KEPRIBADIAN NARSISTIK MENJADI PEMICU KONFLIK HUBUNGAN SOSIAL DALAM NOVEL REBECCA KARYA DAPHNE DU MAURIER Karina Adinda Sastra Inggris – Fakultas Sastra
ABSTRACT A person is judged by his or her character. He or she will be accepted well or will be rejected by the society in relation to the maturity of his or her personality. A matured person can function well in a family and in the society. If a person has a personality disorder, it can be determined that he or she will cause problems in the family circle and in the society. Nowadays, people considered to be a little bit narcissistic is normal. But, the border between a real narcissist and a confident person has to be strictly lined. Otherwise, a person can cross the line as being a normal person and becomes a narcissist. A narcissist cannot function well in his or her sosial community. There are always conflicts with people who are in his or her life. This story about Rebecca opens our eyes that it is fatally dangerous to be a narcissist. Keywords : society, maturity, personality, narcissistic, community.
1
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan bermasyarakat, seseorang akan diterima atau ditolak sesuai dengan
kepribadiannya. Jika ia mempunyai kepribadian yang normal dan matang, maka ia akan dengan mudah
berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Ia akan mempunyai hubungan yang
harmonis baik dalam keluarga maupun dengan masyarakat di mana ia berada. Hal sebaliknya akan
terjadi
jika seseorang mempunyai kepribadian yang menyimpang, dalam hal ini
kepribadian yang narsistik. Seseorang dengan kepribadian narsistik hanya akan mementingkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Bahkan dalam tingkatan yang ekstrim, orang tersebut akan berbahaya bagi orang lain. Orang yang memiliki kepribadian narsistik dianggap berbahaya keberadaannya dalam masyarakat karena orang tersebut tidak akan segan-segan mengorbankan orang lain demi mencari kepuasan bagi dirinya sendiri. Sayangnya, tidak semua orang yang berkepribadian narsistik dapat segera terdeteksi, karena orang tersebut mampu menyembunyikan penyimpangan kepribadiannya di balik perilaku yang seolah-olah normal. Penyimpangan kepribadian orang tersebut baru ketahuan setelah timbul berbagai masalah baik ringan maupun berat. Melalui novel Rebecca kita dapat belajar banyak untuk
mengetahui lebih jauh apa kepribadian narsistik dan dampak buruk akibat penyimpangan kepribadian tersebut. 2
PEMBAHASAN
Dalam menganalsisis novel ini, teori-teori yang saya gunakan adalah teori sastra, teori psikologi dan teori konflik. Teori sastra yang digunakan adalah sudut pandang, perwatakan dan tema. Sudut pandang dalam satu cerita sangat penting karena melalui sudut pandang itulah pembaca akan mengikuti jalan cerita tersebut. Malcolm Hicks dan Bill Hutchings mengatakan point of view is the position in which the narrator stand in relation to the story; the standpoint from which events are narrated (1989 : 113). Melalui sudut pandang pencerita lah jalan cerita akan mengalir. Sudut pandang akan mempengaruhi pembaca dalam
menghayati jalannya cerita.
Jones melalui Nurgiyantoro mengatakan bahwa perwatakan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 195). Peck dan Coyle memberikan definisi The people in a novel are referred to as characters. We asses them on the basis of what the author say (1984 : 105). Tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel umumnya merupakan orang-orang biasa yang mempunyai masalah dan mereka mewakili suatu masyarakat. Lebih lanjut Peck dan Coyle mengatakan sebagai berikut :
Most novels are
concerned with ordinary people and their problems in the societies in which they find themselves ( 1984 : 102). Tema dalam satu cerita mempunyai peran yang sangat menentukan, karena tanpa tema cerita yang disajikan kepada pembaca hanya merupakan sebuah tulisan yang tidak bermutu. Nurgiyantoro mengatakan tema menjadi pengembangan seluruh cerita, dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Tema juga merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya tema itu akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya (1995 : 68). Teori psikologi yang digunakan di sini adalah konsep kepribadian narsistik. Perkataan narsistik diambil dari kata Narcissus yang berasal dari cerita Yunani kuno. Cerita ini mengisahkan seorang laki-laki, Narcissus, yang sangat rupawan. Dampak dari kerupawanannya adalah ia sangat mengagumi diri nya sendiri. Ia hanyut dalam kekaguman terhadap keindahan fisiknya, hingga ia jatih cinta kepada dirinya sendiri. Ia tidak dapat mencintai orang lain karena ia sangat mencintai dirinya sendiri (Ellis, 1937 : 347). Perbuatan Narcissus yang hanya mencintai diri
sendiri itu menyebabkan ia tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar. Ia hanya merindukan dirinya sendiri yang menyebabkan ia tidak dapat merasakan kebahagiaan mencintai dan dicintai orang lain. Lebih lanjut Ellis menjelaskan : …the beautiful Narcissus, who languished and died through seeing his reflection in the water (1937 : 369). Kata yang berasal dari cerita Yunani kuno ini kemudian dipergunakan dalam ilmu psikologi untuk menggambarkan karakter seseorang yang mencintai dirinya sendiri secara berlebihan. Hal ini dapat dilihat dalam The New Caxton Encyclopedia : Narcissism has been adopted by psychoanalysts as a term for extreme self-love (1967 : 4280). Ann Bradley M.A. dari University of Pennsylvania mengungkapkan sebagai berikut : Narcissism is categorized as personality disorder by the mental health profession. It is referred to as NPD or NarcissisticPersonality Disorder. Narcissism is not high self-esteem, but a condition where the typical narcissist suffers from preoccupation with hiding real or perceived flaws, overestimation of importance, achievements, talents and skills, maladaptive attention seeking behavior, inability to emphathize with others, excessive anger and shame in response to criticism often resulting in rage. The narcissist will often manipulate others, especially partners, to control them. Projection and blame are hallmarks of this manipulation
(http://www.narcissisticabuse.com).
Perlunya
mengadakan
pengamatan
psikologi terhadap tokoh utama adalah karena watak tokoh itu merupakan cermin dari jiwanya. Hubungan antara watak tokoh dan jiwanya sangat erat. Sumardjo dan Saini K.M. mengatakan unsur watak atau karakter dalam cerita modern menjadi begitu menonjol dan dominan antara lain disebabkan oleh makin berkembangnya ilmu jiwa. Terutama psikoanalisis yang menawarkan daerah baru dalam menyelami kehidupan jiwa manusia. Kejadian-kejadian cerita berpusat pada konflik jiwa watak tokoh utamanya (1991 : 63-64). Teori konflik yang digunakan adalah teori dari George Simmel yang mengatakan : Periodic conflicts or quarrels provide a release of tension that makes it possible for people to bear the difficulties of living together. But if the the conflicts continue, it is an indication that something is wrong with the people who are involved in the continuous conflicts (2001 :49). Pendapat Simmel ini menjelaskan dalam hubungan sosial antar manusia pasti ada konflik.
1. Tokoh Aku adalah seorang wanita muda yang sebatang kara karena kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Untuk menghidupi dirinya, ia bekerja sebagai pengurus seorang wanita tua, Ny. Van Hopper, yang kaya raya namun cerewet. Kehidupannya berubah secara drastis ketika ia menemani Ny. Van Hopper berlibur di Monte Carlo dan bertemu dengan Maxim de Winter. Maxim adalah seorang bangsawan Inggris yang kaya raya dan berasal dari keluarga terpandang. Maxim berada di Monte Carlo juga untuk berlibur. Mereka saling jatuh cinta, namun Aku tidak berharap banyak dari hubungan mereka. Aku merasa minder dengan perbedaan status sosial dan ekonomi di antara mereka. Berdasarkaan kondisi tersebut, Aku sangat terkejut ketika Maxim melamarnya hanya setelah perkenalan mereka yang sangat singkat.
Namun karena ia memang
mencintai Maxim, ia menerima lamaran tersebut. Setelah menikah, mereka tinggal di wilayah pinggiran kota London, di sebuah rumah besar yang disebut Manderley. Dalam menjalani kehiduapan barunya sebagai Ny. Maxim de Winter, Aku, merasa kaget karena ternyata dia berada di bawah bayang-bayang Rebecca, istri Maxim terdahulu yang telah meninggal dunia. Melalui tokoh Aku inilah cerita disampaikan kepada pembaca.
2. Rebecca Pada awalnya dalam pandangan tokoh Aku, Rebecca adalah seorang wanita yang sempurna. Rebecca adalah seorang wanita yang cantik, pintar, berpendidikan dan berasal dari keluarga yang terpandang. Rebecca merupakan istri terdahulu Maxim de Winter yang dinyatakan meninggal dunia karena tenggelam ketika sedang
berlayar di perahu layarnya sendiri. Tokoh Aku
menikah dengan Maxim hamper setahun setelah Rebecca meninggal dunia. Walaupun Rebecca telah tiada, dalam pandangan Tokoh Aku, pengaruh Rebecca tetap terasa di Manderley. Hal ini terlihat dari cara kepengurusan rumah tangga di Manderley. Tokoh Aku yang seharusnya menjadi nyonya rumah di Manderley dan mempunyai hak untuk memberi perintah kepada pelayan-pelayan di sana, pada kenyataannya tidak mempunyai kekuasaan apa pun. Pengurus rumah tangga yang sudah lama bekerja di Manderley, Ny. Danvers, tetap mengacu kepada peraturan-peraturan ketika Rebecca masih hidup dan tetap menyebut Rebecca sebagai Ny. de Winter.
Demikian juga dalam mendapatkan cinta Maxim de Winter, tokoh Aku merasa Rebecca sebagai saingannya. Pada awalnya kelihatan sekali bahwa Maxim tidak dapat menghilangkan peran Rebecca dalam kehidupannya. Maxim was not in love with me, he had never loved me. Our honeymoon in Italy had meant nothing at all to him, nor our living together. … He did not belong to me at all, he belonged to Rebecca. He still thought about Rebecca. He would never loved me because of Rebecca (Du Maurier, 1963 : 255). Tetapi pada akhirnya setelah Maxim menceritakan keadaan yang sebenarnya di mana terungkap bahwa Rebecca suka berselingkuh dengan pria lain dan selalu bersandiwara dalam perkawinannya dengan Maxim, maka tokoh Aku merasa tidak terancam lagi dengan pengaruh Rebecca baik di Manderley mau pun dalam hubungannya dengan Maxim. Tokoh Aku merasa Rebecca tidak dapat menghantui dirinya lagi dan rasa bencinya kepada Rebecca pun hilang. Tokoh Aku merasa aman dalam cinta yang diberikan Maxim kepada dirinya, ditambah lagi ia akhirnya mengetahui bahwa Maxim tidak pernah mencintai Rebecca sama sekali. I knew then that I was no longer afraid of Rebecca. I did not hate her any more. Now that I know her to have been evil and vicious and rotten I did not hate her any more. Rebecca’s power had dissolved into the air, like the mist had done. She would never haunt me again. Maxim had never loved her. I did not hate her any more (1963 : 313-314).
3. Maxim de Winter Maxim adalah suami Tokoh Aku. Sebelum menikah dengan Tokoh Aku, Maxim menikah dengan Rebecca, wanita cantik dan pintar namun berkepribadian narsisitik. Pada mulanya Tokoh Aku mengira Maxim sangat mencintai Rebecca, sehingga walaupun Rebecca sudah meninggal dunia, Maxim tidak dapat melupakan Rebecca. Tetapi perkiraan Tokoh Aku itu ternyata salah. Maxim menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada Tokoh Aku. Secara terus terang Maxim mengakui telah membunuh Rebecca karena ia tidak tahan menghadapi siksaan Rebecca yang kejam dan licik. Maxim dan Rebecca tidak pernah saling mencintai karena Rebecca tidak dapat mencintai orang lain dan tidak mempunyai perasaan sayang terhadap orang lain. Rebecca adalah wanita yang mempunyai kepribadian yang tidak normal karena hanya mementingkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Maxim kepada Tokoh Aku sebagai berikut. He
whipped round and looked at me as I sat there huddled on the floor. “You thought I loved Rebecca?” he said. “you thought I killed her, loving her? I hated her, I tell you, our marriage was a farce from the very first. She was vicious, damnable, rotten through and through. We never loved each other, never had one moment of happiness together. Rebecca was incapable of love, of tenderness, of decency. She was not even normal (1967 : 293). Kepada Tokoh Aku, Maxim lebih lanjut menceritakan bahwa Rebecca suka berselingkuh. Hal ini diketahui Maxim dari pengakuan
Rebecca sendiri hanya lima hari setelah
perkawinan mereka. Harapan Maxim untuk mendapatkan istri yang cantik, pintar dan berasal dari keluarga baik-baik hanya merupakan impian saja. Maxim merasa tertipu dengan
penampilan dan perilaku Rebecca sebelum mereka menikah. Maxim sangat
menyesal telah menikahi Rebecca. Tokoh Aku sangat terkejut mendengar pengakuan Maxim yang telah membunuh Rebecca. Ia berusaha untuk menenangkan Maxim yang kelihatan tidak dapat mengontrol emosinya, tetapi Maxim terus saja berbicara tentang kebenciannya kepada Rebecca. Dengan suara penuh kebencian, Maxim mengatakan jika seseorang hidup bersama dengan pasangan yang tidak normal, maka orang tersebut akan menjadi tidak normal pula, karena telah kehilangan akal sehatnya. “I nearly killed her then,” he said. “It would have been so easy. One false step, one slip. You remember the precipe. I frightened you, didn’t I? You thought I was mad. Perhaps I was. Perhaps I am. It doesn’t make for sanity, does it, living with the devil?” (1963 : 300). Rebecca sengaja ingin memancing kemarahan Maxim. Maxim kehilangan akal sehatnya karena terus menerus diejek oleh Rebecca. Tanpa disadari Maxim, ia mengunakan pistol yagn sengaja dibawanya utntuk menakut-nakuti Rebecca. Ia menembakkan pistol tersebut ke arah Rebecca, yang kelihatan tersenyum puas karena telah berhasil memancing kemarahan Maxim. Walaupun menjelang kematiannya, Rebecca tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menjebak Maxim untuk menembaknya. Penembakan dirinya oleh Maxim ini memang sesuai dengan rencana Rebecca. Rebecca memang tidak ingin Maxim menikmati hidup sepeninggal dirinya akibat penyakit kanker yang dideritanya. Bagi Rebecca lebih baik ia mati ditembak Maxim daripada ia mati karena penyakitnya.
Dengan membunuhnya, maka Maxim akan terjebak dalam perasaan sebagai pembunuh selama-lamanya. Tidak ada celah bagi Maxim untuk menikmati hidup dengan normal sedikit pun. Walaupun Maxim berhasil menenggelamkan perahu layar yang berisi mayat Rebecca, Maxim tetap dikejar-kejar perasaan bersalah dan tersiksa. Ia tidak dapat hidup tenang seumur hidupnya terus karena dihantui perasaan bersalah tersebut. Maxim mengatakan sampai akhir hayatnya Rebecca berhasil membuat hidup Maxim menderita selamanya. Rebecca telah menyeret Maxim ke dalam penderitaan yang dalam seumur hidup Maxim. 4. Ny. Danvers Ny. Danvers adalah pengurus rumah tangga Manderley. Sebelumnya, ia adalah pengasuh Rebecca sejak Rebecca masih kecil.
Melalui penjelasan Ny. Danvers, latar belakang
Rebecca sejak masa kanak-kanak dapat dilihat. Ny. Danvers yang berperan sebagai pengganti ibu Rebecca yang telah meninggal dunia, sangat memanjakan Rebecca. Ayah Rebecca juga sangat memanjakannya, sehingga selalu mengikuti apa saja kemauannya. Rebecca berbuat dan hidup seenaknya sendiri, tanpa peduli akan orang-orang lain ataupun aturan yang ada. Rebecca hanya dapat menyayangi dirinya sendiri. Bagi Rebecca hal yang utama adalah kepentingan dirinya sendiri. Rebecca tidak pernah terlatih untuk memahami kebutuhan dan kepentingan orang lain. Rebecca berhubungan dengan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan bagi dirinya sendiri. Hal ini mencerminkan wataknya yang egois yang membuat Rebecca menjadi kejam dan tidak mempunyai perasaan sayang atau pun kasihan kepada orang lain atau mahluk hidup. “She did what she liked, she lived as she liked. …that’s how she went at life, when she grew up. I saw her, I was with her. She cared for nothing and for no one” (1963 : 267). Oleh karena itu, walaupun Rebecca telah meninggal dunia, Ny. Danvers tetap berusaha mempertahankan keberadaan Rebecca di Manderley dengan mengatur menu sesuai dengan selera Rebecca. Ia juga mengatur kamar tidur Rebecca sama dengan ketika Rebecca masih hidup. Dengan ditemukannya motif mengapa Rebecca bunuh diri, maka Maxim lolos dari tuduhan telah membunuh Rebecca dan. Ini juga berarti bahwa usaha Rebecca untuk menyeret Maxim
ke penjara tidak berhasil. Maxim lolos dari tuntutan hukum karena nasib baik semata-mata. Namun pada kenyataannya Maxim tetap menderita dikejar perasaan bersalah karena telah membunuh Rebecca. Walaupun Maxim bebas dari tuntutan hukum, namun seumur hidupnya ia dihantui perasaan bersalah sebagai pembunuh Rebecca. Rebecca telah berhasil menjebak Maxim ke dalam penderitaan batin selama-lamanya. 3
KESIMPULAN
Walaupun Rebecca telah meninggal dunia, perannya selalu ada dalam jalinan cerita. Cerita berpusat di Rebecca yang berkepribadian narsistik. Orang yang berkepribadian narsistik mempunyai sifat mencintai dirinya sendiri secara berlebihan. Secara sekilas, sifat narsistik Rebecca ini menggambarkan seolah-olah ia adalah orang yang menonjol di dalam lingkungan dia berada. Namun, lama kelamaan akan terlihat sifat dominan itu mengacu pada hal-hal yang negatif karena ia akan selalu mengorbankan kepentingan orang lain demi kepentingannya sendiri. Semua kepentingan selalu mengacu
pada dirinya. Pola mementingkan diri secara
berlebihan ini sudah dimulai sejak ia masih kecil ketika ia dimanjakan secara berlebihan oleh bapaknya dan Ny. Danvers. Dari kisah Rebecca ini kita dapat belajar banyak untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Jika kita telah terjebak dalam perkawinan dengan seseorang yang memiliki kepribadian yang narsistik, maka hidup kita akan
menjadi sulit. Seseorang yang narsisitik akan terus
mengorbankan kita demi memenuhi kepuasan
egonya
karena yang paling penting adalah
dirinya sendiri. Oleh karena itu jika kita mulai bergaul dengan seseorang secara lebih dekat, hendaklah kita cermat dalam menilai kepribadian orang tersebut. Kita harus berhati-hati karena pada awalnya seseorang dengan kepribadian narsistik tidak tampak, karena ia pandai menyembunyikan penyimpangan tersebut. Namun, kalau kita cermati perilaku orang tersebut, akan semakin tampak, yaitu selalu merasa paling penting, melebih-lebihkan apa yang sudah dicapainya, selalu ingin menjadi pusat perhatian, tidak mempunyai empati terhadap orang lain, dan tidak bisa menerima kritikan dari orang lain. Dengan teliti mencermati kepribadian orangorang yang bergaul dengan kita, maka kita tidak akan terjebak dalam hubungan yang membuat kita akan menderita di masa depan. Orang dengan kepribadian narsistik akan selalu mempunyai konflik di dalam hubungan sosial nya, baik dengan orang terdekatnya mau pun dengan masyarakat di mana ia berada.
4
DAFTAR PUSTAKA
Bradley, Ann. Divorcing A Narcissist. http://www.narcissisticabuse.com Du Maurier, Daphne. 1963. Rebecca. New York : Pocket Books. Hicks, Malcolm, dan Bill Hutchings. 1989. Literary Criticism : A Student’s Guide. London : Edward Arnold. “Narcisssism”. The New Caxton Encyclopedia. 1967, XIII, 4280. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : GM University Press. Peck, John, dan Martin Coyle. 1984. Literary Terms And Criticism : A Students’ Guide. London : Macmillan. Simmel, George. Conflict. London : Longman Press. Sumardjo, Jacob, dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia