Pemberdayaan
Kewibawaan Pendidikan Islam sebagai Fenomena Pemberdayaan Umat Oleh Fachiy Ali
Sesimgguhnya,pembicaraan pada masa lampau menjelajahi mengenai dunia pendidikan berbagai sektor kehidupan. Kita Islam, adalah sesuatu yang berada jauh di luar jangkauan akademis saya. Tetapi untuk tetap memenuhi "paksaan" menulis tentang hal tersebut, hanya dapat saya penuhi dengan satu syarat, bah-
melihat bagaimana pendidikan Islam berada pada se buah struktur yang menyebabkannya secara tak terhin-
darkan bersangkutpaut dengan bidangbidang atau hal-hal lain yang mungkin
wa apa yang saya ke-
secara teknikal ti
mukakan nanti, ada
dak berkaitan de-
lah pembahasan me ngenai pendidikan Islam dalam perspektif yang longgar dan tidak menggunakan
ngannya.
Pemberdayaan
definisi-definisi atau konsep-konsep yang ketat.
Dalam konteks tersebut, saya ingin melihat bahwa dunia pen didikan Islam tidak h^ya sebagai sebuah sistem pemberdayaan manusia, yang dikelola secara sistema-
tis dengan dasar dan tujuan-tujuan khusus, melainkan pula sebagai se buah fenomena yang luas, yang 64
Kaitan dengan hal tersebut, marilah kita lihat sebuah
kisah sejarah tanah Jawa abad ke-16, ketika kerajaan Demak sedang mengalami kerun-
tuhannya dan ketika pergulatan politik antar elite kerajaan-kerajaan suksesor sedang marak. Pada waktu Sultan Trenggana wafat dalam sebuah peperangan di ujung Jawa Timur (di Benteng Panarukan) pada tahun 1546,maka krisis politik tidak terhindarkan lagi. Pada saat itu. JPI Fakultas Tarhiyah UII, 2/1/96
Pemherdayaan
muncuUah seorang tokoh spiritual k^ena posisi seorang guru, pendiSuhanKudus, yaitu seorang guru da- dik dalam Islam, ternyata mempu-
ri raja-raja dari para pangeranJawa nyai pengaruh yang lebih tinggi padawaktuitu,dankonon'tokohse- dibanding elite kekuasaan Jawa perti Sunan Prawata, Jaka Tingkir, pasca Demak. dan Aria Penangsangjuga disebutApay^g dapat kitajelaskan dasebut sebagai murid-muridnya ri peristiwa di atas, adalah bahwa {Graaf, 1985:26). kekuasaan spiritual yang dipancarKahadiran Sunan Kudus, lebih kan oleh pengaruh seorang "guru"
dimaksudkan sebagai "pendamai" dalam Islam, hampir tidak ada
dalam pertikaian politik para elite tandingannya dibandingkahkekukerajaan suksesor Demak seperti an- asaan "sekuler" para raja. Kekuatan tara Jaka Ungkir dari
dan kekuasaan isti-
Pajang dan Aria Pe
mewa seperti yang
nangsang' dari Jipang. Disihi terlihat secara mencolok de-
monstrasi supremasi
pengaruh seorang tokoh spiritual seper ti Sunan Kudus, dan
sekaligus menunjukkanbetapa pendidik-
posisi seorang.I gu7^ pendidik . dalam Islam, ternyata mempu-
nyai pengaruh
ydng'tehih, tinggi . dihdnding elite hehuc^cLaiiJawd ^pasca Demak,
deiriikian ini, bah-
kan bukan hanya monopoli SunanKu dus. Sebab, kedigdayaan spiritual yang sama juga dialami oleh Sunan
Giri, saat mana Sul
tan Pajang, setelah memenangkan peran Islam masa 1amtarungannya depau tampil sebagai ngan Aria Penang fenomena dalam masang yang pada sa syarakat (Jawa). at itu sebagai peAtas wibawanya; Siman Kudus berhasil meminta ke- nguasa Jipang, yang memintanya dua elite kekuasaan tersebut imtuk untuk pengukuhan kekuasaan ke-
datang kepadanya. Dengan kewi- padanya (1985:30) bawaannya pula, tokoh spiritual terUntuk batas tertentu, kisah ter sebut member! nasehat-nasehat dan akhir sebagaimana yang digambar-
bahkan 'memarahi raja Pajang dan kan kembali oleh H.J. de Graaf terraja Jipang, setelah dibiarkan me- sebut, telah menamb^ data tenhunggu di depan ndalemnya, dan ke- tang wacana politik dan budaya Jamudian menyuruhnya pulang, yang oleh Graaf digambarkan keduanya bagai anak sekol^ saja (1985:30). Peristiwa ini menarik perhatian kita SPlFakultas Tafbiyah Ull, 2/1/96
wa, yang menempatkan seorang guru agama Islam di atas kekuasaan sekular. Dengan katalain, kekuasaan spiritual berada di atas keku65
Pemherdayaan
asaansekular,yangbahkansempat iTtenjadi konsep bagi SultanAgung menjadikan dirinya sebagai Pandita Ratu, dengan antara lain membang-
gap sebagai bagian yang menyatu dengan jaringan serat-seratbudaya tersebut, bagaimanakah kita harus menjelaskan, mengapa posisi para
un kompleks perkuburan di bukit
pendidik itu justm lebih tinggi di-
Imogiri, untuk menyamai posisi
dalammasyarakat,bahkanmelebihi
spiritual para wali {Reid, 1993:92).
posisi seorang raja sekalipun. Pertanyaan ini sangatpenting.diajukan, pat dimengerti dari tonamen di atas sebab, jawaban terhadapnya akan adalah bahwa pada masa itu nilai menentukan pemahaman kita tenpendidikan keagamaan yang seka- tang perubahan-perubahan yang rang populer disebut dengan pen telah terjadi dan menyumbangkan didikan Islam, berpandangan untuk kait erat dengan asmencandra perseseoriuig yang pek budaya dalam kembangan masa masyarakat Jawa. mempunyai kecakapan depan pendidikan Sehingga, seseorang Islam. sebagai prbduk isehuah yang mempunyai Untuk sebagikecakapan sebagai an, jawaban atas Islan^ akan dengan produk sebuah pro pertanyaan terse ses pendidikan Is but haruslah kita lam, akan dengan cari pada sifat dan tersp^kturkan ke :, sendirinya terstrukmasyarakat agraris
Sebagai rnti persoalan yang da-
turkan ke dalam ja ringan serat budaya masyarakatnya. Bagaimanapun
dalam jaHhganaer^
. huddyd masya^ . ^ ^ rakainya !
dimasa sebelum la-
himya masyarakat industri, sebagaimana dengan te-
juga haruslah kita akui bahwa posisi Sunan Kudus, Sunan Giri, se-
lanjang.didemontrasikan oleh masyarakat (Jawa) pada masa itu. Da-
perti juga Wali-wali lainnya, me-
lam konteks ini kita melihat bahwa
rupakan bagian integral dari suatu sebuah masyarakat agraris pra-inkehidupan lingkungan masyarakat dustri bukanlah lagisebuah masyatertentu. Namun di atas segalanya, rakat yang terisolasisacara sempurpara wali itulah yang telah berfungsibukansaja sebagaipenyebar
na, seperti argumen yang dikemukakan oleh. Robert Redfield, (1956).
Islam, tetapi juga guru danpendiNamun perkembangan dunia dik bagi masyarakatnya. material dan teknologinya sangatNamim,jika pendidikan keaga- lah terbatas, yang menyebabkan maan dan orang-orang yang ter- perkembangan masyarakat ini tidak
didik di dalam masalah itu diang- bersifat ekspansif dan karenanya 66
JFl Fakultas Tarbiyah UII, 2/1/96
Pemberdayaan
terdapat kecendenmgan besar da-
• Dalam arti kata lain, dalam se
buah masyarakat agraris di mana dunia material dan teknologi belum berkembang dengan pesat, ter kal daripada keluar ".....peasant tech dapat kecenderungan besar untuk nologies" tulis Nashf ingenous, marmenggantikan kelemahan-kelemahvelouslyfitted to a particular environ an material tersebut dengan mendpment, reguire high levels of skill and , takan pesona-pesona terhadap ke performance, but are still very simple digdayaan nilai-nilai non-material,
lam sosok material dan teknologi untuk lebihberorientasi pada sifat lo
(Manning Nash, 1966:20). Perkemb^gan-perkembangan yang dijelaskan di atas danmenam-
.pada ihanajaringanbudaya masya rakat agraris imtuk sebagian besar,
pakkan'keterbatasannya itu, tentunya mempunyai
colok. Namun, bu-
merupakan representasi yang menkan berarti bahwa
konsekuensi soslal-
budaya dan politik. Dengan kata lain, keterbatasan-keterbatasan itu telah me-
nyempitkan wadah artikulasi mereka untuk melakukan
ekspansi dalam dunia material, dan ka-
renanya harus dikembangkan sebuah sistem atau keku-
atan subtitusinya,
sebuah masyarakat Claris di mana dunia material dan teknologi helum herjiemhang dengan pesat, terdapat kecenderungan hesar
untuk mehggantikan kelemahan-kelemahan ' material tersebut
dalam masyarakat industri moderen, nilai-nilai material
dianggap tidak penting lagi (lihat ihisalnya dalam Robert Bocock, 1974) . Oleh karena
itu, apapun yang ki ta katakan terutama
dengan menciptakan
karena keterbatas
pesona-p'esona terhadap kedigdayaan nilai-nilai
nia material dan
yang memberikan ruang bagi artikulasi
annya ekspansi du
~ non'fnaterial
masyarakatnya. Dalam konteks inilah kita me-
teknologinya yang menyebabkan ma syarakat agraris secara struktural "hams" bersifat local oriented, ma
mahami dominannya dunia nonmaterial di dalam masyarakat agra-
syarakat agraris Jawa, lebih bertumpu pada dimensi kepercayaan
ris pra-industri. Dan non-material
non-material untuk memahami du
dalam konteks pembicaraan kita di sini, bisa disebut sebagai "sistem budaya" yang dengan sendirinya mengambil peran yang dominan, yaitu mengatur dan menstrukturkan sistem tindakan kolektif anggota-anggota masyarakatnya.
nia. Situasi tipikal yang semacam inilah, seperti halnya kita pergoki pada setiap masyarakat pra-industri lainnya, yang melahirkan sis tem budaya agraris yang khas di-
JPl Fakultas Tdrbiyah UU, 2/J/96
mana masyarakatJawa zaman para wali memperlihatkan gejala ini de-
67
Pemherdayaan
ngan nyata. Maka; pertanyaaxmya adalah apakah yang menjadi fbuntainhead (sumber dari s^ala sumber) dari nilai-nilai dan sistem bu-
konsep organisasi kekuasaan yang memusat kepada masyarakat pribumi yang sebelumnya terpecahpecah itu (Lihat Hardjowardojo,
daya itu, agar tetap survive d?ii\ tak dalam Mcl^y,1976). Sementara Isditinggalkan para penganutnya ?
Disinilah kemudian kita melihat
lam, menyumbangkan aspek rasi-
onalisme kekuasaan politik ke-
betapa besamya peranan agama . dalam masyarakat Nusantara {Reid, dalam memberikan bentuk dan isi
1990:17).
serta pengayaanbudaya itu sendiri.
Namun demikian, pandangan kita dalam konteks pembicaraan
Kalaupun masih dapat diperdebatkan, kelangsunganhidupbudaya agraris di Jawa, juga diberbagai tempat lain di Nusan tara ini, telah banyak berhutang pada kedatangan agamaagama besar dari luar Nusantara. De-
ngan menggeneralisasikan teori Co-
edes tentang Indianisasi Asia Tenggara, bisalah kita menyebutkan bahwa
Kalaupun mqsih dapat
diperdebatka^ ,
keUingsungdn hidup• budaya dgnim di
' Jawajjuga'cUberb^ai tenjpat lain di' • 'Nusantara ini, telah
banyak l^rhutahg :• ' ptida kedaidngah -
etjgamdrjagamdibesar iddHluarNusdhtata
kedatangan agamaagama itu telah me-
nyebabkan wilayah Nusantara mendapat tempat dalam sejarah dunia {Coedes, 1975:15-16). Di samping itu, bagaimanapun juga harus pula diakui bahwa ke datangan agama-agama itu telah memperkenalkan konsep-konsep tertentu yang sebelumnya tidak atau belum berkembang di dalam masyarakat kita. Demikianlah, agama Hindu, misalnya, telah sa-
ngat membantu memperkenalkan 68
ini, harus lebih disempitkan pada betapa strategisnya fungsi agama sebagai the fountainhead sistem budaya di dalam sebuah ma
syarakat agraris. Ini terjadi karena agama merupakan sistem dari simbol-simbol
yang mengembangkan suasana hati dan motifasi ber-
jangka panjang dan bertahan lama di dalam diri manusia
dengan jalan merumuskan konsep-konsep tata tertib umum segala sesuatu dan memoles konsep-konsep tersebut dengan pancaran faktualitas, sehingga su asana hati dan motifasi-motifasi itu
terasa unik dan nil {Geertz, 1993:90).
Sebagai konsekuensinya, dan terutama karena nilai-nilai yang datang itu berasal dari agama-agama dengan latar belakang peradaban besar, maka agama-agama itu mampu menyumbangkan etos dalam diSPlFakultas Tarbiyah Ull, 2/1/96
Pemberdai/aan .•
mensi evaluatif terhadap dunia di- yang bersifat indeosinkritik dan sekitamya, danpandangandunia(world hampir- hampir tak terp^ami oleh view) yang bertindak sebagai "pic- masyarakat umum (1983:20). ture of the way things in sheer actualDalam konteks inilah kita meity are, their concept of nature ofself of mahami mengapa guru-guru agama
society"(1993:126-127). Ringkasnya, seperti kasus para wali diatas secara agama-agama itu telah sangat mem- otomatis terposisikan pada lapisan bantu rnasyarakat agraris untuk me- teratas dalam susunan masyarakat rumuskan sistem tindakan kolektif mereka, menilai dan berdasarkan itu menentukan atau menstrukturkan langkah kolektif mereka dalam menghadapi kenyataan-kenyataan baru yang mungkin tak dikenalnya. Maka, karenanya pula, kontrol atau penguasaan terha-dap ajaran-ajaran agama di dalam ma syarakat agraris adalah sama nilainya dengan menguasai the fountainhead of
agraris. Ini terjadi karena bukan saja mereka menguasai secara teknikal ajaran-ajaran agama, melainkan juga merekalah yang bertindak se-
Ringkasnyoy agama'
bagai interpreters, juru tafsir yang pa ling sah atas sumber-sumber mata air
masyardhai agraris,^
yang mendasari kebudayaan (agraris)
untuk merumushan.
itu.
sistem tindakan kolektif mereka, menilai dan berdasarkan itu menentukan atau
Dalam arti kata
lain, merekalah yang sesungguhnya mempimyai hak, dan ka
culture, sumber ma-
menstrukturkan langhah kolektif mereka dalam ^ menghadapi kenyataan-
lam monopoli jaringan makna di
ta air dafi kebuda-
henydtaan ham yang
atas mana masyara
mungkin tak dikenalnya
bing untuk menaf-
yaan, yangberkembang dan dianut oleh masyarakat tersebut. Oleh sebab
itu, penguasaan atasnya hanya bisa dilaku^can oleh segelintir kalangan tertentu, karena, upaya mengontrol atau menguasai sumber-sumber nilai itu bukanlah persoalan yang sederhana, danpenguasaannya mensyaratkan kemampuan menguasai apa yang disebut Anderson sebagai the sacred language and writing script, JPI Fakultas Tarbiyah UII, 2/1/96
rena itu terakui da
kat umum terbimsirkan realitas sekitar. Ini berarti bah-
wa para agamawem itulah yang memegang kekuasaan riil dalam bidang sosial dan politik. Menurut perspektif ini, maka dengan segera kita menemukan sebuah kenyataanbahwa betapa pendidikan Islam di dalam masyarakat (Jawa) agraris pra-industri menempati tempat yang strategis, baik da69
Pemherdayaan
lam susunan budaya maupun didalam masyarakat itu sendiri. Dalam arti kata lain, sistem serta nilai
pendidikan Islam dan tokoh-tokoh
pelakunya bukan saja merupakan bagian yang integral dari budaya dan masyarakatnya, melainkan juga bertindak sebagai pusat-pusat
Dalam batas-batas tertentu, cprak dan tradisi pendidikan Islam dengan fungsi dan sifat-sifat ma syarakat agraris semacam di atas masih bertahan hingga kini. Studistudi yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan betapa dunia pe-
santren, sebagai pusat pendidikan
budaya yang berwibawa yang re- Islam (tradisional), masihberfungsi produksi dari pemikiran serta nilainilainya menyumbangkan konsepkonsep pengetahuan dan menstrukturkan sistem
perilaku kolektif anggota-anggota masya-
rakatnya. Maka dari itu, ti-
daklah mengherankan, terutama kare-
na fungsinya yang tipikal serta sosok ke wibawaan yang diemban jika kita melihat bahwa berdi-
rinya atau berkem-
sebagai jaringan kutub-kutub budaya tersendiri yang otonom yang kewibawaan kulturalnya masih memancar pada ma
Namun persoalannya adalah hahwa di masa
kini pusat-puaat pendidikan Islam telah tidak lagi memiliki ^ keisHmeioaanpengaruh
syarakat disekitarnya (Dhofier, 1982) Dalam konteks
ini, sebuah pesantren atau seorang
Kiai, masih dipandang sebagai "pro-
dnhwibawa
dusen" nilai-nilai
sebagaimahaydng
dialami oleh ^koh- \
yang derajatnya lebih tinggi dari ke
tokoh danpusdt'pusat
kuasaan sekular.
pendidikan Islam di ° Namun persoalanbangnya aneka penya adalah bahwa Zdnian agraris' santren, sebagai wudi masa kini pusatjud yang paling nyapusat pendidikan ta dari sistem pendidikan Islam di- Islam telah tidak lagi memiliki masa itu, telah dengan sendirinya keistimewaan pengaruh dan wibamerupakan kutub-kutub budaya wa sebagaimana yang dialami oleh tersendiri. Bahkan di dalam be-
berapa hal, pesantren-pesantren itulah yang menjadi sumber gerakan counter culture seperti yang pemah dilakukan oleh Sunan Tem-
bayat atau Kajoran {Graaf, 1987:4148), terhadap struktur kekuasaan yang dirasakan menyimpang dan mapan.
70
tokoh-tokoh dan pusat-pusat pen didikan Islam di Zaman agraris. Dalam arti kata lain, pancaran pengaruh dan wibawa yang direproduksikan baik oleh pusat pendidikan atau oleh tokoh-
tokohnya itu, tidak lagi efektif pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, hampir tidak ada kehaJPI Fakultas Tarbiyah UII, 2/1/96
Pemherdayaan
rusan bagi elite politik tingkat nasional, seperti yang terjadi pada kunjimgan Sultan Pajang kehadap-
maka proses modemisasi dan ka pitalisasi, pada dasamya berawal
an Sunan Prapen dari Giri seperti
di daleim masyarakat Barat (McATeill, 1963), yang mempunyai arti bahwa terjadinya ekspansi dunia material dan teknologi. Ekspansi tersebut temyata memberikan pe
dari revolusi tekrukal dan industri
yang dikemukakan di atas, urituk "menghadap" tokoh-tokoh pendidikan Islam, lalu meminta pengakuan akan kekuasaan sekular yang
ngaruh yang mendalam sampai pa da hal-hal yang tidak terbayangkan. Apa-yang terjadi tersebut, seba gai kekuatan-kekuatan yang ber-
dipegan^ya. Aura pengaruh spiri tual pusat-pusat dan tokoh-tokoh pendidikan Islam telah meredup dan hanya menyisakan pada ting kat lokal saja. Pertanyaan kita
sekarang ialah, mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Jawaban inilah yang penting, sehingga kita dapat menemukan penyebab redupnya aura pengaruh spiri tual yang diproduk pendidikan Islam, sebagaimana yang
sifat integratif, telah memaksa terkelu-
faktor utama yang
pasnya selubung
melahirkan semacam
isolasionisme daerah-
**keteraaingan"
daerah pedalaman,
pendidikan Islam dari masyarakatnya sendiri
dan ditambah de-
ngan peran koloni-
adalah terutama sekali
alisasi, maka lahir-
•
terletdk pada pudarnya struktur . masyarakat agraris itu
lah negara bangsa
sendiri sehagdi cikibdt
ar. Modemisasi, tek-
atas pro-ses
tercermin dalam ke-
mo^rnisasiddn
nologisasi dan kapi talisasi, baik yang
hidupein tokoh spiri
" kapitalisasi '
dilaksanakan oleh
tual Islam masa lalu.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa faktor utama yang melahirkan semacam "keterasingan" pendidikan Islam dari masyarakatnya sendiri adalah terutama sekali ferletak pada pudarnya struktur masyarakat agraris itu sendiri sebagai akibat atas proses modemisasi dan kapitalisasi. Dalam
yang terbuka bagi pengaruh dunia lu-
pemerintah kolonial maupun negara nasional setelah itu, pada dasamya juga merupakan proses ekspansi dunia material yang berlangsung secara besar-besaran dalam masya rakat agraris.
Secara teknikal, proses ini mela hirkan perubahan-perubahan radikal, ketika kecenderungan yang
perspektif yang telah kita kenakan
bersifat local oriented di dalam ma
di atas untuk melihat struktur so-
syarakat agraris tidak bisa diperta-
sial budaya masyarakat agraris,
hankan dan memaksa mereka un-
TPlFakultas Tarbiyah UII, 2/1/96
71
Pemberdayaan
tuk berhubungan secara lebih intensif dengan dunia luar (Dalton, 1971:28). Secara konseptual, ekspansi dunia material dan teknologi itu, telah merubah etos dan pandangan hidup masyarakat tersebut, yang berarti sekaligus merombak jaringan kognitif yang selama ini berlaku. Dalam pengertianyang lebih sederhana, bahwa perubahan-perubahan yang berlangsung itu telah
rial dan teknologi, sehingga meru bah persepsi dan pemahaman ma syarakat tentang dunia sekitar. Dalam konteks dunia pendidikan, maka ekspansi dunia material dan teknologi tersebut, secara mendalam mempengaruhi orientasi dan kecenderungannya. Lebih dari itu, bahwa ekspansi tersebut (dunia material dan teknologi), telah menstrukturkan setting baru bagi kemerombak hierarki nilai dan kabutuhan-kebutuhan dan pola kehirenanya juga hierarki dupan, serta mensosiaLJikasebelumnya ciptakan bidang-biSecara konseptualj pengetahuan agama dang atau lapangan ekspansi dunia sebagai the fountainpekerjaan, yang material dan head of culture yang amat berbeda de teknologi itu, telah menemukan dirinya ngan apa yang permeruhah etos dan pada posisi tertinggi nah berkembang di pandangan hidup dalam struktur hie dalam masyarakat masyarakat rarki nilai, maka kini agraris pra-industri tersehut, yang karena berlangsung{Schlesl^, 1970:37). berarti sekcdigus nya arus baru, kecenPerkembangan merombakjaringan derungan yang berdalam dunia peker kognitifyang sifat material mulai jaan berkaitan pula selama ini berlaku. menggantikannya se secara langsung de cara perlahan-lahan. ngan perkembang Dengan demikian ekonomi, yang an, oleh sebab-sebab yang sama pu- pada gilirannya membutuhkan inla, maka kalangan atau kelompok vestasi barang-barang modal dan masyarakat yang sebelumnya men- peningkatan standar kemakmuran.
dapatkan tempat pada posisi teratas
Maka, berangkat dari perkembang
seperti yang kita dapati pada para Wali, kini mulai tergantikan oleh
an ini pula kita menyaksikan betapa dunia pendidikan melakukan penyesuaian-penyesuaian secara terus menerus, sebagai respon terhadap dinamika ekspansi dunia
kalangan-kalangan yang menguasai dan mengontrol sumber-sumber daya material {Weber, 1970:35).
Ringkasnya, semua perubahan yang bersifat teknikal dankonseptual itu, terjadi karena ekspansi dunia mate72
material dan teknologi; yang dipahami sebagai langkah menyesuai diri dengan kebutuhan zaman. JPI Fakultas Tarbiyah Ull, 2/1/96
Pemherdayaan
Dalam kohteks Indonesia secara
khusus, dunia pendidikan jugaberkembang di atas struktur ekspansi dunia material dan teknologi dan memberikan pengaruh yang mendalam bagi masyarakatnya; Sejak itu, pengembangan pendidikan hampir sepenuhnya ditujukan untuk
menjadi pilihan dan kebutuhan masyarakat bangsa ini.
Dengan menekankan pada hal ini, maka jelaslah bagi kita, bahwa ekspansi dunia material dan tek nologi tersebut, bukan saja struktur masyarakat danbudaya agrarisnya yang telah terombak, tetapi juga
mendptal^kalanganyang terampil menghapuskan kekentalan jauntuk menjalankan atau me-
ngontrol hasil-hasil yang dilahirkan
ringan koinunalitas yang bersifat personal di sekitar pendidikan Is
dunia materi dan teknologi,.se- lam di Indonesia. Maka dari itu, saya kira, mengemhingga hampir-hambalikan wibawa pen pir member! kesan Dalam konteks . sebagai cermin prag-" didikan, Islam sedunia pendidikan matisme pandangan perti masa lampau, IslanVt ekspansi dunia bukanlah , suatu tentang dunia. material dan teknolo^, Dalam konteks yang mudah. Tetapi dxinia pendidikan Is '' secara iimum tidak^ hal itu.harus dilalam, ekspansi dunia' kukan, terutama de berlangsung.secaryd,^ material dan tekno ngan memperhatimerata Teriitatnd di^ kan ekspansi dunia logi, secara umum ti-. lingkungan yang tidak dak berlangsung se material dan tekno semtUamatd b'erUthel cara merata. Terutalogi, agar proses -Islam, proyeksi'^ pemberdayaan terma di lingkungan ekspansi dunia nwte- ^ yang tidak sematahadap umatnya, darial dan teknologi ^ mata berlabel Islam, pat terpenuhi sebatidak begitu-teriaea proyeksi ekspansi gaimana mestinya. dunia material dan Apalagi mengingat, teknologi tidak begitu terasa, ke- bahwa kecenderungan nilai yang cuaU di beberapa Pondok Pesantren masih tetap dibutuhkan masya dengan keterampilannya yang rakat moderen, secara profesional istimewa. Dan inilah salah satu sisi lebih berhasil dalam peran pendi lainnya yang mengakibatkan pen dikan Islam. didikan Islam di Indonesia cende-
rung mengelupas wibawanya, karena masih terlalu kental dengan kecenderungan nilai semata, di tengah kecendenmgan material dan tekno logi yang menurut kenyataan telah JPI Fakultas Tarbiyah UII, 2/1/96
Fachry Ali, alumnus Departmentof Historis, Monash University Australia. Kini di samping aktif meneliti, staf Peneliti padaLP3ES Jahirta,juga sebagai Ketua Antar Lembaga ICMI Pusat 73
Pemherdayaan
Kepustakaan Bocock, Robert., Ritual in Indus
McKay, Studies in Indonesian History, Victoria : Pitman Australia, 1976
McNeill, The Rise of the West, A trial Society, A Sociological Analysis History of Hurnan Community, Chi ofRitualism in Modem England, Lon don : George Allen and Unwin Ltd., cago : The University Chicago Press, 1974
1963
Nash, Manning., Primitive ang ofSoutheast Asia, Canberra*: Austra Peasant Economic Systems, California lian National University Press, 1975 : Chandler Publishing Company, Dalton, George., EconomicDevel 1966 Reid, Anthony., "King, Kadis opment and Social Change, the Mod and Charisma in the 17th Century ernization of Village Communities, Archipelago", dalam Anthony Reid New York : The Natural History (penyunting). The Making of an Is Press, 1971 lamic Political Discourse in Southeast de Graaf, H.J., Awal Kebangkitan Asia, Australia: Monash University, Mataram, Masa Pemerintahan Senopflti, Jakarta: PT Graffiti Pers, 1985. 1993. Redfield, Robert., Little Commu , Runtuhnya Istana nity, Peasant Community and Culture, Mataram, Jakarta : Pustaka Utama Chicago: The University of Chicago Grafiti, 1987 Coedes, C., The Indianized States
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Press, 1956 Schlesky, H., Technical Changeand Pesanteren, Studi tentang Pandangan Educational Concequences, 1970 Hidup Kiai, Jakarta : LP3ES, 1982 Weber, Max., "Class, Status and Geertz, Clifford, The Interpreta tion of Cultures, London : Fontana Party", dalam Malvin M. Tumin (penyunting). Readings on Social Press, 1993 Stratification, Englewood Cliffs : NJ Hadjowardojo, R.R, "Basic Cul tural Influences", dalam Elaine
74
Printice Inc., 1971
JPI Fakultas Tarbiyah UII, 2/1/96