MEMBANDINGKAN PEREAKSI FENTON DAN KAPORIT DALAM MENURUNKAN CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) LIMBAH LARUTAN PENYAPU JENUH Ahmad Ramadhan dibawah bimbingan Dr. Sutanto, M.Si.* dan Dra. Ani Iryani, M.Si* * : Dosen Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Pakuan Bogor Alamat email :
[email protected] ;
[email protected] Abstract. Waste of saturated wiping solution is the waste derived from the ink leaching process and it was recycled continuously so saturated and can not be reused. These wastes must be treated before discarded into the environment because it is alkaline, foaming, and containing high COD. Hydroxyl radical generated from Fenton's reagent and hypochlorite ion produced from kaporit are to oxidize the organic substances in the waste so can reduce the COD value. This research to determine the optimum conditions of Fenton's reagent and kaporit to reduce COD in this waste. The research method consisted of testing the characteristics of the waste, treatment of waste, and data analysis. Waste characteristics testing included measurement of pH, total solid, and COD value. The treatment of the waste using Fenton's reagent and kaporit at the optimum conditions for each reagent. Determination of optimum conditions of Fenton's reagent to reduce COD are pH, contact time, the concentration of ferrous sulphate, and the concentration of hydrogen peroxide. Determination of optimum conditions of kaporit to reduce COD are pH, contact time, and concentration of kaporit. The results showed the optimum conditions of Fenton’s reagent to reduce the COD waste of saturated wiping solution at pH 3, the contact time of 90 minutes, the concentration of ferrous sulfate catalyst 1:10 with hydrogen peroxide and hydrogen peroxide dose of 2000 mg / L will be able to reduce the COD by 46, 41%. Optimum conditions of kaporit to reduce the COD of waste of saturated wiping solution at pH 7, the contact time of 60 minutes, and the kaporit dose of 4000 mg / L will be able to reduce COD by 17.34%. Keyword : Waste, COD, Fenton’s reagent, kaporit, oxidation. 1.
lingkungan, maka teknologi pengolahan limbah yang efektif dan efisien menjadi sangat penting. Pada proses pencetakan, tinta pada pelat cetak yang berasal dari rol tinta disapu dengan rol penyapu menggunakan larutan penyapu yaitu suatu larutan yang digunakan untuk membersihkan rol penyapu pada proses cetak yang menggunakan sistem “water wiping” (Djidas et al., 1988). Kandungan larutan penyapu adalah natrium hidroksida, sulfonated castor oil (SCO) dan soft water. Larutan penyapu yang telah bercampur dengan tinta
Pendahuluan
Percetakan adalah sebuah proses industri untuk memproduksi secara massal tulisan dan gambar terutama dengan tinta di atas kertas menggunakan sebuah mesin cetak. Perkembangan teknologi dan pasar grafika yang terus berubah cepat menjadikan para pelaku industri percetakan tertuntut harus dapat menyesuaikannya (Wasono dkk, 2008). Perkembangan industri yang semakin pesat dan peraturan mengenai limbah industri yang semakin ketat serta tuntutan untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan 1
kemudian dilakukan proses daur ulang untuk memisahkan antara tinta dan larutan penyapu. Hasil proses daur ulang ini berupa larutan penyapu yang jernih dan dapat digunakan kembali untuk membersihkan silinder penyapu pada proses cetak. Proses daur ulang yang terus menerus menyebabkan larutan penyapu menjadi jenuh yang ditandai dengan larutan berwarna coklat dan kurang bersihnya hasil penyapuan tinta pada silinder penyapu (Mulyani, 2008). Limbah larutan penyapu jenuh adalah limbah yang berasal dari proses pelarutan tinta dan daur ulang yang terus menerus sehingga jenuh dan tidak dapat digunakan kembali. Limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan karena bersifat basa (mengandung NaOH sebagai penghancur yang melarutkan bahan pengikat (varnish) dari tinta cetak sehingga tinta larut (Wiratno, 2009)), berbusa (mengandung SCO sebagai penurun tegangan permukaan sehingga tinta tidak menempel pada pelat yang merupakan hasil proses sulfonasi (substitusi gugus sulfonil (-SO3OH) pada gugus OH asam risinoleat) dari minyak jarak (Wiratno, 2009)), dan COD tinggi (terlarut kandungan bahan tinta seperti Plastiscizer, wax, anti set off, pengencer (reducer), anti oksidan, dan dryer (Eldred, 2001) yang umumnya merupakan senyawa organik berantai panjang). Limbah dengan nilai COD yang tinggi sangat berbahaya bagi lingkungan karena dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Salah satu cara menurunkan COD dalam limbah adalah dengan proses oksidasi (Tchobanoglous, 2003). Beberapa jenis zat pengoksidasi yang dikenal seperti ozon (O3), hidrogen peroksida (H2O2), permanganat (MnO4-), klorin (Cl2), hipoklorit (OCl-), dan dikromat (Cr2O72-) (Tchobanoglous, 2003). Percobaan yang dilakukan
menggunakan kalsium hipoklorit (kaporit) karena bahan ini mempunyai kemampuan sebagai oksidator, murah, mudah didapat, dan mekanisme kerja kaporit mengoksidasi zat organik berdasarkan reaksi reduksi standar dari ion hipoklorit (Tchobanoglous, 2003), serta menggunakan pereaksi fenton yang merupakan campuran hidrogen peroksida dan katalis ferro sulfat untuk menurunkan COD karena bahan ini dapat menghasilkan radikal hidroksil yang mempunyai kemampuan oksidator (Industrial Wastewater, 2007), mekanisme kerja radikal hidroksil berbeda dengan oksidator lain yaitu tidak berdasarkan reaksi reduksi standar dari hidrogen peroksida, dan reaksi berjalan cepat karena adanya katalis. Perbedaan mekanisme untuk mengoksidasikan zat organik ini yang akan dibahas hasilnya terhadap efektivitas keduanya dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum dan membandingkan antara pereaksi fenton dan kaporit dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. Hipotesis dari penelitian ini pereaksi fenton lebih efektif daripada kaporit dalam menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh. 2.
Bahan dan Metode
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012 di Laboratorium PT. X, Karawang, Jawa Barat. 2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah digestion vessel bertutup ulir, pemanas dengan lubang penyangga tabung, mikroburet, labu ukur, pipet volumetrik, pipet ukur, Erlenmeyer, gelas piala, 2
magnetic stirrer, pH meter Fisher Scientific, oven Memmert, timbangan analitik Mettler Toledo AE200, spektrofotometer UV-VIS HACH DR2800. Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah larutan penyapu, hidrogen peroksida (H2O2), kaporit (Ca(OCl)2), asam sulfat (H2SO4), perak sulfat (AgSO4), perak nitrat (AgNO3), kalium kromat (K2CrO4), kalium dikromat (K2Cr2O7), merkuri sulfat (HgSO4), 1,10 – phenantrolin monohidrat, ferro sulfat (FeSO4), dan kalium hidrogen pthalat (C8H5KO4).
nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi pH larutan diatur hingga pH 3, 4, 5, dan 6. 2.4.1.2. Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm ferro sulfat dan 500 ppm hidrogen peroksida ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan 150 menit.
2.3. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari pengujian karakteristik contoh limbah yang meliputi pH, suhu, total padatan, dan chemical oxygen demand (COD), serta perlakuan terhadap contoh limbah yaitu menggunakan pereaksi fenton dengan variasi pH, waktu pengadukan, dosis H2O2 dan dosis ferro sulfat yang optimum serta menggunakan kaporit dengan variasi pH, waktu pengadukan dan dosis kaporit yang optimum. 2.4.
2.4.1.3. Penentuan Dosis Optimum Ferro Sulfat Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm ferro sulfat dan hidrogen peroksida 500 ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis ferro sulfat sebanyak 62,5 ppm, 50 ppm, 25 ppm, dan 10 ppm.
Cara Kerja
2.4.1. Penentuan Kondisi Optimum Pereaksi Fenton (Industrial waste water, 2007) 2.4.1.1. Penentuan pH Optimum Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 2 dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 100 ppm ferro sulfat dan 500 ppm hidrogen peroksida ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD 3
2.4.1.4. Penentuan Dosis Optimum Hidrogen Peroksida Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan ferro sulfat sesuai dengan dosis optimumnya dan 500 ppm hidrogen peroksida ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diambil larutan bagian atas (hingga tinggal bagian endapan) dan diatur pH nya agar diperoleh pH = 7. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi dosis hidrogen peroksida sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000 ppm, dan 8000 ppm.
dalam larutan. Larutan diaduk selama 30 menit. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi lama waktu pengadukan selama 60, 90, 120, dan 150 menit. 2.4.2.3. Penentuan Dosis Optimum Kaporit Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan diaduk selama waktu pengadukan optimum. Setelah selesai, diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi konsentrasi hidrogen peroksida sebanyak 1000 ppm, 2000 ppm, 4000 ppm, dan 8000 ppm.
2.4.2. Penentuan Kondisi Optimum Kaporit (Tchobanoglous, 2003) 2.4.2.1. Penentuan pH Optimum Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH larutan hingga pH 6 dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke dalam larutan. Larutan diaduk selama 120 menit, setelah selesai diamkan larutan selama 5 menit. Diperiksa nilai COD nya dengan metode spektrofotometri. Dilakukan cara kerja yang sama, tetapi pH larutan diatur hingga pH 7, 8, 9, dan 10.
2.4.3.
Pengukuran pH (SNI 066989.11 – 2004) pHmeter dikalibrasi menggunakan buffer standar pH 4 dan 7. Dituangkan limbah ke dalam piala gelas 250 mL. Dicelupkan elektroda pHmeter ke dalam larutan limbah. Ditunggu sampai pembacaan nilai pH stabil yang terlihat pada layar pHmeter Fisher Scientific terdapat tulisan “STABLE”. Dicatat pH dan suhu limbah. 2.4.4.
Pengukuran Total Padatan (SNI 06-6989.26-2005) Dipipet 5 mL contoh limbah ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobot kosongnya. Dipanaskan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Didinginkan ke dalam eksikator dan ditimbang hingga mendapatkan bobot tetap.
2.4.2.2.Penentuan Waktu Pengadukan Optimum Dimasukkan 200 mL limbah ke dalam piala gelas. Diaduk limbah tersebut menggunakan pengaduk magnetik, kemudian atur pH hingga pH optimum dengan menambahkan H2SO4. Ditambahkan 500 ppm kaporit 10% ke
Total padatan (%) = 4
Keterangan : B = Bobot botol timbang + contoh setelah pengeringan A = Bobot botol timbang kosong
Diukur absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS panjang gelombang 600 nm. Dilakukan hal yang sama pada air bebas organik sebagai blanko. COD (mg O2/L) =
2.4.5.
Penetapan Chemical Oxygen Demand (COD) dengan Refluks Tertutup Secara Spektrofotometri (SNI 066989.2 – 2009) Pembuatan kurva deret standar penetapan COD : Digerus perlahan kalium hidrogen phtalat (KHP), lalu keringkan sampai berat konstan pada suhu 110oC. Larutkan 425 mg KHP ke dalam air bebas organik dan tepatkan sampai 1000 mL. Buat deret standar sesuai dengan kebutuhan dengan konsentrasi yang berbeda. Dipipet maing-masing deret standar 2,5 mL, digestion solution 1,5 mL, dan 3,5 mL pereaksi asam sulfat ke dalam digestion vessel. Ditutup tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai homogen. Diletakkan tabung pada pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam. Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang sudah direfluks sampai suhu ruang. Saat pendinginan tutup contoh uji dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas. Diukur absorbansi standar dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 600 nm. Dibuat kurva standar hubungan konsentrasi dan absorbansi standar.
Keterangan : Fp = faktor pengenceran Acontoh = absorbansi contoh 2.4.6.
Penetapan Kadar Klorida dengan Metode Argentometri (SNI 06-6989.13-2009) Dipipet 10 mL contoh diencerkan dalam labu ukur 100 mL hingga tanda tera. Dipipet 10 mL larutan uji ke dalam Erlenmeyer 250 mL dan tambahkan air demin hingga 100 mL. Ditambahkan indikator 1 mL K2CrO4. Dititar dengan larutan AgNO3 0,01N hingga titik akhir yaitu terbentuk warna kuning kemerahan. Dicatat volume larutan AgNO3 yang dibutuhkan (A mL). Kadar klorida (mg/L)=
Keterangan : Fp = faktor pengenceran A = mL penitar AgNO3 N = normalitas larutan AgNO3 V = volume contoh uji 2.4.7. Penetapan kadar Besi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) (SNI 066989.4-2009) Pembuatan kurva deret standar penetapan kadar besi (Fe) : Dipipet 10 mL larutan standar Fe 1000 mg/L ke dalam labu ukur 100 mL. Dibuat deret standar dengan konsentrasi berbeda dan diencerkan di dalam labu ukur 100 mL dengan menggunakan air demin hingga tanda tera. Diukur nilai absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.
Pemeriksaan nilai COD contoh : Dipipet limbah 2,5 mL, digestion solution 1,5 mL, dan 3,5 mL pereaksi asam sulfat ke dalam digestion vessel. Ditutup tabung tersebut dan dikocok kuat perlahan sampai homogen. Diletakkan tabung pada pemanas pada suhu 150oC selama 2 jam. Didinginkan perlahan-lahan contoh uji yang sudah direfluks sampai suhu ruang. Saat pendinginan tutup contoh uji dibuka untuk mencegah adanya tekanan gas. 5
Penurunan COD (mg/L)
Pemeriksaan kadar besi (Fe) contoh : Dipipet 50 mL contoh ke dalam piala gelas 250 mL. Ditambahkan 5 mL HNO3 pekat. Dipanaskan hingga sisa volume 15 hingga 20 mL. Disaring dan pindahkan ke dalam labu ukur 100 mL. Diencerkan dengan menggunakan air demin hingga tanda tera. Diperiksa absorbansi contoh dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Dihitung konsentrasi besi dalam contoh.
2000 1500 1000 500 0 0
2
4
6
8
pH
Gambar 1. Kurva Hubungan Kondisi pH Versus Penurunan COD Menggunakan Pereaksi Fenton
Kadar besi (Fe) = Keterangan Fp Acontoh
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan kondisi pH optimum pereaksi fenton menurunkan COD terjadi pada pH 3 yaitu penurunan COD sebesar 1904 mg/L. Pada pH ini pembentukan radikal hidroksil maksimum sehingga dapat menurunkan COD yang tertinggi.
: = faktor pengenceran = absorbansi contoh
2.4.7.
Analisis Data . Penentuan konsentrasi optimum penurunan COD yang diperoleh dari penelitian ini dibuat grafik hubungan antara kondisi pH dengan penurunan nilai COD, grafik hubungan waktu pengadukan dengan penurunan nilai COD, dan grafik hubungan antara konsentrasi (pereaksi fenton dan kaporit) dengan penurunan nilai COD. Selain itu dilakukan perbandingan hasil analisis pH, total padatan, COD, dan hasil samping proses terhadap contoh sebelum dan sesudah perlakuan penurunan COD dengan pereaksi fenton dan kaporit. 3.
H2O2 + Fe2+
Fe3+ + OH- + OH.
Pada pH di bawah 3 pembentukan radikal hidroksil kurang maksimal karena pH yang terlalu asam sehingga kemungkinan ion besi kurang maksimal mengkatalisis pembentukan radikal hidroksil, sedangkan pada pH di atas 3, penurunan COD lebih rendah karena sebagian ion besi mengendap sehingga sebagian hidrogen peroksida tidak stabil dan mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial Wastewater, 2007). H2O2 H2O + ½O2
Hasil dan Pembahasan
3.1.
Kondisi Optimum Pereaksi Fenton 3.1.1. Kondisi pH Optimum Pereaksi Fenton Pengamatan pH optimum pereaksi fenton menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh dapat lebih mudah dilihat pada Gambar 1 yaitu suatu kurva hubungan antara besarnya penurunan COD sebagai sumbu y dan kondisi pH sebagai sumbu x.
3.1.1. Waktu Kontak Optimum Pereaksi Fenton Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap waktu kontak seperti yang disajikan pada Gambar 2.
6
Penrununan COD (mg/L)
2500
sehingga penurunan maksimal.
2000
3.1.3.
COD
kurang
Dosis Optimum Penambahan FeSO4 Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan FeSO4 seperti yang disajikan pada Gambar 3.
1500
1000
500 2000 0 30 60 90 120 150 Waktu Kontak (menit)
180
Penurunan COD (mg/L)
0
Gambar 2. Kurva Hubungan Waktu Kontak Versus Penurunan COD Menggunakan Pereaksi Fenton Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1935 mg/L dengan waktu kontak optimum 90 menit. Mekanisme kerja suatu radikal bebas terdiri dari tahap inisiasi (reaksi saat ikatan terlemah pada reaktan atau pada salah satu dari reaktan-reaktan putus untuk menghasilkan radikal bebas), tahap propagasi (radikal bebas menyerang reaktan menghasilkan molekul produk dan spesies reaktif yang lain. Radikal bebas yang baru ini bereaksi lebih lanjut dan membentuk lagi radikal bebas yang semula, yang sekali lagi menyerang molekul reaktan. Dengan jalan ini produk dan pembawa rantai terbentuk secara kontinyu), dan tahap terminasi (reaksi yang mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif sehingga reaksi berakhir). Hal ini menunjukkan tahap radikal hidroksil untuk mengoksidasi zat organik membutuhkan waktu yang cukup lama karena kompleksnya zat organik dalam limbah dan mekanisme reaksi yang bertahap. Waktu kontak di bawah 90 menit mengakibatan terdapat tahap reaksi yang belum sempurna
1500
1000
500
0 0
25 50 75 100 Dosis FeSO4 (mg/L)
125
Gambar 3. Kurva Hubungan Dosis FeSO4 Versus Penurunan COD Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1854 mg/L dengan dosis optimum penambahan FeSO4 sebesar 1:10 dengan H2O2. Hal ini menunjukkan komposisi antara katalis besi dan hidrogen peroksida seimbang sehingga pembentukan radikal hidroksil maksimum maka terjadi penurunan COD yang tertnggi. Perbandingan katalis besi dengan hidrogen peroksida yang lebih rendah menyebabkan kurang maksimalnya pembentukan radikal hidroksil karena sebagian hidrogen peroksida tidak stabil dan mengurai menjadi oksigen dan air maka kemampuan oksidasinya berkurang (Industrial Wastewater, 2007). H2O2 7
H2O + ½O2
Penurunan COD (mg/L)
3.1.4 Dosis Optimum Penambahan H2O2 Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap dosis penambahan H2O2 seperti yang disajikan pada Gambar 4.
resin fenolik yaitu senyawa fenol dan formaldehida. Senyawa fenol dapat bertahan dengan oksidasi karena pembentukan suatu gugus karbonil akan mengakibatkan dikorbankannya penstabilan aromatik. Selain itu juga, senyawa fenol memiliki energi resonansi. Energi resonansi ialah energi yang hilang (kestabilan yang diperoleh) dengan adanya delokalisasi penuh elektron-elektron dalam sistem pi. Besaran ini merupakan ukuran tambahan kestabilan sistem aromatik (Fessenden, 1982).
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
3.2. Kondisi Optimum Kaporit 3.2.1. Kondisi pH Optimum Kaporit Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi kondisi pH seperti yang disajikan pada Gambar 5.
2000 4000 6000 8000 10000 Dosis H2O2 (mg/L)
Penurunan COD (mg/L)
Gambar 4. Kurva Hubungan Dosis H2O2 Versus Penurunan COD Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 4463 mg/L dengan dosis optimum penambahan H2O2 sebesar 2000 mg/L. Hal ini kemungkinan disebabkan masih terdapat bahan organik yang hanya dioksidasikan menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol. Senyawa-senyawa tersebut masih menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD. CaHbOc + 3OH. (Zat organik)
700 600 500 400 300 200 100 0 5
6
7
8 pH
9
10
11
Gambar 5. Kurva Hubungan Kondisi pH dan Penurunan COD dengan Menggunakan Kaporit
CaHbOc. + H2O (Radikal zat organik)
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 660 mg/L dengan kondisi pH optimum pada pH 7. Hal ini sesuai dengan reaksi reduksi standar dari ion hipoklorit sebagai berikut :
CaHbOc. + H2O Campuran produk (Radikal zat organik) (alkohol,keton, CO2,H2O) Sumber : (Fessenden, 1982) Selain itu, kemungkinan dikarenakan kandungan zat organik yang terlarut dalam limbah larutan penyapu jenuh yang berupa resin fenolik (bahan baku varnish) yang sulit untuk dioksidasikan oleh pereaksi fenton. Monomer dari
OCl- + H2O + 2e-
Cl -+ 2OH- Eo = +0,90V
Berdasarkan reaksi tersebut reduksi ion hipoklorit terjadi pada pH netral yang ditandai adanya molekul air (H2O) pada sisi kiri reaksi. Bila pH terlalu basa 8
maka reaksi akan berbalik kembali ke arah kiri sehingga kemampuan oksidasi menjadi kurang maksimal.
60 menit menyebabkan reaksi oksidasi belum sempurna sehingga penurunan COD kurang maksimal.
3.2.2.
3.2.3. Dosis Optimum Penambahan Kaporit Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi dosis penambahan kaporit seperti yang disajikan pada Gambar 7.
800
1600 Penurunan COD (mg/L)
Penurunan COD (mg/L)
Waktu Kontak Optimum Kaporit Kurva hubungan penurunan COD yang terjadi terhadap variasi waktu kontak seperti yang disajikan pada Gambar 6.
600 400 200 0 0
30
60 90 120 150 Waktu Kontak (menit)
180
Zat organik + OCl-
1000 800 600 400 200 0
2000 4000 6000 8000 Dosis Kaporit (mg/L)
10000
Gambar 7. Kurva Hubungan Dosis Kaporit Versus Penurunan COD
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 634 mg/L dengan waktu kontak optimum 60 menit. Waktu kontak ini lebih cepat dibandingkan dengan pereaksi fenton karena reaksi pembentukan ion hipoklorit lebih mudah dan mekanisme ion hipoklorit mengoksidasikan zat organik lebih sederhana.
HOCl
1200
0
Gambar 6. Kurva Hubungan Waktu Kontak Versus Penurunan COD Menggunakan Kaporit
Ca(OCl)2+ H2O
1400
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa penurunan COD maksimum sebesar 1479 mg/L dengan dosis penambahan kaporit optimum sebesar 4000 mg/L. Nilai penurunan dengan menggunakan kaporit lebih rendah daripada menggunakan pereaksi fenton karena kekuatan oksidasi ion hipoklorit yang dihasilkan dari kaporit lebih rendah yaitu 1,07 dibandingkan dengan kekuatan radikal hidroksil yaitu 2,06 dengan standar oksidator Cl2 yaitu 1 (Industrial Wastewater, 2007) sehingga lebih banyak terdapat bahan organik yang hanya dioksidasikan menjadi senyawa keton, aldehida, dan alkohol. Senyawa-senyawa tersebut masih menghasilkan nilai COD saat penetapan nilai COD (Fessenden, 1982).
Ca2+ + OH¯ + HOCl H+ + OCl¯ Senyawa antara
Senyawa sederhana (contoh : H2O, CO2) + Cl-
Selama proses oksidasi, ion hipoklorit akan direduksi sampai menjadi ion klorida (Tchobanoglous et al. 2003). Waktu kontak di bawah 9
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai pH setelah perlakuan kedua bahan (pereaksi fenton dan kaporit) tidak terjadi perbedaan yang signifikan yaitu menjadi lebih mendekati netral sedangkan pH awal limbah bersifat basa (pH = 10,13).
3.3.
Perbandingan Hasil Sebelum dan Sesudah Perlakuan Tabel 1. Perbandingan hasil sebelum dan sesudah perlakuan No
1
Sebelum Perlakuan
Setelah dengan Pereaksi Fenton
Setelah dengan Kaporit
10,13
7,20
8,05
1,62
1,80
1,51
8979
4812
7422
ND
6,909
-
173
-
1885
Ph Total padatan (%) COD (mg/L)
2 3
Kadar besi (mg/L) Kadar klorida (mg/L)
4 5
2.1 Total Padatan (%)
Parameter Uji
7.2
pH
Nilai COD (mg/L)
8979 7422 4812
Limbah + pereaksi fenton
Limbah + kaporit
Gambar 10. Grafik Nilai COD Limbah Sebelum dan Sesudah Perlakuan
8.05
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat perubahan yang sangat siginifikan terjadi pada penurunan COD menggunakan pereaksi fenton yaitu 4812 mg/L (46,41%), sedangkan dengan menggunakan kaporit sebesar 7421 mg/L (17,34%). Hal ini menunjukkan pereaksi fenton daya oksidasinya lebih baik daripada kaporit.
4 2 0 Limbah + pereaksi fenton
10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Limbah awal
6
Limbah awal
Limbah + kaporit
Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat kandungan total padatan setelah perakuan tidak mengalami perubahan yang signifikan antara dengan pereaksi fenton dan kaporit.
10.13
8
Limbah + pereaksi fenton
Gambar 9. Grafik Total Padatan Limbah Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Fe(OH)3 + 3H+
10
1.51 1.5
Limbah awal
Hasil samping berupa ion klorida setelah perlakuan dengan kaporit sangat tinggi yaitu terjadi kenaikan sebesar 1712 mg/L. Hal ini menunjukkan perlu ada perlakuan tambahan untuk mengurangi jumlah ion klorida pada hasil akhir limbah. 12
1.62
1.2
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat hasil samping berupa besi tidak terlalu banyak setelah perlakuan dengan perekasi fenton yaitu sebesar 6,909 mg/L karena ion ferri hasil reaksi pereaksi fenton dapat bersifat sebagai koagulan sehingga mengendap dan terpisah saat penyaringan dan dapat mengurangi hasil samping ion besi. Fe3+ + 3H2O
1.8 1.8
Limbah + kaporit
Gambar 8. Grafik Nilai pH Limbah Sebelum dan Sesudah Perlakuan 10
4.
c.
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa; 1. Kondisi optimum pereaksi fenton untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 3, waktu pengadukan 90 menit, konsentrasi katalis ferro sulfat 1:10 dengan hidrogen peroksida, dan dosis hidrogen peroksida 2000 mg/L dapat menurunkan COD sebesar 46,41%. 2. Kondisi optimum kaporit untuk menurunkan COD di dalam limbah larutan penyapu jenuh yaitu pada pH 7, waktu pengadukan 60 menit, dan dosis kaporit 4000 mg/L dapat menurunkan COD sebesar 17,34%. 3. Pereaksi fenton lebih efektif untuk menurunkan COD limbah larutan penyapu jenuh daripada kaporit.
d.
e.
f.
g.
Bapak Drs. Husain Nashrianto, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Ibu Ade Heri Mulyati, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Kimia FMIPA UNPAK Bogor. Bapak Dr. Sutanto, M.Si. dan Ibu Dra. Ani Iryani, M.Si. atas wawasan, waktu, arahan serta bimbingannya. Orang tua tercinta, yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini baik moril maupun materil. Rekan seperjuangan Program Studi Kimia 2008 atas dukungan dan persahabatannya. Rekan kerja di PT.X atas bantuan dan semangat moril yang diberikan.
6. Daftar Pustaka Anonimus. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 2: Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand / COD) dengan Refluks Tertutup Secara Spektrofotometri. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Anonimus. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
4.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian untuk menurunkan COD lebih lanjut diperlukan adanya perlakuan tambahan seperti dengan metoda flokulasi atau perlu dicari metode lain seperti pengolahan secara anaerob menggunakan bakteri (lumpur aktif).
Anonimus. 2004. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 11: Cara Uji Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan menggunakan pHmeter. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
5.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian jurnal ini, antara lain : a. PT. X, Karawang, Jawa Barat yang telah menjadi tempat penelitian. b. Ibu Dr. Prasetyorini, MS. selaku Dekan fakultas FMIPA UNPAK Bogor.
Anonimus. 2009. Air dan Air Limbah – 06.6989 Bagian 14: Cara Uji Klorida (Cl-) dengan Metode Argentometri. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Anonimus. 2005. Air dan Air Limbah – 06.689 Bagian 26: Cara Uji Kadar Padatan Total Secara Gravimetri . 11
Jakarta: Nasional.
Badan
Standarisasi
Perdana, F. K., dan Ibnu H. 2008. Pembuatan Sabun Cair dari Minyak Jarak dan Soda Q sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q. Semarang: Universitas Diponegoro.
Braz, J. C. E. 2004. Characterization of Phenolic Resin and Sugar Cane Pulp Composite. Sao Paulo : Brazillian Journal of Chemical Engineering.
Purnomo, E. 1999. Penghilangan Warna Limbah Proses Pencelupan Pabrik Tekstil dengan Menggunakan Metode Oksidasi Fenton. Depok: Universitas Indonesia.
Djidas, L. P. and N. Thomas H. D. 1988. Sheetfed Offset Press Operating. Pittsburgh : Graphic Art Technical Foundation.
Said, I. N. 2003. Pengolahan Air Minum. Jakarta : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Eldred, Dr. N. R. 2001. What The Printer Should Know About Ink. Pittsburgh : Graphic Art Technical Foundation.
Slamet, R. S., dan Wahyu D. 2003. Pengolahan Limbah Logam Berat Chromium (VI) dengan Fotokatalis. Depok: Jurnal Makara Universitas Indonesia.
Industrial Wastewater. 2007. http://h2o2.com/industrial/fentonsreagent.aspx? pid=143&name=GeneralChemistry-of-Fenton-s-Reagent
Tchobanoglous, G, Franklin L. B., and H. David S. 2003. Waste Water Engineering Treatment and Reuse. New York: Mc. Graw Hill Companies, Inc.
Mulja.1999. Analisis Instrument. Jakarta : Erlangga. Mulyani, R. 2008. Peningkatan Kualitas Proses Pengolahan Laritan Pembersih Daur Ulang dengan Metode Design of Experiment (Studi Kasus PT. XY). Depok : Universitas Indonesia.
Vogel. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Wiratno, E. 2009. Analisa Kelayakan Investasi Pembuatan Sulfonated Castor Oil di Perum Peruri. Karawang: Universitas Singaperbangsa Karawang.
Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD (Chemical Oxygen Demand) pada Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet, dan Domestik. Medan : Universitas Sumatera Utara.
12