KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas karunia-Nya, kami dapat menyusun Prosiding Seminar Internasional Pedagogis yang Ke-6 dengan tema “The Development of Pedagogical Education From the Perspective of the 21st Century and Cooperation Asean Educator Community”. Proseding ini memuat 148 artikel yang dibentangkan selama tiga hari pelaksanaan seminar. Fokus kajian yang dibahas dalam proseding ini mencakup isu-isu yang berkembang dalam bidang pedagogik umum, etnopedagogi, pedagogik praktis, pedagogik kritis, pedagogik bahasa,dan pedagogik sosial. Dalam penyusunan prosiding ini, tentu akan ditemukan beberapa kelemahan atau kekurangan mendasar. Untuk itu kami mohon maaf dan maklum dari sidang pembaca atas kekurangan kami ini. Mudah-mudahan kritik dan saran yang membangun dapat siding pembaca sampaikan kepada kami agar agar proseding ini dapat lebih bermanfaat bagi semua pihak. Semoga tujuan penyusunan proseding ini, yakni pertukaran informasi pendidikan antarnegara serumpun, dapat mencapai sasarannya. Selain itu, semoga saja temuan pemikiran yang terdapat di dalam proseding ini dapat diimplementasikan secara praktis dalam setting kependidikan. Lebih jauh lagi semoga hasil seminar antarbangsa ini berkontribusi bagi kejayaan negara serumpun, khususnya dalam bidang pendidikan dan peradaban moderen.
Bandung, September 2015 Tim Editor
i
KATA SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Assalamualaikaum, Wr. Wb. Syukur ke Hadirat Illahi karena perkenan-Nya kita dapat melaksanakna seminar antarabangsa ini yang tentunya dapat membawa pencerahan dan kebaikan bagi kita semua, khususnya bagi dunia pendidikan di kawasan serantau IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand, Growth Triangle). Selamat dan terima kasih kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Institut Pendidikan Guru Kampus Khas Kuala Lumpur, USAIDIndonesia, para penyaji dan peserta dari dalam dan luar negeri yang telah menyukseskan seminar antarabangsa ini. Seminar ini sangat penting, mengingat pendidikan berkualitas dan bertaraf dunia merupakan suatu keniscayaan dalam lanskap dunia yang telah mengglobal dan penuh tantangan. Semoga hal ini menggugah kita semua untuk lebih peduli dan berkomitmen pada pendidikan berkualitas untuk mempersiapkan generasi masa depan yang berakhlak mulia, cerdas, mandiri, kreatif, inovatif, demokratis sehingga dapat bersaing di era global. Saya berharap seminar internasional tiga negara serumpun ini dapat mencapai tujuannya dan dapat memberikan informasi terkini tentang upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan hasrat merealisasikan pendidikan unggul bertaraf dunia di masingmasing negara. Semoga lahir ide-ide bernas, komitmen tinggi untuk mengubah wajah dunia pendidikan kita ke arah yang lebih baik dan bermakna. Di samping itu terbangunnya jejaring akademik di peringkat nasional dan internasional yang berfokus pada pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam rangka membangun komunitas serantau dan masyarakat ekonomi Asean (MEA) yang tangguh dan berjaya. Sekian. Terima kasih. Wassalam, Bandung, 15 September 2015 Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan
Prof. Dr. Ahman, M.Pd
ii
iii
KATA SAMBUTAN KETUA DEPARTEMEN PEDAGOGIK-FIP UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Assalamualaikaum, Wr. Wb. Terlebih dulu saya sebagai ketua Departemen Pedagogik, Fakultas Ilmu Pendidikan-UPI menyampaikan rasa syukur yang tidak terhingga karena izin-Nya saya diberi peluang menyampaikan sepatah dua patah kata dalam proseding, “Seminar Serantau Pedagogik ke-6” ini. Atas nama Civitas Academica Departemen Pedagogik, kami mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang telah berjaya menyelenggarakan seminar antarabangsa ini. Terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para penyaji, para peserta baik dari dalam dan luar negeri atas kontribusinya bagi terselenggaranya seminar ini. Semoga kegiatan ini akan memperkokoh kerja sama para pendidik, peneliti dan stakeholders di kawasan serantau secara lebih luas dan lebih mendalam dalam rangka membangun pendidikan yang berkualitas dan bermanfaat bagi semua. Amin. Sekian. Terima kasih. Wassalam,
Bandung, 15 September 2015 Ketua Departemen PedagogikDr. Babang Robandi, M.Pd.
iv
KATA SAMBUTAN KETUA PRODI PGSD-FIP UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Assalamualaikaum, Wr. Wb.
Mewakili semua dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, kami menyambut dengan senang hati atas terselenggaranya Seminar Internasional Pedagogik ke-6 ini dengan tema, “Pengembangan Pedagogik dari Prespektif Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik Serantau” yang disertai dengan penerbitan proceeding-nya. Mudah-mudahan seminar ini dapat turut mencerahi dunia pendidikan Indonesia juga mereka yang menjadi mitra seminar internasional ini. Seminar sebagai sebuah representasi dari kehidupan universitas harus merupakan kegiatan rutin, baik yang sifat publish formally maupun yang sifatnya berlangsung secara informal di ruang-ruang diskusi maupun di kelas. Seminar adalah sebuah bagian dari aktivitas pencarian para ilmuan. Mudah-mudahan dengan terus meneliti, menulis, menerbitkan dan seminar, suatu hari diperoleh temuan-temuan saintifik yang bermanfaat untuk kita semua. Sekian. Terima kasih. Wassalam,
Bandung, 15 September 2015 Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Dr. Dharma Kesuma, M.Pd.
v
KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR
Assalamualaikaum, Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah, bahwa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Departemen Pedagogik Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia dapat menyelenggarakan Seminar Internasional PGSD Ke-6 dengan tema, “Pengembangan Pedagogik dari Perspektif Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik Serantau” bekerja sama dengan Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas Kuala Lumpur Malaysia. Seminar Pedagogik Serantau ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di UPI Bandung dan Perguruan Tinggi di Malaysia; bertujuan membangun budaya akademik di kalangan dosen/pensyarah, membangun jejaring kerja sama antarkomunitas pendidik, memfasilitasi ke arah kecemerlangan pendidikan taraf antarabangsa, dan lebih jauh berpartisifasi membangun tamadun yang lebih berjaya dan bermanfaat bagi semua pihak di kawasan serantau. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: Bapak Rektor UPI, Dekan FIP UPI, Pengarah IPGIK-KL, USAID Indonesia, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, jajaran panitia, para penyaji dan peserta seminar dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand; atas partisipasi, bantuan serta dukungan yang tak terhingga sehingga seminar ini dapat terlaksana. Akhir kata semoga seminar ini mencapai tujuannya, memberikan ruang serta jalan menyelesaikan bagi masalah pendidikan serta memberikan sumbangan keilmuan yang bermakna dan barokah bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air dan Kawasan Serantau. Amin. Wassalam, Ketua Panitia Tatat Hartati, M.Ed, Ph.D.
vi
KATA PENGANTAR Kata Pengantar Editor.....................................................................................................i Kata Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan.....................................................ii Kata Sambutan Pengarah IPG Kuala Lumpur ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,iii Kata Sambutan Ketua Departemen Pedagogik FIP...................................................iv Kata Sambutan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar............................v Kata Sambutan Ketua Panitia......................................................................................vi
DAFTAR ISI JILID IV PEDAGOGIK SAINS AKTIVITAS LITERASI SAINS DI SEKOLAH DASAR PEDOMAN MEMBACA SAINS SEBAGAI KONSEP AWAL MENUMBUHKAN Asep Saefudin, Susilawati (UPI Bandung)....... 1193 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP IPA SD BERBASIS KEGIATAN LABORATORIUM MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAVI Risda Amini (UNP Padang)....... 1201 PROFESIONALISME SEORANG GURU DALAM MENERAPKAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA MENINGKATAN KUALITAS PEDAGOGIK SAINS DI SEKOLAH DASAR Sukiniarti dan Lis Setiawati (UT Tangerang)....... 1208 PENTAKSIRAN KEFAHAMAN KONSEP SAINS DENGAN MENGGUNAKAN PENGURUSAN GRAFIK Wahadatul Arta’iah Sa’audi & Haslinah Abdullah (Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik, Bandar Enstek, Negeri Sembilan)....... 1215 PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SD Yani Septiyani Rosalia (UPI Bandung)....... 1225 PENGELOLAAN PEMBUATAN SOAL BERBASIS LITERASI SAINS Yuni Pantiwati & Husamah (Universitas Muhammadiyah Malang)....... 1232
vii
PEDAGOGIK MATEMATIKA IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR MELALUI MULTIMEDIA PEMBELAJARAN BERBENTUK KOMIK DIGITAL Andhin Dyas Fitriani (UPI Bandung)....... 1242 PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT BERDASARKAN MISKONSEPSI SISWA Desy Andini, Karlimah,& Hj. Momoh Halimah (UPI Tasikmalaya)....... 1250 DESAIN PERKULIAHAN UNTUK MENGEMBANGKAN MATHEMATICAL KNOWLEDGE OF TEACHING MAHASISWA PGSD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Epon Nur’aeni L & M. Rijal W. Muharram (UPI Tasikmalaya)....... 1259 KOMIK DIGITAL DENGAN ALUR CERITA BERANGKAI SEBAGAI SARANA IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR Harsa Wara Prabawa (UPI Bandung)....... 1265 PENINGKATAN SELF-CONFIDENCE MELALUI PENERAPAN MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DENGAN METODE HEURISTIK Mariah Ulfah, Rahmat Sutedi & Zaenal Muttaqin (UPI Bandung)....... 1280 PENERAPAN COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Nanang (STKIP Garut)....... 1288
KONTEKSTUAL
INOVASI DALAM PEDAGOGI MATEMATIK ABAD KE-21 Nor Hayati Bt Hj Mt Ali (Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman, Kedah Darul Aman)....... 1299 MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM MATEMATIKA MENGGUNAKAN KARTU DOMINO Suci Hayati & Irzal Anderson (Universitas Jambi)....... 1311
PEMBELAJARAN
PEDAGOGIK SENI KREATIVITAS BERKARYA SENI RUPA MELALUI MEDIA PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN DENGAN MEMANFAATKAN BARANG BEKAS
viii
Ira Rengganis (UPI Bandung)....... 1330 IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK ANAK USIA DINIMELALUI PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA I Gusti Komang Aryaprastya Agus (UPI Bandung)....... 1319 TEKNIK CETAKAN BLOK MELALUI EKPLORASI SUMBER ALAM DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SENI PRA SEKOLAH Khalijah Ahmad (Institut Pendidikan Guru Malaysia,Cyberjaya)....... 1339 KEMUDAHAN PRASARANA DALAM PELAKSANAAN MATA PELAJARAN TEKNOLOGI KEJURUTERAAN, LUKISAN KEJURUTERAAN DAN REKA CIPTA DI SEKOLAH MENENGAH HARIAN Mohd Tafizam Mohd Taib & Ramlee Mustapha (Fakulti Pendidikan Teknik dan Vokasional, Universiti Pendidikan Sultan Idris)....... 1351 KEBERKESANAN PENGGUNAAN SCHOOLOGY DALAM MATA PELAJARAN PEDAGOGI PENDIDIKAN SENI VISUAL OLEH GURU PELATIH ELEKTIF G5.1 Nor Azizah Atan & Zaharah Mohamad (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1362 PENDIDIKAN KONSERVASI SENI SEJAK DINI MELALUI PENCIPTAAN KOSTUM TARI UNTUK ANAK BERBASIS MOTIF BATIK Rosarina Giyartini (UPI Kampus Tasikmalaya)....... 1370 KEMAHIRAN AMALI PENDIDIKAN SENI VISUAL: PELAKSANAAN DAN CABARAN Zaharah Binti Mohamad, Madya, Nasir B. Ibrahim, & Mohd Zahuri B Khairani (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1377 PENGETAHUAN EMPAT BIDANG KEGIATAN PENDIDIKAN SENI VISUAL (PSV) DALAM KALANGAN PELAJAR ELEKTIF TESL MELALUI KERJA KURSUS PROJEK Zainun Abu Bakar, Zaharah Mohamad, Faridah Anum Abdul Wahid & Nor Azizah Atan (IPGKIK Kuala Lumpur)....... 1387
PEDAGOGIK INKLUSI INCLUSIVE PEDAGOGY FOR DIVERSE CLASSROOM SETTINGS Gunarhadi (UNS Kampus Surakarta)....... 1395
STUDENTS
IN
REGULAR
ix
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF DI DALAM BILIK DARJAH DI SEKOLAH DAERAH KLANG Lee Phaik Gaik, Nazifah Binti Shaik Ismail, Norliza Binti Jaafar, & Mohd On Bin Ahmad (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1404 PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU PENDIDIKAN JASMANI Mohd. Khamdani Bin Sairi Phd, Jalaluddin Bin Abd. Latif, Mokhtar Bin Ahmad, Rozila Binti Mohd. Isa, Jamaliyah Binti Ahmad, Hafidzah Binti Abd. Khafidz, Noraini Binti Mohamed, & Zulkarnain Bin Ali (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1413 KEFAHAMAN GURU-GURU SEKOLAH RENDAH TENTANG KONSEP PENDIDIKAN DAN PEDAGOGI INKLUSIF: SATU KAJIAN KES DALAM KALANGAN GURU-GURU DI LEMBAH KLANG Mohd On bin Ahmad, Parwazalam bin Abdul Rauf,&Chin Mei Keong (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1422 LITERASI PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU-GURU PENDIDIKAN JASMANI DI KUALA LUMPUR Kok Mong Lin, Teng Siew Lian, Balkaran a/l Arumugam,& Ch’ng Swee Ghiam (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1428 MENEROKA KESEDIAAN PENSYARAH DI INSTITUT PENDIDIKAN GURU MELAKSANAKAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN Rajagopal Ponnusamy & Ravichantiran Arujunan (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1437 PERANAN PENTADBIR SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DI BEBERAPA SEKOLAH RENDAH YANG TERPILIH Ramesh Rao, Rajagopal Ponnusamy, Jeya Velu, Ismail Raduan, Lee Leh Hong, Lee Lay Hwa, Mohd Jim Hamzah & Santhi Periasamy (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1446 AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF SISWA GURU PISMP AMBILAN JANUARI 2011OPSYEN PENGAJIAN SOSIAL Syed Ismail Syed Mustapa, Pushpavalli A.Rengasamey, Fuziah Abdul Manaf , Nor Baizura Abu Bakar, Siti Rohani Abd.Rahman, Kamsiah Ab Rashid, & Munizar Mohamad (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 1457
x
PEDOMAN MEMBACA SAINS SEBAGAI KONSEP AWAL MENUMBUHKAN AKTIVITAS LITERASI SAINS DI SEKOLAH DASAR 1)
1)Universitas
Asep Saefudin, & 2)Susilawati Pendidikan Indonesia, & 2)Universitas Muhammadiyah Cirebon E-mail: 1)
[email protected]
Abstract The study was presented as one of the alternatives in growing literacy activities in schools. Natural Sciences (IPA) is one of the basic science learned in elementary school. IPA is in the midst of our daily activity, study it seriously is a must to get to know and understand the phenomena of the universe is no exception to learners in elementary school. Dish of modern information and communication technology today, making learning resources to be diverse and abundant. However, the development of information and communication technology advances do not necessarily make learning to high science, even less cause learners to experience a decrease in the quality and quantity of learning science. Learners increasingly forgo learning, including learning to read science. Learning activities and low reading interest in studying science more real, conscious or not this practice lead to their understanding of the science of matter is low. Therefore, it takes a special strategy for educators to innovate to create learning that allows the creation of literati learning to foster science learning activities in elementary school. One such business is the application of the Science reading guides in elementary school. Kata kunci : pedoman membaca sains, aktivitas litesasi sains PENDAHULUAN Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Sains merupakan salah satu bidang studi pokok, yang dipelajari di Sekolah Dasar (SD). IPA dekat dengan pengalaman keseharian kita. IPA tidak hanya cukup dipelajari dengan mengetahui fakta, konsep, atau prinsip semata, tetapi juga perlu melakukan proses untuk menemukan sekumpulan pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2006). Kegiatan yang menunjang proses penemuan diantaranya melalui kegiatan observasi, inkuiri, praktikum, diskusi, dll. Hadirnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan ilmu, salah satunya adalah ilmu Sains. Sains disajikan dalam berbagai bentuk informasi, diantaranya buku ajar. Buku ajar dalam dunia pendidikan memilki peranan penting dalam penyebaran perkembangan keilmuan Sains. Buku dihadirkan dengan harapan menjadi penerang, pencerah, dan rujukan informasi dari jutaan sumber informasi bagi peserta didik di Sekolah. Akan tetapi, harapan hadirnya kemajuan sumber informasi dalam bentuk digital maupun cetak belum secara optimal tercapai. Beberapa penelitian dilakukan untuk menggali informasi tentang aktivitas siswa dalam membaca. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Saefudin. Saefudin (2010 & 2013) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa trend
1193
kualitas dan kuantitas dalam mempelajari sains khususnya aktivitas membacamenulis Sains di SD semakin hari semakin menurun. Aktivitas mempelajari Sains semakin ditinggalkan oleh peserta didik. Peserta didik lebih cenderung memilih bermain game dan entertainment seperti menonton TV dibandingkan dengan belajar Sains. Disisi lain keterampilan membaca untuk anak-anak sangat penting dilakukan untuk pertumbuhan akademis dan pribadi siswa di masa depan (Jones & Carol, 2011). Glenberg (2011) dalam penelitiannnya menyimpulkan bahwa aktivitas membaca sangat penting dalam mewujudkan pemahaman terhadap konteks materi yang dibaca. Selain itu, peneliti lainnya seperti Van Den Broek, dkk (2011), dan Jones & Carol (2011) dalam jurnalnya juga mengemukakan tentang keefektifan membaca dalam meningkatkan minat membaca dan pemahaman peserta didik. Kecenderungan peserta didik meninggalkan aktivitas belajar membaca Sains menyebabkan kemampuan awal dalam memahami materi pelajaran Sains rendah. Akibatnya aktivitas belajar dan pembelajaran di kelas menjadi monoton. Interaksi pembelajaran yang interaktif antara guru-siswa, siswa-siswa ataupun siswa-sumber belajar lainnya menjadi rendah. IPA seolah menjadi bagian yang terpisahkan dari kehidupan nyata, dan dianggap sebagai sebuah mata pelajaran saja yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, perlu strategi khusus bagi pendidik dalam membelajarkan IPA di sekolah. Optimalisasi proses pembimbingan dan tindak lanjut yang menuntun kemampuan berfikir peserta didik dalam penemuan konsep dasar materi dan proses melakukan rangkaian aktivitas belajar perlu dilakukan. Salah satunya dengan pemberian stimulus di awal pembelajaran. Stimulus pembelajaran di awal pembelajaran perlu dilakukan untuk membangkitkan semangat belajar Sains di Sekolah. Salah satu formula tersebut adalah dengan Strategi Pedoman Membaca Sains. Pedoman Membaca Sains adalah penting bagi para pendidik, agar peserta didik memiliki minat belajar yang baik dan terlibat langsung dalam pencarian konsep sains sehingga kemampuan memahami suatu konsep dengan melakukan proses berfikir yang baik dimiliki oleh peserta didik. Berdasarkan pada permasalahan di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa rumusan pertanyaan berikut; 1. Bagaimana hakekat pembelajaran IPA di SD? 2. Seperti apa Pedoman Membaca Sains dalam pembelajaran IPA di SD? 3. Bagaimana prinsip penyusunan Pedoman Membaca Sains dalam pembelajaran IPA di SD? 4. Bagaimana hubungan Pedoman Membaca Sains dan Aktivitas Literasi Sains di SD? PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR Pendidikan IPA yang disusun Departemen Pendidikan Nasional (2006) dengan judul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mendefinisikan IPA adalah suatu proses penemuan. IPA tidak hanya berkaitan dengan penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja. Proses pembelajarannya menekankan pada
1194
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa agar mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Dengan demikian, IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran IPA dipelajari sejak dini baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam KTSP (Depdiknas; 2006), mata pelajaran IPA mulai diajarkan sejak kelas 1 SD. Menurut Jean Piaget (Trianto, 2007:22), tahapan berpikir siswa SD masih dalam tahapan operasional konkret yaitu usia 7–11 tahun. Pada tahap ini siswa membutuhkan pengalaman yang menarik sehingga diperlukan metode dan media yang yang bervariasi dalam pembelajaran. Paolo dan Marten (Iskandar, 2001: 16) Ilmu Pengetahuan Alam untuk anak-anak didefinisikan sebagai ; (1) mengamati apa yang terjadi; (2) mencoba memahami apa yang diamati; (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi; dan (4) menguji ramalan. Dari pendapat tersebut, tergambar dengan jelas proses yang perlu dilakukan oleh seorang anak dalam mempelajari IPA. Dengan demikian, dalam pembelajaran IPA tidak hanya melibatkan kegiatan berpikir saja (minds on activities) tetapi juga melibatkan kegiatan manipulatif (hands on activities). PEDOMAN MEMBACA SAINS (PMS) Saefudin (2010) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pedoman membaca pada konteks PMS adalah patokan atau rujukan berupa pertanyaan dan atau pernyataan tentang materi IPA. PMS bertujuan mengarahkan, membimbing peserta didik untuk melakukan serangkaian aktivitas pembelajaran sesuai dengan isi pertanyaan dan atau pernyataan yang sudah didesain guru. Pembuatan PMS didesain dengan menggabungkan unsur keterhubungan antara materi sains murni, lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat. Artinya PMS tidak berisi kumpulan pertanyaan dan atau pernyataan materi sains murni saja, tetapi juga harus memasukan keterhubungan dari keempat unsur tersebut. Hal tersebut senada dengan Saefudin (2013) bahwa dalam pengembangan pembuatan PMS perlu didesain dengan memperhatikan unsur IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Unsur-unsur tersebut menjadi visi dalam pengembangan PMS. Artinya pengembangan pembuatan PMS harus didasari atas dasar bagaimana perkembangan sains dapat mempengaruhi lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara terpadu dan bersinggungan satu sama lain secara timbal balik. Penyusunan PMS harus memperhatikan beberapa prinsip berikut yaitu: 1. Materi sains tetap menjadi prioritas utama dalam PMS. Artinya isi PMS tetap menjadikan konten sains menjadi prioritas utama dalam pembelajaran IPA. 2. Menghubungkan antara konsep sains dan teknologi. Maksudnya adalah PMS berisi konten sains dan hubungannnya dengan teknologi, peserta didik diajak berfikir bahwa sains bisa dimanfaatkan ke bentuk teknologi untuk kepentingan masyarakat. Sebagai contoh jika materinya tentang Listrik,
1195
maka PMS harus bisa mengajak peserta didik untuk berpikir memberikan contoh bagaimana listrik bisa dimanfaatkan dalam bentuk teknologi untuk kepentingan masyarakat luas. 3. Konten PMS juga harus ada pertanyaan dan atau pernyataan untuk menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang terjadi dalam proses pentransferan sains ke bentuk teknologi. Misalnya teknologi Cahaya, Listrik, Energi, Magnet, dll. 4. PMS harus mempertimbangkan manfaat atau kerugian jika konsep sains dirubah dalam bentuk teknologi. Konsep ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat kesadaran kepada peserta didik, bahwa adanya perubahan sains dalam kemasan teknologi memiliki dampak negatif/kerugian selain manfaat yang diperoleh. 5. PMS berisi pertanyaan dan atau pernyataan tentang berpikir mencari solusi alternatif mengurangi dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan dari sains-teknologi. Konsep ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki kepada peserta didik terhadap keberlangsungan alam semesta (lingkungan) yang sehat. 6. PMS berisi pertanyaan dan atau pernyataan tentang keterhubungan antara unsur sains dengan unsur-unsur lainnya secara menyeluruh. Konsep yang keenam ini adalah memiliki maksud, agar peserta didik memiliki kemampuan menjelaskan secara menyeluruh tentang keterhubungan antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Karakteristik Pedoman Membaca Sains Karakteristik PMS menurut Saefudin (2013) yang telah dikembangkan adalah sebagai berikut: (1) terdapat kalimat perintah untuk melakukan aktivitas membaca terhadap buku-buku IPA dengan penulis dan halaman yang sudah ditentukan, (2) berbentuk pertanyaan dan atau pernyataan benar-salah, (3) pertanyaan berupa uraian dan melengkapi kalimat yang belum utuh, (4) terdapat kalimat penuntun sebelum pertanyaan dan atau pernyataan inti, (5) terdapat kolom jawaban yang sudah disediakan untuk memandu peserta didik dalam menuangkan jawabannya, (6) terdapat gambar di sebelah kiri teks soal atau di atas teks soal, (7) pertanyaan dan atau pernyataannya dikaitkan dengan keempat unsur sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat, dan (8) diberikan di awal pembelajaran. Pedoman Membaca Sains dan Aplikasinya di Kelas Jika dilihat sepintas, strategi PMS seolah bertentangan dengan hakekat IPA yang sesungguhnya. PMS seolah jauh dari kegiatan pengalaman langsung praktikum. IPA hanya diajarkan dalam bentuk membaca saja tidak diikuti dengan pengalaman belajar lainnya misalnya inkuiri, observasi, diskusi, praktikum, dll. Pembelajaran IPA seolah diajarkan dan dikenalkan sebagai IPA Sastra yang tidak mengenal proses penyelidikan lewat praktikum, diskusi dan lain-lain. Namun sebenarnya tidak demikian. Konsep PMS tidak menghilangkan hakekat pembelajaran IPA yang sesungguhnya. Pembelajaran PMS tetap mengedepankan proses ilmiah dan proses inkuiri. PMS hanya sebagai alat bantu guru memfasilitasi peserta didik memiliki kesiapan belajar sebelum proses pembelajaran inti dimulai.
1196
Proses pelaksanaannya dilakukan sebelum proses pembelajaran berlangsung. Peserta didik membaca sumber belajar yang sudah disediakan dan mengerjakan pertanyaan dan atau pernyataan benar-salah yang ada dalam PMS. Setelah PMS selesai dilakukan, pembelajaran IPA di elaborasi dalam bentuk diskusi kelompok dan praktikum/eksperimen perihal materi yang akan diajarkan, hasil kerja tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulis dan lisan di depan kelas. Pembelajaran dengan strategi PMS menyatu ke dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Peserta didik tidak hanya dikenalkan tentang materi ke-IPA-an secara science saja melainkan juga diajak mengenal dan memahami dampak positif-negatif dari materi yang dipelajari bagi manusia dan Lingkungan. Selain itu, di dalam PMS, siswa diajak untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Saefudin (2013) dalam penelitiannya ’Pengembangan Pedoman Membaca Bervisi Science-Environment-Technology, and Society (SETS) pada pembelajaran IPA di Sekolah Dasar’ mengungkapkan adanya manfaat setelah diterapkannya PMS di awal pembelajaran. Manfaat tersebut adalah peserta didik terfasilitasi untuk melakukan serangkaian proses penemuan secara mandiri tentang materi IPA lewat panduan-panduan pertanyaan dan atau pernyataan yang ada dalam pedoman membaca tersebut. Melalui strategi tersebut peserta didik dituntut menemukan isi pokok dari buku bacaan yang dibacanya. Ahmadi, dkk (2012) dalam penelitiannya ‘Impacts of Learning Reading Strategy on Students’ Reading Comprehension Pr’ficiency' juga menunjukkan, bahwa proses membaca memiliki dampak positif yang signifikan pada pemahaman membaca peserta didik. Kemampuan membaca pemahaman dapat ditingkatkan dengan aktivitas membaca. PMS dikembangkan untuk mengarahkan dan membimbing peserta didik melakukan proses pencarian dan pemahaman konsep materi IPA. PMS menjembatani peserta didik mengenal lebih awal konsep materi yang diajarkan pada saat itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar berfikir dalam menemukan konsep lebih jauh dalam diskusi dan praktikum. PMS mampu menyiapkan kemampuan awal peserta didik mengenal lebih jauh pemahaman konsep yang akan dibangun selanjutnya. Melalui PMS peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Strategi ini tentu mempermudah aktivitas pendidik dan peserta didik di kelas dan menjadi penting bagi keterlaksanaan kegiatan pembelajaran yang aktif dan kompetitif. PMS dalam pelaksanaan tidak terpisahkan dari proses membaca. Pada awal pembelajaran aktivitas membaca menjadi hal yang mesti dilakukan, melalui membaca mereka sudah melakukan serangkaian proses penemuan sendiri lewat panduan-panduan pertanyaan yang ada dalam PMS tersebut. Peserta didik dituntut menemukan isi pokok dari buku bacaan yang dibacanya, dan pada saat mereka melakukan serangkaian aktivitas membaca dan melakukan tahapan yang terdapat di dalam PMS. Dari berbagai tahapan tersebut sebuah interaksi serta proses pelibatan aktif. Peserta didik diberikan pengalaman langsung untuk melakukan proses penemuan secara mandiri antara dirinya dan sumber belajar. Proses inkuiri literatur tersebut menjadi dasar untuk mengkonstruksi kemampuan berpikir secara aktif disaat mereka
1197
membaca dan memiliki tujuan untuk membaca. Kegiatan ini menjadi modal dasar untuk kegiatan penguatan konsep selanjutnya, melalui praktikum dan diskusi kelompok. Pedoman Membaca Sains dan Aktivitas Belajar Sains Salman (2009) dalam jurnal internasionalnya “Active Learning Techniques (Alt) In A mathematics Workshop; Nigerian Primary School Teachers’ Assessment” menjelaskan bahwa dalam pembelajaran, peserta didik harus berperan aktif dalam proses pencarian dan produktivitas menghasilkan ide baik dalam bentuk interaksi antar peserta didik maupun peserta didik dengan isi materi pelajaran dalam proses pembelajaran Pendapat di atas didukung juga oleh temuan Saefudin (2013). Aktivitas belajar dari hasil uji coba di lapangan menunjukkan peserta didik memiliki tingkat aktivitas yang sangat baik dengan persentase 96%. Kontribusi PMS terhadap kemampuan pemahaman awal peserta didik menjadi penyebab utama peserta didik memiliki tingkat aktivitas yang sangat baik. Dengan adanya pemahaman di awal pembelajaran menimbulkan tumbuhnya rasa percaya diri peserta didik untuk mengeluarkan pendapat dan memberikan jawaban pada saat pembelajaran berlangsung. Aktivitas ini menunjukkan satu atmosfer belajar yang baik dalam pembelajaran. Hasil aktivitas peserta didik yang diperoleh dari penerapan strategi pedoman membaca sains (Saefudin; 2013) secara umum adalah peserta didik (1) bersemangat mengikuti pelajaran sains; (2) seksama dalam membaca sains; (3) aktif dalam pencarian informasi di bahan ajar yang tersedia; (4) mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang mudah dipahami dengan cara yang santun; (5) menyampaikan pendapat dengan bahasa yang mudah dipahami dengan cara yang santun; (6) mampu menjawab pertanyaan; (7) antusias melakukan kerja ilmiah; (8) seksama mengamati percobaan; (9) mampu bekerjasama dengan tim; dan (10) tuntas menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa PMS memilki peran dalam menggerakkan aktivitas belajar sains peserta didik. Kegiatan ini mampu mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam memahami konsep materi di awal pembelajaran. Peserta didik memiliki modal awal materi sebagai konsep awal dalam melakukan aktivitas selanjutnya. Hal di atas tersebutlah yang kemudian disebutkan bahwa pedoman membaca sains sebagai salah satu konsep awal menumbuhkan aktivitas literasi sains di SD.
1198
Harapan: 1. memiliki pemahaman awal tentang materi IPA 2. Kepercayaan diri tumbuh saat Aktivitas Peserta Didik: diskusi, tanya jawab & unjuk kerja 1. Membaca materi IPA 3. Aktivitas belajar Lebih interaktif 2. Menjawab pertanyaan dan pernyataan yang Konfirmasi ada dalam PMS
PMS diterapkan di awal pembelajaran (Eksplorasi Literatur)
1. menyimpulkan hasil pembelajaran dengan kalimatnya sendiri dalam bentuk lisan dan tulisan. 2. Klarifikasi Konsep
Elaborasi :
1. melakukan kegiatan kerja ilmiah (Praktikum) 2. Peserta didik melakukan diskusi (Cooperative Learning)
Simpulan
Result: Tujuan Pembelaj aran Tercapai
a. b. c.
Menyajikan hasil kerja ilmiah dan diskusi dalam berbagai bentuk penyajian Mengkomunikasikan dalam bentuk lisan di depan kelas Refleksi antar kelompok
Gambar 1. Rekayasa Proses Pembelajaran IPA dengan PMS
SIMPULAN PMS bisa digunakan sebagai strategi alternatif mempelajari IPA di SD. PMS tidak menghilangkan hakekat pembelajaran IPA yang sesungguhnya. PMS digunakan sebagai sarana untuk memfasilitasi peserta didik agar memiliki wawasan dasar (konsep awal) tentang materi keilmuan yang akan dipelajari sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah didesain oleh guru. Sehingga pembelajaran IPA tetap dengan prinsipya bahwa dalam pembelajarannya harus mengedepankan proses minds on activities dan hands on activities. PMS harus dibuat berdasarkan kekontekstualan dan keterhubungan antara IPA, lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat. Hal ini bertujuan agar peserta didik secara tidak langsung dituntun dan diarahkan mengenal bahwa materi IPA selalu dan selalu berhubungan dengan fenomena alam yang saling berkaitan antara lingkungan, teknologi dan sosial masyarakat.
1199
Dimilikinya kemampuan dasar tentang konsep IPA oleh peserta didik melalui PMS di awal pembelajaran, menjadikan anak-anak memiliki kepercayaan diri dan antusiasme yang tinggi dalam mempelajari IPA di sekolah, baik pada saat diskusi maupun kerja ilmiah (praktikum). Hal inilah yang kemudian PMS menjadi sebuah konsep awal menumbuhkan kemampuan aktivitas literasi sains siswa di SD. DAFTAR RUJUKAN Ahmadi, M. R., Ismail, H. N, dan pourhossein, A. G. (2012). Impacts of Learning Reading Strategy on Students’ Reading Comprehension Proficiency. The International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World (IJLLALW) Volume 1 (1), December 2012; 78-95 Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas. Glenberg, A. M. (2011). “How reading comprehension is embodied and why that matters”. International Electronic Journal of Elementary Education. Volume 4 No. 1. Hal 5-18. Iskandar, S.M. (2001). Pendiidkan Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: Maulana. Jones, T dan Carol, B. (2011). “Reading engagement: a comparison between e-books and traditional print books in an Elementary classroom”. International Journal of Instruction, Volome 4 No. 2. Hal 5-22. Saefudin, A. (2010). “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar dan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Dalam Pembelajaran IPA Melalui Penggunaan Pedoman Membaca”. Skripsi. Bandung: Prodi PGSD Jurusan Pedagogik Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Saefudin, A. (2013). “Pengembangan Pedoman Membaca Bervisi SETS pada Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar”. Tesis. Semarang: Pendidikan Dasar. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.. Salman, M. F. (2009). Active Learning Techniques (Alt) In A mathematics Workshop; Nigerian Primary School Teachers’ Assessment. International Electronic Journal of Mathematics Education (IEJME). Volume 4 No 1. Hal 23-35. Trianto. (2007). Model Pembelajaran Terpadu dalam Pembelajaran Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Van Den Broek, P., Kendeou, P., Lousberg, S., & Visser, G. (2011). “Preparing for reading comprehension: Fostering text comprehension skills in preschool and early elementary school children”. International Electronic Journal of Elementary Education. Volume 4 No 1. Hal 259-268.
1200
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP IPA SD BERBASIS KEGIATAN LABORATORIUM MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAVI Risda Amini Universitas Negeri Padang E-mail:
[email protected] Abstract The elementary science concepts is one of the subjects in the Primary Teacher Education, Padang State University (PGSD UNP). Preliminary surveys indicate that students who take the classes PGSD less mastered the elementary science concepts. The model of teaching is centered on the lecturer. The experiment activities carried out separately by theory. The research aims to develop the instructional model of elementary science concepts to PGSD students. Instructional model develop by combining theoretical class and experiment activities in the laboratory. This research used research and development which refers to the model of Borg and Gall (1983) with the following steps: (1) preliminary study, (2) planning, (3) development, (4) implementation. The subjects of research were instructional of elementary science concepts. The respondents were students in PGSD UNP who take the classes of elementary science concepts. Data was collected using observation sheet, interview activities, tests of elementary science concepts, and assessment of instructional process. This research result was the instructional model-based lab activities with SAVI approach (PBKL SAVI). The PBKL SAVI models include three components, namely: planning, implementation, and evaluation of learning. In order to support the implementation of learning, developed lesson plan, lab manual, handouts, instructional media such as PowerPoint and Macromedia Flash. The research result showed that the PBKL SAVI models, effectively to improve student learning outcomes. It is based on the mastery of elementary science concepts, the ability of experiment activities, communicated and presented the experiment results which included good categories. The PBKL SAVI models give a concrete example and based student’s centered. The advices gived to lectures in order to use the PBKL SAVI model in lecturing elementary science concept. Keywords: Elementary science concepts, laboratory activities, SAVI PENDAHULUAN Mata kuliah Konsep IPA SD di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang (FIP UNP) merupakan mata kuliah wajib, diharapkan mahasiswa dapat menguasai konsep IPA SD dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perkuliahan konsep IPA SD diberikan pada semester 1 dan 2 pada tahun pertama. Perkuliahan konsep IPA SD dilaksanakan secara terpisah antara kuliah teori dan kegiatan praktikum. Dalam perkuliahan konsep IPA SD, dosen menyajikan materi kuliah dengan metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Perkuliahan konsep IPA SD terfokus pada pembahasan materi ajar dengan menjabarkan rumus-rumus dan memberikan contoh penggunaan rumus dalam
1201
menyelesaikan soal untuk materi yang ada perhitungannya. Kegiatan praktikum dilaksanakan berupa praktikum verifikasi untuk membuktikan teori atau hukum sesuai materi yang dipelajari. Dalam perkuliahan konsep IPA SD dengan metode tersebut, maha- siswa kurang menguasai konsep IPA SD. Kurangnya kemampuan mahasiswa menguasai konsep IPA SD juga dipengaruhi oleh latar belakang mahasiswa yang berasal dari SMA jurusan IPS, SMK jurusan ekonomi dan perkantoran. Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mahasiswa, diperlukan pengembangan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah tersebut adalah pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI (disingkat model PBKL SAVI). Pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dan aktivitas intelektual serta melibatkan semua alat indra yang dimiliki mahasiswa. Menurut (Meier, 2005) istilah SAVI adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik); Auditory yang bermakna mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, menggunakan media dan alat peraga; Intelectually yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) untuk bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan. Belajar somatic berarti belajar dengan indera peraba, kinetis, dan melibatkan fisik dalam belajar. Untuk merangsang hubungan pikiran dan tubuh dalam pembelajaran fisika, maka perlu diciptakan suasana belajar yang dapat membuat mahasiswa bangkit dan berdiri dari tempat duduk dan aktif secara fisik dari waktu ke waktu. Dalam belajar somatic, mahasiswa melakukan kegiatan praktikum. Belajar auditory berarti belajar dengan melibatkan kemampuan mendengar dan berbicara. Dalam belajar auditory, mahasiswa melakukan kegiatan diskusi dalam kelompok tentang materi pelajaran yang sedang dibahas. Mahasiswa mengungkapkan pendapat atas informasi yang telah didengarkan dari penyaji pada saat presentasi. Belajar visualization adalah belajar dengan melibatkan kemampuan penglihatan. Dalam belajar visualization, mahasiswa mempresentasikan hasil kegiatan praktikum. Belajar intelectually berarti menunjukkan apa yang dilakukan mahasiswa dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan makna, rencana dan nilai dari pengalaman tersebut. Belajar intelektual adalah bagian untuk merenung, mencipta, dan memecahkan masalah. Dalam belajar intelectually, mahasiswa diminta memecahkan masalah yang diberikan dan mengerjakan soal-soal latihan dari materi pelajaran yang sedang dibahas. Pembelajaran fisika teknik dengan pendekatan SAVI dapat optimum jika keempat unsur SAVI ada dalam satu proses pembelajaran. Mahasiswa dapat belajar fisika teknik dengan melakukan praktikum (S), membicarakan atau mendiskusikan apa yang mereka pelajari (A), menyaksikan presentasi hasil praktikum berbantuan multimedia (V), memikirkan solusi masalah/ soal dan mengambil kesimpulan (I). Keterkaitan pendekatan SAVI dengan metode
1202
pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran yang dikembangkan dapat dilihat dalam Gambar 1. Selanjutnya dibahas metode pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI. PBKL SAVI memiliki karakteristik: (1) menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dalam pembelajaran (Meier, 2005), (2) mengintegrasikan pembelajaran teori dan praktikum untuk memantapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, (3) kondisi belajar yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas, motivasi, dan wawasan, (4) memanfaatkan teknologi (Depdiknas 2002). Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep IPA dan melakukan praktikum IPA? Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI pada mata kuliah Konsep IPA SD. Model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkat- kan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep IPA dan keterampilan melakukan praktikum. Hasil penelitian berupa model pembelajaran, satuan acara perkuliahan, petunjuk praktikum, pedoman pelaksanaan praktikum, dan handout dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas perkuliahan konsep IPA SD di jurusan PGSD. Model pembelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi dosen PGSD dalam merancang program pembelajaran, meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah yang materinya terkait dengan IPA, dan menjadi acuan bagi peneliti lainnya untuk mengembangkan model pembelajaran di jurusan PGSD. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang mengacu pada Borg (1983) dengan tahapan: (1) studi pendahuluan, (2) perencanaan, (3) pengembangan, (4) implementasi. Hasil studi pendahuluan digunakan untuk merencanakan draf model, kemudian divalidasi dan dikembangkan melalui uji coba. Revisi terhadap hasil uji coba draf model dilakukan pada materi yang sudah ditetapkan dalam pembelajaran. Uji coba draf model dilakukan secara bersiklus untuk materi selanjutnya. Revisi terhadap draf model pada materi terakhir menghasilkan model untuk implementasi terbatas. Penelitian dilakukan terhadap pembelajaran konsep IPA SD untuk mahasiswa PGSD FIP UNP. Subyek penelitian adalah pembelajaran konsep IPA SD. Responden penelitian pada uji coba terbatas adalah mahasiswa jurusan PGSD FIP UNP yang mengikuti kuliah konsep IPA SD, sebanyak 29 orang (satu kelas). Instrumen penelitian berupa: lembar observasi, panduan wawancara, tes penguasaan konsep IPA SD, dan lembar penilaian proses pembelajaran. Perangkat pembelajaran berupa: satuan acara perkuliahan, petunjuk praktikum, media pembelajaran berupa powerpoint dan macromedia flash. Instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran dibuat oleh peneliti dengan meminta pertimbangan dari penimbang ahli (expert judgement). Observasi dan wawancara digunakan pada studi pendahuluan untuk memperoleh informasi tentang perkuliahan konsep IPA SD dan pada uji coba
1203
draf model pembelajaran untuk mengetahui keterlaksanaan draf model yang dikembangkan. Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap studi pendahuluan, data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Pada tahap pengembangan model pembelajaran, analisis data dilakukan sebagai berikut: (1) Draf model dianalisis secara kualitatif dengan merevisi keterbacaan draf model pembelajaran. Revisi dilakukan berdasarkan catatan peneliti, hasil observasi yang dilakukan oleh observer terhadap pelaksanaan pembelajaran, pendapat dari penimbang ahli dan teman sejawat. (2) Petunjuk praktikum dianalisis secara kualitatif dengan merevisi keterbacaan dan sistematika penulisan. Revisi dilakukan pada setiap topik berdasarkan catatan peneliti. (3) Data uji coba soal penguasaan konsep IPA SD dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui validitas konstruksi dan reliabilitas instrumen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini telah dikembangkan model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI untuk mata kuliah Konsep IPA SD. Model pembelajaran Konsep IPA SD berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI terdiri atas tiga aspek yang terintegrasi yaitu: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Efektivitas pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan ditinjau dari aspek proses dan hasil belajar. Evaluasi proses pembelajaran bertujuan untuk mengetahui kendala atau kesulitan yang ditemui mahasiswa dalam pembelajaran. Berdasar- kan hasil evaluasi proses pembelajaran dilakukan revisi terhadap model pembelajaran. Di samping untuk merevisi model pembelajaran, hasil evaluasi proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan pembelajaran (Tabel 1). Tabel 1. Kemampuan Mahasiswa dalam Pelaksanaan Pembelajaran Ukuran Statistik Rata-rata Standar deviasi
1 8 5,28 4 ,91
Skor Kemampuan 2 3 4 7 7 7 9,69 6,38 5,83 1 9 8 0,42 ,71 ,35
Keterangan: 1 = melakukan praktikum 2 = mendiskusikan hasil praktikum 3 = mengkomunikasikan hasil praktikum 4 = menyajikan hasil praktikum Merujuk kategori penilaian dalam buku pedoman akademik Universitas Negeri Padang dapat disimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam: (1) melakukan praktikum termasuk kategori sangat baik, (2) mendiskusikan hasil praktikum termasuk kategori baik, (3) mengkomunikasikan hasil termasuk
1204
kategori baik, (4) menyajikan hasil termasuk kategori baik. Evaluasi hasil belajar dilaksanakan melalui tes penguasaan konsep IPA SD. Hasil analisis data tes penguasaan konsep IPA SD menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar mahasiswa sebesar 76,86 (termasuk kategori baik) dengan standar deviasi 8,61. Peningkatan hasil belajar mahasiswa diperoleh dari hasil pre-test dan post-test. Rata-rata pre-test penguasaan konsep IPA SD diperoleh 64,76 rata-rata post-test diperoleh 78,86. Peningkatan hasil belajar mahasiswa dapat diketahui dengan menghitung rata-rata skor gain dinormalisasi dari rata-rata pre-test dan post-test. Setelah melalui proses analisis data skor pre-test dan post-test, diperoleh rata-rata peningkatan hasil belajar mahasiswa sebesar 0,58. Berdasarkan kategori skor gain dinormalisasi, peningkatan hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran konsep IPA SD termasuk kategori sedang. Tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI diperoleh melalui jawaban angket yang diberikan kepada mahasiswa setelah seluruh proses pembelajaran dilaksanakan. Angket tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan model pembelajaran terdiri atas 25 item, yang meliputi sembilan komponen yaitu: (1) menguasai materi/konsep IPA SD, (2) mampu menggunakan alat laboratorium, (3) mampu melaksanakan kegiatan perkuliahan, (4) mampu melaksanakan kegiatan praktikum, (5) bimbingan dosen, (6) kemampuan awal mahasiswa, (7) pelaksanaan evaluasi untuk setiap topik. Tanggapan mahasiswa terhadap pelak- sanaan model pembelajaran disusun sesuai dengan komponen tanggapan, seperti yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Tanggapan Mahasiswa terhadap Pelaksanaan Pembelajaran No.
1 2 3 4 5 6 7
Komponen Tanggapan
Persentase Tanggapan (%) SS S KS TS STS
Memahami materi/konsep IPA SD Mampu menggunakan alat laboratorium Mampu melaksanakan kegiatan perkuliahan Mampu melaksanakan kegiatan praktikum Bimbingan dosen Kemampuan awal mahasiswa Pelaksanaan evaluasi untuk setiap topik Persentase rata-rata (%)
30 41
59 18
5 37
6 2
0 2
6
40
22
32
0
23 18 41
56 25 20
16 15 26
5 41 9
0 1 4
39 27
13 33
17 20
7 17
24 3
Keterangan: SS = sangat setuju, S = setuju, KS = kurang setuju, TS = tidak setuju, STS = sangat tidak setuju terhadap pernyataan yang diberikan.
1205
Setelah melaksanakan model pembelajaran berbasis kegiatan praktikum dengan materi listrik arus searah dan medan magnet, secara umum mahasiswa memberikan tanggapan setuju terhadap pelaksanaan model pembelajaran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan bahwa 27% mahasiswa sangat setuju dan 33% mahasiswa setuju dengan pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan di atas dapat ditunjukkan bahwa: (1) rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan termasuk kategori baik, (2) penguasaan konsep IPA SD mahasiswa termasuk kategori baik, (3) peningkatan penguasaan konsep IPA SD termasuk kategori sedang, (4) tanggapan mahasiswa menunjukkan bahwa mereka setuju dengan pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang dikembang- kan efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep IPA SD dan kemampuan mahasiswa dalam melakukan praktikum. Penguasaan konsep IPA SD mahasiswa dan kemampuan melaksanakan pembelajaran yang berbasis kegiatan laboratorium didukung oleh McDermott (1975) yang menyatakan bahwa mahasiswa harus mampu melakukan kegiatan laboratorium di samping menguasai konsep esensial. Kemampuan mahasiswa dalam melakukan eksperimen, memecahkan masalah, dan mengkomunikasikan hasil sudah memenuhi kriteria ketiga ABET (Lattuca, 2006). Kemampuan mahasiswa dalam melakukan praktikum (yang bersifat inkuiri) termasuk kategori sangat baik. Temuan penelitian ini didukung oleh penelitian Cox (2002) dan McComas (2005) yang menemukan bahwa kegiatan laboratorium inkuiri dapat meningkatkan kinerja mahasiswa dalam melakukan praktikum. Deters (2005) dan Dawes (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa kegiatan laboratorium inkuiri dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir logis, memecahkan masalah, dan memberikan pengalaman kegiatan laboratorium yang mengesankan. SIMPULAN Model pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan penguasaan konsep IPA SD mahasiswa PGSD FIP UNP disebut model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI. Model pembelajaran ini dikembangkan dengan menggabungkan kuliah teori dan praktikum. Model pembelajaran berbasis kegiatan laboratorium dengan pendekatan SAVI disusun dalam tiga komponen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Komponen perencanaan pembelajaran mencakup: tujuan pembelajaran, materi pembela- jaran, metode pembelajaran, prosedur pembelajaran, media pembelajaran, dan evaluasi. Komponen pelaksanaan pembelajaran mencakup: pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. Tahaptahap kegiatan inti adalah: menganalisis masalah, mengkonstruksi solusi melalui kegiatan praktikum, memeriksa solusi, mengkomunikasikan hasil, dan menyajikan hasil. Komponen evaluasi pembelajaran mencakup: tujuan evaluasi, sasaran evaluasi, prosedur evaluasi, alat evaluasi. Model pembelajaran yang dikembangkan dapat dilaksanakan oleh mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh: (1) rata-rata skor kemampuan mahasiswa dalam pelaksanaan
1206
pembelajaran secara keseluruhan termasuk kategori baik, (2) penguasaan konsep IPA mahasiswa termasuk kategori baik. Mengingat banyak waktu yang digunakan untuk membahas satu topik dengan model PKL SAVI, perkuliahan konsep IPA SD melalui kegiatan tatap muka, tugas terstruktur, dan tugas mandiri harus dilaksanakan oleh mahasiswa dengan baik. Dosen mata kuliah konsep IPA SD diharapkan dapat memfasilitasi dan memotivasi mahasiswa untuk melaksanakan kegiatan tatap muka, tugas terstruktur, dan tugas mandiri. DAFTAR RUJUKAN Borg, R.G. & M.D. Gall. (1983). Educational Research, an Introduction. Fifth Edition. New York: Longman. Cox, A.J., Junkin, W.F. (2002). “Enhanced Student Learning in the Introductory Physics Laboratory”. Physics Education. 37(1). 37-44. Dawes,J.M. (2002). Generic Skill in Physics. Sydney: Department of Physics Macquarie University. Depdiknas. (2002). Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Abad ke-21. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Deters, K. 2005. ”An Inquiry Lab on Inclined Planes”. The Physics Teacher. Vol 43. 177-179. Hofstein, A., Vincent, N., Lunetta. (2003). The laboratory in science education: Foundations for the twenty-first century. Science Education. Volume 88(1). p. 28 - 54. Lattuca,L.R., Terenzini,P.T., and Volkwein,J.F. (2006). Engineering Change: A Study of the Impact of EC 2000. Executive Summary. USA: ABET Inc Tersedia: http://www.abet.org. McComas, W. (2005). Laboratory Instruction in the Service of Science Teaching and Learning. The Science Teacher. Vol 72(7). p.24-29. McDermott, L.C. (1975). Improving High School Physics Teacher Preparation. Physics Teacher. Vol 13(9). p.523-529. Meier, D. (2005). The Accelerated Learning Handbooks: A Creative Guide to Designing and Delivering Faster, More Effective Training Programs. USA: McGraw-Hill.
1207
PROFESIONALISME SEORANG GURU DALAM MENERAPKAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA MENINGKATAN KUALITAS PEDAGOGIK SAINS DI SEKOLAH DASAR 1)
Sukiniarti & 2)Lis Setiawati Universitas Terbuka E-mail: 1)
[email protected]
Abstract Based on the annual report of the UNESCO Education for All Global Monitoring Report 2012, education in Indonesia was rated 64th out of 120 countries worldwide. This shows that the quality of education in Indonesia today, is quite alarming. One way to improve the quality of education in a country is among others, the implementation of teaching approach at every level of education. Specifically on basic education, skills process approach is one of the common approaches applied to science teaching. The use of this approach is aimed to improve the effectiveness of student learning of science subjects. The application, is an effort to improve the quality of science teaching and in primary schools. This paper is an affort to motivate teachers in carrying out his duties as a professional educator or teacher . It includes three issues: (1) Professionalism, (2). characteristics of effective science teaching , and (3) skills process approach as an effort to improve the quality of science teaching. Conclusions drawn are: (1) professional teachers should be able to be a good role model for subject, e.g: his/her mastery of science, skill, discipline, responsibility, and personality that includes moral and social values, (2 ) learning science is learning is the phenomena leaning of the universe observation and experimentation through a scientific procedures, (3) skills process approach is an effective learning approach that can improve the quality of Sciences Learning. Keywords: teacher professionalism, skills process approach, science teaching and learning PENDAHULUAN Dunia Pendidikan dewasa ini, khusunya di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang cukup besar, seiring dengan derasnya tantangan global. Yang sangat memprihatinkan kualitas pendidikan di Indonesia du dunia internasional berdasarkan laporan tahunan UNESCO EDUCATION For All Global Monitoring Report 2012 berada diperingkat ke 64 dari 120 negara di seluruh dunia. Gabrillin, A (2014) menyatakan: (1) Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak memenuh standar layanan minimal pendidikan, (2) Nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5, padahal nilai standar kompetensi guru adalah 75, (3). Indonesia berada pada tingkat 40 dari 40 negara pada pemetaan kualitas pendidikan menurut lembaga The Learning Curve. Kenapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana perkembangan pedagogik di Indonesia selama ini? Apa arti pedagogik? Mengapa guru harus memahami pedagogik? Menurut Uyoh Sadulloh (2010:1), pedagogik merupakan ilmu yang membahas pendidikan, yaitu ilmu pendidikan anak. Jadi, pedagogik mencoba
1208
menjelaskan tentang seluk-beluk pendidikan anak, pedagogik merupakan teori pendidikan anak. Pedagogik berasal dari Bahasa Yunani, “paedos” yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Kamus Bahasa Indonesia Edisi III ( 2001) dinyatakan bahwa pedagogi adalah ilmu pendidikan atau ilmu pengajaran.Mok Soon Sang (2010) mengatakan bahwa pedagogi adalah salah satu bidang ilmu pendidikan yang berkaitan dengan kajian secara saintifik atas prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah mengajar, merangkum proses pengajaran yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa dalam pedagogik, guru merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Menguasai pedagogi merupakan salah satu syarat yang penting bagi seorang guru. Sehingga dengan kata lain pedagogik ialah ilmu mendidik anak. Seorang guru harus memahami pedagogik, termasuk pedagogik sains. Khususnya dalam pedagogik sains tugas seorang guru adalah membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahunya, khususnya yang berkaitan dengan materi sains . Mengingat hal tersebut di atas maka pada makalah ini akan dibahas 3 (tiga) masalah yang meliputi:(1) Guru yang Profesional, (2). Karakteristik Pembelajaran Sains, (3). Pendekatan Keterampilan proses suatu upaya meningkatkan kualitas pedagogik sains GURU YANG PROFESIONAL Profesionalisme berasal dari kata profesi. Barnawi dan Arifin,M (2014: 1) mengatakan bahwa profesi dirartikan sebagai pekerjaan yang dilandasi keahlian, yaitu yang berasal dari kata profeteor yang berarti mengumumkan, menyatakan kepercayaan, menegaskan, membuka, mengakui, dan membenarkan. Karakteristik utama profesionalisme seorang guru terletak pada kesadarannya sebagai manusia. Achjar Chalil dan Hudaya,L (2008: 94) kualitas profesionalisme seorang guru dapat ditunjukkan melalui sikap-sikap seperti: (1) Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) Selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) Selalu mengejar kesempatan untuk mengembangkan profesi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, (4) Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, dan selalu berusaha selalu tampil prima, dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005, pasal 1, ayat (1) tentang Standar Nasional Pendidikan, guru ditetapkan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya, dalam pasal 28, ayat (1) PP. No. 19/2005 ditetapkan bahwa: Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.20/2003) disebutkan bahwa setiap pendidik
1209
berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk menjadi guru, khusunya guru sains yang profesional, harus bekerja keras mencoba mempraktikkan terlebih dahulu semua materi sains yang perlu dipraktikkan sebelum mengajar atau membimbing muridnya atau peserta didik. Megawangi, R ((2009: 156), mengatakan bahwa guru harus sebagai model atau tokoh idola. Siapa yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin orang lain, hendaknya ia mulai dengan mengajar drinya sendiri melalui perbuatan-perbuatan yang terpuji sebelum mengajarkannya terhadap orang lain. Dalam hal ini apabila seorang guru dapat menjadi idola bagi muridnya, maka setiap perkataan dan tngkah laku guru akan ditiru oleh muridnya. Dalam hal ini termasuk kerja keras guru, kedisiplinan seorang guru, serta semua keterampilan yang dilakukan kegiatan percobaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16/2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, mulai dari Guru PAUD/TK/RA, Guru SD/MI, dan Guru Mata Pelajaran, harus paham benar tentang kompetensi yang harus dikuasai agar layak memangku jabatan guru, sesuai dengan jenjang dan bidang tugas masing-masing. Dalam hal ini termasuk guru bidang studi Sains / IPA. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kompetensi? Wardani,I.G.A.K (2009:7.7) mengungkapkan, bahwa kompetensi dapat disamakan dengan suatu tindakan cerdas dan bertanggung jawab yang ditunjukkan oleh seseorang sebagai bukti bahwa ia memang kompeten dalam bidang tersebut. Tindakan cerdas dan bertanggung jawab tersebut hanya dapat ditunjukkan oleh seseorang jika ia memiliki ilmu atau pengetahuan yang mantap, memiliki keterampilan yang memadai, serta sikap yang memungkinkan ia menunjukkan tindakan tersebut secara cerdas. Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005, pasal 1, ayat (1) tentang Standar Nasional Pendidikan, kompetensi sebagai agen pembelajaran terdiri dari: (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik dalam agen pembelajaran disini adalah seluruh pembelajaran dari berbagai bidang studi, termasuk diantaranya pedagogik sains Daryanto dan Sudjendro,H (2014: 19) mengatakan bahwa guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh dan panutan peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus mempunyai satandar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggungjawab, mandiri dan disiplin. Guru harus memahami nilainilai moral dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai moral dan sosial tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas untuk menjadi guru yang profesional, harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya baik teladan dalam bidang ilmunya, teladan dalam keterampilannya, teladan dalam kedisiplinan dan tanggungjawabnya, serta teladan dalam kepribadiannya yang meliputi nilai moral dan sosial. Guru-guru yang demikianlah yang diharapkan pemerintah Indonesia sebagai guru yang profesional. Untuk menjadi Guru sains yang
1210
profeional tidak cukup hanya menguasai fakta-fakta dan konsep sains semata, melainkan harus memiliki pemahaman mendalam tentang sains terutama sistem koheren antara fakta, konsep, dan inkuiri ilmiah, serta kemampuan menyelesaikan masalah. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN SAINS Sains berasal dari kata latn ”scire” yang artinya mengetahui. Dalam perkembangannya, Sains diartikan sebagai pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi. Oleh karenanya sains hanya melakukan kajiannya pada alam, melalui observasi Rustaman, N. (2013: 1.5) mengungkapkan bahwa hakikat sains adalah produk, proses dan penerapannya (tenologi), termasuk sikap dan nilai yang terdapat di dalamnya. Produk sains terdiri dari fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori, dapat dicapai melalui penggunaan proses sains, yaitu melalui metode-metode ilmiah (scientific methods), dan bekerja ilmiah (scientific inquiry). Oleh karena itu belajar sains yang benar adalah memberikan kesempatan dan bekal untuk memproses sains dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari melalui cara-cara yang benar dan mengikuti etika keilmuan dan etika yang berlaku dalam masyarakatnya. Menurut Depdiknas (2004:3) sains adalah ilmu yang mempelajari fenomena-fenomenadi alam semesta. Ciri khas sains /IPA adalah berkembang dari observasi dan eksperimentasi Carin & Sund (1989) mendifinisikan sains adalah suatu sistem untuk memahami alam semesta melalu observasi dan eksperimen yang terkontrol. Sund dan Trowbribge (2013) merumuskan bahwa sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone, menyebutkan bahwa sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan itu. Berarti sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya karakteristik sains/Penddikan IPA di SD dapat dkategorkan ke dalam 3 dimensi, yaitu dimensi produk, dimensi proses, dan dimensi sikap ilmiah. Wynne Harlen (1987) dalam Teaching and Learning Premary Science menjelaskan sembilan (9) sikap lmiah yang harus dkembangkan sejak dini pada siswa sekolah dasar. Kesembilan sikap tersebut adalah: (1) Sikap ingin tahu (curiosity), (2). Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality), (3). Sikap kerjasama (cooperation), (4). Sikap tidak putus asa (perseverance), (5). Sikap terbuka untuk menerima (open-mindedness), (6). Sikap mawas diri (self critism), (7). Sikap bertanggung jawab (responsibility), (8). Sikap berpikir bebas (independence in thinking), dan (9). Sikap kedisiplinan diri (self discipline). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik pembelajaran sains adalah pembelajaran yang mengkaji fenomena-fenomena alam semesta melalui observasi dan eksperimentasi disertai sikap ilmiah dalam mempelajarinya. PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SUATU UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEDAGOGIK SAINS Mengingat karakteristik sains adalah berkembang melalui observas dan eksperimentasi, maka pendekatan keterampilan proses sangat tepat untuk
1211
meningkatkan kualitas pedagogik sains. Mengapa demikian? Untuk menjawab pernyatan diatas, kita perlu memahami pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran sains. Keterampilan proses merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang sangat relevan dengan pembelajaran sains/PA. Sapriati, A & Budiastra,A.A.K ((2009: 4.1) mengungkapkan bahwa pendekatan ketermpilan proses terdri dari pendekatan keterampilan proses dasar dan pendekatan keterampilan prose terintegrasi. Pendekatan keterampilan proses dasar meliputi keterampilan mengobservasi, mengklasifikasi, mengukur, mengkomunikasikan hasil, menginferensi, memprediksi, mengenal hubungan ruang dan waktu, serta mengenal hubungan-hubungan angka. Sedangkan keterampilan proses terintegrasi meliputi keterampilan memformulasikan hipotesis, menamai variabel, membuat definisi operasional, melakukan eksperimen, menginterpretasi data, dan melakukan penyelidikan. Pendekatan keterampilan-keterampilan proses IPA/sains, sebagai guru yang profesional mutlak harus dilakukan dan dicontohkan kepada peserta didik mulai sedini mungkin. Dalam menerapkan pendekatan keterempilan proses, guru yang profesional harus tetap berpedoman pada 4 (empat) kompetensi yang dipersyaratkan, yakni: (1) Kompetensi Pedagogik, contohnya dalam merancang pembelajaran harus harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik (karakteristik siswa), (2). Kompetensi Kepribadian, contohnya dalam proses pembelajaran guru harus bisa menjadi teladan,berwibawa, dan bijaksana dalam menangani setiap masalah, (3). Kompetensi Profesional, yakni: guru harus menguasai substansi keilmuan yang berkaitan dengan bidang studi yang diampunya, dalam hal ini apabila berperan sebagai guru sains/IPA, maka antara lain harus terampil menerapkan pendekatan keterampilan proses sains/IPA, (4). Kompetensi Sosial, yakni: guru harus mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, serta berkomunikasi secara efektif dengan orang tua/wali dan masyarakat sekitar. Apabila guru membimbing siswa untuk melakukan percobaan, maka dapat dikatakan melalui sains anak dapat melakukan percobaan sederhana, sehingga melalui percobaan dapat melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis. Begitu juga apabila guru menerapkan keterampilan proses mengobservasi dalam materi sains, maka anak akan terbiasa menggunakan seluruh inderanya untuk melakukan observasi, sehingga dapat melatih anak untuk belajar membuat kesimpulan sementara, dan melaporkannya hasil dari observasi yang dilakukan. Maka dapat dikatakan melalui pendekatan keterampilan proses dapat meningkatkan kualitas pembelajaran/pedagogik sains, khususnya di sekolah dasar. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat dikatakan mampu meningkatkan kualitas Pedagogik Sains.
1212
SIMPULAN Pembahasan pada makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama; untuk menjadi guru yang profesional, harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya baik teladan dalam bidang ilmunya, teladan dalam keterampilannya, teladan dalam kedisiplinan dan tanggungjawabnya, serta teladan dalam kepribadiannya yang meliputi nilai moral dan sosial, sehingga dapat terpenuhi keempat kompetensi guru yang diharapkan oleh pemerintah. Kedua; karakteristik pembelajaran sains adalah pembelajaran yang mengkaji fenomena-fenomena alam semesta melalui observasi dan eksperimentasi disertai sikap ilmiah dalam mempelajarinya. Ketiga; pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat dikatakan mampu meningkatkan kualitas Pedagogik Sains DAFTAR RUJUKAN Achjar, C., & Hudaya, L. (2008). Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta: Balai Pustaka Anonim. (2010). Landasan Pedagogik. Diunggah dari http://iintelektualmuda.blogspot.com/2013/11/landasan-pedagogik.html. Anonim. (2013). Kilas Balik Dunia Pendidikan di Indonesia. Diunggah dari Prestasi http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/feature/68-kilas-balikdunia-pendidikan-di-indonesia tanggal 6 Juli 2015. Anonim. (2014). Konsep Dasar Pedagogik. Di unggah dari http://cpartikel.blogspot.com/2014/03/konsep-dasar-pedagogik.html tanggal 29 juni 2015 Anonim. (2014). Pengertian dan Manfaat Pedagogik. Di unggah dari https://klikmybinder.wordpress.com/2014/01/28/pengertian-dan-manfaatpedagogik/ tanggal 29 juni 2015. Anonim. (2013). Karakteristik Pembelajaran IPA di SD. Diunggah dari http://myarsipplus.blogspot.com/2015/01/karakteristik-karakteristik.html tanggal 6 juli 2015. Barnawi & Arifin, M. (2014). Pengembangan Keprofesionalan berkelanjutan bagi Guru. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Daryanto & Sudjendro,H. (2014). Wacana bagi Guru SD. Yogyakarta: Penerbit Gaya Media Gabrillin, A. (2014). Anies Baswedan Sebut Pendidikan Indonesia Gawat Darurat. Diunggah dari http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/01/13455441/anies.baswedan.s ebut.pendidikan.indonesia.gawat.darurat tanggal 6 juli 2015. Megawangi, R. (2009). Pendidikan Karakter. Jakarta: Penerbit Indonesia Heritage Fondation. Mok Soon Sang. (2010). Pedagogi untuk pengajaran dan pembelajaran. Puchong. Multimedia Sdn Bhd. Nuraida, N. (2012). Rangkuman Materi Pedagogik UKG 2012-Part 1. Diunggah dari https://nunungnuraida.wordpress.com/2012/07/29/rangkuman-materipedagogik-ukg-2012-part-1/ tanggal 1 juli 2015.
1213
Sund & Trowbribge. (2013). Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam dan Karakteristik Bidang Kajian Ilmu IPA. Diunggah dari http://pekaranganilmu.blogspot.com/2013/01/pengertian-ilmupengetahuan-alam-dan.html tanggal 6 juli 2015. Sapriati, A. (2014). Pembelajaran IPA di SD. Penerbit Universitas Terbuka. Sadulloh, U. (2010). Landasan Pedagogik. Diunggah dari http://iintelektualmuda.blogspot.com/2013/11/landasan-pedagogik.html tanggal 2 juli 2015. Wardani, I.G.A.K. (2009). Perspektif Pendidikan SD. Penerbit Universitas Terbuka.
1214
PENTAKSIRAN KEFAHAMAN KONSEP SAINS DENGAN MENGGUNAKAN PENGURUSAN GRAFIK 1
Wahadatul Arta’iah Sa’audi & 2Haslinah Abdullah Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan E-mail: 1)
[email protected]
Abstrak Pentaksiran adalah penting untuk menilai pencapaian hasil pembelajaran dan kefahaman murid agar guru dapat melakukan tindakan bimbingan yang tepat dan efisien. Kajian ini merupakan satu penyelidikan tindakan bagi menambahbaik amalan pentaksiran dengan menggunakan pengurusan grafik bagi mengenalpasti kefahaman konsep sains dalam kalangan murid tahun empat. Amalan pentaksiran yang biasa dilakukan sukar untuk mengenalpasti sejauhmana kefahaman konsep sains secara individu dan telah mencapai hasil pembelajaran. Tiga instrumen yang digunakan untuk mengumpul data ialah rekod anekdot, hasil kerja murid dan temu bual. Pelaksanaan penggunaan grafik sebagai alat pentaksiran telah membolehkan saya mengenalpasti berapa ramaikah yang masih belum memahami konsep sains, konsep sains yang manakah perlu diberikan penekanan kefahaman kepada murid dan aspek bimbingan apakah yang bersesesuaian untuk diberikan, seterusnya penggunaan grafik telah dapat memudahkan murid-murid mengingati konsep sains dan bersikap lebih yakin diri dalam pembelajaran. Tindakan ini telah membantu saya untuk meneruskan bimbingan yang bertepatan dengan keperluan mengikut keunikan murid secara individu. Kata kunci: pentaksiran, pengurusan grafik, kefahaman, ingatan, konsep sains PENGENALAN Pembinaan kefahaman konsep di dalam mata pelajaran Sains amatlah penting bagi memastikan murid dapat menguasai sesuatu konsep itu dengan baik. Pemahaman konsep yang lemah menyebabkan kesukaran bagi murid menerangkan sesuatu keadaan atau perubahan yang berkaitan dengan topik tersebut. Konsep ialah sesuatu yang abstrak. Pengurusan grafik merupakan imej konkrit yang menunjukkan bagaimana sesuatu konsep berkait kepada konsep yang lain dalam sesuatu kategori (Poh, 2005). Pengurusan grafik merupakan alat pemikir yang baik di mana ianya berfungsi untuk merekod pemikiran dan pendapat individu berkenaan dengan sesuatu topik atau tajuk yang difokuskan. “Graphic organizers spatially represents the interrelationships of the concept to student and facilitate the integration of related ideas in new ways” (Brunn, 2004) . Manakala, pengurusan grafik diperkenalkan oleh David Ausubel yang merupakan seorang ahli psikologi pendidikan yang menyokong teori bahawa murid membentuk dan mengorganisasi pengetahuan secara sendirian dan pengetahuan ini distrukturkan sebagai kerangka yang mana berkaitan dengan struktur yang spesifik (Hiang, 2005). Kennedy (2007) menyatakan, persembahan grafik menunjukkan kecekapan murid dan merupakan maklum balas formatif kepada guru untuk merancang tindakan seterusnya di dalam bilik darjah dan juga untuk mendiagnosis individu itu. Selain itu, menurut Sharrock (2008) dan B.Da (2012) menyatakan bahawa
1215
pengurusan grafik dapat digunakan sebagai alat pentaksiran dalam mentasir kefahaman murid terhadap pembelajaran mereka kerana ia dapat mengekstrak maklumat dengan baik. “The use of the graphic organizer also allowed the teacher to more quickly and clearly see the steps that the studens were taking in solving the problem and together identify where the student was hitting road blocks” (Statema, 2007). Apabila keprihatinan dapat diberikan hasil pentaksiran kepada yang lemah, mereka akan lebih fokus dan juga dapat merencanakan tindakan susulan bagi melakukan penambahbaikan dalam pembelajaran mereka. Pemerhatian dan tinjauan telah dijalankan semasa sesi pengajaran dan pembelajaran Sains tahun 4 pada tahun 2014 dan tahun 5 pada tahun 2015. Data diperolehi melalui rekod anekdot, hasil kerja murid, dan temu bual bersama dengan beberapa murid yang dipilih. Analisis data ini diguna pakai untuk mengetahui peranan pengurusan grafik dalam menjadikan amalan pentaksiran bagi subjek sains lebih efektif dan terperinci. Hal ini meliputi aspek pentaksiran yang lebih terperinci, serta bimbingan yang berkesan oleh guru semasa sesi pentaksiran dijalankan di akhir proses pengajaran dan pembelajaran. Keberkesanan dan kelancaran sesuatu pentaksiran amatlah penting bagi memberi maklumat bagi guru bagi tujuan bimbingan pada masa akan datang. Maka, dengan aplikasi pentaksiran menggunakan pengurusan grafik di dalam bilik darjah, murid boleh mendapat lebih bimbingan dan organisasi dalam mengenalpasti pengetahuan sedia ada dan membina pengetahuan murid dengan efektif (Statema, 2012). Kajian ini berfokus untuk menambahbaik amalan pentaksiran saya terhadap kefahaman murid bagi setiap konsep sains yang telah saya ajarkan kepada mereka dengan menggunakan pengurusan grafik yang telah saya ubah suai supaya pentaksiran yang dijalankan adalah lebih terperinci dan memberikan lebih banyak maklumat berkenaan penguasaan mereka seterusnya membantu saya merangka bentuk bimbingan yang bertepatan dengan masalah yang dialami. OBJEKTIF KAJIAN Menambahbaik amalan pentaksiran formatif dengan menggunakan pengurusan grafik bagi meningkatkan keberkesanan pentaksiran sebagai maklumat bagi tujuan bimbingan terhadap penguasaan konsep sains. Objektif Khusus 1. Meningkatkan amalan pentaksiran formatif yang dijalankan pada akhir sesuatu topik. 2. Memberikan maklumat yang lebih terperinci berkenaan tahap kefahaman murid bagi sesuatu konsep. 3. Meningkatkan kemahiran merancang aktiviti pembelajaran serta bimbingan yang lebih bersesuaian.
1216
SOALAN KAJIAN 1. Adakah saya dapat menambah baik amalan pentaksiran konsep sains dengan menggunakan pengurusan grafik sebagai bahan pentaksiran? 2. Adakah pentaksiran formatif yang saya laksanakan lebih sistematik dan pelaksanaannya lebih lancar dengan menggunakan pengurusan grafik? 3. Bolehkah pengurusan grafik membantu saya dalam merangka bentuk bimbingan yang dapat dilakukan bagi meningkatkan kefahaman murid terhadap konsep ini? KUMPULAN SASARAN Murid tahun 4 seramai 27 orang di sebuah sekolah di daerah Mukah, Sarawak dengan bilangan lelaki seramai 19 orang dan perempuan 8 orang. Kumpulan ini merupakan kesemua murid tahun 4 di sekolah ini dan mempunyai tahap latar belakang yang berbeza dan mempunyai tahap pencapaian akademik dengan jurang yang berbeza. PERANCANGAN DAN PELAKSANAAN TINDAKAN Model Kajian Tindakan Kajian ini dilaksanakan mengikut model penyelidikan oleh John Elliot (1991) dan dilakukan sebanyak 1 kitaran sahaja. Prosedur Perancangan dan Pelaksanaan Tindakan Perancangan tindakan terdiri daripada 5 langkah iaitu: Langkah 1: Penyediaan pengurusan grafik Saya mengubahsuai pengurusan grafik daripada jenis Fryer 4-Square Model. Pengurusan grafik ini terdiri daripada 4 kotak dengan 1 kotak di tengah-tengah dan 3 kotak yang digunakan untut mencatatkan maklumat yang berbeza berkenaan dengan konsep yang difokuskan di bahagian tengah. Murid bebas memberikan jawapan dalam bentuk bertulis atau lukisan. Pengurusan grafik ini boleh diulang guna dan mudah diubah mengikut konsep yang ditaksirkan. Langkah 2: menjalankan pentaksiran di dalam bilik darjah dan mencatatkan rekod anekdot 1. Saya melaksanakan pentaksiran menggunakan pengurusan grafik semasa langkah penilaian. 2. Saya juga menyediakan rekod anekdot bagi mencatatkan setiap perlakuan yang berkaitan dengan amalan pentaksiran saya. 3. Saya menjalankan kajian ini sebanyak 2 kali iaitu kali pertama bagi konsep lutsinar, lutcahaya dan legap serta yang kedua bagi konsep konduktor dan penebat. Langkah 3: penilaian dan analisis hasil kerja murid oleh guru Saya menyemak pengurusan grafik yang telah dikumpul dan merekod skor dalam jadual bagi mengenal pasti murid yang masih tidak faham akan konsep serta bahagian yang tidak difahami itu. Langkah 4: analisis rekod anekdot oleh guru Saya melihat kepada pengurusan dan juga pelaksanaan pentaksiran ini sama ada bentuk lisan atau tingkah laku. Selepas itu, saya membuat catatan tentang peristiwa penting yang berkaitan dengannya untuk dianalisis dan diintepretasikan.
1217
Langkah 5 : temu bual berstruktur bersama murid 1. Temu bual ini diadakan secara berstruktur bersama 4 orang muridyang telah dipilih secara sukarela. Ianya dilakukan bagi mendapatkan maklum balas murid itu sendiri terhadap pelaksanaan pentaksiran konsep dengan menggunakan pengurusan grafik. 2. Temu bual ini dijalankan selepas sesi pengajaran dan pembelajaran. 3. Sesi temu bual ini dirakamkan dengan menggunakan kamera video. METODOLOGI KAJIAN Reka bentuk kajian Kajian in menggunakan reka bentuk penyelidikan tindakan iaitu saya mengambil tindakan menggunakan pengurusan grafik bagi menyelesaikan isu dalam pengajaran saya iaitu amalan pentaksiran. Kesahan data dilakukan melalui triangulasi data daripada tiga instrumen berbeza dan alat mekanikel iaitu kamera video untuk meningkatkan kesahan dalaman. Cara Pengumpulan Data Satu pengurusan grafik yang memerlukan murid-murid mengisi dengan maklumat yang berbeza berkenaan dengan konsep iaitu maksud, contoh dan bukan contoh serta murid-murid diberikan masa 15 minit bagi menjawab dan hasil dan helaian tersebut dikumpulkan semula. Jadual 1. Tahap Kefahaman Konsep Murid Tahap Kefahaman Konsep Faham
Sederhana faham
Tidak faham
Murid mendapat skor 3 dengan mendapat kesemua maklumat yang tepat berkenaan dengan konsep.
Murid mendapat skor 1-2 dengan sebahagian daripada maklumat yang diberikan tidak tepat.
Murid tidak mendapat sebarang skor dengan kesemua maklumat yang diberikan adalah tidak tepat.
Satu catatan rekod anekdot disediakan bagi mencatat peristiwa penting serta gambaran keadaan yang berlaku yang berkaitan kefahaman terhadap pengurusan grafik yang dilaksanakan dan juga kelancaran pentadbiran pentaksiran. Temu bual berstruktur bersama murid 4 orang murid ditemu bual secara berstruktur dengan berpandukan 9 soalan yang telah disediakan. Murid ini ditemu bual setelah selesai sesi pentaksiran dengan menggunakan pengurusan grafik. Temu bual dijalankan di bilik guru secara individu selama 15 minit dengan bantuan alat kamera video.
1218
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA Berdasarkan kepada data, dua maklumat diperolehi iaitu tahap kefahaman murid bagi setiap konsep dan bilangan konsep yang dikuasai. Tahap kefahaman murid bagi setiap konsep Jadual 1 merupakan dapatan daripada analisis yang telah saya lakukan mengikut bilangan pelajar dan peratusan tahap kefahaman bagi setiap konsep. Jadual 4. Bilangan Pelajar Mengikut Tahap Kefahaman Bagi Setiap Konsep Konsep Sains
Faham
Legap Lutcahaya Lutsinar Konduktor Penebat Elastik
Bil. 5 2 3 15 15 15
% 18.5 7.4 11.1 55.6 55.6 55.6
Kategori kefahaman Sederhana Tidak Faham Faham Bil. % Bil. % 17 63.0 3 11.1 11 66.7 12 11.1 8 29.6 14 51.9 10 37.0 0 0 10 37.0 0 0 11 40.7 1 3.7
Tidak hadir Bil. 2 2 2 2 2 0
% 7.4 7.4 7.4 7.4 7.4 0
Daripada data ini dapat dilihat berlaku peningkatan pada bilangan dan peratus kefahaman murid bagi setiap sesi pengajaran. Pada pengajaran yang pertama iaitu bagi konsep lutsinar, lutcahaya dan legap bilangan murid yang memahami konsep adalah rendah dengan mencatatkan kurang daripada 20% peratus berbanding dengan pentaksiran yang kedua dan ketiga yang mencatatkan bilangan yang lebih tinggi bagi tajuk konduktor, penebat dan juga elastik di mana masing-masing melebihi 50%. Dalam pengajaran pertama bagi topik sifat bahan penembusan cahaya, konsep lutcahaya dan lutsinar didapati mencatatkan bilangan murid paling ramai tidak memahami konsep iaitu dengan 12 dan 14 orang dan masingmasing mewakili 11.1 peratus dan 51.9 peratus murid. Hal ini mungkin disebabkan oleh mereka tidak biasa lagi dengan bentuk pentaksiran seperti itu kerana ianya merupakan kali pertama saya melaksanakannya di dalam kelas. Bagi konsep legap, bilangan murid yang sederhana faham mencatatkan paling tinggi iaitu dengan 17 orang dan juga bilangan faham 5 orang menunjukkan mereka lebih jelas tentang konsep legap ini. Lagipun, contoh yang diberikan lebih jelas dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam kalangan murid. Manakala dalam pentaksiran yang kedua, bagi konsep konduktor dan penebat dapat dilihat berlaku peningkatan dalam bilangan murid yang memahami konsep dengan bilangan yang paling tinggi iaitu masing-masing dengan 15 orang memahami konsep dan tiada rekod yang dicatatkan bagi murid yang tidak memahami konsep. Jumlah 15 orang ini mewakili 55.6 peratus pelajar yang merupakan separuh daripada ahli kelas. Beberapa penambahbaikan daripada segi pengendalian dan pelaksanaan dapat dilihat menyumbang kepada peningkatan ini. Konsep konduktor dan penebat ini mudah difahami kerana mereka menggunakan bahan maujud seperti litar yang mudah untuk dikendalikan. Di samping itu, arahan yang diberikan secara
1219
paparan slaid dan juga lisan menjadikan mereka lebih jelas tentang cara menjawab pengurusan grafik. Hal ini menunjukkan bahawa murid dapat mengaitkan fakta-fakta berkaitan konsep dengan baik. Pada pengajaran ketiga bagi tajuk sifat bahan elastik kehadiran adalah penuh iaitu sebanyak 27 orang hadir berbanding dengan pentaksiran yang kedua dan ketiga yang mencatatkan 2 orang tidak hadir dan merupakan murid yang sama. Didapati bilangan murid yang faham adalah sama dengan pentaksiran kedua iaiatu dengan 15 orang yang memahami konsep bersamaan dengan 55.6 peratus. Sementara itu, bilangan yang dikelaskan di dalam sederhana faham pula bertambah iaitu dengan 37.0 peratus berbanding dengan konsep yang ditaksirkan pada pengajaran kedua. Namun begitu, bagi tajuk ini terdapat seorang yang dikelaskan dalam kumpulan tidak faham kerana ini merupakan kali pertama murid tersebut menjawab pengurusan grafik ini. Bilangan konsep yang sudah dikuasai oleh murid Antara maklumat lain yang saya perolehi daripada analisis hasi kerja murid ini ialah mengetahui kefahaman murid secara individu iaitu merujuk kepada konsep yang dikuasai berdasarkan kepada keenam-enam konsep yang telah dipelajari. Hal ini penting bagi saya untuk mengenal pasti murid-murid yang perlu dibantu dan perlu diberikan lebih latihan pengukuhan dan penggayaan. Jadual 5. Bilangan Konsep yang dapat Dikuasai Pelajar Secara Individu. *Murid diwakili dengan nombor yang diisikan di ruangan murid. Bilangan konsep 0 1 2 3 4 5 6
Bilangan murid (N=27) 6 6 6 3 3 2 1
Murid 8,9,11,15,16,24 1,5,13,19,22,26 3,6,7,12,17,25 14, 18,20 2,4,23 21,27 10
Berdasarkan kepada Jadual 5, bilangan murid yang tidak menguasai apaapa konsep sehingga yang menguasai hanya 1 dan 2 konsep mencatatkan bilangan yang paling ramai. Bilangan ini mencatatkan ¾ daripada kelas iaitu dengan 18 daripada 27 orang perlu dibantu dan dibimbing dalam memahami konsep. Terdapat seorang murid sahaja yang dapat memahami kesemua konsep yang ditaksirkan. Daripada jadual ini juga, saya dapat mengenal pasti murid yang dapat dijadikan rakan pembimbing bagi membantu rakan-rakan mereka yang lemah. Saya juga dapat mengenal pasti konsep yang masih tidak difahami oleh setiap murid. Jadual ini juga dapat diperincikan lagi bagi mengenal pasti konsep yang sudah dikuasai oleh murid tertentu seperti jadual berikut:
1220
Jadual 6. Perincian Kefahaman Konsep Murid Secara Individu
4
3
Elastik
Konduk tor
Peneba t
Konsep Lutsina r
Murid
Lutcah aya
Bilangan murid
Legap
Bilangan konsep yang dapat dikuasai
2
√
√
√
√
√
4
√
√
√
√
√
23
√
√
√
√
√
Melalui Jadual 6 ini saya dapat mengenal pasti dengan lebih jelas konsep dan murid tertentu yang memerlukan bimbingan. Rekod anekdot Rekod anekdot mengandungi tingkah laku dan tindak balas murid terhadap pentaksiran konsep sains yang saya jalankan menggunakan pengurusan grafik PKS. Pengurusan bahan Pengurusan bahan merujuk kepada cara mengedar dan mengumpul bahan lembaran. Pada sesi pengajaran pertama, saya sendiri mengagihkan kertas kepada murid dari meja ke meja. Kesannya murid bising dan bergerak dari tempat duduk untuk mendapatkan kertas. Keadaan ini membawa kepada suasana kelas yang kucar-kacir dan semakin tidak terkawal apabila terdapat murid yang berebut-rebut untuk mendapatkan kertas. Sementara itu, apabila murid telah menyiapkan lembaran kerja, saya mengumpul semula dengan cara yang sama menyebabkan keadaan yang sama berulang. Pada sesi kedua, ketua dilantik untuk mengagihkan kepada ahli kumpulan dan mengumpul semula bahan pengurusan grafik kepada guru. Hal ini secara tidak langsung memberi impak kepada guru di mana lebih memudahkannya untuk menjalankan pentaksiran tersebut dalam keadaan yang lebih terkawal. Pelaksanaan pentaksiran Aspek yang seterusnya mengaitkan berkenaan 3 kategori iaitu arahan, bimbingan dan juga reaksi murid. Arahan merupakan antara aspek yang penting dalam perlaksanaan sesuatu tindakan. Berdasarkan data yang diperolehi, apabila kali pertama sesi pentaksiran, arahan disampaikan secara lisan dan juga penggunaan “thumbs up” dan “thumbs down” diperkenalkan. Daripada pemerhatian, fungsi isyarat tangan ini tidak difahami dengan baik di mana murid menunjukkan “thumbs up” yang memberikan maklumat kepada saya bahawa mereka faham dengan arahan tetapi sebaliknya berlaku. Pada sesi pengajaran pertama ini, bimbingan juga tidak diberikan kepada murid menyebabkan murid tidak faham. Hal ini ditunjukkan melalui cacatan anekdot di mana mereka menunjukkan reaksi seperti menggaru kepala dan
1221
cuba untuk meniru rakan.Dalam sesi yang kedua terdapat beberapa perubahan yang telah saya lakukan. Saya telah menggunakan persembahan slaid untuk memaparkan arahan berkenaan cara untuk menjawab lembaran kerja pengurusan grafik. Saya tidak memberikan jawapan secara langsung cuma bertindak sebagai fasilitator mereka supaya mereka lebih bersemangat dan juga bersungguh-sungguh dalam menjawab soalan. Hasil daripada tindakan ini, saya dapat lihat keadaan kelas semakin terkawal dan reaksi daripada murid semakin baik. Murid kurang bertanya tentang cara untuk menjawab soalan dan juga mereka lebih berdisiplin di mana semua fokus kepada kertas pengurusan grafik masing-masing. Suasana kelas juga menjadi lebih tenang dan memberikan keselesaaan kepada mereka untuk menjawab. Apabila murid menunjukkan yang murid yakin dan berlumba-lumba mahu mengemukakan contoh yang lebih banyak.Ini disokong Brookhart, (2008) yang menyatakan “Through effective formative assessment, student feel permitter to think for themselves and to openly share their understandings which frees them to become the driving force in their own learning.” Pentaksiran formatif yang berkesan akan dapat merangsang murid untuk belajar secara sendiri. Temu bual berstruktur Hasil daripada temu bual ini telah dianalisis dengan menterjemahkannya di dalam bentuk transkrip dan dikodkan kepada beberapa tema. Antara tematema tersebut ialah pendapat terhadap pengurusan grafik dan aspek bimbingan guru. Pendapat terhadap pengurusan grafik Pada mulanya murid-murid tidak begitu jelas dengan cara untuk menggunakan pengurusan grafik dan juga merasa risau untuk menjawab. Namun begitu, berubah menjadi semakin jelas apabila digunakan dalam pentaksiran seterusnya Bagi penggunaan pengurusan grafik, murid-murid memberikan pendapat yang positif seperti membantu mereka untuk mengetahui, memahami dan memudahkan mereka mengingat konsep yang telah dipelajari, dapat membezakan konsep serta memberikan mereka lebih idea berkenaan sesuatu konsep itu. Mereka juga mendapati bahawa pengurusan grafik ini dapat mencabar pemikiran mereka dengan 5 daripada murid yang ditemu bual memilih untuk menjawab pengurusan grafik Namun begitu antara kesan positif ini iaitu dengan banyak berfikir menjadikan seorang daripada murid yang ditemu bual merasakan susah untuk menjawab dan tidak seronok untuk menjawab yang membawa kepada motivasi kendiri yang rendah. Keadaan ini juga menyebabkan murid tersebut lebih memilih untuk menjawab pentaksiran berbentuk aneka pilihan berbanding pengurusan grafik. REFLEKSI Melalui analisis dan interpretasi data yang telah dilaporkan, setelah ditringulasikan terdapat 4 dapatan yang dikenal pasti dalam menambah baik amalan guru mentaksir kefahaman konsep sains murid. Dapatan ini adalah mengenai pengurusan grafik sebagai alat pentaksiran., pendapat tentang penggunaan pengurusan grafik, bimbingan guru dan pengurusan bahan.
1222
Pengurusan grafik sebagai alat pentaksiran Analisis menunjukkan bahawa penggunaan pengurusan grafik dapat membantu guru memperolehi lebih banyak maklumat berkenaan dengan kefahaman murid. Guru dapat mengetahui konsep yang tidak dikuasai oleh individu murid. Justeru, mengenal pasti murid-murid yang lemah dan memerlukan bimbingan oleh guru. Guru juga dibekalkan dengan maklumat tentang konsep yang perlu difokuskan untuk penambahbaikan. Data tentang tahap kefahaman murid mengikut konsep dan juga data berkenaan dengan bilangan konsep yang telah dikuasai dilihat memberikan jalan yang lebih mudah untuk guru mentaksir murid dengan lebih terperinci. Penggunaan pengurusan grafik oleh murid Murid menyambut baik penggunaan pengurusan grafik ini kerana ianya membantu mereka untuk mengingat, membezakan serta memahami konsep dengan lebih jelas. Di samping itu, bagi murid pengurusan grafik di dalam pentaksiran ini membantu mereka dalam memahami konsep. Keenam-enam murid yang ditemu bual menjelaskan kebaikan yang diperolehi dengan menggunakan pengurusan grafik ini seperti mudah ingat dan faham konsep, dapat membezakan konsep dan mencabar pemikiran mereka. Pernyataan ini disokong oleh (Kennedy, 2007) yang menyatakan persembahan grafik menunjukkan kecekapan murid dan merupakan maklum balas formatif kepada guru dalam dalam merancang tindakan seterusnya di dalam di dalam bilik darjah untuk mendiagnosis individu. Tambahan pula, terdapat juga antara mereka yang percaya bahawa pengurusan grafik ini dapat membantu mereka untuk meningkatkan daya pemikiran mereka dan memberikan mereka lebih idea mengenai sesuatu konsep. Namun begitu penggunaan pengurusan grafik ini juga dilihat sukar bagi sebahagian murid. Bimbingan guru Bimbingan awal guru ini dilihat penting dalam membantu murid untuk lebih yakin dan fokus dalam menjawab pengurusan grafik. Bimbingan diberikan dalam 2 perkara iaitu cara menjawab soalan pengurusan grafik dan juga bimbingan untuk mengingat semula konsep yang telah dipelajari. 6 murid yang ditemu bual menyatakan bahawa guru memberikan bimbingan kepada mereka di dalam kedua-dua aspek ini. Pada mulanya, apabila tidak diberikan bimbingan murid-murid ini menyatakan mereka merasa risau dan tidak yakin berbanding dengan pentaksiran yang dilakukan selepas itu. Pengurusan bahan Tema yang terakhir ialah pengurusan bahan di dalam bilik darjah dengan memberi perhatian kepada penyampaian arahan cara menjawab menggunakan pengurusan grafik dan juga pengedaran dan pengumpulan bahan lembaran semasa pentaksiran dijalankan. Hasil analisis daripada temu bual dan raekod anekdot mendapati bahawa pengurusan bahan ini memainkan peranan penting. Melalui pemerhatian daripada rekod anekdot menunjukkan suasana yang kucar- kacir berlaku dalam pentaksiran pertama dan beransur menjadi lebih terkawal pada pentaksiran yang kedua dan ketiga. Keadaan kucar-kacir ini disebabkan arahan yang tidak jelas. Guru yang berkesan perlu mempunyai kemahiran komunikasi yang hebat kerana melaluinya mereka akan dapat menyampaikan pengetahuan dengan lebih jelas, lancar dan mudah difahami oleh murid (Khairul, 2012). Kesimpulannya, saya telah menambahbaik amalan
1223
pentaksiran konsep sains murid saya. Dapatan kajian ini telah dapat menjawab soalan saya iaitu saya dapat menambahbaik cara pentaksiran konsep sains murid dengan dengan menggunakan pengurusan grafik. Pada masa akan datang saya ingin mencadangkan bahawa pengurusan grafik digunakan untuk mentaksir kefahaman murid berkenaan kemahiran proses sains. DAFTAR RUJUKAN B.Da, R. (2002). Enhancing Comprehension Through Graphic Organizers. (Tesis tidak diterbitkan). Kean University, Union and Hillside, New Jersey, United States, America. Brookhart, S., Moss, C. & Long, B. (2008). Formative Assessment That Empowers. Journal of Educational Leadership. Vol 66 (3), 52-57. Brunn, M. (2004). Teaching Ideas: The Four Square Strategy. International Reading Association, 55 (6), (522-532). Kennedy, C.A. & Wilson, M. (2007). Using Progress Variables To Interpret Student Achievement And Progress. (Tesis tidak diterbitkan). University of California, Berkeley, California, America. Hiang, P.S. (2005). Pedagogy Of Science Volume 1 For Postgraduate Diploma In Teaching.Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman Sdn. Bhd. Khairul Anuar A. Rahman. (2012). Disposisi Guru Berkesan: Personaliti dan Kemahiran Komunikasi. Jurnal Akademika 82(2), 37-44. Sharrock, T. (2008). The Effect Of Graphic Organizers On Student Writing. (Tesis tidak diterbitkan). Kennesaw State University, Georgia, United States,America. Statema, S.L. (2012). Using Graphic Organizers To Develop And Build Upon Prior Knowledge. (Tesis tidak diterbitkan). Montana State University, Bozeman, Montana, United States, America.
1224
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SD Yani Septiyani Rosalia Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, UPI, Bandung E-mail:
[email protected] Abstract Application of Contextual Approach In Natural Sciences Learning Concept To Improve Primary School Students. This study aimed to obtain the understanding of the concept of such indicators explain, classify indicator, the indicator and the indicator pointed concluded. One of the efforts is to improve understanding of concepts by applying contextual approach. Goals to be achieved in this research are: (1) obtain a description of the learning process with the application of the contextual approach to learning Natural Science to improve students' understanding of the concept. (2) obtain a description of an improved understanding of the concept of teaching students in Natural Sciences by applying a contextual approach to the learning process. This class uses Action Research Model Kemmis & Taggart conducted in two cycles. Data collection techniques used in this study is the result of observation and tests students' understanding of the concept. The results obtained, namely, the percentage of students who completed the indicator explained in the first cycle of 86.6% on the second cycle increased to 90%, classifying indicators in the first cycle of 93.3% increased to 96.6%, the indicators cited in the first cycle a 90% increase to 96.6%, and the indicator conclude the first cycle increased by 80% to 93.3%. From these data show that increasing students' understanding of the concept after learning by applying the contextual approach. Keywords: Contextual Approach, understanding concepts, Describe and Classify. PENDAHULUAN IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Menurut Nurferi, S. (2010, hlm. 19) mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah cara mencaritahu tentang alam secara sistematis, berupa konsepkonsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi mengumpulkan fakta-fakta, dan bagaimana menghubung-hubungkan fakta-fakta itu. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Terlihat dari hasil wawancara dengan guru dan siswa, serta pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran berlangsung yaitu terdapat beberapa permasalahan diantaranya: 1) pada saat berlangsungnya pembelajaran IPA, siswa terlihat tidak memperhatikan penjelasan dari guru, 2) siswa bosan dan sering mengganggu temannya yang lain, 3) siswa pasif serta banyak melakukan aktivitas sendiri-sendiri, sehingga membuat suasana kelas tidak kondusif, 4) guru lebih banyak aktif dalam memberikan materi kepada siswa
1225
akibatnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran IPA masih kurang, padahal keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran mampu menimbulkan rasa senang terhadap pembelajaran, 5) siswa hanya menjawab pertanyaanpertanyaan dari guru saja. Gejala-gejala permasalahan tersebut bisa terlihat salah satunya dari hasil belajar yang diperoleh siswa pada pelajaran IPA dengan materi pokok gaya, menunjukkan nilai yang relatif rendah dan kebanyakan siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan yaitu 75. Menurut Muslich. M (2007, hlm. 41) menyatakan: Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia yang nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Menurut Badar, T.I (2014, hlm. 138) berangkat dari landasan tersebut, maka dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan sinyal dalam implementasinya penggunaan strategi dengan menekankan pada aspek kinerja siswa (contextual teaching and learning). Jadi, dalam hal ini, fungsi dan peranan guru hanya sebagai mediator, siswa lebih proaktif untuk merumuskan sendiri tentang fenomena yang berkaitan dengan fokus kajian secara kontekstual bukan tekstual. Salah satu pendekatan pembelajaran yang bisa meningkatkan pemahaman konsep siswa, aktivitas belajar siswa dan pengaitan konsep pembelajaran dengan pengalaman nyata siswa tersebut adalah dengan penerapan pendekatan kontekstual karena pendekatan ini membuat pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguasaan konsep kepada siswa sehingga materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini menggunakan salah satu metode penelitian yaitu penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Menurut Arikunto dkk. (2010, hlm. 3) “Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Peneliti dalam melaksanakan penelitian ini memilih Penelitian Tindakan Kelas dikarenakan sangat sederhana dan menarik serta merupakan metode siklus yang dilakukan secara berulangulang dan berkelanjutan yang mengacu pada alur model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart yang meliputi perencanaan (Planning), pelaksanaan/ Tindakan (Action), observasi (Observing), dan refleksi (Reflection). Alur Penelitian Tindakan Kelas Adaptasi Model Kemmis dan Taggart yang dikembangkan Riani (2013, hlm. 30).
1226
Perencanaan Refleksi I
SIKLUS 1
Pelaksanaan tindakan Observasi
SIKLUS 1
Pelaksanaan tindakan
Perencanaan
SIKLUS2 2.1 Pelaksanaan tindakan 2.2 Pelaksanaan tindakan
Refleksi II
Observasi
SIKLUS 2
Kesimpulan
Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas Data-data yang didapatkan bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kedua data tersebut ditujukan untuk menilai pemahaman konsep siswa pada pembelajaran IPA agar siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan yaitu 75. Data kuantitatif didapatkan dari tes yang dilakukan pada setiap siklus digunakan untuk menghitung nilai rata-rata kelas sebagai bentuk hasil belajar siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua data mentah yang diperoleh melalui hasil lembar evaluasi individu dan kelompok, observasi, angket, wawancara, dan catatan lapangan. Untuk menghitung nilai rata-rata kemampuan siswa rumus yang digunakan sebagai berikut: Rumus menghitung nilai siswa: ݈ܰ݅ܽ݅ ൌ
ୗ୩୭୰୮ୣ୰୭୪ୣ୦ୱ୧ୱ୵ୟ ௦௦Ȁௗ
X 100
Untuk menghitung rata-rata menggunakan rumus menurut Sudjana (2013, hlm. 109) sebagai berikut. ݔҧ ൌ
σݔ ݊
Keterangan: ݔ ഥ : Nilai rata-rata kelas σݔ : Total nilai yang diperoleh siswa ݊ : Jumlah siswa atau banyaknya data
1227
Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus menurut Aqib, dkk (2011, hlm. 41) p=
σ ୱ୧ୱ୵ୟ୷ୟ୬୲୳୬୲ୟୱୠୣ୪ୟ୨ୟ୰ σ ୱ୧ୱ୵ୟ
ൈ ͳͲͲΨ Tabel 1. Kategori Skala Nilai
Nilai 91≤ A ≤ 100 76 ≤ B ≤ 90
Kategori Sangat Baik Baik
56 ≤ C ≤ 75 41 ≤ D ≤ 55
Cukup Kurang
0 ≤ E ≤ 40
Sangat Kurang Diadaptasi dari Sukmawati (2013, hlm. 56)
Observasi guru dan siswa dapat menggunakan skala penilaian dengan rentang nilai dalam bentuk angka 4 = baik sekali, 3 = baik, 2 = cukup, 1 = kurang (Sudjana, 2013, hlm77-78) dengan cara memberi tanda checklist pada kolom skala nilai. Setelah itu semua nilai dihitung dengan rumus: ܰൌ
ൈ ͳͲͲ ݉ݑ݉݅ݏ݇ܽ݉ݎ݇ݏ
Dan dikonversikan pada nilai dengan rentang seratus untuk menilai keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru. Konversi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Konversi Nilai Ketelaksanaan Pembelajaran Oleh Guru Nilai 10-29 30-49 50-69 70-89 90-100
Keterangan Sangat kurang Kurang Cukup baik Baik Sangat baik
HASIL DAN PEMBAHASAN Peningkatan pemahaman konsep dengan menerapkan pendekatan kontekstual terlihat meningkat. Hal ini dikarenakan apa yang terjadi pada perkembangan proses pembelajaran terlihat berkembang. Proses perkembangan pembelajaran dapat berkembang dikarenakan dalam pelaksanaan pembelajaran sudah baik dan maksimal dalam melaksanakannya dengan terus melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap temuan-temuan
1228
yang muncul melalui rencana perbaikan pembelajaran. Pelaksanaan dalam pembelajaran dapat berjalan dengan baik dikarenakan deskripsi data awal yang menceritakan tentang karakteristik siswa, karakteristik sekolah dan kondisi awal siswa yang dilakukan melalui tes kemampuan awal siswa untuk mengetahui siswa yang termasuk ke dalam kategori siswa berkemampuan tinggi, rendah, dan sedang. Terlihat ada peningkatan dalam hasil tes pemahamn konsep (individu). Berikut adalah bagan presentase tes kemampuan awal siswa.
Presenstase Tes Kemampuan Awal… Siswa Belum Tuntas
47%
53%
Siswa Tuntas
Gambar 2. Presentase Tes Kemampuan Awal Siswa Pada tes kemampuan awal siswa dengan nilai rata-rata 72,43 masih kurang dan belum memenuhi KKM. Dari 30 siswa hanya 16 dengan presentase 53,3% siswa yang nilainya diatas KKM dan 14 dengan presentase 46,6%. Berikut adalah presentase tes kemampuan awal siswa. Setelah melakukan tes awal kemampuan siswa kemudian pada siklus I dan II siswa diberikan lembar evaluasi pemahaman konsep. Berikut adalah rekapitulasi hasil pemahaman lembar evaluasi siklus I dan II.
Rekapitulasi Hasil Pemahaman Lembar Evaluasi Siklus I dan Siklus II 100% 80% 60% 40% 20% 0%
96.6% 93.3% 96.6% 93.3% 86.6% 90% 90% 80% 20% 13.4% 10% 10% 6.7% 6.7% 3.4% 3.4% Siklus 1
Siklus 2
Tuntas
Siklus 1
Siklus 2
Belum Tuntas
Menjelaskan
Mengklasifikasikan
Mencontohkan
Menyimpulkan
Gambar 3. Rekapitulasi Hasil Pemahaman Lembar Evaluasi Siklus I dan Siklus II
1229
Berdasarkan pada tabel diatas hasil pemahaman konsep siswa dengan indikator menjelaskan, mengklasifikasikan, mencontohkan dan menyimpulkan dari siklus I sampai siklus II terlihat meningkat. Adapun rekapitulasi hasil lembar evaluasi siswa yang sudah direduksi sebagai berikut.
Rekapitulasi Hasil Lembar Evaluasi Siswa (Individu) Siklus I dan Siklus II
100% 50% 0%
87.6% 100% 87.6% 72.43% 86.6% 53.3% 46.6% 13.4% 0% Tes Siklus 1 Kemampuan Awal Belum Tuntas
Siklus 2
Tuntas
Rata-rata
Gambar 4. Rekapitulasi Hasil Lembar Evaluasi Siswa (Individu) Siklus I dan Siklus II Berdasarkan tabel diatas bahwa hasil pemahaman konsep pada lembar evaluasi individu dari tes kemampuan awal siswa sampai pada siklus II terlihat meningkat. Selain itu adapun hasil rekapitulasi aktivitas guru dan siswa pada siklus I dan II sebagai berikut.
Rekapitulasi Hasil Aktivitas Guru dan Siswa Siklus I dan Siklus II 100%
57% 68%
100%100%
0% Siklus 1 Aktivitas Guru
Siklus 2 Aktivitas Siswa
Gambar 5. Rekapitulasi Hasil Aktivitas Guru dan Siswa Siklus I dan Siklus II Berdasarkan tabel rekapitulasi hasil aktivitas guru dan siswa terlihat meningkat dari siklus I hingga siklus II. Terlihat pada bagan lembar evaluasi Individu dan kelompok siklus I dan II, bagan hasil rekapitulasi aktivitas guru dan siswa serta bagan rekapitulasi angket siswa mengalami peningkatan. Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh setiap siswa. Hasil belajar
1230
pemahaman adalah kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu yang dipelajari menurut Kurniawan, (2011, hlm. 13). Bahwa begitu otak menemukan makna, struktur fisiknya akan berubah seiring dengan pembentukan hubungan saraf (dalam Johnson, hlm. 36 Diamond & Hopson, 1998; Greenfield, 1997). Secara keseluruhan dari deskripsi awal penelitian, pelaksanaan pembelajaran dan perkembangan proses pembelajaran yang baik akan berdampak pada peningkatan pemahaman konsep siswa. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perkembangan proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan kontekstual terlihat berkembang. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan pembelajaran peneliti membuat rencana perbaikan pembelajaran yang matang dari berbagai temuan dengan kategori kurang perhatian, pemahaman konsep rendah, dan motivasi rendah yang muncul pada setiap siklus agar tidak ditemukan lagi temuan-temuan yang sama pada pembelajaran selanjutnya dan pemahaman konsep dalam pembelajaran IPA pada materi gaya di kelas tinggi dilihat dari perolehan hasil belajar siswa dapat meningkat dengan menerapkan pendekatan kontekstual. Dengan rata-rata tes kemampuan awal siswa hanya 72,43 dengan presentase 53,3%, rata-rata siklus I 87,7 dengan presentase 86,6% dan rata-rata siklus II yaitu 87,6 dengan presentase 100%. DAFTAR RUJUKAN Aqib, Z. (2013). Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung: Yrama Widya. Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Badar, T., I. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual: Konsep Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum 2013. Jakarta: Prenadamedia Group. Hamalik, O. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hopskins, D. (2011). Panduan Guru Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jonhson, B., J (2014). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa Learning. Kunandar, (2012). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama. Mulyasa, E. (2010). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslich, M. (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: PT Bumi Aksara. Samatowa, U. (2010). Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Negeri . Jakarta: PT Indeks.
1231
PENGELOLAAN PEMBUATAN SOAL BERBASIS LITERASI SAINS 1)
Yuni Pantiwati & 2)Husamah Universitas Muhammadiyah Malang E-mail: 1)
[email protected] Abstract The science teacher at SMP Muhammadiyah Kota Batu understand and realize that science education has an important role in preparing qualified human resources to face the era of industrialization and globalization, one of them with literacy skills. The method used is the passage and mentoring training includes socializing, discussions, workshops, training, direct practice, and evaluation. Results of the analysis of the situation to the problems solved jointly agreed priorities 4 junior high science teacher, two teachers of SMP Muhammadiyah 8 and 2 teachers of SMP Muhammadiyah 2 Batu. Conclusion of the activity: 1) the science teachers at SMP Muhammadiyah Kota Batu has increased its ability to understand the assessment of authentic, assessment Traditionally, the concept of literacy, and the nature of scientific literacy, 2) There are 23 questions that are prepared teachers include: a) seven items for the dimension " measuring the ability of knowledge concepts ", b) there are no items to dimension" to measure the ability to use scientific knowledge in analyzing a text or article ", c) seven items for the dimensions" measure using knowledge or concepts significantly ", d) nine items for the dimension "measures the ability to analyze and evaluate the use of data or events", and e) none of the items to dimension "measure problem-solving skills". Keyword: Literasi, Sains, IPA, SMP PENDAHULUAN Literasi sains didefinisikan dalam Program for International Student Assessment (PISA, 2009) sebagai pengetahuan sains seseorang, dan penggunaan pengetahuan itu, untuk mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena sains dan menarik kesimpulan tentang sains yang berhubungan dengan isu- isu; pemahaman tentang cirri karakteristik dari ilmu sebagai bentuk pengetahuan manusia dan penyelidikan; kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk intelektual, lingkungan budaya; dan kesediaannya untuk terlibat dalam masalah yang terkait sains, serta dengan ide-ide pengetahuan tersebut bisa menjadi warga negara yang tanggap. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, karena anak usia 15 tahun sudah seyogyanya menentukan pilihan karier dan ikut serta mengambil peran dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Rahmawati, 2012). Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD, 2003) literasi sains (scientific literacy) didefinisikan sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Literasi sains penting untuk dikuasai oleh siswa dalam kaitannya dengan bagaimana siswa dapat memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi dan
1232
masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan serta perkembangan ilmu pengetahuan (Yusuf, 2003). Dengan demikian anak usia SMP dalam rentangan usia 10-15 sangat tepat sebagai masa terlihat hasil literasi sainnya. Hal ini bukan berarti waktu yang tepat memulai belajar literasi sains tetapi justru masa untuk menggunakan kemampuan literasi sains mengingat masa ini anak masuk dalam masa peralihat berpikir konkrit (SD) menuju berpikir abstrak (SMP). Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalahmasalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Hasil diskusi dan observasi di SMP Perguruan Muhammadiyah Kota Batu menunjukkan saat ini proses belajar mengajar untuk mata pelajaran sains (IPA) masih cenderung terfokus pada guru, dan kurang berfokus pada peserta didik. Sebenarnya guru sudah berupaya untuk memperbaiki hal ini, namun karena beban kerja yang tinggi dan berbagai tuntutan manajemen sekolah, dan belum intensih pembinaan tentang LIterasi sehingga hasilnya belum sesuai tujuan dan target pencapaian. Guru seringkali menemukan siswa kurang memahami konsep-konsep IPA secara mendalam padahal pemahaman konsep-konsep biologi sangat diperlukan dalam pengintegrasian alam dan teknologi hal ini mengkin saja disebabkan di dalam pembelajaran kurangnya keterlibatan siswa dan kurangnya penekanan guru terhadap keterkaitan antara konsep-konsep bilogi dan lingkungan riil. Selain itu proses pembelajaran siswa lebih menekankan hanya pada aspek pengetahuan dibandingkan dengan aspek pemahaman. Dalam proses pembelajaran siswa beranggapan biologi hanya terdiri atas kumpulan konsep teori dan hukum yang dipelajari hanya untuk menjawab soal ujian atau ulangan tanpa pernah memberikan makna untuk apa belajar. Demikian juga life skill yang dimilikinya kurang tertanam dalam diri siswa Sehingga dari proses belajar kurang dapat memberikan makna kepada siswa dalam kehidupannya. Guru IPA SMP di Perguruan Muhammadiyah Kota Batu juga sebenarnya telah mendengar istilah literasi sains, akan tetapi hanya sebatas mendengar saja. Guru IPA belum memahami literasi sains secara menyeluruh. Terbatasnya pengetahuan dan pemahaman itu menyebabkan para guru belum mengaitkan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan tuntutan literasi sains. Guru IPA telah memahami dan menyadari bahwa pendidikan sains memiliki peran yang penting dalam menyiapkan anak memasuki dunia kehidupannya. Pendidikan sains memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan sains mampu melahirkan siswa yang cakap dalam bidangnya dan
1233
berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Guru sebagai salah satu yang bertanggung jawab atas pendidikan, maka perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tetang pengukuran literasi sains. Pengukuran literasi sains penting untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap pengetahuan sains, tetapi juga pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan mengaplikasikan pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata. Meningat belum adanya pembinaan secara intensif tentang penguran berbasis literasi sains maka sampai saat ini guru belum memiliki kompetensi yang memadai terkait hal tersebut. Oleh karena itu tim pengabdian masyarakat pendidikan biologi melakukan pembinaan, pendampingan, dan pengelolaan guru IPA di SMP Perguruan Muhammadiyah Kota Batu-Malang dalam meningkatkan kemampuan membuat soal berbasis literasi sains. Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul atau ditemui di sekolah yang menjadi mitra maka guru-guru IPA, kepala sekolah, dan Tim Pengabdian telah sepakat bahwa masalah prioritas yang perlu segera mendapatkan solusi terkait literasi sains (science literacy). Agar lebih fokus terhadap permasalahan sehingga memudahkan pengambilan tindakan atau kegiatan pengabdian maka guru-guru IPA, kepala sekolah, dan Tim pengabdian sepakat bahwa perlu ada transfer informasi, penguatan wawasan, dan pendampingan guru-guru IPA oleh Tim Pengabdian mengenai topik-topik berikut, 1) Konsep literasi dan literasi sains, 2) Asesmen, asesmen tradisional, asesmen autentik dan langkah-langkah pengembangannya, 3) Pengembangan asesmen literasi sains. Output dari kegiatan ini yaitu tersusunnya instrumen berbasis literasi sains. METODE PELAKSANAAN Kegiatan dilakukan di Perguruan Muhammadiyah Kota Bat-Malang diikuti 4 oang guru dari 2 sekolah. Metode pendekatan ini sepenuhnya disesuaikan dengan hasil analisis situasi terhadap permasalahan prioritas yang disepakati untuk diselesaikan bersama dengan guru-guru IPA SMP Perguruan Muhammadiyah 8 Kota Batu Malang dari SMP Muhammadiyah 8 dan SMP Muhammadiyah 2 Sidomulyo Kota Batu. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendampingan yang meliputi sosialisasi, diskusi, workshop, pelatihan, praktek langsung, dan evaluasi. Metode ini dapat memberikan peran lebih kepada pada guru sehingga mereka lebih terampil dan pada akhirnya kompetensi guru, khususnya terkait dengan literasi sains akan meningkat sehingga mendorong tercapainya profesionalisme guru-guru IPA SMP Perguruan Muhammadiyah di Kota Batu-Malang. Berdasarkan uraian metode pelaksanaan yang telah ada maka dapat disusun kegiatan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.
1234
Tabel 1. Kegiatan Pelatihan dan Pendampingan No 1
2 4 5
Kegiatan Pelatihan guru penyampain materi pengantar dan penyamaan persepsi Diskusi dan sharing pengalaman terkait dengan, a) Konsep Literasi dan literasi Sains b) Asesmen, asesmen tradisional, dan asesmen autentik, dan langkah-langkah pengembangannya c) Pengembangan asesmen literasi sains Pendampingan pengembangan asesmen berbasis literasi sains Diseminasi best practices dengan guru-guru IPA SMP Muhammadiyah Kota Batu Monitoring dan evaluasi Penyusunan Naskah Publikasi dan laporan Akhir
Partisipsi Mitra Diskusi dan sosialisasi Diskusi, pelatihan, workshop Praktek, diskusi, evaluasi Praktek, diskusi, evaluasi diskusi, evaluasi
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pelatihan Pengelolaan Instrumen Berbasis Literasi Sains Pelatihan dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 8 Kota Batu Malang diikuti oleh 2 guru IPA dari SMP Muhammadiyah 8 dan 2 orang guru IPA dari SMP Muhamadiyah Sidomulyo Kota Batu. Dalam kegiatan ini disampaikan materi tentang: 1) Konsep literasi dan literasi sains, 2) Asesmen, asesmen tradisional, asesmen autentik dan langkah-langkah pengembangannya, 3) Pengembangan asesmen berbasis literasi sains. Kegiatan pelatihan ini meliputi: 1) ceramah dan diskusi penyampaian materi tentang konsep literasi, literasi sains, asesmen autentik, 2) mengidentifikasi komponen dimensi kognitif literasi sains yaitu meliputi beberapa kemampuan dalam: a) menggunakan pengetahuan atau konsep-konsep secara bermakna, b) mengidentifikasi masalah, c) menganalisis dan mengevaluasi data atau peristiwa, d) merancang penyelidikan, e) menggunakan dan memanipulasi alat, bahan atau prosedur; serta f) memecahkan masalah dalam rangka memahami fakta-fakta tentang alam dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Pelatihan menghadirkan pembicara Husamah, S.Pd M.Pd (materi Konsep dasar LItersasi dan Literasi Sains) dan Dr Yuni Pantiwati MM, M.Pd (materi: Asesmen Autentik dan instrument berbasis LIterasi sains), dan Fuad Jaya Miharja, M.Pd yang membantu mengarahkan jalannya diskusi dan pelatihan. Peserta sangat antusias, mereka menyampaikan kalau literasi sains merupakan materi baru bagi guru-guru, aktif bertanya dan mengikuti pelatihan dengan seksama. Peserta merasa mendapatkan Informasi baru tentang: 1) Literasi sains baik konsep maupun hakekatnya, 2) instrumen pengukuran literasi sains. Peserta baru menyadari kalau soal yang dibuat selama ini belum mengarah pada Literasi sains bahkan belum mencapai C4,
1235
C5, atau C6, dimana aspek ini merupakan indikasi tingkat pencapaian kemampuan berpikir tinggi. Menurut Liliasari (2011) pendidikan sains bertanggungjawab atas pencapaian literasi sains anak bangsa, karena itu perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas pendidikan sains dapat dilakukan melalui berpikir sains. Berpikir sains dapat dikembangkan melalui kemampuan berpikir tingkat tinggi (expert thinking) yang dapat dijadikan pondasi untuk membentuk karakter bangsa. Sehingga, bila pembelajaran menggunakan asesmen dengan kategori tingkat tinggi, siswa dituntut berpikir kritis. Pembiasaan ini untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, mengingat materi literasi sains terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku siswa dalam kehidupannya untuk menjadi individu yang berkulitas. 2. Pendampingan Pengelolaan Instrumen Berbasis Literasi Sains Setelah pelatihan tentang asesmen dan literasi saisn, selanjutnya guru berlatih membuat soal berbasis literasi saisn seperti yang telah disampaikan saat pelatihan. Produk soal buatan guru seperti pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Produk Soal Berbasis Literasi Sains No 1
1236
Dimensi kognitif pengetahuan konsep
Contoh soal 1. Seringkali kita mendengar bahwa benda yang besar jika dimasukkan ke kolam pasti akan tenggelam. Apakah benar bahwa benda yang besar jika dimasukkan ke kolam pasti akan tenggelam? Berikan penjelasannya! 2. Dimana benda lebih mudah terapung, di air biasa atau air laut? Jelaskan!. 3. Bapak menekan saklar untuk menyalakan lampu. Apa sajakah perubahan energi yang terjadi dalam peristiwa tersebut? 4. Salah satu fenomena alam yang menarik diamati adalah pelangi. Pelangi biasanya terjadi saat ada hujan gerimis di siang hari. Bagaimanakah terjadinya pelangi tersebut? 5. Mengapa Anda yang sedang duduk di dalam kereta api dikatakan bergerak terhadap stasiun, tetapi dikatakan tidak bergerak terhadap kawan di samping Anda ? 6. Ketika sebuah bola tennis Anda jatuhkan ke lantai, dapatkah bola itu memantul mencapai ketinggiannya semula ? Jelaskan ! 7. Saat ini bermunculan aneka makanan dengan sensasi rasa pedas, misalnya mie mulai level 1 sampai level 9. Mengapa kita akan mengeluarkan air mata saat makan makanan
pedas? Berikan nama zat di setiap lapisan tersebut dan beri alasannya
21 cm
2
3
penggunaan pengetahuan sains dalam menganalisis teks atau artikel menggunakan pengetahuan atau konsepkonsep secara bermakna
19 cm
1. Mengapa Anda harus mengayuh pedal sepeda lebih kuat ketika sepeda akan mulai bergerak dibandingkan ketika sepeda telah bergerak dengan kelajuan tetap ? 2. Mengapa sekelompok tentara yang berbaris maju dengan langkah teratur diminta berjalan biasa ketika hendak melalui sebuah jembatan ? 3. Kota Batu terletak pada dataran tinggi. Semakin tinggi suatu daerah maka semakin dekat dengan matahari, tapi mengapa udara di Kota Batu terasa sangat sejuk dan dingin? 4. Saluran listrik pada kabel PLN memiliki tegangan listrik yang sangat besar dan berbahaya. Tapi kenapa burung merpati tidak tersengat listrik saat bertengger pada kabel PLN tersebut? 5. Kita sering berekreasi ke laut dan berdiri dipantai yang dasarnya berbatu-batu. Saat menginjak batu, mengapa kaki akan terasa lebih sakit ketika tidak ada air dibandingkan ketika air menggenangi kaki? 6. Seorang pemancing ikan tidak saja harus diam, melainkan juga harus duduk dengan tenang di pinggir kolam. Apa sebabnya? Jelaskan!
6
1237
4
1238
menganalisis dan mengevaluasi data atau peristiwa
7. Ibu memasak daging sapi di dapur. Untuk memotong daging tersebut ibu menggunakan pisau. Mengapa daging lebih mudah diiris menggunakan pisau tajam disbanding pisau tumpul? 1. Mata Aris menderita rabun jauh sehingga harus menggunakan kaca mata negatif atau kacamata cekung. Candra mencoba memakai kacamata Aris tersebut dan penglihatannya malah tampak kabur. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? 2. Udara Kota Batu sangat sejuk dan seringkali sangat dingin. Mengapa tubuh kita akan menggigil saat kedinginan? 3. Sebuah aki mobil bertuliskan 60 AH. a). Jika semua alat listrik yang ada dapat menarik arus total sebesar 2 A, berapa lamakah aki tersebut dapat dipakai?, b). Jika aki tersebut bisa digunakan selama 4 Jam, berapa arus yang digunakan oleh komponen selama waktu tersebut? 4. Suatu proses pembuatan baju di sebuah pabrik konfeksi dikerjakan oleh 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan menghasilkan 15 baju perhari, jika diselesaikan oleh 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan maka dihasilkan 8 buah baju perhari.Berapa baju yang dihasilkan jika dikerjakan oleh 5 orang laki-laki dan 1 orang perempuan dalam 1 minggu? 5. Jika suatu saat perusahaan mendapatkan pesanan sebanyak 300 baju yang harus selesai dalam waktu 10 hari dan tenaga kerja laki-laki hanya 9 orang, maka berapa tenaga kerja perempuan yang dibutuhkan? 6. Tinggi tumpukan paving stone digambarkan sebagai berikut, berapakah tinggi tumpukan yang ketiga? 7. Menurut sebuah model sederhana jantung mamalia, pada tiap pulsa jantung kira-kira 20 gram darah dipercepat dari 0,25 m/s menjadi 0,35 m/s selama 0,1 detik. Berapa besar gaya yang dikerjakan otot jantung mamalia ? Sebuah tangki air berkapasitas 100 liter mengalami kebocoran di bagian dasarnya dengan debit 3,5 liter per jam. Tangki tersebut diisi dengan air dari selang dengan debit 5,5 liter per menit. Seandainya kebocoran ditutup, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengisi penuh tangki tersebut? Dengan kebocoran yang ada,
berapa waktu yang diperlukan untuk mengisi penuh tangki tersebut? 8. Setiap pagi kita dianjurkan untuk sarapan. Kenapa kita akan merasa lemas apabila tidak sarapan? Untuk konser music rock, sebuah lapangan yang berbentuk persegi panjang berukuran panjang 100 meter dan lebar 50 meter disiapkan untuk pengunjung. Tiket terjual habis bahkan banyak fans yang berdiri. Berapakah banyaknya pengunjung konser yang mungkin? A. 2.000 B. 5.000 C. 20.000 D. 50.000 E. 100.000 9. Udara di sekitar bumi kita terdiri dari bermacam zat antara lain : Nitrogen (78%), Oksigen (21%) dan karbondioksida (0,03%), dan perbandingan massa ketiga zat tersebut adalah seperti tabel berikut: Zat Massa Oksigen 32 Karbondioksida 44 Nitrogen 28 Dalam kondisi yang tenang akan cenderung membentuk formasi berlapis seperti gambar berikut :
A B C 5
Memecahkan masalah
Berdasarkan data pada Tabel 2 tampak bahwa soal buatan guru sudah bervariasi, memnuhi konten yaitu terkait isi materi IPA meliputi Fisika, Biologi, Kimia. Namun belum semua dimensi tersusun soal, seperti dimensi penggunaan pengetahuan sains dalam menganalisis teks atau artikel dan memecahkan masalah. Kedua dimensi ini perlu ditingkatkan dengan berlatih kembali membuat soal yang dimensinya menyeluruh. Soal buatan guru tampak belum memenuhi semua komponen yang tercantum dalam PISA (2006) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu: a. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains. b. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk
1239
menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu. c. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu. d. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia. e. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya. Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui sumber-sumber lain. PISA (2006) menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. SIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) guru IPA SMP di Perguruan Muhammadiyah Kota Batu telah meningkat kemampuannya dalam memahami asesmen autentik, asesmen tradisional, konsep literasi, dan hakekat literasi sains, 2) Telah tersusun 23 soal meliputi: a) tujuh item untuk dimensi mengukur kemampuan pengetahuan konsep, b) tidak ada item untuk dimensi mengukur kemampuan penggunaan pengetahuan sains dalam menganalisis teks atau artikel, c) tujuh item untuk dimensi mengukur menggunakan pengetahuan atau konsep-konsep secara bermakna, d) sembilan item untuk dimensi mengukur kemampuan menggunakan menganalisis dan mengevaluasi data atau peristiwa e) tidak ada item untuk dimensi mengukur kemampuan memecahkan masalah. DAFTAR RUJUKAN Amri, U., Yennita, Ma’ruf, Z. (2013). Pengembangan Instrumen Penilaian Literasi Sains Fisika Siswa Pada Aspek Konten, Proses, dan Konteks. Pekanbaru: Laboratorium Pendidikan Fisika, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau, ARG. (2002). Assessment for Learning: 10 Principles. University of Cambridge: Assessment Reform Group.
1240
Firman, H. (2007). Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun 2006. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas. Liliasari. (2011). Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa Melalui Pembelajaran. Makalah disampaikan pada seminar nasional UNNES 2011. O'Malley, J M & Pierce, L. V. (1996). Authentic assessment for English Language Learners: Practical approaches for teachers. freshNew York: Addison-Wesley, pp. 268. Pantiwati, Y. (2011). Pengaruh Jenis Asesmen Biologi dalam Pembelajaran TPS terhadap Kemampuan Kognitif, Kritis, dan Kreatif. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Asesmen Otentik dalm Implementasi Pembelajaran Aktif dan Kreatif. Bandar Lampung, Januari, 29-30 2011. Pantiwati, Y. (2013). Profil Sistem Penilaian dalm Pembeljaran Biologi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains. Iperan Sains dalam Abad 21. Surabaya, Januari, 2013. Rahmawati, D. (2012). Analisis Literasi Sains Siswa SMP Dalam Pembelajaran IPA Terpadu Pada Tema Penerapan Bioteknologi Konvensional. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Rustaman, N., Firman, H., & Kardiawarman. Literasi Sains Anak Indonesia dalam PISA 2000. Laporan Studi PISA Puspendik Balitbang Depdiknas. Rustaman, et al,. (2004). Ringkasan Eksekutif : Analisa PISA Bidang Literasi Sains. Puspendik. Shwartz, Y. et al,. (2006). “The Use Of Scientific Literacy Taxonomy For Assessing The Development Of Chemical Literacy Among High-School Students”. Chemical Educational Research and Practice. 7. (4). 203-225 Wulan, A.R. (2009). Asesmen Literasi Sains. Makalah team Hibah Pasca sarjana. UPI; bandung. : http://www.unjabisnis.com/2010/06/kualitasmengajar.
1241
IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR MELALUI MULTIMEDIA PEMBELAJARAN BERBENTUK KOMIK DIGITAL Andhin Dyas Fitriani Universitas Pendidikan Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract This study focused on identifying the error of understanding in mathematics in primary schools. The process of error identification is done through multimedia learning comprehension in the form of digital comics. The subjects were students and aspirant teachers in Bandung. From this study we concluded that most respondents are still experiencing errors understanding mathematical concepts. One of the main factors causing errors that understanding is the mindset that makes the end result of learning is the main goal of learning mathematics in elementary school. Lack of material excavation and the students potential causes saturation on students who also result in students' mathematical communication process errors that will make the student experience misunderstanding. Potential errors in understanding the concept of matter can be packed into a story idea. Keywords: Error understanding, Digital Comics PENDAHULUAN Sebuah artikel bertajuk ‘Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika’, keluaran P4TK Matematika memaparkan bahwa banyak diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik bagi mereka bahkan bisa jadi guru tersebut tidak mengenal matematika secara memadai karena posisi mereka sebagai guru kelas. Hal tersebut menjadi salah satu sebab mengapa begitu banyak anak-anak ‘gagal’ menyempurnakan pemahaman matematis mereka, mereka merasa frustasi dan bahkan tidak lagi bergairah dalam belajar matematika (Mansur, 2008). Cockroft (1982, yang dikutip dari Collin, 1988, dalam Turmudi, 2008) mengembangkan sebuah model yang digunakan untuk menelaah kondisi pendidikan matematika di beberapa atau bahkan sebagian besar sekolah di Indonesia. Cockcroft mengembangkan tiga isu utama yaitu : matematika sebagai bahan yang dipelajari, metode sebagai strategi penyampaian bahan ajar dan siswa sebagai subjek yang mempelajari bahan ajar. Dari analisis model tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa di sebagian besar sekolah di Indonesia matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak, sisi keilmuannya bersifat ‘kaku’ (tidak applicable), metodenya textbook oriented, teacher centered, dan siswanya pun diposisikan sebagai objek pengurutan atau perangkingan bukan sebagai objek ajar yang layak dihargai minat dan kecenderungannya dalam belajar. Situasi tersebut, menyebabkan matematika akan menjadi subjek yang ‘mati’ dan strategi pembelajarannya juga merupakan strategi ‘mati’ yang mengajarkan matematika apa adanya (Turmudi, 2008).
1242
Hasil yang diperoleh IndoMS, melaporkan bahwa karakteristik pembelajaran matematika masa kini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (lulus ujian sekolah, kabupaten/kota atau nasional), materi kurang membumi, lebih fokus pada kemampuan prosedural, komunikasi satu arah, pengaturan ruang kelas yang monoton, low order thinking skill, bergantung pada buku paket, dominasi soal rutin dan pertanyaan-pertanyaan tingkat rendah (Shadiq, 2007). Dalam tinjauan psikologi perkembangan, siswa SD menunjukkan adanya minat yang tinggi dan sifat alamiah untuk bermain, terlebih setelah mengalami kejenuhan mengikuti aktifitas pembelajaran di sekolah. Realitas ini tidak banyak disadari oleh para guru dan orangtua sebagai modalitas belajar yang potensial. Hal yang memprihatinkan adalah justru anak-anak lebih banyak mengekplorasi dan menyalurkan sendiri rasa ingin tahu dan kegemarannya melalui beragam sarana hiburan berbasis komputer yang tidak memiliki nilai-nilai pendidikan. Respon orangtua dengan menyediakan perangkat hiburan di rumah tidak diikuti dengan kesadaran bahwa sumber inspirasi baru yang akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi dan intelektual anak. Sebuah hasil penelitian mengungkapkan bahwa media komik dapat digunakan dalam mengidentifikasi adanya lack of knowledge (Toras, 2012). Lack of Knowledge merupakan salah satu penyebab munculnya miskonsepsi dalam memahami atau menalari suatu konsep (Gentner dalam Collins, 1981). Penelitian yang lainnya, mengungkap bahwa komik dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun kerangka konsep pengetahuan walaupun tidak sampai pada detail penjelasan. Minimalnya, komik dapat menjadi trigger untuk proses penelusuran pengetahuan pada jejang kognitif berikutnya (Suci, 2012). ISI Duffin dan Simpson (2000) menyatakan bahwa pemahaman konsep dapat digunakan sebagai kemampuan siswa untuk menjelaskan konsep, menggunakan konsep pada situasi yang berbeda, mengembangkan berbagai akibat dari adanya suatu konsep. Depdiknas (2003) mengungkapkan bahwa pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahamna konsep matematika, emnjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara lues, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. Kesalahan pemahaman dapat didefinisikan sebagai pertentangan atau ketidakcocokan ataupun penjelasan yang salah dari sebuah konsep yang dipahami seseorang dengan konsep yang sebenarnya. Kesalahan pemahamana tidak dapat diabaikan dalam proses belajar mengajar, sebab jika memang terjadi kesalahan pemahaman dapat berakibat pada materi-materi selanjutnya dan melekat kuat pada siswa. Berdasarkan hasil kajian Prasetyorini (2012) tentang profil miskonsepsi siswa pada materi pokok pecahan ditinjau dari kemampuan matematika siswa diperoleh hasil bahwa terjadi miskonsepsi pada beberapa konsep pecahan yang dapat menyebabkan kesalahan pada aplikasi pecahan dan materi selanjutnya. Penelitian yang dilakukan di berbagai Negara menekankan pada pentingnya mengembangkan pembelajaran decimal yang menanamkan pemahaman akan esensi dari bilangan decimal dan pecahan (Brousseau, 1997; Hiebert, 1992;
1243
Irwin, 2001; Stacey, Helme, Archer dan Condon, 2001 dalam Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008). Sejalan dengan hal tersebut, Graeber dan Johnson (dalam Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008) mengungkapkan tanpa adanya pemahaman terhadap bilangan decimal dan pecahan, besar kemungkinan siswa mahir mengerjakan operasi dengan bilangan decimal atau pecahan namun tidak dapat membedakan kebenaran hasil pengerjaan operasi tersebut. Penelitian yang mengkaji pemahaman calon guru dan guru akan bilangan decimal dan pecahan juga menunjukkan bahwa para calon guru dan guru memiliki potensi melakukan miskonsepsi tentang bilangan decimal dan pecahan. Pentingnya upaya untuk memperbaiki miskonsepsi ini dan menanamkan pemahaman tentang konsep-konsep dasar terkait dengan tema bilangan decimal dan pecahan menjadi keniscayaan karena mungkin saja miskonsepsi ini terwariskan kepada peserta didik mereka (Menon, 2004; Putt, 1995; Stacey, Helme, Steinle et al, 2001; Thipkong dan Davis, 1991; Tsao, 2005 dalam Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008) Miskonsepsi siswa SD di kelas rendah dalam membandingkan bilangan desimal dan pecahan sebagian besar dilandasi oleh generalisasi sifat bilangan bulat, yaitu semakin panjang angka decimal atau semakin besar pembilang pecahan, maka semakin besar pula nilai bilangan tersebut. Sifat ini berlaku pada himpunan bilangan bulat namun tidak tepat diterapkan pada himpunan bilangan decimal atau pecahan (Steinle, 2004 dalam Wijaya, Stacey dan Steinle : 2008) Alur cerita komik didesain dengan mengunakan alur cerita berangkai sedikit banyak memberikan kontribusi dalam proses identifikasi miskonsepsi matematis responden. Alur cerita berangkai direpresentasikan dengan penyesuaian alur cerita berdasarkan pilihan jawaban yang dipilih (terutama dalam penyelesaian masalah di pos). sehingga memungkinkan 2 orang yang berbeda membaca komik yang sama, namun memiliki akhir cerita yang berbeda. Gambaran scenario alur cerita berangkai dalam komik ditampilkan oleh Gambar 1.
1244
Gambar 1. Alur Cerita Berangkai
1245
Media pembelajaran komk tersebut diujikan pada calon guru dan siswa. Hasil pengujian identifikasi kesalahan pemahaman akan dijabarkan pada anaisis sebagai berikut. Tabel 1. Identifikasi Kesalahan Pemahaman Kasus Don, Rob dan Lynn berjalan pulang dari sekolah bersama-sama. Waktu yang diperlukan oleh Lynn dari sekolah menuju ke rumahnya adalah 25 menit. Sementara dari rumah Lynn, Rob memerlukan waktu 10 menit untuk sampai di rumahnya. Don, masih harus berjalan sendiri ke rumahnya yang memerlukan waktu 5 menit dari rumah Rob. Pada jam berapa mereka harus meninggalkan sekolah agar Don bisa sampai di rumah pukul 11.20? a. 10.50 b. 10.45 c. 10.40
Identifikasi Kesalahan Pemahaman - Kesalahan perhitungan pada satuan waktu. - Salah perhitungan waktu tempuh. - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis.
- Miskonsepsi dalam melakukan operasi perhitungan pecahan. ଵ Joe menghabiskan dari uangnya - Sebagian responden tidak teliti ଷ ଶ memahami soal bahwa untuk untuk membeli pena dan dari sisa ଶ ହ membeli buku adalah dari sisa ହ uangnya uangnya untuk membeli uang. buku. Berapa uang Joe yang tersisa, jika Joe membawa uang Rp 15.000,-? - Ketidaktelitian dalam melakukan operasi hitung bilangan pecahan a. 4000 b. 6000 c. 9000 - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis. - Miskonsepsi dalam mendefinisikan Cerita Pak Tani : penyebut dan pembilang. Sawah ini adalah peninggalan orang - Sebagian besar responden keliru tua pak tani. Orang tua pak tani, dalam melakukan oprasi hitung memiliki 3 orang anak dan 2 orang bilangan pecahan keponakan. Pak tani sendiri adalah - Salah dalam proses komunikasi anak ke-2. Agar tidak ada yang soal cerita ke dalam bentuk berselisih mengenai harta matematis peninggalannya, maka orang tua pak tani membagi sawahnya secara adil. Orang tua pak tani membagi sawah tersebut menjadi 4 bagian. Masingmasing anak mendapatkan
1246
seperempat bagian, dan seperempat sisanya akan dibagi secara merata kepada 2 keponakannya. Nah, sawah peninggalan orang tua pak tani ini bukannya tanpa masalah. Orang tua pak tani membagi sedemikian rupa sawahnya agar setiap bagian pembagian berisikan sarang tikus. Sarang tikus ini letaknya sesuai dengan perhitungan : urutan anak/keponakan (anak/keponakan ke-) x bagian sawah yang diperoleh Misalkan, jika pak tani keponakan ke1, maka posisi sarang tikus akan berada di 1 x 1/8 = 1/8. Untuk menemukan posisi sarang tikus maka keponakan pak tani harus bergerak ke arah kiri sekian meter berdasarkan nilai penyebut dan bergerak ke depan sekian meter berdasarkan nilai pembilang. Dapatkah kalian membantu pak tani menemukan sarang tikus yang berada di sawah pak tani? a. bergerak ke kiri 4 langkah bergerak maju 2 langkah b. bergerak ke kiri 8 langkah bergerak maju 2 langkah c.bergerak ke kiri 3 langkah bergerak maju 2 langkah d. bergerak ke kiri 3 langkah bergerak maju 4 langkah
a. 5/3 b. 55/12 c. 35/9 d. 31/6
ʹ ͳ ͷ ͷ ͳ ͵ ൈ െ ൊ ͵ ʹ ͷ
dan dan dan dan - Miskonsepsi dalam melakukan perhitungan pecahan - Salah dalam melakukan urutan operasi hitung - Keliru dalam melakukan algoritma dan proses perhitungan operasi hitung pecahan
1247
Dari hasil analisis tes yang didapatkan diperoleh hasil yang sangat bervariasi, yang mengakibatkan akhir cerita berangkai yang dilalui oleh setiap responden berbeda.dari hasil tersebut terdapat responden yang gagal menyelesaikan perlombaan hingga pos terakhir. Evaluasi juga dilakukan berdasarkan jumlah batu dan medali yang diperoleh oleh setiap responden. Hasil yang didapatkan menjadi umpan balik bagi peneliti untuk menilai keberhasilan dari multimedia pembelajaran komik yang dikembangkan. Dapat dikatakan bahwa hasil tersebut sudah tergolong cukup baik karena baik siswa, dan calon guru dapat mengetahui apakah jawaban yang mereka berikan salah atau tidak berdasarkan akhir cerita. Tidak ditemukannya seorang pun yang mendapatkan hasil sempurna menunjukkan alasan mengapa item penilaian yang berhubungan dengan feedback and adaptation mendapatkan nilai terendah. SIMPULAN Dari hasil uji coba yang dilakukan diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden masih mengalami kesalahan pemahaman konsep matematis. Salah satu faktor utama penyebab kesalahan pemahaman tersebut adalah masih adanya pola pikir yang menjadikan hasil akhir pembelajaran adalah tujuan utama dari pembelajaran matematika di sekolah dasar. Kurangnya penggalian materi dan potensi siswa menyebabkan kejenuhan pada siswa yang juga berakibat pada kesalahan proses komunikasi matematis siswa yang pada akhirnya menjadikan siswa mengalami kesalahan pemahaman. Potensi kesalahan dalam memahami suatu konsep materi dapat dikemas menjadi ide cerita. Filosofinya sama dengan pengembangan soal pilihan berganda yang menjadikan alternative jawaban sebagai pengecoh efektif dalam memetakan pola pikir objek ajar. Hanya saja, ketika alternative jawaban tersebut diintegrasikan sebagai ide cerita, harus dipikirkan pula scenario cerita yang menarik sehingga tidak terkesan kaku dan monoton. Sebagian besar siswa dan calon guru menyatakan keminatannya untuk memanfaatkan media komik dalam setting pembelajaran, hanya saja beberapa penyesuaian dan pengembangan terkait dengan materi yang akan disajikan dalam bentuk komik perlu menjadi pertimbangan khusus agar lebih dapat mengidentifikasi kesalahan pemahaman matematis siswa. DAFTAR RUJUKAN Duffin, J.M. & Simpson, A.P. (2000). A search for understanding. The Journal of Mathematical Behavior 18(4): 415-427 Gentner, & Collins. (1981). Studies of Inferences from Lack of Knowledge. Memory and Cognition, 9 (4), 434 - 443. Mansur (2008). Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika. LPMP Provinsi Maluku. [online]. Tersedia: http://p4tkmatematika.com/webp4tkmatematika.com Prasetyorini. (2012). PROFIL MISKONSEPSI SISWA PADA MATERI POKOK PECAHAN DITINJAU DARI KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA. Jurnal Mathedunesa vol 2 No 1 Price, Collin B. (2010). The Design and Development of Educational Immersive Environments: From Theory to Classroom Deployment. University of Worcester. United Kingdom.
1248
Shadiq, F. (2003). Bagaimana Cara Matematika Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Para Siswa? [Online]. Tersedia : www.fadjarp3g.wordpress.com Suci, Amalia. (2012) Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbentuk Komik Digital untuk Menunjang Kegiatan Pembelajaran. Bandung : Skripsi Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer UPI [tidak dipublikasikan] Toras, Lubis. (2012) Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbentuk Komik dengan Alur Cerita Berangkai untuk Identifikasi Lack of Knowledge Siswa dalam Memahami Mata Pelajaran TIK SMP. Bandung : Skripsi Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer UPI [tidak dipublikasikan] Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta : PT Leuser Cita Pustaka. Widjaja, W., Stacey, K., & Steinle, V. (2008). Misconceptions about Density of Decimals : Insights from Pre-Service Teachers’ Work. KONFERENSI NASIONAL MATEMATIKA XIV (pp. 1011 - 1022). Palembang: Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya Palembang.
1249
PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT BERDASARKAN MISKONSEPSI SISWA 1)
Desy Andini, 2)Karlimah, & 3)Momoh Halimah Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya E-mail: 1)
[email protected] Abstract Instructional design development based of addition and subtraction of integers, guided by the misconceptions of students about the concepts and processes integer arithmetic operations of addition and subtraction on integer. Thus the need for development of instructional design concepts and processes integer addition and subtraction to overcome misconceptions students. Required research methods of didactical design (Didactical Design Research) to resolve the issue, the research activities carried out is to build a system based on theories and practices to establish the effectiveness of the system. Research conducted at Sindaggalih Elementary School on Tawang District of Tasikmalaya and at 5 Sukamenak Elementary School on Purbaratu District of Tasikmalaya. Data collection techniques conducted through the test instrument misconceptions, design implementation didactic, teaching observation, interviews, and documentation of each activity. Didactical design implemented through inquiry learning using a planned approach. Its implementation raises anticipation pedagogical actions related misconceptions integers, as well as arithmetic operations of addition and reduction. The findings showed that the learning experience through the concept’s discovery of integers through the interger’s balance, and the arithmetic operations of addition and subtraction through a back and forth game activities that involve physical activity through a set of steps to perform arithmetic operations. Research shows related problems experienced by students' misconceptions can be resolved. Keyword: didactical design, misconception, intergers. PENDAHULUAN Masalah pendidikan matematika selalu menjadi sorotan, baik ditinjau dari segi proses pembelajaran maupun rendahnya prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika. Pada pembelajaran matematika di sekolah dasar, konsep bilangan bulat merupakan konsep yang penting untuk dikuasai. Berbagai studi mengenai bilangan bulat menunjukan bahwa materi tersebut merupakan salah satu topik yang sulit diajarkan (Cockburn & Littler, 2008; Allen, 2007). Hal ini diperkuat dari hasil studi pendahuluan, bahwa sebagian besar siswa belum memahami secara utuh konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Banyak siswa yang mengalami miskonsepsi meski mereka telah mempelajari materi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka hanya dilatih untuk memahami konsep dan alasan langkah pengerjaan soal. Pembelajaran matematika untuk siswa sekolah dasar yang masih dalam tahap berpikir konkrit (Piaget dalam Muijs, 2008, hlm. 14), perlu ditunjang
1250
dengan pembelajaran bermakna agar terbentuk konsep baru dalam kerangka berpikir siswa. Pembelajaran bermakna dapat dilakukan dengan menggunakan model, metode, dan media yang sesuai dengan karakeristik siswa. Dengan begitu perlu adanya suatu proses perencanaan pembelajaran yang disusun sebagai rancangan pembelajaran (Desain Didaktis) yang merupakan langkah awal sebelum adanya pembelajaran. Pada rancangan pelaksanaan pembelajaran dilengkapi dengan indikator miskonsepsi sebagai hipotesis yang disajikan dalam bentuk Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP) untuk mengatasi miskonsepsi yang muncul pada proses pembelajaran sehingga diharapkan mampu mengarahkan siswa pada pembentukan pemahaman yang utuh. Artikel ini menjawab proses pengembangan model desain didaktis konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di sekolah dasar. PEMBELAJARAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT DI SEKOLAH DASAR Pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat mengacu pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dalam pelaksanaannya lebih terfokus pada buku sumber pembelajaran. Konten bahan ajar yang terdapat pada buku sumber (Soenarjo, 2008, hlm. 1-9; Sumanto dkk, 2008, hlm. 1-20) mencakup definisi bilangan bulat, bilangan bulat ganjil, dan bilangan bulat genap, operasi penjumlahan dan pengurangan yang disajikan dengan menggunakan garis bilangan, dan sifat-sifat operasi hitung bilangan bulat. Selanjutnya untuk melatih keterampilan opersasi hitung penjumlahan dan pengurangan, siswa dilatih untuk mengerjakan soal-soal yang tertera pada buku sumber dan soal dari guru. Miskonsepsi Miskonsepsi berupa kesalahan dalam mentransfer konsep dari informasi yang diperoleh ke dalam kerangka kerja. Sehingga konsep yang dipahami oleh siswa menjadi tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya. Miskonsepsi matematika di sekolah dasar merupakan hal yang sering dijumpai, mulai dari pengukuran, aritmatika, geometri, hingga statistika (Ryan & William, 2007, hlm. 3). Beberapa tipe miskonsepsi matematika yang dialami siswa sekolah dasar (Ben-Hur, 2006; Ryan & William, 2007) yaitu: (1) Prakonsepsi; (2) Undergeneralization; (3) Overgeneralization; (4) Modelling Error; (5) Prototyping Error; dan (6) Process-Object Error. Teori Metapedadidaktik Menyadari bahwa situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi dalam suatu pembelajaran merupakan peristiwa yang sangat kompleks, maka guru perlu mengembangkan kemampuan untuk bisa memandang peristiwa tersebut secara komprehensif, mengidentifikasi, dan menganalisis hal-hal penting yang terjadi serta melakukan tindakan tepat sehingga tahapan pembelajaran berjalan lancar dan sebagai hasilnya siswa belajar dengan optimal. Menurut Suryadi (2010: 12) kemampuan yang perlu dimiliki guru adalah metapedadidaktik yang dapat diartikan kemampuan guru untuk: (1) memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh; (2) mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis
1251
yang sesuai kebutuhan siswa; (3) mengidentifikasi serta menganalisis respons siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan; (4) melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons siswa menuju pencapaian target pembelajaran. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan model penelitian desain didaktis (Didaktical Design Research). Penelitian ini dilakukan untuk menyusun dan mengembangkan pembelajaran konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat berdasarkan miskonsepsi yang dialami siswa. Karakteristik dari desain didaktis (Akker, 2006) yaitu intervensi, literatur, orientasi proses, orientasi perangkat, dan orientasi teori. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) analisis situasi didaktis; (2) analisis metapedadidaktis; dan (3) analisis retrospektif. Instrumen desain didaktis yang dirancang berupa rancangan pelaksanaan pembelajaran konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Rancangan pembelajaran diujicobakan pada implementasi desain didaktis awal, kemudian disusunlah desain didaktis revisi sebagai perbaikan dan pengembangan dari desain didaktis awal. Penelitian dilaksanakan pada jenjang pendidikan sekolah dasar yang berada di Kota Tasikmalaya yaitu di SD Negeri Sindanggalih dan SD Negeri 5 Sukamenak. Kedua tempat tersebut dipilih sebagai tempat dilaksanakannya uji instrumen untuk mengetahui adanya miskonsepsi. Sedangkan tempat dilaksanakannya implementasi desain didaktis konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dilaksanakan di SD Negeri 5 Sukamenak. Pengembangan dan uji coba desain didaktis dilakukan dalam dua siklus pembelajaran dengan setiap siklus terdiri dari dua pertemuan pembelajaran. Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara melaksanakan uji instrumen miskonsepsi, implementasi desain didaktis, observasi, wawancara, dan dokumentasi. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Hasil temuan yang akan disajikan diantaranya mencakup miskonsepsi konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, desain didaktis awal dan desain revisi. Berdasarkan studi pendahuluan, ditemukan beberapa miskonsepsi terkait dengan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, yaitu: Prakonsepsi Pada prakonsepsi, siswa belum memahami konsep yang tepat. Prakonsepsi yang teridentifikasi dari konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat terdiri dari empat tipe yaitu: (1) Prakonsepsi dalam membaca lambang bilangan; (2) Prakonsepsi dalam menentukan lawan bilangan; (3) Prakonsepsi dalam mengurutkan bilangan; dan (4) Prakonsepsi dalam merepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan. Berikut ini contoh prakonsepsi yang dialami siswa.
1252
Gambar 1. Prakonsepsi Membaca Bilangan Undegeneralization Undergeneralization merupakan bagian yang lebih spesifik dari prakonsepsi. Undergeneralization yang teridentifikasi dari jawaban siswa, terdiri dari lima tipe, yaitu: undergeneralization dalam menentukan lawan bilangan; (2) undergeneralization dalam membandingkan dua bilangan bulat; (3) undergeneralization dalam mengurutkan bilangan; (4) undergeneralization dalam menrepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan; dan (5) undergeneralization dalam menentukan salah satu operasi hitung.
Gambar 2. Undergeneralization dalam Menentukan Lawan Bilangan Overgeneralization Overgeneralization teridentifikasi dari jawaban siswa dalam membandingkan dua bilangan bulat; dan dalam mengurutkan bilangan. Berikut ini gambar yang menunjukan salah satu undergeneralization yang dialami siswa
Gambar 3. Overgeneralization dalam Mengurutkan Bilangan Modelling Error Modelling error teridentifikasi ketika siswa meniru contoh pengerjaan yang salah dari representasi operasi hitung menggunakan garis bilangan. Contoh pengerjaan tersebut ditiru oleh siswa tanpa mengetahui alasan langkah pengerjaannya.
1253
Gambar 4. Modelling Error dalam Merepresentasi Jawaban Prototyping Error Prototyping error terdiri dari: prototyping error dalam merepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan dan prototyping error dalam menentukan salah satu unsur operasi hitung.
Gambar 5. Prototyping Error dalam Merepresentasi Jawaban Pada gambar 5 menunjukkan kesalahan dalam kerangka kerja siswa yang merepresentasi jawaban melalui gambar kurva yang dimulai dari titik nol. Process-Object Error Process-object error yang teridentifikasi yaitu (1) process-object error dalam mengurutkan bilangan; (2) process-object error dalam merepresentasi jawaban menggunakan garis bilangan; dan (3) process-object error dalam menentukan unsur operasi hitung. Berikut ini salah satu jawaban siswa yang mengalami process-object error dalam mengurutkan bilangan bulat.
Gambar 6. Process-object Error dalam Mengurutkan Bilangan Bulat
1254
Pada gambar 6 menunjukkan siswa mengalami kesalahan dalam memproses bilangan bulat negatif sehingga jawaban siswa salah. DESAIN DIDAKTIS KONSEP PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT DI KELAS V SEKOLAH DASAR Setelah diperoleh miskonsepsi yang terkait dengan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, maka hal berikutnya adalah membuat desain pembelajaran yang memungkinkan untuk mengantisipasi munculnya miskonsepsi. Desain pembelajaran ini merupakan salah satu tahapan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Adapun tujuan pembelajaran konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yaitu: 1. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat membedakan bilangan positif dan bilangan negative dengan jelas. 2. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat mendefinisikan bilangan bula dengan benar. 3. Melalui penggunaan media neraca bilangan, siswa dapat memahami konsep penggabungan bilangan negatif dan bilangan positif samadengan nol dengan tepat. 4. Melalui tanya jawab, siswa dapat membuat garis bilangan bulat. 5. Melalui permainan “Kurang Dari Lebih Dari”, siswa dapat mengurutkan bilangan bulat dengan benar. 6. Melalui permainan “Maju Mundur”, siswa dapat melakukan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan benar. 7. Melalui penugasan, siswa dapat menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bula dengan benar. 8. Melalui tanya jawab dan penugasan, siswa dapat menemukan salah satu unsur dari operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan benar. 9. Melalui penugasan, siswa dapat menyelesaikan masalah tentang perhitungan bilangan bulat dengan benar. Desain Didaktis Awal (Prospespective analysis) 1. Mengetahui bilangan bulat melalui neraca bilangan Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk mengamati dan mengeksplorasi neraca bilangan bulat dengan bimbingan guru. Siswa dituntun untuk menyebutkan bagian-bagian neraca dan bilangan yang ada pada lengan neraca. Siswa diberi kesempatan untuk memasang bandulbandul pada lengan neraca, serta cara menyeimbangkan lengan neraca. Pada akhir kegiatan siswa diminta untuk membuat kesimpulan berupa definisi bilangan bulat. 2. Menggambar garis bilangan dan membandingkan bilangan bulat. Dalam kegiatan ini siswa distimulus untuk menggambar garis bilangan sebagai representasi dari bilangan-bilangan yang terdapat dalam bilangan bulat. Dari garis bilangan yang digambar oleh siswa, dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan dengan membandingkan dua bilangan yang terdapat pada garis bilangan. Kegiatan ini dimaksudkan supaya siswa dapat membuat generalisasi bahwa semakin kiri posisi bilangan pada garis bilangan maka semakin kurang dari, dan semakin kanan posisi bilangan
1255
pada garis bilangan, maka bilangan semakin lebih dari. Untuk meningkatkan ketermapilan kognitif siswa, dapat diberikan latihan soal untuk membandingkan bilangan bulat yang lebih dari dan yang kurang dari. 3. Melakukan permainan “Lebih dari, kurang dari” secara berkelompok. Kegiatan dilakukan dengan cara mengambil kartu bilangan bulat yang diposisikan tertutup secara acak. Kemudian siswa mengambil kartu tersebut dan membukanya bersama teman sekelompok. Siswa berdiri berjajar sesuai urutan kartu yang mereka peroleh. Pada kegiatan ini siswa harus mengetahui bilangan yang mereka peroleh apakah lebih dari atau kurang dari, sehingga terbentuk urutan bilangan yang tepat. Selanjutnya siswa dapat dilatih pemahamannya dengan mengerjakan soal latihan untuk mengurutkan bilangan bulat. Soal yang disajikan menggunakan bilangan bulat yang dipilih secara acak. 4. Melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan permainan “Maju Mundur” Dalam kegiatan ini siswa diajak untuk memahami konsep penjumlahan dan pengurangan melalui permainan “Maju Mundur”. Siswa akan memperoleh pengalaman mengoperasi bilangan dengan melakukan langkah maju atau mundur pada garis bilangan yang dibuat di lantai. Implementasi Desain Didaktis Awal Implementasi yang dilakukan pada desain didaktis awal yaitu: 1. Pengembangan pemahaman konsep luas bilangan bulat Pada bagian ini, respons yang siswa tunjukkan adalah mengeksplor neraca bilangan, sesuai dengan prediksi yang telah disusun. Siswa mengalami kesulitan dalam membuat generalisasi dari kegiatan mengeksplorasi neraca bilangan. Namun setelah dibimbing dengan pertanyaan-pertanyaan yang memicu pemahaman siswa, maka kesulitan tersebut dapat diatasi. Antisipasi didaktis dan pedagogis yang diberikan guru pada kegiatan ini cukup berhasil mengatasi berbagai respons siswa yang muncul. Siswa dapat mengisi setiap pertanyaan dengan tepat.
Gambar 7. Kegiatan Mengeksplorasi Neraca Bilangan
1256
Desain didaktis dalam kegiatan ini masih dapat dipertahankan, karena siswa mempereloh pengalamanan dalam mengidentifikasi bilangan bulat. 2. Pengembangan pemahaman garis bilangan dan bilangan yang lebih dari dan bilangan yang kurang dari. Pembelajaran ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman siswa terkait konsep bilangan bulat dengan mengaplikasikan garis bilangan. Siswa mengalami kesulitan ketika membuat garis bilangan, terutama dalam menentukan titik interval antar tiap bilangan. Namun setelah diingatkan kembali dengan bagaimana interval pada lengan neraca, kesulitan tersebut dapat teratasi. 3. Pengembangan pemahaman urutan bilangan bulat. Pada kegiatan ini sesuai dengan prediksi respons siswa, yaitu siswa tidak berdiri berjajar sesuai urutan kartu yang dipegang oleh masing-masing anggota kelompok. Namun anggota kelompok langsung mengetahui letak kesalahan dari kelompoknya sehingga langsung perbaiki sebelum guru memberikan tanggapan dari kesalahan jawaban siswa.
Gambar 8. Kegiatan Permainan “Lebih dari, Kurang dari” Desain didaktis pada kegiatan ini perlu dipertahankan karena dapat memberikan pengalaman kepada siswa dalam mengurutkan bilangan bulat acak secara berkelompok. 4. Pengembangan pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan melalui permainan ‘Maju Mundur’ Pada kegiatan ini siswa harus mengikuti aturan permainan yang tertera pada LKS. Siswa mempraktikan permainan ‘Maju Mundur’ dengan bimbingan guru. Sesuai dengan prediksi respons, siswa mengalami kesulitan dalam operasi hitung yang kedua unsurnya berbeda, misalnya unsur pertama bilangan positif dan unsur kedua bilangan negatif. Siswa juga kesulitan dalam menentukan langkah maju atau mundur. Desain didaktis pada bagian ini perlu untuk dipertahankan karena memberikan pengalaman dalam memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.
1257
Refleksi (Restrospectif Analysis) Pada saat pelaksanaan implementasi desain didaktis berbagai respons siswa yang muncul sudah dapat diantisipasi dengan baik. Meskipun ada beberapa respons siswa yang diluar prediksi tetapi masih dapat diantisipasi sesuai dengan situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi. Prediksi respons siswa diantisipasi secara didaktis dan pedagogis yang telah dibuat sebelumnya untuk dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan situasi yang terjadi pada saat implementasi berlangsung. Kegiatan pembelajaran yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan pembelajaran sudah dapat menciptakan proses pembelajaran yang bermakna. Siswa dapat lebih terlibat secara aktif pada kegiatan pembelajaran, diantaranya dengan bertanya, menyampikan ide atau pendapatnya, serta menimbulkan adanya diskusi antar siswa dan kelompok untuk menyelesaikan persoalan. Siswa memperoleh pengalaman dalam membangun pemahamannya terhadap konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Namun untuk hasil yang lebih baik diperlukan adanya perbaikan terutama dari segi konteks soal dan bentuk penyajian, juga perlu adanya penambahan prediksi jawaban siswa sebagai pertimbangan dalam menyiapkan antisipasi pembelajaran. SIMPULAN Desain didaktis konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan neraca bilangan dapat diimplementasikan untuk siswa kelas V Sekolah Dasar. Miskonsepsi tentang operai hitung bilangan bulat dapat diminimalisasi dangan menggunakan desain didaktis, namun untuk hasil yang lebih optimal perlu pengembangan desain didaktis yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi ketika proses pembelajaran berlangsung. DAFTAR RUJUKAN Akker, J. dkk. (2006). Educational Design Research; Introducing Educational Design Research. Amsterdam. Tidak diterbitkan. Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction. Alexandra: Association for Supervision and Curriculum Development. Cockburn, A. dan Littler, G. (2008). Mathematical Misconceptions, A Guide for Primary Teachers. India: SAGE Publications Ltd. Ryan, J. dan William, J. (2007).Children’s Mathematics 4-15; Learning From Errors and Msconceptions. London: Open University Press. Soenarjo, R. J. (2008). Matematika 5: SD dan MI Kelas 5. Jakarta: Depdiknas. Sumanto, Y. D, dkk. (2008). Gemar Matematika 5: untuk Kelas V SD/MI. Jakarta: Depdiknas. Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang teori Belajar dan Teori Didaktik. [online]. Tersedia:http://didisuryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/MENCIPTAKAN-PROSES-BELAJARAKTIF.pdf [16 Mei 2013].
1258
DESAIN PERKULIAHAN UNTUK MENGEMBANGKAN MATHEMATICAL KNOWLEDGE OF TEACHING MAHASISWA PGSD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA 1)
Hj. Epon Nur’aeni L & 2)M. Rijal W. Muharram Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Daerah Tasikmalaya E-mail: 1)
[email protected] Abstract This paper is motivated above not least teachers who have not been able to teach mathematics to students as long as well so the paradigm of math is difficult and unplesant subject which is embedded since early. One of the problem is the development of mathematical knowledge of teaching (MKT) that has not developed since the teacher's status as a prospective teacher. Thus, the course is designed to be able develop the MKT for students of The Students of Elemtary Teacher Education Faculty (PGSD). The implementation of MKT development in this paper is done through a series of design as follows: 1) create a mindmap as a review of the lectures topic , and 2) make the book "Matematika Unik Menggelitik". The lectures design is implemented, evaluated and developed with the reflection results with students of The Students of Elemtary Teacher Education Faculty (PGSD). Keywords: Mathematical Knowledge of Teaching, Mathematics, Students of The Students of Elementary Teacher Education Faculty (PGSD) PENDAHULUAN “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar” (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Selain daripada itu, Oemar Hamalik menambahkan bahwa ‘Pembelajaran adalah prosedur dan metode yang ditempuh oleh pengajar untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar secara aktif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.’ (Hernawan, dkk, 2007, hlm. 3). Proses pembelajaran dapat terjadi dalam berbagai macam lingkungan belajar dengan interaksi yang terjadi antara Guru terhadap Siswa. Dalam hal ini, pembelajaran berisi metodemetode pembelajaran serta prosedur yang dilaksanakan dalam rangka memberikan fasilitas kepada Siswa untuk memperoleh pengetahuan. Proses pembelajaran menjadi fasilitas dalam penyampaian pengetahuan-pengetahuan formal yang terangkum dalam mata pelajaran. Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah cukup beragam, salah satunya adalah matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi. Mengenai matematika, Muharram (2012, hlm. 4) menyatakan bahwa “matematika merupakan pengetahuan yang dapat bersinergi dengan disiplin ilmu yang lain”. Matematika dapat berinteraksi dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan mulai dari pengetahuan alam hingga pengetahuan sosial. Hal ini sejalan dengan pendapat Kline (dalam Muharram, 2012, hlm. 4) yang menyatakan bahwa ‘matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya itu terutama untuk
1259
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam’. Pemahaman yang mendasar mengenai pembelajaran matematika perlu diperhatikan dengan baik. Dewi (2013, hlm. 11) menyatakan bahwa “matematika di Sekolah Dasar diajarkan hanya sebagai deretan langkah secara prosedural”. Guru dituntut perlu membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan sikap positif. Sehingga ketika siswa sudah masuk dalam tantangan di kehidupan nyata, siswa sudah memiliki bekal yang cukup untuk mampu menyelesaikan dengan kognitif maupun afektif yang baik. Padahal, berbicara mengenai matematika sepatutnya memperhatikan konsepkonsep pada kurikulum matematika Sekolah Dasar (SD) dimana Heruman (2010, hlm. 2-3) membagi konsep-konsep dasar tersebut ke dalam tiga kelompok besar, yakni: 1) Penanaman konsep dasar; 2) Pemahaman konsep; dan 3) Pembinaan keterampilan. Sebagai seorang guru maupun calon guru, pengetahuan terhadap matematika sepatutnya tidak hanya terbatas dalam pengetahuan mengenai materi matematika itu saja, atau yang dalam istilah Shulman (1986) disebut content knowledge. Akan tetapi, perlu bagi seorang guru maupun calon guru untuk memiliki pengetahuan pedagogik (pedagogical knowledge) seperti yang disampaikan oleh Shulman (1986). Hal ini jelas diperlukan untuk mencegah pemahaman yang salah (missconception) maupun hambatan belajar (learning obstacle) siswa dalam belajar matematika. Sehingga, pengetahuan content knowledge dan pedagogical knowledge atau yang lebih sering dikenal dengan Pedagogical Content Knowledge (PCK) dapat dimiliki oleh guru maupun calon guru secara menyeluruh. Ball menyempurnakan, dalam pembelajaran matematika PCK dikenal juga dengan Mathematical Knowledge of Teaching (MKT). Sebagai contoh sederhana, guru dapat memahami bahwa operasi hitung bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat positif hasilnya akan negatif. Akan tetapi, bagaimana dengan siswa? Tidak sedikit guru yang kesulitan dalam memberikan pemahaman dalam contoh sederhana ini sehingga akhirnya siswa hanya mengetahui materi namun kesulitan dalam memahami operasi hitung bilangan bulat. Sehingga, guru maupun calon guru perlu memahami mengenai pengembangan MKT dalam pembelajaran matematika sejak dini. Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka dalam makalah ini penulis mengangkat mengenai “Desain Perkuliahan untuk Mengembangkan Mathematical Knowledge of Teaching Mahasiswa PGSD dalam Pembelajaran Matematika” sebagai pembahasan utama dalam seminar ini. PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Shulman mengenalkan subject matter knowledge atau yang juga diistilahkan sebagai content knowledge (CK) pada tahun 1986. CK sendiri didefinisikan oleh Shulman sebagai ‘the amount and organization of knowledge per se in the mind of teacher’(Tutak, 2009, hlm. 14). Sejalan dengan itu, Mishra & Koehler (Kafyulilo, 2010, hlm. 7) menjelaskan bahwa “this is knowledge of the actual subject matter that is to be learned or taught”. Secara lebih lengkap,
1260
selanjutnya Mishra & Koehler menjelaskan mengenai CK dengan merujuk kepada pendapat Shulman bahwa CK merupakan “concepts, theories, ideas, organizational frameworks, scientific facts and theories, knowledge of evidence and proof, as well as established practices and approaches towards developing such a knowledge (Kafyulilo, 2010, hlm. 7)”. CK berperan penting dalam memberikan penjelasan maupun definisi terhadap sesuatu yang menjadi objek pembelajaran. Merujuk dalam hal ini, CK sangat berbeda dari pengetahuan yang ditujukan untuk mengetahui tentang fakta. Shulman (Tutak, 2009, hlm. 14-15) menjelaskan CK berbicara mengenai penjelasan ‘why a particular propositions is deemed warranted, why it worth knowing, and how it relates to other propositions, both within the dicipline and without, both in theory and practice’. Berbicara mengenai CK tidak terlepas dari komponen pengetahuan yang lain, yakni pedagogical knowledge (PK). Maka selanjutnya, kedua pengetahuan ini diintegrasikan dalam istilah yang lebih dikenal dengan pedagogical content knowledge (PCK). PCK pertama kali dijelaskan oleh Shulman pada tahun 1986 (Jones, 2000, hlm. 109) untuk menggambarkan ‘a blend of content and ways of transforming that content in terms of its teachability’. Bila CK dijelaskan mengenai sejauh mana pemahaman seorang guru/mahasiswa calon guru dalam pemahaman terhadap materi yang akan diajarkan, PK dapat dijelaskan mengenai sejauh mana CK yang yang sudah dipahami selanjutnya diajarkan secara baik dan benar kepada siswa. Selanjutnya, Ball (2000, Tutak, 2009) menyempurnakan PCK yang dijelaskan oleh Shulman. Ball mencoba mengintegrasikan antara PCK yang dijelaskan oleh Shulman ke dalam pembelajaran matematika sehingga selanjutnya dikenal Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) sebagai pengembangan dari PCK. MKT merupakan penyajian pemahaman yang lebih mendalam dari bagaimana membangun pengetahuan guru dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan model MKT, ada 6 (enam) domain untuk pengetahuan guru tentang pembelajaran materi ajar matematika, yiatu : 1. Common Content Knowledge (CCK), pengetahuan matematika secara umum untuk pembelajaran (not unique to teaching); 2. Specipied Content Knowledge (SCK), pengetahuan matamematika yang khusus untuk pemeblajaran (unique to teaching); 3. Horizon Content Knowledge (HCK), pengetahuan matematika yang terdapat dalam kurikulum; 4. Knowledge of Content and Student (KCS), pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan antara materi ajar dengan siswa; 5. Knowledge of Content and Teaching (KCT), pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan antara materi ajar dengan pembelajaran; serta, 6. Knowledge of Content and Curiculum (KCC), pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan antara materi ajar dengan kurikulum. Jenis pengetahuan no.1 sampai no.3 merupakan gambaran CK matematika pada konsep CK Shulman, sementara no. 4 sampai no 6 merupakan gambaran PCK matematika pada konsep PCK Shulman.
1261
PENGEMBANGAN MATHEMATICAL KNOWLEDGE OF TEACHING TERHADAP MAHASISWA PGSD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Paradigma bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dan tidak menyenangkan merupakan hal yang perlu disiasati oleh guru. Dari beberapa wawancara yang pernah dilakukan oleh penulis, dua faktor ketidaksenangan siswa terhadap matematika adalah: 1) Ketidakmampuan guru dalam mengajarkan matematika, dan 2) kepribadian guru. Hal ini bukanlah masalah yang tidak dapat diselesaikan, terutama berkaitan dengan faktor pertama yakni ketidakmampuan guru dalam mengajarkan matematika. Mempersiapkan kemampuan guru dalam mengajarkan matematika dapat dimulai semenjak guru tersebut masih berada dalam status calon guru atau dalam arti lain sebagai mahasiswa keguruan program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Hal ini menjadi mungkin, karena dalam masa persiapan untuk menjadi guru tersebut, mahasiswa PGSD memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan kompetensi mengajar terutama dalam mengajarkan matematika. Pengembangan Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) terhadap mahasiswa PGSD perlu dipandang secara utuh dan menyeluruh. Meskipun mahasiswa PGSD sudah mendalami mata kuliah pedagogik, di sisi lain pemahaman tersebut perlu diintegrasikan dalam pembelajaran mata kuliah yang berkaitan dengan matematika di dalam kelas. Sehingga, penyampaian materi matematika tidak hanya terbatas dalam pemahaman materi, akan tetapi bagaimana mahasiswa PGSD memahami secara menyeluruh dan kontekstual serta mampu dalam mengajarkan dan mengkondisikan siswa agar mau dan mampu belajar matematika. Desain perkuliahan yang dibuat tidak hanya terbatas diskusi mengenai materi perkuliahan semata. Akan tetapi, dilanjutkan dengan project based learning dimana hasil akhir perkuliahan mahasiswa menciptakan suatu media untuk mengembangkan MKT. Beberapa contoh desain perkuliahan yang telah dilakukan dalam pengembangan MKT bagi mahasiswa PGSD sebagai berikut: 1. Membuat mindmap sebagai review topik perkuliahan Selama pertemuan, setiap mahasiswa berada dalam kelompok diskusi yang masing-masing berfokus membahas satu topik perkuliahan. Selanjutnya, di di akhir semester, mahasiswa dibagi kembali ke dalam kelompok untuk selanjutnya bersama membuat mindmap topik perkuliahan. Secara tidak langsung, mindmap akan membuat mahasiswa kembali me-review materi yang sudah diberikan oleh penulis karena dalam pembuatan mindmap, mahasiswa PGSD perlu berpikir mengenai koneksi antar topik dan sub-topik yang sudah diberikan. Selain itu, dalam pengembangan MKT, membuat mindmap ini dapat memberikan pemahaman yang lebih kepada mahasiswa PGSD terhadap materi yang sebelumnya telah didiskusikan.
1262
Gambar 1. Mindmap hasil mahasiswa PGSD 2. Membuat buku “Matematik Unik Menggelitik” sebagai Pengembangan Paradigma terhadap Matematika Selama pertemuan, setiap mahasiswa berada dalam kelompok diskusi yang masing-masing berfokus membahas satu topik perkuliahan. Selain presentasi dan diskusi di dalam kelas, mahasiswa PGSD diberikan tugas untuk wawancara kepada guru mengenai pembelajaran matematika. Selain itu, mahasiswa PGSD mengumpulkan materi yang berkaitan dengan topik perkuliahan yang selanjutnya disusun sebagai sebuah buku. Wawancara terhadap guru dilakukan untuk membekali mahasiswa PGSD terhadap kondisi sebenarnya di lapangan, terutama dalam pembelajaran matematika. Dari wawancara tersebut, selanjutnya mahasiswa PGSD mendiskusikan dan semenjak dini mencari solusi atas permasalahan yang ada. Sedangkan buku menjadi karya mahasiswa PGSD untuk menemukan dan menunjukkan bahwa matematika bukanlah suatu pelajaran yang sulit dan tidak menyenangkan. Dengan mengambil sisi lain dari matematika, mahasiswa PGSD akan memiliki bekal yang cukup dalam mengkondisikan kelas saat mengajar yang bertujuan membuat siswa senang terhadap matematika.
Gambar 2. Buku Matematik Unik Menggelitik
1263
SIMPULAN Pengembangan Pedagogical Content Knowledge (PCK) atau yang lebih dikenal juga dengan Mathematical Knowledge of Teaching (MKT) merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami, baik bagi guru maupun calon guru. Pemahaman ini selanjutnya untuk mengatasi pemahaman yang salah (miss conception) dan hambatan belajar (learning obstacle) dalam pembelajaran matematika. Dengan memahami MKT, guru maupun calon guru dapat memberikan matematika secara menyeluruh dan sesuai dengan kemampuan siswa dalam memahami matematika. Menciptakan desain perkuliahan yang mampu untuk merangsang pengembangan MKT perlu dilakukan. Hal ini untuk mengatasi permasalahan matematika semenjak dini. Dengan pengembangan MKT semenjak perkuliahan, mahasiswa PGSD memiliki pemahaman yang cukup ketika mengajarkan matematika di dalam kelas. Karena, pemahaman terhadap matematika bagi guru bukan hanya terletak dalam penguasaan pengetahuan materi saja, akan tetapi bagaimana pula guru tersebut mengajarkan secara tepat dan sesuai kepada siswa. Mahasiswa PGSD dapat diajak untuk aktif mengembangkan kreativitas sehingga perkuliahan matematika tidak menjenuhkan dan mampu menjadikan mahasiswa PGSD sebagai guru siap mengajar, terutama dalam pembelajaran matematika. DAFTAR RUJUKAN Ball, D.L., Hill, H.C., & Bass, H. (2005). Knowing Mathematics for Teaching. American Educator (fall 2005), 14-46. Dewi, E.J. (2013). Pengaruh Metode Pemecahan Masalah Terhadap Kemampuan Penyelesaian Soal Cerita Matematika. Skripsi UPI Kampus Tasikmalaya. [Tidak Diterbitkan]. Hernawan, A. H., dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung: UPI Press. Heruman. (2010). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Jones, K. (2000). Teacher Knowledge and Professional Development in Geometry, Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics, vol 20(3), 109-114. Kafyulilo, A. C. (2010). TPACK for Pre-service Science and Mathematics Teachers. Netherland: University of Twente. Muharram, M. R. W. (2012). Quantum Mathematic: Memahami Nilai-nilai Matematika untuk Membangun Karakter Bangsa. Diseminarkan di Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 10 November 2012, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yogyakarta. Shulman, L. S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher. Vol 15(2), 4-14. Tutak, F.A. (2009). A Study of Geometry Content Knowledge of Elementary Preservice Teacher : The Case of Quadrilateral. Disertasi tidak diterbitkan. Florida : University of Florida. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1264
KOMIK DIGITAL DENGAN ALUR CERITA BERANGKAI SEBAGAI SARANA IDENTIFIKASI KESALAHAN PEMAHAMAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR Harsa Wara Prabawa Universitas Pendidikan Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract This study focused on the development of an interactive learning media in the form of comic apps to optimize the contextual and meaningful learning process in elementary school. As we know that the use of technology in various aspects of life increasingly perceived usefulness. Conducted a literature review reveals a fact that the application of comics can enhance student interest, speed up the processing of information and solve problems, while enhancing social sensitivity and academic abilities. This study revealed that learning multimedia comics can be used to identify the occurrence of errors of understanding and reasoning. The facts obtained by involving storyline set in the sequential development of the storyline so as to enable each reader had a different story according to the misconception that done. Development sequential storyline taking the philosophy of learning evaluation questions in the form of multiple. Keywords: Digital comics, Plot sequential, Errors Understanding and Mathematical Reasoning PENDAHULUAN Tony Buzan, penemu dan pengembang metode Mind Mapping, menganalogikan bahwa belajar di level Sekolah Dasar dapat diibaratkan sebagai proses membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan (Mansur, 2008). Apabila terdapat kartu yang salah letak atau bahkan goyah secara posisi, maka kartu tersebut hanya akan menjadi sebab keruntuhan sebagian atau bahkan seluruh bangunan kartu. Sebuah artikel bertajuk ‘Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika’, keluaran P4TK Matematika yang memaparkan bahwa banyak diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik bagi mereka bahkan bisa jadi guru tersebut tidak mengenal matematika secara memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan secara utuh melainkan hanya bagian-bagian yang dikuasai oleh guru tersebut dan meninggalkan bagian yang lainnya. Inilah kemudian, salah satunya, yang menjadi awal mengapa begitu banyak anak-anak ‘gagal’ menyempurnakan pemahaman matematis mereka, mereka merasa frustasi dan bahkan tidak lagi bergairah dalam belajar matematika (Mansur, 2008). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa pada sebagian besar siswa mungkin mahir mengerjakan operasi dengan bilangan decimal atau pecahan namun adakalanya mereka tidak dapat membedakan kebenaran hasil pengerjaan operasi tersebut (Widjaja, Stacey, & Steinle, 2008).
1265
Di sisi lain, dengan memanfaatkan model Cockcroft (1982, yang dikutip dari Collin, 1988, dalam Turmudi, 2008), pembelajaran matematika di Indonesia dipandang seperti titik pada pojok kiri atas (oktan 4), yang maknanya bahwa matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak, sisi keilmuannya bersifat ‘kaku’ (tidak applicable), metodenya textbook oriented, teacher centered, dan siswanya pun diposisikan sebagai objek pengurutan atau perangkingan bukan sebagai objek ajar yang layak dihargai minat dan kecenderungannya dalam belajar. Kalau situasinya seperti itu, matematika akan menjadi subjek yang ‘mati’ dan strategi pembelajarannya juga merupakan strategi ‘mati’ yang mengajarkan matematika apa adanya (Turmudi, 2008). Merupakan tugas guru untuk menyediakan suasana yang menyenangkan selama proses belajar. Guru harus mencari cara untuk membuat pembelajaran menjadi menyenangkan dan mengkesampingkan ancaman selama proses pembelajaran. Salah satu cara untuk membuat pembelajaran menjadi menyenangkan adalah dengan menggunakan komik sebagai media pembelajaran. Mengapa komik? Karena anak – anak, sebagaimana orang dewasa juga, menyukai komik. Penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa media komik dapat digunakan dalam mengidentifikasi adanya lack of knowledge (Lubis, Wara, & Waslaluddin, 2012). Lack of Knowledge dalam beberapa literature, dikatakan dapat menjadi salah satu penyebab munculnya miskonsepsi dalam memahami atau menalari suatu konsep (Gentner & Collins, 1981). Penelitian yang lainnya, mengungkap bahwa komik dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun kerangka konsep pengetahuan walaupun tidak sampai pada detail penjelasan. Minimalnya, komik dapat menjadi trigger untuk proses penelusuran pengetahuan pada jejang kognitif berikutnya (Amalia, Wara, & Nurdin, 2012) Komik memiliki lima kelebihan jika dipakai dalam pembelajaran (Yang, 2003). Kelebihan itu adalah: 1. Memotivasi Hutchinson (1949) menemukan bahwa 74% guru yang disurvei menganggap bahwa komik "membantu memotivasi", sedangkan 79% mengatakan komik "meningkatkan partisipasi individu". Satu guru bahkan mengatakan bahwa komik membuat pembelajaran menjadi "pembelajaran yang sangat mudah". DC Comics, Thorndike, dan Downes juga menemukan bahwa komik juga mampu memotivasi siswa ketika mereka memperkenalkan buku latihan bahasa Superman ke kelasnya. Mereka menemukan bahwa siswa memiliki “ketertarikan yang tak biasa” dan, sebagaimana ditulis’ “mampu membuat siswa menyelesaikan tugas yang seharusnya diselesaikan dalam satu minggu menjadi satu hari saja” (Sones, 1944). Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa komik benar – benar mampu memotivasi siswa selama proses belajar mengajar. 2. Visual Komik terdiri dari gambar – gambar yang merupakan media visual. Sones (1944) berkesimpulan bahwa kualitas gambar komik dapat meningkatkan kualitas pembelajaran: Sones membagi empat ratus siswa kelas enam sampai kelas Sembilan kedalam dua kelompok. Masing – masing kelompok seimbang dalam pembagian kelas dan kecakapannya. Kelompok pertama disuguhi pembelajaran cerita dengan menggunakan komik dan yang kedua
1266
hanya menggunakan teks saja. Setelah itu, mereka dites untuk mengetahui isi dari pembelajaran cerita itu. Setelah seminggu, prosesnya diubah, kelompok pertama disuguhi teks saja sedang yang kedua diberikan komik. Kemudian kedua grup dites lagi. Akhirnya, Sones (1944) berkesimpulan bahwa "pengaruh gambar terlihat dalam hasil tes". Tes pertama menunujukkan bahwa kelompok pertama mendapatkan nilai jauh lebih tinggi daripada kelompok kedua. Di tes kedua kelompok kedua mendapatkan nilai jauh lebih tinggi daripada kelompok pertama. 3. Permanen Menggunakan komik sebagai media pembelajaran jauh berbeda dengan menggunakan film atau animasi. Meskipun film dan animasi juga merupakan media visual, mereka hanya dapat dilihat tanpa bisa mengulanginya sekehendak kita. Komik, berbeda dengannya, merupakan media yang permanen. Sederhananya, jika siswa tidak memahami suatu adegan film atau animasi, mereka tidak bisa mengulanginya. Tapi dengan komik, mereka bisa mengulangi sesuka hati mereka. 4. Perantara Koenke (1981) mengatakan bahwa komik bisa mengarahkan siswa untuk disiplin membaca khususnya mereka yang tidak suka membaca atau yang memiliki kekhawatiran akan kesalahan. Komik bisa menjadi jembatan untuk membaca buku yang lebih serius. Haugaard (1973) mengatakan bahwa komik bisa mengubah siswanya yang tidak suka membaca menjadi siswa penyuka Jules Verne and Ray Bradbury. 5. Populer Kita bisa mengatakan bahwa siswa kita saat ini berada dalam budaya populer. Morrison, Bryan, and Chilcoat (2002) mengatakan bahwa dengan memasukkan budaya populer kedalam kurikulum bisa menjembatani kesenjangan perasaan siswa ketika di dalam dan luar sekolah. Komik adalah bagian dari budaya populer. Kita tahu bahwa Spiderman and Batman adalah film yang diambil dari komik. Ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam belajar. Davis (1997, dalam Afriani, Siahaan, Sudirman : 2013) mengungkapkan bahwa yang begitu menarik dari komik sebagai suatu alat pendidikan adalah : (a) a built-in desire to learn through comics (membangkitkan keinginan untuk belajar); (b) easy accessibility in daily newspaper and bookstands (mudah didapatkan pada surat kabar harian atau took buku); (c) the novel and ingenious way ini which this authentic medium depicts real-life language and “every facet of people and society” (menggambarkan perspektif kehidupan nyata dari setiap aspek individu dan masyarakat); and (d) the variety of visual and linguistic element and codes that appeal to student with different learning style (keberadaan berbagai elemen visual linguistic yang dapat menarik perhatian siswa untuk belajar dengan berbagai gaya belajar yang berbeda) . ANALISA KECENDERUNGAN KARAKTER KOMIK Survey (dalam bentuk angket dengan pendampingan oleh tim peneliti dalam pengisiannya) dilakukan pada siswa untuk melihat pandangan siswa mengenai ketertarikan siswa mengenai multimedia pembelajaran berbentuk komik. Sekaligus untuk mendefinisikan karakter dan alur cerita komik yang
1267
merepresentasikan dunia siswa sekolah dasar. Angket terdiri dari pertanyaan terbuka, semi terbuka dan tertutup dan disebarkan ke 32 orang siswa sekolah dasar kelas 4, 5 dan 6 serta siswa SMP kelas 1 yang tersebar di sekitar kampus Universitas Pendidikan Indonesia Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Angket Siswa (PraPenelitian) No 1
2
3
4
5
6
7
8
1268
Tema Pertanyaan Pernah tidaknya responden membaca komik Seberapa sering dalam seminggu responden membaca komik
Karakter utama komik yang paling digemari
Alur cerita komik
Hubungan antara membaca komik dengan belajar Daya tarik komik pembelajaran
Manfaat dari komik pembelajaran
Hubungan antara komik dengan motivasi belajar
Pilihan
f
%
Ya
32
100
Tidak
0
0
Sering (di atas 10 jam)
7
21.88
Kadang-kadang (antara 4 – 10 jam)
20
62.50
Jarang (kurang dari 4 jam)
5
15.63
Naruto - Naruto
9
28.13
Shasuke - Naruto
2
6.25
Luffy – One Piece
4
12.5
Conan Edogawa - Conan
3
9.38
Sena Kobayakawa - Eyeshield
1
3.13
Shin Chan – Crayon Shin Chan
0
0
lain-lain
3
9.38
Fantasi/petualangan
15
46.88
Misteri
6
18.75
Humor
9
28.13
lain-lain
2
6.25
Ada, dan relative positif
16
50
Ada, namun relative negative
5
15.63
Tidak ada hubungan
11
34.38
Sangat menarik
17
53.13
Cukup menarik
15
46.88
Tidak menarik atau tidak tahu
0
0
Sangat bermanfaat
8
25
Cukup bermanfaat
22
68.75
Tidak bermanfaat Dapat meningkatkan motivasi belajar Tidak ada hubungannya
2
6.25
14
43.75
16
50
Tidak tahu
2
6.25
Berdasarkan hasil studi pustaka dan survey lapangan, didapatkan analisis kebutuhan sebagai gambaran umum dalam pengembangan multimedia pembelajaran berbentuk komik. Hasil analisis kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Komik yang akan dikembangkan mengangkat materi bilangan pecahan dan operasi-operasinya 2. Karakter komik merupakan representasi dari gaya menggambar karakter komik jepang 3. Komik yang akan dikembangkan bertemakan fantasi atau petualangan. 4. Komik yang akan dikembangkan menyajikan materi pembelajaran yang terdapat dalam alur cerita. TAHAP DESAIN AWAL DAN PENGEMBANGAN ALUR CERITA Dalam tahapan ini, didapatkan sebuah konsep komik dengan judul “Virtual Space”. Komik ini bertemakan fantasi atau petualangan dengan dua tokoh utama. Faris dan Mai yang merupakan siswa SD kelas V. Alur cerita dari Virtual Space secara umum adalah meminta Faris dan Mai untuk mengumpulkan medali penghargaan dalam perlombaan matematika alam. Untuk mendapatkan tiap medali tersebut Faris dan Mai harus melewati beberapa pos yang akan memberikan kasus untuk dipecahkan. Materi pelajaran disisipkan pada alur cerita petualangan. Dengan gambaran konsep tersebut dan untuk memudahkan proses pengembangan multimedia berbentuk komik, maka pada tahap ini dibuat storyline, sketsa dari alur cerita komik hingga pada proses penebalan (inking) sketsa dalam bentuk panel. Karakter tokoh yang didefinisikan berdasarkan hasil survey ditampilkan pada Gambar 1. Contoh storyline komik ditampilkan pada Gambar 2 sementara contoh sketsa komik akan ditampilkan pada Gambar 3. Sketsa yang sudah dibuat lebih tebal ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 1. Karakter Komik
1269
Gambar 2. Storyline Komik
Gambar 3 Sketsa Komik
1270
Gambar 5. Inker pada Sketsa TAHAP PENGEMBANGAN Proses pembuatan komik terdiri dari beberapa tahapan yaitu sketsa pada kertas, scanning pada komputer, proses colouring pada komputer dan terakhir yaitu pewarnaan digital pada komputer. Setelah itu dibuat antarmuka intro, halaman utama, petunjuk penggunaan dan evaluasi di Adobe Flash CS3. Proses colouring pada komputer dibuat di Manga Studio EX 4.0. pada proses ini dilakukan pemberian tinta digital sehingga gambar terlihat lebih jelas. Selain itu dimasukkan juga naskah-naskah dialog dalam komik pada proses ini (letterer). Proses pewarnaan digital pada computer di buat di Adobe Photoshop CS. Pewarnaan digital dilakukan dengan menggunakan tool brush.
1271
Pada antar muka menu utama, objek yang dibuat yaitu berupa tomboltombol untuk menjalankan multimedia komik terdiri dari cover, back cover, auto flip, stop flip, zoom in, zoom out, next page, help dan exit. Objek – objek yang berupa tombol-tombol pada tampilan antarmuka masih belum dapat melakukan fungsi apapun. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan pemberian code pada setiap objek sehingga dapat befungsi sesuai dengan yang diharapkan. Code yang digunakan dalam aplikasi Adobe Flash CS3 disebut ActionScript. Saat ini pada Adobe Flash CS3 telah ada ActionScript 3.0 . namun dalam pengembangannya, multimedia ini masih menggunakan ActionScript 2.0 . Dengan memberikan ActionScript pada objekobjek yang telah dibuat memungkinkan terbentuknya suatu multimedia yang interaktif dan dinamis. Misalnya pemberian ActionScript pada tombol next page untuk memberikan fungsi berpindah pada tampilan lain dan juga pemberian ActionScript pada frame untuk memutar background song (musik latar), sehingga pada saat multimedia dijalankan maka secara otomatis terdengar musik latar pada multimedia yang dikembangkan Setelah proses pemberian ActionScript pada beberapa objek yang ditentukan telah selesai, selanjutnya yaitu test movie pada Adobe Flash CS 3 yang akan menghasilkan file berekstensi .swf. Test movie dilakukan untuk melihat apakah objek-objek yang telah diberi actionScript dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bila terdapat kesalahan maka dilakukan perbaikan baik pada antarmuka maupun pada objek-objek yang telah diberi actionScript. Test movie ini dilakukan berkali-kali hingga didapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Objek-objek yang dilihat kesesuaiannya antara lain yaitu fungsi tombol navigasi, fungi tombol pilihan pada evaluasi materi, fungsi pengaturan layar penuh, serta fungsi pengaturan suara. Pada tahapan ini digunakan metode pengujian kotak hitam (black box testing) untuk mengetahui masukan dan melihat keluarannya apakah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Pada tahap test movie telah dihasilkan file dengan ekstensi .swf. untuk menjalankan file tersebut dibutuhkan flash player pada komputer yang digunakan. Namun, karena tidak semua komputer memiliki flash player maka dibutuhkan alternatif lain agar multimedia pembelajaran berbentuk komik ini dapat dijalankan. Pada Adobe Flash CS 3 terdapat publish setting yang dapat mengubah extensi file menjadi windows projector yang berekstensi .exe. dengan fasilitas ini maka multimedia pembelajaran berbentuk komik dapat dijalankan dengan syarat sistem operasi yang digunakan pada komputer yaitu Microsoft Windows Tahapan selanjutnya yaitu pemaketan (packaging). Pada tahapan ini, file – file yang dibutuhkan baik berupa swf, exe, txt, icon dan file autorun yang telah dibuat agar file exe dapat langsung berjalan disatukan dan dimasukkan ke dalam CD. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penggunaan multimedia pembelajaran berbentuk komik pada komputer lain Untuk mengetahui kelayakan dari multimedia yang telah dikembangkan maka dilakukan uji kelayakan terhadap produk yang disebut validasi atau istilah lainnya dikenal dengan expert judgement. Validasi ahli ini dilakukan oleh 3 orang yang terdiri dari 1 orang dosen dan 2 orang guru matematika. Aspek yang dilihat pada validasi ahli ini adalah aspek Kualitas Isi/Materi (Content
1272
Quality), aspek Pembelajaran (Learning Goal Alignment), Umpan Balik dan Adaptasi (Feedback and Adaptation), Motivasi (Motivation), Presentasi Desain (Presentation Design), Interaksi Penggunaan (Interaction Usability), Aksesibilitas (Accessibility), Reusability, Standar Kepatuhan (Standar Compliance) (Leacock, T.L., & Nesbit, J.C. , 2007) berdasarkan learning object review instrument (LORI). Hasil detail berkenaan dengan penilaian kelayakan komik ditampikan oleh Tabel 2. Tabel 2. Validasi Kelayakan Media Komik Aspek dan Indikator Aspek kualitas Isi / Materi (Content Quality) Aspek pembelajaran (Learning Goal Aligment) Umpan balik dan adaptasi (feedback and adaptation) Motivasi (Motivation) Presentasi desain (Presentation Design) Interaksi penggunaan (Interaction Usability) Aksesibilitas (Accessibility) Reusability Standar Kepatuhan (Standar compliance)
Jumlah Butir
Skor Kriterium
Jumlah Penguji
Peroleha n Skor
%
4
12
3
54
90%
4
12
3
50
83.3%
1
3
3
11
73.3%
1
3
3
13
86.7%
1
3
3
13
86.7%
3
9
3
37
82.2%
2
6
3
26
86.6%
1
3
3
14
93.3%
1
3
3
12
80%
Rerata
84.68%
Dari Tabel 2, bisa dilihat bahwa validasi yang dilakukan oleh ahli untuk mengetahui kelayakan multimedia didapatkan rata-rata presentase kelayakan sebesar 84,68% yang bisa dikategorikan sangat baik. TAHAP PENGUJIAN DAN IMPLEMENTASI Alur cerita komik didesain dengan mengunakan alur cerita berangkai sedikit banyak memberikan kontribusi dalam proses identifikasi miskonsepsi dan penalaran matematis responden. Alur cerita berangkai direpresentasikan dengan penyesuaian alur cerita berdasarkan pilihan jawaban yang dipilih (terutama dalam penyelesaian masalah di pos). sehingga memungkinkan 2 orang yang berbeda membaca komik yang sama, namun memiliki akhir cerita yang berbeda Media pembelajaran diujikan pada setidaknya 15 orang guru dan calon guru dan 20 orang siswa. Pemilihan guru, calon guru dan siswa dilakukan secara purposive, karena memang masih berada dalam kerangka pengujian
1273
multimedia pembelajaran. Pertimbangan yang diajukan dalam pemilihan keterwakilan elemen pembelajaran adalah kedekatan lokasi pengujian dengan kampus PGSD Bumi Siliwangi Universitas Pendidikan Indonesia. Hasil pengujian komik ditampilkan dalam Tabel 3. Tindak lanjut dari jawaban yang diberikan dan teridentifikasi dari ending cerita dari masingmasing responden pengujian dilakukan dengan wawancara. Tema wawancara adalah berkaitan dengan jawaban yang diberikan. Wawancara dilakukan untuk menggali sejauhmana multimedia pembelajaran dapat memberikan pembedaan hasil akhir cerita pada jawaban yang salah atau mengandung miskonsepsi. Artinya peneliti mencoba untuk membuat verivikasi terhadap jawaban responde pengujian dengan melakukan review alur cerita berdasarkan pada alur yang ditampilkan. Dengan mendasarkan pada akhir cerita peneliti melakukan ulasan soal berikut pola dan teknik menjawab, termasuk potensi miskonsepsi yang terjadi dalam setiap kasus yang diberikan. Tabel 3. Rangkuman Hasil Identifikasi Miskonsepsi dan Penalaran Matematis dengan Menggunakan Media Komik Sesi Cerita
Kasus 1. Pada sebuah lapangan parkir, terparkir 762 mobil dalam susunan 6 baris. Banyak mobil yang terparkir dalam setiap barisnya adalah sama. Berapa banyak mobil pada setiap barisnya? a. 4572 b. 127 c. tidak tahu
Prolog
1274
2. Don, Rob dan Lynn berjalan pulang dari sekolah bersama-sama. Waktu yang diperlukan oleh Lynn dari sekolah menuju ke rumahnya adalah 25 menit. Sementara dari rumah Lynn, Rob memerlukan waktu 10 menit untuk sampai di rumahnya. Don, masih harus berjalan sendiri ke rumahnya yang memerlukan waktu 5 menit dari rumah Rob. Pada jam berapa mereka
Distribusi Jawaban
Guru : Benar : 15 Salah : 0 Siswa : Benar : 17 Salah : 3
Guru : Benar : 13 Salah : 2 Siswa : Benar : 16 Salah : 4
Hasil Konfirmasi Jawaban Salah Siswa : - Siswa mengira setiap baris terdiri atas 762 mobil - 1 orang siswa tidak menjawab soal ini, karena waktu terbatas
Guru : - Salah perhitungan waktu tempuh - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis Siswa : - Salah perhitungan waktu tempuh - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke
harus meninggalkan sekolah agar Don bisa sampai di rumah pukul 11.20? a. 10.50 b. 10.45 c. 10.40
dalam bentuk matematis
ଵ
3. Joe menghabiskan ଷ dari uangnya untuk ଶ membeli pena dan dari ହ sisa uangnya uangnya untuk membeli buku. Berapa uang Joe yang tersisa, jika Joe membawa uang Rp 15.000,-? a. 4000 b. 6000 c. 9000
4. Ada 32 siswa yang mengikuti kegiatan wisata alam perahu. Berapa banyak perahu yang harus dipersiapkan, jika 1 perahu hanya dapat diisi oleh 3 orang saja? a. 11 b. 12 c. 10 5. Berapa panjang garis (dalam inch) yang berwarna hijau?
Guru : Benar : 6 Salah : 9 Siswa : Benar : 5 Salah : 15
Guru : Benar : 15 Salah : 0 Siswa : Benar : 19 Salah : 1 Guru : Benar : 15 Salah : 0
Guru : - Miskonsepsi dalam melakukan operasi perhitungan pecahan - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis Siswa : - Miskonsepsi dalam melakukan perhitungan pecahan - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis
Siswa : - Salah dalam penarikan kesimpulan soal
Siswa : - Salah dalam mengidentifikasi nilai jawaban
1275
a.
Pos 1 Ayo Membantu Pak Tani
3.5 b. 1
c.1.5
Cerita Pak Tani : Sawah ini adalah peninggalan orang tua pak tani. Orang tua pak tani, memiliki 3 orang anak dan 2 orang keponakan. Pak tani sendiri adalah anak ke-2. Agar tidak ada yang berselisih mengenai harta peninggalannya, maka orang tua pak tani membagi sawahnya secara adil. Orang tua pak tani membagi sawah tersebut menjadi 4 bagian. Masing-masing anak mendapatkan seperempat bagian, dan seperempat sisanya akan dibagi secara merata kepada 2 keponakannya. Nah, sawah peninggalan orang tua pak tani ini bukannya tanpa masalah. Orang tua pak tani membagi sedemikian rupa sawahnya agar setiap bagian pembagian berisikan sarang tikus. Sarang tikus ini letaknya sesuai dengan perhitungan : urutan anak/keponakan (anak/keponakan ke-) x bagian sawah yang diperoleh Misalkan, jika pak tani keponakan ke-1, maka posisi sarang tikus akan berada di 1 x 1/8 = 1/8. Untuk menemukan posisi sarang tikus maka keponakan pak tani harus bergerak ke arah
1276
Siswa : Benar : 17 Salah : 3
Guru : Benar : 13 Salah : 2 Siswa : Benar : 13 Salah : 7
- Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis
Guru : - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis Siswa : - Miskonsepsi dalam mendefinisikan penyebut dan pembilang - Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis
kiri sekian meter berdasarkan nilai penyebut dan bergerak ke depan sekian meter berdasarkan nilai pembilang. Dapatkah kalian membantu pak tani menemukan sarang tikus yang berada di sawah pak tani? a. bergerak ke kiri 4 langkah dan bergerak maju 2 langkah b. bergerak ke kiri 8 langkah dan bergerak maju 2 langkah c.bergerak ke kiri 3 langkah dan bergerak maju 2 langkah d. bergerak ke kiri 3 langkah dan bergerak maju 4 langkah
Pos 2 – Hutan Rimba Angka
ʹ ͳ ͷ ͷ ͳ ͵ ൈ െ ൊ ͵ ʹ ͷ
a. 5/3 b. 55/12 c. 35/9 d. 31/6
Sebuah segitiga siku-siku memiliki luas 3 cm dengan panjang alasnya adalah ½. Pos 3 – Berapakah Berapakah tinggi segitiga tersebut? Aku? a. 6 b. 3/4
Guru : Benar : 7 Salah : 8 Siswa : Benar : 4 Salah : 16
Guru : Benar : 15 Salah : 0 Siswa : Benar : 16 Salah : 4
Guru : - Miskonsepsi dalam melakukan operasi perhitungan pecahan - Salah dalam melakukan operasi hitung Siswa : - Miskonsepsi dalam melakukan perhitungan pecahan - Salah dalam melakukan operasi hitung Siswa : - Miskonsepsi dalam melakukan operasi perhitungan pecahan - Salah perhitungan matematis
1277
c.12 d.
4/3
- Salah dalam proses komunikasi soal cerita ke dalam bentuk matematis
SIMPULAN Dilihat dari segi ketertarikan siswa, seluruh siswa yang diwawancari mengatakan tertarik dengan komik yang dikembangkan. Mereka mengatakan bahwa komik ini seru untuk dibaca. Kemungkinan besar karena siswa hanya tertarik dengan alur ceritanya, siswa jadi tidak terlalu memperhatikan materi yang terkandung dalam alur cerita komik dan hanya terfokus pada kisah petualangannya saja. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa multimedia pembelajaran berbentuk komik yang dikembangkan selain memiliki kelebihan juga memiliki beberapa kekurangan. Kelebihan dari multimedia pembelajaran komik diantaranya yaitu bahwa multimedia pembelajaran komik yang telah dikembangkan dapat dengan mudah dicerna oleh siswa. Siswa merasa tertarik dengan multimedia pembelajaran komik, selain sebagai hiburan karena ceritanya yang seru, siswa pun mendapatkan beberapa pengetahuan dari multimedia pembelajaran komik . Siswa dapat belajar secara mandiri tanpa bantuan guru dengan multimedia pembelajaran komik. Sedangkan kekurangan tersebut diantaranya bahwa multimedia ini layaknya seperti buku digital dimana siswa hanya membalik halaman per halaman sehingga terkesan kaku dan seragam. Selain itu, ilustrasi seharusnya dibuat sedekat mungkin dengan kondisi actual agar tidak memunculkan perbedaan dalam memahami makna cerita atau kasus. Yang terakhir yaitu pada multimedia komik yang dikembangkan tidak terdapat penyimpanan perolehan skor yang didapatkan siswa. DAFTAR RUJUKAN Afriani, M., Siahaan, S. M., & Sudirman. (2013). Komik Digital Listrik Statis sebagai Media Pembelajaran IPA Fisika SMP. Seminar Nasional Pendidikan (pp. 807 - 823). Palembang: Universitas PGRI Palembang. Amalia, S., Wara, H., & Nurdin, E. A. (2012). Pengembangan Multimedia Pembelajaran berbentuk Komik untuk Menunjang Kegiatan Pembelajaran. JURNAL PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI, 5 (1), 38 - 49. Ariyani, N. (2012, Oktober 1). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved from www.kpi.go.id:http://www.kpi.go.id/index.php/terkini/22-literasimedia/30824-kekerasan-di-media-televisi Gentner, & Collins. (1981). Studies of Inferences from Lack of Knowledge. Memory and Cognition, 9 (4), 434 - 443. Lubis, T., Wara, H., & Waslaluddin. (2012). Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbentuk Komik Dengan Alur Cerita Berangkai untuk Identifikasi Lack of Knowledge Siswa dalam Memahami Mata
1278
Pelajaran TIK SMP. JURNAL PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI, 5 (2), 40 - 46. Mansur. (2008, Juni 30). Peta Konsep Anak Bangsa. Retrieved from pkab.wordpress.com: https://pkab.wordpress.com/2008/06/30/refleksikritis-pembelajaran-matematika/ Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: PT Leuser Cita Pustaka. Widjaja, W., Stacey, K., & Steinle, V. (2008). Misconceptions about Density of Decimals : Insights from Pre-Service Teachers’ Work. KONFERENSI NASIONAL MATEMATIKA XIV (pp. 1011 - 1022). Palembang: Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya Palembang. Yang, G. (2003). Comics in Education. Retrieved from http://www.humblecomics.com: http://www.humblecomics.com/comicsedu/strengths.html
1279
PENINGKATAN SELF-CONFIDENCE MELALUI PENERAPAN MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DENGAN METODE HEURISTIK 1)
Mariah Ulfah, 2)Rahmat Sutedi & 3)Zaenal Muttaqin 1), 2) Universitas Pendidikan Indonesia, & 3) SDN Karangpawiyatan E-mail: 1)
[email protected] Abstract This study aimed to describe whether the data increase the self-confidence of students who get learning by applying the model of Problem-Based Learning by Heuristic method (PBLmH) better than the students who had learning by applying the model of Direct Instruction (DI). The method used is quasiexperiments pre- and posttest. Subject of the study (sample) is class V students in one of the elementary school in Ciasem. Data research on self-confidence using attitude scale. Statistical data analysis using non-parametric U-test, Mann Whitne. Results from this study are: the increase in self-confidence of students who received PBLmH model of learning by applying the same with students who are apply the DI model. Keyword: self-confidence,
problem based learning
PENDAHULUAN Tujuan mata pelajaran matematika yang tertuang dalam Standar Isi (BSNP, 2006), yaitu: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan dokumen BSNP (2006), kompetensi yang harus dikembangkan dan menjadi tujuan pembelajaran matematika bukan hanya kompetensi kognitif, melainkan juga kompetensi afektif. Salah satunya yaitu percaya diri (self-confidence). Menurut Yates (Martyanti, 2013, hlm. 16), ‘selfconfidence sangat penting bagi siswa agar berhasil dalam belajar matematika’. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang mengungkapkan bahwa terdapat asosiasi positif antara self-confidence dalam belajar matematika dengan hasil belajar matematika (Hannula, et al, 2004, hlm. 17; Suhendri, 2012, hlm. 397; TIMSS, 2012, hlm. 326 dalam Martyanti, 2013, hlm. 16). Sebagaimana yang dikemukakan Hannula, Maijala, & Pehkonen (2004, hlm. 17) yaitu bahwa keyakinan (belief) terhadap diri sendiri memiliki hubungan
1280
yang luar biasa dengan kesuksesan siswa dalam belajar matematika. Oleh karena itu, self-confidence perlu ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Selain itu, diperlukan pula upaya perbaikan proses belajar agar kemampuan matematis baik kemampuan pemahaman maupun self-confidence dapat berkembang dan menjadi kompetensi pada diri siswa. Peningkatan kemampuan self-confidence tidak dapat dicapai apabila pembelajaran yang dialami siswa hanya berorientasi pada hafalan konsep dan prosedur yang sudah disajikan oleh guru yang diaplikasikan untuk menyelesaikan soal-soal rutin. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pembelajaran yang menstimulus perkembangan kemampuan berpikir matematis. Selain itu, menurut petunjuk pelaksana kegiatan belajar mengajar di sekolah yang ditulis oleh Suherman, dkk. (2003, hlm. 63) menjelaskan bahwa, “Penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah bertumpu pada dua hal, yaitu optimalisasi interaksi semua unsur pembelajaran serta optimalisasi keterlibatan indera siswa”. Seorang guru hendaknya memilih dan menerapkan strategi, pendekatan, dan model pembelajaran yang membuat siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, baik secara mental, fisik maupun sosial sehingga siswa memiliki kemampuan-kemampuan yang tertuang dalam kurikulum dan tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai, dan menjadi kompetensi pada diri siswa. Salah satu strategi alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan model Problem-Based Learning (PBL). Dalam implementasi model PBL, masalah yang harus dipecahkan siswa akan menjadi konteks pembelajaran sehingga fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa. Sejalan dengan Tan (2003, hlm. 30) yang menyatakan bahwa model PBL merupakan suatu pembelajaran aktif yang berpusat pada siswa, yang menggunakan masalah-masalah yang tidak terstruktur dengan konteks dunia nyata sebagai titik awal untuk proses belajar siswa, serta memungkinkan siswa untuk bekerja sama dan membuat pilihan dalam belajar. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Jossey-Bass Teacher (2009) yaitu ‘guru dan metode pembelajaran yang diterapkan di kelas akan berpengaruh langsung pada kepercayaan diri siswa, saat siswa dihadapkan pada situasi yang menantang dan perasaan yang menyenangkan maka kepercayaan diri siswa pun akan meningkat (Hapsari, 2011: 341). Deskripsi penerapan model Problem Based Learning dengan metode Heuristik yang diadaptasi dari sintaks yang dikemukakan oleh Arends (2008, hlm. 57) yaitu sebagai berikut: 1. Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa. Pada fase ini, guru menginformasi tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa. Guru memberikan permasalahan non rutin yang harus dipecahkan siswa dengan situasi yang menarik, dan menantang. 2. Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Pada fase ini, guru mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim studi untuk menyelesaikan permasalahan. Siswa bersama kelompoknya mendiskusikan topik permasalahan. Guru membimbing siswa ketika siswa mengalami kesulitan. 3. Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan kelompok
1281
Fase ini merupakan inti dari model PBL. Dalam fase ini siswa mengumpulkan data, bereksperimentasi dan menemukan solusi pemecahan masalah. Siswa menggunakan metode Heuristik untuk memecahkan masalah. Selain itu, dalam penelitian ini disediakan media manipulatif yang dapat digunakan siswa. Namun demikian, siswa diberi kebebasan untuk menggunakannya atau tidak, dan menentukan sendiri strategi yang manipulatif ini digunakan untuk memecahkan masalahnya. Penyediaan media manipulatif didasarkan pada teori belajar Bruner mengenai sistem pengolahan informasi. Metode Heuristik dalam pemecahan masalah yang digunakan yaitu mengadopsi dari strategi pemecahan masalah Polya (Schunk, 2012, hlm. 420) sebagai berikut: a. Pada tahap pertama: Memahami masalah. Siswa menyatakan masalah dengan kata-kata sendiri, mengidentifikasi apa yang ditanyakan, menemutunjukan informasi yang ada pada permasalahan, mengidentifikasi kelengkapan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, mengidentifikasi informasi tambahan yang diperlukan, membuat sketsa gambar (jika memungkinkan) dan tulisan notasi yang sesuai. b. Pada tahap kedua: Rencana pemecahan. Siswa membuat pemisalan dari informasi yang tersedia atau yang diketahui dan yang ditanyakan, membuat model matematika, menentukan strategi yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, terdapat berbagai strategi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah. c. Pada tahap ketiga: Melaksakan rencana pemecahan. Siswa melaksanakan rencana pemecahan dengan menggunakan kemampuan berhitung, kemampuan geometris, dsb. Siswa memeriksa setiap langkah yang dikerjakan. Proses memecahkan masalah terbagi atas dua jenis, yaitu representasi dan solusi. Representasi muncul ketika pemecah masalah memahami suatu masalah dan solusi muncul ketika pemecah masalah melaksanakan kegiatan yang diperlukan untuk memecahkan masalah. d. Pada tahap keempat: Memeriksa hasil. Siswa memeriksa kembali langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan, membuktikan bahwa tiap langkah sudah benar, menguji kembali hasilhasil yang diperoleh dengan menggunakan cara yang berbeda atau berdasarkan logika. Ketika siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, guru dapat memberikan petunjuk atau pertanyaan berdasarkan langkah metode Heuristik di atas yang menstimulus siswa agar dapat menemukan aturan atau konsep dalam pemecahan masalah. 4. Fase 4: Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit. Pada fase ini, siswa membuat laporan tertulis dan memperlihatkan laporan pemecahan masalahnya kepada siswa lainnya. 5. Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah Pada fase ini, siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya. Untuk menstimulus siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya, guru dapat memberikan petunjuk atau pertanyaan seperti:
1282
kapan kalian mencapai pemahaman yang jelas mengenai permasalahan yang diberikan?, apakah kalian berubah pikiran mengenai situasi permasalahan yang diberikan?, kapan kalian merasa yakin terhadap solusi tertentu?, mengapa kalian menggunakan solusi tersebut?. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan data apakah dengan menerapkan model Problem-Based Learning dengan metode Heuristik dalam pembelajaran matematika di kelas V dapat meningkatkan self-confidence. METODE Desain penelitian yang digunakan yaitu quasi-experiments pre- and posttest design. Tahapan dari penerapan desain ini yaitu setelah selesai memilih kelas yang akan dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, peneliti melakukan pretes skala sikap self-confidence. Setelah tindakan selesai diberikan dalam jangka waktu tertentu, peneliti melakukan postes skala sikap self-confidence. Deskripsi mengenai desain penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut. Time Select Control Grup Select Experimen Gup
Pretest
No Treatment
Posttest
Pretest
Experimental Treatment
Posttest
Gambar 1. Quasi-Experiment Pre- and Posttest Design (Creswell, 2008, hlm. 314) Keterangan: Experimental Treatment yaitu dengan menerapkan model Problem Based Learning dengan metode Heuristik (PBLmH) dalam pembelajaran matematika. Partisipan penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas V salah satu SD Negeri di kecamatan Ciasem. Jumlah partisipan yaitu 65 siswa yang terbagi ke dalam dua kelas. Kelas A berjumlah 33 siswa dan kelas B berjumlah 32 siswa. Ditinjau dari letak geografis, partisipan berada pada dataran rendah yang dikelilingi oleh wilayah pesawahan. Pemilihan partisipan yang dijadkan sebagai sampel penelitian dilakukan secara purposive. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala sikap. Skala yang digunakan yaitu skala likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu: selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah. Skala ini terdiri dari serangkaian pemikiran, perasaan dan kegiatan yang bernilai positif dan negatif berkenaan dengan self-confidence siswa terhadap matematika. Sikap selfconfidence yang akan diukur dalam penelitian ini meliputi aspek-aspek: 1. Kepercayaan terhadap kecakapan diri yaitu persepsi individu mengenai kemampuan diri untuk memikirkan, mengelola perasaan dan bertindak dalam menghadapi situasi yang berkaitan dengan matematika. Aspek ini ditunjukan oleh indikator sebagai berikut: a. Optimis terhadap pembelajaran matematika.
1283
b. Tenang menghadapi kesulitan dalam pembelajaran matematika. c. Berani mengkomunikasikan ide matematis. d. Mandiri dalam belajar matematika. e. Senang menghadapi tantangan. 2. Kemampuan untuk mempertimbangkan dan menentukan secara realistik sasaran yang ingin dicapai dan menyusun rencana aksi sebagai usaha meraih sasaran. Aspek ini ditunjukan oleh indikator sebagai berikut: a. Berinisiatif untuk memperoleh pengetahuan matematis baru dengan berbagai cara (bertanya, melakukan pembuktian ulang, meminta bantuan orang lain). b. Rasional dan realistis memandang situasi. c. Bertanggung jawab terhadap kewajiban sebagai pembelajar matematika. 3. Kemampuan Bersosialisasi yaitu kemampuan untuk menilai dan berinteraksi berdasarkan peran dan nilai yang terdapat dalam lingkungan belajar matematika.. Aspek ini ditunjukan oleh indikator sebagai berikut: a. Berbicara di dalam kelompok. b. Membagi informasi pada orang lain. c. Mendengarkan tanpa menyela ketika orang lain berbicara. d. Santun selama pembelajaran matematika. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan tindakan selama enam kali pertemuan, ditemukan adanya peningkatan self-confidence siswa dalam pemecahan masalah yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH dan model DI juga. Kriteria peningkatan untuk kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan PBLmH yaitu rendah. Perolehan nilai N-gainnya yaitu 0,09. Sedangkan kriteria peningkatan untuk kelompok siswa yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model DI yaitu rendah. Perolehan nilai Ngainnya yaitu 0,05. Berdasarkan hasil pengolahan data N-gain dan pengujian secara statistik, temuan penelitian ini yaitu peningkatan Self-confidence siswa kelas V SD Negeri di salah satu kecamatan Ciasem yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH sama dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model DI. Walaupun self-confidence dapat berkembang melalui interaksi sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhardira (2011), yaitu peningkatan self-confidence dilakukan melalui kegiatan yang di dalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok namun hasil dari penerapan model PBLmH yang dilakukan selama enam kali pertemuan menunjukan peningkatan yang tidak signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya peningkatan selfconfidence dalam penelitian ini yaitu waktu untuk penyadaran akan kemampuan diri dan penguatannya serta meyakinkan bahwa mereka memiliki kemampuan begitu singkat. Siswa hanya mendapatkan pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH sebanyak enam kali. Hal ini berlandaskan pada pernyataan yang dikemukakan Suherman, dkk (2003: 186) yaitu dari tiga ranah hasil belajar, pembentukan ranah afektif relatif lebih lambat dari pada pembentukan ranah kognitif dan psikomotorik, karena perubahan ranah afektif memerlukan waktu yang lebih lama dan merupakan akibat dari pembentukan
1284
pada ranah kognitif dan psikomotorik. Selain itu, mengubah konsep selfconfidence secara sentral membutuhkan pembentukan ide-ide mengenai diri. Siswa harus menyadari ide-ide yang dibangun mengenai dirinya, salah satunya mengenai kemampuan yang dimilikinya karena peningkatan selfconfidence dipengaruhi oleh skema self yang dibangun oleh siswa. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan self-confidence tidak terlepas dari perkembangan kognisi dan interaksi dengan lingkungan. Sebagaimana teori pendukungnya yaitu teori kognitif-sosial. Teori ini menyatakan bahwa proses berpikir manusia harus berfungsi sebagai poin inti analisis kepribadian dan pemikiran berkembang dalam konteks sosial yaitu seseorang mendapatkan pemikiran tentang diri dan dunianya melalui interaksi sosial (Pervin, Cervone, & John, 2012, hlm. 432). Walaupun peningkatannya rendah dan tidak signifikan, penerapan model PBLmH dapat meningkatkan self-confidence. Proses belajar yang dialami siswa ketika menerapkan model PBLmH yaitu siswa berpikir dengan mencaritenemukan solusi dari masalah matematika yang diberikan guru. Siswa berdiskusi bersama dengan kolompoknya saling berbagi informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Siswa akan memperoleh pengetahuan baru dan memperkuat pengetahuan sebelumnya dengan memecahkan masalah. Ketika siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa agar mampu memecahkan masalah. Ketika siswa berhasil memecahkan masalah guru memberikan penguatan dan apresiasi atas solusi yang ditemukannya, dan meminta teman dalam kelompoknya untuk memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan dan kemudian melaporkan pemecahan masalah yang dilakukan di depan kelas. Kegiatan tersebut merupakan dukungan emosional dan penerimaan sosial yang akan meningkatkan rasa percaya diri. Sebagaimana yang dikemukakan Santrock (2007, hlm. 67) yaitu, rasa percaya diri dapat ditingkatkan melalui penyelesaian masalah, pencapaian prestasi, pemberian dukungan emosional, dan penerimaan sosial. Karakteristik masalah yang dipecahkan siswa adalah masalah non rutin, masalah yang penyelesaiannya tidak berdasarkan algoritma yang ada, masalah yang tidak biasa siswa hadapi. Penyelesaian masalah dilakukan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Sehingga siswa akan menyadari kemampuan yang dimilikinya serta menyadari konsep-konsep penting yang harus dimiliki untuk mengembangkan kemampuan tersebut sehingga mampu memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Keberhasilan yang dialami siswa secara terus menerus akan dapat meningkatkan sef-confidence siswa. Siswa akan merasa yakin terhadap kemampuan yang dimilikinya. Siswa menyakini bahwa dia mampu secara sungguh-sungguh dengan apa yang akan dilakukannya. Keberhasilan dalam memecahkan masalah dengan benar merupakan capaian prestasi siswa. Selain itu, pembentuk utama dari kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika adalah interaksi siswa dan guru juga siswa dengan sesama siswa (Jurdak: 2009: 111). Sejalan dengan teori yang melandasi selfconfidence yaitu teori kognitif sosial. Teori ini menyatakan bahwa proses berpikir manusia harus berfungsi sebagai poin inti analisis kepribadian dan pemikiran berkembang dalam konteks sosial yaitu seseorang mendapatkan
1285
pemikiran tentang diri dan dunianya melalui interaksi sosial (Pervin, Cervone, & John, 2012, hlm. 432). Dengan demikian, self-confidence dapat berkembang melalui interaksi sosial. Hal ini pun didukung oleh Suhardita (2011) yaitu, peningkatan self-confidence dilakukan melalui kegiatan yang didalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok. Hal ini sesuai dengan salah satu karakteristik khusus model PBLmH yaitu kolaborasi. Siswa berkolaborasi dengan siswa lainnya untuk saling memotivasi satu sama lain agar keterlibatan siswa terus meningkat secara berkelanjutan dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, dalam model PBLmH melibatkan proses berpikir reflektif. Proses berpikir reflektif terjadi pada fase 3 ketika siswa memeriksa kembali pemecahan masalah yang dilakukannya dan dikuatkan pada fase 5 yaitu menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah. Proses berpikir reflektif ini akan mengembangkan kesadaran siswa mengenai kemampuan yang dimilikinya serta mengontrol kemampuan tersebut. Siswa akan menyadari efektifitas strategi yang digunakan sehingga ketika dihadapkan pada permasalahan baru siswa dapat menentukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan dengan benar. Dalam hal ini siswa mengevaluasi tentang dirinya, berpikir tentang kognisinya (berpikir reflektif). Ketika siswa menyadari kemampuan yang dimiliki dan meyakininya maka akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa ketika memecahkan masalah matematika. Sebagaimana makna self-confidence yaitu keyakinan siswa SD terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam pembelajaran matematika. Keyakinan tersebut mempengaruhi bagaimana siswa berpikir, merasa, dan bertindak terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Selain itu, dengan menyadari akan kemampuan yang dimilikinya, siswa pun akan berpikir rasional dan bersikap realistis, dan jujur. Hal tersebut akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa. Sebagaimana aspek percaya diri yang dikemukakan oleh Lauster yaitu kesadaran diri, objektif, optimis, bertanggung jawab, rasional dan realistis (Ghufron & Rini, 2011, hlm. 35-36). SIMPULAN Hasil dari penelitian ini yaitu peningkatan self-confidence siswa yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model PBLmH sama dengan siswa yang yang mendapat pembelajaran dengan menerapkan model DI. DAFTAR RUJUKAN Arends, R. I. (2008). Learning to Teach. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar Isi untuk Satuan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP. Ghufron & Rini, R.S. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hannula,M. S., Maijala, H., & Pehkonen, E. (2004). Development Of understanding and self-confidence in mathematics; Grades 5–8. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (hlm. 17-24). Martyanti, A. (2013). Membangun Self-Cofidence Siswa dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Solving. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (hlm. 15–22). [Online].
1286
Diakses dari http://eprints.uny.ac.id/10726/.../P%20-%203.pdf. Pervin, L.A., Cervone, D., & John, O.P. (2012). Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian. Edisi Kesembilan. Jakarta: Kencana. Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas, Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas, Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Schunk, D.H. (2012). Learning Theories an Educational Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suhardita, K. (2011). Efektifitas Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa. [Online]. Diakses dari http://jurnal.upi.edu. Suhendri, H. (2012). Pengaruh Kecerdasan Matematis-Logis, Rasa Percaya Diri, dan Kemandirian Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika (hlm. 396-315). Yogyakarta: UNY. Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Common Textbook). Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI, Bandung. Suherman, E., dkk. (2003) Evaluasi Pembelajaran Matematika. (Individual Textbook). Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI, Bandung. Tan, O.S. (2003). Problem-Based Learning Innovation: Using Problems to Power Learning in The 21st Century. Singapure: Seng Lee Press.
1287
PENERAPAN COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Nanang Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP Garut E-mail:
[email protected] Abstract From some reports, the Indonesian students looked difficult to conduct bermatematika. One alternative to overcome these difficulties is through a computer-based contextual approach to conditioning the way students learn by experiencing itself in accordance with the real everyday life (daily life) instead of memorizing and students da-pat develop their potential independently and creatively. For that matter, this paper is intended to develop and design a programming model based CAI as a contextual learning model to improve students' skills in bermatematik. Based on the results of the study of theory and discussion, we concluded that through the application of CAI-Contextual in mathematics learning is expected to: (1) overcome the lack of ability to think mathematically students, (2) reduce the lack of effectiveness of the learning model used by teachers in maximizing the potential that exists in students , (3) improve the understanding of the facts are studied, (4) improve the quality of the character of the students to the issues of everyday life, and (5) skilled solve the problems of everyday life. Keywords: CAI, Contextual, Mathematics SD PENDAHULUAN Isu lemahhnya siswa Indonesia dalam bermatematika, khususnya siswa kelas VIII SMP terdapat dalam laporan TIMSS (Salirawati, 2013) bahwa ratarata skor prestasi matematika siswa Indonesia pada TIMSS tahun 2011 berada pada kategori Low International Benchmark atau di bawah skor rata-rata internasional. Selain itu, hasil temuan IMSTEP-JICA (Suryadi, 2005) bahwa siswa di Kota Bandung memandang sulit untuk melakukan kegiatan bermatematika (jastifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah, menemukan generali-sasi atau konjektur, dan menemukan hubung-an antara data-data atau fakta-fakta yang diberikan). Lemahnya siswa SMP dalam bermatematika, ada kemungkinan salah satunya diakibatkan oleh lemahnya penguasaan konsep matematika siswa waktu di Sekolah Dasar (SD). Hal ini didasarkan pada teori Jerome S. Bruner (Ruseffendi, 1991) bahwa pembelajaran matematika menerapkan pendekatan spiral, dimana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu dikaitkan atau dihubungkan dengan topik sebelumnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk dapat memahami dan mempelajari suatu topik matematika berikutnya. Topik baru yang dipelajari merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. Sehingga kalau siswa waktu di SD-nya kurang menguasai atau memahami konsep matematika, maka siswa tersebut akan mengalami kesulitan bermatematika di SMP.
1288
Di Indonesia, sebaran umur siswa SD pada umunya antara 7 s.d 13 tahun. Menurut teori perkembangan mental dari Jean Piaget sebaran umur tersebut berada pada tahap operasi kongkrit. Sedangkan menurut teori Jerome S. Bruner, sebaran usia siswa tersebut berada pada mode simbolik. Pada tahap operasi kongkrit, pada umumnya anak-anak dapat memahami operasi (logis) dengan bantuan benda-benda kongkrit. Sedangkan pada mode simbolik, siswa sudah bisa melakukan operasi mental (Ruseffendi, 1991). Jadi pada tahap operasi kongkrit anak dapat melakukan tindakan atau perbuatan mental mengenai kenyataan dalam kehidupan nyata, anak tidak perlu bantuan benda kongkrit dalam melakukan operasi. Hal di atas perlu diketahui oleh guru SD yang mengajar matematika atau dosen matematika di PGSD. Guru SD atau dosen matematika PGSD harus mengetahui kemampuan apa yang sudah dimiliki anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum diketahuinya. Ruseffendi (1991) menjelaskan bahwa anak-anak pada tahap operasi kongkrit dapat dikelompokan ke dalam taraf berfikir kongkrit (selalu memerlukan bantuan benda-benda kongkrit), taraf berfikir semi kongkrit (dapat mengerti bila dibantu dengan gambar benda kongkrit), taraf berfikir semi abstrak (dapat mengerti dengan bantuan diagram, torus, dan semacamnya), dan taraf berfikir abstrak (dapat mengerti tanpa bantuan benda-benda nyata maupun gambarnya). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemberian konsep matematika terhadap siswa SD dimulai dengan benda-benda konkrit kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam matematika. Jadi, dalam pembelajaran matematika, terutama untuk kelas rendah diperlukan tahapan mulai dari tingkat konsep-pengaitan-simbol. Ketiga tahap tersebut lebih jelasnya disajikan dalam gambar berikut.
Sumber: Darmayasa (2012) Salah satu alternati hnya siswa dalam bermatematika adalah melalui pembelajaran kontekstual. Hal ini didasarkan saran Depdiknas (2006) bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Menurut Sabandar (2003), pembelajaran matematika yang dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi dinamakan pembelajaran kontekstual. Tugas guru dalam kelas kontekstual ini adalah membantu siswa mencapai tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa.
1289
Sementara Supriadi (Yaniawati, 2010) menyarankan bahwa untuk meningkat-kan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran dan pengelolaan system pendidikan perlu mengaitkan atau memanfaatkan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi selain sebagai upaya mengatasi permasalahan teknis pembelajaran, juga sebagai media pembelajaran dan sumber ajar. Melalui proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi, diharap-kan siswa dapat mengembangkan diri secara mandiri dan kreatif. Apabila hal ini terjadi, maka siswa mendapatkan kesempatan melakukan proses konstruksi suatu pengetahuan baru melalui interaksi dengan siswa lainnya dan pendidik melalui sarana teknologi informasi (TI). Seiring dengan perkembangan dunia TI, Menurut Darmawan (2010:3335) berkembanglah berbagai prosedur pengem-bangan dan peranan prinsip multimedia dalam pembelajaran dengan berbantuan komputer. Semua pihak pasti membutuhkan bagaimana menerapkannya, khususnya dalam konteks inovasi atau revolusi pembelajaran. Dengan demikian prosedur tersebut mengembangkan multimedia interaktif. Dalam mengembangkan bahan ajar interaktif yang sering dikenal dengan pembelajaran berbasis komputer, kemudian pandangan nama seperti Computer Assistance Instruction (CAI), Computer Based Instruction (CBI) dan lain sebagainya tiada lain adalah hasil inovasi. Artinya para guru harus sadar bahwa inovasi dan adopsi terhadap perkembangan keilmuan dibidang pendidikan dan pembelajaran ini sangat penting. Berdasarkan uraian di atas, penerapan pendekatan kontekstual melalui pembelajaran berbasis komputer perlu mendapat pertimbangan untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika di SD. Hal ini diharapkan melalui pendekatan kontekstual berbasis komputer dapat mengkondisikan siswa belajar dengan cara mengalami sendiri sesuai dengan kehidupan nyata sehari-hari (daily life) bukan menghapal dan siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara mandiri dan kreatif. Untuk hal itu, penulisan makalah ini ditujukan untuk mengembangkan dan mendesain model pemrograman CAI berbasis kontekstual sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa SD dalam bermatematik. COMPUTER ASSISTED INSTRUCTION (CAI) Seiring dengan semakin majunya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mengubah model dan pola pembelajaran pada dunia pendidikan saat ini. Ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 68 tahun 2014 bahwa dalam rangka mewujudkan suasana pembelajaran dan proses pembelajaran aktif, diharapkan dosen memanfaatkan berbagai sumber belajar agar potensi siswa dapat dikembangkan secara maksimal melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat mengeksplorasi sumber belajar secara efektif dan efisien. Ada banyak sistem pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan alat bantu komputer, salah satunya yaitu pengajaran berbantuan komputer atau Computer Aided Instruction (CAI). Menurut Darmawan (2010), program CAI merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi materi pelajaran. Sementara Harjanto (2012) menjelaskan bahwa model-model CAI terdiri dari: Drill and practice, simulasi, tutorial, dan permainan.
1290
Berkaitan dengan pentingnya penggunaan teknologi dalam kegiatan pembelajaran, Russell dan Sorge (Pitler, Hubbell, Kuhn, dan Malenoski, 2007:3) mengatakan: ”… how technology can give students ‘more control over their own learning’, facilitating the analitical and critical thinking and the collaboration championed in the construc-tivist approach to education”. Kesimpulan mereka bahwa mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran cenderung untuk merubah kelas yang lingkungannya didominasi oleh para guru menjadi suatu lingkungan yang lebih berpusat kepada siswa. Sehingga diharapkan lebih mampu menggali dan mengembangkan potensi para siswa. Manfaat positif komputer dalam bidang pendidikan dan pengajaran telah banyak dilaporkan hasilnya. Stepp-Greany (2002) menemukan beberapa hal, antara lain: (1) sebagian besar siswa setuju bawa laboratorium komputer membuat pelajaran lebih menarik; mereka juga merasakan bahwa penggunaan CD-ROM menyenangkan; dan (2) siswa merasa percaya diri mengerjakan kegiatan-kegiatan berbasis tugas (task-based activities). Selanjutnya Skinner dan Austin (1999) menyimpulkan bahwa model pembelajaran computer conferencing bermanfaat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dengan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka. Berdasarkan kutipan di atas, penulis memandang penting untuk mengembangkan program CAI dalam pembelajaran matematika SD. Sedangkan model CAI yang akan dikembangkan adalah model permainan berbasis kontekstual yang disesuaikan dengan perkembangan mental siswa SD. Hal ini dimaksudkan agar siswa SD lebih mudah mempelajari materi pelajaran matematika lewat permainan dengan menggunakan komputer. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Pandangan yang mendasar dalam proses pembelajaran khususnya pembelajar-an matematika adalah bahwa apa yang dipelajari benar-benar bermakna dalam kehidupan. Konsep yang dipelajari menggu-nakan latar belakang budaya, keluarga, atau dalam sistem kehidupan sehari-hari, dimana siswa dapat mendengar, melihat, mengalami, dan sekaligus bermanfaat dalam kehidupan, akan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan siswa sehari-hari. Pengertian tentang pembelajaran kontekstual atau CTL diungkapkan oleh Johnson (2002:25) sebagai berikut. “The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connec-tions, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment”. Kutipan di atas menurut Nurhadi dan Senduk (2003:12) mengandung arti bahwa sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubung-kannya dengan konteks kehidupan mereka seharihari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, kehidupan sehari-harinya,
1291
dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen autentik. Tujuan pembelajaran kontekstual menurut Rusgianto (2002) pada dasarnya adalah membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain dan dari satu konteks ke konteks yang lain. Dalam pembelajaran kontekstual, menurut Borko dan Putman (2001) tugas dosen adalah membantu siswa mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu dosen lebih banyak berurusan dengan strategi siswa dalam belajar daripada memberi informasi. PEMBAHASAN Berikut ini disajikan langkah-langkah kegiatan guru dan siswa SD dalam kegiatan pembelajaran menggunakan CAI-kontekstual pada topik “Mengenal Perkalian”. Media pembelajaran yang digunakan adalah software Lab Virtual Matematika SD berupa Alat Peraga Interaktif Matematika Kartu Perkalian. Media tersebut diproduksi oleh Bina Sumber Daya (BSD) MIPA Tahun 2007 yang digagas oleh Gunawan Ari Hantoro. Adapun langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut. 1. Pendahuluan a. Guru dan siswa melakukan pembentukan kelompok untuk menciptakan komunitas belajar. Satu kelompok sekitar 4 atau 5 siswa dan 1 komputer. b. Guru menginformasikan tentang pendekatan pembelajaran yang akan digunakan serta aturan mainnya. c. Guru menginformasikan tentang tugas-tugas yang akan diberikan dan cara mengerjakannya dengan meng-gunakan software lab virtual berupa alat peraga interaktif matematika untuk kartu bilangan. d. Guru menjelaskan indikator-indikator yang hendak dicapai setelah selesai pembelajaran, yaitu: (1) mengenal sifat perkalian dengan bilangan 2, 3, 4, dan 5, (2) Menentukan hasil perkalian melalui permainan, dan (3) menyelesaikan soal cerita perkalian. e. Guru memotivasi siswa atau melakukan apersepsi berupa peng-ajuan beberapa pertanyaan secara lisan kepada siswa untuk menggali pengetahuan awal siswa. Misalnya guru bertanya kepada siswa tentang banyak roda sebuah sepeda motor. Selanjutnya guru bertanya banyaknya seluruh roda kalau sepeda motornya ada 5. Guru bertanya kepada siswa tentang cara menghitung banyak roda dari kelima sepeda motor tersebut. Guru bertanya lagi kepada siswa sampai diketemukan cara menghitung jumlah roda dari kelima motor tesebut dengan menggunakan sifat perkalian. f. Pelatihan berupa: cara belajar dalam kelompok, cara menggunakan lab virtual matematika berupa media interaktif kartu perkalian dalam komputer, diskusi kelas, mengemukakan pertanyaan, dan cara menjawab pertanyaan. Cara menggunakan lab virtual tersebut adalah sebagai berikut.
1292
Pertama masukkan CD Lab Virtual matematika interaktif pada komputer. Setelah muncul file berupa gambar kepala kucing, klik gambar kepala kucing tersebut.
Setelah di-klik yang diberi tanda lingkaran merah, akan muncul pada layar tentang informasi penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari seperti tampak pada gambar berikut.
Selanjutnya akan muncul pada layar monitor gambar berikut.
Selanjutnya klik gambar tombol start untuk menjalankan program tersebut. 2. Diskusi a. Menyajikan masalah kontekstual 1) Guru menyajikan materi pela-jaran dan masalah kontekstual untuk topik perkalian dengan bilangan 2 pada software pembelajaran sebagai berikut. “Hitunglah jumlah seluruh roda dari 5 buah sepeda, lalu buatlah menjadi konsep perkalian!”.
1293
2) Guru mepersilahkan siswa untuk mempelajari aturan dalam mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan masalah-masalah kontekstual dalam software Pembelajaran tersebut secara sepintas sebelum dimulai diskusi kelompok. 3) Guru sebagai fasilitator memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. b. Memahami masalah kontekstual 1) Siswa diskusi pada kelompoknya masing-masing, sharing ide dengan temannya. 2) Pada saat siswa berdiskusi, guru berkeliling mengunjungi setiap kelompok untuk memberikan bantuan pada kelompok yang mengalami kesulitan dalam menjalankan sofware pembela-jaran atau dalam mengerjakan tugas. Guru memberikan timbal balik (feedback). c. Menyelesaikan masalah kontekstual 1) Guru memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan model dan cara siswa sendiri. Salah satu alternatif yang diharapkan, siswa dalam kelompok menyelesaikan masalah kontekstual sebagai berikut. Pertama salah seorang siswa siswa perwakilan dari kelompok mengetikan “10” seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Selanjutnya, secara interaktif siswa mengetikan “5” seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Terakhir, secara interaktif siswa untuk mengetikan “10” seperti tampak pada gambar di bawah ini.
1294
Selanjutnya guru meminta tiap kelompok untuk mencari hubungan antara 2 + 2 + 2 + 2 + 2 dengan 5 x 2, karena kedua-duanya hasilnya sama, yaitu 10. 2) Guru mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang menga-lami kesulitan menyelesaikan masalah. 3) Melalui pemodelan, guru berupaya untuk meningkatkan kesadaran diri kognitif siswa dan mengevaluasi hasil jawaban masalah kontekstual. 4) Melalui pendekatan inkuiri, siswa menggunakan model pemecahan masalah yang tepat dengan mempraktekkan penggu-naan strategistrategi kognitif untuk menemukan jawaban. d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. 1) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusi-kan jawaban mereka. 2) Setelah diskusi kelompok selesai, guru mempersilahkan kepada setiap kelompok secara ber-giliran untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya ke depan. Selanjutnya didakan diskusi kelas. e. Menyimpulkan 1) Melalui metode penemuan, guru membantu siswa untuk menarik kesimpulan sebagai berikut. “= 5 x 2 artinya adalah: 2 + 2 + 2 + 2 + 2”. 2) Setelah melakukan perkalian dengan bilangan 3, 4, dan 5 dengan menggunakan software pembelajaran, guru dan siswa sama-sama menyimpulkan pengertian perkalian, yaitu: “perkalian adalah penjumlahan berulang sebanyak pengali bilangan pertama”. Lalu guru membuat contoh, misalnya: “6 x 3 artinya: 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3”, bukan: “6 + 6 + 6”, meskipun hasilnya sama. 3) Setelah selesai membuat kesimpulan dengan benar yang bertujuan untuk menanamkan sifat-sifat dan pengertian perka-lian. Guru mengecek pemahaman siswa melalui penugasan berikut-nya. Siswa mengerjakan tugas yang ada pada menu permainan seperti tampak pada gambar di bawah ini.
1295
Selanjutnya akan muncul salahsatunya seperti gambar berikut.
Pada gambar di atas, siswa diminta mengganti setiap tanda tanya “?” dengan cara meng-klik salah satu tombol a, b, c, atau d yang sesuai dengan jawaban yang benar. 4) Siswa menuliskan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang belum dipahami dan bertanya secara lisan pada teman satu kelas atau guru. 5) Selanjutnya untuk mengecek keterampilan atau pemahaman konsep siswa tentang topik perkalian, guru meminta siswa untuk mengklik tombol menu dan meng-klik menu “Soal cerita perkalian” seperti tampak pada gambar berikut.
Selanjutnya akan muncul salahsatunya seperti gambar berikut.
Pada gambar di atas, siswa diminta menjawab pertanyaan dengan cara meng-klik salah satu tombol a, b, c, atau d yang sesuai dengan jawaban yang benar. 3. Kemandirian Siswa secara mandiri menyelasaikan soal-soal cerita perlaian yang lainnya dalam software pembelajaran. 4. Tahap Refleksi dan Merangkum a. Melalui tanya jawab (debriefing) guru melakukan refleksi. b. Apabila proses pemecahan masalah sudah benar, kemudian guru mengajukan pertanyaan pada siswa, misalnya: bagaimana jika…?, apakah ada cara lain? Coba kerjakan dengan cara lain!
1296
c. Siswa menjelaskan secara lisan maupun tulisan bagaimana menggunakan strategi spesifik untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. 5. Menutup Pelajaran Guru mengulas kembali tentang konsep yang baru saja dipelajari, kemudian mengarahkan siswa untuk merangkum materi pelajaran yang dianggap penting. Guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah. SIMPULAN Berdasarkan hasil kajian teori dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa melalui penerapan CAI-Kontekstual dalam pembelajaran matematika diharapkan sebagai berikut. 1. Dapat mengatasi rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa. 2. Dapat mengurangi kekurang efektifan model pembelajaran yang digunakan guru dalam memaksimalkan potensi yang ada dalam diri siswa. 3. Siswa dalam belajar matematika tidak hanya menghafal (drill), namun siswa memahami atau mengerti dari fakta-fakta dipelajari. Sebagai contoh, siswa hafal bahwa 3 x 2 = 6, tetapi tidak mengerti bahwa 3 x 2 itu artinya 2 + 2 + 2 bukan 3 + 3. 4. Dapat meningkatkan kualitas karakter siswa terhadap isu-isu kehidupan sehari-hari. 5. Siswa terampil menyelesaikan masalah-masalah kehidupan sehari-hari. DAFTAR RUJUKAN Borg, W.R.& Gall, M.D. (1979). Educational Research: An introduction. New York & London: Longman. Borko, H. dan Putman, R.T. (2001). The Role of Context in Teacher Learning and Teacher Education. Contextual Teaching and Learning: Preparing Teacher to Enhance Student Success in The Workplace and Beyyond. Washington, DC.: ERIC CTTE. Darmawan, D. (2010). Pemrograman Pembelajaran Berbasis Computer Assisted Instruction. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Depdiknas (2006). Kurikulum Matematika SMP/M.Ts. Jakarta: Dirjend Manajemen Dikdasmen. Hantoro, GA. (2007). Lab Virtual Matema-tika. Bina Sumber Daya MIPA. Johnson, EB. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. NCTM (2000). Principles and Standard for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Nurhadi dan Senduk, AG. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UMPRESS. Pitler, H., Hubbell, ER., Kuhn, M., Malenoski, K. (2007). Using Technology with Classroom Instruction that Works. ASCD and McREL. Printed in USA. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito. Rusgianto, H.S. (2002). Contextual Teaching and Learning. Makalah pada Seminar Nasional FPMIPA UNY, Yogyakarta.
1297
Sabandar, J. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. UPI Bandung: Makalah: tidak diterbitkan. Salirawati, D. (2013). Strategi dalam menyongsong implementasi kuriku-lum 2013 [on line]. Tersedia: www. usd.ac.id/fakultas/pendidikan /f1l3/PLPG/Kur%20 2013%201.ppt. Yaniawati, R.P. (2010). e-Learning: Alternatif Pembelajaran Kontemporer. Bandung: Arfino
1298
INOVASI DALAM PEDAGOGI MATEMATIK ABAD KE-21 Nor Hayati Bt Hj Mt Ali Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman, E-mail:
[email protected] Abstrak Berdasarkan Pelan Pembangunan Pendidikan 2013 – 2025 terdapat 11 Anjakan Transformasi Pendidikan Negara. Kesemua anjakan tersebut adalah berhubung dengan transformasi yang perlu dilakukan bagi meningkatkan pendidikan di Malaysia. Salah satu daripada anjakan tersebut adalah, “Memanfaatkan Teknologi Maklumat & Komunikasi (ICT) Bagi Meningkatkan Kualiti Pembelajaran di Malaysia”. Hal ini juga selaras dengan tujuh domain Transformasi Institut Pendidikan Guru (IPG) yang telah dikemukakan oleh Tuan Rektor IPGM, antaranya ialah “Memantapkan Kurikulum” dan “Meningkatkan Aktiviti Penyelidikan dan Inovasi”. Saranan Perdana Menteri Malaysia juga, “...sudah sampai masanya sistem pendidikan negara perlu dirombak memandangkan Malaysia memerlukan perubahan terutama dalam aspek mengajar dan cara belajar”. Selaras dengan dasar kerajaan tersebut, maka sudah tiba masanya pengajaran dan pembelajaran (P&P) dalam bilik darjah ditransformasikan daripada kaedah konvensional kepada kaedah terkini dan lebih canggih, selaras dengan kemahiran pedagogi abad ke-21, iaitu penggunaan ICT dalam bilik darjah agar P&P lebih berkesan dan tidak membosankan. Justeru, “Inovasi dalam Pedagogi Matematik Abad Ke-21” yang dikemukakan ini menggabungkan dua disiplin ilmu, iaitu Pedagogi Matematik dan ICT dengan melibatkan perisian “The Geometer’s Sketchpad Versi 4.06”. Inovasi ini sangat bersesuaian untuk diaplikasikan oleh para pendidik yang mengajar Matematik Tingkatan 5, khusus bagi tajuk “Bumi Sebagai Sfera”. Melalui inovasi ini, para guru dapat menerangkan konsep dengan lebih mudah dan jelas, manakala para pelajar dapat menyelesaikan masalah dengan lebih cepat dan tepat. Hasil kajian yang dijalankan, didapati min skor pencapaian telah meningkat sebanyak 22.07%, iaitu daripada 31.04% semasa pre-test kepada 53.11% semasa post-test. Manakala min masa menjawab pula telah berkurang sebanyak 20.74 minit, iaitu daripada 64.63 minit semasa pre test kepada 43.89 minit semasa post test. Sesungguhnya aplikasi inovasi ini telah memberi impak positif kepada guru dan pelajar yang terlibat dalam P&P matematik. Kata kunci : The Geometer’s Sketchpad, Bumi Sebagai Sfera, Inovasi, Pedagogi Matematik, Transformasi PENDAHULUAN Pendidikan abad ke-21 ialah pendidikan yang berdaya saing seiring dengan kemajuan teknologi maklumat pada masa kini. Oleh itu, pada masa kini negara di seluruh dunia sedang berlumba-lumba untuk melaksanakan pembaharuan terhadap pendidikan bagi menghasilkan generasi yang celik teknologi maklumat dan mampu berdaya saing secara sihat agar selari dengan kehendak pendidikan abad ke-21 ini. Menurut laporan UNESCO (Report of the International Commission on Educational for the twenty first century),
1299
pendidikan berterusan sepanjang hayat harus berasaskan kepada empat tonggak utama, iaitu: Learning to know (belajar untuk tahu); Learning to do (belajar untuk buat); Learning to leave together (belajar untuk hidup bersama) dan Learning to be (belajar untuk menjadi). Pendidikan abad ke-21, dikaitkan dengan pelbagai kemahiran yang diperlukan pada era globalisasi ini. Salah satu kemahiran yang dimaksudkan ialah aplikasi Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT) dalam pengajaran dan pembelajaran (P&P) di sekolah agar dapat melahirkan guru dan pelajar supaya lebih kreatif dan inovatif melalui pelbagai bahan atau projek yang dihasilkan. Kreativiti dan inovasi juga merupakan salah satu kemahiran yang sangat dititik beratkan dalam pendidikan abad ke-21 ini (rujuk Rajah 1). Seterusnya kenyataan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak (Berita Harian, 14 Mac 2012), dipetik sebagai "…sudah sampai masanya sistem pendidikan negara perlu dirombak memandangkan Malaysia memerlukan perubahan terutama dalam aspek mengajar dan cara belajar". Kenyataan ini sangat selari dengan projek yang akan dilaksanakan ini, iaitu melibatkan transformasi dalam aspek mengajar dan belajar guru dan pelajar dalam kelas.
Rajah 1. Kemahiran Pembelajaran Abad Ke-21
1300
Bertitik tolak daripada kenyataan-kenyataan di atas maka penyelidik telah menjalankan satu kajian berkaitan dengan inovasi dalam pendidikan matematik, iaitu “Inovasi dalam Pendidikan Matematik Abad Ke-21”. Dalam kajian ini penyelidik memberi tumpuan kepada pedagogi untuk P&P matematik bagi topik "Bumi Sebagai Sfera" yang merupakan salah satu topik yang terdapat dalam Sukatan Pelajaran Matematik Tingkatan 5. Topik ini merupakan suatu topik yang agak abstrak dan para guru sering menghadapi kesukaran dalam menerangkan konsep-konsep longitud, latitud dan kedudukan sesuatu tempat pada permukaan bumi. Justeru, pedagogi terkini ini bertujuan untuk membantu dan memudahkan para guru matematik menyampaikan sesuatu konsep yang abstrak bagi mencapai semua hasil pembelajaran yang telah ditetapkan dalam sukatan pelajaran matematik bagi topik “Bumi Sebagai Sfera”. ISI Kajian yang dihasilkan ini berkaitan dengan kreativiti dalam pedagogi matematik dan juga Teknologi Maklumat dan Komunikasi yang bersesuaian sekali dengan konteks pendidikan abad ke-21. Pedagogi yang dikemukakan ini lebih kepada pengaplikasian perisian The Geometer's Sketchpad (GSP) versi 4.06. GSP ini, merupakan salah satu perisian yang telah mendapat lesen daripada Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) untuk diguna pakai oleh warga pendidik di bawah KPM dan direka khusus untuk pengajaran dan pembelajaran matematik, terutamanya dalam bidang geometri. Menurut Noraini Idris (2007) perisian GSP merupakan satu perisian dinamik yang membolehkan pelajar menyiasat, meneroka dan memahami matematik dengan cara berbeza yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh kemudahan tradisional atau perisian Matematik lain. Hal sedemikian juga selari dengan pendapat Langhorne et al. (1989), iaitu penggunaan komputer secara bersepadu dan kreatif merupakan satu alat yang amat berkesan bagi mempelajari matematik terutama apabila ianya melibatkan konsep yang agak kompleks. Seterusnya beliau mencadangkan agar komputer sepatutnya disepadukan dalam arahan matematik bagi membolehkan pelajar mempelajari konsep matematik dengan lebih cepat dan kurang masa diperuntukkan untuk mempelajari matematik tetapi lebih masa untuk membuat matematik. Kebiasaannya pengajaran dan pembelajaran (P&P) matematik dalam bilik darjah berlaku secara satu hala sahaja, iaitu secara talk and chalk, di mana guru lebih banyak bercakap dan pelajar lebih banyak mendengar. Tetapi dengan terhasilnya kajian ini, P&P boleh berlaku secara dua hala, di mana guru bertindak sebagai fasilitator dan para pelajar akan meneroka sendiri secara hands-on sehingga mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan. P&P sebeginilah yang diharapkan dalam pedagogi abad ke-21. Selain itu, sebelum ini guru juga banyak menggunakan papan hitam dan kapur tulis sahaja semasa menyampaikan isi pelajaran, tetapi hal ini dapat dikurangkan kerana para guru dan pelajar dapat mengaplikasikan P&P melalui pelbagai peralatan canggih yang telah banyak dan mudah diperoleh di pasaran masa kini seperti komputer, ipad, tablet, LCD projektor, handphone dan sebagainya. Perisian The Geometer's Sketchpad (GSP) versi 4.06
1301
The Geometer’s Sketchpad (GSP) ialah suatu sistem perisian komputer yang dibina untuk mereka bentuk, meneroka dan menganalisis konsep matematik yang luas dalam bidang algebra, geometri, trigonometri, kalkulus dan lain-lain bidang yang bersesuaian. Pada asalnya perisian GSP telah dibangunkan oleh Nick Jackiw pada tahun 1991. Seterusnya, pada tahun 2004, perisian GSP versi 4.06 telah dikeluarkan lesen penggunaannya oleh Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) untuk diguna pakai oleh warga pendidik dan pelajar di semua institusi pendidikan di Malaysia. Sehubungan itu, sila rujuk kenyataan berkaitan dengan lesen penggunaannya melalui perisian GSP 4.06 (rujuk Rajah 2).
Rajah 2. Perisian The Geometer’s Sketchpad 4.06 dan Kebenaran Aplikasi Oleh KPM Pedagogi Topik “Bumi Sebagai Sfera” Melalui Aplikasi GSP 4.06 Dalam tajuk “Bumi Sebagai Sfera” terdapat empat objektif pembelajaran yang perlu dicapai oleh para pelajar. Antaranya Memahami dan Menggunakan Konsep Longitud, Memahami dan Menggunakan Konsep Latitud, Memahami dan Menggunakan Konsep Kedudukan Tempat dan Memahami dan Menggunakan Konsep Jarak Pada Permukaan Bumi untuk Menyelesaikan Masalah. Huraiannya adalah seperti berikut: Memahami dan Menggunakan Konsep Longitud Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep bulatan agung, meridian dan longitud yang terdapat pada permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 3), para pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep bulatan agung, meridian dan longitud pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengan longitud.
1302
Rajah 3. Modul Untuk Menentukan Longitud Bagi Sesuatu Titik Memahami dan Menggunakan Konsep Latitud Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep selarian latitud dan latitud yang terdapat pada permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 4), para pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep selarian latitud dan menentukan latitud pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengan latitud.
1303
Rajah 4. Modul Untuk Menentukan Latitud Bagi Sesuatu Titik Memahami dan Menggunakan Konsep Kedudukan Tempat Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep Kedudukan Tempat yang terdapat pada permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 5) para pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep kedudukan sesuatu tempat pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengannya.
1304
Rajah 5. Contoh Modul Menyatakan Kedudukan Suatu Titik Memahami dan Menggunakan Konsep Jarak Pada permukaan Bumi Satu modul pengajaran telah dihasilkan bagi menjelaskan konsep jarak pada permukaan bumi. Berpandukan modul ini (rujuk Rajah 6).
1305
Rajah 6. Modul Mencari Jarak Antara Dua Titik Para pelajar boleh menggunakan komputer dan perisian GSP 4.06 untuk meneroka sendiri sehingga dapat memahami dengan jelas konsep jarak dua tempat pada permukaan bumi dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengan jarak pada pada permukaan bumi. Seterusnya para pelajar menggunakan formula bagi menyelesaikan masalah berkaitan dengan halaju dan masa perjalanan antara dua titik pada permukaan bumi (rujuk Rajah 7).
1306
Rajah 7. Penyelesaian Masalah Melalui GSP 4.06
1307
Pelaksanaan Kajian Tindakan
Penulisan Proposal
Guru Mengajar Bumi Sebagai Sfera Menggunakan GSP
Pelaksanaan Post-Test
Semakan Proposal
Bengkel Penggunaan GSP
Analisis Keputusan
Pembentangan Proposal
Pelaksanaan Pre-Test
Laporan Analisis
Kemaskini Proposal Selepas di Bentang
Bina Soalan Pre-Test
Penulisan Laporan Kajian Tindakan
Cetakan Laporan
Perjumpaan dengan Guru untuk Perancangan Pelaksanaan di SMKSB
Guru Mengajar Tajuk "Bumi Sebagai Sfera" Dengan Kaedah Konvensional
Pembentangan Laporan Kajian Tindakan
Pengeditan Laporan Kajian Tindakan
Aktiviti di Sepanjang Pelaksanaan Kajian
1308
SIMPULAN Hasil kajian menunjukkan bahawa markah min skor pelajar sebelum inovasi diperkenalkan ialah 30.21%, manakala selepas inovasi dijalankan, markah min skor pelajar telah meningkat kepada 51.50%, iaitu peningkatan sebanyak 21.29%. Daripada markah yang diperoleh ini, jelas menunjukkan bahawa inovasi terkini yang telah diperkenalkan ini dapat meningkatkan penguasaan konsep longitud, latitud, jarak antara dua tempat pada permukaan bumi, halaju perjalanan dan sebagainya dalam topik ”Bumi Sebagai Sfera”. Hal ini sekaligus meningkatkan skor pencapaian matematik bagi tajuk ”Bumi Sebagai Sfera”. Manakala, dari segi masa pula terdapat perbezaan yang ketara antara masa yang diambil oleh para pelajar untuk menjawab soalan, iaitu penjimatan masa sebanyak 20.71 minit. Semasa pre test, min masa yang dicatat untuk menjawab soalan ialah 64.64 minit, tetapi setelah inovasi diperkenalkan, min masa yang dicatat oleh pelajar ialah 43.93 minit (rujuk Rajah 8). Dalam hal ini, sudah tentu akan memberi banyak manfaat kepada para pelajar, kerana terdapat lebihan masa dan seterusnya masa tersebut boleh digunakan untuk membuat semakan jawapan atau boleh diperuntukkan untuk menjawab soalan-soalan lain semasa peperiksaan berlangsung.
1309
Rajah 8. Perbandingan Skor dan Masa Antara Pre-Test dan Post-Test DAFTAR RUJUKAN Enthira & Melody Yeo. (2012). Mathematical - Expert @ Cerdik. Shah Alam: Cerdik Publication Sdn. Bhd. Kertas Soalan Peperiksaan Tahun-tahun Lepas SPM 2005-2011 Mathematics. (2012). Petaling Jaya. Sasbadi Sdn. Bhd. Key Curriculumn Bringing Math to life. Diperolehi Julai 22, 2012 dari http://www.keycurriculum.com/products/sketchpad. Mohd Azrone Sarabatin (2012, Ogos 24). Sekolah perlu lapor PPD masalah ICT. Berita Harian. hlm 14. Najib Razak. (2012, Mac 14). PM mahu perubahan aspek mengajar dan cara belajar sejajar tranformasi negara. Berita Harian. Najib Razak. (2010). Majlis Pelancaran Buku Laporan Tahunan GTP 2010. Diperolehi Mac Mac 14, 2012 dari http://portal.ikdn.gov.my/2011/03/majlis-pelancaran-buku-laporantahunan-gtp-2010/. Nor Hayati Hj Mt Ali, Azizah Aziz dan Azman Fadzil. (2012). Aplikasi GSP 4.06: Bumi Sebagai Sfera. Modul Pengajaran dan Pembelajaran tidak diterbitkan. Institut Pendidikan Guru Kampus Darulaman, Jitra, Kedah. Rozaili Mohd Ali. (2006). Mathematics Form 5. Selangor: Awan Metro (M) Sdn. Bhd. SPM Mathematics Topical Past Year Questions 2003 – 2011. (2012). Sabah: KNK Resources Enterprise. Spesifikasi Kurikulum Matematik Tingkatan 5. (2012). Kuala Lumpur: Kementerian Pelajaran Malaysia.
1310
MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN KARTU DOMINO 1)
Suci Hayati & 2)Irzal Anderson Universitas Jambi E-mail: 1)
[email protected] Abstract Math we use in everyday life. Realizing how close the math in everyday life, because it is important to learn. Learning math need to be designed with the creative so that students can attend fun learning situation. One that can be used to encourage students active in learning by using media dominoes. This article is written from the results of a classroom action research that has been done in October of the academic year 2011/2012 in the class IV SDN 80/1 Muara Bulian, which consists of three cycle. every cycle includes planning, implementation, observation, evaluation, and reflection. This study shows that the dominoes can enhance the activity of students in the learning process of mathematics. Keywords: active students, learning mathematics, dominoes PENDAHULUAN Pembelajaran matematika sering dianggap sulit bagi siswa, siswa sering merasa bosan dan tidak dapat berkonstrasi dalam pembelajaran matematika, siswa melakukan kegiatan yang lain ketika proses pembelajaran berlangsung sehingga guru tidak dapat menyampaikan materi secara maksimal. supaya dalam pembelajaran matematika siswa dapat mengikuti pembelajaran guru harus bisa mengetahui gaya belajar siswa. Menurut (Chatib, 2012:75)bahwa gaya belajar adalah respons yang paling peka dalam otak seseorang untuk menerima data atau informasi dari pemberi informasi dan lingkungannya. Informasi akan lebih cepat diterima otak jika sesuai dengan gaya belajar penerima informasi. Jika metode guru mengajar sesuai dengan gaya belajar siswa dia akan memahami materi dengan baik, begitu juga dengan pembelajaran matematika. Karena itulah memahami teori tentang bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pengajaran matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pembelajaran matematika yang efektif. Secara psikologis siswa sekolah dasar masih senang dengan permainan. Karenanya kita perlu menjembatani dengan peralatan-peralatan yang kongkrit. Benda-benda manipulatif membantu cara belajar mereka memahami konsepkonsep yang abstrak. Berbagai media belajar digunakan untuk membantu murid memahami konsep-konsep matematika ataupun fakta-fakta, prosedur, maupun operasi dalam matematika (Turmudi, 2012:13). Kartu domino adalah salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa. kartu domino dirancang untuk menjadikan siswa aktif dalam pembelajaran matematika. Sehingga pembelajaran akan bermakna. Siswa juga akan menjadi kreatif mengerjakan masalah perkalian dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil. Sehingga
1311
dengan menggunakan kartu domino dalam pembelajaran siswa dapat belajar dengan situasi yang menyenangkan dan motivasi yang tinggi. KEAKTIFAN DALAM MATEMATIKA Mengacu kepada UU No 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 dan 2 bahwa; (1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (2) Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Terlihat dari hal di atas terlihat bahwa pendidikan mensyaratkan peserta didik aktif dalam proses pembelajran, berdasarkan pancasila, UUD tahun 1945 yang berasal dari nilai-nilai agama, dan kebudayaan nasional untuk tanggap dalam perubahan zaman. Vygotsky (suryadi,2012:28) menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan berikut ini perlu dikembangkan: saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang. Kegiatan cendrung sukses jika siswa berbuat atau melakukan kegiatan yang nyata dalam kegiatan belajar, karena itu pembelajaran dilaksanakan untuk membuat siswa aktif. Pembelajaran aktif menekankan kepada pengalaman itu mengahsilkan produk atau hasil belajar, diekspresikan dalam unjuk kerja atau performance dan menunjang perilaku sikap dan nilai yang baik (Belen, 2007:2010). STRATEGI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN KARTU DOMINO Untuk menarik minat siswa dalam belajar matematika permainan kartu domino ini memiliki peranan yang baik. Misalnya kartu domino untuk hafal fakta dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, kartu domino untuk memahami pecahan belajar mensubsitusi, dan menghafal bangunbangun geometri. Banyaknya kartu dalam satu set disesuaikan dengan keperluan, yang penting bila kartu dimainkan seseorang dan semua kartu tersebut disambung-sambungkan menurut aturan permainannya kartu tersebut akan melingkar berupa lingkaran tertutup sederhana (Darhim, 1992: 314). Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran dengan menggunakan kartu domino sebagai berikut: (1) pada awal kegiatan guru mengucapkan salam, dan dilanjutkan dengan kegiatan absensi, apersepsi, eksplorasi pengalaman siswa yang berhubungan dengan perkalian yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, setelah itu guru memberi siswa motivasi tentang pentingnya belajar perkalian; (2) guru menyampaikan tujuan pembelajaran; (3) guru menyajikan materi perkalian dan menyampaikan bahwa peserta didik akan belajar menggunakan kartu domino; (4) siswa dibagi dalam kelompok
1312
kecil, setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang; (5) guru membagikan satu set kartu domino pada setiap kelompok; (6) setiap kelompok aktif dalam belajar menggunakan kartu domino; (7) permainan dapat diulang, setelah kartu domino dikocok kembali;(8) guru mengumpulkan kartu tiap kelompok; (9) untuk melihat keberhasilan dalam pembelajaran guru memberikan kuis kepada setiap individu. Pada prinsipnya perkalian sama dengan penjumlahan berulang, karena itu materi prasyarat yang harus dikuasi siswa sebelum mempelajari perkalian adalah penguasaan penjumlahan (Heruman, 2007:22). Dapat dilihat seperti contoh dibawah ini: 1. 2 x 3= 3 + 3 =6 2. 5 x 4= 4+4+4+4+4=20 3. 6 x 7= 7+7+7+7+7+7=42 4. 2 x 11= 11+11= 22
2x3
42
6x7
22
Contoh kartu domino untuk pemahaman perklaian HUBUNGAN KARTU DOMINO DAN KEAKTIFAN SISWA DALAM BELAJAR MATEMATIKA Pembelajaran matematika di SD dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut; a) Mulailah dari apa yang diketahui anak, bukan dari apa yang diketahui guru pengalaman dan pengamatan siswasehari-hari dapat dijadikan pijakan awal untuk mereka belajar matematika; b)Sajikan matematika dalam suasana menyenangkan, ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan, menyajikan matematika dalam suasana menegangkan atau menakutkan tidak menguntungkan dalam mengundang potensi intelektual siswauntuk belajar secara optimal; c) Beri siswa kesempatan sebanyakbanyaknya untuk berbicara, bekerja, dan menulis mengenai matematika, Berbicara, menulis, dan bekerja dalam bahasa dan cara mereka sehari-hari mengenai matematika bisa membantu meningkatkan pemahaman konsepkonsep abstrak matematika. Jika suatu fakta diperoleh siswamelalui bahasa dan pengalaman mereka merupakan cara yang ampuh untuk memahami konsep atau proses; d) Gunakan bahasa yang biasa (familier bagi anak) sebagai strategi awal; e). Padukan matematika dengan pelajaran lain; f) Manfaatkan rekayasa teknologi (kalkulator dan komputer); g) Gunakan media pembelajaran yang mudah diperoleh dan menarik; h) Biasakan menyelesaikan suatu permasalahan dengan pendekatan problem solving (Herman, 2008). Salah satu tujuan pengajaran matematika di sekolah adalah membentuk siswa agar mampu berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif. Pendekatan problem solving dalam belajar matematika akan melatih siswa untuk berpikir efektif dan strategis dalam menyelesaikan permasalahan. Oleh karena itu untuk membentuk nalar siswa dalam menganalisis dan menjawab permasalahanpermasalahan, kemampuan siswa dalam Pengajaran efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan bagi siswa Johson dan Rising (Darhim, 1992:6).
1313
Terlihat dari hal di atas bahwa pembelajaran matematika dimulai dengan kesiapan guru dapat meulai dari hal-hal yang disekitar siswa. Pembelajaran mensyaratkan peserta didik dapat aktif, dan juga menggunakan media yang membuat pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan, karena itu media kartu domino dapat digunakan dalam pembelajaran matematika sekolah dasar. METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan; yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Dimana setiap kali siklus berakhir peneliti melakukan refleksi bersama dengan guru kalaborator untuk mendiskusikan perbaikan untuk siklus berikutnya. Kehadiran peneliti adalah sebagai pelaksana perencana, dan pelaksana penelitain selama kegiatan penelitian tindakan kelas tersebut yang didampingi oleh guru kalaborator sebagai observer dalam setiap kali pembelajaran matematika menggunakan kartu domino. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN 80/1 Batanghari yang terdiri dari 20 orang, 10 orang siswa lelaki dan 10 orang siswa perempuan. Mereka berada pada usia 9-10 tahun. Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2011/2012 pada kompetensi perkalian di SDN 80/1 Batanghari yang terletak di Kecamatan Muara Bulian. Dalam kegiatan penelitian tindakan kelas ini keaktifan siswa dilakukan dengan melakukan observasi kepada setiap siswa dengan menggunakan instrumen keaktifan siswa sebagai berikut: Tabel 1. Indikator Keaktifan Siswa No. 1.
2
1314
Indikator Keaktifan Siswa bertanya
Mencari Hasil Perkalian
Deskriptor
Skor
1. Siswa tidak bertanya
0
2. Siswa bertanya tidak sesuai dengan materi 3. Siswa bertanya tidak tepat, sudah mengarah kepada materi 4. Siswa bertanya sesuai dengan materi, masih grogi 5. Siswa bertanya dengan benar
1
1. Siswa tidak mencari perkalian yang ada pada kartu domino 2. Siswa mencari perkalian, hasil salah, waktu mengerjakan lama 3. Siswa mencari hasil perkalian, hasil benar waktu mengerjakan lama 4. Siswa mencari hasil perkalian, hasil benar, waktu tepat 5. Siswa mencari hasil perkalian benar, waktu cepat
0
2 3 4
1 2 3 4
No. 3
Indikator Keaktifan Berdiskusi
4.
5
Melaporkan Hasil Kuis
Menyimpulkan Pelajaran
Deskriptor
Skor
1. Siswa tidak ikut berdiskusi
0
2. Siswa ribut pada waktu berdiskusi
1
3. Siswa ikut berdiskusi, tidak mengeluarkan pendapat 4. Siswa ikut berdiskusi dan mengeluarkan pendapat 5. Siswa berantusias dalam berdiskusi, mengeluarkan pendapat, dan dapat meecahkan permasalahan yang didiskusikan 1. Siswa tidak melaporkan hasil kuis
2
2. Siswa melaporakan nilai di bawah 65 3. Siswa melaporakan nilai 65-69
1
4. Siswa melaporakan nilai 70-79
3
5. Siswa melaporakan nilai diatas 80 1. Siswa tidak dapat menyimpulkan pelajaran 2. Siswa menyimpulkan pelajaran tidak sesuai dengan materi pelajaran 3. Siswa menyimpukan materi sesuai dengan materi tetapi masih terdapat kesalahan 4. Siwa menyimpulkan benar masih grogi 5. Siswa menyimpulkan pelajaran dengan benar
4
3 4
0
2
0 1 2 3 4
Pada penelitian ini selain melihat aktivitas siswa untuk diperbaiki di setiap siklus akan tetapi juga melihat perlakuan guru untuk diperbaiki dalam setiap siklusnya, berikut adalah lembaran kegiatan guru yang diamati oleh guru kalaborator: Tabel 2. Observasi Kegiatan Guru No. 1.
Indikator Kegiatan pembuka belajar siswa
Deskriptor
Skor
1. Guru tidak membuka pelajaran
0
2. Guru membuka pelajaran dengan langsung kepada materi 3. Guru membuka pelajaran dengan salam dan apersepsi akan tetapi tidak sesuai
1 2
1315
2
3
4.
1316
Kegiatan guru ketika siswa bermain domino
Komunikasi guru dengan siswa
Kegiatan Penutup
4. Guru membuka pelajaran dengan salam, menggunakan apersepsi yang sesuai, saat menyamapaikan guru tidak memotivasi siswa 5. Guru membuka pelajaran dengan salam, menggunakan apersepsi yang sesuai, saat menyamapaikan guru memotivasi 1. Guru tidak mengamati siswa
3
2. Guru mengamati siswa dari depan kelas 3. Guru berkeliling mengamati siswa bermain di dalam 4. Guru mengamati dan melihat kemampuan siswa perindividu pada tiap kelompok 5. Guru mengamati dan melihat kemampuan siswa perindividu pada tiap kelompok dan sesekali berdiskusi dengan siswa yang belum paham 1. Guru hanya diam ketika siswa bertanya 2. Guru mendengarkan tapi tidak menanggapai pertanyaan siswa 3. Guru mendengarkan dan menanggapai pertanyaan siswa, akan tetapi siswa tidak mengerti dengan jawaban guru 4. Guru mendengarkan dan menjelaskan jawaban sampai siswa memahami 5. Guru mendengarkan dan menjelaskan jawaban sampai siswa memahami, dan menumbuhkan motivasi untuk memecahkan masalah yang sama 1. Guru tidak memberikan penguuatan, dan umpan balik terhadap siswa. 2. Guru memberikan penutup yang tiak sesuai dengan materi pelajaran 3. Guru meminta siswa menyimpulkan materi, akan tetapi guru tidak mempedulikan kesalah siswa dalam menyimpulkan. 4. Guru memberikan penguatan kepada siswa dengan meminta siswa menyimpulkan serta guru memberikan
1
4
0
2 3 4
0 1 2
3 4
0 1 2
3
konfirmasi yang benar 5. Guru memberikan penguatan kepada siswa dengan meminta siswa menyimpulkan, guru memberikan konfirmasi serta motivasi untuk siswa tetap belajar
4
HASIL PENELITIAN Dari penelitian yang dilakukan dalam tiga siklus ini peneliti merekapitulasi menganai keaktifan siswa dan hasil belajar siswa agar diketahui bahwa dengan meningkatkan aktivitas siswa juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, yang akan disajikan pada tabel di bawah ini; Tabel 3. Rekapitualsi Keaktifan Siswa di Setiap Siklus No.
jenis kegiatan
1. 2.
siswa bertanya jumlah siswa yang mencari perkalian berdiskusi melaporkan hasil latihan refleksi dengan menyimpulkan pelajaran
3. 4. 5.
Penskoran: 0-39,9% 40-54,9% 55-69,9 % 70-84,5% 85-100%
: sangat kurang : kurang : cukup (C) : baik : sangat baik
siklus I % skor
siklus II % skor
36% 60%
E C
70% 72%
B B
siklus III % sko r 84% B 83% B
53% 78%
C B
73% 73%
B B
76% 81%
B B
64%
C
73%
B
89%
A
(E) (D) (B) (A)
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat prediket Penguasaan 86-100% sangat baik 76-85% baik 60-75% cukup 55-59% kurang kurang sekali 54% rata-rata nilai kelas jumlah siswa yang tuntas
jumlah siswa ditiap siklus siklus I siklus II siklus III 15 14 17 2 2 1 3 6 4 2 87 90 91 20 22 22
1317
SIMPULAN Kartu domino merupakan media pembelajaran yang dapat dirancang dan dipersiapkan sendiri untuk maksud dan tujuan yang sesuai dengan pembelajaran. Penggunaan media yang sesuai dan tepat, dapat memberikan pengalaman belajar yang dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan kemauan belajar pada peserta didik sehingga peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Belen, S. (2007). Kompetensi, Indikator dan Penilaian Dalam Belajar Aktif KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta:Bumi Aksara Chatib, M. (2012). Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak dan Pendidikan berkeadilan. Jakarta: kaifa Darhim. (1992). Workshop Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Heruman. (2010). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung:Rosdakarya Herman, T. (2004). Tren pembelajaran matematika pada era informasi global: [Online]. Tersedia di http\\192.168.8.203\upi\direktori\d - fpmipa\fak. pend. matematika dan ipa\tatang herman\artikel\artikel18.doc 13 [Diakses 17 Oktober 2013] Suparlan. (2009). PAKEM. Bandung: Rosdakarya. Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika, Bandung:Rizqi Turmudi.(2012). Matematika Landasan Filosofis, Didaktis, dan Pedagogis Pembelajaran Matematika Untuk Siswa Sekolah Dasar.Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI UU No.20 tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 dan 2 tentang sistem pendidikan nasional
1318
IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK ANAK USIA DINI MELALUI PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA I Gusti Komang Aryaprastya Agus, S.Pd., M.Hum. Universitas Pendidikan Indonesia Abstract Increasing success kinesthetic intelligence makes the future of the child to be more cheerful, because children who have experienced an increase kinesthetic intelligence, making children healthier, easy to adjust and full of confidence. Moreover, from an early age has been equipped with a dance experience that will have an impact on the flexibility of all the organs of the body, strengthens muscles and respiratory and Courageous. Kinesthetic intelligence is the ability to use all or part of the body to do something, build closeness to consolidate and convincingly, and support others, and using it to create a new form of expression. Some types of jobs requiring this intelligence is mechanical, trainers, craftsmen, athletes, actors, and dancers or choreographers. Children as the next generation in the arts tend to be not so familiar with the art tradition. They prefer movement new dances to the accompaniment of music dangdut and western songs with fashion Nudity and not in accordance with the ethics of oriental. To anticipate the boost interest and dancing talents in children should be fostered, nurtured and nurtured from an early age. This kindergarten is one of the appropriate container to introduce and develop the art of dance in Indonesia. Children as the future generation, preferably at an early age introduced various types of traditional arts in Indonesia is very rich. One solution offered by lifting Dance Archipelago as a material to be used as the theme of an interesting learning in kindergarten. Keywords: kinesthetic intelligence, kids dance archipelago, and early childhood PENDAHULUAN Anak usia dini merupakan anak berada pada masa peka, dimana anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensinya. Masa peka merupakan masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik maupun psikis yang siap merespon rangsangan yang diberikan oleh lingkungan, baik keluarga maupun sekolah. Masa peka ini dijadikan dasar dalam mengembangkan kemampuan fisik, motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, nilai agama, moral, dan seni. Oleh karena itu, diperlukan rangsangan yang sesuai dengan kebutuhan anak agar kebutuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal. Masa prasekolah merupakan masa yang paling ideal untuk tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dalam perkembangan fisik, emosi, persepsi, keluwesan, estetik dan kreativitas. Salah satu dalam perkembangan yang harus dimiliki oleh anak yaitu perkembangan estetik atau seni. Seperti yang dikemukan oleh Juju Masunah (2003) dalam tujuan pendidikan seni adalah “untuk menumbuhkan kemampuan mengapresiasi seni dan budaya bagi peserta didik. Melalui pendidikan seni fisik dan psikis siswa dapat dibantu perkembangannya secara seimbang. Selain itu diharapkan sikap apresiatif
1319
masyarakat, khususnya generasi muda dapat ditumbuhkan terhadap segala sesuatu mengenai seni budaya”. Perkembangan seni merupakan salah satu aspek untuk menumbuhkan potensi diri secara lebih utuh baik dalam menuangkan daya cipta kreasinya, gagasan, sensitivitas dan rangsangannya guna untuk melatih anak dalam kepekaan serta imajinasinya. Pentingnya perkembangan seni adalah untuk mengkomunikasikan bahasa seninya dan menjadikan anak lebih kreatif, dengan demikian perkembangan seni perlu dikembangkan sejak usia dini. Salah satu penunjang penting untuk perkembangan seni anak dengan cara memberikan rangsangan atau stimulus berupa pengalaman tari. Berdasarkan kategorinya ada empat pengalaman tari untuk anak usia dini, Richard Kraus (Juju Masunah, 2003) menyarankan bahwa : 1). Creative movement and movement skills, (gerak kreatif dan kemampuan gerak), 2). Rhythmic skills (related primarily to musical understandings and rhythmic competence), (kemampuan rhytmik), 3). The development of original individual or group dances, (pengembangan tari secara individu dan kelompok), 4). Learning dances, such as singing games, play parties, and folk and square dances. (belajar menari, nyanyian permainan, permainan, dan tari rakyat). Permasalahan di lapangan ditemukan bahwa pendidik anak usia dini pada umumnya, lebih suka melakukan kegiatan pembelajaran yang memfokuskan kegiatannya pada pengembangan kecerdasaan linguistik dan kecerdasaan logika. Kenyataan demikian ini terlihat pada sebagian besar pendidik anak usia dini pada kegiatan pembelajarannya, sebut saja baca, tulis dan hitung, yang menjadi model pembelajaran primadona pada sebagaian lembaga PAUD. Stimulasi pengalaman tari menurut sebagian besar pendidik usia dini belum dipahami benar manfaat dan tujuan yang sebenarnya di PAUD. Padahal tujuan pembelajaran tari di PAUD untuk mengembangkan segala aspek kognitif, bahasa, sosial, emosional dan nilai moral, terlebih pada aspek psikomotor halus dan psikomotor kasar. Keberhasilan anak TK dalam menyelesaikan tugas melakukan gerakan psikomotor kasar (menari) yang diberikan oleh guru dengan tepat dan efisien, hal ini dapat dikatakan bahwa siswa telah mencapai peningkatan kecerdasaan kinestetik. Kenyataan di lapangan yang terjadi di TK Labschool UPI, kegiatan pembelajaran tari anak yang bertema Nusantara dirasakan kurang maksimal, hal ini dikarenakan pembelajaran yang mefokuskan untuk kecerdasaan kinestetik terpusat pada pembelajaran senam dan pencak silat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memiliki ketertarikan untuk memilih fokus kajian ini adalah “Implementasi Kecerdasaan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Pembelajaran Tari Anak Nusantara” Berdasarkan penjelasan di atas ternyata, kecerdasaan kinestetik yang merupakan bagian dari 8 kecerdasaan, yang masih jarang menjadi pusat perhatian oleh pendidik anak usia dini. Padahal menurut Gardner, masih banyak kecerdasaan lain yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Gardner, menjelaskan berbagai jenis kecerdasaan diantaranya : kecerdasaan lingustik, kecerdasaan logika, kecerdasaan musikal, kecerdasaan spasial, kecerdasaan interpersonal, kecerdasaan intrapersonal, kecerdasaan naturalis, dan kecerdasaan kinestetik. Kecerdesaan kinestetik merupakan kecerdasaan
1320
kemampuan untuk menggunakan seluruh atau sebagian dari tubuh untuk melakukan sesuatu, membangun kedekatan untuk mengkonsolidasikan dan menyakinkan serta mendukung orang lain, dan menggunakannya untuk menciptakan bentuk ekspresi baru. Beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini adalah mekanik, pelatih, pengrajin, atlet, aktor, dan penari atau koreografer (Gardner, 2003). Selanjutnya Suyadi, meningkatnya kecerdasaan kinestetik akan memperkuat rasa percaya diri pada anak, sehingga tertanam dalam hati mereka bahwa dirinya sanggup melakukan pekerjaan apa pun dengan hasil yang baik. Perasaan demikian akan mendorong anak melakukan berbagai aktivitas pembelajaran dengan penuh semangat dan rasa senang. Bahkan, anak mempunyai optimisme keberhasilan terhadap segala bentuk usaha yang dilakukan (Suyadi, 2009: 264). Suyadi menjelaskan, keberhasilan meningkatnya kecerdasaan kinestetik menjadikan masa depan anak menjadi lebih ceria, karena anak yang telah mengalami peningkatan kecerdasaan kinestetik, membuat anak lebih sehat, mudah menyesuaikan diri dan penuh kepercayaan diri. Terlebih sejak usia dini telah dibekali dengan pengalaman menari yang akan berdampak pada kelenturan seluruh organ anggota tubuh, memperkuat otot dan pernafasan serta berjiwa pemberani (Suyadi, 2009 : 264). KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI Kecerdasan kinestetik menurut Musfiroh (2004:69) dalam Wiwiek Waqi’ah (2011 : 18 ) adalah berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh tubuh untuk mengeksperisikan ide dan perasaannya serta keterampilan mempergunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, dan keakuratan menerima rangsang, sentuhan, dan tekstur. Menurut Gardner (musfiroh, 2004:71) kecerdasan ini memiliki wujud relatif bervariasi, bergantung pada komponen-komponen kekuatan dan fleksibilitas serta domain seperti tari dan olah raga. Kecerdasan kinestetik menurut Faruq (2007:3) adalah kemampuan menyelaraskan pikiran dengan badan sehingga apa yang dikatakan oleh pikiran akan tertuang dalam bentuk gerakan-gerakan badan yang indah, kreatif, dan mempunyai makna. Definisi ini selaras dengan pendapat Campbell dalam Faruq (2007:3) yang mengatakan bahwa: “Sebuah keselarasan antara pikiran dan tubuh, dimana pikiran dan tubuh, dimana pikiran dilatih untuk memanfaatkan tubuh sebagaimana mestinya dan tubuh dilatih untuk dapat merespon ekspresi kekuatan dari pikiran”. Pada saat anak berusaha melatih koordinasi otot dan gerak pada saat itulah stimulasi kinestetik terjadi. Menurut Musfiroh (2004:69) stimulasi kinestetik ini terjadi dalam wilayah-wilayah berikut: 1. Koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, seperti: menggambar, menulis, memanipulasi objek, menaksir secara visual, melempar, menendang, menangkap. 2. Keterampilan lokomotor, seperti berjalan, berlari, melompat, berbaris, meloncat, mengcongklak, merayap, beguling dan merangkak. 3. Keterampilan nonlokomotor, seperti membungkuk, menjangkau, memutar tubuh, merentang, mengayun, berjongkok, duduk, berdiri.
1321
4. Kemampuan mengontrol dan mengatur tubuh seperti menunjukan kesadaran tubuh, kesadaran ruang, kesadaran ritmik, keseimbangan, kemampuan untuk mengambil awalan, kemampuan untuk menghentikan gerak dan mengubah arah. Berdasarkan paparan diatas kemampuan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian tubuh seseorang dengan otak yang berjalan secara sinergis dapat mencapai tujuan dalam melakukan sesuatu, ketika ia berinteraksi dangan lingkungannya. Selaras dengan pendapat Lwin (Muslihuddin, Agustin, 2008:81) bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestetik yang baik akan memberikan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Selanjutnya anak dengan kecerdasan kinestetik dapat mengungkapkan diri dan berkomunikasi secara baik dan efektif dengan orang lain khususnya teman-teman sebayanya itu. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada anak yang memiliki kecerdasan kinestetik menurut Muslihuddin dan Agustin (2008:65) adalah sebagai berikut: 1. Menonjol dalam kemampuan olah raga dibandingkan denagn teman-teman sebayanya. 2. Cenderung suka bergerak, tidak bisa duduk diam berlam-lama, mengetukngetuk sesuatu, dan suka meniru gerak atau tingkah laku yang menarik perhatiannya. 3. Senang pada aktifitas yang mengandalkan kekuatan gerak, seperti memanjat, berlari, melompat, atau berguling. 4. Cepat dan tangkas dalam menguasai tugas-tugas kerajinan tangan seperti melipat, memotong, menggunting, dan mencocok. 5. Memiliki koordinasi tubuh yang baik, gerakan-gerakan yang seimbang, luwes dan cekatan. 6. Senang menyentuh barang-barang dan membongkar pasang barang dan mainan. 7. Secara artistik mereka memiliki kemampuan menari dan menggerakan tubuh mereka dengan luwes dan lentur. Pengembangan potensi kecerdasan kinestetik anak di Taman Kanakkanak dapat dibantu dengan memfasilitasi anak-anak dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk bergerak yang memiliki muatan akademis guna mengaktualisasi dirinya secara bebas. Menurut Hildayani (2005:5.18) Anak-anak dengan kemampuan kecerdasan kinestetik yang menonjol memiliki kesadaran tubuh yang tinggi. Mereka menyukai gerakan-gerakan fisik, memeluk, menari, membuat, sesuatu dengan menggunakan tangan, dan gemar bermain peran. Gerakan tubuh mereka bukanlah gerakan tanpa tujuan, namun justru mereka memiliki kemampuan kontrol dan koordinasi tubuh yang baik. Tubuh mereka altetis, lentur, dan terampil secara fisik sambil mengemukakan ide-ide dan perasaannya melalui gerakan tubuh. Muslihuddin dan Agustin (2008:96) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran guru dapat memfasilitasi anak-anak yang memiliki kecerdasan ini dengan memberi kesempatan pada mereka untuk bergerak. Pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa serhingga anak-anak leluasa bergerak dan memiliki peluang untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas. Selanjutnya kegiatan menari merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan guru
1322
untuk membantu mengembangkan kecerdasan ini, guru dapat mengajak anakanak untuk melakukannya bersama-sama, biasanya diiringi denagn musik akan jauh lebih mengasyikan. Menari menuntut keseimbangan, keselarasan gerak tubuh, kekuatan dan kelenturan gerak otot. Tidak hanya, kaki dan tubuh pun ikut bergerak. Kecerdasan kinestetik berupa keluwesan dan kelenturan menurut Musfiroh (2004:149) dapat distimulasi melalui permainan mengeksplorasi gerakan tangan, jari, dan pergelangan tangan yang dilakukan denagn mengikuti irama musik. PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA Anak Usia Dini adalah anak yang berumur dari 0 sampai usia 6 tahun. Usia Dini merupakan masa keemasan perkembangan anak atau biasa disebut Golden Age. Pada masa itu terjadi lonjakan luar biasa pada perkembangan anak yang tidak terjadi pada periode berikutnya. Anak Usia Dini adalah anak yang sedang mengalami proses lompatan kemajuan yang luar biasa secara fisik, emosional, dan sosial. Oleh karena itu pembelajaran untuk anak usia dini perlu disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik masing-masing anak.Demikian pula dalam pembelajaran seni tari, kegiatan menari diharapkan agar anak dapat mengekspresikan dirinya sesuai dengan tingkat perkembangan usia serta emosi, dengan demikian pembelajaran menjadi menarik serta menyenangkan. Tari anak-anak menurut Rusliana dalam Caturwati (2008:12) adalah tari yang sesuai dengan kodrati anak-anak atau yang selaras dengan karakteritik anak-anak, baik berkaitan dengan jasmaniah maupun rohaniyahnya. Adapun temanya digali dari permainan, alam dan binatang, pekerjaan, dan yang menyangkut budi pekerti. Limit waktu tarian tidaklah memakan waktu yang lama atau sekitar 4 sampai 7 menit yang digarap dengan distilasi umumnya dengan tidak berjauhan dari objeknya (imitatif). Seperti kata Fraser dalam Caturwati (2008:14), setiap pelajaran tari anak-anak, seyogyanya guru senantiasa memberikan juga keleluasaan pada anak-anak dalam menjelajahi gerak melalui bimbingan guru, selanjutnya mengakumulasikan gerak-geraknya yang tersusun sederhana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan psikologisnya. Soedarsono dalam Pedoman Pendidikan Kesenian (1998:170) menyatakan “definisi tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah”. Berdasarkan Pedoman Pendidikan Kesenian (1998:178) mengemukakan bahwa “tari merupakan kegiatan yang kreatif dan konstrukstif serta menumbuhkan intensitas emosional dan makna-makna. Tari juga dapat menjadi aktivitas rekreasi, tetapi juga dapat menjadi alat ekspresi dan laku estetis”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tari anak nusantara adalah ungkapan atau ekspresi jiwa yang dituangkan dalam gerakan-gerakan ritmis yang indah, yang dapat menumbuhkan intensitas emosional dan makna-makna, serta dapat menjadi aktivitas estetis melalui tema-tema Nusantara misalnya Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Papua. Ardjo dalam Caturwati (2008:183) mengemukakan pada umumnya, bila kita menonton tarian anak-anak, ada dua jenis gaya yang tampaknya sangat jauh berbeda, yaitu :1) Peniruan Tari tradisonal adalah tarian yang ditarikan
1323
oleh anak tanpa mengubah dan menyesuaikannya dari tari yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Dalam konteks ini si anak dituntut untuk ekspresi dan tingkat kesulitannya sama dengan orang dewasa. Hal yang kurang menguntungkannya ialah bahwa segi kreatifitas sudah terkotak, dan pula hanya beberapa anak berbakat saja yang dapat berhasil menjadi penari bagus. 2) Tari yang bertema dan bergaya bebas serta baru adalah tarian seperti ini pada dasarnya dibuat agar semua anak dapat menarikannya dengan mudah, senang, dan gembira. Tari merupakan kegiatan yang kreatif dan konstruktif serta menumbuhkan intensitas emosionil dan makna-makna. Ia dapat menjadi aktivitas rekreasi tetapi juga dapat menjadi alat ekspresi dan laku estestis. Disinilah letak nilainya bagi anak-anak. Dalam pendidikan, gerak tari harus diamati dari watak ekspresinya sebab inilah yang mencerminkan nilai imajinasi anak. (Pedoman Pendidikan Kesenian, 1988:178). Pembelajaran tari di sekolah kiranya akan lebih cocok jika menyampaikan atau mengungkapkan sebuah tema yang jelas dan dapat diketahui tujuannya oleh para siswa. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya tari yang tidak bertema yaitu yang lebih mengarah kepada pengolahan aspek gerak semata secara kreatif dan variatif. Pertimbangan akan tari itu bertema adalah agar para siswa dapat berekspresi sesuai tema tarian yang dipelajarinya. Dengan demikian, diharapkan kepekaan rasa, kematangan sikap dan prilaku, mengambil keputusan, serta aspek-aspek lainnya dapat terasah dan termotivasi untuk dapat diungkapkan melalui pembelajaran tari. (Sekarningsih dan Rohayani, 2006:95) Munandar dalam Rusliana dalam Caturwati (2008:13) memaparkan bahwa tata cara pembelajaran tari anak-anak akan lebih optimal hasilnya jika memadukan antara yang bersifat imitatif dan kreatif atau yang terikat dan yang memberi kebebasan berkreasi. Oleh karena pengembangan kreativitas menjadi penting ditinjau dari sudut pengembangan kepribadian dan kesehatan mental, dan setiap anak ada hakikatnya memiliki potensi kreatif walau dalam kadar yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran seni tari motivasi dan bimbingan pendidik diperlukan untuk menciptakan gerak. Desfina (2005:20-21) mengungkapkan bahwa gerak dalam seni tari anak TK tentunya disesuaikan dengan kemampuan dasar anak dalam bergerak. Kemampuan gerak dasar tersebut ada 3 kategori yaitu : 1. Kemampuan locomotor digunakan untuk memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain atau mengangkat tubuh ke atas seperti meloncat, melompat. Gerak tersebut dapat dikembangkan seperti melompat ke kiri sambil bertepuk tangan atau meloncat sambil kedua tangan mengayun ke depan. 2. Kemampuan non locomotor dilakukan di tempat, yaitu gerak tari seperti duduk, setengah duduk, berputar di tempat, atau posisi berdiri di tempat dan tangan dapat dilakukan dengan variasi ke arah kiri atau kanan. Gerak ini dapat dikembangkan lebih bervariasi dengan gerak tangan berputar ke arah telapak tangan, begitu juga sebaliknya. 3. Kemampuan manipulatif banyak melibatkan tangan dan kaki, akan tetapi bagian tubuh yang laindapat juga digunakan. Gerak yang melibatkan kaki dan tangan memberikan peluang untuk dapat diolah lebih variatif, contoh
1324
sambil berjalan tangan mengikuti irama kaki yang berlawanan, dan sambil menggoyangkan kepala. Prinsip dasar pembelajaran tari bagi anak TK seperti yang dikemukakan oleh Desfina (2005:29-30) adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakter anak yang aktif dan punya kemampuan untuk berkreasi, metode pembelajaran bagi anak TK adalah yang berpusat pada anak yaitu anak diberi kebebasan dalam menari. 2. Kegiatan pembelajaran dibangun berdasarkan pengalaman dan minat anak dan dilakukan secara terpadu seperti pada gerak tari dengan menari mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak seperti aspek fisik, psikomotorik, bahasa, moral, sosial, keagamaan, emosi, kepribadian. 3. Memperhatikan bahwa setiap anak memiliki keunikan tersendiri dalam hal perkembangan gerak. Dengan variasi ini menuntut guru untuk merancang dan menyediakan sejumlah alternatif gerakkan tari yang diambil diambil dari gerakan anak serta memberi kesempatan kepada anak untuk spontan berinisiatif. 4. Pelajaran yang bervariasi akan membuat anak tidak jenuh misalnya anak diajak keluar ruangan melihat alam yang ada di sekeliling mereka, kemudian anak menirukan apa yang telah dilihatnya. 5. Penerapan bermain sebagai sarana perkembangan gerak karena bermain bagi anak merupakan belajar. Oleh karena itudalam pembelajaran tari ini hendaknya dilakukan dengan belajar sambil bermain dan bermain seraya belajar. 6. Bersifat fleksibel, dalam proses belajar mengajar melihat keadaan anak saat itu. Metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan dunia anak akan membantu meningkatkan kreatifitas anak dan juga dapat memfasilitasi potensi menari yang ada dalam diri anak secara optimal. Hal ini seperti dikemukakan oleh Desfina (2005:33-34) yaitu mengenai metode yang dapat diterapkan pada tari, antara lain : 1. Metode bermain yaitu suatu cara yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggembirakan dan menyenangkan bagi anak, lewat permainan anak secara tidak sengaja melakukan gerakan untuk menunjang permainan tersebut. 2. Metode ekpresi bebas, yaitu suatu cara pembelajaran bagi anak untuk diberi kebebasan berekpresi sesuai dengan imajinasi, keinginan dan kemauan anak dalam mengungkapkan gerak. 3. Metode eksperimen, yaitu anak mencoba untuk menemukan atau menyusun suatu gerak dengan menghayati proses pencaharian gerak’ 4. Metode bermain peran adalah metode yang memberikan kebebasan pada anak untuk memerankan tokoh yang mereka anggap sesuai dengan peran yang disukai anak. 5. Metode cakap-cakap adalah penyampaian pelajaran melalui sarana pertukaran pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapi, yaitu didalam menyusun tari kelompok timbul permasalahan yang biasanya menyangkut masalah teknis gerak atau latihan, permasalahan tersebut dibicarakan diantara kelompok.
1325
Metode bercerita merupakan pemberian pengalaman belajar bagi anak TK, dengan membawakan cerita secara lisan. Cerita yang diberikan pada anak dapat memancing daya imajinasi anak untuk berkembang. Contoh cerita dongeng yang menyampaikan pesan-pesan kebajikan. 7. Metode latihan, setiap tari memerlukan latihan untuk memantapkan gerak yang dipergunakan. 8. Metode demontrasi, yaitu memperlihatkan proses gerak kepada anakanak contoh seorang memperagakan gerak kupu-kupu untuk mengetahui proses gerak yang benar. 9. Metode karya wisata adalah anak dibawa ketempat tertentu dengan tujuan belajar yang dibatasi dengan tujuan belajar dan tugas belajar. Anak dapat memperoleh pengalaman langsung terhadap objek yang terdapat diluar kelas. 10. Metode pemberian tugas yaitu anak sengaja diberikan tugas untuk membuat atau menyelesaikan gerak berdasarkan pada petunjuk guru, supaya anak melakukan sendiri dalam proses gerak, mereka dapat belajar secara langsung dan menentukan sendiri dalam pemilihan gerak.
6.
IMPLEMENTASI KECERDASAAN KINESTETIK MELALUI PEMBELAJARAN TARI ANAK NUSANTARA Materi tari nusantara dari daerah Jawa Tengah, misalnya tari kuda lumping merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk di angkat dalam pembelajaran di TK. Dalam proses pembelajaran tari di sekolah, guru bisa menggunakan pendekatan terpadu. Pembelajaran tari dengan pendekatan terpadu yang dimaksud, guru melakukan proses pembelajaran dengan memadukan seni rupa, seni musik dan seni tari. Sebagai contoh guru bisa menyusun konsep awal sebelum melakukan langkah-langkah pembelajaran yang nantinya akan diaplikasikan dan diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan Harian di sekolah, misalnya : Judul : Tari Kuda Lumping Sinopsis : Tarian ini menceritakan tentang anak-anak Jawa yang sedang bermain dengan menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari kardus. Konsep Tari : 1. Gerakan pertama berjalan membentuk posisi 2 orang di depan dan 2 orang di belakang. 2. Gerakan kedua berjalan ke kanan 2 kali dan ke kiri 2 kali barisan pertama berjalan ke kanan dan barisan kedua berjalan ke kiri. 3. Gerakan ketiga diam di tempat, salah satu kaki bergerak ke depan diselingi dengan posisi diam dengan bahu diangkat naik turun sebanyak 2 kali. 4. Gerakan keempat posisi diam dengan tangan di angkat seperti menerawang. Konsep Musik : Menentukan “Lagu Jaranan” yang didapat dari donload di internet. Jaranan artinya kuda lumping, kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah pisang, kayu, bambu, biasa dimainkan oleh anak- anak di Jawa Tengah. Tempo lagunya cepat dan bersemangat.
1326
Konsep Busana / Rupa : Penari memakai busana seperti prajurit berkuda dengan memakai rompi yang terbuat dari kresek berwana hitam lalu dihias dengan kertas warna. Memakai ikat kepala yang terbuat dari kresek, bagian bawah menggunakan sarung yang dilipat. Untuk mempercantik penampilan pada bagian tangan dan kaki diberi gelang yang terbuat dari kertas warna. Tari Nusantara dari daerah Sulawesi, misalnya Tari Kipas Angin Mamiri juga merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk diangkat dalam pembelajaran di TK. Sebagai contoh guru bisa menyusun konsep awal sebelum melakukan langkah-langkah pembelajaran yang nantinya akan diaplikasikan dan diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan Harian di sekolah, misalnya : Judul : Tari Kipas Angin Mamiri Sinopsis : Tarian ini menceritakan tentang anak-anak gadis Sulawesi yang sedang bermain dengan menggunakan kipas yang terbuat dari bulu. Konsep Tari : 1. Gerakan pertama berjalan lambat kedepan dengan mengetarkan kedua kipas bulu. 2. Gerakan kedua berjalan cepat berputar ke kanan dan ke kiri 3. Gerakan ketiga diam di tempat dengan membentuk formasi bunga yang dihasilkan dari efek gerakan kipas bulu. Konsep Musik : Menentukan “Lagu Angin Mamiri” yang di dapat dari download di internet. Lagu Angin Mamiri merupakan lagu yang cukup terkenal dari daerah Makasar Sulawesi. Lagu ini mengisahkan sebuah hembusan angin yang sepoisepoi. Konsep Busana / Rupa : Penari menggunakan busana adat pengantin putri di Makasar Sulawesi yang dikenal dengan baju “bodo”. Busana tari kipas ini terbuat dari bahan kresek warna merah dan hitam yang kemudian dihias dengan kertas warnawarni. Selanjutnya untuk kipas bisa terbuat dari bahan kertas yang dihias dengan menempelkan bulu berwarna-warni. Tari Nusantara dari daerah Bali, misalnya Tari Bunga Bali juga merupakan sumber inspirasi yang menarik untuk diangkat dalam pembelajaran di TK. Sebagai contoh guru bisa menyusun konsep awal sebelum melakukan langkah-langkah pembelajaran yang nantinya akan diaplikasikan dan diskripsikan kedalam Satuan Kegiatan Harian di sekolah, misalnya : Judul : Tari Bunga Bali Sinopsis : Tari kreasi ini menceritakan tentang keceriaan anak anak di Bali dalam menyambut kedatang tamu agung. Konsep Tari : 1. Gerakan pertama berjalan keluar dengan gerakan ngegol atau mengoyangkan kepala dan pinggul (Lokomotor). 2. Gerakan kedua gerakan diam di tempat dengan gerakan ngembat mengerakan tangan ke samping kanan dan samping kiri (Non Lokomotor). 3. Gerakan ketiga berjalan maju dan mundur dengan gerakan menabur bunga (Lokomotor).
1327
Konsep Musik : Menentukan lagu iringan tari dengan judul lagu permainan anak-anak Bali yaitu lagu Mejangeran. Konsep Busana : Penari memakai busana seperti. Busana adat orang Bali dengan busana yang dihiasi emas atau prada dan dilengkapi bunga warna warni yang merupakan ciri khas dari orang Bali.
Foto Konsep Busana Tari Bunga Bali DAFTAR RUJUKAN Aryaprastya, I Gusti Komang. (2011). Pendidikan Seni Tari Anak Usia Dini Melalui Stimulus Berkreasi Tari Nusantara. Bandung : Program Studi PGPAUD UPI Campbell, Linda. Bruce. Dickinson, Dee. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press. Desfina. (2005). Belajar Seni Tari Untuk Anak Usia TK. Bandung. Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak. FIP UPI. Endang Caturwati, et. al. (2008). Tari Anak-Anak dan Permasalahannya. Bandung : Sunan Ambu STSI Press. Dinas Kebudayaan, (1988), Pedoman Pendidikan Kesenian, Jakarta. Faruq, Muhyi. (2007). 100 Permainan Kecerdasan Kinestetik. Jakarta: Grasindo. Frahma Sekarningsih, dkk, (2006), Pendidikan Seni Tari dan Drama SD, Bandung: UPI Press. Gardner, Howard. (2003) Muiltiple Intelligences. Alih bahasa Alexander Sindoro.Batam : Interaksara. Hildayani, Rini, dkk. (2005). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka. Masunah, Juju. (2000). Tari Pendidikan Sebuah Pengantar Pengajaran Tari di Sekolah. Bandung. FPBS UPI: Tidak diterbitkan. Masunah, Narawati. (2003). Seni dan Pendidikan Seni. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Seni Tradisional (P4ST) UPI . Musfiroh, Tadkiroatun. (2004). Bermain Sambil Belajar dan Mengasah Kecerdasan (Stimulasi Multiple Intelligeces Anak Usia Taman Kanakkanak). Yogyakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Subdit PGTK dan PLB. Muslihuddin, Mubiar A. (2008). Mengenali dan Mengembangkan Potensi kecerdasan Jamak Anak Usia Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal. Bandung: Rizqi Press.
1328
Suyadi. (2009). Anak Yang Menakjubkan. Yogyakarta : Diva Press. Wiwik WaQiah. (2011). Penerapan Pembelajaran Tari Pendidikan Untuk Menstimulasi Kecerdasaan Kinestetik Anak Taman Kanak-Kanak. Bandung: Skripsi S1 PGPAUD UPI tidak diterbitkan.
1329
PENERAPAN PENDEKATAN INSPIRATIF PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN SENI RUPA DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS DALAM BERKARYA SENI RUPA Ira Rengganis Universitas Pendidikan Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract This writing is motivated by the problems found in some elementary schools about the lacks of students creativity. it is seen from the results of observations are still many children who have not been able to express his own ideas, always wanted to be an example, as well as a lack of self-esteem when will make something new, as well as teachers in teaching methods that are less varied. The purpose of this paper which is to know the implementation inspirational approach to teaching elementary school art education. The method used in this research is descriptive method, the study aims to describe or explain the event or events that are taking place at the time of the study. Inspiring learning approach resulted in more children being able to do activities without teachers help, it is seen that the children are able to express his ideas, independent, able to recount the results of his work, confident and not afraid to be wrong. Therefore it can be concluded that the approach Inspiring learning art education can enhance the creativity of elementary school children in the work of art. Keywords: education of art, creativity, inspiring approaches. PENDAHULUAN Pendidikan seni adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan kreatif ekspresif anak didik dalam mewujudkan kegiatan artistiknya berdasarkan aturan-aturan estetika tertentu. Selain itu, pendidikan seni di SD bertujuan menciptakan cipta rasa keindahan dan kemampuan mengolah menghargai seni. Hal tersebut merupakan mengolah berbagai ketrampilan berpikir meliputi ketrampilan kreatif/ sarana untuk pengembangan kreativitas anak, inovatif, dan kritis. Tujuan pendidikan seni bukan untuk membina anak-anak menjadi seniman, melainkan untuk mendidik anak menjadi kreatif. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar tidak hanya mengembangkan keterampilan menggambar melainkan mampu mengembangkan apreasiasi seni rupa / membuat karya rupa 2 dimensi dan 3 dimensi, menanamkan kesadaran budaya lokal, menyediakan kesempatan mengaktualisasikan diri, mengembangkan penguasaan disiplin ilmu Seni Rupa, dan mempromosikan gagasan multikultural. Pembinaan dan pengembangan aktivitas dan kreativitas seni rupa di sekolah dasar akan lebih baik apabila di titik beratkan pada kemitraan antara siswa dan pengajar. Banyak metode yang dapat dipilih untuk melaksanakan pendidikan seni rupa di sekolah dasar. Dasar pemilihan metode yang tepat relevansinya sesuai dengan tujuan atau sasaran yang dirumuskan. Dalam
1330
pembelajaran seni rupa di sekolah dasar, guru sebaiknya mengenal beberapa metode dan teknik pembelajaran serta jenis-jenis kegiatan seni rupa yang cocok diberikan kepada anak sekolah dasar, diantaranya metode untuk pengajaran praktik, teori dan paduan antara keduannya. Metode-metode tersebut bisa dibedakan atas metode yang mengutamakan keleluasaan tersalurkannya ekpresi atau metode yang lebih mengutamakan kebebasan individu, dan metode yang lebih mengutamakan perkembangan sosial anakanak. Dalam pemilihan metode ini tidak terlepas pula dari media atau bahan yang digunakan untuk pencapaian hasil yang diinginkan, maka dari itu penggunaan bahan dan media seni rupa yang beragam, diharapkan bisa membuat siswa tidak cepat bosan dan jenuh, serta pada akhirnya membuat siswa menghasilkan karya yang kreatif dan imajinatif. Tetapi pada kenyataannya masih ada permasalahan yang ditemukan di beberapa Sekolah Dasar mengenai tingkat kreativitas anak yang masih kurang, hal tersebut terlihat dari hasil observasi masih banyaknya anak yang belum mampu mengungkapkan idenya sendiri, selalu ingin diberi contoh, serta kurangnya kepercayaan diri anak saat akan membuat sesuatu yang baru, serta metode guru dalam pembelajaran yang kurang bervariasi. Berdasarkan permasalahan di atas penulis mencoba mengaplikasikan pendekatan inspiratif yang diharapkan dapat meningkatkan kreativitas anak Sekolah Dasar dalam berkarya seni rupa. PENDIDIKAN SENI RUPA SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN KREATIF Pendidikan seni rupa anak adalah upaya pemberian pengetahuan dan pengalaman kegiatan kreatif seni rupa dengan menerapkan konsep seni sebagai alat pendidikan. Dalam usaha mewujudkan harapannya, manusia selalu berhadapan dengan kendala dan kenyataan yang tidak diharapkan. Dalam keadaan seperti itu, manusia selalu mencari cara untuk menembus kendala itu, serta mencari jalan keluar untuk mencapai dan mewujudkan harapannya. Upaya tersebut merupakan bentuk kreativitas, yaitu menciptakan sesuatu yang baru untuk keluar dari suasana yang telah ada sebelumnya. Sesuatu yang baru itu dapat berupa wujud konkret maupun abstrak (Rasjoyo, 1996:4). Potensi kreatif yang terdapat pada manusia dapat dikembangkan sejak dini. Hal itu dikarenakan masa perkembangan anak merupakan masa peka, dimana anak mulai sensitif menerima pengalaman belajar dari orang tua, guru, dan orang yang lebih dewasa darinya. Melalui proses berkarya seni rupa, tujuan pendidikan dalam membantu perkembangan potensi kreatif anak dapat tercapai. Dengan demikian, pendidikan seni rupa anak sebagai sarana pembentukan kreativitas anak. Ruang lingkup bahan pengajaran pendidikan seni rupa anak, meliputi kegiatan berkarya seni rupa dua dimensi, diantaranya menggambar atau melukis, mencetak, 3M (Melipat, Menggunting, Menempel), dan sebagainya. Adapun kegiatan berkarya seni rupa tiga dimensi diantaranya membentuk, merangkai, menyusun, merakit, dan lain-lain. Kegiatan berkarya seni rupa adalah hal yang menyenangkan bagi anak, karena kegiatannya dapat dikatakan sebagai kegiatan bermain bermuatan edukasi, dimana anak mendapatkan kesempatan melakukan kegiatan bermain
1331
kreatif untuk mewujudkan ide dan gagasan kreatifnya melalui media karya seni rupa. PENGERTIAN KREATIVITAS Kreativitas merupakan kemampuan yang ada dalam diri setiap manusia yang perlu dikembangkan untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Supriadi (dalam Rachmawati & Kurniati, 2010:13) kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Menurut Mutiah (2020:41) kreativitas merupakan dimensi kemampuan anak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kreativitas juga merupakan sebuah proses yang mampu melahirkan gagasan, pemikiran, konsep dan atau langkah-langkah baru pada diri seseorang. Ia pun menambahkan bahwa kebermaknaan kreativitas terletak pada hakikat dan perannya sebagai dimensi yang memberi ciri keunggulan bagi pertumbuhan diri peserta didik yang sehat, produktif, dan inovatif. Munandar (2012:19-22) menjelaskan mengenai definisi kreativitas berdasarkan empat P menurut para pakar antara lain: Definisi Pribadi Hulbeck, 1945 (dalam Munandar, 2012:20) mengungkapkan bahwa “creative is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi (teori) yang lebih baru tentang krativitas diberikan dalam “threefacet model of creativity” oleh Stenberg (dalam Munandar, 2009:20) yaitu kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis inteligensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi. Bersama-sama ketiga segi dari alam pikiran ini membantu memahami apa yang melatarbelakangi individu yang kreatif. Inteligensi meliputi terutama kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan, perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan, dan keseimbangan serta integrasi intelektual secara umum. Gaya kognitif atau intelektual dari pribadi yang kreatif menunjukkan kelonggaran dari keterikatan pada konvensi menciptakan aturan sendiri, melakukan hal-hal dengan caranya sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu terstruktur, senang menulis, merancang, lebih tertarik pada jabatan yang kreatif seperti pengarang, saintis, artis, atau arsitek. Dimensi kepribadian/motivasi meliputi ciri-ciri fleksibilitas, toleransi terhadap kadwiartian, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan risiko yang moderat. Definisi Proses Torrance, 1988 (dalam Munandar, 2012:21) mengatakan bahwa kreativitas yang pada dasarnya menyerupai langkah-langkah dalam metode ilmiah yaitu: ... the process of (1) sensing difficulties, problems, gaps in information, missing elements, something asked; (2) making guesses and formulating hypnotheses about these deficiencies; (3) evaluating and testing thes
1332
guesses and hypnotheses; (4) possibly resiving and ratesting them; and finally (5) communicating the result. Definisi ini meliputi seluruh proses kreatif dan ilmiah mulai dari menemukan masalah sampai dengan menyelesaikan masalah. Definisi Produk Barron 1969 (dalam Munandar, 2012:21) menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula menurut Haefele, 1962 (dalam Munandar, 2012:21) yang menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasikombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Ia pun menekankan pula bahwa suatu produk kreatif tidak hanya harus baru tetapi juga diakui sebagai bermakna. Rogers dalam Vernon (dalam Munandar, 2012:21) mengemukakan mengenai kriteria untuk produk kreatif ialah: 1. Produk itu harus nyata (observable) 2. Produk itu harus baru 3. Produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya Definisi “Press” Definisi dan pendekatan terhadap kreativitas menekankan faktor “press”atau dorongan, baik dorongan internal (dari diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif) maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis. PENDEKATAN DALAM SEGI PROSES BELAJAR Dalam memilih suatu pendekatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan pendidikan seni rupa hendaknya mengacu kepada tujuan pendidikan seni dan atau kompetensi, karakteristik siswa, jenis dan karakteristik bahan ajar, serta lingkungan belajar. Pendidikan seni rupa memiliki fungsi sebagai penunjang perkembangan potensi peserta didik. Misi utama dari pendidikan seni adalah mengembangkan kepekaan rasa dengan tujuan agar terbentuk manusia yang memiliki kepribadian seimbang secara jasmani-rohani, mental-spiritual, dann intelektualemosional. Pelaksanaan pendidikan seni sebagai wahana bermain yang bermuatan edukatif dan membangun kreatifitas. Jika kita menggunakan pendidikan seni sebagai sarana pendidikan, maka pendekatannya pun harus sesuai dengan tujuan penciptaan seni, meskipun seninya tidak kita tempatkan sebagai tujuan pendidikan. Pemilahan bahan ajar dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis bahan ajar yang bersifat teoritis dan bahan ajar yang bersifat praktis. Hal tersebut diharapkan dapat membantu dan memudahkan anda dalam penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran. Dari semua proses pembelajaran seni rupa yang diilaksanakan di dalam kelas, maka prinsip-prinsip pengelolaan kelas tentulah berlaku secara umum demi terciptanya proses pembelajaran yang berkualitas dan situasi kelas yang kondusif.
1333
Dilihat dari segi karakteristik hasil ungkapan kreatif atau hasil karya, ada beberapa karya seni rupa yang proses pembuatannya dikerjakan dengan teliti dan ketekunan karena membuat bentuk-bentuk secara berulang-ulang, yaitu karya seni rupa tradisional. Seni rupa tradisional merupakan salah satu seni Nusantara yang harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai warisan kekayaan budaya bangsa. Ada pula karya-karya seni rupa yang inovatif-kreatif dengan mencoba melakukan inovasi dan modifikasi, bahkan menciptakan karya yang baru yang dipandang sebagai karya seni rupa modern. Dengan demikian, selain perlu memperhitungkan tujuan belajar seperti tersebut di atas, juga perlu mempertimbangkan karakteristik hasil karya yang akan dibuat atau dipelajari sebagai acuan dalam memilih serta menentukan pendekatan pembelajaran pendidikan seni rupa. Pendekatan Keterampilan Proses Pendekatan keterampilan proses menekankan pembentukan keterampilan, memperoleh pengetahuan, dan mengkomunikasikannya. Keterampilan meliputi makna yang luas, meliputi segi fisik/perbuatan, psikis/mental dalam bentuk olah piker dan sikap, termasuk kreatifitas, serta sosial budaya (pendayagunaan lingkungan) yang difungsikan untuk mencapai hasil tertentu. Dalam penciptaan model-model inovatif, guru dapat memberikan stimulasi, pendekatan yang digunakan biasanya pendekatan inspiratif, pendekatan analisis hasil karya, dan pendekatan empatik. 1. Pendekatan Inspiratif Pelaksanaan pendidikan seni rupa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa pendidikan seni sebagai wahana bermain yang bermuatan edukatif dan membangun kreatifitas. Apabila seni digunakan sebagai cara dan sarana pendidikan, maka pendekatannya pun harus sesuai dengan dengan tujuan penciptaan seni, meskipun seninya tidak kita tempatkan sebagai tujuan pendidikan. Pendekatan yang utama dalam pembelajaran pendidikan seni rupa adalah pendekatan inspiratif. Karya seni lahir dari keharuan, dari hati nurani yang terdalam. Karya seni merupakan curahan emosi yang diberi bentuk yang indah dan kreatif. Bagi dunia anak, jenis pendekatan inspiratif ini diharapkan dapat dapat menggugah keharuan anak untuk mencurahkan ekspresinya ke dalam bentuk karya seni rupa. Bentuk penggugah keharuan yang oleh Lansing disebut dengan istilah stimulation dan cultural stimulation. Lansing juga membedakan atas : a. airect experience as a form stimulation (pemberian rangsangan melalui pengalaman) b. verbal stimulation (perangsangan melalui cerita atau dongeng)) c. art material as stimulation (perangsangan melalui bahan), dan d. audio-visual aids as stimulation (perangsangan melalui audio-visual) Upaya untuk melakukan stimulasi tersebut secara praktis dapat ditinjau berdasarkan secara klasikal dan individual serta dapat ditinjau pula berdasarkan rangkaian kejadian atau peristiwa yang memancing keharuan anak yang berlangsung secara rutin maupun insidental. Keterkaitan antara kedua bentuk di atas tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :
1334
• Individual I
• Klasikal sikal
A
B
• Rutin
D C
• Insidental
Gambar 1. Stimulasi Perangsangan Daya Cipta Berdasarkan gambar di atas tampak empat kemungkinan gabungan antara keempat jenis stimulasi yang terkadang disebut sebagai pemancing kreatifitas atau perangsang daya cipta. Kemungkinan gabungan tersebut adalah : a. stimulasi klasikal-rutin b. stimulasi individual-rutin c. stimulasi klasikal-insidental d. stimulasi individual-insidental Untuk memperjelas perbedaan keempat stimulasi daya cipta seni, berikut ini akan dipaparkan secara singkat pengertian dan beberapa contohnya. a. Stimulasi Klasikal-Rutin Stimulasi ini yang paling memungkinkan diterapkan dalam penyusunan rencana pembelajaran di sekolah. Hal ini disebabkan semua anak di dalam satu kelas akan manghayati keadaan, kejadian, atau peristiwa yang sama (yang dijadikan stimulasi). Kejadian atau peristiwanya dapat diramalkan karena berlangsung rutin. Kegiatan atau agenda kegiatan sekolah yang telah tercatat pada kalender akademik/sekolah dianggap sebagai peristiwa yang datang secara rutin dan bersifat klasikal. Begitupun hari-hari besar keagamaan dan hari besar kenegaraan yang biasa diperingati di sekolah, seperti Hari Pendidikan Nasional, Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, hari pahlawan (mis: Kartini), Hari Raya Idul Fitri, dan lain sebagainya, merupakan sejumlah rencana pokok bahasan yang berdasar pada stimulasi klasikal-rutin. Contoh judul atau tema kegiatan berkarya seni rupa dalam rencana pembelajarannya, diantaranya :“Lomba Lukis
1335
HarDikNas”, “Lomba Gambar tema Kartini”, “Membuat Kartu Lebaran”, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengkorelasikan topik tersebut dengan jenis kegiatan belajar seni rupa yang mengacu kepada GBPP yang berlaku. Kreatifitas guru dalam mengolah kegiatan-kegiatan tersebut sangat dibutuhkan sehingga mampu menstimulasi anak-anak dalam berkarya seni rupa. b. Stimulasi Individual-Rutin Stimulasi individual-rutin adalah pengalaman atau peristiwa yang dialami anak secara perorangan. Pengalaman atau peristiwa itu datang secara rutin. Misalnya hari ulang tahun yang dirayakan keluarga dan mengesankan bagi anak ; Judul lain yang dijadikan cerita seperti “pergi ke sekolah”, “pulang sekolah”, “jalan-jalan di sore hari”, “liburan sekolah di kampung halaman”, “mengasuh adik”, “membantu ibu di rumah”, dan sebagainya, merupakan contoh stimulasi individu-rutin. Setiap anak akan mengalami peristiwa atau kejadian tersebut, tetapi memiliki kesan dan pengalaman yang berbeda-beda. c. Stimulasi Klasikal-Insidental Stimulasi ini dapat menggali kejadian-kejadian atau keadaan yang akan atau telah dialami oleh anak-anak dalam satu kelas secara insidental (sewaktu-waktu, yang tidak diduga sebelumnya, tidak direncanakan sebelumnya). Misalnya, perkenalan siswa baru, kelas kami kebanjiran, guru baru, dan lain sebagainya. Peristiwa atau kejadian tersebut merupakan contoh kejadian yang dialami oleh seluruh anak dalam satu kelas (klasikal) namun kejadiannya insidental. Dari kejadian inilah kita dapat merangsang daya cipta anak dalam kegiatan belajar sebagai pengantar. Dalam pelaksanaannya dapat berupa cerita, tarian, atau bentuk lain yang dapat menjadi pembangkit inspirasi berkarya seni rupa. d. Stimulasi Individual-Insidental Stimulasi individual-insidental berguna untuk menggugah pengalaman peroranganyang bersifat sewaktu-waktu (incidental). Suatu saat seorang anak mengalami peristiwa yang tidak diduga akan terjadi pada dirinya dan tentu saja tidak dialami orang lain disekitarnya. Misalkan : aku juara lomba menggambar, aku sakit demam berdarah, aku terjatuh dari sepeda dan sebagainya. Stimulasi ini biasanya diberikan pada kasus anak yang mengalami hambatan ketika diberikan stimulasi klasikal. Pada kasus ini guru perlu mendekati anak tersebut secara perorangan serta menggali pengalaman pribadinya dan minatnya, sehingga anak tersebut dapat terinspirasi walaupun bersifat individual/ perorangan. SIMPULAN Pembinaan dan pengembangan aktivitas dan kreativitas seni rupa di sekolah dasar akan membantu siswa untuk dapat mengungkapkan gagasan, sikap, perasaan, nilai dan imajinasi yang melibatkan pertumbuhan pribadinya. Seni rupa dapat membuat mereka mampu mengekspresikan pengalaman pengalaman individu bahkan ketika mereka tidak mampu mengungkapkan berbagai peristiwa lewat kata-kata. Anak-anak suka melakukan kontak fisik
1336
langsung dengan alam mereka. Materi pembelajaran mereka muncul dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri, masalah pribadi mereka dan imajinasi-imajinasi mereka yang kaya. Untuk menyampaikan suatu gagasan, mereka menggambarkannya, melukiskannya, atau membuat model dari berbagai bahan. Bahan-bahan seni rupa yang fleksibel menawarkan kesempatan yang tidak terbatas pada anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Mereka bebas untuk memilih, melakukannya dengan cara sendiri, untuk mengembangkan pilihan-pilihan mereka. Karena bentuk ekspresi mereka yang unik dan dihargai, akan membuat anak mulai merasa percaya terhadap diri sendiri. Sehingga mereka belajar menghargai karya mereka sendiri dan karya orang lain. Melalui pendekatan Inspiratif dalam pembelajaran menghasilkan lebih banyak anak yang mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan guru, hal tersebut terlihat bahwa anak-anak sudah dapat mengungkapkan ide dan gagasannya, mandiri, mampu menceritakan hasil karyanya, percaya diri, dan tidak takut salah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pendekatan Inspiratif dalam pembelajaran pendidikan seni rupa dapat meningkatkan kreativitas anak Sekolah Dasar dalam berkarya seni rupa. DAFTAR RUJUKAN Bastomi, S. (1981/1982). Landasan Berapresiasi Seni Rupa. Semarang: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi IKIP Semarang. Chapman, L. H. (1978). Approaches to Art in Education. New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc. Depdiknas.(2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran Seni Budaya Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum, Balitbang Diknas. Fisher, E. F. (1978). Aesthetic Awareness and the Child. Illionis: F. E. Peaccock Publishers, Inc. Gaitskell, C. D. and Al Hurwitz. (1958). Children An Their Art, Methods for the Elementary School. New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc. Kamaril, C. Dkk. (1999). Pendidikan Seni Rupa/Kerajinan Tangan. Jakarta: Universitas Terbuka. Kamtini, Tanjung H. W. (2006). Berkreativitas Melalui Kerajinan Tangan dan Kesenian di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Ditjen Dikti Direktorat Ketenagaan. Lowenfeld, V. and Brittain W. L. (1975) Creative and Mentalgrowth, Sixth edition. New York: Macmillan Publishing, Co. Inc Maman Tocharman, dkk. (2006). Pendidikan Seni Rupa. UPI Press Muharrar, Syakir dan Verayanti, Sri. (2013). Kreasi Kolase, Montase, Mozaik Sederhana. Semarang : Erlangga Munandar, Utami. (2012). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta. Rachmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. (2006). Strategi Pengembangan Kreativitas. Bandung : Departemen Pendidikan Nasional. Sudarma, Momon. (2013). Mengembangkan Keterampilan Berfikir Kreatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
1337
Sumanto. (2006). Pengembangan Kreativitas Seni Rupa Anak Sekolah Dasar. Jakarta : Depdiknas. Tarjo, E. (2003). Pendidikan seni rupa. UPI. (2004). Strategi Belajar-Mengajar Seni Rupa. Bandung: Jurusan Pendidikan Seni Rupa FPBS UPI.
1338
TEKNIK CETAKAN BLOK MELALUI EKPLORASI SUMBER ALAM DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SENI PRA SEKOLAH 1)
Khalijah Ahmad & 2)Abd. Manaf Ishak Institut Pendidikan Guru Malaysia, Cyberjaya E-mail: 1)
[email protected] Abstract Based of Creativity and Aesthetics in art teaching pre-school is part of the human capital that can be competitive in the future. The importance of the intellectual development of children is fundamentally influenced by the teaching techniques and delivery taking place in an education system. Early exposure to traditional crafts such as batik can enhance creativity, expression, intuition, imagination, sensitivity and their conception of the craft of batik. The focus of this study was to visual art pre-school children through block printing technique. This technique is one of the most popular technique of batik in Malaysia since 1911. The study found that there are two sources of print material that can discover by pre-school children to produce prints of all so basic and made by human materials. Both of these substances must be scrutinized from the point of art, particularly base line, look for prints and textures of interest. This study will also explore natural resources to replace the colors available in the market and act as an agent for transferring motive blocks / mold on the surface of the paper or fabric. Therefore, this study is a step too creative for teachers to recognize and deepen the nature of the materials used in teaching and learning through visual arts Stem Creativity and Aesthetics in pre-school. Teachers in efforts to diversify the teaching techniques will attract students to explore the arts. Needs study is to develop creativity and exploration of teachers with preschool children in the production of traditional art history without marginalizing content Kata kunci: cetakan blok, eksplorasi, sumber alam dan prasekolah PENGENALAN Blok batik ialah acuan yang diperbuat daripada kayu, tembaga atau besi yang digunakan untuk menerap kain dengan menggunakan lilin (Pauziah Haji Abdullah, 1983). Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia (1987), mendefinisikan blok batik sebagai salah satu alat yang digunakan dalam penghasilan batik blok di Malaysia. Bagi blok kayu bahagian atas permukaannya diukir dengan motif yang timbul, manakala pada permukaan blok tembaga atau besi terdapat kesan motif berupa garisan sekiranya dilihat pada bahagian atas blok. Kesan ini ialah hasil gubahan dan susunan plat logam yang sekata ketinggiannya berdasarkan motif yang atau tema yang dipilih. Sejarah penghasilan blok batik pertama di Malaysia ialah dengan terciptanya blok batik daripada kayu iaitu hasil inisiatif dan inovasi yang dilakukan oleh Haji Che Su bin Ishak (1877 - 1936) pada tahun 1914. Penciptaan blok pertama ini telah membuka lebaran baru dalam penghasilan batik di Tanah Melayu pada ketika itu (Mohd Zain, 1984). Blok yang diperbuat
1339
daripada kayu ini kemudiannya bertindak sebagai acuan atau sarang bunga yang digunakan dalam penghasilan batik blok. Manakala penggunaan blok batik di Indonesia diilhamkan daripada penciptaan kain cap dari India yang di bawa masuk ke tanah Jawa. Kemasukan ini telah memberi inspirasi kepada tukang-tukang blok di kepulauan itu untuk menghasilkan acuan daripada kayu sebelum penghasilan daripada blok yang menggunakan tembaga (Kerlogue, 2004). Pada asasnya penggunaan blok batik seringkali kali dikaitkan dengan penggunaan lilin. Walau bagaimanapun pada permulaan penggunaan blok kayu, lilin masih belum digunakan bagi memindahkan motif dari permukaan blok ke atas permukaan kain. Proses memindahkan motif dari blok kayu ke atas permukaan kain hanya menggunakan warna sebagai bahan tara utama. Berbeza dengan blok kayu, blok besi dan tembaga akan dicelup ke dalam larutan lilin yang panas sebelum diterap atau dipukul ke atas permukaan kain. Kesan terapan ini akan meninggalkan motif daripada blok yang digunakan. Kesan motif yang sama akan diperoleh sekiranya penggunaannya diulang. Hasil daripada terapan lilin ini juga akan memperlihatkan kesan garisan, titiktitik atau bunga putih (kain) apabila ia diberi warna melalui proses pencelupan warna (Lai, 1994). Penggunaan blok atau acuan dalam penghasilan batik bertujuan untuk mempercepatkan kerja-kerja penghasilan produk. Hasil cetakan menggunakan blok ini akan meninggalkan kesan cetakan yang sama serta dapat dilakukan dalam masa yang lebih singkat. Dalam pengajaran dan pembelajaran seni visual di peringkat pra sekolah, aktiviti ini dijalankan bertujuan untuk mengasah kreativiti dan disiplin kanak-kanak selain dapat mengendali bahan dan peralatan cetakan di samping dapat menguasai bahan dan alat yang digunakan. Secara asasnya aktiviti cetakan ini dianggap paling bersesuaian dengan peningkatan tahap kreativiti kanak-kanak pra sekolah. Mengikut catatan sejarah perkembangan batik di Malaysia, penghasilan batik dengan menggunakan teknik cetakan blok atau acuan ini adalah yang terawal dihasilkan, namun tarikh dan tahun penghasilannya yang tepat tidak dinyatakan. Sebagai pengenalan kepada aktiviti cetakan di peringkat sekolah kebanyakan bahan dan alat yang digunakan adalah yang paling asas tanpa menggunakan lilin panas atau bahan yang membahayakan. Peratusan atau kesan untuk mendatang kecederaan kepada kanak-kanak adalah sifar atau paling minimum. Hal ini disebabkan oleh guru bertindak sebagai demonstrator kepada kanak-kanak terutamanya semasa memotong atau membentuk motif pada permukaan bahan yang digunakan. Manakala gerak kerja seperti menumbuk bahan menggunakan lesung batu boleh alami oleh kanak-kanak dengan pemerhatian penuh daripada guru dan pembantu pra. DEFINISI CETAKAN Cetakan adalah proses penghasilan karya seni yang menggunakan warna atau dakwat. Imej yang akan terhasil kesan daripada pemindahan warna atau dakwat yang disapu pada permukaan imej yang dibentuk melalui keratan atau diukir ke atas sesuatu permukaan sama ada kain atau kertas. Cetakan juga merupakan proses penghasilan karya seni yang lazimnya dalam bentuk 2
1340
dimensi atau rata yang dilakukan secara berulang dan menghasilkan gambaran visual atau kesan yang sama. Cetakan berdasarkan kajian ini menjurus kepada cetakan blok yang menggunakan bahan semula jadi dan bahan buatan manusia mengikut tahap dan kemampuan kanak-kanak pra sekolah. ALATAN ASAS CETAKAN Lazimnya proses cetakan asas di peringkat pra sekolah menggunakan beberapa peralatan asas seperti: 1. Blok atau acuan yang digunakan untuk mencetak, bahan tara untuk memindahkan imej. 2. Warna iaitu bahan tara yang digunakan untuk memindahkan imej daripada permukaan blok atau acuan ke atas permukaan kain ( dalam kajian ini warna yang digunakan adalah daripada ekstrak bahan semula jadi yang dicampur dengan batu kapur berwarna putih untuk menjadikannya lebih pekat) 3. Berus untuk menyapu warna. 4. Bahan yang tajam seperti pisau untuk membentuk imej blok (perlu dikendalikan oleh guru). 5. Plat (bekas) pembancuh warna. TEKNIK CETAKAN BLOK Pengajaran seni visual menerusi Tunjang Kreativiti dan Estetika di peringkat Pra Sekolah dapat mempelbagaikan lagi teknik pengajaran. Teknik cetakan ini pada asasnya telah lama diaplikasikan dalam mata pelajaran Pendidikan Seni Visual di sekolah. Walau bagaimanapun pelaksanaannya agak terhad dan terbatas. Kebanyakan guru lebih selesa mengaplikasikan bahan sedia ada di pasaran. Eksplorasi bahan dalam pengajaran dan pembelajaran memerlukan daya usaha yang tinggi dalam kalangan guru. Hal ini ditambahkan lagi dengan perlaksanaan pengajaran mengikut sukatan yang telah di tetap dan diselaraskan, selain memerlukan minat dan kreativiti guru untuk melaksanakannya. Guru-guru juga perlu bersedia lebih awal selain memerlukan komitmen yang sepenuhnya bagi menjayakan projek pengajaran dan pembelajaran seperti ini. Namun, adalah lebih baik menjalankan sesuatu yang di luar kebiasaan bagi menghasilkan pengalaman sepanjang hayat dalam kalangan kanak-kanak yang diajar daripada pengalaman dan pengetahuan itu hanya bertahan seminggu atau sebulan yang paling lama setahun. Keperluan mengeksplorasi bahan semula jadi yang berfungsi sebagai acuan atau blok dalam aktiviti cetakan, terhadap kanak-kanak pra sekolah akan mendedahkan lagi mereka kepada kepelbagaian teknik dalam penghasilan seni visual di samping memberi pengalaman yang menyeronokkan. Penggunaan bahan-bahan maujud seperti blok batik dan batik blok adalah objek yang paling tepat untuk memahamkan lagi kanak-kanak tentang fungsi dan keperluan blok atau acuan batik sebagai mekanisme yang menghasilkan seni tradisi ini. Aplikasi teknik cetakan juga akan memupuk kreativiti dalam kalangan kanak-kanak pra sekolah menyusun atur motif berdasarkan gambaran atau panduan yang diberikan. Aktiviti ini juga, membuka ruang kepada kanak-kanak untuk mengeksplorasi penggunaan ruang yang tepat dalam penghasilan karya. Terdapat dua bahan yang telah dikenal pasti sebagai blok atau acuan iaitu
1341
bahan semula jadi dan bahan buatan manusia. Lazimnya proses cetakan di peringkat pra sekolah dijalankan secara mono iaitu hanya menggunakan satu warna bagi satu acuan atau blok. Elemen asas seni reka seperti rupa, bentuk, ruang, garisan dan jalinan yang terhasil daripada cetakan ini akan menambahkan lagi nilai estetika dan keunikannya. Keupayaan kanak-kanak mengenal pasti setiap motif yang dihasilkan daripada bahan semula jadi akan menambahkan lagi pemahaman mereka daripada aktiviti yang dijalankan. BAHAN BLOK Adaptasi daripada bahan semula jadi sebagai blok cetakan, mempunyai dua kategori iaitu aplikasi motif daripada bahan semula jadi dan reka bentuk motif pada bahan semula jadi yang dipilih. Kedua-dua hasil cetakan daripada kaedah ini akan meninggalkan kesan yang berlainan sama ada dari segi rupa ataupun jalinan. Setiap bahan yang dipilih perlu dikenal pasti kandungan serat dan air dalamnya, kerana kedua-dua elemen ini akan mempengaruhi cetakan. Lazimnya bahan seperti ubian dan umbut pisang adalah antara bahan utama yang digunakan untuk membentuk blok. Namun begitu pemilihan sesetengah bahan seperti ubi sengkuang sebagai bahan blok jarang diaplikasikan kerana kandungan air yang banyak dan bersifat rapuh. Motif Asal Selain mempunyai khasiat makanan yang tinggi bagi sesetengah tanaman sama yang tumbuh secara liar atau sayuran yang ditanam, tumbuhan ini lazimnya mempunyai rupa, bentuk, warna yang pelbagai dan unik. Perbezaannya memberi kelainan pada hasilan seni jika diaplikasikan dengan betul. Antaranya seperti buah peria, brokoli, bunga kubis, petola, capsicum annum (cili Benggala), terung, pangkal sawi, kacang kelisa, bawang, pelepah pisang dan lain-lain lagi adalah tumbuhan atau sayuran yang mempunyai keratan rentasan yang menarik. Pada permukaan keratan rentas akan terhasil rupa atau bentuk yang terhasil secara semula jadi dan boleh digunakan dengan mudah oleh kanak-kanak sebagai blok atau acuan. Hal ini berdasarkan kepada penggunaan blok yang diambil daripada keratan batang buluh tanpa menambahkan sebarang dekorasi pada bahagian yang dipotong dan digunakan sebagai blok cetakan pada zaman prasejarah. Aktiviti ini berterusan sehinggalah penemuan bahan blok yang lebih baik, tahan lama dan lebih praktikal, iaitu blok yang menggunakan batu yang diukir dan dibakar, kemudian dicelup ke dalam larutan warna dan diterap ke atas permukaan kain untuk mempercepatkan proses pengeringan motif yang dicetak (Abdullah Muhammad, 1990). Walau bagaimana penggunaan acuan daripada batu ini kemudiannya berubah mengikut perkembangan tamadun manusia sehingga menemukan bahan yang lebih praktikal dan tahan lama seperti kayu, blok besi dan tembaga. Blok kayu adalah blok yang mengaplikasikan teknik cetakan mono manakala blok besi dan tembaga lazimnya menggunakan lilin panas untuk memindahkan motif ke permukaan fabrik.
1342
Rajah 1: Blok kayu Sumber: Koleksi Pusat Inovasi Kraf Batik, Kelantan
Rajah 2: Blok tembaga Sumber: Koleksi Perusahaan SAMASA Batik tahun 2000
Penggunaan motif asal pada bahan semula jadi ini lebih menjimatkan masa, namun begitu nisbah keemasan yang terhasil daripada cetakan ini kurang menyerlah berbanding dengan cetakan menggunakan motif yang dibentuk pada permukaan bahan semula jadi atau bahan buatan manusia. Reka Bentuk Motif Blok Penggunaan bahan semula jadi sebagai blok atau acuan cetakan di peringkat pra sekolah perlu dikenal pasti dengan tepat. Bahan-bahan semula jadi yang padu dan kurang mengandungi kandungan air adalah yang paling sesuai untuk membentuk motif pada permukaannya. Antara bahan-bahan tersebut ialah karet, ubi kentang, ubi keledek dan umbut pisang. Secara dasarnya penghasilan motif pada permukaan bahan semula jadi ini telah lama dipraktikkan. Kaedahnya hampir menyerupai kaedah penghasilan blok batik yang menggunakan kayu iaitu dengan cara membentuk alur kecil mengikut motif yang dikehendaki pada permukaan kayu. Blok yang dihasilkan dengan menggunakan bahan daripada ubian dan umbut ini dikenali sebagai blok bungkis. Abdullah Mohammad (1990), penciptaan blok ini dianggap sebagai sebahagian daripada usaha dan inisiatif masyarakat terdahulu untuk menghasilkan motif yang serupa dalam kuantiti yang banyak dan dapat dihasilkan dalam masa yang singkat. Proses menghasilkan motif blok bungkis dimulakan dengan memotong ubi atau umbut untuk mendapatkan permukaan yang rata bagi tujuan membentuk motif. Motif blok akan diukir atau dibentuk pada bahagian permukaan ubi atau umbut sama ada dengan ketinggian yang berbeza daripada tapak atau dibentuk motif pada keseluruhan permukaan ubi atau umbut. Alur kecil dibentuk bagi menimbulkan motif di atas permukaan blok. Setelah siap blok akan disapu dengan warna pada permukaannya sebelum dicetak ke atas permukaan kain atau kertas. Pembentukan saiz motif blok bungkis bergantung kepada saiz motif yang dikendaki, lazimnya juga bergantung pada saiz umbut pisang dan ubian yang digunakan. Jumlah karya yang mampu dicetak dengan menggunakan blok ini adalah bergantung pada kemampuan blok. Lazimnya blok tidak tahan lama kerana mudah rosak, busuk
1343
atau berkulat. Namun begitu bagi aktiviti cetakan di peringkat pra sekolah dianggap amat memadai kerana hanya menghasilkan karya yang bersaiz kecil. Jadual 1, menunjukkan antara bahan semula yang boleh diaplikasikan sebagai blok dalam aktiviti cetakan di peringkat pra sekolah. Bahan-bahan yang disarankan ini merupakan bahan yang mudah didapati dan dikenal pasti oleh guru pra sekolah. Jadual 1. Bahan blok Jenis Bahan
Proses Penyediaan Bahan
Motif
Buah peria
Keratan rentas.
Menggunakan motif asal hasil daripada keratan rentas
Brokoli
Memotong bahan kepada dua bahagian
Menggunakan motif asal hasil daripada potongan
Bendi
Keratan rentas.
Menggunakan motif asal hasil daripada keratan rentas
Cili Benggala
Keratan rentas.
Menggunakan motif asal hasil daripada keratan rentas
Bahagian pangkal sawi
Memotong bahagian pangkal sawi
Menggunakan motif asal hasil daripada potongan pangkal
Bawang
Keratan rentas
Menggunakan motif asal hasil daripada keratan rentas
Umbut pisang
Membuat keratan rentas dan membentuk motif pada permukaan bahan
Motif yang dihasilkan berdasarkan kreativiti dan imaginasi
Karet
Membuat keratan rentas dan membentuk motif pada permukaan bahan
Motif yang dihasilkan berdasarkan kreativiti dan imaginasi
Kentang/keled ek
Membuat keratan rentas dan membentuk motif pada permukaan bahan
Motif yang dihasilkan berdasarkan kreativiti dan imaginasi
Buah peria
Membuat keratan rentas dan membentuk motif
Motif yang dihasilkan berdasarkan keratan rentas.
Bahan Buatan Manusia Selain daripada keupayaan bahan semula jadi bertindak sebagai blok dalam aktiviti cetakan, penggunaan bahan-bahan buatan manusia juga boleh
1344
digunakan dalam aktiviti ini. Lazimnya bahan-bahan ini perlukan disesuaikan dengan aktiviti cetakan. Antaranya seperti getah pemadam, abjad atau huruf yang dihasilkan untuk mainan kanak-kanak, plastersin, tudung botol, acuan kuih dan lain-lain lagi. Kebanyakan bahan buatan manusia ini mempunyai motif sedia ada, namun sebahagiannya perlu dibentuk motif bagi mendapat kesan cetakan yang menarik. WARNA ALAM Warna memainkan peranan penting untuk menghiasi emosi fizikal manusia serta makhluk lain yang bernyawa. Sejak zaman primitif, manusia telah memanfaatkan pigmen warna dari alam yang terdapat di sekeliling mereka. Pewarnaan asli atau alam boleh dibahagikan kepada tiga kategori iaitu pewarna asli yang dapat dihasilkan daripada tumbuh-tumbuhan, binatang dan bahan galian. Bahan asli dari kulit binatang, kulit cangkerang, siput dan batu telah digunakan untuk menghasilkan lukisan pada dinding gua pada zaman purbakala. Pewarnaan asli dipercayai telah diamalkan dan berkembang di setiap negara dan bangsa (Faridah, Fauziah, Shaifaul, Zailani, Rozi & Shamsheila Mazura, 2009). Pengalaman ekspresi kanak-kanak memerlukan daya kreatif guru dalam menyediakan sesuatu bahan pengajaran yang baharu. Kesediaan penerimaan kanak-kanak pada peringkat ini juga memerlukan penerokaan sesuatu yang berbeza. Sebagai contoh penghasilan warna daripada sumber semula jadi seperti buah, kulit pokok, bunga dan daun akan menambahkan pengalaman kreatif kanak-kanak. Walau bagaimanapun proses ini perlu dirancang dengan teliti di samping memerlukan kesediaan guru untuk mendapatkan bahan dan alatan yang digunakan bagi mendapatkan warna daripada bahan yang telah dikenal pasti. Lazimnya bahan-bahan ini ditumbuk atau dikisar bagi mendapatkan ekstrak atau pati yang berwarna. Ekstrak daripada sumber semula jadi ini boleh digunakan dalam aktiviti cetakan iaitu bagi tujuan memindahkan warna daripada permukaan motif ke atas permukaan kertas atau kain. Proses mendapatkan warna daripada bahan semula jadi seperti yang disenaraikan dalam jadual 2, memerlukan daya usaha guru yang tinggi. Proses penghasilannya perlu melalui langkah tertentu. Walau bagaimanapun kajian ini hanya memberi tumpuan kepada proses asas yang hanya memerlukan bahan tara seperti air untuk merendam dan lesung batu untuk menumbuk. Proses ini boleh dilakukan bersama kanak-kanak pra sekolah dengan pemerhatian daripada guru dan pembantu pra. Bahan pewarna semula yang disarankan dalam kajian ini ialah bahan-bahan yang mudah diperoleh. Namun begitu ekstrak yang terhasil daripada bahan ini agak cair, bagi memekatkan ekstrak warna yang telah diproses , pengkaji menyarankan penggunaan batu kapur yang diasah atau menggunakan tepung beras atau gandum.
1345
Jadual 2. Sumber bahan pewarnaan asli (yang mudah didapati) Jenis Bahan
Proses Penyediaan bahan Kunyit Ditumbuk menggunakan lesung batu atau di mesin Pokok rambutan hantu Biji dimasukkan ke (bixa orellana) dalam air suam atau direbus untuk mengeluarkan warna. Batu kapur (merah) Diasah pada permukaan yang kesat Daun teh Direndam di dalam air panas Serbuk kopi Direndam di dalam air panas Daun mengkudu Ditumbuk
Warna yang terhasil
Buah senduduk
Buah masak ditumbuk
Biru kehitaman
Daun inai
Ditumbuk halus
Kulit buah manggis
Ditumbuk halus
Merah atau oren keemasan Ungu kehitaman
Kuning keemasan Merah
Merah jambu Kuning keperangan Coklat kehitaman Ungu kehitaman
SUSUNAN MOTIF Susunan ialah reka letak yang menentukan kedudukan motif pada sesuatu permukaan. Setiap rekaan seni kraf tradisional mempunyai susunan yang tertentu bergantung kepada ragam motif yang dihasilkan. Keunikan corak pada sesuatu produk khususnya batik bergantung pada kemahiran para tukang dalam menentukan kedudukan susunan motif. Antara susunan yang sering diaplikasikan dalam kraf tangan tradisional seperti batik dan songket ialah susunan ulangan sekata, selang seli, batu bata, berpusat, orgee, sendeng, berjalur, cerminan, turun separa dan lain-lain lagi. Susunan kedudukan motif pada permukaan kain akan lebih menyerlah dengan penggunaan warna yang tepat dan sesuai. Kombinasi ini akan menambahkan lagi nilai estetika pada produk yang dihasilkan. PROSES PENGHASILAN KARYA Proses penghasilan karya perlu dirancang dengan teliti. Lazimnya guru yang bertanggungjawab membuat demonstrasi untuk menghasilkan warna daripada bahan semula jadi. Manakala proses cetakan perlu disusun mengikut terbit dan terancang supaya mudah difahami oleh kanak-kanak. Rajah 3 dan 4, menunjukkan hasil daripada eksplorasi bahan semula jadi sebagai blok atau acuan dalam aktiviti cetakan. Rajah 3 menunjukkan antara contoh motif yang terdapat daripada semula jadi, kesan cetakan dan warna yang digunakan, manakala dalam rajah 4, adalah hasil daripada motif yang dibentuk dengan menggunakan bahan semula jadi. Bagi memantapkan lagi aktiviti yang
1346
dijalankan guru seharusnya menunjukkan beberapa bahan bantu mengajar seperti blok batik, kain sarong sama ada dalam bentuk gambar maujud atau hasil karya yang berkaitan dengan cetakan blok bagi memantapkan lagi pemahaman kanak-kanak di peringkat ini. Guru juga perlu membanding bezakan keupayaan menggunakan blok daripada bahan semula jadi dengan blok yang dihasilkan daripada besi atau kayu. Rajah 3. Contoh motif asal yang terdapat daripada bahan semula jadi, kesan cetakan dan warna yang digunakan Jenis Bahan
Kesan cetakan
Catatan Menggunakan ekstrak batu kapur kisar atau digosok di atas permukaan kasar. Menggunakan ekstrak campuran daun pandan dan batu kapur putih
Menggunakan ekstrak campuranbatu kapur putih dan kunyit yang ditumbuk
Menggunakan ekstrak daripada biji rambutan hantu yang diramas di dalam air untuk mendapatkan warna merah
1347
Jenis Bahan
Kesan cetakan
Catatan Menggunakan ekstrak daripada biji rambutan hantu yang diramas di dalam air untuk mendapatkan warna merah
Menggunakan ekstrak daripada campuran serbuk kopi dan serbuk teh.
1348
Rajah 4. Contoh motif yang dibentuk daripada bahan semula jadi, kesan cetakan dan warna yang digunakan Jenis Bahan
Kesan cetakan
Catatan Menggunakan ekstrak kunyit yang ditumbuk.
..
Menggunakan campuran ekstrak kunyit dan cili yang dikisar.
Menggunakan warna dari ekstrak kopi yang direndam ke dalam air panas.
RUMUSAN Hasil kajian mendapati, pembentukan disiplin dan kreativiti murid-murid pra sekolah secara asasnya dapat dibentuk dengan menjalankan aktiviti pembelajaran yang berbeza. Hasil pemerhatian juga mendapati, setiap kanakkanak mempunyai kemahiran kreativiti dan disiplin kerja yang berbeza di antara satu sama lain. Kemahiran ini boleh dipupuk dan diasah secara berterusan bagi meningkatkan kemahiran sedia ada mereka. Keupayaan kanak-kanak di peringkat ini seharusnya diberi perhatian kerana ia akan membantu watak dan keupayaan kendiri mereka di peringkat yang seterusnya. Melalui aktiviti cetakan ini kanak-kanak bukan sahaja diperkenalkan dengan aktiviti mencetak sebalik turut diperkenalkan dengan bidang ilmu yang lain seperti sifat dan ciriciri fizikal bahan semula jadi selain berfungsi sebagai makanan atau hiasan selain daripada eksplorasi terhadap sumber alam itu sendiri iaitu dengan mengubah bentuk asal menjadi satu motif yang baharu. Mereka juga turut diterapkan dengan nilai-nilai murni semasa aktiviti dijalankan. Kajian ini juga
1349
memberi peluang kepada kanak-kanak menggunakan bahan buatan manusia yang ada di sekeliling mereka sebagai acuan atau blok cetakan. Hasil kajian juga mendapati, bahan maujud yang digunakan oleh guru dalam aktiviti pengajaran seperti blok batik (blok tembaga), batik blok (kain sarung) dan peralatan membatik yang lain memudahkan lagi pemahaman kanak-kanak, di samping dapat mengaitkan bahan maujud tersebut dengan aktiviti cetakan yang dijalankan. RUJUKAN Abdullah Mohamed (1990). Batik kita: Falsafah motif-motif dan sejarahnya dalam Warisan Kelantan IX. Kota Baharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 13-43 Arney, S. (1987). Malaysian batik creating new traditions. Kuala Lumpur: Kraftangan Malaysia. Arba’iyah (2009). Falsafah Motif dalam seni tekstil Melayu dalam Prosiding Persidangan Antarabangsa Kesenian 2009, Seni dekorasi: Pelestarian dan Pembangunan. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Universiti Malaya. Baharudin Mohd Arus (2000). Kraf tangan satu transformasi. Prosiding Konvensyen Kebangsaan Pendidikan Seni Visual (2000). Kuala Lumpur: Kementerian Pelajaran Malaysia, 149-153 Faridah, Fauziah, Shaifaul, Zailani, Rozi dan Shamsheila Mazura (2009). Seni kraf batik: Pewarnaan asli. Rawang: Institut Kraf Negara Fauziah Hj Abdullah (1983). Sejarah perusahaan batik dalam Warisan Kelantan II. Kota Baharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan. 42- 52. Lai Huey Hung (1994), Peranan seni dalam kehidupan sehari-hari: Seni batik. (Tugasan Pendidikan Seni KPLI). Institut Pendidikan Darulaman. Koleksi Arkib, Cawangan Negeri Kedah dan Perlis. Haziyah Hussin (2006). Motif tumbuhan kategori Bunga dalam reka corak batik Kelantan. Jurnal Arkeologi Malaysia. Bil. 13, 15-30. Haziyah Hussin (2006). Warisan aktiviti penghasilan batik dan songket di Semenanjung Malaysia, Jurnal Arkeologi Melayu. Bil. 19, 37-49. Kerlogue, F. (2004). Batik design, style & history. New York: Thames & Hudson. Merriam, S. B. (2009). Qualitative research and case study applications in education. San Francisco: Joosey-Bass Pub. Miles, M. B. & Heberman, A. M. (1994). Qualitative data and analysis: An expanded sourcebook. (2nd. Ed.), Thousand Oaks. CA: Sage. Mohamed Najib (2002), Sejarah dan perkembangan teknik membatik di Malaysia dalam Prosiding seminar batik: Ekspresi, eksplorasi dan komunikasi. Kuala Lumpur: Institut Kraf Negara, 6-11. Mohamed Najib (2008). Transformasi untuk konteks kontemporari ke arah pembentukan identiti. Kuala Lumpur: Mohamed Najib Mohd Dawa. Mohd Zain (1984). Sejarah perusahaan batek (tidak diterbitkan) . Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia (1987). Serian Batik, Kuala Lumpur: Perbadanan Kemajuan Kraf Tangan Malaysia.
1350
KEMUDAHAN PRASARANA DALAM PELAKSANAAN MATA PELAJARAN TEKNOLOGI KEJURUTERAAN, LUKISAN KEJURUTERAAN DAN REKA CIPTA DI SEKOLAH MENENGAH HARIAN 1)
Mohd Tafizam Mohd Taib & 2)Ramlee Mustapha Universiti Pendidikan Sultan Idris E-mail: 1)
[email protected]
Abstrak Sejak 1996, mata pelajaran teknikal seperti Teknologi Kejuruteaan (TK), Lukisan Kejuruteraan (LK) dan Reka Cipta (RC) telah diperkenalkan sebagai mata pelajaran elektif kepada pelajar tingkatan 4 dan tingkatan 5 Sekolah Menengah Harian di Malaysia. Data Lembega Peperiksaan untuk mata pelajaran TK, LK dan RC dari 2006 hingga 2010 menunjukkan pencapaian pelajar dalam peperiksaan Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) kurang memberangsangkan. Data Unit Perancangan dan Dasar Kementerian Pendidikan juga menunjukkan penurunan enrolmen pelajar TK, LK dan RC diantara 10 ke 17 peratus dari 2009 hingga 2011. Justeru, adalah kritikal kajian ini dijalankan untuk mengenalpasti perancangan dan pelaksanaan mata pelajaran ini menggunakan sebahagian model penilaian KIPP – Konteks, Input, Proses dan Produk(KIPP) oleh Stufflebeam et. Al. (1971). Maka, tujuan kertas kerja ini adalah untuk melaporkan keputusan kajian empirikal yang dijalankan mengenai persepsi pentadbir, guru dan pelajar mata pelajaran ini terhadap kemudahan prasarana. Data yang diperolehi menggambarkan persepsi 159 orang pentadbir dan 176 orang guru pelbagai latarbelakang, terhadap kemudahan prasarana yang terdapat di sekolah menengah harian. Implikasi dan cadangan terhadap pengajaran dan pembelajaran serta kajian akan datang turut dibincangkan dan dipersembahkan. Kata kunci: Subjek teknikal, kemudahan prasarana, model KIPP, sekolah harian, Malaysia PENDAHULUAN Kemudahan prasarana sekolah merangkumi persekitaran sekolah yang meliputi keadaan keceriaan dan masyarakat sekolah. Keceriaan pula merangkumi pengurusan fizikal termasuklah taman, sudut-sudut pembelajaran, kemudahan istirehat serta pengurusan bahan-bahan dan ABM (Zakaria dan Idris, 1995). Kemudahan prasarana yang baik dapat merangsang guru menggunakan pelbagai sumber yang sesuai untuk membantu mereka menjayakan proses pengajaran dan pembelajaran. Namun kemudahan prasarana sekolah adalah berbeza diantara satu sekolah dengan sekolah yang lain terutama sekali antara sekolah di kawasan bandar dengan sekolah yang terletak di pendalaman (Juraidah, 2005). Kemudahan bukan sahaja untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran tetapi merangkumi segala aspek yang ada di persekitaran sekolah, kemudahan ini termasuklah bilik darjah yang kondusif, alat bantu mengajar (ABM), bahan bantu mengajar (BBM), bahan rujukan, bengkel atau makmal dan peralatan bengkel. Persekitaran
1351
pembelajaran mata pelajaran teknikal juga mempengaruhi sikap belajar, justeru menurut Husted et. all (2003) antara kemudahan dan peralatan yang perlu ada ialah, perabot samada yang tetap atau boleh alih serta mesin dan peralatan. TINJAUAN LITERASI Kajian Radin (2008) menunjukkan peralatan yang tidak mencukupi dan pelajar berkongsi peralatan untuk melakukan amali kerja kursus Teknologi Kejuruteraan. Maka sudah tentu menyukarkan guru untuk membuat pentaksiran dan pelajar tidak dapat membuat kerja kursus dengan baik dan teratur. Ramai dalam kalangan pelajar akan mengambil masa yang agak lama untuk menyiapkan projek disebabkan kekurangan peralatan bengkel. Finch & Crunkilton (1999) menjelaskan bahan bantu mengajar adalah sumber yang boleh dikategorikan kepada tiga iaitu bahan bercetak, audivisual dan ‘manipilatif aid’ .Bahan-bahan rujukan utama mungkin terdiri daripada satu atau dua jenis sahaja seperti buku teks dan sukatan pelajaran, sebaliknya ada kurikulum yang mencadangkan penggunaan berbagai bahan yang terdiri daripada bahan-bahan untuk pelajar seperti buku teks, buku kerja, buku bacaan tambahan dan buku latihan dan bahan-bahan untuk digunakan oleh guru seperti buku panduan, huraian sukatan pelajaran, buku sumber, carta dan poster (Abu Bakar,1991). PERNYATAAN MASALAH Kemerosotan bilangan pelajar yang mengambil mata pelajaran teknikal yang terdiri daripada mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka cipta sebagai mata pelajaran elektif di Sekolah Menengah Harian, memberi banyak implikasi kepada sistem pendidikan teknik dan vokasional di Malaysia. Sumber unit data bahagian perancangan dan penyelidikan pendidikan, Kementerian Pelajaran Malaysia menunjukkan jumlah enrolmen pelajar pada tahun 2009 adalah seramai 42, 540 orang telah merosot kepada 38, 211 orang pada tahun 2010 dan seterusnya pada tahun 2011 jumlah ini merosot lagi kepada 31, 879 orang. Kemerosotan enrolmen pelajar pada tahun 2010 berbanding tahun 2009 adalah sebanyak 10.2%, kian membimbangkan pada tahun 2011 berbanding 2010 dengan kemerosotan 16.6%. TUJUAN KAJIAN Kajian ini dibuat atas dasar untuk melihat kelemahan dan kekuatan pembolehubah-pembolehubah berdasarkan Model KIPP dari dimensi input, proses dan produk, untuk memberi gambaran kepada Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) Jabatan Pendidikan Negeri (JPN) dan Pejabat Pendidikan Daerah (PPD) mengenai punca-punca kemerosotan enrolmen dan kualiti kelulusan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka cipta dalam peperiksaan SPM. METODOLOGI KAJIAN Reka bentuk kajian ini adalah kajian penilaian program menggunakan sebahagian daripada model Context, Input, Process dan Product (CIPP) oleh Stufflebeam et al. (1971). Oleh kerana responden dalam kajian ini ramai tetapi memerlukan interaksi yang minimum dengan responden, soal selidik sangat
1352
sesuai digunakan. Walaupun data yang diperoleh melalui soal selidik dalam kajian ini adalah data numerik dan dianalisis mengikut prosedur statistik secara deskriptif dan inferensi, namun sebahagian daripada data numerik tersebut memerlukan penjelasan lebih mendalam melalui temubual daripada sebilangan kecil responden. Pemerhatian selanjutnya menggunakan senarai semak juga dijalankan bagi melihat secara umum proses pengajaran dan pembelajaran melalui lawatan ke sekolah. Kajian ini adalah untuk menilai dan melihat perjalanan program, tiada teori khusus yang diuji atau dihasilkan. Kaedah kuantitatif sesuai digunakan untuk mengukur pembolehubah dan menguji hipotesis kajian bagi memperoleh data numerik tetapi data numerik tidak dapat menjelaskan pemahaman lebih mendalam tentang suatu konteks. Bagi memenuhi tujuan tersebut, Gay & Airasian (2000) dan Neuman (2000) menjelaskan kedua-dua kaedah kuantitatif dan kualitatif sesuai dilaksanakan dalam sesuatu kajian. Populasi dan sampel Populasi dan sampel kajian ini dipilih dari 95 buah sekolah bagi mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, 323 buah sekolah bagi mata pelajaran Lukisan Kejuruteraan dan 222 buah sekolah bagi mata pelajaran Reka Cipta di Semenanjung Malaysia. Sekolah-sekolah tersebut dibahagikan mengikut lima zon iaitu zon utara (Perlis, Kedah dan Pulau Pinang), zon barat (Perak), zon tengah (Selangor, Kuala Lumpur dan Negeri Sembilan), zon selatan (Melaka dan Johor) dan zon timur (Pahang, Terengganu dan Kelantan). Namun demikian hanya dua puluh dua buah sekolah dipilih daripada setiap zon. Bagi memastikan pulangan yang tidak kurang daripada n= 335, sebanyak 408 sampel kajian dipilih secara rawak strata mengikut zon yang terdiri daripada pengetua, penolong kanan akademik, guru kanan mata pelajaran, guru Teknologi Kejuruteraan, guru Lukisan Kejuruteraan, dan guru Reka cipta. Seramai 12 orang responden yang terdiri daripada 6 orang pentadbir dan 6 orang guru yang sedang mengikuti mata pelajaran Teknologi Kejuruteaan, Lukisan Kejuruteaan dan Reka Cipta di Sekolah Menengah Harian telah ditemubual. Instrumen kajian Instrumen soal selidik, protokol temu bual dan senarai semak pemerhatian dibina sendiri dengan mematuhi langkah-langkah pembinaan instrumen seperti kajian rintis, kesahan dan kebolehpercayaan. Instrumen soal selidik dibina terlebih dahulu kemudian dijalankan kajian rintis. Maklumat kajian rintis soal selidik dijadikan asas untuk membina instrumen pemerhatian. Seterusnya maklumat daripada kajian rintis instrumen soal selidik dan pemerhatian pula dijadikan asas untuk membina protokol temu bual. DAPATAN KAJIAN Perbezaan Skor Min Pentadbir dan Guru Terhadap Kemudahan Prasarana Skor min kemudahan prasarana bagi pentadbir dan guru ditunjukkan seperti dalam Jadual 1. Skor min kemudahan prasarana daripada pentadbir adalah setuju iaitu 3.86, manakala skor min guru pula adalah juga setuju iaitu 3.59. Ini menunjukkan skor min pentadbir terhadap kemudahan prasarana adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan skor min guru.
1353
Jadual 1. Skor Min Kemudahan Prasarana Dalam Kalangan Pentadbir dan Guru
Skor min Kemudahan prasarana
Pentadbir (n=159) Sisihan Interpretasi Piawai skor min
3.86
0.52
Setuju
Skor min 3.59
Guru (n=176) Sisihan Interpretasi Piawai skor min 0.60
Tidak pasti
Ujian-t dijalankan bagi melihat perbezaan persepsi pentadbir dan guru terhadap kemudahan prasarana. Jadual 2, menunjukkan kemudahan prasarana mempunyai nilai p = 0.00 dan signifikan pada paras 0.05. Oleh itu, terdapat perbezaan yang signifikan di antara persepsi pentadbir dengan persepsi guru mengenai kemudahan prasarana. Jadual 2. Ujian-t Skor Min Kemudahan Prasarana Di Kalangan Pentadbir dan Guru N
Darjah kebebasan
Kemudahan 335 prasarana * Signifikan pada p = 0.05
333
T
Signifikan (2-tailed) (p)
4.39
0.00*
Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang perbezaan persepsi pentadbir dan guru terhadap kemudahan prasarana, skor min untuk peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar ditunjukkan dalam Jadual 3. Skor min keseluruhan peralatan bengkel ialah 3.86, manakala skor min keseluruhan bahan bantu mengajar ialah 3.48. Pada keseluruhannya pentadbir dan guru mempunyai skor yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, juga tahap setuju terhadap bahan bantu mengajar namun pada skor min yang lebih rendah berbanding peralatan bengkel dan menghampiri tidak pasti. Jadual 3. Skor Min Keseluruhan Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Skor min keseluruhan
Sisihan piawai
Interprestasi skor min
Peralatan bengkel
3.86
0.65
Setuju
Bahan bantu mengajar
3.48
0.70
Setuju
Untuk perbincangan lebih lanjut Jadual 4 pula menunjukkan perbezaan skor min bagi peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar antara pentadbir dan guru iaitu dua elemen dalam komponen kemudahan prasarana pembolehubah input yang di tetapkan dalam penyelidikan ini. Skor min bagi peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar di kalangan pentadbir adalah pada tahap lebih tinggi jika dibandingkan dengan guru. Skor min peralatan
1354
bengkel bagi pentadbir adalah 3.96 dan guru pula 3.77. Skor min bahan bantu mengajar bagi pentadbir adalah 3.69 dan guru pula 3.28. Pada keseluruhannya pentadbir mempunyai skor yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, juga setuju terhadap bahan bantu mengajar namun pada skor min yang lebih rendah berbanding perlatan bengkel dan menghampiri tidak pasti. Manakala guru mempunyai skor min yang positif setuju terhadap peralatan bengkel, tahap tidak pasti terhadap bahan bantu mengajar. Jadual 4. Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar dalam Kalangan Pentadbir dan Guru Pentadbir (n=159) Skor min Peralatan bengkel Bahan bantu mengajar
Guru (n=176) Skor min
3.96
Interprestasi skor min Setuju
3.77
Interpretasi skor min Setuju
3.69
Setuju
3.28
Tidak pasti
Setelah ujian-t dijalankan, Jadual 5 menunjukkan terdapat perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi peralatan bengkel kerana nilai p = 0.07 adalah lebih kecil daripada nilai p = 0.05. Terdapat perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi bahan bantu mengajar di mana nilai p = 0.00 adalah lebih kecil daripada nilai p = 0.05. Jadual 5. Ujian-t Ke Atas Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Komponen Input Peralatan bengkel Bahan bantu mengajar
n
Darjah Kebebasan
t
Signifikan (2-tailed)
335
333
2.69 5.58
0.07 0.00*
* Signifikan pada p = 0.05 Sebagai penjelasan lebih lanjut mengenai persepsi pentadbir dan guru terhadap peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar, skor min peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar dibincangkan mengikut mata pelajaran berdasarkan Jadual 6. Skor min peralatan bengkel adalah setuju iaitu 3.86 dalam mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan dan setuju iaitu 3.83 dalam mata pelajaran Lukisan Kejuruteraan juga setuju iaitu 3.92 dalam mata pelajaran Reka Cipta. Skor min bahan bantu mengajar adalah setuju iaitu 3.41 dalam mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan dan setuju iaitu 3.59 dalam mata pelajaran Lukisan Kejuruteraan juga setuju iaitu 3.42 dalam mata pelajaran Reka Cipta, namun skor min bahan bantu mengajar bagi ketiga-tiga mata pelajaran amat menghampiri tahap tidak pasti. Secara amnya, perepsi
1355
pentadbir dan guru terhadap peralatan bengkel adalah lebih tinggi dalam ketiga-tiga mata pelajaran ini berbanding persepsi terhadap bahan bantu mengajar. Jadual 6. Skor Min Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Mengikut Mata Pelajaran Mata Pelajaran Teknologi Kejuruteraan Lukisan Kejuruteraan Reka Cipta (n=125) (n=127) (n=83) embolehubah Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi Sisihan Interpreta Min Min Min ersandar Piawai skor min Piawai skor min Piawai skor min eralatan 3.86 0.63 Setuju 3.83 0.74 Setuju 3.92 0.53 Setuju engkel ahan bantu 3.41 0.65 Setuju 3.59 0.70 Setuju 3.42 0.74 Setuju mengajar ANOVA dijalankan bagi menjelaskan perbezaan persepsi mengenai peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar di kalangan pentadbir dan guru mengikut mata pelajaran. Jadual 7 menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi peralatan bengkel kerana nilai p = 0.63 adalah lebih besar daripada nilai p = 0.05. Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara persepsi pentadbir dan guru bagi bahan bantu mengajar di mana nilai p = 0.09 adalah lebih besar daripada nilai p = 0.05. Ini menggambarkan tidak terdapatnya perbezaan persepsi pentadbir dan guru terhadap elemen peralatan bengkel dan bahan bantu mengajar dalam komponen kemudahan prasarana pembolehubah input dalam pelaksanaan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta di Sekolah Menengah Harian. Jadual 7. ANOVA Peralatan Bengkel dan Bahan Bantu Mengajar Mengikut Mata Pelajaran Pembolehubah bersandar
F
Signifikan (p)
Peralatan bengkel
0.46
0.63
Bahan bantu mengajar
2.43
0.09
P > 0.05 Bagi menghuraikan dengan lebih lanjut persepsi guru yang berada pada tahap tidak pasti terhadap bahan bantu mengajar, skor min guru terhadap bahan bantu mengajar mengikut mata pelajaran di dibincangkan dalam Jadual 8. Skor min guru Teknologi Kejuruteraan terhadap bahan bantu mengajar adalah positif tidak pasti iaitu 3.24, skor min guru Lukisan Kejuruteraan pula adalah setuju yang amat rendah iaitu 3.43, manakala skor min guru Reka Cipta
1356
juga adalah tidak pasti iaitu 3.11. Secara keseluruhannya persepsi guru Lukisan Kejuruteraan adalah lebih positif berbanding persepsi guru Teknologi Kejuruteraan, dan persepsi guru Teknologi Kejuruteraan adalah lebih positif berbanding guru Reka Cipta namun keduanya adalah tidak pasti. Jadual 8. Skor Min Guru Terhadap Bahan Bantu Mengajar Mengikut Mata Pelajaran Mata Pelajaran Teknologi Kejuruteraan Lukisan Kejuruteraan Reka Cipta (n=71) (n=68) (n=37) Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi Sisihan Interpretasi Min Min Min Piawai skor min Piawai skor min Piawai skor min
embolehubah ersandar ahan bantu 3.24 mengajar
0.66
Tidak pasti 3.43
0.76
Setuju
3.11
0.80
Tidak pasti
Dapatan Temubual Pandangan dan dapatan dalam aspek kemudahan prasarana. Contoh jawapan yang dikemukakan oleh pentadbir semasa temu bual adalah seperti berikut: ‘Ok prasarana.. bengkel memang ada kerusi meja tu adalah, aa..tapi bahagian aa..komputer memang tak..h..hm, nak kata..tak mencapai tahap yang di..di..ha..ya..diharapkan, bila dah dibekalkan awal-awal, lepas tu, aa..tidak ada maintainance, kerosakan tak disambut dengan segera, jadi perkara begitu memang memang membantutkan proses pnp’(PT1LK). ‘...begitu juga dengan RC, RC hanya menumpang di bengkel MPV seni reka tanda.....tapi alhamdulillahlah, sebab reka tanda tu lengkap, dari segi bengkel dia lengkap, itu sajalah kemudahan yang boleh digunakan, itu yang saya lihat jugalah, tak ada rasa..aa..apa ni,,kalau bilik dia sendiri dia lebih selesa, berbanding kalau berkongsi dengan orang, dan mungkin, kemungkinan juga, tak tahu apa lagi kemudahan-kemudahan lain yang seharusnya ada di bilik dia, dia hanya bergantung kepada apa yang ada di bilik MPV sahaja’(PT1RC). ‘…memang guru-guru ada menggunakan alat bantu mengajarlah, ehm..tetapi alat bantu mengajar tersebut mungkin dah lama, aha..betul, dah lama mungkin sepuluh tahun dulu, jadi benda tu tidak di up gradekan, ehm..jadi bila tak di upgradekan maksunya kita masih menggunakan BBM atau ABM yang lamalah…’(PT1TK). Pandangan dan dapatan aspek kemudahan prasarana. Contoh jawapan yang dikemukakan oleh guru semasa temu bual adalah seperti berikut: ‘Apa yang disediakan sebenarnya, macam tak de tu sanagatlah, tak de guna sangatlah sebab bilik LK pun meja dia tu meja biasa, meja yang tak boleh condong. Tak berapa sesuailah...ha.ah..hmmm…’(G1LK). ‘Kalau nak cakap tentang kemudahan prasarana ni, saya terpaksa bercerita secara jujurlah, Ya, kalau nak kira kemudahan dalam bentuk machine dan peralatan dan sebagainya, dia adalah dah terlalu lamalah, dan terlalu teruk dan daif, sebab alat-alat yang digunakan di peringkat sekolah ni, pelajar-pelajar tak kan jumpa sekiranya mereka pergi ke kilang-kilang ataupun pusat-pusat [
1357
industri, jadi ini...lama punya barang, hmm... bahan-bahan dia, alat-alat dia, dan yang disediakan di peringkat pasaran nanti benda yang baru yang canggih yang lebih sofisticated’(G2RC). ‘Bahan bantu mengajar...memang saya gunakan buku tekslah dan juga power point, ada..aa..apa yang dibagi tu, cd, aa..cd couseware, tapi cd courseware tu tak menepati, sebab macam cd ETEMS jugak kan, bila kita on macam tu benda tak boleh nak stop, ha..ha..jadi saya selesa dengan power point, makna kita boleh kat situ, kita terangkan dan boleh sambung balik’(G2TK). Dapatan pemerhatian Hasil pemerhatian di jadual 9, menunjukkan dapatan daripada pemerhatian kemudahan prasarana di sekolah. 12 (66.7%) buah sekolah mempunyai bengkel, 12 (66.7%) buah sekolah mempunyai stor alatan, 10 (55.6%) mempunyai CD courseware, 9 (50.0%) mempunyai alatan tangan dan 7 (38.9%) mempunyai peralatan mesin. Ini menunjukkan bahawa kemudahan prasarana di sekolah yang menawarkan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta masih tidak sempurna dan perlu di ambil perhatian sewajarnya oleh pihak bertanggungjawab. Jadual 9. Analisis Pemerhatian Ke Atas Kemudahan Prasarana Ada
Tiada
Bil.
Peratus
Bil.
Peratus
12
66.7
6
33.3
Alatan tangan
9
50.0
9
50.0
Peralatan mesin
7
38.9
11
61.1
Stor alatan
12
66.7
6
33.3
CD courseware
10
55.6
8
44.4
Kemudahan Prasarana Bengkel
PERBINCANGAN DAN RUMUSAN Kemudahan yang lengkap bagi sesuatu kemahiran yang akan dipelajari adalah satu kemestian. Sesuatu kumpulan latihan tidak boleh mempunyai terlalu ramai pelatih, jumlah yang sesuai mungkin antara 8 hingga 15 orang bagi setiap kumpulan latihan. Manakala kemudahan yang disediakan seperti ruang latihan, ruang belajar, peralatan dan bahan-bahan pembelajaran mestilah untuk jumlah yang ditetapkan (Ahmad Suhaimi 2006). Namun demikian dalam kajian ini masalah kemudahan prasaranan adalah masalah masalah utama yang disuarakan oleh pentadbir (23.69%), guru (20.83%) dan pelajar (23.19%), dalam soalan terbuka soal selidik. Begitu juga hasil temubual kekerapan respons temubual mengikut konteks kemudahan prasarana adalah antara yang tertinggi bagi pentadbir (12.81%) dan guru (13.74%), menunjukkan responden kerap memberi kenyataan tentang kemudahan prasaranan yang bermasalah di sekolah menengah harian. Ini bersamaan dengan dapatan Husin (2006) dalam kajiannya menunjukkan bahawa Sekolah
1358
Menengah Teknik masih menghadapi kekurangan kemudahan fizikal dan peralatan untuk pelaksanaan pembelajaran konteksual. Dapatan kajian mengenai kekurangan kemudahan prasarana dalam pelaksanaan mata pelajaran teknikal juga disokong oleh dapatan kajian oleh Fazidah (2002) dan Azizah (2003). Secara keseluruhannya dapatan kuantitatif menunjukkan persepsi pentadbir dan guru terhadap dimensi input dari aspek kemudahan prasarana adalah positif setuju, dimana persepsi pentadbir adalah lebih positif berbanding guru dan terdapat perbezaan persepsi antara pentadbir dan guru terhadap kemudahan prasarana. Kemudahan prasarana juga dikenalpasti sebagai masalah utama yang dinyatakan pentadbir, guru dan pelajar dalam dimensi input seperti masalah kewujudan bengkel khusus untuk mata pelajaran, perbekalan peralatan bengkel, kekangan kemudahan ICT, perisian pembelajaran, stor simpanan, penyelenggaraan peralatan, sistem perbekalan yang tidak sempurna, perabot yang tidak mengikut spesifikasi, pemantauan kemudahan prasarana dan bahan bantu mengajar yang lemah, dan tanggungjawab pihak sekolah terhadap kemudahan yang disediakan. Hasil temubual juga mendapati, pentadbir dan guru memberikan pandangan dan dapatan yang negatif dalam konteks kemudahan prasarana dari aspek bengkel, alatan tangan dan mesin serta bahan bantu mengajar. Pemerhatian juga membuktikan kemudahan prasarana di sekolah untuk ketiga-tiga mata pelajaran ini memang tidak sempurna dimana, 11 (61.1%) buah sekolah tidak mempunyai peralatan mesin, 9 (50.0%) buah sekolah tidak mempunyai alatan tangan, 8 (44.4%) tidak mempunyai CD courseware, 6 (33.3%) tidak mempunyai bengkel dan 6 (33.3%) tidak mempunyai stor alatan. Dapatan kajian ini juga mendapati kemudahan prasarana merupakan pembolehubah bebas atau peramal yang kuat dan jelekit serta signifikan kepada dimensi input, dimensi proses pelaksanaan latihan staf, pemantauan pencerapan berkala dan pencerapan buku latihan, aspek alat bantu mengajar, kaedah dan teknik, masa dan pentaksiran berasaskan sekolah dalam dimensi proses pengajaran dan pembelajaran. Kemudahan prasarana di sekolah menengah harian yang menawarkan mata pelajaran Teknologi Kejuruteraan, Lukisan Kejuruteraan dan Reka Cipta perlu di nilai, disemak, ditambahbaik secara menyeluruh dan sistematik agar dapat dimanafaatkan dalam pengajaran dan pembelajaran untuk meningkatkan pencapaian pelajar. DAFTAR RUJUKAN Abdul Rahman Arshad. 2007. Unity and education in Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abu Bakar Nordin. 1991. Kurikulum: Perspektif dan perlaksanaan. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Azizah Sharif. 2003. Pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran kontekstual Fizik dalam bilik darjah di Sekolah Menengah Teknik Kajang. Projek Penyelidikan Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Azizi Yahya. 1999. Keberkesanan pelaksanaan program Kemahiran Hidup di Sekolah-sekolah Menengah Malaysia. Tesis Dr. Falsafah. Universiti Putra Malaysia.
1359
Cooper, D.R. & Emory, C.W. 1995. Business research method. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Fazidah Mohd. Jaafar. 2002. Persepsi guru dan pelajar terhadap pelaksanaan kaedah pengajaran dan pembelajaran matematik secara kontekstual di Sekolah Menengah Teknik di Negeri Melaka. Projek Penyelidikan Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Finch, C.R. & Crunkilton, J.R. 1999. Curriculum development in vocational and technical education: Planning, content and implementation. Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc. Fulford, C.P. 1993. Can learning be more efficient? Using compressed speech audio tape to enhance systematically designed text. Educational Technology 32 (2): 51-59. Gay, L.R. & Airasian, P. 2000. Educational research: Competencies for analysis and application. New Jersey: Prantice-Hall Inc. Hsieh. W.K. & Hsiao, L. 2001. Evaluation of junior colleges of commerce: The Taiwan case. International Conference on Engineering Education. 6-20 Ogos. Oslo, Norway. Hussin Mhd. Yusup. 1996. Hubungan antara persekitaran pengurusan dengan pencapaian Matematik di sekolah rendah Negeri Sembilan Darul Khusus. Tesis Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Husted S. W., Mason R. E. & Adams E. (2003) Cooperative Occupational Education Including Internships, Apprenticeships and Tech-Prep. New Jersey: Prentice Hall. Juraidah Mat Jelani. 2005. Penilaian rancangan Latihan Mengajar (RLM) program pendidikan guru Universiti Utara Malaysia. Tesis Sarjana Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Kementerian Pelajaran Malaysia. 2006. Pelan induk pembangunan pendidikan 2006-2010. Putrajaya: Kementerian Pelajaran Malaysia. Krejcie, R. V., & Morgan, D. W. 1970. Determining sample size for research activities. Educational and Psychological Measurement 30: 607-610. Mohamad Husin Mohd Yusof. 2006. Penilaian terhadap perancangan dan pelaksanaan program pembelajran konteksual di Sekolah-sekolah Menengah Teknik di Malaysia. Tesis Dr. Falsafah. Universiti Kebangsaan Malaysia. Newman, W.L. 2000. Social research methods: Qualitative and quantitative approaches. Edisi ke-4. New York: Alyn and Bacon. Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. 1998. Curriculum, principles and issues. Third Edition.. Boston: Allyn and Bacon. Radin Mohd Shamsul Zahril b Hirzin. 2008. Penilaian program pentaksiran berasaskan sekolah Teknologi kejuruteraan SPM. Tesis Sarjana nPendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Razali Aroff. 1996. Pengantar kurikulum. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sanders, J.R. 1992. Evaluating school program. Newbury Park: SAGE Publication. Stufflebeam, D.L, Foley, W.J., Gephart, W.J., Guba, E.G., Hammond, R.L., Merriman, H.O. & Provus, M.M. 1971. Educational evaluation and decision making. Itasca: F.E. Peacock.
1360
Stufflebeam, D.L. & Shinkfield, A.J. 1985. Systematic evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff. Tyler, R.W. 1950. Basic principles of curriculum and instruction. Chicago: University of Chicago Press. Wiles, J & Bondi, J. 1998. Curriculum development : a guide to practice. New Jersey: Merill, Prantice Hall. Zakaria Kasim & Idris Md. Nor. 1995. Latihan mengajar : Permasalahan dan cabaran di Universiti Sains Malaysia. Prosiding Seminar JKLKAU ke -9, Pendidikan Guru: Cabaran, falsafah dan strategi dalam pembentukan guru yang unggul, hlm. 113 -118.
1361
KEBERKESANAN PENGGUNAAN SCHOOLOGY DALAM MATA PELAJARAN PEDAGOGI PENDIDIKAN SENI VISUAL OLEH GURU PELATIH ELEKTIF G5.1 1)
Nor Azizah Atan & 2)Zaharah Mohamad IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur E-mail: 1)
[email protected]
Abstrak Kajian ini bertujuan untuk melihat keberkesanan penggunaan Schoology dalam kalangan pelajar elektif G5.1 melalui mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual. Pensyarah dan pelajar ini telah menggunakan Schoology sebagai satu pengajaran dan pembelajaran e-learning selain daripada pembelajaran secara bersemuka. Reka bentuk kajian ini adalah secara kuantitatif dan kualitatif iaitu melalui kaedah soal selidik dan temu bual. Responden kajian ini melibatkan 20 orang guru pelatih G5.1 yang mengambil mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual. Daripada hasil kajian ini mendapati majoriti responden bersetuju pensyarah sentiasa memberi maklumat terkini dalam pengajaran dan pembelajaran (PdP) melalui penggunaan Schoology. Majoriti responden sangat bersetuju penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih dalam mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual (PSV). Dapatan kajian mendapati jenis aktiviti yang kerap digunakan oleh pelajar ialah menghantar tugasan dan latihan pada pensyarah. Kata kunci: Schoology, Pedagogi Pendidikan Seni Visual PENGENALAN Dengan perkembangan pesat teknologi maklumat dan komunikasi (ICT), Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPG KIK) telah mengorak langkah dalam memertabatkan penggunaan ICT dalam pengurusan pengajaran dan pembelajaran dengan menggunakan satu lagi sistem laman web iaituSchoology. Schoology (www.schoology.com) diperkenalkan secara komersial pada bulan Ogos 2009 dan fungsinya adalah sama seperti Facebook. Ia adalah platform dalam talian yang mempunyai fungsi seperti media sosial dan dalam masa yang sama ianya merupakan sistem pengurusan bilik darjah elektronik. Schoology merupakan Sistem Pengurusan Pembelajaran atau dikenali sebagai Learning Management System (LMS). Ia juga dikenali sebagai sistem pengurusan secara e-learning atau pendidikan dalam talian. Sistem Pengurusan Pembelajaran ini membolehkan pensyarah mewujudkan beberapa kaedah pengajaran dan pembelajaran atas talian seperti tugasan, ujian, kuiz, forum, album media, folder, pautan luar dan sebagainya. Manakala forum berfungsi untuk perbincangan dan sumbangsaran secara kumpulan atau individu. Pelajar boleh bertanyakan soalan-soalan pada pensyarah secara atas talian. Interaksi aktif akan berlaku di dalam forum
1362
samada dengan pensyarah atau dengan rakan pelajar yang lain. Pensyarah juga boleh mengimport soalan tugasan dan membincangkan soalan tugasan secara e-learning. Kelebihan pembinaan soalan atau tugasan secara atas talian yang terdapat dalam Schoology adalah kita tidak perlu memeriksa jawapan pelajar secara autentik. Soalan atau tugasan dilaksanakan oleh pelajar di rumah, sementara pensyarah mengawal dari jarak jauh. Pensyarah juga dapat menyemak nama pelajar yang melaksanakan tugasan, memberi gred dan kehadiran secara atas talian. PERNYATAAN MASALAH Berdasarkan kepada tinjauan bacaan yang dilakukan oleh penyelidik, dapat dinyatakan sehingga kini tidak terdapat satu pun kajian yang mengkhususkan kepada pengajaran dan pembelajaran atas talian menggunakan Schoology. Namun demikian penyelidik telah menyorot beberapa kajian yang berkaitan dengan isu kajian. Mohd Firdaus Yahaya (2012), di dalam tesis sarjananya bertajuk: Istikhdam Al-Burtfuliyu Al Iliktruniyy Lada Al -Talabah Al-Mutakhassisin fi AlLughah Al-‘Arabiyyah: Tatwir, wa Tanfiz, wa Taqwim (Penggunaan e-Portfolio dalam Kalangan Para Pelajar Pengkhususan Bahasa Arab: Pembangunan, Pelaksanaan, dan Penilaian), telah mengaitkan satu aplikasi atas talian berasaskan laman sesawang, yang dinamakan sebagai; e-Portfolio. Aplikasi ini dibangunkan dengan disesuaikan untuk penggunaan para pelajar pengkhususan bahasa Arab. Hasil daripada kajiannya, penggunaan aplikasi atas talian; e-Portfolio ini telah menarik minat para pelajar, seterusnya memudahkan lagi kerja-kerja mereka berkaitan pembelajaran bahasa Arab. Di samping itu, beliau menyimpulkan bahawa aplikasi atas talian; e-Portfolio ini bersesuaian untuk digunakan oleh semua peringkat pelajar. Prosiding Seminar Antarabangsa Kelestarian Insan 2014 (INSAN2014) Batu Pahat, Johor, 9 –10 April 2014. laman sesawang seperti ini dilanjutkan ke kursus-kursus lain untuk meningkatkan keberkesanan dan menarik minat para pelajar. Melalui tinjauan kepada kajian-kajian di atas, didapati bahawa matlamat utama penggunaan teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran (PdP) adalah untuk menarik minat pelajar, di samping meningkatkan lagi keberkesanan PdP. Semua ini jelas ditunjukkan melalui dapatan kajian yang dinyatakan, yang mana penggunaan teknologi dalam PdP berjaya mencapai matlamat utama sebagaimana diterangkan sebelum ini. Tambahan lain, terdapat beberapa manfaat penggunaan teknologi dalam PdP, sebagaimana disenaraikan oleh Unit Komputer Dalam Pendidikan Pusat Perkembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan Malaysia (2001), antaranya (http://web.moe.gov.my/bpk/bsk/bpanduan/ict_in_pnp.pdf, 30 Januari 2014): 1. Meningkatkan kefahaman dan penguasaan pelajar terhadap pelajaran. 2. Memberi peluang pembelajaran yang sama kepada semua pelajar yang pelbagai keupayaan. 3. Meningkatkan motivasi pelajar. 4. Membolehkan pembelajaran bersendiri (individual learning). 5. Membolehkan pelajar mengakses maklumat yang sukar diperolehi. 6. Membolehkan pelajar mengumpul maklumat yang perlukan masa yang lama atau terlalu mahal untuk diperoleh.
1363
7. Mewujudkan suasana pembelajaran yang menyeronokkan dan mencabar. 8. Membolehkan pelajar mencuba atau melaksana eksperimen yang sukar, terlalu mahal, mustahil atau bahaya untuk dilaksanakan dengan cara biasa. 9. Meningkatkan daya kreativiti dan imaginasi pelajar. 10. Memberi peluang kepada murid belajar secara berkesan dengan bimbingan yang minimum. 11. Meningkatkan kemahiran ICT. Menurut para pendidik dan penggalak pengajaran dan pembelajaran melalui penggunaan internet, mereka mempercayai bahawa proses pengajaran dan pembelajaran melalui cara tersebut akan dapat menyumbang kepada penghasilan persekitaran pengajaran dan pembelajaran yang positif. Terdapat lima perkara yang dapat menentukan bagaimana pensyarah dan para pelajar dapat menyokong proses pengajaran dan pembelajaran melalui internet iaitu sebagai sumber maklumat yang banyak, menyediakan saluran perbincangan, menyokong projek bersama, pembekal penerbitan dan peralatan penyelidikan (Hong Kian Sam, 1999) Sehubungan itu, pengkaji merasakan penggunaan Schoology dapat membantu pelajar meningkatkan kualiti pembelajaran mereka. Schoology diharapkan menjadi satu pendekatan yang boleh digunakan oleh para pelajar dalam menyediakan sumber maklumat yang tepat dan cepat . Pelajar juga boleh menggunakan Schoology sebagai alat untuk mengadakan perbincangan antara pelajar dengan pelajar dan pelajar dengan pensyarah dan yang lebih penting, untuk mengekses Schoology adalah secara percuma. OBJEKTIF KAJIAN Objektif kajian ini secara umumnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran keberkesanan penggunaan Schoology dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual. Dimensi-dimensi yang dikaji merangkumi dimensi keberkesanan dari aspek pengetahuan dan kefahaman, keberkesanan dari aspek penggunaan dan kekerapan jenis aktiviti semasa menggunakan Schoology. Sebanyak tiga objektif kajian telah dikenalpasti iaitu: 1. Mengenal pasti keberkesanan dari aspek pengetahuan dan kefahaman dalam pengggunaan Schoology. 2. Mengenal pasti keberkesanan dari aspek penggunaan Schoology. 3. Mengenal pasti jenis aktivti berkesan melalui penggunaan Schoology. METODOLOGI KAJIAN Kajian ini merupakan satu kajian deskriptif yang dijalankan secara tinjauan. Kajian ini juga menggunakan kaedah penyelidikan kuantitatif dan kualitatif dalam mengumpul maklumat dari responden dengan menggunakan instrumen borang soal selidik dan temu bual. Untuk menguji setiap dimensi, skala Likert lima poin digunakan. Pendekatan kajian temu bual juga digunakan untuk memahami implementasi serta masalah dalam melaksanakan Schoology. Penyiasatan ini bukan sahaja dapat meninjau masalah pelaksanaan Schoology bahkan dapat memberi cadangan-cadangan penyelesaian. Seramai 20 orang responden terdiri dari kalangan guru-guru
1364
pelatih Jabatan Pendidikan Khas yang menggambil mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual sebagai mata pelajaran elektif mereka. ANALISIS DATA Data-data diperolehi melalui soal selidik dan temu bual guru-guru pelatih G5.1 yang terlibat dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual . Kajian deskriptif yang menggunakan analisis data kaedah stastistik peratusan digunakan untuk menganalisis data. Data temu bual pula diperolehi daripada responden secara rawak. DAPATAN KAJIAN Kajian ini meninjau dari tiga aspek yang mempengaruhi penggunaan Schoology dalam kalangan guru pelatih elektif Pendidikan Seni Visual di Institut Pendidikan Guru (IPG) iaitu dari aspek pengetahuan dan kefahaman, keberkesanan dari aspek penggunaan Schoology dan jenis aktiviti berkesan melalui Schoology. Profil responden Jadual 1. Profil Responden berdasarkan demografi. (N-20) Bil
Perkara
1.
Jantina Guru Pelatih Perempuan Lelaki Umur 22 Tahun 23 Tahun Bangsa Melayu Cina India Pengkhususan Pemulihan Pengalaman Menggunakan Schoology Tidak Pernah Pernah
2. 3.
4. 5
Bilangan Responden
Peratus Responden
20 -
100
11 9
55 45
20
100
20
100
20
100
Berdasarkan Jadual 1, jantina responden yang terlibat dalam kajian ini adalah kesemuanya responden perempuan iaitu 20 orang, iaitu 100%. Seramai 11 responden yang berumur 22 tahun atau 55%, manakala 9 orang responden berumur 23 tahun, iaitu 45%. Daripada kajian ini didapati semua responden terdiri daripada guru pelatih perempuan dan berbangsa India. Kajian ini juga menunjukkan kesemua responden mempunyai pengalaman mengguna Schoology.
1365
Jadual 2. Pengetahuan dan kefahaman dalam penggunaan Schoology Sangat Tidak Setuju Mempunyai pengetahuan dan 0 kefahaman dalam penggunaan Schoology Mudah menghantar bahan 0 pedagogi PSV melalui Schoology Pensyarah memberi bahan PdP 0 dan maklumat terkini dalam Schoology Schoology sebagai alternatif 0 pengajaran dan pembelajaran tidak bersemuka Items
Tidak Setuju
Agak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
0
0
1 (5%)
19 (95%)
0
1 (5%)
1 (5%)
18 (90%)
0
0
0
20 (100%)
0
0
2 (10%)
18 (90%)
Jadual 2 menunjukkan 100% responden sangat bersetuju pensyarah memberi bahan PdP dan maklumat terkini dalam Schoology. 95% responden sangat bersetuju mereka mempunyai pengetahuan dan kefahaman dalam penggunaan Schoology dan 90% responden sangat bersetuju mereka mudah menghantar bahan pedagogi melalui Schoology dan Schoology sebagai alternatif pengajaran dan pembelajaran tidak bersemuka. Dapatan kajian juga mendapati keseluruhan pelajar sangat bersetuju pensyarah sentiasa memberi maklumat terkini dalam PdP melalui penggunaan Schoology. Dapatan ini juga disokong dengan temu bual dengan pensyarah bahawa melalui Schoology mereka mudah untuk memberi nota, tugasan, kuiz dan sebagainya. Jika beliau tiada di Institut kerana tugas rasmi, beliau akan memberi latihan melalui Schoology dan pelajar perlu menjawab latihan tersebut secara on line (atas talian). Beliau juga memastikan latihan tersebut diberi markah atau gred. Apabila latihan tersebut diberi gred, pelajar akan menyemaknya di dalam Schoology dan mereka akan tahu gerd yang diberi oleh pensyarah. Dengan ini secara langsungnya, pelajar akan sentiasa membuat penambah baikan terhadap pembelajaran mereka.
1366
Jadual 3. Keberkesanan Pengggunaan Schoology Sangat Tidak Setuju Memberi pendedahan kepada 0 guru pelatih untuk berinteraksi secara e Learning Schoology memberi pengalaman 0 secara langsung dalam mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran. Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih dalam 0 mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata pelajaran Pedagogi PSV.
Tidak Setuju
Agak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
0
0
3 (15%)
17 (85%)
0
0
2 (10%)
18 (90%)
0
0
-
20 (100%)
Berdasarkan Jadual 3, menunjukkan 100% responden sangat bersetuju penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih dalam mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata pelajaran Pedagogi PSV. 90% responden sangat bersetuju Schoology memberi pengalaman secara langsung dalam mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran. 85% responden sangat bersetuju Schoology memberi pendedahan kepada guru pelatih untuk berinteraksi secara e Learning. Dapatan kajian juga mendapati keseluruhan pelajar sangat bersetuju penggunaan penggunaan Schoology dapat meningkatkan keupayaan guru pelatih dalam mengaplikasi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehi dalam mata pelajaran Pedagogi PSV. Dapatan ini juga disokong dengan temu bual dengan pelajar bahawa melalui Schoology mereka mudah menerima nota dari pensyarah. Melalui forum pula, mereka dapat berinteraksi secara atas talian bersama pensyarah dan rakan serta dapat berbincang berkaitan dengan tugasan. Jadual 4. Jenis aktiviti dalam penggunaan Schoology yang berkesan Jenis Aktiviti Forum Tugasan dan Latihan Video Pengajaran dan Pembelajaran Nota dan bahan kuliah
Kekerapan 11 20 7 15
Peratus 55% 100% 35% 75%
Berdasarkan Jadual 4, dapatan kajian menunjukkan jenis aktiviti dalam penggunaan Schoology iaitu 100% responden kerap menggunakan Schoology untuk menghantar tugasan dan latihan, 75% responden menggunakan Schoology untuk mendapatkan nota dan bahan kuliah dari pensyarah. 55%
1367
responden menggunakan forum untuk berbincang dengan pensyarah dan pelajar secara atas talian . Dapatan kajian juga mendapat kekerapan pelajar menggunakan Schoology adalah untuk menghantar bahan tugasan dan latihan secara atas talian (on line). Dapatan ini disokong dengan temu bual dengan pelajar bahawa melalui Schoology mereka mudah untuk menghantar tugasan dan latihan pada pensyarah. PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN Penggunaan Schoology dalam mata pelajaran Pedagogi Pendidikan Seni Visual merupakan sesuatu yang baru diperkenalkan oleh Institut Pendidikan Guru kampus Ilmu Khas. Seiring dengan kepesatan teknologi ICT. Sejajar dengan aspirasi kerajaan yang mahukan masyarakat Malaysia celik IT, maka adalah perlu bagi setiap pensyarah IPG menerima setiap perubahan teknologi dengan positif dan bersama-sama berusaha melaksanakan segala dasar seperti yang telah dirancangkan. Keseluruhan kajian mendapati penggunaan schoology mendapat maklum balas yang sangat baik dalam kalangan pelajar G5.1. Mereka sangat bersetuju jika amalan pedagogi di dalam kelas digabung jalin antara pengajaran secara bersemuka dan pengajaran secara tidak bersemuka. Latihan dan tugasan yang diberi oleh pensyarah dalam Schoology banyak membantu pelajar dalam pembelajaran mereka. Kemahiran penggunaan media dan teknologi maklumat terkini 1. Gelombang pertama anjakan 7 – Memanfaatkan ICT bagi meningkatkan kualiti pembelajaran di Malaysia. Penggunaan Schoology akan membantu peningkatan kefahaman dan darjah ingatan pelajar. Schoology jika digunakan dengan berkesan dapat menghasilkan aktiviti KBAT dengan lebih menarik. Untuk memastikan keberkesanan penggunaan Schoology dalam kalangan pensyarah dan pelajar di Institut Pendidikan Guru (IPG) Kampus Ilmu Khas, semua pihak seperti pentadbir, pensyarah dan pelajar perlu memainkan peranan untuk memastikan kemudahan seperti insfrastruktur internet ditambah baik. Pensyarah perlu terbuka dalam mempelbagaikan kaedah pengajaran dengan mencuba pelbagai pendekatan yang menarik seperti menggunakan Schoology dalam PdP mereka. DAFTAR RUJUKAN Abd. Ghafar Md. Din. (2003). Prinsip Dan Amalan Pengajaran. Kuala Lumpur : Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd. A.M.Ee . ( 1989 ) . Pedagogi 1 . Penerbitan Fajar Bakti Sdn, Bhd . Petaling Jaya Barron . ( 1988 ) . Creativity Process in Art. Pearsons Education South Asia Pte. Ltd. Dinkmeyer, D.C & Muro. J.J . ( 1979 ). Group Counseling ; Theory and Practice. Edisi Kedua . Illianos : FE Peacock Publication. Gibson, R.L , M.H Mitchell. (2008 ) . Introduction to Counselling and Guidance. Edisi Ketujuh. New Jersey : Merril Prentice Hall.
1368
I.T Rebecca , C.R Shirley . (2003). Creativity and The Arts With Young Children . Canada ;Thomsons Learning Inc. L. Bernice . ( 1970 ) . Methods & Material for Today’s High Schools. Toronto: Litton Educational Publishing , Inc. Mok Soon Sang (1992). Pedagogi 2: Strategi pengajaran pembelajaran mikro. Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman. Otto G.O ., Robert E.S., Philip R.W., Robert O.B.& David L.C ( 1994 ) . Art Fundamental. UK: Mc Graw Hill. S.K. Myint , A. Lourdusamy, C.L Quek & F.L.W Angela . ( 2005 ) . Classroom Management . Pearson Education South Asia Pte.Ltd. : Singapura. Tengku Sarina Aini Tengki Kasim & Yusmini Md. Yusoff. (2006). Kaedah Mengajar & Kemahiran Interpersonal Guru. Selangor : PTS Professsional Publishing Sdn. Bhd. Rujukan Internet http://sdbl.edu.my/sdbl_edu_my/media/File/2015/BAHAN%20LDP/1/KELAS%2 0ABAD%20KE-21.pdf
1369
PENDIDIKAN KONSERVASI SENI SEJAK DINI MELALUI PENCIPTAAN KOSTUM TARI UNTUK ANAK BERBASIS MOTIF BATIK Rosarina Giyartini Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya E-mail:
[email protected] Abstract This paper is based on the fact that until now there has been no creation of dance costumes for children who take inspiration from the motif. This is important because it can be used as a means of education and conservation of the art of batik. Dance costumes based motif, can function as a means of introducing and placing batik as part of a child's life from an early age. This introduction once the long-term conservation efforts. Of course, this costume embodiment process must be based on a review of the motifs used as inspiration, the kind of dance that will use these costumes, and who will wear it. For the process embodiment of this approach ergonimi costume. Through this approach dance costumes created will have a value of ergonomics, aesthetic, and educative. Keywords: child dance costumes, batik, ergonomics PENDAHULUAN Pada umumnya, penciptaan kostum tari didahului oleh penciptaan tari. Seorang penata tari akan mencipta tari dahulu sebelum menyerahkan tata artistik pementasannya kepada penata artistik. Setelah mendapatkan penjelasan dari penata tari, penata artistik akan membuat desain tata rias dan tata busananya dan kemudian didiskusikan dengan penata tari. Hasil kerjasama ini akan melahirkan kostum tari yang selaras dengan konsep tarian sebagaimana yang diusung oleh penata tari. Hal serupa juga terjadi pementasan teater. Sutradara akan menerjemahkan suatu naskah yang akan dipentaskan berdasarkan interpretasinya. Hasil interpretasi ini akan melahirkan konsep pementasan, dan salah satunya adalah tata kostumnya. Konsep tata kostum ini yang akan diserahkan kepada penata artistik. Jadi, proses kreatif penciptaan kostum tari secara umum berawal dari penciptaan tarian, dan dalam konteks pertunjukan teater berawal dari interpretasi naskah sutradara. Sebagai sebuah karya seni, penciptaan kostum tari untuk anak tentu saja tidak harus berawal dari konsep sebuah tarian anak. Gagasan penciptaan kostum tari anak bisa dari apa saja, seperti binatang, tumbuhan, benda langit, cerita rakyat, busana adat, dan lain sebagainya. Seorang penata tari anak yang jeli, justru bisa terinspirasi dari kostum tari yang sudah ada untuk menciptakan karya tarinya. Bukan hanya itu, kostum tari juga dapat menginspirasi penciptaan kustum berikutnya, sebagaimana dilakukan oleh Wijayanti (2011) dalam proyek akhirnya yang berjudul “Kostum Tari Pangimpen dengan Inspirasi Ide Kostum Tokoh Prajurit pada Tari Kuda Lumping” (periksa http://eprints.uny.ac.id/ 5277/1/ ).
1370
Bertalian dengan hal di atas, tulisan ini akan memaparkan konsep pencptaan kostum tari untuk anak dengan inspirasi motif batik. Tujuan penciptaan ini adalah untuk mengenalkan batik serta menjadikan batik sebagai bagian dari kehidupan anak sejak dini. Secara tidak langsung hal ini adalah salah satu upaya konservasi batik sejak dini. TARI ANAK DAN KOSTUM TARI UNTUK ANAK Tari anak adalah tarian yang diciptakan selaras dengan tingkat perkembangan anak, yakni tarian yang bukan hanya menghafal gerak, namun yang mampu menumbuhkembangkan segenap potensi kreatif anak (Giyartini, 2014a; 2014b; 2008; Suharno dan Rosarina Giyartini, 2013). Berdasarkan Pengertian tersebut maka kostum tari untuk anak adalah busana yang dirancang khusus untuk anak guna mempertunjukkan tarian tertentu yang selaras dengan tingkat perkembangannya. Kostum tari ini tentu saja berupa sesuatu yang menutupi bagian-bagian tubuh anak saat menari sesuai proporsi tubuhnya, yakni bagian kepala (jika ada), badan (baju), bagian bawah (celana, kain), dan asesoris yang menyertainya (gelang, kalung, antinganting, dan lain sebagainya). Meskipun dikhususkan untuk anak, fungsi kostum tari untuk anak tetap harus memperhatikan fungsi kostum dalam konteks seni pertunjukan, sebagaimana dalam dunia teater, yakni: mencitrakan keindahan penampilan, membedakan penari yang satu dengan yang lainnya, menggambarkan karakter tokoh yang ditarikan, memberikan efek gerak penari, dan memberikan efek dramatik (Bandingkan dengan, Santosa, et.el., 2008). PROSES KREATIF PENCIPTAAN KOSTUM TARI ANAK BERBASIS MOTIF BATIK Pendekatan Ergonomi Setiap seniman/kreator seni tentu memiliki metodenya sendiri dalam proses kreatif penciptaan karyanya. Masing-masing memiliki kebenarannya sendiri karena metode penciptaan itu lahir dari pengalaman kreator dalam proses kreatifnya. Pengalamn setiap kreator tentu berbeda-beda, sehingga metode peciptaan antara kreator yang satu dengan lainnya akan berbeda. Meski demikian, ada satu hal yang sama ketika seorang seniman menciptakan karya seni terapan, yakni menyesuaikan dengan target sasaran. Konsekuensi logis dari penyesuaian ini adalah karya yang dibuat harus “nyaman’ dipakai oleh target sasaran. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan ergonomi dalam penciptaan kostum tari untuk anak. Istilah ergonomi berasal dari kata Ergon (kerja) dan Nomos (hukum alam). Kata yang berasal dari bahasa Latin ini secara umum didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan perancangan/desain (Nurmianto, 1996). Ergonomi merupakan “Ilmu” atau pendekatan multidisipliner guna meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerja (Manuaba 1992). Intinya . ergonomi mempunyai tujuan memberikan kenyamanan, kesehatan dan keselamatan kerja yang optimal dan efisiensi dan efektivitas kerja (Pulat, 1992).
1371
Istilah lingkungan kerja dan keselamatan kerja di atas, dalam konteks pergelaran tari atau penyajian tari adalah keselamatan penari di atas ruang pentas. Salah satu pendukung keselamatan tersebut adalah kostum yang dikenakan penari. Oleh sebab itu, pendekatan ergonomi dalam pembuatan kosum tari untuk anak menjadi penting karena secara nyata ergonomi memberi dampak kenyamanan dan keselamatan (comfort and safety) anak ketika sedang menari. Meminjam intilah W.Soebroto (2006) tujuan utama pendekatan ini adalah memperoleh kesesuaian antara kebutuhan tari dengan kostum tari, sehingga ketika anak menari akan merasa aman dan nyaman. Lantas, bagaimanakah agar kostum tari untuk anak aman dan nyaman? Kuncinya minimal dua hal. Pertama adalah bahan kostum (kain dan asesoris) tidak membebani anak (tidak berat). Kedua, desain yang tidak “ribet” namun tetap sesuai dengan tema tari yang dibawakan anak. Kedua hal ini penting karena dalam merancang desain kostum tari harus memperhatikan bentuk dan fungsinya, serta mengetahui dan memahami nilai-nilai yang berkaitan dengan topik tarian, seperti esetika, sejarah, agama, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu penggunaan bahan yang bermotif, harus memperhatikan makna yang terkandung dalam motif tersebut, jangan sampai bertolak belakang dengan isi tarian atau karakter dari penari yang mengenakan kostum tersebut. Hal yang demikian tentu akan menjadikan kostum tari yang dibuat tidak kehilangan unsur identitas budaya yang melatarinya. Untuk itu periksa gambar a dan b berikut.
Gambar a
Gambar b
Gambar a dan b adalah produksi Evoy Production, salah satu penyewaan kostum seni pertunjukan ternama di kota Bandung. Gambar a menunjukkan kostum tari untuk tarian etnik di Kalimantan. Pertanyaannya, apakah motif bintang dalam tameng ada dalam khasanah ornamen tradisi suku Dayak? Ternyata, pada gamber b menunjukkan tameng yang sama digunakan untuk tari berbeda. Contoh di atas menunjukkan kurang jelinya penata kostum dalam memadu padankan elemen-elemen kostum menjadi satu kesatuan yang utuh. Bila hal ini didiamkan terus tentu akan merusak keotentikan ragam hias suku Dayak, karena nyata-nyata penataan kostum tersebut tidak dilandasi studi
1372
kebudayaan, khususnya tentang ornamen dalam budaya suku Dayak. Nilai edukasi kultural dari penciptaan kostum ini tentu saja berkurang. Pilihan Motif Batik Hingga saat ini belum ditemukan kostum tari untuk anak yang ide dasarnya dari motif batik. Umumnya, kostum tari untuk anak dirancang dan ditata tanpa konsep penciptaan yang dilandasi studi kebudayaan sebagaimana nampak pada gambar berikut.
Gambar c: Padu-padan kostum untuk tarian tertentu Bagi yang memahami budaya suku, tentu akan meraba-raba, anak-anak tersebut akan menyajikan tari apa. Jika orang yang melihat adalah pengamat tari kontemporer, juga akan merenungkan dimana konsep kotemporernya. Fenomena ini adalah realitas, dan mestinya pendidik seni tari untuk anak tidak ikut larut dalam arus yang demikian itu. Belum adanya penciptaan kostum tari untuk anak berbasis motif batik tentu disebabkan banyak hal, misalnya kreator enggan mempelajari motif batik, belum ditemukannya motif batik yeng inspiratif, “takut” salah mengolah motif batik karena motif batik diyakini memiliki makna kultural tertentu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, hal penting dalam memilih motif batik yang akan dijadikan kostum tari untuk anak adalah: pilih motif batik kekinian yang warna dan motifnya sesuai dengan dunia anak. Berikut ini adalah contoh beberapa motif batik kekinian khas Tasikmalaya, seperti motif kupu-kupu, motif payung, motif bunga, motif rintik hujan, motif benda langit (bulan, bintang, matahari) dan lain sebagainya yang dipaparkan penuis saat workshop “Pembinan Kewirausahaan Berbasis Kreativitas Seni: Pemberdayaan Depot Kreasi Seni Tari (d’Krest) UPI Kampus Tasikmalaya Sebagai Inkubator Wirausaha di Bidang Seni Tari” di UPI Kampus Tasikmalaya, 22 Agustus 2015.
1373
Gambar d: Penulis sedang menjelaskan motif batik tasik yang dapat dijadikan kostum tari untuk anak (foto: Farhana. Periksa pula Aisyah “Mahasiswa dituntut Kreatif: Pelopor Penyedia Busana Tari Motif Batik Tasik, dalam, Radar Tasikmalaya, 22 Agustus 2015 Motif-motif tersebut di atas dapat dijadikan kostum tari kupu-kupu, tari payung, tari bunga, tari bintang, dan seterusnya. Jika tariannya belum ada atau belum diciptakan, maka kostum tersebut justru dapat penginspirasi para pendidik seni tari atau siapapun untuk menciptakan tarian sesuai tema kostum tersebut. MEDIA EDUKASI DAN KONSERVASI Setiap motif batik memiliki sejarah penciptaannya sendiri. Batik motif dokter dalam khasanah perbatikan di Garut contohnya, lahir karena pesanan dari dokter (Wawancara dengan Ari Winarno, 5 Juli 2015). Demikian pula motifmotif yang lain, tentu memiliki kisahnya sendiri. Walaupun ketika seorang pembatik ditanya mengapa membuat motif tertentu dan jawabnya “Tidak tahu”, atau karena “Senang saja”, maka itulah kisahnya. Motif batik tersebut lahir karena dorongan spontanitas, tidak bisa diulang. Tugas kita adalah menafsirkan makna motif batik, dan tentu saja harus memiliki bekal ilmu tafsir dan pengetahuan budaya etnik yang komprehensif. Setelah motif batik dipahami‒baik secara emik, etik, maupun keduanya‒ dan kostumnya juga sudah dibuat, maka bagamanakah agar kostum tersebut bernilai edukatif yang membawa pesan konservasi seni batik? Setiap guru tentu punya metodenya sendiri, namun inti langkahnya adalah: menjelaskan kepada anak-anak tentang tarian yang akan dipelajari dalam kaitannya dengan makna motif batik dari kostum tari yang akan mereka kenakan. Dengan memahami motif batik sesuai kapasaitasnya, dan “merasakan” motif batik ada dalam dirinya, maka sejak dini anak akan merasa handarbeni (merasa ikut memiliki), dan rasa inilah pondasi utama lestarinya batik di negeri ini. SIMPULAN
1374
Motif batik dapat dijadikan sumber gagasan penciptaan kostum tari untuk anak. Motif batik tersebut adalah motif-motif yang selaras dengan dunia anak, seperti motif binatang, benda langit, tanaman, bunga, dan sebagainya. Motif batik yang terpilih untuk dijadikan kostum tari harus dibuat ergonomis, agar anak merasa aman, nyaman, tanpa mengurangi nilai estetisnya. Untuk itu perancang kosum tari untuk anak berbasis motif batik harus memiliki pemahaman kebudayaan yang luas serta bekal ilmu tafsir yang memadai. Jika hal ini dilakukan, maka di tangan guru tari (untuk anak) yang profesional, kostum tari berbasis motif batik tersebut akan menjelma menjadi media edukasi dan konservasi seni, khususnya seni batik. DAFTAR RUJUKAN Aisyah,S. (2015). Mahasiswa dituntut Kreatif: Pelopor Penyedia Busana Tari Motif Batik Tasik, dalam Radar Tasikmalaya 22 Agustus 2015. Giyartini, R. (2014a). Humanism in Dance Learning in Elementary School: form Children, by Children, and for Children. Proceeding The 1# International Conference for Arts and Arts Educations on Indonesia (ICAAE) “Rethingking the Human Dignity and Nation Identity: A Review Perspective of Arts an Arts Education”. Yogyakarta: UNY. ____________. (2014b). Membangun Kompetensi Guru Seni Tari di Sekolah Dasar dan Pendidikan Anak Usia dini. Prosiding Seminar Nasiornal Festival Kesenian indonesia ke-8 "Spirit of The Future: Art for Humanizing". Yogyakarta: ISI. ________________. (2008). Tari Kreatif: Konsep Pembelajarannya di Sekolah Dasar: dari Anak, oleh Anak, dan untuk Anak dalam T Narawati, Rita Milyartini, Zakaria S, Soeteja (peny.), Pendidikan Seni dan Perubahan Sosial Budaya. Bandung, SPS UPI. Suharno & Rosarina, G. (2013). Model Penciptaan Karya Seni Berbasis Kearfian Lokal untuk Anak Usia Dini. Prosiding Konferensi Nasional Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar SPS UPI Menyongsong Generasi Emas 2045. Bandung: SPS UPI. Manuaba, A. (1992). Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Bunga Rampai Ergonomi Vol 1. Denpasar: PS Ergonomi Fisiologi Kerja Universitas Udayana. Nurmianto, E. (1996). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Guna Widya, Jakarta Pulat., B.,M. (1992). Fundamental of Industrial Ergonomic. Prentice Hall Englewood Cliffs New Jersey. Santosa, Eko, et. al., Seni Teater Jilid 1 dan Jilid 2 untuk SMK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2008 Tatik, W. (2011) “Kostum Tari Pangimpen dengan Inspirasi Ide Kostum Tokoh Prajurit pada Tari Kuda Lumping” dalam http://eprints.uny.ac.id/5277/1/PANGIMPEN_DANCE_COSTUME_WITH_ THE_FIGURE_OF_WARRIOR_IN__MAD_HORSE_DANCE_AS_INSPIR ING_IDEAS.pdf
1375
Soebroto, W. S. (2006). The Development of Ergonomics Method: Pendekatan Ergonomi Menjawab Problematika Industri. Makalah Seminar Nasional Ergonomi 2006 “Pendekatan Ergonomi Makro untuk Meningkatkan Kinerja Organisasi” yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Industri – Universitas Trisakti, Program Studi Teknik Industri FT-Universitas Tarumanegara, dan Program Studi Desain Produk FSRD – Universitas Trisakti; serta didukung oleh Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) dan Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Teknik Industri Seluruh Indonesia (BKSTI) – Korwil Jakarta pada tanggal 21-22 Nopember 2006 di Auditorium Gedung D, Kampus A – Universitas Trisakti Jakarta. SUMBER GAMBAR Gambar a: http://directory.idkreatif.net/directory/evoy-production/ Gambar b dan c: https://id.foursquare.com/v/evoyproduction/4c084fe37e3fc9287a 31f082? open PhotoId=507d127 de4b071132451e2cd. NARASUMBER Ari Winarno, 39 tahun. Pakar batik, pengajar di Jurusan Seni Rupa ISBI Bandung
1376
KEMAHIRAN AMALI PENDIDIKAN SENI VISUAL: PELAKSANAAN DAN CABARAN 1)
Zaharah Binti Mohamad, 2)Madya Dr Md Nasir B. Ibrahim, & 3)Mohd Zahuri B Khairani Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak Penyelidikan ini bertujuan meneliti pelaksanaan kemahiran amali pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) berdasarkan rekabentuk kurikulum PISMP yang telah mula dilaksanakan pada tahun 2007. Kajian ini meneroka pelaksanaan dan cabaran yang dihadapi di Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPG KIK), dalam meningkatkan kemahiran amali pelajarpelajar PISMP di IPG KIK Seramai lima orang pelajar PISMP dan dua orang pensyarah yang dipilih daripada Jabatan Pendidikan Seni Visual. Pendekatan kualitatif telah digunakan dalam kajian ini. Data dikumpul dengan menggunakan pemerhatian, temubual, dan analisis dokumen. Dapatan awal menunjukkan pelajar-pelajar PISMP sangat positif dengan pelaksanaan kemahiran amali. Analisis data pula membuktikan kepimpinan ketua Jabatan, kepakaran pensyarah, latar belakang pelajar dan pengurusan studio seni mempengaruhi kejayaan pelaksanaan amali. Beberapa isu telah dikenal pasti dan dibincangkan dalam rumusan penyelidikan. Kata kunci: Kemahiran amali Pendidikan Seni Visual, Reka Bentuk Kurikulum PENDAHULUAN Menurut National Assessment Governing Board (2008), kemahiran amali dalam seni visual adalah termasuk mendapatkan informasi, menganalisis dan sintesis pengalaman, menjana pelbagai visual atau penyelesaian idea, memilih daripada idea-idea yang berasingan, media, atau proses, merancang dan menyusun pelaksanaan idea visual, menilai idea dan fom, dan aplikasi kecekapan teknikal dalam menghasilkan objek visual. Berdasarkan Sukatan Pelajaran Kursus bagi Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP), kemahiran amali memberikan penekanan khusus kepada usaha untuk melahirkan pelajar yang berketrampilan dan berkeupayaan mempraktikkan kemahiran yang diperolehi. Usaha bagi mengekalkan tahap penguasaan kemahiran dan pengetahuan perlu dinilai dari masa ke semasa secara sistematik. Kemahiran yang dipelajari dan dikuasai perlulah selaras dengan matlamat kurikulum Pendidikan Seni Visual. Pendidikan Seni Visual di institusi adalah lebih menegaskan kegiatan dalam proses penghasilan atau amali dengan melibatkan aspek pemahaman, penghayatan dan kritikan. Proses ini menyentuh perasaan estetik dan daya kreativiti individu melalui penajaman daya intuisi, persepsi, imaginasi dan konsepsi murid. Merujuk kepada buku panduan pelajar PISMP, Pendidikan Seni Visual di Institut Pendidikan Guru Malaysia adalah bermatlamat untuk membentuk keperibadian pelajar yang celik budaya, mempunyai nilai-nilai estetik yang tinggi, imaginatif, kritis, kreatif, inovatif dan inventif. Menerusi disiplin ilmu ini, adalah diharapkan dapat melahirkan pelajar yang bersyukur terhadap tuhan,
1377
menghargai keindahan alam, keindahan seni dan warisan bangsa, dan seterusnya dapat menyumbang ke arah pembangunan diri, masyarakat dan negara selaras dengan hasrat Falsafah Pendidikan Kebangsaan (2003:1). Permasalahan Kajian Glaser (1962) dalam Joyce B. (1992) mengemukakan model pengajarannya dengan membahagikan proses pengajaran kepada empat komponen utama iaitu objektif pengajaran, pengetahuan sedia ada pelajar, kaedah mengajar dan penilaian. Beliau juga menekankan maklum balas pelajar sebagai aspek penting dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Menurut beliau, objektif pengajaran harus ditentukan sesuai dengan pengetahuan sedia ada pelajar. Kemudian, kaedah mengajar harus dipilih berdasarkan objektif pengajaran dan pengetahuan sedia ada pelajar. Seterusnya, penilaian harus dijalankan ke atas segala proses pengajaran dengan tujuan untuk mengesan kelemahan, agar guru dapat mengubahsuai proses pengajarannya, demi meningkatkan keberkesanan pengajaran pada masa hadapan. Berdasarkan kajian Aznan Mohd Azoddein (2001), boleh dihujahkan bahawa peranan pengetahuan teori guru pelatih merupakan penyumbang paling penting kepada pencapaian akademik keseluruhan mereka. Aspek amali pula merupakan komponen kedua penting dalam menyumbang kepada pencapaian keseluruhan guru pelatih. Ini menunjukkan tahap pengetahuan guru pelatih tidak seiring dalam komponen teori dan amali. Berdasarkan keputusan penyelidikan Mazlan Daud (2004), kompetensi dan keberkesanan guru PSV sekolah menengah di Pahang adalah pada tahap yang tidak memuaskan. Terdapat faktor dalaman dan luaran yang mempengaruhi perkara tersebut. Faktor dalaman adalah berpunca daripada sikap guru yang tidak berusaha untuk meningkatkan tahap profesionalisme samada melalui kursus atau latihan lanjutan. Dari huraian di atas dapat difahamkan bahawa kemahiran amali seni visual tidak dikuasai oleh semua pelajar. Masih terdapat pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) yang mempunyai tahap penguasaan kemahiran yang rendah. Oleh itu, pengkaji ingin membuat kajian tentang pelaksanaan kemahiran amali Pendidikan Seni Visual dan cabaran yang dihadapi. Tujuan / Objektif Kajian Penyelidikan ini secara khusus bertujuan meneliti kemahiran amali pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) berdasarkan rekabentuk kurikulum PISMP yang telah mula dilaksanakan pada tahun 2007. Seterusnya diharapkan dapat memberi kefahaman menyeluruh secara: 1. Mengkaji kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP. 2. Mengenalpasti cabaran dalam pelaksanaan penilaian amali PSV bagi program PISMP. Persoalan kajian yang utama adalah berkaitan tentang aspek-aspek penilaian amali PSV dalam kalangan pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan. Masalah penyelidikan ini boleh dirumuskan dalam soalan kajian seperti berikut: 1. Bagaimanakah kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP?
1378
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi cabaran dalam pelaksanaan penilaian amali PSV bagi program PISMP? METODOLOGI KAJIAN Reka Bentuk Kajian adalah menggunakan pendekatan kualitatif telah digunakan secara menyeluruh dalam penyelidikan ini. Menurut Cresswell (1994) penyelidikan kualitatif adalah satu proses inkuiri untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan kepada gambaran yang menyeluruh dan kompleks, melalui pandangan informan yang mendalam serta dijalankan dalam keadaan yang sebenar dan semula jadi. Pendekatan kualitatif yang digunakan sesuai dengan permasalahan kajian dalam disertasi ini yang memerlukan kefahaman menyeluruh dan mendalam. Pendekatan Kualitatif adalah pendekatan yang menempatkan permasalahan kajian sebagai satu fenomena yang kompleks, yang menyebabkan pengkajiannya perlu dilakukan secara holistik, deskriptif, dan interpretatif (Tjetjep Rohendi Rohidi, 2000) Penyelidik mengaplikasikan beberapa teknik pengumpulan data bagi membantu kutipan data dan maklumat. Bagi persampelan kajian penentuan subjek atau populasi kajian adalah amat penting dalam sesuatu penyelidikan. Babbie (2008) menyatakan populasi sebagai keadaan yang menetapkan siapa yang harus dimasukkan atau dikeluarkan daripada populasi. (Mohd Majid Konting, 2004) pula menyatakan populasi sebagai semua ahli dalam kelompok pemboleh ubah yang dikaji. Subjek kajian ini terbatas kepada pelajar Pendidikan Seni Visual (PSV), Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPGKIK). Bagi tujuan kajian, jumlah subjek kajian yang diambil adalah seramai lima orang pelajar yang dipilih secara rawak dalam kalangan pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP). Persampelan juga melibatkan 2 orang pensyarah yang bertugas dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Seni Visual sebagai responden. Lokasi kajian ini dipilih berdasarkan terdapatnya popularasi yang bertepatan dengan tujuan kajian, iaitu institusi yang mempunyai amali Pendidikan Seni Visual yang khusus. Lokasi kajian ini bertempat di Institut Pendidikan Guru, Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur. Pemilihan lokasi ini juga dibuat berdasarkan faktor logistik, faktor kewangan dan kekangan masa yang dihadapi pengkaji iaitu jarak lokasi kajian adalah mampu dicapai oleh pengkaji telah memudahkan proses pengumpulan data yang telah dijalankan. Bersandarkan pada pernyataan Chua (2006) berkaitan persampelan berkelompok, maka pengkaji memilih lokasi yang dinyatakan agar data yang telah diperoleh dapat memberikan keputusan yang boleh dipercayai. Dalam kajian ini beberapa kaedah pengumpulan data digunakan, antaranya pemerhatian, temubual, dan himpunan dokumen. Pemerhatian dilakukan untuk mengumpul maklumat bagi aktiviti praktikal subjek kajian di bilik seni. Terdapat beberapa ciri pemerhatian iaitu kategori tingkah laku, unit tingkahlaku, paras tafsiran pemerhati, generalisasi dan penggunaan serta persampelan tingkah laku. Instrumen pemerhatian disediakan untuk memudahkan pengkaji mengesan perubahan penguasaan kemahiran terhadap
1379
subjek kajian. Pemerhatian secara berstruktur dijalankan berdasarkan hasil kerja menggambar setiap subjek kajian. Pemerhatian berstruktur dibuat menggunakan senarai semak yang disediakan untuk memerhatikan kelakuan dan reaksi sepanjang kajian dibuat. Pengkaji membuat rakaman visual yang berbentuk statik dan bergerak. Kamera dan video telah dilakukan terutama rakaman lokasi, infastruktur, dan beberapa aktiviti amali yang dijalankan oleh subjek kajian. Selain rakaman aktiviti dalam studio seni, persekitaran lokasi juga dirakam. Rakaman visual ini dapat membantu pemerhatian yang dilakukan secara langsung semasa di lapangan. Dalam kajian ini, instrumen temu bual berstruktur digunakan. Temu bual berstruktur ini dapat memastikan pengkaji memberi fokus yang maksimum terhadap isi soalan yang diberikan kepada subjek kajian supaya maklumat yang tepat dapat direkodkan. Rosinah Edinin (2011) menyatakan bahawa hasil analisis data temu bual dipersembahkan dalam memerihal semula dan menggunakan kekerapan tema yang diperoleh melalui transkripsi temu bual secara sistematik dan berkesan. Berdasarkan strategi analisis Creswell (2013) pengkaji perlu mempertimbangkan beberapa perkara: 1. Membaca teks beberapa kali untuk memahaminya secara menyeluruh. 2. Menulis rumusan (nota) teks bagi mengurangkan data untuk mengidentitikan kod dalam margin transkrip. 3. Memerhatikan perkataan, metafora atau idea yang digunakan oleh subjek kajian. 4. Menulis kod tentative, memo dan nota refleksi. 5. Menggunakan perkataan dan urutan baru ( repharase ideas). Himpunan dokumen bermula daripada awal proses menghasilkan proposal. Dalam menghasilkan proposal perlu merujuk kepada teori-teori dan konsep-konsep yang boleh diguna pakai semasa proses menganalisis dan menbuat kesimpulan dalam kajian. Dokumen-dokumen yang dikumpul adalah seperti informasi-informasi mengenai proforma kursus, portfolio, dokumen pentaksiran dan sebagainya. Selanjutnya, instrumen borang skor indikator pemarkahan amali menggambar digunakan bagi menilai hasil akhir subjek kajian. Penilaian bertujuan melihat keberkesanan setiap subjek kajian dalam mengaplikasikan aspek-aspek dalam pelaksanaan amali. Kebolehpercayaan Data Bagi menjamin dan mengembangkan validiti data yang dikumpulkan dalam penyelididkan ini digunakan teknik triangulasi. Triangulasi data digunakan secara khusus adalah triangulasi data sumber, iaitu mengumpulkan data sejenis daripada pelbagai sumber data yang berbeza dan melakukan semakan silang daripadanya. (Patton, 1980). Prosedur perbahasan dalam penulisan disertasi dilaksanakan dengan mengikuti pola pada gambarajah berikut ini.
1380
Latar Belakang Kajian
Masalah Kajian
Hasil dan pembahasan dari: Tujuan Kajian
Kajian Literatur
Kepentingan Kajian
Metodologi Penyelidikan
i) pemerhatian
Kesimpula
ii) temu bual iii) rakaman visual iv) soal selidik
Saranan
v) himpunan dokumen
Rajah 1. Prosedur Perbahasan dalam Penulisan Disertasi Prosedur Pengumpulan dan Analasis Data Penyeldik telah mentadbir sendiri soal selidik, pemerhatian dan temubual bagi mendapat maklumat dan data dalam kajian ini. Data dan maklumat yang diperolehi dikumpul dan dipola mengikut kategori. Dalam pendekatan ini, penyelidik perlu membuat pemilihan dan interpretasi ke atas data yang dikumpul. Selain daripada itu penyelidik juga perlu mengadunkan deskripsi, dokumen, catatan lapangan dan membuat interpretasi ke atas pemerhatian, senarai semak, temubual dan soal selidik ke adalam satu bentuk naratif deskriptif. Pendekatan analisis data yang digunakan oleh penyelidik dalam kajian ialah dengan menggunakan pendekatan analisis data kualitatif iaitu seperti yang telah dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1994) yang mana, menerusi pendekatan ini penyelidik akan cuba menjelaskan seberapa tepat yang mungkin tentang apa yang dikaji serta menstrukturkan semula data dalam bentuk realiti yang mudah difahami oleh pembaca.
Koleksi Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan: Penarikan/Varifikasi
Rajah 2. Komponen bagi Analisis Data : Model Interaktif Miles & Huberman
1381
DAPATAN KAJIAN Berdasarkan kepada data-data yang telah dikumpul dan berdasarkan kepada kepada persoalan kajian yang telah ditetapkan, maka dapatlah dijelaskan seperti berikut: Mengkaji kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP Jadual 1. Dapatan Senarai Semak Pemerhatian Bil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perkara Takwim Sukatan / Proforma Interaksi Bersemuka Interaksi Atas Talian Studio Seni Visual Buku Panduan Pentaksiran / Soalan amali Skema / rubrik Pemarkahan Taklimat amali Pelan Tindakan Pameran hasil kerja seni visual Rujukan Kementerian Pelajaran Malaysia Rujukan Hasilan sendiri Rujukan koleksi Pusat Sumber Proses Penilaian dan Moderasi
12 13 13
Ada
Tiada
Ulasan IPGM/ Berpusat IPGM/ Berpusat Pensyarah/ Pelajar Pensyarah/ Pelajar Pensyarah/ Pelajar IPGM/ Berpusat IPGM/ Berpusat IPGM/ Berpusat Pensyarah Pensyarah/ Pelajar Pensyarah/ Pelajar
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
IPGM / Berpusat
√ √
Pelajar IPG Kampus
√
IPG Kampus
Analisis pemerhatian mendapati bahawa pentadbiran ujian amali telah dilaksanakan dengan baik. Ujian amali telah dilaksanakan mengikut prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak IPGM. Pihak pentadbir melaksanakan telah menyeragamkan proses pentaksiran amali bagi kursus-kursus yang ditawarkan dalam PISMP. Menyediakan instrumen pentaksiran amali PISMP secara berpusat. Menjamin kesahan dan kebolehpercayaan pentaksiran amali yang dilaksanakan. Pentaksiran amali ini juga sebagai rujukan dan panduan kepada pihak pengurusan dan penilai. Jadual 2. Dapatan Himpunan Dokumen : Prosedur Pelaksanaan Ujian Amali Bil 1. 2.
1382
Aktiviti Perancangan pelaksanaan dan penggubalan tugasan penilaian amali Serahan dan taklimat tugasan kepada pelajar
Tempoh
Tindakan
Seminggu
Pensyarah
Sehari
Pensyarah
Bil
Tempoh
Tindakan
1 bulan
Pelajar
1 bulan
Pensyarah
5. 6.
Proses penghasilan karya/ produk/ tugasan Bimbingan berterusan proses penghasilan karya/ produk/ tugasan Serahan hasil karya/ produk/ tugasan Penilaian peringkat IPGK
1 minggu 1 minggu
Pelajar Pensyarah
7.
Taklimat IPGK kepada penilai luar
Sehari
KJ / KU
8.
3 Hari
WAKIL IPG
9.
Penilaian dan moderasi luar / pemantauan IPGM Pameran dan sesi apresiasi / refleksi
Seminggu
10.
Penyerahan markah kepada SUP
Seminggu
Pelajar Pensyarah Pensyarah
3. 4.
Aktiviti
Analisis dokumen membuktikan terdapat usaha bagi mengekalkan tahap penguasaan kemahiran dan pengetahuan yang dinilai dari semasa ke semasa secara sistematik. Pentaksiran amali adalah satu kaedah yang sesuai digunakan untuk menguji hasil pembelajaran yang berteraskan amali seperti yang terkandung dalam pro forma kursus yang berkaitan. Sehubungan itu, satu garis panduan pelaksanaan dan pentaksiran amali disediakan sebagai panduan dan rujukan kepada pensyarah dan penilai terlibat dengan kursus berkenaan. Jadual 3. Dapatan Himpunan Instrumen : Pemarkahan Ujian amali Subjek Kajian
Folio(30%)
S1 S2 S3 S4 S5
25 24 26 25 25
Karya Seni Digital (30%) 22 25 23 19 28
Persembahan Multimedia (30%) 26 28 29 23 25
Penulisan Esei (10%) 8 8 8 9 8
Analisis dokumen penilaian amali PSV juga menunjukkan subjek kajian mempunyai pencapaian yang baik dalam penilaian amali PSV. Subjek kajian dinilai menggunakan skala pemarkahan seperti ditetapkan dalam rubrik pemarkahan kursus yang berkenaan bagi memastikan kesahan pemarkahan. Seorang pensyarah (Penilai) menilai sekumpulan pelajar atau menurut kesesuaian sesi pentaksiran yang dilalui oleh pelajar. Markah dari setiap kemahiran yang diuji hendaklah digabungkan dalam satu borang rumusan. Pengiraan markah akhir dalam borang rumusan adalah berasaskan kiraan peratus. Syarat lulus penilaian amali PSV bagi pelajar PISMP adalah kehadiran 100% dalam pengajaran pembelajaran, pelajar wajib menduduki semua
1383
komponen penilaian amali dan mencapai markah keseluruhan sekurangkurangnya 40%. Mengenalpasti Cabaran Dalam Pelaksanaan Penilaian Amali PSV Bagi Program PISMP Jadual 4. Dapatan Temu Bual Soalan Berstruktur Senaraikan masalah-masalah pelaksanaan amali seni visual yang anda hadapi.
Interpretasi Didapati masalah utama adalah tahap kemudahan prasarana yang kurang memuaskan.
Adakah anda menghadapi masalah kemahiran tertentu? Bagaimana anda mengatasinya?
Didapati tahap masalah kemahiran dalam amali seni visual adalah rendah. Masalah boleh diatasi.
Sekiranya terdapat pelajar-pelajar yang kurang kemahiran, apakah penyelesaian masalah yang dilakukan? Adakah kemudahan asas peralatan amali seni visual mencukupi atau masih kurang ? Adakah aktiviti-aktiviti amali seni dapat dijalankan dengan lancar atau sebaliknya? Sila berikan cadangan bagi meningkatkan mutu hasil kerja amali seni visual.
Didapati terdapat penyelesaian masalah yang dilaksanakan. Didapati tahap kemudahan peralatan amali seni visual adalah rendah. Didapati tahap pelaksanaan aktiviti amali adalah lancar. Didapati penambahbaikan yang perlu adalah meningkatkan tahap prasarana oleh pentadbir dan kaedah pelaksanaan amali oleh pelajar.
Analisis temubual membuktikan cabaran atau masalah utama adalah tahap kemudahan prasarana yang kurang memuaskan. Masalah kemahiran dalam penilaian amali PSV adalah pada tahap yang rendah. 80% subjek kajian bersetuju bahawa terdapat penyelesaian masalah yang dilaksanakan terhadap kelemahan dan keperluan penambahbaikan penilaian amali. Berdasarkan temubual juga didapati tahap pelaksanaan aktiviti amali adalah baik. Bagaimana pun tahap kemudahan peralatan amali seni visual adalah rendah. Ini ditegaskan lagi pada cadangan penambahbaikan yang perlu adalah meningkatkan tahap prasarana oleh pentadbir dan kaedah pelaksanaan amali oleh pelajar. PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN Analisis data telah membuktikan kepimpinan ketua Jabatan, kepakaran pensyarah, latar belakang pelajar dan pengurusan studio seni mempengaruhi kejayaan pelaksanaan amali PSV. Kaedah dan strategi penilaian amali PSV bagi program PISMP berjaya menguji sejauh mana tahap pencapaian pelajar dapat menguasai kemahiran yang telah dipelajari selaras dengan matlamat kurikulum. Ini menggalakkan pelajar berusaha untuk memperbaiki pencapaian
1384
dan memantapkan kemahiran dalam bidang yang berkaitan sebelum dan selepas melalui ujian ini. Seterusnya menjadi kayu pengukur untuk menilai tahap pencapaian pelajar dalam bidang berkaitan. Dapatan kajian ini juga mempunyai implikasi positif kepada penilaian amali PSV. Bagaimana pun beberapa isu telah dikenal pasti sebagai cabaran dalam pelaksanaan penilaian amali PSV. Dapatan kajian menunjukkan tahap prasarana asas dalam studio seni perlu diberi perhatian oleh pihak jabatan dan institut. Semua pihak juga diharap mempertingkatkan terhadap pengurusan studio seni kerana ia merupakan sesuatu yang amat penting dalam meningkatkan prestasi penilaian amali Pendidikan Seni Visual itu sendiri. Hasil dapatan pengkaji juga seiring dengan Model Pengajaran Robert Glaser iaitu dibina berlandaskan konsep pengajaran sebagai suatu proses yang menitikberatkan langkah-langkah pengajaran iaitu perancangan, pelaksanaan, penilaian dan maklum balas (1962). Oleh yang demikian, pentadbir, pensyarah dan pelajar haruslah membuat refleksi terhadap pelaksanaan dan cabaran penilaian amali PSV ini agar hasrat yang terkandung dalam matlamat pendidikan negara seperti yang termaktub dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan (FPK) akan tercapai. Ini kerana penilaian amali PSV merupakan kandungan kepada kurikulum yang telah dibentuk. DAFTAR RUJUKAN Aznan bin Mohd Azoddein (2001). Pengajaran pendidikan seni di maktab perguruan persekutuan pulau pinang. Universiti Malaya. Kertas Projek Sajana. Babbie, E. R. (2008). The basics of social research. Cengage Learning. Joyce B., Weil M. & Showers B. (1992). Model of teaching. Boston: York Production Services. Chua, Y.P. (2006). Kaedah dan statistik penyelidikan: kaedah penyelidikan . buku 1. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd. Cresswell J. W. (2005). Educational research. planning, evaluating quantative and qualitative research. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Cresswell J. W. (2013). Qualitative inquiry & research design. Los Angeles: SAGE Publication Inc. IPG Kampus Ilmu Khas (2009). Buku panduan program sarjana muda perguruan. Buku tidak diterbitkan. Kementerian Pendidikan Malaysia. Mohd Majid Konting. (2004). Kaedah penyelidikan pendidikan. Kuala Lumpur. Mazlan Daud (2004). A surdy to determine the competency of art teacher in teaching visual art education (PSV) in secondary schools in the state of pahang. UITM, Shah Alam. Thesis (M.edu) Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded sourcebook (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage. National Assessment Governing Board (2008), 2008 arts education assessment framework, Washington, DC: U.S. Department of Education. Diperoleh dari www.nagb.org. Patton, M. Q. (1980). Qualitative evaluation method. Beverly Hills, CA: Sage Publication.
1385
Rosinah Edinin PhD. (2011). Penyelidikan tindakan kaedah dan penulisan. Kuala Lumpur: Freemind Horizons Sdn. Bhd. Tjetjep Rohendi Rohidi. (2000). Ekspresi seni orang miskin: Adaptasi simbolik terhadap kemiskinan. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia dan Ford Foundation.
1386
PENGETAHUAN EMPAT BIDANG KEGIATAN PENDIDIKAN SENI VISUAL (PSV) DALAM KALANGAN PELAJAR ELEKTIF TESL MELALUI KERJA KURSUS PROJEK 1)
Zainun Abu Bakar, 2)Zaharah Mohamad, 3)Faridah Anum Abdul Wahid, & 4)Nor Azizah Atan IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak This study was conducted to know the knowledge of four areas of Visual Arts Education activity in elective TESL students through course work project . The study involved fifteen PISMP TESL students from the Department of English Studies. Analysis of the initial survey showed that 50% of the study subjects had no direct knowledge about the four areas of Visual Arts Educationactivity. Method of observation, analysis of documents , checklists and course work has been done to collect data. Interventions implemented through project management course work for 6 weeks. Analysis showed that the level of mastery of the subjects increased from 31 % to 79 % , an increase of 48 % . The implications of this study show the impact of the implementation of the course work projects have a positive impact in improving knowledge about the four areas of study subjects PSV activities other than teaching and learning in the classroom. Keywords: The knowledge of four areas of Visual Arts Education, course work project PENGENALAN Kandungan Sukatan Pelajaran Pendidikan Seni Visual (PSV) sekolah rendah di bawah Kementerian Pendidikan Malaysia merangkumi empat bidang kegiatan iaitu Bidang Menggambar, Membuat Corak dan Rekaan, Membentuk dan Membuat Binaan serta Mengenal Kraf Tradisional (KPM 2003). Penguasaan dalam keempat-empat bidang kegiatan ini akan dapat memperkembangkan dan menyelaras persepsi dan konsepsi visual untuk menggalakkan pemikiran kritis dan kreatif. Malah kemahiran dalam bidang ini akan dapat menyelaras perkembangan peringkat kesediaan dan penerimaan murid dari segi sosio emosi, psikomotor, mental yang merangkumi perasaan, koordinasi, manipulasi dan persepsi visual. Melalui empat bidang kegiatan ini pelajar dapat pengetahuan mengenai bahan, alat dan teknik. Pelajar juga dapat pengetahuan mengenai sumber motif dalam persekitaran, kraf tradisonal, unsur seni, prinsip rekaan, proses pembuatan, kaedah dokumentasi, integrasi maklumat dan aplikasi perisian komputer. Semua bidang kegiatan PSV boleh dikuasai melalui pemerhatian secara aktif, interaksi yang kritis dan kreatif dengan alat dan bahan, melaksanakan apresiasi seni visual secara mudah dan idapat menghargai nilai baik dalam semua aspek kehidupan. Bidang Menggambar menegaskan perkembangan persepsi, kemahiran dan kemampuan murid dalam kegiatan membuat gambar dalam pelbagai media dan teknik. Bidang Menggambar boleh dilakukan melalui teknik lukisan,
1387
kolaj, catan, capan, resis, stensilan, percikan, mozek, poster, gosokan dan gurisan. Dalam Bidang Membuat Corak Dan Rekaan, murid dapat memahami pelbagai cara menghasilkan corak terancang dan corak tidak terancang serta mengaplikasikannya menjadi rekaan. Corak tidak terancang boleh dihasilkan melalui teknik pualaman, tiupan, titisan, ikatan dan celupan, renjisan dan percikan. Manakala corak terancang boleh dihasilkan melalui teknik lukisan, catan, resis, cetakan, kolaj, capan, kaligrafi, lipatan dan guntingan. Manakala dalam Bidang Membentuk Dan Membuat Binaan, penegasan diberikan kepada perkembangan persepsi murid terhadap bentuk, ruang, struktur, imbangan dan kestabilan yang merangkumi objek 3Dimensi (3D). Pelbagai bahan, alat dan teknik pembuatan boleh digunakan.membentuk dan membuat binaan boleh dihasilkan melalui penghasilan arca timbul, asemblaj, mobail, topeng, stabail, origami, model, diorama dan boneka. Seterusnya dalam Bidang Mengenal Kraf Tradisonal, murid diperkenalkan dengan beberapa kraf tradisional seperti alat domestik, batik, tembikar, tekat, anyaman, alat pertahanan diri, tenunan, perhiasan diri, ukiran dan alat permainan. Bidang ini memberi kesedaran tentang adanya beberapa jenis kraf tradisional dalam budaya tanah air. Murid diperkenalkan dengan fungsi, proses dan teknik pembuatan, alat dan bahan, corak dan hiasan yang digunakan. Aspek apresiasi hasil kerja diadakan sebagai proses pembelajaran, melalui pernyataan, puisi, lakonan, nyanyian atau penceritaan. PERNYATAAN MASALAH Dari pemerhatian pengkaji dapati bahawa pengetahuan pelajar terhadap empat bidang kegiatan PSV tidak dapat dikuasai oleh semua pelajar Elektif TESL. Masih terdapat pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) yang mempunyai tahap penguasaan kemahiran yang rendah. Oleh itu, pengkaji ingin membuat kajian tentang pengetahuan pelajar TESL terhadap pengetahuan empat bidang kegiatan PSV Pendidikan Seni Visual. Pengkaji juga mendapati secara keseluruhan menunjukkan: 1. 10 peratus subjek kajian tiada pengetahuan dalam empat bidang kegiatan PSV kerana mereka tidak mendapat pendedahan mata pelajaran Pendidikan Seni Visual semasa peringkat sekolah menengah dahulu. 2. Bawah 50 % subjek kajian tiada langsung pengetahuan empat bidang kegiatan PSV. 3. 20 peratus subjek kajian tiada mengambil mata pelajaran Pendidikan Seni Visual semasa peringkat Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) mereka. Ujian pra dilaksanakan dalam tinjauan awal untuk mengenal pasti pengetahuan subjek kajian dalam empat bidang kegiatan PSV. Selain daripada itu, analisis dokumen dijalankan berdasarkan markah peperiksaan PSV3104. Pengkaji mendapati bahawa kebanyakan subjek kajian amat lemah dalam pengetahuan empat bidang kegiatan PSV . Mereka tidak faham dan keliru untuk membezakan bidang Menggambar, Membuat Corak dan Rekaan, Membentuk dan Membuat Binaan serta mengenal Kraf Tradisional. Berdasarkan kajian Aznan Mohd Azoddein (2001), boleh dihujahkan bahawa peranan pengetahuan teori guru pelatih merupakan penyumbang
1388
paling penting kepada pencapaian akademik keseluruhan mereka. Aspek amali pula merupakan komponen kedua penting dalam menyumbang kepada pencapaian keseluruhan guru pelatih. Ini menunjukkan tahap pengetahuan guru pelatih tidak seiring dalam komponen teori dan amali. Merujuk kepada Buku Panduan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) (2007), pelbagai strategi pengajaran dan pembelajaran berpusatkan pelajar diamalkan dalam PISMP termasuk Pembelajaran Berasaskan Projek (Project-based Learning) dan Pembelajaran Berasaskan Masalah (Problembased Learning). Penilaian dilaksanakan secara formatif dan sumatif dalam pelbagai bentuk seperti pentaksiran berterusan, kerja ursus projek, Ujian Akhir Kursus, peperiksaan berpusat dan penulisan akademik. Menurut Noriati, Boon, Sharifah dan Zuraidah (2010) menerangkan pembelajaran berasaskan projek adalah model pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan pengalaman pembelajaran yang kompleks berdasarkan situasi sebenar yang memerlukan murid menggunakan kemahiran dan pengetahuan. OBJEKTIF KAJIAN Secaranya khususnya, kajian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengetahuan empat bidang kegiatan PSV dalam kalangan pelajar elektif TESL. 2. Kemahiran pelajar dalam menghasilkan karya dan mengaplikasikan teknik dan bahan berdasarkan bidang kegiatan PSV yang dipilih semasa melaksanakan kerja kursus projek. KUMPULAN SASARAN Kajian ini melibatkan 15 orang pelajar elektif PISMP TESL dari Jabatan Pengkhususan Bahasa Inggeris. Pelajar ini mengambil mata pelajaran Pendidikan Seni Visual sebagai mata pelajaran elektif. Kumpulan sasaran yang telah dipilih adalah seramai 15 orang subjek kajian, 11 orang pelajar perempuan dan 4 orang pelajar lelaki. PROSEDUR TINDAKAN Tindakan yang diambil adalah berdasarkan langkah-langkah dalam rajah 1 di bawah. Cara pengumpulan dan penganalisis data juga dinyatakan dalam rajah ini.
1389
TINJAUAN MASALAH
PENGUMPULAN DATA AWAL x Pemerhatian 1 x Analisis Dokumen
PROGRAM
KAEDAH PROJEK Empat BidangKegiatan PSV : x Menggambar x Membuat Corak dan Rekaan x Membentuk dan Membuat Binaan x Mengenal Kraf Tradisional
INTERVENSI KERJA KURSUS PROJEK
PEMPROSESAN DATA
PENGUMPULAN DATA x Analisis dokumen x Senarai Semak x Pemerhatian 2
DATA KUALITATIF Senarai semak Pemerhatian DATA KUANTITATIF Analisis Dokumen
Huraian Tema Secara Deskriptif
- Statistik -Deskriptif -Peratusan
Rajah 1. Prosedur Tindakan PELAKSANAAN TINDAKAN Prosedur Kajian Tindakan ini adalah berasaskan kepada Model Penyelidikan Stephen Kemmis ( 1983 ). Model ini melibatkan empat kitaran iaitu peringkat merancang, bertindak, memerhati dan refleksi. Kajian intervensi ini telah dijalankan selama tiga semester iaitu:
1390
Kerja Kursus Projek Semester 4 (PSV 3105) Intervensi 1 Ujian Pos Pemerhatian 2 Analisis Dokumen Kerja Kursus Projek Semester 5 (PSV 3107) Intervensi 2 Senarai semak pengajaran mikro dan RPH- KKP
-
Analisis Dokumen- markah peperiksaan akhir
Rajah 2. Pelaksanaan Intervensi INSTRUMEN DAN PENGUMPULAN DATA PEMERHATIAN Pemerhatian di dalam kelas telah dijalankan sewaktu berinteraksi dengan subjek kajian pada awal semester empat di dalam kelas PSV3105 iaitu Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Seni Visual yang menekankan empat bidang kegiatan serta PSV3017 Pedagogi PSV di semester 5. Ini adalah bagi mengetahui samada subjek kajian dapat menjelas dan membeza konsep dan pengertian empat bidang kegiatan PSV. Borang senarai semak pemerhatian mengandungi maklumat tentang empat bidang, pengetahuan membandingkan keempat-empat bidang, bahan dan teknik juga mengesan pengetahuan mengaplikasikan empat bidang dalam menghasilkan persediaan mengajar. Berikut adalah keputusan analisis pemerhatian tersebut. Jadual 1. Pemerhatian Pengetahuan Empat Bidang. BIL PERKARA 1 Menjelaskan konsep empat bidang kegiatan PSV 2 Membanding-beza keempat-empat bidang kegiatan 3 Menghasilkan kemahiran empat bidang dalam Persediaan Mengajar 4 Mengaplikasi kemahiran empat bidang kegiatan dalam PdP JUMLAH PERATUS
YA 6 7
TIDAK 9 8
5
10
0
15
30%
70%
Pemerhatian melalui senarai semak yang dijalankan terhadap 15 orang subjek kajian mendapati 67.9% subjek kajian tidak dapat menjelaskan konsep, membanding beza, cara menghasilkan karya dan cara mengaplikasikan kemahiran empat bidang semasa awal semester empat iaitu semasa pembelajaran kursus PSV3105.
1391
UJIAN PRA DAN UJIAN POS Bagi mengesahkan dapatan dari pemerhatian, ujian pra dan ujian pos telah dijalankan. Ujian pra dan pos ini adalah bagi mengetahui tahap penguasaan subjek kajian terhadap konsep dan pengertian empat bidang kegiatan PSV. Keputusan kajian dapat diterangkan di dalam graf di bawah. Jadual 2 Perbandingan Ujian Pra dan Ujian Pos Penguasaan Pengetahuan Konsep dan Pengertian Empat Bidang Bil Pel Ujian Pra Ujian Pos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
3
7
4
7
6
3
4
6
6
6
3
7
7
7
7
15
10
16 13 14 13
8
17
16
17
17
14 14
16 13
Berdasarkan Jadual 2, peratus perbezaan markah ujian pra dan ujian pos menunjukkan peningkatan. Tahap penguasaan subjek kajian juga meningkat daripada 31% kepada 79% iaitu peningkatan sebanyak 48%. Didapati subjek kajian mengalami peningkatan dari segi penguasaan unsur seni dan prinsip rekaan, proses dan teknik serta kandungan dalam empat bidang kegiatan PSV. ANALISIS DOKUMEN (MARKAH PSV3105 DAN PSV3107) Selepas mengikuti kelas bagi Kerja Kursus PSV3105, subjek kajian telah diberikan tugasan Kerja Kursus Projek (KKP) yang mengandungi hasil pembelajaran. Hasil pembelajaran tersebut berkaitan dengan persoalan kajian ke dua iaitu adakah subjek kajian dapat menghasilkan karya dan mengaplikasikan teknik dan bahan yang sesuai berdasarkan bidang kegiatan PSV yang dipilih semasa melaksanakan kerja kursus projek. Bahagian A merupakan pengumpulan maklumat dan penyediaan peta minda, Bahagian B dan C adalah kriteria yang memerlukan subjek kajian menguasai Kurikulum PSV yang mengandungi empat bidang kegiatan. Subjek kajian perlu memilih salah satu bidang dan aktiviti yang sesuai untuk membuat rancangan pengajaran harian. Dapatan dokumen markah KKP dapat dianalisis sebagai berikut:
1392
Rajah 3. Perbandingan Markah KKP PSV3105 dan PSV3107 Berdasarkan rajah 3, analisis markah KKP PSV3105 dan KKP PSV3107 juga menunjukkan bahawa secara keseluruhannya kerja kursus projek menunjukkan kesan yang positif dalam meningkatkan pengetahuan subjek kajian tentang empat bidang kegiatan Pendidikan Seni Visual. Ini dibuktikan melalui terdapatnya peningkatan markah subjek kajian pada semester lima iaitu bagi kursus PSV3107. PERBINCANGAN DAN SIMPULAN Berdasarkan daripada pemerhatian dan senarai semak, pengkaji mendapati bahawa subjek kajian boleh memahami konsep empat bidang kegiatan PSV sekiranya mendapat pendedahan secara langsung melalui aktiviti amali seni visual. Subjek kajian berkeupayaan sekiranya menggabungkan pengetahuan tentang teori dan amali secara membuat hasil kerja dalam situasi sebenar. Ini selari dengan pendapat Noriati, Boon, Sharifah dan Zuraidah (2010) bahawa pembelajaran berasaskan projek adalah model pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan pengalaman pembelajaran yang kompleks berdasarkan situasi sebenar yang memerlukan murid menggunakan kemahiran dan pengetahuan. Cabaran yang dihadapi adalah tahap disiplin subjek kajian yang berbezabeza menimbulkan situasi di mana subjek kajian yang bermasalah disiplin mewujudkan data yang diluar jangkaan. RUMUSAN Hasil daripada kajian yang dijalankan, pengkaji ingin mengemukakan beberapa cadangan bagi mempertingkatkan lagi kemantapan pengetahuan empat bidang kegiatan Pendidikan Seni Visual dalam kalangan pelajar. Oleh kerana subjek kajian ini bukan dari kalangan opsyen Pendidikan Seni Visual, adalah lebih baik sekiranya subjek kajian didedahkan dengan penggunaan laras bahasa seni yang betul yang akan diaplikasikan ketika menjalani latihan praktikum di sekolah nanti. Aplikasi laras bahasa seni visual ini sangat penting semasa membuat penulisan persediaan mengajar dan refleksi pengajaran. Kesesuaian aktiviti yang digunakan dalam tugasan projek perlu dikaji dengan lebih terperinci. Ini sebagai langkah meningkatkan prestasi teori, amali
1393
dan kreativiti pelajar dalam aplikasi pengetahuan dan kemahiran empat bidang kegiatan PSV. DAFTAR RUJUKAN Aznan Mohd Azoddein. (2001). Pengajaran pendidikan seni di maktab perguruan persekutuan Pulau Pinang. Universiti Malaya. Kertas Projek Sarjana. Bahagian Perancangan dan Penyelidikan Dasar Pendidikan (2008). Buku manual kajian tindakan. Kuala Lumpur: Bahagian Perancangan dan Penyelidikan Dasar Pendidikan. Chua, Y.P. (2006). Kaedah dan statistik penyelidikan: kaedah penyelidikan . buku 1. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd. IPG Kampus Ilmu Khas (2009). Buku panduan program sarjana muda perguruan. Buku tidak diterbitkan. Kementerian Pendidikan Malaysia. Noriati A. Rashid, Boon, Sharifah Fakhiriah Syed Ahmad & Zuraidah A. Majid (2010) Guru dan cabaran semasa. Kuala Lumpur: Oxford Fajar Sdn. Bhd. Prof. Dr. Abd. Razak Habib. (2006). Kaedah Kajian dalam Penyelidikan. Selangor: Meteor Doc. Sdn. Bhd. Shahabuddin Hashim (2003). Pedagogi: strategi teknik mengajar dengan berkesan. Kuala Lumpur: PTS Publications Sdn Bhd.
1394
INCLUSIVE PEDAGOGY FOR DIVERSE STUDENTS IN REGULAR CLASSROOM SETTINGS Gunarhadi Sebelas Maret University Surakarta E-mail:
[email protected] Abstract Inclusive pedagogy is philosophically fostering the humanistic educational service that is moved as the changing attitude and awareness towards education for all. The educational service is addressed, in particular, to children with special needs in regular schools. Practically, inclusive education is envisioned to the promotion of academic and social adjustments. Inclusive pedagogy, therefore, requires that a regular school is created to be a inclusive environment for children with special needs. Inclusive education is denoted to the legal foundations of Basic Constitution and Government Regulation on the equality of human right to education. These two foundations mandate the creation of a school environment that is friendly to learning and interaction. Hence, children with special needs can learn and live in the more cohesive school society. The implementation, therefore, inclusive schools provide adjustment in terms of curriculum, instructional strategy, assisted media, individual scaffolding, facilitation, and evaluation regarding the values of potential and respects to the diversity. Keywords: inclusive education, friendly-learning environment, adjustment INTRODUCTION The Inclusive education essentially refers to special pedagogy that responds to the unique needs of individuals in regular classes. This concept is resulted from the positive movement of attitude and awareness towards education for all children since the last few decades. Responding to children with diversity is considered the most significant consequence of change in special education (Shaeffer, 2005). Particularly in the field of educational services, integration and inclusion serve as the latest forms of special education development of education for all. As the latest trend of education services, inclusive education was initiated to give wider opportunity for marginalized children to have equal access to education. Marginalized children are those with physical, intellectual, and or handicapping condition that interfere them with learning. They have special needs to be fulfilled for a better development. Every child has unique needs which are different from each other. Individual needs can be temporary, permanent, and sociocultural bases (Mayor, 1994). Temporary need is a demand that occurs at a certain moment when a child is undergoing gloominess. At the time when a child gets a misery because one the family members gets seriously sick, for example, in the school the child may feel sad and need special attention. The child needs other people to express his feeling. The child's permanent needs are of basic or biological needs to live normal, independent, fair like other children in the family, schools, and community. Someone is said to have normal life when he lives with his
1395
family, to learn together with other children, and to communicate with other people in the community. And vice versa, if a child should live in a dormitory, separate from his family and must learn in separate special school, for instance, the child's life is beyond the normal condition. In addition to those of temporary and permanent needs, a child may be faced with social or cultural needs. A child needs to adjust to the ease and accepted as a member in the group environment. A child may experience extraordinary obstacles in adapting to the environment. This is because of the limited self-adapting to the environment. In many cases, the society does not yet fully understand the unique needs of children so that they sometimes behave indifferently toward them. Regular schools are equipped with existing facilities and the education system which do not provide secured atmosphere of environment for them. What seems to remain difficult is to satisfy the unique needs of children. In inclusive education, the children with special needs do not have to adjust themselves to the education system, method, and the environment, but it should occur on the other way around. In the in the classroom, for example, children do not have to adjust with the existing curriculum, but the curriculum itself must be tailored to the needs of children. These are all about to think of inclusive education. Education system should hold on the right to such children. DEFINITION OF INCLUSIVE EDUCATION Inclusion education, in a broad sense, is accommodating differences of children in regular schools. Inclusive education requires the significance of togetherness among diverse students based on respect, acceptance, and belonging. In the school settings, Ballard (2005) mentions that inclusion is referred to as a process of identifying and removing the barriers to learning for all students. Practically, however, inclusion is connected to attendance, participation and achievement for all students to improve the quality of experience through the curriculum available in schools. In this sense, inclusion is catered primarily for students who marginalized, neglected, or those who are not achieving in school (Ainscow, 2003). In almost the same the point of view, (Sandkull & Heijnen, 2005) in International Symposium, 2005 in Bukittinggi, Indonesia defines inclusive education as a strategy of implementing the approach to the rights of children to education, especially for those who are marginalized. Inclusive education, as such, holds the principle of equal rights, respect of differences, and understanding the needs of all students by removing the obstacles in the learning environment. From these opinions, it implies that inclusive education is education that is continuously seeking for best practices to help all children to obtain the rights to education. Because of the differences, related to the school attendance, participation, and achievement, their existence and the needs need to be humanly valued and respected to strive for their right to education and the meaning of their lives. In the school setting, inclusive school functions as an inclusive and friendly-learning environment where students with special needs learn together with the other peers in the regular school (Gunarhadi, 2001). The included students have the right for the compensatory scaffold to adapt to the existing
1396
system on their basis of individual capability within their academic as well as social benefits. They are not just mainstreamed as having dual citizenship both in regular and special school. In contrast, inclusive education admits that students are members of the general education class and do not belong to any other separate, specialized environment based on the characteristics of their disability (Halvorsen, & Neary, 2009). An inclusive school serves as a welcoming and friendly-learning environment that is conducive to learning and assures physical, social, and psychological security. CHARACTERISTICS OF INCLUSIVE EDUCATION Inclusive education can be seen from the academic and social. Characteristics of an inclusive academic education related to the teachers' efforts to create a cohesive community, receive and responsive to the needs of each individual student. Sapon-Shevin (1995) revealed five profiles of academic learning climate in inclusive schools. First, create and maintain a warm-class community, receive diversity, and respect the differences. Teachers have a full responsibility to create a class to accommodate all children to emphasize the familiar atmosphere, and to emphasize and appreciate the differences. The principle emphasizes that a child is not considered because of appearance, but the equality among the children. Second, is the use of a multileveledcurriculum, and the utilization of multimodality. Heterogeneous classes require fundamental changes in the curriculum. The curriculum is flexible, designed and tailored to the needs of children, not rigid, not glued to the text book, and adapted to the needs of children. In addition, the process of teaching and learning tend to be more cooperative, thematic, critical thinking, problem solving, and authentic assessment. Likewise, the methods used by teachers must be tailored to the stages of learning ability of the children. The process of teaching and learning, then, is not necessarily the same for all children, but is adjusted to the needs of the children individually. Third, encourage teachers to teach interactively. In a traditional classroom, the teacher himself is trying to meet the needs of all children in the class. In an inclusive classroom, students work together, teach each other, and actively participate in completing the task, guide-led or friend not to compete. Fourth encourage teachers to work with other related professionals in eliminating the obstacles of students learning. Teaching activities should not be alone in the designing, implementing, and evaluating the activities. Teachers are expected to work with the team, collaborating, consulting, and sharing the knowledge about how to measure the skills, the learning outcome or facilitating the individuals who need the help as from psychologists, doctors, engineers and other therapists necessary to work together in interdisciplinary team. Teachers need to involve the parents. Parents are the main source in providing information about the child both in terms of development, customs, and other characteristics. Therefore, the parents participate in meaningful programs in teaching both group and individual. Unlike the characteristics of academic, social characteristics requires the adjustment of environment and the needs of children; in school, at home, in the community, and in the work place. Inclusive education creates conditions that all children are members of the group in which each other. In the group,
1397
members must help each other and play a role in learning, attention to the interests of one another, accept the fact that there are some children with unique needs. Every child does not need to perform a task that must be always the same. An inclusive class also demands that all children develop the sense of solidarity, belonging, and partnership. Other children have to feel every one else as a group member, and all children also should feel as a member of the group. From the description on the inclusive education both from academic and social perspective, it can be concluded that an inclusive class contains heterogeneous background of children. To cope with this background, different professions have to work hand in hands to work in transdisciplinary team, so that the needs of individual children can be met. To meet the demands of inclusive education, the teaching and learning system in Indonesia confront many challenges. Teachers need to provide the knowledge and skills to manage heterogeneous class, develop a climate of cooperation in teams from various labors and professionals. Schools are equipped with the necessary facilities to enable the children to meet their needs. To manage the inclusive school, Hoarse and Taylor (2005) suggests some factors to facilitate the success for students with special needs. The school should have strong leadership on the leading equal opportunity, good communication among the team, careful community links, adaptive curriculum, and tracking the student progress. IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN INDONESIA. The Foundation of Inclusive Education Inclusive education is based on the internal and external strength. The internal strength includes laws, government regulations, or government policies. The external strength refers to international appeal, the conference, agreement, or the institution's commitment to international concern about the rights of children to education. The strength of laws and statements of international commitments touch and form a positive attitude to make a framework of action to realize the respective agreements. As the internal strength in Indonesia, the 1945 Constitution is the main foundation to embrace the children's rights to education. Such the rights are explicitly mentioned in article 31 paragraph (1): "Every citizen shall be subject to basic compulsory and free education". Specifically relating to the rights to education for children with special needs, the rule is quoted in Law No. 20 of 2003 on National Education System. Article 5 paragraph (2) mentions the "Citizens with physical, emotional, mental, intellectual, and / or social deviation are entitled to special education." In the other article that is Article 32, paragraph (1) also mentioned the "Special education is education for students who have a certain degree of difficulty that impedes the learning process due to the physical, emotional, mental, social aberration and / or those with highly intellectual potential and special talent." The foundation that rules the inclusive education is a part of special education. Special education in Indonesia is managed in three (3) settings; Segregation, mainstream / integration, and inclusive services. Segregation service takes place in Special Schools (SLB), while integration and inclusion
1398
services are conducted in regular schools. Special regulation on inclusive education has not been written in law. But since 2003 the provision of education services for children with special needs are conducted in regular schools where children live nearby. This internal strength of law on inclusive education is imposed by a policy of the Government Rule No. 70 Year 2009. This policy recommends that Regional Authority "organize and develop an inclusive education located in at least 4 (four) schools consisting of elementary, junior high, high school, and vocational schools (SMK) in each district area". Such awareness and commitments to the rights to education for children with special needs in inclusive education are from the confirmed in the agreements resulted from Bandung and Bukit Tinggi Declarations. Bandung Declaration, 8 - 14 August 2004 entitled "Indonesia Moves on Towards Inclusive Education" granted two (2) items of decision. They are decisions that guarantee children with special needs to get education, and the humane treatment without discrimination. The Declaration of Bukittinggi was agreed in the International Symposium held on 26 - 29 September 2005 with the theme "The Removal of Barriers to Learning, Participation and Development". The main results are the declarations and strategies to achieve "education for all", respect differences, develop the management of inclusive education, create the environment that supports learning and life of children, promote the inclusive education services, and prepare an action plan to provide physical and nonphysical accessibility. Inclusive and Friendly-Learning Environment The inclusive and friendly learning environment appears to be a requirement of inclusive education management. A school environment is considered an inclusive and friendly learning when the school provides a wide range of opportunities for children to attend, participate in learning, and gain meaningful results (UNESCO, 2002). Such an environment will make children feel physically, socially, psychologically safe, comfortable, and favorable to learning. Based on the perception, the Sandkull and Heijnen (2005) emphasize the importance of environment as follows. First is availability. This condition indicates the awareness and concern that schools must provide the broadest opportunities for the children as well as the parents to determine their right to obtain education in the school they choose. The awareness and concern of course do not arise only from the public schools, but also from the government particularly the Ministry of National Education. Likewise, such awareness and concern come up from the communality in terms of a moral, spiritual support, and funds. Second is accessibility. Inclusive and learning-friendly schools are open (Welcoming School) for all children in need. Physically, the school can be accessed by all children including those who are bound to a wheelchair or those who experience motor disturbances and ambulation to attend and participate in learning activities. Third is acceptability. Inclusive and friendly school ensures the existence of children with a sense of security, a socially and psychologically comfortable. School teachers, principals, and students function as partners who recognize and respect differences. Schools serve all children with different backgrounds sincerely in social and learning interaction. Fourth is adaptability. One of the elements of inclusive education is the awareness and
1399
concern of learning obstacles that occur because of differences or limitations of the child. In such conditions, it is not the children who must adjust to the environment, but the schools, instead, should design environment and programs in accordance with the children's needs. In an inclusive setting, the academic learning atmosphere occurs when students learn in a psychologically and socially safe environment. Carnell (2005) suggests three favorable propositions in order that learners can learn effectively. The first condition is that learning needs to be enjoyable and engaging. When students feel being engaged and involved means learning is fun. They prefer experiment by seeing what happens instead of being told. In this way the tasks become exciting, thus, help their understanding. They also prefer being asked questions rather than being told by the teacher. The class activity is learning by doing, not copying. It means the students hope the teacher is making a way and space for them to participate and explore to discover their knowledge. The second, Students need to trusted and given the responsibility for their learning. Students learn better when they go out and find things instead of the teacher bringing them for them to learn. In this way students can search, get hold different sources, and finally make decision. They feel they learn when they are able to design things, expand on a certain subject, and show what they can do. In this way of learning, students are trustworthy and responsible for the struggle of learning to construct their own knowledge. The third, students learn effectively when students have more opportunities to learn with others. The students share to respect and to be respected by others. They learn not only by themselves but also form others. They can learn through a two-way process, by getting and listening to other's opinions to understand the knowledge. They can also learn by putting their opinions across, communicating and learning to appreciate other people. By sharing and involving in a team, they feel to a part of the team member, and build up the confidence because other people rely on them. In short, learning is not anymore being instructed. Rather it is a matter of construction and coconstruction. The Principles of Inclusive Teaching-Learning The learning process was conducted with the purpose of achieving the goal. To achieve this goal, a teacher in the classroom should consider the inclusive learning principles. In general, the teaching principles in inclusive classroom are similar to the ones in regular classes. Mayor (1994) states that inclusive Classrooms should guarantee that all students get the quality of sustainable education through the adjusted curriculum, organization, teaching strategy, resource utility, and community involvement regardless of their differences and difficulties. The differences and difficulties may lie in the diversity in the respects of their physical, intellectual, social, and emotional barriers that affect the learning (Ainscow, 2003). Such barriers may eventually appear on the low cognitive function, motivation, and students' self-esteem. The same ideas are also explained by Kyriacou (1997) that the low motivation to study and the small self-confidence often cause failure in school. The frequent experience of failure has shortened the expectation to succeed. The teacher in the learning process is expected to provide service in accordance with the
1400
needs of students such as counseling and remedial teaching. Directorate of Management for Special School (2005) issued a guide that highlight the teaching learning process in inclusive classroom settings. The principles of teaching and learning in inclusive settings include; motivation building, contextual learning, goal orientation, social interaction, learning through action, individualization, discovery learning, and problem solving. In general teaching strategy, such principles are intended to accommodate the main characteristics of students with special needs the barriers of which are usually related to cognition, motivation, and self-esteem. To scaffold the cognitive barriers, for instance, the principle of discovery, inquiry, contextual learning is strongly recommended. In the same way, the inclusive education also pays attention to students' motivation. Students with certain obstacles in an inclusive classroom, generally, have low encouragement to learn. They are difficult to actualize their identity because of the attached label. The fighting spirit to compete and succeed is eventually weakening eventually. The lack of feeling competitive has impacted the low motivation to struggle for learning. Teachers, in this occasion, should keep on giving encouragement, spur their struggle, and ensure that they have potential that can raise the achievement. In addition to motivation, building emphatic social relationship is also an important principle. This is aimed to permeate the sense of self-esteem during social interaction. Opposed to competitive, cooperative learning seems to be the most appropriate option for students with such learning barriers. In this way, teachers understand their personal identity and makes emphatic approach so that students feel safe with teachers and friends. The next principle is to emphasize the individualized service. It is a child-to-child service with a full understanding of the individual (Ainscow, 2003). This is important because the students with learning obstacles always achieve behind the expected goal. The individualized service includes individual counseling and that enables them to restore their motivation and self-esteem, which can further augment the absorption of higher knowledge provided. Special help is necessary for students with barriers to learning. For students who have the visual impairment, for example, teachers are required to adjust their strategy, utilizing adaptive learning tool, for example, so that students can participate like other friends. To achieve better results of inclusive learning in class, learning-friendly environment should be made to the scaffold students with learning barriers. The principles include scaffolding of students’ learning, meaningful and contextual activities, self-regulated learning, and positive response to individual learning styles. The result showed surprising finding that all of the students in the class inclusive, specifically those with disabilities in the third class, evidenced cognitive and social growth. Unfortunately, he commented, very little of this generalization growth between the museum and school settings. In this context, Directorate of Special Education (2005) has issued a guide book on instructional adaptation for students with special needs. Instruction covers specific adaptation and modification adjusted to students with special needs. The modification may be required regarding the individual differences in terms of curriculum, process of teaching, instructional media,
1401
teaching materials, and evaluation. Browlie and King (2000) suggest many ways to make adaptation to improve learning. Adaptation can take place in all aspects of teaching and learning process; in setting the learning goal, presentation, evaluation, material, and individual assistance or scaffolding. A student with low vision, for instance, may need orientation and training prior to mobility academic instruction. This student may also need environment conducive to learning and safe and physically both psychologically. In the process of learning, such a student needs specially media designed for large prints, and perhaps individualized instruction and differentiated way of evaluation. All these kinds of adaptation demand the teacher to work creatively and cooperatively with other professionals to enhance the student to the learning experience and to benefit equally from the instruction. In relation to the teaching-learning process, Smith (2004) suggests four principles to accommodate for inclusive environments typically implemented in scaffolding students with special needs. The first is providing structure and a standard set of expectation. In this matter, the teacher is mainly to help students develop cognitively organizational skills, and to establish set of rules for academic and social activities and tasks. Secondly, is adjusting the instructional materials and activities. The teacher is supposed to individualize the instruction and to break down the material into smaller pieces. A peer tutor might be needed, and the evaluation might also be done in a different way. The third is the student feedback and reinforcement for success. This could be done by rewarding or praising students for Accomplishment, and by reinforcing students to develop partnership among themselves especially those with low self-esteem. The last is to make the tasks interesting. The teacher, in this case, is to develop attention by making assignments interesting, novel, and arousing the intellectual curiosity. The teacher should also vary the format of instruction and play activities to the joy of learning. CONCLUSION Inclusive education is education that is designed for children with special needs included in regular schools. It was firstly meant to accommodate the marginalized children with limitation to the equality access to education. Inclusion means responding to the diversity of children, attempting to overcome the barriers to learning, and giving the opportunity to attend and participate in the learning process. Inclusive education is conducted on the philosophical basis of Basic Constitution and Government Regulation where the implementation covers academic and social aspects to enhance the students to learn and live in the inclusive and friendly learning environment. Practically, the teaching strategy holds the principles of adaptation and modification in terms of curriculum, process of teaching, instructional media, and evaluation on the individual needs of children.
REFERENCES
1402
Ainscow, M. (2003). Developing inclusive education system: What are the livers for change: Keynote Speech in International Conference on Inclusive Education, The Hong Kong Institute of Education, 16-19 December. Ballard, K. (2005). International voices on disabilities and justice. London: Taylor & Francis e-Library. Browlie, F., & King, J. (2000). Learning in safe schools: Creating classroom where all students belong. Ontario: Pembroke Publishers Limited. Carnell, E., (2005). Understanding and enriching young people’s learning. London: A Sage Publication Company. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2005). Pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jakarta: DEPDIKNAS. Gunarhadi. (2001). Mengenal pendidikan inklusif dalam pendidikan luar biasa, Jurnal Rehabilitasi & Remediasi, 11, (2), 63-68 Halvorsen, A., & Neary, T. (2009). Building inclusive schools: Tools and strategies for success. New Jersey: Pearson Education, Inc. Hoarse, J., & Taylor, I. (2005). Implementing an inclusion policy in a primary schools. Improving Schools, 8, (3), 255-268 Kyriacou, C. (2001). Effective teaching in schools: Theory and practice. Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Mayor, F. (994). The Salamanca statement: Frame for action. Bangkok: UNESCO Sandkull, O., & Heijnen, E. (2005). Inclusive education as a human right: How to apply a right-based approach to education programming. Bukut Tinggi: Paper presented on the International Symposium, 26-29 September. Sapon-Shevin, M. (1995). Why gifted students belong in the inclusive schools. Educational Leadership, 52, (4), 64-70. Shaeffer, S. (2005). Embracing diversity: Toolkit for creating inclusive, learningfriendly environment, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. Smith, D., (2004). Introduction to special education: Teaching in an age of opportunity. Boston: A Pearson Education Company.
1403
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF DI DALAM BILIK DARJAH DI SEKOLAH DAERAH KLANG 1)
Lee Phaik Gaik, 2)Nazifah Binti Shaik Ismail, 3)Norliza Binti Jaafar, & 4)Mohd On Bin Ahmad Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak Kajian ini bertujuan untuk meninjau perlaksanaan amalan pedagogi inklusif, dari aspek penglibatan murid semasa pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran (PdP) serta kefahaman guru dari segi pengetahuan dan kemahiran tentang pedagogi inklusif di dalam bilik darjah. Kajian ini menggunakan kaedah Consensual Qualitative Investigation di mana data dikumpul melalui temu bual separa berstruktur dan pemerhatian menggunakan senarai semak. Kajian dijalankan dalam dua fasa iaitu temubual separa berstuktur dengan 3 orang Jurulatih Pakar Pembangunan Sekolah (SISC) dalam fasa 1. Manakala, fasa 2 adalah pemerhatian dan temu bual guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah daerah Klang. 2 tema utama telah terhasil melalui analsis data iaitu kesediaan guru dari aspek kefahaman dan pengetahuan serta kemahiran guru dalam melaksana pedagogi inklusif serta penglibatan murid dalam pengajaran dan pembelajaran. Data temu bual menunjukkan pengetahuan dan kemahiran guru tentang pedagogi inklusif adalah tidak jelas dan minima. Dapatan ini membuktikan bahawa guru perlu mempertingkatkan lagi kompetensi dan kemahiran dalam melaksanakan kepelbagaian aktiviti pengajaran dan pembelajaran agar proses pembelajaran yang efektif dan menyeronokkan murid dapat diwujudkan. Kerjasama guru SISC sangat diperlukan untuk merealisasikan pelaksanaan pedagogi inklusif ini. Hasil pemerhatian pula, guru lebih berautonomi dan menentukan semua tugasan di dalam bilik darjah. Penglibatan murid adalah pasif dan guru tidak dapat memberi peluang kepada murid untuk membuat pilihan, keputusan dan mengekspresi diri. Implikasi terhadap pendidikan inklusif serta cadangan kajian masa hadapan juga dibincangkan. Implikasi kajian ini penting ke atas usaha pembangunan aktiviti PdP guru-guru di sekolah dalam merealisasikan Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (2013-2025) khususnya aprirasi murid. Kata kunci: Pedagogi Inklusif , SISC PENGENALAN Salah satu perkara dasar dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) (2013-2025) ialah memberi penekanan terhadap kewujudan kumpulan murid yang berkeperluan khusus. Murid berkeperluan khusus ini merujuk kepada murid berkeperluan khas, peribumi, kumpulan minoriti seperti orang asli dan Penan, pintar cerdas dan murid di sekolah kurang murid (PPPM; 4-16). Adalah menjadi hasrat kerajaan untuk memberi ruang dan peluang pendidikan yang berkualiti tinggi serta relevan dengan keperluan mereka. Konsep ini selaras dengan saranan UNESCO (2001) iaitu ‘sekolah harus menerima semua kanak-kanak tanpa mengira keadaan mereka dari segi fizikal, intelek, sosial, emosi, linguistik atau kelas sosial. Ini termasuklah kanak-kanak kurang upaya dan pintar cerdas, gelandangan, perlarian, berpindah randah,
1404
kanak-kanak dari pelbagai bahasa, etnik atau kebudayaan, minoriti dan kanakkanak yang kurang bernasib baik atau dipinggirkan’ (Persidangan UNESCO Ke-31, 2001). Justeru itu, pedagogi berbentuk inklusif perlu diaplikasikan di kelas-kelas arus perdana yang melibatkan murid-murid berkeperluan khas supaya keperluan murid dari aspek sosial, kognitif dan psikomotor tidak diabaikan. Sekiranya keperluan murid berkeperluan khas tidak diurus dengan baik, besar kemungkinan mereka akan tercicir daripada sistem pendidikan negara dan tidak dapat mengembangkan potensi diri dengan sepenuhnya. Kementerian Pelajaran Malaysia berhasrat untuk menyediakan pendidikan yang adil untuk semua akan tergendala dan seterusnya memberi impak kepada pembangunan modal insan negara. PEDAGOGI INKLUSIF Dengan berpegang kepada dasar PPPM (2013-2025), pendidikan inklusif adalah perlu untuk memenuhi keperluan pembelajaran kanak-kanak dari pelbagai latar belakang sosio budaya, tahap kognitif dan kemampuan psikomotor. Pada umumnya, konsep inklusif dalam pendidikan memberi penekanan kepada keperluan melibatkan semua kanak-kanak dalam proses pembelajaran di mana setiap individu dihargai dan diberi peluang melibatkan diri dengan aktif dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Moriaty, 2007; Florian, 2013; Loreman, Forlin, Chambers, Sharma, & Deppeler, 2014). Pendidik perlu mewujudkan peluang-peluang pembelajaran yang cukup untuk semua pelajar dan bukannya mengecualikan mereka seperti apa yang lazimnya berlaku di dalam bilik darjah (Florian, 2013, Jordan & McGhieRichmond, 2014). Elemen pedagogi inklusif perlu ditekankan bagi memberi ruang dan peluang untuk semua murid supaya dapat melakukan aktiviti pembelajaran berdasarkan kemampuan mereka untuk mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran yang dihasratkan. Semua murid harus diberi peluang untuk berkongsi idea dan membuat keputusan mengenai proses pengajaran dan pembelajaran mereka (Florian, 2013). Penglibatan semua murid tanpa mengira latar belakang dan kekurangan akan dapat mewujudkan persekitaran sosio emosi yang lebih kondusif kepada semua murid (Booth, Ainscow, BlackHawkins,Vaughan, M. & Shaw, 2000). PENYATAAN MASALAH Perbezaan atau variasi seseorang individu dengan norma kumpulan, sama ada dalam sifat kognitif, emosi, fizikal, moral, tingkah laku, sosial atau bakat sememangnya wujud dalam sesebuah kumpulan (Woofolk, 2010). Perbezaan di antara individu adalah berkait dengan aspek perkembangan fizikal, mental, emosi dan sosial seseorang individu. Akibatnya setiap individu mempunyai kepelbagaian dan kecenderungan gaya pembelajaran yang berbeza, strategi belajar yang berbeza dan kadar pembelajaran yang berlainan. Aspek perbezaan ini perlu diambil kira oleh setiap pendidik untuk menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif kepada semua murid selaras dengan hasrat PPPM (2013-2025). Walau bagaimanapun, penyediaan ruang dan peluang pembelajaran yang kondusif untuk semua murid memerlukan guru
1405
yang mempunyai pengetahuan, kefahaman dan kemahiran yang mencukupi untuk melaksanakan pedagogi inklusif dengan berkesan. Kajian ini telah dijalankan bagi meninjau pelaksanaan amalan pedagogi inklusif di sekolah rendah bagi memberi gambaran sebenar tentang status pelaksanaan pedagogi inklusif di Malaysia, khasnya di sekolah-sekolah daerah Klang. OBJEKTIF KAJIAN Kajian ini mempunyai dua objektif iaitu: 1. Mengenal pasti tahap kefahaman guru dari segi pengetahuan dan kemahiran tentang amalan pedagogi inklusif di dalam bilik darjah. 2. Meninjau penglibatan murid dalam perlaksanaan amalan pedagogi inklusif dalam bilik darjah. METODOLOGI Menurut Creswell (2013), pendekatan kualitatif amat sesuai apabila sesuatu kajian melibatkan pemerhatian ke atas seseorang individu atau unit, satu kelas, sekolah, satu masyarakat, peristiwa dan budaya. Kaedah Consensual Qualitative Investigation digunakan dalam kajian ini bersesuaian dengan ciri-ciri penerokaan yang terlibat. Kaedah ini menekankan penggunaan beberapa penyelidik untuk mencapai persetujuan secara berkumpulan serta kaedah yang sistematik untuk membentuk kesimpulan yang dapat mewakili setiap penyertaan yang terlibat dalam setiap kes (Hill, Knox,Thompson, Williams, Hess & Ladany, 2005). 4 orang penyelidik terlibat sepanjang pelaksanaan kajian ini. Pengumpulan data dilakukan dalam dua fasa iaitu fasa 1 dan fasa 2. 1. Fasa 1: Temu Bual Fasa ini melibatkan temu bual separa berstruktur Jurulatih Pakar Pembanguan Sekolah (SISC) tentang amalan pedagogi yang dilaksanakan oleh guru-guru dalam bilk darjah bagi memperolehi maklumat berkaitan amalan pedagogi inklusif di dalam bilik darjah. Temu bual melibatkan 3 orang jurulatih pakar yang mempunyai kepakaran dalam mata pelajaran Bahasa Malaysia, Bahasa Inggeris, Matematik dan Sains. Lokasi temu bual SISC adalah di daerah Klang. Fasa ini dijalankan pada bulan Ogos 2014. 2. Fasa 2: Temu Bual Dan Pemerhatian Fasa ke dua melibatkan 6 guru yang mengajar di daerah Klang. Guru yang dipilih dikategorikan kepada dua kategori iaitu guru permulaan (novice), dan guru berpengalaman lebih daripada 10 tahun dan mengajar di Tahun 4. Sekolah yang dipilih adalah Sekolah Kebangsaan, Sekolah Jenis Kebangsaan Cina dan Sekolah Jenis Kebangsaan Tamil. Dua orang guru dipilih dari setiap sekolah untuk kajian ini. Setiap guru ditemu bual sebelum dan selepas permerhatian dilaksanakan terhadap pengajaran dan pembelajaran kelas yang terpilih. Kelas-kelas yang terpilih mempunyai murid-murid yang mempunyai tahap keupayaan kognitif yang berbeza. Fasa ini dijalankan pada bulan September dan Oktober 2014. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen kajian ini menggunakan protokol temu bual separa berstruktur dan senarai semak pemerhatian yang dibina berdasarkan objektif kajian ini. Satu set protokol telah disediakan untuk mendapatkan maklumat. Instrumen
1406
temu bual separa berstruktur dibina untuk mendapatkan maklumat mengenai amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah. Manakala, senarai semak pemerhatian dibina bagi membantu pengkaji membuat permerhatian pengajaran dan pembelajaran dengan teliti. Analisis Data Consensual Qualitative Investigation mengandaikan bahawa perspektif yang pelbagai dari pengkaji yang berbeza adalah lebih berkesan untuk memahami sesuatu keadaan atau fenomena berbanding dengan hanya satu perspektif daripada seorang pengkaji. Reka bentuk kajian seperti ini juga dapat meminimakan bias yang mungkin wujud jika seorang pengkaji digunakan. Elemen utama yang harus diaplikasi ialah hormat-menghormati antara pengkaji-pengkaji, keseragaman penglibatan pengkaji dan sampel kajian, kuasa membuat keputusan dan kesimpulan kajian. Perancangan yang teliti dan sistematik telah dilaksanakan bagi memperolehi kesahan kajian dari aspek kaedah kajian serta perwakilan keputusan kajian terhadap sampel kajian. Data telah dianalisa melalui tiga peringkat utama iaitu menghasilkan tema untuk mengkluster data, membina idea utama untuk membuat kesimpulan terhadap idea-idea utama yang diekspresi oleh partisipan. Akhir sekali adalah membuat analisis rentas (cross-analysis) ke atas data untuk membentuk kategori yang konsisten antara subjek kajian. DAPATAN KAJIAN Analisis kajian ini menghasilkan 2 tema utama. Tema utama ialah kesediaan guru dari aspek pengetahuan dan kefahaman guru tentang pedagogi inklusif serta kemahiran melaksanakan pedagogi inklusif. Tema kedua ialah penglibatan murid dalam pengajaran dan pembelajaran. Kesediaan Guru Guru didapati kurang jelas tentang maksud pedagogi inklusif. Melalui temu bual, guru sama ada novis atau berpengalaman tidak dapat memberi huraian yang jelas tentang apa yang dimaksudkan oleh terma ‘pedagogi inklusif’. Antara jawapan yang telah diberikan oleh partisipan adalah seperti berikut: “Tidak ada pengetahuan tentang pedagogi inklusif tetapi pernah dengar” Guru novis 2 “Tidak tahu tentang pedagogi inklusif” Guru berpengalaman 3 “Pernah dengar pedagogi inklusif semasa di maktab, pemahaman saya berkaitan dengan penyediaan bahan” Guru novis 3 Setelah penjelasan diberikan oleh pengkaji, guru-guru masih berpendapat bahawa pengetahuan mereka tentang pedagogi inklusif sangat minima. Guru-guru berpendapat mereka memerlukan latihan bagi memahirkan mereka mengendalikan kelas dengan murid pelbagai latar belakang
1407
menggunakan pedagogi inklusif. Kompetensi seperti kemahiran melaksanakan pedagogi inklusif dan mempelbagaikan aktiviti adalah minima dan perlu diberi pendedahan lanjut. Hal in jelas melalui maklum balas dari guru-guru seperti berikut: “.......perlukan latihan untuk menpertingkatkan lagi pengetahuan tentang pedagogi inklusif” Guru novis 1 “........ kemahiran melaksanakan PI kurang sempurna” Guru berpengalaman 2 “...... tidak ada pengetahuan dan perlukan latihan..”. Guru novis 2 Dapatan ini selari dengan maklum balas yang diperolehi daripada SISC yang telah membuat tinjauan terhadap pengajaran dan pembelajaran guru-guru tidak kurang dari 6 bulan. “Guru tidak jelas tentang pedagogi inklusif kerana tidak ada pendedahan pedagogi tersebut. Guru hanya tahu inklusif itu adalah untuk pendidikan khas dan pemulihan sahaja”. SISC 1 “Pengetahuan dan kemahiran guru tentang pedagogi inklusif amat minima” SISC 2 “Guru mempunyai pengetahuan dan kemahiran yang amat rendah tentang pedagogi inklusif. Guru perlukan latihan”. SISC 3 Walaupun tidak terdapat perbezaan pendapat tentang pengetahuan, kefahaman dan kemahiran di antara guru novis dan guru berpengalaman terhadap pedagogi inklusif, terdapat sedikit perbezaan tentang keyakinan mereka. Temu bual bersama guru selepas pemerhatian pengajaran dan pembelajaran menunjukkan bahawa guru berpengalaman lebih yakin dengan kesesuaian perancangan pengajaran dan pembelajaran yang telah dibuat untuk memenuhi keperluan pembelajaran murid. Apabila ditanya tentang kesesuaian perancangan yang dibuat, guru berpengalaman berpendapat : “Aktiviti pengajaran yang saya rancang sesuai untuk muridmurid. Saya rancang mengikut tahap kognitif murid kerana murid-murid saya ada yang lemah dan ada yang pandai”. Guru berpengalaman 2 Manakala guru novis kurang yakin tentang keberkesanan pengajaran dan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
1408
“Saya rasa macam tak berapa ok. Banyak lagi yang saya perlu perbaiki” Guru novis 3 Walau bagaimanapun, kesemua guru mempunyai sikap yang sangat positif terhadap pedagogi inklusif. Mereka yakin dapat melaksanakan pedagogi inklusif sekiranya latihan yang mencukupi diberikan. Penglibatan Murid Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran Dapatan kajian berdasarkan pemerhatian pengajaran dan pembelajaran subjek kajian, didapati penglibatan murid dalam aktiviti pengajaran dan pembelajaran adalah amat terhad. Perkara ini berlaku kerana autonomi guru di dalam bilik darjah tinggi. Guru lebih selesa mengajar secara tradisional. Maka, murid tidak berpeluang melibatkan diri secara aktif di dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Hal ini jelas diperhatikan dalam pengajaran dan pembelajaran partisipan seperti yang berikut: [
“Murid tidak diberi peluang untuk membuat pilihan. Guru yang menetapkan tugasan mereka. Tidak diberi peluang membuat keputusan kerana tidak ada aktiviti kumpulan. Tidak ada maklum balas kerana guru tidak menyoal. Tidak ada aktiviti yang memberi peluang mengekpreskan diri” Guru berpengalaman 1 “Guru berautonomi penuh. Tidak diberi peluang membuat keputusan. Murid memberi maklum balas dari buku teks dan soalan yang ditujukan oleh guru. Tidak ada motivasi yang memberi peluang mengekpreskan diri.” Guru berpengalaman 3 “Murid tidak diberi peluang untuk membuat pilihan. Guru yang menetapkan tugasan mereka. Tidak diberi peluang membuat keputusan kerana tidak ada aktiviti kumpulan. Tidak ada maklum balas. Tidak ada aktiviti yang memberi peluang mengekpreskan diri.” Guru berpengalaman 2 “Guru berautonomi penuh. Tidak diberi peluang membuat keputusan. Murid memberi maklum balas apabila disoal. Tidak ada motivasi yang diberikan kepada murid” Guru novis 1 Terdapat dua partisipan guru yang dapat menglibatkan murid secara aktif dalam pengajaran dan pembelajaran melalui aktiviti kumpulan dan menggunakan strategi berpusatkan murid. Aspek-aspek pemerhatian ini dapat dilihat dalam pengajaran dan pembelajaran partisipan 3 dan 6:
1409
“Murid diberi pilihan untuk membaca mana-mana satu dialog. Diberi peluang untuk keluar dan membetulkan jawapan murid lain. Murid sangat selesa memberi maklum balas kerana guru memotivasikan mereka. Murid diberi peluang untuk membuat kesimpulan pengajaran hari itu. Murid mempunyai sikap yang natural untuk menyatakan sesuatu.” Guru novis 2 “Murid diberi peluang untuk membuat pilihan sama ada membuat ayat atau ulasan pantun. Murid mencari dan membuat ulasan melalui perbincangan dengan guru. Guru dapat merangsang pemikiran murid dengan mengajukan soalan yang berkaitan tayangan gambar. Murid berupaya memberi contoh. Murid aktif memberi maklum balas daripada aktiviti soal-jawab.” Guru novis 3 Dapatan kajian menunjukkan bahawa kemahiran guru adalah pelbagai dalam melibatkan murid dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Walaupun guru novis kurang keyakinan dalam pengajaran yang dijalankan, mereka lebih melibatkan murid secara aktif dan memberikan peluang yang lebih setara kepada murid dari pelbagai tahap kognitif. PERBINCANGAN Dapatan kajian menunjukkan semua subjek kajian tidak jelas tentang pedagogi inklusif. Mereka mengaku bahawa kefahaman dan pengetahuan tentang pedagogi inklusif di tahap minima. Pada tanggapan mereka, inklusif itu hanya difokuskan kepada murid-murid berkeperluan khas. Mereka menyambut baik dan sedar akan kepentingan pedagogi inklusif. Justeru itu, mereka memerlukan latihan atau kursus tentang pedagogi inklusif. Dapatan ini membuktikan bahawa guru perlu mempertingkatkan lagi kompetensi dan kemahiran dalam melaksanakan kepelbagaian aktiviti PdP agar proses pembelajaran yang efektif dan menyeronokkan murid dapat diwujudkan. Kerjasama guru SISC sangat diperlukan untuk merealisasikan pelaksanaan pedagogi inklusif ini. Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa kompetensi atau pengetahuan pedagogi perlu seiring dengan kepelbagaian pedagogi khasnya dalam aspek pendekatan, strategi, kaedah dan teknik pengajaran serta penglibatan aktif murid untuk memenuhi kepelbagaian tahap murid, sosio budaya dan keadilan dalam memberi peluang kepada murid-murid. Semua guru yang ditemu bual bersikap positif tentang pedagogi inklusif. Elemen afektif ini penting kerana guru yang bersikap positif akan lebih berkeyakinan dan bermotivasi untuk melaksanakan pedagogi inklusif. Daripada pemerhatian yang dijalankan kepada 6 guru di tiga buah sekolah yang berbeza, didapati guru novis banyak memberi peluang kepada murid membuat pilihan. Contohnya, murid diberi pilihan untuk membaca manamana satu dialog, pilihan membuat ayat atau ulasan pantun. Walaupun murid diberi peluang membuat pilihan, tetapi guru masih berautonomi dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Elemen penglibatan murid dan memberi
1410
peluang kepada murid membuat maklum balas, dapat dilihat semasa guru novis 2 dan 3 mengajar. Namun, ada beberapa elemen inklusif yang tidak dilaksanakan oleh guru. Di antaranya adalah elemen kepelbagaian arahan, mencungkil minat/ bakat, pengajaran mengikut aras kebolehan dan pembelajaran koperatif dan kolaboratif. Begitu juga dengan elemen inklusif seperti peluang membuat pilihan, membuat keputusan, memberi maklum balas dan mengekspresi diri tidak dilaksanakan dalam pengajaran dan pembelajaran. Elemen inklusif tersebut adalah penting dalam pengajaran dan pembelajaran pada masa kini. Malahan elemen inklusif ini selaras dengan Kurikulum Standard Sekolah Rendah (KSSR) yang mencabar guru menggunakan pendekatan dan teknik pengajaran dan pembelajaran yang interaktif dan menarik supaya murid diberi peluang untuk membuat keputusan, kreatif, inovatif dan mahir dalam menyelesaikan masalah. RUMUSAN Guru-guru di sekolah, sedar pedagogi inklusif sangat penting dan memberi banyak faedah kepada pendidikan. Kajian ini juga memberi kesedaran bahawa tanpa pedagogi inklusif, proses pengajaran dan pembelajaran adalah sama dengan cara tradisional. Aplikasian pelbagai pendekatan, strategi, kaedah dan teknik dalam pengajaran dan pembelajaran guru adalah terhad. Guru tidak mengambil inisiatif untuk memahami keperluan pembelajaran murid, menglibatkan murid secara aktif dalam pengajaran dan pembelajaran dan seterusnya tidak dapat memenuhi keperluan individu yang berbeza. Kajian ini juga menonjolkan guru novis lebih banyak memberi peluang untuk murid membuat pilihan melalui kaedah hands on dan menggunakan banyak bahan bantu mengajar berbanding dengan guru berpengalaman. Walaupun autonomi guru masih dominan dalam proses pengajaran, tetapi guru mempunyai sikap yang positif dari segi keyakinan kendiri, persepsi dan motivasi terhadap perlaksanaan pedagogi inklusif. CADANGAN Bagi keberkesanan pelaksanaan pedagogi inklusif yang efisien, Team Teaching adalah satu cara yang baik untuk guru berkongsi ilmu. Latihan atau kursus tentang aplikasi kepelbagaian pendekatan, strategi, kaedah dan teknik patut diberi kepada guru-guru yang telah mengajar lebih daripada 5 tahun. Dengan membekalkan ilmu dan kemahiran, guru akan lebih berkompetensi. Pendedahan pedagogi inklusif hendaklah jelas dan latihan berbentuk ‘in-situ’ secara berkala bagi meningkatkan kemahiran pedagogi mereka untuk melaksanakan pedagogi inklusif yang efektif. Seterusnya, prasarana sekolah perlu ditambahbaik terutamanya daripada aspek peralatan pengajaran dan pembelajaran khasnya hardware dan software Teknologi Maklumat dan Komunikasi (TMK), serta Projektor LCD agar guru dapat melaksanakan pengajaran dan pembelajaran lebih menarik, interaktif dan sesuai dengan Alaf Ke 21 ini.
1411
DAFTAR RUJUKAN Booth, T., Ainscow, M., Black-Hawkins, K., Vaughan, M. & Shaw, L. (2000) The Index For Inclusion: Developing Learning And Participation In Schools. (Bristol, CSIE). Florian, L., & Spratt, J., (2013) Applying The Principles Of Inclusive Pedagogy In Initial Teacher Education: From University Based Course To Classroom Action, ISBN: 1697-5200 (London, Sage), 7–20. Hill, C. E., Knox, S., Thompson, B. J., Williams, E. N., Hess, S. A., & Ladany, N. (2005). Consensual qualitative research: An update. Journal of Counseling Psychology, 52(2), 196. Jordan, A., & McGhie-Richmond, D. (2014). Identifying Effective Teaching Practices in Inclusive Classrooms. Measuring Inclusive Education (International Perspectives on Inclusive Education, Volume 3) Emerald Group Publishing Limited, 3, 133-162. Loreman, T., Forlin, C., Chambers, D., Sharma, U., & Deppeler, J. (2014). Conceptualising and measuring inclusive education. Measuring Inclusive Education (International Perspectives on Inclusive Education, Volume 3) Emerald Group Publishing Limited, 3, 3-17. Moriaty, M., (2007). Inclusive Pedagogy:Teaching Methodologies to Reach Diverse Learners in Science Instruction. Journal of Equity & Excellence in Education, 40:252-265 Persidangan Antarabangsa UNESCO ke-13 – Oktober 2001 Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) (2013-2025) Woolfolk, A. (2010). Educational Psychology 11th ed. The Ohio State University. Pearson Education International.
1412
PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURU PENDIDIKAN JASMANI 1)
Mohd. Khamdani Bin Sairi, 2)Jalaluddin Bin Abd. Latif, 3)Mokhtar Bin Ahmad, 4)Rozila Binti Mohd. Isa, 5)Jamaliyah Binti Ahmad, 6)Hafidzah Binti Abd. Khafidz, 7)Noraini Binti Mohamed, & 8)Zulkarnain Bin Ali Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas E-mail: 1)
[email protected] Abstrak Kajian kualitatif secara kajian kes ini bertujuan untuk mengenal pasti pelaksanaan Pedagogi inklusif di salah sebuah sekolah di Felda. Empat orang guru Pendidikan Jasmani telah terlibat dalam kajian ini. Kajian kualitatif ini menggunakan kaedah perbandingan secara berterusan untuk menganalisis data. Data diperolehi dengan menggunakan kaedah temu bual mendalam, pemerhatian langsung dan analisis dokumen. Pemilihan peserta kajian berdasarkan persampelan bertujuan bagi mendapatkan pemahaman mendalam dan terperinci tentang fenomena yang dikaji. Proses penganalisisan dan pengumpulan data dijalankan secara serentak dan berterusan sehingga data mencapai tahap ketepuan. Penganalisisan data dilakukan dengan membanding dan menghubungkan konsep dan kategori yang timbul dari data yang dikumpulkan menggunakan kaedah perbandingan secara berterusan bagi memperoleh binaan asas model. Program NVivo 2.0 diaplikasikan untuk membantu mengurus, menganalisis dan menginterpretasikan data secara sistematik dan berkesan. Kajian awal bahawa guru P. Jasmani sekolah kajian tidak sedar akan pedagogi inklusif. Namun setelah diterangkan, mereka menyedari bahawa sebahagian pelaksanaan PdP yang dilaksanakan selama ini telah melibatkan beberapa strategi dalam pedagogi inklusif. Selain itu guru Pendidikan Jasmani juga telah menentukan kriteria pembelajaran sebelum melaksanakan sesuatu sesi PdP. Guru juga turut memberi peluang kepada pelajar untuk memilih tahap pembelajaran berdasarkan tahap kebolehan. Di samping itu guru juga telah menyediakan aktiviti-aktiviti yang mudah hingga sukar untuk membolehkan semua murid merasai kejayaan. Guru juga telah menyediakan beberapa kumpulan bagi menentukan murid-murid dapat melaksanakan aktiviti berdasarkan tahap kebolehan. Kata kunci: Pedagogi inklusif; Berpusat Guru: Berpusatkan pelajar PENDAHULUAN Pedagogi inklusif memberi peluang untuk semua pelajar tanpa mengira jantina serta status sosio ekonomi, bangsa, latar belakang, etnik atau kebolehan kognitif untuk menerima pembelajaran. Sebagai contoh seorang guru P. Jasmani yang menggunakan Pedagogi Inklusif turut mengajar pelajar berkebolehan motor rendah seperti mana pelajar yang mempunyai keupayaan motor yang tinggi; menerima pelajar perempuan untuk sama-sama belajar untuk mencapai kekejayaan; juga menerima dan memberi peluang kepada pelajar yang berbeza etnik dan latar belakang untuk mencapai kejayaan dalam kemahiran yang diajar. Pedagogi Inklusif juga memperkenalkan kaedah pengajaran yang pelbagai. Pelbagai gaya
1413
pembelajaran membolehkan pelajar untuk mencapai hasil pembelajaran yang ditetapkan. Pedagogi Inklusif memberi peluang kepada pelajar untuk belajar secara aktif. Pelajar berkongsi idea untuk membuat keputusan pengajaran dan pembalajaran. Pelajar mungkin boleh membuat keputusan dan memilih persekitaran pembelajaran yang disukai, bekerja dan berada di gimnasium, tahap kesukaran soalan dan tugasan. (Hastie, 2003: Siedentop & Tannehill, 2000) OBJEKTIF Mengenal pasti pelaksanaan Pedagogi Inklusif dalam kalangan guru P. Jasmani di sebuah sekolah rendah Felda METODOLOGI KAJIAN Pendekatan Pendekatan kajian ini ialah pendekatan kualitatif yang berbentuk kajian lapangan dan berupaya menerangkan proses yang dilalui peserta kajian dalam latar sebenar dan semula jadi ( Creswell 1992; Denzin dan Lincoln 1994). Patton (1990) menyatakan bahawa kaedah kualitatif membenarkan pengkaji menyiasat isu yang dikenal pasti dengan mendalam dan terperinci, agar isu yang diselidiki dapat mengekalkan ciri-ciri keasliannya secara holistik. Rekabentuk kajian Reka bentuk kajian ini berdasarkan kajian kes. Menurut Burn (1995), Merriam (1998) dan Yin (1994), penggunaan reka bentuk penyelidikan kajian kes menggunakan data kualitatif amat sesuai apabila sesuatu kajian melibatkan pemerhatian seseorang individu atau unit, satu kumpulan manusia, keluarga, satu kelas, sekolah atau masyarakat, peristiwa atau budaya. Instrumen Kajian Item temu bual mendalam dibina sendiri oleh pengkaji berdasarkan kategori dan elemen. Berpandukan asas yang telah diutarakan, pengkaji membina kod-kod berdasarkan kategori dan elemen. Menurut Lofland (1995), Bogdan dan Biklen (1998) dalam Miles dan Huberman (1994), kod-kod boleh dibina berdasarkan tempat kajian, takrifan situasi peserta kajian, perspektif atau pemikiran, proses aktiviti, kejadian, strategi, perhubungan sosial dan asas teoritikal. Skema pengekodan mestilah berkait rapat dengan masalah yang dikaji dan juga teori-teori yang berkaitan. Kategori-kategori yang diwujudkan seharusnya mengaitkan respons kepada masalah yang dikaji. Skema pengekodan mesti lengkap dan membolehkan kesemua respons yang dikenalpasti diklasifikasi. Ini bererti pengkaji perlu membina skema pengkodan yang komprehensif (Zaharah 2002). Sampel Kajian Pengkaji telah memilih peserta kajian yang terdiri daripada dua orang guru P. Jasmani yang berpengalaman dari sebuah sekolah Felda. Pemilihan sampel berdasarkan teknik persampelan secara bertujuan (purposeful sampling). Pemilihan subjek yang bertujuan (purposive) merupakan kunci utama dalam kajian kualitatif (Cresswell 1998). Miles dan Huberman (1994) menjelaskan penyelidik yang menggunakan kajian kualitatif perlu menentukan kriteria yang jelas dalam pemilihan subjek tersebut. Bagi kajian kes ini
1414
penyelidik telah memilih subjek supaya dapat memberikan maklumat yang mendalam (Merriam 1998). Lokasi Kajian Sekolah Rendah di sebuah Felda Cara pengumpulan data Bagi tujuan kajian ini, pengkaji telah menggunakan gabungan kaedah pemerhatian, temu bual mendalam serta analisis dokumen bagi mengenalpasti amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru P. Jasmani. Bagi tujuan kajian seperti ini, tiga teknik utama yang biasa digunakan dalam kajian kualitatif ialah pemerhatian, temu bual dan bukti dokumen (Spradley 1980; Bogdan & Biklen 1984) digunakan pada sepanjang tempoh kajian dilaksanakan. Cara analisis data Menurut Miles dan Huberman (1994), proses menganalisis data kualitatif memerlukan tiga langkah, iaitu reduksi data, pemaparan data, membuat kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data melibatkan proses memilih, memfokus, memudahkan, membuang serta melakukan tranformasi apa-apa yang terdapat dalam nota yang telah ditranskripsikan. Proses mereduksi harus dilakukan dari awal data dikumpul sehinggalah kesemua data selesai dikumpul. Proses ini bukanlah berasingan tetapi merupakan sebahagian daripada proses menganalisis data yang berterusan. Proses ini dilakukan supaya data yang dikumpul dapat diperhalusi, disusun semula, dibuang dan disusun secara keseluruhan bagi mencapai kesimpulan. Data-data yang direduksi dibaca semula untuk mengenal pasti pola, tema, persamaan ataupun perbezaan. Daripada data-data yang direduksi, penyelidik membina kod-kod yang dapat menggambarkan pola atau tema yang timbul dari data. Pengkaji akan menganalisis data setelah temu bual pertama dilakukan. Proses bermula dengan membuat transkripsi secara verbatim atau kata demi kata rakaman pita temu bual. Proses seterusnya memilih atau memfokus data. Data yang telah dipilih dikodkan dan kemudian dikategorikan. Proses ini dilakukan secara berterusan sehingga tamat proses pengumpulan data apabila pengkaji mendapati data yang dikumpulkan sudah sampai tahap pemuakan iaitu data yang dikumpul tidak lagi menyumbang kepada penemuan kategori baru (Meriam 1998). Proses berikutnya ialah melibatkan proses untuk mengesahkan kesahihan data dengan membuat triangulasi terhadap data temu bual dengan data yang diperoleh daripada kaedah pemerhatian dan dokumen. DAPATAN KAJIAN Kefahaman guru tentang Pedagogi Inklusif Berdasarkan jadual 1, didapati bahawa kedua-dua orang peserta kajian (P1; P2) tidak pernah mendengar istilah Pedagogi Inklusif(PI) namun daripada penerangan dan temubual pengkaji didapati peserta kajian ada melaksanakan dan faham akan (PI). Peserta kajian 1 misalnya menjelaskan: “PI ini macam pernah dengat.. tipulah kalau saya tak pernah dengar. Rasa pernah dengar, benda tu saya buat tapi saya tak tahu nama tu.. sekarang saya dah tahu.” (KOD: KG-kpi/P1/TM1/Section 0, Para 20, 12 Chars) P2 pula menyatakan:
1415
Kenyataan itu turut dinyatakan oleh P2 yang menjelaskan bahawa tidak pernah dengar PI namun memahami setelah setelah diberi penerangan oleh pengkaji. Beliau menyatakan: “Pernah dengar tapi tak berapa faham sangat, tak berapa ingat” (KOD: KG-kpi/P2/TM2/Section 0, Para 12, 52 Chars) Amalan PI dalam kalangan guru PJ Persediaan guru 1. Rujukan yang berkaitan P1 dan P2 menjelaskan bahawa sebelum melaksanakan PdP PJ mereka telah membuat persediaan awal terlebih dahulu. Mereka merujuk sukatan pelajaran (SP) dan Rancangan Pelajaran Tahunan (RPT) sebelum melaksanakan sesuatu PdP. Selain itu mereka juga merujuk dokumen KSSR/KBSR untuk menentukan aktiviti yang akan dijalankan. Bagi menjalankan sesuatu ujian yang berkaitan kecergasan kedua-dua peserta kajian menggunakan Dokumen Segak. P1 menjelaskan: “ Saya akan merujuk sukatan, buku teks dan dokumen yang berkaiatan sebelum membuat RPH” (KOD: API-PG-Rui/P1/TM1/Section 0, Para 10, 25 Chars) P2 pula menyatakan: “saya akan tengok rph...” (KOD: API-PG-Rui/P2/TM2/Section 0, Para 25, 21 Chars) 2. Penulisan objektif Objektif PdP adalah amat penting bagi menentukan sejauh mana sesuatu kandungan mata pelajaran dapat disampaikan kepada murid. Oleh itu kedua-dua peserta kajian telah menyatakan bahawa mereka menentukan objektif PdP berdasarkan tajuk atau topik. Selain itu kedua-duanya bersetuju bahawa objektif yang dirancang adalah boleh dicapai. Ini bagi memberi keyakinan dan motivasi kepada murid yang pelbagai latar belakang dan prestasi yang berbeza. Ini dapat ditunjukkan melalui katakata P1: “Bila ssaya dah tahu keupayaan budak2 ni macam ni jadi objektifnya pun kena berbezalah antara dua kelas...so walaupun kita ajar benda yang sama tapi kita dah tahu keupayaan berbeza objektif ubah sikit supaya kumpulan yang tak berapa boleh ni boleh capai objektif.” (KOD: API-PG-PenOb/P1/TM1/Section 0, Para 11, 20 Chars) P1 dan P2 juga telah menentukan objektif berdasarkan kebolehan pelajar, tahap kemahiran psikomotor, jenis sukan, saiz murid serta murid aktif. Objektif juga ditulis secara berbeza dari satu kelas dengan kelas yang lain. Perancangan pembelajaran adalah fleksibel agar sesuai dengan kebolehan murid. Ini dijelaskan oleh P1: “Ye.. ambil kira fizikal, kemahiran motor dia saiz budak.. jugak sukan yang ada agility dia... murid yang besar.. yang obes. sekolah saya kebanyakan budak lelakinya obes dan saiz kecil budak perempuan besar2. Kat situ ada perbezaan. yg besar perempuan besar tapi tak aktif. sekolah lain mungkn lain caranya.. tapi macaman pun kita kena capai objektif.” (KOD: API-PG-PenOb/P1/TM1/Section 0, Para 14, 22 Chars)
1416
P2 menjelaskan: “Latar belakang pelajar diambilkira sebelum membuat perancangan....” (KOD: API-PG-PenOb/P2/TM2/Section 0, Para 33, 48 Chars) 3. BBM Dalam penggunaan alat bantu mengajar (BBM), P1 dan P2 telah menggunakan alatan yang sesuai bagi memastikan murid dapat melakukan aktiviti yang dirancang. Bagi tujuan tersebut mereka menggunakan alatan PJ yang sedia ada dan menggunakan alat gantian seperti surat khabar dan kayu sebagai pemukul dalam kemahiran memukul. 4. Strategi Dalam perancangan P1 menggunakan strategi berpusatkan guru. Guru memberi penerangan dan demonstrasi kepada murid. Murid dibahagikan kepada beberapa kumpulan mengikut kebolehan masing-masing. Ini jelas dinyatakan oleh P1: “...jadi kena tunjuk.. demonstrasi. Kebetulan saya boleh buat.. jadi saya tunjuk. macanama gambaran nak buat...saya suruh dalam bentuk gambaran..imegri. contoh bayangkan putaran roda tu macamna.. kamu tengok tayar basikal.” (KOD: API-PG-Sta/P1/TM1/Section 0, Para 14, 19 Chars) Dalam pada itu P2 menyatakan bahawa kumpulan dibahagikan berdasarkan murid yang berprestasi baik dan sebaliknya. Murid-murid berada dalam kumpulan yang sama agar murid yang mempunyai prestasi yang baik akan membantu murid yang lemah. Beliau juga menggunakan kaedah berpasangan. Beliau menyatakan: “.... saya menggunakan kaedah ansur maju dan berkumpulan. Ada juga saya gunakan kaedah secara berpasangan ...” (KOD: API-PG-Sta/P2/TM2/Section 0, Para 27, 16 Chars) Berdasarkan analisis dokumen dan senarai semak pemerhatian didapati guru menyediakan RPH berdasarkan RPT. RPH disediakan dengan merujuk standard pembelajaran KSSR. Objektif ditulis secara eksplisit. Tiga objektif psikomotor, kognitif dan afektif ditulis dengan jelas. Persediaan ditulis dengan ringkas dan format yang ditentukan oleh pihak sekolah. Pelaksanaan PdP 1. Objektif Dalam pelaksanaan objektif yang dirancang, telah diubahsuai bagi memastikan semua pelajar dapat melakukan sesuatu aktiviti atau kemahiran. Objektif tersebut telah disesuaikan dengan kebolehan murid semasa PdP berlangsung. P1 menjelaskan bahawa: “kita kena sesuaikan kebolehan murid. minimumkan bilangan murid untuk dipulihkan, dengan kata lain budak yang tak boleh diasingkan.“ (KOD: API-PelG-obj/P1/TM1/Section 0, Para 34, 25 Chars) Manakala P2 menyatakan bahawa: “Saya menentukan objektif berdasarkan tajuk pada hari itu dan tahap kebolehan murid....” (KOD: API-PelG-obj/P2/TM2/Section 0, Para 41, 34 Chars) Berdasarkan pemerhatian, didapati objektif ditulis mengikut kebolehan murid. Aktiviti dilaksanakan bagi mencapai objektif yang telah ditetapkan.
1417
2. Berpusatkan guru Semasa pengajaran berlangsung guru menggunakan kaedah ansur maju dan tunjuk cara kepada murid-muridnya. Ini untuk memastikan semua murid mendapat butiran mengajar dan peluang untuk menjalankan aktiviti dengan betul. Guru juga akan mengajar murid-murid yang lemah kemahiran yang palinng asas agar murid-murid yang berada dalam kumpulan ini dapat merasai kejayaan dan boleh melakukan sesuatu kemahiran yang diajar. Guru sentiasa memberi motivasi untuk menggalakkan semua murid sama ada yang lemah atau sebaliknya agar mereka dapat melakukan sesuatu aktiviti dengan jayanya. Guru akan mengajar murid sehingga muridnya berjaya. Selain itu bagi murid yang lemah prestasinya, guru akan memudahkan tugasan yang diberi. Contohnya bagi memastikan muridmurid merasai kejayaan, guru telah mengubah jarak sasaran kepada lebih dekat. Ini akan memberikan keyakinan kepada murid untuk merasai kejayaan dalam menjalani sesuatu aktiviti. Ini dapat dibuktikan melalui kenyataan P1: “kena tunjuk cara..sebasic basicnya. Dalam Pj dia ada ansur maju .. kita patah balik pada yang awal tadi...seprti awal yang pertama. Slow motion dengan kiraan, kalaubudak pandai tak yah kira dah....tunjuk bahagian yang betul dari basic balik....” (KOD: API-PelG-Ber-g/P1/TM1/Section 0, Para 34, 41 Chars) 3. Berpusatkan murid Selain itu, melalui pendekatan berpusatkan pelajar, guru mengarahkan murid membuat kumpulan. Aktiviti dilakukan dalam kumpulan. Murid-murid yang mempunyai prestasi yang baik akan membantu yang lemah. Muridmurid akan berlatih dalam kumpulan. P1 menyatakan: “kita kena buat kumpulan untuk membolehkan mereka berlatih bersama dalam pelbagai kemahiran yang diajar.....” (KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 34, 25 Chars) P2 turut menjelaskan bahawa: “Saya mencampurkan murid yang lemah dan yang baik dalam satu kumpulan....” (KOD: API-PelG-Ber-p/P2/TM2/Section 0, Para 41, 28 Chars) Di samping itu guru juga menyediakan stesen-stesen untuk tugasan yang mudah, sederhana dan sukar. Muird-murid boleh melaksanakan aktiviti berdasarkan kebolehan mereka. Ini membolehkan meurid yang lemah turut juga merasai kejayaan melakukan aktiviti. Ini dijelaskan oleh P1: “lagipun saya dah siapkan tempat untuk ajar..kecuali .. saya tanya siapa yang dah pandai.. tak buat sebab kita bermain dengan masa. Kalau tak boleh saya kurangkan. Saya sediakan tugasan ikut setesen. Muird pilih tugasanyang sesuai dengan kebolehan mereka..” (KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 34, 28Chars) Bagi menggalakkan aktiviti yang dirancang dapat dilakukan dengan jayanya, guru menggunakan kaedah berpasangan. Melalui aktiviti ini murid memberi maklumbalas kepada pasangan untuk meningkatkan kemahiran murid yang lemah. Ini dinyatkan oleh P1 seperti berikut: “Budak kena jug lakukan aktiviti berpasangan.. kawan memberi maklumbalas dan bantu kawan yang lemah.”
1418
(KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 39, 32 Chars) Bagi P2, beliau menjelaskan: “.. murid berlatih secara berpasangan... mereka saling membantu...” (KOD: API-PelG-Ber-p/P2/TM2/Section 0, Para 43, 30 Chars) Selain itu murid yang telah menguasai kemahiran yang diajar pada hari itu meneruskan latihan mereka. Latihan dijalankan berdasarkan tugasan yang diberikan oleh guru. Semua murid telah diberi peluang untuk mengikuti aktiviti dan merasai kejayaan. Ini dapat dibuktikan melalui penjelasan P1: “Kalau tak murid yang pandai ni tak main.. jadi budak yang pandai terus lakukan aktiviti, dan pantau disamping tumpuan kepada meningkatkan kemahiran budak yang lemah.. saya tengok.. lima minit terakhir tu boleh bagi mainlah atau 10 minit terakhir..” (KOD: API-PelG-Ber-p/P1/TM1/Section 0, Para 39, 32 Chars) Berdasarkan pemerhatian dan analisis dokumen didapati murid menjalankan PdP enggunakan pelbagai kaedah bagi memastikan murid dapat melakukan aktiviti yang dilaksanakan bagi mencapai objektif. Guru memberi penerangan kepada semua murid untuk memastikan murid dapat mengetahui butir-butir mengajar. Guru menggunakan kaedah demonstrasi untuk menunjukcara kemahiran yang sukar. Murid diberi peluang untuk berlatih dan melakukan aktiviti secara maksima. Guru membantu dan membetulkan murid yang didapati lemah dalam kemahiran yang diajar. Guru membuat aktiviti kumpulan. Murid dibahagikan kepada kumpulan. Ahli kumpulan terdiri daripada pelbagai latar belakang. Murid yang berprestasi tinggi akan membantu murid yang berprestasi rendah. guru juga menggunakan kaedah berpasangan. Murid saling membantu bagi meningkatkan prestasi kemahiran mereka. Refleksi 1. Refleksi guru Berdasarkan refleksi, guru mendapati ada murid yang masih tidak dapat tidak melakukan sesuatu kemahiran. Guru berpendapat mungkin tugasan kemahiran itu agak susah dan perlukan masa yang agak lama untuk memahirkan murid berkenaan. Oleh sebab itu guru perlu terus mengubah strategi dan kaedah bagi memastikan semua murid dapat melaksanakannya. Guru menggunakan kaedah yang mudah iaitu ansur maju dan melakukan kemahiran yang sangat asas. Ini dinyatakan oleh P1: “Pertama saya refleksi diri saya balik sama ada apa yang saya ajar ni bebudak dapat..kecuali saya dah ajar sebasic-basicnya budak tak boleh buat.” (KOD: API-Rel-g/P1/TM1/Section 0, Para 48, 23 Chars) Selain itu teknik yang sesuai amat penting bagi menentukan butir-butir mengajar dapat disampaikan dengan tepat. Abm dan alatan perlu sesuai dan berkesan agar semua murid jelas dan menggunakan alatan tersebut. Semua alatan sedia ada dan alat ganti perlu disesuaikan dengan psikomotor murid agar matalat pengajaran pada hari itu tercapai. P1 mennyatakan: “Lepas tu ..err.. ABM yang kita guna sesuai teknik yang saya guna ni sesuai ke contoh.. macm bola untuk tahap satu ni berat sangat ke.. kena [
1419
reflek baliklah.. contoh balingan. mungkin bola jaring terlalu berat. jadi ada bola form tu.” (KOD: API-Ref-g/P1/TM1/Section 0, Para 48, 45 Chars) 2. Refleksi murid Murid berasa puas hati dengan PdP pada sesi itu dengan menunjukkan rasa seronok ketika menjalankan aktiviti. Mereka berasa tidak puas untuk melakukan aktiviti seterusnya. Mereka juga bertepuk tangan dengan kuat menunjukkan mereka rasa puas hati dan seronok. Penglibatan murid juga nampak aktif semasa PdP berlangsung. P1 menjelaskan: “Murid puas hati dia seronok.. tak puas hati pun tapi seronok. Luaran Dia seronok.. luarannya dia macam tak puaslah,,, biasanya tepuk tangan.. kalau budak yang tak seronok dia tepuk sikit-sikit je..yang suka tepuk kuat. Kalau pdp suka budak akan tanya minggu depan kita main lagi.. tapi kalau diam je balik kelas.. dia tak sukalah..” (KOD: API-Ref-m/P1/TM1/Section 0, Para 48, 23 Chars) P2 pula menyatakan: “....saya akan melihat respon murid sama ada seronok ke tak...” (KOD: API-Ref-m/P2/TM2/Section 0, Para 57, 10 Chars) Berdasarkan pemerhatian, murid-murid berasa seronok kerana kebanyakan murid dapat melakukan aktiviti. SIMPULAN Pada keseluruhannya guru di P. Jasmani di sekolah ini mengamalkan Pedagogi Inklusif. Ini dapat ditunjukkan melalui temubual bersama guru, pemerhatian PdP guru serta analisis dokumen. Didapati bahawa guru mengubahsuai objektif yang telah dirancang untuk disesuaikan dengan kebolehan murid semasa PdP berlangsung. Guru menggunakan pendekatan berpusatkan guru menggunakan kaedah demonstrasi dan ansur maju bagi memastikan isi pengajaran dapat disampaikan dengan jelas (Mosston & Ashworth, 1994). Murid diberi peluang seluas-luasnya untuk mencapai kejayaan melalui latihan berkumpulan dan berpasangan (Block, Oberweiser & Bain, 1995) melalui pendekatan berpusatkan murid (Rink, 1996) . Murid sentiasa diberi motivasi untuk mencapai kejayaan. Kesimpulannya Pedagogi Inklusif dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani sangat sesuai diaplikasikan kerana kaedah ini memberi peluang kepada semua murid untuk berjaya dalam sesuatu kemahiran yang diajar. CADANGAN 1. Melibatkan beberapa responden daripada beberapa sekolah lain. 2. Guru perlu didedahkan dengan pedagogi inklusif. 3. Guru perlu didedahkan dengan pelbagai kaedah/pedagogi. 4. Menyediakan modul yang sesuai 5. Pencapaian harus mengambil kira prestasi standard. DAFTAR RUJUKAN Burn, R.B. (1995). Introduction to Research Methods. Melbourne: Longman. Block, M.E., Oberweiser, B., & Bain, M. (1995). Using classwide peer tutoring to facilitate inclusion of students with disabilities in regular physical education. The Physical Educator, 52, 47-56.
1420
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. (1998). Qualitative research in education: An introductionto theory and methods. (3rd ed.). Bostan: Allyn & Bacon Inc. Cresswell, J.W. & Brown, M.L. (1992). How Chairpersons enhance faculti research: A grounded theory study. Review of Higher Education 16(1): 41-62. Creswell, J.W. (1994). Research design: Qualitative and quantitative aproaches. California: Sage Publication. Denzin, N. & Lincoln, Y. (1994). Handbook of qualitative research. Carlifornia: Sage. Hastie, P. (2003). Teaching for lifetime physical activity through quality high school physical education. San Francisco: Benjamin Cummings. Loftland, J. & Lofland, L.H. (1995). Analyzing social setting: A guide to qualitative observation and analysis (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1994). Qualitative data analysis: an expanded sourcebook. (2nd. Ed). Thousan Oak CA: Sage. Merriam,. S.B. (1998). Qualitative Research and Case study Applications in Education. 2nd ed. San Francisco: Jossey-Bass. Mosston, M., & Ashworth, S. (2002). Teaching physical education (5th ed.). San Francisco: Benjamin Cummings Mosston, M., & Ashworth, S. (1994). Teaching physical education (4th ed.). New York: Macmillan. Patton. M.Q. 1990. Qualitative evaluation and research methods (2nd ed). Newbur Park, CA: Sage. Rink, J.E. (1996). Effective instruction in physical education. In S.J. Silverman & C.D. Ennis (Eds.), Student learning in physical education (pp. 171198). Champaign, IL: Human Kinetics. Siedentop, D., & Tannelhill, D. (2000). Developing teaching skills in physical education. Mountain View, CA: Mayfield. Yin, R.K. 1994. Case Study Research: Design and Methods. 2nd ed. Thousand Oak, Califf: Sage Zahrah Mokhtar. 2002. Amalan-amalan pengurusan dekan. Tesis Dr. Fal.Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
1421
KEFAHAMAN GURU-GURU SEKOLAH RENDAH TENTANG KONSEP PENDIDIKAN DAN PEDAGOGI INKLUSIF: SATU KAJIAN KES DALAM KALANGAN GURU-GURU DI LEMBAH KLANG 1)
Mohd On bin Ahmad, 2)Parwazalam bin Abdul Rauf, & 3)Chin Mei Keong Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan utama iaitu melihat sejauh mana pengetahuan guru-guru daripada pendidikan khas dan guru-guru aliran perdana terhadap konsep pendidikan dan pedagogi inklusif. Seramai 40 orang guru telah ditemu bual daripada kedua-dua jenis aliran tersebut. Analisis dijalankan dengan menggunakan konsep pendidikan inklusif yang telah dikeluarkan oleh UNESCO melalui Penyataan Salamanca, Sepanyol. Hasil dapatan mendapati konsep pendidikan inklusif dan pedagogi inklusif dalam kalangan guru-guru amat rendah dan tidak mengikut apa yang telah digariskan oleh pihak UNESCO. Dengan kajian ini harapan penyelidik agar pihak di Kementerian Pendidikan Malaysia melakukan rombakan terhadap pemahaman konsep ini. Kata kunci: Pedagogi Inklusif, Pendidikan Inklusif dan Pembangunan Sumber Manusia PERNYATAAN MASALAH Majlis Kebangsaan Intervensi Awal Kanak-kanak telah menghantar satu memorandum kepada Menteri Pendidikan Malaysia sempena Semakan Semula Sistem Pendidikan Kebangsaan 2012. Memorandum ini mendesak kerajaan menjadikan “Pendidikan Inklusif sebagai polisi kebangsaan untuk kanak-kanak berkeperluan khas”. Susulan daripada memrorandum ini maka makmal pendidikan khas telah diadakan dengan The Performance Management and Delivery Unit (PEMANDU) pada 15-22 Oktober 2012. Hasil daripada makmal ini maka pada laporan awal Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) 2013-2025 telah mencatatkan bahawa Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) komited untuk menambah bilangan Murid Berkeperluan Khas (MBK) dalam model pendidikan inklusif. Sehubungan itu, satu piagam telah diwujudkan iaitu “Peningkatan Enrolmen MBK dalam Program Pendidikan Inklusif”. Seterusnya pihak PEMANDU membuat perjumpaan dengan pihak Organisasi Bukan Kerajaan (NGO) yang berkaitan dan hasilnya mereka dapati terdapat 4 cabaran yang perlu diatasi dalam perlaksanaan pendidikan inklusif iaitu: 1. kurang kesedaran & empati 2. kurang pengesanan dan intervensi awal 3. kurang akses ke sekolah 4. kekurangan guru yang mahir dan kompeten Berasaskan kepada cabaran yang keempat iaitu kekurangan guru yang mahir dan kompeten, maka sebuah institusi latihan perguruan, perlu bersifat proaktif untuk menilai sejauhmana kefahaman guru-guru yang berada dalam perkhidmatan sekarang terhadap pendidikan inklusif. Ini ditambah pula agenda
1422
pendidikan inklusif merupakan agenda yang penting bagi KPM kerana telah dimasukkan dalam PPPM sebagai Inisiatif No. 34 Peningkatan Enrolmen Dalam Program Pendidikan Inklusif Bagi MBK. Melihat kepada pentingnya agenda ini maka maklumat awal tahap kefahaman guru-guru berkenaan dengan pendidikan inklusif ini akan membolehkan pihak IPGK merangka suatu modul latihan yang sesuai untuk mereka. Ini seterusnya akan merungkai cabaran yang keempat. Soalan Kajian Kajian ini bertujuan untuk menjawab 2 persoalan utama iaitu: 1. Apakah tahap kefahaman guru-guru arus perdana dan guru pendidikan khas terhadap konsep pendidikan inklusif? 2. Apakah tahap kefahaman guru-guru arus perdana dan guru pendidikan khas tentang konsep pedagogi inklusif? SOROTAN LITERATUR Untuk kajian ini kami menerangkan tentang pendidikan inklusif, pedagogi inklusif dan kajian-kajian yang berkaitan dengannya. Konsep Pendidikan Inklusif Kajian tentang konsep pendidikan inklusif ini telah banyak dilaksanakan (Corbett, 2001). Tetapi rujukan utama tentang konsep ini adalah berpaksikan kepada Kami mendapati konsep pendidikan inklusif yang tepat berasaskan kepada Penyataan Salamanca, 1994 iaitu “Schools should accommodate all children regardless of their physical, intellectual, social, emotional, linguistic or other conditions. This should include disabled and gifted children, street and working children, children from remote or nomadic populations, children from linguistic, ethnic or cultural minorities and children from other disadvantaged or marginalized areas or groups.” (UNESCO, 1994) Pedagogi Inklusif Pedagogi inklusif didefinisikan sebagai pendekatan yang bertujuan untuk menggalakkan budaya mengakodomasikan semua pelajar dengan memastikan amalan pengajaran guru menggunakan pelbagai strategi (Corbett, 2001). “Inclusive pedagogy is defined as an approach intended to promote a culture of accommodating all and ensuring practice based on the use of diverse teaching strategies (Corbett, 2001.” Ia berkaitan dengan pedagogi perhubungan iaitu menghubungkan antara pelajar dengan pembelajaran mereka terlebih dahulu dan kemudian menghubungkan antara pembelajaran dengan kurikulum (Corbett, 2001). Pedagogi Inklusif ialah proses di mana pelajar sentiasa melibatkan diri dengan bahan pembelajaran dan melakarkan pengalaman mereka (Nilholm & Alm, 2010) . Bahan ini dipersembahkan sehampir mungkin kepada realiti dan pelajar bukan penerima pasif pengetahuan tetapi dibenarkan untuk ‘melampirkan’ makna subjektif kepadanya . Untuk artikel ini, PI merujuk kepada kaedah pengajaran yang bersifat total, bentuk dan prinsip yang meningkatkan penglibatan pelajar. Pengajaran inklusif ialah pusat kepada pendekatan. Definisi ini diterima oleh kami berdasarkan pendapat Makoellea (2013).
1423
PI juga merujuk kepada pedagogi yang merangkumi pembelajaran untuk semua kanak-kanak. Ia adalah mengenai pengajaran kumpulan pelbagai dan yang berkenaan mengenai pengalaman pembelajaran semua pelajar. Kajian-kajian Lepas Pada amnya kajian tentang pedagogi inklusif tidak banyak dijalankan oleh penyelidik (Florian dan Black-Hawkins (2010, P14). Kajian yang dijalankan tidak mendalam dan tidak dapat membuktikan pedagogi inklusif satu pengkaedahan yang terbaik. Kajian secara ekspremental hampir tiada langsung. Tetapi kajian yang dijalankan oleh Institut Pendidikan, Universiti London (2002) secara tidak langsung memasukkan unsur-unsur pedagogi inklusif untuk kurikulum pendidikan guru. Dapatan kajian mengemukakan lapan tema atau 'rukun kemasukan' yang berguna untuk pelatih dan guru-guru baru untuk dipertimbangkan dalam pengajaran mereka: 1. Persekitaran pembelajaran Inklusif - isu-isu bunyi dan cahaya, tempat duduk, sumber, memaparkan, kawasan arousal rendah, kesihatan dan keselamatan 2. Pendekatan multi-deria, termasuk ICT - apabila mengajar, untuk rakaman murid dan menggalakkan keselamatan dan organisasi 3. Bekerja dengan orang dewasa tambahan - murid berunding mengenai sokongan, sokongan merancang, menilai sokongan 4. Menguruskan hubungan rakan sebaya - pengumpulan murid, kerja kumpulan pengurusan dan perbincangan, membangunkan tanggungjawab 5. Dewasa / komunikasi murid dan bahasa - komunikasi guru dan murid, interaksi pelajar-guru 6. Formatif penilaian / penilaian untuk pembelajaran - memahami matlamat pembelajaran, memberi tumpuan kepada bagaimana murid-murid belajar, memberi maklum balas, memahami kriteria penilaian, menyemak kemajuan dan membantu murid bertambah baik, mengumpul bukti penilaian 7. Motivasi - memahami struktur pelajaran, relevan dan motivasi tugas, sistem ganjaran 8. Memori/penyatuan - Mengimbas kembali peristiwa, mengurangkan pergantungan kepada ingatan, menyatukan pembelajaran, kajian bebas/kerja rumah Lapan tema digunakan secara terperinci dalam setiap satu daripada buku kecil subjek tertentu, memberikan nasihat dan sokongan untuk mengajar setiap mata pelajaran untuk kedua-dua pelatih rendah dan menengah. PENGSAMPELAN Kajian ini dijalankan secara kualitatif dengan pensampelan dijalankan secara ‘purposive’. Oleh kerana tujuan kajian ini hendak melihat tahap kefahaman guru-guru dalam perkhidmatan terhadap konsep pendidikan inklusif dan pedagogi inklusif, maka sampel yang dipilih merangkumi aspek berikut: 1. Melibatkan hanya sekolah rendah. 2. Sekolah ini mempunyai dua aliran iaitu aliran perdana (tanpa murid berkeperluan khas) dan aliran pendidikan khas. 3. Responden yang digunakan di sini ialah dalam kalangan guru sekolah rendah aliran perdana dan aliran pendidikan khas.
1424
Hasilnya seramai 24 orang guru daripada aliran iaitu aliran perdana dan 19 orang guru daripada aliran pendidikan khas telah ditemubual oleh penyelidik. Rintis kepada temubual telah dilaksanakan pada 21 Januari 2015. Setiap responden hanya perlu menjawab dua soalan iaitu soalan 1, apakah yang guru faham tentang pendidikan khas dan soalan kedua ialah, apakah yang guru faham tentang pedagogi inklusif. Tujuan kajian rintis ini dijalankan ialah (a) untuk menguji kebolehpercayaan dan meneliti ketekalan alat pengukuran yang digunakan, (b) menentukan jangka masa yang diperlukan oleh responden untuk menjawab soal selidik dan mengikuti sesi aktiviti lisan yang dijalankan, (c) menentukan kesesuaian format soal selidik dan aktiviti lisan dengan tujuan kajian dan (d) memastikan perkataan yang digunakan di dalam soal selidik mudah difahami dan mempunyai maksud yang jelas bersesuaian dengan laras bahasa responden. Hasil kajian rintis yang diperoleh didapati kesemua tujuan di atas dapat dipenuhi. Untuk itu, kajian sebenar telah dibuat kepada responden guru-guru pada 12 Februari 2015. DAPATAN DAN RUMUSAN KAJIAN Daripada 19 orang guru aliran pendidikan khas dan 24 orang guru daripada aliran perdana penyelidik mendapati hampir kesemua mereka tidak dapat memahami konsep pendidikan dan pedagogi inklusif. Kebanyakan mereka mentakrifkan konsep pendidikan dan pedagogi inklusif sebagai suatu teknik pengajaran dan pembelajaran yang digunakan untuk mengajar murid berkeperluan khas (MBK) yang ditempatkan di sekolah biasa. Contohnya Responden 19 daripada guru arus perdana mentakrifkan pendidikan inklusif ialah; “Pendidikan Inklusif merupakan peluang pembelajaran murid berkeperluan khas di kelas aliran perdana bersama murid-murid normal”. Responden 19 Responden 10 daripada guru aliran pendidikan khas juga menyuarakan pendapat yang sama iaitu “Pendidikan Inklusif ialah murid berkeperluan khas (MBK) yg. belajar di arus perdana bersama-sama murid normal menggunakan silibus/sukatan normal. Ada inklusif penuh @ inklusif separa (subjek2 tertentu shj)”. Responden 10 Temu bual yang dilaksanakan seterusnya menunjukkan pola jawapan yang sama iaitu pendidikan inklusif bererti suatu pengajaran dan pembelajaran yang dikhususkan kepada murid-murid berkeperluan khas yang ditempatkan di sekolah-sekolah aliran perdana. Untuk soalan kedua iaitu “apakah yang guru faham tentang pedagogi inklusif”?, pada keseluruhannya tiada langsung guru yang dapat menjawab soalan ini dengan tepat. Hampir semua guru-guru aliran perdana menunjukkan kekeliruan tentang konsep pedagogi inklusif ini. Terdapat 5 daripada 24 orang guru aliran perdana tidak menjawab langsung soalan ini. Ini menunjukkan 20 peratus guru di aliran perdana tidak memahami konsep ini. Tetapi terdapat juga guru aliran perdana menjawab soalan ini dengan baik. Contohnya Responden 9 dan Responden 7 “Pedagogi inklusif - cara/kaedah p&p yang sesuai dengan pelajar yang pelbagai keperluan”. Responden 9
1425
“Pedagogi Inklusif pula bermaksud atau cara-cara atau kemahiran yang digunakan untuk mengajar murid-murid yang terdiri daripada pelbagai kemahiran yang berbeza”. Responden 7 Jawapan ini menarik kerana guru ini telah mula memahami konsep pedagogi inklusif dengan jelas. Walau bagaimanapun selain daripada jawapan Responden 9 dan 7, semua jawapan guru-guru aliran perdana berpendapat PI ialah cara pengajaran dan pembelajaran yang disesuaikan untuk MBK. Contohcontoh jawapan: “Kaedah pengajaran kepada murid yang berkeperluan khas” Responden 10 “Pedagogi inklusif pendidikan berkaitan cara atau pendekatan mengajar kanak-kanak bekeperluan khas”. Responden 4 Selain itu ada juga dalam kalangan responden yang memberikan jawapan yang mengelirukan dan tidak jelas. Contohnya Responden 5 “Cara pengajaran dan pembelajaran yang perlu guru laksanakan didalam kelas tersebut kerana guru yang mahir mahupun murid yang lemah”. Bagi guru pendidikan khas pada keseluruhannya jawapan mereka masih berkisar dengan konsep pendidikan khas yang berkaitan dengan MBK sematamata. Hampir semua responden memberikan jawapan yang menunjukkan pola yang hampir sama. “Pedagogi inklusif ialah cara pengajaran di kelas pendidikan khas dan aliran perdana yang berbeza”. Responden 17 “Pedagogi inklusif adalah cara murid yang diinklusif itu diajar. Murid yang diinklusif akan mengikuti pedagogi aliran perdana. Guru pendidikan khas hanya menjadi guru sumber untuk guru aliran perdana”. Responden 7 “Pedagogi inklusif adalah proses pengajaran dan pembelajaran mengabungkan murid arus perdana dan pendidikan khas. Murid pendidikan khas akan mengikuti sukatan arus perdana sepenuh masa. Ia akan sukar dilaksanakan kerana murid pendidikan khas memerlukan perhatian yg lebih dari guru”. Responden 8 “Pedagogi inklusif ialah semua semua seperti yg. digunakan utk. pedagogi murid2 normal kerana murid yg. Berada di kelas inklusif diandaikan sudah dapat menguasai silibus/sukatan murid2 normal”. Responden 10 Walau bagaimanapun terdapat juga dalam kalangan guru-guru pendidikan khas memberikan jawapan tidak pasti iaitu seramai 2 orang yang mewakili 10.5 peratus daripada keseluruhan responden. Rumusan daripada kajian ini jelas menunjukkan hampir semua responden dalam kalangan guru di sekolah rendah samada guru arus perdana atau arus pendidikan khas tidak memahami konsep pendidikan dan pedagogi inklusif dengan jelas dan tepat. Ini tidak selari dengan konsep pendidikan inklusif sebagaimana dinyatakan dalam Penyataan Salamanca, 1994. Penyataan ini dengan jelas menunjukkan konsep pendidikan inklusif yang merujuk kepada murid yang mempunyai pintar-cerdas dan murid yang berada di kawasan pedalaman. Tetapi di Malaysia konsep pendidikan inklusif dan pedagogi inklusif dikhususka untuk pendidikan khas, Ini menyebabkan muridmurid pintar-cerdas diabaikan dan malahan tidak terdapat satu pengajaran yang pembelajaran yang mengambil kira soal jantina. Ini juga menyebabkan jurang pencapaian antara pelajar bandar dan luar bandar dan antara pelajar lelaki dan perempuan semakin ketara (Laporan PPPIM, 2014).
1426
CADANGAN DAN KAJIAN AKAN DATANG Berdasarkan dapatan di atas dicadangkan cadangan berikut: 1. Suatu siri latihan kepada semua guru-guru di Malaysia dijalankan secara besar-besaran bagi menjelaskan konsep pendidikan dan pedagogi inklusif. 2. Konsep pendidikan dan pedagogi inklusif ini perlu diletakkan di bawah tanggungjawab suatu jabatan yang memahami konsep ini. Jabatan ini tidak semestinya Bahagian Pendidikan Khas. Ini kerana selagi konsep inklusif ini diserahkan kepada BPK, maka konsep ini hanya ditakrifkan untuk MBK sahaja. 3. Suatu modul inklusif perlu dikeluarkan bagi memudahkan pra warga pendidik di sekolah melaksanakan konsep pedagogi dan pendidikan inklusif. Cadangan kajian akan datang 1. Kajian yang lebih mendalam dijalankan dengan melakukan bedah siasat yang lebih baik. 2. Penerokaan dengan lebih mendalam dengan melakukan ke atas responden-responden dengan menyediakan modul-modul pengajaran dan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Carbett,J.(2001). Supporting Inclusive Education:A Pedagogy.London:Routledge Laporan Kajian Tentang Pendidikan Inklusif (2012), KPM. The Salamanca Statement (1994), UNESCO, Paris.
connective
1427
LITERASI PEDAGOGI INKLUSIF DALAM KALANGAN GURUGURU PENDIDIKAN JASMANI DI KUALA LUMPUR 1)
Kok Mong Lin, 2)Teng Siew Lian, 3)Balkaran a/l Arumugam, & 4)Ch’ng Swee Ghiam Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur Email: 1)
[email protected]
Abstrak Kajian ini dijalankan untuk meninjau literasi pedagogi inklusif dalam kalangan guru pendidikan jasmani. Pasukan pengkaji telah melaksanakan satu soal selidik atas talian kepada sampel kajian yang dipilih secara persampelan ‘convenience’. Sebanyak 79 orang (Lelaki = 20, Perempuan = 59) guru pendidikan jasmani dari 14 buah sekolah rendah di Kuala Lumpur telah dipilih untuk menjawab soal selidik bentuk Likert berskala 5. Soal selidik kajian ini menumpu kepada tiga aspek iaitu Profil Responden, Pengetahuan Dalam Pedagogi Inklusif dan Pelaksanaan Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani menurut spektrum gaya mengajar Mosston dan Ashworth (2002). Soal selidik yang dirangka membolehkan pengkaji memperoleh data tentang literasi pedagogi inklusif responden dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan Fasa Pra Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak (Pentaksiran). Dapatan kajian menunjukkan majoriti reponden adalah terdiri daripada kalangan guru bukan opsyen pendidikan jasmani (N=59) dengan min pengalaman mengajar pendidikan jasmani keseluruhan adalah 7.9 tahun. Skor min keseluruhan dalam aspek Pengetahuan Pedagogi Inklusif adalah 3.75, manakala min aspek Pelaksanaan Pedagogi Inklusif Dalam Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Jasmani adalah 3.89 untuk Fasa Pra-Impak; 3.70 bagi Fasa Impak, dan 3.74 untuk Fasa Pasca Impak. Cadangan untuk kajian lanjutan turut dibincangkan. Kata kunci: Literasi, pedagogi inklusif, spektrum gaya mengajar. PENDAHULUAN Pedagogi inklusif bermatlamat memberi peluang pembelajaran yang sama rata kepada semua murid tanpa mengira keupayaan dan kebolehan mereka selaras dengan hasrat memberi pendidikan untuk semua. Kementerian Pendidikan Malaysia telah mengenal pasti jurang pendidikan yang perlu dirapatkan supaya lima ciri aspirasi utama iaitu akses, kualiti, ekuiti, perpaduan dan kecekapan untuk menghasilkan suatu sistem pendidikan negara yang berkualiti dapat dipertingkatkan. Ini selaras dengan inisiatif dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) 20132025 (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2013) bagi menghasilkan kualiti pendidikan serta keberhasilan dan kemenjadian murid dengan tumpuan kepada transformasi pendidikan ke arah pendidikan era abad ke-21 dengan penyerapan kaedah pedagogi inklusif dalam pengajaran dan pembelajaran (P&P).
1428
Dalam P&P pendidikan jasmani, gaya pengajaran yang kerap dikaitkan ialah gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002). Spektrum gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002) merupakan gaya pengajaran yang berpusatkan guru dan murid untuk memaksimumkan pembelajaran murid. Kategori spektrum P&P ini merupakan rangkaian keputusan yang dibuat oleh guru dan murid dalam proses P&P. Pengajaran dan pembelajaran spektrum ini melibatkan tiga fasa iaitu Fasa Pra-Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak (Pentaksiran). Dalam Fasa Pra-Impak, guru pendidikan jasmani akan merancang P&P seperti penetapan objektif, hasil pembelajaran, pilihan kaedah pedagogi, dan pilihan aktiviti P&P (Mc Cullick & Byna, 2002). Fokus dalam Fasa Impak pula adalah menumpu kepada tindakan dan pengajaran bersemuka yang berpunca daripada keputusan yang dibuat dalam Fasa Pra-Impak. Keputusan yang telah dibuat itu mencetuskan transaksi bersemuka guru-murid, tugasan, dan prestasi. Fasa Pasca Impak melibatkan semua keputusan yang ada hubungkait dengan pentaksiran seperti maklum balas prestasi dan penilaian keseluruhan pengajaran gurumurid. Tiga fasa ini berbeza tujuan membuat keputusan dalam persediaan, pelaksanaan, atau pentaksiran (Mosston & Ashworth, 2002). Spektrum pengajaran Mosston dan Ashworth dibahagikan kepada dua kelompok gaya pengajaran iaitu reproduktif-kapasiti menghasilkan semula ilmu dan kemahiran yang diketahui, serta produktif-kapasiti menghasilkan pengetahuan dan kemahiran baru. Kelompok reproduktif dibahagikan kepada gaya arahan, latihan, resiprokal, semak kendiri dan inklusif. Gaya pengajaran ini dikenali sebagai Gaya A, B, C, D dan E. Dalam gaya pengajaran reproduktif, pelbagai jangkaan guru-murid diwakili. Isi khas dikuasai melalui sebilangan pendekatan membuat keputusan, latihan kemahiran khas, dan maklum balas. Dalam kajian ini, tumpuan diberikan kepada gaya E iaitu gaya inklusif dalam Mosston dan Ashworth, (2002). Gaya ini memberi peluang kepada pelajar untuk memilih tahap pembelajaran mereka mengikut kemampuan mereka. Pelajar akan memilih tahap dalam prestasi mereka sebelum melakukan aktiviti. Aktiviti atau kriteria pembelajaran tersebut masih ditentukan oleh guru. Gaya P&P ini memberi peluang kepada pelajar untuk melakukan aktiviti walaupun berbeza kebolehan dan keupayaan diri. Pelajar akan merasai kepuasan dan kajayaan dalam pendidikan jasmani dan seterusnya dapat meningkatkan kemahiran kendiri dan motivasi untuk melibatkan diri dalam aktiviti yang dilaksanakan. Lantaran itu, keberkesanan pedagogi inklusif merupakan salah satu alat untuk merealisasikan aspirasi sistem PPPM 2013-2025. SOROTAN LITERATUR Pendidikan jasmani inklusif adalah berasaskan prinsip penolakan sifar yang mempunyai matlamat memenuhi keperluan semua pelajar tanpa mengira jenis kecacatan dan kebolehan. Penolakan sifar membentuk idea pendidikan jasmani berasaskan orientasi kejayaan, melalui adaptasi dan
1429
modifikasi supaya semua pelajar boleh terlibat dalam aktiviti. Melalui inklusif, pelajar normal boleh belajar maksud kerja berpasukan yang baharu dengan membantu rakan sebaya turut serta dalam aktiviti pendidikan jasmani secara aktif (Sherrill, dalam Barrie, 2011). Menurut Sanderson, Heckaman, Ernest, Johnson, dan Raab (2013), pengurusan kelas pendidikan jasmani yang baik memerlukan pengendalian bilangan pelajar yang ramai, pelaksanaan pelbagai aktiviti, dan transisi yang kerap dalam kelas. Hal ini lebih kritikal jika terdapat ramai pelajar yang menunjukkan julat kebolehan yang berbeza. Guru pendidikan jasmani juga mengaku mereka tidak bersedia untuk mengurus dan memenuhi segala keperluan pelajar (Hardin, 2005; Hill & Brodin, 2004; Klavina, Block & Larins, 2007; Martin & Speer, 2011). Latihan yang terhad dalam pengurusan kelas inklusif menyebabkan guru mungkin akan mengeluarkan pelajar kurang upaya dari aktiviti yang dirancang agar mereka tidak mengganggu aktiviti pelajar lain. Keadaan ini tidak akan memberi manafaat kepada pelajar berkenaan dari segi sosial dan peluang pembelajaran yang sepatutnya terdapat dalam kelas. Kebanyakan kelas Pendidikan Jasmani terdiri daripada tiga tahap pelajar, iaitu tahap tinggi - mereka yang telah mengetahui kemahiran sebelum masuk ke kelas; tahap sederhana - mereka yang memahami konsep pergerakan tetapi memerlukan kefahaman yang lebih melalui latihan permainan yang autentik; dan tahap rendah – mereka yang memerlukan kefahaman tentang konsep pergerakan yang asas dan latihan kemahiran yang penting (Schinelli, 2012). Beliau berpendapat bahawa sekiranya kemahiran dan aktiviti diajar dengan memberi fokus kepada mewujudkan tahap permainan dan bukan kecemerlangan permainan, maka lebih peluang sosial yang diwujudkan akan dapat menunjukkan keadaan inklusi yang lebih autentik. Mewujudkan suasana inklusif yang berkesan melibatkan pengenalpastian tahap kemahiran pelajar, bahagian permainan yang dikenal pasti, serta bahagian personaliti yang boleh diselit dalam aktiviti. Schinelli (2012) mengaplikasi pedagogi inklusif dalam pengajaran bola sepak dengan mengambil kira tiga aspek tersebut dan telah berjaya menggalakkan kreativiti, inklusi, serta memberi pelajar pilihan, di samping menggalakkan komunikasi antara pasangan. Mosston dan Ashworth (2002) telah menyarankan beberapa gaya pengajaran dalam pendidikan jasmani. Salah satu gaya pengajaran ialah gaya inklusif yang berpusatkan guru yang memberikan keistimewaan kepada pelajar untuk memilih tahap pembelajaran mengikut kemampuan mereka. Dalam gaya inklusif ini, guru akan menetapkan kriteria pembelajaran, namun pelajar yang akan memilih sendiri tahap dalam prestasi mereka sebelum melakukan aktiviti. Proses P&P ini memberikan peluang untuk merasai kepuasan dan kejayaan dalam pendidikan jasmani. Semua pelajar berupaya untuk melakukan aktiviti walaupun berbeza kebolehan diri. Misalnya, dalam melakukan aksi kemahiran lompat tinggi, pelajar bebas untuk memilih ketinggian lompatan. Sekiranya pelajar ini dapat melepasi ketinggian tersebut, maka ini akan meningkatkan motivasi pelajar.
1430
Dalam kajian Doherty (2010), beliau mencadangkan pelbagai ketinggian dan jarak dalam pengajaran lari berpagar bagi mengalakkan penglibatan pelajar seperti dalam contoh Mosston dan Ashworth (2002). Tambahan itu, gaya inklusif juga membolehkan pelajar membantu rakan untuk berjaya dalam melaksanakan aktiviti P&P sebagai tujuan pembelajaran mereka. Beliau juga menyatakan bahawa gaya inklusif dalam pendidikan jasmani memaksimakan penglibatan pelajar dalam P&P. Mosston dan Ashworth (2002) dan Doherty (2010) menyarankan bahawa gaya inklusif menggalakkan penglibatan pelajar dan seterusnya meningkatkan motivasi pelajar. Pandangan ini dipersetujui Goudas, Biddle, Fox, dan Underwood (1995) iaitu gaya inklusif dalam kelas pendidikan jasmani dapat meningkat motivasi dalaman pelajar. Kajian Hoyt dan Lee (2002) menunjukkan bahawa gaya inklusif menggalakkan kolaborasi pasukan. Antara ciri gaya ini adalah pelajar mempelajari sesuatu antara satu sama lain, membentuk pasukan atau kumpulan perbincangan untuk memudahkan pembelajaran, serta berkongsi idea dan pengalaman dengan ahli kumpulan dari pelbagai latar belakang dan pandangan yang berbeza. Dalam gaya inklusif ini, pelajar juga digalakkan saling membantu untuk memahami idea atau konsep. Gaya ini dapat menggalakkan penglibatan dan merangsangkan minat pelajar. Dari segi aplikasi gaya inklusif, SueSee dan Edward (2005) telah membina inventori spektrum gaya pengajaran yang telah berjaya digunakan untuk mengumpul data tentang penggunaan gaya pengajaran guru pendidikan jasmani di Queensland, Australia pada tahun 2005. Dapatan kajian menunjukkan peratus guru yang menggunakan gaya inklusi ialah 47.2% berbanding dengan 78.6% dalam kajian oleh Cothran (dalam SueSee dan Edward, 2005). Bagi kebanyakan pendidik jasmani, gaya pengajaran spektrum berperanan sebagai alat untuk memenuhi matlamat keperluan pelajar yang pelbagai dalam pendidikan jasmani. Menurut Sanchez, Byra, dan Wallhead (2012), penerokaan persepsi pelajar tentang gaya pengajaran akan dapat memperluaskan kefahaman tentang cara pelajar belajar di samping dapat mengenal pasti kelebihan dan kekurangan sesuatu gaya pengajaran. Mereka telah mengkaji persepsi pelajar terhadap penglibatan fizikal, kognitif, dan sosial dalam aktiviti fizikal yang dikendalikan dengan gaya arahan, latihan, dan inklusif, di samping meninjau keutamaan pelajar untuk gaya pengajaran yang berbeza. Dapatan kajian tersebut melaporkan pelajar lebih melibatkan diri secara fizikal dan kognitif dalam sesi pelajaran yang menggunakan gaya inklusif berbanding dengan gaya arahan dan gaya latihan. Dari segi keutamaan gaya pula, pelajar lebih suka pelajaran di mana guru mengaplikasikan gaya inklusif dan gaya arahan. OBJEKTIF KAJIAN Secara umum, kajian ini bertujuan untuk meninjau tahap literasi pedagogi inklusif dalam kalangan guru-guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Objektif khusus kajian ini pula adalah untuk mengenal pasti tahap pengetahuan pedagogi inklusif, aplikasi pedagogi inklusif pada Fasa Pra
1431
Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak (Pentaksiran) proses pengajaran dan pembelajaran dalam kalangan guruguru pendidikan jasmani. PERSOALAN KAJIAN Persoalan kajian dalam kajian ini adalah seperti berikut: 1. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mempunyai pengetahuan dalam pedagogi inklusif? 2. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur merancangkan pengajaran dan pembelajaran berdasarkan konsep pedagogi inklusif? 3. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mengamalkan pedagogi inklusif semasa melaksanakan aktiviti pengajaran dan pembelajaran pendidikan jasmani? 4. Adakah guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mentaksir keberkesanan pengajaran dan pembelajaran pendidikan jasmani berdasarkan konsep pedagogi inklusif? METODOLOGI KAJIAN Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan reka bentuk tinjauan untuk mengenal pasti literasi pedagogi inklusif dalam kalangan guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Data dikumpul melalui soalan selidik atas talian melalui instrumen Lime Survey. Item-item soal selidik berbentuk skala Likert dengan lima skala telah dibina untuk meninjau literasi pedagogi inklusif dalam aspek pengetahuan, aplikasi dalam fasa perancangan, pelaksanaan, dan pentaksiran proses pengajaran dan pembelajaran pendidikan jasmani. Sampel kajian ini terdiri daripada 79 orang guru yang mengajar mata pelajaran pendidikan jasmani dari 14 buah sekolah rendah di Kuala Lumpur. Seramai 59 orang guru perempuan dan 20 orang guru lelaki telah memberi respon atas talian yang mengambil masa lebih kurang 15 minit untuk menjawab semua item dalam soal selidik. Semua data yang diperoleh atas talian telah dianalisis secara diskriptif iaitu dengan menggunakan min dan sisihan piawai. Maklumat seperti umur responden, pengalaman pengajaran pendidikan jasmani, pengetahuan tentang pedagogi inklusif, serta aplikasinya dalam tiga fasa pengajaran dan pembelajaran telah dianalisis. Perbandingan antara guru opsyen dan bukan opsyen pendidikan jasmani juga telah dilaksanakan untuk melihat perbezaan literasi pedagogi inklusif. DAPATAN KAJIAN DAN PERBINCANGAN Responden kajian ini terdiri daripada 79 orang (L-20, P-59) guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Antara responden kajian ini, terdapat 20 orang guru opsyen pendidikan jasmani manakala sebanyak 59 orang pula merupakan guru bukan opsyen pendidikan jasmani. Min umur guru opsyen dan guru bukan opsyen pendidikan jasmani tidak jauh beza iaitu 35.17 tahun dan 35.85 tahun. Dengan itu, min keseluruhan umur responden adalah 35.34 tahun (SP=9.11). Bagi aspek pengalaman mengajar, min keseluruhan adalah 7.9 tahun (SP= 6.89). Min pengalaman
1432
mengajar guru opsyen dan bukan opsyen pendidikan jasmani masingmasing adalah 7.1 tahun dan 10.7 tahun (Jadual 1). Jadual 1. Profil Responden Aspek Umur Pengalaman Mengajar
Min (Opsyen – 20 orang) 35.17th 7.1th
Min (Bukan Opsyen – 59 orang) 35.85th 10.7th
Min Keseluruhan (Sisihan Piawai) 35.34th (9.11) 7.9th (6.89)
Kajian ini bertujuan untuk meninjau literasi pedagogi inklusif dalam kalangan guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur. Literasi pedagogi yang ditinjau adalah berdasarkan pengetahuan yang dipunyai responden serta kesedaran untuk memasuki elemen inklusi dalam proses pengajaran dan pembelajaran iaitu Fasa Pra Impak (Perancangan), Fasa Impak (Pelaksanaan), dan Fasa Pasca Impak (Pentaksiran). Berdasarkan Jadual 2, dapatan kajian ini menunjukkan guru opsyen pendidikan jasmani telah mempunyai tahap literasi pedagogi inklusif yang lebih tinggi dalam ke empat-empat aspek berbanding dengan guru bukan opsyen. Guru opsyen pendidikan jasmani telah memperoleh min 3.84, 4.04, 3.77, dan 3.85 dalam aspek Pengetahuan, Pra Impak, Impak, dan Pasca Impak masing-masing berbanding dengan min 3.65, 3.73, 3.62, dan 3.62 bagi guru bukan opsyen. Secara keseluruhan, guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur setuju bahawa mereka mempunyai pengetahuan dalam pedagogi inklusif (M=3.75). Dapatan aspek pengetahuan ini diperoleh melalui item soal selidik yang berkaitan dengan ciri-ciri inklusi seperti perbezaan tahap kesukaran aktiviti, pembelajaran kolaboratif, mengambil kira perbezaan individu, serta penglibatan maksimum. Dengan itu, dapatan kajian ini telah menjawab persoalan kajian 1 iaitu guru pendidikan Jasmani di Kuala Lumpur mempunyai pengetahuan dalam pedagogi inklusif. Dalam proses pengajaran dan pembelajaran, min keseluruhan Fasa Pra Impak, Fasa Impak dan Pasca Impak adalah 3.89, 3.70, dan 3.74 masing-masing (Jadual 2). Item soal selidik bagi Fasa Pra Impak yang merupakan fasa perancangan dalam P&P mengambil kira pengalaman lepas dan kompetensi pelajar, penetapan perbezaan matlamat, pilihan bahan dan aktiviti mengikut tahap dan minat. Dalam Fasa Impak pula, item soal seilidik pelaksanaan P&P memfokuskan ciri-ciri inklusi seperti pengubahsuaian corak aktiviti semasa, kolaborasi dalam kalangan pelajar dan guru dalam memilih bahan dan kawasan serta peluang merasa kejayaan sepanjang P&P. Ciri-ciri inklusif dalam item soal selidik Fasa Pasca Impak kajian ini, merangkumi pentaksiran dari segi keberkesanan P&P, penguasaan kemahiran, motivasi dan pencapaian objektif mengikut tahap individu.
1433
Jadual 2. Dapatan Kajian Aspek
Min Pengetahuan 3.84
Min Pra Impak 4.04
Min Impak 3.77
Min Pasca Impak 3.85
Bukan Opsyen
3.65
3.73
3.62
3.62
Keseluruhan
3.75
3.89
3.70
3.74
Opsyen
Dapatan kajian menunjukkan responden bersetuju bahawa mereka merancang, melaksana, dan mentaksir P&P berdasarkan ciri-ciri inklusif di atas. Maka, dapatan kajian ini telah menjawab persoalan kajian 2, 3, dan 4 iaitu guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur merancang, melaksana dan mentaksir keberkesanan P&P pendidikan jasmani berdasarkan konsep pedagogi inklusif. Perbezaan guru opsyen dan bukan opsyen pendidikan jasmani dalam pengetahuan dan sepanjang proses pengajaran dan pembelajaran yang mengaplikasikan pedagogi inklusif menunjukkan keberkesanan spektrum gaya pengajaran Mosston dan Ashworth (2002) dalam latihan keguruan pendidikan jasmani. Guru opsyen pendidikan jasmani yang telah didedahkan spektrum tersebut memang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi berbanding dengan guru bukan opsyen pendidikan jasmani. Latar belakang pengetahuan dalam gaya pengajaran inklusif Mosston dan Ashworth (2002) bagi guru opsyen pendidikan jasmani turut membantu dalam proses P&P iaitu perancangan, pelaksanaan dan pentaksiran pendidikan jasmani. Dapatan kajian ini selaras dengan pandangan Sherrill (dalam Barrie, 2011), iaitu melalui aktiviti pendidikan jasmani inklusif, pelajar normal boleh belajar kerja berpasukan dengan membantu rakan sebaya secara aktif. Aktiviti pendidikan jasmani inklusif yang berorientasikan kejayaan dapat menggalakkan penglibatan dan merangsang minat pelajar (Hoyt & Lee, 2002; Doherty, 2010). Lantaran itu, pelajar berpeluang untuk merasa kejayaan tanpa mengira tahap keupayaan masing-masing (dalam Barrie, 2011). Pengalaman kejayaan yang kerap dalam pelaksanaan P&P meningkatkan motivasi pelajar (Mosston dan Ashworth, 2002; Goudas et al., 1995). Ciri-ciri inklusif kajian seperti penyediaan peluang kepada pelajar untuk membawa kekuatan individu dalam P&P yang disarankan oleh Schinelli (2012) menunjukkan responden telah memahami konsep inklusif. Responden bersetuju bahawa aktiviti P&P boleh dijalankan berdasarkan tahap kebolehan yang berbeza. Maka, ini telah memenuhi matlamat pedagogi inklusif iaitu memberi peluang pembelajaran yang sama rata kepada semua murid tanpa mengira keupayan dan kebolehan mereka. Ini selaras dengan initiatif PPPM 2013-2025 bagi keberhasilan dan
1434
kemenjadian murid dengan penyerapan pedagogi inklusif dalam P&P (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2013). SIMPULAN Berdasarkan dapatan kajian, guru pendidikan jasmani di Kuala Lumpur mempunyai literasi pedagogi inklusif yang masih boleh dipertingkatkan, sama ada dari aspek pengetahuan, mahupun dari segi aplikasinya dalam fasa-fasa pengajaran dan pembelajaran pendidikan jasmani. Hal ini penting agar aspek perbezaan individu pelajar dapat dititkberatkan untuk menyahut hasrat Pelan Pembangunan Pendidikan (2013-2025) dalam merealisasikan aspirasi murid. Justeru, kursus latihan dalam perkhidmatan tentang pedagogi inklusif pendidikan jasmani harus diberi agar no child is left behind, selaras dengan falsafah inklusif. Kursus pra-perkhidmatan dalam pendidikan inklusif untuk guru pelatih juga harus diperkenalkan di institut pendidikan guru dan institusi pengajian tinggi untuk menyediakan mereka dalam menghadapi pelajar dari pelbagai latar belakang dengan tahap keupayaan kemahiran dan pengetahuan yang berbeza. Kajian lanjutan tentang sebab dan akibat dalam penggunaan pedagogi inklusif pendidikan jasmani juga disyorkan agar pelaksanaannya dapat diperluaskan di sekolah dan institusi pengajian tinggi, memandangkan ciri-ciri utama pedagogi inklusif ini ialah kolaborasi kumpulan, penglibatan, dan merangsangkan minat setiap pelajar. Semua kelebihan ini dapat meningkatkan keberkesanan pengajaran dan pembelajaran demi menghasilkan kemenjadian generasi pelajar yang sedia menghadapi cabaran di dunia globalisasi ini. Kajian berbentuk kualitatif tentang literasi dan keberkesanan pedagogi inklusif juga dicadangkan. Dengan menggunakan instrumen temu bual, pemerhatian proses pengajaran dan pembelajaran, serta refleksi guru dan pelajar selepas sesi pengajaran dan pembelajaran dapat membekalkan gambaran dan keputusan yang lebih autentik dan menyeluruh. Korelasi antara persekitaran pengajaran dan pembelajaran dengan amalan pedagogi inklusif dalam pendidikan jasmani juga boleh ditinjau pada kajian seterusnya. Ini bertujuan mengenal pasti faktor dan pengaruh persekitaran seperti sokongan sekolah, infrastruktur, dan iklim sekolah yang mungkin ada perkaitan dengan amalan pedagogi inklusif di sekolah. Perbezaan dan keberkesanan antara gaya-gaya pengajaran pendidikan jasmani yang lain dalam spektrum pengajaran Mosston dan Ashworth (2002) juga boleh dikaji seperti kajian yang dijalankan oleh SueSee dan Edward (2005). Mereka telah membina inventori spektrum gaya pengajaran sendiri dalam mengenal pasti gaya pengajaran yang menarik minat pelajar. Semoga hasil dapatan kajian ini dapat menyumbang kepada literasi dan amalan pedagogi inklusif dalam mata pelajaran secara amnya, dan dalam pendidikan jasmani khasnya.
1435
DAFTAR RUJUKAN Barrie, G. (2011). Inclusice physical education. New Zealand Physical Educator, Vol. 44 (2). Doherty, J. (2010). Teaching styles in physical education and Mosston’s Spectrum. Kentucky: AHPERD. Dipetik dari http://spectrumofteachingstyles.org/pdfs/literature/TeachingStylesinPE andMosstonsSpectrum.pdf Goudas, M., Biddle, S., Fox, K., & Underwood, M. (1995). It ain’t what you do, it’s the way you do it, teaching style effects children motivation in track and field. The Sport Psycholologist. 9:254-264. Hardin, B. (2005). Physical education teachers’ reflections on preparation for inclusion. Physical Educator, 62(1), 44–56 Hill, G., & Brodin, K. (2004). Physical education teachers’ perceptions of the adequacy of university coursework in preparation for teaching. Physical Educator, 61(2), 75–87. Hoyt, D.P. & Lee E.J. (2002). Teaching styles and learning outcomes. IDEA research report #4. Manhattan: IDEA Center. Dipetik dari eric.ed.gov/?id=ED472498 Kementerian Pendidikan Malaysia (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013 -2025. Putrajaya: Kementerian Pendidikan Malaysia. Klavina, A., Block, M., & Larins, V. (2007). General physical educators’ perceptions of including students with disabilities in general physical education in Latvia. Palaestra, 23(3), 26–31. Martin, M. R., & Speer, L. (2011). Leveling the playing field: Strategies for inclusion. Strategies. 24(5), 24–27. McCullick, B., & Byra, M. (2002). Spectrum teaching styles and the national standards for physical education: Introduction. Teaching Elementary Physical Education, 13(2), 6-7. Mosston, M., & Ashworth, S. (2002). Teaching physical education (5thed.). San Francisco, C.A.: Benjamin Cummins. Sanchez, Byra & Wallhead (2012). Students’ perception of the command, practice, and inclusion styles of teaching. Physical Education & Sport Pedagogy. Vol. 17 (3). Sanderson, S., Heckaman, K.A., Ernest, J.M., Johnson, S. & Raab, S. (2013). Strategies for maintaining Appropriate Behavior in Inclusive Physical Education Settings. Strategies 26(1), 20-25. Schinelli, M. (2012). Inclusion in physical education: Get students involved: Keep students interested. New Jersey Education Association. SueSee, B. & Edwards, K. (2005). Developing the descriptions of landmark teaching styles: A spectrum inventory. Queensland University of Technology: ACHPER International Conference.
1436
MENEROKA KESEDIAAN PENSYARAH DI INSTITUT PENDIDIKAN GURU MELAKSANAKAN PEDAGOGI INKLUSIF DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN 1)
Rajagopal Ponnusamy & 2)Ravichantiran Arujunan Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas E-mail: 1)
[email protected]
Abstract The present research is to explore whether the teacher eduactors in IPG KIK is ready to implement inclucive pedagogical practices in their teaching. This paper reports the results of a survey of 52 lecturers from IPG KIK about their readiness to implement PI of the 10 constructs involved in the study. The instrument used in this research was formulated by the researcher based on Zahara Aziz dan Nik Azleena Nik Ismail(2007). The instrument has a high reliability value (0.957).The Statistical Program For Social Sciences(SPSS) 16 was used to analyse the data. Mean score and percentage was used to answer the research questions. The findings revealed that the overall mean score for the seven constructs were (mean: 3.05 sd: 0.8). The mean score for each construct is as: understanding of the teacher educators towards inclucive pedagogy(mean: 2.7 sd: 0.9)average, perception of lecturers’ towards inclucive pedagogy(mean: 2.9 sd: 0.7)average, implementation of inclucive pedagogy (mean: 3.4 sd: 0.8)high, understanding of the lecturers’ towards inclucive pedagogical practices (mean: 2.2 sd: 4.3) average, acceptance of inclucive pedagogy(mean: 2.7: sd :1.2) average, relevance of inclucive peadgogy(mean: 3.6 sd: 0.7) high, understanding towards dimensions of inclucive pedagogy (mean: 3.8 sd: 0.5)high. The high mean score indicates that the teacher educators are ready to implement inclucive pedagogical practices but they have to really understand how the inclucive elements are integrated in teaching and learning in the class room so that no students are left out in the learning process. Keywords: lecturers’ readiness,inclusive pedagogy, awareness towards inclucive pedagogy PENGENALAN Mengikut Thomas Friedman,pengarang buku The World Is Flat, abad ke21 ini merupakan salah satu abad yang sangat berbeza berbanding dengan zaman sebelum ini kerana ianya menjadi semakin mencabar dan anak-anak muda pada masa ini memerlukan kemahiran kreativiti, kemahiran menyelesaikan masalah, minat untuk memperolehi ilmu dan pengetahuan serta memiliki dedikasi yang tinggi dan mengamalkan pembelajaran sepanjang hayat. Kesemua kemahiran itu dapat diperolehi melalui pengajaran guru dalam bilik darjah apabila seorang guru dapat mengaplikasikan pelbagai pendekatan pengajaran yang boleh memotivasikan pelajar untuk melibatkan diri dalam pembelajaran secara aktif. Pengajaran guru secara sistematik dan penglibatan pelajar secara aktif dalam pembelajaran membolehkan suasana pembelajaran semakin digemari oleh pelajar dan seterusnya pencapaian pelajar dapat dipertingkatkan. Ini boleh dilakukan sekiranya semua pelajar dalam kelas
1437
dapat mengambil bahagian dalam proses pembelajaran dan pengajaran secara menyeluruh yang dinamakan sebagai connected pedagogy yang berkaitan dengan pedagogi inklusif. Pedagogi inklusif ini boleh dianggap sebagai salah satu pendekatan eksklusif dalam bilik darjah yang membolehkan berlaku pembelajaran optima sekiranya dapat dilaksanakan oleh guru. Diharapkan pelaksanaan pedagogi inklusif dalam bilik darjah oleh guru dapat melahirkan pelajar yang cemerlang, gemilang dan terbilang. Sehubungan dengan itu kajian ini akan meneroka sama ada pensyarah sudah bersedia untuk melaksanakan pedagogi inklusif dalam kalangan guru pelatih di IPG KIK. Pernyataan Masalah Konsep pedagogi inklusif(PI) merupakan satu konsep yang telah menjadi topik perbincangan hangat dalam kalangan warga IPG Kampus Ilmu Khas selepas lawatan Ketua pengarah Pendidikan Malaysia pada penghujung bulan Mei 2014. Oleh kerana konsep PI itu sesuatu yang baru, ia telah menimbulkan pelbagai reaksi dalam kalangan pensyarah untuk memahami dan mendalami mengenai apakah itu sebenarnya pedagogi inklusif. Lazimnya, apabila sesuatu program atau konsep baru diperkenalkan untuk dilaksanakan maka beberapa isu kebiasaanya akan timbul. Dalam perkara ini yang berkaitan dengan PI, isu pertama yang menjadi fokus warga KIK ialah berkaitan dengan pemahaman mengenai konsep apakah sebenarnya PI itu. Oleh kerana PI merupakan satu konsep yang baru maka ianya melibatkan semua pensyarah di IPG KIK untuk duduk bersama dan mengadakan beberapa perbincangan dan dialog bersama untuk memahami apakah sebenarnya pedagogi inklusif itu. Oleh kerana ianya merupakan satu beban tugas yang perlu dilaksanakan dengan teliti kerana ianya melibatkan satu konsep yang kabur untuk difahami dan didalami. Justeru itu, penerokaan mengenai pedagogi inklusif adalah sangat penting pada masa ini untuk mencari jawapan yang sebenar mengenai definisi pedagogi inklusif, fahaman mengenai pedagogi inklusif, persepsi terhadap pedagogi inklusif, amalan terhadap pedagogi inklusif, penerimaan pedagogi inklusif dan fahaman mengenai pendekatan-pendekatan PI. Pengkaji berpendapat adalah lebih penting pensyarah IPG memahami apakah itu PI sebelum diperkenalkan kepada para guru pelatih di IPG dan seterusnya disebarluaskan ke sekolah kemudiannya. Diharapkan dapatan kajian dapat membantu IPGM untuk mengintegrasikan amalan-amalan PI dalam program pendidikan guru untuk meningkatkan penglibatan semua pelajar dalam proses pembelajaran dan pengajaran secara efektif. Objektif Kajian Kajian ini akan dijalankan berasaskan kepada objektif kajian yang dikenal pasti seperti berikut: 1. Mengenal pasti tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif 2. Meninjau persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif 3. Meninjau kesediaan pensyarah IPG KIK terhadap mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif 4. Mengenal pasti kesediaan pensyarah IPG KIK memahami pendekatan pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah 5. Meninjau kesediaan pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif
1438
6. Mengenal pasti sama ada pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi inklusif itu relevan kepada mereka 7. Mengenal pasti sama ada pensyarah IPG KIK mengetahui tentang dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif Persoalan Kajian Berdasarkan objektif-objektif kajian yang telah dinyatakan di atas, kajian ini akan menjawab soalan-soalan berikut: 1. Apakah tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif ? 2. Apakah persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif ? 3. Adakah pensyarah IPG KIK bersedia mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif ? 4. Adakah pensyarah IPG KIK memahami pendekatan pengajaran pedagogi inklusif ? 5. Adakah pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif ? 6. Adakah pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi inklusif itu relevan kepada mereka? 7. Adakah pensyarah IPG KIK mengetahui mengenai dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif ? Batasan Kajian Kajian ini terbatas kepada 52 orang yang berkhidmat sebagai pensyarah di IPG KIK di beberapa jabatan di IPG. Kajian ini hanya melibatkan pensyarahpensyarah yang berkhidmat di IPG KIK yang terletak di Lembah Kelang di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia. Kajian ini hanya memberi fokus kepada kesediaan pensyarah IPG melaksanakan pedagogi inklusif di IPG KIK. KERANGKA TEORETIKAL Sehingga hari ini tidak terdapat sesuatu penjelasan yang tepat dan konkrit diberikan terhadap apakah itu sebenanya inclusion(inklusif). Secara global, konsep inklusif dianggap ada kaitan dengan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif merupakan satu dasar atau polisi kerajaan untuk memberi peluang pendidikan yang sama kepada murid berkeperluan khas dalam aliran perdana (Manisah, Ramlee Mustapha dan Zalizan Jejas, 2006). Pelajar berkeperluan khas terdiri daripada murid buta, pekak dan bisu. Kumpulan murid itu diletakan dalam aliran perdana dan diberi peluang pembelajaran yang sama dengan adanya guru pendidkan khas yang dilatih. Dalam situasi inlah yang menyebabkan ada penulis dan pengkaji mengaitkan ‘inclusion’ dengan pendidikan iklusif. Ini memungkinkan istilah ini disamakan ertinya dengan pedagogi inklusif(Artkes and Dyson, 2005). Mengikut Clough dan Corbett (2006) konsep ini adalah ‘context bound’ dan ianya menimbulkan pelbagai keraguan dan kabur penggunaanya. Namun begitu, Ainscow(2010) telah mendefinisikan inclusion sebagai satu proses mengatur langkah-langkah yang sistematik untuk memberi respon kepada kehendak dan keperluan semua murid di sekolah tanpa mengira kelainan pelajar. Tetapi, Artiles dan Kozleksi(2007) mengkonsepsikan inclusion sebagai satu pendekatan untuk membina satu masyarakat inklusif. Dalam usaha untuk menyeragamkan konsep inklusif, UNESCO menjelaskan bahawa inclusion memberi peluang atau keperihatinan kepada semua pelajar untuk belajar kerana semua pelajar
1439
mampu dan berkebolehan untuk belajar. Ini bererti bahawa pandangan UNESCO lebih kepada memberi peluang kepada semua pelajar tanpa mengambil kira latar belakang pelajar atau prinsip kesamarataan dalam pendidikan. Namun begitu, definisi itu lebih kepada pendidikan inklusif. Oleh kerana tedapat pelbagai definisi dan huraian yang berlainan maka ini menyukarkan untuk memberi satu ketetapatan terhadap konsep inklusif. Sehubungan dengan itu Farrell(1997), Burnard, Pamela and Dillon(2008) berpendapat inclusion melibatkan pendekatan pendidikan inklusif dalam sekolah aliran perdana. Pada masa yang sama Ainscow(2010) Bellard(1995) berpendapat inclusion adalah satu pendekatan alternatif kepada pendekatan khas yang lebih luas yang digunakan oleh guru secara kreatif dan berkesan. Inklusif dimaksudkan sebagai melibatkan semua murid dalam proses pembelajaran dan pengajaran tanpa mengambil kira latar belakang murid dan menggunakan pelbagai pendekatan yang perlu supaya semua murid dapat menguasai pembelajaran itu dengan gembira dan seterusnya menghasilkan sesuatu yang baharu(Abdul Razaq, Norhasani ,Zalizan dan Anisa Saleha(2011). Mengikut Carbett(2001) pedagogi inklusif adalah satu pendekatan yang bertujuan untuk memastikan budaya pembelajaran dan pengajaran yang melibatkan semua pelajar dalam sesuatu kelas dengan menggunakan pelbagai strategi yang dapat melahirkan pelajar yang aktif dalam pembelajaran. Carbett turut menyatakan bahawa pedagogi inklusif itu dianggap sebagai pedagogi penghubung(connective pedagogy) di mana pelajar-pelajar dapat membabitkan diri dengan pembelajaran sendiri dan seterusnya dapat melibatkan diri dalam pembelajaran kurikulum yang disediakan (Hawkins2010). Makoelle (2014) mengutarakan bahawa pedagogi inklusif sebagai satu amalan pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan pelbagai teknik, strategi, pendekatan dan prinsip Berkaitan dengan itu, Spratt dan Florian (2013) menjelaskan bahawa pedagogi inklusif itu sebagai satu pengajaran dan pembelajaran yang membolehkan semua pelajar dapat dilibatkan sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Ainscow dan Howes(2003) dan Downing(2005) memberi pandangan bahawa pelaksanan budaya pedagogi inklusif boleh diamalkan dalam bilik darjah secara kolaborasi melalui partisipasi semua pelajar dalam aktiviti pembelajaran secara aktif. Pembelajaran kolaboratif dianggap sebagai satu pendekatan yang boleh memberi peluang kepada semua pelajar untuk belajar dalam kumpulan yang boleh menggalakkan perkongsian pengetahuan, kemahiran dan idea secara kolaboratif (Biggs1999).Dengan itu, semua pelajar dapat menjalin hubungan mesra antara satu dengan lain dalam kumpulan. Di samping itu, interaksi antara pelajar dan guru dapat disaksikan membawa suasana pembelajaran yang lebih mesra dan kondusif. METODOLOGI Reka Bentuk Kajian, Sampel dan Instrumen Kajian Dalam kajian ini pengkaji telah menggunakan kaedah tinjaun dengan menggunakan soal selidik yang melibatkan pengumpulan data daripada 52 orang pensyarah IPG KIK. Pengkaji telah menggunakan satu instrumen untuk meneroka kesediaan pensyarah IPG melaksanakan pedagogi inklusif berdasarkan inventori yang dibina oleh pengkaji sendiri. Inventori ini
1440
mengandungi perkara-perkara seperti berikut: Bahagian A mengandungi aspek yang berkaitan dengan latar belakang sampel. Bahagian B mengandungi 10 item berkaitan dengan fahaman pensyarah terhadap pendagogi inklusif. Bahagian C mengandungi 10 item berkaitan persepsi pensyarah terhadap pendagogi inklusif. Bahagian D mengandungi 10 item berkaitan dengan kesediaan pensyarah menguruskan aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif. Bahagian E mengandungi 10 item berkaitan kesediaan pensyarah memahami pendekatan pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah. Bahagian F mengandungi 10 item berkaitan kesediaan pensyarah menerima pedagogi inklusif. Bahagian G mengandungi 10 item berkaitan dengan kerelevanan pedagogi inklusif kepada pensyarah. Bahagian H mengandungi 10 item berkaitan dengan pemahaman dimensi-dimensi pedagogi inklusif oleh pensyarah. Kebolehpercayaan Instrumen Kajian Data yang dikumpulkan daripada 52 orang pensyarah IPG KIK telah dianalis untuk menentukan kebolehpercayaan dan kesahan instrumen kajian. Nilai kebolehpercayaan Cronbach’s alpha yang diperolehi bagi kesemua konstruk ialah 0.98. Bagi setiap konstruk nilai Cronbach’s alpha yang diperolehi ialah: tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (0.9581), persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (0.95), kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif (0.95),fahaman terhadap pendekatan-pendekatan dalam pengajaran pedagogi inklusif(0.99), penerimaan pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif (0.99), kerelevanan pedagogi inklusif kepada pensyarah (0.65), pengetahuan pensyarah terhadap dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif (0.97). Nilai Cronbach’s alpha yang tinggi menggambarkan instrumen kajian ini mempunyai kesahan yang tinggi. DAPATAN DAN PERBINCANGAN Secara keseluruhan hasil kajian mendapati pensyarah IPG memperolehi (skor min 3.05 sp 0.9) dalam tujuh konstruk yang dikaji dan ianya berada pada tahap tinggi. Seterusnya skor min bagi setiap item adalah seperti: tahap fahaman pensyarah terhadap pedagogi inklusif (min 2.8 sp 0.9) sederhana, persepsi pensyarah terhadap pedagogi inklusif (min 2.9 sp 0.7),sederhana, kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif (min 3.4 sp 0.8),tinggi,fahaman terhadap pendekatan-pendekatan dalam pengajaran pedagogi inklusif (min 2.2 sp 0.8),sederhana, penerimaan pensyarah terhadap pedagogi inklusif (min 2.7 sp 1.2),sederhana, kerelevanan pedagogi inklusif (min 3.6 sp 0.7)tinggi, pemahaman pensyarah terhadap dimensi-dimensi pedagogi inklusif (min 3.80 sp 0.5)tinggi. Bagi tujuan menjawab persoalan dalam kajian ini, dapatan kajian akan dihuraikan secara berasingan mengikut soalan kajian yang telah ditetapkan.
1441
Jadual 1. Perbandingan Skor Min Konstruk-konstruk Persepsi Pensyarah Terhadap PI Kesediaan Pensyarah Melaksanakan Total Samples(55) Pedagogi Inklusif Skor Min SP Fahaman pensyarah terhadap pedagogi 2.8 0.9 inklusif Persepsi pensyarah terhadap 2.9 0.7 pedagogi inklusif 3.4 0.8 Kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pdp 2.2 0.8 PI Pemahaman pensyarah terhadap 2.7 1.2 pendekatan pedagogi inklusif 3.6 0.7 Penerimaan terhadap pedagogi inklusif 3.8 0.5 Kerelevan pedagogi inklusif kepada pensyarah Pemahaman terhadap dimensi3.1 0.8 dimensi dalam pedagogi inklusif Jumlah (Tahap Persepsi PT: Rendah(1.0-1.99) Sederhana(2.0-2.99) Tinggi(3.00-3.99) Sangat Tinggi(4.0-5.0) Jadual 2. Tahap Pemahaman Pensyarah Terhadap Pedagogi Inklusif Level of Perception Pemahaman Pensyarah Terhadap Pedagogi Inklusif
Rendah
Fahaman pensyarah terhadap pedagogi inklusif Persepsi pensyarah terhadap pedagogi inklusif Kesediaan pensyarah mengurus aktiviti pdp PI Pemahaman pensyarah terhadap pendekatan pedagogi inklusif Penerimaan terhadap pedagogi inklusif Kerelevan pedagogi inklusif kepada pensyarah Pemahaman terhadap dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif
-
Sederhana Tinggi 2.8 2.9 2.2 2.7
Sangat Tinggi
3.4 3.6 3.8 -
Persoalan Kajian 1: Apakah Tahap Fahaman Pensyarah IPG KIK Terhadap Pedagogi Inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk fahaman pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (min 2.8,sp 0.9) berada pada tahap sederhana (Jadual 1). Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 100%(52) kesemua pensyarah IPG dalam kajian ini memahami apakah itu pedagogi dan tahu apakah maksudnya. Di samping itu, lebih daripada 80% pensyarah dalam kajian ini mendapati mereka tahu apakah itu pedagogi dan pedagogi inklusif dan penggunaan
1442
pedagogi inklusif dalam bilik darjah oleh guru menggalakkan semua murid dalam pembelajaran dengan aktif. Persoalan Kajian 2: Apakah Persepsi Pensyarah IPG KIK Terhadap Pedagogi Inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk persepsi pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (min 2.92,sp 0.70) berada pada tahap sederhana (Jadual 1). Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 100%(52) kesemua pensyarah IPG dalam kajian ini mendapati murid akan menguasai pelbagai kemahiran pembelajaran sekiranya diberi peluang kepada murid dan juga 85%(44) orang pensyarah menyatakan pedagogi inklusif boleh memperkembangkan kemahiran berfikir. Tetapi, dapatan juga turut mendapati hampir 94%(49) orang pensyarah dalam kajian ini tidak bersetuju bahawa pedagogi inklusif boleh meningkatkan pengetahuan murid. Apa yang menarik ialah, skor min bagi item kemahiran berfikir adalah sangat rendah berbanding dengan skor lain bagi konstruk ini. Hanya dua item sahaja dalam konstruk ini berada pada tahap sangat tinggi dan lima item dalam konstruk ini berada pada tahap sederhana. Persoalan Kajian 3:Adakah Pensyarah IPG KIK Berkebolehan Mengurus Aktiviti Pembelajaran Pedagogi Inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk kesediaan mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif (min 3.4.,sp 0.8) berada pada tahap tinggi (Jadual 1). Ini menjelaskan pensyarah IPG KIK berkebolehan mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif dengan baik. Seterusnya, perkiraan peratus digunakan untuk meninjau kebolehan pensyarah mengurus aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif mendapati fahaman pensyarah terhadap pedagogi inklusif. Hasil dapatan kajian mendapati 90%(47) pensyarah IPG KIK dalam kajian ini menyatakan mereka berkebolehan pembelajaran secara kumpulan melibatkan kepelbagaian murid, berkebolehan melibatkan semua murid dalam mengurus aktiviti pembelajaran dan mampu memberi bimbingan kepada murid untuk meningkatkan keupayaan mereka. Hasil dapatan kajian mendapati 90%(47) pensyarah IPG KIK dalam kajian ini menyatakan mereka berkebolehan belajar secara kumpulan melibatkan kepelbagaian murid dalam mengurus aktiviti pembelajaran dan mampu memberi bimbingan kepada murid untuk meningkatkan keupayaan mereka. Persoalan Kajian 4:Adakah Pensyarah IPG KIK Memahami Pendekatan Pengajaran Pedagogi Inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk samaada pensyarah IPG dalam kajian ini memahami pendekatan- tahap fahaman pensyarah IPG KIK terhadap konstruk ini berada pada tahap sederhana. Namunbegitu, 90%(47) pensyarah dalam kajian ini menyatakan mereka ada pengetahuan untuk melaksanakan pendekatan pengajaran dalam pedagogi inklusif (min 2.2,sp 0.8) berada pada tahap sederhana (Jadual 1). Ini menjelaskan pembelajaran koepartif dan kolaboratif, pembelajaran beradun(blended learning), pembelajaran resiprokal,pembelajaran kontekstual, pembelajaran kebezaan(differentiated learning) dan pembelajaran futuristik. Persoalan Kajian 5: Adakah pensyarah IPG KIK menerima pedagogi inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk penerimaan pensyarah IPG KIK terhadap pedagogi inklusif (min 2.7 sp1.2) berada pada tahap sederhana (Jadual 1). Ini menjelaskan tahap fahaman pensyarah IPG KIK berada pada
1443
tahap yang sangat rendah. Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 16%(8) pensyarah IPG KIK menyatakan amalan pedagogi inklusif membebankan. Tetapi, hampir 75%(39) menyatakan semua pensyarah perlu menjadi pensyarah inklusif sebelum melaksanakan pembelajaran inklusif. Persoalan Kajian 6: Adakah pensyarah IPG KIK menganggap pedagogi inklusif itu relevan kepada mereka? Hasil dapatan kajian bagi konstruk kerelevanan pedagogi inklusif kepada pensyarah IPG KIK (min 3.6,sp 0.7) berada pada tahap tinggi (Jadual 1). Ini menjelaskan pedagogi inklusif itu relevan kepada mereka. Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati hanya 12%(6) pensyarah bersetuju amalan pedagogi inklusif dapat meningkatkan minat pelajar.Sebaliknya,94%(49) orang pensyarah tidak bersetuju bahawa pedagogi inklusif dapat membantu pensyarah untuk meneroka pelbagai pendekatan pengajaran. Persoalan Kajian 7: Adakah pensyarah IPG KIK mengetahui mengenai dimensi-dimensi dalam pedagogi inklusif? Hasil dapatan kajian bagi konstruk pengetahuan mengenai dimensidimensi dalam pedagogi inklusif mendapati (min 3.8 ,sp 0.5) berada pada tahap tinggi (Jadual 1). Ini menjelaskan tahap fahaman pensyarah IPG KIK berada pada tahap tinggi. Seterusnya, hasil dapatan kajian mendapati 100%(52) pensyarah IPG bersetuju amalan pedagogi inklusif dapat menggalakkan autonomi dan pembelajaran kendiri tetapi kesemua 100% (52) pensyarah tidak bersetuju dengan amalan semua pensyarah perlu menerima murid berkeperluan khas. Di samping itu, kesemua pensyarah dalam kajian ini juga tidak bersetuju bahawa pelaksanaan pedagogi inklusif dapat menggalakkan pembinaan kumpulan penyokong dalam kalangan pelajar. RUMUSAN DAN CADANGAN Perbincangan dan Cadangan Kajian ini yang dijalankan untuk meneroka sama ada pensyarah IPG KIK bersedia untuk melaksanakan pedagogi inklusif dalam pengajaran mereka di IPG. Hasil dapatan kajian mendapati skor min secara keseluruhan ialah (min 3.05,sp 0.8) menunjukkan tahap kesediaan tinggi terhadap pelaksanaan pedagogi inklusif dalam pengajaran. Namun begitu, daripada tujuh konstruk yang dikaji didapati 3 konstruk berada pada tahap tinggi: pengurusan aktiviti pembelajaran pedagogi inklusif(min 3.4 sp 0.8), kerelevanan pedagogi inklusif(mean 3.6 sp 0.7), pemahaman terhadap dimensi-dimensi pedagogi inklusif(min 3.8 sp 0.5). Manakala empat konstruk lagi berada pada tahap sederhana:fahaman terhadap pedagogi inklusif (min 2.75 sp 0.9),persepsi pensyarah terhadap pedagogi inklusif(min 2.9 sp 0.7), pengetahuan terhadap pedagogi inklusif(min 2.2 sp 0.8) dan penerimaan terhadap pedagogi inklusif (min 2.7 sp 1.2). Apa yang menarik ialah walaupun min keseluruhan berada pada tahap tinggi tetapi, bagi empat konstruk lagi tahapnya adalah berada pada tahap sederhana.Oleh itu, perlu diberi fokus untuk meningkatkan tahap persepsi,fahaman dan pengetahuan tentang strategi-strategi penagajaran pedagogi inklusif. Dicadangkan agar kursus-kursus berkaitan dengan pedagogi inklusif diadakan kepada semua pensyarah IPG supaya dapat meningkatkan fahaman, pengetahuan dan kemahiran terhadap pedagogi inklusif. Selain itu, semua pensyarah perlu diberi pendedahan untuk
1444
melaksanakan pengajaran pedagogi inklusif dalam bilik darjah. Ini boleh dilakukan dengan mengadakan lawatan ke sekolah untuk memantau bagaimanakah pengajaran dan pembelajaran untuk memperbaiki amalanamalan pedagogi inklusif. Didicadangkan lebih banyak bengkel diadakan untuk meningkatkan pelaksanaan terhadap kemahiran pedagogi inklusif kepada pensyarah di IPG sebelum ianya diperkenalkan kepada guru-guru di sekolah. DAFTAR RUJUKAN Abdul Razaq Ahmad, Norhasani Zainal, Zalizan Mohd Jelas dan Anisa Saleha(2011).Teachers’ Perspectives toward School Diversity in Malaysia. International Journal of Business and Social Science. Vol.2 No.4:March 2011 Ainscow,M.(1999).Understanding the Development of Inclusive Schools. London:Falmer Press Bellard,K.(1995).Inclusion In Practice: A Case Study Of Metahtheory And Action. Cambridge University Biggs, J.(1999). ‘What the student does: teacher for enhanced learning?’. Higher Education Research & Development,vol.18,no.1,pp.57-75 Black Hawkins,K.(2010). The framework for participation:a research tool for exploring the relationship between achievement and inclusion in schools. International Journal of Research & Method in Education. Vol.33,No.1.April 2010, 21-40 Burnard, Pamela and Dillon, Steven C. dan Rusinek,Gabriel dan Saether,Eva(2008). Inclusive pedagogies in Music Education: A comparative study of music teachers’ perspectives from four countries. International journal of Music Education 26(2):pp.109-126. Clough P,Carbett J(2000). Theories of Inclucive Education:A Student Guide.London:Paul Chapman Publishing Carbett,J.(2001). Supporting Inclusive Education:A connective Pedagogy.London:Routledge Downing,J.E.(2005). Teaching literacy to students with significant disabilities:Strategies for the K-12 incusive classroom. Thousand Oaks,California: Corwing Press Dyson,A.,Clark C., Millward,A.(1999). Inclusive Education and schools as organisations.International Journal of Inclusive Education.3(1).37-51 Farrell,P., Ainshow,M., Howes,A. Frankham,J.,Fox S.,dan Davis,P.(2004).Inclusive Education for all: Dream or reality? Journal of International Special Needs Education.7(7),1-11 Makoelle (2012). The state of Inclusive Pedagogy in South Africa: A Literature Review. Jurnal of Sociology Soc Auth,3(2):93-102 Manisah Mohd Ali, Ramlee Mustapha dan Zalizan Mohd Jejas( 2006). An Emprical Study On Teachers’ Perception Towards Inclusive Education In Malaysia. International Journal of Special Education. Vol. 21. No.3. Spratt J. dan Florian L. (2013). Applying The Principles Of Inclusive Pedagogy In Initial Teacher Education :From University Based Course To Classroom Action. Revista de Investigation en Education.11(3).pp.133140
1445
PERANAN PENTADBIR SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PEDAGOGI INKLUSIF DI BEBERAPA SEKOLAH RENDAH YANG TERPILIH 1)
Rajagopal Ponnusamy, 2)Ramesh Rao, 3)Jeya Velu, 4)Ismail Raduan, 5)Lee Leh Hong, 6)Lee Lay Hwa, 7)Mohd Jim Hamzah, & 8)Santhi Periasamy IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur E-mail: 1)
[email protected]
Abstract The present reserch is to investigate the the role of the school administrators towards the implementation of inclucive pedagogy in the selected primary schools. This paper reports the results of a survey of 32 primary school administrators about their perception of the 5 constructs involved in the study. The instrument used in this research was formulated by the researcher based on Brown D.S.(1991) and Papanastasiou, E.C.(2005). The instrument has a high reliability level(0.92).The Statistical Program For Social Sciences(SPSS) 16 was used to analyse the data. Mean score and percentage was used to analyse the data obtained together with ANOVA. The findings revealed that the overall mean score for the 5 constructs were (mean:3.69 sd: 0.97)high . The mean score for each construct is as: perception towards inclucive pedagogy (mean:3.78 sd: 0.92)high, implementation of inclucive pedagogy in school( mean:4.34 sd: 0.72)very high,facilities to implement inclucive pedagogy in the school (mean:3.02 sd 0.97)high, importance of inclucive pedagogy to the school (mean:4.02 sd: 0.57)very high acceptance of inclucive pedagogy by the administrators (mean:3.80 sd: 0.57) high. The ANOVA results conducted revealed there isn’t any significant differences between the administrators in the school regarding inclucive pedagogy. Keywords: Role of school administrators , inklusive pedagogy PENGENALAN Pendidikan merupakan salah satu bidang yang memainkan peranan penting dalam pembangunan sesebuah negara dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Proses pengajaran dan pembelajaran yang berlaku dalam bilik darjah merupakan petunjuk terbaik bagi kemajuan masa depan sesebuah negara(PPPM 2013-2015). Selain itu, pendidikan juga menjadi asas pembinaan negara bangsa dan pengukuhan perpaduan. Justeru itu, sejak mencapai kemerdekaan Malaysia telah mengambil pelbagai langkah untuk membangunkan sistem pendidikan negara kita supaya dapat melahirkan pelajar yang cemerlang, gemilang dan terbilang selaras dengan aspirasi Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia(2013-2015). Pembangunan negara melalui kecemerlangan pendidikan di negara kita dijadikan sebagai agenda utama untuk memstikan supaya WAWASAN 2020 yang ingin meletakkan negara kita sebagai negara maju menjelang tahun 2020 sesama dengan negara lain di barat. Dalam menjayakan usaha murni ini, Pendidikan Untuk Semua(Education For All) turut diberi keutamaan supaya semua pelajar di negara kita yang berada di sekolah dapat mencapai tahap pencapaian yang diharapkan tanpa meminggirkan sesiapa sahaja seperti murid miskin, murid
1446
pedalaman,murid berkeperluan khas dan kumpulan minoriti. Sehubungan itu, kerajaan Malaysia telah memperuntukan jumlah peruntukkan yang tinggi dalam sektor pendidikan supaya semua sekolah dan murid diberikan peluang yang sama untuk mencapai kecemerlangan yang sama. Sehubungan dengan itu, KPM telah mengenal pasti supaya jurang pendidikan yang perlu dirapatkan supaya akses,ekuiti dan kualiti dalam pendidikan dapat dipertingkatkan(KPM 2009). Justeru itu, kerajaan kita telah berusaha untuk memastikan agar sistem pendidikan di negara kita untuk mencapai pendidikan bertaraf dunia melalui sekolah-sekolah berperasti tinggi dan seterusnya menjadikan negara ini sebagai sebuah negara maju sebagai A Great Nation dan Negara Inovatif menjelang tahun 2050(Mohamad Ikhsan 2003). Pelaksanaan dasar dan polisi pendidikan yang lebih mengutamakan kecemerlangan pelajar menyebabkan banyak kejayaan telah dicapai dalam pendidikan dan ini telah menyebabkan sistem pendidikan negara akan menjadi mantap seperti sekarang di mana “kejayaan dalam pendidikan telah meletakan Malaysia menduduki tempat nombor 45 daripada 129 negara dalam pendidikan antarabnagsa(Berita Harian 21.7.09). Kedudukan ini membuktikan bahawa Malaysia sudah boleh mencapai agenda pembangunan modal insan dan pembentukan minda kelas pertama sebagaimana yang diharapkan dalam Misi Nasional. Walaupun negara kita telah mencapai kecemerlangan akademik dalam negara, tetapi dalam PISSA dan TIMS pencapaian yang dicapai adalah tidak memuaskan. Bagi menghadapi cabaran ini kami percaya agar pedagogi inklusif yang memberi peluang pembelajaran yang efektif melalui kaedah penyampaian yang lebih eksklusif kepada semua pelajar akan membawa perubahan yang kritikal dalam usaha untuk mencapai misi pendidikan nasional melalui pendidikan untuk semua. Pernyataan Masalah Konsep pedagogi inklusif merupakan satu konsep yang telah menjadi topik perbincangan dalam kalangan warga IPG Kampus Ilmu Khas selepas lawatan Ketua pengarah Pendidikan Malaysia pada penghujung bulan Mei 2014. Semasa ucapan, beliau telah menyarankan IPG Kampus Ilmu Khas (IPG KIK) untuk memberi keutamaan dan menjalankan satu kajian menyeluruh mengenai pedagogi inklusif. Oleh itu ianya telah menimbulkan pelbagai reaksi dalam kalangan pensyarah untuk memahami dan mendalami mengenai apakah itu sebenarnya pedagogi inklusif. Sebelum ini semua pensyarah mempunyai pengetahuan mengenai pendidikan inklusif kerana ianya telah diperkenalkan lebih awal pada tahun 1999 dan mula dilaksanakan di Malaysia. Oleh itu, ianya dianggap sebagai satu beban tugas yang perlu dilaksanakan dengan teliti kerana menjadi satu konsep yang kabur untuk difahami dan didalami. Selain itu, ianya melibatkan pihak sekolah yang perlu kita memperolehi pelbagai maklumat yang ada kaitan dengan pedagogi inklusif. Kesemua ini menjadi halangan pada permulaanya. Perbincangan demi perbincangan dan mesyuarat demi mesyuarat yang diadakan untuk mendapat kepastian konkrit terhadap pengertian, pemahaman serta definisi mengenai pedagogi inklusif itu terpaksa diperolehi dengan membuat rujukan daripada sumber yang relevan dari luar negara. Maklumat yang diperolehi mengenai pedagogi inklusif sehingga sekarang tidak memberi satu gambaran yang jelas
1447
dan mendalam mengenai pedagogi inklusif. Justeru itu, penerokaan mengenai pedagogi inklusif memberi satu gambaran bahawa konsep ini tidak mempunyai hala tuju yang jelas dan pelaksanaanya akan menimbulkan pelbagai masalah serta kekeliruan mengenai apakah itu pedagogi inklusif dan apakah ciri-ciri inklusif yang perlu ada dalam pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah untuk diterima sebagai amalan-amalan dalam pedagogi inklusif. Walau bagaimanapun, warga IPG KIK telah mempunyai komitmen serta motivasi yang tinggi untuk menjadi penggerak utama dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di Malaysia dan menjadi pencetus minda dalam kalangan semua IPG di Malaysia. Besarlah harapan dapatan kajian dapat membantu IPGM untuk mengintegrasikan amalan-amalan pedagogi inklusif dalam program pendidikan guru supaya ianya dapat membantu meningkatkan penglibatan semua pelajar dalam proses pembelajaran dan pengajaran secara efektif. Kajian ini dijalankan untuk mengenal pasti apakah peranan yang dimainkan oleh pihak pentadbir sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah. Pentadbir dalam kajian ini dirujuk sebagai individu yang terlibat dalam pengurusan dan pentadbiran di sekolah. Bagi tujuan kajian ini, Guru Besar sekolah , Penolong Kanan Pentadbiran(PKP), Penolong Kanan Hal Ehwal Murid(PKHEM) dan Penolong Kanan Ko-kurikulum(PKKOKO) dikenal pasti sebagai pentadbir sekolah. Kajian ini cuba untuk meninjau persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif, pengetahuan pentadbir sekolah mengenai amalan-amalan pedagogi di sekolah oleh guru, prasarana yang terdapat di sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif, persepsi pentadbir sekolah mengenai keperluan dan penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif. Corak kajian pedagogi inklusif ini ada persamaan dengan cadangan yang diberikan oleh Spratt dan Florian(2013) dan Reynolds dan Mann(1987) yang memberi penekanan kepada peranan pentadbir sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah. Objektif Kajian Kajian yang dijalankan sebagai kajian preliminari ini mempunyai objektifobjektif berikut: 1. Mengenal pasti tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif 2. Meninjau sama ada pentadbir sekolah berpengetahuan mengenai amalanamalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah 3. Mengenal pasti apakah jenis-jenis prasarana yang terdapat di sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif di sekolah oleh guru 4. Meninjau pendapat pihak pentadbir mengenai keperluan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah. 5. Meninjau pendapat pihak pentadbir mengenai penerimaan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah. Persoalan Kajian Berdasarkan objektif-objektif kajian yang telah dinyatakan di atas, kajian ini akan menjawab soalan-soalan berikut: 1. Apakah tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif di sekolah?
1448
2. Adakah pentadbir sekolah mempunyai pengetahuan mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah? 3. Adakah terdapat jenis-jenis prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan pedagogi inklusif di sekolah? 4. Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai keperluan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah? 5. Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai penerimaan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah? KERANGKA TEORITIKAL Pedagogi didefinisikan sebagai segala ilmu yang diperlu dimiliki oleh seseorang guru untuk menyampaikan pembelajaran kepada murid dalam bilik darjah. Setiap murid dalam bilik darjah adalah unik kerana mereka mempamerkan minat,motivasi, tingkahlaku, emosi dan mengamalkan gaya pembelajaran yang berlainan dan itu menyebabkan pencapaian mereka juga adalah berbeza. Dalam hal ini, seseorang guru perlu memahami dan mengetahui pelbagai strategi dan teknik pengajaran selain daripada memahami dan menguasai jiwa dan citarasa murid dalam pembelajaran(Abdul Razaq,Norhazni,Zalizan dan Anisa 2011). Manakala Spratt dan Florian(2013) menjelaskan inclusion sebagai satu proses dinamik yang melibatkan semua murid dalam proses pembelajaran sepenuhnya dan ianya adalah sesuatu yang sangat penting untuk membina masa depan yang lebih bermakna kepada murid dalam kehidupan mereka nanti. Tetapi, Farrell et al.(2004) menghuraikan konsep inklusif sebagai satu konstruk yang terdiri daraipada pengintegrasian beberapa aspek seperti penerimaan(acceptance),penglibatan(involvement) dan pencapaian(achievemen). Namun begitu, Downing(2005) mengutarakan apa sahaja langkah untuk membantu semua pelajar dalam proses pembelajaran akan mencapai kebuntuan sekiranya tiada satu sistem sokongan yang kondusif daripada pelbagai pihak yang prihatin terhadap pelajar-pelajar yang mengalami masalah pembelajaran. Forlin(2001) pula berpendapat peranan guru dalam membawa perubahan dalam proses pembelajaran adalah sangat kritikal kerana gaya pengajaran guru akan menentukan penglibatan murid dalam pembelajaran secara aktif. Tetapi Rouse(2009) berpendapat usaha murni dalam pelaksanasn pedagogi itu bergantung kepada pengetahuan, minat dan keupayaan guru untuk memahami potensi dan kebolehan murid di dalam bilik darjah yang diajar. Ini bererti sebagai seorang guru yang efektif setiap guru seharusnya memahami tingkahlaku murid dan kemampuan murid dalam proses pembelajaran. Pendapat ini di persetujui oleh Hart, Dixon, Drummond dan McIntyre,2004) tetapi amalan pengajaran dan pembelajaran selama ini yang berdasarkan kepada kecemerlangan murid dapat menimbulkan perasaan tidak menyeronokkan mereka semasa pembelajaran dan ianya boleh membunuh semangat untuk mencuba kerana guru cuba membezakan murid berdasarkan kepada kemampuan mencapai markah yang tinggi. Hart(2004) mengutarakan bahawa amalan pedagogi inklusif dalam bilik darjah tidak membenarkan penggunaan labeling terhadap murid yang mempamerkan kecerdasan yang berbeza sebaliknya pedagogi inklusif membolehkan setiap murid dapat belajar bersama dalam situasi atau suasana pembelajaran yang kodusif tanpa
1449
merasakan diri meraka terancam. Sebaliknya, Schpilberg & Hubschman(2003) menyatakan amalan pedagogi inkklusif dalam bilik darjah bukan hanya melibatkan pendekatan,strategi dan teknik mengajar malah ianya melibatkan seorang guru yang mempamerkan kasih sayang, keprihatinan,suka membantu pelajar dan menjalin hubungan erat dan mesra dengan murid di mana amalan emosi yang positif dapat menarik minat pelajar dalam proses pembelajaran. METODOLOGI Dalam kajian ini kaedah tinjaun dengan menggunakan soal selidik melibatkan pengumpulan data daripada 32 orang pentadbir sekolah digunakan. Bilangan guru besar yang terlibat dalam kajian ini ialah seramai 8 orang, bilangan GPP yang terlibat ialah 7 orang, bilangan GPK HEM yang terlibat ialah 10 orang dan bilangan GPK KOKO yang terlibat ialah seramai 7 orang. Bilangan pentadbir lelaki yang terlibat dalam kajian ini ialah sebanyak 17 orang manakala bilangan pentadbir perempuan yang terlibat ialah seramai 15 orang. Jadual 1, di bawah menerangkan pecahan sampel secara terperinci. Jadual 1. Pecahan Sampel Dalam kajian LELAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
SAMPEL Guru Besar PKP PK HEM PK KOKO
6 2 3 4
2 5 7 3
8 7 10 7
JUMLAH
15
17
32
Dalam kajian ini satu instrumen yang dibina oleh pengkaji berdasarkan inventori yang dihasilkan oleh Brown D.S.(1991) dan Papanastasiou, E.C.(2005). Inventori ini mengandungi enam konstruk iaitu: Bahagian A mengandungi aspek yang berkaitan dengan latar belakang pentadbir sekolah. Bahagian B mengandungi 10 item berkaitan dengan persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif. Bahagian C mengandungi 10 item mengenai pengetahuan pihak pentadbir mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif di sekolah. Bahagian D mengandungi 10 item mengenai prasarana yang disediakan oleh pihak sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif di sekolah. Bahagian E mengandungi 10 item mengenai persepsi pentadbir terhadap keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah dan akhirnya Bahagian F mengandungi 10 item mengenai penerimaan terhadap pedagogi inklusif oleh pentadbir sekolah. Data yang dikumpulkan daripada 32 orang pentadbir sekolah telah dianalis untuk menentukan kebolehpercayaan dan kesahan. Nilai kebolehpercayaan Cronbach alpha yang diperolehi bagi kesemua konstruk ialah 0.92. Bagi setiap konstruk nilai Cronbach alpha yang diperolehi ialah: kesedaran pentadbir sekolah mengenai pedagogi inklusif(0.87),fahaman pentadbir sekolah mengenai pedagogi inklusif(0.78),prasarana yang ada
1450
disediakan oleh pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif (0.92),keperluan pedagogi inklusif di sekolah(0.94), penerimaan pedagogi inklusif oleh pentadbir sekolah(0.90). Nilai Cronbach alpha secara keseluruhan(0.92) yang tinggi menggambarkan instrumen kajian ini mempunyai kesahan yang tinggi dan boleh digunakan dalam kajian ini. DAPATAN DAN PERBINCANGAN Secara keseluruhan hasil kajian ini mendapati pentadbir sekolah dalam kajian ini memperolehi skor min lebih daripada 3 dalam lima konstruk yang dikaji. Daripada lima konstruk itu, min skor bagi dua konstruk ialah pengetahuan mengenai pedagogi inklusif(4.30) dan keperluan pedagogi inklusif di sekolah(4.02) berada pada tahap sangat tinggi. Manakala, dalam tiga konstruk lagi iaitu persepsi terhadap pedagogi inklusif(3.78), prasarana yang disediakan oleh sekolah untuk pedagogi inklusif ( (3.02) dan penerimaan pedagogi inklusif oleh sekolah(3.80) berada pada tahap tinggi seperti diterangkan dalam Jadual 2 dan Jadual 3. Dapatan kajian akan dihuraikan secara berasingan mengikut soalan kajian yang telah ditetapkan. Data dalam Jadual 2 dan Jadual 3 digunakan untuk menjawab soalan-soalan kajian. Jadual 2. Perbandingan Skor Min Konstruk-konstruk Persepsi Pedagogi Inklusif Persepsi Pentadbir Terhadap Pedagogi Inklusif
Skor Min
SD
Persepsi Terhadap Pedagogi inklusif Pengetahuan mengenai amalan pedagogi inklusif Pasarana yang ada di sekolah untuk pedagogi inklusif Keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah Penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif
3.78 4.34 3.02 4.02 3.80
0.97 0.72 0.79 0.51 0.57
Jadual 3. Tahap Persepsi Pentadbir Sekolah Terhadap Pedagogi Inklusif TAHAP Persepsi Pentadbir Terhadap Pedagogi Inklusif Persepsi pentadbir terhadap pedagigi inklusif
Rendah 1.0-1.9
Sederhana 2.0-2.9
Tinggi 3.0-3.9 3.78
Pengetahuan mengenai amalan pedagogi inklusif Prasarana yang ada di sekolah untuk pedagogi inklusif Keperluan pedagogi inklusif kepada guru sekolah Penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif
Sangat. Tinggi 4.0-5.0 4.34
3.02 4.02 3.80
1451
Persoalan Kajian 1: Apakah tahap persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif di sekolah? Hasil dapatan kajian bagi konstruk persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif mendapati jumlah skor min yang diperolehi ialah(min: 3.78 sp:0.9) dan ianya berada pada tahap tinggi. Seterusnya, perkiraan peratus mendapati kesemua 100%(32) pentadbir itu menyatakan pengetahuan mengenai pedagogi inklusif sangat penting, relevan dan semua guru perlu diberi pendedahan terhadap pedagogi inklusif oleh Kementerian Pendidikan untuk menjayakan suasana pembelajaran yang efektif. Di samping itu, hanya 90.6%(29) menyatakan pedagogi inklusif itu sangat penting kepada mereka sebagai pemimpin sekolah sedangkan 9.4%(3) tidak bersetuju. Dapatan juga mendapati 21.7%(7) pentadbir sekolah tidak pernah dengar mengenai pedagogi inklusif tetapi 59.4%(19) orang pentadbir mendapati tidak pernah menghadiri sebarang program pedagogi inklusif itu. Persoalan Kajian 2: Adakah pentadbir sekolah berpengetahuan mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif dalam kalangan guru di sekolah? Hasil dapatan kajian bagi konstruk sama ada pentadbir sekolah berpengetahuan mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif di sekolah mendapati( min: 4.34 sp:0.72) berada pada tahap sangat tinggi(Jadual 2). Dapatan kajian mendapati kesema 100%(32) pentadbir itu menyatakan semua guru di sekolah melibatkan semua murid dalam pembelajaran dan pengajaran dan menggunakan pendekatan yang sesuai dan sentiasa menjalankan pentaksiran selapas tamat pengajaran dan pembelajaran dan mereka juga menyatakan bahawa guru sekolah sentiasa melibatkan semua pelajar dalam pembelajaran. Bagi mereka pengajaran guru yang efektif menyebabkan pencapaian sekolah meningkat dan menyatakan pelajar sekolah sentiasa mengambil bahagian dalam aktiviti-aktiviti di luar bilik darjah dalam aktiviti kokurikulum. Tetapi,hanya 6.2%(2) sahaja pentadbir yang menyatakan guru di sekolah tidak melaksanakan pedagogi inklusif dan guru mereka tidak membawa pelajar mereka ke sekolah lain untuk melibatkan diri dalam aktiviti pembelajaran yang lain. Secara keseluruhannya, hasil kajian mendapati majoriti pentadbir sekolah mempunyai pengetahuan mengenai amalan-amalan pedagogi inklusif di sekolah oleh guru sekolah. Persoalan Kajian 3: Adakah sekolah mempunyai prasarana yang lengkap untuk melakasanakan pedagogi inklusif. Hasil dapatan kajian bagi konstruk prasarana yang ada di sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif oleh guru sekolah mendapati(min: 3.0 sp:0.7) berada pada tahap tinggi. Seterusnya, mendapati 100%(32) pentadbir menyatakan mereka akan pastikan semua guru dapat menggunakan ABM yang sesuai dalam pengajaran dan pembelajaran dan 93.7%(30) pentadbir menyatakan di sekolah mereka ada kemudahan makmal komputer yang lengkap dan hanya dua pentadbir sahaja yang menyatakan tiada kemudahan komputer yang lengkap di sekolah. Di samping itu, 87.5%(28) menyatakan di sekolah mereka terdapat sudut bacaan yang lengkap dalam bilik darjah dan suasana pembelajaran yang kondusif dalam bilik darjah dan penggunaan ICT dalam pengajaran guru membolehkan murid suka datang ke sekolah. Namun begitu, 71.3% (23) menyatakan tiada guru mengadakan perbincangan. Secara
1452
keseluruhan hasil dapatan kajian mendapati ada kemudahan LCD di setiap bilik darjah untuk menyampaikan pengajaran secara inovatif. Manakala, 84%(27) pentadbir sekolah menyatakan di sekolah mereka tiada bilik-bilik khas dan bilik mesyuarat untuk di sekolah untuk menjalankan pedagogi inklusif didapati bahawa walaupun Kementarian Pelajaran ada membekalkan kemudahan komputer dan LCD tetapi bilanganya adalah tidak mencukupi untuk satu sekolah yang ada bilangan bilik darjah yang lebih. Hasil dapatan juga mendapati guru sekolah mengalami pelbagai masalah kerana tiada bilikbilik khas dan bilik mesyuarat yang tertentu untuk menjalankan pengajaran dan pembelajaran dengan lebih efektif. Persoalan Kajian 4: Apakah pendapat pihak pentadbir mengenai keperluan pedagogi inklusif kepada guru di sekolah? Hasil dapatan kajian bagi konstruk keperluan pedagogi inklusif di sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif oleh pentadbir sekolah mendapati (min: 4.02 sp:0.5) berada pada tahap sangat tinggi. Seterusnya, perkiraan peratus mendapati 100%(32) kesemua pentadbir sekolah bersetuju pedagogi inklusif sangat perlu di sekolah kerana dapat meningkatkan kualiti pembelajaran dan pengajaran dalam bilik darjah, meningkatkan pencapaian pelajar, melahirkan guru yang cemerlang dan boleh memartabatkan profesion keguruan. Mereka turut berpendapat amalan pedagogi inklusif di sekolah boleh meningkatkan minat guru dalam pengajaran dan boleh melahirkan pelajar sekolah yang cemerlang dan boleh membawa perubahan dalam amalan guru dalam bilik darjah. Kesemua pentadbir sekolah bersetuju amalan pedagogi di sekolah boleh melahirkan guru yang berpengetahuan dan kemahiran tinggi dalam pendidikan. Justeru itu, mereka berpendapat ianya boleh melahirkan guru yang berwawasan untuk menjayakan misi pendidikan negara. Persoalan Kajian 5: Adakah pentadbir sekolah menerima pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah Hasil dapatan kajian bagi konstruk penerimaan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif di sekolah mendapati (min : 3.8 sp:0.5) berada pada tahap tinggi. Seterusnya, perkiraan peratus mendapati 100%(32) pentadbir itu menyatakan mereka akan menggalakkan guru sekolah menghadiri kursus pedagogi inklusif dan akan mengutamakan pedagogi inklusif dalam LADAP di sekolah. Seterusnya, kesemua pentadbir sekolah menyatakan mereka akan menganjurkan seminar pedagogi inklusif di sekolah. Mereka juga berpendapat akan berkongsi pengalaman mereka dengan sekolah lain dan akan berbincang dengan PPD untuk menyebarkan maklumt untuk melaksanakan pedagogi di sekolah. Hasil dapatan kajian mendapati semua pentadbir sekolah dapat memberi sokongan untuk menerima pedagogi inklusif di sekolah. Seterusnya, ujian ANOVA dijalankan untuk membandingkan sama ada terdapat perbezaan antara mereka mengenai peranan pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif di sekolah. Jadual 8, menerangkan ANOVA satu hala bagi skor min keseluruhan antara empat kumpulan pentadbir sekolah berkaitan dengan pedagogi inklusif di sekolah. Hasil dapatan ujian ANOVA mendapati tiada terdapat perbezaan antara skor min pada aras p < .05 bagi 4 kumpulan F=3,28= 0.622,p=0.607. Analisis data mendapati nilai kesignifikanan kelas ialah .607. Ini bererti pada aras p < .05, secara statistik boleh dibuat
1453
kesimpulan bahawa tidak terdapat perbezaan signifikan antara empat kumpulan pentadbir sekolah dalam skor min keseluruhan lima konstruk yang dikaji mengenai pedagogi inklusif di sekolah. Jadual 4. ANOVA Satu Hala bagi skor min Empat Kumpulan Pentadbir Sumber Variasi
JKD
dk
MKD
F
Sig. Antara Kumpulan Dalam Kumpulan Jumlah
.425 6.372 6.797
3 28 31
.142 .228 -
.622
.60
-
-
JKD-Jumlah Kuasa Dua, dk- Darjah Kebebasan, MKD- Min Kuasa Dua RUMUSAN DAN CADANGAN Kajian ini yang dijalankan untuk meninjau peranan pentadbir sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif di sekolah rendah. Pentadbir dalam kajian ini meliputi guru besar sekolah,penolong kanan pentadbiran,penolong kanan hal ehwal murid dan penolong kanan ko-kurikulum. Oleh kerana masa yang sangat terhad untuk melaksanakan kajian ini, bilangan sampel adalah hanya melibatkan 32 orang sahaja. Dalam kajian ini telah diberi keutamaan ke atas lima konstruk sahaja iaitu persepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif, pengetahuan pentadbir sekolah terhadap amalan-amalan pedagogi inklusif, prasarana yang ada di sekolah dalam pelaksanaan pedagogi inklusif, keperluan dan penerimaan pedagogi inklusif di sekolah. Dapatan kajian mendapati dua konstruk iaitu pengetahuan terhadap amalan-amalan pedagogi inklusif dan keperluan pedagogi inklusif di sekolah berada pada tahap skor min yang sangat tinggi lebih daripada skor min lima. Manakala, tiga konstruk lagi iaitu pesepsi pentadbir sekolah terhadap pedagogi inklusif, prasarana yang ada di sekolah untuk melaksanakan pedagogi inklusif dan penerimaan pedagogi inklusif pentadbir sekolah berada pada tahap yang tinggi di mana skor min berada lebih daripada 3.0 dan kurang daripada 4.0. Analisis secara terperinci mendapati walaupun semua pentadbir dalam kajian ini bersetuju dan menerima amalan pedagogi inklusif di sekolah kerana ianya sangat diperlukan untuk meningkatkan pengajran dan pembelajaran yang efektif fan inovatif supaya semua pelajar dapat menerima pelajaran yang sama. Namun begitu, analisis data mendapati terdapat beberapa kekurangan yang perlu diberi keutamaan untuk menjayakan pengajaran dan pembelajaran yang berkesan dalam abad yang ke-20 yang mengeutamakan pendidikan untuk semua perlu disediakan kemudahan LCD dan bilik-bilik khas untuk menjalankan pengajaran guru dengan berkesan. Terdapat rasa ketidakpuasan di mana di sekolahnya tidak ada bilik yang tertentu untuk menjalankan pengajaran kepada murid sekolah. Kekurangan bilik di sekolah menyukarkan guru untuk mengadakan perbincangan dlam kalangan guru di sekolah mengenai perkongsian ilmu. Ratarata semua pentadbir bersetuju agar semua guru di sekolah harus diberi pendedahan terhadap pedagogi inklusif di sekolah.
1454
Oleh itu, disarankan agar semua guru perlu diberi pendedahan mengenai pedagogi inklusif supaya lebih memahami mengenai konsep pedagogi inklusif itu secara mendalam. Selain itu, dicadangkan agar semua pensyarah perlu diberi peluang untuk mengahdiri kursus jangka pendek yang boleh diuruskan oleh universiti tempatan di mana pensyarah IPG boleh memperolehi pengetahuan baru mengenai konsep pedagogi itu. Kini rata-rata didapati bahawa pensyarah IPG yang ditugaskan untuk menjalankan kajian dalam bidang ini tidak jelas mengenai pedagogi inklusif. Oleh itu, dicadangkan agar IPGM mencari jalan yang efektif untuk mengadakan kursus yang boleh memberi input kepada pensyarah sebelum mereka keluar untuk menjalankan kajian di sekolah. Dicadangkan agar pihak IPG mengambil inisiatif secara proaktif untuk menganjurkan kursus-kursus secara kolaboratif dengan sekolah dan mendedahakan pengetahuan mengenai pedagogi inklusif kepada guru di sekolah. Apabila guru di sekolah dapat memahami apakah itu pedagogi inklusif ianya akan mudah dilaksanakan dibilik darjah semasa proses pengajaran seperti diutarakan oleh Biggs(1999). Mengikut Biggs, gurulah yang seharusnya mengambil inisiatif untuk menyusun apa yang seharusnya dipelajari dan diketahui oleh murid secara sistematik dan strategi ini dapat dilakukan dengan menggunakan HOTS. Ini boleh dilakukan dengan memperkenalkan pembelajaran berasaskan amalan (practice based learning) di mana guru yang mengajar murid dengan persediaan khusus dan guru menjadikan subjek yang diajar itu lebih menarik. Pendekatan ini dinamakan sebagai pendagogi konektiviti(Connected Pedagogy) oleh Florian(2011). Disarankan agar kursus dalaman melalui ULDP di IPG perlu diberi keutamaan kepada program khas yang merangkumi kursus-kursus pedagogi inklusif yang ada kaitan dengan pembelajaran dan pengajaran inovatif yang juga berhubung kait dengan pendidikan untuk semua. Sehubungan dengan itu, ULDP di IPG perlu menganjurkan kursus pedagogi inklusif di mana pakar dalam bidang ini dari luar boleh diundang ke IPG untuk mengadakan kursus khas pedagogi inklusif kepada pensyarah di IPG. Di samping itu, disarankan agar IPGM di peringkat kebangsaan membelanjakan jumlah wang yang mencukupi untuk menghantar pensyarah yang berkomited untuk menghadiri kursus-kursus yang dianjurkan di luar negara. Dengan itu, harapan dan aspirasi negara untuk mencapai pendidikan bertaraf dunia dapat direalisasikan menjelang tahun 2020. DAFTAR RUJUKAN Abdul Razaq Ahmad, Norhasani Zainal,Zalizan Mohd Jelas & Anisa Saleha(2011).Teachers’ Perspectives toward School Diversity in Malaysia. International Journal of Business and Social Science. Vol.2 No.4:March 2011 Biggs, J.(1999). ‘What the student does: teacher for enhanced learning?’. Higher Education Research & Development,vol.18,no.1,pp.57-75 Black Hawkins,K., The framework for participation:a research tool for exploring the relationship between achievement and inclusion in schools. International Journal of Research & Method in Education. Vol.33,No.1.April 2010, 21-40
1455
Downing,J.E.(2005). Teaching literacy to students with significant disabilities:Strategies for the K-12 incusive classroom. Thousand Oaks,California: Corwing Press Farrell,P., Ainshow,M., Howes,A. Frankham,J.,Fox S., & Davis,P.(2004).Inclusive Education for all: Dream or reality? Journal of International Special Needs Education.7(7),1-11 Spratt,J. & Florian,L.,(2013) Applying the principles of inclusive pedagogy in initial teacher education:from university based course to classroom action.Revista de Investigaction en Education,n” 11(3).2013.pp,133-140 Kementerian Pelajaran Malaysia(2009). Pendidikan Untuk Semua, Bahagian Kewangan, Kementerian Pelajaran Malaysia Mohamad Ikhsan. 2003. Budaya Ilmu dan Pembangunan Insan Dala Era Globalisasi, Jurnal Pendidikan Guru, Bahagian Pendidikan Guru, Kementerian Pendidikan Malaysia Mohd Hanafi ,Hasnah & Shaharuddin(2008). Pelaksanaan Program Inklusif di Sekolah Menengah Teknik dan Sekolah Menengah Harian. Educationist, Vol ll No.1 Jan 2018 Schpilberg,B & Hubschman,B.( 2003). Face to face and computer meditated tutoring: A comparative exploration on high school students’ math achievement. American Educational Research Association, Chicago
1456
AMALAN PEDAGOGI INKLUSIF SISWA GURU PISMP AMBILAN JANUARI 2011 OPSYEN PENGAJIAN SOSIAL 1)
Syed Ismail Syed Mustapa, 2)Pushpavalli A.Rengasamey, 3)Fuziah Abdul Manaf, 4)Nor Baizura Abu Bakar, 5)Siti Rohani Abd.Rahman Kamsiah Ab Rashid, & 6)Munizar Mohamad Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur
Abstract This study aims to study the implementation of Inclusive Pedagogy practice in the teaching and learning of Kajian Tempatan subject among the PISMP Social Studies students during their Phase 3 practicum. Aspects studied were knowledge and understanding of teaching, instructional planning, implementation of teaching, teaching and learning skills, attitude and personality and the professionalism values in teaching. This study used a quantitative approach using questionnaires to obtain the data. Data were then analyzed descriptively using Statistical Package for Social Science (SPSS) version 22.0. The sample consisted of 41 students of Social Studies options. The findings showed that the inclusive pedagogical practices in teaching and learning skills aspect recorded the highest mean (mean = 4.06, SD = .36). Meanwhile, the two other aspects showed high means of inclusive pedagogical practices were professionalism values in teaching (mean = 4.01, SD = .40) and instructional planning (mean = 4.01, SD = .43). The aspects of implementation of teaching (mean = 3.98, SD = .45), knowledge and understanding (mean = 3.95, SD = .51) and attitude and personality (mean = 3.98, sp = .45) showed moderate level of inclusive pedagogical practices. The findings of this study showed that the teacher students have adopted elements of inclusive pedagogy during the planning and implementation of teaching and learning of Kajian Tempatan subject. Keywords: Inclusive Pedagogy practice PENGENALAN Pedagogi Inklusif adalah amalan pedagogi yang dapat memenuhi kepelbagaian tahap keupayaan kumpulan pelajar. Menurut Florian, L. dan Spratt, J. (2013), Pedagogi Inklusif merupakan amalan pengajaran dan pembelajaran untuk menjaga keperluan, penglibatan dan perkembangan setiap pelajar tanpa mengambil kira jantina, gaya pembelajaran, bakat, ketaksamaan status sosial dan pelabelan. Pedagogi Inklusif ini berupaya mewujudkan persekitaran yang tidak menghadkan kepelbagaian murid-murid dari segi tahap kognitif, status sosial, latar belakang dan budaya. Oleh itu, seseorang guru harus berkeyakinan bahawa mereka berkelayakan dan berkebolehan mengajar semua murid yang mempunyai kepelbagaian ini sama ada di aliran perdana atau pendidikan khas. Elemen-elemen teras yang perlu diberi perhatian oleh guru dalam melaksanakan Pedagogi Inklusif ialah persekitaran pembelajaran inklusif, pendekatan multi sensori dan menguruskan hubungan rakan sebaya.
1457
PERNYATAAN MASALAH Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan Dengan Kepujian (PISMP) major Pengajian Sosial Pendidikan Rendah ditawarkan kepada pelajar lepasan SPM. Program ini bertujuan melatih siswa guru bagi memenuhi hasrat Kementerian Pendidikan Malaysia bagi melahirkan guru sekolah rendah yang memiliki ijazah. Semasa menjalani latihan, siswa guru akan diberi pelbagai ilmu pengetahuan, kemahiran pedagogi dan pengalaman pengajaran dan pembelajaran yang berkaitan dengan profesion perguruan. Namun demikian, dalam major Pengajian Sosial, kursus Pedagogi Inklusif tidak ditawarkan sebagai kursus teras mahupun elektif. Senario latihan perguruan ini tidak selari dengan hasrat kerajaan iaitu aspirasi sistem terhadap ekuiti dan perpaduan seperti yang terkandung dalam PPPM 2013-2015. Oleh itu, timbul persoalan di sini, adakah siswa guru dapat mengaplikasikan amalan Pedagogi Inklusif di sekolah apabila tamat pengajian mereka. Sehubungan itu, suatu kajian telah dijalankan untuk mengkaji amalan Pedagogi Inklusif semasa praktikum Fasa III dalam kalangan siswa guru PISMP Ambilan Januari 2011 opsyen Pengajian Sosial di sekolah kebangsaan. TINJAUAN LITERATUR Perancangan pengajaran adalah penting kerana ini adalah permulaan kepada segala usaha pemikiran, penyusunan dan tindakan yang akan diambil oleh guru untuk mencapai objektif pengajarannya (KPM 2005). Menurut Muainah (2000) persediaan mengajar ialah satu program yang disediakan oleh guru-siswa guru sebagai panduan yang dapat membantu mereka dalam melaksanakan pengajaran. Persediaan ini biasanya perlu dirancang dengan teliti dengan memberi perhatian kepada perkara-perkara seperti menyatakan objektif eksplisit yang lebih tepat, aktiviti pengkayaan dan bimbingan khas (pemulihan) dan penilaian sepanjang proses pembelajaran mengikut kebolehan murid. Kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa siswa guru yang berjaya membuat persediaan rapi serta menulis buku rancangan mengajar dengan baik akan dapat melaksanakan pengajaran dengan baik dan berkesan. Manakala ketika berhadapan dengan murid, siswa guru berjaya menarik minat mereka dengan menggunakan set induksi yang kreatif di samping memberi pendedahan yang berbeza mengikut keupayaan murid yang pelbagai. Oleh kerana siswa guru dapat melaksanakan semua langkah pengajaran yang dirancang maka pengajaran dan pembelajaran dapat dijalankan dengan lancar. Penguasaan siswa guru terhadap topik-topik yang diajar menyumbang kepada kejayaan latihan mengajar. Seterusnya kajian oleh Meor Ibrahim & Norziana (2010) pula mendapati bahawa kebanyakan guru pembimbing menggalakkan siswa guru supaya menggunakan pelbagai pendekatan, strategi dan kaedah mengajar bagi semua tahap murid. Guru pembimbing turut memastikan pengajaran siswa guru mencapai objektif pembelajaran yang telah ditetapkan dan aktiviti pengajaran dan pembelajaran selaras dengan apa yang telah dirancang.
1458
Dapatan Ramachandran & Azni (2005) menunjukkan kesemua siswa guru telah memperoleh ilmu pengetahuan dan kemahiran yang cukup dalam aspek pengenalan kepada sukatan pelajaran, perancangan persediaan mengajar, pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran, pengujian dan penilaian, pelbagai kaedah dan teknik pengajaran dan pembelajaran, dan amalan refleksi yang membantu mereka menjalani program praktikum. Walau bagaimanapun, mereka tidak memperoleh ilmu pengetahuan dan kemahiran yang cukup dalam aspek pentadbiran dan pengurusan bengkel Kemahiran Hidup. Kajian Megat Aman Zahiri & Nor Kamsiah (2010) mendapati siswa guru kurang diberi bimbingan dari segi meningkatkan profesionalisme perguruan. Kebanyakan guru pembimbing lebih memberikan tumpuan kepada peranan guru dalam tugas mengajar harian sahaja. Mereka kurang diberi bimbingan mengenai aspek peningkatan profesionalisme keguruan. Kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa kebanyakan peningkatan dari segi nilai sahsiah dan sikap bertanggungjawab dalam kalangan siswa guru semasa menjalani latihan mengajar adalah tidak berkaitan dengan bimbingan guru pembimbing. Sementara itu kajian oleh Mohd Nor & Ismail (2008); dan Radi Yahaya (2007) terhadap stres siswa guru praktikum mendapati siswa guru yang kurang pengalaman mengajar banyak melakukan kesilapan kerana mengalami perasaan gementar. Terdapat juga siswa guru yang bersikap kurang bertanggungjawab, kurang pandai mengawal suasana tegang dan konflik, kurang konsisten dan tidak mengakui kesilapan diri (Kamalularifin et al. 2005; Nor Shafrin, Fadzilah & Rahimi 2009). TUJUAN KAJIAN Kajian ini bertujuan untuk mengkaji amalan Pedagogi Inklusif siswa guru semasa praktikum Fasa lll dalam kalangan siswa guru PISMP opsyen Pengajian Sosial di sekolah kebangsaan. Tumpuan kajian difokuskan kepada amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam enam aspek iaitu pengetahuan dan kefahaman, perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, kemahiran pengajaran dan pembelajaran, sikap dan sahsiah dan nilai profesionalisme keguruan. OBJEKTIF KAJIAN Berdasarkan kepada tujuan kajian, antara objektif kajian yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah seperti berikut:1. Untuk mengenalpasti amalan Pedagogi Inklusif yang paling tinggi dalam kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa lll. 2. Untuk mengenalpasti tahap bagi enam aspek amalan Pedagogi Inklusif dalam kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa lll. PERSOALAN KAJIAN Secara am, kajian ini direka bentuk untuk mengkaji amalan Pedagogi Inklusif siswa guru semasa praktikum Fasa lll dalam kalangan siswa guru PISMP opsyen Pengajian Sosial di sekolah kebangsaan. Secara khususnya
1459
kajian ini dijalankan untuk menjawab tujuh persoalan kajian seperti yang berikut: 1. Apakah amalan Pedagogi Inklusif yang paling tinggi dalam dalam kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa lll? 2. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman sebelum melaksanakan sesuatu pengajaran? 3. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek perancangan pengajaran sebelum melaksanakan sesuatu pengajaran? 4. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek pelaksanaan pengajaran semasa melaksanakan sesuatu pengajaran? 5. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran semasa melaksanakan sesuatu pengajaran? 6. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek sikap dan sahsiah semasa melaksanakan sesuatu pengajaran? 7. Apakah tahap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek nilai profesionalisme keguruan semasa melaksanakan praktikum Fasa lll? METODOLOGI Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sampel kajian terdiri daripada 41 orang siswa guru PISMP Ambilan Januari 2011 opsyen Pengajian Sosial. Instrumen yang digunakan adalah soal selidik yang terdiri daripada tujuh bahagian iaitu Bahagian A: Maklumat Siswa Guru; Bahagian B: Pengetahuan dan Kefahaman; Bahagian C: Perancangan Pengajaran; Bahagian D: Pelaksanaan Pengajaran; Bahagian E: Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran; Bahagian F: Sikap dan Sahsiah; dan Bahagian G: Nilai Profesionalisme Keguruan. Bahagian B hingga G terdiri daripada 10 item. Kajian rintis telah dijalankan ke atas 10 orang siswa guru PISMP Ambilan Januari 2011 Pengkhususan TESL yang mengambil subjek Pendidikan Sivik dan Kewarganegaraan. Analisis data kajian rintis menunjukkan nilai alfa cronbach 0.965. Ini menunjukkan konstruk yang digunakan dalam kajian mempunyai kebolehpercayaan yang tinggi. Jadual 1. Penentuan min Bil
Nilai Min
Aras
1
4.01 hingga 5.00
Tinggi
2
3.01 himgga 4.00
Sederhana Tinggi
3
2.01 hingga 3.00
Sederhana Rendah
4
1.00 hingga 2.00
Rendah
Sumber: Nunnally, J.C. & Bernstein (1994)
1460
DAPATAN KAJIAN DAN PERBINCANGAN Jadual 2. Bilangan Responden Mengikut Kaum Jantina Melayu Cina India Jumlah Keseluruhan
Bilangan 37 1 3 41
Peratus 90.2 2.4 7.3 100.0
Kesemua responden ini mengajar subjek Kajian Tempatan semasa menjalani praktikum pada Fasa lll. Jadual 3. Min Keseluruhan Setiap Aspek Dalam Amalan Pedagogi Inklusif Bil 1 2 3 4 5 6
Aspek Pedagogi Inklusif Pengetahuan dan Kefahaman Perancangan Pengajaran Pelaksanaan Pengajaran Kemahiran Pengajaran & Pembelajaran Sikap dan Sahsiah Nilai Profesionalisme Keguruan
min 3.95 4.01 3.98 4.06 3.95 4.01
sp .51 .43 .45 .36 .45 .40
Jadual 3 di atas menunjukkan dapatan keseluruhan kajian dalam setiap amalan Pedagogi Inklusif siswa guru semasa mereka menjalani praktikum Fasa lll. Perbincangan selanjutnya hanya akan merujuk kepada dapatan yang menunjukkan min yang tinggi bagi setiap aspek dalam Amalan pedagigi inklusif. Jadual 4. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Pengetahuan dan Kefahaman Item 5 6 8 9 10
Item Aspek Pengetahuan dan Kefahaman Memilih strategi pengajaran yang bersesuaian dengan minat murid. Menggunakan pengetahuan dalam aspek kecerdasan pelbagai untuk memperkembangkan potensi murid. Mengetahui kandungan sukatan pelajaran yang diajar. Mengaplikasikan ilmu psikologi dalam konteks sebenar bilik darjah. Mengetahui perubahan kurikulum yang dilaksanakan dalam KSSR.
Min
Sp
4.27
.81
4.37
.77
4.05 4.34
.92 .76
4.49
.68
Merujuk kepada Jadual 4, terdapat 5 item amalan Pedagogi Inklusif siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman berada pada tahap tinggi.
1461
Aspek pengetahuan dan kefahaman dengan min= 4.49 (sp= .68) adalah min tertinggi, ini menunjukkan bahawa siswa guru telah mengetahui perubahan kurikulum yang dilaksanakan dalam KSSR. Selain itu 4 item juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Ini menunjukkan siswa guru menguasai pengetahuan dan kefahaman dalam Amalan Pedagogi Inklusif. Jadual 5. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Perancangan Pengajaran Item 2
Item Aspek Perancangan Pengajaran Memberikan penekanan terhadap aspek perancangan set induksi sebelum memulakan pengajaran. Merancang sumber pengajaran yang menarik perhatian murid yang pelbagai kecerdasan. Perancangan penerapan nilai-nilai murni sesuai dengan kepelbagaian kecerdasan murid. Menitikberatkan aspek KBKK dalam perancangan pengajaran. Perancangan aktiviti pembelajaran yang menarik minat murid. Merancang latihan yang sesuai untuk menguji pencapaian murid.
4 5 6 8 9
Min
Sp
4.05
.71
4.34
.69
4.39
.70
4.00
.74
4.20
.75
4.22
.79
Berdasarkan Jadual 5, item yang mencatatkan min tertinggi dalam aspek perancangan pengajaran adalah item ke 5 iaitu perancangan penerapan nilai-nilai murni yang sesuai dengan kepelbagaian kecerdasan murid dengan min= 4.34 (sp= .70). Selain itu 5 item juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Ini menunjukkan bahawa siswa guru dapat merancang pengajaran yang sesuai dengan kepelbagaian kecerdasan murid semasa melaksanakan pengajaran. Jadual 6. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Pelaksanaan Pengajaran Item 2 3 6 7 10
1462
Item Aspek Pelaksanaan Pengajaran Set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik perhatian semua murid. Sumber yang digunakan semasa melaksanakan pengajaran menarik minat semua murid. Menekankan aspek KBKK semasa melaksanakan aktiviti pengajaran dan pembelajaran. Melibatkan semua murid dalam aktiviti yang dilaksanakan. Memberikan fokus kepada intonasi suara semasa melaksanakan pengajaran.
Min
Sp
4.46
.60
4.37
.70
4.24
.62
4.31
.72
4.24
.62
Jadual 6 menunjukkan item ke 2 dalam aspek pelaksanaan pengajaran iaitu set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik perhatian semua murid mencatatkan min tertinggi dengan min= 4.46 (sp= .60). Selain itu 4 item lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Ini menunjukkan bahawa siswa guru melaksanakan amalan Pedagogi Inklusif dalam Pelaksanaan Pengajaran. Jadual 7. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran Item 2 4 6 8 9 10
Item Aspek Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran Mengaitkan isi pelajaran dengan konteks kehidupan seharian murid. Berkebolehan menggunakan sumber pengajaran dengan berkesan. Berkemahiran meningkatkan motivasi murid semasa proses pengajaran dan pembelajaran. Bertutur dengan intonasi yang sesuai semasa mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran. Berkemampuan mengambilkira perbezaan individu dalam kalangan murid ketika melaksanakan pengajaran dan pembelajaran. Mengemukakan soalan yang mencabar untuk merangsang pemikiran murid.
Min
Sp
4.22
.72
4.05
.71
4.15
.61
4.18
.67
4.12
.64
4.29
.56
Berdasarkan Jadual 7, dapatan kajian menunjukkan bahawa min tertinggi amalan Pedagogi Inklusif dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran adalah dalam item ke 9 iaitu mengemukakan soalan yang mencabar untuk merangsang pemikiran murid dengan min= 4.29 (sp= .56). Ini menunjukkan bahawa siswa guru dapat soalan yang mencabar untuk merangsang pemikiran murid semasa mereka melaksanakan pengajaran. Selain itu 5 item juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Dapatan ini menunjukkan siswa guru mengamalkan Pedagogi Inklusif dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran. Jadual 8. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Sikap dan Sahsiah Item 2 3 6
Item Aspek Sikap dan Sahsiah Mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang tertekan. Menunjukkan sikap yang prihatin terhadap keperluan murid. Rasa bersalah apabila gagal mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran.
Min
Sp
4.42
.59
4.31 4.27
.69 .63
1463
7 10
Bersikap profesional ketika berbincang dengan pensyarah penyelia. Peka terhadap persekitaran bilik darjah.
4.24
.70
4.17
.63
Jadual 8 di atas menunjukkan item 2 iaitu siswa guru mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang tertekan dengan min= 4.42 (sp= .59). Ini menunjukkan bahawa siswa guru mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan tertekan dengan kerenah murid yang pelbagai. Selain itu 4 item lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Dapatan ini menunjukkan siswa guru mempunyai sikap dan sahsiah yang sesuai dalam Amalan Pedagogi Inklusif. Jadual 9. Amalan Pedagogi Inklusif Dalam Aspek Nilai Profesionalisme Keguruan Item 2 4 5 8 9 10
Item Aspek Nilai Profesionalisme Keguruan Menunjukkan penampilan diri yang sesuai dengan profesion keguruan. Menggunakan kemahiran berkomunikasi dengan berkesan semasa mengendalikan pengajaran dan pembelajaran. Tidak memberi alasan kesuntukan masa apabila menghasilkan kerja yang berkualiti rendah. Menunjukkan teladan yang baik kepada murid. Mengemukakan banyak idea untuk meningkatkan mutu perkhidmatan. Perkembangan profesionalisme guru meningkat setelah menerima teguran daripada pensyarah penyelia.
Min
Sp
4.22
.69
4.02
.72
4.02
.69
4.17 4.07
.70 .65
4.14
.69
Seterusnya Jadual 9 menunjukkan item ke 2 iaitu penampilan diri yang sesuai dengan profesion keguruan dengan min= 4.22 (sp= .69) adalah min tertinggi. Ini menunjukkan bahawa siswa guru dapat menunjukkan penampilan diri yang sesuai dengan profesion keguruan walaupuan mereka berhadapan dengan murid yang terdiri daripada pelbagai latar belakang. Selain itu 5 item lain juga berada pada tahap tinggi dengan min melebihi daripada 4.00. Rumusan kajian dalam aspek nilai profesionalisme keguruan mendapati siswa guru mengamalkan Pedagogi Inklusif dengan baik RUMUSAN Dapatan kajian ini menunjukkan bahawa terdapat Amalan Pedagogi Inklusif dalam kalangan siswa guru PISMP major Pengajian Sosial semasa menjalani praktikum Fasa lll. Kajian menunjukkan siswa guru telah mengamalkan Pedagogi Inklusif dengan baik dalam aspek Perancangan Pengajaran, Kemahiran Pengajaran dan Pembelajaran, serta Nilai Profesionalisme di mana min bagi ketiga-tiga aspek ini melebihi 4.0. Manakala bagi aspek Perancangan Pengajaran, Pelaksanaan Pengajaran dan Sikap dan Sahsiah menunjukkan min adalah sederhana tinggi iaitu kurang dari 4.0.
1464
Dapatan ini selari dengan kajian oleh Muainah (2000) bahawa persediaan mengajar perlu dirancang dengan teliti dengan memberi perhatian kepada perkara-perkara seperti menyatakan objektif eksplisit yang lebih tepat, aktiviti pengkayaan dan bimbingan khas (pemulihan) dan penilaian sepanjang proses pembelajaran mengikut kebolehan murid. Kajian ini juga selari dengan dapatan kajian oleh Noor Azlan & Lim (2011) mendapati bahawa siswa guru yang berjaya membuat persediaan rapi serta menulis buku rancangan mengajar dengan baik akan dapat melaksanakan pengajaran dengan baik dan berkesan. Manakala ketika berhadapan dengan murid, siswa guru berjaya menarik minat mereka dengan menggunakan set induksi yang kreatif di samping memberi pendedahan yang berbeza mengikut keupayaan murid yang pelbagai. Dapatan ini dikukuhkan lagi dengan kajian oleh Meor Ibrahim & Norziana (2010) iaitu menggunakan pelbagai pendekatan, strategi dan kaedah mengajar bagi semua tahap murid memberi kesan kepada proses pembelajaran. CADANGAN Para penyelidik mencadangkan agar kajian selanjutnya dilakukan dengan menjadikan Pedagogi Inklusif sebagai sebahagian kursus major. Mata pelajaran ini harus dijadikan sebagai satu subjek khas supaya siswa guru dapat memahami, mengenalpasti dan mengaplikasikan elemen-elemen Pedagogi Inklusif dalam persediaan dan pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Kajian berbentuk kualitatif juga harus dilakukan untuk mengukuhkan dapatan dan melihat lebih dalam masalah yang berlaku dalam melaksanakan Pedagogi Inklusif. Seterusnya, para penyelidik mencadangkan kajian dibuat untuk melihat persamaan dan perbezaan pelaksanaan Pedagogi Inklusif antara siswa guru pengkhususan dan bukan pengkhususan. DAFTAR RUJUKAN Bahagian Pendidikan Guru. 2005. Garis Panduan Praktikum: Latihan Perguruan Praperkhidmatan Mode Latihan Perguruan Berasaskan Sekolah. Kementerian Pelajaran Malaysia. Florian, L. dan Spratt, J. (2013). Enacting Inclusion: A Framework for Interrograting Inclusive Practice. European Journal of Special Needs Education. 28(2). pp. 119-135. Kamalularifin Subari, Muhammad Sukri Saud, Adnan Ahmad & Mohd Ali Jemali. 2006. Tahap keterampilan emosi guru-guru pelatih opsyen kemahiran hidup Kursus Perguruan Lepasan Ijazah dan Kursus Diploma Perguruan Malaysia di dua buah maktab Negeri Johor. Fakulti Pendidikan. Universiti Teknologi Malaysia. Megat Aman Zahiri Megat Zakaria & Nor Kamsiah Kamarul Jaeh. 2010. Persepsi guru pelatih terhadap proses penyeliaan dan bimbingan yang diberikan oleh penyelia pembimbing bagi program latihan mengajar Universiti Teknologi Malaysia, Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia. Meor Ibrahim Kamaruddin & Norziana Anuar. 2010. Tinjauan terhadap tahap penyeliaan guru pembimbing terhadap guru pelatih semasa menjalani latihan mengajar, Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.
1465
Mohd Nor Jaafar & Ismail Mat Ludin. 2008. Kajian stres guru pelatih praktikum KPLI j-QAF. MPSAH. Kedah DarulAman. Jurnal Penyelidikan 13: 22-26. Muainah Ismail. 2000. Bimbingan guru pembimbing terhadap guru pelatih STP, UTM semasa menjalani latihan mengajar. Universiti Teknologi Malaysia, Skudai. Noor Azlan Ahmad Zanzali & Lim Wee Mei. 2011. Bimbingan oleh guru pembimbing kepada guru pelatih UTM. Journal of Educational Psychology and Counseling 2011(1): 59-76. Nor Shafrin Ahmad, Fadzilah Amzah & Rahimi Che Aman. 2009. Kemahiran komunikasi guru pelatih Universiti Sains Malaysia. Jurnal Pendidik dan Pendidikan 24: 125-142. Nunnally, J.C. & Bernstein. 1994. Psychometric theory. (Edisi ketiga). New York: MacGraw-Hill Radi Yahaya. 2007. Amalan penyeliaan pengajaran terhadap guru-guru sains di sekolah menengah daerah Muar Johor. Universiti Teknologi Mara. Ramachandran Vengrasalam & Azni Jaffar. 2005. Persepsi guru pelatih tentang keberkesanan pelaksanaan sukatan pelajaran kemahiran hidup Kursus Perguruan Lepas Ijazah (KPLI) dalam membantu mereka menjalani program praktikum-satu tinjauan dari aspek pedagogi. Maktab Perguruan Batu Pahat. Jurnal Pendidikan 9: 23-27.
1466