KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR
ANNA FEBRITTA INTAN SARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013
Anna Febritta Intan Sari NIM I14104023
i
ABSTRACT ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Breakfast Habit in Teenage Girls of Vocational High School in Bogor. Supervised by DODIK BRIAWAN and CESILIA METI DWIRIANI. The study was aimed to describe breakfast habit in teenage girls of vocational high school Bogor. Design of this study was a cross sectional and the subject was 68 students 14–18 years old. Breakfast consumption was collected by a 7day food record and verified by researcher. The result showed that there are 45.6% teenage girls having breakfast regularly. Breakfast frequency per week is associated with BMI and anaemic status. The subject mostly answer breakfast was defined as eating in the morning. Half of the subject answer breakfast was defined as eating in the morning is beneficial and the other answered eating in the morning consist of a solid food and beverage with medium portion. Food and drink for breakfast was good by subject is bread and milk. The subject declare breakfast is important, but also the subject ever not breakfast because wake up late. Almost all of subject declared should be mother who prepare breakfast and must breakfast at home before starting activity. The teenage girls having a good quality breakfast with higher consumption of rice, bread, fruit, and milk than teenage girls having a low quality breakfast with higher consumption of sweet tea and snack was found in anaemic status (13.2%). Mother education, mother occupation, parents income, and number of family member were related to habitual breakfast (p<0.05). There is positive associated between habitual breakfast and quality breakfast (p=0.000 ; r=0.539). Key words: breakfast, concept, quality, teenage girls.
ii
RINGKASAN ANNA FEBRITTA INTAN SARI. Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor. Dibimbing oleh DODIK BRIAWAN dan CESILIA METI DWIRIANI. Data menunjukkan masih banyak anak yang tidak terbiasa sarapan sehat karena hanya sarapan dengan air minum dan memperoleh asupan energi dari sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari, padahal sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah menengah kejuruan (SMK) di Bogor. Tujuan khususnya meliputi: 1) mempelajari karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK, 2) mempelajari pengetahuan gizi remaja siswi SMK, 3) mempelajari konsep sarapan remaja siswi SMK, 4) mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 5) menilai kualitas sarapan remaja siswi SMK, 6) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, 7) menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan remaja siswi SMK, 8) menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi SMK. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini secara keseluruhan dilakukan pada bulan Oktober-November 2012. Proses pengumpulan data dilakukan di SMK Pelita Ciampea, Kabupaten Bogor. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 68 remaja siswi. Contoh penelitian memiliki rata-rata usia 16.6±0.74 tahun. Prevalensi anemia dalam penelitian ini adalah 19.1%. Masalah gizi contoh yaitu kegemukan (1.5%) dan stunted (23.5%). Lebih dari separuh contoh (60.3%) diberikan uang saku dengan kategori sedikit (< Rp 12.361). Sebagian besar pendidikan dan pekerjaan ibu contoh adalah SD dan ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan orangtua contoh (29.4%) adalah Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan. Sebagian besar contoh (94.1%) tergolong dalam kategori keluarga besar (> 4 orang). Sebagian besar ayah (79.4%) dan ibu (88.2%) contoh berasal dari suku sunda. Lebih dari separuh contoh (72.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, sedangkan hanya 17.6% dari contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong baik. Namun masih terdapat contoh yang tidak dapat menjawab dengan baik tentang fungsi zat besi didalam tubuh (95.6%), salah satu upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi (76.5%), sumber pangan hewani yang tinggi zat besi (64.7%), jenis minuman yang menghambat penyerapan (45.6%), dan jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh (48.5%). Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Sekitar separuh contoh (55.9%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya (44.1%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi sedang. Makanan dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu (26.5%). Seluruh contoh menyatakan sarapan penting, namun seluruh contoh juga pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat. Hampir seluruh contoh menyatakan sebaiknya ibu yang menyiapkan sarapan (91.2%) dan terdapat aturan kewajiban sarapan di rumah sebelum memulai aktivitas (80.9%).
iii Hampir separuh contoh (45.6%) biasa melakukan sarapan setiap hari yang dilakukan pada pukul 06.00-06.59 WIB hari sekolah (69.1%) dan pada pukul 08.00-08.59 WIB hari libur (38.2%). Hampir separuh contoh tidak anemia (47.3%) dan tidak gemuk (44.3%) selalu melakukan sarapan setiap hari. Terdapat hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kebiasaan sarapan dengan status anemia dan status gizi. Sebagian besar menu sarapan contoh adalah makanan sepinggan (29.4%). Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih banyak dengan makanan sepinggan, jajanan, dan minuman. Separuh contoh (54.4%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan rendah. Seluruh contoh termasuk rendah asupan karbohidrat kompleks dan serat, namun separuh contoh termasuk tinggi asupan lemak. Jenis menu sarapan contoh lebih banyak diolah dengan teknik deep frying seperti ayam goreng, tempe goreng, tahu goreng, ikan tongkol goreng, bakwan dan tempe tepung goreng, selain itu sedikit konsumsi sayur dan buah. Diantara contoh dengan kualitas sarapan sedang dan tinggi (45.6%), tidak ada contoh yang melakukan sarapan sehat, melainkan 44.1% contoh termasuk kategori sarapan kurang sehat, dan hanya 1.5% contoh yang termasuk sarapan cukup sehat. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat. Ratarata asupan Energi, Protein Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, dan Vitamin C sarapan contoh adalah 342±153 kkal, 11.4±6.6 g, 102.2±110.4 mg, 129.9 ±128.1 mg, 2.9±1.4 mg, 52.7±60.2 RE, dan 1.6±3.2 mg. Rata-rata asupan Energi, Protein, dan Vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi daripada hari sekolah. Terdapat perbedaan antara asupan Energi dan Protein pada hari sekolah dan hari libur (p<0.05). Jenis menu sarapan contoh lebih banyak tidak makan sarapan bergizi seimbang karena hanya terbatas pada makanan sepinggan yang kaya Karbohidrat; sedikit konsumsi sayur dan buah; serta lebih sering konsumsi jajanan tradisional. Terdapat hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orangtua, dan jumlah anggota keluarga) dengan kebiasaan sarapan (p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan (p=0.000; r=0.539). Namun, tidak terdapat hubungan nyata negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p=0.275; r=-0.134). Tidak terdapat hubungan nyata antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia contoh (p=0.844; r=-0.024). .
Kata kunci: sarapan, konsep, kualitas, remaja siswi.
iv
KEBIASAAN SARAPAN PADA REMAJA SISWI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DI BOGOR
ANNA FEBRITTA INTAN SARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
v Judul Skripsi : Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor Nama : Anna Febritta Intan Sari NIM : I14104023
Menyetujui: Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN NIP. 19660701 199002 1 001
Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc NIP. 19660527 199203 2 003
Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
vi
PRAKATA Bismillaahirrahmaanirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan cinta-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kebiasaan Sarapan pada Remaja Siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor” dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Namun demikian selama penyusunan skripsi ini pun tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN dan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya; memberikan arahan, kritik dan saran; serta dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya selama ini. 3. dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi. 4. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran untuk memaksimalkan perbaikan mutu penulisan. 5. Kepala sekolah, Wali kelas XI dan XII, serta Staff Tata Usaha SMK Pelita Ciampea Bogor atas kerja sama dalam membantu pengambilan data. 6. Kedua orang tua yang terkasih, atas doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis. Semoga ini menjadi persembahan terbaik. 7. Kakak dan adik tercinta yang telah memberikan doa dan motivasinya. 8. Seluruh teman-teman dan civitas akademik yang selalu memberikan dukungan moril dan pendapat serta saran yang membangun, serta seluruh pihak telah membantu dalam penyelesaian skripsi. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2013
Anna Febritta Intan Sari
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 02 Februari 1990. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suwandi dan Ibu Maria Magdalena Suyatminah. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Mandiri Karya Cilegon, SD Negeri 4 Cilegon, SMP Negeri 2 Cilegon, SMA Negeri 3 Cilegon. Saat penulis masih SMA, penulis pernah mengikuti Jumpa Bakti Gembira Palang Merah Remaja (JUMBARA PMR) Tingkat Nasional di Palembang pada tahun 2006. Penulis diterima di Direktorat Program Diploma, Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010. Saat mengikuti Program Diploma, penulis melaksanakan praktek kerja lapang (PKL) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi pada bulan Agustus-November 2009. Penulis tercatat sebagai pengurus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) sebagai sekretaris di bidang Komisi Internal tahun 2007/2008. Penulis
mendapatkan
kesempatan
untuk
melanjutkan
pendidikan
Program Sarjana Mayor Ilmu Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor yang diperoleh pada tahun 2010. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi enumerator dalam Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES) pada bulan Juli-Agustus 2011. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) pada bulan Juni hingga Agustus 2012 di Desa Luwunggesik, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu. Penulis juga mengikuti kegiatan lain seperti radio broadcast yang bertema tentang osteoporosis di RRI Cabang Bogor, ikut serta dalam mempromosikan sarapan sehat (Healthy breakfast) melalui media iklan di beberapa stasiun televisi, dan aktif sebagai sekretaris dalam kepanitiaan Seminar Gizi dan Pangan Nasional Food and Nutrition For Fresh, Fit, Active and Health.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang ..............................................................................
1
Tujuan ...........................................................................................
3
Tujuan Umum .........................................................................
3
Tujuan Khusus ........................................................................
3
Kegunaan Penelitian ......................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
4
Remaja ..........................................................................................
4
Sarapan ..........................................................................................
6
Konsep dan Pengertian Sarapan ...........................................
6
Peranan dan Manfaat Sarapan ................................................
6
Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan ..................................
8
Jenis Menu Sarapan ...............................................................
9
Ketersediaan Sarapan ............................................................
10
Aturan Kewajiban Sarapan ......................................................
11
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Sarapan ..................
11
Konsumsi Pangan ......................................................................... .
15
Anemia pada Remaja ....................................................................
18
KERANGKA PEMIKIRAN .....................................................................
21
METODE PENELITIAN..........................................................................
23
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ..........................................
23
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ..........................................
23
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...............................................
23
Pengolahan dan Analisis Data .......................................................
24
Definisi Operasional .......................................................................
30
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...............................................
33
Karakteristik Individu dan Keluarga.................................................
33
Pengetahuan Gizi ...........................................................................
40
Konsep Sarapan Remaja ...............................................................
42
ix
Kebiasaan Sarapan Remaja ..........................................................
48
Kualitas Sarapan Remaja ...............................................................
55
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kebiasaan Sarapan.......
62
Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kebiasaan Sarapan dengan Kualitas Sarapan ...........................................................................
65
Hubungan Kualitas Sarapan dengan Status Anemia ......................
67
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
70
Kesimpulan ....................................................................................
70
Saran .............................................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
72
LAMPIRAN ...........................................................................................
77
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja ...................................
5
2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada remaja ..............................................................................................
8
3 Batas normal kadar hemoglobin ........................................................
18
4 Pengkategorian karakteristik individu dan keluarga dan pengetahuan gizi remaja siswi smk ...................................................
25
5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan serta status anemia dan status gizi ...................................................
28
6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh.............................
34
7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi ...........................................
38
8 Persentase contoh yang menjawab benar tentang pengetahuan gizi ...................................................................................................
41
9 Definisi sarapan menurut contoh ......................................................
43
10 Distribusi frekuensi kebiasaan sarapan contoh menurut status anemia dan status gizi ...........................................................
49
11 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan lokasi sarapan ...................
51
12 Distribusi frekuensi tersedianya sarapan di rumah berdasarkan pekerjaan ibu ....................................................................................
52
13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama...............
53
14 Sebaran contoh berdasarkan jenis menu sarapan ............................
53
15 Rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi sarapan .................................................................................
56
16 Rata-rata konsumsi dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (%AKG)
58
17 Sebaran contoh berdasarkan sarapan sehat.....................................
62
18 Hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan ...........
63
19 Hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan contoh ...................................................................
66
20 Hubungan kualitas sarapan dengan status anemia ...........................
68
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan................
15
2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi sekolah menengah kejuruan di bogor................................................
22
3 Sebaran contoh berdasarkan status anemia .....................................
37
4 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan dengan WHO ........................
39
5 Distribusi TB/U contoh dibandingkan dengan WHO .........................
40
6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi .....................
42
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Konsep sarapan ................................................................................
78
2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari .........................................
83
3 Hasil uji korelasi karakteristik, ketersediaan, anemia dan gemuk ......
85
4 Hasil uji korelasi karakteristik dengan kebiasaan sarapan ................
85
5 Hasil uji korelasi pengetahuan gizi, kebiasaan, kualitas sarapan dan anemia ......................................................................................
85
6 Harga dan kandungan energi dan zat gizi sarapan ...........................
86
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini adalah masalah gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi menyebabkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) menjadi rendah. Rendahnya kualitas SDM merupakan tantangan berat dalam menghadapi persaingan bebas di era globalisasi. Oleh karena itu, diperlukan perilaku konsumsi makanan yang baik dan sesuai yang diwujudkan dalam bentuk pesan umum gizi seimbang (Depkes 2005). Sarapan merupakan salah satu waktu makan yang penting bagi setiap orang. Pada anak sekolah, termasuk remaja usia 16-18 tahun, sarapan berfungsi untuk mendapatkan sumber energi dan zat gizi agar dapat berpikir, belajar, dan melakukan aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Menurut Depkes (2005), proporsi asupan zat gizi makro yang dianjurkan untuk anak sekolah sehari menurut pedoman umum gizi seimbang (PUGS) meliputi karbohidrat 5060%, lemak sekitar 25%, dan protein sekitar 15%. Proporsi tersebut sudah mencakup sarapan. Khomsan (2002) berpendapat sarapan dapat menyumbang kontribusi energi sebesar 25 persen dari angka kebutuhan gizi sehari. Sarapan dibutuhkan untuk mengisi lambung yang telah kosong selama 8-10 jam, sehingga kadar glukosa yang semula turun akan kembali meningkat. Sarapan terbukti dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan stamina anak sekolah. Dengan sarapan kadar gula darah akan kembali normal setelah 810 jam tidak makan. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Namun, hasil analisis data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, masih banyak anak yang tidak terbiasa sarapan sehat, yaitu sekitar 35.000 anak usia sekolah (26.1%) yang hanya sarapan dengan air minum dan 44.6% memperoleh asupan energi dari sarapan kurang dari 15% kebutuhan energi per hari (Balitbangkes 2010). Sarapan sebaiknya memenuhi 330-550 kkal dan 8.3-13.8 g protein untuk mencukupi kebutuhan remaja siswi (15%-25% kebutuhan gizi sehari) sehingga dapat mengikuti berbagai kegiatan sekolah dan berkonsentrasi serta memahami pelajaran yang diberikan guru. Kebiasaan sarapan adalah salah satu pola hidup sehat bergizi seimbang untuk anak sekolah, termasuk remaja. Namun, sarapan relatif lebih sering dilakukan oleh anak usia kurang dari 10 tahun dan dewasa lebih dari 65 tahun. Hasil studi yang dilakukan pada remaja usia 13-16 tahun di Amerika Serikat dan
2
Eropa pada tahun 1970 hingga 2004 di pedesaan dan perkotaan menunjukkan sebanyak 10-30% mempunyai kebiasaan tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005). Hasil studi di Indonesia yang dilakukan di enam kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpansar) menunjukkan hasil yang lebih kurang sama, yaitu sekitar 14-25% remaja yang tidak sarapan. Alasan umum remaja tidak pernah sarapan atau sarapan secara kadang-kadang karena makanan belum tersedia, tidak terbiasa, malas atau waktu makan sempit pada pagi hari. Susunan hidangan sarapan pada remaja tidak selalu merupakan susunan hidangan lengkap yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah, tetapi hanya nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie goreng sehingga menyediakan konsumsi zat gizi yang tidak seimbang (Mudjianto et al. 1994). Affenito et al. (2005) juga menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa kebiasaan sarapan pada usia remaja cenderung menurun dengan bertambahnya usia. Persentase remaja perempuan yang memiliki kebiasaan sarapan menurun dari 77% pada usia 9 tahun menjadi kurang dari 32% pada usia 19 tahun. Padahal, remaja yang mengonsumsi sarapan secara rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005). Penelitian mengenai kebiasaan sarapan pada remaja di Indonesia belum banyak dibahas. Pearson et al. (2009) menekankan pentingnya meneliti faktor yang terkait dengan konsumsi sarapan pada remaja, terutama faktor orangtua karena dapat berimplikasi dalam pengembangan dan implementasi efektif intervensi gizi pada kelompok risiko tinggi. Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998). Namun, kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Remaja putri merupakan golongan umur sensitif terhadap perilaku makan, termasuk perilaku sarapan. Golongan ini mulai mencari identitas dan sangat menjaga penampilan tubuh. Menurut Adimuntja et al. (2008), hasil analisis data Riskesdas 2007 adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik perilaku konsumsi remaja, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia, yang berarti rendahnya kadar hemoglobin (Hb) maupun sel darah merah. Jumlah penderita anemia yang
3
berasal dari kelompok usia sekolah (6-16 tahun) mencapai 65 juta jiwa. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng. Briawan (2008) menyatakan hasil penelitiannya di Bogor menunjukkan prevalensi anemia di kalangan remaja putri adalah 25.1% (kategori sedang). Prevalensi defisiensi gizi besi (IDA) sebesar 16.4% yang menunjukkan bahwa sekitar 65% anemia di kalangan remaja putri disebabkan oleh defisiensi zat besi. Data Riskesdas 2007 mengungkapkan 93.6% penduduk Indonesia diatas usia 10 tahun kurang konsumsi sayur dan buah, sementara konsumsi gula dan garam meningkat. Hal ini bisa menyebabkan kegemukan serta menimbulkan penyakit degeneratif
(Adimuntja et al. 2008). Oleh karena itu, penelitian ini
penting dilakukan untuk melihat kebiasaan sarapan pada remaja siswi yang sedang sekolah setingkat sekolah menengah atas. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kebiasaan sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bogor. Tujuan Khusus 1.
Mempelajari karakteristik individu dan keluarga remaja siswi SMK.
2.
Mempelajari pengetahuan gizi remaja siswi SMK.
3.
Mempelajari konsep sarapan remaja siswi SMK.
4.
Mengidentifikasi kebiasaan sarapan remaja siswi SMK.
5.
Menilai kualitas sarapan remaja siswi SMK.
6.
Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK.
7.
Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan remaja siswi SMK.
8.
Menganalisis hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi SMK. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai kebiasaan sarapan remaja SMA/SMK/MA. Informasi tersebut dapat membantu orang tua dan remaja dalam menyadarkan pentingnya meningkatkan kualitas sarapan. Informasi ini juga dapat digunakan pihak sekolah dan pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya sarapan dengan makanan bergizi.
4
TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah adolescence atau remaja yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Perkembangan fisik yang cepat dan disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Perubahan fisik yang terjadi selama awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu (Hurlock 1999). Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan pertumbuhan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pada masa remaja pertumbuhan BB perempuan dan laki-laki sekitar 16 g dan 19 g per hari, sedankan pertambahan TB anak perempuan dan laki-laki masingmasing dapat mencapai kurang lebih 15 cm per tahun. Puncak pertambahan pesat TB terjadi di usia 11 tahun untuk remaja perempuan dan sekitar usia 14 tahun untuk remaja laki-laki. Masa remaja juga terjadi peningkatan massa tubuh (tulang, otot, lemak, dan BB) serta perubahan biokimia hormonal (Kurniasih et al. 2010). Menurut WHO/UNFPA, remaja adalah anak berumur 10-19 tahun. Remaja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok umur 10-15 tahun dan 1519 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa pertumbuhan cepat (growth spurt) yaitu tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Selain itu, ciri-ciri seks sekunder semakin tampak, seperti tercapainya kematangan fertilitas, serta terjadinya perubahan yang signifikan dalam kematangan psikologis dan kognitif. Pertumbuhan pesat tersebut terjadi baik oleh perempuan maupun laki-laki, menjelang dan masa pubertas (Kurniasih et al. 2010). Umumnya laki-laki mengalami kematangan yang lebih lambat daripada perempuan, sehingga laki-laki mengalami periode masa awal remaja yang lebih singkat yang mengakibatkan laki-laki tampak kurang matang untuk usianya dibandingkann dengan perempuan (Hurlock 1999). Menurut Sarwono (1993), berdasarkan usia tahap perkembangannya remaja dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1. Tahap remaja awal (14-17 untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk perempuan) dengan ciri-ciri yaitu: (a) status sosial belum jelas antara anak-anak dan remaja; (b) terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain, sedangkan
pertumbuhan
fisik
pada
tahap
ini
terjadi
sangat
pesat
5
dibandingkan tahap akhir; (c) masa peningkatan emosi; (d) masa tidak stabil (cepat bosan, sulit konsentrasi, dan lain-lain); (e) merasa banyak masalah. 2. Tahap remaja akhir (18-21 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dengan ciriciri yaitu: (a) lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi, dan cara berfikir; (b) bertambah realistis; (c) meningkatnya kemampuan untuk memecah masalah; (d) tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang; (e) pertumbuhan yang cenderung lamban. Masa remaja merupakan masa perubahan yang cepat dalam diri seseorang. Pertumbuhan pada usia anak yang relatif terjadi dengan kecepatan yang sama, secara mendadak meningkat saat memasuki usia remaja. Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara khusus, misalnya pada remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Oleh karena itu, kebutuhan zat besi remaja putri lebih besar dibandingkan laki-laki (Soetardjo 2011). Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan tubuh pada usia remaja ditandai dengan perubahan bentuk badan, perkembangan organ reproduksi, dan pembentukan sel-sel reproduksi. Selain itu, kegiatan fisik (jasmani) lebih meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Oleh karena itu, kecukupan remaja per orang per hari lebih banyak dibandingkan pada masa anak-anak (Hardinsyah & Martianto 1992). Kecukupan energi dan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Folat (mg)
Perempuan (tahun) 13-15 16-18 2350 2200 57 55 1000 1000 26 26 600 600 15 15 1.1 1.1 65 75 400 400
Laki-laki (tahun) 13-15 16-18 2400 2600 60 65 1000 1000 19 15 600 600 15 15 1.2 1.3 75 90 400 400
Sumber: WNPG (2004)
Asupan energi anak perempuan pada tiga tahap perkembangan (prapubertas, tumbuh cepat, dan pasca-pubertas) berhubungan dengan tingkat perkembangan fisiologis. Kebutuhan protein remaja lebih dekat dengan pola pertumbuhan dibandingkan dengan usia. Angka kecukupan protein dalam
6
hubungannya dengan tinggi badan merupakan cara paling tepat untuk memperkirakan kebutuhan protein remaja. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau untuk
memperbaiki
jaringan
yang
rusak.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan massa otot tubuh. Kebutuhan vitamin dan mineral selama masa remaja meningkat karena remaja berada dalam masa puncak pertumbuhan (Soetardjo 2011). Sarapan Konsep dan Pengertian Sarapan Breakfast berasal dari kata break dan fast yang berarti sarapan. Sarapan merupakan cadangan energi awal untuk beraktivitas. Saat tidur pada malam hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al. 2001). Menurut Hardinsyah (2012), sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan karbohidrat sederhana (Indeks glikemik tinggi), minuman (air putih, susu, teh atau kopi). Peranan dan Manfaat Sarapan Seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal; mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk membentuk perilaku sarapan sehat (Hardinsyah 2012). Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Membiasakan sarapan memang terasa sulit. Padahal kebiasaan sarapan
7
membantu
seseorang
untuk
memenuhi
kecukupan
gizinya
sehari-hari.
Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005). Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang berhubungan dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan sebagai bagian dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi kesehatan anak dan kesejahteraan. Namun, Apabila tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan perilaku anak. Kemampuan pemecahan masalah, memori jangka pendek, daya konsentrasi, dan memori episodik anak akan menurun. Sarapan dapat menjauhkan masalah emosional, perilaku, dan akademis pada anak dan remaja serta menghilangkan rasa lapar (Michaud et al. 2001). Hasil uji Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan sarapan dengan anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia sangat merugikan karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah (Saidin et al. 1991). Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2002). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah. Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan
8
lipidemia. Smith KJ et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase. Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya. Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200 kkal dan 55 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-550 kkal dan 8.313.8 g protein (Hardinsyah 2012). Tabel 2 menunjukkan anjuran kecukupan energi dan zat gizi dari sarapan yang dihitung sebesar 25% AKG. Tabel 2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada remaja Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Folat (mg)
Perempuan (tahun) 13-15 16-18 588 550 14.3 13.8 250 250 6.5 6.5 150 150 3.8 3.8 0.3 0.3 16.3 18.8 100 100
Laki-laki (tahun) 13-15 16-18 600 650 15 16.3 250 250 4.8 3.8 150 150 3.8 3.8 0.3 0.3 18.8 22.5 100 100
Sumber: WNPG (2004)
Gambaran kontribusi energi dari sarapan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kurang (apabila asupan energi sarapan < 550 kkal atau < 25% AKG sehari) dan cukup (apabila asupan energi sarapan ≥ 550 kkal atau ≥ 25% AKG sehari) (Hermina et al. 2009). Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Menurut Darmayanti (2010), makanan sarapan memberikan kontribusi energi terhadap kecukupan gizi sebesar 19% dan kontribusi protein sebesar 22.2% pada siswa
9
laki-laki dan 19.2% pada siswa perempuan. Kontribusi makanan sarapan terhadap kecukupan zat besi siswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan siswi perempuan. Adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) dari kontribusi energi dan zat besi terhadap kecukupan gizi siswa laki-laki dan perempuan. Jenis Menu Sarapan Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral. Konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagai berikut (Depkes 2001): 1) Sumber karbohidrat, yaitu nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong, dan ubi. 2) Sumber protein, yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain. 3) Sumber vitamin dan mineral, yaitu berasal dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis; dan buah-buahan antara lain pepaya, jambu biji, melon, alpukat, dan lain-lain. Jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh remaja di enam kota besar di Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie instant. Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang); nasi gudeg (Yogyakarta), nasi rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya). Jumlah remaja yang biasa sarapan nasi dan laukpauk terbanyak di Yogyakarta sebesar 73% (Mudjianto et al. 1994). Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky 2002). Berbagai penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada perubahan kebiasaan makan. Kebiasaan sarapan dengan mengkonsumsi susu, nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah berubah menjadi hidangan junk food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta buah-buahan (Anderson 1991). Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak
10
makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002). Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat kompleks dapat membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes et al. 2003). Cho et al. (2003), seseorang yang sarapan dengan mengkonsumsi sereal siap saji, sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan daging dan telur. Hal ini menunjukkan tidak sarapan bukan merupakan cara untuk mengatur berat badan. Ketersediaan Sarapan Khomsan (2002) menyatakan bahwa apabila ibu memiliki peran ganda yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah keluarga, maka terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Ibu yang bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat sarapan. Rohayati (2001) menyatakan pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Penelitian Svenskarin (2012) menunjukkan kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01) dengan aturan sarapan keluarga dan ketersediaan waktu ibu dalam penyediaan pangan sarapan. Studi FAO (1987) dalam menunjukkan bahwa wanita di negara berkembang yang mengalokasikan waktu lebih banyak diluar rumah, biasanya akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan rumah tangga baik dengan cara mengurangi frekuensi memasak maupun mengurangi jenis makanan yang di masak. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap ketersediaan ibu adalah status dan jenis pekerjaan ibu, kehadiran ibu di rumah, ketersediaan peralatan masak modern, dan ketersediaan pangan yang praktis atau siap saji (Hardinsyah 2007). Penelitian yang dilakukan pada 217 orang remaja siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Depok pada bulan Desember 2007 menunjukkan adanya hubungan antara ketersediaan sarapan dengan kebiasaan sarapan remaja siswi (P<0.05). Adanya kecenderungan bahwa remaja siswi yang terbiasa
11
sarapan sebagian besar karena sarapan tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak tersedia, remaja putri (40.5%) yang sarapan lebih sedikit (Hermina et al. 2009) Aturan Kewajiban Sarapan Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib hubungan antar keluarga. Sebuah keluarga juga berlaku kebiasaan tertentu yang biasa disebut kebiasaan keluarga, misalnya sebuah keluarga mempunyai kebiasaan sarapan dengan nasi dan lauk pauk dan secara umum semua anggota melakukan sarapan. Makan bersama keluarga biasanya dilakukan pada saat sarapan atau makan malam. Aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan menyebabkan kebiasaan sarapan yang baik. Ibu memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan kebiasaan makan anak di rumah karena ibu yang mempersiapkan
makanan,
mengatur
menu,
menyiapkan
hidangan,
dan
mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan kepada anak. Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Pearson et al. 2009). Hasil penelitian Mudjianto et al. (1994) di enam kota besar, sarapan biasa dilakukan dirumah oleh remaja lebih dari 70% di masing-masing kota. Selain itu, remaja melakukan sarapan di sekolah atau dalam perjalanan menuju sekolah. Sarapan yang dilakukan dalam perjalanan ke sekolah tersebut yaitu dengan cara makan di warung-warung atau di kendaraan bagi remaja yang diantar dengan mobil.
Menurut
Rahkonen
et
al.
(2003)
sarapan
dirumah
membantu
meningkatkan hubungan keakraban sesama anggota keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan sarapan Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makanan ini terjadi seumur hidup yakni sejak lahir hingga dewasa. Kebiasaan makan tidak hanya terbentuk dari dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi disamping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi (Sukandar 2007). Menurut Den Hartog et al. (2006), kebiasaan makan sebagai cara individu atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh sosial dan budaya, tekanan ekonomi, pilihan dalam mengkonsumsi, dan menggunakan pangan yang tersedia. Kebiasaan makan secara umum meliputi frekuensi makan seseorang
12
sehari, kebiasaan sarapan, keteraturan makan, susunan hidangan makan, orang yang berperan dalam memilih dan mengolah makanan dalam keluarga, makanan pantangan dan kebiasaan makan bersama dalam keluarga (Ulfa & Latifah 2007). Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen, yaitu (1) konsumsi makanan (pola makan), meliputi jumlah, jenis, frekuensi, dan proporsi makanan yang dikonsumsi atau komposisi makanan; (2) preferensi terhadap makanan (suka atau tidak suka dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); (3) ideologi atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan, meliputi umur, asal, pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan, dan ketersediaan makanan (Sukandar 2007). Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku sarapan, dalam wujud sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya (Hermina et al. 2009). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi yang tinggi pula. Latar belakang pendidikan formal sangat erat hubungannya dengan kemampuan menyerap informasi dari berbagai sumber baik itu media elektronik maupun dari sumber media massa (Ulfa & Latifah 2007). Penelitian Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka skor keragaman konsumsi pangan juga semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Siega et al. (1998) memaparkan kebiasaan sarapan anak yang baik berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Hermina et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05), yaitu ibu berpendidikan tinggi (> SMA) mempunyai anak remaja putri yang lebih
13
banyak (biasa) sarapan sebelum berangkat ke sekolah dibandingkan ibu dengan berpendidikan rendah (≤ SMA). Selain itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa) sarapan dibandingkan dengan siswi yang memiliki ibu berpendidikan rendah. Pendapatan diartikan sebagai jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya beli seseorang. Pendapatan seseorang identik
dengan
mutu
sumberdaya
manusia,
sehingga
seorang
yang
berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. dalam Sukandar 2007). Jumlah uang yang dikeluarkan untuk pangan bergantung pada tingkatan pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi (Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al. (1998) menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga makan kebiasaan konsumsi sarapan juga akan semakin tinggi. Namun, penelitian Hermina et al. (2009) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dan ibu serta penghasilan orangtua terhadap kebiasaan sarapan remaja putri. Konsumsi makanan merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis pangan yang tersedia serta kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Sukandar 2007). Rohayati (2001) menyatakan bahwa salah satu alasan seorang anak mengkonsumsi makanan yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang saku pada anak merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk memenuhi keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Menurut Hermina et al. (2009) membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri. Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota
14
keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007), terdapat hubungan antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan yang berarti keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian makanan dalam keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja. Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka dengan
mendukung
kebiasaan
makan
dan
struktur
keluarga
harus
dipertimbangkan dalam merancang program untuk mengenalkan kebiasaan sarapan sehat. Menurut Khan (2005), adapun alasan remaja melewatkan sarapan lebih banyak terkait dengan kebebasan remaja dalam menentukan pilihan tindakan yang lebih disukai, terlambat bangun, tidak merasa lapar, makanan belum tersedia, dan tidak ada yang menyiapkan makanan daripada alasan yang terkait dengan persepsi body image dan program diet. Namun, berbeda dengan penelitian Shaw (1998) yang menjelaskan bahwa alasan seseorang melewatkan waktu sarapan antara lain tidak memiliki waktu untuk sarapan, tidak suka makan pada pagi hari, tidak menyukai makanan yang tersedia dan takut kegemukan. Kebiasaan menghindari sarapan dengan tujuan untuk menurunkan berat badan merupakan kekeliruan yang dapat mengganggu kondisi kesehatan, antara lain gangguan pada saluran pencernaan (Depkes 2005). Penelitian Zullig et al. (2006) juga menegaskan bahwa remaja yang melewatkan sarapan secara signifikan seperti berpuasa untuk menurunkan berat badan. Menurut Fiore et al. (2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi dapat menunjukkan kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan kalsium yang rendah. Berikut model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Masalah terkait berat badan
Kualitas Makanan Frekuensi Sarapan
Asupan Energi
Berat badan
Kontrol Nafsu Makan
Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan Konsumsi Pangan Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Penilaian secara kualitatif dilakukan dengan pengumpulan yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kebutuhan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Secara kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan. Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu makanan, jenis pangan, Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian
16
dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan kandungan gizi bahan makanan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut Sukandar (2007), hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat dihitung tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dihitung sebagai perbandingan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dikalikan 100%. Jika tingkat kecukupan gizi sama dengan 70% atau lebih maka ini dikatakan konsumsi gizi telah memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Warthington (2000) menyatakan bahwa pada dasarnya intake makanan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri seperti emosi atau kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan, kebutuhan fisiologi, body image, konsep diri, nilai dan kepercayaan individu, pemilihan arti makanan, psikososial, dan kesehatan. Faktor eksternal ialah faktor yang ada di alam sekitarnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap bahan pangan, antara lain jumlah dan karakteristik keluarga, peran orang tua, teman sebaya, budaya, nilai dan norma, media massa, fast food, pengetahuan gizi, dan pengalaman individu. Menurut Sediaoetama (2000), konsumsi pangan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi pangan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga.Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995). Pengetahuan tentang gizi dan kebiasaan sarapan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh remaja. Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan menunjukkan anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga menyatakan sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering, dan memiliki kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007). Kebiasaan makan yang salah akan mempengaruhi konsumsi pangan, terutama dalam hal penyerapan zat gizi yang terkandung dalam makanan. Apabila zat-zat yang diserap tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi (Sukandar 2007). Kebiasaan makan yang buruk pada remaja perempuan dapat disebabkan
17
oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas disebut sebagai faktor fisiologis. Sedangkan, adanya trend bentuk tubuh ideal pada wanita yang kurus dan tinggi disebut sebagai faktor tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja perempuan untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja perempuan sering mengalami kurang gizi (Eastwood 2003). Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh kembang, kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal dan kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang (Pardede 2002). Kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Jenis hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu sarapan hanya terbatas pada makanan pokok yang kaya karbohidrat. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998). Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi (Almatsier 2004). Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga apabila pangan
tersebut dikonsumsi bersamaan dengan
pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan kalsium (Morck et al. 1983)
18
Anemia pada Remaja Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Sebagian besar anemia di Indonesia dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) disebut anemia kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi yang terjadi karena makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Menurut Permaesih & Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan, sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur dan jenis kelamin. Remaja laki-laki maupun perempuan dalam masa pertumbuhan membutuhkan energi, protein, dan zat gizi lainnya yang lebih banyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Pematangan seksual pada remaja menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki, karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang pada saat menstruasi sekitar 0.8 mg/hari. Ernawati dan Saidin (2008) menunjukkan bahwa faktor determinan terhadap anemia remaja adalah jenis kelamin, dimana remaja putri beresiko menderita anemia 2.2 kali (Cl 95%: 1.3-3.7) dibandingkan laki-laki. Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah ke dalam jaringan dalam tubuh. Status anemia remaja yang mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) dibawah nilai normal menurut umur (15-19 tahun) yaitu kadar Hb perempuan < 12 g/dl dan kadar Hb laki-laki < 13 g/dl (WHO 2001). Cara penentuan kadar Hb yang dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin. Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Batas normal kadar hemoglobin Kelompok Anak balita Anak usia sekolah Wanita dewasa Laki-laki dewasa Ibu Hamil Ibu Menyusui Sumber: WHO (2001)
Kadar Hb (g/dl) 11 12 12 13 11 12
19
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap. Tahap pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk system ertiropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun (Almatsier 2004). Gejala umum anemia atau sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga, dan kepala terasa melayang, serta konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan menurunkan produktivitas kerja. Apabila anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Permaesih & Herman 2005). Dampak anemia terhadap daya pikir akan mempengaruhi remaja didalam prestasi di sekolah. Anemia dapat menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga berdampak pada imunitas sehingga mempengaruhi menurunnya produktivitas secara tidak langsung melalui seringnya tidak masuk sekolah karena sakit (Ernawati & Saidin 2008). World Bank (2006) menyatakan bahwa kualitas manusia ditentukan oleh status gizi bayi sejak dalam kandungan sampai umur 2 tahun, artinya sangat penting untuk mempersiapkan calon ibu dengan status gizi baik. Ibu hamil yang menderita anemia resiko melahirkan anak dengan anemia dan kekurangan gizi termasuk anemia pada masa anak tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan otak dan fisik yang sulit diperbaiki. Menurut Saraswati dan Sumarno (1997), sebanyak 904 orang remaja putri SMA di Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan jawaban tentang pengetahuan anemia dan 819 orang remaja putri diperiksa darahnya. Secara umum hasil survei tersebut menunjukkan rata-rata Hb remaja putri adalah 12.2 g/dl dengan prevalensi anemia sebesar 42.6% remaja putri sampel. Secara umum pengetahuan anemia remaja putri tentang anemia masih rendah dimana hasil survei menunjukkan sebesar 65% sampel mengetahui gejala anemia,
20
namun hanya 21% yang menjawab penyebab anemia karena kurang zat gizi yaitu zat besi, tergambarkan pada jawaban penyebab anemia kurang makan makanan yang mengandung zat besi (1.8%) dan kurang makan sayuran (16.4%). Kejadian anemia secara signifikan lebih lazim di kalangan sekolah negeri dan siswa dengan ibu yang berpendidikan rendah. Anemia juga secara signifikan lebih tinggi pada remaja yang telah menstruasi. Diantara 800 siswa yang dalam penelitian ini, terdapat 119 siswa yang tidak sarapan menunjukkan tanda anemia. Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002). Menurut Permaesih & Herman (2005) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu remaja 1019 tahun yang berpendidikan rendah memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05) dengan kejadian anemia (OR=3.8; 95% CI: 1.9-7.2). Remaja laki-laki memiliki risiko yang lebih rendah terjadi anemia. Kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.40.9), merokok (OR=1.35; 95% CI: 1-1.8), dan konsumsi energi yang cukup (OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Hasil penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi menunjukkan bahwa variabel yang terkait dengan anemia adalah pendidikan, jenis kelamin, usia, asal wilayah, kebiasaan sarapan, keluhan penyakit, dan kondisi tubuh. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng.
21
KERANGKA PEMIKIRAN Kebiasaan makan yang optimal dilihat dari segi kuantitas dan kualitas. Pola kebiasaan makan dapat mencerminkan pola konsumsi seseorang. Perilaku konsumsi makanan yang baik diperlukan yakni diwujudkan dalam bentuk pesan umum gizi seimbang. Sarapan merupakan salah satu perilaku penting dalam mewujudkan gizi seimbang. Kebiasaan sarapan membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari yang digunakan untuk berpikir, bekerja, dan melakukan aktivitas secara optimal setelah bangun pagi. Remaja memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya sehingga memerlukan zat gizi lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya. Oleh karena itu, sarapan pada remaja harus ditunjang dengan asupan zat gizi yang optimal. Kebiasaan makan dipengaruhi oleh keberagaman dari karakteristik individu dan faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Karakteristik individu seperti usia dan uang saku. Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga (besar keluarga), status sosial dalam keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu), status ekonomi keluarga (pendapatan orang tua), pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan (suku ayah dan ibu). Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C. Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara khusus. Perubahan ini akan mempengaruhi remaja dalam menentukan makanan yang dikonsumsi dimana semakin kurang baik perilaku konsumsi, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
22
-
Karakteristik Individu : Usia Berat badan Tinggi badan Uang saku
Pengetahuan Gizi
-
Kebiasaan Sarapan: Frekuensi sarapan Waktu dan lokasi sarapan Ketersediaan sarapan di Rumah Kebiasaan sarapan bersama Jenis menu sarapan
Kualitas sarapan
-
Karakteristik Keluarga : Pekerjaan Ibu Pendidikan ibu Pendapatan orang tua Besar keluarga Suku ayah dan Ibu
Konsep Sarapan: Definisi sarapan Jenis sarapan Peranan dan manfaat sarapan Alasan dan dampak tidak sarapan - Waktu sarapan - Penyiapan sarapan - Aturan kewajiban sarapan -
Status Gizi
Status Anemia
Keterangan: Variabel yang diteliti Hubungan yang dianalisis Gambar 2 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan pada remaja siswi Sekolah Menengah Kejuruan di Bogor
23
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian
ini
dilakukan
melalui
pendekatan
kuantitatif
dengan
menggunakan desain cross sectional study yaitu pengamatan terhadap paparan dan outcome dilakukan dalam satu periode yang sama. Lokasi penelitian dilakukan di SMK Pelita Ciampea Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses untuk melaksanakan penelitian dan karakteristik sosial ekonomi contoh yang heterogen. Penelitian ini menggunakan sebagian data endline dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN; Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si; dan Dian Herawati, STP, M.Si (SEAFAST Center) yang berjudul “Efikasi pangan lokal bergizi untuk perbaikan anemia
dan
peningkatan
prestasi
akademik
dalam
rangka
kegiatan
pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Peneliti melakukan pengumpulan data tentang konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan pada remaja. Waktu penelitian dimulai dari Oktober hingga November 2012. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi penelitian adalah remaja siswi SMK kelas XI dan XII jurusan keperawatan dan butik yang berjumlah 81 orang. Pemilihan kelas dilakukan secara purposive. Seluruh siswi kelas XI dan XII diminta mengisi kuesioner penelitian. Siswi yang mengembalikan kuesioner dan mengisi semua pertanyaan dengan lengkap, serta mengikuti pengukuran kadar hemoglobin dijadikan sebagai contoh dalam penelitian ini. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 68 orang, terdiri dari 16 orang kelas XI butik, 21 orang kelas XII butik, dan 31 orang kelas XI keperawatan. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi konsep sarapan (definisi sarapan, jenis makanan sarapan, waktu sarapan, ketersediaan sarapan, aturan sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan); sarapan yang terdiri kebiasaan sarapan (frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan, ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan) dan kualitas sarapan (tingkat kontribusi energi dan zat gizi sarapan). Data sekunder meliputi data karakteristik individu (usia, berat badan, tinggi badan, dan uang saku); karakteristik keluarga (pekerjaan dan pendidikan ibu, pendapatan orang
24
tua, besar keluarga, suku ayah dan ibu); pengetahuan gizi; dan data kadar hemoglobin. Sebelum pengumpulan data dilakukan, remaja siswi SMK diberikan penjelasan umum tentang data yang akan dikumpulkan. Data konsep sarapan diperoleh dengan mengisi pertanyaan terbuka pada kuesioner konsep sarapan. Peneliti memberikan kebebasan kepada responden dalam mengisi pertanyaan terbuka pada kuesioner konsep sarapan untuk menjawab serinci mungkin atas apa yang ditanyakan peneliti. Data sarapan (kebiasaan dan kualitas sarapan) diperoleh dengan food record, khusus sarapan selama seminggu (6 hari di hari sekolah dan 1 hari di hari libur). Pengambilan data sarapan selama seminggu dilakukan dalam tiga kali kunjungan dengan selang waktu satu hari. Siswi diwawancarai tentang makanan atau minuman apa saja yang dikonsumsi beserta ukuran atau takarannya ketika sarapan (mulai bangun tidur hingga pukul 09.00 WIB). Peneliti melakukan verifikasi data kepada siswi agar memastikan konsumsi sarapan siswi setiap harinya. Data karakteristik individu, karakteristik keluarga, dan pengetahuan gizi diperoleh dengan mengisi pertanyaan tertutup dan pilihan ganda pada kuesioner “Efikasi pangan lokal bergizi untuk perbaikan anemia dan peningkatan prestasi akademik”. Data anthropometri dikumpulkan meliputi berat badan dan tinggi badan. Untuk pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang (SECA ketelitian 0.1 kg) dan stadiometer (ketelitian 0.1 cm). Data kadar hemoglobin diperoleh melalui biokimia darah yaitu dengan cara mengambil darah sebanyak ± 1 ml melalui pembuluh darah kapiler dilakukan dari ujung jari dengan metode finger prick. Sampel darah diambil oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu coding, entry, cleaning dan analisis. Data yang telah dientry dan dinyatakan clean kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan gambar, serta dianalisis secara statistik (deskriptif dan inferensia). Data dianalisis secara deskriptif dengan melihat distribusi frekuensi, nilai maksimum, nilai minimum, standar deviasi, nilai tengah dan rata-rata variabel penelitian (karakteristik individu dan keluarga; status anemia; status gizi; pengetahuan gizi; kebiasaan, konsep dan kualitas sarapan). Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16 for Windows.
25
Tabel 4 Pengkategorian variabel karakteristik individu dan keluarga dan pengetahuan gizi remaja siswi SMK No Variabel a. Karakteristik Individu 1 Umur 2
Uang saku (Rp/hari)
b. Karakteristik Keluarga 1 Pekerjaan ibu 2
Pendidikan ibu
3
Pendapatan orang tua (Rp/bulan)
4
Besar keluarga
5
Suku Ayah dan Ibu
c. Pengetahuan Gizi
Kategori
Sumber
1.14-17 tahun 2.18-21 tahun 1.Sedikit ≤ Rp 12.631 2.Banyak >Rp 12.631
Sarwono (1993) Hermina et al. (2009)
1.Bekerja 2.Tidak Bekerja 1.Rendah (≤ SMA) 2.Tinggi ( > SMA) 1.< Rp. 500.000 2.Rp. 500.000-999.000 3.Rp. 1.000.000-1.499.000 4.Rp. 1.500.000-1.999.000 5.Rp. 2.000.000-2.499.000 6.Rp. 2.500.000-4.999.000 7.> Rp. 5.000.000 1.Keluarga kecil (≤ 4 orang) 2.Keluarga besar (> 4 orang) 1.Sunda 2.Jawa 3.Batak 4.Lainnya
Hermina et al. (2009) Hermina et al. (2009)
1.Kurang (skor <60%) 2.Sedang (skor 60-80%) 3.Baik (skor > 80%)
BKKBN (2007) -
Khomsan (2000)
Tabel 4 menunjukkan pengkategorian variabel karakteristik individu dan keluarga dan pengetahuan gizi. Data karakteristik individu meliputi usia, berat badan, tinggi badan, dan uang saku. Data usia digunakan untuk menentukan kecukupan gizi sehari berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) sehari untuk seorang remaja siswi usia 14-18 tahun yang sesuai WNPG (2004). Selanjutnya, digunakan untuk perhitungan kontribusi energi dan zat gizi sarapan remaja siswi SMK. Data berat badan dan tinggi badan digunakan untuk menentukan status gizi berdasarkan umur, yaitu (IMT/U) dan (TB/U) berdasarkan WHO 2007. Data usia dikelompokkan menjadi dua, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Data uang saku dirata-rata berdasarkan sebaran contoh dan dikategorikan menjadi dua, yaitu sedikit dan banyak. Data karakteristik keluarga terdiri dari pekerjaan dan pendidikan ibu, pendapatan orang tua, besar keluarga, suku ayah dan ibu. Data pekerjaan ibu dibagi menjadi dua, yaitu ibu bekerja dan tidak bekerja. Jenis pekerjaan dari ibu bekerja meliputi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI/POLRI), pegawai swasta, petani, wiraswasta, karyawan (buruh),
26
dan lainnya. Data pendidikan terakhir ibu dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan tinggi. Ibu yang berpendidikan tinggi (apabila > SMA) dan ibu yang berpendidikan rendah (apabila ≤ SMA). Jenis pendidikan terakhir ibu meliputi tamat SD/Sederajat, tamat SMP/Sederajat, tamat SMA/Sederajat, dan tamat Diploma/Akademi,
serta
tamat
Sarjana/Pascasarjana
(S1/S2/S3).
Data
penghasilan orang tua per bulan meliputi kurang dari Rp. 500.000, Rp. 500.000999.000, Rp. 1.000.000-1.499.000, Rp. 1.500.000-1.999.000, Rp. 2.000.0002.499.000, Rp. 2.500.000-4.999.000, dan lebih dari Rp. 5.000.000. Data pengetahuan gizi diukur dengan cara memberikan skor terhadap setiap
jawaban
pertanyaan
mengenai
tingkat
pengetahuan
gizi.
Data
pengetahuan gizi diperoleh dengan memberikan 15 buah pertanyaan pilihan berganda dengan memilih jawaban yang paling benar, berkaitan dengan gizi secara umum dan anemia dalam bentuk kuesioner. Skor jawaban contoh setiap 1 pertanyaan diberi nilai 1 jika memilih jawaban benar dan skor nol jika memilih jawaban salah atau tidak memilih jawaban. Skor jawaban berkisar 0-15. Tingkat pengetahuan gizi dihitung dengan cara menjumlahkan skor dan dikelompokkan menjadi tiga kategori tingkat pengetahuan menurut Khomsan (2000). Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan dan status anemia serta status gizi dapat dilihat pada Tabel 5. Data konsep sarapan meliputi definisi sarapan, makanan dan minuman saat sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan, waktu sarapan, penyiapan sarapan, dan aturan kewajiban sarapan. Definisi sarapan berisi tentang pengertian sarapan menurut remaja siswi SMK. Makanan dan minuman yang baik untuk dikonsumsi saat sarapan menurut remaja siswi SMK. Waktu sarapan meliputi hari sekolah dan libur serta jam sarapan menurut remaja siswi SMK. Alasan tidak sarapan antara lain bangun telat, tidak merasa lapar, tidak nafsu makan, terlalu banyak menghabiskan waktu, tidak ada waktu untuk makan, tidak ada yang menyediakan sarapan dan makanan tidak tersedia (Khan 2005). Dampak yang dirasakan ketika tidak sarapan antara lain ngantuk, kelaparan, lemas, kurang aktif, nyeri lambung, sakit kepala, sulit mengerti atau menerima mata pelajaran, lupa dengan mata pelajaran, keringat dingin, pingsan, tidak merasakan apapun (Khan 2005). Penyiapan sarapan yakni mencakup siapa yang sebaiknya mempersiapkan sarapan untuk remaja siswi SMK (diri sendiri, pembantu, dan ibu, serta anggota keluarga lainnya). Aturan kewajiban sarapan meliputi sebaiknya ada atau tidak ada aturan didalam keluarga remaja siswi SMK
27
yang mengharuskan sarapan sebelum berangkat sekolah. Data konsep sarapan ini diolah secara deskripsi, kemudian dibuat coding dan entry data. Coding dilakukan untuk jawaban contoh berisi pilihan (ya atau tidak) dan kalimat lengkap. Jawaban contoh yang berisi kalimat lengkap dikelompokkan menjadi pilihan jawaban seperti pada Lampiran 1. Data kebiasaan sarapan meliputi frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan, ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan. Frekuensi sarapan digambarkan dengan frekuensi sarapan dalam seminggu (6 hari sekolah dan 1 hari libur), yaitu jarang (1-3 kali/minggu), dan kadang-kadang (4-6 kali/minggu), dan selalu (7 kali/minggu) (Khan 2005). Waktu sarapan dikategorikan berdasarkan hasil wawancara dengan contoh. Umumnya contoh bangun tidur sekitar pukul 05.00 WIB dan sarapan dilakukan dari mulai bangun tidur hingga pukul 09.00 WIB. Oleh karena itu, waktu sarapan dikategorikan menjadi lima, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, 08.0009.00. Lokasi sarapan dikategorikan berdasarkan hasil wawancara dengan contoh. Tidak semua contoh sedang dalam proses belajar di sekolah, melainkan melakukan praktek kerja lapang (PKL) di Rumah Sakit Leuwiliang, khususnya contoh dari jurusan keperawatan. Lokasi sarapan dikategorikan menjadi lima, yaitu di rumah, di perjalanan, di sekolah, di kosan, dan di kantin Rumah Sakit Leuwiliang. Ketersediaan sarapan di Rumah dapat dilakukan oleh ibu, anggota keluarga, dan pembantu. Ketersediaan sarapan di rumah digambarkan dengan ketersediaan sarapan dalam seminggu, yaitu tidak tersedia sarapan, kadangkadang (1-3 kali/minggu), dan tersedia (4-7 kali/minggu). Kebiasaan sarapan dilakukan bersama anggota keluarga (sebagian), anggota keluarga (seluruh), teman sebaya, dan diri sendiri. Sebagian anggota keluarga yaitu kakak atau adik, ibu dan kakak, ibu dan adik. Seluruh anggota keluarga yaitu semua anggota keluarga yang tinggal bersama dengan contoh (Khan 2005). Jenis menu sarapan dikategorikan berdasarkan kebiasaan menu sarapan yang dikonsumsi contoh selama seminggu. Jenis menu sarapan dibedakan menjadi hari sekolah dan hari libur. Jenis menu sarapan dikategorikan menjadi empat, yaitu sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman), nasi dan lauk pauk, makanan sepinggan, jajanan (tradisional dan industri) dan minuman.
28
Tabel 5 Pengkategorian variabel konsep, kebiasaan dan kualitas sarapan serta status anemia dan status gizi No a
b
Variabel Konsep sarapan
Kebiasaan sarapan 1. Frekuensi sarapan
2. Waktu sarapan
3. Lokasi sarapan
4. Ketersediaan sarapan di Rumah 5. Kebiasaan sarapan bersama
6. Jenis menu sarapan
c
d
e
f
Kualitas sarapan
Status anemia
Status gizi (IMT/U)
Status gizi (TB/U)
Kategori 1.DefinisI sarapan 2.Makanan dan minuman saat sarapan 3.Peranan dan manfaat sarapan 4.Alasan dan dampak tidak sarapan 5.Waktu sarapan 6.Penyiapan sarapan 7.Aturan kewajiban sarapan 1.Jarang (1-3 kali/minggu) 2.Kadang-kadang (4-6 kali/minggu) 3.Selalu (7 kali/minggu) 1.05.00-05.59 2.06.00-06.59 3.07.00-07.59 4.08.00-09.00 1.Rumah 2.Perjalanan 3.Sekolah 4.Kosan 5.Kantin RS. Leuwiliang 1.Tersedia ( 4-7 kali/ minggu) 2.Kadang-kadang (1-3 kali/minggu) 3.Tidak tersedia 1.Diri sendiri 2.Anggota keluarga (sebagian) 3.Anggota keluarga (seluruh) 4.Teman sebaya 1.Sarapan lengkap 2.Nasi dan lauk pauk 3.Makanan sepinggan 4.Jajanan 5.Minuman
Sumber
-
Khan (2005)
-
-
-
Khan (2005)
-
1.Rendah (<15% AKE sehari) 2.Sedang (15%-25% AKE sehari) 3.Tinggi (>25% AKE sehari)
Preziosi et al. (1999)
1.Normal ( 12-15 g/dl) 2.Ringan (9-<12 g/dl) 3.Sedang (7- <9 g/dl) 4.Berat (<7 g/dl)
WHO (2001)
1.Sangat kurus : z < -3 2.Kurus : -3 ≤ z < -2 3.Normal : -2 ≤ z ≤ +1 4.Kelebihan berat badan : +1 < z ≤ +2 5.Gemuk : z > +2
WHO (2007)
1. Sangat pendek : z < -3 2. Pendek : -3 ≤ z < -2 3. Normal : z ≥ -2
WHO (2007)
Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu sarapan, jenis pangan, Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam
29
gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan kandungan gizi bahan makanan tersebut. Adapun rumus umum perhitungan kandungan zat gizi tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994) adalah sebagai berikut. Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDij/100)} Keterangan : Kgij
= kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j yang dikonsumsi (g)
Bj
= berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij
= kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan (% BDD) Berdasarkan hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat dihitung
kontribusi
energi
dan
zat
gizi
sarapan,
yaitu
dengan
cara
membandingkan jumlah energi dan zat gizi sarapan dengan kecukupan gizi aktual contoh yang dinyatakan dalam persen. Secara umum, rumus perhitungan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (Hardinsyah & Briawan 1994) adalah sebagai berikut. KoGi = Ki/AKci x 100% Keterangan : KoGi
= kontribusi zat gizi iKi
Ki
= Konsumsi zat gizi i ketika sarapan
AKci
= angka kecukupan gizi i Asupan energi dan zat
gizi sarapan dikategorikan berdasarkan
berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) sehari untuk seorang remaja siswi sesuai WKNPG 2004. Kualitas sarapan dilihat dari kontribusi energi dan zat gizi sarapan. Kualitas sarapan dikategorikan menjadi tiga, yaitu kualitas sarapan rendah (apabila kontribusi energi sarapan contoh <15% AKG sehari), kualitas sarapan sedang (apabila kontribusi energi sarapan contoh 15%-25% AKG sehari) dan kualitas sarapan tinggi (apabila kontribusi energi sarapan contoh > 25% AKG sehari). Indikator sarapan sehat meliputi energi cukup, serat makanan cukup, rendah lemak dan karbohidrat kompleks cukup. Apabila dapat memenuhi kriteria tersebut disebut sarapan sehat, memenuhi 3 kriteria disebut cukup sehat, namun jika hanya 1-2 kriteria disebut sarapan kurang sehat.
30
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) analisis univariat yang dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari semua variabel yang diteliti; 2) analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan remaja siswi SMK, hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan remaja siswi SMK, dan hubungan kualitas sarapan dengan status anemia remaja siswi SMK. Analisis ini menggunakan uji statistik korelasi Pearson dan ChiSquare. Variabel yang dianalisis dengan uji statistik Chi-Square adalah karakteristik keluarga dan kebiasaan sarapan. Variabel yang dianalisis dengan uji statistik Pearson adalah pengetahuan gizi, status anemia, status gizi, dan kualitas sarapan. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan pada satu variabel akan diikuti oleh perubahan variabel lain, maupun dengan arah yang sama atau dengan arah yang berlawanan. Selain itu, apabila nilai sig (pvalue) <0.05 dan koefisien r tidak sama dengan nol maka dua variabel dikatakan berkorelasi. Besarnya hubungan antara varibel yang satu dengan yang variabel yang lain dinyatakan dengan koefisien korelasi yang disimbolkan dengan huruf “r” yang menunjukkan korelasinya, yaitu akan berkisar antara -1 (negatif satu) sampai dengan +1 (positif satu). Definisi Operasional Contoh adalah remaja siswi SMK Pelita Ciampea berusia 14-18 tahun. Remaja siswi SMK adalah siswa kelas XI dan XII SMK Pelita Ciampea Bogor yang berjenis kelamin wanitadan termasuk kategori remaja. Konsep sarapan adalah gambaran atau deskripsi contoh mengenai definisi sarapan, makanan dan minuman saat sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan, waktu sarapan, penyiapan sarapan, dan aturan kewajiban sarapan. Penyiapan sarapan adalah sarapan dirumah untuk remaja siswi SMK yang dipersiapkan oleh diri sendiri, pembantu, dan ibu, serta anggota keluarga lainnya. Aturan kewajiban sarapan adalah aturan dalam keluarga contoh terkait pelaksanaan kegiatan sarapan yang terdiri dari terdapat aturan atau tidak terdapat aturan untuk melakukan sarapan sebelum beraktivitas. Sarapan adalah kegiatan konsumsi pangan (makanan dan minuman) dilakukan mulai bangun tidur sampai dengan pukul 09.00 WIB.
31
Kebiasaan sarapan adalah kegiatan konsumsi pangan yang dilakukan rutin pada pagi hari hingga pukul 09.00 WIB yang digambarkan melalui frekuensi sarapan, waktu dan lokasi sarapan, ketersediaan sarapan, kebiasaan sarapan bersama, jenis menu sarapan. Frekuensi sarapan adalah frekuensi contoh dalam melakukan sarapan di pagi hari selama seminggu yang terdiri dari kategori selalu, kadang-kadang, dan jarang. Waktu sarapan adalah waktu pada saat contoh melakukan kegiatan sarapan yang dikategorikan menjadi empat, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, 08.00-09.00 WIB. Lokasi sarapan adalah lokasi contoh biasa melakukan sarapan, yaitu rumah, perjalanan, sekolah, kosan, kantin rumah sakit. Ketersediaan sarapan adalah tersedia, kadang-kadang atau tidak tersedia sarapan contoh di rumah selama seminggu. Kebiasaan sarapan bersama adalah sarapan contoh selama seminggu dilakukan bersama ibu, anggota keluarga sebagian, anggota keluarga seluruhnya, dan diri sendiri. Jenis menu sarapan adalah susunan komposisi pangan (makanan dan minuman) yang dikonsumsi contoh pada waktu sarapan yang terdiri dari lima jenis, yaitu sarapan lengkap (makanan karbohidrat yang dilengkapi dengan lauk, buah atau sayuran, dan minuman); nasi dan lauk pauk, makanan sepinggan, jajanan (jajanan tradisional dan industri), dan minuman. Karakteristik individu adalah gambaran kondisi internal contoh yang meliputi usia dan uang saku. Usia digunakan untuk menentukan kecukupan gizi sehari contoh. Usia adalah umur contoh saat penelitian dilakukan berada pada umur 14-18 tahun. Uang saku adalah jumlah uang dalam rupiah yang yang diterima contoh per hari atau per minggu atau per bulan untuk kebutuhan transportasi, jajan, dll. Karakteristik keluarga adalah kondisi keluarga contoh yang digambarkan melalui beberapa komponen, yaitu pekerjaan ibu, pendidikan ibu, pendapatan orang tua, besar keluarga, dan suku ayah dan ibu. Pekerjaan Ibu adalah mata pencaharian ibu contoh, baik yang tidak memiliki pekerjaan (sebagai Ibu Rumah Tangga atau IRT) maupun yang memiliki
32
pekerjaan sebagai PNS, ABRI/POLRI, pegawai swasta, petani, wiraswasta, buruh dan lainnya. Pendidikan Ibu adalah tingkat pendidikan terakhir ibu contoh, baik yang tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, tamat Diploma/Akademi
(D1/D2/D3),
dan
tamat
Sarjana/Pascasarjana
(S1/S2/S3). Pendapatan orang tua adalah jumlah pendapatan orang tua yang diperoleh setiap bulan. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah yang dikelompokkan menjadi keluarga besar (> 4 orang) dan keluarga kecil (≤ 4 orang). Suku ayah dan ibu adalah asal daerah ayah dan ibu contoh. Kontribusi energi dan zat gizi sarapan adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi dan zat gizi sarapan dengan kecukupan gizi sehari contoh, yang dinyatakan dalam bentuk persen. Kualitas sarapan adalah konsumsi pangan sarapan contoh yang digambarkan selama seminggu (6 hari sekolah dan 1 hari libur) melalui tingkat kontribusi energi sarapan, diantaranya kualitas sarapan tinggi apabila kontribusi energi > 25% AKG sehari, kualitas sarapan sedang apabila kontribusi energi 15-25% AKG sehari, dan kualitas sarapan rendah apabila kontribusi energi < 15% AKG sehari. Sarapan sehat adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun pagi hingga 09.00 WIB yang mengandung energi cukup (1525% dari kecukupan per hari), serat makanan yang cukup (25 g/hari), rendah lemak (< 25% dari kecukupan energi per hari), dan karbohidrat kompleks cukup (> 50% dari kecukupan energi per hari). Status anemia adalah keadaan kadar Hb yang menunjukkan kondisi contoh anemia dan non-anemia. Jika kadar Hb <12 g/dl darah, maka contoh dikatakan anemia. Status gizi adalah keadaan kesehatan seseorang sebagai hasil dari asupan dan metabolisme berbagai zat gizi didalam tubuh. Penilaian status gizi contoh diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh dan tinggi badan menurut umur (IMT/U dan TB/U).
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelita memiliki lokasi yang strategis yang terletak di Jalan Warung Doyong Perumahan Ciampea Asri, Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Sekolah tersebut didirikan pada tanggal 9 Juni 1998 yang berada dalam pengelolaan Drs. H.A Hanapi, M.Pd sebagai pemimpin yayasan pendidikan Nurul Walidain T.H. Jumlah seluruh siswa pada sekolah ini sebanyak 3106 siswa yang terdiri atas delapan kompetensi keahlianantaralainakutansi,
administrasi
perkantoran,
pemasaran,
usaha
perjalanan wisata, akomodasi perhotelan, busana butik, keperawatan, dan farmasi. Setiap jurusan terdiri atas tiga kelas yaitu kelas X, XI, dan kelas XII. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang telah terakreditasi A sejak tanggal 3 November 2008 yang diakui melalui sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008. Kegiatan akademik dan administrasi di SMK Pelita Ciampea ini telah ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang cukup memadai. Fasilitas penunjang kegaitan tersebut terdiri atas beberapa ruangan yang berdiri diatas bangunan bertingkat. Kegiatan akademik siswa SMK Pelita dibagi kedalam dua waktu belajar yaitu kegiatan akademik yang dimulai dari pagi hari hingga siang hari serta kegiatan akademik yang dimulai dari siang hari hingga sore hari. Siswa kelas XI dan XII mendapatkan waktu belajar pagi hari yang dimulai dari pukul 07.00-12.30 WIB, sedangkan kelas X mendapatkan waktu belajar siang hari yang dimulai dari pukul 13.00-17.00 WIB. Kegiatan non akademik di sekolah ini ditunjang melalui kegiatan ekstrakulikuler yang teridiri atas pencak silat, taekwondo, pramuka, PEC (Pelita English Club), Rohis, Gatra (Gabungan Teater Pelita), basket, futsal, PMC (Pelita Modeling Club), dan Taruna Rimbawan. SMK Pelita juga aktif dalam kegiatan lomba akademik, yakni Lomba Kompetensi Siswa (LKS) SMK tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 memperoleh Juara 1 di bidang lomba penjualan dan berhak mewakili Provinsi Jawa Barat ke tingkat Nasional. Karakteristik Individu dan Keluarga Karakteristik Individu Karakteristik individu meliputi usia, berat badan, tinggi badan, dan uang saku. Tahap perkembangan remaja di bagi menjadi dua tahap, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Tahap remaja awal berkisar usia 13-17 tahun dan remaja akhir
34
berkisar usia 18-21 tahun (Sarwono 1993). Jumlah uang saku diharapkan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi contoh. Selain itu, satu alasan remaja mengkonsumsi makanan yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang saku pada remaja setiap hari merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga kepada remaja untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan. Siswi yang menjadi sampel penelitian adalah siswi SMK dengan keahlian butik dan keperawatan. Siswi yang menjadi contoh dalam penelitian ini merupakan siswi kelas XI dan XII yang memiliki rata-rata usianya adalah 16.6 tahun (16.6±0.74 tahun). Sebagian besar contoh (95.6%) berada dalam kategori remaja awal dengan kisaran usia antara 14 sampai 17 tahun dan 4.4% contoh berada dalam kategori remaja akhir dengan usia 18 tahun. Contoh yang termuda berumur 14.7 tahun dan yang tertua berumur 18.5 tahun. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh
Usia
Remaja Awal Remaja Akhir
13-17 th 18-21 th
Jumlah % 65 95.6 3 4.4
Uang Saku (Rp/hari)
Sedikit Banyak
≤ Rp 12.631 >Rp 12.631
41 27
60.3 39.7
Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi
0 44 13 10 1
0.0 64.7 19.1 14.7 1.5
PNS Wiraswasta/Pedagang Karyawan swasta Ibu rumah tangga
1 6 1 58*
1.5 8.8 1.5 85.3
3 11 20 8 11 8 7
4.4 16.2 29.4 11.8 16.2 11.8 10.3
Karakteristik
Pendidikan Ibu
Kategori
Rendah Tinggi
Pekerjaan Ibu
Bekerja Tidak bekerja
< Rp. 500.000 Rp. 500.000-999.000 Pendapatan Rp. 1.000.000-1.499.000 orang tua Rp. 1.500.000-1.999.000 (Rp/bulan) Rp. 2.000.000-2.499.000 Rp 2.500.000-4.999.000 > Rp. 5.000.0000 *2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia
n
Uang saku yang diberikan berbeda-beda, hal ini bergantung dari besarnya pendapatan orangtua atau banyaknya pengeluaran yang dilakukan oleh remaja. Berdasarkan Tabel 6, lebih dari separuh contoh (60.3%) diberikan uang saku dengan kategori sedikit yaitu kurang dari Rp 12.631 setiap harinya.
35
Jumlah minimal uang saku yang diterima contoh sebesar Rp 3.000 setiap hari, sedangkan jumlah maksimal uang saku yang diterima contoh sebesar Rp 25.000 setiap hari. Rata-rata uang saku yang diterima contoh setiap harinya sebesar Rp 12.631±4.922. Sebagian besar contoh tidak tinggal di kosan, namun masih tinggal bersama dengan orangtua dengan lokasi tempat tinggal yang cukup jauh dari sekolah. Kondisi ini menyebabkan contoh lebih banyak mengalokasikan uang
sakunya
untuk
biaya
transportasi
menuju
dan
pulang
sekolah,
dibandingkan daya beli terhadap makanan dan minuman (jajanan). Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, yaitu sebagian besar contoh hanya mampu untuk membeli mie ayam, bakwan, tempe tepung goreng, bakso dan makanan ringan lainnya dengan kandungan gizi rendah. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga contoh terdiri dari pendidikan dan pekerjaan ibu, pendapatan orangtua, jumlah anggota keluarga, dan suku orangtua. Pendidikan ibu contoh dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak sekolah, SD, SMP, SMA) dan tinggi (Perguruan Tinggi). Berdasarkan sebaran pada Tabel 6, hampir seluruh ibu contoh (98.5%) memiliki pendidikan terakhir yang rendah dan hanya 1.5% ibu contoh yang memiliki pendidikan hingga perguruan tinggi. Sebesar 64.7% ibu contoh mempunyai tingkat pendidikan SD, sedangkan proporsi paling kecil adalah ibu contoh dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi (1.5%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu contoh masih rendah yakni hanya mencapai tingkat pendidikan sekolah dasar dan akan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Pekerjaan ibu dibedakan menjadi ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Berdasarkan Tabel 6, ibu contoh yang mempunyai pekerjaan diluar wilayah domestik rumah tangga mempunyai proporsi yang sangat kecil hanya 11.8% terdiri dari 8.8% yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang dan masingmasing 1.5% yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan swasta. Sedangkan sebagian besar ibu contoh lainnya (88.2%) tidak bekerja, yaitu ibu contoh (85.3%) berperan sebagai ibu rumah tangga dan 2.9% ibu contoh yang tidak bekerja dikarenakan telah meninggal dunia. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya beli seseorang. Pendapatan orangtua dalam penelitian ini merupakan jumlah antara pendapatan ayah dan ibu selama satu bulan. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan orangtua contoh (29.4%) mempunyai
36
pendapatan pada kisaran Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan, sedangkan pendapatan terendah < Rp. 500.000 per bulan hanya 4.4% dari seluruh orangtua contoh dan terdapat 10.3% orangtua contoh mempunyai pendapatan tertinggi > Rp. 5.000.000 per bulan. Kebiasaan makan suatu keluarga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga tersebut. Semakin meningkatnya pendapatan akan menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Hal ini terkait dengan kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan. Namun, peningkatan pendapatan tersebut belum tentu membuat pangan yang dikonsumsi semakin beragam karena kadang-kadang perubahan yang terjadi adalah pangan yang dimakan lebih mahal. Pengurangan waktu makan dapat terjadi pada keluarga dengan pendapatan rendah dengan jumlah anggota yang besar, sedangkan keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki keleluasaan dalam memilih dan menentukan makanan yang akan dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhannya (Sukandar 2007). Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu, anak, serta anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama (World Bank 2006). Banyaknya jumlah anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah dijumpai hanya 5.9% contoh yang mempunyai anggota keluarga kurang dari sama dengan 4 orang, artinya keluarga hanya dengan 2 anak yang dianjurkan BKKBN tentang keluarga kecil bahagia dan sejahtera masih sangat sedikit prosentasenya. Sebagian besar contoh (94.1%) mempunyai keluarga besar yaitu lebih dari 4 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 6 orang (6.2 ± 1.8). Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi
anggota
keluarga
(World
Bank
2006).
Jumlah
anggota
keluarga
mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas dan kuantias pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu (Sukandar 2007). Menurut Riyadi (1996) salah satu faktor dasar yang mempengaruhi jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi adalah suku bangsa. Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Suku orang tua pada contoh sangat bervariasi. Sebagian besar ayah dan ibu contoh berturut-turut sebesar (79.4%) dan (88.2%) berasal dari suku sunda. Ada beberapa orang tua contoh yang berasal dari suku aceh (1.5% ayah contoh), padang (masing-masing ayah dan ibu contoh 1.5%), batak (1.5% ayah contoh), betawi (ayah contoh 4.4% dan
37
ibu contoh 1.5%), jawa (ayah contoh 11.8% dan ibu contoh 8.8%). Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Pearson et al. 2009). Status Anemia Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) tersebut. Hasil pemeriksaan Hb yang dilakukan terhadap contoh menunjukkan kadar Hb yang relatif normal. Dengan menggunakan batas Hb 12 g/dl, ditemukan diantara 68 orang terdapat 13 orang yang menderita anemia sedang yang terdiri dari contoh kelas keperawatan 11 orang dan masing-masing kelas XI dan XII butik 1 orang. Adapun rata-rata kadar Hb contoh adalah 13.8±1.7 g/dl. Gambar 3 menunjukkan bahwa hanya 80.9% contoh yang tidak menderita anemia dan sisanya 19.1% contoh menderita anemia. Prevalensi anemia pada penelitian ini (19.1%) lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Briawan (2008) pada remaja putri di Bogor, yaitu terdapat 25.1% remaja putri menderita anemia. Anemia pada remaja terjadi karena remaja masih dalam masa pertumbuhan sehingga kebutuhan zat besi meningkat namun bioavabilitas rendah yang disebabkan rendahnya pangan sumber heme dan gangguan inhibitor dalam penyerapan (Briawan 2008). Menurut Permaesih & Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan, sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur dan jenis kelamin.
19.1%
Tidak anemia Anemia
80.9%
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan status anemia
38
Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Salah satu penelitian status gizi secara langsung dengan menggunakan antropometri (Supariasa et al. 2001). Proses pertumbuhan pada masa remaja masih berlangsung sehingga IMT belum bisa diklasifikasikan menurut batasan tertentu. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan jenis kelamin dan pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Dengan menggunakan baku antropometri usia 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai z-score TB/U dan IMT/U masing-masing remaja. Selanjutnya berdasarkan nilai z-score status gizi remaja dikategorikan berdasarkan indikator TB/U dan IMT/U. Berdasarkan indikator TB/U meliputi sangat pendek, pendek, dan normal. Berdasarkan indikator IMT/U meliputi sangat kurus, kurus, normal, kelebihan berat badan dan gemuk. Sebaran status gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi Status Gizi
n
%
TB/U: - Sangat pendek (z < -3) - Pendek (-3 ≤ z < -2) - Normal (z ≥ -2)
0 16 52
0.0 23.5 76.5
IMT/U: - Sangat kurus (z < -3) - Kurus (-3 ≤ z < -2) - Normal (-2 ≤ z ≤ +1) - Kelebihan berat badan (+1 < z ≤ +2) - Gemuk (z > +2) Total
1 4 56 6 1 68
1.5 5.9 82.4 8.8 1.5 100.0
Tabel 7 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status gizi dengan indikator TB/U dan IMT/U termasuk kategori normal. Berdasarkan indikator TB/U, sebagian besar contoh (76.5%) berada dalam kategori normal dan 23.5% contoh termasuk pendek. Berdasarkan indikator IMT/U, sebagian besar contoh (82.4%) berada dalam kategori normal, prevalensi kekurusan 7.4% terdiri dari 1.5% sangat kurus dan 5.9% kurus, prevalensi kegemukan 10.3% terdiri dari 8.8% kelebihan berat badan dan 1.5% gemuk. Rata-rata status gizi contoh berdasarkan indikator IMT/U adalah -0.1±1.3 dan rata-rata status gizi contoh berdasarkan indikator TB/U adalah -1.8±0.8.
39
Hasil analisis data Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi kekurusan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 8.9% terdiri dari 1.8% sangat kurus dan 7.1% kurus. Prevalensi kegemukan pada remaja 16-18 tahun secara nasional masih kecil yaitu 1.4%. Prevalensi kependekan remaja 16-18 tahun secara nasional adalah 31.2% terdiri dari 7.2% sangat pendek dan 24.0% pendek. Apabila
dibandingkan
dengan
prevalensi
kekurusan,
kegemukan,
dan
kependekan menurut Riskesdas 2010, prevalensi contoh dengan status gizi kurus (7.4%) cenderung lebih kecil, sedangkan gemuk (1.5%) dan pendek (23.5%) cenderung hampir sama. Hal ini menunjukkan masalah gizi pada kelompok remaja adalah kegemukan dan kependekan (stunting), walaupun masalah gizi kurang juga masih tinggi.
Gambar 4 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan dengan WHO Gambar 4 menunjukkan sebaran status gizi berdasarkan indikator IMT/U berada dalam kategori normal (-2 SD s/d +1 SD), namun kurva menunjukkan cenderung condong ke kiri yang berarti ada kecendrungan memiliki status gizi kurang. Indikator IMT/U digunakan untuk mengukur status gizi masa kini dan memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti asupan makanan dan status kesehatan. Faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, perawatan ibu dan anak, dan pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (UNICEF 1998 dalam Den Hartog 2006).
40
Gambar 5 Distribusi TB/U contoh dibandingkan dengan WHO Gambar 5 terlihat median z-score TB/U pada contoh jauh bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO. Median z-score TB/U mendekati -2 standar deviasi yang berarti kependekan (stunting). Hal ini menunjukkan prevalensi kependekan pada remaja masih tergolong besar. Tinggi badan pada suatu waktu merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir. Oleh karena itu, dapat dipakai sebagai gambaran riwayat status gizi masa lampau. Tinggi badan adalah indeks paling sensitif untuk mendeteksi adanya perubahan sosial ekonomi. Tubuh pendek pada remaja menunjukkan pertumbuhan linear yang buruk yang terakumulasi selama periode sebelum dan setelah kelahiran karena gizi buruk dan kesehatan yang buruk, sehingga berdampak pada dengan kejadian kemunduran mental pada tingkat intelegensi anak,perkembangan psikomotorik, kemampuan motorik yang baik, dan integrasi saraf-saraf neuron (Moehji 2001). Pengetahuan Gizi Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga. Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995).
41
Tabel 8 Persentase contoh yang menjawab benar tentang pengetahuan gizi No
Pertanyaan
1
Jenis makanan yang lebih sehat pada suatu restoran fast food menawarkan paket makan siang yang murah Akibat remaja putri yang terlalu kurus Dampak mengurangi frekuensi makan Kekurangan zat besi dapat menyebabkan penyakit Kelompok yang berisiko tinggi terkena anemia Tanda-tanda remaja yang mengalami anemia Sumber pangan hewani yang tinggi zat besi Sayuran yang tinggi zat besi Dampak yang ditimbulkan akibat remaja mengalami anemia Jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh Jenis minuman yang menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh Penyebab terjadinya kekurangan zat besi Salah satu upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi Fungsi zat besi didalam tubuh Salah satu efek yang sering timbul pada saat mengonsumsi tablet/pil zat besi
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Benar n % 67 98.5 64 60 60 65 66 24 59 60 35 37 52 16 3 31
94.1 88.2 88.2 95.6 97.1 35.3 86.8 88.2 51.5 54.4 76.5 23.5 4.4 45.6
Tabel 8 menunjukkan bahwa secara keseluruhan persentase jawaban contoh yang menjawab benar lebih banyak dibandingkan contoh yang menjawab salah, namun masih terdapat sebagian besar contoh (95.6%) yang menjawab salah pada pertanyaan fungsi zat besi didalam tubuh. Selain itu, terdapat 76.5% dan 64.7% dari contoh yang masih belum mengetahui baik tentang salah satu upaya menanggulangi masalah anemia gizi besi dan sumber pangan hewani yang tinggi zat besi. Terdapat sebanyak 54.4% dari contoh yang belum mengetahui salah satu efek yang sering timbul pada saat mengonsumsi tablet atau pil zat besi. Separuh contoh (51.5% dan 54.4%) mengetahui baik jenis vitamin yang dapat membantu penyerapan besi dan jenis minuman yang menghambat penyerapan zat besi dalam tubuh. Alternatif pilihan jawaban yang terlalu sulit dimengerti atau relatif kurang sering dipilih akan mempengaruhi kecendrungan memilih kemungkinan jawaban yang paling tepat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (98.5%) mengetahui dengan baik jenis makanan yang lebih sehat pada restoran fast food. Sebagian besar contoh (97.1%) mengetahui dengan baik tanda-tanda remaja yang mengalami anemia. Selain itu, terdapat 95.6% dan 94.1% dari contoh juga mengetahui dengan baik kelompok yang beresiko tinggi terkena anemia dan akibat dari remaja putri yang terlalu kurus. Terdapat lebih dari 75% contoh yang mengetahui baik akibat pengurangan frekuensi makan seperti tidak sarapan atau tidak makan malam, dampak dari kekurangan zat besi, dan
42
dampak yang ditimbulkan akibat remaja yang mengalami anemia, sayuran yang mengandung tinggi zat besi, dan penyebab terjadinya kekurangan zat besi. (%)
80
72.1
70 60 50 40 30
17.6
20
10.3 10 0
Rendah (<60)
Sedang (60-80)
Baik (>80)
Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (72.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, sedangkan hanya 17.6% dari contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tergolong baik. Namun, masih terdapat 10.3% dari contoh yang termasuk dalam tingkat pengetahuan gizi kurang. Nilai pengetahuan gizi contoh berkisar antara 40 sampai 86.7 dengan rata-rata 68.5±10.3. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan gizi dan anemia contoh termasuk dalam kategori sedang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis pangan yang tersedia serta kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Sukandar 2007). Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan menunjukkan anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga menyatakan sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering, dan memiliki kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007). Konsep Sarapan Remaja Sarapan merupakan kegiatan makan dan minum yang dilakukan mulai bangun tidur sampai dengan pukul 09.00 WIB. Konsep sarapan adalah gambaran atau deskripsi contoh mengenai definisi sarapan, makanan dan minuman saat sarapan, peranan dan manfaat sarapan, alasan dan dampak tidak sarapan, waktu sarapan, penyiapan sarapan, dan aturan kewajiban sarapan.
43
Definisi sarapan. Pengertian sarapan menurut contoh cukup beragam (Lampiran 1 No. 7). Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Separuh contoh (55.9%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya (44.1%) mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi sedang. Sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman (Hardinsyah 2012). Menurut Depkes (2001), konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan terdiri dari sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Keragaan pengertian mengenai sarapan selengkapnya menurut contoh dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Definisi sarapan menurut contoh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Definisi Sarapan Sebagai sumber energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan stamina lebih baik Sebagai cadangan energi awal untuk melakukan aktivitas Untuk mencegah sakit, tetap sehat dan hidup Untuk menghilangkan lapar/supaya kenyang/mengisi perut Makan diawal hari biasanya di pagi hari berupa makanan dan minuman Makan dengan makanan padat (nasi, bubur, roti) Makan dengan porsi sedang Menjaga pola makan Untuk memenuhi kebutuhan tubuh/jasmani
n
%
12
17.6
11 7 7
16.2 10.3 10.3
3
4.4
3 2 1 1
4.4 2.9 1.5 1.5
Pengertian minuman seperti jus, susu, dan teh manis menurut contoh cukup beragam (Lampiran 2 No. 8-9). Sebesar 75% contoh mengatakan jus, susu, dan teh manis bisa disebut sarapan dengan alasan yaitu sebagai sumber energi dan zat gizi, memenuhi kebutuhan cairan dan zat gizi, mencegah sakit/tetap sehat, memperlancar proses pencernaan, dan sebagai pelengkap sarapan (minuman), serta membantu pertumbuhan badan. Hanya 25.0% contoh mengatakan jus, susu, dan teh manis tidak bisa disebut sarapan dengan alasan sarapan adalah makanan padat (bubur dan nasi) mengandung karbohidrat, tidak menyehatkan dan tidak mengenyangkan, dan tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari. Padahal minum jus dianjurkan sebelum memulai makan disaat perut masih kosong sehingga zat yang berguna akan segera cepat terserap oleh tubuh dan susu mengandung protein cenderung lebih memberikan rasa kenyang
44
dibandingkan minuman teh manis karena hanya mengandung karbohidrat sederhana (Bonnie 1998). Pengertian jajanan menurut contoh cukup beragam (Lampiran 1 No.1011). Sebesar 66.2% contoh mengatakan bahwa jajan di pagi hari bisa disebut sarapan jika jajan seperti makan nasi uduk, bubur, roti; menyediakan energi dan zat gizi; menghilangkan rasa lapar, mengisi perut, atau memberikan rasa kenyang. Sebanyak 33.8% contoh mengatakan bahwa jajan di pagi hari tidak bisa disebut sarapan dengan alasan jajan adalah snack di siang hari, tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari, tidak menyehatkan/tidak hygiens. Umumnya responden menyebutkan contoh jajanan yang bisa disebut sarapan adalah roti, bubur ayam, nasi uduk, lontong dan susu. Makanan dan minuman saat sarapan. Makanan dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu (26.5%); makanan sepinggan seperti bubur ayam, nasi uduk, nasi goreng (20.6%); sarapan lengkap terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman (16.2%); makanan sepinggan dan minuman (16.2%); nasi dan lauk pauk/sayur (11.8%); jajanan seperti roti dan lontong (2.9%); minuman seperti susu/teh manis (1.5%); sereal dan susu (1.5%); susu dan telur (1.5%); dan energen (1.5%) (Lampiran 1 No.13). Menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral. Sarapan yang sehat menunjang konsentrasi belajar. Hanya separuh contoh (51.5%) yang menilai selama ini sarapan contoh sudah menyehatkan dengan alasan makanan yang dimakan mengandung energi dan zat gizi dan sarapannya sudah lengkap sesuai dengan 4 sehat 5 sempurna (29.4%), hygiene dan banyak mengandung karbohidrat (17.6%), dan bervariasi (4.4%) (Lampiran 1 No.14-15). Hal ini menunjukkan bahwa contoh masih belum mengetahui tentang Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), penilaian sarapan contoh berdasarkan kemanan pangan, sarapan menurut contoh hanya berupa makanan padat. Sebagian contoh lainnya (48.5%) menilai sarapan contoh selama ini belum menyehatkan dengan alasan jarang atau tidak pernah sarapan. Sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan karbohidrat sederhana, dan minuman (Hardinsyah 2012).
45
Peranan dan manfaat sarapan. Seluruh contoh (100%) menyatakan bahwa sarapan itu penting karena menjaga kesehatan, mencegah sakit, menjaga kesehatan, agar tidak lemas, menyediakan energi dan zat gizi, dan meningkatkan konsentrasi, serta mencegah kegemukan (Lampiran 1 No.16-17). Khomsan (2002) berpendapat sarapan penting karena dibutuhkan untuk mengisi lambung yang telah kosong selama 8-10 jam, sehingga kadar glukosa yang semula turun akan kembali meningkat. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al. 2001). Menurut Hardinsyah (2012), seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal; mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk membentuk perilaku sarapan sehat. Efek yang dirasakan ketika contoh telah melakukan sarapan (Lampiran 1 No.21) terdapat 97% contoh menyatakan lebih aktif, tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, segar/fit, tidak merasa nyeri lambung/maag, mudah mengerti/menerima pelajaran, dan tidak lemas/semangat, serta tidak mudah mengantuk, berstamina lebih baik, dan tidak pusing. Hanya 3.0% contoh yang menjawab justru merasakan pusing, mual, sakit perut ingin buang air besar, dan mudah mengantuk. Pada dasarnya usus besar bekerja pada jam 05.00-07.00 WIB untuk membuang air besar (BAB), namun apabila sarapan yang dikonsumsi banyak mengandung karbohidrat seperti nasi, roti putih, mie, roti akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah yang mendadak dan menyebabkan tubuh melepaskan insulin cukup besar, sehingga penurunan kadar gula darah terjadi sekitar 3 jam setelah sarapan karena habis terpakai dan keinginan untuk makan lebih banyak lagi karbohidrat. Kemudian, ketika makan siang gula darah akan naik drastis kembali dikarenakan untuk mencerna nasi akan memaksa pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak. Tubuh mulai lelah, kadar gula darah menurun dan merasa lapar, serta ingin ngemil sesuatu yang berlemak tinggi ketika sore hari. Apabila kegiatan seperti hal tersebut dilakukan secara terus menerus maka akhirnya akan menurunkan tingkat metabolisme tubuh
46
sehingga bangun tidur terasa pegal-pegal dan buang air besar menjadi tidak teratur (Hardinsyah 2012). Alasan dan dampak tidak sarapan. Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Namun, seluruh contoh (100%) menyatakan pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat, tidak sempat atau tidak ada waktu sarapan, malas, dan tidak merasa lapar dan nafsu makan, serta tidak ada yang menyediakan sarapan, terlalu banyak menghabiskan waktu sehingga takut terlambat, dan tidak terbiasa sarapan. Namun terdapat contoh yang menjawab alasan tidak sarapan karena justru menyebabkan kondisi tertentu seperti ingin buang air besar, mual-mual, dan sakit perut (Lampiran 1 No.18-19). 97.1% contoh menyatakan dampak yang terjadi apabila contoh tidak sarapan adalah nyeri lambung atau maag, mudah mengantuk, lemas, pusing, sulit mengerti atau menerima pelajaran, pingsan, mudah lupa, dan keringat dingin. Hanya 2.9% contoh menyatakan tidak merasakan apapun ketika tidak melakukan sarapan (Lampiran 1 No.20-21). Pernyataan ini sesuai dengan Depkes (2005) menyatakan seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya prestasi belajar. Hasil uji Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan sarapan dengan anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia sangat merugikan karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah (Saidin et al. 1991). Smith et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase. Waktu sarapan. Semua contoh (100%) mengungkapkan setiap hari sekolah sebaiknya melakukan sarapan, namun terdapat contoh (2.9%) yang menjawab tidak setuju apabila setiap hari libur sebaiknya melakukan sarapan (Lampiran 1 No.1-2). Hal ini menunjukkan masih ada sedikit contoh (2.9%) yang belum sesuai dengan salah satu pola hidup sehat bergizi seimbang untuk anak
47
sekolah, termasuk remaja adalah dengan membiasakan sarapan setiap hari baik pada hari libur maupun pada hari sekolah. Menurut Kral et al. (2010) pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan lipidemia. Waktu sarapan dimulai dari pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 10.00 pagi (Khomsan 2002). Namun, organ lambung bekerja pada pukul 07.00-09.00 WIB maka dianjurkan untuk melakukan sarapan sebagai proses pembentukan energi tubuh. Waktu sarapan contoh meliputi 55.9% contoh yang menyatakan sebaiknya sarapan pada pukul 07.00-10.00 WIB, 42.6% contoh mengungkapkan sebaiknya melakukan sarapan pada pukul 06.00-06.59 WIB, dan hanya 1.5% contoh yang menjelaskan sebaiknya sarapan pada pukul 05.00-05.59 WIB, hal ini diduga karena tempat tinggal contoh yang sangat jauh dari sekolah sehingga contoh tersebut menilai sebaiknya melakukan sarapan sebelum pukul 06.00 WIB agar tidak terlambat ke sekolah. Penyiapan sarapan. Hampir seluruh contoh (91.2%) menyatakan ibu yang sebaiknya menyiapkan sarapan untuk mereka sebelum berangkat sekolah, namun ada sebagian kecil contoh (8.8%) menganggap diri mereka sendiri yang sebaiknya menyiapkan sarapan sebelum berangkat sekolah dengan alasan sudah cukup dewasa dan sudah mampu melakukannya (Lampiran 1 No. 4). Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam mempersiapkan makanan, mengatur menu, menyiapkan hidangan, dan mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan kepada anak (Khomsan 2002). Aturan kewajiban sarapan. Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib hubungan antar keluarga. Sebagian besar contoh (80.9%) menilai sebaiknya didalam keluarga contoh mempunyai aturan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah, namun 19.1% contoh menilai sebaiknya tidak ada aturan untuk sarapan sebelum berangkat beraktivitas dengan alasan tidak terbiasa sarapan (11.8%), tidak diharuskan atau diwajibkan sarapan (4.4%), dan tidak setiap hari tersedia sarapan di rumah (2.9%). Aturan sarapan sebelum berangkat sekolah sebaiknya dilakukan karena contoh menganggap sarapan penting untuk mencegah sakit atau menjaga kesehatan (35.5%) dan terdapat 10.3% contoh menyatakan agar terbentuknya kebiasaan sarapan (Lampiran 1 No.5-6). Hal ini sesuai dengan penelitian Pearson et al. (2009) mengungkapkan aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan menyebabkan kebiasaan
48
sarapan yang baik. Selain itu, kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01) dengan aturan sarapan keluarga (Svenskarin 2012). Kebiasaan Sarapan Remaja Frekuensi Sarapan Saat tidur pada malam hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al. 2001). Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2002). Affenito et al. (2005) juga menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa kebiasaan sarapan pada usia remaja cenderung menurun dengan bertambahnya usia. Persentase remaja perempuan yang memiliki kebiasaan sarapan menurun dari 77% pada usia 9 tahun menjadi kurang dari 32% pada usia 19 tahun. Hasil studi di Indonesia yang dilakukan di enam kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpansar) menunjukkan hasil yang lebih kurang sama, yaitu sekitar 14-25% remaja yang tidak sarapan. Apabila tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan perilaku anak. Kemampuan pemecahan masalah, memori jangka pendek, daya konsentrasi, dan memori episodik anak akan menurun. Sarapan dapat menjauhkan masalah emosional, perilaku, dan akademis pada anak dan remaja serta menghilangkan rasa lapar (Michaud et al. 2001). Tabel 10 menunjukkan distribusi penyebaran status anemia contoh menurut kebiasaan sarapan. Kebiasaan sarapan dikategorikan berdasarkan frekuensi sarapan, yaitu jarang (1-3 kali/minggu), dan kadang-kadang (4-6 kali/minggu), dan selalu (7 kali/minggu) (Khan 2005). Hampir separuh contoh (45.6% dan 48.5%) selalu dan kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari dan hanya 5.9% contoh yang jarang melakukan sarapan setiap hari. Contoh adalah kelompok remaja putri yang termasuk dalam golongan umur sensitif
49
terhadap perilaku makan, termasuk perilaku sarapan. Golongan ini mulai mencari identitas dan sangat menjaga penampilan tubuh (Soetardjo 2011). Contoh yang berstatus tidak anemia selalu melakukan sarapan setiap hari (47.3%), sedangkan contoh yang berstatus anemia kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari (53.8%). Contoh gemuk selalu melakukan sarapan setiap hari (57.1%), sedangkan contoh tidak gemuk kadang-kadang melakukan sarapan setiap hari (49.2%). Menurut Adimuntja et al. (2008), berdasarkan data Riskesdas 2007 adanya kecendrungan bahwa semakin kurang baik perilaku konsumsi remaja, maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia, yang berarti rendahnya kadar Hb maupun sel darah merah. Tabel 10 Distribusi frekuensi sarapan contoh menurut status anemia dan status gizi Kategori Anemia (n=13) Tidak anemia (n=55)
1 3
Gemuk (n=7) Tidak Gemuk (n=61) Total
0 4 4
Frekuensi Sarapan (kali/minggu) Jarang Kadang-kadang Selalu n % n % n % 7.7 7 53.8 5 38.5 5.5 26 47.3 26 47.3 0.0 6.5 5.9
3 30 33
42.9 49.2 48.5
4 27 31
57.1 44.3 45.6
Hasil uji Chi-Square menunjukkan menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0.05) antara kebiasaan sarapan dengan contoh berstatus anemia dan tidak anemia serta contoh gemuk dan tidak gemuk. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng. Permaesih & Herman (2005) juga menunjukkan remaja 10-19 tahun yang memiliki kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Hasil penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi menunjukkan bahwa salah satu variabel yang terkait dengan anemia adalah kebiasaan sarapan. Menurut Fiore et al. (2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi dapat menunjukkan kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan Kalsium yang rendah.
50
Waktu dan Lokasi Sarapan Waktu pada saat contoh melakukan kegiatan sarapan yang dikategorikan menjadi empat, yaitu 05.00-05.59, 06.00-06.59, 07.00-07.59, dan 08.00-09.00. Berdasarkan Tabel 11, hampir separuh contoh (69.1%) melakukan sarapan saat hari sekolah pada pukul 06.00-06.59 WIB dan 5.9% contoh lainnya melakukan sarapan saat hari sekolah pada pukul 05.00-05.59 WIB. Waktu sarapan contoh berhubungan dengan waktu belajar di sekolah atau waktu praktek kerja lapang (PKL) di rumah sakit dan jarak antara rumah dan lokasi sekolah. Contoh kelas XI butik mempunyai waktu belajar siang hari (13.00-17.00 WIB) sehingga mempunyai pilihan waktu yang cukup banyak untuk melakukan sarapan, sedangkan contoh kelas XI keperawatan dan XII butik mempunyai waktu belajar pagi hari (07.00-12.30 WIB) sehingga contoh yang mempunyai jarak rumah dan sekolah/rumah sakit yang terlalu jauh memungkinkan contoh untuk sarapan lebih awal. Saat hari libur contoh lebih banyak (38.2%) melakukan sarapan pada pukul 08.00-09.00 WIB. Contoh yang tidak sarapan pada hari libur (16.2%) lebih tinggi dibandingkan dengan hari sekolah. Hal ini dikarenakan saat hari libur contoh lebih banyak bangun siang karena contoh mengganggap hari libur adalah waktu untuk bersantai seperti tidur, menonton TV, olahraga pagi, dan jalan-jalan. Selain itu, umumnya di hari minggu digunakan untuk membantu ibu di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh adik. Tidak semua contoh sedang dalam proses belajar di sekolah, melainkan melakukan praktek kerja lapang (PKL) di rumah sakit, khususnya contoh dari jurusan keperawatan. Lokasi contoh biasa melakukan sarapan dikategorikan menjadi lima, yaitu di rumah, di perjalanan, di sekolah, di kosan, dan di kantin Rumah Sakit Leuwiliang. Tabel 11 menunjukkan hampir seluruh contoh melakukan sarapan di rumah baik ketika hari sekolah (85.3%) dan libur (83.8%). Contoh lainnya melakukan sarapan saat hari sekolah di rumah kontrakan (kosan) (4.4%), kantin rumah sakit (2.9%), dan sekolah (1.5%). Hasil studi di Australia mengungkapkan bahwa beberapa anak sekolah yang memiliki kebiasaan sarapan diperjalanan atau di sekolah umumnya mengkonsumsi pangan sarapan dengan jumlah kandungan gizi yang rendah dibandingkan anak sarapan di rumah (Khan 2005).
51
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan lokasi sarapan Kebiasaan Sarapan
Hari Sekolah n %
Hari Libur n %
Jam Sarapan : - 05.00-05.59 - 06.00-06.59 - 07.00-07.59 - 08.00-08.59 - Tidak sarapan
4 47 10 3 4
5.9 69.1 14.7 4.4 5.9
0 11 20 26 11
0.0 16.2 29.4 38.2 16.2
Tempat Sarapan : - Rumah - Sekolah (kantin dan kelas) - Kantin rumah sakit - Kosan - Tidak sarapan
58 1 2 3 4
85.3 1.5 2.9 4.4 5.9
57 0 0 0 11
83.8 0.0 0.0 0.0 16.2
Ketersediaan Sarapan di Rumah Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga (Rohayati 2001). Tabel 12 menunjukkan penyebaran tersedianya sarapan di rumah contoh setiap hari menurut pekerjaan ibu. Ibu rumah tangga contoh umumnya (55.9%) tersedia sarapan setiap hari, kadang-kadang tersedia 22.1%, dan hanya 7.4% yang tidak tersedia. Persentase ibu sebagai wiraswasta atau pedagang, tersedia sarapan setiap hari dan kadang-kadang tersedia sarapan adalah sama (4.4%). Pada ibu sebagai PNS kadang-kadang menyediakan sarapan, namun pada ibu sebagai karyawan swasta dapat menyediakan sarapan setiap harinya (1.5%). Akan tetapi, pada ibu yang tidak bekerja (2.9%) tidak tersedia sarapan, namun contoh memperoleh sarapan dengan memasaknya sendiri atau meminta saudara untuk menyediakan sarapan. Dari data tersebut terlihat ada kecendrungan bahwa proporsi tersedianya sarapan pada ibu yang berperan ganda (selain ibu rumah tangga) lebih rendah daripada ibu-ibu sebagai ibu rumah tangga. Walaupun demikian, ibu contoh sebagai ibu rumah tangga masih tidak menyediakan sarapan setiap harinya (7.4%) dikarenakan malas, telat bangun, dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya seperti mencuci baju dan membersihkan rumah.
52
Tabel 12 Distribusi frekuensi tersedianya sarapan di rumah berdasarkan pekerjaan ibu Tidak Tersedia n %
Jumlah n (%)
0 0 0
0.0 0.0 0.0
1 (1.5) 6 (8.8) 1 (1.5)
Tidak bekerja: - Ibu Rumah Tangga 38 55.9 15 22.1 5 Total 42 61.8 19 27.9 7 *2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia
7.4 10.3
58 (85.3)* 68 (100)
Pekerjaan Ibu Bekerja: - PNS - Wiraswasta/Pedagang - Karyawan Swasta
n
%
Kadangkadang n %
0 3 1
0.0 4.4 1.5
1 3 0
Tersedia
1.5 4.4 0.0
Umumnya ibu contoh sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai PNS, karyawati atau pedagang masih melaksanakan fungsi pokoknya sebagai ibu rumah tangga dalam hal penyelenggaraan sarapan, walaupun masih ditemukan pula proporsi tersedianya sarapan kadang-kadang (22.1%) dan tidak pernah (7.4%) pada ibu rumah tangga. Keadaan ini menunjukkan bahwa ibu mempunyai peran ganda (sebagai ibu rumah tangga dan bekerja) pada umumnya sebelum pergi bekerja terlebih dahulu mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0.05) antara jenis pekerjaan ibu dengan tersedianya sarapan setiap hari di rumah contoh. Menurut Hermina et al. (2009) adanya hubungan antara ketersediaan sarapan dengan kebiasaan sarapan remaja siswi (p<0.05). Adanya kecenderungan bahwa remaja siswi yang terbiasa sarapan sebagian besar karena sarapan tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak tersedia, remaja putri (40.5%) yang sarapan lebih sedikit. Kebiasaan Sarapan Bersama Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku dalam wujud sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya (Hermina et al. 2009). Namun, ini juga bisa menjadi faktor untuk melewatkan sarapan di pagi hari. Sarapan dengan seluruh keluarga mendorong remaja untuk secara teratur sarapan (Khan 2005). Tabel 13 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama. Separuh contoh (66.2%) terbiasa melakukan sarapan sendiri, sebanyak 30.9% contoh melakukan sarapan terbiasa bersama anggota keluarga sebagian (kakak atau adik, ibu dan adik, ibu dan kakak), dan hanya 2.9% contoh melakukan sarapan terbiasa bersama dengan
53
teman. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja. Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka dengan mendukung kebiasaan makan dan struktur keluarga harus dipertimbangkan dalam merancang program untuk mengenalkan kebiasaan sarapan sehat. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan bersama Kategori Teman Anggota keluarga (sebagian) Anggota keluarga (seluruh) Sendiri Total
n 2 21 0 45 68
% 2.9 30.9 0.0 66.2 100.0
Jenis menu sarapan Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral. Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan jenis menu sarapan Jenis menu sarapan Sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman) Nasi + lauk pauk Nasi + lauk pauk + sayur Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + minuman Nasi + lauk pauk + jajanan Makanan sepinggan Makanan sepinggan + minuman Makanan sepinggan + nasi Makanan sepinggan + lauk pauk Makanan sepinggan + jajanan Makanan sepinggan + jajanan tradisional + minuman Minuman Minuman + jajanan (tradisional/industri) Jajanan (tradisional/industri) Tidak sarapan
Hari Sekolah n %
Hari Libur n %
Jumlah n %
0
0.0
1
1.5
1
1.5
12 1 0 0
17.6 1.5 0.0 0.0
9 3 1 2
13.2 4.4 1.5 2.9
21 4 1 2
30.9 5.9 1.5 2.9
1 18 2 0 4 16 1
1.5 26.5 2.9 0.0 5.9 23.5 1.5
2 13 4 1 1 6 1
2.9 19.1 5.9 1.5 1.5 8.8 1.5
3 31 6 1 5 22 2
4.4 45.6 8.8 1.5 7.4 32.4 2.9
2 3 4 4
2.9 4.4 5.9 5.9
3 5 5 11
4.4 7.4 7.4 16.2
5 8 9 15
7.4 11.8 13.2 22.1
Tabel 14 menunjukkan jenis menu sarapan contoh yang dilakukan dari mulai bangun tidur hingga pukul 09.00 WIB. Hampir separuh contoh lebih banyak
54
sarapan dengan makanan sepinggan (45.6%), makanan sepinggan dan jajanan (32.4%), dan nasi dan lauk pauk (30.9%). Hanya sedikit contoh (1.5%) yang sarapan dengan sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman), Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih sering dengan makanan sepinggan, jajanan, dan minuman. Jenis menu sarapan contoh pada hari libur lebih banyak sarapan dengan nasi dan lauk pauk; nasi, lauk pauk, dan sayur; atau bahkan sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman) (Lampiran 2). Makanan sepinggan, jajanan, dan minuman lebih banyak dikonsumsi pada hari sekolah dikarenakan harga yang terjangkau dengan uang saku contoh mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi di pagi hari. Selain itu, makanan sepinggan tersebut sudah hampir memenuhi energi dari 15%-25% kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan bagi remaja. Rata-rata harga makanan sepinggan, jajanan dan minuman adalah Rp 2.950, Rp 800, Rp 2.200. Rata-rata kandungan energi dan zat gizi makanan sepinggan adalah energi 247 kkal, protein 6.9 g, lemak 10.9 g, dan karbohidrat 30.7 g. Rata-rata kandungan energi dan zat gizi jajanan adalah energi 99 kkal, protein 2.0 g, lemak 4.1 g, dan karbohidrat 12.9 g. Rata-rata kandungan energi dan zat gizi minuman adalah energi 106 kkal, protein 3.5 g, lemak 3.0 g, dan karbohidrat 16.3 g (Lampiran 6). Jenis menu sarapan contoh tersebut tidak berbeda dengan hasil penelitian Mudjianto et al. (1994), jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh remaja di enam kota besar di Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie instan. Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang); nasi gudeg (Yogyakarta), nasi rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya). Lauk pauk yang dikonsumsi contoh saat sarapan terdiri dari lauk hewani dan lauk nabati. Lauk hewani yang paling sering dikonsumsi adalah ayam goreng, telur ceplok, telur dadar, semur daging, telur rebus, dan ikan tongkol goreng. Beberapa lauk hewani dari hasil olahan ikan dan daging juga dikonsumsi saat sarapan seperti nugget ayam, rendang, rollade daging, dan ikan mas pepes. Lauk nabati yang dikonsumsi meliputi tempe goreng, tahu goreng, tempe orek, dan kentang balado. Sayur dan buah yang dikonsumsi contoh sangat sedikit frekuensinya. Padahal, sayur dan buah banyak mengandung vitamin dan mineral (Almatsier
55
2006). Sayur yang dikonsumsi contoh saat sarapan adalah tumis caysim, capcay, sayur bayam, sayur sop, sop jagung, tumis kacang panjang, dan tumis buncis. Buah yang dikonsumsi contoh berupa mangga, pisang, dan semangka. Makanan sepinggan yang dikonsumsi contoh saat sarapan meliputi nasi uduk, nasi goreng, bubur ayam, mie instan, roti sandwich isi cokelat, bihun goreng, lontong sayur, roti bakar isi cokelat, bakso, mie ayam, dan bubur kacang ijo, serta sereal (energen). Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat kompleks dapat membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes et al. 2003). Cho et al. (2003) menyatakan seseorang yang sarapan dengan mengkonsumsi sereal siap saji, sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan daging dan telur. Jajanan dan minuman yang dikonsumsi contoh beragam. Jajanan yang dikonsumsi contoh saat sarapan terdiri dari jajanan tradisional dan industri. Jajanan tradisional yang dikonsumsi contoh saat sarapan meliputi bakwan, tempe tepung goreng, lontong isi kentang, lontong isi oncom, nasi ketan abon, pisang goreng, kue bolu, pisang cokelat, martabak, singkong goreng, tahu isi tauge, ubi goreng, pisang molen, risoles, cimol, gemblong, keripik singkong, pastel, dan tahu gehu. Jajanan industri yang dikonsumsi contoh saat sarapan adalah roti manis, biskuit, wafer, roti tawar, permen, dan chiki. Minuman yang sering dikonsumsi contoh saat sarapan seperti susu, teh manis, kopi susu, dan frutang. Kualitas Sarapan Remaja Jumlah dan Jenis Pangan Sarapan Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Martianto 1992). Penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Secara kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi dan secara kualitatif dengan melihat frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan.
56
Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi sarapan Jenis Pangan Nasi Lauk Pauk : - L. Hewani - L. Nabati Sayur Buah Minuman M.Sepinggan Jajanan : - J. Tradisional - J. Industri Rata-Rata
14.1±18.4
E (kkal) 25
P (g) 0.4
Asupan L KH (g) (g) 0.0 5.6
Serat (g) 0.0
Fe (g) 0.1
Vit A (RE) 0.0
Vit C (mg) 0.0
18.7±25.0 3.5±1.3 1.1± 0.8 1.0±0.3 8.8± 6.0 68.3±61.1
46 12 1 1 15 159
4.5 0.4 0.0 0.0 0.3 3.7
2.8 0.6 0.0 0.0 0.3 9.5
0.6 1.1 0.1 0.1 2.7 14.6
0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.4
0.8 0.1 0.0 0.0 0.0 0.8
19.9 0.4 3.5 0.9 8.5 16.4
0.1 0.1 0.4 0.1 0.4 0.3
24.5±28.5 3.2±1.7
74 9 342
1.7 0.2 11.4
3.0 0.2 16.6
9.5 1.7 36.4
0.5 0.0 1.1
1.0 0.0 2.9
2.7 0.0 52.7
0.3 0.0 0.6
Berat (g)
Tabel 15 menunjukkan rata-rata konsumsi pangan dan asupan energi dan zat gizi sarapan contoh. Rata-rata konsumsi pangan adalah nasi 14.1±18.4 g, lauk hewani 18.7±25.0 g, lauk nabati 3.5±1.3 g, sayur 1.1±0.8 g, buah 1.0±0.3 g, minuman 8.8±6.0 g, makanan sepinggan 68.3±61.1 g, jajanan tradisional 24.5±28.5 g, dan jajanan industri 3.2±1.7 g. Rata-rata konsumsi makanan sepinggan dan jajanan tradisional contoh lebih banyak dikonsumsi waktu sarapan dibandingkan nasi dan lauk pauk (lauk hewani atau lauk nabati) atau sarapan lengkap (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman). Hasil analisis data Riskesdas 2010 menunjukkan asupan energi dan protein dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% angka kecukupan gizi remaja usia 16-18 tahun) yaitu 1667 kkal dan 58.1 g. Apabila diestimasikan maka asupan energi dan protein sarapan remaja usia 16-18 tahun berkisar 250-417 kkal dan 8.7-13.7 g. Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil analisis data Riskesdas 2010 menunjukkan hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa asupan energi dan protein sarapan contoh masih dibawah kebutuhan minimal. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998). Namun, kebanyakan contoh tidak makan sarapan bergizi seimbang. Jenis hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu sarapan hanya terbatas pada makanan pokok yang kaya karbohidrat, misalnya nasi uduk, bakwan, dan kerupuk atau mie instan dan nasi. Walaupun demikian, contoh dengan konsumsi makanan sepinggan sudah dapat hampir memenuhi kriteria sarapan yaitu bukan hanya mengandung energi dan zat gizi saja tetapi juga mengandung serat. Lauk hewani lebih banyak dikonsumsi contoh dibandingkan lauk nabati. Konsumsi lauk hewani seperti telur (telur ceplok, telur dadar, telur rebus) sering
57
dijadikan menu sarapan. Protein membantu memproduksi energi lebih besar sebagai bahan bakar untuk beraktivitas sepanjang hari. Menurut Riyadi (2006), mutu protein hewani merupakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola kebutuhan asam amino manusia. Apabila pangan hewani digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan manusia maka memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah cukup. Konsumsi sayur dan buah contoh masih sangat sedikit. Frekuensi sayuran dan buah hanya 1-2 kali per minggu. Minuman yang dikonsumsi contoh saat sarapan masih sedikit. Namun, minuman yang dikonsumsi lebih banyak susu dibandingkan dengan minuman bergula. Susu mengandung protein cenderung lebih memberikan rasa kenyang dibandingkan dengan minuman teh manis yang hanya mengandung karbohidrat sederhana. Konsistensi susu juga lebih
kental
dibandingkan
dengan
minuman
bergula
sehingga
proses
penyerapan susu akan lebih lama dibandingkan dengan minuman yang manis. Jajanan tradisional lebih banyak dikonsumsi contoh dibandingkan jajanan industri. Walaupun demikian, jajanan tradisional lebih banyak menyumbangkan energi dan zat gizi dibandingkan jajanan industri yang terbatas pada energi, protein, lemak, dan karbohidrat saja tanpa vitamin, mineral dan serat. Berbagai penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada perubahan kebiasaan makan. Anderson (1991) menyatakan bahwa kebiasaan sarapan remaja yang mengkonsumsi susu, nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah berubah menjadi hidangan junk food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta buah-buahan. Asupan dan Tingkat Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya. Angka kecukupan energi remaja siswi (13-15 tahun) sekitar 2.350 kkal dan 57 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 353-588 kkal dan 8.514.3 g protein. Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200 kkal dan 55 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-
58
550 kkal dan 8.3-13.8 g protein (Hardinsyah 2012). Sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khomsan 2002). Tabel 16 Rata-rata asupan dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan (%AKG) Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vit. A (RE) Vit. C (mg)
Hari sekolah Rata±SD % 340±162 15.2 11.0±6.7 19.8 17.2±12.3 27.8 35.1±13.2 10.1 1.1±0.8 4.4 106.3±127.8 10.6 134.6±145.7 29.9 2.9±1.6 11.1 52.2±69.2 8.7 1.5±3.5 2.2
Asupan dan Kontribusi Hari libur Rata±SD % 359±319 16.2 13.9±18.4 25.1 7.8±13.3 21.7 22.7±25.1 12.7 0.9±2.0 3.5 77.6±133.4 7.8 102.0±112.8 22.7 3.0±3.4 11.6 55.4±85.3 9.2 2.1±6.9 3.0
Rata-rata Rata±SD 342±153 11.4±6.6 16.6±1.4 36.4±13.6 1.1±0.8 102.2±110.4 129.9±128.1 2.9±1.4 52.7±60.2 1.6±3.2
% 15.4 20.6 26.9 10.4 4.3 10.2 28.9 11.2 8.8 2.3
Tabel 16 menunjukkan rata-rata asupan dan kontribusi energi dan zat gizi sarapan terhadap kecukupan gizi contoh. Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh adalah 342±153 kkal dan 11.4±6.6 g. Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh sudah memenuhi 15%-25% dari kecukupan sehari. Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh pada hari sekolah adalah 340 kkal dan 11.0 g. Rata-rata asupan energi dan protein sarapan contoh pada hari libur adalah 359 kkal dan 13.9 g. Hasil uji beda t-test menunjukkan terdapat perbedaan antara asupan energi dan protein pada hari sekolah dan hari libur (p<0.05). Asupan energi dan protein sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi dibandingkan sarapan contoh pada hari sekolah dikarenakan jumlah dan komposisi sarapan contoh pada hari libur lebih banyak porsinya dan lengkap komposisinya (nasi, lauk pauk, sayur/buah, dan minuman). Sedangkan menu sarapan ketika hari sekolah komposisinya tidak lengkap (makanan sepinggan, jajanan, dan minuman atau bahkan tidak sarapan) dan besar porsinya sesuai keinginan contoh. Kontribusi energi dan protein contoh adalah 15.4% dan 20.6% dari kecukupan sehari, yang berarti kontribusi energi dan protein contoh termasuk kategori sedang. Namun demikian, makanan sarapan pada hari libur dapat memberikan kontribusi energi dan protein lebih tinggi sehingga kontribusi energi dan protein sarapan contoh hari libur lebih besar daripada hari sekolah.
59
Kontribusi energi dan protein pada hari sekolah adalah 15.2% dan 19.8%. Kontribusi energi dan protein pada hari libur adalah 16.2 % dan 25.1%. Asupan energi dan protein sarapan contoh hari sekolah paling sedikit adalah 45 kkal dan 1.1 g. Hal ini dikarenakan contoh mempunyai frekuensi sarapan yang jarang (1-3 kali per minggu) dan hanya mengkonsumsi makanan sepinggan (mie instan) atau minuman bergula (teh manis). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah. Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan lipidemia. Smith et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metilglutaryl-KoA reduktase. Vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit dan berfungsi sebagai zat pengatur tubuh (Almatsier 2004). Vitamin dan mineral memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Rata-rata asupan mineral sarapan contoh masih belum mencukupi 15-25% dari kecukupan sehari (Kalsium 250 mg, Fosfor 163 mg, dan Besi 6.5 mg). Rata-rata asupan Kalsium, Fosfor, dan Besi hanya 102.2±110.4 mg, 129.9±28.1 mg, dan 2.9±1.4mg. Tidak jauh berbeda dengan mineral, rata-rata asupan vitamin sarapan contoh meliputi Vitamin A dan Vitamin C juga belum mencukupi 15%-25% dari kecukupan sehari (Vitamin A 150 RE dan Vitamin C 16.3 atau 18.8 mg). Rata-rata asupan Vitamin A adalah 52.7±60.2 RE dan rata-rata asupan Vitamin C adalah 1.6±3.2 mg. Hal ini menunjukkan bahwa contoh sedikit mengkonsumsi pangan sarapan yang banyak mengandung vitamin dan mineral terlihat dari dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi contoh yaitu kurang konsumsi sayur, buah, dan susu (Tabel 15). Kontribusi
60
vitamin dan mineral contoh termasuk dalam kategori tinggi (kontribusi Fosfor 28.9%) dan rendah (kontribusi Kalsium 10.2%, Besi 11.2%, Vitamin A 8.8% dan Vitamin C 2.3%). Hal ini menunjukkan bahwa saat sarapan konsumsi sayur dan buah yang merupakan sumber vitamin dan mineral sebagian besar contoh relatif masih rendah. Rata-rata asupan mineral sarapan contoh pada hari sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan hari libur. Rata-rata asupan Kalsium, Fosfor, dan Besi pada hari sekolah adalah 106.3±127.8 mg, 134.6±145.7 mg, dan 2.9±1.6 mg. Rata-rata konsumsi Kalsium, Fosfor, dan Besi contoh pada hari libur adalah 77.6±133.4 mg, 102.0±112.8 mg, dan 3.0±3.4 mg. Hal ini menunjukkan contoh pada hari sekolah lebih banyak mengonsumsi pangan sarapan sumber Kalsium, Fosfor, dan Besi seperti susu dan telur ayam. Namun berbeda dengan rata-rata asupan vitamin sarapan contoh saat hari libur dan sekolah. Rata-rata asupan vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih tinggi dibandingkan dengan hari sekolah. Rata-rata asupan Vitamin A dan Vitamin C pada hari libur adalah 55.4±85.3 RE dan 2.1±6.9 mg. Rata-rata asupan Vitamin A dan Vitamin C pada hari sekolah adalah 52.2±69.2 RE dan 1.5±3.5 mg. Hal ini dikarenakan pada hari libur contoh lebih banyak tersedia sarapan yang lebih lengkap (nasi, lauk pauk, sayur, buah dan minuman serta jajanan) dan selalu menyediakan menu berbahan dasar pangan sumber Vitamin A yaitu wortel, bayam, caysim, dan ubi jalar. Asupan Vitamin A sarapan contoh hari libur yang tinggi masih dapat dinyatakan aman karena masih dibawah UL (Tolerable Upper Level Intake) Vitamin A yaitu 40.000-55.000 µg RE (Almatsier 2004). Kontribusi mineral sarapan contoh pada hari sekolah lebih besar daripada hari libur, sedangkan kontribusi vitamin sarapan contoh pada hari libur lebih besar daripada hari sekolah. Kontribusi Kalsium, Fosfor, dan Besi sarapan contoh pada hari sekolah adalah 10.6%, 29.9%, dan 11.1% dan kontribusi Kalsium, Fosfor, dan Besi sarapan contoh pada hari libur adalah 7.8%, 22.7%, dan 11.6%. Sedangkan kontribusi Vitamin A dan Vitamin C pada hari sekolah adalah 8.7% dan 2.2% dan kontribusi Vitamin A dan Vitamin C pada hari libur adalah 9.2% dan 3.0%. Kualitas Sarapan Kualitas sarapan dilihat dari mutu pangan yang dikonsumsi. Menurut Hardinsyah (2012), sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, rendah glukosa dan karbohidrat sederhana, serta minuman. Kontribusi energi sarapan contoh
61
dijadikan variabel untuk menggambarkan kualitas sarapan contoh. Kualitas sarapan tinggi bermakna contoh mengkonsumsi sarapan dengan kontribusi sudah lebih dari 25% dari AKG sehari. Kualitas sarapan sedang ditandai dengan contoh mengkonsumsi sarapan dengan kontribusi sarapan 15%-25% dari AKG sehari. Kualitas sarapan rendah ditandai dengan contoh mengkonsumsi sarapan dengan kontribusi kurang dari 15% dari AKG sehari (Preziosi et al.1999). Tabel 20 menunjukkan bahwa separuh contoh (54.4%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan rendah, sedangkan lebih dari seperempat contoh lainnya (36.8%) termasuk dalam kategori kualitas sarapan sedang dan hanya sedikit (8.8%) contoh yang memiliki kualitas sarapan tinggi. Contoh dengan kualitas sarapan tinggi cenderung mempunyai menu sarapan dengan komposisi lebih lengkap (nasi, lauk pauk, sayur atau susu) atau makanan sepinggan dan lauk pauk (nasi goreng dan telur ceplok) sehingga menyumbangkan asupan energi lebih tinggi. Umumnya contoh dengan kualitas sarapan tinggi selalu sarapan dengan nasi, roti, buah, sayur, dan susu. Contoh dengan kualitas sarapan yang rendah sangat sering sarapan dengan jajanan (nasi ketan abon, gorengan, dan lontong isi oncom/kentang) dan minuman (teh manis). Hal ini dikarenakan contoh dengan kualitas sarapan rendah sering tidak sarapan sehingga cenderung mengonsumsi jajanan. Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Kebutuhan lemak bagi remaja sebesar 25-30% dari kebutuhan energi, karbohidrat sekitar 55-70% dari kebutuhan sehari dan dianjurkan kebutuhan serat 25 g/hari (Almatsier 2004). Apabila dilakukan estimasi jumlah asupan yang dianjurkan untuk waktu sarapan, maka contoh harus memenuhi karbohidrat 51.685.9 g, lemak 9.2-15.3 g, dan serat 3.8-6.3 g. Rata-rata asupan karbohidrat kompleks, lemak, dan serat contoh ketika sarapan adalah 36.4±13.6 g, 16.6±11.4 g, dan 1.1±0.8 g (Tabel 16). Rata-rata asupan lemak contoh pada saat sarapan lebih dari jumlah yang dianjurkan bagi remaja, akan tetapi rata-rata asupan karbohidrat kompleks dan serat contoh saat sarapan masih termasuk rendah. Seluruh contoh (100%) termasuk rendah asupan serat, 85.3% contoh termasuk rendah asupan karbohidrat kompleks, dan hampir separuh contoh (55.9%) termasuk tinggi asupan lemak. Jenis menu sarapan contoh lebih banyak
62
diolah dengan teknik deep frying seperti ayam goreng, tempe goreng, tahu goreng, ikan tongkol goreng, bakwan dan tempe tepung goreng, selain itu sedikit konsumsi sayur dan buah sehingga menyebabkan asupan lemak lebih dari yang dianjurkan dan asupan serat sangat rendah. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan sarapan sehat Kategori sarapan Tidak sehat (0 kriteria) Kurang sehat (1-2 kriteria) Cukup sehat (3 kriteria) Sehat (4 kriteria) Total Keterangan: Tidak sehat Kurang sehat Cukup sehat Sehat
n 2 65 1 0 68
% 2.9 95.6 1.5 0.0 100.0
: sarapan yang tidak mengandung energi cukup, karbohidrat cukup, serat cukup, dan rendah lemak. : hanya memenuhi 1-2 kriteria sarapan sehat (energi cukup,rendah lemak/ karbohidrat cukup). : memenuhi 3 kriteria sarapan sehat (energi cukup, karbohidrat cukup, dan rendah lemak.) : sarapan mengandung energi cukup, karbohidrat cukup, serat cukup, dan rendah lemak.
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (95.6%) termasuk dalam kategori kurang sarapan. Diantara contoh dengan kualitas sarapan sedang dan tinggi (45.6%), tidak ada contoh yang melakukan sarapan sehat, melainkan 44.1% contoh yang termasuk kategori sarapan kurang sehat dan hanya 1.5% contoh yang termasuk kategori sarapan cukup sehat. Hal ini menunjukkan
bahwa
seluruh
contoh
belum
melakukan
sarapan
sehat
dikarenakan sulit bagi contoh untuk memenuhi sarapan sehat. Padahal sarapan akan menyumbangkan karbohidrat kompleks yang mempengaruhi pelepasan hormon gastric inhibitory peptide, glucagon-like peptide-1, dan cholecystokinin yang mempengaruhi gula darah dan memberikan rasa kenyang. Sarapan juga akan menyumbangkan protein dan lemak yang cukup sehingga mempengaruhi sekresi grelin dan nafsu makan, selain itu sarapan akan menyumbangkan serat yang dapat memberikan efek kenyang (Gail 2005 dan Marangoni 2009 dalam Briawan et al. 2012). Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kebiasaan Sarapan Karakteristik
contoh
meliputi
karakteristik
individu
dan
keluarga
(pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orangtua dan besar keluarga). Kebiasaan contoh dibedakan menjadi tiga, yaitu selalu, kadang-kadang dan jarang sarapan. Hubungan karakteristik contoh dengan kebiasaan sarapan dapat dilihat pada Tabel 18.
63
Tabel 18 Hubungan karakteristik keluarga dengan kebiasaan sarapan Kebiasaan Sarapan KadangSelalu kadang % n % n %
Jarang
Karaketeristik keluarga
n
Jumlah n
%
Pendidikan Ibu: - Rendah - Tinggi
3 1
4.4 1.5
33 0
48.5 0.0
31 0
45.6 0.0
67 1
98.5 1.5
Pekerjaan Ibu: - Tidak bekerja - Bekerja
3 1
4.4 1.5
29 4
42.6 5.9
26 3
38.2 4.4
58* 8
85.3 11.8
Pendapatan orang tua (Rp/bulan): - < Rp. 500.000 1 - Rp. 500.000-999.000 0 - Rp. 1.000.000-1.499.000 2 - Rp. 1.500.000-1.999.000 0 - Rp. 2.000.000-2.499.000 0 - Rp. 2.500.000-4.999.000 0 - > Rp. 5.000.000 1
1.5 0.0 2.9 0.0 0.0 0.0 1.5
1 2 9 5 9 4 3
1.5 2.9 13.2 7.4 13.2 5.9 4.4
1 9 9 3 2 4 3
1.5 13.2 13.2 4.4 2.9 5.9 4.4
3 11 20 8 11 8 7
4.4 16.2 29.4 11.8 16.2 11.8 10.3
3 28
4.4 41.2
4 64
5.9 94.1
Besar keluarga : - Kecil 0 0.0 1 1.5 - Besar 4 5.9 32 47.1 *2 contoh sudah tidak memiliki ibu karena meninggal dunia
Berdasarkan Tabel 18, pendidikan ibu yang memiliki anak dengan kadang-kadang sarapan (48.5%) adalah ibu yang memiliki pendidikan rendah (≤ SMA). Hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka skor keragaman konsumsi pangan juga semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Penelitian Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan positif
antara pendidikan ibu dengan
pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan anak yang sehat dan bergizi. Siega et al. (1998) juga memaparkan kebiasaan sarapan anak yang baik berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Penelitian Hermina et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
64
pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05). Selain itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa) sarapan dibandingkan dengan siswi yang memiliki ibu berpendidikan rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu diasumsikan bahwa ibu akan mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mengakses dan menyediakan informasi serta pangan yang baik bagi anggota keluarganya. Berdasarkan Tabel 18, proporsi terbesar (5.9%) contoh yang mempunyai ibu
bekerja
kadang-kadang
melakukan
sarapan.
Hasil
uji
Chi-Square
menunjukkan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Siega et al. (1998) memaparkan anak yang diasuh oleh ibu yang bekerja diluar rumah memiliki kebiasaan sarapan yang lebih rendah. Faktor kesibukan ibu seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat sarapan. Rohayati (2001) juga menyatakan bahwa frekuensi sarapan anak dapat dipengaruhi oleh pekerjaan ibu. Pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Tabel 18 menunjukkan bahwa 1.5% contoh yang mempunyai pendapatan orangtua per bulan kurang dari Rp. 500.000 jarang melakukan sarapan, sedangkan 13.2% contoh yang mempunyai pendapatan orangtua per bulan Rp. 1.000.000-1.499.000 selalu melakukan sarapan setiap hari. Hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara pendapatan orangtua dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Hubungan ini terlihat dari contoh yang berpendapatan sedang dan tinggi memiliki kebiasaan sarapan yang lebih baik. Hasil ini bermakna semakin baik keadaan ekonomi suatu keluarga maka kebiasaan sarapan semakin baik pula. Hal ini terkait dengan kemampuan keluarga dalam menyediakan sarapan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya, sehingga pendapatan diduga berkaitan dengan kebiasaan sarapan seseorang (Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al. (1998) juga menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga makan kebiasaan konsumsi sarapan juga akan semakin tinggi. Tabel 18 menunjukkan bahwa proporsi terbesar (5.9%) contoh yang mempunyai keluarga dengan kategori besar (>4 orang) jarang sarapan. Hasil uji
65
Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara besar keluarga dengan kebiasaan sarapan contoh (p<0.05). Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007), terdapat hubungan antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan yang berarti keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian makanan dalam keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kebiasaan Sarapan dengan Kualitas Sarapan Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky 2002). Kebiasaan sarapan membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari. Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang berhubungan dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan sebagai bagian dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi kesehatan anak dan kesejahteraan (Depkes 2005). Berdasarkan Tabel 19, hampir separuh contoh (41.2%) yang memiliki pengetahuan gizi sedang memiliki kualitas sarapan rendah. Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nyata negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p>0.05) dan nilai koefisien korelasi p=0.275 dan r=-0.134. Hubungan ini terlihat dari kategori pengetahuan gizi sedang hanya 41.2% memiliki kualitas konsumsi sarapan rendah. Hal ini berarti terdapat kecendrungan dimana tingkat pengetahuan gizi yang semakin tinggi belum tentu diikuti dengan semakin baiknya kualitas konsumsi sarapan contoh. Oleh karena itu, belum tentu contoh dengan tingkat pengetahuan gizi tinggi dapat memahami dan mengaplikasikan dengan baik pengetahuannya tersebut untuk konsumsi sarapan yang baik setiap harinya. Remaja putri merupakan golongan umur yang sensitif terhadap perilaku makan. Golongan ini mulai menjaga penampilan tubuh (Soetardjo 2011).
66
Tabel 19 Hubungan pengetahuan gizi dan kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan contoh Variabel Pengetahuan gizi: - Rendah - Sedang - Tinggi Kebiasaan sarapan: - Jarang - Kadang-kadang - Selalu
Rendah n %
Kualitas sarapan Sedang Tinggi n % n %
n
Total %
4 28 5
57.1 57.1 41.6
2 17 6
28.6 34.7 50.0
1 4 1
14.3 8.2 8.4
7 49 12
100.0 100.0 100.0
4 25 8
100.0 75.8 25.8
0 5 20
0.0 15.1 64.5
0 3 3
0.0 9.1 9.7
4 33 31
100.0 100.0 100.0
Tabel 19 juga menunjukkan contoh yang jarang dan kadang-kadang sarapan mempunyai kualitas sarapan rendah (42.6%) dan contoh yang selalu sarapan mempunyai kualitas sarapan sedang (29.4%). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan (p<0.01) dan nilai koefisien korelasi p=0.000 dan r=0.539. Hasil ini bermakna semakin tinggi kualitas sarapan maka semakin baik juga kebiasaan sarapannya. Hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan sarapan contoh yang memiliki kualitas sarapan tinggi lebih banyak mengkonsumsi nasi, lauk pauk, sayur dan susu atau makanan sepinggan dan lauk pauk (nasi goreng dan telur ceplok). Sedangkan contoh yang tidak selalu sarapan cenderung lebih banyak mengkonsumsi sarapan dengan makanan sepinggan (mie rebus, bubur ayam, mie ayam) atau minuman (teh gelas, teh manis, dan teh sisri) dan jajanan tradisional (batagor, bakwan, dan tempe tepung goreng), sehingga contoh yang selalu sarapan menyumbang energi lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak biasa sarapan. Hasil studi ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sjoberg et al. (2003) dalam Matthys et al. (2006), remaja putri (15-16 tahun) yang sarapan secara teratur memiliki asupan energi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang tidak teratur sarapan. Remaja yang mengonsumsi sarapan secara rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan (Rampersaud et al. 2005). Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng. Menurut Matthys et al. (2006), perempuan dengan kualitas sarapan baik memiliki asupan yang relatif lebih tinggi pada total protein dan polisakarida, dan
67
asupan yang relatif lebih rendah pada total asam lemak tak jenuh tunggal dan asam lemak tak jenuh ganda. Remaja yang mempunyai kualitas sarapan yang baik secara signifikan memiliki asupan yang lebih tinggi yang berasal dari roti, buah, sayuran, buah, susu dan hasil olahan susu. Sedangkan remaja yang mempunyai kualitas sarapan rendah secara signifikan asupannya lebih rendah karena cenderung lebih banyak minuman mengandung gula. Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan lebih rendah 362 Kalori dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan lipidemia. Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah. Hubungan Kualitas Sarapan dengan Status Anemia Menurut Rampersaud et al. (2005), remaja yang mengkonsumsi sarapan secara rutin memiliki asupan karbohidrat, protein, dan serat yang lebih tinggi dan asupan lemak yang lebih rendah daripada mereka yang tidak sarapan. Perempuan dengan kualitas sarapan baik memiliki asupan yang relatif lebih tinggi (Matthys et al. 2006), Sedangkan yang tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng (Ruxton & Kirk 1997).
68
Tabel 20 Hubungan kualitas sarapan dengan status anemia Kualitas Sarapan Rendah Sedang Tinggi
Status anemia Anemia Tidak Anemia n % n % 9 13.2 28 41.2 3 4.4 22 32.4 1 1.5 5 7.4
Jumlah n 37 25 6
% 54.4 36.8 8.8
Tabel 20 menunjukkan kualitas sarapan tinggi lebih banyak pada contoh yang tidak anemia (7.4%) dibandingkan contoh anemia (1.5%). Hampir separuh contoh tidak anemia (41.2%) mempunyai kualitas sarapan rendah. Berdasarkan penelitian Permaesih & Herman (2005) menunjukkan remaja 10-19 tahun yang memiliki kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-0.9) dan konsumsi energi yang cukup (OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Namun, menujukkan hasil yang berbeda yaitu hasil uji Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata negatif antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia contoh (p>0.05) dan nilai koefisien korelasi p=0.844 dan r=-0.024. Diduga dalam penelitian ini, sebaran contoh tidak anemia tidak merata karena remaja yang memiliki kualitas sarapan rendah (41.2%) banyak berstatus tidak anemia. Selain itu, diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia seperti pola konsumsi pangan yang kurang beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (Ernawati dan Saidin 2008). Hasil uji statistik tersebut bermakna terdapat kecendrungan semakin rendah kualitas sarapan belum tentu diikuti dengan status anemia yang tidak normal. Walaupun contoh anemia ditandai dengan kebiasaan sarapan seperti jajanan tradisional dan minuman (lontong isi kentang, bakwan, tahu isi tauge, tempe tepung goreng, dan teh manis, serta kopi susu) dan makanan sepinggan (bakso dan bubur ayam). Selain itu, asupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, dan Vitamin C pada contoh anemia adalah 294±125 kkal, 9.1±4.2 g, 130.7±209.0 mg, 150.8±249.4 mg, 2.5±1.1 mg, 39.7±48.7 RE, 2.3±5.5 mg, namun menunjukkan hasil yang tidak berhubungan nyata. Hal ini sejalan dengan penelitian Abalkhail & Shawky (2002) menyatakan meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan. Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Pangan hewani ataupun
69
nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Zat besi yang berasal dari pangan nabati jumlah yang dapat diserap hanya berkisar 1%6%, dan zat besi yang dapat diabsorpsi berasal dari pangan hewani 7%-22%. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga apabila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan Kalsium (Almatsier 2004). Kopi dan teh merupakan minuman yang dapat menghambat penyerapan besi karena kopi banyak mengandung polifenol (tanin). Konsumsi kopi dan teh setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 39% sehingga apabila sering mengkonsumsi setelah makan makan akan menyebabkan anemia (Morck et al. 1983). Dampak anemia terhadap daya pikir akan mempengaruhi remaja didalam prestasi di sekolah. Anemia dapat menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga berdampak pada imunitas sehingga mempengaruhi menurunnya produktivitas secara tidak langsung melalui seringnya tidak masuk sekolah karena sakit (Ernawati & Saidin 2008).
70
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata usia contoh dalam penelitian adalah 16.6±0.74 tahun. Prevalensi anemia dalam penelitian ini adalah 19.1%. Masalah gizi pada contoh yaitu kegemukan dan stunted. Lebih dari separuh contoh diberikan uang saku dengan kategori sedikit (Rp 12.361). Sebagian besar pendidikan dan pekerjaan ibu contoh adalah SD dan ibu rumah tangga. Sebagian besar pendapatan orangtua contoh (29.4%) adalah Rp. 1.000.000-1.499.000 per bulan. Persentase contoh yang memiliki keluarga hanya dengan 2 anak masih sangat sedikit. Sebagian besar ayah dan ibu contoh berasal dari suku sunda. Hampir tiga per empat contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang. Nilai pengetahuan gizi contoh berkisar antara 40 sampai 86.7 dengan rata-rata 68.5. Namun, masih terdapat contoh yang tidak dapat menjawab dengan baik tentang fungsi zat besi bagi tubuh, sumber pangan hewani yang tinggi zat besi, jenis minuman yang menghambat penyerapan, dan jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh. Seluruh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari. Separuh contoh mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang memberikan peranan dan manfaat, antara lain sebagai sumber energi dan zat gizi untuk melakukan aktivitas, mencegah sakit, menghilangkan lapar, dan memenuhi kebutuhan tubuh dan sisanya mengartikan sarapan adalah makan di pagi hari yang terdiri dari makanan padat dan minuman dengan porsi sedang. Makanan dan minuman saat sarapan yang baik menurut contoh adalah roti dan susu. Seluruh contoh menyatakan sarapan penting, namun seluruh contoh juga pernah tidak sarapan karena kesiangan atau bangun telat. Hampir seluruh contoh menyatakan sebaiknya ibu yang menyiapkan sarapan dan terdapat aturan kewajiban sarapan di rumah sebelum memulai aktivitas. Hampir separuh contoh biasa melakukan sarapan setiap hari yang dilakukan pada pukul 06.00-06.59 WIB (hari sekolah) dan 08.00-08.59 WIB (hari libur). Hampir separuh contoh tidak anemia dan tidak gemuk selalu melakukan sarapan setiap hari. Sebagian besar menu sarapan contoh adalah makanan sepinggan. Contoh tidak anemia lebih sering sarapan dengan nasi dan lauk pauk dibandingkan contoh anemia. Jenis menu sarapan contoh yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih banyak didominasi dengan makanan sepinggan, jajanan, dan minuman.
71
Separuh contoh termasuk dalam kategori kualitas sarapan rendah ditandai dengan konsumsi jajanan dan minuman (teh manis) yang lebih sering. Seluruh contoh belum melakukan sarapan sehat. Rata-rata asupan energi, protein, dan vitamin sarapan contoh pada hari libur juga lebih tinggi daripada hari sekolah. Kontribusi energi masih termasuk kategori sedang dan kontribusi mineral dan vitamin termasuk kategori rendah. Jenis menu sarapan contoh lebih banyak tidak makan sarapan bergizi seimbang karena hanya terbatas pada makanan sepinggan yang kaya karbohidrat; sedikit konsumsi sayur dan buah; serta lebih sering konsumsi jajanan tradisional. Terdapat hubungan karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan orangtua, dan jumlah anggota keluarga) dengan kebiasaan sarapan (p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara kebiasaan sarapan dengan kualitas sarapan (p=0.000; r=0.539). Namun, tidak terdapat hubungan nyata negatif antara pengetahuan gizi dan kualitas sarapan (p=0.275; r=-0.134). Tidak terdapat hubungan nyata antara kualitas sarapan contoh dengan status anemia contoh (p=0.844; r=-0.024). Namun, terdapat hubungan kebiasaan sarapan dengan status anemia (p<0.05). Saran Hasil penelitian menunjukkan asupan dari sumber serat (sayur dan buah) masih sangat rendah sehingga remaja harus dibiasakan pada saat sarapan untuk menyukai berbagai macam sayur dan buah sejumlah 45 g (setara dengan ½ mangkuk sayur). Seorang ibu diharapkan dapat lebih memahami pentingnya sarapan pada remaja serta mengatur alokasi waktu yang optimal dalam penyediaan sarapan, sehingga sarapan pangan yang tersedia memadai tidak hanya kuantitas melainkan kualitas gizinya juga. Pemberian penyuluhan kepada remaja penting dilakukan terkait pentingnya sayur dan buah, serta pengetahuan gizi terutama tentang fungsi zat besi bagi tubuh, sumber pangan hewani yang tinggi zat besi, jenis minuman yang menghambat penyerapan, dan jenis vitamin yang membantu penyerapan besi dalam tubuh. Pihak sekolah dan pemerintah juga disarankan untuk ikut serta dalam memberikan himbauan kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan sarapan sejak dini baik melalui berbagai media atau menyisipkan salah satu bahan pojok ajaran terkait sarapan dalam kurikulum pendidikan sebagai upaya penerapan gizi seimbang.
72
DAFTAR PUSTAKA Abalkhail B & Shawky S. 2002. Prevalence of daily breakfast intake, iron deficiency anaemia, and awareness of being anaemic among Saudi school students. International Journal of Food Sciences and Nutrition, 53, 519-528. Adimuntja C, Nugroho YA, Widowati L. 2008. Hubungan perilaku konsumsi aktifitas fisik dengan kejadian anemia pada anak remaja daerah urban di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Affenito SG. 2007. Breakfast: A missed opportunity. J Am Diet Assoc, 107, 565569. __________, Thompson DR, Barton BA, Franko DL, Daniels SR. 2005. Breakfast consumption by african-american and white adolescent girls correlates positively with calcium and fiber intake and negatively with body mass index. Journal of the American Dietetic Association, 105, 938-945. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anderson JJB. 1991. The status of adolescent nutrition. Nutrition Today, 26, 710. [Balitbangkes] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Balitbangkes. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007. BKKBN No 28/HK/-010/B5/2007 tentang Visi, Misi, dan Grand Strategi. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Bonnie L. 1998. The great breakfast debate. American Journal of Clinical Nutrition, 67, 779. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data Sensus BPS. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Briawan D. 2008. Efikasi Suplementasi Besi Multivitamin terhadap Perbaikan Status Besi Remaja Wanita [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Briawan D et al. 2012. Naskah Akademik Pekan Sarapan Nasional (PESAN). Jakarta: PERGIZI PANGAN, PERSAGI, PDGMI, PDGKI. Cho S, Dietrich M, Brown CJ, Clark CA, Block G. 2003. The effect of breakfast type on total daily energy intake and body mass index: results from the Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). J Am Coll Nutr, 22 (4), 296-302. Darmayanti C. 2010. Kebiasan Sarapan pada Remaja Siswa Sekolah Menengah Pertama dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
73
Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer. 2006. Food Habits and Consumption in Developing Countries. The Netherlands: Wageningen Academic Publishers. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Penyuluhan Gizi pada Anak Sekolah bagi Petugas Penyuluh. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. ___________________________________________. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Eastwood M. 2003. Principle of Human Nutrition (Second Edition). Edinburgh: Blackwell Publishing. Ernawati F & Saidin M. 2008. Determinan status anemia siswa SLTA di DKI Jakarta. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 31 (2), 82-87. Fiore H, Travis S, Whalen A, Auinger P, Ryan S. 2006. Potentially protective factors associated with healhful body mass index in adolescents with obese and nonobese parents: a secondary data analysis of the third national health and nutrition examination survey 1988-1994. Journal of the American Dietetic Association, 106, 55-64. Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Gizi dan Pangan, 2(2), 55-74. _________. 2012. Keynote speech for healthy breakfast symposium. Pergizi Pangan Indonesia. http://pergizi.org/index.php/berita-dan-kegiatan/16hbs-simposium.html [diakses 24 September 2012]. _________ & Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. _________ & Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Hermina, Nofitasari A, Anggorodi R. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan pagi pada remaja putri di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 32 (2), 94-100. Hurlock EB. 1999. Psikologi Pekembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Khan A. 2005. The Relationship between Breakfast, Academic Performance, and Vigilance in School Aged Children. Australia: School of Education, Division of Arts, Murdoch University. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor.
74
__________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor. Kral et al. 2010. Effect of eating breakfast compared with skipping breakfast on ratings of appetite and intake at subsequent meals in 8 to 10 years old children. Philadelphia: Department of Psychiatry, University of Pennsylvania. Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta: PT. Gramedia. Madanijah S. 2003. Model Pendidikan “Gi Psi Sehat” bagi Ibu serta Dampaknya terhadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan, dan Status Gizi Anak Usia Dini [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Matthys C, Henauw SD, Bellemans M, Maeyer MD, Backer GD. 2006. Breakfast habits affect overall nutrient profiles in adolescent. Public Health Nutrition, 10 (4), 413-421. Michaud C, Musse N, Nicholas JP, Mejean L. 2001. Effect of breakfast size on short term memory, concentration, mood, and blood glucose. J Adolesc Health, 12, 53-57. Moehji S. 2000. Ilmu Gizi 1 Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: PT. Bhratara Niaga Media. Morck TA, Lynch SR, Cook JD. 1983. Inhibition on food iron absorption by coffee. Am J Clin Nutr, 37, 416-420. Mudjianto TT, Susanto D, Luciasari E, Hermina. 1994. Kebiasaan makan golongan remaja di enam kota besar di Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 17, 98-107. Nasoetion A & Riyadi H. 1995. Gizi Terapan. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan. Notoatmojo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pardede N. 2002. Masa Remaja dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak Edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto. Pearson N, Biddle SJ, Gorely T. 2009. Family correlates of breakfast consumption among children and adolescents: A systematic review. Appetite, 52,1-7. Permaesih D & Herman S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada remaja. Buletin Penelitian Kesehatan, 33 (4), 162. Preziosi P et al. 1999. Breakfast type, daily nutrient intakes and vitamin and mineral status of french children, adolescents, and adults. Journal of the American College of Nutrition, 18 (2), 171-178. Rampersaud GC, Pereira MA, Girard BL, Adams J, Metzl JD. 2005. Breakfast habits, nutritional status, body weight, and academic performance in
75
children and adolescents. Association,105, 743-760.
Journal
of
the
American
Dietetic
Rahkonen AK, Kaprio J, Rissanen A, Virkkunen M, Rose RJ. 2003. Breakfast skipping and health compromising behaviors in adolescents and adults. European Journal of Clinical Nutrition, 57, 842-853. Reddan J, Wahlstrom K, Reicks M. 2002. Children’s perceived benefits and barriers in relation to eating breakfast in schools with or without Universal School Breakfast. J Nutr Educ Behav, 34, 47-52. Rohayati. 2001. Perilaku Makan Pagi dan Jajan Anak Sekolah Penerima PMT AS di Daerah Pantai dan Pegunungan Provinsi NTT [Skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ruxton CH & Kirk TR. 1997. Breakfast (A review of associations with measures of dietary intake, physiology and biochemistry). Br J Nutr, 78, 199-213. Saidin S, Krisdinamurtirin Y, Murdiana A, Moecherdiyantiningsih, Karyadi LD, Murni S. 1991. Hubungan kebiasaan makan pagi dengan konsentrasi belajar. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 14, 60-73. Saraswati E & Sumarno I. 1997. Perbedaan tingkat pengetahuan anemia remaja putri sekolah menengah umum anemia dan non anemia di enam Dati II Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, 20, 16-27. Sarwono S. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Shaw ME. 1998. Adolescent breakfast skipping. Adolescence, 33, 851-861. Siega RA, Popkin BM, Carson T. 1998. Trends in breakfast consumption for children in the United States from 1965 to 1991. Am J Clin Nutr, 67, 748S-56S. Smith KJ et al. 2010. Skipping breakfast: Longitudinal associations with cardiometabolic risk factors in the childhood determinants of adult health study. Am J Clin Nutr, 92(6),1316-25. Soetardjo S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Svenskarin N. 2012. Kebiasaan Sarapan Anak Sekolah Dasar pada Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
76
Ulfa M & Latifah M. 2007. Hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi, persepsi, dengan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di perkotaan dan pedesaan Bogor. Media Gizi dan Keluarga, 31 (1), 30-41. Warthington R. 2000. Nutrition Throughout The Life Cycle. Editors: William SR. Boston: McGraw Hill. Wesnes KA, Pincock C, Richardson D, Helm G, Hails S. 2003. Breakfast reduces declines in attention and memory over the morning in schoolchildren. Appetite, 41(3), 329-331. Wei Lin, Yang HC, Hang CM, Pan WH. 2007. Nutrition knowledge, attitude, and behaviour of Taiwanese elementary school children. Asia Pac J Clin Nutr, 16(S2), 534-546. [WHO] World Health Organization. 2001. Iron deficiency anaemia: assesment, prevention, and control. A guide programme manager. Geneva: WHO. ____________________________. 2007. Growth reference 5-19 years. http://www.who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/index.html [diakses 5 Desember 2012] [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Centarl to Development, A Strategy for large-scale action. USA: World Bank. Wyon DP, Abrahamsson L, Jartelius M, Fletcher RJ. 1997. An experimental study of the effects of energy intake at breakfast on test performance of 10 years old children in school. Int J Food Sci Nutr, 48, 5-12. Zullig K, Ubbes VA, Pyle J, Valois RF. 2006. Self-reported weight perceptions, dieting, behaviour, and behaviour eating among high school adolescents. Journal of School Health, 76, 87-92.
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Konsep sarapan No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Indikator Sebaiknya sarapan setiap hari sekolah Ya Tidak Sebaiknya sarapan saat hari libur Ya Tidak Jam sarapan 05.00-05.59 06.00-06.59 07.00-07.59 08.00-09.00 Sarapan sebaiknya disiapkan oleh Ibu Anggota keluarga Pembantu Sendiri Sebaiknya didalam keluarga responden mempunyai peraturan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah Ya Tidak Alasan sebaiknya didalam keluarga responden mempunyai peraturan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah Jika Ya a. Agar lebih konsentrasi b. Tidak lemas sehingga dapat melancarkan aktivitas c. Sumber energi dan zat gizi d. Sarapan penting untuk mencegah sakit/tetap sehat e. Menjaga pola makan f. Terbentuk kebiasaan sarapan Jika Tidak a. Tidak terbiasa sarapan b. Tidak setiap hari tersedia sarapan di rumah c. Tidak diwajibkan/diharuskan sarapan Sarapan adalah a. Makan di pagi hari sebagai sumber energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan stamina lebih baik b. Makan di pagi hari untuk mencegah sakit, tetap sehat dan hidup c. Makan di pagi hari untuk memenuhi kebutuhan pokok/kebutuhan tubuh/jasmani d. Makan di pagi hari untuk menghilangkan lapar/supaya kenyang/mengisi perut e. Makan di pagi hari sebagai cadangan energi awal untuk melakukan aktivitas f. Makan diawal hari biasanya di pagi hari berupa makanan dan minuman g. Makan di pagi hari dengan makanan padat (nasi, bubur, roti) h. Makan di pagi hari dengan porsi sedang i. Makan pagi untuk menjaga pola makan j. Makan di pagi hari
n
%
68 0
100 0.0
66 2
97.1 2.9
1 29 35 3
1.5 42.6 51.5 4.4
62 0 0 4
91.2 0.0 0.0 8.8
55 13
80.9 19.1
7 11 4 24 2 7
10.3 16.2 5.9 35.3 2.9 10.3
8 2 3
11.8 2.9 4.4
12
17.6
7
10.3
1
1.5
7
10.3
11
16.2
3
4.4
3
4.4
2 1 21
2.9 1.5 30.9
79
Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan) No 8.
9.
10.
11.
12.
Indikator Jus, susu, teh manis bisa disebut sarapan Ya Tidak Alasan jus, susu, teh manis bisa disebut sarapan Jika Ya a. Memenuhi kebutuhan cairan dan zat gizi b. Sumber energi dan zat gizi c. Mencegah sakit / tetap sehat d. Memperlancar proses pencernaan e. Memberikan kehangatan/ mengisi perut f. Pelengkap sarapan (minuman) g. Membantu pertumbuhan badan Jika Tidak a. Tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi dipagi hari b. Tidak mengandung serat c. Sarapan adalah makanan padat (bubur dan nasi) mengandung karbohidrat d. Tidak termasuk 4 sehat 5 sempurna e. Tidak menyehatkan dan tidak mengenyangkan Jajan di pagi hari bisa disebut sarapan Ya Tidak Alasan jajan di pagi hari bisa disebut sarapan Jika Ya a. Jika jajan seperti makan nasi uduk, bubur, roti b. Menghilangkan rasa lapar/ mengisi perut / memberikan rasa kenyang c. Menyediakan energi dan zat gizi d. Mempercepat sarapan agar tidak terlambat sekolah Jika Tidak a. Tidak menyehatkan/ tidak hygiens b. Jajan adalah snack di siang hari c. Tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari Contoh jajanan yang bisa disebut sarapan a. Bubur ayam b. Bubur ayam dan nasi uduk c. Bubur ayam, nasi uduk, dan lontong d. Bubur ayam, nasi uduk, dan roti e. Bubur ayam, lontong, dan gorengan f. Bubur ayam, lontong, dan roti g. Bubur ayam, roti dan susu h. Lontong dan gorengan i. Lontong dan gorengan, roti j. Lontong, roti, dan biskuit k. Nasi rames dan gorengan l. Nasi rames dan roti m. Nasi goreng dan lontong n. Nasi uduk o. Nasi uduk dan roti p. Nasi uduk dan gorengan, roti q. Nasi uduk, nasi goreng, dan roti r. Nasi, lauk pauk, dan minuman s. Roti t. Roti dan kue u. Roti dan gorengan v. Roti dan susu w. Roti dan mie instan x. Kue
n
%
51 17
75.0 25.0
4 26 7 4 4 5 1
5.9 38.2 10.3 5.9 5.9 7.4 1.5
1 2 10
1.5 2.9 14.7
1 3
1.5 4.4
45 23
66.2 33.8
29 10
42.6 14.7
3 3
4.4 4.4
7 9 7
10.3 13.2 10.3
2 5 7 6 1 5 5 1 1 3 1 1 1 2 3 5 1 1 7 1 2 5 1 1
2.9 7.4 10.3 8.8 1.5 7.4 7.4 1.5 1.5 4.4 1.5 1.5 1.5 2.9 4.4 7.4 1.5 1.5 10.3 1.5 2.9 7.4 1.5 1.5
80
Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan) No 13.
14.
15.
16.
17.
Indikator Contoh sarapan yang baik a. Bubur ayam b. Bubur ayam, nasi uduk, roti c. Bubur ayam, nasi uduk, nasi goreng d. Bubur ayam, nasi uduk, lontong sayur e. Bubur ayam, outmeal dan susu f. Bubur ayam, roti dan susu g. Energen h. Lontong dan roti i. Nasi dan lauk pauk / sayur j. Nasi, lauk pauk/sayur, dan minuman k. Nasi, lauk pauk, dan sayur l. Nasi, lauk pauk, sayur, dan minuman m. Nasi goreng n. Nasi goreng + lauk pauk o. Nasi goreng + roti p. Nasi goreng + roti + susu q. Nasi uduk dan gorengan, roti r. Roti s. Roti dan susu t. Roti, telur, dan susu u. Susu dan telur v. Sereal dan susu w. Susu / teh manis Apakah sarapan responden selama ini menyehatkan Ya Tidak Alasan sarapan responden selama ini menyehatkan Jika Sehat a. Terjaga keamanan/ hygiene b. Makanan mengandung energi dan zat gizi c. Menu sarapan bervariasi setiap hari d. Sarapan lengkap sesuai dengan 4 sehat 5 sempurna e. Sarapan banyak mengandung karbohidrat seperti nasi Jika tidak Sehat a. Banyak mengandung minyak dan lemak seperti gorengan b. Tidak memenuhi kebutuhan gizi c. Jarang atau tidak pernah sarapan d. Kurang hygiene e. Makan makanan pedas f. Menyebabkan gangguan kesehatan atau sakit g. Sering sarapan dengan mie instan Apakah sarapan penting Benar Salah 3 alasan sarapan itu penting atau tidak penting a. Menyediakan energi dan zat gizi, sebagai cadangan energi awal dan mencegah sakit b. Menyediakan energi dan zat gizi, menjaga kesehatan dan mencegah sakit c. Menyediakan energi dan zat gizi, tidak lemas, dan meningkatkan konsentrasi d. Menyediakan energi dan zat gizi, tidak lemas, dan tidak mengantuk e. Menyediakan energi dan zat gizi, meningkatkan konsentrasi, dan memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari f. Memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari, tidak lemas, dan tidak mengantuk
n
%
3 3 1 1 1 2 1 1 7 9 1 2 1 1 1 9 2 1 16 2 1 1 1
4.4 4.4 1.5 1.5 1.5 2.9 1.5 1.5 10.3 13.2 1.5 2.9 1.5 1.5 1.5 13.2 2.9 1.5 23.5 2.9 1.5 1.5 1.5
35 33
51.5 48.5
6 10 3 10 6
8.8 14.7 4.4 14.7 8.8
6 4 7 6 2 3 5
8.8 5.9 10.3 8.8 2.9 4.4 7.4
68 0
100 0.0
4
5.9
4
5.9
8
11.8
4
5.9
2
2.9
2
2.9
81
Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan) No
Indikator Menjaga kesehatan, daya tahan tubuh dan tidak lemas Menjaga kesehatan, mencegah kegemukan dan tidak lemas Menjaga kesehatan, terasa kenyang dan tidak lemas Menjaga kesehatan, mencegah sakit dan tidak lemas Menjaga kesehatan, tidak lemas, dan meningkatkan konsentrasi belajar l. Menjaga daya tahan tubuh, mencegah sakit, dan meningkatkan konsentrasi belajar m. Meningkatkan konsentrasi belajar, mengontrol jajan di pagi hari, dan tidak lemas n. Tidak kelaparan, tidak mengganggu aktivitas, dan lebih berstamina/bersemangat o. Tidak mengantuk, tidak lemas, dan mencegah sakit Pada saat tertentu responden pernah tidak sarapan Ya Tidak Alasan responden tidak sarapan a. Terlalu banyak menghabiskan waktu sehingga takut terlambat b. Kesiangan / bangun telat c. Tidak sempat/ tidak ada waktu sarapan/ terburu-buru d. Malas e. Tidak ada yang menyediakan sarapan/ makanan tidak tersedia f. Tidak merasa lapar dan nafsu makan g. Sarapan justru menyebabkan kondisi tertentu (Ingin buang air besar, mual, sakit perut) h. Tidak terbiasa sarapan Tiga dampak yang ditimbulkan ketika responden tidak sarapan a. Nyeri lambung/maag, mudah mengantuk, dan lemas b. Nyeri lambung/maag, pusing, dan lemas c. Nyeri lambung/maag, sulit mengerti/menerima pelajaran, dan lemas d. Nyeri lambung/maag, aktivitas terganggu, dan lemas e. Nyeri lambung/maag, kelaparan, dan lemas f. Nyeri lambung/maag, pingsan, dan pusing g. Kelaparan, lemas, dan sulit mengerti/menerima pelajaran h. Kelaparan, lemas, dan keringat dingin i. Kelaparan, lemas, dan pusing j. Kelaparan/tidak nyaman, lemas, dan mudah mengantuk k. Lemas, pusing, dan pingsan l. Lemas, pusing, dan sulit mengerti/menerima pelajaran m. Lemas, mudah lupa, dan sulit mengerti/menerima pelajaran n. Pusing, pingsan, dan sulit mengerti/menerima pelajaran o. Tidak merasakan apapun g. h. i. j. k.
18.
19.
20.
n 10 1 3 10 6
% 14.7 1.5 4.4 14.7 8.8
5
7.4
2
2.9
5
7.4
2
2.9
68 0
100 0.0
3 23 23 8 3
4.4 33.8 33.8 11.8 4.4
5 1
7.4 1.5
2
2.9
3 13 14
4.4 19.1 20.6
2 6 2 6 3 3 5 2 5 1 1 2
2.9 8.8 2.9 8.8 4.4 4.4 7.4 2.9 7.4 1.5 1.5 2.9
82
Lampiran 1 Konsep sarapan (Lanjutan) No 21.
Indikator Tiga hal yang dirasakan setelah responden sarapan a. Aktif, tidak merasa nyeri lambung/maag, dan tidak lemas b. Aktif, tidak mudah mengantuk dan segar c. Aktif, mudah mengerti / menerima pelajaran, dan aktivitas lancar d. Segar, semangat, dan berstamina lebih baik e. Tidak merasa nyeri lambung/maag, mudah mengerti / menerima pelajaran, dan tidak lemas/semangat f. Tidak merasa nyeri lambung/maag, tidak mudah mengantuk, dan tidak lemas/semangat g. Tidak merasa nyeri lambung/maag, tidak merasa lapar/kenyang, dan aktivitas lancar h. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak pusing, dan aktivitas lancar i. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan mudah mengerti / menerima pelajaran j. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan tidak mudah mengantuk k. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan tidak merasa nyeri lambung/maag l. Tidak merasa lapar/kenyang, tidak lemas/semangat, dan segar/fit m. Tidak mudah mengantuk, mudah mengerti / menerima pelajaran, dan tidak lemas/semangat n. Pusing, mual, dan sakit perut/ingin buang air besar o. Mudah mengantuk, mual, dan sakit perut/ingin buang air besar
n
%
7 4 6
10.3 5.9 8.8
4 9
5.9 13.2
5
7.4
2
2.9
4 6
5.9 8.8
1
1.5
2
2.9
10
14.7
6
8.8
1 1
1.5 1.5
83
Lampiran 2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari Menu Hari KeKode Contoh
1
2
3
4
5
6
111005 111006 111009 111010 111012 111013 111014 111015 111016 111017 111018 111020 111021 111022 111023 111024 111025 111026 111027 111028 111029 111030 111031 111032 111033 111034 111035 111036 111037 111040 111041 112001 112004 112005 112006 112007 112008 112009 112010 112011 112012 112014 112015 112016 112017 112018 112020 122001 122002 122003 122004 122005 122006 122008 122009 122010 122011
13 13 1 18 0 6 6 20 25 14 18 18 13 16 14 25 13 26 21 16 6 13 22 25 0 13 0 0 13 15 6 16 16 17 13 8 18 13 6 6 16 0 18 16 13 3 14 25 26 13 16 0 13 6 13 0 0
13 0 25 18 18 13 6 14 21 23 18 18 18 14 0 14 6 13 22 22 0 0 23 25 0 18 13 18 13 6 6 18 6 13 18 16 18 13 6 6 13 0 13 16 13 6 18 21 25 13 6 3 13 6 0 21 0
13 0 13 18 2 13 0 13 21 14 22 14 18 0 0 8 6 26 22 13 13 13 23 25 6 6 25 21 13 13 13 16 15 16 18 7 18 13 13 12 16 6 6 6 6 23 8 16 6 18 18 13 13 6 0 23 0
13 0 7 18 2 13 0 18 14 13 0 14 13 0 13 0 18 13 21 16 18 25 22 25 0 18 18 19 0 0 18 18 16 18 18 7 18 6 13 12 18 0 6 25 7 6 18 21 11 18 18 25 13 15 0 13 0
13 0 25 3 7 13 0 18 25 23 14 24 18 0 16 0 13 13 14 18 0 0 20 18 25 22 18 6 13 13 13 23 6 16 6 13 18 13 0 12 13 6 13 6 6 6 6 25 6 25 16 18 13 15 0 0 0
18 13 0 20 6 15 13 18 22 26 0 13 18 6 0 13 6 18 22 18 18 13 20 13 25 18 0 6 0 13 13 13 15 0 16 18 18 18 0 3 13 13 6 6 13 0 13 21 6 23 18 18 13 15 7 0 15
7 (Hari LIbur) 13 13 0 0 2 14 25 22 14 0 22 26 13 0 14 13 8 11 0 25 0 14 23 13 13 22 22 21 2 6 1 13 13 13 18 16 13 0 25 9 18 6 6 6 6 13 6 21 12 19 21 18 0 0 6 13 15
Menu sarapan (Hari sekolah)
Modus (Hari ke 1-7)
13 0 25 18 2 13 6 18 21 14 18 14 18 0 13 13 6 13 22 13 18 13 20 25 25 18 18 6 13 13 13 16 16 16 18 16 18 13 13 12 13 6 6 6 13 6 18 21 6 18 18 18 13 6 0 23 0
13 0 25 18 2 13 6 18 22 14 18 13 18 0 13 13 6 13 22 18 18 13 23 25 25 18 18 6 13 13 13 13 13 13 18 16 18 13 13 12 13 6 6 6 6 6 8 21 6 18 18 18 13 15 0 13 0
84
Lampiran 2 Kebiasaan sarapan contoh selama 7 hari (Lanjutan) Menu Hari KeKode Contoh
1
2
3
4
5
6
122012 122013 122014 122015 122016 122017 122018 122019 122020 122021 122022
3 22 6 0 0 18 25 13 6 0 15
6 22 18 10 6 18 26 13 8 26 13
0 22 18 16 7 14 6 25 6 26 13
13 22 18 14 0 18 13 18 18 0 15
22 22 25 13 6 18 18 0 6 26 0
6 22 6 0 6 18 0 18 25 26 13
7 (Hari LIbur) 6 9 2 20 6 18 25 0 0 13 18
Menu sarapan (Hari sekolah)
Modus (Hari ke 1-7)
6 22 18 13 6 18 13 18 6 26 13
6 22 18 13 6 18 18 18 6 26 13
Keterangan : Kode Menu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Menu Sarapan Tidak sarapan Makanan Lengkap ( Nasi, Lauk, Sayur/ Buah, dan minuman) Nasi + lauk pauk + sayur Nasi + lauk pauk + minuman Nasi + sayur + jajanan industry Nasi + sayur + jajanan tradisional Nasi + lauk pauk Nasi + sayur Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + minuman Nasi + lauk pauk + makanan sepinggan + jajanan tradisional Nasi + lauk pauk + jajanan industri Nasi + lauk pauk + jajanan tradisional Makanan sepinggan Makanan sepinggan + minuman Makanan sepinggan + nasi Makanan sepinggan + lauk pauk Makanan sepinggan + buah Makanan sepinggan + jajanan tradisional Makanan sepinggan + jajanan industri Makanan sepinggan + jajanan tradisional + minuman Minuman (teh manis, teh gelas, teh kotak, frutang, kopi susu, susu) Minuman + jajanan tradisional Minuman + jajanan industri Minuman + Jajanan tradisional + buah Jajanan tradisional (kue- kue dan makanan ringan hasil olahan rumah tangga) Jajanan industri (makanan ringan hasil industri)
85
Lampiran 3 Hasil uji korelasi karakteristik, ketersediaan, anemia dan gemuk Variabel Hasil uji korelasi 2 x Kebiasaan sarapan df Anemia Asymp. Sig. 2 x Kebiasaan sarapan df Gemuk Asymp. Sig. 2 x Pekerjaan Ibu df Ketersediaan Asymp. Sig. *Signifikan pada p-values (p<0.05)
Lampiran 4 Hasil uji korelasi karakteristik dengan kebiasaan sarapan Variabel Kebiasaan sarapan Pendidikan Ibu x2 df Asymp. Sig. Pekerjaan Ibu x2 df Asymp. Sig. Pendapatan x2 Orangtua df Asymp. Sig. Jumlah Anggota x2 Keluarga df Asymp. Sig. *Signifikan pada p-values (p<0.05)
b
25.941 1 0.000* b 42.882 1 0.000* a
39.765 1 0.000*
61.765 b 3 0.000* 1.824E24a 4 0.000* 39.647b 3 0.000* 91.642b 9 0.000*
Lampiran 5 Hasil Uji korelasi pengetahuan gizi, kebiasaan, kualitas sarapan, dan anemia Variabel Hasil uji korelasi Pengetahuan Gizi Pearson Correlation -0.134 Kualitas Sarapan p-value 0.275 N 68 Kebiasaan Sarapan Pearson Correlation 0.539 Kualitas Sarapan p-value 0.000** N 68 Kualitas Sarapan Pearson Correlation -0.024 Status Anemia p-value 0.844 N 68 ** Signifikan pada p-values (p<0.01) Sig. (2-tailed)
86
Lampiran 6 Harga dan kandungan energi dan zat gizi sarapan Jenis Makanan Makanan Sepinggan Bakso Bubur ayam Bubur kacang ijo Sereal (Energen) Lontong sayur Mie ayam Mie instan Nasi uduk Roti bakar isi cokelat Roti sandwich isi cokelat Jajanan Bakwan Gemblong Keripik singkong Kue bolu Lontong isi kentang Lontong isi oncom Nasi ketan abon Pastel Pisang goreng Pisang molen Pisang coklat (piscok) Risoles Singkong goreng Tahu isi tauge Tempe tepung goreng Ubi goreng Biskuit Kacang atom Roti manis Sosis so nize Wafer Minuman Frutang Susu UHT tetrapack Susu kental manis (sachet) Susu bubuk full cream (sachet) Teh gelas
Harga (Rp)
Berat (g)
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
4.000 3.000 2.500 1.000 5.000 5.000 1.500 3.000 2.000 2.500 2.950
236.0 231.0 100.0 30.0 125.0 180.0 80.5 230.0 60.0 49.0 132.2
216 196 215 130 234 184 324 583 204 190 247
7.2 7.6 12.4 1.0 4.1 11.2 7.5 10.0 4.1 4.0 6.9
3.8 3.0 9.9 3.5 4.7 7.0 12.7 48.3 7.7 8.0 10.9
38.6 32.8 19.0 24.0 44.5 18.9 44.0 26.8 32.0 26.0 30.7
500 500 500 1.500 1.000 1.000 1.500 1.000 750 750 1.000 500 500 500 500 500 781 500 500 2.000 750 500 850
40.0 38.0 21.0 47.0 46.0 46.0 77.0 58.0 83.0 29.0 79.0 35.0 70.0 35.0 28.0 35.0 47.9 12.0 14.0 54.0 20.0 20.0 24.0
112 104 101 97 85 97 159 178 183 61 167 117 200 77 163 56 122 42 68 147 90 32 76
3.3 0.6 0.5 2.1 1.5 1.5 5.2 2.6 1.9 0.5 2.0 1.8 0.7 2.4 3.4 1.3 2.0 1.0 1.2 4.5 2.9 0.4 2.0
4.1 2.1 4.1 0.9 1.3 1.8 3.9 7.7 1.9 4.5 9.6 1.2 12.6 5.6 11.4 0.5 4.6 1.3 3.7 3.8 8.5 1.4 3.7
15.6 21.1 15.5 20.2 16.9 18.7 26.3 24.6 5.3 5.3 21.8 24.7 19.6 4.9 11.7 19.4 17.0 6.5 8.1 24.4 0.5 4.4 8.8
1.000 4.000 2.000 3.000 1.000 2.200
150.0 250.0 30.0 27.0 190.0 129.4
35 190 103 130 70 106
0.0 8.0 2.5 7.0 0.0 3.5
0.0 5.0 3.0 7.0 0.0 3.0
9.0 28.0 16.5 11.0 17.0 16.3