KAUM MISKIN BERSUARA 17 CERITA TENTANG KORUPSI
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia Ratih Hardjono dan Stefanie Teggemann (editor)
Daftar Isi v vii ix
Kata Pengantar Pendahuluan Ucapan Terima Kasih
CERITA-CERITA TENTANG KORUPSI B A G I A N I : T I N DA K A N K E L O M PO K -
KORUPSI DI SEKOLAH DAN BIRO PENYA LUR TENAGA K E R JA
3 6 10 15 18 20 24
Naik Kelas, Uang Dulu Tubuh Kecil, Beban Besar Nasib Pengungsi: Janji Tinggal Janji Siswa Protes, Guru Ngeles Beasiswa Murid Dipakai Guru Bayar Dulu, Bekerja Belum Tentu Bedah Cerita: Tindakan Kelompok
BAGIAN II: PENGETAHUAN ADALAH KEKUATAN MENINGKATKAN AKSES TERHA DAP INFORMASI DA LA M PELAYANAN MASYARAKAT
29 34 37 42
Uang Sampah: Payah Informasi PLN, Au Ah Gelap Urusan Tanah Gila Nian Bedah Cerita: Meningkatkan Akses terhadap Informasi
iii
BAGIAN III: MENINGKATKAN T RANSPARANSI PENGELOLAAN UANG DI LEVEL MASYARAKAT
45 49 52 56 60
Keuangan RW Beres Nggak Ya? Nasib Teluk Bayur di Makassar Diam Saja, Nanti Dapat Bantuan Beras Susut Lurah Senyum Bedah Cerita: Meningkatkan Transparansi dan Partisipasi
B A G I A N I V : UA NG SUA P I LEG A L I N T E RA KS I D E NG A N PO L I S I
63 67 72 78 82
Lubang Uang di Sel Polisi Damai itu Indah, Asal…. Bisa Bebas Asal Bayar “Jalan Belakang” Korps TNI Bedah Cerita: Kejelasan Hukum, Perilaku Moral dan Pembaruan Tata Pemerintahan
BAGAIMANA KORUPSI MERUGIKAN KAUM MISKIN 89 91 98 104
Tingkat Luasnya Korupsi Biaya Korupsi Mengapa Orang Korupsi Cara-cara Mengurangi Korupsi
LA M P I RA N L1 L3
iv
Kasus-kasus Korupsi Berdasarkan Sektor Bibliografi
Kata Pengantar “Orang yang memperhatikan dan menghargai hukum kehidupan akan lebih berbahagia daripada orang yang mengabaikannya, bahkan jika orang yang mengabaikannya itu menjadi kaya sekalipun.” (Pepatah Jawa)* KKN (korupsi, kolusi and nepotisme) merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi masyarakat Indonesia. Korupsi mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah dan menghambat pembangunan sosial dan ekonomi. Walaupun demikian hanya sedikit yang kita ketahui tentang bagaimana korupsi merugikan kaum miskin dalam masyarakat kita. Buku ini merupakan suatu hasil kerja Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dan Bank Dunia. Buku ini mencoba memahami dari sudut pandang kaum miskin sendiri bagaimana korupsi bersentuhan dengan hidup mereka dan bagaimana hal itu mempengaruhi mereka. Untuk dapat belajar dari kaum miskin tim pelaksana proyek mengadakan kunjungan ke daerah-daerah perkotaan di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar dan mendorong kaum miskin untuk berbicara tentang korupsi sebagaimana telah mereka alami sendiri. Cerita-cerita yang dipaparkan di sini memperlihatkan luasnya perembesan korupsi dalam hampir semua segi kehidupan kaum miskin, mulai dari sekolah sampai pengumpulan sampah dan program-program jaring pengaman sosial. Buku ini juga memperlihatkan adanya kemauan dari kaum miskin untuk berbicara dan berbagi wawasan serta pandangan mereka. Cerita-cerita yang dituturkan mengungkapkan kompleksitas korupsi dan berbagai akibat lebih lanjutnya - ekonomi, sosial, moral. Cerita tersebut juga memperlihatkan ketidakberdayaan mereka dalam berhadapan Pepatah asli dalam bahasa Jawa: ‘Sak beja-bejane wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspada.“ Bahasa Indonesia: “Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih bagus orang yang ingat dan waspada.” *
v
dengan pejabat-pejabat dan para pemimpin masyarakat, di mana gabungan dari kurangnya informasi dan pengetahuan ditambah rasa ketergantungan yang tinggi terhadap pihak-pihak yang menyediakan pelayanan biasanya membuat kaum miskin tidak berani menyuarakan keprihatinan-keprihatinan mereka. Buku ini memberikan suatu kesempatan untuk mendengarkan suara kaum miskin. Cerita-cerita yang dihadirkan di sini adalah cerita yang telah banyak dialami sendiri oleh sebagian besar pembaca. Buku ini disusun atas dasar keyakinan bahwa kita dapat bergerak maju dari ketidakpedulian menuju tindakan dan bahwa kita dapat menemukan pemecahan atas permasalahan korupsi dan menerapkannya. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk membantu “memikirkan pemecahan” dan mendorong terjadinya tindakan. Kisah-kisah korupsi digolongkan berdasarkan “pemecahan”, yakni di mana pemecahan mendasar yang serupa diharapkan dapat merubah hasil dari pengalaman tersebut. Kehadiran buku ini diharapkan dapat membangkitkan kehendak untuk bertindak dan memulai dialog untuk mencari pemecahan atas masalah korupsi di antara para pengambil keputusan, pelaku perubahan dan masyarakat sendiri beserta LSM dan media massa. Demokrasi telah membuka jendela peluang untuk menuntut hak dan mendesak diadakannya pembaruan tata pemerintahan. Tantangannya saat ini ialah bagaimana memanfaatkan kebebasan dan peluang-peluang baru ini untuk menciptakan perubahan yang dapat mengurangi beban yang ditimbulkan oleh korupsi pada kaum miskin. Erna Witoelar Ketua Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
vi
Pendahuluan Buku ini lahir dari suatu proyek penelitian terapan atas bagaimana kaum miskin memandang korupsi dan bagaimana korupsi merugikan kehidupan mereka. Proyek ini dilaksanakan bersama oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dan Bank Dunia. Kontribusi Bank Dunia disalurkan terutama melalui Dana Perwalian Tata Pemerintahan dari Pemerintah Denmark. Temuan-temuan yang disajikan dalam buku ini lahir dari penelitian kuantitatif dan partisipatif yang dilakukan pada paruh pertama tahun 2001. Analisis kuantitatif pada buku ini didasarkan pada survei 1250 rumah tangga di seluruh Indonesia sebagai bagian dari “Studi Diagnostik atas Korupsi di Indonesia” oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Studi ini menyajikan data tentang bagaimana kaum miskin memandang korupsi, penyebab korupsi dan biaya finansial yang ditimbulkannya, dalam perbandingan dengan kelompok yang tidak miskin. Ini masih dilengkapi lagi dengan Penelitian Partisipatif yang mempergunakan teknik Penilaian Korupsi Partisipatif (Participatory Korupsi Assessment - PCA) 1 dengan masyarakat miskin di tiga kota, yakni Yogyakarta, Jakarta dan Makassar. Di setiap lokasi, tim proyek berbicara dengan kelompok yang terdiri dari 30-40 orang miskin 2, laki-laki maupun perempuan, tentang pengalaman mereka menyangkut korupsi, dan tentang persepsi
Tentang penjelasan metodologi PCA, lihat Holloway dan Teggeman, 2002, tersedia melalui Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan 1
Dalam memilih kaum miskin untuk penelitian ini digunakan definisi kemiskinan menurut penduduk setempat. Walaupun kriterianya berbeda dari satu tempat ke tempat lain, sangatlah mengagumkan bahwa anggota masyarakat dapat dengan jelas membedakan siapa yang dapat digolongkan sebagai kaum miskin dan siapa yang tidak tanpa banyak perdebatan. 2
vii
Pendahuluan
serta gagasan mereka untuk memecahkan masalah ini. Kaum miskin didorong untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi, sementara tim duduk dan mendengarkan. Ini kemudian diikuti wawancara pribadi dengan anggota-anggota masyarakat untuk semakin mendapatkan gambaran dalam hal apa dan bagaimana korupsi mempengaruhi mereka. Banyak contoh menarik tentang korupsi muncul dan yang terbaik dari antara mereka dikumpulkan dalam buku ini. Dengan cara seperti ini pembaca akan dapat melihat langsung kehidupan kaum miskin dan memperoleh pemahaman yang menyeluruh akan bagaimana korupsi merugikan mereka. Dan ini akan memotivasi para peserta maupun peneliti untuk tetap menjalin hubungan bahkan setelah penelitian lapangan usai, yang dengan demikian akan menghubungkan antara penelitian dan tindakan. Namun di atas segalanya buku ini mencoba menyalurkan suara kaum miskin dan menyampaikan keprihatinan-keprihatinan mereka secara lebih langsung kepada pihak-pihak yang wajib memikirkan nasib mereka.
viii
Ucapan Terima Kasih Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia dan Bank Dunia sangat berhutang budi kepada sejumlah pribadi yang telah menyumbangkan komitmen dan keahlian mereka hingga terciptanya buku ini. Tim proyek dipimpin oleh Stefanie Teggemann di bawah bimbingan Sarwar Lateef dan Richard Holloway. Analisis data dari Survei Diagnostik atas Korupsi yang dilakukan Kemitraan dikerjakan oleh Menno Pradhan. Penyusunan teknik penilaian korupsi partisipatif telah banyak diperkaya oleh pengalaman Ratna I. Josodipoero yang luas. Kerja lapangan di Yogyakarta, Jakarta and Makassar dilaksanakan oleh Yayasan Bina Swadaya (pimpinan tim: Y. Arihadi) dan LBHP2I (pimpinan tim: Christina Joseph). Irfani Darma memberikan dukungan yang tak ternilai selama kerja lapangan dan Alexander Irwan menyusun studi-studi kasus dari hasil-hasil wawancara. Sentuhan akhir ditambahkan oleh Indra Piliang yang mengolah lebih lanjut studi-studi kasus menjadi bentuk yang lebih matang. Ibnoe Marsanto menyumbangkan kartun-kartunnya. Danty Kromodimoeljo dan Torben Brandt membantu mengembangkan konsep buku dan strategi media melalui ide-ide cemerlang mereka. Ratih Hardjono menyumbangkan strategi diseminasi untuk karya ini. Tim pelaksana sangat berterima kasih atas kerja dewan penasehat yang terdiri dari Elizabeth Carriere, Ben Dickinson, Scott Guggenheim, Paul McCarthy, Soni Sadoko dan Al Wight.
ix
Perin gatan Cerita-cerita yang termuat di dalam buku ini disusun berdasarkan wawancara dengan anggota-anggota masyarakat miskin di kota Yogyakarta, Jakarta dan Makassar. Mereka tidak dimaksudkan sebagai perwakilan dari seluruh Indonesia. Begitu pula kisah-kisah yang mereka ceritakan tidaklah mewakili daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka mewakili sekumpulan pengalaman masyarakat miskin seperti mereka tuturkan sendiri. Cerita-cerita ini mencoba memperkeras suara mereka. Nama-nama yang dicantumkan di dalam cerita adalah nama samaran untuk melindungi kerahasiaan orang-orang yang telah berani bersuara.
x
Bagian I T I N DA K A N KELOMPOK
Kor u p si di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Naik Kelas, Uang Dulu… Fitri sebetulnya sudah lama ingin bekerja. Dengan bekerja, bukan hanya ia bisa meringankan beban keluarga, melainkan juga sanggup mengontrak rumah yang lebih layak. Tapi, keinginan itu belum kesampaian. Anak-anaknya masih kecil, belum bisa mandi sendiri. Fitri hanya bisa menunggu, sampai usia anakanaknya bertambah dewasa. Sekalipun, biaya hidup makin tinggi, termasuk biaya sekolah salah satu anaknya. Sari, anak sulungnya, sudah duduk di kelas I SD. Mirna, anak keduanya, berumur 2 tahun. Bagi kedua anak itu, sama sekali tidak ada tempat bermain di dalam rumah petak sempit satu ruangan dengan ukuran 4 x 4 meter itu. Saking sempitnya, menerima tamupun sulit, sehingga ‘ngobrol’ sering harus dilakukan di luar, di gang sempit di depan rumah. Ada bangku-bangku kayu yang ditaruh disana. Fitri, warga asli Jakarta yang lahir 28 tahun lalu, hanya mengenyam pendidikan terakhir di Madrasah Tsanawiyah, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan jenjang pendidikan itu, Ia yakin bisa memperoleh pekerjaan untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi, apa mau dikata, kedua anaknya yang masih kecil itu belum bisa ditinggal tanpa ada yang menjaga di rumah kontrakan itu. Penghasilan keluarganya tergantung pada suaminya, Dodo. Berkat ijasah dari Madrasah Aliyah (setingkat lebih tinggi dari sekolah Fitri), Dodo berhasil memperoleh pekerjaan sebagai buruh pabrik. Pendapatan Dodo rata-rata mencapai Rp. 600,000, - sebulan. Dengan pendapatan itu, keluarga Fitri harus memenuhi kebutuhan rutin keluarga yang rata-rata mencapai Rp. 20.000,- perhari. Berarti penghasilan suaminya pas-pasan untuk kebutuhan keluarga. Fitri bersyukur karena kadang-kadang suaminya yang mempunyai 3
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
pengetahuan agama diminta memberikan ceramah di pabriknya. Dari kegiatan ceramah ini, keluarga Fitri memperoleh tambahan penghasilan untuk meringankan beban keluarga yang berat. Akan tetapi, kalau ada pengeluaran tambahan, penghasilan ekstra itu belum bisa menutupi. Makanya, yang namanya pengeluaran tambahan selalu menakutkan bagi Fitri. Soalnya Fitri harus mencari pinjaman dari kas perkumpulan RT yang dikenai bunga sangat tinggi, yaitu 10% per bulan. Tapi, masalah selalu datang. Pagi itu, Fitri mengalami peristiwa yang sangat mendongkolkan hatinya. Ia merasa sangat marah, sampai ke ubun-ubun. Tapi pada saat yang sama dia merasa tidak berdaya. Akhirnya Ia terpaksa, mau tidak mau, mengeluarkan uang ekstra dari dompetnya. Dia tahu persis bahwa nanti pengeluaran tambahan itu harus ditutup dengan pinjaman berbunga tinggi. Pagi itu, 29 Juni 2001, Fitri buru-buru membereskan rumah, memberi makan Mirna, lalu menggendongnya ke jalan raya untuk mencari angkot. Hari itu sebetulnya menjadi hari bersejarah bagi Sari, karena menerima rapor kenaikan kelas. Fitri tentu juga senang. Dia datang dengan hati berbunga, ke SD tempat anaknya sekolah. Tapi apa yang ia dapat? Sebelum guru kelas memberikan rapor Sari, guru itu memberi informasi. “Ada seorang murid sedang berduka cita. Orang tuanya meninggal. Sebagai wujud solidaritas, kami minta semua wali murid yang mengambil rapor anaknya memberikan bantuan kepada anak yang berduka itu. Sekalipun bersifat sukarela, kami tidak bisa memberikan rapor sebelum wali murid memberikan sumbangan,” kata Guru itu. Fitri tentu ingin menyumbang. Ia sudah menyiapkan sejumlah 4
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
uang ribuan. Yang menjadi masalah, menurut guru itu, wali murid yang lain memberikan sumbangan antara Rp. 15.000,sampai Rp. 20.000,-. Minimal Fitri harus memberikan Rp. 10.000,-. Hati Fitri berdesir. Itu berarti pengeluaran tambahan, dan sebisa mungkin harus dihindari. Bisa-bisa, anak-anaknya kekurangan makan. Karena keberatan membayar, Fitri segera pergi ke kantor kepala sekolah minta penjelasan. Melihat Fitri marah, kepala sekolah mengakui tentang tidak adanya wali murid yang meninggal. Tetapi kepala sekolah tidak mau membebaskan Fitri dari keharusan menyumbang. Menurut kepala sekolah, sumbangan itu urusan guru yang bersangkutan, sedang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, Fitri bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang kepala sekolah tidak bisa menertibkan anak buahnya. “Jangan-jangan kepala sekolah itu nanti ikut kebagian sumbangan yang dikumpulkan secara paksa dengan jalan membohongi para wali murid,” ujar Fitri, sengit. Penjelasan kepala sekolah membuat Fitri tidak punya pilihan lain, kecuali kembali ke guru kelas. Dengan perasaan sangat tidak rela, Ia memberikan sumbangan yang diminta agar bisa mengambil rapor anaknya. Fitri juga menyampaikan bahwa suaminya belum gajian. Ia hanya bisa memberikan sumbangan sebesar Rp. 10.000. Dengan muka cemberut dan tanpa kata, guru kelas menyambar sumbangan dari Fitri. Ketika Fitri minta tanda terima dari sumbangan yang telah diberikan, ibu guru itu menunjukkan muka marah. “Nanti! Nanti!”, kata guru itu. 5
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Sikap tidak bersahabat tersebut terus berlanjut. Ketika Fitri mengucapkan terima kasih, ibu guru itu tidak bergeming. Ia masih bersikap cuek kepada Fitri. Karena Mirna menangis, Fitri makin tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kasihan pada anaknya. Akhirnya dia pamitan dan memberi “uang pulpen” sebesar Rp. 5.000,-. Barulah ibu guru itu tersenyum dan memberikan rapor Sari. Senyuman Ibu Guru itu di pagi itu menambah dongkol hati Fitri. Sampai di rumah, Fitri langsung membagikan kedongkolannya kepada para tetangga. “Tapi yang tidak bisa saya bicarakan dengan para tetangga adalah beban untuk mencari pengganti uang Rp. 15.000,yang melayang untuk menebus rapor Sari yang disandera ibu guru itu. Bagi saya, hari kenaikan kelas yang seharusnya penuh suka cita itu ternyata malah menjadi hari kedongkolan nasional,” ujar Fitri, mencoba tersenyum, getir . Fitri harus pintar-pintar menabung, agar kejadian yang sama tak terulang lagi. Gara-gara uang Rp. 15.000,- itu, Fitri harus mencari akal untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Untunglah, suaminya akan gajian minggu depan...
Tubuh Kecil, Beban Besar Sekolah, masih menjadi tempat memupuk impian sebagian besar warga. Dengan sekolah, ada secercah harapan, nasib akan berubah. Kalaupun nasib ketika menempuh jenjang pendidikan diterpa kemalangan, harapan yang dibangun setelah menyelesaikan sekolah selalu ada: dunia akan lebih terang. Harapan itu yang dibangun oleh Rismala, seorang ibu yang tinggal di sebuah kampung di Makasar. 6
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Efendi, 47 tahun, suami Rismala, dulunya pengusaha yang relatif sukses semasa hidupnya. Setelah suaminya meninggal, ibu berusia 37 tahun ini harus rela menerima posisi sebagai pencari nafkah bagi keenam orang anaknya. Suratan takdir mengantarkannya pada kondisi sekarang. Bersama anak-anaknya, Rismala tinggal di sebuah rumah petak kontrakan seharga Rp. 500.000,- per tahun. Penghasilan Rismala hanya mencapai Rp. 7.000,- per hari sebagai karyawati sebuah perusahaan konfeksi. Kalau dikumpulkan, penghasilannya sebulan mencapai Rp. 210.000,-. Tentu dengan penghasilan itu, Rismala harus bisa berhemat, hidup dalam keprihatinan. Keadaaan itu pun harus pula bisa diterima oleh anak-anaknya. Padahal, anak-anak Rismala memiliki kecerdasan sebagai modal melanjutkan sekolah. Keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga membuat mereka terpaksa mengelus dada menerima keadaan. Mau mengadu pada siapa? Siapa yang mau mendengarkan keluh-kesah mereka, di zaman ini? Bahkan anak sulung Rismala yang telah berhasil lulus dalam paket Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada sebuah perguruan tinggi negeri di Fakultas Farmasi, harus memupuskan cita-citanya di tengah jalan. Itu bukti kecerdasan dan ketekunan anaknya dalam belajar. Tetapi, mereka tak punya cukup uang untuk meneruskan pendidikan. Biaya kuliah sangat mahal, Rismala merasa tak sanggup menanggungnya. Anak sulung Rismala harus mengubur dalam-dalam anugerah kecerdasan yang diberikan kepadanya, juga keinginan untuk menjadi seorang ahli obat-obatan. Kecerdasan saja, tak cukup untuk menggapai jenjang pendidikan tinggi. Kesulitan keuangan itu juga terus mengancam adik-adiknya yang bersekolah di SMA, SMEA, dan SMP. Mereka dihimpit mimpi buruk, bisa berhenti di tengah jalan, akibat tak punya uang. Untunglah, anak Rismala yang kedua mendapat bantuan dari masjid, dan anak ketiga memperoleh beasiswa prestasi dari sekolah. Rismala merasa sangat bersyukur.
7
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Namun masalah selalu datang. Yang membebani ibu yang pernah berjualan di kantin salah satu sekolah ini adalah biaya sekolah yang tak terduga, diluar SPP. Apalagi ada kewajiban membeli Lembar Kerja Siswa (LKS) atau semacam modul pelajaran, serta seragam sekolah. Entah kenapa, sekolah anaknya melakukan penyeragaman teknik belajar. Penyeragaman itu berbuntut pada keharusan dalam setiap mata pelajaran untuk melengkapi dengan sebuah modul seharga Rp. 5.000,- sampai Rp. 7.500,-. Kebijakan itu tak mengenal dispensasi. Modul itu juga tak boleh difotokopi. Sekali pihak sekolah menyuruh membeli modul itu, setiap murid wajib membelinya. Keharusan teknik belajar dari sistem pendidikan itulah yang memberatkan Rismala. “Harusnya ibu atau pak guru bisa mengerti bahwa tidak hanya dengan metode LKS anak-anak bisa dipaksa untuk mengerti mata pelajarannya. Mungkin ada cara lain agar kami yang berpenghasilan pas-pasan ini bisa hidup juga,” harap Rismala. Toh tanpa bekal buku-buku yang cukup dan hidup pas-pasan, anak-anak Rismala tetap mempunyai prestasi di sekolah. Selain itu, ada kewajiban membeli seragam sekolah yang kualitasnya tak sebanding dengan biaya yang dibayar, sebesar Rp. 340.000,-. Harga itu, bagi Rismala, jauh diatas harga di pasar. Untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, Rismala harus menghemat uang berbulan-bulan.
8
“Siapa yang tak mengeluh, nak. Kenapa sih harus ada seragam wajib dari sekolah, kalau kami bisa memiliki pakaian sekolah dengan cara lain untuk mendapatkannya? Pakaian itu pun sangat tak bisa diterima. Bayangkan, uang seragamnya sebanyak Rp. 340.000,-, tetapi anak saya diberi seragam dengan kualitas apa adanya. Lebih baik kami jahit sendiri,” urainya.
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Rismala, sebagai tukang jahit, tentu mengerti sekali kualitas pakaian yang baik dan buruk. Baginya, sungguh mubazir dan membuang-buang uang saja kalau pakaian yang telah dibeli dengan mahal tapi tak mau dipakai oleh anak-anaknya lantaran kualitasnya tak bagus. Sekali dua kali dipakai, langsung robek. Kalau ditambal satu bagian, bagian lain robek juga beberapa hari kemudian. “Itu sama saja menzalimi kami yang lebih membutuhkan uang,” tambah Rismala yang kelihatan kecil dan kurus itu. Tubuhnya yang kurus dan kecil itu, menjadi saksi pedihnya hidup yang dia tempuh, bersama anak-anaknya. Rismala pernah mengeluh ke pihak sekolah, dengan alasan bisa meminjam pakaian anak-anak anggota keluarganya yang telah lulus. Tetangga dan langganannya juga bisa meminjamkan baju-baju bekas. Sayangnya, permintaan tersebut tidak diterima manajemen sekolah dengan berbagai alasan. Warna yang lainlah, sudah lama dipesanlah, tidak sama dengan kawan-kawan sekolahnyalah, atau alasan apa saja yang bisa mereka bikin. Hingga saat ini, keadaan itu diterima Rismala apa adanya. Rismala setengah memaksa diri untuk semakin giat mencari nafkah bagi keluarganya. Rismala seakan menunjukkan kepada anak-anaknya, bahwa sekolah itu penting, betapapun beratnya beban bagi keluarga. Sekalipun, dari kerja keras itu, Rismala harus rela menyisihkan penghasilannya untuk membeli baju-baju seragam yang tak berguna yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. “Untuk kebutuhan makan saja, nak, dengan menu ala kadarnya menghabiskan uang Rp. 8.000,- per hari. Jadi saya harus pintar-pintar menyisakan penghasilan untuk kebutuhan sekolah anak-anak,” ujarnya setengah memelas, kepada petugas yang mewawancara. 9
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Dengan bercerita apa adanya, Rismala seakan ingin mengurangi beratnya beban keluarganya. Walau begitu Rismala masih bersyukur ketimbang mencari kehidupan dengan cara jalan pintas. Jalan pintas, selalu tersedia, seperti menipu, mencuri atau kegiatan haram lainnya. Tapi Rismala sudah berjanji tak akan melakukan hal yang salah untuk membiayai anak-anaknya. “Cukuplah saya yang diperlakukan secara tak patut, karena ditipu oleh rekan bisnis. Kami lantas jatuh miskin karena tipuan itu,” katanya, dengan menyembunyikan air muka kesedihan. Rismala tahu, betapa sakitnya kena tipu orang lain. Sebaliknya, tentu orang lain juga merasakan hal yang sama, kalau kita yang menipu. Rismala hanya bisa berharap, praktek-praktek yang mengatasnamakan disiplin sekolah dalam rangka mencerdaskan bangsa janganlah lagi seperti pada masa Orde Baru lalu. Sebab pemerasan, pencekikan dan berbagai pungutan itu membuat Rismala untuk berpikir seribu kali sebelum menyekolahkan anakanaknya. Kondisi rumah Rismala juga memunculkan rasa haru. Ia terbuka untuk bicara. Tanpa malu-malu Rismala menceritakan dengan jujur semua pengalamannya yang berhubungan dengan urusan sekolah anak-anaknya. Rismala juga sangat berharap bantuan, khususnya untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Nasib Pengungsi, Janji Tinggal Janji Siapa yang bisa menduga, negeri ini menjadi arena pertaruhan hidup atau mati di tanah sendiri? Jutaan manusia harus 10
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
meninggalkan kampung halamannya, menjadi pengungsi. Sebagai pengungsi, hidup tentu harus terus dijalani. Yang makan tetap butuh makan, yang sekolah tetap butuh sekolah. Hidup tak berhenti dengan menjadi pengungsi. Prinsip itu rupanya dipegang teguh oleh Erna, 30 tahun. Setelah gagal mendaftarkan anaknya di SDN Cinderella, Erna merasa bersyukur karena anaknya dapat diterima di SD Tanggul Patompo. Itu berkat bantuan dari Ketua RT tempat Erna dan anak-anaknya tinggal. Ketua RT bersedia memberikan surat pengantar bahwa Erna dan anaknya benar-benar sebagai pengungsi yang membutuhkan bantuan. Anak Erna, akhirnya, bisa juga masuk sekolah. Lega rasanya hidup Erna. Kisah Erna berawal saat terjadi kerusuhan Ambon tahun 1999 lalu. Erna sekeluarga terpaksa mengungsi ke Makassar dan tinggal dengan mertuanya. Di Ambon, Erna meninggalkan suaminya yang terpaksa mempertahankan tanah miliknya. Kehidupan Erna semasa di Ambon boleh dikata berkecukupan. Suaminya, Nurman yang berusia 40 tahun, bekerja sebagai petani tambak yang berhasil. Ambon sungguh kota yang indah. Lautnya bening, tanahnya juga menumbuhkan hutan-belukar, termasuk hutan Bakau. Semuanya cocok bagi peternakan ikan. Nurman dan Erna, dengan bekerja keras, mampu membangun tambak ikan, bersama petani tambak lainnya. Namun kerusuhan membawa keluarga Erna, dan ribuan orang Ambon lainnya, kepada kehancuran. Tetangga melawan tetangga. Orang satu dusun, membakar dusun lain. Neraka datang begitu cepat dan hadir di kota Ambon. Rumah-rumah hancur. Ketenteraman berubah menjadi derita panjang. Semuanya bermula, hanya dari kesalah-pahaman, lantas berubah menjadi dendam tak berujung. Erna sungguh tak mengerti dengan begitu cepatnya perubahan keadaan. 11
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Untunglah Erna masih sempat mengungsi ke Makasar. Di kota itu, Erna menjalani hidup pas-pasan bersama dengan mertuanya di Kelurahan Maccini Sombala. Kemakmuran sebagai pasangan keluarga petani tambak udang di Ambon, tinggal kenangan. Semua harta benda ludes ditelan oleh kemarahan dan dendam kesumat. Erna sungguh tak tahu, mengapa manusia begitu kejam mempertahankan ego dan keyakinan mereka dalam kerusuhan Ambon itu. Erna tak sanggup mencerna, betapa mudahnya nyawa melayang. Beragam derita menyambut keluarga Erna. Hidupnya betul-betul berubah. Erna tak pernah menduga bisa kembali ke tanah kelahiran suaminya di Makassar, dalam keadaan hidup. Hanya selembar pakaian yang melekat di badannya ketika lari dari Ambon. Erna hanya ingat anak-anaknya, untuk dibawa mengungsi bersamanya. Tanpa suami, juga saudara. Kini Erna hidup menumpang di rumah mertuanya bersama tiga orang anaknya. Mertuanya juga sudah tua, tak bisa lagi bekerja. Erna sungguh tak menduga, hidupnya begitu menderita. Padahal, sebelumnya dia merasa akan mengalami nasib lebih baik. Sebab ketika konflik di Ambon pecah, janji-janji datang dari Makasar. Mereka akan disambut sebagai keluarga. Pemerintah dan masyarakat, akan mengurus keluarga kecilnya. Ironisnya, kepedulian yang pernah dijanjikan seluruh lapisan masyarakat daerah ini untuk menerima keluarga dan handai taulan dari daerah kerusuhan dengan tangan terbuka, tak sepenuhnya terwujud. Bantuan yang dijanjikan juga tak sepenuhnya dipenuhi. Bukan membantu, Erna malah merasa menjadi penyakit masyarakat sekitarnya. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang belum menerima kehadiran mereka. Pimpinan SDN Cinderella, misalnya, bukannya memberikan kemudahan. Mereka menuntut imbalan. Keinginan anak Erna untuk masuk di sekolah tersebut dihadang oleh tuntutan 12
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
pembayaran uang administrasi pendaftaran. Jumlahnya sangat besar bagi kantong Erna, Rp. 200.000,- untuk dua orang anak. Erna seperti kembali menemukan neraka, dalam hidup anakanaknya. Erna tentu tak sanggup membayar uang sebanyak itu. Bagaimana bisa Ia mendapatkan uang itu. Hidupnya juga menumpang di rumah mertua. Suaminya juga tak pernah lagi mengirim berita. Pekerjaannya sebagai tukang cuci juga tak menghasilkan uang banyak. “Dimana saya mendapat uang sebanyak itu? Guru di sekolah tersebut sangat tak mengerti kondisi saya,” ujar Erna. Erna seperti mencoba menahan perasaannya. Ia mencoba mengendalikan emosi. Keadaan mungkin memaksanya untuk tak terlalu mengumbar ekspresi diri. Tapi, Erna terus bercerita. “Mungkin bukan hanya saya yang mengalami kejadian ini. Tapi ratusan pengungsi lain pun demikian kejadiannya. Mana kepedulian yang diumbar-umbar sebelum kami tiba dari lokasi pengungsian?” gugat Erna, akhirnya. Air muka kesedihan semakin menebal di wajah Erna. Ia menceritakan pengalaman selama perjalanan sebagai pengungsi. Betul-betul perjalanan panjang, dan tak pernah terbayangkan selama hidupnya. Erna harus menahan lapar, berdesak-desakan naik ke kapal, sambil memasang kewaspadaan apabila ada yang datang hendak membunuh mereka. Erna juga rela meninggalkan sang suami tak mengantarkannya sampai ke kapal. Erna juga tak banyak bertanya, kenapa suaminya memilih tinggal di Ambon, ketimbang mengantarkannya ke Makasar. Erna baru lega, ketika kapal angkatan laut yang dia tumpangi, mulai meninggalkan pelabuhan Ambon. 13
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
“Sesampai di pelabuhan Makasar, kami baru dilepas oleh aparat keamanan dengan bekal uang sebesar Rp. 50.000,untuk mencari alamat keluarga,” tuturnya. Tanpa uang pemberian aparat itu, Erna mungkin tak bisa menemukan alamat keluarganya. Penderitaan Erna sekeluarga semakin menebal tatkala muncul keinginan sang anak untuk sekolah. Mereka tersandung birokrasi sekolah dan biaya pendaftaran. Untunglah, dia diminta untuk menjadi tukang cuci sejumlah tetangganya. Dari mencuci pakaian orang, Erna hanya mendapatkan upah sebesar Rp. 5.000,- sampai Rp. 7.000,- per hari. Uang itu hanya cukup untuk makan Erna dan anak-anak, serta mertuanya. Dengan profesi itu, tentu saja Erna tak mampu membayar biaya pendaftaran di SDN Cinderella. Namun semuanya sudah terjadi. Setelah gagal memasukkan anaknya di SD Cinderella, Erna pun mendaftar di SD Tanggul Patompo. Bagaimanapun, anak-anaknya harus sekolah. Dengan bantuan selembar surat keterangan sebagai pengungsi dari RT, akhirnya anak-anak Erna diterima di SD Tanggul Patompo. Sungguh sebuah anugerah bagi Erna. Erna bisa bernafas lega sebab kedua anaknya dibebaskan dari segala pembayaran. Tinggal ia harus banting tulang, untuk memberi makan anak-anaknya. “Biarlah kesulitan yang kami terima dulu ketika ingin menyekolahkan kembali anak kami, menjadi pelajaran bagi kita. Guru yang sehari-hari sebagai pendidik moral dan toleransi terhadap sesama, jangan lagi bersikap seperti yang dipertontonkan oleh birokrasi kaku di SD Cinderella itu,” ujar Erna, seakan berkotbah. Wajah kaku Erna, ketika memulai memberikan informasi, berubah menjadi sedikit cerah. Ia telah melepaskan kegelisahannya. 14
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Tapi, sampai kapan wajah cerah itu akan bertahan? Erna hanyalah cermin dari retaknya rasa kesetia-kawanan bangsa ini. Sebagai pengungsi di negeri sendiri, Erna tak henti menanggung derita. Satu yang tak diceritakan Erna, kabar mengenai suaminya. Ia mungkin tak mau orang lain tahu, betapa gusarnya dirinya, ketika mengingat Nurman. Entah Nurman masih hidup, atau mati di Ambon sana....
Siswa Protes, Guru Ngeles Siapa sih orang tua yang tak ingin anaknya pintar? Tentu semuanya. Apapun akan dilakukan, untuk mewujudkannya. Tapi, bagi keluarga-keluarga miskin, impian itu akan sulit digapai, apabila biaya pendidikan meningkat terus, juga biaya hidup lain. Bukan hanya biaya-biaya resmi yang membumbung tinggi, juga biaya tak resmi. Tetapi selalu saja ada kesempatan untuk memiskinkan orang lain. Ambil contoh apa yang dilakukan oleh Dra. Marsini, Kepala SMU Negeri Tirtomolo. Sebagai Kepala Sekolah, Marsini merasa punya kuasa penuh melakukan apa saja. Bulan Juni 2000, Marsini langsung memutuskan memungut uang gedung sebesar Rp. 100.000. Tidak ada orang tua atau wali murid yang memprotes. Bagi mereka, uang gedung itu dianggap sudah keputusan sekolah. Apalagi berlaku peraturan berikutnya, bahwa bagi yang tidak sanggup membayar dipersilahkan mencari sekolah lain. Wah, kalau yang dapat sekolah negeri tidak apa-apa. Tapi coba kalau sekolah swasta, makin mahallah biayanya. Untung siswa-siswi mengetahui kejanggalan informasi itu dari orang tua atau wali mereka. Mereka tak bisa menerima kebijakan itu. Mereka lantas melakukan penyelidikan, lalu melapor ke orang tua atau wali murid masing-masing. 15
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
“Kami tidak tahu, ternyata uang gedung yang diperkenankan oleh Depdiknas hanya sebesar Rp. 35.000,Kami baru tahu setelah siswa-siswi kelas I dan II melakukan aksi protes atas tindakan Kepala Sekolah pada bulan Januari 2001,” papar Indarto yang seorang putrinya duduk di kelas I SMU Negeri Tirtomolo. Bagi Indarto, uang Rp. 100.000 itu cukup besar. Penghasilannya sebagai pensiunan hanya Rp. 350.000 per bulan, ditambah penghasilan isterinya sebagai penjahit yang rata-rata Rp. 150.000 sebulan. Porsi terbesar penghasilan itu digunakan untuk konsumsi dan sumbangan sosial. “Untuk membayar uang gedung itu saya sampai harus ngutang lho”, ujarnya seraya tertawa ringan. Selaku orang tua murid, Indarto menyesalkan tidak adanya kejelasan informasi dari Depdiknas. Kalau peraturan tidak diketahui oleh masyarakat luas, tetap saja akan ada upaya untuk menyelewengkannya. Masyarakat juga tak bisa melakukan pengecekan, apalagi mengontrol. Mestinya, kebijakan Depdiknas perihal ketentuan maksimal sumbangan uang gedung diberitahukan kepada orang tua/wali murid, misalnya melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan (BP3). “Sehingga motif-motif dari praktek KKN di sekolah dapat dicegah, syukur-syukur sanggup diberantas”, tandas Indarto. Istilah KKN ini tentu mengacu kepada ‘Korupsi, Kolusi dan Nepotisme’ yang menjadi populer dalam aksi-aksi mahasiswa. Akibat protes para siswa-siswinya, Kepala SMU Negeri Tirtomolo tak bisa mengelak lagi. Dra. Marsini mengaku bahwa pihaknya memang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memperbesar sumbangan uang gedung. Untuk mendamaikan suasana, Februari 2001 diadakan pertemuan orang antara tua/ 16
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
wali murid dengan para guru melalui forum BP3 untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pihak sekolah mengatakan bahwa uang yang sudah dibayar tidak bisa ditarik kembali. Tentu saja orang tua/wali murid kecewa terhadap administrasi sekolah. Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya penyelesaiannya disepakati. “Kelebihan sejumlah Rp. 65.000 akan digunakan sebagai kompensasi kelebihan ‘jam mengajar’ para guru, serta memperbaiki kamar mandi sekolah”, jelas Indarto. Penyelesaian itu tentu menguntungkan pihak sekolah, namun sangat merugikan orang tua atau wali murid. Enak di kepala sekolah, tak enak di orang tua murid dan murid-murid. Kekecewaan tetap membekas. Orang tua atau wali murid tidak bisa melupakan bahwa sekolah mengakali mereka dengan menyembunyikan peraturan yang ada. Merasa ingin memberikan sanksi, pihak Depdiknas Bantul mengambil tindakan. Marsini dimutasikan ke sekolah lain. Hanya sanksi administrasi biasa, dan tidak bikin kapok. Yang perlu diawasi lagi, tentunya, kemana Marsini pindah. Jangan sampai Ia menggunakan cara yang sama, untuk mengeruk uang orang tua murid. Sudah mutu pendidikan Indonesia tidak majumaju, guru-gurunya doyan duit. Bagaimana murid mau menurut kepada guru? Bagaimana bisa muncul penghargaan? Gara-gara nila setitik, rusak guru sebelanga. Begitu yang berkecamuk di kepala orang tua dan murid-murid. Tambahan lagi, murid-murid tentu juga terus berpikir, sanksi pungutan liar itu tak seberapa parah. Dan jangan-jangan, ada juga yang berpikir: “Saya nanti akan mencobanya juga deh!” Bukan hanya susu sebelanga yang bakalan rusak, juga Indonesia dan masa depan... 17
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Bantul, ternyata tak hanya menyimpan kasus wartawan Udin yang terbunuh itu menjadi cerita. Kasus Marsini juga cerita. Cerita buruk, tentunya.
Beasiswa Murid Dipakai Guru Beasiswa, bagi siapapun, akan disambut penuh suka cita. Tak peduli beasiswa itu sebagai tanda penghargaan atas prestasi si penerima, atau tanda kasihan pihak yang memberi. Selain itu ada juga beasiswa yang sudah dianggarkan untuk kepentingan rakyat miskin, lewat APBN atau APBD. Pemerintah juga berulangkali menyediakan program, juga bantuan bagi kalangan tidak mampu, mulai dari Inpres, Wajib Belajar sembilan tahun, sampai Jaring Pengaman Sosial (JPS) khusus pendidikan. Program pemberian beasiswa itu, juga menjalar ke Makassar. Termasuk menyinggahi keluarga Rima yang miskin. Hiruk pikuk anak-anak dari tiga pasang keluarga yang tinggal dalam satu rumah serta aroma khas dari genangan air got yang tersumbat merupakan suasana keseharian yang harus dijalani oleh Rima. Di rumah sangat sederhana inilah ibu berusia 31 tahun ini tinggal. Ia berusaha keras mengatur kehidupan rumah tangganya. Suaminya, Nawir, bekerja sebagai instalator listrik. Pendapatan suaminya hanya sebesar Rp. 100.000,- per bulan. Hampir tak ada penghasilan lainnya, karena Rima hanya ibu rumah tangga biasa. Untuk dagang kecil-kecilan, Rima tak punya modal dan pengalaman. Untuk itu Rima harus seirit mungkin menggunakan uang agar kebutuhan sehari-hari mencukupi, termasuk biaya sekolah bagi anak-anaknya. Kehidupan mereka semakin terpuruk, seiring dengan krisis yang melanda Indonesia. Makin hari, kehidupan keluarga makin berat. Rima sering hanya melamun memikirkan anak-anaknya. 18
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Untunglah, rezeki datang dari mana saja. Anaknya, Lani, mendapatkan beasiswa dari Pemerintah. Keluarga Rima langsung sumringah. Bantuan beasiswa itu ibarat durian runtuh bagi keluarga Rima. Paling tidak, pemerintah masih memperhatikan keluarga miskin itu. Rima tak perlu lagi memikirkan kebutuhan uang sekolah anaknya, sekalipun perlu terus menyediakan kebutuhan harian, seperti makan atau pakaian. Namun sayang ternyata durian tersebut ikut dinikmati oleh pihak lain. Lani, juga Rima, hanya dapat baunya. Walau merasa beruntung, ibu rumah tangga yang tinggal di Maccini Sombala ini tak pernah melihat bantuan tersebut. Pasalnya yang menerima secara langsung beasiswa adalah Lani dengan ditemani oleh gurunya. Rima tak pernah diminta menemani anaknya. Biasanya Lani dan gurunya mengambil bea siswa di Kantor Pos dan Giro. Lani sebagai penerima beasiswa akan mengisi administrasi penerimaan di kantor pos itu, dengan petunjuk gurunya. Petugas kantor pos juga akan menyerahkan uang itu kepada Lani, atau anak-anak yang menerima beasiswa lainnya. Lani, dengan senang, menerima uang dalam jumlah besar baginya itu. Tetapi, setibanya Lani di sekolahnya, sebuah SD di Jalan Bajigau, uang tersebut diminta kembali oleh guru. Kata guru itu, uang tersebut digunakan membayar uang BP3, SPP, buku, dan lainlainnya. Bantuan pemerintah sebesar Rp. 60.000,- per caturwulan, atau Rp. 120.000,- per tahun tersebut langsung ludes dalam sekejap. Lani yang berhak atas penggunaan uang itu, hanya menjadi perantara uang itu dari kantor pos ke guru. Sepersen pun ia tak menikmati bantuan itu, termasuk untuk sekedar membeli permen. Rima tentu saja bingung atas kenyataan itu. Rima mengaku tidak ingin memakai uang bea siswa itu untuk membantu keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rima rela saja uang bea siswa 19
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
itu dipakai untuk memenuhi pembayaran uang sekolah anaknya di sekolah. Rima juga tak peduli tidak pernah melihat atau menerima uang bea siswa tersebut. Tapi masalahnya, tidak ada tanda bukti pemotongan dan penerimaan uang bea siswa tersebut dari pihak sekolah. Rima sebagai orang tua, merasa tak dilibatkan oleh pihak sekolah. “Kwitansi penerimaan uang atau tanda bukti uang bea siswa itu dipotong untuk apa saja, sama sekali saya tidak tahu,” ungkap Rima. Rima tidak habis pikir, kenapa beasiswa yang diterima oleh anaknya diatur sepihak oleh kalangan sekolah. Kenapa ia sebagai orang tua tak berhak tahu penggunaannya. “Entah saya yang tak pantas tahu atau memang guru dan kepala sekolah merasa kami sebagai orang tua tak mengerti apa-apa,” ujar Rima penuh tanda tanya. Pertanyaan Rima hanya menampar angin. Aroma khas dari got didepan rumahnya, berubah menjadi bau busuk. Ayam Kinantan pun tak berkokok mendengar keluh kesah itu.
Bayar Dulu, Bekerja Belum Tentu Siapa yang tak mengenal sebutan sebagai pencari kerja atau setengah penganggur? Status itu melekat dalam diri banyak calon tenaga kerja potensial Indonesia. Kaum laki-laki dan perempuan ini menjadi rentan dengan segala jurus tipu-menipu orang-orang yang memanfaatkannya. Mereka menjadi korban, ditengah keinginan untuk segera punya penghasilan. Begitu juga Prihatini, biasa dipanggil Tini, sudah lama menunggu tawaran untuk memperoleh gaji yang layak. Buruh berusia 32 tahun yang tinggal di Jalan Suryowijayan Yogyakarta ini rindu pekerjaan 20
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
yang lebih peduli pada nasibnya. Untuk itulah berdasarkan infomasi yang diperoleh, Tini mendatangi PT Duta Bangsa (DB) pada bulan Maret 1997. PT yang beralamat di Jl. Pasanggrahan Selatan itu merupakan perusahaan jasa penyalur tenaga kerja. Sebagai bagian dari persyaratan, Tini segera menyetor uang pendaftaran sebesar Rp. 25.000, tanpa ragu-ragu. Rini pulang ke rumah setelah PT itu berjanji akan menghubunginya secepatnya. Tini menunggu janji itu, sehari, seminggu, tapi tak ada kabar. Karena penasaran, beberapa hari kemudian Tini menghubungi Haryanto, pimpinan PT DB. Haryanto hanya meminta Tini untuk bersabar karena banyak calon tenaga kerja lain yang sudah mendaftar sebelumnya. Tapi Tini terus mendesak. Bagi Haryanto, mungkin itu kesempatan emas. Sebagaimana hukum ekonomi, ketika permintaan meninggi, itu berarti peluang untuk menaikkan harga. Dengan cerdik, Haryanto lalu memberikan jaminan berupa “kepastian” bagi Tini untuk meraih pekerjaan dengan cepat. Tentu dengan syarat agar Tini bersedia mengeluarkan lagi ‘biaya tambahan’ sebesar Rp. 300.000. “Saya kepingin cepat kerja. Jadi saya mau saja mengeluarkan uang ‘suap’ itu untuk pimpinan perusahaan”, ungkap Tini, ringan. Tini lalu membayar “biaya tambahan” yang diminta. Sebelumnya memang sudah ada bukti, berkat bantuan PT DB, keponakan Tini berhasil memperoleh pekerjaan di sebuah pabrik di Semarang. Dan lagi-lagi, usai menyeluarkan uang, Tini harus mempunyai kesabaran, menunggu dan menunggu. Lain halnya dengan Ningsih, tetangga Tini. Ibu berusia 40 tahun yang mempunyai dua anak ini juga ikut mendaftar ke PT DB. Alasanya juga sama, yakni ingin memperoleh pekerjaan guna menambah penghasilan dan meringankan beban hidup keluarga. 21
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
Sebelum bersuami, Ningsih pernah bekerja sebagai staf marketing produk kosmetik. Setelah anak pertamanya lahir, Ningsih berjualan makanan di Sekolah BOPKRI – Gondolayu dengan modal awal Rp. 200.000. Dagangan itu dia tekuni dari tahun 1995 sampai 1997. Keuntungannya lumayan, sekitar Rp. 200.000 – 300.000 per bulan. Ningsih berhenti dagang ketika anak keduanya lahir. Suami Ningsih bekerja sebagai sopir taksi dengan penghasilan tidak seberapa. Dalam bayangan Ningsih ketika anak keduanya sudah mulai sekolah, nanti, tentu kebutuhan keluarga terus meningkat. Sekarang anak kedua Ningsih masih berumur 3 tahun. Ningsih juga ingin kembali berjualan untuk membantu meringankan beban suaminya. Untuk berjualan lagi, tentu butuh modal. Ningsih berharap, lewat bantuan PT DB, Ia dapat memperoleh pekerjaan dan sekaligus mengumpulkan modal. Kalau dihitung-hitung, Ningsih mengakui penghasilan suaminya sebagai sopir taksi hanya cukup untuk biaya hidup. Suaminya setiap bulan membawa pulang sekitar Rp 400.000,-. Uang itu habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari dan biaya sekolah anak sulungnya yang sudah kelas II SMP. Biaya sekolah itu meliputi uang Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), beli buku, sepatu, juga keprluan menjelang liburan sekolah atau awal semester baru. Karena memang tak punya uang, Ningsih enggan memberikan uang tambahan kepada PT DB. Lagipula, dia tidak yakin dengan janji pimpinan perusahaan untuk segera mencarikannya pekerjaan. “Bagi saya uang Rp. 300.000,- itu cukup besar. Saya pun tidak yakin akan segera mendapat pekerjaan”, tegas Ningsih. Ternyata penantian mereka memang panjang. Enam bulan sudah Tini dan Ningsih menunggu janji pimpinan PT DB. Mereka mendaftar dan membayar pada bulan Maret, tapi 22
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
hingga bulan September 1997 belum ada kepastian tentang perusahaan yang bisa menerima mereka sebagai karyawan. “Korban” PT DB bukan hanya Tini dan Ningsih. Para pemburu kerja lainnya, sekitar 15 orang, mulai ribut dengan ketidakpastian nasib mereka. Kasus ini sempat diangkat oleh media massa lokal. Akhirnya para pencari kerja itu mengadukan pimpinan PT. DB ke polisi. Kesepakatan dicapai, pimpinan perusahaan harus mengembalikan ‘uang suap’ yang telah disetorkan oleh para pencari kerja secara penuh. Sementara pemburu kerja lainnya menuntut pengembalian ‘uang suap’ yang telah mereka setorkan, Tini malah takut untuk memintanya kembali. “Saya sudah legowo uang saya diambil oleh perusahaan penyalur tenaga kerja itu”, tutur Tini. Tini kini menekuni pekerjaannya sebagai tukang cuci dan masak dengan penghasilan sekitar Rp. 150.000 sebulan. Paling tidak, untuk sementara, Tini tampaknya melupakan mimpinya untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Tini, mungkin, sedang menunggu kesempatan berikutnya, entah dari pihak mana. Sementara Ningsih, harus puas dengan pengembalian uangnya oleh PT DB. Keinginannya untuk membantu meringankan beban suami, ternyata sulit diujudkan. Anak-anaknya makin bertambah besar. Si sulung akan masuk SMU, dan di bungsu juga akan masuk SD beberapa tahun kemudian. Ningsih, mungkin, akan meneruskan rencananya berjualan makanan, dengan menyimpan uang belanja, sedikit demi sedikit. Ia tentu berharap bisa meminjam modal dari orang lain, entah siapa.
23
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
BEDAH CERITA: TINDAKAN KELOMPOK Cerita-cerita ini melukiskan bagaimana para orangtua murid dipaksa membayar iuran-iuran tak resmi di sekolah. Mereka seringkali tak menyadari batas-batas yang jelas antara sah atau tidaknya berbagai pungutan di sekolah tersebut. Beberapa iuran memang penting untuk keberlangsungan sekolah. Namun beberapa yang lain mungkin akan berakhir di saku orang yang tak bertanggung jawab. Pungutan-pungutan ini benar-benar memberatkan bagi orangtua murid yang tak punya. Para orangtua murid seringkali tidak mau bersuara karena masa depan anak mereka tergantung pada mutu pendidikan yang mereka terima. Mereka harus berhati-hati untuk menghindari adanya balas dendam terhadap anak-anak mereka. Banyak orangtua murid, oleh karenanya, tidak berani mempertanyakan para guru dan pejabat-pejabat di sekolah ketika mereka meminta sumbangan uang baik untuk gedung baru, perawatan gedung, seragam, atau alatalat sekolah. Walaupun begitu, jika para orangtua murid yang dirugikan oleh korupsi bersatu dan menyuarakan dugaan adanya korupsi, para guru dan pejabat sekolah tentunya tidak akan begitu mudahnya mengabaikan tuntutan mereka atau membalas dendam pada murid tertentu. Pungutan-pungutan liar bukanlah insiden yang saling terpisah satu sama lain. Ada kemungkinan juga untuk bertindak secara bersama dan bahkan melibatkan bantuan dari luar seperti dari LSM atau media massa jika perlu. Pengumpulan sumbangan tak resmi sebesar Rp.100.000,- sebagai uang perawatan gedung sekolah di Yogyakarta bisa menjadi satu contoh nyata bagaimana tindakan kolektif dalam kelompok dapat efektif membawa perubahan. Sementara para orangtua murid tidak mempertanyakan jumlah yang diminta guru, para murid di 24
Korupsi di Sekolah dan Biro Penyalur Tenaga Kerja
sekolah menemukan bahwa batas pungutan resmi yang ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional adalah Rp. 35.000,-. Mereka menarik perhatian umum dengan mengadakan demonstrasi. Kemudian mereka mengadakan pertemuanpertemuan di mana akhirnya semua orang menyetujui satu pemecahan terhadap masalah ini. Walaupun uang yang telah terlanjur dibayarkan oleh para orangtua murid tidak dikembalikan, kepala sekolah dari sekolah yang bersangkutan ditindak dan dipindah ke sekolah lain. Namun yang paling penting, para orangtua murid dan para murid bersatu untuk menyampaikan keprihatinan-keprihatinan mereka dan akhirnya menemukan satu pemecahan yang memuaskan untuk masalah mereka.
25
Bagian II PENGETAHUAN ADALAH KEKUATAN
Menin gkatkan Akses terhadap Informasi dalam Pe layanan Masyarakat
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Iuran Sampah, Payah Pulogadung, seperti sebagian besar wilayah Jakarta lainnya, terkenal padat penduduk. Bising, kotor, dan penuh polusi udara. Banyak warga tinggal dalam rumah-rumah bedeng yang sempit, tanpa halaman. Sampah lantas menjadi persoalan besar. Dibuang ke selokan, pertanda banjir siap datang di musim hujan. Ditumpuktumpuk tanpa diangkut, bau busuknya mengundang ribuan nyamuk dan penyakit. Pembakaran sampah juga dilarang, karena bisa menimbulkan kebakaran. Kebakaran adalah bencana buruk yang cepat meluas ke rumah-rumah penduduk yang saling berdempetan. Untuk itu pembuangan sampah harus dikelola dengan baik untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Warga di lingkungan sebuah RW di Kelurahan Pulogadung diwajibkan membayar iuran pembuangan sampah yang dikelola oleh pengurus RT. Besarnya iuran setiap RT berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan dan kondisi ekonomi warga. Namun kisarannya antara Rp.1.500,- sampai Rp. 3.000,- per bulan, meskipun ada warga yang membayar Rp. 5.000,- karena volume sampahnya besar. Sebagian dari dana iuran sampah yang terkumpul oleh Ketua RT diberikan kepada petugas yang mengambil sampah dari rumah ke rumah. Iuran sampah itu dikoordinir Ketua RT. Warga pada umumnya menyatakan puas dengan pengelolaan sampah di tingkat RT/RW ini. “Pengelolaan iuran RT sudah jelas, dan sisa uang yang ada di RT biasanya digunakan untuk kegiatan sosial, seperti sumbangan kematian dan kegiatan pemuda,” menurut Yatim, warga sebuah RT, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji sebesar Rp 300.000 per bulan. 29
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
“Pungutan dari warga RT yang dilakukan sebulan sekali menggunakan kartu iuran bulanan. Besarnya tergantung dari kemampuan warga dan atas kesepakatan bersama,” tambah Sunardi, Ketua RT.. Selain itu, tiap Ketua RT wajib membayar iuran sampah sebesar Rp 17.500 per bulan kepada Ketua RW. Tapi walaupun sudah ditetapkan, masih saja ada pengurus RT yang ‘seret’ membayar iuran rutin tersebut. Oleh Ketua RW, uang yang diperoleh dipakai untuk memperlancar pembuangan sampah yang sudah dikumpulkan dari rumah ke rumah ke tempat pembuangan sampah sementara di lingkungan RW. Untuk membawa ke tempat pembuangan akhir diluar lingkungan RW, perlu ada uang lagi, tapi itu bukan lagi urusan RW, melainkan urusan aparat kelurahan. Tetapi iuran sampah di lingkungan tempat tinggal bukanlah satusatunya iuran sampah yang harus dibayar warga. Mereka yang memiliki usaha kecil-kecilan di lingkungan RW juga diwajibkan membayar biaya kebersihan di lokasi tempatnya berusaha, seperti yang dialami oleh Ruminah yang mempunyai warung makan gule dan sate kambing di pinggir pasar. Begitu juga yang dialami Warti, salah seorang penjual buah semangka dan melon yang menempati kios kaki lima. Keduanya dipungut iuran sampah sebesar Rp.1.000,per hari oleh petugas yang bernama Havid. “Anehnya, walaupun membayar iuran sampah bulanan pada pengurus sampah RT, namun sampah yang ada di buang oleh petugas pasar,” ujar Ruminah. Lain halnya dengan Yatim. Sampah rumah tangganya dibuang oleh petugas RT. Untuk urusan pedagang, setiap hari Havid menarik iuran dari para pedagang, baik yang mempunyai kios tetap (sebesar Rp. 1.500,-) ataupun pedagang kaki lima (Rp. 1.000,-). Pungutan dilakukan tanpa memakai bukti tanda terima dengan alasan sudah saling 30
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
mengenal. Havid dapat mengumpulkan dana rata-rata sebesar Rp. 80.000,- per hari. Uang itu disetorkan kepada Pamungkas, petugas pemilik lahan pasar, sebesar Rp 60.000,-. Sisanya dibagi untuk Havid dan 3 orang temannya. Menurut Jauhari, seorang pegawai PD Pasar Jaya, pengelolaan sampah pasar seharusnya dilakukan oleh pegawai di lingkungan Walikota, namun sampai saat ini masih dilakukan oleh pemilik lahan, sebuah instansi pemerintah. Entah mengapa, Jauhari tak menjernihkan ketidak-jelasan pengaturan itu. Tapi siapapun pengelolanya, tidak ada keberatan dari Ruminah maupun Warti, karena mereka memang melakukan usaha di atas tanah milik pemerintah. Bahkan Ruminah suka memberi uang tip kepada Havid sebesar Rp. 500,-. Tetapi bukan berarti tidak ada masalah. Warga mempertanyakan ketika dilakukan penarikan retribusi sampah bersamaan dengan pembayaran rekening listrik, sejak bulan April 2000 oleh petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Penarikan itu dilakukan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) terdekat, tempat pembayaran rekening listrik. Retribusi sampah ini kurang dipahami oleh warga, mengingat mereka sudah membayar kepada petugas RT. Beberapa warga RW itu dengan tegas menyatakan keberatan. “Karena alasan dan aturannya tidak jelas. Edaran penjelasan tentang retribusi sampah DKI tidak pernah didapatkan. Petugas yang menarik retribusi juga tidak jelas, petugas dari mana, apakah dari kelurahan atau DKI,” ujar Yatim, lugas. Lain halnya dengan Ngatinah. Menurut Ngatinah pembayaran retribusi sampah yang dilakukan bersamaan dengan membayar listrik sudah dilakukan hampir 6 bulan lamanya. Ia semula menolak, tetapi kemudian mau membayarnya, karena mengenal petugas yang datang memungutnya.
31
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
“Seharusnya Pak RW menjelaskan soal ini,” ujar Ngatinah yang suaminya pensiunan TNI ini. Arya, petugas dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang bertugas sebagai penarik retribusi sampah di Inkaso BRI, menjelaskan bahwa pungutan itu digunakan untuk mengangkut sampah-sampah yang sudah dikumpulkan di tempat pembuangan sementara RW ke tempat penimbunan sampah terakhir dengan menggunakan mobil Dinas Kebersihan DKI. “Sebenarnya surat edaran tentang retribusi sampah ini sudah disampaikan kepada pengurus RW dan RT,” ungkap Arya. Di samping itu juga ada iklan pelayanan masyarakat melalui media massa. Namun, menurut Arya lagi, masih ada saja warga yang tidak sadar. Bahkan Arya juga menyediakan selebaran dan juga foto kopi PERDA DKI No. 3 tahun 1999 tentang Retribusi Daerah. Sunardi membenarkan adanya edaran dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta. “Tapi tidak semua warga memahami. Ada yang paham, ada yang tak paham, “ ujar Sunardi. Sunardi tidak begitu bermasalah dengan iuran sampah. Kios yang dia sewa dari pemilik lahan pasar yang setahunnya seharga Rp 2 juta, cukup mampu membuat keluarganya berkecukupan. Penghasilanya, dari tiga kios di Pasar PALAD, mencapai Rp. 6 juta per bulan. Bagi warga masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, kenapa mereka yang harus bertanggung jawab atas pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir? Bukankah operator truk sampah itu sudah digaji oleh Pemda DKI dan biaya operasi truk sampahnya 32
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
juga ditanggung? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendapatkan penjelasan lebih jauh. Akibatnya, banyak warga tidak bersedia membayar uang retribusi sampah itu, termasuk warga RT yang sudah membayar lewat jasa kolektif Karang Taruna. Lho, Karang Taruna? Bagi warga, Karang Taruna dapat dipercaya. Kegiatan mereka juga kongkrit, misalnya dalam mengelola pertandingan olahraga menjelang tujuh-belas Agustusan. Karang Taruna juga rajin mengadakan kegiatan arisan, atau menjadi panitia liburan warga dan anak-anak sekolah di lingkungan RT-RW. Makanya, ketika Karang Taruna memungut iuran listrik warga dari pintu ke pintu, warga tak keberatan memberikan sekedar uang tambahan. Menurut Sunardi, retribusi sampah dibayarkan bersamaan dengan pembayaran rekening listrik. Selama ini pembayarannya dikelola secara kolektif oleh Karang Taruna. “Warga yang membayar lewat jasa ini memberikan tambahan Rp 500,-. Dana itu digunakan untuk kegiatan Karang Taruna,“ ujar Sunardi, menjelaskan. Tetapi tetap saja bagi warga persoalannya tidak jelas. Warga melihat, ternyata tidak ada sanksi bagi yang tidak membayar. Bahkan dalam prakteknya ada juga warga yang membayar sekedarnya tetapi tidak memperoleh tanda terima. Tentunya muncul tanda tanya warga, uang seperti ini kemana larinya. “Retribusi ini tidak diberlakukan di semua wilayah, buktinya teman saya yang tinggal di Kelurahan Cakung Jakarta Timur, tidak pernah ditarik retribusi sampah dari DKI. Saya menginginkan adanya kejelasan informasi tentang retribusi, khususnya mengenai pengelolaan dana retribusi tersebut,” ujar Yatim, warga yang merasa keberatan membayar restribusi sampah itu, karena memberatkan bagi keluarganya. Sabar, warga di sebelah rumah Yatim, juga membenarkan keberatan itu. 33
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Yatim dan Sabar memang harus bersabar menunggu penjelasan dari pihan RT, RW, atau Dinas Kebersihan DKI...
Informasi PLN, Au Ah Gelap! PLN identik dengan listrik. Listrik identik dengan gelap dan terang. Byar pret, kata orang. Listrik juga berarti awal kemajuan. Akan tetapi proses pemasangan instalasi dan biaya jasa PLN tetap saja gelap dan tidak ada kemajuan. Tidak ada standard. Konsumen terpaksa meraba-raba harganya. Sering kali upaya meraba-raba ini menjadi pemicu terjadinya kasus suap. Suap di kegelapan informasi, sungguh gila! Pihak PLN Yogyakarta sendiri mengakui bahwa dalam manajemen pelayanan, seperti pemasangan instalasi listrik, selama ini pekerjaan mereka memang masih jauh dari harapan masyarakat. Itu pengakuan Budiman yang menjadi Staf Sekretaris Umum PLN Yogyakarta. Karena keterbatasan PLN itu, makanya dalam memberikan pelayanan PLN menggunakan jasa rekanan untuk pemasangan instalasi listrik baru dan penambahan daya secara insidentil. Rekanan itu digunakan baik untuk kategori rumah tangga, perusahaan kecil, maupun fasilitas sekolah dan perusahaan besar. “Permasalahannya, selama ini masyarakat cenderung menggunakan jasa rekanan yang tidak terdaftar sebagai mitra PLN. Akibatnya biaya pemasangan instalasi menjadi besar alias tidak terkontrol. Pada sisi lain ada oknum PLN yang memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri”, ungkap Budiman dengan kalem dan tanpa beban. Lha, PLNnya yang tak mengontrol karyawannya, koq masyarakat yang disalahkan? Darimana masyarakat tahu kalau si petugas bukan orang PLN? 34
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Masyarakat sebagai konsumen memang dibuat bingung selama ini. Semuanya menjadi serba tidak jelas. Konsumen maunya mendapat pelayanan yang cepat dan murah. Masalahnya ternyata belum ada standar waktu pemasangan dan biaya instalasi untuk menentukan biaya per sektor/wilayah yang disepakati antara PLN dengan rekanan-rekanannya yang tergabung dalam AKLI (Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia). “Kelemahan menyolok yang melekat pada PLN adalah tidak ada jaminan pelayanan. Seperti soal pemasangan instalasi, tidak ada jaminan kapan listrik di rumah akan segera menyala. Padahal perusahaan jasa pemasangan instalasi berani menjamin 3 hari pasti menyala”, singkap Rangkuti, 35 tahun, warga Suryowijayan yang memasang listrik dengan kapasitas 900 watt sekitar bulan April 2000. Rangkuti bahkan telah menghubungi PLN untuk menanyakan biaya resmi pemasangan instalasi dengan kapasitas 900 watt. Informasi yang dia peroleh menyebutkan biaya resminya sebesar Rp. 650.000,-. Masalahnya, tambah Rangkuti, PLN tidak bisa memberi kejelasan kapan listrik di rumahnya akan menyala. Karena itu dia kemudian memilih menggunakan jasa perusahaan instalasi yang berani memberi jaminan. Dan jaminan itu bukan sekedar omong kosong. Pelayanan yang mereka berikan terbukti cepat. Listrik di rumah Rangkuti pun menyala sesuai janji yang telah disepakati yaitu dalam waktu 3 hari saja. Yang jadi masalah adalah Rangkuti harus membayar Rp. 700.000,kepada petugas perusahaan instalasi. Artinya lebih mahal sebesar Rp. 50.000 dibandingkan tarif resmi PLN. Rangkuti juga tidak diberi kwitansi. Lain lagi yang dialami oleh Masimin, 42 tahun. Masimin, akhir tahun 1996, memasang instalasi listrik dirumahnya dengan kapasitas 450 watt. Teman-temannya menyarankan agar listrik segera menyala sebaiknya menghubungi perusahaan jasa instalasi. 35
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Masimin menurut. “Namun setelah 3 bulan listrik di rumah baru menyala. Saya harus mengeluarkan biaya Rp. 50.000,- untuk mengurusnya,” ungkap Masimin. Masimin tidak mengetahui kenapa harus menunggu sampai 3 bulan. Sedang pembayaran yang dia lakukan lebih tinggi dari biaya resmi yang sepengetahuannya hanya Rp. 40.000. Baik Masimin maupun Rangkuti tidak mengetahui, apakah perusahaan jasa instalasi yang mereka pakai adalah rekanan resmi PLN ataukah bukan. “Saya sebenarnya agak berat mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp. 50.000. Soalnya jumlah total Rp. 700.000 itu jadi sama dengan penghasilan saya dan isteri selama sebulan,” ungkap Giyono, warga lainnya. Meskipun mengeluh, baik Rangkuti maupun Masimin mengaku terpaksa memberikan uang lebih karena mereka sangat membutuhkan listrik. Menurut mereka, listrik sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus diprioritaskan. Meskipun sama-sama membayar di atas tarif resmi, hasil yang diterima ternyata berbeda. Kalau listrik di rumah Rangkuti menyala dalam waktu 3 hari, listrik di rumah Masimin baru menyala setelah 3 bulan. Jaminan pihak swasta rekanan PLN ternyata sama saja dengan pihak PLN yang tak memberikan jaminan jelas. Penduduk tentu semakin bingung, kalau harus mengurus listrik di rumahnya. Sekalipun rumah mereka sudah terang, tetap saja informasi dari PLN betul-betul gelap....
36
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Urusan Tanah, Gila Nian Di Indonesia, urusan mudah bisa jadi rumit, sekalipun hanya menyangkut tanah. Itupun bukan tanah orang lain, melainkan tanah sendiri, milik pribadi, warisan orang tua dan pendahulunya. Apalagi di tanah Jawa yang tanahnya mulai menyempit. Kisah ini dialami Bantarto, 42 tahun. Tahun 1997 Bantarto melakukan sertifikasi tanah yang mereka tempati bersama dengan 7 orang tetangganya, yaitu Paijo, Sukarto, Nanang, Sulastri, Brama, Tejamukti dan Maryo. Pemerintah memang sedang giat-giatnya menggalakkan program sertifikasi, untuk melindungi kepentingan si pemilik tanah. Sejumlah sengketa tanah antara pemilik lahan, dengan pihak kedua dan pihak ketiga, seringkali menimbulkan image buruk ke kalangan pemerintah. Sebagai warga negara yang taat peraturan dan himbauan pemerintah, Bantarto mengurus hak kepemilikan atas tanahnya. Bantarto bekerja sebagai pedagang rujak keliling, dia dijuluki Bung Rujak oleh tetangga dan orang-orang yang mengenalnya. Seharihari dia keliling menjual rujak dengan kereta dorong untuk menghidupi keluarganya. Bantarto berangkat dari rumah pukul 08.30 pagi dan tiba kembali di rumah sekitar pukul 15.00 sore. Omzet usahanya mencapai Rp. 20.000 – 30.000 per hari dan dia memperoleh keuntungan sekitar Rp. 10.000 – Rp. 15.000 per hari. Penghasilan tersebut ditopang oleh istrinya yang membuka warung kecil-kecilan dengan menjual mie, sabun, gula, pasta gigi, teh, kopi, dan rokok. Warung tersebut bisa mendatangkan pendapatan sekitar Rp 250.000 sebulan. Kalau dihitung, penghasilan Bantarto sekeluarga mencapai Rp. 550.000,- sampai Rp. 700.000,- per bulan. Biaya itu mencukupi kebutuhan keluarganya, mulai dari kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah, juga sesekali membeli pakaian dan kain sarung. Bantarto juga bisa memberikan amplop ala kadarnya, kalau ada kendurian 37
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
di kampungnya. Sedangkan untuk biaya dua orang anaknya, ratarata membutuhkan Rp. 65.000,- per bulan. Setelah dikurangi biaya sekolah, biaya hidup sehari-hari, dan kebutuhan lainnya, keluarga Bantarto masih mampu menabung. Uang tabungan itulah yang dipakai untuk mengurus sertifikasi tanahnya. Sekalipun, Bantarto tentunya berharap, tabungan itu juga bisa digunakan untuk keperluan mendadak. Untunglah, mereka jarang sakit. Banyak bekerja membuat mereka selalu sehat. Berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah lainnya, Bantarto dan 7 orang tetangganya kemudian menemui Notaris atau juru catat sertifikasi tanah mereka. Notaris itu namanya Ahmad Rawi. Sedangkan tanah mereka seluas 743 m2 merupakan hasil pengukuran ulang yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jadi, kalau dibagi 8 orang, masing-masing pemilik tanah mempunyai lahan seluas kira-kira 92,8 m2. Ternyata biaya yang dikeluarkannya bukan hanya biaya resmi untuk notaris atau Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) itu. Mereka juga harus mengeluarkan biaya untuk BPN, lembaga milik pemerintah yang sebetulnya sudah mendapatkan gaji dan tunjangan untuk melayani penduduk. Selain itu, mereka juga harus mengeluarkan “uang iuran sukarela” mulai dari tingkat RT sampai Kecamatan. Kalau tak memberi, pertanda urusan mereka tidak akan lancar. Proses sertifikasi tanah bisa menjadi berlarut-larut. Mosok mereka harus terus-menerus mengurusi tanah, karena bisabisa pekerjaan sehari-hari terbengkalai. Bantarto dan kawan-kawan tentu tak ingin urusan mereka tersendat. Tanah sangat berarti bagi hidup mereka, juga masa depan anak-anak mereka. Kalau mereka matipun, pasti masuk tanah. Jadi, tanpa berpikir panjang, apalagi pakai protes segala macam, mereka merelakan sejumlah uang, diluar biaya-biaya resmi. Hampir seluruh tabungan keluarga Bantarto habis untus mengurusi tanah yang tak seberapa luas itu. 38
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Kalau dihitung, biaya total yang diserahkan kepada notaris oleh masing-masing orang mencapai Rp. 325.000. Jumlah ini adalah wajar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa biaya pembuatan akte jual-beli adalah sebesar minimal 1 % dari harga tanah. Biaya itu sebanding dengan penghasilan keluarga Bantarto selama setengah bulan. Atau sebanding dengan biaya sekolah anak-anaknya, lengkap dengan uang jajan dan ongkos mobil, selama 5 bulan. Yang juga sesuai dengan peraturan adalah pemilik tanah harus membuat Surat Pernyataan kesediaan menjual tanahnya ke pihak lain. Surat Pernyataan itu juga harus disahkan oleh Ketua RT dan Ketua RW setempat, sebagaimana keterangan Burhan Kurhaeni, Seksi Imigrasi dan Kependudukan (SIMDUK) Kecamatan Mantri Jeron. Dari peraturan inilah muncul masalah. Mereka, secara bersamasama, akhirnya harus mengeluarkan uang sumbangan untuk RT sebesar Rp. 75.000, RW sebesar Rp. 75.000, Kelurahan sebesar Rp 50.000, dan Rp. 75.000 harus dikeluarkan untuk memperoleh pengesahan dari Camat. Padahal, biaya yang dipungut di tingkat RT sampai kelurahan ini tidak ada dasar hukumnya. Bagi Giyono, lurah Gedongkiwo, lurah bukan PPAT. Makanya lurah tidak berhak memungut biaya apapun atas jasa yang diberikan untuk membantu proses pengurusan sertifikasi tanah. Kalau ada pungutan, biasanya sekedar biaya untuk formulir atau materai yang besarnya hanya ratusan atau beberapa ribu rupiah saja. Di tingkat kecamatan masalahnya juga sama. Camat, seperti juga notaris, memang PPAT. Tetapi yang tidak dimengerti oleh Bantarto dan kawan-kawan adalah kenapa Kecamatan masih mengutip biaya untuk sertifikasi tanah. “Padahal prosesnya sudah diserahkan kepada notaris, yang juga sama-sama PPAT,” ujar Bantarto. 39
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Berarti, PPAT-nya dibayar dua kali. Syukur kalau masuk ke kas PPAT atau kas Kecamatan. Kalau masuknya ke kantong Pak Camat bagaimana? Pikiran itu menguap di kepala Bantarto dan temanteman senasibnya. Ringkasnya, biaya yang dibayar oleh kedelapan orang tersebut dari tingkat RT sampai kecamatan bersifat sukarela. Dasar hukumnya sama sekali tidak ada. Akibatnya, batasan antara suap dengan sumbangan sukarela menjadi sangat tipis. Bantarto dan kawankawannya takut kalau permintaan biaya itu tidak dipenuhi, urusan sertifikasi bisa menjadi bertele-tele. Ambil contoh, kurang satu surat saja, prosesnya bisa molor berbulan-bulan. Surat sertifikat juga bisa terancam tidak keluar. Ya, agar lebih mudah, istilah tepat bagi biaya-biaya itu adalah “suap sukarela”. Bantarto dan kawan-kawan tentu bukan korban terakhir. Bagaimana tak menjadi korban, apabila informasi mengenai tata cara dan biaya mengurus sertifikasi tanah tidak jelas. Penjelasan hanya diberikan oleh Burhan yang hafal luar kepala komponenkomponen biaya untuk proses sertifikasi tanah. Komponen itu yaitu (1) biaya pengukuran tanah oleh BPN, (2) biaya PPAT untuk camat atau notaris yang ditunjuk, (3) biaya administrasi untuk blanko dan lain-lain, (4) Pajak Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan untuk kantor pajak, dan (5) biaya konsultasi yang besarnya minimal Rp. 2.500,- tiap melakukan konsultasi dengan BPN. Padahal kejelasan informasi dalam hal sertifikasi tanah harus dilakukan secara bersama oleh paling tidak BPN, Kantor Pajak, dan jajaran birokrasi dari RT sampai kecamatan. Kalau tidak, untuk apa mereka dipilih, juga menerima gaji dari pemerintah. Tanpa adanya kejelasan informasi tersebut, warga yang akan mengurus sertifikasi tanahnya akan tetap menjadi sasaran empuk dengan modus “suap sukarela”.
40
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
Untuk mengurusi sertifikasi tanah saja urusannya sulit sekali, juga biayanya yang mahal. Belum kalau ada konflik antara pemilik tanah asli, dengan para penyabot. Urusan ini lebih sulit lagi, karena seringkali yang menyabot itu adalah oknum yang berlindung dibalik baju pemerintah. Bisa-bisa, apabila ini terjadi, Bantarto harus menggadaikan hidupnya untuk mendapatkan tanah yang merupakan hak miliknya itu......
41
Memperbaiki Akses terhadap Informasi dalam Pelayanan Masyarakat
BEDAH CERITA: MENINGKATKAN AKSES TERHADAP INFORMASI Cerita-cerita yang dikisahkan oleh kaum miskin memperlihatkan adanya suatu kelemahan besar dalam penyediaan pelayanan masyarakat: prosedur-prosedur cenderung sangat rumit sehingga bahkan pejabatnya sendiri pun tidak dapat memahaminya. Aturanaturan resmi seringkali tidak bersesuaian dengan realita pelayanan masyarakat yang ada di lapangan. Kurang jelasnya prosedur dan jumlah biaya-biaya yang perlu dibayar untuk pelayanan masyarakat membuat masyarakat miskin menjadi mangsa empuk dari pungutan liar dan pemerasan. Beberapa orang dibuat bingung oleh proses yang berbelit-belit sehingga mereka akan merasa sangat berterima kasih bila ketua RT/RW mengambil alih pengurusan KTP baru. Banyak yang merasa tak berdaya untuk menolak jika dikenai berbagai macam biaya untuk pengurusan ini. Kasus pembuatan KTP memperlihatkan bagaimana pengetahuan adalah kekuatan dan dapat dieksploitasi sebagai suatu peluang bisnis, di mana kaum miskin membayar uang suap untuk mempermudah proses, walaupun pengurusan KTP sebenarnya tidak dikenai pungutan biaya apapun. Walaupun untuk mempermudah prosedur dan memperjelas akuntabilitas dibutuhkan pembaruan tata pemerintahan yang lebih luas, ada dua hal yang setidaknya dapat dilakukan masyarakat untuk mencegah perilaku korup: 1) Menyediakan informasi jelas tentang prosedur-prosedur, biayabiaya dan tanggung jawab 2) Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap 42
Bagian III MENINGKATKAN TRANSPARANSI dan PART ISIPASI
Men ge lola Uan g di Tin gkat Masyarakat
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Keuangan RW, Beres Nggak Ya? Yang namanya pejabat, sekecil apapun jabatan itu, tetap perlu pengawasan. Kalau tak diawasi, bisa-bisa jabatan yang dipegang digunakan untuk kepentingan diri sendiri. Hakekat jabatan adalah melindungi kepentingan umum, termasuk keuangan umum. Teknik perlindungan kepentingan umum tentunya dengan cara membuka laporan keuangannya kepada publik. Sebagai Ketua RT, Ghofur cukup tahu mengenai kurang beresnya pengelolaan keuangan publik di berbagai RT dan RW di lingkungannya. Apalagi dia sudah sekitar 20 tahun tinggal di kelurahan Pulogadung, sampai dikaruniai beberapa orang anak. Untuk menghidupi keluarganya, Ghofur dan isterinya sama-sama bekerja di lingkungan RT-nya. Menurut Ghofur, setiap bulannya RT-RT di RW-nya memang harus menyetorkan iuran ke Ketua RW sebesar Rp. 17.000,-. Iuran itu antara lain untuk sumbangan kematian warga, kegiatan tujuh belasan, pengelolaan sampah dan kegiatan lainnya. Akan tetapi ternyata tidak setiap RT menyetor secara rutin tiap bulannya. Masalahnya, menurut Rawi yang menjadi Ketua RT tetangganya, tidak semua penduduk mau membayar iuran di tingkat RT. Di RT Rawi, dari kurang lebih 100 KK yang ada hanya sekitar 75 KK yang membayar iuran. Rawi terus terang merasa kesulitan untuk menagihnya. Ada pengeluaran, tentu juga ada pemasukan. Selain pemasukan dari iuran warga, RT juga mempunyai pemasukan dari pemanfaatan fasilitas publik seperti MCK (mandi, cuci, kakus). Menurut Ghofur setiap bulannya pengelola fasilitas tersebut bisa menyetor ke Ketua RT sekitar Rp. 25.000,- untuk tiap unit MCK. Bagi Bejo, yang berasal dari sebuah kota di Jawa Tengah dan sudah 13 tahun merantau di Jakarta, ketidak-beresan pengelolaan keuangan seringkali terjadi di tingkat RT. Pedagang sepatu kaki 45
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
lima yang rata-rata berpenghasilan sebulan Rp. 500.000 ini mengaku, Ketua RT terdahulu, almarhum Suseno, menyalahgunakan keuangan warga. Keterangan itu dibenarkan Ghofur. “Pada saat alm Suseno menjabat Ketua RT, uang iuran warga dan hasil dari MCK di wilayah RT ini memang tidak diketahui penggunaannya,” tambah Ghofur. Tetapi keterangan itu dibantah Lukito, seorang Ketua RW. Menurut Lukito, ketidakjelasan pengelolaan dana publik oleh Ketua RT tersebut bisa dipahami dan diterima warga, dan tidak dipersoalkan secara nyata dan terbuka. “Warga tidak pernah protes secara langsung dan terbuka. Hal itu hanya menjadi pembicaraan di belakang oleh warga yang mengetahuinya,” ujar Lukito, dengan nada agak membela pendahulunya itu. Warga pendatang memang pada umumnya tidak peduli dengan ketidak jelasan itu. Mereka cenderung hanya peduli dengan rutinitas sehari-hari untuk mencari uang bagi kebutuhan hidup keluarganya. Ketidakpedulian warga, membuat pejabat-pejabat di tingkat RT dan RW merasa tenang saja dalam melangkah. Menurut keterangan, Suseno meningga setahun yang lalu. Semasa hidup, menurut Lukito, Suseno memiliki 2 orang istri. Ketika meninggal, Suseno tidak lagi menjabat sebagai Ketua RT, yang pernah dijabatnya selama beberapa periode berturut-turut, tapi malah sudah naik jabatan menjadi Ketua RW. “Pada waktu itu Suseno memang tidak mempunyai pekerjaan tetap, hanya kadang-kadang diminta menjaga gudang sebuah instansi pemerintah,” ujar Lukito. Lalu, kenapa Suseno yang diketahui warga tidak beres dalam 46
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
mengelola keuangan RT malah bisa terpilih menjadi Ketua RW? “Warga tidak keberatan ketika Pak Suseno mencalonkan dirinya menjadi Ketua RW karena memang jarang ada orang yang mau dipilih menjadi Ketua RW,” menurut Rawi, yang sudah menetap di Pulo Gadung selama kurang lebih 30 tahun. Rawi berdagang barang kebutuhan sehari-hari di rumahnya, dibantu istri. Rawi mempunyai seorang anak perempuan yang kuliah di Bekasi. Bagi Rawi, sulit mencari pejabat publik setingkat Ketua RT dan Ketua RW, makanya selain Suseno yang tidak mempunyai pekerjaan tetap itu, tidak ada orang lain yang berminat mengurusi warga yang begitu besar jumlahnya, heterogen, dan kompleks permasalahannya. Sebetulnya pada waktu pemilihan Ketua RW, Juan juga ikut mencalonkan diri, tetapi tidak ingin menjadi ketua. Juan memilih menjadi wakil saja. Bagi Lukito, selain repot, imbalan sebagai Ketua RW juga memang tidak jelas. Proyek kali bersih sungai Sunter juga sudah selesai. Dulu ketika proyek tersebut masih berlangsung, terjadi banyak masalah tanah yang penyelesaiannya dilakukan melalui Ketua RT dan RW. “Mereka yang bermasalah hampir semuanya memberikan uang amplop,” kata Lukito, mengenang masa-masa kejayaan Ketua RT dan Ketua RW itu. Lalu, bagaimana sebetulnya pengelolaan keuangan publik di tingkat RW? RW biasanya mempunyai seorang bendahara yang setiap bulannya keliling ke ketua-ketua RT untuk mengambil iuran bulanan dan membukukan penerimaan keuangan RW. Selain membukukan pemasukan, bendahara juga membukukan pengeluaran, dan kemudian melaporkannya ke masing-masing RT. 47
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Untuk tugas tersebut, bendahara RW mendapat uang jasa sebesar Rp. 75.000/bulan. Tapi kenyataannya pengelolaan dana publik di tingkat RW ini seringkali tidak serapi teorinya. Dengan agak sungkan, Rawi mengatakan alm Ketua RW Suseno suka meminjam dan memakai uang kas RW untuk kepentingan pribadi. Ketika meninggal, hutang Suseno kepada kas RW mencapai kurang lebih Rp. 300.000. “Berapa jumlah persisnya, hanya bendahara RW yang tahu,” tambah Bejo. Lagi-lagi Lukito menjelaskan bahwa ketidakberesan pengelolaan uang RW tersebut tampaknya tidak menjadi masalah yang besar bagi Ketua-ketua RT, juga bagi warga. Mereka memakluminya. Karena itu para Ketua RT dengan mudah sekali mengambil keputusan bersama bahwa hutang Suseno terhadap kas RW dihapuskan karena yang bersangkutan sudah meninggal. Keputusan tersebut diambil dengan juga mengingat sikap Suseno yang terbuka dan kooperatif dalam membantu warga yang memerlukan bantuan administratif atau mengurus surat-surat penting ketika beliau masih hidup. Mengapa hanya sampai disitu? Lagi-lagi warga yang baik hati, menganggap pejabat-pejabat RT dan RW sebagai petugas sosial saja. Tingkat pengawasan warga akhirnya menjadi lemah. Pejabat RT dan RW bisa seenaknya saja menggunakan dana-dana publik, untuk kepentingan pribadi. Kalau dananya sedikit, tidak begitu bermasalah. Tetapi kalau dananya banyak?
48
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Nasib Teluk Bayur di Makassar Teluk Bayur semula nama pelabuhan di Padang, Sumatera Barat. Nama itu menjadi terkenal ke pelosok Nusantara, setelah dinyanyikan oleh Erni Djohan. Teluk Bayur membangkitkan kenangan orang-orang Minang di perantauan. Ada kerinduan ketika nama itu disebut. Nama itu pula yang akrab dengan warga di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Makassar. Awalnya hanya impian indah antara Pemerintah Daerah (Pemda) bersama warga. Menurut kesepakatan, pemberian nama Jalan Teluk Bayur untuk ruas jalan di sebuah RW itu berawal dari kehendak Pemda untuk menjadikan daerah tersebut sebagai bagian dari Kawasan Wisata Tanjung Bunga. Pemda memfasilitasi, warga menjadi juru bicaranya. Dalam dialog dengan pihak DPRD yang datang ke lokasi, warga dipimpin oleh Firman. Karena anggota DPRD juga termasuk unsur Pemda menurut Undang-undang yang berlaku masa itu, Firman merasa bisa bernegosiasi. Kata Firman, waktu itu, harus diadakan negosiasi untuk membayar harga tanah milik warga dari rumah ke rumah. “Bila nanti tanah tersebut ditinggalkan oleh warga dengan harga yang menyenangkan, warga dapat bernyanyi ‘Selamat Tinggal Teluk Bayur’,” ujar Firman. Itulah awalnya jalan yang berada di sebuah RW itu diberi nama Jalan Teluk Bayur. Tapi impian memang selalu jauh dari kenyataan. Menurut Jalil, yang bermukim di RW itu sejak 1987, perbaikan jalan di sekitar RW dikerjakan selama 3 tahun lalu secara bertahap. Mula-mula diisi kerikil dan batu-batu campur pasir. Sedang pemberian aspal jalan itu baru dikerjakan sekitar 2 tahun lalu. 49
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
“Jalan tersebut dibuat oleh kontraktor. Seingat saya proyek tersebut berkat bantuan Bank Dunia,” ujar Jalil. Sayang Jalil tidak memperhatikan papan proyek karena dipasang agak jauh dari rumah tinggalnya. Penjual sayur dan buah, yang kekurangan modal sehingga tidak bisa berjualan secara teratur ini, menyatakan pembuatan jalan tersebut dilakukan secara asalasalan. Pengerasan jalan belum selesai, langsung ditaburi aspal. Aspal yang dipakai juga sangat sedikit, terkesan asal nempel saja. Kalau menurut ukuran normal kebutuhan aspal sebenarnya 5 drum, yang digunakan hanya 2 drum. Menurut Jalil lagi, pengawas proyek ada di tempat, tetapi kelihatan tidak melakukan pekerjaannya secara serius. Pengawas itu hanya mengecek sekilas panjang jalan yang dikerjakan, tanpa menghiraukan mutu jalan sama sekali. Mungkin kontraktor beranggapan bahwa masyarakat bisa dibodohi dan tidak akan pernah protes. Atau kontraktor merasa seperti yang dikatakan oleh Tambusi, seorang tukang becak yang mulai tinggal di Makassar sejak 1987, bahwa jalan di sekitar RW itu memang sangat jelek. “Bisa jadi kontraktor berpikir bahwa warga sudah seharusnya bersyukur ada yang memperbaiki jalan tersebut, meskipun pelaksanaannya tidak beres. Sebelumnya, tinggi lumpur di jalan memang bisa mencapai 10 sampai 30 cm,” ujar Tambusi. Menurut Jalil, beberapa warga menyampaikan keluhannya kepada para pekerja. Namun keluhan warga tidak ditanggapi. Mungkin karena pekerja itu bukan pengambil keputusan. Lebih parah lagi, jalan di RW yang dikerjakan paling belakang ini kemudian ditinggalkan kontraktornya sebelum selesai. Akibatnya, jalan di sekitar RW tersebut mulai rusak dan menjadi parah hanya setelah beberapa bulan dipakai. Kerusakan itu terjadi, antara lain, karena pembuatan jalan tidak sesuai dengan bestek dan karena adanya penggalian pipa PAM yang tidak dikoordinasikan. 50
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Sedangkan di pihak kontraktor yang menelantarkan perbaikan jalan merasa warga tidak mau merelakan tanahnya untuk pelebaran jalan. Padahal, menurut Jalil, masyarakat siap memberikan sebagian tanahnya. Tentu dengan harga yang layak. Menurut Firman, memang sempat terjadi ketidak-sepahaman antara warga dengan kontraktor. Warga menginginkan agar got berada dalam pekarangan warga saja, agar jalan tidak terlalu sempit. Tapi pemborong tidak mau. Malahan, pemborong itu membuat laporan ke lurah bahwa warga tidak ingin menyerahkan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan. Pemborong itu lantas meninggalkan proyek tersebut, tanpa sepengetahuan warga. Anehnya, lurah menerima saja alasan kontraktor. Lurah tidak terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada warga. Jalil tidak tahu pasti siapa yang salah sehingga penyelewengan tersebut bisa terjadi. Sejak awal, proyek tersebut memang tidak transparan pengelolaannya. Warga tidak mengetahui jumlah anggarannya. Panjang dan lebar jalan yang harus dibangun pun tidak jelas. Lurah juga tidak pernah membicarakan masalah jalan ini secara terbuka dalam pertemuan dengan warga. Bagi warga, sikap lurah itu aneh. Seharusnya lurah bertanggung jawab terhadap proyek perbaikan prasarana yang akan sangat membantu perkembangan ekonomi daerah itu. Bagi warga, seharusnya lurah marah dan menuntut kontraktor untuk segera menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan bestek. Tambusi, yang penghasilannya dari menarik becak mencapai sekitar Rp.10.000,- per hari, bahkan berpikir lebih jauh. Bagi Tambusi, kelalaian Pemda setempat dalam mengawasi pelaksanaan proyek merupakan indikasi adanya kerjasama “di bawah meja” dalam melakukan penyelewengan proyek tersebut. Meskipun memang sulit untuk mengetahui masing-masing pihak mendapatkan berapa bagian dari hasil penyelewengan itu. 51
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
“Karena tidak mungkin kontraktor melakukan penyimpangan sekiranya Pengawas dari Pemda menjaga dengan seksama pelaksanaan proyek tersebut,” ujar Tambusi, bersemangat. Sampai sekarang, masalah penyelewengan ini tidak pernah diangkat sebagai masalah publik, baik dalam pertemuan resmi atau tak resmi. Dengan diamnya lurah, masyarakat juga tidak tahu harus mengadu kemana dan kepada siapa. Atas inisiatif Ketua RW, warga kemudian memanfaatkan bahan-bahan yang tertinggal untuk membangun jembatan (gorong-gorong). Teluk Bayar lagi-lagi ditinggalkan. Kalau Pelabuhan Teluk Bayur ditinggalkan para perantau, Jalan Teluk Bayur ini ditinggalkan kontraktor, tanpa permisi. Padahal, warga merindukannya...
Diam Saja, Nanti Dapat Bantuan! Bantuan. Tak ada doa untuk menolaknya. Begitu juga bantuan beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk miskin, beras kian sulit didapat dan makin mahal harganya. Sekalipun swasembada beras berhasil dicapai oleh Indonesia sejak 1984, dan berbuah pada sebuah penghargaan yang diterima Soeharto, tetap saja mendapatkan beras menjadi soal sulit bagi sebagian penduduk. Begitu juga bagi Kusnan, tukang becak berumur 50 tahun, warga Suryowijayan, Yogyakarta. Bantuan beras membuatnya gembira. Kusnan mengaku sering menerima bantuan atau dilibatkan dalam program pemberdayaan pemerintah. Tetapi, Kusnan juga sering merasa adanya ketidakberesan dalam berbagai bantuan atau program yang pernah diterimanya. Misalnya bantuan bahan bangunan berupa semen, pasir, dan genting kaca yang diberikan dalam rangka Hari Kesetiakawanan 52
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Sosial Nasional (HKSN) pada tahun 1999. “Nilai bantuan bahan bangunan dikatakan Rp. 300.000,tetapi saya hitung-hitung nilai riilnya paling banter Rp. 225.000,”, ungkap bapak dari 7 orang anak yang berpenghasilan sekitar Rp. 300.000,- per bulan ini. Tahun 1996 Kusnan juga menerima bantuan dari Dinas Sosial berupa peralatan rumah tangga dalam bentuk 6 buah piring dan 2 buah panci. Tetapi, Kusnan tidak tahu nilai sebenarnya dari bantuan itu. Meskipun dia mencium adanya ketidakberesan, mengingat jumlah peralatan rumah tangga yang terlalu kecil nilainya itu, Kusnan tidak pernah protes. Ia menerima saja apa yang diberikan oleh RT atau RW. “Saya khawatir, kalau bertanya malah tidak akan dapat bantuan lagi, nanti”, ujarnya polos. Kasus serupa juga diungkapkan oleh Agus Subagio, ketua RT di Suryowijayan. Ia menduga terjadi korupsi atas program bantuan Dana Bangdes yang dilakukan di Suryowijayan. Ketika RT-nya mendapat bantuan sebesar 4 (empat) juta rupiah, pihak kelurahan malah minta Ia mempertanggung-jawabkannya senilai 6 (enam) juta rupiah. Agus sempat menolak dan mempertanyakan selisih 2 (dua) juta rupiah ke kelurahan. Namun pihak kelurahan tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Pengalaman serupa terjadi pada program PDMDKE tahun 1999 yang dilaksanakan oleh LKMD Kelurahan Gedongkiwo. Saat itu pelaksana program tahu-tahu memberikan con-block guna pengerasan jalan. “Kontan saya dan pengurus RT menolak. Tetapi pelaksana tetap ngotot dengan alasan waktu sudah hampir habis. Akhirnya kami menerima dan akan kami kerjakan sendiri. Sayang kalau bantuan itu dialihkan ke tempat lain,” ujar Agus sambil menunjukkan 53
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
con-block yang berada di sekitar rumahnya. M. Hamdan, Ketua Pelaksana PDMDKE dan Ketua LKMD Gedongkiwo, sekarang ini tidak diketahui keberadaannya. Sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah bantuan di atas kertas, dengan yang harus dipertanggung-jawabkan, serta dengan nilai bantuan riil yang diterima. Seleksi penerima JPS juga sering tidak tepat. Menurut Ketua ‘Lumbung Kelurahan’ Gedongkiwo yang bertindak sebagai pengelola program JPS di Suryowijayan, Rachmad, seleksi peserta program JPS ditentukan oleh para Ketua RT. Seorang Ketua RW Suryowijayan, Rusman HS, membenarkan. “Seleksi peserta program JPS maupun program pemberdayaan lainnya dilakukan oleh Ketua RT masingmasing,” kata Rusman. Namun pendapat Rusman dibantah oleh seorang Ketua RT Suryowijayan, Ruhiyat. Ruhiyat mengungkapkan bahwa seleksi peserta program JPS, P2KP, maupun program lainnya lebih banyak ditentukan pengurus RW. Padahal, pengurus RW tentu saja tidak tahu persis tentang keluarga miskin yang tersebar di sekian banyak RT yang ada. “Akibatnya, program JPS sering tidak tepat sasaran,” keluh Purwoto, buruh tidak tetap yang tinggal di Suryowijayan. Pendapat Purwoto juga dibenarkan oleh banyak warga lain di Suryowijayan. Demikian juga kasus Program Beras – Operasi Pasar Khusus (OPK). Yang sering terjadi, tidak sesuainya nilai beras yang seharusnya dengan yang diterima, dan sering tidak akuratnya penentuan siapa yang berhak menerima bantuan beras murah itu. Menurut aturan, harga beras murah adalah Rp. 1.000,- per kg. Tapi pada kenyataannya beras tersebut dijual ke masyarakat ratarata dengan harga Rp. 1.100,- sampai Rp. 1.200,- per kg. Rachmad, pengelola program JPS – Beras, berkilah bahwa dana 54
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
tersebut dipakai untuk menutup biaya-biaya transpor, administrasi (stempel dan kertas), membeli bungkus atau kemasan, dan biaya konsumsi panitia. “Itupun dilakukan oleh Ketua RT atas persetujan masyarakat”, sambungnya. Padahal, menurut Rachmad sendiri, ada bantuan untuk administrasi Program Beras yang diturunkan dalam dua tahap. Tahap pertama berjumlah Rp. 90.000,-, sedang tahap kedua Rp. 180.000,-. Mungkin, bagi Rachmad, biaya administrasi itu tidak bisa menutupi kebutuhan berbagai pengeluaran di atas. Yang aneh, masalah tersebut tidak diinformasikan kepada masyarakat agar semuanya menjadi jelas, sebagaimana dikeluhkan oleh Suryo Putranto, pensiunan Staf Tata Usaha Universitas Sanata Dharma, dan Sariman M. Nirwan, buruh. “Ada masalah informasi yang tidak sampai ke masyarakat,” ungkap kedua warga yang tinggal di Suryowijayan ini. Tampaknya, bagi mereka, informasi tentang programprogram pembangunan mengalami kemacetan. Kemacetan itu bisa terjadi di tingkat elit RW maupun RT. Warga juga sering mempermasalahkan jumlah beras dalam karung kurang dari berat yang seharusnya. Selisihnya bahkan mencapai 3 kg. Kekurangan itu tentu saja berpengaruh pada jumlah beras yang diterima oleh warga yang berhak. Sedangkan versi Rachmad menyebutkan penyusutan terjadi karena pengaruh suhu dan “penusukan karung” di berbagai tempat. Beras dicuri dengan jalan menusuk karung beras dengan pipa besi, dan beras yang mengalir turun ditadah. “Penusukan dapat terjadi di pelabuhan, kapal, truk, kereta api, Dolog maupun jalur distribusi lewat instansi pemerintah”, paparnya, kalem. 55
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
Karena program-program JPS diperuntukkan bagi warga, tentu warga berhak menuntut pertanggungjawaban yang fair. Tetapi banyak warga yang sudah mengambil sikap pasrah. Warga juga bersikap masa bodoh dalam menghadapi kurangnya tranparansi, adanya penyimpangan ataupun kesalahan kebijakan yang dilaksanakan oleh para pemegang otoritas. “Saya hampir tidak pernah lagi memprotes cara-cara pengurus RW dalam menyeleksi peserta program-program pemberdayaan masyarakat’, ungkap Ruhiyat. “Saya terkadang mempertanyakan dan memprotes ketidakberesan program pemerintah tersebut. Balasannya, saya dikucilkan. Lebih dari itu, kalau saya tetap keras bisabisa bantuan diarahkan ke tempat lain,” sambung Agus. Seperti Kusnan, keduanya bersikap serupa. Mereka memilih diam agar tetap menerima bantuan. Diam adalah emas, kata pepatah. Tentu pepatah itulah yang mempermudah para penilep bantuan kepada rakyat.
Beras Susut Lurah Senyum Nungki sudah menjadi warga Maccini Sombala sejak tahun 1986. Ia berasal dari Kabupaten Polmas. Ia pernah menjalankan usaha menyicilkan barang pada tahun 1988. Tahun 1999, Ia melakukan usaha ekspor udang lobster ke luar negeri. Tapi usahanya macet. Bisnis berhenti, krisis mendera, Nungki kehilangan penghasilan keluarga. Untunglah, ketika ada program bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) berupa beras kepada warga tempat tinggalnya, Nungki menyambut dengan gairah. Belum ada, memang, doa menolak rezeki. “Awalnya beras JPS sebanyak 10 kg per bulan secara rutin 56
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
diterima penuh oleh warga dengan membayar Rp 10.000. Sedangkan di pasar beras itu bisa seharga Rp 17.500,” ujar Nungki. Yang namanya JPS, warga harus menerima dalam keadaan utuh. Berita itu sering diikuti Nungki dari media massa. Ketika warga menerima jumlah yang tak patut, tentu ada yang tak beres. Paling tidak, terjadi penyimpangan kebijakan. Sebetulnya, menurut Nungki, penyimpangan JPS beras sudah berlangsung lama. Namun warga baru mempersoalkannya bulan Oktober 2000. Penyimpangan itu terjadi, karena ulah Lurah Maccini Sombala. Sepengetahuan Nungki, beras JPS dikirim oleh Dolog sebanyak 10 kg per Kepala Keluarga (KK). Tapi ketika diterima oleh RW sudah menyusut sebanyak 2 hingga 3 liter per paket. Selain penyusutan, waktu pendistribusian juga diulur-ulur, hingga dalam tiga bulan hanya dibagikan dua kali. Seharusnya tiga kali. Berarti ada 10 liter per KK yang ditilep petugas setiap tiga bulan. Nungki menganggap Lurah sebagai pelaku utama penyimpangan itu, dibantu Edi (24 tahun) warga yang bertugas menimbang beras. Selain keduanya, juga terlibat Sutana (35 tahun), warga Kelurahan Sambung Jawa, yang bertugas menjual beras hasil susutan kepada ketua RW lain. Ketua RW itu menjual beras tersebut melalui tetangganya ke pasar PT. Pamos dan pasar Sambung Jawa. November 2000, kasus penyelewengan beras JPS tersebut dipublikasikan oleh suami Nungki di koran Pedoman Rakyat, dengan lampiran foto tumpukan beras warga yang disembunyikan di rumah Rusli, Ketua RW. Rusli mengaku kurang tahu status beras tersebut. Sebaliknya, istri Rusli mengatakan beras itu titipan Pak Lurah. Februari 2001, warga demonstrasi di Kantor Kecamatan dengan tuntutan agar lurah Maccini Sombala diberhentikan karena 57
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
terbukti telah menyelewengkan beras JPS. Warga secara resmi menyurati Walikota Makassar. Sayangnya, Walikota Makassar saat itu sedang di Mekah. Dalam pernyataannya, 6 Ketua RW yang menanda-tanganinya menyatakan siap mengundurkan diri bila Lurah tidak diganti. Lurah sendiri tampaknya tidak merasa terganggu. Bahkan sebelum kasus tersebut termuat di koran, Lurah sudah lebih dahulu memasukkan pembelaannya. Lurah merasa difitnah. Lurah itu belakangan diketahui memiliki backing yang kuat. Ia tidak merasa risih atau takut akan kehilangan kedudukan. Alasan yang disampaikan Lurah menyangkut perbedaan takaran itu adalah karena adanya penyusutan penanganan. “Itu soal yang lumrah terjadi,” ujar Lurah waktu itu, dengan enteng.. Tapi Ketua RW lain, Surya Brata, tidak percaya dengan alasan itu, karena jumlah beras yang susut mencapai 3-4 liter per 10 kg. Surya pernah menakar sendiri beras tersebut langsung di depan para petugas. Ia menunjukkan besarnya kekurangan takarannya. Para petugas memang tidak bisa menyangkal fakta itu, tetapi mereka tak melakukan apa-apa setelah mengetahuinya. Walikota juga tidak bersedia mengganti lurah Maccini Sombala. Walikota hanya mengganti petugas lapangan yang menangani pembagian beras. Petugas yang sebelumnya berasal dari kelurahan, diganti dengan petugas dari kecamatan. Namun kekurangan takaran tetap saja terjadi. Johansyah, Sekretaris Lurah Maccini Sombala, menyatakan bahwa kekurangan takaran itu bisa saja terjadi sebelum beras sampai ke kelurahan. “Saya yang sering menjemput beras JPS itu dari gudang Dolog. Di gudang memang ada penimbangan mobil 58
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
sebelum dan sesudah diisi beras. Selisih timbangan mobil itulah yang dicatat sebagai jumlah beras yang sudah dikeluarkan. Namun hasil penimbangan itu tidak pernah diperlihatkan, sehingga agak susah untuk mengajukan klaim,” ujar Johansyah. Nungki tentu saja tidak bisa menerima argumen itu. Kenyataannya ada beras JPS hasil susutan yang ditumpuk di tempat dua Ketua RW sebelum dijual ke pasar PT. Pamos dan pasar Sambung Jawa. Nungki merasa gregetan melihat lurah membodohi masyarakat dengan cara seperti itu. Kenyataan lurah mereka ternyata mempunyai backing yang kuat sungguh mengecilkan hati Surya bersama warga lain yang telah berusaha sepenuh hati untuk mengungkap penyelewengan beras JPS itu. Bahkan mereka sampai melakukan demo segala, meniru mahasiswa. Tapi keluhan mereka ternyata tidak mendapat tanggapan positif dari camat dan walikota. Pak RW ini mencoba menahan diri untuk tidak bertindak lebih jauh, karena akan muncul keributan. Sebaliknya, Surya berharap penggantian Camat A. Makkulawu dengan A. Khaer ul akan bisa membantu penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih di kelurahan Maccini Sombala. Selain itu, akibat penyimpangan JPS beras itu terkadang membuat tekor. Surya sebagai Ketua RW yang bertugas menjadi distributor beras JPS ke warga. Ia harus menambah sendiri kekurangan jatah beras akibat adanya penyusutan-penyusutan tersebut. Dia merasa tidak sampai hati melihat warga yang tidak kebagian jatah. Orang lain yang untung, Surya yang buntung...
59
Mengelola Uang di Tingkat Masyarakat
BEDAH CERITA: MENINGKATKAN TRANSPARANSI dan PARTISIPASI Dana yang dikelola pemimpin masyarakat berasal dari anggota masyarakat yang membayar iuran bulanan, dari penghasilan masyarakat seperti WC umum atau melalui program-program pembangunan. Seluruh dana ini merupakan milik masyarakat dan para pemimpin hanyalah pengelolanya. Mereka harus bekerja berdasarkan prinsip keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas sehingga anggota masyarakat mengetahui dengan tepat bagaimana uang mereka dipergunakan. Namun, orang-orang dalam cerita kita tampaknya ragu-ragu untuk bertindak menentang para pemimpin yang menyalahgunakan dana masyarakat, entah karena mereka merasa tak berdaya dan tergantung pada mereka atau karena mereka tidak mempunyai bukti akan penyalahgunaan itu. Dalam rangka mempopulerkan akuntabilitas para pemimpin masyarakat, warga harus menuntut adanya transparansi dan partisipasi: Transparansi: Jika pemimpin masyarakat dipaksa terbuka dalam hal pemasukan dan pengeluaran dana, anggota masyarakat akan dapat membedakan antara kasus-kasus di mana dana menguap secara ilegal atau memang digunakan untuk menutup biaya-biaya administratif. Masyarakat kemudian dapat menyuarakan kebocoran-kebocoran, seperti yang dilakukan orang di Makassar, dan dengan demikian mencegah para pemimpin mereka agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum. Partisipasi: Bila anggota masyarakat setempat dilibatkan dalam perancangan dan pelaksanaan proyek-proyek, ini akan mengurangi kesempatan untuk korupsi. 60
Bagian IV UANG SUAP ILEGAL
Interaksi den gan Polisi
Uang Suap Ilegal
Lubang Uang di Sel Polisi Pernahkan anda ‘menginap’ di kantor polisi? Anda tentu betapa berartinya uang. Jangan coba-coba tak punya uang, anda akan menemui kendala. Akan ada “petugas” yang melakukan penyelidikan. Akan ada penggeledahan. Tapi, kalau memang tak punya uang, silakan mengakui dengan jujur. Syaratnya: anda benar-benar tak punya uang dan tak tahu cara mendapatkan uang. Berbohong, besar resikonya, apalagi bagi pencuri kelas ikan teri. Kalau pencuri kelas ikan kakap dan ikan paus, menjarah uang milyaran, mungkin sulit disentuh. Barisan pengacara akan membantu menghadapi polisi. Hukum bisa ditafsirkan sesuai pesanan. Tapi bagi pencuri kecil? Jangan harap ada bantuan. Kecuali anda memang benar-benar sedang beruntung. Sugeng, 45 tahun, termasuk beruntung berurusan di kantor polisi. Cita-cita Sugeng besar, mengubah jalannya nasib. Dia meninggalkan desa kelahiran di salah satu kota di Jawa Tengah lebih dari dua dekade yang lalu. Ketika itu, ia masih muda, bertenaga, siap menaklukkan Jakarta, berbekal keterampilan sebagai tukang batu atau sebutan lain untuk buruh bangunan. Sugeng, bersama beberapa temannya, mencari pekerjaan dalam proyek-proyek pembangunan di Jakarta. Jakarta, ketika itu, memang sedang berbenah diri, menikmati oil booming, dan limpahan anggaran pembangunan. Ketekunan Sugeng dan kawan-kawan membuahkan hasil. Mereka bekerja dalam proyek pendirian rumah-rumah petak di lahan kapling milik Polri atau pemerintah pada tahun 1980. Waktu itu, lahan itu masih kumuh, berbau, tempat jin buang anak. Tanahnya berupa rawa. Tentu saja banyak nyamuk, sampah, juga limbah rumah tangga dan industri. Sugeng dan kawan-kawan tak peduli. Yang penting, Ia bisa 63
Uang Suap Ilegal
menghasilkan uang. Andai saja Sugeng datang ke Jakarta ketika krisis mendera di akhir 1997, dipastikan sedikit sekali pekerjaan. Buruh-buruh bangunan, seperti halnya gelandangan, bertebaran di sisi-sisi jalan, berteduh di taman-taman kota, membawa cangkul atau sekop, dengan perut lapar. Bagi mereka, seperti yang dilihat sehari-hari, paling-paling yang diharapkan pekerjaan galian: kabel telepon, saluran rusak, atau pembuatan taman-taman kota. Itupun hanya pekerjaan seminggu-dua minggu saja, jarang yang berkelanjutan menjadi sebulan-dua bulan. Empat tahun di Jakarta, Sugeng merasa makin mantap. Jaminan pekerjaan membuatnya berani menikah. Tahun 1984, Ia menyunting gadis pujaan. Kini, keluarga kecil itu sudah dikaruniai tiga anak laki-laki. Anak pertamanya, 16 tahun, sekolah di SMU kelas I. Anak kedua, 12 tahun, duduk di kelas 5 SD. Anak ketiga, 11 tahun, juga duduk di kelas 5 SD. Anak pertama dan kedua sekolah di Jawa Tengah, tinggal bersama neneknya. Bagi mereka, hidup di desa lebih murah. Sedangkan di Jakarta, disamping susah makan, juga rasa khawatir Sugeng begitu tinggi. Anak-anak usia sekolah akan mudah terjerumus kedalam perilaku negatif seperti tawuran, minuman alkohol, bermain judi atau kecanduan obat-obatan. Sugeng juga tak kuat membiayai sekolah semua anaknya di Jakarta. Karena tekanan ekonomi, hanya si bungsu yang sekolah dan tinggal bersamanya. Ternyata, kehidupan Sugeng tidak semulus yang diharapkan. Pekerjaan tidak selalu ada. Dapur Sugeng dari waktu ke waktu sulit mengepulkan asap. Sering Sugeng, istri, dan anaknya harus menahan lapar. Jakarta, nyatanya, tak mudah untuk ditaklukkan. Salahsalah langkah, setiap pendatang siap disantapnya. Sugeng tentu saja tak tahan. Anak dan istrinya butuh makan. Tak peduli apapun caranya, Sugeng harus membawa uang ke rumah. Pekerjaan apapun ditempuhnya. 64
Uang Suap Ilegal
Empat tahun menikah, bencana itu datang. Kala itu, tahun 1988, anak pertamanya baru berumur 3 tahun. Anaknya benar-benar manja, lucu, juga bikin gemas orang-tuanya. Anak seusia itu, tentu tak tahu beban berat orang tuanya. Sugeng juga begitu besar kasih sayangnya. Anak itu menentramkan hatinya. Sugeng ingin membahagiakannya. Makanya, Ia makin rajin mencari pekerjaan apa saja, untuk menopang keluarga kecilnya. Seperti anak-anak pada umumnya, anak Sugeng akan merengek dan menangis bila ingin sesuatu. Kalau sekedar minta permen, atau balon mainan, Sugeng bisa membayar atau ngebon. Tapi, tahun itu, anaknya minta sepeda! Sepeda adalah barang mahal. Memang, teman-teman main anaknya ada yang memiliki sepeda. Sering anaknya merengek, minta naik sepeda itu. Kalau anak kecil lainnya sedang tak menggunakan sepedanya, dan orangtua mereka bersedia meminjamkan, anak sulung Sugeng bisa main sepeda. Tapi itu jarang terjadi. Anak-anak itu, tentu enggan sepedanya dipakai anak lainnya. Dan anak Sugeng makin sering menangis, sesengukan, sambil memandang ibu-bapaknya. Sugeng betul-betul tak tega. Tangisan anaknya membuat Sugeng tidak bisa lagi berpikir panjang. Ia berancang-ancang melakukan sesuatu. Sebuah rencana disusunnya. Pada hari naas itu, Sugeng minta ijin istrinya dan pergi ke wilayah RW lain. Ia berjanji akan membelikan sepeda untuk anaknya. Ketika ditanya istrinya, uangnya darimana, Sugeng hanya tersenyum, hambar. Ia tentu saja tak ingin istrinya tahu, apa yang ia rencanakan. Dan inilah rencana Sugeng, mencuri sepeda milik orang lain yang sudah lama diincarnya. Untuk membeli sepeda, dia sama sekali tidak mempunyai uang. Dan datanglah musibah itu. Karena terburu-buru dan tidak biasa mencuri, begitu mengambil sepeda milik orang itu, Sugeng ketahuan. Dia ditangkap massa. Bertubi-tubi pukulan masyarakat 65
Uang Suap Ilegal
hinggap di tubuhnya. Peradilan massa berjalan tak henti-hentinya. Sugeng berusaha sebisa mungkin melindungi bagian-bagian tubuhnya yang vital. Sekilas, dia sempat memikirkan tentang kekecewaan anaknya kalau nanti pulang tanpa membawa sepeda. Tapi apa daya, pikiran untuk bisa pulang rasanya tidak mungkin lagi terjadi. Pukulan dari massa yang geram datang terlalu cepat dan beragam. Sugeng rasanya sudah mau pasrah saja. Ia merasa ajal akan menjemput.. Untung ada polisi dari Polsek setempat yang kebetulan lewat. Emosi massa mereda, ketika petugas polisi itu berteriak untuk menyerahkan pencuri itu. Sugeng bisa diselamatkan. Dia dibawa ke kantor Polsek, dengan tubuh penuh luka. Ia dimasukkan kedalam sel, setelah lukanya diobati pakai obat merah. Dan untung juga Sugeng tak hidup di zaman sekarang. Salah-salah, ia tinggal nama, tinggal rangka, atau seonggok abu, dibakar beramai-ramai. Sugeng tak berani membayangkannya. Sungguh mengerikan.melihat orang-orang kehilangan akal sehatnya, menghadapi pencuri-pencuri kecil. Apalagi ditengah kesulitan ekonomi, masyarakat begitu mudah menghakimi para pencuri. Sebagai orang Jakarta, Sugeng begitu sering mendengar kasus semacam itu. Ketika Jakarta dilanda kekacauan di akhir pemerintahan Soeharto, banyak sekali orang terbakar di gedunggedung yang dijarah massa. Makanya, Sugeng tidak ikut-ikutan bersama rombongan massa itu. Setelah dua hari ditahan, datang seseorang. Sugeng lupa apakah orang itu polisi atau orang lain. Orang itu menawarkan ‘jalan damai’ kepada Sugeng. Orang yang ingin menolong itu mengajukan syarat. “Kalau Bapak ingin cepat keluar, sediakan uang Rp. 200.000,,” kata orang itu, akhirnya, setelah berbasa-basi. Sugeng menggelengkan kepala, dengan wajah kecut. Bagaimana 66
Uang Suap Ilegal
mau menyediakan uang? Ia sama sekali tidak mempunyai uang. “Kalau punya uang sebanyak itu, tentunya saya tidak akan mengambil barang milik orang lain, Pak” jawab Sugeng, pasrah. Ia memang tidak sanggup menebus dirinya sendiri. Mendengar jawaban Sugeng, orang itu pergi begitu saja. Empat hari kemudian Sugeng dikeluarkan, tanpa syarat dan tanpa denda. Barangkali orang tersebut mau menguji lebih dahulu apakah Sugeng berkata jujur. Atau, barangkali, orang itu memang berniat menolongnya. Sugeng tak tahu. Ia memang sudah bertekad untuk mendekam saja di tahanan daripada menyuruh istrinya meminjam uang ke lintah darat. Sugeng berpikir, kalaupun mau meminjam uang dan kemudian pontang-panting mencicil, lebih baik uang itu dipakai untuk membeli sepeda untuk anaknya. Sugeng tak akan memberikan uang pinjaman itu kepada polisi sebagai sogokan. Setelah bebas, Sugeng bertemu istri dan anaknya. Ia merasa kapok. Sugeng bersyukur. Biarlah anaknya tidak punya sepeda, asal jangan punya ayah seorang narapidana. Kini, anak-anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang baik...
Damai Itu Indah, Asal… Di Jakarta, seiring dengan meruyaknya konflik antar anggota masyarakat, beredar ribuan spanduk berbunyi: “Damai Itu Indah”. Tak jarang, spanduk itu mencantumkan pembuatnya, institusi kepolisian atau militer. Ada juga pencantuman warga masyarakat setempat, tetapi isi spanduk, jenis, dan warnanya hampir seragam dengan spanduk-spanduk yang mencantumkan institusi kepolisian dan militer. Damai itu nyatanya, memang, indah. Polisi memang kebagian peran sebagai juru damai. Begitu kesan masyarakat pada umumnya. Tapi, tunggu dulu, defenisi “damai” 67
Uang Suap Ilegal
ini beragam. Salah satunya, daripada kasus sampai ke pengadilan yang prosesnya dipandang bertele-tele, lebih baik ‘berdamai’ saja sehinga urusan cepat beres. Memang tidak semua polisi seperti itu. Banyak polisi yang tetap memegang teguh upaya-upaya penegakan hukum. Tapi citra para polisi yang baik sering dirusak oleh citra buruk yang dipromosikan oleh para “juru damai” tersebut. Dalam sejumlah kasus, menurut warga, paling tidak ada tiga jenis damai yang berhubungan dengan peran polisi. Pertama, ‘damai tilang’. Kedua, ‘damai sengketa’. Ketiga ‘damai penjara’. Dalam ‘damai tilang’, misalnya, defenisinya: “Tawarkanlah uang damai, pasti urusan tilang cepat beres”. Defenisi itu diungkapkan berdasarkan kesimpulan dan pengalaman Mugiyo, Bogiyo, Muji Astuti, Rubiyem, Artati dan Parjono. Semuanya warga Suryowijayan, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantri Jeron, Yogyakarta. Kasus tilang yang dialami Mugiyo, buruh berumur 34 tahun, terjadi setahun yang lalu di perempatan Pojok Beteng. Mugiyo tidak memiliki SIM dan tidak membawa STNK, ketika motor yang dikendarainya ditahan polisi. Warga Suryowijayan ini sebenarnya ingin langsung menawarkan uang damai, namun urung karena dompetnya kosong. Jadilah motornya ditahan polisi. Sehari kemudian Mugiyo menemui polisi yang menahan motornya. Polisi tersebut bersedia damai asal tersedia uang sebesar Rp. 37.000,-. “Saya ngotot menawar sampai Rp 17.000,-. Soalnya saya ini kan lebih banyak nganggur. Sementara untuk hidup seharihari, saya lebih mengandalkan penghasilan isteri sebagai tukang cuci,” ujar Mugiyo. Penghasilan istri Mugiyo rata-rata Rp. 100.000,- per bulan. 68
Uang Suap Ilegal
Kengototan Mugiyo berhasil. Dengan membawa bukti STNK dan uang Rp. 17.000,- Mugiyo hari itu juga berhasil membawa pulang motornya. Bogiyo, Muji Astuti, Rubiyem, Artati, dan Parjono juga mengalami hal serupa pada tahun 1999. Mereka mengeluarkan uang damai sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 20.000,- untuk berbagai kasus tilang. “Saya enggan mengikuti proses persidangan yang bertele-tele dan makan waktu. Hitung-hitung uang denda sidang digabungkan dengan biaya traspor yang dikeluarkan mungkin nilainya lebih besar. Jadi lebih baik damai dan urusan cepat beres,” ujar Artati, ibu rumah tangga berusia 40 tahun yang tinggal Suryowijayan. Pendapat Artati didukung Muji Astuti, Rubiyem, dan Parjono. Menurut Rubiyem, Ia tidak ingin kegiatan dan pekerjaannya terganggu, karena itu ia lebih baik menawarkan uang damai. Rubiyem merupakan ibu muda yang bekerja di sebuah modeste. Sedang ‘damai sengketa’ juga bertujuan untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan, di luar jalur-jalur penegakan hukum. Bagi Brigadir Satu Polisi Suwarso, Staf Sabhara Polsekta Mantri Jeron, Yogyakarta, sebenarnya pihak Polri tidak kaku dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum seperti kecelakaan lalu-lintas dan perkelahian. Syaratnya, kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban, sepakat untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dan sepakat untuk menanggung kerugian yang mereka hadapi. Bila syarat itu dipenuhi, pihak Polri tidak akan membawa kasus itu ke pengadilan. Kalau proses mediasinya berjalan tanpa pamrih, polisi keluar sebagai pahlawan. Tapi, sayangnya, seringkali polisi juga ingin mengail di air keruh. Misalnya dalam kasus perkelahian antar geng yang melibatkan Marwoto, Bambang dan Susilo. Ketiganya terlibat dalam pengeroyokan terhadap korbannya. Marwoto malah menusuk 69
Uang Suap Ilegal
korbannya. Untung saja korban itu tidak mati. Karena melakukan penusukan dalam perkelahian antar geng yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2001, ketiga remaja yang berusia delapan belasan tahun tersebut ditahan di Polsek Wirobrajan. Gunawan, ayah kandung Marwoto, mengupayakan supaya terjadi perdamaian dengan keluarga korban, tapi gagal. “Uang damai yang dituntut keluarga korban sangat tinggi. Keluarga korban menuntut uang damai atau pengganti biaya pengobatan sebesar Rp. 2.500.000,-. Mana saya sanggup. Sementara untuk hidup sehari-hari pun saya susah terus,” ungkap Gunawan. Gunawan sehari-hari bekerja sebagai penggali pasir dengan penghasilan rata-rata Rp. 125.000,- per bulan. Sedangkan penghasilan isterinya sebagai tukang cuci hanya berkisar Rp. 60.000,- tiap bulan. Belum lagi ketiga orang tua pelaku perkelahian tersebut harus patungan sebesar Rp. 200.000,- untuk menebus motor dari tangan polisi. “Padahal, saya mendapat informasi kalau biaya pengobatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah hanya Rp. 1.070.000,” ujar Gunawan lagi. Gunawan tidak habis pikir kenapa keluarga korban meminta uang damai lebih dari dua kali lipat biaya pengobatan. Apakah hal itu karena akan ada pihak lain, seperti polisi, yang akan ikut kebagian uang damai tersebut? Masih kurangkah uang tebusan motor sebesar Rp. 200.000,- yang telah mereka berikan kepada polisi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi muncul karena memang polisi-lah yang bisa menentukan apakah sebuah kasus akan diajukan ke pengadilan atau tidak. Karena orang tua korban tetap menuntut uang damai sebesar Rp. 2.500.000,-, sedang Gunawan dan dua orang tua pelaku lainnya 70
Uang Suap Ilegal
hanya mampu menyediakan Rp. 500.000,- akhirnya kasus perkelahian antar geng ini diajukan oleh polisi ke pengadilan. Di pengadilan, lagi-lagi Gunawan dan dua rekannya dihadapkan pada kasus suap yang juga tidak bisa mereka penuhi. Di tengah kegalauan menghadapi pengadilan, salah satu dari orang tua pelaku pengeroyokan menghubungi pengacara. Pengacara itu menjanjikan akan mengeluarkan para pelaku dari tahanan. Ketika proses persidangan berjalan, pengacara meminta tiga orang tua pelaku masing-masing menyediakan Rp. 1.000.000,-. “Uang Rp. 3.000.000 tersebut dimaksudkan sebagai suap bagi pak hakim”, singkap Giyono yang baru mengetahui memakai jasa pengacara ternyata mahal. Suap untuk hakim bahkan lebih mahal dari ‘harga perdamaian’ yang diminta keluarga korban. Tiga orang tua pelaku tak sanggup memenuhi permintaan pengacara, karena memang tidak memiliki uang. Persidangan untuk kasus perkelahian ini akhirnya berjalan selama 14 kali (2 kali gagal). Pada tanggal 18 Juni 2001, Pengadilan Negeri Yogyakarta memvonis Marwoto 10 bulan penjara, sedangkan untuk Susilo dan Bambang masing-masing 8 bulan penjara. Giyono selalu hadir dalam persidangan anaknya. Untuk itu ia menghabiskan uang lebih dari Rp. 750.000,-. Segala jalan telah ia tempuh, namun apa daya dia selalu tidak mampu memenuhi ‘uang damai’ yang diminta. Karena itu, meskipun dengan hati pilu, Giyono harus rela melihat anaknya mendekam di ‘hotel prodeo’ (penjara). Lain halnya dengan kasus yang terjadi dengan Dino, tukang becak yang berumur 20 tahun. Dino ditangkap polisi di Jalan Cokroaminto, Yogyakarta, karena membawa clurit yang disembunyikan di balik punggung. Saat itu Dino bermaksud mengikuti pengajian yang diadakan oleh satu partai politik di Muntilan pada bulan Januari 2001. Ayah Dino sempat ditawari 71
Uang Suap Ilegal
‘damai’ oleh seorang polisi yang menjanjikan Dino dapat dilepas dari tahanan bila disediakan uang sebanyak Rp. 500.000,-. Inilah yang sering disebut ‘damai penjara’, ketika pelanggar hukum langsung berhadapan dengan polisi dan tidak ada pihak ketiga seperti halnya dalam ‘damai sengketa’. Disamping itu, ancaman pidananya tidak hanya sekedar denda seperti dalam ‘damai tilang’. Tapi tawaran polisi itu dengan gagah ditolak Dino. “Biar saya selesaikan masa penahanan ini. Jangan Bapak menjual becak, karena itu gantungan hidup,” kata Dino kepada ayahnya dengan serius. Tapi bukan berarti kemudian Dino hanya berpangku tangan sambil menghitunghari. Karena campur tangan partai politik yang berbasis di Yogyakarta, Dino pun bebas dari persidangan tanpa harus membayar uang damai sepeserpun. Bagi Dino, damai itu memang indah….
Bisa Bebas Asal Bayar Ipda Muhammad Alibaba mengaku baru beberapa hari bertugas di Polsek Tamalate. Sebelumnya, dia bertugas di Polsek Sombaopu, Kabupaten Gowa. Alibaba mengatakan bisa saja ada anggota polisi yang menerima pembayaran dari warga masyarakat yang tersangkut suatu kasus. Namun dia menegaskan bahwa pemberian seperti itu bukan korupsi atau suap, tapi merupakan ucapan terima kasih dari mereka yang merasa senang karena sudah dibantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Misalnya dalam sebuah perselisihan hutang-piutang yang kemudian berbuntut penipuan atau penggelapan. Biasanya setelah ditangani 72
Uang Suap Ilegal
polisi, kedua pihak sepakat menyelesaikan masalahnya tanpa harus ke pengadilan. ‘’Kalau sudah begitu, biasanya mereka dengan sukarela memberikan tanda terima kasih kepada polisi karena senang urusan bisa lancar. Ini tidak dapat dianggap sebagai uang buccu atau sogok. Itu lazim terjadi di mana-mana. Polisi sama sekali tidak diperkenankan mematok target. Polisi harus selalu mengutamakan pengabdian pada masyarakat,” tegas Alibaba, seperti mengulangi pidato-pidato resmi pejabat kepolisian. Tapi kenyataan sering berbicara lain. Polisi sering memasang tarif untuk sekedar membebaskan seseorang yang telah melakukan pelanggaran. Tarif itu tak terkait dengan tugas polisi yang sudah menengahi suatu kasus. Tarif itu juga bukan karena pihak-pihak yang bersengketa merasa berterima kasih. Kasus yang dialami Alwi merupakan salah satu contoh. Siang itu Alwi sudah merasa seperti Rambo yang siap perang gerilya. Alwi membawa busur, lengkap dengan anak panahnya. Ia mendatangi kelompok anak muda lain di wilayah Kelurahan Maccini Sombala. Dengan gagah, dia ikut tawuran. Nurhayati, kakak Alwi dan isteri seorang pedagang ikan yang mempunyai dua anak, sebetulnya merasa sangat kesal terhadap adiknya yang berumur 21 tahun itu. Nurhayati tak ingin adiknya ikut-ikutan tawuran. Apesnya, pada bulan Ramadhan tahun 2000, Alwi tertangkap polisi ketika sedang menyeberangi jembatan kanal di daerah perbatasan kelurahan Maccini Sombala. Alwi tertangkap ketika dengan gagah menenteng persenjataannya. ‘’Kami sangat panik ketika Alwi ditangkap,’’ ujar Nurhayati di ruang tamunya yang berukuran sekitar 2,5 x 3 meter. Di rumah mungil yang terbuat dari kayu dengan lantai semen itu, 73
Uang Suap Ilegal
Nurhayati mengaku kadang hanya tinggal bersama anak-anaknya karena suaminya sering menginap di rumah istrinya yang lain. Saat diwawancara, suami Nurhayati tidak berada di rumah. “Alwi, bukannya menemani dan melindungi kami, eh malahan ikut-ikutan tawuran dan tertangkap polisi pula,” ujar Nurhayati lagi, gusar. Tapi setelah Alwi empat malam mendekam di bilik tahanan polisi tanpa ada tanda-tanda akan dibebaskan, kekesalan Nurhayati mulai menguap. Ia mulai merasa khawatir, naluri khas seorang kakak terhadap adiknya. Nurhayati berpikir, habislah sudah masa depan Alwi kalau dia sampai diadili dan dijatuhi hukuman penjara. Bukan saja Alwi tidak akan bisa membantu meringankan beban keluarga, tapi nanti sekeluarnya dari penjara dia pasti semakin sulit untuk mendapat pekerjaan yang pantas. “Kalau sudah residivis, mau dapat pekerjaan apa?” pikir Nurhayati kala itu. Nurhayati mengambil inisiatif dengan mencari jalan untuk membebaskan Alwi. Pertama-tama dia menghubungi salah satu anggota Polsek lewat bantuan seorang kenalannya bernama Rauf. ‘’Saya dipertemukan dengan salah seorang anggota Polsek Mariso. Tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak karena kasus Alwi sudah ditangani atasannya. Dia hanya menyarankan saya menemui langsung Kanit Resintel,’’ ujar Nurhayati sambil menggendong anak bungsunya yang baru berusia sekitar dua tahun. Dengan ditemani kedua orang tuanya, Nurhayati datang kembali ke kantor Polsek untuk menemui Kanit Resintel. Betapa kagetnya Nurhayati. “Kami diberi tahu kalau Alwi bisa dibebaskan asal 74
Uang Suap Ilegal
membayar Rp 300.000,-. Tentu saja kami tidak mampu membayar uang sebanyak itu,’’ ujarnya. Meski demikian, Nurhayati bersama kedua orang tuanya tidak lantas patah arang. Mereka pun tawar menawar dengan polisi sehingga akhirnya hanya diharuskan membayar Rp 150.000,-. ‘’Setelah uang itu kami setor ke polisi, Alwi pun dibebaskan dengan persyaratan tidak akan lagi terlibat tawuran. Persyaratan itu ditanda-tangani Alwi di atas kertas bermaterai. Jika berani mengulangi perbuatannya, polisi akan langsung memasukkan kembali Alwi ke dalam tahanan,’’ kisah Nurhayati. Karena khawatir masalah itu akan terulang lagi, Alwi kemudian dibawa pulang kampung ke Takalar, salah satu kabupaten di Sulsel yang berjarak sekitar 40 km di sebelah selatan Makassar, oleh kedua orang tuanya. Abdul Rauf, kenalan Nurhayati, juga mempunyai pengalaman serupa. Ia masih ingat betul pengalaman buruknya berhubungan dengan aparat kepolisian di suatu sore di awal tahun 2000. Waktu itu, Rauf yang sehari-hari menyambung hidup dengan berdagang sayur-sayuran, meninggalkan rumahnya mengendarai sepeda motor. Ayah tiga anak tersebut hendak ke rumah salah seorang bandar judi kupon putih yang menjadi majikannya. Dia memang sering ‘nyambi’ mencari uang tambahan dengan membantu bandar mengedarkan kupon judi gelap itu. Penghasilan dari berdagang sayur-sayuran yang saban hari dia jajakan di depan rumahnya, sama sekali tidak bisa mencukupi biaya hidup keluarganya. “Uang modal jualan sering terpakai untuk membayar sekolah anak. Jadinya kita sering tutup warung sampai seminggu. Nanti kalau ada rezeki baru bisa buka lagi,” ujar pria tambun asli Makassar tersebut. 75
Uang Suap Ilegal
Saat diwawancarai di rumahnya yang berukuran sekitar 4 x 6 meter dan terbuat dari kayu serta berlantai tanah, warung Rauf bersama istrinya memang sedang tutup karena modalnya tekor. Rauf mengisahkan, dalam perjalanan menuju rumah bandar judi sore hari itu, dia tiba-tiba dicegat empat anggota polisi. Rauf tidak paham mengapa polisi itu tahu dia habis menjual kupon judi. Menurut Rauf, mungkin mereka mengenal nomor plat sepeda motor yang dia gunakan karena sepeda motor itu memang milik bandar. Kala itu, Rauf langsung panik. Betapa tidak, polisi-polisi itu tanpa sungkan-sungkan minta uang Rp 250.000 jika tidak ingin tindakan Rauf menjual kupon judi diproses hingga ke pengadilan. ‘’Kalau tidak mau bayar Rp 250.000, kami akan membawa anda ke Mapoltabes,’’ ujar salah seorang dari keempat polisi tersebut, seperti dituturkan kembali oleh Rauf. Meskipun ketakutan, Rauf mengaku tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena dia sama sekali tidak punya uang. Saat itu, uang di kantongnya hanya ada sekitar Rp 78.000, dan itu harus disetor ke bandar. Tapi keempat polisi itu tidak mau percaya. Mereka lalu menggeledah semua saku pakaian yang dikenakan Rauf dan memang tidak menemukan uang selain hasil penjualan kupon judi itu. Akhirnya, kata Rauf, keempat anggota polisi yang semuanya berpangkat tidak lebih dari sersan itu bertengkar sendiri. Menurut Rauf, dua dari empat polisi itu sudah mau melepaskannya setelah mengambil semua uang hasil penjualan kupon. Tapi dua temannya yang lain tetap ngotot minta bayaran Rp 250.000. Karena tidak ada kesepakatan, dua polisi yang sudah tidak ngotot minta bayaran Rp 250.000 memilih memisahkan diri. Sementara dua rekannya yang lain menggiring Rauf ke Pos Polisi Pembantu di Kompleks Perumnas, Jalan Tamalate I, Makassar.
76
‘’Sebelum sampai di Pos Polisi, kami sempat singgah berteduh sampai tiga kali karena sore itu hujan lebat turun mengguyur Makassar,’’ kisah Rauf.
Uang Suap Ilegal
Sesampai di Pos Polisi, kedua anggota polisi itu menyuruh Rauf pulang ke rumahnya mengambil uang. Rauf hanya diberi uang Rp 2.000 untuk sewa pete-pete (angkutan kota). Sementara uang hasil penjualan kupon serta sepeda motor tetap ditahan polisi sebagai jaminan. Lantaran tidak mempunyai simpanan uang di rumahnya, Rauf langsung pergi ke rumah bandar dan menceritakan kejadian yang baru saja dia alami saat itu. Tanpa banyak tanya, si bandar langsung mengajak Rauf bersama-sama kembali ke pos polisi untuk menemui dua anggota polisi yang memang sudah menunggunya. Sampai di sana, ternyata tinggal satu polisi yang menangkap Rauf yang masih sabar menunggu. Satu temannya sudah pulang. Rauf mengaku tidak tahu bandar membayar berapa kepada polisi sehingga dia dan motornya langsung dilepas saat itu juga. ‘’Mereka cukup lama melakukan negosiasi dalam ruang kecil di pos polisi. Saya tidak tahu bagaimana hasilnya. Saya hanya mengetahui uang hasil penjualan kupon yang diambil polisi dari tangan saya tidak dikembalikan lagi. Menurut polisi uang itu sudah dibawa pulang temannya,”kata pria yang senang mencukur rambutnya mirip prajurit TNI tersebut. Sejak peristiwa buruk itulah Rauf mengaku jadi tobat menjajakan kupon putih. Rasa takutnya jauh lebih besar dibanding jumlah komisi penjualan yang biasa dia peroleh. Untung Rauf tobat. Kalau tidak, bakal banyak uang habis untuk membayar polisi-polisi mata duitan itu...
77
Uang Suap Ilegal
“Jalan Belakang” Korps TNI Bagi Wirahadi bekerja di lingkungan TNI (dulu ABRI) seakan panggilan hidup. Tapi, ia harus menebusnya dengan pengorbanan tak sedikit. Selain pengabdian, kesetiaan dan kebanggaan korps, Wirahadi juga harus merelakan sejumlah uangnya melayang. Dan itu berlangsung selama satu dekade. Akhir 1980-an, Wirahadi menyogok untuk bisa menjadi pegawai negeri di sebuah institusi TNI. Hanya pekerja biasa, tapi teramat berarti bagi keluarga Wirahadi. Lalu, awal tahun 2001 ini, salah satu keluarga Wirahadi mendaftarkan diri demi panggilan negara untuk menjadi prajurit TNI. Sekalipun berhasil menjadi Bintara, prajurit rendahan, Wirahadi dan keluarganya harus memberikan sejumlah sogokan dalam berbagai tahapan, mulai dari tes masuk sampai menempuh jenjang pendidikan. Wirahadi berasal dari sebuah kota di Jawa. Ia menikah dengan Lastri, perempuan asal Jawa juga. Keluarganya tinggal di sebuah RT di Kelurahan Pulogadung, Jakarta Timur. Rumah yang mereka huni berukuran kecil. Kini Wirahadi tercatat sebagai pegawai negeri di institusi TNI itu. Penghasilannya kecil, sesuai dengan standar gaji berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yang berhasil dia tempuh, SLTP. Lastri, istrinya, menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Sebelum diterima di institusi itu, Wirahadi bekerja sebagai buruh biasa di perusahaan Wonderful selama beberapa tahun. Selama di Wonderful, Wirahadi mulai khawatir dengan masa depannya. Jaminan kerja tidak ada, juga tunjangan setelah pensiun. Belum lagi perasaan was-was yang menghantuinya apabila perusahaan itu mengalami “sesuatu” dan dia dikeluarkan. Kehilangan pekerjaan berarti bencana bagi keluarganya. Mereka akan telantar, sekalipun sudah terbiasa hidup pas-pasan, sebutan untuk penduduk miskin 78
Uang Suap Ilegal
di Indonesia. Wirahadi terus berpikir untuk segera beralih pekerjaan. Ketika memperoleh informasi dari temannya tentang lowongan pekerjaan di institusi TNI, Wirahadi buru-buru melamar. Ia tahu kalau gaji pegawai negeri itu kecil Tetapi, bagi Wirahadi, gaji kecil itu lebih baik daripada menghadapi ketidakpastian masa depan sebagai buruh rendahan di pabrik. Bagi Wirahadi, menjadi pegawai negeri merupakan kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan. Sebagai pegawai negeri, uang pensiun menunggu. Wirahadi tak harus bekerja lagi dalam usia tua, sekalipun tetap hidup sederhana. Untuk mengejar impian itu, Wirahadi rela mengeluarkan uang sekitar Rp. 2 juta untuk biaya administrasi dan “tanda terimakasih” kepada orang yang telah memberinya informasi. Seperti kebanyakan pencari kerja lainnya, Wirahadi sama sekali tidak menganggap uang itu sebagai sogokan atau pelicin untuk dapat diterima bekerja di institusi TNI itu. Bagi Wirahadi, sogokmenyogok itu merupakan tahapan yang harus dilewati untuk menembus pasaran kerja di Indonesia. Makin tinggi jabatan yang hendak diraih, makin besar uang yang harus disiapkan. Dan Wirahadi diterima. Selama beberapa bulan Wirahadi menjadi calon pegawai, lalu diangkat menjadi Pegawai Tetap. Wirahadi sangat mensyukurinya. Pekerjaan itu, menurut Wirahadi, diperoleh dengan mudah tanpa mengeluarkan uang banyak. Pekerjaan itu betul-betul dianggap Wirahadi sebagai sebuah anugerah terindah dalam hidupnya. Nasib Wirahadi berbeda dengan yang dialami oleh banyak temannya. Mereka harus membayar uang banyak untuk dapat diterima bekerja. Tenggang waktu pengangkatannya pun berbedabeda. Ada yang sudah bertahun-tahun belum diangkat, ada yang harus membayar duluan kalau mau segera diangkat menjadi Pegawai Negeri. Kejadian seperti itu sudah menjadi hal yang biasa dan dimaklumi oleh Wirahadi. 79
Uang Suap Ilegal
Kejadian serupa terulang lagi pada tahun 2001. Kali ini salah seorang anggota keluarga dekat Wirahadi juga ingin mendaftarkan diri masuk TNI, namanya Ardan. Bagi Ardan, sebagai lulusan pendidikan menengah, tidaklah mudah untuk menjadi anggota TNI. Disamping banyak saingan, persyaratan masuk juga lebih rumit, terutama faktor kesehatan, tinggi badan, juga riwayat hidup keluarga. Akibatnya banyak calon pendaftar, termasuk Ardan, yang berusaha mencari “jalan belakang” disamping juga terus mengikuti ujian-ujian formal. Agar dapat diterima, ada orang yang bertugas membawa nama para pelamar itu kepada perwira-perwira tinggi yang berhak memutuskan lulus-tidaknya seorang calon. Biasanya perwiraperwira itu memiliki “jatah” sejumlah orang yang bisa direkomendasikan. Makin tinggi jenjang kepangkatan orang dalam itu, makin besar kemungkinan orang yang diajukannya untuk diterima. Keluarga Ardan diminta perantaranya, seorang perwira yang cukup punya pangkat dan pengaruh dalam tubuh TNI, agar menyediakan uang sogokan sebesar Rp. 10 Juta. Orang tua Ardan setuju saja mengingat susahnya mencari pekerjaan. Kalaupun Ardam melanjutkan kuliah pasti juga membutuhkan biaya yang banyak. “Kan sama-sama membutuhkan. Kita butuh pekerjaan, dan dia butuh duit,” ujar orang tua Ardan. Ternyata uang pelicin itu tidak hanya dibutuhkan untuk lulus tes seleksi awal calon Bintara. Selama menempuh pendidikan yang menggunakan sistem gugur, uang pelicin tetap berlaku. Ada tahapan-tahapan pendidikan yang harus dilalui oleh calon Bintara. Kalau ada tahapan yang tidak lulus, calon yang bersangkutan gugur dan harus dipulangkan ke rumah orang tuanya. Karena itu, banyak calon Bintara yang menyuap pelatih mereka agar lulus ujian. 80
Uang Suap Ilegal
Dengan insentif yang diterima, guru, instruktur atau pelatih mereka memberikan sejumlah kemudahan ketika pendidikan dan ujian. Tak berhenti dalam jenjang pendidikan, ketika selesai menempuh pendidikan dan dinyatakan lulus, uang sogokan lain menunggu. Gunanya untuk menentukan lokasi penugasan. Kalau mau ditugaskan di Jawa, misalnya, prajurit-prajurit baru itu harus membayar petugas bagian penempatan. Keluarga Ardan berani membayar Rp. 1 Juta untuk bisa ditempatkan di daerah yang dekat dengan orang-tuanya. Kalau tidak memberikan uang sogokan, biasanya mereka ditempatkan di pelosok-pelosok luar Jawa atau daerah-daerah konflik. Kini, Keluarga Ardan juga harus menganggarkan uang berikutnya, karena memang diperlukan. Entah untuk urusan kenaikan pangkat, urusan mutasi jabatan, atau mengurus administrasi pensiun, atau bisa juga dalam mengurus haknya mendapatkan uang pensiun (dan tunjangan lainnya) setelah tidak lagi bertugas sebagai militer aktif. “Jalan belakang” korps TNI, ternyata efektif untuk memastikan jenjang karier yang ditempuh Wirahadi, juga Ardan, itu...
81
Uang Suap Ilegal
BEDAH CERITA: KEJELASAN HUKUM, PERILAKU MORAL dan PEMBARUAN TATA PEMERINTAHAN Dalam ketiga kelompok studi kasus pertama sangatlah mudah memisahkan antara seorang koruptor dan korbannya: pembayar uang suap secara langsung ataupun tak langsung dipaksa membayar dan tidak mendapat keuntungan apapun kecuali menerima pelayanan yang seharusnya memang ia peroleh. Kasus-kasus dalam kelompok ini tidaklah sama: pembayar uang suap membayar agar terbebas dari hukuman atas suatu pelanggaran yang diperbuatnya. Suap menolong pelanggar untuk menghindar dari denda ataupun hukuman atas suatu tindak kejahatan. Di sini sang pemberi uang suap sangat berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahannya dengan menyogok dan penerima suap memperoleh keuntungan finansial. Kaum miskin di dalam penelitian partisipatif kami menemukan bahwa korupsi juga menimbulkan biaya moral dengan membuat orang menjadi malas mengikuti hukum dengan tepat. Korupsi menjadi bagian dari penyelesaian masalah hukum yang tentu saja mengorbankan keadilan, membuat supremasi hukum menjadi tidak berjalan. Kepolisian tidak lagi menjadi lembaga yang dapat efektif mencegah kejahatan, baik kejahatan kecil maupun besar, karena jika orang mampu membayar, baginya hampir tidak ada resiko dipenjara atau menerima hukuman. Kekuatan finansial dapat menjadi kekuatan hukum: orang kaya dapat bebas berbuat apapun. Keadilan hanya menjadi masalah negosiasi semata, ia telah diberi label harga. Pelajaran dari bagian-bagian sebelum ini dapat diterapkan untuk menghindari dampak menghancurkan korupsi pada sistem peradilan: 82
Uang Suap Ilegal
Meningkatkan informasi tentang apa yang sah secara hukum dan apa yang tidak dan apa hukumannya akan membantu kaum miskin untuk dapat membedakan antara mana hukuman yang dapat dibenarkan dan situasi di mana polisi mencoba memeras dengan berbagai alasan yang tidak benar. Ini tentunya juga akan membantu mencegah kaum miskin dari perbuatan melanggar hukum. Menciptakan mekanisme pelaporan di mana anggota masyarakat dapat melaporkan insiden-insiden pemerasan dapat pula memberdayakan kaum miskin dalam interaksi mereka dengan polisi. Jika misalkan saja media lokal memutuskan untuk membuat suatu database yang menampung keluhan yang dapat digunakan untuk menyusun tulisan-tulisan tentang korupsi yang dimuat secara mingguan, ini tentu akan memberikan tekanan yang besar pada polisi untuk merubah perilaku mereka, kecuali mereka tidak ingin reputasi mereka membaik.
83
BAGAIMANA KORUPSI MERUGIKAN KAUM MISKIN
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
Analisis Temuan-temuan Penelitian Cerita-cerita dalam buku ini berbicara satu bahasa melalui berbagai cara yang berbeda. Bahasa yang dominan adalah bahasa ketidakberdayaan, perlakuan tak adil tanpa jalan keluar, kurangnya infor masi, keterbukaan dan suara yang menyebabkan ketidakpastian dan ketergantungan. Namun hal yang dialami bersama oleh masyarakat miskin Indonesia ini juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Responden dalam Survei Diagnostik kami memilih korupsi dalam sektor publik sebagai yang teratas dari daftar berbagai masalah yang membebani negara. 82% dari kuintil (quintile) termiskin dan 96% dari kuintil terkaya 3 menganggap korupsi sebagai jamak atau sangat jamak di Indonesia. Korupsi merugikan masyarakat dengan berbagai cara. Di satu sisi, ada KKN yang dilakukan para politisi atau pebisnis, korupsi kelas kakap pada tingkat negara. Korupsi semacam ini berdampak pada tingkat dan efisiensi investasi swasta, mengurangi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Ia juga mengacaukan alokasi dana masyarakat, karena sektor-sektor yang mengandung banyak peluang untuk korupsi akan menarik lebih banyak dana sehingga membelokkan anggaran belanja dari sektor yang kurang menguntungkan namun penting bagi kaum miskin seperti
3 Kuintil termiskin mengacu pada 20% terbawah dari para responden dalam sampel kami yang diukur berdasarkan rata-rata pendapatan dan pengeluaran per kapita. Ini setara dengan pendapatan dan pengeluaran per kapita sebesar rata-rata Rp. 17.708,sampai Rp. 92.857,- per bulan. Demikian pula, kuintil terkaya mengacu pada 20% teratas dengan pendapatan dan pengeluaran per kapita rata-rata Rp. 275.000,- ke atas per bulannya.
87
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
kesehatan dan pendidikan. Secara tak langsung korupsi ini merugikan masyarakat pada umumnya dan kaum miskin khususnya.4 Pada sisi lain, ada bentuk korupsi dalam kehidupan sehari-hari yang merugikan kaum miskin secara langsung, yang telah diungkapkan secara terang-terangan oleh mereka sendiri di atas. Korupsi seringkali didefinisikan sebagai “penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi” 5. Definisi korupsi yang lebih lengkap yang juga mengandung unsur akibatnya pada hubungan-hubungan dalam masyarakat atau antara pemberi dan penerima suap adalah “penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi” atau “penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi” 6. Kaum miskin 7 dalam penelitian partisipatif kami cenderung memandang korupsi dalam arti yang lebih luas ini, dengan menyamakannya dengan perilaku kriminal dan perilaku yang buruk secara moral, termasuk pencurian dan penipuan. Walaupun begitu, pada ujung yang lain beberapa orang tidak menganggap pembayaran tak resmi yang dilakukan dengan sukarela sebagai suap karena mereka memilih untuk melakukannya.
Temuan-temuan ini didukung analisis empiris. Untuk dampak korupsi pada pertumbuhan ekonomi bdk. Mauro, 1995; Knack dan Keefer, 1995. Tentang efek pengalihan (diverting) korupsi pada pengeluaran bdk. Mauro, 1997. Untuk efek korupsi pada kesetaraan pendapatan dan kemiskinan bdk. Gupta dkk., 1998. Analisis buku ini tidak berkaitan dengan efek tak langsung dari korupsi di tingkat makro. 4
5
Bank Dunia, 1997, hal. 8
6 Syed Husein Alatas, Korupsi: Hakikat, Sebab dan Fungsinya, LP3ES, Jakarta, 1987. “...korupsi dianggap sebagai pencurian yang dilakukan dengan menipu dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.”, dikutip dalam Ardyanto, 2001. Korupsi seringkali lebih tidak kentara dan sifatnya memaksa sehingga lebih tidak kentara daripada pencurian atau tindak kejahatan lainnya. 7
88
Bdk. Amanda L. Morgan, 1998, hal. 10-12 untuk diskusi tentang definisi-definisi.
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
TINGKAT LUASNYA KORUPSI Empat masalah korupsi paling membebani yang teridentifikasi dalam penelitian partisipatif di Yogyakarta, Jakarta dan Makassar:
Kasus-kasus korupsi yang diungkapkan oleh kaum miskin di lokasi-lokasi penelitian kami di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar sebagian besar berhubungan dengan lembaga-lembaga pemerintah yang menentukan bagi kehidupan mereka.
!"Pengumpulan sampah !"PLN !"Polisi !"Sekolah
Ketika diminta untuk memilih masalah korupsi yang paling membebani, para peserta dari ketiga tempat yang diteliti memilih pengumpulan sampah, pemasangan listrik, polisi dan sekolah. Ini serupa dengan hasil Survei Diagnostik nasional di mana responden dari berbagai kelompok tingkat pendapatan memilih polisi lalu lintas sebagi institusi yang paling korup. Kelompok pendapatan termiskin dalam survei ini memeringkat polisi non lalu lintas sebagai kedua terkorup sementara semua responden dalam survei ini memilih hakim sebagai institusi terkorup kedua. 8
Sebaliknya, organisasi-organisasi keagamaan seperti mesjid, gereja ataupun organisasi keagamaan lainnya dianggap sebagai institusi-institusi terbersih oleh kuintil (quintile) termiskin responden dalam Survei Diagnostik. Ini diikuti oleh
Ketiga Institusi terkorup menurut kuintil (quintile) termiskin dalam Survey Diagnostik: !"Polisi Lalu Lintas !"Polisi Non Lalu Lintas !"Hakim
Daftar institusi yang bisa dipilih dalam Survei Diagnostik berbeda dengan yang dipilih sendiri oleh masyarakat miskin yang ikut dalam penelitian partisipatif. Dalam penelitian partisipatif yang menjadi pusat perhatian adalah institusi yang berkaitan langsung dengan masyarakat, sementara itu dalam Survei Diagnostik responden diminta menentukan tingkat korupsi pada 35 institusi publik, yang banyak di antaranya berada pada tingkat nasional, dengan skala 1 sampai 5. 8
89
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
kantor pos, media massa dan LSM. Walaupun demikian, pemeringkatan ini bersifat relatif dan tidak dengan sendirinya berarti bahwa institusi-institusi ini bersih dari korupsi. Dalam banyak kasus orang marah atau sedih terhadap meluasnya praktek-praktek korup. Namun ada juga perkecualian. Beberapa orang menganggap korupsi berguna sebagai suatu pemecahan masalah, seperti menyogok polisi dalam kasus pelanggaran lalu lintas atau untuk membebaskan seorang tahanan dari penjara, memberi uang pelicin kepada PLN untuk mempercepat pemasangan instalasi listrik, yang membantu penyuap menghemat waktu dan tidak perlu bersusah-payah. Atau peserta memberi nilai baik pada Program Jaring Pengaman Sosial karena menerima beras dengan harga murah Di Makassar seluruh peserta walaupun tahu akan adanya korupsi. dari kelompok perempuan (22 Orang juga cenderung lebih dapat orang) marah karena dalam menerima jika suap menjadi semacam satu proyek pembangunan jalan biaya tambahan asalkan mereka masih yang dibangun berkualitas menerima barangnya. Kami menemukan rendah dan mudah rusak. beberapa macam persepsi di ketiga daerah Tetapi, hanya 5 orang yang penelitian. Para peserta di kampungmarah sementara 17 lainnya kampung di Yogyakarta dan Makassar tidak peduli pada kenyataan sebagian besar sedih atau marah terhadap bahwa pil-pil KB dijual di korupsi, peserta di Jakarta terbagi: Rumah Sakit Pemerintah mayoritas kelompok perempuan tidak sementara seharusnya pil-pil itu perduli, cenderung kepada sedih atau dibagi secara cuma-cuma. marah, sementara kaum lelaki umumnya senang atau tidak perduli.
90
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
BIAYA KORUPSI Korupsi mempengaruhi cara penanganan uang di tingkat masyarakat dan dengan demikian mempengaruhi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Jika ada uang yang menghilang, bentukbentuk pelayanan seperti sistem pembuangan sampah tak dapat dilaksanakan dengan baik. Sampah menumpuk di rumah dan menjadi sumber lalat serta penyakit atau dibuang di saluran ataupun tempat-tempat di mana ia tidak ditangani dengan baik dan mencemari lingkungan. Demikian pula, manfaat Program Jaring Pengaman Sosial yang seharusnya menolong kaum miskin juga akan menjadi sangat berkurang. Jika pemasangan listrik tergantung pada pembayaran suap, beberapa keluarga akan tidak dapat memanfaatkan listrik dan dengan demikian mereka akan kehilangan peluang-peluang ekonomi dan alat-alat media komunikasi (kecuali mereka dapat mengakses media di tempat tetangga atau di tempat umum). Walaupun cara korupsi bekerja, peran yang dipenuhinya dan harga yang harus dibayar berbeda dari kasus ke kasus, bagi kaum miskin korupsi secara keseluruhan mengurangi mutu dari dan akses terhadap pelayanan umum.
Biaya dalam Bentuk Uang Ada banyak alasan mengapa kaum miskin paling dirugikan oleh korupsi. Alasan pertama adalah alasan keuangan. Suap-menyuap merusak anggaran yang memang sudah sangat ketat dan dengan demikian membawa beban yang lebih berat pada kaum miskin daripada kaum kaya. Data dari Survei Diagnostik mengungkapkan bahwa di sekolah negeri kaum miskin memberikan rata-rata Rp. 26.300,- setiap kali membayar pungutan tak resmi. Di Kantor Kabupaten dan Kecamatan kaum miskin harus kehilangan rata-rata Rp. 11.200,setiap kali mereka menyogok dan sampai Rp. 71.300,- untuk catatan sipil. Badan Pertanahan Nasional (BPN) berada pada peringkat 91
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
atas dengan rata-rata suap sebesar Rp. 225.000,-. Yang kedua adalah polisi non lalu-lintas di mana kaum miskin memberikan Rp. 112.000,- setiap kali menyuap. Polisi lalu-lintas meminta uang suap dari kaum miskin rata-rata Rp. 25.400,- dalam setiap kasusnya (lihat tabel 1). Jumlah sebesar ini mungkin tidak berarti bagi rumah tangga yang berpendapatan menengah atau tinggi, tetapi bagi rumah tangga miskin jumlah ini benar-benar berarti seperti dapat kita lihat dalam cerita-cerita yang disajikan dalam buku ini. Tabel 1. Rata-rata Pembayaran Tak Resmi per Kasus Penyedia Jasa
Suap per Kontak (%)
Responden total (Rp)
Kuintil Termiskin (Rp)
Rumah Sakit Pemerintah
2,9
9.800
6.300
Sekolah Negeri
4,4
43.700
26.300
Kantor Kabupaten/Kecamatan
12,6
21.500
11.200
Kantor Catatan Sipil
15,5
38.600
71.300
Polisi Lalu Lintas
32,5
28.500
25.400
Polisi Selain Polisi Lalu Lintas Badan Pertanahan Nasional
20
203.500
111.700
13,7
192.700
225.000
PLN
0,8
17.200
11.800
Catatan: Berdasarkan penyedia jasa dengan 40 atau lebih kasus suap yang tercatat. Sumber: Survei Diagnostik atas Korupsi di Indonesia, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Survei Diagnostik Nasional menunjukkan bahwa pada umumnya orang kaya menghabiskan lebih banyak uang untuk menyuap daripada kaum miskin. Tetapi ada juga kasus-kasus di mana kaum termiskin secara de facto membayar lebih banyak daripada kaum kaya ataupun rata-rata responden lain, baik dalam rata-rata jumlah suap per kasus (lihat tabel 1) atau sebagai persentase dari total pembayaran suap untuk suatu institusi publik (lihat tabel 2): Di Rumah-rumah Sakit Pemerintah kuintil (quintile) kaum 92
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
termiskin menanggung 28% dari total pembayaran suap yang diterima rumah-rumah sakit tersebut sementara kaum terkaya hanya 17%. Ini disebabkan karena kaum miskin lebih sering menggunakan rumah sakit pemerintah daripada kaum kaya. Ratarata suap per kasus adalah Rp. 6.300,- untuk kuintil termiskin, hampir separuh dari yang dibayar kaum kaya. Dalam hal pencatatan sipil seperti akta kelahiran ataupun akta pernikahan kaum miskin membayar jumlah uang suap terbesar. Kuintil termiskin membayar rata-rata Rp. 71.000,- sementara kuintil terkaya hanya membayar rata-rata Rp. 38.300,-. Untuk pensertifikatan tanah data-data menunjukkan bahwa kuintil termiskin membayar lebih banyak daripada rata-rata semua responden (lihat tabel 1). Mereka membayar lebih banyak daripada golongan menengah tetapi masih dikalahkan oleh kuintil terkaya yang membayar lebih dari Rp. 500.000,- setiap kali mereka menyuap pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tabel 2. Pembagian Jumlah Total Uang Suap Berdasarkan Kuintil Pendapatan (%) (kuintil termiskin) Penyedia Jasa
!
(kuintil terkaya)
!
1
2
3
4
5
Rumah Sakit Pemerintah
28
18
17
21
17
Sekolah Negeri
9
15
18
28
30
Kantor Kabupaten/Kecamatan
10
16
12
35
26
Kantor Catatan Sipil
11
26
10
28
26
Polisi Lalu Lintas
13
11
21
33
22
Polisi Selain Polantas
4
7
8
8
73
Badan Pertanahan Nasional
8
3
8
5
76
Perusahaan Listrik Negara
11
44
10
9
25
Catatan: Berdasarkan penyedia jasa dengan 40 atau lebih kasus suap yang tercatat. Sumber: Survei Diagnostik atas Korupsi di Indonesia, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
93
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
Sekalipun untuk korupsi kaum miskin mengeluarkan lebih sedikit uang daripada kaum kaya, dalam hal keuangan mereka jauh lebih lemah daripada kaum kaya. Pengeluaran ekstra ini harus ditutup dengan mengurangi pengeluaran di bidang-bidang lain, atau jika uang suap yang diminta melebihi kemampuan keuangan mereka, ini bisa berarti mereka harus berhutang.
Biaya Bila Tidak Menyuap Dalam situasi di mana kaum miskin menolak membayar suap – baik karena alasan keuangan maupun alasan moral – mereka harus menanggung hukuman atas penolakan untuk membayar suap ini seperti menerima bentuk pelayanan yang lebih buruk atau bahkan sama sekali tidak menerima pelayanan umum yang mereka butuhkan. Dalam situasi kompetisi, menolak membayar suap dapat berarti kalah terhadap lawan yang berani menyuap. Hal ini dapat berdampak lebih lanjut seperti tidak memperoleh pekerjaan yang dilamar di kantor pemerintah atau melalui perusahaan penyalur tenaga kerja.
Untuk memasang listrik kelompok masyarakat di Yogyakarta mengeluh bahwa korupsi dalam hal pemasangan sambungan listrik menjadi beban tambahan bagi setiap rumah tangga dan keluarga-keluarga termiskin tidak mampu membayar. Mereka mengatakan bahwa hal ini menyebabkan mereka harus menung gu berbulan-bulan sebelum dapat menikmati aliran listrik.
Kadang kala kaum miskin sama sekali tidak mengetahui apakah biaya tambahan yang dituntut sebenarnya suap atau bukan. Di Yogyakarta, seorang anggota masyarakat menceritakan bahwa perusahaan yang menyediakan jasa penyambungan listrik mengatakan bahwa ia tak perlu membayar suap tetapi ia perlu memberikan “tip” tambahan bagi pegawai-pegawainya yang memasang instalasi. 94
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
Modal Manusia Kaum miskin berpandangan bahwa korupsi mempengaruhi kesejahteraan fisik dan ketrampilan mereka. Korupsi di sekolah meningkatkan beban keuangan pada para orangtua murid, menguras habis keuangan mereka. Banyak orangtua harus mencari tambahan penghasilan agar dapat membiayai anak-anak mereka bersekolah dan membayar beban-beban tambahan lainnya. Yang lain mungkin menunda menyekolahkan anak mereka atau terpaksa membiarkan sang anak bersekolah hanya sampai SD saja. Para orangtua murid menghadapi pula kemungkinan anak-anak mereka tercinta menghadapi perlakuan buruk dari para guru jika mereka tidak dapat memenuhi tuntutan untuk membayar ekstra. Maka diam-diam mereka membayar. Jika korupsi dalam penyaluran bantuan beras mengurangi ketersediaan beras dan pada saat yang sama membuat harga beras menjadi naik, kaum termiskin dari kalangan miskinlah yang paling terpukul, dan dengan demikian tujuan proyek yang ingin membantu kaum miskin ini tidak akan tercapai sama sekali. Hal ini tentunya mengurangi kesejahteraan fisik mereka dan dengan sendirinya pula kemampuan mereka untuk bekerja, yang akan semakin mengurangi peluang ekonomi mereka. Jika selanjutnya kaum miskin menjadi putus asa dan menempuh jalan melawan hukum untuk mencari penghasilan, tentunya keamanan seluruh masyarakat akan terganggu.
Kebusukan Moral Kaum miskin mengeluhkan kebusukan moral para pejabat pemerintah dan juga masyarakat secara keseluruhan. Dalam Survei Diagnostik, 16% dari responden menganggap rendahnya moral sebagai penyebab utama korupsi. Para peserta dalam penelitian partisipatif juga sering menyebut “budaya 95
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
korupsi” di mana setiap orang biasa melakukan korupsi dan menerimanya sebagai suatu bagian dari kehidupan. Lambat laun KKN merusak pikiran dan moral orang. Suatu lingkungan yang korup mendorong timbulnya perilaku korup dan perilaku korup memperkuat lingkungan korup, suatu lingkaran setan yang sulit dihancurkan. “Suap-menyuap menjadi suatu kebiasaan dan ditiru anggota masyarakat yang lain. Lama-lama orang menjadi malas mengikuti prosedur yang semestinya, banyak hal akhirnya diselesaikan dengan penyuapan dan supremasi hukum mengalami erosi.” Analisis kelompok atas penyebab korupsi dalam pemasangan listrik, Yogyakarta
Seorang ibu berpandangan bahwa korupsi dalam kepolisian adalah bentuk korupsi yang paling mengganggu karena ia mengurangi rasa hormat pada polisi dan supremasi hukum, menyebabkan generasi muda tumbuh tanpa adanya tokoh panutan yang dapat dihormati. Korupsi juga memperburuk reputasi polisi, menurunkan otoritas mereka dan membuka pintu bagi tumbuhnya kejahatan. Orang sedapat mungkin menghindari berurusan dengan polisi. Hal ini lebih lanjut lagi merugikan kaum miskin karena dengan demikian mereka tidak mempunyai penolong dan pelindung, membuat mereka menjadi rentan terhadap kejahatan, pencurian dan penipuan.
Hilangnya Modal Sosial Berkaitan dengan kebusukan moral adalah hilangnya modal sosial. Korupsi merusak hubungan dan menghancurkan kepercayaan dan oleh karena itu mengacaukan tata pengaturan masyarakat. Pada akhirnya korupsi meningkatkan biaya untuk mengatur masyarakat. Kasus-kasus kaum miskin yang dibicarakan di sini memperlihatkan 96
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
bahwa jika para pejabat pemerintah memanfaatkan ketidaktahuan dan ketaatan anggota masyarakat untuk memeras mereka, para anggota masyarakat akan meragukan apakah mereka sungguhsungguh mewakili kepentingan mereka dan akan kehilangan hormat terhadap mereka. Dugaan korupsi saja sudah cukup untuk merusak ikatan-ikatan sosial. Kaum Di Makassar sebuah kelompok miskin di salah satu lokasi mencurigai mengeluhkan bahwa para pejabat bahwa para pemimpin mereka meminta “kurang berdisiplin” karena masyarakat membayar lebih mahal untuk mereka telah terlalu terbiasa beras yang disediakan oleh Program korupsi. Akibatnya, kata Jaringan Pengaman Sosial dan mereka, masyarakat menjadi mengantungi kelebihan uang ini. Kaum tidak suka dan tidak percaya miskin tidak berani berkonfrontasi pada pejabat. Mereka juga dengan para pemimpin mereka, mengungkapkan bahwa hal ini sementara itu para pemimpin tidak membuat marah masyarakat, mencoba menerangkan mengapa mereka menghalangi masyarakat dalam menjual beras dengan harga lebih tinggi mencapai kemakmuran dan daripada yang ditetapkan. Ketika dipaksa keadilan. Mereka merasa muak memberi penjelasan tentang hal itu dalam hanya menerima janji-janji palsu salah satu pertemuan kami dengan belaka. masyarakat, camat, pekerja sosial setempat dan pimpinan masyarakat menerangkan bahwa mereka terpaksa menetapkan harga lebih tinggi untuk menutup biaya-biaya administratif, untuk penimbangan ulang, pengepakan ulang dan transportasi beras, yang memang tidak cukup anggarannya. Dalam kasus ini, hal yang dibutuhkan sebenarnya hanyalah komunikasi antara para pemimpin dan masyarakatnya untuk mengembalikan kepercayaan, walau dalam kasus-kasus lain mungkin dibutuhkan lebih dari sekedar itu.
97
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
MENGAPA ORANG KORUPSI? Ketika ditanyai tentang sebab-sebab korupsi, 36% dari responden dalam Survei Diagnostik memilih faktor rendahnya gaji pegawai negeri sebagai penyebab utama. Faktor kedua adalah kurangnya pengawasan atas pegawai negeri dan kurangnya akuntabilitas mereka (19% dari responden), diikuti dengan faktor buruknya moral (16%) dan lemahnya penegakan hukum/hukuman bagi para koruptor (7%). Para peserta dalam tiga daerah perkotaan yang diteliti juga memberi jawaban serupa. Rendahnya gaji berkali-kali disebutkan. Kaum miskin melihat berbagai kebutuhan keuangan keluarga, berbagai bentuk sumbang-menyumbang di masyarakat, kenaikan pajak, atau biaya listrik merupakan faktor pendorong yang menyebabkan para pegawai negeri minta disuap. Sebab lain yang juga sering disebut ialah kurangnya pengawasan, baik dari atasan maupun dari masyarakat. Para peserta menunjuk pada kolusi di antara para atasan dan bawahan di PLN di mana para atasan memperoleh bagian dari uang suap yang ditarik oleh para bawahan mereka. Kaum miskin seringkali takut akan konsekuensi jika mereka berani menyuarakan kasus korupsi yang mereka alami. Seperti diungkapkan seorang peserta diskusi tentang mengapa masyarakat tidak menyampaikan keluhan ataupun mengawasi proses penimbangan beras yang diberikan melalui Program Jaring Pengaman Sosial: “Saya tidak berani ribut-ribut karena takut di masa yang akan datang bila ada pembagian beras di desa saya lagi saya tidak diberi.” Seorang peserta lelaki tentang sebab-sebab korupsi dalam Program Jaring Pengaman Sosial, Makassar
98
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
Tambahan pula, kaum miskin kurang informasi tentang prosedurprosedur yang dibutuhkan. Dalam banyak hal prosedur pengurusan begitu rumit sehingga orang melihat suap sebagai suatu jalan pintas untuk memperoleh sesuatu tanpa perlu Berdasarkan prosedur resmi, berurusan dengan berbagai tingkat untuk mengurus KTP baru birokrasi. Ini bisa menjelaskan mengapa hanya dibutuhkan lima langkah. beberapa peserta dalam penelitian Walaupun proses pengurusannya partisipatif kami lebih senang membayar gratis, namun proses itu begitu uang suap untuk “memecahkan” masalah rumit sehingga warga memilih dengan mudah. Pembaruan administratif meminta tolong ketua RT atau dan penyederhanaan prosedur akan RW untuk menguruskannya, mengurangi halangan birokrasi dan dengan membayar biaya antara dengan demikian juga mengurangi Rp. 20.000,- - Rp. 250.000,insentif untuk suap-menyuap. tergantung kasusnya. “KTP Memang Gratis Dalam beberapa kasus juga tidak jelas tetapi...”, Jakarta institusi mana yang bertanggung jawab atas pelayanan-pelayanan tertentu. Di Makassar seorang lelaki terpaksa menyogok seorang pemimpin agama untuk menyelesaikan kasus perceraiannya walaupun sesungguhnya pengadilan agamalah yang bertanggung jawab untuk menangani pernikahan dan perceraian: “Kami hanya orang biasa, kami tidak paham hal-hal seperti itu. Lebih baik kami membayar daripada nanti tidak enak.” Pak Rangkudu dalam sebuah kasus perceraian, Makassar
Kaum miskin juga tidak memiliki cukup informasi tentang bagaimana melaporkan kasus-kasus korupsi. Orang tidak tahu ke mana dan kepada siapa harus melaporkan praktek-praktek curang yang dilakukan PLN. Demikian pula, data dari Survei Diagnostik nasional mengungkapkan bahwa hanya 6,4% dari responden termiskin mengetahui proses yang harus diikuti untuk melaporkan kasus-kasus korupsi yang menyangkut pegawai pemerintah 99
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
dibandingkan dengan 16,4% dari kuintil terkaya. Dan hanya 2,5 % dari kuintil termiskin yang melihat kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah telah kemudian melaporkannya dibandingkan 3,8% dari kuintil terkaya. Kurangnya keterbukaan (transparansi) juga disebutkan sebagai salah satu penyebab. Di Jakarta masyarakat dipaksa membayar uang sampah tetapi mereka tidak mengetahui ke mana larinya uang mereka ini. Pimpinan masyarakat setempat menarik iuran sampah untuk sampah warga. Petugas lain menariki iuran sampah dari usaha-usaha kecil. Ketika Dinas Kebersihan DKI Jakarta juga menarik uang sampah, masyarakat menjadi terkejut: “Alasan dan aturan-aturannya tidak jelas. Kami tidak pernah mendapat surat edaran tentang pungutan sampah dari pemerintah DKI Jakarta. Kami sama sekali tidak mengenal petugas yang menarik iuran, dari kantor mana, apakah dia dari kantor kecamatan atau dari Pemda DKI.” Pak Machsun, dalam: “Uang Sampah, Benar-benar kacau”, Jakarta
Salah satu tema yang berkali-kali muncul dalam penelitian partisipatif kami adalah “budaya korupsi”. Orang juga menyebut keserakahan dan kurangnya moral ketika menjelaskan mengapa banyak pejabat korupsi. Mereka berbicara tentang budaya korupsi ketika membayar suap telah menjadi suatu cara yang umum untuk mencapai sesuatu, cara mengelola staf, cara menutupi kekurangan anggaran. Para guru sering dianggap “cinta uang”, pegawai kantor kecamatan “tidak jujur”, pegawai PLN dan staf pemda “mental korup”. Namun dari mana sikap seperti ini berasal? Dalam pertumbuhan orang belajar perilaku-perilaku tertentu dan strategi-strategi bertahan yang berdasarkan lingkungan mereka. Oleh karena itu pentinglah bagi kita untuk mundur sejenak dan meneliti sistemnya: masalah tidak dimulai ketika polisi lalu lintas menuntut suap. Ini hanyalah hasil dari suatu sistem yang rumit, dari suatu rangkaian 100
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
kejadian dan insentif keliru yang menciptakan peluang untuk perilaku korup yang tidak ada sanksinya. 9 Sebagian besar kasus korupsi dapat diterangkan dengan faktor pendorong dan penariknya. Faktor pendorong adalah faktorfaktor di lingkungan luar yang mendorong orang untuk berperilaku tertentu. Dalam kasus korupsi faktor-faktor ini dapat berupa faktor pribadi seperti keserakahan atau tuntutan keluarga atau kurangnya pendapatan ekstra atau faktor profesional seperti tekanan rekan kerja (melepaskan peluang korupsi sama saja bodoh) atau tekanan dari atasan untuk menyetor uang. Mungkin pula ada tekanan dari terbatasnya anggaran karena anggaran yang tersedia tidak cukup untuk menutup seluruh pengeluaran operasional. Faktor-faktor penarik adalah faktor yang menggoda orang untuk melakukan sesuatu, yang menarik mereka kepada suatu tindakan seperti insentif positif. Di sini hal itu adalah peluang untuk memperoleh penghasilan tambahan tanpa resiko tertangkap sama sekali. Walaupun hal ini dapat menggambarkan dengan tepat lingkungan yang menyuburkan korupsi, ada banyak faktor lagi dalam suatu sistem yang sesungguhnya melahirkan faktor-faktor pendorong dan penarik ini. Melihat cerita-cerita korupsi di dalam buku ini kita akan menemukan bahwa suatu lingkungan korup yang mengandung tiga ciri di bawah ini dengan mudah akan memindahkan beban korupsi pada kaum miskin: 1) Kurangnya informasi dan transparansi dalam sistem birokrasi dengan proses dan aturan-aturan yang kompleks. Absennya kedua hal ini akan membuat kaum miskin kesulitan memahami sistem birokrasi dan dengan demikian tak dapat
Bdk. Klitgaard, 2000, untuk pembahasan lebih terinci tentang strategi-strategi antikorupsi yang sukses. 9
101
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
memanfaatkan pelayanan dengan benar, dan selanjutnya ini menciptakan banyak peluang untuk korupsi. Kaum miskin seringkali dibingungkan oleh prosedur-prosedur yang berbelitbelit dan akhirnya lebih memilih membayar suap untuk dapat menikmati pelayanan dengan lebih mudah. 2) Masalah tata pemerintahan dan korupsi pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi yang “menetes turun” dan diserap oleh kaum miskin. Bila lembaga-lembaga pemerintah tidak memperoleh anggaran yang memadai, mereka akan terdorong untuk mencari sumber dana alternatif. Pencurian uang pada tingkat pemerintah yang lebih tinggi akan mengurangi dana yang diperuntukkan bagi pelayanan masyarakat. Jika kantor-kantor pemerintah dikelola dengan buruk karena penghargaan diberikan lebih untuk kesetiaan daripada prestasi, keefektifan pelayanan masyarakat yang diberikan akan sangat berkurang. Singkatnya, korupsi berperan dalam turut menciptakan masalah-masalah tata pemerintahan, mengurangi mutu dan sekaligus menaikkan biaya yang harus dikeluarkan untuk pelayanan masyarakat. Kaum miskin harus menanggung konsekuensi-konsekuensi ini. Mereka berada pada ujung yang menerima dan mereka hampir tidak dapat mempengaruhi sedikitpun akar-akar penyebabnya. Layaknya perokok pasif kaum miskin menanggung perilaku orang-orang di sekeliling mereka yang sama sekali berada di luar kontrol mereka. 3) Pembagian kekuasaan yang tidak merata dengan kaum miskin memiliki kekuasaan yang lebih kecil dan suara yang lebih lemah untuk menuntut perubahan. Kurangnya kekuasaan tampak pada kurangnya sumber daya keuangan, kurangnya informasi, pengetahuan dan pendidikan formal, kurangnya suara dalam wacana publik, kurangnya akses terhadap mereka yang memegang kekuasaan dan kurangnya dukungan dari sistem hukum serta polisi. Walau kaum miskin seringkali menggantungkan diri pada sistem peradilan informal 102
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
melalui para pemimpin masyarakat yang membantu menyelesaikan perselisihan mereka, terkadang mereka juga membutuhkan bantuan sistem peradilan formal untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Bila suap telah menjadi prasyarat bagi peradilan, berarti hak kaum miskin atas mekanisme penyelesaian perselisihan yang penting itu telah dirampas. Kurangnya kekuasaan membuat kaum miskin sangat tergantung pada para pemimpin masyarakat dan pejabat pemerintah dalam hal memperoleh pelayanan-pelayanan utama. Pada saat yang sama, kekuasaan para pejabat pemerintah diperbesar lagi dengan tingkat kebebasan memutuskan yang tinggi dan minimnya “checks and balances”, baik itu berupa pengawasan dalam institusi mereka sendiri ataupun mekanisme pelaporan yang dapat dipergunakan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah.
103
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
CARA-CARA MENGURANGI KORUPSI Walaupun ada rasa pesimis dan apatis, data dari Survei Diagnostik memperlihatkan masih adanya kehendak baik untuk menghapus korupsi pada seluruh kelompok dari berbagai tingkat pendapatan: 67% responden mengatakan bahwa “korupsi adalah suatu penyakit yang harus kita perangi, dengan melaporkan setiap kasus yang kita ketahui”. Dibandingkan dengan rezim Orde Baru, mayoritas responden merasa bahwa saat ini orang lebih tidak dapat menerima korupsi daripada sebelumnya. 10 Tambahan pula, Survei Diagnostik menemukan bahwa 57% responden merasa bahwa masih ada hasrat dan keinginan yang jujur pada diri orang Indonesia untuk memerangi korupsi, sementara 30% dari responden memberi pemerintah peringkat menengah antara “tidak ada keinginan sungguh-sungguh” dan “ada keinginan sungguhsungguh” untuk memerangi korupsi. Dapat disimpulkan di sini bahwa sebenarnya ada potensi besar untuk menggalang aksi sosial melawan korupsi. Idealnya, upaya pembaruan lokal harus berjalan seiring dengan upaya-upaya pembaruan yang sistematik. Agar dapat berdampak nyata pada kehidupan kaum miskin pembaruan harus dimulai dengan pelayanan-pelayanan masyarakat yang paling mereka butuhkan. Di ketiga lokasi penelitian ini meliputi polisi, sekolah, penyediaan listrik, pengumpulan sampah dan Program-program Jaring Pengaman Sosial. Seperti telah kita saksikan informasi adalah salah satu komponen kunci. Perlu diupayakan adanya sosialisasi biaya-biaya dan prosedur resmi untuk memperoleh pelayanan; sosialisasi yang benar-benar
Secara lebih khusus 65% responden berpandangan bahwa kini orang (sangat) tidak menerima korupsi dan hanya 5% yang berpandangan bahwa orang (sangat) lebih menerima. Ini dapat dipisahkan menjadi 59% dari kelompok termiskin dan 73% dari kelompok terkaya yang beranggapan bahwa orang (sangat) tidak menerima korupsi.
10
104
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
sampai kepada kaum miskin dan dapat mereka pahami. Transparansi dalam pengelolaan dana-dana masyarakat akan membantu mencegah korupsi. Mekanisme akuntabilitas perlu diperkenalkan agar para pemimpin masyarakat dan pejabat pemerintah dapat bertanggung gugat (akuntabel) atas uang yang dipercayakan masyarakat untuk mereka kelola. Partisipasi anggota masyarakat dapat meningkatkan pengawasan atas para pejabat pemerintah dan meningkatkan infor masi serta transparansi. Dalam diskusi di Yogyakarta, Jakarta dan Makassar, anggotaanggota masyarakat miskin banyak menyumbangkan gagasan untuk mengurangi korupsi di masyarakat. Di antara gagasangagasan tersebut, dua unsur kunci dalam kampanye-kampanye anti korupsi lokal dapat membawa dampak yang kuat dalam membatasi korupsi: 1) Bergerak kolektif dalam kelompok untuk melindungi pribadi-pribadi dari pembalasan oleh para pejabat pemerintah dan untuk mengumpulkan suara agar bersatu dan lebih kuat. Bergabung dengan tetangga, teman, sesama orangtua murid, dan para pemimpin masyarakat adalah salah satu langkah penting. Minta dukungan LSM-LSM lokal yang bergerak dalam bidang pembangunan masyarakat, bantuan hukum atau isu-isu anti-korupsi juga menguntungkan. 11 2) Meningkatkan arus informasi: berbagi pengalaman tentang KKN dalam komunitas-komunitas lokal akan membantu mengidentifikasi ciri-ciri dan masalah KKN yang serupa serta
Dalam Survei Diagnostik kuintil termiskin memeringkat organisasi keagamaan seperti mesjid, gereja ataupun yang lainnya sebagai institusi terbersih, dan mass media serta LSM sebagai ketiga dan keempat terbersih. Hal ini tentunya dapat berperan penting dalam mendukung kegiatan-kegiatan anti-korupsi. 11
105
Bagaimana Korupsi Merugikan Kaum Miskin
membantu menetapkan prioritas hal-hal yang perlu diperbarui; mengorganisir kegiatan penyadaran untuk memasukkan isu korupsi dalam agenda lokal, mensosialisasikan informasi tentang biaya-biaya dan prosedur resmi untuk pelayanan masyarakat yang dapat menjangkau dan dipahami kaum miskin; menyusun suatu mekanisme pelaporan untuk kasus-kasus kor upsi, dsb. Memperkenalkan transparansi dalam pengelolaan keuangan masyarakat akan membantu mencegah korupsi dan mendeteksi jika ada kebocoran. Media lokal melalui stasiun radio, kelompok teater, surat kabar, tetapi juga papan pengumuman dan pertemuan-pertemuan masyarakat adalah sarana efektif untuk berkomunikasi. Para pejabat tentunya akan kesulitan untuk menutup mata terhadap tuntutan masyarakat bila 100 orang mengetahui permasalahannya, apalagi jika 1.000 atau 10.000 orang.
106
Lampiran PETA KORUPSI: Kasus-kasus Berdasarkan Sektor S EKTOR PENDIDIKAN
POLISI
K ASUS K ORUPSI
DARI
K EHIDUPAN K AUM M ISKIN
− Orangtua murid harus menyuap guru agar raport (laporan hasil belajar)
anaknya dapat keluar − Berbagai macam iuran yang berlebihan, beberapa di antaranya “sukarela” seperti uang pembangunan, uang sekolah, kegiatan amal, uang administrasi, dsb. − Sekolah menuntut bunga untuk uang gedung yang dicicil − Uang masuk khusus untuk anak-anak pengungsi (Rp. 100.000,-) di Makassar − Dana beasiswa diambil guru − Dana beasiswa dipotong − Orangtua murid harus membeli seragam sekolah dengan harga yang jauh di atas harga pasar − Sekolah membeli peralatan dengan harga yang ditinggikan
− Uang tilang: suap kepada polisi lalu-lintas: Rp. 17.000,- untuk kealpaan
membawa surat kendaraan, dsb. − Pertengkaran: polisi menahan pemuda yang hampir terlibat perkelahian dan menawarkan untuk membebaskannya jika membayar Rp. 300.000,-, kemudian ditawar sampai Rp. 150.000,-; polisi menyelesaikan masalah hutang-piutang # pihak-pihak yang bertikai membayar “uang terima kasih” − Penjual kupon judi gelap tertangkap polisi. Polisi menuntut tebusan Rp. 250.000,- kalau tidak ingin ke pengadilan. Menahan sepeda motor sebagai jaminan. − Seorang bapak tertangkap basah mencoba mencuri sepeda untuk anaknya. Polisi menyelamatkannya dari amukan massa dan menahannya. Seseorang menawarkan dapat mengeluarkan dari tahanan dengan membayar Rp. 200.000,- yang tak dapat dipenuhinya. Beberapa hari kemudian ia dibebaskan. − Seorang lelaki tertangkap membawa clurit. Polisi sanggup membebaskannya dari tahanan asal mau membayar Rp. 500.000,− Suap diminta untuk adu jago ilegal − Suap untuk melepaskan penjudi dari penjara
PENGADILAN
− Polisi menahan tiga pemuda yang terlibat perkelahian antar geng: keluarga korban menuntut Rp. 2,5 juta. Ketika kasus dilimpahkan ke pengadilan, pengadilan menuntut suap, pengacara menuntut Rp. 1 juta per orang untuk menyuap hakim. Mereka tak mampu membayar satupun dari ini.
LISTRIK
− Penyalur resmi ataupun tak resmi meminta ongkos yang berbeda untuk
pemasangan listrik. Suap untuk sambungan kilat (Rp. 50.000,- untuk tiga bulan atau Rp. 700.000,- untuk tiga hari) − Ketidakteraturan tagihan listrik (naik mendadak). Harus membayar lebih daripada yang tertera di meteran.
L1
Lampiran
PROYEK PENGEMBANGAN INTERNATIONAL, TERMASUK JARINGAN PENGAMAN SOSIAL
− Nilai sesungguhnya dari bahan bangunan yang diterima melalui program bantuan lebih rendah daripada yang tertera (Rp. 225.000,- bukannya Rp. 300.000,-) − Menerima bantuan yang tidak dibutuhkan − Pemilihan penerima JPS melalui ketua RT seringkali salah sasaran − Dalam beras JPS jumlah beras yang disampaikan kurang dari jumlah yang tercatat dan harganya lebih tinggi Rp. 100,- atau 200 per kilonya − Potongan-potongan di bagian atas dari rantai penyaluran beras JPS − Percobaan kolusi antara kantor kecamatan dan ketua RT. Ketua RT diminta mempertanggung-jawabkan Rp. 6 juta sementara ia hanya menerima Rp. 4 juta. − Ketua RW melarikan beras JPS dan menumpuknya di rumahnya. Kolusi antara camat dan ketua RW membuat ia tetap dapat mempertahankan jabatannya. − Jalan dibiarkan setengah selesai dan mutunya buruk sehingga lekas rusak. Kolusi antara kontraktor dan camat.
PENDAFTARAN
− Surat Cerai dan Nikah: pemimpin agama meminta tambahan biaya Rp. 250.000 - 300.000,- untuk mengurus walaupun sebenarnya ditangani pengadilan agama − Surat cerai Rp. 50.000,- untuk KUA − Surat nikah Rp 17.500-40.000,− Akte Kelahiran Rp 17.500,− Keterangan tempat tinggal Rp 30.000,− Kartu Keluarga Rp 5.000,− Berbagai biaya untuk membuat ataupun memperbarui KTP. − Prosedur yang rumit yang mengundang para perantara untuk mengambil untung (biaya antara Rp 2.000-250.000,-)
SURAT TANAH DAN JUAL BELI
− Prosedur yang rumit untuk mengurus surat-surat tanah dsb. ditambah
PENGELOLAAN KEUANGAN
− Kurangnya transparansi tentang siapa saja yang menyumbang kas
(KANTOR KABUPATEN DAN KECAMATAN, PEMIMPIN AGAMA ATAU KANTOR URUSAN AGAMA (KUA))
L2
korupsi. Berbagai pungutan resmi maupun “sukarela”, perbedaan tak jelas: “Hampir semua orang yang terlibat memberikan uang dalam amplopamplop” (pegawai negeri, Jakarta)
DI TINGKAT MASYARAKAT
masyarakat dan bagaimana dananya dimanfaatkan. Pimpinan masyarakat yang menentukan penggunaan uang. − Pimpinan masyarakat “meminjam” uang (Rp. 300.000,- atau lebih) dari kas masyarakat dan meninggal sebelum dapat mengembalikannya
UANG SAMPAH
− Beberapa pungutan sampah: iuran RT, iuran sampah untuk Pemda DKI
PEMERINTAH DAERAH
- Warga diminta membayar sendiri untuk penerangan jalan walaupun itu
Jakarta, uang kebersihan untuk pengusaha − Uang sampah (Rp 1.500,-) ditarik tetapi sampah tidak diambil
menjadi tanggung jawab pemda (warga membayarpajak lampu jalan kepada pemda)
Lampiran
KESEHATAN
− Pil KB diperjualbelikan walau seharusnya gratis
LAPANGAN KERJA
− Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja: “Biaya tambahan” sebesar
(PUSKESMAS, POSYANDU)
− Puskesmas: Kartu/karcis Rp. 2.500,-; penimbangan bayi Rp. 2.500,-; uang pendaftaran lebih mahal Rp. 100,- dari tarif resmi
Rp. 300.000,- untuk mendapat pekerjaan yang tidak pernah menjadi kenyataan; biaya administrasi untuk pembatalan pekerjaan sebesar Rp. 400.000,− Perusahaan bis: pendaftar dimintai Rp. 50.000,-. Akhirnya tidak jadi bayar karena tidak lulus tes. − Berbagai macam pungutan untuk menjadi pegawai negeri. Pembayaran suap dan tujuannya berbagai macam tetapi berkisar antara Rp. 2 juta sebagai uang terima kasih dan administrasi sampai Rp. 10 juta untuk perantara, seorang pejabat tinggi yang bisa memberi rekomendasi. Lebih banyak uang suap lagi dibutuhkan untuk melewati tes masuk dan melewati masa pelatihan, untuk dapat jabatan di tempat yang enak (Rp. 1 juta untuk penempatan di Jakarta), untuk memperoleh promosi, perpindahan tugas dan untuk menerima pensiun.
L3
Lampiran
B I B L I OG RA P H Y Ardyanto, Donny, 2001, “Corruption in the Indonesian Public Service”, in: Stealing from the People, Partnership for Governance Reform, Indonesia, 2002 Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Rosa Alonso-Terme, 1998, Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?, IMF Working Paper Holloway, Richard and Stefanie Teggemann (eds), 2002, Participatory Corruption Appraisal - a methodology for assessing the effect of corruption on the urban poor, Partnership for Governance Reform in Indonesia (forthcoming) Klitgaard, Robert et al, 2000, Corrupt Cities. A Practical Guide to Cure and Prevention, Institute for Temporary Studies, Oakland, California Knack, Stephen and Philip Keefer, 1995, “Institutions and Economic Performance: Cross-Country Tests Using Alternative Institutional Measure”, in: Economics and Politics, Vol. 7, pp. 207-27. Mauro, Paolo, 1995, “Corruption and Growth”, in: Quarterly Journal of Economics, Vol. 110, pp. 681-712 Mauro, Paolo, 1997, “The Effects of Corruption on Growth, Investment, and Government Expenditure: A Cross-Country Analysis”, Kimberly Ann Elliott (Ed.) in: Corruption and the Global Economy, Washington: Institute for International Economics Morgan, Amanda L., 1998, Corruption: Causes, Consequence, and Policy Implications, Working Paper #9, The Asia Foundation Working Paper Series, October 1998 Mukherjee, Nilanjana, 1999, Consultations with the Poor in Indonesia. Country Synthesis Report, Draft, The World Bank (PREM)
L4
Lampiran
Narayan, Deepa, 1999, Can Anyone Hear Us? Voices from 47 Countries, The World Bank, Washington D.C. Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2002, A Diagnostic Study of Corruption in Indonesia, Jakarta, Indonesia The World Bank, 1997, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, Washington D.C. The World Bank (PREM), 1999, Consultations with the Poor: Methodology Guide for the 20 Country Study for the World Development Report 2000/2001, The World Bank, Washington D.C.
Desain dan Tata Letak: ARI F, Grha Info Kreasi - www.ikreasi.com