KERINGANAN PUASA BAGI PENERBANG DI BULAN RAMADHAN (Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: AFRIZAL NURDIN NIM : 106043101280
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2010 M
i
KERINGANAN PUASA BAGI PENERBANG DI BULAN RAMADHAN (ANALISIS FATWA MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Afrizal Nurdin NIM : 106043101280
Pembimbing
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA NIP : 194512301967122001
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2010 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Keringanan Puasa Bagi Penerbang Di Bulan Ramadhan (Analisis Fatwa MUI Bagi Penerbang)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Mazhab Fiqh). Jakarta, 22 Desember 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 195703121985031003
(
)
Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
(
)
Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA NIP. 194512301967122001
(
)
Penguji I
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
(
)
Penguji II
: Dr. Hasanudin, M.Ag NIP. 196103041955031001
(
)
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Muharram 1432 H 16 Desember 2010 M
Penulis
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt. Dialah sumber tempat bersandar, dan sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya, sehingga penulis diberikan kekuatan fisik
dan
psikis
untuk
dapat
menyelesaikan
skripsi
ini
yang
berjudul:
KERINGANAN PUASA BAGI PENERBANG (Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang). Salawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebenaran, kearipan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman. Dibalik terselesaikan skripsi ini, tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses pembuatannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat ditengah ekonomi yang begitu kurang. Akan tetapi, dengan penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut. Pada kesempatan ini pula perkenankanlah penulis untuk memberikan ucapan terima kasih kepada:
v
1.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma., SH., MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya yang tidak bisa disebutkan satupersatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku sekretaris jurusan yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bantuan baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4.
Pimpinan dan karyawan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5.
Seluruh dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
vi
6.
Yang tercinta dan terkasih Ayahanda Rab’in dan Ibunda Heny Heryantini atas cinta dan kasih sayangnya kepada ananda dengan penuh kesabaran dan keikhlasan yang tak terhingga yang telah membimbing ananda selama ini menuntut ilmu dan mengajarkan arti kehidupan. Sebagai seorang anak, ananda belum bisa membalas jasa, cinta dan kasih sayang yang bapa dan mamah berikan kepada ananda, yang bisa ananda berikan adalah Do’a yang tulus dan ikhlas yang ananda panjatkan kepada Allah SWT, semoga bapa dan mamah senantiasa dilindunginya, diberikan kesehatan dan kesabaraan serta balasan yang terbaik atas semua kasih dan sayang yang bapa dan mamah berikan, dan selalu dilimpahkan Rahmat dan Inayah-nya. Amiin.
7.
Kakak tercinta, Deni Saefudin dan Melia Sapta serta adikku Rany Novianty dan Oki Herdiman dan keponakanku Fauzan Adli Habibi yang tidak pernah bosan selalu memberikan nasehatnya serta memotivasi penulis untuk dapat dengan segera menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal, dimudahkan rizkinya dan diberikan kesehatan selalu. Amiin.
8.
Kepada yang terkasih Husnul Khotimah yang telah sabar manunggu, menemani penulis dalam pembuatan karya ilmiah ini dan membantu dalam penulisannya.
9.
Sahabat Penulis Bang Ilham, Bang Alex, Bang Jae, Bang Abdi, Bang Mamet, Ripal, Dillah, Anis, Evi, Kucay dan abang-abangan yang lain yang tidak bisa dsebutkan satu persatu Dan kawan-kawan PMF dan PMH 2006. Terima kasih atas segala dukungannya “U Are’ll My Best Friend”
vii
Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta do’a kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan ke-Islaman. Akhirnya kepada-Nyalah segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.
Jakarta : 10 Muharram 1432 H 16 Desember 2010 M
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................................
ix
BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B.
Batasan dan Rumusan Masalah ...............................................
7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................
8
D. Tinjauan Pustaka .....................................................................
8
E.
Metode Penelitian ....................................................................
10
F.
Sistematika Penulisan ..............................................................
11
: KETENTUAN UMUM TENTANG PUASA RAMADHAN ...
13
A. Pengertian Puasa......................................................................
13
B. Hukum dan Hikmah Puasa ......................................................
16
C. Rukun dan Syarat Puasa .........................................................
24
: TINJAUAN MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG .
34
A. Pengertian Fatwa ...................................................................
34
B. Kedudukan Fatwa ..................................................................
38
C. Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa ..............................
40
BAB II
BAB III
ix
BAB IV
: KAJIAN TERHADAP FATWA MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG .................................................................
48
A. Problematika Penerbang Dalam Menjalankan Tugas Pada Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan ........................................
48
B. Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang ...........................
51
C. Analisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang .............
56
: PENUTUP ...................................................................................
65
A. Kesimpulan .............................................................................
65
B. Saran-Saran ............................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
68
BAB V
LAMPIRAN .......................................................................................................... 71
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang diyakininya dan negara menjamin kebebasan memeluk agama tersebut. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 29. Agama merupakan anugerah Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan adanya agama, manusia mempunyai pegangan dalam setiap tindakannya di dunia ini. Begitu besar peran agama dalam kehidupan, sehingga manusia tidak bisa hidup tanpa agama. Karena agama sudah menjadi kebutuhan. Seseorang yang memeluk suatu agama dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang disebut ibadah. Ini adalah sarana manusia berhubungan dengan Tuhan. Di samping itu sebagai sebuah keyakinan, agama juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama.
1
2
Kadang-kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Normanorma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.1 Salah satu fungsi agama adalah sebagai penyelemat. Keselematan yang meliputi bidang yang luas adalah keselematan yang diajarkan oleh agama. keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.2 Salah satu bentuk ibadah dalam agama adalah berpuasa. Berpuasa berarti tidak makan dan minum untuk waktu tertentu. Puasa juga berarti tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam batas waktu yang ditentukan. Puasa atau siyam dalam istilah Islam, adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan, seperti makan, minum dan senggama, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan persyaratan tertentu.3 Hal tersebut dijelaskan di dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 183
1
Mastuhu, Metode Penelitian Agama; Teori Dan Praktik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),h. 127 2 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Rajagafindo Persada, 2005), h. 261 3 Muhammad Baqir Al Habsyi, Fiqh Praktis; Menurut Al-Qur‟an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan: 1999), Cet. Ke 1, h. 341
3
Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah (2): 183) Puasa dalam Islam, terbagi atas dua bagian: wajib dan sunnah. Adapun yang wajib adalah: (1) puasa Ramadhan. (2) puasa kafarat, sebagai mengganti pelanggaran tertentu pada waktu berpuasa Ramadhan atau ketika sedang melaksanakan ibadah haji. (3) puasa nadzar. Namun Ulama Hanafi berbeda pendapat tentang puasa nadzar, baik nadzar, untuk berpuasa pada hari tertentu, seperti kamis, maupun nadzar untuk berpuasa pada suatu hari atau bulan tanpa menentukannya (hari apa atau bulan apa).4 Sedangkan puasa sunnah, misalnya puasa enam hari bulan syawal, puasa hari senin dan kamis dan sebagainya. Dalam Ihya „Ulumuddin, sebagaimana yang dikutip oleh Sukardi, Imam Ghazali menyebutkan enam cara menahan diri pada waktu puasa. Pertama, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang menyibukan hati, sehingga lupa kepada Allah. Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, berbohong, mengumpat, memfitnah, bertengkar dan membiasakan diam, serta menyibukan lidah dengan zikir kepada Allah. Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci agama. Keempat, menahan seluruh anggota tubuh yang lain dari dosa – perut dari makanan haram, tangan dari menganiaya orang lain atau mengambil yang bukan hak, kaki dari menginjak-injak hak orang lain. Kelima,
4
Abdurrahman Al Jaziri, Puasa Menurut Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet. Ke 3, h. 10
4
menahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan, walaupun dengan makanan halal. Keenam, sesudah berbuka, hendaklah hatinya selalu berada di antara cemas dan harap; ia tidak boleh terlalu takut bahwa puasanya tidak diterima Allah, dan juga tidak terlalu yakin bahwa puasanya sudah sempurna.5 Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang keempat, dari lima rukun Islam yang ada. Rukun Islam yang pertama ialah membaca kalimat syahadat, yakni ikrar tentang keesaan Tuhan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Yang kedua, melaksanakan salat lima waktu sehari semalam. Ketiga, membayar zakat kepada fakir miskin dan orang-orang yang berhak. Kemudian, yang terakhir, menunaikan ibadah haji bila mampu. Karena termasuk rukun Islam, maka puasa Ramadhan sifatnya wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam yang sudah dewasa. Patokan dewasa ini biasanya sama dengan akil balig atau matang secara seksual. Kondisi akil balig secara alamiah ditandai peristiwa datang bulan bagi perempuan atau mimpi basah pada laki-laki. Dengan demikian, anak-anak yang belum akil balig tidak wajib menjalankan puasa Ramadhan. Kalaupun ada anak-anak yang berpuasa, sifatnya baru sebatas latihan. Karena latihan, boleh saja tidak dilakukan sehari penuh. Misalnya puasa sampai jam 12 siang atau saat adzan zuhur tiba. Ini biasa disebut
5
1920
Sukardi K.D., Puasa Bersama Sufi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), Cet. 1, h,
5
puasa mbedug di kalangan masyarakat Jawa. Maksudnya, puasa sampai bedug di masjid ditabuh bertalu-talu, sebagai pertanda waktu salat zuhur tiba. Orang dewasa yang sedang sakit, sudah uzur (jompo), atau tengah melakukan perjalanan jauh (musafir) juga diperbolehkan tidak menjalankan puasa Ramadhan. Dalam konteks inilah jika Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini memfatwakan bahwa pilot pesawat terbang yang sedang bertugas boleh tidak puasa. Selain sering bepergian jauh, seorang pilot juga bertanggung jawab atas nyawa puluhan atau ratusan penumpangnya. Jika pilot berpuasa, yang salah satu efeknya mengantuk, dipandang bisa membahayakan para penumpang. Fatwa bagi para pilot ini, jika mengikuti kaidah analogi atau qiyas dalam hukum Islam, tentunya berlaku pula bagi para sopir bus, truk, dan sarana transportasi jarak jauh lainnya. Ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui juga diizinkan tidak berpuasa. Malahan perempuan yang sedang datang bulan tidak boleh menjalankan puasa Ramadhan. Akan tetapi, orang-orang dewasa muslim yang tidak berpuasa tadi, wajib menggantinya pada hari lain bagi yang mampu secara fisik. Sementara bagi yang fisiknya memang tidak mampu lagi, diharuskan membayar denda (fidyah) pengganti puasa. Ini misalnya bagi mereka yang uzur atau sakit jangka panjang. Denda pengganti puasa ini biasanya diberikan oleh yang bersangkutan
6
berupa makanan berbuka puasa (takjil) yang dibagikan kepada para jamaah di masjid-masjid. Dalam hal ini, berkenaan dengan kebolehannya tidak berpuasa bagi musafir ulama mazhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu perjalanan itu harus berangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus mengqadha‟ (menggantinya) tapi tidak perlu membayar kifarah. Imam Syafi‟i menambahkan satu syarat lagi, yaitu: bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah (keringanan), bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memenuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh dibuka. Hanya kita harus mengetahui bahwa Imam Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: bahwa sholat qashar dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhshah. Imam Imamiyah kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syaratsyarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa, maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa itu harus meng-qadha‟, tapi tidak perlu membayar kifarah. Ketetapan ini berlaku, kelau perjalanan itu berangkat sebelum matahari tergelincir (condong ke barat), tetapi kalau berangkat waktu zawal (matahari
7
tergelincir) atau sesudahnya, maka ia harus tetap berpuasa, dan kalau berbuka, dia harus membayar kifarah, seperti seorang yang sengaja membuka. Bila seorang musafir telah sampai kedaerahnya atau ketempat tinggalnya yang akan ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal, dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya, dan bila berbuka, maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu membayar kifarah.6 Berkenaan dengan hal di atas, maka penulis tertarik untuk membahasnya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Keringanan Puasa Bagi Penerbang Di Bulan Ramadhan (Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang (PILOT)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI sangat luas cakupannya. Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis membatasi kepada fatwa yang dikeluarkan olah MUI pusat tentang puasa bagi penerbang sekitar pembahasan tentang problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa di bulan Ramadhan dan fatwa MUI. Berkenaan dengan ini, dikarenakan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa yang berada ditingkat daerah dan sebagainya.
6
h. 158-159
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996),
8
Melihat dari pembatasan diatas, maka penulis mengambil rumusanrumusan masalah sebagai berikut : 1.
Apa problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa di bulan Ramadhan ?
2.
Bagaimanakah fatwa MUI tentang puasa bagi penerbang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dari perumusan dan pembatasan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Agar dapat mengetahui apa problematika penerbang dalam menjalankan tugasnya pada saat berpuasa.
2.
Agar dapat mengetahui bagaimana dasar hukum MUI dalam menetapkan fatwa tentang puasa bagi penerbang. Penulis berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi
manfaat, yaitu menambah wawasan, khususnya penulis dan pada umunya pembaca, masyarakat dan tokoh masyarakat. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait. D. Kajian Terdahulu (Review Study) Setelah dilakukan evaluasi terhadap beberapa judul skripsi, tesis maupun disertasi yang erat kaitannya dengan pembahasan yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam skripsi ini, ditemukan beberapa judul skripsi yang membahas tentang puasa. Salah satunya adalah skripsi yang ditulis oleh
9
Rahmat Hidayat, yang berjudul “Nilai-nilai Edukatif Yang Terkandung Dalam Ibadah Puasa”. Rahmat Hidayat mengatakan bahwa ibadah puasa mempunyai nilai pendidikan apabila ibadah puasa itu dilakukan dengan benar berdasarkan ketentuan hukum syara‟ dan benar-benar mengharap ridlo dari Allah SWT. Karena apabila ibadah puasa tidak berdasar hukum syara‟ hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja tanpa ada nilai-nilai positif yang berarti yang didapatnya. Dalam skripsi ini menerangkan bahwa hikmah puasa yang berkaitan dengan pendidikan dapat terungkap secara ilmiah dan dapat memberikan kontribusi positif dalam mengembangkan pendidikan. Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Ramadani yang berjudul “Makna Puasa Di Kalangan Narapidana Muslim Dan Kristen (Studi Kasus Di Lembaga Permasyarakatan (LP) Tangerang)”. dalam skripsi ini menerangkan perbedaan makna puasa dari kalangan narapidana muslim dan kristen. Dari pernyataan narapidana umat muslim berpuasa di dalam penjara lebih baik datau lebih khusyu‟ dibanding saat pelaksanaan ibadah puasa mereka saat berada di luar penjara. Sedangkan narapidana Kristen berpuasa untuk mendekatakan diri kepada Tuhan Yesus dan usaha untuk menjauhkan keberadaan setan yang mengganggu manusia. Dari sekian banyak skripsi yang membahas tentang puasa tidak ada yang membahas langsung dan sesuai yang akan penulis teliti yang lebih fokus pada menganalisis fatwa MUI tentang puasa bagi penerbang.
10
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif, perundang-undangan dan normatif yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data. Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.7
2.
Teknik Pengolahan Data Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahanbahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut : a) Studi Pustaka (library research) Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.
7
Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pusaka Setia, 2002), h. 51
11
b) Analisis
dan
pengolahan
data
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data-data atau literatur yang terdapat di dalam buku dan materi yang bersangkutan dengan hal yang akan dibahas, kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam pembahasan masalah, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan saran-saran untuk perbaikan. 3.
Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I
Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Ketentuan Umum Puasa Menurut Hukum Islam. Adapun Fokus Kajiannya Adalah Pengertian, Hukum Dan Hikmah, Syarat Dan
12
Rukun Puasa, Dan Orang-Orang Yang Dibolehkan Berbuka Puasa. Bab III
Berisikan Tinjauan Umum Tentang Fatwa Yang Mencakup Kepada Pengertian Fatwa, Kedudukan Fatwa Dan Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa.
Bab IV
Kajian Terhadap Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang (PILOT) Bab Ini Terdiri Dari Problematika Dari Penerbang, Fatwa MUI, Dan Menganalisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang.
Bab V
Penutup: Kesimpulan Dan Saran-Saran.
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PUASA RAMADHAN
A. Pengertian Puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum, yang artinya menahan dari segala sesuatu.1
baik perbuatan maupun perkataan, seperti
manahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya.2 Dalam agama Islam, puasa diartikan sebagai menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat. Ada juga yang mendefinisikan puasa, yaitu menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari.3 Menurut Yusuf al-Qardhawi puasa adalah meninggalkan dan menahan. Dengan kata lain, menahan dan meninggalkan sesuatu yang mubah (halal), seperti nafsu perut dan nafsu sex dengan nilai mendekatkan diri kepada Allah SWT. adapun makna puasa secara terminologi adalah menahan diri dengan sengaja dari makan, minum, bersetubuh dan segala sesuatu yang berada dalam hukum bersetubuh selama sehari penuh yakni sejak dari terbit fajar sampai
1
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet 4. h. 804 2 H. Baihaqi, AK., Fiqh Ibadah, (Bandung: M28, 1996), cet. ke-1, h. 119 3 Hasan Kamil al-Mathawi, fiqh al-Ibadat ala Mazhab al-Imam Malik r.a, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Misriyah, 1978), h. 247
13
14
terbenam matahari dengan niat menjalankan perintah Allah dan mendekatkan diri (taqarrub) kepadanya.4 Dalil yang menunjukan bahwa puasa adalah menahan diri dari dua nafsu tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah 187
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(Q.S al-Baqarah (2): 18)
4
Yusuf Qardhawi, Fiqh Shiyam “Puasa Menurut Al-Qur‟an Dan Sunnah”, (Jakarta: Islamuna Pres, 2004), Cet. Ke 2, h. 2
15
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa puasa adalah menahan diri dari syahwat dan memisahkannya dari segala kebiasaan untuk mengimbangi kekuatan syahwat, supaya bersedialah dia buat mencari kenikmatan dan kebahagian agar dia dapat menerima segala sesuatu yang menyuburkan kehidupan yang abadi dan menekan keinginan yang keras dari hawa nafsu, serta menahan diri dari keinginan makan dan minum yang bertujuan untuk membangkitkan perasaan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang hidup kelaparan dan menahan anggota badan agar tidak sampai jatuh pada hukum-hukum tabiat yang dapat memelaratkan diri sendiri di dunia dan akhirat. Sedangkan pengertian puasa menurut Imam Mazhab adalah:5 a.
Menurut Mazhab Hanafi: pengertian puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang tertentu yaitu makan, minum, jima‟, dan sesuatu yang membatalkan puasa dengan persyaratan tertentu, yaitu niat.
b.
Menurut Mazhab Maliki: puasa adalah menahan diri dari hawa nafsu yang ditimbulkan perut dan kemaluan, atau sesuatu yang mempunyai kedudukan yang sama dengan ke dua jenis hawa nafsu tersebut, karena mentaati Allah diseluruh waktu siang dengan berniat sebelum fajar atau diwaktu fajar selama dia tidak haidh, nifas dan bukan pada hari raya.
5
Abu Sari‟ Muhammad Abdul Hadi, Shaum Dan I‟tikaf (Perbandingan Antar Madzhab Berdasarkan Dalil-Dalil Shahih), Jakarta: Al-Amanah, 1993. Cet ke 1, hal 2-3
16
c.
Menurut Mazhab Syafi‟i: puasa adalah menahan diri (mencegah diri) dari mulai terbit fajar sampai maghrib dengan niat dari sebelum fajar dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan cara tertentu.
d.
Menurut Mazhab Hambali: puasa adalah menahan diri (mencegah diri) dari hal-hal yang membatalkan puasa yaitu segala sesuatu yang masuk kedalam perut, tenggorokan dan otak melalui mulut, termasuk didalamnya adalah jima‟ dan hal-hal yang mendorong untuk melakukan jima‟ seperti bercumbu jika sampai keluarnya mani sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.6 Dari definisi tersebut berkaitan dengan waktu imsak (menahan diri dari
perkara-perkara yang membatalkan puasa) menurut Imam Mazhab mereka sependapat bahwa akhir waktunya adalah terbenamnya matahari, berdasarkan firman Allah:
. . . … Artinya: “…Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...” (Q.S. al-Baqarah (2): 187) B. Hukum dan Hikmah Puasa 1.
Hukum Puasa Berpuasa pada bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam, yang
berarti bahwa berpuasa itu adalah suatu kewajiban agama, yang ikut 6
Abu Sari‟ Muhammad Abdul Hadi, Shaum Dan I‟tikaf (Perbandingan Antar Madzhab Berdasarkan Dalil-Dalil Shahih), h. 3
17
menentukan ke-Islaman seseorang.7 Puasa wajib hanya dilakukan sekali dalam setahun, yakni sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Dia adalah Fardhu „Ain dan termaktub dalam Al-Qur‟an.8 Sebagaimana firman Allah dalam surat alBaqarah ayat 183:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-Baqarah: 183) Ayat tersebut dengan tegas menyatakan tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yaitu satu-satunya bulan yang tersebut namanya dalam alQur‟an
’ شٖبدّ ح أُ ال إىٔ اال اهلل ٗاُ ٍحَذا سس٘ه اهلل: خَسٚ اإل سال ً عيْٜث 9
) ٍٗسيٌ ٗاحَذٙ ( سٗآ اىجخبس. ُ ٗطً٘ سٍضب،ذٞ ٗحح اىج، زبء اىضمبحٝٗا
Artinya: “Agama Islam itu dibangun atas lima, yaitu : Pengakuan tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan berpuasa bulan Ramadhan” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad) Menurut Prof. Quraish Shihab didalam tafsir Al-Misbah, ayat yang memuat perintah wajib puasa tersebut, tidak memberikan penjelasan dengan 7
Darajat Zakiah, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama 1995),Cet 5, Hal 13 8 Saiful Rahim, Puasa “Siapa Yang Boleh Meninggalkannya”, (Jakarta: Antar Kota, 1998), Cet. Ke 2, h. 23 9 Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: T.tp, 1490), Juz 1, cet 2, h 19
18
tegas siapa yang mewajibkannya. Gaya bahasa “Diwajibkan atas kamu” menurut Quraish Shihab menandakan bahwa puasa begitu penting bagi manusia. Bahkan, jika manusia mengetahui rahasia dibalik puasa, mereka akan mewajibkan puasa atas dirinya sendiri. Dan pada kenyataannya, umat-umat terdahulu banyak yang berpuasa berdasarkan kewajiban yang dibuat oleh tokoh-tokoh dan pemuka agama mereka.10 Bila seorang Muslim percaya bahwa Al-Qur‟an adalah firman Allah, maka segala isi Al-Qur‟an yang berisi perintah seperti yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183 dan diiringi dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim serta Ibnu Umar tersebut yang menyatakan bahwa puasa adalah salah satu dari rukun Islam. Maka tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. 2.
Hikmah Puasa Setiap kewajiban yang turun kepada manusia dari Allah SWT. Melalui
Rasul-Nya menyimpan suatu hikmah. Manusia memang dengan sendirinya dapat memahami manfaat dan hikmah yang ada dalam suatu ibadah tersebut. Tetapi tidak berarti bahwa hikmah dan manfaat suatu ibadah dapat diketahui
10
Yuzni A. Ghazaly, Puasa Sepanjang Tahun Bersama Nabi, (Jakarta: Alifbata, 2006), Cet.1, Hal 9
19
oleh semua hambanya melainkan diketahui oleh orang yang tahu dan tidak diketahui oleh orang yang bodoh. kecuali oleh Allah SWT.11 Salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yang pribadi, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian. Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasannya terhadap segala tingkah laku hamba-hambanya.12 Ibadah puasa merupakan pengabdian tertinggi dan terpanjang yang dilakuakan seorang mukmin untuk memperoleh ridha Allah SWT, dengan mengharamkan perbuatan-perbuatan yang biasanya dihalalkan oleh Allah SWT kepada mereka di siang hari.13
11
Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Intermedia, 1998), h. 23. Nurcholish Madjid, Dialog Ramadhan Bersama Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Pertama, h. 8. 13 Nogarsyah Moede, Hikmah Puasa Bagi Umat Islam Menurut Al-Qur‟an Dan Hadits, (Bandung: Marjan, 1990), Cet. Pertama, h.185. 12
20
Pada umumnya hikmah puasa, tepatnya dibulan Ramadhan Allah telah melatih dan mendidik setiap individu mu‟min atau mu‟minah agar menjaga dirinya tetap suci dari debu-debu dosa. Hal ini ditegaskan oleh baginda Rasul:14
ٔ ٗسيٌ قبهٞ اهلل عيٚ طيٜ اهلل عْٔ عِ اىْجٜشح سضٝ ٕشٚ سيَخ عِ أثٚعِ أث ُ ٍِٗ طبً سٍضب، َٔبّب ٗاحزسبثب غفشىٔ ٍب رقذً ٍِ رّجٝيخ اىقذس إٍِٞ قبً ى ) َٙبّب ٗاحزسبثب غفشىٔ ٍبرقذً ٍِ رّجٔ ( سٗآ اىجخبسٝا
15
Artinya: “Diriwayatkan dari abi salamah dari abu hurairah r.a dari nabi saw bersabda siapa saja yang mendirikan laylatul qadr dengan penuh keimanan dan kesadaran, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu, dan siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan kesadaran, maka diampuni dosadosanya yang terdahulu” (H.R al-Bukhari) 1.
Puasa bila ditinjau dari tazkiyatunnafsi sebagai berikut: a.
Puasa Ramadhan mendidik jiwa agar bisa dan dapat menguasai jiwa atau diri, Sehingga mudah menjalankan kebaikan-kebaikan yang kita kehendaki dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya, menjauhi segala larangannya dan melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan kepada Allah semata.16
b.
Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan, bahkan dapat pula nafsu kita batasi sebagaimana mestinya, dan sebagaimana yang diperintahkan olehnya. Allah SWT menganugerahkan nafsu kepada
14
Sairudin. Dkk, Tuntunan Ibadah Puasa Lengkap, (Surabaya: Indah, 1995), Cet 1,
15
Bukhari, Shahih al- Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Juz 3, h. 33 Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Solo: Citra Islam Press, T.th), h 19.
h. 146. 16
21
setiap manusia. Dengan nafsu, manusia menjadi maju. Dengan nafsu, manusia bisa melahirkan sejumlah prestasi. Tapi, dengan nafsu pula manusia bisa lebih jahat dan lebih kejam dari binatang.17 c.
Mendidik jiwa untuk memegang amanah dengan sebaik-baiknya dengan tidak menipu diri sendiri karena menyadari bahwa Allah swt mengetahui segala-galanya, yang nyata atau yang tidak nyata.18 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 108.
. . . Artinya: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.” (Q.S. An-Nisa: 108) d.
Mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan mendidik kesabaran dan ketabahan. Sabar dalam haus dan lapar bekerja sebagai biasa lama mencari rizki Allah. Sabar dan tabah mendengar dan menerima ucapan-ucapan yang mungkin menyinggung perasaan dan lain sebagainya.19
e.
Memelihara kejujuran
f.
Mendidik jiwa manusia dengan menanamkan perasaan takut dan takwa kepada Allah SWT.
17
Moede, Hikmah Puasa Bagi Umat Islam Menurut Al-Qur‟an Dan Hadits, h. 187 Latihief Rousydiy, Puasa Hukum Dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, (Medan: Rimbow, 1993), cet ke 3, h. 33 19 Latihief Rousydiy, Puasa Hukum Dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, h. 35 18
22
g.
Sebagai tanda terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat pemberiannya yang tidak terbatas banyaknya dan tidak ternilai harganya. Seseorang akan merasakan nikmat kenyang jika ia pernah merasakan lapar dan dahaga. Hal itu akan selalu mendorongnya untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
2.
Puasa ditinjau dari segi kelanggengan hidup ijtima’i (sosial) Suatu realita yang tidak bisa dibantah, kita tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Keberadaan kita pasti memerlukan bantuan orang lain, dan hajat akan bantuan orang lain ini menyebabkan kita harus membina hubungan atau relasi dengan orang lain, karena kita ini sengaja diturunkan oleh Allah SWT. ke tengah-tengah umat manusia dengan membawa misi sosial, hanyalah untuk memperbaiki umat manusia. Karena itu Islam banyak memiliki ajaran di bidang sosial kemasyarakatan yang membawa kaum muslimin menjadi makhluk sosial yang baik.20 Untuk lebih jelasnya berikut hikmah puasa ditinjau dari segi kelanggengan hidup ijtima‟i (sosial) sebagai berikut: a.
Mendidik manusia memiliki rasa cinta belas kasih dan penyantun dalam dirinya, dan dari pendidikan puasa itu akan lahir manusiamanusia yang lembut hatinya lagi baik jiwanya.
20
Sairudin dkk, Tuntunan Ibadah, h. 152
23
b.
Menanamkan rasa persatuan dan kesatuan pada setiap anggota masyarakat. Karena dalam puasa semua manusia dengan berbagai tingkatan dan kedudukannya merasakan lapar dahaga yang sama tanpa ada keistimewaan dan perbedaan.21
c.
Berguna untuk perbaikan pergaulan. Orang yang berpusa dapat menimbang rasa kepada fakir miskin yang banyak menderita kelaparan dan kekurangan materi. Dengan demikian akan timbulah rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.
d.
Dalam bulam Ramadhan akan terpancar persamaan derajat yang akan dirasakan umat Islam ketika menjelang berbuka puasa. Suasana menjelang berbuka yang mengesankan itu, tidak ada perbedaan antara keluarga miskin dan keluarga kaya, semuanya sedang lapar dan sedang menunggu waktu berbuka.22
3.
Puasa ditinjau dari kesehatan. Dari sudut kesehatan puasa juga membina kesehatan jasmani dan rohani, apabila dikerjakan sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Sabda Rasulullah SAW :
طٍ٘٘ا رظح٘ا
21
Abdullah Nasih Ulwan, Puasa Ramadhan dan Segala Ketentuannya,(Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1987), h. 71 22 Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, h. 51
24
Artinya: “Berpuasalah kamu niscaya akan menjadi sehat” (H.R. Ibnu Sunniy dan Abu Nu‟aim). Disamping itu dokter-dokter sering menyatakan, bahwa puasa satu bulan dalam satu tahun dapat melenyapkan sisa-sisa makanan yang mengendap di dalam tubuh. Bagaimana besarnya pengaruh puasa kepada kesehatan jasmani dan rohani.23 C. Rukun Dan Syarat Puasa 1.
Rukun puasa Adalah menahan diri dengan disertai niat dari dua macam syahwat
perut dan syahwat kemaluan. Maksudnya adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. a.
Menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Adapun yang membatalkan puasa antara lain ialah makan dan minum meskipun sedikit tapi dilakukan dengan sengaja, dan hal-hal lain yang hukumnya disamakan dengan makan. Secara definitif, hal-hal lain yang yang membatalkan puasa itu ialah setiap benda yang masuk ke dalam tubuh lewat lobang yang terbuka yang dilakukan dengan sengaja dan sadar kalau ia sedang berpuasa.24
23
Latihief Rousydiy, Puasa Hukum Dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah
SAW, h. 30 24
Anas Tohir Sjamsuddin, Terjemahan Kifayatul Akhyar 1, Surabaya, PT Bina Ilmu,1997.h.414
25
b.
Niat Yang dimaksud niat adalah mengatakan keinginannya dalam hati untuk berpuasa, dan tidak harus diucapkan dalam lisan. Pendapat ulama tentang kapan niat itu dilakukan dan bangaimana caranya. Ada bermacammacam, yang penting adalah hatinya sudah mantap bahwa besok ia akan puasa tanpa ragu-ragu. Kapan kemantapan hati itu dirasakan, apakah pada awal malam atau pada waktu akan sahur, atau diantara keduanya, tidak menjadi soal yang penting dianggap telah berniat akan puasa Ramadhan besok. Rasulullah saw bersabda:
ذٞ سعٜحٝ بُ قبه حذثْبٞش قبه حذ ثْب سفٞ عجذ اهلل ثِ اىضثٛذَٞحذ ثْب اىح أّٔ سَع عيقَخ ثِ ٗقبصٌَٜٞ اىزٕٞ ٍحَذ ثِ اثشاّٚاألّظبس ٗقبه اخجش اىََجش قبهٚ اهلل عْٔ عيٜق٘ه سَعذ عَش ثِ اىخطبة سضٝ ٜثٞاىي بد ٗاَّب ىنوْٞ اَّب األعَبه ثبى: ٌٔ ٗسيٞ اهلل عيٚسَعذ سس٘ه اهلل طي ) ٙاىجخبس
25
ٓ ( سٗاّٙ٘اٍشئ ٍب
Artinya: “Diceritakan kepada Hamidi Abdillah bin Zubair berkata telah diceritakan kepada kami Yahya bin Sa‟id al-Anshari dan at-Timi bahwasannya Ulqamah bin Waqas al-Laisi telah mendengar berkata saya telah mendengar Umar bin Khattab r.a di atas mimbar berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw berkata:“Setiap pekerjaan harus dengan niat dan setiap orang yang bekerja akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya” (H.R al-Bukhari)
25
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Jilid 1, h. 6
26
2.
Syarat-syarat Sah Puasa Para
ulama
ahli
fiqh
membedakan
syarat-syarat
puasa
diantaranya:26 a.
Islam Menurut jumhur ulama Islam merupakan syarat sah puasa,
sedangkan menurut Mazhab Hanafi, Islam merupakan syarat wajib puasa. Dengan demikian tidak diwajibkan atas orang kafir. Menurut Madzhab Hanafi, orang kafir tidak dikenai kewajiban yang berkenaan dengan cabang-cabang syari‟at, yang merupakan ibadah. Sedangkan menurut jumhur ulama oang kafir ketika mereka dalam keadaan kekafiran dikenai kewajiban yang berkaitan dengan cabang-cabang syari‟at. Sama halnya dengan orang murtad, juga tidak dituntut berpuasa, tetapi bila ia masuk masuk Islam kembali, ia wajib mengqada puasa yang tinggal selama masa murtadnya itu, sebab ia telah terikat dengan kewajiban itu pada masa Islamnya yang pertama, dan kewajiban tersebut tidak gugur karena murtad, sama dengan berbagai hak lain yang terkait dengan dirinya.27
26
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, 2000), Cet. Ke-33, h. 227-229 27 Wahbah Al-Zuhaily, Puasa Dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996), h 187
27
b.
Baligh (sampai umur) Anak kecil tidak diwajibkan puasa, karena mereka tidak dikenai
khitab taklify; mereka tidak berhak puasa. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw :
: ٔ ٗسيٌ قبهٞ اهلل عيٚ اهلل عْٖب قبىذ اُ سس٘ ه اهلل طيٜعِ عب ئشخ سض ، ذسكٝ ٚ حزٜ عِ اىظج، فقٝ ٚ عِ اىَدُْ٘ حز: سفع اىقيٌ عِ ثالس ) ٛ ( سٗآ اىجخب س. قظٞسزٝ ٚٗعِ اىْبئٌ حز
28
Artinya: “Dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “pena diangkat dari tiga orang yaitu : orang gila sampai ia sembuh, kanak-kanak sampai ia baligh dan orang yang sedang tidur sampai ia bangun” (H.R al-Bukhari) Akan tetapi, puasa yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayyiz, hukumnya sah, seperti halnya shalat. Wali anak tersebut menurut Madzhab Syafi‟i, Hanafi, dan Hambali, wajib menyuruhnya berpuasa ketika ia berusia tujuh tahun. Dan jika anak kecil itu tidak mau berpuasa, walinya wajib memukulnya ketika ia berusia sepuluh tahun.29 Hal itu dimaksudkan agar dia menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya shalat. Kecuali, jika puasa dirasakan berat oleh anak tersebut, berarti dia belum mampu berpuasa. Karena terkadang seorang anak mampu melakukan shalat, tetapi belum tentu mampu melakukan puasa.
28 29
Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Jilid 3h. 272 Wahbah Al-Zuhaily, Puasa Dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab, h. 189
28
c.
Berakal Orang yang akalnya hilang tidak dikenai kewajiban berpuasa.
Dengan demikian, puasa yang dilakukan orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab mereka tidak berkemungkinan untuk melakukan niat. Disamping itu, orang gila tidak pula wajib mengqadanya setelah sembuh, sebab orang gila tidak termasuk mukallaf. Akan tetapi orang yang pingsan setelah siuman kembali ia wajib mengqada puasa yang tertinggal selama sakitnya itu.30 Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan, Ashhabus Sunan, dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
: ٔ ٗسيٌ قبهٞ اهلل عيٚ اهلل عْٖب قبىذ اُ سس٘ ه اهلل طيٜعِ عب ئشخ سض ، ذسكٝ ٚ حزٜ عِ اىظج، فقٝ ٚ عِ اىَدُْ٘ حز: سفع اىقيٌ عِ ثالس ) ٛ ( سٗآ اىجخب س. قظٞسزٝ ٚٗعِ اىْبئٌ حز
31
Artinya: “Dari „Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “pena diangkat dari tiga orang yaitu : orang gila sampai ia sembuh, kanak-kanak sampai ia baligh dan orang yang sedang tidur sampai ia bangun” (H.R al-Bukhari) d.
Suci Dari Haidh, Nifas dan Wiladah Wanita yang sedang haidh, nifas dan sedang bersalin (wiladah)
juga termasuk yang membatalkan puasa apabila haidh datang kepada 30 31
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana, 1998), h. 187 Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 272
29
seorang wanita maka ibadah puasa yang dilakukannya menjadi rusak, meskipun keluarnya darah terjadi hanya beberapa saat sebelum terbenamnya matahari (hampir saatnya berbuka).32 Meskipun darah yang keluar itu banyak atau sedikit, baik anak itu yang lahir sempurna, ataupun yang dilahirkan itu segumpal darah atau daging, tetapi berkewajiban mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw :
، ٛ خال ف اىشأٚشا عيٞ مثٜٗقبه اث٘ اىضّبد إُ اىسِْ ٗٗخ٘ٓ اىحق اىزأ ر ًبٞ اىظٚدذ اىَسيَُ٘ ثذا ٍِ ارجب عٖب ٍِ رىل أُ اىحب ئض رقضٝ َبٞف ) ٛ ( سٗآ اىجخب س. اىظالحٚٗال رقض
33
Artinya: Abu Zinad berkata; “Sesungguhnya sunah-sunah Nabi dan sesuatu yang dibenarkan agama banyak yang diperselisihkan antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali ikut satu hal yang disepakati para ulama, yaitu bahwa orang haidh wajib mengqadha puasa, tetapi tidak wajib mengqadha shalat” (HR. Bukhari) e.
Tamyiz Tamyiz yaitu dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak
baik. Orang yang belum mumayyiz bila berniat berpuasa, tidaklah sah puasanya, karena puasa itu suatu ibadah yang mempunyai syarat wajib, syarat sah, dan rukun, yang kesemuanya itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk (tamyiz). 32
Ali Yahya, Yas‟alunaka: Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 2006), h 37 33 Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 2, h.294
30
f.
Berpuasa Pada Waktunya Yaitu berpuasa di waktu yang dapat dipergunakan untuk berpuasa.
Karena tidak sah pula jika dikerjakan di waktu-waktu yang tidak dibenarkan berpuasa, seperti hari raya “Idul Fitri,” “Idul Adha”, dan harihari tasyriq.34 Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits dibawah ini: 1.
Puasa Pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha Para ulama Islam sependapat haram berpuasa pada hari raya
Islam, baik puasa fardhu atau sunnah.Nabi saw bersabda :
ًبٞ عِ طّٖٚ ٌٔ ٗسيٞ اهلل عيٚ اهلل عْٔ اُ سس٘ه اهلل طيٜعِ عَش سض ًٚ٘ اال ضحٝ بٍنٌ صاٍبًٞ٘ اىفطش ففطش مٌ ٍِ طٝ ِ اٍبٍٞ ًِ٘ٞ اىٕٝز ) فزأ ميُ٘ ٍِ ىحٌ ّسننٌ ( سٗآ اث٘داٗد
35
Artinya: “Umar r.a berkata: Sesungguhnya Rasul melarang berpuasa pada dua hari ini, adapun hari raya fitri, karena berbuka dari puasa Ramadhanmu. Adapun hari raya adha adalah karena harus memakan sembelihan kurbanmu” (H.R Abu Daud)
2.
Puasa Pada Hari-hari Tasyriq Tidak boleh berpuasa pada hari-hari Tasyriq, yaitu tiga hari
sesudah hari Raya Adha. Berdasarkan hadits Nabi :
34
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Ahyar (Kelengkapan Orang Shalih) Bagian Pertama. Penerjemah Syarifuddin Anwar Dan Mishbah Musthafa, (Surabaya: CV. Bina Iman, 1994), h. 469 35 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Kairo: Darul Hadis, 1988), Juz 2, h.336
31
قٝبً اىزششٝٔ ٗسيٌ خطت اٞ اهلل عيٌٚ اُ سس٘ه اهلل طيٞعِ ثشش ثِ سح ِبً امو ٗششة ( سٗآ اثٝذخو اىدْخ اال ّفس ٍسيَخ ٗاُ ٕزٓ االٝفقبه ال ) ٍٔبخ
36
Artinya: “Busyri bin Suhaim menceritakan sesungguhnya Rasulullah saw khutbah pada hari-hari tasyri, Rasul bersabda “Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang muslim dan sesungguhnya pada hari-hari ini yaitu hari-hari makan dan minum.” (H.R Ibnu Majah) D. Orang-orang Yang Dibolehkan Berbuka Puasa Faktor-faktor atau halangan yang menyebabkan orang yang sedang puasa boleh berbuka, di antaranya : 1.
Penyakit, apabila orang yang berpuasa sedang sakit, dan ia takut akan bertambah berat penyakitnya, terlambat sembuhnya atau terjadi kesulitan besar, maka ia boleh berbuka (tidak puasa), lalu ia sanggup mengganti (mengqadha) puasa setelah ia sembuh pada hari lain setelah bulan Ramadhan maka ia tidak membayar fidyah. Namun jika penyakitnya tidak akan sembuh dan ia tidak sanggup mengganti (mengqadha) puasanya pada hari lain maka ia hanya membayar dengan fidyah saja.Lain halnya karena gila, apabila orang yang sedang berpuasa terserang penyakit gila, maka ia tidak wajib berpuasa dan puasanya tidak sah, serta tidak diqadha.37
36 37
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikr, T.th), juz 1, h. 548 Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, h. 72-73.
32
Ketika seorang dalam keadaan puasa dan penyakit gila itu datang pada waktu siang hari maka batallah puasanya dan tidak diwajibkan baginya untuk di qadha. 2.
Perempuan hamil atau sedang menyusui anak, apabila ia khawatir akan membahayakan dirinya atau anak susuannya, atau salah satunya, maka ia boleh berbuka, dan ia wajib mengqadha puasa itu dan tidak perlu membayar fidyah.38 Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 185:
Artinya: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”(Q.S alBaqarah(2): 185) 3.
Musafir, yang jauh perjalanannya sama dengan jarak yang dibolehkan mengqashar shalat, dan ia berangkat sebelum terbit fajar. Namun demikian disunnatkan untuk berpuasa, walaupun berat. Sebagaimana hadis Nabi:
ِٔ ٗسيٌ أُ حَضح ثٞ اهلل عيٚ طيٚ اهلل عْٖب صٗج اىْجٚعِ عبئشخ سض شٞ ٗمبُ مث، اىسفشٚٔ ٗسيٌ أأطً٘ فٞ اهلل عيٚ طيٚ قبه ىيْجَٚعَشٗ األسي 39
) ٙ ٗإُ شئذ فأفطش ( سٗآ اىجخبس، ٌ فقبه إُ شئذ فظ، ًبٞاىظ
38
Abdullah Bin Baaz, Kumpulan Fatwa Puasa, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), Cet . Pertama, h. 93 39 Bukhari, Shahih al-Bukhari, h 43
33
Artinya: “Aisyah, isteri Nabi Muhammad saw., meriwayatkan bahwa Hamzah bin „Amr Al-Aslami bertanya kepada Nabi Muhammad saw. : apakah saya puasa dalam perjalanan (musafir) ? Hamzah banyak melakukan puasa. Nabi Muhammad saw. Menjawab : “jika engkau mau puasa, boleh puasa. Tapi jika engkau tidak puasa, boleh tidak puasa”. (HR. Imam al-Bukhari) 4.
Haidh dan nifas, Apabila bulan Ramadhan datang diwaktu seseorang yang sedang haidh dan nifas maka tidaklah dibolehkan mereka berpuasa hingga mereka bersih dari kedua keadaan itu. Jika ia melakukan puasa maka batallah puasanya itu. Bilamana wanita itu bersih dari darah haidh dan nifas pada malam hari sebelum fadjar maka hendaklah mereka berniat pada malam hari itu dan mandi.40 Sebagaimana yang ada di dalam hadis:
س إراٞٔ ٗسيٌ أىٞ اهلل عيٚ طيٚ اهلل عْٔ قبه قبه اىْجٜذ سضٞ سعٚعِ أث ) ٙحبضذ ىٌ رظو ٗىٌ رظٌ ( سٗآ اىجخبس
41
Artinya: “Diriwayatkan dari abi said r.a berkata: Nabi bersabda bukankah sebaiknya apabila perempuan dalam keadaan haidh maka hendaklah tidak melaksanakan salat dan puasa” (H.R al-Bukhari) 5.
Lapar dan haus yang amat sangat, sehingga orang tidak sanggup melanjutkan puasanya ia boleh berbuka, jika ada sesuatu untuk dimakan atau diminumnya, maka puasa yang batal itu nanti wajib diqadha.
6.
Orang yang telah berusia lanjut, yang tidak mampu berpuasa sepanjang tahun, maka ia dibolehkan tidak berpuasa dan ia wajib membayar fidyah, memberi makan seorang miskin tiap hari. 40
El-Bahayi El-Choli, Puasa, Penerjemah: Fuad Mohd Achruddin, (Jakarta: Mohd. Tawfiq Oweida, T.Th), Cet. Kedua, h. 40-41 41 Bukhari, shahih al-Bukhari, h. 45
BAB III TINJAUAN FATWA MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG A. Pengertian Fatwa Secara etimologi fatwa berasal dari bahasa Arab dari kata aftâ, jamaknya fatâwâ yang mempunyai arti petuah, nasihat, dan jawaban pertanyaan hukum. Secara terminologis fatwa berarti pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan jawaban tersebut tidak mempunyai daya ikat bagi si peminta fatwa baik si peminta fatwa tersebut perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas.1 Dalam buku fatwa MUNAS VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.2 Menurut Ibnu Manzhur kata fatwa ini merupakan bentuk masdhar dari kata fata, yaftu, fatwa, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Sehingga seorang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti, karena orang tersebut mempunyai kekuatan untuk memberikan penjelasan dan jawaban terhadap
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994).cet III.h.6 2 Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUNAS VII MUI 2005, Cet III, h. 5.
34
35
permasalahan yang dihadapinya.3 Fatwa juga bisa diartikan sebagai nasihat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah dari padanya. Baik tingkatan umur ataupun ilmu yang dimilikinya. 4 Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing. Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak yang meminta fatwa (mustafi) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak yang meminta fatwa (mustafi) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat, ataupum pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri. Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah, nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat dan sanksi bagi yang melanggarnya. Seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata tanpa didasari pada dalil.
3
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta: PT Pramudya Advertising, 2008).h. 19 4 M. Abdul Mujib.dkk, Kamus Istilah Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus,2002).cet. 11.h.77
36
Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur‟an, Hadits Nabi, maupun dalil hukum lainnya.5 Dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa fatwa bukanlah keputusan hukum yang dibuat dengan mudah dan seenak diri sendiri atau membuat-buat hukum tanpa dasar (al-tahakum). Fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa, dan metode pembuatan fatwa (al-istinbath).6 Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur‟an dan As-sunnah dalam menerangkan hukum-hukum syara, ajaran serta arahan. Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang paling dominan terdapat dalam Al-Qur‟an, baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat pengajaran.7 Namun dengan perkembangan zaman sekarang ini, terkadang muncullah persoalan-persoalan baru yang membutuhkan jawaban hukum terhadap masalah tersebut. Dalam Al-Qur‟an pun terdapat adanya pertanyaan dan permintaan fatwa dengan menggunakan perkataan (mereka bertanya kepadamu), dan bentuk perkataan seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur‟an, diantara bentuk pertanyaan tersebut adalah seperti firman Allah SWT:
5
Yusuf al-qardhawy, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 32. 6 MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Terauk, 2002),h. 16 7 Yusuf Qardawi, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani Press 1997).h.5
37
1. Qs. al-Baqarah : 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. 2. Qs. al-Baqarah : 219
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tantang khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa‟at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa‟atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang meraka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari dari keperluan.”demikianlah Allah menerangkan ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. 3. Qs. An-Nisa: 176
38
Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah Fatwa di samping memberikan solusi terhadap pertanyaan yang
diajukan
juga
berfungsi
sebagai
alat
dalam
merespon
perkembangan
permasalahan yang bersifat kotemporer. Dalam hal ini fatwa bisa memberikan kepastian dalam memberikan status hukum pada suatu masalah yang muncul. Tanpa adanya fatwa, suatu permasalaham boleh jadi tidak dapat terpecahkan yang akhirnya membuat umat bisa mengalami kebingungan. B. Kedudukan Fatwa Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai amar ma‟ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu „ain. Namun, bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifayah.8
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. II, h.
434-435
39
Fatwa dinyatakan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan mengenai ketetapan hukum berdasarkan hasil Ijtihad tentang suatu persoalan yang belum jelas hukumnya. Fatwa merupakan satu dari sekian lembaga dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat. Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena ia merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul di kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma‟ maupun pendapatpendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah tersebut. Seorang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti, keberadaan mufti menggantikan kedudukan Nabi saw dalam menyampaikan hukum-hukum syariah, mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan Nabi, mufti juga menggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analisis Ijtihadnya. Ringkasnya, mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Orang pertama yang menjabat sebagai mufti adalah Rosulullah, beliau memberikan fatwa
40
terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.9 Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah atau jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi bagi yang menghianatinya. C. Peranan MUI Dalam Menetapkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Organisai ini di bentuk dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam dan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur dalam Negara Republik Indonesia.10 Sesuai dengan namanya, maka tugas Komisi Fatwa MUI adalah memberikan nasehat-nasehat berupa fatwa yang berkaitan dengan masalahmasalah keagamaan dan kemasyakaratan terutama yang berhubungan dengan pembangunan nasional. Komisi Fatwa dan Hukum dibentuk sejak pertama kali MUI didirikan yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395). Tugas
9
A. Rahman Riotongga, dkk. “Ensiklopedi Hukum Islam”. (Jakarta: PT Ictiar Baru, 1996).h.434-435 10 Majlis Ulama Indonesia, Muqaddimah Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), hal. 26.
41
memberikan fatwa bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang karena kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan dari pemberian fatwa itu adalah menjelaskan hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Maka tidak mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ dan menetapkan sejulah persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mengeluarkan fatwa. Seorang mufti harus memahami hukum Islam secara mendalam beserta dalil-dalilnya baik dari al-Quran, hadist maupun dalil hukum lainnya. Oleh karena itu, kiranya dapat dimaklumi apabila ada kesan bahwa komisi fatwa kurang produktif atau agak lamban dalam merespon persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sebab untuk mengeluarkan sebuah fatwa, selain keharusan menggali dalil-dalil hukumnya, Komisi Fatwa juga harus memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga fatwa tersebut benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan sejalan dengan tujuan pensyariatan hukum
Islam
(maqasid
at-tasyri‟),
yaitu
al-masalih
al-„ammah
atau
kemaslahatan umum yang disepakati oleh para ulama.11
11
Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan Hukum KH. Ibrahim Hosen dalam Himpunan Fatwa-Fatwa MUI, (Jakarta : Sekretariat MUI, 1997).
42
Keberadaan MUI di Indonesia memiliki peranan yang sangat kuat untuk menentukan hukum khususnya dalam hukum Islam selain itu MUI juga memiliki beberapa peranan,12 antara lain: 1.
Sebagai ahli waris tugas para Nabi (warasatul anbiya‟) MUI berperan sebagai ahli waris tugas-tugas para Nabi, yaitu
menyebarkan ajaran agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Sebagai pewaris para Nabi, MUI menjalankan fungsi kenabian (an-Nabuwwah) yakni memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai agama Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan dengan sebagai tradisi, budaya dan peradaban manusia.13 2.
Sebagai pemberi fatwa (mufti) MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta
ataupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa MUI mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya.
12
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Munas VII MUI 2005, (Sekretariat MUI, 2005) h. 24-25 13 Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Munas VII MUI 2005, h. 24
43
3.
Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ra‟iy wa khadim al-ummah ) MUI berperan sebagai pelayan umat, yaitu melayani umat dan bangsa
dalam memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam kaitan ini MUI senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat, baik langsung atau tidak langsung akan bimbingan dan fatwa kegamaan. Begitu pula, MUI berusaha selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuagkan aspirasi umat dan bangsa dalam hubungannya dengan pemerintah.14 4.
Sebagai penegak amar ma‟ruf nahi munkar MUI berperan sebagai wahana penegak amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu
dengan menegaskan kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh hikamg dan istiqamah. Dengan demikian, MUI juga merupakan wadah penghidmatan bagi pejuang dakwah yang senantiasa berubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu ummah). 5.
Sebagai pelopor gerakan al-tajdid wa al-islah MUI berperan sebagai pelopor gerakan al-tajdid, yaitu gerakan
pembaharuan pemikiran Islam. Dan gerakan al-islah yaitu MUI sebagai juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan al-jam‟u wa al-taufiq (kompromi dan persesuaian) dan dengan jalan tarjih 14
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Munas VII MUI 2005, h. 25
44
(mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia.15 Dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan sebuah fatwa hukum, maka MUI berpedoman pada pedoman fatwa ulama Indonesia yang ditetapkan dalam surat keputusan MUI No : U-596/MUI/X/1997. Dalam surat keputusan tersebut, terdapat tiga bagian proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, teknik dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa. Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam 2 ayat (ayat 1 dan 2) pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasari pada adillat al-ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya (ayat 2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-Qur‟an, Hadits, Ijma, Qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya.16 Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan sebagai berikut : a.
Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim Khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
b.
Mengenai masaslah yang telah jelas hukumnya (Qat‟i ) hendaklah komisi menyampaikan sebagai adanya dan fatwa menjadi gugut setelah diketahui ada nass-nya dari Al-Qur‟an dan as-Sunnah. 15
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Munas VII MUI 2005,h. 25 Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dirjen BPIH Depag RI, 2003, h. 1 16
45
c.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaram (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaram yang berhubungan dengan pen-tarjih-an
Kewenangan MUI adalah fatwa
tentang : a). Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional, b). Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.17 Selain itu metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji. 1) Pendekatan Nash Qoth‟i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur‟an atau Hadits untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur‟an ataupun Hadits secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur‟an maupun Hadits maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji. 2) Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para Imam Mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (alkutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika 17
Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 6-7
46
pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau shu‟ubah al-„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji. 3) Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama‟i), dengan menggunakan metode: mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi. Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat
47
untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu‟tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah. Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid alsyari‟ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif
pilihan
kehidupannya.
umat
untuk
dijadikan
pedoman
dalam
menjalankan
BAB IV KAJIAN TERHADAP FATWA MUI TENTANG PUASA BAGI PENERBANG A. Problematika Penerbang Dalam Menjalankan Tugas Pada Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan Ibadah puasa merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam. Tetapi, didalam dunia penerbangan yaitu bagi penerbang (pilot) ibadah puasa merupakan suatu dilema. Penerbang (pilot) adalah awak/kru pesawat yang sedang bertugas menerbangkan pesawat. Pada satu sisi, puasa merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh umatnya. Tetapi, disisi lain, berpuasa dari segi medis dapat mengakibatkan tubuh kekurangan zat yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi. Hal ini dapat berakibat fatal, karena apabila seorang penerbang kekurangan energi pada saat melaksanakan tugas, maka akan mengakibatkan sesuatu hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya incident atau bahkan accident.1 Dan juga karena berpuasa sedikit banyak mengurangi performa seorang penerbang dalam hal konsentrasi, berpikir mengambil keputusan, penglihatan, menimbulkan rasa kantuk. Sehingga tidak dipungkiri akan terjadi degradasi kemampuan buat seorang penerbang yang memerlukan konsentrasi ekstra pada fase-fase tertentu misalnya take off, descent, approach, landing, engine 1
Dislambangjaau, “Pengaruh Dalam Penerbangan”. diakses pada 26 september 2010 dari http://www.tni-au.mil.id/pustaka/pengaruh-dalam-penerbangan
48
49
failure/kegagalan mesin atau kondisi-kondisi abnormal lainnya. Hal ini bisa terjadi sewaktu-waktu, kapan saja dalam setiap detik fase penerbangan. Pada fase inilah sebagai awak pesawat benar-benar dituntut selalu dalam kondisi yang fit dalam melaksanakan tugasnya. Dalam beribadah puasa Ramadhan disunnahkan untuk makan sahur sebelum waktu imsak tiba yaitu sekitar jam 3-4 pagi. Dalam segi medis hal ini menyebabkan pada pagi hari perut penuh berisi makanan, dan lebih banyak darah berkumpul dibagian perut yang berguna untuk mencerna makanan. Akibatnya darah yang mengalir ke otak relatif jumlahnya berkurang, sehingga akan memudahkan terjadinya tekanan darah menurun didalam pembuluh arteri otak, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam tubuh seseorang yang berpuasa yaitu masalah kadar gula darah yang rendah. Dalam dunia medis, berpuasa diartikan bahwa kita tidak memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuh untuk jangka waktu 8 sampai dengan 12 jam. Dengan berpuasa, maka tubuh akan kekurangan beberapa zat penting yang dapat mengganggu kerja tubuh. Salah satu zat itu adalah glukosa atau zat gula. Zat gula merupakan sumber energi yang diperlukan oleh tubuh. Zat gula ini diperoleh dari makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Dalam keadaan berpuasa, tubuh akan kekurangan glukosa dan tubuh melalui otak akan mencoba mencari glicogen didalam bagian tubuh lainnya. Glycogen adalah suatu molekul yang merupakan bentuk energi yang dibuat dan disimpan terutama di dalam liver / hati dan
50
muscles / otot. Setelah makanan masuk kedalam tubuh, kadar / level glukosa akan meningkat. Selanjutnya, insulin akan merangsang enzimes dan glukosa ini kemudian ditambahkan ke glicogen. Pada proses ini liver / hati akan menyerap glukosa lebih banyak daripada yang harus dilepas. Setelah makanan dicerna, kadar gula dalam tubuh mulai turun dan insulin yang dihasilkan akan berkurang sehingga memaksa tubuh untuk menyerap cadangan glicogen.2 Dalam keadaan berpuasa, kadar / level glukosa tidak akan naik dikarenakan tidak ada asupan makanan kedalam tubuh. Oleh karena itu, ketika energi dibutuhkan, tubuh akan mencarinya melalui cadangan glicogen yang selanjutnya akan dirubah menjadi glukosa yang merupakan sumber energi bagi tubuh. Semakin lama berpuasa, maka kadar gula darah akan menurun dibawah normal dan ini akan memicu kerusakan glicogen. Akibatnya keadaan gula darah yang rendah ini dapat merasakan gejala-gejalanya berupa rasa lemah lekas capai, pening, perasaan seperti mau pingsan, lapar, berkeringat, jantung berdebar, tekanan darah berubah, perasaan mudah tersinggung, dan kemampuan berfikir relatif agak terganggu serta mengalami kemunduran berkonsentrasi atau rasa kantuk yang hebat. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa adanya pengaruh puasa Ramadhan yang mengakibatkan berkurangnya daya konsentrasi pada penerbang dalam menerbangkan pesawat terbang yang dapat menyebabkan kecelakaan. Dengan 2
Dislambangjaau, http://www.tni-au.mil.id/pustaka/pengaruh-dalam-penerbangan
51
mempertimbangkan efek – efek tersebut diatas, maka perlu diambil suatu kebijakan yang dapat dijadikan suatu pedoman bagi awak pesawat dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga, tindakan yang diambil oleh awak pesawat tidak menyalahi aturan, baik itu aturan agama, organisasi, maupun aturan – aturan lainnya. Kebijakan yang diambil diharapkan dapat memenuhi tuntutan semua pihak dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan operator, penumpang, maupun material. B. Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang (PILOT) Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUNAS MUI) adalah forum permusyawarahan organisasi di kalangan para ulama, zuama‟ dan cendekiawan muslim Indonesia yang diadakan secara rutin sekali dalam lima tahun. Musyawarah ini secara ideal diharapkan mampu merangkai dimensidimensi penting kehidupan sebuah organisasi, yaitu dimensi kemajuan (progress), kesinambungan (continuity) dan dimensi perubahan (change). MUNAS MUI juga bermakna sebagai forum refleksi atas apa-apa yang telah dikerjakan oleh seluruh jajaran kepengurusan MUI baik di pusat maupun di daerah, sejauh mana para pengurus telah melaksanakan amanah-amanah organisasi yang dibebankan di pundak mereka.3
3
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan MUNAS VI 2005, Sekretariat MUI, 2005.
52
Salah satu hasil keputusan yang dicapai dalam MUNAS VIII MUI 2010 adalah fatwa tentang puasa bagi penerbang (PILOT). Adapun dasar penetapan isi fatwa tersebut sebagai berikut: 1.
Dasar penetapan fatwa tentang puasa bagi penerbang (PILOT). Dalam membahas puasa bagi penerbang (PILOT), MUI menimbang
bahwa: sebagian masyarakat muncul pandangan mengenai adanya pengaruh puasa Ramadhan pada berkurangnnya daya konsentrasi penerbang dalam menerbangkan pesawat terbang yang bisa menyebabkan kecelakaan pesawat, dari permasalahan tersebut muncul pertanyaan, yang antara lain dari Kementrian Perhubungan RI dan PT Garuda Indonesia, mengenai hukum puasa bagi penerbang (PILOT) dan kemungkinan melarang pilot untuk berpuasa saat bertugas, oleh karena itu atas dasar pertimbangan tersebut, Musyawarah Nasional VIII MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum Puasa bagi penerbang (PILOT) untuk dapat dijadikan pedoman masyarakat. MUI mendasarkan fatwa tentang puasa bagi penerbang (PILOT) a.
Firman Allah SWT, antara lain:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-Baqarah [2] : 183)
53
Artinya: “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah [2] : 184)
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
54
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”(Q.S. alBaqarah [2] : 185)
Artinya: “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (Q.S. al-Hajj [22] : 78)
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. al-Baqarah [2] : 195) b.
Hadis Nabi antara lain:
ٗ ٔ ٗسيٌ أُ حَضح ثِ عَشٞ اهلل عيٚ طيٜ اهلل عْٖب صٗج اىْجٜعِ عب ئشخ سض ًبٞش اىظٞ اىسفش ؟ ٗ مبُ مثٜٔ ٗ سيٌ أطً٘ فٞ اهلل عيٚ طيٜ قبه ىيْجَٜاىأل سي ) ٙ إُ شئذ فظٌ ٗإُ شئذ فأفطش ( سٗآ اىجخبس: فقبه
4
Artinya:
Aisyah, isteri Nabi Muhammad saw., meriwayatkan bahwa Hamzah bin „Amr Al-Aslami bertanya kepada Nabi Muhammad saw. : apakah saya puasa dalam perjalanan (musafir) ? Hamzah banyak melakukan puasa. Nabi Muhammad saw. Menjawab : “jika engkau mau puasa, boleh puasa. Tapi jika engkau tidak puasa, boleh tidak puasa”. (HR. Imam al-Bukhari)
ٜٔ ٗسيٌ ٍش ثشخو فٞ اهلل عيٚ خبثش ثِ عجذ اهلل أُ سس٘ه اهلل طيّٜقبه أخجش ٌب سس٘ه اهلل طبئٝ ٔ اىَبء قبه ٍب ثبه طب حجنٌ ٕزا قبى٘اٞشش عيٝ ظو شدشح 4
Bukhari, Shahih al-Bukhari, h 43
55
سخضٜنٌ ثش خظخ اهلل اىزٞ اىسفش ٗعيٜس ٍِ اىجش أُ رظٍ٘٘ا فٞقبه إّٔ ى ) ٚ ( سٗآ اىْسبئ. ىنٌ فبقجيٕ٘ب Artinya: Muhammad bin Abdurrahman mengatakan : “Jabin bin Abdullah mengatakan kepada saya : bahwa Rasulullah saw. Melintas dan bertemu dengan seorang lelaki yang sedang bernaung di bawah sebuah pohon, yang (kepalanya) disirami dengan air. Rasulullah saw. Bersabda : mengapa teman ini ? para sahabat mengatakan : “ya Rasulullah ! ia puasa”. Rasulullah saw. Bersabda : “Bukanlah suatu kebaikankamu puasa ketika dalam perjalanan (musafir). Hendaklah kamu gunakan rukhshah (keringanan) yang telah diberikan Allah kepada kamu. Karena itu terimalah pemberian Allah itu”. (HR. AlNasai)
ال ضشس ٗال ضشا س Artinya: “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”. (HR. Ibnu Majah dan Imam Ahmad) c.
Qaidah :
شٞسٞاىَشقخ رديت اىز
5
Artinya: “Kesulitan dapat menarik kemudahan” 2.
Kriteria puasa bagi penerbang berdasarkan fatwa MUI Dengan berdasarkan konsideran tersebut di atas, MUI memutuskan
fatwa tentang puasa bagi penerbang sebagai berikut:6 Ketentuan Umum : Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
5
Abdul Wahab Khalaf, „Ilmu Ushul al-Fiqh, (T.tp, Darul Qolam, 1956), h. 209 Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Nomor 04/ MUNAS-VIII/MUI/2010, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h. 4 6
56
1.
Penerbang (PILOT) adalah awak/kru pesawat yang sedang bertugas menerbangkan pesawat.
2.
Musafir tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan secara terus menerus.
3.
Musafir tidak tetap adalah seseorang yang melakukan perjalanan temporal.
Ketentuan Hukum : 1.
Penerbang (PILOT) boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan sebagai rukhshah safar (keringanan karena bepergian); dengan ketentuan: a.
Penerbang yang berstatus musafir tetap dapat mengganti dengan membayar fidyah;
b.
Penerbang yang berstatus musafir tidak tetap wajib mengganti puasa di hari lain.
2.
Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan hukumnya haram karena bertentangan dengan syariat Islam.
C. Analisa Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang (PILOT) Perkembangan atau pertumbuhan yang dinamis secara terus menerus melahirkan berbagai peristiwa baru yang tidak ditunjukkan ketentuan hukumnya secara spesifik dan pasti dalam al-Qur‟an. Kondisi demikian melahirkan kesenjangan antara nash al-Qur‟an dengan peristiwa-peristiwa yang terlahir sebagai
produk
dari
dinamika
peradaban
manusia
tersebut,
berkesudahannya nash dan tidak berkesudahannya peristiwa-peristiwa baru.
yakni
57
Tidak setiap orang atau kelompok masyarakat mampu untuk mengembangkan daya pikirnya untuk melakukan ijtihad.7 Terhadap kelompok masyarakat ini, ulama dan masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih terhadap agama harus mampu membimbing dan mengarahkan umatnya kejalan kebenaran. Dalam konteks inilah kita memahami bahwa sesungguhnya fatwa memiliki peran yang cukup signifikan sebagai media atau instrumen untuk menjadi arahan bagaimana sikap dan perilaku yang harus ditunjukan oleh umat Islam. Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah lembaga yang berperan untuk memberikan fatwa terhadap setiap permasalahan yang terjadi baik diminta ataupun tidak.8 Pada penjelasan sebelumnya penulis telah kemukakan keputusan fatwa MUI yang menetapkan Fatwa tentang keringanan berpuasa bagi penerbang (PILOT) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25-28 Juli 2010 dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia ke-VIII yang isinya sebagai berikut: 1.
Penerbang (PILOT) boleh meninggalkan ibadah puasa Ramadhan sebagai rukhshah safar (keringanan karena berpergian) dengan ketentuan: a.
Penerbang yang berstatus musafir tetap dapat mengganti dengan membayar fidyah.
7
Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad Al-Syaujani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam Di Indonesia, (T.tp), h. 87 8 Depag R.I, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 266.
58
b.
Penerbang yang berstatus musafir tidak tetap wajib mengganti puasa di hari lain.
2.
Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan hukumnya haram karena bertentangan dengan syaria‟at Islam. Dasar pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa
ini adalah ayat al-
Qur‟an antara lain: pada al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 183 menerangkan
tentang kewajiban berpuasa Ramadhan bagi umat muslim, dalam ayat 184-185 menerangkan tentang keringanan berpuasa bagi orang sakit dan musafir untuk berbuka puasa Ramadhan dengan menggantinya pada hari lain serta membayar fidyah. Dalam al-Qur‟an al-Hajj ayat 78 menerangkan bahwa Allah tidak menjadikan umatnya dalam agama suatu kesempitan. Juga dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 195 menerangkan bahwa Allah memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat baik. Sedangkan yang menjadi dasar pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa berdasarkan hadis antara lain: Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang menerangkan bahwa diperbolehkannya bagi musafir untuk tidak berpuasa. Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Nasai yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda agar menggunakan rukhshah (keringanan) dari Allah ketika dalam perjalanan (musafir). Serta ijma‟ para ulama dan kaidah fiqh yang digunakan yaitu kesulitan dapat menarik kemudahan. Juga memperhatikan pendapat Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu‟ Juz 6 halaman 261 yang menerangkan tentang kondisi orang yang boleh berbuka puasa
59
Ramadhan bagi musafir.9 dan pendapat peserta Musyawarah Nasional VIII MUI pada tanggal 26 Juli 2010. Pada dasarnya puasa pada bulan Ramadhan hukumnya wajib bagi umat Islam. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT di dalam al-Qur‟an surat alBaqarah ayat 183. Dalam ayat tersebut Allah Ta‟ala berfirman untuk menyuruh umatnya berpuasa. Puasa artinya menahan diri dari makan, minum, dan berjima disertai dengan niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha Mulia dan Agung, dan puasa juga mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan, dan akhlak yang rendah. Allah menuturkan bahwa sebagaimana dia mewajibkan puasa kepada umat Islam, Dia pun telah mewajibkan kepada orang-orang sebelumnya yang dapat dijadikan teladan. Maka hendaklah puasa itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh orang terdahulu.10 Dalam hal ini penerbang (PILOT) adalah awak/kru pesawat yang sedang bertugas menerbangkan pesawat dan disebut juga sebagai musafir. Berkenaan dengan musafir di dalam puasa Ramadhan Allah SWT memberikan rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa dengan menggantinya pada hari-hari lain. Berdasarkan firman Allah swt pada al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 184. 9
Zakariya Ali Yusuf , al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab, (mesir: T.tp, T.th ), Juz 6, h.
261 10
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Cet 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) h. 286-287.
60
Dalam ayat 184 menjelaskan bahwa orang yang sakit dan yang berpergian tidak perlu berpuasa, namun boleh berbuka dan mengqadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari lain. Adapun orang yang sehat dan berada ditempat bila dia mau, maka berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka. Berpuasa lebih baik daripada memberi makan.11 Dalam ayat tersebut Allah menetapkan kewajiban berpuasa Ramadhan kepada orang yang berada di tempat dan sehat. Allah memberi kemurahan untuk berbuka kepada orang yang sakit dan berpergian. Dan Allah menetapkan bagi orang tua yang tidak sanggup berpuasa untuk memberi makan. Seseorang itu diberikan kemudahan agama untuk memilih hendak terus berpuasa atau berbuka di kala musafir apabila saja dia telah bersiap untuk mulai perjalanan sekalipun masih berada di perkampungan asalnya. Berikut ini dua hadis rujukan MUI dalam menetapkan fatwa diantaranya, adalah:
ٗ ٔ ٗسيٌ أُ حَضح ثِ عَشٞ اهلل عيٚ طيٜ اهلل عْٖب صٗج اىْجٜعِ عب ئشخ سض ًبٞش اىظٞ اىسفش ؟ ٗ مبُ مثٜٔ ٗ سيٌ أطً٘ فٞ اهلل عيٚ طيٜ قبه ىيْجَٜاىأل سي 12
) ٙ إُ شئذ فظٌ ٗإُ شئذ فأفطش ( سٗآ اىجخبس: فقبه
Artinya: Aisyah, isteri Nabi Muhammad saw., meriwayatkan bahwa Hamzah bin „Amr Al-Aslami bertanya kepada Nabi Muhammad saw. : apakah saya puasa dalam perjalanan (musafir) ? Hamzah banyak melakukan puasa. 11
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
12
Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, T.th), Juz 2, h. 43
287-288
61
Nabi Muhammad saw. Menjawab : “jika engkau mau puasa, boleh puasa. Tapi jika engkau tidak puasa, boleh tidak puasa”. (HR. Imam Bukhari)
ٜٔ ٗسيٌ ٍش ثشخو فٞ اهلل عيٚ خبثش ثِ عجذ اهلل أُ سس٘ه اهلل طيّٜقبه أخجش ب سس٘ه اهلل طبئٌ قبهٝ ٔ اىَبء قبه ٍب ثبه طب حجنٌ ٕزا قبى٘اٞشش عيٝ ظو شدشح ٌ سخض ىنٜنٌ ثش خظخ اهلل اىزٞ اىسفش ٗعيٜس ٍِ اىجش أُ رظٍ٘٘ا فٞإّٔ ى ) ٚ ( سٗآ اىْسبئ. فبقجيٕ٘ب Artinya: Muhammad bin Abdurrahman mengatakan : “Jabir bin Abdullah mengatakan kepada saya : Bahwa Rasulullah saw. Melintas dan bertemu dengan seorang lelaki yang sedang bernaung di bawah sebuah pohon, yang (kepalanya) disirami dengan air. Rasulullah saw. Bersabda : mengapa teman ini ? para sahabat mengatakan : “ya Rasulullah ! ia puasa”. Rasulullah saw. Bersabda : “Bukanlah suatu kebaikankamu puasa ketika dalam perjalanan (musafir). Hendaklah kamu gunakan rukhshah (keringanan) yang telah diberikan Allah kepada kamu. Karena itu terimalah pemberian Allah itu”. (HR. AlNasai) Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang akan menjalani suatu berpergian dibolehkan untuk menggunakan rukhshah yang telah diberikan Allah dengan tidak puasa. Dalam perkara lain yang perlu dipertimbangkan dalam keadaan berpuasa dan kaitannya dengan musafir dalam bulan Ramadhan ini ialah amanah yang dipikul atau tanggung-jawab yang dipegang. Khususnya ditujukan kepada para penerbang (PILOT) yang tugasnya dalam keadaan musafir melibatkan amanah serta tanggung-jawab yang besar. Amanah yang mereka pegang itu
62
sangatlah besar keutamaannya di sisi Islam dan umat manusia umumnya dan mengenai amanah ini. Apabila kerjanya seseorang itu melibatkan amanah serta tanggungjawab yang berat dalam keadaan musafir, maka sebaiknya dia menerima serta mengamalkan kemudahan-kemudahan hukum agama yang ada agar dia dapat melaksanakan amanah dan tanggungannya dengan sempurna dan pada waktu yang sama menepati perintah-perintah agama. Tidak dibenarkan dalam Islam untuk memaksakan melakukan sesuatu diluar kemampuannya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. al-Baqarah [2] : 195) Dalam usaha kita menunaikan ibadah puasa, Allah SWT telah memberikan kemudahan hukum untuk memilih terus berpuasa atau berbuka. Maka dari itu, hendaklah kita mengamalkan sepenuhnya kemudahan ini agar tidak terabai amanah atau tanggung-jawab yang dipikulnya. Dalam syari'at Islam tidak pernah memberatkan umatnya dengan sesuatu ibadah yang diluar kemampuan dirinya maupun sesuatu yang memberikan akibat negatif kepada umat secara umumnya.
63
Maka dari itu dilihat dari tugas seorang penerbang (PILOT) yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap penumpangnya dan dengan berpuasanya di bulan Ramadhan mempunyai pengaruh negatif dalam menjalankan tugasnya, maka dianjurkan untuk menggunakan keringanan yang diberikan oleh Allah SWT. Karena ajaran Islam akan memberikan kefahaman bahwa Islam mengamalkan konsep terbuka lagi toleran dalam hal-hal ibadah dan juga dalam hal-hal amanah pula Islam memberikan sikap tegas. Maka dari itu Islam lebih mengutamakan untuk tidak mengabaikan amanah dan tanggung jawab terhadap orang lain. Mengenai dalam hal mengqadha puasanya pada hari-hari yang lain itu berlaku bagi orang yang mampu. Namun apabila telah berusaha, dan ternyata tidak memungkinkan karena kemampuannya. Maka pilihan yang terakhir yaitu dengan membayar fidyah saja. Salah satunya yaitu bagi seorang penerbang (PILOT). Hal ini dkarenakan penerbang mempunyai tanggung jawab yang besar dan memerlukan konsentrasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tetapi, tidak semua penerbang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa, hanya para penerbang yang sedang melaksanakan tugas terbang yang boleh meninggalkan ibadah puasa. Fatwa MUI juga menyebutkan bahwa para penerbang yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya dengan Fidyah apabila penerbang tersebut harus menjalankan misinya setiap hari. Namun, apabila penerbang tidak melaksanakan misinya setiap hari, hanya sewaktu–waktu dalam
64
bulan Ramadhan, maka penerbang tersebut wajib mengganti waktu puasanya di lain hari. sDemikian jelaslah mengapa MUI mengeluarkan fatwa tentang puasa bagi penerbang untuk dijadikan pedoman bagi awak pesawat dalam melaksanakan
tugasnya. Sehingga, tindakan yang diambil oleh awak pesawat tidak menyalahi aturan, baik itu aturan agama, organisasi, maupun aturan–aturan lainnya. Sehingga dengan dikeluarkannya fatwa tersebut diharapkan dapat memenuhi tuntutan semua pihak dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan operator, penumpang, maupun material.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Peranan MUI dalam dalam menetapkan fatwa memliki Dasar-dasar umum yang ditetapkan dalam 2 ayat (ayat 1 dan 2) pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasari pada adillat al-ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya (ayat 2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-Qur‟an, Hadits, Ijma, Qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu
memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-syari‟ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya. 2.
Bahwa berpuasa mempunyai beberapa manfaat tetapi juga mempunyai beberapa efek samping, dari segi keselamatan penerbangan, yang dapat membahayakan penerbangan. Beberapa efek samping dari berpuasa dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dalam tubuh dan penurunan tekanan darah pembuluh arteri otak yang dapat menyebabkan awak pesawat mengalami grey out, black out dan bahkan pingsan. Dengan 65
66
mempertimbangkan efek – efek samping tersebut, diharapkan awak pesawat dapat mengetahui kemampuannya dalam melaksanakan tugas penerbangan. 3.
Sesuai dengan ajaran Islam maka bagi setiap orang Islam yang berakal dan baligh, diwajibkan melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan akan tetapi terdapat pengecualian diberikan bagi mereka yang tidak dapat melakukan ibadah puasa seperti orang sakit, karena tua, dan musafir. Maka, bagi seorang penerbang yang pekerjaannya memerlukan kondisi fisik serta psikis yang baik juga mengandung resiko atau bahaya maka, diperboleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan saat melaksanakan tugas.
B. Saran-saran 1.
Walaupun MUI merupakan lembaga Independen, namun azas Amar Ma‟ruf Nahi Munkar yang dijadikan pedoman bagi seluruh Ulama, MUI harus berupaya keras untuk mempengaruhi pemerintah atau lembagalembaga lainnya untuk tidak mengambil keputusan melarang seseorang untuk berpuasa di bulan Ramadhan. karena hal tersebut hukumnya haram dan bertentangan dengan syariat Islam.
2.
Dianjurkan bagi seorang penerbang (PILOT) apabila tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan dalam menjalankan tugasnya maka gunakanlah rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Allah untuk tidak berpuasa Ramadhan dalam menjalankan tugasnya. Karena seorang penerbagn dikatakan sebagai musafir.
67
3.
Terakhir, penulis menyarankan kepada kaum muslimin dan khususnya bagi penulis sendiri, janganlah terlalu cepat mengambil keputusan untuk membuat peraturan yang melarang seseorang untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Karena
hal tersebut hukumnya adalah haram dan
bertentangan dengan syari‟at Islam. Oleh karena itu, sebelum mengambil keputusan tersebut sebaiknya tanyakan dahulu kepada instansi pemerintah terkait atau lembaga yang lebih memahami persoalan agama, salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DAFTAR PUSTAKA al-Qur‟an al-karim AK, H. Baihaqi. Fiqh Ibadah. Bandung: M28, 1996. A. Ghazaly, Yuzni. Puasa Sepanjang Tahun Bersama Nabi. Jakarta: Alifbata, 2006. Al-Zuhaily, Wahbah. Puasa Dan Itikaf Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996. Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: PT Pramudya Advertising, 2008. A. Rahman Riotongga, dkk. “Ensiklopedi Hukum Islam”. Jakarta: PT Ictiar Baru, 1996. al-Qardhawy, Yusuf. Al-Fatwa Bainal Indhibath Wat Tasayyub (Terj). Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996. Ar-Rifa‟i Muhammad, Nasib. Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin. Cet 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Al Habsyi Muhammad, Baqir. Fiqh Praktis; Menurut Al-Qur‟an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999. Cet. Ke 1. Al Jaziri, Abdurrahman. Puasa Menurut Empat Imam Mazhab. Jakarta: Lentera Basritama, 2001. Cet. Ke 3. Baaz Abdullah, Bin. Kumpulan Fatwa Puasa. Jakarta: Khairul Bayan, 2003. Cet . Pertama. Danim, Sudarman. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pusaka Setia, 2002. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.cet III. Daradjat, Zakiah. Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental. Jakarta , Ruahama, 1995. Depag. RI. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Dirjen BPIH Depag RI, 2003.
68
69
El-Choli, El-Bahayi. Puasa, Penerjemah: Fuad Mohd Achruddin. Jakarta: Mohd. Tawfiq Oweida, T.Th. Cet. Kedua. http://www.tni-au.mil.id/pustaka/pengaruh-dalam-penerbangan. diakses pada tanggal 26 september 2010 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Ahyar (Kelengkapan Orang Shalih) Bagian Pertama. Penerjemah Syarifuddin Anwar Dan Mishbah Musthafa. Surabaya: CV. Bina Iman, 1994. Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: Rajagafindo Persada, 2005. Kamil al-Mathawi, Hasan. Fiqh Al-Ibadat Ala Mazhab Al-Imam Malik r.a. Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah, 1978. Muhammad Abdul Hadi, Abu Sari‟. Shaum Dan I‟tikaf “Perbandingan Antar Madzhab Berdasarkan Dalil-Dalil Shahih”. Jakarta: Al-Amanah, 1993. Majelis Ulama Indonesia. Fatwa MUNAS VII MUI 2005. Cet III. Majlis Ulama Indonesia. Muqaddimah Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI. Jakarta: Sekretariat MUI, 1986. Madjid, Nurcholish. Dialog Ramadhan Bersama Caknur. Jakarta: Paramadina, 2000. Moede, Nogarsyah. Hikmah Puasa Bagi Umat Islam Menurut Al-Qur‟an Dan Hadits. Bandung: Marjan, 1990. Mighniyah, Jawad. Terjemah Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama, 1996. M. Abdul Mujib.dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus,2002. cet. 11. MB. Hooker. Islam Madzhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta: Terauk, 2002. Mastuhu. Metode Penelitian Agama; Teori Dan Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana, 1998. Nasrun Rusli. Konsep Ijtihad Al-Syaujani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam Di Indonesia
70
Qardhawi, Yusuf. Fiqh Shiyam “Puasa Menurut Al-Qur‟an Dan Sunnah”. Jakarta: Islamuna Pres, 2004. Qardhawi, Yusuf. Fiqh Puasa. Surakarta: Era Intermedia, 1998. Qardhawi, Yusuf. Fiqh Puasa. Solo: Citra Islam Press, T.th Qardhawi, Yusuf. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Press 1997. Rahim, Saiful. Puasa “Siapa Yang Boleh Meninggalkannya”. Jakarta: Antar Kota, 1998. Rousydiy, Lathief. Puasa Hukum dan Hikmahnya Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW. Medan: Rimbow, 1993. Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam., Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, 2000. Cet. Ke33. Sairudin. Dkk. Tuntunan Ibadah Puasa Lengkap. Surabaya: Indah, 1995. Sjamsuddin Anas, Tohir. Terjemahan Kifayatul Akhyar 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997. Sukardi K.D. Puasa Bersama Sufi. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Cet. 1. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001. Cet. II. Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan hukum KH. Ibrahim Hosen dalam Himpunan Fatwa- Fatwa MUI. Jakarta : Sekretariat MUI, 1997. Sekretariat MUI. Himpunan Keputusan Munas VII MUI 2005. Sekretariat MUI, 2005. Sekretariat Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Keputusan MUNAS VI 2005. Sekretariat MUI, 2005. Ulwan Adullah, Nasih. Puasa Ramadhan dan Segala Ketentuannya. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1987. Yahya, Ali. Yas‟alunaka: Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama Dan Kehidupan. Jakarta: Lentera, 2006. Zakiah, Darajat. Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental. Jakarta: Ruhama, 1995.