KOMA
Posted on Kamis, April 29th, 2010 at 8:58 am
Karya Novelis komunitas kemudian.com Rika Phe, Mahasiswa PPL dari IKIP Budi Utomo Malang FB:
[email protected] Jl. Kecipir, Bumiayu, Malang Koma, sebuah kata yang bermakna menggantung… Koma, bagai sebuah perjalanan yang tak berujung… Koma, bagai lukisan yang belum berwarna… Koma adalah bagian titik yang kurang sempurna… Tak berarti bahagia namun tersirat harapan…. Harapan yang berupa titik, titik dan titik… Tak berujung namun tak kekal pula… Koma, adalah guillotine… Memasung lalu memenggal hidup seenaknya… Sedangkan cintaku itu seperti sebuah paket tour ke Roma. Jauh nan indah namun menyimpan banyak esensi di dalamnya. Sebuah petakan besar menghentang dihadapanku, tak dapat aku seberangi begitu saja, namun terjangkau oleh intuisi dan sebuah insting yang nyata. Terpeti oleh waktu dan jarak, tetapi nyatanya jika berangkat dari sedikit keinginan maka akan tumbuh sebuah peleburan rasa yang membawa mimpi itu menjadi realita diantara ribuan realitas lainnya. Dan aku percaya itu. Suara dentingan jarum jam memburu desahan napas Sellandia, setiap detiknya seperti mencekik lehernya yang sedari tadi terasa parau karena dahaga. Sedangkan jemarinya asyik berdansa di atas keyboard komputernya. Ia menulis berderet-deret kata tentang semua hal yang ada di benaknya. Dengan hentakan ia memencet tombol enter beberapa kali. Lalu kembali mengetik berderet kata. Ctak! Ctak! Ctak! Jemarinya terkesan penuh amarah. Kedua matanya tertumbuk melihat layar monitor sembari menjerang otaknya untuk mengeluarkan segala racun yang sudah berbulan-bulan ia simpan, ia tahan, atau bahkan perasaan yang sudah lama ia abaikan. Sampai pada akhirnya ia berada pada klimaks kemarahannya, ia berhenti mengetik lalu kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajahnya. Kemudian segera menyeka air mata yang jatuh dipipinya dengan keras. Sellandia menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, setelah itu ia kembali tertegun melihat pointer yang berkedip-kedip di antara kata-kata yang ia ketik. Ia ragu meneruskan kata-katanya, namun sepertinya itu sekarang menjadi beban bagi batin dan otaknya. Akhirnya ia hanya dapat menambahkan sebuah tanda koma di sana, kemudian cepat-cepat ia save lalu me-log off laptopnya. Mungkin ini adalah sebuah karma yang harus ku tanggung karena telah menjadi orang ketiga dari sebuah hubungan. Aku datang dari sebuah rasa yang semu kemudian menjadi sesuatu yang rumit. Sebuah rasa yang penuh dengan keegoisan dan ketamakan semata. Namun kini apa yang ku dapat memang setimpal dengan perbuatanku. Aku tak bahagia. Mungkin itu belum cukup… karena karma tersebut pula, kini aku tahu betapa sakitnya
jika tiba-tiba seorang asing menyelinap di antara hati kemudian dengan terang-terangan menyayat-nyayatnya dengan seenaknya. Aku tahu aku tak pantas mengeluh atas apa yang bukan milikku… ya, mungkin itulah yang dinamakan sebuah karma yang terbayarkan dengan impas. God never closes His eyes. Trrrrt… “Halo?” pekik Sellandia malas. Lalu mendadak keheningan menyergap, bibirnya terkatup tetapi bergetar kuat menahan kata. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan keningnya. Ia kemudian segera meraih jaketnya dan pergi terburu-buru dengan sedan warna merahnya. Berkendara dengan kecepatan maksimal sembari sibuk menyeka bulir air matanya yang berderai. Setelah tiga puluh menit kemudian ia sampai di area parkir sebuah restaurant. Kedua tangannya masih menggenggam erat kemudi sedangkan matanya melihat ke dalam resataurant dengan jantung yang berdetak kencang. Lalu ia segera merapikan rambutnya yang panjang terurai dan menyeka matanya yang berair, ia sedikit memolesi bibirnya dengan lipstik dan melihat pantulan wajahnya di cermin, menarik napas panjang dan bersiap untuk tenang. Sellandia melangkahkan kakinya perlahan, jika boleh memilih ia tidak ingin ada hari ini, namun apa daya, toh, perasaannya yang sakauw tetap menghendakinya untuk pergi melihat dia. Mendadak langkahnya terhenti saat punggung pria yang pernah menjadi sandarannya terlihat disana. Tubuhnya bergetar namun ia berusaha menginjeksi perasaannya dengan sebuah harapan yang memaksanya untuk bertahan. “Hai, Di,” sapa Sellandia dengan panggilan sayangnya. “Udah lama nunggunya?” tanyanya sembari duduk tepat di depan Dharma. “Kamu udah pesan? Bentar, ya…” ia melambaikan tangannya pada waiter untuk memesan secangkir kopi. “Sel, aku…” “Eh, ternyata di sini enak juga, ya? Tempatnya nyaman… ini pertama kalinya loh aku kesini… kamu sih nggak pernah ngajak aku.” “Sel!” desis Dharma. Ia berusaha menatap mata Sellandia yang terus menghindarinya. Satu hal yang ia mengerti adalah pemilik mata itu sedang kacau. “Sel, dengerin aku baikbaik,” “Thanks, ya Mas.” Ucapnya pada waiter yang menyajian secangkir kopi pesanannya. Ia kemudian menambahkan sesendok gula dan mengaduknya perlahan dengan mata yang tertunduk melihat pusaran kopi yang legam. Sesendok gula rupanya masih tak cukup, ia menambahkan lagi dengan dua sendok, tiga sendok hingga Dharma menahan tangannya. “Sel, besok adalah hari pernikahanku dengan Lea,” suara Dharma berubah parau dan berat. Ia menggenggam tangan Sellandia erat sekali seakan-akan takut ia akan jatuh. “Sel,”
Sellandia menarik tangannya dari genggaman Dharma lalu menyendok gula dan memasukkannya dalam kopi. Ia mengaduk-aduk kopinya, tangannya bergemetar karena merasa dadanya mendadak terbakar, matanya perih sampai akhirnya bulir air matanya menetes bergantian di cangkir kopinya. Menjadi satu dengan kepekatan di dalamnya. Lalu ia menegak habis secangkir kopi itu sekaligus, walaupun ia sudah menambahkan banyak gula ke dalamnya namun lidahnya masih merasakan getir yang membuat migraine-nya kambuh. Belum puas sampai disitu, ia menarik tempat gula di depannya, lalu menelan gula itu sesendok demi sesendok. “Aneh, ya… aku baru tahu kalau gula itu juga ada rasa pahitnya,” “Sudah hentikan, Sel!” pinta Dharma sembari merebut sendok penuh gula itu dari tangan Sellandia. “Bukannya dari jauh kita sudah mempersiapkan hal ini?” Sellandia hanya membisu, ia menatap Dharma dengan mata yang berkaca-kaca, kemudian dengan rasa kesal ia menegak secangkir gula di depannya. Ia berusaha menelan tiap butirnya yang membuat semua giginya ngilu tetapi tetap terasa pahit ditenggorokannya. Sesekali ia menengadahkan kepalanya untuk menahan air matanya. “Terima kasih.” Ucapnya singkat lalu sekonyong-konyong berhambur keluar dari restaurant. “Sella!” panggil Dharma mengejarnya. “Sella, tunggu, Sel!” tetapi Sellandia mengacuhkannya, ia terlalu sibuk dengan kesedihannya. “Sella!!” Dharma menarik tangan Sellandia dan mendorong tubuhnya di kaca sedannya. Plak! Sellandia mendaratkan sebuah tamparan, kemudian memukul-mukul dadanya yang bidang. Menjabak rambutnya sampai puas hingga tangannya lunglai. “Aku benar-benar minta maaf, Sel… kalau aku tahu hasilnya akan seperti ini, aku tidak akan memulai hubungan ini,” “Aku hamil, bodoh!” pekik Sellandia. Sontak Dharma terhenyak dan terdiam seketika. “jika ingin pergi, kenapa kamu harus memberiku beban seperti ini, ha?!” Sellandia mendorong tubuh Dharma. “Brengsek!” makinya sembari menyeka air matanya lalu segera menancap gas. Sedangkan Dharma masih membisu melihat raungan mobil Sellandia yang melaju kencang. Persendian kakinya terasa sakit hingga tak dapat di gerakkan. Ia menghadapi dilema dan hatinya di penuhi oleh kegundahan seketika. Ini adalah salahku, salah hati dan perasaanku yang membiarkanku jatuh cinta lagi pada mantan pacarku yang jelas-jelas sudah memiliki tunangan. Bodohnya diriku yang membiarkanku terjerat dalam perasaan brengsek ini, bodohnya aku yang meracuni otakku sendiri dengan kata-kata “semua akan baik-baik saja, ini hanya main-main…” sekarang lihat, hal sepele itu membuatku gila. Semua ini adalah bukti otentik dari seorang gadis yang membangun harapan di atas perasaan yang rapuh. Hamil bukan lagi sebuah gift buatku, tetapi itu adalah sebuah hukuman yang setimpal untuk pihak ketiga sepertiku. Di akan melupakan aku hari ini sedangkan aku akan mengingatnya seumur hidupku karena janin yang berada di rahimku sekarang. Dan yang membuatku jengkel adalah mengapa perasaan ‘sesat’ ini masih terpasung di hatiku. Sial!
Hari ini adalah hari pernikahan Dharma, hari yang paling ditakuti Sellandia yang sedari tadi duduk di ranjangnya memandangi kartu undangan penikahan Dharma. Ia tak mengira bahwa waktu berjalan sangat cepat, membuatnya kehabisan waktu bersama Dharma. Kini tidak akan ada lagi hari-hari bersama Di kesayangannya. Yang ada hanya bayangan dan kenangan yang hidup dalam rahimnya. Namun setidaknya ia akan melihat Dharma untuk terakhir kalinya di hari bahagianya. Ia bangkit dari ranjangnya dan menuju meja riasnya. Menyeka hidung dan matanya yang berair dan mulai berias seadanya. Beberapa waktu kemudian, Sellandia sudah berada diantara tamu yang menghadiri acara ijab kabul Dharma. Dengan mata yang masih sembab dan bibir yang pucat ia berusaha tegar. Saat ijab kabul hendak dimulai perutnya tiba-tiba mual tak tahan melihat punggung Dharma yang berdampingan dengan Lea. Air matanya tiba-tiba berderai, karena tak sanggup bertahan, ia kemudian berhambur keluar dari ruangan itu. Sedangkan Dharma dalam hatinya yang terdalam ia masih teringat kata-kata Sellandia “Aku hamil, bodoh!” tangannya yang erat menjabat tangan sang penghulu membeku, pikirannya kosong. “Maaf, permisi,” Sellandia berusaha melewati deretan tamu dan membuat sedikit kebisingan. Dharma menoleh dan melihat sosoknya yang terhuyung rapuh. “Semoga bahagia, Di.” Gumamnya lirih sembari menahan tangisan yang ingin memecah. Saat ia hendak menyeberangi jalanan Dharma tiba-tiba menarik tangannya. “Dharma?!” rasa heran dan kaget bercampur hampir menyerupai rasa senang namun ia menepis tangan Dharma dan berlari menerjang jalanan yang padat kendaraan. Tetapi Dharma terlalu kalap dengan perasaannya terhadap Sellandia, ia mengejarnya bagai orang hilang akal dan seakan-akan lupa akan pesta pernikahannya. Ia kembali menarik tubuh Sellandia dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya yang pucat. Sangat dalam dan penuh keegoisan, sesaat waktu terhenti, mereka membiarkan rasa tamak merajai otak mereka, mengacuhkan dunia hanya untuk beberapa menit saja, membuang norma dan rasa iba. “Kita pergi saja dari sini,” bisik Dharma mengejutkan. “pergi ke tempat yang semua orang tidak akan mengenali kita,” tambahnya sembari menggenggam tangan Sellandia erat dan menatap mata gadis itu dengan keyakinan atas keputusannya. BRAAAAAAAAK!!! “LEAAAAAAAAA…!” jerit ibu Lea saat tubuhnya yang hendak mengejar Dharma tertabrak sebuah truk dan terlempar dijalanan. Sellandia dan Dharma terpagut disana. Perlahan namun pasti genggaman tangan Dharma terlepas dari tangan Sellandia. Beberapa saat kemudian, Lea yang kritis segera dilarikan ke rumah sakit. Sellandia yang kalut sesekali melihat mata Dharma yang berkaca-kaca penuh rasa sesal. Tubuhnya gemetar dan dipenuhi oleh peluh. Saat tubuh Lea masuk ruang UGD orang tua Lea menarik tubuh Dharma dan menghadiahkan bogem mentah juga memaki-makinya. “Bu.. bukan dia yang salah, aku… aku yang salah. Aku yang salah.” Ucap Sellandia penuh penyesalan. “Pukul aku saja, Pak… aku yang salah!”
“Dasar perempuan hina! Sana pergi! Anakku tidak membutuhkanmu disini, cepat pergi!” teriak ayah Lea kemudian mendorong tubuh Sellandia hingga tersungkur di lantai. Namun gadis itu tetap bertahan, ia melihat ke arah Dharma yang terdiam bersimpuh di lantai dengan kepala yang tertunduk. Tak menunggu lama Sellandia bangkit dan berlalu pergi dengan tertatih-tatih meninggalkan Dharma yang bertahan disana. Di ku telah mati hari ini, ia tak akan kembali tapi aku akan menjaga kenangan terakhirnya di rahimku. Aku tak akan menuntut lebih padaMu… Gadis itu lebih berhak bahagia bersama Di daripada aku. Dari awal aku hanyalah sebuah bayangan yang terlalu tamak… jika cahaya tak lagi terang aku akan menghilang. Perasaanku kini koma, tak akan hidup kembali karena harapan itu telah terpasung oleh sebuah kata bertajuk ‘takdir’. Mati diantara rasa pilu dan derai air mata yang menghantarkan Di dalam penyesalan seorang anak manusia yang khilaf.