TESIS
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
NI KOMANG SUTRISNI
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
NI KOMANG SUTRISNI NIM. 1390561018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2015
i
KEBIJAKAN PENGATURAN KEJAHATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI KOMANG SUTRISNI NIM:1390561018
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.:1058/UN14.4/HK/2015, Tanggal 9 April 2015
Ketua
: Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS.
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya, SH.,MH.
Anggota :
1. Dr. Gde Made Swardana, SH.,MH. 2. Dr. I Gede Artha, SH.,MH. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.M.Hum.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:
Ni Komang Sutrisni
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
Denpasar, 07 April 2015 Yang menyatakan
Ni Komang Sutrisni
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang melimpahkan rahmat, tuntunan, berkah, sehingga penulisan Tesis dengan judul “Kebijakan Pengaturan Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tesis ini merupakan tugas akhir selama penulis menempuh pendidikan Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana dan sebagai syarat guna mencapai gelar Magister Hukum (S2) pada Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari sepenuhya bahwa keberhasilan dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas berkat adanya bantuan, bimbingan, dorongan, arahan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SP.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengkuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SP.S.(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program
vi
Studi Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM., dan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,MH., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengkuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof.Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS,. Selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, dorongan semangat, arahan serta saran secara baik dan teliti dalam penyelesaian tesis ini. Kepada bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH.,MH., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, semangat, arahan, serta saran secara baik dan teliti dalam penyelesaian penyusunan tesis ini, kepada Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH., selaku Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan arahan dan dorongan semangat kepada penulis selama menuntut ilmu pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Seluruh Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, khususnya Dosen pada konsentrasi Hukum dan Sitem Peradilan Pidana atas segala ilmu yang telah diberikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Staf Tata Usaha Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Kepada kedua Orang Tua tercinta, Ayah I Ketut Sudana, S.H. dan Ibu Ni made Sipi, Kakak Ni Putu Lovina, Ni Made Lorena, adik I Ketut Asmarajaya, Ni Wayan Ita vii
Kusuma dewi, juga seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan doa serta dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Kepada temanteman Adit, deby, manik, kak Amik, kak noni, pak misran, Mba xin-xin, desy, mita, indah, wilda, elik, dwi, andika serta seluruh sahabat Program
Studi
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana angkatan 2013 yang telah banyak mengispirasi serta memberi semangat dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sudah tentu masih jauh dari kesempurnaan dan memiliki kekurangan-kekurangan baik dari metode penulisan maupun analisis, sehingga tesis ini dapat diperbaiki demi penyempurnaannya dan untuk itu dibutuhkan kritik serta saran yang membangun sehingga dapat menyempurnakan penulisan tesis ini sesuai dengan apa yang diharapkan. Akhir kata, besar harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat Denpasar, 17 April 2015
Ni Komang Sutrisni
viii
ABSTRAK Meningkatnya masalah-masalah kejahatan dan kekerasan yang berlatar belakang kepercayaan terhadap adanya kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, terutama mengenai maraknya tindakan main sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib sampai saat ini menimbulkan keresahan dalam kehidupan sosial masyarakat belum memiliki pengaturan yang jelas. Dalam perkembangannya perbuatan yang berkenaan dengan kekuatan gaib diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), sebagai bentuk pencegahan kejahatan terhadap adanya tindakan anarkis tersebut. Bertolak dari hal tersebut, substansi permasalahannya ada dua yaitu, bagaimana pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) saat ini serta bagaimana kebijakan formulatif perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP atau di masa yang akan datang. Dua permasalahan pokok ini pada intinya ditujukan untuk mengetahui dan menganalisa kebijakan formulatif hukum pidana untuk saat ini dan di masa akan datang dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep ahli hukum sebagai basis penelitiannya. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep hukum, pendekatan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib, serta pendekatan sejarah dalam perumusan perbuatan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di dapat bahwa saat ini kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pengaturan dalam pasal tersebut dikualifikasikan sebagai pelanggaran sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap perbuatan dengan kekuatan gaib, akan tetapi tidak efektif dalam penegakan hukumnya. Pengaturan tersebut tidak dianggap sebagai bentuk pelarangan melainkan sebagai bentuk kepercayaan serta tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi tindakan-tindakan main hakim sendiri terhadap kepercayaan tentang keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib, sehingga pasal-pasal tersebut layak untuk didekriminalisasikan. Konsepsi kebijakan pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) , diatur dalam Pasal 293 RUU KUHP dalam bentuk delik formil. Pasal 293 merupakan bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yakni perluasan dari perbuatan penawaran untuk melakukan tindak pidana. Pengaturan ini bertujuan untuk mencegah secara dini perbuatan-perbuatan anarkis warga masyarakat terhadap keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara sewenang-wenang. Kata Kunci:
Kebijakan, Perbuatan, Kekuatan Gaib, , Pembaharuan, Hukum Pidana
ix
ABSTRACT Increasing crime problems and violence which has background of beliefs against the crime by using supernatural powers, especially regarding the rise of the vigilantism action against a person suspected of committing a crime with supernatural powers such as witchcraft, teluh, which to date has caused unrest in the social life of the community. In the action development with regard to supernatural forces are accommodated in the Draft Code of Criminal Law in 2012, as a prevention form of crimes against the anarchist action.Based on the matter above, there are two problem substances, namely, how does the action settings by using the magical powers of the Criminal Code today and how does the action formulative policy using supernatural powers in the Draft Bill 2012 or in the future coming up. Two main problems are essentially aimed to identify and analyze formulative policy of criminal law for the time being and in the future in the context of prevention and control of crime.This study was conducted using a normative juridical research conducted through the analysis obtained from library materials such as books, textbook, etc., associated with the legislation and the concept of legal experts as a research base. The approach in this study using the approach of legal concept, regulatory approach to regulatory action by using magical powers, as well as the historical approach in the formulation of such actions. The result of this study is obtained that currently the formulative policy of action setting by using supernatural powers stipulated in the Criminal Code in Article 545, 546, and 547 of the Criminal Code. The settings in the article qualifies as a violation as prevention and control of the action with magical power, but not effective in law enforcement. Such arrangements are not considered a prohibition form but as a form of trust as well as not being able to prevent and overcome actions of vigilantism against the belief of the existence of evil by using magical powers, so that the articles are eligible to be decriminalized.Formulative policy conception of crime regulation with supernatural powers in the criminal law reform in the Draft Code of Criminal Law (Draft Bill) 2012, under Article 293 of the Criminal Code Bill, 2012 in the form of a formal offense. Article 293 is a form of crime against the public order act that is an extension of an offer to commit criminal acts. This arrangement aims to prevent early deeds anarchist community of the existence of a person suspected of committing a crime by using magical powers arbitrarily.
Keywords :
Policy, Act, Supernatural Power, Reform, Criminal Law
x
RINGKASAN KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut Bab I yakni bab pendahuluan merupakan bab yang berisi tentang hal-hal yang menjadi latar belakang penulisan penelitian ini bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun keyakinan. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di Indonesia sudah lama dikenal adanya keberadaan atau kepercayaan terhadap sesuatu kekuatan diluar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupu kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan kejahatan. Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat perkotaan. Sering terjadi tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Hukum pidana selama ini belum mampu mengatasi tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib, oleh sebab legalitas terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP tidak dapat diberlakukan lagi. Bab II menguraikan tentang definisi Pengaturan Kejahatan dalam hukum pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diartikan suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang tidak terlihat oleh panca indra serta meliputi kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan kebijakan formulasi dapat diartikan sebagai usaha merumuskan atau memformulasikan suatu undang-undang yang dapat digunanakan untuk menanggulangi kejahatan. Bab III membahas tentang Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP merupakan suatu usaha dalam rangka penanggulangan kejahatan. Eksistensi masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib telah diakui oleh kebijakan politik hukum pidana menunjuk pada pengaturan hukum pidana pada Bab VI buku III tentang pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Unsur-unsur perbuatan pidana dalam Pasal 545, 546, dan 547 tidak lagi memenuhi kriteria sebagai perbuatan yang melawan hukum oleh sebab perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut merupakan suatu sistem kepercayaan masyarakat Indonesia, sehingga tidak sesuai lagi dengan perkembangan tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya pasals-pasal tersebut seharusnya didekriminalisasikan. Selanjutnya tetap
xi
diperlukan adanya kriminalisasi perbuatan-perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana untuk mencegah tindakan penghakiman massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Bab IV membahas tentang Pengaturan Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana yakni dalam RUU KUHP 2012 diatur dalam Pasal 293 yang merupakan perluasan dari bentuk penawaran untuk melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 291 RUU KUHP 2012 yang merupakan bentuk bantuan yang lebih khusus dan dijadikan sebagai delik yang berdiri sendiri yang mana perumusan Pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis perbuatan yang berlebihan terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan satu persatu jika terjadi suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal tersebut. kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam konsep yang ideal adalah rumusan pasal yang mengacu kepada larangan terhadap penggunaan-penggunaan kekuatan gaib yang dirumuskan secara formil, bahwa yang dibuktikan adalah perbuatan yang menyatakan diri dan menawarkan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, bukan dari akibat perbuatan tersebut. Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dipaparkan penulis yakani Pengaturan masalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP sudah ada sejak dulu yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP, namun pasal-pasal tersebut tidak pernah digunakan. Dalam RUU KUHP 2012 diadakan kriminalisasi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam bentuk perumusan yang formil untuk mencegah terjadinya penghakiman massal terhadap seorang yang dituduh menjadi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib karena tidak ada legalitas hukum yang pasti terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib dalam pasal-pasal KUHP tersebut sudah sepatutnya didekriminalisasikan oleh sebab tidak dianggap meresahkan masyarakat yang tetap diikuti dengan adanya pengaturan mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP 2012 yang lebih jelas dan tegas.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
iii
SURAT PERNYATAN BEBAS PLAGIAT ...................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
v
ABSTRAK .......................................................................................................
viii
ABSTRACT .....................................................................................................
ix
RINGKASAN ..................................................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1
Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................................
9
1.3
Ruang Lingkup Masalah .........................................................................
9
1.4
Tujuan Penelitian ....................................................................................
4
1.5
Manfaat Penelitian ..................................................................................
10
a. Manfaat Teoritis ...............................................................................
10
b. Manfaat Praktis .................................................................................
10
1.6
Orisinalitas Penelitian .............................................................................
12
1.7
Landasan Teoritis....................................................................................
14
xiii
1.8
Metode Penelitian ...................................................................................
48
1.8.1 Jenis Penelitian ...........................................................................
48
1.8.2 Jenis Pendekatan .........................................................................
48
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ...............................................................
49
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan ......................................................
49
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ........................
50
BAB II TINJAUAN
UMUM
PENGATURAN
PERBUATAN,
KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA .........
51
2.1
Pengaturan Kejahatan .............................................................................
57
2.2
Kekuatan Gaib ........................................................................................
57
2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ..............................................
68
BAB III KEBIJAKAN PENGATURAN
PERBUATAN DENGAN
MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ......................................................................
82
3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam KUHP ......................................................................................................
82
3.2 Unsur-Unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam KUHP ....................................................................................................... BAB IV KEBIJAKAN
PENGATURAN
MENGGUNAKAN PEMBAHARUAN
PERBUATAN
KEKUATAN HUKUM
DENGAN
GAIB PIDANA
DALAM DI
MASA
MENDATANG ..................................................................................
xiv
97
120
4.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib Dalam RUU KUHP ............................................................................................
120
4.2 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam Konsep yang Ideal....................................................................................
139
BAB V PENUTUP..........................................................................................
154
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................
154
5.2 Saran ........................................................................................................
155
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
156
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan, meliputi berbagai segi kehidupan. Salah satu dari segi pembangunan adalah pembangunan hukum, yang pada hakikatnya berkaitan pula dengan segi-segi kehidupan lainnya. Kaitan dari segi hukum dengan segi-segi kehidupan lainnya yang sama-sama merupakan gejala sosial, yang berkaitan dengan tiga segi atau aspek kehidupan pokok yakni dibidang politik, ekonomi, dan budaya. Ada aspekaspek dibidang politik yang murni bersifat politik, namun ada bagian dari bidang politik yang diatur oleh bidang pertahanan, serta oleh bidang hukum. Demikian pula halnya dengan bidang ekonomi dan sosial, yang mengandung segi murni dan hal-hal yang diatur oleh bidang-bidang pertahanan keamanan serta hukum. Sangat terlihat jelas hubungan antara pembangunan hukum dengan pembangunan dibidang-bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut seyogyanya dapat dimengerti, mengingat bahwa tujuan hukum adalah kedamaian yang berarti keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Setiap pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat, mempunyai dasar-dasar tertentu, yang paling sedikit mencakup agama, filsafat, Ideologi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi.1 Fungsi hukum di indonesia dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya
1
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.302
1
2
ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. Sebagaimana halnya dengan negara-negara atau masyarakatmasyarakat yang sedang berkembang laiinnya, maka Indonesia juga sedang mengalami suatu masa transisi. Dalam hal ini, maka masa transisi tersebut meliputi aneka macam bidang kehidupan, misalnya bidang hukum. Salah satu aspek dari bidang hukum tersebut adalah, suatu transisi dari sistem hukum tidak tertulis menuju sistem hukum tertulis (sebanyak mungkin berbentuk tertulis). Walaupun demikian, dengan adanya hukum tertulis yang mengatur bagian terbesar dari kehidupan masyarakat, hukum tidak tertulis pasti akan tetap berfungsi.2 Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Peristiwa hukum di Indonesia berkaitan erat dengan kebudayaan bangsa Indonesia asli yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat di daerah lainnya.3 Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, yang terdiri dari perbedaan ragam
budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di
Indonesia, kehidupan spiritual masih begitu kuat dalam kehidupan masyarakat
2
I Made Widnyana, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Yogyakarta, h.7 3
Munir Fuadi.2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta. 248
3
termasuk agama. Bagi masyarakat Indonesia selain merupakan bagian dari tradisi itu sendiri juga merupakan suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual yang tidak mungkin ditinggalkan serta kebudayaan terhadap pengetahuan, kepercayaan, kesenian dan moral. Perbedaan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi ciri khas keberagaman segala bidang aspek kehidupan masyarakat bangsa Indonesia termasuk di dalamnya kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan-kekuatan di luar nalar manusia yang dipandang sangat berbahaya yakni keberadaan seseorang yang melakukan perbuatan atau kejahatan dengan sarana kekuatan gaib yang di Indonesia dikenal dengan berbagai macam penamaan seperti praktik ilmu hitam, santet, teluh, desti, leak dan lain sebagainya. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai perbuatan dengan menggunakan sarana kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif.4 Kebudayaan terdiri dari bermacam kekuatan yang harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di Indonesia sudah lama dikenal dengan adanya
keberadaan atau kepercayaan
terhadap sesuatu kekuatan di luar nalar manusia baik dalam fungsinya yang positif yang sering digunakan dalam rangka membantu orang lain, maupun kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif untuk melakukan suatu kejahatan. Kejahatan yang dipandang bersumber dari dunia lain yang senantiasa menarik perhatian, seperti santet dan sihir yang pada dasarnya menggunakan sarana kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan tersebut.
4
Ronny Rahman Nitibaskara, 2013, Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?, http://www. catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014
4
Beberapa tema umum adalah perbuatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib itu bukan akal, atau buktinya tidak ada. Jika dipikir secara ilmiah perbuatan atau kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib itu tidak ada akan tetapi kenyataannya
masyarakat tradisional mempercayai keberadaan
kejahatan yang menggunakan sarana kekuatan gaib tersebut. Kenyataan bahwa kejahatan yang dilakukan dengan media kekuatan gaib tidak dapat dirabarasakan, tidak rasional, dan tidak logis adalah bagian dari mengapa perbuatan tersebut sangat berbahaya. Lehmann, dan J.E Myers menyebutkan “Local trust system is used in crime is often describe magic, occult, witchcraft, sorcerer. The term of magic in crime is known as black magic and it has private characteristic, destruktif and damage others people”5(sistem kepercayaan lokal digunakan dalam kejahatan sering menggambarkan sihir, okultisme, penyihir. Istilah sihir dalam kejahatan ini dikenal sebagai ilmu hitam dan memiliki karakteristik pribadi, destruktif dan membahayakan orang lain). Perbuatan
dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat
berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat perkotaan. Sering terjadi tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan oleh warga masyarakat sekitar, fenomena tersebut tidak jarang terjadi dalam masyarakat pedesaan. Warga masyarakat desa beranggapan bahwa satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman dari seseorang
yang diduga melakukan kejahatan
dengan menggunakan kekuatan gaib adalah dengan cara membunuhnya. Dengan 5
Lehmann, A.C., and J.E Myers (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion : An Antropological Study of the Supernatural, Mayfield Publising co., California, 246
5
demikian tindakan main hakim sendiri oleh warga terhadap keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana kekuatan gaib ini jauh dari penegakan hukum di Indonesia.6 Pengaturan terhadap praktik kekuatan gaib di indonesia
sudah
diakomodir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni: Pasal 546 KUHP menentukan: Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: (1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib; (2) Barangsiapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
Berdasarkan ketentuan tersebut Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa dalam perumusan pasal tersebut terlihat adanya hal-hal yang bersifat gaib atau supernatural yaitu, peramalan nasib atau mimpi dan jimat-jimat atau benda-benda sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal atau perundang-undangan dapat atau mungkin saja mengatur hal-hal yang gaib atau supernatural, sepanjang yang diatur bukan substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu.7 Perumusan Pasal 546 KUHP menimbulkan multitafsir dari segi pemaknaan terhadap larangan-larangan yang dirumuskan. Larangan terhadap perbuatan yang dimaksud tidak menjelaskan apakah suatu perbuatan yang dilarang tersebut
6
Nicholas Herriman, 2013, Negara dan Santet Ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h.62 7
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada, Semarang, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I) h.291
6
merupakan suatu perbuatan yang merugikan seseorang yang menggunakan ataukah perbuatan yang dapat menyakiti orang lain sebagai akibat dari penggunaan benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Di lihat dari segi definisi kekuatan gaib tidak menunjukkan kekuatan gaib tersebut digunakan untuk kejahatan melainkan sebagai sebuah bentuk kepercayaan. Definisi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hukum positif masih kabur, terlalu mengacu pada hukum formal yang hanya memenuhi unsur-unsur penipuan serta berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan dalam pengadilan. Definisi tersebut tidak secara mendalam menelusuri situasi dan kondisi (proses) yang melatarbelakangi terjadinya tindakan penipuan tersebut. Selain masalah definisi, persoalan hukum lainnya terhadap kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib adalah persoalan tindakan lain di luar yang diatur dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP yang berkaitan dengan keberadaan korban kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia yang berimplikasi pada tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Tataran prakteknya, banyak kegiatan-kegiatan serupa yang mendatangkan suatu keyakinan dan dianggap sebagai suatu kebutuhan bagi seseorang yang mempercayai keberadaanya. Misalnya, jimat-jimat yang digunakan untuk menghindari malabahaya, kemudian mencari tukang ramal atau penafsir mimpi, bukanlah hal yang merugikan bagi orang yang mencarinya. Sudah seharusnya suatu larangan dalam peraturan perundang-undangan dapat merugikan orang lain
7
nantinya, sehingga dalam penelitian ini dianggap bahwa telah terjadi kekaburan norma dalam pasal-pasal kekuatan gaib dalam KUHP tersebut yang tidak secara tegas mengatur penggunaan kekuatan gaib yang dapat merugikan orang banyak sehingga pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap perbuatan tersebut. Pengaturan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu delik yang diatur dalam peraturan perundangundangan sebagai wujud pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu kriminalisasi tindak pidana yang mengakomodir suatu tindakan berdasarkan situasi kondisi bangsa Indonesia. perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang pada hakikatnya banyak menimbulkan korban baik korban melalui kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib maupun korban akibat dugaan sebagai seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Korban dengan menggunakan kekuatan gaib
secara langsung tidak dapat dibuktikan
hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat perbuatan hal ini berkaitan dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan atas rasio dan logika sehingga hukum tidak dapat menjangkau bentuk perbuatan yang tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitasnya. Berdasarkan atas realitas tersebut, warga masyarakat yang mengalami sendiri kejahatan melalui kekuatan gaib tersebut cenderung melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sehingga menimbulkan korban akibat tindakan terebut. Dengan demikian hukum seharusnya mampu melindungi
8
hak-hak seseorang dari tindakan main hakim sendiri dengan melakukan pencegahan secara dini terhadap praktek-praktek yang berkaitan dengan kekuatan gaib. Dalam RUU KUHP pasal mengenai suatu perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib sudah diatur yakni dalam pasal:
293 RUU KUHP yang menentukan: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)8 Prinsip kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sangat tidak logis jika dikriminalisasikan sebagai tindak pidana dalam suatu peraturan tertulis dilihat dari segi kegiatannya yang bersifat metafisik, tidak terlihat, tidak kasat mata, menyebabkan penegakan hukum tidak akan bisa dilakukan. Akan tetapi bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam adat istiadat mempercayai keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut sebagai perbuatan yang mengancam kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam perumusan pasal mengenai perbuatan dalam KUHP berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib tidak jelas mengenai apa yang menjadi konsep atau dasar dari perumusan pasal tersebut
8
serta bagaimana pengaturan perbuatan dengan
KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan Delik Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarrta, h. 306
9
menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana dengan tujuan yang utama ialah untuk menghindari adanya tindakan main hakim sendiri yang terjadi terhadap warga masyarakat yang dituduh melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yakni dalam RUU KUHP
tersebut. Dari latar
belakang tersebut, menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan tersebut dengan judul “ Kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan menggunakan Kekuatan Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”
1.2. Rumusan Masalah 1) Bagaimana Pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam Hukum Positif di Indonesia? 2) Bagaimana kebijakan Pengaturan Perbuatan dengan Kekuatan Gaib dalam Pembaharuan Hukum Pidana di masa mendatang?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam sebuah penelitian tidak dapat terlepas dari sempit dan luasnya materi yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian yang dituangkan dalam ruang lingkup masalah. Dalam ruang lingkup masalah yang akan diteliti dan dibahas akan penulis jabarkan sebagai berikut. Rumusan masalah dalam penelitian ini yang pertama adalah mengenai pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hukum positif di Indonesia yakni dalam KUHP. Dalam pembahasannya akan dibahas mengenai pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP serta unsur-unsur perbuatan tersebut yang akan menjadi dasar dari pengaturan terhadap
10
perbuatan perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan serta timbulnya fenomena atau masalah sosial yang berkaitan dengan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut. Rumusan masalah yang kedua dalam penelitian ini adalah mengenai kebijakan
pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam
pembaharuan Hukum Pidana yakni dalam RUU KUHP 2012, dalam pembahasannya akan dibahas mengenai perbuatan apa saja yang dikriminalisasi yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan sebagai upaya pembaharuan hukum pidana yang mencakup kejahatan dengan mengunakan kekuatan gaib, kemudian berkaitan erat dengan konsep ideal perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dapat dibagi menjadi 2 tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Tujuan Umum Mengenai tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai Perbuatan yang berkaitan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hukum positif di Indonesia serta dalam pembaharuan hukum pidana. b. Tujuan Khusus 1. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan mengenai kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam KUHP.
11
2. Untuk memahami dan menganalisis pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan yang diakomodir dalam RUU KUHP 2012.
1.5. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Pengkajian dan penelitian terhadap permasalahan tersebut di atas dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman secara teoritis bagi tataran akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat pada umumnya sehingga dalam pemahaman tersebut diharapkan diperoleh kontribusi pemikiran dan pandangan terhadap kriminalisasi terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP. b. Manfaat Praktis Pengkajian terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam permasalahan hukum di atas diharapkan nantinya secara praktek mampu mengatasi permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan dalam masyarakat sehingga dapat mengantisipasi adanya penghakiman secara massal terhadap seorang yang dituduh melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
12
1.6. Orisinalitas Penelitian Permasalahan mengenai kebijakan
pengaturan perbuatan dengan
menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana sesuai dengan RUU KUHP menarik untuk diteliti mengenai apakah mungkin perbuatanperbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat dikriminalisasikan dalam peraturan perundang-undangan. Tesis ini merupakan karya tulis asli penulis, dengan tanpa adanya unsur plagiasi di dalam proses penulisan yang penulis akan lakukan. Oleh sebab itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran dan kritik yang bersifat membangun. Orisinalitas penelitian ini akan ditunjukan dengan membadingkan tesis atau skripsi dari universitas di Indonesia. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara lain: 1) Tesis yang ditulis oleh Woro Winandi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di banyuwangi”. Dengan rumusan masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan massal? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan masal di banyuwangi?
13
3. Bagaimana realisasi pelaksanaan perlindungan hukum pada orangorang yang dituduh sebagai dukun santet yang menjadi korban pembantaian
dan
orang-orang
yang
dituduh
melakukan
pembantaian pada saat kerusuhan missal di banyuwangi? 2) Tesis yang ditulis oleh Saiful Abdullah, Universitas Diponegoro, Semarang dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dan Non Hukum Pidana (Non Penal) dalam Menanggulangi Aliran Sesat” Dengan rumusan Masalah: 1.
Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana dalam menanggulangi aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang?
2.
Bagaimanakah Kebijakan Non Penal untuk menanggulangi Aliran Sesat?
3) Disertasi yang ditulis oleh
Ronny Rahman Nitibaskara, Universitas
Indonesia, Jakarta dengan judul “ Reaksi Sosial Terhadap Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten Jawa Barat” Jika dibandingkan antara tesis ini dengan tesis dan disertasi di atas tentunya memiliki perbedaan yang signifikan dari segi fokus penelitian. Tesis ini meneliti kebijakan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana, yakni lebih menekankan pada konsep dari perumusan norma yang terkait dengan kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib. Tesis yang pertama tersebut menekankan pada tindakan main hakim sendiri dari masyarakat terhadap seseorang yang dituduh melakukan santet. Tesis yang kedua menekankan kepada aliran sesat yang tentunya berbeda dengan
14
kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan disertasi tersebut
dipusatkan terhadap reaksi sosial dari masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang tentunya berbeda dengan penelitian ini yang terfokus terhadap pengaturan perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
1.7. Landasan Teoritis Landasan teoritis dapat diidentifikasi melalui, asas-asas hukum, konsep hukum, teori-teori hukum atau norma-norma hukum yang digunakan untuk membahas masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “kata teori berasal dari theoria yang artinya pandangan atau wawasan.9 Selanjutnya akan dipaparkan mengenai landasan teoritis dari pembahasan penelitian ini. 1.
Asas-Asas Hukum 1) Asas Legalitas Perumusan azas legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa latin
dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang
9
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h.4
15
yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan di jatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga (3) pengertian yaitu: (1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang. (2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. (3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.10 Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, dengan jelas nampak dalam Pasal 1 KUHP, dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. 11 2) Asas Praduga tak Bersalah Asas praduga tak bersalah berasal dari Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara tersurat menyatakan bahwa “ Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
10
Moeljatno, 1985, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara (selanjutnya disebut Moeljatno I), Jakarta, h. 25 11
Ibid., h.26
16
kekuatan hukum yang tetap.
Sementara itu, di dalam Undang-Undang No.8
Tahun 1981, asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, tetapi hal itu tersirat dalam bagian Mengingat angka 3 serta dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c. Menurut Mardjono Reksodiputro, unsur-unsur dalam asas praduga tak bersalah ini adalah asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law) yang mencakup sekurang-kurangnya: 1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara. 2. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa. 3. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka ( tidak boleh bersifat rahasia) 4. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya.12 Asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu asas penting dalam proses peradilan pidana. Penerapan asas ini akan membuat seorang tersangka atau terdakwa yang belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan mendapatkan hak-haknya tanpa perkecualian dan perbedaan sehingga mempunyai kedudukan yang seimbang dengan penegak hukum. Asas ini berlaku terhadap siapa saja termasuk keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat.
2.
Konsep Hukum 1) Konsep Hak Asasi Manusia 12
Luhut M.P. Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h.23
17
Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Beberapa ahli tela merumuskan unsurunsur negara hukum. Sri Soemantri berpandangan bahwa status negara hukum harus memenuhi unsur, yaitu: a) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. b) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara) c) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara d) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.13 Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara hukum dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa dalam suatu negara hukkum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang.14 Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu syarat mutlak bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak membela hak-haknya tersebut. Dengan dianutnya konsep negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, maka pengakuan dan perlindungan HAM setiap warga negara wajib diberikan oleh negara, termasuk dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian perlindungan Hak Asasi Manusia setiap orang dilindungi oleh konstitusi secara tegas sebagai salah satu unsur dari negara hukum. Perlakuan sewenang-wenang terhadap seorang yang diduga melakukan
13
14
Sri Soemantri, 1997, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, h.29 Ibid., h. 32
18
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sudah sepatutnya mendapat perlindungan oleh negara melalui perangkat hukum yang ada.
2) Konsep Restorative Jusctice Konsep
Restorative
Justice
sebenarnya
telah
lama
dipraktikan
masyarakat adat indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan Komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaan. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara. Ukuran keadilan bukan berdasarkan retributive berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan keinsyafan dan pemaafan (keadilan restorative). Walaupun perbuatan pidana umum yang ditangani masyarakat sendiri bertentangan dengan hukum positif, terbukti mekanisme ini telah berhasil menjaga harmoni ditengah masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum negara sering kali mempersulit dan memperuncing masalah.15 Kovensi negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana. Restorative Justice adalah alternatif yang popular di berbagai belahan dunia untuk penanganan pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif. Keadilan restorative bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk 15
Dewi, DS. dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok, h.4
19
memperbaiki kehidupan bermasyarakat, termasuk korban dari penghakiman masal atas dugaan sebagai pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
3) Konsep Kekuatan Gaib Ahmad Syafi’I Mufid mnegungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, sehingga tidak asing lagi mengenai perbedaan ragam budaya, adat istiadat, maupun mengenai keyakinan. Di Indonesia, kehidupan spiritual tampaknya juga tidak pernah redup. Memang agama, bagi masyarakat Indonesia, selain merupakan bagian dari tradisi itu sendiri, tampaknya adalah suatu identitas sekaligus sumber moral dan spiritual yang tidak mungkin ditinggalkan. Kebudayaan adalah hal kompleks yang mengungkap pengetahuan, kepercayaan, kesenian dan moral. Di dalam kebudayaan bermacam kekuatan yang harus dihadapi seperti kekuatan gaib maupun kekuatan lainnya, selain itu manusia dan masyarakat juga memerlukan kepuasan dibidang spiritual maupun materiil. Selain hal yang kompleks di atas, adapun kaidah-kaidah yang dinamakan peraturan biasanya sengaja dibuat dan mempunyai sanksi tegas.16 Pengertian Kekuatan gaib dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sesuatu kekuatan yang ditimbulkan oleh adanya daya jiwa seseorang, kekuatan rahasia, kekuatan jiwa yang dimiliki berdasarkan jasmaninya. Sedangkan gaib merupakan kekuatan sakti atau supranatural yakni kekuatan gaib yang bersifat luar biasa yang ada di luar jangkauan akal manusia dan yang dianggap berada dalam alam, dalam benda, dalam tumbuhan, dalam binatang, atau manusia 16
Ahmad Shafii Mufid, keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009, http:www//kekuatan/suprantural/manusia.ac.id /diakses pada tanggal 28 oktober 2014, h.5
20
tertertu. Serta kekuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang ajaib (yang tidak dapat diterangkan dengan akal)17 sedangkan arti santet dengan sihir atau menyamakan arti menyantet atau menyihir diberikan dua arti yakni perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantera dsb) dan ilmu gaib (teluh, tuju, dan sebagainya). Sementara perbuatan menyihir adalah berupa menggunakan sihir, memukau, memesona, membuat sangat terpikat. 18 Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia tersebut menyamakan arti santet dengan teluh, tenung, guna-guna yang bersifat gaib. Sementara perbuatan menyantet adalah mencelakakan orang lain melalui cara gaib. Dari kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa santet sebagai ilmu atau lebih tepatnya kemampuan, kepandaian atau kemahiran untuk mencelakakan, menderitakan fisik maupun psikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Sementara sebagai perbuatan santet adalah melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan mencelakai, menderitakan fisik atau psikis atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara gaib. Kekuatan gaib sebagai salah satu elemen dalam kehidupan masyarakat Indonesia memiliki karakter yang beraneka ragam, kekuatan gaib dipandang dari segi fungsinya dapat dibagi menjadi dua yakni kekuatan gaib yang memiliki fungsi positif dalam arti masyarakat Indonesia mempercayai keberadaan suatu kekuatan di luar akal serta digunakan sebagai salah satu cara untuk melindungi 17
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 747 18
Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia , 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka utama, Jakarta, h.1224
21
diri, penyembuhan, serta kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk kebaikan. Di sisi lain kekuatan gaib juga memiliki fungsi yang negatif, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mempelajari suatu kekuatan di luar akal tersebut untuk melakukan suatu kejahatan berupa menyakiti seseorang, membunuh, menjadikan seseorang cacat fisik, serta dampak lain yang tidak baik. 19 Kekuatan gaib dalam fungsinya yang negatif tersebut di berbagai daerah dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Adanya hal-hal di luar rasio atau logika yang sifatnya tak terlihat, ajaib, gaib dan berbau magis sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Indonesia pada umumya. Perbuatan magis ada yang bersifat putih dan hitam. Perbuatan magis putih biasanya digunakan untuk kebaikan seperti upacara-upacara adat yang digunakan untuk tujuan religi atau menyembuhkan orang. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah ilmu magis yang sifatnya negatif atau yang biasa dikenal dengan sebutan ilmu hitam (black magi.)20 yang sering kali menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial dalam masyarakat yang masih kental dengan kepercayaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan dengan mengunakan kekuatan gaib. Keberadaan hal tersebut masih sangat diakui, akan tetapi keterbatasan bukti empiris menyebabkan perbuatan tersebut tidak dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan oleh sebab terkendala oleh sistem pembuktian.
19
R.P. Suyono, 2008, Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta, h.24
20
Ibid., h. 25
22
Konsep kekuatan gaib berbeda dengan jenis kegiatan-kegiatan
yang
berhubungan atau dianggap bernuansa mistis seperti sulap dan hipnotis. Sulap adalah suatu seni pertunjukan yang diminati sebagian besar masyarakat didunia, karena pada penyajiannya sulap dapat membuat heran penontonnya akan rahasia di balik penyajiannya. Sulap merupakan suatu gabungan dari berbagai seni yang ada, misalnya seni tari, seni musik, seni rupa, dan lain-lain. Seni sulap bukanlah suatu keterampilan yang berbau klenik atau supranatural, karena setiap trik sulap dapat dijelaskan. Sulap semata-mata hanyalah permainan kelihaian tangan, manipulasi, hasil kerja dari suatu perlengkapan atau peralatan ataupun efek yang timbul dari suatu reaksi kimia dan yang telah dilatih sebaik mungkin oleh pesulap sebelum dipertunjukkan kepada orang lain.21Sedangkan hipnotis adalah satu ilmu yang digunakan untuk bermain dengan alam bawah sadar manusia, setelah seseorang memasuki alam bawah sadarnya
akan mengikuti apa yang
diperintahkan. Hipnotis adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari pengaruh sugesti terhadap pikiran manusia.22 Dengan demikian antara kekuatan gaib, sulap, dan hipnotis memiliki perbedaan yang signifikan.
3.
Teori Hukum 1) Teori Penemuan Hukum Penafsiran dalam hukum pidana merupakan suatu hal yang sangat penting, hal
tersebut karena dalam berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya
21
Hhtp://www.gumzkazama.wordpress.com/2013/02/07/pengertian-sulap-dan-sejarahsulap// h.2 diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 13.00 WITA 22
Ibid. h.3
23
penafsiran. Penafsiran tersebut dikarenakan hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat ini mengakibatkan nilai-nilai yang merupakan ukuran akan segala sesuatu juga ikut berubah. Hukum tertulis bersifat kaku dan tidak dengan mudah mengikuti perkembanngan masyarakat, ketika hukum tertulis terbentuk terdapat sesuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalankan barulah muncul persoalan mengenai hal yang tidak diatur.23 Norma seringkali dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga kurang jelas maksud dan artinya sehingga dalam menerapkan norma tersebut akan menemukan kesulitan. Kesulitan tersebut dapat terselesaikan dengan jalan menemukan hukumnya atau menafsirkannya. Hukum pidana yang berupa aturan-aturan tertulis disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimat-kalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan pada kehidupan secara nyata di dalam masyarakat menjadi hukum positif, dan akan efektif dan dirasakan mencapai keadilan dan kepastian hukum apabila dalam penerapannya itu sesuai dengan yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang tentang apa yang ditulis dalam kalimat-kalimat tersebut. Perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.24
23
Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers, Jakarta,
24
Ibid., h.3
h.1
24
Persoalan hukum di masa transisi setelah reformasi membutuhkan terobosan hukum. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, maupun hakim dituntut untuk mencari dan menemukan keadilan-keadilan dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada.
25
Hukum adalah teks dan
hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia. Sejak perilaku manusia berperan aktif dalam realisasi teks-teks hukum atau peraturan perundangundangan, maka hukum memasuki dunnia yang semakin kompleks. Manusia tidak lagi semata-mata dihadapkan pada teks hukum, melainkan juga pada kompleksitas perilaku manusia.26 Praktik menunjukkan tidak jarang dijumpai peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan dan meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan jelas. Peraturan perundang-undangan di dalamnya memang tidak ada yang selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. 27Kepentingan manusia juga akan terus berkembang sepanjang masa yang dalam hal ini hukum berfungsi melindungi kepentingan manusia tersebut. Sehubungan dengan peraturan tersebut maka peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar
25
Bernard L. Tanya , 2006, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 212
26
Satjipto Rahardjo, 2010, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, h.71
27
Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, h. 29
25
aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Manusia berfikir melalui bahasa, berbicara dan menulis juga dengan bahasa. Oleh karena itu tidak ada satupun diantara manusia mempunyai bahasa yang sama antara satu dengan yang lainnya.28 Metode penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang kongkret. Pengertian ini dapat dikatakan sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkret (das sein) tertentu. Inti dari penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret. Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang memenuhi aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfatan.29 Metode yang diteliti dalam penemuan hukum ini adalah metode interpretasi. Interprestasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Stephane Beaulac mengemukakan definitions or rules of interpretation in an enactment apply to all the provisions of the enactment,
28
Jazim Hamidi, 2011, Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir, UB Press, Malang, h.49 29
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum suatu Pengantar , Liberty, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), h.173
26
including the provisions that contain those definitions or rules interpretations30( definisi atau aturan intrepretasi dalam pemberlakuan berlaku untuk semua ketentuan berlakunya, termasuk ketentuan yang berisi definisi tersebut atau aturan definisi). Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang kongkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Interprestasi merupakan upaya menemukan makna yang sebenarnya dari tanda-tanda apapun yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide.31 Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi empat (4), yaitu interprestasi gramatikal, interprestasi sistematis, interprestasi historis, interprestasi teleologis. Di samping itu dikenal interprestasi komparatif dan interprestasi antisipatif. Berkaitan dengan penelitian ini, digunakan interprestasi historis yakni penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interprestasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang. Undangundang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau kebutuhan sosial untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dijelaskan secara historis. Metode interprestasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks
30
Stephane Beaulac, 2008, Handbook on Statutory Interpretations, General Methodology, Canadian Charter and International Law, Lexis Nexis, Canada, p.70 31
Gregory Leyh, 2014, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa Media, Bandung, h. 140
27
seluruh sejarah hukum disebut sebagai interprestasi menurut sejarah hukum.32 Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pada rumusan masalah pertama yakni untuk menafsirkan tujuan atau konsep rumusan terhadap pengaturan mengenai kekuatan gaib dalam hukum positif Indonesia. Penafsiran Antisipatif
atau futuristis yakni penafsiran yang digunakan untuk mencari
pemecahan masalah dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.33 Penafsiran ini relevan untuk menjawab permasalahan dalam rumusan masalah II.
2. Teori Kebijakan Hukum Pidana Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politeik”istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata politik. Oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan politik hukum pidana.34. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Sudarto pernah mengemukakan definisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari
32
Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h.78 33
Ibid. h.81
34
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.26
28
masyarakat
dalam
menanggulangi
kejahatan”
35
kebijakan
atau
upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat(social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.36 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Dengan demikian, kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), melalui kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa social welfare dan social defence. 37 Pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil luas lingkup dan
35
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.1
36
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit.,h.2
37
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 77
29
kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Adam Sutton menyatakan the fact that prevention involves identifying, then finding ways to solve, crime problems may seem blindingly obvious it is surprising how often the problem solving process negleted.38(fakta bahwa pencegahan melibatkan identifikasi, kemudian menemukan cara untuk memecahkan, masalah kejahatan mungkin nampak menyilaukan dan
jelas
mengejutkan serta seberapa sering proses pemecahan masalah menjadi gagal). Fenomena kejahatan dapat dengan mudah ditemui diberbagai tempat. Dari yang konvensional sampai white collar crime (kejahatanberdasi), dari yang lokal (primitif) sampai transnasional(canggih).39 Pencegahan kejahatan (politik kriminal), dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu dapat berupa penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media dari ketiga jenis penanggulangan diatas, yang pertama dikategorikan dalam jalur penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir dapat dikelompokan dalam jalur non penal (non pidana). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), sosial welfare dan social defence, di mana dalam social welfare dan social defence yang urgen 38
Adam Sutton, Adrian Cherney, and Rob white, 2008, Crime Prevention Principles, Perspectives and practices, Cambrige University Press, New York, p.26 39
Josias Simon Runturambi, 2003, Dukungan Sistem Kepercayaan dalam Kejahatan, Jurnal Hukum, Universitas Indonesia, h 2
30
adalah kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Karena itu, seharusnya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan integral yaitu keseimbangan sarana penal dan non penal.40 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial, serta keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal. Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan
dengan
keseluruhan
kebijakan
sosial
dan
perencanaan
pembangunan (nasional). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari masyarakat/modernisasi (antara lain penanggulangan kejahatan), maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.41 Pembentukan hukum, permulaanya adalah suatu perencanaan yang didasarkan pada situasi kenyataan kehidupan yang diarahkan kesatu tujuan yang tidak yuridis, yaitu suatu kepentingan atau usaha nilai yang akan dicapai diwaktu yang akan datang. Berkaitan dengan perbuatan yang menggunakan kekuatan gaib sudah lama dikenal dalam masyarakat hukum adat dan masyarakat mengakui keberadaan tersebut. Namun dalam praktek pembuktian tindak pidana ini sangat
40
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktis, Alumni, Bandung, h.398 41
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.6
31
sulit untuk dibuktikan, akan tetapi kriminalisasi dari perbuatan ini diperlukan untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat. Hubungan dengan konsep keadilan dan kultur hukum dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah hendaknya tidak terlepas dari apa yang menjadi tuntutan dari masyarakat, teori ini relevan digunakan untuk membahas persoalan rumusan masalah kedua dalam penulisan ini yang difokuskan terhadap kebijakan pengaturan perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib. 3. Teori Pemidanaan Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan seringkali diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan “hukuman” yang menurut para ahli hukum pidana dipandang kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubahubah sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan hukum pidana.42 Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik tersebut. Nestapa atau penderitaan tersebut bukan suatu tujuan akhir yang dicita-citakan masyarakat tetapi hanya suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk mencapai tujuan-tujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan
42
Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9
32
(maatregelen).
Tindakan
adalah
sanksi
yang
tidak
mengandung
sifat
pembalasan.43 Ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang berusaha mencari dasar pembenaran dari pidana, dapat diklasifikasi teori-teori tujuan pemidanaan sebagai berikut: a. Teori Retributif (retributive theory) atau Teori Absolut Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif adalah terletak pada adanya tindak pidana atau tindak pidana sendiri yang memuat unsur-unsur yang membenarkan pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan tindak pidana dan tidak untuk tujuan lain. Pidana adalah suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum yang terletak dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana dalam hal ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita susila.44 Dalam teori ini Hegel juga mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan kemerdekaan, oleh sebab itu kejahatan merupakan tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding (pembalasan dialektis)45 Berkaitan dengan keberadaan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menjadi masalah sosial perlu
43
Sigit Suseno, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, h.32 44
Ibid., h.33
45
105
Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.
33
menjadi pertimbangan dalam penegakan hukum sesuai dengan kaidah hukum pidana bangsa Indonesia. Proses kriminalisasi dalam perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting untuk mengapresiasi bentuk keinginan masyarakat terhadap suatu kejahatan yang sebelumnya belum ada pengaturannya secara tegas. Krimininalisasi suatu perbuatan harus juga mencakup sanksi atau pidana terhadap perbuatan yang dianggap merusak nilai-nilai serta sendi kehidupan masyarakat. Nigel Walker menjelaskan ada dua golongan penganut teori retribusi. Pertama, penganut teori retributive murni memandang pidana harus sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, penganut teori retributive tidak murni dipecah lagi menjadi: a. Penganut teori retributif terbatas (the limiting Retributivist) yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah, keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran. b. Penganut teori retributif distribusi (Retribution in Distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.46
46
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.37
34
Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan suatu perbuatan yang dipandang tercela, dengan demikian pelaku dari perbuatan tersebut sering menjadi korban dari main hakim warga masyarakat yang tidak menerima keberadaan praktik tersebut. Dalam hukum pidana, seseorang yang terbukti secara sah melakukan perbuatan melawan hukum harus dijatuhkan sanksi atau pemidanaan oleh aparat negara. Penjatuhan sanksi tersebut memperoleh dasar pembenar manakala suatu perbuatan kriminal yang merugikan korban sudah sepatutnya memperoleh balasan dalam bentuk pemidanaan. Pemidanaan atau hukuman penting untuk diberlakukan dalam rangka untuk menanggapi suatu bentuk tindakan jahat terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan mkekuatan gaib. b.Teori Relatif (utilitarian theory) Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah terletak pada tujuannya.Tujuan-tujuan pidana tersebut harus mempunyai kemanfaatan, misalnya untuk mempertahankan tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention) dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Menurut Remmelink dalam teori relative hubungan antara ketidakadilan dengan pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori sebagaimana teori absolute, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.47 Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib masyarakat adalah suatu noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa diperlukan. Menurut penganut teori tujuan menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang dikehendaki, yaitu pertama 47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 16
35
efek pencegahan (deterent effect). Pidana biasanya mempunyai nilai karena mencegah pelaku tindak pidananya dan mencegah yang lainnya untuk melakukan tindak pidana serupa. Kedua, pidana untuk memperbaiki pelaku pidana. Pidana dapat mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai keinginan untuk menghalangi ketertiban sosial dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.48 Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi umum dan teori prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan untuk mencegah agar orang pada umumnya melakukan tindak pidana dan mencegah rakyat pada umumnya untuk melakukan tindak pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak pada pertama, penjatuhan
pidana
yang bersifat
menakutkan.
Pandangan ini
menitikbertakan pada eksekusi pemidanaan yang dipertunjukan kepada umum sehingga menakutkan anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana yang berat tersebut dilakukan di muka umum. Kedua, unsur utama yang dapat menahan niat jahat manusia untuk melakukan tindak pidana terletak pada sanksi pidana. Menurut Von Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan secara kejiwaan atau daya paksa psikis yang dapat mencegah manusia melakukan tindak pidana. Menurut Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga bentuk pengaruh, yaitu: 1) Pengaruh pencegahan 2) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral 48
Sigit Suseno, Op.Cit., h.34
36
3) Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum.49 Salah satu seorang penganut teori prevensi umum, Van Veen menyatakan bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi yaitu50: 1) Menjaga dan menegakan wibawa penguasa, yaitu yang berperan dalam perumusan tindak pidana yang langsung bersinggungan dengan wibawa pemerintah. 2) Menjaga (pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum 3) Pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatanperbuatan tertentu dianggap asusila sehingga tidak diperbolehkan. Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus mengoreksi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam prevensi umum. Dalam konteks keberadaan perbuatan yang berkaitan dengan media kekuatan gaib masih menuai kontroversi dari berbagai ahli hukum, salah satu upaya dari hukum untuk melindungi masyarakat dari keberadaan kejahatan dengan menggunakan media kekuatan gaib ialah dengan melakukan kriminalisasi dengan mencatumkan sejumlah ancaman sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut. Dasar dari pemidanaan dari segi tujuan ialah ancaman tersebut mampu untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
49
Sigit Suseno, Op.Cit. h. 35
50
Sigit Suseno, Op.Cit., h.36
37
b. Teori gabungan Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada pembalasan (teori absolute) dan tujuan pidana yang bermanfaat (teori tujuan). Menurut Utrecht teori-teori gabungan dapat dibedakan dalam tiga golongan: a. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi batas yang diperlukan dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Terhadap kejahatan dengan menggunakan media kekuatan gaib adalah sebuah kejahatan yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak biasa, atau dapat juga dikategorikan sebagai kejahatan yang dilakukan dengan cara yang luar biasa diluar nalar manusia biasa, sehingga penghukuman yang dijatuhkan merupakan suatu pembalasan.51 b. Teori-teori
gabungan
yang
menitikberatkan
pada
mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan. c. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Teori pemidanaan digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam rumusan masalah dua (2) yang berkaitan dengan dasar pembenaran penjatuhan sanksi dalam perumusan aturan yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
51
Sigit Suseno, Op.Cit., h.37
38
4. Teori Hukum Integratif Pembangunan hukum di era reformasi sampai saat ini tengah mengalami tantangan perubahan, baik di dalam negeri maupun dalam fora hubungan internasional. Tantangan perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang tengah mengalami masa transisi dari sistem otoritarian memasuki sistem demokrasi tidaklah cukup diatasi dengan melakukan perubahan-perubahan, baik dibidang perundang-undangan, perekonomian dan politik, melainkan harus diikuti dengan perubahan, cara pandang dan sikap masyarakat dan birokrasi tentang baik buruknya atau kuat lemahnya sistem baru yang akan dianut bagi kepentingan masa depan bangsa.52 Teori
hukum
pembangunan
dari
Mochtar
Kusumaatmaja
dalam
menghadapi tantangan perubahan dimaksud mengandalkan hukum sebagai kekuatan normatif yang harus berakar pada masyarakatnya, akan tetapi pada saat yang sama hukum harus diberdayakan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakatnya lebih utama dibandingkan dengan perubahan sikap dan perilaku birokrasi dalam sistem pemerintahan birokrasi Indonesia. Teori hukum progresif tidak mengakui kelebihan kekuatan normatif dari hukum tertulis atau undangundang sebagai sarana untuk menemukan solusi dalam kehidupan masyarakat karena semua produk hukum tertulis dipandang selalu mencerminkan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan keadilan rakyat.53
52
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising,Yogyakarta, h.94 53
Ibid., h.95
39
Teori hukum progresif
dari Satjipto Rahardjo memandang kekuatan
hukum tiada lain merupakan pencerminan dari kehendak pemegang kekuasaan di mana manusia tidak diberdayakan sebagai subjek hukum yang harus dihormati melainkan justru telah dijadikan korban dari kekuasaan melalui hukum yang telah dibuatnya. Menurut Satjipto Rahardjo, kekuasaan “authoritative” dalam hukum merupakan penyebab terjadi penyimpangan terhadap fundamental hukum yaitu hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Melalui Teori hukum progresif, Satjipto hendak mengembalikan hukum kepada jalur yang seharusnya (on the right track) dan untuk itulah beliau berpendapat diperlukan terobosan-terobosan hukum (legal breakthrough, bukan legal breaking) atau terobosan besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum.54 Bertolak dari pandangan kedua guru besar hukum Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hukum menurut Mochtar merupakan sistem norma (system of norms) dan menurut Satjipto, hukum sebagai sistem perilaku (systems of behavior), maka dilengkapi bahwa hukum dapat diartikan dan juga seharusnya diartikan sebagai sistem nilai (system of values). Ketiga hakikat hukum dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan pemikiran yang cocok dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisonal masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai(values) moral dan sosial.55
54
Ibid.,h.96
55
Ibid.,h. 97
40
Ketiga hakikat hukum dalam satu wadah pemikiran Romli Atmasasmita disebut “tripartite character of the Indonesian legal theory of Social and Bureucratic Engineering (SBE)”. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang disebut sebagai Teori Hukum Integratif. Ketiga karakter hukum tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa setiap langkah pemerintah dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum merupakan kebijakan berlandaskan sistem norma dan logika berupa asas dan kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum harus dapat diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis.56 Negara demokratis dapat dibentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human rights), dan akses masyarakat memperoleh keadilan(acces to justice). Dalam konteks negara Indonesia, ketiga pilar tersebut harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Ikatan Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sistem norma dan sistem perilaku yang berkeadilan sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan hukum pada masyarakat dan birokrasi. Inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah merupakan perpaduan pemikiran Teori Hukum pembangunan dan Teori Hukum Progresif.57
56
Ibid., h.98
57
Romli Atmasasmita , Loc.Cit.
41
Teori Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang dinamis, tidak bersifat status quo, dan pasif, melainkan hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat nasional dan internasional dari waktu ke waktu. Selain itu, Teori Hukum Integratif dapat dikembangkan sebagai model analisis hukum yang bersifat komprehensif dan holistik dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan nasional dan internasional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan tidak akan mendegradasikan kepentingan nasional di segala bidang melainkan akan tetap memelihara karakteristik lokal serta menyesuaikan perkembangan internasional ke dalam sistem hukum lokal dan sebaliknya secara proposional.58 Pandangan teori hukum integratif dengan
dari
Romli Atmasasmita berbeda
pandangan dengan teori Hukum pembangunan dari Mohctar
Kusumaatmaja dan teori hukum progresif dari Rahardjo karena teori hukum intergratif tidak hanya menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan nasional dalam konteks “inward looking” melainkan juga dalam konteks pengaruh hubungan internasional ke dalam sistem kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan dalam praktik hubungan internasional di tengah era globalisasi sering terjadi bahwa negara berkembang termasuk Indonesia telah menjadi “korban” dari sikap negara maju yang bersifat hipokrit dan lebih mementingkan kepentingan nasionalnya dari kepentingan kemajuan bersama bangsa-bangsa negara berkembang.59 58
59
Romli Atmasasmita, Loc.Cit.
Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.105
42
Berdasarkan dari pertimbangan tersebut, hukum sebagai sistem nilai sangat penting dan tetap relevan dalam proses pembaharuan masyarakat saat ini ditengah berkembangnya ideologi globalisasi. Pandangan tersebut relevan dengan pandangan aliran Sejarah Hukum (Von Savigny) yang telah menegaskan bahwa hukum harus sesuai dengan jiwa bangsa (volkgeist), dan dalam arti negatif, hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny harus diartikan bahwa akseptabilitas dan kredibilitas hukum di Indonesia terletak pada sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam hukum telah sejalan dan sesuai dengan Pancasila yang telah didaulat sebagai jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental (fundamental values), menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Karakter Pancasila, yang memegang paham “berbeda-beda dalam satu kesatuan” ini, bertentangan secara diametral dengan membentuk satu kesatuan pemikiran, sikap dan nilai ke dalam wadah satu dunia tanpa mempertimbangkan dengan teliti kenyataan adanya perbedaan-perbedaan, baik secara geografis, kultur, etnis dan keagamaan agama, termasuk dalam bidang hukum (heterogenitas hukum)60. Teori ini relevan untuk membahas permasalahan dari rumusan masalah kedua yakni bagaimana kebijakan pengaturan kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
60
Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.106
43
5. Teori Kriminalisasi Kejahatan dan perilaku menyimpang adalah masalah kemanusiaan sekaligus masalah sosial, dan karena keberadaannya hampir bersamaan dengan usia manusia maka disebut sebagai the oldest social problem (masalah sosial tertua).61 Sedemikian itu, maka hukuman menjadi suatu fakta yang sudah diterima dalam
kehidupan
manusia,
sekalipun
berbeda-beda
bentuk
dan
cara
pelaksanaannya, tetapi hukuman adalah the universal response to crime and deviance in all societies62(respon yang universal terhadap kejahatan dan penyimpangan terhadap masyarakat) Kriminalisasi tidak lain adalah penetapan yuridis atas suatu perilaku atau tindakan sebagai perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik berupa kejahatan maupun berupa pelanggaran. Perintah atau larangan terhadap suatu perbuatan dalam peraturan hukum pidana, secara umum telah terlebih dahulu ada dan diatur dalam bentuk norma, baik norma agama, norma etika dan kesusilaan, adat istiadat serta kebiasaan yang ada, dipelihara dan ditaati bersama dalam pergaulan hidup suatu masyarakat. Norma atau aturan dasar yang hidup dalam suatu masyarakat bahkan telah mengakar dengan begitu kuat sehingga dijadikan sebagai ajaran moral, jika ada anggota masyarakat yang tidak mentaati norma-norma itu maka masyarakat tersebut dinilai melakukan tindakan amoral.63
61
Barda Nawawi Arief II, Op.Cit. h.73
62
Heru Permana, 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 11
63
Ibid., h.12
44
Hukum
pidana,
dengan
melalui
proses
kriminalisasi
kemudian
menegaskan kembali kejahatan atau perilaku menyimpang itu sebagai perbuatan pidana, dan karenanya maka setiap orang yang melanggar aturan tersebut, patut dipidana. Kebijakan yang paling menentukan dalam proses kriminalisasi adalah kebijakan legislasi dalam proses legislasi, meliputi perumusan tindak pidana, penetapan besar dan bentuk ancaman hukuman, siapa saja yang diposisikan sebagai korban. Kebijakan legislasi, dilaksanakan dalam tiga tahapan penting, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. 64 Kriminalisasi pada umumnya berkaitan erat dengan moralitas, karena itu maka penting pula untuk memperhatikan hubungan antara kriminalisasi dan moralitas dalam rangka pembentukan hukum nasional. Sudarto juga menegaskan bahwa kriminalisasi diperlukan terhadap perbuatan yang amoral dan mendatangkan kerugian materiil dan spiritual bagi masyarakat.65 Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah:66 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, 2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Berdasarkan dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam menanggapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering
64
Barda Nawawi Arief, 2007, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Undip, Cet.Keempat (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III), Semarang, h.35 65
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.30
66
Ibid., h.36
45
disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penenguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil 4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).67 Beranjak dari empat (4) hal di atas, ketika memformulasi perbuatan yang dikriminalisasi perlu dipertimbangkan juga faktor lainnya yang berupa perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil dan immaterial baik yang nyatanyata ada dan dapat diperhitungkan besarannya maupun kerugian yang mungkin ada atau potensi kerugian yang akan diderita masyarakat. Kesamaan persepsi diantara lembaga terkait tentang pentingnya kriminalisasi terhadap perbuatan dimaksud, misalnya lembaga penegak hukum dan lembaga-lembaga yang tugas pokok dan fungsinya berkenaan dengan penanganan masalah yang akan diatasi. Sikronisasi antara perbuatan yang dikriminalisasikan dengan ketentuan dalam perundangan lainnya, baik yang setara maupun yang lebih tinggi hirarkinya. Kesiapan aparat penegak hukum, baik skill maupun knowledge serta kondisi sosial masyarakat terutama kesiapan masyarakat dalam memberi kontribusi terhadap penerapan dan penegakan perbuatan yang akan dikriminalisasi.
67
39
Teguh Prasetyo, 2010, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung h.
46
Kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:
1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai, 2) Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari, 3) Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainya dalam pengalokasian sumber daya manusia, 4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh pengaruhnya yang sekunder.68
Teori kriminalisasi dalam penelitian mengenai kebijakan
pengaturan
perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib berdasarkan konsep mengenai kekuatan gaib yang digunakan untuk melakukan kejahatan, walaupun sebelumnya telah ada pengaturan berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib dalam rumusan norma, akan tetapi konsep yang digunakan berbeda dengan konsep kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana. teori ini relevan digunakan untuk membahas permasalahan dalam rumusan masalah kedua yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana.
68
Ibid., h.40
47
1.7.4
Kerangka Berpikir Kebijakan Pengaturan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dianggap sangat berbahaya terutama bagi kalangan komunitas lokal yang jauh dari masyarakat perkotaan sering terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh mengunakan kekuatan untuk melakukan kejahatan, sehingga penting untuk mengkaji norma dalam KUHP yang tidak jelas dari segi definisi dan RUU KUHP berkaitan dengan pengaturan kekuatan gaib yang banyak menimbulkan multi tafsir.
Bagaimana pengaturan perbuatan dengan mengunakan kekuatan gaib dalam KUHP
Bagaimana pengaturan perbuatan dengan kekuatan gaib dalam pembaharuan hukum pidana di masa mendatang
Teori penafsiran historis, teori kebijakan hukum pidana
Teori penafsiran antisipatif atau futuristik, teori kebijakan hukum pidana, teori pemidanaan, teori hukum integratif, teori kriminalisasi
Sasaran Penelitian Mengkaji dan menganalisis mengenai kekaburan norma dalam pasal 546 KUHP yang merumuskan kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk kepercayaan, serta mengkaji dan menganalisis perumusan pasal kekuatan gaib dalam RUU KUHP yang menimbulkan banyak multitafsir sehingga nantinya tidak relevan digunakan sebagai sarana pencegahan terhadap keberadaan praktik-praktik kekuatan gaib yang banyak menimbulkan tindakan main hakim sendiri
48
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian hukum ini menggunakan kajian secara yuridis normatif yang dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain, dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya.69 Penelitian hukum normatif memiliki ciri-ciri, beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dalam tulisan ini beranjak dari adanya kekaburan norma terhadap pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam KUHP, tidak menggunakan hipotesis, dan menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas.70 1.8.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif dikenal metode pendekatan antara lain; pendekatan analisis konsep (analitycal concept approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan frasa (word and phrase approach), pendekatan sejarah ( historycal approach), pendekatan perbandingan (comparative approach).71Dalam penulisan penelitian ini digunakan
69
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.25
70
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
h.107 71
Johnny Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, h.300
49
pendekatan analisis konsep hukum, analisis perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.72 Sumber bahan hukum dari penelitian ini meliputi : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yakni KUHP dan mengenai kriminalisasi penelitian-penelitian,
RUU KUHP 2012
kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib,
atau
dokumen-dokumen
yang
berkaitan
dengan
penelitian ini. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dibidang hukum, literatur hukum dan sebagainya.73 3) Bahan hukum tersier berupa kamus dan buku pegangan (hand Out)74 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Pengumpulan bahan dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen, yaitu dengan menganalisa data-data primer yang berkaitan dengan objek penelitian ini serta pencatatan yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan bahan-bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier) yang terkait dengan permasalahan, selanjutnya dilakukan pencatatan terhadap bahan-bahan hukum 72
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
h.98 73
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 142 74
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta (selanjutnya disebut sebagai Soerjono Soekanto I), h.52
50
yang relevan secara singkat dalam lembaran yang disediakan. Bahan-bahan hukum tersebut didapat baik dari perpustakaan maupun juga melalui pencarian bahan dan bantuan internet. 1.8.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu dengan mengolah bahan hukum secara kualitatif artinya bahan-bahan hukum yang relevan diolah dengan melihat kualitas kegunaan. Teknik analisa bahan hukum dengan menggunakan teknik
deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti pengambaran/uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik interpretatif yaitu berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum yakni digunakan salah satu penafsiran dalam penelitian ini yani penfasiran historis yang digunakan untuk mengkaji kekaburan norma mengenai kekuatan gaib dalam KUHP, penafsiran antisipatif yang digunakan untuk mengkaji norma mengenai pengaturan perbuatan gaib dalam RUU KUHP. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik evaluasi yakni penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, dalam perumusan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP . Selanjutnya diikuti dengan teknik argumentasi yang tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERBUATAN, KEKUATAN GAIB, PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
2.1 Pengaturan Kejahatan dalam Hukum Pidana Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (inggris) atau politiek (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. istilah kebijakan hukum pidana berasal dari kata “kebijakan” dan “hukum pidana” sebagaimana menurut Sudarto yang mengemukakan: Masalah “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.75 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah: a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari suatu negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
75
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.27
51
51
52
digunakan untuk mengepresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan76 Berdasarkan dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.77 Menurut A.Mulder dalam Barda Nawawi Arief Strafrechtpoliteik ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui. b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
76
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Cet. Ke-5, h. 32
77
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h. 28
53
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian sistem hukum pidana menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: a.
peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya,
b. Suatu prosedur hukum pidana c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.78 Hukum pidana merupakan seperangkat dogma, sistem aturan serta norma yang menempatkan tingkah laku individu manusia sebagai objek sekaligus subjek utama dalam pengaturannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana memiliki fungsi mempertahankan ketertiban dan memelihara keteraturan yang terdapat dalam tata pergaulan masyarakat. Namun adapun keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, berikut diungkapkan oleh para sarjana antara lain: a. Rubin menyatakan bahwa pemidaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. b. Schultz mengatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahanperubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat. c. Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita. d. Wolf Middendorf menyatakan bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari general deterrence karena mekanisme pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin menanggulanginya lagi 78
Barda Nawawi Arief I, Loc.Cit.
54
tanpa hubungan ada tidaknya undang-undang pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang terhadap pidana.79 Kebijakan formulasi hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha untuk membentuk atau merumuskan suatu perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dalam peraturan perundang-perundangan bahwa perbuatan tersebut dapat mengancam kesejahteraan masyarakat dan menganggu ketertiban umum yang bertujuan untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam hukum pidana merupakan suatu upaya untuk merumuskan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam perkembangan hidup masyarakat yakni terhadap nilai ketertiban, menganggu kedamaian dalam hidup masyarakat serta nilai-nilai keadilan dalam masyarkat. Kebijakan pengaturan kejahatan dalam hukum pidana sebagai salah satu tanggung jawab negara untuk menjaga dan menjamin kedamaian hidup bermasyarakat, berbangsa serta sebagai wujud perlindungan Hak Asasi Manusia. Hukum pidana di indonesia mengenal dua jenis perumusan delik yakni: 1) Delik Formil Delik formil dalam bahasa indonesia ialah delik yang oleh pembuat undang-undang dirumuskan secara formil, dengan kata lain undang-undang pidana cukup menguraikan perbuatan yang dilarang saja dan tidak menyebut akibat perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 161 KUHP (Penghasutan),
79
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.54
55
263 KUHP (Pemalsuan Surat), Pasal 362 KUHP (Pencurian) dan selanjutnya semua delik-delik omissie. Penuntut umum yang menghadapi delik formil, yaitu hanya menguraikan perbuatan yang dilarang, tidak perlu menulis akibat perbuatan itu ke dalam surat dakwaannya dan tidak perlu ia membuktikannya. Misalnya bahwa korban pencurian menderita kerugian. Pasal 285 KUHP hanya mengancam pidana barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh (perbuatan aktif atau positif). Tidak disyaratkan bahwa perempuan itu hamil (akibat), karena pasal tersebut tidak bertujuan untuk mencegah kehamilan, tetapi melindungi perempuan dari nafsu birahi jahat lelaki.80 Delik sumpah palsu yang merupakan delik formil
yang tidak
menimbulkan halangan baik pemilik barang, dan pada delik penghasutan yang ternyata tidak menimbulkan efek bagi yang dihasut, keadaan itu tidak dapat dijadikan alasan bagi terdakwa untuk dibebaskan. Akibat penghasutan dan akibat pengucapan sumpah palsu tidak disebut sebagai unsur delik. Contoh delik formil ialah menurut Pasal 156 KUHP, yaitu di depan umum menyatakan perasaan permusuhan atau kebencian atau pun penghinaan terhadap suatu golongan rakyat indonesia, tidak mensyaratkan adanya akibat. 2) Delik Materiil Delik Materiil adalah delik yang dirumuskan oleh pembuat undangundang dengan mensyaratkan adanya akibat yang dilarang. Di dalam aturan undang-undang perbuatan yang menjadikan 80
timbulnya akibat kadang-kadang
Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 360
56
juga ikut dirumuskan dan sering tidak dimasukkan sebagai unsur konstitutif delik itu. Delik materiil mengandung unsur akibat, seperti delik pembunuhan. Perbuatan tidak diuraikan dalam Pasal 338 KUHP, yang berarti perbuatan apa saja yang membawa akibat kematian orang lain termasuk pembunuhan, misalnya menikam, memukul, menembak, meracun, melempar orang ke dalam jurang, mengenakan ilmu hitam selama dapat dibuktikan. Bila perbuatan untuk menghilangkan nyawa orang lain belum terjadi, tetapi sudah dilakukan perbuatan pelaksanaan kesengajaan, maka yang terjadi ialah percobaan pembunuhan. Contoh lain ialah penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, bahwa apa yang dimaksud penganiayaan tidak dijelaskan oleh KUHP.
Pasal 351 (4) KUHP memperluas pengertian
penganiayaan dengan memberikan penafsiran autentik, yang menyatakan dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.81 Beberapa pengarang berpendapat bahwa perbedaan antara delik formil dan delik materiil ialah bahwa perbuatan dan akibat yang tidak diinginkan terwujud bersamaan, yang waktu dan tempat terjadinya tidak dapat dipisahkan, sedangkan delik materiil tidaklah demikian halnya. Menurut Hazewinkel-Suringa pendapat demikian tidak selalu benar. Beberapa delik formil dapat dilakukan dengan perbuatan yang tidak selalu terjadi bersamaaan dengan akibat. Misalnya surat dengan menggunakan bahan kimia, yang bekerjanya lambat. Sebaliknya, dapat terjadi perbuatan dan akibat yang terjadi jatuh bersamaan, misalnya menabrak orang lain yang mengakibatkan korban mati pada saat dan ditempat yang bersamaan. Beberapa pengarang juga berpendapat bahwa pembedaan delik formil
81
Ibid., h.361
57
dan delik materiil penting dalam hal terjadi percobaan dan penyertaan. Percobaan untuk melakukan delik formil terjadi apabila pelaku delik telah melakukan sebagian perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Percobaan untuk melakukan delik materiil telah terjadi apabila perbuatan pelaksanaan sedemikian sifatnya, sehingga akan menimbulkan akibat yang dilarang.82 Perumusan suatu perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang sangat penting dalam rangka untuk menjamin hak-hak warga masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Pembedaan rumusan delik formil dan delik materiil dilakukan untuk mengidentifikasikan bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang menurut hukum serta dalam rangka untuk menjangkau perbuatan-perbuatan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat, seperti keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang tidak dapat dirumuskan secacra materiil oleh karena terkendala masalah pembuktian yang tidak dapat dijangkau oleh hukum. Akan tetapi untuk mencegah maraknya praktek-praktek kejahatan tersebut serta untuk mengantisipasi tindakan main hakim sendiri terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib maka pengaturan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk delik formil.
2.2 Kejahatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib Kejahatan tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika masyarakat dan pembangunan. Berkenaan dengan hal tersebut, H.R Abdussalam dan DPM Sitompul mengemukakan bahwa bertambahnya masyarakat dan gencarnya
82
Ibid., h. 362
58
pembangunan, maka kejahatan akan semakin meningkat.83 Kejahatan merupakan perilaku anti sosial sebagaimana dikemukakan Robert M.Bohm dan Keith N. Haley bahwa “a typical social definition of crime is behavior that violates the norms of society, or more simply antisocial behavior”84( definisi sosial yang khas dari kejahatan adalah perilaku yang melanggar norma-norma masyarakat, atau perilaku antisocial). Pernyataan tersebut dapat diakui kebenarannya dewasa ini, muncul dan berkembangnya berbagai bentuk kejahatan dengan berbagai modus operandi atau dimensi baru, tidak terlepas dari pengaruh dinamika masyarakat dan pembangunan, khususnya pembangunan dibidang perekonomian serta ilmu pengetahuan dan teknologi. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.85 Mien Rukmini mengemukakan bahwa kejahatan merupakan bagian dari kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari. 83
H.R. Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, h.1 84
Robert M.Bohm and Keith N. Haley, 2007, Introduction to Criminal justice, McGrawHill, New York, p.31 85
Abintoro Prakoso, 2013, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, h. 45
59
Perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan, dan berbagai bentuk perilaku sejenis, menunjukkan dinamika sosial.86 Kejahatan diartikan juga sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak.87 Kejahatan dipandang sebagai suatu perbuatan yang meresahkan dan menggangu ketertiban sosial serta menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sehingga kejahatan memerlukan suatu penegakan yang serius oleh hukum dalam suatu negara. William J. Chambliss mengatakan “ crime as any antisocial act that threatens the exiting social structure or the fundamental well being of humans .88 (kejahatan sebagai tindakan antisocial yang mengancam struktur sosial atau kesejahteraan masyarakat). Kejahatan merupakan perbuatan yang antisosial dalam masyarakat, yang dianggap mengganggu ketertiban dalam kehidupan masyarakat yang dapat menimbulkan kerugian dalam bentuk materiil maupun immateriil. Sudah dikemukakan di atas bahwa kriminologi memiliki peranan penting untuk menentukan suatu perbuatan bertentangan
dengan nilai-nilai
kehidupan
masyarakat. Menurut Freda Alder, “criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomenom. It includes wthin its scope the process
86
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi s(Sebuah Bunga Rampai), Alumni, Bandung, h.81 87
Muhammad Mustofa, 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.9 88
William J. Chambliss and Aida Y.Hass, 2011, Criminology, Connecting Theory, Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS, h.7
60
of making laws, of breaking laws, and of reacting toward the breaking of laws ”89 (kriminologi adalah tubuh pengetahuan tentang kejahatan sebagai fenomena sosial. Ini termasuk dalam ruang lingkup proses pembuatan undang-undang, melanggar hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum). Kriminologi dapat didefinisikan sebagai suatu pengetahuan empiris yang mempelajari dan mendalami secara ilmiah kejahatan dan orang yang melakukan kejahatan (penjahat). Berdasarkan pandangan para pakar hukum pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa kejahatan adalah tiap kelakuan yang merugikan, merusak dan menganggu ketertiban umum yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencela dan mengadakan perlawanan
terhadap kelakuan tersebut dengan jalan
menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut melalui sarana hukum pidana. Uraian terdahulu telah menyinggung bahwa fenomena kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib berkaitan erat dengan kebudayaan dan religi yang hidup di tengah-tengah masyarakat indonesia. Terkait dengan keberadaan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diklasifikasikan sebagai ilmu hitam (black magic), merupakan jenis ilmu sihir untuk mengendalikan suatu kejadian, objek, orang dan fenomena lainnya secara mistis atau supranatural dengan perantara orang yang ahli dalam bidangnya (paranormal). Black magic termasuk 89
ditentang
oleh
masyarakat
karena
karakternya
yang
dapat
Freda Adler, Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc Graw Hill, AS, p.10
61
menyengsarakan orang lain, sedangkan white magic atau ilmu putih mempunyai karakter yang baik dan fungsinya dapat menolong orang yang sedang kesusahan, seperti menyembuhkan penyakit, untuk mengusir wabah penyakit, dan sebagainya. Kejahatan dengan kekuatan gaib identik dengan suatu kekuatan gaib yang bertujuan ke arah negatif, karena sifatnya yang mencelakakan bahkan dapat membahayakan nyawa orang lain. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dikenal misalnya ilmu hitam, santet, teluh, susuk, pesugihan, leak (di Bali), sedangkan di negara-negara lain ilmu hitam yang dikenal yaitu voode dari Haiti.90 Praktek dukun voodoo di Afrika, juga sihir (tenung) di indonesia dapat dikatakan sebagai praktek sorcery (praktek ilmu tenung) yang berkaitan dengan fungsi dukun sebagai tukang tenung. Berkaitan dengan fungsi dukun sebagai sorcerer yang melakukan praktik kejahatan dengan kekuatan gaib didasarkan atas permintaan seseorang (juga dalam white magic), maka dapat diketahui bahwa santet, sihir berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat. Sebagai contoh, penolakan cinta, sehingga minta pertolongan pada dukun untuk diberi pengasihan agar bisa memikat hati orang yang telah melakukan penolakan cinta melalui mantera dari dukun. Hal tersebut juga untuk menyelesaikan sengketa antar warga, misalnya saja masalah warisan, sengketa tanah, batas pagar rumah yang dapat menimbulkan dendam berkepanjangan, mengobati penyakit, mengusir wabah, dan lain-lain.91
90
http:www//indoskeptics.wordpress/2014/04/11/voodoo-dan-santet-fakta-ataufiksi//.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2014 pukul 13.00 Wita 91
Mohammad Sobary, 1997, Fenomena Dukun Dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus, Jakarta, h.113
62
Beberapa contoh fungsi santet, sihir, dan ilmu gaib lainnya tersebut dapat diketahui memiliki fungsi jahat atau baik bagi masyarakat tergantung pada tujuan dari seseorang yang menyuruh melakukan perbuatan jahat tersebut. tidak jarang pula ilmu gaib termasuk di dalamnya santet dan sihir memiliki kekuatan yang sakti, sehingga dapat dipergunakan untuk mengutuk atau menyumpahi orang yang dimaksud oleh seseorang yang menyuruh melakukan. Oleh karena itu ilmu gaib yang bersifat negatif mempunyai fungsi kontrol dalam masyarakat dengan kata lain untuk mengurangi atau bahkan menambah konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi, karena di satu sisi timbul rasa saling curiga antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, dengan menuduh seorang warga menjadi dukun santet dan melakukan praktek-praktek ilmu hitam. Karakter jahat yang ditimpakan masyarakat kepada seseorang yang menjalankan praktek perdukunan dalam ilmu hitam dapat dipandang sebagai orang jahat. Sehubungan dengan stigma orang jahat yang ditujukan kepada orangorang yang menjalankan praktek perdukunan ilmu hitam in dapat diketahui sejak jaman Kerajaan Majapahit.92 Dalam hal ini perbuatan tenung dipandang sebagai perbuatan tercela. Pada teori labeling (pemberian nama) kedudukan perilaku penjahat tidak ditekankan, dalam teori ini yang ditekankan adalah reaksi masyarakat terhadap penjahat. Sehingga dalam prakteknya harus ada reaksi masyarakat terhadap perbuatan si penjahat. Demikian pula pada dukun yang sering menjadi sasaran amuk massa, sebagai akibat dari reaksi masyarakat pada perbuatan jahat yang dilakukan oleh dukun tersebut.
92
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 290
63
Semakin maraknya praktek perdukunan dan klenik yang menggunakan sihir dilandasi oleh adanya anggapan bahwa untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan terhadap orang yang dipandang sebagai lawan, santet, sihir merupakan cara yang paling efesien dan tidak ada resiko untuk berhadapan langsung dengan pihak yang berwajib. Sekalipun perbuatan tersebut adalah dosa menurut agama yang dianut, namun perbuatan tersebut masih ada yang memerlukannya. Dengan kata lain, santet dan sihir memiliki fungsi dan peran sangat penting dalam masyarakat, karena penggunaan ilmu gaib tersebut terkait dengan masalah kuat tidaknya keyakinan beragama dan perasaan kesusilaan masyarakat. Ilmu gaib berkaitan dengan metafisika yang merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar pengalaman manusia. Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika (Mistik) adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata.
93
Metafisika
membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindra. Pengertian secara umum, Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional. Pengertian mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada panca indera dan rasio. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi, metafisika merupakan cabang filsafat yang
93
Jujun S. Suriasumantri, 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 64
64
membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan”, yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal yang berlaku pada umumnya, atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.94 Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang Filsafat pertama, yang menyatakan ontology : the theory of being qua being. for aristoteles, the first filosofhy, the science of the essece of things.95(teori mengenai keberadaan sesuatu, aristoreles, filosofi pertama, adalah ilmu tentang hakikat suatu hal). Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Pengetahuan metafisika (mistik) adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.96 Tafsiran paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat ghaib (supranatural) dan wujud ini lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animisme, mengembangkan metafisika bahwa alam dan manusia dikuasai oleh wujud-wujud yang bersifat ghaib dan magis. Misalnya, roh-roh yang bersifat ghaib terdapat pada benda.
94
Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:www// media/ilmu/.co.id, diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 h.2 95
Dagobert.D.Runes, The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New york, h.
219 96
Suryadi, Op.Cit., h.3
65
Seperti batu, pohon, merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme.97 Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural karena naturalisme hanya menerima pandangan yang menyatakan bahwa ada itu semata-mata realitas alam. Materialisme yang merupakan turunan naturalisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan ghaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.98 Pertama, mereka yang memiliki kemampuan
atau pengaruh melalui
kekuatan mental itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau roh jahat. Para filosof menyebut mereka ini sebagai ahli sihir dan kekuatan mereka luar biasa. Kedua, mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan menggunakan watak benda-benda atau elemen-elemen yang ada di dalamnya, baik benda angkasa atau benda yang ada di bumi. Inilah yang disebut jimat-jimat yang biasa disimbolkan dalam bentuk benda-benda materi atau rajah. Ketiga, mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi sehingga menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi.99 Secara ontologi, ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan 97
Suryadi, Op.Cit., h.4
98
Suryadi, Op.Cit., h.5
99
Suryadi, Op.Cit., h.7
66
yang benar, sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik yang berada di luar pengalaman manusia atau akal sehat manusia tersebut akankah dapat ditinjau secara perspektif filsafat ilmu atau hanya melalui perspektif filsafat saja. Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Dalam hal ini mistik sebagai budaya hukum yang berakar dari suatu kebudayan suatu masyarakat, artinya mistik dapat dilihat dengan perspektif keilmuan dalam hal ini ditinjau melalui filsafat ilmu. Pandangan dari aspek filsafat ilmu, diketahui bahwa mistik juga merupakan bagian dari objek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling universal dan sesuatu yang di luar kebiasaan (beyond nature). Mistik sendiri merupakan suatu yang universal dan seringkali merupakan suatu hal di luar kebiasaaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan manusia. Metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif tentang segala hal yang ada.
100
membahas mengenai epistemology mistik, berarti
berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik ini diantara rasa, hati, dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau rasio akal manusia. Menurut teori Robert K.Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek terhadap
100
jiwa
atau
kepercayaan
Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit.,h.64
diri
bagi
mereka
yang
memang
67
mempercayainya.101Dengan demikian aspek epistemologi hal gaib diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkulturasian, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk menjadi budaya hukum. Pada akhirnya berdasarkan aspek aksiologis kegunaan utama dari mistik atau kegaiban adalah selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkulturasian dalam kebudayaan. Dari hal tersebut pada hakekatnya keberadaan terhadap suatu hal-hal yang bersifat kegaiban dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dan cenderung digunakan sebagai media untuk melakukan kejahatan. Objek dari mistik tersebut merupakan objek yang gaib, kasat mata dan supra rasional. Maka cara memperolehnya sering kali tidak menggunakan akal rasional. Gaib dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi dijelaskan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra.102 Kehadiran mistik ke dalam budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai perilaku manusia dan budaya. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai halhal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
101
102
Suryadi, Op.Cit., h.9
Ahmad Tafsir, 2004, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung, h.52
68
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kekuatan gaib adalah suatu kekuatan yang bersumber dari sesuatu yang tidak terlihat, tersembunyi, tidak nyata, tidak diketahui sebab-sebabnya, menjadi rahasia, mistis, misterius, dan semua hal yang tidak dapat dilihat atau dirasakan oleh panca indra orang-orang biasa kecuali oleh mereka yang memiliki kelebihan untuk merasakan kegaiban dalam bentuk kekuatan. Kekuatan gaib tersebut, digunakan dalam berbagai bentuk aktivitas oleh seseorang yang memiliki kelebihan tersebut. Kekuatan gaib tidak dapat diterangkan dengan akal sehat karena sifatnya yang di luar akal sehat, berkaitan dengan hal-hal yang luar biasa, serta melampaui batas kemampuan manusia biasa, dan lainnya. Perbuatan
dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diartikan suatu
perbuatan dengan menggunakan media yang tidak terlihat oleh panca indra serta meliputi kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Sehingga akibat kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut menimbulkan banyak korban serta menimbulkan reaksi sosial yang begitu tinggi dalam masyarakat. Kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan sosial dalam masyarakat. Perbuatan gaib yang digunakan di Indonesia dalam berbagai daerah telah disebutkan memiliki penyebutan yang berbeda-beda yang sulit untuk diidentifikasikan ke dalam suatu peraturan sehingga secara umum digunakan
69
istilah perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam hal ini kekuatan gaib yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
2.3 Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Sejak kemerdekaan, keinginan untuk mewujudkan sistem hukum nasional merupakan salah satu agenda utama dalam pembangunan nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen resmi negara yang membahas mengenai RUU UUD 1945 yang dipelopori oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan yang memiliki gagasan untuk membentuk karakter dan ciri khas sistem hukum nasional.103Politik hukum pidana nasional, mesti dimaknai sebagai kehendak nasional untuk menciptakan hukum pidana yang sesuai dengan aspirasi dan tata nilai yang bersumber dari bangsa Indonesia sendiri. Selain itu hukum pidana juga dapat berperan serta untuk memberikan sumbangan untuk mewujudkan tujuan terbentuknya negara (cita-cita kemerdekaan), yaitu mewujudkan negara yang adil makmur berdasarkan Pancasila.104 Mempunyai hukum pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional adalah sebuah mimpi yang hingga hari ini belum menjadi nyata. Telah panjang perjalanan para intelektual hukum pidana hingga bergenerasi masih belum mampu menjelmakan sebuah cita-cita yang hendak membebaskan dari cengkeraman
103
104
Retno Lukito, 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur, h.5
Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang, h.1
70
kuku-kuku hukum produk kolonialisme.105Melihat sejarah pembentukan RUU KUHP, tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh. Usaha ini baru dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus hingga sekarang. Demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara universal, global atau menyeluruh ini masih merupakan rechtsidee (cita hukum) atau iuscostituendum, sebab belum disahkan menjadi sebuah perundangundangan (ius costitutum)106 Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada
105
Mardjono Reksodiputro, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h.14 106
Mokhammad Najih, Op.Cit., h.2
71
hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.107
pembaharuan hukum pidana ditentukan
dengan kebijakan hukum pidana itu sendiri, artinya pembaharuan hukum pidana dapat diarahkan melalui kebijakan hukum pidana, atau adanya kebijakan hukum pidana berarti telah mengadakan suatu pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy”(yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Demikian pula Me. Grath W.T. menyatakan “Rational Consideration must be partnered by moral considerans in criminal justice”(pertimbangan rasional harus bermitra dengan pertimbangan – pertimbangan dalam peradilan pidana)
108
kebijakan kriminal tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti yang dikatakan oleh Christiansen “ the conception of problem crime and punishment is an essential
107
108
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.29
Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning, Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3, p360
72
part of the culture of any society”(konsepsi masalah kejahatan dan hukuman merupakan bagian penting dari budaya masyarakat) begitu pula menurut W. Clifford “the very foundation of any criminal justice system consists of the philosophy behind a given country”109 (sangat mendasar dari setiap sistem peradilan pidana terdiri dari filosofi di belakang negara tertentu). Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk
manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan
landasan filosofi. Setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorietasi pada pendekatan nilai. Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pemabaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).110 109
110
Ibid., p.361
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h.34
73
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance)dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.111 2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilainilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan(misalnya, KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). 112
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan.113Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula 111
Barda Nawawi Arief I., Loc.Cit.
112
Barda Nawawi Arief I.,Op.Cit., h. 35
113
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.36
74
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach). Berdasarkan dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian hukum pidana ini mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatanperbuatan
apa
yang
pertangungjawaban
dijadikan
pidananya,
tindak
serta
pidana,
bagaimana
bagaimana mengenai
mengenai
pidana
dan
pemidanaanya. Dengan demikian tahap formulasi menempati posisi strategis jika dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakan hukum pidana. Usaha pembaharuan hukum
di Indonesia yang sudah dimulai sejak
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya alinea ke empat sebagai perumusan tujuan nasional dapat diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu untuk melindungi segenap bangsa, dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Menurut Barda Nawawi Arief, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dua kata kunci itu identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan dengan
75
sebutan social defence dan social welfare. Dengan adanya kedua kata kunci inipun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional.114 Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk perlindungan masyarakat dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat kejahatan tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan peroragan dan masyarakat. Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembaharuan hukum pidana, melalui dua jalur, yaitu: 1. Pembaharuan Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, yang maksudnya untuk menggantikan KUHP yang berlaku sekarang. 2. Pembaruan perundang-undangan pidana yang maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang.115 Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penyusunan RUU KUHP pada hakikatnya merupakan suatu upaya pembaharuan/rekontruksi/retrukturisasi keseluruhan sistem hukum pidana substantive yang terdapat dalam KUHP (WvS) peninggalan zaman Hindia Belanda. Restrukturisasi mengandung arti menata kembali dan hal ini sarat dengan makna rekontruksi yaitu membangun kembali. Jadi RUU KUHP bertujuan melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum pidana nasional. Hal ini tentunya berbeda dengan pembuatan atau penyusunan 114
Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang (selanjutnya disingkat Barda Nawawi III) , h.43 115
Ibid., h.44
76
RUU biasa yang sering dibuat selama ini. Perbedaanya dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Penyusunan RUU biasa: bersifat parsial/fragmenter, pada umumnya hanya mengatur delik khusus/tertentu, masih terikat pada sistem induk (WvS) yang sudah tidak utuh, hanya merupakan “sub sistem”, tidak membangun/merekontruksi “ sistem hukum pidana” b. Penyusunan RKUHP bersifat menyeluruh/terpadu/integral, mencaup semua aspek/bidang, bersistem/berpola, menyusun/menata ulang (rekontruksi/reformulasi) sistem Hukum Pidana Nasional yang terpadu.116 RUU KUHP mengemban misi: 1. Dekolonisasi
KUHP
peninggalan/warisan
kolonial
dalam
bentuk
rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2. Demokratisasi hukum pidana, yang ditandai dengan dimasukannya tindak pidana terhadap HAM, hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian, yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. 3. Konsolidasi hukum pidana, karena sejak kemerdekaan perundangundangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar KUHP dengan berbagai kekhasannya, sehingga 116
Ibid., h.45
77
perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I KUHP. 4. Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar-standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional. Upaya penanggulangan kejahatan dengan kebijakan hukum pidana, mencakup 3 (tiga) tahapan, yaitu: 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).117 Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto, sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap penegakan hukum in concreto. Penelitian dalam tesis ini, pembahasan akan menitikberatkan pada tahap formulasi atau kebijakan formulasi hukum pidana. Tahap kebijakan formulasi merupakan tahap awal dan menjadi sumber landasan dalam proses kongkritisasi bagi penegakan hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Adanya tahap formulasi ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan juga menjadi tugas dan kewajiban dari para pembuat hukum, bukan hanya tugas penegak/penerap hukum. Tahap formulasi ini
117
Ibid., h. 46
78
merupakan tahap yang paling strategis, karena adanya kesalahan dalam tahap ini dapat menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 118 Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu. Pembuatan hukum pidana adalah bagian dalam kerangka menganggulangi kejahatan, artinya setiap perbuatan negatif yang ada dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat dalam kerangka untuk menekan kejahatan tersebut. Masyarakat tidak membiarkan adanya perbuatan negatif yang terjadi, oleh karenanya dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan itu. Usaha masyarakat untuk menanggulangi kejahatan ini disebut dengan politik kriminal.119 Pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan sistemik yaitu usaha pendekatan yang menyeluruh dan integral. Namun perlu dicatat secara total, melainkan menyempurnakannya dalam artian yang baik tetap dipertahankan, yang tidak cocok lagi dihilangkan dan yang kurang akan ditambah. Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana selalu berada dalam masalah kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi. Pendekatan sistemik dalam pembaharuan hukum pidana untuk membentuk atau mewujudkan KUHP baru adalah
118
Ibid., h.47
119
Ibid., h.59
79
menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan melihat kepada doktrin dasar nasional seperti Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara. Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana. Secara makro adalah pembaharuan pada struktur atau lembaga-lembaga sistem peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi hukum pidana, dan pembaharuan
aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai
filosofis kehidupan. Sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga masalah
pokok
dalam
hukum
pidana,
yaitu
perbuatan
pidana,
pertanggungjawaban pidana, dan pidana. Metode yang dipakai adalah metode komprehensif integratif, baik secara deduktif ( menurut doktrin), maupun secara induktif (empirik). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana berdasarkan pendekatan sistemik ini adlaah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek terkait dengan hukum pidana.120 Pembaharuan hukum pidana dalam hal objek baik yang makro maupun mikro, tentunya akan terjadi kalau ada perubahan perkembangan dalam studi terhadap apa yang dinamakan kejahatan. Oleh karena itu, studi kejahatan yang mendukung pembaharuan hukum pidana, diantaranya yaitu: 1. Pembaharuan hukum pidana tidaklah dapat terjadi tanpa adanya perubahan pandangan masyarakat tentang penilaian suatu tingkah laku.
120
Teguh Prasetyo, Op.Cit.,31
80
2. Perubahan penilaian tingkah laku tersebut tidaklah terlepas dari dukungan sosial budaya di mana masyarakat tumbuh dan berkembang.121 Pembaharuan hukum pidana ditandai oleh adanya perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan yang mengkaji kejahatan dari aspek kemasyarakatan (sosiologis) adalah kriminologi. Dengan demikian kriminologi juga berfungsi sebagai sumber inspirasi dalam menggerakkan pembaharuan hukum pidana tersebut. di samping itu jika dilihat dari pembaharuan hukum pidana, maka masalahnya juga berkisar kepada tiga persoalan, yaitu kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat, kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat dalam hukum pidana. Artinya, tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana. Dalam hal ini, kriminologi memberikan masukan tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang layak dimasukan ke dalam hukum pidana. Di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari ilmu sosial lainnya termasuk kriminologi. Dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional apabila dipandang perlu juga akan diikutsertakan kalangan di luar hukum yang erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum.122
121
Teguh Prasetyo, Op.Cit.,h.32
122
Teguh Prasetyo, Loc.Cit.
81
Dekriminalisasi adalah suatu proses dalam rangka menjadikan suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana, artinya perbuatan tersebut tidak dianggap jahat lagi oleh masyarakat. Kriminologilah yang memberi masukan tentang perkembangan perbuatan negatif yang terjadi dalam masyarakat. Artinya studi kriminologi terhadap kenyataan yang sudah diatur dalam hukum pidana tersebut, dan kenyataan ini karena perkembangan yang terjadi dapat bertolak belakang dari apa yang sudah diatur dalam hukum pidana.123 Depenalisasi adalah perbuatan yang dulunya diancam dengan pidana, karena perkembangan masyarakat, perbuatan yang dulunya diancam dengan pidana dianggap bukan perbuatan yang perlu diancam dengan pidana lagi, tetapi sifat perbuatannya masih dianggap jahat. Oleh karena itu dalam depenalisasi ini sifat ancaman pidananya dicarikan pada alternatif lainnya, lantaran bobot kejahatannya berkurang. Sebagai perbuatan yang negatif, kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu terjadi. Reaksi ini berupa reaksi formal maupun refaksi informal. Dalam reaksi yang formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, artinya dalam masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut.124 Proses ini berjalan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana, yakni proses dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai pelaksanaan putusan
123
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 33
124
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 34
82
di penjara (Lembaga Pemasyarakatan). Studi terhadap reaksi informal atau reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan yang sudah diatur dalam hukum pidana (pelanggarannya menimbulkan reaksi formal) yang dapat menyebabkan terjaidnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat,
juga reaksi terhadap kejahatan yang belum diatur oleh hukum
pidana. Artinya, masyarakat menganggap perbuatan itu jahat tetapi perbuatan itu belum diatur oleh hukum pidana. Hal ini nantinya berpengaruh dalam menetapkan kriminalisasi, dekriminalisasi, dan depenalisasi.125Beberapa studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini ternyata menunjukkan hubungan yang signifikan antara reaksi masyarakat dengan terjadinya kejahatan Berdasarkan definisi ini, secara sederhana kebijakan formulasi dapat diartikan sebagai usaha merumuskan atau memformulasikan suatu undang-undang yang dapat digunakan untuk menangulangi kejahatan. Dalam perumusan undangundang akan ada proses kriminalisasi, yaitu suatu proses untuk menentukan suatu perbuatan yang awalnya bukan sebagai tindak pidana kemudian dijadikan sebagai tindak pidana. Proses kriminalisasi harus mempertimbangkan banyak hal, seperti kepentingan hukum yang akan dilindungi, tingkat bahaya, kerugian, kesiapan dan penguasaan teknologi oleh aparat dan lain sebagainya. Hal ini penting agar pada tahap implementasi peraturan tersebut nantinya dapat berjalan dengan efektif dan tidak bersifat mandul, apalagi sampai terjadi krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over-criminalization) dan krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law) 125
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h.5
83
BAB III KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
3.1 Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam KUHP Secara kodrati, manusia adalah makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk pribadi maupun sosial tidak pernah lepas dari pergesekan dan kepentingan maupun ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, Moeljatno menyatakan, bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan- aturan untuk:126 1.9. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 1.10. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan. 1.11. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.127 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat menjadi KUHP merupakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatanperbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, memiliki tujuan-tujuan sebagaimana
126
Moeljatno, Op.Cit,.h.4
127
Moeljatno, Op.Cit., h.5
83
84
tujuan hukum pada umumnya. Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara, terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Kebijakan penal (hukum pidana) pada hakikatnya mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik/kejahatan diharapkan adanya efek pencegahan atau penanggulangan. Kebijakan penal tetap diperlukan dalam rangka penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan ketidaksukaan masyarakat, pencelaan, kebencian masyarakat terhadap suatu objek perbuatan yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana perlindungan sosial (sosial defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa penal policy merupakan bagian dari perlindungan sosial yang memiliki sifat universal di semua negara. Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, selama ini masih merupakan sesuatu yang lazim digunakan diberbagai negara,
termasuk
Indonesia.
Praktek
perundang-undangan
selama
ini
menunjukkan, bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Formulasi dalam KUHP
perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib
sebagai tindak pidana, merupakan usaha yang rasional dalam
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) yang
merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dalam
melindungi masyarakat dari kejahatan, serta merupakan bagian dari kebijakan
85
sosial untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Secara singkat, dalam perspektif hukum pidana, merupakan cakupan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap ketertiban umum. Kepercayaan masyarakat Indonesia dipahami benar oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda ini terbukti dari ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab UndangUndang Hukum Pidana Hindia Belanda) yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 di kerajaan Belanda, kemudian berdasarkan asas konkordansi di berlakukan di Indonesia. Selanjutnya pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, maka terjadilah untuk sementara kekosongan hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum itulah maka melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali semua lembaga-lembaga dan peraturan perundangundangan yang ada sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi. Berlaku atas Penetapan Undang-Undang No.1 Tahun 1946, maka berdasarkan ketetapan inilah sampai sekarang yang berlaku adalah Wetboek van Strafrecht Nederlands Indie ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda) Tahun 1918 dengan beberapa penghapusan, pengurangan, perubahan pasal-pasal di sana-sini yang disesuaikan dengan kepentingan politik hukum kita yang saat itu masih diakomodirnya pasal-pasal berkaitan dengan kekuatan gaib. Pada hakekatnya pengaturan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan masalah dilihat dari sistem hukum masa lalu yang pernah ada di Indonesia atau dalam hukum adat. Misalnya yang berhubungan dengan masalah “tenung” pernah dirumuskan sebagai delik di dalam Pasal 13 Perundang-undangan Majapahit.
86
Pengaturan di zaman Majapahit, perbuatan tenung dipandang sebagai salah satu dari enam “tatayi” (kejahatan) berat yang diancam dengan pidana mati. Demikian pula di dalam beberapa sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya dalam hukum adat Dayak kanayan, dijumpai istilah “nyampokng nyawa” (yaitu usaha membunuh orang lain dengan mistik sebagai usaha untuk merusak hasil panen/padi
di
lading/sawah
orang
lain),
dan
“sarapo”
(perbuatan
meletakkan/menyimpan suatu barang ke dalam rumah orang lain secara tidak wajar, sehingga dapat diartikan seolah-olah perbuatan “nyampokng). Hal yang menarik untuk dikemukakan disini ialah bahwa delik-delik “masa lalu” yang sudah tidak berlaku, tetapi merupakan rumusan delik adat “masa kini” yang masih tercantum di dalam kodifikasi hukum adat dayak yang telah ditetapkan atau dikukuhkan kembali dalam keputusan Musyawarah Adat.128 Sistem hukum yang formal dan rasional hanya berusaha menjaring perbuatan lahiriah yang secara empiris dapat diidentifikasikan dan dibuktikan hubungan kausalitasnya. Oleh karena itu, perbuatan yang bersifat mistik, gaib, dan metafisika sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan rasional. Namun demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan masalah gaib tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan rasional. Sepanjang perbuatan tersebut dapat diidentifikasikan, dapat saja perbuatan itu diatur dalam hukum formal. Sistem KUHP Indonesia mengenal pembagian delik yakni berupa Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua dan Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga.
128
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.290
87
Pembedaan ini mengikuti sistem Wetboek Strafrecht Nederland, namun berbeda dengan di Nederland KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan. Perbedaan kejahatan menurut Jonkers ialah kejahatan pada umumnya termasuk rechtsdelicten, delik hukum yaitu perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa perbuatan tidak adil dan disamping tidak adil menurut undang-undang yaitu perbuatan yang tidak sah yang dietntukan oleh undang-undang. Sebaliknya pelanggaran yang termasuk wetsdelicten, yaitu perbuatan yang oleh masyarakat tidak dipandang sebagai perbuatan tercela yang pembuatnya harus dipidana, tetapi oleh pembentuk undang-undang ditetapkan sebagai delik untuk menjamin keamanan umum, memelihara dan mempertahankan ketertiban umum atau memajukan kesejahteraan umum.129 Eksistensi
masalah Kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib telah diakui oleh kebijakan politik hukum pidana menunjuk pada pengaturan hukum pidana pada Bab VI buku III tentang pelanggaran kesusilaan yakni: 1) Pasal 545 KUHP menyebutkan Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan
129
Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352
88
2) Pasal 546 KUHP menentukan: Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri
3) Pasal 547 menentukan: seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut terlihat adanya hal-hal yang bersifat gaib atau supernatural yaitu, peramalan nasib, mimpi dan jimat-jimat atau benda-benda sakti berkekuatan gaib. Jadi, hukum formal dapat atau mungkin saja mengatur
hal-hal yang gaib atau supernatural sepanjang yang diatur bukan
substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal gaib itu. Dari perumusan pasal-pasal dalam KUHP tersebut yang terkait dengan kekuatan yang bersifat magis terutama dalam Pasal 546 KUHP yang pada intinya suatu perbuatan pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai salah satu media yang mempunyai kekuatan gaib merupakan suatu pengaturan yang bersifat tidak jelas dari segi pemaknaan, oleh sebab banyak masyarakat yang menggunakan benda-benda yang disebut dalam Pasal 456 KUHP yang diyakini dapat memberikan perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat buruk.
89
Ditinjau dari segi penafsiran historis yang berusaha mencari makna undang-undang menurut terjadinya undang-undang yang berkaitan dengan tujuan pembentukan undang-undang tersebut dengan jalan meneliti sejarah dari konsep pembentukan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yakni menurut Boeke Strafwetboek voor inlander (Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri Tahun 1911) yang menyebutkan: beberapa kali soedah kadjadian, orang-orang bikin roesoeh atau mendjalankan kadjahatan doerhaka atua soempah palsoe di hadapan haki atau di hadapan pengaidlan, sasoedahnja dia dapat pengadjaran dari orangorang jang mengadjar ilmoe-ilmoe itoe. Satijap kali kadjadjijan begitoe roepa maka tijap-tijap kali djoega di njatakan bahwa orang-orang, jang bikin roesoeh atau jang soempah palsoe itoe, membawa atau pakai jimatjimat atau penangkal. Dari itoe diadakan katentoewan2 seperti terseboet di dalam fasal 546,547dan 545 diadakan dengan maksoed akan menegahkan orang membawa djimat djika dia misti menghadap dihadapan hakim atau dihadapan pengadilan akan mengeloewarkan kesakjian dengan bersoempah, sebab soedah seringkali kadjadjian di hindia Nederland, orang jang dipersidangkan dari madjelis hoekoem mengalowerkan kesakjian dengan berdoesta, kadapat membawa djimat jang di semboenjikan olihnja baik di dalam setangan kapala baik di dalam ikat pinggangnja atau tali pending. Dengan terjemahan peneliti yakni: Beberapa kali sudah kejadian, orang-orang bikin rusuh atau menjalankan kejahatan durhaka atau sumpah palsu dihadapan hakim atau dihadapan pengadilan, sesudahnya dia dapat pengajaran dari orang-orang yang mengajar ilmu-imu itu. Setiap kali kejadian yang sama, maka tiap-tiap kali juga dinyatakan bahwa orang-orang yang bikin rusuh atau yang sumpah palsu itu, membawa atau memakai jimat-jimat atau penangkal. Dari itu diadakan ketentuan-ketentuan seperti tersebut di dalam Pasal 545, 546, dan 547 diadakan dengan maksud akan menegakkan orang yang membawa jimat jika dia mesti menghadap dihadapan
90
hakim atau di hadapan pengadilan akan mengeluarkan kesaktian dengan bersumpah, sebab sudah seringkali kejadian di Hindia Nederland, orang yang dipersidangkan dari majelis hukum mengeluarkan kesaktian dengan berdusta, tertangkap membawa jimat yang disembunyikan olehnya baik di dalam tangan juga di dalam ikat pinggang. Penafsiran atau interprestasi historis terhadap Pasal 545, 546, dan 547 KUHP ialah mencari maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Kehendak pembentuk undang-undanglah yang bersifat menentukan. Penafsiran ini juga disebut sebagai penafsiran subjektif, karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari pembentuk undangundang.
130
Sejarah dari pembentukan pasal-pasal tersebut sesuai dengan konsep
menurut Boeke Strafwetboek voor inlander ( Kitab keadilan Hoekoeman Boewat Anak Negeri Tahun 1911) berupa kebiasaan dari setiap penyelenggaran suatu proses dihadapan hakim atau pengadilan sering terjadi keributan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu kejahatan. Pelanggaran tersebut sering dilakukan dengan sumpah palsu di hadapan hakim atau pengadilan. Orang-orang yang berperilaku demikian diyakini memiliki jimat-jimat yang memiliki kemampuan yang bersifat gaib yang diperoleh dari suatu pembelajaran yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki keahlian untuk itu. Perbuatan tersebut yang berupa mengenakan benda-benda yang tidak lazim dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus mendapatkan sanksi. Menurut pembentuk undang-undang pada masa itu, bahwa setiap perbuatan
130
Sudikno Mertokusomo II, Op.Cit.h.42
91
berupa sumpah palsu yang terjadi dalam sidang dan keributan, maka setiap itu juga orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut memakai jimat-jimat yang diyakini sebagai penangkal untuk menghindari penegakan hukum dari kejahatan yang dilakukan. Perumus undang-undang pada masa itu, memiliki kepercayaan penuh terhadap sesuatu yang bersifat gaib yang berada dalam benda-benda di bawah penguasaan seorang pelaku kejahatan yang berupa jimat-jimat yang dipakai dalam persidangan. Maksud dari perumusan pasal ini tiada lain untuk menghukum atau memberikan sanksi terhadap orang yang tertangkap membawa jimat dalam pengadilan
atau
bahkan
seorang tersebut
memiliki
kemampuan
untuk
mengeluarkan kesaktian yang dapat menghambat proses persidangan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa kejadian-kejadian tersebut sering terjadi dalam sidang pengadilan. Benda-benda tersebut diyakini memiliki suatu kekuatan di luar nalar manusia atau bersifat gaib dalam arti kekuatan gaib yang dianggap memberikan dampak positif. Penting untuk adanya pengidentifikasian sifat-sifat dari sesuatu kekuatan yang bersifat magis atau gaib yang berkarakter jahat dengan sifat dari keberadaan ilmu dengan karakter baik, misalnya dalam rangka penyembuhan suatu dengan cara yang gaib dan sebagainya. Benda-benda yang disebutkan dalam Pasal 456 KUHP yang dikatakan memiliki kekuatan gaib tidak secara jelas menyebutkan apakah kekuatan gaib
yang dimaksudkan tersebut dapat
menimbukan suatu akibat yang buruk atau menimbulkan kerugian terhadap orang lain.
92
Pelanggaran bernuansa spiritisme ini menjadi fenomena sosial riil di masyarakat Indonesia. Sifatnya yang bernuansa supernatural menimbulkan kerugian materiil dan moril bagi korban maupun masyarakat umum. Modus operandinya beragam, tetapi telaah terhadap tindakan tersebut terbatas, hanya terpaku pada tindak pidana saja, seperti penipuan, perampokan atau pencurian, tanpa adanya kejelasan proses pidananya secara utuh. Tidaklah mengherankan perkembangan jenis kejahatan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam masyarakat. Korban atau masyarakat umum lebih memilih mendiamkan saja kejadian yang dialaminya daripada melaporkan ke pihak yang berwajib. Rumitnya prosedur dan mekanisme hukum yang ada, sulitnya alat bukti maupun saksi dalam menjelaskan peristiwa tersebut, membuat korban tidak mau melapor karena takut atas kejadian yang dialami. Keterbatasan penyingkapan dan pengungkapan kasus-kasus kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang bernuansa lokal atau mistis pada umumnya disebabkan sebagian masyarakat Indonesia terikat kuat dengan tradisi lokalnya.
Banyak orang percaya terhadap benda-benda yang mempunyai
kekuatan tertentu seperti barang pusaka, lambang-lambang, senjata tradisional atau jimat. Berbagai tradisi tersebut mengandung atau mewarisi sistem kepercayaan lokal yang dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif misalnya dalam berbagai ritus peralihan, maupun dipergunakan untuk mendukung tindak kejahatan. Di dalam sistem kepercayaan lokal diyakini ada kekuatankekuatan gaib yang bersifat baik dan jahat, mahluk-mahluk halus, roh-roh leluhur,
93
roh-roh lain, baik maupun jahat, kekuatan sakti yang berguna (positif) maupun merusak. Setiap daerah atau komunitas mewarisi sistem kepercayaan lokal masingmasing. Berkembang atau tidaknya dukungan sistem kepercayaan lokal pada kejahatan bergantung kepada para pendukung (penganut) dalam melestarikannya. Para pendukung sistem kepercayaan lokal secara umum sangat beragam menurut daerah dan komunitasnya. Para pendukung sistem kepercayaan lokal tersebut sering dilibatkan dalam melaksanakan kegiatan ritual kehidupan sehari-hari.131 Dalam realitasnya sulit sekali menentukan secara langsung bentuk dukungan sistem kepercayaan lokal dalam aksi kejahatan. Seringkali terdengar sistem kepercayaan lokal beserta pendukungnya mendapat reaksi keras dari warga masyarakat sekitarnya. Contohnya adalah kasus-kasus penentangan atau pembunuhan terhadap mereka yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib seperti pembunuhan dukun santet di Jawa Timur, begu ganjang di Tapanuli, terhadap pengguna Leak di Bali, atau Suanggi di Maluku.132 Secara implisit dan terbatas, dukungan sistem kepercayaan lokal terhadap kejahatan dapat ditelusuri melalui teknik-teknik, motivasi, pewarisan ( modus operandi) yang berbeda-beda menurut budaya, tempat, waktu, dan peristiwanya. Sebagai fakta sosial, baik implisit maupun eksplisit
beberapa contoh
tersebut menunjukan bahwa peristiwa pada kategori kejahatan yang didukung sistem kepercayaan (ilmu gaib) tidak membedakan status pelaku, dapat dilakukan
131
A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit., h.3
132
Ibid., h.4
94
oleh seorang terpelajar atau non terpelajar, kaya maupun tidak, pejabat atau rakyat biasa, penguasa atau bukan penguasa. Artinya, meskipun masyarakat saat ini mengaku diri sebagai masyarakat rasional, modern dan transparan, tetapi di sisi lain penggunaan sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) yang mengandalkan kekuatan-kekuatan irasional menjadi salah satu cara menyelesaikan persoalan yang dihadapi, agar bisa sukses dan eksis, atau dalam kasus tertentu, sekedar untuk menghilangkan, menyiksa atau membunuh lawannya.133 Sifat dan ciri-ciri masyarakat seperti ini mendorong tampilan penggunaan kekuatan-kekuatan irasional atau magis disembunyikan sedemikian rupa agar tidak diketahui orang lain, karena selain tidak ingin mendapat stempel pendukung kekuatan supranatural yang bersiat negatif. Penolakan yang begitu kuat dalam fenomena ini, membuat para pengguna ilmu gaib dalam kejahatan, terutama pelaku kejahatan tidak sembarang mempertontonkannya, lebih cenderung diamdiam dan terkesan menghindar dari keramaian. Kondisi-kondisi seperti ini cukup menyulitkan pengungkapan bentuk-bentuk dukungan sistem kepercayaan pada kejahatan, kalaupun mungkin diungkap hanya dalam keadaan khusus saja.134 Berkaitan dengan bermacam konsepsi sistem kepercayaan lokal dalam kejahatan serta reaksi sosial terhadapnya, diidentifikasi adanya tiga macam penggolongan yang dapat dipergunakan dalam melihat keterlibatan seseorang pelaku dalam praktik ilmu-ilmu gaib ini pertama, mereka yang memiliki keterlibatan minimal dalam praktik ilmu gaib, tetapi begitu tertarik secara
133
134
bid., h.5 Ibid., h.6
95
individual dalam menjelaskan beberapa kejadian aneh seperti piring bisa terbang, tanah terbelah, dan bermacam fenomena para psikologikal lainnya. Keterlibatan pada golongan pertama ini ditandai dengan ketiadaan penggunaan mistik atau kekuatan supernatural, pemahamannya masih ilmiah, menjunjung tinggi dukungan keilmuan dalam menjelaskan fenomena sistem kepercayaan.135 Kedua, mereka yang mencari pengertian hubungan sebab akibat misterius atas
suatu peristiwa tertentu, dengan menggunakan bantuan numerologi,
astrologi, dan palmistry (rajah tangan). Pengetahuan pada tahap ini lebih ekstra ilmiah. Ketiga, mereka yang berada dalam tingkatan sistem kepercayaan yang kompleks seperti ilmu sihir, ilmu setan, ritual magis, dan tradisi mistik lain, seringkali kontradiksi dengan pemahaman ilmiah. Pola atau proses kejahatan yang didukung sistem kepercayaan lokal (ilmu gaib) mengalami perubahan menurut dinamika gerak dalam masyarakat. Tindak kejahatan seperti penipuan, pencurian, perampokan, dan beberapa kejahatan lain saat ini telah menggunakan peralatan dan sarana maju, tidak sekedar kemampuan pribadi dan sederhana. Namun, landasan filosofi dalam melakukan kejahatan tetap masih didominasi oleh sistem kepercayaan
(ilmu
gaib)
dalam
membantu
menyukseskan
pelaksanaan
kejahatan.136 Beberapa pelaku kejahatan yang tertangkap aparat penegak hukum, menjelaskan bahwa meskipun peralatan dalam melakukan kejahatan semakin canggih tetapi tetap saja diperlukan dukungan sistem kepercayaan (ilmu gaib) 135
Sultan Abi, 2013, Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia, http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id, diakses pada tanggal 2 Februari 2015, pukul 10.30 Wita 136
Ibid., h.2
96
dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan aksi kejahatan seperti menghitung hari baik, memohon keselamatan atau kekuatan, melaksanakan ritual tertentu, membawa benda sakti atau jimat, dan seterusnya. Fenomena kejahatan ini yang muncul dengan puncaknya terlihat sebagai kejahatan konvensional biasa, akan tetapi sebenarnya merupakan bagian dari pola atau proses budaya, kebiasaan atau tradisi yang berlangsung secara tersembunyi dalam masyarakat. Bentuk kejahatan yang didukung oleh sistem kepercayaan ilmu gaib pada dasarnya mengikuti pola atau aturan main yang sama dalam melakukan kejahatan biasa. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya dipengaruhi oleh aspek utama yakni sistem nilai, norma, dan sanksi yang berlaku serta situasi dan kondisi situasional. Kedua aspek tersebut menentukan preferensi, apakah kejahatan ini dipergunakan sebagai cara pertama, kedua, atau ketiga dalam mencampai tujuan dari kejahatan yang dilakukan. Pemahaman terhadap sistem nilai, norma, dan sanksi menjadi penting mengingat keragaman nilai budaya dalam masyarakat kita tidak semata memberi petunjuk tentang cara melakukan kejahatan dengan ilmu gaib, tetapi juga sekaligus memberi petunjuk cara menangkalnya. Sisi pencegahan dan pengurangan terhadap perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak saja diupayakan melalui budaya lokal, akan tetapi secara normatif telah dimuat dalam hukum pidana (KUHP), terutama dalam Pasal 545, 546, dan Pasal 547 KUHP tersebut di atas.137 Larangan bagi seseorang untuk bermata pencaharian sebagai ahli nujum, meramalkan dan atau menerangkan mimpi pada dasarnya dilarang karena
137
A. Josias Simon Runturambi, Op.Cit.h.7
97
dianggap menganggu ketertiban umum. Akan tetapi pada kenyataannya, praktik dan penjualan tukang ramal bertebaran dimana-mana, baik secara tertutup maupun terbuka. Semuanya dibiarkan begitu saja baik oleh masyarakat umum maupun penegak hukum. Dalam Pasal 546 memuat larangan yang disebutkan di atas, tetapi pada praktiknya, benda-benda tersebut mulai dari cincin, batu, keris, banyak diperjual belikan dan tampak resmi, serta mengundang banyak penggemar dan pengagum. Pasal 545 dan 546 KUHP ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bukan lagi dianggap sebagai perbuatan yang merugikan orang lain karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal gaib tersebut. Hal itu juga tampak dalam Pasal 547 KUHP yang pada kenyataannya sukar sekali diterapkan karena sulit untuk mengetahui tersangka itu sedang berkomat kamit tentang kasusnya atau sedang membaca mantera dalam suatu sidang pengadilan. Pasal-pasal KUHP tersebut menunjukkan bahwa suatu norma tidak lagi sesuai dengan perkembangan tatanan kehidupan bangsa Indonesia saat ini terhadap fenomena larangan bernuansa spiritisme. Dalam faktanya, pasal-pasal tersebut tetap dilanggar dan bahkan tidak dianggap, serta larangan-larangan yang disampaikan dalam pasal-pasal tersebut jika dilanggar justru tidak meresahkan, apalagi menimbulkan gejolak sosial yang besar dan berbalik menjadi kesenangan atau hiburan bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini menjadi salah satu faktor dari sulitnya penegakan hukum terhadap seseorang yang dikatakan menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib. Pasal-pasal mengenai penggunaan kekuatan gaib
98
dalam KUHP menekankan pada larangan atas profesi atau pekerjaan seseorang yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib untuk mengadakan peramalan dan peruntungan seseorang atau membuat serta membagikan jimat yang berisi kekuatan gaib. Berdasarkan perumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat
disimpulkan
bahwa hal tersebut bukan merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat membahayakan masyarakat atau mengakibatkan suatu penderitaan atau kematian, melainkan suatu cara dan alat untuk melindungi diri sesuai dengan kepercayaan masyarakat. Kualifikasi dari perumusan pasal-pasal tersebut bukan merupakan suatu kejahatan melainkan sebagai suatu pelanggaran yang diketahui ancaman sanksi terhadap pelanggaran jauh berbeda dengan sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan. Sehingga pada tataran implementasi pasal-pasal ini dianggap tidak berfungsi serta bukan lagi merupakan pelanggaran kesusilaan yang menganggu ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat.
3.2. Unsur-unsur Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP Kewenangan negara memonopoli reaksi terhadap pelanggar hukum pidana mulai terjadi ketika muncul organisasi negara modern. Konsep bahwa kejahatan atau pelanggaran adalah melanggar kepentingan negara sebagai representasi kepentingan publik umumnya menjadi dasar pemberian kewenangan negara untuk memonopoli reaksi terhadap kejahatan atau pelanggaran. Selanjutnya, konsep ini diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah
99
bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu. Negara memainkan peranan yang penting dalam pengambilan keputusan terhadap pelanggar hukum pidana. Secara historis, negara telah mengambil alih konflik yang terjadi antara pelanggar hukum pidana dengan orang yang terlanggar haknya (korban kejahatan), orang yang kepentingannya dilindungi oleh hukum pidana, menjadi konflik antara pelanggar dengan negara atau kepentingan publik.138 Istilah tindak pidana merupakan istilah teknik yuridis yang berasal dari terjemahan delict atau strafbarfeit disamping istilah lainnya seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang boleh dihukum. Moeljatno memberikan definisi tindak pidana yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.139 perbuatan-perbuatan tersebut dianggap merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau mengganggu ketertiban umum. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi perbuatan yang dilarang oleh undang-undang apabila perbuatan tersebut dikategorikan sebagai melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan hukum pidana, serta pelakunya diancam dengan pidana. Berkaitan dengan perbuatan menggunakan kekuatan gaib dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tersebut maka dapat diidentifikasi unsur-unsur perbuatan melawan hukum yakni seperti yang telah disebutkan di atas dalam Pasal 545 KUHP menentukan:
138
Teguh Prasetyo, Op.Cit., h. 112
139
Moeljatno, Op.Cit., h.6
100
Ayat (1) barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah Ayat (2) jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 545 KUHP tersebut adalah sebagai berikut: a. Unsur-unsur obyektif 1) Menjadikan sebagai pencarian 2) Menyatakan peruntungan seseorang 3) Mengadakan peramalan atau penafsiran impian. Selanjutnya unsur Pasal 546 KUHP seperti yang telah disebutkan di atas yang menentukan: Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: Ayat (1) barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib Ayat (2) barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri
Unsur-unsur dalam Pasal tersebut yakni a. Unsur objektif 1. perbuatannya a) Menjual, menawarkan menyerahkan, membagikan
101
b) Mempunyai persediaan c) Untuk dijual d) Untuk dibagikan e) Mengajar
ilmu-ilmu
atau
kesaktian-kesaktian
yang
menimbulkan kepercayaan 2. Objeknya a) Jimat-jimat b) Benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib
Selanjutnya Pasal 547 KUHP seperti yang disebutkan di atas menentukan: 4) Pasal 547 menyebutkan: seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan dibawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah
Unsur-unsur perbuatan tersebut yakni: (a) Unsur Objektif 1) perbuatan a) memakai 2) objeknya a) jimat-jimat b) benda-benda sakti Unsur subjektif di dalam Buku III KUHP itu dapat diketahui apakah sesuatu pelanggaran itu harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja
102
ataupun sebaliknya. Hingga tahun 1916 Hoge Raad menganut sutau paham yang juga dikenal de leer van het materieele feit atau paham mengenai tindakan secara material, di mana Hoge Raad telah berpendapat, bahwa adalah sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan suatu pelanggaran, apabila orang tersebut secara material atau secara nyata
telah
berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan
lagi apakah perilaku orang tersebut dapat
dipersalahkan kepadanya atau tidak.140 Perumusan unsur-unsur dalam pelanggaran pasal tersebut dalam perkembangannya sesungguhnya bukan merupakan perbuatan yang dianggap meresahkan atau menggangu ketertiban umum. Akan tetapi ada satu unsur pasal yang seharusnya mampu untuk diterapkan dalam suatu perbuatan pidana dalam rumusan pasal tersebut yakni rumusan pasal yang berkaitan dengan pengajaran terhadap kesaktian-kesaktian yang menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri. Dalam realitasnya pasal-pasal tersebut tidak pernah diterapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Upaya
penanggulangan
kejahatan
terhadap
perbuatan
dengan
menggunakan kekuatan gaib melalui upaya penal yakni dalam KUHP yang diatur dalam pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak dijadikan upaya untuk menegakan hukum terhadap seseorang yang telah melanggar pasal-pasal tersebut yang berkaitan dengan sarana kekuatan gaib yang dilakukan untuk melakukan 140
P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.197
103
pelanggaran tersebut. hal ini berkaitan dengan substansi pasal-pasal tersebut terutama mengenai pemaknaan kekuatan gaib yang tidak jelas atau normanya kabur dari segi definisi terhadap kekuatan gaib mengakibatkan kesulitan dalam penegakan hukum terhadap seorang yang melanggar pasal-pasal tersebut. Aparat penegak hukum sampai saat ini tidak pernah melakukan tindakan dalam bentuk apapun terhadap pelanggar dalam pasal-pasal tersebut. Fenomena demikian mencerminkan suatu perbuatan yang sudah tidak semestinya lagi ada dalam sebuah pengaturan dalam undang-undang karena fungsinya untuk melindungi kepentingan umum sudah tidak mendapat pengaruh atau kerugian terhadap khalayak umum tidak didapati. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dalam tulisannya menyampaikan terkait pasal kekuatan gaib yang terumus dalam Pasal 545, 546, 547 KUHP harus ada dekriminalisasi atau penghapusan pasal-pasal ilmu gaib dalam KUHP tersebut. Biarlah orang meramal, menjual ataupun membeli benda gaib dan sebagainya, karena secara kriminologis tidak meresahkan masyarakat. Sebaliknya, harus tetap ada kriminalisasi santet dalam arti melahirkan delik baru karena dampak sosial yang ditimbulkan merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar. Keresahan masyarakat, main hakim sendiri, pelecehan agama, merupakan produk sampingan yang ditimbulkannya.141 Kemudian dibeberapa kesempatan Kepolisian Republik Indonesia yang diwakili Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Sri Herwanto menyatakan Praktik Kekuatan Gaib yang 141
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara I, Op.Cit.,h.9
104
sebenarnya sudah diadopsi dalam tiga pasal pada KUHP, yakni Pasal 545, 546, dan 547 KUHP.
Namun, pasal-pasal tersebut dapat dikatakan pasal mandul
karena tidak pernah diterapkan dalam praktik. Artinya kriminalisasi delik yang berhubungan dengan sarana kekuatan gaib bukanlah hal yang baru dalam RUU KUHP.142 Oleh sebab banyak orang yang melakukan kegiatan yang teridentifikasi sebagai suatu pelanggaran dalam pasal-pasal tersebut yang tidak ditindaklanjuti menurut hukum. Pelanggaran-pelanggaran tersebut saat ini semakin banyak menyebar luas tanpa menghiraukan aturan hukum yang telah mengatur hal tersebut. hal ini dikarenakan bahwa perbuatan-perbuatan dalam aturan-aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan budaya masyarakat saat ini yang menjadikan larangan-larangan dalam pasal tersebut sebagai sebuah bentuk kepercayaan, kegemaran, dan dianggap tidak mengganggu ketertiban umum ataupun meresahkan masyarakat. Dengan demikian perlu diadakan dekriminalisasi terhadap larangan-larangan tersebut dalam KUHP karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini. Tb. Ronny Nitibaskara menyatakan bahwa Pasal 545 KUHP melarang seseorang berprofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek tukang ramal bertebaran di mana-mana secara tertutup ataupun terbuka, di pasar dan pusat keramaian lainnya banyak praktek dukun ramal menggunakan buruk gelatik atau meramal kode buntut. Di lapisan atas banyak pengusaha, pejabat rajin
142
Bambang Sri Herwanto, 2013, Kriminalisasi Delik Santet Sudah Ada sejak Dulu, Jakarta,http:www//nasional.kompas.com/read/2013/04/04/175661357/Polri.Kriminalisasi.Delik.Sa ntet. diakses pada tanggal 2 Januari 2015 pukul 14.00 WITA
105
mendatangi peramal kartu menanyakan nasibnya. Belum lagi ramalan berupa astrologi, palmistry, grafologi yang terdapat dalam mass media. Kesemuanya ini dibiarkan sehingga undang-undang menjadi disfungsional. Pasal 546 KUHP melarang penjualan benda-benda gaib. Realitasnya sejak lama benda-benda gaib tertentu mulai keris, batu mirah delima, batu anti tembak, keong buntet, rotan nunggal, wesi kuning ramai di cari dan diperjualbelikan dengan harga yang tinggi. Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang pengadilan dengan menggunakan jmat dan mantera.143 Pengaturan suatu perbuatan yang tidak pernah ditegakkan terhadap suatu kasus merupakan salah satu bentuk bahwa norma tersebut tidak layak lagi dijadikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Akan lebih baik jika perbuatan yang dianggap tidak bertentangan dengan hukum didekriminalisasikan, hal ini sebagai perwujudan atau bentuk bahwa hukum memang untuk manusia, perubahan penormaan dalam hukum pidana sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Pengaturan pelanggaran berkenaan dengan benda-benda gaib di atas menyangkut kepercayaan seseorang atau keyakinan seorang manusia yang tidak dapat dibuktikan hubungan kausalitasnya dengan perbuatan pidana yang dilakukan, dengan demikian hal ini merupakan suatu bentuk tinjauan pembentuk undang-undang mengenai perumusan suatu perbuatan pidana. Perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang terbukti dan diakui keberadaanya dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia terutama dalam 143
Tb. Ronny Nitibaskara, Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (selanjutnya disebut TB Ronny Nitibaskara II) http:// keahatan/metafisis/ permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25 Oktober 2014 pukul 10.00 Wita.
106
masyarakat pedesaan yang masih sarat dengan adat-istiadat serta kegiatankegiatan yang bersifat kultural sehingga kemampuan seseorang untuk melakukan atau memiliki ilmu gaib tersebut tidak terbantahkan. Seringkali timbul korban dalam penyalahgunaan ilmu gaib tersebut oleh orang-orang yang memiliki suatu niat jahat terhadap orang lain, tidak segan-segan korban yang menjadi incaran kegiatan-kegiatan tersebut sampai meninggal dunia. Hukum di Indonesia belum mampu untuk menjangkau perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan melalui praktik ilmu gaib yang berkarakter hitam atau jahat dalam peraturan perundangundangan Indonesia. hal ini berkaitan dengan sulitnya pembuktian terhadap halhal yang bersifat gaib. Romli Atmasasmita dan Murad Harahap dari Universitas Padjajaran, Bandung pernah mengadakan penelitian pada tahun 1991 mengenai tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang-orang yang dituduh telah melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib seperti santet, tenung, dan teluh di Jawa Barat.144 Penelitian tehadap teluh, santet, di Jawa Barat didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1.
2.
144
Perbuatan dengan kekuatan gaib seperti santet, teluh, tenung bersifat misterius, dalam arti perbuatan dan akibat dari perbuatannya tidak dapat dilihat, diketahui dan dibuktikan secara nyata. Sedangkan di lain pihak, kegiatan santet tersebut telah banyak menimbulkan kerugian-kerugian fisik dan psikis, bahkan kematian pada korban. Masalah perbuatan dengan kekuatan gaib melibatkan tiga pihak, yakni pihak pertama orang yang menyuruh melakukan perbuatan tersebut, pihak kedua orang yang melakukan perbuatan tersebut atau tukang santet, teluh, tenung dan sebutan laiinya. Masalah kejahatan dengan kekuatan gaib ini dipandang sangat unik, oleh karena itu jika
Woro Winandi, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Kerusuhan Massal Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi, Tesis, Undip, Semarang, h. 50, dikutip dari Romli Atmasasmita dalam Jurnal Dinamika Hak Asasi Manusia, Vol.I, No. 01, Mei-Oktober 2000
107
3.
4.
5.
kasus pembunuhan tukang teluh diajukan ke muka sidang pengadilan, pihak kedua justru menjadi korban dari suatu kejahatan dengan kekerasan (pembunuhan) dan pihak ketiga, justru tidak pernah terungkap dan tidak pernah menjadi pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan. Pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib tidak pernah merasa atau menganggap dirinya sebagai penjahat, melainkan sebagai penyelamat dari mereka yang berkepentingan. Di lain pihak, sekalipun perbuatan dimaksud bertentangn dengan hukum, agama, dan tidak dibenarkan oleh hukum pidana positif, mereka yang berkepentingan dengan kekuatan ilmu gaib, tetap berkeras hati untuk melaksanakan niatnya tersebut.145 Pekerjaan melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat mengakibatkan stagnasi produktivitas kerja lingkungan masyarakat pada umumnya, khususnya pada korban. Di lain pihak, masalah ini menimbulkan penggolongan tindakan karena menyuruh melakukan perbuatan kejahatan tersebut terlepas dari jangkauan hukum pidana yang berlaku. Kejahatan dengan kekuatan gaib sebagai suatu masalah yang unik, selain mempersoalkan masalah pelaku dan korban kejahatan (pembunuhan), juga mempersoalkan masalah korban karena kelemahan-kelemahan dari sitsem pembuktian dalam perkara pidana atau menimbulkan viktimisasi structural.146
Mencermati keadaan pada beberapa kasus penyerangan massa masyarakat terhadap orang yang dituduh mengamalkan kejahatan dengan kekuatan gaib di beberapa daerah dewasa ini sangat memprihatinkan, terutama pada sistem hukum negara Indonesia. Pemerintah tidak terlalu menghiraukan kejadian-kejadian yang berbau mistis, padahal sudah cukup banyak korban baik harta benda bahkan nyawa sekalipun yang menjadi korban akibat kemarahan atau tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang dituduh mengamalkan kejahatan dengan kekuatan gaib. Walaupun perkara seperti itu sudah dianggap tabu di zaman modern seperti hari ini, namun tetap harus mengakui bahwa
146
Ibid.,h.53
108
masyarakat Indonesia masih dibelenggu oleh perkara-perkara atau kejadiankejadian mistis yang dilakukan seseorang147 Suatu tindakan individu ataupun kelompok mendapat sorotan penting dalam ilmu sosiologi. Tindakan tersebut mempunyai tujuan tertentu untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain merupakan kajian yang dilakukan oleh para sosiolog. Tindakan seseorang yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib atas permintaan kliennya merupakan suatu tindakan yang irasonal, karena tindakan tersebut kebanyakan didasari adanya unsur perasaan dendam. Kejahatan dengan kekuatan gaib, menurut beberapa ahli akademisi memang ada. Namun bila dilihat hanya menggunakan satu kajian ilmu maka tidak akan pernah ditemukan apa dan bagaimana kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Bahkan untuk penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan adanya kejahatan dengan kekuatan gaib sangat sulit untuk diatasi, terlebih lagi dari segi ilmu pengetahuan dan kedokteran, belum ada penjelasan yang meyakinkan keberadaan korban kejahatan melalui kekuatan gaib tersebut.148 Emilie Durkheim melalui teori sosiologi mengungkapkan bahwa berkaitan dengan solidaritas bahwa individu yang telah menyatu dan membentuk massa akan mampu menyebabkan mereka kehilangan entitas pribadinya yang cenderung berbuat di luar kontrol pribadinya. Identitas sosial seseorang biasanya akan tenggelam apabila orang tersebut ikut terlibat dalam suatu perkumpulan
147
Ahmad Siregar, 2013, Maraknya Tindakan Main Hakim Sendiri di Indonesia, http:www//rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada tanggal 18 November 2014 148
Nicholas Herriman, Op.Cit. h.4
109
massa.149 Secara umum dari ilmu sosial, efek dari keberadaan kejahatan dengan kekuatan gaib yang berkembang di masyarakat menimbulkan berbagai macam tindakan lain yang saling berhubungan. Adanya korban kejahatan dengan kekuatan gaib yang muncul dimasyarakat dapat melahirkan tindakan-tindakan yang tak terkontrol, seperti misalnya pengeroyokan massal atau main hakim sendiri kepada orang yang diduga pelaku kejahatan dengan kekuatan gaib. Adanya pengeroyokan atau main hakim sendiri ini dari segi sosiologi karena adanya rasa solidaritas dalam kelompok. Keberadaan kejahatan dengan kekuatan gaib ini masih dapat dijumpai di kehidupan masyarakat. Dapat dilihat pada halaman surat kabar, banyak sekali terdapat iklan-iklan yang menawarkan jasa ramal, pemasangan susuk, dukundukun santet, teluh dan sebagainya. Sehingga sering ditemukan adanya masyarakat yang menjadi korban dimana mereka menderita sakit bahkan kematian yang tidak masuk akal dalam dunia kedokteran sebagai akibat kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. Secara viktimologis, masyarakat yang merasa dirinya menjadi korban kejahatan tersebut umumnya menganggap hukum belum mampu memberikan perlindungan, karenanya masyarakat yang resah dan para korban mengambil jalan keadilannya sendiri dimana biasanya jalan keadilan tersebut sering kali diwujudkan dalam berbagai reaksi sosial yang justru membuahkan tindakan kejahatan, seperti main hakim sendiri, pengeroyokan, penganiayaan, pengasingan, bahkan pembataian.
149
Soerjono Soekanto, 2005, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press (selanjutnya disebut Soerjono Serkanto II), Jakarta, h.37
110
Kesulitan dalam pembuktian terhadap kejahatan ini merupakan salah satu kelemahan dalam proses penegakan hukum terhadap terjadinya kejahatan ini. Sering terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap warga masyarakat yang diduga berprofesi sebagai dukun yang melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan salah satu bagian dari akibat tidak terjangkaunya hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan perbuatan pidana. Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban untuk melindungi warga masyarakat Indonesia dalam bentuk pelanggaran
atau
kejahatan
dalam
bentuk
apapun
untuk
mewujudkan
kesejahteraan sosial. Demikian apa yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang mengalami penghakiman secara massal, karena substansi yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Larangan-larangan dalam pasal-pasal tersebut sudah bergeser menjadi suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan oleh seseorang terhadap suatu hal, sehingga keberadaan seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dikenal dalam
masyarakat
mengalami
tindakan
anarkis
warga
setempat
tanpa
menghiraukan keberadaan hukum yang berlaku dalam suatu negaranya terlebih lagi mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang sudah sepatutnya perbuatan atau kejahatan dalam bentuk apapun harus ditindaklanjuti oleh pihak yang berwajib. Penekanan dalam tulisan ini berkaitan dengan tindakan anarkis
111
warga yang ada di Indonesia dalam suatu wilayah yang banyak melakukan tindakan anarkis terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib melalui jalur non penal sasaran pokoknya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Masyarakat yang menduga dalam wilayahnya dihuni oleh seseorang yang diduga berprofesi sebagai orang yang ahli dalam melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib cenderung melakukan tindakan anarkis seperti tindakan main hakim sendiri. Tidak jarang tindakan seorang demikian menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan baru terhadap seseorang yang berprofesi sebagai orang yang ahli melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yakni tindakan penganiayaan, kekerasan, bahkan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih kuat dalam memegang tradisi. Kepercayaan masyarakat terkait dengan masalah perbuatan dengan kekuatan gaib masih mengakar dengan cukup kuat menjadi mitos tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Cara pandang masyarakat tentang perbuatan dengan kekuatan gaib menjadikan perbuatan dengan kekuatan gaib seperti sudah membudaya dikalangan masyarakat. Fenomena perbuatan dengan kekuatan gaib di tengah masyarakat Indonesia seringkali menimbulkan kekerasan yang tidak terkontrol. Di banyak kasus orang sering diusir bahkan dibunuh karena
112
tuduhan sebagai dalang kejadian tersebut. Hal tersebut yang harus dihindari jangan sampai menimbulkan anarkisme masyarakat. Persoalan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih dikenal dengan sihir, santet, klenik, dan tenung sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa pada khususnya, karena segala persoalan yang berhubungan dengan mistik merupakan bagian dari dunia kebatinan, sekalipun ada diantara para pengikut aliran kepercayaan atau kebatinan yang menolak eksistensi kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut. Suatu kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib seperti santet sangat popular pada masyarakat Using di Banyuwangi, tidak jauh berbeda dengan teluh di kalangan masyarakat Sunda. Di dalam santet maupun teluh ini tidak jarang diketemukan korban-korban yang teraniaya, cacat, dan mati sebagai akibat dari perbuatan santet ataupun teluh tersebut.150 Sistem pembuktian menurut hukum pidana sampai saat ini belum menjangkau perbuatan atau kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang menimbulkan konsekuensi bahwa perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dipandang jahat belum dapat dibuktikan sebagai tindak pidana. Akibatnya, warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktek kekuatan gaib seperti keberadaan praktek perdukunan yang terkait dengan teluh atau santet melakukan
150
Dominikus Rato, 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang Santet, Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat Osing di kenal ilmu santet serupa, watuk gambiran, sabuk mangir, aran goyang, semar mesen, dan sebagainya.http://www. Tragedi Banyuangi 1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita
113
balas dendam dengan cara membantai, membunuh, mengucilkan orang yang diduga sebagai dukun santet atau tukang teluh dengan cara-cara yang sadis sebagaimana teradi di Banyuwangi, dengan adanya peristiwa pembantaian terhadap 128 orang.151 Kasus yang terakhir terjadi di pertengahan tahun 2013 tepatnya tanggal 7 juli, di desa Geudong-geudong, Kota Juang, Bireuen, dini hari sekitar pukul 01.00 WIB, massa mengamuk dan membakar rumah Mukhtar Abas, pembakaran itu dilakukan massa karena mukhtar dituduh sebagai dukun santet.152 Tragedi tersebut menyebabkan balas dendam yang di lakukan oleh keluarga korban yang diduga terkena santet atau masyarakat akan menimbulkan suatu kerusuhan massal yang memiliki tiga sifat yang paling nyata, yaitu berupa pengerusakan, perampasan, dan pembakaran yang dilakukan dengan sengaja. Kondisi ini telah menunjukkan bahwa penegakan hukum belum menyentuh pada praktek perdukunan atau kejahatan dengan kekuatan gaib laiinnya. Arti penegakan hukum sesungguhnya sangat terkait dengan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
151
Anjani Ritasan, 2003, Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:www// berita/ tragedy/ pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.00 Wita 152
Muhammad adam, 2013, Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan dalam rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter bangsa indoneseia, http://berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2012, pukul 13.30 WITA
114
yakni untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.153 Penegakan hukum memerlukan unsur-unsur pendukung penegakan hukum yang terdiri dari, pembuatan undang-undang, penegakan hukum, dan lingkungan, karena penegakan hukum pada hakekatnya merupakan bagian dari rangkaian penanggulangan kejahatan serta suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan, yang berupa pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut. Tanpa adanya ketiga unsur dalam penegakan hukum tersebut, maka pelaksanaan hukum tidak akan berjalan. Unsur pertama, berupa pembuatan undang-undang pada lembaga legislatif di Indonesia, belum diketemukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur delik atau kejahatan yang berhubungan dengan metafisika khususnya mengenai delik materiil.154 Keberadaan pengaturan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib saat ini hanya dalam bentuk pelanggaran dalam sebuah lembaga pengadilan yang tidak pernah terapkan. Unsur
kedua, yakni penegakan hukum yang terlibat ialah polisi dan
aparat penegak hukum terkait, seperti: Jaksa, Hakim, dan Penasihat Hukum. Sebenarnya keberhasilan atau kegagalan dalam penegakan hukum berawal dari peraturan hukum itu dibuat. Misalnya: badan legislatif membuat peraturan yang
153
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press (selanjutnya disebut Soerjono Soekamto III), Jakarta, h.3 154
Ibid., h.4
115
sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu pula badan legislatif telah menjadi perancang kegagalan bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan hukum itu. Akibatnya, peraturan hukum tersebut gagal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Unsur ketiga dalam penegakan hukum adalah lingkungan.155 Lingkungan ialah dimensi sosial yang meliputi faktor manusia dan lingkungan sosial dari penegakan hukum itu sendiri. Faktor manusia yang berhubungan dengan lingkungan pada penegakan hukum sangat memegang peranan, sebab hanya melalui faktor manusia penegakan hukum dapat dilaksanakan. Sedangkan faktor sosial dalam penegakan hukum dapat dikaitkan dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum dapat dikaitkan dengan manusianya secara pribadi dan kepada penegak hukum sebagai lembaga(institusi), karena penegak hukum tidak dapat lepas dari institusi di mana penegak hukum tersebut berpijak.156 Penyimpangan terhadap penegakan hukum, akan nampak sebagai penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi dapat saja penyimpangan penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan yang didasari kepentingan umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare) sehingga dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement
155
156
Ibid., h.12 Ibid., h.25
116
yang tidak dapat dihindari. 157 Penyimpangan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP tidak pernah ditegakkan dalam hal bahwa pelanggaran tersebut tidak lagi merupakan perbuatan pidana, akan tetapi berubah menjadi suatu bentuk kepercayaan manusia terhadap sesuatu hal yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk negara. Realitas bangsa Indonesia terhadap perilaku main hakim sendiri terhadap seorang yang dituduh menjadi seseorang yang melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak bisa dihindari, belum ada satupun aturan yang mampu melindungi hak asasi manusia dari seseorang yang mengalami tindakan kekerasan oleh masyarakat terhadap tuduhan sebagai pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Hal ini menjadi dasar dari upaya pembentukan hukum yang mengatur mengenai kejahatan dengan kekuatan gaib dalam rangka melindungi hak asasi manusia seluruh masyarakat Indonesia dari tindakan sewenang-wenang terhadap tuduhan tersebut. Penegakan
hukum
memiliki
esensi
penting
dalam
memajukan
pembangunan nasional. Muladi sebagaimana dikutip oleh Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom menjelaskan hubungan antara penegakan hukum dengan pembangunan nasional di mana tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik 157
Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, h. 140
117
kriminal, pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sering dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan termasuk usaha penegakan hukum merupakan bagian integral pembangunan nasional.158 Masyarakat merupakan sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun kelompok lainnya.159 Adanya hukum adat dalam suatu masyarakat juga mempunyai dasar dan bentuknya. Masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
hukum
yang
terjadi
dalam
masyarakat. Hukum pidana formal dianggap tidak mampu untuk menjangkau perbuatan-perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Kasus-kasus main hakim sendiri terjadi berulang-ulang
di Indonesia terkait dengan keberadaan
seseorang yang dituduh sebagai dukun santet. Kehidupan
sosial
masyarakat
indonesia
banyak
terjadi
kasus
penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib dijadikan alat untuk melakukan pembusukan karakter terhadap seseorang. Penyebab lain dari terjadinya berbagai tindakan main
158
Didik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.12 159
Soerjono Soekanto II, Op.Cit. h.34
118
hakim sendiri oleh warga terhadap orang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yakni lumpuhnya fungsi kepemimpinan dan lembaga masyarakat itu sendiri. Berbagai kekuatan masyarakat dengan segala fungsi kepemimpinannya menjadi lumpuh karena telah dipegang oleh negara melalui jaringan yang korporatis yang semuanya bergantung pada kekuasaan negara. Akibatnya, pembalikan yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menjadi bersifat kriminogen, karena massa menjadi beringas dan ini diwujudkan dalam bentuk amuk massal terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib seperti santet, tenung, sihir, teluh, dan sebagainya. Dalam rangka menjerat orang-orang yang menjalankan praktek kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tidak mudah karena harus ada peraturan yang mengaturnya terlebih dahulu sebagaimana terkandung dalam asas legalitas, sehingga perlu ada pengaturan terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang lebih jelas dan
tegas.
Oleh
karena
fungsi
umum
dari
hukum
pidana
adalah
menyelenggarakan pengaturan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Setiap anggota masyarakat menjadi pemegang peranan ditentukan tingkah lakunya oleh pola-pola peraturan yang diharapkan dari padanya baik oleh norma-
119
norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan diluar hukum.160 Fungsi khususnya melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang merugikan, dengan sanksi pidana yang diharapkan dapat menimbulkan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan.161Penentuan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu tindak pidana merupakan tahap formulasi kebijakan hukum pidana yang merupakan suatu rangkaian dengan tahap penerapan dan tahap pelaksanaan. Memformulasikan
tindak
pidana
merupakan
masalah
sentral,
terutama
menyangkut perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang selayaknya dikenakan bagi si pelanggar. Dari beberapa contoh penegakan terhadap seseorang yang dituduh melakukan perbuatan kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut, faktanya bahwa hukum pidana belum mampu sebagai sarana untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Membicarakan masyarakat adalah suatu keharusan yang melekat pada perbincangan mengenai hukum. Hukum dan masyarakatnya merupakan dua dari satu mata sisi uang. Maka tanpa perbincangan mengenai masyarakat terlebih dahulu, sesungguhnya berbicara tentang hukum yang kosong.162 Hal ini berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan akibat dari keberadaan kejahatan dengan kekuatan gaib yang menimbulkan faktor kriminogen laiinnya dalam bentuk 160
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 33 161
162
Soerjono Soekanto III, Op.Cit.h. 27
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hukum Yang Baik adalah dasar hukum yang baik ( selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), Kompas, Jakarta, h.9
120
perilaku anti sosial terhadap suatu kejahatan. Penggunaan hukum pidana memang untuk membatasi dan menghindarkan dari tindakan main hakim sendiri tetap merupakan fungsi yang penting dalam menerapkan hukum pidana, yakni memenuhi keinginan pembalasan. Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari, di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan prevesi general apapun. Reformulasi terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan metafisis dalam penyusunan konsep
RUU KUHP dalam rangka untuk
perlindungan masyarakat akibat dari adanya tindakan penghakiman massal yang dilakukan terhadap warga masyarakat yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib penting untuk dilakukan. Tujuan diadakannya reformulasi terhadap kejahatan metafisis yang tumbuh subur di kalangan masyarakat, untuk mencegah dampak sosial yang timbul akibat kejahatan dengan kekuatan gaib seperti fitnah yang beruntun dengan penganiayaan, pengeroyokan, pembakaran rumah orang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut serta akibat yang lebih fatal berupa pengadilan massa.
121
BAB IV KEBIJAKAN PENGATURAN PERBUATAN DENGAN MENGGUNAKAN KEKUATAN GAIB DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
4.1.
Pengaturan Kejahatan dengan menggunakan Kekuatan Gaib dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan
kekuatan gaib dalam konsep RUU KUHP hanya menitikberatkan perhatiannya pada usaha pencegahan ( prevensi) dilakukannya praktik-praktik yang berkaitan dengan kekuatan gaib oleh seseorang ataupun yang berprofesi sebagai dukun. Pengaturan tersebut berbeda dengan rumusan dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP seperti telah disebutkan di atas bahwa rumusan tersebut lebih dominan berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang mengacu kepada bentuk-bentuk penipuan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pengadilan yang berbeda dengan rumusan
perbuatan
dalam
Pasal
293
RUU
KUHP.
Pencegahan
atau
pemberantasan terpusat pada profesi atau pekerjaan dengan menggunakan kekuatan gaib yang dipandang merugikan orang lain. Kriminalisasi terhadap perbuatan yang berkaitan dengan kekuatan gaib disejajarkan atau dikelompokkan ke dalam delik-delik mengenai penawaran untuk melakukan tindak pidana yang berdekatan dengan Pasal 162 dan 163 KUHP, yang di dalam RUU KUHP 2012 menjadi Pasal 291 dan Pasal 292 RUU KUHP 2012 yang menentukan:
121
122
Pasal 291 RKUHP 2012: Setiap orang yang dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 292 RKUHP 2012: (1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terlihat oleh umum, yang berisi penawaran untuk member keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud agar penawaran tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g.
Perluasan dari bentuk penawaran untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib diatur dalam: Pasal 293 RUU KUHP 2012 yang menentukan (1) setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 ( satu per tiga)
123
Unsur-unsur dari Pasal 293 RUU KUHP tersebut yakni: a. Perbuatan,
perbuatan
tersebut
berupa
menyatakan
dirinya
mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan jasa, atau memberikan bantuan jasa. b. Perbuatan tersebut ditujukan terhadap orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang. Ada dua belas (12) macam perbuatan yang dilarang jika dihubungkan dengan objek tindak pidana, maka rumusan tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi dua belas (12) macam perbuatan yang diatur yakni: a. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit; b. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian; c. Tindak pidana menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib pada orang lain karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau penderitaan fisik; d. Tindak pidana memberitahukan bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit; e. Tindak pidana memberitahukan
bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan kematian; f. Tindak pidana memberitahukan harapan bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau penderitaan fisik;
124
g. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit; h. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian; i. Tindak pidana menawarkan jasa atau memberikan bantuan jasa pada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang; j. Perbuatan mencari keuntungan k. Perbuatan sebagai pencaharian l. Perbuatan sebagai kebiasaan Setelah diidentifikasi, maka rumusan tindak pidana dengan menggunakan kekuatan gaib
dalam Pasal 293 RUU KUHP hanya terpenuhi satu unsur
perbuatan yang menyebabkan tiga (3) akibat perbuatan yakni dalam unsur perbuatan pada huruf (a), (b), dan (c). di luar dari itu sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan dengan penggunaan kekuatan gaib. Dengan demikian semakin jelas bahwa memang tindak pidana tersebut bukan tindak pidana kekuatan gaib dalam arti perumusan yang materiil melainkan tindak pidana yang mengatasnamakan kekuatan gaib untuk melakukan suatu kejahatan dalam rumusan formil. Perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam huruf (d), (e), (f), (g), (h), (i), (j), (k), (l) di atas bukan termasuk sebagai perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib oleh sebab rumusan unsur
tersebut terpisah dengan rumusan perbuatan dengan
125
menyatakan kekuatan gaib. Dalam teori kriminalisasi sebagaimana yang disebutkan di atas oleh Sudarto bahwa salah satu ukuran kriminalisasi adalah penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Kelampauan beban tugas ini berkaitan dengan perumusan pasal yang berlebihan (over criminalization) serta rumusan pasal yang dapat menimbulkan multitafsir sehingga dalam tahapan imlementasi nantinya tidak akan efektif untuk pencegahan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib maupun untuk melindungi seseorang dari tindakan main hakim sendiri. Perumusan pasal 293 RUU KUHP merumuskan jenis perbuatan yang berlebihan terlihat dari unsur-unsur pasal yang harus dibuktikan satu per satu jika terjadi suatu tindak pidana berkaitan dengan rumusan pasal tersebut. Perumusan Pasal 293 RUU KUHP dimaksudkan untuk memperluas jangkauan Pasal 291 RKUHP 2012 kepada bentuk bantuan yang lebih khusus dan dijadikan sebagai delik yang berdiri sendiri. Bentuk bantuan yang lebih khusus dan berdiri sendiri telah dirumuskan dalam rumusan pasal yang lain, hal ini terlihat dari: Pasal 333 KUHP menentukan: (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
126
Pasal 349 KUHP menentukan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 415 KUHP menyebutkan: Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berarga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 417 menyebutkan: Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja menggelapkan, mengahcurkan, merusakan atau membuat tak dapat dipakai barang-barang yang diperutukan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, suratsurat atau daftar-daftar yang dikuasainya karena jabatannya, atau membiarkan orang lain mengilangkan, menghacurkan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Unsur perbuatan dalam suatu rumusan delik merupakan unsur pokok yang menjadi identitas dan ciri khas dari delik tersebut. Pada rumusan Pasal 293 RUU KUHP, pembentuk undang-undang telah merumuskannya dalam bentuk delik formil yaitu delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sehingga Pasal 293
127
tidak memandang bahwa akibat dari perbuatan itu harus telah timbul, karena esensi dari suatu delik dalam kategori formil ada pada perbuatannya sendiri yang telah bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang hukum pidana dan telah diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan unsur kekuatan gaib dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP menurut peneliti bukanlah sebagai perbuatan melainkan isi dari sebuah pernyataan. Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief yang merupakan salah satu tim penyusun RUU KUHP menjelaskan bahwa pasal tersebut bukan merupakan delik, akan tetapi merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang melarang bantuan melakukan tindak pidana. Pelarangan itu kemudian diperluas, termasuk dalam bantuan non fisik, meskipun dalam KUHP peninggalan hukum Belanda yang dimaksudkan hanya menggunakan sarana fisik, akan tetapi menurut beliau di Indonesia ada bantuan non fisik. Hal ini menjadi relevan dirumuskan dalam RUU KUHP Indonesia dalam bentuk perumusan yang formil bukan bentuk perumusan yang bersifat materiil. Pengaturan ini bertujuan untuk menegakan keadilan terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun yang dihakimi secara massal. Pendekatan kebijakan yang pertama terkait dengan kebijakan sosial dalam rangka pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
163
163
Unsur kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.25
128
unsur yang paling kontroversial, sehingga menyebabkan para pakar dan ahli-ahli hukum terbuai oleh keberadaan unsur tersebut dan berkesimpulan bahwa kekuatan gaib telah ditarik oleh pembentuk undang-undang ke dalam ranah hukum yang sebenarnya sarat dengan logika pembuktian
secara rasional. Sebenarnya
ketentuan kekuatan gaib bukanlah menjadi unsur pokok dari rumusan Pasal 293 RUU KUHP tersebut, melainkan suatu isi atau muatan dari sebuah pernyataan. Kesalahpahaman terhadap perumusan
Pasal 293 RUU KUHP 2012
dengan muatan gaib tidak sedikit pandangan yang menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan rumusan pasal yang mengatur mengenai delik santet. Sesungguhnya yang diatur dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP tersebut bukan merupakan delik santet yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Mardjono Reksodiputro yang mengoreksi kesalahpahaman sejumlah orang terhadap rumusan Pasal 293 RUU KUHP menyatakan bahwa kesalahan bukan hanya pada penggunaan istilah santet dan model pembuktian, tetapi juga rumusan dan mekanisme pembuktian. Masyarakat sering menyebut Pasal 293 RUU KUHP 2012 sebagai pasal santet, serta masalah santet ini terus mengusik ranah hukum. Padahal menurut Mardjono Reksodiputro sama sekali tidak menemukan istilah santet dalam rumusan batang tubuh dan penjelasan RUU KUHP, Akan tetapi yang tertulis adalah istilah kekuatan gaib. Kesalahan penggunaan istilah itu berimbas pada persepsi sebagian orang bahwa yang ingin dikenai dalam pasal itu adalah santetnya atau gaibnya, padahal sebenarnya yang menjadi target adalah orang yang menipu yang selanjutnya Mardjono lebih menyebut Pasal 293 RUU KUHP
129
sebagai tindak pidana penipuan khusus.164 Dengan apa yang diungkapkan tersebut bahwa Pasal 293 dipandang sebagai suatu tindak pidana penipuan khusus sudah seharusnya dalam rumusan sanksi tersebut lebih berat dari ancaman sanksi terhadap bentuk penipuan biasa. Banyak pandangan yang mengulas mengenai tindak pidana dengan kekuatan gaib dengan cara melakukan kajian perbandingan hukum pidana. Kajian tersebut menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa dibeberapa negara
tindak
pidana dengan kekuatan gaib ada yang dirumuskan perbuatan gaibnya dan ada yang dirumuskan perbuatan menawarkan jasa melakukan
kejahatan dengan
menggunakan kekuatan gaib. Kajian terhadap hukum acara terkait dengan pembuktian kejahatan melalui kekuatan gaib belum ditemui dalam buku-buku hukum pidana di indonesia dikarenakan sangat sulit mencari negara yang memiliki undang-undang tindak pidana kekuatan gaib sekaligus hukum acara pidana pembuktian, khususnya dalam hal pembuktian kejahatan dengan kekuatan gaib tersebut. setelah peneliti melakukan penelusuran, ditemukan salah satu negara tentangga indonesia yang memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Sihir sebagai lex specialis dari KUHP negara tersebut. Negara tersebut adalah Papua Nugini atau Papua New Guina yang terdapat pada Bab 274 tentang UndangUndang Sihir Tahun 1971 yang memberikan pengertian perbuatan menyihir yang berarti any act (including a traditional ceremony or ritual) that is intended to bring, or that purports to be able or to be adapted to bring, powers of sorcery into action, or to make them possible or carry them into effect (setiap tindakan, 164
Mardjono Reksodiputro, 2013, Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet, hhtp://m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015, pukul 10.00 Wita
130
termasuk upacara adat dan ritual, yang dimaksudkan untuk membawa atau harus disesuaikan untuk membawa kekuatan sihir ke dalam tindakan, serta membuat hal tersebut berlaku). Selain itu, di dalam undang-undang tersebut juga memberikan pengertian tentang sihir (sorcery) dan penyihir (sorcerer). Jenis-jenis tindak pidana sihir beserta pidana di dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Sihir
menurut Laporan Komisi Pembaharuan Hukum
dalam praktik sebagai berikut165: 1) Berpura-pura sebagai penyihir, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun penjara. 2) Menggunakan sihir untuk mempengaruhi orang lain, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun. 3) Melakukan sihir jahat dan membantu melakukan sihir jahat tersebut, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 5 tahun. 4) Menyediakan sesuatu untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 8 tahun. 5) Memiliki peralatan untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 1 tahun. 6) Percobaan melakukan sihir, pidananya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.
165
Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini, http://samardi/2013/06/05/soalhap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 14.00
131
7) Berpura-pura melakukan sihir atau memberikan ramalan atas nasib, pidana penjara 1 tahun. 8) Menuduh orang lain melakukan sihir, pidana penjara 1 tahun. Berdasarkan hal tersebut, menarik dari Undang-Undang tentang Tindak Pidana Sihir di negara Papua Nugini adalah klasifikasi dari bukti yang dapat digunakan dalam hukum acara pidana. Menurut undang-undang ini, alat bukti yang ada di sini menyimpangi alat bukti yang sudah menjadi kebiasaan dalam hukum acara pidana di Papua Nugini.
Menurut Komisi Pembaharuan untuk
reformasi hukum Papua Nugini menyebutkan bukti dalam kasus sihir tidak ditentukan secara ketat, dalam artian majelis hakimlah dalam kasus per kasus yang akan melakukan pemeriksaan dalam proses peradilan, atau dengan kata lain pengamatan hakim dipersidangan juga dapat berperan sebagai alat bukti tersendiri. Papua nugini selain mengakui hukum positif juga mengakui hukum acara pidana Adat, dalam konteks adalah mengenai hukum acara pidana adat yang berkaitan dengan tindak pidana sihir. Dasar diberlakukannya adalah UndangUndang Pengadilan Desa tahun 1973, pada bab Peraturan Pengadilan Desa tahun 1974 dimana perbuatan sihir merupakan perbuatan yang dilarang. Pengadilan desa sendiri dipimpin oleh “sesepuh” yang ditunjuk berdasarkan kemampuannya atas pilihan warga desa tersebut. pembuktian terhadap perbuatan menyihir lebih mudah dibuktikan di Pengadilan Desa dikarenakan tidak terikat pada alat bukti sebagaimana tertuang dalam hukum positif. Untuk menentukan seseorang
132
memiliki kemampuan sihir Pengadilan Desa dapat memperhatikan beberapa hal yaitu:166 1. Ketokohan, tidak semua orang di desa dapat melakukan sihir, oleh sebab itu maka hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan sihir, karena sifatnya tertentu maka diidentifikasi lebih mudah. 2. Gaya hidup, orang yang memiliki ilmu sihir mempunyai gaya hidup berbeda dari masyarakat biasa mulai dari pakaian, cara bicara, dan makanan. 3. Tes, orang tersebut dites dengan beberapa tes dan disimpulkan oleh “sesepuh” memiliki kekuatan sihir atau tidak. 4. Ekspos, maksudnya adalah apakah masyarakat disekitar desa tersebut membicarakan atau bahkan bercerita tentang kehebatan seseorang yang memiliki ilmu sihir.167 Beberapa kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria tersebut mirip dengan alat bukti petunjuk atau pengamatan untuk menentukan seseorang adalah penyihir atau bukan. Rumusan pasal demikian dapat dikategorikan sebagai perumusan dalam bentuk delik materiil.
Di indonesia perbuatan-perbuatan
demikian sangat sulit diidentifikasikan karena begitu banyaknya bentuk-bentuk kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya. Hal yang paling menonjol terhadap reaksi keberadaan kejahatan ini adalah kecenderungan warga masyarakat terutama masyarakat lokal menstigma atau menuduh seseorang secara sewenang-wenang bahkan berujung 166
Ibid.,h.3 Ibid.
167
133
pada tindakan main hakim sendiri terhadap warga masyarakat yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib. Berdasarkan hal tersebut perumusan Pasal 293 bukan merupakan pasal yang mengatur mengenai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara materiil, melainkan salah satu unsur perbuatan untuk mengatasi masalah sosial terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Masalah sosial di sini adalah berupa adanya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan praktek-praktek kekuatan gaib yang dipandang telah mengganggu ketertiban sosial dalam masyarakat. Tujuan utama dalam perumusan pasal ini adalah dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat sehingga tindakantindakan seperti dimaksud tidak akan terulang dengan keberadaan aturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan umum Pasal 293 RUU KUHP yang menyebutkan: Ketentuan Pasal 293 dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimasuksudkan juga untuk mencega secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh ( santet) Konsep Pasal 293 RUU KUHP 2012, terjadi ketidaksesuaian dengan penjelasan dari pasal tersebut. Dalam penjelasan pasal tersebut, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 293 RUU KUHP 2012 dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), penggunaan ilmu hitam disini tidak terkait secara eksplisit dengan penggunaan
134
istilah kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 sehingga menimbulkan bias pemaknaan. Penjelasan pasal tersebut juga tidak memberikan gambaran yang jelas dari bunyi pasal yang sebenarnya merupakan perbuatan perluasan dari tindakan penawaran untuk melakukan tindak pidana dengan mengatasnamakan kekuatan gaib. Mengenai perbuatan menyantet atau menenung yang dilakukan oleh si pelaku itu sendiri, telah diuraikan di atas mengenai
perundang-undangan
Majapahit yang mengatur mengenai delik santet di dalam Pasal 13 Perundangundangan Majapahit yang menyebutkan: Barang siapa menulis orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa yang menanam boneka tepung bertuliskan nama kuburan, menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan simpang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya. Barang siapa menuliskan nama orang lain di atas tulang, di atas tengkorak dengan arang, darah atau trikatuka dan kemudian merendamnya di dalam air, atau menanamnya di tempat penyiksaan, perbuatan tersebut menenung.168
Bentuk perumusan delik dalam Perundang-undangan Majapahit di atas cukup operasional, karena unsur-unsur delik yang dirumuskan di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasikan secara nyata. Ada dua bentuk perumusan tenung/menenung dalam Perundang-undangan Majapahit tersebut, yaitu: 1) Unsur-unsur tenung dalam perumusan alinea ke-1:
168
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit., h.296
135
a)
Menulis nama orang lain: di atas kain orang mati, di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk boneka
b)
Menanam boneka tepung yang bertuliskan nama dikuburan
c)
Menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan simpang.
2) Unsur-unsur menenung dalam rumusan alinea ke-2 a)
Menuliskan nama orang: di atas tulang, di atas tengkorak.
b)
Nama itu ditulis dengan arang, darah, dan trikatuka,
c)
Merendamnnya di dalam air, dan
d)
Menanamnnya di tempat penyiksaan.169
Memperhatikan unsur-unsur di atas jelas terlihat bahwa sasaran norma (larangan) yang ditujukan pada perbuatan yang dapat diidentifikasikan dan dibuktikan. Jadi, tidak disyaratkan adanya akibat dari perbuatan tenung atau menenung tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perundangundangan Majapahit juga berorientasi pada tujuan preventif seperti dalam pengaturan Pasal 293 RUU KUHP. Bedanya perbuatan-perbuatan dalam perundang-undangan Majapahit mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib lebih mudah diidentifikasi karena berkaitan dengan situasi, kondisi, alam budaya, yang berkembang pada saat itu yang berbeda dengan cara-cara melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib pada saat sekarang yang berubah dengan cepat sehingga kesulitan untuk dapat dilakukan pengidentifikasian yang berbeda dengan rumusan Pasal 239 RUU KUHP.
169
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
136
Secara konseptual sebagai bagian dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare) perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam melakukan kejahatan merupakan suatu perbuatan
yang
dipandang
tercela.
Banyak
persepsi
masyarakat
yang
menggolongkan Pasal 293 RUU KUHP 2012 merupakan pasal yang mengatur tentang santet, yakni sebuah kejahatan yang oleh masyarakat indonesia yang dipandang sangat tercela akan tetapi keberadaanya tidak dapat dijangkau oleh hukum. Dari sudut kriminologi, santet dapat dikonstantir sebagai perilaku menyimpang sebab kriminologi tidak saja mempunyai sasaran penelitian hal-hal yang oleh negara atau hukum dinyatakan terlarang. Tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap tidak disukai, sekalipun tidak diatur oleh hukum pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat memang tidak menyukai kehadiran perbuatan tersebut yang terbukti dari adanya reaksi sosial terhadap seseorang yang diduga menjadi dukun santet.170 TB Ronny Nitibaskara berpendapat, dipandang dari sudut kirminologis Pasal 293 RUU KUHP sudah memiliki rumusan formil yang baik, namun masih banyak pihak melihat isi pasal tersebut dari sudut pandang delik materiil. Mengenai ilmu gaib sendiri banyak dipraktekkan di Indonesia, hampir diseluruh diwilayah Indonesia. Kenyataanya, fakta sosial menunjukkan bahwa ilmu gaib di desa-desa di Indonesia sudah mendarah daging hingga menjadi mekanisme untuk menyelesaikan sengketa antar warga. Walaupun keampuhan dan kebenaran
170
Ronny Nitibaskara, 2002, Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http:www//kejahatan metafisis/.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2015
137
kekuatan gaib tidak pernah dapat dibuktikan namun hal itu telah menjadi bagian dalam kehidupan penduduk sehari-hari.171 Berdasarkan dari semua pandangan terhadap perumusan Pasal 293 RUU KUHP maka tujuan yang hendak dicapai ialah untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat berkaitan dengan adanya tindakan anarkis masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib.
Perumusan Pasal 293 RUU KUHP berkaitan
dengan pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, dalam bidang pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan
subtansi
hukum
(legal
substance)
dalam
rangka
lebih
mengefektifkan penegakan hukum. Perumusan Pasal 293 RUU KUHP merupakan kelanjutan politik hukum dalam KUHP berkaitan dengan Pasal 545, 546, dan 547 KUHP yang saat ini berlaku. Faktanya pasal-pasal KUHP tersebut tidak pernah diberlakukan terhadap pelanggar pasal tersebut, tidak pernah terjadi penegakan hukum terhadap yang melanggarnya. Perumusan ketentuan Pasal 293 RUU KUHP merupakan penegasan dalam rangka untuk mengefektifkan penegakan hukum yang selama ini tidak efektif akibat adanya pemaknaan norma kekuatan gaib yang tidak jelas, dalam rangka untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap orang yang dituduh melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib. Akan tetapi perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 memuat banyak bentuk 171
Tb Ronny Nitibaskara I, Op.Cit., h.8
138
perbuatan di luar perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib, sehingga pemaknaannya menjadi bias yang tidak sesuai dengan tujuan dari perumusan pasal tersebut. Indikator penegakan hukum yang baik berawal dari substansi hukum yang jelas sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan penyimpanganpenyimpangan yang tidak dikehendaki. Hal ini sesuai dengan pendapat Otje Salman dan Anton F.Susanto bahwa pembangunan hukum ini harus mencakup tiga aspek yang secara simultan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (legislation planning), proses pembuatannya (law making), sampai kepada penegakan hukum (law enforcement),
yang
dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.172 Perubahan paradigma yang menempatkan perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib sebagai suatu kejahatan dan dipidana berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan anti sosial yang banyak meresahkan masyarakat. Terlebih dari itu perlindungan terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib mengalami tindakan anarkis berupa pengeroyokan massal, pembakaran rumah, menjadi hal yang prioritas dalam rangkan perlindungan Hak Asasi Manusia. Pencegahan terhadap dua bentuk perbuatan dalam suatu undang-undang merupakan hal cukup rumit. Berdasarkan dari segi pendekatan nilai, perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 harus berbeda dengan muatan nilai yang terkandung dalam KUHP yang 172
Otje Salman dan Anton F Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 154
139
berlaku saat ini. Ditinjau dari nilai sosio politik pembentukan pasal 293 RUU KUHP merupakan langkah kebijakan yang dibentuk oleh lembaga legislatif berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Nilai
sosiofilosofis berkaitan dengan esensi dari perumusan pasal tersebut yang bersumber dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, sebagai bahan dasar dari suatu perumusan aturan-aturan hukum di Indonesia. Muatan sosio kultural dalam Pasal 293 RUU KUHP sangat kental terlihat dari unsur pernyataan dengan kekuatan gaib, hal ini mencerminkan bahwa RUU KUHP yang sedang di bahas saat ini sebagian besar ketentuan-ketentuannya mengacu kepada keadaan sosial kultural bangsa Indonesia. Terpenuhinya syarat yuridis, sosiologis, filosofis, maka undang-undang diharapkan akan menjadi hukum yang responsif. Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas Nonet dan Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadap liberal realism. Nonet dan Selznick menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi tercapainya keadilan dan emansipasi publik.173hal ini sesuai dengan keadaan sosial bangsa Indonesia terkait dengan perumusan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Pengaruh sosial dari adanya kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU KUHP tidak hanya berdampak positif melainkan memiliki dampak negatif pula dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan substansi dari isi atau muatan
173
Bernald L.Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Yage, Op.Cit, h. 183
140
sebuah pernyataan yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai sarana untuk melakukan kejahatan telah banyak menimbulkan kesalahpahaman dari segi rumusan pasal tersebut. Akan tetapi fokus kriminalisasi dalam Pasal 293 RUU KUHP ditekankan pada perbuatan menawarkan atau memberikan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib untuk membunuh atau mencelakakan orang lain. Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena dalam melaksanakan politik orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Politik kriminil dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar, ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataanya. Jadi diperlukan pula pendekatan
yang fungsional dan inipun
merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional. Apabila kejahatan dengan kekuatan gaib dikriminalisasikan sebagai delik materiil hal ini akan berdampak dari segi pembuktian karena kejahatan dengan kejahatan gaib merupakan suatu perbuatan yang irasional yang bertentangan dengan kriminalisasi dalam undang-undang yang berdasarkan pada tingkat rasionalitas dan sesuai dan memenuhi unsur-unsur dalam proses kriminalisasi.
141
4.2. Pengaturan Perbuatan dengan Menggunakan Kekuatan Gaib dalam Konsep yang Ideal Karakter magis dalam kasus perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang paradox bilamana diperhadapkan dengan sistem hukum modern yang serba formal dan rasional, karena alasan inilah KUHP sulit mengakomodir semua hal yang bersifat non kausatif. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa fakta tentang peristiwa-peristiwa yang sulit dinalar tetapi terjadi dalam realitanya. Fenomena semacam ini masih diakui eksistensinya oleh sebagian besar masyarakat di negara kita, serta bagi kalangan yang meyakini, kejahatan dengan kekuatan magis itu adalah ada dan dipandang mempunyai pengaruh jahat. Dari realitas ini, usulan kriminalisasi mengenai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib datang dari penggalian panjang atas realitas masyarakat sendiri melalui berbagai pendekatan. Latar belakang sosiologis dan faktual dari perumusan Pasal 293 RUU KUHP tersebut adalah adanya kepercayaan kejahatan dengan kekuatan gaib dalam masyarakat. Kemudian fakta berikutya seringkali terjadi tindakan main hakim sendiri kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Aksi main hakim sendiri ini terjadi karena tidak ada pengaturan dalam undang-undang yang mengatur kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib secara tegas. Dari pengertian mengenai kejahatan dengan kekuatan gaib yang sering dikenal dengan istilah santet, tenung, leak, di atas tentulah tidak mungkin bisa dijadikan tindak pidana. Kesulitannya bukan pada membuktikan
142
tentang wujud kelakuan atau perbuatan nyatanya, melainkan pada hubungan sebab dan akibat antara wujud nyata perbuatan dengan akibat.174 Berkaitan dengan perumusan perbuatan dengan ilmu gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP ditinjau dari sudut pembangunan tujuan hukum nasional yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata spiritual sesuai dengan Pancasila, berupaya untuk melindungi tindakan-tindakan anarkis massa yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Upaya pemerintah untuk menjamin kepastian hukum terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat bukan hal mudah, pengklasifikasian jenis tindak pidana penting untuk dilakukan dalam rangka untuk memperhitungkan biaya dan hasil akhir yang dikehendaki dari dikriminalisasikanya suatu norma dalam peraturan perundang-undangan. Pandangan dari sudut kriminologi, bahwa perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan manusia mencakup kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Pelaku kejahatan adalah orang yang telah melakukan kejahatan yang sering pula disebut sebagai penjahat. Sebagai perbuatan negatif, kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tentunya mendapat reaksi dari masyarakat tempat kejahatan itu terjadi. Reaksi ini berupa reaksi formal maupun reaksi informal. Dalam reaksi formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, artinya dalam masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut. Terhadap reaksi informal atau 174
Adami Chazawi, 2013, Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet, http:www//m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindak-pidana-santet//.ac.id diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm
143
reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan yang sudah diatur dalam hukum pidana yang dapat menyebabkan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Korban dalam hal perumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 bukan dimaksudkan terhadap korban yang mengalami penderitaan karena perbuatan gaib seperti santet, tenung, teluh dan sebagainya. Akan tetapi korban disini maksudnya adalah seseorang menjadi korban penipuan atas pernyataan seseorang. Lebih sulit lagi permusan pasal ini menyertakan akibat dari suatu pernyataan yang dapat menyebabkan kematian atau mencelakakan orang lain yang sejatinya sangat sulit untuk dibuktikan, oleh sebab tidak akan ada seseorang yang melaporkan bahwa seseorang tersebut mengalami penipuan akibat dari ditipu oleh orang yang mengaku mempunyai kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Sedangkan korban yang kedua adalah seseorang yang telah dituduh melakukan kejahatan gaib yang dihakimi masa tanpa mempertimbangkan kebenaran yang sebenarnya, karena warga Indonesia cenderung mempercayai suatu perbuatan yang tidak berdasarkan fakta, hanya berdasarkan praduga-praduga. Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga Tahun 1970 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional. Kepercayaan
masyarakat terhadap kejahatan dengan kekuatan gaib
144
inilah yang sering melahirkan reaksi sosial yang membuahkan tindakan kejahatan. Tindakan tersebut seperti pengeroyokan, penganiayaan berat, pembunuhan berencana sampai dengan pembakaran menjadi perhatian para ahli hukum dan tokoh masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barda Nawawi Arief bahwa: pengaturan tersebut untuk mencegah tindak penghakiman masal. Sebab, selama ini orang yang diduga menggunakan ilmu hitam langsung ditindak oleh masyarakat tanpa melibatkan penegak hukum. Apabila itu tidak diatur, kenyataanya orang Indonesia main hakim sendiri, dukun santet dibunuh. Oleh karena itu, setelah melakukan kajian ilmiah di tiap wilayah dan seminar berulang kali, para ahli hukum pidana pun menyarankan agar hal itu dimasukan dalam RKUHP yang disusun pemerintah.175 Sebenarnya, bukan hanya mekanisme kejahatan kekuatan gaib itu sendiri yang harus dikaji secara empiris. Dalam masalah ini mengandung dua hal penting yang menjadi masalah yakni apakah reaksi sosial atas isu kejahatan dengan kekuatan gaib yang membuahkan kejahatan ataukah korban dari perbuatan dengan kekuatan gaib tersebut. Masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan kekuatan gaib umumnya menganggap hukum tidak mampu memberikan perlindungan. Oleh karena itu, mereka mengambil jalan keadilannya sendiri, disinilah letak dilemanya mereka yang menjadi korban, baik yang terkena langsung maupun yang hanya merasa di bawah ancaman kekuatan gaib, harus menerima akibat hukum dari reaksi pembelaan yang dilakukannya.. Keinginan
untuk
mengangkat
bukti-bukti
kejahatan
dengan
menggunakan kekuatan gaib ke permukaan, jelas tidak akan mungkin karena 175
Barda Nawawi Arief, 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana Menurut Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http:www//m.kaskus.ac.id// pada tanggal 15 Januari 2015 pukul 17.00 WITA
145
kejahatan dengan kekuatan gaib berada dalam entitas alam yang lain. Karena hal ini sulit dibuktikan, maka orang lari dari dugaan penipuan, serta dampak dari pasca kejahatan kekuatan gaib inilah yang banyak menimbulkan tindakantindakan yang dapat dimasukan ke dalam kasus tindakan perbuatan pidana. Di mana tindakan tersebut tertuju terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib seperti dukun santet, teluh, tenung dan lain sebagainya seperti pengeroyokan masal, pembakaran, fitnah atau pengerusakan nama baik dan tindakan main sendiri lainnya. Hal ini dikarenakan dugaan-dugaan tersebut hanya berdasarkan anggapan bahwa orang yang dijadikan sasaran mereka untuk dikenai tindakan adalah orang yang sudah memiliki reputasi negatif di dalam masyarakat, padahal hal demikian adalah belum tentu dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Bambang Sri Herwanto selaku Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Mabes Polri tahun 2013 mengatakan bahwa Pasal 293 RUU KUHP menonjolkan larangan terhadap propaganda atau promosi jasa praktik magis untuk mencegah adanya usaha penipuan masyarakat. Caranya dengan memberikan harapan melalui kekuatan magis yang tidak perlu dilengkapi dengan adanya akibat magis yang ditimbulkan karena pembuktian yang sulit. Bambang mendukung adanya perkara soal kekuatan gaib dalam perundang-undangan karena pada reliatasnya memang benar terjadi.
176
Akan tetapi perumusan terhadap larangan
penggunaan kekuatan gaib harus dirumuskan secara rasional dalam rangka untuk
176
Bambang Sri Herwanto, Op.Cit. h.1
146
mencegah dan menanggulangi kejahatan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan sosial. Aturan harus membuat masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri pada orang yang di duga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib. Dalam hal pembuktian kejahatan gaib harus menggunakan bukti dan saksi secara jelas dan pasti. Kebudayaan mempengaruhi hukum dalam masyarakat. Mistik sebagai pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Proses kebudayaan mempengaruhi hukum menjadi budaya hukum. Secara filosofis, keberadaan mistik dalam budaya hukum dapat dilihat dari tiga aspek yaitu, aspek ontologism, aspek epistemologi, dan aspek aksiologis. Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik budaya hukum terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat serta harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis seperti yang terumus dalam Pasal 293 RUU KUHP. 177 Berdasarkan dikemukakan Max
bentuk-bentuk
karakteristik
perilaku
sosial
yang
Weber yaitu pertama, perilaku sosial masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua, bawa perilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu yang bersifat afektif atau emosional. Keempat, merupakan perilaku sosial yang 177
Dian Onasis, 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya dengan Budaya Hukum Indonesia, http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauanfilsafat-ilmu-terhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia. diakses pada tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM
147
diklasifikasikan sebagai tradisional yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan perilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian menjadi bagian dari budaya.178 Dengan demikian tindakan anarkis berupa tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib merupakan perilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional karena mengabaikan hak-hak seorang warga negara yang diduga melakukan kejahatan gaib dalam negara hukum. Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 RUU KUHP seperti yang telah dikemukakan di atas cenderung overcriminalisation serta menimbulkan multitafsir
tidak menempatkan pencegahan terhadap kejahatan terhadap
perbuatan gaib dalam satu rumusan yang ideal, melainkan mencakup perbuatanperbuatan lain yang tidak dalam kategori sebagai kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa unsur dalam perumusan Pasal 293 RUU KUHP meliputi dua belas (12)
jenis perbuatan
pidana, yang memenuhi unsur larangan dengan menggunakan kekuatan gaib hanya 3(tiga) perbuatan. Hal ini tidak efektif bila nantinya digunakan dalam penegakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan kekuatan gaib, karena harus memenuhi unsur perbuatan dalam rumusan Pasal 293 RUU KUHP 2012 yang begitu banyak. Berdasarkan kajian terhadap rumusan tersebut, maka menurut pendapat peneliti rumusan yang ideal dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012 yakni: 178
Ibid., h.4
148
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan menawarkan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib bahwa karena perbuatannya menimbulkan harapan yang dapat menyebabkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Rumusan pasal demikian lebih mengacu kepada larangan terhadap penggunaan-penggunaan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan. Rumusan kekuatan gaib lebih jelas bahwa hanya merupakan sebuah isi dari sebuah pernyataan dengan perumusan yang bersifat formil, bahwa yang dibuktikan adalah perbuatan menyatakan diri dan menawarkan jasa dengan mengatasnamakan kekuatan gaib bukan akibat dari perbuatan seperti penyakit, kematian, penderitaan fisik atau mental sebagai akibat dari penawaran jasa dengan menggunakan kekuatan gaib yang dibuktikan. Seperti yang telah diketengahkan di atas bahwa tujuan dari perumusan pasal ini untuk menghindari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat terhadap seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Apabila ada seseorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan, maka masyarakat harus melaporkan terlebih dahulu kepada aparat penegak hukum jika suatu saat rancangan tersebut disahkan. Masyarakat tidak boleh mendahului aparat penegak hukum untuk menindak seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum
149
adalah adanya perlindungan hak asasi manusia. Aparat penegak hukum akan mengkualifisir bentuk perbuatan seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sesuai dengan pasal yang mengatur kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang untuk sementara diatur dalam Pasal 293 RUU KUHP 2012. Persoalan yang akan dicari adalah apakah benar pelaku yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib tersebut menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib atau menawarkan jasa dengan menggunakan kekuatan gaib. Bukan persoalan mengenai penyakit, kematian, penderitaan fisik atau mental yang dilakukan oleh seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib. Dengan demikian seorang yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dapat diatasi melalui penegakan hukum yang rasional guna melindungi hak warga masyarakat Indonesia dari penghakiman massal secara sewenang-wenang. Pengaturan perbuatan dengan mengatasnamakan kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP selain memiliki kelemahan dari segi perumusan delik dengan perumusan yang terlalu berlebihan, juga berlebihan dari segi penambahan ayat (2), Apabila diperhatikan subtansi keseluruhan Pasal 293 RUU KUHP tersirat merupakan suatu larangan terhadap kejahatan seseorang yang dikualifisir sebagai bentuk lain dari kejahatan penipuan, yang kemudian mungkin akan dikenal sebagai penipuan dalam bentuk khusus. Bagaimana mungkin adanya bentuk penipuan tanpa mencari keuntungan, atau hanya merupakan kebiasaan
150
menipu dengan tidak mencari keuntungan. Sebenarnya, tanpa ayat (2) dalam pasal itu pun sudah tersirat pada ayat (1), dengan adanya frasa “menawarkan atau memberikan jasa kepada orang lain” ini sudah menunjukkan mencari keuntungan atas perbuatan itu. Berkaitan dengan ancaman pidana bagi pelaku perbuatan dalam Pasal 293 RUU KUHP berdasarkan teori pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran-sasaran yang hendak dicapai dan konsekuensikonsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu saat. Hal ini menumbuhkan pemikiran bahwa pengumspulan bahanbahan di dalam masalah ini akan menunjang pemecahan masalahnya dengan cara yang
sebaik-baiknya.179Perkembangan
pembaharuan
hukum
pidana
dan
pemidanaan saat ini telah memasuki era baru dari konsep reaksi pemidanaan tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan, salah satunya pendapat Tolid Setyadi menyebut pidana denda sebagai bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara. Pidana denda merupakan hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembangkan keseimbangan hukum sebagai penebus dosa dengan pembayaran sejumlah uang.180 Ancaman pidana dalam Pasal 293 RUU KUHP merupakan
179
Tolib Setyadi, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 64 180
Ibid., h.54
151
ancaman pidana berupa pidana penjara atau pidana denda yang dirumuskan secara komulatif atau alternatif dengan pidana penjara. Hal ini menunjukkan diskresi bagi hakim nantinya dalam memutuskan kesalahan seseorang berdasarkan faktafakta kasuistis dengan fakta-fakta hukum dalam persidangan. Praktik-praktik kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib yang banyak menimbulkan tindakan anarkis masyarakat secara nyata ada dalam kehidupan masyarakat yakni kejahatan dalam arti sosiologis dan kejahatan dalam arti yuridis. Andi Hamzah memaknai pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman. Kemudian diperluas kembali bahwa pemberian pidana meliputi dua arti yakni: a. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abtracto) b. Dalam arti khusus ialah, menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.181 Penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib harus berorientasi dalam upaya-upaya untuk mereduksi kejahatan melalui pendekatan humanistis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mochtar Kusumatmaja dan Barda Nawawi Arief ketika membahas mengenai tujuan hukum. Mochtar
181
Ibid., h. 22
152
Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila mereduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. 182Barda Nawawi berpendapat bahwa: Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tersebut (membentuk manusia Indonesia seutuhnya) maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting karena hanya kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai-nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.183 Mengenai pendekatan humanistik sebagaimana disebutkan oleh Barda Nawawi Arief, maka Soedarto menjelaskan pembaharuan hukum pidana tetap berkisar kepada manusia sehingga ia tidak boleh sekali-kali meninggalkan nilainilai kemanusiaan, ialah kasih sayang terhadap sesama.184 Immanuel Kant yang menyatakan bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Disini hukuman itu merupakan pembalasan yang etis.185 Pemidanaan dan pidana bagi pelaku kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam RUU KUHP 2012 perlu diarahkan kepada kepentingan dari penjatuhan pidana itu sendiri yakni penanggulangan kejahatan, pembinaan bagi pelaku, dan yang terpenting 182
Mohctar Kusumaatmaja, Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h.2 183
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h.32
184
Barda Nawawi Arief I., Op.Cit., h.40
185
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 27
153
mengindari seorang menjadi korban penghakiman massal. Oleh sebab itu formulasi mengenai pidana harus sesuai dengan prinsip dasar nilai-nilai kemanusiaan. Berkenaan
dengan
teori-teori
mengenai
tujuan
pemidanaan
dan
humanisasi pemidanaan bahwa pidana penjara yang diancamkan pada Pasal 293 RUU KUHP akan efektif menanggulangi kejahatan dengan kekuatan gaib dan mencegah praktik main hakim sendiri oleh masyarakat. Jenis pidana ini boleh dikatakan telah mendunia, karena jenis pidana penjara hampir dapat ditemui pada setiap negara di dunia. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan dengan masalah efektivitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara itu.
186
Ancaman pidana penjara terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan
kekuatan gaib dalam Pasal 293 RUU KUHP masih berupa pidana penjara diharapkan dapat memberikan efek pencegahan terhadap kejahatan tersebut jika pasal 293 RUU KUHP jika suatu saat disahkan. Kriminalisasi dalam perumusan Pasal 293 RUU KUHP bukan sematamata ditujukan untuk pembalasan, melainkan untuk perlindungan serta membentuk suatu hukum pidana yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. menjawab tuntutan masyarakat terhadap upaya pemerintah melindungi hak-hak warga negara yang ditetapkan melalui peraturan hukum yang jelas sehingga tidak
186
Barda Nawawi Arief I, Op.Cit. h. 46
154
menimbulkan
tindakan
sewenang-wenang
dalam
masyarakat.
Hasil-hasil
maksimum harus dicapai dengan biaya yang minimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi indvidu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi. Perumusan pasal 293 RUU KUHP
sesuai dengan pandangan aliran
sejarah hukum dari Von Savigny yang telah menegaskan bahwa hukum harus sesuai dengan jiwa suatu bangsa (volkgeist). Bangsa indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, adat, budaya, tradisi, sudah seharusnya menentukan pengaturan hukum yang sesuai dengan karakter masyarakat hukum Indonesia. kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap warga yang diduga melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatan gaib sebagai dasar dalam kriminalisasi Pasal 293 RUU KUHP 2012. Pengaturan tersebut perlu dalam rangka untuk menjaga keseimbangan antara pelaku dan korban kejahatan. Rumusan pasal 293 RUU KUHP merupakan salah satu cerminan hukum yang berdasar situasi alam kondisi masyarakat Indonesia. sebagaimana Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan merupakan nilai fundamental, menghormati berbagai pandangan atau nilai-nilai yang bersifat heterogen, serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Indonesia
menganut sistem hukum tertulis yakni setiap perbuatan yang
bertentangan dengan ketertiban umum harus dituangkan dalam bentuk tertulis
155
dalam sebuah peraturan perundangan-undangan. Hal ini menjadi konsekuensi dari tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai tatanan kehidupan masyarakat harus diwujudkan dalam undang-undang. Indonesia mengenal kejahatan yang bersifat gaib, akan tetapi masyarakat juga menyadari betapa kesulitan untuk membuktikan maupun merumuskan kejahatan yang bersifat gaib dalam bentuk delik materiil ke dalam suatu undang-undang. Dengan demikian konsep yang ideal dalam rangka pembaharuan hukum pidana berkaitan dengan kejahatan dengan kekuatan gaib yang sering menimbulkan tindakan main hakim sendiri dikalangan masyarakat dirumuskan secara jelas dan berdasarkan dengan situasi kondisi alam budaya masyarakat Indonesia sehingga mampu menciptakan perlindungan dan kesejahteraan dalam masyarakat dengan karakter hukum bangsa Indonesia asli. Dalam rangka penanggulangan dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan anarkis yang terjadi dikalangan masyarakat Indonesia berkaitan dengan kepercayaan terhadap kekuatan gaib untuk melakukan kejahatan.
156
BAB V PENUTUP
5.1 SIMPULAN 1.
Pengaturan masalah perbuatan dengan mengunakan kekuatan gaib dalam KUHP telah diatur pelanggaran bagi kegiatan dengan menggunakan kekuatan gaib dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP. Pasal 545 yang mengatur larangan seseorang berprofresi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Pasal 546 melarang penjualan benda-benda yang berdaya magis, sedangkan Pasal 547 melarang seseorang untuk mempengaruhi jalannya sidang dengan menggunakan jimat dan mantra. Pasal-pasal ini tidak pernah digunakan oleh pihak Kepolisian dan Pengadilan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, oleh sebab perumusan norma yang tidak jelas dari segi pemaknaan terhadap kekuatan gaib serta berkaitan erat dengan suatu kepercayaan.
2.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur kejahatan yang mengatasnamakan kekuatan gaib sebagai bentuk tanggapan terhadap kegelisahan masyarakat atas ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti laporanlaporan tindak pidana yang berkaitan dengan kekuatan gaib. Dalam Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP 2012
dalam rumusannya menimbulkan
multitafsir norma yang merumuskan banyak perbuatan yang tidak dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib, sehingga dengan rumusan yang demikian tujuan dari pembentukan pasal tersebut sulit diterapkan. 156
157
5.2 Saran Pasal mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib memang masih mengalami pro dan kontra.
Sehingga peneliti dalam tulisan ini ingin
menyumbangkan hasil pemikiran melalui saran yakni: 1. Perbuatan-perbuatan mengenai kekuatan gaib yang diatur dalam Pasal 545, 546, dan 547 KUHP dalam perkembangannya dianggap bukan merupakan perbuatan yang melanggar dan merugikan orang lain sehingga sudah sepatutnya pasal-pasal tersebut didekriminalisaikan menjadi perbuatan yang tidak bertentangan dengan hukum. 2. Berkaitan dengan perumusan Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP 2012 mengenai perbuatan dengan menggunakan kekuatan gaib perlu pengaturan perumusan yang lebih tegas dan jelas mengenai perbuatan dengan kekuatan gaib yang diatur dengan mengkaji dan menggali jenis-jenis perbuatan tersebut dalam masyarakat agar nantinya dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penggunaan kekuatan gaib.
158
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Oemar Seno. 2004. Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta Adler, Freda , Gerhard O.W. Mueller, William S. Laufer, 2010, Criminology, Mc Graw Hill, AS Ali , Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), PrenadaMedia Group, Jakarta Arief Mansur, Didik M. dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Mutiara, Jakarta ________________. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang _______________. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada, Semarang ________________ dan Alumni, Bandung
Muladi, 2012, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Atmasasmita , Romli. 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publising, Yogyakarta Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana ( bagian 2), Rajawali Pers, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka utama, Jakarta. Dewi, D.S dan Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Depok. Fuadi, Munir . 2012. Teori-Teori Besar Dalam Hukum. Kencana Predana. Jakarta.
159
Abdussalam, H.R. dan Sitompul, DPM. 2007. Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta. Hamidi, Jazim. 2011. Hermenutika Hukum-Sejarah Filsafat dan Metode Tafsir, UB Press, Malang. Herriman, Nicholas . 2013. Negara dan Santet ketika Rakyat Berkuasa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Johnny. 2011, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya. Chambliss, J, William and Aida Y.Hass , 2011, Criminology, Connecting Theory, Research and Practice, Mc Graw Hill Companies, AS. KPK, 2013, Anotasi Delik Korupsi dan Delik lainnya yang berkaitan dengan Delik Korupsi dalam RUU KUHP, KPK, Jakarta. Kusumaatmaja, Mohctar. Tanpa Tahun Edisi, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung. Lamintang, P.A.F. dan Lamintang Francsscus Theojunior, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Lehmann, A.C, and Myers J.E. (eds), 1997, Magic, Witchraft and Religion: An Antropological study of the Supernatural, Mayfield Publising Co. California Leyh, Gregory. 2014. Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, dan Praktik, Nusa Media, Bandung. Lukito, Retno 2013, Tradisi Hukum Indonesia, IMR Press, Cianjur. M.Bohm , Robert and N. Haley Keith, 2007, Introduction to Criminal justice, McGraw-Hill, New York. Mahmud MD, Mohammad. 2009. Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Raja Grafindo Persada, Jakarta. Marpaung, Leden. 2008, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
160
Me. Grath W.T. 1976, Developping a Stable Base For Criminal Justice Planning, Abstracts on Criminology and Penology, Kluwer Deventer, Vol. 16 No.3. Mertokusumo, Sudikno. 2012. Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. __________________. 2014. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta Mulyadi, Lilik. 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktis, Alumni, Bandung Mustofa, Muhammad 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta _________________. 2014. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang Nasution , Bahder johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung Pangaribuan, Luhut M.P. Jakarta.
2013, Hukum Acara Pidana, Papas Sinar Sinanti,
Permana, Heru. 2007, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta Prakoso, Abintoro. 2013. Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta Prasetyo, Teguh. 2010. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung Rahardjo, Satjipto. 2009, Hukum dan Perilaku Hakum Yang Baik adalah dasar hukum yang baik, Kompas, Jakarta, h.9 ______________. 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta ______________. 2009, Hukum Progresif sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta ______________. 2012, Hukum Progresif (Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam Perspektif Teori Masalah, Pustaka Rizki Putra, Semarang
161
Reksodiputro, Mardjono. 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta Rukmini, Mien. 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Alumni, Bandung Runes, Dagobert.D. The Dictionary of Philosophy, Philosophical Library, New York Salman Otje dan Anton F Susanto. 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung Santoso, Topo dan Eva. Achjani. 2011. Pengantar Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta Saragih, Bintan R. 2006. Politik Hukum, Utomo, Bandung Setyadi, Tolib. 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier di Indonesia, Alfabeta, Bandung, Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta Soemantri, Sri . 1997. Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung ________________. 2005. Jakarta
Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Rajawali Press,
_________________. 2006. Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta _________________. 2012. Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung Sunarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung Sunarto, 2009, Alternatif Meminimalisasi Pelanggaran HAM dalam Penegakan Hukum Pidana, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung
162
Suriasumantri, Jujun S. 2009, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Suseno, Sigit. 2012. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP (Suatu Analisis), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta Sutton, Adam, Cherney Adrian, and white, Rob, 2008, Crime Prevention Principles, Perspectives and practices, Cambrige University Press, New York Suyono, R.P 2008. Ajaran Rahasia Orang Jawa, Lkis, Yogyakarta
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Rosdakarya, Bandung Tanya, Bernald L, N Simanjuntak Yoan, dan Yage Markus, 2013, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta Waluyo, Bambang . 2008. Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta Widnyana, I Made, 2013, Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana,Fikahati Aneska, Yogyakarta Jurnal Hukum Banjo Elstonsius dan Alfred Mainassy. 2014. Suanggi dalam Perspektif Hukum Pidana (Studi Kasus di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur, Jurnal Hukum UNIERA, Volume 3 No.1. Pundari, Ketut Nihan. 2011. Eksistensi Kejahatan Magis dalam Hukum Pidana, Jurnal Hukum, Universitas udayana, Denpasar. Runturambi, Josias Simon. 2003. Dukungan Sistem Kepercayaan dalam Kejahatan, Jurnal Hukum, Universitas Indonesia.. Warka, Made. 2006. Segi Hukum Praktek Teluh Dalam Masyarakat(Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Hukum Mimbar Keadilan.
163
Tesis Abdullah, Saiful. 2008. Kebijakan Hukum Pidana (penal) dan Non Hukum Pidana (Non Penal) Dalam Menanggulangi Aliran Sesat. Winandi, Wono. 2001. Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kerusuhan Massal pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi, (Tesis), Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.
Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012 (RUU KUHP 2012) Kitab Keadilan Hoekoeman Boeat Anak Negeri ( Boeke Strafwetboek voor Inlander) Tahun 1911 Internet Abi, Sultan. 2013. Masalah guna-guna dalam kehidupan masyarakat Indonesia, http:www.masalah/guna guna/ kehidupan/masyarakat/Indonesia/.ac.id, Adam, Muhammad . 2013. Dalam KUHP Pengaturan Kejahatan Santet Relevan dalam rangka pembentukan hukum nasional yang sesuai dengan karakter bangsa indoneseia, http:www//berita daerah/.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2012, pukul 13.30 WITA Arief, Barda Nawawi. 2013, Pro Kontra Hukum dan Santet dalam Pidana Menurut Ahli dan Masyarakat, di kutip dari http://m.kaskus.co.id// pada tanggal 15 Januari 2015 pukul 17.00 WITA Chazawi, Adami . 2013. Pasal 293 RUU KUHP Bukan Tindak Pidana Santet, http://m.kompasiana.com/post/read/pasal-293-ruu-kuhp-bukan-tindakpidana-santet//.ac.id diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 pm http://rustamcastello/solusi/hukum/pada/pratek/perdukunan// diakses pada tanggal 18 November 2014
164
Nitibaskara, Ronny Rahman 2013., Mengapa RUU KUHP tak Pernah Berujung?,http:www//catatan kriminalitas/ronny/.ac.id, Diakses 6 September 2014 Nitibaskara, Ronny. 2002. Sarasehan Metafisika, diceramahkan dalam Sarasehan Metafisika Study Club, tanggal 14 Juli di Jakarta, http://kejahatan metafisis/.ac.id diakses pada tanggal 25 Januari 2015 Nitibaskara, Tb. Ronny. Kejahatan Metafisis dan Permasalahannya dalam Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, http:// keahatan/metafisis/ permasalahan/ hukum/pidana/Indonesia/ac.id, diakses pada tanggal 25 Oktober 2014 pukul 10.00 Wita. Onasis, Dian. 2010, Tinjauan Filsafat Ilmu Terhadap Mistik dalam Hubungannya dengan BudayaHukum Indonesia, http:www.//hukum.kompasiana.com/2010/07/09/tinjauan-filsafat-ilmuterhadap-mistik-dalam-hubungannya-dengan-budaya-hukum-indonesia. diakses pada tanggal 12 Februari 2015 pukul 13.20. PM Rato, Dominikus. 2006, Perilaku Main Hakim Sendiri: Pembunuhan Tukang Santet, Sebuah Pendekatan Sosial-Budaya ( Di kalangan masyarakat Osing di kenal ilmu santet serupa, watuk gambiran, sabuk mangir, aran goyang, semar mesen, dan sebagainya. http://www. Tragedi Banyuangi 1998.co.id., di akses pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 11.00 Wita Reksodiputro, Mardjono. 2013. Koreksi Pemahaman atas Pasal Santet, hhtp:/www/m.hukumonline.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2015, pukul 10.00 Wita Ritasan, Anjani. 2003. Kumpulan Tragedi Sarat Misteri, http:// berita/ tragedy/ pembantaian/banyuangi/.ac.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.00 Wita Shafii Mufid, Ahmad. keberadaan kekuatan di luar nalar manusia, 2009, http://kekuatan/suprantural/manusia/diakses pada tanggal 28 oktober 2014 Soenarto, 2012, Tragedi Pembantaian Dukun Santet di Banyuangi, http//:www.jurnalis/berita/banyuangi/.co.id, diakses pada tanggal 1 oktober 2014, pukul 15.00 Wita Suryadi, Filsafat ilmu (Aristoteles), 2010, http:// media/ilmu/.co.id, diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 Samardi, 2013, pengaturan sihir di negara papua nugini, http://samardi/2013/06/05/soal-hap-sihir/, h.2 diakses pada tanggal 31 Maret 2015, pukul 14.00.