SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 15, Nomor 1, Januari 2013 ___________________________________________________________________________
KESADARAN PEMILAHAN SAMPAH RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT KOTA SEMARANG DAN YOGYAKARTA Paulus Hariyono, Sentot Suciarto A., Veronica Kusdiartini, Etty Endang Listiati FAD dan FEB Universitas Katolik Soegijapranata ABSTRAKSI Sampah di kota besar biasanya menimbulkan masalah karena volumenya besar, sehingga tak tertangani dan potensial mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan pemandangan kota. Salah satu cara untuk mengurangi sampah adalah dengan mendayagunakan sampah rumah tangga menjadi barang yang lebih bermanfaat. Upaya pertama yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik. Upaya pemilahan ini saja masih dijumpai kendala-kendala. Karena itu penelitian tentang pemilahan sampah dilakukan dengan mengambil kasus masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta. Variabel yang dimunculkan adalah masalah kesadaran pemilahan sampah organik dan anorganik, dengan indikator pengetahuan, kemauan, dan tindakan pemilahan sampah. Analisa yang digunakan adalah diskriptif kualitatif dan chi square. Hasil yang ditemukan bahwa umumnya responden memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pemilahan sampah, tetapi kemauan dan tindakan melakukan pemilahan sampah masih rendah. Kesadaran pemilahan sampah tinggi karena pengetahuan responden tinggi, bukan karena kemauan dan tindakan pemilahan sampah. Kata Kunci: Kesadaran, Pemilahan Sampah, Masyarakat Semarang dan Yogyakarta
PENDAHULUAN Setiap rumah tangga dipastikan mempunyai limbah sampah. Sampah yang mencapai volume besar dan menumpuk di tempat pembuangan sampah sering tak tertangani, sehingga sampah dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan keindahan lingkungan. Sulistianto (2009) menyajikan data Produksi Sampah di kotakota besar sebagai berikut: Tabel 1. Produksi Sampah di KotaKota Besar No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Area
Jayapura Makasar Bandung Bogor Semarang Depok Karangasem Denpasar Jakarta
Produksi per Hari Tahun 2008 1.200 m3 1.679 m3 6.915 m3 1.515 m3 4.500 m3 3.000 m3 1.236 m3 2.200 m3 27.000 m3
Dari tabel 1 tampak bahwa semakin besar suatu kota akan semakin banyak volume limbah sampah yang dihasilkan. Padahal sampah kota dapat dikurangi bila tiap-tiap rumah tangga memanfaatkan sampah menjadi barang yang memiliki nilai lebih, seperti sampah diubah menjadi kompos dan barang daur ulang, sehingga keluarga tidak lagi menghasilkan sampah. Memilahkan sampah sendiri masih merupakan masalah bagi banyak orang dan keluarga. Padahal bila sampah dipilah menjadi sampah organik dan anorganik dan dikelola lebih lanjut dapat memberi nilai lebih. Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh penulis dan tim tahun 2011 dengan kasus di Rumah Susun Pekunden Semarang menunjukkan bahwa pengetahuan mereka kurang maksimal dalam melakukan pemilahan dan pengelolaan sampah. Demikian pula kemauan mereka untuk melakukan pemilahan dan pengelolaan sampah. Baru
16
20 % saja yang berminat. Bahkan masih ada yang membuang sampah di sungai (7,50 %). Penelitian awal di atas mendorong penelitian yang lebih luas yang meliputi masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda, yaitu masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta tentang kesadaran pemilahan sampah. Perbedaan
latar belakang ini akan menghasilkan tanggapan dan persoalan yang berbeda dengan ciri khas masing-masing dalam mengelola sampah organik dan anorganik. Dengan demikian tujuan penelitian ini ingin mengetahui kesadaran pemilahan sampah dalam masyarakat, dengan mengambil kasus masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta.
Budaya Membuang Sampah Satu hal yang menjadi masalah awal untuk mengolah sampah menjadi kompos adalah memilah-milahkan jenis sampah antara sampah organik dan anorganik. Sekalipun telah disosialisasikan dan disediakan tong sampah yang sesuai dengan jenis sampah, pada kenyataannya banyak masyarakat yang tidak menggunakannya sebagaimana mestinya, sehingga tong sampah organik ternyata berisi sampah anorganik, dan sebaliknya (Defri Sulistyanto, 2009).
Gambar 1. Pemilah sampah. Kiri: tong pemilah sampah. Kanan: kantong pemilah sampah (Sumber: Penulis, 2012) Dengan demikian kebiasaan membuang sampah secara benar ini belum membudaya. Mereka belum memiliki pola berpikir, dan enggan berpikir apakah jenis sampahnya organik ataukah anorganik, akibatnya mereka membuangnya di salah satu tong yang belum tentu sesuai dengan jenis sampah yang mereka buang. Kenyataan di atas mendorong penelitian pada beberapa perumahan dengan berbagai strata dan tempat tinggal (kota Semarang dan Yogyakarta).
Kesadaran Pengelolaan Sampah Organik dan Anorganik Dalam Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (2008) disebutkan bahwa sadar artinya insaf, tahu, mengerti. Penyadaran artinya proses, cara, perbuatan menyadarkan. Kesadaran artinya keinsafan; keadaan mengerti. Jadi kesadaran adalah proses orang menjadi tahu akan suatu hal. Kesadaran ini akan lebih konkrit bila orang tidak sekedar tahu, tetapi punya keinginan atau mau, dan kemudian bertindak akan suatu hal. Jadi sebenarnya dalam kasus penelitian ini
kesadaran sekedar “tahu’ saja tidak cukup, melainkan orang “mau” dan “bertindak” secara konkrit melakukan tahap-tahap dalam pengelolaan sampah. Jadi ada tiga tahap kesadaran, yaitu tahu, mau, dan bertindak. Bila ketiga hal ini terjadi maka kedasaran itu telah sempurna. Dalam buku “Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan” yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2000, disebutkan bahwa sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pengertian pengelolaan sampah identik dari proses awal hingga akhir dalam suatu manajemen. Pengelolaan sampah yang dimanfaatkan lebih lanjut memiliki beberapa tahap: 1) dimulai dari pemilahan sampah organik dan anorganik dari rumah tangga; 2) proses pemanfaatan sampah menjadi barang yang berguna, seperti kompos dan barang daur ulang; 3) manajemen pemasaran, yaitu kompos dan kerajinan barang daur ulang dimnafaatkan untuk konsumsi sendiri ataupun dipasarkan ke masyarakat. Dengan proses itu sampah rumah tangga yang dibuang ke kota menjadi berkurang. Tetapi dalam penelitian ini masih berfokus pada tahap pertama, yaitu masalah kesadaran pemilahan sampah organik dan anorganik dari rumah tangga.
fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu atau yang menjadi ciri/sifat dari dirinya. Keluarga menurut Soerjono Soekanto (1986) merupakan unit masyarakat terkecil. Terdapat keluarga inti yang terdiri ayah, ibu, dan anak. Terdapat pula keluarga besar yang terdiri dari keluarga inti dan famili di luar keluarga inti. Dalam penelitian ini, yang dimaksud keluarga adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, serta ditambah pembantu perempuan dan pembantu laki-laki karena pembantu dalam sehari-hari menempati rumah dengan jumlah jam yang cukup lama dan seringkali ikut serta dalam pengelolaan sampah. Dari pengertian di atas, peran keluarga dalam pemilahan sampah organik dan anorganik dalam penelitian ini adalah fungsi yang diharapkan pada individu ayah, ibu, dan anak, serta pembantu dalam melakukan aktivitas pemilahan sampah organik dan anorganik. Hasil penelitian awal di rumah susun Pekunden menunjukkan bahwa peran ayah dan ibu berbeda. Ibu berperan mengumpulkan sampah pada awal pengumpulan, sedangkan ayah cenderung berperan dalam memilah sampah dan menempatkan sampah pada tempat sampah rumah tangga (2011). Dalam melakukan aktivitas pemilahan sampah organik dan anorganik akan dijumpai siapa yang memiliki peran utama, dan bagaimana sebaiknya peran itu dilakukan.
Peran Keluarga dalam Pemilahan Sampah Organik dan Anorganik Peran atau role, menurut Kamus Lengkap Psikologi susunan Chaplin (1989) adalah 1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, 2)
Masyarakat Kota Semarang Yogyakarta Masyarakat Jawa bagian Selatan tradisional menganut falsafah kejawen. Menurut Tanjung dalam buku tulisan Soesilo (2005:vii),
dan secara hidup epilog esensi
falsafah hidup kejawen adalah pola atau pandangan hidup orang Jawa yang melakukan kehidupan berdasarkan moralitas atau etika dan religi yang tercermin di dalam hubungan manusia dengan Tuhan atau Manunggaling Kawulo – Gusti. Masyarakat kota Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa, dengan demikian dalam hidup sehari-hari lebih mengutamakan kegiatan bathiniah. Dengan ciri ini, masyarakat kota Yogyakarta cenderung agak sulit menerima sesuatu yang baru seperti pengelolaan sampah organik dan anorganik; tetapi kadangkadang memiliki ketekunan tertentu, sehingga menarik untuk diteliti atas responnya pada pengelolaan sampah. Tetapi masyarakat kota Yogyakarta sebagai kota seni, budaya, kota pelajar, dan kota global dimungkinkan memiliki keterbukaan informasi dan pengetahuan baru, khususnya tentang pemilahan sampah. Sebaliknya kawasan Jawa Tengah bagian Utara sebagai daerah pesisir pada abad pertengahan, dahulu banyak didatangi bangsa lain, seperti Arab, India, Cina, Portugis, Belanda dan Jepang. Akibatnya, orang Jawa yang tinggal di Jawa Tengah bagian Utara nilai sosial budayanya banyak dipengaruhi oleh bangsa lain, sedangkan nilai sosial budaya tradisional Jawa agak meluntur, terlebih lagi pada beberapa generasi muda terakhir. Dalam pengaruh luar yang tinggi dan tradisi (Jawa) yang meluntur, diduga lebih mudah menerima inovasi, seperti pengelolaan sampah organik dan anorganik. Maka menarik sekali membandingkan penerimaan (kesadaran) antara masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta dalam mengelola sampah organik dan anorganik.
METODE PENELITIAN Tolok Ukur Kesadaran dalam pemilahan sampah memiliki indikator: 1. Pengetahuan responden tentang pemilahan, pengolah-an, dan pengelolaan sampah 2. Kemauan responden untuk melakukan pemilahan, pengolahan, dan pengelolaan sampah 3. Tindakan responden untuk melakukan pemilahan, pengolahan, dan pengelolaan Sampah Idealnya masalah kesadaran berhasil bila semua warga mengalami (100 %). Tolok ukur ini akan menggunakan skala likert yang disederhanakan sehingga ada tiga kategori: rendah, cukup, tinggi, masing-masing memiliki interval 33,33 % (dibulatkan menjadi 33 % sehingga dibuat tolok ukur sebagai berikut: 1. Skala rendah bila rata-rata prosentase tiga indikator 0 - 33 % 2. Skala sedang bila rata-rata prosentase tiga indikator 33,01 66 % 3. Skala tinggi bila rata-rata prosentase tiga indikator 66,01 100 % Tiga indikator tersebut akan digunakan untuk mengetahui tingkatan skala rendah, sedang, dan tinggi kesadaran pemilahan sampah rumah tangga. Pengambilan Sampel Menurut Hadi (1982:82) stratified sampling biasa digunakan jika populasi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai susunan bertingkat atau populasi yang menunjukkan adanya strata (lapisan-lapisan) dalam masyarakat. Tiaptiap kota diambil kelompok yang mewakili
strata atas, menengah, dan bawah, sehingga diperoleh hasil rata-rata. Berdasarkan strata atas, menengah, dan bawah lokasi penelitian masyarakat Jawa Tengah bagian Utara yang diwakili kota Semarang ditentukan lokasi sebagai berikut: 1. Rumah Susun Pekunden (mewakili masyarakat strata bawah), 2. Perumahan Jangli Permai (mewakili masyarakat klas bawah), 3. Srondol Bumi Indah (mewakili masyarakat klas atas). Sedangkan lokasi penelitian masyarakat Jawa Tengah bagian Selatan yang diwakili kota Yogyakarta dengan lokasi sebagai berikut. 1. Rumah Susun Gemawang (mewakili masyarakat strata bawah),
Semarang Masyarakat strata atas Masyarakat strata menengah Masyarakat strata bawah Yogyakarta Masyarakat strata atas Masyarakat strata menengah Masyarakat strata bawah
T o t a l Responden
2. Perumahan Pringwulung (mewakili masyarakat strata menengah), 3. Perumahan Kaliurang Pratama (mewakili masyarakat strata atas). Jumlah Responden Menurut Hadi (1982:83) sampel kuota adalah jumlah responden yang akan diselidiki ditetapkan lebih dahulu. Untuk menghindari dominasi responden dari tiaptiap strata masyarakat, penentuan jumlah responden menggunakan sampel kuota dengan melakukan penetapan terlebih dahulu dari tiap-tiap strata masyarakat. Dalam penelitian ini jumlah responden ditetapkan tiap-tiap strata masyarakat adalah 30 responden, terdiri 15 laki-laki dan 15 wanita agar tampak perbedaan opini dan kesadaran laki-laki (bapak) dan wanitanya (ibu), lihat kajian pustaka peer group berdasarkan jenis kelamin, sehingga jumlah responden secara keseluruhan adalah:
= 30 responden = 30 responden = 30 responden -------------------- 90 responden = 30 responden = 30 responden = 30 responden -------------------- 90 responden ---------------= 180 responden
Pengambilan Data Data diambil dengan menggunakan angket. Analisa Data Penelitian ini ingin melihat kesadaran responden, sehingga digunakan analisa diskriptif. Kesadaran pemilahan sampah akan dilakukan silang dengan masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai kota global terlebih dahulu menerima informasi tentang pemilahan sampah, sehingga muncul hipotesa “masyarakat kota Yogyakarta cenderung lebih tinggi kesadaran pemilahan sampah daripada masyarakat kota Semarang”. Untuk mengetahui hubungan silang diantara dua hal yang akan dicari digunakan analisa chi square untuk melihat ada tidaknya perbedaan hubungan di antara dua hal itu (Hadi, 1982). Untuk menjelaskan gejala suatu perbedaan digunakan analisa tabulasi silang dan memberikan penjelasan digunakan analisa diskriptif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tujuan penelitian ini ingin mengetahui kesadaran pemilahan sampah organik dan anorganik pada level keluarga. Maka pada bab ini pertama-tama akan dipaparkan peran anggota keluarga dalam mengelola sampah di rumah tangga, mulai dari
pengumpulan sampah di dapur, di dalam rumah, di halaman rumah, dan di tempat sampah utama yang siap diangkut ke tempat pengumpulan sampah wilayah. Selain peran anggota keluarga dalam pengelolaan sampah, pada bab ini akan disampaikan pula perbedaan pengetahuan, kemauan, tindakan dan kesadaran pemilahan sampah antara masyarakat kota Semarang dan Yogyakarta. Kota Tempat Tinggal dan Pengetahuan Pemilahan Sampah Kota tempat tinggal memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan budaya masyarakat suatu kota. Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, kota seni dan budaya tradisi Jawa. Sebagai kota budaya dan seni yang sering dikunjungi wisatawan asing, Yogyakarta menjadi kota global. Sebagai kota global, informasi global yang diterima warganya terlebih dahulu terjadi dibanding kota lain. Padahal pemilahan sampah lebih dulu dikenal di negeri Barat, maka sebagai kota global yang sering dikunjungi orang Barat, masyarakat kota Yogyakarta mengenal lebih dulu pemilahan sampah, sehingga pengetahuan pemilahan sampah cenderung lebih dimiliki oleh masyarakat kota Yogyakarta. Sebaliknya kota Semarang lebih dikenal dengan kota dagang, belum mengglobal dibandingkan dengan kota Yogyakarta. Maka masyarakat kota Semarang tidak terlebih dahulu mengenal pengetahuan pemilahan sampah.
Tabel 2. Kota Tempat Tinggal dan Pengetahuan Pemilahan Sampah Kota Tempat Pengetahuan Pemilahan Sampah Total Tinggal Rendah Tinggi Semarang 11 (55%) 79 (49,37%) 90 (50,0%) Yogyakarta 9 (45%) 81 (50,63%) 90 (50,0%) Total 20 (100 %) 160 (100 %) 180 (100,0%)
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 15, Nomor 1, Januari 2013 ___________________________________________________________________________
Nilai chi square 0,203 pada taraf kepercayaan 0,652. Taraf kepercayaan lebih besar dari 0,05 berarti tidak signifikan. Dengan demikian tidak ada perbedaan hubungan antara masyarakat yang tinggal di kota tertentu dengan pengetahuan pemilahan sampah. Secara keseluruhan responden sebenarnya memiliki pengetahuan yang tinggi tentang perlunya pemilahan sampah (90,4 %). Tetapi dari tabulasi silang terbaca bahwa responden kota Semarang cenderung rendah pengetahuannya tentang pemilahan sampah (55 %). Sebaliknya masyarakat kota Yogyakarta cenderung tinggi pengetahuannya dalam pemilahan sampah (50,63 %) dibanding dengan masyarakat kota Semarang.
Kecenderungan tersebut terjadi karena masyarakat kota Yogyakarta sebagai kota yang telah mengglobal diperkenalkan terlebih dahulu tentang pengetahuan pemilahan sampah. Kota Tempat Tinggal dan Kemauan Pemilahan Sampah Seperti telah disebutkan di atas masyarakat kota Yogyakarta lebih cenderung mengetahui tentang pemilahan sampah daripada masyarakat kota Yogyakarta. Asumsinya masyarakat Yogyakarta lebih memiliki kemauan untuk memilahkan sampah daripada masyarakat kota Semarang. Namun pada kenyataannya asumsi ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kota Tempat Tinggal dan Kemauan Pemilahan Sampah Kota Tempat Kemauan Pemilahan Sampah Total Tinggal Tinggi Rendah Semarang 30 (57,69 %) 60 (46,87 %) 90 (50,0%) Yogyakarta 22 (42,31 %) 68 (53,13 %) 90 (50,0%) Total 52 (100 %) 128 (100 %) 180 (100,0%) Nilai hitung chi square 1,731 pada taraf kepercayaan 0,188. Taraf kepercayaan lebih besar dari 0,05 berarti hubungan antara dua variabel tersebut tidak signifikan, tidak ada perbedaan hubungan antara masyarakat yang tinggal di kota Semarang dan Yogyakarta dengan kemauan pemilahan sampah. Demikian pula pada tabulasi silang tidak tampak perbedaan. Kecenderungan responden kota Semarang memiliki kemauan yang tinggi untuk memilahkan sampah (57,69 %). Hal ini terjadi karena pemilahan sampah merupakan sesuatu yang baru sehingga menumbuhkan keinginan dan kemauan tertentu. Sebaliknya responden kota Yogyakarta memiliki kemauan yang rendah (53,13 %)
untuk memilahkan sampah. Hal ini terjadi masyarakat kota Yogyakarta sudah mengetahui lebih lama tentang pemilahan sampah, sehingga semangat dan kemauan untuk memilahkan sampah tidak tinggi. Secara keseluruhan tidak ada kemauan pada responden kota Semarang maupun kota Yogyakarta (71,1 %) untuk memilahkan sampah, meskipun mereka tahu pentingnya pemilahan sampah. Dengan demikian bila pada poin 4.2. responden umunya memiliki pengetahuan tentang pemilahan sampah, maka belum tentu pengetahuan ini menumbuhkan kemauan memilahkan sampah. Demikian pula bila masyarakat kota Yogyakarta memiliki pengetahuan tentang pemilahan sampah daripada masyarakat kota
1
Semarang, tidak berarti memiliki kecenderungan yang serupa tentang kemauan memilahkan sampah. Pada tabel 4.3. menunjukkan masyarakat kota Yogyakarta cenderung tidak mempunyai kemauan memilahkan sampah. Bila suatu masyarakat sebenarnya memiliki pengetahuan pemilahan sampah tetapi tidak ada kemauan memilahkan
sampah, menunjukkan belum ada motivasi yang cukup untuk dapat menggerakkan masyarakat untuk mau memilahkan sampah. Dengan demikian pada responden belum ada motivasi yang cukup untuk menumbuhkan kemauan memilahkan sampah, khususnya pada masyarakat kota Yogyakarta.
Kota Tempat Tinggal dan Tindakan Pemilahan Sampah Seperti telah diketahui pada uraian sebelumnya suatu masyarakat kota memiliki kebiasaan tersendiri. Bila suatu masyarakat memiliki pengetahuan tentang pemilahan sampah, seharusnya memiliki kemauan dan tindakan untuk memilahkan sampah. Namun pada kenyataannya dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Kota Tempat Tinggal dan Tindakan Pemilahan Sampah Kota Tempat Tindakan Pemilahan Sampah Total Tinggal Tidak Ada Ada Semarang 66 (47,48 %) 24 ( 58,54 %) 90 (50,0%) Yogyakarta 73 (52,52 %) 17 ( 41,46 %) 90 (50,0%) Total 139 (100,00%) 41 (100,00 %) 180 (100,0%) Nilai hitung chi square 1,548 pada taraf signifikansi 0,213. Taraf signifikansi lebih besar dari 0,05 berati tidak sigfnifikan perbedaan hubungan antara kota tempat tinggal dan tindakan memilah sampah. Secara keseluruhan ada 77,2 % responden yang tidak melakukan tindakan pemilahan sampah. Ada kecenderungan responden masyarakat kota Semarang melakukan tindakan pemilahan sampah (58,54 %). Tetapi pada responden masyarakat kota Yogyakarta cenderung tidak melakukan tindakan pemilahan sampah (52,52 %). Dua kecenderungan itu terjadi karena pemilahan sampah lebih
dulu terjadi pada masyarakat Yogyakarta, sehingga masyarakat kota Yogyakarta tidak terlalu bersemangat untuk melakukan tindakan pemilahan sampah. Selain itu bisa terjadi keterampilan untuk pemilahan sampah dan pembuatan kompos belum cukup. Sebaliknya masyarakat kota Semarang baru saja mengenal pemilahan sampah dan pemanfaatnya, sehingga mereka lebih bersemangat untuk melakukan tindakan pemilahan sampah. Selain itu keterampilan pemilahan sampah dan pemanfaatannya cukup maju pesat.
Kota Tempat Tinggal dan Kesadaran Pemilahan Sampah Tabel 5. Kota Tempat Tinggal dan Kesadaran Pemilahan Sampah Kota Tempat Kesadaran Pemilahan Sampah Total Tinggal Rendah Tinggi Semarang 29 (55,8 %) 61 ( 47,7 %) 90 (50,0%) Yogyakarta 23 (44,2 %) 67 ( 52,3 %) 90 (50,0%) Total 52 (100,0 %) 128 (100 %) 180 (100,0%) Nilai hitung chi square sebesar 0,974 signifikan pada taraf kepercayaan 0,324. Taraf kepercayaan lebih besar dari 0,05 maka tidak ada perbedaan hubungan antara kota tempat tinggal dengan kesadaran memilahkan sampah. Tetapi dari tabulasi silang tampak bahwa pada umumnya 128 responden memiliki kesadaran tinggi (71,11 %). Responden kota Semarang cenderung memiliki kesadaran rendah (55,8 %), sedangkan responden kota Yogyakarta cenderung memiliki kesadaran tinggi (52,3 %). Dengan demikian hipotesa yang diajukan dalam metode penelitian dapat diterima secara kualitatif. Hal ini terjadi karena kota Yogyakarta sebagai kota global terlebih dulu menerima informasi pengetahuan pemilahan sampah lebih dulu daripada masyarakat kota Semarang. Tetapi kedua kelompok responden ini sama-sama memiliki kemauan dan tindakan yang rendah dalam upaya pemilahan sampah; padahal mereka memiliki pengetahuan yang cukup tinggi (90,4 %). Dengan demikian mereka tampaknya membutuhkan motivasi tertentu untuk dapat memiliki kemauan dan tindakan pemilahan sampah. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa responden umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tinggi dalam memilahkan sampah (90,4 %), sedangkan kemauannya rendah (71,11 %), dan tindakan yang rendah (77,2 %), serta
kesadaran yang tinggi (71,11 %) dalam memilahkan sampah. Responden tentang pemilahan sampah, memiliki kondisi pengetahuan tinggi, tetapi kemauan dan tindakan yang rendah, menunjukkan bahwa terjadi tidak konsistensi antara pengetahuan, kemauan dan tindakan. Responden memiliki pengetahuan pemilahan sampah tetapi tidak memiliki kemauan dan tindakan pemilahan sampah. Hal ini terjadi karena beberapa hal: 1) motivasi responden dalam melakukan realisasi pengetahuan yang dimiliki; 2) keterampilan yang kurang. Kesadaran pemilahan sampah pada responden kota Semarang lebih rendah daripada responden kota Yogyakarta, karena pengenalan atau pengetahuan pemilahan sampah lebih dahulu terjadi pada kota Yogyakarta sebagai kota global.
PENUTUP Kesimpulan Umumnya responden memiliki kesadaran yang tinggi (71,11 %) dalam memilahkan sampah. Kesadaran pemilahan sampah pada responden kota Yogyakarta lebih tinggi daripada responden kota semarang, karena pengenalan atau pengetahuan pemilahan sampah lebih dahulu terjadi pada kota Yogyakarta sebagai kota global.
Pengetahuan responden tentang pemilahan sampah tinggi, tetapi kemauan dan tindakan yang rendah, menunjukkan bahwa terjadi tidak konsistensi antara pengetahuan, kemauan dan tindakan. Hal ini terjadi karena beberapa hal: 1) motivasi responden dalam melakukan realisasi pengetahuan yang dimiliki; 2) keterampilan yang kurang dalam pemilahan sampah maupun dalam mendayagunakan sampah menjadi sesuatu yang memberikan nilai tambah; 3) sampah masih dipandang sebagai sesuatu yang remeh dan menjijikkan; 4) pemilahan sampah masih dipandang sebagai sesuatu yang merepotkan. Laki-laki lebih rendah kesadaran dalam memilahkan sampah daripada wanita, karena wanita bergelut langsung dengan sampah. Responden dari perumahan klas atas, menengah, dan bawah sama-sama memiliki kesadaran yang tinggi dalam memilahkan sampah. Responden dengan pendidikan tinggi dan sedang memiliki kesadaran yang tinggi dalam memilahkan sampah. Usia muda dan dewasa memiliki kesadaran yang tinggi dalam memilahkan sampah. Saran
Ibu dan pembantu perempuan, disusul ayah merupakan anggota keluarga yang berperan besar dalam pengelolaan sampah. Karena itu pendekatan kepada ibu, pembantu perempuan, dan ayah perlu dilakukan secara intensif. Untuk menambah pengetahuan, keterampilan, kemauan, tindakan dan kesadaran dalam pemilahan sampah dan terlebih lagi untuk menumbuhkan motivasi agar mau dan bertindak melakukan pemilahan sampah perlu dibentuk peer group (kelompok inti) untuk menularkan kebiasaan pemilahan sampah. Pembentukan peer group ini perlu diikuti dengan pembinaan/pendampingan, mengingat dari hasil pantauan keterampilan mereka dalam pemilahan sampah dan pemanfaatan sampah masih rendah (Hariyono, dkk, 2012). Dengan pembentukan dan pembinaan peer group diharapkan terdapat peningkatan kesadaran riil akan kemauan dan tindakan pemilahan sampah. Pemerintah perlu bersikap konsekuen dan konsisten dengan menyediakan TPS dan TPA yang dipilah antara sampah organik dan anorganik dan perlu memberikan pelatihan pembuatan kompos rumah tangga dan pembuatan barang daur ulang.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional, 2000, Tata Cara Pengelolaan Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, Jakarta Chaplin, 1989, Kamus Lengkap Psikologi, Erlangga, Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
DPU & Yayasan LPMB, 1990, Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, Bandung Hadi, Sutrisno, 1982, Metodologi Research, Yogyakarta, Yayasan Penerbit Fak. Psikologi UGM Hariyono, Paulus; Suciarto, Sentot; Kusdiartini, Veronica, 2011, “Pengelolaan Sampah Organik dan Anorganik di Rumah Susun Pekunden” (laporan penelitian), Semarang: LPPM Unika Soegijapranata Hariyono, P; Suciarto, Sentot; Kusdiartini, Veronica; Listiati, Etty E., 2012, “Studi Kesadaran Pengelolaan Sampah Organik dan Anorganik pada Level Keluarga Melalui Pembentukan Peer Group pada Masyarakat Kota Semarang dan Yogyakarta” (laporan penelitian), Semarang: Dikti dan LPPM Unika Soegijapranata Soekanto, 1981, Sosiologi Suatu Pengantar, UI-Press, Jakarta Soesilo, 2005, Kejawen, Yusula, Malang Soehartono, Irawan, 1999, Metode Penelitian Sosial, Remaja Rosdakarya, Bandung. Sulistianto, Defri, 2009, Budaya Membuang Sampah, Semarang, FEB Unika Soegijapranata