................................. Analisis Data ............................................................................................ Kelimpahan Kopepoda …………………………………………... Dominansi Jenis …………………………………………….......... Keanekaragaman Jenis ......………………………………….......... Keseragaman Jenis ..........................................................................
11 11 11 11 11 13 15 15 15 16 16
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... Kondisi Lingkungan ……………………………………………….......... Suhu …………………………………………………………............ Salinitas …………………………………………………….............. Arus …………………………………………………………............ Komposisi dan Kelimpahan Jenis Kopepoda...………………….............. Dominansi, Keanekaragaman dan Keseragaman Jenis Kopepoda…….... Deskripsi Jenis Kopepoda .........................................................................
17 17 17 18 19 20 24 25
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... Kesimpulan ………………………………………………………….........
46 46
10
Saran .…………………………………………………………..............
46
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 47 LAMPIRAN .....................................................................................................
50
11
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3
Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda ............................. Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat .................................... Nilai dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis ......................
14 20 24
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perkembangan kopepoda ……………...........………………………….. Skema hubungan filogenetik kopepoda..…….…………………………. Peta lokasi penelitian di perairan Berau .........……………………..…… Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina ….....……. Sebaran horizontal suhu di perairan Berau............................................... Sebaran horisontal salinitas di perairan Berau ......................................... Sebaran horisontal arah dan kecepatan arus pada saat pasang di Berau .. Komposisi kopepoda di perairan Berau ................................................... Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau …..……………………..
5 6 12 13 17 18 19 22 23
13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4
Komposisi jenis kopepoda berdasarkan ordo .………………………….. Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur….…. Foto jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur..…………… Deskripsi jenis kopepoda (Mulyadi 2003; 2004) ....................................
50 51 53 56
14
PENDAHULUAN Latar Belakang Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang menghuni berbagai tipe perairan dan membentuk berbagai tipe kehidupan. Ditinjau dari segi ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut dan mendominasi komunitas zooplankton di lautan dengan persentase berkisar antara 50-80% (Wickstead 1976). Kopepoda sering pula dijuluki sebagai insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda di dunia masih sangat terbatas. Humes (1994) menyatakan bahwa jumlah kopepoda yang telah dikenal umum di dunia baru mencapai 11.500 jenis yang terbagi dalam 200 famili dan 1650 genera yang menghuni berbagai tipe perairan tawar, payau dan laut. Kajian biosistematika kopepoda di wilayah perairan Indonesia masih sangat minim. Kontribusi pengetahuan mengenai kopepoda laut Indonesia umumnya berasal dari laporan ekspedisi besar yang dilakukan pada satu abad lalu terutama di perairan timur, seperti Ekspedisi Challenger (1872-1876), Siboga (1899-1900), dan Snellius I (1929-1930). Laporan penelitian kopepoda laut Indonesia paling penting hingga saat ini dilaporkan oleh Scott (1909) dari sampel yang diperoleh dalam Ekspedisi Siboga. Sayangnya Scott (1909) tidak menyediakan deskripsi ataupun ilustrasi dari sebagian besar jenis yang disebutkan. Catatan mengenai variabilitas dalam jenis dan kelompok jenis tidak disinggung, dan beberapa jenis diantaranya diragukan akurasinya. Kelangkaan data kopepoda laut Indonesia ini memerlukan suatu kajian biosistematika kopepoda yang akurat untuk menambah koleksi data keanekaragaman jenis kopepoda laut di Indonesia lengkap dengan deskripsi ataupun ilustrasi jenisnya. Propinsi Kalimantan Timur memiliki wilayah perairan yang luas dan strategis dari segi lalulintas pelayaran karena merupakan bagian dari Selat Makassar. Salah satu kabupaten di propinsi ini yang 70% daerahnya merupakan lingkungan perairan adalah Berau. Di wilayah ini bermuara tiga sungai besar dan beberapa sungai kecil lainnya, sehingga dapat dikategorikan sebagai perairan
15
estuaria. Perairan ini merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Lokasi percampuran air di perairan ini tidak tetap, tergantung kepada banyaknya air tawar yang masuk ke laut dan juga arus pasang surut yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola distribusi kopepoda. Seperti telah diketahui bahwa kecenderungan pola distribusi kopepoda sebagai penyusun utama komunitas zooplankton tampaknya sangat terkait dengan pola pasang surut, aliran arus dan suplai air tawar dari beberapa sungai di daerah tersebut.
Perumusan Masalah Dalam periode sebelum tahun 1960, penelitian plankton di Indonesia lebih dititikberatkan pada studi biosistematika. Karya ilmiah yang terbit umumnya ditulis oleh para peneliti asing berdasarkan sampel dari hasil ekspedisi besar di kawasan perairan Indonesia. Perkembangan biosistematika plankton dalam hal ini kopepoda dari ahli Indonesia sendiri dapat dikatakan sangat minim, dan sampai saat ini baru ada satu orang ahli taksonomi kopepoda di Indonesia. Hal ini tentu tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia. Ditinjau dari segi ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut dan mendominasi komunitas zooplankton di lautan. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda di perairan Indonesia masih sangat terbatas. Data mengenai komposisi jenis kopepoda yang ada di perairan Indonesia yang dilengkapi dengan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan masih sangat minim. Komposisi dan kelimpahan jenis kopepoda di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi
adalah
arus.
Arus
Lintas
Indonesia
(ARLINDO)
yang
menghubungkan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia melalui poros utama di Selat Makassar sekiranya memberikan dampak pada komposisi jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur. Kespesifikan habitat di perairan Berau ini akan berkaitan dengan spesifitas jenis kopepoda yang ada (endemik). Dari permasalahan ini maka perlu kiranya dilakukan suatu kajian mengenai komposisi jenis kopepoda yang dilengkapi dengan deskripsi jenis yang ditemukan.
16
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi kopepoda yang meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman, dan keseragaman di perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan secara akurat.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dan panduan dalam mendeskripsikan jenis-jenis kopepoda yang ditemukan di perairan estuaria Indonesia, dan kaitannya dalam memprediksi kesuburan perairan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kopepoda Zooplankton terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan mulai dari filum Protozoa (hewan bersel tunggal) sampai ke filum Chordata (hewan bertulang belakang). Tetapi ditinjau dari aspek ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting dan mendominasi perairan laut yaitu subklas kopepoda yang termasuk dalam filum Arthropoda. Kopepoda merupakan krustacea holoplanktonik, berukuran relatif kecil, yang mendominasi komunitas zooplankton di perairan laut dan samudera. Nama kopepoda sendiri berasal dari bahasa Yunani cope dan podos yang masing-masing berarti dayung dan kaki, sehingga secara keseluruhan kopepoda dapat berarti kaki dayung. Hal itu sesuai dengan morfologi kopepoda yang mempunyai kaki-kaki kuat yang dapat dipergunakan sebagai alat berenang dengan kecepatan tinggi. Kopepoda merajai komunitas zooplankton di laut baik dalam jumlah jenis maupun kelimpahannya yang sangat tinggi. Selain itu karena ukurannya yang kecil tetapi sangat dominan di laut maka kopepoda sering dijuluki sebagai insect of the sea. Kopepoda mempunyai kulit atau kerangka luar yang keras, terdiri dari bahan chitin. Oleh sebab itu kopepoda melakukan molting dalam fase-fase perkembangannya. Secara umum tubuhnya mempunyai dua pasang antena; yaitu antenula yang
berukuran relatif panjang dan antena yang berukuran kecil.
Kopepoda mempunyai 5 pasang kaki renang sedangkan kaki ke-6 pada umumnya mereduksi. Tubuhnya beruas-ruas yang terdiri dari kepala (chepalon), dada (thorax), dan abdomen (urosome). Secara umum bentuk kepala dan dada oval atau lonjong. Di belakangnya bersambung bagian ekor yang sebenarnya merupakan perut (abdomen) yang pendek dan sempit dengan ujung yang bercabang. Antenula panjang dan biasanya terbentang ke samping yang dihiasi dengan seta dan aestetask di sepanjang permukaan anterior. Kopepoda jantan pada umumnya mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dari betinanya. Kaki ke-5 yang jantan mempunyai bentuk khas yang berfungsi untuk memegang betinanya pada saat kopulasi. Kopepoda, seperti kebanyakan krustacea lainnya memulai hidupnya dari
5
larva yang disebut nauplius. Larvanya kecil sekali dengan tiga pasang bakal antenula, antena, dan mandibel. Pasangan apendiks pertama tidak bercabang, sedangkan kedua pasang lainnya bercabang. Bentuk badannya bulat telur dengan bagian belakang meruncing. Setitik berkas mata tunggal menghiasi bagian badan agak ke pinggir depan. Setelah berganti kulit (molting) beberapa kali, nauplius berkembang menjadi metanauplius yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda bakal maxillula dan maxilla serta beberapa bakal kaki renang pada dada. Setelah metanauplius berkembang menjadi fase kopepodit maka bentuknya sudah mirip dengan induknya tetapi berukuran sangat kecil dan jumlah ruas tubuhnya belum sempurna (Gambar 1).
Gambar 1 Perkembangan kopepoda. Menurut Milne (1840) kopepoda merupakan takson yang terpisah dalam Krustasea. Setelah itu berkembanglah berbagai skema klasifikasi untuk kopepoda dan sekarang ini dikenal 10 ordo kopepoda, yaitu Platycopioida, Calanoida, Harpacticoida,
Monstrilloida,
Mormonilloida,
Misophrioida,
Gelyelloida,
Cyclopoida, Siphonostomatoida dan Poecillostomatoida. Pada Gambar 2 secara
6
umum digambarkan analisis filogeni yang telah dilakukan oleh Ho (1990) dalam Huys dan Boxshall (1991).
Gambar 2 Skema hubungan filogenetik kopepoda (Huys dan Boxshall 1991).
Peranan Kopepoda Kopepoda sangat penting artinya bagi ekosistem laut karena merupakan herbivora primer. Kopepoda mendominasi komunitas zooplankton di lautan dengan persentase sebesar 70-90% dan berperan penting sebagai mata rantai antara produsen primer (fitoplankton) dengan para karnivora kecil dan besar (Nybakken 1992). Persentase yang besar ini akan berpengaruh nyata terhadap keberadaan fitoplankton sebagai produsen primer di perairan terutama kepadatannya. Hal itu terjadi karena sebagian besar fitoplankton yang ada di perairan dimakan oleh kopepoda dengan cara memanfaatkan gerakan kaki renang dan appendiks pada mulutnya yang menghasilkan pusaran air dan arus yang akan membawa partikel makanan ke saringan maxilla untuk kemudian diteruskan ke mulut untuk ditelan dan dicerna. Hal ini menyebabkan kopepoda mendapat julukan sebagai pelahap terbesar tumbuhan di dunia ini (the biggest grazer in the world) jika dilihat dari total seluruh biomassa kopepoda di bumi ini. Selanjutnya dalam kaitannya dengan produksi primer suatu perairan, Mare & Hart dalam
7
Barnes (1963) menyatakan bahwa bagian terbesar dari produksi primer di suatu perairan berada dalam tubuh kopepoda, bukan pada sel-sel fitoplankton. Energi yang tersimpan itu kemudian akan ditransfer ke ikan kecil, dan selanjutnya sampai ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain itu sebagai akhir dari proses pencernaan makanannya, kopepoda akan mengeluarkan feses yang jumlahnya sangat banyak dalam bentuk butiran-butiran kecil yang disebut faecal pellet. Seiring dengan kegiatan memakan fitoplankton di permukaan perairan, maka akan terus terbentuk pula faecal pellet yang kemudian akan turun dan tenggelam ke dasar perairan. Faecal pellet yang turun ke dasar itu akan menjadi sumber makanan atau bahan organik bagi berbagai biota yang hidup di laut dalam. Dengan demikian kopepoda juga memegang peran penting dalam alir energi dan daur hara di laut dalam (Nontji 2006). Kehadiran kopepoda sebagai sumber pakan bagi semua anak ikan dan ikan pelagik dalam ekosistem laut yang melimpah sering dikaitkan dengan indikasi kesuburan suatu perairan. Dari hasil penelitian pada berbagai jenis ikan di seluruh dunia, terbukti banyak jenis ikan pelagis dan larvanya memanfaaatkan plankton sebagai makanannya. Dari seluruh produksi ikan di dunia, 74% merupakan ikan pelagis dan berdasarkan jenis makanannya ternyata 63% adalah ikan pemakan plankton, 24 % ikan predator dan 8 % yang hidup di dasar (demersal) (Martinsen 1966). Jadi jelas ikan pemakan plankton lebih banyak daripada ikan pemangsa lainnya. Pentingnya plankton sebagai pakan ikan dapat dibuktikan di perairan Inggris, dimana penangkapan ikan mackerel mencapai puncaknya pada setiap bulan Mei yang bertepatan dengan puncak melimpahnya kopepoda. Korelasi positif antara hasil tangkapan ikan hering dengan banyaknya kopepoda juga dapat dibuktikan dalam penelitian (Lucas 1956). Dari berbagai penelitian itu dapat disimpulkan bahwa bila di perairan tertentu banyak terdapat plankton maka diharapkan ikan pemakan plankton akan banyak pula. Karena dalam kondisi normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya pangan (Tham 1953). Di Indonesia beberapa pakar telah meneliti isi lambung beberapa jenis ikan seperti lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Di dalam lambung ikan itu selalu didapatkan plankton dengan dominasi kopepoda yang mencapai sekitar
8
85-95% (Soerjodinoto 1960). Makanan utama ikan teri di Teluk Jakarta juga berupa zooplankton terutama kopepoda dan jenis krustasea lainnya (Burhanuddin dkk. 1975). Sedangkan ikan tembang (Sardinella fimbriata) memakan plankton dengan preferensi kopepoda (Hutomo & Martosewojo 1975). Di perairan Maluku, ikan umpan untuk cakalang, juga memangsa zooplankton dengan unsur utama kopepoda dan larva dekapoda (Sutomo dan Arinardi 1978). Beberapa jenis kopepoda juga dapat digunakan sebagai indikator biologi dari suatu kondisi lingkungan seperti upwelling. Arinardi, dkk. (1997) menemukan populasi yang melimpah dari Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus di permukaan perairan pada saat terjadi upwelling di Laut Banda. Kehadiran kedua jenis kopepoda laut dalam ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut sedang terjadi pengadukan air yang disebabkan oleh terjadinya upwelling pada perairan tersebut.
Distribusi Kopepoda Keberadaan dan sebaran biota laut termasuk kopepoda merupakan hasil dari kejadian yang teratur dan terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan tunggal maupun ganda yang menata bentuk sebaran, kelulusan hidup dan kepadatannya. Populasi kopepoda di berbagai habitat akuatik mempunyai nilai kelimpahan dan komposisi yang bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan yang erat kaitannya dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH dan zat cemaran di suatu perairan memegang peranan penting dalam menentukan kelimpahan jenis plankton. Sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies (Arinardi, dkk. 1997). Demikian pula pernyataan Smith (1971) dan Parson & Takashi (1973) bahwa distribusi plankton di laut ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, salinitas, suhu, kecerahan, zat hara, arus, gelombang, musim, siklus reproduksi dan predator. Di laut, kopepoda sebagai hewan pelagik dapat hidup di berbagai kolom air; ada yang hidup di dekat dasar perairan (benthopelagik/hyperbenthik); hidup di dasar perairan atau dalam sedimen (benthik); ataupun hidup berasosiasi dengan
9
hewan lainnya. Kopepoda yang hidup di setiap lapisan perairan laut merupakan perenang aktif, dan dapat bermigrasi baik secara horizontal maupun vertikal. Migrasi vertikal berkaitan erat dengan penyebaran kopepoda dalam kolom air. Migrasi vertikal kopepoda bersifat harian (diurnal migration) dimana pada siang hari kopepoda bergerak menuju dasar perairan dan naik kembali ke permukaan pada malam hari akibat intensitas cahaya matahari dan ketersediaan makanan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Kopepoda Suhu Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi organisme perairan. Setiap organisme akuatik memiliki toleransi kisaran suhu tertentu untuk pertumbuhannya. Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu adalah faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu air mempengaruhi keberadaan zooplankton secara fisiologis dan ekologis. Secara fisiologis perbedaan suhu perairan sangat berpengaruh pada fekunditas, lama hidup dan ukuran dewasa zooplankton. Secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan zooplankton di perairan dangkal (Kennish 1990). Kopepoda pada umumnya akan berkembang dengan baik pada suhu sekitar 25oC atau lebih (Riley 1967). Beberapa spesies kopepoda terdistribusi secara horizontal berdasarkan kemampuan penyesuaian diri pada perubahan suhu, misalnya Cosmocalanus darwinii, Copilia mirabilis, dan Candacia pachydactyla yang biasa ditemukan di perairan tropis dan dapat menjadi indikator arus hangat (Zhong 1989).
Salinitas Pola penyebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan pola aliran sungai. Daerah estuari yang merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut mempunyai struktur salinitas yang kompleks (Nontji 2006). Pada daerah estuari faktor salinitas merupakan pembatas penyebaran zooplankton. Kennish (1990) menyatakan bahwa perubahan salinitas yang dapat ditolerir oleh holoplankton dan meroplankton tergantung pada jenis dan stadia daur
10
hidupnya. Salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi fisiologis organisme perairan melalui perubahan tekanan osmosis, proporsi relatif bahan pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan larutan, kerapatan dan viskositas, perubahan penyerapan sinar, pengantar suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan mengubah komposisi jenis pada situasi ekologi saat itu. Plankton euryhaline dapat mentolerir kisaran salinitas yang luas, sebaliknya plankton stenohaline hanya dapat mentolerir kisaran salinitas yang sempit (Odum 1994). Perbedaan toleransi organisme terhadap salinitas dipengaruhi oleh umur, stadia daur hidup dan jenis kelamin (Kinne 1963). Riley (1967) menyatakan bahwa Acartia tonsa, Eurytemora hirundoides, E. Affinis dan Pseudodiaptomus coronatus merupakan jenis Calanoida yang dominan di perairan estuaria dengan salinitas 18-30 psu. Sedangkan Zhong (1989) menyatakan ada beberapa spesies kopepoda
yang
terdistribusi
secara
horizontal
berdasarkan
kemampuan
penyesuaian diri pada perubahan salinitas seperti Pleuromamma abdominalis yang merupakan spesies pada perairan oseanik sedangkan Labidocera euchaeta biasa hidup di perairan neritik terutama pada pantai berkadar salinitas rendah, demikian pula dengan Eurytemora affini yang ditemukan di perairan estuaria dengan salinitas yang sangat rendah.
Arus Odum (1994) menyatakan bahwa arus dalam air tidak hanya mempengaruhi konsentrasi sebagian besar gas-gas dan hara tetapi juga bertindak secara langsung sebagai faktor pembatas. Arus merupakan salah satu parameter fisika yang mempengaruhi penyebaran zooplankton di laut (Wickstead 1965). Nontji (1993) menyatakan bahwa arus yang terjadi di perairan pantai dan teluk lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya dapat diamati di perairan pantai terutama pada selat-selat yang sempit dengan kisaran pasang surut yang tinggi. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat ditentukan oleh angin (Nontji 1993).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 lokasi (Gambar 3). Lokasi 1, 2, dan 3 merupakan muara dari Sungai Kasei, Garura dan Pantai. Lokasi 4 , 5 dan 10 merupakan perpanjangan dari lokasi 3 ke arah lepas pantai dengan jarak antar lokasi sekitar 1o, demikian pula lokasi 6 dan 9 yang merupakan perpanjangan dari lokasi 2, serta lokasi 7 dan 8 perpanjangan dari lokasi 1.
Pengambilan Sampel di Lapangan Parameter suhu, salinitas dan arus Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan dengan menggunakan CTD. Arah dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2. Pola sebaran suhu, salinitas dan arus digambar dengan bantuan Surfer-8.
Sampel Kopepoda Sampel kopepoda dikoleksi dengan menggunakan conical plankton net ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 1,8 m. Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air tersaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus: V = R.a.p
V: volume air tersaring (m3) R: jumlah rotasi baling-baling flowmeter a: luas mulut jaring p: panjang kolom air (m) yang ditempuh untuk satu rotasi
Gambar 3 Peta lokasi penelitian di perairan Berau
Pengambilan sampel secara horizontal dilakukan dengan cara menarik jaring plankton dengan perahu motor berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%.
Analisis Sampel di Laboratorium Sampel kopepoda yang sudah diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium untuk disortir atau dipisahkan dari organisme planktonik lainnya kemudian diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon. Pembuatan gambar/ilustrasi dari setiap jenis secara detil, dilakukan dengan cara meletakkan spesimen pada slide glass yang telah dibubuhi campuran gliserin dan akuades dengan perbandingan 1:1 yang diberi pewarna methyl blue, kemudian diamati di bawah mikroskop.
Gambar 4 Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina secara ventral (Giesbrecht & Schmeil, 1898). Singkatan (abbreviation) dalam teks yang digunakan untuk menggambarkan bagian morfologi kopepoda tercantum dalam Tabel 1.
14
Tabel 1 Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda Singkatan
Singkatan
A1
Antenula
B2
basis
A2
Antena
Re
eksopod
Ms1-Ms5
metasomal somites 1-5
Ri
endopod
P1-P5
pereiopod 1-5
Si
inner spine
Ur1-Ur5
urosomal somites 1-5
S2
outer spine
CR
caudal rami
St
terminal spine
B1
coxa Selain singkatan diatas, ada beberapa istilah teknis yang masih digunakan
agar tidak menimbulkan kerancuan, antara lain: •
prosome/cephalothorax: kesatuan kepala dan ruas dada
•
urosome/abdomen: bagian belakang tubuh
•
grasping organ: alat pemegang
•
prehensile: antena yang bentuknya seperti alat pemegang dan bergerigi
•
geniculate: menggembung
•
anterior: bagian depan
•
posterior: ujung belakang
•
posteromedial: ujung belakang bagian tengah
•
posterolateral: ujung belakang bagian tepi
•
posterodorsal: ujung belakang bagian punggung
•
lateral: samping/tepi
•
ventral: bawah
•
dorsal: punggung
•
uniramous: tidak bercabang
•
biramous: bercabang dua
•
distal: ujung
•
proximal: pangkal. Terminologi yang dipakai dalam penelitian ini terutama mengacu pada
Giesbrecht (1982) dan Sars (1903) dengan beberapa modifikasi yaitu:
15
¾ Tubuh kopepoda terdiri dari dua bagian : prosome dan urosome. ¾ Prosome terdiri dari kepala dan lima ruas metasome (Ms). ¾ Urosome : pada jantan umumnya memiliki lima ruas, dan pada betina bervariasi antara dua sampai lima ruas ¾ Kepala dan Ms1 seringkali menyatu; Ms4 dan Ms5 pada beberapa kasus juga menyatu. ¾ A1 umumnya terdiri dari 25 ruas. Pada kopepoda jantan, A1 bagian kanan seringkali termodifikasi menjadi alat pemegang (grasping organ). ¾ A2 dan P1-P4 biramous (bercabang dua). ¾ P5 sering termodifikasi, pada betina P5 mereduksi atau sama sekali absen, sedangkan pada jantan P5 termodifikasi menjadi alat pemegang pada saat kopulasi.
Analisis Data Kelimpahan Jenis Data kelimpahan jenis kopepoda dalam individu/m3 diperoleh dengan cara membagi seluruh jumlah individu yang diperoleh dengan volume air tersaring (m3) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : n N= V Dimana N = kelimpahan kopepoda n = jumlah individu kopepoda V = volume air tersaring
Dominansi Jenis Dominansi jenis kopepoda dihitung menggunakan indeks dominansi Simpson (Magurran, 1988) dengan persamaan: D = ∑ (ni(ni-1)/N(N-1)) Dengan D = indeks dominansi Ni = jumlah individu spesies ke-i
16
N = jumlah total individu yang terkumpul
Keanekaragaman Jenis Penghitungan keanekaragaman jenis dilakukan berdasarkan rumus Shannon dan Weaver (1963) dalam Parsons et al. (1984) dengan persamaan : n H = Σ Pi ln Pi ; Pi = ni/N i=1 1
H1 = Indeks keanekaragaman ni = Jumlah kopepoda jenis ke-i N = Jumlah total kopepoda
Keseragaman Jenis Untuk melihat keseragaman populasi kopepoda pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu: E = H1 Hmaks E = Indeks Keseragaman H1 = Indeks Diversitas Hmaks = Ln S S = Jumlah spesies
; E =
H1 Ln S
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lingkungan Suhu Sebaran horisontal suhu secara keseluruhan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran horizontal suhu di perairan Berau. Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian berkisar antara 28,5 o – 31o C. Kisaran suhu yang tinggi terdapat pada stasiun-stasiun penelitian yang berada dekat muara, makin mendekati muara nilai suhu semakin tinggi dan semakin berkurang ke arah luar. Kisaran suhu yang tinggi dapat terjadi karena pengukuran suhu dilakukan pada siang hari di saat intensitas cahaya matahari paling tinggi, selain itu dangkalnya lokasi penelitian di sekitar muara mempermudah penyerapan sinar matahari secara merata. Hal lain yang turut mempengaruhi tingginya suhu di sekitar muara adalah kondisi kekeruhan pada lokasi tersebut. Kekeruhan yang tinggi menandai besarnya jumlah bahan organik maupun anorganik tersuspensi maupun terlarut yang erat kaitannya dalam proses dekomposisi. Proses dekomposisi yang tinggi akan meningkatkan suhu perairan.
18
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian masih merupakan kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda sesuai dengan pernyataan Riley (1967) bahwa zooplankton akan berkembang dengan baik pada kisaran suhu diatas 25o C.
Salinitas Sebaran horizontal salinitas pada periode air pasang (Gambar 6) menunjukkan bahwa pengaruh Selat Makassar dengan salinitas yang tinggi menyusup sampai ke perairan dekat mulut sungai. Salinitas yang tinggi ini diduga karena pada saat penelitian, perairan sedang mengalami pasang sehingga tidak ada pengaruh limpasan suplai air tawar dari muara sungai sekitarnya. Nilai salinitas yang relatif rendah yaitu < 25 psu tercatat pada muara sungai yang ditengah, makin membesar ke arah laut lepas, namun tidak melebihi 3 km sudah mencapai nilai maksimum yaitu 33-34 psu.
Gambar 6 Sebaran horizontal salinitas di perairan Berau. Zhong (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang mengontrol distribusi kopepoda di perairan adalah salinitas. Salinitas di perairan Berau yang berkisar antara 26–33 psu nampaknya memberi pengaruh pada distribusi
19
kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo Calanoida. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riley (1967) bahwa beberapa jenis Calanoida yang dominan di daerah estuari biasa hidup pada kisaran salinitas 18 – 30 psu.
Arus Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan berlaku untuk seluruh badan air, dari permukaan sampai dengan dasar laut. Pada periode air pasang di permukaan laut (Gambar 7) pola aliran berbalik 180 derajat dibandingkan dengan yang tercatat pada saat air surut. Pada perairan lepas dari muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada pesisir
barat
Selat
Makassar
pada
umumnya.
Gambar 7 Sebaran horizontal arah dan kecepatan arus saat pasang di Berau. Komposisi dan Kelimpahan Jenis Kopepoda Sebanyak 44 jenis kopepoda yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini terdiri atas 27 jenis Calanoida, 8 jenis Cyclopoida, 2 jenis Harpacticoida, 6 jenis Poecilostomatoida dan 1 jenis Siphonostomatoida (Tabel 2).
20
Tabel 2 Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat Ordo
Famili
Genus
Spesies
Calanoida
Calanidae Eucalanidae
Canthocalanus Subeucalanus
Centropagidae
Centropages
Temoridae
Temora
Acartiidae
Acartia
Pseudodiaptomidae Tortaniidae Paracalaniidae
Pseudodiaptomus Tortanus Acrocalanus Parvocalanus Paracalanus Bestiolina Labidocera
Pontellidae
Pontellopsis
Cyclopoida
Harpacticoida Poecilostomatoida
Siphonostomatoida
Candaciidae Phaennidae
Calanopia Candacia Phaenna
Oithonidae
Oithona
Sapphirinidae Oncaeidae
Copilia Sapphirina Oncaea
Tachidiidae Ectinosomatidae Lichomolgidae
Euterpina Microsetella Kelleria
Corycaeidae
Corycaeus
Caligidae
Caligus
1. pauver 2. subcrassus 3. crassus 4. brevifurcus 5. furcatus 6. dorsispinatus (nr) 7. orsini 8. discaudata 9. turbinata 10. pasifica 11. erythraea 12. bispinosa 13. incisus 14. forcipatus 15. gibber 16. crassirotris 17. aculeatus 18. similis 19. acuta 20. bengalensis 21. javaensis 22. minuta 23. macronyx 24. herdmani 25. australica 26. discaudata 27. spinifera
HABITAT P I O ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
E ● ● ● ● ● ● ● -
N ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● -
28. brevicornis 29. oculata 30. simplex 31. mirabilis 32. gastrica 33. conifera 34. media 35. sp. (ns) 36. acutifrons 37. rosea 38. australiensis 39. pectinata 40. asiaticus 41. catus 42. crassiusculus 43. lubbocki 44. sp.
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● -
● ● -
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● -
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● -
● ● ● ● ● ● ● ● ● -
Ket. P=Pasifik; I=India; O=Oseanik; E=Estuarine; N=Neritik; nr = new record; ns = new species
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada umumnya jenis kopepoda yang ditemukan merupakan jenis kopepoda estuaria dan neritik walaupun terdapat beberapa jenis kopepoda oseanik seperti Subeucalanus crassus, S. subcrassus, Centropages furcatus dan Phaenna spinifera. Hal itu terjadi karena wilayah penelitian ini merupakan perairan estuaria dimana terdapat muara tiga sungai
21
besar dan beberapa sungai kecil lainnya sehingga massa air yang ada merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Dari pola arus pada saat penelitian (Gambar 7) juga terlihat bahwa massa air saat pasang menyusup ke muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik ditemukan di perairan estuari ini. Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di dunia seperti tercantum dalam Tabel 2 terlihat bahwa jenis kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan Samudera India. Jenis kopepoda yang ditemukan pada umumnya merupakan jenis kosmopolitan seperti Acartia eryhraea. A. pacifica, Centropages furcatus, Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Beberapa jenis lainnya baru dilaporkan ditemukan di wilayah tertentu seperti Labidocera javaensis, new spesies dari perairan Tegal (Mulyadi 1997), Pontellopsis herdmani sebagai jenis endemik Samudera India yang juga ditemukan di perairan Jepang (Mulyadi 2002), Centropages brevifurcus dan Pseudodiaptomus incisus yang ada di Laut Jawa tetapi sebelumnya tercatat sebagai spesies endemik Laut Cina Selatan (Mulyadi 2004). Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim 1985). Dalam penelitian di perairan Berau juga ditemukan jenis Kelleria pectinata berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya hanya dilaporkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga tahun
1899-1900
(Lampiran 3). Spesimen Kelleria pectinata berjenis kelamin betina sudah dikoleksi dari perairan Tegal, Jawa Tengah (Mulyadi 2005). Satu jenis lainnya yaitu Oncaea sp. dan Kelleria sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new spesies. Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah koleksi data kopepoda yang ada di Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam distribusi geografi kopepoda.
22
Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase yang tidak mencapai 1 % (Gambar 8). Calanoida sebagai unsur dominan yang ditemukan di perairan ini merupakan jenis kopepoda neritik dimana jenis kopepoda ini umumnya berukuran relatif lebih kecil dan biasa hidup pada perairan yang masih mendapat pengaruh daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa (Arinardi, dkk. 1997). Salah satu penyebab tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida lebih banyak dibanding ordo lainnya yaitu 27 jenis. Hal lain yang turut mempengaruhi tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas perairan yang mendukung pertumbuhan sebagian besar jenis kopepoda dari ordo Calanoida. Komposisi jenis Kopepoda di Perairan Berau
Harpacticoida 0% Siphonostomatoida 0% Poecilostomatoida 16% Cyclopoida 1%
Calanoida 83%
Gambar 8 Komposisi kopepoda di perairan Berau. Jenis-jenis Calanoida yang ditemukan melimpah di perairan Berau antara lain Acartia erythraea yang biasa melimpah pada perairan dengan salinitas lebih dari 20 psu, Pseudodiaptomus incisus yang dominan pada salinitas lebih dari 15 psu dan Temora turbinata yang dapat berkembang dengan baik pada kisaran salinitas 4-25 psu (Wellershaus & Gargari 1991; Mulyadi & Ishimaru 1994). Sebagaimana pula pernyataan Barnes (1974) dan Kimmerer & Mc Kinnon (1985)
23
bahwa Acartia dan Pseudodiaptomus merupakan kopepoda karakteristik di perairan estuaria dan seringkali melimpah di sekitar perairan pantai dan dapat mendominasi biomassa zooplankton. Berdasarkan perhitungan kelimpahan jenis kopepoda pada masing-masing stasiun penelitian ditemukan bahwa kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun 1 (812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3 (Gambar 9). Kisaran kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda semakin menurun ke arah luar (lepas pantai). Hal ini diduga karena daerah muara dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan hidupnya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Delsman (1939) bahwa kopepoda memiliki coastal characteristic. Kelimpahan Jenis Kopepoda di Perairan Berau 900
Kelimpahan (ind/m 3)
800 700 Siphonostomatoida
600
Harpacticoida
500
Poecilostomatoida
400
Cyclopoida
300
Calanoida
200 100 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
stasiun penelitian
Gambar 9 Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau. Kelimpahan total kopepoda di perairan Berau pada penelitian ini yang berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23-201 ind/m3 (Haryono 1998). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan Berau masih sangat mendukung kehidupan berbagai jenis kopepoda. Pada Gambar 9 terlihat bahwa ordo Calanoida memiliki kelimpahan tertinggi pada masing-masing stasiun penelitian, diikuti oleh Harpacticoida, sedangkan ordo lainnya hanya memiliki
24
kelimpahan relatif rendah. Secara umum ordo Calanoida tetap mendominasi setiap stasiun penelitian dengan jumlah kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan ordo lainnya. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya jumlah spesies dari beberapa jenis calanoida seperti Acartia pacifica, Acartia erythraea, Pseudodiaptomus incisus, dan Acrocalanus gibber (Lampiran 2). Tingginya kelimpahan dari Acartia erythraea karena jenis ini termasuk dalam kelompok euryhaline marine yang umumnya melimpah pada perairan dengan salinitas 20 psu ke atas sedangkan Acartia pacifica termasuk dalam kelompok estuarine marine yang mempunyai toleransi yang lebih luas terhadap salinitas (Mulyadi 2004). Secara keseluruhan kehadiran jenis tertinggi di perairan Berau pada saat penelitian adalah Acartia erythraea dan Corycaeus asiaticus yang dapat ditemukan pada semua stasiun penelitian, diikuti oleh Acartia pacifica dan Acrocalanus gibber (9 stasiun), Pseudodiaptomus incisus dan Subeucalanus subcrassus (8 stasiun), Temora turbinata dan Tortanus forcipatus (7 stasiun), Centropages dorsispinatus, Labidocera javaensis dan Kelleria australica
(6
stasiun) sedangkan jenis-jenis lainnya hanya terdapat kurang dari 5 stasiun penelitian.
Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman Jenis Kopepoda Nilai yang diperoleh dalam penghitungan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan dominansi jenis dapat digunakan untuk menunjukkan stuktur komunitas kopepoda pada suatu perairan dan umumnya untuk menilai kestabilan komunitas terutama hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi kopepoda di perairan Berau didasarkan atas perhitungan indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi berdasarkan tingkatan jenis (Tabel 3). Tabel 3 Nilai dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis kopepoda Indeks
Stasiun 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dominansi
0.47
0.37
0.53
0.41
0.36
0.35
0.27
0.18
0.32
0.17
Keanekaragaman
1.35
1.24
1.09
1.44
1.31
1.35
1.46
1.74
1.45
1.81
Keseragaman
0.50
0.45
0.40
0.48
0.48
0.49
0.53
0.68
0.56
0.64
25
Nilai indeks dominansi menunjukkan ada tidaknya suatu jenis atau kelompok organisme tertentu yang mendominasi (Odum 1994). Berdasarkan nilai indeks dominansi secara keseluruhan, kopepoda di perairan Berau memiliki nilai yang rendah yaitu berkisar antara 0,17-0,53 (Tabel 3). Rendahnya nilai dominansi yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa di perairan Berau tidak ada satu jenis tertentu yang mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa jenis. Hal itu dapat dilihat pada perhitungan nilai kelimpahan kopepoda di setiap stasiun
dimana
jenis-jenis
tertentu
seperti
Acartia,
Acrocalanus
dan
Pseudodiaptomus memiliki kelimpahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kopepoda lainnya. Brower et. al. (1990) menyatakan bahwa suatu koleksi spesies dengan dominansi yang rendah akan memiliki diversitas yang tinggi. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman kopepoda di perairan Berau berkisar antara 1,09–1,74 (Tabel 3). Nilai indeks keanekaragaman dapat menunjukkan kekayaan jenis suatu organisme. Nilai indeks keanekaragaman yang tinggi biasanya dipakai sebagai petunjuk lingkungan yang stabil sedangkan nilai yang rendah menunjukkan kecenderungan lingkungan yang selalu berubah-ubah (Nybakken 1992). Magurran (1983) menyatakan bila indeks keseragaman mendekati 1, maka semua spesies kopepoda melimpah secara merata atau hampir sama di semua lapisan permukaan perairan. Nilai indeks keseragaman kopepoda di perairan Berau berkisar antara 0,40-0,68. Nilai ini dapat diartikan bahwa spesies kopepoda tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan Berau.
Deskripsi Jenis Kopepoda Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 44 jenis kopepoda yang terdiri dari 19 famili dan 25 genus. Beberapa jenis kopepoda lainnya masih dalam bentuk anakan sehingga secara morfologi belum dapat diidentifikasi sampai pada tingkat jenisnya. Berdasarkan sistematika Huys & Boxshall (1991), kopepoda yang ditemukan di perairan Berau, Kalimantan Timur pada bulan September 2005, termasuk dalam :
26
Phylum Arthropoda Siebold & Stannius, 1848 Class Crustacea Pennant, 1777 Subclass Copepoda Milne-Edwards, 1840 Infraclass Neocopepoda Huys & Boxshall, 1991 Superordo Gymnoplea Giesbrecht, 1882 ORDO CALANOIDA Sars, 1903 Famili ACARTIIDAE Sars, 1903 Ukuran tubuh kecil sekitar 1-2 mm, silindris dan memanjang. Kepala dan Ms1, serta Ms4 dan Ms5 menyatu. Sudut posterior Ms5 membulat atau meruncing. Urosome relatif pendek, tiga ruas pada betina dan lima ruas pada jantan. Ur1 dan beberapa ruas urosome lainnya kadang kala dilengkapi dengan duri atau gerigi. A1, 17 ruas pada betina, sedangkan sisi kanan “prehensile” (seperti alat pemegang) pada yang jantan. A2 sangat pendek, Re dan Ri tidak sempurna (rudimenter). P1- P4 terdiri atas 3 ruas Re dan 2 ruas Ri, ujung Re dilengkapi dengan duri terminal yang bergerigi. P5 pada betina rudimenter, uniramous, terdiri dari 2-3 ruas, pada yang jantan kedua belah kaki uniramous pada umumnya terdiri dari empat ruas.
Genus Acartia Dana, 1846 Kepala terpisah dari Ms1, kait lateral (cephalic hooks) absen; Ms4 dan Ms5 menyatu. Urosome pada betina 3 ruas, jantan 5 ruas. A2, Ri lebih panjang daripada Re; Ri1 menyatu dengan B2. P1- P4 terdiri dari 3 ruas Re dan 2 ruas Ri. P5, sudut luar Re1 dan Re2 mempunyai 1 duri, sedangkan sudut luar Re3 mempunyai 3 duri. P5 pada betina uniramous, terdiri dari 3 ruas, ruas terakhir berbentuk duri panjang dan silindris; P5 pada jantan uniramous, asimetris, termodifikasi menjadi alat pemegang (prehensile), 4 ruas pada kaki kanan dan 3 ruas pada kaki kiri.
27
Acartia (Odontocartia) erythraea Giesbrecht, 1889 Acartia erythraea Giesbrecht, 1889; 26; 1892: figs. 5, 19, 32, pl. 43, figs. 12-13
Betina : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri yang kokoh, pada bagian posteromedial dilengkapi dengan sepasang duri kecil. Ur1, oval, dua kali lebih panjang dari Ur2, ujung lateral dilengkapi dua duri panjang; Ur2 dengan 2-3 duri kecil; panjang CR hampir sama dengan lebarnya, permukaan dorsal dilengkapi dengan sebaris setula. A1, ruas pertama dilengkapi dengan 2 duri kokoh dan 1 duri kecil pada pangkalnya, ruas ke-2, ke-3 dan ke-4 berturut-turut dilengkapi dengan 1, 3 dan 2 duri kecil. Ruas terakhir dari P5 (Re) ± 2/3 kali panjang seta pada ruas kedua. Jantan : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri lebih ramping daripada betina, pada bagian posteromedial terdapat sepasang duri kecil. Ur1 sangat pendek, dengan bulu-bulu pendek pada sisi lateral dan posterior. Ur2 memiliki berkas bulu pada sisi lateral dan sepasang duri pada ventrolateralnya. Permukaan posterodorsal Ur3 dan Ur4 dilengkapi dengan 4 dan 2 duri kecil (spinules). CR dilengkapi dengan sebaris bulu-bulu kaku yang melintang pada batas tepi dalam. P5, sisi dalam dari ruas ke-2 kaki kanan membentuk protrusion, ruas ke-3 memiliki 1 duri panjang pada sisi dalam proximal. Ruas terakhir kaki kiri dilengkapi dengan 1 duri luar, 1 duri dalam, dan 2 duri terminal (ujung), dimana duri sebelah dalam besar dan kokoh. Catatan : Tersebar luas didaerah tropik Indo-Pasifik, banyak dilaporkan dari Samudra India yang meliputi pantai Birma, Kepulauan Maldive dan Laccadive, Teluk Persia, Laut Arab, dan Afrika Timur, Laut Cina Timur, dan Laut Merah. Di Indonesia jenis ini sering ditemukan di sepanjang pesisir Pulau Jawa dan terkadang dalam jumlah yang sangat melimpah terutama di Pantai Cilacap. Pada penelitian ini dapat ditemukan di semua stasiun penelitian dan dalam jumlah yang sangat melimpah di St 7 Acartia (Odontocartia) bispinosa Carl, 1907 Acartia bispinosa, Carl, 1907: 13, pl.1, figs. 1-2 Acartia tokiokai, Mori, 1942: 556, pl. 11, figs. 1-18 Acartia hamata, Wilson, 1950: 152, pl. 2, figs. 1-5
28
Betina : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri yang kokoh, pada bagian posteromedial dilengkapi dengan duri kecil dan satu setula. Urosome, CR dilengkapi dengan sebaris bulu-bulu kaku melintang pada permukaan dorsal. A1, ruas pertama dengan 2 duri kokoh dan 1 duri kecil pada pangkalnya, ruas ke2 dengan 1 cakar; panjang ruas terakhir dari P5 2.4 kali lebarnya, duri ujung kecil dengan lapisan bergerigi. Jantan : Ujung posterolateral Ms5 dilengkapi dengan 2 duri. Urosome, Ur1 dengan bulu-bulu pendek pada sisi lateral posterior; Ur2 memiliki berkas bulu pada sisi lateral dan sepasang duri kecil pada bagian ventrolateral; CR dilengkapi dengan sebaris bulu-bulu kaku pada sisi dalam seta terluar. Catatan : Teluk Ambon, Indonesia, Gulf of Persian, Srilanka, Seychells, Kepulauan Gilbert dan Fiji, perairan Australia, Palao, Teluk Kabira, Jepang. Pada penelitian ini ditemukan di St 4 dan melimpah di St 6 Acartia (Odontocartia) pacifica Steur, 1915 Acartia pacifica Steur, 1915; 205 Acartia pacifica mertoni Steur, 1917; 255, figs. 9-12: 1923: 29, figs. 134-141 Acartia (odontocartia) pacifica, Tanaka, 1964: 391, fig. 241-f
Betina :
Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri panjang yang kokoh
mencapai pertengahan Ur1, dengan sepasang duri kecil pada permukaan dorsal. Urosome, permukaan dorsal Ur1 dan Ur2 masing-masing dengan 2 duri. Duri-duri pada Ur2 lebih besar daripada Ur1. Ur1 memiliki berkas bulu pada bagian ventral dekat organ genital, CR panjang. A1 mencapai ujung distal Ur2 jika dilipat ke belakang, ruas ke-1 dan ke-2 tidak mempunyai duri. Jantan : Prosome mirip seperti betinanya. Ur2 panjang dan besar dengan 2 duri di bagian ventral. Ur3 dan Ur4 masing-masing mempunyai sepasang duri, Ur4 lebih pendek. CR lebih pendek dibandingkan betina. Catatan : Merupakan jenis yang banyak ditemukan di daerah tropik Indo-Pasifik. Dari Samudra Pasifik ditemukan di bagian utara Laut Jepang, di perairan sekitar Great Barrier Reef, Samudera India, Kawasan Timur Indonesia dan Laut Jawa. Pada penelitian ini ditemukan berasosiasi dengan Acartia erythraea di semua stasiun penelitian dalam jumlah yang sangat melimpah.
29
Famili CENTROPAGIDAE Giesbrecht, 1892 Kepala umumnya terpisah dengan Ms1, Ms4 dan Ms5. Urosome terdiri dari 3-4 ruas pada betina dan 5 ruas pada jantan. A1 terdiri dari 23-25 ruas, simetris pada yang betina, ruas 18-19 kanan A1 pada jantan geniculate dengan artikulasi seperti lutut.
P3-P4, R1 terdiri dari 3 ruas; P5 pada yang jantan
termodifikasi menjadi alat pemegang (grasping organ). Genus Centropages Kroyer, 1849 Seperti pada famili, dengan tambahan beberapa karakter; kepala tanpa kait lateral. Urosome terdiri dari 3 ruas, Ur1 seringkali asimetris. A1 24 ruas, dua ruas terakhir menyatu. A2, Re lebih panjang daripada Ri. P1-P4 terdiri dari 3 ruas Re dan Ri, bagian tonjolan berbentuk seperti duri pada sisi dalam. Pada jantan, urosome terdiri dari 5 ruas, sisi kanan A1 geniculate, ruas 13-18 menggembung. Centropages brevifurcus Shen & Lee, 1963 Centropages brevifurcus Shen & Lee, 1963 : 593, figs. 11-14
Betina : Rostrum biramous. Kepala dan Ms1 terpisah serta Ms4 dan Ms5 terpisah, ujung posterolateral asimetris melengkung pada sisi kiri; sisi kanan tajam dan melengkung, masing-masing memiliki duri pendek. Ujung posterolateral Ms5 trifurcate. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : C. brevifurcus di koleksi oleh Shen & Lee dari perairan estuaria Chiekong, China Selatan. Sejauh ini baru ditemukan di China dan Laut Jawa (Mulyadi, 2004) Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 6. Centropages furcatus Dana, 1849 Catopia furcata Dana, 1849 : 25; 1852 : 1173; 1855, pl. 79, fig.1. Centropages furcatus, Brady, 1883, pl.28, fig. 1-11; Giesbrecth, 1892 : 304, 316, 320, 322, pl. 17, fig.33,34,50, pl. 38, fig.13, 17, pl. 38, fig.5, 15, 20.
Jantan : Sudut posterior Ms5 membentuk duri yang kokoh, dengan aksesori duri kecil di bagian dalam, agak simetris, sebelah kiri lebih menonjol keluar daripada
30
yang kanan. Urosome terdiri dari lima ruas, Ur5 berkembang baik hampir sama panjang dengan Ur3. CR tiga kali panjang Ur5. Kanan A1 prehensille, permukaan atas ruas 15-16 dilengkapi gerigi yang sangat kecil. P4, Re2 mempunyai duri luar yang panjang. P5 asimetris, kaki kanan, Re2 dilengkapi dengan spinal process (thumb) yang panjangnya sama dengan cakar terminal, pangkal Re3 dilengkapi dengan dua gigi. Kaki kiri, Re2 dengan spinal process diujungnya dan dua duri distolateral. Betina : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : C. furcatus mempunyai distribusi yang sangat luas, dilaporkan dari perairan tropis kawasan Samudra Atlantik, Pasifik dan India. Pada penelitian ini ditemukan di St 2, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10 Centropages orsini Giesbrecht, 1889 Centropages orsini, Giesbrecht, 1892: 305, t. 17, fig, 35-36, 41-42; t. 18, fig. 2, 14, 23
Betina : Sudut posterior Ms5 meruncing. Ur1 dilengkapi dengan duri ventral: panjang CR dua kali lebarnya dengan 5 seta panjang dan 1 seta kecil, A1 terdiri dari 24 ruas, panjangnya mencapai CR jika dilipat kebelakang. P1- P4 terdiri dari 2 ruas basal, 3 ruas Re dan 2 ruas Ri. P5, agak simetris, duri dalam Re2 pendek dan kuat yang dilengkapi dengan duri-duri kecil, namun tidak mencapai ujung Re3. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Perairan hangat Indo-Pasifik; Teluk Aden dan Laut Merah, bagian utara Samudera India dan Pasifik . Pada penelitian ini ditemukan di St 8 dan 13 Centropages dorsispinatus Thompson & A. Scott, 1903 Betina : Kepala oval. Kepala dan thoraks, Th4 dan Th5 terpisah. Rostrum pendek. Bagian posterior dorsal kepala mempunyai tonjolan duri ke belakang. Di sekeliling duri tersebut berwarna ungu. Ujung Th5, asimetris dan tajam. Ur3 relatif panjang. CR ramping membentuk kurva ke arah luar. P5 simetris. Jantan : Kepala sama dengan betina tetapi ujung Th5 lebih pendek. A1, ruas 18 dan 19 prehensile. P5 asimetris. P5 kiri, Re1 pendek, Re2 panjang dan sempit dengan 2 duri luar. P5 kanan, Re dengan 1 gigi kecil pada pertengahan sisi dalam.
31
Keterdapatan : St 1,2,3,5,6 dan 9 Catatan
: Ditemukan di perairan Korea, China dan Malaysia. Jenis ini
merupakan jenis yang baru ditemukan di perairan Indonesia. Famili PARACALANIDAE Giesbrecht, 1892 Kepala dan Ms1 menyatu, Ms4 dan Ms5 terpisah atau tidak menyatu sempurna, ujung posterior Ms5 membulat. Urosome terdiri dari 4 ruas pada betina dan 5 ruas pada yang jantan, lubang kelamin betina terletak di sebelah kiri, ruas anal panjang. A1 terdiri dari 23-25 ruas pada betina, 16-19 ruas pada yang jantan. A2 memiliki Ri lebih panjang daripada Re. P1-P4 terdiri dari 3 ruas Re, Ri pada P1 terdiri dari 1-2 ruas, B2 bagian dalam memiliki seta dalam (absen pada Parvocalanus), Ri pada P2-P4 terdiri dari 3 ruas. Ri dan Re pada P1-P4 sering kali bergerigi pada tepi luar dan permukaan posterior. P5 sangat kecil, uniramous, dengan 2 ruas pendek; simetris atau asimetris pada yang betina, selalu simetris pada yang jantan, kaki kiri jauh lebih panjang daripada kaki kanan, terdiri dari 5 ruas, kaki kanan absen atau paling banyak terdiri dari 4 ruas. Genus Acrocalanus Giesbrecht, 1892 A1 terdiri dari 23-25 ruas pada betina dan 19 ruas pada jantan, ruas ke-8 dan ke-9 menyatu. Re3 pada P2-P4 dilengkapi dengan 2 duri eksternal, Ri2 dengan 2 seta, Ri3 dengan 7 seta. P5 pada betina absen; uniramous pada jantan, kaki kanan absen, kaki kiri terdiri dari 5 ruas. Acrocalanus gibber Giesbrecht, 1888 Acrocalanus gibber, Giesbrecht, 1892; 171, t. 6, fig. 32, t. 10, fig. 37
Jantan : Ujung kepala membulat pada tampak dorsal. Urosome lima ruas, Ur2 paling panjang. CR pendek dan kecil. A1 melampaui ujung CR sedikitnya tiga ruas jika dilipat kebelakang. P5 asimetris, berkas kaki kanan vestigial atau absen, kaki kiri terdiri dari 5 ruas. Betina : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Samudera Pasifik, Samudera India, dan perairan Jepang.
32
Pada penelitian ini ditemukan hampir di semua stasiun penelitian kecuali St 6 Genus Paracalanus Boeck, 1864 Ms4 dan Ms5 pada betina menyatu. P1-P4, P1 memiliki 2 ruas Ri dan 3 ruas Re. P2-P4, Re3 dengan duri luar; Ri2 mempunyai 2 seta, Ri3 dengan 7 seta. P5 uniramous, simetris, terdiri dari 2-3 ruas pada betina; sedangkan pada yang jantan, P5 asimetris, kaki kiri 5 ruas, kanan 2-3 ruas. Paracalanus aculeatus Giesbrecht, 1888 Paracalanus aculeatus Giesbrecht, 1892: 154, t. 9. Fig. 20, 26, 30
Betina : Prosome 3,5 kali panjang dari urosome. Kepala membulat di bagian depan, ujung posteral Ms5 membulat. Panjang Ur1 sama dengan lebarnya. Panjang ruas anal dua kali lebarnya. A1 lebih panjang dari tubuh, P2-P4, B1 tanpa duri permukaan, permukaan Ri2 dengan tonjolan bergerigi, duri permukaan belakang pada Ri2 lebih menonjol dibanding pada P. Parvus. P5, duri ujung dalam 2-3 kali lebih panjang dari ujung luar Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : P. aculeatus nampaknya terdistribusi terutama di perairan tropis, yaitu Kawasan Atlantik, Pasifik, daan Samudera India. Jenis ini juga dilaporkan terdapat di Jepang, namun hanya pada wilayah yang terpengaruh dengan aliran arus yang hangat di dekat Formosa, dan juga ditemukan di Selat Korea. Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 8. Genus Parvocalanus Andronov, 1972 Dipisahkan dari Paracalanus berdasarkan terdapatnya rostrum yang pendek dan kokoh pada jantan maupun betina, dan absennya tonjolan (keel-shape) pada kepala jantan. Parvocalanus crassirostris Dahl, 1894 Paracalanus crassirostris, Giesbrecht & Schmeil, 1898 : 24 Paracalanus crassirostris, forma typica, Frucht, 1924 : 36 Parvocalanus crassirostris, Andronov, 1970
Betina : Panjang prosome 3,2 kali panjang urosome, ujung kepala agak menonjol keluar (meruncing), rostral filamen tebal dan tumpul. Urosome terdiri dari 4 ruas,
33
Ur1 lebih lebar daripada panjangnya, panjang CR 2,4 kali lebarnya. A1 hampir sama dengan panjang tubuh, ruas ke-1 dan ke-2 menyatu. P1 terdiri dari 3 ruas Re dan 2 ruas Ri, seta dalam B1 absen, posterolateral Re1 dilengkapi dengan duri luar, Re2 telanjang, Re4 dan RE3 secara berturut memiliki 10 dan 9 duri dibagian sebelah luar, bagian ujung tidak terdapat duri. P5 dengan 2 duri pendek, duri sebelah dalam dua kali panjangya dengan sebelah luar, basal dilengkapi dengan duri. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan :
Teluk Guinea, Kep.Aru, Srilangka, Pantai Selatan Birma, Danau
Chilka, Kep. Nicobar, Andaman, Terusan Suez, dan juga pada kolam payau pantai selatan Marthas-Massachusetts. Pada penelitian ini ditemukan dalam jumlah yang cukup melimpah di St 2, 3, dan 4, tetapi di St 6 hanya sedikit. Famili PONTELLIDAE Dana, 1853 Merupakan kopepoda berukuran agak besar (2,0-6,0 mm), terdiri dari 9 genus, tersebar di daerah subtropis dan tropis. Sebanyak 42 jenis, termasuk 7 jenis baru dan 15 new record telah diidentifikasi oleh Mulyadi (1996-1997). Pada penelitian ini hanya ditemukan 7 jenis dari genus Calanopia, Labidocera, dan Pontellopsis. Prosome memanjang, Urosome pendek. Ujung kepala triangular, seringkali dilengkapi oleh duri frontal yang pendek. Kepala terpisah dari metasome, dilengkapi dengan kait lateral. Sudut posterior Ms5 meruncing (terproduksi) tajam, pada jantan sering membentuk 2-3 cabang duri. Mata ada atau absen dengan 2 pasang lensa. Urosome pada betina terdiri dari 1-3 ruas dan pada jantan 4-5 ruas. Sisi kanan A1, jantan prehensille. P5, pada betina memiliki 1-2 ruas basipodit, Re terdiri dari 1-2 ruas, dan Ri hanya 1ruas atau absen; P5 jantan 3-4 ruas, dan terkadang Ri rudimenter. Genus Calanopia Dana, 1853 Prosome panjang dan oval, ujung kepala membulat atau triangular. Kait lateral pada kepala ada atau absen. Ms4 dan Ms5 menyatu, ujung posterior Ms5
34
meruncing. Urosome terdiri dari 2 ruas pada betina, dan 5 ruas pada jantan. A1 terdiri dari 18-19 ruas pada betina, dan 14-15 ruas pada jantan. P5 pada betina uniramous terdiri dari 3-4 ruas; kaki kanan jantan prehensille. Calanopia australica Bayly & Greenwood, 1966 Calanopia australia Bayly & Greenwoood, 1966: 99-105, tex-fig. 1a-f, 2a-f
Betina : Ujung kepala menyempit, dilengkapi dengan kait lateral, Ms4 dan Ms5 menyatu, ujung posterior simetris dan mencapai pertengahan Ur1. Urosome simetris, Ur1 1,7 kali panjang ruas anal. CR asimetris, ramus kiri lebih panjang dari yang kanan, seta ke-5 pada CR bercabang pada 1/3 panjang pangkal. A1 terdiri dari 20 ruas yang mencapai ujung Ms3 bila dilipat ke belakang. P5 simetris, terdiri dari empat ruas (2 basal, dua eksopod), B2 dilengkapi dengan seta pada permukaan belakang. Re1 lebih panjang daripada B2, terdapat 2 tonjolan duri pada ujungnya, panjang Re2 kurang dari ½ panjang Re (termasuk tonjolan), ujung lurus, bergerigi, terdapat 2 duri kecil di bagian luar, bergerigi halus didekat ujung. Jantan : Kepala seperti pada betina. Panjang Ur1 sama dengan lebarnya, ruas anal (Ur5) pendek. CR simetris, melebar kearah belakang, panjang 2,6 kali lebarnya, lebih panjang dari Ur4 dan Ur5. P5, kaki kanan 4 ruas B2 lebih panjang dari B1, seta panjang disebelah ujung dalam; Re1 melebar, duri kecil pada tepi luarnya, pada ujungnya terdapat duri yang membesar dan berlekuk-lekuk, juga terdapat duri ditepi sebelah dalam dengan garis lekukan mengarah keluar dari sambungan. R2 melengkung tajam ke arah luar didekat R1, terdapat sekumpulan duri, bagian pangkal seta dilengkapi 2 duri kecil yang tidak sama ukurannya. P5, kaki kiri terdiri dari 1 ruas dan lebih ramping dari kaki kanan. B1 pendek, B2 memiliki 1 buah seta dibagian belakang, Re1 dengan 1 duri tepi pada ujungnya, Re2 dengan deretan bulu sepanjang pertengahan pertama pada tepi sebelah dalam, dan empat duri yang berbeda ukurannya, satu duri dipertengahan tepi luar dan tiga lainnya diujung. Duri luar melengkung kedalam, bersilangan, dua didepan basal dan hampir menyudut ke kanan, bergerigi pada bagian tepi, duri ke-2 dan ke-3 sejajar mengarah keujung, duri ke-2 lebih lebar daripada duri ke-3, bagian luar duri agak halus, duri ke-2 bergerigi pada kedua tepinya.
35
Catatan : Pantai timur Australia, Teluk Carpentaria, Laut Andaman, Kep. Ogaswara, Kawasan pantai Laut Jawa dan Mangrove Cilacap. Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 10 Genus Labidocera Lubbock, 1853 Prosome silindris, bagian depan triangular atau membulat, kait lateral ada atau absen. Mata tidak dilengkapi dengan lensa kutikular. Urosome pada betina terdiri dari
2-3 ruas, biasanya asimetris; pada jantan terdiri dari 4-5 ruas. A1
pada betina terdiri dari 23 ruas, asimetris; pada sisi kanan yang jantan geniculate, terdiri dari 18 ruas. A2, basal dan Ri1 menyatu. Mandibel dengan 3-6 dentikel. P1, Ri1 terdiri dari 2 ruas. P5 pada betina biramous, asimetris, terdiri dari 1 ruas Re dan Ri; pada jantan uniramous, terdiri dari 4 ruas, kaki kanan prehensille. Labidocera acuta Dana, 1849 Pontella acuta Dana, 1849: 30; Brady, 1883: 89, pl.36, figs. 1-12 Labidocera acutum T. Scott, 1893: 85, pls. 23, 25, 41 Labidocera acuta Giesbrecht & Schmeil, 1898: 134
Betina : Kepala tanpa kait lateral, lensa mata besar. Rostrum agak dalam, rami posterior divergen. Ms4 dan Ms5, ujung posterolateral simetris, mencapai pertengahan Ur1. Urosome terdiri dari 3 somit, asimetris; panjang Ur2 sama dengan lebarnya; anal somit pendek. CR simetris, 1,7 kali panjang lebar, dengan 5 seta plumose besar. P5 asimetris, kaki kanan lebih panjang daripada kiri, Re dengan 3 luar, 1 dalam dan 3 duri ujung yang tengah lebih panjang dari yang lain; ujung Ri bifurcatus. Jantan : Kepala mirip dengan betina kecuali lensa mata dorsal yang lebih besar dan berhubungan satu sama lain; Ms4 dan Ms5 menyatu, ujung posterolateral asimetris, sisi kiri bermodifikasi membentuk lobe tajam, sisi kanan melengkung distolateral dan mencapai ujung Ur2. Urosome terdiri dari 5 ruas, Ur1 agak lebar, asimetris. CR panjang asimetris. Catatan : Perairan tropik dan subtropics di Indo-Pasifik, perairan Australia, Great Barrier Reef, kawasan Indo-Malaysia. Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 10
36
Labidocera bengalensis Krishnaswamy, 1952 Labidocera bengalensis Krishnaswamy, 1952: 321-323, fig. 1 a-I
Betina : Kepala agak membulat dengan kait lateral; Ms4 dan Ms5, ujung posterolateral simetris, mencapai pertengahan Ur1. Urosome terdiri dari 3 somit; Ur1 asimetris, panjang, melebihi panjang Ur2, Ur3 dan CR menyatu; Ur2 ramping; Ur3 sangat pendek; CR asimetris, ramus kiri panjang dan lebar dengan 5 plumose dan 1 seta kecil, seta ke-2 dari sisi dalam lebih panjang. P5 asimetris, Re panjang, 4 kali Ri, dengan 2 duri luar dan 2 duri ujung yang tidak sama. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Pertama kali ditemukan di pantai Madras, juga terdapat di Laut Andaman, Gulf of Mannar, Teluk Palk, Gulf of Carpentaria, dan pantai Malaysia. Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 5 Labidocera javaensis Mulyadi, 1997 Labidocera javaensis Mulyadi, 1997: 656-662, figs. 1-3
Betina : Kepala membulat dengan kait lateral. Lensa mata kecil. Ms1 terpisah dari kepala; Ms4 dan Ms5 menyatu, ujung posterior asimetris, sisi kanan lebih panjang dari kiri dan mencapai pertengahan Ur1. Urosome terdiri dari 3 ruas, Ur1 1,2 kali panjang gabungan Ur2 dan Ur3. Ur2 asimetris, sisi kanan menggembung pada bagian anterior. Ur3 pendek, hanya 0,1 panjang Ur1. Secara artikulasi CR terpisah dari Ur3, 1,15 kali lebih panjang dan lebar dari Ur3, dengan 5 plumose dan 1 seta kecil. A1 23 ruas, mencapai ujung distal Ur1 jika dilipat ke belakang. P5 asimetris, terdiri dari 2 basal, 1 eksopod dan 1 ruas endopod. Jantan : Prosome sama dengan betina kecuali pada ujung posterior Ms5. Sisi kanan bifurcate, bagian luar mencapai pertengahan Ur2, bagian dalam mencapai distal ke-3 dari genital somit, banyak terdapat duri-duri diantara sisi luar dan sisi dalamnya, sudut kanan trifurcate. Urosome terdiri dari 5 ruas, Ur1 agak lebar, asimetris. Ur2 asimetris, sisi kanan lebih panjang dari kiri. Ur3 1,8 kali gabungan Ur4 dan Ur5.Ur5 lebih pendek dari Ur4. CR kira-kira dua kali lebih panjang dan lebar daripada gabungan Ur4 dan Ur5, asimetris, ramus kiri lebih panjang dari kanan. P5 uniramous, asimetris.
37
Catatan : Ditemukan di Laut Jawa dan Teluk Thailand; pada penelitian ini ditemukan di St 2,3, 5, 6, 9 dan 10
Labidocera minuta Giesbrecht, 1889 Labidocera minutum Giesbrecht, 1889: 27; 1892:446, 459, pls.16,35,36, pl. 41, figs. 8, 15, 35 Labidocera minuta Giesbrecht & Schmeil, 1898: 137
Betina : Kepala menyempit dengan kait lateral, lensa mata kecil. Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri pendek. Urosome terdiri dari 3 ruas, Ur1 panjang, sama panjang dengan gabungan Ur2 dan Ur3, sudut posterior kanan bermodifikasi membentuk 1 lobular pendek yang sebagian bertumpukan dengan Ur2, lainnya rudimenter pada anterior kanan Ur1; panjang Ur2 sama dengan lebarnya, dengan chitinous tubercles yang tersebar di sepanjang sisi kanannya; ruas anal asimetris, bagian kanan melengkung keluar; panjang CR sama dengan lebar. P5 asimetris. Jantan : Kepala seperti betina kecuali lensa mata besar dan berhubungan satu sama lain. Ujung posterolateral Ms5 asimetris, sebelah kiri bagian terakhir membentuk duri pendek, sebelah kanan membentuk blade-like sempit dan melengkung. A1 kanan geniculate dengan 1 duri pada ruas 17; sisi anterior ruas 18 dengan villiform denticulate ridge; gabungan ruas 19-21 dengan blunt denticulate plate, ruas 22 dengan spur-like process. Catatan : Terdapat di kawasan perairan tropik dan subtropik di Indo-Pasifik, perairan Australia dan perairan Indonesia; pada penelitian ini ditemukan di St 4, 5 dan 7 Genus Pontellopsis Brady, 1883 Dipisahkan dari genus Pontella dan Labidocera, dari absennya lensa pada dorsal dan rostrum, Rostral rami panjang dan silindris. Ujung kepala lebar, kait lateral absen, kepala dan Ms1 terpisah, ms4 dan Ms5 menyatu, sudut posterior Ms5 membulat. Urosome pada betina terdiri dari 1-2 ruas, pada jantan 5 ruas. A1
38
pada betina 16 ruas, sebelah kanan prehensile pada yang jantan. Mandibel dengan 7 dentikel. Struktur maxilla, maxillula dan P1-P5 mirip pada Pontella. Pontellopsis herdmani Thompson & Scott, 1903 Pontellopsis herdmani, Thompson & Scott, 1903 : pl.ii, fig.15-17 Betina : Tubuh gemuk. Anterior kepala bulat; Ms4 dan Ms5 menyatu dengan sudut posterior asimetris, sisi kanan sedikit lebih panjang daripada kiri, dan tidak mencapai 1/3 Ur1. Urosome terdiri dari 2 ruas, Ur1 asimetris sisi kanan terdapat duri kecil dan tonjolan transparan seperti duri. CR asimetris, ramus kanan lebih lebar dari yang kiri, dilengkapi dengan 5 buah bulu pendek dan kaku. A1 terdiri dari 16 ruas. P5 biramous, agak simetris, Re sebelah kanan lebih panjang dari yang kiri, dan melengkung tajam ke dalam. Kedua ujung Re bercabang 2, cabang bagian dalam lebih panjang dari cabang bagian luarnya, Re pada tepi luar terdapat 3 duri kecil; Ri kanan dan kiri sama panjang dan bercabang 2. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : hanya ditemukan di St 10 Pontellopsis macronyx A. Scott, 1909 Pontellopsis macronyx, A. Scott, 1909 : 173, pl.54, fig.1-10 Pontellopsis herdmani, (nec. Thompson & Scott, 1903)
Betina : Tubuh tegap. Anterior kepala bulat; Ms4 dan Ms5 menyatu, ujung posterolateral membentuk ‘acuminate lobes’ yang asimetris, mencapai ¾ Ur1. Urosome terdiri dari 2 ruas, Ur1 asimetris, sisi kanan lebih berkembang daripada kiri, lebih panjang dari Ur2. Ur2 asimetris, sisi kanan lebih panjang dari sisi kiri. CR hampir simetris, ramus kanan lebih panjang dan lebar dari kiri, masingmasing ramus dengan 5 plumose dan 1 seta kecil. P5 asimetris, kaki kanan, B2 dengan 1 plumose seta pada sisi dalam; Re dengan 2 duri luar dan 3 duri ujung. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : hanya ditemukan di St 7 dan 10
39
Famili PSEUDODIAPTOMIDAE Sars, 1902 Genus Pseudodiaptomus Herrick, 1884 Kepala dan Ms1 terpisah atau menyatu. Ms4 dan Ms5 menyatu dengan sudut posterior membulat atau membentuk duri tajam. Urosome pada betina terdiri dari 3-4 ruas, dan 5 ruas pada yang jantan. CR sempit dan panjang. A1 2022 ruas, sisi kanan prehensille untuk yang jantan. P5 pada jantan, kaki kanan terdiri dari 2-3 ruas Re dengan ujung berkait, P5 pada betina uniramous, terdiri dari 2 ruas basipodit, Re 2 ruas, Ri absen; kaki kiri Re memiliki 2-3 ruas, Ri ada atau absen. Pseudodiaptomus incisus Shen & Lee, 1963 Pseudodiaptomus incisus Shen & Lee, 1963 : 578-579, 594, fig.15-19
Betina : Kepala dan Ms1 menyatu, Ms4 dan Ms5 menyatu, sudut posterior pada Ms5 membentuk duri, pada bagian posteromedial terdapat 2 pasang bulu panjang. Pada bagian bawah Ur2 dekat lubang genital terdapat duri panjang, Ur2 dilengkapi sebaris duri pada tepi posterodorsal, dan 4 duri besar pada sisi sebelah kiri; Ur3 memiliki sebaris duri tak beraturan; Ur4 dengan sepasang bercak pigmen gelap. Panjang CR 7 kali lebarnya, Aesthetasc pada ujung A1 pendek. P5, dengan sudut distomedial B2 runcing, B2 pada bagian ujung meruncing, Ri memanjang. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Pertamakali dideskripsi dari perairan sebelah selatan Laut Kuning, juga ditemukan di Laut Jawa dan Pantai Cilacap (Mulyadi, 2004). Pada penelitian ini ditemukan hampir di semua stasiun kecuali St 8 dan 10. Famili EUCALANIDAE Giesbrecht, 1892 Genus Subeucalanus Geletin, 1976 Subeucalanus crassus Giesbrecht, 1888. E. crassus Giesbrecht, 1888 : 333 E. oculanus Marukawa, 1921: 7, 11, pl.4, figs. 1-14 Subeucalanus crassus, Geletin, 1976
Betina : Kepala bulat, Ur1 union-shape. Ur2 pendek, CR dan seta kedua asimetris. A2, 2 ruas pertama Re menyatu, Ri1 lebih pendek dari Ri2, kira-kira duakali lebarnya. Ri pada mandible mencapai ujung B2, Ri1 dengan 2 seta, Ri2
40
dengan 4 seta. Lubang ke-2 pada margin dalam maxilla absen, lubang ke-3 dengan 3 seta, lubang ke-4 dengan 4 seta; ruas 1 dan 2 dari Ri di maxilliped 3 seta. Jantan : Beberapa karakteristik mirip dengan betina kecuali A1 dan P5. Urosome simetris, 4 ruas. P5 kaki kanan absen, kaki kiri 4 ruas, ujung ruas terakhir panjang dan melengkung. Catatan : Pada penelitian ini ditemukan di St 1, 2, 3 dan 4 Subeucalanus subcrassus Giesbrecht, 1888. E. subcrassus Giesbrecht, 1888 : 132, pl. 11, figs. 6, 14,19, 30, 39, pl.35, figs. 12, 16, 3132333; Subeucalanus subcrassus, Geletin, 1976
Betina : Prosome 5,8 kali panjang urosome. Ujung kepala agak membulat, menyatu dengan Ms1; Ms4 dan Ms5 terpisah, ujung posterolateral membulat. Urosome terdiri dari 3 ruas, Ur1 memanjang lebih panjang dari gabungan Ur2, Ur3 dan CR, berbentuk seperti bawang, ruas anal dan CR menyatu. CR simetris, seta kedua pada ramus kiri memanjang. A1, 23 ruas, ruas 1 dan 2 serta 8 dan 9 menyatu, melampaui ujung CR sedikitnya 4-5 ruas jika dilipat ke belakang. A2, panjang Ri lebih pendek, 3 kali dibandingkan lebarnya. Maxillule, B2 dengan 4 seta di bagian dalam. Mandibel, B2 dengan 3 seta, Ri dengan 2 seta, Ri2 dengan 4 seta, mencapai bagian proximal Re. Jantan : Prosome 5,1 kali urosome. Urosome terdiri dari 4 ruas, ruas anal dan CR hampir seluruhnya menyatu, hanya dipisahkan oleh garis tipis, Ur2 sama panjang dengan CR, seta ke-2 pada kiri CR lebih panjang dan tebal seperti betina. A1 24 ruas, ruas 1 dan 2 terpisah, mencapai ujung CR sedikitnya 7 ruas jika dilipat ke belakang. P5, kaki kanan absen; kaki kiri uniramous 4 ruas, duri ujung pada Re2 lebih panjang daripada ruasnya sendiri. Catatan : Tropik, Indo-west Pasifik, neritik, epiplanktonik, Atlantik dan eastern Pasifik, Australia, Great Barrier Reef, Indo Malaysia. Pada penelitian ini ditemukan hampir di semua stasiun kecuali St 8 dan 10
41
Famili TORTANIDAE Sars, 1902 Genus Tortanus Baird, 1850 Tortanus forcipatus Giesbrecht, 1889 Corynura forcipata , Giesbrecht, 1889: 525, pl. 31, figs. 7,9,12,15,pl. 42, figs. 34,38 Tortanus forcipatus, Giesbrecht & Schmeil, 1898:158
Betina : Ujung posterolateral Ms5 simetris. Urosome terdiri dari 3 ruas, asimetris, ruas anal dan CR menyatu. CR asimetris, ramus kiri lebih ramping dan kecil dibanding kanannya. P5 sangat asimetris, uniramous ( 2 basal dan 1 eksopod). Kaki kanan lebih panjang dari kiri, Re dengan 2 duri luar; Re kaki kiri kecil, dengan 2 duri luar. Jantan : tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : terdapat di semua stasiun penelitian kecuali di St 9 Famili TEMORIDAE Giesbrecht, 1892 Genus Temora Baird, 1850 Temora turbinata Dana, 1894 Calanus turbinatus, Dana, 1894 : 12. Termora tubinata, Giesbrecht, 1892 : 329, pl. 17, fig. 14, 17, 18, 21; pl. 38, fig. 27
Jantan : Ms5 dengan sudut menyempit dan bulat. Urosome 5 ruas, Ur5 asimetris dengan sisi kanan lebih panjang. CR simetris, seta kedua tidak menggembung. P5, kaki kanan terdiri dari 2 basal dan dua ruas eksopod. B1 pendek dan B2 memiliki tonjolan seperti ibu jari yang agak melengkung, panjangnya mencapai ujung Re2; Re1 agak melengkung dan seperti kait, kaki kiri pendek, terdiri dari 2 basal dan 1 ruas eksopod, Re memiliki 1 seta luar yang membentuk duri dan pada ujungnya terdapat duri yang kokoh. Betina : tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Pada penelitian ini hanya terdapat di St 2, 4, 5, 7, dan 9
42
ORDO POECILOSTOMATOIDA Thorell, 1859 Famili CORYCAEIDAE Dana, 1851 Genus Corycaeus (Ditrichorycaeus) M. Dahl, 1912 Corycaeus (Ditrichorycaeus) asiaticus F. Dahl, 1894 Corycaeus asiaticus F. Dahl, 1894; Gurney, 1926 : 163, fig. 24a-c Corycaeus (Ditrichorycaeus) asiaticus M. Dahl, 1912 : 74,pl. 11, fig. 1-9.
Betina : Prosome 1,8 kali urosome. Urosome, perbandingan panjang ruas urosomal dan Cr 40:30:30. Panjang Ur1 1.3 kali lebarnya, tanpa kait ventral, sudut proximal ventral persegi panjang; panjang ruas anal 1,5 kali lebar; CR 7,5 kali lebar. A2, margin ujung B2 dengan 1 gigi kecil dan 1 gigi besar dekat ujung distal. P2, Re dengan duri ujung yang melengkung tanpa gerigi khas. P4, Ri dengan 2 seta. Jantan : Prosome 1,2 kali urosome. Ms3 membentuk wing-like process mencapai hampir pertengahan Ur1. Urosome, perbandingan panjang ruas urosomal dan CR 49:24:27, Ur1 1,3 kali lebar; ruas anal kira-kira dua kali lebar, panjang dan lebar sama; CR kira-kira enam kali lebar terbesar ramusnya. Catatan : Perairan Pantai Laut Jepang, perairan Indonesia. Pada penelitian ini ditemukan di semua stasiun penelitian Corycaeus (Corycaeus) crassiusculus Dana, 1848 Corycaeus crassiusculus Dana, 1849; Dahl, 1894:73; Mori, 1937 : 133, pl. 45, fig. 1-5. Corycaeusdanae Giesbrecht, 1891: 480; 1892: 660, pl. 51, figs. 59-60 Corycaeus (Corycaeus) crassiusculus Dahl, 1912 : 21,pl. 3, fig. 1-7. Corycaeusvenustus Dana, 1848: 38
Betina : Kepala dan Ms1 terpisah, ujung posterolateral Ms3 mencapai ¾ ujung distal Ur1. Prosome setidaknya 3 kali panjang urosome (diluar CR). Perbandingan panjang ruas urosomal dan CR 44:17:39, Ur1 1,8 kali lebar, ujung margin Ur1 melebihi ujung permukaan ruas anal; ruas anal agak melebar pada bagian proximal dibandingkan distal; CR 9 kali lebar. Jantan : Kepala menyatu dengan Ms1, ujung posterolateral Ms3 tidak mencapai pertengahan Ur1. Prosome 2,5 kali urosome (diluar CR). Perbandingan panjang urosomal somit dan CR 35:22:43; Ur1 1,6 kali lebar; anal somit 1,8 kali lebarnya; CR 10 kali lebarnya.
43
Catatan : Indo-Pasifik dan Laut Mediterran. Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 8 Corycaeus (Ditrichorycaeus) lubbocki Giesbrecht, 1891 Corycaeus lubbocki Giesbrecht, 1891:481; 1892: 660, pl. 51; A. Scott, 1902: 421. Corycaeus (Ditrichorycaeus) lubbocki Dahl, 1912
Betina : Perbandingan panjang prosome dan urosome 7,8:3,1 (diluar CR). Urosome, perbandingan panjang ruas urosomal dan CR39:14:47. Ur1 panjang; ruas anal pendek, tipis, silindris. CR lebih panjang dan ramping, divergen, 3 kali panjang ruas anal. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 4 Corycaeus (Onychocorycaeus) catus Dahl, 1894 Corycaeus catus Dahl, 1894:73 Corycaeus (Onychocorycaeus) catus Dahl, 1912 : 99, pl. 13, fig. 17-24 Corycaeus venustus Dana, 1848: 38
Betina : Tubuh kokoh. Ujung posterolateral Ms3 mencapai pertengahan Ur1. Prosome lebih dari dua kali panjang urosome (9:4:3,9 termasuk CR). Urosome, perbandingan panjang ruas urosomal dan CR 58:18:26, Ur1 lebih panjang daripada gabungan ruas anal dan CR; panjang ruas anal 1,3 kali lebar, lebih pendek dari CR; CR kira-kira 4 kali lebarnya dan divergen. A2 , ruas ke-2 dengan duri anterior. P4, dengan duri luar Re1 panjang, mencapai ujung Re2, duri luar Re3 kira-kira ¾ dari ruasnya. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Indo-Pasifik, Great Barrier Reef, Laut Arabia dan perairan Jepang. Pada penelitian ini hanya ada di St 8
44
Famili LICHOMOLGIDAE Kossmann, 1877 Genus Kelleria Gurney, 1927 Kelleria australiensis Bayly, 1971 Kelleria quennslandica, hallsone et.al., 1978:119
Betina : prosome 1.65 kali lebar maksimum, 1.5 kali urosome di luar caudal setae. CR 2.5 kali lebar maksimum. A1, 7 ruas, tidak mencapai ujung distal Ms1 jika dilipat ke belakang. A2, 4 ruas. Mandibel dengan 18 duri sepanjang sisi luar. Maxillula kecil, tidak beruas. Maxilla 2 ruas, ruas distal dengan 5 duri besar, 2 duri kecil dan 1 setae. P5, 1 ruas, panjang 2 kali lebar, 2 lobus pada margin dalam. Jantan : Secara umum sama seperti betina. A1 sama seperti betina tetapi dengan 3 aesthetasc tambahan, 2 pada ruas ke-2 dan 1 pada ruas ke-4. Urosome terdiri dari 6 somit, Ur2 lebih besar, panjang dibandingkan gabungan Ur3 dan Ur4. Catatan : Cilacap, Jawa Tengah. Pada penelitian ini ditemukan di St 1,2,3,4,6 dan St 7 Kelleria pectinata Scott, 1909 Pseudhantessius pectinatus A. Scott, 1909:268-269, pl.68, figs. 21-27
Betina : perbandingan panjang dan lebar prosome 1.6:1. Perbandingan panjang prosome dan urosome 4:3. Kepala membulat. Ujung posterolateral Ms4 sempit dan membulat. Urosome terdiri dari 4 somit, Ur1 panjang, sepanjang gabungan Ur2, Ur3 dan Ur4. Ur2 1.5 kali panjang Ur3; anal somit lebih panjang dari Ur3. CR relatif pendek, sama panjang dengan Ur2, dengan 2 setae bagian luar dan 3 di ujung. A1, terdiri dari 7 ruas, ruas ke-2 dengan 3 duri panjang dan 4 setae, 2 duri luar lebih pendek dibandingkan duri luar. P1-P3 dengan 3 ruas; P4 dengan 3 ruas Re dan 1 ruas Ri. P5 silindris memanjang, panjang 3.5 kali lebar maksimum. Jantan; secara umum sama seperti betina. Baru ditemukan kembali di perairan Indonesia setelah
ekspedisi Siboga (1898-19000. Untuk revisi dskripsi jenis
secara lebih lengkap masih diperlukan penanganan lebih lanjut dari spesimen yang ditemukan pada penelitian ini. Catatan : Tegal, Jawa Tengah. Pada penelitian ini ditemukan hanya di St.1
45
ORDO CYCLOPOIDA Burnheister, 1834 Famili OITHONIDAE Dana, 1853 Genus Oithona Baird, 1843 Ujung kepala membentuk rostrum seperti paruh atau membulat. A2 terdiri dari 2-3 ruas. Mandible terdiri dari Ri yang kecil dan tidak beruas serta 4 ruas Re; B2 dilengkapi 2 seta pada sisi tengah. Re da Ri dari maxillula 1 ruas. P1-P4 terdiri dari 3 ruas Re dan Ri. Oithona brevicornis Giesbrecht, 1891 Oithona brevicornis Giesbrecht, 1891 : 475
Betina : Kepala pendek dan oval, bagian terlebar pada bagian depan Ms1. Ujung depan kepala membulat dan membentuk rostrum runcing pada bagian ventral. Panjang Ur1 dua kali lebarnya, ujung belakang dorsal dilengkapi dengan 2 seta yang panjang; Ur3 dilengkapi deretan setula pada bagian belakangnya. Panjang ruas anal 0,9 kali lebarnya, dengan sisi belakang bergerigi. Panjang CR ± 2,4 kali lebarnya, 1,2 kali panjang ruas anal. A1 pendek, tidak ada gigi pada bagian sisi bawah, panjangnya ± 0,8 kali panjang ruas kepala, ruas 20-22 menyatu, ruas 25 tanpa aestheasc. Jantan : Prosome relatif pendek, prosome dan urosome memiliki perbandingan 10:7. Ujung kepala agak rata dan membentuk sudut dekat A1. A1 pendek dan geniculate. A2 terdiri dari 3 ruas dengan 2 ruas terakhir bebas. Sisi lateral Ur1 terdapat 2 pasang seta, dan Ur2 terdapat 2 seta; Ur2-Ur5 pada tepi belakangnya terdapat deretan duri kecil yang merupakan pembatas antar ruas. Catatan : Nishida (1985), jenis ini memiliki Prosome yang panjang dan berbentuk ellips dengan panjangnya ± 2,4 sampai 2,6 kali lebarnya, dan 1,4 sampai 1,5 kali panjang Urosome. Terdapat di perairan Indonesia, Kep. Aru, Samudera India, Laut China dan Jepang. Pada penelitian ini ditemukan di St 1, 3, 4, 9 dan 10
46
Oithona oculata Farrran, 1913 Oithona oculata, Rosendorn, 1917 : fig. 23a-g
Betina : Prosome lebih panjang dari Urosome hingga 1,5 kali. Ujung kepala membulat dan membentuk sudut didekat A1. Rostrum absent, bagian depan kepala menonjol kebawah seperti kerucut. Urosome, Ur1 memiliki serabut panjang; 3 ruas terakhir dari urosome sama panjangnya dengan CR. Panjangnya ± 2,8 kali lebarnya, pada bagian pertengahan pertama tepi terdapat seta, maxila dan maxilliped dengan bentuk yang normal namun agak pendek. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Samudera India, Teluk Persia, perairan Jepang dan pada perairan karang tropis. Pada penelitian ini hanya ada ditemukan di St 6 ORDO Famili ONCAEIDAE Giesbrecht, 1892 Genus Oncaea Philipi, 1843 Oncaea media Giesbrecht, 1891 Oncaea media Giesbrecht, 1891 : 477; 1892 : 591, pl. 2, fig. 1, 11, 29-33, 40
Betina : perbandingan tubuh antara depan dan belakang 63 : 37; antara urosome dan CR 65:4:7:8:16. Bagian tubuh paling lebar terdapat pada ujung belakang kepala, CR memiliki panjang ± 2,6 kali lebarnya. Lubang genital terdapat pada pertengahan Ur1. Panjang Ur1 1,5 kali panjang Ur2; Ur3; Ur4. CR lebih panjang Ur4. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Tersebar luas pada samudera yang beriklim tropis dan subtropis, dan terdapat pula di Laut Mediterania. Pada penelitian ini hanya ada di St 8
47
HARPACTICOIDA, Sars 1903 Famili TACHIDIIDAE Boeck, 1864 Genus Euterpina Norman, 1903 Euterpina acutifrons Dana, 1847 Harpaticus acutifrons Dana, 1847 : 153. Euterpe acutifrons (Dana), Dahl, 1894 : 13 Euterpina acutifrons (Dana), Lang, 1948 : 25-28, fig. 142, map. 343
Betina : Rostrum runcing dan kuat. CR sedikit lebih panjang dari lebarnya. A1, 7 ruas, tanpa bulu panjang seta. Basis pada Mandibel tidak dilengkapi seta, Re dari A2 memiliki 1 ruas. Re dan Ri pada maxillula rudimeter; Ri pada maxili memiliki 2 ruas, maxilliped ramping dilengkapi dengan cakar panjang pada ujungnya. P1 2 ruas rami pendek, Re1 pada sisi dalamnya dilengkapi seta. Re2 7 seta, Ri1 6 appendages. P2-P4, memiliki 3 ruas rami. Ri lebih pendek daripada Re, Re1 dan Re2 dilengkapi dengan duri luar. Basis dari P1-P4 tanpa seta luar. P5 panjang dan dilengkapi 4 duri terminal, 1 duri luar, serta seta luar pada bagian pangkal. Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini Catatan : Tersebar luas pada kawasan perairan yang beriklim tropis dan subtropis. Pada penelitian ini ditemukan di St 1, 4, 5, 6 dan 7
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Komposisi kopepoda pada saat penelitian terdiri dari ordo Calanoida (27 jenis), Cyclopoida (8 jenis), Poecilostomatoida (6 jenis), harpacticoida (2 jenis), dan Siphonostomatoida (1 jenis). Calanoida memiliki kelimpahan serta jumlah jenis tertinggi, yaitu 81% dari 44 jenis yang ditemukan di perairan Berau, Kalimantan Timur. Satu jenis kopepoda merupakan spesies yang baru pertama kali di temukan di perairan Indonesia (new record) yaitu Centropages dorsispinatus. Dalam peneelitian ini ditemukan kembali Kelleria pectinata berjenis kelamin jantan, setelah kurang lebih satu abad sebelumnya ditemukan dalam ekspedisi Siboga. Satu jenis lainnya diperkirakan merupakan spesies baru (new spesies) yaitu Oncaea sp. Kelimpahan kopepoda secara umum menunjukkan kecenderungan semakin menurun ke arah lepas pantai untuk semua ordo dengan Calanoida sebagai ordo yang memiliki kelimpahan tertinggi dibanding ordo lainnya. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis kopepoda di perairan Berau memberi arti secara ekologis bahwa tidak semua jenis kopepoda yang ditemukan melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan dan tidak ditemukan adanya dominansi oleh satu jenis kopepoda. Kondisi perairan Berau berdasarkan suhu, salinitas dan arus berada pada kisaran yang layak bagi pertumbuhan kopepoda dan organisme lainnya.
Saran Untuk mengetahui komposisi dan pola distribusi kopepoda di perairan Berau perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih menyeluruh dengan pengambilan sampel kopepoda secara vertikal agar dapat ditemukan jenis-jenis kopepoda baru lainnya dan memperkaya koleksi data kopepoda laut Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Arinardi, O.H., A.B. Sutomo, S.A.Yusuf, Trimaningsih, S.H. Riyono dan E. Asnaryanti. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Burhanuddin, S. Martosewojo dan M. Hutomo. 1975. A Preliminary Study on The Growth and Food of Stolephorus spp. from Jakarta Bay. Marine Research Indonesia 14: 1-30 Barnes, R.D. 1963. Invertebrata Zoology. London, Philadelphia: WB-Saunders Company Barnes, R.S.K. 1974. Estuarine Biology, Studies in Biology. London: Edward Arnold (Publisher) Ltd Delsman, H.C. 1939. Preliminary Plankton in the Java Sea. J Treubia, 17: 19391981 Haryono. 1998. Kekayaan Jenis dan Struktur Komunitas Kopepoda di perairan mangrove Cilacap, Jawa Tengah. [Tesis] Program Studi Biologi, Universitas Indonesia Humes, A.G. 1994. How Many Copepods? Hydrobiologia 292-293 Huys, R and G.A. Boxshall. 1991. Copepod Evolution. London: The Ray SocietyThe Natural History Museum Giesbrecht, W. 1892. Systematic und Faunistic der Pelagischen Copepoden des Golfes von Neapel. Fauna und Flora des Golfes von Neapel und des Angrenzenden Meeresbschnitte: 1-831 _______ and O. Schmeil. 1898. Copepoda I. Gymnoplea. des Tierreich, Lief. Kim,
D.Y. 1985. Taxonomical Study on Calanoid Copepode (Crustacea:Copepode) in Korean Waters. [Phd Thesis] Hanyang University
Kimmerer, W.J. & A.D. Mc Kinnon.1985. A comparative study of the zooplankton in two adjacent embayment, Port Philip and Westernport Bay, Australia. J Estuar. Coast. Shelf sci, 21:145-159 Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Volume II. Biological Aspects. Bocaraton, USA: CRC Press, Inc.
50
Lucas, C.E. 1956. Plankton and Fisheries Biology. In: Sea Fisheries (M. Graham, Ed.). London: Edward Arnold (Publisher) Ltd. Martinsen, G.V. 1966. Fish Resources and Their Distribution in The Worlds Oceans. In: Biological and Oceanographycal Condition of Commercial Concentration of Fish (P.F. Moiseev, ed.). Delhi: Insdoc Martosewojo, S. dan M. Hutomo. 1977. Makanan Ikan Lemuru, sardinella sirm (Walbaum) di sekitar perairan Pulau Panggang. Dalam: Teluk Jakarta; Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologis serta Permasalahannya. Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi (M. Hutomo, K. Romihmotarto dan Burhanuddin, eds.).. Jakarta: LON-LIPI. 387-412 Milne Edwards, H. 1840. Ordre des Copepodes. In: Histoire naturelle des Crustaces, Comprerant l’ anatomio, la Physiologie et la Classification de ces Animaux 3: 411 -529 Mulyadi. 2002. The Calanoid Copepods family Pontellidae from Indonesian waters, With Notes on Its species-groups. Treubia. Vol. 32. part 2 . Bogor, Indonesia: Research center for Biology, Indonesia Institute of Sciences ----------. 2003. Poecilostomatoida Copepods of The Family corycaeidae Dana, 1852 in Indonesian Waters. Treubia. Vol. 33. part 1 . Bogor, Indonesia: Research Center for Biology, Indonesia Institute of Sciences ----------. 2004. Calanoid Copepods in Indonesian Waters. Bogor, Indonesia: Research Center for Biology, Indonesia Institute of Sciences Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan ________. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Jakarta: LIPI Press Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Ekologi (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Riley, G.A. 1967. The Plankton of Estuaries. In G. Lauff (ed). Estuaries. AAA. Washington DC. 316-326 Sars, G.O. 1903. Copepoda Calanoida. An Account of the Crustacea of Norway, 4:1-171 Scott, A. 1909. The Kopepoda of the Siboga Expedition. Part 1. Free swimming, Littoral and Semiparasitic Kopepoda. Siboga Expedition. Monografieen, 29A
51
Smith, D.L. 1971. A Guide To Marine Coastal Plankton and Marine Invertebrate Larvae. Kendall-Hunt Publisher Soerjodinoto, R. 1960. Synopsis of Biological data on Lemuru Clupea (Harengula)(C.V).. U.N.: Fish. Div. Biol. Branch F.A.O. 313-328 Sutomo, A.B. dan O.H. Arinardi. 1978. Penelitian Plankton untuk Menunjang Penangkapan Ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat di Jakarta 27-30 Juni 1978. Jakarta: Balitbang Perikanan Departemen Pertanian Tham, A.K. 1953. A Preliminary Study On The Physical, Chemical and Biological Characteristics of Singapore Straits. Gr. Br. Off. Fish. Publ. 1:165 Wickstead, J.H. 1976. Marine Zooplankton. The Institute of Biology’s No. 62. London: Edward Arnold (Publisher) Ltd Zhong, Z. 1989. Marine Planktology. China: China Ocean Press (Beijing)
52
Lampiran 1. Kelimpahan Jenis Kopepoda Berdasarkan Ordo KELIMPAHAN (Ind/M3)
ORDO
STASIUN PENELITIAN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Calanoida
659.67
311.99
282.45
487.62
307.05
269.56
295.01
19.49
399.7
24.32
Cyclopoida
0.53
0.13
1.32
13.66
0.22
0.12
-
0.47
0.17
0.38
Harpacticoida
19.12
-
-
1.37
1.80
0.35
0.26
-
-
-
Poecilostomatoida
132.78
1.21
22.42
41.32
224.95
12.36
136.58
14.08
16.63
7.65
Siphonostomatoida
-
-
-
-
0.22
-
-
-
-
-
53
Lampiran 2. Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau Kalimantan Timur
54
Lanjutan lampiran 2.
55
Lampiran 3 Foto jenis kopepoda di perairan Berau
Centropages dorsispinatus
Acartia bispinosa
Acartia erythraea
Acartia pacifica
56
Acrocalanus gibber
Temora turbinata
Corycaeus asiaticus
Tortanus forcipatus
57
Subeucalanus subcrassus
Candacia discaudata
Caligus sp.
Sapphirina gastrica
58
Kelleria pectinata jantan
Kelleria pectinata
Kelleria australiensis
Centropages dorsispinatus
59
Lampiran 4 Deskripsi jenis kopepoda (Mulyadi 2002; 2003; 2004)
Canthocalanus pauper
Acartia bispinosa
A. erythraea
A. pacifica
60
Acrocalanus gibber Candacia discaudata
Centropages furcatus Centropages brevifurcus
61
Centropages orsini
Parvocalanus crassirotris
Paracalanus aculeatus
Phaenna spinifera
62
Subeucalanus crassus Pseudodiaptomus incisus
Tortanus forcipatus Subeucalanus subcrassus
63
Calanopia australica
Corycaeus catus
Corycaeus asiaticus
Corycaeus crassiusculus
64
Corycaeus lubbocki Labidocera javaensis
Labidocera bengalensis
Pontellopsis herdmani