Jurnal Psikologi Indonesia 2008, No. 1, 1-8, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
KETIDAKADILAN SEBAGAI SUMBER RADIKALISME DALAM AGAMA: SUATU ANALISIS BERBASIS TEORI KEADILAN DALAM PENDEKATAN PSIKOLOGI
(INJUSTICE AS A SOURCE OF RELIGIOUS RADICALISM: A JUSTICE THEORIES BASED ANALYSIS IN PSYCHOLOGICAL APPROACH) Djamaludin Ancok Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Kajian tentang radikalisme dalam agama telah banyak dibahas dari berbagai perspektif. Makalah ini akan menyajikan sebuah analisis dengan melihat radikalisme agama dari tiga perspektif keadilan, yakni Ketidakadilan Distributif, Ketidakadilan Prosedural, dan Ketidakadilan Interaksional. Keadilan akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memberikan input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll.) relatif setara antara Pihak-I dengan Pihak-II. Keadilan akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memperoleh kesempatan yang setara di dalam mengatur input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll). Keadilan juga akan terwujud apabila kedua pihak memperlakukan pihak manapun yang berinteraksi dengan mereka dalam kesetaraan, tanpa pilih kasih dan standar ganda untuk memperoleh output. Radikalisme dipicu oleh adanya persepsi Ketidakadilan Prosedural dan Ketidakadilan Distributif yang dilakukan oleh Blok Negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi dan politik berupa lembaga IMF, World Bank, dan WTO. Dari sisi Ketidakadilan Interaksional pihak Blok Barat telah berbuat tidak adil dengan menerapkan standar ganda dalam hubungan mereka dengan Israel yang sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada negaranegara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Kata kunci: Radikalisme Agama, Keadilan (justice), Konflik (conflict) Religious radicalism has been investigated in diverse perspectives. This paper presents an analysis of religious radicalism in three justice perspectives, namely Distributive Injustice, Procedural Injustice, and Transactional Injustice. Justice will be materialized when the two interacting parties give inputs to and take outputs from (economic, political resources, etc.) each other relatively equally. Justice will be materialized when the two interacting parties get an equal opportunity in managing inputs and getting outputs (economic, political resources, etc.). Justice will also be materialized when the two parties provided all other parties that interact with them with an equal opportunity which is free from any forms of favoritism and double standards, in getting the outputs. Radicalism is triggered by a perception of both Procedural and Distributive Injustices which have been done by the Western bloc led by the United States of America using both economic and political instruments including the IMF, the World Bank, and the WTO. In the Interact ional Injustice perspective the Western bloc has done an injustice by applying very different standards when dealing with the Israelis compared to those they apply when dealing with countries where the majority of the population are Muslims. Keywords : religious radicalism, justice, conflict.
Tulisan ini mencoba menganalisis perilaku radikal bernuansa agama, antara lain berbentuk perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Tulisan ini lebih menekankan pada kajian terhadap kelompok orang beragama Islam. Perilaku radikal ini telah dicap oleh pihak Barat sebagai
perbuatan terorisme yang dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Beberapa tulisan tentang faktor penyebab radikalisme bernuansa kekerasan ini telah melahirkan cukup banyak tulisan yang berupaya menjelaskan mengapa orang terlibat dalam kekerasan bernuansa agama (lihat misalnya Pyszczynski, Solomon
2
DJAMALUDIN ANCOK
& Greenberg, 2002; Hersh, 2004; Miller, 2004; Sardar dan Davies, 2004). Tulisan ini hanya melihat radikalisme agama dari satu sudut pandang persepsi ketidakadilan terhadap segolongan kaum muslim yang diakibatkan oleh perilaku pihak Barat yang seringkali tidak adil, namun perilaku tidak adil itu agaknya tidak disadari oleh pemerintah negara-negara Barat (lihat Sardar dan Davies, 2004). Masalah Radikalisme dalam Agama Radikalisme dalam agama dapat berbentuk sifat menarik diri tidak mau berinteraksi dengan pihak lain yang dianggap merugikan, atau melakukan tindakan kekerasan (violence) pada pihak lain yang dirasakan telah melakukan perbuatan tidak adil terhadap mereka atau ajaran agama mereka. Radikalisme ini terjadi pada semua agama, tidak hanya terjadi pada agama Islam.
By the early 1990s, violent militancy was clearly manifest among Hindu fundamentalist, Buddhist in Sri Lanka, Jewish fundamentalist in Israel, and others elsewhere. (Voll, 1994).
Banyak penyebab dari radikalisme dalam agama. Salah satu penyebabnya adalah radikalisme di dalam penafsiran ayatayat kitab suci yang terlepas dari konteks turunnya ayat tersebut. Semua agama pada dasarnya menganjurkan perdamaian, bukan radikalisme yang berakhir pada pertumpahan darah. Penafsiran radikal terhadap ajaran agama di luar konteks turunnya ayat tersebut terjadi pada banyak agama. Radikalisme pada agama Yahudi antara lain disebabkan oleh seorang pemuka agama yang bernama Meir Kahane yang sangat ekstrim dalam menafsirkan ajaran agama Yahudi yang berakibat antara lain upaya penghancuran masjidil Aqsa dan kekerasan dalam membangun negara Israel yang harus meliputi wilayah Yuda dan Samaria. According to Rabbi Kahane, Israel and the Jewish people will never truly be “graced and protected” by the Lord until they return to orthodox Judaism and
recover at least that part of “Eretz Yisrael” that encompasses the occupied territories (West Bank and the Gaza strip). To effect such gains, Rabbi Kahane engaged in alleged terrorist acts culminating with his 1980 arrest by Israeli authorities for planning to blow up the Dome of the Rock on the Temple Mount in Jerusalem. He was subsequently tried and incarcerated in the Ramla maximum-security prison for nine months. Rabbi Kahane saw this planned terrorist act as part of the redemptive process that would result in the Jewish people being favored and protected by the Lord. (Campbell, 1998) Beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan kaum Yahudi atas agama juga terjadi pada abad ke 20 yang antara lain adalah penghancuran masjid Al-Aqsa yang gagal dan pembunuhan puluhan muslim dalam masjid; penyerangan sekolah Islam di Hebron yang membunuh 3 orang murid dan melukai 33 orang; pembunuhan terhadap Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin oleh seorang teroris Yahudi karena Yitzhak Rabin menandatangani perjanjian damai dengan Palestina, yang isinya dianggap bertentangan dengan ajaran agama Yahudi (Tomek & Robinson, 2006). Kekerasan dalam agama Nasrani juga banyak tercatat dalam sejarah ummat manusia. Mulai dari Perang Salib (Crusades) sampai pada kekerasan di dunia modern adalah peristiwa sejarah yang menggambarkan kekerasan atas nama pembelaan pada agama. Chuckman (2003) menggambarkan permasalahan kekerasan ini seperti berikut: But the atrocities committed in the name of Christianity did not end of the Middle Ages and the Crusades. Transition to capitalism and the dawn of the modern era brought forth its own share of aggression and horrific wars that were also often fought in the name of Christianity and civilization. These included the Holy Inquisition, the expulsion of Jews from Spain, the Reformation, the CounterReformation, the Thirty Years’ War, the English Civil War, the St. Bartholomew Massacre, Cromwell’s slaughter in Ireland …. (Chuckman, 2003).
DJAMALUDIN ANCOK
Dalam kitab Injil pun banyak ayat-ayat yang bisa disalahtafsirkan sebagai pendukung kekerasan bila tidak difahami dalam konteks apa ayat itu diturunkan. Sebagai contoh : Dalam Al-Kitab Perjanjian Baru ada ayatayat yang dikaitkan dengan Jesus: “Jangan anggap Aku datang membawa damai ke bumi ini. Aku tidak datang membawa damai. Aku datang membawa pedang. (Matius 10-34) Tujuan-Ku datang adalah membuat hal ini terjadi, ‘Orang-orang dalam suatu keluarga akan saling bermusuhan. Anak laki-laki akan melawan ayahnya. Anak perempuan akan melawan ibunya. Menantu perempuan akan melawan ibu mertuanya.(Matius 1035) “Sekarang di mana musuh-musuhku? Di mana orang yang tidak menginginkan aku menjadi raja? Bawa musuh-musuhku kemari dan bunuh mereka di depanku. (Lukas 19:27) Al-Kitab Perjanjian Lama gambaran tentang kekerasaan:
juga berisi
“Tetapi jikalau barang seorang telah membunuh temannya dengan sengajanya, niatnya hendak membunuh dia juga, maka patutlah kamu mengambil orang itu, jikalau dari hadapan mezbahKu sekalipun, supaya ia mati dibunuh” (Kejadian 21: 14) Barangsiapa yang sudah memalu bapanya atau ibunya, ia itu tak dapat tiada mati dibunuh juga. (Kejadian 21:15) “Barangsiapa yang mencuri orang, entah sudah dijualnya, entah orang itu terdapat lagi dalam tangannya, ia itu takkan jangan mati dibunuh juga”. (Kejadian 21:16) “Dan lagi barangsiapa yang mengutuki bapanya atau ibunya, ia itu tak akan jangan dibunuh juga hukumnya”. (Kejadian 21:17) “Maka ia itu dilihat oleh Pinehas bin Eliazar bin Harun, yang imam, maka bangkitlah ia berdiri di tengah-tengah perhimpunan itu, lalu diambilnya sebatang lembing pada
3
tangannya.” ( Kejadian 24:7) ”Maka diikutnya orang Israel itu dari belakang sampai ke dalam petidurannya, lalu ditikamnya keduanya, baik orang Israel baik perempuan itu tengah ia berkehendak, maka seketika itu berhentilah bala itu dari pada bani Israel.” ( Kejadian 25:8) ”Maka jumlah segala orang yang mati sebab kena bala itu dua puluh empat ribu banyaknya” ( Kejadian 25:9) “Sebab itu bunuhlah segala yang laki-laki di antara anak-anak itu dan bunuhlah segala perempuan yang sudah tahu bersetubuh dengan orang laki-laki “(Kejadian 31:17) Kekerasan mengatasnamakan agama Nasrani yang tercatat relatif baru antara lain adalah: (1) Pemboman Murrah Federal Building di Oklahoma City , USA oleh Timothy McVeigh yang membunuh sekitar 168 orang termasuk 19 orang anak di tahun 1995; (2) Penyerangan dan pembunuhan masal terhadap kelompok aliran kebatinan Wiccan dan Neopagans yang dianggap menyimpang dari ajaran agama Kristen oleh kelompok radikal Kristen di USA; (3) Penyerangan terhadap rumah ibadah kaum Yahudi serta penyerangan terhadap rumah sakit dan pembunuhan dokter yang melakukan praktek aborsi yang dianggap bertentangan dengan agama (Tomek & Robinson, 2006). Dalam penafsiran isi Al-Quran, kitab suci orang Islam, terdapat juga ayat-ayat yang bisa ditafsirkan secara radikal di luar konteks riwayat turunnya ayat tersebut. Menurut Musthofa (2006) beberapa ayat berikut ini adalah contoh ayat-ayat yang mendasari radikalisme dalam Islam: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang telah ditetapkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44); “Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan kekerasan darimu ...” (At Taubah:123); “... dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
4
DJAMALUDIN ANCOK
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah..” (An-Nur: 2); “Sesungguhnya orang Mukmin adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak raguragu dan berjihad (berjuang) dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 15).
suatu negara dengan menekan cara ekspresi ideologi suatu faham yang tidak sejalan dengan sistem kapitalis dan liberalis, akan dibalas dengan sesbuah tindakan radikal yang berwujud perilaku kekerasan. Dari pendekatan filsuf Gramsci kematian dalam bom bunuh diri adalah sebuah peperangan yang memang harus dilakukan, seperti yang dikutip Butko berikut ini:
“Hendaklah ada diantara kalian ada segolongan orang yang mau mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat benar dan melarang perbuatan mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Maidah: 104).
In the Islamic conception, the final stage in the revolutionary process, what Gramsci terms a ‘war of movement’, is the elevation of jihad, or ‘holy struggle’. It is clear that all the Islamic writers examined here situate jihad at the forefront of the revolutionary struggle. (Butko, 2004)
Beberapa kasus kekerasan yang diberi label sebagai kekerasan berdasarkan ajaran agama Islam antara lain adalah: (1) Kasus pemboman World Trade Center di USA yang terkenal dengan nama peristiwa 11 September, 2001; (2) Pemboman Kereta Api di Spanyol, tahun 2004; (3) Bom Bali di Indonesia, 2003; (4) Bom Hotel Mariot, Jakarta Indonesia, tahun 2004; dan (5) Pemboman Kereta Api di bawah tanah di Inggris, tahun 2005.
Menurut pandangan Adams (1965) perasaan adil terwujud bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain dalam interaksi sosialnya memberikan kepada pihak lain (input) dan memperoleh sesuatu dari pihak lain (output) yang setara jika dibandingkan dengan apa yang diberikan oleh pihak lain (input) dan apa yang diperoleh dari pihak lain (output), yang secara formulasi matematika digambarkan seperti berikut.
Ketidakadilan sebagai Penyebab Radikalisme Agama Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya salah satu sosok perilaku yang merupakan refleksi dari penafsiran yang radikal terhadap ajaran agama adalah perilaku kekerasan, yang seringkali diberi atribut perilaku terorisme. Namun dari sisi psikologi penafsiran yang radikal itu hanyalah salah satu justifikasi atas perilaku yang tidak adil terhadap ummat Islam. Bila tidak ada lagi jalan non-violence yang dianggap mampu untuk merubah perlakuan tidak adil, menurut teori ekuiti ( Adams, 1965) maka satu-satunya jalan adalah membuat output pihak lain menjadi negatif dengan berbuat kerusakan. Kekerasan (violence) seperti bom bunuh diri adalah salah satu cara yang dianggap sah oleh pelaku, dengan membuat interpretasi yang radikal terhadap ajaran agama. Pemaksaan ideologi oleh suatu kelompok, misalnya pemaksaan sistem kapitalis liberalis oleh Amerika Serikat pada
Adil =
Output (Pihak I) Input (Pihak I)
=
Output (Pihak II) Input (Pihak II)
Ouput adalah segala sesuatu yang diperoleh dari interaksi kedua belah pihak baik berupa sumberdaya ekonomi, pendidikan, politik, dll. Input adalah sesuatu yang diberikan pada interaksi kedua belah pihak, bisa berwujud uang, tenaga, tanah, kesempatan ekonomi, kesempatan politik, dll. Perasaan diperlakukan dengan tidak adil akan terjadi bila perasaan rasio input-output Pihak I dan Pihak II tidak setara. Hal ini akan memotivasi individu atau sekelompok orang untuk melakukan tindakan pada orang lain atau pada dirinya sendiri agar perasaan tidak adil terwujud menjadi perasan adil. Berbagai cara untuk mengembalikan perasaan tidak adil menjadi perasaan adil adalah: (1) Mengurangi output pihak lain dengan cara melakukan tindakan yang merugikan pihak yang telah berlaku tidak adil; (2) Merubah pola pikir (kognisi) pihak yang diperlakukan tidak adil, bahwa apa yang dilakukan pihak
DJAMALUDIN ANCOK
lain adalah hal yang wajar, karena kesalahan yang ada pada pihak yang diperlakukan tidak adil; (3) Meningkatkan input diri sendiri dengan memperbaiki kemampuan diri agar tidak mudah diperlakukan dengan tidak adil. Perilaku kekerasan yang berupa pemboman properti dan manusia dari golongan yang dianggap musuh adalah reaksi terhadap ketidakadilan dengan cara mengurangi output pihak lain. Persepsi Masyarakat Barat terhadap Radikalisme Ummat Islam Radikalisme yang berwujud kekerasan dalam Islam seringkali di salahtafsirkan oleh Pihak Barat (Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya) sebagai bersumber dari agama. Jargon yang mereka pakai antara lain adalah Islam agama kekerasan, Islam agama teroris, dan Islam agama barbar (Mellon, 2001; Hossein-Zadeh, 2005). Pihak Barat menuduh Islam tidak bisa menerima nilai kehidupan moderen seperti demokrasi dan liberalisme. (Mellon, 2001). Mereka menutup mata bahwa Islam itu sendiri pejuang demokrasi dan kebebasan sejauh itu adil buat semua. Pihak Barat menutup mata pada kenyataan betapa banyak masyarakat negara Islam yang justeru mengadopsi pendidikan model Barat, demokrasi ala Barat (Hossein-Zadeh, 2005). Pihak Barat menutup mata bahwa sumber kekerasan itu disebabkan oleh perlakuan mereka terhadap masyarakat di negaranegara Islam yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan (Mellon, 2001; HosseinZadeh, 2005) Tiga Jenis Ketidakadilan Pemicu Radikalisme Agama Dalam tulisan ini analisis terhadap dampak ketidakadilan terhadap radikalisme dalam agama didekati dengan tiga jenis ketidakadilan yang diformulasikan oleh Greenberg (1996). Ada tiga jenis keadilan yang dikemukan oleh Greenberg, yakni Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Interaksional. Faturochman, (2002) berdasarkan hasil penelitiannya menguji konsep ini dalam konteks budaya Indonesia (budaya Jawa) dan menemukan
5
bahwa ketiga konsep keadilan tersebut hadir dalam budaya Indonesia. Secara ringkas, Keadilan Distributif akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memberikan input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll) relatif setara antara Pihak-I dengan Pihak-II. Keadilan Prosedural akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memperoleh kesempatan yang setara di dalam mengatur input dan memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll). Keadilan Interaksional akan terwujud apabila kedua pihak yang berinteraksi memperlakukan pihak manapun yang berinteraksi dengan mereka dalam kesetaraan, tanpa pilih kasih dan standar ganda untuk memperoleh output (sumberdaya di bidang ekonomi, politik, dll.). Persepsi Ketidakadilan Distributif Pihak Barat menuduh keterbelakangan di bidang ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial disebabkan oleh ajaran Islam yang menghambat kemajuan (Mellon, 2001). Pihak Barat menutup mata bahwa keterbelakangan itu disebabkan oleh tindakan yang dilakukan pihak Barat pada masyarakat Islam melalui penjajahan langsung dengan menduduki wilayah yang berpenduduk muslim dan menguras sumberdaya ekonomi masyarakat Islam (Hossein-Zadeh, 2005). Pada era Neo-Liberalisme Pihak Barat tidak lagi secara langsung menduduki wilayah suatu negara, tetapi menjajah ekonomi dan politik dengan membuat berbagai peraturan dan lembaga seperti IMF, World Bank dan WTO yang sangat merugikan negara dunia ke tiga, khususnya negara-negara yang berpenduduk muslim (Peet, 2003). Masyarakat Barat melakukan embargo ekonomi dan persenjataan pada negara Islam yang dianggap tidak mau mengikuti keinginan politik dan ekonomi mereka. Pihak Barat mengembargo produk yang tidak bersih lingkungan, tapi USA sebagai negara penghasil polusi terbesar tidak di apaapakan. Persepsi Ketidakadilan Prosedural Di masa penjajahan pihak Barat pada negara Islam, seringkali kebijakan yang dibuat negara penjajah bersifat diskriminatif,
6
DJAMALUDIN ANCOK
dengan membuat keputusan tanpa melibatkan masyarakat yang dikenakan peraturan. Keputusan yang dibuat bersifat pemaksaan (sebagai contoh Kultur Stelsel di Zaman VOC). Dalam penyusunan kebijakan ekonomi dan politik dunia melalui kelembagaan WTO, IMF & World Bank Negara Barat tidak mengakomodasi secara setara kepentingan negara maju (negara Barat) dan kepentingan dunia ketiga (yang sebagian besar masyarakat Islam). Peraturan dan keputusan yang dibuat dalam pertemuan WTO umumnya lebih menguntungkan masyarakat Barat yang secara ekonomi dan politik jauh lebih maju. As the IMF and World Bank condition their loans on far-reaching and draconian “structural adjustment” programs, and the WTO acts as an unelected, supergovernment passing judgment on environmental regulations, labor standards and other supposed impediments to trade, Peet argues, these undemocratic organizations assert unprecedented levels of control over a wider and wider segment of the world’s population. While maintaining a Keynesian regulatory role over the world economy, he contends, these institutions have become standardbearers for the neoliberal ideology favored by the “Washington-Wall Street Alliance,” imposing on poor countries a regimen of free trade, government austerity, exportled development and deregulation and privatization of the economy. Such policies, he says, although convenient for international corporations and investors, have been disastrous for the people of these countries, resulting in slow growth, environmental devastation, and rising poverty and inequality (Peet, 2003) Negara Barat mendukung rezim yang berkuasa di negara Islam dan menjaga kepentingan rezim serta ikut membasmi gerakan anti rezim yang berkuasa yang dilakukan oleh pihak oposisi, sejauh rezim tersebut menjadi sekutu mereka (contoh Iran di masa Reza Pahlevi; Indonesia di Era Suharto, Pakistan di Era Musharaf, dan Rezim Kerajaan di negara Arab Timur Tengah Saudi Arabia, Kuwait, United Arab Emirates
yang anti demokrasi ala Barat). Sebaliknya negara Barat ikut terlibat dalam penggulingan rezim berkuasa yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat (Rezim Mosaddegh di Iran, Rezim Sukarno di Indonesia, Rezim Taliban di Afghanistan, dan rezim Saddam Hussein di Iraq). Berbagai alasan yang digunakan untuk menjatuhkan rezim yang tidak bersahabat, antara lain anti demokrasi, anti hak-azasi manusia, anti kebebasan pada hak perempuan. Namun negara yang juga anti demokrasi, membelenggu hak azasi dan hak-hak perempuan seperti Saudi Arabia dan beberapa Kesultanan Negara Teluk dilindungi dan didukung oleh masyarakat barat secara penuh. Islam yang dianggap fanatik di bawah rezim Taliban di Afghanistan diperangi oleh pihak Barat dengan USA sebagai pimpinannya, sedangkan Islam yang juga fanatik di Saudi Arabia dijaga dan dibela. Selain itu ada juga perlakuan yang berlawanan dengan hak azasi manusia, yang antara lain adalah perlakuan buruk terhadap masyarakat Islam yang sudah menjadi warga-negara Negara Barat. Pembuatan keputusan tentang larangan berpakaian muslim (purdah, hijab) di Prancis, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya adalah refleksi dari diskriminasi terhadap Islam. Sementara orang Shikh keturunan India yang tetap berpakaian yang mereka yakini adalah pakaian yang merupakan ciri khas agama mereka tidak diapa-apakan. Persepsi Ketidakadilan Interaksional Dalam perlakuan pada kepentingan Barat dan Kepentingan Dunia Ketiga (khususnya negara berpenduduk muslim) terjadi standar ganda (double standard). Pelanggaran yang dilakukan Israel selalu dibela oleh USA dan Inggris. Sementara pelanggaran kecil yang dilakukan negara berpenduduk Islam dikecam dengan keras melalui PBB atau statement politik di media massa. Amerika Serikat & Inggris serta sekutunya mendiamkan saja kegiatan nuklir Israel, tetapi memboikot dan mengancam untuk mengembargo secara ekonomi dan politik negara yang mengembangkan nuklir yang bukan sahabat mereka (Iran dan Korea Utara).
DJAMALUDIN ANCOK
Amerika Serikat bahkan mengancam akan menyerang Negara Iran kalau mereka tidak menghentikan pengembangan kemampuan nuklirnya. Perlakuan yang buruk pada rezim Saddam Husein di Irak dipandang oleh banyak masyarakat muslim sebagai sebuah ketidakadilan. Tanpa bukti yang jelas apakah Iraq memiliki senjata pemusnah massal, Amerika Serikat langsung menyerang tanpa mengindahkan suara Negara lain di PBB yang menentang tindakan sepihak Amerika Serikat. Setelah Iraq diduduki dengan makan banyak korban manusia yang tidak berdosa, ternyata Amerika Serikat dan Inggris tidak menemukan sama sekali bukti adanya senjata pemusnah massal. Reaksi negatif terhadap pengembangan senjata nuklir oleh India (karena India bukan negara berpenduduk mayoritas Islam), tidak sekeras reaksi terhadap pengembangan senjata nuklir Pakistan (yang penduduknya mayoritas Islam). Bahkan Bom Nuklir Pakistan diberi label Bom Nuklir Islam (Islamic Nuclear Bomb). Kini Amerika Serikat mengancam akan menyerang negara Iran kalau Iran tidak menghentikan kegiatan pengembangan reaktor nuklir. Sementara Israel yang sudah mengembangkan senjata nuklir tidak dipermasalahkan oleh USA. Statement politik dan pemberitaan pers yang bias dan berpihak pada kepentingan Barat dipersepsikan oleh sebagian ummat Islam sebagai ketidakadilan dalam memperlakukan negara Islam. Segala perlakuan buruk di negara Islam yang dipimpin oleh rezim anti Barat diekspos besar-besaran. Hal sama yang dilakukan di negara yang pro Barat didiamkan saja. Contoh kasus bom bunuh diri oleh pejuang Palestina pada Israel di ekspos besarbesaran dan dikutuk, tetapi pembunuhan yang dilakukan oleh Israel pada penduduk Palestina didiamkan saja oleh pemerintah, dan kurang mendapat ekspose yang setara dengan ekspose terhadap perlakuan negatif Palaestina pada Israel.
7
Pemberian label yang sangat buruk pada Islam dan Rezim Islam yang berseberangan dengan kepentingan Barat dengan menggunakan istilah: Poros setan, Agama teroris, Agama barbar, Agama kekerasan, Islam agama berdarah-darah. Sementara kegiatan di negara beragama kristen (negara di Amerika Selatan) yang melawan rezim Barat tidak pernah dilabel seperti itu. Menuduh pesantren sebagai sumber pengembangan terorisme di berbagai negara Islam, dan ingin mengganti kurikulum yang lebih akseptabel di mata pihak Barat. Mereka tidak melihat berapa banyak orang-orang keluaran pesantren yang tidak terlibat terorisme dan menjadi tokoh yang menonjol anti kekerasan, dan pendukung setia pihak Barat. Penutup Tulisan ini membahas persepsi ketidakadilan berdasarkan berbagai tulisan yang dijadikan acuan. Pandangan yang dikemukakan di dalam tulisan ini lebih berupa renungan akademik yang masih memerlukan pengkajian yang sistematik dalam sebuah riset yang komprehensif, baik dengan pendekatan kuantitatif maupun pendekatan kualitatif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hanyalah sebuah kajian literatur yang masih memerlukan dukungan empiri yang berbasis hasil riset yang mendalam. Sama halnya dengan beberapa tulisan yang mengaitkan permasalahan agama dalam pembahasannya, seringkali terjadi si penulis tidak bisa melepaskan dirinya dari bias diri sebagai orang yang berada dalam kelompok tertentu. Namun tulisan ini diharapkan bisa menjadi acuan untuk membangun hidup penuh saling pengertian, dengan samasama menyadari bahwa hidup di planet yang satu ini hanya bisa dilakukan dengan baik apabila setiap insan manusia di muka bumi ini saling bekerjasama dalam sebuah ikatan cinta kasih, bukan dengan saling membenci.
DAFTAR PUSTAKA Adams, J.S. Inequity in social exchange. In L. Berkowitz (ed.). Advances in Experimental Social Psychology. Vol. 2, 267-269. New York: Wiley, 1965.
Butko, T. (2004) Revelation or revolution: A Gramscian approach to the rise of political Islam. British Journal of Middle Eastern Studies, 31(1), 41–62.
8
DJAMALUDIN ANCOK
Campbell, J. K. Chemical and biological weapons threats to America: Are we prepared? Testimony in front of the United States Navy Before the Senate Judiciary Subcommittee on Technology, Terrorism and Government Information and the Senate Select Committee on Intelligence, diunduh tanggal 27 Februari 2007 dari http://www.globalsecurity.org/ wmd/library/congress/1998. Chuckmann, J. Of War, Islam, and Israel. Yellowtime.org (April 2003). Diunduh tanggal 19 Februari 2006, dari http://www. yellowtime.org/article.php? Sid=191. Faturochman (2002). Keadilan, Perspektif psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Greenberg, J. (1996). The quest for justice on the job. London: Sage Publication. Hersh, S.M. (2004). Chain of command: The road from 9/11 to Abu Ghraib. London: Penguin Books. Hossein-Zadeh. I. The Muslim world and the West: The roots of conflict. Arab Studies Quarterly, Vol. 27, 1-20 Mellon, J.G. (2001) Islam and international politics: Examining Huntington’s ‘Civilizational Clash’ thesis. Totalitarian Movement and Political Religions, Vol. 2, No. 1, 73-83.
Miller, A.G. (2004). The social psychology of good and evil. New York: The Guildford Press Musthofa, M.A (2006). Kecenderungan agresivitas atas nama agama Islam ditinjau dari sikap terhadap perintah jihad dan ketaatan pada pemimpin. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Peet, R. (2003). Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO. New York: Zed Books. Pyszczynski T., Solomon, S. & Grennberg, J (2002). In the wake of 9/11: The psychology of terror. Washington DC: American Psychologcal Association. Sardar, Z. & Davies, M.W. (2004). Why do people hate America. Cambridge: Icon Books Ltd. Tomek, V. and Robinson, B.A.(2006) Recent religiously motivated hatred, Conflict & violence by followers of Abrahamic religions. Diunduh tanggal 27 Februari 2007 dari http://www.religioustolerance. org/relhateex.htm. Voll, J.O. (1994) Islam: Continuity and change in the modern world. Syracuse: Syracuse University Press. Alamat e-mail:
[email protected]