KARTIKA JURNAL ILMIAH FARMASI, Des 2014, 2 (2), 27-38 ISSN 2354-6565
27
IDENTIFIKASI KEJADIAN DAN PENANGANAN REAKSI OBAT MERUGIKAN PADA PASIEN CORONARY ARTERY DISEASE ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION DI CARDIAC INTENSIVE CARE UNIT SALAH SATU RUMAH SAKIT DI BANDUNG Vina Septiani1, Kusnandar Anggadiredja1, Lia Amalia1, Toni M. Aprami2 1
Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Indonesia 2 Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran, Indonesia
[email protected]
ABSTRAK ROM berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas, juga dengan peningkatan biaya pelayanan kesehatan. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi kejadian, jenis, dan penanganan ROM. Desain penelitian adalah analisis observasional. Data diambil secara konkuren pada pasien CAD STEMI yang dirawat di CICU selama periode Desember 2013 sampai Maret 2014. Terdapat 49 ROM yang teridentifikasi pada 29 pasien. Sistem yang paling sering dipengaruhi adalah sistem kardiovaskular dan elektrolit masing – masing 20,41%, diikuti sistem hematologi dan sistem pencernaan masing – masing 18,37%. Penanganan ROM yang paling banyak dilakukan adalah pemberian antidot atau pengobatan lain (40,82%). Rata – rata jumlah jenis obat dan lama rawat antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM secara statistik berbeda bermakna (p = 0,001 dan p = 0,011). Kata kunci : ROM, CAD STEMI, analisis observasional, konkuren.
ABSTRACT ADR related with morbidity and mortality, also enhanced healthcare cost. This research was performed to identify incidence, kind, and management ADR. Design of this research was observational analysis. Data was taken concurrently for CICU patients with CAD STEMI in period Desember 2013 until March 2014. 49 ADRs were identified on 29 patients. Cardiovascular system and electrolytes (20,41%) was the most common organ system affected due to ADRs, followed by haematology system and gastrointestinal system (18,37%). Most of ADRs were managed by giving antidote or other treatment (40,82%). The mean number of drugs and length of stay between patients with no ADRs and patients with ADRs was found to be statistically significant (p = 0,001 and p = 0,011). Key word : ADR, CAD STEMI, observational analysis, concurrent. PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian utama di dunia, 32% dari kematian pada perempuan dan 27% pada laki-laki pada tahun 2004 (WHO, 2004). Diperkirakan 17,3 juta jiwa meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, mewakili 30% dari seluruh kematian secara global. Delapan puluh persen kematian akibat penyakit kardiovaskular terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan terjadi hampir setara antara pria dan
wanita (WHO, 2013). Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyebab paling umum kematian pada penyakit kardiovaskular (45% dari semua penyakit kardiovaskular) yaitu dengan 7,200,000 kematian/tahun, atau 12% dari semua kematian di seluruh dunia (WHO, 2004). Di banyak negara berkembang, CAD adalah penyebab utama tunggal dari kematian (Beltrame dkk., 2012). Di Indonesia, prevalensi penyakit kardiovaskular pada orang di atas 15 tahun adalah 9,2% (Delima
Vina dkk.
28
dkk., 2009). Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi sindrom koroner akut adalah 7,2 % pada tahun 2007. ST segment elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindrom koroner akut yang paling berat (Firdaus, 2011). Menurut World Health Organization (WHO), reaksi obat merugikan (ROM) adalah respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diinginkan, terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis, atau terapi penyakit, atau untuk memodifikasi fungsi fisiologi (Palanisamy dkk., 2009). Berbagai studi membuktikan bahwa ROM merupakan beban dalam pelayanan kesehatan, tidak hanya berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas tetapi juga berhubungan dengan peningkatan biaya pelayanan kesehatan (Tarun dkk., 2013). Peningkatan biaya terjadi ketika ROM menyebabkan atau memperpanjang masa perawatan (Davies dkk., 2007). Kompleksitas dan intensitas perawatan yang dibutuhkan oleh pasien di intensive care, dikaitkan dengan resiko yang lebih besar akan bahaya yang disebabkan oleh perawatan tersebut. Seperti di ruang perawatan lain, obat adalah jenis terapi yang paling umum digunakan dan juga dikaitkan dengan kejadian merugikan yang paling sering terjadi di intensive care unit. Pasien dengan sakit kritis berada pada resiko tinggi untuk mengalami kejadian merugikan terkait penggunaan obat (Kane-Gill dkk., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kejadian, jenis, dan penanganan ROM dari obat yang digunakan pada pasien CAD STEMI. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data-data yang memberikan informasi tentang ROM untuk bahan pertimbangan penetapan kebijakan dalam upaya pemantauan dan pencegahan terjadinya ROM, berkontribusi pada pelaporan monitoring efek samping obat (MESO), serta sebagai bahan informasi dan pendidikan bagi profesional kesehatan. METODE Penelitian dilakukan di ruang CICU salah satu rumah sakit di Bandung mulai Desember 2013 sampai dengan Maret 2014, dengan
Vina dkk.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
menggunakan desain penelitian analisis observasional, yang dilakukan secara konkuren. Berdasarkan studi pendahuluan secara retrospektif dari data pasien Maret sampai November 2013, didapatkan diagnosis terbanyak adalah CAD STEMI. Kriteria inklusi adalah pasien berusia diatas 18 tahun, laki-laki maupun perempuan yang sedang dirawat dengan diagnosis CAD STEMI. Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien yang selama perawatan diagnosisnya non-CAD STEMI dan pasien yang meninggal < 48 jam setelah masuk CICU. Sumber data yang dikaji meliputi : rekam medik meliputi data demografi pasien, riwayat pasien (penyakit, pengobatan, alergi, sosial, keluarga), data laboratorium, diagnosis kerja, terapi, kondisi pasien setiap hari selama perawatan dan saat pulang, dan lama rawat inap; lembar observasi meliputi tanda-tanda vital pasien, gambaran EKG, instruksi dokter, terapi, dan catatan harian perawat; kartu obat meliputi nama obat, kekuatan, bentuk sediaan, aturan pakai, rute pemberian, lama pemberian. Dilakukan analisis kuantitatif meliputi data demografi pasien, penggunaan obat, dan kejadian ROM. Selain itu, dilakukan analisis penanganan ROM yang terjadi dan analisis faktor yang mempengaruhi terjadinya ROM. Analisis statistik untuk membandingkan rata-rata usia, jumlah jenis obat, dan lama rawat antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM menggunakan Independent-Samples T Test. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Demografi Pasien. ROM diidentifikasi dengan memantau perkembangan kondisi pasien, serta terapi dan perawatan yang diberikan selama dirawat, melalui evaluasi rekam medik termasuk data laboratorium, lembar observasi, dan kartu obat.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
29
Jumlah Pasien
25 20 15 10 5 0
18 – 30 tahun Laki-laki 0 Perempuan 0
31 – 43 tahun 3 1
44 – 56 tahun 21 3
57 – 69 tahun 19 0
70 – 82 tahun 3 3
Gambar 1. Profil distribusi pasien CAD STEMI berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia
Gambar 1 menunjukkan total pasien dewasa yang didiagnosis menderita CAD STEMI adalah 53 pasien, dengan jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan
pasien perempuan. Kelompok usia yang paling banyak jumlah pasiennya adalah 4456 tahun yaitu sebanyak 24 pasien (45,28%).
1,89%
Merokok
22,64%
Tidak merokok 75,47%
Tidak diketahui
Gambar 2. Riwayat merokok pada pasien CAD STEMI
Gambar 2 menunjukkan 75,47% pasien merokok, dan semuanya adalah pasien lakilaki. Merokok adalah salah satu faktor resiko terjadinya coronary artery disease. Beberapa senyawa dalam rokok, termasuk nikotin dan aldehid reaktif (seperti acrolein), telah dikaitkan sebagai mediator disfungsi
endotelial dan atherosklerosis pada perokok (Mercado dan Jaimes, 2007). Oleh sebab itu, angka riwayat penggunaan rokok yang tinggi pada laki-laki dapat merupakan salah satu faktor penyebab CAD STEMI lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Vina dkk.
30
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014,2 (2), 27-38
4 Diagnosis Tambahan 3 Diagnosis Tambahan 2 Diagnosis Tambahan 1 Diagnosis Tambahan Tanpa Diagnosis Tambahan 0
5
10 15 Jumlah Pasien
20
Gambar 3. Profil distribusi pasien dengan diagnosis tambahan pada pasien CAD STEMI
Jumlah Pasien
25 20 15 10 5 0
Diagnosis Tambahan Gambar 4. Diagnosis tambahan pada pasien CAD STEMI
Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan jumlah pasien dengan diagnosis tambahan serta jenis diagnosis tambahan. Adanya diagnosis tambahan dan satu pasien dapat menderita lebih dari satu diagnosis tambahan, menyebabkan jumlah obat yang harus digunakan oleh pasien lebih banyak dan potensi terjadinya ROM juga lebih besar. Dua diagnosis tambahan yang paling banyak
Vina dkk.
pada pasien CAD STEMI adalah hipertensi dan diabetes mellitus. Hipertensi adalah faktor resiko independen utama untuk perkembangan CAD, stroke, dan gagal ginjal (Rosendorff, 2007). Diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan hiperlipidemia, adalah faktor resiko umum penyakit kardiovaskular (HongPin dkk., 2010).
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
31
Analisis Penggunaan Obat Tabel 1. Obat Kardiovaskular yang Digunakan dan Kejadian ROM yang Dialami Pasien CAD STEMI Nama Obat Jumlah Jumlah pasien Jumlah pasien yang pasien tanpa ROM (%) mengalami ROM (%) (%) Asam asetil salisilat 53 (100) 45 (84,91) 8 (15,09) Klopidogrel 53 (100) 52 (98,11) 1 (1,89) Bisoprolol 44 (83,02) 42 (95,45) 2 (4,55) Simvastatin 44 (83,02) 44 (100) 0 Kaptopril 30 (56,60) 23 (76,67) 7 (23,33) UFH 29 (54,72) 20 (68,97) 9 (31,03) Furosemid 29 (54,72) 25 (86,21) 4 (13,79) ISDN 18 (33,96) 18 (100) 0 Fondaparinuks 11 (20,75) 11 (100) 0 Enoksaparin 10 (18,88) 9 (90) 1 (10) Atorvastatin 9 (16,98) 9 (100) 0 Spironolakton 6 (11,32) 6 (100) 0 Dobutamin 5 (9,43) 4 (80) 1 (20) Streptokinase 4 (7,55) 0 4 (100) Eptifibatid 4 (7,55) 3 (75) 1 (25) Ramipril 4 (7,55) 3 (75) 1 (25) Amiodaron 4 (7,55) 4 (100) 0 Norepinefrin 3 (5,66) 3 (100) 0 Amlodipin 2 (3,77) 2 (100) 0 Nitrogliserin 2 (3,77) 2 (100) 0 Atropin Sulfat 2 (3,77) 2 (100) 0 Ticagrelor 1 (1,89) 1 (100) 0 Kandesartan 1 (1,89) 1 (100) 0 Rosuvastatin 1 (1,89) 1 (100) 0 Gemfibrozil 1 (1,89) 1 (100) 0 Digoksin 1 (1,89) 1 (100) 0 Tabel 2. Obat Non-Kardiovaskular yang Digunakan dan Kejadian ROM yang Dialami Pasien CAD STEMI Nama Obat Jumlah Jumlah pasien Jumlah pasien yang pasien tanpa ROM (%) mengalami ROM (%) (%) Diazepam 44 (83,02) 44 (100) 0 Insulin (s.c) 10 (18,87) 10 (100) 0 Kalium klorida 10 (18,87) 10 (100) 0 Lansoprazol 9 (16,98) 9 (100) 0 Ondansetron 8 (15,09) 8 (100) 0 Morfin 8 (15,09) 7 (87,5) 1 (12,5) Ambroksol 8 (15,09) 8 (100) 0 Parasetamol 7 (13,21) 7 (100) 0 Insulin (drip) 6 (11,32) 2 (33,33) 4 (66,67) Alprazolam 5 (9,43) 5 (100) 0 Pantoprazol 5 (9,43) 5 (100) 0 Metoklopramid 4 (7,55) 4 (100) 0 Levofloksasin 4 (7,55) 4 (100) 0 Omeprazol 3 (5,66) 3 (100) 0 Ranitidin 3 (5,66) 3 (100) 0 Salbutamol + Ipratopium 3 (5,66) 3 (100) 0 Bromida (Nebulisasi) Deksametason 3 (5,66) 3 (100) 0 Seftazidim 3 (5,66) 3 (100) 0 Kalsium glukonat 3 (5,66) 3 (100) 0
Vina dkk.
32
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014,2 (2), 27-38
Tabel 2. Obat Non-Kardiovaskular yang Digunakan dan Kejadian ROM yang Dialami Pasien CAD STEMI (Lanjutan) Nama Obat Jumlah Jumlah pasien Jumlah pasien yang pasien tanpa ROM (%) mengalami ROM (%) (%) Kalsium karbonat 3 (5,66) 3 (100) 0 Petidin 2 (3,77) 2 (100) 0 Sefotaksim 2 (3,77) 2 (100) 0 Asam folat 2 (3,77) 2 (100) 0 Fluimusil 2 (3,77) 2 (100) 0 Sukralfat 1 (1,89) 1 (100) 0 Tramadol + Parasetamol 1 (1,89) 1 (100) 0 Salbutamol 1 (1,89) 0 1 (100) Flutikason (Nebulisasi) 1 (1,89) 1 (100) 0 Metilprednisolon 1 (1,89) 1 (100) 0 Seftriakson 1 (1,89) 1 (100) 0 Sefiksim 1 (1,89) 1 (100) 0 Eritromisin 1 (1,89) 1 (100) 0 Azitromisin 1 (1,89) 1 (100) 0 Meropenem 1 (1,89) 1 (100) 0 Metronidazol 1 (1,89) 1 (100) 0 Kolkisin 1 (1,89) 1 (100) 0 Magnesium sulfat 1 (1,89) 1 (100) 0 Natrium bikarbonat 1 (1,89) 1 (100) 0
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan obat – obat yang digunakan oleh pasien CAD STEMI. Obat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, obat kardiovaskular dan obat non – kardiovaskular. Obat kardiovaskular termasuk fibrinolitik, antikoagulan, antiplatelet, antihipertensi, antiangina, antihiperlipidemia, diuretik, antiaritmia dan agen inotropik positif. Obat kardiovaskular yang paling banyak digunakan adalah antiplatelet yaitu asam asetil salisilat dan klopidogrel. Semua pasien CAD STEMI menggunakan kedua obat ini, yang dikenal sebagai DAPT (Dual Antiplatelet therapy). Suatu trial pada pasien STEMI menunjukkan bahwa terapi klopidogrel 75 mg sekali sehari (dimulai dalam 24 jam masuk rumah sakit), ditambahkan pada penggunaan asam asetil salisilat selama durasi perawatan, mengurangi mortalitas dan reinfark dibandingkan plasebo (Chen dkk., 2005). Urutan kedua yang paling banyak digunakan adalah simvastatin dan bisoprolol. Terapi statin dapat mengurangi mortalitas jangka panjang pada beberapa subkelompok pasien dengan coronary artery disease (De Luca dkk., 2004). Simvastatin adalah obat yang paling banyak digunakan dibandingkan statin yang lain seperti atorvastatin dan
Vina dkk.
rosuvastatin, kemungkinan besar karena tersedia sebagai obat generik serta masuk kedalam platform berbagai cara pembayaran pasien. Bisoprolol merupakan suatu obat golongan antagonis reseptor β-adrenergik (βblocker), yang memblok reseptor β1adrenergik yang terletak di miokardium. Blokade β1 menghasilkan penurunan denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan tekanan darah, serta mengurangi kebutuhan oksigen miokardium sehingga mengurangi resiko iskemia berulang, resiko reinfark, dan terjadinya aritmia ventrikular dalam hitungan jam dan hari setelah infark miokardium (Kezerashvili et al., 2012). Sedangkan obat non-kardiovaskular yang paling banyak digunakan adalah diazepam. Diazepam digunakan untuk menghilangkan kegelisahan dan membantu pasien agar dapat beristirahat. Dengan beristirahat, beban kerja jantung pasien akan berkurang dan membantu pemulihan pasien. Tirah baring adalah salah satu terapi non-farmakologi yang direkomendasikan pada semua pasien dengan sindrom koroner akut (Kumar dan Cannon, 2009). Obat non-kardiovaskular urutan kedua yang paling banyak digunakan adalah kalium klorida dan insulin.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
33
Analisis ROM Jumlah Pasien
24 pasien 29 pasien
Pasien mengalami ROM Pasien tanpa ROM
Gambar 5. Kejadian ROM pada pasien CAD STEMI
Jumlah Pasien
20 15 10 5 0
1 ROM 2 ROM 3 ROM 4 ROM 5 ROM Jumlah Pasien 16 9 2 1 1 Gambar 6. Jumlah ROM yang dialami pasien CAD STEMI
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 49 ROM yang teridentifikasi pada 29 pasien (54,72%). Gambar 6 menunjukkan jumlah ROM yang dialami oleh pasien CAD STEMI. Satu pasien dapat mengalami lebih dari 1 ROM selama perawatan. ROM yang
terjadi menyebabkan pasien harus mendapatkan obat tambahan untuk penanganan ROM dan dapat memperburuk kondisi klinis pasien. Namun, mayoritas pasien yaitu sebanyak 16 pasien (30,19%) hanya mengalami 1 ROM.
Vina dkk.
34
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014,2 (2), 27-38
Tabel 3. Sistem yang Dipengaruhi, ROM, dan Obat Penyebab ROM Sistem yang ROM Obat penyebab Jumlah Total Jumlah dipengaruhi ROM ROM ROM (%) (%) Sistem respirasi Batuk Kaptopril 1 (50) 2 (4,08) Penurunan Saturasi Morfin 1 (50) Oksigen Sistem Hipotensi Streptokinase, 8 (80) 10 (20,41) kardiovaskular Kaptopril, Bisoprolol Bradikardia Streptokinase 1 (10) Takikardia Dobutamin 1 (10) Sistem pencernaan Mual Streptokinase 1 (11,11) 9 (18,37) Muntah Streptokinase, 2 (22,22) Asam asetil salisilat Nyeri ulu hati Asam asetil 6 (66,67) salisilat Hematologi Trombositopenia UFH 1 (11,11) 9 (18,37) Kenaikan APTT UFH 8 (88,89) Sistem endokrin Hipoglikemia Insulin 2 (100) 2 (4,08) dan metabolik Elektrolit Hipokalemia Insulin, Furosemid, 7 (66,67) 10 (20,41) Salbutamol Hipokalsemia Furosemid 2 (22,22) Peningkatan kadar Kaptopril 1 (11,11) kalium Ginjal Hematuria Eptifibatid, 5 (71,43) 7 (14,29) Klopidogrel, Asam asetil salisilat, UFH, Enoksaparin Proteinuria Kaptopril, Ramipril 2 (28,57) Total ROM 49
ROM yang terjadi pada pasien CAD STEMI, mempengaruhi berbagai sistem organ tubuh. Tabel 3 menunjukkan sistem yang dipengaruhi, ROM yang terjadi dan obat penyebab ROM. Sistem yang paling sering dipengaruhi adalah sistem kardiovaskular dan elektrolit, masing – masing 20,41% dengan hipotensi dan hipokalemia sebagai ROM yang paling banyak terjadi pada sistem ini. Hipotensi
Vina dkk.
terjadi akibat penggunaan streptokinase, kaptopril, dan bisoprolol. Selanjutnya adalah sistem hematologi dan sistem pencernaan masing – masing sebesar 18,37%. Pada sistem hematologi, ROM terbanyak adalah kenaikan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) akibat penggunaan UFH, sedangkan pada sistem pencernaan ROM yang terjadi adalah mual, muntah, dan nyeri ulu hati.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
35
Tabel 4. Penanganan ROM pada Pasien CAD STEMI Penanganan Jumlah (%) Penurunan dosis 1 (2,04) Penghentian obat sementara, diikuti modifikasi dosis 6 (12,25) Penghentian obat sementara, kemudian dilanjutkan 2 (4,08) Penghentian obat, diikuti penggantian obat 1 (2,04) Penghentian obat 7 (14,29) Penghentian obat, diikuti pemberian antidot atau pengobatan 1 (2,04) lain Penghentian obat sementara, diikuti pemberian antidot atau 5 (10,20) pengobatan lain Pemberian antidot atau pengobatan lain 20 (40,82) Tidak ada penanganan 6 (12,24) TOTAL 49 (100)
Berdasarkan Tabel 4 dapat terlihat bahwa penanganan ROM yang paling banyak dilakukan adalah pemberian antidot atau pengobatan lain. Urutan kedua adalah ROM dengan tingkat keparahan tingkat 2 (34,69%), yaitu ROM yang membutuhkan pengobatan dengan obat yang diduga dihentikan atau diubah, tidak ada antidot atau pengobatan lain yang diperlukan, tidak ada perpanjangan lama rawat. Penanganan ROM untuk ROM yang sama akibat obat yang sama, dapat berbeda. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan tingkat keparahan, serta adanya reaksi lain yang bersamaan dengan reaksi tersebut. Contohnya adalah pada hematuria akibat unfractionated heparin (UFH) dan enoksaparin, saat tidak terjadi grosshematuria maka penanganan yang dilakukan adalah penurunan dosis atau penghentian obat sementara, kemudian dilanjutkan. Tetapi, hematuria akibat UFH dapat menyebabkan penghentian obat ketika pada saat yang sama, pasien juga mengalami trombositopenia akibat penggunaan UFH (heparin-induced thrombocytopenia/HIT). Pasien yang mengalami HIT ini, mengalami kenaikan APTT disertai dengan hematuria, penanganannya adalah UFH dihentikan kemudian pasien diberikan obat lain yaitu fondaparinuks. Dalam Ahmed dkk. (2007) disebutkan, bila terjadi HIT, heparin harus segera dihentikan pada pasien resiko tinggi dan resiko intermediate - antikoagulan alternatif harus dimulai. Berdasarkan kriteria 4T yang dikembangkan oleh Warkentin dkk. (2003), pasien yang mengalami HIT ini
termasuk dalam kategori resiko intermediate, yaitu kadar trombosit menurun >50%, ROM terjadi ≤ 1 hari, dan tidak ada penyebab lain trombositopenia. Sedangkan, kenaikan APTT yang terjadi akibat UFH, umumnya ditangani dengan penghentian obat sementara, diikuti modifikasi dosis. Contoh lain adalah hipotensi akibat kaptopril. Penanganannya adalah penghentian obat, diikuti pemberian antidot atau pengobatan lain, atau penghentian obat sementara, diikuti pemberian antidot atau pengobatan lain, kemudian beberapa hari kemudian obat diberikan kembali. Penanganan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Beberapa ROM seperti batuk, peningkatan kadar kalium, dan proteinuria tidak ditangani. Hal ini kemungkinan disebabkan reaksi tersebut ringan, misalnya batuk yang tidak sering, peningkatan kadar kalium dimana kadar kalium pada batas atas rentang normal, dan proteinuria dimana kadar protein dalam urin masih < 300 mg/hari. Beberapa faktor yang dianalisis untuk melihat kaitannya dengan kejadian ROM, tersaji pada Tabel 5.
Vina dkk.
36
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014,2 (2), 27-38
Tabel 5. Faktor yang Dihubungkan dengan ROM Selama perawatan di CICU Tanpa ROM Mengalami ROM Rata-rata usia (tahun)* 56,08 ± 9,43 56,24 ± 11,45 Rata-rata jumlah jenis obat* 8,88 ± 2,42 11,38 ± 2,89 Rata-rata lama rawat di CICU (hari)* 3,38 ± 1,09 4,31 ± 1,42 Jumlah pasien dengan diagnosis 17 26 tambahan (n = 43) *Independent-Samples T Test Faktor
Tabel 5 menunjukkan rata – rata jumlah jenis obat antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM secara statistik berbeda bermakna (p = 0,001) dan rata – rata lama rawat antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM secara statistik berbeda bermakna (p = 0,011). Usia adalah faktor resiko untuk CAD yang tidak dapat dimodifikasi, pada laki-laki secara klinis menunjukkan kondisi ini pada usia 50-65 tahun dan perempuan sekitar 10 tahun kemudian, mengikuti menopause (Beltrame dkk., 2012). Namun, berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata usia antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0,957). Jumlah jenis obat yang digunakan juga merupakan faktor resiko terjadinya ROM, karena peningkatan jumlah jenis obat akan meningkatkan potensi interaksi obat dan efek adisi untuk obat dengan kerja searah. Beberapa ROM yang teridentifikasi, contohnya hematuria yang terjadi pada satu pasien, diduga akibat adanya perdarahan akibat penggunaan kombinasi eptifibatid, asam asetil salisilat, dan klopidogrel. Setelah hematuria terdeteksi, penggunaan eptifibatid dihentikan. Ketiga obat tersebut adalah agen antiplatelet. Dalam Baxter (2008), terdapat peningkatan resiko perdarahan jika klopidogrel diberikan dengan asam asetil salisilat, tapi penggunaan asam asetil salisilat dosis rendah dan klopidogrel dapat menguntungkan (Baxter, 2008). Kedua obat tersebut juga merupakan agen antiplatelet yang digunakan untuk CAD STEMI berdasarkan guideline American Heart Association 2013. Oleh karena itu, pemberian obat-obatan untuk pasien perlu dilakukan dengan mempertimbangkan rasio resiko - manfaat. Contoh lain interaksi obat
Vina dkk.
p-value 0,957 (95% CI) 0,001 (95% CI) 0,011 (95% CI)
adalah hipotensi yang terjadi pada satu pasien, diduga akibat efek sinergis penurunan tekanan darah dari penggunaan bersama kaptopril dan bisoprolol. Untuk mencegah terjadinya ROM akibat interaksi obat, perlu dilakukan pemantauan terhadap penggunaan bersamaan obat-obat yang diketahui berinteraksi. Pada pasien yang tidak terdeteksi mengalami ROM, terjadi adverse events yaitu kejadian medis tidak menguntungkan yang dihubungkan dengan penggunaan suatu obat pada manusia, terkait obat ataupun tidak terkait obat (Goldfarb, 2012). Sedangkan pada ROM, terdapat hubungan kausal antara obat dan ROM. Adverse events yang dialami oleh pasien adalah nyeri punggung, bradikardia, takikardia, sakit kepala, pusing, peningkatan kadar kreatinin, hipotensi, mual, feses cair, penurunan kadar Hb, Ht, eritrosit dan trombosit, serta peningkatan kadar SGOT. Keluhan – keluhan tersebut dialami oleh pasien selama penggunaan obat dalam masa perawatan, namun tidak diketahui apakah terkait dengan obat atau tidak. Keluhan ini dapat disebabkan oleh penyebab lain. Contohnya, nyeri punggung yang dialami pasien dapat disebabkan karena pasien terlalu lama berbaring, sedangkan keluhan seperti pusing sulit dinilai terkait obat atau tidak karena bersifat subjektif. Kejadian seperti bradikardia, takikardia, peningkatan kadar kreatinin, hipotensi, penurunan kadar Hb, Ht, eritrosit dan trombosit, serta peningkatan kadar SGOT ditegaskan dengan bukti objektif dan dapat terkait dengan obat, namun pada pasien – pasien ini, kejadian tersebut tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan obat, sehingga penyebabnya lebih diduga akibat kondisi klinis pasien, penurunan fungsi organ pasien, atau penyebab lain.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014, 2 (2), 27-38
KESIMPULAN Berdasarkan tinjauan ROM pada pasien CAD STEMI di CICU salah satu rumah sakit di Bandung mulai bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 terdapat 49 ROM yang teridentifikasi pada 29 pasien. Sistem yang paling sering dipengaruhi ROM adalah sistem kardiovaskular dan elektrolit masing – masing 20,41%, diikuti sistem hematologi dan system pencernaan masing – masing sebesar 18,37%. Penanganan ROM yang paling banyak dilakukan adalah pemberian antidot atau pengobatan lain (40,82%). Rata – rata jumlah jenis obat dan rata – rata lama rawat antara pasien tanpa ROM dan pasien yang mengalami ROM secara statistik berbeda bermakna (p = 0,001 dan p = 0,011). DAFTAR PUSTAKA Ahmed I, Majeed A, dan Powell R 2007, ‘Heparin induced thrombocytopenia : diagnosis and management update’, Postgrad Med J., vol. 83, pp. 575–582. American Heart Association 2013, ‘ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guideline’, Circulation, vol. 127, pp. e362e425. Baxter, K 2008, Stockley’s Drug Interactions, 8th ed., Pharmaceutical Press, London, 698. Beltrame JF, Dreyer R., dan Tavella R 2012, ‘Epidemiology of Coronary Artery Disease, Coronary Artery Disease – Current Concepts’ In : Dr.David Gaze, editor. Epidemiology, Pathophysiology, Diagnostics and Treatment, InTech. Chen ZM, Jiang XL, Chen YP, Xie JX, Pan HC, Collins R 2005, ‘Addition of clopidogrel to aspirin in 45,852 patients with acute myocardial infarction: Randomised placebo-controlled trial’, Lancet, vol. 366, pp. 1607–1621. Davies EC, Green CF, Mottram DR, dan Pirmohamed M 2007, ‘Adverse Drug
37
Reactions in Hospitals : A Narrative Review’, Current Drug Safety, vol. 2, pp. 7987. Delima, Mihardja L, dan Siswoyo H 2009, ‘Prevalensi dan Faktor Determinan Penyakit Jantung di Indonesia’, Buletin Penelitian Kesehatan, vol. 37, hal. 142-159. De Luca G, Suryapranata H, Zijlstra Z, Ottervanger JP, van’t Hof AWJ, Hoorntje JCS 2004, ‘Statin therapy and mortality in patients with ST-segment elevation myocardial infarction treated with primary angioplasty’, Neth Heart J., vol. 12, no. 6, pp. 271–278. Firdaus I 2011, ‘Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut’, Jurnal Kardiologi Indonesia, vol. 32, no. 4, hal. 266-71. Goldfarb NM 2012, ‘Adverse Event Terminology’, J Clin Res Best Prac., vol. 8, pp. 7. Hong-Pin Hsu, Yu-LanJou, Shing-Jong Lin, Min-JiCharng, Ying-Hwu Chen, WenShin Lee 2010, ‘Comparison of In-Hospital Outcome of Acute ST Elevation Myocardial Infarction in Patients with versus without Diabetes Mellitus’, ActaCardiol Sin., vol. 27, pp. 145-51. Kane-Gill SL, Jacobi J, dan Rothschild J 2010, ‘Adverse Drug Events In Intensive Care Units : Risk Factors, Impact, and The Role of Team Care’, Crit Care Med.., vol. 38, pp. S83-S89. Kezerashvili A, Marzo K, dan De Leon J 2012, ‘Beta Blocker Use After Acute Myocardial Infarction in the Patient with Normal Systolic Function: When is it “Ok” to Discontinue?’, Curr Cardiol Rev., vol. 8, no. 1, pp. 77–84. Kumar A dan Cannon CP 2009, ‘Acute Coronary Syndromes : Diagnosis and Management, Part I’, Mayo ClinProc., vol. 84, no. 10, pp. 917-938. Mercado C dan Jaimes EA 2007, ‘Cigarette smoking as a risk factor for atherosclerosis and renal disease: novel pathogenic insights’, Curr Hypertens Rep., vol. 9, no. 1, pp. 66-72.
Vina dkk.
38
Palanisamy S, Arul Kumaran KSG, dan Rajasekaran A 2009, ‘A Study On Assessment, Monitoring, Documentation and Reporting Of Adverse Drug Reactions At A Multi-Specialty Tertiary Care Teaching Hospital In South India’, Int.J.PharmTech, vol. 1, no. 4, pp. 1519. Rosendorff C, Black HR, Gersh BJ, Gore J, Izzo AL, Kaplan NM 2007, ‘Treatment of Hypertension in the Prevention and Management of Ischemic Heart Disease - A Scientific Statement From the American Heart Association Council for High Blood Pressure Research and the Councils on Clinical Cardiology and Epidemiology and
Vina dkk.
Kartika J. Ilm. Far, Des 2014,2 (2), 27-38
Prevention’, Hypertension, vol. 50, pp. e28e55. Tarun W, Patil PA, dan Suresh VP 2013, ‘Monitoring of Adverse Drug Reactions in Coronary Thrombosis Patients Admitted to Intensive Cardiac Care Unit in a Tertiary Care Hospital’, IJOP, vol. 6, pp. 6-12. World Health Organization.Cardiovascular Diseases, 2013, Fact Sheet No 317, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs 317/en/index.html., diakses 9 Mei 2014. World Health Organization 2004, The Global Burden of Disease : 2004 Update, Geneva.