Artikel Penelitian
@
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius dengan Sudut hlasofrontal Berdasarkan Klasifikasi Keros
Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael, Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar Akil Bagian llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Lehe4 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Maleassar
Abstrak: Pencitraan dengan CT scan sinus paranasalis merupakan keharusan sebelum tindakan BSEF, untuk mengetahui anatomi sinonasal dan struktur sekitarnya. Klasifikasi Keros mendeskripsikan kedalamanan fossa olfaHorius tipe-j yang saxgat rentan terjadi kebocorqn cairan serebrospinalis dan kamplikasi intrakranial lainnya. Asumsi bshwa sudut nasafrontal dan kedatamanfossa olfaktorius berasal dctri penorcjolercwajahyang same pada masakehidupan
embriologi, ingin ditelusari kebermaknaannya dalam penelitian ini. Penelitian
ini
ingin
rnembuktikan apakah matra hidung luar yakni ,sudut nasafrontal dapat menjadi pararneter untuk memprediksi matra hidung dalam yakni kedalamanfossa olfahorius. Penelitian dilal
Maj Kedokt Indon, Volurn: 58, Nomor:
E, Agustus 2008
291
Analisis Kedalamarc Fassa Olfaktorius Dengan Sudut Nasofrantal
The Depth of Olfactory Groove Analysis With Nasofrantal Angle Based on Keros Classification Yan Edwin Bunde, Freddy George Kuhuwael, Sutji Rahardjo, Muhammad Amsyar Akil Ear Nose Throat-Head and Neck Departrnent, Faculty of Medicine, Hasanuddin Ul,itersity, Makassar
Abstra{t: Radiagraphic imaging of camputed tamagraphy (CT) scan befare perforrning pf.$$ ig mandatory to understand sinonasal anatomy and its adjacent struclures. Keros classification had been describing the depth of olfactory groove which type-3 is most vrlnerable to CSF leak and intretcranial penetration. Assuming that nasofrontal angle and the depth of olfactory groore cafle extetnal frornthesamefacialprqjectionduringembryonallifewillbefndingoutinthisstudy.Can nasal measarement i.e. nasofrontal angle be a new parameter to predict intemal nasat measufement i.e- the depth of olfactory groave? Astudy had been conductedfor 124 subjects. We obtained the descriptions of the depth of olfactory groove each side which is Keros type 2, type 3, type 1 conseeutively at left side and Keros tTpe 2, We I, We 3 cottsecutively attheright side. The leftside olfactory groove deepet'tltan the right side. Mean of ncsofrontal cngle is 134, 2". There was no signficant cot'relation between nasofrontal angle and the depth of olfactnry groove so nasofrontal angle can not be a parameter to predict the depth ofolfactory groove Key words: Keros classifrcation, olfactory groove, nasofrontal angle
Pendahuluani Pada dua dekade terakhir, Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) merupakan suatu prosedur yang telah diterima secara luas untuk penanganan Rhinosinusitis kronikt'2 Prosedur ini telah sangat berkembang di Indonesia
termasukdi Makassar. Untuk dapat melakukanBSEF dengan aman danbaik dibutuhkan faktor ketersediaan instrumentasi dan tehnik operasi yangbaik, kemampuan mencennati stn:khu anatomi
Kedalaman fossa olfaldorius telah diklasifikasikan oleh Keros terdiri dari 3 tipe yaitu tipe I ( I -3 mm), tipe I1 (4-? mm) dan tipe 3 (8-16 mm) seperti diperlihatkan pada gambar 1.
Tipe 3 mempunyai lamina lateralis yang lebih panjang sehingga paling berpotensi untuk terjadinya kebocoran cairan serebro-spinalis dan komplikasi intrakranial lainnya yang dapat mengarcamjiwa penderila. Para ahli BSEF harus mempertimbangkan dan mewaspadai keadaan tersebut.7,8
sinonasal dan struktur sekitarnya serta kemampuan menangani komplikasi yang dapat terjadi.s Dalam melakukan
BSEF, merupakan suatu keharusan untuk melakukan pemetaan variasi anatomi Sinonasal dan stnrktur sekitarnya dengan lebih rinci pihr melalui pemeriksaanComputed Tb-
mography (CT) scan sinus paranasalis.a Salah satu variasi anatomi yang penting diketahui dalam melalaftan BSEF adalah kedalarnan fossa olfaktorius. Lamfun lateralisnya merupakan daerah rawan tembus pada tindakan etmoidektomi intranasal yang merupakan prosedur BSEF sehingga dapat terjadi kebocoran cairan serebrospinalis.5'6
Angka kejadian kebocoran cairan serebro-spinalis akibat BSEF berkisar |Yo, tergantung dari ahli bedah dan kasus yang dihadapi. Kejadian tersebut dapat menjadi keadaan yangmengancamjiwa.2
292
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor:
8, Agustus 20OE
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengarc Sudut Nasofrontal
Penelitian-penelitian tentang kedalaman fossa olfaktorius menurut Klasifikasi Keros telah dilakukan dibeberapa negara. Di Indiatt didapatkan hasil tipe I pada 15
Wnderitae$/o),tipetrpada59pndeita(78,77o)dantipeltr
pada 1 penderita (1,3W . Di Philipina diperoleh tipe I pada 8 penderita (15,6Y$, ttpe[,pada5 penderita (9,87o) dan tipe Itr
pada 23 penderita (45%). Endang Mangunkusamo memperoleh hasil tipe I pada l1 kasus (44VQ,ttpeIIpada7 kasus (287o) dan tipe
Itr
pada? kasus (287o).12
Biladiperhditan secaraembriologi( dasar darifossa olfaktorius ya;ttu lamina cribrosa ossis ethmoidalis yang juga merupakan bagian dari 6asls cranii anterior mempunyai keterkaitan d engan pra ce ssusfrontanasali s. 3f tu,?znw*
trs*b.tslsnl
*ps*tz
wa{
te
Gambar 3. Sudut Nasofrontal Wajah
la
Ia*ralwsel yctsr liyu
1"a
E:ital.tr pr.tit*t ;}fe*iil+rg prma.t* 'ffamptilr*ir
lftvrii!*L+r
urr&
ptBa nf *ryeii
-
f1gtezatz'1:&"tfu r*Nt
Gambar
2,
Gambar 4. Potongan Sagital Septum Hidungl5
Kepala Embrio Manusia Kira-kira Umur 29 Hari12
Dengan berkembangnya daerah sekelilingnya, processus frontonasalis menjadi cekung dan pada bulan ke tiga usia fetus terbentuk processus nasalis lateralis yang akan berperan pada perkembangan atap rongga hidung.''
Pada saat lahir, basis cranii anterior termasuk os ethmoidis, crista galli dan atap hidung belum mengalami ossifikasi, masih berupa tulang rawan. Seiring tumbuh kembangnya anak, akan te{adi ossifikasi pada basis cranii anterior termasuk tulang hidung dan sekitar dahi, seperti tampakpada gambar 3.13 Diketahui terdapat beberapa ukuran sudut-sudut wajah dari proporsi estetikawajah, seperti sudut nasofrontal, sudut nasofasiaT, sudut nasomental dan sudut naso1zbial.14'15
Di
fossa olfaktorius itu sendiri, pada keadaan fasilitas CT scan belumtersedia. Hingga saat ini belum terdryat data mengenai kedalaman fossa olfaktorius menurut klasifikasi Keros di kota Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama untuk mengetahui apakah terdapat korelasi bermakna antara matra hidung dalam yattu ukuran kedalaman fossa olfaktorius dengan matra hidung luar yaitu ukuran sudut nasofrontal.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ektplorat$ Populasi penelitian ini adalah semua penderita Rinosinusitis Pra BSEF yang telah atau akan menjalant
antara sudut-sudut wajah tersebut, menurut asal embriologik
pemeriksaan CT scan sinus paranasalis potongan koronal
dan tumbuh kembangnya, sudut nasofrontal diasumsikan mempunyai keterkaitan dengan fossa olfaktorius. Dengan melihat hubungan embriologis kedua struktur tersebut ingin diamati apakah ada hubungan antara sudut nasofrontal dan kedalaman fossa olfaktorius, sehingga bisa
tanpa kontras. Syarat inklusi sampel adalahPenderitaPra BSEF yang di lalckan pemeriksaan Clscan sinus paranasalis potongan koronal tarpa kontras, berusia minimal 17 tahun, sub ras
dijadikan suatuparameterbam dalam memprediksikedalaman
Maj Keilokt Inilon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008
Deutero Melayu atau Proto Melalu. Syarat eksklusi bila terdapat riwayat operasi hidung sebelumnya, tumorhidung
293
Analisis Kedalaman Fossa Olfuktorius Dercgan Sudut Nasafrontal yang dapat merubah ukuran kedalaman fossa otfaktorius dan
sudut nasofrontal, polip hidung masif yang menyulitkan pengukuran kedalaman fossa otfaktorius, riwayat trauma hidung dan maksilofasial sebelunnya.
PeEanbiJar mnpelscata ranclom sampling method. Ukuran kedalaman fossa olfaktorius ialah ukuran yang didapatkan berdasarkanjamk garis tegak lurus antara lamina kribrosa dengan ketinggian atap ethmoid pada imaging CT scan sinus paranasalis potongan koronal tanpa kontras.
Tabel 1. menur$ukkanjurnlah sampel perempuan lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 1,7: 1. Tiga nrku terbanyak secara berurutan adalalah suku Bugis sebesar 51 subjek (42,5o/A, suku Makassar sebesar 40 subjek (33,3Vo) dan suku Toraja sebesar 10 subjek (8,37o). Deutero Melayu sebagai sub ras terbanyakyaitu 104 subjek (86,7yA.
Distribusi Sampel Berdasarkan Suku dan
Tabel. 2.
Laki-Laki
Suktr
iii:
riF
cjriSdii |itisdd! tC. rildJ5!]J t? . ftria};rti.* il$.
al.
Bugs 17 Makassar 16 Toraja 1 Mandat I Jawa 3 Tolaki I Ternate 2 Batak
I v1 S'l
. ttu& {sNr . l!Fknl6ar:.
(Jtr
" +t'rdB,!
FE
1
JumIah
14,11 t3,28 0,83 0,83 t{
0,83 1,66
Bima
1
34 24 9 2 t,
2
I
28,22 t9,92 7,47 1,66 1,66 1,66 0,83
51 4A 10
42,5A 33,33
8,33
t
3
-1
3 3
0,83 0,83 0,83
o,g:
0,83
-1
Raha
0,83 0,83
0.83
4,93
Gambar 5. Uknran Kedalarnan Fossa Olfaktoriusls
36,7
HasilPenelitian Selama kurun waktu 4 bular! yaitu dad bulan Mei 200? sampai bulan Agustus 2007 , telah dilakukan pengambilan sampel pada penderitz pra BSEF yang telah menjalanr pemeriksaan CT scan sinus paranasalis potongan koronal di
76
63.3
{n
4,16 2,50 2,54
5
0,83
Betawi
-;t'*djj
Jenis
Kelamin
120
100
Tirbel 2 memrnjukkan bahwa laki-laki suku Bugis sebesar 17 stfujek (l 4, I lVg dan perernpuannya 3 4 utujek (28,22%) merupakan sampel tertesar dalam distribusi ini.
bagian radiologi, RSAD Pelamonia, Makassar yang mementrtri kriteria penelitian. Jumlah total sampel sebanyak 120 penderita.
Karakteristik sampel penelitian sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi Klasifikasi Keros pada Seluruh Sample
Klasifikasi
Fossa
Fossa
Keros Sampel
Olfaktorius
Olfalokrius
Kifi
Kanan
Tabel 1. Frekuensi Menurut jenis Kelamin, Suku dan SubPerempuan:
Yariabel
Frekuensi
Persentase
Jenis kelamin:
Laki-laki Perempuan Sub Ras
44 76
36,7 63,3
DM
BuSs Makassar
Bima
51 4A
42,5 33,3
11
t4,47
t4
50
65,78 19,73
54
18,42 71,05
8
t4,52
15
Laki-laki:
TIPE I TIPE II TIPE III
6
24 14
L3,63 54,54 31;81
13
29,54
30
68,1 8
L
an1
Sampel: 120 subjek
1
0,e
Mandar Betawi
3
t<
Jawa
5
0,8 4,2
Tabel 3. menunjukkan bahwa pada fossa olfaktorius
Ternate
-t
a<
gendff Wreffipuan didapatkan klasifikasi Keros terbanyak
3
t{
I
Sub Ras PM
Tolaki Raha/Wuna
Toraja Batak
) 10
1,6
1
8,4 0,8
Deutero Melayu
104
86,7
Proto Melayu
l6
13.3
Sub-ras
(DM: Deutero melayu; PM : Proto melayu)
294
TIPE I TIPE II TIPE III
kiri
secara berurutan yaitu Keros tipe II sejumlah 50 subjek (65,78YQ,Keros tipe Itr 15 subjek (19 ,73o/o) danKeros tipe I seb€sar Tl (T4,47W. Pada fossa olfaktorius kanan jenis
kelamin perempuan, Klasi{ikasi Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe II sejunlah 54 subjek (7l,05o/o), Keros tipe I sebesar 14 subjek (I8,42yo) dan Keros tipe III sebesar 8 sampel (10,52VA. Pada fossa olfaktorius kiri lakilaki didapatkan klasifikasi Keros te$anyak s€anrakrurutan Maj Kedokt Indon, Vblum: 58, Nomor:
E, Agustus 2008
Analisis Kedalaman Fossa Olfaktorius Dengan Sadut Nasofrontal yaituKeros tipe2 s&esar 24 sampel (54,54o/o),Keros tipe
3
dengan hasil penelitian di Indi4 Philipina, Jakanta, Jerman,
I sebesar6 sampel (13,63yo). Pada fossa olfaktorius kanan laki-laki, Klasifikasi
tampak bahwa hasil mempunyai kesamaan dengan penelitian
sebesar 14 sampel (31,81olo)danKerostipe
Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe 2 sebesar 30 sampel (68,187o), Kerostipe 1 sebesar 13 sanrylQ9,54YQ danKeros tipe 3 sebesar I sampel(2,27YQ. Pada seluruh sampel didapatkanklasifikasi Keros pada fossa olfaktorius kiri terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe 2 sebesar 74 sampel, Keros tipe 3 sebesar 29 sampel dan Keros tipe 1 sebesar 17. Pada fossa olfaktorius kanan, Klasifikasi Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe 2 sebesar 84 sampel, Keros tipe I sbesar 27 sampel dan Keros tipe 3 sebesar 9 sampel.
Tabel 4. Korelasi Kedalaman Fossa Olfakforius dengan Sudut
Nasofrontal Variabel
Rata-rata
SD
6,2
2,O0
0,00
5,3
1,80
0,031
134,2
9,30
0,609
Derajal kedalaman (mm)
a. b.
FO
kiri
FO kanan Sudut NF ( ') Nilai
p
pada
Fossa
Olfaktorius (FO) kiri:0.00.
Fossa Olfaktorius (FO) kanan :0.031
Sudut Nasofrontal (NF) :0.609
Tabel 5. Korelasi Sndut Nasofrontal, Kedalaman Fossa Olfaktorius Antara Suku Bugis, Suku Makassar dan Suku
Toraja
Bugis (n:40) Mean *
Makassar (n=10) Mean +
Toraja (n=1) Mean + SD
FO Kiri (mm) FO Kanan (mm)
SudutNF(")
6.5059 + 2.035'12 5.4706 + 1.7 4279 134.08 + 10,814
+ 1.95414 5.3500 + 1.97847 133.80 + 9.088
6.3050
5.3000 + l_646
43504 + 1.475 135.50 +
9.659
Keros, bahwa yang terbanyak adalah tipe II, lalu tipe III (pada fossa olfaktorius sisi kiri dari penelitian ini), dan terakhir adalahdpe I. Demikianpula denganhasil penelitian di Indi4 dan75 subjeknya diperoleh tipe terbanyak secara berurutan mulai yang tertesar adalah tipe II, tipe I dan tipe III.10 Namun berbeda dengan penelitian di Philipina oleh Santos, dai36 subjeknya, secara berurutan mulai yang terbesar yaitu tipe III, tipe I dan tipe II. Penelitian di Jakarta oleh Endang Mangunkusumo,tt pada 25 sampelnya, urutan terbanyak mulaiyangterbesar adalah tipe 1, lalu tipe 2 dan 3 yang sama besarnya, Hasil penelitian terutama yang dilalcukan di Asia termasuk hasil penelitian in berbeda satu sama laino dzpat saja disebabkan karena besar sampel yang tidak besar dan bervariasi. Kesamaan penelitian ini dengan y ang drlalqrkan oleh Keros adalah pada sampel yang besar. Penelitian di barat d{jumpai kedalaman fossa olfaktorius lebih besar di sisi kanan maka sisi tersebut lebih rentan, berbeda dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa fossa olfaktorius lebih rendah pada sisi kiri. Artinya harus lebih waspada pada tindakan di sisi kiri penderita, namun tidak lebih berrisiko pada ahli TI{T yang bekerja dengan tangankanan karenabekerja pada sisi kiri tidak secanggung bekerja disisi kanan. Juga estimasi kedalaman saat bekerja di sisi kanan yang lebih dangkal setelahbeke{a disisi kiri yang l&ih dalarn. dapat lebih baik dan anran.1o,t7 Padatabel 4, uji korelasi Spearman menunjukkan nilai
signifikan antara kedalaman fossa olfaktorirx kiri dan kanan frorelasi 0.577 denganp0.000). Ujirnenunjukkan nilaitidak signifikan antara kedalaman fossa kiri dengan sudut nasofrontal (korelbsi 0.47 dengan nilai p 0.609). Korelasi signifikan untuk fossa olfaktorius kanan dengan sudut nasofrontal ftorelasi 0.197 dengan nilai p 0.03 1), yaitu makin besar sudut makin dalam fossa olfaktorius. Dari hasil tersebu! teffryaIa. matrahidung luar dapat memprediksi matra hidung dalam yaitu kedalaman fossa olfalrtorius sisi kanan tetapi tidakpada sisi kirl Mengapa hal ini bisaterjadi, masih menjadi suatu misteri yang memerlukan shrdi la4iut untuk dipecahkan.
Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara
Diskusi Pada penelitian ini, dilalalkan pengularan kedalaman fossa olfaktorius kedua sisi karena pada tiap sampel terdapat
perbedaan yang cukup bermakna, sehingga selanjutnya dalampembahasan dan hasil akhirpenelitian ini akan selalu ditampilkan betdasatkan masing-masing sisi fossa olfaktorius. Dari tabel 3, pada fossa olfaktorius kiri didapatkan klasifikasi Keros terbanyak secara benrutan yaitu Keros tipe II sejumlah 74 subjek (6l,66ya) Keros tipe III 29 subjek Q4,L6VI) danKeros tipe I 17 (I 4,l6yo). Pada fossa olfaktorius kanan, klasifikasi Keros terbanyak secara berurutan yaitu Keros tipe II sejumlah 8a subjek (?07o), Keros tipe I 27 subjek (22,5W dan Keros tipe III 9 subjek Q,5W. Dibandingkan
Maj Kedokt Inilon, Yolurn: 58, Nomor:
8, Agurtus 2008
sudut nasofrontal dengan ukuran kedalaman fossa olfaktorius pada seorang individu sehingga sudut nasofrontal tidak dapat meramalkan kedalaman fossa olfaktorius.
Alasan yang dapat dikemukakan bahwa walaupun asumsi penelitian ini yaitu dari tifik pertumbuhan yang sama antara atap rongga hidung dan sudut nasofrontal semasa
perkembangan embriologi, namun tidak didapatkan korelasi
bermakna, karena faktor pengaruh lingkunganyang lebih besar pengaruhnya dalam membentuk pnotipe sesorang yang te{adi selama masa tunrbuh kembang seorang individu dibanding faktor genetiknya. Pada penelitian ini, korelasi tidak
bermakna namun dari asmsiyang sama maka korelasija:ak glabella-nasion (seperti garis biru di gambar 4) dengan sudut
-lnaliis Kedalaman
Fossa Olfaktorius Dengan Sudut Nasofrontal
nasofrontal dapat diteliti hubungannya. Penelitian ini walaubersifat eksploratif namun karena dilakukanpada subjek manusia akan bernilai dan bermanfaat bagi pengetahuan tentang tubuh manusia dan berimplikasi
7.
Casiano RR. Consistent and reliable anatomical landmarks in endoscopic sinus surgery: A Historical Perspective. Endoscopic Sinus Surgery Dissection Manual. A Step Wise, Anatomically Based Approach to Endoscopic sinus Surgery, New york, 2002:
kl ini
8.
Stammberger
s
dalam tindakan BSEF.
1-',|.
H. Special endoscopic anatomy of the lateral Nasal
Wall and Ethmoidal Sinuses. Functional Endoscopic Sinus Sur-
gery: The Masserklinger Tehnique Philadelphia. Mostry;
Kesinpulan
199t.p.49-87.
Diperoleh ukuran kedalaman fossa olfaktorius menurut klasifikasi Keros mulai yang terbanyak ialah Keros tipe-Il, Keros tipe-III, Keros tipe-I; pada fossa oHaktorius kiri dan
Keros tipe-Il, Keros tipe-I, Keros tipe-III; pada fossa olfaktorius karan. Diperoleh besar sudut Nasofrontal ialah i34,2" (Standar Deviasi: 9,3"). Matra hidung luaryaitu sudut
nasofrontal tidak dapat dijadikan parameter untuk memprediksi matra hidung dalam yaitu kedalaman fossa olfaktorius.
DdtarPustaka
1.
2. 3.
4.
Mangunkusumo E. Persiapan operasi BSEF. Nasoendoskopik dan
Pemeriksaan Tomografi Komputer. Dalam Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Makassar; 2OOA:B -24. Marks SC. Radiolory of the nose and sinuses. In. Nasal and Sinus Surgery, Philadelphia. WB. Saunders; 43-57;117-43. Rice HD. Endoscopic functional paranalisis sinus surgery: Anterior to Posterior Approach. Endoscopic paranasalis Sinus Surgery 3'd ed. Philadelphia- Lippincott Williams and Wilkins 2AA0:169-73. Wormald PJ. Radiology. Aaatomi, three dimensional reconstruction and surgical tehnique, Stuttgart. Thieme; 2005:ll3-g.
5. Marfatia H. Tips for the novice 6.
Ctscans.hawkelibrary.com. The roof of ethmoid available at: http://ctscans.hawkelibrarv.com. Accessed: January 10 20A5.
t0. Kurien M, Arif A. Anterior skull base: High risk areas in endoscopic sinus surgery in chronic rinosinusitis: A Computed Tomographic Analysis. Indian Otolaryngol Head and Neck Surg. 2005;57:5-8. Mangunkusumo E. Menghindari penetrasi intrakratial anterior pada lindakart bedah sinus endoskopik pemahaman CT scan atap Etmoid Anterior. ORLI X)O(V NO 4, 2005:'75-80. t2 Gray H. Anatomy ofhuman body-1918. The Brachial Region_ Available at: http:/lwww.bartlebv- som. 13 Belden CJ, Mancuso Ad The developing anterior skull base: CT Appereance from Birth to 2 years ofAge. AJNR 18:811-818. Available at : wwwairn.orsegiprint. I 8581 l. 14. Papel. Fzcial Proportions and Aesthetic Ideals. In Essentials of septorhinoplasty. Philadelphia. Thieme; 2AA4.p.66-7 4. 15. Ridley BM, VanHook MS. Aesthelic facial proportions. In: Facial plastic and reconstructive surgery.2od ed. New york: Thieme; 2002.p.96-1A9. 16. Clemenle, MP. Surgical anatomy of the paranasalis sinus. Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Stuttgart. Thieme; 2005.p. 1-55. l7 Dessi R. Difference in the height of the right and left ethmoidal roofs: a possible risk factor for ethmoidal surgery. prospective study of I50 CT scar. Journals of Laryngology and Otology. 1994;108:261-2. 11.
nasal endoscopist. Indian
Otolaryngol Head and Neck Surg, 2001,53.68-9. Ohnishi, T. High risk areas in endoscopic sinus surgery and prevention of complications. In Laryngoscope, 1993, 103 : 1 1 gi-5.
@"n
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor:
B, Agustus 200g