PASAR-PASAR DI ERA STADSGEMEENTE MALANG (1914-1942) Aris Hartono Junda1 ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) Bagaimanakah perubahan pasar di Malang setelah menjadi Pasar Gemeente (2) Bagaimanakah peran pasar-pasar di Malang terhadap perekonomian Kota Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sejarah ditambah sumber-sumber sejarah yang dipakai untuk menyusun fakta, mendeskripsikan, dan menarik kesimpulan tentang masa lampau. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam metode sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini adalah (1) perubahan pasar-pasar di Malang dibagi menjadi dua, secara fisik dan administratif. Perubahan fisik terjadi pada awalnya pasar-pasar belum mempunyai bangunan yang memadai menjadi pasar yang memiliki konstruksi yang kuat. Perubahan administratif pasar terlihat dari spesifikasi pasar yaitu Pasar Pusat dan Pembantu Pasar golongan besar; Pembantu Pasar golongan kecil; Pasar Kampung dan warungcentrale. Komoditi yang diperdagangkan antara pasar tradisional dan pasar Gemeente hampir sama, perbedaan hanya terletak pada jumlah kuantitas dan tingkat kebersihan komoditinya.(2) Peran pasar sangat penting bagi Gemeente Malang, Eksisteni pasar berperan sebagai media sirkulasi perdagangan di Kota Malang. Peningkatan volume perdagangan menyebabkan meningkatnya pendapatan pajak retribusi Gemeente Malang. Kata kunci: Pasar, Perubahan, Perekonomian, Malang. Masalah ekonomi yang menyangkut persaingan dagang untuk mendapatkan keuntungan yang besar, telah mendorong bangsa Barat menuju ke belahan Asia. Salah satunya adalah Bangsa Belanda yang ingin mendapatkan komoditi rempah-rempah yang lebih besar, dengan menerapkan sistem monopoli perdagangan serta membentuk pemerintahan kolonial di Nusantara. Pembahasan masalah ekonomi seringkali mengarah pada masalah yang berkaitan dengan uang, saham, perdagangan dan keuntungan yang mempengaruhi keadaan desa, kota, dan negara/ wilayah tersebut (Anshory, 2008 :ix). Kapitalisme Barat yang relatif modern, muda dan agresif – terutama dibangun di kota-kota besar – menghadapi tradisi-tradisi prakapitalis yang tua dan arif berakar di desa-desa, dijumpai pada kekerabatan suku, adat setempat dan agama. Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip hidup ini menciptakan perekonomian dualistis. Dualistis pada konsep ini berarti dua sisi, bersifat heterogen. Dimana dualistis ini berkuasa, keselarasan sosial serta kesatuan ekonomi tidak ada, tidak ada kedamaian internal sejati. Keseimbangan ekonomi terguncang tanpa berhenti (Booke,1983:11-12). Menurut pandangan para ahli, ekonomi hanya membahas pada pasang surut industri perkotaan, pedesaan hanya menarik bagi ahli ekonomi sejauh terlibat pada masalah-masalah perkotaan. Akhirnya pengelompokan minat pada desa hanya dianggap sebagai objek yang harus menyediakan tenaga kasar, bahanbahan baku, dan bahan makanan yang dibutuhkan oleh warga kota. Industri banyak dibangun di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan hanya 1
Alumni Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang E-mail :
[email protected]
berfungsi sebagai pemasok bahan baku yang dibutuhkan industri di perkotaan. Akibatnya perbedaan antara desa dan kota timbulah strata yang baru tetapi tingkat beban masyarakat kota bertumpu pada struktur masyarakat tradisional pedesaan (Boeke,1983:9-10). Di dalam perekonomian mikro peran pasar tradisional penting sebagai pusat perputaran uang, karena setiap hari banyak sekali transaksi di dalam pasar. Pasar tradisional di setiap wilayah berbeda, ini diakibatkan oleh bentuk komoditi, nilai transaksi, kondisi sosial, budaya dan potensi alam di wilayah sekitarnya. Sebagai contoh pasar di wilayah Papua berbeda dengan pasar di wilayah Jawa. Beberapa pasar di Papua sampai saat ini masih menggunakan barter dan lokasi pasar masih terpencar-pencar, pasar di Jawa pada abad VIII sudah memiliki pola Macapat, dan sudah mengenal mata uang sehingga peluang untuk menggunakan barter kecil (Surti, 2003:15). Pasar adalah suatu tempat pertemuan penjual dan pembeli dalam melaksanakan interaksi tawar menawar terhadap jenis barang dan jasa tertentu untuk menentukan harga kesepakatan, dan melaksanakan transaksi jual beli atas dasar harga kesepakatan tersebut (Sutatmi dan Joko, 1993:33). Pasar menurut Clifford Geerzt adalah suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya (Geerzt,1989:31). Pasar bukan sesuatu yang merupakan kumpulan angka-angka equilibrium dari banyak transaksi, tetapi merupakan proses interaksi sosial yang melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah setempat. Pasar pada wilayah tertentu merupakan produk dari masyakat, pengusaha, pemerintah dan sosial-budaya dari wilayah sekitarnya. Hal ini dapat dijadikan perspektif bahwa perekonomian daerah tertentu berkaitan erat dengan sosial-budaya masyarakat yang berada di daerah tersebut (Geerzt,1989:xiii). Dalam kategori jenis sejarah dikenal sejarah ekonomi dan sejarah lokal sebagai kategori keilmuan yang berdiri sendiri di samping jenis sejarah yang lainya, akan tetapi pada dasarnya sejarah ekonomi dapat dipadukan dengan sempurna menjadi sebuah sejarah ekonomi lokal. Kata lokal di sini dapat merujuk baik pada suatu komunitas atau unit administrasi tertentu seperti pedesaan atau perkotaan. Menurut Kuntowijoyo ” Sejarah Ekonomi haruslah spesifik, sejarah dari satuan kongkret dan khusus”. Berdasarkan kerangka berfikir itu, timbulah beberapa kategori yang dapat dikembangkan, antara lain sejarah ekonomi perkotaan, sejarah ekonomi buruh, sejarah ekonomi pasar (Purwanto, 2010:495) Pasar sebagai kegiatan sosial ekonomi rakyat, merupakan sebuah media tumpuan dari masyarakat. Pada intinya seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri maka dia memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga terjadilah interaksi jual beli tersebut di dalam pasar. Pasar juga sebagai pusat distribusi barang memiliki peran sebagai tempat penghubung antara produsen dan konsumen. Pasar di kota merupakan tempat penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja tersebut karena adanya bermacam-macam jenis pekerjaan di dalam pasar seperti pedagang, pegawai pasar, buruh angkut, sopir, dan lain-lain. Kotakota besar seperti Jakarta mempunyai pasar-pasar besar seperti Tanah Abang sebagai salah satu pasar yang mengembangkan perekonomian Jakarta, pasar
tersebut memberikan pajak dan retribusi yang masuk pada kas pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu pasar dapat juga dijadikan penggerak perekonomian yang mengembangkan wilayah desa dan kota. Perkembangan peningkatan jumlah penduduk pesat daerah perkotaan, juga diikuti oleh sarana infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan pengadaan air bersih. Peningkatan infrastruktur pelayanan masyarakat seperti pasar seharusnya juga ditingkatkan. Banyak kota-kota besar seperti Kota Malang sekarang yang memiliki permasalahan dengan peningkatan infrastruktur pelayanan masyarakat seperti pasar, baik dalam hal menejemen pasar, penempatan pedagang, areal parkir, kemacetan, kebersihan pasar, gelandangan dan lain-lain belum dapat dipecahkan. Salah satu kota di Jawa yang menghadapi problem tata ruang adalah Malang. Tata ruang Kota Malang mulai zaman Kerajaan Singasari abad XIII, tetapi tidak ada kesinambungan antara masyarakat kota pada zaman Singasari dengan masyarakat Kota Malang pada abad XIX (Hudiyanto, 2011:5). Pada 1 April 1914 Malang resmi menjadi Gemeente. Sebelum tahun 1914 afdeeling Malang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan. Pengangkatan Malang menjadi Gemeente pada awalnya disebabkan peningkatan hasil kopi pada tahun 1827-1830 menghasilkan 57.000 pikul kopi (Hudiyanto, 2011:43). Peningkatan hasil perkebunan kopi membuat para pengusaha swasta banyak berdatangan ke Malang. Seiring pesatnya perkebunan di daerah Malang, maka terjadi lonjakan migrasi dari daerah sekitar Malang menuju Kota Malang. Perkembangan kebijakan dalam pengelolaan pasar-pasar di Malang, mempengaruhi pemasukan pajak retribusi dari masing-masing pasar. Dengan kenaikan jumlah pajak dan retribusi sebuah pasar, maka ini bisa dijadikan sebuah indikator kenaikan jumlah pedagang dan tingkat perekonomian perdagangan saat itu. Pada tahun 1940, berdasarkan catatan administrasi Gemeente Malang, wilayah ini telah menjadi sentra perdagangan di daerah Jawa Timur yang ditandai dengan berkembangnya pasar-pasar di Kota Malang (Jaaverslag Gemeenteraad Malang 1940:171). Keadaan yang berbeda jika dibandingkan dengan situasi Kota Malang pada Abad XXI, banyak sekali Mall yang dapat dipandang sebagai pasar partikelir, namun pasar yang berada di bawah dinas pasar pemerintah Kota Malang yang kurang diperhatikan. Perubahan Malang yang sebelumnya merupakan kampung ramai kemudian berkembang sebagai afdeeling yang mempunyai banyak area perkebunan, hingga menjadi Gemeente yang memiliki adminitrasi sendiri telah merubah perekonomian masyarakat Kota Malang. Perubahan pemerintahan Kota Malang juga menyebabkan tumbuhnya pasar-pasar utama seperti Pasar Pusat Pecinan, Pasar Klojen dan Pasar Oro-oro Dowo. Penelitian ini berusaha untuk mengulasnya lebih lanjut dan melihat seberapa besar pengaruh antara perubahan pasar dengan status pemerintahan Kota Malang, kedua seberapa jauh pengaruh pasar-pasar di kota Malang terhadap perekonomian kota Malang. Melihat permasalahan di atas maka penelitian ini, membahas tentang“Pasar-Pasar di Era Stadsgemeente Malang (1914-1942)”. METODE PENELITIAN
Menurut Sartono Kartodirdjo, metode adalah cara “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know)” dan metodologi sebagai “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know) (Kartodirdjo, 1992:ix).Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan jenis penelitian yang digunakan metode penelitian sejarah. Metode sejarah menurut Louis Gottschalk adalah suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekamam-rekaman peristiwa yang diabadikan dalam bentuk dokumen, kaset, dan peninggalan-peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986:32). Adapun langkah-langkah penelitian yang ditempuh adalah sebagai berikut : Pemilihan Topik, Pengumpulan Sumber (Heuristik), Kritik Sumber, Interpretasi, Historiografi. HASIL DAN PEMBAHASAN PERUBAHAN PASAR DI KOTA MALANG Kota Malang mempunyai sejarah yang panjang, mulai dari masa kerajaan hingga masa kolonial Belanda. Kota yang dahulunya digunakan sebagai benteng para pejuang melawan VOC kemudian sekarang yang menjadi salah satu kota peninggalan kolonial Belanda. Pembangunan Kota Malang dari sebuah daerah pedalaman hingga menjadi sebuah kota memerlukan dana yang sangat besar, oleh karena itu kegiatan perekonomian kota sangat diandalkan dalam menyokong pembangunan ruang kota. Peraturan Decentralisatie Wet 1903 mengatur kota-kota untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Dana pembangunan kota diperoleh dari berbagai macam pajak, salah satunya pajak dari pasar-pasar di kota. Kota Malang yang terletak pada ketinggian antara 440-667 meter diatas permukaan air laut, merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa Timur karena potensi alam dan iklim yang dimiliki. Letaknya yang berada ditengah-tengah wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak 112,06°-112,07° Bujur Timur dan 7,06° - 8,02° Lintang Selatan, serta dikelilingi gunung-gunung antaralain: Gunung Arjuno di sebelah Utara, Gunung Semeru di sebelah Timur, Gunung Kawi dan Panderman di sebelah Barat, Gunung Kelud di sebelah Selatan Penduduk Malang menjadi 3 golongan besar yaitu Penduduk Bumiputra, Timur Asing dan Eropa. Sejak tahun 1914 penduduk Malang golongan Eropa mencapai angka ±2500 jiwa, golongan Timur Asing ± 4000 jiwa dan golongan Bumiputra ±40.000 jiwa. Pertumbuhan penduduk yang cepat menuntut tersediannya pemukiman yang layak bagi seluruh warga kota. Pemukiman Bumiputra tersebar di kampung-kampung sebelah selatan alun-alun, yaitu di daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun dan Klojen utara. Penduduk Eropa bermukim di sekitar barat daya alun-alun, antara lain di daerah Kayutangan, Oro-oro Dowo, Celaket, Klojen utara, dan rampal. Di sebelah timur laut alun-alun merupakan pemukiman kampung Tionghoa (Sardjono, 2011:16). Peningkatan secara cepat penduduk di Malang dalam abad ke XX dipengaruhi beberapa faktor. Faktor pertama daerah Malang merupakan daerah yang subur karena bentang alamnya yang dikelilingi oleh pegunungan, sehingga tanah yang subur membuat lahan pertanian maupun perkebunan menghasilkan panen yang berlimpah, hal ini mendorong migrasi penduduk ke daerah Malang. Kedua keluarnya undang-undang Gula dan Agraria tahun 1870 membuka jalan pengusaha swasta di seluruh Pulau Jawa (Ricklefs, 2008:270-271).
Pada awal pembentukan Gemeente Malang tahun 1914 hingga tahun 1934 jumlah penduduk Bumiputra, Timur Asing dan Eropa di Kota Malang menunjukan peningkatan. Diantara tiga golongan yang ada di Kota Malang, peningkatan jumlah penduduk paling cepat adalah golongan Eropa dengan ratarata kenaikan 2 kalilipat tiap sepuluh tahun. Namun pada tahun 1942 tentara Jepang tiba di Malang dan memberikan Maklumat Malang Syutyokan. Melalui surat kabar Pewarta Niaga tanggal 23 Januari 1943 diumumkan maklumat tersebut berisi perintah yang ditujukan pada seluruh penduduk Belanda asli untuk tidak lari keluar kota, bagi penduduk Belanda yang melanggar akan dibunuh. Penduduk Belanda asli akan dibawa ke kamp internier, dalam kamp penduduk Belanda banyak yang mati, sebagian bertahan dan kemudian dikembalikan ke Negeri Belanda Perumahan orang-orang Eropa, VOC berusaha menundukkan wilayah di Jawa. Pada 1768 VOC juga menundukkan wilayah Malang. Setelah berperang dengan Adipati Malojokoesoemo, VOC mendirikan benteng-benteng di sebelah kiri sungai Brantas, dan di situlah terdapat “loge” atau lodji VOC, kemudian masyarakat menyebut wilayah VOC dengan nama Ke-lodji-an atau Klojen (Lakeman,1934:12). Menurut sumber-sumber sejarah belum diketahui secara jelas siapa orang Eropa pertama di Malang, namun berita tentang orang Eropa yang cukup dikenal Martines Hoffman yang pekerjaannya sebagai kepala pedagang. Martines Hoffman adalah salah seorang yang mengajak orang-orang Belanda tinggal di Malang. Kegiatan VOC di Malang hingga tahun 1821 berkisar di daerah di sekitar tepi sungai Brantas, selain itu mereka mendirikan pemakaman untuk bangsa mereka sendiri di bekalang Klojen, yang kemudian pemakaman tersebut dibongkar untuk pendirian rumah sakit militer (sekarang rumah sakit umum Celaket) (Sardjono,1954:13). Pada tahun 1800an penduduk Eropa beasal sisa-sisa anggota VOC di Malang hanya berjumlah 30 orang yang tersebar di daerah Celaket, Kayutangan, Klojen-kidul dan Tumenggungan. Tempat tinggal penduduk Eropa seperti Celaket, Kayutangan dan Klojen-kidul, yang pada tahun 1914 akan menjadi kawasan yang dikuasai oleh orang-orang Eropa (Lakeman. 1934:13). Peningkatan penduduk Eropa terjadi dengan datangnya beberapa gelombang penduduk Eropa yang berprofesi militer. Gelombang pertama anggota militer tiba di Malang pada tahun 1850, yang membentuk sebuah komunitas dan mendiami tangsi-tangsi militer. Terdiri dari 20 serdadu dengan seorang letnan yang menempati tangsi militer berada di daerah Celaket. Mereka bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan penduduk di Malang. Gelombang kedua tiba pada tahun 1890, dengan beberapa bataliyon kavaleri dan infantri tentara kolonial Belanda dari Surabaya yang ditempatkan di kampement Dusun Ngrampal. Namun sebagian besar dari gelombang ini terdiri atas orang Ambon dan Menado (Hudiyanto, 2011:40). Kemudian pada tahun 1914 tercatat 40.000 orang Bumiputra, 2500 orang Eropa, 4000 orang timur asing, yang tinggal dalam beberapa kelompok wilayah di Kota Malang (Sardjono,1954:16-17). Dari data penduduk Eropa tinggal di Malang yang mencapai 2500 jiwa, mengusulkan bahwa Malang merupakan daerah yang sudah memenuhi syarat dijadikan Gemeente. Selain itu Kota Malang sudah
mempunyai sarana insfrastruktur pendukung seperti sejumlah tangsi militer, jalur kereta api, gereja Katholik dan Protestan, rumah sakit, pasar partikelir dan lainlain (Liempt,1939:II). Awalnya VOC dan penduduk Tionghoa merupakan patner dalam bidang perdagangan, namun ini tidak berlangsung lama, akibat peristiwa kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1740 munculnya penetapan peraturan pola pemukiman disebut wijkenstesel, dan peraturan passenstelsel, yaitu mengharuskan adanya surat izin bagi orang Tionghoa yang ingin berpergian keluar pemukiman mereka. Wijkenstesel dan passenstelsel merupakan cara untuk mengurung dominasi kehidupan sosial dan ekonomi orang Tionghoa di Jawa (Onghokham, 2008:13). Di Afdeeling Malang penerapan sistem Wijkenstesel dan passenstelsel berakhir pada tahun 1909, oleh sebab itu setelah tahun 1909 orang-orang Tionghoa di Malang terus membangun toko dan usahanya dalam bidang perumahan secara membabi-buta mengikuti kapitalis Barat (Liempt, 1939:IV). Wijk Pecinan hanya terdapat di kota-kota, salah satunya di Malang sebagai kota afdeeling serta ibu kota kabupaten. Berdasarkan prasasti pada bangunan Klenteng Eng An Kiong yang dibangun pada 1825 dapat dianalisa bahwa penduduk Tionghoa2 ada jauh sebelum tahun tersebut (Hudiyanto, 2001:38). Hal ini dikarenakan perlu waktu untuk membangun rumah ibadah seperti Klenteng, sehingga pembangunan sebuah Klenteng merupakan tanda bahwa penduduk Tionghoa sudah banyak. Pembangunan Klenteng juga memerlukan waktu untuk ijin atau membuat kesepakatan dengan penduduk Bumiputra dan alasan terakhir adalah biaya yang besar sehingga memerlukan waktu cukup lama untuk mengumpulkan dana untuk pembangunan Klenteng. Selain Klenteng, peninggalan penduduk Tionghoa di Malang yang bertahan sampai sekarang yaitu pemukiman khas etnis Tionghoa yang lebih dikenal dengan nama Pecinan. Belum dapat diketahui bentuk awal pemukiman masyarakt Tionghoa, namun umumnya hunian mereka memang berbentuk berderet-deret memanjang, tanpa lantai bertingkat dengan rumah menghadap ke kanal atau jalan, pola semacam ini disebut Stads wooningen atau rumah kota3. Pola stads wooningen berkembang sebelum kawasan pecinan menjadi pola rumah-toko seperti sekarang4. Bentuk pola pemukiman menggambarkan keadaan masyarakat di daerah tersebut. Pola pemukiman stads wooningen menggambarkan bahwa masyarakat Tionghoa saat itu membangun rumah mereka hanya untuk hunian, karena sebagian besar pusat kegiatan berdagang mereka berada di Pasar Partikelir Pecinan. 2
Menurut surat kabar De Indische Courant 23 September 1922 “Malang En Zijne Ontwikkeling” Orang Tionghoa pertama datang di Malang sekitar tahun 1850, kemudian pada tahun 1862 di Malang etnis Tionghoa bertambah menjadi 12 orang. Mereka mendapat sebuah kamp yang bertahan sampai tahun 1922 menjadi perumahan Tionghoa. Pada tahun 1870an didirikannya model pasar pecinan untuk orang-orang Tionghoa. Berita ini masih diragukan kebenarannya karena tahun 1825 sudah ada Klenteng di Malang. 3 Widiyati dalam Aryanti Dewi, et al “Pengaruh kegiatan berdagang terhadap pola ruang dalam bangunan rumah toko di kawasan Pecinan Kota Malang” Jurnal Arsitektur Universitas Kristen Petra Juli 2005 4 Pertokoan tiang ekonomi masyarakat Cina, tanda keunggulan ekonomi yaitu dengan berkembangnya toko-toko yang dimiliki orang Cina di Sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota kecil dan besar (Onghokham.2008:19)
Pada tahun 1914 tempat tinggal penduduk Tionghoa di Malang tersebar sebelah timur laut Alun-alun (Sardjono,1954:16-17). Mereka menempati sebuah daerah di tepi jalan arteri dan mengelola sebuah pasar partikerlir. Pasar partikelir milik orang Tionghoa ini merupakan pasar yang sudah lama berdiri, sehingga pasar tua ini sangat populer sebagai pusat perdagangan di Malang. Pada tahun 1821 dengan jumlah penduduk Bumiputra ± 1000 jiwa yang tersebar di sebelah kanan sungai Brantas yaitu daerah Jodipan Wetan sampai ke Kota lama. Keadaan daerah Malang masih terlihat seperti desa dengan tanaman kopi yang subur, padi, dan umbi-umbian. Penghasilan penduduk masih sangat tergantung pada beras dan umbi-umbian untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan pangan. Oleh karena itu penduduk Malang sebagian besar berprofesi sebagai petani (Lakeman, 1934:12-13). Pada perkembangannya tahun 1914 pemukiman Bumiputra berada di kampung-kampung sebelah selatan Alun-alun, daerah Kebalen, Tumenggungan, Djodipan, Talun, Klojen-lor (Liempt, 1939:I). Kampung-kampung penduduk Bumiputra di Kota Malang mempunyai perbedaan dengan desa-desa yang ada di kabupaten. Desa merupakan tempat tinggal penduduk bumiputra yang dikelilingi sawah, tanah yang tidak digarap dan kolam-kolam ikan, sedangkan kampung dalam kota merupakan daerah di kota tanpa sawah dan tanah kosong disekelilingnya. Ciri yang mendasar pada sebuah kampung Bumiputra antara lain, populasi penduduk yang padat, bangunannya berlantai rendah, tidak memiliki perencanaan dalam pembangunan kampung, kurangnya insfrastruktur dan tempat pelayanan umum, bernuansa pedesaan, kelas sosial yang rendah bagi orang Bumiputra maupun orang Eropa yang miskin dengan sosio-ekonomi yang beragam, namun bukan daerah kumuh (Nas, 2007:70). Kawasan kampung Bumiputra dan perumahan orang Eropa memang sudah dibagi, hal ini sudah direncanakan mulai dari Bouwplan I sampai ke VI, namun tidak mengurangi masalah konflik ruang yang ada di Kota Malang. Salah satu contoh adalah bobolnya saluran air di daerah Kauman dan Talun, yang dilaporkan oleh warga Eropa yang tinggal di pemukiman dekat saluran air yang bobol. Mereka merasa terganggu oleh nyamuk dan bau busuk dari air yang menggenang. Bau busuk dan air yang menggenang ternyata berasal dari bobolnya air di daerah Kauman yang kebetulan berada di dalam wewenang desa, penyebab penyumbatan tersebut karena tidak adanya perawatan sehingga sampah-sampah tidak dapat terbuang. Pada perebutan dan konflik ruang dalam kota antara pemukiman orang Bumiputra dan orang Eropa selalu terjadi (Hudiyanto, 2011:109 & 112). Konflik tersebut berasal dari kesenjangan pemenuhan kebutuhan dan diskriminasi kepentingan. Mulai dari diskriminasi sarana dan prasarana publik seperti perbedaan jalan kampung, saluran air, penyediaan air minum hingga perbedaan pembangunan kampung untuk orang Bumiputra dan perumahan untuk orang Eropa. Penduduk Bumiputra tidak bisa berharap banyak pada Gemeente karena secara struktur dan kekuasaan penduduk Bumiputra dalam posisi lemah Sarana dan prasarana transportrasi di afdeeling Malang sebelum tahun 1829 belum terbangun dengan baik, jalan berubah menjadi semakin buruk ketika musim hujan tiba. Pembangunan jalan yang sulit dilintasi oleh alat transportasi gerobak dan pedati. Namun untuk jarak dekat serta jumlah yang diangkut sedikit alat yang diandalkan adalah pikulan dan keranjang (Hudiyanto, 2011:47).
Pada tahun 1879, guna memperlancar arus transportasi dan komoditi perkebunan, maka dimulainya jalur kereta api Malang-Surabaya. Seiring ramainya jalur kereta api juga berdampak peningkatan jumlah penduduk Eropa di Malang (Sardjono,1954:16). Pembangunan jalur kereta api dari Malang-Surabaya sudah mencapai Kota Malang, namun jalan di kota masih banyak yang berlubang keadaan ini bertahan sampai pengaspalan jalan tahun 1925 (Hudiyanto, 2011:47). Daerah Malang sudah dikenal sejak masa Mataram Kuno, dibuktikan dengan adanya beberapa prasasti yang menunjukan daerah-daerah sekitar Malang seperti daerah Walandit, Turyyan, dan Kannuruhan. Perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno dari lembah Sungai Bengawan Solo ke lembah Sungai Brantas tidak disertai dengan penaklukan-penaklukan (Poesponegoro, 2010 : 190-195). Pada masa kerajaan Mataram kuno di Malang sudah dikenal vasal kerajaan Kanjuruhan. Peneliti mengambil awal waktu pada masa Mataram kuno karena keterbatasan peneliti untuk dapat mengambil data-data pada masa kerajaan Kanjuruhan Perpindahan pusat kekuasaan kerajaan Mataram dari lembah Sungai Bengawan Solo ke lembah Sungai Brantas, kemungkinan memandang lembah Sungai Bratas karena mempunyai jalur perdagangan interinsuler. Selain itu letak daerah lembah sungai Brantas lebih menguntungkan untuk perkembangan ekonomi dan perdagangan. Aliran Sungai Brantas juga sangat memungkinkan untuk meningkatkan jalur perdagangan ke seluruh wilayah daerah lembah Sungai Brantas. Hal ini dibuktikan pada masa Pu Sindok terdapat dua pasar yang berdekatan dengan sungai, yaitu Pasar Turyyan dan Pasar Muncan. Pasar Turyyan yang sekarang ada di Desa Turen, Kabupaten Malang memang terletak tidak jauh dari Sungai Lesti (Surti, 2003:26&62). Malang merupakan kabupaten yang tua, karena ditemukan banyak sekali peninggalan masa Kerajaan Hindu, seperti candi dan arca. Kekuasaan Mataram Islam memandang Malang sebagai tempat bersembunyi keturunan Surapati yang menciptakan kerajaan yang mandiri, sehingga mengirim beberapa ekspedisi untuk menegakan kedaulatanya. Ekspedisi perang yang sedang berlangsung dari Mataram berakhir ketika Kongsi dagang Belanda Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menemukan bahwa mereka berhak atas dataran subur Malang dan menegaskan bahwa Malang merupakan bagian dari Pasuruan. VOC menyadari bahwa wilayah Malang bukan berada di sisi mereka, namun VOC tetap ingin menancapkan kekuasaannya di daerah Malang (Lakeman, 1934:10-12). Sebelum VOC mendatangi daerah Malang, daerah ini sudah memiliki pemimpin setingkat Bupati. Pemimpin itu merupakan keturunan dari Surapati, salah satunya adalah Raden Adipati Wira Nagara (Domis, 1836:103). Raden Adipati Wira Nagara menjadi Bupati Malang mulai tahun 1755. Berselang 8 tahun kemudian Raden Adipati Wira Nagara meninggal kemudian digantikan oleh adiknya Bupati Malaya Koesoema (Domis,1836:114). Pada mulanya VOC membujuk Bupati Malaya Koesoema untuk diakui sebagai bawahan dari VOC, namun dengan tegas Bupati Malaya Koesoema menolak (Lakeman, 1934:11). VOC menganggap penolakan Bupati Malaya Koesoema sebagai sebuah pemberontakan sehingga segera mengirimkan Bupati Noto Negoro, Raden Bupati
dari Surabaya dan Komandan Troppan Negoro lengkap dengan pasukannya ke Malang. Bupati Malang Malaya Koesoema berunding dengan Bupati Noto Negoro, Raden Bupati dari Surabaya dan Komandan Troppan Negoro di daerah Wondoroko. Perundingan tersebut berlangsung sampai 2 hari namun tetap tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga peperangan tidak dapat dihindari. Bupati Malaya Koesoema dan Pangeran Prabu melarikan diri ke daerah Selatan, namum Bupati beserta keluarga tertangkap dan dibunuh. Pada tahun 1767 daerah Malang dan Ngantang menjadi wilayah resmi VOC (Domis, 1836:114-115). Setelah Bupati Mayala Koesoema terbunuh, Residen Pasuruan menunjuk Karto Negara sebagai Tumenggung di Malang tahun 1772. Oleh karena itu sebagai tanda tunduknya daerah Malang Raden Tumenggung Karta Negara wajib menyerahkan 87½ ringgit atau 10 kojan beras pada VOC (Sardjono,1954:13 & Domis, 1836:128). Setelah 22 tahun memimpin daerah Malang kedudukan Karto Negara sebagai Tumenggung di Malang diganti oleh Ingebij Soero Adie Widjoyo pada tahun 1794. Ingebij Soero Adie Widjoyo membawahi dua wilayah sekaligus yaitu daerah Bangil dan Malang (Domis, 1836:115&129). Pemerintahan Inggris di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stanford Rafflesh membuat perubahan di bidang struktur pemerintahan secara cepat. Pergantian kekuasaan ada ditingkat Karesidenan, dengan mengangkat Letnan H. G. Jourdan menggantikan Adipati Niti Adie Ningrat sebagai Residen (Domis, 1836:129). Pada tahun 1815 datang di Distrik Malang, dalam rangka menyelidiki reruntuhan Candi Singhasari dan Kuta bedah / Supiturang, di daerah Malang Rafflesh mencatat berbagai temuan Arkeologi yang akan dihimpun menjadi sebuah laporan pada Gubernur Jenderal di India (Rafflesh, 2008:387). Masa pemerintahan Inggris di Nusantara yang singkat yaitu mulai tahun 1811 hingga 1816, sehingga tidak ada perngaruh yang signifikan di bidang politik dan ekonomi di daerah-daerah pedalaman seperti Malang. Pada akhir kekuasaan Inggris tahun 1816, Inggris menyerahkan Jawa pada Belanda. Sejak itu Residen Inggris di Pasuruan diganti oleh Residen Belanda (Sardjono,1954:13).Pada tahun 1816 Pemerintah Belanda segera mengangkat Residen Pasuruan yang baru yaitu C. Vos, namun sampai tahun 1825 belum diketahui secara jelas perubahan kepemimpinan di Malang. Keterangan baru dapat diperoleh setelah tahun 1825 bahwa Resident Pasuruan mengangkat Raden Tumenggung Noto Adie Ningrat untuk wilayah Malang dan Bangil (Domis, 1836:129). Residen Pasuruan hanya berkunjung ke Malang 3 kali dalam satu tahun. Dalam catatan Residen Domis pada tahun 1827-1830 terjadi peningkatan hasil panen kopi. Pada tahun 1830 panen hasil kopi mencapai 57.000 pikul kopi, dengan penduduk Malang pada tahun tersebut 40.000 orang (Lakeman,1934:14 & Sardjono,1954:16). Malang merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan. Keresidenan Pasuruan sama seperti karesidenan-karesidenan di Pulau Jawa. Semua keputusan di wilayah karesidenan di tetapkan disana. Karesidenan Pasuruan menurut catatan Residen Domis (1836:1&3) terdiri dari 3 Kabupaten Pasuruan, Bangil dan Malang. Kabupaten Malang membawahi beberapa Distrik antara lain: 1. Kota Malang
2. 3. 4. 5. 6.
Pakis Gondanglegi Penanggungan Karanglo Ngantang.
Pada tahun 1840 Malang di bawah kepemimpinan Noto Diningrat 11 menjadi sangat maju karena kerberhasilan investasi dibidang penanaman kopi, keberhasilan ini merupakan kelanjutan keberhasilan penanaman kopi yang dimulai pada masa sebelumnya. Tanaman kopi menyebar di seluruh Malang, oleh karena itu tanaman kopi ada dimana-mana. Baru pada tahun 1870 untuk pertama kalinya tanah-tanah disewakan untuk penanaman kopi, sehingga budidaya kopi dari Eropa juga berkembang di Malang (De Indische Courant 23 September 1922 “Malang En Zijne Ontwikkeling”). Tahapan perkembangan Kota Malang pada abad XIX dimulai dari perubahan nilai lahan, yang sebelumnya lahan liar menjadi lahan perkebunan. Keberhasilan penanaman kopi di daerah afdeeling Malang menjadi awal pengembangan perusahaan perkebunan kopi secara besar-besaran. Peningkatan perkebunan juga berdampak pada meningkatnya arus urbanisasi dari daerah sekitar afdeeling Malang. Posisi daerah Malang yang berada di tengah daerah perkebunan membuat daerah Malang menjadi pusat penyimpanan dan distribusi hasil perkebunan. Sebagai pusat aktifitas perkebunan Kota Malang menjadi alasan munnculnya fasilitas-fasilitas yang menunjang kepentingan perkebunan, misalnya gedung pertemuan, rumah sakit, sekolah dan lembaga riset hasil perkebunan (Hudiyanto, 2011: 44-46). Dibawah pengaruh kota-kota perkebunan, desa menjadi bagian dari sistem pertukaran Barat kemudian tercipta hubungan ekonomi swasta yang mengikat kota dengan desa. Sejak menjadi kota perkebunan arus barang dan jasa mengalir ke desa, dan sebaliknya bahan komoditi perkebunan, bahan pangan, dan tenaga kerja mengalir ke kota (Boeke, 1983:17). Seperti ditulis dalam Surat Kabar De Indische Courant 23 September 1922 yang menceritakan perekonomian Malang dari tahun 1870 sampai tahun 1900an. Salah satu pendorong perkembangan Malang dimulai dengan dibukanya jalur kereta api pertama Surabaya-Pasuruan, kemudian Bangil-Malang, tahun 1879. Jalur kereta api ini telah mempercepat mobilisasi penduduk dari Surabaya, Pasuruan dan Bangil ke Malang maupun sebaliknya. Iklim yang sejuk membuat secara bertahap penduduk Eropa tinggal dan berlibur di Malang kemudian menjadikan Malang sebagai tempat liburan yang digemari penduduk Eropa. Salah satu tempat liburan dan peristirahatan yang terkenal di Malang seperti Hotel Wilhelmina, Hotel Palace. Untuk menciptakan keamanan penduduk Eropa di Malang dari para bandit5 yaitu dengan cara menambahan jumlah pasukan Belanda, namun di samping mendirikan benteng para tentara juga membuat bir.
5
Menurut Surat kabar Java-bode tanggal 18 Januari 1868”Kroniek voor Oost Java”, penduduk Belanda masih ketakutan dengan adanya bandit-bandit yang ada di daerah Malang Selatan, hal ini
Pada abad XIX dengan ramainya perdagangan gula, adanya wabah penyakit sereh pada perkebunan tebu di daerah-daerah di Pulau Jawa, membutuhkan bibit tebu yang berkualitas. Kota Malang merupakan pemasok bibit tebu yang baik sehingga membuat permintaan bibit tebu berkualitas dari Malang meningkat. Perdagangan bibit tebu terletak di sekitar stasiun lama. Di Malang terdapat Kantor Asisten Resident terletak di Lodji (Sekarang daerah Klojen) dan rumah untuk Controleur dibangun di daerah Oro-oro Dowo karena semua daerah di dekat Alun-alun sudah di jual. Pada tahun 1897 dibangun trem dalam kota, lalu pada tahun 1907 & 1910 penerangan electric cahaya (ANIEM) dan trem mulai beroperasi sehingga penduduk Kota Malang dapat menikmati sarana transportasi yang baik. Pada tahun 1880 pada persidangan Parlemen di Belanda, L.C.W Keuchencius mengutarakan pandangannya tentang reformasi ketatanegaraan, yang tidak lagi hanya berpusat pada gubernur jenderal berserta raad van indie-nya saja. Pendapat tersebut diteruskan kembali pada persidangan 1881 oleh anggota Parlemen yaitu W.K Baron van Dendem, yang menurutnya negeri Belanda sudah tidak akan lagi mungkin memperlakukan tanah jajahan sebagai propinsi dari negeri Belanda, yang hanya lewat praktik culturstesel dapat memperoleh batiq slot dalam anggaran belanjanya. Tetapi perlu adanya financiele decentralisatie agar anggaran daerah koloni tidak membebankan negeri induk (Wignjosoebroto, 2008:5-8). Setelah bertahun-tahun perdebatan, kemudian lahirlah keputusan Dencetralisatie Wet 1903, yang mengamandemen parsial terhadap peraturan pemerintah 1854 dengan cara menambahkan 3 pasal baru yaitu 68a, 68b,68c. Inti dari penambahan 3 pasal tersebut agar sejumlah dana dapat disisihkan untuk dipakai sebagai dana suatu daerah sendiri, kemudian pengurusan dan pengawasan dilakukan oleh raad di daerah tersebut (Wignjosoebroto, 2008:14-16). Walaupun berasaskan Decentralisasi tetapi sistem ini sama sekali tidak dimaksudkan agar penduduk Bumiputra bisa segera menyalurkan suaranya pada pemerintah. Hal ini akan dibuktikan saat pelaksanaan peraturan ini di Gemeente yang baru terbentuk. Sejak tahun 1905 hingga 1914 banyak Gemeente dan gewest yang sudah dibentuk berdasarkan ordonasi-ordonasi yang dimaklumat dengan dasar Decentralisatie Wet 1903 sebagai kekuatan yuridisnya, antaralain Batavia, Meester-Cornelis (Jatinegara), Biutenzorg (Bogor), Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, Makasar, Medan dan Malang. Pemberian status Gemeente dan Gewesten pada daerah-daerah yang memang telah siap diserahi kewenangan decentralisasi. Kesiapan tersebut terlihat dari banyaknya penduduk Eropa yang dianggap mempunyai kematangan politik yang cukup dapat mengurusi kepentingan daerahnya sendiri (Wignjosoebroto, 2008:28-29). Tepatnya pada tanggal 1 April 1914, Gemeente Malang berdiri dengan anggaran keuangan pertama sebesar f. 44.867,86 banyak kewajiban-kewajiban yang harus diemban sebagai Gemeente. Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan membuktikan bahwa penduduk Belanda masih menganggap daerah Malang sebagai daerah yang sangat berbahaya.
pembangunan insfrastruktur kota yang dibagi menjadi 2 yaitu secara fisik dan administratif. Pembangunan secara fisik antara lain, mengurus jalan umum, mengurus pemotongan hewan, pengangkutan sampah, penerangan jalan, pompa kebakaran, pengaturan pemakaman bagi seluruh bangsa, penyediaan pasar-pasar dan lain-lain. Keputusan penting masih diputuskan oleh Gewestelijk Pasuruan. Pembangunan administratif ditujukan untuk memperlancar pekerjaan Gemeente antara lain, pembentukan Gemeenteraad yang beranggotakan 9 orang Eropa, 2 orang Bumiputra dan 1 orang Timur Asing. Ketua Gemeenteraad saat itu dipilihlah F. L Broekveldt, dengan anggota sebagai berikut: 1. S. L. Blok 2. Ch. Deeleman, 3. J. L. W. G. Koch 4. Mr. J. W. G. Kruseman 5. F. J. Noordhoek Hegt. 6. G. Ch. Renardel de Lavalette 7. Raden Adipati Ario Soerio Adiningrat 8. Raden Soemodiprodjo. 9. C. Suermondt. 10. The Boen Kik. 11. E. A Tissot van Patot. Yang bersidang pertamanya hari Senin tanggal 6 April 1914 dibuka oleh ketua Gemeenteraad yang pertama F. L Broekveldt. Sidang perdananya Gemeenteraad membahas proyek besar yang diprioritaskan dalam pembangunan salah satunya pengaturan saluran pembuangan limbah, pendirian air minum dan pembangunan pasar (Lakeman, 1934:19-21). Pada masa Mataram Kuno kata pkan itu sendiri berarti pasar atau lapangan. Lapangan digunakan sebagai pasar pada hari-hari pasar sedangkan pada hari lainnya digunakan sebagai tempat upacara (Surti, 2003:63). Pada masa Mataram Kuno beberapa pasar dikaitkan dengan lokasi desa Sima dan sungai. Gambaran lokasi pasar pada masa Mataram Kuno menurut Surti (2003:23):Salah satu pasar pada masa Mataram Kuno yaitu Pasar Turen yang sekarang berada di Kabupaten Malang, merupakan toponim dari Desa Turyyan yang disebut dalam prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 Masehi). Dalam prasasti tersebut bahwa di sebelah utara daerah yang dijadikan Sima, yang dibuktikan dengan prasasti yang masih in situ adalah pasar, dan sebelah baratnya adalah sungai.Selain lokasi pasar pada masa Mataram Kuno juga dikenal sistem rotasi pasar mengikuti konsep desa pada masa Mataram Kuno. Konsep tersebut menempatkan satu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak di arah empat penjuru mata angin yang disebut konsep Macapat dan Macalima6. Dalam catatan memori Residen Pasuruan G. H. H. Snell tahun 1928 hasil laporan penelitian 4 desa yang diteliti antaralain, Desa Purwantoro, Desa Sisir, Desa Putat Lor dan Desa Wonorejo di Kabupaten Malang tahun 1928, menyebutkan bahwa sistem kesatuan desa macapat masih 6
Wuryanto dalam Surti. (2003 : 54)Menjelaskan Konsep panasta / panatur desa dengan 4 atau 8 desa yang mengelilingi pada penjuru mata angin tetap diterapkan walaupun tidak selalu tepat pada penjuru mata angin, karena mungin disebelah selatan atau penjuru yang lain terdapat sungai atau jurang
tetap dipertahankan. Kesatuan desa ini digunakan untuk kepentingan keamanan, tolong menolong bila terjadi perampokan, pencurian hewan ternak dan lain-lain. Pada tahun 1928 di Kabupaten Malang, konsep kesatuan desa macapat ini hanya terbatas pada penjagaan keamanan saja sedangkan untuk konsep rotasi pasar tidak terjadi (ANRI, 1978:LXXVIII). Konsep Macapat dan Macalima tersebut kemudian dikaitkan dengan sistem hari-hari pasar atau yang disebut Pancawara7, sehingga tercipta rotasi desa sesuai hari pasaran yang berjalan contohnya pada hari Kaliwuhan Pasar diadakan di desa induk, pada hari Wagai pasar diadakan di desa sebelah utara, pada hari Umanis pasar diadakan di desa sebelah timur, sedangkan pada hari Pon pasar diadakan di desa sebelah barat. Diantara kelima pasar tersebut tentunya pasar Kaliwuhan dianggap sebagai pusat dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari pasar lain. Seperti yang tergambar di masa sekarang pasar-pasar yang ada di daerah Kabupaten Malang, yaitu Pasar Turen mengenal Paing dan Kliwon sebagai hari pasarannya, Pasar Gondanglegi yang berada di sebelah barat Pasar Turen mengenal Legi dan Pon sebagai hari Pasarannya. Namun ketiga pasar lain yaitu Pasar Talang Suko di sebelah utara Pasar Turen, Pasar Talok di sebelah timur Pasar Turen, Pasar Sedayu di sebelah selatan Pasar Turen, sekarang menjadi Pasar Krempyeng tidak mengenal hari pasar (Surti, 2003:54-56). Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur pasar terletak di sebelah utara tempat tinggal Bhatara Narapati dan di sebelah pasar merupakan pemukiman padat, sehingga jika diurutkan dari utara, terdapat Keraton, Alun-alun kemudian pasar. Perbedaan lokasi dan kondisi fisik antara pasar masa Mataram Kuno dan masa sesudahnya, dapat dilihat pada prasasti Muncan dan Turryan adalah yang menekankan pada pasar desa, sedangkan pasar pada naskah Negarakretagama adalah Peken agon/ Pasar kerajaan (Surti, 2003:65-66). Pada periode ini, diibaratkan bahwa daerah di sekeliling keraton ialah suatu unit konsumsi; disini pangeran tinggal dan mengonsumsi upeti yang mengalir dari desa atau daerah sekelilingnya (Boeke, 1983:15). Pasar kerajaan yang berada dilingkungan istana merupakan pemasok upeti/ pajak bagi kerajaan, sehingga pasar kerajaan juga simbol kekuatan ekonomi seorang raja atau pangeran. Selain lokasi dan status yang berbeda, juga terdapat perbedaan bentuk fisik dari pasar desa dan pasar kerajaan. Perbedaan tersebut terlihat dari tempat yang dibuat berjualan. Pasar desa berupa lapangan terbuka, sedangkan pasar kerajaan/ pasar besar (peken agon) berupa bangunan semi permanen maupun bangunan permanen (Surti, 2003:123). Perbedaan bangunan fisik pasar mempengaruhi rapinya keadaan pasar dan perhatian kerajaan terhadap perdagangan pasar tersebut. Pasar kerajaan yang berada dekat dengan keraton bangunannya cenderung harus tertata rapi dan menjadi prioritas, hal ini penting dikarenakan pasar kerajaan dijadikan simbol perekonomian kerajaan. 7
Surti (2003:55) membedakan 3 konsep minggu yaitu saptawara (1 minggu terdiri dari 7 hari), sadwara (1 minggu terdiri dari 6 hari), pancawara (1 minggu terdiri dari 5 hari). Sepasar/ 1 pasaran yang terdapat dalam pancawara yaitu Umanis/ manis, pahing, pon/pwan, wagai/wage dan kaliwuhan/ kliwon.
Pada masa Majapahit, meskipun pasar kerajaan telah menjadi prioritas sistem pasar desa masih dipertahankan. Salah satu contohnya di Kabupaten Temanggung tepatnya di Pasar Parakan bahwa sampai tahun 1970-an mereka masih berdagang mengikuti perputaran hari-hari Pasar (Surti. 2003:58). Hal ini menunjukan bahwa pasar yang ada di desa-desa tidak hilang ataupun dihilangkan oleh penguasa, ini terbukti dengan adanya pasar desa yang masih berjalan hingga sekarang sehingga pasar desa memang dapat bertahan dengan sistem Pasarannya. Namun ada juga pasar desa yang berubah. Perubahan terhadap penerapan hari pasaran dapat dilihat di beberapa pasar di daerah Kabupaten Malang. Pasar tersebut antara lain Pasar Talangsuko, Talok, Sedayu berubah menjadi Pasar Krempyeng yang buka mulai pukul 6 sampai pukul 10.00 dan tidak mengenal hari pasar (Surti, 2003:56). Pasar Krempyeng merupakan bentuk pasar yang tidak mengenal hari pasaran, karena itu buka setiap hari. Pasar Krempyeng lebih sederhana dalam pengaturannya. Beberapa alasan munculnya Pasar Krempyeng dan hilangnya sistem hari pasaran yaitu, pertama pasar di daerah itu memerlukan aktifitas perdagangan setiap hari, sehingga pengaturan pasar sesuai dengan hari pasar tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan tersedianya transaksi perdagangan. Kedua masyarakat ingin mempersingkat jarak transportasi oleh karena itu lebih memilih berdagang di daerah sendiri. Ketiga pudarnya konsep integrasi dan kerukunan antar desa yang menyebabkan rotasi pasar terhenti, karena konsep hari pasaran merupakan integrasi Konsep Panasta Desa dan Pancawara. Keempat ditinjau dari segi tempat dalam menyelenggarakan hari pasaran, desa yang mengadakan pasar Kaliwuhan atau Kliwon lebih untung karena berada di pusat rotasi hari pasaran, sehingga terjadi ketidakseimbangan keuntungan desa yang mengadakan pasar yang lain. Setelah pemerintahan Daendels, Thomas Stamford Raffles dikirim Gubernur Jenderal Minto di India untuk mengambil alih kekuasaan Belanda di Jawa (Ricklefs. 2008:247). Dalam catatan Rafflesh (2008:124) sebagai Leutnan Jenderal di Jawa tahun 1811-1816, disebutkan bahwa terdapat pasar yang tersebar di seluruh propinsi di Jawa, yang diselenggarakan 2 kali seminggu atau lebih. Beberapa jenis pajak kecil ditarik dari pasar ini. Penarikan pajak ini biasanya dikumpulkan oleh Etnis Tionghoa. Tetapi karena jumlah yang diminta diatas pajak resmi pemerintah serta adanya sistem monopoli yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa, maka sistem ini dihapuskan dan pemerintah kembali menguasai sistem penarikan pajak. Di beberapa pasar yang besar, pasar dikepalai oleh seorang pengawas pasar dan kemudian dibangun banyak kios untuk disewakan kepada pedagang yang ingin menempatinya. Sewa ini dikumpulkan bersamaan dengan berbagai pajak produk-produk lokal pada permulaan hari pasar (Rafflesh, 2008:124). Pada pemerintahan Rafflesh sistem hari pasaran masih diterapkan, namun ditambah dengan adanya unsur kolonial yaitu kepala pasar sebagai pengawas sekaligus penarik pajak produk dan sewa tempat. Pada tanggal 1 April 1914 Gemeente Malang berdiri dengan anggaran keuangan pertama sebesar f. 44.867.86, kemudian yang dialokasikan untuk pasar
sebesar f. 350 (Sardjono, 1954:18). Karena terbatasnya anggaran dana dan belum ada pemasukan, maka dana anggaran sedikit demi sedikit dialokasikan pada kebutuhan Gemeente yang lain. Anggaran yang termasuk keputusan penting saat itu masih diserahkan pada Gewestelijk Pasuruan. Keputusan Gewestelijk Pasuruan yang saat itu digagas adalah pembangunan pasar yang baru, tempat yang dipilih adalah di Jalan Tumapel (Maetsuyckerstraat) di sebelah kiri tepi sungai Brantas. Gewestelijk Pasuruan sebelum berdirinya Gemeente Malang juga sudah menganggarkan f. 150.000,untuk pembangunan pasar baru karena pasar partikelir Pecinan tidak cukup luas (Lakeman, 1934:68). Pasar Pecinan terletak di Jalan Pecinan, terdiri dari Pasar Harian, Pasar Malam, parkir mobil dan stasiun bus (Liempt, 1939:151). Pasar Pecinaan yang pada mulanya merupakan pasar swasta kemudian diambil alih oleh Gemeente Malang. Pada saat Pasar Pecinan masih dikelola oleh Etnis Tionghoa keadaan pasar terlalu sempit, sehingga Gemeente Malang pada tahun 1917-1919 menyediakan uang lebih dari f. 25.000 untuk membeli los-los partikelir tambahan dan membangun kembali Pasar Pecinaan, penambahan los dan pembangunan pasar ini selesai pada tahun 1924 (Sardjono, 1954:49). Pasar Malam awalnya merupakan pesta adat Jawa yang terkenal dan berlangsung seminggu. Pasar Malam ini bertepatan upacara Grebeg dan dirayakan di malam hari. Suasana penuh dengan keramaian, terutama anak-anak senang sekali melihat hiburan pasar malam seperti lonceng, balon, kincir angin dan lainlain (Lith, 1917:278). Di Kota Malang Pasar Malam pada awalnya merupakan pasar partikelir yang berlangsung lebih dari 2 malam, pasar ini sudah ada sebelum tahun 1922. Pada tahun 1922 Pasar Malam dikenal dengan nama Pasar Derma yang dipegang oleh lembaga etnis Tionghoa, inti acara pada Pasar Malam sangat beragam mulai dari pertandingan kembang api, seni beladiri, opera, ketoprak, komedian, sampai tari-tarian, dan didukung dengan tersedianya beberapa stan makanan. Sebagian dari hasil keuntungan dari Pasar Malam dibagi pada sekolah miskin, madrasah, sekolah Cina, lembaga kesehatan, dan lembaga sosial (Tjahaja Timoer 6 September 1922 ”Pasar Malam Ang Hien Hoo”). Dengan konsep Pasar Malem 2 in 1 yaitu menikmati hiburan sambil beramal, pasar ini selalu ramai tiap tahunnya. Biasanya pada pembukaan Pasar Malam dihadiri juga oleh Burgemeester, Regent dan pejabat militer setempat.\ Pada tahun 1930 sudah direncanakan dalam bouwplan VI tentang pembangunan Pasar Malam dan Pasar Besar kedua8 (Liempt, 1934:XCV). Hal ini diangkat kembali setahun setelah keluarnya keputusan tanggal 12 Mei 1930, dalam pertemuan tahunan antara dewan dan pemerintah kota yang mempertimbangkan peluang penciptaan Pasar Malam (notulen raadsvergaderingen en Gemeentebladen 1931). Pada tahun 1932 Gemeente memutuskan untuk mendirikan sebuah Pasar Malam di Pasar Pecinaan, tetapi
8
Menurut Surat Kabar De Indishe Courant 18 Maret 1930 “Nieuwe stadsuitbreiding”Belum ada keterangan pasti nama pesar terbesar kedua, namun pasar ini direncanakan berlokasi di dekat stasiun tram, dengan luas mencapai 7000 M2 dengan dilengkapi stasiun bus dan taxi.
yang kemudian penyelenggaraan Pasar Malam terpisah dari Pasar Pecinaan (Locale techniek, 1941:40 & Liempt, 1934:CXXXII) Penyelenggaraan Pasar Malam pada era kolonial menjadi kecenderungan umum, selain di Gemeente Malang, Pasar Malam juga banyak diadakan dibanyak kota-kota dan kabupaten di Jawa. Selain untuk mendapatkan pemasukan pada Gemeente, Pasar Malam juga digunakan sebagai standar gaya hidup modern bagi beberapa wilayah, seperti yang diadakan di Jember, Cirebon, Pasuruan dan Probolinggo (Surat kabar De Indishe Courant 28 Oktober 1929 ”Passar-Malem”). Dengan keputusan dewan tanggal 4 Agustus 1930 (Gemeenteblad 1930 No. 124) untuk menandatangani pinjaman sebesar f. 1.000.000,- yang ditujukan untuk, Pasarbedrijf, perusaahan air, sekolah tehnik dan lain-lain. Pasarbedrijf menerima f. 200.000,- yang kemudian dialokasikan untuk perluasan Pasar Pecinan sebesar f. 50.000, dan pembangunan Pasar Pembantu sebesar f. 150.000 (Liempt, 1939:XC). Pasar Pembantu dianggap sebuah solusi akhir yang dianggap memungkinkan untuk mewadahi perdagangan di Kota Malang (Locale techniek, 1941:40). Perluasan Pasar Pecinaan tidak dapat menjamin tersedianya los dan bedak untuk para penjual yang semakin lama semakin bertambah. Hal ini menyebabkan berdirinya los dan bedak yang kumuh didekat Pasar Pecinan. Agar keadaan kumuh itu dapat diberantas, maka Gemeente mengupayakan pendirian pasar-pasar lain di wilayah Gemeente Malang. Pasar yang akan dibangun merupakan pasarpasar kecil dan sederhana (Locale techniek, 1941:46). Pasar Pembantu yang dibangun Gemeente yaitu Pasar Klojen pada tahun 1919, kemudian pada tahun 1932 dan 1934 dimulai dari Pasar di Bunulrejo, Kebalen, Oro Oro Dowo, Embong Brantas dan Lowokwaru, Pasar Bunga tahun 1937 (Sardjono, 1954:49). Kemudian dilanjutkan dengan keputusan tanggal 25 September 1934 No. Az. 286/4 dalam Gemeenteblad Van Malang, yang memutuskan untuk mendirikan los untuk Pasar Pembantu di Jalan Kebalen, Oro Oro Dowo, Embong Brantas dan Lowokwaru. Pembangunan los pada pasar-pasar tersebut ditenderkan pada pihak swasta. Pemenang tender adalah NV Volcano Surabaya, sepakat dengan biaya f. 23.860. Warungcentrale muncul menyusul keputusan dewan 3 April 1934 yang melarang adanya warung di jalan-jalan dalam kota, sehingga warung-warung harus terpusat di tempat tertentu. Konsep ini sebenarnya terbentuk dengan cara menghimpun pedagang-pedagang di daerah yang dilarang berjualan, serta di jalan-jalan protokol kemudian ditempatkan disuatu tempat tertentu. Contoh warungcentrale seperti didirikan di Mergosono, namun setelah tanggal 1 Juni 1938, warungcentrale ini ditutup (Liempt, 1939:CXXXII &151). Selain warungcentrale yang berada di Mergosono, warungcentrale juga terdapat di dalam Pasar Pecinan, tujuannya untuk mengurangi penjual yang berkeliling dalam pasar. Bentuk Warungcentrale di dalam Pasar Pecinan terdiri dari sejumlah meja makan persegi kayu dengan bangku-bangku di luar dan di dalam meja penjaga warung digunakan untuk mencuci dan membilas perangkat, kemudian di tengah-tengah warung ini khusus digunakan ruang penyimpanan
yang diciptakan untuk penjaga warung. Warungcentrale ini dilengkapi dengan lubang-lubang drainase (Locale techniek, 1941:40 & 42) Mulai tahun 1917, perluasan Pasarbedrijf 9terfokus pada Pasar Pecinan, namun pada tahun 1937 berdasarkan Gemeenteblad No.24 tahun 1937 Gemeente Malang juga membangun Pasar Bunga di Alun-alun Kota Malang, yang bertujuan untuk menambah keindahan kota (Liempt, 1939:CXCI & 152). Kondisi Pasar Bunga yang ramai menunjukkan bahwa Pasar Bunga memang sangat dibutuhkan warga kota yang membutuhkan bunga. Pada masyarakat Bumiputra kembang dipergunakan untuk berbagai upacara tradisional, juga upacara pemakaman sedangkan penduduk Eropa lebih mengenal bunga sebagai hiasan rumah. Kebutuhan akan bunga, kemudian didukung dengan lokasi yang strategis yaitu berada di pusat kota, membuat Pasar Bunga ini bisa bertahan hingga pasca kemerdekaan bahkan disaat beberapa pasar di Kota Malang hancur dan beberapa pasar ditutup karena sepi (Liempt, 1939:153). Pada bulan Januari 1934 Pasar Hewan mulai sudah dibuka dan diperkenalkan di Gemeente Malang (Lakeman, 1934:70). Pasar Hewan Kota hanya memperdagangkan hewan ternak yang berukuran kecil yaitu domba dan kambing, hal ini mungkin disebabkan keadaan Pasar Hewan yang tidak cukup luas. Pasar ini sebenarnya ingin ditempatkan di seluruh pasar namun belum ada tanah yang untuk dibangun (Liempt.1939:151&153). Kebutuhan akan hewan ternak di Kota Malang sangat tinggi, namun Pasar Hewan hanya dapat memperjualbelikan hewan domba dan kambing. Setelah Gemeente Malang mengalami perluasan wilayah, Pasar Hewan di Malang bertambah satu yaitu Pasar Hewan di Blimbing. Sehingga tercatat ada dua Pasar hewan yang terletak di jalan Sawahan dan di dekat Pasar Blimbing. Pasar Hewan Blimbing terletak di selatan dan barat Pasar Blimbing, Pasar Hewan berada di sebuah tanah lapang yang beraspal. Gemeente Malang akan tetap mempertahankan dan memperbaiki Pasar Hewan Blimbing, namun karena jarak Pasar Hewan dan Pasar Blimbing begitu dekat maka timbul masalah lalat yang serius di Pasar Blimbing (Jaarverslag Gemeente Malang, 1940:169). Berbagai Pasar dan warungcentrale dibangun secara bertahap, bersamaan dengan hal itu Gemeente juga meningkatkan jumlah staf pasar guna melancarkan administrasi. Khusus mengenai staf pasar secara detail telah diatur dalam Jaarverslag Gemeente Malang 1940 wajib memenuhi beberapa kriteria pendidikan yang harus dilalui. Berikut beberapa syarat dan tingkatan pendidikan staf yang harus dilalui :
9
a.
Staf Tinggi : pelatihan akademis dan persyaratan tugas khusus.
b.
Staf Terkemuka Sekunder: Pendidikan menengah dari Westersch Lager Onderwijs ditambah pelatihan kejuruan khusus, juga bertanggung jawab atas departemen.
Sekarang identic dengan Unit Pelaksana Tehnis Dinas Pasar/ Dinas Pasar.
c.
Staf Sekunder: Westersch Lager Onderwijs ditambah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan kejuruan dengan wirausaha.
d.
Staf sekunder Bawah : Westersch Lager Onderwijs dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Hogere Burger School (HBS) dan kejuruan tanpa wirausaha.
e.
Staf Bawah : Pendidikan dasar Bumiputra.
Secara herarki hubungan antara kekuasaan dan pasar timbul oleh pelapisan sosial dalam suatu masyarakat atas variabel mempengaruhi dan dipengaruhi, sehingga pengaturan pasar selalu bergantung pada penguasa. Pasar dapat menjadi simbol seorang penguasa karena adanya pasar yang ramai dapat dikatakan bahwa penguasa berhasil memberikan perlindungan di wilayahnya untuk melakukan kegiatan tukar-menukar atau transaksi dan kegiatan ekonomi secara tenang. Selain itu pasar juga dapat dipakai sebagai mekanisme kontrol penguasa di wilayahnya, misalnya dengan melihat jenis-jenis hasil bumi yang terdapat di pasar, penguasa dapat mengetahui berhasil atau tidaknya suatu panen (Surti, 2003:53). Pemerintahan Gemeente Malang yang mengadopsi sistem pembangunan secara fisik dari negeri Belanda, beserta regulasinya sebagai yang saling berdampingan. Gemeente Malang berharap akan terwujudnya sebuah sistem perekonomian kota yang teratur dan mempunyai nilai estetika, yang berusaha diwujudkan dalam sistem penataan Kota Malang yang lebih dikenal dengan nama bouwplan. Pemerintah Belanda memang membuat klasifikasi pasar guna mengakomodir perdagangan di kampung dan di pusat kota di wilayah Gemeente Malang. Peran pasar pada sebuah kota, terbentuk dari sebuah siklus ekonomi antara desa dan kota. Seperti pendapat Max Weber menganggap suatu tempat adalah sebuah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Selanjutnya komoditi pasar yang dihasilkan oleh penduduk pedalaman dan dijual-belikan di pasar itu. Inilah dasar sifat kosmopolitan yang merupakan hakekat dari kota. Weber juga menekankan pasar sebagai ciri kota (Nas, 1979:28-29). Namun pada kenyataannya kota sebagai sebuah kekuatan yang menyerap sumberdaya daerah sekitarnya, sebagai pilar perekonomian. Kebayakan pilar-pilar tersebut hanya dijadikan alat untuk menjadi magnet keuntungan bagi sebuah kota, tanpa ada timbal balik pada tingkat ekonomi dan sarana prasarana. Pendekatan ekonomi menyatakan bahwa, suatu ciri dari kota ialah cara hidup yang bukan agraris dan khususnya pasar dan pedagang sering dianggap sebagai hakekat dari kota (Nas, 1979:34). Dalam unsur Kota Malang tahun 19141942 pendapat ini memang belum sepenuhnya dapat diterima, karena Kota Malang merupakan tipe kota pedalaman sehingga wilayah kota (bukan jantung kota) masih banyak ditemui lahan pertanian atau masih bersifat agraris. Namun peneliti sependapat dengan kenyataan bahwa peran pasar-pasar di Malang merupakan urat nadi kota yang senantiasa memberi pemasukan yang besar pada pemerintah kota.
Pembangunan pasar yang terintegrasi dengan bidang kota yang lain sesuai dengan racangan tata kota selalu dilandasi dengan bouwplan, misalnya peraturan Gemeenteblad No. 31 1930 yang mengatur lahan pasar malam, sekolah tehnik kota, tempat olahraga, perumahan, taman kanak-kanak, kampung dan lain-lain, sehingga sesuai dengan tata ruang kota yang telah dibangun sebelumnya (Liempt, 1939:XCV). Penyelarasan pembangunan yang diajukan oleh Gemeente dan penasehat tata kota, misalnya penyelarasan dan pembangunan batas jalan dari Kayutangan, alun-alun sampai pasar pusat (Gemeenteblad van Malang No. Az. 803/17/D:1). Secara garis besar pembangunan Tata Kota Malang, dipimpin oleh penasihat tata ruang Gemeente Malang yaitu Ir. Karsten dari Belanda10. Pembangunan Pasar Pembantu merupakan inisiatif dari Gemeente untuk memperlancar perdagangan di Kota Malang sehingga tidak tertumpu pada satu pasar. Ramainya perdagangan di pasar-pasar di Malang tidak mampu untuk menampung luberan pengunjung pasar, salah satunya terjadi di Pasar Pecinan. Perdagangan di Pasar Pecinan yang memiliki masa depan cerah, pada 1915 keuntungan yang diterima f. 25, 890,- kemudian naik dua kali lipat setahun sesudahnya (Liempt, 1939:XII). Setelah tahun 1914 Raad menetapkan tiga buah peraturan kota mengenai pajak personel, peraturan tarip perkuburan-perkuburan dan tarip pajak keramaian guna memberi pemasukan pendapatan Gemeente Malang. Pada tahun 1915 dikeluarkan pula peraturan pasar dan peraturan pajak anjing (Sardjono, 1954:19). Dalam peraturan De Gemeente van Malang 8 Januari 1915 penentuan tarif pajak retribusi pasar dibebankan pada pedagang didalam stan dan diluar stan pasar. Untuk pajak retribusi didalam stan pasar setiap meter per harinya 10 cent, kemudian untuk tempat berjualan diluar stan pasar 1 cent setiap meter perharinya. Jatuh tempo pembayaran retribusi secara explisit tidak disebutkan namun diserahkan secara penuh pada dewan. Selain penetapan tarif tempat di dalam dan luar stan pasar, gemeenteraad juga mengatur tentang tarif pajak di pasar ternak, untuk perdagangan setiap domba dikenakan f. 0,03 sedangkan untuk ternak besar dikenakan tarif f. 0,10. Peraturan pajak retribusi diberlakukan mulai 1 Februari 1915 kemudian dalam setahun keuntungan yang didapat gemeente sebesar f. 25.890 (Sardjono, 1954:49). Peraturan ini membuat pemasukan yang cukup besar untuk gemeente, dan ini merupakan keberhasilan pemerintah Belanda dalam mendoktrinasi masyarakat Bumiputra dengan aturan-aturan dari gemeenteraad. Produk Gemeenteraad ini merupakan langkah awal pada penetapan pengaturan pajak retribusi pasar, yang akan berlanjut pada beberapa dekade berikutnya.
10
Herman Thomas Karsten kelahiran Amsterdam Belanda, 22 April 1884 meninggal di Cimahi tahun 1945. Karsten adalah arsitek dan perencana wilayah pemukiman dari Hindia Belanda. Gelar arsitek diperolehnya dari Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) di Delft, Belanda, dan lulus tahun 1908. Dalam kariernya inilah ia menjadi perencana dan penasihat beberapa proyek bangunan publik di beberapa kota antara lain Semarang (Pasar Johar), Surakarta (Pasar Gede Harjonagoro dan stasiun Solo Balapan) dan penasehat tata ruang kota di Gemeente Malang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten diakses tanggal 17 Desember 2012 Pkl 20.00 WIB)
Daftar sewa tempat di pasar tiap tahun dirubah, karena ada penyesuaian khusus dari gemeenteraad. Sampai tahun 1918 daftar terbagi menjadi 67 macam harga sewa, yang merujuk pada macam barang yang dijual. Pada aturan yang baru hanya 22 perbedaan dalam arti beberapa dilandaskan atas perbedaan barang, namun ditambah dengan lokasi yang dijadikan tempat berjualan. Misalnya harga sewa los yang dipandang lebih strategis yaitu diujung pasar lebih mahal dari pada harga sewa los yang ada di dalam pasar, aturan ini menjadi aturan pokok penetapan harga sewa di pasar. Akan tetapi untuk Pasar Pembantu dan pasar kampung aturan tersebut sulit dijalankan, karena barang yang dijual disana bermacam-macam, pengecualian diferensiasi item yang dijual juga ditetapkan pada pasar malam yang meniadakan diferensiasi dalam penerapan tarif (Locale tehnieck,1941:46 & Liempt,1939:CXCII). Walaupun masalah tarif sudah direvisi namun pada kenyataannya, beberapa tarif (anyaman rotan, mesin jahit, tembakau dan peralatan mandi), yang dalam prakteknya terbukti terlalu tinggi, pada tahun 1938 dikurangi dan disesuaikan dengan kapasitas penjual. Penurunan ini disahkan oleh dewan pada 27 Juni 1938 No. Az. 130/25 dibawah keputusan ini dewan memberi masa percobaan selama 6 bulan dengan tarif yang berbeda, namun hingga tahun 1940 peraturan ini dapat bertahan (Liempt,1939:153). Peninjauan tarif perlu dilakukan hal ini dikarenakan penyewa stan merupakan langganan yang selalu membayar pajak retribusi. Jika terjadi kenaikan maka beberapa penyewa stan pasar akan keluar dan memindahkan barang dagangannya ke pasar lain atau bahkan gulung tikar, sehingga menyebabkan penurunan pemasukan pendapatan Pasarbedrijf.Perubahan penetapan tarif retribusi pasar bagi para penjual terakhir pada tahun 1940, sebelum pasar dan pemerintahan diambil alih oleh pemerintah Jepang. Berdasarkan keputusan dewan tanggal 25 April 1940 No. 828/4 (Jaarverslag Gemeente Malang, 1940:170) pendapatan pasar di masa lalu dibuka hampir 10 tahun adalah hampir sama rata untuk tiap tahunnya, satu pengecualian adalah tahun 1931 dan 1940 pendapatan lebih tinggi. Hal ini disebabkan pada tahun 1931 masih terkena dampak inflasi dari krisis ekonomi global tahun 1929, sedangkan pada tahun 1940 adanya penambahan jumlah pasar yang dahulunya merupakan pasar milik Regentshap yaitu Pasar Dinoyo, Pasar Harian Blimbing dan Pasar Hewan Blimbing. Pasar Malam tahun 1935 diselenggarakan oleh Tiong Hoa Hwee Koan dengan ketua komite Pasar Malam Tiong Hoa Hwee Koan (T.H.H.K) W.G.L Soema Tjoe Sing dibuka secara resmi mengajak seluruh pihak masyarakat Malang untuk hadir di pasar yang telah diselenggarakan. Selain itu mengajak masyarakat Malang untuk bersedekah karena sebagian hasil keuntungan Pasar Malam diberikan pada badan sosial11. Seperti dilansir dalam urat kabar Sinar Malang 1 Juli 1935:1-5 ”pasar malem editi”, Pasar malem yang dibuka tanggal 1 juli 1935, juga dihadiri oleh voorzitter Njoo Thiam Tioe, Burgemeester Lakeman, anggota Gemeenteraad Kho Shin Tjo, Regent Sam, sejumlah petinggi militer dan pers. 11
Menurut berita dalam Surat Kabar Tjahaja Timoer 19 November 1920”pasar derma”, Sebelumnya pada tahun 19 November 1920, organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (T.H.H.K) juga mengadakan pasar amal yang diberi nama “pasar derma” dengan keuntungan saat itu f. 10.901,67 ½, kemudian diberikan ke Madrasah S.I di Malang f. 1.091,61.
Dalam acara pembukaaan disampaikan bahwa sebagian keuntungan akan dibagikan pada 12 lembaga sosial diantaranya, Ling kew School, T.B.C, Kindervacantie Kol, Ch. Hsich, Pol. M.D, Comitte tot steun werklozen dan Pol. T.H.I.S., Burgemeester juga menekankan bahwa yang menjadi prioritas adalah sekolah yang baru dibangun baru kemudian bantuan diberikan pada bidang sosial. Keindahan dan keamanan pasar juga merupakan sebuah jaminan yang digunakan sebagai tolak ukur sebuah kenyamanan serta kepercayaan pemilik modal yang menaruh propertinya di pasar. Seperti diberitakan pada surat kabar Het Niuews Van Den Dag 8 November 1935, tentang kebakaran gedung yayasan dari sebuah pasar di Malang. Kebakaran ini disadari oleh seorang penjaga malam yang langsung menyalakan sirine, guna memberi tahu petugas pemadam kebakaran kota agar menuju lokasi pasar. Setelah kebakaran berhasil diatasi ditemukan barang bukti berupa sebuah pembakar yang digunakan untuk menyulut api kebakaran. Oleh karena itu penyebab kebakaran ini kemungkinan besar ditengarai oleh dendam. Masalah kebakaran bukan hanya terjadi di Malang saja, dibeberapa daerah juga terjadi kebakaran pasar, seperti diberitakan oleh surat kabar Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Brandstichter Veroordeeldtot Twee Jaar Gevangenisstraf” kebakaran terjadi di sebuah pertokoan di pasar merah (kramat-Batavia), kebakaran juga dipicu oleh dendam dan konspirasi antar pedagang, oleh karena itu hakim Koesoema Atmadja, menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi si pembakar. Pasar sebagai pusat keramaian, sering menimbulkan masalah sosial selain anak-anak gelandangan, pembakaran juga yang kerap kali terjadi adalah tindak kriminal maupun pecehan sosial. Dilaporkan terjadi pembunuhan di Malang dalam surat kabar De Indische Courant 11 April 1932, bahwa terjadi pembunuhan di belakang pasar, korban etnis cina bernama Song Boen Koei yang dibunuh oleh 4 teman se-etnisnya. Pembunuhan yang bermotif saling ejek yang kemudian berujung pada dendam pada Song Boen Koei telah merenggut nyawanya, korban dibunuh oleh 4 pelaku dengan pisau yang langsung menikam korban. Ke empat pelaku akan dijatuhi hukuman yang sama. Menurut surat kabar De Indishe Courant 20 November 1934” Wat men langs den weg vond”, banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kriminalitas dan pembunuhan di area pasar salah satunya disebabkan oleh adanya perjudian atau taruhan dan prostitusi merupakan masalah biasanya muncul disetiap kota, dimana ada keramaian, hiburan dan peredaran uang disana bisa kita temui masalah tersebut. Salah satu lokasi pertaruhan, perjudian dan prostitusi yang kerap terjadi di sebuah pasar. Semetara itu salah satu laporan pelecehan terjadi dalam pasar, hal ini diberitakan dalam surat kabar Tjahaja Timoer tanggal 21 Maret 1928”Hal tentang kuli-kuli pasar disini”. Laporan pelecehan datang dari para nyonya-nyonya yang melaporkan kerapkali ada tindakan kuli pasar yang tidak sopan12. Kuli-kuli13 12
Menurut Surat Kabar Het Niuws Van Den Dag 24 November 1934 ”pasar banditisme”, Hukuman untuk Kuli atau Manolan yang bertindak tidak sopan dalam membawakan barang nyonya-nyonya Eropa di pasar dijatuhi hukuman 2 bulan penjara. 13 Dalam surat kabar De Indische Courant 14 September 1937“Razzia op de Passer” perkerjaan sebagai kuli pasar tidak mudah karena selain harus mengangkat beban berat, Kuli-kuli sering dicurigai sebagai gangster, yang berkelahi di pasar. Oleh karena itu Razzia kepada kuli-kuli pasar
berkerja dalam pasar dengan membantu para konsumen yang berbelanja di pasar dengan cara membawakan tas dan barang bawaan konsumen, kemudian diberi upah. Kejadian tindakan kuli pasar ahirnya sampai pada komisi pasar, yang membuat aturan baru bahwa yang mewajibkan kuli-kuli untuk mengambil nomor urut yang kemudian dipasang dilengannya, sehingga jika ada kuli yang tidak sopan, dapat mengadukan tindakan kuli pada administrator pasar bisa langsung ditegur dan diancam, atau jika ada kuli pasar yang membawa lari barang konsumen polisi bisa mudah melacak ciri-ciri kuli tersebut. Disini peran administrator dan kepala pasar menjadi sangat penting karena segala pengawasan ditingkat lapangan tergantung pada mereka. Dengan tertibnya administrator pasar dan kepala pasar, bukan hanya pengawasan dilapangan yang dapat berjalan lancar, namun lebih dari itu administrasi perdagangan yang baik, bisa dimanfaatkan menjadi informasi yang sangat penting. Peran infomasi pasar dapat dimanfaatkan oleh konsumen melalui berbagai media salah satunya melalui surat kabar. Setelah pencatatan secara detail oleh administrator pasar yang membuat daftar rata-rata harga bahan kebutuhan pokok, kemudian infomasi tersebut diolah oleh beberapa penerbit surat kabar untuk diterbitkan, sehingga kita dapat mengetahui harga rata-rata bahan kebutuhan pokok melalui media surat kabar sebelum membeli bahan kebutuhan pokok di pasar, dan selanjutnya kita dapat memperhitungkan anggaran sebelum ke pasar. PENUTUP Kesimpulan
Perubahan yang terjadi pada pasar-pasar di Malang di bagi menjadi dua yaitu perubahan secara fisik dan administrasi. Perubahan secara fisik terlihat dari perbedaan bentuk bangunan, lokasi dan pola pasar serta komoditi. Sementara perubahan administrasi terlihat dari pengelolaan pajak retribusi pasar.Perubahan bentuk bangunan dari pasar tradisional contohnya pasar desa Turyyan (Turen) yang belum mempunyai wujud bangunan karena masih berada di pinggir jalan dan di lapangan . Setelah pasca kedatangan bangsa Barat bangunan pasar sudah dalam bentuk permanen yang dikuasai oleh masing-masing etnis yaitu masih dalam bentuk pasar partikelir salah satunya Pasar Partikelir Pecinan, namun bangunan pasar masih sempit. Kemudian pada masa pemerintahan Gemeente, pasar-pasar di Malang dibangun dengan bentuk bangunan modern dengan konstruksi dari kayu, besi dan beton, bahkan di pasar-pasar tergolong besar dilengkapi dengan pintu gerbang masuk pasar yang di isi oleh staf pasar, tempat parkir dokar, taksi dan sepeda Lokasi dan pola pasar tradisional berada di lapangan, dengan pola penyelenggaraan pasar sesuai dengan rotasi hari pasaran, setelah kedatangan bangsa Barat pasar secara umum diadakan di seluruh propinsi di Jawa, yang diselenggarakan 2 seminggu atau lebih, kemudian pada masa pemerintahan Gemeente pasar-pasar di Kota Malang, lokasi terletak pada pinggir jalan utama,
sering diadakan, jika terbukti berkelahi maka kuli-kuli tersebut akan dibuang di penampungan pengemis atau dipulangkan di daerah asalnya.
dekat pusat kota dengan pola menyebar mengikuti perkembangan perumahan penduduk dan aktifitas perdagangan di Kota Malang. Komoditi yang diperdagangkan secara umum dari pada masa pasar tradisional, hingga pasar masa pemerintahan Gemeente hampir sama yaitu mulai bahan pangan, pakaian dan hiburan. Perbedaan hanya terletak pada jumlah kuantitas dengan pertimbangan kebersihan komoditinya. Perubahan secara administratif dari pasar masa tradisional seperti penetapan pajak di pegang secara penuh oleh kerajaan, pasca kedatangan bangsa Barat pajak ditentukan pemerintah kolonial namun banyak penyimpangan yang dilakukan oleh penarik pajak Tionghoa, pada masa pemerintahan Gemeente, pengaturan pasar berada dibawah Pasarbedrijf. Besar dan kecilnya pajak ditentukan oleh Burgemeester dan fraksi-fraksi dalam Dewan Kota. Secara garis besar tarif pajak dibedakan menjadi tiga yaitu untuk Pasar Pembantu besar, kecil dan Pasar Kampung. Peran pasar sangat penting dalam pemerintahan Gemeente Malang. Eksistensi pasar berperan sebagai media sirkulasi arus perdagangan di Kota Malang, sehingga perdagangan di Kota Malang menjadi lancar. Lancarnya arus perdagangan di Kota Malang menyebabkan peningkatan Pendapatan Gemeente. Setiap laporan tahunan Perusahaan Pasar merupakan sumber pendapatan Gemeente terbesar kedua setelah Perusahaan Air Kota. Selain sebagai media yang memperlancar arus perdagangan dan sumber pendapatan, pasar-pasar di Kota Malang selalu tidak lepas dari masalah-masalah sosial seperti gelandangan, pembunuhan, pelecehan seksual, perkelahian dan lain-lain. DAFTAR RUJUKAN A.
Arsip:
De Gemeenteraad Van Malang 1914-1926 Decentralisatie 1914-1915 Notulen raadsvergaderingen en gemeentebladen 1931 Staadgemeente van Malang Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az.51/37/A Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 288/4 Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 317/4 Gemeenteblad van Malang 1934 No.Az. 803/17/D. Gemeenteblad van Malang 1928 No.2173/27 Jaarverslag Gemeente Malang 1940
B.
Surat Kabar:
De Indische Courant 23 September 1922 “Malang En Zijne Ontwikkeling” De Indishe Courant tanggal 3 Maret 1928 “Gelimiteerde liefdadigheid” De Indishe Courant 28 Oktober 1929”Passar-Malem” De Indishe Courant 18 Maret 1930 “Nieuwe stadsuitbreiding” De Indische Courant 11 April 1932” Openbare water drink gelegen het en.” De Indische Courant 11 April 1932 “De moord op Blakang-pasar” De Indische Courant 11 April 1932” Adviseur Volkscredietwezen” De Indishe Courant tanggal 6 September 1934”Ter inleiding” De Indishe Courant tanggal 6 September 1934”Malang verzonken in bergweelde en natuurschoon” De Indishe Courant Tanggal 20 November 1934” Wat men langs den weg vond.” De Indische Courant 2 Juli 1935”De opening door mevrouw Bertsch” De Indische Courant 14 September 1937“Razzia op de Passer” Het Niuws Van Den Dag 24 November 1934”pasar banditisme”, Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Passar-Malem Ten bate A.S.I.B” Het Niuews Van Den Dag, 13 November 1935”Opbrengest Pasar Malem Ten Bate Van A. S. I. B Het Niuews Van Den Dag tanggal 1 Juli 1935, “Een Proefneming te Semarang” Het Niuws Van Den Dag 8 November 1935”Brandstichter Veroordeeldtot Twee Jaar Gevangenisstraf” Java-bode tanggal 18 Januari 1868”Kroniek voor Oost Java”, Ostoekbode tanggal 5 Juli 1922 “Een Particuliere Pasar” Pembangoenan tanggal 12 maret 1943 “Penjamoean Orang Internier Belanda” Pewarta perniagaan tanggal 12 januari 1943” Maklomat Syutyokan” Pewarta perniagaan 30 Oktober 1942”Maklomat No 1. Pendaftaran barang-barang dagangan”) Sinar Malang 2 September 1935”Passar-Malem Armenzorg Probolinggo”
Sinar Malang 1 juli 1935 hal 1-5”pasar malem editie” Sinar Malang tanggal 2 Sept 1935 hal 5”harga pasar Malang”. Soerabaijasch handelsblad 30 Agustus 1935 “Vergadering A. S. I. B Swara Malang 6 November 1937” Vegadering Gemeenteraad ing Malang” Tjahaja Timoer 19 November 1920”pasar derma” Tjahaja Timoer 6 September 1922”Pasar Malam Ang Hien Hoo” Tjahaja Timoer tanggal 21 maret 1928”Hal tentang Kuli-Kuli pasar disini” Tjahaja Timoer tanggal 15 juli 1929”tida boleh ada warong”. Tjahaja Timoer tanggal 18 Juni 1930”pasar partikuler”) Tjahaja Timoer tanggal 9 oktober 1922”pasar malem” Tjahaja Timoer tanggal 24 desember 1920”Malang terpandang siang dan malam” C. Majalah Locale Technieck 1941 D.
Buku-buku
Anshory, HM Nasrudin. 2008. Bangsa Inlander Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta : LKIS ANRI.1978. Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur Dan Tanah Kerajaan). Jakarta : ANRI Aryanti dewi, et al. 2005.Pengaruh kegiatan berdagang terhadap pola ruang dalam bangunan rumah toko di kawasan Pecinan Kota Malang. Surabaya: Jurnal Arsitektur Universitas Kristen Petra (1-10) Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak Boeke, J. H. 1983. Prakapitalisme di Asia (Terjemahan). Jakarta : Sinar Harapan. Budiningsih, C. A.2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta. Colombijn, Freek. (Eds). 2005. Kota Lama Kota Baru ; Sejarah Kota-kota di Indonesia. Yogyakarta : Ombak Domis, H. I. 1836. Residentie Pasoroeang. H. S. J de Groot: Gravenhage Geertz, Clifford. 1989. Penjaja dan Raja (Perubahan Social Dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Gottschalk, Louis.1986. Mengerti Sejarah, (terjemahan oleh Nugroho Noto Susanto).Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Malang : Pustaka Jaya. Hudiyanto, Reza. 2011. Menciptakan Masyarakat Kota : Malang di bawah Tiga Penguasa 1914-1950. Yogyakarta : Lilin Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Kotapraja Malang 50 tahun 1964 Lakeman P.K.W,.1934. Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G. Kolff & Co Lith, van PA,.1917. Encyclopaedie van Nedelandsch Indie, („s Gravenhage: Martinus Nijhoff, Purwanto, Bambang. 2010. Dimensi Ekonomi Lokal dalam Sejarah Indonesia Dalam Sri Margarana dan Widya Fitrianingsih (Eds,). Sejarah Indonesia: Prespektif Lokal dan GlobalPersembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko Suryo (Hlm 495-504). Yogyakarta: Ombak. Pigeud, Th. G. Th. 1960. Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural History. The Nagara-kretagama by Rakawi Prapanca Majapahit, 1365 A. D Jilid I. The Hague: Martinus Nijhoff. Nas, P. J. M.1979. Kota di Dunia Ketiga. Jakarta : Bhatara Karya Aksara Nas, P.J.M. 2007. Kota-Kota Indonesia: Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Onghokham.2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II; zaman kuno. Jakarta : Balai Pustaka Rafflesh, Thomas Stanford. 2008. History of Java. Narasi : Yogyakarta Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2009. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta Sardjono, M.1954. 40 Tahun Kota Malang. Malang : Pemerintah Kota Praja Malang Sayono, Joko. 2006. Buku Petunjuk Teknis Praktik Pengalaman Lapangan Bidang Studi Pendidikan Sejarah. Malang: UPT Program Pengalaman Lapangan Universitas Negeri Malang
Sutatmi dan Djoko Kusumajanto. 1993. Pengantar Ilmu Ekonomi. Malang : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Malang Proyek Operasi Dan Perawatan Fasilitas. Sjamsuddin, Helius.1996.Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak Surti, Titi Nastiti.2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna. Jakarta : Pustaka jaya. Liempt, F.J.M. 1939. Kroniek der Stadsgemeente Malang over de Jaren 1914-1939. Malang : Stadsgemeente Malang Van Scaik, Arthur. 1996. Malang Beeld Van Een Stad. Purmered: Asia Minor Wignjosoebrotoo, Soetandyo. 2004. Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda; Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang: Bayu Media Widodo,ID. 2006. Malang Tempo Dulu jilid II. Malang : Bayu Media
(www.malangkota.go.id diakses, pada tanggal 10 November 2012, Pkl 20.00 WIB). (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang diakses, pada tanggal 11 November 2012 Pkl 20.00 WIB) (http://id.wikipedia.org/wiki/Herman_Thomas_Karsten diakses tanggal 17 Desember 2012 Pkl 20.00 WIB) (http:/ http://keraton-keraton.blogspot.com/ diakses tanggal 10 November 2012 Pkl 19.00 WIB). (http://kranten.kb.nl diakses tanggal 10 Agustus 2012 Pkl 20.00 WIB) (www.niod.nl diakses tanggal 20 Agustus 2012 Pkl 15.00 WIB)