kiian
Strc+egi Pengembongcn l{swssan Dclam Ronglffi ff,endulrung Htselerogi Feningilto+an Bayo Ssing Bosruh Sludi Kosus: Kelompok Industri Rotcn-(irebon, Logam-Iegol, Bolik-Pekolongon
DOKUMENTASI
&
ARSIP
BAPPENAS Acc. No. , e#Yr./':.?f crass ,
..,.../1P.h.".
checked,'iA.'.;..8..:..2*n.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
........ 1.1 Latar Belakang ......... 7.2 Tujuan dan Sasaran ..... 1.3 MetodologiKajian 7.4 Ruang Lingkup Kajian 1.5 Hasilyang diharapkan BAB
..........1 ........1 ........2 ..,..,......3 ..................3 ......3
II
TIN]AUAN TEORiTIS .......5 2.I Pembangunan EkonomiDaerah ......5 2.2 Definisi Daya Saing ,.................. B 2.3 Definisi Klaster .,..................9 2.4 Pendekatan Klaster dalam Peningkatan Daya Saing Daerah .......... 10 2.5 Studiyang telah Dilakukan ..... .... 72 BAB III GAMBARAN UMUM KLASTER DI INDONESIA
3.1
3.2
......
......
Kebijakan dan Program Pemerintah yang Terkait dengan Pengembangan Klaster Kondisi Klasterdilndonesia ............
15
...... 15 ........77
BAB IV GAMBAMN UMUM INDUSTRI STUDI KASUS ...,............. 19 4.t Gambaran Umum industri Rotan di Kabupaten Cirebon .,............... 20 4.I.t Gambaran Umum Wilayah ......... 20 4.1.2 Sejarah Perkembangan Industri ............ ........2L 4.L3 Karakteristik Industri Cirebon ........ 22 4.2 Gambaran Umum Industri Logam di Kabupaten Tegal ....26 4.2.7 Gambaran Umum Wilayah .......26 4.2.2 Sejarah Perkembangan Industri Logam diTegal .............. 28 4.2.3 Karakterisitik Industri ...... 29 4.3 Gambaran Umum Industri Batik di Kota Pekalongan ... .... 33 4.3.L Gambaran Umum Wilayah ..... 33 4.3.2 Sejarah Perkembangan Industri ...... ..,.............. 37 4.3.3 Karakteristik Industri ..................37 BAB V ANALISiS
5.1
KLASTER Cirebon 5.1.1 Kondisilnternal
Industri Rotan di Kabupaten
.................. 41 ................42 ......42 i
5.2
5.3
5.4
5.1.2 KondisiEksternal 5.1.3 Permasalahan ... Industri Logam di Kabupaten Tegal 5.2.1 Kondisilnternal 5.2.2 KondisiEksternal 5.2.3 Permasalahan ..... Industri Batik di Kota Pekalongan ... '... 5.3.1 Kondisilnternal 5.3.2 KondisiEksternal 5.3.3 Permasalahan .... IdentifikasiPermasalahan Umum
BABVI STRATEGI DAN
6.1
6.2
RENCANATINDAK
.....'. 51 .....'..52 ....'.. 53
."'.
53
.....'.... 66 '..,.....67 '.. '.... 69 .......'...'. 69 '....... 81 ............ 87
'."'...."
BB
.......
91
...."'. 91 Kebijakan dan Strategi Umum ..."......92 6.1.1 Aspek Permintaan / Pasar ....... 93 6.1.2 Aspek Faktor Produksi .............94 dan Persaingan Usaha Struktur, Strategi, Aspek 6.1.3 6.1.4 Aspek Institusi dan Industri Pendukung ......................... 96 ............. 96 6.1.5 Kelembagaan Pemerintah ...... Kasus '. 97 Klaster Pengembangan Studi Tindak Strategi dan Rencana Klaster Tindak Pengembangan 6.2.L Strategi dan Rencana .,....97 Industri Rotan di Kabupaten Cirebon 6.2.2 Strategi dan rencana Tindak Pengembangan Klaster industri ......... 101 Logam diKabupaten Tegal Klaster 6.2.3 Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan ......,.. 105 Industri Batik di Kota Pekalongan
DAFTAR TABEL Tabel
4.1
Tabel4.2
Sentra Industri tilebeldan Kerajinan Rotan Kabupaten Cirebon . .............. 22 Volume dan Nilai Prodrrksi Mebel dan Kerajinan Rotan Tahun
t997-2043 ............23 1997-2003 ......25 Tabel 4.4 Jumlah UKM Logam, Mesin dan Elektronika di Kabupaten Tegal Tahun 2003 (unit).......... ................. 29 Tabel 4.5 lumlah Tenaga Kerja yang Terserap dalam IndustriTahun 2002 (orang) ...........30 Tabel
4.3
Volume dan Nilai Bahan Baku Industri Mebel dan Rotan Tahun
Tabel4.6 Nama Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Kota Pekalongan .... Tabel4.7 Jumlah Penduduk Kota Pekalongan Tahun 1999-2003 ........... Tabel
Tabel
33 35 35
4.8 Jumlah Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2003 ..... 4.9 Perkembangan Nilai Ekspor Kota Pekalongan Tahun 1999-2003 . .....
36
Tabel 4.10 Sebaran Sentra Usaha Kecil dan Menengah Batik Kota
Pekalongan ..,,.............38 Tabel4.ll Jumlah industriAneka di Kota Pekalongan .,.............. 38 Tabel
5.1
Tabel Tabel Tabel Tabel
5.2 Tingkat Pekerjaan dan Kualifikasi Pendidikan yang Diperlukan 5.3 Permasalahan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon.............. 5.4 Sumber-Sumber Pengetahuan dan Keahiian ........................ 5.5 Hubungan dan Bentuk Kerjasama dalam Industri Logam di
45
5.6 Kerjasama
...............
58
Tabel Tabel
Sumber Pengetahuan dan keahlian Industri Rotan di Kabupaten
Cirebon
Kabupaten
5.7
Tabel
5,8
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
5.13 5.14 5.15 5.16
..........44
Tegal
53 55
antar Usaha pada Industri Logam diTegat .......... 59
Beberapa Program Pelatihan yang Diselenggarakan Pemerintah
..,..............
.
61
Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan Klaster pada Industri Logam diTegal ........ 68 Tabel 5.9 Sumber-sumber Pengetahuan Industri Batik di Kota pekalongan ............... 70 Tabel 5.10 Perkembangan Usaha KOSPIN JASA 1999-2001 ....74 Tabel 5.11 Kondisi Kerjasama Industri Batik dengan Lembaga pendukung 75 Tabel 5.12 Koperasidan BDS yang Menerima program MApTahun 2001-
2003...
6.1
....78
Realisasi Ekspor Batik di Kota pekalongan Tahun 2001-2003 .. Kondisi Batik solo dan Yogya, Batik rrusmi, dan Batik Jambi .. Permasalahan industri Rotan di Kabupaten Cirebon.............. Permasalahan Umum .............. Matriks SWOT Industri Rotan di Kabupaten ....
Klaster
Cirebon
82
84 87 BB
98
ill
Tabel 6.2
Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 6.6
IV
Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan di
......,... 100 Kabupaten Cirebon Tegal ......... 102 Kabupaten SWOT Industri Logam di di Industr:i Logam Rencana Tindak Pengembangan Klaster ................ 103 Kabupaten Tegal ............. 105 SWOTIndustri Batikdi Kota Pekalongan Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Batik di Kota
Pekalongan
......
LO7
DAFTAR GAMBAR
Gambar4.11 Gambar4.12 Gambar4.13 Gambar4.14
Diamond) ........... 12 .........,.. .................. 20 Rotan .......23 Salah Satu Contoh Produk Meubel Rotan ........24 Safah satu Jenis Peralatan dalam Industri Rotan .............24 Bahan Baku Meubel Rotan ......... 25 Jumlah Tenaga Kerja Tahun 1997-2OO3 .......... 26 Peta Kabupaten Tegal .........27 Kontribusi sektor terhadap total PDRB ............ 28 Sebagian Produk industri Logam Tegal ....... .... 31 Peralatan dengan Teknologi Manual (kiri) dan Otomatis (kanan) ,...........32 Tahapan Produksi ........,..32 Peta Kota Pekalongan ;....................,..34 Distribusi PDRB Kota Pekalongan Tahun 2OO2 ................. 36 AlatPembatik ...... ........40
Gambar 5.1 Gambar 5.2
Keterkaitan dan Peran Institusi dan Industri Pendukung .. 49 Persentase Pemasaran Produk Menurut Cakupannya Tahun
Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5
Keterkaitan dan Peran Institusidan Industri Pendukung .. 65 Distribusi Anggota Kospin Berdasarkan Jenis Usaha ......... 74 Keterkaitan dan Peran Institusi dan Industri Pendukung .,79
Gambar 2.1 Gambar 4.1
Gambar4.2 Gambar4.3 Gambar4.4 Gambar4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar4.10
Model Berlian Porter (Porter's Peta Kabupaten Cirebon lumlah Usaha Mebeldan Kerajinan
7997-2003
...............
)L.
KATA PENGANTAR Diera globalisasisekarang ini, isu daya saing kian menjadi sorotan banyak kalangan. Hal ini tidak hanya menuntut kesiapan setiap negara, namun juga menuntut kesiapan setiap daerah untuk mampu bersaing dengan daerah lain, bahkan dari negara lain. Setiap daerah harus mampu meningkatkan potensi yang dimiliki dan mampu menguasai pasar dengan didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang handal serta prasarana dan sarana pendukung, termasuk dalam hal teknologi dan komunikasi. Seiring dengan hal tersebut, kajian ini mencoba menyusun strategi untuk mengembangkan kawasan dalam rangka mendukung akselerasi
peningkatan daya saing daerah. Kajian ini menggali kondisitiga jenis industri di tiga daerah ditinjau dari perspeKif klaster, yaitu industri rotan di Kabupaten Cirebon, industri logam di Kabupaten Tegal, dan industri batik di Kota Pekalongan. Adapun strategi klaster digunakan sebagai pendekatan karena dinilai mampu untuk mening katkan kemampuan ekonomi daerch ; klaster bercifat lokalitas, mampu mendorong penciptaan inovasi, serta mampu menciptakan sinergitas antar pelaku-pelaku yang terkait. Dengan begitu, diharapkan kajian inidapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan pelaku-pelaku terkait lainnya untuk bersinergi dalam rangka pengembangan perekonomian daerah. Kajian ini tidak dapat terlaksana dengan baik bila tidak terdapat pihakpihak lain yang turut membantu. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan ditujukan kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan, kerjasama, saran, dan kritik selama pelaksanaan kajian ini.
Herry Darwanto
DireKur Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertingga[, Bappenas
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konsekuensi logis dari pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini adalah berhadapannya seluruh daerah di wilayah nasional dengan tingkat persaingan yang semakin tajam secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik maupun internasional. Upaya upaya untuk meningkatkan kualitas potensi unggulan daerah, termasuk sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia khususnya, adalah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda tunda lagi pelaksanaannya, dan memerlukan sumber daya yang sangat besar dalam kondisi keterbatasan yang dihadapi dewasa ini. Pendekatan pokok utama dalam mengatasi tantangan tersebut adalah melalui pelaksanaan percepatan pengembangan wilayah dengan mengutamakan peningkatan daya saing sebagai dasar pertumbuhan daerah.
Daya saing daerah rnempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional. suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi. Centre for Regional and Urban Studies (CURDS),Inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.
Saat ini konsep klaster sebagai suatu pendekatan kebijakan baru dalam di berbagai negara baik negara
pengembangan wilayah telah semakin luas digunakan
rnaju maupun negara berkembang, terutama dikaitkan dengan kesiapan suatu wilayah meningkatkan daya saingnya dalarn menghadapi regionalisasi dan globalisasi. Klaster secara signifikan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah untuk membangun kekayaan masyarakat. Klaster mampu bertindak sebagai pendorong inovasi, dimana keberadaan unsur-unsur dalam klasier diperlukan untuk mengubah gagasan menjadi
kekayaan. Unsur universitas atau pusat riset merupakan tulang punggung dalam menciptakan berbagai temuan baru yang kemudian ditransformasikan oleh perusahaan ke dalam berbagai produk atau jasa baru. Unsur pemasok menyediakan perlengkapan atau komponen penting. Unsur perusahaan pemasaran dan distribusi membawa produk itu ke pe!anggan. Hasilnya adalah kawasan dengan klaster yang tumbuh dan bekerja dengan baik akan menikmati upah, produktivitas, pertumbuhan usaha, dan inovasi yang lebih tinggi.
Kajian lebih lanjut mengenai pengembangan klaster di Indonesia sangat diperlukan untuk mendalami fenomena terbentuknya klaster-klaster teserbut dan menemukan upaya-upaya pengembangan yang dapat serta perlu dilakukan. Kajian ini akan mengisi kekosongan literatur yang ada dengan menambah jumlah kasus studi sehingga mencakup wilayah-wilayah lain yang berbeda karakternya. Kajian ini disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui wawancara dengan berbagai pelaku dalam industri studi kasus, antara lain pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan institusi lainnya, Diharapkan, studi ini dapat meningkatkan pemahaman
Demerintah daerah da!am meneraokan klaster sebaqai suatu oendekatan dalam meningkatkan daya saing daerah.
1.2
Tujuan dan Sasaran Tujuan kajian ini adalah
:
1. 2.
Mengidentifikasi profil dan karakteristik industri studi kasus
3.
Menyusun strategi umum pengembangan kawasan melalui penerapan strategi
Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi industri studi kasus ditinjau dari faktor-faktor penentu kekuatan klaster.
klaster
4.
Menyusun rencana tindak pengembangan kawasan melalui penerapan strategi klaster secara spesifik bagi tiap industri studi kasus.
Sasaran dari penyusunan kajian inl adalah tersebarluaskannya strategi dan rencana tindak pengembangan kawasan berbasis strategi klaster kepada pihak-pihak
terkait, antara lain
:
Pemerintah pusat yang berperan dalam merumuskan bentuk-bentuk dukungan dan fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya.
2.
Pemerintah daerah (bappeda, dinas teknis, BUMD) yang terlibat dalam kajian ini, berperan dalam merumuskan program dan kegiatan pengembangan kawasan di dae ra h nya.
3.
Pelaku pembangunan lainnya
di tingkat pusat dan daerah, seperti dari unsur
perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan
kalangan dunia usaha, yang terkait dan berperan dalam implementasi pengembangan kawasan di daerah.
1.3
Metodologi Kajian
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui metode pengisian kuisionet wawancara dengan pelaku kunci, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi di lapangan. Selain itu digunakan data-data sekunder sebagai pendukung dan berbagai literatur yang relevan.
L.4
Ruang Lingkup Kajian Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi, analisis, serta perumusan kebijakan,
dan strategi pengembangan kawasan secara umum serta secara spesifik bagi 3 (tiga) wilayah studi kasus antara lain industri furniture dan mebel di Kabupaten Cirebon, industri logam di Kabupaten Tegal, serta industri batik di Kota Pekalongan. Selain itu dilakukan pula perurnusan rencana tindak bagi pengembangan klaster studi kasus'
1.5
Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah percepatan peningkatan daya saing kawasan melalui penerapan kebijakan, strategi dan rencana aksi pengembangan kawasan berbasis strategi klaster.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.L
Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah berbeda dari pengembangan ekonomi nasional dalam beberapa hal, yaitu (Meyer-Stamer, 2003)
.
Ada sejumlah instrumen untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang berada di luar jangkauan inisiatif lokal, untuk mendorong semua samua tersebut harus
dikerjakan dalam kerangka kondisi yang umum, misalnya nila tukar mata uan9, tarif pajak, kebijakan anti-trust, atau kerangka hukum ketenagakerjaan. Dalam waktu yang sama, banyak instrumen LED yang tidak sesuai untuk pemerintahan nasional, contohnya pembangunan bisnis real estate atau program pelatihan bisnis.
.
Pembangunan ekonomi nasional dirumuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pelaku non pemerintahan dilibatkan dalam proses pengamb'ilan kebijakan, seperti
lobi atau bertrrkar informasi dan pengetahuan. Akan tetapi dalam hal penetapan akhir kebijakan, lebih banyak jumlah kelompok sasaran daripada para penentu kebijakan. Pada tingkat daerah, hal tersebut dapat dianggap sebagai suatu perbedaan. Dalam kasus yang paling ekstrim, inisiatif pembanguna daerah dapat didesain dan dilaksanakan oleh pelaku swasta tanpa partisipasi dari pemerintah. Dalam keadaan normal, inisiatif daerah menyangkut kerjasama yang erat antara
aktor pemerintah dan aktor SWasta (kamar dagang dan asosiasi bisnis, perdagangan global, lembaga pendidikan dan penelitian, perusahaan-perusahaan, LSM, dan lain-lain) Selama diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi'
"
program pembangunan ekonomi nasional mencakup pengertian yang jelas mengenai pembagian tugas antara badan legislatif dan eksekutif dari pemerintah. Inisiatif pembangunan daerah biasanya mencakup definisi-definisi peran yang samar, dan menjelaskan serta mendefinisikan peran dari berbagai stakeholder yang berbeda merupakan satu tantangan utama dari setiap inisiatif pembangunan daera h.
Perbedaan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan daerah juga perlu dipertegas. Menurut Mayer-Stamer (2003) pembangunan ekonomi lokal berbeda dari pembangunan lokal atau regionai. Adalah sangat sulit menentukan perbedaan-perbedaan itu secara tepat. Orang cenderung lebih mengidentifikasikan pembangunan ekonomi lokal dengan pembangunan kota atau kecamatan dan pembangunan ekonomi regional
dengan kumpulan kota-kota (biasanya sampai tinqkat propinsi). Akan tetapi, negara lain mengartikan kecamatan dalam arti yang berbeda. Terkadang ada sekelompok kota di mana aktifitas ekonomi berfungsi baik, yang terdiri dari beberapa kecamatan. Dalam kasus lain, sebuah kecamatan meliputi serangkaian kota-kota tanpa ada interaksi ekonomi
yang kuat. Dengan kata lain, batasan dari lokal dan regional sangat tergantung dari kasusnya. Hanya satu yang pasti bahwa "lokal" ditujukan pada daerah geografis yang lebih kecil daripada "region".
Menurut Lincoln Arsyad (1999:122) tuiuan pembangunan daerah adalah: i. menciptakan lapangan kerja, ii. mencapai stabilitas ekonomi daerah, iii. mengembangkan basis ekonomi yang beragam. Lapangan kerja diperlukan agar penduduk mempunyai penghasifan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Agar lapangan kerja dapat tercipta, diperlukan persyaratan antara lain tersedianya lahan, modal, praSarana. Stabilitas ekonomi daerah perlu dipertahankan agar pelaku usaha dan masyarakat dapat melakukan berbagai upaya secara terencana. Stabilitas ekonomi mencakup inflasi yang rendah, adanya peraturan usaha yang jelas disertai penegakan hukum yang konsisten, dan tidak adanya gangguan keamanan. Basis ekonomi yang beragam diperlukan agar perkembangan yang terjadi di suatu sektor tidak mempengaruhi sektor-sektor lain.
Setiap daerah dalam suatu negara mempunyai tujuan yang sama, yaitu menemukan cara untuk menciptakan lapangan kerja yang luas untuk memberikan penghasilan dan menaikkan kualitas hidup bagi masyarakat. Tetapi mengapa beberapa daerah berhasil dan yang lain tidak? Walaupun pemerintah pusat memainkan peran penting dalam pengembangan ekonomi melalui undang-undang, kebijakan fiskal, dan kebijakan pembangunan, namun keberhasilan atau kegagalan perkembangan ekonomi daerah sering tergantung pada apa yang terjadi pada tingkat kawasan. Kemampuan daerah untuk menggunakan sumber daya alam dan bakat lokal untuk mendukung inovasi yang kuat adalah kunci penggerak pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengenali kekuatan
inovasi yang menciptakan keberhasilan usaha, seperti kemampuan untuk 6
mentransformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam membuat barang atau pelayanan
yang berkualitas. Inovasi yang tak henti-hentinya menciptakan produk bernilai tinggi akan memperluas perdagangan dan pengtrasaan pasar, dengan demikian memberi manfaat bagi perusahaan dan pekerja dengan keuntungan yang lebih besar, upah lebih tinggi.
Untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah tersebut, maka strategi pembangunan ekonomi daerah yang perlu dilakukan adalah: pengembangan f isik/ lokalitas, pengembangan dunia usaha, pengembangan SDM, dan pengembangan masyarakat (Lincoln Arsyad: 1999). Pengembangan fisik dilakukan antara lain dengan menyediakan lahan untuk kegiatan usaha, pengaturan tata ruang untuk berbagai kegiatan penduduk, menyediakan prasarana dan sarana seperti jalan, pelabuhan, listrik, air bersih. Pengembangan dunia usaha dilakukan antara lain dengan menciptakan iklim usaha yang baik melalui penetapan kebijakan dan peraturan yang memudahkan pelaku ekonomi untuk menjalankan usahanya, menyediakan informasi mengenai perijinan, kebijakan dan rencana pemerintah daerah, sumber-sumber pendanaan, dll; mendirikan media konsultasi bagi pengusaha
dan masyarakat mengenai peluang usaha, masalah-masalah yang dihadapi, dll. Pengembangan SDM dilakukan antara lain dengan pelatihan dan pendidikan. Pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan terutama Cengan memberdayakan masyarakat agar mampu memanfaatkan peluang )/ang ada dan mengatasi persoalan ekonomi yang dihadapi secara mandiri. Pembangunan ekonomi pada tingkat daerah seperti diuraikan diatas didasarkan pada pendekatan konvensional terhadap pembangunan daerah. Dalam pendekatan konvensional ini, kegiatan pembangunan dirumuskan oleh pemerintah pusat dengan cara top-down, tanpa keterlibatan dan konsultasi dari kelompok sasaran, lebih didasarkan pada evaluasi eksternal terhadap masalah dan potensi (fisik, sosial dan ekonomi) yang ada, dan sering dikaitkan dengan pembangunan proyek-proyek pembangunan besar di suatu daerah, seperti bendungan, pabrik petrokimia, pabrik baja atau industri besar
lain. Pendekatan konvensional tersebut di atas tidak berlangsung dalam waktu lama karena masalah kekurangan dana, dominasi doktrin neoliberal yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan aktif yang berorientasi pada pembangunan, dan karena di negaranegara industri maju, kebijakan pembangunan terpusat demikian kemudian ditinggalkan dan tidak lagi diadopsi oleh konsultan-konsultan asing di negara berkembang. Kebutuhan
untuk merumuskan strategi pembangunan daerah dipenuhi oleh pendekatan klaster yang ditawarkan oleh Porter sejak awal tahun 1990an.
2.2
Definisi Daya Saing
Daya saing dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan. Daya saing nasional
inengacu kepada kemarnpuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World i.;conomic Forum (WEF), yaitu kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tingi dan berkelanjutan. Institute of tvianagement and Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas,
serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial. Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional, namun oada skala daerah. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi. Lingkup persaingan tidak hanya dalam wilayah suatu negara tetapi juga dengan negara-negara lain. Pengertian daerah mencakup wilayah yang luas seperti pulau atau propinsi, atau wilayah yang lebih kecil, seperti kabupaten/kota. Departemen perdagangan dan Industri Inggris mendefinisikan daya saing daei-ah sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional (Abdullah, et'al; 2002:13). sedangkan centre For Regional and urban studies (cuRDS), Inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahan Dada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya' Daya saing perusahaan adalah kemampuan suatu perusahaan urrtuk menghasilkan suatu poduk yang diminati konsumen relatif terhadap perusahaan lain. Daya saing perusahaan ditentukan oleh tingkat produktivitas perusahaan itu, yaitu nilai output yang dihasilkan oleh setiap tenaga kerja perusahaan itu. Sedangkan daya saing nasional
ditentukan oleh daya saing daerah-daerah yang ada di negara tersebut. Selanjutnya daya saing daerah ditentukan oleh daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di daerah tersebut. Namun daya saing negara tidak hanya ditentukan oleh daya saing perusahaan saja. Meyer dan Stamer (2003) memandang daya saing dalam skala lebih luas, ia menyebutkannya dengan daya saing sistemik. Konsep daya saing sistemik berusaha untuk mencakup faktor politik dan faktor ekonomi dari keberhasilan pembangunan industri. Hal ini mengacu pada pola dimana negara dan aktor-aktor sosial secara terarah
menciptakan kondisi bagi keberhasilan pembangunan industri sebagai daya saing sistemik. Konsep ini dibedakan dalam dalam empat tingkat, yaitu: microlevel pada jaringan perusahaan dan jaringan antar-perusahaan, mesalevel pada kebijakan dan institusi tertentu, macroleve! dari kondisi ekonomi umum dan metalevel pada variabel lambat seperti struktur-struktur sosial budaya, aturan dan orientasi dasar ekonomi, dan kemampuan aktor-aktor sosial merumuskan strategi. Konsep daya saing sistemik tidak dimaksudkan sebagai sebuah cetak biru tetapi suatu usaha untuk memberikan orientasi baik untuk penelitian maupun kerja konsultasi' 8
karena dua alasan. Pertama, untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya Keunggulan daya saing daerah perrting
tergantung pada masing-masing usaha internal. Ada tempat-tempat di mana orang lebih mudah menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat-tempat lain. Ini tidak hanya berlaku untuk negara; tetapi juga berlaku untuk wilayah-wilayah dalam suatu negara. Penelitian Meyer dan Stamer di Brazil menemukan perbedaan yang sangat besar di antara kota-kota yang berdekatan dalam hal iklim bisnis, efisiensi institusi penunjang bisnis, kecepatan tanggap dari asosiasi bisnis, dan lain-lain. Beberapa pemerintah daerah lebih bersemangat dalam menciptakan lingkungan yang baik untuk berbisnis. Oleh karena itu, bukan hanya karena suatu kebetulan jika suatu daerah mempunyai pengangguran yang lebih banyak dan pendapatan yang lebih sedikit daripada daerah lain. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya suatu usaha. Tidak ada keraguan bahwa daerah-daerah harus bersaing tidak hanya untuk menarik investasi melainkan juga untuk mempertahankan perusahaan-perusahaan lokal dalam wilayah mereka. Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis. Keunggulan kompetitif merujuk pada faktor-faktor seperti lokasi geografis, sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada kedisiplinan pekerja industri di daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor persaingan yang penting, tetapi hal tersebut berlaku untuk banyak daerah lain. Kedisiplinan pekerja (konsisten untuk bekerja, mengerti akan pentingnya kualitas, dan penggunaan waktu yang disiplin) menjadi keunggulan kompetitif yang penting ketika di
daerah lain hal itu merupakan suatu masalah. Suatu daerah yang mempunyai karakteristik demikian berpotensi untuk mengembangkan klaster industri.
2.3
Definisi Klasterl Klaster adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan usaha di kawasan tertentu
yang satu sama lain saling melengkapi (komplementer), saling bergantung, dan saling bersaing dalam melakukan aktivitas bisnis. Perusahaan-perusahaan atau industri tersebut memiliki persamaan kebutuhan terhadap tenaga kerja, teknologi, dan infrastruktur. Perusahaan-perusahaan atau industri yang termasuk dalam klaster tersebut saling berkompetisi antar sesama anggota klaster, membeli bahan baku, atau bergantung pada layanan jasa sesama anggota untuk mengoperasikan bisnisnya masing-masing. Industri
di sini adalah dalam pengertian luas, seperti industri berbasis pertanian (agroindustri), industri kerajinan, industri pengolahan, industri teknologi dan informasi, dll. Terbentuknya suatu klaster dapat melalui berbagai cara. Sebagai contoh, suatu klaster pada awalnya mungkin terbentuk di sekeliling suatu perusahaan besar yang sangat kompetitif. Kehadiran dan dukungan berbagai lembaga penelitian menyuburkan perkembangan klaster tersebut, seperti halnya yang terjadi pada klaster teknoloEi ' Uraian dalam bagian ini disarikan dari Meyer dan Stamer (2003).
informasi di Lembah Silikon dan di kawasan Boston. Kondisi infrastruktur atau sumber daya mendukung perkembangan selanjutnya dari suatu klaster industri. Klaster industri bersifat dinamis. Mereka dapat berubah seiring perubahan industriindustri di dalamnya, atau karena perubahan kondisi eksternal. Sebagai contoh, dengan berubahnya industri perangkat keras, maka klaster-klaster di Kota Boston kehilangan
daya saingnya dalam perekonomian negara bagian dan juga dalam perekonomian nasional Amerika Serikat. Daerah itu kemudian berusaha membangun kembali klasterklaster teknologi informasi di sekeliling perusahaan-perusahaan baru dan sekaligus teknologi-teknologi baru. Suatu klaster industri dapat menjelma menjadi klaster baru. Klaster industri pesawat terbang di California Selatan misalnya telah melahirkan berbagai klaster yang masih mengandalkan rekayasa teknologi terkait. Klaster-klaster itu menyertakan pula pemerintah, LSM, lembaga pendidikan, dan berbagai infrastruktur dan layanan lain yang kehadirannya memperkokoh keberadaan klaster. Klaster industri anggur di California merupakan contoh yang menarik tentang kompleksitas suatu klaster industri. Klaster ini terdiri dari 680 perusahaan penyulingan anggur dan beberapa ribu perusahaan independen penanam anggur; pemasok peralatan pemanen, penyimpan, irigasi, drum, dan label; agen iklan, penerbit khusus, dan jasa public retation; Universitas California; Eine Institute; dan komite khusus dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat California.
Suatu klaster industri berbeda dengan asosiasi-asosiasi perdagangan, yang memiliki keanggotaan yang lebih sempit dan terfokus. Suatu asosiasi perdagangan, misalnya, mungkin hanya terdiri dari satu jenis industri yang memusatkan perhatian pada upaya-upaya lobi. Sebaliknya, l
2,4
Pendekatan Klaster dalam Peningkatan Daya Saing Daerah Peningkatan daya saing pada intinya adalah pengembangan klaster secara terencana. Klaster berbeda dengan bentuk pengelompokan lain yaitu lokalisasi dan urbanisasi ekonomi. Mengutip Henderson (f988) dan O'Sullivan (1996), sebagaimana dikutip dalam Mudrajat Kuncoro (2003), lokalisasi ekonomi terjadi jika biaya produksi perusahaan dalam industri menurun sejalan dengan peningkatan output total industri. Dengan menempatkan perusahaan secara berdekatan satu sama lain dalam industri yang sama, perusahaan dapat menikmati beberapa keuntungan. Sebaliknya, urbanisasi ekonomi terjadi jika biaya produksi tiap perusahaan menurLrn seialan dengan peningkatan 10
output total kota (urban). Bentuk ekonomi ini adalah hasil dari skala keseluruhan ekonomi perkotaan, tidak han.1a skala industri tertentu saja. Selanjutnya, ekonomi urbanisasi bermanfaat bagi semua perusahaan di seluruh kota, tidak hanya perusahaan didalam industri yang terkait. ladi klaster berbeda dengan lokalisasi perusahaan industri yang umum disebut sebagai kawasan industri, dan berbeda pula dengan urbanisasi ekonomi yang merupakan efek samping dari terbentuknya klaster'
Klaster secara signifikan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah untuk membangun kekayaan masyarakat, sebab dalam banyak hal, mereka bertindak sebagai inkubator inovasi. Klaster mempunyai unsur-unsur utama yang diperlukan untuk mengubah gagasan menjadi kekayaan - universitas atau pusat riset yang menciptakan temuan baru; perusahaan yang mentransformasi temuan tadi ke dalam produk atau jasa baru; pemasok yang menyediakan perlengkapan atau komponen penting; dan perusahaan pemasaran dan distribusi yang membawa produk itu ke pelanggan. Hasilnya adalah kawasan dengan klaster yang tumbuh akan menikmati upah, produktivitas, pertumbuhan usaha, dan inovasi yang lebih tinggi. Michael Porter telah meneliti tentang klaster industri di tingkat kota/kabupaten, propinsi, dan internasional. Berdasarkan penelitiannya, ia mengembangkan apa yang dinamakan "diamond of advantage", Suatu model yang menawarkan pemahaman
tentang apa yang terjadi di dalam klaster maupun tentang persaingan yang terjadi di dalamnya. porter berpendapat bahwa daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal. Berbagai faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan klaster diantaranya:
1.
Faktor : misalnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur khusus yang tersedia, dan hambatan-hambatan tertentu.
2.
Permintaan sektor rumah tangga, atau pelanggan-pelanggan lokal yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi
3.
Dukungan industri terkait, industri-industri pemasok lokal yang kompetitif yang menciotakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi dan memungkinkan industriindustri untuk sPin off.
4.
Strategi, struktur, dan persaingan, tingkat persaingan antar industri lokal yang lebih memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan "budaya" lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi'
Sebagai tambahan terhadap hal tersebut di atas, Porter telah menyertakan peratr pemerintah dan peluang. Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam pembangunan klaster industri.
Gambar 2.1 Model Berlian Porter
{F*rter's Diamond) -rFrm Stratgqy,
tt"s'Jfr"*\
Factor
CmdatFre
.tri,/
Demard Cmditiom
,r'
RelaEdad// 5upponrrB
Ind6tres
Pengembangan klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam membangun ekonomi daerah secara lebih mantap, dan mempercepat pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan. Klaster industri meningkatkan hubungan antar berbagai industri dan lembaga yang terlibat di dalam klaster tersebut. Tingkat cakupan strategi klaster industri sangat beragam. Pemerintah suatu daerah
dapat menyelenggarakan suatu inisiatif pembangunan ekonomi dengan menggunakan kerangka kerja klaster industri, Pemerintah daerah itu mengkoordinasikan berbagai lembaga untuk memantau klaster industri. Sementara pemerintah daerah melakukan upaya-upaya koordinatif, para pelopor industri bekerja keras menggerakkan klaster. Lembaga-lembaga di tingkat daerah seperti sekolah dan kursus, lembaga penelitian, penyelenggara jasa transportasi dan teknologi, dll. memberikan dukungan yang penting dalam pembangunan klaster. Berbagai lembaga itu harus bekerja secara kolaboratif agar dapat efektif, tidak sebagai lembaga-lembaga yang be;-diri sendiri dalam menjalankan program-program kunci.
Keberhasilan suatu klaster, menurut Rosenf eld (1997), dapat dilihat padabeberapa faktor-faktor penentu kekuatan klaster tersebut , yaotu : (1) spesialisasi, (2) kapasitas penelitian dan pengembangan, (3) pengetahuan dan keterampilan, (4) pengembangan sumber daya manusia, (5) jaringan kerjasama dan modal sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7) ketersediaan modal, (8) jiwa kewirausahaan, serta (9) kepemimpinan dan visi bersama.
2"5
Studi yang telah Dilakukan Sebuah kajian tentang daya saing daerah
di Indonesia dilakukan
secara
komprehensif oleh Abdullah, etal; (2002) untuk Pusat PendiCikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Studi ini menentukan 9 kelompok indikator daya saing daerah, yaitu perekonomian daerah, keterbukaan, sistem keuangan, infrastruktur dan SDA, ilmu pengetahuan dan teknologi, SDM, kelembagaan, governance dan kebijakan
pemerintah, dan manajemen dan ekonomi mikro. Dengan mengukur kinerja ke 26 propinsi di Indonesia berdasarkan sejumlah indikator, Abdullah et.al. menyusun peringkat daya saing daerah di Indonesia, antara lain disimpulkan bahwa DKI lakarta menempati L2
peringkat teratas sedangkan Aceh menempati peringkat terbawah. Studi irri juga membuat peringkat atas dasar masing-masing kelompok indikator, sehingga dapat diketahui keunggulan dan kelemahan masing-masing daerah. Studi ini merupakan upaya pertama penyusunan daya saing daerah, namun studi ini tidak mempertajam analisisnya pada wilayah di dalam propinsi, sehingga penggerak utama dari daya saing ini tidak dapat diaraikan secara lebih jelas. Untuk dapat menentukan apakah daya saing yang dimiliki suatu daerah bersifat sementara atau lebih berjangka panjang, faktor-faktor utama penentu daya saing perlu dinelai, tidak hanya indikator umum yang mengukur keberhasilan kernajuan suatu daerah. Pengamatan daya saing daerah secara lebih mikro dilakukan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal yang pada tahun 2003 melakukan kajian mengenai model pengelolaan dan pengembangan i<eterkaitan dalam pengembangan
ekonomi daerah berbasis kawasan andalan. Kajian ini mencoba melihat keterkaitan program-program yang dilakukan oleh sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata maupun perkebunan dalam pelaksanaannya di daerah. Dari beberapa kasus daerah yang dikaji berdasarkan program-program yang telah dijalankan akan dihasilkan model-model pengembangan ekonomi daerah berbasis pengembangan kawasan. Studi ini akan melengkapi kajian yang telah ada, namun dengan jumlah dan karakter kasus yang terbatas, model-model yang dihasilkan masih perlu dipertajam untuk dapat digeneralisasi sehingga dapat dipergunakan oleh daerah-cjaerah lain. Kajian mengenai klaster telah dilakukan sejak tahun 1990an oleh berbagai berbagai
pihak. Kuncoro dan Sumarno (2003) meneliti klaster rokok kretek, berdasarkan pendekatan studi kasus dari sejumlah klaster kecil industri rokok kretek. Ia menyimpulkan bahwa: f . industri rokok kretek di Indonesia telah terbukti mempunyai struktur oligopolistik dengan rasio konsentrasi yang tinggi. Ini berarti hambatan masuk ke industri bagi pemain
baru relatif besar sehingga tidaklah mudah bagi pemain baru untuk memasuki industri ini. 2. Krisis ekonomi, yang memuncak di tahun 1998, tidak mengubah struktur industri rokok kretek di Indonesia secara drastis. Lebih dari itu, kinerja industri rokok kretek telah memperlihatkan keadaan yang baik di tengah krisis tersebut. 3. Kemantapan dari konsentrasi tinggi industri beriringan dengan konsentrasi ruang yang juga tinggi. Klaster utama industri rokok kretek Indonesia hanya di dua provinsi, yaitu Jawa Tengah (Kudus) dan lawa Timur (Kediri, Surabaya darr Malang). Pada setiap klaster, perusahaan paling besar ternyata berperan dominan dibandingkan perusahaan-perusahaan lainnya.
IICA telah melakukan penelitian yang mendalam terhadap 3 klaster industri sejak tahun 2001, masing-masing di Sidoarjo (komponen mesin), Klaten (mebel kayu), dn Kebumen (genieng). Tujuannya adalah untuk memperkuat kapasitas kolektif dari klaster-klaster iersebut, untuk merumuskan rekomendasi melalui penyusunan master plan dan rencana tindak untuk mewujudkan klaster yang dinamis di Indonesia, dan untuk meningkatkan alih teknologi melalui partisipasi aktif dari unsur-unsur yang terkait (JICA, 2003). Studi ini akan selesai pada akhir tahun 2003. Berdasarkan hasil studi-studi yang telah dan sedang dilakukan, maka kajian lebih lanjut diperlukan untuk mendalami fenomena terbentuknya klaster-klaster di In12
donesia dan upaya-upaya pengembangan yang dapat cian perlu dilai
di daerah. Menurut Paniccia (1998) sebagaimana dikutip oleh
Kuncoro
dan Sumarno (2003); pendekatan studi kasus sangat bermanfaat dalam menerangkan fungsi internal klaster industri, walaupun tidak dapat digunakan didalam menggambarkan karakteristik umum maupun evolusi klaster industri. Namun cukup banyak kasus dapat membentuk konsep yang lebih umum, asalkan dalam penerapannya masih tetap harus mengamati secara lebih mendalam lagi faktor-faktor yang bersifat lokasional.
T4
BAB III GAMBARAN UMUM KLASTER DI INDONESIA
3.1
Kebijakan dan Program Pemerintah yang Terkait dengan Pengembangan Klaster
Kebijakan pengembangan klaster secara eksplisit tertuang dalam GBHN tahun L999-2OO4. Arah pembangunan ekonomi GBHN yang terkait dengan pengembangan klaster adalah mengembangkan pereokonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keu ng gu lan kom petitif berdasarka n keu n gg u la n kom pa ratif sebaga i nega ra maritim dan agraris, sesuai kompetensi dan keunggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecildan kerajinan rakyat. Berdasarkan haltersebut, Program Pembangunan Nasional (PROpENAS) menjadikan percepatan pemulihan ekonomi menjadi salah satu dari lima agenda prioritas pembangunan nasional, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan mempercepat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem 15
ekonomi kerakyatan, merupakan salah satu dari lima agenda prioritas pembangunan nasional, Lebih lanjut, pada program pembangunan ekonomi, PROPENAS mengarahkan pembangunan ekonomi Indonesia agar lebih adil dan merata, mencerminkan peningkatan peran pemerintah daerah dan pemberdayaan seluruh rakyat, berdaya saing dengan basis efisiensi, serta menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan arah kebijakan ini, pendekatan klaster dinilai sebagai salah satu kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing ekonomi di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Konsep klaster sebagai salah satu pendekatan pengembangan ekonomi
telah banyak digunakan oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan dan program ekonomi. Sejak Pelita III, pemerintah telah berupaya mengembangkan klaster UKM, diantaranya pengembangan sentra di seluruh provinsi, pengembangan kawasan industri kecil (PIK, LIK, SUIK), program kemitraan, serta pemberian kredit. Pengembangan sentra industri kecil (SIK) di berbagai darah turut didukung pula oleh pendirian Unit Pelayanan Teknis (UPT) sesuai dengan potensi dan kebutuhan utamanya di bidang teknologi. ProEram pemerintah yang dominan dan poluer bagi pengembangan usaha kecil adalah
penyediaan berbagai skema kredit. Sejak tahun 1970-an, pemerintah meluncurkan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang disubsidi oleh pemerintah. Pada akhir tahun 1990-an, kedua jenis kredit tersebut diganti oleh Kredit Usaha Kecil (KUK). Untuk kegiatan ekonomiyang skalanya lebih keil dari KUK, pemerintah menyediakan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) berupa kredit komersil/tidak disubsidi. Selain skema-skema yang telah disebutkan, masih terdapat berbagai fasilitas kredit lainnya yang ditujukan untuk UKM. Berikut adalah beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan mengadopsi konsep klaster sebagai strategi pengembangan ekonomi daerah.
1.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bappenas bekerjasama dengan UNDP dan UNCHS berinisiasi terhadap proyek PARUL (Poverty Alleviation through Rural-Urban Lingkages) sebagai upaya untuk meningkatkan keterkaitan desa dengan kota di dalam suatu propinsi ataupun kabupaten yang dipilih. Proyek ini kemudian berkem ba ng menjadi KPEL (Kemitraan Pem banguna n Ekonom i Lokal) yang mengembangkan ekonomi daerah berdasarkan sumber daya lokalitas melalui pendekatan partisipatif masyarakat. Pada tahun 2000, program KPEL dilaksanakan di 19 kabupaten/kota di 6 provinsi sebagai pilot project. Keberhasilan pendekatan ini, kemudian di tahun 2001, Bappenas dengan pemerintah daerah melakukan replikasi di 18 kabupaten/kota di 6 provinsi lain dan juga 14 kabupaten/kota ditahun 2003.
2.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Pendekatan klaster tertuang dalam Kebijakan Pembangunan Industri dan Perdagangan Tahun 2001, yaitu kebijakan pembangunan industri jangka panjang diarahkan untuk pembentukan industri klaster dengan memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai (value chain) yang mendorong keunggulan komperatif menjadi keunggulan
_LO
kompetitif. Sehubungan dengan itu, kebijakan dasar yang menjadi perhatian adalah membentuk hubungan antara industri pendukung dan terkait di bagian hulu maupun di hilir. Selain itu, Deperindag juga memprakarsai proyek pembentukan klaster industri tertentu di beberapa daerah.
Kementerian Koperasidan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian KUKM menggunakan pendekatan klaster sebagai kebijakan pemberdayaan UKM yang meliputi program pengembangan sentra/klaster UKM, fasilitasi penguatan lembaga bantuan pengembangan bisnis (BDS), dan pemberian modal awaldan padanan (MAP). Kebijakan inidiarahkan untuk meningkatkan kinerja UKM, peningkatan lapangan kerja, serta peningkatan pendapatan masyarakat. Dana yang disediakan sebesar Rp 200 juta yang disalurkan rnelalui koperasi atau unit simpan pinjam. Tahun 200l disalurkan ke 99 lokasidan 332 lokasi ditahun 2003. 4.
Kementerian Riset dan Teknologi
Pendekatan klaster akan menjadi landasan kebijakan di bidang riset dan teknologi, khususnya terkait dengan pengembangan techno-industrial dan aliansi strategis. 5.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) BPPT memprakarsasi percontohan klaster industri daerah dalam rangka pengembangan unggulan daerah. Guna mendukung haltersebut, BPPT
juga melakukan kegiatan eksplorasi sinkronisasi dan sinergi program antar stakeholder, terutama Kementer-ian KUKM, Departemen Peri ndustrian dan Perdaga n g a n, Depa rternen Perta n ia n, Kementeria n Riset dan Teknologi, dan pemerintah daerah setempat yang menjadi lokasi studi.
3.2
Kondisi Klaster di Indonesia
Klaster di Indonesia masih berupa sentra-sentra UKM. Sentra UKM terdiridari sekumpulan industriskala kecildan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UKM mencerminkan suatu tipe klaster yang paling sederhana dan berkembang secara alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun, serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit, kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan sebagainya. Selain klaster UKM yang terbentuk secara alamiah, terdapat pula sejumlah kecil klaster yang tumbuh dan berkembang akibat dukungan pemerintah, misalnya PIK (Perkampungan Industri Kecil) dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).
77
Menurut str:diyang dilakukan oleh JICA (ZOO4), garnbaran urnum klaster di indonesia adalah sebagai berikut :
1, 2.
Meskipun hanyalah relatif rendah yakni sebesar 77 o/o dari jumlah totai usaha yang ada di indonesia, UKM dianggap sebagai kunci perekonomian yang memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat dan daerah.
Kebanyakan UKM-uKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro
yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal sehingga sering ka li meng hi lang kan jiwa kewi rausahaan.
3.
Produk-produknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak terlalu menuntut teknologi dan kualitasnya.
4.
Sebagian besar UKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan internal satu sama lain sehingga upaya "membanqun kepercayaan" (trust buildrng) sulit dilakukan.
5.
Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusiterkait merupakan kendala yang lumrah ditemui sehingga penguatan klaster sulit dilakukan.
6.
Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah bercerai berai dan masih berkutat pada strategi untuk mempertahankan hidup. Klaster UKM di Indonesia menghasilkanjenis produk yang sangat beragam.
Berdasarkan kelompok komoditinya, DepartemenPerindustrian darr Perdagangan menggolongkan UKM ke dalam 4 (err'pat) kelompok, yaitu UKM Penggerak Perekonomian Daerah, UKM pendukung, UKM berorientasi ekspor, dan LIKM inisiatifbaru (Technology base). UKM Penggerak Perekonomian Daerah adalah industri yang utamanya menggunakan bahan baku lokal (bahan bakunya mudah diadakan), tidalimenuntutskillyangtinggi, mudah dilalirikan transferteknologi, relatif mudah dikerjakan, produknya sebagian besar terserap pasar lokal/domestik atau
tidak memerlukan upaya pemasaran yang sulit, mempunyai potensi untuk dikembangkan dan merupakan unggulan daerah. UKM pendukung (supporting industry) adalah industri yang menjual produk/jasanya terhadap industri yang lain, dimana nilai tambah dari produk/jasa tersebut akan ditingkatkan. UKM berorientasi ekspor adalah industri yang telah memiliki tingkat competitiveness yangcukup sehinggaproduknyadapat dijual ke luarnegeri, baik dilakukan sendirimaupun oleh pedagang (mediator). UKM Inistiafbaru merupakan suatu industri yang berbasis pada ilmu pengetahuan danteknolo gSQcnowledge-basec{),sehinggamenghasilkan nilai tambah yang sangat tinggr serta unhrk mengisi "hollow middle' ' Industri tersebut tersebut meliputi software komputer dan bio-teknologi. Jenis induski ini beltrm banyak dikembangkan di hrdonesia dan pasarnya masih sangat luas dan terus berkembang.
1B
BAB IV GAMBARAN UMUM
INDUSTRI STUDI KASUS Kajian ini akan mengidentifikasi karakteristik klasteryang sukses dan berdaya saing dengan membandinglannya dengan kondisi beberapa industri di daerah. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk memilih industri mana yang terbaik untuk dikembangkan pada suatu daerah, namun lebih mengevaluasi secara kualitatif kelemahan dan kekuatan faktor-faktor penentu klaster yang dimiliki oleh suatu industri sehingga diketahui potensinya untuk dikembangkan sebagai sebuah klaster.
Industri yang dipilih meliputi industri rotan yang ada di Kabupaten Cirebon, industri logam di Kabupaten Tegal, dan industri batik di Kota Pekalongan. Adapun pemilihan jenis industri yang dipilih didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu :
'
Merupakan industri berskala kecildan menengah yang banyak menyerap tenaga kerja lokal.
'
Industriyang telah dikembangkan lama sehingga masyarakat mempunyai keahlian di bidang industri tersebut.
.
Mempunyai kontribusiyang cukup berarti bagidaerah dan masyarakat lokal. 19
4.7"
Gambaran Umum Industri Rotan di Kabupaten Cirebon 4.t.t Gambaran Umum Wilayah a.
Geografi dan Administrasi
Kabupaten Cirebon yang beribukota Sumber berada di sebelah timur Provinsi Jawa Barat serta berada dijalur jalan lintas utara pulau Jawa yang mempertemukan arus lalu lintas Jakarta, Bandung, dan kota-kota di priangan Jimur ke arah Jawa Tengah yang dilintasi jalur kereta api dan jalan tol -lakarta-Cirebon.
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Cirebon P::A ADMIISiSTi.AS: (.{EiJPATEI] CiREBCN
U
tt.
7..
Enrnr Xr.:r.trr
Secara geografis berada di 108o40'BT - 10Bo4B'BT dan 6o30'LS dengan dengan batasan wilayah sebagai berikut :
. . . '
Utara Selatan llmur Barat
b.
Sosial Kependudukan
-
7o00,LS
: Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, dan LautJawa : Kabupaten Kuningan
: Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah) : Kabupaten Majalengka
Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Cirebon sebesar 2.A34.A93jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.948 jiwa/ km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar I,960/o. Di lihat dari sudut pandang ekonomi, sebagian besar penduduk Kabupaten Cirebon merupakan 2A
golongan menengah-bawah. Sebesar 26,28o/o adalah f:eluarga Pra KS dan 36,O9o/o keluarga KS I, hanya sebesar 15,B4o/o dan 2o/o yang termasuk dalam golongan keluarga KS III dan keluarga KS III+. Begitu pula jika dilihat dari tingkat pendidikannya, hanya sebesar 7 ,5o/o dan 1,13olo penduduk berpendidikan tamatan SLTA dan perguruan tinggi.
c.
Ekonomi Regional
Sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002 adalah sektor pertanian (25,37o/o), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (2O,260/o), dan sektor jasa-jasa (15,29olo)' Sektor industri pengolahan sendiri berada di urutan ke empat, yang berkontribusisebesar lt,72o/o dengan nilai Rp 202.275.1.2 pada tahun 2002. Jika ditinjau lebih jauh, industrirotan telah berkontribusisecara signifikan pada ekonomi regional Kabupaten Cirebon. Hal ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap oleh keberadaan indr-rstri rotan. Hampir sebesar 60.000 tenaga kerja bergerak di industri ini, baik di industri skala kecil, menengah, maupun besar. Selain itu, nilai ekspor industri rotan juga cukup besar. Daritahun L997-2003, nilai ekspor mencapai Rp 437 milyar'
d.
Sarana dan Prasarana WilaYah Di Kabupaten Cirebon, prasarana yang diperlukan dalam pengembangan
wilayah masih terbatas. Hanya jalan dengan kondisi aspal yang sudah menjangkau sampai ke desa. Itu pun tidak nrenjangkau seluruh bagian desa.
Pada beberapa desa dimana industri kecil dan rumah tangga berada, kondisi jalan masih tanah dan berbatu. Begitu oula dengan jaringan listrik yang juga terbatas. Kalaupun desa tersebut terlayani listrik, daya pelayanan listrik masih rendah dan terdapat "giliran" hari pelayanan. Permasalahan keterbatasan pelayanan juga terdapat pada air bersih dan jaringan
telekomunikasi.
4.t.2
SejarahPerkembanganlndustri
Sejarah pembentukan klaster rotan dan perkembangannya di Kabupaten Cirebon sulit dilacak, namun pastinya kerajinan ini telah berkembang di Kabupaten Cirebon selama berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hal ini bisa dilihat dari keahlian masyarakat setempat dalam menganyam rotan yang tidak perlu diragukan lagi, mulaidari usia tua hingga muda, Usaha ini bermula dari skala rumah tangga yang dilakukan oieh sebagian besar masyarakat, terutarna di Desa Tegalwangi, sebagai desa pelopor kerajinan anyaman. Perkembangan yang cukup pesat mengakibatkan kerajinan ini menyebar ke beberapa desa sekitarnya yang saat ini kerajinan tersebut sudah tersebar 14 kecamatan di Kabupaten Cirebon.
Perkembangan desain produk mulai dirasakan sejak kerajinan rotan memasuki industri besar dengan skala pemasaran internasional, Produk yang 27
dihasilkan kini sudah mengalami beberapa inovasi, disesuaikan dengan trend dan selera konsumen, terutama konsumen luar negeri, hingga produk yang dihasilkan tidak lagi bangku dan meja yang sederhana, namun telah dimodifikasi dengan material meubeJ lain menjadi sofa bahkan tempat tidur.
4,L,3
Karakteristik Industri
Industri mebel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon tersebar di 14 kecamatan dan 65 desa. Terdapat dua kecamatan yang memiliki konsentrasi sentra paling menonjol yaitu Kecamatan Weru dan Plumbon (Tabel 4.1.). Terjadinya clustering di daerah ini terutama disebabkan oleh banyaknya masyarakat setempat yang memiliki keahlian tradisional secara turun-temurun dalam bidang kerajinan rotan dan mebel. Selain itu ketersediaan tenaga kerja yang sangat banyak serta sarana dan prasarana wilayah yang memadai juga turut mendorong berkembangnya industri mebel dan kerajinan rotan di Kabuoaten Cirebon.
Tabel 4.1 Sentra Industri Mebel dan Kerajinan Rotan Kabupaten Cirebon
NO
I
Kec arnatan P
lumbon
Weru
epok
umlah Desi
%
l)
23,08
t2
18,46
8
J
D
A
Palimanan
:
C
6
:_:n:.:'
o
irebon Ba
9,23 l:..6".?"-
7
.
,69
5|qls_"t?n
4
d C
iwaringin
2
3,0 8
A
rjawinang
z
? na
t_
o.1l
3;i;;
10 Dukuhpunta
1 aA
11
C
irebon Se
1
t2
A
stanajapur
1
IJ
Susukan
1
1,54
l4
Cirebon Uta
1
1 q4
65
100
I umla h
1",":-1""_-
StfiD€?*i*i)i5FEtifii0rKH$ilFileii''eiieboff
*-
Berdasarkan data resmi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, jumlah unit usaha mebel dan kerajinan rotan memiliki kecenderungan yang semakin rneningkat dari tahun ke tahun, Hingga tahun 2003, Kabupaten Cirebon memiliki 1.019 unit usaha mebeldan kerajinan rotan atau meningkat
19,60 persen dibandingkan tahun 1997. Berdasarkan nilai investasi yang dimiliki, 87,92 persen daritotal industri merupakan industriskala kecil (896 unit), senrentara industri menengah dan industri besar masing-masing berjumlah 82 unit dan 41 unit. Perkembangan jumlah unit usaha mebel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon diperlihatkan pada Gambar 4.2. 22
1
050
1
000
Gambar 4.2 Jumlah Usaha Mebel dan Kerajinan Rotan
950 900 850 800
750
1997 1999 2001
2003
EJumlah Unit Usaha
Produk yang dihasilkan oleh industri rotan meliputi lemari, meja, lemari, tutup saji, mainan anak-anak, keranjang, lampu, dan lain-lain (Gambar4'3)' Jumlah produk yang dihasilkan tiap unit tergantung dari order. Tiga tahun belakangan ini, jumlah order cenderung yang diterima UKM mengalami penurunan. Namun dari keseluruhan produksi industri rotan, termasuk industri
meubel, mengalami peningkatan. Hingga Tahun 2OO3, volume dan nilai produksi pada tahun 2003 masing-masing sebesar 8L.429 ton dan 1.037.826.020.000' lika dibandingkan dengan volume dan nilai produksi pada tahun 1997,jumlah ini mengalami peningkatan masing-rnasing sebesar 68,92 persen dan 58,68 persen.
Tabel4.2 Volume dan Nilai Produksi Mebel dan Kerajinan Rotan Tahun 1997-2003
NO
Tahun
olume (Ton Nilai (000)
t997
47 ,95
998
56,569
72
3
1999
57,998
4
60,4 11
5
2000 2001
62,7 07
91.050.000 39.058.00 73.501.00
o
2002
70 19
94.5 84.7
7
2003
8r,429
2
I
54.003.379 .924 .OOO
08
37 .A26.O2
SUinb;;-r-Diiiei Xabupaten Cirebon
Pada usaha kecil, jumlah unityang dihasilkan mencapaisatu kontainer
per bulannya, sedang usaha skala menengah-besar bisa mencapai 6-7 kontainer per bulan. Omzet yang diterima adalah US$ 7.000 per kontainer dengan margin keuntungan sebesar 5olo. Produk yang dipasarkan ke luar negeri mempunyai desain yang lebih bagus, tidak hanya meja dan kursi sederhana, namun telah dimodifikasi dengan bahan lain seperti anyaman pelepah pisang dan eceng gondok, kain, busa, kaca, kayu, bahkan batu, menjadi bangku sofa dan meja campuran 23
kayu dengan kaca atau batu. Oleh sebab itu, harga untuk produk luar negeri jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk pasaran dalam negeri.
Gambar4.3 Salah Satu Contoh Produk Meubel Rotan
Proses produksi industri rotan di Kabupaten Cirebon mengenal pola subkontrak. Industri besaryang banyak menerima pesanan dari luar negeri mengesubkan pesanan tersebut ke industri skala kecil yang mempunyai spesialisasi pekerjaan, misalnya khusus menganyam, membuat rangka, atau keduanya. Setiap unit produk yang dihasilkan dalam satu tahap produksi akan diberlakukan quality controlguna mencegah kerusakan produk. Kalaupun ada, tingkat kerusakan yang ada sebesar Lo/o hingga 27o. Desain dan spesifikasi produk itu sendiri banyak ditentukan oleh pemesan di luar negeri, sedangkan untuk pasardalam negeri, industri rotan mempunyai kebebasan dalam mendesain produk. Peralatan yang digunakan selama proses produksi meliputi paku, palu, pemanas untuk membengkokkan rotan, mesin penghisap debu, sefta penghalus
rotan. Salah satunya dapat dilihat pada gambar 4.4.
Gambar4.4 Salah satu Jenis Peralatan dalam Industri Rotan
Bahan baku yang digunakan sebagian besar adalah rotan yang berasal dariPulau Kalimantan dan Sulawesi. Selain rotan sebagaibahan baku utama; 24
dipergunakan juga kayu sebagai rangka dan bahan-bahan lainnya untuk membuat mebel seperti cat, kain, dan berbagai asesoris furniture. Bahanbahan ini diperoleh oleh para pengusaha dari supplieryang banyak terdapat di Cirebon maupun dari agen didaerah lain seperti di Kuningan, Jakarta, dan Surabaya. Dengan pola subkontrak, kebutuhan bahan baku industri kecil yang menerima subkontrak diperoleh dari industri besar yang memberikan subkontrak. Gambar 4.5 Bahan Baku Meubel Rotan
Penggunaan bahan baku rotan memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun baik dari segi volume maupun nilainya. Volume dan nilai penggunaan bahan baku pada tahun 2003 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, masing-masing 70 persen dan L34,7O persen dari tahun 7997. Hal ini memperlihatkan bahwa kebutuhan bahan baku semakin dibutuhkan seiring dengan semakin meningkatnya permintaan baik dari pasar domestik maupun ekspor. Bahan Baku, NO 1
2
Tahun
t997 199I 99
olumei(Ton
Nitaii(Rp),'
s
5.469.500
59,9
3
70,429 0.352.000 72,496 5.536.900 7 5,513 8.276.700
3
19
4
2
5
200
1
78,383
1
6
2002
a7 ,7 37
9.72L.700
2003
101,786
7.679.800
000
Tabel4.3 Volume dan Nilai Bahan Baku Industri Mebel dan Rotan Tahun 1997-2003
.192.82 5
Jumlah tenaga kerja yang terserap ke dalanr industri meubel dan kerajinan di Kabupaten Cirebon cenderung mengalami peningkatan daritahun ke tahun. Hingga tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang mampu diserap secara keseluruhan baik oleh industri kecil, menengah, maupun kecil sebesar 59.561orang atau mengalami peningkatan sebesar 19.60 persen dibandingkan pada tahun 1997. 25
Gamhar 4.6 Jumlah Tenaga Kerja Tahun L997-2OO3
1S97
1999
oJumlah TX
lumlah tenaga kerja ini sebagian besar berasal dari masyarakat sekitar, namun ada pula yang berasal dari luar daerah bahkan luar negeri. Tenaga lcerja yang berasal dari luar negeri diperlukan untuk teknisi dan manajerial pada industriskala menengah besar. Sedang pada tingkat pengrajin, terutama pada industri skala kecil, pengalaman dan keahlian menjadi pertimbangan utama, dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar berpendidikan SD dan SMP. Tingkat keahlian para pengrajin tidak perlu diragukan, semua bentuk desain meubel rotan dengan berbagai bentuk anyaman, dapat mereka kerjakan. Pekerjaan pengrajin di industri kecil sangat tergantung dari pesanan, oleh karena itu, tenaga ke{a yang digunakan sebagian besar adalah borongan. Pada kondisi nornral bisa mencapai B0-1000 orang pada usaha menengah dan 15-30 orang pada usaha kecil. Tingkat upah perorang tergantung dari jumlah dan spesifikasi pekerjaan. Untuk pekerjaan membuat rangka, tiap barang yang dihasilkan memperoleh upah sebesar Rp 5.000 sampai RP 8.000. Sedang pada tenaga kerja tetap di industri menengah besar, upah disesuaikan dengan UMK, yaitu minimal Rp 415.000,- Pe t bulan.
4.2 Gambaran Umum Industri Logam di Kabupaten Tegal 4.2.L Gambaran Umum Wilayah a.
Geografi dan Administrasi
Kabupaten Tegal merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah yang terletak di bagian utara sebelah barat. Secara geografis, Kabupaten Tegal terletak diantara L08o57'6" sampai dengan 09o21'30" garis bujur timur dan 6o50'4I" garis lintang selatan. Posisi Kabupaten Tegal berbatasan dengan Kabupaten Brebes di sebelah Barat, Kota Tegal dan Laut Jawa di sebelah Utara, Kabupaten Pemalang di sebelah Timur, serta Kabupaten Pemalang 26
dan Brebes di sebelah selatan. Posisi wilayah ini sangat strategis karena terletak di dua jalur transportasi utama, yaitu jalur yang menghubungkan antara lakarta - Tegal - Semarang dan Jakarta - Tegal - Purwokerto. Kondisi
ini didukung pula oleh prasarana jalan raya beraspal yang baik. Selain adanya sarana angkutan antar kota dengan kendaraan bermotor, aksesibilitas menuju Kabupaten Tegaljuga didukung oleh kereta api dan angkutan laut.
Kabupaten Tegal memiliki wilayah seluas 87.879 hektar yang terdiri atas 1B kecamatan, 6 kelurahan, dan 231 desa. Secara topografis, Kabupaten Tegal terbagi atas 3 (tiga) wilayah yaitu : wilayah pantai (0-6 m dpl) meliputi Kecamatan Suradadi, Kramat, dan Warurejol; dataran rendah medium (6800 m dpl) meliputi Kecamatan Adiwerna, Slawi, Dukuhturi, Kedungbanteng, Talang, Tarub, Pegerbarang, Dukuhwaru, Lebaksiu, Jatinegara, Margasari, Balapulang, dan Pangkah; dan dataran tinggi (> 800 m dpi) meliputi kecamatan Bojong dan Bumijawa.
Gambar 4.7 Peta Kabupaten Tegal
j
\ ')
b.
. j\
!*-,
.\, .'\
\
Sosial Kependudukan
Kabupaten Tegal merupakan wilayah yang berpenduduk cukup padat. jumlah penduduk kabupaten Tegal sebesar I.423.346 jiwa dengan kepadatan rata-rata sebesar 1.638 jiwa/kilometer persegi. Jumlah penduduk laki-laki sebesar 7O7.949 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 7L5.397 jiwa, dimana sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, Pada akhir tahun 2003,
c.
EkonomiRegional
Kabupaten Tegal memiliki tiga sektor ungggulan yaitu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor perdagangan. Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan Tahun 2OO2, total PDRB Kabupaten Tegal adalah sebesar Rp 994.577.120.000 atau 2,27 persen dari total PDRB provinsi Jawa Tengah. 27
Sektor peftanian merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap total PDRB kabupaten dibandingkan dengan sektor lainnya, Namun pada tahun 2003, kontribusi sektor pertanian mulai menurun, sementara sektor perdagangan dan industri mengalami pertumbuhan yang positif. Hal initefiadi karena cepatnya perkembangan sektor perdagangan dan industri, sementara sektor pertanian pertumbuhannya lebih lamban akibat keterbatasan lahan dan ketergantungan terhadap kondisi alam. Meski demikian sektor pei'tanian masih menjadi sektor yang paling dominan dibandingkan dengan sektorsektor lainnya. Kontribusi tiap-tiap sektor terhadap total PDRB atas dasar harga konstan diperlihatkan pada gambar 4.8.
Gambar 4.8 Kontribusi sektor terhadap total PDRB
Ketela!ga!
Pert. Ind. Perd.
Lain2
Peng.
d.
Pert Ind peng
: :
pertanian industri
psgolanan
Perd
:
psdagangan
Sarana dan Prasarana Wilayait
Sarana dan prasarana yang ada di Kabupaten Tegal telah memadai untuk mendukung pengembangan suatu industri. Meskipun tidak seluruh jalan memiliki kondisiyang baik, namun wilayah-wilayah yang memiliki konsentrasi industri pada umumnya telah mampu diakses oleh sarana angkutan. Selain transportasi dalam kota, pengembangan industrijuga telah didukung oleh keberadaan sarana transportasi antar daerah, yaitu kereta api dan pelabuhan laut yang berada di wilayah administrasi Kota Tegal.
4.2.2 Tegal
Sejarah Perkembangan Industri Logam di
Kabupaten Tegaltelah menjadi sentra produksi logam yang diandalkan sejak era pemerintahan kolonial Belanda. Embrio industri pengolahan logam muncul pada sekitar awal abad ke-16 yaitu melalui produksi mata bajak yang dihasilkan oleh para pandai besi. Hingga tahun 1930-an, bengkel logam diTegal memasok perlengkapan untuk industri sarana transportasi (kereta api dan kapal laut) serta dan industri gula. Kondisi ini terkait dengan keberadaan 6.400 hektar lahan perkebunan tebu yang memasok tujuh buah 28
pabrik gula serta adanya industri kereta api dan galangan kapalyang ada di Kabupaten dan Kota Tegal. Namun demikian, perkembangan pengolahan logam sebagai suatu industri saat itu belum terlalu menonjol, karena sebagian besar produk logam buatan Tegal masih terbatas penggunaannya. Hal ini diduga karena kualitasnya kalah bersaing dengan produk-produk impor, terutama produk buatan JePang. peluang bagi pengembangan industri logam muncul pada awaltahun 1930. Terdapat dua faktor yang menjadi pemicu berkembangnya industri logam diTegal. Faktor pertama adalah terjadinya depresi internasionalyang menyebabkan penurunan harga gula secara tajam di pasar internasional. Hal ini menyebabkan lumpuhnya industri gula di Indonesia, termasuk diTegal. Produksi gula di empat buah pabrik terhenti dan satu buah pabrik terpaksa menutup usahanya. Lumpuhnya industri gula menyebabkan banyak tenaga kerja yang menganggur dan terlempar dari Sektor perkebunan. Hal ini memicu perubahan struktur perekonomian Tegal yang semula banyak bergantung kepada industri gula. Faktor kedua adalah dilakukannya pembatasan impor komoditi logam dari Jepang oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu yang hampir bersamaan dengan terjadinya depresi internasional. Kekosongan pasar komoditi logam yang ditinggalkan oleh Jepang seta melimpahnya tenaga kerja mendorong masyarakat yang telah memi liki keahlian pengolahan logam untuk mulai berwirausaha dengan mendirikan bengkel-bengkel logam. Sejak saat itu Industri kecil logam mulai berkembang di wilayah selatan Kodya Tegal, kemudian ke Kecamatan Adiwerna hin99a ke Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal (Rustiani dan lvlaspiyati, 1996) Kebijakan industri pemerintah dan pembangu nan infrastruktur di kotapada awal tahun 1970-an mendorong pertumbuhan industri logam besar kota di Kabupaten Tegal. UU PMA pada tahun 1967 merupakan kebijakan pemerintah yang sangat mendorong perkembangan industri logam diTegal. Produk-poduk dari logam, terutama bagian perangkat kontruksi merupakan komoditas yang banyak dibuat di Tegal,
4.2.3
Karakterisitik Industri
Industri logam di Tegal memiliki sebaran konsentrasi industri di beberapa wilayah kecamatan. Berdasarka n data resmi dari Disperi ndag naker Kabupaten Tegal, konsentrasi UKM Logam di Tegal tersebar di 4 (empat) kecamatan. Konsentrasi industri yang dominan terdapat di 3 (tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Adiwerna, KramatTalang (Tabel 4.4). Skala lndustri
Tabel4.4 Jumlah UKM Logam, Mesin dan Elektronika di Kabupaten Tegal Tahun 2oo3 (unit) Sumber : 8PS Kabupaten Tegal
ecamata n rwerna
No 1
Bmat
r-ibu
Total
Iiiu-
: -' -raran9
Kecil z,
A0 K
4
Menen9ah
bb5
Total z,bbo
3
2,347
1
o
2,35
l
; ---
);333
245
7564
7572
"l-
29
Industri logam di Kabupaten Tegal mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan data dari Disperindagnaker Kabupaten Tegal pada tahun 2002, industri logam mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sebesar 36.179 orang atau 33,77 persen dari total tenaga kerja di bidang industri pengolahan; Sebanyak 245 tenaga kerja terserap pada pabrik-pabrik skala menengah, dan sebesar 35.934 terserap pada industri skala kecil. Skala Industrii No
Kecambtah q
diwerna
2
Kramat
3
Lebaks iu T
Total
alang
,M
Kecil
enengah If,
100
L
| ,299
Tabel4.5 Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap dalam Industri Tahun 2OO2 (orang)
t2,4 67 35
Jf,
,37I
95
r2
245
?q q?4
Industri logam di Kabupaten Tegal terdiri dari industri kecil dan rumah tangga serta industri skala menengah yang sebagian besar bergerak di bidang industri logam. Dilihat dari jumlahnya, hampir seluruh industri logam di
Kabupaten Tegal merupakan industri skala kecil dan rumah tangga. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal, hingga tahun 2003 terda patT .573 unit usaha yang bergerak di bidang logam yang meliputi B unit industri skala menengah dan 7.564 unit industri skala kecil dan rumah tangga.
Industri logam di di Kabupaten Tegal memiliki jenis prcduk yang sangat heterogen. Secara umum, produk-produk dapat dibedakan menjadi beberapa jenis usaira, antara lain usaha pengecor'an logam, pengolahan plat, dan usaha permesinan. Produk yang dihasilkan tiap-tiap jenis usaha tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu produk jadi yang dapat dipasarkan langsung, produk setengah jadi yang digunakan dalam proses produksi selanjutnya, dan produk jasa. Produk jadi yang dihasilkan oleh industridan dapatdipasarkan langsung kepada konsumen antara lain lampu gantung, peralatan rumah tangga (emberalumunium, kompor, dandang, dan sebagainya), kursi bidan, tempat tidur rumah sakit, tabung gas, mesin pertanian (traktor tangan, rice mill), dan sebagainya. Produk setengah jadi yang dihasilkan oleh industridan digunakan bagi proses produksidiselanjutnya antara fain casf iron, komponen furniture, komponen bangunan, komponen sepeda motordan mobil, komponen kapal, komponen alat listrik, dan komponen alat berat. Selain itu, terdapat produk-produk jasa, antara lain las, jasa pemanasan dan pelapisan logam.
30
Gambar 4.9 Sebagian Produk Industri Logam Tegal
Bahan baku yang digunakan dalam industri logam diTegal terdiri dari dua macam yaitu bahan baku utama dan bahan penolong. Bahan baku utama dapat dikelompokkan lagi kedalam 3 jenis. Jenis pertama adalah besi sisa produksi pabrik dengan berbagai ukuran ketebalan. Bahan baku ini digunakan oleh ind ustri skala menengah untu k meng hasil ka n prod u k-kom ponen otomotif, aksesori rumah, dan perabot rumah tangga. Jenis kedua adalah plat sisa produksi dari pabrik baja. Bahan baku ini lebih jarang digunakan karena harganya mahal meskipun kualitasnya lebih baik. Jenis ketiga adalah besi bekas (scrap) yang dapat diolah kembali (daur ulang). Jenis bahan baku ini paling banyak digunakan karena merupakan bahan baku utama bagi sebagian besar industri skala kecil dan rumah tangga yang merupakan usaha pengecoran logam. Bahan penolong digunakan dalam proses pengecoran logam, seperti kokas, kerosin, dan bahan kimia lainnya.
Teknologi yang digunakan oleh UKM logam di Kabupaten Tegal terdiferensiasi ke dalam beberapa tingkatan dari teknologi yang sangat sederhana dan manual hingga teknologi modern. Adanya diferensiasi teknologi
terutama disebabkan oleh kemampuan modal yang dimiliki, disamping jenis dan tuntutan kualitas produk yang diminta. Meski terdifrerensiasi pada tingkatan teknologi yang berbeda-beda, pada prinsipnya proses produksi yang dilakukan hampir sama yaitu pengecoran, pembubutan, pemotongan, pelubangan, perakitan, dan pewarnaan (finishing). Peralatan dan mesin yang digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ini misalnya cast. kitchen, forge kitchen, mould, lathe machine, drill mahine, grindstone machine, frais machine, pond, brandet stove, pond toll, blower, dan sebagainya. Sebagian kecil industri kecil dan rumah tangga masih menggunakan teknolog i trad isional dalam meng hasil kan produk-produ knya. Pada u mu m nya industri kecildan rumah tangga telah menggunakan teknologi mesin manual yang memerlukan curahan energi fisik, misalnya mesin bubut dan mesin pon yang bekerja dengan prinsip hidrolik. Namun telah ada pula beberapa industri kecil yang menggunakan mesin-mesin yanE digerakkan dengan tenaga listrik.
Pada industri skala menengah, teknologi yang digunakan telah menggunakan mesin-mesin yang jumlahnya lebih banyak dan tingkatan teknologinya lebih maju daripada industri kecildan rumah tangga. Disamping menggunakan mesin yang dimiliki sendiri, Industri skala menengah sering menggunakan jasa laboratrium pelayanan uji material dan permesinan di UpT 31
Logam PPiT yang sudah menggunakan mesirr dengan teknologi otomastis yang canggih, seperti wirecard, CNC wire card, dan CNC miling. Meskipun biaya yang dikeluarkan relatif mahal, namun penggunaan teknologi otomatis dan semi-modern menghasilkan akurasi dan presisi produk yang jauh lebih baik.
Gambar4.lO Peralatan dengan Teknologi Manual (kiri) dan Otomatis (kanan)
Secara garis besartahap produksi yang dilakukan pada industri logam di Tegal untuk menghasilkan produk jadi maupun komponen relatif sama, meskipun dari segi teknologi yang digunakan memiliki tingkatan yang berbeda. Proses produksi pengolahan logam dapat dibagi ke dalam tiga tahapan pekerjaan, yaitu tahap persiapan, tahap produksi, dan tahap akhir. Tahapan proses produksi secara umum diperlihatkan pada gambar 4.11.
Gambar 4.11 Tahapan Produksi PROSES PRODUKSI:
t
Memotong (Pendaunan)
2Penekukan
rRuir'lfuan 4Paniiihan (untuk besi bekis)
PROSES AKHIR:
arn tantota
':':'j
:,;
,
9Pengepakan.i.r ,i
Tahap persiapan produksi dimulai dengan pembuatan matres melalui teknik cor yang diproses lebih lanjut dengan cara dipaltat atau dibubut. Matres terdiri dari dua bagian yang saling terpisah, yaitu matres pemotong/ pendaun dan matres penekuk. Selanjutnya dilakukan pemilihan bahan baku (plat) dengan memperhatikan lebar dan ketebalan plat. Plat -plat yang berukuran lebar dipotong-potong dengan menggunakan pon pisau, sementara plat yang berukuran kecil dipakai untuk memproduksijenis produk yang lebih kecil.
Tahap produksi dapat dibagi menjadi tiga kelompok kegiatan, yaitu proses pembuatan komponen utama, proses perakitan, dan proses penyelesaian. Proses pembuatan komponen utama dimulai dengan proses pendaunan, yaitu pemotongan logam sesuai dengan bentuk dan ukuran produk yang akan dihasilkan. Selanjutnya, dilakukan proses penekukan yaitu memberi 32
bentuk atau lekukan-lekukan pada logam. Langkah berikutnya adalah memberikan lubang-lubang sekrup atau paku dengan mengunakan boratau pon. Untuk produk yang berasal dari besi bekas terlebih dahulu dilakukan proses pemutihan, yakni pembersihan besi dari noda karat dengan menggunakan kerosin dan bahan pembantu kulit gabah. Proses selanjutnya adalah penggabungan atau perakitan beberapa komponen menjadi satu produk yang utuh. Setelah produk dirakit, proses produksi memasuki tahap akhir dengan Produk yang telah dirakit selanjutnya di dibersihkan, dicat, dikeringkan, dan dikemas.
4.3 Gambaran Umum Industri Batik di Kota Pekalongan 4.3.1 Gambaran Umum Wilayah a.
Geografi dan Administrasi
Kota Pekalongan berada di wilayah Propinsi Jawa tengah dan berada
dijalur regional utara Pulau Jawa antara Jakarta - Semarang - Surabaya. Berdasarkan data tahun 1999, luas Kota Pekalongan sebesar 4.524.7OO hektar dan secara administratif terbagi menjadi 4 kecamatan serta 46 Desa atau Kelurahan (Tabel 4.6 -Sumber : RUTR Kota Pekalongan/ 1999).
Tabel4.6 Nama Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Kota Pekalongan hDbit )s. Bandengan
ll.3F."T*f B$ir,,ii Wiffi Pekalongan Utara
2
<el. Kandang PanJang
Pekalongan Utara
)
3
Kel. Panjang Wetan
4
Kel. Krapyak
Pekalongan Utara Pekalongan Utara
f
Ds. Oegayu
o 8
Kel. Krapyak Kidul Kel. Dukuh Kel. KEton Lor
9
Os. Pabean
10
^;he'jrfsnl3Bffi
<el, Sugihwaras <el. Klego
Pekalongan Timur Pekalongan Timur
26
Kel. Poncol
Pekalongan Timul
27
Kel. Kauman
Pekalongan Timur
Pekalongan Utard
28
Pekalongan Timur
Pekalongan Pekalongan Pekalongan Pekalongan
Utara
29
Kel. Kepukan Kel. Noyontaan
Utara
30
Utam
31
Utara
32
Ds. Dekoro Ds. Gamer Ds. Baros
Ds. Pasir Sari Kel. Kramatsari
Pekalongan Barat
33
Os. Karangmalang
Pekalongan Barat
34
Ds, Sokorejo
t)
Ba€t
l6
Kel. Landungsari Ds. Buaran
Ds. Tegalrejo
Barat Earat Bamt
,7
16
Pekalongan Pekalongan Pekalongan Pekalongan Pekelongan
Barat
15
Kel. Kraton Kidul Kel. Kergon Kel. Bendan Kel. Ds. Tirto
17
Pekalongan Barat Pekalongan Barat
20
Kel. Podosugih el. Sapuro el. Kebulen Kel. Medono
i;etii'iii'idli' a"i"t
qr-
2l
Os. Pringlangu
Pekalongan Barat Pekalongan Barat Pekalongan Timur
44
-
t2 13 14
18 19
lor
22
Ds. Bumirejo
23
Kel. Sampangan
24
39
Kel.Kradenan Kel.Banyuarip Alit Kel.Banyuarip A9en9
10
Ds. Jenggot
38
I
Pdi6-bnqa"-Ba;ai
Os. Kuripan Lor Ds. Yosorejo
45 46
Ds. Soko Ds. Duwet Ds. Kuripan Kidul Ds. Kertoharjo
Timur Timur Timur Timur Pekalongan Timur Pekalongan Timur Pekalongan Timur Pekalongan Pekalongan Pekalongan Pekalongan
Pekalonoan S€latan Pekalongan Selatan Pekalongan Selatan Pekalonoan Selatan Pekalongan Selatan Pekalongan Selatan Pekalonoan Selatan Pekalongan Pekalongan Pekalongan Pekalongan
Selatan Selatan Selatan Selatan
33
Ditinjau dari aspek geografis, Kota Pekalongan terletak di antara 109o37'55" - 709'42'L9" BujurTimur dan 6o50'42" - 6055'44" Lintang Selatan. Di sebelah utara, Kota Pekalongan berbatasan dengan Laut Jawa dan di seirelah selatan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang. Se,nentara di sebelah Barat dan Timur masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang.
Gambar4.12 Peta Kota Pekalongan I
:
:'l i I . s lrista;-i.:;.s4. t a"-. r.t ". ....4 ^ ",,.^
'
b.
Sosial dan Kependudukan
lumlah penduduk Kota Pekalongan pada kurun waktu Tahun 19992003 mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 1,80 persen. Pada Tahun 1999, penduduk Kota Pekalongan sebesar 246.25Ljiwa, sedangkan pada tahun 2003 jumlah penduduk mencapai 264.217 jiwa atau mengalami peningkatan sebesar7,29 persen dibandingkan tahun 1999. Menurut data tahun 1999, jumlah penduduk ierbesar berada di Kecamatan Pekalongan Barat sebesar 77.247 jiwa dan terkecil berada di Kecamatan Pekalongan Selatan sebesar 44.026. Jumlah penduduk usia produktif (15-59 tahun) pada tahun 2003 sebesar 165.858 jiwa atau sebesar 62,77 persen dari totaljumlah penduduk.
5+
Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Kota Pekalongan Tahun 1999-2003 umlah
o/o P ertambahan P enduduk
Tahun
Laki- Laki
Perempuan
99 2000 2001
120,661 L29,427
125.59
246,257
132,3 18
26L ,7 45 262.7 3l
6.29 0,37
2002
r30,27 6 130.638
263,54
0,30
264,2t7
0,2 5
19
2003
t29,9r4
t32,817 r33,264 r33,579
I
per Tahun
Kepadatan penduduk di Kota Pekalongan tergolong cukup tinggi, dimana kepadatan penduduk rata-rata per kilometer persegi sebesar 5.839 jiwa. Kepadatan penduduk terbesar dimiliki oleh Kecamatan Pekalongan Barat, yaitu sebesar 8.307 jiwa per kilometer persegi, sementara kepadatan penduduk terendah dimiliki oleh Kecamatan Pekalongan Selatan sebesar 4.603 jiwa per kilometer persegi.
Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar penduduk di Kota Pekalongan pada tahun 2003 bekerja di sektor industri, yaitu sebesar 17.438 jiwa atau 70,44 persen darijumlah keseluruhan pekerja. Darijumlah tersebut, 1.658 jiwa diantaranya bekerja pada industri skala besar, sementara 15.780 jiwa lainnya atau 90,49 persen bekerja pada industriskala kecildan menengah. Selain sektor industri, beberapa sektor lainnya yang dominan antara lain sektor pertanian (10,08 persen) dan perdagangan (4,8 persen). Jumlah pekerja di tiap lapangan kerja pada Tahun 2003 diperlihatkan pada Tabel 4.8. Lapangan Pekerjaan
Tabel 4.8 Jumlah Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2OO3
I umla h
rgttoiltdrl
ita mbdiisb n Iriiiii;fii* *"*-
108
Pb
Lii tii k.^*'--
Bbhejiinan'
"
ndkntitn-n?tn
,7
'*
"
Pbit:lsrtii6:in A
438 "--' 'l 64 L
702
-
--'
0;4 7
3
0V'4
r-.203
t,65 4;8 s'
942
3,80
pb rhu bunga r
Keubri!an--*--'-
Perserridse
6tl/
?
814
3,2 8
2.,,/ >)
100
-
Sumber: BPS Kota Pekalongan Tahun 2oo3
Ditinjau dari tingkat pendidikan, pada tahun 1999 penduduk Kota Pekalongan sebagian besar berpendidikan tamatan SD, yaitu sebesar 63.524
jiwa atau 25,80 persen dari keseluruhan jumlah penduduk, sedangkan
masyarakat berpendidikan tamatan perguruan tinggi atau akademi sebesar 4.160 jiwa atau hanya 1,70 persen darijumlah penduduk.
c.
EkonomiRegional
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kota Pekalongan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 1999, PDRB Kota Pekalongan menunjukkan jumlah sebesar Rp. 417.953.561, sedangkan pada Tahun 2002 jumlahnya meningkat I2,tL persen menjadi Rp. 468.600.688. Industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar kontibusinya terhadap PDRB 35
Kota Pekalongan, yaitu sebesar 25,O7 persen. Sektor lain yang dominan adalah perdagangan, dimana kontribusinya terhadap PDRB mencapai22 persen.
Gambar 4.13. memperlihatkan distribusi persentase PDRB Kota Pekalongan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2002.
Gambar4.13 Distribusi PDRB Kota Pekalongan Tahun 2OA2
22% El Pe
rtanian
a Industri Pengolahan O Listrik, gas, dan air m inum O Perdagangan
I
El
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
lJasa-Jasa
Ditinjau dari sektor perdagangan, pada Tahun 2003 Kota Pekalongan mampu merealisasikan ekspor senilai US $ 4. 059.625,81. Nilai Ekspor ini diperoleh dari berbagai komoditas seperti garmen, batik printing, sarung batik, kain sarung, dan perikanan. Nilai ekspor terbesar diperoleh dari ekspoi' komoditas garmen senilai US $ 3.594.632,26. Namun demikian nilai ekspor Kota Pekalongan pada empat tahun kebelakang cenderung mengalami penurunan (Tabel 4. 10). Tabel 4. 1O Perkembangan Nilai Ekspor Kota Pekalongan Tahun 19992003
No
I
Tah un
999 2000 2001
4
)od)
5
003
Nilai Ekspor (US $) 3 .4
84 .99 2,8
P
ertumbuha
n
kpsor per Tahun (%)
E
1
l*-0Jl:0*1?,2-9
.302,7 9 4 36t.742 29
45,51
4 ,921
-11 ?7
4.059.625,81
BPS Kota Pekalongan Pekalonoan Tahun
d.
Prasarana dan Sarana Wilayah
Di Kota Pekalongan, prasarana dan sarana yang diperlukan dalam pengembangan wilayah masih terbatas. Hanya jalan dengan kondisi aspal yang sudah menjangkau sampai ke Desa. Itu pun tidak menjangkau seluruh bagian Desa. Pada beberapa Desa dimana industri kecil dan rumah tangga berada, kondisijalan masih tanah dan berbatu. Begitu pula dengan jaringan air bersih dan telekomunikasi yang kondisinya masih terbatas. Padahal prasarana tersebut sangat penting bagi pengembangan usaha perbatikan di wilayah tersebut. 36
4.3.2
SejarahPerkembanganlndustri
Kota Pekalongan merupakan salah satu produsen batik terbesar di Indonesia. Darisumberyang diterima, di negara Mesirtelah ditemukan kain batik buatan tahun 500, namun hal ini belum berarti bahwa batik berasal
dari Mesir. Walaupun begitu, batik menjadi salah satu warisan budaya dunia. Saat ini negara produsen batik diantaranya Indonesia, Malaysia, Cina, Jepang, Thailand, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa daerah produsen batik dengan ciri khas masing-masing, yaitu Palembang, Jambi, Cirebon, Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Madura, Bali, Kalimantan, hingga Papua. Batik Pekalongan dikenal dengan coraknya yang berwarna-warni. Beberapa contoh corak batik khas Pekalongan dapat dilihat di Museum Batik di Kota Pekalongan, seperti yang ada pada gambar 4.x. Kerajinan batik di Pekalongan telah dilakukan oleh masyarakat berbagai kalangan sejak penjajahan Belanda. Seiring dengan perkembangan jaman, pembuatan batik tidak hanya dilakukan batik tulis, namun juga jumputan, sablon, dan cetak (printing). Saat ini telah mulai dikembangkan pula jenis batik perpaduan antara kerajinan batik dengan tenun tradisionalyang disebut batik rewoven.
4.3.3
Karakteristik Industri
Klaster batik di Kota PekalonEan merupakan konsentrasi geografis dari usaha-usaha batik skala !<ecil dan menengah, beserta industri pendukungnya Industri batik tradisional di Pekalongan jumlahnya mencapai ribuan unit Can tersebar di seluruh Kecamatan di Kota Pekalongan. Namun demikian jumlah industri usaha yang resmi tercatat dan sudah dibina oleh Kantor Perindustrian dan Perdagangan setempat hingga Tahun 1999 sebesar 608 unit yang tersebar hampir di seluruh kecamatan (Tabel 4.11')
37
Tabel4.ll
Sebaran Sentra Usaha Kecildan Menengah Batik Kota Pekalongan I
No Des alKel urahan
I 2
3 4 5 6 7 R
9 0
i
t2 "tJ
.-;
I)
i'6
'l;
fB i.it
lb zt 23 24
el. Landungsari Kel. Kauman Kel. Noyontaan Kel. Keputran Kel. Sugihwaras el. Klego el. Krapyak Lor Kel. Krapyak Kidul Kel. Degayu Ds. Bandengan Ds. Pabean Kel. Kradenan Ds. Buaran Ds. lenggot Ds. Banyuurip Alit Ds. Banyuuriop Ageng Kel. Podosugih Kel. Bondan Ds. Pasirsari Ds. Tegalrejo Ds. Pringlangu Kel. Medono Ds. Tirto Kel. Kergon
Kecamatan
umlah
U
nit
Usaha 24
ekalongan Iimur ekalongan Timur ekalongan Timur Pekalongan Timur Pekalongan Timur ekalongan Timur Pekalongan Utara P ekalongan U ta ra Pekalongan Utara Pekalongan Utara
5
4 6
) ) 18 7
U6i;itek;Ide;-fiai;tdn PelA;ndtn
29
Pekalonoan Selatan Pekalongan Selatan
74
CeGl"ori6fi"SeEi;ii
ib
ionriln Selia tah
30
i;'i-(
a
--
T>
Ceiaionbin'-db rat Pekalongan Barat
23
PaGi"o;d;;-ti#;t
4)
rat Pekalongan Barat
28 46
IJ
i; e t
;;
pt]iJbritiaii airat
J)
5i
i;"iiRi'ibngJn airat Pekalongan Barat
2i
608
UM ah
Sumber: Disperindag Kota Pekalongan (1999)
Industri di kota Pekalongan didominasioleh industri skala kecil, dimana
jumlah irrdustri skala kecil pada tahun 2003 yang tercatat secara resmi sebesar 3568 unit usaha. Sementara jumlah industri skala menengah dan besar masing-masing berjumlah 50 dan 3 unit usaha. batik termasuk ke dalam golongan industri aneka, yang terdiri dari tenun ATBM, sablon, batik, bordir, pakaian jadi, tas, dompet, dan sebagainya, dimana pada tahun 1999, usaha batik yang tergolong usaha kecil sebesar 608 unit usaha, sedangkan usaha skala menengah sebesar 4 unit usaha. Perkembangan jumlah industri aneka di Pekalongan menurut klasifikasinya pada tahun 20012003 diperlihatkan pada tabel 4.12.
Tabel 4.12 Jumlah Industri Aneka di Kota Pekalongan
I
n
dus
tri
Skala Besar Skala Menengah Skala Kecil
2002
2001
2003
3
3
3
29
33
32
t5
t.7 t9
r.706
Sumber : BPS Kota Pekalongan Tahun
t.7 2OO3
Berdasarkan teknik pembuatannya, jenis produk yang dihasilkan oleh klaster batik di Pekalongan dapat dibedakan menjadi batik tradisional dan produk-produk tekstil bermotifkan batik. Produk-produk batik tradisional antara 38
lain batik cap, tulis, dan rewoven. Produl(-produk ini merupakan kerajinan yang memiliki nilai tambah tersendiri karena proses pembuatannya memakan waktu yang cukup lama, membutuhkan keahlian khusus, dan dibuat oleh tangan (hand-made). Produk ini harganya relatif mahalserta memilikisegmen pasar tersendiri karena sifat produknya yang ekslusif. Disamping memproduksi kain batik, industri batik tradisional skala menengah-besar yang memiliki usaha konveksi menghasilkan pula produk-produk lanjutan berupa pakaian, seprei, selendang, dan beberapa kerajinan khas batik. Rata-rata produksi batik cap atau tulis dalam klaster mencapai 125.47O kodi per tahun. Produkproduk tekstil bermotif batik dibuat dengan menggunakan teknik sablon atau dicetak dengan mesin (printing). Seperti halnya dengan batik tardisional, produk ini dibuat dalam berbagaijenis, seperti pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya. Karena harganya relatif lebih murah, produk jenis ini mampu diproduksi dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang raltif lebih singkat. Produk jenis ini berkembang dengan pesat dan diproduksi oleh sebagian besar usaha kecil dan pabrik-pabrik tekstil di Kota Pekalongan. Dengan teknik sablon, setiap usaha kecil dapat memproduksi batik sekitar 200-400 kodi per bulan. Bahan baku bagi kerajinan batik antara lain berbagaijenis kain (sutra, mori, katun, rayon, dan lain-lain), serta obat dan pewarna pakaian sebagai bahan dasar. Batik tulis dan batik cap memerlukan malam/lilin, sedang batik sablon dan jumputan cukup memerlukan pewarna pakaian. Bahan baku kain dapat diperoleh dari berbagai toko dan agen yang ada di Kota Pekalongan dan diproduksi oleh pabrik-pabrik tekstil di sekitar kota pekalongan. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada industri batik di Pekalongan pada tahun 2002 sebesar 5.652 jiwa. Tenaga kerja yang bekerja pada industri perbatikan pada umumnya bukan pekerja tetap. lumlah pekerja yang digunakan sangat tergantung darijumlah pesanan. Hal ini tidak terjadi pada usaha berskala kecil, namun juga hingga menengah. Pada skala kecil, ratarata setiap unit usaha menggunakan 7-10 orang tenaga kerja yang dibayar sekitar Rp 25.000,- hingga Rp 30.000,- p€r hari. Tenaga kerja tersebut berasal dari daerah sekitar, baik berstatus keluarga maupun tetangga. Kualifikasi tingkat pendidikan bagi tenaga kerja tidak terlalu diperlukan bagi sebagian industri perbatikan, terutama usaha kecil. Banyak diantara mereka hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Walaupun
begitu, pada tingkat manajerial di industri menengah, terdapat pula lulusan sekolah tinggi. Yang sangat diperlukan dalam membuat batik adalah keahlian dan pengalaman, terutama pada batik tulis yang memerlukan keahlian dan ketelatenan dalam pembuatannya, sehingga tidak jarang pekerja di usaha ini mempunyai beragam usia.
Alat yang diperlukan dalam pembuatan batik tergantung pada jenis batik yang akan dibuat. Pembuatan batik tulis cukup memerlukan canting dengan berbagai ukuran, begitu pula dengan batik cap yang memerlukan cap dengan berbagai motif yang terbuat dari kayu atau tembaga dan sablon pada batik sablon. Sedang batik jumputan tidak memerlukan alat khusus, namun hanya memerlukan keterampiian dalam pencelupan warna. peralatan lain yang diperlukan adalah wadah yang diperlukan dalam proses campuran 39
lilin, pencelupan warna dan pembilasan. Berbagai macam alat pembatikan berikut dengan berbagai macam cap dapat dilihat pada gambar 4.14. Gambar 4.14 Alat Pembatik
Proses membatik tergantung pada jenis batik yang akan dibuat, namun secara garis besar pembuatan batik terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1
Tahap persiapan. Tahap ini dilakukan sebelum proses pembatikan dimulai. Diawali dengan pemeriksaan kain, apakah kain tersebut terdapat kerusakan atau tidak, dilanjutkan dengan perendaman kain agar kain tersebut menjadi lembut, dan terakhir di cuci bersih.
2
Tahap pembatikan. Pada tahap ini, kain yang telah bersih mulai dibatik
menggunakan malam/lilin sesuai dengan motif yang dikehendaki atau disablon atau dijumput. Selanjutnya kain yang telah diberi malam/lilin di beri warna dan dilorot (dibersihkan menggunakan air panas). Proses ini bisa dilakukan berulang-ulang, tergantung darijumlah warna yang dikehendaki. Semakin banyak warna yang diinginkan, maka proses ini semakin panjang.
3
40
Tahap akhir. Tahap ini meliputi pembilasan akhir untuk mencerahkan warna dan motif. Setelah itu, kain batik dikeringkan di bawah sinar matahari dan telah siap untuk dipasarkan atau dilanjutkan ke proses di industri lanjutan.
BAB V ANALISIS KLASTER Keunggulan kompetitif suatu kawasan atau daya saing kawasan dapat didekati dengan pendekatan klaster dan jejaring. Klaster adalah konsentrasi dari beberapa perusahaan/industri pada kawasan tertentu di wilayah yang sama pada sektor atau produk tertentu yang sama atau yang saling melengkapi. Tujuan pengembangan klasteradalah efisiensiyang dicapai melalui konsentrasi perusahaan/industri atau pengklasteran industri kecil dan menengah. Klaster berperan besar dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif atau daya saing wilayah. Keunggulan kompetitif suatu wilayah didasarkan atas kemampuan dalam mengakomodasi permintaan konsumen, yaitu dalam menyediakan produk yang memiliki kualitas desain, kecepatan inovasi dan kecepatan respon terhadap permintaan. Melalui klaster, maka dengan posisiyang lebih kuat, dan efisien, pemenuhan permintaan konsumen (pasar) dapat lebih mudah tercapai, demikian keunggulan kompetitif pun dapat dicapai. Dengan pendekatan klaster dan konsep efisiensinya, maka faktor-faktor yang akan berkembang adalah munculnya asosiasi sektor tertentu yang kuat; tenaga kerja dengan keahlian tertentu; ada dan berkembangnya penyedia bahan baku dan komponen-komponen sarana prasarana mesin, 47
agen-agen penjual perantara ke pasarglobal, serta berkembangnya pelayanan yang terspesialisasi di bidang teknis dan keuangan. Manfaat yang diperoleh dari efisiensi yang dicapai melalui klaster adalah
1. 2.
Terciptanya spesialisasi produk di suatu kawasan, Berkembangnya kerjasama dan jaringan kerjasama yang kuat antar IKM dan pelaku ekonomi lokal dalam wilayah untuk belajar bersama, mempercepat produksi lokal dan peningkatan kemampuan inovasi;
3.
Dapat dibentuknya kegiatan bersama untuk memecahkan masalahmasalah IKM, termasuk kendala-kendala dalam pemasaran;
4. 5.
Kemudahan dalam memperoleh input, kecepatan dalam berinovasi,
Kemudahan dalam menarik penjual dan pembeli dalam rangka memenangkan pasar,
6.
Kemudahan dalam promosi dan pemasaran dalam rangka pencarian DASAT
7
.
Kebijakan pemerintah dapat lebih efektif dan optimal bila bekerjasama dengan IKM yang berkelomPok. Bagian ini akan membahas kondisi internaldan eksternal ketiga industri
kasus dengan pendekatan klaster. Pembahasan mengenai kondisi internal dilakuklan untuk menjelaskan sejauh mana faktor-faktor penentu kekuatan
klaster bekerja di dalam industri studi kasus. Faktor-faktor penentu
pengembangan klaster tersebut adalah (i) spesiatisasi, (ii) kapasitas penelitian dan pengembangan, (iii) pengetahuan dan keterampilan, 1iv) pengembangan sumber daya manusia, (v) jaringan kerjasama dan modal sosial, (vi) jiwa kewirausahaan, serta (vii) kepemimpinan dan visi bersama. Sedangkan pembahasan mengenai kondisi eksternal akan menjelaskan mengenai kondisi pasarserta iklim usaha yang mempengaruhi kinerja klaster.
5.1 Industri Rotan di Kabupaten Cirebon 5.1.1 a.
Kondisi Internal
Spesialisasi
Spesialisasi bagi klaster diperlukan untuk penciptaan efisiensi serta mempunyai ciri khas dibandingkan dengan klaster lain. Pada lingkup industri, industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai spesialisasi, yaitu industri kerajinan dan meubel rotan. Sebaliknya jika ditinjau dari spesialisasi produk, industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mempunyai produk khusus rotan yang menjadi ciri khas. Namun jika ditinjau lebih jauh, industri rotan ini 42
mempunyai kecenderungan akan terbentuknya spesialisasi produk, yaitu meubel rotan bergaya Eropa. Hal ini bisa dilihat darijenis produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel rotan bergaya Eropa yang banyak dipesan oleh pemesan di luar negeri. Oleh karena itu, pada masa mendatang, pembentukan spesialisasi produk tidak banyak mengalami hambatan karena produk meubel bergaya Eropa mempunyai pasaryang jelas dan cukup baik, yaitu internasional. Tenaga kerja yang ada juga telah terlatih dalam membuat produk jenis tersebut.
b.
Kapasitas R&D dan Inovasi
Industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas dalam menciptakan temuan-temuan baru. Inovasi yang ada baru pada tahap desain produk. Itu pun hanya berkembang pada produk yang di pasarkan ke luar negeri. Tingginya ketergantungan akan desain produk dari luar negeri menyebabkan inovasi desain yang dilakukan oleh industri rotan itu sendiri menjadi terbatas. Dari hasil pengamatan di lapangan, institusi yang membantu kegiatan R&D industri rotan hanya ada satu, yaitu DDO yang berdiri sejak tahun 2002 atas prakarsa JICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional dan Matsusitha Gobel, yang memberikan bantuan bagi pengusaha rotan masih sebatas pengembangan desain meubel. Akan halnya penelitian dan pengembangan pada teknologi dan proses produksi, belum ada institusi maupun personal yang membantu. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan dan penciptaan inovasi berikut dengan institusi pendukung, masih sangat terbatas. Padahal guna penciptaan suatu klaster, R&D dan inovasi sangoi diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen, penciptaan efisiensi produksi melalui inovasi mesin-mesin produksi yang hemat energi, perluasan pasar rnelalui penciptaan produk baru, serta berdaya saing karena menjadi yang terdepan. Dengan adanya keterbatasan tersebut, industri rotan di Kabupaten Cirebon menjadi sulit berkembang menjadi suatu klaster yang berhasil dan berdaya saing.
c.
Tingkat Pengetahuan dan Keahlian Pengetahuan dan ketrampilan yang ada dalam klaster dapat dilihat melalui kesesuaian tingkat pengetahuan dan keterampilan yang ada untuk memenuhi kebutuhan klaster. Menurut Bertini (1994) untuk menciptakan sistem industri lokalyang berhasil, tenaga kerja lokal harus memiliki spesialisasi yang tinggi dalam penggunaan teknologi serta memiliki pemahaman yang baik terhadap kebutuhan konsumen. Berdasarkan pengamatan di lapangan dengan responden di industri rotan, tenaga kerja yang ada memilikispesialisasi keahlian yang tinggi dalam bidang produksi. Semua spesifikasi produk termasuk desain meubel dan anyaman yang diminta oleh pemesan, dapat terpenuhi. Namun di sisi lain, tenaga kerja tersebut mempunyai pengetahuan yang terbatas terhadap manajemen usaha, termasuk pembukuan dan manajemen ketenagakerjaan, serta pemasaran. Salah satu penyebab rendahnya pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja adalah keterbatasan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki. Keahlian dalam proses produksi yang dimiliki oleh tenaga kerja 43
bersumber dari turun temurun dan pengajaran dari lingkungan kerja. Saat ini belum terdapat institusi pendidikan yang memberikan pendidikan dan pelatihan khusus untuk pengembangan keahlian dalam menganyam rotan, yang tersedia hanya institusi khusus pengembangan desain meubel rotan, yaitu DDO. Sedangkan pengetahuan akan rnanajemen usaha, teknologi, dan pemasaran, dapat diperoleh dari bantuan pemerintah dan asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi pendidikan yang ada. Tabel5.1. berikut menguraikan sumbersumber pengetahuan yang dimiliki oleh inCustri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.1Sumber Pengetahuan dan keahlian Industri Rotan di Kabupaten Cirebon Pengatahuan dan Keahlian Proses produksi
Sumber
* lProses pengajaran lurun temurun Pengajaran paoa lingkungan kerja, secara formal, seperti pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh perusahaan, ataupun nonformal melalui pengajaran oleh rekan kena.
Teknologi Manajemen Usaha
Pemerintah bekerjasama dengan institusi pendidikan ti n9g i
Perusahaan bekerjasama dengan institusi pendidikan ti ngg i
Asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi bu5 Pemasaran
C;me;fitth' Asosiasi usaha BDS
Akibat yang dirasakan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pengetahuan dan keahlian tersebut bagi industri skala kecil adalah industri tersebut menjadi sulit berkembang. Sedangkan bagi industri skala besar menengah, guna memenuhi kebutuhan pengembangan usaha, dilakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta perekrutan tenaga kerja yang berpendidikan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Tidak jarang, tenaga kerja yang direkrut berasal dari luar daerah Kabupaten Cirebon, bahkan pada tingkat manajerial dan teknisi permesinan di industriskala besar, tenaga kerja tersebut berasaldari luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa, tenaga kerja di daerah Kabupaten Cirebon belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan akan pengemba ngan klaster.
d.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kualitas SDM yang baik merupakan faktor penentu keberhasilan dari klaster, sekaligus merupakan ciri dari suatu klaster yang sukses. Klaster 44
perlu berperan dalam pengembangan kualitas pendidikan dan keterampilan masyarakat di wilayah sekitarnya agar klaster memiliki sumber tenaga kefia yang berkualitas tinggi. Untuk itu, klaster harus mampu menarik minat masyarakat, terutama generasi muda berpendidikan, melalui berbagai kesempatan kerja yang ditawarkan. Tabel 5,2. berikut menggambarkan tingkat pekerjaan dan spesifikasi kebutuhan tenaga kerja yang ditawarkan oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.2 Tingkat Pekerjaan dan Kualifikasi Pendidikan yang Diperlukan Bidanq Pekerjaah P
roduks
i
Klaster Rotan cirebon
,
Pembuatan rangka -Perakitan Penyelesaian Supervisor Penqendalian mutu M
anajemen
minis tra Keua n9an
Ad H
Pemasaran L
Kual i fikas i
- P enganyaman
-P
umas eniuala
SD/SM
P
SM U/PT
si
SMU/PT n
itba nq
Industri rotan skala kecil masih sangat terbatas dalam mengembangkan kapasitas SDM. Sistem pengelolaan usaha yang masih sederhana belum menawarkan spesifikasi pekerjaan yang beragam dan juga upah yang baik. Pada industri skala kecil, tenaga kerja yang diperlukan tidak harus berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mendorong masyarakat sekitar untuk lebih mengembangkan kemampuan diri agar bisa masuk dalam industri tersebut, karena untuk masuk ke dalam industri tersebut cukup hanya bermodalkan keahlian dalam menganyam dan membuat rangka rotan. Keterbatasan modal yang dimiliki oleh industri skala keciljuga mengakibatkan industri tersebut tidak melakukan usaha pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja yang dimiliki.
Sebaliknya, pada industri skala menengah hingga besar yang telah mengelola perusahaan dengan baik, telah menawarkan beragam tingkat pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih tinggi. Untuk tingkat manajerial misalnya, diperlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan strata satu ataupun dua. Upah yang ditawarkan tentu juga lebih baik. Dengan kondisi seperti ini, memaksa masyarakat yang tertarik bekerja di industri rotan untuk mengembangkan kapasitas dirinya agar sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan struktur industri rotan yang sebagian besar (87,92o/o) adalah industri skala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mampu mengembangkan sumber daya manusia yang ada.
45
e.
Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama di dalam klaster dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu kerjasama antar perusahaan, kerjasama antara perusahaan dengan lembagalembaga pendukung, dan kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah (Stamer,2003). Kerjasama Antar Perusa haan
Kerjasama antar perusahaan rotan terjadi dalam pola subkontrak. Menurut White (1989), pola subkontrak dapat terjadi dalam dua jenis, yaitu pola subkontrak industrialdan pola sub kontrak komersial. Pola sub-kontrak industrial merupakan pembagian proses produksi dimana produk-produk yang dihasilkan oleh subkontraktor merupakan bagian atau komponen dari proses produksi perusahaan prinsipal, sementara pada pola subkontrak komersial, produk-produk yang dihasilkan oleh sub-kontraktor merupakan produk jadi yang siap dipasarkan oleh prinsipalnya (White, 1989). Berdasarkan pengamatan, kerjasama antar industri rotan skala kecil menengah dengan industri skala besar pada umumnya terjadi dalam bentuk pola sub-kontrak industrial, dimana industriskala kecil dan menengah di Cirebon menghasilkan meubel setengah jadi (rangka meubel) untuk kemudian dilakukan finishing pada industri dengan skala yang lebih besar. Kerjasama internal industri skala kecil dan menengah itu sendiri masih terbatas. Bahkan tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan harga untuk mendapatkan pesanan dari industri besar. Kerjasama antar industri rotan juga dapat dilihat dari kegiatan asosiasi usaha yang ada. Asosiasi usaha adalah refleksi dari modal sosial yang ada dalam suatu klaster yang terbentuk dari adanya kemauan untuk saling bekerja sama antara usaha-usaha yang ada dalam suatu klaster. Rosabeth Kantor (1995) menyebut modal sosial sebagai "perekat sosial" yang menentukan relasi dan kualitas hidup didalam industri. Asosiasi Industri Permeubelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) adalah asosiasi yang terkait langsung dengan industri rotan
Ditinjau dari sisi aktivitasnva, ASMINDO dapat dinilai memiliki modal sosial yang cukup baik dalam pengembangan industri di wilayahnya, sehingga
meningkatkan daya tawar ASMINDO sebagai organisasi terhadap pelakupefaku lainnya dalam klaster. Sebagaicontoh, pada tahun 2003, atas inisiatif dan pendekatan dari ASMINDO, pemerintah Kabupaten Cirebon membuat kesepakatan dengan dengan Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah untuk memperoleh rotan dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan bahan baku. Demikian pula pada Tahun 2004 tengah dilakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Gorontalo dan Palu dalam hal yang sama. Hal lni memperf ihatkan telah munculnya kepentingan bersama (common interest) diantara anggota ASMINDO yang melahirkan dukungan terhadap jalannva kegiatan organisasi. Keterlibatan usaha dalam ASMINDO juga tampaknya diangap penting oleh pengusaha Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota ASMINDO yang mengalami perkembangan yang signifikan, dari sekitar 60 urrit usaha pada tahun 2001 menjadi 157 unit usaha pada tahun 2OO4. Beberapa responden yang terlibat diASMINDO mengaku memeperoleh manfaat 46
berupa informasi pasar dan kemudahan dalam melakukan pemasaran dari keterlibatannya dala m asosiasi. Namun demikian, keanggotaan ASMINDO masih bersifat ekslusif, dimana keanggotaannya terbatas hanya para eksportir yang notabene merupakan usaha skala menengah hingqa besar. Kerjasama antara industri rotan dengan industri hulu dinilai cukup baik' Seperti yang telah dijelaskan, untuk penyediaan bahan baku, industri rotan melalui asosiasi usaha dan dibantu oleh pemerintah, telah melakukan kerjasama dengan daerah penghasil rotan. Sedangkan kerjasama dengan industri hilir, hanya sebatas dengan industri perdagangan dan industri pengangkut barang. Industri perdagangan yang memasarkan produk rotan di pasaran nasional dirasakan kurang berperan secara optimal. Di Kabupaten Cirebon belum tersedia trading house yang memamerkan dan memasarkan produk meubel dan kerajinan rotan. Outlet-outlet pasar di Kabupaten Cirebon juga masih terbatas dan belum tersedia di kota-ktoa besar. Kalaupun ada, produk yang diperdagangkan hanya berkualitas yang menengah ke bawah dengan desain yang kurang menarik. Kerjasama Antara Industri dengan Lembaga Pendukung
Kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung terjadi dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta pemenuhan modal usaha. Dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan, industri rotan bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi sebagai prakarsa program pemerintah dan lembaga bantuan pengembangan bisnis (BDS). Di Kabupaten Cirebon, belum tersedia institusi pendidikan tinggi yang memberikan fokus khusus mengenai pengembangan rotan. Institusi pendidikan tinggi yang ada baru berperan dalam hal manajemen usaha, dalam hal ini Universitas Pajajaran, Uniersitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Namun begitu terdapat DDO, institusi prakarsa IICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional (PDN) dan Matsusitha Gobelyang memberikan pendidikan dan pelatihan untuk desain meubel rotan. Terdapat pula BDS Bina Mitra Usaha yang memberikan pelayanan konsultasi, pelatihan dan pendampingan, dan kontak bisnis, serta memberikan fasilitasi dalam bidang perluasan pemasaran, akses permodala n, pengem ba nga n organisasi da n manajemen, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Karena biaya yang harus dikeluarkan oleh tiap industri setiap menggunakan jasa BDS, maka sangat banyak industri rotan, terutama skala kecil, belum melakukan kerjasama dengan BDS. Oleh karena itu, BDS yang ada belum dapat berperan maksimal dalam pengembangan industri rotan di Kabupaten Cirebon. Begitu pula dengan lembaga keuangan. Lembaga perbankan yang ada,
yaitu Bank Mandiri, BTN, BCA, Bank Danamon, dan lainnya, belum berperan banyak dalam pengembangan industri rotan. Industri yang melakukan kerjasama dengan lembaga perbankan sebagian besaradalah industri rotan skala besar menengah. Industri skala kecil banyak yang belum mampu mengakses ke perbankan karena keterbatasan informasi dan birokrasi selama proses pengajuan permohonan peminjaman. Lembaga keuangan yang banyak membantu industriskala keciladalah koperasi. Salah satunya adalah Koperasi Rukun Warga yang pelayanannya masih sebatas simpan pinjam antar anggota.
47
Keterbatasan peran lembaga ker:angan ini berakibat pada penanganan permasalahan permodalan yang banyak dialami oleh industri skala kecil dan menengah menjadi sulit teratasi. Kerjasama Antara Industri dengan Pemerintah
Selama ini, industri rotan banyak bekerjasama dengan pemerintah daerah. Perannya dalam membantu pengembangan industri rotan dinilaicukup signifikan. Diantaranya kerjasama antara ASMINDO dengan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku rotan. Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon menjadi fasilator dengan pemerintah daerah penghasil rotan. Kerjasama juga dilakukan dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, melakukan pelatihan teknis produksi (tahun 2002) dan pelatihan manajemen usaha Dalam pelatihan manajemen usaha, pemerintah bekerjasama dengan lembaga pendidikan, seperti Universitas Pajajaran, Universitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Untuk membantu pemasaran produk, Disperindag telah melaksanakan program pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran dalam negeri yang rutin diikuti diantaranya event PPE, PRJ, dan beberapa pameran lain seperti di Bandung dan Bali. Sedangkan untuk pameran luar negeri, Disperindag bekerjasama dengan pemerintah pusat dan BPEN dalam memberikan informasi dan memfasilitasi penyediaan stand dan cargo. Beberapa negara vang pernah diikuti diantaranya Dubai (tahun 2003), Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Brunei Darussalam (Maret 2OO4), dan beberapa negara di Eropa Timur. Selain melakukan pameran, Disperindag Kabupaten Cirebon juga memfasilitasi dalam kerjasama dengan atase perdagangan di luar negeri. Adapun keterkaitan cian peran institusi dan inciustri pendukung industri rotan di Kabupaten Cirebon, dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar s.1).
4B
(g
o o
o G 0)
(L
T:-l
lPl q.l
Jt 6l tcl t(El
l>l ll
l-l IDI
tst
tt ll
:a3 ,^:0) oixg o -;oox f
l
I 'c
(o
o = c
c
- lUY
i:
o:< ii,< E
E +ll olll (E
Ylll
49
Berdasarkan penja bara n- penja ba ra n d i atas, dapat d ita ri k kesi m pula n bahwa kegiatan kerjasama telah terjadi diantara stakeholderyang terkait dengan industri rotan, dengan intensitas yang berbeda-beda. Intensitas kerjasama yang paling tinggi adalah kerjasama antara industri rotan dengan pemerintah. Selanjutnya adalah kerjasama antar industrl rotan dinilai cukup intens, walaupun antar industri skala kecil dirasakan masih kurang. Sementara itu, kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung dinilai sangat kurang, terutama dengan lembaga keuangan dan industri perdagangan. Keterbatasan kerjasama ini tentu akan berdampak pada terhambatnya pengembangan klaster industri rotan di Kabupaten cirebon, khususnya dalam halpermodalan.
f.
Semangat Kewirausahaan
suatu klaster dapat dikatakan sebagai klaster yang dinamis ketika klaster tersebut berhasil mendorong perkembangan jumlah perusahaan yang ada, Perusahaan yang baru muncul adalah perusahaan yang didirikan oleh tenaga kerja yang sebelumnya pernah bekerja di perusahaan sejenis. Timbulnya jiwa wirausaha di tenaga kerja tersebut akhirnya mendorong tenaga kerja tersebut membuka perusahaan baru menjadi perusahaan komplementer atau kompetitor. Dari data yang diperoleh, jumlah industri meubel dan ker{inan rotan di Kabupaten cirebon cenderung mengalami peningkatan. Dari sekitar B5o industri di tahun 1997 berkembang menjadi 1.019 industri di tahun 2003. Penambahan ini bisa terjadi akibat proses pembelajaran yang turun temurun. Setiap anak yang berasal dari orangtua yang mempunyai usaha rotan, serta memperoleh keahlian akah hal tersebut, menjadi tertarik untuk membuka usaha baru, Begitu pula dengan tenaga kerja yang ada, ketika tenaga kerja tersebut mempunyai keahlian dan kemampuan yang cukup, tenaga kerja tersebut juga pada akhirnya membuka usaha baru. Berdasarkan haltersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai potensi terbentuknya klaster yang dinamis.
g.
Kepemimpinan dan Visi Bersama
Pemimpin industri diperlukan untuk menggalang kerjasama dan pembentukan visi bersama diantara industri-industri lain. Adanya visi bersama membuat industriyang ada menjadi kuat untuk bersaing dengan industri di daerah lain. Pembentukan visi bersama dalam industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas. Asosiasi usaha sebagai cerminan adanya kerjasama dan visi bersama, belum beranggotakan seluruh industri rotan yang ada, khususnya industri skala kecil. Bahkan di industri skala kecil tersebut terjadi persaingan harga yang justru menghambat perkembangan usaha. sementara itu, industri rotan belum mempunyai pemimpin industri yang menjadi pemersatu dan pengarah pengembangan usaha. Keterbatasan ini menyebabkan industri rotan diKabupaten Cirebon belum rnampu menciptakan klasteryang saling bersinergi antara satu sama lain. 50
5.1.2 a.
KondisiEksternal
Pasar dan Kompetitor Secara umum terdapat tiga tujrlsn pasar bagi produk mebel dan kerajinan
rotan Kabupaten Cirebon, yaitu pasar lokal, pasar antar daerah, dan pasar
ekspor. Sebagian besar mebel dan kerajinan rotan yang diproduksi oleh klaster
merupakan produk-produk yang berorientasi ekspor, antara lain Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Saat ini di Kabupaten Cirebon terdapat sekitar 157 eksportir rotan. Jika dilihat dari perkembangannya dari tahun 1g97 hingga 2003, jumlah produk yang ditujukan bagi ekspor mengalami p"nurrnan. Hal ini disebabkan oleh kondisi persaingan yang sangat ketat ierutama setelah pasar-pasar ekspor dibanjiri oleh produk-produk meubel dari negara lain seperti Cina dan Vietnam dalam hal harga dan kualitas produk. Adanya ekspor rotan mentah yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan negara Cina memperoleh bahan baku rotan dengan harga yang lebih murah. Dengan efisiensi tinggi, negara Cina bisa menghasilkan proAut yang lebih murah. Disisi lain, negara Cina kini telah membudidayakan iotan, sehingga kebutuhan rotan dengan berbagai ukuran dapat terpenuhi, dengan begitu bisa menghasilkan produk yang lebih baik dengan produk rotan dari Indonesia. Sebaliknya untuk pemasaran regional, terjadi peningkatan. Adapun persentase pemasaran produk menurut cakupan pemasarannya dapat dilihat pada gambar 5.2' di bawah ini'
Gambar 5.2 Persentase Pemasaran Produk f4enurut Cakupannya Tahun 1997-2043 100
BL0kal SAntar oaerah OEkspor
2001
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemasaran di pasar internasional adalah tidak adanya pesanan pada musim liburan di Eropa sebagai pasar utama. Kondisi ini terjadi sekitar 3 bulan setiap i:ahun, sehingga pada bulanbulan tersebut industri terpaksa untuk merumahkan sementara para pekerjanya. Sedangkan kendala dalam pemasaran di pasar dalam negeri adalah terkait dengan minat masyarakat yang kurang menghargai produk meubel rotan. Di mata banyak masyarakat, meubel rotan adalah meubel kedua setelah meubel kayu karena dinilai mempunyaidaya tahan yang kurang 51
dibandingkan dengan meubel kayu. Daya beli masyarakat dalam negerijuga sebagian besar tergolong rendah. Oieh karena itu, produk-produk yang dipasarkan di dalam negeri sebagian besar berkualiLas menengah-rendah dengan desain yanE kurang menarik. Ditinjau dari segementasi pasar/ sebagian besar segment pasar industri rotan di Kabupaten Cirebon adalah pasar luar negeri yang masyarakatnya mempunyai daya beli yang cukup tinggi. Pemesan dari luar negeri itulah yang memesan produk berikut dengan desain dan spesifikasi produk, sehingga kualitas produk menjaditerjamin. Sebaliknya pada pasardalam negeri, karena daya beli minat dan daya beli masyarakat yang kurang, maka produk yang dipasarkan berkualitas menengah-rendah dan desain yang monoton. Diversifikasi produk lebih banyak terjadi akibat permintaan pasar luar negeri. Jenis produk yang diminta memang tidak jauh seputar meubel, namun desain produk tersebut sangat bervariasi, tidak hanya terdiri dari rotan, namun juga dipadukan dengan material lainnya seperi kaca, busa, kayu, dan besi, sehingga menjadi meubel yang menarik,
b.
Iklim
Usaha
Kondisi nasional selama beberapa tahun tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi semua sektor usaha, termasuk meubel. Industri meubel mendapat ancaman terbesar justru dari dalam negeri sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun kasus pembalakanliar (illegallogging) sefta ekspor kayu ilegal membuat industri meubelterancam karena kekurangan bahan baku. Begitu pula dengan rotan yang pernah diijinkan untuk diekspcr ke luar negeri. ironisnya, baik kayu maupun rotan, banyak diekspor ke negara kompetitor Indonesia sendiri, yaitu Cina. Namun sejak tahun 2001, ekspor rotan mentah kembali dilarang. Diharapkan kebijakan ini dipatuhi oleh semua pihak dan tidak terjadi ekspor rotan secara ilegal. Berdasarkan kajian mengenai pemeringkatan daya tarik investasi di 200 kabupaten dan kota di Indonesia yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2AO3, dari 156 kabupaten yang diteliti, Kabupaten Cirebon menduduki peringkat ke-92. Semua faktor yang menarik investasi di Kabupaten Cirebon menduduki peringkat bawah. Faktor ekonomi sebagai faktor yang mempunyai peringkat terendah, yaitu peringkat 108, juga pada faktor sosial politik yang menduduki peringkat ke-96, dan faktor kelembagaan pada peringkat ke-69. Sebaliknya faktor tenaga kerja dan infrastruktur fisik mempunyai peringkat menengah, yaitu pada peringkat ke-27 dan ke-30. Menurut bebreapa responden, da lam melaku ka n usa ha seri ng kal i d itemu ka n peratu ran perpajakan dan retribusi yang cukup memberatkan.
5.1.3
Permasalahan
Berdasarkan pemba hasan kondisi i nterna I da n ekternal d iatas, industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai beberapa faktor yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai klaster. Namun di sisi lain, industri rotan juga 52
masi h meng hadapi berbagai permasa lahan. Adapu n ringkasa n permasalaha n
yang dihadapi oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada tabel 5.3. berikut.
Tabel 5.3 Permasalahan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon Pe
pes ia lis as
I
i
rmas alahan
ndustri belum mempunyai produk khusus rotan yang njadi ciri khas
- IKA;sediaa; ternuasa R&o maiin teiuJtis i
KaDasitas R&D dan inovasi
T:
:'i:
0
----
: :"" : i* :-rl i :1 1::i "' : "":*" : ::": :_-':_ *_ Tingkat pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga
Tingkat pengetahuan dan
:
erja masih terbatas dalam manajemen usaha dan {i- ffi ; -Jfi ;;;F;6-fi o u s iii - v 5ii6 - Ji6' b;| ffi -E;;t a k
kea hlia n
pemasaran
Pengembangan
s
umber daya
rngembangkan kapasitas SDM
manus ta
IiiinsJ;"[e;ai imi' o Ji'.iroba
lLembaqa pinbukung belum bekerjJljma Oenqan Uaik,
t
]sehingga perannya masih kurang dirasakan untuk
sosial
-- -lP-91-1e T.?-9-lg9l
Y
:
9
13":
iKerjasama antar pelaku industri kecil dinilai sangat
ikurang, bahkan terjadi persaiangan yang kurang sehat Semangat kewirausahaan KeDemimoinan dan visi bersama
- lVisi Pasar dan kompetitor
bersama antar pelaku usaha masih terbatas, hanya
-Pi-? "d-p-k T.p l-T. t9-'i -y:?l -a" .. * *** " .Persaiangan di tingkat internasional dalam hal harga dan
-"
kualitas
:
-
*-
,xerunsriiu; :''tnbustri rotin ir.,uu-i e"ri;p,;;6ia^ i6d;i'-'***-* sulit berk?mbang akrbat itt,m uiana vaiiq ki,Ing j
mendukung
5.2 Industri Logam di Kabupaten Tegal 5.2.1
a.
Kondisi Internal
Spesialisasi
Kunci penciptaan klaster dinamis adalah spesialisasi dari masing-masing perusahaan dalam industri. UKM dapat lebih meningkatkan penjualan dengan lebih menspesialisasikan diri kepada satu bidang saja. Dengan adanya spesialisasi maka usaha dapat mengkonsentrasikan sumberdaya dan modal kepada peningkatan kualitas dan pengembangan pemasaran suatu produk. Pada industri logam di Kabupaten Tegal, sebagian besar usaha yang merupakan usaha skala kecil memiliki produk yanE cenderung terdiversifikasi, sementara produk pada usaha skala menengah lebih terspesialisasi. Produk usaha skala kecil terdiversifikasi karena menerima berbagai tawaran atau 53
permintaan dari pasar yang berkualitas rendah sebagai akibat dari adanya persaingan harga. Sementara pada usaha skala menengah produk-produk lebih berkualitas dan terspesialisasi, misalnya pada bengkel-bengkel yang mengkhususkan usahanya pada produksi komponen mesin atau komponen otomotif. Pilihan spesialisasiatau diversifikasi bergantung kepada teknokgi dan keahlian spesifik yang dimiliki oleh usaha. Selain itu sangat tergantung pula kepada kualitas permintaan dari konsumen.
b.
Kapasitas R&D dan Inovasi
Tingkat inovasi dalam industri logam di Tegal sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beragam produk yang dihasilkan, dari mulai peralatan rumah tangga hingga mesin pertanian. Industri logam diTegalsangat kreatif dalam melakukan imitasi atau peniruan terhadap berbagai jenis produk logam. Kemampuan melakukan inovasi ini didukung oleh tingkat keahlian dan peralatan yang cukup memadai untuk memenuhi permintaan pasaryang ada. Inovasi yang tinggi saat ini telah diiringi oleh kesadaran untuk mendaftarkan HAKI produk, terutama HAKI merek. Keberadaan HAKI menciptakan iklim kompetisi yang sehat serta semakin mendorong kreatifitas dan tingkat inovasi pengusaha untuk selalu menciptakan produk-produk yang berbeda. Kapasitas penelitian dan pengembangan serta inovasi dapat dilihat melalui keberadaan lembaga-lembaga pendukung inovasi dalam industri. Untuk mendorcng inovasi di Kabupaten Tegal telah didirikan Pusat Pengembangan Inovasi dan Teknologi yang dikelola oleh Disperindagnaker. PPIT terdiri dari lembaga-lembaga pendukung bagi UKM seperti Laboratorium uji material, klinik HAKI, show roomt marker center, dan Klinik Konsultasi Bisnis (KKB). Layanan-layanan yang disediakan oleh lembaga-lembaga pendukung antara lain konsultasi bisnis, promosi dan pemasaran, konsultasi dan pendaftaran HAKI, serta layanan teknologi. PPIT dapat digolongkan menjadi lembaga penelitian dan pengembangan yang membantu industri untuk meng-upgrade
kemampuan teknologinya, melakukan inovasi, dan rnengembangkan pemasaran. Namun demikian, pada umumnya akses layanan ini masih terbatas pada usaha skala menengah, sedangkan sebagian besar usaha skala kecil belum dapat memanfaatkan layanan yang disediakan, misalnya laboratorium uji material, karena belum terlampau dibutuhkan sesuai dengan jenis dan kualitas produk yang dihasilkan.
c.
Tingkat Pengetahuan dan Keahlian
Pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat dalam industri logam diTegal secara umum diperoleh dari tiga sumber, yaitu : (1) Pengetahuan dan ketrampilan tradisional yang dilestarikan secara turun temurun oleh komunitas iokal, (2) Pengetahuan dan ketrampilan yang ditransfer dari industri besar kepada industri skala menengah dalam sistem sub-kontrak, (3) Pengetahuan dan ketrampilan yang ditransfer dari industri skala menengah kepada industri skala kecil dan rumah tangga dalam sistem sub-kontrak (4) Pengetahuan dan keterampilan yang ditransfer dari lembaga-lembaga 54
pendukung terkait seperti pemerintah, lembaga keuangan, universitas, konsultan, dan sebagainya.
Tabel5.4 SumberSumber Pengetahuan dan
Sumber
Penqetahuan dan P
roduks
i
Keahl[an M
anajemen
Pemasaran
K
omu n i!-?s
-l-o
ka I (d
iI
es
ta n-LaJl s e c a
ra
tu ru n
Pelatihan dari pemerintah Pelatihan dari lembaga pendidikan Pelatihan dari Demesan pendidikan formal Pelatihan dari oemerintah Pembinaan dari BDS Pelatihan dari lembaga keuangan Pelatihan dari lembaoa donor Pendidikan formal Pelatihan dari pemerii-ltah Pembinaan dari BDS Pendidikan formal
Sumber: kuisioner dan hasil wawancara (diolah)
Di bidang produksi, keterampilan pengecoran dan pengolahan besi bekas merupakan pengetahuan yang telah lama dimiliki dan dipelihara dari generasi ke generasi di Kabupaten Tegal. Jenis keterampilan dan pengetahuan ini banyak dimiliki oleh usaha kecil dan rumah tangga. Namun demikian, ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki masih relatif sederhana sehingga perlu ditingkatkan agar mampu mengikuti perkembangan teknologi serta mampu memenuhi tuntutan permintaan pasar yang membutuhkan kualitas dan presisi produk yang baik. Pada usaha skala menengah, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja, disamping dari sumber-sumber informal, juga berasal dari pendidikan formal, misalnya pengetahuan teknik mesin yang diperoleh dari pendidikan di STM. Kebutuhan akan tenaga-tenaga berpendidikan pada usaha skala menengah jauh lebih besar dibandingkan dengan usaha skala kecil karena penggunaan tingkatan teknologi yang lebih tinggi. Pada bidang manajemen dan pemasaran, usaha skala kecil pada umumnya belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang kuat. Pembukuan keuangan dan catatan administrasi belum dibuat secara teratur dan pemasaran pada umumnya sangat bergantung kepada industri besar sehi ng ga tidak terlampau membutuhka n keg iatan- keg iatan pemasara n yang kompleks. Pada beberapa usaha kecilyang pemasarannya tidak bergantung kepada sistem sub-kontrak, keterampilan pemasaran masih perlu ditingkatkan agar usaha dapat lebih inovatif untuk memperluas akses pasar, Pada industri skala menengah, bidang manajemen dan pemasaran telah menjadi kebutuhan penting karena proses produksi telah berjalan kompleks dan melibatkan banyak tenaga kerja. Kegiatan usaha telah terdepartementalisasi ke dalam beberapa bidang sehingga dibutuhkan pengetahuan manajemen yang terspesialisasi, seperti manajemen keuangan, administrasi, dan pemasaran.
Baik pada usaha skala kecil maupun menengah, upaya peningkatan dan keterarnpilan dalam bidang-bidang keterampilan tersebut tetah diakukan melaluialih pengetahuan dari industriyang lebih maju teknologinya maupun dari kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan lembagalembaga pendukung. Beberapa industri besar, misalnya pr. Komatsu, pr. 55
SANWA, PL KUBOTA, dsb seringkali melakukan kegiatan pelatihan kepada mitra-mitra binaan yang pada umumnya merupakan usaha skala menengah. Pemerintah dan lembaga-lebag pendukung juga sering melakukan berbagai pelatihan yang melibatkan usaha skala kecil maupun menengah, misalnya pelatihan gambarteknik, peningkatan teknologi produksi, dan pelatihan sistem
mutu. Namun demikian, upaya-upaya alih pengetahuan tersebut tidak
seluruhnya dapat diakses penuh oleh usaha-usaha yang ada, terutama usaha skala kecil yang mendominasi struktur industri loganr di Kabupaten Tegal. Alih pengetahuan dari industri-industri besar misalnya, lebih dirasakan oleh usaha skala menengah karena memiliki teknologi yang dipersyaratkan sementara usaha skala kecil masih memakaiteknologiyang sederhana. Selain itu, beberapa kegiatan pelatihan yang diberikan oleh pemerintah dan lembagalembaga pendukung lebih banyak ditujukan untuk usaha skala menengah
yang menjadi binaan industri besar dengan harapan adanya transfer pengetahuan dari usaha skala menengah kepada industri skala kecil yang menjadi subkontraktor, Namun pada prakteknya, mekanisme transfer pengetahuan tersebut, baik dalam bidang produksi maupun manajemen, tidak selalu sukses dilakukan. Disamping tidak seluruh usaha skala menengah melakukan pembinaan yang intens kepada usaha skala kecil, karakteristik usaha skala kecil dan usaha skala menengah cukup berbeda, baik dalam hal tingkat pendidikan SDM maupun teknologi yang digunakan sehingga transfer pengetahuan seringkali tidak dapat diterapkan secara optimal.
d.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Industri logam di Tegal merupakan industri yang padat karya karena tahapan produksiyang dilalui cukup banyak sehingga membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar. Berdasarkan pengamatan pada usaha-usaha responden, SDM yang diperlukan pada usaha skala kecil dan rumah tangga berkisar antara 4 - t9 orang, sedangkan industri berskala menengah dapat berjumlah hingga 60 orang. Namun demikian jumlah SDM yang dibutuhkan setiap saat bisa bertambah atau bahkan berkurang, tergantung kepada jumlah pesanan yang diterima. Potensi pengembangan kualitas SDM pada industri dapat dilihat melalui kesempatan pekerjaan-pekerjaan yang ditawarkan. Pada usaha kecil, pekerjaan-pekerjaan terfokus pada proses produksi dan tidak memilikijenjang karir manajerial yang jelas. Pekerjaan yang ada dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teknisi mesin, pekerja pada tahap produksi, serta pekerja pada tahap akhir. Pemilik usaha, selain sebagai manajer, juga bertindak sebagai teknisi mesin dan melakukan pengendalian mutu serta pemasaran. Tahapan produksi dilakukan oleh pekerja atau tukang, yang melakukan pekerjaan sepeftimemotong, menekuk, membuat lubang, dan merakit, sementara pekerja pada tahap akhir melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti finishing dan pengepakan. Satu orang pekerja dapat mengerjakan hanya beberapa atau bahkan seluruh tahap produksi. Hal inidisebabkan kesamaan peralatan atau mesin yang digunakan pada tiap tahap produksi sehingga tidak membutuhkan keterampilan yang terlampau terspesialisasi. Karena mesin yang digunakan mudah dioperaslkan dan relatif sederhana, pekerjaan-pekerjaan pada usaha skala kecil dan rumah tangga tidak terlampau menuntut kualifikasi dan 56
pendidikan formalyang tinggi. Selain itu pelatihan dan pembinaan SDM yang dilakukan secara internal pun tidak pernah dilakukan karena belum menjadi suatu kebutuhan penting bagi usaha. Kondisi initidak mendorong peningkatan keahlian tenaga kerja dan kurang memotivasi masyarakat untuk bekerja pada usaha skala kecil. Kesempatan pekerjaan pada usaha skala menengah lebih luas, dimana disamping membuka kesempatan bagi masyarakat berpendidikan rendah sebagai buruh, juga membuka kesempatan pekerjaan bagi masyarakat berpendidikan tinggi seperti Akademi dan Perguruan Tinggi di level manajerial untuk mengelola keuangan, administrasi, litbang, pengendalian mutu, pemasaran, dan sebagainya sebagai konsekuensi dari organisasi usaha yang lebih kompleks. Bahkan beberapa pekerjaan teknis, seperti perawatan mesin, komputer, serta menggambar teknik, membutuhkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena teknologiyang digunakan lebih modern dibandingkan dengan mesin-mesin yang digunakan pada usaha kecil. Selain itu usaha skala menengah sering memperoleh pelatihan baik dari pemerintah maupun dari ndustri-i nd ustri besar sehi ngga mampu mendorong pening katan keteram pi la n tenaga kerja. Kondisi ini mampu mmotivasidan mendorong masyarakat untuk bekerja pada usaha skala menengah dalam jangka panjang. i
Dengan struktur industri logam yang sebagian besar didominasi berskala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa industri logam di Kabupaten Tegal belum mampu mendorong masyarakat untuk mengembangkan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
e.
Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Jaringan kerjasama dalam klaster dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu jaringan kerjasama antara usaha, jaringan kerjasama antara usaha dengan pemerintah, jaringan kerjasama antara usaha dengan lembagalembaga pendukung, serta jaringan kerjasama antara usaha dengan industriindustri pendukung. Jaringan kerjasama dapat menggambarkan tingkat modal sosial dan kepercayaan yang eksis dalam industri. Secara ringkas, bentuk lembaga-lembaga yang ada sefta bentuk kerjasama yang terjadi dalam industri logam diTegal dapat dilihat pada tabel 5,5.
57
Tabel5.5 Hubungan dan Bentuk Kerjasama dalarn rndustriLogam di Kabupaten Tegal S
ta ke hol
der
Hubungan Kerjasama
Bentuk Kerjasama Kerta3?1 ITrd-FTO0IIRTTTa IT-
Jsaha skala kecil dan me ne nga n
pemasaran (subkontrak industrial dan komersial),
Kerlasama antar usaha
a
Dinas Perindagnaker
Dinas Koperasi dan UKM
Kerjasama antarusaha dengan pe me rintah Kerjasama antar usaha dengan peme rinta h
Kerjasama antar usaha dengan
BBLM
pe me
rinta
h
Kerjasama antara usaha dengan
BP PT
pe me
Politeknik Purbay3
;";;"";.; -
-
rinta
h
reiriia'J illh; A;;s;;* " r.?,9-s"1t il"9.,k
y.l_9..-...-_.
._*.-***
Kerjasama usaha dengan
PPIT
"-q"u9? ?"l9rkrns-KKB YDBA Astra
BLK l nous
tn
Dala
I ndus
tri
O
Kerjasama usaha dengan lembaga pendukung i(erjasama usaha dengan lembaga pendukung Kerjasama usaha dengan indus
tri terkait
pemasaran (pameran), dan studi banding, serta perizinan usaha Pelatihan dan Dermodalan usaha Pelatihan pelatihan
.."*
lembaga pendukung Kerjasama usaha dengan |
il
Partisipasi dalam pelatihan,
pelati
ha n
Pelatihan, layanan kredit dan modal
Penyediaan layanan R & D, promosr pasar Pelatihan, studi banding, pelayanan HA KI, konsultasi usaha, pemasaran, kontak bisnis, pameran M
agang
Penyediaan bahan baku emasaran, penyediaan bahan baku, uang muka, desain, penjaminan mutu, pendidikan dan latihan P
Pe
lomotif dan
rmes ina n
Kerjasama usaha dengan
industri terkait
Kerjasama Antar Usaha
Bentuk kerjasama antar usaha dalam industri dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Dalam industri logam di Tegal kerjasama terjadi dalam bentuk sistem subkontrak dan asosiasi usaha. Sistem subkongtrak merupakan kerjasama yang bersifat pertikal. Menurut white (1989), sistem subkontrak dapat terjadi dalam dua jenis, yaitu pola subkontrak industrial dan pola sub kontrak komersial. sistem sub-kontrak industrial merupakan pembagian proses produksi dimana produk-produk yang dihasilkan oleh subkontraktor merupakan bagian atau komponen dari proses produksi perusahaan prinsipal, sementara pada sistem subkontrak komersial, produk-produk yang dihasilkan oleh subkontraktor merupakan produk jadi yang siap ciipasarkan oleh pemesan. Kerjasama horizontal antar usaha dapat dilihat dalam aktivitas asosiasi usaha yang ada. Aktivitas asosiasi usaha dapat mencerminkan modal sosial yang dimiliki oleh industri. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Rosabeth Kantor ( 1995) menyebut modal sosial sebagai "perekat 5B
sosial" yang menentukan relasi dan kualitas hidup didalam industri. Kualitas kerjasama antar usaha dalam industri logam di Tegal dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Kerjasama antar Usaha pada Industri Logam di Tegal i'
lenis Kedasama antar
>lf,a!
isaha
<ebasbma
,
Sistem Sub kontrak Industrial Sistem Sub Kontrak Komers
ia I
Asosiasi Usaha
V
ertikal
V
ertikal
*uu"tu"'"'''
','
Horizontal
Bentuk kerjaaama P embagian proses produksi antara usaha skala besar, menengah, dan kecil, Pelimpahan proses produksi dan kerjasama pemasaran Pembagian informasi pasar, layanan bersama, tindakan bersama, dsb.
kerjasama Kuat
KUat
Lemah
Sumber : kuisioner dan hasil wawancara (diolah)
Kerjasama vertikal antar usaha di Tegal terjadi melalui kedua sistem subkontrak, baik sistem sub-kontrak komerisal (pemasaran) maupun industrial (produksi). Sistem sub-kontrak industrial dapat diamati pada usaha yang menghasilkan komponen untuk kemudian dirakit pada usaha yang lebih besar yaitu industri otomotif dan permesinan, atau penggunaan jasa pelapisan logam (electro plating) dari usaha kecil lain. Sistem sub-kontrak komersial dapat dilihat pada usaha yang memberikan modal dan bahan baku kepada usaha lain untuk menghasilkan produk yang selanjutnya langsung dijualoleh pemberi modal ke pasaran, atau usaha yang memperoleh tambahan produk untuk memenuhi order untuk kemudian dijual kepada pemesan. intensitas keflasama dengan sistem sub kontrak ini sangat kuat dan merupakan praktek yang telah biasa dilakukan oleh usaha-usaha yang ada di dalam industri, meskiterdapat beberapa usaha yang berproduksi secara mandiri.
Pola sub kontrak pada industri logam terjadi karena adanya pengetahuan, ketrampilan, atau peralatan yang tidak dirniliki oleh suatu usaha untuk menghasilkan suatu produk sehingga menggunakan jasa usaha lain untuk melakukan produksi. Pola sub-kontrak, baik industrial maupun komersial, bersifat saling menguntungkan, dimana usaha yang menjadi pemesan dapat memperoleh barang yang diinginkan tanpa harus berinvestasi pengetahuan, ketrampilan, dan teknologisehingga menekan biaya yang harus dikeluarkan. Usaha yang menjadi sub-kontraktor memperoleh keu ntungan dengan memeproleh uang muka dan bahan baku dari pemesan serta terhindar dari resiko ketidakpastian pasar. Meskidemikian, pola sub kontrak juga memiliki kelemahan. Beberapa responden mengaku kurang puas terhadap harga yang ditetapkan oleh pemesan, namun kondisi tersebut harus cjiterima karena tidak adanya pilihan pasar lain. Selain itu, terjadi fenomenan persaingan harga antara usaha-usaha kecil untuk memperoleh pesanan dari pemesan
sehingga menurunkan kualitas produk yang dihasilkan. Hal ini tidak
menguntungkan bagi keberlangusngan usaha skala kecil karena kualitas produk
yang buruk akan menurunkan kepercayaan pemesan dan pada akhirnya mematikan usaha-usaha skala kecil vang ada.
59
Salah satu penyebab dari munculnya persaingan harga yang kurang sehat dan lemahnya daya tawar usaha kecil dan menengah dalam pola subkontrak adalah belum adanya suatu kerjasama horizontal dalam bentul< asosiasi usaha yang kuat dalam industri. Aktivitas asosiasi usaha dalam suatu industri dapat mencerminkan modal sosial yang ad.a dalam industri. Keberadaan asosiasi usaha dapat mendorong pembagian informasi, tidnakan bersama, pembagian pelayanan, dan sebagainya. ASPEP (Asosiasi Pengerjaan Logam dan Permesinan), asosiasi profesional bagi perigusaha logam, sebenarnya telah berdiri sejak tahun 2002 di Kabupaten tegal dan diketuai oleh pengusaha logam skala menengah yang telah cukup sukses. Namun demikian aktivitasnya hingga saat ini belum optimal karena minimnya partisipasi dari pengusaha logam cii Tegal, dimana hingga tahun 2003 jumlah anggotanya hanya mencapai 10 unit usaha. Minimnya partisipasi pengusaha pada umumnya terjadi karena kurangnya kesadaran akan manfaat asosiasi terhadap peningkatan kinerja usaha. Sebagian besar pengusaha logam di Tegal lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pesanan masing-masing daripada menyisihkan waktu untuk membina relasi dengan usaha-usaha lairrnya. Kerugian yang ditimbulkan, selain menciptakan iklim yang kurang sehat bagi keberlangsungan usaha, upaya menciptakan perluasan pasar dan efisiensi produksi melaluitindakan kolektif, menjadi sulit dilakukan. Tidak aktifnya asosiasi usaha menunjukkan modal sosial yang masih rendah dalam industri logam di Kabupaten Tegal.
Kerjasama Antar Usaha dengan Pemerintah Kerjasama antara usaha pemerintah diwujudkan dalam berbagai hal, antara lain melalui regulasi, bantuan penguatan modal, bantuan pelatihan, perizinan, serta fasilitasi promosi dan pameran. Dalam bidang pengembangan industri kecildan menengah (IKM), Pemerintah Daerah melaluiDisperindagnaker memiliki beberapa kebijakan, antara lain :
. . . . .
Peningkatan pola kemitraan yang berbasis industri manufaktur Pengembangan kualitas produk IKM Perlindungan usaha IKM Pengembangan struktur industri Peningkatan sistem transformasi dan pola jaringan
Di bidang penguatan modal, pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi dan UKM membantu pembiayaan dan pemberian kredit bagi UKM melalui KSP/USP. Pembiayaan berbentuk bantuan kredit modal diberikan kepada kelompok usaha yang terdiri dari 12 iKM. Satu kelompok usaha diberikan bantuan kredit modal sebesar Rp. 200 juta yang harus dilunasi dalam jangka waktu 2 tahun dengan tingkat bunga 6 persen tiap tahunnya. Bantuan pembiayaan inicukup membantu pembiayaan produksi iKM.
Di bidang peningkatan kualitas SDM, pemerintah Kabupaten Tegal secara aktif mengadakan berbagai program pendidikan dan pelatihan bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait, seperti Badan Pengkajian Penerapan 60
pelatihan Teknologi dan Balai Besar Logam dan Mesin Depperindag' Beberapa 5'7' pada tabel dilihat dapat pemerintah inisiatif yang diJelenggarakan atas
Tabel 5.7 Beberapa Program Pelatihan yang Diselenggarakan Pemerintah D i s oe ri
Pel tihan
D is
CNC
Tahun
Lembaga terkait
Nama Pelatihan knolooi nroduksi PFlatihan dambar teknik
D is pe ri
001
r
ndaqna ke ndagna ker
2002
perinda gnakerr Bq!-Y 2003
Oiiperindagnaker, PPlatihan ISO 9001 seri 2001 D is pe ri nda gna ke r, Pelatihan uji Komposisi Sumber : Kuisioner dan hasil wawancara (diolah)
BP PT
2004 2004
Dalam bidang pemasaran, Disperindagnaker menyelenggarakan berbagai kegiatan pamerzln dan promosi pasar produk-produk UKM logam dan mendorong IK-M untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pameran di luar daerah' Beberapa responden menyatakan ba hwa prog ra m-progra m pemerinta h ya ng d ituj u kan kepada UKM, terutama penyelenggaraan pameran dan promosi kurang mencapai tujuan yang diharapkan. Hal inidisebabkan pameran-pameran tidak dikelola secara profesional dan kurang memiliki dampak positif bagi pengusaha berupa order atau pesanan. Bahkan banyak yang memiliki persepsi bahwa penyelenggaraan pameran hanya sekedar formalitas belaka. Hal ini menunjukliJn penyelenggaran pameran oleh belum mampu memberikan manfaat bagi perluasan akses Pasar usaha. Pemerintah juga memfasilitasi penyelenggaran forum yang mampu menjembatani komunikasiantara usah adengan industri hulu dan hili; misalnya melilui penyelenggaraan Forum Peningkatan Kerja sama IKM Komponen dan Perusahaan Perakitan' Kerjasama dengan Lembaga-Lembaga Pendukung
Kerjasama antara usaha dengan lembaga pendukung terdiri dari kerjasama antara usaha dengan lembaga pendidikan dan latihan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga BDS, serta lembaga intermediasi keuangan. Lembaga pendukung yang bergerak di bidang diklat adalah Politeknik Purbaya dan BLK. Politeknik Purbaya merupakan lembaga swasta yang mengkhususkan diri dalam bidang perlogaman dan didukung oleh 13 tenaga penCIOit dan pelatih yang cukup memadai' Komposisi tenaga pelatih saat ini terdiri dari 70 persen sarjana 51 dan 30 persen sarjana S-2. Melalui kerjasama dengan pemerintah antara lain Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan BppT, sejak tahun 2002 Politeknik Purbaya secara rutin telah terlibat dalam penyediian tenaga-tenaga pelatih dalam berbagai kegiatan pendidikan pelatihan bagi pengembangan industri logam di Tegal' Selain dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, Politeknik juga melakukan bimbingan dan monitoring pada IKM dalam menerapkan hasilpelatihan didalam kegiatan perusahaan sehari-hari. Secara Llmum/ Politeknik Purbaya sudah cukup berperan dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM, namun
ot
demikian layanannya masih lebih banyak dinianfaatkan oleh usaha skala menengah dibandingkan usaha skala kecil dna rumah tangga. Sementara UPT BLK merupakan lembaga yang dikelola oleh Diseperindagnaker Kabupaten Tegal untuk menyiapkan calon tenaga kerja industri melalui kegiatan pelatihan
dan magang, Fasilitas pelatihan yang disediakan BLK cukup beragam, antara lain pelatihan las, bubut, pandai besi, pertukangan, dan perbengkalan. BLK juga menyelenggarakan kursus-kursus di sekolah-sekolah tingkat menengah (STM dan SMU). Output dari BLK biasanya digunakan oleh industri skala menengah di Kabupaten Tegal. Lembaga pendukung yang membantu industri meng-upgnde kemampuan teknologinya dan melakukan inovasiantara lain PPITyang memiliki fasilitas pelayanan HAKI dan laboratorium uji rnaterial. Meski teiah cukup berperan, pada umumnya akses layanan HAKI dan laboratorium ujr material ini lebih banyak dimanfaatkan oleh usaha skala menengah. Selain klinik HAKI dan laboratorium uji material, PPITjuga meneydikan layanan pemasaran melalui Klinik Konsultasi BisnisYayasan Dharma BhaktiAstra (KKB-YDBA dan market center. KKB merupakan BDS yang melakukan berbagai asistensi kepada pengusaha dalam rangka peningkatan kemampuan teknik, manajemen maupun promosi pasar produk. Kegiatan KKB meliputi seminar, pelatihan, magang, konsultasi bisnis, dan temu pasar. Menurut beberapa responden, KKB telah cukup berperan dalam melakukan pembinaan kepada para pengusaha UKM terutama dalam hal konsultasi usaha dan promosi pasar.
Lembaga pendukung yang banyak berperan dalam memberikan fasilitas kredit dan bantuan permodalan kepada UKM logam menurut para responden adalah bank swasta dan bank pemerintah. Jumlah lembaga perbankan yang terdapat di wilayah klaster logam di Tegal cukup memadai, yaitu berjumlah 11 buah bank dan 37 BPR. Beberapa bank pemerintah dan Swasta yang telah secara aktif nremberikan pelayanan kredit antara lain BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank Exim, dan Bank Niaga. Kredit yang diberikan pada umumnya memiliki bunga berkisarantara 14-16 persen dengan jangka pengembalian 1 tahun. Pembiayaan dari perbankan sangat diperlukan oleh IKM di Kabupaten Tegal, terutama oleh usaha kecil dan rumah tangga. iKM di Kabupaten Tegal pada umumnya mengalami kendala untuk membiayai usahanya setiap akan memulai produksi. Hal ini terkait dengan pola subkontrak yang dilakukan oleh IKM dengan perusahaan-perusahaan besar. Pemesan seringkali menunda pembayaran pesanan dalam waktu cukup lama karena adanya proses quality control yang dapat memakan waktu hingga 2- 3 bulan sehingga IKM tidak dapat memulai produksi selanjutnya. Namun demikian, sebagian besar pengusaha masih enggan meminjam dana dari bank karena beberapa alasan, antara lain rumitnya proseduryang harus ditempuh, persyaratan yang sulit dipenuhi terutama agunan dan status hukum usaha, serta tingginya bunga kredit. Sumber pembiayaan dari perbankan sebagian besar hanya dimanfaatkan oleh segelintir usaha yang telah mapan dan telah memiliki kelengkapan adminsitratif untuk memenuhi persyaratan kredit. Faktor penyebab lainnya adalah belum adanya kelompok-kelompok usaha skala kecil yang seringkali menjadi persyaratan untuk menmperoleh layanan kredit. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa peranan lembagalembaga pendukung sudah cukup baik namun aksesnya belum merata, karena 62
lebih banyak dimanfaatkan oleh usaha skala menengah yang memiliki memiliki teknologi dan modal yang memadai, sehingga banyak usaha skala kecil dan rumah tangga yang belum dapat menikmati layanan yang diberikan. Kerjasama dengan Industri Terkait
Kerjasama dengan industri terkait meliputi kerjasama bisnis dengan industri hulu dan industri hilin Industri hulu pada klaster logam adalah industri penyedia bahan baku, nnisalnya pabrik-pabrik baja di lakarta dan Cilegon, serta industri penyedia mesin dan peralatan seperti welding machine, drilling machine lathe machine, power press, dll. Beberapa perusahaan yang menjadi pemasok mesin dan peralatan bagi klaster industri logam Tegal diantaranya PT. Bintang Mas, PT. Marubeni, dan PT Simreger. Pengadaan bahan baku dari industri besar di hulu kepada usaha-uaha skala kecil dan menengah di Kabupaten Tegal memiliki rantai yang telah terstruktur sejak lama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rustiani dan Maspiyati (1993), bengkel-bengkel pengerjaan logam pada umumnya memiliki akses yang cukup luas dengan produsen bahan baku lokal, baik toko-toko, bandar pemasok, serta pedagang lokal. Bahan baku berupa besi bekas relatif mudah untuk diperoleh dari pemasok, berupa bandar-bandar keliling atau agen yang ada di Kabupaten Tegal. Setiap pengusaha pada umumnya telah memiliki beberapa pemasok tetap serta telah menjalin hubungan bisnis yang cukup lama dengan para bandar yang banyak berada di 1-egal ataupun dari daerah lain seperti Klaten, Surabaya, dan Semarang. Bahan baku berupa plat besi atau baja sisa produksi pabrik diperoleh dari pabrik-pabrik besar penghasil besi dan baja yang terdapat di di Tangerang dan lakarta melaui para pedagang perantara. Bahan baku jenis ini diperoleh pedagang perantara dengan mengikuti pelelangan melalui sistem borongan setiap tiga bulan sekali pada pabrik-pabrlk besar. Bahan baku ini kernudian didistribusikan kepaCa bandar pemasok dan toko lokal. Pada umumnya IKM lebih menyukai pembelian besi melalui bandar pemasok daripada dari toko, karena bahan baku yang dibeli melalui bandar biasanya langsung diantar ke bengkel, sementara jika melalui toko biaya transpoftasiditanggung oleh pembeli. Disamping itu, bandar juga menerapkan sistem utang, sehingga memberi kemudahan bagi IKM yang kekurangan uang untuk pembelian bahan baku (Rustiyani dan Maspiyatim, 1ee3). Industri hilir pada klaster logam tegal adalah industri otomotif, galangan kapal, kereta api, mesin dan alat-alat berat, serta elektronika. Industriindustri n i meru pakan ndustri skala besa r yang meng hasilkan produk-produk i
i
keperluan domestik dan ekspor. Beberapa pabrik dan BUMN yang menggunakan
produk-produk komponen dariTegal diantaranya PT. PLN, PT. KAI, PT. Kubota, PT. Sanwa, P-T. Citra Lamtorogung Persada dan PT. Komatsu indonesia. Selain kerjasama pemasaran melalui pola sub-kontrak, diiakukan pula kerjasama dalam permodalan. Industri besar berkepentingan membantu biaya permodalan kepada IKM untuk mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan keterbatasan modal, karena jika pada umumnya membeli bahan baku yang murah untuk menekan biaya produksi sehingga mempengaruhi kualitas produk. 63
Kerjasama antara usaha logam dengan industriterkait selain berlangsung
melalui transaksi bisnis rutin juga berlangsung melalui forum khusus untuk memecahkan permasalahan dan mencari peluang kerjasama. Di sektor hulu, industri logam diTegal mengalami permasalahan kelangkaan beberapa jenis bahan baku, seperti logam cor, serta harga yang fluktuatif. Sementara pada sektor hilir, para pengusaha dihadapkan pada permasalahan keterbatasan akses pasar. Di sisi lain, perusahaan otomotif dan permesinan dalam negeri dihadapkan pada permasalahan ketergantungan terhadap komponen impor yang sangat besar. Untuk memecahkan permasalahan tesrebut, Pemda memfasilitasi komunikasi antara usaha dengan industri terkait melalui pelaksanaan "Forum Peningkatan Kerja sama IKM Komponen dan Perusahaan Perakitan".Dengan adanya komunikasi melalui forum, diperoleh berbagai kesepakatan yang menguntungkan. Usaha kecildan menengah memperoleh komitmen pabrik-pabrik baja untuk menjamin kontinuitas pasokan bahan baku logam cor serta memeproleh peluang peningkatan kerjasama antara UKM dengan perusahaan perakitan otomotif dan permesinan, sementara perusahaan perkaitan otomotif dan mesin memperoleh komitmen untuk memproduksi dan memasok komponen dengan presisi dan kualitas yang baik2. Berdasarkan keseluruhan uraian diatas, kerjasama antara industri logam,
industriterkait, lembaga pendukung, asosiasi usaha, serta pemerintah dapat dilihat pada gambar 5.3.
2
Suara merdeka, Produsen baja siap pasok bahan baku, 28 April 2004
64
I
ao oo
6 b.
x=t
ids
uJ
6
L
Y'L
t3_hl
3s;r
x v o o-
=o
E G o
6 6
o c 6 c
'o)
E
0)
a= 9t (oo oo| fv
0-
5E;=f o9.={o-
0)
c o
Q (oYIOJE
c 6 l
-{
o
VFi
Elrtr:t | fl
ll ; ll t
o o o
I
!o
ENE]
U'
(D
U'
G
o_
uJ
oU)
I
o
b_g
(o! .=o
65
f"
Jiwa Kewirausahaan
Tingkat inovasi yang tinggi dalam industri terkait dengan jiwa dan bakat kewirausahaan masyarakat Tegal y;:ng besar. Tumbuhnya usaha-usaha baru pada umumnya disebabkan oleh aoanya v.rrrausahawan-wirausahawan yang sernula bekerja sebegai pekerja pada usaha lain. selain itu beragamnya jenis produk yang dibuat oleh industri terutama usaha skala kecil menunjukkan bahwa para pengusaha logam di Tegal cukup jeli dalam melihat peluangpeluang pasar dan mampu menciptakan produk-produk baru yang sesuai
dengan kebutuhan pasar. Hal ini menunjukkan tingginya semangat kewirausahaan dalam industri logam di Tegal. Meski demikian semangat kewiraushaan ini belum diimbangi oleh manajemen usaha serta kerjasama yano baik diantara usaha-usaha yang ada.
g.
Kepemimpinan dan Visi Bersama Rendahnya modal sosial dan ketiadaan asosiasi usaha seagai wadah
pertukaran informasi dan komunikasi menyebabkan sulitnya untuk menumbuhkan suatu visi bersama serta brand dari industri logam. Usahausaha skala kecil dan menengah masih lebih sering bekerja sendiri-sendiri, adapun kerjasama masih terbatas pada kerjasama di bidang produksi dalam sistem sub-kontrak. Namun demikian upaya untuk menumbuhkan visi bersama telah mulai dilakukan oleh pemerintah, dengan mengintrodusir pendekatan klaster untuk mengembangkan indsutri logam di tegal sejak tahun 2002.
5.2.2. a,
KondisiEksternal
Pasai- dan
Komoetitor
Pasar bagi industri logam dan permesinan di Kabupaten Tegal adalah
industri otomotif, peralatan, dan permesinan, selain ada pula yang dijual fangusng kepada after market. Sebagai implikasi dari sistem sub-kontrak yang dijalankan oleh sebagain besar usaha, kondisi pasar pada industri skala besar akan mempengaruhi pasar bagi usaha skala menengah maupun usaha skala kecil dan rumah tangga.
industri logam dan permesinan di Kabupaten Tegal memiliki peranan strategis pada struktur perekonomian nasional terutama dalam menunjang kebutuhan peralatan dan komponen industri nasional. Peluang pasardomestik di bidang pengerjaan logam dan permesinan sebenarnya sangat besar, khususnya di bidang otomotif, konstruksi, peralatan migas, peralatan dan mesin pertanian. Kebutuhan peralatan pabrik di dalam negeri saat ini mencapai US$ 4,6 miliar. Namun demikian, industri pengerjaan logam dan permesinan nasional masih sulit memperoleh akses pasar di pasar domestik dan sulit bersaing karena teknologiyang kurang berkembang. Selain itu, produk-produk impor mendapat keringanan bea masuk karena dikategorikan sebagai barang modal. Akibatnya, penggunaan produk mesin impor mendominasi pasar dalam negeri, dimana daritotal kebutuhan peralatan pabrik dalam negeri, 45 persen 66
diantaranya diperoleh melalui impor3. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Depperindag memperlihatkan, pertumbuhan sektor industri alat angkut, mesin, dan peralatannya tahun 2003 sebesar 4,27 persen, turun dibandingkan tahun 2002 sebesar 4,79 persen. Sementara pada sektor komponen dan suku cadang otomotif, peluang pengemba ngannya sa ngat besar mengi ngat perm i ntaa n terhada p kendaraa n
bermotor semakin meningkat. Permintaan terhadap produk komponen dan suku cadang otomotif merupakan turunan dari perimintaan terhadap produk kendaraan bermotor. Industri komponen otomotif lokal akan mendapat persaingan yang tajam dari para produsen komponen ASEAN, terutama dari Cina, Thailand, Taiwan, dan Malaysia, seiring dengan adanya liberasasi perdagangan di sektor komponen. Dari segi kualitas, produk komponen otomotif dari negara-negara tetangga sudah memenuhi standar dengan harga yang bersaing, sekalipun dengan bea masuk masih lebih tinggi, yaitu antara 10 persen hingga 50 persen. Dari sisi harga, produk komponen dari negaranegara tetangga jauh lebih murah sehingga melibas produk komponen lokal. Hal ini disebabkan kendala-kendala pada industri hulu sebagai pendukung dari industri komponen di Indonesia dimana bahan baku untuk membuat komponen sebagian besar masih diimpor. Demikian pula dari sisi teknolcgi, dimana teknologiyang digunakan oleh industri komponen dalam negeri kalah bersaing dengan industri negara laina.
b.
Iklim Usaha
Berdasarkan rating yang dilakukan oleh KPPOD, kondisi iklim usaha dan daya tarik investasi Kabupaten Tegal menduduki peringkat ke-18 dari 90 Kabupaten /kota yang disurvei. Menurut beberapa responden, iklim usaha di Kabupaten Tegal belum didukung oleh kebijakan yang konsisten dari pemerintah pusat terutama terkait dengan penyediaan bahan baku dimana pemerintah pernah memberlakukan pembatasan ekspor bahan baku logam non-ferro, namun saat ini kelanjutannya terputus, Selain itu fungsi pelayanan efisien dan efektif belum dirasakan oleh sebgaian besar pengusaha IKM, dimana pada umumnya merasakan prosedur birokrasiyang terlampau rumit.
5.2.3
Permasa laha n
Berdasarkan uraian terhadap kondisi internal dan eksternal industri logam diTegal, dapat dismpulan beberapa permasalahan yang dihadapi untuk mengembangkan industri logam diTegal sebagai sebuah klaster (Tabel 5.8)
3 4
Sinar Harapan, Kebijakan Industri Nasional Kehilangan Arah,15 Desember 2004 Sinar Harapan, Kebijakan Industri Otomotif masih Meraba-Raba, 4 September 2003
A-7
Tabel 5,8 Kekuatan dan Kelemahan Pengembangan Klaster pada Industri Logam di Tegal Permasalahan
Faktor Interhal S
oes ia lis as
i
roduk yang drnasrlKan olen seoagtan uesar usana kala kecil masih beragam dan belum terspesialisasi epada satu jenis produk karena bergantung kepada
Kapasitas R&D dan inov as
i
Tingkat pengetahuan dan keahlian
Tingkat inovasi cukup tinggi dan telah didukung oleh lembaga R & D, namun akses layanan yang ditujukan bagi usaha skala kecil masih terbatas. oleh usaha skala menengah karena memiliki teknologi yang dipersyaratkan sementara pada usaha skala .1.a.
Pengembangan sumber daya manusia
mn.a
l/-
n.\€*ku.a-nn,hi-sa*.Li.r-e"
Industri belum mampu memotivasi masyarakat untuk mengembangkan tingkat pendidikan dan keterampilan untuk berkiprah di dalam industri. I Lembaga intermediasi keuangan belum berperan ibanvak dalam industri
jKerjasama dengan pemerintah telah berjalan cukup program lbaik, namun penyelenggaraan beberapa lmisalnya promosidan pameran dinilai kurang dapat laringan kerjasama dan modal sosial
]memberi manfaat optimal bagi usaha.
lAi,iiiiii*ulana
ueium m;nitu berperan sebasai
]wadah kerjasama antar usaha
pendukung telah lKeberadaan dan peran lembaga icukup berperan, namun layanannya belum dapat oleh seagian besar usaha kecil dan rumah idiakses i
ta ngga.
s€ffiei0di-RdiilfeirS -]iwa wirausaha
h:'a'n
"i;nd
ti'iiti'ei*bd'fiim-dnniffi.nbi
oleh manajemen usaha dan kerjasama yang
batk
p,iett-?rpv1?--l!-a*g:.9l*q.J-9ts-,g-qq..--
Kepemimpinan dan vis
i
bers ama
lSulitnya menciptakan agenda bersama dalam industri lakibat rendahnya kerjasama antar usaha dan tidak laktifnya asos iasi usaha. itnOustri logam dan permesinan sulit memperoleh - |akses pasar di pasar domestik karena teknologi iyang digunaan kurang berkembang.
Pasar dan komoetitor
@;rnffi;o - in"t". dalam
r
C6i
ffi;
a
s,
"do"x;, negeri karena memperoleh keringanan
!bea masuk
persaingan yang
llriAit;tit komponen menghadapi itajam dari para produsen komponen otomotif inSrnru, terutama dari Cina, Thailand, Taiwan, dan lltataysia dengan harga dan teknologi yang jauh
Iklim usaha
6B
Ilebih bersaing. Kebijaksanaan pemerintah yang tidak konsisten, seta pelayanan publik yang belum efisien dan efektif.
5.3 Industri Batik di Kota Pekalongan 5.3.1 a.
Kondisi Internal
Spesialisasi
Klaster yang berhasil adalah klaster yang dapat menciptakan efisiensi, salah satunya melalui spesialisasi. Pada lingkup industri, industri batik di Pekalongan telah terspesialisasi sebagai industri batik dan produk batik. Namun di tinjau dari lingkup produk, industri batik belum memproduksi satu jenis produk batik yang khas. Batik Pekalongan sebenarnya mempunyai ciri khas dari motif maupun warna. Namun seiring dengan perkembangan waktu, ciri khas batik Pekalongan jarang diproduksi, lebih banyak memproduksi batik sesuai dengan permintaan konsumen.
b.
Kapasitas R&D dan Inovasi
Industri batik di Kota Pekalongan banyak melakukan kegiatan inovasi berupa penciptaan motif-motif baru. Pada industri skala menengah, setiap bulan bisa memproduksiempat macam motif. Hanrpir di setiap industri, baik skala kecil maupun menengah, mempunyaidesaineryang merancang motif batik. Oleh karena itu, inovasi motif mempunyai intensitas yang sangat tinggi. Sayangnya penciptaan ini tidak diikutidengan pemberian hak paten, sehingga contek mencontek motif antar perusahaan sering terjadi. Selain penciptaaan motif, inovasijuga dilakukan dalam proses pembuatan batik. Batik rewoven yang diciptakan oleh Bapak Kadir Ridaka merupakan perpaduan antara batik dengan tenun. Bapak Kadir Rodaka merupakan personal yang sering menciptakan produk-produk baru, terutama tenun. Tingkat kesulitan pembuatan batik rer,voven sangat tinggi, prosesnya sendiri bisa mencapai satu tahun. Selain itu, saat inijuga sedang dikembangkan penggunaan bahan pewarna alami, selain ramah lingkungan juga membuat warna kain terlihat lebih sort. Akan halnya teknologi, pengembangan teknologi pada proses pembuatan batik tidak bisa dilakukan karena proses membatik identik dengan kerajinan tangan. Dariwawancara yang dilakukan kepada responden pemilik usaha, belum ada satu institusi pun yang membantu mereka dalam melakukan kegiatan pengembangan produk. Institusi R&D di Kota Pekalongan memang masih sangat terbatas. Dari hasil pengamatan, hanya terdapat Politeknik Usmanu yang memberikan fokus khusus terhadap pengembangan industri rotan. Perannya terhadap penelitian dan pengembangan industri rotan belum bisa dirasakan karena Politeknik Usmanu baru berdiritiga tahun yang lalu. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengembangan produk batik di Kota Pekalongan cukup intensif. Namun kegiatan ini banyak dikembangkan secara personal, belum ada institusi yang terlibat.
69
c,
Tingkat Pengetahuan dan Keahlian
Tingkat pengetahuan yang ada dalam klaster dapat dilihat berdasarkan tingkat pemenuhan kebutuhan klaster dari pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Berciasarkan pengamatan, tenaga kerja yang ada memilikl ttngkat keahlian yang cukup tinggi dalam proses membatik, terutama batik tulis dan cap. Jumlahnya mencukupi kebutuhan industri. Namun di sisi lain, tenaga kerja tersebut memiliki keterbatasan akan pengetahuan dan keahlian lain yang diperlukan untuk menEembangan usaha, seperti manajemen usaha termasuk pembukuan dan sistem ketenagakerjaan, serta pemasaran. Salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut adalah keterbatasan akan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki. Selama ini, keahlian dalam membatik dapat diperoleh secara turun temurun atau diperoleh selama belajar dari rekan kerja di tempat usaha. Institusi yang khusus memberikan kegiatan pendidik dan dan pelatihan
khusus batik, yaitu Politeknik Usmanu, baru tersedia di Kota Pekalongan dalam tiga tahun ini. Sedangkan pendidikan dan pelatihan manajemen usaha diperoleh melalui program yang dilaksanakan oleh'Kantor Perindustri dan Perdagangan Kota Pekalongan. Kegiatan diklat ini ditujukan kepada seluruh pelaku usaha di tiap industri, oleh karena itu belum bisa dirasakan oleh seluruh pelaku industri batik. Tabel berikut menjelaskan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki oleh industri batik di Kota Pekalongan.
Tabel 5.9 SumberSumber Pengetahuan Industri Batik di Kota Pekalongan
Pengetahuan dan Keahlian yang Diperlukan Produksl
Minljiimln usiiii
Sumber-Sumber Pengetahuan dan Keahlian
Keterampilan tradis ional P erguruan tinggi Pemerintah Pe
me rinta h
BDS
P
emasaran
Pendidikan dan pelatihan internal Perguruan tinggi P emerintah J-e-fpYl-Y.?l
tllgs-ir
Asosiasi usaha
-** - *-..--
6U5
d.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu klaster yang berhasil. Klaster seharusnya mendorong masyarakat dimana klaster itu berada untuk mengembangkan kapasitas pendidikan dan keahlian yang dimiliki, melalui kualifikasi kebutuhan tenaga kerja. Industri batik skala kecil mempunyai struktur usaha yang sederhana, tidak memilik jenjang karir dan pembagian tugas yang jelas. Industri skala kecil lebih memfokuskan pada proses produksi, Untuk itu, kualifikasi pendidikan tenaga kerja tidak menjadi pertimbangan utama, yang lebih diutamakan adalah keahlian dan pengalaman dalam membatik. Dengan kondisi seperti ini tidak mendorong masyarakat untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan yang ada, karena untuk bekerja di industri batik skala kecil cukup memiliki keahlian dalam membatik. Tingkat upah yang diberikan juga tidak menarik 70
masyarakat. Sebaliknya pada usaha skala menengah yang mempunyai manajemen usaha yang lebih baik, telah memiliki jenjang karir yang lebih tinggi. Pada industri skala menengah terdapat tingkat manajeriai untuk ditempatkan pada posisiadministrasidan keuangan. Kualifikasiyang diperlukan adalah lulusan sekolah menengah atau sekolah tinggi. Dengan tingkat upah yang lebih baik, mendorong masyarakat yang ingin bekerja di industri skala menengah untuk meningkatkan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki. Industriskala menengah juga melakukan kegiatan peningkatan tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan internal. Namun dengan struktur industri rotan yang sebagian besar berskala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa industri batik di Kota Pekalongan belum mampu mendorong masyarakat
untuk mengembangkan tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki.
e.
Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial Kerjasama dalam klaster terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu kerjasama
anta r perusahaan, kerjasama anta ra perusahaa n dengan lem baga-lembaga
pendukung, serta kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah' Kerjasa ma Antar Perusa haa n
Kerjasama antar industri batik terjadi dalam proses produksi, yaitu pola subkontrak komersialyang lebih dikenal dengan istilah'bar-baran'. Usaha
kecil diberi modal dan bahan baku untuk menghasilkan produk-produk jadi yang selanjutnya dipasarkan dalam suatu rnerek yang dimiliki oleh usaha pemberi modal. Kerjasama antara industriskaia kecildengan menengah juga terjadi dalam hal pemasaran. Industri skala kecil 'menitipkan'produknya ke industri menengah yang mempunyai outlet di luar daerah, Sedangkan kerjasama antar industri skala kecil terjadi dalam hal pembagian order, pemasaran, dan penyediaan bahan baku. Namun bentuk kerjasama initldak selalu terjadi, banyak juga industri kecil yang tidak melakukan kerjasama baik antar industri skala kecil maupun dengan industri skala menengah, bahkan tidak jarang terjadi persaiangan harga antar industri skala kecil.
Intensitas kerjasama antar industri dapat dilihat dari kegiatan asosiasi usaha yang ada. Asosiasi usaha yang terkait dengan industri batik di Kota Pekalongan diantaranya Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Paguyuban Pengusaha Batik Pekalongan, Paguyuban Pecinta Batik Pekalongan, Ikatan Pedagang Pasar Grosir Setono (iPASENO), dan lain-lain. Perannya cukup
berarti dalam hal pemasaran, penyebaran informasi, fasilitator untuk permodalan dan perijinan, serta peningkatan posisi tawar pengusaha batik dengan institusi lain. Dari hasil pengamatan, sebagian besar asosiasi tersebut beranggotakan industri skala menengah, sehingga perannya tidak banyak dirasakan oleh industri skala kecil. Beberapa kepengurusan asosiasitersebut saat inijuga tidak aktif. Berdasarkan wawancara kepada pengurus asosiasi, ketidakaktifan kepengurusan disebabkan industri-industri yang ada belum mempunyaisatu kesepahaman dan keingginan bersama. Selama ini, banyak industri yang berjalan sendiri-sendiri, terbatas dalam melakukan kerjasama. 77
Sedangkan kerjasama antara industri batik dengan industri hulu dan hilir dinilai cukup baik. Pemenuhan bahan baku tidak menghadapi kendala yang cukup berarti. Baik industri tekstil dan cap ataupun agen penjualan pewarna dan bahan baku lilin telah tersediaan di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Begitu pula dengan industri hiirr, dalarn hal ini konveksi dan pemasaran. Pada beberapa industri, industritersebut memproduksi kain batik sekaligus pakaian jadi, sehingga terjadi efisiensi dimana proses pembuatan kain batik dan konveksi menjadi satu. Akan halnya pemasaran di skala lokal dan regional, di Kota Pekalongan dan sekitarnya terdapat sentra-sentra perdagangan batik. Di sepanjang jalan Kota Pekalongan juga banyak terdapat outlet batik. Namun di kota-kota besar lain, outlet batik Pekalonqan masih terbatas dibandingkan dengan batik Solo dan Yogya. Berdasakan penjelasan di atas. dapat disimpulkan bahwa kerjasama antar industri pendukung di hulu maupun di hilirdinilaicukup baik, sebaliknya kerjasama antar industri batik dinilai masih kurang, belum tercipta kebersamaan dan keinginan bersama. Dengan kondisi seperti ini, industri batik di Kota Pekalongan sulit berkembang menjadi klaster yang berhasil, karena dalam klaster kerjasa ma sangat di perlu kan.
Kerjasama Antara Industri dengan Lembaga Pendukung
Kerjasama antara industri batik dengan lembaga pendukung terjadi pada bidang pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, permodalan usaha, dan penyebaran informasi. Dalam hal pendidikan dan pelatihan, industri batik bekerjasama dengan lembaga pendidikan. Pelajaran batik telah menjadi kurikulum lokal untuk sekolah dasar kelas lima dan enam, sehingga pengenalan dan kecintaan batik telah tertanam sejak dini. Untuk pendidikan menengah, terdapat STM 3 yang mempunyai jurusan pertekstilan, sedangkan untuk tingkat tinggi telah terdapat Politeknik Usmanu yang mempunyai jurusan teknik batik. Politeknik Usmanu merupakan lembaga pendidikan tinggi (DIII), dimana kurikulum pengajarannya telah didesain sedemikian rupa agar para lulusannya dapat menjadi wirausahawan batik baru. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kurikulum pengajaran di Politeknik Usmanu dibagi kedalam 4 jurusan, antara lain teknik batik, manajemen bisnis internasional, akuntansi dan perbankan syariah, serta administrasi kantor. Jurusan teknik batik mengajarkan berbagai desain dan produksi batik yang didasarkan atas teknikteknik batik yang ada, antara lain teknik batik tulis, cap, sablon, printing, hingga flat atau rotary. Pada jurusan manajemen bisnis internasional, para mahasiswa mempelajari ilmu-ilmu pemasaran berperspektif global untuk mengantisipasi persaingan yang sangat ketat pada pemasaran batik di pasar internasional. Jurusan akuntansi dan perbankan syariah serta administrasi kantor ditujukan agar mahasiswa kelak mampu mengelola dan usaha secara baik dari segi nranajemen, administrasi, dan keuangan. Selain itu, diajarkan pula materi mengeni teknologi pengolahan limbah agar para lulusan Politeknik Usmanu mengerti mengenai pengolahan limbah. Hal ini penting karena saat ini limbah seringkali dipermasalahkan dalam pengembangan batik Pekalongan. Untuk melakukan kegiatan pengajaran tersebut Politeknik Usmanu menggunakan beberapa tenaga pengajaryang berasal dari berbagai universitas, antara lain Universitas Pajajaran (Bandung), UGM (Yogyakarta), UII 72
(Yogyakarta), dan Undip (Semarang). Tenaga pengaiaryang digunakan pada umumnya merupakan lulusan S-1 dan S-2 dengan latar belakang ilmu pertekstilan, namLrn sangat memahami seluk-beluk batik dan manajemen bisnis.
Kegiatan kerjasama antara industri batik dengan Politeknik Usmanu tampak pada kegiatan magang mahasiswa di beberapa industri, misalnya bekerja sama dengan home industry untuk memanfaatkan keahlian para pelukis batik tradisional sebagai pengajar pada pelajaran teknik batik, juga dengan beberapa industri batik skala menengah, seperti Primatex, Fajitex, dan Ariftez, dalam hal studi banding. Secara rutin Politeknik Usmanu mengadakan studium generaldengan mendatangkan pengusaha batik yang telah sukses sebagai dosen tamu untuk memotivasidan membuka wawasan mahasiwa terhadap prospek usaha batik di masa mendatang. Para lulusan Politeknik Usmanu diharapkan dapat saling bekerja sama untuk membuka lapangan usaha baru. Namun demikian Politeknik l.lsmanu baru akan meluluskan
sekitar 100 orang wisudawan angkatan pertama pada Tahun 2004, sehingga kiprah lulusannya dalam pengembangan usaha batik di Pekalongan belum diketahui. Sementara itu, di Kota Pekalongan setidaknya terdapat tiga buah lembaga bantuan pengembangan bisnis (BDS), yaitu BDS FEDEP (Forum for Economic Development Employment Promotion) yang membina sentra kerajinan batik dan tenun ATBM Medono, BDS Usmanu yang membina senta batik jenggot, dan Pos Ekonomi Rakyat (PER) IMWI yang membina sentra perdagangan batik dan ATBM di Pasar Grosir Setono. Berdasarkan fungsinya, BDS seharusnya menjalin kerjasama dengan industri batik dalam hal pembinaan
manajemen usaha, pelatihan tenaga kerja, dan pendampingan. Namun disayangkan, dari hasil pengamatan dan wawancara kepada pelaku usaha, ketiga BDS tersebut saat ini kurang aktif, sehingga perannya terhadap pengembangan industri batik masih minimal. Sedangkan kerjasama dalam hal permodalan, industri batik bekerjasama dengan lembaga keuangan perbankan Can nonperbankan. Sulitnya birokrasi dan keterbatasan informasi menyebabkan kerjasama dengan lembaga perbankan masih terbatas, terutama industri skala kecil. Lembaga keuangan yang banyak membantu industri batik adalah lembaga keuangan, salah satunya Koperasi Simpan Pinjam Jasa (Kospin Jasa). Koperasi inididirikan pada tahun 1970-an oleh para pengusaha kecildan menengah untuk memberikan layanan keuangan kepada usaha kecil yang pada umumnya sulit memperoleh akses kredit kepada perbankan. KOSPIN IASA saat ini memiliki 21 kantor cabang yang tersebar di berbagai daerah di wilayah Pulau Jawa dan berpusat di Kota Pekalongan. Perkembangan usaha KOSPIN JASA pada kurun waktu tahun 1999-2001 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi asset, omset, jumlah simpanan, jumlah pinjaman, maupun sisa hasil usaha seperti dapat dilihat pada tabel 5.10.
73
Tabel5.1O Perkembangan Usaha KOSPIN JASA 1999. 2001
Data
Aset Omset xas/nari Simpanan/tabunga Pinjaman Sisa Hasil Usaha
1999
2000
138.906.6
197.0L7.7
i e.o: e .a:
34..463.94
117.147.0
162.37 2.9 t39 32,q.7 7S3,3 11
80.7 7 5.40
649,637
200 r 27
4.330.5
qz.ozt.iq zqa.get.l 219.805.7 97 1. ,689
Pelayanan intiyang diberikan oleh KOSPIN JASA adalah tabungan serta simpan-pinjam yang ditujukan untuk anggota koperasi maupun masyarakat. Beberapa jenis pelayanan simpanan dan tabungan yang diberikan antara lain simpanan harian, simpanan berjangka, simpanan hari koperasi, tabungan koperasi, tabungan safari, serta tabungan haji Labbika. Sedangkan jenisjenis pelayanan pinjaman yang diberikan antara lain pinjaman harian, pinjaman berjangka, pinjaman insidentil, pinjaman anuitet (angsuran tetap), dan talangan dana haji. lumlah anggota KOSPIN JASA pada tahun 2001 mencapai 3.759 unit usaha. Khusus di kota pekalongan, jumlah anggota KOSPIN IASA sesuai dengan data yang terdapat dalam direktori bisnis anggota KOPSIN JASA berjumlah 639 unit usaha, yang terdiri dari berbagaijenis usaha seperti produksi dan perdagangan batik, konveksi, toko kelontong, jasa angkutan, dan sebagainya. Sekitar 34 persen anggota koperasi merupakan pengusaha yang terkait dengan usaha batik, antara lain usaha produksi batik, usaha penjualan batik, usaha penjualan mori, usaha penjualan obat batik, dan sebagainya. Distribusi jumlah anggota KOSPIN JASA menurut jenis usaha diperlihatkan pada gambar 5.4
Gambar 5.4 DistribusiAnggota Kospin Berdasarkan Jenis Usaha
lKonfeksi
tr Tenun den Palekot tr Kelontong
I
PertEnian, perkebunan, perikanan, don pelernakan din bahan bangunon n Jesa-iasa o LEin-lain tr Besi
Akan halnya penyebaran informasi, di Kota Pekalongan terdapat Museum Batik dan trading house. Museum Batik telah berdiri sejak tahun 1997 yang berfungsi menginventarisi berbagai batik Indonesia, khususnya batik motif Pekalongan. Informasi yang bisa diberikan masih berupa sejarah perkembangan batik di Pekalongan. Begitu pula denga n trading house yang saat ini masih belum berialan secara aktif. 74
Berdasakan penjabaran-penjabaran di atas, kerjasama yang dilakukan oleh industri batik dengan lembaga pendukung, dapat dipetakan sebagai berikut
Tabel5.11 Kondisi Kerjasama Industri Batik dengan Lembaga Pendukung Lembaga Pendukung
Bidang Kerjasama
Pendidikan
dan Sekolah Dasar clan
Politeknik Usmanu
pelatihan p
envi:?i#n*mocjSl
p
"
Peranan remDaga Lemah Kuat
'-
"vJtjCiln"i"?;;;;i
BDS P
erbanka
n
Kospin Jasa Museum Batik Tradinq house
Kerjasama antara Industri dengan Pemerintah
Kerjasama antara industri batik dengan pemerintah terjadi dalam hal pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, bantuan permodalan, dan pemasaran, sebagai program pemerintah dalam mengembangkan industri yang ada di Kota Pekalongan, termasuk batik. Pemerintah daerah merupakan regulator dan fasilitator dalam pengembangan batik di Kota Pekalongan. Adapun kebijakan dan program yang terkait dengan oengembangan usaha batik, adalah :
1.
Kebijakan pemberdayaan kekuatan ekonomi masyarakat, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi, melalui program ;
. . . 2.
Pengembangan pola kemitraan Pemberdayaan koperasi dan usaha kecil menengah
Kebijakan pengembangan kemampuan pemasaran produk-produk daserah, baik pasardalam negeri (lokal, regional, dan nasional) maupun luar negeri, melalui program :
. . , 3.
Pengembangan basis-basis produksi, baik usaha kecil, menengah, mauDun besar
Fasilitasi produk-produk daerah dalam rangka perluasan jaringan pemasaran dalam dan luas negeri Penguatan institusi pendukung pasar
Pengembangan diversifikasi produk dan usaha serta sistem distribusi
Penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan investasi dan potensi
wisata, melalui program
. , 4.
:
Perluasan dan perkuatan lembaga pendukung UKMK
Fasiltiasi, pelayanan, pengkajian, dan pengembangan investasi
Kebijakan peningkatan kualitas SDM, melalui program perringkatan kualitas suamber daya manusia yang menguasai IPTEK 75
5.
Kebijakan pemberdayaan angkatan kerja agar siap memasuki lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas, melalui program :
.
Peningkatan keterampilan angkatan kerja untuk memasuki lapangan kerja
' 6.
Peningkatan dan pengembangan hubungan industrial
Kebijakan penegakan hukum, keamanna, dan ketertiban dalam masyarakat untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi proses pembangunan, melalui Program : . Penyusunan dan pembaharuan produk-produk hukum daerah
.
Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat
7. Kebijakan peningkatan kapasitas pemerintah kota
dalam
penyelenggaraan pelayanan umum dan pembangunan daerah, melalui program :
' . B.
Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan Peningkatan kualitas, akuntabilitas, dan transparansi manajemen pemerintah dan pembangunan
Kebijakan pengembangan prasarana dan sarana wilayah untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, melalui program
. . .
Pengembangan listrik Pedesaan Pengembangan sektor perhubungan
Rehabilitasi, pemeliharaan, peningkatan, dan penggantian jalan dan jembatan
. . 9.
Pengembangan pengelolaan dan pembangunan kewilayahan terPadu Penguetan dan dukungan pembangunan perkotaan dan pedesaan
Kebijakan pengembangan sistem informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, melalui program :
. .
Pengembangan sistem informasi Pengembangan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi
Beberapa instansi terkait di lingkungan pemerintah Kota Pekalongan dalam pengembangan klaster Batik antara lain :
1.
Dinas Perindusrrian dan Perdagangan Kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan usaha kecil dan menengah perbatikan di Kota Pekalongan adalah :
.
Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah dalam suasana persaingan sehat dan adil, melalui program :
(i)
Pemberdayaan dan penataan basis produksi dan distribusi, dengan kegiatan utama adalah pengembangan ekonomilokat/
produk unggulan daerah berbasis teknologi melalui pembentikan kluster industri, diantaranya kluster industri batik dan kluster industri konveksi
(ii)
Pembinaan sistem pengelolaan kluster dan bantuan peralatan perlengkapan dan sarana di setiap kluste4 termasuk kluster
industri batik dan konveksi
.
Pengembangan kebijakan industri dalam rangka meningkatkan daya saing global, antisipasi terhadap isu lingkungan, HAM, dan HaKI, melaluiprogram :
(i) (ii)
Perlindungan terhadap hasil produk Kota Pekalongan
Penanggulangan pencemaran industri kecil di Kota Pekaloangan. Terdapat tiga buah sentra batik dengan 106 unit usaha yang dibantu oleh Dinas Perindag dalam membuat
sbrdi kebyakan dan
d es i g
n
en g i n ee ri
ng
pe m ba ng u na n
instalasi limbah sentra industri.
. .
Peningkatan penguasaan, pengembangan/ dan peningkatan ilmu pengetahuan, termasuk teknologi bangsa sendiri, melalui program peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia industri kecil di Kota Pekalongan Peningkatan kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi baik dalam
produk maupun proses kegiatan untuk industri sebagai upaya transformasi keunggulan kompetitif, melalui program :
(i)
Penguatan struktur industri dalam upaya peningkatan daya saing global industri daerah
(ii)
Peningkatan peralatan dan sistem produksi dalam upaya perbaikan efisiensi usaha Hingga tahun 1999, sejumlah 49 sentra, 1.234 unit usaha, dan 6.573 tenaga kerja yang telah dibina secara komulatif oleh Dinas Perindag Kota Pekalongan dengan nilai investasi total mencapai Rp 4.723.280.000,-. Diantaranya terdapat industri batik, pakaian jadi, dan kerajinan tembaga sebagai pembuat cap batik yang tersebar di Kecamatan Pekalongan Timur, Kecamatan Pekalongan Barat, Kecamatan Pekalongan Utara, dan Kecamatan Pekalongan Selatan, sebesar 24 sentra batik, 2 sentra pakaian jadi, dan 1 senta kerajinan tembaga, dengan total729 unit usaha dan 3.986 tenaga kerja.
2.
Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Program Dinas KUKM yang terkait dengan pengembangan usaha kecil dan menengah perbatikan di Kota Pekaloangan pada tahun 2001-2003 adalah :
77
Program Modal Awal Padanan (MAP), yaitu program yang memberikan layanan finansial pada UKM di lingkungan sentra yang disalurkan melalui koperasi simpan pinjam atau usaha simpan pinjam di lingkungan sentra. Program ini satu paket dengan pemberian bantuan kepada Layanan Pengembangan Bisnis (BDS) terkait. Dana MAPyang diserahkan sebesar Rp 200juta dan BDS sebesar 50 juta. Adapun koperasi dan BDS yang menerima program ini dari tahun 2001-2003 diperlihatkan pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Koperasi dan BDS yang Menerima Program MAF Tahun 2OO1-2O03 Tahun
Koperasi
2001
KSU Kopena, sentra ATBM dan batik M
2002
too3
edono
i-'d! n J,.i e nta oati li'l i rid-il"i ",i kpas s;to;o. sintra p;rd;g;;is;; (o pi
batik dan ATBM Pasar Grosir Setono
Pengembangan pemasaran produk UKM melalui wadah trading house UKMK Kota Pekalongan. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi peristiwa bom bali dan kebakaran di Pasar Tanah Abang yang mengakibatkan omzet penjualan menurun. Pemerintah mencari pasar alternatif, yaitu iTC Cempaka Mas sebanyak 36 kios dan Pasar Sunan Giri sebanyak 106 kios
Mengikutsertakan UKM dalam event-event pameran tiap tahun, seperti Inacraft di Jakarta, Smashco di Jakarta, dan Sarjah di Abu Dhabi.
Mengikutsertakan UKM dalam misi dagang dan kontak dagang, serta studi banding Pelati han kewi rausa haan, perpajakan, da n manajemen keua ngan.
Fasilitasi permodalam pada UKM yang bersumberdaridana subsidi BBM. Pada tahun 2003 terdapat 3 buah koperasi yang mendapat bantuan sebesar Rp 100 juta
Sosialisasi HaKi pada UKM Gambar 5.5 memperlihatkan institusi dan industri yang berperan terhadap perkembangan industri batik di Kota Pekalongan.
7A
(!
c 6
:tr 'E
Ctl
o) (s
f E
d
o
tr
tr
o
t-_l lcl
o.
tsl I0)l
t -_J
T'
S
tcl tol
I
l>l ll
l.|
C
t!
T'
=o
o
o
f
c
l-{ G
o
G G
!
r!
'6
J 3
G
L o
o(5
vc,
oox o-a
rn
ln
|! ll tg
I
i:
sF& (',r; J=
s 6 G
o
=G
o
(o
6 U)
E
; sE g i;
(5
E +ti 0)lll
:
79
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi kerjasama industri batik dinilai cukup baik :
' '
Kerjasama antar industri batik dinilai masih kurang
'
Kerjasama antara industri batik dengan pemerintah dinilai cukup baik.
Kerjasama antara industri bati!< dengan lembaga pendukung dinilai cukup baik
Dengan kondisi kerjasama yang cukup baik, maka industri batik di Kota Pekalongan cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi sebuah klaster yang berhasil, karena klaster tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama antar industri dan antara industri denqan institusi lain.
f
.
Semangat Kewirausahaan
Tumbuhnya industri-industri baru dalam klaster, baik yang sejenis maupun pelengkap, menjadikan klaster tersebut dinamis. Iklim usaha mendukung terjadinya persaingan yang sehat karena tidak terjadi monopoli.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan ke sejumlah pelaku usaha, perkembangan industri batik skala menengah pada beberapa tahun belakangan ini berbeda dengan industri skala kecil. Dengan menurunnya ekspor batik Pekalongan, maka industri batik skala rnenengah dimana sebagian besar produk yang dihasilkan adalah pangsa ekspor; mengalami penurunan. Tidak jarang industriskala menengah melakukan pengurangan tenaga kerja atau bahkan tutup. sebaliknya, pada industri skala kecil yang mempunyai pasar lokal dan nasional, akibat tumbuh suburnya pasar grosir di Kota Pekalongan dan sekitarnya, mengalami peningkatan usaha. Jumlah industri skata keci I menga la mi peningkata n. Na mu n sebagian i ndustri tersebut adalah industri nonformal yang tidak tercatat secara resmi, sehingga data akurat mengenai tingkat pertumbuhan industri tidak bisa diperoleh. Salah satu penyebab tumbuhnya industri-industri baru adalah berkembangnya jiwa usaha yang dimiliki oleh tenaga kerja batik melalui proses alih keterampilan yang diperoleh secara turun temurun. setiap anak yang berasal dariorangtua yang mempunyai usaha batik, dan memperoleh keahlian yang dimiliki oleh orangtuanya, akan meneruskan usaha tersebut atau membuka usaha baru yang sejenis atau pelengkap. Namun demikian, semangat kewirausahaan yang tinggi tersebut belum didukug oleh manajemen yang profesional dan belum memilikijaringan kerjasama antar usaha yang luas, sehingga pengusaha kecil sering menghadapi kesulitan-kesulitan dalam penjualan dan pemasaran.
g.
Kepemimpinan dan Visi Bersama
Dari pengamatan dan hasilwawancara, industii batikdi Kota Pekalongan belum mempunyai visi bersama. Asosiasi usaha sebagai cerminan adanya kerjasama dan visi bersama, belum berjalan secara aktif. Banyak industri yang ada berjalan masing-masing, tidak berusaha untuk secara bersama mengembangkan industri kepada satu vusu. Bahkan tidak jarang di industri BO
skala kecil terjadi persaingan harga yang justru menghambat perkembangan usaha. Sementara itu, industri batik belum mempunyai pemimpin industri yang menjadi pemersatu dan pengarah pengembangan usaha. Dengan kondisi seperti ini, maka industribatik di Kota Pekalongan belum mampu menciptakan klaster yang saling bersinergi antara satu sama lain.
5,3.2 a.
Kondisi Eksternal
Pasar dan Kompetitor
Pasar
Cakupan pemasaran batik Pekalongan hingga ke luar negeri. Pada tingkat lokal dan nasional, pemasaran batik dilakukan dengan penyediaan outlet dan pasargrosir. Permasalahan pemasaran banyak ditemui pada usaha skala kecil dan menengah, terutama pada merelca yang memproduksi tekstil bermotif batik (batik printing) yang jumlahnya sangat banyak. Pada awalnya pemasaran batik hanya didominiasi kelompok tertentu. Barang dari perajin usaha kecil diserahkan kepada juragan, ydng kemudian barang tersebut disetor ke berbagai kota, Perajin ini hanya menerima pembayaran langsung atau dalam tempo satu-dua bulan. Oleh karena itu, perajin kecil kurang memiliki pengalaman dalam memasarkan langsung produknya. Kalaupun pernah, mereka seringkali gagal. Selain itu, selama ini perajin batik lebih rnengandalkan pasar grosir di Pasar Tanah Abang dan Pasar Klewer di Surakarta. Dua pasar grosir itu tidak efektif dalam melebarkan pasaran industri batik tradisional. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998, menyebabkan ribuan perajin batik tradisional di Pekalongan merana. Beberapa perajin akhirnya memutuskan memanfaatkan sejumlah ruangan di gedung bekas pabrik tekstil milik koperasi untuk dimanfaatkan sebagai pasar grosir, saat ini Cikenal dengan Pasar Grosir Setono. Pasar grosir tersebut muncul atas inisiatif dari masyarakat (pengrajin/pedagang). Ide membuka pasar grosir batik direalisir Juli 2000 dan mulai berkembang menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru 2001. Omzet penjualan di Pasar Grosir Setono ini mencapai 1,6 M per hari. Kesuksesan pasar grosir Setono, diikuti dengan pembangunan pasar grosir lainnya seperti Medono, Jenggot, MM, Sri Ratu Mega Centre, Pasar Grosir Pantura, dan Pasar Grosir Comal. Keberadaan pasar grosir tersebut membantu mengurangi masalah permasaran yang banyai ditemui oleh industri batik sekaligus menggerakkan kembali industri perbatikan, terutama skala kecil dan menengah, karena tidak sedikit pedagang yang membuka outlet di pasar grosir adalah juga pemilik usaha pembuatan batik. Pembukaan pasar grosir tersebut menambah omzet usaha. Pada tahun 2001, omzettransaksi batik dan konveksidi pasar grosir mencapai Rp 100 juta per hari dengan rata-rata omzet per unit sebesar Rp 500.000,-, bahkan pada event-evenf tertentu seperti hari-hari besar agama dan tahun baru, omzet yang diterima bisa mencapai dua kali lipat dari hari-hari biasa. Berdasarkan hasilwawancara kepada pedagang di pasar Grosir setono, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan usaha. pada tahun 2OO7, keuntungan per tahun mencapai Rp 100 juta, hingga pada tahun 2003 keuntungan yang dicapai bisa Rp 150 juta dalam setahun. B1
Batik Pekalongan mempunyai peluang besar bagi pasar nasional. Saat ini, batik Pekalongan telah menguasai 70-BOo/o pasar nasional. Beberapa batik terkenal dari Solo dan Yogyakarta, juga hasil produksi Pekalongan. Penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta mempunyai animo yang cukup baik terhadap batik, karena batik merupakan warisan budaya dan telah menjadi pakaian nasional. Batik digunakan tidak hanya pada event-event resmi, namun juga untuk keseharian bahkan untuk seragam kantor dan sekolah. Pada pasaran internasional, batik Pekalongan telah memasuki pangsa ekspor sejak tahun 1970-an. Perusahaan yang telah mampu memasuki pangsa
iniadalah perusahaan skala besaryang menerima orderdari agen penjualan di luar negeri, dengan atau tanpa desain motif dan spesifikasi bahan, diantaranya CV Tobal Batik dan CV Batik Martha untuk jenls komoditi garment, PT Kesmatex untuk benang katun, rayon/ dan kain batik, PT Pismatex untuk Sarung parekat, CV Shamlan Putra urrtuk sarung batik, bed sheet, kerudung, dan kan kain batik, serta PT Wiwatex untuk sarung palekat, white fabric, scarves, dan garmen. Pasar utama batik Pekalonqan di skala internasional adalah Amerika, Eropa, dan Jepang. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pekalongan, jumlah ekspor dari produk batik dan tekstil dari tahun 20012003, dapat dilihat pada tabel 5.13. Tabel 5.13 Realisasi Ekspor Batik di Kota Pekalongan Tahun 2OO12CO3 Tahun 2002
Tahun 2001 Jenis Komoditi
V
olume
N
(Ks)
,-". ....
ilai
V
1us $)
i"o-.t-:
49-r871
olume
L4 501
ilai
(Ks )
(us $)
209.53
1.763.98
I ANUN V
olume
(Ks)
ZUUJ N
ilai
(US $)
49
aii.6"6t
244.494, 4"es-.46b sc .os), 563.460
N
1 .89
6.1
I r r?'.7sg
ni zia r.idii.q6
dof,.JJ
r
12,88
3:594:63
ji-tr"?-i, 85.002,4
Tabel di atas menggambarkan bahwa ekspor batik Pekalongan pada pasar internasional cenderung mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. Pada pasaran internasional inilah, batik Pekalongan banyak menghadapi kendala. Isu-isu limbah dan pencemaran lingkungan menjadi salah satu diantaranya. Di negara-negara maju yang memang menjaditujuan ekspor batik, ada beberapa yang memblokade produk tekstil termasuk batik, untuk digunakan oleh penduduk di negara tersebut, karena menggunakan bahan-bahan yang membahayakan yang disinyalir dapat menyebabkan kanker dan mencemarkan lingkungan. Kendala lainnya adalah tingginya persaingan dengan negara produsen batik, yaitu Malaysia dan Cina, terutama terkait dengan hak cipta. Akibatnya mulai dirasakan oleh pengusaha batik Pekalongan. Apabila pengusaha hendak mengekspor batik ke Malaysia, maka ekspor yang diperbolehkan harus berbentuk kain gulungan, bukan pakaian jadi. Di Malaysia, kain gulungan tersebut diproses kembali menjadi pakaian jadi diberi merk dagang "made in Malaysia". Permasalahan lain dalam mengekspor batik adalah B2
posisi Indonesia yang jauh dari negara tujuan ekspor. Pengiriman produk ke negara tersebut bisa mencapai 30-53 hari, sangat lama dibandingkan dengan Cina yang bisa mengirimkan produk datam 19 hari. Jauhnya lokasi berimplikasi pada harga produk karena terkait dengan biaya transportasi dan handling di pelabuhan.
Segmentasi pasar batik di tingkat nasional bervariasi. Produk batik Pekalongan tidak dikhususkan untuk satu segment saja, melainkan untuk seluruh kalangan, baik umur, minat, dan daya beli masyarakat. Pada produk batik yang terbuat dari sutra dan bermotif indah dan rumit ditujukan kepada golongan ekonomi menengah atas. Sedangkan untuk golongan ekonomi menengah bawah, tersedia batik cap dan cetak dengan motif yang lebih sederhana dan bahan non sutra, seperti katun dan mori. Produk batik dibuat tidak hanya sebagai kain dan pakaian jadi, tapi juga untuk keperluan rumah tangga dan kerajinan tangan. Diversifikasi produk batik diperlukan untuk memenuhi minat masyarakat terhadap batik yang cukup baik, begitu pula terhadap produk turunannya, mulai dari seprei, wall hanging, sarung bantal, taplak meja, tas, hingga sandal, Pameran produk batik banyak digemari oleh masyarakat, terutama kalangan ekonomi atas dan wisatawan mancanegara. Para seniman batik banyak melakukan inovasi terhadap produk batik agar batik bisa bertahan sesuai dengan selera. Misalnya dengan membuat selendang dan scarf dari batik sebagai pelengkap busana ala Barat, serta membuat desain pakaian yang memadukan antara batik dengan pakaian moderen. Bahkan terakhir, motif batik dituangkan dalam piring sajian yang akan dijual di outlet-outlet di luar negeri. Kompetitor
Batik banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia dan beberapa negara lain di dunia. Di Indonesia, terdapat B daerah provinsiyang mempunyai konsentrasi usaha perbatikan. yaitu Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Bali. Batik juga mulaidikembangkan di daerah lain seperti Papua dan Kalimantan, dengan mengambil motif gambar berasal dari daerah masing-masing, yang bisa diperoleh dari ukiran-ukiran pada rumah adat, yang kemudian dituangkan pada kain melalui proses pembatikan. Pada skala nasional, batik Pekalongan adalah pemain utama. Tingkat persaingan pada skala nasional tidak begitu ketat, karena batik Pekalongan menguasai 7O-BOo/o pasar nasional. Beberapa batik yang juga banyak dipasarkan dalam negeri berasal dari Solo, Yogya, dan Cirebon, namun batik Solo dan Yogya ternyata banyak yang diproduksi di Pekalongan, Solo dan Yogya hanya memberi merk dagang. Beberapa batik yang menjadi pesaing batik Pekalongan adalah batik Solo dan Yogya, batik Trusmi (Cirebon), dan batik Jambi.
B3
Tabel 5.14 Kondisi Batik Solo dan Yogya, Batik'flrusrni., dan Batik Jambi Eatik Solo dan Yogya
P
roduk
Bat'k lambi
Batik Trusmi
.Motif batik kurang Warna le cerail oan Menggunakan pewarna variatif karena masih berani dengan motif yang , warna yang cerah menggunakan pakem be rva ria s i tegas, motiF tradisi, masih didominasi
.Harga a.ela esuaikan a-,
Hak paten
Pada
p..
.,.,
--".
-' " '-*u?lrariaii disesuaikan dengan
dis es ua ikd n
kualitas.
kua
(data oeium-telsebia)
Pada Desember 2OA4, sebanyak 19 motif batik
"....-. bervariasi . targa,-"
dengan
ktober 2004, Dinperindag Kota Solo bekerjasama dengan O
'H
arga
berva rias
i
denga n
litas
telah
mendapatkan hak cipta, sedangkan 65 motif
Keraton
mendaftarkan sebanyak
lainnya dalam
251 motif batik
permohonan. Kegiatan ini mendapat bantuan dari Pemprov lambi dan
untuk diajukan hak patennya.
proses
D-.wan Kerajinan Nasional Daerah Jambi. I
ndustri nstitus i
pe nduku n9
Terdapat koF,eras
an
i
perbank.an
institusi
yang
dalam desain,
belum
membantu permasalahan
pembatika n,
nyediaan
permodalan;
bahan
pe mas a ra n, pe
lati
ha n.
h
ingga
-
oren ienaqJ ahli yang didatangkan Solo dan Yogya; pemerintah membantu dalam membudayakan nggunaan batik dan
'idukung oleh tenaga ahli oiciut
tiga
memasarKannya;
rdapat institusi
R&D
tuk melakukan inovasi
n institusi untuk Delatihan dan oembinaan tik, juga koperasi tik yang menyediakan keperluan batik. Pasar
akupan pemasaran :liputi Iokal, nasional, nasional, dan lokal, nasional, dan internasional. internasional. Tersedia in te rna s iona l. n f eda di di kota besar. Tahun peningkatan jumlah emasaran nasional cukup baik dengan 2004 terjadi peningkatan pemasaran pada tahun tersedianya jumlah pemasaran.
outlet batik di kota-kota
sar. masaran
mun pada ahun lebih
Tingkat fluktuatif, beberapa banyak
alami penurunan.
B4
2004.
Tabel di atas menggambarkan kondisi usaha batik Solo dan Yogya, batik Trusmi, dan batik lambi yang menjadi pesaing batik Pekalongan di skala nasional. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa keunggulan tiga batik tersebut terdapat pada produk yang telah dihakpatenkan. Saat i;ri batik Pekalongan baru akan mendaftarkan 96 motif batik yang akan dihakpatenkan. Keunggulan lain dari Sebaliknya, persaingan ketat industri batik terjadi pada pasar internasional. Batik Indonesia, khususnya Pekalongan, bersaing dengan produk batik Malaysia, Cina, dan Vietnam. Pada era perdagangan bebas, Malaysia telah menghakpatenkan batik produksinya. Negara Amerika sendiri yang tidak memproduksi kain batik, telah mendaftarkan 60 hak paten batik. Secara kualitas, produk batik Indonesia tidak kalah bersaing, bahkan bisa lebih baik. Namun persaingan juga terjadi pada tingkat harga. Biaya produksi yang tinggi, akibat bahan baku kain yang masih impor, ditambah dengan biaya pajak dan retribusi, berdampak pada tingginya harga produk. Lokasi Indonesia yang jauh pada negara ekspor, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga berimplikasi pada semakin meningkatnya harga.
b.
iklim Usaha
Iklim Usaha Nastonal Berdasarkan hasil laporan The Global Competitivenes Reporf tahun 2004 yang menelitidaya saing di 104 negara,Indonesia menduduki peringkat ke-69, meningkat dari peringkatke-72 pada tahun sebelumnya. Penelitian tersebut berciasarkan tiga indikator ltesar, yaitu (1) faktor ekonomi makro, seperti ekspektasi resesi dan kondisi surplus atau defisitnya suatu negara/ (2) institusi pubtik dan kebijakan, serta (3) teknologi. Posisi ini sangat jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu Singapura di peringkat 7, Malaysia di peringkat 31, dan Thailand di peringkat 34. Tingginya tingkat korupsi di Indonesia menjadisalah satu rendahnya daya saing di Indonesia, Begitu pula dengan kondisi birokrasi yang tidak efisien dan ketidakstabilan politik dan keamanan di beberapa tahun belakangan ini. Terjadinya peristiwa terorisme yang melibatkan warga negara asing seperti Bom Bali, Bom Mariot, dan Bom Kuningan, menyebabkan menurunnya tingkat i nvestasi di Indonesia. Terkait dengan keamanan nasional, pada perdagangan
internasional, Indonesia mendapat akibatnya. Negara Amerika yang menerapkan sistem keamanan tinggi terhadap ancaman terorisme, mengharuskan peti-peti kemas yang akan diekspor ke Amerika diperiksa secara ketat, dan ini merepotkan bagi eksportir ke Amerika. Ditinjau dari sisi kebijakan, peraturan-peraturan yang ada seringkali memberatkan pelaku usaha. Misalnya masalah pajak dan retribusi, dan masalah perijinan yang harus diperbaharui setiap tiga tahun sekali dan melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama. Peraturan ketenagakerjaan bagi pelaku usaha terlalu memanjakan tenaga kerja. Kenaikan pemberian upah minimun seringkali tidak dikaitkan dengan peningkatan produktivitas kerja, juga pemberian pesangon yang kurang mempertimbangkan latar belakang pemberhentian kerja. Hal ini penting, mengingat industri batik dan industri B5
hulunya, yaitu industritekstil, merupakan industriyang padat karya. Semakin besar industri-industri tersebut, maka masalah ketenagakerjaan semakin rumit. Di sisi lain, sistem perbankan di Indonesia belum banyak membantu perkembangan industri batik dan juga tekstil secara riil untuk mengatasi permasalahan permodalan yang banyak dihadapi oleh pelaku usaha skala kecildan menengah pasca krisis ekonomi. Memang harus diakui bahwa industri tekstil pada masa krisis ekonomi banyak yang bermasalah dengan perbankan. Apalagidalam beberapa tahun belakangan ini, industritekstildan batik banyak yang mengalami penurunan usaha. Namun tanpa dukungan dari pihak perbankan, industri tekstil dan batik makin sulit berkembang akibat permasalahan permodalan tersebut.
Iklim Usaha Daerah
Suatu perusahaan akan memilih lokasi usaha yang menguntungkan secara ekonomi dan mempunyaijaminan kepastian usaha. Untuk itu, beberapa
hal menjadi peftimbangan utama, diantaranya keamanan dan biaya produksi. Pada era otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur berbagai bidang, termasuk keuangan, perdagangan, industri, dan
investasi. Dengan kewenangan ini, pemerintah daerah banyak memunculkan peraturan-peraturan daerah yang seringkali tumpang tindih dengan peraturan pusat, bahkan ada yang bertolak belakang. Peraturan*peraturan tersebut, terutama yang terkait dengan pengembangan usaha, tentu membingungkan pihak perusahaan, bahkan memberatkan perusahaan. Misalnya peraturan perijinan, pajak, dan retribusi. Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejak tahun 2001 mengadakan penelitian tentang pemeringkatan daya tarik investasi di kabupaten dan kota di Indonesia, dengan faktor yang diteliti meliputi kelembagaan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan produktivitas, serta faktor infrastruktur fisik.
Berdasarkan penelitian yang sama tahun 2003 yang meneliti 200 kabupaten dan kota (156 kabupaten,44 kota), faktor kelembagaan adalah bobot yang paling besar (31olo) yang mempunyai daya tarik investasi secara umum, sef anjutnya sosial politik sebesar 260/o, faktor ekonomi daerah sebesar 170lo, serta faktor tenaga kerja dan produktivitas dan faktor infrastruktur fisik masing-masing 13olo. Adapun variabel yang ditelitidari faktor kelembagaan adalah aparatur dan pelayanan, peraturan daerah, keuangan darah, dan kepastian hukum; faktor sosial politik adalah keamanan, sosial politik, dan budaya; faktor ekonomi adalah potensi ekonomi dan struktur ekonomi; faktor tenaga kerja adalah ketersediaan tenaga kerja, biaya tenaga kerja, dan produktivitas tenaga kerja; dan faktor infrastruktur fisik adalah ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik. Dari faktor-faktor penelitian tersebut, faktor kelembagaan serta faktor sosial politik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya tarik investasi di suatu daerah. Dari peringkat kota yang diteliti, secara umum Kota Pekalongan berada di peringkat 43 dan menempatkan Kota Pekalongan sebagai kota kedua
terendah setelah Kota Bekasi di Pi-ovinsi Jawa Barat. Sedanqkan B6
pemeringkatan pada tiap-tiap faktoq berdasarkan faktor kelembagaan, Kota Pekalongan berada di urutan 79, faktor sosial politik di urutan 37, faktor ekonomi di urutan 33, faktortenaga kerja di urutan 31, dan faktor infrastruktur fisik di urutan 29. Di semua faktor, Kota Pekalongan berada di peringkat bawah, namun ada beberapa variabel dari faktor terlebut yang menempatkan Kota Pekalongan di peringkat atas. Variabel peraturan daerah menempatkan Kota Pekalongan berada di peringkat 2, variabel struktur ekonomi di peringkat 1, dan variabel biaya tenaga kerja di peringkat 2.
Berdasarkan wawancara dengan pengusaha batik skala besar, permasalahan pajak, retribusi, dan ketenagakerjaan seringkali memberatkan. Pengurusan perijinan yang harus diperpanjang tiap tiga tahun sekali adalah diantaranya, karena proses yang membingungkan dan memakan waktu yang lama. Begitu pula dengan sistem pengEajian tenaga kerja yang tidak dikaitkan dengan proporsi dan produktivitas kerja. Namun bagi pengusaha batik skala kecil, masalah pajak dan retribusi tidak menjadi beban bagi usaha mereka, karena usaha tersebut tidak berbadan hukum, Alasan tidak berbadan hukum disebabkan pembayaran pajak dan retribusiyang dibebankan kepada mereka bila usaha mereka telah terdaftar resmi, sementara modal mereka tidak mencukupi untuk membayar pajak tersebut,
5.3.3
Permasalahan
Pembahasan di atas menggambarkan kondisi industri batik di Koia Pekalongan, dimana industri rotan mempunyai beberapa faktor yanE berpotensi untuk dikembangkan sebagai klaster. Namun di sisi Iain, industri rotan juga mengjadapi berbagai permalahan untuk dikembangkan sebagai sebuah klaster yang berhasil. Tabel 5.15 berikut secara ringkas menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh industri batik di Kota Pekalongan.
Tabel 5,15 Permasalahan Industri Rotan di Kabupaten Cirebon Kendala
Faktor
Belum mengarah terbentukny: satu sp:sialls:si pr?lyk: Belum tersedia lambaga R&D yang rnembantu inovasi
Tingkat penqetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja terbatas dalam manajemen usaha dan pemasaran
Struktur dan manajemen industri yang ada belum banyak mengembanqkan kapasitas SDM
KeDasama antar industri masih sangat terbatas, nilai kebersa_maan antar industri juga masih kuran-9..... .,--- -._ Sem?n9at kewimusahaan cukup tinggi namun belum diimbangi oleh manajemen usaha dan kerjasama antar usaha yang baik. pimpi-n:n .:e:dapat ln9-urjri Visi bersama antar pelaku usaha masih kurang. Bulu.T
.
Kepem;mpinan dan visi bersama
:-
Pasar dan kompetitor
eersaingan di tingkat lnteriasional Ojiam nat t,urqa dan nat pa ten.
Iklim usaha
Industri sulit berkembang akibat iklim usaha yang kurang mendukung (peraturan, bitokrasi, keamanan, sosial politik)
'
B7
5,4 Ideratifi kasi Perrmasalahan Umum Berdasarkan pembahasan pada kelig;i industri studi kasus diatas,
pengembangan klaster pada umumnya merrqhaidapi permasalahan yang hampir sama, meski terdapat beberapa perbeda.rn yang terkait dalam kendalakendala khas lokal. Permasalahan yang terjadi pada umumnya merupakan masalah-masalah yang sangat mendasaq seperti kebijakan pemerintah, kondisi masyarakat, kual itas produk, serta masalah- masalah kebijaka n pengemba nga n produk yang belum berorientasi pada upaya peningkatan daya saing, khususnya dala m mengantisi pasi persai nga n produk-produ k impor' Permasalahan umum dapat dikelompokkan ke dalam 4 faktor penentu daya saing klaster Porter, yaitu permasalahan pada faktor produksi, permintaan atau pasari struktur, strategi, dan persaingan usaha/ serta keberadaan industri dan institusi pendukung (Tabel 5'16).
Tabel 5.16 Permasalahan Umum Klaster Permasalahan Umum l.!IP.or
Perilaku konsumen yang lebih menyenangi p..duk impor.
n"nounnv" oiya bell masyarar
"r.".iiil;;;"
dr;
kesejahteraan Yanq rendah. Permintaan/Pasa
d.
"penbamb;ngeii""ds"a?*tJi Tidak bany-k tersedia outlet untuk daerah-daerah,
R'tjilta'i DeniaEaian yariQ panianii yaR-0--'hi"Eh'dbridEitlG"R*ni:ihamYa
B€l'8i;--,ol.t.rrdirya-'trlrurIro5i -pdsdi'-yd'llu*--lrrullla'uaa^*uagi f.
dusen sehingga keuntungan yang diperoleh produsen masih angat rendah dibandingkan dengan keuntungan yang dinikmati h na ra. nedaoa-nn-nP ranl; ra,, erbatas nya jaringan kerjasama pemasaran.
t, a.
pesialisasi masih rendah
i,iitlgi-t<eria ].riJng t;idiotx serta berupah rendah
). sumber-sumber pembiayaan usaha masih terbatas
i;k";i";fi;Autii vang o,qrnakan masih sederhana *';;;ii;uh,il "* a;;--]i;l;; il;l.;;'*- t;;# nJii c Jn""ia
" s u ii penguasaan iptek pelaku usaha kecil untuk menghasilkan
aktor Produksi
kinerja yang baik.
'{'iasTlj-sallgttl lfITguf-'ufuaifuliig pesaing, sehingga fungsi intermediasi negara-negara dengan di e. perbankan sanqat rendah dalam penyediaan modal untuk
'rjlrv(d(
suKu - uuirgd - Ktcuir
nn om.hanna.n,r ts a"ht-.-k-hrrs rrs n'r:..hani..lJ.K"M
(
Iktim persaingan yang kurang sehat Manajemen usaha masih buruk
Struktur, dan
r<<jllu"riii Ja^ L#t;;;
Persaingan d
BB
antar perusahaan masih lemah
Kepemimpinan dalam industri belum muncul
lanjutan tabel 5.16 Permasalahan Umum
Aspek .:
a v: na n p'.lb:.1
f_?
"
-:
j
:
l'-Y] : |
d_' u
l'
":
.
Terbatasnya akses lembaga peneitian dan pengembangan yang b. ada untuk mendorong inovasi terutama pada usaha skala kecil i nstitusi dan I
ndustri
Pendukung
c.
j jii b iAG; G
y a ii
i iir
e rii iia s
;
"
d;Aidiffii a;
" p
;i;ii rffi
'
;;d
BDS masih terbatas belum berperan optimal o. visi dan kesamaan agenda antara usaha yang
e.
i
belum terarah.
Hasil-hasil penelifian kurang tersosialisasi dan
belum
s. memberikan peran yang cukup berarti bagi peningkatan daya saing produK -"k d ; iu m;'a'a iJC; k" o ii,i t ors; p;r;ij" b.iii n dfi rrli e a. jelas, inkonsistensi kebijakan pemerintah
*dil
b. c
Belum adanya keterpaduan program
il#;
untuk mengendalikan
masalah impor Kebijakan tataniaga yang belum kondus if
Sistem perpajakan khususnya pajak pertanrbahan nilai (PPN) menyebabkan kurangnya dukungan terhadap ketersediaan bahan baku industri yang berdaya saing tinggi di dalam negeri. Pemerintah dan
Situasikeamanan dan politik yang belum stabil.
Iklim Usaha
iiei u m f.
ti?iii! #$ G
-b
JLi ;i h ; fi;n t ; ;'e J i ii,-ili i I mbin g sejumlah peraturan atau perundang-undangan masih tumpang :i
n d
II
_q,u
l
"P_9
pi
l,yn-s,-?li I s. T
ne g
e
r p.g:I g1l** " -
s. Delum terlaksananya good governancc. Lemannya sisrem pengawasan tilu rintai ouia"ng impor ojn l€mahnya upaya penegakan hukum di dalam negeri, h. menyebabkan maraknya barang-barang impor illeqal masuk ke pasar dalam negeri, peme iiiiti h-" G ;s -ta;ii^ ;n;' e;r d;U xoir aif i*"Jpi-iiiti menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan usaha.
i
;
B9
BAB VI STRATEGI DAN RENCANA
TINDAK Tiga klaster yang dikaji dalam studi ini menghadapi beberapa permasalahan yang hampir sama. Analisis pada bab terdahulu menyimpulkan adanya beberapa faktor pendorong sekaligus kendala dan hambatan dalam pengembangan klaster. Berdasarkan permasalahan umum dan yang spesifik pada masing-masing daerah, pada bagian ini akan diuraikan kebijakan, strategi, dan rencana tindak pengembangan kawasan berbasis klaster secara umum dan selanjutnya diperinci untuk masing-masing daerah.
6.1 Kebijakan dan Strategi Umum Klaster dapat dikembangkan dalam empat area, yaitu dalam bidangbidang yang menjadi penentu daya saing sebuah klaster seperti yang dikemukakan oleh Porter (2001), yaitu : (1) aspek permintaan atau pasar, 91
i2) aspekstruktur, strategi, dan persaingan ; (3) aspek institusidan industri pendukung; serta (4) kondisi faktor atau input. Pengembangan empat area tersebut memerlukan suatu kelembagaan pemerintahan yang efektif dan iklim usaha yang kondusif, Struktur, Strategi Perusahaaan dan
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor (lnput)
lndustri Pendukung dan Lembaga
Terkait
6.1.1.
Aspek Permintaan
/ Pasar
Permintaan pasar terhadap UKM pada umumnya sangat besar' Namun
demikian, UKM pada umumnya masih bekerja secara individual sehingga
permintaan pasar yang besar sulit untuk dipenuhi karena tidak adanya efisiensi kolektif. Selain itu, kualitas produk yanq dihasilkan pun sering tidak mampu memenuhi tuntutan pasar. Kebijakan dan strategi umum yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan akses terhadap permintaan pasar adalah :
(1)
Memfasilitasi perluasan akses pasar UKM Strategi Yang daPat dilakukan : . Mendorong spesialisasi produk dalam industri
97
.
Penguatan kemitraan dan kerjasama pemasaran antara industri skala kecil dan menengah dengan industri besar
. . .
Memberikan insentif kepada usaha untuk berinovasi Memfasilitasi promosidan pemasaran produk Mendorong kegiatan-kegiatan penelitian pasar (market researh) guna mencari orientasi dan sasaran pasaryang baru dan bermutu tinggi.
Penyediaan fasilitas pemasaran (trading house, market cente4 dsb) untuk menciptakan rantai pemasaran yang lebih efisien.
Mendorong peran Business Development Service dalam pemasaran produk
(2)
Peningkatan Kualitas Produk
Strategi yang dapat dilakukan
.
:
Peningkatan keahlian dan teknologi untuk mendorong spesialisasi produk
Memfasilitasi pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk
Mendorong penggunaan bahan baku lokal yang baik dan berkualitas
Mendorong pera n Business Development Service untuk meningkatkan kualitas produk
6.t,2
Aspek Faktor Produksi
Aspek faktor produksi merupakan salah kendala utama yang banyak ditemukan dalam peningkatan daya saing klaster. Faktor prtoduksi meliputi SDM, bahan baku, modal, infrastruktur, dan teknologi. Kebijakan dan Strategi yang dapat diterapkan dalam peningkatan aspek faktor produksi adalah :
(1)
Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan Tenaga Kerja
Strategi yang dapat dilakukan:
. .
Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pendidikan serta latihan untuk meciptakan tenaga kerja yang terampil Mendorong peran lembaga-lembaga pendidikan dan latihan dalam
peningkatan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja
(2)
Peningkatan Teknologi Produksi
Strategi yang dapat dilakukan:
. . .
Memfasilitasipenguatanlinkagedenganperusahaan-perusahaan besar untuk mengupayakan alih teknologi. Memberikan insentif bagi modernisasi teknologi dan peralatan.
Kerjasama pemanfaatan hasil-hasil penelitian dengan lembaga
penelitian dan pengembangan atau universitas untuk meningkatkan kapasitas teknologi produksi. 93
Mendorong peran lembaga licbang untuk rneninqkalkern t*knologi nroduksi
(3i
Peningkatkan Ketersediaan Moiiai
Strategi Yang daPat dilakukan; . Memberikan bantuan permodalan kepada UKM
.
Mendorong UKM untuk melakukan legalisasi usaha dart perbaikan manajemen usaha
.
Mendorong peran lembaga intermediasi keuangan dalam penyediaan layanan kredit dan modal
(4,\
Menjamin Ketersediaan Bahan Baku
Startegi yang dapat dilakukan:
.
Meninjau ulang kebijakan ekspor bahan baku dan menyusun kebijakan yang dapat menjamin pasokan bahan baku di dalam negeri
. . .
(5)
Mendorong penelitian dan pengembangan bahan baku alternatif Mendorong penggunaan bahan baku yang berkualitas
Penggunaan bahan baku lokal yang sesuai dengan potensi setemoat
Penyediaan sarana dan prasarana
Strategi yang daPat dilakukan
.
:
Memperluas akses kepada teknologi informasi untuk meningkatkan
akses pasar
.
Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi pada lokasi-lokasi industri yang masih sulit diakses
6,1.3
Aspek Strategi, Struktur, dan Persaingan
Usaha Tujuan pengembangan klaster adalah untuk menghasilkan efisiensi kolektif. Hal ini tidak dapat dicapai oleh perusahaan secara individual, melainkan melalui keterkaitan (linkages) yang kuat antara perusahaanperusahaan yang inovatif. Adanya keterkaitan antar perusahaan akan meningkatkan pembagian kerja dan mendorong keria sama antar perusanaan termasuk penyebaran ide dan inovasi. Keterkaitan ke belakang (backward 94
linkage) maupun kedepan (forward linkage) antarperusahaan atau bahkan dengan perusahaan yang lebih besar mendorong ter;adinya produksi bersarna (joint manufacture). Dalam kebanyakan industri di indonesia, perkembangan klaster masih berada pada tahap awal. Pemerintah perlu mengambil peran sebagai motivator, katalisator dan inisiator pengembangan jaringan serta kerjasama antar usaha sehingga tercipta tindakan-tindkan bersama (ioint and collectibe action). Pemerintah perlu membangkitkan kondisi UKM agar tidak tergantung pada kapasitasnya yang terbatas tapi bekerja sama dalam kelompok untuk menjadi lebih kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan
forum-forum serta pengembangan asosiasi secara partisipatif untuk
menyediakan kepemi mpinan dan koordi nasi d alaam klaster. Namu n demikian, secara bertahap peran ini sebaiknya dialihkan kepada pemimpin di sektor swasta (privat) seiring dengan menguatnya tingkat kerjasama dan modal sosial di dalam klaster sedangkan pemerintah cukup berperan dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi. Beberapa kebijakan dan strategi untuk memperkuat kerjasama dan mendorong persaingan positif antar perusahaan antara lain :
(1)
Peningkatan keriasama dan jaringan antar usaha
Strategi yang dapat dilakukan:
.
Mempromosikan kerjasama diantara UKM-UKM melalui pendekatan
pasrtisipatif
(2)
.
Mendorong peran asosiasi usaha sebagai basis kerjasama kolektif para pelaku usaha.
.
Memfasilitasi asosiasi usaha untuk melakukan aktivitas-aktivitas bersama (col I ecti ve a cti o n)
Penciptaan iklim kompetisiyang sehat
Strategi yang dapat dilakukan:
.
Melakukan pembinaan serta memeperkuat jaringan pasar UKM agar tidak terjadi persaingan harga yang kontra-produktif.
.
Meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap Hak kekayaan intelektual (HAKI)
.
Mendorong dan memfasilitasi pendaftaran paten, merek, dan hak cipta produk-produk yang dihasilkan oleh usaha Memfasilitasi keberadaan lembaga penyedia layanan HAKI
' (3)
Mendorong kepemimpinan dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan:
.
Memberikan insentif kepada UKM-UKM yang berpotensi di dalarn klaster 95
Memfasilitasi UKM-UKM yang berpotensi untuk berperan dalam asosiasi usaha
6.L.4
Aspek Institusi dan Industri Fendukung
Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai kegiatan penelitian, pendidi kan, dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan UKM. Dalant penyelenggaraan kegiatan ini, pemerintah perlu melakukan kolaborasi dengan sektor usaha dan lembaga pendukung, misalnya BDS, perguruan tinggi, industri hilir, industri pemasok, dan konsultan. Beberapa Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat aspek institusi dan industri pendukung antara lain :
(i)
Meningkatkan peranan institusi pendukung dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan
(Z)
:
.
Menciptakan kemitraan antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga pendukung dalam meberikan layanan kepada usaha didalam klaster
.
Memfasilitasi poenyebaran informasi mengenai layanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendukung kepada usaha
.
Memebrikan insentif kepada usaha skala kecil dan rumah tangga agar dapat mengakses layanan yang diberikan oleh lembagalembaga pendukung.
Meningkatkan keterkaitan antara usaha dengan inudstri hulu dan hilir Strategi yang dapat dilakukan
I
'
Memberikan insentif dan kemudahan usaha di dalam klaster untuk mena ri k industri-industri pend uku ng u ntu k mela ku kan investasi
.
Memfasilitasi forum kerjasama dan komunikasi antara usaha dengan industri-industri di sektor hulu dan hilir
6.1.5
Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan pemerintah sangat menentukan pengembangan suatu klaster industri, terutama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Pengembangan klaster bergantung kepada kemauan politik dan dukungan dari pemerintah daiam mengembangan perekonomian lokal. Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan adalah (1) Menciptakan Iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan klaster :
Strategi yang dapat dilakukan
.
:
Menyederhanakan peraturan di sektor ketenagakerjaan, industri, dan perdagangan sehingga mendukung pengembangan klaster.
M engu paya ka n kebija ksanaa n perpaja ka n selektif terhada p produ k tertentu, dengan menghilangkan pajak berganda dan menetapkan pajak pada produk akhir (PPN), bukan pada bahan baku,
Memberikan insentif, subsidi dan kemudahan bagi investasi. Mengupayakan keterpaduan prog ram dan langkah i mplementasi nya
yang terfokus pada peningkatan daya saing produk nasional terhadap produk impor. Menjaga kepastian hukum dan melakukan penegakan hukum,
Memperbaiki mekanisme dan prasarana sarana tataniaga, serta menghilangkan adanya monopoli perdagangan, kartel ataupun monopsomi.
(2)
Menciptakan kelembagaan pemerintah yang efisien dan efektif Strategi yang dapat dilakukan : . Mengupayakan peran efektif sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pengembangan iklim usaha yang kondusif serta memberantas tegas terhadap penyelundupan produk impor.
'
Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah di setiap level pemerintahan
.
Menyecierhanakan proseduradmininstratifdan menghindari birokrasi yang berbelit-belit untuk mendorong kemudahan usaha untuk melakukan investasi
. .
Menegakkangood-governancedalampraktekkepemerintahan
Menghindari peraturan-peraturandaerahyang menghambat i
nvestasi
6.2 Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan Klaster Studi Kasus 6.2.L
Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan di Kabupaten Cirebon Klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon pada saat ini banyak menghadapi ancaman yang datang dari luar sementara kondisi klaster industri itu sendiri masih banyak mempunyai kelemahan.
97
Tabel6,1 Matriks SWOT fndustri Rotan di Kabupaten Cirebon Kekuatan (S)
lvlempunyai potensi spesialisa:i pfoduk
Kelemahan terbentuknya
_belgaya Eropa
me-ube!
Tingkat keahlian tenaga kerja dalam proses produksi cukup tinggi. dan
perannya terhadap pengembangan usaha dinilai ba'k. Kerjasama yang cukup bark terjadi antara industri skala besar dan rnenengah yang tergabung dalarn asos,asi. "p'Ciigd]dr a] r' "-Kc
dr
ttialt'
rr
ie I ruur ur rg
industri rotan terus bertambah, sehingga manierli
Ula
Kegiatan inovasr masih sebatas desain
Tinskat pengetahuin d;; k;hi6n y;; dimiliki oleh tenaga kerja masih terbatas dalam manajemen usaha dan pemasaran Struktur oJn manajemiii tnouitii yanq ada belum banyak mengembangkan kapasitas SDM
"
tenaga kerja dan masyarakat untuk mendirikan usaha baru dan menladikan harn^lonci
masih
terbatas proouK
Kerlasama dengan pemenntah
iiS(Uilr
Ketersediaan lembaga R&D
\/:nn
r'lin>mic
Lembisa penoukung b;i;;"b;A;.;;; dengan baik, sehingga perannya masih kurang dirasakan untuk pengembangan us
aha.
"G?il Kerjasama' anta. peii'(u iriiiuiiii
dinrlai sangat kurang, bahkan pers
ngan ya nS kui9n.9 B e I u m te rda par p,.p.::::. a ra
terjadi
.:..9.r.rat
l^.gi
r"t-rl
isi bersama antar pelaku usaha mas jh terbatas, hanya ada dalam asosiasi usaha V
Peluang (O)
A
Pengembangan produk meubel yang berkualitas
Keputusan presieden akan pelarangan
ekspor rotan membuka peluang pemenuhan kebutuhan rotan
untuk
ncaman (T)
Persaiangan di tingkat internasional dalam hal harga dan kualttas
Kelangkaan rotan akibat ekspor rotan ilegai
industri 'sulit beiGmtjlnei ir
Strategiyang diambil dalam menghadapi kondisi sepefti ini adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kondisi internal guna mempersiapkan diri menghadapi ancaman dari luar, guna mewujudkan suatu klaster yang berhasil. Berdasarkan faktor kelemahan dan faktor ancaman yang dimiliki oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon, maka banyak langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada. Untuk itu, diambil beberapa strategi prioritas yang mempunyai keterkaitan dengan banyak hal, yaitu:
1.
Penguatan kerjasama
Selama ini, stakeholderyang terkait dengan industri rotan di Kabupaten rebon berjalan masing-masi ng, belu m mempu nyai visi bersama. Pen ingkatan kerjasama menjadi salah satu prioritas strategi pengembangan klaster karena
Ci
klaster industri rotan tidak akan berhasiljika tidak terjadi kerjasama yang baik antar stakeholder. Produk pemesanan tidak akan selesaidiproduksi tepat waktu jika tidak ada kerjasama antara industri besar pemberi kontrak dengan industri kecil menengah yang melaksanakannya. Proses produksi akan terhambat jika lembaga keuangan tidak membantu memberikan kredit permodalan. Oleh karena itu, agar proses kerjasama dapat terlaksana dengan 9B
baik, langkah yang dilakukan adalah memfasilitasi pembentukan "Unit
Kerjasama Klaster", suatu institusi yang khusus mengelola klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon. Anggotanya merupakan perwakilan dari inclustri rotan skala kecil, menengah, dan besardan industriterkait dengan rotan di bagian hulu dengan hilir, sefta penruakilan dari pemerintah, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis, Institusi tersebut berfungsi sebagai koordinator, pengambil keputusan, wadah informasi, serta fasilitator terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di lintas pelaku. Institusi inijuga bertugas untuk merumuskan visi dan misi bersama, serta kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan guna mencapai visi tersebut.
2.
Spesialisasi produk Spesialisasi diperlukan bagi klaster karena dengan adanya spesialisasi
produk rotan berarti mencapai efektifitas serta mempunyai ciri khas
dibandingkan dengan produk rotan dari daerah lain. Penentuan spesialisasi menjadi strategi yang diprioritaskan karena terkait dengan pemasaran produk dan nilai tambah yang dihasilkan oleh produk itu sendiri, Industri rotan di Kabupaten cirebon diarahkan kepada spesialisasi meubel rotan bergaya Eropa, Hal ini tidak sulit bagi industri rotan di Kabupaten Cirebon karena selama ini produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel bergaya Eropa. produk tersebut juga telah mempunyai pangsa pasar yang jelas, yaitu internasional yang mempunyaidaya beliyang tinggi. Dengan harga jual yang baik, maka pengusaha industri rotan dapat memperoleh keuntungan yang memadai, dengan begitu usaha menjadi berkembang dan kesejahteraan tenaga kerja juga dapat meningkat. Terjadinya peningkatan usaha di industri rotan sebagai industri inti, akan berdampak pada peningkatan usaha di industri hulu dan hilir.
3,
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting bagi pengembangan usaha dan klaster itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu priorrtas strategi karena manusialah yang menjadi penggerak, pemberi keputusan, dan pelakui setiap kegiatan yang ada dalam klaster. Usaha tidak akan berkembang dengan baik jika pelaku usaha tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan usahanya itu sendiri, mempunyai pengetahuan yang terbatas akan manajemen usaha dan pemasaran, iuga mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan teknologi.
4.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh KppoD, Kabupaten cirebon belum memiliki iklim usaha yang baik. Penciptaan iklim usaha menjadistrategi prioritas karena terkait dengan pengembangan usaha. peraturan, birokrasi, potensi sDM, dan ketersediaan infrastrukturi diperlukan untuk penciptaan 99
efisiensi, sedang keamanan menentukan keberlangsungan usaha di suatu wilayah. Dengan iklim usaha yang kondusif, selain usaha menjadi berkembang dengan baik, juga akan menarik pelaku usaha dari daerah/negara lain untuk melakukan investasi pada klaster, sehingga membantu permasalahan permodalan yang banyak dihadapi oleh banyak industri skala kecil dan menengah. Untuk mewujudkan strategi prioritas tesebut, disusun rencna tindak pengembangan klasterseperti yang diperlihatkan oleh Tabel 6.2. Tabel 6.2 Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan di Kabupaten Cirebon Rencana Tindak
No
Pelaku Terkait
Sasa ran
rrrqus(il ruLd,r qt seailud
eijadinya kerjasama yang kuat
stnllt!
rr
. --...
industri pendukung (pembeli,
dengan klaster, sehingEa tenvujud sinergitas guna
oemasok, dll) Pemerintah (Bappeda, Dinas)
1
Lembaga keuangan LemOaga'[enO'Oitan p€latihan
iin
Lembaga R&D
:":0"
*':u
:.:o*1l]:::l
Industri rotan di semua
t::0":
a.
Mengadakan peneiitian pasar
"-
iasititasi pamerin dan l,ontak dagang- di dalam dan luar negeri
.-
:
Fasifitasi outlet-outlet pemasaran
:di kota-kota besardi dalam
:ttuktur
Teridentifikasinya pasar produk terspesili-asil. . .. .. :Terbukanya peluang pasar
negeri
...-,
lndustri pendukung (pembeli, pemasok, d-ll)
,
Oinas PerindUstrian dan P.-eIga9anga1.
baru
lemuluonya pemaiiiJn I
produk dengan baik di dalam
D:nas Kop.:rasi dan
ur<:\,l
:.leqer:r 2
d.
Soriufiruri
O'un
p"ny"Juun
d. f,
100
t., t tu,
pror"s i
rl
paten produk oruaurunu dan sarana
:Terciptanya iklim pe6aiangan ;yang sehat, seta mendorong , teilujudnya inovasi
,rerieJiinya
Lembaga keuangan
priiirtii i"n
rtelekomunikasi, termasuk teknologi . infomasi
sarana telokomunikasi guna 'menunjang efisiensi
Eantuan penyediaan kredit ekspor
Tersedianya modal yang : membantu industri untuk melakukan ekgO.gr n1."o.!-u.!
Lembaga pendidikan dan pelatihan
pemaSaran
Lembaga R&D .
lanjutan tabel 6.2 Rencana Tirrdak
No. Ma
Pelaku Terkait
Sasaran
nusia
Mernbangun pusaVbalal pendidikan a.
Tersedianya sarana pendidikan dan pelatihan khusus industri rotan
dan pelatihan khusus untuk industri rrotan di setiap sentra industri rotan.
iiiirtiii
"d;dil;6;'-
mlm tesla ba; dan pelatihan di semua bidang, imulai dari peningkatan keahlian dan keterampilan, desain produk, pengenalan teknologi, manajemen usaha termasuk pembukuan, lpemasarani hing9a pemahaman akan HaKl. lv'lemfasilitasi [erjasama antara i industri rotan dengan institusi i pendjdikan dan pelatihan yang
semua
i
3
terka it.
d.
uemrisilitaii kerjasarna antara industri rotan skala besar denqan skala kecil dan nrcrlerrqalt dalanr hal pengenalan teknoloqi, manajemen usaha, dan pemasaran.
Terwujudnya sumber daya manusia yan9 memenuhi kebutuhan pengembangan klaster
Dinas Perindustri dan Perdaganqan
Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan industri
Dinas Tenaga Kerja
Temujudnya su[]ber daya il)anusia yan9 rrelrenuhi kualifikasi kebutuhan industri
Penciptaan iklim usaha yang kondusif guna kelancaran pelaksanaan dan pengembangan usaha, terutama dalam nrenarik investor untuk berinvestasi di industri rotan
Lerrrllaq,r pL.ndi(likat) (laD pelatiha n
Industri rotan di semua struktu r
Teruujudnya regulasi t'ang a.
mendukung pengemballgan usaha, serta hilangnya regulasi yang menghanrbat
Pembentukan regulasi yang mendukung perkembangan usaha
Ba
ppeda
pelgqpPll.g?.1 usif'9 b.
Tersedianya arah dan kebijakan pengembangan bisnis rotan yang jelas bagi
Pembentukan rencana bisnis industri rotan
.p?.|.a,.!l;r-y-9,st0f
Peningkatan pelayanan aparatur terhadap dunia usaha
.
..
..
Oinas Perdagangan dan Pe rindustria n
.
Terwujudnya efisiensi dan refektivitas dalam membuat I
.
Dlnas Pendapatan D1:rah
.:-PPfiJ.il9l"-Ys9le
,reniujuOnva iasa aman bagi
Peningkatan keamanan wilayah
:pelaku usaha dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha
r
e,
Badan Penanaman Modal DaeGh
Pembentukan rencana industri rotan
6.2.2
Strategi dan rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Logam di Kabupaten Tegal Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, pada tabel 6,3. diperlihatkan kembali kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari industri logam di Kabupaten Tegal.
101
Tabel 6.3 SWOT Industri Logam di Kabupaten Tegal Kekuatan: Strength iBersifat padat karya
:ft inii,lur.J'ngJi .
-iii-
rl.6uqu peneiitian dan pengembangan, diklat, dan pemerintah
:Tingkat inovasi dan kewirausahan tinggi t'
iAdanya pengetahuan dan keterampilan yang diDeroleh melalu; oembelaiaran infomai dan
iformal Adanya sistem subkontrak yang menyediakan pasar bagi usaha kecil
Kelemahan:Weakness
.
Produk belum terspesialisasi dan ditujukan untuk pasar bg!kualitai.le.!-'qaf. Kualitas SDM mas;h rendah
- ruanaji-ei. uiir, j i-aoa i;dustri buruk ' masih Bisnis'm ta'iiii'i'!eca'i' asih aiti
..
skata kecia'
ino
ivioJariliii'
dimana jarinqan kedasama dan modal sosial antar usaha masih lemah l'4odal terbatas
iMemiliki kedekatan dengan pemasok
Iklim kompetisi tidak kondusrf dan belum memacu peningkalan,kua.litas .
l
Asosiasi usaha belum berperan optimal
l
Akses layanan lembaga keuangan dan Iembasa-.1emba93 q91-d-9k9n9. - .a:|| !q.lq,qJ9s. Visi pengembangan industri sebagai klaster dan
kepemimpinan dalam industri masih lemah Peluang
: Opportunity
Ancaman: Threat Liberalisasi perdagangan
Pasar domsetik (industri mesin, peralatan, otomotif) sangat besar
Persaingan talam
bjrl pira proausen t6h'pinen
ASEAN
Keterqantungan
teta.la? bahan baku
lmp:r
lklim usaha tidak kondusif
Berdasarkan ri-ratriks diatas, prospek pasar bagi klaster industri logam
di Tegal sangat besar, terutama pasar domestik yang meliputi industriindustri besar di bidang mesin, komponen, dan peralatan. industri-industri ini mernbutuhkan produk-produk komponen atau suku cadang dengan kualitas dan presisi yang tinggi. Dengan telah terbentuknya sistem kerjasama subkontrak antara industri besar iengan beberapa usaha skala menengah dan skala usaha kecil, maka strategi yang cukup realistis untuk mendorong dan memperluas lebih jauh industri logam di Tegal adalah dengan menjadikannya sebagai industri pendukung yang berspesialisasi dalam produk-produk komponen dan suku cadang.
Melalui spesialisasi produk, usaha-usaha yang ada akan mendemonstrasikan kemampuannya secara penuh ke dalam satu jenis produk serta mengalokasikan sumber dayanya secara lebih efektif, termasuk teknologi serta keahlian yang diperlukan. Selain itu, melalui adanya spesialisasi tindakan kolektif akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan kalster yang heterogen. Dampaknya, kualitas produk semakin meningkat dan posisi produk dalam pasar akan semakin kuat.. Pengalihan pola produksi dari produk-produk yang terdiversifikasi menjadi produk yang terspesialisasi membutuhkan beberapa prasyarat, diantaranya adalah ketersediaan peralatan dan teknologi yang mendukung, tingkat keterampilan dan keahlian yang memadai, lembagalembaga pendukung yang terspesialisasi, serta adanya kepastian permintaan dalam jumlah yang cukup besar. Karena tidak seluruh usaha yang ada di dalam klaster memiliki prasyarat tersebut, upaya spesialisasi produk dalam jangka pendek dapat diarahkan pada beberapa usaha skala kecil dan menengah yang berpotensi. Evaluasi keberhasilan terhadap usaha-usaha tersebuit dapat dijadikan lesson learned bagi pengembangan usaha-usaha IUZ
Iain dalam jangka panjang. Rencana tindak untuk mewujudkan strategi tersebut diperlihatkan pada Tabel 6.4. Tabel 6.4 Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Logam di Kabupaten Tegal Rencana Tindak
No L
Bappeda,
Ter susunnya kebijakan-
Departemen perindustrian, ket ,ijakan yang mendorong per gembangan klaster dan D is pe rindagn aker, me lghapus hambatanDiskopUKM, lembaga komponen dan suku cadang har rbatan pengembangan usaha akeuangan, lembaga diklat, qa.a.ra narlisioatif
2
Pelaku Terkait
Sasaran
Penyusunan kebijakan pengembangan klaster industri logam dengan sDPsialisasi ;rroduk Survei
.lnn -
-- -
pasar
fruffijna;G eeffi;i; ij;;
untuk komponen produk dan suku
ranrangan pasar
yang
bermutu tinggi
D
BDS
pasar baru kons ultan ljarinQan lberrnutu tinoqi yano_ lebrl, bagi pelaku usaha lbesar t| erseoranya ilrrormasr aKan | dan sasaran pasar lorientasi lvano ielas, terutama lberguna dalam I pasar lmengemban9Kan
-- '
|
caclang untuk menetnukan
pplr Disperindagnaker,
lDaru 3
Penyelenggaraan pelatthan
Terwujudnya tenaga kerja Disperindagnaker, 8DS, yang mampu mengusar clan lembaga pendidikan, PPIT, mengembangkan teknologi, BLK, [erutama reknologi permesinan untuk pros es
untuk
meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja serta
penguasaan teknologi yang
terspesialisasi ke
produkproduk komponen dan sukU caoan9
4
5
Peningkatan kualitas manajemen usaha skala Peningkatan peran asosiasi
usaha untuk meningkatkan kerjasama antar usaha dan
melahlrkan
prod uks
arah
pengembangan
kepemimpina
b
M
i
eningkatkan kemampuan
leknis dan memperkenalkan budaya manufaktur terutama kepada para pelaku uaha kecil dan rumah tangga Terwujudnya tenaga kerja yang mampu mengelola
Meningkatnya modal sosial D is perindagnaker, dan kerjasama antar usaha usaha, KA DIN serta
A
sos iasi
n
di dalam industri. 6
7
Peninqkatan kesadaran dan
Te rwujudnya
penggunaan HA KI
kompetisi yangs ehat
Penguatan
kerjas ama
dengan lembaga BDS
dan
lembaga pelatihan untuk Ineningkatkan spesialrsasi saha di dalam
pengembangan
iklim Disperindagnaker. asosiasi
di usaha, BDS anatar usaha dan perluasan aKses pasar Seiltiil-*besarnya diipe.tnoiqnar<erl
jangkauan BDS
dan univers
itas,
*aos)
lembaga
-
layanannya terhadap usaha lembaga pendidikan [J5aha yang ada
produk-
produk komponen dan suku cadang
103
lanjutan tabel 6.4 Rencana Tindak
No 8
Penguatan modal
usaha melalui insentif dan bantuan
serta peningkatan akses terhadap lernbaga keuangan
D
c
Sasaran Pelaku Terkait Tersedianya modai yang Disperindagnaker, diperlukan untuk Dis kopu KM pengembangan usaha Tbrsedianya lembaga keuangan non-perbankan di setiap desa, terutama koperasi, untuk membantu UKM dalam memperoleh modal usaha Terwujudnya t<emuOana n pelaku UKM dalam mengakses modal ke perDanKan
d
9
Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian dan penoembangan untuk ,neningkatkan kapasitas
Meningkatnya
kapasitas D is pe rindagnaker, P P I T dan kualitas teknologi yang lembaga - lernbaga penelitian, asosiasi usaha digunakan melalui usaha o
produk-
M
eningkatnya
penelitian
dan inovasi dalam klaster
tel.nologi dan inovasi dalam
pengembangan
Terwujudnya pengetahuan pelaku UKM akan informasi dalam memperoleh modal ke lembaga keuangan
c
semJt
produk komponen dan suku
lembaqa peneilitian
cadang.
pengembangan bagi seluruh
dan
usaha
t0
rbrjiminnya'
Kerjasama dengan industri hulu penyedia bahan baku, Pe
nguata
n
t<eteiseOiaan Departemen Perindustrian,
Dispenndagnaker, asosiasi
bahan baku
us ana
teriutama
untuk menqhadapi kelanqkaan
11
Pameran-pameran, misi daganq kel uar nege ri, peffemuan-
fasilitasi pertemuan
natching
)
indu:tri
supply secara efektif
anlara hilir,
para dengan
serta
melakukan kunjungan pa bri k- pa bri k
n,
(bus iness
pengusaha IKM
ke
oan
melakukan penyesuaian dengan program pembeli Menciptakan iklim usalra yang korrdusifdengan menyederhanakan peraturan dan birokrasi, serta menydiakan insentifinsentif bagi usah3.
104
D epartemen P erda ga nga empertemukan permilrtaan pasar dengan Disperindagnaker, BOS M
Terwujudnya efis iens i da,r efektivitas dalam membuat perijinan usaha h
f eii'iujtionvi i;
il;iffi; *
bagi pelaku usaha dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha
Departemen Perindustrian, D epa
rtemen
P
erdaga n9an,
Disperindag-naker, DiskopUKl'1 , Dispenda
lanjutan tabel 6.4 NO
Rencana Tindak
IJ
lvlenyediakan sarana dan prasarana fisik pendukung pengembangan klaster,
Pelaku Terkait Sasaran Tersedianya prasarana dan Departemen PU, Bappeda,
sarana wilayah diperlukan pen9em0angan
yang PT. PLN, PT, Telkom. dalanr usana
dalam klaster
6.2.3
Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Batik di Kota Pekalongan Berdasarkan hasil pembahasan terhadap kondisi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman padabab sebelumnya, klaster industri batik di Kota Pekalongan menghadapi banyak kelemahan/ namun di sisi lain mempunyai peluang (Tabel 6,5)
Tabel 6.5 SWOT Industri Batik di Kota Pekalongan Kelenrahan (W)
novasr r)1o[rt sar]9at tingqr, JUga terdapat
Belunr nrenqarah tcrlrertu!ny3
salU
inovasi dalam proses produksi
spesialisasi produk.
Kerlasama dengan pemenntalr dan lembaga pendukung beserta perannya masing-masing terhadap penqembangan usaha dinilai cukup
Belum teEedia lembagd R&D yang nrernbantu lnovasl
ba
ik.
Sistem pengajaran keahlian
mendorong
tenaga kerja dan masyarakat untuk mendirikan usaha banr dan menjadikan
Tingkat pengetahuan dan kealrlian yang dimiliki oleh tenaga kerja terbatas dalam manajernen usaha dan pemasaran
industri rotan terus llertarnbah, sehingga berpotensi menjadi klaster yang dinamis dan berdaya saing karena tidak te0adi monopoli usaha.
dan rnanajernen irrdustri yang acla belum banyak nlengembangkan kapasitas
Strui
Keiasama antar industri masih
sangat terbatas, nilai kebersamaan antar industri juga s"9-iih^f"y.nl"s-',. ." Belum terdapat pimpinan industri visi
Animo masyarakat yang masih baik, batik r|nenjadi pakaian nasional, menjadikan batik '
T.qqrqu-nya.!..pelgg.lg--q
!..p.?sar nasiolr.al
Terdapat peluang untuk melahirkan terus produk turunan batik (diversifikasi produk)
lPersaiangan di tingkat internasional dalam hal I harga dan hak paten.
Industri sulit berkembang akibat iklim usaha yang kurang mendukung (peraturan, birokrasi, kearranan. sosial oolitik
Strategi pengembangan klaster diarahkan dengan memperbaiki kelemahan yang ada dan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi prioritas digunakan untuk efisiensi langkah yang ditempuh, dengan cara memperbaiki permasalahan yang terkait dengan banyak hal, yaitu :
105
1.
Penguatan kerjasama
Berdasarkan hasil analisis, kegiatan kerjasama antara stakeholder l
2.
Penguatan pasar
Selama ini, masalah pemasaran menjadi permasalahan yang banyak ditemui oleh industri batik. Untuk itu, penanganan pemasaran menjadi salalr satu prioritas, karena terkait dengan permasalahan yang lain. lika produk mempunyai pasar yang jelas dan menjanjikan, maka akan terjadi kontinuitas proses produksi. Dengan begitu, usaha akan bert<embang, permasalahan keuangan dapat teratasi, dan kesejahteraan tenaga kerja dapat meningkat. Penguatan pasar ini dilal
3.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya nranusia yang berkualitas sangat penting bagi pengembangan usaha dan klaster itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu prioritas strategi karena manusialah yang menjadi penggerak, pemberi keputusan, dan pelakuisetiap kegiatan yang ada dalam klaster. Usaha tidak akan berkembang dengan baik jika pelaku usaha tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan usahanya itu sendiri, mempunyai perrgetahuan yang terbatas akan manajemen usaha dan pemasaran, juga mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan teknologi.
4.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Penciptaan iklim usaha yang kondusif diperlukan untuk mewujudkan klaster yang efisien, dinamis, dan berdaya saing, serta dapat menarik inves106
tor yang dapat membantu permasalahan permodalan yang banyak dihadapi oleh industri batik skala kecil.
Tabel 6.6 Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Batik di Kota Pekalongan Rencana Tindak
No. 1
Penguatan Kerjasama
i.
piiiirjenirtiri'rUiiii I
b.
ba
c.
s"i'u.;'
Klaster' dia ntara stek a holder klaster Penyusunan visi bersama guna pengembangan klaster industri
Pelaku Terkait
Sasamn
Terjadinya kerjasama yang kuat antara pelaku-pelaku yang terkait dengan klaster, sehingga terwujud sinergitas guna mencapai satu visi Ile rsa m
Industn rofan di senlua , struktur '
incrijitii penautu"q idemi;iiti; pemasok, dll)
a.
Penrerintah ( gappedi, Dirrai)
tik
Penyusunan kebtakan dan
Lembaga keuangan
pro9Fm Lernbaga pendidikan dan pelatihan Lerrbaga Il&l) 2
Penguatan Pasar
a. b
Mengadakan penelitian pasar
d.
Fasrlitasi pameran cjan kontak dagang di dalam dan luar negeri i Fasilitasi outlet-outlet pernasaran di kota-kota ilesar di dalanr negeri Sosialisasj dan fasilitasi proses hak paten produk
Penyediaan prasarana dan sara na telekomunikasi,
termasuk teknologi informasi t.
-".. ...
-.
Teridentif ikasinya pasar
:p r-,odylf tersp_e.sil!g.se
I
c.
i.,...
aantuan penyioiuan kredit kspor l"lenqcrrbanqkan l)ro(lukJlroduk turunan batik
!.
.
:inciiiiri iotin oi leinui
:Terbukanya peluang pasar ,baru di skala internasional
'terbu[anya petuung pa;u.
,
I
(
p;;beii,
Olnai PetinOurtiian dan Perdaqangan
:ercrptanya rkl[rr I
industri penour
'baru di skala nasional :,_.
persaian9an yan9 sehat, , setra menooron9 pengemtlangan inovasi Tersedianya prasarana dan :sarana telokomunikasi guna :menunjang efisiensi
'
stru ktu r
.
Dinas KoDerasi dan UKM
i
.
p9|nasaraf
Lenrbaqa keLrangan :
..
e
ierserlianya modal y.rr)g rrelnbanlu irldustri untuk ekspgl p,roduk
Lembaga pen(iiriikan dan rpelatihan Lenlt)aqn tl&L)
'Ire.l?kykan Terpenuhinya kebutuhan yanq 'Dasyarakat minat yang imempunyai ,cukup tinqgi terhadap r produk batik ,
707
lanjutan tabel 6,6 Rencana Tindak
NO 3
Pelaku Terkait
Sasara n
Penl]gkatan Kapasitas Sdrnber Daya
a.
b.
c.
d.
lvl a
nus ja
Meulbangun pusavbalai pendidikan dan pelatihan khusr/s untuk industfi rotan di setiap se0trn in(lustri rot.n. Memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan di semua bidang, mulai dari peningkatan keahlian dan keterampilan, desain prodLrk, pengenalan teknoloqi, manajemen usaha terntas,rk pemDUKUan, pemasaran, hing9a pe,nahaman akan HaKl. Mernfasilitasi kerjasama , aniara industri rotan dengan institusi pendidikan dan pelatihan yang terkait, Memfasilitasi kerjasama antara industri rotan skala besar dengan skala kecil dan menenga5 dalam hal pengenalac teknologi, manajemen usaha, dan
a.
C.
Tersedianya sarana pendidikan dan pelatihan klrusus indLrstri rotan
Inclustri rotan di sentua struktur
TerwUjudnya sunrber daya ltanusia yang !nemenuh j kebutuha n pengenlbangan k laster
Dinas Perindustri dan
Teruujudnya surnber daya
Oinas l-enaqa Kerja
Perclagangan
manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan industri
ree;iud;ya tJrlasama
Lembaga pendidikan dan
antara industri skala besar dengan industri skala kecil rnenengah dalam alih
Delatiha n
pengeta hua n
perlasaran. Penciptaan iklirn usaha yarg kondusif guna kelancaran pelaksanaan dan pengembangan usaha, terutama dalarn menarik investor untuk berinvestasi di industri rotan a. l,embentukan regulasi yarrg ' mendukung perkembangan ,usaha
b.
mendukung pengernbangan :usaha, sefta hilangnya regulasi yang Inenghambat penqenrban9.rn usahil 'Tersedianya arah dan , kebijakan pengembangan bisnis rotan yang jelas bagi
Pembentukan rencana bisnis industri rotan
Peningtit;n pefaianan aparatur terhadap dunia usaha d.
Teruujudnya regulasi yang
Peningkatan kearnanan wilayah
c.
ilygslor I PaF lTemujudnya efisiensi dan efektivitas da lam membuat l)ertinan usalra Teruujudnya rasa arnan ;
Industri rotan di semLla struktur
Ba
ppeda
oinai eeiaalangan
ctan
Perindustrian
Dinai Penciapatan Daerah
bagi pelaku usaha dalam melaksanakan dan rren_gembangkan usaha Badan Penanaman Modal Daerah
108
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Pite[ Et,Al,20Q2, Daya Saing Daerah, BPFEYogyakarta. BPPT, 2003 , Panduan
Pengembangan Klaster Industri Unggulan Daerah,
2003
Bappenas, 2003, Pembangunan Daya Saing Industri Nasional, Background Study Pembangunan Jangka Panjang.
Dong-Sung Cho Dan Hwy-Chang Moon, 2003, From Adam Smith To Michael Porter, Evolusi Teori Daya Saing.
IICA, 2003, The Study On Strengthening Capacity Of 5ME Cluster In Indonesia, Tidak Diterbitkan, KRI International Corp Lincoln Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah , BPFE Yogyaka rta. Mahmud Thoha (Penyunting), 2002, Globalisasi, Krisis Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Quantum.
Meyer Dan Stamer, 2003, The PACA Book Of Concepts, www.megopartner,com Kuncoro, Mudrajad dan Sumarno, Simon Bambang, 2003, Indonesia's Clove Cigarette Industry: Scp And Cluster Analysis, 5th. IRSA Conference. Philip S. Purnama, 2003, Harapan Dunia Bisnis Indonesia Untuk Memiliki Daya Saing Nasional, Diskusi Panel MMA-IPB. M e rn
Porter, Michael E,, 1993/1994, Keunggulan Bersaing, Menciptakan Dan U ng g u l, Harva rd Business Review.
p erta h a nka n Ki n er1 a
Rustiani, Frida dan Maspiyati, 1996, Usaha Rakyat dalam Pola desentralisasi Produksi SubKontrak, Yayasan Akatiga. Rosenfeld, Stuart A, 1997, Bringing Business Clusters Into The Mainstream Qf Economic Development, European Planning Studies, Vol, 5 Issue
Suhandoyo, Et.Al, 2000, Pengembangan Wilayah Perdesaan Dan Kawasan Tertentu, Sebuah Kajian Eksploratif , BPPT.
109