“Keberagaman Adalah Kekayaan yang Harus Dirayakan” ; Soekarno
Indonesia adalah negara yang berlimpah ruah keberagaman. Agama, aliran kepercayaan‐ agama lokal ‐, yang telah ada sejak dulu kala, merupakan bagian penting kehidupan di Indonesia.
Konstitusi UUD 1945, sejumlah instrumen nasional dan internasional, secara tegas dan terang memberikan jaminan perlindungan kebebasan beragama/ berkepercayaan itu. Namun begitu, para penganut agama/ kepercayaan belum merdeka sepenuhnya dalam beragama/ berkepercayaan. Dari tahun ke tahun berulang peristiwa‐peristiwa kekerasan, pelanggaran berbasis agama dan kepercayaan. Negara bersikap tidak jelas. Sejumlah kasus berbasis agama/ kepercayaan didiamkan berlarut‐larut tanpa penyelesaian yang pasti. Korban dikorbankan. Hak‐hak mereka terlantar. Pembiaran oleh negara itu menjadi semangat bagi massa intoleran yang gemar menebar kebencian, merusak kedamaian, memecah belah persatuan, dan merasa paling benar. Korban tidak diam. Dengan tetap berpegang teguh pada keyakinannya, terus memperjuangkan hak‐haknya dalam beragama. Bersama SOBAT KBB, korban terus menyuarakan pentingnya tenggangrasa, semangat dan nilai‐nilai toleransi , serta meghormati dan menghargai perbedaan. Berikut adalah profil singkat beberapa agama/ kepercayaan lokal, dan masalah‐masalah yang hingga kini masih mereka hadapi.
Teks dan foto ditulis dan diambil oleh Adiani Viviana –Elsam, dalam temu korban‐pendamping KBB yang diselenggarakan oleh SOBAT KBB pada awal 2014 di Bogor Jawa Barat.
BUDI SANTOSO : Sesepuh Penganut Ajaran Sedulur Sikep Kudus •
Komunitas penganut ajaran Sedulur Sikep, merupakan komunitas penganut keyakinan yang telah lama ada di Indonesia. Kita berhutang budi pada komunitas keyakinan ini ; catatan sejarah menorehkan, bahwa pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, komunitas ini secara tegas dan terang mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah seperti menolak membayar pajak, dan menolak segala peraturan yang dibuat oleh Belanda. Penganut ajaran ini berada di beberapa titik daerah, diantaranya Kudus, Blora, dan Bojonegoro.
•
Salah satu ajaran Sedulur Sikep adalah memegang pedoman bahwa agama adalah suatu pegangan hidup. Sedulur Sikep tidak membeda‐bedakan agama, oleh karena itu Sedulur Sikep tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Tabiat dalam hidup merupakan hal yang penting bagi penganut kepercayaan ini.
•
Selain mendapat penolakan masyarakat, keberadaan penganut Sedulur Sikep juga tidak diakui oleh negara. Hingga kini, mereka masih menghadapi berbagai masalah. Bahkan, anak‐anak yang lahir dari orang tua penganut Sedulur Sikep, dianggap sebagai anak yang lahir di luar pernikahan. Karena akta kelahiran anak akan berbunyi “telah lahir anak luar kawin dari”. Diskriminasi terus berlanjut ; selain hak menganut keyakinan, juga pendidikan. Anak‐anak tersebut harus mengikuti ujian agama yang ada di sekolah. Sekolah tidak mengakomodir siswanya untuk melakukan ujian agama sesuai agama atau keyakinan yang mereka anut.
•
“Yaa, begitulah nasib kami Mbak,sampai sekarang tidak diakui”, kata Pak Budi Santoso pada 27 Maret 2014 lalu saat pak Budi dan saya duduk‐duduk di teras samping gedung YLBHI sambil memandangi serumpun pohon bambu.
•
SERVASIUS WUE : Pengurus Persatuan Warga Sapta Darma Sapta Darma adalah ajaran murni kerokhanian yang sudah terdaftar sejak lama di Kementrian Dalam Negeri Indonesia. Ajaran ini untuk pertama kalinya diterima oleh Hardjosapuro sebagai wahyu Allah pada tahun 1952 di Pare, Kediri‐Jawa Timur, bukan merupakan pecahan atau cabang dari agama lain. Menurut Pak Servasius, ajaran Sapta Darma sudah tersebar di 22 provinsi di Indonesia, dengan sekitar 4 juta penganut. Seperti ajaran agama/ kepercayaan lainnya, ajaran Sapta Darma juga berisi ajaran kebaikan, kasih sayang, perdamaian. Penganut Sapta Darma wajib menjalankan wewarah tujuh, diantaranya adalah “tetulung marang sapa bae yen perlu kanti ra nduwe pamrih apa bae kejaba mung rasa welas lan asih ‐ menolong siapa saja yang membutuhkan tanpa pamrih hanya berdasarkan rasa cinta dan kasih”. Pada 2008, Sanggar tempat Ibadah Sapta Darma di Yogyakarta diserbu dan dirusak massa intoleran. Hingga kini penganut Sapta Darma juga masih mengalami kesulitan dalam mendirikan Sanggar tempat ibadah. Di lain hal, penganut Sapta Darma juga masih harus berjuang agar ajaran kerokhanian Sapta Darma dapat masuk dan diterima dalam kurikulum pendidikan sekolah, sehingga anak‐anak penganut Sapta Darma bisa mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya.
DEWI KANTI SETYANINGSIH: Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan Sunda Wiwitan, adalah kepercayaan tradisi Sunda lama sebelum datangnya agama‐agama lain ke Indonesia. Kepercayaan ini meyakini tentang Sang Pencipta, lingkungan dan alam sekitarnya. Kata “sunda” berarti damai dan cahaya, jadi bukan hanya bermakna etnis Sunda. Sedangkan kata “wiwitan” berarti permulaan atau awal. Meskipun kepercayaan Sunda Wiwitan telah ada sejak dulu kala, diskriminasi tetap saja melingkupi para penganut kepercayaan ini. Menurut Dewi, dengan istilah kepercayaan saja, mereka masih dianggap tidak bertuhan. Di sekolah‐sekolah formal juga mengarahkan bahwa kepercayaan itu bukan agama. Pengkebirian banyak terjadi melalui sistem pendidikan. Perkawinan adat mereka juga dianggap sebagai perkawinan liar. Karena tidak mau dicatat di KUA. Menurut Dewi, minoritas ini bisa mandiri tanpa Negara. Ia berharap semua kalangan terutama masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi bisa saling menguatkan keberagaman, dan saling menguatkan. Ia juga mengingatkan agar kita bisa terus berusaha mengingatkan aparatur Negara yang sudah mati nuraninya. Masih banyak perlakuan diskriminasi yang dialami oleh kelompok ini.
NASRUDDIN : Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat AHMADIYAH juga agama. Agama apa? Agama Islam. Ahmadiyah juga bersyahadat. Jemaat Ahmdiyah adalah orang Islam. Hingga saat ini pengikut jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia berjumlah kurang lebih 220 juta orang yang tersebar di 181 negara. Ahmadiyah berdiri di Indonesia sejak tahun 1925. Melalui penetapannya tanggal 13 Maret 1953, pemerintah Indonesia cq. Menteri Kehakiman RI Nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam tambahan berita negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26, diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama RI tertanggal 11 Mei 1968 Ahmadiyah diakui sebagai sebuah Badan Hukum. Begitu juga Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Ahmadiyah, telah disahkan secara resmi oleh menteri kehakiman sebagai badan hukum. Di Indonesia dari tahun ke tahun Ahmadiyah menjadi kelompok paling rentan kekerasan dan paling banyak mengalami tindak kekerasan baik oleh aktor negara maupun non-negara. Jemaat Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat sudah mengalami setidaknya 13 kali amuk masa, adapula yang dibunuh pada tahun 2001, dari kasus penyerangan ini tidak ada satupun yang diproses secara hukum hingga tuntas. Mereka sangat sedih dan menyayangkan itu ; tinggal di negara hukum tetapi hukum tidak berjalan. Lebih menyedihkan lagi, setelah 69 tahun Indonesia Merdeka, Jemaat Ahmadiyah di NTB justru harus tinggal di pengungsian sejak 2006 hingga kini. Karena mereka penganut Ahmadiyah, mereka harus mengungsi di negeri sendiri. Pada 2006 itu, mereka diusir, mereka mengungsi di Transito. Tinggal di pengungsian selama bertahun-tahun menimbulkan tidak terpenuhinya pula hak-hak dasar yang lain ; hak akan tempat tinggal, hak memperoleh pendidikan, hak atas air bersih, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak lain. M. Natsir, Mubaligh Ahmadiyah NTB, melalui syair yang ia ciptakan menggambarkan bagaimana pengungsi Ahmadiyah Transito bertahan hidup dan berjuang keras mempertahankan haknya. “Syair ini sering kami nyanyikan di pengungsian, sebagai penghibur diri”, kata Bang Nas, begitu biasanya ia disapa.
“Simponi Anak Negeri” ; syair ciptaan Nasruddin sebagai pelipur sedih dan penyemangat pengusngsi
MAMA ENDHEK : Penganut Kepercayaan Kaharingan Kepercayaan Kaharingan adalah agama asli Indonesia. Masyarakat Dayak meyakini bahwa agama Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan alam semesta. Sejak tahun 1980, agama Kaharingan sudah berada di bawah naungan agama Hindu yang diakui negara. Namun demikian, antara Kaharingan dan Hindu adalah dua kepercayaan/ agama yang berbeda. Kaharingan berarti hidup atau tumbuh. Dimaksudkan sebagai agama suku yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Penganut kepercayaan Kaharingan juga belum sepenuhnya mendapatkan kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai Penganut Kaharingan. Masih adanya stigma masyarakat yang menganggap Kaharingan bukan sebuah agama/ kepercayaan agama, menjadi cikal bakal perlakuan diskriminasi. Misalnya dalam mendapatkan lapangan pekerjaan dan pendidikan, mereka masih tersisihkan. Foto : Berkacamata ‐Margareta Wahyuretno (umat Katolik NTB) bersama Mama Endhek
ABDUL GAOS : Pengurus Pendirian Masjid di Batuplat Kupang, Nusa Tenggara Timur Agama Islam adalah agama minoritas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Umat Islam di kota yang dihuni oleh suku Timor, Sabu, Flores, Ambon, Tionghoa, Jawa pendatang ini, juga mengalami diskriminasi. Muslim di Batuplat. Hak atas rumah ibadah mereka hingga kini belum terpenuhi. Pendirian Masjid Nur Musofir di Batuplat dihentikan dan belum bisa dilanjutkan karena Surat Rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama dinilai cacat. Selain itu surat dukungan warga sekitar dan surat dukungan jumlah umat juga menjadi alasan tidak dilanjutkannya pembangunan masjid ini. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, menganjurkan bahwa pembangunan sebuah rumah ibadah minimal harus mendapatkan persetujuan dari sekurang‐kurangnya 90 kepala keluarga (KK) di sekitar lokasi pembangunan rumah ibadah. Hingga kini belum ada penyelesaian konkrit terhadap permasalahan ini. Sudah sejak 2008 kasus ini terkatung‐katung. Pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan kebebasan beragama/ berkepercayaan. “Kasus ini seperti didiamkan mengendap. Setelah sekian lama, tidak ada juga penyelesaiannya”, kata Abdul Ghaos. Di lain sisi, menurut Yohanes Seo, seorang non‐muslim asli NTT yang bekerja sebagai jurnalis, kehidupan sehari‐hari antara muslim dan non muslim di Batuplat ataupun Kupang, rukun dan baik‐baik saja. Kondisi itu misalnya dapat dilihat pada aktivitas buka bersama yang dilakukan oleh Komunitas Muda Lintas Agama (Kompak) pada bulan Ramadhan tahun 2013 lalu. Bahkan para pemuda dan pemuka agama lintas iman ini juga berkomitmen untuk membangun NTT secara damai. Pemerintah dan negaralah yang telah absen dan gagal dalam mengelola dan melindungi kebebasan beragama. •
Syiah, adalah sebuah Mazhab dalam Islam. Di Sampang‐Madura, ketegangan antara Syiah dan Sunni sudah terjadi sejak tahun 2004. Pada 29 Desember 2011, kaum Syiah di Sampang mengalami pengusiran oleh massa dari kelompok Sunni. Sekitar 300 jiwa mengungsi di GOR Sampang. Kekerasan, pengusiran, pembakaran rumah menimpa mereka saat itu. Dan sejak peristiwa itu, berbagai dampak negatif harus ditanggung oleh kaum Syiah khususnya di Sampang. Mulai dari cap sesat, kafir, intimidasi, kekerasan, larangan berkumpul keagamaan, hingga pendidikan pesantren. Belum lagi, dampak‐dampak yang harus mereka tanggung di pengungsian, misalnya kesulitan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, hak tempat tinggal, ekonomi. Pada 26 Agustus 2006 peristiwa kekerasan terhadap kaum Syiah terjadi lagi. Kelompok Sunni kembali menyerang Syiah. Puluhan orang mengalami luka‐luka, 10 orang mengalami luka berat, dan satu orang meninggal dunia. Kelompok penyerang juga merusak dan membakar puluhan rumah penganut syiah termasuk rumah pimpinan Syiah Sampang ; Ustadz Tajul Muluk. Meskipun peristiwa tersebut diproses secara hukum, namun tidak ada keadilan bagi warga Syiah. Putusan pengadilan membebaskan pelaku kekerasan. Pengadilan gagal memberikan perlindungan hak dasar‐kebebasan beragama warga negaranya. Pemaksaan tobat melalui kegiatan pembinaan dengan tujuan untuk penyadaran dan peningkatan keamanan terhadap penganut Syiah yang dilakukan oleh Kementrian Agama dan Pemkab Sampang juga merupakan bentuk pemaksaan pindah agama yang tidak sesuai keyakinannya. Foto : Kiri : Nike Amelia/ Syiah IJABI ; Kanan : Syafiuddin/ Syiah Sampang
GOPAS SINAGA : Agama Parmalim Medan Parmalim, adalah agama asli suku Batak atau disebut juga Agama Malim. Agama ini sudah ada sejak 497 Masehi atau 1450 tahun Batak. Meskipun Permalim merupakan agama Monotheis, namun Parmalim juga memiliki sekte‐sekte, diantaranya yaitu : Parmalim sekte rasulnya Guru Somalaing berkedudukan di Balige, Parmalim sekte di Huta Tinggi, Laguboti, yang dipimpim Rasul Raja Mulia Naipospos. Parmalim terutama banyak dianut oleh suku Batak Toba di Sumatera Utara. Ajaran Parmalim mengutamakan komunikasi pada alam sebagai dasar eksistensi manusia sebagai keseimbangan kehidupan. Sejarah adalah kebenaran nyata. Meskipun sejarah tentang Parmalim telah secara terang menunjukkan keberadaan Parmalim, namun penolakan bahwa Parmalim adalah sebuah kepercayaan atau agama tetap terjadi di masyarakat, dan negara. Pada 26 November 2013, DPR mengesahkan revisi UU Adminduk. Pasal 64 ayat (1) UU ini mewajibkan setiap warga negara untuk memilih salah satu agama yang diakui pemerintah sebagai tanda identitias diri di KTP. Penganut kepercayaan Parmalim menolak revisi UU ini. Karena hal tersebut sama dengan pemaksaan untuk memilih agama yang tidak diyakininya. Diskriminasi terkait rumah ibadah kepercayaan Permalim di Sumatera Utara juga terjadi. Mereka masih kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah karena adanya pembatasan atas hak ini.
Bertukar pengalaman dan pemikiran antar korban lintas iman
Bertukar pengalaman ; hambatan dan tantangan dalam advokasi KBB antar lembaga pendamping
Bertukar pengalaman antar lembaga pendamping ; hambatan dan tantangan dalam advokasi KBB
saling menguatkan, memupuk masa depan, berkomitmen untuk terus menjaga dan menyebarkan toleransi
Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Kita ada karena kita berbeda. Kita Setara!