KLASIFIKASI CITRA BIBIT UNGGUL SAPI BALI BERDASARKAN PERFORMA WARNA MENGGUNAKAN METODE FUZZY ADDITIVE SUPPORT VECTOR MACHINE (FASVM) Imam Cholissodin1, Arief Andy Soebroto1, Nurul Hidayat1 Teknik Informatika, Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya Gedung A PTIIK Lt. 1 JL. Veteran No.8, Malang, 65145, Indonesia Telp. : +62-341-577911; Fax : +62-341-577911. http://www.ptiik.ub.ac.id Email :
[email protected] 1
[email protected], 2
[email protected], 3
[email protected] 1
Abstrak Sapi merupakan hewan budidaya yang cukup mahal. Oleh karena itu, pelestarian sapi sangat menarik untuk dikembangkan terutama dari segi kesejahteraan ekonomi rakyat. Selama ini budidaya sapi sangat identik dengan pemilihan bibit unggul, namun permasalahannya adalah bagaimana mengidentifikasi bibit unggul tersebut dengan mudah, cepat dan hasilnya akurat. Karena banyak dari peternak masih menggunakan cara konvensional, yaitu dengan melihat secara langsung warna kulit dan melihat coraknya tanpa adanya dukungan teknologi. Untuk itu, perlu dibuat suatu sistem yang mampu menghasilkan klasifikasi bibit unggul Sapi berdasarkan warna dan coraknya dengan menggunakan data citra, untuk membantu para peternak di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali. Sistem tersebut menerapkan metode Fuzzy Additive Support Vector Machine (FASVM) untuk mengklasifikasikan citra Sapi berdasarkan fitur rata-rata dari nilai red, green dan blue (RGB) ke dalam 3 kelas yaitu Baik, Sedang dan Buruk. Dari hasil pengujian didapatkan rata-rata akurasi pada Sapi Betina sebesar 55.53% dan pada Sapi Jantan 99.22% dengan ukuran citra masing-masing 64px. Meskipun ruang warna pada citra Sapi Betina sangat mirip diantara kelas-kelas yang ada, akan tetapi metode ini masih mampu memberikan hasil akurasi di atas rata-rata. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode yang diusulkan sangat handal, jika data citra yang diolah memiliki beda pola warna yang signifikan. Kata kunci : sapi bali, additive kernel, fuzzy additive SVM, sequential training SVM
1.
Pendahuluan
Citra saat ini menjadi salah satu objek yang banyak dipelajari dalam menyelesaikan masalah. Warna merupakan bagian dari penyusun pola citra yang memberikan dasar perbedaan objek bila dilihat dengan mata manusia secara langsung. Misalkan warna merah, hijau, biru dan banyak variansi lainnya. Sistem yang dapat membedakan pola citra atau warna sangat diperlukan jika objek yang diteliti berjumlah banyak. Objek dari penelitian ini yaitu warna Sapi Bali. Pada umumnya, Sapi Bali berwarna cokelat. Sehingga apabila ada warna cokelat yang berbeda dari warna cokelat pada umumnya, maka terjadi penyimpangan. Hal ini dapat digunakan untuk klasifikasi dalam tiga kelas yaitu Sapi dengan kualitas sangat baik, sedang dan buruk. Alasan memilih Sapi sebagai objek, karena Sapi merupakan hewan budidaya yang cukup mahal harganya. Dengan adanya sistem yang mampu menghasilkan klasifikasi Sapi berdasarkan warna yang diambil
163
menggunakan data citra, maka diharapkan dapat membantu di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali dan para peternak sapi Bali untuk lebih cepat dalam mengidentifikasi jenis Sapi yang rata-rata memiliki jumlah yang cukup banyak di dalam satu peternakan. Additive termasuk kernel yang digunakan untuk analisis citra berdasarkan histogramnya (Subhransu Maji, Alexander C. Berg, Jitendra Malik, 2013). Additive Kernel Support Vector Machine (SVM) tersebut menawarkan perbaikan yang signifikan dalam hasil akurasi pada berbagai dataset yang sama dibandingkan dengan kernel lainnya. Sehingga kernel ini sangat praktis untuk mengelola klasifikasi data pada skala besar atau bersifat realtime. Penelitian tersebut menyajikan percobaan pada berbagai dataset, termasuk INRIA person, Daimler-Chrysler Pedestrians, UIUC Cars, Caltech-101, MNIST dan USPS digits, untuk menunjukkan efektivitas dan efisiensi dari algoritma SVM dengan Additive kernel. Selain itu, Additive
kernel juga mampu untuk mempercepat proses perulangan pada saat proses pelatihan. Selain Additive Kernel, pada penelitian SVM lainnya juga ada yang mengembangkan konsep Multiple Kernel Learning (MKL), metode tersebut sangat cocok jika data yang akan diklasifikasikan sangat heterogen. Dalam MKL, antara kelas atau label dalam klasifikasi dan data heterogen memiliki makna bahwa sumber datanya memang dari beberapa jenis yang berbeda dan label kelasnya diambil dari jenis yang berbeda tersebut. Selain itu, masalah utama yang terdapat pada MKL adalah harus dapat mengoptimalkan dua koefisien yaitu lagrange multiplier dan bobot kernel. Dan juga proses pembelajaran MKL membutuhkan waktu komputasi yang cukup besar dan sulit untuk diterapkan (I-Hong Jhuo, dan D. T. Lee, 2010). Contoh data heterogen misalnya gedung perkotaan, tempat industri, ruang tamu, pemandangan alam, jalan raya dan sebagainya. Dalam penelitian ini hanya menggunakan data yang sifatnya homogen, yaitu data satu jenis Sapi Bali yang dibedakan antara Jantan dan Betina dalam tiga kelas (multi kelas). Meskipun secara secara logika data ini dapat diklasifikasikan dengan MKL, namun dari sudut pandang karakteristik datanya dan efisiensi akan kurang tepat. Pengembangan lainnya juga ada yang menggunakan konsep Relevance Vector Machine (RVM), namun metode ini sangat lambat pada dataset yang besar dikarenakan waktu komputasi proses pelatihannya yang tinggi dibandingkan dengan SVM secara umum (Michael E. Tipping, 2000). Padahal, Additive Kernel telah terbukti secara signifikan lebih cepat dari pada SVM dengan kernel pada umumnya. Misalnya saja pada dataset DaimlerChrysler pedestrians, dari hasil pengujian Subhransu Maji (2013) diperoleh bahwa Additive Kernel lebih cepat (2253x) dari pada Kernel Linier dan RBF dengan hasil akurasi yang paling optimal. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Takuya Inoue dan Shigeo Abe, mereka mengusulkan metode Fuzzy Support Vector Machine (FSVM) menggunakan decision functions yang diperoleh dari hasil proses training SVM. Fungsi keputusan tersebut berjumlah n(n-1)/2 yang didefinisikan dalam bentuk fungsi keanggotaan polyhedral pyramidal untuk menyelesaian regions yang tidak bisa diklasifikasikan dengan SVM pada umumnya (Takuya Inoue, dan Shigeo Abe, 2001). Pada penelitian ini diusulkan teknik integrasi metode fuzzy dengan menggunakan Additive Kernel SVM. Alasan utama metode ini diintegrasikan karena melihat sudut pandang permasalahan yang akan diselesaikan dan mengacu pada objek citra yang akan diklasifikasikan pada multi kelas SVM. Fitur data citra diambil dari nilai performa warna. Untuk permasalahan multi kelas dapat diselesaikan dengan sederhana menggunakan teknik fuzzy SVM. Sedangkan untuk data skala besar, kemiripannya
164
tinggi dan fitur yang digunakan besar pula, maka metode Additive Kernel SVM sangat handal dalam menyelesaikan hal ini. Fitur yang ada akan dengan mudah ditransformasikan ke dalam dimensi yang lebih tinggi dengan suatu fungsi kernel. Oleh karena itu untuk mengatasi semua hal tersebut, maka dalam penelitian ini diusulkan metode Fuzzy Additive Support Vector Machine (FASVM) dengan harapan akan diperoleh hasil uji coba yang optimal.
2.
Tinjauan Pustaka
2.1 Sapi Bali Sapi Bali merupakan salah satu jenis Sapi potong asli Indonesia. Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (bibos banteng) yang habitat aslinya berada di Pulau Bali. Populasinya saat ini ditaksir sekitar 526.031 ekor. Sapi Bali (Bos sondaicus) telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun Sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa Sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah family Bovidae, kedudukan Sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos. Kemurnian genetika Sapi Bali telah dilindungi dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2004 dan Perda No 2/2003 yang melarang bibit Sapi Bali Betina keluar dari wilayah provinsi ini. Sapi Bali memiliki ciri seperti berikut (Peraturan Gubernur Bali Nomor 45, 2004) dan (Perda Nomor 2, 2003): Warna bulu pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet” atau kecil, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa Sapi Bali Jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan Sapi Bali Betina. Warna bulu Sapi Bali Jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi cokelat tua atau hitam setelah Sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi cokelat tua atau merah bata apabila Sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat
di antara bulu yang cokelat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1%. Bulu Sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendekpendek dan mengkilap. Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. Kepala agak pendek dengan dahi datar. Badan padat dengan dada yang dalam. Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor. Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam Tanduk pada Sapi Jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis Sapi Betina tumbuh ke bagian dalam.
Gambar 1 Peternakan Sapi di Bali Sumber : Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali (2013) Secara kualitatif, Sapi Bali di NTB seperti pada Gambar 1 mempunyai ciri khas pada pola warna tubuh dan tanduk. Bulu berwarna merah pada Sapi Betina, tetapi pada Sapi Jantan dewasa warna merah berubah menjadi hitam, dan bila dikastrasi berubah jadi merah kembali. Berwarna putih pada bagian belakang paha, pinggir bibir atas, dan pada kaki mulai dari tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada bagian dalam telinga. Bulu pada ujung ekor dan garis belut pada punggung berwarna hitam. Bentuk tanduk paling ideal pada Sapi Jantan disebut regak ranjung yaitu pertumbuhan tanduk berawal dari dasar sedikit keluar, lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada Sapi Betina bentuk tanduk yang ideal dinamakan manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam dengan warna
165
tanduk hitam. Gumba pada Sapi Bali nampak jelas dan berbentuk khas. Di antara karakter kualitatif tersebut, terdapat beberapa kelainan, sebagai indikasi telah adanya degradasi genetik pada sapi Bali. Beberapa degradasi genetik pada sifat kualitatif yang ditemukan pada Sapi rakyat adalah Sapi injim yaitu warna tubuh sampai bulu telinga bagian dalam berwarna hitam sejak kecil. Pada Sapi Jantan walaupun dikebiri tidak terjadi perubahan warna. Sapi mores yaitu adanya warna hitam atau merah pada bagian bawah yang mestinya berwarna putih (Soekardono, Chairussyhur Arman, dan Lalu Muhammad Kasip, 2009). 2.2 Bibit Unggul Standar mutu bibit Sapi potong sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 54/Permentan/OT.140/10/2006 tanggal 20 Oktober 2006, tentang Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang baik (good breeding practice), bahwa bibit Sapi potong diklasifikasi menjadi tiga kelompok, yakni: a) Bibit Dasar (elite/foundation stock), diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata; b) Bibit Induk (breeding stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit dasar; dan c) Bibit Sebar (commercial stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit induk tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini (Soekardono, Chairussyhur Arman, dan Lalu Muhammad Kasip, 2009). Tabel 1 Standar mutu Sapi Bali bibit (quality standart of Bali cattle breed) Sifat kualitatif Sifat kuantitatif (qualitative characters) (quantitation characters) Betina (female) Betina umur 18 – 24 - Warna rambut bulan (female, age merah (hair color 18-24 months) is red) Tinggi gumba: - Lutut ke bawah - Kelas I : berwarna putih minimal 105 cm (knee downward (1st class: at color is white) least 105 cm) - Pantat warna putih - Kelas II : setengah bulan minimal 97 cm (back white patch (2nd class: at half moon) least 97 cm) - Ujung ekor - Kelas III : berwarna hitam (tip minimal 94 cm of the tail is black) (3rd class: at - Garis belut warna least 94 cm) hitam di punggung - Panjang badan: (black back line on - Kelas I : its back) minimal 104 cm - Tanduk pendek dan (1st class: at kecil (horn is short least 104 cm) and small) - Kelas II :
-
-
Bentuk kepala panjang dan sempit (head is long and narrow) Leher ramping (neck is slender)
Jantan (male) - Warna rambut hitam (hair color is black) - Lutut ke bawah berwarna putih (knee downward color is white) - Pantat warna putih setengah bulan (back white patch half moon) - Ujung ekor berwarna hitam (tip of the tail is black) - Tanduk tumbuh baik warna hitam (horn is black and well developed) - Bentuk kepala lebar (head has wider shape) - Leher kompak dan kuat (neck is solid and strong)
minimal 93 cm (2nd class: at least 93 cm) - Kelas III : minimal 89 cm (3rd class: at least 89 cm) Betina umur 24 – 36 bulan (female, age 24-36 months) Tinggi gumba: - Kelas I : minimal 119 cm (1st class: at least 119 cm) - Kelas II : minimal 111 cm (2nd class: at least 111 cm) - Kelas III : minimal 108 cm (3rd class: at least 108 cm) - Panjang badan: - Kelas I : minimal 121 cm (1st class: at least 121 cm) - Kelas II : minimal 110 cm (2nd class: at least 110 cm) - Kelas III : minimal 106 cm (3rd class: at least 106 cm)
Untuk mendapat keseragaman tersebut, dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang dimasukkan dalam perhitungan diantaranya penyesuaian berat timbang. Sapi yang mempunyai nilai obyektif dan subyektif terbaik dari uji Performans masing-masing kelompok dari peringkat 1 sampai 3 adalah (1) 0501.08 dengan nilai akhir Performans 113.30 dan ratio berat 142.55; (2) 0510.08 dengan nilai akhir Performans 109.46 dan ratio berat 136.37; (3) 0521.08 dengan nilai akhir Performans 104.20 dan ratio berat 127.06. Untuk uji Performans ke depan diharapkan seluruh peserta uji Performans mempunyai nilai minimum sesuai standar bibit dalam Standart Nasional Indonesia (SNI) Sapi Bali. Dengan demikian seluruh peserta uji Performans ini dapat dimanfaatkan selain sebagai bibit penghasil mani beku juga sebagai bibit sebar yang bisa dimanfaatkan sebagai pejantan di daerah-daerah yang belum bisa dijangkau oleh petugas inseminasi buatan. 2.3
Citra Digital
Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan (brightness) suatu citra pada suatu titik. Suatu citra diperoleh dari penangkapan kekuatan sinar yang dipantulkan oleh objek. Citra digital adalah citra f(x,y) yang telah dilakukan digitalisasi baik koordinat area maupun brightness level. Nilai f di koordinat (x,y) pada Gambar 2 menunjukkan brightness atau grayness level dari citra pada titik tersebut (Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods, 2008).
Sumber : Direktorat Perbibitan, Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, Republik Indonesia (2006). Pada tahun lalu, Ni Wayan Patmawati dkk melakukan penelitian tentang pemilihan bibit unggul Sapi Bali dari hasil seleksi sapi pejantan berbasis uji Performans. Berdasakan hasil uji performans, didapatkan tiga jenis performans terbaik yaitu nilai 113.30, 109.46, dan 104.20 dipilih sebagai calon pejantan potensial untuk uji Zurait (uji progeni) selanjutnya (Ni Wayan Patmawati dkk, 2013). Uji performans merupakan salah satu metode uji pada ternak untuk mengetahui sejauh mana tingkat performans atau penampilan Sapi untuk memperoleh penampilan terbaik yang kemudian diturunkan pada anaknya. Secara teknis, pengujian tersebut dilakukan pada Sapi Jantan, fase pertumbuhan cepat (sekitar 1-2 tahun) dengan membandingkan antara penampilan individu dengan penampilan rata-rata kelompoknya. Bias lingkungan ditekan sekecil mungkin atau lingkungan diseragamkan sehingga penampilan individu setara dengan kandungan potensi genetik ternak itu sendiri.
166
x
(0,0) f(x,y)
y Gambar 2 Sumbu Koordinat Citra
konstanta
2.4 Additive Kernel SVM Peninjauan data pelatihan yang digunakan akan
yi , xi
diberikan label dengan bentuk
N i 1
yang
masing-masing merupakan kelas data dan vektor data, dengan
1, 1 , xi
yi
R n menggunakan
formulasi C-SVM (C. Cortes., V. Vapnik, 1995). Untuk kasus linear, algoritma ini dapat menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan data dengan meminimalkan :
1 2 N w C i1 i (1) 2 dengan syarat yi w xi b 1 0, i dan i w, sebagai fungsi tujuan untuk mencari w,
hyperplane yang optimal, sebagai variabel slack, dimana C > 0 adalah tradeoff antara keteraturan atau kendala pada pembuatan constraint, w merupakan vektor yang tegak lurus dengan hyperplane dan N adalah banyaknya data pelatihan. Untuk kernel pada titik data, K(x,z) : Rn x Rn R merupakan inner produk x z dalam bentuk yang belum dilakukan penghitungan akan kemungkinan besarnya dimensi dalam ruang fitur yang dapat diperoleh secara maksimal dengan persamaan berikut :
1 2
N
W
i
i 1
ij
i
j
yi y j K x, xi
i
C
N
dan
i 1
i
yi
0
w
i
i 1
(3)
yi xi
f x
m i 1
i yi K x, xi
n
f ( x)
(4)
Perhatikan bahwa persamaan (2) dan (4) hanya membutuhkan akses ke fungsi kernel dan bukan fitur . , m adalah banyak support vector. Dan hal yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan formulasi dalam ruang fitur yang berdimensi tinggi dengan sangat efisien, langkah ini juga disebut sebagai kernel trik. Untuk lebih jelasnya, dalam penggunaan notasi, fitur, xi : i 1,2,...,m akan digunakan i :i
sebagai
1,2,...,m
support
vector
. Dengan demikian, secara
umum, perhitungan m kernel yang diperlukan untuk mengklasifikasikan titik dengan SVM kernelized dan semua support vector harus disimpan. Untuk kernel linear, kita dapat melakukan dengan kernel K x, z x z , dan f x sebagai fungsi pengambilan keputusan hasil klasifikasi yang dapat f x w x b , b adalah ditulis sebagai
167
dimana
w.x
f i ( xi ) b
(5)
i 1
dimana n merupakan banyaknya dimensi data, jika persamaan (5) tersebut dijabarkan, maka akan menjadi persamaan (6).
f i ( xi )
m
y i K i ( x i , x l ,i )
l
(6)
l 1
Variabel xl,i merupakan data ke-l pada kernel ke-i. Salah satu kernel yang termasuk Additive Kernel yaitu Intersection Kernel yang mencari nilai minimum dimensi data dan menggabungkannya. Pada persamaan (7), xi merupakan data dimensi ke-i.
f i ( xi )
l
yl xl .i xi
xl ,i si
l
yl
(7)
xl ,i si
Pada Intersection Kernel, nilai w tidak perlu di cari terlebih dahulu, tetapi dengan memodifikasi nilai b seperti persamaan (8) dan (9). m
b
1 2
i
y i xi x
i 1
(8)
m
y i xi x
i 1
sign f x ,
b
1 w.x 2
b
dan
i
Fungsi keputusannya adalah dimana :
hyperplane
jika pada kasus non-linear dapat ditulis sebagai f x w x b (Subhransu Maji, Alexander C. Berg, Jitendra Malik, 2013). Karena Additive Kernel SVM merupakan non linear SVM, maka mengunakan fungsi kernel K(x,xi). Persamaan hyperplane f(x) diubah menjadi persamaan (5),
(2)
Untuk :
0
persamaan
m
m
b
1 2
n i yi
i 1
i 1
m
n
y
i i i 1
min( xi , x ) (9)
min( xi , x )
i 1
2.5 Fuzzy Support Vector Machine (SVM) Daerah unclassifiable (yang sulit untuk dikelaskan), seperti pada Gambar 3 digunakan fungsi keanggotaan fuzzy berdasarkan persamaan (10) dan (11) untuk mencapai hasil klasifikasi data yang memenuhi
Di ( x)
wit x bi
0 . Untuk
melakukan hal ini, kelas i didefinisikan satu dimensi fungsi keanggotaan mij(x) pada arah ortogonal untuk memisahkan hyperplanes Dj(x) = 0 sebagai berikut (Takuya Inoue, dan Shigeo Abe, 2001) : 1. Untuk i = j
mii ( x)
1 untuk Di ( x) 1 Di ( x) lainnya
(10)
2. Untuk i ≠ j
mij ( x)
1 untuk Dj ( x) 1 Dj ( x) lainnya
(11)
Dj(x)=0 Class i
Di(x)=0
Class j
Gambar 5 Grafik Akurasi Sapi Betina 64px Class k
Dk(x)=0
Gambar 3 Region Yang Tidak Bisa Diklasiklasifikasi Dengan 2 Kelas
3.
Lingkungan Uji Coba, Hasil dan Pembahasan
Gambar 6 Grafik Akurasi Sapi Betina 128px
Pada penelitian ini, data citra yang digunakan sebagai lingkungan ujicoba diperoleh dari BLTU sapi Bali. Keseluruhan data citra yang didapatkan dalam bentuk file dengan format .jpg. Setiap citra akan dilakukan identifikasi kelasnya. Sebagian datadata citra tersebut akan dipilih sebagai data training dan data testing berdasarkan tingkat rasio yang telah ditentukan. Untuk ujicoba pada penelitian ini, Spesifikasi dari perangkat keras yang digunakan dalam implementasi perangkat lunak terdiri dari prosesor berjenis Intel(R) Core(TM) i7, memori berkapasitas 4 GB dan kapasitas harddisk 750 GB. Sedangkan untuk spesifikasi perangkat lunak yang digunakan dalam implementasi perangkat lunak yakni Matlab 2009a. Dalam penelitian ini terdapat pengujian untuk mengetahui tingkat akurasi yang dihasilkan oleh sistem. Skenario pengujian dilakukan terhadap ukuran cropping citra dan rasio perbandingan data latih dan data uji dengan metode Fuzzy Additive Support Vector Machines (FASVMs) dengan nilai parameter Lamda = 5, C = 1, IterMax = 100000, dan Epsilon = 10-5.
Gambar 7 Grafik Akurasi Sapi Jantan 32px
Gambar 8 Grafik Akurasi Sapi Jantan 64px
Gambar 9 Grafik Akurasi Sapi Jantan 128px Hasil analisis dari pengujian data Sapi Betina seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 didapatkan hasil rata-rata akurasi tertinggi sebesar 50.53% pada ukuran cropping citra 64px dan akurasi tertinggi sebesar 61.11% yaitu pada rasio data 40%:60% skenario ke-4 pada ukuran
Gambar 4 Grafik Akurasi Sapi Betina 32px
168
cropping citra 128px. Namun secara umum, dapat disimpulkan bahwa pada hampir semua nilai akurasi yang didapatkan pada pengujian data Sapi Betina, nilainya tidak begitu optimal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kemiripan dari masing-masing komponen warna untuk setiap kelas pada Sapi Betina tersebut yang bisa dikatakan perbedaan ciriciri atau polanya tidak signifikan. Sehingga mengakibatkan hasil klasifikasinya lebih banyak melakukan kesalahan prediksi kelas yang masih tidak sesuai dengan kelas sebenarnya. Tetapi pada pengujian Sapi Jantan, ternyata hasil evaluasi nilai akurasinya sangatlah optimal. Pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 didapatkan bahwa hasil rata-rata nilai akurasi tertinggi sebesar 99.22% pada ukuran cropping citra 64px dan akurasi tertingginya sebesar 100% yaitu hampir pada setiap ukuran terdapat nilai akurasi sempurna tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hasil pencapaian pengujian citra pada Sapi Jantan sangatlah optimal.
4.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan : 1. Implementasi algoritma FASVM dapat digunakan untuk klasifikasi data citra sapi pada 3 (tiga) kelas, dimana cara kerjanya dengan melakukan proses training sebanyak kelas yang digunakan, yaitu menjalankan additive kernel SVM untuk dibandingkan pasangan masingmasing 2 (dua) dari 3 (tiga) kelas sehingga akan membentuk 3 (tiga) hyperplane. Kemudian setiap citra data uji akan dilakukan pengujian terhadap masing-masing hyperplane tersebut untuk mendapatkan nilai keanggotaan dari nilai fungsi klasifikasinya yang paling maksimum. 2. Hasil beberapa proses pengujian kinerja algoritma yang diusulkan didapatkan rata-rata akurasi pada Sapi Betina sebesar 55.53% dan pada Sapi Jantan 99.22% dengan ukuran citra masing-masing 64px. 3. Pengembangan teknologi berbasis komputasi cerdas berguna untuk memudahkan proses klasifikasi sapi di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Bali yang selama ini masih menggunakan cara-cara manual dan konvesional, serta mempercepat dalam proses pendataan terkait dengan kuantitas dan kualitas sapi secara periodik, serta membantu dalam proses penjaminan mutu sapi berbasis teknologi untuk menyediakan bibit unggul dan terpercaya. Saran : 1. Diharapkan untuk pengambilan data Sapi Bali menggunakan alat bantu (tele/kamera) yang dapat memudahkan dan memberikan hasil citra Sapi Bali yang lebih baik. 2. Diharapkan pada penelitian berikutnya dapat menggunakan data citra yang lebih banyak dan
169
3.
dapat mewakili sebagian besar dari variasi umur Sapi, terutama Sapi Betina. Fitur yang digunakan dapat dikembangkan melalui penggunaan bentuk (shapes), ruang warna CMYK, HSI/HSV/HSL, YCrCb, YUV maupun dengan fitur tektur (textures) pada sebagain atau keseluruhan tubuh sapi serta fitur dari gen sapi untuk penelitian yang lebih lanjut terkait dengan, misalkan pemberian makanan khusus pada sapi untuk terapi kesehatannya, agar tetap memiliki kualitas unggul.
Daftar Pustaka: [1]
C. Cortes., V. Vapnik, 1995, Support-Vector Networks, Machine Learning, Vol. 20, No. 3, pp. 273-297. [2] I-Hong Jhuo, dan D. T. Lee, 2010, Boosted Multiple Kernel Learning for Scene Category Recognition. IEEE, International Conference on Pattern Recognition, ICPR (2010), page.3504-3507. [3] M. E. Tipping, 2000, The relevance vector machine. in Advances in Neural Information Processing Systems , vol. 12. [4] Ni Wayan Patmawati, Ni Nyoman Trinayani, Mahmud Siswanto, I Nengah Wandia, I Ketut Puja, 2013, Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans, Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Februari 2013 Vol. 1, No.1: 29-33. [5] Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2004 dan Perda No 2/2003 yang melarang bibit sapi bali betina keluar dari wilayah provinsi. [6] Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods, 2008, Digital Image Processing, Publication Date: 4 July 2008 | ISBN-10: 013505267X | ISBN-13: 978-0135052679 | Edition: 3. [7] Sethu Vijayakumar dan Si Wu, 1999, Sequential Support Vector Classifiers and Regression, Proceeding International Conference on Soft Computing (SOCO’99), Genoa, Italy, pp.610-619. [8] Soekardono, Chairussyhur Arman, dan Lalu Muhammad Kasip, 2009, Identifikasi Grade Sapi Bali Betina Bibit Dan Koefisien Reproduksi Sapi Betina Di Propinsi Nusa Tenggara Barat, Buletin Peternakan Vol. 33(2): 74-80. [9] Subhransu Maji, Alexander C. Berg, Jitendra Malik, 2013, Efficient Classification for Additive Kernel SVMs. IEEE, Transactions On Pattern Analysis And Machine Intelligence, Vol. 35, No. 1. [10] Takuya Inoue, dan Shigeo Abe, 2001, Fuzzy Support Vector Machines for Pattern Classification, Neural Networks Proceedings IJCNN'01, International Joint Conference on, 1: 1449-1454.