Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Knowledge Sharing dan Self Efficacy dalam Perilaku Pemimpin Memberdayakan (Empowering Leader behavior) Pada Kinerja Individual
Science without conscience is blind
Sunu Widianto
[email protected] Abstract This study examines two mediator variables between empowering leader behavior to individual performance, knowledge sharing as a process interaction among individuals and self efficacy as a emergent state. One hundred and three participants’ non paramedic employees of Rumah Sakit Panti Rapih involved in this study. Partial least square technique was used to test hypothesized relationships. Result showed that empowering leader behavior was positively related to self efficacy, then positively related to individual performance. Surprisingly, empowering leader behavior was not significant to knowledge sharing, and then was not significant related to individual performance. It is may caused underlying factors as contingent factors (i.e. environment, strategy, structure, characteristic of top management) and contextual factors (i.e. organizational culture, climate) have not supportting knowledge sharing process to organization. Practical and theoretical implications are discussed. Keywords: empowering leader behavior, knowledge sharing, self efficacy, individual performance
Latar belakang studi Dewasa ini organisasi semakin dituntut agar dapat cepat tanggap dalam perubahan yang terjadi di lingkungan. Lingkungan bisnis yang turbulen mendesak organisasi untuk bekerja secara inovatif dan kreatif agar dapat terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kolaborasi antar departemen atau lintas fungsi (cross functional team) menjadi hal yang penting pada organisasi dalam menghadapi kondisi dan iklim bisnis yang terjadi saat ini. Pola organisasi lintas Page 1 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
fungsi mengarahkan organisasi berbasis pada team, oleh sebab itu setiap elemen, sistem, struktur, iklim dan budaya juga harus dapat mendukung pola organisasi berbasis team (team-based organization). Akibat perubahan yang luas dalam industri, peran pemimpin menjadi isu yang krusial dalam membangun kompetensi dan meningkatkan kinerja bawahan. Manajer seringkali diarahkan untuk memotivasi pekerja pada tingkat individual namun manajer juga dituntut memberikan dukungan dalam tim (Cohen & Bailey dalam Chen, Kirkman, Kanfer, Allen & Rosen, 1999). Berdasarkan studi pada level individu, pekerja yang dikembangkan dalam hubungan yang lebih baik dengan pemimpin mereka (higher leader-member exchange) merasa lebih diberdayakan, dan pada akhirnya akan lebih termotivasi untuk berkinerja secara lebih efektif (Chen & Klimosmki, 2003 dalam Chen et al., 2007). Penelitian kepemimpinan memberdayakan telah dilakukan pada dua perspektif utama, Perspektif yang pertama adalah pada tindakan-tindakan pemimpin, khususnya membagi kekuasaan atau memberikan tanggungjawab dan otonomi pada pekerja. Sedangkan pada perspektif kedua membahas mengenai respon pekerja pada pemberdayaan yaitu dengan melihat motivasi mereka (Srivastava, Bartol & Lock, 2006). Pada penelitian sebelumnya (Srivastava et al., 2006) mengakomodasi dua perspektif tersebut dengan menguji pengaruh kepemimpinan memberdayakan pada kinerja tim. Isu utama yang diangkat yaitu pengaruh antara kepemimpinan memberdayakan terhadap kinerja tim yang dimediasi knowledge sharing dan team efficacy. Penelitian ini secara khusus menguji pengaruh kepemimpinan memberdayakan ke kinerja pekerja, yang dimediasi knowledge sharing dan self efficacy. Unit of analysis penelitian ini Page 2 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
adalah individual. Penelitian ini akan berfokus pada perilaku pemimpin memberdayakan (empowering leader behavior). Seperti yang telah dijelaskan diatas penelitian ini akan mengangkat isu pada perspektif yang kedua yaitu respon pekerja terhadap pemberdayaan dengan memperhatikan pemberdayaan psikologikal (psychological empowerment), seperti meaning, competence, impact dan self determination. Secara umum, beberapa penelitian-penelitian terdahulu juga menempatkan pemberdayaan menjadi mediasi antara kepemimpinan terhadap kinerja, seperti penelitian yang dilakukan oleh Spreitzer, Janasz and Quin (1999). Namun terdapat konsep pendekatan pemberdayaan dalam konteks organisasi yang mendefinisikan hal ini sebagai sebuah praktik atau seperangkat praktik yang melibatkan pendelegasian tanggungjawab hierarkhi ke bawah. Praktik tersebut memberikan pekerja peningkatkan dalam autoritas pengambilan keputusan dalam menyelesaikan tugas-tugas utama mereka (Ahearne, Mathieu & Rapp, 2005). Penelitian ini melihat variabel knowledge sharing sebagai sebuah proses antar individu yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran informasi, pemberian ide dan saran antara satu pekerja dengan pekerja lainnya dalam sebuah organisasi. Disamping itu variabel self efficacy menjadi emergent state yang merepresentasikan keyakinan individu pada kemampuan mereka untuk melakukan perilaku-perilaku tertentu, yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kinerja tertentu (Srivastava, 2006) Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dua kategori mediator yang melekat pada perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual: knowledge sharing sebagai proses interaksi antar individu dan self efficacy sebagai sebuah emergent state. Tujuan kedua studi ini adalah untuk memperluas cakupan riset kepemimpinan memberdayakan.
Page 3 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Landasan teori dan hipotesis Kepemimpinan memberdayakan telah banyak mendapat perhatian dalam studi-studi secara luas baik individual maupun tim non managerial (Kirkman & Rosen, 1999 dalam Srivastava et al., 2006). Begitu penting peran pemimpin dalam menstimulus atau mendorong kinerja bawahan sehingga peran pemimpin sebagai external team leader menjadi isu yang penting dalam meningkatkan kinerja individu (Kirkman & Rosen, 1999). Ketika pemimpin tim mendelegasikan tanggungjawab pada bawahannya dan meminta untuk menggunakan input pekerja maka hal ini akan meningkatkan sense of personal control bagi anggota, sehingga anggota kelompok akan merasakan pengalaman yang berarti, berpengaruh, dan autonomi dalam pekerjaan mereka, yang itu disebabkan mengambil lebih banyak tanggungjawab (Hackman, 1987, Susman, 1976, Thomas & velthouse, 1990 dalam Kirkman & Rosen, 1999). Identifikasi dari pemimpin yang memberdayakan juga dispesifikasikan oleh Conger dan Kanungo (1988) antara lain mengekspresikan kepercayaan pada bawahan dengan ekspektasi kinerja yang tinggi, meningkatkan kesempatan bagi bawahan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memberikan otonomi pada batasan birokrasi, menentukan tujuan yang inspirasional atau berarti, dan juga pemimpin atau manajer seharusnya dipilih pada ketertarikannya untuk menggunakan kekuasaannya pada perilaku yang positif. Bandura dalam Conger (1989) melakukan riset psikologinya dengan mengidentifikasi empat aspek yang menyediakan informasi memberdayakan kepada orang lain: 1.
Melalui dukungan emosional positif sepanjang pengalaman yang berhubungan dengan stress dan kekhawatiran (stress and anxiety) Page 4 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
2.
Melalui kata-kata yang mendukung atau memotivasi dan persuasi positif
3.
Melihat atau memantau keefektifan sesorang, dengan melihat panutan yang sukses dari seseorang yang dikenal
4.
Dengan pengalaman yang sebenarnya dalam menguasi sebuah tugas dengan sukses (the most effective source) Menurut Hartman (2004) ada empat dimensi yang terdapat pada perilaku pemimpin
memberdayakan: 1.
Pendelegasian kendali dan tanggung jawab (Delegating control and responsibility)
2.
Memberikan kesempatan bertindak (Providing the opportunity to act)
3.
Penyilangan informasi (Sharing information and skill development)
4.
Memberikan dukungan dan dorongan emosional pada bawahan (Providing emotional support and encouragement to subordinates)
Hubungan perilaku pemimpin memberdayakan (empowering leader behavior) dengan knowledge sharing dan Self-efficacy Pemimpin memberdayakan merupakan fasilitator yang penting dalam proses knowledge sharing (Srivastava et al, 2006). Atasan memiliki kendali dan otoritas dalam mekanisme pertukaran informasi dalam sebuah lingkungan kerja. Pemimpin memberdayakan dapat berperan dalam menciptakan kondisi atau iklim yang memungkinkan setiap elemen untuk saling bertukar pengetahuan dan informasi. Dalam menjaga kualitas hasil yang baik, maka pemimpin memberdayakan seharusnya dapat berkontribusi memberi ruang pada setiap individu agar dapat membuka akses dalam pertukaran informasi maupun pengetahuan yang diperlukan dalam
Page 5 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
menyelesaikan sebuah tugas atau pekerjaan. Disamping itu pemimpin memberdayakan juga dapat menyediakan informasi yang terkait untuk pemenuhan informasi bagi pihak yang berkepentingan, dalam maupun luar departemen. Nonaka (2004) melihat penciptaan pengetahuan organisasi sebagai “knowledge spiral”, yaitu ada kelanjutan interaksi antar individual dan kelanjutan konversi dari pengetahuan ekpilisit ke pengetahuan tacit dan sebaliknya. Menurut Alavi, dan Leidner dalam Chennamaneni (2006) proses knowledge sharing ke knowledge transfer didefinisikan sebagai proses penyebaran pengetahuan menyeluruh ke dalam organisasi, dan penyebaran tersebut dapat terjadi antara individual, kelompok atau organisasi yang menggunakan berbagai tipe saluran komunikasi. Untuk itu pemimpin memberdayakan dapat memainkan perannya sebagai katalisator dalam memperlancar proses penyebaran pengetahuan dalam sebuah organisasi. Pandangan lain oleh Davenport dan Prusak (1998) dalam Chennamaneni (2006) mendefinisikan bahwa knowledge sharing sebagai proses yang melibatkan pertukaran pengetahuan antara individu dan kelompok. Knowledge sharing menjadi proses yang kritis pada sebuah tim karena jika pengetahuan tidak dibagi, maka sumberdaya kognitif yang tersedia pada organisasi tersebut tidak akan berguna Argote (1999) dalam Srivastava (2006).
Proses dari knowledge sharing tidaklah
berjalan secara otomatis pada lingkungan organisasi, namun pemimpin memegang peran yang penting dalam proses tersebut. Pemimpin memberdayakan akan memberikan pengakuan (fair recognition) pada anggota tim untuk kontribusi ide-ide dan informasi, sehingga hal tersebut akan memotivasi mereka untuk membagi pengetahuan yang unik satu dengan lainnya, misalkan ketika seorang contoh pemimpin (leading by example) melibatkan pengambilan keputusan maka ada lebih banyak kesempatan untuk membagi ide-ide mereka. Menurut Arnold dan co authors (2000) Page 6 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
salah satu dimensi perilaku pemimpin yaitu coaching behavior, yaitu mendorong anggota tim untuk menyelesaikan masalah secara bersama, sehingga pada gilirannya akan memberikan kesempatan mereka untuk membagi pengetahuan mereka. Penelitian yang dilakukan Connelly dan Kelloway (2003) dalam Chennamaneni (2006) ditemukan bahwa, persepsi mengenai dukungan manajemen (pemimpin) pada knowledge sharing dan budaya interaksi sosial sebagai prediktor yang signifikan pada budaya knowledge sharing. Dari penjelasan ini maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut. H1: Perilaku pemimpin memberdayakan (empowering leader behavior) berpengaruh secara positif pada knowledge sharing antar pekerja Peningkatan efficacy dapat terjadi karena pemimpin memberikan bawahan mereka kesempatan untuk memperluas pengetahuan mereka, belajar dari orang lain, dan memperoleh keterampilan baru (Srivastava et al, 2006). Peningkatan efficacy juga dapat disebabkan ketika seorang pemimpin memberikan contoh atau menunjukkan komitmen pada pekerjaan mereka, serta memberikan bimbingan pada bawahan seberapa efektif kinerja mereka dapat dicapai. Dengan begitu maka bawahan akan dapat meniru tindakan yang dicontohkan oleh atasannya melalui apa yang disebut dengan pembelajaran observasi (Bandura, 1977 dalam Srivastava et al, 2006). Ketika seorang pemimpin memberikan kesempatan bawahannya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, hal itu dapat menjadi input bagi anggota tim untuk memperluas pengetahuan mereka, belajar dari orang lain, memperoleh keahlian baru yang akan meningkatkan efficacy. Bandura (1986) dalam Ahearne (2005) menyatakan bahwa self-efficacy dapat
Page 7 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
dipengaruhi melalui dukungan emosional positif, kata-kata penyemangat dan persuasif positif, serta contoh sukses dari orang yang dikenal dan pengalaman dalam menguasai sebuah tugas. Kirkman and Rosen (1999) berpendapat bahwa informasi strategik yang berasal dari seorang pemimpin memberdayakan akan dapat membantu anggota tim menentukan tindakan yang benar dan akan meningkatkan team efficacy. Ketakutan, kecemasan dan stres adalah emotional arousal state yang mencegah personal efficacy (Conger & Kanungo, 1988), oleh sebab itu pemimpin memberdayakan yang menampilkan perhatian dan memberikan dukungan sosial memiliki pengaruh positif pada self efficacy maupun team efficacy. Maka hipotesis kedua dapat diformulasikan sebagai berikut H2: Perilaku pemimpin memberdayakan (empowering leader behavior) berpengaruh secara positif pada self efficacy. Hubungan knowledge sharing dan self efficacy dengan kinerja individual Seperangkat penetapan tujuan pribadi (self-set goal) dan knowledge sharing memiliki pengaruh langsung dan interaktif terhadap kinerja individual (Quigley, Tesluk, Bartol, Locke, 2007). Menurut Quigley et al., (2007) dalam studi eksperimennya menemukan bahwa sistem insentif berorientasi kelompok pada provider pengetahuan akan meningkat ketika perilaku knowledge sharing ada dalam anggota kelompok. Dalam sebuah proses inovasi, knowledge sharing memberikan dukungan yang signifikan pada kinerja (Lee, Lee, & Kang, 2005) dalam R. Du et al., (2007). Disamping itu, knowledge sharing dipercaya sangat berhubungan dengan kinerja jangka panjang dan daya saing sebuah organisasi. Lebih lanjut, R. Du et al., (2007)
Page 8 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
menemukan bahwa knowledge sharing memiliki pengaruh yang signifikan pada kinerja dan dapat memperbaiki keefektifan organisasi. Knowledge sharing dapat memperbaiki kinerja tim, karena hal ini bermanfaat pada koordinasi tim (Srivastava et al, 2006). Jika individual membagi informasi sepanjang waktu maka mereka mengembangkan sebuah kemampuan pengenalan dan proses informasi dalam blok-blok atau pola-pola daripada unit-unit yang terpisah atau berbeda (Isenberg, 1988 dalam Srivastava et al , 2006). Lewis (1999) dalam (Sivastava el al., 2006) menemukan bahwa pertukaran pengetahuan dalam tim untuk formasi dari memori transaksi sebagai instrumen dalam kinerja yang lebih tinggi. Memori transaktif dimulai untuk terbentuk pada saat individu belajar sesuatu mengenai domain dari keahlian anggota kelompok lain (Srivastava et al, 2006). Ketika antara satu anggota kelompok mengetahui kompetensi kelompok lain dan mengetahui apa yang diketahui kelompok lain serta saling bertukar informasi, maka hal ini akan dapat meningkatkan kinerja sebuah tim. Memberikan informasi dan otonomi mendorong pencarian sebuah solusi baik dalam dan luar tim, dan usaha sebuah kolaborasi yang lebih tinggi untuk membantu orang lain atau individu lain melalui knowledge sharing (Srivastava et al, 2006). Atas dasar pemikiran di atas maka hipotesis, ketiga dapat diformulasikan sebagai berikut: H3: Knowledge sharing berpengaruh secara positif pada kinerja individual. Efficacy dipercaya dapat meningkatkan kinerja secara individu maupun kelompok. Efficacy dapat meningkatkan atau mengembangkan kepercayaan diri anggota tim, yang mendorong pada perilaku pembelajar yang akan membantu dalam menyelesaikan atau mencapai tujuan tim inginkan (Edmonson, 1999). Gibson (1999) dalam Srivastava et al (2006) berargumen bahwa Page 9 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
kelompok yang memiliki efficacy yang tinggi akan membentuk pada sebuah pola yang mereka percaya dapat mengarahkan pada kinerja yang efektif. Tetapi, jika tugasnya membingungkan atau kabur, mereka (tim) hanya akan mencapai kinerja tim yang rendah. Tingginya efficacy dari manajemen tim dapat menjadi aset yang penting untuk organisasi. Pada kasus manajemen tim, efficacy tim yang tinggi hal ini akan membawa pada counter-response yang lebih cepat pada tindakan pesaing, strategi yang lebih agresif dan persisten dalam mencapai target yang tinggi (Bandura, 1997, Yun, 1999 dalam Srivastava, 2006). Dalam salah satu konsep penting dari social learning theory adalah self efficacy yaitu sebuah keyakinan kemampuan seseorang dalam melakukan sebuah tugas yang spesifik (Gist, 1987). Self-efficacy juga berhubungan dengan kinerja penjualan diantara agen asuransi jiwa (Barling dan Beattie, 1983 dalam Gist, 1987). Pencapaian pribadi (personal accomplishment) dengan umpan balik yang positif tampak meningkatkan self efficacy dan kinerja dalam menghasilkan ide-ide antara manager (Gist, 1987). Dalam studinya Gist juga menemukan bahwa self efficacy memiliki hubungan signifikan dengan kinerja apabila pekerja diberikan training. H4: Self-efficacy berpengaruh secara positif dengan kinerja individual. Hubungan antara perilaku pemimpin memberdayakan dengan kinerja Individual Empowering leadership dalam Kirkman dan Rosen (1999) mengidentifikasi perilakuperilaku external leader team behavior yang dapat meningkatkan kinerja tim. Ketika pemimpin memberikan tanggung jawab, otonomi, dan keleluasaan penggunaan ide-ide dari bawahannya, maka anggota tim akan merasa memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih potensial.
Page 10 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Manz dan Sims (1987), Guzzo et al., (1993) dalam Kirkman dan Rosen (1999) juga berpandangan bahwa empowering leader yang memberikan kesempatan tim untuk merancang kinerja mereka sendiri dan juga tujuan output menciptakan pengalaman autonomi yang lebih dan meningkatkan potensi tim sebagai anggota untuk memutuskan tujuan mana yang harus disesuaikan dan berapa usaha yang dibutuhkan dalam hubungannya dengan kinerja. Ketika pemimpin memiliki pengharapan yang tinggi, anggota tim akan bersemangat untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menantang. Kirkman dan Rosen (1999) menemukan bahwa empowering leadership dan kinerja tim akan berhubungan secara positif, dan pengaruh secara parsial dimediasi oleh pengalaman pemberdayaan psikologis. H5: Hubungan positif antara perilaku pemimpin memberdayakan dan kinerja pekerja dimediasi secara parsial oleh knowledge sharing dan self-efficacy.
Gambar 1 Model penelitian
Empowering leader behavior
Page 11 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Empowering leader behavior
Individual performanc e
Self efficacy
Metode Dalam studi ini, peneliti melakukan investigasi pada pekerja non paramedik di beberapa bagian. Peneliti melakukan survei setelah berkoordinasi dengan bagian SDM dan masing-masing kepala bagian. Pekerja yang memungkinkan dapat ikut untuk berpartisipasi sebanyak 123 pekerja. Dari 123 kuesioner tersebut, 104 kuesioner yang dapat diolah lebih lanjut karena sebanyak 15 pekerja mengambil cuti kerja sehingga tidak mengisi kuesioner, dua kueisioner tidak terisi (non response) dan dua responden kecendrungan hanya mengisi satu pilihan saja (tendensi sentral). Penetapan jumlah ini mengacu pada pendapat Roscoe (1975) dalam Sekaran (2003), dimana rules of thumb dalam penentuan jumlah sampel harus lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 responden untuk dapat digunakan pada berbagai jenis penelitian dan jumlah sampel 10 kali atau lebih dari jumlah variabel dalam penelitian multivariate. Pengukuran Perilaku pemimpin memberdayakan Page 12 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Perilaku pemimpin memberdayakan merupakan gaya kepemimpinan yang memungkinkan bawahannya untuk memiliki otonomi dan otoritas yang lebih tinggi, sehingga dalam menyelesaikan tugas pekerjaan akan lebih baik. Pemimpin memberdayakan mendelegasikan sebagian tanggungjawab pada bawahannya, sehingga bawahan akan merasa diberdayakan dan mendapat pengakuan dan sebagai hasilnya kinerja bawahan tersebut akan meningkat. Variabel ini berjumlah sebanyak 17 item pertanyaan yang mengukur perilaku pemimpin memberdayakan. Instrumen ini mengukur lima komponen perilaku pemimpin memberdayakan, yang terdiri dari pendelegasian kendali dan tanggung jawab, memberikan dukungan dan dorongan emosional pada bawahan, penyilangan informasi dan memberikan kesempatan bertindak. Item pertanyaan pertanyaan dinilai berdasarkan skala likert dari 1 “sangat tidak setuju” hingga 7 “sangat setuju”. Pengukuran ini diadopsi Hartman (2004) dengan hasil validitas dan reliabilitas yang baik dengan mencapai reliabilitas > 0.7 dan loading factors > 0.7. Contoh item pertanyaan untuk pendelegasian wewenang “manajer saya memberi saya otoritas yang saya butuhkan untuk pembuatan keputusan yang memperbaiki proses kerja dan prosedur ”
Knowledge sharing behavior Proses knowledge sharing merupakan pembagian ide-ide, informasi dan saling memberikan saran atau opini antar satu orang dengan lainnya dalam satu anggota kelompok. Knowledge sharing pada sebuah organisasi tidaklah dapat berjalan secara otomatis tanpa sebuah
Page 13 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
kondisi dan atmosfer pekerjaan yang mendukung. proses knowledge sharing bukan hanya satu arah (one way) namun cenderung pada proses saling memberi informasi (reciprocal). Variabel ini berjumlah sebanyak tujuh item pertanyaan yang mengukur perilaku knowledge sharing. Instrumen ini didasarkan pada pengembangan pengukuran oleh Bock et al., (2005) yang ditujukan untuk merefleksi perilaku knowledge sharing yang aktual. Item pertanyaan mengukur seberapa sering responden membagi (shared) work-related knowledge dengan rekan kerja mereka dalam satu tahun terakhir. Item pertanyaan dinilai berdasarkan skala likert dari 1 “sangat jarang” 4 “beberapa kali dalam sebulan” hingga 7 “sangat sering” (beberapa kali dalam sehari). Pengukuran ini diadopsi Chennamaneni (2006) dengan hasil validitas dan reliabilitas yang baik dengan mencapai reliabilitas > 0.7 dan loading factors > 0.7. Salah satu item pertanyaannya knowledge sharing behavior yaitu “ saya membagi pengetahuan Factual (know-what) yang saya peroleh dengan rekan kerja saya”. Self efficacy Self-efficacy dapat didefinisikan sebagai sebuah penilaian komprehensif dari persepsi kapabilitas untuk menyelesaikan sebuah tugas tertentu (Gist, 1992). Gist juga mengatakan bahwa self-efficacy merupakan konstruk yang dinamis artinya self efficacy seseorang dapat bertambah atau sebaliknya dapat berkurang bergantung pengalamannya. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa self efficacy berhubungan sangat penting dalam hasil pekerjaan seperti sikap kerja (job attitudes), kecakapan pelatihan (training proficiency) dan kinerja pekerjaan (job performance).
Page 14 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Variabel ini berjumlah sebanyak delapan item pertanyaan yang mengukur efficacy diri. Instrumen ini didasari oleh Bandura (1977, 1978) yang menilai ekspektasi orang. Item pertanyaan dinilai berdasarkan skala likert dari 1 “sangat tidak setuju” hingga 7 “sangat setuju”. Pengukuran ini diadopsi Chen (2004) dengan hasil validitas dan reliabilitas yang baik dimana dengan mencapai reliabilitas > 0.7 dan loading factors > 0.7. Contoh item pertanyaannya adalah “pekerjaan saya sesuai dalam lingkup kemampuan saya” Kinerja (extra role behavior) Variabel ini berjumlah enam item pertanyaan yang mengukur kinerja individual yaitu kinerja yang dipersepsikan. Instrumen ini menilai kinerja individual berdasarkan pada persepsi seseorang, atau yang biasa disebut dengan pengukuran subyektif. Pengukuran ini diadopsi Hall dan Hall (1976) dengan hasil validitas dan reliabilitas yang baik dimana dapat mencapai reliabilitas > 0.7 dan loading factors > 0.7. Contoh item pertanyaan “saya selalu melakukan yang terbaik untuk pekerjaan saya” Analisis Penelitian ini menggunakan teknik partial least square (SEM). Teknik ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi software SmartPLS V.2.0. Untuk mengukur empat konstruk yang terdapat dalam pengujian model, peneliti menggunakan 38 item pertanyaan. 17 item pertanyaan sebagai indikator perilaku pemimpin memberdayakan, tujuh item pertanyaan yang mengukur perilaku knowledge sharing, delapan item pertanyaan yang mengukur self-efficacy dan enam item pertanyaan indikator kinerja individual. Adapun data demografi menggunakan skala Page 15 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
nominal (kategorikal). Peneliti menggunakan PLS karena teknik ini dapat memberikan standardized regression coefficient untuk model jalur (model paths), yang dapat digunakan untuk mengukur hubungan antara variabel laten. PLS juga memberikan factor loading untuk setiap item pengukuran sehingga interpretasi dari loading tersebut sama dengan hasil interpretasi analisis komponen faktor (Bookstein, 1986 dalam Avolio, Howell & Sosik, 1999). Selanjutnya, PLS memungkinkan peneliti untuk menggunakan banyak pengukuran (multiple measures) pada dependen variabel maupun independen variabel sehingga dapat menilai indikator dan reliabilitas konstruk (construct reliability) seperti juga koreksi pada pengukuran yang salah (measurement error) (Cording et al.,2008). Hasil Peneliti melakukan analisis dengan menguji validitas diskriminan dan konvergen, konsistensi internal (reliability, cronbach’s alpha) untuk memeriksa model pengukuran agar dapat diterima (acceptability). Dari hasil yang didapat outer loading > 0.7 pada hampir sebagian besar indikator instrument, dan AVE > 0.5 sehingga validitas pengukuran dapat dicapai. Sedangkan hasil pengujian reliabilitas ditemukan composite reliability > 0.7, ini berarti intrumen yang kami gunakan dapat dikatakan konsisten (reliable). Berikut hasil uji pengujian validitas dan reliabilitas intrumen pengukuran. Tabel 1 Korelasi variabel laten AC AC
1.000
CP
0.508
CP
DA
DM
IS
KS
PP
SD
SE
1.000
Page 16 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
DA
0.445
0.607
1.000
DM
0.506
0.621
0.369
1.000
IS
0.510
0.727
0.525
0.540
1.000
KS
0.190
0.062
0.125
0.119
0.099
1.000
PP
0.329
0.280
0.144
0.338
0.244
0.370
1.000
SD SE
0.528
0.733
0.595
0.540
0.819
0.124
0.252
1.000
0.324
0.186
0.211
0.287
0.233
0.464
0.728
0.282
1.000
Sumber: Data mentah olahan, 2008
Tabel 2 Average variance extracted
AVE AC
0.509
CP
0.774
DA
0.752
DM
0.573
IS
0.855
KS
0.531
PP
0.603
SD
0.732
SE
0.507
Sumber: Data mentah olahan, 2008
Table 3 Nilai Cronbach’s alpha dan composite reliability Cronbachs Alpha AC CP DA DM ELB IS
0.503258 0.853496 0.834498 0.641185 0.926048 0.832186
Composite Reliability 0.750643 0.911295 0.900855 0.799986 0.936608 0.922098
Page 17 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
0.822816 KS 0.834639 PP 0.816184 SD 0.859617 SE Sumber: Data mentah olahan, 2008
0.87019 0.883002 0.891069 0.89006
Uji hipotesis
Pengujian model struktural dalam PLS tidak ada overall goodness of fit, karena itu model struktural dievaluasi dari indicator loading, R² values dan signifikansi dari jalur struktural (structural path) (Chin, 1998 dalam Cording et al., 2008). Berikut ini hasil pengujian jalur model struktural penelitian pada penelitian ini. Gambar 2 Signifikansi jalur model struktural
Page 18 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Berdasarkan nilai Beta koeefisien, nilai t (t-value) diatas, hasil uji untuk masing-masing hipotesis adalah sebagai berikut: Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa Perilaku pemimpin memberdayakan berpengaruh secara positif pada knowledge sharing antar pekerja. Hasil pengujian dengan software SmartPls V.2.0, menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memberdayakan tidak berpengaruh positif pada knowledge sharing dengan nilai koefisien beta 0.126291 dan t-value 0.981773. Artinya, hipotesis pertama tidak terdukung. Hasil studi ini bertentangan dengan penelitian Srivastava et al., (2006), yang menemukan bahwa kepemimpinan memberdayakan berpengaruh secara positif pada knowledge sharing. Proses knowledge sharing memang membutuhkan dukungan dari beberapa faktor antara lain contingent factors dan contextual factors. Seperti yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa faktor-faktor yang dapat dikategorikan sebagai contingent factor antara lain lingkungan, strategi, karakteristik pimpinan puncak dan lainnya. Kedua faktor tersebut dapat memiliki peran pada hubungan antara knowledge sharing dan kinerja organisasi itu sendiri. Faktor lain yang dapat berpengaruh yaitu organization culture atau iklim dalam organisasi itu. Selanjutnya, Moller dan Svanh (2004) dalam Du et al., (2007) menguji pengaruh budaya terhadap proses knowledge sharing, mereka berpendapat bahwa keterlibatan nature dari budaya dan tipe jejaring kerja menjadi rintanganrintangan knowledge sharing itu sendiri. Faktor yang kedua adalah Contextual factors yang antara lain meliputi faktor-faktor organisasional dan faktor-faktor inter-personal. Selain itu faktor lain seperti prosedural internal dan rutinitas juga mempengaruhi keefektifan dari knowledge sharing terutama pada tacit knowledge, sehingga diperlukan knowledge sharing system yang dapat mengintegrasikan antara faktor-faktor lingkungan (environmental factors) dan faktorPage 19 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
faktor organisasional dalam implementasi pada sebuah organsasi agar dapat berjalan dengan sukses (Du et al., 2007). Hasil temuan penelitian ini dapat mengindikasikan bahwa pemimpin seharusnya dapat mendukung (menfasilitasi) proses knowledge sharing. Meskipun factor kepemimpinan telah mendukung proses knowledge sharing itu sendiri, namun yang lebih penting adalah membangun atmosfer dan budaya yang dapat menjadi fondasi dari proses knowledge sharing. Disamping itu, faktor kesiapan secara individual, organisasional dan teknologi juga harus dapat menunjang. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa perilaku pemimpin memberdayakan berpengaruh secara positif pada self efficacy. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memberdayakan berpengaruh positif pada self efficacy dengan nilai koefisien beta 0.288459 dan t-value 2.71856. Artinya, hipotesis pertama terdukung (signifikan). Hasil temuan studi ini sesuai dengan temuan penelitian Srivastava et al (2006), bahwa pemimpin memberdayakan berpengaruh positif pada team efficacy, meskipun basis penelitian itu pada team, namun Kirkman dan Rosen (1999) menyatakan bahwa ketika sebuah team atau kelompok diberdayakan oleh pemimpin yang memberdayakan, hal itu akan meningkatkan team efficacy-nya. Team efficacy meningkat karena anggota kelompok atau team tersebut juga memiliki self efficacy yang baik. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa pemimpin dapat berperan untuk meningkatkan self efficacy bawahan karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi kinerja individual tersebut. Adapaun beberapa hal yag perlu diperhatikan oleh pemimpin yaitu berupa pemberian delegasi atau otoritas yang lebih pada bawahan, sebagai contoh pemimpin dapat melibatkan bawahan
Page 20 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, pemimpin juga dapat memberikan dukungan melalui tindakan persuasif serta dukungan emosional positif. Hipotesis yang ketiga yang menyatakan bahwa Knowledge sharing berpengaruh secara positif pada kinerja individual. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa bahwa knowledge sharing tidak berpengaruh positif pada kinerja individual dengan nilai koefisien beta 0.041737 dan t-value 0.515604. Artinya, hipotesis pertama tidak terdukung (signifikan). Hasil temuan
studi ini bertentangan dengan penelitian Srivastava et al., (2006). Srivastava menemukan bahwa kinerja sebuah team secara signifikan dipengaruhi faktor knowledge sharing. Begitu juga dengan temuan Quigley et al., (2007) yang menemukan bahwa kinerja individual dipengaruhi oleh perilaku knowledge sharing antar anggota kelompok. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa proses knowledge sharing belum dapat berjalan secara signifikan dapat disebabkan oleh factor-faktor kontekstual yang timbul sehingga tidak mempengaruhi kinerja. Chow, Deng dan Ho (2000) dalam Chennamaneni 2006 menyatakan bahwa proses knowledge sharing dapat dipengaruhi oleh interaksi antara budaya nasional (national culture) dan dua faktor kontekstual yaitu ketersediaan pengetahuan untuk dibagikan dan hubungan antara pemberi pengetahuan dan penerima pengetahuan. Studi tersebut lebih lanjut meneliti dampak dari budaya individualism dan kolektif (collectivism) pada knowledge sharing dengan berlatar belakang setting USA (individualism) dan RRC (collectivism). Dari hasil studi tersebut menemukan bahwa budaya individualism dan collectivism memiliki kemauan untuk berbagi pengetahuan, namun ketika konflik terjadi individu pada budaya kolektif akan cenderung
Page 21 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
untuk tidak membagi pengetahuan pada yang bukan termasuk kelompoknya, hal ini terjadi untuk menjaga harmonisasi kelompok. Hasil temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa diduga budaya yang melekat pada konteks negara di Indonesia (collectivism) akan mempengaruhi perilaku knowledge sharing pada sebuah organisasi. Disamping itu factor-faktor kontekstual seperti yang telah dipaparkan juga mempengaruhi proses knowledge sharing sehingga akan berdampak pada kinerja individual. Oleh sebab itu, organisasi harus dapat berperan lebih aktif bertanggung jawab atas ketersedian pengetahuan untuk dibagi (dapat melalui training dan pengembangan) dan dapat mengelola konflik serta trust secara lebih optimal agar kinerja individual dapat dioptimalkan. Sebagai tambahan, iklim, budaya, dan atmosfer organisasi harus benar-benar dibangun untuk menstimulus proses knowledge sharing. Hipotesis yang keempat yaitu self-efficacy berpengaruh secara positif dengan kinerja individual. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukan menunjukkan bahwa self efficacy berpengaruh positif pada kinerja individual dengan nilai koefisien beta 0.681423 dan t-value 8.320846. Artinya, hipotesis keempat terdukung (signifikan). Hasil studi ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Quigley et al., (2007), yang menemukan bahwa self efficacy secara signifikan mempengaruhi kinerja individual. Selanjutnya, Srivastava et al (2006) juga menemukan hasil yang serupa bahwa team efficacy mempengaruhi kinerja team. Dari hasil temuan ini dapat disimpulkan bahwa self efficacy mempengaruhi kinerja seseorang. Oleh sebab itu, jika sebuah organisasi ingin dapat meningkatkan self efficacy pekerja, maka perilaku pemimpin memberdayakan dapat berperan dalam mendorong pekerja untuk dapat Page 22 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memberikan pelatihan-pelatihan seperti outbound yang dapat mengembangkan kepercayaan diri dan efficacy pekerja. Temuan ini juga semakin menguatkan teori yang telah established saat ini bahwa self efficacy dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Variabel Self efficacy menjadi full mediation antara variabel dependen kinerja individual dan perilaku pemimpin memberdayakan. Sehingga pada penelitian-penelitian selanjutnya yang akan meneliti mengenai kepemimpinan memberdayakan dapat memperhatikan variabel mediasi ini. Hipotesis kelima yaitu hubungan positif antara perilaku pemimpin memberdayakan dan kinerja indiviual dimediasi secara parsial oleh knowledge sharing dan self-efficacy. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memberdayakan tidak berhubungan dan berinteraksi langsung pada kinerja individual. Hasil pengujian didapat nilai koefisien beta 0.095563 dan t-value 0.982016. Artinya, hipotesis kelima tidak terdukung (signifikan). Dari pengujian pada hipotesis perilaku pemimpin memberdayakan→knowledge sharing→kinerja individual tidak signifikan. Oleh sebab itu, knowledge sharing tidak memediasi hubungan antara perilaku pemimpin ke kinerja individual. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Srivastava et al., (2006) bahwa meski tidak ada interaksi dan hubungan langsung antara perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual (indirect effect) namun knowledge sharing diduga berperan sebagai intervening variabel (full mediation). Variabel mediasi lainnya adalah self efficacy, dari hasil pengujian hipotesis yang dilakukan, self efficacy tidak memediasi secara parsial hubungan antara perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual tetapi berperan sebagai full mediation. Hal ini sesuai dengan langkah atau tahapan dalam Hair et al., (2006) yang menyatakan bahwa Jika hubungan antara variabel independen dan dependen menjadi berkurang Page 23 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
pada sebuah nilai yang secara signifikan tidak berbeda dari 0 setelah variabel yang diduga memediasi dimasukkan ke dalam model sebagai konstruk pemediasi, maka full mediation terdukung. Berikut ini rangkuman hasil pengujian hipotesis pada setiap kontruk dalam penelitian ini: Tabel 4 Rangkuman temuan penelitian Hipotesis H 1: Perilaku pemimpin memberdayakan berpengaruh secara positif pada knowledge sharing antar pekerja H 2: perilaku pemimpin memberdayakan berpengaruh secara positif pada self efficacy H 3: Knowledge sharing berpengaruh secara positif pada kinerja individual. H 4: self-efficacy berpengaruh secara positif dengan kinerja individual H 5: hubungan positif antara perilaku pemimpin memberdayakan dan kinerja indiviual dimediasi secara parsial oleh knowledge sharing dan self-efficacy
Hasil pengujian hipotesis β = 0.126291
Simpulan Tidak didukung
t-value = 0.981773
β = 0.288459
didukung
t-value = 2.71856 β = 0.041737
Tidak didukung
t-value = 0.515604 β = 0.681423
Didukung
t-value = 8.320846 β = 0.095563
Tidak didukung
t-value = 0.982016
Sumber: data mentah olahan (2008) Diskusi
Page 24 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Tesis ini menguji peran knowledge sharing dan self efficacy sebagai variabel mediasi. Kedua variabel mediator tersebut digunakan dalam menguji hubungan antara perilaku pemimpin memberdayakan terhadap kinerja individual. Dalam studi ini proses knowledge sharing lebih dititikberatkan pada perilaku dari pekerja dalam sebuah organisasi baik pemimpin maupun bawahan. Selanjutnya, self efficacy yang memberikan hasil sesuai harapan yaitu menjadi variabel mediator, menjukkan perannya dengan memediasi secara penuh (full mediation) hubungan variabel dependen dan independen. Secara umum, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya tujuan utama dari studi ini adalah untuk menguji dua kategori mediator yang melekat pada perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual: knowledge sharing sebagai proses interaksi antar individu dan self efficacy sebagai sebuah emergent state. Sedangkan tujuan kedua studi ini adalah untuk memperluas cakupan riset kepemimpinan memberdayakan. Penelitian ini mencoba menjawab apakah dengan unit analisis yang berbeda hasil penelitian akan berbeda pula. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Srivastava et al (2006), menguji kepemimpinan memberdayakan terhadap kinerja team dengan unit analisis yaitu team. Temuan penelitian ini membuktikan beberapa temuan, pertama teori kepemimpinan akan diperkaya
dengan
pendekatan
kepemimpinan
memberdayakan,
dimana
kepemimpinan
memberdayakan bisa menjadi pendekatan yang cocok dengan keadaan bisnis yang berkembang saat ini, yaitu menghadapi lingkungan bisnis yang dinamis dan turbulen (Srivastava et al., 2006). Kepemimpinan memberdayakan memungkinkan organisasi untuk dapat cepat dan tanggap dalam memberikan pelayanan kepada stakeholder. Kepemimpinan memberdayakan memberikan otoritas atau wewenang pada bawahannya, memberikan kesempatan untuk bertindak sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi, memberikan dan memfasilitasi informasi yang diperlukan oleh Page 25 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
bawahannya serta dapat menciptakan iklim yang kondusif dengan dukungan persuasif dan emosional positif. Kesemua itu akan dapat berdampak pada koordinasi dalam lingkungan kerja sehingga dapat mendorong kinerja yang lebih optimal (Hartman, 2004). Penelitian ini semakin memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya (Srivastava et al., 2006, Kirkman & Rosen, 1999 dan Hartman, 2004) bahwa pemimpin yang efektif yaitu pemimpin yang memilki perilaku memberdayakan. Perilaku memberdayakan dapat dimulai pada level individu dan kelompok atau team secara keseluruhan yang memberikan peningkatan kinerja individu maupun kelompok. Kedua, penelitian ini menemukan hasil diluar dugaan yaitu peran knowledge sharing pada hubungan perilaku pemimpin memberdayakan terhadap kinerja individual tidak terdukung. Hal ini bisa disebabkan karena faktor teoretikal atau metode. Berdasarkan hasil temuan pada penelitian ini variabel knowledge sharing memiliki R² sebesar 0.0159 artinya konstruk ini hanya menerangkan variasi 1.5 persen dari fenomena yang ditangkap. Sehingga hal ini dapat menjadi indikator bahwa perilaku knowledge sharing belum “exist” pada setting penelitian. Proses knowledge sharing merupakan proses yang kompleks yang tidak hanya ditentukan pada gaya kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Diduga faktor kontingensi seperti struktur, lingkungan, karakteristik pemimpin dan strategi berperan dalam mekanisme dilingkungan kerja pada setting penelitian ini. Disamping itu, faktor kontekstual seperti budaya atau iklim yang berkembang pada setting penelitian selama ini mungkin belum cukup dapat mendukung perilaku knowledge sharing. Faktor budaya menjadi faktor yang berperan penting dalam membangun fondasi untuk mendukung proses knowledge sharing sebuah organisasi (Chennamaneni, 2006). Oleh sebab itu rintangan individual, organisasional dan teknologi harus dapat diminimalisir agar dapat menjadi leverage yang dapat meningkatkan kinerja individual. Page 26 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Menurut Griffith, Sawyer dan Neale (2003) pengetahuan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu, pengetahuan individual (eksplisit dan tacit), pengetahuan sosial (objectified, collective, shared understanding) dan pengetahuan organisasional (technology, structures, routines), ketiga tipe pengetahuan tersebut harus dapat saling bersinergis karena berpengaruh pada kebergunaan pengetahuan (usable knowledge). Pengetahuan pada level individual akan tumbuh ketika antara individual memiliki hubungan mutualisme yang baik, karena ketika hubungan interpersonal dan sosial antar individual tidak harmonis maka dapat menghambat terjadinya perilaku knowledge sharing. Pengetahuan dapat bertransformasi dari level individual hingga organisasional, Nonaka (1994) dalam Griffith et al., (2003) mengemukakan konsep “spiral of knowledge” yaitu pengetahuan tacit dan eksplisit individual akan bertransformasi dan membangun antara satu individu dengan individu lainnya untuk kemudian membentuk pengetahuan pada tingkatan social dan pada akhirnya pada pengetahuan organisasi. Selanjutnya, Spender (1996) dalam Griffith et al., (2003) menyatakan bahwa pengetahuan ekplisit tingkat individual akan menjadi pengetahuan obyektif pada tingkatan analisis sosial, sementara itu pengetahuan tacit individual-level menjadi pengetahuan kolektif pada tingkatan analisis sosial. Ketiga, temuan pada penelitian ini membuktikan bahwa konstruk self efficacy merupakan sebuah emergent state yang berperan dalam hubungan antara perilaku pemimpin memberdayakan terhadap kinerja individual. Selaras dengan temuan penelitian yang dilakukan Prussia, Anderson dan Manz (1998) self efficacy menjadi variabel mediator antara self leadership ke kinerja. Selanjutnya Durham et al., (1997) menemukan bahwa efficacy menjadi variabel mediator pada hubungan antara kemampuan pemimpin (leader ability) terhadap kinerja team. Bandura (1986) dalam Durham et al., (1997) efficacy merupakan elemen yang penting pada team begitu juga pada Page 27 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
individual sehingga ketika efficacy pada level individual baik dan berdampak pada kinerja maka hal itu juga akan berpengaruh pada collective efficacy. Peran pemimpin akan sangat berpengaruh pada self efficacy bawahannya, temuan penelitian ini membuktikan dengan perilaku pemimpin memberdayakan seperti pemberian delegasi, memberikan kesempatan untuk bertindak, penyediaan dan pembagian informasi serta dukungan emosional akan dapat meningkatkan efficacy bawahannya yang berdampak pula pada kinerja bawahannya. Penelitian ini juga mengintegrasikan beberapa konsep yaitu knowledge management, teori kepemimpinan dan social cognitive theory sehingga temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada tingkat pengembangan teori dan praktis. Penelitian pada level konsep knowledge management pada lingkup SDM masih kurang secara empiris, hal ini sebenarnya lebih banyak dieksplorasi pada ranah sistem informasi keprilakuan. Penelitian-penelitian sistem informasi keprilakuan saat ini lebih banyak dikembangkan atau didasari oleh teori-teori yang telah established seperti Theory of Planned behavior, Theory of Acceptance Model dan Theory of Reasoned Action. Oleh sebab itu, perspektif teori yang integratif perlu dilakukan karena sulit untuk menjelaskan sebuah konstruk hanya dari satu perspektif teori saja. Studi ini mengintegrasikan beberapa konsep teori, namun tidak melakukan multilevel study yang dapat menjelaskan fenomena yang lebih grounded. Studi ini memberikan insights yang dapat membantu dalam mengembangkan perspektif teori integratif antara teori kepemimpinan, knowledge management dan social cognitive theory. Simpulan hasil penelitian
Page 28 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Tesis ini memiliki dua tujuan yaitu untuk menguji dua kategori mediator yang melekat pada perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual: knowledge sharing sebagai proses interaksi antar individu dan self efficacy sebagai sebuah emergent state. Sedangkan tujuan kedua studi ini adalah untuk memperluas cakupan riset kepemimpinan memberdayakan. Penelitian mengenai perilaku pemimpin memberdayakan belum banyak mendapat perhatian dalam konteks penelitian kepemimpinan, studi ini mencoba menguji variabel-variabel yang dapat berperan dalam hubungan perilaku pemimpin memberdayakan terhadap kinerja individual. Dua variabel mediator digunakan untuk
menguji hubungan tersebut, yaitu
Knowledge sharing dan self efficacy. Knowledge sharing dipandang sebagai sebuah proses interaksi antar pekerja, sedangkan self efficacy merupakan sebuah sesuatu yang harus dimiliki seorang pekerja untuk mencapai kinerja yang baik. Untuk dapat menjelaskan fenomena yang terjadi, studi ini mengintegrasikan beberapa perspektif teori yaitu knowledge management, teori kepemimpinan dan social cognitive theory. Perbedaan penelitian studi ini dengan penelitian seblumnya yaitu terletak pada unit analisisnya. Penelitian ini menggunakan unit analisis individual sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Srivastava., (2006) menggunakan unit analisis team. Disamping itu dalam penelitian ini knowledge sharing diuji bukan pada intensinya saja namun melihat bagaimana perilaku knowledge sharing, sedangkan penelitian sebelumnya tidak membedakan proses knowledge sharing sebagai sebuah intensi atau perilaku. Hasil studi ini menunjukkan bahwa peran mediasi perilaku knowledge sharing tidak terdukung. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu faktor Page 29 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
kontingensi seperti struktur, lingkungan, karakteristik pemimpin dan strategi serta faktor kontekstual yaitu budaya organisasi, iklim, nilai, norma, sikap dan lainnya. Selaras dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Srivastava et al., (2006), hubungan perilaku pemimpin memberdayakan dan kinerja dimediasi secara penuh (full mediation) oleh self efficacy, hal ini ditunjukkan dengan nilai beta 0.288459 dan t-value 2.71856 (ELB→SE) dan beta 0.681423, t-value 8.320846 (SE→PP). Keterbatasan penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan atau kelemahan antara lain: •
common method bias, penelitian ini sangat memungkinkan terjadinya common method bias dimana responden menjawab pertanyaan dengan self reporting. Artinya responden akan menjawab pertanyaan hanya bergantung pada penilaian subyektif responden sehingga jawaban responden berpontensi pada perceptual bias.
•
Pengukuran penelitian hanya berdasarkan pada pengukuran individual (subjective measure) sehingga tidak dapat menangkap perilaku yang sebenarnya terjadi.
•
Sample size pada penelitian ini kurang cukup memiliki power level yang tinggi, sehingga hasil penelitian mungkin akan berbeda jika sample size penelitian lebih besar.
•
Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir pada berbagai setting yang berbeda, oleh karena itu hasil penelitian perlu diuji lagi pada setting yang berbeda.
•
Penelitian ini tidak meng-cover faktor-faktor lainnya sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat memasukkan variabel-variabel lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual. Page 30 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Implikasi penelitian •
Implikasi teori Penelitian ini memberikan kontribusi teori bahwa self efficacy merupakan variabel yang
mempengaruhi hubungan perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja individual. Artinya temuan ini semakin memperkuat penelitian-penelitian terdahulu (Kirkman dan Rosen, 1999, Srivastava, 2006) bahwa peran atau gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan mempengaruhi self efficacy bawahan dan berimbas pada kinerjanya. Pada konteks penelitian ini ada lima dimensi perilaku pemimpin memberdayakan yang terbukti mempengaruhi self efficacy bawahan yaitu memberikan kewenangan dan otoritas pada bawahan, memberikan kesempatan untuk bertindak, information sharing, pengembangan keahlian dan dukungan persuasif. Hal ini ditunjukkan pada nilai beta dan t-value yang signifikan. Instrumen perilaku pemimpin memberdayakan pertama kali dikembangkan oleh Arnold et al., (2000) dan Konczak et al (2001). Arnold mengembangkan intrumen yang digunakan pada setting yang berbasis team, sedangkan instrumen yang digunakan pada penelitian ini menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Konczak yang berbasis pada unit analisis individual. Temuan studi ini memberikan kontribusi pengembangan instrumen yang berkembang, karena dari hasil pengujian terbukti bahwa instrumen ini valid dan konsisten (reliable). Oleh sebab itu, instrumen ini dapat digunakan pada penelitian-penelitian selanjutnya. Studi ini menemukan bahwa knowledge sharing tidak terbukti menjadi variabel mediator antara perilaku pemimpin memberdayakan ke kinerja tim. Penulis menduga ada beberapa kemungkinan, pertama sample size yang digunakan dalam studi ini pada level yang minimum sehingga bisa mempengaruhi hasil pengujian. Kedua, ada faktor-faktor lain yang mungkin Page 31 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
berperan dalam mempengaruhi mekanisme knowledge sharing dalam sebuah organisasi. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa faktor-faktor yang mungkin timbul yaitu faktor kontekstual dan kontingensi. Untuk itu penelitian-penelitian selanjutnya agar dapat menggunakan berbagai konsep yang berbeda secara simultan, sehingga hasil yang akan didapat akan lebih meaningful. • Implikasi praktis Studi ini memberikan ilustrasi akan pentingnya peran pemimpin dalam meningkatkan self efficacy dan memperhatikan faktor-faktor lain dalam knowledge sharing. Meskipun hasil studi ini tidak mendukung perilaku pemimpin memberdayakan-knowledge sharing-kinerja, namun dalam transfer pengetahuan dukungan pemimpin menjadi isu yang krusial untuk menjadi fasilitator dan katalisator proses knowledge sharing (Srivastava, 2006) Manager dapat meningkatkan self efficacy bawahannya melalui pemberian delegasi atau wewenang, dukungan emosional, ketersediaan informasi dan pengembangan keahlian. Disamping itu pemimpin dituntut untuk menciptakan iklim dan budaya yang mendukung lingkungan kerja yang kondusif.
Daftar Pustaka
Page 32 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Arnold et al. The empowering Leadership Questionnaire: The Construction and Validation of A New Scale for Measuring Leaders Behaviors. Journal of organizational behavior. Vol.21, No. 3, pp249-269. Ahearne, M, Mathieu, J, and Rapp, A. 2005. To empower or not to empower your sales force? An empirical examination of the influence of leadership empowerment behavior on customer satisfaction and performance. Vol.90.No.5. pp. 945-955 Avolio, Howell & Sosik. 1999. A funny thing happened on the way to the bottom line: humor as a moderator of leadership style effect. Academy of manajement journal. Vol.42. No.2. pp. 219227. Baron, R. M., & Kenny, D. A. 1986. The moderator-mediator variable distinction in social psychological research: Conceptual, strategic, and statistical considerations. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.51 pp.1173–1182. Bock, G. W., Zmud, R. W., Kim, Y. G., and Lee, J. N. 2005. Behavioral Intention Formation in Knowledge Sharing: Examining the Roles of Extrinsic Motivators, Social-Psychological Forces, and Organizational Climate,". MIS Quarterly.Vol29.No1 pp. 87-111. Chen et al. 2007. A multilevel Study of Leadership, Empowerment, and Performance in Teams. Journal of applied psychology. Vol92, No.2. pp.331-346 Chen et al. 2004. General self efficacy and self esteem: toward theoretical and empirical distinction between correlated self evaluations. Journal of organizational behavior. Vol. 25. pp. 375-395. Chennamaneni. 2006. Determinants of knowledge sharing behaviors: developing and testing an integrated theorethical model. Unpublihed Doctoral Dissertation, The University of Texas at Arlington. Conger J A & Kanungo R N.1988. The Empowerment Process: Integrating Theory and Practices. Academy of management review. Vol.13 No.3, pp.471-482 Conger J A.1989. Leadership: The art of empowering others. The academy of management Executive.Vol III. No.1. pp17-24
Page 33 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Cooper D.R & Schindler. Business research methods. New York: McGraw Hill Cording, Christmann & King, 2008. Reducing causal ambiguity in acquisition integration: intermediate goals as mediators of integration decisions and acquisition performance. Academy of management journal. Vol.51. No 4. Pp. 744-767 Cummings J N. 2004. Work groups, structural diversity, and knowledge sharing in a global organization. Management Science. Vol.50, No.3, pp.352-364 Du, R et al. 2007. Relationship between knowledge sharing and performance: A survey in Xi’an, China. Expert system with applications. Vol.32, pp. 38-46. Durham C C, Knight D & Locke E. A. 2001. The Relationship of Team Goals, Incentives, and Efficacy to strategic Risk, Tactical Implementation, and Performance. Academy of management journal. Vol.44, No.2 pp.326-338 Durham C C, Knight D & Locke E. A. 2001. Effects of Leader Role, Team-Set Goal Difficulty, Efficacy, and Tactics on Team Effectiveness. Organizational behavioral and human decision process. Vol 72. No.2. pp 203-231 Edmonson A.1999. Psychology safety and Learning Behavior In Work Teams. Administrative Science Quarterly. Vol.44, pp.350-383 Faraj S & Sproull L. 2000. Coordinating Expertise in Software Development teams. Management science Informs. Vol.46, No.12 pp.1554-1568 Gist M E & Mitchell T R. 1992. Self-efficacy: A theoretical analysis
of its determinants and
malleability. Academy of management review. Vol.17, No.2, pp.183-211 Gist, M.E., Rosen, B and Schwoerer, C. E. 1987. Modeling vs. non modeling: the impact on selfefficacy and performance in computer training for managers. Property of academy of management.
Page 34 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Gozali, I. (2006) Structural Equation Modelling: Metode Alternatif dengan Partial Least Square – PLS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Greenberg, J & Baron,R.A.2000.Behavior in Organizations eight edition. Prentice hall. New Jersey Griffith, Sawyer & Neale. 2003. Virtualness and knowledge in teams: managing the love triangle of organizations, individuals, and information technology. MIS Quarterly. Vol.27 No.2. pp.265-287 Hall, D.T & Hall, F.S.1976. The relationship between goals, performance, self-image, and involvement under different organizational climates. Journal of Vocational Behavior. Vol.9. pp. 267-278 Hansen M T, Morse ML & LǿvÅs. 2005. Knowledge Sharing in Organizations: Multiple Networks, Multiple Phases. Vol.49 No.5. pp.776-793 Hartman E. L, 2004. The relationship between CEOs Traits, empowering leader behaviors and objective and subjective measure of performance. Unpublished Doctoral Dissertation, The Graduate College of The Illionis Institute of Technology. Hair, J. F., William, C. B., Barry, J. B., Rolph, E. A., & Ronald, L. T. 2006. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Jones, G. R. 1986. Socialization tactics, self-efficacy, and newcomers’ adjustment to organizations. Academy of management journal Vol.29, pp.262-279 Kirkman B L & Rosen B. 1999. Beyond Self Management: Antecedent and Consequences of Team Empowerment. Academy of management journal.Vol.42, No.1, pp.58-74 Konczak et al., 2001. Defining and measuring empowering leader behaviors: development of an upward feedback instrument. Educational and psychological measurement. Vol. 60. No.2. 301313 Nonaka, I. 2004. A dynamic theory of organizational knowledge creation. Organization science, vol.5, No.1, pp.13-37. Prussia G E, Anderson J S dan Manz C C. 1998. Self-leadership and performance outcomes: the mediating influence of self-efficacy. Journal of organizational behavior. Vol 19. Pp.523-538 Page 35 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Quigley N R, et al. 2007. A multilevel investigation of the motivational mechanism underlying knowledge sharing and performance. organization science. Vol.18.No.1.pp 71-88 Riege, A.2005. Three-dozen knowledge-sharing barriers manager must consider. Journal of knowledge management. Vol. 9.No.3.pp18-35 Salisbury, W.D., Chin, W.W., Gopal, A. and Newsted, P.R. (2002) Research report: better theory through measurment-developing a scale to capture consensus on appropiation. Information System Research, Vol. 13, No. 1, pp. 91-103. Schermerhon, J.R & McCarthy, A.2004. Enhancing performance capacity in the Workplace: a reflection
on the significance of the individual. The Irish journal of management. Vol. 25, No. 2, pp. 45-61. Sekaran, U.2003. Research methods for business A skill-Building Approach. New York: Wiley Spreitzer G M, Janasz, S C and Quin R E. 1999. Empowered to lead: the psychological empowerment in leadership. Journal of organizational behavior Vol.20 pp. 511-526
Srivastava A Bartol L M & Locke E A.2006. Empowering Leadership in Management Teams: Effect on Knowledge sharing , Efficacy and Performance. Academy of management journal. Vol.29, No.6 pp. 1239-125
Page 36 of 37
Simposium Nasional Sistem Teknologi Informasi (SNSTI) Universitas Gajah Mada, 27-28 Januari 2009
Page 37 of 37