KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP EKSISTENSI ASAS DOMINUS LITIS DALAM PERSPEKTIF PROFESIONALISME DAN PROPORSIONALISME JAKSA PENUNTUT UMUM Gede Putera Perbawa Kejaksaan Negeri Jl. Sultan Agung No. 5 Kel. Sisir, Kota Batu, Batu Email:
[email protected]
Abstract In carrying out the functions, duties, and authority, the Attorney as government agencies that implement the state power in the prosecution must be able to realize the rule of law, the rule of law, justice and righteousness under the law and ignore the religious norms, decency, and morality, and must explore the value of -value humanitarian, legal, and public sense of justice. But in fact the implementation of prosecution by the Attorney authority problems often arise with other law enforcement agencies. This journal is done to solve and analyze problems: (1) How does the existence of Attorney as Prosecutor in the Criminal Justice System in Indonesia? (2) Does the principle of Dominus litis may realize professionalism and proposionalisme Prosecutor? This journal normative research method, which analyzes the literature that the secondary data in the form of legal materials. In this paper will use a historical approach, regulatory approaches and conceptual approaches. Subsequently analyzed using the prescriptive method. Based on the results of the discussion, it can be concluded: (1) The existence of Attorney as Prosecutor in the Criminal Justice System in Indonesia has to be clear and limitedly, and embodied in the 1945 Constitution, the Criminal Procedure Code, Law No. 16 of 2004, on the Prosecutor of the Republic of Indonesia, as well as the implementation of technical regulations as outlined in the Attorney General of the Republic of Indonesia Regulation No. PER-067 / A / JA / 07/2007; No. PER-069 / A / JA / 07/2007; and No. PER-36 / A / JA / 09/2011; (2) The principle of Dominus litis may realize professionalism and proportionality public prosecutor, so that this principle will strengthen and solidify attorney as public prosecutor in conducting the prosecution of criminal cases going on, and just jaksalah proportionately and professionals can determine whether or not a criminal case to be resolved it happens. Key words: dominus litis, professionalism and proporsionalisme, public prosecutor
Abstrak Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan rasa keadilan masyarakat. Namun pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Jurnal ini dilakukan untuk memecahkan dan menganalisis masalah: (1) Bagaimana eksistensi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ? (2) Apakah asas dominus litis dapat mewujudkan profesionalisme dan proposionalisme Jaksa Penuntut Umum?. 325
326
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
Jurnal ini menggunakan metode penelitian normatif, yang menganalisis kepustakaan yaitu terhadap data sekunder yang berupa bahan hukum. Dalam penulisan ini akan menggunakan pendekatan historis, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode secara preskriptif. Berdasar hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan: (1) Eksistensi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia saat ini telah bersifat jelas dan limitatif, dan tertuang di dalam UUD Tahun 1945, KUHAP, Undang-undang No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta peraturan pelaksanaannya secara teknis yang dituangkan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-067/A/JA/07/2007; No. PER-069/A/ JA/07/2007; dan No. PER-36/A/JA/09/2011; (2) Asas Dominus Litis dapat mewujudkan profesionalitas dan proposionalitas Jaksa Penuntut Umum, sehingga asas ini akan menguatkan dan memantapkan Jaksa sebagai penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap perkara pidana yang terjadi, dan hanya jaksalah yang secara proporsional dan professional dapat menentukan untuk diselesaikan tidaknya perkara pidana yang terjadi tersebut. Kata kunci: dominus litis, profesionalisme dan proporsionalisme, jaksa penuntut umum
Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Undang-
societas
ibi
ius
yang
menggambarkan
betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat”.1
undang Dasar Negara Republik Indonesia
“Penegakan hukum dalam pengertian
Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan
makro meliputi seluruh aspek kehidupan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara
masyarakat,
hukum”, sebagai Negara hukum maka sangat
sedangkan dalam pengertian mikro penegakan
menjunjung tinggi hukum yang berlaku
hukum terbatas dalam proses litigasi di
sebagai alat untuk mengatur kehidupan
pengadilan, dalam perkara pidana termasuk
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian,
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan
penegakkan hukum menempati posisi yang
(pemeriksaan di depan persidangan) hingga
sangat sentral, dengan menempatkan hukum
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
dalam fungsinya sebagai alat pengatur bagi
mempunyai kekuatan hukum tetap”.2
kehidupan masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah.
berbangsa
dan
bernegara,
“Dalam hal terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
“Hukum dan masyarakat seperti dua sisi
maka wajib segera dilakukan tindakan
mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama
yang diperlukan guna menyelesaikannya,
lain. Berlakunya hukum memang didalam
dengan melakukan penyelidikan, penyidikan,
suatu tatanan sosial yang disebut masyarakat,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.3
oleh bangsa Romawi disebut sebagai ubi
Menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum
1 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 3. 2 Marwan Effendy, Deskresi dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012, hlm. 2-3. 3 Erni Widhayanti, Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 48.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
327
setelah mempelajari dan meneliti kemudian
atau membuktikan surat dakwaannya. Sering
atas hasil penelitiannya, jaksa mengajukan
juga terjadi bolak-balik berkas perkara antara
penuntutan ke Pengadilan Negeri”.4
penyidik polri dan jaksa penuntut umum.
“Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya,
Kejaksaan
Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
Sebenarnya hal ini dapat dihindari sejak awal apabila jaksa penuntut umum terlibat dalam proses penyusunan berkas perkara. Dengan demikian, Kejaksaan RI memiliki
bidang penuntutan harus mampu mewujudkan
posisi
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan
supremasi di bidang penuntutan dalam
dan kebenaran berdasarkan hukum dan
sistem peradilan pidana terpadu yang diatur
mengindahkan
menurut KUHAP. Namun eksistensi jaksa
norma-norma
keagamaan,
strategis
dalam
melaksanakan
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib
selaku
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum,
praktek peradilan dan penegakkan hukum
dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
tidak berjalan dengan lancar sebagaimana
Kejaksaan
terlibat
mestinya. Masih sering terjadi koordinasi
sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara Kejaksaan dengan Kepolisian atau
untuk mewujudkan masyarakat adil dan
Kejaksaan dengan Pengadilan tidak berjalan
makmur
serta
lancar karena berbagai alasan yang bersifat
berkewajiban untuk turut menjaga dan
birokratis ataupun arogansi institusional,
menegakan kewibawaan pemerintah dan
sehingga akan berpengaruh terhadap proses
negara
penuntutan. Padahal kewenangan jaksa selaku
juga
harus
berdasarkan
serta
mampu
Pancasila,
melindungi
kepentingan
masyarakat”.5 Namun pada kenyataannya
penuntut
umum
ternyata
dalam
Dominus Litis berlaku universal.
dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan
Dengan posisi dan peran yang demikian,
oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan
Kejaksaan RI dituntut tidak saja harus mampu
dengan lembaga penegak hukum lainnya.
melaksanakan fungsinya dengan baik dan
Karena
hanya
benar, tetapi juga harus mampu membentuk
memeriksa formal berkas perkara saja, tidak
jati diri sebagai salah satu institusi pelaksana
mengetahui proses penyusunan berkas dan tata
kekuasaan Negara, bukan alat kekuasaan
cara perolehan alat bukti, menjadi problema
penguasa. Oleh karena itu sewajarnyalah di
apabila di persidangan terdakwa mencabut
era reformasi ini Kejaksaan perlu melakukan
keterangannya di BAP. Jaksa Penuntut
reformasi terhadap eksistensinya agar dapat
Umum
menjadi lebih dinamis guna menghadapi
jaksa
harus
penuntut
umum
mempertanggungjawabkan
perkembangan dan perubahan dewasa ini. 4 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 19. 5 Penjelasan Umum Undang-undang RI No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
328
“Jenis penelitian ini merupakan penelitian merupakan
sebagainya. 3) Bahan hukum Tersier, berupa
penelitian
kamus umum Bahasa Indonesia, kamus
terhadap data sekunder yang berupa bahan
Bahasa Inggris-Indonesia, kamus hukum
hukum. “Dalam kepustakaan ilmu hukum
dan ensiklopedia, biografi, kartu indeks, dan
penggunaan pendekatan masalah ditentukan
sebagainya. Bahan-Bahan Hukum tersebut
dan dibatasi oleh tradisi keilmuan yang
akan dikumpulkan dengan metode studi
hukum
yang
bahan hasil seminar, majalah, surat kabar, dan
(normatif)”,6
penelitian
kepustakaan
dikembangkan”,7
yaitu
maka
penelitian
ini,
menggunakan Pendekatan Historis (historical untuk
bahan-bahan hukum
yang memiliki relevansi dengan
pokok
mengetahui
masalah. “Bahan hukum yang terkumpul
sejarah kejaksaan dan penuntut umum di
dari hasil studi kepustakaan dianalisa dengan
Indonesia.
menggunakan metode secara preskriptif”.8
approach)
dilakukan
kepustakaan terhadap
Pendekatan
Undang-undang
(statute approach), dilakukan untuk mengkaji dan
menganalisis
peraturan
perundang-
Pembahasan
undangan dalam Sistem Peradilan Pidana
Keberadaan atau eksistensi Kejaksaan
di Indonesia yang mengatur Kejaksaan
sebagai lembaga yang memiliki tugas dan
dan proses peradilan. Pendekatan Konsep
wewenang
(conceptual approach), dilakukan untuk
belum begitu lama, sebelumnya baik di
mempelajari konsep-konsep terkait dengan
Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-
asas dominus litis.
lain) maupun pada masa-masa kerajaan,
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri
dalam
penuntutan
ternyata
masa-masa sebagai jajahan di Indonesia
atas tiga (3) bahan hukum sebagai berikut: 1)
tidak
mengenal
adanya
suatu
lembaga
Bahan hukum primer, terdiri atas: peraturan
penuntutan, sebagaimana tugas
perundang-undangan yang langsung atau
saat ini yang secara khusus untuk atas nama
tidak langsung berhubungan dengan pokok
atau masyarakat yang mengadakan tuntutan
penelitian yaitu terkait dengan eksistensi asas
pidana terhadap pelaku delik. Pada masa
dominus litis atas suatu perkara pidana. 2)
itu tidak ada perbedaan antara perdata dan
Bahan Hukum sekunder terdiri atas: Buku-
pidana. pihak yang dirugikan yang melakukan
buku literatur yang memiliki relevansi dengan
tuntutan pidana kepada hakim. “Di Indonesia
rumusan masalah, jurnal ilmiah, laporan
dahulu dikenal pejabat Negara yang disebut
hasil penelitian, karya tulis ilmiah, bahan-
adhyaksa yang diartikan sebagai jaksa, akan
kejaksaan
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2013, hlm. 56. 7 JJ. Bruggink, Refleksi Ilmu Hukum, dialih bahasakan Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 142. 8 Ilmu hukum bukan bersifat deskriptif, tetapi preskriptif. Objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum serta koherensi antara tingkah laku (act) individu dengan norma hukum. Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 41-42.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
329
tetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim
yang penting, yang merupakan kitab hukum
karena dahulu tidak dikenal adanya lembaga
dengan diberi nama “Hukum Gajahmada”,
penuntutan”.9
sebagai pedoman dalam menyelenggarakan
“Pada masa kerajaan majapahit, sudah
segala Shiti Narendran (Undang-undang
dikenal beberapa jabatan yang dinamakan
Raja) dan sebagai Astapadha Raja untuk
Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadyaksa.
memberikan laporan pada segala peradilan
Ketika masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk
perkara-perkara yang sulit, hingga atas usaha
(1350-1389),
(Hakim
tersebut tersusunlah beberapa piagam yang
untuk
disusun berupa Kitab Hukum yang dikenal
menangani masalah-masalah peradilan di
dengan Hukum Gajahmada.11 Adapun tugas
bawah pimpinan dan pengawasan Mahapatih
dan wewenang pejabat peradilan, urusan
Gajahmada yang berperan sebagai Adhyaksa
peradilan ditangani oleh para Dhyaksa di
(Hakim Tertinggi), dalam arti Adhyaksa
bawah pimpinan dan pengawasan tertingi
bekerja sebagai pengawas (Opzichter) atau
Adhyaksa Gajahmada, tetapi penyelenggaraan
Hakim Tertinggi (Opperrechter). Sedangkan
peradilan tersebut semuanya berada ada di
Dharmadyaksa merupakan pejabat yang
bawah perintah Sang Prabu Hayam Wuruk,
mendampingi Raja untuk melaksanakan tugas
dan tidak semua putusan peradilan dalam
dalam urusan agama Syiwa dan Budha, serta
perkara pidana dijatuhkan oleh Dhyaksa.
mempunyai tugas sebagai pengawas tertinggi
Mengenai perkaradusta, corah atau pencurian,
dari kekayaan suci (Superintendent), sebagai
tatayi, yang merupakan tindak-tindak pidana
pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan
yang diancam dengan pidana mati dijatuhkan
(religie), dan sebagai Ketua Pengadilan”.10
sendiri oleh Prabu Hayam Wuruk, serta
peranan
Pengadilan),yang
“Dalam Majapahit sebagai
Dhyaksa
dibebani
masa tersebut,
Mahapatih
tugas
kekuasaan Gajahmada, juga
kerajaan
untuk melaksanakan semua putusan terhadap
selain
perkara pidana juga dilakukan oleh Sang
mempunyai
kedudukan sebagai Jaksa Negara atau Raja
Prabu sendiri”.12 “Pada masa kerajaan Mataram Islam,
Jaksa, yang tugasnya mengawasi pelaksanaan
mencapai
puncak
kejayaan
pada
masa
undang-undang Raja atau Shiti Narendran,
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645),
untuk itu, Mahapatih Gajahmada harus
akibat pengaruh ajaran agama Islam telah
menyusun suatu rencana lengkap dalam
diadakan perubahan dalam tata hukum, di
beberapa menyelesaikan persoalan sengketa
mana dalam struktur di istana Mataram
9 Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 13. 10 Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm. 45-46. 11 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1971, hlm. 49. 12 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 47.
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
330
terdapat
jabatan
tetapi
Jaksa (Jeksa) hanya menjalankan tugas
wewenangnya di bawah Wedana-Wedana
kepaniteraan. Namun demikian, hal tersebut
Keparak. Jaksa (Jeksa) akan mengajukan
merupakan konsekuensi adanya kearifan
bukti-bukti kesalahan-kesalahan Terdakwa
(wisdom), ketabahan (courage), pengendalian
dan mengajukan tuntutan-tuntutan dalam
diri (discipline) dan keadilan (justice), yang
sidang pengadilan di Bangsal Pancaniti dan
merupakan muara dari adanya kebajikan
dihadiri oleh Raja dan para Pangeran, setelah
untuk mewujudkan rasa keadlan bagi warga
mendengarkan pembelaan dari terdakwa,
masyarakat, dengan memberikan rasio legis
akhirnya Raja akan melakukan semedi
terhadap keberadaan atau eksistensi dari
sementara waktu untukmenjatuhkan vonis”.13
kewenangan
Di kenal dua jenis pengadilan yaitu Pengadilan
penuntutan yang tidak bersifat penuh ada
Pradata
terhadap
pada Jaksa tetapi bersifat kontekstual dari
Pengadilan Pradata dilakukan persidangan
berat ringannya perkara yang diselesaikan,
terhadap
seperti
sesuai dengan tingkat kearifan dan kebajikan
pembunuhan, pembakaran dan sebagainya
yang harus diterapkan dalam perkara tersebut.
yang diancam dengan pidana siksaan atau
Kondisi ini nampaknya relevan dengan teori
pidana mati. Tugas Jaksa (Jeksa) dalam
yang dikemukakan oleh Friedmann, di mana
pengadilan ini adalah melakukan pekerjaan
norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta
kepaniteraan,
terdakwa
sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi
dan saksi. Pengadilan Padu menyelesaikan
rakyat. Hal tersebut dimaksudkan untuk
perkara-perkara kecil dan ringan, di mana
memberikan perlindungan oleh kerajaan.
pemeriksaan dan putusannya dijatuhkan oleh
Pada intinya
Jaksa (Jeksa) atas nama Bupati setempat, di
ketentuan hukum, termasuk dalam melakukan
sini Jaksa (Jeksa) bertindak sebagai Hakim”.14
penuntutan
dan
Jaksa
Pengadlan
perkara-perkara
(Jeksa),
Padu, berat,
menghadapkan
mutlak
dalam
melaksanakan
pelaksanaan
ketentuan-
selalu didasarkan atas “fakta-
“Dalam praktek peradilan pada masa
fakta hukum” sosial (Tatsachen des Rechts),
kerajaan Singosari dan kerajaan mataram
baik kebiasaan, dominasi raja , pemilikan dan
tersebut, mengisyaratkan adanya tugas dan
adanya kemauan raja untuk berbuat adil”.15
kewenangan Jaksa (Jeksa) untuk melakukan
“Pada
masa
penjajahan
Belanda,
penuntutan tetapi tidak secara mutlak hanya
keberadaan Kejaksaan telah ada dalam
terhadap perkara-perkara kecil dan ringan,
struktur dan memiliki fungsi, pertama,
sementara
berfungsi untuk mengadili perkara pada
untuk
perkara-perkara
berat
13 Sartono Kartodihardjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 1976, hlm. 9. 14 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta, 1967, hlm. 16. 15 Bandingkan dengan W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hlm. 105.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
331
Pengadilan Padu; Kedua, berfungsi untuk
yang berdiri sendiri, yang mengacu pada asas
menerima dan mempersiapkan perkara pada
yang sangat penting dalam penuntutan yaitu
Pengadilan Pradata”.16 Legitimasi tersebut
adanya asas satu dan tidak terbagikan (een en
didasarkan
ondeelbarheid), sebagai pijakan supremasi
pada
ketentuan
perundang-
undangan, di mana sebelum berlakunya Herziene Inlandsch Reglement, staatblaad
asas dominis litis dalam penuntutan. “Sejak
masa
pemerintahan
Jepang,
(HIR), terlebih dahulu diatur
nampaknya para jaksa memiliki kembali
dengan Inlandsch Reglement, staatblaad 1848
statusnya yaitu sebagai penuntut umum
No.16 (IR). “Di dalamnya disebutkan bahwa
yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa
pekerjaan penuntut umum di pengadilan
di Indonesia maka jabatan Asisten Residen
negeri
yang
segera dihapuskan. Situasi yang demikian
dilaksanakan oleh jaksa. Setelah berlakunya
mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami
(HIR),
perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua
kedudukan jaksa tetap menjadi alat kekuasaan
tugas dan wewenang Asisten Residen dalam
Asisten Residen menjadi sebutan Magistraat
penuntutan perkara pidana diberikan kepada
(penuntut umum), sedangkan jaksa hanya
Jaksa dengan jabatan Tio Kensatsu Kyokuco
mendapat sebutan Ajunct Magistraat tanpa
atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan
perubahan dalam dan tugasnya”.17 Belanda
Negeri, serta berada dibawah pengawasan Koo
sendiri baru pada tanggal 18 April 1827
Too Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan
ketika berlakunya Rrechterlijke Organisatie
Tinggi. Selanjutnya dengan Osamurai No.
en het beleid der justitie, diadakan lembaga
49, Kejaksaan dimasukkan dalam wewenang
penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem
Cianbu atau Departemen Keamanan Dengan
Perancis. Suatu asas yang terpenting dari
demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu
penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan
mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai
(een en ondeelbarheid) dan bergantungnya
pegawai
pada kekuasaan eksekutif.
(pegawai penuntut umum), dan menjalankan
1941 No.44
dahulu
Herzenie
disebut
Indlandsch
landraad, Reglement
Dengan demikian, dalam masa penjajahan oleh Belanda pada awalnya tidak mengenal
penyidik),
menuntut
perkara
putusan hakim (pegawai eksekusi)”.18 Paparan tersebut di atas, menggambarkan
berdiri
eksistensi atau keberadaan asas dominus
sendiri melainkan hanya sebagai asisten atau
litis yang bersifat fluktuatif dan secara tidak
pembantu, baru setelah IR diubah menjadi
langsung telah mempengaruhi tugas dan
HIR barulah dikenal lembaga penuntut umum
wewenang jabatan jaksa dalam penyelesaian
lembaga
penuntut
umum
yang
16 R. Tresna, Op.cit., hlm. 19. 17 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 54-55. 18 Ibid., hlm. 55.
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
332
perkara pidana yang terjadi. Namun demikian,
penuntutan juga merupakan bagian dari upaya
fluktuasi kebijakan tersebut sesungguhnya
perlindungan masyarakat (social defence) dan
menegaskan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
bahwa
jaksa
mempunyai
kewenangan yang luas. yang dikaitkan dengan bidang yudikatif bahkan pada masa-masa
(social welfare). Kebijakan tersebut, mulai diwujudkan
kerajaan dihubungkan pula dengan bidang
secara
keagamaan.
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal
Sebagai suatu kebijakan yang mengatur kewenangan
setidaknya
bertahap
setelah
Indonesia
17 Agustus 1945, sistem hukum yang berlaku
mengandung
tidak segera mengalami perubahan. Untuk
dalam
mengatur
mengatasi situasi tersebut, maka undang-
kekuasaan,
khususnya
undang maupun peraturan-peraturan yang ada
bagi penuntut umum dalam melakukan
sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang
penuntutan, sehingga apabila terdapat warga
tidak bertentangan dengan Undang-undang
masyarakat yang bertindak dan bertingkah
Dasar
laku yang dapat dikualifikasikan sebagai
mengatur tentang kedudukan kejaksaan pada
tindak pidana, maka melalui kebijakan hukum
pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap
pidana tersebut dapat dilakukan penegakan
memakai peraturan lama seperti sebelum
hukum dan memastikan untuk selanjutnya
Indonesia
masyarakat akan bersikap taat dan patuh pada
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal
aturan yang telah ditetapkan.
“Kebijakan
1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang
penegakan hukum terhadap marak terjadinya
dahulunya masuk Departemen Keamanan
tindak pidana, dimaksudkan untuk melakukan
atau Cianbu di pindah kembali ke dalam
penanggulangan tindak pidana yang terjadi
Departemen Kehakiman atau Shihoobu.
kebijakan dan
Negara
membatasi
melalui penuntutan sebagai wujud adanya
1945.
“Dengan
Peraturan-peraturan
merdeka.
Dengan
kembalinya
yang
maklumat
Kejaksaan
ke
perlindungan masyarakat untuk mencapai
dalam Departemen Kehakiman maka tugas
kesejahteraan
mengingat
kewajiban para jaksa yang diberikan ketika
penanggulangan
pendudukan tentara Jepang tidak mengalami
kebijakan
masyarakat,
atau
upaya
kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya
perubahan.
merupakan
upaya
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Hal
perlindungan masyarakat (social defence) dan
Masih Tetap Berlakunya Segala Badan-badan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
Negara dan Peraturan-peraturan Yang Ada
(social welfare)”.19 Oleh karena itu, kebijakan
sampai Berdirinya Negara RI pada Tgl. 17
adanya
Agustus 1945, selama Belum Diadakan Yang
bagian
kewenangan
integral
dalam
dari
melakukan
Oleh
karena
itu
Peraturan
19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 73.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
333
Baru Menurut Undang-Undang Dasar telah
acara pidana sudah tidak menggunakan HIR
menetapkan bahwa semua undang-undang
tetapi mengacu pada Undang-undang No.
dan peraturan yang dahulu tetap berlaku
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
sampai
diganti.
(yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP),
Dan sejak proklamasi kemerdekaan, tugas
di mana didalamnya juga telah mengatur
Openbaar Ministerie atau pengadilan terbuka
kewenangan
Jaksa
pada tiap-tiap Pengadilan Negeri menurut
penuntutan,
sebagaimana
HIR
dalam
undang-undang
(Herziene
tersebut
Inlandsch
Reglemeent),
dalam
melakukan dirumuskan
Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP
dijalankan oleh Magistraat, oleh karena itu
yang menyebutkan, jaksa adalah pejabat
perkataan Magistraat dalam HIR diganti
yang diberi wewenang oleh undang-undang
dengan sebutan Jaksa, sehingga Jaksa pada
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
waktu adalah sebagai Penuntut Umum pada
serta melaksanakan putusan pengadilan yang
Pengadilan Negeri”.20
telah memperoleh kekuatan hukum yang
Selanjutnya sejak diundangkan Undang-
tetap. Sedangkan yang menjadi kewenangan
undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang
seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai
Ketentuan-Ketentuan
penuntut
Pokok
Kejaksaan
Republik Indonesia, maka Kejaksaan keluar dari
Departemen
Kehakiman
umum
dan
bertindak
sebagai
pelaksana putusan pengadilan.
Republik
Menurut kentetuan Pasal 1 angka 6 huruf a
Indonesia dan berdiri sendiri sampai sekarang.
KUHAP yang dimaksud jaksa adalah pejabat
Hingga saat ini Undang-undang yang mengatur
yang di beri wewenang oleh undang-undang
Kejaksaan telah mengalami penyempurnaan,
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
di mana Undang-undang Nomor 15 Tahun
serta melaksanakan putusan pengadilan yang
1961 telah dicabut dengan Undang-undang
telah memperoleh kekuatan hukum yang
Nomor 5 Tahun 1991, dan terakhir dicabut
tetap,
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
lengkap atau tidak untuk di limpahkan ke
untuk selanjutnya disebut Undang-undang
pengadilan negeri untuk diadili, hal ini diatur
Kejaksaan.
dalam Pasal 139 KUHAP.
penuntut umum juga menentukan
Dalam beracara untuk menyelesaikan
“Oleh KUHAP, Jaksa telah ditempatkan
terjadinya tindak pidana, setelah Indonesia
dalam suatu kedudukan sebagai instansi
merdeka
“Penuntut” dalam wewenang melakukan
digunakan ketentuan perundang-
undangan yang mendasarkan pada HIR,
penuntutan
namun sejak tahun 1981, khusus untuk hukum
melaksanakan
atas
setiap fungsi
penuntutan tersebut: 20 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 56.
perkara. dan
Dalam
wewenang
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
334
(1) Pada suatu pihak menerima berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan
kepadanya, jadi hakim hanya menunggu tuntutan dari penuntut umum”.22 Untuk memahami eksistensi asas dominus
dari penyidik; (2) Pada pihak lain, berkas perkara yang
litis dalam penuntutan, kiranya dapat dikaji
diterimanya dilimpahkan kepada hakim
pada pengaturan dalam Undang-undang RI
untuk dituntut dan diperiksa dalam siding
No. 16 Tahun 24, termasuk undang-undang
pengadilan”.21
kejaksaan yang sebelumnya, baik dalam
Ditinjau dari segi wewenang penuntutan,
Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 maupun
boleh dikatakan pada pemeriksaan sidang
dalam Undang-undang RI No. 15 Tahun 1961.
inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut
Mencermati ketiga undang-undang mengenai
umum, dalam usaha membuktikan kesalahan
kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan
terdakwa. Sementara Pengertian Penuntutan
hukum di Indonesia, maka semakin jelas dan
adalah tindakan penuntut umum untuk
tegas bahwa ketiganya secara limitative telah
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
merumuskan adanya kewenangan penuntutan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
yang berada pada lembaga kejaksaan yang
cara yang diatur dalam undang-undang ini
bersifat
dengan permintaan supaya diperiksa dan
bahwa asas dominus litis sangat eksis dalam
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (Pasal
pelaksanaan tugas dan wewenang penuntutan
1 butir 7 KUHAP) . Beberapa kebijakan yang
terhadap terjadinya tindak pidana oleh Jaksa
dirumuskan di dalam KUHAP menjelaskan
selaku penuntut umum.
eksistensi tugas dan wewenang Jaksa terutana dalam
melaksanakan
“Dalam
sehingga
penjelasan
menegaskan
Umum
Undang-
dalam
undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
kedudukannya sebagai Penuntut Umum.
Kejaksaan Republik Indonesia, antara lain
Wewenang
dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-
penuntutan
penuntutan
absolute,
secara
limitative
diatur dan dipegang oleh penuntut umum
undang
sebagai monopoli, artinya tiada badan lain
Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya
yang berhak melakukan itu. Hal ini disebut
sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap
asas ‘dominus litis’. “Dominus berasal dari
dan dapat mengemban kekuasaan Negara di
bahasa latin yang artinya pemilik, sedangkan
bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh
litis artinya perkara atau gugatan. Hakim
kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian
tidak bias meminta supaya delik diajukan
lain,
ini
adalah
Kejaksaan,
untuk
dalam
pembaharuan
melaksanakan
21 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua) Seri: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 26. 22 Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1996, hlm. 26.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas dari
pengaruh
“Pemahaman atas rumusan ketentuan
pemerintahan
Pasal 14 KUHAP, yang mengatur wewenang
dan kekuasaan lainnya dalam upayanya
Jaksa Penuntut Umum dalam penuntutan
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
yang menangani perkara pidana tersebut
hukum, keadilan dan kebenaran dengan
ialah bahwa di samping tugas pokoknya
mengindahkan
kekuasaan
335
norma-norma
keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”.23 “Asas dominus litis, yang menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penentutan selain Jaksa Penuntut Umum yang bersifat absolute dan monopoli, karena Jaksa Penuntut Umumlah satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan
dan
penyelesaian
perkara
pidana, Hakim sekalipun tidak bisa meminta
sebagai penuntut umum, Jaksa dapat langsung mengadakan penyidikan dalam keadaankeadaan tertentu. Yang kedua pengawasan yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap yang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 37 KUHAP”.25 “Dari batasan tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa” berkorelasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan pengertian “penuntut umum” berkorelasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan
supaya perkara pidana yang terjadi diajukan
melaksanakan penetapan hakim di depan
kepadanya, hakim dalam penyelesaian perkara
persidangan. Oleh karena itu, bertitik tolak
hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan
dari aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”
dari penuntut umum”.24
tersebut”.26
Tugas tersebut dilakukan oleh penuntut
“Berbicara
tugas
dan
wewenang
umum dalam proses persidangan yang sedang
Jaksa dalam menangani perkara pidana
berjalan. Tugas Jaksa sebagai penuntut umum
secara
diatur dalam Pasal 14 KUHAP dan dipertegas
terutama mengenai wewenang
kembali dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.
professional
dan
proporsional,, penuntutan
tersebut, berikut penjabaran atau uraian wewenang tersebut, di dalam KUHAP, Jaksa yang berwenang dalam melakukan penuntutan dibagi dua tahap”,27 yaitu: Tahap Pra-penuntutan dan Tahap Penuntutan.
23 Ardilafiza, Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume III No. 2, November 2010, Jakarta, hlm. 75-103. 24 Hari Sasongko, Op.cit., hlm. 26. 25 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 77. 26 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 63. 27 Ibid., hlm. 34.
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
336
Tahap Pra-penuntutan ini mulai saat
atau
ketetapan
penghentian
penuntutan
Penuntut Umum menerima berkas perkara dari
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 140 ayat
penyidik. Dalam waktu tujuh hari, Penuntut
2 butir a KUHAP, yaitu:
Umum harus menentukan apakah berkas
a. Kalau tidak terdapat cukup bukti;
perkara tersebut sudah lengkap atau belum.
b. Kalau peristiwanya bukan merupakan
‘Lengkap’ disini artinya bukti-bukti cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP. Jikalau Penuntut
Umum
berpendapat
berkasnya
tindak pidana; dan c. Kalau perkaranya ditutup demi hukum. Dengan
demikian,
peranan
Penuntut
belum bisa dikatakan lengkap, maka berkas
Umum dalam hal pembuktian sangatlah
perkara tersebut harus segera dikembalikan
penting, karena pembuktian suatu perkara
kepada penyidik disertai dengan petunjuk-
tindak pidana di depan persidangan merupakan
petunjuk dari Penuntut Umum. Dan jika
tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut
sejak penyerahan berkas perkara tersebut
Umum. Dalam hal ini, sistem pembuktian
Penuntut Umum tidak mengembalikannya
dalam hukum acara pidana di hampir semua
kepada penyidik maka berkas perkara tesebut
negara di dunia memang meletakkan beban
dianggap sudah memenuhi syarat dan lengkap.
pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.
Sementara Tahap Penuntutan dilakukan
Adanya beban pembuktian pada Penuntut
apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa
Umum tersebut menyebabkan Penuntut Umum
penuntutan dapat dilakukan, Jaksa Penuntut
harus selalu berusaha menghadirkan minimum
Umum segera membuat surat dakwaan. Dalam
alat bukti di persidangan. Berdasarkan Pasal
Pasal 137 KUHAP dinyatakan bahwa Penuntut
183 KUHAP dinyatakan bahwa ”Hakim tidak
Umum berwenang melakukan penuntutan
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
terhadap siapa saja yang didakwa melakukan
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
suatu tindak pidana dengan melimpahkan
dua alat bukti yang sah ia memperoleh
perkaranya ke pengadilan. Jadi, wewenang
keyakinan
menentukannya apakah akan menuntut atau
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
tidak menuntut bukan diberikan kepada
yang
pihak kepolisian, melainkan kepada pihak
Pembuktian yang demikian dikualifikasikan
kejaksaan. Namun apabila penuntut umum
sebagai system Negatif wettelijk bewijstheorie
berpendapat sebaliknya maka penuntut umum
atau dikenal dengan pembuktian berdasarkan
dapat
namun
Undang-undang secara negatif, dalam arti
itu itu harus Ada tiga keadaan yang dapat
selain menggunakan alat-alat bukti sah, juga
menyebabkan Penuntut Umum membuat
menggunakan keyakinan Hakim. Sekalipun
ketetapan untuk menghentikan penuntutan
menggunakan keyakinan Hakim, namun
suatu perkara pidana karena alasan teknis
keyakinan Hakim terbatas pada alat bukti yang
menghentikan
penuntutan,
bahwa
bersalah
suatu
tindak
melakukannya”.
pidana “Sistem
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
337
ditentukan oleh Undang-undang. Dengan
2004 tentang Kejaksaan RI beserta aturan
menggunakan alat-alat bukti yang tercantum
pelaksanaannya, dan dalam Undang-undang
dalam Undang-undang dan keyakinan Hakim
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
maka teori ini sering juga disebut pembuktian
Pidana atau yang lebih dikenal dengan disebut
berganda (doubelen grondslag)”.28 “Dengan
KUHAP.
demikian, untuk dapat menyatakan seseorang
Ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
terbukti melakukan suatu tindak pidana,
profesionalisme dan proporsionalime bagi
maka harus ada paling sedikit 2 (dua) alat
Jaksa
bukti ditambah dengan keyakinan Hakim
(hukum) yang harus dipedomani dalam
dan menjadi beban Penuntut Umum untuk
melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan
dapat menghadirkan minumum dua alat bukti
yang melekat, lebih-lebih didalamnya sangat
tersebut di persidangan untuk memperoleh
menegaskan adanya asas dominus litis yang
keyakinan Hakim”.29
bersifat mutlak dan mandiri menjadikan
Bagi
penuntut
umum,
tersebut
juga
merupakan
aturan
pembuktian
penuntutan sebagai tugas yang utama dan
merupakan faktor yang sangat determinan
menjadi satu yang tidak terpisahkan, sehingga
dalam rangka mendukung tugasnya sebagai
asas ini akan menguatkan dan memantapkan
pihak yang memiliki beban untuk membuktikan
Jaksa
kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai
melaksanakan penuntutan terhadap perkara
dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana
pidana yang terjadi, dan hanya jaksalah yang
yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang
secara proporsional dan professional dapat
menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan
menentukan untuk diselesaikan tidaknya
maka pihak tersebut yang harus membuktikan
perkara pidana yang terjadi tersebut, jangankan
dakwaannya. Hal ini semakin menguatkan
orang perseorangan, hakim sekalipun sebagai
eksistensi asas dominus litis dalam penuntutan,
pihak yang akan menjatuhkan putusan juga
karena Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak
tidak dapat meminta apalagi memaksa kepada
yang
memonopoli
Jaksa untuk menyelesaikan perkara pidana
perkara secara proporsional sekaligus dalam
yang terjadi tersebut, hakim harus tetap pasif
melaksanakan profesionalismenya. Orientasi
dan baru mengadili apabila diminta atau
profesionalisme dan proporsionalime bagi
perkara dilimpahkan kepadanya.
mendakwakan
yang
Jaksa bertumpu pada tugas dan wewenang
sebagai
penuntut
umum
dalam
“Di dalam sistem bekerjanya hukum
yang telah dirumuskan di dalam peraturan
bermuara
perundang-undangan, baik yang tertuang
secara proporsional Jaksa Penuntut Umum
dalam
dalam menghadapi peristiwa yang terjadi dan
Undang-undang
No.
28 Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 187. 29 Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 83.
16
Tahun
adanya
pendekatan
kebijakan,
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
338
menentukan yang seharusnya dikualifikasikan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
sebagai tindak pidana atau tidak,
yang
harus
hidup
dalam
masyarakat,
serta
diperhatikan tujuan dari penegakkan hukum
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat
melalui penuntutan tersebut sebagai bagian
profesinya.”
dalam sistem peradilan pidana atau bagian
Di
bagian
penjelasan
umum
juga
hukum acara pidana, yaitu untuk mencari
disebutkan bahwa untuk membentuk jaksa
dan
materiil”.30
yang profesional harus ditempuh berbagai
“Peristiwa atau Perbuatan yang diusahakan
jenjang pendidikan dan pengalaman dalam
untuk diselesaikan atau ditanggulangi dengan
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang.
dilakukan penuntutan harus
benar-benar
Sudah jelas amanah dari undang-undang
merupakan ‘perbuatan yang tidak dikehendaki’,
ini terhadap profesi jaksa dalam penegakan
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
hukum di Indonesia. Demikian juga aspek
(materiil dan atau spirituil) atas warga
proporsionalitas Jaksa juga telah diatur
masyarakat, sehingga dalam penuntutan harus
didalam Undang-undang No. 16 tahun 2004
pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan
(cost benefit principle); Secara profesional
di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981
penuntutan ini harus pula memperhatikan
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
kapasitas atau kemampuan daya kerja dan
mengatur tugas dan wewenang jaksa.
menemukan
kebenaran
jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)”.31
profesionalisme dan proporsionalisme jaksa
Profesionalisme seorang jaksa dalam bertindak
Sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan
termasuk
melakukan
pedoman bagi jaksa dalam melaksanakan tugas
penuntutan dipedomani dengan rumusan
dan wewenang jaksa maka telah dikeluarkan
norma yang diatur pada
Pasal 8 ayat (4)
beberapa kebijakan yaitu Peraturan Jaksa
Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang
Agung Republik Indonesia No: PER-067/A/
Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan
JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa,
bahwa:
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
“Dalam
dalam
maka telah diterbitkan ketentuan teknis sebagai
melaksanakan
tugas
dan
No:
PER-069/A/JA/07/2007
tentang
wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak
Ketentuan-ketentuan Penyelenggaraan Peng-
berdasarkan hukum dengan mengindahkan
awasan
norma-norma
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
kesusilaan,
keagamaan, serta
wajib
kesopanan,
menggali
dan
Kejaksaan
Republik
Indonesia,
No: PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar
30 Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. 31 Bandingkan dengan Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 93-94.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
339
Operasional Prosedur (SOP) Penanganan
kejaksaan. Tetapi jaksa juga harus profesional
Perkara Tindak Pidana Umum.
dan proporsional dalam menetapkan status
“Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan
seseorang sebagai tersangka, jangan sampai
Pedoman perilaku yang bagi pemegang
seolah-olah mencari-cari kesalahan seseorang.
profesi terangkum dalam Kode Etika yang
Jika tidak ditemukan cukup bukti harus segera
di dalamnya mengandung muatan etika, baik
dihentikan. Kalau bukti-bukti telah cukup
etika deskriptif, normatif, dan meta-etika”.32
untuk menjerat seseorang sebagai tersangka
Jadi kode etik berkaitan dengan profesi
harus segera dilanjutkan prosesnya. Disinilah
tertentu sehingga setiap profesi memiliki
asas dominus litis benar-benar mempunyai
kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang
peran yang sentral dalam profesionalisme
disepakati bersama seperti bagaimana harus
dan proporsionalisme jaksa penuntut umum
bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan
sebagai pengendali proses perkara. Asas
dengan rekan sejawat. Akan tetapi tidak
deponering juga menunjukkan jaksa penuntut
semua pekerjaan dapat dikatakan sebagai
umum benar-benar memiliki asas dominus
profesi yang berhak dan layak memiliki kode
litis, yang dimana dalam asas deponering jaksa
etik tersendiri.
penuntut umum mempunyai wewenang untuk
Posisi Jaksa Penuntut Umum dalam Tindak
mekesampingkan perkara demi kepentingan
Pidana Umum tergantung dari penyidik polri,
umum (Pasal 35 huruf c Undang-undang
Jaksa Penuntut Umum hanya memeriksa
Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2004
secara formal berkas perkara saja, tidak
tentang Kejaksaan Republik Indonesia).
mengetahui proses penyusunan berkas dan tata cara perolehan alat bukti, menjadi problema apabila di persidangan terdakwa mencabut
Simpulan Berdasarkan uraian diatas, maka dapat
keterangannya di BAP. Jaksa penuntut
disusun beberapa simpulan, sebagai berikut:
umum harus mempertanggungjawabkan atau
1. Eksistensi asas Dominus Litis dalam
membuktikan surat dakwaannya. Sering juga
penuntutan terhadap tindak pidana yang
terjadi bolak-balik berkas perkara antara
terjadi saat ini telah bersifat jelas dan
penyidik polri dan jaksa penuntut umum.
limitatif, dan tertuang di dalam UUD Tahun
Sebenarnya hal ini dapat dihindari sejak awal
1945, Undang-undang No.8 Tahun 1981
apabila jaksa penuntut umum terlibat dalam
tentang Hukum Acara Pidana (atau yang
proses penyusunan berkas perkara. Sedangkan
lebih dikenal dengan sebutan KUHAP),
posisi jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 16 Tahun 2004
sejak awal terlibat dalam penyusunan berkas
tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
perkara apabila proses awal penyidikan dari
serta peraturan pelaksanaannya secara
32 K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 11-15.
340
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
teknis yang dituangkan dalam Peraturan
menyelesaikan
Jaksa Agung Republik Indonesia No.
dan ringan, di mana pemeriksaan dan
PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode
putusannya dijatuhkan oleh Jaksa (Jeksa)
Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung
atas nama Bupati setempat, di sini Jaksa
Republik Indonesia No. PER-069/A/
(Jeksa) bertindak sebagai Hakim.
JA/07/2007 tentang Ketentuan-Ketentuan Penyelenggaraan
Pengawasan
Keja
perkara-perkara
kecil
2. Asas Dominus Litis dapat mewujudkan profesionalisme dan proporsionalisme
ksaan Republik Indonesia, Peraturan
Jaksa
Jaksa Agung Republik Indonesia No.
telah terdapat
PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar
yang mengatur profesionalisme dan
Operasional Prosedur (SOP) Penanganan
proporsionalime bagi Jaksa yang harus
Perkara Tindak Pidana Umum.
dipedomani
Pada masa sebelum merdeka baik pada
tugas-tugas
masa kerajaan-kerajaan yang berkuasa
melekat, lebih-lebih didalamnya sangat
maupun
menegaskan
pada
masa
penajajahan
Penuntut
Umum,
di
mana
Ketentuan-ketentuan
dalam dan
melaksanakan
kewenangan
adanya
asas
yang
dominus
pelaksanaan penuntutan sudah dilakukan,
litis yang bersifat mutlak dan mandiri
namun tidak berisfat mutlak atau tidak
menjadikan penuntutan sebagai tugas
mendasarkan pada asas dominis litis,
yang utama dan menjadi satu yang
karena kewenangan penuntutan tidak
tidak terpisahkan, sehingga asas ini
hanya mutlak dilakukan oleh Dhyaksa
akan menguatkan dan memantapkan
(Jaksa), namun juga dapat dilakukan
Jaksa sebagai penuntut umum dalam
oleh pihak-pihak lain, sesuai dengan
melaksanakan
kepentingan hukum yang dilanggar,
perkara pidana yang terjadi, dan hanya
bahkan semuanya dalam kendali Raja.
jaksalah
Dahulu di kenal dua jenis pengadilan
dan
yaitu Pengadilan Pradata dan Pengadlan
untuk diselesaikan tidaknya perkara
Padu,
Pradata
pidana yang terjadi tersebut, jangankan
dilakukan persidangan terhadap perkara-
orang perseorangan, hakim sekalipun
perkara
sebagai pihak yang akan menjatuhkan
terhadap berat,
pembakaran
Pengadilan seperti
dan
pembunuhan,
profesional
terhadap
secara
proporsional
dapat
menentukan
yang
putusan juga tidak dapat meminta
diancam dengan pidana siksaan atau
apalagi memaksa kepada Jaksa untuk
pidana mati. Tugas Jaksa (Jeksa) dalam
menyelesaikan perkara pidana yang
pengadilan
melakukan
terjadi tersebut, hakim harus tetap pasif
pekerjaan kepaniteraan, menghadapkan
dan baru mengadili apabila diminta atau
terdakwa dan saksi.
perkara dilimpahkan kepadanya.
ini
sebagainya
yang
penuntutan
adalah
Pengadilan Padu
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ...
341
DAFTAR PUSTAKA Buku
Kusumadi Pudjosewojo, 1971, Pedoman
A. Soetomo, 1990, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta. Andi Hamzah, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Darmono, 2013, Penyampingan Perkara Seponering
dalam
Penegakkan
Hukum, Studi Kasus Ketetapan Penyampingan
Perkara
demi
Kepentingan Hukum Atas Nama Dr. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, Solusi Publishing, Jakarta. Djoko Prakoso, 1988, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta. Erni Widhayanti, 1996, Hak-hak Tersangka/ Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta. Hari Sasongko, 1996, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian, Surabaya. Ilham Gunawan, 1999, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas
Politik,
Sinar
Grafika,
Jakarta. JJ. Bruggink, 1996, Refleksi Ilmu Hukum, dialih bahasakan Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. K. Bertens, 2005, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif,
Teoritis,
Praktik
dan
Permasalahannya, Alumni, Bandung. M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan KUHAP
dan
(Edisi
Penerapan
Kedua)
Seri:
Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta. Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsepkonsep
dalam
Pembangunan,
Alumni, Bandung. Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung. R. Tresna, 1967, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta. Sartono Kartodihardjo, et.al, 1976, Sejarah Nasional
Indonesia
Departemen
Jilid
Pendidikan
IV,
Nasional,
Jakarta. Sudarto,
1983,
Hukum
Pidana
dan
Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan
Hukum
Pidana, Sinar Baru, Bandung. W.Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum
Idealisme
Filosofis
&
ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471
342
Problema Keadilan, Rajawali Pers,
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Jakarta.
Republik Indonesia.
Jurnal
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Ardilafiza, 2010, Independensi Kejaksaan sebagai
Undang-undang Republik Indonesia No.
Pelaksana
Penuntutan
Kekuasaan
dalam
Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume III No. 1, November
Hak Asasi Manusia. Herziene Inlandsch Reglement, staatblaad 1941 No.44 (HIR). Inlandsch Reglement, staatblaad 1848 No.16 (IR). Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945
2010, Jakarta.
tentang Hal Masih Tetap Berlakunya
Makalah
Segala Badan-badan Negara dan
Marwan Effendy, 2012, Deskresi dalam
Peraturan-peraturan
yang
Ada
Penegakan Hukum Tindak Pidana
sampai Berdirinya Negara RI pada
Korupsi, makalah disampaikan pada
Tgl. 17 Agustus 1945, selama Belum
Seminar Nasional yang diselenggarakan
Diadakan
oleh Universitas Brawijaya Malang
Undand-Undang Dasar.
tanggal 11 Juni 2012, Malang.
Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Hasil Amandemen I,
yang
Baru
menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
II, III, dan IV). Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang
Undang-undang Republik Indonesia No. 8
Kode Perilaku Jaksa.
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No.
Pidana (KUHAP). Undang-undang Republik Indonesia No.
PER-069/A/JA/07/2007
tentang
Ketentuan-ketentuan
15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-
Penyelenggaraan
Ketentuan
Kejaksaan Republik Indonesia.
Kejaksaan
Republik
Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia No.
Pengawasan
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No.
PER-36/A/JA/09/2011
tentang
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Standar Operasional Prosedur (SOP)
Republik Indonesia.
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.