KEWAJIBAN BERDAKWAH MENURUT AL-QUR'AN Oleh Mujetaba Mustafa*
Abstrak Setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menyeru manusia ke jalan Islam. Konsekwensi dari pemahaman itu melahirkan bias pada lapangan implementasinya. Kenyataan, sekelompok kaum muslimin mendakwahkan Islam dengan sangat keras, seolah tidak kenal toleransi, sementara yang lain mendakwahkan dengan sangat toleran. Pertanyaan lalu muncul dari sebagian kaum muslimin yaitu apakah kewajiban mendakwahkan Islam boleh sesukanya saja ataukah ada panduannya?. Dalam menjawab pertanyaan itu, kajian dalam makalah ini dipandang penting untuk memahami panduan dakwah dalam QS. An-Nahl: 125. Ahli tafsir menjelaskan bahwa kewajiban berdakwah yang dipahami dari ayat tersebut juga berisikan penegasan tentang pentingnya cara dan metode dalam berdakwah. Untuk itulah, para ahli tafsir menjelaskan bahwa metode atau cara yang dianjurkan dalam mendakwahkan agama Islam adalah dengan hikmah, mauidzah hasanah (pengajaran yang baik), mujadalah hasanah (diskusi yang baik) dan qudwah hasanah (keteladanan yang baik).
Kata-kata Kunci: kewajiban berdakwah, pandangan al-Qur’an
PENDAHULUAN Agama Islam adalah agama yang menuntut pemeluknya untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan kepada seluruh manusia. Tuntutan itu dipahami sebagai ciri yang menunjukkan kedudukan Islam sebagai agama dakwah atau agama misi. Adapun makna dakwah itu adalah usaha atau aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan tuntutan melaksanakan syaria'at-Nya, baik berupa akidah, ibadah dan muamalahnya. Dalam pelaksanaan dakwah ini, setiap muslim seharus mengetahui metode-metode dalam mendakwahkan agama yang diyakini kebenarannya ini.
*
Dr. H. Mujetaba Mustafa, M.Ag. adalah dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Palopo dalam bidang Tafsir dan Ulum al-Qur’an.
151
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Al-Quran sebagai referensi setiap muslim telah mengisyaratkan pentingnya mengetahui cara atau metode yang baik dalam mendakwahkan agama Islam ini, sebagaimana dinukil pada QS. An-Nahl: 125, sebagai berikut: Terjemahnya: Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik, Tuhanmu Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan ia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. Dari ayat di atas jelaslah bahwa seorang muslim yang ingin menyerukan agama ini kepada orang lain harus memperhatikan metode-metodenya, agar apa yang diserukan kepadanya, disahuti dan mendapat perhatian dari orang-orang yang diseru. Cara dan metode itu dipandang penting, karena objek dakwah itu sendiri sangat beragam dan kompleks, baik dilihat dari sudut masa mau pun tempat. Manakala seorang muslim yang menyadari tanggung jawab dakwahnya, tidak bisa tidak, kecuali ia harus memperhatikan metode-metode yang baik dlam mendakwahkan agama ini. Menyadari pentingnya metode dalam berdakwah, maka hal yang kemudian dituntut sebagai konsekwensi kesadaran itu adalah mengetahui bagaimana metode yang seharusnya ditempuh seorang muslim dalam mendakwahkan agama Islam, agar dakwah yang dilakukanny itu sesuai dengan apa yang tuntunkan al-Qur'an dan asSunnah. Pertanyaan tersebut terasa penting untuk dijawab dalam maklah ini, bukan saja karena munculnya sikap-sikap dakwah yang tidak memperhatikan etika dan tata krama dakwah, tetapi juga karena cara-cara dakwah yang tidak memperhatikan tuntutan al-Qur'an dan Sunnah itu semakin menjauhkan umat dari harapan untuk mengantarkan Islam kepada ketinggiannya dan umat Islam dari kemuliaannya. PEMBAHASAN Penilaian akan kewajiban umat Islam dalam berdakwah, membuat beberapa ulama menyebut bahwa berdakwah itu hukumnya adalah fardu 'ain (kewajiban 152
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 individual), meskipun sebagian yang lain memandangnya fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Meski begitu, Rasulullah saw selalu mengajarkan agar seorang Muslim selalu menyeru pada jalan kebaikan dengan cara-cara yang baik. Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang lain untuk beriman dan taat kepada Allah swt, sesuai dengan garis akidah, syariat dan akhlak Islam. Secara bahasa, dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a-yad'u yang artinya “panggilan”, “seruan” atau “ajakan”. Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan “Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah. Orang yang berdakwah disebut da’i (juru dakwah), sedangkan obyek dakwah disebut mad’u. Dakwah hendaknya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Nabi Muhammad saw mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Nabi Muhammad saw memulai dakwahnya dari istri, keluarga, dan temanteman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat Nabi saw adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Ada berbagai macam metode dakwah yang bisa dilakukan seorang Muslim. Pertama, dakwah fardiah, yakni metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Kedua, dakwah ammah, yakni jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khutbah (pidato). Selain itu juga dikenal istilah
dakwah bil-Lisan, yakni
penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). Rasulullah saw juga mengenalkan umatnya dakwah bil-hal, yakni dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (mad’u) mengikuti sang dai. Berdakwah dengan perbuatan memiliki
153
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 pengaruh yang besar pada mad’u. Di era multimedia ini, umat muslim pun bisa berdakwah bit-tadwin (melalui tulisan), baik melalui koran, internet, majalah, buletin ataupun buku. Rasul saw juga mengingatkan agar dakwah dilakukan dengan cara arif dan bijaksana. Al-Qur'an sebagai panduan dalam menjalankan semua aktifitas setiap muslim, tidak diragukan sarat dengan kandungan akan metode dan cara yang baik dalam menjalankan dakwah. Ada pun beberapa metode yang diisyaratkan al-Qur'an dapat dipahami pada penjelasan-penjelasan berikutnya. A. Metode Hikmah Kata hikmah menurut bahasa memiliki beberapa arti: al-‘adl, al-ilm, al-Hilm, al-Nubuwah, al-Qur’an, al-injil, al-Sunnah dan lain sebagainya. Hikmah juga diartikan al-‘llah, atau alasan suatu hukum, diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya. Seseorang disebut hakim jika dia didewasakan oleh pengalaman, dan sesuatu disebut hikmah jika sempurna. Dari sudut komunikasi, hikmah dipahami sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan (obyek dakwah).1 Dengan kata lain bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilakukan atas dasar persuasife. Karena dakwah bertumpu pada human oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat demokratis, agar fungsi dakwah yang utama adalah bersifat informatif. Adapun makna “hikmah” menurut istilah adalah “mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal”. Jika hikmah disandarkan kepada Allah, maksudnya adalah mengetahui sesuatu dan menciptakannya secara sempurna. Dan jika hikmah disandarkan pada manusia maksudnya adalah mengetahui apa-apa yang diciptakan Allah dan berbuat baik. Pengertian lain, hikmah adalah mengetahui suatu yang
1
Toto Tasmoro, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), h. 37.
154
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 terbaik dengan pengetahuan yang paling baik, meletakan sesuatu pada tempatnya, ketepatan ucapan dan perbuatan secara bersamaan. Ibnu Katsir menafsirkan kata hakim, dengan keterangannya, hakim dalam perbuatan dan ucapan, hingga dapat meletakan sesuatu pada tempatnya. Dari berbagai pengertian ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud metode hikmah adalah metode meletakan sesuatu pada tempatnya, dengan demikian berarti mencakup semua teknik dan tatacara berdakwah. Di antara kelebihan metode hikmah dalam hal ini, dapat dipaparkan bahwa dari makna hikmah yang mengakomodir kedua hikmah teoritis dan praktis, dan seorang tidak dikatakan hakim (bijak) jika tidak bisa berbuat bijak secara teoritis dan praktis. Allah sendiri memilih kata Hakim sebagai salah satu nama-Nya yang diulang dalam al-Qur’an lebih dari 80 kali. Hikmah merupakan salah satu isi hati Nabi saw. sebagaimana dalam hadits disebutkan: “Dibukalah atap rumahku dan aku di Makkah, lalu turunlah Jibril, lalu di belah dadaku, kemudian dicuci dengan air zamzam, lalu ia membawa bokor emas yang berisikan hikmah dan iman, kemudian dituangkan dalam dadaku, lalu dikukuhkannya.”(Muttafaq Alai). Di antara pekerjaan Rasulullah saw. adalah
mengajarkan hikmah, “Dan dia mengajarkan kamu
hikmah dan kitab”. Allah menganjurkan untuk berdakwah dengan metode ini: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau’idzoh hasanah” (QS. An-Nahl: 125). Pemberian paling berharga yang di berikan kepada manusia: “Ia memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, barang siapa yang diberi hikmah berarti telah diberi kebaikan yang banyak” (QS. Al-Baqarah: 269). Seseorang boleh iri karena hikmah yang didapat orang lain di dunia ini. Dalam sebuah hadits dinyatakan: “Tidak ada iri kecuali dalam dua hal; kepada seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia bisa menguasainya dengan hak hingga tidak mengahncurkan dirinya, dan seseorang yang diberi hikmah lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya”.2
2
Muhammad al-Bayanuni, Al-Madkhal ila Ilmi Dakwah, Cet. I, (Berut: al-Muassasah arRisalah, 1991) h. 250
155
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Di antara arti bahasa dari kata hikmah adalah al-‘Ilm, makna ini merupakan isyarat bagi manusia untuk membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, karena perbedaan pendapat yang tidak didasari ilmu menunjukkan kekerdilan manusia dalam menyikapi persoalan agamanya. Karena Islam diketahui sebagai agama yang memberi solusi atas berbagai problematika kehidupan, maka aspek hikmah atau kedalamn ilmu dalam memhaminya merupakan sebuah keniscayaan3 Ajaran islam bukan saja mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga mendorongnya untuk mengamalkan ilmu itu di tengah kehidupan. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda: “Ilmu itu ruhnya islam dan tiangnya iman; barangsiapa yang mengajarkan ilmu, maka Allah akan menyempurnakan pahalanya. Barangsiapa belajar satu ilmu lalu mengamalkannya, maka Allah mengajarinya ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui sebelumnya.” (HR Abu Syaikh) Ciri-ciri hikmah dari segi tekhnis adalah: a) Memilih metode yang sesuai untuk diterapkan pada situasi dan kondisi yang tepat, karena sering kali suatu metode hanya sesuai untuk situasi tertentu dan untuk menghadapi kondisi tertentu saja, namun tidak sesuai pada kondisi yang lainnya. Untuk menghadapi kondisi emosional harus menggunakan metode emosional, sebagaimana metode rasional dipakai untuk kondisi yang rasional, demikian juga metode empirik anya bisa dipakai pada kondisi empirik. b) Memilih format yang cocok dari tekhnis yang dipakai. Banyak format dari satu tekhnis dakwah, dan “hikmah” menuntut adanya pemilihan format yang sesuai untuk berbagai situasi. Apa yang dikatakan dalam kondisi “bahagia” berbeda dengan apa yang disampaikan pada kondisi “sedih.” Apa yang disampaikan saat kondisi “sulit dan pailit” berbeda dengan saat “serba mudah dan makmur.” Ada tempat saat menyeru (persuasif), ada tempat saat melarang (preventif). Bagi orang penakut misalkan, maka baik dipakai tekhnis persuasif dan pengharapan; sedangkan bagi orang yang dikuasai ambisi dan pengharapan, sebaiknya dengan tekhnis preventif, dan setersnya. c) Berpedoman terhadap skala prioritas; yaitu mulai dari 3
Johan Budi S., Islam-Tata Nilai Alternatif Peradaban Modern (Majalah Panji Masyarakat, Muharram 1414 H), h. 18.
156
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 memberi peringatan, kemudian nasihat, kemudian ketegasan lalu dengan tindakan keras (bil yad), ancaman dan terakhir dengan pukulan. Allah berfirman: Terjemahnya: Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusakannya. Sungguh, allah Mahatinggi, Mahabesar. (QS. al-Nisa’/4: 34) Berbagai cara yang dilakukan untuk menemukan faktor-faktor pendukung dan sarana dakwah yang dapat diamati dalam rangka memilih tekhnis yang dipakai dan bersifat preventif, adalah sesuatu yang sangat dipentingkan. Metode menghadapi orang bodoh tentu berbeda dengan metode menghadapi musuh, sebagaimana metode menghadapi orang lemah berbeda dengan menghadapi seorang penantang yang juga fanatic, serta metode mengahadapi keluarga juga berbeda dengan metode menghadapi teman sejawat, dan lain-lain. Intinya adalah kebijaksanaan memilih cara sesuai dengan tempat dan suasana akan sangat menentukan keberhasilan dakwah tersebut.
B. Metode Mauidzah Hasanah (nasihat) Kata mauidzah menurut bahasa merupakan bentukan dari kata wa’adzaya’idzu-iwa’dzan dan ‘idzata; yang berarti “menasihati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan,” berarti juga “menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat”. Ada pun kata Alhasanah merupakan lawan dari sayyiat ;maka dapat dipaami bawa mauidza dapat berupa kebaikan, dapat juga kejahatan; hal itu tergantung pada isi yang disampaikan seseorang dalam memberikan nasihat dan anjuran , juga tergantung pada merode yang dipakai pemberi nasihat. Dari penjelasan tersebut, maka pengertian untuk mauidzah disertai dengan sifat kebaikan, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mauidzah hasanah” Karena kalau kata mauidzah 157
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 dipakai tanpa embel-embel dibelakangnya, pengertiannya harus dipahami sebagai mauidzah hasanah:
ُ ۡ َ َ َۡ َّ ُ ُ ُ ۡ َ َّ ُ ُ َ ۡض ُبوه َّن ِ فعِظوهن وٱهجروهن ِِف ٱلمضا ِ جعِ وٱ “Maka berilah ia nasihat yang baik, lalu biarkan dia tidur sendirian, lalu pukullah dia” Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa Mauidzah Hasanah adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik di mana ia dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subyek.4 Menurut filosof Tanthawy Jauhari, yang dikutip Faruq Nasution mengatakan bahwa Mauidzah al-Hasanah adalah Mauidzah Ilahiyah yaitu upaya apa saja dalam menyeru /mengajak manusia kepada jalan kebaikan (ma yad’u ila al shale) dengan cara rangsangan ,enimbulkan cinta (raghbah) dan rangsangan yang menimbulkan waspada (rahbah).5 Cukup sederhana, tetapi mengandung uraian yang cukup luas, karena raghbah dan rahbah yang dimaksudkan oleh Syaikh al-Islam itu adalah merupakan kebutuhan emosional dan manfaat ganda di dalam kehidupan yang wajar dan sehat (to satisty emosional needs and gain stability of life) sehingga di dalam konteks sosiologis, suatu kelompok akan merasakan bahwa seruan agama (islam) memberi semangat dan kehidupan yang cerah baginya. Mereka tidak merasa tersinggung atau merasa dirinya dipaksa menerima suatu gagasan atau ide tertentu. Upaya untuk menghindari rasa tersinggung atau paksaan ini tercermin dalam ayat Al-Quran: Terjemahnya:
4
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h.
121 5
Faruq Nasution, Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 1-2
158
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya". (QS. Ali Imran: 159) Dan bahwa aktifitas dakwah dengan mauidzah yang mengarah kepada pentingnya humanitas dalam segala aspeknya, sikap lemah lembut (affection) menghindari sikap egoisme adalah warna yang tidak terpisahkan dalam cara seseorang melancarkan ide-idenya untuk mempengaruhi orang lain secara persuasive atas dasar pertimbangan psikologis dan rasional. Maksudnya sebagai subyek dakwah harus memperhatikan semua determinan psikologis dari obyek dakwah berupa frame of reference (kerangka berpikir) dan field experience (lingkup pengalaman hidup dari obyek dakwah dan sebagainya). Dalam hal ini Nabi memberikan petunjuk melalui sabdanya: .خا طبوا الناس علي قدر عقولهم Artinya: Berbicaralah dengan manusia itu sesuai dengan kemampuannya. Jadi setelah mengalami frame of experience dari obyek dakwah, seorang da’i diwajibkan menyampaikan nasehat-nasehatnya dengan nasehat yang factual berupa mauidzah hasanah agar pihak obyek dakwah dapat menentukan pikiran teradap rangsangan, psikologis yang mempengaruhi dirinya. Dan kemudian Metode Mauidzah Hasanah ini memiliki beberapa dasar yang menjadi acuan supaya melaksanakan metode ini diantaranya: 1. Ada perintah yang jelas untuk menggunakan metode tersebut: Terjemahnya: Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidzah hasanah...” (QS. alNahl: 125). 159
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Terjemahnya: Dan nasihatilah mereka, serta sampaikanlah kepada mereka, pada jiwa mereka, perkataan yang mengena. ...” (QS. al-Nisa’: 63). 2. Rasululah saw. menjadikan nasihat sebagai dasar agama, dengan sabdanya: “Agama adalah nasihat” dan nasihat adalah sinionim dari mauidzah hasanah sebagaimana telah diungkap dahulu. 3. Rasululas saw membai’at sahabat agar memberi nasihat kepada setiap muslim, dalam hadits diungkapkan, “Aku dibai’at oleh Rasululah saw. untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan memberi nasihat kepada seluruh muslim.” 4. Para Nabi menggunakannya, sebagaimana diceritakan dari Nuh as. وانصح لكم “….Dan aku menasihati kamu sekalian.” )68:وانا لكم ناصح امين (األعراف “Aku adalah pemberi nasihat yang dapat dipercaya.”
C. Metode Berdebat Berdebat menurut bahasa berarti berdiskusi atau beradu argumen. Yaitu satu usaha untuk menaklukan lawan bicara sehingga seakan ada perlawanan yang sangat kuat terhadap lawan bicara serta usaha untuk mempertahankan argumen dengan gigih. Secara epistemologis, berdebat sebagaimana didefinisikan para ulama adalah: 1) Usaha yang dilakukan seseorang dalam mempertahankan argumen untuk menghadapi lawan bicaranya. 2) Cara yang berhubungan dengan pengukuhan pendapat atau madzhab. 3) Membandingkan berbagai dalil atau landasan untuk mencari yang paling tepat. Ada pun bentuk perdebatan itu memiliki dua cara, yaitu dengan cara baik dan dengan cara yang tidak baik. Sebagaimana dapat dipahami dari kedua ayat berikut: )125:وجادلهم باالتي هي أحسن (النحل “Debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
160
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 Terjemahnya: Dan orang kafir mendebat dengan alasan yang bathil untuk melenyapkan kebenaran…” (QS. al-Kahfi: 56) Tantaran implemetasi berbagai macam perdebatan ini, tidak dilepas liar untuk dilakukan sesuaka hati, melainkan dalam arahan dan bimbingan al-Quran dengan mengarahkan perdebatan yang terbaik sehingga menjadi metode dakwah yang bak pula, sebagaimana yang diungkapkan dalam nash al-Qur'an sebagai salah satu metode dakwah. Metode berdebat yang baik tersebut merupakan salah satu metode dakwah rasional (nabhaj aqly), adapun wujudnya bisa berupa diskusi, tukar pandangan, atau dialog mengemukakan argumentasi. Sayyid Qutb menyatakan bahwa dalam menerapkan metode diskusi dengan cara yang baik perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1) Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekan, karena tujuan diskusi bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai pada kebenaran. 2) Tujuan diskusi semata-mata untuk menunjukan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah. 3) Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga diri. Karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati.6 Perdebatan adalah hal yang biasa dalam menyikapi perbedaan, karena perbedaan itu merupakan fitrah manusia. Dari sinilah kemudian manusia bisa dilihat menjadi dua kategori; manusia baik dan manusia tidak baik. Jika dilihat dari sifatnya, apakah dia membantah teradap kebenaran atau sebaliknya. Terjemahnya: Adalah tabiat manusia dalam banyak hal selalu membanta” (QS. al-Kahfi: 54) Terjemahnya:
6
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Quran (Cairo: Dar al-Syuruq, 1399 H/1979 M), Jilid IV, h. 2202.
161
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 “Mereka membantahmu setelah mendengar kebenaran yang nyata. (QS. alAnfal:6) Allah memerintahkan untuk menggunakan metode berdebat. Firman Allah: Terjemahnya: Dan janganlah kamu mendebat ahlul- kitab kecuali dengan cara dan alas an yang terbaik… (QS. al-Ankabut: 46) Metode debat ini juga digunakan oleh para Nabi dalam dakwah mereka, ini dapat dilihat dari kisah yang diceritakan di dalam al-Quran tentang Nabi Nuh sebagai berikut: Terjemahnya: Hai nuh, kamu telah mendebat kami, mendebat kami dalam banyak hal…. (QS. Hud: 32) Metode debat ini dipakai dalam dakwah, sejak masa Rasulullah hingga sekarang, juga dipakai sejak masa sahabat, dan para ulama salaf menggunakannya dengan baik, sembari mereka menghindari perbuatan debat yang tercela. Seyogyanya orang yang melaksanakan kegiatan dakwah harus memiliki kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan metode ini meliputi: Kemampuan berkomunikasi, kemampuan menguasai diri, kemampuan pengetahuan psikologi, kemampuan kengetahuan kependidikan, kemampuan pengetahuan di bidang pengetahuan umum, pengetahuan di bidang Ilmu al-Quran, kemampuan membaca alQuran dengan fasih, kemampuan pengetahuan di bidang ilmu hadits, kemampuan di bidang ilmu agama secara umum7 Dari beberapa keterangan diatas, setidaknya juru dakwah dapat membekali dirinya dengan pengetahuan tentang metode dakwah yang baik, dan dapat menggunakan metode ini dengan baik pula.
7
Slamet, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hal. 69-77
162
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 D. Metode keteladanan (Qudwah Hasanah) Menurut bahasa, qudwah berarti uswah; yang berati keteladanan. Meneladani atau menyontohi sama dengan mengikuti suatu pekerjaan yang dilakukan sebagaimana adanya. Adanya kata hasanah di sini
menjadikan keteladanan
dipahami sebagai keteladanan yang baik. Dalam ayat yang dikemukakan di muka, keteladanan diberi sifat baik, karena dalam prakteknya bisa saja seseorang menjadi teladan yang buruk. Dalam hadits diungkapkan: “Barangsiapa yang membuat tradisi baik, maka baginya pahala atas apa yang dilakukannya serta pahala orang lain yang mengikuti tradisi tersebut tanpa mengurangi pahala merekayang mengikutinya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat tradisi buruk, maka baginya dosa serta dosa yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa para pengikutnya sedikitpun.” (HR. Muslim). Dalam Islam, qudwah hasanah dapat dibedakan pada dua bagian;
Qudwah hasanah yang bersifat mutlak, yaitu keteladanan atau contoh baik yang sama sekali tidak tercampuri keburukan karena keadaannya benar-benar baik; sebagai teladan yang diberikan Rasululah saw. pada ummatnya. Status rasul yang ma’shum (terbebas dari dosa), membuat beliau menjadi teladan yang mutlak bagi ummatnya. Firman Allah swt:
Terjemahnya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Qudwah hasanah nisbi yaitu teladan yang terikat dengan apa yang disyariatkan oleh Allah swt. Karena status teladan itu dari manusia biasa bukan Rasul ataupun Nabi. Keteladanan dari mereka, seperti para ulama dan pemimpin umat lainnya, hanya sebatas jika tidak bertentangan dengan syariat. Personal approach atau pendekatan personal sebagai metode keteladanan
sudah dipraktikkan oleh Nabi semenjak turunnya wahyu, yaitu yang dengan secara
163
Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 1, April 2015 langsung memberikan contoh, dan karena di antara fitrah manusia adalah suka mengikuti, dan pengaruh asimilasi tersebut lebih besar. Pengaruh yang diterima lebi membekas karena sifatnya fitri dan alami. KESIMPULAN 1. Realitas bahwa manusia tidak selamanya berada dalam kebaikan dan kebenaran dalam semua sisi dan sudut kehidupannya, maka Islam adalah agama yang harus menyeru mereka kepada jalan kebenaran tersebut secara berkesinambungan. 2. Setiap muslm berkewajiban untuk mendakwahkan agama Islam dengan cara memberi nasihat yang baik, mengajak kembali ke jalan yang benar. 3. Al-Qur'an mengajarkan setiap muslim untuk meingimplementasikan metodemetode yang baik dalam berdakwan berupa hikmah, mauidzah hasanah, mujadalah hasanah dan qudwah hasanah. -----
DAFTAR PUSTAKA Al-Bayanuni, Muhammad. Al-Madkhal ila Ilmi Dakwah (Berut: Muassasah arRisalah, 1991). Budi S., Johan. Islam-Tata Nilai Alternatif peradaban Modern (Majalah Panji Masyarakat, Muharram 1414 H). Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000) Nasution, Faruq. Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Qutb, Sayyid. fi Zhilal al Quran, (Cairo: Dar al Syuruq, 1399 H/1979 M), Jilid IV. Slamet, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994) Tasmoro, Toto. Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987). Taufik, Tata, Muhhamad, Manajemen Dakwah Di Era Global, Sebuah Pendekatan Metodologi, (Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi, 2004) Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
164