KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Sriharini Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstrak Sesungguhnya perbedaan gender (gender differences) tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, pada kenyataannya perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki. Laki-laki yang mendapat peran sebagai pencari nafkah dan pelindung dituntut oleh budaya untuk menjadi perkasa, mampu kerja keras, dan bersifat rasional sehingga kehilangan sisi-sisi kelembutan dan sikap damai yang merupakan kebutuhan lain dalam kehidupan manusia. Jangan-jangan ini merupakan faktor utama penyebab rendahnya usia hidup laki-laki dibanding perempuan.. Kata kunci: Gender, inequalities, ketidakadilan, perempuan laki-laki, budaya, perkasa, mampu kerja keras, dalam kehidupan manusia. A. Pendahuluan Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), ras, suku, agama ataupun golongan. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap warganegara, baik lakilaki maupun perempuan, untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Pembelajaran yang menjamin laki-laki dan perempuan untuk memperoleh hak-hak yang sama di lapangan pendidikan juga tertuang dalam UURI No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Undang-undang tersebut memberikan amanat mengenai adanya persamaan hak bagi peserta didik, serta penghapusan setiap konsep yang stereotip (memberikan label negatif) mengenai peranan laki-laki dan perempuan baik melalui buku wajib, program-program sekolah maupun metode mengajar. Amanat UURI penting untuk direalisasikan agar laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat yang sama dari hasil pendidikan. Sejalan dengan UU tersebut, Konferensi Wanita Internasional yang di selenggarakan di Beijing pada tahun 1995, menghasilkan sebuah rumusan ”Landasan Aksi Beijing” (Beijing Platform of Action) yang di dalamnya tercantum istilah ”Gender Mainstreaming”. 22
Landasan aksi ini dimandatkan kepada seluruh peserta dari unsur pemerintah maupun organisasi sosial yang hadir pada konferensi tersebut, termasuk Indonesia. Salah satu mandat tersebut adalah mengimplementasikan Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia, termasuk dalam pendidikan. Sebagai upaya untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip gender mainstreaming di Indonesia, maka pada tanggal 19 Desember 2000 dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 (1) juga menjamin hak yang sama (antara laki-laki dan perempuan) untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Forum Pendidikan Dunia di Dakkar juga komitmen untuk meningkatkan kualitas manusia melalui pembangunan pendidikan. Kerangka Aksi Dakkar berisi beberapa kesepakatan, diantaranya adalah: menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses untuk menyelesaikan pendidikan dasar yang berkualitas baik. Menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2015 terutama bagi kaum perempuan, sehingga mempunyai akses dan prestasi yang sama dalam pendidikan dasar dengan kualitas baik. Hal demikian senada dengan target Millenium Development Goals (MDGs), dan salah satu target dari agenda global tersebut adalah menghapuskan kesenjangan gender dalam pendidikan dasar dan lanjutan setidaknya pada tahun 2005 dan pada seluruh tingkat pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. Namun demikian, idealitas tersebut seringkali berbenturan dengan realitas yang ada. Walaupun telah ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini, namun diskriminasi gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan ini, walaupun pada dasarnya ketidaksetaraan merugikan semua orang. Seiring dengan semakin menguatnya gerakan kesetaraan gender, merupakan hal yang wajar jika fenomena peminggiran perempuan dalam bidang pendidikan menjadi tema diskusi yang selalu menarik dan aktual. B. Realitas Gender Dalam Pendidikan 1. Pengertian Gender Gender sebagai sebuah pengertian yang secara teoritis berbeda dengan jenis kelamin diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli sosiologi Inggris, Ann 23
Oakley (Saptari dan Halzner, 1997 : 89). Istilah gender merujuk kepada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi, dan perannya dalam masyarakat. Istilah seks merujuk kepada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis terutama terkait dengan prokreasi (penciptaan) dan reproduksi. Laki-laki dicirikan dengan adanya sperma dan penis serta perempuan dicirikan dengan adanya sel telur, rahim, vagina dan payudara. Ciri jenis kelamin secara biologis tersebut bersifat bawaan, permanen, dan tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan gender yang juga disebut sebagai perbedaan jenis kelamin secara sosial budaya terkait erat dengan perbedaan secara seksual, karena dia merupakan produk dari pemaknaan masyarakat pada sosial budaya tertentu tentang sifat, status, posisi dan peran laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri biologisnya. Laki-laki sebagai pemilik sperma dianggap mempunyai sifat kuat dan tegas, menjadi pelindung, bertugas pencari nafkah, menjadi pemilik dunia kerja (publik), dan sebagai orang pertama. Perempuan sebagai pemilik sel telur dan rahim dan kemampuan melahirkan dianggap bersifat lemah sekaligus lembut, perlu dilindungi, mendapat pembagian tugas sebagai pengasuh anak dan tugas domestik lainnya, dan dianggap sebagai orang nomor dua (Fakih, 1996 : 7-8). Karena sifat dan peran gender merupakan produk dari konstruk sosial maka bersifat tidak permanen dan dapat dipertukarkan. Sesungguhnya perbedaan gender (gender differences) tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) dalam kehidupan bermasyarakat (Trisakti dan Sugiarti, 2002 : 15) Namun, pada kenyataannya perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki. Laki-laki yang mendapat peran sebagai pencari nafkah dan pelindung dituntut oleh budaya untuk menjadi perkasa, mampu kerja keras, dan bersifat rasional sehingga kehilangan sisi-sisi kelembutan dan sikap damai yang merupakan kebutuhan lain dalam kehidupan manusia. Jangan-jangan ini merupakan faktor utama penyebab rendahnya usia hidup laki-laki dibanding perempuan (Andersen, 1983: 41). Sebaliknya perempuan yang mendapat peran sebagai penanggungjawab pekerjaan domestik dianggap bersifat lemah dan pasif, maka tidak kapabel untuk berkiprah di dunia publik. Ketidakadilan gender yang biasanya menimpa pada perempuan bermula dari adanya kesenjangan gender dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan dan sumber ekonomi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya pelabelan negatif bahwa perempuan adalah lemah, yang juga bisa bermula dari adanya mitos-mitos yang terbangun dalam suatu masyarakat, misalnya mitos tentang sperma sebagai inti kehidupan. Perempuan tidak mempunyai inti kehidupan, mampunya hanya menerima, maka perempuan adalah manusia nomor dua dan lemah (Zaitunah, 1999 : 33).
24
Ketidakadilan gender yang banyak menimpa perempuan termanifestasikan dalam beberapa bentuk yaitu stereotipi, subordinasi, marjinalisasi, beban ganda, dan kekerasan. 1. Stereotipi adalah pelabelan negatif terhadap salah satu jenis kelamin. Misalnya perempuan adalah lemah, emosional bertugas sebagai ibu rumah tangga. 2. Subordinasi yaitu sikap merendahkan posisi/status sosial salah satu jenis kelamin. Misalnya, karena perempuan mendapat label nomor dua maka dia di bawah dominasi laki-laki dan haknya untuk memperoleh posisi tawar, kepemimpinan serta keputusan seringkali tidak diakui. 3. Marjinalisasi adalah peminggiran salah satu jenis kelamin dalam akses dan partisipasi publik. Marjinalisasi perempuan muncul dari sikap tidak mengganggap penting atas eksistensi perempuan sehingga aksesnya terhadap pendidikan dan sumber ekonomi misalnya, dinomorduakan. Marjinalisasi dapat menyebabkan terjadinya pemiskinan pada perempuan. 4. Beban ganda adalah pembebanan tugas-tugas yang tidak proporsional dan tidak imbang yang mengakibatkan menurunnya kualitas hidup. Beban ganda pada perempuan dapat terjadi ketika pekerjaan domestik dianggap tugas perempuan, maka ketika ia bekerja pada sektor publik sesampainya di rumah dianggap berkewajiban menyelesaikan tugas domestiknya, sementara laki-laki (suami) tidak terkena kewajiban itu. 5. Kekerasan adalah perlakuan yang menyebabkan ketidaknyamanan/ketidakamanan : fisik, psikis dan seksual. Kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya adalah pelecehan seksual, pemerkosaan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, pemberian intimidasi serta sikap negatif kepada pekerja seks tetapi memberi sikap netral pada konsumennya yang notabene adalah laki-laki. Manifestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis. Ketidakadilan gender dengan berbagai kategorinya tersebut banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat dan merupakan keadaan yang seakan-akan menjadi sesuatu yang dianggap natural. Bahkan terjadi proses pelanggengan terhadap keadaan tidak adil gender melalui proses sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat, pendidikan, tafsir agama dan peraturan pemerintah. Walau demikian keadaan tersebut dapat dan perlu diubah dengan usaha keras dan sistematis (Susilaningsih dan Agus M. Najib, Ed., 2004 : 14). 2. Ketidakadilan Gender dalam Pendidikan Walaupun pendidikan merupakan hak seluruh rakyat Indonesia, namun kenyataannya masih terdapat ketidakadilan atau ketimpangan gender. Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan adalah suatu kesenjangan antara kondisi gender yang dicita-citakan (idealitas) dengan kondisi gender sebagaimana adanya (realitas) dalam bidang pendidikan. 25
Ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator berikut : angka buta huruf dan angka partisipasi sekolah (APS); pilihan bidang studi; dan komposisi staf pengajar dan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi. a. Angka buta huruf dan angka partisipasi sekolah (APS); Pada berbagai belahan dunia, anak perempuan yang bersekolah (pendidikan formal) jauh lebih rendah daripada laki-laki, dan jumlah buta huruf juga didominasi anak perempuan. Di Indonesia, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikit proporsi anak perempuan bersekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Valentina Sagala (dalam Enny Zuhni, 2008 : 20) bahwa pada tahun 2006 Angka Partisipasi Sekolah (APS) laki-laki lebih tinggi dari perempuan, untuk kelompok umur 7-12 tahun (96,48 %) lebih tinggi dari perempuan (96,21 %), dan pada kelompok umur 16-18 tahun Angka Partisipasi Sekolah (APS) laki-laki (52,48 %) sedangkan perempuan (50,46 %). Hasil analisis data 1992 -2002 menunjukkan adanya gejala makin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah angka partisipasi perempuan. b. Pilihan bidang studi Masih terjadi pemisahan gender dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara sukarela ke dalam bidang keahlian dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Sebagai ilustrasi, Sekolah Kepandaian Putri merupakan suatu sekolah yang disiapkan khusus untuk anak perempuan, sedangkan Sekolah Teknik Menengah umumnya untuk anak laki-laki. Untuk penjurusan di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan mengisi jurusan IPS, dan anak laki-laki mengisi jurusan IPA. Hal ini tidak terlepas dari stereotipi gender, yakni anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajar lebih sedikit dari pada laki-laki. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak waktu belajar dan dibebaskan dari pekerjaan rumah tangga. Selain itu terdapat kecenderungan terjadi perbedaan hasil belajar siswa menurut mata pelajaran, yakni hasil belajar siswa perempuan untuk mata pelajaran sosial lebih baik daripada laki-laki, dan hasil belajar mata pelajaran eksakta siswa laki-laki lebih baik dibanding hasil siswa perempuan (Nina, 2006 : 12). c. Komposisi pengajar dan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi Komposisi pengajar dan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi masih didominasi laki-laki. Kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-Kanak didominasi oleh tenaga perempuan. Namun untuk jenjang pendidikan lebih tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Kecenderungan yang serupa juga terlihat di kalangan kepala sekolah atau pimpinan perguruan tinggi. Dengan kondisi demikian, kebijakan pendidikan yang ada walaupun tidak bias gender tatapi pada tataran pelaksanaan masih banyak terjadi kesenjangan. 26
Selain itu, juga menyebabkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan masih rendah. Fenomena ketidakadilan gender dalam pendidikan, antara lain disebabkan oleh faktor-faktor berikut: Pertama, materi bahan ajar yang belum responsif gender. Bahan ajar belum responsif gender antara lain disebabkan kurangnya pemahaman kesetaraan gender diantara para penulis dan ilustrator bahan ajar. Selain itu, karena sebagian besar penulis buku pelajaran adalah laki-laki, yaitu 78,6 % untuk buku SD, 81,9 % untuk buku SLTP, dan 83,42 % untuk buku SLTA (Nina, 2006 : 11). Mereka akan memposisikan kelompok laki-laki sesuai dengan pandangan mereka terhadap peran laki-laki, dan memposisikan kelompok perempuan sesuai dengan pandangan mereka terhadap peran perempuan. Ketidaksadaran atau kekurangtahuan pengarang dan ilustrator buku berpengaruh terhadap hasil karangan yang bias gender. Kedua, kurang peka dan kurang sadarnya para birokrat di jajaran Departemen pendidikan dan Departemen Agama. Mereka mengevaluasi kurikulum dan mengevaluasi pelaksanaan pendidikan tetapi, kurang melakukan evaluasi dengan memperhatikan keadilan gender. Ketiga, ketidaktahuan tenaga pendidik. Ketidaktahuan ini, terutama dalam aspek penggunaan teks pelajaran bias gender, dapat dipahami mengingat memang konsep gender belum tersosialisasikan secara menyeluruh. Kesetaraan gender baru menyentuh kalangan terdidik di Perguruan Tinggi dan mereka yang concern dalam gerakan kesetaraan gender. Namun jika dirunut lebih jauh ketidakadilan gender dalam pendidikan lebih disebabkan karena masyarakat masih berpandangan male oriented, yaitu suatu pandangan yang mengedepankan pendidikan laki-laki daripada perempuan. Male oriented juga pararel dengan budaya yang kuat mengakar bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nanti akan menjadi milik orang lain dan hanya akan pergi ke dapur. Persepsi ini tidak diluruskan bahwa peran di dapurpun menuntut pengetahuan (Sri Eka, 2008 : 42- 45). C. Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional (UU Nomor 9 Tahun 2000). Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha percepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang pendidikan adalah dengan pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan merupakan kunci 27
bagi terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena pendidikan di samping merupakan media untuk menstransfer norma-norma, pengetahuan dan kultur dalam masyarakat, pendidikan juga sebagai wadah untuk mentransformasi dan menyampaikan ide-ide serta nilai-nilai baru. Dalam konteks ini, kurikulum merupakan unsur utama bagi terlaksananya pengarusutamaan gender dalam pendidikan. Dengan kata lain lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer nilainilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan, perspektif pengajar maupun pada suasana dan proses pembelajaran (Susilasingsih & Agus M. Najib. Ed., 2004 : 31). Sebagai wahana transfer dan transformasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat, dalam lembaga pendidikan sejak awal perlu diupayakan terwujudnya keadilan gender. Untuk mengarah pada terwujudnya keadilan gender dimaksud maka perlu: 1. Memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta didik; 2. Mengupayakan keadilan gender di kalangan staf pengajar dan pimpinan; dan 3. Meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung steoretipi negatif. Dari tiga hal di atas, maka hal-hal yang perlu diperhatikan pada pengarustamaan gender di bidang pendidikan setidaknya adalah: kurikulum (lebih spesifik lagi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disiapkan), evaluasi, pengajar dan kelas, serta peran pimpinan. Kurikulum tersebut akan dijabarkan dalam komponen-komponen yang terdiri dari tujuan pembelajaran, materi dan topik perkuliahan, Bahan bacaan atau referensi yang dipakai, strategi pembelajaran, media atau sarana dan prasarana yang digunakan dan evaluasi. D. Penutup Dewasa ini telah ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender di Indonesia, namun kesenjangan gender dalam bidang pendidikan masih terjadi. Dilihat dari angka buta huruf dan angka partisipasi sekolah (APS); pilihan bidang studi; dan komposisi staf pengajar dan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi, perempuan mengalami ketertinggalan cukup jauh dibanding laki-laki, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Namun dengan adanya kesadaran dari berbagai pihak, keadaan ini dapat dibenahi dengan usaha keras dan sistematis, sehingga kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan dapat segera terwujud.
28
Daftar Pustaka Andersen, M.L. Thinking about Women, (New York : MacMillan Publishing Co.Ind., 1983). Enny Zuhni Khayati, Pendidikan dan Independensi Perempuan, dalam Musawa, Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 6 No 1 Januari, (Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga, 2008). Inpres Nomor 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Mashour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). Nina Sardjunani, Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, (Makalah disampaikan untuk PSW UIN Sunan Kalijaga, November 2006). Ratna Saptari dan Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997) . Sri Eka Astutiningsih, Marginalisasi Perempuan Dalam Dunia Pendidikan, dalam Musawa, Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 6 No 1 Januari, (Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga, 2008). Susilasingsih & Agus M. Najib. (Ed.), Kesetaraan Gender di Perguruan TInggi Islam: Baseline and Institutional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga & McGill IISEP, 2004). Trisakti dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Malang : UMM Press, 2002). UU RI, Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU RI, Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 1999).
29