LAPORAN HASIL PENELITIAN INDIVIDU
KARAKTERISTIK STRUKTUR KRISTAL PADA BAHAN Ni0.3Zn0.7Fe2O4 DENGAN VARIASI LAMA MILLING
SITTI AHMIATRI SAPTARI 19770416 2005 01 2 008
PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Nama NIP Judul Penelitian
: : :
Sitti Ahmiatri Saptari 19770416 2005 01 2 008 Karakteristik Struktur Kristal pada Bahan Ni0.3Zn0.7Fe2O4 dengan Variasi Lama Milling
Peneliti,
Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si NIP. 197704162005012008
Menyetujui,
Ketua Program Studi Fisika
Ketua P3M FST
Drs. Sutrisno, M.Si NIP. 195902021982031005
Dr. Elpawati Ir. MP NIP. 196412041992032001
Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hiayatullah Jakarta
Dr. Syopiansyah Jaya Putra M.Sis NIP. 196801172001121001
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Azza Wa Jalla, Robb Alam Semesta. Yang tidak ada ilah yang pantas disembah kecuali Allah. Yang seluruh detail alam semesta bersaksi bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya. Kemudian sholawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendahului manusia dalam setiap kebaikan. Tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah diajarkan dan tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah dilampaui oleh Rosulullah saw. Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana penelitian ini Penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini tidak luput dari kekurangan, namun penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Jakarta, September 2012
Sitti Ahmiatri Saptari
iii
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1. Ferit
4
2.2. Mechanical Alloying
5
2.3. Teori Dasar Sinar X
7
2.4. Kristal
13
2.5. Ukuran Butir
18
BAB 3 EKSPERIMEN
19
3.1. Alur Penelitian
19
3.2. Tempat, Waktu, dan Metode Penelitian
20
3.3. Preparasi Bahan-bahan Dasar
20
3.4. Pembuatan Sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4
21
3.5. Karakterisasi Sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4
24
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
26
BAB 5 KESIMPULAN
36
DAFTAR ACUAN
37
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya merupakan golongan ferit, yakni oksida yang disusun oleh hematit (α-Fe2O3) sebagai komponen utama. Bahan ini menunjukkan induksi magnetik spontan meskipun medan magnet dihilangkan. Ada dua jenis ferit yang banyak digunakan dalam teknologi, yakni ferroxcube dan ferroxdure. Ferroxcube pertama kali dibuat di Laboratorium Phillips oleh Snoek pada tahun 1946. Sifat-sifat khas ferroxcube antara lain resistivitas listrik tinggi, koersivitas rendah, dan permeabilitas magnetic tinggi. Karena itu fcrroxcube digolongkan dalam kelas bahan soft magnet. Penggunaan ferroxcube terutama dalam bidang elektronika frekuensi tinggi, yakni sebagai induktan dan transformator frekuensi tinggi [1]. Ferit jenis ini memiliki formula MFe2O4 dimana M= Cu, Zn, Ni, Co, Fe, Mn, Mg dengan struktur kristal seperti mineral spinel. Ni-Zn ferit termasuk material soft magnetic dan memiliki struktur spinel. Material ini telah digunakan secara luas untuk alat elektronika dan telekomunikasi [2], sehingga Ni-Zn ferit menjadi topic yang sangat menarik bagi para peneliti di seluruh dunia. Ni-Zn ferit dapat disintesis dengan berbagai macam metode misalnya dengan solution state reaction serperti yang dilakukan oleh Rao dan Setty [2], coprecipitation technique yang dilakukan oleh Velmurugan et all [3], combution reaction dilakukan oleh Turtella et all [4], sol gel method dilakukan oleh Xiao Liang et all [5], dan mechanical alloying dilakukan oleh Jalaly et all [6]. Metode mechanical alloying diketahui sangat efektif untuk mereaksikan senyawa oksida. Tujuan dari eksperimen ini adalah untuk mengetahui struktur kristal dari sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 yang diproduksi melalui metode mechanical alloying
1
dengan variasi lama milling. Struktur kristal sampel dapat diketahui dengan melakukan karakterisasi menggunakan XRD.
1.2. Perumusan Masalah Secara umum perumusan masalahnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Bagaimana
proses
yang
dilakukan
untuk
pembuatan
sampel
masing-masing
sampel
Ni0.3Zn0.7Fe2O4 dari bahan dasar Ni, ZnO, dan Fe2O3.
Bagaimana
pola
difraksi
sinar
X
dari
Ni0.3Zn0.7Fe2O4 dengan variasi waktu milling 2jam, 5 jam, 7 jam, 10 jam, 15 jam, dan 20 jam.
Bagaimana struktur kristal sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan yang dibahas diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
Untuk mengetahui proses pembuatan bahan Ni0.3Zn0.7Fe2O4.
Untuk mengetahui struktur kristal bahan Ni0.3Zn0.7Fe2O4 .
Untuk mengetahui ukuran kristal (butir) bahan Ni0.3Zn0.7Fe2O4.
1.4. Sistematika Penulisan Adapun sistematika didalam penulisan laporan hasil penelitian ini terdiri atas: Bab 1: Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan literatur Bab ini mencakup penjelasan mengenai beberapa penelitian terdahulu mengenai
Ni-Zn Ferit
dan beberapa karakteristiknya
pengetahuan dan hasil analisa penelitian . Bab 3: Eksperimen
2
yang menunjang
Bab ini berisi tentang eksperimen yang dilakukan terdiri atas tempat, waktu, metode yang dipakai, preparasi sampel, alat-alat yang diperlukan serta diagram alur penelitian. Bab 4: Hasil dan Pembahasan Bab ini menampilkan hasil penelitian karakterisasi sampel berupa hasil pola difraksi sinar X dan pengolahan data. Serta pembahasan hasil eksperimen yang telah diperoleh. Bab 5: Kesimpulan Kesimpulan merupakan sebuah intisari dari seluruh kegiatan ini yang mengacu pada tujuan awal penelitian.
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ferit Selain bidang elektronik dan informasi, material magnetik mengambil peranan penting dalam kehidupan modern. Saat ini material magnetik digunakan di berbagai bidang. Meskipun fungsi magnetik diperlukan untuk tujuan masingmasing, namun secara umum magnet terbagi menjadi dua yaitu magnet keras dan magnet lunak. Magnet lunak dapat tertarik magnet permanen, sedangkan magnet keras dapat menjadi magnet permanen. Material magnetik terbagi menjadi material magnetik logam dan material magnetik oksida (keramik). Meskipun permeabilitas awal dan densitas fluks magnetik dari material magnetik logam tinggi namun kehilangan arus eddy cukup besar pada frekuensi tinggi, hal ini disebabkan karena resistivitas listriknya rendah. Karena alasan tersebut pada umumnya material magnetik logam digunakan dalam bentuk inti multilayer pelat tipis yang digulung. Oksida kompleks yang terdiri dari ion besi trivalen merupakan bahan utama yang umum disebut ferrite. Grup ini umumnya menunjukkan sifat ferimagnetik yang
diaplikasikan dalam industri secara luas.Baru-baru ini,
karakteristik frekuensi tinggi yang melebihi ferit dengan mengalikan lapisan tipis telah diperoleh. Ferit lunak memiliki karakteristik menarik pada frekuensi tinggi karena resitivitas listriknya tinggi sehingga sering digunakan sebabagai induktor dan material inti pada transformer. Ferit keras sering digunakan sebagai magnet permanen pada speaker dan motor. Dari sudut pandang bidang yang diterapkan, ferit lunak digunakan dalam medan magnet bolak-balik. Sifat magnetik sangat baik pada frekuensi tinggi dibandingkan material magnetik logam sejak ferit menunjukan resistivitas listrik lebih tinggi dan kehilangan arus eddy yang lebih kecil. Oleh karena itu, pada pita frekuensi tinggi material ferit banyak digunakan.
4
Pada ferit lunak terdapat dua formula kimia, yaitu tipe spinel (MeFe2O4) dan tipe garnet (Me3Fe5O12), dapat dilihat dalam Tabel 2.1. Ferit lunak memiliki gaya koersivitas kecil, dan permeabilitas yang penting. Densitas fluks magnetic besar dan magnetokristalin anisotropi dan magnetoristrik kecil menjadikan permeabilitas meningkat. Struktur tipe spinel, magnetokristalin anisotropinya lebih kecil sehingga permeabilitas tinggi. Karakteristik yang diinginkan dari ferit adalah temeperatur Curie tinggi, permeabilitas tinggi, dan stabilitas tinggi, tapi tidak semua karakteristik tersebut ada pada satu material, sehingga berbagai macam tipe spinel dari ferit digunakan tergantung tujuannya.
Tabel 2.1. Sifat magnetic dari ferit [7]
2.2. Mechanical Alloying Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.1.
5
Gambar 2.1. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying [8]
Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah: ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.Keuntungan dari penggunaan ball mill adalah sederhana dan dapat menghasilkan kapasitas produksi yang cukup besar dan ekonomis [8]
6
2.3. Teori Dasar Sinar-X Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [9] berikut:
(2.1)
Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34 [J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108 [m/s] ) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10 [m] ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15 [J] atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2. Energi ionisasi beberapa atom ringan Atom
Energi Ionisasi (eV) I
II
III
IV
V
VI
VII
H
14
1
He
25
55
4
Li
5
76
123
9
Be
9
18
154
218
16
Be
8
25
38
260
341
25
C
11
24
48
64
393
492
36
N
14
30
48
78
98
523
668
49
Sinar-X ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria (sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan
7
menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi. Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron. Pada Gambar 2.2 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah menjadi sinar-X.
Gambar 2.2. Skema produksi sinar-X
8
Proses terjadinya sinar-X dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
2.3.1 Brehmsstrahlung Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah mengalami penghentian. Gambar 2.3 menjelaskan bagaimana proses terjadinya sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial pepercepat.
Gambar 2.3. Sinar-X bremsstarhlung
9
2.3.2. Sinar-X karakteristik Pada Gambar 2.4 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.
Gambar 2.4. Sinar-X karakteristik
Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih level energi elektronnya. Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X Kβ untuk dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk transisi M ke L dan Lβ untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan
10
kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.
2.3.3. X-Ray Diffraktometer (XRD) Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi. Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masingmasing
atom
dapat
menghamburkan
gelombang
elektromagnetik
yang
mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913, yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg. Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
11
Gambar 2.5. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif
Gambar 2.6. Hamburan sinar-X pada kristal
Syarat yang diperlukan agar sinar-x membentuk interaksi konstruktif dapat dilihat pada Gambar 2.5. diatas. Suatu berkas sinar-x dengan panjang gelombang jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan keluarga bidang Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n , dengan n sebagai bilangan bulat. 12
dan
Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah -
Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama
-
2d sin θ = n ; n = 1, 2, 3, ... dst karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I, bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.
Gambar 2.7. Skema XRD [10]
2.4. Kristal Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang teratur (kristal). Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi, sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya,
13
adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer.
2.4.1. Kisi kristal Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi ruang. Berikut ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem kristal:
Gambar 2.8. Sistem dan kisi kristal
2.4.2. Parameter Kisi Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut disebut dengan α, β, λ . Berikut adalah ilustrasi dari parameter kisi:
14
Gambar 2.9. Parameter kisi
2.4.3. Sistem kristal Terdapat tujuh system kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan pada karakteristik unit selnya, antara lain sifatsifat vector basis, sudut antar vector basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl) dan konstanta kisi. Pada gambar 2.10 ditunjukkan tujuh system krsital berikut pengembangan empat belas kisi bravaisnya.
15
Gambar 2.10. Sistem kristal dan 14-kisi bravais [11]
2.4.4. Indeks Miller Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vector basis a, y adalah fraksi perkalian dari vector b dan z adalah perkalian dari vector basis c, maka invers dari ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi symbol (hkl). Hubungan ketiga indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.
16
Gambar 2.11. Bidang kristal pada berbagai indeks miller
2.4.5. Jarak Bidang Kristal ( d ) Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai berikut:
(2.2)
dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.
17
2.5. Ukuran Butir Difraktometer sinar-X dapat digunakan untuk mengidentifikasi ukuran butir pada suatu sistem kristal dengan cara menukur lebar setengah puncak pada sudut 2 tertentu menggunakan metode Debye Scherrer.
t
K B cos
(2.3)
Dengan : t = ukuran butir K = konstanta faktor koreksi (0.9) B = lebar puncak pada setengah intensitas maksimum λ = panjang gelombang sinar X θ = sudut pusat dari puncak
Hal tersebut didasarkan pada prinsip interferensi konstruktif dari butur-butir kristal yang memiliki parameter kisi yang sama sehingga akan mendifraksikan sinar-X pada arah yang sam pula. Menurut Cullity [12] pelebaran garis difraksi sinar-X dapat terjadi karena adanya strain kisi akibat mengecilnya ukuran grain kristal, selain itu dislokasi (pergeseran) dan vakansi (kekosongan) pada kisi-kisi kristal memberikan kontribusi yang cukup signifikan.
18
BAB 3 EKSPERIMEN 3.1. Alur Penelitian Alur penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Preparasi Material
Serbuk Ni, ZnO, dan Fe2O3
Pencampuran (Mixing)
Proses mechanical milling
Variasi lama milling 2, 5, 7, 10, 15, dan 20 jam
Kompaksi
Sintering
XRD
Pengolahan data dan Analisis
Gambar 3.1. Alur Penelitian
19
3.2. Tempat, Waktu, dan Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dibeberapa tempat, yakni:
Laboratorium Departemen Fisika UI, Depok.
Milling Centre Services
Labotatorium BATAN, Serpong, Tangerang
Penelitian berlangsung selama empat bulan, metode yang digunakan adalah metode eksperimen
3.3. Preparasi Bahan-bahan Dasar dan Komposisinya Bahan-bahan
dasar
yang
dipergunakan
untuk
membuat
sampel
Ni0.3Zn0.7Fe2O4 adalah sebagai berikut : Tabel 3.1. Bahan dasar sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 No
Nama
Formula
Produk
Mr
Kemurnian
Ni
Merck
58,71
99,0 %
Kimia
1.
Nikel
2.
Seng Oksida
ZnO
Merck
81,41
99,0 %
3.
Besi (III) Oksida
Fe2O3
Merck
159,69
95,0 %
Pencampuran bahan dasar Ni, ZnO, dan Fe2O3 yang berbentuk serbuk agar terbentuk sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 sebanyak 30 gram, perhitungan komposisi massa bahan mengunakan prinsip stokiometri dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
A Ni(s) + B ZnO(s) + C Fe2O3(s)
D Ni0.3Zn0.7Fe2O4 + E O2
Komposisi massa Massa Ni =
20
Massa ZnO =
Massa Fe2O3 =
Mr Ni0.3Zn0.7Fe2O4 = 239,08 Tabel 3.2. Komposisi masssa sampel No
Nama
Massa (gram)
1.
Nikel
2,21
2.
Seng Oksida
7,15
3.
Besi (III) Oksida
20,04
3.4. Pembuatan Sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 3.4.1. Proses Milling Setelah mengetahui persamaan reaksi dan komposisi massa sampel dan massa bahan-bahan dasar, bahan-bahan dasar ditimbang dengan menggunakan neraca digital type Libror AE-210 merek Shimadzu dengan kapasitas 200,0000 gram, skala terkecil 0,0001 gram (Gambar 3.2).
21
Gambar 3.2. Neraca digital Shimadzu
Setelah ke-tiga massa bahan-bahan dasar di timbang, bahan-bahan dasar tersebut dicampur dan dihaluskan melalui proses mechanical alloying untuk waktu milling efektif 20 jam dengan Planetary Ball Mill. Saat dimilling material dicuplik ketika waktu milling 2, 5, 7,10, 15, dan 20 jam. Komponen peralatan Planetary Ball Mill terdiri dari: 1. Vial 2. bola-bola logam (ball mill) 3. Planetary Ball Mill Peralatan Planetary Ball Mill ini, pada prinsipnya digunakan untuk mencampur bahan-bahan dasar dan menghaluskannya agar menghasilkan butiran-butiran relatif lebih halus (bahan nanostructur) serta terbentuknya struktur yang metastabil. Vial adalah wadah (tempat) serbuk bahan-bahan dasar akan dicampurkan, berbentuk silinder dibuat dari bahan stainless stell (SS) lengkap dengan tutup dan dudukannya. Vial akan dipasangkan pada alat penggetar (vibration) saat kita akan menghaluskan bahan-bahan dasar tersebut. Vial yang kita buat terdiri atas 3 tabung agar dapat mengerjakan milling 3 sampel sekaligus. Vial dilengkapi bolabola logam (ball mill) dengan tiga (3) ukuran berbeda ; besar, sedang dan kecil. Bola logam ukuran besar dan bola logam ukuran sedang digunakan untuk menumbuk campuran agar serbuk menjadi lebih halus, sedang bola kecil
22
berfungsi meratakan, mengaduk campuran agar cepat bersatu dan rata pada setiap bagian (homogen). Perbandingan massa sampel dan massa bola-bola logam minimum adalah 1 : 10, agar didapatkan proses miling yang lebih efektif dan efisien.
3.4.2. Proses Pemanasan Sebelum dipanaskan, semua sampel dikompaksi terlebih dahulu dengan menggunakan alat pencetak pellet (Gambar 3.3).
Gambar 3.3. Alat kompaksi
Kemudian semua sampel yang telah dikompaksi dipanaskan sampai temperatur 1200oC dengan menggunakan tube furnace High Temperature Furnace merk Termolyne (Gambar 3.4).
Kesemua sampel pellet menjalani proses
pemanasan dengan pola seperti pada Gambar 3.5.
23
Gambar 3.4. High temperature Furnice Thermolyne 46100
1200oC T Furnace cooling 8 jam
2 jam waktu
Gambar 3.5. Pola perlakuan pemanasan
3.5. Karakterisasi Sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel menggunakan XRD merek Philips, type 1710. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode Cu, dengan panjang gelombang 1,5405 °A, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan timer per step 0,5 detik, dilakukan di BATAN, Serpong.
24
Gambar 3.6. Alat Difraksi sinar-X (XRD)
25
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola difraksi sinar X dari seluruh sampel dengan variasi lama milling dapat dilihat dalam Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Pola difraksi sinar X sampel dengan variasi lama milling
Dari hasil pola difraksi tersebut kita perlu mengetahui apakah hasil sintesis sudah menghasilkan fasa tunggal atau belum (masih ada fasa bahan-bahan dasar). Oleh karena itu dilakukan identifikasi awal dari masing-masing sampel dengan menggunakan program Match seperti yang ada dalam Gambar 4.2.
26
Gambar 4.2 . Identifikasi fasa pola XRD pada sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 dengan program Match Group ruang dari fasa Fe2O4Zn adalah f d -3 m , system kristalnya cubic dengan parameter kisi a = b = c = 8,4412 Å dengan α = β = γ = 90o. Group ruang dari fasa Fe2O3 adalah R -3 c , dengan parameter kisi a = b = 5,0380 Å dengan α = β = 90o dan γ = 120o. Group ruang dari fasa NiO adalah f m -3 m , system kristalnya cubic dengan parameter kisi a = b = c = 6,849 Å dengan α = β = γ = 90o. Group ruang dari fasa Fe2O4 (Ni,Zn) adalah f d -3 m , system kristalnya cubic dengan parameter kisi a = b = c = 8,4025 Å dengan α = β = γ = 90o. Setelah didapatkan perkiraan jenis fasa yang terkandung di dalam sampel disertai parameter kisi dan grup ruang nya, maka untuk memastikan apakah fasa yang terkandung di dalam sampel tersebut memang benar serta untuk menentukan fraksi berat masing-masing fasa tersebut maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut lagi dengan menggunakan software GSAS (General Structure Analysis System). Hasil refinement untuk masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 4.3. sampai Gambar 4.8.
27
Gambar 4.3. Hasil refinement sampel milling 2 jam (χ2 =1,251).
28
Gambar 4.4 . Hasil refinement sampel milling 5 jam (χ2 =1,286).
29
Gambar4.5. Hasil refinement sampel milling 7 jam (χ2 =1,289). 30
Gambar 4.6. Hasil refinement sampel milling 10 jam (χ2 =1,208).
31
Gambar 4.7. Hasil refinement sampel milling 15 jam (χ2 =1,178). 32
Gambar 4.8. Hasil refinement sampel milling 20 jam (χ2 =1,053).
33
Hasil refinement dari seluruh sampel dengan variasi lama milling memberikan
informasi
bahwa
belum
terbentuk
sampel
fasa
tunggal
Ni0.3Zn0.7Fe2O4, kecuali pada sampel dengan lama milling 20 jam (Tabel 4.1). Dari hasil refinement ini juga nampak bahwa fasa ZnFe2O4 adalah fasa paling dominan dan juga paling stabil, karena semakin lama waktu milling fraksi massanya bertambah. Namun saat sampel telah dimilling selama 20 jam ternyata terbentuk fasa tunggal Ni0.3Zn0.7Fe2O4. Hal ini menunjukan bahwa fasa NiO berdifusi ke dalam fasa ZnFe2O4 untuk menghasilkan struktur Ni-Zn ferit. Mekanisme ini sama seperti yang telah dilaporkan oleh Jalaly et all [6]. Hasil refinement juga memberikan informasi mengenai stuktur kristal NiZn ferit yakni kubik dengan grup ruang f d -3 m. Parameter kisi a = b = c = 8,4344 Å dengan α = β = γ = 90o
Tabel 4. 1. Fasa yang terbentuk dalam sampel hasil sintesa Fasa
ZnFe2O4
NiO
Fe2O3
Ni0.3Zn0.7Fe2O4
2
0,700
0,180
0,120
0
5
0,765
0,159
0,076
0
7
0,809
0,096
0,095
0
10
0,842
0,105
0,053
0
15
0,884
0,059
0,057
0
20
0
0
0
1
Lama milling (jam)
Ukuran butir dari kristal dapat diperoleh dengan menggunakan metode Scherer [12]. Bentuk umum dari persamaan Scherer adalah :
t
K B cos
(4.1)
Dengan : t = ukuran butir K = konstanta faktor koreksi (0.9) B = lebar puncak pada setengah intensitas maksimum
34
λ = panjang gelombang sinar X θ = sudut pusat dari puncak
Ukuran butir juga dapat dicari dengan menggunakan hasil GSAS mengikuti persamaan berikut [13] :
λ
(4.2)
Dengan menggunakan persamaan (4.2) diperoleh ukuran butir sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 yang telah sefasa adalah sekitar 910 Å.
35
BAB 5 KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan 1. Sampel Ni0.3Zn0.7Fe2O4 fasa tunggal terbentuk setelah dilakukan milling selama 20 jam. Hasil XRD menunjukkan mekanisme pembentukan sampel diawali dengan pembentukkan Zn ferit kemudian diikuti dengan pembentukan Ni-Zn ferit. 2. Struktur kristal Ni-Zn ferit adalah kubik dengan grup ruang f d -3 m. Parameter kisi a = b = c = 8,4344 Å dengan α = β = γ = 90o . 3. Ukuran butir sampel Ni-Zn ferit yang telah sefase adalah 910 Å.
5.2. Saran Untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya diteliti pula 1. Karakterisasi sifat magnetic bahan Ni-Zn ferit. 2. Karakterisai struktur morfologi dengan menggunakan SEM
36
DAFTAR ACUAN
[1]
Marsongkohadi, et all, Proceedings ITB 19, (1986)
[2]
P. B. C Rao and S. P.Setty, Int. J.Eng. Sci. and Tech. 2, (2010)
[3]
K. Velmurugan et all, Material Research 13, (2010)
[4]
E. Turtella et all, Material Research 7, (2004)
[5]
Xiao Liang et all, Transf. Nonferrous Met. Soc. China 17, (2007)
[6]
M. Jalaly, et all, Journal of Alloys and Compounds 480, (2009)
[7]
Somiya, Handbook of Advanced Ceramics, (2003)
[8]
C. Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling, (2004)
[9]
Beisser, Konsep Fisika Modern, (1987)
[10]
Hikam, Catatan Kuliah Kristalografi & Teknik Difraksi, (2007)
[11]
C. Kittel, Introduction of Solid State, (1999)
[12]
B.D. Cullity, Element of XRD, (1978)
[13]
GSAS Manual Book
37