KEKERASAN DALAM PACARAN PADA SISWA SMA DITINJAU DARI KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DALAM KELUARGA
Anna Dian Savitri Fitria Linayaningsih Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dan efektivitas komunikasi orang tua dengan kekerasan dalam pacaran (KDP) pada remaja. Penelitian dilakukan pada 70 siswi SMAN “X” Semarang yang sudah memiliki pacar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, dengan menggunakan skala sebagai alat ukur. Berdasarkan analisis hasil penelitian diketahui bahwa korelasi konformitas dengan KDP sebesar 0,424 sedangkan korelasi efektivitas dengan KDP sebesar 0,381. Diketahui juga bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5%, subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7%, subyek yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 42,7%. Berdasarkan penggalian informasi terhadap subyek yang mengalami KDP, rata-rata masih banyak yang belum memahami bentukbentuk KDP secara verbal, karena mereka cenderung menganggap KDP verbal apabila dimarahi,dibentak, diancam, dan dilarang melakukan ini itu. KDP seksual yg dialami ratarata adalah pelecehan seksual dalam bentuk diraba-raba dan dicium paksa oleh pasangannya. KDP Fisik yang dialami rata-rata didorong, ditarik,ditampar oleh pasangannya. Kata Kunci : KDP, Konformitas, Efektivitas Komunikasi
Pendahuluan Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri. Pada masa ini diharapkan remaja mampu membangun sense of identity. Setelah itu dilanjutkan dengan tugas perkembangan berikutnya, yaitu intimacy, atau menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, (Havighurst). Pada masa remaja terjadi perkembangan yang dinamis dalam kehidupan individu yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional, dansosial (Hurlock, 1980: 210). Perubahan fisik yang terjadi di antaranya timbul proses pematangan organ reproduksi, selain itu juga sudah terjadi perubahan psikologis. Hal ini mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan muncul dorongan seksual. Munculnya dorongan seksual karena pada masa remaja cenderung memiliki tingkat seksual yang tinggi sehubungan dengan mulai matangnya hormon seksual ϱϮ
dan organ-organ reproduksi. Perasaan suka terhadap lawan jenis atau tertarik dengan lawan jenis merupakan proses perkembangan sosial remaja, yang sering diungkapkan dengan istilah berpacaran. Ada
beberapa
definisi
berpacaran
yang
dikemukakan
oleh
para
tokoh
perkembangan remaja mengenai berpacaran. Menurut Himawan (2007: 3) pacaran adalah penjajakan antar pribadi untuk saling menjalin cinta kasih. Santrock (2003:239) mengemukakan bahwa memilih dan menentukan pasangan untuk dinikahi disebut dengan kencan. Hubungan pacaran yang dilakukan oleh remaja memiliki arti penting bagi remaja yang berpacaran. Manfaat secara umum seseorang berpacaran adalah menikmati kebersamaan bersama orang lain (Santrock, 2003: 243). Dengan berpacaran seseorang merasakan cinta, kasih sayang, penerimaan lawan jenis dan rasa aman dari sang pacar. Berpacaran juga dapat melatih keterbukaan, umpan balik dan menyelesaikan konflik. Harlock (1980:228) juga mengemukakan bahwa dengan berpacaran maka remaja akan mempunyai ketrampilan sosial yang baik, sikap baik hati dan menyenangkan. Fenomena perilaku pacaran di kalangan remaja sudah sangat umum. Hampir sebagian besar remaja yang sekaligus siswa ini telah dan pernah berpacaran, baik remaja kota maupun remaja desa. Hal ini dapat terlihat di salah satu media massa yang membidik anak usia sekolah menengah terkait masalah hubungan antar lawan jenis atau biasa dikenal dengan istilah pacaran. Riset yang dilakukan KPAI di 12 kota di Indonesia tahun 2010, menunjukan bahwa dari 2.800 responden pelajar, 76% perempuan dan 72% laki-laki pernah mengaku berpacaran (Andri Haryanto, 2010). Berpacaran dapat memberikan kontribusi positif maupun negatif bagi remaja yang berpacaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saadatun Nisa (2008), menunjukan bahwa berpacaran dapat memberikan kontribusi positif bagi remaja yang berpacaran. Hasil positif yang didapatkan oleh remaja yang berpacaran adalah ketika mereka dihadapkan oleh suatu konflik, maka jalan untuk menyelesaikan konflik adalah dengan pengendalian diri di antara mereka. Pengendalian diri tersebut di antaranya yaitu kesabaran dan berpikir positif. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa yang rentan untuk terpengaruh hal negatif misalnya melakukan bentukbentuk perilaku seksual remaja yang beresiko: gaya pacaran yang tidak sesuai norma, seks pranikah, kehamilan tidak dikehendaki (KTD), aborsi, dan kekerasan dalam berpacaran. Akhir-akhir iniberita-berita kriminal atau infotainment kasus-kasus mengenai kekerasan dalam berpacaran yang merebak terjadi pada pasangan kekasih. Khususnya di kalangan remaja SMA cenderung banyak yang mengalami kekerasan dalam berpacaran yang sekarang kerap disingkat menjadi KDP. Pada saat mengalami masa-masa pacaran, ternyata proses yang dihadapi untuk setiap orang tidak sama. Ada yang berjalan dengan ϱϯ
sangat menyenangkan, namun tidak sedikit pula yang terpaksa menjalaninya dengan berbagai hal yang tidak nyaman. Anehnya, meskipun dengan keadaan yang tidak mengenakkan, tetap saja bentuk hubungan bernama pacaran itu tetap saja menjadi impian para remaja. Berbagai bentuk tindakan kurang menyenangkan, seperti hal nya dalam rumah tangga juga banyak terjadi pada remaja sekarang ini, sehingga KDP adalah topik yang sering diperbincangkan akhir akhir ini. KDP tergolong dalam satu bentuk penyimpangan perilaku remaja yang kasusnya biasa terjadi, namun kadang tanpa disadari baik itu oleh korban, atau bahkan pelakunya sendiri. Banyak rasionalisasi yang dilakukan oleh pelaku maupun korban kekerasan. Hal tersebut dikarenakan ketika insan sedang jatuh cinta, rasa indah selalu seperti hidup di surga. Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana sepertiganya merupakan KDP. Sementara itu, kasus KDP dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah KDP dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan KDP dan perkosaan 30 kasus.Bahkan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 10 Juli 2014 dengan salah satu relawan dari PILAR PKBI Jawa Tengah, ditemukan bahwa pada kekerasan dalam pacaran ternyata merupakan kasus terbanyak kedua setelah kekerasan terhadap istri dan banyak menimpa perempuan sebagai korban. KDP adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak KDP. Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif,
ϱϰ
mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena. Payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sebetulnya sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Namun untuk KDP, belum ada payung hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa. KDP bisa masuk dalam KDRT, karena kekerasan yang terjadi dalam relasi domestik, antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan khusus. Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll) biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. KDP (Dating Violence) adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan fisik, emosional, dan atau verbal oleh seseorang kepada pasangannya yang dilakukan dalam hubungan pacaran. Hal ini bisa dilakukan tidak hanya oleh pria, melainkan juga oleh wanita. Beberapa bentuk kekerasan yang sering terjadi di dalam pacaran, yaitu: Kekerasan fisik, meliputi memukul, menendang, menjambak rambut, menampar, menonjok, melempar benda, membawa ke tempat yang membahayakan keselamatan korban. Kekerasan seksual, meliputi setiap kontak seksual yang tidak diinginkan, rabaan, ciuman, melakukan hubungan seksual yang tidak dikehendaki dengan berbagai ancaman. Kekerasan emosional atau psikis, meliputi mengejek, curiga berlebihan, selalu menyalahkan pacar, mengekang, melarang atau membatasi aktifitas, memeras, melarang untuk menegur orang lain. Kekerasan secara ekonomi, bentuk kekerasan ini memang tidak terlalu terasa dan bahkan menganggap tidak pernah ada, kekerasan yang sering timbul dalam hal ekonomi diantaranya berupa peminjaman uang dan/atau barang yang pada ketika ingin ditagih maka si peminjam beralasan yang macam-macam, kemudian dapat juga dengan pengendalian terhadap pengeluaran dari salah satu pihak, misal: selalu minta ditraktir dan belanja barang yang mewah, ketika tidak dituruti kemauannya maka akan berimbas kepada kekerasan yang lain, bisa fisik maupu psikis. Berbeda dengan kekerasan fisik dan seksual, kekerasan emosional tidak meninggalkan luka yang jelas dan sulit dijelaskan, tapi efeknya bisa lebih parah daripada luka fisik. Kekerasan fisik ini seringkali dimulai dari hal-hal yang sederhana. Korban ϱϱ
membiarkan terjadi karena menganggap tidak ada resiko besar yang akan menjadi konsekuensi dari ‘pembiaran’ tadi. Rasionalisasi yang dilakukan korban misalnya “lagian dia kan pacarku” atau “sesekali bolehlah”. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan dalam pacaran,
diantaranya
yaitu
pola
asuh
dan
lingkungan
keluarga
yang
kurang
menyenangkan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk
kepribadian
seseorang.
Masalah-masalah
emosional
yang
kurang
diperhatikan orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalkan saja sikap kejam orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal-hal semacam itu akan berpengaruh pada peran (role model) yang dianut anak itu pada masa dewasanya. Bisa model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standard, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul. Penyebab yang lain adalah peer group, teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Berdasarkan penelitian tentang KDP dan Kecemasan Remaja Putri di Kabupaten Purworejo yang dilakukan oleh Ayu Musvita (2012:74) diperoleh hasil bahwa banyak remaja putri yang mengalami kekerasan fisik dari pacarnya, dan mengalami kecemasan yang sedang dalam menghadapi pacarnya. Sementara hasil penelitian dari Ferlita (2008:23) tentang sikap terhadap kekerasan dalam berpacaran diperoleh hasil bahwa kecenderungan sikap positif ataupun negatif pada responden lebih banyak didominasi oleh komponen afektif daripada kognitif dan komponen konatif dalam pembentukan sikap terhadap kekerasan dalam berpacaran. Perilaku atau tindakan seseorang dapat digolongkan sebagai tindak KDP apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya baik dalam hubungan suami istri atau pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak KDP. Tindakan melukai secara fisik misalnya dengan memukul, bersikap kasar, perkosaan dan lain – lain, sedangkan melukai secara psikologis misalnya bila pacar suka menghina , selalu menilai kelebihan orang lain tanpa melihat kelebihan pasangan, cemburu yang berlebihan dan lain sebagainya. Namun bentuk kekerasan yang
ϱϲ
paling sering terjadi adalah kekerasan seksual bisa berupa pelecehan seksual secara verbal maupun fisik, memaksa melakukan hubungan seks. Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah – masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Pengaruh peer group atau konformitas teman sebaya juga menjadi salah satu penyebab munculnya kecenderungan remaja melakukan KDP. Kekerasan dalam pacaran (Dating violence) adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut
The
National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa
dating violence
adalah kekerasan psikologis dan fisik yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center
Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007)
mendefinisikan
dating violence
sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang
dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KDP adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual. Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu: penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, sedikit akses ke layanan masyarakat, legalitas, penggunaan obat-obatan. World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya: faktor individual, sejarah kekerasan dalam
ϱϳ
keluarga, penggunaan alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, faktor komunitas Salah satu faktor yang dapat menjelaskan pengalaman KDP adalah konformitas. Menurut Baron dan Byrne (dalam Ayu,dkk, 2009:16) konformitas terjadi ketika individu mengubah tingkah laku mereka dengan tujuan menaati norma sosial yang ada. Menurut Hurlock (dalam Ayu,dkk, 2009:16) menambahkan bahwa peningkatan konformitas tersebut disebabkan waktu yang lebih banyak dihabiskan remaja bersama teman daripada bersama keluarga. Konformitas kelompok merupakan perilaku menyerah pada tekanan kelompok walaupun tidak ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah dibuat oleh kelompok tersebut. Individu melakukan konformitas atas dasar keinginan untuk berbuat benar, serta pengaruh negatif karena rasa takut mendapat celaan dari lingkungan sosial (Myers, dalam Indria dan Nindyati, 2007: 89). Myers juga menambahkan bahwa konformitas adalah suatu perubahan sebagai akibat tekanan kelompok, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk selalu menyamakan perilakunya terhadap kelompok, sehingga terhindar dari dari celaan, keterasingan atau cemooh. Sedangkan menurut Sarwono (Suharsono dan Haryono, 2009: 62) konformitas adalah perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri. Konformitas tidak selalu jelek dan tidak selalu baik, begitu pula perilaku yang konformitas yang terjadi pada kelompok teman sebaya. Banyak perilaku yang muncul pada anak karena mereka hanya mengikuti norma yang ada pada kelompoknya. Contohnya membolos sekolah, tawuran, merokok, dan lain sebagainya hanya karena mengikuti teman-teman dalam kelompoknya. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan perilaku tersebut berarti mereka merupakan bagian dari kelompok tersebut. Faktor kedua yang ingin dilihat untuk menjelaskan pengalaman KDP adalah efektivitas komunikasi dalam keluarga. Istilah komunikasi berasal dari kata communication yang bersumber dari kata communis yang artinya sama makna, jadi yang dimaksud dengan komunikasi adalah terjadinya percakapan antara komunikan dengan komunikator karena keduanya ada kesamaan dalam makna yang disampaikan (Bahri, 2004). Komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Rogers & Kincaid dalam Cangara, 2011). Effendy (2011) menyatakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan lain-lain yang timbul dari lubuk hati. ϱϴ
Memahami istilah komunikasi di atas, komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana dalam Suranto, 2011). Menurut Gunawati, dkk (2006) Komunikasi efektif adalah proses penyampaian pesan verbal dan non verbal secara timbal balik dari komunikator ke komunikan, pesan diinterpretasi sesuai dengan maksud pesan, dan ada umpan balik dari pesan yang disampaikan. Menurut
Supratiknya
(1995)
komunikasi
efektif
tercapai,
bila
komunikan
menginterpretasikan pesan yang diterima mempunyai makna yang sama dengan maksud pesan yang disampaikan oleh komunikator. Komunikasi yang efektif juga dibangun dengan dasar keterbukaan yang menjadi kunci dasar bagi kepercayaan dan kesenangan (Stephen, 2011). Komunikasi orangtua dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua (Rakhmat, 2011). Komunikasi efektif antara orangtua dan anak sangat penting untuk menumbuhkan keakraban.Ketika orangtua mendengarkan secara aktif, kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya dirangsang dan semakin meningkat.Kebutuhan komunikasi merupakan kebutuhan vital dalam hubungan orangtua dan anak. Orangtualah yang diharapkan anak sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya (Laily & Matulessy, 2004). Gunarsa (2002: 101) menyatakan komunikasi dinilai tidak efektif atau gagal bila orang lain tidak memahami ide, gagasan pengirim pesan. Menurut Mulyana (2003 : 117) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan orangorang yang sedang berkomunikasi.
Metode Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini ada siswi kelas XI SMAN “X” di Semarang. Adapun penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu teknik ϱϵ
penentuan sampel sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah siswi SMAN “X” yang sedang proses berpacaran. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Skala Kekerasan dalam Pacaran, Skala Konformitas Teman Sebaya dan Skala Efektivitas Komunikasi. Hasil analisis item skala KDP menunjukkan dari 36 item terdapat 25 item yang valid dan 11 item yang gugur, dengan
koefisiencorrected correlation berkisar 0,268 -
0,802. Hasil perhitungan item skala konformitas menunjukkan dari 32 item terdapat 13 item yang valid dan 21 item yang gugur. Setelah 21 item yang gugur itu dihilangkan, dilakukan penghitungan putaran kedua, dan terdapat 12 item valid, dan 1 item gugur, setelah item yang gugur dihilangkan kemudian pada putaran ketiga semua item dinyatakan valid dengan koefisiencorrected correlation berkisar 0,268 - 0,819. Hasil perhitungan item skala efektivitas komunikasi menunjukkan dari 30 item terdapat 22 item yang valid dan 8 item yang gugur dengan koefisiencorrected correlation berkisar 0,291 - 0,914. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data korelasi Product Moment digunakan untuk melihat hubungan antara Kekerasan Dalam Pacaran dengan Konformitas Teman Sebaya dan Efektivitas Komunikasi. Hasil dan Analisis Sebelum melakukan analisis utama, uji lienaritas terlebih dahulu dilakukan. Hasil uji linieritas dengan menunjukkan bahwa :Variabel konformitas terhadap kekerasan dalam pacaran bersifat linier dengan F linier = 16,338 dengan p<0,05. Varibel efektivitas komunikasi terhadap kekerasan dalam pacaran bersifat linier dengan F linier = 18,994 dengan p<0,05. Hubungan konformitas dengan kekerasan dalam pacaran sebesar 0,424 dan dan efektivitas komunikasi dengan kekerasan dalam pacaran sebesar -0,381. Selain itu didapatkan pula data bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5 % , subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7 %, subyek yang mengalami kekerasan Fisik sebanyak 42,7 % Selain itu didapatkan pula data bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5 % , subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7 %, subyek yang mengalami kekerasan Fisik sebanyak 42,7 %. Berdasarkan penggalian informasi terhadap subyek yang mengalami KDP, rata-rata masih banyak yang belum memahami bentuk-bentuk KDP secara verbal, karena mereka cenderung menganggap KDP verbal apabila dimarahi,dibentak, diancam, dan dilarang melakukan ini itu. KDP Seksual yg dialami rata-rata adalah pelecehan seksual dalam bentuk diraba-raba dan dicium paksa
ϲϬ
oleh pasangannya. KDP Fisik yang dialami rata-rata didorong, ditarik,ditampar oleh pasangannya. Konformitas teman sebaya dan komunikasi orangtua memiliki kontribusi terhadap KDP yang dialami oleh remaja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya tentang Kekerasan Dalam Pacaran dan Kecemasan Remaja Putri di Kabupaten Purworejo yang dilakukan oleh Ayu Musvita (2012:74) diperoleh hasil bahwa banyak remaja putri yang mengalami kekerasan fisik dari pacarnya, dan mengalami kecemasan yang sedang dalam menghadapi pacarnya. Demikian pula dengan pendapat Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu: penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua. Remaja yang menjadi korban KDP rata-rata kurang memiliki kedekatan dalam hal komunikasi dengan orang tuanya sehingga mereka cenderung kurang memahami bagaimana menjalin hubungan pacaran yang sehat. Sejalan dengan pendapat Laily & Matulessy, (2004), bahwa orang tualah yang diharapkan anak sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya .
Daftar Pustaka
Annisa, R. (2002). Derita Di balik Harmoni. Yogjakarta. Women’s Crissis Centre. Ayu, M. (2012). Kekerasan dalam pacaran dan kecemasan remaja putri di kabupaten purworejo. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 6. No. 1. Ayu,dkk. (2009). Hubungan Antara Konformitas Terhadap Teman Sebaya Dengan Intensi Merokok Pada Remaja Perempuan Di SMA Kesatrian 1 Semarang. Jurnal Psycho Idea. Tahun 7, No. 2. Bahri, Syaiful. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga.Jakarta : PT. Reneka Cipta. Cangara. (2011). Pengantar Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers. Effendy, Uchajana Onong. (2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
ϲϭ
Ferlita,G. (2008).Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran (Penelitian Pada Mahasiswi Reguler Universitas Esa Unggul Yang Memiliki Pacar.Jurnal Psikologi Vol 6 No 1 Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul Jakarta Gunarsa, Y. S. D. (2002). Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunawati & Hartati.(2006). Hubungan antara Efektivitas Komunikasi Mahasiswa Dosen Pembimbing utama skripsi dengan stres dalam Menyusun skripsi pada mahasiswa program Studi psikologi fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol. 3 No. 2, 2006. Haryanto, A. (2010). KPAI Ragukan Data BKKBN Soal 51 % PelajarNgeseks di Luar Nikah.Jakarta Himawan. (2007). Perkembangan Cinta Remaja. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Indria, K., &Nindyati, A. D. (2007). Kajian Konformitas dan Kreativitas Affective Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 3. No. 1. Hal. 85-108. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Laily, N. & Matulessy, A. (2004).Pola Komunikasi Masalah Seksual antara Orangtua dan Anak. Jurnal Psikologi. 19(2): 194-205. Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Murray, J. (2007). Abusive Dating Relationships. United States. HarperCollins Publishers Inc. Rakhmat, J. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Saadatun Nisa. (2008). Konflik Pacaran Jarak Jauh Dewasa Muda.Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Santrock,John,W. (2002). Life Span Development : Perkembangan Sepanjang Hidup, Jilid 1, Jakarta : Erlangga Suharsono, M &Haryono, A.W. (2009). Sikap Terhadap Demonstrasi Ditinjau Dari Konformitas Pada Kelompok Teman Sebaya. Jurnal Psikodemensia. Volume. 8 No. 1. Stephen, Littlejohn, W & Karen Foss. (2011). Teori Komunikasi Edisi Sembilan. Jakarta: Salemba Humanika Suranto, AW. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu. Warkentin. J. (2008). Dating Violence and Sexual Assault Among College Men: CoOccurrence, Predictors, and Differentiating Factors. OHIO: Dept OfPsycyhology.
ϲϮ