KEMENTRIAN AGAMA RI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG FAKULTAS USHULUDDIN Jl. A. H. Nasution No. 105 Cibiru Telp. 022-7802275 Fax. 022-7803936 web: www. uin-sgd. net Bandung 40614
KISI-KISI UJIAN KOMPREHENSIF KEJURUSANAN PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UIN BANDUNG I.
Penjelasan Asas-asas Aqidah :
1. Jelaskan pengertian aqiah sebagai sistem dalam kontek Al-Qur’an ? Aqidah imam Empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dgn apa yg menjadi pegangan para sahabat dan tabiin. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kpd sifat-sifat Allah, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan. Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yg terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah. Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dpt dilihat di akhirat, al-Qur’an ialah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
1
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yg masyhur itu juga menetapkan tentang ada sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dpt dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabiin, baik yg termasuk Ahlul Bait dan yg lain. Dan ini juga madzhab para imam yg banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad. Imam Ibnu Taimiyyah pernah dita tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih ialah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al-Fudhal, Imam Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tdk berbeda penddpt dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagai ialah sama dgn aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu ialah sama dgn aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dgn apa yg dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Aqidah inilah yg dipilih oleh al-Allamah Shidq Hasan Khan, dimana beliau berkata : Madzhab kami ialah mazhab ulama salaf, yaitu menetapkan ada sifat-sifat Allah tanpa menyerupakanNya dgn sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakan makna dari ayat-ayat yg berkaitan dgn sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut ialah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam AtsTsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tdk berbeda pendpt mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidah dgn para imam diatas, yaitu aqidah yg sesuai dgn apa yg dituturkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. 2. Jelaskan pengertian aqidah sebagai system epistemology dalam kontek pemikiran para teolog, sufi dan filosuf muslim ? Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah/sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu Al-Aqidah, dan yang paling terkenal di antara ialah:
2
[1]. Ilmu Kalam Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asy-Ariah dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah degan tidak dilandasi ilmu. Dan larangan tdk boleh nama tersebut dipakai juga ka-rena bertentangan dgn metodologi ulama Salaf di dalam mene-tapkan masalah-masalah Al-Aqidah. [2]. Filsafat Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yg sejalan dgn mereka. Ini ialah nama yg tdk boleh dipakai dalam Al-Aqidah, karena dasar filsafat itu ialah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yg ghaib. [3]. Tashawwuf Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yg sejalan dgn mereka. Ini ialah nama yg tdk boleh dipakai dalam Al-Aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalam terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam Al-Aqidah. Kata Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam. Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: Aqidah jelas bahwa Tashawwuf me-miliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dgn tauhid. Islam memberikan pe-ngaruh yg baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam. Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) Rahimahullah berkata di dalam buku atTashawwuf al-Mansya’wal Mashaadir: Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang per-tama dan terakhir (belakangan) serta pendpt-pendpt yg di-nukil dan
3
diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yg lama maupun yg baru, maka kita akan melihat dgn jelas per-bedaan yg jauh antara Shufi dgn ajaran al-Qur-an dan as-Sunnah. Begitu juga kita tdk pernah melihat ada bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sllam dan para Shahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum, yg mereka ialah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran tasawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yg mrpk Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yg dilaku-kan oleh orang-orang Shufi belakangan. Syaikh Abdurrahman al-Wakil Rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguh Tashawwuf itu ialah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaitan telah memuntuk hamba Allah tertipu atas dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguh Tashawwuf ialah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yg ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nashranisme dan Paganisme. [4]. Ilahiyyat (Teologi) Ini ialah nama yg dipakai oleh Mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga mrpk penamaan yg salah sehingga nama ini tdk boleh dipakai, krn yg mereka maksud ialah filsafat kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum Mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka. [5]. Kekuatan di Balik Alam MetafisikaSebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yg sejalan dgn mereka. Nama ini tdk boleh dipakai, krn ha berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dgn al-Qur-an dan as-Sunnah. Banyak orang yg menamakan apa yg mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yg mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tdk mempunyai dasar (dalil) Aqli maupun naqli.
4
Sesungguh Ãqidah yg mempunyai penger-tian yg benar yaitu Ãqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma Salafush Shalih. 3. Jelaskan pengertian aqidah sebagai sistem ideologis dalam berpikir, bersikap dan bertingkahlaku dalam proses pencarian kebenaran ? Perlu dipahami di awal bahwa istilah aqidah tidak pernah digunakan dalam teks Al Qur’an maupun sunnah Rasul Saw. Istilah aqidah baru dikenal dan digunakan oleh para ulama ushuluddin. M. Husain Abdullah dalam Dirasat fi al-Fikr al-Islami menyampaikan bahwa ditinjau dari bahasa arab, aqidah berasal dari kata kerja 'aqada yang bermakna syadda (menguatkan atau mengikatkan). Kata 'aqada ini dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai pengertian yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ‘aqdu al-habl (mengikatkan tali), ‘aqdu al-bai’ (mengadakan ikatan atau akad jual-beli), ‘aqd al’ahdi (mengadakan ikatan atau akad perjanjian) dan sebagainya. Masih secara bahasa, aqidah dapat pula bermakna ma in’aqada ‘alaihi al-qalbu, yaitu sesuatu yang hati itu terikat padanya. Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkan secara yakin atau pasti). Jadi, menurut bahasa, aqidah adalah segala pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati, sedemikian hingga hati itu terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia.
Ditinjau dari istilah, aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia tersebut Hafidz Abdurrahman dalam Diskursus Islam, Politik dan Spiritual memberikan definisiaqidah secara global sebagai aqidah pemikiran yang menyeluruh mengenai manusia, kehidupanserta hubungan diantara semuanya dengan apa yang ada sebelum kehidupan (Pencipta) dansetelah kehidupan (Hari Kiamat), serta mengenai hubungan semuanya dengan apa yang adasebelum dan setelah kehidupan (syariat dan hisab), yang diyakini oleh qalbu
5
(wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas (yang diimani), dan bersumber dari dalil. Dalam konteks Islam, aqidah Islam bisa didefinisikan dengan iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar dimana baik dan buruknya sematamata dari Allah, yang diyakini oleh qalbu (wijdan) dan diterima oleh akal, sehingga menjadi pembenaran (keyakinan) yang bulat, sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an aldaliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan dalil/bukti). Pembenaran pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan kenyataan artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan (mis. keberadaan Allah). Ditunjang dengan suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Imam al-Ghazali menyatakan: "Iman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya. ”Aqidah dibangun atas dasar pemikiran rasional (aqliyah) Aqidah Islam bukanlah suatu keyakinan yang dibangun atas dasar doktrin atau taklid semata. Namun, aqidah Islam haruslah muncul dari proses berfikir secara rasional. Imam Syafi'I dalam kitab Fiqhul Akbar berkata: "Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan qalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin."
Pemikiran rasional yang membangun sebuah aqidah juga pernah ditunjukkan oleh seorang arab baduy yang suatu ketika ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?" Dia menjawab : "Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan. Bukankah gugusan bintang yang ada di langit dan ombak yang bergelombang di laut menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa." Allah SWT berfirman: 6
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS.Al-Baqarah: 164] “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]
Ayat di atas dan masih banyak lagi ayat yang serupa mengajak manusia untuk memperhatikan segenap kandungan alam semesta dengan seksama dan memperhatikan apa yang ada di dalam diri dan sekelilingnya. Semua itu merupakan bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Mengatur. Dengan cara itu, imannya kepada Allah SWT merupakan keyakinan yang ma ntap karena berdasarkan bukti yang nyata dan rasional. Islam memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti begitu saja keyakinan dan jalan hidup yang ditempuh oleh nenek moyangnya tanpa meneliti sejauh mana kebenaran pilihan tersebut. Dengan kata lain, Islam telah melarang seorang muslim bertaqlid dalam masalah keyakinan atau aqidahnya. Allah SWT berfirman : “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab,‘(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. AlBaqarah: 170] “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. ’mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapakbapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah: 104]
7
Ayat-ayat di atas menunjukkan secara tegas larangan pada setiap manusia untuk mengikuti begitu saja (taqlid) kepada nenek moyangnya dalam masalah aqidah. Keyakinan atau aqidah yang diperoleh dengan jalan taqlid adalah keimanan yang rapuh, mudah sekali digoncang oleh berbagai cobaan dan tantangan. Abdul Majid Az-Zindani menyatakan : “Kalau manusia ingin memiliki iman yang benar, ia harus berilmu (menggunakan akalnya)... sebab iman yang didapat dan dipertahankan dengan jalan taqlid kepada orang lain akan segera goncang justru di awal menghadapi cobaan dan serangan.”
Inilah proses membangun aqidah yang diajarkan Islam. Aqidah yang dibangun berlandaskan pemikiran yang jernih hasil proses pengamatan atas bukti-bukti yang nyata yang terhampar di alam semesta ini. Melalui pengamatan dan pemikiran inilah seseorang akan sampai kepada keyakinan tentang eksistensi Allah SWT. Walaupun wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam membangun aqidahnya, namun tidak mungkin akal tersebut akan menjangkau semua hal. Akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera (al-waqi’ almahsus), yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Mengenai keterbatasan akal ini, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menetapkan sebuah kaidah dalam kitabnya Ma’lumat li Asy Syabab : Ma la yudriku al-hissu la yudrikuhu al-‘aqlu (Segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau indera, pasti tidak dapat dijangkau akal.)
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar jangkauan indera dan pastinya juga tidak terjangkau oleh akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda : "Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih) Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat 8
dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya. Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayatayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata: "Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifatsifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Qur'an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya." Ketika Imam Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata : "Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/ salah." Al Muzani – salah seorang murid Imam Syafii – pernah mengalami keragu-raguan dalam masalah tauhid. Maka Imam Syafii mengatakan kepadanya, “Sekarang kembalilah saja kepada firman Allah SWT : “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [QS. Al Baqarah :163-164]
Setelah membacakan ayat tersebut, Imam Syafii berkata kepada Al Muzani : “Maka jadikanlah makhluk ciptaan Allah sebagai dalil atas adanya Al Khalik jangan menyusahkan 9
dirimu dengan sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh akalmu.” Jadi, jelaslah bahwa kendati akal menjadi dalil atas adanya Allah SWT (karena keberadaan-Nya masih dalam jangkauan akal dengan jalan mengindera makhluk-Nya) tetapi tetap saja akal manusia tidak mungkin membahas sesuatu yang berada di luar jangkauannya, seperti bagaimana Dzat Allah, ‘asma wa sifat (nama-nama dan sifat-sifat) Allah. Dalil aqli dan Dalil naqli Karena tidak semua perkara aqidah dapat dijangkau dengan akal, maka dalam pembahasan aqidah dikenal apa yang disebut dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil aqli adalah bukti (burhan) yang digunakan oleh akal untuk mencapai pembenaran yang pasti (tasdiiq jazim) terhadap satu perkara di antara perkara perkara aqidah Islam. Dalil naqli (disebut juga dalil sam’i) adalah berita (khabar) yang bersifat pasti (qath’i) dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits yang memberitakan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun-rukun aqidah Islam. Yang menentukan apakah dalil yang digunakan dalam satu perkara aqidah adalah dalil aqli atau dalil naqli, adalah perkara aqidah atau keimanan itu sendiri. Jika perkara keimanan berupa fakta terindera atau terdapat fakta indera yang menunjukkan adanya suatu perkara keimanan misalnya mengenai keberadaan (eksistensi) Allah SWT, al-Quran sebagai kalamullah, Muhammad sebagai Rasulullah, maka dapat dipastikan dalilnya adalah dalil aqli, bukan dalil naqli. Jika perkara keimanannya bukan merupakan fakta terindera, misalnya ‘asma wa sifat Allah, malaikat, hari kiamat dan sebagainya, maka dalilnya adalah dalil naqli. Sementara karena dalil naqli itu sendiri adalah suatu fakta terindera, maka penilaian terhadapt suatu dalil naqli – apakah dia layak atau tidak untuk menjadi dasar keimanan – tergantung pada dalil aqli. Dari segi inilah, dapat dikatakan bahwa aqidah Islam adalah sebuah aqidah a qliyah, yaitu aqidah yang pembenarannya dibangun atas dasar akal (mabdiyatun ‘ala al-aql).
Berdasarkan uraian tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa masalah keimanan dalam aqidah Islam yang dalilnya aqli ada 3 yaitu iman kepada Allah, iman bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, dan iman bahwa Muhammad adalah Rasul (utusan) Allah. Berdasarkan ketiga perkara keimanan inilah diperoleh keimanan kepada Al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian menjadi dalil naqli bagi perkara -perkara keimanan lainnya yang tidak dapat dijangkau akal seperti iman kepada kitab-kitab Allah, Rasul-rasulNya, malaikatNya, hari akhir, surga, neraka, hisab, dansebagainya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa karena aqidah Islam termasuk masalah ushul (dasar) dalam Islam, maka dalilnya harus bersifat pasti 10
(qath’i), baik qath’i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw) maupun qath’i dhalalah (pasti pengertiannya). Karena itu, dalil naqli yang menjadi dasar aqidah haruslah berupa alQur’an dan hadits mutawatir yang mempunyai pengertian yang qath’i. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, haram bagi seorang muslim membenarkannya secara pasti (tasdiiq jazim). Tetapi tidak boleh dia mengingkarinya (takdzib), meskipun tetap dibolehkan baginya membenarkan secara dugaan kuat (tasdiiq zhanni).
Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil naqli untuk perkara aqidah. Prinsip di atas didasarkan pada larangan dalam al-Qur’an untuk mengikuti sesuatu yang bersifat dugaan/persangkaan (zhan) dalam masalah aqidah atau sesuatu yang bukan merupakan pengetahuan yang pasti (al-‘ilm). “ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS. Al-Isra’: 36] “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [QS. Yunus: 36]
Aqidah Ruhiyyah dan Aqidah Siyasiyah yang dimaksud aqidah siyasiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusanurusan keduniaan. Sedang aqidah ruhiyah adalah aqidah yang menjadi dasar pengaturan urusanurusan keakhiratan. Urusan keduniaan (syu’un al-dunya) adalah segala urusan manusia sepanjang kehidupan di dunia sampai mati, misalnya urusan keluarga, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya. Sementara yang dimaksud dengan urusan akhirat (syu’un al-akhirah) adalah segala urusan manusia yang ada pada fase sebelum dan sesudah hidupnya di dunia. Yakni, apa yang ada sebelum lahirnya manusia dan sesudah matinya manusia, misalnya urusan penciptaan alam semesta dan kebangkitan pada hari kiamat. Termasuk juga urusan akhirat, adalah urusan yang sebenarnya ada pada fase kehidupan di dunia saat ini, tapi tidak berkaitan dengan interaksi sesame manusia, melainkan hanya berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya dalam ibadah ritual. Jadi, aqidah ruhiyah adalah aqidah yang melahirkan beberapa pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat, semisal hari kiamat, pahala siksa, dan 11
juga masalahmasalah ibadah ritual (seperti doa), termasuk pemikiran-pemikiran dan hukumhukum lain yang berkaitan dengan pemeliharaan masalah-masalah tersebut, seperti pemberian nasihat dan petunjuk, atau penyampaian ancaman dengan adanya adzab Allah serta pemberian dorongan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Sedangkan aqidah siyasiah adalah aqidah yang melahirkan berbagai pemikiran dan hukum yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keduniaan seperti aspek pemerintahan, perdagangan, sewa menyewa (ijarah), perkawinan, perseroan (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan persoalan tersebut, seperti kewajiban mengangkat pemimpin jamaah atau kelompok, ketaatan pada pemimpin serta kewajiban mengontrolnya, juga anksi-sanksi pidana dan hukum-hukum perang.
Dilihat dari pengertian di atas, maka aqidah Islam adalah aqidah ruhiyah dan sekaligus siyasiyah. Aqidah agama nasrani hanyalah aqidah ruhiyah, karena pemikiran dan hukum yang terakhir hanya berkaitan dengan persoalan keakhiratan. Sementara aqidah kapitalisme adalah aqidah siasiyah semata karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari aqidah ini, berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (liberalisme/fredoom) dan asas manfaat (utilitarianisme). Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari aqidah kapitalisme tersebut berkitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan peperangan. Demikian juga dengan aqidah sosialisme, juga merupakan aqidah siyasiyah karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum yang lahir dari aqidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan kehidupan dunia seperti pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga dengan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupan dunia seperti membatasi demokratisasi di kelas buruh dan diktaktor proletariat. Dalam kedudukan sebagai aqidah ruhiyah aqidah Islam menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan akhirat dan urusan ibadah. Mengenai urusan akhirat, firman Allah SWT: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” [QS. Al- Baqarah: 28]
12
Mengenai urusan ibadah; seperti shalat, Allah SWT berfirman: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.” [QS. AlIsra’: 78-79] Sebagai aqidah siyasiyah, aqidah Islam menjelaskan berbagai pemikiran dan hukum yang menyangkut bagaimana kita mengatur kehidupan dunia. Di bidang ekonomi, misalnya, Islam mengatur bolehnya jual beli dan larangan riba. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS. Al-Baqarah: 275] Dalam masalah sosial kemasayarakatan, misalnya aqidah Islam menjelaskan perlunya keluarga sebagai jalan untuk melahirkan generasi penerus demi kelangsungan jenis manusia. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama –Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. [QS. An-Nisa: 1]
Pemahaman tentang suatu aqidah sebagai aqidah ruhiyah dan atau aqidah siyasiyah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Aqidah ruhiyah tidak bisa membentuk pandangan hidup (wijhatun nazhar) atau gambaran hidup (taswiru al-hayah), karena aqidah ruhiyah tidak memiliki pemikiran dan hukum yang menjadi standar untuk menilai mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Aqidah ruhiyah hanya berbicara 13
tentang kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Dengan kata lain, aqidah ruhiyah tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia. Maka, terhadapa masyarakat yang memeluk suatu aqidah ruhiyah terntentu, misalnya Jepang yang memeluk aqidah Hindu atau Kong Hucu, bisa diterapkan aqidah siyasiyah apa saja (dalam hal ini kapitalisme) tanpa ada kekhawatiran akan menghilangkan agama-agama yang dipeluk masyarakat yang dipeluk di sana. Berbeda dengan aqidah ruhiyah, aqidah siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup karena darinya terlahir pemikiran dan hukum-hukum tentang pengaturan kehidupan dunia. Maka, suatu masyarakat yang telah menganut aqidah siyasiyah tertentu, misalnya kapitalisme atau Islam, sangat sulit menerima kehadiran aqidah siyasiayh lain. Aqidah siyasiyah asing itu dinilai akan membahayakan eksistensi masyarakat itu. Langkah pemaksaan akan mengundang perlawanan dari masyarakat. Dari sini bisa dimengerti mengapa Indonesia, misalnya yang kendati mayoritas penduduknya muslim tapi terlanjur sudah memeluk aqidah siyasiyah kapitalisme sangat sulit menerima gagasan penerapan syariat Islam. Penerapan aqidah siyasiyah baru hanya mungkin dilakukan dengan tangan besi atau setelah masyarakat mengetahui kebobrokan aqidah siyasiyah yang dipeluknya selama ini dan keunggulan aqidah siyasiyah baru yang ditawarkan. Maka, mereka akan meninggalkan aqidah yang lama untuk mengambil aqidah yang baru. Aqidah siyasiyah akan membentuk pandangan hidup. Dan pandangan hidup akan mempengaruhi perilaku manusia. Maka, perbedaan aqidah akan melahirkan perbedaan pandangan hidup, dan akhirnya melahirkan perbedaan perilaku. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah kapitalisme adalah kemanfaatan (utilitaliarisme). Metode operasional untuk merealisasikan pandangan hidup ini adalah dengan menerapkan prinsip kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan individu, dan kebebasan berpendapat.
Pandangan hidup yang diajarkan aqidah sosialisme adalah evolusi materi yaitu perubahan dari suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lahir karena adanya kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat. Aqidah operasional untuk merealisasikan pandangan ini adalah dengan membuat kontradiksi-kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. Aqidah sosialisme menggambarkan kehidupan yang terus bergerak yaitu berubah menuju suatu kondisi lain yang lebih baik. Untuk perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik tersebut, atau disebut juga dengan evolusi, maka harus ada upaya menggalakkan kontradiksi. Jika sudah ada, harus ditingkatkan. Jika 14
belum, harus diadakan. Adapun pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam bahwa hidup adalah untuk beribah kepada Allah. Intinya terikat pada ketentuan halal dan haram. Dan metode operasional untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun keterikatan terhadap hokum syara’. Apa saja yang halal, diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh akan diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali. Melalui perang kebudayaan (al-ghazwu al-tsaqafy), Barat ingin mengubah pandangan hidup kaum muslimin. Di antaranya adalah dengan menciptakan keragu-raguan dalam beberapa masalah.
II.
Asas-asas Filsafat:
1. Jelaskan Pengertian Agama, Filsafat dan Ilmu ? Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya: Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika gagasangagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal. Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsipprinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia 15
yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan AlFârâbî, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya. Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujudwujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi. Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karyakarya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut AlFârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka. Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat 16
kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis. Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini. Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ'). Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (alhikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh 17
Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan tradisional ini. AlFârâbî menulis: Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian Syria, dan akhirnya Arab. Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan. Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria. Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran".
18
Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafatagama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat. Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya: Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
19
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmuilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya 2. Jelaskan secara detil objek kajian filsafat ? Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali. “Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalamdalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).
Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa: 1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok: a. Hakekat Tuhan; b. Hakekat Alam dan c. Hakekat Manusia.
20
2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada)
Dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H. Hamzah Ya’qub dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di sinilah diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi penyelidikan dan menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah: 1. Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan Yunani “Onontos” yang berarti “ada”, dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia dan Ilmu Kainat. 2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang “Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam Bahasa Arab disebut “Ilah” atau “Allah”. 3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin “ada” dan mungkin “lenyep sewaktuwaktu” pada suatu masa. 4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada yang tidak mutlak” maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah kemampuankemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki dan dibahas dalam Antropologia. 5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk. 6. Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya 21
tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal Budi atau Logika. Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut Epistimologi dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik. Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya sendiri-sendiri.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.
3. Sebutkan cabang-cabang filsafat ?
Cabang-cabang filsafat menurut Aristoteles ada empat cabang yang ia kemukakan, yaitu : 1. Logika adalah ilmu pendahuluan bagi terbentuknya filsafat; 2. Filsafat teoritis (filsafat nazariah) yang mencakup tiga macam ilmu dalam kajiannya, yaitu: a. Ilmu Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini. b. Ilmu Matematika yang membahas benda-benda alam dalam kuantitasnya. c. Ilmu Metafisika yang membahas tentang hakikat segala sesuatu. 3. Filsafat Praktis (Falsafah Amaliah), dalam kajiannya ada beberapa macam cabangya, yaitu: a. Ilmu Etika yang mengatur tentang kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup seseorang 22
b. Ilmu Ekonomi yang mengatur tentang kesusilaan dan kemakmuran dalam Negara. c. Ilmu Politik yang mengatur tentang kesusilaan dan berkehidupan dalam Negara. 4. Ilmu Peotika (Kesenian) dalam cabang ilmu ini diatur tentang masalah hubungan filsafat dengan seni dan ditinjau aspek cara mempelajarinya. Dari kajian diatas dapat dilihat bahwa kajian filsafat bukan hanya masalah pemikiran semata yang berkaitan dengan teori yang besar, akan tetapi sangatlah berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari.
4. Jelaskan apa yang dimaksud metode filsafat ?
Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri.
Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat. Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .
Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah Pengaruh ajaran Islam. Setidaknya sekara kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu : 1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik. Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini pada dikenal 23
memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina. 2. Metode Filsafat Iluminatif Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sangat bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. 3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf) Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri. Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional. 4. Metode Teologi Argumentatif (kalam) Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya. Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu`tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu`tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya. Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia. Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.
24
5. Jelaskan pula apa yang dimaksud dengan metodologi penelitian filsafat ?
Penelitian Ilmiah Metodologi ini adalah jenis metodologi penelitian yang digunakan oleh para peneliti berbasis pendidikan resmi ala filsafat barat. Penekanannya adalah mencocokan asumsi yang sudah ada, yang diperoleh dari literature,teori-teori, untuk menilai ke-ilmiahan suatu ilmu atau metodologi. Kebanyakan peneliti model ini membutuhkansuatu ilmu atau metodologi atau asumsi yang sudah ada bentuknya sebelumnya, untuk dinilai dengan cara membandingkannya dengan asumsi yang diyakininya. Ketertarikan peneliti ilmiah untuk membakukan suatu kebenaran ilmiah menyebabkan penelitian ilmiah sering tergoda oleh hasrat / ego untuk menggeneralisasi, karena eksistensi suatu kebenaran ilmiah ditentukan oleh range/ jangkauan area dimana kebenaran tsb tetap terbukti berlaku. Meskipun di psikologi misalnya, bersemboyan understanding individual differences, tetapi dalam kenyataannya semakin seseorang mengusahakan keilmiahan suatu ilmu, maka secara sadar-tidak-sadar hal ini semakin terabaikan, masalahnya psikologi adalah ilmu yang memahami jiwa yang bersifat individual.
Masalah selanjutnya ketika psikologi yang individual berkembang ke psikologi sosial yang ilmiah; Dalam hal ini asumsi adalah norma yang dianggap berlaku di masyarakat. Understanding individual differences-nya yang mengharuskan adanya alat ‘kalibrasi’ (alat penyesuaian) menjadi terbatasi diantara asumsi norma masyarakat yang sudah ada saja. Maka dari itu psikologi tetap meyakini ‘judgement keberbakatan’ (normal / tidak normal, waras / tidak waras, ego / tidak ego, sakit / sembuh, genius / bodo, IQ, personality, motivasi, dlsb). Kompatiologi melakukan penelitian untuk menghadapi masalah ini, tetapi penelitian untuk masalah ini tidak bisa disusun dengan menggunakan asumsi yang sudah ada seperti pada penelitian ilmiah, mau tidak mau harus memulai penelitian dengan orientasi metodologi penelitian ‘pencarian dari nol’.
Orientasi metodologi penelitian pencarian dari nol memungkinkan usaha untuk merancang suatu alat kalibrasi yang jangkauan kalibrasinya mampu mencapai understanding individual differences-nya sehingga dalam kompatiologi yang ada saat ini tidak terdapat judgementjudgement keberbakatan. Asalkan seseorang memiliki kelengkapan tubuh yang sama (tidak 25
mengalami cacat otak), dan di-instalasi software yang sama (sistem kompatiologi), maka tingkat kemampuan juga akan menunjukkan nilai kemampuan yang cukup standart atau mirip, yang berbeda hanya minat saja, yang dipengaruhi oleh individual differences-nyamasingmasing.
III.
Perkembangan Sejarah Filsafat.
1. Sebutkan munculnya pemikiran filsafat Yunani ke duni Islam ?
Seperti yang pernah saya singgung pada bagian penjelasan yang lalu, bahwa Ranah Filsafat pada peta Intelektual Dunia Islam dimulai dengan keberhasilan dan upaya serius dari sang Maestro besar dan seorang ilmuan sejati Abu Yusuf Ya'kub al-Kindi yang biasa dikenal dengan sebutan al-Kindi dengan menerjemahkan dan menyunting buku-buku filsafat karya Filosof Yunani kedalam bahasa Arab lebih dari seribu tahun yang lalu. Penguasaan yang mendalam terhadap literature dan gramatika Arab, Syami dan Yunani menjadikan karya dan hasil terjemahan beliau menjadi sangat bernilai dan dikenal sebagai karya terjemahan yang paling akurat dan Prestisius.
Filsafat sendiri bukanlah barang baru dalam khasanah Islam, setidaknya itu bisa dikenali lewat system berfikir yang di'pertontonkan' oleh Ayat-ayat al-Quran pada banyak kesempatan. `irama' ayat yang tersebar luas pada halaman demi halaman al-Quran kiranya bisa dijadikan bukti akan klaim diatas. Benar bahwa kitab ini bukanlah kitab Filsafat, kumpulan Sejarah, ataupun prolog tentang sederet aturan belaka tapi lebih dari itu bahwa al-Quran adalah sebuah `kitab besar' yang merangkum dan merekam `sejarah keabadian' antara Pencipta dan Makhluknya Filsafat didunia Islam dikenal dengan nama Falsafah yang berasal dari Isim masdar Ja'li yang memiliki makna setiap ilmu yang bersandar pada kaidah akliah meliputi ilmu Saraf, Maani, Bayan, Badi', Arudz, Tafsir, Ilmu Khadis, Figh, dan Uusul-figh, Kata Hikmah sering pula dipilih untuk menggantikan kata falsafah yang dipergunakan secara luas didalam tradisi intelektual Islam.
26
Mengikuti Aristo filosof Muslim membagi Filsafat menjadi dua katagori, yaitu Falsafah Nadzari yang berbicara tentang Wujud dan Eksistensi, serta Falsafah A'mali yang membincangkan tentang ke-Salehan dan perilaku social. Falsafah Nadzari mencakup Falsafah Ilahiyat ( metaphysics ) Primary philosophy, Riyadziyat ( mathematics ), yang disebut dengan Falsafah Wustha, dan yang terakhir Falsafah Thabiiyat ( physics, natural philosophy ). Falsafah Ilahiyat sendiri mengambil dua bentuk katogori yang pertama disebut dengan Falsafah Ilahiyat-Aam dan yang kedua dengan Falsafah-Khas. Sementara falsafah Wustha meliputi ilmu Matematik, Ilmu hitung dan Dunia seni musik. dan Falsafah Sughla atau Thabiiyat merangkum pelbagai tema seperti Etika, Etika sosial, keluarga dan Ilmu politik. Namun tak lama kemudian Filsafat didunia Islam mengambil bentuk dan tema khusus dibawah Falsafah Ilahiyat atau Methaphysics yang
diterjemahkan mejadi Maa ba'da
Thabiiyat, yang memuat didalamnya tema sentra, Maujud ma Huwa Maujud atau Eksistensi. Ditangan para
filosuf
Muslim tema ini menjadi begitu bersinar, kokoh dan berhasil
mengukuhkan dirinya sebagai Ibu dari segala ilmu, mengingat sifatnya yang universal dan fundamental, dengan bersandar pada tataran argumentasi yang Badhihi dan aksiomatis.
Sebagaimana yang ditulis oleh para ilmuan bahwa tema eksistensi pertama kali muncul di tangan Aristoteles dengan tema yang diletakkan setelah pembahasan ilmu Physics, Aristo sendiri tidak memberikan nama khusus pada tema baru yang diperkenalkannya, baru kemudian ditangan filosof setelahnya kata Metaphysics dipilih untuk memberikan identitas baru bagi kajian ini, yang bermakna sesuatu yang melampaui dunia fisik dan materi. Agaknya Ibnu Sina keberatan dengan istilah tersebut dan lebih memilih menggunakan kata Praphysics maa qabl-maujud- yang dianggap lebih tepat dan sesuai dengan tema-tema yang ada yang berbicara tentang alam Non materi Maujud al- Mujarrad.
Singkatnya Filsafat didunia Islam terus bergulir dan pada akhirnya melahirkan dua aliran besar yang memiliki ikatan tradisi dengan dua filosuf terkemuka Yunani yaitu Aristo dan Plato, Ibn Sina adalah tokoh paling penting dan paling berpengaruh pada warisan tradisi Peripattetic sementara Shihabuddin syuhrawardi adalah pelanjut guru yang sangat dihormatinya,Plato.
27
2. Jelaskan hubungan filsafat yunani dengan filsafat islam ? Filsafat merupakan ilmu yang didasarkan pada pemikiran, pencarian dan penelaahan yang mendalam dengan menggunakan nash-nash aqliah dan tidak berdasarkan teks-teks klasik maupun kontemporer. Sebelum kedatangan Islam, filsafat telah berkembang di Barat. Hal ini dapat kita tinjau dari kemunculan sejumlah nama filosof besar yang berasal dari Yunani kala itu, seperti Plato dan Aristoteles. Perkembangan filsafat ini memicu perkembangan ilmu pengetahuan, seperti halnya Galileo Galilei dengan buah pemikirannya tentang keadaan bumi yang mengelilingi matahari, meskipun mendapat penentangan hebat dari kalangan gereja hingga membuat Galileo Galileo sendiri harus merelakan nyawanya melayang karena mempertahankan penemuannya tersebut. Tatkala Islam datang, Ilmu filsafat juga banyak diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu Islam sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran Islam dari tokoh cendekia Islam sendiri. Pada masa –masa awal berkembangnya Islam, filsafat Yunani banyak mempengaruhi wilayah pemikiran tentang keberadaan Sang Khaliq. Pada saat itu lahirlah ilmu kalam sebagai ilmu yang didasarkan pada pemikiran yang berdiri sendiri yang dikembangkan oleh para mutakallimin. Pada abad ke-7, Islam berkembang pesat dan kehidupan umat pada saat itu juga sudah mulai tenteram, tidak terjadi lagi pergolakan-pergolakan hebat seperti halnya pada masa-masa awal lahirnya Islam. Keadaan ini membuat para cerdik cendekia muslim pada saat itu
memanfaatkannya
untuk
menelaah
karya-karya
besar
filsafat
Yunani
dan
mengintegrasikannya dengan nilai-nilai yang dibawa Islam bersumber dai al-Quran dan hadits. Sebagai dampak dari proses ini, timbullah ilmu filsafat Islam. Dengan adanya hubungan historis antara filsafat Yunani (Barat) dengan filsafat Islam, menciptakan kemiripan-kemiripan dan juga pebedaan antara keduanya. Filsafat Yunani hanya dikembangkan hanya berdasarkan akal pikiran, sedangkan filsafat Islam mengintegrasikannya dengan al-Quran dan hadits, disamping juga ada argumen-argumen filsafat baru yang muncul dari filosof muslim sendiri kala itu yang belum ada sebelumnya. Jadi, tidak bisa dikatakan filsafat Islam itu adalah filsafat Barat, karena filsafat barat sendiri tidak ada menghubungkannya dengan Islam. Namun jika dari sejarah, filsafat Islam memang ada kaitannya dengan filsafat Yunani. 28
3. Jelaskan hubungan filsafat Islam dengan filsafat Barat ? Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab ﻔﺔ
ﻓﻠﺴ, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini,
kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf". Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
29
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang. Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika. Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya. Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya. Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan. sangat besar pada sejarah filsafat. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
30
4. Jelaskan sejarah pemikiran filsafat Islam sesudah ibn Rusyd ? Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya. Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-lain.
31
5. Jelaskan pengaruh pemikiran filsafat Islam di dunia Barat ?
Perkembangan Pemikiran filsafat Islam di dunia Barat Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini Dar al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam. Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur Yunani. Terlebih lagi Dar al-Hikmah juga melengkapi diri dengan fasilitas laboratorium dan peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih di zamannya untuk menguji dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani. Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di Baghdad, Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran ilmu sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas). Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat. Artinya bahwa tradisi keilmuan
32
tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh lapisan masyarakat berlomba membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh satu hal yang mengagumkan apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang begitu berminat membaca, mengajar serta megembangkan ilmu. Masing-masing berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam memajukan institusi pendidikan dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan kemajuan pendidikan. Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan umum, perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid. Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan. Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad saja terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah perpustakaan. Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar dan ulama, seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab (567 M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para ulama, sarjana dan pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi diperuntukan bagi para akademisi dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan oleh Harun alRasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan Cordova. Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga dengan dirinya karena menjadi salah seorang yang memiliki perpustakaan terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua penanggung jawabnya, kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan 400 ekor onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog perpustakaan pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah (wafat 982) memiliki dua cabang, disamping satu perpustakaan miliknya di Basrah, ia membangun sebuah perpustakaan yang luas di pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin oleh seorang pustakawan, seorang pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan Wakil). Perpustakaan tersebut berisi banyak buku-buku literature ilmiah. Cyril Elgood menggambarkan buku-buku Adun Dawlah tersimpan memanjang (dalam garis bujur) ruang (hall) yang melengkung dengan banyak 33
kamar di semua sudutnya. Pada dinding ruang tersebut ditempatkan rak buku setinggi enam kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari kayu berukir, dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah. Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang lebih sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat 976) di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi oleh para penyalur buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam. Perpustakaannya dipimpin oleh sebuah staf yang cukup besar, terdiri dari para pustakawan, penyalin dan penjilid di dalam scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif, seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi bukubuku langka, masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih pada tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan tangan dan 10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat seratus buah toko buku dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari delapan ribu orang.. Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam pada masa itu. Semua orang berlomba memperkaya diri dengan ilmu. Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada dalam masa kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan. Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya menyimpan 356 buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96 buah buku saja. Ini menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan penghargaannya terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai ukuran kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan buku-buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku
34
ini merupakan karya bibliografi dan katalog yang paling lengkap tentang manuskripmanuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana muslim. Walaupun begitu, banyak buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan. Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang hadis pada detik-detik terakhir kehidupannya. Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam berkembang pesat pada zaman tersebut bersama dengan kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang maju tidak dapat dibangun dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan kata lain, peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi keilmuan. Oleh sebab itu, membangun peradaban Islam mesti mengikutsertakan pembangunan tradisi keilmuan dengan mewujudkan dan memperbanyak institusi pendidikan yang berkualitas dan jaringannya menembus batas negara. Demikian juga, umat Islam perlu melahirkan ulama, sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu menghadirkan kegiatan kajian, penelitian dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-unsur tersebut institusi pendidikan dan keilmuan akan nampak sepi dan tidak berkembang. Tradisi Pemikiran Islam Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan
Muslim.
Secara
historis,
dunia
Islamlah
yang
pertama
kali
melakukan
internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lainlain.
35
Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri analitik, yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika, atau bahkan arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang berada pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu sebagai “tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang ditentukan dalam Al-Qur’an. Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan konsep cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas pembagian monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika dan lainnya. Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan mengagumkan ini seiring dengan kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Sampai akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan pemikiran filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran Islam. Salah satu upaya menghidupkan kembali tradisi filsafat dilakukan kurang dari satu abad setelah kembalinya Tahtawi dari Paris. Dimulai oleh Mushthafa ‘Abd al-Raziq (1885-1946) -kakak kandung ‘Ali ‘Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat perlahan berkembang dan hidup kembali meskipun tidak secemerlang era kejayaan Arab dulu. Munculnya sikap positif dan akomodatif terhadap tradisi filsafat (filsafat Islam khususnya), baik dari individu masyarakat atau penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor, diantaranya, adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali tradisi dan nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan elemen penting dalam budaya tersebut.
36
Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Masyarakat Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani. Terlebih kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi sendiri. Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat dalam masyarakat Arab kontemporer dilakukan dengan berbagai cara, beberapa diantaranya adalah pertama, melakukan penyuntingan buku-buku filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim klasik. Kemudian sedikit memberi kajian dan memperdalam pembahasannya. Termasuk sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing untuk disebarluaskan dan menjadi kajian masyarakat internasional, Kedua, menerjemahkan karya-karya filosof barat ke dalam bahasa Arab untuk diperkenalkan kepada masyarakat Arab khususnya serta melakukan kajian mendalam terhadap karya-karya tersebut. Ketiga, menciptakan isyu-isyu filsafat sendiri dan menulisnya, khususnya isyu-isyu berkaitan dengan realitas kekinian ataupun sebagai reaksi dari isyu-isyu filsafat yang telah ada lebih dulu. Dalam konteks keindonesiaan sejarah pemikiran Islam mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang hidup dan berkembang buah inspirasi dari pemikiran Barat. Mereka ini adalah orang-orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada perdebatan kecil antara para ilmuwan yang pernah mengenyam studi di Barat dan ilmuwan yang pernah studi di Timur Tengah. Meskipun polarisasi yang terjadi tidak sedahsyat yang dibayangkan, tetapi tetap ada
37
perbedaan atau semacam garis pemisah di antara mereka. Termasuk adanya asumsi bahwa orang yang belajar Islam di Barat dianggap tidak valid dan layak dicurigai ketulusan dan keobyektivannya dalam melakukan kajian keislaman. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis yang memiliki misimisi khusus, atau paling tidak, mereka bukan muslim practicing. Sebaliknya, mereka yang belajar ke Timur Tengah merasa unggul karena merasa telah belajar langsung di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni yang kecil kemungkinan melakukan penyimpangan atas ajaran ataupun sejarah Islam. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disamping dihadapkan berbagai hal di atas juga mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi masyarakat Indonesia yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini diyakininya. Kembali pada persoalan umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen dari produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh negara-negara maju tersebut. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka. Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan. Menggairahkan kembali tradisi menulis di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para ulama kita yang secara keilmuan sangat
38
memadai namun sayang sebagian mereka memiliki kesulitan dalam menuangkan gagasangagasannya dalam bentuk tulisan. Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah waktunya diterjemahkan ke dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca oleh dunia internasional. Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak kendala namun perlu dipikirkan bersama agar pemikiran-pemikiran para ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat terlebih masyarakat internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat yang rela menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip atau buku. Mereka tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia keluarkan demi memenuhi kebutuhan kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan dalam memenuhi kebutuhan keilmuan seperti ini mesti kita tumbuhkan di kalangan sarjana-sarjana muslim. Dengan demikian, harapan untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia Islam tidak lagi menjadi impian tetapi dapat kita nikmati hasilnya. Ungkapan Abu Hasan Ali al-Nadwi patut kita renungkan, baginya ilmuwan yang baik adalah yang menulis untuk generasinya dan generasi kemudian. Para ulama dan ilmuwan menulis buku bukan untuk dirinya atau meraup keuntungan sesaat tetapi untuk generasi kini dan generasi mendatang. Proses regenerasi dan transformasi keimuan ini mungkin memakan waktu yang cukup lama daripada usia seseorang atau ratusan tahun. Oleh karena itu, sudah saatnya ilmuwan Islam menyemarakkan sekaligus mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi mendatang supaya mereka dapat meneruskan langkah besar ini. Dalam membangkitkan tradisi keilmuan, tidak cukup hanya membangun aspek fisik bangunan lembaga pendidikan dengan segala fasilitasnya semata, tapi yang tak kalah pentingnya adalah membangun sikap mental individu. Upaya penting yang mesti segera dilakukan adalah membangkitkan kesadaran masyarakat secara umum dalam menghargai ilmu dan budaya membaca yang tinggi, sebab dalam membaca buku inilah pintu pengetahuan itu terbuka. Beragam informasi-informasi baru bisa didapat. Persoalannya saat ini minat baca masyarakat kita masih rendah. Hal ini dapat kita lihat dari kebiasaan sehari-hari masyarakat kita yang kerapkali menghabiskan waktu kosongnya untuk hal-hal yang tidak produktif. Seperti kebiasaan menunggu kendaraan hanya untuk melamun. Mengisi waktu dalam perjalanan 39
untuk tidur dalam kendaraan, dan sebagainya. Waktu-waktu kosong seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membaca majalah, Koran, ataupun buku. Disamping itu perkembangan teknologi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya khususnya dalam meningkatkan tradisi keilmuan. Melalui media internet, kita dapat memperoleh beragam ilmu dan bahan-bahan kajian dari para ilmuwan seluruh dunia dengan mudah dan cepat. Karenanya sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan melengkapi fasilitas pendidikannya dengan fasilitas internet agar sarjana-sarjana kita tidak tertinggal dengan sarjana-sarjana di negara-negara lain. Sistem Pendidikan yang Terpadu Umat Islam sudah waktunya kembali kepada semangat pendidikan seumur hidup yang telah dicanangkan oleh Rasulullah saw., sejak empat belas abad silam. Banyak titah Rasulullah saw. yang menyemangati umat Islam akan pentingnya hidup bergelimang pengetahuan. Titah Rasul yang cukup dikenal adalah perintah menuntut ilmu bagi setiap Muslim dan Muslimah sejak saat dalam buaian sampai masuk ke liang lahat. Demikian pula al-Qur’an telah dengan jelas-jelas mengingatkan kita supaya jangan meninggalkan generasi yang lemah baik dalam keimanan, materi, kesehatan, maupun pendidikan (QS. 4:9). Hal ini sudah sewajarnya memicu kaum Muslim untuk bersikap dengan dimensi yang lebih luas dalam beragama, terutama dalam menghadapi masalah pendidikan. Artinya, pendidikan harus dirajut sebagai bagian dari ibadah-ibadah utama yang mahdlah walaupun status hukumnya ghair mahdlah. Dengan demikian, misalnya, seseorang yang telah pernah melaksanakan ibadah haji tidak perlu ngotot pergi haji lagi sementara di sekitarnya masih banyak anak-anak usia sekolah atau lembaga pendidikan yang tak terurus. Biaya perjalanan hajinya akan lebih baik ditanamkan dalam membenahi sistem pendidikan di lingkungannya. Untuk itu memang dibutuhkan cakrawala keberagamaan yang lebih lebar, yang mewujud dalam keyakinan bahwa kemuliaan seseorang sebagai hamba Allah akan pula diraih tidak hanya melalui ketekunan menjalankan ibadah individual namun dapat pula diraih dengan ibadah komunal. Dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw. juga terdapat berbagai aspek yang mendorong umat Islam untuk selalu belajar sehingga pendidikan selalu mendapat perhatian umat Islam. Dalam rangka mengambil manfaat efek sinergitas dalam dunia pendidikan, para peminat pendidikan 40
khususnya para orang tua Muslim- perlu mengembangkan pula paradigma mafhum muwaafaqah terhadap upaya sinergitas para penyelenggara pendidikan, yaitu bersedia seiring sejalan karena tidak mungkin keunggulan pendidikan kaum Muslim diraih hanya mengandalkan keringat lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan saja tanpa keikutsertaan mereka. Artinya, setiap orang berani memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang nota bene dibawah standar dengan mengedepankan rasa memiliki dan tekad perolehan keunggulan bersama jangka panjang. Masing-masing bahu membahu membangun pendidikan yang berkualitas. Justru kualitas dan keunggulan pendidikan, baru akan diperoleh jika dipompakan ke dalam lembaga tersebut baik melalui pasokan anak didik yang unggul maupun dana dan kepedulian. Dengan kata lain, untuk memasukan anak ke dalam lembaga pendidikan tidak perlu menunggu sampai lembaga tersebut mapan karena hanya akan menjadi mimpi jika tak ada dukungan yang sinergis dari berbagai pihak. Antara masyarakat modern dan tradisional terdapat perbedaan tekanan dalam pendidikan. Dalam masyarakat tradisional, penekanan kepada orientasi normatif merupakan aspek utama. Lembaga pendidikan merupakan sumber signifikansi bagi pengajaran moral dan mengekalkan tradisi. Dalam masyarakat modern, seiring dengan peningkatan pengajaran normatif semakin menurun, dan lebih menekankan kepada ilmu dan teknologi atau keterampilan yang bermakna. Dengan demikian tingkat kompleksitas dan kondisi masyarakat mempunyai korelasi dengan tingkat diversifikasi lembaga-lembaga pendidikan. Dalam masyarakat yang belum begitu komplek, bentuk dan jenis lembaga pendidikan masih sederhana. Setelah masyarakat mengalami perkembangan, setelah pendidikan berlanjut, mulai muncul bentuk-bentuk lembaga pendidikan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di sisi lainnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak cukup tampil hanya mengandalkan eksistensi fisiknya saja, lebih dari itu harus mengedepankan pola-pola penyelenggaraan yang terpercaya, profesional dan menomorduakan unsur bisnis dalam pelaksanaannya. Transparansi pengelolaan dan manajemen yang profesional adalah suatu keniscayaan guna memperoleh tingkat kepercayaan tinggi masyarakat, khususnya para orang tua murid. Model pengelolaan pendidikan yang egaliter, namun tetap elegant dalam memandang kualitas adalah tuntutantuntutan lainnya untuk memperkokoh keberadaannya. Lembaga pendidikan harus tampil
41
sebagai napas kehidupan komunitas muslim yang jika keadaannya megap-megap dapat membangkitkan kepedulian mereka untuk peduli memulihkannya. Rasa memiliki harus ditumbuhkan pada semua kalangan umat sehingga pada gilirannya bukan saja mereka percaya, namun berkeinginan kuat membesarkannya. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus dapat menjadi agen-agen keunggulan sekaligus sebagai jembatan dalam menjelajahi dunia sampai akhiratnya. Tentu saja, upaya-upaya ini harus digarap bersama dengan tekad memajukan kualitas pendidikan di lingkungannya. Sistem pendidikan yang terpadu akan membantu melahirkan out put pendidikan yang berkualitas dan menghasilkan SDM yang sesuai harapan. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja sebagai panyokong lahirnya SDM-SDM berkualitas. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, setidaknya ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masingmasing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Hal ini berpengaruh pada model pembinaan yang mesti diberikan kepada anak. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, dasar-dasar ilmu keagamaan dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan)
42
diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.” Ada tahap-tahap yang mesti dilalui sebagai bagian dari proses pembentukan kepribadian anak menuju kemandirian. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Qur’an, kemudian suruh dia menghafalkan al-Qur’an…”. Ketiga, pendidikan yang diberikan berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target standar yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang umum diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam mempertahankan eksistensinya, Madrasah juga lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara pemenuhan kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama. Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama yang hanya akan membuat
43
kesengsaraan umat Islam. Namun kenyataannya, persoalan kehidupan duniawi terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama. Intergrasi Keilmuan Ilmuwan Prancis Bruno ‘Abdul Haqq’ Guiderdoni mengatakan ada persamaan epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran yang terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun, kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama. Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bisa bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial. Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al-Qur’an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid. Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora. Al-Qur’an berisi berbagai hal yang berkaitan dengan semua yang ada di alam ini, agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya. Hanya saja al-Qur’an tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut. Ini artinya bahwa pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan ilmu umum, karena semua tercakup dalam al-Qur’an. Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan sistem sosial tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan sistem
44
sosial. Islam ditempatkan sebagai induk dari semua akar ilmu pengetahuan, yang memang sudah selayaknya diterima oleh Islam, bukan malah memilah-milah keilmuan yang justru akan memperkecil posisi Islam itu sendiri. Penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah yang didalamnya ilmu-ilmu agama banyak dipelajari tidak lagi berada terpisah diantara deretan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, tapi ia berada membaur bersama dalam aktivitas pendidikan. Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945 meskipun prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama. Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus disusun dengan baik dan harus jelas bagi semua fihak yang berkepentingan, karena berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan dari keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri Civitas akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia masih tidak demikian. Banyak di antara perguruan tinggi yang kurikulumnya menjiplak perguruan tinggi lain yang sejenis tanpa mengerti landasan filosofis yang ada di balik kurikulum tersebut. Demikian pula halnya dengan IAIN dan STAIN, ataupun PTAIS. Kurikulum nasional mereka dibuat oleh Departemen Agama di Jakarta dan hanya berupa daftar matakuliah. Silabusnya pun dibuat 45
seragam dan berupa deretan topik inti yang kadang-kadang tumpang tindih (over laping) satu sama lain. Ironisnya lagi kurikulum dan silabus buatan orang lain ini dianggap sakral (untouchables) dan tak dapat diubah lagi. Padahal sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya mereka menyadari sifat otonomi keilmuan yang mereka miliki. Dengan demikian PTAI memiliki kebebasan untuk melakukan eksplorasi atas kurikulum dan out put pendidikan yang ingin dihasilkan. Dengan membaca kurikulum yang tertulis dalam buku pedoman kebanyakan PTAI, masyarakat masih belum dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang hal-hal penting. Gambaran tersebut antara lain berisi apakah yang akan dibentuk oleh PTAI melalui kurikulum itu? Bagaimana cara PTAI untuk mewujudkan lulusan seperti itu? Aspekaspek apakah yang akan dikembangkan melalui kurikulum itu? Dan sebagainya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa kurikulum tersebut bukan saja tidak jelas bagi masyarakat yang ingin mengetahui apa isi kurikulum PTAI, melainkan juga tidak jelas (setidaknya tidak ada jaminan bahwa hal itu sudah jelas) bagi sebagian (mungkin sebagian besar) dosen yang secara langsung mendidik mahasiswa di ruang kuliah. Sehingga ada ketidakterkaitan antara keinginan pemerintah, pihak rektorat dan dosen yang mengajar di kelas. Masing-masing berjalan sendiri sesuai dengan apa yang mereka pahami dari matakuliah yang menjadi tanggungjawabnya. Masing-masing fihak memiliki visi masing-masing mengenai kualitas lulusan dan apa yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan lulusan seperti itu. Transformasi Pemikiran dan Tanggung Jawab Negara Pendidikan hingga saat ini masih menjadi satu-satunya alat yang paling efektif untuk melakukan transformasi gagasan. Perubahan pemikiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat banyak dilakukan melalui jalur ini. Isue-isue demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, kerukunan beragama dan sebagainya kerapkali disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini tidak semata pendidikan formal yang selama ini terjadi di ruang-ruang kelas. Tetapi proses pendidikan yang dijalankan banyak melalui forum-forum non-formal, seperti dialog, seminar, majlis-majlis taklim di mana gagasan-gagasan yang dibawa disusupkan secara perlahan. Selama ini model transformasi gagasan seperti ini sangat efektif dan cukup memberikan dampak signifikan terlebih dengan dukung teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menyebarkan gagasan tersebut secara masih kepada masyarakat luas dalam waktu yang sangat cepat.
46
Pendidikan jalur formal yang selama ini diselenggarakan secara resmi oleh lembaga-lembaga pendidikan dapat pula, bahkan memiliki potensi yang cukup besar, untuk mentransformasikan gagasan dalam sebuah desain besar perubahan masyarakat. Karena itu utnuk mengetahui seberapa kualitas SDM dalam sebuah negara dapat diketahui dari kualitas pendidikan yang diselenggrakan, lebih khusus dapat diketahui dari kurikulum yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan tersebut. Sebab dalam kurikulum itulah berisi nilai-nilai ataupun gagasangagasan yang hendak ditularkan kepada peserta didik. Jika gagasan-gagasan yang ditularkan bermasalah maka out putnya pun akan bermasalah. Kurikulum sebuah lembaga pendidikan setidaknya harus mencerminkan identitas lembaga tersebut sebagai lembaga pendidikan yang bermutu. Di samping juga dilengkapi dengan tenaga-tenaga pengajar yang kompeten dan sarana dan prasarana yang memadai. Setidaknya ia harus mencerminkan misi dan visi lembaga pendidikan tersebut. Kurikulum juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang diharapkan itu melalui berbagai program dan mata pelajaran. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia telah terjadi berkali-kali pergantian kurikulum nasional. Yang terakhir dan masih banyak menjadi bahan diskusi berbagai kalangan adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berusaha menjawab persoalan tidak hanya persoalan dalam dunia pendidikan semata, namun persoalan SDM bangsa Indonesia secara umum yang dianggap bermaslaah dalam berbagai aspek, baik itu moralitas maupun daya saing dengan dunia internasional. Sayangnya kurikulum berbasis kompetensi ini tidak cukup dipahami oleh pelaksana pendidikan khususnya para guru dan penyelenggara pendidikan lainnya di level bawah. Artinya gerak sinergis antar berbagai kalangan belum terjadi dalam proses pembentukan kualitas pendidikan dan SDM nasional. Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan nampak jelas ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya 47
pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan josul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Kondisi ini akan berbeda jika dikaitkan dengan kondisi sesungguhnya di Indonesia di mana masih banyak kita temui anak-anak usia sekolah yang masih berada di jalanan atau tidak mampu bersekolah karena ketiadaan biaya, Meski pada dasarnya pemerintah memiliki kewajiban untuk membuat mereka mendapatkan pendidikan karena itu adalah bagian dari hak mereka. Ketika hak pendidikan itu tidak mereka dapatkan, pada akhirnya memicu lahirnya 48
lembaga-lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun yayasan-yayasan sosial yang berupaya menolong mereka dari ketertinggalan pendidikan. Kondisi yang berlangsung terus menerus tersebut membuat masyarakat sendiri yang memperkuat
basis-basis
pendidikan
“alternatif”,
sebagai
jawaban
konkret
atas
ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan semua persoalan pelik pendidikan di negeri ini. Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat sendiri yang mesti menawarkan konsep pendidikan yang terjangkau mayoritas rakyat, ketika lembaga pendidikan formal berperilaku layaknya saudagar. Tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga pendidikan formal, sudah saatnya pula menghentikan praktik mencari koneksi, kasuk-kusuk sana-sini, demi diterima bersekolah atau berkuliah di lembaga pendidikan favorit. Hentikan semua praktik kontraproduktif yang sebetulnya justru menjadi bagian dari penyakit dan persoalan rumit pendidikan di negeri ini. Sudah saatnya segenap elemen masyarakat memikirkan lebih serius masa depan pendidikan di Indonesia, karena pendidikan berkaitan erat dengan nasib bangsa yang nantinya akan beralih kepada generasi berikutnya. Jika generasi yang akan mewarisi bangsa ini tidak mendapatkan pendidikan yang selayaknya maka kita pun akan dapat memprediksikan gambaran masa depan bangsa Indonesia. 6. Jelaskan pula sejarah pemikiran filsafat Islam kontemporer ?
Perdebatan akhir-akhir ini antara kalangan Islam “liberal” dengan Islam fundamentalis, sesungguhnya mengulang pertarungan wacana lama antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok yang menolak rasionalisme sebagai titik pusat dalam pencarian kebenaran –hal ini bisa diwakili oleh pemikiran kelompok Asy’ariyah dan Khawarij. Di tengah arus global modernitas, di mana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran
rasionalisme
menjadi
keharusan
sejarah
(historical
necessity)
dalam
mengintepretasikan kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian keagamaan. Hubungan antara agama dan filsafat tidak lagi perlu diperdebatkan karena --sebenarnya, jika kita mau jujur-- pendekatan filosofis-rasional sangat membantu kita untuk memahami agama secara
49
kontekstual dan sebagai pandangan dunia (world view) menuju (mendekati) Kebenaran, secara arif dan bertanggung jawab.
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahafut al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan penggunaan Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam. Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diriNya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-univesal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi –ini didasarkan pada tradisi falsafat helenisme. Hal demikian dikritik oleh Al-Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibnu Sina ini mengingkari setiap pemahamaan tentang keagungan ilahi, artinya mendekatkan keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang tidak membutuhkan kabar berita tentang alam semesta.i[4] Melalui bukunya itu, Al-Ghazali menyerang dua hal utama. Pertama, filsafat menentang prinsip-prinsipnya sendiri. Kedua, filsafat tidak bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak memberi ruang pada agama. Hal ini berarti bahwa
50
apa yang dipikirkan oleh kaum filosof tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal) sehingga Tuhan tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa.
Anggapan bahwa Al-Ghazali telah mengakhiri riwayat filsafat dalam dunia Islam dipersalahkan oleh Oliver Leaman. Penulis berpendapat, sesungguhnya Al-Ghazali berusaha untuk memberikan “rem kendali” bagi kaum filosof untuk tidak secara bebas berfikiran filosofis-rasional. Dan Al-Ghazali sendiri telah memberikan contoh bagi sebuah perdebatan intelektual yang mencerdaskan. Tapi, ternyata gaya kafir-mengkafirkan pemikiran para filosof yang dikritiknya memberikan citra buruk tersendiri, sehingga para ulama konservatif yang tidak suka filsafat kemudian menjadikan landasan argumen Al-Ghazali sebagai penguat basis penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik filsafat sesuangguhnya dia menggunakan logika dan pemikiran filsafat, walaupun dia sendiri kemudian menganggap filsafat bertentangan dengan agama. Dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), mengkritisi pandangan Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut at-Tahafut, yang isinya setebal 1006 halaman.
Ibnu Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan pendekatan filosofis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd membidas balik kritik AlGhazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi, filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.
Pemikiran filsafat di belahan barat Dunia Islam mengalami kemunduran setelah serangan AlGhazali. Tapi, di sebelah timur, filsafat terus berkembang sampai sekarang dalam penjelasan 51
(syarah) dan penambahan (hasyiyah). Figurnya adalah Syuhrawardi (1154-1191 M) dan Ibn Al-‘Arabi (1164-1240 M), dan mencapai puncak pada Mulla Shadra (1571-1572 M). Syuhrawardi adalah konseptor aliran isyraqi atau filsafat iluminasi, dan dia mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia melihat pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu. Menurutnya, hal ini tidak bertolak-belakang dengan filsafat Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran shahih dalam terhadap pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi sanggup bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna.ii[10] Suhrawardi menganggap metode definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh pengetahuan. Bagi Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi illuminasi adalah jenis pengetahuan yang unqualified, yaitu yang diketahui melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan antara pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan Bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah.
Ibn Al-‘Araby, dengan pendekatan filsafat illuminasi berusaha menginternalisasikan mistisisme ke dalam filsafat, setelah Al-Ghazali mempeloporinya. Al-Ghazali telah melakukansejumlah hal penting untuk membuat sufisme lebih bertanggung jawab, kerja seperti ini kemudian disistematisasikan oleh Ibn Al-‘Araby. Kalau dimasukkan ke dalam empat kelompok pencari kebenaran model Al-Ghazali, maka Ibn Al-‘Araby masuk pada golongan kaum sufi. Ibn Al-‘Araby dikenal dengan doktrin wahdatul al-wujud (ketunggalan wujud), yang mengidentikkan Tuhan dan alam, dengan argumentasi bahwa jika keduanya dipisah maka tidak akan menangkap inti realitas sebenarnya. Pandangan ini ditandingi oleh Ahmad Sirhindi (1564-1624 M) dengan doktrin wahdah al-syuhud (ketunggalan penyaksian), dengan argumen bahwa alam adalah refleksi dari Tuhan.
Ada empat sumber utama yang dilakukan para filosof dalam mencari kebenaran, dan ini sangat membantu dalam memahami pemikiran Mulla Shadra.iii[14] Pertama, filsafat Paripatetik Islami, yang dimulai dari Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd, dan utamanya adalah Ibnu Sina. Kedua, filsafat illuminasionisme (teosofi isyarqi), yang dilakukan oleh Suhrawardi, dan diikuti oleh para pensyarahnya, seperti Quthb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani. Ketiga, ajaran 52
tasawuf yang dipopulerkan oleh Ibn al-‘Araby dan pembahas ajarannya, seperti ‘Ayn alQudhat al-Hamdani dan Mahmud Syabistari. Keempat, pemikiran syariat Islam yang telah menjadi pemikiran sentral dalam dunia Islam sampai saat ini.
Menurut Mulla Shadra, secara umum, memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode, yaitu metode Hushuli dan metode Hudhuri. Metode hushuli ialah metode memperoleh ilmu melalui upaya sengaja, sesuai alat yang digunakan manusia. Metode ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu wahyu (naqly) dan akal (‘aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek, sehingga ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode ini adalah bagaimana hati (qalb) ditempelkan dengan obyek (ma’qul). Konsep hudhuri Mulla Shadra adalah kemamppuan manusia menangkap totalitas wujud, baik materi maupun maknanya, yang diperoleh melalui mukasyafah dan musyahadah dengan kesadaran penuh manusia setelah memperoleh cahaya dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan kedua metode di atas.
Pemikiran Ibnu Rusyd di bagian barat dunia muslim dan pemikiran Mulla Shadra di bagian timur, telah kehilangan elan vital dalam menumbuhkan kesadaran berfikir masyarakat Islam. Apalagi, sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama (termasuk Islam) dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat (dalam bentuk ideologisasi dan orientalisme) dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam.
Dalam filsafat kontemporer Arab, berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah dibangunkannya umat dari kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir besar, semisal Jalaluddin Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang mencoba menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern.iv[15] Dari sini kemudian diskusi 53
seputar konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis dan ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang rasional antara Isam dan Barat.
Tradisi dan Modernitas: Perspektif M. Abed Al-Jabiri Dalam tulisan ini, sengaja penulis paparkan tentang pemikiran Islam masa klasik karena sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh para pemikir Islam (Arab) kontemporer berusaha untuk menghidupkan tradisi ijtihad dan rasionalisme berfikir dalam memahami agama agar terjadi keterhubungan wacana dan praksis dengan realitas modernitas masa kini. Muhammad Abduh adalah pemikir pembaharu Islam yang telah membuka jalan bagi pendobrakan pintu ijtihad dari ketertinggalan umat dalam merespon zaman. Tulisan ini mencoba memaparkan pemikiran intelektual muslim kritis kontemporer yang tergabung dalam kubu “Post Tradisionalisme Islam”.v[16] Disebabkan karena terbatasnya ruang untuk membedah seluruh pemikiran intelektual yang tergabung dalam kubu ini, maka hanya dibatasi pada tela’ah pemikiran M. Abed Al-Jabiry (asal Maroko) dan Hassan Hanafi (asal Mesir).
Apa yang disebut dengan tradisi (turats)? Dan bagaimana kita memperlakukan tradisi agar bisa menjawab modernitas? Tradisi, dalam pandangan M. Abed Al-Jabiri adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini.vi[17] Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.vii[18] Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini. Dalam kaidah Postra atau NU liberal dikenal kaidah : “al-muhafadhatu bil-qadim as-shalih wal-akhdzu biljadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya, tradisi itu direkonstruksi dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran kontemporer.
54
Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan pendekatan
“Obyektivisme”
(maudlu’iyah)
dan
“Rasionalitas”
(ma’quliyah).viii[19]
Obyektivisme artinya menjadikan tradisi lebih kontektual dengan dirinya, dan berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya, dengan menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap.ix[20] Dalam bukunya Nahnu wa atTurats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi (Kita dan Warisan Pembacaan Kontemporer terhadap Warisan Filsafat Kita)x[21], Al-Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurut AlJabiri, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun.xi[22] Kedua istilah itu (epistemologisideologis) sering dipakai Al-Jabiry dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.
Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam 55
membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Al-Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warusan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.xii[25] Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Untuk
menjawab
tantangan
modernitas,
Al-Jabiri
menyerukan
untuk
membangun
epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayan) yang didasatkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya. Yang menarik dalam pemikiran Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi dengan modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam pembacaan terhadap teks-teks agama.
Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi pemikiran rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan asiomatik ini mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh Aristoteles beberapa abad sebelumnya. Ada tiga tradisi pemikiran yang dominan pada masa Ibnu Rusyd, yaitu : tradisi kalam dan filsafat, tradisi fiqh dan ushul fiqih, dan tradisi tasawuf teoretik. Pada ketiga 56
tradisi itu, sama-sama meniadakan pendekatan ilmiah-rasionalisme atau burhani. Ibnu Rusyd menyerukan untuk mengikuti garis-garis pemikiran rasionalisme dan pembelaannya yang sangat heroik terhadap argumen kausalitas, sebagai jalan perjuangan demi “pembalikkan” atas situasi saat itu. Dan proyek besar Ibnu Rusyd adalah merekonstruksi dimensi rasionalitas dalam agama dan filsafat atas dasar prinsip burhani. Dia melakukan dua langkah untuk meloloskan proyeknya. Langkah pertama, Ibnu Rusyd memberikan komentar dan ringkasan atas karya-karya Aristoteles dengan tujuan untuk memudahkan bagi pembaca dalam memahami pemikiran filsuf Yunani tersebut. Dan langkah kedua adalah membantah dan melakukan serangan balik terhadap Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut at-Tahafut.
Kedua, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam syari’ah. Dalam kontribusi ini, Ibnu Rusyd membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat dan agama. Menurutnya, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama berserta larangan-larangannya dibangun atas landasan moral keutamaan atau fadlilah. Landasan ini sama dengan yang ada pada filsafat. Maka tidak heran jika Ibnu Rusyd mempersandingkan agama dengan filsafat : “al-hikmah hiya shahib al-syari’ah wa al-ukht al-radli’ah” (filsafat merupakan kawan akrab syari’at dan teman sesusuannya). Bagi Ibnu Rusyd, bila dalam permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu merupakan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam menafsirkan keduanya. Hal itu disebabkan tidak dipakainya rasionalisme dalam penafsiran agama. Kata Ibnu Rusyd, agama tidaklah menafikan metode burhani atau rasionalisme, tapi malah menganjurkannya, agar menjadi sarana yang efektif bagi kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashab al-burhan) untuk memahami agama secara rasional.
Ketiga, kontribusi rasionalisme al-Syatibi. Apa yang dikemukakan Ibnu Rusyd kemudian memunculkan pertanyaan : bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam disiplin agama, yang atas dasar prinsip “al-qath’i” (kepastian)? Al-Syatibi (w.790 H) menjawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Hal ini dimungkinkan apabila kita mengacu pada metode rasionalisme atau burhani, sehingga disiplin ushul fiqih pun didasarkan pada prinsip “kulliyah al-syari’ah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “maqashid al-syari’ah”. Prinsip “kulliyah al-syari’ah” berposisi sebagaimana posisi pada “al-kulliyah al-
57
aqliyah” dalam filsafat. Sedangkan “maqashid al-syari’ah” serupa dengan posisi “al-sabab algha’iy” (sebab akhir) yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran rasional.
Untuk bisa mencapai “al-kulliyah al-aqliyah” itu maka kita menggunakan metode yang berlaku dalam “al-kulliyah al-‘ilmiyah” atau universalitas-universalitas ilmu-ilmu alam dan filsafat. Metodenya adalah induksi (istiqra’), sebagai cara untuk meneliti sejumlah kasuskasus spesifik atau juz’iyah. Dari sana kemudian ditarik beberapa prinsip universalitas. Universalitas-universalitas syariat bersifat pasti dan yakin (qath’i) dengan tiga prinsip, yaitu : (i) prinsip keumuman dan keterjangkauan, (ii) prinsip kepastian dan ketidakberubahan, dan (iii) prinsip legalitas (al-qanuniyah).
Penjelasan di atas adalah pada konsep universalitas dalam syari’at. Sedangkan dalam prinsip “maqashid al-syari’ah”, al-Syatibi menyebut empat unsur pokok yang menentukan. Pertama, sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat manusia. Ketiga, adanya unsur taklif, pembebanan hukumhukum agama kepada manusia. Pertimbangannya, Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuan dan kesanggupannya. Dan keempat, “melepaskan sang mukallaf dari belenggu dorongan hawa nafsunya”. Kesemua unsur di atas harus melekat pada tujuan dari diberlakukannya syari’at.
Lalu, kontribusi terakhir yang ditawarkan Al-Jabiri adalah dari rasionalisme Ibnu Khaldun. Kelebihan Ibnu Khaldun dalam memaparkan sejarah, seperti dalam kitabnya, Muqaddimah, adalah “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu ; juga pengetahuan yang akurat tentang asal-usul, perkembangan, dan riwayat hidup matinya kisah peradaban manusia”. Menurut Al-Jabiri, dengan metode semacam ini, displin sejarah menjadi bagian dari tradisi keilmuan rasional. Penulis menganggap bahwa Al-Jabiri sangat apresiatif terhadap Ibn Khaldun karena ia telah memberikan jalan bagi empirisisme penelitian sejarah, yang juga rasional. Ukuran validitas sejarah Ibnu Khaldun adalah pengetahuan “thaba’i al-Umran” (dinamika-dinamika internal yang umum atau biasa terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan sosial manusia). 58
Maka, upaya untuk membangun tingkat rasionalitas dalam ilmu sejarah, yakni rasionalitas dalam arti kepastian faktualitas suatu kasus atau cerita. Nah, sebab-sebab untuk membangun derajat rasionalitas sesuatu, yaitu “sebab-sebab yang berlaku secara alami dan lahiriah, dan mampu dipahami dan dijangkau oleh akal dalam bentuk yang teratur dan apik”. Sebab-sebab metafisik atau “sebab-sebab esoterik” (asbab khafiyah) tidak masuk dalam pengertian di atas. Pandangan Ibnu Khaldun nampak empirik sekali, yaitu dengan melihat fakta dan lahiriah sesuatu obyek pengamatan. Apabila pengamatan itu dimasuki oleh agama maka bagi Ibnu Khaldun, analisanya seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dan al-Syatibi, yaitu faktor kemaslahan (maslahah).
IV.
Studi Pemikiran Para Filosof Muslim dan Barat
1. Sebutkan latar belakang pemikirannya ?
Dalam menjawab soal ini mahasiswa dibebaskan untuk memilih salah satu tokoh, mau toh filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat.
2. Jelaskan Pemikiran dan pandangan dari tokoh filosof Islam/Barat ? Dalam menjawab soal ini mahasiswa dibebaskan pula untuk memilih salah satu tokoh, pemikiran dan pandangan mau toh filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat.
3. Paparkan analisis dan kritis terhadap pemikiran tokoh filosuf di atas ?
Dalam menjawab soal ini mahasiswa harus pandai menganalisis dan mengkritisi pemikiran dan pandangan tokoh filosuf Islam ataupun tokoh filosuf Barat yang diangkat.
59
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..
i
DFTAR ISI ……………………………………………………………………………
ii
I.
Asas-Asas Aqidah …………………………………………………………….
1
1. Pengertian Aqidah sebagai sistem nilai dalam kontek Al-Quran ………………….
1
2. Pengertian Aqidah sebagai sistem epistemologi dalam kontek pemikiran para Teolog, Sufi, dan Filosuf Muslim …………………………………………………
2
3. Pengertian Aqidah sebagai sistem Ideologis dalam berfikir, bersikap, dan bertingkahlaku dalam proses pencarian kebenaran ……………………………….
5
Asas-Asas Filsafat ……………………………………………………….
15
II.
1. Pengertian Agama, Filsafat, dan Ilmu …………………………………………...
15
2. Objek Kajian Filsafat …………………………………………………………….
20
3. Cabang-cabang Filsafat ………………………………………………………….
22
4. Metode Filsafat ………………………………………………………………….
23
5. Metode Penelitian Filsafat ……………………………………………………….
25
III.
Perkembangan Sejarah Filsafat ……………………………………….
26
1. Munculnya Pemikiran Filsafat Yunani ke Dunia Islam …………………………
26
2. Hubungan Filsafat Yunani dengan Filsafat Islam ………………………………
28
3. Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Barat ………………………………...
29
4. Sejarah pemikiran filsafat Islam sesudah Ibnu Rusyd ………………………….
31
5. Pengaruh Pemikiran Filsafat Islam di Dunia Barat …………………………….
32
6. Sejarah pemikiran filsafat Islam kontemporer ………………………………….
49
IV.
Studi Pemikiran Para Filosof Muslim dan Barat …………………...
59
1. Latar belakang pemikiran ………………………………………………………
59
2. Pemikiran dan pandangan ………………………………………………………
59
3. Analisis dan kritik pemikiran …………………………………………………..
59
60
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat dan petunjuk Allah swt serta kerja keras dan ketekunan Tiem, Kisikisi ujian komprehensif kejurusanan Program Studi Aqidah Filsafat (AF) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung dapat diselesaikan sesuai jadwal.
Kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan prodi ini berisikan asas-asas aqidah, asas-asas filsafat, perkembangan sejarah filsafat dan penjelasan studi pemikiran para filosof muslim dan barat Program Studi Aqidah Filsafat (AF), disusun dengan tujuan memberikan gambaran rinci dan mengembangkan Program Studi sesuai visi, misi dan tujuan yang telah disepakati. Sesuai dengan kisi-kisi ujian komprehensif
Program Studi, kisis-kisi ujian komprehensif
kejurusanan ini disusun berdasarkan komponen-komponen strategis pendidikan dan kinerja Program Studi Aqidah Filsafat (AF), kemudian dianalisis dengan analisis SWOT dengan memperhatikan kemampuan diri dalam mengelola suasana akademik dalam kehidupan pergaulan kampus. Kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan terhadap Program Studi Aqidah Filsafat (AF) ini selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk menyusun salah satu Prasyrat kelengkapan Administrasi Program Studi yang diselenggarakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama (IRJEN DEPAG), pada PTAI Departemen Agama Republik Indonesia. Pada periode satu tahun yang lalu, Program Studi Aqidah Filsafat (AF) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setelah dilakukan perbaikan dan peningkatan kegiatan, mudah-mudahan proses belajar mengajarnya dapat diperbaiki masa yang akan datang.
61
Dalam penyusunan kisi-kisi ujian komprehensif kejurusanan ini, kami memperoleh bimbingan dari Bapak Dekan, Bapak Prof. Dr. Muhtar Solihin, M.Ag. Pembantu Dekan I, II dan III serta pihakpihak lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Sehubungan dengan hal itu, kami menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
Bandung, 19 Agustus 2011 Ketua Program Studi Aqidah Filsafat,
Gustiana Isya Marjani, Ph. D NIP. 197108312002121002
62
KISI-KISI UJIAN KOMPREHENSIF KEJURUSANAN TAHUN AKADEMIK 2011/2012
PENYELENGGARA PROGRAM STUDI FAKULTAS PERGURUAN TINGGI
: AQIDAH DAN FILSAFAT : USHULUDDIN : UIN SGD BANDUNG
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2 0 1 1
63
64
65