KARAKTERISASI MEKANIK MATERIAL KOMPOSIT SERAT ORGANIK SEBAGAI BAHAN ALTERNATIF PROTOTIPE KAPAL CEPAT Nur Yanu Nugroho, Akhmad Basuki Widodo, Tri Agung Kristiyono Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya 60111
Abstrak: Salah satu bahan alternatif yang banyak digunakan sebagai material pembuatan kapal cepat adalah komposit yang mempunyai keunggulan dalam kemudahan pembuatannya dan daya tahannya terhadap korosi. Material komposit yang banyak digunakan adalah FRP (Fiberglass Reinforced Plastic) namun masih banyak kelemahannya karena kurang ramah lingkungan. Dalam penelitian ini dikaji karakteristik mekanik material komposit dari beberapa serat organik yang mempunyai sifat ramah lingkungan dan banyak tersedia di wilayah Indonesia. Serat organik yang dikaji adalah: serat bambu, serat sabut kelapa, serat rosella dengan menggunakan pengujian tarik dan bending yang sesuai dengan standar ASTM (American Standards of Test Materials) dalam rangka penerapannya sebagai material alternatif dalam pembuatan badan kapal cepat. Dalam penelitian ini dihasilkan beberapa informasi yang bermanfaat untuk pembuatan kapal cepat, misalnya: kekuatan tarik, kekuatan tekuk, kekuatan impact, modulus Young, defleksi dan konfigurasi laminasi. Berdasarkan karakteristik mekanik serat organik yang dilakukan pengujian diperoleh data bahwa serat bambu yang mempunyai karakteristik mekanik paling baik diantara serat variasi yang lain. Kata kunci: material komposit, serat bambu, serat rosella, serat sabut kelapa, kapal cepat Abstract: One alternative material that is widely used as a fast boat building material is a composite which has advantages in ease of manufacture and resistance to corrosion. Composite materials are widely used FRP (Fiberglass Reinforced Plastic), but there are still many weaknesses as less environmentally friendly. In this study examined the mechanical characteristics of the composite material of organic fibers that have environmentally friendly properties and are widely available in Indonesia. Organic fibers studied were: fiber bamboo, fiber coco, fiber jute using tensile and bending tests in accordance with ASTM (American Standards of Test Materials) in the context of its application as a material alternative in the manufacture of the hull fast boat. In this study produced some useful information for the manufacture of a fast boat, for example: tensile strength, bending strength, impact strength, Young's modulus, deflection and laminate configuration. Based on the mechanical characteristics of organic fiber testing data showed that the bamboo fiber has good mechanical characteristics of the fibers among other variations. Keywords: composite materials, bamboo fiber, roselle fiber, coco fiber, speed boat
71
PENDAHULUAN Perkembangan material komposit dalam dunia industri mempunyai peranan yang sangat penting dan ruang lingkup yang cukup luas. Oleh sebab itu material komposit perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga mampu memberi nilai tambah dan memiliki sifat tertentu yang sesuai dengan peruntukannya. Material komposit merupakan kombinasi dari dua atau lebih material pembentuk melalui pencampuran atau penggabungan, di mana setiap material mempunyai sifat yang berbeda dan saling menunjang sehingga menjadi material yang kuat. Hasil penggabungan kedua material atau lebih tersebut mempunayi sifat yang berbeda dengan sifat material aslinya. Pada umumnya penguat yang dipakai dalam struktur komposit merupakan bahan sintesis (Hadi Widodo, 1998). Dalam perkapalan penggunaan komposit tersebut dikenal dengan nama Fiberglass Reinforced Plastic (FRP). Untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah di nusantara ini, maka perlu dikaji penggunaan serat organik sebagai bahan penguat dalam komposisi bahan komposit. Keunggulan penggunaan serat organik jika dibandingkan dengan serat
sintesis diantaranya adalah: potensi yang cukup besar, murah dan mudah terdegradasi (high biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan. Salah satu material yang ringan dengan kekedapan dan daya tahan tinggi terhadap perubahan cuaca dan senyawa kimia tertentu, seperti sifat basa atau air laut (NaCl). Material komposit FRP adalah gabungan dari serat (fiber) yang sangat kuat dengan resin yang mempunyai kekuatan rendah. Menurut Conwy G dan Bryn Y (1991) keuntungan bahan FRP dalam pembuatan kapal adalah: (1) Biaya pembuatan dan pemeliharaan yang rendah, hal ini disebabkan tidak adanya pendempulan, tidak bocor dan tanpa sambungan serta tidak dijumpainya kembang-susut. (2) Simpel dalam pembuatan, karena dengan satu cetakan dapat dibuat beberapa kapal. (3) Tidak memerlukan keahlian (skill) yang tinggi. Keuntungan FRP dibandingkan dengan bahan lain seperti kayu adalah FRP mempunyai konstruksi yang homogen, ketebalan bahan yang lebih tipis, tahan terhadap jamur dan binatang laut. Pada Gambar 1. ditunjukkan perbedaan konstruksi kapal dari kayu dan FRP dalam pembuatan kapal.
Gambar 1. Perbedaan Konstruksi Kapal Kayu dan Kapal GRP
72
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Material komposit dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: komposit fibrous (mengandung fiber dalam matrik), komposit partikel (terdapat partikel dalam matrik) dan komposit berlapis (terdiri dari beberapa lapis material yang berbeda). Dalam menganalisa kekuatan material komposit ada dua macam tinjauan, yang meliputi: mikromekanik (kekuatan matrik berdasarkan material pembentuknya) dan makromekanik (kekuatan didasarkan pada matrik yang telah jadi). Dalam kenyataannya kedua sistem ini banyak digunakan, namun yang paling rasional adalah dengan metode makromekanik. Dalam perkembangannya material komposit banyak mendapatkan perhatian untuk penggunaan di laut yang rawan terhadap korosi. Namun demikian semua komposit yang diteliti masih sangat terbatas pada serat organik. Dalam penelitian yang telah dilakukan, disebutkan bahwa material komposit yang digunakan dalam pembuatan kapal masih didominasi oleh serat gelas (fiberglass). Material yang cocok untuk pembuatan kapal dengan bahan komposit, dituntut kaku dengan high performance sehingga dibutuhkan bahan carbon fiber dan aramid fiber (Yates J, 1992). Penelitian tentang sifat mekanis bambu telah diawali oleh Jain S and Kumar R (1994) dan Morisco (1999). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kuat tarik dan kuat tekan sejajar serat bambu mencapai 200-300 MPa. Sedangkan kuat lentur (modulus elastisitas) antara 80-100 MPa. Tetapi kekuatan geser tegak lurus serat hanya berkisar 2,5 MPa, sementara modulus elastisitas sejajar serat dapat mencapai 10-20 MPa. Bambu merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan pada umur 3-6 tahun sudah dapat dimanfaatkan. Berdasarkan perkemba-
ngan biologisnya, bambu mampu bertambah tinggi 5 cm setiap jam (Morisco, 1999). Dengan demikian bambu merupakan serat yang potensial dipakai sebagai elemen konstruksi kapal. Jika dibandingkan dengan baja, bambu mempunyai kuat tarik 1/3 kali dari kuat tarik baja. Namun demikian kerapatan (density) baja mencapai 6-8 kg/dm3 sedangkan bambu hanya 0,6-0,8 kg/dm3. Sehingga per satuan berat jenis, bambu mempunyai kekuatan tarik sepuluh kali dibandingkan dengan kekuatan tarik baja. Selain itu bambu mempunyai kekuatan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan baja tulangan beton. Menurut Morisco (1999), kekuatan tarik bambu Ori mencapai 5000 kg/cm2 sedangkan beton bertulang hanya 3000 kg/cm2.
METODE PENELITIAN Metode yang dipakai dalam penelitian ini secara garis besar meliputi: Pembuatan Spesimen Komposit Bahan Serat Organik Konfigurasi pembuatan spesimen material komposit campuran antara resin dan serat sebagai penguat dalam penelitian ini dibuat dengan mengacu pada standar DNV (Det Norske Veritas), 1991. Variasi 1: resin 75% dengan serat 25%. Variasi 2: resin 67% dengan serat 33%. Variasi 3: resin 50% dengan serat 50%. Dalam pembuatan spesimen, selain variasi komposisi campuran antara resin dan serat, juga dilakukan variasi arah serat yaitu 0o dan 45o. Perhitungan Berat Sesuai Konfigurasi Lamina Sesuai dengan konfigurasi lamina yang telah ditentukan berdasarkan
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
73
standar DNV (1991), material spesimen komposit yang telah selesai dibuat masing-masing diukur beratnya. Berat spesimen ini akan menjadi bahan petimbangan dalam perencanaan pembangunan kapal cepat. Konstruksi badan kapal cepat selain harus kuat terhadap beban yang bekerja pada kapal, juga dituntut harus seringan mungkin untuk meningkatkan performance dari kapal cepat.
Pembuatan Spesimen Pengujian Sesuai dengan Standar ASTM Penggunaan standar pengujian spesimen material komposit serat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) Pengujian tarik, digunakan Standard Test Method for Tensile Properties of Plastics (ASTM, D3039-93).
Gambar 2. Dimensi Spesimen untuk Uji Tarik (b) Pengujian tekuk (bending), digunakan Standard Test Method for Flexure Properties of Unreinforced and Reinforced
Plastics and Electrical Insulating Material, (ASTM D709M-86).
L/2
L/2
L
Gambar 3. Spesimen untuk Uji Bending/Tekuk (c) Pengujian pukul (impact), digunakan Standard Test Method for Impact
74
Resistance of Plastics and Electrical Insulating Materials, (ASTM D256-93a).
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Gambar 4. Spesimen untuk Uji Impact
Pengujian (Tarik, Tekuk, Impact) Hasil pengujian yang dilakukan sangat penting untuk mengetahui kekuatan tarik, tekuk dan impact pada material komposit yang akan digunakan untuk bahan pembuatan kapal. Ketiga sifat meknik ini sangat menentukan apakah material yang diuji memenuhi standar kekuatan kapal atau tidak. Sifat mekanik dari bahan komposit dapat ditentukan harga tegangan () dengan perhitungan: P A0
=
dimana: = Tegangan P = Beban tarik A0 = Luas penampang mula-mula
(1)
batang
uji
Besarnya regangan yang terjadi dihitung dengan menggunakan rumus: ε
=
(L1-L0 x 100% L0
(2)
dimana: ε = Regangan (%) L1 = Panjang akhir batang uji (mm) L0 = Panjang mula-mula batang uji (mm)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Spesimen Serabut Kelapa (Cocofiber) Dari hasil pengujian didapat datadata sifat mekanik dari material komposit serat cocofiber yang berupa kuat tarik, kuat lentur, modulus elastisitas dan regangan. Spesimen pengujian dibuat tiga macam variasi. yaitu Variasi I adalah terdiri atas lima lapis serat serabut kelapa dari jenis coco mat dan woven roving, Variasi II terdiri atas enam lapis serat serabut kelapa dari jenis coco mat dan woven roving, dan Variasi III terdiri atas tujuh lapis serat serabut kelapa dari jenis coco mat dan woven roving. Pemilihan 2 variasi mengacu (kgf/mm pada standar , N/mm2)ASTM dimana komposisi(kgf, resinN)dan serat dengan perbandingan 75% : 25%; 67% : 33%; 50% : 50%. Dari pengujian (mm2)tarik dan bending pada spesimen uji Variasi I, II dan III didapatkan data-data yang kemudian dibuat grafik hubungan antara kuat tarik, kuat lentur, modulus elastisitas dan regangan dengan variasi spesimen. Jumlah spesimen pengujian Variasi I sebanyak 5 buah. Nilai rata-rata kuat tarik untuk spesimen uji Variasi I adalah 10,808 MPa, regangan 0,015%, modulus elastisitas kuat tarik 71,116 MPa, kuat lentur 20,336 MPa dan modulus elastisitas kuat lentur sebesar 77,634 MPa. Jumlah spesimen uji Variasi II juga sebanyak 5 buah. Nilai rata-rata kuat
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
75
tarik untuk spesimen uji Variasi II adalah 11,660 MPa, regangan 0,016%, modulus elastisitas kuat tarik 73,677 MPa, kuat lentur 22,342 MPa dan modulus elastisitas kuat lentur sebesar 79,005 MPa. Sedangkan data-data hasil uji tarik dan uji bending untuk spesimen uji Variasi III nilai rata-rata kuat tariknya
sebesar 13,906 MPa , regangan 0,017%, modulus elastisitas kuat tarik 79,998 MPa, kuat lentur 28,784 MPa dan modulus elastisitas kuat lentur sebesar 89,044 MPa. Data hasil pengujian spesimen cocofiber dapat ditunjukkan pada Gambar 5.
MPa 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Modulus Lentur Modulus Tarik Kuat Lentur Kuat Tarik Regangan Variasi I
Variasi II
Variasi III
Gambar 5. Grafik Hasil Pengujian Tarik dan Bending Pada Cocofiber
Pengujian Spesimen Serat Bambu (Bamboofiber) Spesimen pengujian dibuat dari dua jenis serat bambu yang terdiri atas bambu Petung dan bambu Apus. Variasi spesimen yang digunakan pada pengujian meliputi: 1. Bambu Petung dengan arah potongan radial untuk serat dianyam (Variasi PRA) dan yang tidak dianyam (Variasi PRT). Arah potongan tangensial untuk serat dianyam (Variasi PTA) dan yang tidak dianyam (Variasi PTT). Sisa-sisa serpihan dari bambu Petung (mat) juga dibuat menjadi spesimen (Variasi PM). 2. Bambu Apus dengan arah potongan radial untuk serat dianyam (Variasi ARA) dan yang tidak dianyam (Variasi ART). Arah potongan tangensial untuk serat dianyam (Variasi ATA) dan yang tidak dianyam (Variasi ATT). Sisa-sisa serpihan dari bambu Apus (mat) juga dibuat menjadi spesimen (Variasi AM). Dari hasil
76
pengujian menunjukkan bahwa kekuatan tarik bamboo reinforced plastic (BRP) dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis b ambu Apus dengan serat yang dianyam bersilang mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar yaitu 135,90 MPa untuk arah irisan radial (Variasi ARA) dan 135,23 MPa arah tangensial (Variasi ATA). Jadi jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi kekuatan tarik BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam dengan serat yang tidak dianyam untuk jenis bambu Petung mempunyai kekuatan tarik yang berbeda yaitu: 111,25 MPa (Variasi PRA) dengan 94,25 MPa (Variasi PRT). Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 135,23 MPa untuk serat yang dianyam (Variasi ARA) dan 88,43 MPa untuk serat yang tidak dianyam (Variasi ART). Kekuatan tarik terlemah ada pada variasi serat
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
acak sisa irisan (mat) yaitu 13,65 MPa untuk jenis bambu Petung (Variasi PM) dan 29,40 MPa untuk jenis bambu Apus (Variasi AM). Jadi perbedaan antara variasi serat yang digunakan sangat MPa 160 140 120 100 80 60 40 20 0
berpengaruh terhadap besarnya kekuatan tarik dari BRP. Perbandingan kekuatan tarik BRP antara bambu Petung dengan bambu Apus ditunjukkan pada Gambar 6. Variasi PRA Variasi ARA
A1-2 B1-2
Gambar 6. Grafik Perbandingan Kekuatan Tarik BRP Antara Bambu Petung dengan Bambu Apus Modulus elastisitas BRP pada pengujian tarik dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyam mempunyai modulus elastisitas yang lebih besar yaitu 12749,09 MPa untuk arah irisan radial dan 9667,24 MPa arah tangensial. Akan tetapi untuk jenis bambu Petung mempunyai modulus elastisitas yang jauh lebih kecil disbandingkan dengan bambu Apus yaitu 2343,06 MPa untuk arah irisan radial dan 1854,92 MPa untuk arah irisan tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat kurang berpengaruh pada modulus elastisitas BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A1-1) dengan serat yang tidak dianyam (Al-2) untuk jenis bambu Petung mempunyai modulus e lastisitas yang berbeda yaitu 2343,06 MPa dengan 1698,09 MPa. Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 12749,09 MPa untuk serat yang dianyam (B1-1) dan 2268,37 MPa untuk serat yang tidak dianyam (Bl2). Modulus elastisitas terlemah ada
pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 927,98 MPa untuk jenis bambu Petung (A3) dan 1089,37 MPa untuk jenis bambu Apus (B3). Perbandingan modulus elastisitas BRP antara bambu Petung dengan bambu Apus pada pengujian tarik ditunjukkan pada Gambar 7. Regangan BRP pada pengujian tarik dipengaruhi oleh jenis barnbu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyarn m empunyai regangan yang lebih besar yaitu 0,906% untuk arah irisan radial dan 0,902% arah tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi regangan BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A 1-1) dengan serat yang tidak dianyarn (A1-2) untuk jenis barnbu Petung mempunyai regangan yang berbeda yaitu 0,742% dengan 0,628%. Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 0,902 untuk serat yang dianyarn (Bl-l) dan 0,590 untuk serat yang tidak dianyarn (B1-2). Regangan terlemah ada pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 0,091%
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
77
untuk jenis bambu Petung (A3) dan 0,196% untuk jenis barnbu Apus (B3). Perbandingan regangan BRP antara
bambu Petung dengan bambu Apus pada pengujian tarik ditunjukkan pada Gambar 8.
MPa 14000
A1-1 B1-1
12749.09
12000 9667.24
10000
A1-2 B1-2
8000 A2-1 B2-1
6000 4000 2343.06
2000
2268.37 1854.92 1698.09
2343.06 927.2
1089.37 927.98
A2-2 B2-2 A3
0
Gambar 7. Grafik Perbandingan Modulus Elastisitas BRP antara Bambu Petung dengan Bambu Apus Pada Pengujian Tarik % 1
A1-1 B1-1
0.902
0.906
0.9 0.8 0.7 0.6
0.742
A1-2 B1-2
0.737 0.627 0.599
0.628 0.59
A2-1 B2-1
0.5 0.4 0.3
0.196
0.2
0.091
0.1 0
A2-2 B2-2 A3 B3
Gambar 8. Grafik Perbandingan Regangan BRP antara Bambu Petung Dengan Bambu Apus Pada Pengujian Tarik Kekuatan lentur BRP dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyam mempunyai kekuatan lentur yang lebih besar yaitu 160,80 MPa untuk arah irisan radial dan 158,40 MPa arah tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi kekuatan lentur BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A1-1) dengan serat yang tidak dianyam (Al-2) untuk jenis bambu Petung mempunyai kekuatan lentur yang
78
berbeda yaitu 153,60 MPa dengan 96,00 MPa. Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 160,80 MPa untuk serat yang dianyam (B1-1) dan 86,40 MPa untuk serat yang tidak dianyam (B1-2). Kekuatan lentur terlemah ada pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 72,00 MPa untuk jenis bambu Petung (A3) dan 79,20 MPa untuk jenis bambu Apus (B3). Perbandingan kekuatan lentur BRP antara bambu Petung dengan bambu Apus pada pengujian bending dapat dilihat pada Gambar 9.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
MPa 180 160
A1-1 B1-1
158.4 152.4
160.8 153.6
A1-2 B1-2
140 120 96
100
98.4 86.4
86.4
80
72 79.2
A2-1 B2-1 A2-2 B2-2
60 40 20
A3 B3
0
Gambar 9. Grafik Perbandingan Kekuatan Lentur BRP antara Bambu Petung dengan Bambu Apus Pada Pengujian Bending Modulus elastisitas BRP pada pengujian bending dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyam mempunyai modulus elastisitas yang lebih besar yaitu 23171,66 MPa untuk arah irisan radial dan 13980,44 MPa arah tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi modulus elastisitas BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A1-1) dengan serat yang tidak dianyam (A1-2) untuk jenis bambu Petung mempunyai modulus elastisitas MPa 25000
A1-1 B1-1
23171.66 19625
20000 15439.64
15000
17578.67 14506.67 11094.77
10000 5000 0
yang berbeda yaitu 15439,64 MPa dengan 11094,77 MPa. Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 23171,66 MPa untuk serat yang dianyam (B1-1) dan 14506,67 MPa untuk serat yang tidak dianyam (B1- 2). Sedangkan modulus elastisitas pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 17578,67 MPa untuk jenis bambu Petung (A3) dan 9948,37 MPa untuk jenis bambu Apus (B3). Perbandingan modulus elastisitas BRP antara bambu Petung dengan bambu Apus pada pengujian bending ditunjukkan pada Gambar 10.
13980.44
A1-2 B1-2
13689
9870
9948.37
A2-1 B2-1 A2-2 B2-2 A3 B3
Gambar 10. Grafik Perbandingan Modulus Elastisitas BRP antara Bambu Petung dengan Bambu Apus pada Pengujian Bending
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
79
Regangan BRP pada pengujian bending dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyam mempunyai regangan yang lebih besar yaitu 0,0080% untuk arah irisan radial dan 0,0127% arah tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi regangan BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A1-1) dengan serat yang tidak dianyam (A1-2) untuk jenis bambu Petung mempunyai regangan yang berbeda
yaitu 0,0103% dengan 0,0088%. Begitu juga dengan jenis bambu Apus yaitu 0,0080% untuk serat yang dianyam (B1-1) dan 0,0061% untuk serat yang tidak dianyam (B1-2). Regangan terlemah ada pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 0,0040% untuk jenis bambu Petung (A3) dan 0,0079% untuk jenis bambu Apus (B3). Perbandingan regangan BRP antara bambu Petung dengan bambu Apus pada pengujian bending ditunjukkan pada Gambar 11.
% 0.014
A1-1 B1-1
0.0127
0.012 0.0103
0.01 0.008
A1-2 B1-2
0.0091 0.0088
0.008
0.008
0.0075
0.0079
A2-1 B2-1
0.0061
0.006 0.004
0.004 0.002
A2-2 B2-2 A3 B3
A3 B3
A2-2 B2-2
A2-1 B2-1
A1-2 B1-2
A1-1 B1-1
0
Gambar 11. Grafik Perbandingan Regangan BRP antara Bambu Petung dengan Bambu Apus Pada Pengujian Bending Kuat Impact BRP yang dipengaruhi oleh jenis bambu dan variasi serat, terlihat bahwa jenis bambu Apus dengan serat yang dianyam mempunyai kuat impact yang lebih besar yaitu 186,22 KJ/m² untuk arah irisan radial dan 186,61 KJ/m² arah tangensial. Jadi sangat jelas terlihat bahwa arah irisan serat tidak mempengaruhi kuat impact BRP, akan tetapi variasi serat antara serat yang dianyam (A1-1) dengan serat yang tidak dianyam (Al-2) untuk jenis bambu Petung mempunyai kuat impact yang berbeda yaitu 125,98 KJ/m² dengan 37,99 KJ/m². Begitu juga dengan jenis bamboo Apus yaitu 186,22 KJ/m² untuk serat yang dianyam (B1-1) dan 56,10 KJ/m2 untuk
80
serat yang tidak dianyam (B1-2). Kuat impak terlemah ada pada variasi serat acak sisa irisan (Mat) yaitu 15,55 KJ/m² untuk jenis bambu Petung (A3) dan 41,34 KJ/m² untuk jenis bambu Apus (B3). Pengujian Spesimen Serat Rosella (Rosellefiber) Hasil pengujian kekuatan tarik menunjukkan besarnya gaya yang diberikan pada spesimen pengujian sampai patah dengan kekuatan tarik yang diberikan. Komposisi yang baik terletak pada serat Rosella yang dianyam, mempunyai kekuatan tarik rata-rata sebesar 24.837 MPa jika dibandingkan dengan komposisi serat Rosella yang
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
tidak dianyam sebesar 23.143 MPa. Dengan gaya yang diberikan rata-rata sebesar 6.925 KN pada serat Rosella yang dianyam, berarti material mampu menahan dan menerima beban lebih baik
dari pada komposisi serat Rosella yang tidak dianyam sebesar 6.326 KN. Hasil pengujian tarik serat Rosella ditunjukkan pada Gambar 13.
KJ/m2 200
A1-1 B1-1
186.61
186.22
180 160 140
A1-2 B1-2
127.46
125.98
120
A2-1 B2-1
100 80
56.1
60
54.33
37.99
40
41.34
37.598
15.55
20 0
A2-2 B2-2 A3 B3
Gambar 12. Grafik Perbandingan Kekuatan Impact BRP antara Bambu Petung dengan Bambu Apus 30 25
25.078 24.366 25.067 23.564 24.003 21.862
20 F.Ultima te (KN)
15 10
6.926 6.923
6.925
5 0
6.296
6.154
6.528
Tensile Strength (Mpa)
Gambar 13. Hasil Pengujian Tarik Serat Rosella, Perbandingan F.Ultimate dengan Tensile Strength Dari pengujian bending didapatkan data-data tentang defleksi dan bending strength yang menunjukkan besarnya gaya yang diberikan pada spesimen pengujian sampai patah dengan kekuatan tekuk yang diberikan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa komposisi yang baik terletak pada komposisi dengan serat
Rosella yang dianyam mempunyai kekuatan tekuk (bending strength) ratarata sebesar 4.367 MPa dengan gaya yang diberikan rata-rata sebesar 0.672 KN dan defleksi sebesar 8.501 mm. Data hasil pengujian bending dapat dilihat pada Gambar 14.
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
81
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9.333 7.835
8.336 6.983 6.333 5.681
4.652 3.983
4.465 3.762
3.623 2.993
0.697
0.773
F.Ultima te (KN)
0.547
0.497
0.373
0.447
Bending Strength (MPa) Defleksi (MPa)
Gambar 14. Hasil Pengujian Tekuk Variasi Spesimen Serat Rosella Terhadap F.Ultimate, Defleksi dan Bending Strength Hal ini berarti material serat Rosella mampu menahan dan menerima beban lebih baik dari pada komposisi dengan menggunakan serat Rosella yang tidak dianyam yaitu dengan kekuatan lentur rata-rata sebesar 3.459 MPa, gaya ratarata 0.439 KN dan defleksi rata-rata 6,332 mm. Kerusakan yang terjadi pada pengujian tekuk (bending test) berupa patahan atau retaknya serat Rosella di dalam resin yang terlihat pada penampang spesimen pengujian.
SIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian tarik dan bending dan standar material untuk kapal FRP Biro Klasifikasi Indonesia dari material alternatif cocofiber, bamboofiber dan rosellefiber dapat disimpulkan bahwa material komposit serat organik yang mempunyai karakteristik mekanik (mechanical properties) paling baik adalah dari material komposit bamboofiber yang dibuat dari jenis bambu Apus (bambu tali). Kekuatan tarik yang terbaik dari masing-masing variasi jenis material
82
komposit adalah: bamboofiber 135.9 MPa, rosellefiber 24.837 MPa dan cocofiber 10.808 MPa. Kekuatan tekuk yang terbaik dari masing-masing variasi jenis material komposit adalah: bamboofiber 160,8 MPa, rosellefiber 43.67 MPa dan cocofiber 20.336 MPa. Dari hasil pengujian tersebut diharapkan serat bambu bisa menggantikan serat kaca sebagai reinforced material komposit untuk ukuran kapal cepat sesuai standar BKI yang lebih ramah lingkungan dan dapat dibudidayakan (renewable). Pada patahan tarik variasi serat bambu (bamboofiber) yang dianyam nampak adanya serabut serat yang terkoyak di luar matrik, hal ini menunjukkan bahwa material serat putus setelah matrik terputus atau terjadi slip antara serat dengan matrik karena ikatan antara keduanya tidak kuat sehingga serat keluar dari matrik. Patahan tidak selalu terjadi ditengah, ada spesimen yang patah pada ujung-ujung panjang bagian yang sempit (L), hal ini terjadi karena spesimen tidak homogen sehingga titik terlemah tidak selalu ada ditengah dari panjang spesimen.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015
Pada pengujian bending (tekuk) serat yang dianyam terlihat hanya serat yang paling bawah dan teluar yang mengalami patah sedangkan serat yang lain hanya mengalami tekukan akan tetapi matrik sudah lebih dahulu mengaiami patah. Pada spesimen telihat bahwa ikatan antara serat dengan matrik kurang, akan tetapi kekuatan anyaman sangat mernpengaruhi kekuatan tekuk. Sedangkan patahan terjadi sesudah spesimen menerima gaya tekuk maksimum dan tepat terjadi pada pertengahan spesimen. Pada pengujian impact, spesimen yang sudah mengalami pengujian langsung patah/pecah dan terlempar jauh dan posisinya berantakan, jadi yang terlihat hanya energi impact dari spesimen yang dapat dibaca pada mesin uji, jadi untuk melihat bentuk patahan yang terjadi pada masing-masing spesimen sangat sulit dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN ASTM. 1994. Standard Test Method for Tensile Properties of Polymer Matrix Composites Materials. D3039-93. Section 15 Vol. 15.03. ASTM. 1994. Standard Test Method for Flexure Properties of Unreinforced and Reinforced Plastics Materials. D 709 M-86. Vol. 3. ASTM. 1994. Standard Test Method for Impact Resistance of Plastics and Electrical Insulating Materials. Vol. 3. Bodiq J. and Benyamin AJ. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. London: Nostrand Reinhold Company. China National Bamboo Research Centre. 2001. Cultivation and Integrated
Utilisation on Bamboo in China. Hangzue. China. Collin JA. 1981. Failure of Materials in Mechanical Design. New York: John Willey and Son. Conwy G. and Bryn Y. 1991. Building a Fibreglass Fishing Boat. UK. Det Norske Veritas. 1993. High Speed and Light Craft. Norwey: January. Det Norske Veritas. 1991. Fiber Composites and Sandwich Materials. Norwey: January. Det Norske Veritas, 1993. Design Principles and Loads. Norwey: January. Det Norske Veritas. 1991. Hull Structure Design Fibre Composites and Sandwich Construction. Norwey: January. Figg K. and Hayward John. 1979. GRP Boat Construction. London: Newnes Technical Books. Hadi Widodo YS. 1998. Sintesis Komposit Serat Bambu dalam Upaya Pencarian Material Wahana Laut Maju. Surabaya: Lemlit ITS. Jain S. and Kumar R. 1994. Processing of Bamboo Fibre Reinforced Plastics Composites. Jurnal Material and Manufacturing Processes. vol. 9 no. 5. Kumara K. 1998. Analisa Perbandingan Teknis dan Ekonomis Pembuatan Kapal Cepat dengan FRP (Single Skin dan Sandwich). Surabaya: TA JTPITS. Morisco L. 1999. Rekayasa Bamboo. Jogyakarta: PAU UGM. Smith CS. 1990. Design of Marine Structures in Composites Materials. Elsvesier Applied Science. Sunaryanto D. dan Supomo H. 2000. Analisa Penerapan Serat Organik untuk Beban Di Kapal. Surabaya: TA JTP-ITS.
Nur Y. N, Akhmad B. W, Tri Agung K: Karakterisasi Mekanik Material Komposit
83
Willey J. 1982. The Fibreglass Repair and Construction Hands Book. New York: USA Press.
84
Yates J. 1992. Glass Boat Repair. New York: The Croowood Press Ltd.
Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 19, No. 2, Januari 2015